Anda di halaman 1dari 29

TUGAS AKHIR UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

MATA KULIAH PENGENDALIAN PROSES


Dosen: Dr. Bambang Heru Susanto, S.T., M.T

KELOMPOK 7
TIPE SOAL B

Luki Farhandika (1506724871)

Maghfira Risang Khairiza (1506675705)

Maria Nafisah Khairiyah (1506744570)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI BIOPROSES


DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2018
BAB I
TEORI DASAR

1.1 Heat Exchanger


Alat penukar kalor atau heat exchanger (HE) adalah suatu alat yang digunakan untuk
menukarkan kalor dari suatu fluida ke fluida lain baik dari fasa cair ke cair maupun dari fasa uap
ke cair. Heat exchanger menukar panas antara dua fluida dengan melewati dua bidang batas.
Bidang batas pada heat exchanger adalah dinding pipa yang terbuat dari berbagai jenis logam.
Pada heat exchanger ini, terdapat dari dua pipa konsentris, yaitu: annullus/shell (pipa yang berada
di luar) dan tube (pipa yang berada di dalam).
Prinsip kerja dari alat penukar kalor yaitu memindahkan panas dari 2 fluida pada temperatur
berbeda di mana transfer panas dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.
a. Secara kontak langsung, panas yang dipindahkan antara fluida panas dan dingin melalui
permukaan kontak langsung berarti tidak ada dinding antara kedua fluida. Transfer panas yang
terjadi yaitu melalui interfase / penghubung antara kedua fluida. Contoh : aliran steam pada kontak
langsung yaitu 2 zat cair yang immiscible (tidak dapat bercampur), gas-liquid, dan partikel padat-
kombinasi fluida.
b. Secara kontak tak langsung, perpindahan panas terjadi antara fluida panas dan dingin
melalui dinding pemisah. Dalam sistem ini, kedua fluida akan mengalir.

Berdasarkan jenis alirannya heat exchanger dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Pararel Flow
Kedua fluida ,mengalir dalam heat exchanger dengan aliran yang searah. Kedua fluida
memasuki HE dengan perbedaan suhu yang besar. Perbedaan temperatur yang besar akan
berkurang seiring dengan semakin besarnya x, jarak pada HE. Temperatur keluaran dari fluida
dingin tidak akan melebihi temperatur fluida panas.
2. CounterFlow
Berlawanan dengan paralel flow, kedua aliran fluida yang mengalir dalam HE masuk dari
arah yang berlawanan. Aliran keluaran yang fluida dingin ini suhunya mendekati suhu dari
masukan fluida panas sehingga hasil suhu yang didapat lebih efekrif dari paralel flow.
Mekanisme perpindahan kalor jenis ini hampir sama dengan paralel flow, dimana aplikasi dari
bentuk diferensial dari persamaan steady-state:

dQ  U T  t a" dL
dQ  WCdT  wcdt

3. Crossflow Heat exchanger


Dimana satu fluida mengalir tegak lurus dengan fluida yang lain. Biasa dipakai untuk
aplikasi yang melibatkan dua fasa. Misalnya sistem kondensor uap (tubeandshellheat
exchanger), di mana uap memasuki shell, air pendingin mengalir di dalam tube dan menyerap
panas dari uap sehingga uap menjadi cair.

1.2. PID Controller

PID (Proportional–Integral–Derivative controller) merupakan kontroler untuk menentukan


presisi suatu sistem instrumentasi dengan karakteristik adanya umpan balik pada sistem tesebut.
Pengontrol PID adalah pengontrol konvensional yang banyak dipakai dalam dunia industri.
Pengontrol PID akan memberikan aksi kepada Control Valve berdasarkan besar error yang
diperoleh. Control valve akan menjadi aktuator yang mengatur aliran fluida dalam proses industri
yang terjadi Level air yang diinginkan disebut dengan Set Point. Error adalah perbedaan dari Set
Point dengan level air aktual.

PID Blok Diagram dapat dilihat pada gambar dibawah:

Gambar 1. PID Blok Diagram


Komponen kontrol PID ini terdiri dari tiga jenis yaitu Proportional, Integratif dan Derivatif.
Ketiganya dapat dipakai bersamaan maupun sendiri-sendiri tergantung dari respon yang kita
inginkan terhadap suatu plant. Komponen tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

1. Kontrol Proporsional
Kontrol P jika G(s) = kp, dengan k adalah konstanta.
Jika u = G(s) • e maka u = Kp • e dengan Kp adalah Konstanta Proporsional. Kp berlaku
sebagai Gain (penguat) saja tanpa memberikan efek dinamik kepada kinerja kontroler.
Penggunaan kontrol P memiliki berbagai keterbatasan karena sifat kontrol yang tidak
dinamik ini. Walaupun demikian dalam aplikasi-aplikasi dasar yang sederhana kontrol P
ini cukup mampu untuk memperbaiki respon transien khususnya rise time dan settling time.
Pengontrol proporsional memiliki keluaran yang sebanding/proporsional dengan besarnya
sinyal kesalahan (selisih antara besaran yang diinginkan dengan harga aktualnya).

Ciri-ciri pengontrol proporsional :

 Jika nilai Kp kecil, pengontrol proporsional hanya mampu melakukan koreksi


kesalahan yang kecil, sehingga akan menghasilkan respon sistem yang lambat
(menambah rise time).
 Jika nilai Kp dinaikkan, respon/tanggapan sistem akan semakin cepat mencapai
keadaan mantapnya (mengurangi rise time).
 Namun jika nilai Kp diperbesar sehingga mencapai harga yang berlebihan, akan
mengakibatkan sistem bekerja tidak stabil atau respon sistem akan berosilasi.
 Nilai Kp dapat diset sedemikian sehingga mengurangi steady state error, tetapi
tidak menghilangkannya.

2. Kontrol Integratif

Pengontrol Integral berfungsi menghasilkan respon sistem yang memiliki


kesalahan keadaan mantap nol (Error Steady State = 0 ). Jika sebuah pengontrol tidak
memiliki unsur integrator, pengontrol proporsional tidak mampu menjamin keluaran
sistem dengan kesalahan keadaan mantapnya nol.
Jika G(s) adalah kontrol I maka u dapat dinyatakan sebagai u(t)=[integral e(t)dT]Ki
dengan Ki adalah konstanta Integral, dan dari persamaan di atas, G(s) dapat dinyatakan
sebagai u=Kd.[delta e/delta t]
Jika e(T) mendekati konstan (bukan nol) maka u(t) akan menjadi sangat besar sehingga
diharapkan dapat memperbaiki error. Jika e(T) mendekati nol maka efek kontrol I ini
semakin kecil. Kontrol I dapat memperbaiki sekaligus menghilangkan respon steady-state,
namun pemilihan Ki yang tidak tepat dapat menyebabkan respon transien yang tinggi
sehingga dapat menyebabkan ketidakstabilan sistem. Pemilihan Ki yang sangat tinggi
justru dapat menyebabkan output berosilasi karena menambah orde system

Keluaran pengontrol ini merupakan hasil penjumlahan yang terus menerus dari
perubahan masukannya. Jika sinyal kesalahan tidak mengalami perubahan, maka keluaran
akan menjaga keadaan seperti sebelum terjadinya perubahan masukan. Sinyal keluaran
pengontrol integral merupakan luas bidang yang dibentuk oleh kurva kesalahan / error.

Ciri-ciri pengontrol integral :

 Keluaran pengontrol integral membutuhkan selang waktu tertentu, sehingga


pengontrol integral cenderung memperlambat respon.
 Ketika sinyal kesalahan berharga nil, keluaran pengontrol akan bertahan pada nilai
sebelumnya.
 Jika sinyal kesalahan tidak berharga nol, keluaran akan menunjukkan kenaikan atau
penurunan yang dipengaruhi oleh besarnya sinyal kesalahan dan nilai Ki.
 Konstanta integral Ki yang berharga besar akan mempercepat hilangnya offset.
Tetapi semakin besar nilai konstanta Ki akan mengakibatkan peningkatan osilasi
dari sinyal keluaran pengontrol.

3. Kontrol Derivatif

Keluaran pengontrol diferensial memiliki sifat seperti halnya suatu operasi


derivatif. Perubahan yang mendadak pada masukan pengontrol akan mengakibatkan
perubahan yang sangat besar dan cepat. Ketika masukannya tidak mengalami perubahan,
keluaran pengontrol juga tidak mengalami perubahan, sedangkan apabila sinyal masukan
berubah mendadak dan menaik (berbentuk fungsi step), keluaran menghasilkan sinyal
berbentuk impuls. Jika sinyal masukan berubah naik secara perlahan (fungsi ramp),
keluarannya justru merupakan fungsi step yang besar magnitudenya sangat dipengaruhi
oleh kecepatan naik dari fungsi ramp dan faktor konstanta Kd.

Sinyal kontrol u yang dihasilkan oleh kontrol D dapat dinyatakan sebagai


G(s)=s.Kd Dari persamaan di atas, nampak bahwa sifat dari kontrol D ini dalam konteks
“kecepatan” atau rate dari error. Dengan sifat ini ia dapat digunakan untuk memperbaiki
respon transien dengan memprediksi error yang akan terjadi. Kontrol Derivative hanya
berubah saat ada perubahan error sehingga saat error statis kontrol ini tidak akan bereaksi,
hal ini pula yang menyebabkan kontroler Derivative tidak dapat dipakai sendiri.

Ciri-ciri pengontrol derivatif:


 Pengontrol tidak dapat menghasilkan keluaran jika tidak ada perubahan pada
masukannya (berupa perubahan sinyal kesalahan).
 Jika sinyal kesalahan berubah terhadap waktu, maka keluaran yang dihasilkan
pengontrol tergantung pada nilai Kd dan laju perubahan sinyal kesalahan.
 Pengontrol diferensial mempunyai suatu karakter untuk mendahului, sehingga
pengontrol ini dapat menghasilkan koreksi yang signifikan sebelum pembangkit
kesalahan menjadi sangat besar. Jadi pengontrol diferensial dapat mengantisipasi
pembangkit kesalahan, memberikan aksi yang bersifat korektif dan cenderung
meningkatkan stabilitas sistem.
 Dengan meningkatkan nilai Kd, dapat meningkatkan stabilitas sistem dan
mengurangi overshoot.

Berdasarkan karakteristik pengontrol ini, pengontrol diferensial umumnya dipakai untuk


mempercepat respon awal suatu sistem, tetapi tidak memperkecil kesalahan pada keadaan
tunaknya. Kerja pengontrol diferensial hanyalah efektif pada lingkup yang sempit, yaitu pada
periode peralihan. Oleh sebab itu pengontrol diferensial tidak pernah digunakan tanpa ada
kontroler lainnya.

Efek dari setiap pengontrol Proporsional, Integral dan Derivatif pada sistem loop tertutup
disimpulkan pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Efek Pengontrol PID

Respon Loop Rise Time Overshoot Settling Time Steadystate Error


Tertutup

Proporsional Menurunkan Meningkatkan Prubahan Kecil Menurunkan/Mengurangi

Integral Menurunkan Meningkatkan Meningkatkan Mengeliminasi

Derivatif Perubahan Menurunkan Menurunkan Perubahan Kecil


Kecil

Setiap kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pengontrol P, I dan D dapat saling
menutupi dengan menggabungkan ketiganya secara paralel menjadi pengontrol proporsional plus
integral plus diferensial (pengontrol PID). Elemen-elemen pengontrol P, I dan D masing-masing
secara keseluruhan bertujuan:

 mempercepat reaksi sebuah sistem mencapai set point-nya.


 menghilangkan offset.
 menghasilkan perubahan awal yang besar dan mengurangi overshoot.

Kita coba ambil contoh dari pengukuran temperatur, setelah terjadinya pengukuran dan
pengukuran kesalahan maka kontroler akan memustuskan seberapa banyak posisi tap akan
bergeser atau berubah. Ketika kontroler membiarkan valve dalam keadaan terbuka, dan bisa saja
kontroler membuka sebagian dari valve jika hanya dibutuhkan air yang hangat, akan tetapi jika
yang dibutuhkan adalah air panas, maka valve akan terbuka secara penuh. Ini adalah contoh dari
proportional control. Dan jika ternyata dalam prosesnya air panas yang diharapkan ada datangnya
kurang cepat maka controler bisa mempercepat proses pengiriman air panas dengan membuka
valve lebih besar atau menguatkan pompa, inilah yang disebut dengan intergral kontrol.
Karakteristik pengontrol PID sangat dipengaruhi oleh kontribusi besar dari ketiga
parameter P, I dan D. Penyetelan konstanta Kp, Ki dan Kd akan mengakibatkan penonjolan sifat
dari masing-masing elemen. Satu atau dua dari ketiga konstanta tersebut dapat disetel lebih
menonjol disbanding yang lain. Konstanta yang menonjol itulah akan memberikan kontribusi
pengaruh pada respon sistem secara keseluruhan.

Adapun beberapa grafik dapat menunjukkan bagaimana respon dari sitem terhadap
perubahan Kp, Ki dan Kd sebagai berikut:

Gambar 2. Respon Grafik Sistem Perubahan Kp, Ki, Kd

PID Controler adalah controler yang penting yang sering digunakan dalam industri. Sistem
pengendalian menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan dalam proses kehidupan ini khususnya
dalam bidang rekayasa industri, karena dengan bantuan sistem pengendalian maka hasil yang
diinginkan dapat terwujud. Sistem pengendalian dibutuhkan untuk memperbaiki tanggapan sistem
dinamik agar didapat sinyal keluaran seperti yang diinginkan. Sistem kendali yang baik
mempunyai tanggapan yang baik terhadap sinyal masukan yang beragam.
BAB II
ISI

Soal B: Pengendalian Suhu di Alat Penukar Panas (HE)


Gambar dibawah ini memperlihatkan proses pertukaran panas. Dimisalkan kita dapat
menyesuaikan laju alir cairan masuk (𝑤̇ i) dan suhu masuk (Ti), dan suhu uap masuk (Ts) secara
bebas. Suhu cairan keluar (To) dan laju alir cairan keluar (𝑤̇ o), dan laju alir perpindahan panas (𝑞̇ )
berubah karenanya.

Steam

Ts

𝑞̇
Liquid out (Lout)
Liquid in (Lin)

Ti, 𝑤̇ i To, 𝑤̇ o

Ts

Condensate

Asumsi:

1. Uap yang masuk adalah saturated, dan kondesat keluar HE sebagai cairan saturated pada
suhu yang sama.
2. Harga konstanta penting di dalam HE, diketahui: U = 800 W/m2K ; A = 300 m2, sehingga
koefisien perpindahan panas keseluruhan adalah UA = 240 kW/K.
3. Nilai konstanta lainnya : densitas cairan, ρL = 800 kg/m3; liquid holdup didal tube, VL =
2,1 m3; kapasitas panas cairan, Cp = 1,8 kJ/kg.K, semuanya bukan merupakan fungsi suhu
4. Akumulasi energi di dalam material dinding tube diabaikan
5. Cairan di dalam tube tercampur sempurna baik arah radial maupun aksial dan
incompressible.
Tugas:

1. Buktikan bahwa 𝑤̇ i = 𝑤̇ o = 𝑤̇
2. Turunkan model dinamik dari perubahan suhu di HE tersebut.
3. Cari persamaan Transformasi Laplace dari model dinamik di Tugas 2 tersebut.
4. Buat model (subsystem) di dalam Simulink yang merepresentasikan persamaan dinamik dari
Tugas 2, dimana ada 3 variabel bebas (manipulated variable) : Ti, TS, dan ẇ. Dan ada 2 variable
terikat (controlled variable) yaitu: 𝑞̇ dan To.
5. Buat model (block transfer function) di Simulink untuk tugas 3.
6. Dengan Simulink, buat perbandingan untuk kondisi open-loop response dari fungsi alih
(transfer function) proses dengan menggunakan hasil dari Tugas 2 dan Tugas 3. Dimana
1
diketahui untuk fungsi alih dari valve dan sensor adalah : Gv = Gs = 𝑠+1

7. Dari hasil Tugas 6, gunakan PRC metode ke-2 untuk mendapatkan nilai K, θ, dan τ serta
persamaan FOPDTnya.
8. Lakukan tuning pengendalian dengan menggunakan metode Ziegler-Nichols untuk algoritma
P, PI, dan PID. Tampilkan grafik hasilnya dalam satu gambar dan bahas/analisis hasilnya.

Jawaban:
1. Buktikan bahwa 𝒘̇i = 𝒘̇o = 𝒘̇
Sebelum membuktian 𝑤̇ i = 𝑤̇ o = 𝑤̇ , dapat dilakukan penentuan persamaan neraca massa
total dengan persamaan berikut:

Neraca Massa Total:

𝑑𝑚
ẇ𝑖 − ẇ𝑜 =
𝑑𝑡

𝑑(𝜌𝑉)
ẇ𝑖 − ẇ𝑜 =
𝑑𝑡

Pada soal, diketahui bahwa tidak terjadi generasi ataupun konsumsi pada proses, maka laju
massa generasi ataupun laju massa konsumsi tidak ada atau sama dengan (0). Selanjutnya,
persamaan di atas kemudian dapat dinyatakan sebagai berikut:
𝑑𝑉 𝑑𝜌
ẇ𝑖 − ẇ𝑜 = 𝜌 + 𝑉
𝑑𝑡 𝑑𝑡

Dengan menggunakan asumsi bahwa nilai volume (VL) dan densitas (𝜌L) konstan, maka didapat:

ẇ𝑖 − ẇ𝑜 = 𝜌(0) + 𝑉(0)

ẇ𝑖 − ẇ𝑜 = 0

Maka, didapat kan dan terbukti bahwa ẇ𝑖 = ẇ𝑜 = ẇ.

2. Menurunkan model dinamik dari perubahan suhu di HE.


Neraca Energi sistem:

Persamaan laju perpindahan panas (q) Heat Exchanger yang terjadi pada sistem:

𝑞̇ = 𝑈𝐴∆𝑇𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛

𝑞̇ = 𝑈𝐴(𝑇𝑠 − 𝑇𝑜 )

Berdasarkan neraca energi sistem, didapat persamaan sebagai berikut

𝑑𝑇𝑜
ẇ𝑖 𝐶𝑝 𝑇𝑖 − ẇ𝑜 𝐶𝑝 𝑇𝑜 + 𝑞̇ = 𝑤𝐶𝑝
𝑑𝑡

Dari persamaan Tugas 1 yaitu ẇ𝑖 = ẇ𝑜 = ẇ, diperoleh persamaan yaitu:

Dengan mensubstitusikan antara persamaan di atas dengan persamaan laju perpindahan panas 𝑞̇
pada heat exchanger, didapat hasil berikut:
3. Mencari persamaan Transformasi Laplace dari model dinamik di Tugas 2.

Untuk menyelesaikan persamaan transformasi laplace dari model dinamik, perlu dihitung beberapa
parameter pengendalian berupa nilai steady-state gain dan konstanta waktu dari model dinamik
yang telah didapat pada Tugas 2.

Dengan model dinamik di atas, dilakukan penyederhanaan untuk menghasilkan persamaan yaitu:

Perhitungan konstanta waktu

Dari persamaan di atas, diketahui nilai dari konstanta waktu sebesar:

Perhitungan steady-state gain


Dari persamaan di atas, dapat diperoleh nilai gain sebagai berikut:

Transformasi Laplace

Berdasarkan persamaan yang didapat di atas, dapat dilakukan transformasi Laplace dari model

dinamik yang diperoleh sebelumnya dan didapatkan hasil sebagai berikut:

4. Buat model (subsystem) di dalam Simulink yang merepresentasikan persamaan dinamik


dari Tugas 2, dimana ada 3 variabel bebas (manipulated variable) : Ti, TS, dan ẇ. Dan ada
2 variable terikat (controlled variable) yaitu: 𝒒̇ dan To.

Dari model dinamik yang didapatkan pada Tugas 2, dapat dibentuk subsistem Simulink sebagai
berikut:
Gambar 1. Tugas 2

Pada permodelan Simulink untuk tugas 2, terdapat dua subsistem yaitu subsistem energy balance dan
subsistem heat transfer rate. Kedua subsistem yang telah dibuat dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 2. Subsistem Energy Balance Pada Model Simulink Tugas 2


Gambar 3. Subsistem Heat Transfer Rate Pada Model Simulink Tugas 2

5. Buat model (block transfer function) di Simulink untuk tugas nomor 3.

Berdasarkan perhitungan soal 1, dapat diketahui bahwa sistem memiliki laju alir massa
konstan. Kemudian, dilakukan perhitungan untuk mendapat nilai laju alir massa tersebut (𝑤̇ ):

𝑈𝐴 240 𝑘𝑊/𝐾 240 𝑘𝑊/𝐾


𝑤̇ = = = = 133.333 𝑘𝑔/𝑠
𝐶𝑝 1.8 𝑘𝐽/𝐾. 𝑘𝑔 1.8 𝑘𝑊. 𝑠/𝐾. 𝑘𝑔

Dengan mendapatkan nilai laju alir massa, maka parameter proses lainnya dapat dihitung
berdasarkan persamaan yang sebelumnya didapatkan pada Tugas 2, didapat sebagai berikut:

Data yang dimiliki


 𝑉𝐿 = 2.1 m3
 𝐶𝑝 = 1.8 kJ/kg.K
 𝑈𝐴 = 240 kW/K = 240 kJ/K.s
 𝜌L = 800 kg/m3

Perhitungan nilai 𝜏
kg 𝑘𝐽
𝑤𝐶𝑝 𝜌. 𝑉. 𝐶𝑝 (800 3 ) . (2.1 𝑚3 ). (1.8 )
𝑚 𝑘𝑔. 𝐾
𝜏= = = = 6.3 𝑠
𝑤̇ 𝐶𝑝 + 𝑈𝐴 𝑤̇ 𝐶𝑝 + 𝑈𝐴 (133.33 kg/s). (1.8 kJ/kg. K) + (240 kJ/K. s)

Perhitungan nilai 𝐾1 𝑑𝑎𝑛 𝐾2


𝑈𝐴 (240 𝑘𝐽/𝐾. 𝑠)
𝐾1 = (1 + ) = (1 + )=2
ẇ𝐶𝑝 (133.33 𝑘𝑔/𝑠). (1.8 𝑘𝐽/𝑘𝑔. 𝐾)

ẇ𝐶𝑝 (133.33 𝑘𝑔/𝑠).(1.8 𝑘𝐽/𝑘𝑔.𝐾)


𝐾2 = (1 + ) = (1 + )=2
𝑈𝐴 (240 𝑘𝐽/𝐾.𝑠)

Perhitungan fungsi alih

𝑇𝑜′(𝑠) 𝐾1. 𝜏 12.6


= =
𝑇𝑖′(𝑠) 𝜏𝑠 + 1 6.3𝑠 + 1

𝑇𝑜′(𝑠) 𝐾2. 𝜏 12.6


= =
𝑇𝑠′(𝑠) 𝜏𝑠 + 1 6.3𝑠 + 1

Kemudian dibentuk model Simulink dengan nilai Gv dan Gs. Model tersebut dapat dilihat
sebagai berikut:
Gambar 4. Simulink dengan Block Transfer Function dengan Gv dan Gs
6. Dengan Simulink, buat perbandingan untuk kondisi open-loop response dari fungsi alih
(transfer function) proses dengan menggunakan hasil dari Tugas 2 dan Tugas 3. Dimana
𝟏
diketahui untuk fungsi alih dari valve dan sensor adalah : Gv = Gs = 𝒔+𝟏

Membuat diagram Open Loop Response:

Gambar 5. Diagram Open Loop Response dari Tugas 2

dengan memasukkan Simulation stop time = 100, didapat hasil grafik sebagai berikut
Simulation Stop
Time= 100

Simulation Mode=
Normal

Gambar 6. Grafik Kondisi Open Loop Response dari Model Subsistem Tugas 2
Gambar 7. Model Simulink Open Loop Response Tugas 3

Gambar 8. Grafik Open Loop Response dari Block Transfer Function Tugas 3
Berdasarkan grafik Open Loop Response dari Tugas 2 dan Tugas 3, dapat dilihat perbandingan
pada waktu dimana grafik mencapai steady-state. Tugas 2 merepresentasikan model subsistem
dari Heat Exchanger sedangkan Tugas 3 merepresentasikan block transfer function yang dibentuk.
Pada model subsistem Tugas 2, nilai steady state adalah sebesar 1 dan pada block transfer function
Tugas 3, nilai steady state sebesar 25,2. Dari nilai yang didapat, diketahui bahwa waktu mencapai
steady-state untuk model block transfer function pada Tugas 3 lebih cepat dibandingkan dengan
dengan model subsistem pada Tugas 2 tersebut. Kesalahan dapat terjadi pada sistem block
transfer function dikarenakan terdapat prosedur transformasi Laplace dan perhitungan parameter
dari proses yang sebelumnya dilakukan.

7. Dari hasil Tugas 6, gunakan PRC metode ke-2 untuk mendapatkan nilai K, θ, dan τ serta
persamaan FOPDTnya.

Perhitungan nilai K dapat dilakukan dengan melihat kondisi saat steady state yaitu pada saat
mendekati atau mecapai garis lurus, untuk model subsistem dan model Open Loop Response
dapat dilihat sebagai berikut

Model Subsistem

Gambar 9. Perhitungan nilai K untuk model subsistem Pada Tugas 2


Berdasarkan gambar diketahui bahwa:

Kp = 0,999

Langkah selanjutnya adalah menghitung 63Δ dan 28Δ. Perhitungan dapat dilakukan seperti:

63Δ = (0,63)(0,999) = 0,629

28Δ = (0,28)(0,999) = 0,279

Kemudian menentukan T pada saat


t63% = 15,544

t28%= 7,184

Mencari nilai 𝜏

𝜏 = 1,5(𝑡63% − 𝑡28%) = 1,5(15,544 − 7,184) = 12,54

Mencari nilai 𝜃

𝜃 = 63% − 𝜏 = 15,544 − 12,54 = 3,004

Maka,

0,999𝑒 −3,004𝑠
FOPDT =
12,54𝑠+1
Model Open Loop Response

Gambar 10. Perhitungan nilai K untuk Bloc Transfer Function

Berdasarkan gambar diketahui bahwa:

Kp = 25,199

Langkah selanjutnya adalah menghitung 63Δ dan 28Δ. Perhitungan dapat dilakukan seperti:

63Δ = (0,63)(25,199) = 15,875

28Δ = (0,28)(25,199) = 7,055

Kemudian menentukan T pada saat


t63% = 9,462

t28%= 5,082

Mencari nilai 𝜏

𝜏 = 1,5(𝑡63% − 𝑡28%) = 1,5(9,462 − 5,082) = 6,570


Mencari nilai 𝜃

𝜃 = 63% − 𝜏 = 9,462 − 6,570 = 2,892

Maka,

𝐾𝑝 𝑒 −𝜃𝑠 25,199𝑒 −2,892𝑠


FOPDT = =
𝜏𝑠+1 6,570𝑠+1

8. Lakukan tuning pengendalian dengan menggunakan metode Ziegler-Nichols untuk


algoritma P, PI, dan PID. Tampilkan grafik hasilnya dalam satu gambar dan
bahas/analisis hasilnya.

Dalam melakukan tuning hanya perlu dilakukan terhadap model subsistem yang menggunakan
metode Ziegler-Nichols dengan cara memanfaatkan data-data yang telah diperoleh sebelumnya,
Kp = 0,999

𝜏= 12,54 s

𝜃 = 3,004 s

Lalu data-data tersebut disubstitusikan sesuai dengan rumus untuk masing-masing algoritma
pengendalian, yang ditunjukkan dalam tabel di bawah ini yaitu:

Tabel 1. Penyetelan Ziegler-Nichols dengan Loop Terbuka


Jenis Proportional Gain, Kc Integral Time, Derivative Time,

P Control 0 0
-

PI Control 𝐾𝜃 0

0,9 𝜏 3,3𝜃 = 9,91


= 3,76
𝐾 𝜃
PID Control 1,2 𝜏 2𝜃 = 6,01 0,5𝜃 = 1,50
= 5,01
𝐾 𝜃
Gambar 11. Pengendalian Umpan Balik pada Alat Penukar Panas

Gambar 12. Hasil Scope Tanpa Pengendalian


A. Untuk Algoritma P
P = Kc = 4,17

I=0

D=0

Gambar 13. Hasil Scope dengan Algoritma Pengendalian P

B. Untuk Algoritma PI
P = Kc = 3,76

I = Kc/Ti

= 3,76/9,91 = 0,379

D=0
Gambar 14. Hasil Scope dengan Algoritma Pengendalian PI

C. Untuk Algoritma PID


P = Kc = 5,01

I = Kc/Ti

= 5,01/6,01 = 0,833

D = Kc*TD

= 5,01*1,50 = 7,515
Gambar 15. Hasil Scope dengan Algoritma Pengendalian PID

Gambar 16. Hasil Scope Tanpa dan Dengan Pengendalian


Keterangan:
Hijau = Tanpa pengendalian
Merah = Pengendalian P
Biru = Pengendalian PI
Kuning = Pengendalian PID

Analisis

Berdasarkan grafik yang didapat pada gambar tersebut, dapat dilihat bahwa ketiga jenis controller
tersebut tidak terjadi undershoot. Controller P dan PI menghasilkan overshoot namun controller
PID hanya menghasilkan overshoot yang sangat kecil. Dapat dilihat bahwa waktu respons tercepat
dihasilkan oleh controller PID, lalu controller P dan PI waktu responsnya hampir sama.
Sedangkan untuk settling time tercepat dihasilkan oleh controller P, lalu controller PI dan PID
memiliki setting time yang hampir sama. Berdasarkan grafik hasil scope, dapat dilihat bahwa
controller P tidak memberikan nilai steady state yang sesuai dengan set point. Hal ini disebabkan
karena controller P memiliki offset yang cukup besar. Oleh sebab itu dapat dikatakan controller P
tidak membawa sistem menuju set point yang diharapkan.

REFERENSI

Holfman, J.P. 1988. Perpindahan Kalor Edisi Keenam, Alih Bahasa Ir. E. Jasjfi. M.Sc. Jakarta:
Erlangga

Stramigioli, Stefano. 1999. Matlab and Simulink for Modeling and Control. Delft: Control
Laboratory Delft TU

Anda mungkin juga menyukai