Arsitektur tradisional secara anatomi dapat dibedakan dalam 3 komponen utama yaitu atap,
dinding dan lantai (termasuk tiang panggung). Atap terdiri dari komponen utama penutup
atap, rangka atap dan ornamen. Dinding terdiri dari dinding masif dan dinding bukaan berupa
pintu atau jendela. Sedangkan kaki terdiri dari lantai, tiang, kolom dan pondasi (Prasetyo dan
Astuti, 2017).
1. Komponen atap
Atap rumah honai berbentuk bulat kerucut dengan lingkaran-lingkaran besar
dari kayu buah yang dibakar sebagai kerangka atapnya, yang kemudian diikat
menjadi satu di bagian atas (membentuk dome). Bertujuan menghangatan
ruangan di malam hari. Jerami cocok digunakan untuk daerah yang beriklim
dingin. Bentuk atap yang demikian mempunyai ekspresi tertutup dan dominan
dibanding komponen dinding dan lantai (Prasetyo dan Astuti, 2017).
Terdapat 4 pohon muda yang berfungsi sebagai kolom penyangga utama yang
diikat di atas dan vertikal ke bawah menancap ke dalam tanah. Pada lantai 1,
ruang yang terbentuk diantara 4 kolom ini difungsikan sebagai tempat
meletakkan perapian untuk menghangatkan honai (Widiati, 2016).
Atap rumah tradisional yang tidak mempunyai lubang bukaan atau celah,
adalah rumah yang terletak di iklim yang mempunyai suhu udara rendah. Hal
ini merupakan upaya mempertahankan suhu hangat di dalam ruang, agar tidak
mudah keluar melalui celah-celah atap (Widiati, 2016).
Gambar 2. Rumah honai
Sumber:kayanblog.files.wordpress.com
Atap yang curam karena faktor permeabilitas yang tinggi dari material
penutup atap yang digunakan, seperti ijuk, alang-alang, sirap, dan bambu.
Dengan kemiringan atap yang curam, maka volume ruang di bawahnya
menjadi besar dan air hujan dapat mengalir dengan cepat (Widiati, 2016)..
Bentuk rumah dengan atap menutup hingga ke bawah ini ternyata bertujuan
untuk melindungi seluruh permukaan dinding agar tidak terkena air hujan.
Sekaligus dapat meredam hawa dingin agar tidak masuk ke dalam rumah.
Ruang di bawah atap tritisan atau atap teras dapat berfungsi sebagai ruang
transisi iklim antara ruang luar dengan ruang dalam (Widiati, 2016).
2. Komponen dinding
Pada rumah honai, dinding terbuat dari bahan papan kayu kasar, dan terdiri
dari 2 lapis, dengan tujuan untuk menahan udara dingin dan angin kencang
dari luar. Di sekeliling dinding rumah, terdapat bukaan yang sangat minim,
yaitu berupa sebuah pintu masuk yang sempit dan rendah sehingga penghuni
rumah harus membungkuk untuk melewatinya. Terkadang terdapat sebuah
jendela sempit pada honai laki-laki, agar dapat mengetahui jika ada tamu yang
berkunjung atau musuh yang memasuki silimo. Sedangkan pada honai
perempuan, sama sekali tidak terdapat bukaan berupa jendela. Jadi, suasana di
dalam honai adalah remang-remang atau bahkan gelap. Pada malam hari,
hanya diterangi oleh nyala api dari perapian yang terdapat di tengah honai
(Widiati, 2016)..
Bahan bangunan organik dari alam yang dipilih untuk rumah tradisional,
mempunyai ketahanan rambatan / transfer panas yang baik. Karakteristik
material organik (material lokal) memberikan ekspresi klimatik yang kuat
karena mempunyai warna dan tekstur yang natural. Selain itu, mempunyai
kolong yang pendek untuk menjaga kelembaban (Prasetyo dan Astuti, 2017).
3. Komponen Lantai
Honai terdiri dari dua lantai, yaitu lantai satu yang digunakan sebagai tempat
bersantai dan mengobrol di sekeliling perapian, serta lantai panggung yang
digunakan sebagai tempat menyimpan barang berharga dan istirahat/tidur.
Lantai honai dialasi dengan rumput atau jerami yang diganti secara berkala
jika sudah rusak/kotor (Prasetyo dan Astuti, 2017).