Anda di halaman 1dari 2

Tuhan...

Jaga Dia untukku

Karya Rollia Fitriani

Hai, aku Andin. Hari itu, adalah hari pertama masuk sekolah di tahun keduaku. Tidak seperti
biasanya, aku yang dikenal sebagai siswa yang disiplin waktu, hari ini aku memutuskan
untuk keluar dari zonaku. Aku datang cukup siang. Terlihat matahari sudah tinggi. Embun
pagi di ujung rumput sudah menghilang. Matahari sudah hampir menyentuh titik
maksimumnya. Selain itu, sudah banyak siswa yang terlihat memenuhi seluruh penjuru
sekolah. Mulai dari bangku di bawah pohon, tepi koridor, teras-teras kelas, ruang kelas,
kantin dan di tempat-tempat lainnya. Sungguh banyak koloni hari itu.

Aku yang baru saja memarkirkan motor tak bermesinku di tempat parkir siswa, langsung saja
berjalan menelusuri koridor yang sengaja dibuat mengelilingi lapangan bola, menuju ruangan
yang bakal kuhuni setahun ke depan. Sesekali aku menyapa siswa-siswa yang berjajar di tepi
koridor sesuai dengan koloninya.

Sesampainya di ruang kelas, aku menyapa teman-temanku yang sebelumnya berada di kelas
yang sama. Hampir 80% penghuni kelas XI IPA 2, berasal dari kelas X 1. Namun tahun ini
diberlakukan sistem random dari kelas lainnya juga.

Saat itu, untuk pertama kalinya aku bertemu dengan dia. Siswi bemuka bulat dan
berkacamata. Dia duduk diam menyendiri di bangku belakang sambil mengamati siswa yang
keluar masuk ruangan. Dia adalah Putri, siswi asal kelas X 6. Sekedar basa-basi, aku
menghampirinya dan menyapa sesaat. Tak lupa ku untai senyuman di wajahku. Dan diapun
membalasanya. Kemudian akupun berlalu.

Setelah hari itu, pelajaran dimulai. Hari-hari berlalu dengan menengarkan penjelasan guru di
kelas, mengerjakan tugas dan ulangan harian. Tak butuh waktu lama kami berdua sudah
akrab satu sama lain. Kami berada dalam frekuensi yang sama dalam banyak hal.

Suatu malam, aku memimpikan dirinya. Kami pergi berasama teman-teman satu kelas untuk
melakukan study wisata di suatu kawasan hutan konservasi. Saat itu aku mengajaknya
berfoto di dekat suatu jembatan yang pemandangannya sungguuh memikat hati siapa pun
yang melihatnya. Di bawah jembatan tersebut, mengalir air yang cukup tenang. Namun, tak
selamanya air yang tenang akan benar-benar tenang.

Saat itu, hanya kita berdua. Hingga suatu hal yang tak diinginkan terjadi. Dia jatuh kedalam
aliran suangi tersebut, bersama dengan puing-puing jembatan yang baru saja ia pijak. Aku
berusaha menolongnya dengan mengulurkan tanganku, namun nihil. Ia sudah entah kemana.
Aku menangis sejadi-jadinya. Ditengah penyesalan dan kesedihanku, tiba-tiba ponselku
berdering. Ada pesan singkat yang masuk. Atas nama, Putri. Segera kumembukanya.

“Jangan bersedih. Tak apa. Meskipun kita tak bisa bertemu. Namun kita masih bisa saling
bertukar kabar.”
Setelah mendapatkan pesan itu, aku terjaga dari tidurku. Napasku berat. Jantungku berdegup
dengan frekuensi gelombang yang hampir rapat. Masih melekat diingatan mimpi yang baru
saja ku alami. Tak terasa, air mataku mengalir deras mengingat semuanya.

Spontan, tanganku menggerayahi permukaan tempat tidurku. Mencari ponsel yang biasa
kugunakan sebagai alarm ketika tidur. Dengan sigap, ku cari namanya di daftar kontakku.
Hampir saja kutekan tombol berbentuk gagang telepon berwarna hijau. Namun aku tersadar
ketika melihat ujung kiri atas menampilakan angka 02.35 WIB. Masih terlalu malam untuk
menghubungi seseorang. Akhirnya, kuurungkan niatku. Dan memutuskan untuk menemuinya
saja esok ketika di ruang kelas.

Dua tahun telah berlalu. Dua tahun juga kami bersama menjadi penghuni IPA 2. Dan,
kewajiban kita menjadi seorang siswa pun telah usai. Ujian Nasional atau UN, yang selalu
menjelma menjadi memedi di akhir sekolah, berjalan dengan lancar. Acara perpisahan sudah
rampung digelas dengan meriah. Pengumuman kelulusan, dengan penuh suka cita telah
disampaikan. Segala printilan pemberkasan, sidik jadi dan kawan-kawannya sudah selesai
diurus. Dan, aku belum menyadari suatu hal.

Tak terasa, bulan penuh berkah tiba. Berjarak dua bulan setelah terakhir kami bertemu.
Malam itu aku masih asik berkutat dengan kegiatanku setelah sholat tarawih usai. Tadarus
Qur-an. Tiba-tiba, sepupuku mengirimiku sebuah pesan singkat. Dan berkata, “Mba, Putri
mau pindah ke Bengkulu. Besok berangkatnya. Barang-barangnya sudah dititipkan di
rumahku.”

Seketika, runtuh air mataku. Aku akan kehilangan sahabat yang sudah ku anggap seperti
saudaraku sendiri. Kedekatan kami membuat banyak orang mengira kami berdua kembar.
Karena muka kami memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda.

Setelah mendapat kabar tersebut, langsung saja aku menghubungi Putri untuk menanyakan
secara langsung. Ia pun membenarkannya. Dan dia juga menyampaikan sesuatu yang baru ku
sadar, itu pesan yang sama dengan yang kuterima dalam mimpiku dua tahun lalu.

Dan aku pun menyadari suatu hal.

Hari itu adalah hari terakhir kita bertemu.

~ ~ The End ~ ~

Anda mungkin juga menyukai