Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

“Perdarahan Post Partum”

Disusun Oleh :
Axelomoon Faqilah

1810221178

Diajukan Kepada :
Pembimbing
dr. Adi Rachmanadi, Sp. OG

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN OBSTETRI


DAN GINEKOLOGI
RSUD AMBARAWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN”
JAKARTA 2020
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian


Departemen Obstetri dan Ginekologi Anak RSUD Ambarawa

Telah disetujui
Tanggal :

Disusun oleh :

Axelomoon Faqilah

1810221178

Fakultas Kedokteran UPN ”Veteran” Jakarta

Ambarawa, Mei 2020


Pembimbing,

Dr. Adi Rachmanadi, Sp. OG


BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan postpartum adalah salah satu penyebab kematian ibu terbesar di


Indonesia, selain infeksi dan hipertensi. Perdarahan postpartum jika tidak mendapat
penanganan yang semestinya akan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu
serta proses penyembuhan kembali. Di Indonesia, sebagian besar persalinan tidak
terjadi di rumah sakit, sehingga seringkali pasien yang mengalami perdarahan
postpartum terlambat untuk sampai ke rumah sakit. Hal itu menyebabkan ketika
pasien tiba di rumah sakit sudah memiliki keadaan umum yang buruk dan akhirnya
berujung fatal. Hal inilah yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu yang
disebabkan oleh perdarahan postpartum.
Sekitar 140.000 wanita di dunia meninggal akibat perdarahan postpartum
setiap tahunnya, yaitu 1 kematian setiap 4 menit (Beckmann, 2010). Perdarahan
postpartum diperkirakan merupakan 25% penyebab dari kematian ibu hamil di
seluruh dunia. (6) Berdasarkan insidensinya, angka kejadian perdarahan postpartum
setelah persalinan pervaginam adalah 5-8 % dan 6% setelah persalinan dengan
sectio caesarea. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum
perdarahan yang berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita
hamil dilakukan untuk menggantikan darah yang hilang setelah persalinan. 50-60%
perdarahan postpartum disebabkan oleh atonia uteri, 16-17% disebabkan oleh retensio
plasenta, 23-24% disebabkan oleh sisa plasenta, 4-5% disebabkan oleh laserasi jalan
lahir, dan 0,5-0,8% disebabkan oleh gangguan pembekuan darah.
Penanganan perdarahan postpartum sebenarnya tidak rumit, namun harus
disesuaikan berdasarkan penyebabnya. Tatalaksana untuk perdarahan postpartum
pada prinsipnya adalah untuk menghentikan perdarahan dan mengganti darah
yang hilang. Saat terjadi perdarahan yang berlebihan pasca persalinan, harus
dicari etiologinya karena perdarahan postpartum bukanlah sebuah diagnosis
namun keadaan yang harus dicari etiologinya. Selain itu, setiap penyebab
memiliki tatalaksana yang spesifik. Atonia uteri, sisa plasenta, trauma jalan lahir,
dan gangguan pembekuan darah adalah penyebab utama dari perdarahan
postpartum.
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Definisi

Perdarahan postpartum atau perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan


500cc atau lebih dari jalan lahir pada persalinan spontan pervaginaam setelah kala III
selesai (setelah plasenta lahir) atau 1000cc pada persalinan sectio caesarea atau
yang berpotensi mengganggu hemodinamik ibu. Perdarahan postpartum merupakan
perdarahan masif yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan jalan lahir,
dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu. Perdarahan
postpartum bukan diagnosis dan harus dicari penyebabnya, seperti atonia uteri,
trauma pada jalan lahir, sisa plasenta, atau gangguan pembekuan darah. Keadaan
postpartum dikatakan aman jika kesadaran, tanda-tanda vital, kontraksi uterus baik
dan tidak ada perdarahan (Cunningham, 2010).
Sebenarnya, pengukuran perdarahan sukar untuk dilakukan secara tepat. Selain

itu, juga tidak diperlukan untuk mengukur perdarahan sampai sebanyak itu, karena
penghentian pendarahan lebih penting dilakukan untuk mendapatkan prognosis
yang lebih baik. Pada umumnya, jika terdapat perdarahan yang lebih dari normal,
terlebih lagi jika menyebabkan adanya perubahan tanda-tanda vital, seperti
penurunan kesadaran, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak nafas, hipotensi dan
takikardia, maka penanganan harus segera dilakukan. Sifat perdarahan postpartum
dapat banyak, bergumpal-gumpal sampai menyebabkan syok atau terus merembes
sedikit demi sedikit tanpa henti (Saifuddin, 2014).
II.2 Klasifikasi

Berdasarkan saat terjadinya perdarahan, perdarahan postpartum dapat


dibedakan menjadi perdarahan postpartum primer dan perdarahan postpartum
sekunder. Perdarahan postpartum primer terjadi dalam 24 jam pertama pasca
persalinan dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir
dan sisa sebagian plasenta. Perdarahan postpartum sekunder terjadi setelah 24 jam
pasca persalinan dan biasanya disebabkan oleh sisa plasenta.
Perdarahan postpartum primer paling sering disebabkan oleh atonia uteri.
Dapat juga disebabkan oleh adanya sisa plasenta, trauma pada jalan lahir (uterus,
serviks, vagina, atau hasil episiotomi), dan inversio uteri. Namun, jika perdarahan
<500cc, tetapi telah menyebabkan syok hipovolemia, maka akan tetap dikategorikan
sebagai perdarahan postpartum primer (Wiknojosastro, 2010).
Perdarahan postpartum sekunder atau perdarahan postpartum lambat adalah
perdarahan abnormal dari saluran genitalia mulai dari 24 jam setelah melahirkan
sampai 12 minggu awal setelah persalinan (masa nifas). Penyebab dari perdarahan
postpartum sekunder ini adalah tertinggalnya jaringan plasenta (biasanya berakhir
dengan infeksi), infeksi dalam rahim dengan atau tanpa produk-produk konsepsi yang
tertinggal, involusi rahim yang lambat atau tidak adekuatnya drainase lokia yang
dapat menyebabkan perdarahan segar di kemudian hari. Penyebab yang paling sering
adalah sisa plasenta. Gejala dari perdarahan postpartum sekunder adalah perdarahan
terus dan berulang, fundus uteri yang masih teraba lebih besar dari yang
diperkirakan. Dari pemeriksaan dalam dapat ditemukan uterus membesar dan lunak,
serta keluar darah dari ostium uteri. Kondisi ini dapat berbahaya dan perdarahan
kadang-kadang terus berlanjut setelah evakuasi rahim dan dibutuhkan tampon
dalam rahim bahkan histerektomi. Perdarahan dikatakan masif jika darah yang
hilang >1000, 1500, atau 2000cc (Harnetty, 2010).

11.3 Etiologi

Secara singkat, perdarahan postpartum dapat disebabkan oleh 4T, yaitu tonus,
tissue (jaringan), trauma, dan trombin. Kelainan pada tonus adalah hipotoni atau
atonia uteri. Kelainan pada tissue adalah retensio plasenta atau sisa plasenta. Yang
dimaksud dengan trombin adalah gangguan pembekuan darah. Jika perdarahan yang
terjadi berasal dari tempat implantasi plasenta, penyebab yang mungkin adalah
hipotoni atau atonia uteri dan adanya sisa plasenta atau retensio plasenta. Penyebab
yang paling sering pada perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, diikuti
oleh trauma jalan lahir. Sedangkan, pada perdarahan postpartum sekunder, penyebab
tersering adalah sisa plasenta.

Atonia uteri adalah kegagalan atau lemahnya kontraksi pada rahim sehingga
perdarahan dari tempat melekatnya plasenta tidak dapat tertutup. Rahim ditemukan
lembek dan pembuluh darah pada placental bed terbuka lebar. Ini adalah
penyebab yang paling sering terjadi dan berpotensi menjadi penyebab yang paling
berbahaya. Meskipun rahim sudah dalam keadaan kosong, namun rahim gagal
berkontraksi dan tidak dapat mengendalikan perdarahan dari tempat melekatnya
plasenta. Faktor- faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya atonia uteri
adalah regangan rahim yang berlebihan (kehamilan ganda, anak besar,
hidramnion), multiparitas, perfusi miometrium rendah, hipotensi, infeksi, persalinan lama,
persalinan yang dipercepat dengan Syntocinon, persalinan yang terlalu cepat, riwayat
atonia sebelumnya, anestesia umum, plasenta previa, dan abrupsio plasenta (Gabbe,
2007). Regangan rahim yang berlebihan dapat disebabkan oleh kehamilan kembar,
polihidramnion, dan bayi yang berukuran besar (>3500 gram). Multiparitas dapat
menyebabkan timbulnya jaringan fibrosis pada otot rahim sehingga kontraksi rahim
tidak akan sebaik sebelumnya dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya atonia
uteri. Persalinan yang lama dapat menyebabkan inersia uteri, dimana rahim tidak
lagi berkontraksi. Plasenta previa, keadaan dimana plasenta terletak pada segmen
bawah rahim, dapat menyebabkan segmen bawah rahim tidak dapat berkontraksi
dengan cukup baik untuk menghentikan pendarahan. Pada abrupsio plasenta,
uterus Couvelaire tidak dapat berkontraksi dan dapat juga terjadi koagulasi dan
produk- produk degradasi fibrin yang menghambat kontraksi rahim. Jika fundus
uteri masih setinggi pusat atau lebih, kontraksi tidak bagus, ada perdarahan yang
banyak, harus dicurigai terjadinya atonia uteri. Dalam penghitungan penggantian
darah, harus dipikirkan adanya 500-1000cc darah yang terperangkap di dalam
rahim. Pada keadaan tertentu, atonia uteri dapat menyebabkan terjadinya inversio
uteri (Hanretty, 2010).

Inversio uteri adalah keadaan dimana endometrium turun dan keluar ke


ostium uteri eksternum, baik komplit maupun inkomplit. Inversio uteri disebabkan
oleh kesalahan dalam memimpin kala III, seperti menekan fundus uteri terlalu kuat
atau menarik tali pusat pada plasenta yang belum terlepas dari insersinya. Faktor
penyebabnya adalah atonia uteri, serviks terbuka lebar, tekanan pada fundus uteri dari
atas (maneuver Crede), dan tekanan intraabdomen yang keras (batuk). Tanda-tanda
yang muncul pada inversio uteri adalah syok karena kesakitan, perdarahan yang
bergumpal, pada vulva tampak endometrium yang terbalik dengan atau tanpa
plasenta, serta iskemia uterus, nekrosis dan infeksi jika jepitan pada serviks berlangsung
lama. Inversio uteri terjadi dengan cepat disertai perdarahan dan syok. Syok
seringkali tidak sesuai dengan banyaknya darah yang hilang. Berdasarkan jenisnya,
inversio uteri dibagi menjadi komplit, inkomplit, akut dan kronis. Pada inversio uteri
komplit, seluruh uterus keluar dari serviks, sedangkan pada inversio uteri inkomplit,
fundus uteri tidak sampai keluar dari serviks. Inversio uteri akut adalah inversio
uteri yang paling sering dihadapi (Wiknojosastro. 2010).

Trauma jalan lahir dapat terjadi karena episiotomi yang melebar, robekan
spontan pada perineum, vagina, dan serviks, serta ruptura uteri, trauma karena forceps
atau ekstraksi vakum, dan memimpin persalinan sebelum pembukaan lengkap. Faktor
risiko untuk trauma jalan lahir adalah persalinan pervaginam operatif, malpresentasi,
makrosomia, episiotomi, persalinan terlalu cepat, penggunaan cervical cerclage,

insisi Duhrssen, dan distosia bahu (Gabbe, 2007). Jika setelah persalinan, kontraksi
rahim baik namun masih ada perdarahan, perlu dicurigai adanya trauma pada jalan
lahir atau adanya sisa plasenta yang tertinggal. Ciri perdarahan pada trauma jalan
lahir adalah darah yang keluar berwarna merah segar dan bersifat pulsatif sesuai

dengan denyut nadi (Tanto, 2014). Berdasarkan parahnya robekan perineum, terdapat
4 derajat robekan perineum. Derajat 1 adalah robekan pada mukosa vagina dengan
atau tanpa robekan perineum. Derajat 2 adalah robekan pada mukosa vagina,
transverse perinei muscle, tetapi tidak meliputi sphincter ani. Derajat 3 adalah
robekan yang mengenai seluruh perineum dan sphincter ani. Derajat 4 adalah robekan
sampai ke mukosa rektum. Retensio plasenta adalah keadaan plasenta masih belum
bisa dilahirkan setelah setengah jam bayi lahir. Waktu rata-rata dari kelahiran janin
sampai ekspulsi plasenta adalah 8-9 menit, apabila melebihi 10 menit maka risiko
kemungkinan terjadinya perdarahan postpartum menjadi dua kali lipat (Anderson,

2007). Hal ini dikarenakan adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Ada
beberapa jenis perlekatan plasenta, yaitu plasenta akreta, plasenta inkreta, dan
plasenta perkreta. Plasenta akreta adalah keadaan dimana implantasi plasenta hingga
desidua basalis (menempel pada permukaan miometrium). Plasenta inkreta adalah
keadaan dimana implantasi plasenta menembus miometrium (masuk ke dalam
miometrium). Plasenta perkreta adalah bila vili korialis sampai melewati miometrium
hingga lapisan perimetrium (menembus sampai serosa) (Anderson, 2007). Plasenta
akreta atau kelainan insersio plasenta merupakan penyebab 35- 38% dilakukannya
histerektomi peripartum (Arulkumaran, 2012). Faktor risikonya adalah plasenta previa,
bekas sectio caesarea, riwayat kuret berulang, dan multiparitas, dan kehamilan usia
lanjut (usia ibu diatas 35 tahun) (Anderson, 2007). Jika plasenta belum terlepas sama
sekali, maka tidak akan ada perdarahan. Jika sebagian sudah terlepas maka akan
timbul perdarahan. Jika plasenta sudah keluar, namun masih ada bagian (kotiledon atau
selaput ketuban) yang tertinggal, juga akan menimbulkan perdarahan. Pada pasien
dengan kontraksi rahim yang baik dan luka jalan lahir sudah dijahit namun masih
terjadi perdarahan, perlu dicurigai adanya adanya retensio atau sisa plasenta

Gangguan pembekuan darah tidak selalu mengakibatkan perdarahan yang


pasif, umumnya menyebabkan perdarahan postpartum tipe lambat atau merupakan
eksaserbasi perdarahan dan umumnya bersifat persisten. Gangguan pembekuan darah
adalah kondisi dimana terjadi ketidakseimbangan antara faktor pembekuan darah dan
sistem fibrinolisis (ACOG, 2006). Gangguan pembekuan darah dapat disebabkan oleh
trombofilia, sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme levels, low platelet
levels), ITP (idiopathic thrombocytopenic purpura), vWD (von Willebrand’s
disease), DIC (disseminated intravascular coagulation), preeklampsia, solusio
plasenta, kematian janin dalam kandungan, dan emboli air ketuban (Anderson,
2007). Gangguan ini dapat terjadi sebelumnya karena herediter (relatif lebih jarang)
atau didapat (acquired) (Gabbe, 2007). Penyebab gangguan pembekuan darah
didapat yang paling umum adalah DIC dengan faktor risiko abruptio plasenta,
perdarahan antepartum atau postpartum yang masif, sepsis, preeklampsia berat,
amniotic fluid embolism, dan nekrosis jaringan (intrauterine fetal death (IUFD)
atau trauma) (Anderson, 2007). Trombositopenia dapat berhubungan dengan ITP
atau sindrom HELLP, abruptio plasenta, DIC, atau sepsis. Hal tersebut diatas dapat
terjadi bersamaan meskipun tidak didiagnosis sebelumnya.

II.4 Diagnosis

A. Anamnesis

Pada hasil anamnesis dengan pasien, dapat ditemukan adanya


perdarahan setelah melahirkan yang jika dihitung jumlahnya lebih dari
500cc. Selain itu, pasien juga dapat mengeluhkan rasa lemas, limbung,
berkeringat dingin, pucat, dan menggigil. Faktor-faktor risiko dari perdarahan
postpartum juga dapat ditanyakan pada pasien

B. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien dengan perdarahan postpartum dapat


diawali dengan menilai tanda-tanda vital pasien, seperti nadi, laju nafas, tekanan
darah, suhu. Perlu diperhatikan adanya takikardia, hiperpnea, dan hipotensi.
Selain itu, juga perlu diperhatikan ada tidaknya tanda-tanda syok, seperti
pucat, akral dingin, nadi cepat, dan tekanan darah yang rendah.
Untuk pemeriksaan obstetrik, perlu diperhatikan kontraksi, letak, dan
konsistensi uterus. Perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk menilai adanya
perdarahan, melihat keutuhan plasenta, tali pusat, dan robekan di daerah
vagina.

C. Pemeriksaan penunjang

Onset perdarahan postpartum biasanya sangat cepat, dengan


diagnosis dan penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum
pemeriksaan laboratorium atau radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan
laboratorium yang paling penting adalah untuk menilai Hb darah. Tetap
dilakukan pemeriksaan darah rutin, namun yang menjadi poin penting adalah
Hb, terutama jika Hb kurang dari 8 gr/dL. Selain itu, juga diperlukan
pemeriksaan golongan darah untuk keperluan transfusi darah jika nantinya
diperlukan. Pemeriksaan waktu perdarahan dan waktu pembekuan darah juga
diperlukan untuk menyingkirkan adanya penyebab gangguan pembekuan darah.
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan radiologi, yaitu USG.
Pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya gumpalan darah
dan retensi sisa plasenta. USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk
mendeteksi pasien dengan risiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi
terjadinya perdarahan postpartum, seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG
dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis
plasenta akreta dan variannya (JR Smith, 2004).

II.5 Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya perdarahan postpartum, harus dilakukan tindakan


pencegahan pada keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan
postpartum, seperti atonia uteri, trauma jalan lahir, gangguan pembekuan darah, dan
sisa plasenta. Untuk mencegah atonia uteri, dapat dilakukan manajemen aktif kala III
dan pemberian misoprostol 2-3 tablet peroral setelah bayi lahir. (3) Manajemen aktif
kala III terdiri dari pemberian agen uterotonik, penegangan tali pusat terkendali,
penjepitan tali pusat dini, dan pemijatan uterus setelah kelahiran plasenta. (12,16,17)

Selain penjepitan tali pusat dini, pemotongan tali pusat juga harus dilakukan
dengan cepat dan tepat.

Masase fundus uteri dilakukan dengan tujuan untuk membantu menimbulkan


kontraksi pada rahim. WHO tidak merekomendasikan pemijatan uterus sebagai
tindakan pencegahan perdarahan postpartum pada wanita yang sudah
mendapatkan oksitosin profilaktif, namun penilaian tonus uterus pada kondisi
postpartum sangat direkomendasikan. Bukti mengenai peran pemijatan uterus
terhadap pencegahan perdarahan postpartum bila agen uterotonik tidak diberikan
ataupun agen uterotonik selain oksitosin diberikan masih kurang, walaupun terdapat
satu studi kecil yang melaporkan pemijatan uterus berkelanjutan terasosiasi dengan
pengurangan dalam penggunaan obat uterotonik Rangsang puting dilakukan untuk
merangsang keluarnya oksitosin secara alami untuk membantu timbulnya kontraksi
rahim untuk mencegah perdarahan postpartum. Jika rangsang puting tidak memberikan
hasil yang diharapkan, dapat dibantu dengan pemberian uterotonika. Oksitosin 10
unit yang diberikan secara intravena atau intramuskular adalah uterotonik yang
direkomendasikan oleh WHO dan FIGO karena efek yang sangat cepat, efek
samping yang minimal, dan dapat digunakan oleh semua wanita (WHO, 2012).
Ergometrin 0,2 mg intramuskular, kombinasi oksitosin- ergometrin (5 unit oksitosin
dan 0,5mg ergometrin intramuskular), atau misoprostol (600 gram peroral) adalah agen
uterotonik alternatif apabila oksitosin tidak tersedia (WHO. 2012).

Peregangan tali pusat terkendali direkomendasikan untuk dilakukan hanya bila


terdapat tenaga kesehatan yang berkompeten melakukannya. Jika dilakukan oleh
tenaga yang berkompeten dan memberikan sedikit keuntungan berupa penurunan
perdarahan dengan rata-rata 11ml dan mempercepat kala III persalinan dengan
waktu rata-rata 6 menit (WHO, 2012). Peregangan tali pusat terkendala hanya
dilakukan pada saat ada kontraksi. Peregangan tali pusat terkendali ini diawali dengan
cara meletakkan satu tangan di korpus uteri, tepat diatas simfisis pubis. Selama
kontraksi, lakukan gerakan mendorong ke arah dorsokranial ibu untuk mencegah
inversi uteri (Lalonde, 2012). Tangan yang lain memegang tali pusat 5-6 cm di depan
vulva. Jaga tahanan ringan pada tali pusat dan tunggu ada kontraksi kuat (2-3
menit). Selama kontraksi lakukan tarikan terkendali pada tali pusat yang terus
menerus dalam tegangan yang sama dengan tangan ke uterus. Jika sedang tidak
kontraksi, jangan lakukan tarikan namun tangan tetap di uterus. Ulangi setiap ada
kontraksi sampai plasenta terlepas. Begitu plasenta lepas, keluarkan dengan gerakan
tangan mendekati plasenta. Keluarkan dengan gerakan ke atas dan ke bawah sesuai
dengan jalan lahir. Kedua tangan memegang plasenta dan secara perlahan memutar
plasenta searah jarum jam, keluarkan selaput ketuban. Setelah plasenta dan selaput
ketuban keluar, massage uterus agar berkontraksi. Bila plasenta belum lahir dalam
waktu 15 menit, berikan oksitosin 10 unit intramuskular. Jika peregangan tali pusat
terkendali plasenta belum berhasil dan masih ada perdarahan. Dapat dilakukan
pengeluaran plasenta secara manual. Manual plasenta diawali dengan memasukkan
tangan menyusuri tali pusat. Lakukan gerakan menyusur di antara plasenta dan uterus
untuk melepas plasenta. Tahan fundus sewaktu melepas plasenta. Jika sudah berhasil,
keluarkan tangan dari uterus. Penjepitan tali pusat dini pada manajemen aktif kala III
umumnya dilakukan 30 detik pertama setelah kelahiran bayi tanpa memperhatikan
ada tidaknya pulsasi pada tali pusat. Penjepitan tali pusat dini dapat meningkatkan
risiko transfuse fetomaternal dan respiratory distress syndrome (RDS) pada bayi
prematur. WHO mendefinisikan dan merekomendasikan penjepitan tali pusat yang
lebih lambat (1-3 menit setelah kelahiran bayi) untuk semua persalinan. Penjepitan
tali pusat dini hanya direkomendasikan apabila bayi mengalami asfiksia dan
membutuhkan mobilisasi dini untuk resusitasi (WHO, 2012).

II.6 Tatalaksana

A. Farmakologi

Dua jenis obat yang paling sering digunakan adalah ergometrin 0,5 mg
dan oksitosin 5 unit. Kombinasi dari kedua obat tersebut adalah
syntometrine.
Ergometrin dapat menyebabkan timbulnya kontraksi tonik pada rahim.
Selain itu, ergometrin juga bersifat vasokonstriktor. Penggunaan ergometrin
pada kala III persalinan dinyatakan efektif mengurangi perdarahan, insiden
perdarahan postpartum, dan penggunaan uterotonik terapeutik. Ergometrin
dapat menyebabkan nyeri setelah persalinan yang membutuhkan analgetik
secara intravena. Ergometrin juga dapat menyebabkan kenaikan tekanan
darah, terutama jika diberikan secara intravena. Oleh sebab itu, merupakan
kontraindikasi untuk diberikan pada pasien dengan hipertensi, preeklampsia
dan eklampsia. Ergometrin dapat bekerja mempengaruhi rahim selama 2-3 jam.
Pada pemberian secara intramuskular, efek ergometrin dapat timbul dalam
waktu 7 menit, sedangakan jika diberikan secara intravena hanya dibutuhkan
waktu 1 menit untuk mendapatkan efeknya. Ergometrin terasosiasi dengan
lebih banyak tindakan pengeluaran manual plasenta.

Oksitosin sintetik dapat menimbulkan kontraksi rahim yang bersifat


ritmik. Oksitosin tidak memiliki efek sistemik pada dosis terapeutik. Oksitosin
merangsang otot polos uterus untuk berkonntraksi lebih kuat pada akhir
kehamilan, saat persalinan, dan pada masa nifas (reseptor oksitosin di
miometrium meningkat). Oksitosin bekerja pada rahim selama 20-30 menit.
Pada pemberian secara intramuskular, efek oksitosin dapat timbul lebih cepat
daripada pemberian ergometrin secara intramuskular, yaitu 3 menit.
Sedangkan, untuk pemberian secara intravena, efek oksitosin juga dapat
timbul dalam waktu 1 menit. Pada keadaan darurat, baik ergometrin atau
oksitosin dapat diberikan secara intravena dan efeknya dapat timbul dengan
cepat. Namun, penggunaan kombinasi oksitosin dan ergometrin memiliki efek
samping (mual, muntah, peningkatan tekanan darah) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan penggunaan oksitosin saja.

Dosis awal oksitosin adalah 20-40 unit dalam 1000 ml larutan NaCl
0,9% atau Ringer Lactate dengan kecepatan 60 tpm dan diikuti dengan 10
unit intramuskular. Lanjutkan dengan infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml
larutan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate dengan kecepatan 0 tpm hingga
perdarahan berhenti. Jangan berikan lebih dari 3 liter larutan intravena
yang mengandung oksitosin. Bila tidak tersedia oksitosin, berikan
ergometrin dengan dosis 0,2 mg intramuskular atau intravena bolus lambat dan
dapat diikuti dengan pemberian 0,2 mg intramuskular setelah 15 menit dan
pemberian 0,2 mg intramuskular atau intravena bolus lambat setiap 4 jam bila
diperlukan. Jangan berikan lebih dari 5 dosis (1 mg). Jika perdarahan masih
berlanjut, berikan asam traneksamat intravena bolus selama 1 menit dan
dapat diulang setelah 30 menit. Selain ergometrin dan oksitosin, dapat juga
diberikan injeksi prostaglandin secara intramuskular. Prostaglandin
mematangkan serviks dengan mengubah komposisi matriks ekstraselular,
meningkatkan aktivitas kolagenase dan elastase, meningkatkan konsentrasi
glikosaminoglikan, dermatan sulfat dan asam hyaluronat di serviks. Agen ini
menyebabkan relaksasi otot serviks dan meningkatkan kalsium intraselular
sehingga memfasilitasi kontraksi miometrium. Misoprostol merupakan analog
sintetik dari prostaglandin E1 alamiah. Agen ini diserap secara cepat melalui
peroral dengan bioavailabilitas melebihi 80%. Pemberian misoprostol terbukti
aman, ekonomis, dan efektif menurunkan insiden perdarahan postpartum.
(17) Efek samping dari misoprostol antara lain pireksia sementara, mual, dan
muntah. Jika rahim terus gagal berkontraksi setelah pemberian obat-obat yang
bersifat oksitoksik, rahim telah kosong, dan tidak ada tanda-tanda trauma jalan
lahir, prostaglandin karboprost (Hemabate) dapat diberikan dengan dosis 250
mikrogram dan dapat diulang pemberiannya. Untuk mengatasi infeksi atau
mencegah terjadinya infeksi, dapat diberikan antibiotika spektrum luas dan anti
bakteri anaerob seperti metronidazole. (10) Antibiotika profilaksis dapat
diberikan dengan dosis tunggal. Antibiotika profilaksis yang paling sering
digunakan adalah ampisillin 2 gram intravena dan metronidazole 500 mg
intravena.

B. Non-Farmakologi

Selain obat-obatan yang membantu kontraksi rahim, dapat dilakukan


tindakan untuk membantu mengganti cairan yang hilang, yaitu dengan
pemberian infus intravena dengan kanul berukuran besar (16 atau 18) dan
pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer Lactate atau Ringer
Acetate) sesuai dengan kondisi pasien. Resusitasi cairan sebelum darah
tersedia harus dilakukan sesegera mungkin dengan infus kristaloid dan koloid
sampai 3,5L (2L kristaloid dan atau 1-2L koloid) (Institute of Obstreticians,
2012). Prinsip utama yang harus dipikirkan dalam resusitasi cairan kristaloid
adalah hanya 20% dari jumlah cairan yang akan tetap bertahan dalam
intravascular dalam 1 jam setelah pemberian sehingga volume kristaloid
yang harus diberikan sekitar tiga kali lipat dari jumlah volume estimasi
perdarahan (Cunningham, 2004). Perlu juga dilakukan tindakan untuk
menghentikan perdarahan yang terjadi, yaitu evakuasi rahim, kompresi rahim
bimanual, pemasangan tampon rahim, transfusi darah, ligasi arteri uterina,
dan histerektomi.
Evakuasi rahim dilakukan jika setelah eksplorasi rahim ditemukan
adanya hasil konsepsi yang tertinggal. Hasil konsepsi yang tertinggal
dibersihkan, dikeluarkan dari rahim. Jika plasenta masih utuh tertinggal di
dalam rahim 30 menit setelah bayi lahir, dapat dikeluarkan dengan cara manual
plasenta. Jika hanya sebagian plasenta atau selaput ketuban yang tertinggal,
dapat dibersihkan dengan cara pembersihan manual digital atau dengan
kuretase.

Kompresi rahim bimanual dapat dilakukan setelah menyingkirkan


kemungkinan plasenta tidak lengkap dan trauma pada jalan lahir. Kompresi
bimanual dilakukan dengan cara mengkompresi rahim di antara kedua tangan
untuk mengendalikan perdarahan dan merangsang kontraksi pada rahim.
Kompresi bimanual dibagi menjadi kompresi bimanual internal dan eksternal.
Untuk melakukan kompresi bimanual internal, satu tangan di dalam rahim
dan tangan lainnya berada di luar, di abdomen dan menekan fundus ke arah
tangan yang di dalam. Jari-jari tangan yang berada di dalam menekan forniks
anterior. Jika telah ditekan dengan baik, seluruh kepalan tangan dapat masuk
karena kelenturan vagina. Tekanan pada uterus dengan kedua tangan
memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah dalam dinding uterus dan
merangsang miometrium untuk berkontraksi. Untuk melakukan kompresi
bimanual eksternal, satu tangan diletakkan di abdomen, di depan uterus, tepat
di atas simfisis pubis. Tangan yang lain memegang dinding abdomen
(dibelakang korpus uteri) dan diusahakan untuk memegang bagian belakang
uterus seluas mungkin. Lakukan gerakan saling merapatkan kedua tangan untuk
melakukan kompresi pembuluh darah di dinding uterus dengan cara
menekan uterus diantara kedua tangan. Hal ini dapat membantu uterus
untuk berkontraksi dan menekan pembuluh darah uterus (Wiknojosastro,
2010). Kompresi aorta abdominalis merupakan alternatif dari kompresi
bimanual eksternal dan internal. Kompresi aorta abdominalis harus
dilakukan dengan teknik yang benar agar aorta benar-benar tertutup
untuk sementara waktu sehingga perdarahan dapat dikurangi. Tekan aorta
abdominalis di atas uterys dengan kuat dan dapat dibantu dengan tangan kiri
selama 5-7 menit. Lepaskan tekanan sementara selama 30-60 detik sehingga
bagian lainnya tidak terlalu banyak kekurangan darah. Tekanan aorta
Abdominalis untuk mengurangi perdarahan bersifat sementara

Pada keadaan tertentu, masih diperlukan pemasangan tampon kasa di


rahim. Tampon biasanya dibiarkan di dalam rahim selama 12 jam. Jika setelah
itu kontraksi tetap tidak terjadi, maka histerektomi harus dilakukan. Keadaan
pasien kemungkinan besar sudah berada dalam kondisi yang serius dan
keputusan untuk operasi sulit dibuat, namun harus dilakukan sesegera mungkin,
jangan sampai terlambat melakukan penanganan. Pada kasus perdarahan yang
berkelanjutan, adanya gangguan pembekuan darah harus disingkirkan.
Dapat juga digunakan kondom sebagai pengganti tampon kasa.
Kondom diikat pada kateter, dimasukkan ke dalam cavum uteri, dan diisi
cairan fisiologis sebanyak 250-500ml atau sesuai kebutuhan. Lakukan
observasi perdarahan dan stop pengisian cairan setelah perdarahan berkurang.
Untuk menjaga agar kondom tetap di dalam vagina, dapat digunakan
tampon kasa gulung. Bila perdarahan berlanjut, tampon kasa akan basah dan
darah keluar dari introitus vagina. Kontraktilitas uterus dijaga dengan
pemberian drip oksitosin paling tidak sampai dengan 6 jam kemudian.
Diberikan antibiotika tripel, Amoxicillin, Metronidazole dan Gentamycin.
Kondom kateter dilepas 24 – 48 jam kemudian, pada kasus dengan
perdarahan berat kondom dapat dipertahankan lebih lama.

Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut


dan diperkirakan akan melebihi 2000cc atau keadaan klinis pasien
menunjukkan tanda- tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat.
Terdapat kontroversi mengenai kadar hematokrit atau hemoglobin dimana
transfusi darah harus diberikan, namun menurut konsensus yang ada transfusi
darah direkomendasikan pada wanita yang mengalami perdarahan secara akut
dengan hematokrit dibawah 25% dan tidak diberikan pada wanita anemia
sedang dengan kondisi klinis yang stabil (Cunningham, 2010). Gambaran klinis
merupakan indikasi utama untuk menentukan perlu-tidaknya transfusi darah
dan tidak perlu membuang waktu untuk menunggu hasil laboratorium
(Cunningham, 2010). Whole blood yang kompatibel merupakan produk
yang ideal utnuk penanganan hypovolemia akibat perdarahan masif yang akut
karena dengan whole blood tidak hanya mengembalikan hypovolemia tetapi
juga faktor koagulasi (terutama fibrinogen). Pedoman transfuse darah dari
British Committee for Standards in Haematology dari penanganan
perdarahan masif, antara lain hemoglobin > 8 g/dL, trombosit > 75x103/L,
prothrombin time (PT) < 1,5 x mean kontrol, activated prothrombin time
(aPTT) < 1,5 x mean kontrol, dan fibrinogen > 150 mg/dL. (19) PRC (packed
red cells) digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika
terdapat indikasi. Tujuan transfusi adalah memasukkan 2-4 unit PRC untuk
menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan
volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah
tetesan infus. Masalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100cc normal
saline pada masing- masing unit. Tindakan laparotomi merupakan pilihan
yang dapat dilakukan apabila pemberian agen uterotonika dengan atau
tanpa balloon tamponade tidak dapat menghentikan perdarahan (ACOG,
2006). Tindakan pembedahan konservatif meliputi B-Lynch suture dan ligasi
arteri (arteri uterine atau arteri iliaka interna), sedangkan tindakan non-
konservatif adalah histerektomi (Cunningham, 2010). Tindakan pembedahan
konservatif adalah tindakan pembedahan yang mempertahankan uterus,
sedangkan tindakan pembedahan non-konservatif adalah tindakan pembedahan
yang tidak mempertahankan uterus.
Ligasi arteri uterina asendens bertujuan untuk menurunkan aliran darah
uterus. Arteri uterina berada di perbatasan antara serviks dan segmen bawah
rahim. Jahit sedekat mungkin dengan uterus karena ureter berada 1 cm dari
uterus. Lakukan pada kedua sisi lateral. Jika mengenai arteri, segera jepit dan
ikat sampai perdarahan berhenti. Lakukan pula pengikatan arteri utero-
ovarika, yaitu dengan melakukan pengikatan pada 1 jari atau 2 cm lateral
bawah pangkal ligamentum suspensorium ovarii kiri dan kanan agar upaya
hemostasis berlangsung efektif, lakukan pada kedua sisi. Berikan antibiotik
profilaksis dan analgetik. Evaluasi keberhasilan ligasi arteri uterina asendens
adalah dengan menilai perdarahan, bukan menilai kontraksi. Komplikasi yang
dapat terjadi adalah cedera pembuluh darah (vasa uterina) atau ureter
(Kemenkes, 2013). tidak dapat menghentikan perdarahan (ACOG, 2006).
Tindakan pembedahan konservatif meliputi B-Lynch suture dan ligasi arteri
(arteri uterine atau arteri iliaka interna), sedangkan tindakan non-konservatif
adalah histerektomi (Cunningham, 2010). Tindakan pembedahan konservatif
adalah tindakan pembedahan yang mempertahankan uterus, sedangkan
tindakan pembedahan non-konservatif adalah tindakan pembedahan yang tidak
mempertahankan uterus.

Ligasi arteri uterina asendens bertujuan untuk menurunkan aliran darah


uterus. Arteri uterina berada di perbatasan antara serviks dan segmen bawah
rahim. Jahit sedekat mungkin dengan uterus karena ureter berada 1 cm dari
uterus. Lakukan pada kedua sisi lateral. Jika mengenai arteri, segera jepit dan
ikat sampai perdarahan berhenti. Lakukan pula pengikatan arteri utero-
ovarika, yaitu dengan melakukan pengikatan pada 1 jari atau 2 cm lateral
bawah pangkal ligamentum suspensorium ovarii kiri dan kanan agar upaya
hemostasis berlangsung efektif, lakukan pada kedua sisi. Berikan antibiotik
profilaksis dan analgetik. Evaluasi keberhasilan ligasi arteri uterina asendens
adalah dengan menilai perdarahan, bukan menilai kontraksi. Komplikasi yang
dapat terjadi adalah cedera pembuluh darah (vasa uterina) atau ureter
(Kemenkes, 2013). Ligasi arteri iliaka interna dilakukan untuk pasien yang
masih ingin memiliki anak, seperti pada ligasi arteri uterina. Ligasi dilakukan
dengan identifikasi bifurkasio arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk
melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel
dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial
kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan
eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan
benang non absorbable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari
trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna
dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi risiko ligasi
arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan.
Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan
kondisi pasien. B-lynch suture dikenal juga dengan Brace Suture adalah
metode untuk mengikat rahim dengan tujuan untuk menghentikan perdarahan,
tanpa harus mengangkat rahim. Cara ini dipilih bila tes dengan manual
kompresi berhasil menghentikan perdarahan. Sebelum melakukan B-lynch
suture, pastikan tidak ada sisa plasenta atau selaput ketuban. Bentuk jahitan
jelujur dimulai dari segmen bawah rahim (uterus anterior) menuju corpus
daerah anterior lalu fundal, kemudian menuju corpus posterior sampai sejajar
jahitan awal, jahitan dilanjutkan ke samping atau ke sisi uterus yang lain,
lalu menuju corpus posterior menuju fundal sampai mencapai corpus
anterior dan berakhir pada segmen bawah rahim sejajar jahitan awal. Batas
jahitan dari kedua tepi uterus adalah 3-4 cm dari sisi kanan dan kiri. Jahitan
vertikal dua atau lebih untuk meningkatkan kekuatan tekanan, sedangkan
penjahitan horizontal lebih ditujukan untuk mengontrol perdarahan dari
plasental bed pada kasus plasenta previa. Untuk mencegah risiko trauma pada
kandung kencing atau traktus urinarius, kandung kemih disisihkan sehingga
berada di bawah jahitan dan jahitan 2cm medial dari batas lateral uterus.
Kompresi uterus menggunakan benang mudah dilakukan, lebih singkat,
dan efektif daripada histerektomi. B-lynch suture tidak menggangu
kesuburan dan kehamilan selanjutnya (Arulkumaran, 2012). Histerektomi
merupakan pilihan terakhir untuk perdarahan postpartum. Histerektomi
dilakukan jika perdarahan postpartum masif tidak dapat diatasi dengan tujuan
untuk menyelamatkan jiwa ibu. Indikasi utama adalah plasenta akreta,
inkreta dan perkreta, atonia uteri, ruptura uteri, hematoma ligamentum latum,
robekan serviks luas setelah tindakan forseps, dan koriomanionitis.
Sebaiknya serviks dipotong dibawah arteri uterina. Histerektomi dapat
dilakukan lebih dini jika hemodinamik dan keadaan pasien tidak stabil atau
jika ada perdarahan yang tidak terkendali. Histerektomi peripartum berbeda
dibandingkan dengan histerektomi pada keadaan tidak hamil karena terjadi
perubahan anatomi sebagai pengaruh dari kehamilan dimana pada organ
terjadi peningkatan vaskularisasi. Total histerektomi lebih disukai dari subtotal
histerektomi, meskipun pilihan tersebut tergantung situasi klinik mana yang
lebih cepat, lebih efektif untuk mengatasi perdarahan sehingga mengurangi
morbiditas serta mortalitas. Subtotal histerektomi tidak terlalu efektif dalam
mengontrol perdarahan dari segmen bawah rahim, serviks atau forniks
(Arulkumaran, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Obstetricians and Gynecologists, 2006, Postpartum


Hemorrhage. ACOG Practice Bulletin No. 76. Obstet Gynecol.
2. Anderson JM, Etches D, 2007, Prevention and Management of Postpartum
Hemorrhage. Am Fam Physician.
3. Arulkumaran S, Karoshi M, Keith LG, Balonde AB, B-Lynch C, 2012, A
Comprehensive Textbook of Postpartum Hemorrhage: An Essential Clinical
Reference for Effective Management. 2nd ed. London: Sapiens.
4. Beckmann CRB, Ling FW, Barzansky BM, Herbert WNP, Laube DW,
Smith RP, 2010 Obstetrics and Gynecology. 6th ed.: Lippincott Williams
& Wilkins.
5. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY,
2010, Williams OBSTETRICS. 23rd ed. New York City: McGraw-Hill;
6. DeCherney AH, Nathan L, 2003 Current Obstretric & Gynecologic Diagnosis &
Tretment. 9th ed. New York City: McGraw-Hill.
7. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, 2007 Obstetrics: Normal and Problem
Pregnancies. 5th ed.: Elsevier.
8. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard I, 2008 Obstetrics and
Gynecology. 10th ed.: Lippincott Williams & Wilkins.
9. Hanretty KP, 2010, Ilustrasi Obstetri. 7th ed. Singapore: Elsevier.
10. Institute of Obstetricians and Gynaecologists, Royal College of Physicians of
Ireland and Directorate of Strategy and Clinical Programmes Health Service
Executive, 2012, Clinical Practice Guideline: Prevention and Management of
Primary Postpartum Haemorrhage.

11. JR Smith BB, 2004, Postpartum Hemorrhage. [Online]: diakses pada 28 April
2020 www.emedicine.com.
12. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, World Health Organization, 2013,
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
1st ed. Jakarta: WHO.
13. Komite Medik RSUP dr. Sardjito, 2020, Perdarahan Post Partum dalam Standar
Pelayanan Medis RSUP dr. Sardjito Yogyakarta: Penerbit Medika Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
14. Lalonde A, 2012, Prevention and treatment of postpartum hemorrhage in
low-resource settings. Int J Gynaecol Obstet

15. Saifuddin AB, 2014 Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo;
16. Stainsby D, MacLennan S, Thomas D, Isaac J, Hamilton PJ, 2006,
Guidelines on the management of massive blood loss. Br J Haematol.
17. Tanto C, 2014, Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media
Aesculapius;
18. Wiknjosastro H, 2010, Ilmu Bedah Kebidanan. 1st ed. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
19. World Health Organization, 2012, WHO recommendations for the
prevention and treatment of postpartum hemorrhage Geneva
(Switzerland): WHO.
20. World Health Organization., 20117 Maternal Mortality in 2005: estimates
developed by WHO, UNICEF, UNFPA and the World Bank Geveva
(Switzerland): WHO.

Anda mungkin juga menyukai