Anda di halaman 1dari 159

ANALISIS KAPASITAS ADAPTASI MASYARAKAT PESISIR DALAM

MENGHADAPI ANCAMAN ABRASI DI KECAMATAN GIANYAR

oleh
I Wayan Sumartika
NIM 1314031004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2017
ANALISIS KAPASITAS ADAPTASI MASYARAKAT PESISIR DALAM
MENGHADAPI ANCAMAN ABRASI DI KECAMATAN GIANYAR

SKRIPSI

Diajukan kepada
Universitas Pendidikan Ganesha
untuk Memenuhi Salah Satu Persaratan dalam Menyelesaikan Program
Sarjana Pendidikan Geografi

oleh
I Wayan Sumartika
NIM 1314031004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2017

ii
iii
Skripsi oleh I Wayan Sumartika ini
telah dipertahankan di depan dewan penguji
pada Senin, 30 Januari 2017

Dewan Penguji,

Prof. Dr. I Gede Astra Wesnawa, M.Si.


NIP 196204251990031002

Putu Indra Christiawan, S.Pd., M.Sc.


NIP 198707172014041002

I Putu Ananda Citra, S. Pd., M.Sc.


NIP. 198408182008121001

iv
Diterima oleh Panitia Ujian Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas
Pendidikan Ganesha Singaraja guna memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Pendidikan

pada

hari : Senin
tanggal : 30 Januari 2017

Mengetahui,

Ketua Ujian, Sekretaris Ujian,

Dr. Luh Putu Sendratari, M. Hum. I Putu Ananda Citra, S. Pd., M.Sc.
NIP 196112081986032001 NIP 198408182008121001

Mengesahkan,
Dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial

Prof. Dr. Sukadi, M.Pd., M.Ed.


NIP 196303101988031003

v
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa karya tulis yang berjudul “ANALISIS
KAPASITAS ADAPTASI MASYARAKAT PESISIR DALAM MENGHADAPI
ANCAMAN ABRASI DI KECAMATAN GIANYAR” beserta seluruh isinya
adalah benar-benar karya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan dan
pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika yang berlaku dalam
masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko/sanksi
yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran atas
etika keilmuan dalam karya saya ini atau ada klaim terhadap keaslian karya saya
ini.

Singaraja, Januari 2017


Yang membuat pernyataan,

I Wayan Sumartika
NIM. 1314031004

vi
PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas Asung Kerta

Wara Nugraha-Nya serta dorongan keinginan dan usaha yang maksimal, sehingga

dapat diselesaikan skripsi yang berjudul “ANALISIS KAPASITAS ADAPTASI

MASYARAKAT PESISIR DALAM MENGHADAPI ANCAMAN ABRASI

DI KECAMATAN GIANYAR”, sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Proses penyusunan skripsi ini tidak luput dari hambatan kesulitan. Berkat

bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dapat diatasi kesulitan tersebut dan skripsi

ini dapat diselesikan. Untuk ini pada kesempatan ini diucapkan terima kasih yang

setulus-tulusnya kepada:

1. Rektor Universitas Pendidikan Ganesha (UNDIKSHA) yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Program Studi

Pendidikan Geografi, Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial.

2. Dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk melakukan penelitian.

3. Ketua Program Studi Pendidikan Geografi yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk melakukan penelitian.

4. Prof. Dr. I Gede Astra Wesnawa, M.Si. selaku Pembimbing I yang dengan

penuh tanggung jawab dan kesabaran memberikan bimbingannya.

5. I Gede Budiarta, S.Pd., M.Si. selaku Pembimbing II yang selalu memberikan

motivasi dan penuh tanggung jawab memberikan bimbingannya.

6. Putu Indra Christiawan, S.Pd., M.Sc. selaku Pennguji yang telah memberikan

pemikiran kritis dan kritik yang bersifat konstruktif.

7. I Putu Ananda Citra, S. Pd., M.Sc. selaku Pennguji yang telah memberikan

masukan dan saran yang bersifat konstruktif.

vii
8. Staf Dosen, Laboran Program Studi Pendidikan Geografi Universitas

Pendidikan Ganesha serta Pembimbing Akademik yang telah memberikan

petunjuk, sarana dan motivasi dalam pelaksanaan serta penyusunan skripsi ini.

9. Kepala Perpustakaan Universitas Pendidikan Ganesha beserta staf yang telah

memberikan kemudahan pelayanan peminjaman buku-buku yang dibutuhkan

selama penyusunan skripsi ini.

10. Dinas-dinas pemerintahan terkait di Kabupaten Gianyar yang telah

memfasilitasi, memberikan izin penelitian, dan bantuan dalam pengumpulan

data.

11. Bapak Camat Gianyar, Bapak Kepala Desa Lebih dan Bapak Kepala Desa

Tulikup yang senantiasa memberikan ijin, pengawasan, bimbingan serta

masukan-masukan dalam pelaksanaan penelitian di lapangan.

12. Bapak, Ibu kandung, Ibu angkat dan pasangan tercinta (I Wayan Sumadi, Ni

Nyoman Wati, Regina Alleman dan Putu Sintya Ambaramiek) yang selalu

memberikan dukungan, baik dukungan moral maupun material dan

mencurahkan doa serta semangat, sehingga saya bisa menjadi seorang sarjana.

13. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pendidikan Geografi angkatan 2013

yang selalu menjadi motivator bagi penulis.

“Tiada gading yang tak retak, jikalau retak jadikanlah ukiran”, melalui prakata ini

penulis menyampaikan permohonan maaf karena skripsi ini masih jauh dari

sempurna, sehingga diharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif. Sebagai

akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat.

Singaraja, Januari 2017

Penulis

viii
ANALISIS KAPASITAS ADAPTASI MASYARAKAT PESISIR DALAM
MENGHADAPI ANCAMAN ABRASI DI KECAMATAN GIANYAR

oleh

I Wayan Sumartika, NIM. 1314031004


Program Studi Pendidikan Geografi
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia

(sumartikaiwayan@gmail.com)

ABSTRAK

Penelitian geografi ini menggunakan pendekatan struktur keruangan dan


pendekatan lingkungan yang dilaksanakan di Pesisir Kecamatan Gianyar. Tujuan
penelitian adalah untuk (1) Menganalisis tingkat ancaman abrasi di Kecamatan
Gianyar, dan (2) Menganalisis tingkat kapasitas adaptasi masyarakat masyarakat
pesisir dalam menghadapi ancaman abrasi di Kecamatan Gianyar. Penelitian
menggunakan jenis penelitian kualitatif yang dibantu oleh data kuantitatif dengan
teknik survei. Sampel wilayah diambil Desa Lebih dan Desa Tulikup dengan
menggunakan area sampling. Sampel KK diambil sejumlah 64 yang ditentukan
berdasarkan purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan metode
pencatatan dokumen, observasi, studi pustaka dan kuesioner.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat ancaman abrasi di
Kecamatan Gianyar tergolong kategori sedang. Struktur keruangan hasil abstraksi
menunjukkan sejumlah sebagian daerah pada indeks sedang di Desa Tulikup dan
sebagiannya lagi daerah pada indeks rendah di Desa Lebih. Komposisi keruangan
berdasarkan penduduk terpapar ancaman abrasi ditandai oleh sebagian berindeks
tinggi di Desa Lebih dan sebagian lagi berindeks sedang di Desa Tulikup, dan (2)
tingkat kapasitas adaptasi masyarakat pesisir dalam menghadapi ancaman abrasi di
Kecamatan Gianyar tergolong dalam kategori sedang. Masyarakat Pesisir
Kecamatan Gianyar merupakan masyarakat yang cukup mapan dilihat dari lima
kepemilikan modal. Perilaku masyarakat yang dibentuk dari lingkungannya dapat
dilihat dari analisis hubungan fenomena abrasi dan lokasi kegiatan manusia. Pantai
Lebih telah dibangun talud menarik masyarakat melakukan aktivitas dekat dengan
laut. Pantai Siyut Tulikup belum dibangun talud, sehingga kegiatan masyarakat
cukup jauh dari laut dikarenakan dampak abrasi belum dimitigasi secara struktural
dengan pembangunan talud.

Kata kunci: ancaman abrasi, kapasitas adaptasi, masyarakat pesisir

ix
DAFTAR ISI

halaman

PRAKATA ....................................................................................................... vii

ABSTRAK ....................................................................................................... ix

DAFTAR ISI .................................................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xx

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 8

1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 8

1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Bencana .............................................................................. 10

2.2 Kajian Ancaman Bencana .............................................................. 11

2.3 Kajian Abrasi ................................................................................. 12

2.4 Tinjauan Kapasitas Adaptasi .......................................................... 20

2.5 Kerangka Berpikir .......................................................................... 24

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian ..................................................................... 26

3.2 Objek dan Subjek Penelitian .......................................................... 26

3.3 Lokasi Penelitian ............................................................................ 27

3.4 Variabel Penelitian ......................................................................... 28

x
3.5 Definisi Operasional Variabel ........................................................ 29

3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ..................................................... 29

3.7 Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 31

3.8 Metode Analisis Data ..................................................................... 33

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian ............................................. 40

4.1.1 Keadaan Fisiogafis ................................................................ 40

4.1.2 Keadaan Klimatologi ............................................................ 41

4.1.3 Keadaan Geologi dan Topografi ........................................... 53

4.1.4 Keadaan Demografis ............................................................. 55

4.2 Hasil Penelitian .............................................................................. 63

4.2.1 Penyajian Data Ancaman Abrasi .......................................... 63

4.2.1.1 Ketinggian Gelombang ............................................. 63

4.2.1.2 Kecepatan Arus ......................................................... 67

4.2.1.3 Keadaan Vegetasi Pesisir .......................................... 69

4.2.1.4 Hasil Penelitian Bentuk Garis Pantai ........................ 73

4.2.1.5 Hasil Penelitian Tipologi Pantai ............................... 75

4.2.1.6 Hasil Penelitian Banyak Sungai Bermuara di Kawasan


Pantai Lebih .............................................................. 77

4.2.1.7 Kepadatan Penduduk dan Penduduk Rentan ............ 79

4.2.2 Penyajian Data Kapasitas Adaptasi Masyarakat ................... 81

4.2.2.1 Kepemilikan Modal Natural (Natural Capital) ........ 81

4.2.2.2 Kepemilikan Modal Keuangan (Financial Capital) . 82

4.2.2.3 Kepemilikan Modal Fisik (Physical Capital) ........... 87

4.2.2.4 Kepemilikan Modal Manusia (Human Capacity) ..... 90

xi
4.2.2.5 Kepemilikan Modal Sosial (Social Capital) ............. 97

4.3 Pembahasan .................................................................................... 104

4.3.1 Pembahasan Tingkat Ancaman Abrasi di Kecamatan


Gianyar .................................................................................. 104

4.3.1.1 Ketinggian Gelombang ............................................. 106

4.3.1.2 Kecepatan Arus ......................................................... 109

4.3.1.3 Keadaan Vegetasi Pesisir .......................................... 110

4.3.1.4 Bentuk Garis Pantai .................................................. 113

4.3.1.5 Tipologi Pantai .......................................................... 113

4.3.1.6 Banyak Sungai Bermuara di Kawasan Pantai Lebih 115

4.3.1.7 Penduduk Terpapar ................................................... 116

4.3.2 Pembahasan Tingkat Kapasitas Adaptasi Masyarakat Pesisir


dalam Menghadapi Ancaman Abrasi di Kecamatan Gianyar 118

4.3.2.1 Kepemilikan Modal Natural...................................... 121

4.3.2.2 Kepemilikan Modal Finansial ................................... 122

4.3.2.3 Kepemilikan Modal Fisik.......................................... 122

4.3.2.4 Kepemilikan Modal Manusia .................................... 123

4.3.2.5 Kepemilikan Modal Sosial ........................................ 123

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan ........................................................................................ 130

5.2 Saran .............................................................................................. 131

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xii
DAFTAR TABEL

Tabel halaman

Tabel 1 Spesifikasi Kerugian Masyarakat Desa Lebih .............................. 5

Tabel 2.1 Skala Beaufort............................................................................... 14

Tabel 2.2 Hubungan Kecepatan Angin dengan Arus dan Gelombang ......... 14

Tabel 2.3 Parameter Pengukur Kapasitas dengan Konsep Modal ................ 23

Tabel 2.4 Indikator Indeks Kapasitas Bencana Abrasi ................................. 23

Tabel 3.1 Variabel Penelitian ........................................................................ 28

Tabel 3.2 Spesifikasi Sampling Dearah Penelitian ....................................... 30

Tabel 3.3 Spesifikasi Penentuan Ukuran Sampel ......................................... 31

Tabel 3.4 Penilaian Indeks Ancaman Abrasi ................................................ 34

Tabel 3.5 Kategori Indeks Ancaman Abrasi ................................................. 35

Tabel 3.6 Penilaian Indeks Penduduk Terpapar............................................ 35

Tabel 3.7 Kategori Indeks Penduduk Terpapar ............................................ 36

Tabel 3.8 Penilaian Kapasitas Adaptasi ........................................................ 37

Tabel 3.9 Kategori Indeks Kapasitas Adaptasi ............................................. 39

Tabel 4.1 Data Suhu Udara Satuan (oC) Elevasi 3 mdpl di Pesisir
Kecamatan Gianyar (Kawasan Pantai Lebih ................................ 43

Tabel 4. 2 Data Curah Hujan Bulanan Satuan Millimeter (mm) elevasi


120 mdpl di Kecamatan Gianyar .................................................. 45

Tabel 4. 3 Spesifikasi Bukan Basah, Sedang dan Kering Daerah


Penelitian ...................................................................................... 46

Tabel 4.4 Kriteria Curah Hujan Menurut Schmidt Ferguson ...................... 47

Tabel 4.5 Data Kecepatan (knot) dan Arah Angin Elevasi 3 mdpl di
Pesisir Kecamatan Gianyar........................................................... 51

Tabel 4.6 Tabel Kerja Penentuan Kecepatan Angin Rata-rata .................... 52

xiii
Tabel 4.7 Klasifikasi Karakteristik Laut Berdasarkan Kecepatan Angin .... 53

Table 4.8 Spesifikasi Keadaan Demografis di Daerah Penelitian ............... 55

Tabel 4.9 Dinamika Penduduk Desa Lebih dan Tulikup Tahun 2015 ......... 58

Tabel 4.10 Klasifikasi Desa Berdasarkan Jumlah dan Kepadatan


Penduduk ...................................................................................... 61

Tabel 4.11 Spesifikasi Penduduk Produktif dan Non-Produktif .................... 61

Tabel 4.12 Data Ketinggian Gelombang (m) di Kawasan Pantai Lebih


(Selat Badung) dengan Titik Koordinat 8.625oLS dan 115.
375o BT ......................................................................................... 64

Tabel 4.13 Data Kecepatan Arus (m/s) Meridional di Kawasan Pantai


Lebih (Selat Badung) dengan Titik Koordinat 8.66667o LS
dan 115.33334oBT Kedalaman 15 m............................................ 67

Tabel 4.14 Spesifikasi Tutupan Lahan di Pesisir Kecamatan Gianyar .......... 71

Tabel 4.15 Nama dan Jumlah Sungai Bermuara di Kawasan Pantai Lebih ... 77

Tabel 4.16 Hasil Penelitian Penduduk Terpapar ............................................ 79

Tabel 4.17 Kepemilikan Tanah (Lahan) Masyarakat Pesisir di Kecamatan


Gianyar ........................................................................................ 81

Tabel 4.18 Kepemilikan Sawah/Kebun/Tegalan Masyarakat Pesisir di


Kecamatan Gianyar ..................................................................... 81

Tabel 4.19 Kondisi Akses Pinjaman Masyarakat Pesisir di Kecamatan


Gianyar ........................................................................................ 82

Tabel 4.20 Pekerjaan Tetap dan Pekerjaan Sampingan Masyarakat


Pesisir di Kecamatan Gianyar ..................................................... 83

Tabel 4.21 Tabungan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Gianyar ................ 84

Tabel 4.22 Keadaan Piutang/Kredit Masyarakat Pesisir di Kecamatan


Gianyar ........................................................................................ 84

Tabel 4.23 Kepemilikan Usaha Masyarakat Pesisir di Kecamatan


Gianyar ........................................................................................ 85

Tabel 4.24 Kepemilikan Barang Bernilai Ekonomi Masyarakat Pesisir di


Kecamatan Gianyar ..................................................................... 86

xiv
Tabel 4.25 Kondisi Jalan di Pesisir Kecamatan Gianyar .............................. 87

Tabel 4.26 Keadaan Sistem Informasi di Pesisir Kecamatan Gianyar ......... 88

Tabel 4.27 Kualitas Bangunan (Umur Bangunan) di Pesisir Kecamatan


Gianyar ........................................................................................ 89

Tabel 4.28 Pembangunan Kesiapsiagaan pada Seluruh Lini di Pesisir


Kecamatan Gianyar ..................................................................... 89

Tabel 4.29 Pendidikan Kebencanaan Masyarakat Pesisir di Kecamatan


Gianyar ........................................................................................ 90

Tabel 4.30 Sikap Masyarakat Pesisir terhadap Ancaman Abrasi di


Kecamatan Gianyar ................................................................... 91

Tabel 4.31 Keterampilan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Gianyar ......... 92

Tabel 4.32 Kompisisi Jenis Kelamin Masyarakat Pesisir di Kecamatan


Gianyar ...................................................................................... 93

Tabel 4.33 Usia (Komposisi Umur) Masyarakat Pesisir di Kecamatan


Gianyar ...................................................................................... 94

Tabel 4.34 Kesehatan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Gianyar............... 94

Tabel 4.35 Jenjang Pendidikan yang Ditamatkan Masyarakat Pesisir di


Kecamatan Gianyar ................................................................... 95

Tabel 4.36 Kemampuan Berpendapat Masyarakat Pesisir di Kecamatan


Gianyar terkait Abrasi ............................................................... 96

Tabel 4.37 Persepsi Masyarakat terhadap Aturan Penambangan Pasir


Pantai di Pesisir Kecamatan Gianyar ........................................ 97

Tabel 4.38 Keadaan Koperasi di Pesisir Kecamatan Gianyar ..................... 97

Tabel 4.39 Keadaan Arisan di Pesisir Kecamatan Gianyar ......................... 98

Tabel 4.40 Persepsi Masyarakat terhadap Aturan Penambangan Batu


Sikat di Pesisir Kecamatan Gianyar .......................................... 99

Tabel 4.41 Persepsi Masyarakat terhadap Aturan Pembangunan


Sempadan Pantai di Pesisir Kecamatan Gianyar ........................ 100

Tabel 4.42 Keberadaan Balawisata di Pesisir Kecamatan Gianyar .............. 101

xv
Tabel 4.43 Ketersediaan Alat Pertolongan di Pesisir Kecamatan Gianyar ... 101

Tabel 4.44 Program Desa Tangguh Bencana di Pesisir Kecamatan


Gianyar ........................................................................................ 102

xvi
DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

Gambar 1.1 Abrasi di Pantai Lebih, Gianyar ................................................. 4

Gambar 1.2 Talud Batu Andesit Setinggi 2 Meter......................................... 6

Gambar 2.1 Bagan Alir Kerangka Berpikir ................................................... 25

Gambar 3.1 Peta Daerah Penelitian di Pesisir Kecamatan Gianyar ............... 27

Gambar 3.2 Matriks Penentuan Tingkat Ancaman Abrasi di Pesisir Kecamatan


Gianyar ...................................................................................... 36

Gambar 3.3 Matriks Penentuan Kapasitas Adaptasi Masyarakat Pesisir dalam


Menghadapi Ancaman Abrasi di Kecamatan Gianyar .............. 39

Gambar 4.1 Klasifikasi Iklim Matahari ......................................................... 41

Gambar 4.2 Pergerakan Semu Tahunan Matahari ......................................... 42

Gambar 4.3 Grafik Keadaan Suhu Rata-rata Bulanan di Daerah


Penelitian ................................................................................... 45

Gambar 4.4 Diagram Iklim di Daerah Penelitian Menurut Koppen ............. 49

Gambar 4.5 Klasifikasi Iklim Menurut Junghuhn ........................................ 50

Gambar 4.6 Peta Geologi Lembar Bali Nusa Tenggara yang Diperkecil,
1998 ........................................................................................... 54

Gambar 4.7 Grafik Persentase Gender di Daerah Penelitian ........................ 56

Gambar 4.8 Grafik Keadaan Rata-rata Tinggi Gelombang Bulanan ............ 64

Gambar 4.9 Grafik Keadaan Tinggi Gelombang Harian .............................. 65

Gambar 4.10 Keadaan Gelombang di Pantai Lebih ........................................ 66

Gambar 4.11 Keadaan Gelombang di Pantai Siyut Tulikup ........................... 66

Gambar 4.12 Keadaan Rata-rata Kecepatan Arus Bulanan Meridional ......... 68

Gambar 4.13 Data Tutupan Lahan di Kawasan Pantai Lebih Citra

xvii
Lansat 8 pada 10 Oktober 2016 Path 116 Row 66 Entity ID
LC81160662016284LGN00 Kombinasi Band 654 Vegetation
Analysis...................................................................................... 69

Gambar 4.14 Data Tutupan Lahan di Kawasan Pantai Lebih Citra


Lansat 8 pada 10 Oktober 2016 Path 116 Row 66 Entity ID
LC81160662016284LGN00 Kombinasi Band 654 Vegetation
Analysis .................................................................................... 70

Gambar 4.15 Keadaan Tutupan Lahan Kosong .............................................. 72

Gambar 4.16 Keadaan Tutupan Lahan Semak Belukar .................................. 72

Gambar 4.17 Keadaan Tutupan Lahan Pertanian ........................................... 73

Gambar 4.18 Data Bentuk Garis Pantai Citra Lansat 8 pada 10 Oktober
2016 Path 116 Row 66 Entity ID LC81160662016284LGN00
Kombinasi Band 564 Land/Water Analysis .............................. 73

Gambar 4.19 Keadaan Bentuk Garis Pantai di Kawasan Pantai Lebih ......... 74

Gambar 4.20 Keadaan Morfologi di Pantai Lebih ......................................... 75

Gambar 4.21 Keadaan Morfologi di Pantai Siyut Tulikup ............................ 76

Gambar 4.22 Muara Sungai Melangit ............................................................ 77

Gambar 4.23 Muara Sungai Demungan ......................................................... 77

Gambar 4.24 Muara Sungai Udang-udang .................................................... 77

Gambar 4.25 Muara Sungai Sangsang ........................................................... 77

Gambar 4.26 Peta Indeks Ancaman Abrasi di Pesisir Kecamatan Gianyar... 78

Gambar 4.27 Peta Indeks Kapasitas Adaptasi Masyarakat Pesisir di


Kecamatan Gianyar .................................................................. 103

Gambar 4.28 Peta Tingkat Ancaman Abrasi di Peisisir Kecamatan Gianyar 105

Gambar 4.29 Peta Indeks Penduduk Terpapar Ancaman Abrasi di Pesisir


Kecamatan Gianyar .................................................................. 116

Gambar 4.30 Matriks Tingkat Ancaman Abrasi di Pantai Lebih Desa Lebih 117

Gambar 4.31 Matriks Tingkat Ancaman Abrasi di Pantai Siyut Desa


Tulikup ..................................................................................... 118

xviii
Gambar 4.32 Matriks Tingkat Ancaman Abrasi di pesisir Kecamatan
Gianyar ..................................................................................... 119

Gambar 4.33 Matriks Kapasitas Adaptasi Masyarakat Pesisir dalam


Menghadapi Ancaman Abrasi di Kecamatan Gianyar ........... 124

Gambar 4.34 Peta Tingkat Kapasitas Adaptasi Masyarakat Pesisir dalam


Menghadapi Ancaman Abrasi di Kecamatan Gianyar ............. 126

xix
DAFTAR LAMPIRAN

1. Izin Penelitian

2. Kuesioner Penelitian

xx
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang banyak memiliki sebutan. Berdasarkan

perspektif kebencanaan dan mitigasi, Indonesia dikatakan sebagai sebuah

laboratorium bencana ataupun disasters supermarket. Penaman tersebut dilandasi

oleh variasi bencana dan kuantitas bencana yang pernah terjadi di Indonesia.

Mengacu UU No 24 Tahun 2007, jenis-jenis bencana yang terjadi di Indonesia

bervariatif yang dikategorikan menjadi bencana alam, non alam dan bencana sosial.

Sedangkan, berdasarkan kuantitasnya bencana-bencana tersebut sering terjadi di

Indonesia mulai dari hitungan puluhan sampai dengan ratusan kali setiap tahunnya.

Indonesia memiliki kodrat fisik yang kompleks. Keadaan fisik tersebut

berimplikasi terhadap berbagai potensi dan juga ancaman. Ancaman berupa

bencana yang banyak timbul adalah kodrat fisik yang harus disadari oleh

masyarakat Indonesia. Negara Indonesia terletak di antara pertemuan tiga lempeng

dunia yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Indo-Australia.

Pertemuan ketiga lempeng ini berimplikasi kepada keadaan fisiografis Indonesia

yang terlihat dari kuantitas gunung berapi yang ada. Aktivitas gunung berapi yang

biasanya terjadi seusai aktivitas seismik banyak berimplikasi kepada keadaan fisik

permukaan bumi dan aktivitas manusia.

Kodrat fisik lain yang dimiliki Indonesia adalah negara yang berbentuk

kepulauan. Indonesia memiliki garis pantai terpanjang ke-2 di dunia setelah Kanada

1
2

(BNPB, 2011). Garis pantai serta berbagai potensi yang dimiliki dapat menjadi

salah satu elemen yang terancam terkena bencana alam. Bencana alam sendiri,

didefinisikan merupakan gejala alam yang disebabkan oleh keadaan hidrologis,

geologi, seismik atau disebabkan oleh suatu proses dalam lingkungan alam yang

mengancam kehidupan dan perekonomian masyarakat serta menimbulkan

malapetaka (Muta’Ali, 2014). Menilik kodrat fisik tersebut, sangat riskan sekali

Indonesia terkena bencana yang bersumber dari fenomena geologi, seismik, dan

dinamika hidrosfer. Salah satu bencana yang disebabkan oleh alam khususnya

akibat fenomena hidrosfer adalah abrasi yang merupakan salah satu bencana alam

yang menjadi ancaman bagi masyarakat Indonesia.

Abrasi merupakan proses lepasnya material pantai yang dibawa oleh

gelombang, sehingga merubah morfologi pantai (Atmaja, 2004). Abrasi dalam

perspektif bencana merupakan salah satu kejadian bencana slow on-set disaster.

Slow on-set disaster adalah bencana yang datang secara perlahan, terus-menerus

dan jarang disadari oleh masyarakat namun tetap memiliki dampak negatif terhadap

harta benda dan faktor penghidupan masyarakat. Noor (2011) menyatakan bahwa

“potensi abrasi air laut terhadap garis pantai akan berpengaruh terhadap keberadaan

garis pantai yang ada”. Di Bali, fenomena abrasi banyak terjadi di pesisir bagian

Selatan yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. Karakteristik

gelombang pantai Selatan yang dikategorikan bergelombang pecah akan membawa

massa air bergerak menuju pantai dengan massa udara yang tinggi. Karakteristik

gelombang tersebut merupakan gelombang yang mempunyai daya erosif yang

tinggi.
3

Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Gianyar

yang ditemui dikantornya berpendapat bahwa abrasi yang terjadi di Bali khususnya

di Gianyar diakibatkan oleh gelombang air laut yang dihembuskan oleh angin dari

Samudera Hindia berlalu tanpa halangan atau sering disebut dengan fetch. Lain

halnya dengan pantai-pantai di Klungkung yang mengalami abrasi yang lebih

rendah karena adanya Pulau Nusa Penida sebagai pengabsorsi tenaga angin yang

membangkitkan gelombang permukaan. Faktor biologis pula berpengaruh terhadap

daya erosif sebuah gelombang. Semakin rendah eksiostem pantai, semakin tinggi

daya erosi yang dimiliki oleh gelombang air laut. Selanjutnya, abrasi menjadi

malapetaka dikarenakan jenis-jenis tata guna lahan yang terdampak memiliki nilai-

nilai tertentu baik nilai ekonomi, nilai historis maupun nilai spiritual sebagai

sumber penghidupan masyarakat setempat.

Kawasan pantai sepanjang 15 km di Kabupaten Gianyar, Bali adalah salah

satu wilayah yang setiap tahun mengalami abrasi (Pemkab Gianyar, 2011).

Ancaman bencana tersebut telah mengikis sebagian besar daratan di pinggir pantai

mencapai 2 km dari tahun 1960 (Yasada, 2008). Data lain yang menyebutkan

bahwa abrasi di Pantai Lebih Gianyar saja dari tahun 1990 sampai tahun 2008

mencapai 50 meter. Fenomena abrasi itu bukan hanya terjadi sekali atau dua kali

saja tetapi bencana abrasi selalu terjadi setiap tahun dengan menimbulkan berbagai

kerugian bagi masyarakat setempat. Fenomena tingkat ancaman abrasi di Kawasan

Pantai Lebih merupakan objek yang penting untuk diteliti. Jika fenomena ini

didiamkan maka akan menghasilkan kerugian yang lebih banyak oleh masyarakat

setempat. Penelitian kekuatan ancaman abrasi yang mengancam wilayah pesisir

penting untuk dapat menjadi refleksi bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah
4

Kabupaten Gianyar dalam mengambil kebijakan prioritas guna membendung

ancaman abrasi baik secara struktural maupun non-struktural. Hasil penelitian ini

menjadi aktual guna mengkonfirmasi data terdahulu yang membahas mengenai

tingginya laju abrasi di Kawasan Pantai Lebih.

Gambar 1.1 Abrasi di Pantai Lebih, Gianyar


(Sumber: Dokumen Sumartika, 2016)

Menurut Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, rata-rata laju abrasi di

Bali hanya mencapai 2-3 km/tahun (Maryadie, 2010). Sedangkan, laju fenomena

abrasi di Kecamatan Gianyar terutama di Kawasan Pantai Lebih berada di atas rata-

rata abrasi yang terjadi di pantai di Bali. Laju abrasi yang terjadi di Pantai Lebih

adalah 5 meter/tahun, jauh dari pantai-pantai lain. Abrasi di Kawasan Pantai Lebih

dikatakan termasuk yang paling parah dibandingkan dengan pantai-pantai di

kawasan Gianyar dan Klungkung serta pantai-pantai di Badung. Pada Gambar 1.1

memperlihatkan bahwa kekuatan abrasi terus menerus mengikis talud (jetty) yang

dibuat oleh pemerintah provinsi setempat. Karakteristik sedimentasi di pantai yang


5

dibawa oleh aliran air Tukad Unda pula menjadi akibat semakin parahnya abrasi di

kawasan pantai Kecamatan Gianyar. Sedimen tersebut dapat merubah arah dan

gerak gelombang yang menuju ke pantai-pantai di Gianyar yang selanjutnya

menghempas daratan. Tabel 1 merupakan spesifikasi kerugian yang dialami

masyarakat Desa Lebih Gianyar akibat abrasi pantai berdasarkan hasil wawancara

dengan Ibu Gusti Nyoman Raka pada tanggal 26 Pebruari 2016.

Tabel 1 Spesifikasi Kerugian Masyarakat Desa Lebih

No Jenis Jumlah Besaran Kerugian Keterangan


(1) (2) (3) (4) (5)
1 Bangunan Wantilan 1 buah Rp 100.000.000 Hilang menjadi bagian laut
Lahan Pertanian 2 km x
2 Rp 2.500.000.000 Hilang menjadi bagian laut
(sawah) 5m/tahun
3 Candi Bentar 1 pasang Rp 50.000.000 Hilang menjadi bagian laut
Sumber: Analisis Data Primer, 2016

Dampak sekunder dari bencana yang sulit untuk dihilangkan akibat bencana

abrasi adalah dampak sosiologi dan psikologi (Jatmiko, 2014). Berdasarkan

wawancara yang dilakukan oleh salah satu stasiun tv, masyarakat yang berprofesi

sebagai nelayan mengalami kemunduran motivasi untuk melaut. Melemahnya

motivasi nelayan untuk menjalani aktivitasnya diakibatkan oleh semakin rumitnya

kegiatan operasional yang dilakukan. Sebelum abrasi terjadi separah dewasa ini,

nelayan menambatkan perahu di laut pantai yang memiliki pasir yang luas. Tenaga

yang dibutuhkan tidak terlalu besar karena untuk mendorong perahu ke daratan

yang berpasir hanya membutuhkan bantuan gelombang dan kurang dari 5 orang

anggota nelayan. Namun saat ini jauh berbeda, seiring dengan dibangunnya struktur

penahan ombak (talud) sepanjang 1 km oleh Pemerintah Gianyar, nelayan harus

menambah biaya operasional. Sebelum atau sesudah melaut, untuk membawa


6

kembali kapalnya ke darat atau ke laut nelayan harus membeli 4 buah bambu.

Bambu tersebut dipakai sebagai roda ketika menurunkan atau menaikan kapal ke

laut dari talud yang terbuat dari struktur batu andesit setinggi 2 meter (Gambar 1.2).

Gambar 1.2 Talud Batu Andesit Setinggi 2 Meter


(Sumber: Courtesy of Youtube, 2016)

Fakta-fakta dampak abrasi di Kecamatan Gianyar khususnya Pantai Lebih

didengar oleh tidak sedikit orang baik masyarakat Bali maupun masyarakat

Indonesia pada umumnya. Meskipun wilayah ini mengalami abrasi, ketika

fenomena tersebut terus terjadi masyarakat masih merasakan kepanikan psikis dan

instansi pemerintah yang berwenang mengatur dan memberikan bantuan terhadap

korban bencana sering kali tidak dapat berlangsung sesuai dengan fungsinya.

Melalui segala keterpaksaan yang ada, masyarakat yang terpapar bencana terpaksa
7

berupaya sendiri agar dapat bertahan hidup. Berdasarkan berbagai dimensi dan

struktur dalam memandang dampak bencana, secara kasat mata masyarakat

setempat memiliki kesadaran ruang dan waktu dalam menghadapi bencana,

sehingga terbentuk suatu kemampuan adaptasi yang sangat penting untuk dianalisis

lebih spesifik dan lanjut.

Seiring dengan perkembangan paradigma manajemen bencana dan

pandangan terhadap bencana, saat ini lebih banyak dipentingkan paradigma-

paradigma pengurangan risiko. Menurut Wesnawa (2014), “paradigma

pengurangan risiko berkaitan dengan pandangan yang menyatakan bahwa bencana

dapat diminimalisir dengan mengurangi risiko baik sebelum terjadi maupun pasca

terjadi bencana”. Paradigma pengurangan risiko memfokuskan kepada analisis

mengenai risiko bencana, ancaman, kerentanan dan kemampuan masyarakat dalam

menghadapi bencana. Maka dari itu, diperlukan sebuah perhitungan yang rinci

mengenai risiko, kerentanan dan pula kemampuan suatu komunitas atau

masyarakat. Tujuan dari paradigma ini adalah untuk meningkatkan kemampuan

komunitas dalam rangka mengelola dan mengurangi risiko serta mengurangi

peluang terjadinya bencana.

Ancaman bencana abrasi yang terus menerus terjadi menjadi fenomena

yang menguji kemampuan masyarakat dalam menjalani hidupnya. Kemampuan

masyarakat merupakan sebuah fenomena kompleks yang harus dikaji dengan

pendekatan yang sistematis. Melalui adanya kajian mengenai kapasitas adaptasi

masyarakat ini maka akan menjadi sumber data kebijakan penanggulangan bencana

dan upaya-upaya lanjutan yang menjadi bagian program masyarakat tangguh

bencana yang dicita-citakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana


8

mengingat Indonesia merupakan laboratorium bencana. Maka dari itu, penting

untuk dikaji kapasitas adaptasi masyarakat pesisir dalam menghadapi

ancaman abrasi di Kecamatan Gianyar.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, dalam menganalisis kapasitas

adaptasi masyarakat pesisir dalam menghadapi ancaman abrasi di Kecamatan

Gianyar, maka pembahasan permasalahan dirumuskan, sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana tingkat ancaman abrasi di Kecamatan Gianyar?

1.2.2 Bagaimana tingkat kapasitas adaptasi masyarakat pesisir dalam menghadapi

ancaman abrasi di Kecamatan Gianyar?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.3.1 Menganalisis tingkat ancaman abrasi di Kecamatan Gianyar.

1.3.2 Menganalisis tingkat kapasitas adaptasi masyarakat masyarakat pesisir

dalam menghadapi ancaman abrasi di Kecamatan Gianyar.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memperkaya referensi terkait kemampuan adaptasi serta

fenomenanya dalam ruang dalam menghadapi bencana abrasi, sehingga

dapat digunakan sebagai inspirasi dalam mewujudkan peningkatan

kemampuan tangguh bencana demi menunjang pembangunan wilayah.


9

1.4.2 Manfaat Praktis

a) Bagi masyarakat pesisir di Kecamatan Gianyar, yaitu dapat memberikan

informasi terkait pentingnya wawasan mengenai kebencanaan dan

mitigasi. Selain itu, peran serta masyarakat dalam meningkatkan

kemampuan dalam meminimalisir ancaman dan risiko bencana abrasi.

b) Bagi pemerintah, yaitu dapat dijadikan sebagai pertimbangan

pengambilan kebijakan dalam manajemen bencana di Kabupaten

Gianyar Bali, sehingga dapat diminimalisir kerugian yang timbul akibat

bencana. Selanjutnya kebijakan yang tepat dapat berpengaruh terhadap

terwujudnya pembangunan kota tangguh bencana.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Bencana

Bencana merupakan fenomena yang kompleks yang perlu diungkap secara

matematis. Bencana memiliki banyak definisi yang diungkapkan oleh beberapa ahli

serta institusi terkait. Berikut ini merupakan definisi bencana yang dikemukakan

banyak pihak, yaitu:

1. Menurut International Strategy of Disaster Reduction (2004), menyatakan


bahwa bencana adalah, “A serious disruption of the functioning of a community
or a society causing widespread human, material, economic, or environmental
losses which exceed the ability of the affected community/society to cope using
its own resources,” yang berarti bencana merupakan salah satu kejadian serius
yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia yang terjadi secara tiba-
tiba ataupun perlahan, sehingga menyebabkan hilangnya jiwa manusia, harta
benda dan kerusakan lingkungan, kejadian ini terjadi di luar kemampuan
masyarakat dengan segala sumberdayanya.

2. Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 1 Angka 1, bencana

adalah, “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam

dan/atau non-alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya

korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak

psikologis.”

3. Wesnawa (2014), bencana adalah hasil dari proses yang tidak sinergi antara

ancaman (threatness), baik dari dalam maupun luar dengan kemampuan dan

kewaspadaan yang dimiliki individu maupun masyarakat atau komunitas.

10
11

Berdasarkan kajian pengertian bencana di atas, maka yang dimaksud

bencana dalam penelitian ini adalah rentetan kejadian alam berbahaya yang

mengancam kehidupan dan penghidupan manusia baik itu berupa korban nyawa,

kehilangan dan kerusakan harta benda, kerusakan lingkungan maupun dampak

psikologis yang disebabkan oleh faktor alam, non-alam maupun faktor manusia dan

teknologinya. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi,

tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

2.2 Kajian Ancaman Bencana

Ancaman sering disamakan dengan bahaya. Namun sebenarnya kedua

istilah tersebut sebenarnya berbeda. Bahaya lebih menekankan pada potensi

terjadinya bencana sedangkan ancaman mengerucut pada potensi maupun

keberlangsungan bencana yang terlambat disadari. Artinya, ancaman menjadi

bencana ketika manusia tidak siap untuk menanggapinya dan pada akhirnya terkena

dampak. Namun demikian, banyak ahli mengatakan ancaman didefiniskan sebagai

suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi dapat menimbulkan

kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan lingkungan. Ancaman tidak

selalu berakhir dengan bencana. Berkaitan dengan itu, maka untuk mengkonfirmasi

definisi ancaman bencana dapat dilihat menurut ahli, yaitu:

1. Ancaman didefinisikan suatu kejadian yang dapat menimbulkan kerusakan

kehilangan jiwa manusia atau kerusakan lingkungan secara tidak disadari

(Nurjanah dkk, 2011).

2. Ancaman adalah suatu kejadian ataupun peristiwa yang dapat menimbulkan

bencana (Muta’Ali, 2014).


12

3. Menurut ISDR (2004:16) ancaman atau yang sering disamakan dengan bahaya
adalah, “A potentially damaging physical event, phenomenon or human activity
that may cause the loss of life or injury, property damage, social and economic
disruption or environmental degradation. Hazards can include latent
conditions that may represent future threats and can have different origins:
natural (geological, hydrometeorological and biological) or induced by human
processes (environmental degradation and technological hazards). Hazards
can be single, sequential or combined in their origin and effects. Each hazard
is characterised by its location, intensity, frequency and probability.”

Berdasarkan definisi ahli tersebut, maka ancaman bencana dapat diberi

batasan sebagai sebuah kondisi atau karakteristik hidrologis, geologis,

klimatologis, bioligis, teknologis dan sosial budaya pada suatu kawasan untuk

waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai

kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya

tertentu yang akan terjadi maupun yang sudah ada secara terus-menerus dan jarang

disadari.

2.3 Kajian Abrasi

Abrasi merupakan proses lepasnya material pantai yang dibawa oleh

gelombang, sehingga merubah morfologi pantai (Atmaja, 2004). Sedangkan,

menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2011), abrasi didefinisikan

sebagai “proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang

bersifat merusak”. Selain itu, Ilmi (2012) menyatakan bahwa, “Abrasi atau biasa

disebut juga dengan erosi pantai adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga

gelombang laut dan arus laut yang sifatnya merusak”. Abrasi biasanya disebut juga

erosi pantai. Abrasi merupakan bagian dari fenomena yang termasuk ke dalam

proses geomorfologi pantai yang dapat merubah bentuk muka bumi dalam hal ini

bentuklahan marin. Proses geomorfologi yang disebabkan oleh abrasi bersifat


13

destruksional. Artinya, abrasi merupakan tenaga yang cendrung merubah

kenampakan yang sudah ada sebelumnya di pantai.

Tingkat ancaman abrasi yang dianalisis dengan basis analisis kekuatan

bencana terhadap suatu pesisir sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisik yang

disebut dengan natural hazard. Faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap

tingkat abrasi adalah gelombang laut, kecepatan arus, banyaknya sungai

(sedimentasi), tipologi pantai, dan persentase vegetasi pantai (Fadri, 2012).

Pendapat ini dibenarkan oleh Marsell (2013) yang berkaitan dengan banyak

pengambilan sampel dalam objek kajian. Semua aspek penelitian dalam hal ini

determinan tingkat ancaman abrasi yang menjadi penyusun/substansi dari objek

penelitian wajib untuk dijadikan pertimbangan dalam pengambilan indikator dan

sampel penelitian (Marsell, 2013).

a. Gelombang Air Laut

Gelombang terjadi melalui proses pergerakan massa air yang dibentuk

secara umum oleh hembusan angin secara tegak lurus terhadap garis pantai.

Gelombang yang pecah di daerah pantai merupakan salah satu penyebab utama

terjadinya proses erosi dan sedimentasi di pantai. Ketinggian gelombang

dipengaruhi oleh angin permukaan. Angin yang bertiup di atas permukaan laut

merupakan pembangkit utama gelombang (Hutabarat, 1985). Sifat gelombang

laut dapat dipengaruhi oleh beberapa karakteristik angin seperti (1) kecepatan

angin (2) waktu diamana angin sedang bertiup dan (3) fetch atau jarak tanpa

rintangan dimana angin sedang bertiup. Berdasarkan Skala Beaufort, Tabel 2.1

merupakan pengaruh tenaga angin terhadap ketinggian gelombang laut dan

karakteristik laut.
14

Tabel 2.1 Skala Beaufort

Ketinggian
Laut Gelombang
Kecepatan
Skala (m)
Angin (m/s)
Pengaruh
Deskripsi
(State)
(1) (2) (3) (4) (5)
0 <0.5 Mirror-like Calm sea 0
1 0.5-1.5 Wavelet-scale Calm sea 0
2 2-3 Short waves, none break Calm sea 0-0.1
Foam has glassy appearance, not
3 3.5-5 Smooth seas 0.1-0.5
yet white
4 5.5-8 Longer waves with white areas Slight seas 0.5-1.25
Long pronounced waves with
5 8.5-10.5 Moderate seas 1.25-2.5
white foam crests
Large waves, with foam crests all
6 11-13.5 Rough Seas 2.5-4
over
Very rough
7 14-16.5 Wind blows foal in streaks 4-6
seas
Very rough
8 17-20 Higher waves 4-6
seas
Very rough
9 20.5-23.5 Dense foam streaks 4-6
seas
High waves with long overhanging
10 24-27.5 High seas 6-9
crests
Ship in sight hidden in waves Very high
11 28-33 9-14
troughs seas
12 >33 Air-sea boundary indistinguishable >14
Sumber: Kennish, Michael J. 2000.

Sedangkan tidak berbeda jauh, dalam Tabel 2.2 Duxbury dalam

bukunya Fundamntals of Oceanography menjelaskan hubungan antara

kecepatan angin dan tinggi gelombang serta arus permukaan yang dapat

berpengaruh terhadap morfologi pantai dan karakteristik lautnya.

Tabel 2.2 Hubungan Kecepatan Angin dengan Arus dan Gelombang

Kecepatan Gelombang Ketinggian


Kecepatan Gelombang Pembentuk Arus Gelombang
Angin Signifikan Permukaan Maksimal
(m/s) (m)
(1) (2) (3) (4)
knot m/s
10 5.1 1.22 8.58 2.19
20 10.2 2.44 11.39 4.39
30 15.3 5.79 19.50 10.43
Sumber: Duxbury, Alison, 2002
15

b. Kecepatan Arus

Arus didefinisikan sebagai sebuah gerakan air yang sangat luas yang

terjadi di setiap lautan di dunia (Hutabarat, 1985). Kecepatan arus

merupakan arah dan kecepatan gerakan air laut yang luas. Duxbury

menyatakan bahwa arus permukaan laut di Indonesia banyak dipengaruhi

oleh dua arus permukaan laut dunia. Kedua arus permukaan tersebut adalah

Equatorial Counter Current dan South Ecuatorial Current. Arus

merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pengangkutan sedimen di

daerah pantai. Arus berfungsi sebagai media transpor sedimen dan sebagai

agen pengerosi yaitu arus yang dipengaruhi oleh hempasan gelombang.

Gelombang yang datang menuju pantai dapat menimbulkan arus pantai

(nearshore current) yang berpengaruh terhadap proses sedimentasi/abrasi

di pantai. Arus pantai ini ditentukan terutama oleh besarnya sudut yang

dibentuk antara gelombang yang datang dengan garis pantai. Jika

gelombang datang membentuk sudut, maka akan terbentuk arus susur pantai

(longshore current) yaitu arus yang bergerak sejajar dengan garis pantai

akibat perbedaan tekanan hidrostatik.

Angin merupakan salah satu tenaga pembangkit arus. Pada

umumnya, tenaga angin yang diberikan pada lapisan permukaan air dapat

membangkitkan timbulnya arus permukaan yang mempunyai kecepatan

sekitar 2% dari kecepatan angin itu sendiri. Kecepatan arus ini akan

berkurang cepat sesuai dengan makin bertambahnya kedalaman perairan

dan akhirnya angin menjadi tidak lagi berpengaruh terhadap kecepatan arus

pada kedalaman di atas 200 meter.


16

c. Karakteristik Sedimen

Menurut Duxbury (2002), Indonesia merupakan salah satu negara

yang lautnya dipenuhi oleh sedimen jenis Terrigenous Sediment atau

disebut juga Lithogenous. Terrigenous Sediment adalah sedimen yang

ditemukan dilaut yang berasal dari material-material daratan/batuan yang

dikikis oleh air, sehingga akhirnya berada di laut. Keberadaan material

sedimen ini tidak lepas dari kodrat fisik Indonesia yang memiliki banyak

gunung berapi sebagai produsen batuan. Batuan yang dihasilkan pecah

berkeping-keping menjadi material halus oleh tenaga eksogen selanjutnya

menuju ke laut lewat sungai. Keberadaan muara sungai di suatu pesisir

merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap tingkat abrasi.

Sedimen didefinisikan sebagai longsoran, fragmentasi bebatuan,

mineral ataupun material organik, yang terpindahkan dari asalnya, dan

ditumpuk oleh udara, angin, es dan air. Selain itu sedimen juga

didefinisikan sebagai material yang terkikis dari bebatuan dan kemudian

ditransportasikan via air, angin atau es dan pada akhirnya tersimpan di suatu

tempat. Jika sedimen adalah material, maka sedimentasi adalah proses

penumpukan material tersebut, setelah terpindahkan oleh angin, es atau air

dari tempat asalnya ke lokasi penumpukan. Sedimentasi dapat berlangsung

dalam kurun waktu yang sangat cepat (kurang dari satu dasawarsa), namun

dapat pula sebaliknya. Faktor waktu sangat ditentukan oleh material

sedimen dan kondisi lingkungan asal serta lingkungan akhir. Komponen-

komponen sedimentasi yang membentuk karakteristik sedimentasi adalah

jenis dan ukuran material serta kondisi lingkungan (topografi/bathymetri,


17

angin, arus, gelombang, cuaca). Selain itu, karakteristik sedimentasi juga

ditentukan oleh aktivitas manusia sebagai penghuni bumi.

Sedimentasi di pantai dapat terjadi dalam waktu yang sangat singkat,

namun dapat pula sebaliknya. Artinya, hal ini dikarenakan oleh adanya

profil pantai yang berbeda-beda. Jika terlalu landai (a<30o) dan berpasir,

maka kemungkinan terjadinya sedimentasi dalam waktu singkat, sangatlah

kecil. Namun jika kelandaiannya medium (30o < a <60o) dan berkarang,

maka kemungkinan terjadinya sedimentasi dalam waktu singkat, sangatlah

besar. Apalagi, jika di daerah pantai tersebut, arus dan angin air laut cukup

tinggi.

Metode lain untuk mengklasifikasikan sedimen adalah dengan

melihat asal dan tenaga yang menggerakkan material sedimen tersebut

(Hutabarat, 1985). Berkaitan dengan abrasi, proses sedimentasi di pantai

mengurangi daya erosif tenaga lainnya untuk menghasilkan abrasi. Sedimen

pantai berdampak negatif terhadap ancaman abrasi pantai. Artinya,

sedimentasi merupakan proses yang berlawanan dengan abrasi. Sedimentasi

merupakan tenaga pembangun pantai sedangkan abrasi adalah sebuah

tenaga desdruktif. Material yang akan disedimentasi dibawa oleh tenaga air

melalui sungai. Semakin banyak sungai yang bermuara di suatu pantai,

maka akan dapat mengurangi ancaman abrasi terhadap pantai tersebut.

d. Tipologi Pantai

Coasts (pesisir) merupakan bentuklahan yang dinamis dan

kompleks disebabkan oleh kekuatan tektonik, perubahan muka air laut

global, badai, serta marin dan proses geomorfologi daratan. Dikarenakan


18

kompleksitas ini, maka pesisir (pantai) diklasifikasikan untuk mengetahui

pantai secara sederhana. Berdasarkan fenomena laut dan darat bentuk pantai

dibedakan menjadi yaitu:

1) Bentuk pantai primer (primary coastline)

Pantai primer dibentuk oleh tenaga continental geomorphic.

Berdasarkan genesanya biasanya pantai terbentuk dari batuan induk

seperti limestone, lumpur, maupun batu karang dan batu pasir (Gabler,

2007). Erosi daratan (sedimentasi) selanjutnya menjadi proses yang pula

membentuk pantai secara primer. Tenaga air melalui sungai membawa

material yang tererosi menuju laut dan terakumulasi di pantai. Di

Indonesia banyak sungai yang membawa hasil erosi yang bergenesa dari

batuan induknya. Semakin banyak sungai yang bermuara di pantai,

maka proses pembentukan pantai semakin positif.

Material sungai yang dibawa ke laut berpengaruh terhadap bentuk

pantai. Jika sungai membawa banyak endapan lumpur maka pantai akan

membentuk teluk dan tanjung. Begitu sebaliknya jika tidak ada sungai

yang bermuara di pantai dengan membawa material, maka bentuk pantai

relatif tetap/lurus dilihat dari sudut primer.

2) Bentuk pantai sekunder (secondary coastline)

Pantai sekunder merupakan bentuk pantai yang telah dipengaruhi oleh

tenaga laut seperti gelombang, arus, pasang surut dan cliff. Tenaga-

tenaga ini mendominasi terhadap gradasi pantai yaitu erosi pantai.

Semakin dominan tenaga laut maka semakin negatif proses

pembentukan pantai.
19

e. Vegetasi Pesisir

Berbicara mengenai pesisir tidak lepas dari karakteristik zonasi yang

mencerminkan keadaan fisik serta ekologis dari suatu pantai. Zona neritik

atau sering disebut dengan zona dekat pantai melingkup zona lainnya yaitu

zona litoral. Zona litoral adalah zona antara daerah rata-rata pasang dan

daerah rata-rata surut (Odum, 1996).

Vegetasi zona litoral di masing-masing iklim berbeda. Komunitas

laut dangkal yang sangat menarik dan khas dari perairan tropika dan

subtropika adalah vegetasi bakau (mangrove). Tanaman bakau merupakan

agen pembentuk daratan yang penting. Agen pembentuk daratan artinya

tanaman bakau dapat membantu membentuk pulau dan memperluas pantai

dengan menurunkan tingkat erosifitas gelombang laut. Gabler (2007),

menyatakan bahwa “kedinamisan bentuklahan pantai tidak hanya

disebabkan oleh fenomena fisik berupa gelombang, arus dan pasang surut,

namun juga dipengaruhi oleh keadaan biologis yaitu vegetasinya”.

Persentase vegetasi yang besar akan membantu pantai mempertahankan

bentuknya. Begitu pula sebaliknya, jika persentase vegetasi di pantai rendah

maka bentuk pantai terancam oleh tenaga laut.

Menilik berbagai parameter yang dapat dipakai dalam mengukur kekuatan

ancaman abrasi dalam penelitian ini, maka konsep dan teori yang dipakai sebagai

dasar pembahasan adalah teori ancaman bencana dan konsep abrasi yang

menjelaskan mengenai besar kecilnya ancaman abrasi akibat variasi kekuatan

parameter yang berbeda. Masing-masing parameter abrasi akan menjelaskan hasil


20

dari penelitian yang menunjukkan ciri khas tingkat ancaman abrasi yang terjadi di

dearah penelitian.

2.4 Tinjauan Kapasitas Adaptasi

2.4.1 Pengertian Kapasitas

Paradigma manajemen bencana pengurangan risiko menekankan pada

peningkatan kapasitas sebagai usaha pengurangan risiko. Kata kapasitas sendiri,

berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat mengacu kepada beberapa hal

seperti (1) daya tampung (2) daya serap, dan (3) ruang dan fasilitas yang tersedia.

Kata kapasitas dalam Bahasa Inggris (capacity) berhubungan erat dengan

(capability) atau sering diterjemahkan kemampuan. Selain itu, kata kapasitas pula

memiliki keterkaitan dengan kata ketahanan (resilience).

Kapasitas dalam perspektif kebencanaan selanjutnya lebih umum

didefinisikan sebagai berikut.

1. Kapasitas adalah kemampuan sebuah sistem, komunitas atau masyarakat yang

dimiliki oleh masyarakat yang berisiko terpapar pada bahaya untuk beradaptasi

atau berubah untuk mencapai atau mempertahankan suatu tingkat fungsi dan

struktur yang dapat diterima. (UN/ISDR, Geneva 2004).

2. Capacity is the process through which individuals, organizations and societies


obtain, strengthen and maintain the capabilities to set and achieve their own
development objectives over time (UNDP, Hyogo Framework for Action 2005).

3. Capacity: A combination of all the strengths and resources available within a


community, society or organization that can reduce the level of risk, or the
effects of a disaster. Capacity may include physical, institutional, social or
economic means as well as skilled personal or collective attributes such as
leadership and management. Capacity may also be described as capability
(ISDR, 2004).
21

4. Kapasitas adalah suatu gabungan semua sumberdaya, cara dan kekuatan yang

tersedia di masyarakat dan organisasi serta komunitas tertentu yang

memungkinkan masyarakat memiliki daya tahan, daya tangkal dan daya

adaptasi untuk mengurangi tingkat risiko atau akibat dari bencana (Muta’Ali,

2014).

5. Kapasitas adalah kebijakan dan sistem kelembagaan yang dimiliki oleh

pemerintah pusat maupun daerah dalam upaya mengurangi potensi kerusakan

akibat bencana serta mengurangi kerentanan terhadap bencana (Noor,

2011:264).

6. Kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk melakukan

tindakan pengurangan Tingkat Ancaman dan Tingkat Kerugian akibat bencana

(Perka BNPB, 2012).

Tentang adaptasi, (Hardesty dalam Jatmiko, 2014) mengemukakan bahwa:


“Adaptation is the process through which beneficial relationships are established
and maintained between an organism and its environment”.

Terjemahan dari pengertian tersebut bahwa adaptasi merupakan proses dari

keseluruhan kemapanan atau kemampuan organisme untuk memelihara

lingkungannya.

Adaptasi dalam kebencanaan juga sering disebut coping strategy. Coping

strategy merupakan strategi yang digunakan seseorang atau suatu komunitas untuk

mengatasi tekanan atau permasalahan tertentu pada kondisi tertentu

(Hidayati,2012).

Menurut ISDR (2004), “Coping strateghy/adaptation): The means by which


people or organizations use available resources and abilities to face adverse
consequences that could lead to a disaster. In general, this involves managing
22

resources, both in normal times as well as during crises or adverse conditions. The
strengthening of coping capacities usually builds resilience to withstand the effects
of natural and human-induced hazards.”

Menurut BNPB (2012), “Adaptive Capacity: Kapasitas yang tersedia di


daerah itu untuk pulih dari bencana tertentu.”

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka dalam konteks

mendifinisikan kapasitas adaptasi dalam penelitian ini, kapasitas adaptasi

masyarakat dalam menanggulangi bencana abrasi, dapat diartikan seperangkat

sumberdaya baik fisik maupun sosial yang dimiliki oleh masyarakat yang terpapar

ancaman abrasi untuk dapat memiliki daya penyesuaian (adaptasi), daya tahan dan

daya pulih untuk mengurangi tingkat risiko bencana abrasi. Melihat kompleksitas

objek yang diteliti, maka dilakukan kajian mengenai parameter-parameter yang

dapat memvisualisasikan nilai dari kapasitas adaptasi yang diteliti pada subjek

adalah sebagai berikut.

2.4.2 Parameter Kapasitas Adaptasi

Berbagai parameter yang digunakan dalam meneliti kapasitas adaptasi

mengacu pada jenis-jenis subjek dalam penelitian. Kapasitas adaptasi yang dapat

diteliti dimiliki oleh berbagai kuantitas subjek pemilik objek seperti individu,

komunitas atau masyarakat dan kapasitas adaptasi lembaga. Parameter untuk

mengkaji kapasitas adaptasi masyarakat/komunitas dari beberapa sumber yang

dapat dikaji adalah sebagai berikut.

1. Sustainable Livehood Framework (Development of International Development,

1999). Konsep modal merupakan titik berat yang menjadi objek yang bisa

diukur oleh kerangka ini. Konsep modal ini membagi 5 golongan besar modal

yang dimiliki oleh subjek dalam penelitian yaitu (1) modal natural (2) modal
23

finansial (3) modal fisik (4) modal manusia dan (5) modal sosial. Konsep modal

menyatakan semakin hubungan positif antara penguasaan modal dan kapasitas

yang dimiliki oleh masyarakat. Semakin tinggi penguasaan modal, semakin

tinggi kapasitas yang dimiliki. Tabel 2.3 merupakan parameter yang dapat

menjadi alat ukur kapasitas adaptasi masyarakat.

Tabel 2.3 Parameter Pengukur Kapasitas dengan Konsep Modal

No Indikator Parameter
Bentang alam, tanah, kepemilikan tanah, sawah, kebun, ternak,
1 Natural Capital
perikanan.
Keuangan, akses pinjaman, pekerjaan, tabungan, piutang,
2 Financial Capital
kepemikilan usaha dan barang bernilai ekonomi.
Inftrastruktur, jalan, sistem informasi komunikasi, ketersediaan
3 Physical Capital
makanan, kualitas bangunan
Sikap, pengetahuan, motivasi, kebiasaan, kepandaian, jenis
4 Human Capital
kelamin, usia, kesehatan, kemampuan berpendapat
Keluarga, organisasi, kelembagaan, jaringan, kekerabatan,
5 Social Capital
sosial kesetiakawanan, partisipasi, gotong-royong.
Sumber: Sustainable Livehood Framework dalam Lutfi Muta’Ali, 2014:205

Tabel 2.4 Indikator Indeks Kapasitas Bencana Abrasi

Kelas Indeks Bobot Sumber


Komponen/Indikator
Rendah Sedang Tinggi Total Data
Aturan dan Tingkat Tingkat Tingkat 100% BPBD,
Kelembagaan Ketahanan 1 Ketahanan 3 Ketahanan 4 Bappeda,
1
Penanggulangan dan Tingkat dan Tingkat LSM,
Bencana Ketahanan 2 Ketahanan 5 Universitas,
Peringatan Dini dan Tokoh
2 Kajian Risiko Masyarakat,
Bencana Tokoh
Pendidikan Agama,
3 UKM,
Kebencanaan
Pengurangan Faktor Dunia
4 Usaha
Risiko Dasar
Pembangunan
5 Kesiapsiagaan Pada
Seluruh Lini
Sumber: Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2012.
24

Berdasarkan variabel penelitian yang serupa menganai kapasitas adaptasi,

dapat dianalisis bahwa masing-masing jenis subjek dalam hal ini batasan kuantitas

subjek dapat mempengaruhi penentuan indikator penelitian, dan begitu juga

sebaliknya. Variabel dan indikator penelitian dapat ditentukan berdasarkan batasan

subjek dan luasan wilayah serta karakteristik lokasi penelitian. Maka dari itu,

berdasarkan kajian teori mengenai parameter yang digunakan dalam meneliti

kapasitas adaptasi masyarakat, maka parameter-parameter di atas diseleksi dan

dimodifikasi sesuai dengan karakteristik daerah penelitian.

2.5 Kerangka Berpikir

Abrasi di Kawasan Pantai Lebih (Pantai Lebih dan Pantai Siyut) Kecamatan

Gianyar merupakan fenomena yang sangat menarik dikaji. Permasalahan yang

menjadi ancaman berbagai sektor sangat kompleks, sehingga berimplikasi negatif.

Mulai dari terkikisnya lahan, maupun ancaman psikis yang dapat terlihat dari

kekhawatiran masyarakat.

Penelitian ini mengkaji tingkat kapasitas adaptasi masyarakat pesisir di

Kecamatan Gianyar sebagai masyarakat yang terpapar (element at risk). Kapasitas

adaptasi berhubungan dengan kemampuan masyarakat menyesuaikan dirinya untuk

mampu mengurangi pengaruh dampak negatif abrasi terhadap aktivitasnya.

Masyarakat sebagai responden dan fenomena di daerah penelitian menjadi sumber

informasi untuk menghasilkan data primer dengan metode pengumpulan data

kuesioner dan observasi serta dokumen.

Data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan metode kualitatif yang

dibantu oleh data kuantitatif (Gambar 2.1). Pendekatan yang digunakan merupakan

pendekatan gabungan antara pendekatan keruangan dan ekologi yang difokuskan


25

pada tema keberadaan manusia dalam ruang dan hubungan alam dengan manusia.

Unit kajian merupakan wilayah administrasi kecamatan yang selanjutnya

difokuskan ke dalam karakteristik wilayah yang terkena abrasi yaitu di desa pesisir.

Analisis menyimpulkan dengan pembahasan indikator penyebab, dampak, dan

implikasi dengan pendekatan keruangan.

Gambar 2.1 Bagan Alir Kerangka Berpikir


BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini akan menggunakan beberapa metode agar lebih mudah dalam

mengkaji permasalahan yang diteliti, yakni meliputi (3.1) Rancangan Penelitian,

(3.2) Objek dan Subjek Penelitian, (3.3) Lokasi Penelitian, (3.4) Variabel Penelitian

(3.5) Definisi Operasional Variabel, (3.6) Populasi dan Sampel Penelitian, (3.7)

Teknik Pengumpulan Data, dan (3.8) Metode Analisis Data.

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian menggunakan jenis penelitian kualitatif yang dibantu oleh data

kuantitatif. Kapasitas adaptasi merupakan objek yang perlu digambarkan secara

jelas karena memiliki spesifikasi yang spesifik, jelas dan rinci. Subjek penelitian

yang memiliki berbagai atribut yang menjadi objek penelitian yang kompleks perlu

diukur dengan matematis melalui fokus penelitian survei. Karakteristik wilayah

kajian yang memiliki kombinasi komponen wilayah dalam ruang dianalisis dengan

pendekatan keruangan.

3.2 Objek dan Subjek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah tingkat ancaman abrasi pantai dan tingkat

kapasitas adaptasi masyarakat pesisir dalam menghadapi ancaman abrasi pantai.

Berdasarkan objek penelitian tersebut, maka yang menjadi subjek dalam penelitian

ini adalah masyarakat pesisir Kecamatan Gianyar dalam hal ini di Kawasan Pantai

Lebih.

26
27

3.3 Lokasi Penelitian

Selat Badung

Gambar 3.1 Peta Daerah Penelitian di Pesisir Kecamatan Gianyar


(Sumber: Analisis Data, 2016)
28

Lokasi yang ditentukan dalam penelitian ini adalah desa pesisir di

Kecamatan Gianyar tepatnya Kawasan Pantai Lebih (Gambar 3.1). Desa Lebih dan

Desa Tulikup merupakan desa yang tergolong ke dalam coastal plain di Gianyar,

Bali. Kawasan Pantai Lebih merupakan Pantai Lebih dan Pantai Siyut Desa

Tulikup. Panjang garis pantai Kawasan Pantai Lebih adalah 2.081 m, masing-

masing 1.034 m di Desa Lebih dan 1.047 m di Desa Tulikup.

3.4 Variabel Penelitian

Melalui uraian kajian pustaka, maka sesuai dengan karakteristik wilayah kajian

maka variabel penelitian yang dapat dirumuskan adalah seperti dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Variabel Penelitian

No Variabel Indikator
(1) (2) (3)
Tinggi gelombang
Kecepatan Arus (current)
Tutupan lahan/ vegetasi pesisir (%)
1 Tingkat Ancaman Abrasi Bentuk garis pantai
Tipologi Pantai
Banyak Sungai Bermuara
Penduduk Perpapar
Natural Capital
- Kepemilikan Lahan
Financial Capital
- Strategi Penghidupan
Physical Capital
- Teknologi Adaptasi
Human Capital
2 Kapasitas Adaptasi Masyarakat
- Tingkat pendidikan dan Pengetahuan
- Kepemimpinan
Social Capital
- Aturan dan Kelembagaan Penanggulangan
Bencana
- Peringatan Dini dan Kajian Risiko Bencana
- Pengurangan Faktor Risiko Dasar
Sumber: Muta’Ali yang Dimodifikasi, 2016
29

3.5 Definisi Operasional Variabel

Variabel penelitian yang akan dioperasionalkan di lapangan yang dipandang

perlu untuk didefinisikan adalah sebagai berikut.

1. Tingkat ancaman abrasi yang dimaksud adalah indeks kekuatan ancaman

abrasi antara rendah sedang atau tinggi dan indeks rendah sedang atau

tingginya penduduk terpapar yang terjadi di pesisir Kecamatan Gianyar.

2. Kapasitas adaptasi yang dimaksud adalah kepemilikan modal berupa human

capital, physic capital, nature capital, social capital, dan financial capital

oleh masyarakat pesisir untuk mampu beradaptasi dari ancaman abrasi.

Kepemilikan modal (capital) yang dimaksud adalah kepemilikan modal

oleh setiap rumah tangga masyarakat pesisir di pesisir Kecamatan Gianyar.

3. Masyarakat pesisir adalah masyarakat Kecamatan Gianyar yang wilayahnya

berbatasan langsung dengan laut yaitu masyarakat di Dusun Lebih Beten

Kelod dan Dusun Siyut yang terpapar ancaman abrasi.

3.6 Populasi dan Sampel Penelitian

Penelitian ini dirancang menggunakan teknik sampling Area Sampling dan

Purposive Sampling. Karakteristik penelitian maka diperlukan uraian mengenai

sampel area dan sampel subjek, sebagai berikut.

3.6.1 Sampel Area

Wilayah Kecamatan Gianyar terdiri dari 17 desa yang memanjang dari

Utara ke Selatan. Penelitian ini mengaji abrasi yang berada di wilayah pesisir,

sehingga memfokuskan wilayah pada sampel yang representatif yaitu di desa

pesisir. Terdapat dua desa pesisir di Kecamatan Gianyar yaitu Desa Lebih dan Desa
30

Tulikup. Selanjutnya guna lebih memfokuskan penelitian kepada masyarakat yang

mengalami abrasi maka sampel wilayah yang ditentukan adalah dusun yang

langsung berhadapan dengan laut (masyarakat pesisir). Dusun-dusun yang menjadi

fokus daerah penelitian dengan menggunakan teknik sampel area adalah Dusun

Lebih Beten Kelod dan Dusun Siyut.

Tabel 3.2 Spesifikasi Sampling Dearah Penelitian

Berbatasan Berbatasan
No Nama Desa dengan Sampel No Nama Desa dengan Sampel
Pantai Pantai
(1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4)
1 Lebih v v 10 Bitra - -
2 Tulikup v v 11 Bakbakan - -
3 Temesi - - 12 Siangan - -
4 Sidan - - 13 Suwat - -
5 Samplangan - - 14 Petak - -
6 Seronggo - - 15 Petak Kaja - -
7 Abianbase - - 16 Sumita - -
8 Gianyar - - 17 Tegal Tugu - -
9 Beng - -
Sumber: Kecamatan Gianyar Dalam Angka, 2016

3.6.2 Sampel Subjek

Jumlah sampel dalam penelitian adalah sejumlah 64. Anggota masyarakat

yang berada di setiap rumah tangganya merupakan unit lingkungan terkecil yang

homogen dan dapat diasumsikan memiliki fenomena atau kondisi yang sama.

Rumah tangga sebagai cerminan dari masyarakat di daerah penelitian pula memiliki

karakteristik yang homogen jika dilihat dari aspek fisik alami, sosial dan kultual.

Daerah penelitian merupakan wilayah pesisir dengan masyarakat nelayan serta

wilayah kebudayaan Hindu. Melihat karakteristik teori dan wilayah penelitian

tersebut di atas, maka ukuran sampel yang ditentukan mengikuti kelayakan ukuran

sampel Roscoe dan pertimbangan pengambilan ukuran sampel sebesar 10% (Tabel

3.3). Cara mengambil anggota sampel menggunakan teknik purposive.


31

Tabel 3.3 Spesifikasi Penentuan Ukuran Sampel


No Nama Desa Sampel Wilayah Populasi Sampel Subjek
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Lebih Dusun Lebih Beten Kelod 547 54
2 Tulikup Dusun Siyut 97 10
Jumlah 644 64
Sumber: Profil Desa Lebih dan Desa Tulikup, 2015

3.7 Teknik Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni sebagai berikut.

1. Data primer sebagai data utama diperoleh melalui observasi lapangan, kuesioner

dan dokumentasi. Data yang dimaksud adalah data kapasitas adaptasi

masyarakat pesisir Kecamatan Gianyar yang dibutirkan dalam instrumen

penelitian berupa kuesioner sesuai dengan variabel dan indikator yang telah

ditentukan.

2. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka dan pencatatan dokumen. Data

yang dimaksud adalah tinggi gelombang, kecepatan angin, kecepatan arus,

monografi wilayah, demografi dan data pendukung lain yang diperlukan. Data

tersebut dapat diperoleh dari situs-situs internet serta dinas-dinas terkait yang

memiliki hubungan dengan penelitian ini seperti media massa elektronik, situs

NASA, NOAA, OSCAR, BPS, BMKG, BAPPEDA, dan BPBD serta di Kantor

Desa Lebih dan Kantor Desa Tulikup.

Seluruh data tersebut dikumpulkan melalui teknik-teknik berikut.

3.7.1. Pengumpulan Data Primer

1. Observasi Lapangan

Observasi dilakukan dengan cara mengamati secara langsung objek di

lapangan, sehingga diperoleh data pendukung yang terkait dengan tingkat

ancaman abrasi di Pesisir Kecamatan Gianyar.


32

2. Kuesioner

Objek penelitian yang menjadi sasaran pengumpulan data teknik

kuesioner adalah kapasitas adaptasi masyarakat pesisir di Kecamatan

Gianyar.

3. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan dengan tujuan untuk menunjang

keakuratan data dalam mengetahui fenomena fisik dan sosial wilayah

pesisir. Data dokumentasi tersebut berupa foto yang terkait penelitian

tingkat ancaman abrasi dan kapasitas adaptasi masyarakat Pesisir

Kecamatan Gianyar. Dokumentasi dapat berupa foto tinggi gelombang,

arah arus air laut, dan banyaknya sungai yang bermuara di pantai.

3.7.2 Pengumpulan Data Sekunder

1. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan dengan menggunakan pustaka yang relevan

seperti buku, artikel ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, jurnal, dan surat kabar

elektronik yang dapat diunduh dari internet, dan ditemukan di

perpustakaan maupun lembaga tertentu.

2. Pencatatan Dokumen

Metode pencatatan dokumen merupakan suatu cara untuk memperoleh

data dengan cara mencatat segala macam dokumen yang ada hubungannya

dengan penelitian ini. Data yang dimaksud adalah geografis, demografi dan

data lainnya yang diperlukan. Data tersebut dapat diperoleh dari situs-situs

internet serta dinas-dinas terkait yang memiliki hubungan dengan


33

penelitian ini seperti media massa elektronik, situs NASA, NOAA,

OSCAR, BPS, BMKG, BAPPEDA, dan BPBD.

3.8 Metode Analisis Data

Analisis data merupakan penyederhanaan dalam bentuk yang lebih mudah

dipahami dan dapat diinterpretasikan setelah data terkumpul. Tahap ini merupakan

tahapan yang bertanggung-jawab untuk menginterpretasikan data secara ilmiah,

sebab pada tahap ini berhubungan dengan validitas hasil penelitian, kualifikasi

intelektualitas, dan kompetensi. Melalui analisis data, analisa mengenai substansi

penelitian dapat dilakukan dengan rinci dan spesifik serta mendalam.

Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini data yang telah terkumpul

akan dianalisis dengan metode kualitatif. Data hasil pengolahan data secara

kuantitatif akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, grafik batang,

grafik baris, dan atau pie chart. Analisis kualitatif untuk menjawab rumusan

masalah didahului dengan penentuan skor ideal (kriterium). Skor ideal adalah skor

yang ditetapkan bahwa setiap responden pada setiap pertanyaan di dalam kuesioner

instrumen penelitian memberi jawaban dengan skor tertinggi.

Analisis dekriptif pula dapat dilakukan pada setiap indikator. Berdasarkan

banyak indikator yang digunakan, maka akan dapat diketahui indikator mana yang

lebih banyak dimiliki oleh responden menurut kemampuan responden. Setiap

indikator memiliki beberapa butir soal dalam instrumen penelitian yang dapat

dijumlahkan skor idealnya. Skor ideal kembali menjadi bilangan pembagi bagi skor

yang diperoleh oleh responden berdasarkan indikator tertentu tersebut. Jika setiap

indikator dianalisis, maka akan diketahui kekuatan masing-masing indikator yang

dimiliki oleh reponden di daerah penelitian.


34

Keseluruhan data yang dianalisis dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut.

3.8.1 Data Ancaman Abrasi

Data ancaman abrasi berupa ukuran rendah, sedang dan tingginya hasil

pengukuran setiap parameter dianalisis dengan pendekatan keruangan. Setiap

indikator memiliki interval 3 sebagai bentuk penilaian dan memiliki bobot yang

berbeda sesuai dengan besar tidaknya pengaruh terhadap adanya ancaman abrasi.

Jenis statistik dasar yang digunakan adalah dengan menarik kesimpulan dari indeks

ancaman abrasi dan indeks penduduk terpapar dalam matriks yang didapatkan dari

hasil perhitungan, sehingga selanjutnya dapat disimpulkan tingkat ancaman abrasi.

Tingkat ancaman abrasi akan dianalisis dengan pendekatan keruangan tema

struktur keruangan. Tabel 3.4 adalah rancangan analisis data tingkat ancaman

abrasi.

Tabel 3.4 Penilaian Indeks Ancaman Abrasi

Indikator Kelas Indeks (Skor) Bobot % Skor Skor


Ancaman Abrasi Rendah (1) Sedang (2) Tinggi (3) (Pengali) Min Mak
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Tinggi gelombang <1m 1-2.5 m >2.5m (25) 25 75
Arus (current) <0.2 m/s 0.2-0.4 m/s >0.4 m/s (25) 25 75
Tutupan lahan/ <40% (15)
vegetasi pesisir (%) >80% 40-80% 15 45
Bentuk garis pantai Berteluk Berteluk- Lurus (15)
lurus 15 45
Tipologi Pantai Berbatu Berbatu Berlumpur (10)
karang pasir 10 30
Banyak Sungai >3 1-3 - (10)
Bermuara 10 30
Total 100 300
Sumber: Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang Dimodifikasi, 2016

Skor Maksimal = 300

Skor Minimal = 100

𝑛𝑀𝑎𝑥 − 𝑛𝑀𝑖𝑛
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑒𝑙𝑎𝑠
35

300 − 100
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 =
3
200
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 =
3

𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 = 66,6 (66)

Tabel 3.5 Kategori Indeks Ancaman Abrasi

No Kelas Interval Kategori Keterangan


Ancaman abrasi yang terjadi di pesisir Kecamatan
1 100 – 166 Rendah
Gianyar adalah rendah
Ancaman abrasi yang terjadi di pesisir Kecamatan
2 167 – 233 Sedang
Gianyar adalah sedang.
Ancaman abrasi yang terjadi di pesisir Kecamatan
3 234 – 300 Tinggi
Gianyar adalah tinggi.

Tabel 3.6 Penilaian Indeks Penduduk Terpapar

Kelas Indeks
Indikator Penduduk Skor Skor
No Rendah Sedang Tinggi Bobot
Terpapar Min Mak
(1) (2) (3)
< 500 500-1000 > 1000
1 Kepadatan Penduduk 60 60 180
jiwa/km2 jiwa/km2 jiwa/km2
2 Kelompok Rentan < 20 % 20-40 % > 40 % 40 40 120
Total 100 100 300
Sumber: Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2012

Skor Total Maksimal = 300

Skor Total Minimal = 100

𝑛𝑀𝑎𝑥 − 𝑛𝑀𝑖𝑛
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑒𝑙𝑎𝑠

300 − 100
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 =
3
200
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 =
3

𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 = 66,67 (66)


36

Tabel 3.7 Kategori Indeks Penduduk Terpapar

No Kelas Interval Kategori Keterangan


Indeks penduduk terpapar di pesisir Kecamatan
1 100 - 166 Rendah
Gianyar adalah rendah
Indeks penduduk terpapar di pesisir Kecamatan
2 167 - 233 Sedang
Gianyar adalah sedang.
Indeks penduduk terpapar di pesisir Kecamatan
3 234 - 300 Tinggi
Gianyar adalah tinggi.

Guna menentukan tingkat ancaman abrasi di daerah penelitian, maka

matriks penentuan pada Gambar 3.2. Pertemuan antara indeks ancaman abrasi

dengan indeks penduduk terpapar menentukan tingkat ancaman abrasi. Indeks

ancaman abrasi dan indeks penduduk terpapar berbanding lurus dengan tingkat

ancaman abrasi. Semakin tinggi indeks ancaman abrasi dan indeks penduduk

terpapar, maka semakin tinggi pula tingkat ancaman abrasi di daerah penelitian.

Begitu pula sebaliknya, semakin rendah indeks ancaman abrasi dan indeks

penduduk terpapar, maka semakin rendah pula tingkat ancaman abrasi di daerah

penelitian.

Indeks Penduduk Terpapar


Tingkat Ancaman Abrasi
Rendah Sedang Tinggi
Rendah

Indeks Ancaman Abrasi Sedang

Tinggi

Gambar 3.2 Matriks Penentuan Tingkat Ancaman Abrasi di Pesisir


Kecamatan Gianyar
(Sumber: Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2012)

Keterangan:

= rendah = sedang = tinggi


37

3.8.2 Data Kapasitas Adaptasi

Data kapasitas adaptasi dianalisis melalui hasil perhitungan statistik yang

dituangkan ke dalam matriks penelitian. Matriks penelitian kemudian dianalisis

secara deskriptif melalui pendekatan ekologis tema hubungan manusia dengan

alam. Hubungan antara manusia dengan lingkungan merupakan fenomena utama

yang diamati dalam penelitian ini.

Tabel 3.8 Penilaian Kapasitas Adaptasi

Sub- Jumlah Skor


No Indikator Parameter Skor Bobot Skor Min
indikator Item Mak
1 Natural Kepemilikan Kepemilikan Tanah 1 butir 1 5
Capital Lahan 2
3 15
Kepemilikan 1 butir 1 10 5
sawah/kebun/tegalan 2
3 15
2 Financial Strategi Akses pinjaman 1 butir 1 3.57142857
Capital Penghidupan 2
3 10.714286
Pekerjaan + 1 butir 1 3.57142857
Pekerjaan 2
Sampingan 3 10.714286
Tabungan 1 butir 1 3.57142857
2
3 25 10.714286
Piutang/Kredit 1 butir 1 3.57142857
2
3 10.714286
Kepemikilan Usaha 1 butir 1 3.57142857
2
3 10.714286
Barang Bernilai 2 butir 1 7.14285714
Ekonomi 2
3 21.428571
3 Physical Jalan 1 butir 1 5
Capital 2
3 15
Sistem Informasi 1 butir 1 5
2
Teknologi 3 20 15
Adaptasi Kualitas Bangunan 1 butir 1 5
(umur bangunan) 2
3 15
Pembangunan 1 butir 1 5
Kesiapsiagaan Pada 2
Seluruh Lini 3 15
38

Sub- Jumlah Skor


No Indikator Parameter Skor Bobot Skor Min
indikator Item Mak
4 Human Tingkat Pendidikan 1 butir 1 2.22222
Capital pendidikan Kebencanaan 2
dan 3 6.66666
Pengetahuan Sikap 1 butir 1 2.22222
2
3 6.66666
Keterampilan 1 butir 1 2.22222
2
3 6.66666
Jenis Kelamin 1 butir 1 2.22222
20
2
3 6.66666
Usia 1 butir 1 2.22222
2
3 6.66666
Kesehatan 1 butir 1 2.22222
2
3 6.66666
Jenjang Pendidikan 1 butir 1 2.22222
yang Ditamatkan 2
3 6.66666
Kepemimpin Kemampuan 2 butir 1 4.44444
an Berpendapat 2
3 13.33332
5 Social Aturan dan Aturan 1 butir 1 3.125
Capital Kelembagaa Penambangan Pasir 2
n Pantai 3 9.375
Penanggulan Koperasi 1 butir 1 3.125
gan Bencana 2
3 9.375
Arisan 1 butir 1 3.125
2
3 9.375
Aturan 1 butir 1 3.125
Penambangan Batu 2
Sikat 3 9.375
Aturan 1 butir 1 3.125
Pembangunan 2 25
Sempadan Pantai 3 9.375
Peringatan Keberadaan 1 butir 1 3.125
Dini dan Balawisata 2
Kajian 3 9.375
Risiko Ketersediaan Alat 1 butir 1 3.125
Bencana Pertolongan 2
3 9.375
Pengurangan Program Desa 1 butir 1 3.125
Faktor Tangguh Bencana 2
Risiko Dasar 3 9.375
Jumlah 30 item 100 300
Sumber: Sustainable Livehood Framework dalam Lutfi Muta’Ali yang Dimodifikasi, 2016

Skor Total Maksimal = 300

Skor Total Minimal = 100


39

𝑛𝑀𝑎𝑥 − 𝑛𝑀𝑖𝑛
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑒𝑙𝑎𝑠

300 − 100
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 =
3
200
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 =
3

𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 = 66,67 (66)

Tabel 3.9 Kategori Indeks Kapasitas Adaptasi

No Kelas Interval Kategori Keterangan


Kapasitas adaptasi masyarakat pesisir
1 100 - 166 Rendah
Kecamatan Gianyar adalah rendah
Kapasitas adaptasi masyarakat pesisir
2 167 - 233 Sedang
Kecamatan Gianyar adalah sedang.
Kapasitas adaptasi masyarakat pesisir
3 234 - 300 Tinggi
Kecamatan Gianyar adalah tinggi.

Pertemuan antara tingkat ancaman abrasi dengan indeks kapasitas adaptasi

menentukan tingkat kapasitas adaptasi. Tingkat ancaman abrasi berbanding dan

indeks kapasitas adaptasi berbanding terbalik. Semakin tinggi tingkat ancaman

abrasi dan semakin rendah tingkat kapasitas adaptasi, maka semakin rendah tigkat

kapasitas adaptasi. Begitu pula sebaliknya seperti pada Gambar 3.3.

Indeks Kapasitas Adaptasi


Tingkat Kapasitas Adaptasi
Tinggi Sedang Rendah
Rendah

Tingkat Ancaman Abrasi Sedang

Tinggi

Gambar 3.3 Matriks Penentuan Kapasitas Adaptasi Masyarakat Pesisir


dalam Menghadapi Ancaman Abrasi di Kecamatan Gianyar
(Sumber: Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2012)

Keterangan: = rendah = sedang = tinggi


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian

4.1.1 Keadaan Fisiografis

Kecamatan Gianyar yang menjadi wilayah penelitian itu difokuskan kepada dua

desa pesisir, yaitu:

a) Desa Lebih

Desa Lebih memiliki luas wilayah 2,05 Km2. Secara geografis Desa Lebih termasuk

daerah dataran rendah dengan ketinggian 0 m sampai 25 m dari permukaan laut.

Desa Lebih terletak membujur dari Timur ke Barat dengan batas-batas sebagai

berikut:

Utara : Desa Tegal Tugu. Selatan : Samudera Hindia.

Timur : Desa Temesi dan Desa Tulikup. Barat : Desa Serongga

b) Desa Tulikup

Desa Tulikup dengan luas wilayah 5,47 Km2. Desa Tulikup terletak pada ketinggian

0 - 125 m Desa Tulikup merupakan perbatasan sebelah Tenggara Kabupaten

Gianyar dengan Kabupaten Klungkung. Desa Tulikup membentang dari Utara ke

Selatan dengan batas-batas sebagai berikut:

Timur : Sungai/Tukad Melangit. Selatan : Samudera Hindia.

Barat : Sungai/Tukad Gelulung. Utara : Desa Sidan.

40
41

4.1.2 Keadaan Klimatologi

Iklim adalah seluruh keadaan cuaca di permukaan bumi yang dirata-ratakan

meliputi daerah yang luas dan dalam waktu yang lama. Unsur iklim meliputi suhu

udara, kelembaban udara, curah hujan, angin, dan presipitasi. Iklim matahari

merupakan salah satu klasifikasi iklim yang sering digunakan dalam

pengklasifikasian daerah penelitian. Klasifikasi iklim di bumi berdasarkan lokasi

astronomis di permukaan bumi diistilahkan sebagai iklim matahari. Berdasarkan

pengklasifikasian iklim matahari, iklim di bumi diklasifikasikan menjadi beberapa

iklim seperti pada Gambar 4.1. Lokasi penelitian secara astronomis terletak antara

8o26’23” – 8o35’01” dan 115o18’57,9” – 115o 22’ 23,7”, sehingga berdasarkan letak

astronomis tersebut, maka di dearah penelitian dapat disimpulkan memiliki iklim

tropis.

Gambar 4.1 Klasifikasi Iklim Matahari


(Sumber: Gabler, 2007)

Indonesia dipengaruhi oleh angin munson yang menyebabkan adanya 2

musim di Indonesia. Angin munson merupakan angin yang dipengaruhi oleh

pergerakan bumi mengelilingi matahari yang dibuktikan dari gerak semu tahunan
42

matahari (Gambar 4.2). Bumi yang mengelilingi matahari dan berputar pada

porosnya dengan deklinasi 23,5o mengakibatkan adanya musim di bumi.

Gambar 4.2 Pergerakan Semu Tahunan Matahari


(Sumber: Gabler, 2007)

Terkait dengan lokasi penelitian yaitu di Kecamatan Gianyar, musim yang

dilalui sama dengan wilayah Indonesia lainnya karena berada pada lintang kecil.

Ketika pergerakan semu tahunan matahari berada pada lintang Utara maka suhu

udara di belahan bumi Utara lebih tinggi dari belahan bumi Selatan. Angin yang

membawa sedikit uap air dari Benua Australia berhembus dari daerah yang dingin

atau bertekanan udara maksimum menuju ke Benua Asia. Maka pada saat bulan

April – Oktober iklim di Indonesia khususnya di daerah penelitian mengalami

musim kemarau. Sebaliknya, ketika revolusi bumi menjadikan gerak semu matahari

berada di belahan bumi Selatan, suhu udara di belahan bumi Selatan menjadi lebih

panas, sehingga angin yang membawa uap air dari Samudera Pasifik berhembus

dari Timur ke Barat. Maka dari itu, pada keadaan tersebut di Indonesia terjadi

musim penghujan.
43

Mengkaji keadaan iklim di daerah penelitian yang lebih mengkhusus,

keadaan klimatologis daerah penelitian dibatasi dengan beberapa indikator yang

memiliki keterkaitan untuk menentukan iklim dan keadaan cuaca laut. Indikator-

indikator tersebut diantaranya suhu udara, curah hujan dan kecepatan angin serta

arah angin.

a) Suhu Udara

Parameter suhu udara digunakan untuk menentukan tipe iklim berdasarkan

klasifikasi Koppen. Penggolongan suhu udara di lokasi penelitian terlebih dahulu

dilalui dengan pengolahan data suhu udara pada stasiun terdekat dengan daerah

penelitian. Pengolahan dilakukan guna mendapatkan data rata-rata keadaan suhu

udara di daerah penelitian dalam kurun waktu minimal 10 tahun yang dirinci pada

Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Data Suhu Udara Satuan (oC) Elevasi 3 mdpl di Pesisir Kecamatan Gianyar

Bulan Rata-
Tahun Jml rata
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
2006 27.3 27.2 27.4 27.3 26.8 26.2 25.4 25.4 25.2 26.8 28.2 28.2 321.4 26.783
2007 27.7 27.7 27.6 27.1 27.1 26.7 25.8 25.4 25.5 27.1 27.6 27.3 322.6 26.883
2008 27.3 27.3 26.7 26.8 26.7 26.0 25.6 26.0 26.3 27.6 27.5 27.2 321 26.75
2009 27.5 27.2 27.2 27.5 27.1 26.3 26.1 26.0 26.0 27.2 28.3 28.3 324.7 27.0583
2010 28.1 28.0 28.2 27.8 27.9 27.2 26.9 26.8 27.1 27.7 28.0 27.5 331.2 27.6
2011 27.2 27.5 27.2 26.9 27.1 25.8 25.4 25.5 26.0 27.0 28.2 27.8 321.6 26.8
2012 27.2 27.2 27.1 27.2 27.0 26.1 25.5 25.5 26.0 27.2 28.4 28.0 322.4 26.86
2013 27.5 27.9 27.8 27.9 27.5 27.4 26.8 26.1 26.3 27.8 27.9 27.5 328.4 27.36
2014 27.6 27.4 27.6 27.8 27.7 27.4 26.2 26.3 26.1 27.5 28.9 27.9 328.4 27.36
2015 27.8 27.4 27.5 27.9 26.8 26.7 25.8 25.6 26.2 27.2 29.0 28.8 326.7 27.225
Jml 275.2 274.8 274.3 274.2 271.7 265.8 259.5 258.6 260.7 273.1 282 278.5 3248.4 270.7
Rata-rata 27.52 27.48 27.43 27.42 27.17 26.58 25.95 25.86 26.07 27.31 28.2 27.85 324.84 27.07
Sumber: Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar, 2016

Berdasarkan pengolahan data di stasiun tersebut, maka rata-rata suhu udara

dalam 10 tahun terakhir adalah 27,07oC. Guna mendapatkan data terkait suhu udara

yang lebih akurat di daerah penelitian terkait dengan perbedaan tinggi stasiun
44

pengamatan dan daerah penelitian, maka formula yang dapat digunakan adalah

sebagai berikut.

Keterangan:

T = Beda suhu antara kedua tempat

Z1 = Ketinggian stasiun pengamat (3 m dpl)

Z2 = Ketinggian lokasi penelitian (5 m dpl)

Berdasarkan data suhu udara dan ketinggian tempat derah penelitian, maka beda

suhu antara kedua tempat adalah sebagai berikut:

T = 0,006 (3-5) oC

T= 0,006 (-2) oC

T= -0,012 oC

Jadi, suhu udara di daerah penelitian berdasarkan selisih suhu rata-rata selama 10

tahun dengan beda suhu antara stasiun pengamatan adalah sebagai berikut: 27,07 –

0,012 = 27,058oC.

Angka rata-rata suhu udara di dearah penelitian merupakan angka yang

refresentatif mengingat daerah penelitian merupakan kawasan pesisir yang panas.

Melihat Gambar 4.3, keadaan suhu rata-rata bulanan selama 10 tahun terakhir

memang tidak menunjukkan adanya fluktuasi suhu udara yang tinggi di daerah

penelitian. Suhu rata-rata tertinggi bulanan selama 10 tahun terakhir pada bulan

Nopember diakibatkan oleh pergerakan semu tahunan matahari dimana daerah

penelitian merupakan daerah yang berada pada 8o LS. Pada bulan tersebut matahari

tepat berada tegak lurus dengan daerah penelitian, sehingga intensitas penyinaran

dan lamanya penyinaran matahari maksimum terjadi di sana. Keadaan suhu udara
45

bulan-bulan lain tidak menunjukkan perbedaan yang begitu mencolok antara suhu

26 – 27o C. Suhu udara yang berkisar antara angka tersebut cocok untuk sektor

pertanian lahan basah yaitu untuk padi sawah.

Suhu Rata-rata Bulanan Selama 10 Tahun di Daerah


Penelitian (oC)
28.5
28
Suhu Udara (oC)

27.5
27
26.5
26
25.5
25
24.5

Bulan

Gambar 4.3 Grafik Keadaan Suhu Rata-rata Bulanan di Daerah


Penelitian
(Sumber: Analisis Data Sekunder, 2016)

b) Curah Hujan

Tabel 4.2 Data Curah Hujan Bulanan Satuan Millimeter (mm) elevasi 120 mdpl di
Kecamatan Gianyar

Bulan
Tahun Jumlah Rata-rata
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
2006 260 293 282 423 28 136 56 52 - 31 33 84 1678 139.8333
2007 62 170 255 132 60 423 58 35 2 34 217 84 1532 127.6667
2008 239.2 322 218 29 322 59 - 43 27 417 276 170 2122.2 176.85
2009 706 421 93 79 174 15 94 - 218 165 47 64 2076 173
2010 283 191 41 131 192 457 497 211 491 237 91 379 3201 266.75
2011 298 246 194 218 100 375 - R R R R R 1431 119.25
2012 599 188 344 56 426 6 62 - 8 14 76 282 2061 171.75
2013 410 159 100 71 513 260 168 12 8 22 183 203 2109 175.75
2014 452 218 71 82 20 57 120 115 - 17 56 329 1537 128.08333
2015 311 241.5 175.5 135 197 28 29 16.5 6 3.5 68.5 214 1425.5 118.79167
Jml 3620.2 2449.5 1773.5 1356 2032 1816 1084 484.5 760 940.5 1047.5 1809 19172.7 1597.725
Rata- 362.02 244.95 177.35 135.6 203.2 181.6 108.4 48.45 76 94.05 104.75 180.9 1917.27 159.7725
rata
Sumber: Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar, 2016
46

Keterangan: - : tidak ada hujan

R : alat rusak

Mengacu pada Tabel 4.2, guna memfokuskan kajian terhadap iklim tertentu

maka analisisi digunakan berdasarkan tipe-tipe iklim oleh pendapat ahli. Tipe iklim

tidak hanya dapat ditentukan dengan mengetahui temperatur atau suhu udara saja.

Jumlah bulan basah, bulan sedang, dan bulan kering, serta rata – rata curah hujan

juga dapat digunakan untuk menentukan jenis iklim di lokasi penelitian. Jumlah

bulan basah, bulan sedang, dan bulan kering dapat digunakan untuk mengetahui

jenis iklim di suatu wilayah. Klasifikasi iklim di daerah penelitian berdasarkan

pendapat para ahli adalah sebagai berikut.

1) Iklim menurut Schmidt Ferguson

Mohr (1933) mengemukakan klasifikasi bulan basah, bulan sedang, dan bulan

kering berdasarkan rata – rata curah hujan sebagai berikut:

- Bulan basah bila curah hujan sebulan > 100 mm


- Bulan sedang bila curah hujan sebulan antara 60 – 100 mm
- Bulan kering bila curah hujan sebulan < 60 mm

Tabel 4.3 Spesifikasi Bukan Basah, Sedang dan Kering Daerah Penelitian

Tahun Rata -
Klasifikasi Jumlah
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Rata
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)
BB 5 5 6 5 10 5 5 7 5 6 59 5.9
BS 1 3 1 4 1 1 2 2 2 1 18 1.8
BK 6 4 5 3 1 0 5 3 5 5 37 3.7
Sumber: Analisis Data Sekunder, 2016

BB = Jumlah Bulan Basah

BS = Jumlah Bulan Sedang

BK = Jumlah Bulan Kering


47

Berdasarkan klasifikasi oleh Mohr, di daerah penelitian banyaknya bulan

basah, sedang dan kering dapat dilihat pada Tabel 4.3. Untuk menentukan tipe

iklim menurut Schmidt Ferguson digunakan rumus sebagai berikut:

Jumlah rata−rata bulan kering


Q= x 100%
Jumlah rata−rata bulan basah

Berdasarkan rumus di atas, maka nilai Q (tingkat kebasahan) dapat dihitung sebagai

berikut:

Q=3,7/(5,9 ) x 100 %

Q = 62,7118%

Jadi nilai Q pada daerah penelitian adalah 62,7118%. Schmidt

mengklasifikasikan kriteria curah hujan di suatu daerah menjadi beberapa tipe

dengan rentangan nilai Q yang telah ditentukan. Berdasarkan klasifikasi kriteria

curah hujan tersebut, kita dapat menentukan tipe curah hujan pada daerah atau

daerah penelitian berdasarkan nilai Q yang didapat pada perhitungan sebelumnya.

Berikut kriteria curah hujan menurut Schmidt Ferguson yang dapat dilihat pada

Tabel 4.4. Jadi, dapat disimpulkan tipe iklim di daerah penelitian menurut Schmidt

Ferguson adalah tipe curah hujan D tipe daerah sedang. Daerah dengan tipe seperti

itu memiliki ciri-ciri vegetasi hutan musim dan beberapa sebaran savana. Jika

daerah terletak di pesisir biasanya sangat memungkinkan ditumbuhi bakau.

Tabel 4.4 Kriteria Curah Hujan Menurut Schmidt Ferguson

Tipe Curah Hujan Nilai Q Tipe Daerah


A 0% ≤ Q <14,3% Sangat Basah
B 14,3% ≤ Q < 33% Basah
C 33% ≤ Q < 60,0% Agak basah
D 60,0% ≤ Q < 100,0% Sedang
48

Tipe Curah Hujan Nilai Q Tipe Daerah


E 100,0% ≤ Q <167,0% Agak kering
F 167,0% ≤ Q < 300,0% Kering
G 300,0% ≤ Q < 700,0% Sangat kering
H Q ≥ 700,0% Luar biasa kering
Sumber: Kartasapoetra, 2004

2) Iklim menurut Wladimir Koppen

Tipe iklim menurut Wladimir Koppen adalah tipe iklim berdasarkan

pada temperatur dan curah hujan. Tipe iklim menurut W. Koppen ini dibedakan

menjadi 5 kategori (Mohr dalam Kartasapoetra, 2004:22), yaitu:

(1) Golongan iklim A, iklim hujan tropis (tropical rainy climate), jika suatu
wilayah memiliki suhu terdingin yang tidak kurang dari 18oC.
(2) Golongan iklim B, iklim kering atau gurun (dry climate), jika jumlah
penguapan lebih besar atau sama dengan jumlah curah hujan tahunan.
(3) Golongan iklim C, iklim hujan cukup panas (warm temperate rainy
climate), jika suhu rata-rata bulanan terdingin adalah -3oC hingga 18oC
sedangkan bulan terpanas suhunya lebih besar dari 10oC.
(4) Golongan iklim D, iklim hutan, dingin, dan bersalju (cold snoway forest
climate), jika suhu rata-rata bulanan terpanas adalah lebih dari 10oC dan
bulan terdingin adalah -3oC.
(5) Golongan iklim E, iklim kutub (polar climate), jika suhu tidak pernah lebih
dari 10oC.

Berdasarkan data temperatur udara di lokasi penelitian 10 tahun

terakhir, didapatkan hasil perhitungan rata-rata yaitu sebesar 27,058oC. Maka

dari itu, berdasarkan klasifikasi iklim oleh Koppen, daerah penelitian memiliki

iklim Golongan A, yaitu iklim hujan tropis (tropical rainy climate).

Selanjutnya, tipe iklim A dibagi lagi menjadi 3 golongan yaitu: Af, Am, dan

Aw dengan ketentuan sebagai berikut:

(1) Tipe iklim Af yaitu iklim hutan hujan tropis, jika curah hujan bulan kering
lebih besar dari 2,4 inci (60 mm)
(2) Tipe iklim Am yaitu iklim hujan musim jika curah hujan bulan kering lebih
kecil dari 2,4 inci (60 mm) dapat diimbangi pada curah bulan basah
(3) Tipe iklim Aw yaitu iklim sabana jika curah hujan bulan kering tidak dapat
diimbangi oleh curah hujan pada bulan basah, yaitu: lebih kecil dari 3,94 –
r/25. Keterangan r = curah hujan dalam inci.
49

Guna menentukan tipe iklim menurut W. Koppen di lokasi penelitian,

maka terlebih dahulu harus diketahui jumlah bulan kering dan rata-rata curah

hujan tahunannya. Berdasarkan data curah hujan dari tahun 2006 – 2015, rata-

rata curah hujan di daerah tersebut adalah sebesar 1917.27 mm dengan jumlah

bulan kering yaitu 37 bulan. Maka dapat disimpulkan Desa Lebih dan Desa

Tulikup termasuk dalam Golongan Iklim A dengan tipe iklim Am, lebih

jelasnya dapat dilihat pada diagram 4.4 berikut.

Gambar 4.4 Diagram Iklim di Daerah Penelitian Menurut Koppen


(Sumber: Analisis Data Sekunder, 2016)

Berdasarkan analisis data tersebut, daerah penelitian merupakan daerah

hutan hujan tropis yang berada pada lintang kecil. Ciri-ciri yang dibuktikan

adalah presipitasi setiap tahunnya dan panas yang cukup terik. Presipitasi tiap

tahunnya mengikuti siklus muson sehingga pada bulan Oktober-April intensitas

hujan paling tinggi diantara bulan-bulan lainnya. Data curah hujan

menunjukkan puncak musim hujan di daerah penelitian adalah pada bulan

Januari dengan rata-rata 362,02 mm.


50

Fluktuasi curah hujan tidak begitu tinggi selama 10 tahun terakhir. Rata-

rata curah hujan 10 tahun terakhir adalah sebesar 159.7725 mm. Panas terik di

daerah penelitian biasanya terjadi pada bulan Nopember yang dibuktikan

dengan data suhu tertinggi pada bulan tersebut 10 tahun terakhir. Pada bulan

Nopember penyinaran matahari intens dikarenakan pergerakan semu matahari

tahunan tepat tegak lurus dengan daerah penelitian.

3) Klasifikasi Iklim Menurut Junghuhn

Gambar 4.5 Klasifikasi Iklim Menurut Junghuhn


(Sumber: Gabler, 2007)

Junghuhn mengklasifikasikan iklim berdasarkan ketinggian tempat dan suhu

udara. Klasifikasi tersebut diantaranya:

(1) Daerah Panas, yaitu berketinggian 0-600 mdpl dan suhu udara 26,3 -22oC
(2) Daerah Sedang, yaitu ketinggian 600-1500 mdpl dan suhu rata-rata 22 –
17,1oC
(3) Daerah Sejuk, jika ketinggiannya 1500 – 2500 mdpl dan bersuhu udara 17,1
– 11,1oC
(4) Daerah Dingin, jika ketinggiannya lebih dari 2500 mdpl dan suhu udara
11,1 – 6,2oC.
51

Berdasarkan ketinggian tempat penelitian yaitu 3 mdpl dan suhu rata-

rata 10 tahun terakhi yaitu 27,058 oC, maka di daerah penelitian termasuk ke

dalam klasifikasi Iklim Panas (Gambar 4.5). Daerah penelitian merupakan

daerah panas berdasarkan klasifikasi iklim Junghuhn. Menurut Junghuhn,

daerah panas cocok untuk ditanami komoditas seperti padi dan tebu.

Berdasarkan hasil pengamatan di daerah penelitian, lahan pertanian khususnya

padi banyak djumpai, sehingga pendapat Junghuhn ini sejalan adanya dengan

yang ada di daerah penelitian.

c) Meteorologi Laut

Tabel 4.5 Data Kecepatan (knot) dan Arah Angin Elevasi 3 mdpl di Pesisir Kecamatan
Gianyar

Bulan
Tahun Januari Pebruari Maret April Mei Juni
Besaran Arah Besaran Arah Besaran Arah Besaran Arah Besaran Arah Besaran Arah
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)
2006 8.1 W 5.8 W 6.7 W 6.2 W 5.5 SE 8.7 SE
2007 7.6 W 4.4 W 7.2 W 4.7 E 6.3 E 7.7 SE
2008 7.5 W 8.1 W 3.6 W 5.8 E 7.5 E 7 E
2009 8.5 W 8.3 W 3.3 E 4.4 SE 4.9 SE 5.6 E
2010 7.7 W 4 W 3.9 E 3.7 W 6.5 E 7 E
2011 6.1 W 7 W 6.6 W 5.3 E 5.7 E 7.6 E
2012 7.6 W 4.9 W 6.7 W 5.1 E 7.3 E 7.1 E
2013 8.9 W 6.5 W 5.3 W 5.3 E 4.5 E 5.1 E
2014 9.3 W 6.2 W 4.4 E 4.3 W 5.7 E 8.5 E
2015 9.1 SW 5.3 W 5.3 E 4.7 E 5.9 E 7.5 E
Jml 80.4 60.5 53 49.5 59.8 71.8
Rata-rata 8.04 6.05 5.3 4.95 5.98 7.18
Sumber: Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar, 2016

Bulan
Tahun Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Besaran Arah Besaran Arah Besaran Arah Besaran Arah Besaran Arah Besaran Arah
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)
2006 8.4 SE 9.1 SE 6.4 SE 5.2 SE 4.8 SE 4.6 W
2007 8.4 E 8.1 SE 5.5 SE 4.5 SE 5 W 6 W
2008 8.1 SE 8.6 E 8.6 E 4.9 E 3.8 SW 5.7 SW
2009 6.8 E 7.4 SE 4.8 SE 4.6 SE 5.1 E 5.4 W
2010 6.9 E 7.7 SE 6.6 E 5.2 SE 3.8 SE 5.6 W
2011 8.2 SE 7.8 SE 6.3 SE 5.1 SE 3.9 W 6 W
2012 8 SE 7.6 SE 5.5 SE 5.7 SE 4.2 E 5 W
2013 8.3 E 7.6 E 6.5 SE 5 SE 4.6 SE 5.8 W
2014 7.5 E 9.1 E 6.2 E 5.6 E 5.1 E 6.1 W
2015 7.6 E 7.6 E 7 E 6.4 E 4.7 E 6.3 W
52

Jml 78.2 80.6 63.4 52.2 45 56.5


Rata-rata 7.82 8.06 6.34 5.22 4.5 5.65
Sumber: Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar,2016

Keterangan: SE : dari Tenggara S: dari Selatan SW : dari Barat Daya

E : dari Timur W: dari Barat NW: dari Barat Laut

Tabel 4.5 merupakan data keadaan angin di daerah penelitian dilihat dari

besaran dan arah angin. Berdasarkan data tersebut, pengolahan data pada Tabel 4.6

dan analisis data yang dilakukan menunjukkan rata-rata tahunan kecepatan angin

tidak mengalami fluktuasi yang begitu besar. Kecepatan angin dalam satuan m/s

rata-rata tahunan berkisar di angka 3 m/s. Sedangkan arah angin dipengaruhi oleh

angin muson, siklon tropis dan pergerakan angin lokal, siang dan malam.

Tabel 4.6 Kecepatan Angin Rata-rata

Tahun Rata-rata Tahunan Rata-rata Tahunan


(kn) (m/s)
(1) (2) (3)
2006 6.625 3.408194415
2007 6.283333333 3.232425898
2008 6.6 3.395333304
2009 5.758333333 2.962342567
2010 5.716666667 2.940907382
2011 6.3 3.240999972
2012 6.225 3.202416639
2013 6.116666667 3.146685158
2014 6.5 3.34388886
2015 6.45 3.318166638
Jumlah 62.575 32.19136083
Rata-rata 6.2575 3.219136083
Sumber: Analisis Data Sekunder, 2016

Berdasarkan Tabel 4.6, rata-rata kecepatan angin di daerah penelitian adalah

3,219136 m/s. Berdasarkan klasifikasi karakteristik laut yang dikemukakan oleh

Duxbury (Tabel 4.7), lokasi penelitian berskala 3 dengan jenis laut halus (smooth

sea). Ciri-ciri laut yang berkarakteristik halus adalah gelombang yang relatif
53

panjang, terdapat gelombang yang relatif tinggi yang menghasilkan buih atau

berbusa dan tanpa area yang menunjukkan air laut yang menggulung berwarna

putih yang menandakan intensitas gelombang yang relatif tinggi. Karakteristik laut

seperti ini sulit dilalui oleh kapal yang akan bersandar dikarenakan gelombang yang

relatif tinggi. Gelombang yang tinggi dalam kaitannya dengan abrasi memiliki daya

erosif yang tinggi.

Tabel 4.7 Klasifikasi Karakteristik Laut Berdasarkan Kecepatan Angin

Laut
Kecepatan
Skala Jenis
Angin (m/s) Deskripsi
(State)
(1) (2) (3) (4)
0 <0.5 Mirror-like Calm sea
1 0.5-1.5 Wavelet-scale Calm sea
2 2-3 Short waves, none break Calm sea
3 3.5-5 Foam has glassy appearance, not yet white Smooth seas
4 5.5-8 Longer waves with white areas Slight seas
Long pronounced waves with white foam
5 8.5-10.5 Moderate seas
crests
6 11-13.5 Large waves, with foam crests all over Rough Seas
7 14-16.5 Wind blows foal in streaks Very rough seas
8 17-20 Higher waves Very rough seas
9 20.5-23.5 Dense foam streaks Very rough seas
10 24-27.5 High waves with long overhanging crests High seas
11 28-33 Ship in sight hidden in waves troughs Very high seas
12 >33 Air-sea boundary indistinguishable
Sumber: Duxbury, 2001

4.1.3 Keadaan Geologi dan Topografi

Berdasarkan data dari Peta Geologi Lembar Bali, Nusa Tenggara Tahun

1998 Edisi ke-2 pada Gambar 4.6, daerah penelitian merupakan low laying plain.

Keadaan geologi wilayah terdiri dari tuff dan lahar batuan gunung berapi kelompok

Buyan-Bratan dan Gunung Batur berkode (Qpbb). Berdasarkan penjelasan pada

peta, keadaan geologi di daerah penelitian terbentuk pada zaman Tersier masa

Holosen.
54

Gambar 4.6 Peta Geologi Lembar Bali Nusa Tenggara yang Diperkecil, 1998

Topografi yaitu istilah yang digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya

permukaan bumi bila dilihat dari permukaan laut. Klasifikasi kemiringan lereng

menurut Zuidam (dalam Ejasta, 1995), yaitu:

0–2% = datar 14 – 20% = agak curam

3 – 7% = landau 21 – 55% = curam

8 – 12% = miring >56% = sangat curam

Wilayah Desa Lebih dan Desa Tulikup termasuk memiliki topografi yang

landai dan datar. Kondisi topografi yang landai dan datar bermanfaat terhadap

aksesibilitas yang terjangkau dan cepat. Karakteristik seperti itu pula mendukung

pertanian lahan basah. Hamparan sawah yang mendatar dan berbentuk persegi

menjadi efisien ketimbang pertanian terasering.


55

Karakteristik fisik daerah penelitian merupakan daerah pesisir yang

merupakan tempat bertemunya daratan dan laut. Keadaan iklim seperti daerah

pesisir lainnya yaitu daerah yang beriklim panas dengan rata-rata suhu udara yang

tinggi dan curah hujan yang rendah. Kemiringan lereng di daerah penelitian adalah

landai dan datar. Lautnya memiliki karakteristik smooth sea yang setiap saat

hembusan anginnya membangkitkan gelombang laut yang relatif tinggi.

Gelombang laut yang relatif tinggi merupakan salah satu indikator yang

menentukan besar kecilnya kekuatan abrasi. Jika angin bertiup kencang ke arah

darat, maka gelombang yang dibangkitkan akan tinggi, sehingga dapat disimpulkan

daya erosif gelombang tersebut terhadap daratan juga tinggi.

4.1.4 Keadaan Demografis

Table 4.8 Spesifikasi Keadaan Demografis di Daerah Penelitian

Jumlah (Jiwa)
No Kelompok Tahun 2014 Tahun 2015
Umur Lebih Tulikup Lebih Tulikup
(Tahun) L P L P L P L P
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1 0–4 258 252 311 293 255 250 308 291
2 5–9 290 286 349 332 275 269 331 313
3 10 – 14 272 262 328 305 279 266 337 309
4 15 – 19 261 254 314 296 265 254 320 296
5 20 – 24 251 247 303 287 250 244 302 284
6 25 – 29 269 248 324 289 273 251 330 292
7 30 – 34 257 261 310 304 259 257 312 299
8 35 – 39 281 287 339 334 281 286 339 332
9 40 – 44 269 283 324 329 271 284 327 331
10 45 – 49 260 261 313 304 268 267 323 311
11 50 – 54 202 211 244 245 213 222 257 258
12 55 – 59 170 180 205 209 179 188 216 218
13 60 -64 126 133 151 155 133 140 160 163
14 65 – 69 97 113 116 131 101 116 122 135
15 70+ 148 174 178 202 152 176 183 205
Jumlah 3411 3452 4109 4015 3454 3470 4167 4037
Total 6863 8124 6924 8204
Sumber: Kecamatan Gianyar Dalam Angka tahun 2015 dan 2016
56

Keadaan demografis wilayah penelitian berdasarkan analisis data pada

Tabel 4.8 menunjukkan gambaran piramida stasioner (dewasa). Keadaan

demografis yang mencirikan gambaran piramida penduduk stasioner di daerah

penelitian di antaranya. (1) Penduduk pada tiap kelompok umur hampir sama (2)

Tingkat kelahiran rendah dan (3) tigkat kematian rendah. Piramida penduduk

stasioner yaitu banyaknya penduduk dalam setiap kelompok umur hampir sama.

Piramida penduduk stasioner dikarenakan tingkat kelahiran dan tingkat kematian

rendah dan stabil. Piramida stasioner itu berbentuk hampir merata, sehingga disebut

menyerupai sebagai bentuk granat. Pada piramida berbentuk granat ini, itu artinya

tingkat kelahiran dan kematian seimbang atau tetap (stasioner).

Guna mengetahui gambaran demografis daerah penelitian, maka digunakan

beberapa ukuran-ukuran matematis agar lebih mudah, diantaranya.

1) Persentase dan Sex Ratio Penduduk di Daerah Penelitian

Rasio adalah perbandingan antara dua perangkat atau komponen yang

dinyatakan dalam suatau ukuran tertentu (Mantra, 2003).

Grafik Persentase Gender di Daerah Penelitian


51
50.5
Persentase %

50
49.5
49
48.5
48
2014 2015
Tahun

Laki-laki Lebih Perempuan Lebih Laki-laki Tulikup Perempuan Tulikup

Gambar 4.7 Grafik Persentase Gender di Daerah Penelitian


(Sumber: Analisis Data Sekunder,2016)
57

Sex Rasio adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara

penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan di dalam suatu wilayah.

Gambar 4.7 menunjukkan bahwa persentase laki-laki di Desa Lebih dan

Desa Tulikup dari tahun 2014 ke tahun 2015 meningkat, sedangkan

persentase perempuan mengalami penurunan. Perbandingan tersebut

menunjukkan bahwa lebih banyak penduduk berjenis kelamin laki-laki di

daerah penelitian daripada penduduk berjenis kelamin perempuan. Rasio

jenis kelamin biasanya dihitung dengan menggunakan jumlah pria yang

terdapat di dalam jumlah penduduk tertentu, yang kemudian dibagi oleh

jumlah wanita yang termasuk di dalam penduduk itu juga (Pollard, dkk,

1984). Berikut ini merupakan formula untuk menghitung rasio jenis

kelamin.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝐿𝑎𝑘𝑖 − 𝑙𝑎𝑘𝑖


𝑆𝑒𝑥 𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜 = 𝑥 100
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑃𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛

7621
𝑆𝑒𝑥 𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜 = 𝑥 100
7507

𝑆𝑒𝑥 𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜 = 101,5186

Jadi, berdasarkan perhitungan sex ratio di daerah penelitian adalah

101,5186 yang berarti dalam 100 orang perempuan terdapat 101,5186 laki-

laki. Kondisi tersebut menunjukkan keadaan yang hampir seimbang antara

jumlah penduduk laki-laki dengan perempuan. Keadaaan sex ratio seperti

itu cukup ideal bagi perencanaan pembangunan berwawasan gender desa

baik dalam tingkat keluarga maupun yang lebih luas. Berdasarkan data

tersebut pula bisa mengasumsikan bahwa jenis pekerjaan di daerah


58

penelitian hampir merata. Pustaka menunjukkan daerah tertentu dengan

karakteristik sumber penghidupan tambang biasanya sex ratio-nya tinggi.

2) Pertumbuhan Penduduk

Tabel 4.9 Dinamika Penduduk Desa Lebih dan Tulikup Tahun 2015

Penduduk Penduduk
Kelahiran Kematian
No Nama Desa Datang Pergi
(Fertility) (Mortality)
(Imigration) (Emigration)
1 Lebih 74 28 32 19
2 Tulikup 80 21 64 6
Sumber: Kecamatan Gianyar Dalam Angka Tahun 2016

Pertumbuhan penduduk adalah perubahan populasi sewaktu-waktu

dan dapat dihitung dalam jumlah individu dalam sebuah populasi

menggunakan per unit waktu untuk mengukur. Penelitian ini menggunakan

pengukuran pertumbuhan penduduk total. Pertumbuhan penduduk total

adalah pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh faktor kelahiran,

kematian dan mobilitas penduduk. Tabel 4.9 merupakan dinamika

penduduk di Desa Lebih dan Desa Tulikup untuk menentukan pertumbuhan

penduduk total di daerah penelitian.

Formula untuk menentukan pertumbuhan penduduk total di daerah

penelitian adalah sebagai berikut:

P = (l1-m) + (l2 -e)

Keterangan: P = jumlah pertumbuhan penduduk total

l1 = fertilitas (jumlah kelahiran)

m = mortalitas (jumlah kematian)

e = jumlah emigran (orang yang pergi)

l2 = jumlah imigran (orang yang datang)


59

P Lebih = (74 – 32) + (28 – 19)

= 42 + 9

= 51

P Tulikup = (80 – 64) + (21 – 6)

= 16 + 15

= 31

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus jumlah pertumbuhan

penduduk, maka pertumbuhan penduduk Desa Lebih dari tahun 2015 ke


51
tahun 2016 adalah = 6924 𝑥 100% = 0,7365685%

Maka, pertumbuhan penduduk Desa Tulikup dari tahun 2015 ke tahun 2016
31
adalah = 8204 𝑥 100% = 0,3778645%

Guna mengatahui pertumbuhan penduduk, dapat diketahui menurut kriteria

yang dikemukakan oleh Hutabarat (dalam Mantra, 2000) sebagai berikut:

1) Pertumbuhan penduduk kurang dari 1% digolongkan sangat rendah

2) Pertumbuhan penduduk 1% - 2% digolongkan rendah, dan

3) Pertumbuhan penduduk di atas 2% digolongkan tinggi

Berdasarkan kriteria pertumbuhan penduduk yang dikemukakan

oleh Hutabarat, maka pertumbuhan penduduk di daerah penelitian tergolong

dalam pertumbuhan penduduk sangat rendah. Pertumbuhan penduduk yang

rendah merupakan keuntungan ditengah meledaknya pertumbuhan

penduduk di Indonesia. Pertumbuhan penduduk yang rendah dapat

dimanfaatkan untuk perencanaan pembangunan manusia yang merata dan

adil. Pemenuhan kebutuhan daerah dengan pertumbuhan penduduk kecil


60

lebih kecil dan sederhana, sehingga dapat diorganisasikan dengan mudah.

Keadaan tersebut dapat mendorong pembangunan daerah.

1) Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk adalah keadaan jumlah penduduk dalam jiwa yang

dibandingkan dengan luas wilayahnya berada dalam satuan kilometer

persegi. Formula untuk menentukan kepadatan penduduk adalah sebagai

berikut.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘
𝐾𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 =
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑊𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ

Berdasarkan perhitungan, maka diperoleh kepadatan penduduk

masing-masing desa adalah yaitu (1) Kepadatan penduduk Desa Lebih yaitu

3377,56 jiwa/Km2 sedangkan (2) kepadatan penduduk Desa yakni 1499,82

jiwa/Km2. Dapat disimpulkan bahwa kepadatan penduduk di Desa Lebih

lebih tinggi daripada kepadatan penduduk di Desa Tulikup.

Jika melihat klasifikasi desa berdasarkan jumlah penduduk, maka

Desa Lebih dan Desa Tulikup tergolong dalam Desa Terbesar Karena

jumlah penduduk sudah berada di atas 3.200 jiwa. Sedangkan berdasarkan

kepadatan penduduk, berturut-turut Desa Lebih dan Desa Tulikup tergolong

ke dalam Desa Terbesar dan Desa Besar. Kaitannya dengan abrasi,

kepadatan penduduk yang tinggi berkaitan dengan indikator penduduk

terpapar. Semakin tinggi kepadatan penduduk maka semakin tinggi indeks

penduduk terpapar. Hal tersebut kurang baik bagi pembangunan daerah

karena banyak penduduknya berisiko terpapar bencana.


61

Tabel 4.10 Klasifikasi Desa Berdasarkan Jumlah dan Kepadatan


Penduduk

Klasifikasi Desa
Berdasarkan Jumlah Penduduk (jiwa) Berdasarkan Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
< 800 Desa Terkecil < 100 Desa Terkecil
800 – 1600 Desa Kecil 100-500 Desa Kecil
1600 – 2400 Desa Sedang 500 – 1500 Desa Sedang
2400 – 3200 Desa Besar 1500 – 3000 T Desa Besar
.> 3200 Desa Terbesar 3000 – 4500 L Desa Terbesar

2) Rasio Beban Tanggungan

Rasio beban tanggungan berkaitan dengan jumlah penduduk

produktif dan non-produktif. Secara definitif, rasio beban tanggungan/rasio

ketergantungan (dependency ratio) adalah angka yang menunjukkan beban

ketergantungan penduduk non produktif terhadap penduduk produktif.

Penduduk yang digolongkan non-produktif adalah antara 0 – 14 tahun dan

usia di atas 65 tahun. Sedangkan kelompok penduduk usia produktif adalah

antara 15 – 64 tahun. Tabel 4.11 merupakan spesifikasi jumlah penduduk

produktif dan jumlah penduduk non-produktif guna menghitung rasio beban

tanggungan di daerah penelitian.

Tabel 4.11 Spesifikasi Penduduk Produktif dan Non-Produktif


Jumlah Penduduk Tahun
Nama Desa 2014 2015
Non- Produktif Produktif Non-Produktif Produktif
(1) (2) (3) (4) (5)
Lebih 2152 4711 2139 4785
Tulikup 2545 5579 2534 5670
Sumber: Kecamatan Gianyar Dalam Angka 2016

Perbandingan antara jumlah penduduk berumur 0 – 14 tahun ditambah

dengan jumlah penduduk 65 tahun ke atas dibandingkan dengan jumlah


62

penduduk usia 15-64 tahun merupakan deskripsi formula untuk menghitung

rasio beban tanggungan.

Formula:

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑈𝑠𝑖𝑎 𝑁𝑜𝑛 − 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑓


𝐷𝑒𝑝𝑒𝑛𝑑𝑒𝑛𝑐𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 = 𝑥 100
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑈𝑠𝑖𝑎 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑓

4673
𝐷𝑒𝑝𝑒𝑛𝑑𝑒𝑛𝑐𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 = 𝑥 100
10455

𝐷𝑒𝑝𝑒𝑛𝑑𝑒𝑛𝑐𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 = 44,69632

Jadi, berdasarkan perhitungan di atas, maka dependency ratio di

daerah penelitian adalah sebesar 44,69632 yang berarti setiap 100 orang usia

produktif menanggung beban 44,69632 orang penduduk non-produktif.

Angka tersebut merupakan angka yang kecil yang harus ditanggung, hampir

kurang dari sebagian dari total jumlah penduduk. Keadaan tersebut

merupakan keadaan yang baik untuk meningkatkan kapasitas adaptasi

khususnya beberapa indikator yang dipengaruhi oleh kepemilikan modal

keuangan. Biasanya dikarenakan beban tanggungan yang sedikit, orang

cendrung berpeluang mengumpulkan uangnya dalam bentuk tabungan

sebagai langkah adaptasi mengatasi maslah keuangan yang mungkin terjadi

di kemudian hari.

Karakteristik demografi di daerah penelitian yang memiliki jumlah

penduduk yang cukup besar merupakan subjek yang mungkin terkena bencana.

Komposisi jenis kelamin penduduk yang digambarkan dari sex ratio menunjukkan

grafik yang hampir seimbang. Artinya, jumlah antara jumlah penduduk berjenis

kelamin laki-laki hampir sama dengan jumlah penduduk berjenis kelamin

perempuan. Penduduk berjenis kelamin laki-laki merupakan penduduk yang


63

dipercaya sebagai tulang punggung keluarga, maka dari itu keseimbangan antara

komposisi jumlah penduduk ini berimplikasi positif terhadap kemampuan

kepemilikan modal.

Data lain yang dapat menunjukkan secara matematis kemampuan yang

dimiliki penduduk cukup mapan adalah angka beban tanggungan. Setiap 100 orang

usia produktif di daerah penelitian menanggung beban 44,69632 orang penduduk

non-produktif. Angka tersebut merupakan angka yang kecil yang harus ditanggung,

hampir kurang dari sebagian dari total jumlah penduduk. Keadaan tersebut

merupakan keadaan yang baik untuk meningkatkan kapasitas adaptasi khususnya

beberapa indikator yang dipengaruhi oleh kepemilikan modal keuangan.

Kaitannya dengan kapasitas adaptasi, keadaan demografi yang baik adalah

masyarakat yang didominasi oleh penduduk laki-laki. Selain itu, komposisi

masyarakat yang baik adalah yang didominasi oleh usia produktif. Asumsi ini

dikaitkan dengan laki-laki yang memiliki kemampuan fisik yag lebih baik dari

perempuan dan penduduk usia produktif yang mampu menghasilkan penghasilan

yang digunakan memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Penduduk usia produktif

merupakan penduduk yang memiliki daya fisik yang baik dan sejalan dengan

kemampuan keuangan yang dihasilkan.

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Penyajian Data Ancaman Abrasi

4.2.1.1 Ketinggian Gelombang

Tabel 4.12 merupakan data ketinggian gelombang di daerah penelitian.

Berdasarkan data dari 1 Agustus 2011 sampai dengan 31 Agustus 2016 didapatkan
64

bahwa rata-rata tinggi gelombang di daerah penelitian adalah setinggi 1.309447 m.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa kategori ancaman abrasi di Kawasan Pantai

Lebih berdasarkan ketinggian gelombang tergolong dalam kelas menengah/sedang.

Tabel 4.12 Data Ketinggian Gelombang (m) di Kawasan Pantai Lebih (Selat
Badung) dengan Titik Koordinat 8.625oLS dan 115. 375o BT

Rata-
Tahun Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jumlah
rata
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
2011 - - - - - - - 1.614 1.482 1.300 1.013 1.079 6.488 1.2976
2012 1.373 0.982 1.415 1.319 1.391 1.388 1.545 1.499 1.507 1.284 1.216 1.084 6.59 1.333583
2013 1.423 1.186 1.170 1.145 1.311 1.393 1.530 1.475 1.792 1.377 1.078 1.095 6.817 1.33125
2014 1.453 1.257 1.071 1.145 1.362 1.599 1.635 1.680 1.509 1.388 1.171 1.086 6.834 1.363
2015 1.234 1.143 1.098 1.090 1.308 1.556 1.362 1.370 1.414 1.300 1.159 1.128 6.371 1.2635
2016 1.024 1.067 1.008 1.116 1.443 1.439 1.536 1.509 - - - - 1.509 1.26775
Jml 6.507 5.635 5.762 5.815 6.815 7.375 7.608 9.147 7.704 6.649 5.637 5.472 34.609 7.856683
Rata-rata 1.301 1.127 1.152 1.163 1.363 1.475 1.521 1.524 1.540 1.3298 1.1274 1.0944 5.7681 1.309447
Sumber: ECMRWF (NASA), 2016

KEADAAN RATA-RATA TINGGI GELOMBANG BULANAN


(2011-2016)
1.80
Ketinggian Gelombang (m)

1.60 1.54
1.48 1.52 1.51
1.40 1.36
1.30 1.33
1.20 1.15 1.16
1.13 1.13 1.09
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct No v Dec
Bulan (Sep 2011 - Aug 2016)

Gambar 4.8 Grafik Keadaan Rata-rata Tinggi Gelombang Bulanan


(Sumber: Analisis Data Sekunder, 2016)

Gambar 4.8 merupakan keadaan tinggi gelombang dirinci per-bulan.

Melihat data tersebut, tidak nampak fluktuasi yang besar dari tinggi gelombang di

Kawasan Pantai Lebih. Perbedaan rata-rata tinggi gelombang tidak mencapai lebih
65

dari satu meter. Tinggi gelombang terendah pada bulan Nopember-April,

sedangkan rata-rata gelombang tertinggi pada bulan Mei- Oktober.

KEADAAN TINGGI GELOMBANG MENURUT


WAKTU TAHUN 2011-2016
1.33
KETINGGIAN GELOMBANG (M)

1.325
1.32
1.315
1.31
1.325572429
1.305
1.316999461
1.3 1.311277329
1.295 1.3033958

1.29
0:00 6:00 12:00 18:00
Dini Hari Pagi Siang Malam
PUKUL

Gambar 4.9 Grafik Keadaan Tinggi Gelombang Harian


(Sumber: Analisis Data Sekunder, 2016)

Gambar 4.9 merupakan distribusi ketinggian gelombang harian selama 5

tahun terakhir. Berdasarkan data selama 1858 hari, ditemukan data ketinggian

gelombang tertinggi adalah 2,953 m pada 15 Maret 2012 ketika siang hari.

Sedangkan data ketinggian gelombang terendah adalah sebesar 0,558 m pada 7

Nopember 2011 pukul 18.00. Berdasarkan data pada Gambar 4.10, rata-rata

gelombang tertinggi adalah pada dini hari setinggi 1,325 m. Kemudian sebaliknya

gelombang terendah adalah pada pagi hari, dan berturut-turut kembali meningkat

pada siang dan malam hari. Berdasarkan indeks penilaian ancaman abrasi, data

tersebut menunjukkan bahwa tingkat ancaman abrasi di Kawasan Pantai Lebih

berdasarkan ketinggian gelombang berkategori sedang.


66

Gambar 4.10 Keadaan Gelombang di Pantai Lebih


(Sumber: Dokumentasi Sumartika, 2016)

Gambar 4.10 merupakan keadaan gelombang yang didokumentasikan pada

26 Februari 2016 di Pantai Lebih. Berdasarkan hasil pengamatan, intensitas

gelombang sangat tinggi dengan rata-rata ketinggian yang sama menghempas talud

di sepanjang Pantai Lebih. Gambar 4.10 memperlihatkan keadaan gelombang yang

cukup kuat menyisir pantai yang menyebabkan tidak lagi terlihat pasir pantai.

Gambar 4.11 Keadaan Gelombang di Pantai Siyut Tulikup


(Sumber: Dokumentasi Sumartika, 2016)
67

Keadaan tinggi gelombang di Pantai Siyut tidak berbeda dengan keadaan

gelombang di Pantai Lebih. Hanya saja, faktor pembeda utama adalah di Pantai

Lebih sudah dibangun talud, sedangkan di Pantai Siyut pantainya masih alami

berupa pasir pantai. Artinya, gelombang pecah yang datang dengan intensitas yang

tinggi di Pantai Siyut begitu saja menghempas garis pantai tanpa halangan. Gambar

4.11 yang diambil pada 25 Nopember 2016 memperlihatkan bahwa gelombang

memang berada pada tingkatan sedang dalam perannya sebagai salah satu tenaga

yang menyebabkan adanya abrasi. Berdasarkan pengamatan, akibat gelombang laut

Pantai Siyut Tulikup saat ini sudah berkurang dibandingkan Pantai Lebih. Pasir

pantai terakumulasi pada titik-titik ujung garis Pantai Siyut Tulikup.

4.2.1.2 Kecepatan Arus

Tabel 4.13 merupakan hasil penelitian kecepatan arus di dearah penelitian

dari tahun 2011 – 2016. Data diperoleh dari sampel-sampel sejumlah 365 hari dari

seluruh hari dalam 5 tahun terakhir. Distribusi data menunjukkan bahwa kecepatan

arus terendah pada 26 Oktober 2012 sebesar 0,00072 m/s mengarah ke Selatan.

Sedangkan sebaliknya, data kecepatan arus tertinggi adalah pada 21 Januari 2013

dengan kecepatan 0.64121 m/s mengarah ke Utara.

Tabel 4.13. Data Kecepatan Arus (m/s) Meridional di Kawasan Pantai Lebih
(Selat Badung) dengan Titik Koordinat 8.66667o LS dan
115.33334oBT Kedalaman 15 m

Kecepatan Arus Meridional (m/s) Jumlah Rata-


Tahun
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec rata
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
2011 - - - - - - -0.282 -0.274 -0.090 -0.017 0.214 -0.449 -0.0898
2012 0.367 0.086 0.192 -0.166 -0.216 0.081 -0.199 -0.367 -0.401 -0.080 -0.053 0.414 -0.342 -0.0285
2013 0.437 -0.097 0.160 0.249 0.056 0.188 -0.278 -0.124 -0.117 0.023 0.143 0.276 0.916 0.07633
2014 0.354 0.107 -0.039 -0.060 -0.084 -0.152 -0.146 -0.344 -0.328 -0.174 -0.026 0.219 -0.673 -0.05608
2015 0.234 -0.166 -0.030 -0.035 -0.196 -0.135 -0.233 -0.256 -0.338 -0.249 -0.162 0.061 -1.256 -0.11418
2016 -0.005 0.024 -0.033 -0.061 0.030 0.192 -0.035 -0.090 - - - - 0.022 0.00275
Jumlah 1.387 -0.046 0.25 -0.073 -0.41 0.174 -0.891 -1.463 -1.458 -0.321 -0.115 1.184 -1.782 -0.20948
Rata-rata 0.2774 -0.0092 0.05 -0.0146 -0.082 0.0348 -0.178 -0.243 -0.291 -0.080 -0.023 0.2368 -0.297 -0.03491
Sumber: OSCAR (NASA), 2016
68

Keterangan: nilai minus (-) = arah Selatan


nilai positif (+) = arah Utara

Penelitian ini menggunakan besaran arus meridional. Basaran arus

meridional merupakan besaran arus yang mengarah ke Utara dan Selatan.

Kebalikan dari arus meridional adalah arus zoidal. Arus zoidal merupakan arus

yang memiliki arah pergerakan Barat-Timur. Dikarenakan daerah penelitian

merupakan daratan yang pantainya berada di Selatan, maka besaran arus meridional

yang dipakai adalah yang mengarah ke Utara saja.

Keadaan Rata-rata Bulanan Kecepatan Arus Meridional (u-s) Tahun


2011-2016
0.4

0.3

0.2
Kecepatan Arus (m/s)

0.1

0
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
-0.1

-0.2

-0.3

-0.4
Bulan

Gambar 4.12 Keadaan Rata-rata Kecepatan Arus Bulanan Meridional


(Sumber: Analisis Data Sekunder, 2016)

Gambar 4.12 merupakan keadaan rata-rata kecepatan arus meridional

selama 5 tahun terakhir. Arus yang mengarah ke Utara hanya terjadi rata-rata pada

bulan Januari, Maret, Juni, dan Desember. Sedangkan bulan-bulan lainnya rata-rata

arus mengarah ke Selatan. Berdasarkan perhitungan dari sampel data arus yang
69

mengarah ke Utara sejumlah 360 hari, maka besaran kecepatan arus rata-rata yang

diperoleh adalah sejumlah 0.13927 m/s mengarah ke Utara menyisir Kawasan

Pantai Lebih. Maka dari itu, berdasarkan kriteria penentuan indeks ancaman abrasi,

kekuatan ancaman abrasi di Kawasan Pantai Lebih berdasarkan indikator kecepatan

arus berada pada kategori rendah yaitu di bawah 0.2 m/s.

4.2.1.3 Keadaan Vegetasi Pesisir

Gambar 4.13 Data Tutupan Lahan di Kawasan Pantai Lebih Citra Lansat 8
pada 10 Oktober 2016 Path 116 Row 66 Entity ID
LC81160662016284LGN00 Kombinasi Band 654 Vegetation
Analysis
(Sumber: United State Geology Survey, 2016)

Keterangan: = pesisir (Dusun Siyut dan Lebih Beten Kelod)

Gambar 4.14 merupakan hasil penelitian tutupan lahan di Pesisir Kecamatan

Gianyar. Citra Lansat (Land Satellite) 8 melalui kombinasi Band 6 5 4

menunjukkan konsentrasi pada analisis tutupan lahan. Data citra yang sudah di-

download dalam format .TIF terlebih dahulu dikomposit sebelum terlihat seperti

pada Gambar 4.13. Kombinasi Band 6 5 4 menunjukkan 2 warna yang dominan


70

pada citra yang telah diolah. Kedua warna dominan tersebut adalah warna coklat

dan hijau. Coklat merupakan ciri-ciri adanya tutupan lahan permukiman, sedangkan

warna hijau menunjukkan tutupan lahan vegatasi baik itu pertanian, perkebunan,

semak belukar dan tegalan. Gambar 4.13 menunjukkan luas cakupan penelitian di

Pesisir Kecamatan Gianyar seluas 131.83 ha yang menjadi konsen dalam penelitian.

Gambar 4.14 Data Tutupan Lahan di Kawasan Pantai Lebih Citra Lansat 8
pada 10 Oktober 2016 Path 116 Row 66 Entity ID
LC81160662016284LGN00 Kombinasi Band 654 Vegetation
Analysis
(Sumber: United State Geology Survey, 2016)

Keterangan: = permukiman

= non-permukiman (vegetasi)

Gambar 4.14 merupakan citra hasil komposit yang telah diperbesar dan di-

digitasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penggunaan lahan permukiman di

Pesisir Desa Lebih lebih luas dari pada di Pesisir Desa Tulikup. Selain itu,

persebaran permukiman pula menunjukkan ciri khas yang unik. Penggunaan lahan

kategori permukiman di sepanjang sebelah Selatan dari Jalan Bypass Ida Bagus
71

Mantra lebih sedikit dari yang berada di sebelah Utara jalan. Selain itu, ciri khas

bangunan pula menunjukkan perbedaan. Bangunan di sebelah Utara jalan

merupakan bangunan permanen permukiman, sedangkan yang berada di Selatan

jalan merupakan bangunan yang difungsikan untuk warung makan, mini market,

dan bangunan permukiman semi permanen yang berada dekat dengan pantai yang

berfungsi sebagai tempat perahu nelayan.

Meneliti lebih dalam mengenai spesifikasi vegetasi tutupan lahan di daerah

penelitian, Tabel 4.14 merupakan hasil perhitungan luas tutupan lahan berdasarkan

teknik measurement yang dibantu oleh ArcGIS. Berdasarkan hasil perhitungan

tersebut dan penilaian kelas indeks, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan indikator

tutupan lahan pesisir, ancaman abrasi di pesisir Kecamatan Gianyar tergolong ke

dalam kelas sedang.

Tabel 4.14 Spesifikasi Tutupan Lahan di Pesisir Kecamatan Gianyar

No Tutupan Lahan Luas (m2) Persentase (%)


(1) (2) (3) (4)
1 Permukiman 335.547,338294 25.45231818
2 Vegetasi Pesisir 982.789,7026 74.54768182
Total 1.318.337,04092 100
Sumber: Analisis Data Sekunder, 2016

Berdasarkan hasil cross-check di lapangan, terbukti bahwa permukiman di

daerah penelitian minim dijumpai di bagian Selatan dari Jalan Bypass Ida Bagus

Mantra. Seperti pada Gambar 4.15 dan 4.16 terlihat bahwa tutupan lahan di

sepanjang bibir garis pantai merupakan lahan kosong yang ditumbuhi oleh semak

belukar serta tanah basah mirip dengan rawa-rawa yang ditumbuhi tanaman rambat.

Lahan tidak difungsikan sebagai lahan pertanian atau permukiman dan bangunan

tempat usaha.
72

Gambar 4.15 Keadaan Tutupan Lahan Kosong


(Sumber: Dokumentasi Sumartika, 2016)

Gambar 4.16 Keadaan Tutupan Lahan Semak Belukar


(Sumber: Dokumentasi Sumartika, 2016)

Gambar 4.17 menunjukkan adanya penggunaan lahan pertanian padi sawah

di beberapa titik sepanjang pesisir pantai. Lahan pertanian padi sawah ini tersebar

terutama di Pesisir Pantai Lebih. Fenomena persebaran ini melihat sudah adanya

talud sebagai penahan gelombang di Pantai Lebih, sehingga petani lebih percaya

diri menanami lahannya dengan padi.


73

Gambar 4.17 Keadaan Tutupan Lahan Pertanian


(Sumber: Dokumentasi Sumartika, 2016)

4.2.1.4 Hasil Penelitian Bentuk Garis Pantai

Gambar 4.18 Data Bentuk Garis Pantai Citra Lansat 8 pada 10 Oktober 2016
Path 116 Row 66 Entity ID LC81160662016284LGN00
Kombinasi Band 564 Land/Water Analysis
(Sumber: United State Geology Survey, 2016)
Keterangan: = bentuk garis pantai
74

Kawasan Pantai Lebih merupakan kawasan pantai yang bertahun-tahun lalu

telah terpapar abrasi. Gambar 4.18 terlihat bahwa bentuk garis pantai terutama di

Kawasan Pantai Lebih dan sekitarnya sudah berbentuk parabola tertutup. Menilik

lebih spesifik mengenai Citra Lansat 8 yang telah dikomposit menjadi konsentrasi

Land/Water Analysis, maka akan lebih jelas terlihat garis pantai yang menjadi

pertemuan antara darat dan laut. Citra Lansat 8 yang direkam pada 10 Oktober 2016

merupakan citra yang representatif mengingat keadaan garis pantai masih dalam

periode yang keterkinian. Selain itu, secara substatif tidak ada penghalang berupa

awan yang terletak di atas daerah penelitian. Berdasarkan hasil interpretasi citra

tersebut maka dapat disimpulkan bentuk garis pantai di daerah penelitian adalah

berteluk lurus. Maka dari itu, berdasarkan bentuk garis pantai, ancaman abrasi di

Pesisir Kecamatan Gianyar tergolong dalam kategori sedang. Gambar 4.19

merupakan dokumentasi pada 25 Nopember 2016 guna memverifikasi bentuk garis

pantai yang ditunjukkan oleh citra.

Gambar 4.19 Keadaan Bentuk Garis Pantai di Kawasan Pantai Lebih


(Sumber: Dokumentasi Sumartika, 2016)
Keterangan: = bentuk garis pantai berteluk lurus
75

4.2.1.5 Hasil Penelitian Tipologi Pantai

Tipologi pantai merupakan keadaan morfologi pantai. Tipologi Pantai Lebih

dan tipologi Pantai Siyut Tulikup tidak menampakkan ciri yang berbeda. Tipologi

pantai di Kawasan Pantai Lebih tergolong ke dalam tipologi berbatu pasir (Gambar

4.20). Di Pantai Lebih, sudah dibangun talud sebagai penahan gelombang, sehingga

secara akumulatif dapat disimpulkan memiliki kategori berbatu pasir. Sedangkan di

Pantai Siyut Tulikup pantai masih alami dengan pasir hitam masih terlihat pekat.

Hanya jasa, terdapat 2 sungai relatif besar yang bermuara yaitu Sungai Melangit

dan Sungai Sangsang. Bermuaranya kedua sungai ini berimplikasi pada pasir pantai

yang mulai berlumpur akibat dari material-material lumpur dan lempung yang

dibawa oleh tenaga air aliran sungai.

Gambar 4.20 Keadaan Morfologi di Pantai Lebih


(Sumber: Dokumentasi Sumartika, 2016)

Tipologi pantai di Kawasan Pantai Lebih banyak dimanfaatkan oleh

masyarakat. Kebanyakan masyarakat yang telah lansia dan anak-anak


76

menghabiskan waktunya untuk mengumpulkan batu sikat (Gambar 4.21). Batu

sikat adalah batu yang berukuran kecil berwarna hitam mulus yang sering dipakai

oleh masyarakat sebagai lantai halaman rumahnya. Bahkan di beberapa titik di

pesisir pantai sudah banyak batu sikat yang menumpuk sebagai hasil dari kegiatan

masyarakat untuk mengumpulkan batu tersebut. Persebarannya banyak ditemukan

di perbatasan antara Pantai Lebih dan Pantai Siyut Tulikup.

Berdasarkan hasil observasi pendukung data sekunder, saat ini telah terjadi

penurunan kualitas talud yang telah dibangun di Pantai Lebih. Paving yang di

pasang di atas batu andesit setinggi 2 meter telah tererosi oleh tenaga angin dan air.

Hempasan gelombang air laut pula menyeret batu andesit yang awalnya disusun

rapi, sehingga kini mulai renggang. Fenomena yang dijumpai di daerah penelitian

megenai tipologi pantai saat ini dapat menyimpulkan bahwa ancaman abrasi di

Pesisir Kecamatan Gianyar tergolong ke dalam kategori sedang.

Gambar 4.21 Keadaan Morfologi di Pantai Siyut Tulikup


(Sumber: Dokumentasi Sumartika, 2016)
77

4.2.1.6 Hasil Penelitian Banyak Sungai Bermuara di Kawasan Pantai Lebih

Sungai yang bermuara di laut merupakan indikator adanya sedimentasi.

Keadaan sedimen di daerah penelitian dilihat dari banyaknya sungai yang

bermuara. Tabel 4.15. merupakan nama dan jumlah sungai yang bermuara di

kawasan Pantai Lebih. Berdasarnya data hasil observasi dan pencatatan dokumen

mengenai banyak sungai yang bermuara di laut, maka dapat disimpulkan ancaman

abrasi di Pesisir Kecamatan Gianyar termasuk ke dalam kategori kecil. Gambar

4.22; Gambar 4.23; Gambar 4.24; dan Ganbar 4.25 merupakan dokumentasi muara-

muara sungai yang terdapat di daerah penelitian.

Tabel 4.15 Nama dan Jumlah Sungai Bermuara di Kawasan Pantai Lebih
No Nama Sungai Lokasi
(1) (2) (3)
1 Muara Tukad/Sungai Udang-udang Perbatasan Desa Lebih dengan Desa
Serongga dan Desa Medahan
2 Muara Tukad/Sungai Demungan Desa Lebih
3 Muara Tukad/Sungai Sangsang dan Perbatasan Desa Lebih dengan Sidan dan
Gelulung Desa Sidan dengan Desa Tulikup
4 Muara Tukad/Sungai Melangit Perbatasan Desa Tulikup dengan Desa
Negari Klungkung
Sumber: Observasi dan Profil Desa Lebih dan Desa Tulikup, 2016

Gambar 4.22 Muara Sungai Melangit Gambar 4.23 Muara Sungai Demungan
(Sumber: Dokumentasi Sumartika, 2016) (Sumber: Dokumentasi Sumartika, 2016)

Gambar 4.24 Muara Sungai Udang-udang Gambar 4.25 Muara Sungai Sangsang
(Sumber: Dokumentasi Sumartika, 2016) (Sumber: Dokumentasi Sumartika, 2016)
78

Selat Badung

Gambar 4.26 Peta Indeks Ancaman Abrasi di Pesisir Kecamatan Gianyar


(Sumber: Analisis Data, 2016)
79

Gambar 4.26 merupakan peta yang menunjukkan hasil abstraksi struktur

keruangan indeks fenomena ancaman abrasi. Proporsi struktur keruangan dilihat

dari kondisi ancaman abrasi adalah masing-masing dibagi dua. Kondisi ancaman

abrasi pada daerah penelitian sebagian pada indeks sedang dan sebagian lagi pada

indeks rendah. Indeks ancaman abrasi kategori rendah berlokasi di pesisir Desa

Lebih. Indeks ancaman abrasi kategori sedang berlokasi di pesisir Desa Tulikup.

Pesisir Kecamatan Gianyar secara umum terkategori dalam indeks ancaman

abrasi sedang. Indeks ancaman abrasi paling dipengaruhi oleh tinggi gelombang

dan kecepatan arus. Indikator lain yang membedakan indeks ancaman abrasi di

masing-masing sebagian Pesisir Kecamatan Gianyar adalah komposisi vegetasi

yang berada di kedua daerah. Tipologi pantai di pesisir Desa Lebih dipengaruhi

oleh pembangunan talud sedangkan di pesisir Desa Tulikup masih alami.

4.2.1.7 Kepadatan Penduduk dan Penduduk Rentan

Tabel 4.16 Hasil Penelitian Penduduk Terpapar


Lokasi
Dusun Lebih
No Variabel Dusun Siyut Pesisir Kec.
Beten Kelod Desa
Desa Tulikup Gianyar
Lebih
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Kepadatan Penduduk 3931,18 km2 573,62 km2 2167,34 km2
Kelompok Rentan
2 37,98% 34,58% 37,40 %
(usia non-produktif)
Indeks Penduduk Terpapar Tinggi Sedang Tinggi
Sumber: Profil Desa Tulikup dan Profil Desa Lebih, 2015

Melalui proses pengumpulan data, maka hasil penelitian komponen dan

indikator untuk menghitung indeks penduduk terpapar di daerah penelitian

disajikan pada Tabel 4.16. Penentuan indeks penduduk terpapar dihitung dari

komponen sosial budaya di kawasan yang diperkirakan terlanda bencana.


80

Komponen ini diperoleh dari indikator kepadatan penduduk dan indikator

kelompok rentan pada suatu daerah bila terkena bencana. Data yang diperoleh untuk

komponen sosial budaya kemudian dibagi dalam 3 kelas ancaman, yaitu rendah,

sedang dan tinggi. Selain dari nilai indeks dalam bentuk kelas (rendah, sedang atau

tinggi), komponen ini juga menghasilkan jumlah jiwa penduduk yang terpapar

ancaman bencana pada suatu daerah.

Berdasarkan Tabel 4.16 dapat simpulkan bahwa indeks penduduk terpapar

di Desa lebih berkategori tinggi, sedangkan indeks di Desa Tulikup berada pada

indeks sedang. Jika dilihat dari salah satu indikator yaitu kepadatan penduduk, jelas

pesisir Desa Lebih merupakan pesisir yang cukup padat dihuni oleh penduduk

dibandingkan pesisir Desa Tulikup. Data menunjukkan bahwa KK lebih besar di

pesisir Desa Lebih yaitu sejumlah 547 KK. Sedangkan di pesisir Desa Tulikup yaitu

sejumlah 97 KK. Rata-rata jumlah anggota keluarga di dalam setiap KK adalah 5

orang, sehingga data tersebut dapat menunjukkan perbedaan yang signifikan

kepadatan penduduk di daerah yang memiliki luas hampir sama.

Penduduk usia non-produktif sebagai indikator penduduk rentan rata-rata di

pesisir Kecamatan Gianyar adalah 37,40%. Angka tersebut mendekati refresentasi

dari rasio beban ketergantungan yaitu 44,69632. Berdasarkan penilaian komponen

penduduk terpapar, persentase tersebut berada pada kelas indeks sedang yaitu

antara 20%-40%.

4.2.2 Penyajian Data Kapasitas Adaptasi Masyarakat

Konsep kepemilikan modal sebagai dasar penentuan kapasitas adaptasi

yang dimiliki oleh masyarakat pesisir Kecamatan Gianyar disajikan secara

keseluruhan pada Lampiran 3 dan secara detail disajikan sebagai berikut.


81

4.2.2.1 Kepemilikan Modal Natural (Natural Capital)

Tabel 4.17 Kepemilikan Tanah (Lahan) Masyarakat Pesisir di Kecamatan


Gianyar

Kepemilikan Tanah (Lahan)


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 0 0 0 0 54 100 54
2 Tulikup 0 0 0 0 10 100 10
Jumlah 0 0 0 0 64 100 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Kepemilikan lahan/tanah tempat tinggal di daerah penelitian berdasarkan

penelitian menunjukkan hasil bahwa masyarakat memiliki kapasitas adaptasi yang

tinggi. Masyarakat bertempat tinggal di lahan milik pribadi baik yang dibeli sendiri

dan/atau lahan yang diwariskan oleh orang tuanya. Kebanyakan lahan yang

diwariskan oleh orang tua merupakan lahan milik adat yang telah ditempati selama

puluhan tahun. Biasanya sebagai bentuk tanggung jawab, masyarakat yang tinggal

di lahan tersebut memiliki kewajiban terhadap segala kegiatan adat istiadat dan

agama di wilayah setempat. Sebaliknya lahan yang ditempati merupakan hak milik

pribadi. Tabel 4.17 merupakan hasil penelitian kemampuan kepemilikan lahan di

daerah penelitian.

Tabel 4.18 Kepemilikan Sawah/Kebun/Tegalan Masyarakat Pesisir di


Kecamatan Gianyar

Kepemilikan Sawah/Kebun/Tegalan
No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 22 40.741 16 29.63 16 29.63 54
2 Tulikup 2 20 2 20 6 60 10
Jumlah 24 37.5 18 28.125 22 34.375 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)
82

Hasil penelitian terhadap kepemilikan lahan lain selain lahan atau tanah

yang ditinggali masyarakat disajikan pada Tabel 4.18. Berdasarkan indikator ini,

kemampuan masyarakat tersebar pada ketiga kategori. Masyarakat dengan

kemampuan tinggi memiliki lahan yang digunakan pada sektor pertanian yaitu

pertanian lahan basah padi sawah sebesar 34,375%. Masyarakat dengan

kemampuan sedang memiliki lahan dengan luasan yang sempit dengan penggunaan

lahan tegalan sebesar 28,125%. Bagi masyarakat yang memiliki kemampuan

rendah, itu artinya masyarakat tersebut tidak memiliki lahan lain selain lahan tempat

tinggalnya. Masyarakat dengan kemampuan rendah sebesar 37,5%, paling besar

diantara kategori lain. Kepemilikan sawah/kebun/tegalan di daerah penelitian

dominan berada di Desa Tulikup. Dusun Siyut Tulikup merupakan daerah dengan

penggunaan lahan permukiman yang rendah dan penduduk yang berprofesi sebagai

petani.

4.2.2.2 Kepemilikan Modal Keuangan (Financial Capital)

Tabel 4.19 Kondisi Akses Pinjaman Masyarakat Pesisir di Kecamatan


Gianyar

Kondisi Akses Pinjaman


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 4 7.407 45 83.33 5 9.259 54
2 Tulikup 1 10 9 90 0 0 10
Jumlah 5 7.8125 54 84.375 5 7.8125 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Indikator penting kedua untuk menentukan kapasitas adaptasi di daerah

penelitian adalah kepemilikan modal keuangan. Tabel 4.19 menunjukkan bahwa


83

dilihat dari kondisi akses pinjaman, masyarakat di daerah penelitian lebih memilih

akses yang lebih renggang dan mempermudah masyarakat dalam meminjam uang

yaitu di Lembaga Perkreditan Desa dengan pesentase terbesar yaitu 84,375%.

Selanjutnya, masing-masing lima lainnya lebih memilih akses pinjaman pada

perorangan dan pada bank. Akses pinjaman perorangan/rentenir biasanya

memberikan kemudahan dan kebijakan yang lunak terhadap pembayaran dan

jaminan. Masyarakat yang memilih pilihan tersebut dapat diinterpretasikan

mempunyai kemampuan adaptasi yang rendah. Masyarakat yang memilih untuk

mengakses pinjaman uang di bank memiliki kapasitas adaptasi yang tinggi

dikarenakan mempunyai jaminan yang bernilai tinggi, sehingga dipercaya oleh

lembaga keuangan sebesar bank untuk memberikan kredit.

Tabel 4.20 Pekerjaan Tetap dan Pekerjaan Sampingan Masyarakat Pesisir di


Kecamatan Gianyar

Pekerjaan + Pekerjaan Sampingan Masyarakat Pesisir


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 12 22.22 22 40.74 20 37.04 54
2 Tulikup 5 50 0 0 5 50 10
Jumlah 17 26.5625 22 34.375 25 39.0625 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Hasil penelitian terhadap kepemilikan pekerjaan masyarakat di daerah

penelitian pada Tabel 4.20 menunjukkan bahwa 26,5625% mayarakat tidak

memiliki pekerjaan sampingan, 34,375% masyarakat memiliki pekerjaan tetap dan

memiliki pekerjaan sampingan yang tidak selalu dikerjakan. 39,0625% masyarakat

memiliki pekerjaan sampingan selain pekerjaan tetap yang dimilikinya. Variasi data

berdasarkan masing-masing desa cukup fluktuatif. Masyarakat yang bekerja


84

sampingan secara musiman dalam kategori sedang tidak dijumpai di Desa Tulikup.

Hal tersebut kembali mengacu pada karakteristik pekerjaan di Desa Tulikup yang

berbasis ke darat. Pekerjaan dominan pada petani dan batu bata. Lainhalnya dengan

Desa Lebih, selain pekerjaan tetap yang dimiliki misalnya sebagai pegawai negeri

sipil dan nelayan, 37,04% memiliki pekerjaan sampingan yang permanen. Salah

satu pekerjaan sampingan permanen yang dimiliki adalah berdagang.

Tabel 4.21 Tabungan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Gianyar

Tabungan Masyarakat
No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 18 33.33 18 33.33 18 33.33 54
2 Tulikup 6 60 0 0 4 40 10
Jumlah 24 37.5 18 28.125 22 34.375 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Tabel 4.21 menunjukkan kemampuan masyarakat dalam bidang keuangan

dalam bentuk kepemilikan tabungan. Sejumlah 37,5% masyarakat tidak

mempunyai tabungan. Sejumlah 28,125% mempunyai tabungan dengan nominal

yang sedang dan 34,375% masyarakat mempunyai tabungan dengan nominal yang

relatif besar. Kondisi yang ditunjukkan oleh Tabel 4.21 adalah adanya kemerataan

tingkat ekonomi masyarakat dari kepemilikan tabungan.

Tabel 4.22 Keadaan Piutang/Kredit Masyarakat Pesisir di Kecamatan


Gianyar

Keadaan Piutang/Kredit Masyarakat


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 14 25.93 9 16.67 31 57.41 54
2 Tulikup 0 0 10 100 0 0 10
Jumlah 14 21.875 19 29.6875 31 48.4375 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)
85

Kebalikan dari indikator sebelumnya, hasil penelitian pada Tabel 4.22

menunjukan kemampuan masyarakat dilihat dari kepemilikan hutang. Semakin

tinggi kepemilikan hutang, maka semakin rendah kemampuan adaptasi masyarakat.

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir sebagian besar masyarakat tidak

memiliki hutang dengan persentase 21,875%. Sejumlah 29,6875% masyarakat

memiliki hutang dengan nominal menengah dan 48,4375% masyarakat memiliki

nominal hutang yang besar. Kepemilikan hutang masyarakat merupakan salah satu

indikator pembangunan desa. Era sinergitas kewirausahaan hari ini mendorong

calon-calon wirausahawan mendapatkan modal uang yang berawal dari

peminjaman. Di balik kepemilikan hutang yang tinggi, ada jaminan bernilai tinggi

pula yang harus dijaminkan. Sisi lain kepemikan hutang juga berimplikasi terhadap

luasan usaha yang nanti akan dibangun. Semakin tinggi kepemilikan hutang,

semakin besar usaha yang akan dibangun. Contohkan saja di daerah penelitian,

kredit digunakan untuk membeli kapal baru bagi nelayan dan membangun rumah

makan bagi pengusaha kuliner.

Tabel 4.23 Kepemilikan Usaha Masyarakat Pesisir di Kecamatan Gianyar

Kepemilikan Usaha
No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 17 31.48 14 25.93 23 42.59 54
2 Tulikup 0 0 0 0 10 100 10
Jumlah 17 26.5625 14 21.875 33 51.5625 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Kepemilikan usaha merupakan indikator sumber keuangan yang mungkin

dimiliki oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi kepemilikan modal dalam


86

bentuk berbagai usaha semakin tinggi kapasitas adaptasi masyarakat. Tabel 4.23

menunjukkan bahwa sebagian besar sejumlah 51,5625% masyarakat memiliki

usaha yang permanen. Sejumlah 21,875% masyarakat memiliki usaha namun hanya

musiman, dan 26,5625% masyarakat tidak memiliki usaha apapun. Usaha musiman

di daerah penelitian dipengaruhi oleh budaya lokal dan Agama Hindu. Upacara-

upacara dalam rangkaian kegiatan keagamaan Agama Hindu menjadi stimulan

adanya usaha musiman. Salah satu contoh adalah penjual musiman sarana upacara

sepeti canang dan buah-buahan. Jika pada hari tertentu akan datang upacara seperti

bulan purnama atau bulan mati, masyarakat berduyun membuka lapak kecil

menjual canang dan janur. Usaha musiman lainnya yang terkena dampak upacara

besar adalah pedagang asongan minuman dan lumpia. Kunjungan wisatawan lokal

biasanya membeludak ke Pantai Lebih sebagai objek wisata pada hari sehari setelah

Galungan auat Kuningan menjadi peluang pedagang untuk menawarkan

dagangannya. Di sisi lain, usaha permanen yang dimiliki masyarakat adalah industri

batu bata di Tulikup dan pedagang sembako maupun restoran. Masyarakat yang

tidak memiliki usaha lain selain pekerjaan rutinnya biasanya berprofesi sebagai

pegawai negeri sipil, guru, dan perangkat desa.

Tabel 4.24 Kepemilikan Barang Bernilai Ekonomi Masyarakat Pesisir di


Kecamatan Gianyar

Kepemilikan Barang Bernilai Ekonomi


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 37 34.26 48 44.44 23 21.3 108
2 Tulikup 7 35 8 40 5 25 20
Jumlah 44 34.375 56 43.75 28 21.875 128
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)
87

Tabel 4.24 menunjukkan hasil penelitian terhadap kemampuan masyarakat

dalam memiliki barang bernilai ekonomi. Semakin banyak barang bernilai ekonomi

yang dimiliki, maka semakin tinggi kapasitas adaptasi masyarakat tersebut.

Sejumlah 21,875% masyarakat berkemampuan tinggi dengan kepemilikan

perhiasan dan/atau kendaraan bermotor dengan kuantitas tertentu. Sejumlah

43,75% masyarakat berkemampuan memiliki barang bernilai ekonomi sedang dan

34,374% berkemampuan memiliki barang bernilai ekonomi yang rendah.

Variasi kepemilikan barang bernilai ekonomi antara Desa Lebih dan Desa

Tulikup cukup normal. Saat ini, barang bernilai ekonomi seperti kendaraan

bermotor dan alat elektronik merupakan kebutuhan masyarakat. Hampir setiap

anggota keluarga usia produktif memiliki satu unit kendaraan roda dua. Alat

elektronik sebagai media hiburan pula telah merata dimiliki masyarakat.

4.2.2.3 Kepemilikan Modal Fisik (Physical Capital)

Tabel 4.25 Kondisi Jalan di Pesisir Kecamatan Gianyar

Kondisi Jalan
No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 3 5.56 11 20.4 40 74.1 54
2 Tulikup 0 0 0 0 10 100 10
Jumlah 3 4.6875 11 17.1875 50 78.125 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Tabel 4.25 menunjukkan kondisi jalan/akses masyarakat yang ada di daerah

penelitian. Jalan merupakan dasar jalur evakuasi perannya sebagai kapasitas fisik.

Berdasarkan penelitian terhadap persepsi masyarakat, 78,125% masyarakat menilai


88

jalan di daerah penelitian sudah baik. Sejumlah 17,1875% menilai kurang memadai,

dan sejumlah 4,6875% menilai tidak memadai.

Karakteristik jaringan jalan yang berada di Desa Lebih secara umum cukup

kompleks. Permukiman dibatasi dengan gang-gang kecil selain Jalan Raya Pantai

Lebih dan Bypass Ida Bagus Mantra. Gang-gang kecil tersebut merupakan

kewenangan dan kewajiban swadaya masyarakat untuk memperbaikinya. Sejumlah

5.56% di Desa Lebih mengatakan kurang memadai karena kualitas jalan di gang

tersebut sudah buruk. Lainhalnya dengan jaringan akses jalan di Desa Tulikup

(Dusun Siyut). Jaringan jalan tunggal yang menjadi kewenangan kabupaten

menjadi akses utama selain beberapa gang kecil yang dilalui masyarakat.

Tabel 4.26 Keadaan Sistem Informasi di Pesisir Kecamatan Gianyar

Keadaan Sistem Informasi


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 7 12.96 1 1.852 46 85.19 54
2 Tulikup 0 0 0 0 10 100 10
Jumlah 7 10.9375 1 1.5625 56 87.5 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Tabel 4.26 menunjukkan keadaan cara masyarakat dalam mengakses

informasi yang penting termasuk informasi kebencanan di daerah penelitian.

Sejumlah 87,5% masyarakat mendapatkan informasi dari akses televisi dan media

sosial. Sejumlah 1,5625% mendapatkan informasi dari media cetak dan 10,9375%

mendapatkan informasi dari mulut ke mulut. Variasi keadaan cara masyarakat

dalam mengakses informasi yang penting termasuk informasi kebencanan di

masing-masing desa disajikan dalam Tabel 4.26.


89

Tabel 4.27 Kualitas Bangunan (Umur Bangunan) di Pesisir Kecamatan


Gianyar

Kualitas Bangunan
No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 19 35.19 27 50 8 14.81 54
2 Tulikup 0 0 10 100 0 0 10
Jumlah 19 29.6875 37 57.8125 8 12.5 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Tabel 4.27 menunjukkan kemampuan masyarakat dalam bidang kualitas

bangunan tempat tinggal. Indikator yang digunakan adalah umur bangunan.

Semakin baru bangunan maka semakin berkualitas, pula mengindikasikan besarnya

kapasitas adaptasi yang dimiliki oleh masyarakat. Sejumlah 12,5% masyarakat

berkapasitas tinggi, 57,8125% berkapasitas sedang dan 29,6875% berkapasitas

kecil.

Tabel 4.28 Pembangunan Kesiapsiagaan pada Seluruh Lini di Pesisir


Kecamatan Gianyar

Pembangunan Kesiapsiagaan pada Seluruh Lini


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 7 12.96 17 31.48 30 55.56 54
2 Tulikup 0 0 5 50 5 50 10
Jumlah 7 10.9375 22 34.375 35 54.6875 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini dalam penelitian ini

difokuskan pada indikator kesiapan dalam menghadapi kecelakaan kecil yang

mungkin menimpa masyarakat. Sejumlah 54,6875% masyarakat memiliki kesiapan


90

yang tinggi. Sejumlah 34,375% memiliki kesiapsiagaan yang sedang dan 10,9375%

memiliki kesiapsiagaan yang rendah. Kesiapsiagaan yang dimaksudkan adalah

kepemilikan alat P3K (Pertolongan Pertama pada Kecelakaan) di masing-masing

rumah setiap kepala keluarga.

Ketersediaan P3K merupakan hal yang penting dalam setiap keluarga guna

mengatasi kecelakaan kecil. Manfaat yang diperoleh dari keberadaan P3K adalah

pertolongan yang bisa langsung diberikan kepada pasien. P3K merupakan langkah

adaptasi yang tepat untuk masyarakat pesisir jika mengalami kecelakaan kerja di

pantai atau laut, sehingga mengurangi bahaya yang lebih lanjut. Data pada Tabel

4.28 menunjukkan variasi yang cukup merata dan cendrung tinggi. Persepsi

masyarakat lainnya yang sedang dan rendah kurang mempunyai langkah adaptasi.

Jika terjadi kecelakaan kecil lebih memilih membelikan obat dan membawa ke

pusat pelayanan kesehatan yang mempunyai jarak-jarak tertentu yang bertolak

belakang dengan asas kedaruratan.

4.2.2.4 Kepemilikan Modal Manusia (Human Capacity)

Tabel 4.29 Pendidikan Kebencanaan Masyarakat Pesisir di Kecamatan


Gianyar

Pendidikan Kebencanaan Masyarakat Pesisir


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 4 7.407 9 16.67 41 75.93 54
2 Tulikup 0 0 1 10 9 90 10
Jumlah 4 6.25 10 15.625 50 78.125 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)
91

Berdasarkan tes yang dilakukan pada sampel yang dimuat dalam kuesiner no

item 14, Tabel 4.29 merupakan hasil penelitian terhadap pengetahuan kebencanaan

masyarakat. Sejumlah 78,125% menjawab benar yang berarti memiliki

pengetahuan terhadap jenis-jenis bencana. Sejumlah 15,625% dan 6,25%

menjawab keliru.

Berdasarkan persentase hasil penelitian, masyarakat Desa Lebih dan Desa

Tulikup sama-sama memiliki pengetahuan kebencanaan yang tinggi. Hal tersebut

dikarenakan lingkungan masyarakat yang berkecimpung di pesisir sudah

diperhatikan oleh pemerintah. Artinya, program pemerintah membawa substansi

pengetahuan dan wawasan kebencanaan dekat dengan masyarakat. Program-

program tersebut adalah Balawisata, Penyelamat Pantai, pelang evakuasi dan

pelang himbauan bahaya tsunami. Selain itu, pembangunan talud menjelaskan

kepada masyarakat betapa pentingnya daratan dijaga dari ancaman bencana abrasi.

Tabel 4.30 Sikap Masyarakat Pesisir terhadap Ancaman Abrasi di Kecamatan


Gianyar

Sikap Masyarakat Pesisir terhadap Ancaman Abrasi


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 2 3.704 15 27.78 37 68.52 54
2 Tulikup 0 0 6 60 4 40 10
Jumlah 2 3.125 21 32.8125 41 64.0625 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Tabel 4.30 menunjukkan sikap masyarakat terhadap ancaman abrasi yang

berada di daerah penelitian. Sejumlah 64,0625% menunjukkan sikap khawatir

terhadap adanya abrasi. Sejumlah 32,8125% menunjukkan sikap prihatin dan


92

sejumlah 3,125% menunjukkan sikap tidak peduli. Sikap khawatir merupakan

ukuran sikap yang diasumsikan sikap yang peduli dan tau bagaimana dampak yang

akan timbul dari adanya abrasi. Sikap prihatin adalah sikap yang tau dan kurang

peduli terhadap adanya ancaman abrasi di pesisir Kecamatan Gianyar.

Data menunjukkan sebagian besar penduduk Desa Lebih mengkhawatiri

adanya abrasi. Masyarakat banyak berkecimpung di pesisir, sehingga mengetahui

abrasi adalah ancaman serius yang memerlukan langkah-langkah penanggulangan.

Lainhalnya dengan masyarakat Desa Tulikup, aktivitas masyarakat minim ada di

pesisir sehingga kekhawatiran dan tingkat kepeduliannya terhadap pesisir dan

ancaman-ancamannya juga berada di bidang lain. Masyarakat mengetahui abrasi

merupakan sebuah fenomena yang mengancam namun karena pengaruhnya relatif

sedikit bagi masyarakat maka tanggapan masyarakat cukup dingin.

Tabel 4.31 Keterampilan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Gianyar

Keterampilan Masyarakat Pesisir


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 14 25.93 9 16.67 31 57.41 54
2 Tulikup 0 0 5 50 5 50 10
Jumlah 14 21.875 14 21.875 36 56.25 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Tabel 4.31 menunjukkan keterampilan yang dimiliki masyarakat khususnya

berenang sebesar 56,25%. Sejumlah masing-masing 21,875% masyarakat memiliki

keterampilan lain dan tidak mempunyai keterampilan. Daerah pesisir merupakan

daerah nelayan. Pengaruh laut tentu sangat dekat dengan masyarakat, sehingga

kemampuan berenang sebagai salah satu adaptasi dengan lingkungan perlu diasah.
93

Data pada Tabel 4.31 menunjukkan masyarakat yang mampu berenang

persentasenya lebih banyak di Desa Lebih. Hal tersebut dikarenakan Desa Lebih

khususnya Dusun Lebih Beten Kelod merupakan Dusun Bahari. Masyarakat

banyak yang berprofesi sebagai nelayan yang selalu berhubungan dengan laut.

Tabel 4.32 Komposisi Jenis Kelamin Masyarakat Pesisir di Kecamatan


Gianyar

Komposisi Jenis Kelamin Masyarakat


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 23 42.59 25 46.3 6 11.11 54
2 Tulikup 8 80 1 10 1 10 10
Jumlah 31 48.4375 26 40.625 7 10.9375 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Tabel 4.32 menunjukkan komposisi jenis kelamin masyarakat dalam satu

keluarga. Semakin banyak anggota keluarga yang berjumlah kelamin laki-laki,

semakin tinggi kapasitas adaptasi masyarakat. Anggota yang berjenis kelamin laki-

laki diasumsikan memiliki tenaga, energi dan kemampuan fisik yang lebih baik

dibandingkan wanita. Maka dari itu, ketika terjadi bencana tenaga laki-laki

dibutuhkan lebih banyak sebagai agen penanggulangan bencana.

Data pada Tabel 4.32 menunjukkan masyarakat di daerah penelitian yang

rentan dikarenakan dalam keluarganya lebih banyak berjenis kelamin perempuan.

Sejumlah 10,9375% masyarakat dalam keluarganya berjenis kelamin laki-laki lebih

dari 5. Sejumlah 40,625 anggota keluarganya berjenis kelamin laki-laki antara 3

dan 4 orang dan 48,4375% 625 anggota keluarganya berjenis kelamin laki-laki

kurang dari tiga orang.


94

Tabel 4.33 Usia (Komposisi Umur) Masyarakat Pesisir di Kecamatan Gianyar

Komposisi Umur Masyarakat


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 29 53.7 7 13 18 33.3 54
2 Tulikup 5 50 0 0 5 50 10
Jumlah 34 53.125 7 10.9375 23 35.9375 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Komposisi umur merupakan indikasi penduduk rentan yang berada di

daerah penelitian. Tabel 4.33 menunjukkan penduduk rentan diasumsikan

penduduk yang berusia non-produktif antara 64<x<15 tahun. Sejumlah 35,9375%

masyarakat dengan anggota keluarga dominan berusia produktif. Sejumlah 10,9375

masyarakat dengan anggota keluarga kebanyakan lanjut usia dan anak-anak.

Sejumlah 53,125% masyarakat dengan anggota keluarga dominan berusia

produktif.

Variasi data komposisi umur dalam keluarga yang ditunjukkan Tabel 4.33

cukup fluktuatif. Data beban ketergantungan secara umum tidak berlaku bagi

keadaan dalam rumah tangga keluarga pesisir yang berkomposisi kebanyakan anak-

anak dan lansia. Anak-anak dan lansi dalam perspektif kebencanaan merupakan

kelompok yang rentan terkena risiko bencana dikarenakan kemampuan kognitif dan

fisik yang rendah ketimbang penduduk usia produktif.

Tabel 4.34 Kesehatan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Gianyar

Kesehatan Masyarakat
No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 0 0 0 0 54 100 54
2 Tulikup 0 0 0 0 10 100 10
Jumlah 0 0 0 0 64 100 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)
95

Tabel 4.34 menunjukkan keadaan kesehatan masyarakat yang

mengindikasikan rentan atau tidaknya penduduk. Sejumlah 100% masyarakat

dalam anggota keluarganya tidak ada yang mengidap gangguan jiwa ataupun

penyakit berat/kronis. Menilik data tersebut, maka kapasitas adaptasi masyarakat

berada pada level yang tinggi. Kaitannya dengan bencana, jika bencana terjadi

maka penduduk dengan kebutuhan khusus memerlukan pertolongan sesegera

mungkin. Fenomena bencana datang kapan saja dengan keterbatasan penduduk

mengatasinya dengan segera. Maka dari itu alangkah baiknya kesehatan perlu

dijaga sebagai modal fisik dan psikis menghadapi bencana yang tidak terduga

datangnya.

Tabel 4.35 Jenjang Pendidikan yang Ditamatkan Masyarakat Pesisir di


Kecamatan Gianyar

Jenjang Pendidikan yang Ditamatkan Masyarakat


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 7 12.96 42 77.78 5 9.259 54
2 Tulikup 5 50 0 0 5 50 10
Jumlah 12 18.75 42 65.625 10 15.625 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Pendidikan yang ditamatkan menunjukkan kemampuan berpikir kritis dan

wawasan seseorang. Semakin tinggi pendidikan yang ditamatkan semakin tinggi

kemampuan berpikir dan wawasan seseorang, maka semakin tinggi pula kapasitas

yang dimiliki. Kondisi pendidikan yang ditamatkan masyarakat di daerah

pendidikan ditunjukkan oleh Tabel 4.35. Sejumlah 15,625% masyarakat

berpendidikan tinggi. Sejumlah 65,625% penduduk berpendidikan menengah dan

sejumlah 18,75% penduduk berpendidikan dasar. Karakteristik tamatan di Desa


96

Tulikup sangat timpang terlihat dari masing-masing 50% berada pada tingkatan

sarjana dan 50% pada sekolah dasar. Hal tersebut dikarenakan motivasi belajar

masyarakat yang dulunya masih kurang dikarenakan adanya industri batu bata

sebagai penjamin kehidupan.

Tabel 4.36 Kemampuan Berpendapat Masyarakat Pesisir di Kecamatan


Gianyar terkait Abrasi

Kemampuan Berpendapat Masyarakat


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 0 0 27 75 81 75 108
2 Tulikup 1 5 8 40 11 55 20
Jumlah 1 0.78125 35 27.34375 92 71.875 128
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Tabel 4.36 menunjukkan kemampuan berpendapat masyarakat dalam

memandang ancaman abrasi. Guna menahan lajunya abrasi, sejumlah 71,875%

masyarakat berpendapat bahwa perlu membangun talud dan mengatakan pantai di

daerah penelitian tidak cocok ditanami mangrove. Sejumlah 27,34375%

berpendapat dengan skor menengah dan 0,78125% berpendapat dengan skor

terendah. Pantai di daerah penelitian merupakan pantai yang tidak cocok ditanami

mangrove sebagai langkah vegetatif dikarenakan karakteristik gelombang yang

pecah dan minimnya sedimen atau rawa. Gelombang pecah memiliki daya erosif

yang tinggi sehingga material lumpur yang menjadi media tanam mangrove tidak

dapat dijumpai. Langkah yang tepat adalah langkah teknis dengan membangun

struktur batu penahan gelombang (talud).


97

4.2.2.5 Kepemilikan Modal Sosial (Social Capital)

Tabel 4.37 Persepsi Masyarakat terhadap Aturan Penambangan Pasir Pantai


di Pesisir Kecamatan Gianyar

Persepsi Masyarakat terhadap Aturan Penambangan


No Nama Desa Pasir Pantai Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 0 0 8 14.81 46 85.19 54
2 Tulikup 0 0 0 0 10 100 10
Jumlah 0 0 8 12.5 56 87.5 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Tabel 4.37 adalah hasil penelitian terhadap persepsi masyarakat

memandang jika adanya penambangan pasir yang dapat menyebabkan abrasi.

Sejumlah 87,5% memberikan jawaban tidak setuju, 12,5% menjawab setuju dan

0% menjawab tidak tau. Data tersebut menunjukkan bahwa masyarakat telah peka

dan peduli terhadap kelestarian pantai. Kaitannya dalam penelitian ini, jika

seandainya penambangan pasir diperbolehkan maka akan memperkuat tingkat

ancaman abrasi.

Tabel 4.38 Keadaan Koperasi di Pesisir Kecamatan Gianyar

Keadaan Koperasi
No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 2 3.7 3 5.56 49 90.7 54
2 Tulikup 0 0 0 0 10 100 10
Jumlah 2 3.125 3 4.6875 59 92.1875 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Tabel 4.38 merupakan hasil penelitian terhadap keadaan lembaga sosial

berupa koperasi. Koperasi yang berjalan baik adalah koperasi yang dapat
98

menyejahterakan anggota dan masyarakat. Semakin baik kondisi kelembagaan ini

maka semakin baik kapasitas adaptasi di daerah tersebut. Hal tersebut berkaitan

dengan ekonomi anggota dan masyarakatnya. Sebagian besar yaitu sebanyak

92,1875% mengatakan koperasi sudah berjalan baik. Sejumlah 4,6875%

mengatakan jalan di tempat dan 3,125% mengatakan tidak berjalan dengan baik.

Tabel 4.39 Keadaan Arisan di Pesisir Kecamatan Gianyar

Keadaan Arisan
No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 24 44.44 30 55.56 0 0 54
2 Tulikup 5 50 5 50 0 0 10
Jumlah 29 45.3125 35 54.6875 0 0 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Sebagai langkah adaptasi terhadap keuangan, biasanya masyarakat ikut

dalam berbagai arisan. Tabel 4.39 merupakan ukuran keadaan masyarakat

beradaptasi dalam hal keuangan untuk mengikuti organisasi sosial. Sejumlah

54,6875% pernah mengikuti arisan antara 1-4 kali, sedangkan 45,3125% tidak

dan/atau belum pernah mengikuti arisan. Arisan dalam penelitian ini diasumsikan

adalah sebagai media adaptasi yang mendorong masyarakat memiliki usaha

mengumpulkan kepemilikan keuangan dalam wadah organisasi yang cendrung

mengikat secara sosial. Variasi data yang ditunjukkan Tabel 4.39 menunjukkan

kurangnya partisipasi masyarakat dalam mengikuti arisan. Hal tersebut dikarenakan

arisan sebagai langkah pengelolaan uang secara gotong royong telah diganti

dominasinya oleh (LPD) Lembaga Perkreditan Desa. Saat ini LPD Desa Pekraman

Lebih dan Tulikup sudah cukup besar dan profesional mengelola dana
99

masyarakatnya dan mendekati perbankan. Berdasarkan hal tersebut, maka

pelayanannya pun baik dan aman, sehingga dipercaya masyarakat menjaga uangnya

dalam tabungan.

Tabel 4.40 Persepsi Masyarakat terhadap Aturan Penambangan Batu Sikat di


Pesisir Kecamatan Gianyar

Persepsi Masyarakat terhadap Aturan Penambangan


No Nama Desa Batu Sikat Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 15 27.78 19 35.19 20 37.04 54
2 Tulikup 1 10 5 50 4 40 10
Jumlah 16 25 24 37.5 24 37.5 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Tipologi Pantai Lebih dan Tulikup merupakan berbatu pasir. Hasil

observasi yang dilakukan menunjukkan ada beberapa masyarakat yang mengisi

waktu luang dengan memunggut batu sikat di pinggir pantai. Kegiatan tersebut

lambat laun akan mengubah morfologi pantai walaupun secara mikro. Tabel 4.40

merupakan hasil penelitian mengenai persepsi masyarakat. Jika masyarakat

melarang adanya penambangan maka persepsi tersebut merupakan tolak ukur

tingginya kapasitas adaptasi yang dimiliki.

Sejumlah masing-masing 37,5% menjawab sangat setuju dan kurang setuju

jika dibuatkan aturan pelarangan menambang batu sikat. Sejumlah 25% lainnya

menjawab tidak setuju jika dibuatkan aturan pelarangan penambangan batu sikat.

Variasi data yang ditunjukkan sebagian masyarakat telah peka dan peduli dengan

pantainya sebagai aset yang perlu dijaga dari ancaman abrasi. Hal tersebut

dibuktikan dengan jawaban tidak setuju terhadap adanya penambangan batu sikat.
100

Tabel 4.41 Persepsi Masyarakat terhadap Aturan Pembangunan Sempadan


Pantai di Pesisir Kecamatan Gianyar

Persepsi Masyarakat terhadap Aturan Pembangunan


No Nama Desa Sempadan Pantai Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 17 31.48 20 37.04 17 31.48 54
2 Tulikup 10 100 0 0 0 0 10
Jumlah 27 42.1875 20 31.25 17 26.5625 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Sempadan pantai merupakan lahan yang tidak boleh dibangun sejauh 100 m

dari garis pantai. Pembangunan sempadan pantai akan mempengaruhi ekosistem

alami pesisir. Kaitannya dengan penelitian ini, jika vegetasi pesisir berkurang

akibat pembangunan, maka tingkat ancaman abrasi sekmakin tinggi. Salah satu

media pengontrol pembangunan adalah aturan/regulasi. Melalui penelitian, Tabel

4.41 merupakan hasil penelitian terhadap pembangunan yang ada di sempadan

pantai. Sejumlah 26,5625% menjawab belum tepat. Sejumlah 31,25% menjawab

kurang tepat dan sejumlah 42,1875% menjawab pembangunan di sempadan pantai

sudah sesuai aturan.

Buktinya bahwa pembangunan sempadan pantai di daerah penelitian cukup

marak. Khususnya di daerah Pantai Lebih, telah dibangun akomodasi wisata berupa

hotel dan lokalisasi restoran. Lainhalnya dengan Pantai Siyut Tulikup, dikarenakan

minimnya pembangunan di pantai, masyarakat telah menganggap pembangunan

tersebut sudah sesuai. Dibuktikan dengan bangunan di Pantai Siyut berupa

bangunan semi-permanen pedagang yang berjualan makanan. Jarak bangunan milik

pedagang tersebut erkisar di atas 100 m dari garis pantai. Hal tersebut semakin

membuktikan bahwa pembangunan pesiir di Tulikup sudah sesuai dengan aturan.


101

Tabel 4.42 Keberadaan Balawisata di Pesisir Kecamatan Gianyar

Keberadaan Balawisata
No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 5 9.26 5 9.26 44 81.5 54
2 Tulikup 0 0 5 50 5 50 10
Jumlah 5 7.8125 10 15.625 49 76.5625 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Penyelamatan Pantai (balawisata) merupakan salah satu jenis pelayanan

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Gianyar. Berdasarkan hasil

penelitian terhadap persepsi masyarakat terkait keberadaan balawisata sebagai

penyelamat pantai, 76,5625% setuju sudah merasakan keberadaan Balawisata,

sehingga merasa aman dan nyaman. Sejumlah 15,625% merasakan kurang ada

pengaruh dan 7,8125% menjawab merasa tidak merasakan pengaruh.

Dilihat dari sebaran pelayanan balawisata di Kawasan Pantai Lebih, di

Pantai Lebih sendiri sudah dilaksanakan dengan baik dibuktikan dari adanya tower

pemantau dan posko jaga balawisata. Lainhanya dengan di Pantai Siyut Tulikup,

dikarenakan aktivitas masyarakat yang minim di pantai, balawisata masih

diintegrasikan dengan yang ada di Pantai Lebih. Hal tersebut dibuktikan dengan

50% menjawab kurang merasa aman jika beraktivitas di Pantai Siyut Tulikup

karena balawisata belum utuh dan sepenuhnya bertugas di pantai tersebut.

Tabel 4.43 Ketersediaan Alat Pertolongan di Pesisir Kecamatan Gianyar

Ketersediaan Alat Pertolongan


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 7 12.96 7 12.96 40 74.07 54
2 Tulikup 2 20 5 50 3 30 10
Jumlah 9 14.0625 12 18.75 43 67.1875 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)
102

Tabel 4.43 merupakan hasil penelitian terhadap ketersediaan sarana

pertolongan di pantai. Item ini mengukur ketersediaan sarana pertolongan di pantai.

Sebanyak 67,1875% menjawab jika terjadi kecelakaan kecil di pantai maka akan

dibawa dan dirawat ke di pos penjagaan. Pilihan jawaban tersebut menandakan

sudah tersedianya fasilitas berupa pos penjagaan pantai. Sisanya sejumlah 18,75%

menjawab memberikan pertolongan pribadi di tempat tertentu dan 14,0625%

menjawab untuk tidak memberikan pertolongan karena alasan tertentu.

Tabel 4.44 Program Desa Tangguh Bencana di Pesisir Kecamatan Gianyar

Program Desa Tangguh Bencana


No Nama Desa Jumlah
Rendah % Sedang % Tinggi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Lebih 0 0 54 100 0 0 54
2 Tulikup 0 0 10 100 0 0 10
Jumlah 0 0 64 100 0 0 64
(Sumber: Pengolahan Data Primer, 2016)

Tabel 4.44 merupakan hasil penelitian terhadap sumber informasi

kebencanaan yang menjadi media masyarakat untuk mengetahui bencana.

Seluruhnya menjawab informasi kebencanaan dari media sosial dan televisi dan

bukan dari sosialisasi pemerintah. Hal tersbut membuktikan bahwa belum pernah

dilakukannya sosialisasi mengenai kebencanaan yang ada di Pesisir Kecamatan

Gianyar. Pelayanan yang terkait kebencanaan hanya dilakukan oleh balawisata.

Gambar 4.27 merupakan abstraksi keruangan fenomena kapasitas adaptasi

masyarakat pesisir. Gambar tersebut menunjukkan struktur keruangan yang sama

untuk masing-masing daerah sampel atas dasar komposisi lima kepemilikan modal.

Artinya, dari keseluruhan daerah penelitian, seluruhnya merupakan wilayah yang


103

Selat Badung

Gambar 4.27 Peta Indeks Kapasitas Adaptasi Masyarakat Pesisir di


Kecamatan Gianyar
(Sumber: Analisis Data, 2016)
104

memiliki indeks kapasitas adaptasi sedang. Gambar 4.28 mengungkap komposisi

kapasitas adaptasi yang sama dari berbagai kenampakan kepemilikan modal yang

beragam. Wilayah pesisir Desa Lebih ditandai oleh karakteristik sumber

penghidupan berorientasi di pesisir. Masyarakat di daerah tersebut banyak

berprofesi sebagai nelayan. Selain berprofesi sebagai nelayan, warung-warung

yang menual kuliner pesisir juga merupakan usaha yang dibangun dekat dengan

laut. Lainhalnya dengan masyarakat di Desa Tulikup yang dominan berprofesi

sebagai pengusaha batu bata, pedagang dan petani.

4.3 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian seperti yang telah diuraikan diatas maka dapat

dikemukakan pembahasan sebagai berikut.

4.3.1 Tingkat Ancaman Abrasi di Kecamatan Gianyar

Gambar 4.28 merupakan hasil analisis yang dilakukan terhadap data

indikator tingkat ancaman abrasi di Pesisir Kecamatan Gianyar, Pantai Lebih dan

Pantai Siyut Tulikup. Berdasarkan pengolahan data, maka indeks ancaman abrasi

di Pesisir Kecamatan Gianyar berkategori rendah. Sedangkan indeks ancaman

abrasi di Pantai Lebih dan Pantai Siyut berturut-turut rendah dan sedang.

Kesimpulan tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Hakam

(2013) dalam Prosiding Seminar Nasional Riset Kebencanaan yang berjudul

Penanganan Abrasi Pantai di Indonesia. Penelitian tersebut menyatakan bahwa

tingkatan ancaman abrasi pada suatu daerah dapat diukur dengan melakukan

melakukan identifikasi, klasifikasi dan evaluasi melalui beberapa faktor, sehingga

dapat dikatakan rendah jika tinggi gelombang kurang dari 1 meter, kekuatan arus
105

Selat Badung

Gambar 4.28 Peta Tingkat Ancaman Abrasi di Pesisir Kecamatan Gianyar


(Sumber: Analisis Data, 2016)
106

(current) kurang dari 0,2 m/dt, tutupan lahan/vegetasi pesisir lebih dari 80% dan

bentuk garis pantai berteluk). Sedangkan tingkatan ancaman sedang jika tinggi

gelombang antara 1-2,5 meter, kekuatan arus (current) antara 0,2-0,4 m/dt, tutupan

lahan/vegetasi pesisir antara 40-80% dan bentuk garis pantai lurus-berteluk.

Fenomena ancaman abrasi merupakan fenomena yang kompleks untuk

dibahas. Guna lebih mendalami tingkat ancaman abrasi di daerah penelitian, maka,

pembahasan terhadap masing-masing indikator tersebut di daerah penelitian

dijelaskan dalam paragraf-paragraf selanjutnya. Pembahasan diarahkan kepada

analisis keruangan yaitu menganalisis komposisi fenomena dalam ruang.

4.3.1.1 Ketinggian Gelombang

Pesisir Kecamatan Gianyar dalam hal ini Pantai Lebih dan Pantai Siyut

berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Tipe gelombang berdasarkan

penelitian di daerah penelitian adalah gelombang pecah, surging dan tipe perusak.

Gelombang surging adalah gelombang yang belum pecah dan pecah mendekati

garis pantai serta sempat mendaki kaki pantai. Sedangkan gelombang perusak

pantai biasanya mempunyai ketinggian dan kecepatan rambat yang besar (sangat

tinggi). Air yang kembali berputar mempunyai lebih sedikit waktu untuk meresap

ke dalam pasir. Ketika gelombang datang kembali menghantam pantai akan ada

banyak volume air yang terkumpul dan mengangkut material pantai menuju ke

tengah laut atau ke tempat lain.

Keadaan gelombang air laut di daerah penelitian dipengaruhi oleh tenaga

angin yang menjadi pembangkit gelombang. Angin yang bertiup di atas permukaan

laut merupakan pembangkit utama gelombang. Gelombang akan mentransfer


107

energi melalui partikel air sesuai dengan arah hembusan angin. Lebih lanjut bahwa

mekanisme transfer energi ini terdiri dari dua bentuk yakni pertama akibat variasi

tekanan angin pada permukaan air yang diikuti oleh pergerakan gelombang dan

kedua transfer momentum dan energi dari gelombang frekuensi tinggi ke

gelombang frekuensi rendah (periode tinggi dan panjang gelombang besar).

Gelombang frekuensi tinggi dapat ditimbulkan oleh angin yang berhembus

secara kontinyu. Berdasarkan kajian pustaka fenomena seperti ini umum terjadi,

sehingga viskositas air laut dapat mempengaruhi efek langsung dari tekanan angin

dan kecepatan angin permukaan menghilang makin ke dalam dan pada suatu

kedalaman tertentu menjadi nol.

Wilayah Indonesia dalam hal ini termasuk di daerah penelitian termasuk ke

dalam area monsoon yang ditandai dengan sistem angin musim yang secara

periodik berganti arah dari timur ke barat dan barat ke timur setiap enam bulan.

Musim monsoon dan kompleksitas wilayah Indonesia yang terdiri dari banyak

pulau dengan beragam ukuran dan bentuk menyebabkan adanya variasi spasial dan

temporal arah dan kecepatan angin yang berpengaruh terhadap dinamika laut

Indonesia. Atmosfer di Indonesia yang kompleks tersebut menyebabkan seringnya

terjadi gelombang tinggi yang juga merupakan salah satu penyebab terjadinya

proses abrasi di pantai. Apalagi gelombang ekstrim yang dapat melanda Indonesia

umumnya berada pada wilayah-wilayah yang berdekatan dengan posisi siklon

tropis.

Pada umumnya keadaan gelombang laut dipengaruhi oleh tiga faktor yang

menentukan karakteristik gelombang yang dibangkitkan oleh angin yaitu (1) lama

angin bertiup atau durasi angin, (2) kecepatan angin dan (3) fetch (jarak yang
108

ditempuh oleh angin dari arah pembangkitan gelombang atau daerah pembangkitan

gelombang). Kaitannya dengan karakteristik gelombang yang ditunjukkan pada

Gambar 4.11 dan Gambar 4.12, durasi angin yang terus-menerus bertiup dari

Samudera Hindia membangkitkan gelombang dari Selat Badung, sehingga

terhempas di pantai-pantai Bali bagian Selatan termasuk Pantai Lebih dan Pantai

Siyut. Kecepatan angin di daerah penelitian selama 10 tahun terakhir berkisar rata-

rata 6.2575 knot yang dapat diasumsikan membangkitkan gelombang setinggi tidak

lebih dari 0,5 m. Faktor ketiga karakteristik gelombang di daerah penelitian adalah

adanya Pulau Nusa Penida, Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan sebagai

pengabsorsi tenaga angin yang berhembus dari Samudera Hindia, sehingga

gelombang yang dibangkitkan tidak terlalu tinggi seperti keadaan gelombang di

pesisir Selatan pulau-pulau lain di Indonesia seperti Sumatera dan Jawa.

Data rata-rata ketinggian gelombang lima tahun terakhir di daerah penelitian

menunjukkan tidak menunjukkan fluktuasi yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan

secara statistik cendrung data tinggi gelombang rendah dan tinggi saling menutupi,

sehingga tidak memperlihatkan anomali. Hanya saja, jika dilihat secara parsial dan

temporal, fluktuasi banyak terjadi pada data ketinggian gelombang harian.

Bulan Juli, Agustus dan September angin dominan berhembus dari arah

Tenggara dan dari arah Timur. Kekuatan angin pada bulan tersebut pula merupakan

kekuatan angin yang memiliki rata-rata terkencang diantara bulan-bulan lain selama

10 tahun terakhir. Angin yang berhembus pada bulan tersebut merupakan angin

muson yang membawa relatif sedikit uap air, sehingga masa udara mudah bergerak

pada perbedaan tekanan yang tinggi. Rata-rata ketinggian gelombang menunjukkan

bahwa ketinggian gelombang di atas 1,5 m. Gelombang dengan ketinggian 1,5


109

meter dapat mengganggu nelayan dalam menambatkan kapal maupun dalam

memulai kegiatannya berlayar.

Data rata-rata ketinggian gelombang harian di daerah penelitian pula tidak

menunjukkan fluktuasi yang tinggi. Perbedaan ketinggian gelombang rata-rata

harian selama 5 tahun terakhir tidak lebih dari 50 mm. Pada umumnya, gelombang

laut yang dibangkitkan oleh tenaga angin relatif paling besar pada siang menjelang

sore hari. Saat siang hari, darat dan pesisir Kecamatan Gianyar menyerap panas

lebih cepat, sehingga suhu udara di pesisir lebih tinggi sedangkan di laut lebih

rendah. Jika suatu tempat bertemperatur lebih rendah, maka tekanan udara di tempat

tersebut lebih tinggi. Maka angin cendrung berhembus dari laut ke darat yang tentu

membangkitkan gelombang permukaan. Tinggi gelombang air laut yang dimaksud

dalam hal ini adalah gelombang yang mengarah ke daratan.

Menilik rata-rata ketinggian gelombang di daerah penelitian adalah setinggi

1.314311255 m. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kategori ancaman abrasi di

Kawasan Pantai Lebih berdasarkan ketinggian gelombang tergolong dalam kelas

menengah/sedang. Jika dikaji lebih spesifik antara Pantai Lebih dengan Pantai Siyut

maka berdasarkan analisis pengolahan data tidak ada perbedaan yang mencolok

pada indikator penentu indeks ancaman abrasi di antara kedua pantai, sehingga

kedua pantai secara keruangan berkategori ancaman abrasi yang sedang.

4.3.1.2 Kecepatan Arus

Data lain yang menjadi indikator ancaman abrasi di Pesisir Kecamatan

Gianyar adalah kecepatan arus permukaan air laut. Berdasarkan interpretasi data

kecepatan arus meridional, kecepatan arus di Selat Badung fluktuatif berdasarkan


110

keadaan rata-rata bulanan selama lima tahun terakhir. Bulan Januari, Maret, Juni,

dan Desember rata-rata arah arus dari Selatan menuju Utara. Sedangkan sebaliknya

pada bulan-bulan lainnya, rata-rata arus mengarah ke Selatan. Melalui pengolahan

data sekunder kecepatan arus, maka rata-rata kecepatan arus di daerah penelitian

adalah sebesar 0.13927 m/s mengarah ke Utara.

Abrasi di Pantai Lebih menurut Ivanoviq (2011) disebabkan oleh adanya

angkutan sedimen menyusur pantai yang dipengaruhi oleh arus meridional dan

zoidal, sehingga mengakibatkan berpindahnya sedimen dari satu tempat ke tempat

lainnya. Terjadinya perubahan garis pantai akibat arus sangat dipengaruhi oleh

proses-proses yang terjadi pada daerah sekitar pantai (nearshore process), dimana

pantai selalu beradaptasi dengan berbagai kondisi yang terjadi. Proses ini

berlangsung sangat kompleks, dimana dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kombinasi

gelombang dan arus, transport sedimen, dan konfigurasi pantai tersebut, yang saling

mempengaruhi satu sama lain. Kaitannya dengan arus, karakteristik perubahan

masing-masing faktor tersebut bervariasi secara spasial dan temporal yang

berlangsung dalam waktu yang lama dikarenakan adanya empat pergerakan arus.

Maka dari itu, kekuatan ancaman abrasi di Kawasan Pantai Lebih berdasarkan

indikator kecepatan arus berada pada kategori rendah. Arus meridional yang

mengarah ke Utara diasumsikan tidak jauh berbeda dengan gelombang yang

menjadi tenaga erosif material yang ada di pantai.

4.3.1.3 Keadaan Vegetasi Pesisir

Guna memudahkan penelitian indikator persentase tutupan lahan di Pesisir

Kecamatan Gianyar, data primer yang diambil melalui dokumentasi dibantu oleh
111

Citra Lansat 8. Citra tersebut merupakan citra yang direkam pada 10 Oktober 2016.

Alasan pemakaian citra tersebut adalah mengingat waktu penelitian tidak berbeda

dengan waktu pemotretan objek dan kenampakan tutupan lahan relatif tidak banyak

berubah. Selain alasan tersebut, data citra yang direkam pada 10 Oktober 2016

kenampakan darat di daerah penelitian tidak ditutupi awan, sehingga interpretasi

lebih mudah dilakukan. Kombinasi citra yang dikombinasikan untuk memfokuskan

pada analisis tutupan lahan khususnya vegetasi adalah kombinasi band 654.

Luas wilayah pesisir yang diasumsikan merupakan luasan dua dusun

terdekat dengan pantai adalah 1.318.337,04092 m2. Berdasarkan perhitungan yang

dibantu oleh tahapan measurment di ArcMap maka ditemukan bahwa tutupan lahan

berupa vegetasi menutupi daerah pesisir seluas 74,54% dari total daerah pesisir

yang di-cover dalam penelitian. Maka dari itu, berdasarkan indikator tutupan lahan

maka ancaman abrasi di pesisir Kecamatan Gianyar tergolong ke dalam kelas

sedang.

Jika menilik secara keruangan antara Pantai Lebih dan Pantai Siyut, terdapat

perbedaan pada masing-masing pantai berdasarkan tutupan lahannya. Di Pesisir

Desa Lebih, tutupan lahan permukiman relatif sama dengan luas tutupan lahan non-

permukiman/vegetasi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penggunaan lahan

permukiman di Pesisir Desa Lebih lebih dominan ketimbang di Pesisir Desa

Tulikup. Sumber penghidupan masyarakat pesisir di Desa Lebih merupakan sektor

perikanan dan pariwisata. Jika dilihat dari sektor perikanan laut, penggunaan lahan

di pesisir cendrung dipakai sebagai bangunan semi permanen sebagai tempat

nelayan menambatkan perahu, menaruh perkakas nelayan, dan tempat istirahat


112

sementara. Bangunan jenis tersebut ditemukan persebarannya di sepanjang garis

Pantai Lebih sebelah Timur.

Pantai Lebih merupakan objek wisata yang mendorong pembangunan

akomodasi yang dekat dengan objek wisatanya. Selain bangunan yang berfungsi

bagi nelayan, di Pantai Lebih cendrung dibangun untuk rumah makan dan beberapa

bangunan penginapan. Struktur keruangan di Pesisir Desa Lebih jauh berbeda

dengan di Pesisir Desa Tulikup. Kombinasi antara tutupan lahan vegetasi dengan

permukiman di Pesisir Desa Lebih hampir 51% vegetasi dan sisanya permukiman.

Menilik hal tersebut, maka di Pesisir Desa Lebih ancaman abrasi berdasarkan

indikator tutupan lahan adalah pada kategori sedang.

Karakteristik tutupan lahan di Pesisir Desa Tulikup berbeda dengan Pesisir

Desa Lebih. Di Pesisir Desa Tulikup permukiman kurang dari 10%. Desa Tulikup

merupakan desa yang tergolong mengkonsentrasikan ekonominya di darat. Desa

Tulikup dikenal dengan desa penghasil batu bata merah yang berkualitas.

Berdasarkan fenomena tersebut, secara struktur keruangan dapat dilihat

penggunaan lahan permukiman menuju dan di pesisir sangat minim karena aktifitas

masyarakat non-perikanan. Melalui observasi yang dilakukan guna mendukung

data sekunder, memang benar di Pesisir Desa Tulikup minim dengan permukiman.

Hanya ada beberapa bangunan semi-permanen yang difungsikan sebagai tempat

hiburan malam. Selain minimnya bangunan, Pesisir Desa Tulikup banyak dijumpai

semak belukar, tanah kosong dan beberapa pertanian padi sawah. Maka dari itu,

berdasarkan struktur keruangan tutupan lahan maka ancaman abrasi di Pantai Siyut

tergolong dalam kategori rendah.


113

4.3.1.4 Bentuk Garis Pantai

Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, di

mana posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut

dan abrasi pantai yang terjadi. Guna meneliti bentuk garis pantai di daerah

penelitian, maka dilakukan observasi dan analisis data sekunder. Melalui komposit

citra dengan band 564, maka didapatkan konsentrasi kenampakan citra pada

fenomena darat dan laut. Kombinasi tersebut dalam hal ini untuk meneliti bentuk

garis pantai yang merupakan garis yang mempertemukan darat dan laut.

Berdasarkan interpretasi citra tersebut, maka dapat ditarik fakta bahwa bentuk garis

pantai di Pesisir Kecamatan Gianyar adalah memanjang dan berteluk lurus.

Karakteristik pantai yang berteluk lurus adalah lautnya yang menjorok ke daratan

dengan bentuk garis pada teluk yang lurus. Kaitannya dengan ancaman abrasi,

pantai yang berbentuk berteluk lurus merupakan pantai dalam kategori sedang

ancaman abrasinya. Hal tersebut dikarenakan tenaga gelombang yang menghempas

pantai tidak memiliki sudut yang tegak lurus dalam mengabsorsi tenaga gelombang

tersebut. Secara keruangan, tidak ditemukan perbedaan yang begitu mendasar

antara bentuk garis Pantai Lebih dan Pantai Siyut. Bentuk pantai di kawasan ini

menunjukkan bahwa ancaman abrasi ada pada kategori menengah/sedang.

4.3.1.5 Tipologi Pantai

Tipologi pantai merupakan keadaan morfologi/profil pantai. Pada umumnya

pantai terbentuk dari material dasar yang berupa lumpur, pasir atau kerikil. Pantai

Lebih dan Pantai Siyut merupakan pantai yang menghadap ke Samudera Indonesia.

Pantai-pantai yang menghadap Samudera Indonesia seperti kebanyakan pantai


114

Selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Pantai Barat Sumatera, adalah pantai berpasir

yang dipenuhi dengan hamparan pasir berwarna hitam berkilau. Di beberapa titik

dapat dijumpai batu berukuran kecil yang sering disebut dengan nama batu sikat.

Khususnya di Pantai Lebih, morfologi pantai sudah dipengaruhi modifikasi oleh

manusia. Langkah pemasangan talud sebagai penahan gelombang di sepanjang

Pantai Lebih telah mengubah kenampakan alami pantai. Jenis bahan yang

digunakan adalah batu andesit yang dibangun setinggi dua meter. Di Pantai Lebih

ancaman abrasi berdasarkan indikator tipologi pantai tergolong ke dalam kategori

sedang.

Keadaan morfologi Pantai Siyut jauh berbeda dengan morfologi di Pantai

Lebih. Keadaan yang alami berupa pasir hitam berwarna hitam dengan batu-batu

kecil dan fragmen lumpur di beberapa titik masih bisa ditemukan. Pantai Siyut

merupakan pantai sekunder dikarenakan proses terbentuknya sudah sangat lama.

Selain itu, tidak terdapat batuan induk yang terlihat di pantai. Modifikasi manusia

terhadap pantai tersebut juga minim. Pantai Siyut merupakan pantai yang landai

dan belum dibangun talud. Fragmen lumpur yang ditemukan di beberapa titik

sepanjang pantai merupakan implikasi dari dua sungai yang bermuara di Pantai

Siyut. Kedua sungai tersebut adalah Sungai Sangsang dan Sungai Melangit.

Morfologi pantai yang ditemukan di Pantai Siyut memberikan fakta bahwa

ancaman abrasi yang tinggi terjadi di sana mengingat tipologi pantai berpasir dan

terdapat endapan lumpur yang mudah dierosi oleh tenaga gelombang air laut.
115

4.3.1.6 Banyak Sungai Bermuara di Kawasan Pantai Lebih

Indikator terakhir yang digunakan untuk mengukur tingkat ancaman abrasi

adalah banyaknya sungai yang bermuara di pantai. Indikator ini merupakan

pendekatan dari indikator yang berhubungan yaitu sedimentasi. Kondisi

sedimentasi laut-laut di Indonesia dominan merupakan material batuan induk yang

diangkut oleh tenaga air sungai. Suatu pantai mengalami abrasi tergantung pada

sedimen yang masuk (supply) dan yang meninggalkan pantai. Abrasi pantai terjadi

apabila di suatu pantai yang ditinjau mengalami kehilangan/pengurangan sedimen,

artinya sedimen yang terangkut labih besar daripada yang di endapkan. Pesisir

Kecamatan Gianyar melalui observasi langsung dan kros cek data sekunder, maka

ditemukan fakta bermuara empat sungai. Bermuaranya sungai tersebut yaitu 2 di

Pantai Lebih, dan 1 di Pantai Siyut. Sedangkan sungai satunya bermuara di

perbatasan antara Pantai Lebih dan Pantai Siyut.

Keempat sungai yang bermuara di kawasan Pantai Lebih memiliki ciri yang

sama dilihat dari aliran airnya. Keempat sungai tersebut merupakan sungai

permanen. Selain itu, sungai tersebut sebelumnya dominan melewati lahan

pertanian. Air sungai merupakan air yang terakumulasi dari air lahan pertanian

basah yang membawa fragmen lumpur yang relatif banyak. Pantai Siyut merupakan

pantai yang relatif berlumpur karena banyak sungai yang mengangkut sedimen

suspensi bermuara di daerah tersebut. Sedangkan Pantai Lebih sungai melewati

permukiman, sehingga sedimentasi minim dijumpai. Melihat hal tersebut, struktur

keruangan ancaman abrasi berdasarkan indikator sedimentasi menunjukkan bahwa

di Pantai Lebih dan Pantai Siyut menunjukkan kenampakan keruangan yang sama

yaitu berkategori sedang.


116

4.3.1.7 Penduduk Terpapar

Selat Badung

Gambar 4.29 Peta Indeks Penduduk Terpapar Ancaman Abrasi di Pesisir


Kecamatan Gianyar
(Sumber: Analisis Data, 2016)
117

Gambar 4.29 merupakan peta yang menunjukkan komposisi keruangan

berdasarkan penduduk terpapar ancaman abrasi. Gambar tersebut mencerminkan

wilayah yang ditandai oleh sebagian berindeks tinggi dan sebagian lagi berindeks

sedang. Indeks penduduk terpapar tinggi berlokasi di pesisir Desa Lebih. Indeks

penduduk terpapar sedang berlokasi di pesisir Desa Tulikup. Indeks penduduk

terpapar yang tinggi diakibatkan oleh padatnya kepadatan penduduk dan banyaknya

penduduk yang rentan. Pesisir Desa Lebih merupakan daerah yang cukup padat

dihuni oleh penduduk.

Indeks Penduduk Terpapar


Tingkat Ancaman Abrasi
Rendah Sedang Tinggi

Rendah

Indeks Ancaman Abrasi Sedang

Tinggi

Gambar 4.30 Matriks Tingkat Ancaman Abrasi di Pantai Lebih Desa Lebih
(Sumber: Analisis Data, 2016)

Keterangan: = rendah = sedang = tinggi

Guna menentukan tingkat ancaman abrasi di daerah penelitian, maka

dipakai matriks penentuan. Penentuan dilaksanakan dengan menghubungkan kedua

nilai indeks dalam matriks tersebut. Warna tempat pertemuan nilai tersebut

melambangkan tingkat ancaman suatu bencana pada daaerah tersebut. Pertemuan

antara indeks ancaman abrasi dengan indeks penduduk terpapar menentukan tingkat

ancaman abrasi. Indeks ancaman abrasi dan indeks penduduk terpapar berbanding
118

lurus dengan tingkat ancaman abrasi. Semakin tinggi indeks ancaman abrasi dan

indeks penduduk terpapar, maka semakin tinggi pula tingkat ancaman abrasi di

daerah penelitian. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah indeks ancaman abrasi

dan indeks penduduk terpapar, maka semakin rendah pula tingkat ancaman abrasi

di daerah penelitian.

Gambar 4.30 merupakan hasil analisis terhadap tingkat ancaman abrasi di

Desa Lebih. Berdasarkan perhitungan statistik sederhana dari data yang diperoleh,

maka indeks ancaman abrasi di Desa Lebih berkategori rendah dan indeks

penduduk terpapar berkategori tinggi, sehingga pertemuan kedua indeks tersebut

menunjukkan tingkat ancaman abrasi di Desa Lebih tergolong sedang. Keadaan

fisik yang menjadi indikator penentuan indeks ancaman abrasi di Desa Lebih

menunjukkan fluktuasi yang tinggi berdasarkan anomali-anomali yang terlihat di

luar data rata-rata. Misalkan saja dilihat dari keadaan tinggi gelombang rata-rata,

pada hari-hari tertentu tinggi gelombang bisa mencapai 2 m, di luar dari keadaan

rata-rata yaitu mencapai 1,3 m. Keadaan ini perlu diwaspadai oleh masyarakat

terpapar yang khususnya tinggal paling dekat dengan pantai, nelayan dan

masyarakat yang melakukan aktivitas di laut.

Indeks Penduduk Terpapar


Tingkat Ancaman Abrasi
Rendah Sedang Tinggi
Rendah

Indeks Ancaman Abrasi Sedang

Tinggi

Gambar 4.31 Matriks Tingkat Ancaman Abrasi di Pantai Siyut Desa Tulikup
(Sumber: Analisis Data, 2016)

Keterangan: = rendah = sedang = tinggi


119

Tingkat ancaman abrasi di Desa Tulikup berkategori sedang. Dusun Siyut

sebagai sampel penelitian merupakan wilayah yang cukup luas namun dihuni oleh

relatif sedikit penduduk, sehingga kepadatan penduduknya rendah. Kepadatan

penduduk yang rendah dengan persentase penduduk rentan yang tergolong sedang

menjadikan indeks penduduk terpapar pada kategori sedang. Berbeda dengan

indeks ancaman abrasi di Desa Lebih, kondisi ancaman abrasi di Desa Tulikup

tergolong sedang. Indikator yang berbeda ditunjukkan oleh penggunaan lahan yang

berpengaruh terhadap indeks ancaman abrasi yang diperoleh. Komposisi tutupan

lahan non-permukiman lebih banyak di Pesisir Desa Tulikup yaitu seperti lahan

kosong, semak belukar, dan pertanian. Sebaliknya komposisi tutupan lahan

permukiman di Pesisir Desa Lebih di atas 80% serta tersebar sampai pesisir.

Gambar 4.31 merupakan tingkat ancaman abrasi di Desa Tulikup berdasarkan

pertemuan indeks ancaman abrasi dan indeks penduduk terpapar yang berkategori

sedang perhitungan statistik dan matriks penentuan yang dipakai.

Indeks Penduduk Terpapar


Tingkat Ancaman Abrasi
Rendah Sedang Tinggi

Rendah

Indeks Ancaman Abrasi Sedang

Tinggi

Gambar 4.32 Matriks Tingkat Ancaman Abrasi di Pesisir Kecamatan Gianyar


(Sumber: Analisis Data, 2016)

Keterangan: = rendah = sedang = tinggi


120

Gambar 4.32 menunjukkan bahwa tingkat ancaman abrasi di Pesisir

Kecamatan Gianyar tergolong ke dalam tingkat ancaman sedang. Sebelumnya,

melalui perhitungan statistik dan pembahasan masing-masing indikator indeks

ancaman abrasi menunjukkan ketegori rendah. Sedangkan indeks penduduk

terpapar tinggi, hal tersebut dikarenakan kepadatan penduduk di daerah penelitian

tergolong padat. Pesisir Kecematan Gianyar merupakan wilayah yang tergolong

dipadati penduduk terutama di bagian barat yaitu di Dusun Lebih Beten Kelod.

Selogan Dusun Lebih Beten Kelod adalah sebagai Dusun Bahari. Dusun ini

memang menggantungkan hidupnya di pesisir. Tidak sedikit masyarakat yang

berprofesi sebagai nelayan. Selain sebagai nelayan, penduduknya pula melakukan

usaha dagang di sekitaran Pantai Lebih yang menjadi salah satu objek pariwisata

yang terkenal. Karakteristik profesi dan sumber penghidupan menarik masyarakat

beraktivitas dan bermukim dekat dengan sumber penghidupannya. Salah satu yang

menjadi penyebab adalah jangkauan lokasi. Lokasi permukiman yang dekat sumber

penghidupan menekan biaya transportasi.

Penelitian terhadap tingkat ancaman abrasi ini tidak serta merta mendukung

pernyataan sebelumnya yang menyatakan laju abrasi di Kawasan Pantai Lebih

adalah terbesar di Bali. Menurut Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, rata-rata

laju abrasi di Bali hanya mencapai 2-3 km/tahun (Maryadie, 2010). Sedangkan, laju

fenomena abrasi di Kecamatan Gianyar terutama di Kawasan Pantai Lebih berada

di atas rata-rata abrasi yang terjadi di pantai di Bali. Laju abrasi yang terjadi di

Pantai Lebih adalah 5 m/tahun, jauh dari pantai-pantai lain. Laju abrasi sebesar

5m/tahun tidak serta merta didukung oleh hasil penelitian ini yang berbasis analisis
121

kekuatan ancaman yang menyatakan kekuatan ancaman abrasi di Kawasan Pantai

Lebih berada pada kategori sedang.

4.3.2 Tingkat Kapasitas Adaptasi Masyarakat Pesisir dalam Menghadapi

Ancaman Abrasi di Kecamatan Gianyar

Konsep modal merupakan titik berat yang menjadi objek yang bisa diukur

oleh kerangka ini. Konsep modal ini membagi 5 golongan besar modal yang

dimiliki oleh subjek dalam penelitian yaitu (1) modal natural (2) modal finansial

(3) modal fisik (4) modal manusia dan (5) modal sosial. Konsep modal menyatakan

semakin hubungan positif antara penguasaan modal dan kapasitas yang dimiliki

oleh masyarakat. Semakin tinggi penguasaan modal, semakin tinggi kapasitas yang

dimiliki. Pembahasan mengenai masing-masing indikator kepemilikan modal

adalah sebagai berikut.

4.3.2.1 Kepemilikan Modal Natural

Kemampuan kepemilikan modal yang menjadi indikator penentuan

kapasitas adaptasi masyarakat di Pesisir Kecamatan Gianyar tergolong sedang.

Modal natural seperti lahan tempat tinggal dan lahan lainnya relatif dimiliki oleh

masyarakat. Masyarakat yang terikat dalam ikatan adat istiadat dan kesamaan

agama memiliki lahan sebagai tempat tinggal merupakan hak yang diperoleh dari

kewajibannya mentaati melaksanakan berbagai kegiatan dan aturan adat istiadat.

Masyarakat Pesisir Kecamatan Gianyar merupakan masyarakat yang telah memiliki

lahan pribadi sebagai tempat tinggalnya.


122

4.3.2.2 Kepemilikan Modal Finansial

Hasil penelitian kepemilikan modal keuangan menunjukkan langkah

masyarakat dalam menghasilkan modal keuangan cukup banyak. Sirkulasi

keuangan masyarakat sedikit tidaknya dikelola oleh Lembaga Perkreditan Desa

setempat dalam bentuk baik kredit, tabungan, dan deposito. Lembaga Perkreditan

Desa merupakan lembaga keuangan tradisional yang hanya ada di Bali dan

berkembang pesat saat ini. Layanannya memiliki standar pengawasan dan

pelaporan yang sistematis. Keadaan seperti ini dapat membantu masyarakat yang

berkeberatan dalam bidang keuangan untuk mengakses pinjaman maupun untuk

menyimpan uangnya agar aman.

Karakteristik sumber penghidupan masyarakat di Pesisir Kecamatan

Gianyar beragam. Jenis pekerjaan masyarakat ada yang sebagai nelayan, petani,

pedagang, pegawai negeri dan pengusaha. Nelayan, petani dan pegawai negeri

merupakan pekerjaan yang tergolong pekerjaan tetap. Sedangkan berdagang

merupakan pekerjaan sampingan yang banyak dilakukan oleh masyarakat.

4.3.2.3 Kepemilikan Modal Fisik

Kondisi akses jalan dan informasi di daerah penelitian sangat baik. Daerah

penelitian merupakan daerah yang dilintasi Jalan Baypass Ida Bagus Mantra.

Kitannya dengan kebencanaan, akses jalan dan informasi merupakan jalur evakuasi

yang mendasar. Semakin banyak dan berkualitas akses jalan, maka semakin mudah

dalam melakukan evakuasi, sehingga kapasitas adaptasi semakin tinggi. Semakin

dekat akses informasi dengan masyarakat maka semakin tinggi pula kapasitas

adaptasi masyarakatnya. Akses informasi biasanya dibutuhkan untuk membangun


123

kesiapsiagaan, kapasitas dan mitigasi non-struktural melalui siaran-siaran

pengetahuan terhadap bencana.

4.3.2.4 Kepemilikan Modal Manusia

Masyarakat pesisir sebenarnya telah mengetahui abrasi merupakan salah

satu ancaman bencana. Sikap masyarakat cendrung mengkhawatiri fenomena ini

dikarenakan dapat mengganggu ketenangan kehidupan masyarakat. Apalagi

berdasarkan hasil penelitian dilihat dari persentase penduduk rentan dalam keluarga

hampir setengah dari keseluruhan anggota keluarga. Walaupun tidak ada yang

mengidap gangguan jiwa dan penyakit kronis, keadaan komposisi jenis kelamin dan

umur tersebut cendrung merugikan jika suatu saat nanti terjadi bencana.

4.3.2.5 Kepemilikan Modal Sosial

Pantai dan sempadannya sejauh 100 m merupakan lahan yang tidak boleh

dibangun. Namun, di daerah penelitian malah dapat ditemukan adanya akomodasi

pariwisata berupa penginapan dan warung-warung yang menyuguhkan kuliner

pesisir berjejer dengan permanen. Selain itu, ditemukan pula kolam renang umum

yang disewakan sebagai bagian dari layanan pariwisata pesisir yang hampir

berinteraksi langsung dengan ombak. Namun walaupun demikin, dilihat dari telah

dibangunnya talud oleh pemerintah kondisi dampak abrasi saat ini masih bisa

diminimalisir.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Gianyar memiliki

layanan yang ditempatkan di pantai yaitu Balawisata. Adanya layanan ini dapat

menjamin keamanan dan kenyamanan wisatawan lokal, nelayan, maupun


124

masyarakat yang beraktivitas di pantai dan berhubungan dengan laut. Layanan ini

menjadi salah satu pelindung masyarakat dan sumber informasi yang tepat untuk

mengkampanyekan informasi kesiapsiagaan melihat belum pernah diadakan

sosialisasi kebencanaan di daerah penelitian.

Indeks Kapasitas Adaptasi


Tingkat Kapasitas Adaptasi
Tinggi Sedang Rendah
Rendah

Tingkat Ancaman Abrasi Sedang

Tinggi

Gambar 4.33 Matriks Kapasitas Adaptasi Masyarakat Pesisir dalam


Menghadapi Ancaman Abrasi di Kecamatan Gianyar
(Sumber: Analisis Data, 2016)

Keterangan: = rendah = sedang = tinggi

Berdasarkan perhitungan statistik, Gambar 4.33 merupakakan hasil akhir

penelitian. Tingkat ancaman abrasi di Pesisir Kecamatan yang tergolong sedang

merupakan ancaman alami yang terus menerus menerpa pantai. Ancaman tersebut

dalam kondisi tertentu tidak bisa digeneralisasi dikarenakan indikator-indikator

penentu abrasi dapat sewaktu-waktu menunjukkan anomali. Anomali ini terutama

pada indikator tinggi gelombang yang dibangkitkan oleh angin. Ombak besar

biasanya dirasakan oleh masyarakat ketika musim pancaroba secara tidak terduga.

Maka dari itu, ancaman abrasi ini tentunya dapat mengganggu keselamatan jiwa,

harta benda dan psikis masyarakat. Gelombang tinggi pula perlu diwaspadai oleh
125

nelayan yang ingin menangkap ikan. Gelombang tinggi dapat menghempas perahu

nelayan ketika berada di laut maupun ketika ingin bersandar di pantai.

Guna menganalisis fenomena ancaman abrasi dan kapasitas adaptasi

masyarakat, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekologi dengan

fokus hubungan manusia dengan alam. Gambar 4.34 menunjukkan bahwa dari hasil

peneitian kapasitas adaptasi masyarakat pesisir dalam menghadapi ancaman

bencana abrasi di Desa Lebih dan Desa Tulikup tergolong sedang. Pesisir Desa

Lebih dan Tulikup sebagai bagian dari Pesisir Kecamatan Gianyar memiliki kondisi

ancaman abrasi tidak jauh berbeda. Hanya saja, permasalahan abrasi di Desa Lebih

sudah terasa diatasi karena telah dibangunnya talud penghalang gelombang.

Pembangunan talud di Desa Lebih sangat berpengarauh terutama bagi kegiatan dan

psikis masyarakat.

Fenomena telah dibangunnya talud di sebagian pesisir Kecamatan Gianyar

merupakan titik pertemuan hubungan antara fenomena abrasi dan kegiatan

masyarakat yang dapat dianalisis dengan pendekatan lingkungan. Setelah

dibangunnya talud di sepanjang Pantai Lebih mendorong dan menjamin masyarakat

untuk melakukan kegiatannya di pesisir. Hal tersebut dapat dilihat dari tata guna

lahan serta aktivitas masyarakat yang tentunya dilakukan dengan percaya diri di

daerah penelitian.

Tata guna lahan sebagai permukiman di pesisir Desa Lebih lebih besar

daripada di pesisir Desa Tulikup. Masyarakat terdorong untuk membangun

usahanya secara permanen tanpa takut digerus ombak seperti fenomena terdahulu.

Selain itu, lahan pertanian yang tepat berada kurang lebih 5 meter dari talud pula

terjamin keberlangsungannya. Petani tidak perlu khawatir terhadap ancaman abrasi


126

Selat Badung

Gambar 4.34 Peta Tingkat Kapasitas Adaptasi Masyarakat Pesisir dalam


Menghadapi Ancaman Abrasi di Kecamatan Gianyar
(Sumber: Analisis Data, 2016)
127

yang mengikis lahannya setiap saat. Masih nampaknya lahan pertanian yang

ditanami padi di pesisir Desa Lebih menunjukkan kepercayaan diri masyarakat

terhindar dari ancaman kerugian bencana abrasi. Dikarenakan lahan pertanian telah

terjamin oleh keberadaan talud, maka yang perlu diwaspadai oleh petani agar tidak

merugi adalah gelombang ekstrim dan pasang yang dapat terjadi sewaktu-waktu.

Namun walaupun demikian, tanggung jawab masyarakat dari keberadan talud saat

ini yang memerlukan perawatan dan peremajaan, adalah peran aktif masyarakat

yang memanfaatkannya untuk ikut menjaga. Maka dari itu dapat disimpulkan

dengan adanya talud, kegiatan masyarakat di pesisir Desa Lebih sebagai dusun

bahari, perdagangan dan pertanian lebih terjamin karena dampak abrasi sudah

dibendung dengan pembangunan talud tersebut.

Lain halnya dengan situasi di pesisir Desa Tulikup. Pantai yang belum

dibangun talud memperlihatkan kegiatan masyarakat yang relatif jauh dari pantai.

Walaupun wilayah ini cendrung memanfaatkan sumberdaya darat ketimbang laut,

namun tetap ada masyarakat yang berkecimpung di daerah pantai. Sepanjang garis

pantai ke bagian Utara sampai dengan Bypass Ida Bagus Mantra, tidak banyak

dijumpai bangunan fisik permanen seperti di pesisir Desa Lebih. Penggunaan lahan

pertanian pula terletak jauh dari pantai, berbeda dengan pertanian yang berada di

pesisir Pantai Lebih yang telah dibanguni talud.

Fenomena abrasi disadari oleh masyarakat Desa Tulikup khususnya Dusun

Siyut. Pembangunan warung di pinggir pantai yang semi-permanen dan jarak lahan

pertanian dari pantai merupakan hal yang menunjukkan langkah adaptasi

masyarakat dilihat dari adanya fenomena ancaman abrasi. Hampir sepanjang lahan

yang dekat dengan pantai merupakan lahan kosong, semak belukar yang lebat dan
128

semak rawa yang tidak bisa dimanfaatkan. Belum dibangunnya talud di Pesisir Desa

Tulikup kurang menarik kegiatan masyarakat di Pantai Siyut mengingat ancaman

abrasi yang belum diminimalisir dengan mitigasi struktural maupun vegetatif.

Maka dari pada itu, jika masyarakat memaksakan berkegiatan di pantai secara

permanen seperti berdagang dan bertani diperlukan kewaspadaan dan langkah-

langkah adaptasi untuk melindungi kegiatannya dari ancaman gerusan abrasi.

Perilaku-perilaku masyarakat yang dapat dilihat dari kegiatan berdagang

merupakan fokus tema analisis keterkaitan manusia dan lingkungannya. Hal

tersebut dilandasi oleh pemikiran bahwa munculnya perilaku manusia di

permukaan bumi disebabkan oleh langkah adaptasi dengan lingkunganna dan faktor

yang berasal dari dirinya. Penelitian ini mengukur hal-hal yang berkaitan dengan

persepsi, pendidikan, dan kemampuan yang merupakan internal factors. Kemudian

faktor lingkungan yang menjadi fokus dalam penelitian adalah fenomena ancaman

abrasi dengan segala faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kedua faktor tersebut

menjadi andil dalam membentuk perilaku masyarakat, sehingga dapat disimpulkan

perilaku subjek di daerah penelitian memiliki ciri khas tertentu yang sama secara

keruangan dilihat dari tingkat kapasitas adaptasinya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Jatmiko

(2014) dengan tajuk pola adaptasi masyarakat terhadap abrasi pantai di Yogyakarta.

Karya tulisnya dalam tesisnya menemukan bahwa alasan masyarakat tinggal di

kawasan pesisir yang rawan bencana karena adanya faktor ekonomi yaitu sebagai

sumber penghidupan dan tidak mempunyai harta dan materi lagi selain di daerah

tersebut. Strategi adaptasi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yaitu dari

dalam masyarakat dan eksternal dari luar masyarakat. Faktor internal tersebut
129

adalah motivasi, pengalaman dan pengetahuan/ pendidikan yang dimiliki oleh

masyarakat pesisir sedangkan faktor eksternal adalah informasi, norma sosial

budaya, kondisi lingkungan dan kelembagaan sosial yang dimiliki masyarakat

pesisir. Sikap waspada dan pendidikan kebencanaan sangat diperlukan sekali untuk

meningkatkan kemampuan adaptasi yang dimiliki oleh masyarakat dalam hal ini

masyarakat Pesisir Kecamatan Gianyar.


BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, adapun simpulan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Tingkat ancaman abrasi di Pesisir Kecamatan Gianyar tergolong ke dalam

kategori sedang. Jika dilihat secara keruangan, sebagai bagian dari Pesisir

Kecamatan Gianyar, maka tidak terdapat perbedaan tingkat ancaman abrasi

antara Pesisir Desa Lebih dengan Pesisir Desa Tulikup. Tingkat ancaman

abrasi di Pesisir Desa Lebih tergolong dalam kategori sedang dikarenakan

indeks ancaman abrasi rendah dan indeks penduduk terpapar tinggi.

Sedangkan tingkat ancaman abrasi di Pesisir Desa Tulikup tergolong dalam

kategori sedang dikarenakan indeks ancaman abrasi sedang dan indeks

penduduk terpapar sedang.

2. Kapasitas adaptasi masyarakat pesisir dalam menghadapi ancaman abrasi di

Kecamatan Gianyar tergolong ke dalam kategori sedang. Penduduk pesisir

Kecamatan Gianyar termasuk ke dalam penduduk yang cukup mapan dilihat

dari kepemilikan berbagai modal. Kemampuan kepemilikan usaha dagang

merupakan modal yang paling menonjol dimiliki masyarakat dalam

kaitannya dengan fenomena ancaman abrasi. Karakteristik adaptasi usaha

dagang dilihat dari struktur bangunan di Pesisir Desa Lebih berbeda dengan

di Pesisir Desa Tulikup. Pesisir Desa Lebih yang telah dibangun talud

130
131

menjadi lahan yang terminimalisir dari dampak ancaman langsung abrasi

yang tercermin oleh kenampakan struktur bangunan permanen di pesisir.

Sebaliknya Pesisir Desa Tulikup yang belum dibangun talud, struktur

bangunan dagang semi-permanen dan terletak cukup jauh dari pantai.

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat dipetik dari tersusunnya penelitian ini ditujukan

kepada:

1. Bagi masyarakat pesisir Kecamatan Gianyar agar mampu meningkatkan

wawasan terkait kebencanaan dan komunikasi dengan pihak Balawisata jika

melakukan kegiatan di pesisir, sehingga jika terjadi hal yang tidak

diinginkan di pesisir penanganan dapat dilakukan dengan benar, tenang dan

bertanggung jawab. Wawasan mengenai kebencanaan merupakan salah satu

upaya meningkatkan kapasitas adaptasi dalam menghadapi ancaman abrasi.

Ancaman abrasi dilihat dari indikator tinggi gelombang sewaktu-waktu

dapat mengancam kegiatan dan penghidupan pesisir. Ancaman tersebut

memerlukan kesiapsiagaan masyarakat setiap saat.

2. Bagi pemerintah khususnya Badan Penanggulangan Bencana Daerah

Kabupaten Gianyar hendaknya mengusahakan mitigasi ancaman abrasi di

Peisisir Kecamatan Gianyar secara struktural dan non-struktural. Sosialisasi

terkait kebencanaan dan dana tak terduga merupakan langkah yang tepat

dilakukan. Pembangunan talud diperlukan di Pesisir Desa Tulikup sebagai

langkah mitigasi struktural yang merupakan pekerjaan rumah pemerintah

saat ini.
DAFTAR PUSTAKA

Atmaja, Dewa Made. 2004. Oceanografi. Modul (tidak diterbitkan). Singaraja:


IKIP Negeri Singaraja.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2011. Indeks Rawan Bencana


Indonesia. Jakarta: BNPB.

Duxbury, Alison B. 2002. Fundamentals of Oceanography. Boston: Mc Graw Hill.

Gabler, Robert E. 2007. Essentials of Physical Geography. United State. Thomson


Brooks Cole.

Gianyar Kab. 2011. “BPBD Gianyar Resmi Tempati Kantor Baru”. Tersedia pada
http://www.gianyarkab.go.id/index.php/baca-berita/2737/BPBD-
Gianyar-Resmi-Tempati-Kantor-Baru (diakses pada: 26 Februari 2016).

Hakam, Istijono, Ismail, Zaidir, Fausan, Dalrino, Revalin. 2013. “Penanganan


Abrasi Pantai di Indonesia”. Prosiding Seminar Nasional Riset
Kebencanaan. Pusat Studi Bencana Universitas Andalas: Padang (tidak
diterbitkan).

Hidayati, Deny. 2012. “Coping Strategy pada Kondisi Darurat Bencana:


Pembelajaran dari Masyarakat Bantul Menghadapi Gempa”. Jurnal
Kependudukan Indonesia. Vol. VII (1), (hlm. 83—102).

Hutabarat, Sahala. 1985. Pengantar Oseanografi. Jakarta: Universitas Indonesia


Press.

Ilmi, Endang. 2012. “Analisis Potensi Bencana Abrasi dan Tsunami di Pesisir
Cilacap”. Jurnal Penanggulangan Bencana. Vol. III (1), (hlm. 35—42).

Ivanoviq A. 2011. “Analisa Karakteristik Perubahan Garis Pantai Lebih Kabupaten


Gianyar dan Kondisi Lingkungan Sekitar dengan Empirical Orthogonal
Function (EOF)”. Skripsi. (tidak diterbitkan). Teknik Kelautan ITS.

ISDR. 2004. Risk Living with Risk a Global Review of Disaster Reduction
Initiatives. United Nations. Vol 1.

Jatmiko, Datu. 2014. “Pola Adaptasi Masyarakat terhadap Abrasi Pantai: Studi di
Kawasan Pesisir Samas Bantul Yogyakarta”. Tesis (tidak diterbitkan).
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.
Kennish, Michael J. 2000. Marine Science. New Jersey: CRC Press.

Mantra, Ida Bagoes. 2003. Demografi Umum. Yogyakarta: Pusat Belajar.

Marsell, Romi. 2013. “Zonasi Daerah Rawan Gempabumi di Kecamatan Pundong,


Bantul Berdasarkan Pendekatan Geomorfologi”. Majalah Geografi
Indonesia. Yogyakarta: Vol 21 No 1, (hlm. 11—25).

Maryadie, Fransiska. 2010. “Pantai Lebih Terus Berkurang”. Tersedia pada


http://ceritaanda.viva.co.id/news/read/146189-pantai-lebih-yang-terus-
berkurang (diakses pada: 26 Februari 2016).

Muta’Ali, Lutfi. 2015. Perencanaan Pengembangan Wilayah Berbasis


Pengurangan Risiko Bencana. Yogyakarta: BPFG.

Noor, Djauhari. 2011. Geologi untuk Perencanaan. Bogor: Graha Ilmu.

Nurjanah, Sugiharto, Kuswanda, Siswanto, dan Adikoesoemo. 2011. Manajemen


Bencana. Bandung: Alfabeta.

Odum, Eugene P. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta. Gadjah Mada


University Press.

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012


Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. 2012. Jakarta:
BNPB.

Pollard A H, Yusuf Farhat, Pollard G N. 1984. Teknik Demografi. Jakarta: PT.


BINA AKSARA.

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. 2011.


Bandung: Alfabeta.

UNDP. 2005. Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005-2015. Hyogo Japan: International
Strategy for Disaster Reduction.

Wesnawa, I Gede Astra dan Christiawan, Indra. 2014. Geografi Bencana.


Yogyakarta: Graha Ilmu.

Yasada. 2008. “Abrasi Pantai Lebih Gianyar Terparah”. Tersedia pada


http://beritabali.com/read/2008/07/02/200807020006/Abrasi-Pantai-
Lebih-Gianyar-Terparah.html (diakses pada: 26 Februari 2016).
KUESIONER PENELITIAN
KAPASITAS ADAPTASI MASYARAKAT PESISIR

Pengantar
Penelitian ini merupakan salah satu syarat di dalam menempuh program Sarjana
pada Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas
Pendidikan Ganesha Singaraja. Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini peneliti
mengharapkan bantuan Bapak/Saudari/Saudara untuk berkenan membantu dengan
memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan dalam kuesioner ini.
Penelitian ini semata-mata dilaksanakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak
ada maksud lain kecuali untuk tujuan penelitian. Maka dari itu, peneliti sangat
mengharapkan kesediaan Bapak/Saudari/Saudara untuk sejujurnya memberikan fakta,
jawaban, komentar, dan informasi. Kesesuaian informasi jawaban dengan kondisi yang ada
akan sangat membantu meningkatkan kualitas data yang dikumpulkan dalam penelitian ini.
Semua jawaban yang diberikan, peneliti sangat menjaga KERAHASIAAN semua jawaban
dari Bapak/Saudari/Saudara, dan apabila dikemudian hari kerahasiaan tersebut terbongkar,
peneliti akan mempertanggung-jawabkan semuanya.
Guna memperoleh informasi yang dibutuhkan, peneliti dalam hal ini terlibat secara
langsung dengan bantuan dari pahak terkait dalam melakukan pengumpulan data yang
tersebar di lokasi penelitian Kecamatan Gianyar. Atas bantuan Bapak/Ibu/Saudara bersama
ini peneliti menghaturkan ucapan terima kasih.

Penanggung jawab
Mahasiswa Program Sarjana

I Wayan Sumartika
NIM. 1314031004

Alamat : Br. Dauh Labak, Desa Singakerta, Ubud, Gianyar


Hp/email : 089686126678/sumartikaiwayan@gmail.com
Lampiran Kuesioner Penelitian

1. Nomor responden : ……………………………………………………………

2. Nama : ……………………………………………………………

3. Umur : ……………………………………………………………

4. Agama : ……………………………………………………………

Petunjuk: Berikan tanda (X) pada pilihan yang menurut


Bapak/Ibu/Saudara/I sesuai dengan keadaan yang dirasakan.

1. Bapak/Ibu menempati tempat tinggal di atas o Tidak punya


tanah milik… 8. Berapa jumlah kendaraan bermotor di keluarga
o Warisan (pribadi) yang Bapak/Ibu kepalai?
o Saudara o >4
o Menyewa o 1-3
2. Selain lahan rumah yang Bapak/Ibu tempati, o 0
lahan apa yang Bapak/Ibu miliki? 9. Jika dalam keadaan keuangan yang terdesak, apa
o Sawah yang mungkin Bapa/Ibu jual atau gadaikan?
o Tegalan o Perhiasan emas
o Tidak ada o Alat elektronik
3. Jika Bapak/Ibu memiliki kesulitan dalam hal o Tidak ada
keuangan, akses pinjaman mana yang Bapak/Ibu 10. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana kondisi
pilih? jalan/akses di lingkungan Bapak/Ibu?
o Bank o Memadai
o LPD o Kurang Memadai
o Perorangan (saudara/rentenir) o Tidak Memadai
4. Selain pekerjaan tetap yang Bapak/Ibu miliki, 11. Bagaimana Bapak/Ibu dan keluarga Bapak/Ibu
apakah pernah diselingi pekerjaan sampingan? mendapatkan berbagai informasi yang penting?
a. Selalu o TV dan Media Sosial
b. Jarang o Koran dan Media Baca
c. Tidak Pernah o Dari mulut ke mulut
5. Dari hasil Bapak/Ibu bekerja, berapa nominal 12. Berapa rata-rata umur bangunan di rumah
tabungan yang Bapak/Ibu miliki? Bapak?
o > 5 juta o < 5 tahun
o < 5 juta o 5 – 15 tahun
o Tidak sempat menyisihkan uang o > 15 tahun
6. Apakah saat ini, Bapak/Ibu memiliki piutang, 13. Bagaimana Bapak/Ibu ngobati kecelakaan kecil
berapa nominal piutang yang Bapak/Ibu miliki? yang menimpa anggota keluarga Bapak/Ibu?
o > Rp 100 juta o Menyediakan P3K/menggunakan tanaman
o < Rp 100 juta obat di sekitar rumah
o Rp 0 o Membeli obat
7. Selain pekerjaan rutin dan pekerjaan sampingan, o Membawa anggota keluarga ke Rumah
apakah Bapak/Ibu memiliki usaha? Sakit/Puskesmas
o Iya, usaha permanen 14. Menurut pengetahuan Bapak/Ibu, di bawah ini
o Usaha musiman yang termasuk bencana?
o Banjir, Gelombang Ekstim, dan Abrasi 23. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana dengan kegiatan
o Banjir, Tanah Longsor, Hujan Lebat masyarakat jika menambang pasir terhadap
o Tanah Longsor, Genangan Air, Derasnya adanya ancaman abrasi?
aliran sungai o Tidak setuju
15. Melihat berubahnya pantai akibat abrasi, o Setuju
bagaimana sikap Bapak? o Tidak tau
o Khawatir 24. Menurut Bapak/Ibu, apakah koperasi yang ada
o Prihatin di lingkungan Bapak/Ibu sudah berjalan dengan
o Tidak tau baik untuk kepentingan masyarakat?
16. Kemampuan berikut ini yang mana yang Bapak o Berjalan baik
kuasai? o Berjalan di tempat
o Berenang o Tidak berjalan
o Memanjat pohon 25. Seberapa banyak arisan yang Bapak/Ibu pernah
o Tidak ada ikuti?
17. Berapa jumlah anggota keluarga Bapak yang o >5
berjenis kelamin laki-laki? o 1-4
o >5 o Tidak pernah
o 3-4 26. Menurut Bapak/Ibu, setujukah jika dibuatkan
o <3 aturan mengenai larangan menambang batu
18. Bagaimana komposisi keluarga bapak? sikat di Pantai?
o Anggota keluarga rata-rata berusia di atas 14 o Sangat setuju
dan < 65 tahun o Kurang setuju
o Anggota keluarga rata-rata berusia di atas 65 o Tidak setuju
tahun 27. Menurut Bapak/Ibu, apakah pembangunan di
o Keluarga kebanyakan anak-anak dan lansia pinggir pantai saat ini sudah sesuai dengan
19. Apakah ada anggota keluarga Bapak yang aturan?
menderita gangguan kesehatan berikut? o Tidak tau
o Gangguan Jiwa dan Cacat o Tidak Setuju
o Penyakit kronis o Setuju
o Tidak ada 28. Dari keberadaan balawisata, jika Bapak/Ibu
20. Jenjang pendidikan yang Bapak tamatkan? pergi ke pantai, apakah Bapak/Ibu merasakan
o Sarjana keamanan dan kenyamanan?
o SMA o Sangat setuju
o SD dan/atau SMP o Setuju
21. Menurut Bapak/Ibu, langkah apa yang tepat o Tidak setuju
dilakukan untuk meminimalisir abrasi? 29. Jika ada wisatawan yang mengalami kecelakaan
o Membangun (talud) penahan gelombang ringan di pantai, bagaimana tindakan yang tepat
o Membangun akomodasi pariwisata menurut Bapak/Ibu?
o Meniadakan kegiatan masyarakat di pantai o Dirawat sementara di pos penjagaan
22. Menurut Bapak/Ibu, apakah di Pantai Lebih dan o Memberikan pertolongan pribadi
Tulikup cocok ditanami bakau (hutan o Membiarkan karena sudah ada keluarga
Mangrove)? 30. Dari mana Bapak/Ibu pernah mendengarkan
o Tidak cocok informasi kebencanaan?
o Cocok o Sosialisasi pemerintah
o Sangat cocok o Media sosial dan TV
o Tidak pernah

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai