INDONESIA
FIRDAUS EL HADI, M.SOC.SC
TIGA TEORI MASUKNYA ISLAM DI
INDONESIA
TEORI GUJARAT
TEORI MEKAH
TEORI PERSIA
TEORI GUJARAT
Tatkala para pedagang asing menetap – baik sementara waktu ataupun seterusnya – mereka
membangun pemukiman yang disebut Pekojan.[6] Banyak di antara pada saudagar Islam
yang kaya sehingga menarik hati kaum pribumi, terutama anak-anak kaum bangsawan,
untuk menikahi mereka. Masalahnya, para pedagang menganggap pernikahan dengan
penganut berhala tidak sah. Mereka mensyaratkan bahwa untuk menikah, penduduk
Indonesia harus masuk Islam dengan mengucapkan syahadat terlebih dahulu. Proses
pernikahan singkat, tidak melalui upacara yang panjang-lebar, membuat kalangan pribumi
semakin menerima keberadaan orang-orang asing berikut agama barunya ini.
Mukimnya pedagang Islam dalam kegiatan perdagangan (sekadar transit atau menetap),
membuat mereka berkembang biak di sekitar wilayah pelabuhan. Pola ini mampu
mengembangkan pemukiman Islam baru (disebut koloni). Ini menjelaskan mengapa
Kerajaan Islam nusantara selalu berawal dari wilayah-wilayah pesisir seperti Bone, Banjar,
Banten, Demak, Cirebon, Samudera Pasai, Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, Hitu, ataupun
Deli.
PERKAWINAN
Perkawinan. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, perkawinan
banyak dilakukan antara pedagang Islam dengan putri-putri
adipati. Dalam pernikahan, mempelai pria Islam (juga
wanitanya) mengajukan syarat pengucapan kalimat syahadat
sebagai sahnya pernikahan. Anak-anak yang dihasilkan dari
pernikahan tersebut cenderung mengikuti agama orang tuanya
yang Islam. Perkawinan antara saudagar Islam dengan anak-anak
kaum bangsawan, raja, atau adipati menguntungkan
perkembangan Islam. Status sosial, ekonomi, dan politik mertua-
mertua mereka memungkinkan Islam melakukan penetrasi
langsung ke jantung kekuasaan politik lokal (palace circle). Saat
sudah berada di aras pusat kekuasaan politik, penerbitan
kebijakan-kebijakan yang menguatkan penyebaran Islam
mendapat prioritas dalam input, konversi, dan output kebijakan
para sultan atau para adipatinya.
TASAWUF
Tasawuf merupakan epistemologi Islam yang banyak
menarik perhatian kalangan pribumi. Metodenya yang
toleran, tidak mengakibatkan cultural shock signifikan,
membuat banjir penganut Islam baru. Tasawuf cenderung
tidak menciptakan posisi diametral Islam dengan budaya
India ataupun tradisi lokal yang dipraktekkan kalangan
pribumi. Tokoh-tokoh tasawuf Hamzah Fansuri, Syamsudin
Pasai, ataupun beberapa tokoh Wali Sanga (termasuk juga
Syekh Siti Jenar) mengambil posisi kunci dalam metode
penyebaran ini. Lewat tasawuf pula, bentuk Islam yang
diperkenalkan menunjukkan persamaan dengan alam pikiran
orang-orang Jawa-Hindu, çiwa, dan Buddha. Akibatnya,
Islam tidak dipandang sesuatu yang sama sekali asing bagi
kalangan pribumi.
PENDIDIKAN
Pendidikan. Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal
sebagai basis pendidikan agama Buddha, khususnya
perguruan Nalendra di Sumatera Selatan. Pecantrikan
dan Mandala adalah sekolah tempat para penuntut ilmu
di kalangan penduduk pra Islam. Setelah Islam masuk,
peran Pecantrikan dan Mandala tersebut diambil alih lalu
diberi muatan Islam dalam kurikulumnya. Kini
pesantren (Islam) berlaku sebagai pusat pembinaan guru
agama, kiai, dan ulama. Selesai pendidikan, lulusan
kembali ke kampung dan desa masing-masing untuk
menjadi tokoh agama atau mendirikan pesantren sendiri.
Misalnya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang
mendirikan pesantren di Ampel Denta
KESENIAN
Seni. Tidak bisa dipungkiri, seni punya peran signifikan
dalam penyebaran Islam. Orang Indonesia sebelum
kedatangan Islam terkenal sebagai seniman-seniman
jenius yang punya kemashuran tinggi. Lewat seni, Islam
mampu menjangkau segmen lebih luas masyarakat
pribumi, termasuk para elitnya. Sunan Kalijaga
misalnya, menggunakan wayang sebagai cara dakwah
baik atas penduduk biasa maupun elit sosial. Sunan
Bonang menggunakan gamelan dalam melantunkan
syair-syair keagamaan. Ini belum termasuk tokoh-tokoh
lain yang mengadaptasi seni kerajinan lokal dan India
yang diberi muatan Islam.
EGALITARIANISME
Egalitarianisme akhirnya menempati posisi kunci.
Problem utama di budaya sebelumnya adalah stratifikasi
sosial berdasarkan kasta. Meski tidak terlampau ketat,
Hindu di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi
terbentuknya kasta sosial seperti Brahmana, Ksatria,
Waisya, Sudra dan Paria. Masyarakat biasa kurang
leluasa dengan sistem ini oleh sebab mengakibatkan
sejumlah keterbatasan dalam hal pergaulan dan
perkawinan. Lalu, Islam datang dan tidak mengenal
stratifikasi sosial. Mudah dipahami, orang-orang
Indonesia (terutama dari kasta bawah) yang hendak
bebas merespon baik agama baru ini.
PENGARUH ISLAM DARI SEGI BAHASA
Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar
semenanjung Malaya. Menyusul konversi tersebut,
penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu.
Melayu lalu digunakan sebagai bahasa dagang yang
banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia.
Seiring perkembangan awal Islam, bahasa Melayu pun
memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur
bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari
kosakata bahasa Melayu merupakan adaptasi bahasa
Arab. Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf
Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal
sebagai huruf Jawi.
PENGARUH ISLAM DARI SEGI
PEMERINTAHAN
Dalam pemerintahan, sebelum Islam masuk Indonesia,
sudah berkembang pemerintahan yang bercorak Hindu
ataupun Budha, tetapi setelah Islam masuk, maka
kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu/Budha
mengalami keruntuhannya dan digantikan peranannya
oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam seperti
Samudra Pasai, Demak, Malaka dan sebagainya.
Sistem pemerintahan yang bercorak Islam, rajanya
bergelar Sultan atau Sunan seperti halnya para wali dan
apabila rajanya meninggal tidak lagi dimakamkan
dicandi/ dicandikan tetapi dimakamkan secara Islam.
PENGARUH ISLAM DARI SEGI
PENDIDIKAN
salah satu wujud pengaruh Islam yang lebih sistemik
secara budaya adalah pesantren. Asal katanya pesantren
kemungkinan shastri (dari bahasa Sanskerta) yang berarti
orang-orang yang tahu kitab suci agama Hindu. Atau,
kata cantrik dari bahasa Jawa yang berarti orang yang
mengikuti kemana pun gurunya pergi. Fenomena
pesantren telah berkembang sebelum Islam masuk.
Pesantren saat itu menjadi tempat pendidikan dan
pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk,
kurikulum dan proses pendidikan pesantren diambilalih
Islam.