Anda di halaman 1dari 25

VOLKANISMA DAN EVOLUSI GEOLOGI

1. Distribusi Batuan Beku

Gunungapi adalah fenomena utama yang menyertai evolusi kulit bumi. Hal ini merupakan hasil
nyata dapat dijumpai dalam seluruh waktu geologi. Mengambil konsep kevulkanikan dalam arti
luas, sebagai sebuah proses internal maupun eksternal yang menyeluruh merupakan faktor utama
dalam evolusi kerak bumi. Kepulauan Indonesia merupakan reprasentasi singkat dari tesis ini.
Sejumlah busur orogen dapat dicirikan dengan baik sejak zaman Paleosoikum sampai Resen.
Sebagian besar diikuti oleh intrusi dan ekstrusi batuan beku dari berbagai umur. Pencirian dapat 
dibuat oleh batuan beku pra orogen, ofiolit hasil geosinklin, batuan hasil geantiklin berafinitas
Pasifik, variasi orogen akhir dari batuan berafinitas Mediteran serta ekstrusi basal olivin pasca
orogen.  

Kepulauan di Paparan Sunda.

Paparan Sunda membentuk tepi kontinen yang kurang stabil, dikelilingi oleh sistem busur
vulkanik Sunda. Ini dikonsolidasikan oleh orogenesa yang terjadi di daerah ini pada Palaesoikum
Muda – Mesosoikum Tua. Siklus diatrofisma ini berawal di kepulauan Anambas dan menyebar
ke arah timur laut ke Natuna dan ke arah barat daya ke kepulauan Riau dan Bangka Beliton. Di
kepulauan Anambas batuan beku basa (gabro, gabro porfiri, diabas dan andesit) merupakan
kelompok batuan tua yang diintrusi oleh batolit granit berumur Permo Trias. Kelompok batuan 
ini sebanding dengan batuan Permokarbon Pulu Melayu di Kalimantan Barat.   Di kepulauan
Natuna batuan tertua terdiri dari batuan beku basal (gabro, diorit, diabas, norit, ampibolit,
serpentinit dan tufa) yang berasosiasi dengan rijang radiolaria. Ini merupakan tipikal asosiasi 
ofiolit radiolaria yang dapat  dikorelasikan dengan batuan berumur Permokarbon bagian dari
Formasi Danau (Molengraff) di bagian utara Kalimantan Barat. Seri yang lebih muda terdiri dari
serpih dan konglomerat dengan batuan vulkanik basa berhubungan dengan  batuan berumur Trias
bagian atas di Kalimantan Barat dan di daerah paparan Sunda. Batuan ini diintrusi oleh batolit
granit pasca  Trias.  Pulau Midai yang sangat kecil  di barat daya kepulau Natuna merupakan
vulkanik basal sub resen.  

Kepulauan Riau-Lingga

Batuan vulkanik dapat  disebandingkan dengan batuan gunugapi seri Pahang di Malaysia.
Mereka sebagian merupakan batuan berumur Permokarbon dan Trias. Intrusi granit
kemungkinan terjadi antara zaman Permokarbon dan Trias Atas. Batolit granit di daerah ini
sebagian besar berumur pasca  Trias, atau mungkin Yura. Cebakan timah di daerah ini
berhubungan dengan granit pasca Trias.  Cebakan timah jarang dijumpai di sebelah timur (Bintan
dan Lingga) dan banyak dijumpai di sebelah barat (Karimun, Kundur, Singkep). Jalur timah ini
meluas ke tenggara sampai Bangka dan Biliton. Pulau ini terdiri dari serpih dan kuarsit yang
dapat disamakan dengan batuan berumur Trias Atas di kepulauan Riau-Lingga, sebagai busur
yang diintrusi oleh batolit granit yang mengandung timah. Batolit granit yang sekarang
tersingkap, kemungkinan merupakan merupakan batuan dasar (basement) regional  dari batuan
plutonik granit. Karakter kulit bumi paparan Sunda sangat berhubungan dengan intrusi granit
pasca  Trias (atau intra Yura), dan pengaruh ikutannya.    

Kalimantan

Evolusi geologi jalur utara Kalimantan barat dimulai dengan adanya penurunan geosinklin
setelah pembentukan batuan dasar sekis kristalin Pra  Karbon. Kegiatan ini diikuti intrusi batuan
basa (gabro) dan ekstrusi (batuan basalan dan basalan andesit dari Seri Molengraaff’s Pulau
Melayu). Fase awal dari perlipatan Permotrias, diikuti oleh penempatan batolit, terutama
tonalitik. Setelah denudasi kuat sehingga batolit-batolit  tersingkap, terjadi proses transgresi 
Trias Atas. Sedimentasi berlanjut di bagian barat jalur ini sampai Lias, dan diikuti oleh
volkanisme asam sampai menegah. Fasa kedua adalah perlipatan kuat pada zaman Yura.
Transgresi Yura atas dan Kapur di daerah Seberuang berumur Kapur (Zeylmans Van
Emmichoven, 1939) menunjukkan adanya interkalasi lava asam dan tufa asam. Pelipatan lemah
terjadi akibat tekanan intrusi diorit pada zaman Kapur Atas. Intrusi berlanjut sebagai intrusi
hipabisal dan ekstrusi batuan vulkanik Oligomiosen (terutama andesit hipersten horblenda,
dengan berbagai verietas asam lainnya). Di bagian Tersier  bawah Cekungan Ketunggan juga
merupakan diorit holokristalin seperti dikemukakan Zeylmans Van Emmichoven  (1939). Pada
zaman Kwarter, batuan basal muncul di seputar  andetis horblena Niut, sehingga dapat
dikomparasikan dengan erupsi efusif basal Sukadana di Sumatra.Batuan plutonik “Schwaner
Zona” merupakan bagian terdalam yang tersingkap di Kalimantan Barat. Di sini, dari timur ke
barat membentuk pusat sumbu sistem pegunungan Palezoikum muda sampai Mezosoikum tua 
Kalimantan Barat. Evolusi daerah ini dimulai dari pembentukan kompleks batuan dasar sekis
kristalin dan geneis. Transgresi terjadi pada Permokarbon yang menghasilkan fasies pelitik dan
psamitik dan sebagian endapan batugamping. Pada Permo Trias terjadi intrusi plutonik yang
dimulai dengan gabro dan diakhiri batuan lebih asam yang kebanyakan tonalit, batuan beku
dalam, dengan lampopir, aplit dan pegmatit. Setelah batuan plutonik tersingkap, pengendapan 
pelitik dan psamitik terjadi pada zaman Trias Atas. Tidak ada fasies vulkanik  Trias Atas yang
ditemukan di Zona Schwaner.  Selanjutnya terjadi perlipatan yang diikuti oleh alterasi
hidrotermal epimagmatik.  Pengangkatan berlangsung sampai sekarang dengan disisipi intrusi
selama  Tersier .Bagian selatan Zona Schwaner ini terdapat tiga kelompok batuan utama, yaitu
batuan plutonik, batuan vulkanik Komplek Matan dan batuan sedimen klastik Komplek
Ketapang. Bagian dari batuan komplek Matan dan Ketapang teralterasi oleh intrusi batolit granit.
Batuan metamorf dari komplek Matan dapat dikorelasikan dengan batuan gunugapi seri Pahang
di Malaysia dan Kompleks  Ketapang berumur  Trias Atas. Batuan non metamorf di komleks
tersebut diasumsikan sebanding dengan endapan  Tersier  Bawah dan batuan vulkanik di jalur
sebelah utaranya.Di Kalimantan Tenggara terbentang Pegunungan Meratus berumur Pra Tersier
berarah utara – selatan. Di Meratus perkembangan batuan beku relatif  lebih muda dibanding
dengan Kalimantan Barat. Kompleks batuan dasar sekis kristalin di sini berumur Mesosoikum
akhir. Orogenesa di Zona Meratus baru terjadi ketika proses pembentukan pegunungan di
Kalimantan Barat akan selesai.  Zaman Yura geosinklin terbentuk, berikut pengendapan ofiolit
dan radiolaria dari Formasi Alino. Kemungkinan Formasi Alino berumur Yura di Kalimantan
Tenggara sama dengan batuan Permokarbon Formasi Danau di jalur utara Kalimantan Barat.
Formasi Alino dan Paniungan dari zona Meratus diintrusi oleh batuan plutonik. Intrusi yang
pertama ini merupakan variasi batuan plutonik asam  yang sangat beragam (dunit, peridodit)
yang diakhiri dengan batuan granit plagioklas dan porfirtik.  Setelah pengangkatan pertama
batuan non-vulkanik ini Zona Meratus mengalami penurunan kembali. Pada zaman  Kapur
tengah sampai atas terjadi pengendapan dari hasil erosi kuat batuan berumur Yura yang terlipat
serta masa batuan plutonik peridotit dan granit.  Kapur terdiri dari fasies vulkanik dan non-
vulkanik. Pada akhir Kapur Zona Meratus mengalami pengangkatan kedua, dan aktivitas
vulkanik berlangsung sampai  Tersier  Bawah. Pengangkatan kedua ini menutup aktivitas siklus
orogenesa Zona Meratus. Zona Meratus merupakan contoh baik untuk siklus pembentukan
pegunungan. Pada zaman Yura dimulai dengan penurunan geosinklin yang diikuti dangan
vulkanik bawah laut dengan proses ofiolitnya, sebagai awal mulainya pembentukan batuan
plutonik basa dan ultrabasa. Penurunan geosinklin ini disertai dengan dua kali pengangkatan.
Geantiklin pertama terjadi pada zaman Kapur Bawah. Ini didominasi batuan non-vulkanik,
berupa batolit granit yang diintrusikan ke pusat geantiklin. Pengangkatan kedua merupakan
aktivitas vulkanik dengan inti magmatik dari geantiklin sampai ke permukaan.   

Filipina

Kepulauan Filipina sebagian besar terdiri dari batuan beku, sedang batuan sedimen hanya tipis di
bagian permukaan. Seperti halnya yang terjadi di Kalimantan barat dan tenggara, evolusi
orogenik di Filipina dimulai dari penurunan geosinklin, yang diikuti dengan intrusi dan ekstrusi
batuan basa dan ultrabasa (ofiolit). Hanya saja prosesnya terjadi dalam umur yang lebih muda.
Batuan plutonik basa dan ultrabasa merupakan kerangka dasar kepulauan ini dengan intrusi
granit yang jarang terjadi. Batuan ini dianggap sebagai batuan yang paling tua, walaupun banyak
beberapa argumen bahwa batuan ini lebih muda dari yang diperkirakan.    Maluku Utara.

Evolusi geologi Maluku Utara dan aktivitas magmatisme kawasan ini sama dengan di Filipina. 
Penurunan geosinklin mulai terjadi pada Mesosoikum awal. Transgresi di kelompok Halmahera
kemungkinan terjadi setelah  kepulauan Sula dan Obi. Batuan abisal di kelompok Halmahera
secara umum terdiri aas gabro, norit, peridotit tersepentinitsasi, diorit, kuarsa dan granodiorit.
Ofiolit basa dan ultrabasa diitrusi selama penurunan geosinklin. Ada jeda stratigrafi antara Eosen
dan Neogen. Pada endapan Neogen dan Kwarter hadir batuan vulkanik menengah sampai asam. 
Aktivitas vulkanik hadir di Halmahera utara, Ternate  dan pulau-pulau kecil lainnya.  
 

Sulawesi

Batuan beku dari berbagai komposisi menyusun pulau ini.  Bagian utara dan barat Sulawesi
disusun oleh batuan beku alkali  kapur  berumur Tersier. Sepanjang pantai barat sampai lengan
selatan dari vulkanik terdiri dari batuan beku alkali-kapur yang melampar luas. Terpisah dengan
batuan ini terdapat dilengan utara. Di Sulawesi timur dan tenggara peridotit dan batuan ofiolit
lainnya tersingkap luas, dengan batuan vulkanik dan granitit hampir tidak ada. Di Sulawesi utara,
barat dan tengah hanya didapatkan ampibol granit. Di Sulawesi terdapat intrusi pada ofiolit
berupa batuan beku basa (peridodit dan serpentinit), gabro dan basal (splite). Ofiolit banyak
terdapat di Sulawesi utara, barat dan tengah, tetapi tidak tersingkap di lengan timur.  

Maluku Utara dan Busur Banda.

 Kepulauan ini merupakan ujung yang terpisah dari Sistem Pegunungan Sunda. Pada
Mesosoikum jalur orogen kawasan ini masih merupakan satu kesatuan dengan Sistem
Pegunungan Circum-Australia. Pada Paleozoikum akhir, orogenesa dimulai dengan penurunan
geosinklin di Cekungan Banda bagian tengah. Daerah ini merupakan pusat diatrofisma. Dari sini
deformasi menyebar ke arah utara (Sistem Seram) dan selatan  (Sistem Tanimbar), yang di
dihubungkan oleh sektor Kai dan busur Banda yang hadir sampai Tersier. Evolusi busur banda
ini secara umum sesuai dengan proses pembentukan pegunungan dari Kepulauan Indonesia.Saat
ini Sistem usur Banda mempunyai anomali isostatik negatif yang kuat. Ini menunjukkan bahwa
pada jalur ini terdapat energi potensial yang  diperkirakan merupakan busur inti dan kerak batuan
sialik dengan densitas rendah. Busur ini belum terkonsolidasi dengan kuat, mempunyai
temperatur tinggi, dan banyak mengandung gas dengan kekentalan rendah. Kondisi ini
menunjukkan adanya magma aktif yang memberikan gaya vertikal jika kondisi
memungkinkan.     Kepulauan Sunda Kecil.

Kepulauan Sunda Kecil merupakan bagian dari Sistem Pegununggan Sunda. Evolusi orogenesa
di kawasan berhubungan dengan Busur Banda. Ada dua deret jenis batuan beku dalam sistem ini
(Roevei, 1940). Batuan tertua di Timor berumur Perm, berupa kelompok basal trakit yang
mempunyai karakter Atlantik lemah. Batuan vulkanik ini dierupsikan pada awal pembentukan
geosinklin. Setelah itu Sistem Orogenesa Timor berkembang. Seri lain berupa komplek ofiolit –
split, yang berumur Pra Miosen. Batuan ini merupakan  bagian dalam dari geosinklin, yang juga
dapat dijumpai secara luas lingkaran luar Busur Banda. Batuan beku ini mempunyai karakter
Mediteran yang kontras dengan seri Atlantis. Seri Mediteran bersifat potasik, dierupsikan pada
saat akhir siklus orogenesa, di bagian dalam busur vulkanik. Contoh dari batuan ini adalah lava
yang mengandung leusit dari erupsi G. Batu Tara, Tambora dan Soromandi. Tipe lain di bagian
dalam busur vulkanik  Kepulauan Sunda Kecil dibentuk oleh granodiorit  Tersier. Di Flores
terdapat bantuan berumur intra Miosen, sedang di Lirang maupun Wetar yang diduga berumur
Neogen. Di dalam busur vulkanik ini terdapat tiga siklus aktivitas vulkanik: Neogen Tua,
Neogen muda dan Kwarter sampai Resen. Dua siklus tertua didorong oleh intrusi batolit
granodiorit yang naik sampai beberapa kilometer di bawah permukaan.  Pengangkatan terakhir
terjadi pada Plio-Plistosen disebabkan oleh  pengaktifan kembali vulkanik yang akan padam. Ini
merupakan tipikal pembentukan gunungapi di Maluku yang merupakan jalur vulkanik di luar
cekungan.  

Jawa.

Jawa merupakan bagian dalam dari busur vulkanik Sistem Pegunungan Sunda. Pada zaman
Mesosoikum jalur ini berada di bagian geantiklin yang jauh di sebelah utara.  Di sini ofiolit
bercampur dengan sedimen Pra  Tersier, misalnya di daerah Luk Ulo dan Ciletuh, Jawa Barat. 
Batuan Pra  Tersier  di Luh Ulo terdiri dari sepertinit, gabro dan diabas (Harloff, 1933). Batuan
Pra  Tersier  di Ciletuh juga mengandung batuan beku basa dan asam yang termetamorfosakan
(gabro, peridotit dan serpentinit) dengan sekis klorit dan filit. Pada akhir geantiklin Mesosoikum
terjadi proses pengangkatan. Pengangkatan pertama bukan merupakan aktivitas non-vulkanik.
Akhir  Tersier  merupakan perioda penurunan. Endapan non-vulkanik berumur Eosen
diendapkan secara trangresi di atas komplek batuan dasar Pra  Tersier. Selanjutnya pada akhir
Paleogen magma sampai permukaan, dan perioda vulkanik kuat dimulai, dengan beberapa
menunjukkan karakter bawah laut (Andesit tua, siklus awal dari vulkanik Pasifik).Pada Miosen
tengah jalur vulkanik Jawa didorong oleh batolit granit sampai granodiorit, sehingga
menghasilkan vulkanik-vulkanik Andesit Tua yang sangat basa. Batuan beku holokristalin Intra
Miosen sekarang tersingkap di Merawan, Jiwo, Luh Ulo, Tenjo Laut, Cilaju, Bayah dan lainnya
(misalnya tufa dasit atau dasit di Genteng, selatan Tenjolaut) yang mengakhiri siklus vulkanik
berafinitas Pasifik.Siklus vulkanik kedua terjadi pada zaman Neogen akhir, yang diakhiri oleh
pengngkatan kedua dari busur vulkanik. Selanjutnya siklus ketiga berlangsung terus sejak
Kwarter sampai sekarang. Kenampakan khas dari siklus kedua dan ketiga vulkanik ini adalah
intrusi dan ekstrusi sepanjang tepi selatan geantiklin Jawa yang menunjukkan keanekaragaman
batuan-batuan alkali. Intrusi Neogen akhir di Zona Bogor (Jawa Barat) dan Pegunungan Serayu
Selatan di Jawa Tengah menunjukkan karakter essexitic. Pada zaman Kwarter gunungapi yang
menghasilkan leusit hadir di timur laut Jawa yang merupakan sisi dalam geantiklin vulkanik
(Muria, Ringgit).   

Sumatra

 
Bukit Barisan di Sumatra dibentuk dengan cara seperti geantiklin Jawa Selatan. Selama
Mesosoikum jalur ini merupakan bagian muka busur dari geantiklin yang berukuran lebih luas
dari Bukit Barisan saat ini. Endapan di geosinklinal terlipat kuat membetuk isoklin dengan arah
gerak dari timur laut ke barat daya. Proto Barisan masih terdapat batuan non-vulkanik.
Sepanjang lereng timur dari geantiklin Barisan berumur Kapur masih terdapat granit yang telah
mengalami perlipatan kuat. Busur ini dimulai dari pulau Berhala di selat Malaka utara, meluas di
sepanjang  Suligi-Lipat Kain dan Lisun-Kuantan, serta melipat kuat sampai sebelah timur danau
Singkarak dan Jambi. Umur granit  di bagian utara jalur (pada granit pembawa timah di Berhala
dan Suligi-Lipat Kain) diperkirakan Yura. Di bagian lebih selatan berumur  Karbon dan
Permokarbon, dan sebagian pasca  Trias. Kemungkinan granit di Lampung yang mengintrusi
sekis kristalin dan geneis dari komplek batuan dasar tua merupakan bagian dari lipatan
ini.Seperti halnya busur vulkanik Pulau Jawa dan Sunda Kecil, pulau Sumatra mengalami tiga
siklus aktivitas vulkanisma. Siklus pertama terjadi pada akhir Paleogen dan diakhiri oleh
pengangkatan intra Miosen. Pengangkatan ini diikuti oleh intrusi batolit granodiorit, yang
menjadi dasar dari batuan vulkanik Andesit tua. Di permukaan kenaikan magma granit ini diikuti
oleh erupsi paroksismal dari letusan Katmaian yang mengeluarkan aliran tufa asam dengan
jumlah yang sangat besar.Sepanjang Neogen atas, siklus kedua aktivitas vulkanik Pasifik
terbentuk dan diakhiri oleh pengangkatan Plio-Plistosen. Selanjutnya erupsi paroksismal itu
ditutup oleh letusan magma batolit granit yang berada di dekat permukaan (Semangko, Ranau,
Toba). Demikian juga tufa asam Lampung di Sumatra selatan dan tufa Bantam di Jawa Barat dan
di selat Sunda dierupsikan pada periode ini. Akhirnya siklus ketiga terbentuk, menumbuhkan
kerucut-kerucut vulkanik di sepanjang Bukit Barisan. Sedikit berbeda terdapat pada erupsi efusif
basal olivin resen yang terjadi di Sukadana Lampung. Irupsi celah ini terdapat di tepi perisai
kontinen Dataran Sunda, dan dapat disebandingkan dengan erupsi efusif basal di Midai, Niut -
Karimun Jawa. 

Pulau Barat Sumatra.

Kepulauan ini memberi gambaran yang berbeda dari busur luar Sistem Pegunungan Sunda. 
Selama  zaman Tersier  jalur ini merupaka palung busur dari Zona Barisan. Pada zaman Eosen,
intrusi basa dan ultrabasa yang terserpentinitisasi hadir. Pada zaman Kwarter pembentukan busur
geantiklin pada jalur ini dimulai, dan berlanjut sampai saat ini. Anomali isostatik negatif pada
jalur ini menandakan adanya energi potensial yang mmungkin muncul. Pengangkatan pertama
dari palung busur ini seluruhnya batuan non-vulkanik, dan sesuai dengan aturan umum dari
evolusi orogen di Kepulauan Indonesia.  

Kepulauan Andaman dan Nikobar

 
Peristiwa magmatisma dan orogenesa yang serupa terjadi di kepulauan ini. Seri Serpentinit
representasi dari ofiolit vulkanik palungbusur lebih tua dari Eosen. Tetapi menurut Chiber (1934)
lapisan basal Eosen juga bercampur dengan  batuan vulkanik ultrabasa, seperti yang terjadi di
Nias.   

New Guinea.

Di pulau ini terdapat dua sistem orogenesa.  Rangkaian pegunungan bagian tengah merupakan
dari Sistem Circum-Australian, dan bagian utara merupakan bagian dari Sistem Melanisia.
Sistem Melanesia terdiri dari busur vulkanik di bagian dalam dan busur non-vulkanik di bagian
luar. Bagian tengah dari busur vulkanik ini aktif pada zaman Neogen. Bagian utara dibentuk oleh
busur luar non-vulkanik dari Sistem Melanisia. Di bagian utara New Guenea juga terdapat
aktifitas diatrofisma Pra  Tersier  yang diikuti dengan aktivitas pembentukan batuan beku. Di
pegunungan Cyclope utara tersingkat batuan-batuan  ofiolit berupa serpentinit dan gabro yang
diintrusi oleh batuan plutonik asam (diorit dan granit). Di Vogelkop intrusi granit mengalami
metamorfosa kontak dengan endapan-endapan berumur Yura yang teralterasi. Bagian tengah
New Guinea mengalami penurunan geosinklin sejak zaman Silur. Aktivitas geosinklin pada
zaman Oligosen tidak memunculkan batuan vulkanik. Aktivitas vulkanik baru hadir selama 
Miosen, berikut intrusi batuan plutonik monsonit, syenodiorit, diorit, granodiorit, granit dan
lainnya. Akhirnya morfologi saat ini dibentuk akibat aktivitas vulkanisma selama Kwarter.    

Pulau Christmas.

Pulau ini terdiri dari batuan dasar berupa batuan vulkanik bersifat basa dari afinitas Atlantik
berumur Tersier. Komposisi batuan beku berhubungan dengan aktivitas vulkanik lainnya yang
berada di Samudera Atlantik, Pasifik dan Hinidia. Yang membedakan dengan kepulauan
Indonesia adalah kehadiran alkali kapur dari seri Pasifik yang dominan.   

2. Evolusi Magmatik dan Orogenesa

Tinjauan terhadap hubungan antara orogenesa dan aktivitas batuan beku di kepulauan Indonesia
akan mengikuti kecdenderungan aturan umum. 1.    Batuan-batuan dengan afinitas Atlantik
berada di luar jalur orogen. Erupsi akan terjadi selama tahap awal proses penurunan cekungan
geosinklin, sebagai awal pembentukan pegunungan.2.    Siklus pembentukan pegunungan
dimulai dengan penurunan geosinklin. Pada pusat geosinklin diatrofisma terbentuk. Orogenesis
memencar secara radial sebagai gelombang permukaan yang besar (Anambas, Banda) 3.     
Batuan-batuan ofiolit dengan komposisi basa dan ultrabasa dierupsikan dari cekungan muka
busur dari gelombang permukaan tersebut. Gunungapi bawah laut ini berasosiasi dengan rijang
radiolaria dan endapan-endapan laut dalam. 4.      Setelah perioda penurunan geosinklin
berlangsung (dalam jutaan atau puluhan juta tahun) muka busur melengkung ke atas membentuk
struktur geantiklin. Secara umum beberapa peristiwa pengangkatan terjadi, dan disisipi oleh fase
penurunan yang tenang. 5.      Pengangkatan geantiklin jalur orogen secara umum menghadirkan
batuan non-vulkanik, yang selanjutnya diikuti oleh aktifitas vulkanik orogen dengan  batuan-
batuan alkali-kapur dari afinitas Pasifik. Hanya geantiklin termuda dari Sistem Pegunungan
Sunda dan Filipina yang menunjukkan cekungan samudra selama terjadi pengangkatan. Tahap
akhir dari evolusi jalur orogen selalu menghadirkan batuan beku potasik dengan afinitas
Mediteran. 6.      Setelah melewati beberapa fase diatrofisma dengan berbagai pengaruh intrusi
dan ekstrusi batuan beku, jalur orogen terkonsolidasikan menjadi kerak yang kaku seperti
karakter kontinen. Fokus diatrofisma yang asli akhirnya terkonsolidasikan ke blok kerak yang
kaku, yaitu pada jalur  orogen yang telah menyebar radial setahap demi setahap ke seluruh busur.
7.      Jalur orogen ini, yang berada di sekitar daerah diatrofisma tua yang telah terkonsolidasi,
dapat dibedakan dari busur dalam vulkanik dan busur luar non-vulkanik  melalui struktur lipatan
sentrifugal. Daerah yang terkonsolidasikan dapat membentuk peneplain di bawah permukaan,
atau berada di bawah kerak utama sehingga mencapai kedalaman beberapa kilometer di bawah
permukaan laut.   8.  Di sepanjang tepi Sistem Dataran Sunda basal olivin dierupsikan pada
zaman Kwarter (Midai, Niut, Murai, Beluh, Karimunjawa, Sukadana).   

3. Asal Batuan beku

Sulit menguraikan hubungan timbal balik antara berbagai gejala tektonogenesis, vulkanik,
anomali gravitasi dan gempabumi, apabila tidak mempunyai hipotesis kerja tentang asal mula
magma. Penting melalukan penafsiran evolusi dan merekontruksi hubungannya agar mampu
mempunyai konsep yang umum mengenai asal mula batuan beku, yang selaras dengan semua hal
yang berhubungan dengan geologi, vulkanologi dan geofisika. Sebagian besar teori geotektonik
yang diusulkan di masa lalu melalaikan sisi ini. Nampaknya evolusi geokimia bumi mempunyai
arti penting bagi evolusi orogen ( van Bemmelen, 1948).  

Problem Granit

Asal mula granit menjadi topik hangat pada setiap dikusi. Tulisan mengenai hal tersebut antara
lain dikemukakan oleh Grout (1941), P. Niggli (1942), Reinhard (1943), Read (1943), Holmes
(1945), Backlund (1945), Raguin (1946), Reynolds (1947), Eskola (1948), Glangeaud (1948),
Bowen (1948), Brouwer (1947), King (1947), Nieuwenkamp (1948).   Ada dua pendapat yang
saling berlawanan. Pertama, granit berasal dari erupsi efusif magma yang mengintrusi kerak
bumi. Teori ini berdasarkan penelitian kimia-fisika pelelehan silikat di laboratorium. Bowen,
Nigli dan peneliti lain mengeluarkan teori diferensiasi kristalisasi fraksinasi. Berdasarkan teori
ini magma granit berasal dari magma induk yang lebih basa dari komposisi basal. Faktor utama
dari diferensiasi adalah kristalisasi dan fraksinasi dibawah pengaruh gaya gravitasi. Konsep ini
tidak dianggap bertentangan dengan klasifikasi klasik tentang batuan beku menurut Rosenbusch.
Asal mula magma granit ini diadopsi oleh sebagian besar ahli petrologi.Konsep lain mengikuti
alur pemikiran yang dikemukakan oleh ahli petrologi Perancis  Ami Bout, Fournet, Termier,
Lacroix, Perrin. Roubault, Lelubre, Raguin (1946). Konsep ini menyatakan bahwa magma
bermula dari aktifitas pancaran pada pra kondisi batuan (pra-existing rocks). Menurut pendapat
ini granit berasal dari pra kondisi batuan yang berasal dari komposisi kimia dan mineralogi yang
berbeda akibat introduksi dan perubahan unsur dalam jumlah yang besar. Proses granitisasi ini
terjadi dalam bentuk padat, tanpa melalui bentuk magma granit. Migrasi material terjadi secara
difusi (Ramberg, 1944; Bugge, 1945; Wahl, 1946, dll.). Dalam tahun-tahun berikutnya beberapa
petrologis Inggris, Scandinavia dan negara lainnya mengikuti teori ini. Teori ini berdasarkan riset
kimia fisika tentang difusi dan reaksi intra-kristalin dalam kondisi padat, menggantikan reaksi
silika cair. Teori granitisasi ini menempatkan granit pada kelompok batuan metamorf. Granit
menurut konsep tersebut adalah hasil metamorfisma lanjut.Teori diferensiasi kristalisasi
fraksinasi memberikan klasifikasi batuan beku dan proses-proses yang berhubungan dari
pnematolitik dan metamorfosa hidrotermal dalam aura kontak. Tetapi studi mengenai hubungan
batuan beku di lapangan dan perubahannya menjadi batuan metamorfik telah memunculkan
keraguan dan pantas dipertimbangkan. Kebenaran dari konsep asal mula batuan beku harus
melalui langkah magmatisma nyata. Reinhard (1943) menjelaskan hubungan ini, ”Alam tidak
mengambil isyaratnya dari teori, tetapi kita yang harus menyesuaikan teori kita ke alam. Ketika
observasi geologi lapang bertentangan dengan magma induk batuan beku, kita perlu mencari
kemungkinan lainnya”.  

Kontroversi Antara Magmatists dan Transformists

Sekian lama setelah Hutton meninggal (1797) beda pendapat tentang mencari kebenaran antara
Volcanists dan Neptunist, yaitu kontroversi antara Magmatist dan Transformist, masih terjadi.
Pangkal permasalahnnya adalah tentang keberadaan granit. Dalam pemahaman lama mengenai
kristalisasi, batuan yang dicairkan merupakan proses yang bisa menjelaskan asal granit. Pendapat
lainnya adalah difusi dalam kondisi padat. Alterantif lain adalah kristalisasi ulang dalam status
sedimental padat, sebagai perubahan kimia fisika yang disempurnakan oleh difusi melalui
kenaikan suhu dan statusnya yang padat.Oleh karena itu pertanyaan pertama yang harus
dipecahkan dan penjadi postulat para magmatis adalah melihat magma sebagai magma
sebenarnya yang merupakan cairan silikat. Karakter plutonik granit bukanlah suatu jaminan asal
magma. Pernyataan behwa batuan plutonik merupakan hasil kristalisasi magma adalah suatu
hipotesis murni. Jawaban atas pertanyaan ”apakah magma?” dalam pandangan kaum ortodok
adalah suatu cairan pijar berupa larutan molekular dengan komposisi utama silika, dengan unsur-
unsur yang mudah menguap, terutama air, yang mendorongnya bersifat mobile. Dalam konsepsi
modern, magma dipahami seperti bubur beras (”milky rice pudding”), campuran kristal dan air.
Magma ini tidak terlalu berbeda dengan konsep sekarang.  Menurut konsepsi ortodok, asal granit
berasal dari intrusi magma dan mengalami kristalisasi sebagian; sementara fase berikutnya
menyebabkan metamorfosa yang melibatkan batuansamping dan merubah komposisinya.
Konsep ini nampaknya tidak cukup. Setidaknya untuk kasus Indonesia.Secara teoritis terdapat 3
jenis granit. (1) granit juvenil, yang dibentuk oleh kristalisasi dan deferensiasi magma, (2) granit
palingenetic, yang dibentuk oleh anatexix (peleburan) dari batuan dengan komposisi kimia
seperti granit (serpih, geneis, batupasir, granit) atau oleh pencampuran batuan yang berbeda
komposisi, (3) granit metasomatik, yang dibentuk oleh proses metasomatis dari batuan tua, yang
dapat dikenali dengan adanya struktur palimsest. Ketiganya ada dialam ini, tetapi tidak ada
ukuran yang tepat untuk masing-masing batuan granit tersebut. Pada saat ini batuan plutonik
tersingkap dengan berbagai asal kedalaman, dan granit relatif melimpah. Kita harus
mengasumsikan bahwa magma induk (parental) basa harus berada lebih dalam daripada tingkat
denudasi. Kita hanya dapat meneliti batuan plutonik, tersingkap sebagai intrusi pada kerak bumi;
itu merupakan hasil interaksi dari magma induk bagian atas. Kita tidak dapat meneliti magma
plutonik. Untuk menyatakan bahwa batuan plutonik itu berasal dari suatu magma adalah tidak
lebih dari sebuah hipotesis yang memerlukan bukti dukungan.Reinolds (1947) menyatakan
bahwa banyak kejadian yang membuktikan bahwa pembentukan granit dapat berlangsung
melalui transformasi bentuk pada pra kondisi batuan. Alterasi metasomatik progresif
memungkinkan merubah bentuk batuan plutonik menjadi lebih asam dan mempunyai kristal
lebih kasar. Menurut Hou dan Harwood (1937) konsentrasi energi untuk magmatisasi secara
lengkap oleh pancaran adalah suatu konsekuensi dari beberapa faktor: tingkat energi yang
memancar, reaksi eksoterm dengan material yang dikenai, serta temperatur setelah proses.
Sementara Hausas (1944) menafsirkan bahwa proses magmatisasi dari metasomatisme
memerlukan keseimbangan: (1) pancaran yang datang, (2) asal energi, (3) material kerak bumi,
dan (4) pancaran lain.Proses granitisasi selalu disertai dengan proses basifikasi atas batuan itu.
Bahkan kehadiran granit akan lebih sedikit. Ini disebabkan komposisi endapan geosinklinal lebih
banyak mengandung unsur basa dibanding granit. Proses granitisasi dan basifikasi dikenal pula
sebagai diferensiasi metamorfosa, yang merupakan hasil difusi metamorfosa.   

Beberapa Massa Granit Plutonik di Indonesia

Orogenesis di Kepulauan Indonesia diikuti oleh intrusi seperti batolit granit  sebagai inti
geantiklin. Granit ini berumur Permo-Triassic sampai Tersier akhir, sedemikian sehingga mereka
menyebar secara berangsur lebih muda di jalur  orogenesa dari pusat diastrofisma yang
berbeda.Di pusat orogenesa pasti mempunyai tahap diatrofisma dan granit yang paling tua,
kemudian gejalanya menjadi lebih muda ke arah busur sebelah luar. Perkecualian dibentuk oleh
granit Sumba berumur Mesosoikum. Di dataran Sunda sebaran massa plutonik dari yang bagian
dalam ke sebelah luar sudah jelas. Poros Daratan Sunda dibentuk oleh jalur  Anambas-Schwaner
yang berumur Permotrias. Perjalanan ke utara dari poros ini, ditemukan pertama Zona Natuna-
Semitau dengan umur lebih tua, sekitar Trias. Di Seberuwang didapatkan diorit  berumur Kapur
Akhir. Di Ketungau batuan berumur Tersier Tengah diduga diorit. Granodiorit berumur Tersier
tengah juga di Kalimantan Utara (Kinabalu), yang belakangan menjadi anggota busur orogenesa
Pilipina. Intrusi diorit di daerah Telen Kalimantan Timur menduduki suatu posisi terisolasi.
Mereka mungkin menjadi anggota Zona Semitau. Dari zona Anambas-Schwaner ke arah selatan
dijumpai  granit Malaya berumur Yura di Kepulauan Riau-Lingga, Bangka, Billiton, Karimata
Pulau dan Kalimantan Barat. Zone ini  dapat dibagi menjadi dua jalur. Di bagian dalam cebakan
timah jarang dijumpai, dan sebelah luar  membentuk jalur timah.Di Sumatra busur bagian dalam
dari  Sistem Pegunungan Sunda terdapat jalur  dengan massa seperti granit di unit terlipat. Jalur
berumur Kapur akhir ini meluas dari timur melalui Pulau Jawa ke Flores.  Di Ambon, Kaibodo,
Manipa dan Kellang tempat busur Banda ini berakhir dijumpai batuan seperti granit berumur
Tersier Tengah.Dari Kalimantan ke timur kita bertemu granit berumur Kapur  Meratus, dan
kemudian granit berumur Tersier di Sulawesi utara. Distribusi granit ini betul-betul menyatakan
bahwa telah ada suatu pertumbuhan granit sejak Mesosoikum dari Anambas-Schwaner ke arah
Sistem Pegunungan Sunda. Di bagian pusat sekarang membentuk kerak bumi yang kaku seperti
karakter kontinental.  Intrusi granit terjadi secara bertahap sesuai evolusi orogenesa. Pada puncak
dari  geantiklin kita temukan aktivitas jenis magma volkanis seri Pacific, dengan komposisi
basalik-andesit. Aktivitas ini di dalam jalur geantiklin  didahului oleh tekanan dan intrusi ofiolit 
di geosinklin;  langkah-langkah berikutnya terjadi evolusi orogenesa dan magma Mediteran.
Oleh karena itu diperlukan  memandang masalah dari  asal granit Kepulauan Indonesia dalam
hubungan dengan formasi dari  asal magma  granit.  

Asal Berbagai Variasi Magma Di Indonesia

Di Indonesia terdapat berbagai rangkaian batuan beku. Hubungan satu dengan yang lainnya
dapat dicermati.Tahap pra orogen berupa pembentukan suatu cekungan geosinklin di selama
Palaesoikum. Proses ini termasuk yang terjadi di Timor oleh erupsi traki basal dari seri Lautan
Atlantik (De Roever, 1940). Tahapan ini diikuti oleh suatu evolusi orogen di dalam geosinklin
selama Mesosoikum, Tersier dan Kwarter sebagai proses pembentukan jalur geantiklin dan
cekungan geosinklin. Secara bertahap jalur orogen ini menyebar keluar pusat cekungan
geosinklin. Foredeep melengkung atas ke dalam suatu geantiklin dan bergeser keluar lebih jauh.
Selanjutnya pada dasar cekungan orogen, ofiolit basa sampai ultrabasa mengalami ekstrusi dan
intrusi dari asosiasi ofiolit radiolaria dan intrusi peridotit dan serpentinit. Selama proses
pembentukan geantiklin batuan ofiolit bercampur dengan naiknya migmatit sehingga dasar tubuh
batolit granit terjadi. Biasanya terdapat tiga atau lebih gerakan pengangkatan pada setiap jalur
orogen. Pengangkatan pertama masih  bukan batuan volkanik, pengangkatan kedua kedua  proses
erupsi lava basa, menengah maupun asam, dari seri lava Pasifik, dan langkah ketiga vulkanik
padam. Masing-masing pengangkatan diikuti oleh intrusi batuan plutonik berkomposisi menegah
dan asam. Tahap lanjut dari evolusi jalur orogen ini adalah hadirnya erupsi batuan tipe
Mediteran. Akhirnya tahap akhir orogen sebagai tahap pembentukan kontinen terbetuk. Dataran
Sunda telah dikonsolidasikan oleh tahap diastrofisme Mesosoikum Tua, sedang proses
pembentukan pegunungan berlanjut bergeser ke keluar membentuk orogen jalur Sunda saat ini. 
Pusat Datara  Sunda sekarang membentuk baselevel sebagai suatu peneplain khas. Pada akhir
Kwarter di sepanjang tepi blok yang terkonsolidasi ini terjadi aliran lava basal olivine.Cakupan
batuan beku begitu luas dan sangat berkaitan dengan evolusi kerak bumi. In memberi kesan 
bahwa peristiwa yang berkaitan dengan proses yang terjadi pada pembentukan batuan beku
merupakan hal penting dalam proses pembentukan pegunungan. Pertanyaan selanjutnya, dengan
demikian, sebenarnya adalah, dalam hal ini  mana magma juvenile dan mana magma induk?
Kelihatannya hanya erupsi awal basal trakitik yang dapat diperlakukan seperti itu. Pra kondisi
kerak bumi berkomposisi sialik berumur Perm harus diikuti oleh kekar dan patahan utama agar
magma di bawah permukaan dapat hadir ke permukaan. Steinmann, Kossmat, dkk
mempertimbangkan ophiolites berasal dari magma juvenil. Tetapi peridotites, di Sulawesi Timur 
mengalir ke permukaan dengan tenang dan menggantikan seluruh komplek batuan dasar yang
kristalin. Dia tidak diproduksi oleh diferensiasi kristalisasi dari intrusi basal yang sangat besar,
sebab mereka secara langsung ditimpali oleh endapan bawah laut berumur Kapur yang berumur
sama dengan intrusi tersebut. Di Seram Barat, Manipa dan Kellang  bagian intrusi tersingkap.
Situasi yang sama ditemukan di Kawasan Meratus, ketika  tubuh peridotit secara berturut-turut
diintrusi dan digantikan (replace) oleh gabro, diorit, diorit kuarsa dan granit plagioklas. Situasi
ini justru kebalikan dari apa yang seharusnya terjadi  pada kasus diferensiasi kristalisasi dan
fragsinasi. Batuan menjadi lebih asam dengan terus bertambahnya kedalaman. Anomali isostatik
negatif di Sulawesi Timur dan Seram menunjukkan bahwa peridotit menandakan adanya masa
peridotit yang sekarang mendasari kaki pegunungan granit.Situasi ini mendorong ke arah
pemikiran bahwa pada seri batuan basa sampai ultrabasa dari geosinklin berukuran sangat besar,
bagian permukaannya merupakan akumulasi magma asam (granit). Ini merupakan hasil berbagai
proses evolusi kimia di bagian permukaan kerak bumi.  Proses hypo-differentiation tersebut
merupakan hasil gangguan keseimbangan lapisan tengah basal tectonosphere karena penurunan 
cekungan. Penurunan cekungan menyebabkan terjadinya pembebasan tekanan akibat relief,
sekaligus terjadi peningkatan gradien geotermal di lapisan dasar dan menengah. Dengan proses
hypo-differentiation tersebut, dalam waktu berjuta-juta tahun, kerak basal akan terbagi-bagi
menjadi batuan ultrabasa (anti root) dan granit (mountain-root).Mengenai gunungapi strato dapat
dipahami sebagai konsentrasi saluran-saluran dari  peningkatan pancaran  dalam jumlah yang
besar dari bagian magma yang mudah menguap. Gunungapi itu merupakan cerobong di atas
intrusi batolit. Kita tidak bisa bayangkan pernah magma juvenil bisa naik menerobos astenolit
dan membuat zona migmatit selama tahapan evolusi geantiklin dari suatu jalur orogen.
Kedalaman intrusi dari batolit granodiorit Tersier Tengah pasti tidak lebih dari 2 km, dan
granodiorit Tersier Akhir di Wetar dan Lirang mungkin lebih tinggi. Pada kasus erupsi
paroksismal Kwarter Ranau dan Toba di Sumatra, bagian puncak intrusi granit diledakkan. Oleh
karena itu magma palingenic Pacific mungkin dibentuk dekat di bawah permukaan. Intrusi
dangkal ini berasimilasi dengan batugamping Tersier, sehingga menyebabkan menyimpang dari
kebiasaan (menghasilkan produk letusan Mediteran. Akhirnya, setelah konsolidasi dari kerangka
batuan beku jalur orogen ini, kekar utama memotong kerak bumi sampai ke lapisan magma.
Erupsi efusif basal olivine dari Daratan Sunda  lekat menyerupai batuan basal dari  jalur orogen.
Mereka dicemari oleh material kerak. Oleh karena itu magma induk riil mungkin lebih banyak
trakit basal.  Ringkasan ini memberi kesimpulan utama dari  diskusi di depan. Kita adalah
sungguh sadar akan fakta bahwa sebagian dari aktivitas batuan beku berbeda dari  konsep
petrologi “klasik”. Tetapi kita sudah mencoba untuk mempertimbangkan dan menghubungkan
dengan gejala geofisika dan geologi yang mengikuti evolusi batuan beku ini, untuk memberi
suatu sintesis berdasarkan fakta mengenai gambaran umum tentang evolusi orogen. Sintesis ini
berdasar pada teori geosinklin dari Hall dan Dana. Baru-baru ini Knoff (1948) telah memberi
suatu tambahan ringkasan teori ini. Doktrin geosinklin adalah suatu prinsip dasar dalam ilmu
pengetahuan geologi, dan sangat bernilai untuk penafsiran evolusi orogen di Indonesia. Di
kepulauan ini kita temukan banyak contoh perubahan bentuk jalur geosinklin ke dalam rantai
pegunungan. Lebih dari itu, kita dapat melacak evolusi ke samping daerah ini dari jalur orogen
lebih tua ke dalam yang lebih muda, serta hubungan antara jalur orogen dan aktivitas batuan
beku, isostasi, dan seismisitas. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa sejarah yang berhubungan
geologi, baik permukaan bumi maupun planet kita ini secara keseluruhan, tidak cukup
memberikan informasi tanpa mempertimbangkan evolusi geokimia.  

* Terjemahan bebas dari sumber pokok The Geology of Indonesia, Government printing office,
Netherland: The Hague,  Van Bemmelen, R.W. 1949, hal 224 - 256.

HUBUNGAN ANTARA KONDISI GEODINAMIK


DENGAN PEMBENTUKAN MINERAL DI INDONESIA

ET Paripurno

Penyebaran mineral ekonomis di Indonesia ini tidak merata. Seperti halnya penyebaran batuan,
penyebaran mineral ekonomis sangat dipengaruhi oleh tatanan geologi Indonesia yang rumit.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka usaha-usaha penelusuran keberadaan mineral ekonomis telah
dilakukan oleh banyak orang. Mineral ekonomis adalah mineral bahan galian dan energi yang
mempunyai nilai ekonomis. Mineral logam yang termasuk golongan ini adalah tembaga, besi, emas,
perak, timah, nikel dan aluminium. Mineral non logam yang termasuk golongan ini adalah fosfat, mika,
belerang, fluorit, mangan. Mineral industri adalah mineral bahan baku dan bahan penolong dalam
industri, misalnya felspar, ziolit, diatomea. Mineral energi adalah minyak, gas dan batubara atau
bituminus lainnya. Belakangan panas bumi dan uranium juga masuk dalam golongan ini walaupun cara
pembentukannya berbeda. (Sudradjat, 1999)

Keberadaan Mineral Logam


Pembentukan mineral logam sangat berhubungan dengan aktivitas magmatisme dan vulkanisme, pada
saat proses magmatisme akhir (late magmatism), pada suhu sekitar 200oC. Westerveld (1952)
menerbitkan peta jalur kegiatan magmatik. Dari peta tersebut dapat diperkirakan kemungkinan
keterdapatan mineral logam dasar yang pembentukannya berkaitan dengan kegiatan magmatik.
Carlile dan Mitchell (1994), berdasarkan data-data mutakhir Simanjuntak (1986), Sikumbang (1990),
Cameron (1980), Adimangga dan Trail (1980), memaparkan busur-busur magmatik seluruh Indonesia
sebagai dasar eksplorasi mineral. Teridentifikasikan 15 busur magmatik, 7 diantaranya membawa
jebakan emas dan tembaga, dan 8 lainnya belum diketahui. Busur yang menghasilkan jebakan mineral
logam tersebut adalah busur magmatik Aceh, Sumatera-Meratus, Sunda-Banda, Kalimantan Tengah,
Sulawesi-Mindanau Timur, Halmahera Tengah, Irian Jaya. Busur yang belum diketahui potensi
sumberdaya mineralnya adalah Paparan Sunda, Borneo Barat-laut, Talaud, Sumba-Timor, Moon-Utawa
dan dataran Utara Irian Jaya. Jebakan tersebut merupakan hasil mineralisasi utama yang umumnya
berupa porphyry copper-gold mineralization, skarn mineralization, high sulphidation epithermal
mineralization, gold-silver-barite-base metal mineralization, low sulphidation epithermal mineralization
dan sediment hosted mineralization.
Jebakan emas dapat terjadi di lingkungan batuan plutonik yang tererosi, ketika kegiatan fase akhir
magmatisme membawa larutan hidrotermal dan air tanah. Proses ini dikenal sebagai proses epitermal,
karena terjadi di daerah dangkal dan suhu rendah. Proses ini juga dapat terjadi di lingkungan batuan
vulkanik (volcanic hosted rock) maupun di batuan sedimen (sedimen hosted rock), yang lebih dikenal
dengan skarn. Contoh cukup baik atas skarn terdapat di Erstberg (Sudradjat, 1999). Skarn Erstberg
berupa roofpendant batugamping yang diintrusi oleh granodiorit. Sebaran skarn dikontrol oleh oleh
struktur geologi setempat. Sebagai sebuah roofpendant, zona skarn bergradasi dari metasomatik
contact sampai metamorphic zone (Juharlan, 1993).
Konsep cebakan emas epitermal merupakan hal baru yang memberikan perubahan signifikan pada
potensi emas Indonesia. Cebakan yang terbentuk secara epitermal ini terdapat pada kedalaman kurang
dari 200 m, dan berasosiasi dengan batuan gunungapi muda berumur kurang dari 70 juta tahun.
Sebagian besar host rock merupakan batuan vulkanik, dan hanya beberapa yang merupakan sediment
hosted rock. Cebakan emas epitermal umumnya terbentuk pada bekas-bekas kaldera dan daerah
retakan akibat sistem patahan.
Proses mineralisasi dalam di lingkungan batuan vulkanik ini dikenal sebagai sistem porfiri (porphyry).
Contoh baik atas porfiri terdapat di kompleks Grasberg di Papua, dengan mineralisasi utama bersifat
disseminated sulfide dengan mineral bijih utama kalkopirit yang banyak pada veinlet (MacDonald,
1994). Contoh lain terdapat di Pongkor dan Cikotok di Jawa Barat, Batu Hijau di Sumbawa, dan Ratotok
di Minahasa.
Lingkungan lain adalah kondisi gunungapi di daerah laut dangkal. Air laut yang masuk ke dalam tubuh
bumi berperan membawa larutan mineral ke permukaan dan mengendapkannya. Contoh terbaik atas
proses ini terjadi di Pulau Wetar, yang menghasilkan mineral barit.
Proses pengkayaan batuan karena pelapukan dikenal dengan nama pengkayaan supergen. Batuan
granitik yang lapuk akan menghasilkan mineral pembawa aluminium, antara lain bauxit. Proses ini
sangat berhubungan dengan keberadaan jalur magmatik, berupa subduksi pada lempeng benua bersifat
asam, sehingga menghasilkan baruan bersifat asam. Contoh pelapukan granit ini antara lain terjadi di
Kalimantan Barat, Bangka, Belitung dan Bintan.
Peridotit terbentuk di lingkungan lempeng samudera yang akan kaya mineral berat besi, nikel, kromit,
magnesium dan mangan. Keberadaannya di permukaan disebabkan oleh lempeng benua Pasifik yang
terangkat ke daratan oleh proses obduksi dengan lempeng benua Eurasia, yang kemudian “disebarkan”
oleh sesar Sorong (Katili, 1980) sebagai pulau-pulau kecil di berada di kepulauan Maluku. Pelapukan
akan menguraikan batuan ultrabasa tersebut menjadi mineral terlarut dan tak terlarut. Air tanah
melarutkan karbonat, kobalt dan magnesium, serta membawa mineral besi, nikel, kobalt, silikat dan
magnesium silikat dalam bentuk koloid yang mengendap. Endapan kaya nikel dan magnesium oksida
disebut krisopas, dan cebakan nikel ini disebut saprolit. Proses pelapukan peridotit akan menghasilkan
saprolit, batuan yang kaya nikel. Pelapukan ini terjadi di sebagian kepulauan Maluku, antara lain di pulau
Gag, Buton dan Gebe (Sudrajat, 1999).

Keberadaan Minyak dan Gas Bumi


Energi minyak dan gas bumi mempunyai peran yang sangat strategis dalam berbagai kegiatan ekonomi
dan kehidupan masyarakat. Pada umumnya minyak bumi dewasa ini memiliki peran sekitar 80% dari
total pasokan energi untuk konsumsi kebutuhan energi di Indonesia. Dengan demikian peran minyak
dan gas bumi dalam peningkatan perolehan devisa negara masih sangat diperlukan.
Nayoan dkk. (1974) dalam Barber (1985) menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara
cekungan minyak bumi yang berkembang di berbagai tempat dengan elemen-elemen tektonik yang ada.
Cekungan-cekungan besar di wilayah Asia Tenggara merepresentasikan kondisi setiap elemen tektonik
yang ada, yaitu cekungan busur muka (forearc basin), cekungan busur belakang (back-arc basin),
cekungan intra kraton (intracratonic basin), dan tepi kontinen (continent margin basin), dan zona
tumbukan (collision zone basin).
Berdasarkan data terakhir yang dikumpulkan dari berbagai sumber, telah diketahui ada sekitar 60 basin
yang diprediksi mengandung cebakan migas yang cukup potensial. Diantaranya basin Sumatera Utara,
Sibolga, Sumatera Tengah, Bengkulu, Jawa Barat Utara, Natuna Barat, Natuna Timur, Tarakan, Sawu,
Asem-Asem, Banda, dll.
Cekungan busur belakang di timur Sumatera dan utara Jawa merupakan lapangan-lapangan minyak
paling poduktif. Pematangan minyak sangat didukung oleh adanya heat flow dari proses penurunan
cekungan dan pembebanan. Proses itu diperkuat oleh gaya-gaya kompresi telah menjadikan berbagai
batuan sedimen berumur Paleogen menjadi perangkap struktur sebagai tempat akumulasi hidrokarbon
(Barber, 1985).
Secara lebih rinci, perkembangan sistem cekungan dan perangkap minyak bumi yang terbentuk sangat
dipengaruhi oleh tatanan struktur geologi lokal. Sebagai contoh, struktur pull apart basin menentukan
perkembangan sistem cekungan Sumatera Utara (Davies, 1984). Perulangan gaya kompresif dan
ekstensional dari proses peregangan berarah utara-selatan mempengaruhi pola pembentukan
antiklinorium dan cekungan Palembang yang berarah N300oE (Pulunggono, 1986). Demikian pula pola
sebaran cekungan Laut Jawa sebelah selatan sangat dipengaruhi oleh pola struktur berarah timur-barat
(Brandsen & Mattew, 1992), sedang pola cekungan di Laut Jawa bagian barat-laut berarah berarah
timur-laut – baratdaya, sedang pola cekungan di timur-laut berarah barat-laut – tenggara.
Cekungan Kutai dan Tarakan merupakan cekungan intra kraton (intracratonic basin) di Indonesia.
Pembentukan cekungan terjadi selama Neogen ketika terjadi proses penurunan cekungan dan
sedimentasi yang bersifat transgresif, dan dilanjutkan bersifat regresif di Miosen Tengah (Barber, 1985).
Pola-pola ini menjadiken pembentukan delta berjalan efektif sebagai pembentuk perangkap minyak
bumi maupun batubara.
Zona tumbukan (collision zone), tempat endapan-endapan kontinen bertumbukan dengan kompleks
subduksi, merupakan tempat prospektif minyak bumi. Cekungan Bula, Seram, Bituni dan Salawati di
sekitar Kepala burung Papua, cekungan lengan timur Sulawesi, serta Buton, merupakan cekungan yang
masuk dalam kategori ini. (Barber, 1985). Keberadaan endapan aspal di Buton berasosiasi dengan zona
tumbukan antara mikro kontinen Tukang Besi dengan lengan timur-laut Sulawesi, dengan Banggai Sula
sebagai kompleks ofiolit (Barber, 1985; Sartono, 1999).
Kehadiran minyak di Papua berasosiasi dengan lipatan dan patahan Lenguru, yang merupakan
tumbukan mikro kontinen Papua Barat dengan tepi benua Australia (Barber, 1985). Sumber dan
reservoar hidrokarbon terperangkap struktur di bagian bawah foot-wall sesar normal serta di bagian
bawah hanging-wall sesar sungkup (Simanjuntak dkk, 1994)

Keberadaan Batubara dan Bituminus


Parameter yang mengendalikan bembentukan batubara adalah (1) sumber vegetasi, (2) posisi muka air
tanah (3) penurunan yang terjadi bersamaan dengan pengendapan, (4) penurunan yang terjadi setelah
pengendapan, (5) kendali lingkungan geotektonik endapan batubara dan (6) lingkungan pengendapan
terbentuknya batubara. Batubara lazim terbentuk di lingkungan (1) dataran sungai teranyam, (2) lembah
aluvial, (3) dataran delta, (4) pantai berpenghalang dan (5) estuaria (Diessel, 1992).
Batubara di Indonesia umumnya menyebar tidak merata, 60% terletak di Sumatera Selatan dan 30% di
Kalimantan Timur dan Selatan. Sebagian besar batubara terbentuk di lingkungan litoral, paralik dan
delta, sedang beberapa terbentuk di lingkungan cekungan antar pegunungan. Kualitas batubara
umumnya berupa bituminous, termasuk dalam steaming coal. Antrasit berkualitas rendah karena
pemanasan oleh intrusi ditemukan di Bukit Asam, Sumatera dan Kalimantan Timur sedang pematangan
karena tekanan tektonik terbentuk di Ombilin, Sumatera Barat (Sudradjat, 1999).
Urutan kualitas batubara cenderung menggambarkan umurnya. Selama ini batubara di Indonesia
dihasilkan oleh cekungan berumur Tersier. Gambut berumur Resen sampai Paleosen, batubara sub
bituminus berumur Miosen dan batubara bituminus berumur Eosen.

Keberadaan Panasbumi
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki panas bumi terbesar di dunia. Panasbumi sebaai
energi alternatif tidak mempunyai potensi bahaya seperti energi nuklir, serta dari sisi pencemaran jauh
lebih rendah dari batubara. Keberadaan lapangan panas bumi tersebut secara umum dikontrol oleh
keberadaan sistem gunungapi.
Di Indonesia lapangan panasbumi tersebar di sepanjang jalur gunungapi yang memperlihatkan kegiatan
sejak Kwarter hingga saat ini. Jalur ini merentang dari ujung barat-laut Sumatera sampai kepulau
Nusatenggara, kemudian melengkung ke Maluku dan Sulawesi Utara. Pada jalur memanjang sekitar
7.000 km, dengan lebar 50-200 km tersebut, terdapat 217 lokasi prospek, terdiri dari 70 lokasi prospek
entalpi tinggi (t > 200oC) dan selebihnya entalpi menengah dan rendah. Lapangan prospek tersebut
tersebar di Sumatera (31), Jawa-Bali (22), Sulawesi (6), Nusatenggara (8) dan Maluku (3), dengan seluruh
potensi mencapai 20.000 MWe, dengan total cadangan sekitar 9.100 Mwe. Pengembangan geotermal di
Indonesia saat ini dikonsentrasikan di Sumatera, Jawa-Bali dan Sulawesi Utara. Hal ini dikarenakan
kawasan tersebut telah memiliki infrastruktur yang memadai serta memiliki pertumbuhan kebutuhan
listrik yang tinggi. (Sudrajat, 1982: Sudarman dkk., 1998)

Mineralisasi Busur Vulkanik Jawa: Sebuah Contoh


Busur vulkanik Jawa merupakan bagian dari busur vulkanik Sunda-Banda yang membentang dari
Sumatera hingga Banda, sepanjang 3.700 km yang dikenal banyak mengandung endapan bijih logam
(Carlile & Mitchell, 1994). Batuan vulkanik hasil kegiatan gunungapi yang berumur Eosen hingga
sekarang merupakan penyusun utama pulau Jawa. Terbentuknya jalur gunungapi ini merupakan hasil
dinamika subduksi ke arah utara lempeng Samudera Hindia ke Lempeng Benua Eurasia (Katili, 1989)
yang berlangsung sejak jaman Eosen (Hall, 1999). Kerak kontinen yang membentuk tepi benua aktif
(active continent margin) mempengaruhi kegiatan vulkanisme Tersier Jawa bagian barat, sedang kerak
samudera yang membentuk busur kepulauan (island arc) mempengarui kegiatan vulkanisme Tersier
Jawa bagian timur (Carlile & Mitchell, 1994).
Jalur penyebaran gunungapi di Indonesia terdiri dari jalur gunungapi tua (Tersier) dan muda (Kwarter),
yang sejajar dengan jalur penunjaman. Kegiatan vulkanisma Tersier terjadi dalam dua perioda, yaitu
perioda Eosen Akhir – Miosen Awal yang sebagian besar berafinitas toleitik dan perioda Miosen Akhir –
Pliosen yang sebagian besar berafinitas alkali kapur K tinggi (Soeria-Atmadja dkk, 1991) beberapa batuan
berafinitas shosonitik terdapat di Pacitan dan Jatiluhur (Sutanto, 1993). Berdasarkan pentarikhan umur
dengan menggunakan metoda K/Ar, batuan volkanik Tersier tertua terdapat di Pacitan dengan umur
42,7, juta tahun, sedang termuda terdapat di Bayah dengan umur 2,65 juta tahun (Soeria-Atmadja,
1991). Kegiatan vulkanisma umumnya menghasilkan komposisi batuan bersifat andesitik. Beberapa
singkapan batuan beku bersifat dasitik terdapat di beberapa tempat, misalnya intrusi dasit Ciemas Jawa
Barat dan granodiorit Meruberi Jawa Timur serta retas-retas basalt yang banyak terdapat di Kulonprogo
Yogyakarta dan Pacitan Jawa Timur (Soeria-Atmadja, 1991; Sutanto, 1993; Paripurno dan Sutarto, 1996).
Pola ritmik initerjadi karena adanya perubahan sudut penunjaman.
Sutanto (1993) mengelompokkan batuan vulkanik Jawa berdasarkan waktu terbentuknya, yaitu batuan-
batuan vulkanik yang terbentuk oleh (1) Eosen-Oligosen awal, (2) vulkanisme Eosen-Miosen Akhir, (3)
vulkanisme Eosen Akhir – Miosen Awal, (4) vulkanisme Miosen Tengah – Pliosen, serta (5) vulkanisme
Kwarter. Batuan-batuan volkanik Tersier di atas dikenal sebagai batuan vulkanik kelompok Andesit Tua
(van Bemmerlen, 1933), yang saat ini lebih dikenal dengan nama Formasi Jampang, Formasi Cikotok dan
Formasi Cimapag untuk wilayah Jawa Barat; Formasi Gabo, Formasi Totogan, untuk wilayah Kebumen
dan sekitarnya; Formasi Kebo, Formasi Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi Semilir,
untuk kawasan Gunungsewu dan sekitarnya; serta Formasi Kaligesing, Formasi Dukuh, Formasi
Giripurwo untuk wilayah Kulonprogo dan sekitarnya; serta di Jawa Timur dikenal dengan nama Formasi
Besole, Formasi Mandalika dan Fomasi Arjosari.
Proses hidrotermal di Jawa yang terdapat mulai dari Pongkor Jawa Barat sampai Sukamade Jawa Timur.
Sebagian besar cebakan merupakan tipe low sulphidation epithermal mineralization. Tipe lain berupa
volcanogenic massive sulphide mineralization, misalnya terdapat di Cibuniasih; sedang tipe veins
assosiated with porphyry system misalnya terdapat di Ciomas, dan sediment hosted mineralization
hanya terdapat di beberapa tempat, misalnya di Cikotok.
Secara umum cadangan yang terdapat di Jawa bagian barat lebih besar dibanding yang terdapat di Jawa
bagian timur. Cadangan terbesar di Jawa bagian barat terdapat di Pongkor dengan kadar rata-rata 17,4
(Sumanagara dan Sinambela, 1991) dan jumlah cadangan lebih dari 98 ton Au dan 1.026 Ag (Milesi dkk,
1999).
Vulkanisme yang terkait dengan mineralisasi umumnya menunjukkan umur yang relatif muda, Miosen
Tengah – Pliosen. Pentarikhan pada beberapa urat di Pongkor menunjukkan umur 2,7 juta tahun, di
Cirotan menujukkan umur 1,7 juta tahun, serta di Ciawitali menujukkan umur 1,5 juta tahun. Di Cirotan
urat-urat tersebut memotong ignimbrit riodasit berumur 9,5 juta tahun yang diintrusi oleh mikrodiorit
berumur 4,5 juta tahun (Milesi dkk., 1994). Di Pongkor urat-urat tersebut berada pada lingkungan
vulkanik kaldera purba yang terdiri dari batuan tufa breksi, piroklastika dan lava bersusunan andesit-
basalt yang diintrusi oleh andesit, dasit dan basalt (Sumanagara dan Sinambela, 1991).

METALOGENIK  BUSUR SUNDA-BANDA

Seperti diketahui bahwa geologi kepulauan Indonesia ini terletak pada daerah tumbukan tiga lempeng  bumi,
yaitu Lempeng Pasific, lempeng India-Australia dan Eurasia yang telah membentuk kerangka tektonik yang cukup
rumit serta kondisi daerah yang cukup dinamis dan cocok bagi pengendapan berjenis-jenis mineral logam.

Paling tidak ada enam jalur busur magmatik di Indonesia yang merupakan tempat kedudukan utama mineralisasi
logam (emas dan tembaga), salah satu di antaranya adalah Busur Sunda-Banda. Sejarah membuktikan bahwa
kebanyakan tambang logam (emas) terletak di jalur magmatik ini. (Gambar 1.).
Pengenalan metalogenik di Busur Sunda-Banda akan sangat membantu untuk menentukan tempat kedudukan
dan memperkirakan jenis/tipe mineralisasi yang terjadi.

Perbedaan geologi (lingkungan pengendapan, litologi dan tektonik) erat hubungannya dengan genesa
pembentukan bahan galian mineral logam, maka daerah mineralisasi logam tertentu dapat dibedakan berdasarkan
jenis/tipe endapan dan karakteristik mineralisasinya. Proses geologi seperti magmatik, tektonik dan erosi-
sedimentasi akan membentuk jenis-jenis endapan magmatik skarn dan greisen, endapan hidrotermal berkaitan
dengan stockwork, urat, breksi pipa,  endapan volkanogenik, sedangkan proses pengayaan membentuk endapan
laterit, plaser , sedangkan proses rombakan menghasilkan endapan pasir pantai dll.

Berdasarkan proses geologi, tektonik dan fase mineralisasinya, maka secara sederhana di Ujung Barat dan
sepanjang Busur Sunda-Banda tersebut terdapat beberapa perioda mineralisasi, diantaranya adalah:

1.         Mineralisasi Logam pada perioda Karbon Akhir hingga Trias Akhir. Salah satu proses metamorpik tertua
akibat plutonisma di Jalur Busur Sunda-Banda ditemukan di Way Pubian, Lampung, Sumatera Selatan. Granit
berumur Trias Akhir hingga Kapur Awal mengintrusi batuan yang lebih tua berumur Paleozoik Awal berubah
menjadi gneis-granit, dengan mineralisasi logam molibdenit berasosiasi dengan sedikit logam dasar terjadi
pada aplit dan urat halus sebagai oksida dan sulfida dalam batuan gneis granit tersebut. Jenis mineralisasi ini
mungkin terjadi akibat proses pneumatolitik atau metasomatik yang kemudian dikenai proses hidroterrmal.

2.         Mineralisasi Logam pada perioda Trias Tengah hingga Kapur Akhir
Mineralisasi kasiterit terjadi pada batuan sedimen dan volkanik Perem Akhir-Mesozoik yang diintrusi batuan
plutonik, terjadi proses pegmatitik, kontak metasomatik, alterasi hidrotermal dan mineralisasi logamtimah yang
berasosiasi dengan logam jarang di pulau-pulau timah. Mineralisasi dalam jalur plutonik batuan granitik Asia
Tenggara ini sangat karakteristik, yaitu terbentuknya kasiterit yang umumnya berasosiasi dengan scheelite,
xenotime, columbite, monasit.

3.         Mineralisasi Logam pada perioda Kapur Awal hingga Miosen Tengah.
Di P. Sumatera dan Natuna, batuan granit dan granodiorit berumur Kapur tersebut telah mengubah batuan
sedimen menjadi metasedimen, serta aktivitas volkanisma terjadi bersamaan dengan terbentuknya batuan
ofiolit di pulau-pulau sebelah barat Sumatera dan di Jawa bagian selatan. Mineralisasi logam yang terjadi
adalah magnetit-hematit, molibdenit, pirhotit, kalkopirit, sfalerit galena. Emas dan  logam dasar ditemukan
juga berupa oksida dan sulfida dalam urat kwarsa epitermal dan tersebar dalam batuan intrusi di sepanjang
zona kontak patahan Sumatera.

4.         Mineralisasi Logam perioda antara Miosen Tengah hingga Pliosen.


Mineralisasi logam perioda ini nampaknya berkaitan dengan aktifitas sub-volkanik Miosen hingga Pliosen
dalam batuan andesitik terubah berumur Miosen, seperti ditemui di Bukit Barisan, Pegunungan Selatan Jawa
dan menerus sampai ke NusaTenggara Timur. Bagian pesisir barat Sumatera adalah daerah mineralisasi tipe
urat kwarsa epitermal mengandung logam mulia berasosiasi dengan logam dasar, sedikit mangan, sedangkan
Pegunungan selatan Jawa  dengan karakteristik sering ditemukan logam mangan.
 

5.       Mineral logam berumur Kwarter yang terjadi di Busur Sunda-Banda adalah berupa endapan letakan terdiri dari
emas plaser, pasir besi-titan dan endapan timah sekunder.

KEGIATAN EKSPLORASI ENDAPAN MINERAL LOGAM  DAN PROSPEK-NYA


Sesuai dengan fungsi Direktorat Sumberdaya Mineral, tahapan eksplorasi yang dilakukan secara garis besar
terbagi menjadi survai tinjau, prospeksi, eksplorasi umum dan eksplorasi rinci. Klasifikasi informasi potensi mineral
yang disimpulkan baru sampai kepada sumberdaya, karena metoda pemboran yang dilakukan hanya sebatas
pemboran uji geologi. Ditinjau dari tingkat risiko dalam penyelidikan dan pengusahaan tambang menunjukan bahwa
Busur Magmatik Sunda-Banda masih merupakan daerah yang cukup menarik untuk pencarian endapan logam.

Direktorat Sumberdaya Mineral dalam rangka inventarisasi mineral logam di seluruh Indonesia akan terus
berusaha mendorong kegiatan eksplorasi dalam batas-batas wewenangnya, terutama di daerah-daerah yang
diprioritaskan, walaupun dalam pelaksanaannya kedepan dengan adanya UU No.22 th. 1999 akan ditangani oleh
daerah.

HASIL KEGIATAN EKPLORASI SUBDIT. EKSPLORASI MINERAL LOGAM

Hasil kegiatan eksplorasi bahan galian logam yang dilakukan oleh Subdit. Eksplorasi Mineral Logam,
Direktorat Sumberdaya Mineral di sepanjang Busur

Sunda-Banda sejak tahun 1988 menunjukan temuan-temuan baru daerah mineralisasi logam emas, logam
dasar dan timah yang patut mendapat perhatian untuk ditindak lanjuti. Kegiatan tersebut adalah meliputi Proyek
Kerjasama dengan BRGM, JICA/MMAJ, USGS, dan KOREA/KMPC maupun yang dibiayai Proyek Pembangunan.
Walaupun tahap penyelidikannya kebanyakan masih pada tahan pendahuluan dan hanya pada beberapa daerah WPP
yang dilakukan agak  detail, akan tetapi informasi geologi dan mineralisasinya sudah dapat dipakai sebagai
pelengkap data geologi yang telah ada. Dengan demikian cukup baik untuk dipakai sebagai acuan bagi penyelidikan
selanjutnya.
Beberapa jenis mineralisasi yang ditemukan adalah sbb:
a.        Mineralisasi tipe metasomatik.
1.    Mineralisasi Timah dan Logam Langka di daerah Sosortolong dan sekitarnya, Tapanuli Utara
Penentuan  jenis batuan granit akan sangat membantu menuntun eksplorasi jenis-jenis mineral logam yang
akan ditemukan di daerah batuan granit,.
Indikasi mineralisasi timah di daerah Parmonangan/Sosortolong dan sekitarnya (Gambar 2a & 2b) ditunjukan
oleh gejala greisenisasi dan kandungan Sn yang cukup tinggi pada conto batuan dan endapan sungai aktif.
Sedangkan indikasi mineralisasi logam dasar (Cu, Pb, Zn) ditunjukkan oleh adanya mineral sulfida dan alterasi
hidrotermal berupa propilitisasi, piritisasi dan urat kuarsa mengandung kasiterit (?) pada conto batuan dari daerah
Sisonding. Daerah ini mungkin menjadi sumber mineralisasi primer logam timah.

Penerobosan masa batuan granit gneis pada Karbon Akhir sampai Perem Awal, menyebabkan mineralisasi
metasomatik kontak. Sekitar Kapur Akhir, penerobosan granit yang lebih muda membentuk mineralisasi sulfida
logam porfiri. Dengan demikian menunjukan adanya keterkaitan hubungan antara batuan granit dengan mineralisasi
timah maupun logam dasar.
Pada jalur granit timah yang terbentang dari Thailand sampai ke pulau-pulau timah Bangka-Belitung ini batuan
granit tenyata merupakan tempat kedudukan mineralisasi sulfida logam dasar maupun timah (Cobbing E. J and
Mallick D.I.J.,1984). .
2.       Mineralisasi logam dasar, logam mulia dan logam Timah dan Logam Langka di daerah Way Pubian.
Granit Pubian tersingkap di daerah Way Samang-Way Pubian, Lampung Tengah. Menurut beberapa penulis
granit Pubian berumur Kapur. Secara fisik ada dua jenis granit dengan tekstur yang berbeda yaitu granit porfir
dengan fenokris orthoklas kasar dan granit biotit (Gambar 3).
Granit biotit di daerah ini menerobos batuan metasedimen yang lebih tua menyebabkan gejala greisen dengan
kandungan mika yang melimpah di daerah Way Waya, dan mengandung kasiterit. Dari 2 (dua) conto batuan granit
biotit pada lokasi yang berbeda, dari Way Pubian dan Way Kijang, menunjukkan karakteristik kelompok seri
magnetit atau tipe-I, yang mempunyai kemungkinan yang kecil untuk ditemukannya mineral logam langka, namun
justru dijumpai mineralisasi logam mulia dan logam dasar. Hal ini juga didukung  oleh  sedikitnya  temuan  mineral
 
logam langka dari conto konsentrat dulang. Di daerah Way Gelinding indikasi mineralisasi logam langka seperti
mineral monasit/xenotim dan kasiterit hanya ditemukan dalam konsentrat dulang.
Mineralisasi logam Timah di daerah Way Waya terdeteksi dari adanya singkapan batuan greisen yang
mengandung kasiterit dan mineral kasiterit pada konsentrat dulang. Secara umum batuan granit di bagian utara
daerah penyelidikan memiliki karakteristik granit seri magnetit, sedangkan batuan granit di daerah Way Waya
kemungkinan dapat dikelompokkan ke dalam granit tipe-S. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa batuan granit di daerah
penyelidikan kemungkinan berasal dari magma pada kedalaman yang berbeda. Sedangkan gejala mineralisasi logam
dasar pada batuan granit porfir di Hulu Way Samang kemungkinan merupakan akibat proses hidrotermal berkaitan
dengan retas andesit.
Namun mineralisasi logam mulia dan logam dasar yang dijumpai di daerah G Dempu, umumnya tidak
berkaitan dengan pembentukan batuan granit, kemungkinan berkaitan erat dengan aktivitas volkanik pada kala
Pliosen. Mineralisasi logam mulia dan logam dasar di daerah G. Dempu merupakan daerah yang paling prospek
dengan asosiasi mineral-mineral galena, sfalerit dan pirit pada urat kuarsa yang menembus batuan andesit, serta
adanya beberapa elektrum dan kalkopirit dan sfalerit.
 
b. Mineralisasi Tipe Volkanogenik
Mineralisasi emas dan logam dasar di Daerah Cisasah-Cidadap-Cibuniasih, Tasikmalaya Selatan
            Penyelidikan mineralisasi logam dasar di daerah ini merupakan Kerjasama antara DSM-MMAJ/JICA th.
1994-1995, meliputi penyelidikan geologi, pencontoan geokimia, pengukuran geofisika dan pemboran uji geologi.
Ada tiga daerah yang menarik untuk ditindak lanjuti (Gambar 6), yaitu :
         Blok Barat meliputi daerah Cisasah, Cikoplok-Panyairan, Garonggong, Cisodong dan Cidadap.
         Blok Tengah adalah daerah Cisaura dan,
         Blok Timur meliputi daerah Ciguranteng, Cinampak, Cibuniasih dan Balekambang
Penyelidikan geofisika memakai metoda gaya berat dan IP. Pemboran uji geologi dilakukan 4 lokasi di
daerah Cisasah-Cidadap dan 3 lokasi di daerah Cibuniasih. Dari hasil pemboran dapat disimpulkan bahwa ketebalan
green tuff sekitar 300m dan membentuk struktur cekungan Cikalong selebar 10 km.
Batuan tertua yang menempati daerah Cisasah-Cidadap-Cibuniasih adalah kelompok dari batuan Formasi Jampang
yang berumur Oligo-Miosen Awal (Gambar 4a dan 4b). Selaras di bagian atasnya terendapkan tufa dan lava andesit
dan tufa-lava dasit yang biasa juga dinamakan green-tuff berumur Miosen awal hingga tengah. Batas paling atas Fm.
Jampang disusun oleh batu lumpur, batu pasir dan batu lanau dengan lapisan rijang dengan lensa-lensa mangan. 
Mineralisasi logam dasar di daerahCisasah – Cidadap - Cibuniasih merupakan tipe volkanogenik (VMS,
terendapkan satuan batuan green tuff pada lingkungan pengendapan laut suatu struktur cekungan Cikalong, dengan
karakteristik ditemukannya barit, urat gypsum, mangan bersama-sama dengan galena, spalerit kalkopirit da pirit
masif. Salah satu conto bijih  barit mengandung  2.17 ppm Au, 622 ppm Ag, 0.83 % Cu, 38.64% Pb, 16.94% Zn dan
16.29 % Ba. Beberapa lokasi tambang gypsum ditemukan di daerah ini
 
c. Mineralisasi tipe hidrotermal :
1.         Mineralisasi Au-Logam dasar  di Kubah Bayah/ G.Ciawitali.
G. Ciawitali terletak pada bagian utara sistim struktur apa yang dikenal sebagai Kubah Bayah. Daerah ini
masih merupakan kawasan Hutan Cagar Alam G. Halimun. Indikasi mineralisasi emas teramati dari adanya butiran
emas dalam conto konsentrat dulang yang diambil dari hampir semua sungai yang berhulu di G. Ciawitali (Gambar
5a dan 5b),
Secara regional, daerah G. Ciawitali terdiri dari satuan batuan volkanik piroklastik (Fm. Cimapag) berumur
Oligo-Miosen yang diintrusi oleh korok andesit, tidak selaras   diatasnya   ditutupi    oleh    satuan batuan felsik-
piroklastik. Mineralisasi emas di G.Ciawitali terjadi pada batuan andesit tua (Oligo-Miosen) terubah dan pada
batuan tufa andesiti-dasitik terubah. Ada 2 jenis mineralisasi, yaitu tipe porfiri pada batuan tufa terkersikan-
terkaolinkan dan tipe urat kuarsa mengandung emas epitermal berasosiasi dengan mangan oksida. Berbeda dengan
mineralisasi emas di Cikotok dan Cirotan yang berasosiasi dengan logam dasar.
Eksplorasi di G.Ciawitali merupakan Kerjasama antara DSM dan BRGM (Perancis) dalam Wilayah
Penugasan Pertambangan (WPP) Jawa Barat.
Pengamatan di lapangan menemukan hubungan antara anomali emas dalam soil dengan adanya urat kuarsa
pada horison dibawahnya. Pengambilan soil pada grid yang rapat dimaksudkan untuk mengatasi pengaruh dari
ketebalan kebanyakan urat kuarsa ternyata < 1 cm. Pengukuran geofisika telah mendeteksi adanya zona mineralisasi
sulfida dan tubuh batuan intrusi dikedalaman. Pemboran dilakukan di lima lubang, 3 lokasi untuk mengecek
distribusi mineralisasi emas kearah kedalaman sedangkan 2 lokasi menemukan mineralisasi tipe porfiri. Mineralisasi
emas G.Ciawitali adalah karakteristik untuk mineralisasi emas epitermal di Kubah Bayah, diperkirakan terjadi pada
horizon atas suatu sistim mineralisasi emas epitermal.
 

 
2.    Mineralisasi emas pada lingkungan
       batuan ultrabasa di daerah Kebutuh
       duwur, Kebumen ,  Jateng.
Litologi di daerah ini yaitu : Satuan batuan ultrabasa, sekis, batuan termalihkan, batulempung, breksi
andesitik, breksi aneka bahan, batuan terobosan andesit dan satuan endapan undak. (Gambar 6a dan 6b).
Butiran emas ditemukan dari hasil pendulangan di lingkungan batuan ultrabasa dan termalihkan, yang
terdisintregasi dari pengendapan larutan hidrotermal yang mengisi rekahan, berupa lensa-lensa urat kuarsa di
sepanjang struktur, berasosiasi dengan pirit, arsenopirit, kalkopirit, pirotit dan malakit, hasil analisisnya
menunjukkan kandungan 4.180 ppm Cu dan 1.330 ppm Mn. Urat kuarsa juga ditemukan pada batuan termalihkan,
mengandung pirit, arsenopirit, kalkopirit, pirotit dan malakit, dengan kadar 2.130 ppm Cu.
Ubahan serpentinisasi maupun karbonatisasi terjadi pada batuan ultrabasa. Analisa mineralogi bijih
menunjukkan bahwa di dalam batuan samping gabro menunjukkan adanya mineralisasi pirit, kalkopirit, ilmenit dan
oksida besi mengisi rekahan. 
Hipotesis proses mineralisasinya dapat di kemukakan dalam Gambar 6b berikut:
Hasil analisis kimia conto sedimen sungai menunjukkan ada 7 daerah anomali, yaitu :
           Daerah Kebutuh Jurang - Kebutuh Duwur merupakan anomali kuat Au - Sb - As - Pb di dalam kelompok
batuan termalihkan, sekis dan ultrabasa (Kompleks Lok Ulo), dengan kadungan Cu masing-masing 4.180 dan
2.130 ppm.
           Daerah Candi - Sudimara merupakan anomali kuat Au - Cu.
           Daerah Kaliwadas merupakan anomali kuat Pb - Zn.
           Daerah Plumbangan merupakan anomali kuat Au.
           Daerah Sokajasa merupakan anomali kuat Au - Pb - Zn.
         Daerah Bongkelan merupakan anomali kuat Sb-Pb.
         Daerah G. Grenjeng merupakan
      anomali kuat Pb - Zn
Khususnya untuk mineral logam emas Kebutuh Jurang - Kebutuh Duwur merupakan daerah anomali Au - Sb
- As - Pb dan daerah Candi - Sudimara merupakan daerah anomali Au - Cu.
 
3.   Mineralisasi Au dan Logam Dasar di Jember
Secara geologi daerah ini terletak di bagian ujung timur jalur orogenesa Pegunungan Selatan Jawa, yang juga
dikenal sebagai tempat kedudukan mineralisasi logam mulia dan logam dasar. Berdasarkan pengamatan, geologi
/batuan yang mempunyai hubungan erat dengan mineralisasi yaitu batuan induk (host rocks) berumur Oligo-Miosen,
terdiri dari batuan "ignimbrite", mungkin serupa dengan batuan ignembrit yang terdapat dalam Formasi Ciletuh di
daerah Jampang Selatan, Jawa Barat dan batuan gunungapi andesitik, terpiritkan dan terpropilitkan, yang dapat
disetarakan dengan Formasi Meru Beriti (Tomm; Sapei T., dkk.,1992 ), dan secara umum dikenal sebagai Formasi
Andesit Tua (Bemmelen, 1949). Sedangkan heat source-nya berupa batuan intrusi granodioritik-dioriti (Gambar 7a
dan 7b).
Urat kuarsa gossan di daerah Dusun Baban Barat sampai Baban Timur mengandung emas dan logam dasar
dengan mineral utama yang nampak adalah malakit, azurit dan limonit. Analisa conto urat pada beberapa tempat
menunjukan kandungan 3.5-48.96 ppm Au, 15%-34% Cu dan 0.6%-13.6% Zn. Di sepanjang K.Sanen antara Dusun
Baban Barat-Dusun Baban Timur ditemukan mineralisasi sulfida/pirit tersebar dengan ubahan propilitisasi lemah
sampai kuat pada batuan dasitik, granodioritik, dan dioritik.
 
Di muara S. Mandilis terdapat terobosan batuan mikrodioritik yang memperlihatkan mineralisasi sulfida/pirit
tersebar (tipe porfiri), sedangkan pada rekahan-rekahanya ditemukan pirit sekunder dan malakit. Di daerah
Pagergunung, Glenmore, ditemukan gejala mineralisasi sulfida/pirit tersebar dan ubahan propilitisasi lemah hingga
kuat pada batuan granodioritik dan dioritik. Urat-urat tipis epidot dan kuarsa dengan pola stockwork, dengan pirit
tersebar, mengandung
0.9 ppm Au, 583 ppm Cu dan 538 ppm Zn. Pada aliran sungai di daerah ini ditemukanpula
bongkah (float) urat kuarsa dengan kalkopirit, pirit dan galena mengandung 118-1139 ppb Au, 0.2%-0.8%
Cu dan 2.8% Zn.
Dalam konsentrat dulang didapatkan butir wolframit di hulu salah satu anak sungai K. Tajem di daerah
Kampungbaru, Kec. Glenmore.
4.  Mineralisasi daerah Wai Wajo, Kab.   Sikka, Flores.
Daerah Wai Wajo terletak 39 km sebelah tenggara Maumere, secara administratif termasuk wilayah Kec.
Paga dan Kec. Nita, Kab. Sikka, Flores - Prop. Nusa Tenggara Timur.
Geologi daerah ini tercakup dalam Peta Geologi Lembar Ende sekala 1:250.000 (N.Suwarna, 1990),
termasuk bagian timur  Busur Magmatik Sunda - Banda  (J.C.Carlile dan A.H.G.Mitchelle 1994). Stratigrafi daerah
penyelidikan disusun oleh satuan tufa andesitik, satuan tufa dasitik, terobosan granodiorit-diorit-retas andesit, satuan
tufa pasiran, satuan breksi andesitik, satuan breksi aglomerat dan satuan aluvium (Gambar 10).
Mineralisasi yang ditemukan di daerah ini adalah tipe urat, pengisian rekahan dan tersebar, dengan mineral
pirit, kalkosit, bornit, kalkopirit, bornit, kovelit, arsenopirit, galena, sfalerit, mengandung emas dan perak. Tempat
kedudukan mineralisasi umumnya pada batuan terubah tufa andesitik (Fm. Kiro), tufa dasitik (Fm. Tanahau)
berumur Miosen Awal dengan intrusi granodiorit berumur Miosen Tengah (N.Suwarna dkk, 1990),  yang dikontrol
oleh patahan Normal.
Dari analisa statistik asosiasi mineral daerah Wai Wajo adalah asosiasi As - Au - Ag - Cu - Co - Zn (Bijih
Sulfida),asosiasi Zn,Cu t Cu - Pb - Zn atau asosiasi Cu - Zn - Pb (cebakan sulfida umum).
Ubahan yang teramati di sekitar urat/kontak yaitu pilik dengan kelompok mineral ubahannya kuarsa - serisit -
pirit, argilik dengan kelompok mineral ubahannya kaolinit - klorit dan propilitik dengan mineral ubahannya adalah
klorit - epidot dan karbonat
Hasil analisa geokimia conto batuan, menunjukan kandungan Cu: 10% dan Au tertinggi : 530 ppb,dan conto
endapan sungai aktif dengan kandungan  Cu: 46 ppm, dan Au : 9 ppb. Tidak ditemukan adanya logam dasar dan
logam mulia dalam dulang.
Tiga daerah anomali yang menarik yaitu :
1. Lowo Mego, untuk  Cu, Zn, Au dan Mn.
Tipe mineralisasinya : urat dan tersebar
Jenis mineralnya : Tembaga, Seng, Emas dan Mangan
 

Kadar logam dalam batuan : Cu:98480 ppm; Pb:114ppm; Zn:18980 ppm; Mn:2129 ppm; Au :530 ppb dan Ag:
12 ppm.
2. Lowo Mera-Lowo Gera untuk Cu, Pb, Mn, Ag dan Au.
Tipe mineralisasinya : Urat, pengisian rekahan dan tersebar
Jenis mineralnya : Tembaga, Timbal, Mangan, Perak dan Emas
Kadar dalam batuan Cu: 20240 ppm; Pb: 1893 ppm; Zn: 3900 ppm; Mn: 2086 ppm; Au: 8 ppb dan Ag: 3 ppm
 
 
3. Lowo Soko-Lowo Pelongo untuk Cu, Mn, Au dan Ag.
Tipe mineralisasinya : tersebar
Jenis mineralnya : Tembaga, Mangan, Emas dan Perak
Kadar dalam batuan Cu: 200 ppm; Pb: 28 ppm; Zn: 67 ppm; Mn: 1618 ppm; Au: 15-19 ppb dan Ag: 3 ppm
 

KESIMPULAN
a.        Metalogenik dan kerangka tektonik Busur Magmatik Sunda-Banda di Indonesia cukup mendukung sebagai
tempat kedudukan bermacam-macam endapan logam primer.

b.        Perbedaan geologi (lingkungan pengendapan, litologi dan tektonik) erat hubungannya dengan genesa
pembentukan bahan galian mineral logam,

c.        Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pada jalur magmatik Sunda-Banda dijumpai:

            mineralisasi timah dan logam langka berkaitan dengan plutonisma granit berumur Akhir Paleozoik
hingga Akhir Mesozoik, seperti  pada proses  greisenisasi. Mineralisasi logam dasar juga dapat terjadi
pada perioda ini.

            Tempat kedudukan mineralisasi emas epitermal adalah batuan andesit tua berumur Oligosen hingga
Pliosen, di Sumatera berasosiasi dengan logam dasar, sedangkan di Jawa lebih banyak ditemukan
bersama mangan. Tempat kedudukan ini masih berlanjut sampai ke bagian timur.

         Lingkungan pengendapan mineralisasi logam dapat terjadi dalam lingkungan darat (tipe urat kwarsa
epitermal) maupun laut (endapan logam volkanogenik).

            Tipe mineralisasi umumnya berupa tipe urat, sulfida masif dan porfiri.

Anda mungkin juga menyukai