Kelompok 4
Nama Anggota Kelompok :
Indri Deviyani
Milla Aprillia
Monna Berliana
Muhammad Arief Almudhaffar
Muhammad Iqbal
Kelas : X-Teknik Komputer dan Jaringan
Sejarah Awal Datangnya Islam di Sumatera Barat
Teori jalur timur didasarkan oleh intensifnya jalur perdagangan melalui sungai-sungai
yang mengalir dari gugusan bukit barisan ke selat Malaka yang dapat dilayari oleh pedagang
untuk memperoleh komoditi lada dan emas. Bahkan diperkirakan sudah ada pedagang-
pedagang Arab muslim yang mencapai wilayah pedalaman ini sejak abad ke-7 dan 8 Masehi.
Kegiatan perdagangan ini, diperkirakan, adalah awal terjadinya kontak antara budaya
Minangkabau dengan Islam. Kontak budaya ini kemudian lebih intensif pada abad ke-13
dimana pada saat munculnya kerajaan Islam Samudra Pasai sebagai kekuatan baru dalam
wilayah perdagangan selat Malaka. Pada waktu ini, Samudra Pasai bahkan telah menguasai
sebagian wilayah penghasil lada dan emas di Minangkabau Timur.
Sedangkan asumsi masuknya Islam melalui pesisir barat didasari oleh intensifnya
kegiatan perdagangan pantai barat Sumatera pada abad ke-16 M sebagai akibat dari
kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada waktu ini, pengaruh kekuasan Aceh Darussalam
(pelanjut kekuasan Pasai) sangat besar, terutama pada wilayah pesisir barat Sumatera.
Intensifnya pengembangan Islam pada waktu inilah yang oleh beberapa penelitian, dijadikan
sebagai dasar analisis bagi awal masuknya Islam di Minangkabau dan menghubungkan
dengan nama Syekh Burhanuddin Ulakan yang oleh beberapa penulis dianggap sebagai
tokoh pembawa Islam pertama ke wilayah ini. Syekh Burhanuddin adalah murid Syekh
Abdur Rauf Singkil, ulama tarikat Syatariyah Aceh. Syekh Burhanuddin dikenal sebagai
pembawa aliran tarikat Syatariyah ke Minangkabau untuk pertama kalinya. Tarikat ini
kemudian berkembang di Minangkabau dengan persebaran surau-surau Syatariyah yang
didirikan oleh murid-murid Burhanuddin sendiri. Jalur pengembangan tarikat Syatariah yang
berawal dari pesisir barat ini --oleh beberapa penulis-- sering dijadikan titik tolak kajian
tentang Islam di Minangkabau, termasuk pengembangannya ke wilayah pedalaman.
Menurut sejarah, Islam masuk ke Palembang diperkirakan pada awal abad ke-1 H atau
awal abad ke-8 Masehi. Sepanjang abad ke-7 sampai abad ke-14 Masehi, Islam di kota
Palembang tumbuh dan berkembang pesat sehingga berdiri sebuah kerajaan Islam
Kesultanan Palembang. Kesultanan Palembang Darussalam adalah
suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di sekitar kota Palembang, Sumatera
Selatan sekarang. Kerajaan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman
dari Jawa dan dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.
Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang
bernuansa Islam dengan pendirinya Ki Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari Kesultanan
Demak akibat kemelut politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana. Keraton Kuta Gawang
adalah sebuah keraton yang setidaknya telah berdiri selama 100 tahun, sebelum dibakar
habis oleh VOC tahun 1659. Kuta Gawang berbentuk empat persegi, dikelilingi kayu besi dan
unglen empat persegi dengan ketebalan 30 x 30 cm. Panjang dan lebar benteng ini
berukuran 290 Rijnlandsche roede (1093 meter). Tinggi dinding temboknya adalah 24 kaki,
atau kurang lebih 7,25 meter.
Benteng Kuto Besak (BKB) dibangun untuk menggantikan keraton lama, Benteng
Kuto Lamo, yang disebut juga Keraton Kuto Tengkuruk atau Keraton Kuto Lamo, yang
berlokasi persis di samping kiri. Keraton Kuto Tengkuruk lalu menjadi rumah tinggal residen
Belanda. Saat ini, Keraton Kuto Tengkuruk difungsikan menjadi Museum Sultan Mahmud
Badaruddin II.
Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka sebelumnya dan
menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad Najamuddin II dan
mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali bangkit melakukan
perlawanan yang kemudian kembali dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Lalu pada
tahun 1819, Sultan mendapat serangan dari pasukan Hindia yang antara lain dikenal
sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Mungtinghe). Pada tahun 1821 dengan kekuatan
pasukan lebih dari 4000 tentara, Belanda kembali menyerang Palembang dan berhasil
menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang kemudian diasingkan ke Ternate. Kemudian
pada tahun 1821 tampil Sultan Ahmad Najamuddin III anak Sultan Ahmad Najamuddin II
sebagai raja berikutnya, namun pada tahun 1823 Belanda menjadikan kesultanan
Palembang berada dibawah pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan ketidakpuasan
di kalangan istana. Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang, namun dapat dengan
mudah dipatahkan oleh Belanda, pada tahun 1825 Sultan Ahmad Najamuddin III menyerah
kemudian diasingkan ke Banda Neira.
Perkembangan Islam di kota Medan tidak terlepas dari peran kesultanan Deli yang
menganut agama itu sehingga banyak masyarakat pengikutnya juga memilih agama Islam.
Bahkan pada saat itu,hampir seluruh masyarakat melayu beragama Islam. Namun, sebelum
kesultanan Deli berpusat pemerintahan di kota Medan, kesultanan Deli berada di daerah
pesisir. Terbukti dari pembangunan masjid Al-Osmani di dekat pelabuhan yang merupakan
awal mula perkembangan Islam yang di bawa oleh kesultanan Deli di kota Medan.
Tercatat dalam sejarah, tokoh penyebar Islam di Medan adalah KH Said Bakrin pada
Abad 16. Ia berasal dari suku Melayu. Selain Said Bakrin, tercatat pula ulama-ulama
pengembang ajaran Islam yang lain, seperti Abu Bakar Yakub dan Annas Tanjung. Mereka di
latih untuk menyebarkan ajaran Islam di Medan.
Salah satu bukti sejarah perkembangan Islam di Medan adalah Masjid Bengkok.
Masjid tua yang masih berdiri kokoh di Kesawan ini dibangun oleh Tjong A Fie pada tahun
1890. Di masjid yang terletak di Jalan Ahmad Yani Medan inilah Said Bakrin dan Abubakar
Yacub yang merupakan anak dari Syekh Mohd. Yacub yang juga sebagai ketua badan
kenaziran mesjid Lama Gang Bengkok yang pertama menyebarkan agama Islam di kota
Medan. Masjid Bengkok yang memadukan gaya Cina dan Melayu ini dijadikan tempat
aktivitas dakwah di kala itu.