Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendekatan Kontijensi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kontijensi sebagai grand theory.

Pendekatan kontijensi muncul dari asumsi dasar pendekatan pandangan umum

yang menyatakan bahwa suatu pengendalian bisa diterapkan dalam karakteristik

perusahaan apapun dan dalam kondisi lingkungan dimana saja (Susmitha, 2012).

Para peneliti tertarik menggunakan pendekatan kontijensi karena mereka ingin

mengetahui apakah tingkat keandalan variabel independen selalu berpengaruh

sama pada setiap kondisi atau tidak terhadap variabel dependennya. Berdasarkan

teori kontijensi maka ada dugaan bahwa terdapat faktor situasional lainnya yang

mungkin akan saling berinteraksi didalam mempengaruhi situasi tertentu.

Menurut Govindarajan (1988), diperlukan upaya untuk merekonsiliasi

ketidakkonsistenan dengan cara mengidentifikasi faktor-faktor kondisional antara

kedua variabel tersebut dengan pendekatan kontijensi. Hasil penelitian

sebelumnya menunjukkan bahwa ada ketidakkonsistenan hasil antara satu peneliti

dengan peneliti lainnya, sehingga disimpulkan terdapat variabel lain yang

mempengaruhinya. Tujuan penggunaan pendekatan kontijensi adalah untuk

mengidentifikasi berbagai variabel kontijensi yang mempengaruhi kinerja.

Penggunaan pendekatan kontijensi tersebut memungkinkan adanya variabel-

variabel lain yang bertindak sebagai varaibel moderating atau variabel

intervening. Dengan demikian, melalui pendekatan kontijensi penelitian ini


mengargumenkan keberhasilan kompensasi, budaya organisasi, dan lingkungan

kerja pada kinerja pengelola anggaran dipengaruhi oleh komitmen organisasi.

2.2 Stewardship Theory

Teori stewardship diperkenalkan sebagai teori yang berdasarkan tingkah

laku dan premis (Davis, Schoorman, & Donaldson, 1997). Teori stewardship

didefinisikan sebagai situasi di mana para manajer tidak termotivasi oleh tujuan-

tujuan individu, namun lebih ditujukan pada sasaran hasil utama mereka untuk

kepentingan organisasi. Teori ini berdasar pada pertimbangan-pertimbangan yang

terkait dengan motivasi manajer.

Stewardship theory dibangun atas dasar asumsi psikologi dan sosiologi

yang telah dirancang dimana para eksekutif sebagai steward didorong untuk

bertindak sesuai keinginan terbaik prinsipal mereka, selain itu perilaku steward

tidak akan terlepas dari kepentingan organisasinya. Oleh karena itu, steward akan

berusaha mencapai sasaran organisasinya (Davis et al., 1997). Asumsi penting

yang mendasari teori stewardship adalah perilaku eksekutif selaras dengan

kepentingan prinsipal (Davis et al., 1997).

Menurut Chinn (2000) dalam Usamah (2009), stewardship theory

dibangun atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada

hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab,

memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang tersirat dalam

hubungan fidusia (hubungan berlandaskan kepercayaan) yang dikehendaki para

stakeholder.
Konsep inti dari teori stewardship adalah kepercayaan. Dalam teori

stewardship, manajemen sebagai pihak yang dapat dipercaya untuk bertindak

dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun

shareholders pada khususnya (Puspitarini, 2012). Ketika kepentingan steward dan

pemilik tidak sama, steward akan berusaha bekerja sama daripada menentangnya

karena steward merasa kepentingan bersama dan berperilaku sesuai dengan

perilaku pemilik merupakan pertimbangan yang rasional karena steward lebih

melihat pada usaha untuk mencapai tujuan organisasi.

Implikasi teori stewardship terhadap penelitian ini yaitu dapat menjelaskan

eksistensi Pemerintah Daerah sebagai suatu lembaga yang dapat dipercaya untuk

bertindak sesuai dengan kepentingan publik dengan melaksanakan tugas dan

fungsinya dengan tepat, mengelola dan mempertanggung jawabkan keuangan

yang diamanahkan kepadanya, sehingga tujuan ekonomi, pelayanan publik

maupun kesejahteraan masyarakat dapat tercapai secara maksimal. Untuk

melaksanakan tanggung jawab tersebut maka stewards (pengelola anggaran)

mengarahkan semua kemampuan dan keahliannya dalam mengefektifkan kinerja

pengelola anggaran untuk menghasilkan pengelolaan keuangan yang berkualitas

dengan sasaran anggaran yang jelas.

2.3 Kinerja

Mangkunegara (2005:9) menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan

hasil kerja seorang karyawan baik secara kualitas maupun kuantitas yang berhasil

dicapainya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peran dan tanggung jawab
yang diberikan kepadanya. Terdapat hubungan yang erat antara kinerja

perseorangan dengan kinerja organisasi. Bila kinerja karyawan baik, maka

kemungkinan kinerja organisasi juga baik. Kinerja merupakan hasil kerja baik

kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan karyawan atau perilaku nyata yang

ditampilkan sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Handoko (2002) mengistilahkan kinerja atau performance dengan prestasi

kerja karyawan. Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau

tingkat keberhasilan individu maupun kelompok individu. Bias kinerja diketahui

jika individu atau kelompok individu tersebut mempunyai kriteria keberhasilan

yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan-tujuan atau target-

target tertentu yang hendak dicapai. Ruky (2001) mengemukakan bahwa terdapat

3 jenis kriteria kinerja, yaitu:

1) Teori kinerja pada input

Teori ini menekankan pada individual centred. Merupakan cara tradisional

yang menekankan pada pengukuran atau penilaian-penilaian terhadap ciri-

ciri kepribadian pegawai dari pada hasil atau prestasi kerjanya. Ciri-ciri

karakteristik kepribadian yang banyak dijadikan obyek pengukuran adalah

kejujuran, ketaatan, disiplin, loyalitas, inisiatif, kreativitas, adaptasi,

komitmen, motivasi (kemauan), sopan santun dan lain-lain, tentu saja

dalam kelompok input ini juga masih harus termasuk faktor-faktor

kemampuan yang terdiri dari pengetahuan dan keterampilan yang

diperlukan.
2) Teori kinerja berorientasi pada proses

Dalam teori ini prestasi pegawai diukur dengan cara menilai sikap dan

prilaku seorang pegawai dalam melaksanakan tugas dan

tanggungjawabnya. Dengan kata lain penilaian difokuskan langsung pada

bagaimana tugas dilakukan dan membandingkan prilaku dan sikap yang

diperlihatkan dengan standar yang telah ditetapkan untuk setiap tugas yang

telah dibebankan kepadanya, cara ini adalah penjabaran dari pergeseran

focus penilaian dari input ke proses yang bagaimana proses tersebut

dilaksanakan.

3) Teori kinerja berorientasi pada output

Teori ini berfokus pada output atau hasil yang diperoleh atau dicapai oleh

pegawai dalam konsep ‘input-proces-output’. Sistem kinerja yang

berorientasi pada output sering kali dibahas, dan sikap dalam manajemen

kinerja yang berbasis pencapaian sasaran kerja individu (SKI) selalu

mendapat perhatian untuk ditingkatkan.

Selanjutnya untuk mengetahui tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan

yang telah ditetapkan organisasi terutama organisasi pemerintah, maka terlebih

dahulu harus memperhitungkan indikator kinerja. Indikator kinerja adalah ukuran

kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran

atau tujuan (Bastian, 2006) yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan

indikator berikut yaitu:

1) Indikator masukan (inputs), yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan agar

pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran.


Indikator ini dapat berupa dana, sumber daya manusia, informasi,

kebijakan dan sebagainya.

2) Indikator keluaran (outputs), yaitu sesuatu yang diharapkan langsung

dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik ataupun non fisik.

3) Indikator hasil (outcomes), yaitu segala sesuatu yang mencerminkan

berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).

4) Indikator manfaat (benefit), yaitu sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir

dari pelaksanaan kegiatan.

5) Indikator dampak (impacts), yaitu pengaruh yang ditimbulkan baik positif

maupun negatif, pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang

telah ditetapkan.

2.4 Pengelolaan Keuangan Daerah

Pengelolaan keuangan daerah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor

58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Kementerian Hukum dan

Hak Asasi Manusia, 2005) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13 Tahun

2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (Kementerian Dalam

Negeri, 2006). Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005

pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi

perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan

pengawasan keuangan daerah (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,

2005).
Menurut Mardiasmo (2002:20), pengelolaan anggaran membutuhkan suatu

prinsip-prinsip manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol

kebijakan keuangan daerah. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:

1) Akuntabilitas

Akuntabilitas merupakan kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk

memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan

mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi

tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang

memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban

tersebut. Oleh karena itu, perumusan kebijakan dilakukan bersama-sama

dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan

secara vertikal maupun horizontal.

2) Value for money

Value for money merupakan konsep penerapan 3 prinsip dalam proses

penganggaran, yaitu ekonomi, efisiensi dan efektifitas. Ekonomi berkaitan

dengan pemerolehan sumber daya (input) dengan kualitas dan kuantitas

tertentu pada harga yang terendah. Efisiensi berarti pencapaian output yang

maksimum dengan sumber daya (input) tertentu atau penggunaan input

yang terendah untuk mencapai output tertentu. Efektifitas berarti tingkat

pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan atau tujuan

kepentingan publik. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana

publik yang mendasarkan pada konsep value for money, maka diperlukan

sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang baik


3) Kejujuran dalam mengelola keuangan publik

Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang

memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi.

4) Transparansi

Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan

keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan

masyarakat.

5) Pengendalian

Penerimaan dan pengeluaran daerah dengan dana APBD harus sering

diawasi yaitu dengan cara membandingkan anggaran dengan realisasi.

2.5 Kompensasi

Pemberian kompensasi dibahas dalam rencana strategis manajemen sumber

daya manusia untuk mendukung tujuan-tujuan organisasi yang mengarah kepada

pertumbuhan organisasi. Menurut Mahmudi (2010:173), manajemen kompensasi

merupakan mekanisme penting untuk mendorong dan mempengaruhi karyawan

dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Sistem kompensasi

merupakan salah satu alat untuk mempengaruhi motivasi karyawan dalam

organisasi. Sistem kompensasi yang adil dan mensejahterakan akan dapat memacu

semangat kerja dan memperbaiki moralitas pegawai. Sebaliknya, sistem

kompensasi yang tidak adil, diskriminatif dan tidak mampu mensejahterakan

pegawai akan memicu rendahnya motivasi, semangat kerja, dan moralitas

pegawai. Hal tersebut akan berdampak pada rendahnya kinerja individual yang
kemudian akan menyebabkan rendahnya kinerja organisasi secara keseluruhan.

Kompensasi mencakup finansial yang berupa uang dan nonfinansial yang dapat

berupa penghargaan. Menurut Ruky (2001) kompensasi terdiri dari:

1) Kompensasi langsung (direct compensation) diantaranya:

a. Upah/Gaji pokok

b. Tunjangan tunai sebagai suplemen upah/ gaji yang diterima setiap bulan

atau minggu.

c. Tunjangan Hari Raya Keagamaan dan gaji ke13 dst.

d. Bonus yang dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan prestasi kerja atau

kinerja perusahaan.

e. Insentif sebagai penghargaan untuk prestasi termasuk komisi bagi

tenaga penjualan.

f. Segala jenis pembagian catu (in natura/in kind) yang diterima rutin.

2) Kompensasi tidak langsung (indirect compensation) terdiri dari fasilitas,

biaya pemeliharaan kesehatan, gaji yang diterima karyawan selama cuti dan

izin meninggalkan pekerjaan, bantuan pendidikan gratis, dan bantuan lain-

lain.

2.6 Budaya Organisasi

Robbins & Judge (2013:512) mengartikan budaya organisasi sebagai

sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan

organisasi tersebut dengan organisasi lainnya. Budaya organisasi mewakili sebuah

persepsi yang sama dari para anggota organisasi. Oleh karena itu, diharapkan
bahwa individu-individu yang memiliki latar belakang berbeda atau berada pada

tingkatan yang tidak sama dalam organisasi dapat memahami budaya organisasi

dengan pengertian yang serupa.

Budaya organisasi tumbuh karena diciptakan dan dikembangkan oleh

individu yang bekerja dalam suatu organisasi, dan diterima sebagai nilai-nilai

yang harus dipertahankan dan diturunkan kesetiap anggota baru. Nilai–nilai

tersebut digunakan sebagai pedoman selama mereka berada dalam lingkungan

tersebut. Secara sadar atau tidak sadar tiap-tiap orang yang ada dalam organisasi

harus mempelajari budaya sesuai dengan organisasinya. Hal inilah yang menjadi

satu ciri khas dari suatu organisasi yang dapat membedakan organisasi tersebut

dengan organisasi lainnya.

Robbins & Judge (2013:512) menyatakan bahwa ada tujuh karakteristik

utama yang dapat menilai budaya organisasi, yaitu:

1) Innovation and risk taking yaitu sejauh mana karyawan didorong bersikap

inovatif dan berani mengambil risiko.

2) Attention to detail yaitu sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan

presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.

3) Outcome orientation yaitu sejauh mana manajemen berfokus pada hasil

daripada teknik atau proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.

4) People orientation yaitu sejauh mana keputusan-keputusan manajemen

mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang-orang dalam

organisasi.
5) Team orientation yaitu sejauh mana aktivitas kerja diatur oleh tim bukan

individu.

6) Aggressiveness yaitu sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif

bukan santai.

7) Stability yaitu sejauh mana aktivitas organisasi menekankan

dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.

Robbins & Judge (2013:516) menyatakan bahwa budaya menjalankan

sejumlah fungsi di dalam sebuah organisasi. Fungsi budaya organisasi meliputi:

1) Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, yang artinya

budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan

organisasi lain.

2) Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.

3) Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas

daripada kepentingan pribadi seseorang.

4) Budaya memantapkan sistem sosial, yang artinya bahwa budaya merupakan

perekat sosial yang membantu mempersatukan suatu organisasi dengan

memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan

dilakukan oleh para karyawan.

5) Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang

memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.


2.7 Lingkungan Kerja

Menurut Nitisemito (2002), lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang

ada di sekitar pekerja dan yang dapat mempengaruhi dalam menjalankan tugas-

tugas yang dibebankan misalnya kebersihan, keamanan, musik dan sebagainya.

Dalam menciptakan lingkungan kerja agar dapat menunjang aktifitas organisasi

maka diperlukan pengaturan lingkungan kerja seperti udara, cahaya dan warna.

Sedarmayanti (2001) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis

lingkungan kerja terbagi menjadi dua yaitu:

1) Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat

di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara

langsung maupun secara tidak langsung. Beberapa faktor yang yang dapat

mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja dikaitkan

dengan kemampuan karyawan, yaitu:

a. Penerangan atau cahaya di tempat kerja

b. Temperatur di tempat kerja

c. Kelembaban di tempat kerja

d. Sirkulasi udara di tempat kerja

e. Kebisingan di tempat kerja

f. Getaran mekanis di tempat kerja

g. Bau-bauan di tempat kerja

h. Tata warna di tempat kerja

i. Dekorasi di tempat kerja

j. Musik di tempat kerja


k. Keamanan di tempat kerja

2) Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi, yang

berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun

dengan bawahan serta hubungan sesama rekan kerja.

Lingkungan kerja merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan

kinerja pegawai. Lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap

pegawai dalam menyelesaikan pekerjaan yang pada akhirnya akan meningkatkan

kinerja oragnisasi. Suatu kondisi lingkungan kerja dikatakan baik apabila

karyawan dapat melaksanakan kegiatan secara optimal, aman, dan nyaman. Oleh

karena itu, penentuan dan penciptaan lingkungan kerja yang baik akan sangat

menentukan keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Sebaliknya apabila

lingkungan kerja yang tidak baik akan dapat menurunkan motivasi serta semangat

kerja dan akhirnya dapat menurunkan kinerja pegawai.

2.8 Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi berarti keterlibatan karyawan untuk melakukan

pekerjaannya dengan semangat dan penuh kegembiraan (Dorenbosch & Van

Veldhoven, 2006). Kinerja organisasi secara langsung berhubungan dengan

tingkat komitmen karyawan (Ivancevich, 2010). Komitmen dengan tingkat tinggi

sangat diperlukan untuk meningkatkan output dan memperoleh keunggulan

kompetitif yang berkelanjutan. Gul (2015) menyatakan bahwa peningkatan

komitmen karyawan sangat penting untuk efektivitas dari sebuah organisasi, dan

untuk membuat organisasi tumbuh dan berkembang dengan lebih cepat.


Robbins & Judge (2013) mengemukakan bahwa komitmen organisasi

didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak

organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan

keanggotaanya dalam organisasi tersebut. Tiga dimensi terpisah komitmen

organisasi adalah:

1) Komitmen afektif (affective commitment) yaitu perasaan emosional untuk

organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya.

2) Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) yaitu nilai ekonomi

yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan

meninggalkan organisasi tersebut.

3) Komitmen normatif (normative commitment) yaitu kewajiban untuk

bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis.

Allen & Meyer (1990) juga menyatakan bahwa karyawan yang memiliki

komitmen pada organisasinya akan bekerja dengan penuh dedikasi karena

karyawan yang memiliki komitmen tinggi menganggap bahwa hal yang penting

harus dicapai adalah pencapaian tugas dalam organisasi. Karyawan yang memiliki

komitmen tinggi pada organisasi juga memiliki pandangan positif dan akan

melakukan yang terbaik untuk kepentingan organisasi.

2.9 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar pijakan dalam rangka

penyusunan penelitian ini. Kegunaannya adalah untuk mengetahui hasil yang

telah dilakukan oleh peneliti terdahulu sekaligus sebagai perbandingan dan


gambaran yang dapat mendukung kegiatan penelitian berikutnya. Penelitian-

penelitian sebelumnya yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah:

Pramudito & Yunianto (2009) meneliti pengaruh kepemimpinan dan

motivasi terhadap kinerja dengan komitmen organisasional sebagai mediasi pada

perangkat desa se-kecamatan Batang Kabupaten Batang dengan sampel 98

responden dan analisisnya menggunakan analisis jalur (path analysis). Hasil

penelitian ini menunjukkan kepemimpinan dan motivasi berpengaruh positif dan

signifikan terhadap komitmen organisasional. Kepemimpinan, motivasi, dan

komitmen organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja

perangkat desa, serta komitmen organisasional merupakan variabel mediasi yang

mampu menjelaskan pengaruh tidak langsung antara kepemimipinan terhadap

kinerja, dan antara motivasi terhadap kinerja perangkat desa.

Ali, Rehman, Ali, Yousaf, & Zia (2010) meneliti pengaruh corporate

social responsibility (CSR) pada komitmen karyawan dan implikasinya pada

kinerja organisasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan eksplorasi, dan data

primer dikumpulkan dari 371 profesional yang bekerja di berbagai sektor di

Pakistan. Hipotesis diuji dengan menggunakan structural equation modeling

(SEM). Hasil penelitian ini menemukan pengaruh positif yang sangat signifikan

antara CSR pada komitmen karyawan, CSR terhadap kinerja organisasi, dan

komitmen organisasi terhadap kinerja organisasi.

Anvari, et al (2011) meneliti hubungan antara kompensasi terhadap

komitmen organisasi afektif di Universitas ilmu medis Iran. Sampel penelitian ini

sebanyak 301 orang staf non akademis di Universitas ilmu medis Iran
menggunakan simple random sampling. Data diambil menggunakan metode

survey dan dianalisis dengan menggunakan regresi linier berganda. Hasil

penelitian ini menemukan bahwa kompensasi berpengaruh positif signifikan

terhadap komitmen organisasi.

Murty & Hudiwinarsih (2012) meneliti pengaruh kompensasi, motivasi

dan komitmen organisasional terhadap kinerja karyawan bagian akuntansi pada

Perusahaan Manufaktur Di Surabaya dengan sampel sebanyak 32 responden dan

analisisnya menggunakan regresi linier berganda. Hasil penelitian ini adalah

kompensasi dan komitmen organisasional berpengaruh tidak signifikan terhadap

kinerja karyawan, sedangkan motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja

karyawan.

Putri (2012) meneliti peranan good corporate governance (GCG) dan

budaya terhadap kinerja organisasi dengan menggunakan metode empiris dalam

menyelesaikan masalah. Penelitian ini merupakan kajian teoritis dan didasari oleh

temuan peneliti sebelumnya. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa penerapan

GCG pada perusahaan akan mampu meminimalkan sifat oportunis dari para

manajemen sehingga berdampak pada perbaikan kinerja perusahaan. Demikian

juga, peranan budaya organisasi sangat penting dalam mengantisipasi perilaku

oportunis dari manajer di perusahaan sehingga perlu dikembangkan budaya

organisasi ke arah good corporate culture (GCC) karena akan berdampak baik

terhadap kinerja perusahaan.

Rediyono & Ujianto (2013) meneliti pengaruh inovasi, budaya organisasi

dan teamwork terhadap kinerja manajerial serta implikasinya pada kinerja pada
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Provinsi Kalimantan Timur dengan sampel 15

BPR dan analisisnya menggunakan structural equation modelling (SEM). Hasil

penelitian ini menunjukkan inovasi, budaya organisasi, dan teamwork

berpengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial. Kinerja manajerial dan

teamwork berpengaruh signifikan terhadap kinerja organisasi, sedangkan inovasi

dan budaya organisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja organsasi.

Supianto (2015) meneliti pengaruh kompensasi, kompetensi dan komitmen

organisasional terhadap kepuasan dan kinerja pada Koperasi Simpan Pinjam

(KSP) wilayah Tuban dengan sampel 159 orang karyawan dan analisisnya

menggunakan analisis jalur (path analysis). Hasil penelitian ini menunjukkan ada

pengaruh yang signifikan secara bersama antara kompensasi, kompetensi SDM

dan komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja. Kompensasi, kompetensi

SDM, dan komitmen organisasi berpengaruh secara parsial terhadap kepuasan

kerja. Ada pengaruh secara bersama antara kompensasi, kompetensi SDM,

komitmen organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan. Secara

parsial, ada pengaruh yang signifikan antara kompensasi dan komitmen organisasi

terhadap kinerja karyawan, tidak ada pengaruh yang signifikan antara kompetensi

SDM terhadap kinerja karyawan, dan ada pengaruh namun tidak signifikan antara

kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan.

Manaf, et al (2015) meneliti pengaruh lingkungan kerja dan disiplin

terhadap motivasi kerja pegawai dan implikasinya terhadap kinerja pada

Sekretariat Kecamatan di Kabupaten Simeulue dengan sampel sebanyak 194

responden dan analisisnya menggunakan analisis jalur (path analysis). Hasil


penelitian ini adalah lingkungan kerja dan disiplin berpengaruh signifikan

terhadap motivasi kerja. Lingkungan kerja, disiplin dan motivasi kerja

berpengaruh signifikan terhadap kinerja kantor Sekretariat. Lingkungan kerja dan

kedisiplinan berpengaruh terhadap kinerja Kantor Sekretariat di Kabupaten

Simeulue melalui motivasi kerja.

Muda, et al (2015) meneliti pengaruh lingkungan kerja, kompensasi dan

motivasi terhadap kepuasan kerja dan implikasinya terhadap kinerja pada PT. PLN

(Persero) Wilayah Aceh dengan sampel 137 responden dan analisisnya

menggunakan analisis jalur (path analysis). Hasil penelitian ini adalah lingkungan

kerja, kompensasi, dan motivasi kerja baik secara simultan dan parsial secara

positif berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan PT. PLN

(Persero) Wilayah Aceh. Lingkungan kerja, kompensasi dan motivasi kerja baik

secara simultan dan parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan PT.

PLN (Persero) Wilayah Aceh. Kepuasan kerja karyawan juga mempunyai

pengaruh terhadap peningkatan kinerja karyawan pada PT. PLN (Persero)

Wilayah Aceh. Lingkungan kerja, kompensasi dan motivasi kerja baik secara

langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap peningkatan

kinerja karyawan melalui kepuasan kerja karyawan.

Sudirjo & Kristanto (2015) meneliti pengaruh budaya organisasi, gaya

kepemimpinan dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan dengan komitmen

organisasional sebagai variabel intervening pada Rumah Sakit PT VALE Soroako

dengan sampel 187 orang dan analisisnya menggunakan structural equation

model (SEM). Hasil penelitian ini adalah budaya organisasi dan gaya
kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Kepuasan kerja

berpengaruh positif terhadap komitmen organisasional. Komitmen organisasional,

budaya organisasi dan gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja

karyawan.

Usmany, et al (2016) meneliti pengaruh budaya organisasi terhadap

komitmen organisasional dan kinerja karyawan pada pabrik Gondorukem dan

Terpentin Sukun Perum Perhutani Kesatuan Bisnis Mandiri Industri Gondorukem

dan Terpentin II, Ponorogo dengan sampel berjumlah 43 responden dan

analisisnya menggunakan analisis jalur (path analysis). Hasil penelitian ini

menunjukkan budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap komitmen

organisasional, komitmen organisasional dan budaya organisasi berpengaruh

signifikan terhadap kinerja karyawan, dan budaya organisasi berpengaruh positif

terhadap kinerja karyawan melalui komitmen organisasional.

Nurcahyani & Adnyani (2016) meneliti pengaruh kompensasi dan

motivasi terhadap kinerja karyawan dengan kepuasan kerja sebagai variabel

intervening pada PT. Sinar Sosro Pabrik Bali dan analisisnya menggunakan

analisis jalur (path analysis). Hasil penelitian ini adalah kompensasi dan motivasi

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. Kompensasi, motivasi

dan kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Kompensasi

dan motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan

melalui kepuasan kerja.

Anda mungkin juga menyukai