Disusun Oleh :
Axelomoon Faqilah
1810221178
Diajukan Kepada :
Pembimbing
dr. Adi Rachmanadi, Sp. OG
Telah disetujui
Tanggal :
Disusun oleh :
Axelomoon Faqilah
1810221178
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
II.1 Definisi
itu, juga tidak diperlukan untuk mengukur perdarahan sampai sebanyak itu, karena
penghentian pendarahan lebih penting dilakukan untuk mendapatkan prognosis
yang lebih baik. Pada umumnya, jika terdapat perdarahan yang lebih dari normal,
terlebih lagi jika menyebabkan adanya perubahan tanda-tanda vital, seperti
penurunan kesadaran, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak nafas, hipotensi dan
takikardia, maka penanganan harus segera dilakukan. Sifat perdarahan postpartum
dapat banyak, bergumpal-gumpal sampai menyebabkan syok atau terus merembes
sedikit demi sedikit tanpa henti (Saifuddin, 2014).
II.2 Klasifikasi
11.3 Etiologi
Secara singkat, perdarahan postpartum dapat disebabkan oleh 4T, yaitu tonus,
tissue (jaringan), trauma, dan trombin. Kelainan pada tonus adalah hipotoni atau
atonia uteri. Kelainan pada tissue adalah retensio plasenta atau sisa plasenta. Yang
dimaksud dengan trombin adalah gangguan pembekuan darah. Jika perdarahan yang
terjadi berasal dari tempat implantasi plasenta, penyebab yang mungkin adalah
hipotoni atau atonia uteri dan adanya sisa plasenta atau retensio plasenta. Penyebab
yang paling sering pada perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, diikuti
oleh trauma jalan lahir. Sedangkan, pada perdarahan postpartum sekunder, penyebab
tersering adalah sisa plasenta.
Atonia uteri adalah kegagalan atau lemahnya kontraksi pada rahim sehingga
perdarahan dari tempat melekatnya plasenta tidak dapat tertutup. Rahim ditemukan
lembek dan pembuluh darah pada placental bed terbuka lebar. Ini adalah
penyebab yang paling sering terjadi dan berpotensi menjadi penyebab yang paling
berbahaya. Meskipun rahim sudah dalam keadaan kosong, namun rahim gagal
berkontraksi dan tidak dapat mengendalikan perdarahan dari tempat melekatnya
plasenta. Faktor- faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya atonia uteri
adalah regangan rahim yang berlebihan (kehamilan ganda, anak besar,
hidramnion), multiparitas, perfusi miometrium rendah, hipotensi, infeksi, persalinan lama,
persalinan yang dipercepat dengan Syntocinon, persalinan yang terlalu cepat, riwayat
atonia sebelumnya, anestesia umum, plasenta previa, dan abrupsio plasenta (Gabbe,
2007). Regangan rahim yang berlebihan dapat disebabkan oleh kehamilan kembar,
polihidramnion, dan bayi yang berukuran besar (>3500 gram). Multiparitas dapat
menyebabkan timbulnya jaringan fibrosis pada otot rahim sehingga kontraksi rahim
tidak akan sebaik sebelumnya dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya atonia
uteri. Persalinan yang lama dapat menyebabkan inersia uteri, dimana rahim tidak
lagi berkontraksi. Plasenta previa, keadaan dimana plasenta terletak pada segmen
bawah rahim, dapat menyebabkan segmen bawah rahim tidak dapat berkontraksi
dengan cukup baik untuk menghentikan pendarahan. Pada abrupsio plasenta,
uterus Couvelaire tidak dapat berkontraksi dan dapat juga terjadi koagulasi dan
produk- produk degradasi fibrin yang menghambat kontraksi rahim. Jika fundus
uteri masih setinggi pusat atau lebih, kontraksi tidak bagus, ada perdarahan yang
banyak, harus dicurigai terjadinya atonia uteri. Dalam penghitungan penggantian
darah, harus dipikirkan adanya 500-1000cc darah yang terperangkap di dalam
rahim. Pada keadaan tertentu, atonia uteri dapat menyebabkan terjadinya inversio
uteri (Hanretty, 2010).
Trauma jalan lahir dapat terjadi karena episiotomi yang melebar, robekan
spontan pada perineum, vagina, dan serviks, serta ruptura uteri, trauma karena forceps
atau ekstraksi vakum, dan memimpin persalinan sebelum pembukaan lengkap. Faktor
risiko untuk trauma jalan lahir adalah persalinan pervaginam operatif, malpresentasi,
makrosomia, episiotomi, persalinan terlalu cepat, penggunaan cervical cerclage,
insisi Duhrssen, dan distosia bahu (Gabbe, 2007). Jika setelah persalinan, kontraksi
rahim baik namun masih ada perdarahan, perlu dicurigai adanya trauma pada jalan
lahir atau adanya sisa plasenta yang tertinggal. Ciri perdarahan pada trauma jalan
lahir adalah darah yang keluar berwarna merah segar dan bersifat pulsatif sesuai
dengan denyut nadi (Tanto, 2014). Berdasarkan parahnya robekan perineum, terdapat
4 derajat robekan perineum. Derajat 1 adalah robekan pada mukosa vagina dengan
atau tanpa robekan perineum. Derajat 2 adalah robekan pada mukosa vagina,
transverse perinei muscle, tetapi tidak meliputi sphincter ani. Derajat 3 adalah
robekan yang mengenai seluruh perineum dan sphincter ani. Derajat 4 adalah robekan
sampai ke mukosa rektum. Retensio plasenta adalah keadaan plasenta masih belum
bisa dilahirkan setelah setengah jam bayi lahir. Waktu rata-rata dari kelahiran janin
sampai ekspulsi plasenta adalah 8-9 menit, apabila melebihi 10 menit maka risiko
kemungkinan terjadinya perdarahan postpartum menjadi dua kali lipat (Anderson,
2007). Hal ini dikarenakan adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Ada
beberapa jenis perlekatan plasenta, yaitu plasenta akreta, plasenta inkreta, dan
plasenta perkreta. Plasenta akreta adalah keadaan dimana implantasi plasenta hingga
desidua basalis (menempel pada permukaan miometrium). Plasenta inkreta adalah
keadaan dimana implantasi plasenta menembus miometrium (masuk ke dalam
miometrium). Plasenta perkreta adalah bila vili korialis sampai melewati miometrium
hingga lapisan perimetrium (menembus sampai serosa) (Anderson, 2007). Plasenta
akreta atau kelainan insersio plasenta merupakan penyebab 35- 38% dilakukannya
histerektomi peripartum (Arulkumaran, 2012). Faktor risikonya adalah plasenta previa,
bekas sectio caesarea, riwayat kuret berulang, dan multiparitas, dan kehamilan usia
lanjut (usia ibu diatas 35 tahun) (Anderson, 2007). Jika plasenta belum terlepas sama
sekali, maka tidak akan ada perdarahan. Jika sebagian sudah terlepas maka akan
timbul perdarahan. Jika plasenta sudah keluar, namun masih ada bagian (kotiledon atau
selaput ketuban) yang tertinggal, juga akan menimbulkan perdarahan. Pada pasien
dengan kontraksi rahim yang baik dan luka jalan lahir sudah dijahit namun masih
terjadi perdarahan, perlu dicurigai adanya adanya retensio atau sisa plasenta
II.4 Diagnosis
A. Anamnesis
B. Pemeriksaan fisik
C. Pemeriksaan penunjang
II.5 Pencegahan
Selain penjepitan tali pusat dini, pemotongan tali pusat juga harus dilakukan
dengan cepat dan tepat.
II.6 Tatalaksana
A. Farmakologi
Dua jenis obat yang paling sering digunakan adalah ergometrin 0,5 mg
dan oksitosin 5 unit. Kombinasi dari kedua obat tersebut adalah
syntometrine.
Ergometrin dapat menyebabkan timbulnya kontraksi tonik pada rahim.
Selain itu, ergometrin juga bersifat vasokonstriktor. Penggunaan ergometrin
pada kala III persalinan dinyatakan efektif mengurangi perdarahan, insiden
perdarahan postpartum, dan penggunaan uterotonik terapeutik. Ergometrin
dapat menyebabkan nyeri setelah persalinan yang membutuhkan analgetik
secara intravena. Ergometrin juga dapat menyebabkan kenaikan tekanan
darah, terutama jika diberikan secara intravena. Oleh sebab itu, merupakan
kontraindikasi untuk diberikan pada pasien dengan hipertensi, preeklampsia
dan eklampsia. Ergometrin dapat bekerja mempengaruhi rahim selama 2-3 jam.
Pada pemberian secara intramuskular, efek ergometrin dapat timbul dalam
waktu 7 menit, sedangakan jika diberikan secara intravena hanya dibutuhkan
waktu 1 menit untuk mendapatkan efeknya. Ergometrin terasosiasi dengan
lebih banyak tindakan pengeluaran manual plasenta.
Dosis awal oksitosin adalah 20-40 unit dalam 1000 ml larutan NaCl
0,9% atau Ringer Lactate dengan kecepatan 60 tpm dan diikuti dengan 10
unit intramuskular. Lanjutkan dengan infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml
larutan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate dengan kecepatan 0 tpm hingga
perdarahan berhenti. Jangan berikan lebih dari 3 liter larutan intravena
yang mengandung oksitosin. Bila tidak tersedia oksitosin, berikan
ergometrin dengan dosis 0,2 mg intramuskular atau intravena bolus lambat dan
dapat diikuti dengan pemberian 0,2 mg intramuskular setelah 15 menit dan
pemberian 0,2 mg intramuskular atau intravena bolus lambat setiap 4 jam bila
diperlukan. Jangan berikan lebih dari 5 dosis (1 mg). Jika perdarahan masih
berlanjut, berikan asam traneksamat intravena bolus selama 1 menit dan
dapat diulang setelah 30 menit. Selain ergometrin dan oksitosin, dapat juga
diberikan injeksi prostaglandin secara intramuskular. Prostaglandin
mematangkan serviks dengan mengubah komposisi matriks ekstraselular,
meningkatkan aktivitas kolagenase dan elastase, meningkatkan konsentrasi
glikosaminoglikan, dermatan sulfat dan asam hyaluronat di serviks. Agen ini
menyebabkan relaksasi otot serviks dan meningkatkan kalsium intraselular
sehingga memfasilitasi kontraksi miometrium. Misoprostol merupakan analog
sintetik dari prostaglandin E1 alamiah. Agen ini diserap secara cepat melalui
peroral dengan bioavailabilitas melebihi 80%. Pemberian misoprostol terbukti
aman, ekonomis, dan efektif menurunkan insiden perdarahan postpartum.
(17) Efek samping dari misoprostol antara lain pireksia sementara, mual, dan
muntah. Jika rahim terus gagal berkontraksi setelah pemberian obat-obat yang
bersifat oksitoksik, rahim telah kosong, dan tidak ada tanda-tanda trauma jalan
lahir, prostaglandin karboprost (Hemabate) dapat diberikan dengan dosis 250
mikrogram dan dapat diulang pemberiannya. Untuk mengatasi infeksi atau
mencegah terjadinya infeksi, dapat diberikan antibiotika spektrum luas dan anti
bakteri anaerob seperti metronidazole. (10) Antibiotika profilaksis dapat
diberikan dengan dosis tunggal. Antibiotika profilaksis yang paling sering
digunakan adalah ampisillin 2 gram intravena dan metronidazole 500 mg
intravena.
B. Non-Farmakologi
11. JR Smith BB, 2004, Postpartum Hemorrhage. [Online]: diakses pada 28 April
2020 www.emedicine.com.
12. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, World Health Organization, 2013,
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
1st ed. Jakarta: WHO.
13. Komite Medik RSUP dr. Sardjito, 2020, Perdarahan Post Partum dalam Standar
Pelayanan Medis RSUP dr. Sardjito Yogyakarta: Penerbit Medika Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
14. Lalonde A, 2012, Prevention and treatment of postpartum hemorrhage in
low-resource settings. Int J Gynaecol Obstet
15. Saifuddin AB, 2014 Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo;
16. Stainsby D, MacLennan S, Thomas D, Isaac J, Hamilton PJ, 2006,
Guidelines on the management of massive blood loss. Br J Haematol.
17. Tanto C, 2014, Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media
Aesculapius;
18. Wiknjosastro H, 2010, Ilmu Bedah Kebidanan. 1st ed. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
19. World Health Organization, 2012, WHO recommendations for the
prevention and treatment of postpartum hemorrhage Geneva
(Switzerland): WHO.
20. World Health Organization., 20117 Maternal Mortality in 2005: estimates
developed by WHO, UNICEF, UNFPA and the World Bank Geveva
(Switzerland): WHO.