Anda di halaman 1dari 19

Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

Review

ASPEK BIOLOGI, DINAMIKA POPULASI DAN TINGKAT


PEMANFAATAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) DI
PERAIRAN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN

Oleh: Tirtadanu dan Ali Suman


Volume.23 No 3. September 2017:205-214

Rajungan merupakan salah satu komoditas yang habitatnya di dasar perairan


yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Rajungan merupakan jenis kepiting (crab)
dari family Portunidae yang hidup diperairan dangkal berpasir di sekitar pantai dan
saat ini sebagian besar produksinya diperoleh dari hasil penangkapan di alam.
Rajungan telah diekspor ke berbagai Negara sehingganya permintaan pasar yang
meningkat menyebabkan upaya penangkapan rajungan semakin tinggi, sementara
hasil tangkapan perupaya yang diperoleh semakin menurun dan mengancam
kelestariannya, salah satu upaya yang perlu di lakukan yaitu dengan merancang upaya
pengelolaannya dengan kajian biologi, dinamika populasi dan tingkat pemanfaatan.
Kajian terkini terkait biologi dan dinamika populasi rajungan di perairan Kotabaru
merupakan kajian yang penting dilakukan sebagai informasi dasar untuk menjaga
keberlanjutan sumber daya rajungan di perairan Kotabaru

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek biologi, dinamika populasi dan
tingkat pemanfaatan sumberdaya rajungan di perairan Kotabaru.

Metode
Penelitian dilakukan pada Januari – November 2016 di daerah pendaratan
rajungan di sekitar Pulau Laut Utara, Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

Pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu menggunakan


metode random sampling. Pengukuran sampel meliputi lebar karapas (CW), berat,
jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad Pengukuran lebar karapas dan
pengamatan jenis kelamin dilakukan pada 2.011 sampel rajungan yang terdiri dari
1.266 rajungan jantan dan 745 rajungan betina. Pengukuran berat dilakukan pada
1.407 sampel rajungan dan pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan pada
744 sampel rajungan betina.

Analisis Data:

1. Aspek Biologi

Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) dengan cara membandingkan


jumlah rajungan jantan dan betina yang dilakukan melalui pengamatan terhadap
gonad rajungan meliputi bentuk, warna dan perkembangan gonad. Penentuan
kematangan gonad betina rajungan diidentifikasi secara morfologis, dengan
mengamati warna bentuk dan sebarannya. Tingkat kematangan gonad tersebut
dikategorikan dalam lima tingkatan yaitu sebagai berikut:

1) Belum terlihat tanda-tanda secara makroskopis dari gonad


2) Gonad immature (belum matang), putih atau tembus cahaya dengan
diameter telur mencapai 0,14 mm
3) Gonad maturing, gonad berwarna kuning/orange muda, tidak
menyebar dalam area hati dengan diameter telur berukuran 0,15 – 0,21
mm.
4) Gonad Mature, gonad berwarna oranye terang, tersebar hingga area
hati dengan diameter telur berukuran 0,22-0,40 mm.
5) Ovigerous, rajungan betina membawa telur yang sudah dibuahi di
bagian pleopod.
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad rajungan (Lm) diperoleh


berdasarkan fungsi logistic dengan memasukan PCLm dan panjang karapas dengan
oersamaan sebagai berikut:

1
PCLm=
1=exp (aCL+ b)

2. Pertumbuhan Panjang Berat

W =a Lb

Keterangan:

W : Bobot individu rajungan (gram)


L : Lebar Karapas Rajungan (mm)
a dan b : Konstanta hasil regresi

3. Tingkat Pemanfaatan Rajungan

Laju mortalitas meliputi mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F) dan
mortalitas total (Z). Nilai laju mortalitas total (Z) diduga dengan metode kurva
konversi hasil tangkapan dengan panjang (length converted catch curve) kematian
alamiah rajungan diduga dengan menggunakan rumus:

log M =−0,0066−0,27 log L+0,654 log K + 0,4534 log T

Keterangan:

M : Laju Kematian Alamiah


CW: Lebar Kerapas Maksimum (Mm)
K: Laju Pertumbuhan (Mm/Tahun)
T: Suhu (OC)
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

Laju mortalitas penangkapan dan laju eksploitasi diduga dengan persamaan.


Untuk nilai lahu kematian karena penangkapan dapat diperoleh dengan menggunakan
laju kematian total (Z) dengan laju kematian alamiah (M) atau

F=Z−M

dan laju eksploitasi (E) dihitung sebagai:

E=F/ Z

Hasil dan Pembahasan

Hubungan Panjang Berat

Kondisi tersebut menunjukkan pertambahan berat rajungan jantan lebih cepat


dibandingkan lebar karapasnya sedangkan pada rajungan betina, pertambahan lebar
karapas lebih cepat dibandingkan pertambahan beratnya.

Jenis Kelamin n r2 a b Pola Pertumbuhan


Jantan 981 0,84 0,00001 3,31 Allometrik positif
Betina 578 0,78 0,00001 2,86 Allometrik negatif
Nisbah kelamin rajungan yang tertangkap di perairan Kotabaru menunjukkan
kondisi tidak seimbang.

Ukuran Rata-rata Pertama Kali Matang Gonad (Lm)

Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad (Lm) rajungan dianalisis


berdasarkan fungsi logistik antara lebar karapas dengan proporsi rajungan matang
gonad. Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad rajungan betina di perairan
Kotabaru adalah 110,25 mm

Parameter Pertumbuhan

Pergeseran struktur ukuran lebar karapas rajungan di perairan Kotabaru pada


Januari dan November 2016menunjukkan persamaan Von Bertalanffy rajungan
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

jantan adalah Lt =179,2 (1-e(-1.36(t+0,134)) dan rajungan betina adalah Lt =183,6(1-e(-


1.11(t+0,1076)
). Persamaan tersebut menunjukkan lebar karapas asimptotik (CW)
rajungan jantan adalah 179,2 mmCW dengan laju pertumbuhan (K) adalah 1,36 per
tahun dan umur teoritis saat lebar karapas sebesar nol (t0 ) adalah -0,134 tahun. Lebar
karapas asimptotik (CW  ) rajungan betina adalah 183,6 mmCW dengan laju
pertumbuhan (K) adalah 1,11 per tahun dan umur teoritis saat lebar karapas sebesar
nol (t0 ) adalah - 0,1076 tahun.

Pembahasan

Berdasarkan hasil tersebut penelitian ini terdapat sekitar 2% kepiting rajungan


tertangkap pada ukuran di bawah ukuran minimum. Rentang ukuran kepiting
rajungan yang tertangkap di perairan Kotabaru tidak jauh berbeda dibandingkan
rajungan yang tertangkap di perairan Betahwalang Jepara tetapi lebih besar
dibandingkan yang tertangkap di perairan Lampung Timur. Ukuran rajungan yang
tertangkap di perairan Betahwalang adalah 74-181 mmCW dan di perairan Lampung
Timur adalah 98 – 166 mmCW.

Pola pertumbuhan rajungan jantan di daerah penelitian bersifat allometrik


positif, yang menunjukkan pertambahan berat rajungan jantan lebih cepat
dibandingkan lebar karapasnya. Rajungan betina bersifat allometrik negatif yang
berarti pertambahan berat rajungan betina lebih lambat dibandingkan lebar
karapasnya. Kondisi tersebut menunjukkan rajungan jantan memilki pertumbuhan
bobot yang lebih besar dibandingkan betina. Kondisi serupa ditemukan di pantai
Mandam, India dimana rajungan jantan memiliki pertambahan bobot yang lebih
tinggi dibandingkan betina. Rajungan jantan memiliki pertumbuhan bobot yang lebih
besar dibandingkan betina diduga disebabkan oleh ketersediaan makanan berupa
bentos yang lebih berlimpah di perairan yang dangkal di mana rajungan jantan
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

cenderung hidup di perairan yang dangkal sedangkan betina bermigrasi ke perairan


yang lebih dalam untuk memijah.

Ukuran pertama kali matang gonad rajungan di daerah penelitian sebesar


110,25 mmCW, tidak jauh berbeda dengan ukuran pertama kali matang gonad
rajungan di perairan Sulawesi Tenggara dan Lampung Timur yaitu sebesar 108,2 dan
113,5 mmCW Ukuran pertama kali matang gonad tersebut dapat digunakan sebagai
ukuran minimum rajungan yang boleh ditangkap agar penambahan baru rajungan
tidak terhambat. Ukuran minimum rajungan yang disarankan di perairan Australia
adalah 110 mm. Laju kematian total rajungan berasal dari laju kematian alami (M)
dan laju kematian karena penangkapan (F). Laju kematian alami (M) di daerah
penelitian tidak jauh berbeda dengan di beberapa perairan.

Kesimpulan

Pertumbuhan bobot rajungan jantan lebih tinggi dibandingkan betina diduga


disebabkan faktor migrasi rajungan betina menuju perairan yang lebih dalam di mana
ketersediaan makanan lebih kecil. Nisbah kelamin menunjukkan rajungan jantan
lebih dominan dibandingkan betina dengan perbandingan 1,7 : 1. Pengelolaan yang
disarankan untuk keberlanjutan sumberdaya rajungan di perairan Kotabaru adalah
dengan mengurangi upaya penangkapan sekitar 54% dari 4.190 unit armada jaring
rajungan yang beroperasi saat ini, ukuran minimum rajungan yang boleh tertangkap
untuk di perairan Kotabaru sebesar 110 mmCW sebagai masukan terhadap revisi. Hal
ini dilakukan agar kelestarian dari rajungan di perairan Kotabaru dapat dijaga dengan
baik agar pemanfaatan dapat berkelanjutan.

DINAMIKA POPULASI DAN TINGKAT PEMANFAATAN KEPITING


MERAH (Scylla olivacea) DI PERAIRAN MERAUKE DAN SEKITARNYA,
PAPUA
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

Oleh: Andina Ramadhani Putri Pane dan Reza Alnanda


Volume 25, No 1. Maret 2019

Komoditas hasil perikanan di Indonesia melimpah baik ikan, udang dan


krustasea lainnya seperti lobster, rajungan dan kepiting. Di Indonesia kepiting bakau
dominan masih diperoleh dari penangkapan di alam yaitu sebesar 61,1% dan sisanya
dari budidaya pembesaran dan penggemukan. Jenis kepiting Scylla olivacea yang
paling diminati dalam budidaya karena potensial dan mempunyai daya tahan tubuh
yang kuat. Penangkapan kepiting Merauke masih bersifat tradisional namun intensif
dilakukan karena meningkatnya jumlah permintaan pasar, Semakin meningkatnya
permintaan akan semakin meningkatkan upaya penangkapan di alam yang akan
memberikan pengaruh pada populasi kepiting. Populasi kepiting dapat menurun dan
mengalami kepunahan sehingga diperlukan upaya pengelolaan yang berkelanjutan
untuk menjaga kelestarian sumberdaya kepiting bakau di perairan Merauke.
Perhitungan dinamika populasi menjadi dasar untuk pengelolaan perikanan secara
efektif. Pengelolaan yang baik diperlukan untuk manjamin manfaat jangka panjang
yang hasil kajian ilmiah seperti dinamika populasi dan tingkat pemanfaatan.

Tujuannya untuk mengetahui dinamika populasi dan tingkat pemanfaatan


kepiting merah di Merauke dan sekitarnya.

Metode

Penelitian dilakukan di perairan Merauke dan sekitarnya (Gambar 1) selama 2


(dua) tahun yaitu Februari hingga Desember 2017 dan Maret hingga Desember 2018
dengan metode survey.

Kegiatan pengumpulan data dilakukan secara bulanan pada tempat pengumpul


kepiting dengan bantuan enumerator. Pengukuran sampel dilakukan pada 4.012 ekor
tahun 2017 dan 3.309 ekor tahun 2018. Kegiatan pengukuran lebar karapas kepiting
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

dilakukan dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram dan
jangka sorong (kalifer) dengan ketelitian 0,01 mm. Aspek biologi kepiting bakau
yang diamati adalah lebar karapas, bobot dan rasio kelamin yang akan digunakan
untuk menetukan beberapa parameter dinamika populasi. Data produksi kepiting
diperoleh dari pendataan di pengumpul yaitu jumlah total produksi yang didaratkan
setiap bulannya untuk dapat memperkirakan musim penangkapan kepiting.

Analisis Data:

1. Pertumbuhan Panjang Berat

W =a Lb

Keterangan:

W : Bobot individu rajungan (gram)


L : Lebar Karapas Rajungan (mm)
a dan b : Konstanta hasil regresi
Struktur ukuran kepiting yang diperoleh secara bulanan ditabulasi dan
dianalisis sebagai ukuran pertama kali tertangkap (width at first capture, CWc).
Selanjutnya dibentuk grafik hubungan antara distribusi kelas lebar karapas (sumbu x)
dengan persentase kumulatif jumlah kepiting (sumbu y), sehingga terbentuk kurva
berbentuk S (sigmoid).

2. Tingkat Pemanfaatan Rajungan

Pendugaan kematian alamiah kepiting dilakukan sebagai berikut:

log M =−0,152−0,27 log L+0,6543 log K +0,4534 log T

Keterangan:

M : Laju Kematian Alamiah


Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

CW: Lebar Kerapas Maksimum (Mm)


K: Laju Pertumbuhan (Mm/Tahun)
T: Suhu (OC)
Laju mortalitas penangkapan dan laju eksploitasi diduga dengan persamaan.
Untuk nilai lahu kematian karena penangkapan dapat diperoleh dengan menggunakan
laju kematian total (Z) dengan laju kematian alamiah (M) atau

F=Z−M

dan laju eksploitasi (E) dihitung sebagai:

E=F/ Z

Hasil dan Pembahasan

Hubungan Lebar Karapas dan Bobot Tubuh, Nisbah Kelamin serta Rata-rata
Ukuran Pertama Kali Tertangkap

Hubungan lebar karapas dengan bobot tubuh kepiting merah di perairan


menunjukkan pola pertumbuhan kepiting jantan dan betina bersifat allometrik negatif
yang diindikasikan oleh nilai b kurang dari 3, kecuali pada kepiting betina tahun 2018
yang bersifat allometrik positif b lebih dari 3

Pola sebaran ukuran kepiting betina dan jantan pada 2017 dan 2018 cenderung
sama yaitu 80 – 165 mm dan dan 70 – 160 mm (2018) Kurang dari 1 % betina dan
jantan yang ditemukan berukuran < 145 mm. Perbandingan struktur ukuran
berdasarkan penelitian di berbagai perairan terlihat kepiting merah di Merauke
berukuran lebih besar daripada diperairan lainnya.

Pola pertumbuhan kepiting merah yang bersifat allometrik negatif


menunjukan bahwa pertumbuhan lebar tubuh lebih cepat dibanding pertumbuhan
bobotnya. Pada kepiting betina ada yang bersifat allometrik positif yang artinya
pertambahan bobotnya lebih lambat daripada pertambahan lebar karapas. Perbedaan
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

sifat pertumbuhan tersebut dapat terjadi karena makanan dan dikarenakan kepiting
betina membawa gonad dalam tubuhnya. Makanan kepiting merah Scylla olivacea di
perairan India yang dominan adalah krustasea dan moluska baik kepiting jantan
maupun betina.

Nilai lebar karapas maksimum (CW  ) kepiting merah mengalami penurunan


dari 171,75 mm (2017) menjadi 162,65 mm (2018). Penyebab nilai koefisen
pertumbuhan (K) dan nilai lebar karapas maksimun (CW  ) disebabkan oleh adanya
perbedaan kelimpahan makanan, kondisi lingkungan serta struktur ukuran kepiting
yang dianalisis. Populasi kepiting juga dipengaruhi faktor fisika dan kimia
lingkungan habitat hidupnya. Suhu, salinitas dan tingkat keasaman (pH) memberikan
pengaruh bagi kelangsungan hidup kepiting Kepiting merah di Merauke dapat
berkembang dengan baik karena suhu perairan nya adalah 26 – 320 C, salinitasnya 17
– 22 promil dan tingkat keasaman (pH) 7,6 –8,9.

Kesimpulan

Struktur ukuran kepiting merah (Scylla olivacea) dari tahun 2017 sampai dengan
tahun 2018 adalah 70 – 165 mm dengan pola pertumbuhan dominan allometrik
negatif. Ukuran rata-rata pertama kali tertangkap (CWc) semakin meningkat. Tingkat
pemanfaatan sumber daya kepiting sudah berada pada tahapan tangkapan yang
berlebih (overfishing) terkait dengan penangkapan yang tradisional namun intensif.
Untuk menjamin kelestarian sumber daya kepiting di perairan Merauke dan
sekitarnya, perlu dilakukan pengurangan upaya penangkapan sebesar 36 % dan
perbaikan ekosistem mangrove di Merauke yang semakin menurun jumlah dan
kualitasnya. Pengurangan upaya penangkapan dan perbaikan ekosistem mangrove
memerlukan pihak selain masyarakat yaitu Pemerintah Daerah dan pihak swasta.
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

DINAMIKAPOPULASI DAN TINGKAT PEMANFAATAN KEPITING


BAKAU (Sylla serrata FORSKAL, 1775) DI PERAIRAN KEPULAUANARU,
MALUKU.

Oleh: Andina Ramadhani Putri Pane dan Ali Suman


Volume 11 No 3. Desember 2019

Kepiting merupakan salah satu komoditas penting dalam perikanan krustasea


di Indonesia dan sebagai salah satu andalan dalam perdagangan perikanan selain ikan,
udang, lobster dan rajungan. Secara biologis, kepiting mempunyai ketahan hidup
lama bahkan dapat diperjualbelikan dalam kondisi hidup ke berbagai daerah dan luar
negeri. Kepiting menjadi memiliki rasa daging yang gurih, banyak mengandung gizi
serta berharga jual tinggi dalam kondisi hidup.

Salah satu wilayah di Indonesia bagian timur yang banyak menghasilkan


kepiting bakau adalah Propinsi Maluku dengan luasan hutan mangrove mencapai
100.000 Ha Propinsi Maluku secara geografis berbatasan dengan perairan Arafura di
sebelah selatan, Laut Seram di sebelah utara, Pulau Papua di sebelah timur dan Pulau
Sulawesi di sebelah barat. Luas perairan lebih dari 90 % dibanding daratan yang
terdiri dari berbagai gugusan kepulauan yang salah satunya adalah Kepulauan Aru.
Penurunan produksi udang dan ikan menyebabkan nelayan lebih intensif dalam
penangkapan kepiting yang awalnya menggunakan alat bubu dan gancu, emudian
beralih menggunakan jaring insang. Penangkapan yang intensif dan menerus
menyebabkan penurunan populasi dan produksi kepiting.

Evaluasi stok memerlukan hasil kajian tentang pertumbuhan, tingkat kematian


alamiah dan kematian akibat penangkapan sehingga diperoleh gambaran tentang
pemanfaatan kepiting di perairan ini. Tingkat pemanfaatan ini diperlukan untuk
menghindari terjadinya overfishing akibat dari penangkapan yang tidak terkendali.
Potensi yang telah dimanfaatkan tersebut dapat menjadi acuan dalam
memperhitungkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan agar penangkapan kepiting
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

bakau dapat lestari dan berkelanjutan. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi
bahan referensi dalam perhitungan pengkajian stok sumberdaya kepiting (Scylla
serrata) dan upaya dalam pengelolaannya khususnya di Kepulauan Aru

Metode

Penelitian kepiting bakau (Scylla serrata) dilakukan selama bulan Maret -


Desember 2017 dan 2018.

Pengumpulan data biologi dan perikanan secara bulanan dilakukan di


beberapa tempat pendaratan utama dan pengumpul kepiting dengan bantuan
enumerator lapangan.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah uji statistika One-Way


Anova untuk mengetahui perbedaan struktur ukuran kepiting jantan dan betina.
Hubungan lebar karapas dengan bobot tubuh mengacu pada persamaan. Data tabulasi
struktur ukuran kepiting yang diperoleh secara bulanan dianalisis sebagai ukuran
lebar karapas pertama kali tertangkap (width at first capture, CWc ). Penyajian grafik
hubungan antara distribusi kelas lebar karapas (sumbu x) dengan persentase
kumulatif jumlah kepiting (sumbu y) dibentuk menjadi kurva berbentuk S (sigmoid)
dan nilai titik potong kurva 50 % dinyatakan sebagai nilai CW.

Nilai koefisen pertumbuhan (K) menunjukkan tingkat waktu yang diperlukan


individu untuk mencapai panjang asimtotik, dianalisis dengan program FiSAT (FAO
ICLARM Stock Assessement Tools), Kematian alamiah (M) dianalisis dengan
menggunakan rumus empiris, Kematian alamiah (M) dianalisis dengan menggunakan
rumus empiris, sedangkan nilai kematian karena penangkapan (F) diperoleh dengan
cara mengurangi laju kematian total (Z) dengan laju kematian alamiah (M).
Selanjutnya tingkat pemanfaatan kepiting diketahui dengan membandingkan nilai
kematian karena penangkapan dengan nilai kematian total.

Hasil dan Pembahasan


Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

Hasil pengamatan kepiting bakau menunjukkan sebaran lebar karapas relatif


sama baik jantan dan betina yaitu pada kisaran antara 100 – 200 mm. Berdasarkan
analisis One-Way-Anova diperoleh struktur ukuran kepiting jantan pada tahun 2017
dan 2018 tidak memiliki perbedaan rata-rata yang signifikan pada taraf nyata 95%.
Namun perbedaan struktur ukuran kepiting betina 2017 dan 2018 mempunyai
perbedaan rata-rata. Kepiting betina yang diperoleh pada tahun 2017 berukuran lebih
kecil dibanding tahun 2018.

Hubungan Lebar Karapas dan Bobot Tubuh, Nisbah Kelamin, Rata-rata


Ukuran Pertama Kali Tertangkap

Analisis hubungan lebar karapas dengan bobot tubuh kepiting bakau diperoleh
pola pertumbuhan kepiting jantan dan betina bersifat allometrik negatif yang
diindikasikan oleh nilai b <3. Berdasarkan analisis struktur ukuran sampel yang
diperoleh, maka lebar karapas pertama kali tertangkap kepiting bakau pada ukuran
148,6 mm.

Sebaran lebar karapas kepiting bakau seimbang antara tahun 2017 dan 2018,
ukuran dominan ditemukan berada dibawah 150 mm yaitu sebanyak 58 %. Hasil ini
menunjukkan kepiting di perairan Aru ukurannya lebih besar dibandingkan dengan
kepiting di beberapa perairan lain Perbedaan ukuran lebar karapas kepiting
dipengaruhi oleh habitat hidup dan jumlah makanan yang tersedia di lingkungannya.
Perbedaan ukuran ini juga dipengaruhi oleh lokasi penangkapan dan waktu
penangkapannya.
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

Lingkungan habitat hidup juga dipengaruhi oleh suhu dan salinitas dapat
mendukung berkembangnya kepiting dengan baik. Suhu yang sesuai untuk kepiting
bakau Scylla serrata adalah 25 – 350 C. dan salinitas 15-25 ppt atau hingga 28 ppt.
Pola pertumbuhan kepiting bakau di Kepulauan Aru bersifat allometrik negatif,
menunjukan bahwa pertambahan lebar karapas lebih cepat dibanding bobotnya.
Pengamatan di Sukolilo menunjukkan pola pertumbuhan isometric.

Analisis tingkat pemanfaatan kepiting bakau masih dibawah 0,5 yaitu E =


0,48 yang menunjukkan kondisi moderat. Pemanfatan kepiting bakau sudah mencapai
96 % artinya harus dilakukan upaya menjaga kondisi tersebut agar populasi tetap
lestari. Upaya yang dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada
masyarakat bahwa kepiting bakau harus diberikan kesempatan untuk berkembang
serta ukuran kepiting yang layak ditangkap. Peningkatan pemahaman masyarakat
merupakan salah satu alternatif untuk pengelolaan perikanan kepiting disamping
upaya penegakan hukum dan penguatan lembaga karantina ikan.

Upaya menjaga populasi kepiting juga harus diikuti dengan menjaga


lingkungan habitat kepiting yaitu hutan mangrove. Karena penurunan luasan hutan
mangrove memberikan dampak pada populasi kepiting. Kepiting dapat hidup dengan
baik jika mangrove sebagai habitat hidupnya dalam kondisi baik dan menyediakan
bahan organik sebagai makanannnya. Pengelolaan kepiting bakau harus dilakukan
secara sinergi mulai dari menangkap kepiting dengan ukuran karapas minimal 150
mm, tidak menangkap kepiting betina bertelur serta mengedukasi nelayan sekitar
hutan mangrove untuk menjaga habitat hutan. Namun, upaya tersebut tidak bisa
dilakukan hanya pada nelayan karena nelayan terus melakukan penangkapan jika
permintaan kepiting tinggi.

Kesimpulan

Pola pertumbuhan bersifat allometrik negatif dan kepiting jantan lebih banyak
dari pada kepiting betina. Ukuran ratarata lebar karapas pertama kali tertangkap
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

(CWc) sebesar 148,6 mm dengan tingkat kematian akibat penangkapan (F=0,78)


lebih rendah dibandingkan tingkat kematian alamiah (M=0,84). Tingkat pemanfaatan
sumber daya kepiting sudah berada pada tahapan moderat (E = 0,48).

DINAMIKA POPULASI DAN CIRI REPRODUKSI RAJUNGAN Porcellana


sayana IMPLIKASI UNTUK PENGELOLAAN PERIKANAN DAN
BUDIDAYA
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

Oleh: J. Antonio Baeza, Michele Furlan, Ariádine C. Almeida, Samara de Paiva


Barros-Alves, Douglas FR Alves, Vivian Fransozo.
Volume : 1 : 1-12, 2013

Perikanan hias adalah industri bernilai jutaan dolar yang mendukung nelayan
di negara-negara dengan ekonomi berkembang dan maju dan menyediakan aquarists
dari seluruh dunia dengan pilihan > 1400 spesies ikan laut dan air tawar, invertebrata,
tumbuhan, dan alga. Meskipun banyak, perikanan hias sering beroperasi tanpa
disadari, kurang mendapat perhatian, dan pengelolaannya seringkali didasarkan pada
kehidupan yang terbatas. Industri umumnya bergantung pada pemanenan organisme
dari lingkungan alam. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengembangkan dasar
informasi biologis untuk mengelola spesies hias secara berkelanjutan.

Studi tentang dinamika populasi serta sifat reproduksi tingkat populasi dan
individu masih kurang pada spesies ini. Misalnya, tidak ada yang diketahui tentang
pertumbuhan, perekrutan, ukuran saat kematangan seksual pertama, rasio jenis
kelamin, dan musim reproduksi kepiting porselen ini, meskipun informasi riwayat
hidup semacam ini paling penting untuk mengelola perikanan hias dengan tujuan
keberlanjutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui biologi reproduksi
rajungan Porcellana sayana. dinamika populasi, pertumbuhan, intensitas perekrutan,
ukuran saat kematangan gonad pertama, rasio jenis kelamin, dan musim reproduksi
spesies ini di Ubatuba, pantai tenggara Brasil.

Metode.

Penelitian ini dilakukan di wilayah ubatuba pantai utara Negara Bagian Sao
Paulo Brasil.
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

Pengambilan sampel dilakukan dengan kapal penangkapan ikan menggunakan


2 jaring ring (diameter 15 dan 10 mm di badan dan ujung ikan cod) yang dipasang
pada kedalaman yang berfariasi antara 5 dan 17 m di setiap teluk. Setiap pukat 6-7
perbulan dan teluk, masing-masing berlangsung selama 30 menit. Kepiting porselen
biasanya ditemukan di dalam cangkang yang juga ditempati oleh kelomang.

Dinamika Populasi

Spesis Porcellana sayana, dikumpulkan bersama untuk analisis dinamika


populasi karena jumlah kepiting yang dikumpulkan di setiap teluk rendah, dan tidak
ada perbedaan besar dalam distribusi frekuensi ukuran P. sayana di antara lokalitas
yang dipelajari (minimum− maksimum, rata-rata ± SD CW; UBM: 2.14−11.7 mm,
5,4 ± 1,2 mm; UBA: 2,52−9,18 mm, 5,7 ± 1,3 mm; MV: 2,44−9,56 mm, 5,6 ± 1,2
mm). Distribusi frekuensi ukuran dibuat menggunakan interval 0,7 mm CW untuk
jantan dan betina untuk menganalisis dinamika populasi spesies ini. Kelompok modal
ditentukan secara terpisah untuk pria dan wanita menggunakan distribusi frekuensi
ukuran bulanan dengan perangkat lunak PeakFIT (PeakFIT v.4.06 SPSS for Window)

Selanjutnya, parameter pertumbuhan dipasang ke kumpulan data kami menggunakan


kurva pertumbuhan.

CWt = CW∞ [1 - e-K (t - t0)]

dimana CWt adalah rata-rata CW yang diperkirakan pada usia t (d); CW∞ adalah CW
maksimum asimtotik; K adalah pertumbuhan konstan mendefinisikan seberapa cepat
CW∞ tercapai, dan t0 adalah usia teoretis di mana kepiting akan mencapai nol CW.
Juga, kami menggunakan iterasi trial-and-error untuk memperkirakan kawinkan nilai
untuk K dan t0. Kurva pertumbuhan untuk pria dan wanita diperkirakan
menggunakan kohort (modal) perkembangan melalui waktu. Untuk memperkirakan
parameter pertumbuhan, semua kelompok dipasang ke model pertumbuhan von
Bertalanffy menggunakan prosedur pemasangan kuadrat terkecil otomatis (SOLVER,
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

perangkat lunak EXCEL). Terakhir, kurva pertumbuhan dibandingkan antara pria dan
wanita menggunakan F-tes

Hasil dan Pembahasan

Analisis perkembangan modal mendeteksi 5 kelompok pada lakilaki dan 6


kelompok pada perempuan. Untuk setiap jenis kelamin, parameter pertumbuhan yang
disesuaikan dengan data menggunakan persamaan von Bertalanffy untuk kelompok
yang berbeda ditunjukkan pada Tabel 2. Kurva pertumbuhan untuk pria dan wanita
dijelaskan dengan persamaan tions CWt = 9.42 [1 - e−0,0085 (t - 0,1972)] dan CWt =
8.35 [1 - e−0,0097 (t - 0,5411)] (Gambar 6), masing-masing. Menurut Untuk
persamaan ini, laki-laki mencapai ukuran asimtotik yang lebih besar daripada
perempuan (ukuran asimtotik perempuan 12,8% lebih kecil dari ukuran asimtotik
jantan) dan memiliki koefisien pertumbuhan yang lebih kecil. Meskipun demikian,
kurva pertumbuhan tidak berbeda secara signifikan antara keduanya laki-laki dan
perempuan dari Porcellana sayana (F.3,61 = 2,76, p = 0,0640). Juga, tidak signifikan
secara statistik Perbedaan terdeteksi antara rata-rata ukuran tubuh lakilaki dan
perempuan dalam populasi (rata-rata ± SD; lakilaki 5,54 ± 1,37; perempuan: 5,50 ±
1,16; t-uji: t1.1320 = 0,618, p = 0,54).

Di Porcellana sayana, rasio jenis kelamin yang sama diamati selama sebagian
besar masa penelitian, sesuai dengan yang dilaporkan untuk kepiting porselen lain
dari wilayah yang sama. Untuk spesies dengan jenis kelamin terpisah sepertiP.
sayana, alokasi jenis kelamin ituory memprediksi rasio jenis kelamin yang sama,
karena orang tua harus menghasilkan keturunan jantan dan betina dalam jumlah yang
sama karena seleksi yang bergantung pada frekuensi terhadap jenis kelamin yang
lebih umum dalam populasi.

kepiting ini merupakan calon yang baik untuk pembudidayaan laboratorium


intensif. Studi ini telah menghasilkan informasi tentang ukuran saat kematangan
pertama dan jadwal pertumbuhan untuk jantan dan betina yang akan membantu dalam
Nur Jihan Fareranty Piu_712520001

mengoptimalkan protokol pemeliharaan laboratorium. Namun, informasi lebih lanjut


tentang kesuburan, hasil reproduksi, dan kebutuhan larva dan makanan dewasa
diperlukan untuk meningkatkan produksi laboratorium.

Variabilitas temporal dalam ukuran saat kematangan pertama jarang diteliti


pada invertebrata laut Studi terbaru menunjukkan bahwa kematangan seksual dicapai
di awal kehidupan selama bulan-bulan hangat dibandingkan dengan bulan-bulan yang
lebih dingin dalam setahun di krustasea beriklim sedang dan subtropis lainnya.

Kesimpulan

Banyak parameter reproduksi yang dijelaskan di sini untukP. sayana mungkin tidak
lagi berlaku untuk populasi kontemporer dari spesies yang sama di Brasil dan wilayah
geografis lainnya (misalnya Florida, AS, Puerto Rico). Studi tambahan tentang
ekologi reproduksi P. sayana di wilayah geografis yang berbeda di seluruh Karibia
dan Atlantik barat dijamin, karena ini dapat membantu kita untuk memahami
pengaruh tekanan penangkapan ikan dalam sejarah kehidupan kepiting ini dan
invertebrata laut hias lainnya.

Anda mungkin juga menyukai