Anda di halaman 1dari 5

1

BENTENG PANNYUA

Oleh Nurhalizah

Malam Minggu saat itu. Sengaja kami singgah di depan Benteng Rotterdam
sepulang dari tugas kunjungan di Museum Kota Makassar untuk sekadar minum air
kelapa muda. Banyak kelapa muda bertumpuk padahal kami tak melihat ada pohon
kelapa. Sesungguhnya bukan karena kami haus, tapi karena punya tugas dari kampus
untuk membuat cerpen sejarah. Mungkin dengan melihat benteng dari luar, sedikit ada
imajinasi untuk mendeskripsikan tentang masa silam Makassar.
“Kenapa kakak-kakak semua dari tadi terdiam?” ujar penjual kelapa penasaran
melihat tatapan kami nanar di dinding tembok tebal benteng.
Penjual kelapa yang sudah berumur menyapa kami kakak karena sapaan untuk
anaknya yang sebaya dengan kami atau mungkin cucunya.
“Tidakji Daeng.”
“Anu itu Daeng, stresski cari imajinasi tentang sejarah, karena tadi di Museum
tidak ketemu,” timpal Angel sambil tertawa lebar.
“Ooo, .. ini benteng Rotterdam dulu namanya Benteng Pannyua,” kata Daeng
Rola sangat antusias menjelaskan. Ia seperti guru sejarah dan itu sangat menarik bagiku.
Bisa menolongku membuat cerita.
“Terus Daeng, ceritakanki bedeng sedikit, sejarahnya dulu ini Benteng
Rotterdam.” Kataku sedikit bergurau. Sambil Daeng Rola memperbaiki songkok
pamiringnya biasa juga disebut songkok passapu yang ia kenakan di kepalanya. Ciri
khas pakaian lelaki Bugis Makassar. Celana setengah lututnya seperti pemain bola raga.
Bila menyebut penjual kelapa yang memakai pakaian khas Makassar maka orang
mengenal Daeng Rola. Daeng Rola terkenal lihai memainkan kecapi untuk menghibur
pelanggannya. Seni budaya Bugis-Makassar yang biasanya dipentaskan saat ada
pernikahan.
Daeng Rola memulai kisah Benteng Pannyua sambil meletakkan parangnya
setelah membelah kelapa untuk kami.
“Ini kakekku ceritakanka dulu waktu aku masih kecil juga.”
Sekitar tahun 1500-an, adalah masa kejayaan kerajaan kembar Gowa Tallo. Tak
jauh dari sini, Istana Pattingalloang, pusat kerajaan Tallo. Sambil Daeng Rola menunjuk
ke Utara. Pandangannya nanar seperti masuk pada lorong waktu di abad ke 15 M.
Bayangan istana yang selalu terdengar suara gong dan puik-puik. Kadang
berganti dengan suara sinrilik. Seni yang menampilkan epos kehidupan raja-raja Tallo.
Di sebelah Selatan istana, Kapal berjejer sepanjang pantai, diikat dengan tali
besar untuk menghindari gempuran ombak besar dari lautan.
Para pedagang sibuk mengangkat barang masing-masing. Peti yang bermuatan
rempah-rempah dan keranjang rotan di angkut ke atas punggung kuda, sebagian
diangkut langsung masuk ke loji.
Aroma tai kuda yang bertebaran di mana-mana sangat menusuk hidung.
Pedagang mengikat kudanya pada sembarang tempat, di tengah pasar atau di dekat
penampungan barang mereka. Tidak ada petugas kebersihan. Pedagang semuanya
membuang sampah semaunya. Sisa-sisa jemuran ikan kering dan kopra bertebaran
sepanjang lorong. Bau ikan kering yang dijemur para pedagang di sekitar dermaga,
terbawa angin laut ke seluruh pemukiman penduduk. Tikus-tikus besar mengais-ngais
sampah buah-buahan dan sayuran sehingga mengeluarkan aroma tengik.
Hanya sedikit mewangi aroma cengkeh, kayu manis dan pala yang dijemur
dipinggiran laut oleh pedagang dari Maluku.
Pedagang seperti komunitas semut pada musim kemarau yang sibuk menimbun
bahan makanan ke sarangnya. Mereka berkomunitas sesuai rasnya masing-masing.
Sedikit ada yang menyenggolnya akan terjadi kesemrawutan.
Demikianlah para pedagang dari berbagai penjuru dunia berlabuh di Bandar
niaga Internasional Somba Opu.
Tanah yang memerah bekas ludah pengunyah daun sirih seperti darah kering
yang bersimbah dari bekas perang saudara. Sudah menjadi ciri khas dermaga sebagai
pusat keramaian. Semua bercampur aduk hingga tak lagi jelas jenis baunya.
Kesimpulannya, hanya bau tengik. Anehnya semua merasa nyaman dengan aktifitas
masing-masing. Bagi pendatang dan para saudagar tak lagi memperhatikan bau tengik
itu.
Berbeda dengan istana kerajaan Tallo yang setiap waktu, para budak dan pelayan
istana memunguti daun-daun kering yang jatuh. Tak ada yang dibiarkan tinggal
beberapa saat apalagi tinggal membusuk.
Pedagang asing yang sudah bertahun-tahun di Bandar Niaga Somba Opu.
Sangat unik dengan perbedaan bahasa dan warna kulit. Orang Gujarat dan Arab tidak
jauh berbeda, Warna kulitnya agak gelap. Cina dan bangsa Eropha cenderung sama
warna kulitnya hanya postur tubuh yang berbeda.
Orang-orang pribumi pada umumnya tidak ahli dalam berdagang sehingga hanya
membantu para pedagang mengangkat barang-barangnya sambil mengunyah daun sirih
pinang. Hingga sepanjang lorong pasar memerah oleh ludah para pengunjung pasar.
Orang India dan Arab memakai Taj, kulitnya lebih gelap dan berhidung mancung, jika
tak setuju ia akan menggoyang-goyang kepalanya lentur seperti menari-nari mirip
kepala ular yang mendengar bunyi seruling. Mata mereka seperti mata elang yang tajam
mengintai. Mereka sangat lihai berdagang sehingga selalu mencari tempat strategis.
Berbeda dengan orang Tiong Hoa jarang terlihat, ia lebih senang mengurung diri di
rumahnya sambil mengatur dagangannya dalam rumah. Mereka hidup berkoloni.
Berbeda dengan para pedagang Melayu yang sangat ribut menjajakan
dagangannya. Mereka menjelaskan hingga kemodal-modalnya yang dia dapatkan
dengan cara mengutang. Mereka sangat ahli berbicara seperti berpantun. Kedua suku
tersebut seringkali tak dapat sepaham. Saat pedagang Melayu menawar seribu kata,
orang Bugis- Makassar hanya diam dengan akal yang liar.
Dagangan batu mulia seperti emas dan permata banyak dijajakan dalam
kerumunan orang. Banyak orang yang menghabiskan waktunya hingga mengamati batu
berjam-jam. Beberapa pedagang juga datang khusus menawarkan budak. Sambil
memanfaatkan budak mengangkut barang dan selebihnya masih ada di perkampungan.
Pembeli budak akan membisiknya dan mungkin menanyakan keadaan budak yang
dijualnya. Bila transaksi disepakati dan budak mengikut pada yang membelinya. Mereka
mengadakan barter dengan barang lain yang mereka butuhkan. Kedua belah pihak akan
saling memberi kode telah sepakat.
Bahasa pengantar mereka di pasar adalah bahasa Melayu campuran. Bahasa itu
menjadi bahasa pengantar untuk berbagai suku di pasar karena pada umumnya orang
Eropa pernah tinggal lama di Malaka untuk berdagang dan menunggu musim pelayaran
berikutnya menuju Makassar. Mereka pada umumnya berinteraksi dengan suku Melayu
di Bandar Malaka. Hingga Malaka ditinggal oleh para pedagang karena perang saudara
sehingga semua pedagang berlari menuju Bandar Niaga Somba Opu.
Kekacauan Malaka adalah awal kebangkitan bandar niaga somba Opu Makassar.
Pedagang Melayu dan Bugis meninggalkan Melaka dan kembali ke Makassar. Pasar
menjadi sepi. Perekonomian Malaka terpuruk sejak ditinggal oleh para pedagang.
Portugis dan Belanda pun mulai bergerak ke Makassar mengikuti para pedagang Bugis.
Kompeni Belanda berkeinginan membuka loji perdagangan untuk mengatur
warganya di sebelah Utara Bandar Niaga Somba Opu. Mereka telah lama bermohon
namun tetap belum mendapatkan izin dari Sultan. Bahkan Kompeni telah menyerahkan
beberapa ratus kati uang dan emas berpuluh-puluh ikat kepada Sultan. Berbeda dengan
bangsa Portugis yang telah membangun loji dagang di Bagian Timur. Portugis lebih
cepat mendapat izin karena menurut Sultan, bangsa tersebut lebih menurut dan tenang
dalam berdagang, berbeda dengan Kompeni Belanda yang selalu membuat kerusuhan di
pasar.
Belanda pun mulai mengatur siasat agar dapat masuk ke Bandar Niaga Somba
Opu. Malaka yang mulai sepi dan masyarakat jatuh miskin menyebabkan Portugis dan
Belanda juga mengikut pada pergerakan para pedagang ke Bandar Niaga Somba Opu di
Wilayah Selatan Nusantara.
Upaya untuk menguasai perdagangan rempah mulai terlihat sehingga sering
diusir keluar oleh Sultan. Belanda pun lalu menetap di Batavia.
Sultan tidak mengabulkan permintaan Belanda dan Portugis untuk mendirikan
Loji Dagang di Makassar. Sultan mengintai pergerakan Kompeni Belanda. Akal licik
sering ia gunakan untuk menguasai pasar.
Berbeda perlakuan Sultan terhadap suku Melayu dari Minangkabau. Sultan
memberinya tempat karena pada umumnya mereka sopan dan menghargai orang lain
dalam berdagang. Kesempatan tersebut digunakan oleh tiga pedagang dari Melayu untuk
mengajar mengaji usai berdagang. Pedagang tersebut lalu meminta izin pada raja Gowa
untuk mengajarkan Islam pada orang-orang lokal. Hingga kemudian Raja Tallo
mengisinkan pedagang Melayu tersebut mengajarkan putra kembarnya yang masih
berumur sembilan tahun untuk mengaji. Hingga digelari Sultan Awwalul Islam sebagai
raja yang pertama memeluk Islam di kerajaan.
Sultan memperkuat kekuatan perang untuk melindungi kerajaan dari arus
globalisasi pedagang. Angkatan laut diperkuat dengan pembangunan benteng dipinggir
laut. Benteng berjejer dari Utara ke Selatan. Mulai pembangunan benteng Tamalatea,
benteng Somba Opu, Benteng Garasi, Benteng Pannyua. Pembangunan dilakukan
dengan mengerahkan 10 ribu tawanan perang dari Kerajaan Bone.
Pundi-pundi kerajaan semakin bertambah. Berbagai suku dan etnik berdatangan
dan semuanya wajib menyetor upeti pada istana. Kekayaan Sultan terus bertambah
hingga pembangunan terus dilakukan setiap waktu.. Masa kajayaan Kerajaan Gowa
mulai memuncak. Armada perang semakin diperkuat dan kapal untuk mengintai
pedagang asing diperbanyak jumlahnya. Kompeni Belanda tidak dapat menguasai
perdagangan di Makassar karena kedigdayaan kerajaan kembar Gowa Tallo. Benteng
Pannyua berdiri kokoh untuk mengintai musuh yang akan masuk di Tallo.
Masa keemasan kerajaan Gowa mulai dikenal hingga Eropa. Sultan benar-benar
menikmati masa kejayaan kerajaan Gowa hingga dijuluki Tonipallangga ulaweng. Raja
yang duduk di singgasan emasnya. Kerajaan Gowa menjadi kerajaan super power
hingga disegani oleh bangsa Eropa hingga tahun 1700-an.
Daeng Rola berdiri mempersilahkan pengunjung yang bergerombol masuk di
tenda biru. Mereka memesan kelapa muda. Kami pun pamit untuk memberi kedudukan
pada pengunjung lain.

Anda mungkin juga menyukai