NPM: 170510150017
Dimulai pada 1984, pemerintah Orde Baru menayangkan sebuah film yang mengisahkan
suatu tragedi di Indonesia setiap tanggal 30 September. Film ini disiarkan oleh jaringan milik
negara, yaitu TVRI dan kemudian juga ditayangkan oleh stasiun TV swasta setelah mereka
didirikan. Tak hanya terbatas pada televisi, film ini pun ditayangkan di sekolah-sekolah dan
Pada masa itu media begitu ketat diawasi oleh pemerintah, termasuk dalam penayangan
film sejarah. Satu-satunya versi kejadian 1965 dalam film Penumpasan Pengkhianatan
G30S/PKI yang diperbolehkan untuk ditayangkan dalam wacana terbuka kala itu. Sehingga
bersemilir berbagai informasi akan kejanggalan yang muncul dalam film tersebut. Salah satu
contohnya adalah Aidin yang ditayangan dalam film sebagai seorang perokok, padahal
kenyataanya Aidin bukan lagi perkok pada tahun 1965. Di sisi lain, Jajang C. Noer, istri
sutradara film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, mengakui bahwa film yang disutradarai
ditayangkan secara rutin di televisi kembali. Pada bulan September 1998, empat bulan setelah
jatuhnya Soeharto, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menyatakan bahwa film ini tidak akan
lagi menjadi bahan tontonan wajib, dengan alasan bahwa film ini adalah usaha untuk
Dari fenomena ini saya jadi dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya media sebagai ritual
dulu sempat terjadi di Indonesia pada saat film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI menjadi
tontonan wajid pada rezim Soeharto. Bahkan untuk beberapa kelompok masyarakat “ritual”
menonton film G30S/PKI masih mereka budayakan setiap menyentuh tanggal 30 September.
Tak dapat dipungkiri media yang begitu erat dengan masyarakat dapat menjadi bagian dari suatu
propaganda yang menguntungkan golongan tertentu. Terutama besarnya peran penguasa dalam
Hasil dari ritual menonrton film ini bukan hanya hiburan, namun pemupukan kebencian
pada orang-orang PKI termasuk keluarganya yang sama sekali tidak bersentuhan dengan
kejadian naas yang digambarkan oleh naskah. Mereka malah dijadikan musuh masyarakat yang
hidupnya kerap berahhir tragis. Walau memang tidak dapat dipungkiri keliahian Arifin C. Noer
dan tim produksi film dalam menghasilkan karya sejarah, sehingga mampu membuat penontonya
Media sebagai ritual nyatanya bisa berdampak negatif apabila melihat tujuan dibalik
menjadikan media tersebut sebagai ritual. Dari ritual bisa tertanam berbagai nilai pada orang-
orang yang menjalankannya. Apabila media sebagai ritual mengarah ke hal-hal positif tentunya
http://style.tribunnews.com/2017/09/18/6-fakta-di-balik-film-g30spki-yang-rencananya-
ditayangkan-lagi-disebut-alat-propaganda-zaman-orba?page=3.
https://sketsanews.com/pemutaran-kembali-film-g30s-pki-menggelisahkan-rezim-penguasa/
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/30/07070021/film-pengkhianatan-g30s-pki-karya-
seni-yang-dianggap-meneror-satu-generasi?page=all
https://news.detik.com/berita/d-4232468/jadi-perbincangan-pfn-jelaskan-hak-siar-film-g30spki