Anda di halaman 1dari 12

Nama : Eki Puji Prasetia

Tugas ke :7

Judul : Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia

Mata Kuliah : Sejarah Pendidikan Islam

A. Proses Masuknya Islam ke Indonesia Serta Sosio Kultural Masyarakat

Durasi penyebaran awal Islam Indonesia dalam kisaran abad ke-7 hingga 13 Masehi.
Penyebarnya berasal dari Arab, Persia, dan India (Gujarat, Benggala). Profesi para penyebar
umumnya pedagang, mubalig, wali, ahli-ahli tasawuf, guru-guru agama, dan haji-haji.
Mereka menyebarkan Islam lewat sejumlah saluran. Saluran-saluran ini berlangsung dalam
enam aras, yaitu perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni dan tawaran
pembentukan masyarakat egalitarian dalam strata sosial.

Perdagangan merupakan metode penetrasi Islam paling kentara. Dalam proses ini, pedagang
nusantara dan Islam asing bertemu dan saling bertukar pengaruh. Pedagang asing umumnya
berasal dari Gujarat dan Timur Tengah (Arab dan Persia). Mereka melakukan kontak dengan
para adipati wilayah pesisir yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Sebagian
dari para pedagang asing ini menetap di wilayah yang berdekatan dengan pantai dan
mendifusikan Islam mereka.

Tatkala para pedagang asing menetap – baik sementara waktu ataupun seterusnya – mereka
membangun pemukiman yang disebut Pekojan. Banyak di antara pada saudagar Islam yang
kaya sehingga menarik hati kaum pribumi, terutama anak-anak kaum bangsawan, untuk
menikahi mereka. Masalahnya, para pedagang menganggap pernikahan dengan penganut
berhala tidak sah. Mereka mensyaratkan bahwa untuk menikah, penduduk Indonesia harus
masuk Islam dengan mengucapkan syahadat terlebih dahulu. Proses pernikahan singkat, tidak
melalui upacara yang panjang-lebar, membuat kalangan pribumi semakin menerima
keberadaan orang-orang asing berikut agama barunya ini. Mukimnya pedagang Islam dalam
kegiatan perdagangan (sekadar transit atau menetap), membuat mereka berkembang biak di
sekitar wilayah pelabuhan. Pola ini mampu mengembangkan pemukiman Islam baru (disebut
koloni). Ini menjelaskan mengapa Kerajaan Islam nusantara selalu berawal dari wilayah-
wilayah pesisir seperti Bone, Banjar, Banten, Demak, Cirebon, Samudera Pasai, Ternate,
Tidore, Bacan, Jailolo, Hitu, ataupun Deli.

Seperti telah dipaparkan sebelumnya, perkawinan banyak dilakukan antara pedagang Islam
dengan putri-putri adipati. Dalam pernikahan, mempelai pria Islam (juga wanitanya)
mengajukan syarat pengucapan kalimat syahadat sebagai sahnya pernikahan. Anak-anak yang
dihasilkan dari pernikahan tersebut cenderung mengikuti agama orang tuanya yang Islam.
Perkawinan antara saudagar Islam dengan anak-anak kaum bangsawan, raja, atau adipati
menguntungkan perkembangan Islam. Status sosial, ekonomi, dan politik mertua-mertua
mereka memungkinkan Islam melakukan penetrasi langsung ke jantung kekuasaan politik
lokal (palace circle). Saat sudah berada di aras pusat kekuasaan politik, penerbitan kebijakan-
kebijakan yang menguatkan penyebaran Islam mendapat prioritas dalam input, konversi, dan
output kebijakan para sultan atau para adipatinya.

Tasawuf merupakan epistemologi Islam yang banyak menarik perhatian kalangan pribumi.
Metodenya yang toleran, tidak mengakibatkan cultural shock signifikan, membuat banjir
penganut Islam baru. Tasawuf cenderung tidak menciptakan posisi diametral Islam dengan
budaya India ataupun tradisi lokal yang dipraktekkan kalangan pribumi. Tokoh-tokoh
tasawuf Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, ataupun beberapa tokoh Wali Sanga (termasuk
juga Syekh Siti Jenar) mengambil posisi kunci dalam metode penyebaran ini. Lewat tasawuf
pula, bentuk Islam yang diperkenalkan menunjukkan persamaan dengan alam pikiran orang-
orang Jawa-Hindu, çiwa, dan Buddha. Akibatnya, Islam tidak dipandang sesuatu yang sama
sekali asing bagi kalangan pribumi.

Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal sebagai basis pendidikan agama Buddha, khususnya
perguruan Nalendra di Sumatera Selatan. Pecantrikan dan Mandala adalah sekolah tempat
para penuntut ilmu di kalangan penduduk pra Islam. Setelah Islam masuk, peran Pecantrikan
dan Mandala tersebut diambil alih lalu diberi muatan Islam dalam kurikulumnya. Kini
pesantren (Islam) berlaku sebagai pusat pembinaan guru agama, kiai, dan ulama. Selesai
pendidikan, lulusan kembali ke kampung dan desa masing-masing untuk menjadi tokoh
agama atau mendirikan pesantren sendiri. Misalnya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang
mendirikan pesantren di Ampel Denta. Selain itu, pesantren yang didirikan Sunan Giri
menjadi terkenal hingga Maluku dan menyebabkan penduduk Maluku (khususnya wilayah
Hitu) datang berguru pada Sunan Giri. Atau, para kiai dari Giri diundang mengajar ke Hitu.
Biasanya, yang diundang menjadi khatib, modin, atau kadi masyarakat Hitu dan diberi upah
cengkih.

Tidak bisa dipungkiri, seni punya peran signifikan dalam penyebaran Islam. Orang Indonesia
sebelum kedatangan Islam terkenal sebagai seniman-seniman jenius yang punya kemashuran
tinggi. Lewat seni, Islam mampu menjangkau segmen lebih luas masyarakat pribumi,
termasuk para elitnya. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan wayang sebagai cara dakwah
baik atas penduduk biasa maupun elit sosial. Sunan Bonang menggunakan gamelan dalam
melantunkan syair-syair keagamaan. Ini belum termasuk tokoh-tokoh lain yang mengadaptasi
seni kerajinan lokal dan India yang diberi muatan Islam.

Egalitarianisme akhirnya menempati posisi kunci. Problem utama di budaya sebelumnya


adalah stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Meski tidak terlampau ketat, Hindu di Indonesia
sedikit banyak dipengaruhi terbentuknya kasta sosial seperti Brahmana, Ksatria, Waisya,
Sudra dan Paria. Masyarakat biasa kurang leluasa dengan sistem ini oleh sebab
mengakibatkan sejumlah keterbatasan dalam hal pergaulan dan perkawinan. Lalu, Islam
datang dan tidak mengenal stratifikasi sosial. Mudah dipahami, orang-orang Indonesia
(terutama dari kasta bawah) yang hendak bebas merespon baik agama baru ini.

B. Pendidikan Islam Masa Permulaan di Indonesia

Pendidikan Islam di Indonesia pada masa awalnya bersifat informal, yakni melalui interaksi
inter-personal yang berlangsung dalam berbagai kesempatan seperti aktivitas perdagangan
dan keteladanan. Pada konteks ini mempunyai pengaruh besar dalam menarik perhatian dan
minat seseorang untuk mengkaji atau memeluk ajaran Islam. Selanjutnya, ketika agama ini
kian berkembang, system pendidikan pun mulai berkembang:

1. Sistem pendidikan langgar

Di tiap-tiap desa yang penduduknya telah menjadi muslim umumnya didirikan langgar atau
masjid. Fasilitas tersebut bukan hanya sebagai tempat shalat saja, melainkan juga tempat
untuk belajar membaca al-Qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat elementer lainnya.
Pendidikan di langgar di mulai dari mempelajari abjad huruf Arab (hijaiyah) atau kadang-
kadang langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci al-
qur;an.pendidikan di langgar di kelolah oleh seorang petugas yang disebut amil, modil, atau
lebai (di sumatera) yang mempunyai tugas ganda, disamping memberikan do’a pada waktu
upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru. Pelajaran biasanya diberikan pada
tiap pagi atau petang hari, satu sampai dua jam. Pelajaran memakan waktu selama beberapa
bulan, tetapi pada umumnya sekitar satu tahun.

Metode pembelajaran adalah murid duduk bersila dan guru pun duduk bersila dan murid
belajar pada guru seorang demi seorang. Satu hal yang masih belum dilaksanakan pada
pengajaran al-qur’an di langgar, dan ini merupakan kekurangannya adalah tidak diajarkannya
menulis huruf  Al-qur’an (huruf arab), dengan demikian yang ingin dicapainhanya membaca
semata. Padahal menurut metode baru dalam pengajaran menulis, seperti halnya yang
dikembangkan sekarang dengan metode iqra’, dimana tidak hanya kemampuan membaca
yang ditekankan, akan tetapi dituntut juga penguasaan si anak di dalam menulis.

2. Sistem Pendidikan Pesantren

Secara tradisional, sebuah pesantren identik dengan kyai (guru/pengasuh), santri (murid),
masjid, pemondokan (asrama) dan kitab kuning (referensi atau diktat ajar). Sistem
pembelajaran relatif serupa dengan sistem di langgar/masjid, hanya saja materinya kini kian
berbobot dan beragam, seperti bahasa dan sastra Arab, tafsir, hadits, fikih, ilmu kalam,
tasawuf, tarikh dan lainnya. Di pesantren, seorang santri memang dididik agar dapat menjadi
seorang yang pandai (alim) di bidang agama Islam dan selanjutnya dapat menjadi pendakwah
atau guru di tengah-tengah masyarakatnya.

C. Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam Pada Kerajaan Islam di Sumatera

1. Pendidikan Islam Di Minangkabau

Menurut sebagian ahli sejarah, Islam masuk ke Minangkabau kira-kira tahun 1250 M. Ulama
yang termasyhur sampai sekarang sebagai pembawa Islam ke Minangkabau adalah Syekh
Burhanuddin yang dilahirkan di Sintuk Pariaman tahun 1066 H/ 1646 M dan wafat tahun
1111 H/ 1691 M. Dia mengajarkan agama Islam dan membuka madrasah (surau) tempat
pendidikan dan pengajaran agama Islam. Menurut Prof. H. Mahmud Yunus, Syekh inilah
yang pertama kali mendirikan madrasah untuk menyiarkan pendidikan dan pengajaran Islam
di Minangkabau dengan sistem yang lebih teratur sesuai dengan sistem pendidikan dan
pengajaran Islam yang digunakan gurunya, Syekh Abdul Rauf di Aceh.

Agama Islam masuk ke Minangkabau melalui dua arah, yaitu:

a) Dari Malaka, melalui Sungai Siak dan Sungai Kampar lalu ke pusat Minangkabau.
b) Dari Aceh, melalui pesisir barat.

Pendidikan Islam di Minangkabau mengalami perkembangan yang pesat karena banyaknya


buku-buku pelajaran agama Islam yang masuk ke sana. Adapun susunan materi pendidikan
Islam di Minangkabau antara lain:

a) Belajar huruf Hijaiyah seperti halnya di Aceh.


b) Pengajian kitab yang terbagi atas tiga tingkatan, yaitu:  Nahwu, Saraf, dan Fiqih,
Tauhid, Tafsir.
c) Pengajian ilmu Tasawuf, Mantiq, dan Balaghah.

Sistem pendidikan yang digunakan masih seperti masa-masa awal, yaitu halaqah dan


sistem majelis taklim. Di Minangkabau yang menjadi pusat pendidikan awal permulaan Islam
adalah Surau kemudian dibuat ruang-ruang berbentuk kelas, dinamakan madrasah.

Sebagaimana telah disebutkan di muka, bahwa Syekh Burhanuddin adalah orang pertama
yang melakukan pendidikan keislaman. Diantara muridnya  yang termasyhur adalah Tuanku
Mansiang Nan Tuo di Paninjauan. Selain itu, ada pula Tuanku di Tanah Rao, dan masih
banyak lagi para Tuanku yang mengajarkan ilmu agama Islam di Minangkabau.

Tokoh yang terkenal dalam perang Paderi adalah Tuanku Imam Bonjol. Dari segi sejarah
pendidikan Islam Malin Basa (Tuanku Imam Bonjol) sangat berjasa dalam proses penyebaran
pendidikan agama Islam sesuai dengan sistem yang dibawa dari Mekkah. Namun, penjajahan
Belanda di Minangkabau selama 108 tahun, membuat pengajaran agama Islam mundur
sehingga datang pembaharu kedua, ketiga dan seterusnya.

Pada masa sebelum tahun 1900, sistem pendidikan di Minangkabau dinamai sistem lama.
Sistem lama itu dilakukan dengan pengajian Al-Qur’an sebagai pendidikan Islam pertama.
Sistem ini meliputi cara mengajarkan huruf Al-Qur’an (hijaiyah), yaitu dengan cara
mengajarkan nama-nama huruf menurut tertib Qidah Bagdadiyah,kemudian titik huruf,
macam-macam baris dan membaca juz Amma, selanjutnya mushaf Al-Qur’an. Cara
mengajarkan ibadah bermula dari bersuci, wudhu, lalu shalat. Cara mengajarkan akhlak
melalui cara menceritakan nabi-nabi dan orang shaleh, serta suri teladan dari guru agamanya.
Cara mengajarkan iman, dengan cara mengajarkan keimanan. Pengajian kitab yang diajarkan
bila anak telah mampu membaca Al-Qur’an, yaitu dengan mempelajari kitab nahu, sharaf,
ilmu fikih, ilmu tafsir dan lain-lain.

Adapun sistem baru yang digunakan dalam pendidikan dan pengajaran di Minangkabau
dimulai tahun 1900-1908. Pada tahun 1909-1930, lahirlah madrasah-madrasah yang
menggunakan sistem baru (klasikal). Sekolah yeng pertama kali menggunakan sistem baru
tersebut adalah Sekolah Adabiyah di Padang yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad
pada tahun 1909.

Di samping madrasah-madrasah yang diperuntukkan bagi anak-anak, perguruan-perguruan


tinggi Islam pun mulai berdiri seperti Sekolah Tinggi Islam yang didirikan oleh Mahmud
Yunus pada tanggal 9 Desember 1940.

Sejak 1945-1959 sekolah-sekolah pemerintah resmi dimasukkan, serta guru-guru agama pun
ditetapkan dan mendapat gaji. Hasil ini didapat diantaranya karena perjuangan Mahmud
Yunus yang pada waktu itu menjabat sebagai pemeriksa agama pada kantor pengajaran di
Minangkabau. Dari sanalah, pendidikan Islam dikembangkan dari pendidikan dasar sampai
perguruan tinggi. Di antara para pembaharu pendidikan Islam di Minangkabau adalah H.
Muh. Taib Umar (1874-1920), Syekh H. Abdul Karim Amrullah (1879-1945), Syekh H.
Ibrahim Musa (1884), Syekh Abdullah Ahmad (1878-1933), Syekh M. Jamil Jambek (1860-
1947), Syekh H. Abbas Abdullah (1883-1957), Zaenuddin Labai el Yunusi (1890-1924).

Merekalah yang berjasa besar terhadap kemajuan pendidikan Islam di Minangkabau yang
sampai sekarang masih terus ditumbuhkembangkan.

  

2. Pendidikan Islam Di Jambi

Jambi adalah salah satu daerah yang berpegang teguh pada ajaran Islam. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya pesantren/madrasah di Jambi, seperti berikut:

a. Pesantren/ Madrasah Nurul Iman di Jambi

Pesantren ini didirikan pada tahun 1332 H oleh H. Abdul Samad. Pada mulanya sistem ini
digunakan sama seperti pesantren-pesantren lainnya, yaitu sistem halaqah. Namun, beberapa
tahun kemudian memakai sistem klasikal, yaitu dalam pelaksanaan pengajarannya
menggunakan ruangan kelas, papan tulis, meja, bangku dan sebagainya.

b. Madrasah Sa’adatud Darain

Madrasah ini didirikan oleh H. Ahmad Syakur. Sistemnya sama dengan madrasah Nurul
Iman. Murid-muridnya kurang lebih 300 orang dengan gurunya 20 orang di tahun 1957.

c. Madrasah Nurul Islam

Madrasah ini didirikan oleh Kamas H. Muh. Shaleh. Jumlah muridnya hampir sama dengan
madrasah Sa’adatud Darain.

d. Madrasah Jauharain

Madrasah ini didirikan pada tahun 1340 H oleh H. Abd. Majid. Muridnya hampir sama
dengan madrasah Nurul Islam
e. Madrasah As’ad

Madrasah ini didirikan oleh K. Abd. Kadir pada tahun 1952. Sistemnya seperti dikemukakan
prof. H. Mahmud Yunus, yaitu mengikuti sistem-sistem madrasah di Minangkabau. Begitu
pula, buku-buku yang dipelajarinya.

3. Pendidikan Islam Di Aceh 

Sejak masuknya Islam ke Aceh sekitar tahun 1290 M, pendidikan Islam lahir dan tumbuh
dengan suburnya, terutama dengan berdirinya kerajaan Islam di Pasai. Pesantren-pesantren
pun dibangun dengan bantuan pihak pemerintah Islam pada waktu itu. Masa pemerintahan
Iskandar Muda, merupakan zaman keemasan bagi pendidikan Islam sehingga tumbuh nama-
nama ulama yang termasyhur seperti: Syekh Nurudin Ar-Raniri, Syekh Ahmad Khatib
Langin, Syekh Syamsudin As-Sumatrawi, Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Abdur Rauf dan
muridnya dan Syekh Burhanuddin yang kemudian menjadi ulama besar di Minangkabau.

Syekh Abdur Rauf adalah ulama yang menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu.
Tafsir Al-Qur’an iru bernama Tarjamanul Mustafid Bil Jawi. Ulama-ulama Aceh pun telah
mengarang kitab-kitab dengan bahasa Aceh, seperti: Akhbarul Karim, Bahaya Siribene dan
masih banyak lagi. Hal ihwal tentang pendidikan Islam di Aceh cukup semarak dan maju
karena mendapat dukungan dari pihak pemerintah. Namun, sangat disayangkan, keadaan
yang damai dalam menjalankan syariat pendidikan Islam terbengkalai setelah timbulnya
kerusuhan-kerusuhan antara kampung yang satu dan kampung yang lainnya. Pada tahun
1873-1904 terjadi peperangan Aceh karena ulah para penjajah Belanda terhadap umat Islam
yang bermaksud menghancurkan persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam.

4. Pendidikan Islam Di Sumatera Utara

Pendidikan Islam di Sumatera Utara ditandai oleh tumbuhnya berbagai pesantren dan
madrasah yang cukup qualified dalam mencetak kader penerus cita-cita bangsa dan agama.
Di antara pesantren yang terkenal adalah pesantren Syekh Hasan Ma’sum di Medan (1916
M), Pesantren Syekh Abdul Wahab Sungai Lumut, Panai Labuhanbilik (Labuhanbatu),
Pesantren/ Madrasah Abdul Hamid Tanjung Balai, Asahan dan Pesantren Syekh Sulaiman
At-Tambusy (Kualuh). Adapuan madrasah yang terkenal adalah Madrasah Maslurah (1331
H/ 1912 M), Madrasah Aziziyah (1923 M). Madrasah Lilbanat, dan Maktab Islamiyah
Tapanuli Medan (1336 H/ 1918 M).

Pesantern dan madrasah tersebut sudah mempraktikkan rencana pengajaran yang tersusun
rapi memakai sistem klasikal dan bertingkat bagi madrasah, mempelajari kitab klasik bagai
pesantren dan ilmu pengetahuan umum bagi madrasah.

Di samping pesantren dan madrasah, telah berdiri pula Universitas Islam Sumatera Utara
(UISU) yang didirikan di Medan tanggal 7 Januari 1952 M yang mulanya bernama Perguruan
Tinggi Islam Indonesia Medan. Perubahan nama menjadi UISU terjadi pada tahun 1956 M.

5. Pendidikan Islam Di Sumatera Selatan (Palembang Dan Lampung)


Memasuki tahun 1930-an muncul berbagai lembaga pendidikan Islam di beberapa wilayah di
karesidenan Palembang, terutama di Palembang antara lain; Madrasah Al-Ilhsan 10 ilir,
Madrasah Arabiyah 13 Ulu, Madrasah Nurul Falah, Madrasah Muhammadiyah, Madrasah
Darul Funun dan Madrasah Ma’had Islami Selain dalam format Madrasah, Lembaga
pendiidkan Islam di Palembang juga muncul dalam format sekolah umum ala Belanda yang
akhirnya disebut sekolah Islam, artinya dalam penyelenggaraan pendidikannya juga
menyajikan materi pelajaran agama. Berbagai pembaharuan dalam berbagai unsur baik dari
segi organisasi, administrasi, kurikulum maupun aspek-aspek yang terdapat dalam system
dan lembaga pendidikan Islam di Palembang dan bersumber pada ide-ide yang dibawa oleh
para alumni pusat-pusat pendidikan Islam di Timur Tengah, adopsi dari sistem dan lembaga
dan lembaga pendidikan Barat yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda. Selain itu
bersumber juga dari gerakan pembaharuan pendidikan pendidikan di Indonesia khususnya
dari pulau jawa dan pemikiran serta aksi pembaharuan social dan keagamaan Islam yang
dibawa oleh organisasi Islam semacam Muhammadiyah dan Al-Irsyad.

Sistem pengajaran di pesantren dan madrasah di Sumatera Selatan dalam hal pendidikan
Islam hampir sama dengan di Jawa, bagitu pula kitab yang dipelajrainya. Pesantren dan
madrasah yang terkenal, seperti: madrasah Al-Qur’aniyah, Sekolah Ahliyah Diniyah,
Madrasah Nurul Falah dan Madrasah Darul Funun.

Di samping pesantren dan madrasah juga telah berdiri Perguruan Islam Tinggi Palembang di
Sumatera Selatan pada tahun 1957 M.

Syekh Burhanuddin dilahirkan di Sintuk Pariaman pada tahun 1066 H = (1646 M) dan wafat
1111 H (1691 M). Menurut riwayatnya, syekh Burhanuddin belajar ilmu agama di Aceh
(Kotaraja) pada Syekh Abdur-Rauf bin Ali berasal dari Singkil. Beliau belajar dengan rajin,
sehingga menjadi seorang ulama besar. Kemudian beliau kembali pulang ke Pariaman
menyiarkan ilmu agama Islam. Mula-mula di kampung tempat lahirnya di Sintuk, kemudian
pindah ke Ulakan. Di Ulakan beliau mengajarkan ilmu agama Islam dan membuka madrasah
(surau) tempat pendidikan dan pengajaran Islam.

Beberapa tahun lamanya beliau menunaikan tugasnya memberikan pendidikan dan


pengajaran Islam, maka pada tahun 1111 H = (1691 M) beliau meninggal dunia dalam usia
kurang lebih 45 tahun. Dan dikuburkan di Ulakan, tempat beliau mengajar itu. Kemudian
berturut-turut digantikan oleh murid-muridnya yang meninggal pula di sana ada yang di
kuburkan dekat kuburan gurunya.

D. Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Jawa

Kerajaan Islam di Jawa meliputi Kerajaan Demak, Pajang, Mataram, Cirebon dan Banten.
Pendidikan Islam yang berlangsung di kerajaan demak, Pajang dan Mataram beriringan
dengan kegiatan dakwah Islam yang dilakukan para ulama dan para wali. Raden fatah, raja
pertama kerajaan demak, adalah santri perguruan Islam Denta.

Kesultanan Demak mencapai zaman kemajuannya pada kekuasaan sultan Trenggono yang
berkuasa tahun 1524- 1546. Demak berkembang menjadi kerajaan terkemuka dan pusat
islamisasi. Masjid Demak terkenal sebagai tempat berkumpulnya berkumpulnya Walisongo
yang dianggap paling berpengaruh dalam penyebaran Islam di Jawa.

Memang antara Kerajaan Deamak dengan wali-wali yang Sembilan atau Walisonggo terjalin
hubungan yang bersifat khusus, yang boleh dikatakan semacam hubungan timbal-balik,
dimana sangatlah besar peranan para walisonggo di bidang dakwah Islam, dan juga Raden
Fatah sendiri menjadi raja adalah atas rasa keputusan para wali dan dalam hal ini para wali
tersebut juga sebagai penasehat dan pembantu raja.

Sistem pelaksanaarn pendidikan dan pengajaran agama Islam di Demak mempunyai


kemiripan dengan pelaksanaannya di Aceh, yaitu dengan mendirikan masjid di tempat-tempat
sentral di suatu daerah. Disana diajarkan pendidikan agama dibawah pimpinan seorang Badal
untuk untuk menjadi guru, yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta sumber
agama Islam.

Kitab-kitab agama Islam di zaman Demak yang masih dikenal ialah Primbon atau notes,
berisi segala macam catatan tentang ilmu-ilmu agama, macam-macam doa, bahkan juga
tentang ilmu obat-obatan, ilmu ghaib dan sebagainya. Ada juga kitab-kitab yang dikenal
dengan nama: Suluk Sunan Bonang, Suluk sunan Kalijaga, Wasita Jati Sunan Geseng dan
lain-lain. Semuanya itu berisi diktat didikan dan ajaran mistik(tasawuf) Islam dari masing-
masing sunan itu ditulis dengan tangan.

Pada zaman kerajaan Mataram, pendidikan sudah mendapat perhatian sedemikian rupa,
seolah-olah tertanam semacam kesadaran akan pendidikan pada masyarakat kala itu.
Meskipun tidak ada semacam undang-undang wajib belajar, tapi anak-anak usia sekolah
tampaknya harus belajar pada tempat-tempat pengajian di desanya atas kehendak orang
tuanya sendiri. Ketika itu hampir disetiap desa diadakan tempat pengajian alquran, yang
diajarkan huruf hijaiyah, membaca alquran, barzanji,, pokok dan dasar-dasar ilmu agama
Islam dan sebagainya. Adapun cara mengajarkannya adalah dengan cara hafalan semata-
mata. Di setiap tempat pengajian dipimpin oleh guru yang bergelar modin. Selain pelajaran
alquran, juga ada tempat pengajian kitab, bagi murid-murid yyang telah khatam mengaji
alquran. Tempat pengajianya disebut pesantren.

E. Metode Pendidikan Islam Walisongo

Ada beberapa jenis pendekatan pendidikan yang dilakukan Walisongo dalam mengajarkan
agama Islam, yaitu modeling, substantive, tidak diskriminatif, understable and applicable,
dan pendekatan kasih sayang.

1. Pendekatan Modelling

Modelling diartikan sebagai model, contoh, panutan. Artinya dalam menyampaikan ajaran
Islam tidak hanya sekedar memberitahu hal-hal yang sifatnya hanya kognitif semata, tetapi
juga dengan cara memberikan contoh. Islam adalah ajaran nilai yang mana tidak akan
berguna jika hanya digunakan sebatas pada pengetahuan kognitif saja. Dengan kata lain inti
dari pendidikan Islam adalah internalisasi nilai-nilai ke-Islaman. Oleh karena itu perlu adanya
sebuak objek yang bisa dijadikan teladan atau panutan.
Dalam dunia Islam Rosululloh adalah seorang pemimpin yang tidak diragukan lagi. Karena
kemuliaan akhlaknya beliau dijadikan sebagai sumber referensi pola kehidupan sehari-hari
umat Islam. Dia juga orang yang memiliki pengaruh besar terhadap peradaban manusia.
Bangsa Arab yang dahulu berwatak jahiliyah berangsur-angsur berubah karena
keteladanannya. Bahkan seorang penulis buku terkenal memposisikan Nabi Muhammad
SAW sebagai orang paling berpengaruh nomor satu dalam sejarah peradaban manusia.

Di Jawa, dalam masyarakat santri, kepemimpinan Rosululloh diterjemahkan dan diteruskan


oleh para Walisongo yang dikemudian hari sampai kini menjadikan mereka sebagai kiblat
kedua setelah Nabi.

Yang perlu ditegaskan adalah bahwa modelling mengikuti seorang tokoh pemimpin


merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa. Walisongo sebagai penyebar ajaran Islam
yang juga menjadi kiblat kaum santri sudah barang tentu berkiblat pada para guru besar dan
kepimpinan muslimin, Nabi Muhammad SAW. Kekuatan modelling ditopang dan sejalan
dengan sistem nilai Jawa yang mementingkan  paternalisme(system kepemimpinan
berdasarkan hubungan bapak dan anak) dan patron-client relation (hubungan pelindung-
klien/yang dilindungi) yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Jawa.

2. Pendekatan Substantif

Di zaman serba modern seperti sekarang ini, pendidikan mempunyai kedudukan amat penting
di dalamnya. Sebab tanpa pendidikan manusia tidak dapat mencapai prestasi yang begitu
tinggi dalam membangun peradaban. Suatu peradaban yang maju dan berkembang adalah
peradaban yang di dalamnya menjunjung tinggi pendidikan.

Namun yang menjadi problem, dan hal ini yang terkadang menimbulkan adanya
kesalahpahaman dalam menginterpretasi suatu ilmu pengetahuan adalah terjadinya
perselisihan dalam perbedaan pandangan pengetahuan yang cenderung tidak substantif.
Padahal hal tersebut seharusnya tidak begitu terlalu dipermasalahkan. Masih banyak
permasalahan yang perlu dibahas terkait dengan substansi dari pada bentuk luarnya.

Pendekatan substantif adalah pendekatan yang dalam pengajarannya lebih mengutamakan


materi pokok / inti pokok pengajaran. Dalam Islam ajaran tauhid adalah satu materi pokok
yang disjikan sejak awal. “Karena lebih mengutamakan pendekatan substantive maka jika
terlihat pendekatan Walisongo sering menggunakan elemen-elemen non-Islam, sesungguhnya
hal ini adalah means atau a matter of approach, atau alat untuk mencapai tujuan yang tidak
mengurangi substaisi dan signifikansi ajaran yang diberikan. Dengan kata
lain, wisdom dan mau`idhah hasanah adalah cara yang dipilih sesuai dengan ajaran Al-Quran
(An-Nahl : 125)”

Mungkin karena dengan pendekatan seperti itulah masyarakat Jawa dapat menerima Islam
secara damai dan dapat tersebar luas di tanah Jawa. Jika ingin mendapatkan simpati dari
orang asing maka kita harus mengetahui bagaimana karakteristik orang asing tersebut. Dan
hal inilah yang dilakukan para Walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa.

3. Tidak bersifat diskriminatif


Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi sejak lahir. “aliran nativisme berpendapat
bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia
sejak lahir; pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan
hasil perkembangannya.”

“Sementara aliran emprisme berpendapat berlawanan dengan kaum nativisme karena


berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa itu sama sekali
ditentukan oleh lingkungannya atau oleh pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak
kecil.”

Baik antara nativisme maupun empirisme masing-masing memiliki kebenaran dan argumen
masing-masing. Di sini tidak akan mempertentangkan hal tersebut. Justru keduanya
dipandang sebagai sesuatu yang saling melengkapi antara satu dengan yang lain.

Dalam Islam dikenal dengan istilah “fitrah”. Secara etimologis, asal kata fitrah dari bahasa
Arab yaitu “fitratun” jamaknya “fitarun”, artinya perangai, tabiat, kejadian asli, agama,
ciptaan. Fitrah juga terambil dari akar-akar “Al-Fathr” yang berarti belahan. Dari makna ini
lahir akna-makna lain, antara lain “pencipta” atau “kejadian”.

Sehubungan dengan kata fitrah tersebut ada sebuah hadits shohih diriwayatkan oleh Bukhori
dan Muslim dari Abu Hurairah: “tidak ada satu anak pun yang dilahirkan kecuali dalam
keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkannya menjadi Yahudi,
Nasrani, atau Majusi.” (HR : Bukhori dan Muslim)

Sesungguhnya manusia dihadapan Allah adalah sama, yang membedakan ialah kadar
keimanannya. Salah satu kandungan dari Al Quran tersebut menjelaskan pada kita
bahwasanya perbedaan individu tidak begitu dipersoalkan dalam Islam. Manusia dipandang
memiliki kedudukan yang sama dengan manusia yang lain. Yang membedakan diantara
keduanya ialah hanya ketakwaan terhadap Allah.

Konsep pendekatan yang diterapkan Walisongo dalam mengajarkan ajaran Islam juga
sebenarnya mengambil dari kandungan tersebut. Dengan menganggap semua manusia sama,
maka semuanya berhak untuk mendapatkan ilmu Islam dari mereka (Walisongo). Sehingga
wajar jika kiranya Islam dikatakan sebagai agama yang rahmatan lil`alamiin, sebab tidak ada
istilah diskriminasi dalam pembagian hak serta kewajiban bagi tiap individu.

Meskipun dikatakan sebagai pendidikan yang merakyat, namun pendidikan Islam Walisongo
juga ditujukan pada penguasa. Keberhasilan Walisongo terhadap pendekatan yang terakhir ini
biasanya terungkap dalam istilah poluler Sabdo Pandito Ratu yang berarti menyatunya
pemimpin agaa dan pemimpin Negara. Dengan kata lain, dikotomi atau gap antara ulama dan
raja tidak mendapatkan tempat dalam ajaran dasar Walisongo. Ajaran ini adalah warlsan
Sunan Kalijaga, tokoh yang mewariskan system kabupaten di Jawa.

4. Understandable and applicable

Maksudnya adalah mudah dipahami dan dilaksanakan. Konsep pendidikan yang tidak muluk-
muluk dan cara penyampaian yang sederhana namun mengena, lebih mudah untuk ditangkap
oleh masyarakat yang sebagian besar masih rendah tingkat pemahamannya. Hal ini selaras
dengan ajaran Nabi wa khatibinnas `ala qadri `uqulihim.

Proses penyampaian tidak hanya dengan ceramah tetapi juga menggunakan metode dan
media lain. Seperti media pewayangan misalnya. Wayang sebenarnya tidak berasal dari
Islam, namun dengan mengganti substansi wayang tersebut dengan inti ajaran Islam, maka
proses pendidikan Islam masih dapat dilaksanakan. Ajaran rukun Islam dengan demikian
dapat ditemukan dalam cerita pewayangan seperti syahadatain yang sering dipersonifikasikan
dalam tokoh puntadewa, tokoh tertua diantara Pandawa dalam kisah Mahabarata. Puntadewa
yang memiliki pusaka Jamus Kalimasada (Kalimasada : Kalimah Syahadat) digambarkan
sebagai raja adil yang tulus ikhlas bekerja untuk kesejahteraan rakyatnya, yakni pemimpin
yang konsisten antara kata dan perbuatannya. Tingkah laku yang tidak munafik ini (beriman)
adalah refleksi lips of faith.

5. Pendekatan kasih sayang

Mendidk bukanlah sekedar transfer ilmu pengetahuan dari seorang guru kepada muridnya.
Terlalu naïf jika masih ada guru yang menganggap demikian pada zaman sekarang ini. Lebh
jauh lagi pendidika merupakan transformasi komponen-komponen pendidikan yang
mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian pendidikan juga
mementingkan aspek moral.

Bagi walisongo, mendidik adalah tugas dan panggilan agama. Mendidik murid sama halnya
dengan mendidik anak kandung sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini adalah ayangi,
hormati, dan jagalah anak didikmu, hargailah tingkah laku mereka sebagaimana engkau
memperlakukan anak turunmu. Beri mereka pakaian dan makanan hingga mreka dapat
menjalankan syariat Islam, dan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan.

Bila dewasa ini di Indonesia kita masih menemukan pola pendidikan yang menindas, seperti
guruyang selalu merasa paling benar, baik dalam kata, tulis, maupun tingkah laku sehari-hari
(apalagi dalam kelas), tindakan hukuman pada anak didik yuang lebih didorong oleh emosi
pribadi dan bukan pertimbangan edukatif, maka ini semua adalah warisan penjajah yang lahir
jauh setelah zaman Walisongo. Pendidikan walisongo tidak mengenal “kamus bodoh” bagi
seluruh murid. Kata “bodoh” hanya terlontarkan oleh kelompok angkuh, penjajah yang
berucap, bersikap, dan berbuat semena-mena terhadap rakyat yang tertindas. Apabia sikap-
sikap ini masih eksis alam dunia pendidika modern, maka agaknya pola pendidikan
penjajahan masih lebih dominant dann terus menerusberkembang meninggalkan etika leluhur
Walisongo.

F. Pendidikan Islam Pada Kerajaan Indonesia Bgian Timur

1. Pendidikan pada zaman kerajaan Islam di Sulawesi

Kerajaan yang mula-,mula berdasarkan Islam adalah Kerajaan Kembar Gowa Tallo tahun
1605 M. rajanya bernama I. Mallingkaang Daeng Mansyonri yang kemudian bergantiu nama
dengan Sultan Abdullah Awwalul Islam. Menyusul di belakangnya raja Gowa bernama
Sultan Alauddin. Dalam waktu dua tahun seluruh rakyatnya telah memeluk Islam. Muballig
Islam yang berjasa di sana ialah Abdul Qorid Katib Tunggal gelar Dato Ri Bandang berasal
dari Minangkabau, murid Sunan Giri.

Sejak dahulu, perkembangan agama Islam di Sulawesi selatan amat pesat. Sejalan dengan itu,
disana terdapat sejumlah pesantren yang berdiri dan berkembang pesat. Pada tahap awal,
merupakan pesantren atau surau dengan model lama sebagaimana yang terdapat di Sumatera
dan Jawa. Perkembangan itu semakin pesat sejak adanya alim ulama bugis yang datang dari
tanah mekah, setealah tinggal disana bermukim beberapa tahun lamanya. Sistim dan rencana
pengajaran pesantren di Sulawesi hampir sama dengan sistim dan rencana pengajaran
pesantren di Sumatera dan Jawa karena sumbernya satu yaitu mekah.

Kemudian secara berangsur-angsur berdirilah madrasah-madrasah (sekolah agama) Yang


menggunakan sistem klasikal yang dilengkapi dengan bangku, meja, dan papan tulis
sebagaimana sekolah yang digunakan. Menurut catatan sejarah, yang mula-mula mendirikan
madrasah di Sulawesi selatan adalah Muhammadiyah sekitar tahun 1926.[15]

2. Pendidikan pada zaman kerajaan Islam di Maluku

Islam memasuki Maluku pada akhir abad ke-15. Sekitar tahun 1460 raja ternate memeluk
agama Islam. Sekitar tahun 1460 raja Ternate memeluk agama Islam. Nama raja itu adalah
vongi tidore. Sementara H.J. de Graaf berpendapat bahwa raja muslim yang pertama adalah
Zayn al-Abidin (1486-1500). Pada masa itu gelombang perdagangan muslim terus meningkat
, sehingga raja menyerah pada tekanan dan memutuskan untuk mempelajari tentang Islam
pada madrasah Giri. Di Giri ia dikenal dengan nama raja Bulawa atau raja cengkeh. Setelah
kembali dari jawa, ia mengajak Tuhubahahul ke daerahnya, dan yang terakhir inilah dikenal
sebagai penyebar utama Islam di kepulauan Maluku.

Anda mungkin juga menyukai