Anda di halaman 1dari 13

ISLAM DAN WILAYAH PERBATASAN

Dada bagian keenam ini, mahasiswa diharapkan dapat mengetahui proses sejarah masuknya Islam di
Wilayah Perbatasan Kalimantan Utara dan berbagai daerah lainnya. Sehingga, mahasiswa mampu
menjelaskan mengenai sejarah masuknya Islam di kawasan perbatasan Kalimantan Utara dan
interkasi budaya keagamaan yang melingkupinya.

A. Sejarah Masuknya Islam di Wilayah Perbatasan

Kalimantan Utara

Sebelum membahas mengenai sejarah masuknya Islam di Wilayah Perbatasan Kalimantan Utara,
alangkah baiknya dijelaskan terlebih dahulu mengenai proses masuknya Islam di Asia Tenggara
(Nusantara). Mengenai masuk dan berkembangnya Islam di wilayah Nusantara, para ahli berbeda
pendapat mengenai kapan masuknya Islam di Nusantara, di mana masuknya Islam pertama kali, dan
siapa yang menyebarkan syiar Islam di Nusantara, belum ada ahli yang menjawabnya secara pasti,
namun menurut perkiraan dan berbagai temuan penelitian tentang peninggalan jejak sejarah Islam
berupa prasasti, batu bertulis, batu nisan, naskah klasik, dan peninggalan sejarah lainnya yang ada di
Nusantara, maka menurut perkiraan berbagai pihak, Islam mulai masuk di wilayah Nusantara sekitar
abad ke-7 M melalui para pedagang Islam.

Dipindai dengan CamScanner

Sejarah masuknya Islam di Nusantara (Asia Tenggara), ada empat teori tentang asal-usul Islam di
Nusantara yang sering diperdebatkan dalam membahas kedatangan, penyebaran, dan Islamisasi
Nusantara.

Mengenai teori masuknya Islam di Nusantara nampaknya tidaklah salah jika kita mempelajari
berbagai interpretasi dari para peneliti Barat dalam kaitannya dengan Islamisasi dan perkembangan
Islam di Asia Tenggara atau Nusantara (Indonesia) untuk dapat menjadikan pijakan dalam menarik
benang merah masuknya Islam

di Nusantara. Adapun teori masuknya Islam di Nusantara dapat diklasifikasikan dalam empat teori
yaitu teori India, teori Arab, teori Persia, dan teori Cina.

Namun, satu hal yang pasti dan berdasarkan berbagai hasil kajian dari para peneliti sejarah yang ada,
proses masuknya Islam di Nusantara ditempuh melalui beberapa saluran. Saluran-saluran tersebut
menyesuaikan dengan budaya timur yang mengedepankan keramahtamahan. Sehingga hal ini
memudahkan Islam untuk masuk dan berkembang di kawasan ini. Berkaitan dengan hal ini, Uka
Tjandrasasmita (1999: 57) mengemukakan ada enam saluran masuknya Islam ke Nusantara yaitu:

Pertama, saluran perdagangan. Sejak abad ke-1, kawasan laut Asia Tenggara, khususnya Selat
Malaka, telah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan
internasional karena posisinya yang menghubungkan negeri-negeri di Asia Timur Laut, Asia
Tenggara, dan Asia Barat. Kesibukan lalu lintas perdagangan kawasan laut Asia Tenggara pada abad
ke-7 hingga ke-16 itu, membuat pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia, dan India) turut ambil
bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian Barat, Tenggara, dan Timur Benua Asia. Saluran
islamisasi melalui perdagangan menjadi salah satu penyebab kuatnya pengaruh peradaban Islam di
Asia Tenggara (Nusantara). Hubungan dalam jalur perdagangan inilah yang menciptakan interaksi
antara pedagang Islam dan penduduk asli di Asia Tenggara (Nusantara). Dari interaksi itu, kemudian
muncul pengaruh yang kuat dari satu pihak pada pihak lainnya. Dalam hal ini, pihak yang
memberikan pengaruh adalah para pedagang dan ulama dari Arab. Pengaruh inilah yang kemudian
menjadikan pergeseran dalam sistem kehidupan masyarakat Asia Tenggara. Jika sebelumnya di

Dipindai dengan CamScanner

masa kerajaan berjaya, kepercayaan yang dominan di masyarakat adalah dinamisme. Namun dengan
adanya pengaruh dari pedagang Islam, banyak masyarakat yang kemudian beralih menganut
monotheisme. Salah satu kerajaan yang memiliki peran dalam sejarah peradaban Islam di Asia
Tenggara adalah Samudera Pasai. Kerajaan ini, hingga sejarah saat ini, dipercaya sebagai kerajaan
Islam pertama dan tertua di Indonesia, dan juga kawasan Asia Tenggara. Kerajaan yang berpusat di
Aceh ini dipimpin seorang raja yang menganut Islam, yaitu Sultan Malikus Shaleh.

Kedua, saluran perkawinan. Dari sudut ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial yang
lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi terutama puteri-puteri
bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum dilakukan proses
perkawinan mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan
mereka semakin luas, akhirnya timbul perkampungan-perkampungan, daerah-daerah, dan akhirnya
menjadi kerajaan Muslim. Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita Muslim yang dikawini
oleh keturunan bangsawan-tentu saja setelah mereka masuk Islam terlebih dahulu. Jalur perkawinan
ini jauh lebih menguntungkan apabila apabila antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau
anak raja atau anak adipati, karena raja atau adipati yang merupakan bangsawan itu turut
mempercepat proses Islamisasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan perkawinan Raden Rahmat (Sunan
Ampel) dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Djati dengan Puteri Kawunganten, Brawijaya dengan
puteri Campa yang kemudian melahirkan Raden Fattah (Sultan Demak Pertama).

Ketiga, saluran tasawuf. Ajaran Islam sampai ke alam Melayu, sangat dipengaruhi oleh ajaran
tasawuf. Para sejahrawan menyatakan inilah yang menyebabkan Islam menarik kepada mereka di
Asia Tenggara (Nusantara) dan boleh dikatakan bahwa tasawuf dengan ajaran dan amalannya
menyebabkan berlakunya proses Islamisasi di Asia Tenggara (Nusantara). H. John ahli sejarah
Australia itu menyatakan bahwa Islamisasi tersebut berlaku adanya dakwah yang cerdas yang
dilakukan oleh para penyebar sufi yang datang bersama dengan para pedagang Muslim. Pengajar-
pengajar tasawuf atau para sufi mengajarkan teologi yang bercampur dengan ajaran yang sudah
dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalm soal magis dan mempunyai kekuatan-
kekuatan menyembuhkan.

Dipindai dengan CamScanner

Dengan tasawuf "bentuk" Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi yang memiliki kesamaan
dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu
mudah dimengerti dan diterima. Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang
mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di
Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa, Syaikh Yusuf Al-Makassari di Sulawesi, dan
Syaikh Arsyad Al-Banjari di Kalimantan. Ajaran mistik seperti ini masih dikembangkan di abad ke-19
M bahkan di abad ke-20 M ini.
Keempat, saluran pendidikan Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan yaitu pengajaran agama
yang diselenggarakan di pesantren atau di pondok oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama.
Selepas dari pendidikan di pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing untuk berdakwah
mengajarkan Islam kepada masyarakat. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Sunan Ampel di
Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren ini banyak yang diundang ke Maluku untuk
mengajarkan agama Islam. Atau pun para pribumi dari keturunan ulama ini yang pergi belajar ke
Arab Saudi untuk menimba ilmu agama Islam seperti KH. Hasyim Asyari (Pendiri Nahdlatul Ulama),
KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Syekh Arsyad Al-Banjari (Ulama dari Banjarmasin),
Syekh Yusuf Al-Makassari (Ulama dari Sulawesi) yang sepulang dari menimba ilmu di Wilayah Arab
kemudian berdakwah di daerahnya masing-masing dan wilayah Nusantara lainnya. Biasanya
pendidikan agama diajarkan melalui surau-surau, mushola, masjid, dan pondok pesantren yang
hingga saat ini masih tetap eksis bahkan berkembang pesat di Asia Tenggara (Nusantara).

Kelima, saluran kesenian. Saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah
pertunjukan wayang. Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Ia
tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya
mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita
Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam cerita itu disisipkan ajaran nama-nama pahlawan Islam.
Kesenian-kesenian lainnya juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, syair, babad, dan
sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.

Dipindai dengan CamScanner

Keenam, saluran politik. Di Nusantara Indonesia yang merupakan bagian dari Asia Tenggara,
kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik
raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Jawa, Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah Indonesia bagian Timur, demi kepentingan politik, kerajaan-
kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis
banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu untuk masuk Islam. Saluran politik dengan jalan
penaklukan wilayah ini melalui peperangan dilalui ketika saluran lainnya tidak berhasil, sehingga
saluran politik ini menjadi pilihan terakhir jika kerajaan-kerajaan non Muslim ini tidak mau tunduk
kepada Islam.

Berdasarkan enam saluran-saluran proses masuknya Islam di Asia Tenggara (Nusantara) tersebut,
maka seiring berjalannya waktu Islam di Asia Tenggara (Nusantara) mengalami perkembangan yang
pesat dan pada akhirnya membentuk sebuah peradaban baru yaitu Islam Melayu. Perkembangan
peradaban Islam di Asia Tenggara (Nusantara) tentunya berbeda dengan perkembangan peradaban
Islam di Arab dan Eropa, karena peradaban Islam Asia Tenggara (Nusantara) memiliki watak dan
karakteristik yang unik dengan adanya proses asimilasi budaya antara Islam dengan budaya melayu
yang terintegrasi sehingga membentuk ciri khas dan watak Islam Nusantara yang dikenal dengan
Islam yang damai (ramatan lil 'alamin), berkeadilan (ad/), moderat (tau suth), seimbang (Inwazun)
dan toleran (tasamuh).

Senada denganpola dakwah Islamdi berbagai penjuru Nusantara lainnya, maka para penerus dakwah
Nabijuga menyampaikan seruan Islam ke wilayah Kalimantan kepada segenap elemen masyarakat,
mulai dari kalangan rakyat biasa, para pemuka masyarakat, hingga kalangan keluarga kerajaan yang
umumnya masih menganut agama Hindu di Kalimantan.
Kalimantan dikenal sebagai pulau terbesar di Indonesia. Luasnya mencapai lima kali luas pulau Jawa.
Dalam bahasa setempat, kata "Kalimantan" merupakan unsur kata dari "Kali" yang memiliki arti
sungai. Sedangkan "Mantan" memiliki arti besar. Jadi, Kalimantan dapat diartikan sebagai pulau yang
memiliki sungai-sungai besar. Selain itu, pulau Kalimantan dikenal juga dengan nama Brunei, Tanjung
Negara, dan Borneo (pada masa Hindu).

Dipindai dengan CamScanner

Pulau Kalimantan pada umumnya terbagi atas wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara Malaysia Timur dan Brunei Darussalam) yang sejak abad
ke-9 dalam berita dari Cina disebut Kro-Thay (Kerajaan Besar) dan dalam literatur kuno India disebut
Quetairy (Hutan Belantara) (Hamdani, 2011: 41). Kalimantan Utara merupakan hasil dari pemekaran
Kalimantan Timur, namun pada dasarnya secara geografis Kalimantan Timur memiliki bagian utara
yang memang begitu luas sehingga adanya pemekaran wilayah Kalimantan Timur bagian Utara
menjadi Kalimantan Utara merupakan keniscayaan.

Kalimantan Utara merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah negara tetangga
Malaysia dan Brunei Darussalam, karena memang sebelum Indonesia merdeka, wilayah Kalimantan
Utara merupakan satu wilayah dengan Malaysia Timur dan Brunei Darussalam. Bahkan wilayah
Kalimantan Utara menurut berbagai sumber, masih masuk dalam kawasan Kesultanan Brunei
Darussalam sebelum Indonesia merdeka. Dan mungkin masuknya syiar Islam di wilayah Kalimantan
Utara jauh sebelumnya sudah sejak lama menerima syiar Islam dari Kesultanan Brunei Darussalam.

Keberanian dan keberhasilan mensyiarkan Islam pada kalangan istana, menjadi tonggak akselerasi
percepatan penerimaan masyarakat yang memiliki loyalitas sangat tinggi pada Rajanya untuk lebih
terbuka juga menerima Islam. Penelusuran terhadap mengenai proses persebaran syiar Islam di
wilayah Kalimantan Timur dan Utara berdasarkan catatan sejarah di mulai pada Kesultanan Pasir.
Pasir merupakan wilayah pertama di Kalimantan Timur yang secara resmi menerima syiar dakwah
Islam bukan hanya dalam pendekatan personal para pedagang Muslim yang bahkan sejak sekitar
abad ke-IX telah memulai melakukan interaksi perniagaan hingga pesisir Bumi Etam. Lebih dari itu,
bermula di tanah Pasir inilah terlihat dakwah Islam juga masuk pada tataran politis-ideologis yang
akan berujung pada perubahan sistem sosial dan tatanan kekuasaan pemerintahan yang ada.

Penyebaran Islam di Pasir bermula saat kedatangan tim ekspedisi dakwah Islam dari Kesultanan
Demak-Giri, Jawa Tengah, yang dipimpin oleh Pangeran Abu Mansyur Indrajaya, mengendarai lima
buah kapal berbendera Hijau, berlambang Bulan Sabit Bintang berwarna Putih, bertuliskan huruf
Arab Dua Kalimat Syahadat

Dipindai dengan CamScanner

berwarna Kuning Emas, pada tahun 1521 M (928 H). Rombongan ekspedisi yang didalamnya turut
serta tiga orang Arab, dua orang Cina, dan empat orang Gujarat (Pakistan) kemudian berlabuh di
Teluk Adang (Abdul Majid, 2006: 50).

Setelah mendapat informasi tentang keberadaan Kerajaan Sadurangas (Pasir Belengkong) yang telah
berdiri sejak tahun 1516 M. dari seorang warga tua bernama La Malluluang. Tim ekspedisi terus
berlanjut ke Udik melalui sungai Kendilo hingga tiba di muara sungai Suatang Pasir, lalu turun ke
darat dan membabat hutan untuk pemukiman dan tempat tinggal bagi lebih 300 orang peserta
rombongan, dalam waktu bersamaan dibangun pula sarana peribadatan bagi mereka dan orang-
orang Kuripan yang telah masuk Islam yaitu sebuah masjid pertama dan tertua di Pasir Belengkong
yang diberi nama Masjid Dasoi (Masjid Beralas Tanah).

Ketika strategi pertama, pembangunan komunitas Islam guna pelaksanaan syiar Islam kepada warga
masyarakat sekitar telah berjalan, Pangeran Abu Mansyur Indrajaya melanjutkan strategi langkah
berikutnya yaitu melakukan pendekatan pada Putri di dalam Petung, penguasa Kerajaan Sadurangas.
Maka, diutuslah seorang ulama dari tim ekspedisi bernama Khattib Dayyan untuk beberapa kali
melakukan kunjungan ke pusat pemerintahan Kerajaan Sadurangas di Lebur Dinding hingga bertemu
langsung dengan Sang Ratu. Proses kunjungan berakhir saat disampaikannya pinangan Abu Mansyur
Indrajaya kepada Putri Di Dalem Petung yang telah terlebih dahulu mengucapkan dua kalimat
syahadat di hadapan Khatib Dayyan dengan disaksikan oleh Orang Tua Putri Di Dalem Petung yang
bernama Ariya Manau dan Geruntung Manau. Maka pada tahun 1523 M. terlaksanalah pernikahan
yang kemudian berujung pada Konversi Kerajaan Saradungas menjadi Kesultanan Pasir yang
wilayahnya mencapai tanah Bumbu di Kalimantan Selatan (Agus Suprapto, 2002: 45).

Dalam waktu yang tidak terpaut jauh dari Pasir, syiar Islam juga mulai menyapa tanah Berau, namun
kedatangannya tidak lepas dari rangkaian sejarah perkembangan Islam di Kepulauan Sulu (Suluk
Filipina) dan Mindanao Selatan yang dengan cemerlang berhasil dirintis di tahun 1380 M. oleh ulama
terkemuka dari dari Kesultanan Malaka bernama Makdum serta dibantu seorang ulama yang diutus
dari Minangkabau-Sumatra Barat bernama Raja Baginda di tahun

Dipindai dengan CamScanner

1390 M. hingga akhirnya berhasil mendirikan Kesultanan Sulu yang berpusat di Bwansa Kepulauan
Sulu dengan Sultan bernama Paduka Maulana Mahasyisyari Syarif Sultan Hasyim Abu Bakar yang
datang dari Palembang dan menikah dengan Putri Ulama Raja Baginda.

Setelah keberhasilan dakwah Islam di Kepulauan Sulu inilah maka, ulama Raja Baginda terus
melakukan syiar Islam di Kalimantan bagian Utara (Kalimantan Utara) yang sejak sekitar lebih satu
setengah abad sebelumnya telah dirintis syiar Islam oleh pendakwah Islam dari Arab dan China.
Hingga kemudian berdirilah Kesultanan Brunei sekitar tahun 1402 M. Raja Brunei bernama Awang
Alang Betatar menerima Islam dan menjadi Sultan dengan gelar Sultan Muhammad Syah. Kemudian
langkah dakwah ulama Raja Baginda terus menyebar ke bagian Timur Kalimantan yaitu daerah
Kerajaan Berayu atau juga disebut Barrau yang didirikan oleh Baddit Dippatung dengan gelar Adji
Raden Surya Nata Kesuma (1400-1432 M.) dan istrinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar Adji
Permaisuri, di mana wilayah Kerajaan yang awalnya berpusat di Sungkai Lati. Wilayah Sungkai Lati ini
cukup besar meliputi; Tanjung Mangkaliat hingga Kinabatangan (termasuk wilayah Bulungan, Tidung,
dan Sabah)(Hamdani, 2011: 66).

Perkembangan syiar dakwah Islam di wilayah Kalimantan Timur bagian Utara (Kalimantan Utara)
semakin bertambah pesat, dengan adanya seorang ulama dari utusan Kesultanan Brunei Darussalam
yaitu Imam Djafar yang datang ke Kerajaan Barrau (Berau) pada sekitar tahun 1575 M. di masa
pemerintahan Dinasti Keenam Raja Adji Temenggung (Tumanggung) Berani (1577-1589 M) di mana
pada saat itu Kerajaan Berau sedang dalam masa kejayaan (Hamdani, 2011: 65).
Dengan keberhasilan dakwah Imam Djafar akhirnya Kerajaan Berau pun dikonversi menjadi
Kesultanan Berau yang terus menjalin hubungan baik dengan Kesultanan Brunei Darussalam.
Namun, masa kejayaan Kesultanan Berau tidak selamanya, akibat dari konspirasi politik Belanda
akhirnya melahirkan kericuhan dan perpecahan di kalangan istana hingga wilayah kekuasaan
Kesultanan Berau yang berpusat di Muara Bangun harus terbagi menjadi dua menjadi Kesultanan
Gunung Tabur (1820 M) dan Kesultanan Batu Putih (1830 M), yang kemudian berganti nama
Kesultanan Tanjung (1834.1836 M), lalu berubah kembali menjadi Kesultanan Sambaliung (1849

Dipindai dengan CamScanner

M). Konflik intrik politik ini sebelumnya juga telah mengakibatkan lepasnya wilayah Bulungan dan
Tidung menjelang akhir abad ke 18 yang kemudian membentuk sistem pemerintahan Kesultanan
sendiri. Syiar Islam di wilayah Kalimantan Timur bagian Utara ini banyak dipengaruhi oleh ulama-
ulama seperti Habaib dari Timur Tengah, Suku Bugis, dan Banjar yang datang untuk berdagang
sekaligus turut serta mengemban syiar dakwah Islam.

Namun, jauh sebelum masuknya syiar Islam di wilayah Kalimantan Timur Bagian Utara (Kalimantan
Utara sekarang), pada tahun 1236 M. syiar Islam telah sampai pada penduduk Kalimantan Utara di
zaman Kerajaan Tidung Kuno pada masa pemerintahan Raja Sri Bengawan yang bertahta di wilayah
Sungai Bengawan (1236-1399 M). Raja Sri Bengawan merupakan Raja dari Dinasti Kerajaan Tidung
Kuno yang pertama kali mengucapkan dua kalimat syahadat dan secara resmi memeluk Agama
Islam. Masuknya syiar Islam di masa kepemimpinan Raja Bengawan dikarenakan besarnya pengaruh
perkembangan syiar Islam yang dirintis oleh ulama dari Arab dan China (Muhammad Arbain, 2018:
40-44). Mulai saat itulah, syiar Islam mulai menyapa seluruh pelosok wilayah yang ada di kawasan
Kalimantan Timur bagian Utara (Kalimantan Utara sekarang).

Dengan resminya Raja Bengawan memeluk Agama Islam, sejak saat itu pula banyak tim ekspedisi
para Pendakwah Islam masuk ke wilayah Kalimantan Utara. Hingga pada pemerintahan Dinasti
Tengara yang berpusat di Tarakan, perkembangan syiar Islam mengalami kemajuan dakwah yang
signifikan dalam perkembangannya di Bumi Paguntaka. Tim ekspedisi dakwah tersebut ada yang
menyiarkan dakwah Islam di wilayah Tarakan, Sesayap (Tana Tidung), Malinau, Bulungan, dan
Nunukan. Penyebaran Syiar Islam mulai merata ke seluruh pelosok negeri Kalimantan Utara.

Ulama yang menyebarkan syiar Islam di wilayah Tarakan adalah seorang ulama dari keturunan ulama
besar dari Hadral Maut, Yaman, yang bernama Muhammad bin Abdullah bin Alwy Al-Marzaq (1756-
1796). Kiprah perjuangan dakwahnya dalam menyiarkan dakwah Islam di Tarakan bumi 'Pagun Taka'
ini mengalami berbagai rintangan dan hambatan yang cukup besar. Namun, berbagai rintangan dan
cobaan dalam menyiarkan dakwah

Islam dapat ia atasi dengan sabar, serta senantiasa berdoa kepada

Dipindai dengan CamScanner

Allah Swt agar masyarakat Tidung di wilayah Tarakan ini bisa mendapatkan hidayah berupa cahaya
keimanan. Perjuangannya pun tidak sia-sia akhirnya masyarakat Tarakan yakni etnis Tidung secara
bertahap memeluk agama Islam, meskipun masih ada beberapa rumpun Tidung yang masih
memegang teguh tradisi animisme dan dinamisme yang mereka percayai, namun, ia pun berhasil
mentauhidkan kalimat syahadat kepada sub rumpun Tidung di Bumi Paguntaka. Sub rumpun Tidung
yang telah menganut Agama Islam menyebut dirinya "Ulun Pagun". Hingga akhirnya ulama
Muhammad bin Abdullah bin Alwy Al-Marzaq wafat di tanah

Tarakan. Makamnya kini terletak di daerah sungai Pamusian, tepatnya di samping Bukit Keramat
Kota Tarakan (Muhammad Arbain, 2018: 40-48).

Selain penyebaran syiar Islam di Tarakan, wilayah Kesultanan Bulungan juga mengalami pengaruh
yang sangat besar dengan datangnya para ulama dari Arab (Yaman, Hadral Maut) dan ulama dari
Kesultanan Demak. Masuknya syiar Islam di Kesultanan Bulungan bermula pada zaman Kesultanan
Wira Amir bin Wira Digadung dengan gelar Sultan Amiril Mukminin (1731-1777), pada masa ini
Kesultanan Bulungan menerima kedatangan Syaikh Magribi dari Kesultanan Demak yang semakin
memperkuat syiar Islam di tanah Bulungan. Hingga pada masa pemerintahan Sultan Muhammad
Kasimuddin syiar Islam di tanah Bulungan semakin kuat dengan banyaknya para ulama dari luar
daerah yang didatangkan untuk memperkuat syiar Islam di Kesultanan Bulungan, salah satu
diantaranya adalah seorang ulama besar dari Wajo Sulawesi Selatan yang dikenal dengan nama H.
Sahabuddin Ambo Tuwo yang kemudian diangkat sebagai Guru Agama di Kesultanan Bulungan.

Tidak hanya sampai di Bulungan, pergerakan dakwah Islam pun turut mewarnai wilayah keislaman
masyarakat Tidung Sesayap (Kabupaten Tana Tidung sekarang), salah satu ulama yang turut
menyebarkan syiar Islam di tanah Tidung ini adalah seorang ulama dari keturunan ulama besar dari
Tarim, Yaman yaitu Syeikh Alawy bin Syekh Al-kaff Qatmyr (1837-1942). Syaikh Alawy bin Syekh bin
Al-kaff Qatmyr (merupakan seorang yang anti terhadap Belanda. Bahkan beliau mengecam keras
segala tindakan yang dilakukan oleh pihak Belanda. Perjalanan syiar Islam di Tana Tidung ini
disambut baik oleh masyarakat, meskipun dalam berdakwah terdapat beberapa cobaan dan
rintangan dalam menyampaikan

Dipindai dengan CamScanner

ketauhidan, namun, berkat perjuangannya akhirnya masyarakat Tidung Sesayap (Kabupaten Tana
Tidung sekarang) telah memeluk Agama Islam secara kaffah. Dan begitu juga dengan wilayah
Malinau dan Nunukan. Semuanya mengalami perubahan yang besar ketika para ulama Islam datang
untuk menyebarkan syiar Islam di tanah Kalimantan Utara (Muhammad Arbain, 2018: 40-48).

Uniknya, wilayah Kalimantan Utara terutama wilayah Nunukan yaitu pulau Sebatik berbatasan
langsung dengan negara Malaysia, bahkan sejauh mata memandang negara Malaysia yaitu Tawau
begitu jelas terlihat. Jika ditelusuri dari berbagai sisi, tidak hanya dari perekonomian dengan
berlakunya sistem transaksi perdagangan yang menggunakan dua nilai tukar mata uang rupiah dan
ringgit, tapi jauh dari itu, syiar Islam begitu kental di pulau ini. Jika kita menelisik lebih jauh mengenai
penamaan pulau Nunukan, kata Nunukan berasal dari bahasa kaum suku Tidung, "Nunuk" memiliki
arti pohon beringan. Suku Tidung merupakan penduduk asli pulau Nunukan. Meskipun seiring
berjalannya waktu banyak pendatang yang kemudian merantau ke pulau ini untuk mengadu nasib
baik dari Suku Bugis, Banjar, Jawa serta suku pendatang lainnya.

Menurut penduduk setempat (Syarif, 43 tahun), orang-orang Tidung di pulau Sebatik yang
merupakan wilayah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia ini, berimigrasi dalam dua
gelombang. Gelombang pertama, migrasi orang Tidung yang berasal dari sungai Sebuku. Hal ini
diperkuat dengan adanya kuburan tua yang terletak di beberapa kampung, seperti kampung
Sekapuk dan Lapeo, yang diduga merupakan kuburan dari orang Tidung, sebagai bukti sejarah
terdapat makan tua yang jika ditelusuri nisannya bercorak Islam pada tahun 1836, yang terletak di
dekat hutan mangrove yang berada di pinggir pantai (Usman Idris, 2017: 137).

Dengan melihat bentuk nisan dan kondisi makam yang ada di pesisir pantai, bisa diketahui secara
pasti bahwa, orang-orang Tidung yang awalnya merupakan orang yang hidup diperbukitan atau
gunung kecil sebagaimana kata Tidung dalam bahasa Tidung memiliki arti gunung atau bukit, maka
ketika adanya eksoduse kaum suku Tidung menuju pesisir pantai atau sungai-sungai besar
menandakan adanya interaksi religius antara kaum saudagar dari Negeri Arab kepada masyarakat
pulau tempatan (Tidung) di pulau

Dipindai dengan CamScanner

Sebatik. Sehingga, adanya pertemuan ini kemudian membuat terjadinya saluran-saluran syiar Islam
yang dilakukan oleh saudagar Arab, Cina, maupun Gujarat yang memiliki misi tidak hanya membawa
barang dagangan untuk didagangkan tetapi ada misi suci yang harus dilakukan yaitu
menyebarluaskan syiar Islam hingga ke Utara Kalimantan, baik dengan upaya saluran perdagangan,
perkawinan, pendidikan, kesenian, tasawuf, bahkan diplomasi politik kepada penguasa tempatan.

Orang-orang Tidung sering menyebut dirinya sebagai "Ulun Pagu yang berarti orang kampung. Saat
itu, orang Tidung hanya mendirikan perkampungan kecil pada suatu tempat dan menerapkan sistem
berladang dan hidup secara subsisten. Hanya saja ketika itu, ada wabah penyakit kulit yang disebut
"bargang", yang berarti melepuh, koreng, dan memerah. Akibat wabah penyakit ini orang orang
Tidung yang ada di kampung Sekapuk berpindah ke berbagai daerah, seperti pulau Nunukan,
Kampung Mentadak, dan wilayah lainnya untuk menghindari wabah penyakit tersebut. Perpindahan
mereka menuju pulau yang dikelilingi laut membuat perubahan pola kehidupan mata pencaharian
dari berladang menjadi pelaut atau nelayan (Usman Idris, 2017: 138).

Gelombang kedua terjadi ketika Kerajaan Tidung di Tarakan yang bernama Kerajaan Dinasti Tengara
yang dipimpin oleh 12 raja dimulai dari Datu Raja Laut (Abdurrasyid) (1557-1571), Amiril Pengiran
Dipati I (Abdurrahman) (1571-1613), Amiril Pengiran Singa Laut (Datu Abdurrasyid) (1613-1650),
Amiril Pengiran Maharajalilla I (1650-1695), Amiril Pengiran Maharajalilla II (1695-1731), Amiril
Pengiran Dipati II (1731-1765), Pengiran Maharajadinda Betanduk (1765-1782), Amiril Pengiran
Maharajalilla III (1782-1817), Datu Amir Tajuddin (1817-1844), Amiril Pengiran Jamalul Kiram (1844
1867), Datu Maulana Amir Bahar (1867-1896), hingga sampai kepada Raja Datu Adil (1896-1916)
(Muhammad Arbain, 2018: 18-28).

Berbagai gelar yang digunakan oleh raja-raja Tidung dari Dinasti Tengara di atas, dapat menegaskan
bahwa raja-raja Tidung Dinasti Tengara sudah memeluk Islam. Karena gelar Aji, Datu, Amiril, Sultan,
Tumenggung, dan sebagainya sudah pasti berasal dari serapan budaya lain yang berjumpa dengan
Tidung. Gelar Aji merupakan gelar yang berasal dari India. Gelar ini pernah

Dipindai dengan CamScanner

menjadi gelar para bangsawan di Nusantara. Demikian juga dengan Amiril dan Sultan tentu adopsi
dari gelar-gelar bangsawan Islam. Sedangkan Datu merupakan gelar yang digunakan di era Sriwijaya
(Handoko, 2020: 89). Dengan melihat berbagai gelar yang digunakan oleh bangsawan kerajaan
Tidung dinasti Tengara tersebut, semakin memperjelas bahwa kerajaan Tidung telah menjalin
hubungan dengan dunia luar yaitu perjumpaan dengan para saudagar dan ulama dari negeri Arab,
India, Cina, dan Gujarat.

Di era kekuasaan Datu Adil yang bertahta di Tarakan, Dalu Adil (1896-1916) pernah memerintahkan
untuk membuka perkampungan di pulau Sebatik. Dengan demikian, kerajaan Tidung Tarakan
mengusai 5 (lima) pulau sebagai daerah kedaulatan mereka, yakni Pulau Tarakan, Pulau Bunyu,
Pulau Mandul, Pulau Nunukan, dan Pulau Sebatik yang berada di sekitar Dataran Kalimantan. Atas
perintah raja Datu Adil (1896-1916), kampung di Pulau Sebalik dibuka pada akhir tahun 1899. Sejak
itu, kampung Tidung di daerah Bebatu (kawasan pesisir barat daya) Pulau Sebatik yang saat ini
menjadi Desa Setabu, berdasarkan versi pemerintah, merupakan desa pertama dan tertua di pulau
Sebatik (Usman Idris, 2017: 138).

Menurut Kahar (73 tahun), tetua orang Tidung di pulau Scbatik, bahwa sebelum pembukaan
kampung oleh utusan raja telah ada perkampungan yang dibuka oleh kelompok sub-elnis Tidung dari
sungai Sebuku. Pada tahun 1916, kerajaan Tidung discrang oleh Kesultanan Bulungan akibat politik
adu domba Belanda, sehingga kerajaan Tidung di Tarakan runtuh dan Raja Datu Adil diasingkan ke
Manado. Dengan demikian, Kesultanan Bulungan menguasai wilayah Tarakan dan wilayah
kedaulatanya. Akibat dari serangan ini, penduduk Tidung melarikan diri ke berbagai daerah, ada
yang masih menetap berada di Tarakan, Nunukan, Pulau Sebatik, hingga ada yang eksoduse ke Pulau
Tidung Jakarta, Kutai Lama (Wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara), hingga Tawau, Sabah,
Kinabatangan, dan Labuk yang masuk wilayah Malaysia.

Orang-orang Tidung memiliki pola pemukiman yang lerpusal, sehingga di Pulau Sebatik mereka
hanya menyebar di 3 desa, yakni Liang Bunyu, Setabu, dan Bambangan yang secara administratif
berada di Kecamatan Sebalik Barat untuk wilayah Indonesia. Sedangkan untuk wilayah Pulau Sebatik
yang secara administratif menjadi bagian dari Malaysia, orang Tidung menyebar di 4 desa,

Dipindai dengan CamScanner

yakni Wallece Bay, Mentadak Baru, Begosong, dan Sungai Tamang (Usman Idris, 2017: 139).

Berbagai rekam jejak sejarah masuknya Islam di wilayah Kalimantan Utara hingga kini masih belum
dapat penulis gambarkan secara detil terutama mengenai pemuka agama yang pertama kali
menyebarkan syiar Islam di wilayah perbatasan Pulau Sebatik Nunukan. Kesulitan menggambarkan
siapa ulama Islam pertama di wilayah Perbatasan (Pulau Sebatik) dikarenakan terbatasnya referensi
tentang pemuka agama yang menyebarkan Syiar Islam di wilayah Perbatasan. Namun yang pasti,
syiar Islam di Pulau Sebatik turut dipengaruhi oleh syiar ulama-ulama dari Kesultanan Brunei
Darussalam yaitu Imam Dja'far serta didukung oleh Kesultanan Berau. Syiar Islam semakin
berkembang pesat karena banyaknya ulama-ulama yang didatangkan oleh Kesultanan Berau
maupun oleh Kesultanan Bulungan, baik ulama dari Hadral Maut Yaman (Sayyid Ali Idrus dan
Abdullah Bilfaqih), Sulawesi (H. Sahabuddin Ambo Tuwo), dan Banjar (Syekh Ali Junaidi al-Banjari –
merupakan keturuan ke-3Syeikh Arsyad al-Banjari) yang turut serta memperkuat syiar Islam di Tanah
Borneo Kalimantan bagian Utara (Kalimantan Utara).

B. Interaksi Budaya Keagamaan di Wilayah Perbatasan

Kalimantan Utara
Interaksi agama dan budaya pada sebuah kebudayaan pada kelompok tertentu sudah terjadi sejak
adanya kelompok manusia, bahwa tercatat hubungan yang sangat erat antara kebudayaan dan
agama. Agama dan budaya dapat saling mempengaruhi, agama mempengaruhi sistem kepercayaan
serta praktik-praktik kehidupan. Sebaliknya kebudayaan pun dapat mempengaruhi agama, terutama
ketika agama diterjemahkan dan diinterpretasikan dalam ritual ritualnya yang dipraktikkan.
Setidaknya agama diterjemahkan untuk dipahami oleh manusia dan di mediasi oleh budaya.

Jika agama terdapat dalam sebuah kebudayaan, setidaknya agama akan melakukan proses filterisasi
dalam meniadakan nilai nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama
tersebut. Selain itu, agama secara perlahan akan menyesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai
budaya serta unsur-unsur budaya keagamaan yang ada. Di sisi lain, peran budaya terhadap

Dipindai dengan CamScanner

LII

agama dalam sebuah kebudayaan bermanfaat untuk mengarahkan dan menambah keyakinan
agama yang dimiliki masyarakat sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama tersebut (Reza
dan Arbain, 2018: 4).

Kebudayaan yang erat dengan kehidupan masyarakat, mendorong manusia untuk menciptakan
kebudayaan. Dipandang dari sisi kehidupan sehari-hari manusia, kebudayaan dipengaruhi oleh
beberapa unsur, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem
pengetahuan, kesenian, dan sistem religi (Koentjaraningrat, 1975: 11-14). Maka disitulah unsur-
unsur tersebut mempengaruhi suatu kebudayaan tertentu yang memberikan ciri tersendiri sehingga
sebuah kelompok masyarakat memiliki karakter yang khas.

Salah satu yang mempengaruhi sebuah kebudayaan adalah sistem religi atau agama yang
memberikan makna spesial bagi manusia. Di saat agama mempengaruhi kebudayaan, maka yang
terjadi adalah agama dipahami tergantung dari bagaimana manusia memikirkan, menghayati, dan
membayangkan Tuhannya. Agama selanjutnya mengarahkan tingkah laku manusia sehingga
terbentuk kebudayaan yang merupakan hasil karya manusia dalam bentuk seni suara, seni rupa, seni
gerak, seni arsitektur dan lain sebagainya yang bernuansa keagamaan seperti contohnya seni rupa
dengan adanya kaligrafi yang terus berubah dari seni kaligrafi naskah, dekorasi, mushaf, dan
kontemporer. Sedangkan seni suara dengan munculnya berbagai jenis lagu qashidah menggunakan
instrumen musik hingga kemudian melahirkan nasyid dengan menggunakan instrumen dari suara
sang penyanyinya. Semua nuansa budaya keagamaan tersebut dilatarbelakangi oleh faktor geografis
dan budaya manusia di suatu wilayah serta adanya perkembangan zaman.

Meskipun ada beberapa wilayah berbeda yang memiliki agama yang sama, namun bisa dipastikan
kedua wilayah tersebut memiliki budaya yang berbeda. Misalnya kebudayaan masyarakat Jawa yang
beragama Katolik berbeda dengan budaya masyarakat pulau Kalimantan yang sama-sama beragama
Katolik, begitu juga kebudayaan masyarakat Sulawesi yang beragama Islam sudah tentu berbeda
dengan kebudayaan masyarakat Kalimantan yang beragama Islam, karena setiap agama suatu
wilayah meskipun memiliki kesamaan dalam hal keagamaan bersifat syariat, namun

Dipindai dengan CamScanner


ritual keagamaan pasti mengikuti kebiasaan masyarakat setempat menurut alam lingkungan dan
kearifan lokalnya.

Interaksi antara agama dan budaya di Kalimantan Utara sebagai wilayah Indonesia yang merupakan
wilayah perbatasan dengan negara tetangga Malaysia sangat kental, berbagai budaya keagamaan
yang muncul akibat adanya interaksi agama dan budaya lokal melahirkan berbagai atraksi-atraksi
kebudayaan, ritual ritual keagamaan, sampai pada seni yang bernuansa keagamaan. Kalimantan
Utara memiliki banyak suku budaya yang tidak dapat terhindar dari "intervensi" agama pada ritual-
ritual budaya. Begitu juga sebaliknya, nuansa agama selalu dibalut oleh kebudayaan dari suku-suku
yang terdapat di beberapa wilayah di Provinsi Kalimantan Utara, Kalimantan Utara memiliki 4
(empat) kabupaten dan 1 (satu) kota, yaitu Kabupaten Bulungan (sebagai Ibu Kota Provinsi Kaltara),
Kota Tarakan, Kabupaten Nunukan (wilayah perbatasan), Malinau, dan Tana Tidung

Penduduk asli di provinsi Kalimantan Utara didominasi oleh tiga suku asli yaitu suku Tidung, suku
Bulungan, dan suku Dayak. Ketiga suku ini merupakan satu rumpun suku yaitu Dayak. Suku Dayak
merupakan suku yang menganut agama animisme dan dinamisme awalnya, namun ketika masuknya
agama kristen, maka mayoritas agama suku Dayak adalah Kristen. Berbeda dengan dua suku lainnya
yaitu Tidung dan Bulungan. Kedua suku ini awalnya juga menganut kepercayaan animisme dan
dinamisme, namun, ketika masuknya ulama-ulama dari negara Arab, Cina, India, dan Gujarat, maka
kedua suku ini pun menganut Agama Islam hingga sekarang.

Selain ketiga suku asli tersebut, terdapat pula suku-suku lain yang disinyalir geneologinya berasal
dari wilayah Kalimantan Utara, baik yang tinggal di wilayah pegunungan (perbukitan), atau hutan,
maupun tinggal di sungai-sungai kecil atau pesisir pantai, seperti: Suku Suluk, Bajo (Bajau), dan suku-
suku sub rumpun lain dari suku Dayak

Perkembangan budaya keagamaan di Kalimantan Utara hingga wilayah perbatasan (Nunukan) turut
diperkuatoleh besarnya eksoduse para perantau dari berbagai penjuru wilayah Nusantara, seperti
Suku Bugis Sulawesi Selatan, Sumatra, dan Banjarmasin semakin memperkuat interaksi budaya
keagamaan di wilayah Kalimantan

Dipindai dengan CamScanner

Utara. Terutama di wilayah perbatasan Sebatik Nunukan, derasnya arus imigrasi suku Bugis ke
wilayah Kalimantan khususnya perbatasan semakin menambah khazanah budaya keagamaan di
Perbatasan. Akan tetapi, derasnya arus ini turut membuat suku asli (Tidung) di pulau Sebatik
semakin terpinggirkan, meskipun terjadi perkawinan antara suku Bugis dan Tidung, namun kuatnya
akulturasi budaya dari Suku Bugis maka banyak dari kalangan suku Tidung lebih menyerap budaya
Suku Bugis ketimbang menjaga tradisi budayanya terutama bahasa ibu mereka.

Melimpahnya suku-suku juga beriringan dengan banyaknya tradisi budaya dan ritual keagamaan
yang dilakukan dari masing masing suku yang ada di Kalimantan Utara. Tradisi budaya dan

ritual keagamaan yang masih berkembang saat ini sering kali dipadupadankan dengan kepercayaan
atau agama yang dianut oleh masing-masing suku. Artinya perpaduan budaya dan agama menjadi
sebuah karya cipta (kebudayaan) yang harmonis dan bermanfaat menjadi pengikat bagi masyarakat
dan warganya.
Berbagai aktivitas interaksi budaya dan agama ini kemudian melahirkan sistem budaya keagamaan
Kalimantan Utara yaitu: Iraw

Tengkayu (Pesta Laut)-orang suku Bulungan menyebutnya "Birau" juga sama halnya sebagai suatu
ritual budaya keagamaan yang dilakukan suku pribumi sebagai wujud syukur atas nikmat Tuhan.
Perbedaannya, suku Tidung melakukan ritual budaya keagamaan ini di laut, sedangkan suku
Bulungan di sungai. Medianya dengan membuat perahu tujuh haluan (pdate tuju dulung) dengan
simbol warna kuning berada di paling puncak (atas), kemudian disusul warna hijau, dan merah.
Warna ini tentu memiliki filosofi yang tentu tidak hanya bersentuhan dengan budaya tetapi juga
agama. Warna kuning memiliki filosofi hanya satu penguasa tertinggi di alam semesta yaitu Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Adapun warna hijau melambangkan kepercayaan dan keyakinan terhadap
Tuhan yang Maha Esa (Allah Swt). Sedangkan warna merah melambangkan ketegasan dan
keberanian. Tidak hanya itu, perahu ini memiliki tujuh haluan (tuju dulung) yang memiliki makna
dalam kehidupan manusia ada 7 (tujuh) hari dalam seminggu untuk mereka beribadah dan bekerja,
selain itu terdapat 5 (lima) buah tiang di atas perahu yang melambangkan shalat lima waktu dalam
sehari semalam.

Dipindai dengan CamScanner

Sedangkan aktivitas ritual budaya keagamaan yang berkembang dan dipengaruhi oleh suku-suku lain
yaitu perayaan tasmiah dan tasyakuran kelahiran yang biasanya dilakukan ritual asrakal barjanzi
(membaca berjanzi) - ritual ini juga dipengaruhi oleh budaya lain seperti Suku Bugis dan Suku Banjar
yang ada di Kalimantan Utara.

Berbagai ritual budaya keagamaan yang ada tentu tidak lepas dari adanya perpadupadanan antara
ritual budaya dan ritual agama yang masuk dan diadaptasikan menurut budaya yang ada menurut
kearifan lokal masyarakat tempatan guna menterjemahkan berbagai budaya keagamaan yang tentu
menjadi ciri khas terhadap suatu wilayah

Ketika Islam datang pada masyarakat, masyarakat sudah lebih dahulu memiliki petunjuk-petunjuk
yang mereka pedomani dan sifatnya masih lokal. Ada atau tidaknya agama, masyarakat akan terus
hidup dengan pedoman yang telah mereka miliki itu. Datangnya Islam identik dengan datangnya
kebudayaan baru, yang akan berinteraksi dengan kebudayaan lama dan mengubah unsur unsur
kebudayaan lama.

Dalam Islam dan budaya lokal, hubungan agama dan kebudayaan dapat digambarkan sebagai
hubungan yang ber langsung secara timbal balik. Agama secara praksis merupakan produk dari
pemahaman dan pengalaman masyarakat, berdasarkan kebudayaan yang telah dimilikinya.
Sedangkan kebudayaan, selalu berubah mengikuti agama yang diyakini oleh masyarakat.

Agama-agama besar termasuk Islam, selalu mengalami proses domestikasi, yaitu pemahaman dan
pelaksanaan agama, disesuaikan dengan konteks dan kemampuan masyarakat lokal. Dalam konteks
dinamika dan sejarah perkembangan di Nusantara, fakta menegaskan bahwa Islam memiliki
kemampuan menganeksisasi" budaya budaya lokal tanpa mengubah penampakannya, lalu
mengisinya dengan nilai-nilai keislaman hingga menjadi kebudayaan yang kaya dan beragam. Bahkan
dalam titik tertentu, semakin menunjukkan universalitas Islam yang bisa selaras dengan dinamika
dan perubahan tempat dan zaman (Bizawe: 2015). Terdapat banyak bentuk akulturasi budaya, yang
memadukan nilai-nilai Islam dan budaya lokal, dengan tanpa menghilangkan budaya lokal namun
justru memperkuat budaya itu dengan aspek-aspek religius.

Dipindai dengan CamScanner

Anda mungkin juga menyukai