Anda di halaman 1dari 650

PROSIDING

Volume 1
(Geoteknik, Kawasan & Lingkungan, Keairan, Manajemen Konstruksi)

Meningkatkan Daya Saing Industri Konstruksi Dalam


Persaingan di Tingkat Global Menuju Pembangunan
Infrastruktur Berkelanjutan

Editor:
Anissa Noor Tajudin, S.T., M.Sc.
Arif Sandjaya, S.T., M.T.

Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik


Universitas Tarumanagara
PROSIDING

Meningkatkan Daya Saing Industri Konstruksi Dalam


Persaingan di Tingkat Global Menuju Pembangunan
Infrastruktur Berkelanjutan

Volume 1

ISBN: 978-602-60662-2-0

Editor:
Anissa Noor Tajudin, S.T., M.Sc.
Arif Sandjaya, S.T., M.T.

Desain Sampul:
Anastasia Andrea Gunawan, S.Ds.

Penerbit
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Tarumanagara Jakarta

Redaksi
Jl. Let. Jend. S. Parman No. 1
Jakarta Barat
Telp: 021-5672548 ext. 331
Email: sipil@untar.ac.id

Cetakan pertama, Oktober 2017

Hak cipta dilindungi Undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk
dan dengan cara apapun tanpa memiliki izin
KATA PENGANTAR

Konferensi Nasional Teknik Sipil (KoNTekS) adalah pertemuan ilmiah tahunan dibidang teknik sipil
yang dipelopori oleh Program Studi Teknik Sipil Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) pada tahun
2007. Penyelenggaraan KoNTekS semakin berkembang sehingga akhirnya terbentuk konsorsium sebagai
penyelenggara KoNTekS. Konsorsium ini merupakan wadah kerjasama antara Program Studi Teknik
Sipil yaitu Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Universitas Pelita Harapan (UPH), Universitas
Udayana (UNUD), Universitas Trisakti (USAKTI), Universitas Sebelas Maret (UNS), Institut Teknologi
Nasional (ITENAS), dan Universitas Tarumanagara (UNTAR).

Isu serbuan tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia diakui banyak kalangan telah membuat resah pekerja
lokal. Kesiapan serta kematangan untuk mendapat kesempatan kerja di sektor industri konstruksi menjadi
senjata ampuh yang harus dipersiapkan sedini mungkin agar tidak kalah bersaing dengan TKA. Tidak
hanya kemampuan dasar, integritas, ketelitian, serta kerja keras juga harus ditunjukan oleh industri
konstruksi Indonesia agar investor asing tak lagi punya alasan memakai tenaga kerja asal negaranya.
Melalui KoNTekS 11 dengan tema:

MENINGKATKAN DAYA SAING INDUSTRI KONSTRUKSI DALAM PERSAINGAN DI


TINGKAT GLOBAL MENUJU PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR BERKELANJUTAN

Diharapkan dapat dilahirkan model pendidikan atau kebijakan yang mampu meningkatkan daya saing
industri konstruksi ditingkat global.

Melalui Konteks 11 dengan tema "Meningkatkan Daya Saing Industri Konstruksi Dalam Persaingan
Ditingkat Global Menuju Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan", diharapkan dapat dilahirkan model
pendidikan atau kebijakan yang mampu meningkatkan daya saing industri konstruksi ditingkat global.

Jakarta, 26 Oktober 2017

Panitia KoNTekS 11

iii
iv
SAMBUTAN
Ketua Panitia KoNTekS 11

Penyelenggaraan KoNTekS 11 dilatar belakangi adanya isu serbuan tenaga kerja


asing yang masuk ke Indonesia baik secara legal maupun ilegal. Diakui banyak
kalangan masuknya tenaga asing disektor industri konstruksi telah membuat resah
pekerja lokal, oleh sebab itu kesiapan serta kematangan untuk mendapat
kesempatan kerja di sektor industri konstruksi menjadi senjata ampuh yang harus
dipersiapkan sedini mungkin oleh perguruan tinggi agar tidak kalah bersaing
dengan tenaga kerja asing (TKA).

Tidak hanya kemampuan dasar, integritas, ketelitian serta kerja keras juga harus
ditunjukan oleh tenaga kerja dan industri konstruksi Indonesia agar investor asing tak lagi punya alasan
memakai tenaga kerja asal negaranya.

Melalui Konteks 11 dengan tema "Meningkatkan Daya Saing Industri Konstruksi Dalam Persaingan
Ditingkat Global Menuju Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan", diharapkan dapat dilahirkan model
pendidikan atau kebijakan yang mampu meningkatkan daya saing industri konstruksi ditingkat global.

KoNTekS 11 diikuti oleh kurang lebih 200 peserta dari 35 perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang
terbagi dalam 7 kelompok bidang keilmuan teknik sipil.

Panitai mengucapkan terimakasih kepada konsorsium penyelenggara KoNTekS 11, Program Studi Teknik
Sipil yaitu Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Universitas Pelita Harapan (UPH), Universitas
Udayana (UNUD), Universitas Trisakti (USAKTI), Universitas Sebelas Maret (UNS), Institut Teknologi
Nasional (ITENAS), dan Universitas Tarumanagara (UNTAR), kepada para sponsor, kepada para
reviewer dan kepada seluruh anggota kepanitiaan sehinga pelaksanaan KoNTekS 11 dapat terselenggara.

Selamat mengikuti konferensi, semoga membawa manfaat bagi Bangsa dan Negara serta bagi kita semua.

Jakarta, 26 Oktober 2017


Ketua,

Dr. Widodo Kushartomo

v
vi
SAMBUTAN
Ketua Program Studi Teknik Sipil
Fakultas Teknik – Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala kasih karunia-Nya maka Konferensi
Nasional Teknik Sipil (KoNTekS) telah memasuki tahun ke-11, dan untuk tahun ini konferensi
diselenggarakan dengan mengambil tema Meningkatkan Daya Saing Industri Konstruksi Dalam
Persaingan di Tingkat Global Menuju Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan. KoNTekS 11 ini
dilaksanakan sebagai hasil kerja sama dari 7 institusi yaitu: Universitas Tarumanagara selaku tuan rumah,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Pelita Harapan, Universitas Udayana, Universitas
Trisakti, Universitas Sebelas Maret, dan Institut Teknologi Nasional.

Konferensi Nasional Teknik Sipil (KoNTekS) merupakan acara ilmiah teknik sipil berkala yang digagas
oleh Program Studi Teknik Sipil Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan telah dilaksanakan setiap
tahunnya sejak tahun 2007. Sejak tahun 2009, KoNTekS diselenggarakan bersama oleh beberapa
perguruan tinggi yang tergabung dalam konsorsium penyelenggara. Melalui konferensi ini para peserta
dapat berkumpul dan saling bertukar informasi hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Materi yang
disampaikan oleh para pembicara diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang teknik sipil.

Mewakili konsorsium penyelenggara, kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada
panitia pelaksana dari Universitas Tarumanagara yang telah bekerja dengan baik, para perguruan tinggi
mitra penyelenggara KoNTekS, para pembicara, anggota komite ilmiah, pihak sponsor dan semua pihak
yang telah bekerja dan memberikan kontribusinya bagi penyelenggaraan KoNTekS 11 ini. Kami ucapkan
selamat mengikuti konferensi dan sampai bertemu lagi pada pelaksanaan KoNTekS di tahun mendatang.

Yogyakarta, 26 Oktober 2017


Ketua Program Studi Teknik Sipil UAJY

Johanes Januar Sudjati

vii
viii
SAMBUTAN
Rektor Universitas Tarumanagara

Kami mengucapkan selamat datang dalam Acara Konferensi Nasional


Teknik Sipil ke-11 Tahun 2017 (KoNTekS 11) 2017

Indonesia sebagai salah satu negara terbesar di dunia, saat ini sedang giat
dalam pembangunan dan pengembangan infrastruktur di seluruh daerah
di Indonesia. Pembangunan ini dilaksanakan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas, melalui kemudahan dan
penyiapan semua kebutuhan infrastruktur yang pada gilirannya akan
berdampak positif terhadap peningkatan perekonomian masyarakat.
Sebagai bagian dari masyarakat ilmiah dan dalam rangka mendukung
pelaksanaan rencana besar dari Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan tersebut, kita perlu
berkontribusi nyata baik melalui pemikiran, penelitian, publikasi hasil penelitian dan berbagai
aktivitas lain yang relevan dengan pembangunan di Indonesia, khususnya di bidang industri
konstruksi.

Tema KoNTekS 11-2017 adalah “Meningkatkan Daya Saing Industri Konstruksi dalam
Persaingan di Tingkat Global Menuju Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan, sangat
relevan dengan kebutuhan saat ini. KoNTeks 11 tahun 2017 dapat menjadi ajang komunikasi dan
diskusi yang mendalam terkait dengan peningkatan kompetensi industri konstruksi Indonesia,
peningkatan SDM bidang konstruksi, dan pemanfaatan hasil penelitian di Perguruan Tinggi untuk
mempermudah pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Dalam hal ini, peran
dunia pendidikan dengan berbagai hasil riset multidisiplin yang dapat diimplementasikan dalam
usaha bidang konstruksi dan inovasi bisnis konstruksi, merupakan salah satu masukan untuk
mengatasi berbagai persoalan dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Hal penting lainnya yang sangat menggembirakan dari pelaksanaan KoNTekS 11-2017 adalah
kolaborasi penyelenggaraan konferensi dari berbagai perguruan tinggi, kalangan industri, dan
Instansi Pemerintah yang terkait. Kolaborasi ini menjadi titik awal dalam kegiatan pengembangan
penelitian dan publikasi multi disiplin dan multi institusi dalam meningkatkan daya saing industri
konstruksi di Indonesia. Dari kolaborasi seperti ini, diharapkan dapat dicapai hasil yang lebih baik,
saling mengisi kekurangan, saling berbagi pengetahuan dan bermanfaat bagi masyarakat luas,
khususnya bagi institusi yang saling berkolaborasi.

Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan semua pihak, sehingga kegiatan KoNTekS 11-
2017 ini dapat terlaksana dengan baik. Kepada seluruh peserta konferensi, selamat ber konferensi,
semoga Bapak Ibu mendapatkan informasi dan pengetahuan baru yang dapat digunakan dalam
pengembangan IPTEK di tempat masing-masing.

Jakarta, 26 Oktober 2017


Rektor,

Prof. Dr. Agustinus Purna Irawan

ix
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i

KATA PENGANTAR......................................................................................................... iii

SAMBUTAN KETUA PANITIA KoNTekS 11 ................................................................. v

SAMBUTAN KETUA PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FT UAJY ........................... vii

SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS TARUMANAGARA ....................................... ix

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... xi

KELOMPOK PEMINATAN GEOTEKNIK

ANALISIS TIMBUNAN DI ATAS TANAH LUNAK TERSTABILISASI SERBUK GEO-1


KACA DAN SERBUK KERAMIK DENGAN PROGRAM GEO5
Dyah Pratiwi Kusumastuti, Indah Handayasari dan Irma Sepriyanna

KARAKTERISTIK DAYA DUKUNG LATERAL PONDASI HELICAL PADA GEO-11


TANAH GAMBUT
Ferry Fatnanta, Syawal Satibi dan Muhardi

KECEPATAN ALIRAN HORISONTAL DENGAN IJUK DAN LIMBAH PLASTIK GEO-19


SEBAGAI DRAINASI VERTIKAL
Sumiyati Gunawan dan Agatha Padma Laksitaningtyas

KONTRIBUSI AKAR BAMBU KEPADA PARAMETER KEKUATAN GESER GEO-29


TANAH TERHADAP STABILITAS LERENG
Mukhsin, Maimun Rizalihadi, Banta Chairullah dan Haris Novian Saputra

DAYA DUKUNG PONDASI KACA PURI PADA TANAH ALUVIAL PASANG GEO-37
SURUT DI MANDOMAI KALIMANTAN TENGAH
Putu Ratna Suryantini dan I Ketut Suwantara

KAJIAN RENTANG KADAR AIR TERHADAP NILAI KUAT GESER PERBAIKAN GEO-47
SIRTU DENGAN METODE CTB
Soewignjo Agus Nugroho, Suratman dan Dodi Pratama

STUDI PENINGKATAN DAYA DUKUNG TANAH LEMPUNG DENGAN GEO-55


MENGGUNAKAN SEMEN
Parea Russan Ranggan, Hendrianto Masiku, Marthen Luther Paembonan, Israel Padang
dan Yudistira Upa

ANALISIS PENGARUH BEBAN GEMPA DAN PONDASI TIANG BOR GEO-65


TERHADAP KEAMANAN LERENG DI TEGALALANG, GIANYAR-BALI
I Gusti Ngurah Putu Dharmayasa dan Dewa Ayu Nyoman Ardi Utami

PENGEMBANGAN ALAT UJI PNEUMATIC RAPID IMPACT COMPACTION GEO-75


PADA SKALA UJI MODEL LABORATORIUM
Arifin Beddu, Lawalenna Samang, Tri Harianto dan Achmad Muhiddin

xi
PENGARUH PEMILIHAN TARGET SPEKTRA PADA ANALISIS RESIKO GEO-83
GEMPA BENDUNGAN LEUWIKERIS, PROVINSI JAWA BARAT
Fioliza Ariyandi dan Muhammad Riza.H

UJI KUAT TEKAN BEBAS PADA STABILITASI TANAH LEMPUNG DENGAN GEO-93
CAMPURAN SEMEN DAN ADITIF ALKALIN
Tri Harianto, Abd. Rahman Djamaluddin dan Jasruddin

PENGARUH PENAMBAHAN BAKTERI (BACILLUS SUBTILIS) PADA TANAH GEO-101


LUNAK TERHADAP KARAKTERISTIK KUAT TEKAN
Hasriana, Lawalenna Samang, M.Natsir Djide dan Tri Harianto

MENAMBAH KUALITAS INVESTIGASI GEOTEKNIK LAPANGAN DENGAN GEO-109


MENGGUNAKAN METODE GELOMBANG PERMUKAAN
Khaizal Jamaluddin, Banta Chairullah, Muhazir, Irwandi dan Ibnu Rusydy

STUDI PENGENDALIAN EROSI LERENG DI WILAYAH BUKIT WONGGE GEO-115


KABUPATEN ENDE
Veronika Miana Radja, Fransiskus Xaverius Ndale dan Kristoforus Je

DAYA LAYAN UJI GEOLISTRIK UNTUK MENDAPATKAN SUMBER AIR GEO-121


TANAH
I Wayan Redana, I Nengah Simpen dan Kadek Suardika

TUNTUTAN DAN TANTANGAN PEMBUATAN PETA BAHAYA GEMPA BUMI : GEO-129


STUDY KASUS PIDIE JAYA DAN BANDA ACEH
Irwandi, Yunita Idris, Khaizal Jamaluddin dan Mohamad Ridwan

KEMAMPUAN BAMBU PETUNG MENERIMA TEKANAN TANAH LATERAL GEO-137


PADA TANAH NON KOHESIF DENGAN MUKA AIR TINGGI
Kurniadi Wahyudianto, Yusep Muslih Purwana dan Niken Silmi Surjandari

UJI KOMPAKSI DAN CBR DENGAN CARA MANUAL DAN OTOMATIS GEO-145
PENGARUHNYA PADA NILAI CBR, DAN KEPADATANNYA
Aniek Prihatiningsih, Gregorius Sandjaja Sentosa dan Djunaidi Kosasih

KELOMPOK PEMINATAN KAWASAN DAN LINGKUNGAN

DESAIN IPAL KOMUNAL UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN SANITASI KL-1


DI DESA LUENGBARO, KABUPATEN NAGAN RAYA, ACEH
Meylis Safriani dan Cut Suciatina Silvia

PERENCANAAN DESAIN TANGKI SEPTIK KOMUNAL DI KAMPUNG CIHIRIS, KL-9


DESA CISARUA KECAMATAN NANGGUNG, BOGOR
Femylia Nur Utama, Lina Aryani, Yanuar Chandra Wirasembada dan Yudi Chadirin

PERANAN BAMBU DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN WILAYAH YANG KL-15


BERKELANJUTAN
Noverma

PEMANFAATAN TUMBUHAN AIR UNTUK MEREDUKSI LIMBAH LOGAM KL-21


TIMBAL DAN BESI MODEL REAKTOR “CONSTANT HEAD” TIPE FILTRASI
Nurul Fitri Rasyid, Lawalenna dan Achmad Zubair

xii
FITOREMEDIASI AIR TERCEMAR LOGAM KADMIUM (Cd) DENGAN KL-31
TANAMAN ECENG GONDOK
Achmad Zubair, Nurelly dan Lawalenna Samang

STUDI KUALITAS DAN KUANTITAS AIR SUNGAI KARAJAE SEBAGAI KL-41


SUMBER AIR BERSIH UNTUK KOTA PAREPARE
Rahmawati, Muh. Saleh Pallu, Mary Selintung dan Farouk Maricar

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PADA PENGELOLAAN TEMPAT KL-47


PEMROSESAN AKHIR SAMPAH (TPA) MANDUNG DI KABUPATEN TABANAN
Kadek Diana Harmayani, Anak Agung Diah Parami Dewi
dan I Gusti Agung Bagus Kresna Indrawijaya

ANALISIS PENERAPAN GREENSHIP NEIGHBORHOOD VERSION 1.0 PADA KL-55


KAWASAN PERUMAHAN
Iqbal Sadjarwo dan Arianti Sutandi

KELOMPOK PEMINATAN KEAIRAN

UNJUK KERJA SUMUR PERESAPAN DALAM SISTEM DRAINASE AIR-1


Bambang Sulistiono dan Khalis Fatmawati

APLIKASI ALGORITMA SAWAH PADA PROGRAM SWAT UNTUK AIR-9


MEMPREDIKSI HASIL AIR SUB-DAS CISADANE HULU
Asep Sapei, Yuli Suharnoto, Sutoyo dan Eri Stiyanto

SISTEM LOCK-BRICK MENDUKUNG PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR AIR-19


BIAYA RENDAH DAN BERKELANJUTAN
Susilawati, Veronika dan Shuayib

ANALISIS JENIS LUBANG RESAPAN BIOPORI SEBAGAI UPAYA AIR-27


MENINGKATKAN INFILTRASI PADA LAHAN KAMPUS UNIVERSITAS TEUKU
UMAR
Muhammad Ikhsan, Meidia Refiyanni dan Teuku Rizkika Agusti

EVALUASI SISTEM PEMBAGIAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI BISOK AIR-37


BOKAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH
Siti Nurul Hijah dan Ahmadi Sahraen

KEBUTUHAN SUMUR RESAPAN SEBAGAI KONSERVASI AIR TANAH UNTUK AIR-47


BERBAGAI TIPE RUMAH
Zufrimar

EMISI GAS RUMAH KACA PADA BUDIDAYA PADI SYSTEM OF RICE AIR-55
INTENSIFICATION (SRI) DENGAN BERBAGAI PERLAKUAN IRIGASI
Chusnul Arif, Budi Indra Setiawan, Deka Trisnardi Munarso, Muhammad Didik Nugraha,
Paradha Wihandi Simarmata, Ardiansyah dan Masaru Mizoguchi

SYSTEM PLANNING KEBUTUHAN AIR BAKU KECAMATAN SUKAKARYA AIR-63


KABUPATEN MUSI RAWAS SUMATERA SELATAN
Anna Emiliawati

xiii
PENGISIAN DATA HUJAN YANG HILANG DENGAN PENGUJIAN DEBIT AIR-75
ANDALAN DI DAS TIRTOMOYO
Siti Dwi Rahayu, Rintis Hadiani dan Setiono

POTENSI PENGENDALI BANJIR DENGAN EMBUNG DI SUNGAI TUNGGUL AIR-85


KABUPATEN JEPARA
Hannah Nuril Layaliya, Rintis Hadiani dan Adi Yusuf Muttaqien

SIMULASI STOKASTIK PENENTUAN LUAS LAYANAN EMBUNG SURUHAN, AIR-93


BLORA
Hari Abrianto, Adeline Larisa, Suharyanto dan Hari Nugroho

KALIBRASI MODEL HEC-HMS PADA SIMULASI DEBIT AKIBAT PERUBAHAN AIR-103


TATAGUNA LAHAN DI SUBDAS KAMPAR KANAN
Bambang Sujatmoko, Ferry Vergiawan dan Mudjiatko

ANALISIS EMBUNG PADA DAERAH TOMRA UNTUK MENGATASI RAWAN AIR-113


AIR
Ony Frengky Rumihin

PENANGANAN BANJIR DAN GENANGAN DI DAERAH JALAN KYAI TAPA AIR-123


DENGAN KONSEP SISTEM DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN
Ivan Fahreza Wiratama, Sih Andayani dan Dina P.A. Hidayat

STUDI ANGKUTAN SEDIMEN DASAR SUNGAI SERAYU DI LABORATORIUM AIR-133


Wati A. Pranoto dan Lucky Sumanton

KELOMPOK PEMINATAN MANAJEMEN KONSTRUKSI

ANALISIS KEBUTUHAN TULANGAN PELAT LANTAI BETON BERTULANG MK-1


PADA KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
Tripoli, Nurisra dan Mubarak

PERCEPATAN PEKERJAAN KONSTRUKSI DENGAN METODE PERTUKARAN MK-11


WAKTU DAN BIAYA (STUDI KASUS: PROYEK PEMBANGUNAN GEDUNG
SEKOLAH SMP ISLAM FARADISA TANGGERANG SELATAN)
Mardiaman, Iwan Bahtiar dan Kristina Sembiring

PEMBOROSAN MATERIAL DAN TINDAKAN PENCEGAHANNYA: SURVAI MK-21


PADA PROYEK PEMBANGUNAN GEDUNG DI YOGYAKARTA
Albani Musyafa

KAJIAN DAYA SAING KONTRAKTOR BESAR INDONESIA MK-27


Peter Kaming, Ferianto Raharjo dan Putu Ika Swantari

IDENTIFIKASI PENYEBAB, DAMPAK, SERTA ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MK-37


RISIKO CHANGE ORDER PADA PROYEK WISATA EDUKASI AKUARIUM DI
JAKARTA
Adi Nugroho Hudiono, Andreas F. V. Roy dan Adrian Firdaus

xiv
ANALISA FAKTOR PENGHAMBAT PENERAPAN BUILDING INFORMATION MK-45
MODELING DALAM PROYEK KONSTRUKSI
Handika Rizky Hutama dan Jane Sekarsari Tamtana

EFEKTIFITAS PENGGUNAAN TENAGA KERJA WANITA DALAM MK-55


PELAKSANAAN PROYEK KONSTRUKSI DI KABUPATEN PAMEKASAN
Dedy Asmaroni

EFEKTIVITAS PEMBANGUNAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH SECARA MK-65


SWAKELOLA DI KABUPATEN PAMEKASAN
Muhammad Saifuddin

MODEL FAKTOR RISIKO YANG BERPENGARUH PADA PERBAIKAN PROYEK MK-75


KONSTRUKSI JALAN RAYA
Darmawan Pontan dan Nurluthfi Kusumawardhani

PEMODELAN SYSTEM DYNAMICS UNTUK ALIRAN KNOWLEDGE MK-85


MANAGEMENT DI PERUSAHAAN KONSTRUKSI: SEBUAH STUDI KASUS
Rudi Waluyo

PENGARUH KOMUNIKASI DAN TIM KERJA TERHADAP KEBERHASILAN MK-93


KOLABORASI DESAIN PADA KONSULTAN TEKNIK DI JAWA TENGAH
Raflis, Yani Rahmawati, Yuni Ulfiyati dan Christiono Utomo

STUDI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS MK-101


TENAGA KERJA PADA PROYEK PEMBANGUNAN RUANG KELAS SMK
NEGERI 1 SESEAN
Parea Russan Ranggan, Hendrianto Masiku, Harni E Tarru dan Novianty Ylimbu

STANDARISASI PENATAAN PASAR TRADISIONAL DI INDONESIA (STUDI MK-111


KASUS REVITALISASI PASAR DI KOTA SEMARANG)
Gita Anggraini, Dina Amalia, Ferry Hermawan dan Ismiyati

KONFLIK ANTARA KONTRAKTOR DAN PEMILIK PROYEK YANG MK-121


BERPOTENSI MENIMBULKAN KLAIM
Sondang Dwiputra Paiding Lewa dan Harijanto Setiawan

EFISIENSI ENERGI LISTRIK PADA GEDUNG PERKANTORAN RAMAH MK-131


LINGKUNGAN (GREEN OFFICE BUILDING)
Lina Yuliastina dan Johny Johan

RASIO KEBUTUHAN TULANGAN PONDASI BETON BERTULANG PADA MK-141


KONSTRUKSI GEDUNG DI PROVINSI ACEH
Nurul Malahayati, Saiful Husin, Fachrurrazi dan Febriyanti Maulina

PENGEMBANGAN PROFIL KINERJA PEMBINA JASA KONSTRUKSI DI MK-147


INDONESIA
Adrianto Oktavianus dan Anjar Pramularsih

ESTIMASI DURASI PROYEK PEMBANGUNAN TERMINAL PETIKEMAS MK-157


KALIBARU
Dian Setyowati dan Muhamad Abduh

xv
ANALISIS PANDANGAN KONTRAKTOR TERHADAP PENYEBAB DAN AKIBAT MK-169
CONTRACT CHANGE ORDER (CCO) PADA BIAYA DAN WAKTU DI PROYEK
KONSTRUKSI JALAN RAYA
Subrata Aditama K.A.Uda

KAJIAN DAYA SAING KONTRAKTOR MENENGAH DAN KONTRAKTOR MK-179


KECIL DI INDONESIA
Peter F Kaming, Wulfram I. Ervianto dan Eveline N. Anggriawan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PELAKSANAAN MK-187


PROYEK KONSTRUKSI
I.A.Rai Widhiawati, I G.A.Adnyana Putera dan Lia Arista

UNSAFE ACTION PEKERJA KONSTRUKSI PADA K3 PROYEK KONSTRUKSI MK-193


Dewi Yustiarini

PENGARUH PERUBAHAN DESAIN PADA PELAKSANAAN PROYEK MK-201


KONSTRUKSI TERHADAP KINERJA PROYEK KONSTRUKSI
Agung Yana, A.A. Gde

PERUMUSAN STRATEGI KONTRAKTOR KELAS MENENGAH DIBIDANG SDM MK-207


DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Fajar S Handayani, Josua Rian Adinda dan Sugiyarto

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEKERJAAN ULANG (REWORK) MK-215


PADA PROYEK KONSTRUKSI GEDUNG DI KABUPATEN BADUNG
G.A.P Candra Dharmayanti, I.B Rai Adnyana dan I Putu Gede Wiryawan Ari Putra

ANALISIS TOTAL BIAYA PROYEK PENINGKATAN JALAN NASIONAL MK-223


SECARA EKONOMI DI PROVINSI BALI
Dewa Ketut Sudarsana, Nyoman Marthajaya, AA Gde Asmara dan Ida Bagus Made Artamana

FORMULASI STRATEGI PEMASARAN DEVELOPER GUNA MENINGKATKAN MK-231


DAYA SAING DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Rinaldy Aldi, Fajar Sri Handayani dan Sugiyarto

STUDI MANAJEMEN PEMELIHARAAN ASET PADA INFRASTRUKTUR MK-239


SUNGAI (STUDI KASUS BANGUNAN REVETMENT SUNGAI PEPE DI
SURAKARTA)
Nectaria Putri Pramesti

ANALISIS INDIKATOR KEPUASAN PROYEK KONSTRUKSI BANGUNAN MK-247


TERHADAP KINERJA BIAYA, MUTU DAN WAKTU
Manlian Ronald A. Simanjuntak dan Andreas Kruniawan Djukardi

MODEL VALIDASI PENERAPAN HASIL PENGEMBANGAN EARNED VALUE MK-259


METHOD UNTUK PERKIRAAN DURASI AKHIR PROYEK KONSTRUKSI
DI JAKARTA
Basuki Anondho, Henny Wiyanto dan Dicky Dwi Putra

xvi
KELOMPOK PEMINATAN

GEOTEKNIK
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

ANALISIS TIMBUNAN DI ATAS TANAH LUNAK TERSTABILISASI SERBUK KACA


DAN SERBUK KERAMIK DENGAN PROGRAM GEO5

Dyah Pratiwi Kusumastuti1, Indah Handayasari2, dan Irma Sepriyanna3

1
Jurusan Teknik Sipil, Sekolah Tinggi Teknik PLN, Jl. Lingkar Luar Barat Jakarta Barat
Email: dyah.pratiwi@sttpln.ac.id
2
Jurusan Teknik Sipil, Sekolah Tinggi Teknik PLN, Jl. Lingkar Luar Barat Jakarta Barat
Email: indah.handayasari@sttpln.ac.id
3
Jurusan Teknik Sipil, Sekolah Tinggi Teknik PLN, Jl. Lingkar Luar Barat Jakarta Barat
Email: irma.sepriyanna@sttpln.ac.id

ABSTRAK
Tanah sebagai tanah dasar untuk pondasi jalan raya harus memiliki daya dukung yang cukup.
Namun tak jarang konstruksi jalan raya berada di atas tanah rawa, dimana tanah rawa umumnya
merupakan tanah lunak atau tanah gambut. Untuk menangani hal tersebut, terdapat beberapa cara
untuk meningkatkan daya dukung tanah lunak, antara lain stabilisasi dan menambahkan material
lain pada tanah lunak. Pada penelitian ini akan dilihat perubahan faktor keamanan tanah timbunan di
atas tanah rawa sebelum distabilisasi dengan sesudah distabilisasi. Metode yang dilakukan pada
penelitian ini adalah dengan mencari korelasi parameter kuat geser dengan nilai CBR yang didapat
dari benda uji tanah rawa asli (inisial) dan tanah rawa yang mendapat penambahan serbuk kaca dan
serbuk keramik dengan kombinasi 0%, 10%, 20% dan 30% serta variasi masa pemeraman selama 7
hari dan 14 hari. Dari hasil analisis faktor keamanan tanpa perkuatan geogrid , nilai minimum
terdapat pada tanah timbunan di atas tanah rawa asli (inisial) dengan masa pemeraman 7 hari yaitu
1,20. Sedangkan faktor keamanan maksimum terdapat pada tanah timbunan di atas tanah rawa
terstabilisasi 30% serbuk kaca + 30% serbuk keramik tanpa masa pemeraman yaitu 1,50. Untuk
faktor keamanan dengan perkuatan geogrid , nilai minimum terdapat pada tanah timbunan di atas
tanah rawa asli (inisial) dan tanah rawa terstabilisasi 10% serbuk kaca + 10% serbuk keramik serta
keduanya pada masa pemeraman 7 hari yaitu 1,54. Sedangkan nilai maksimum terdapat pada tanah
timbunan di atas tanah rawa terstabilisasi 30% serbuk kaca + 30% serbuk keramik dengan masa
pemeraman 7 hari yaitu 1,70.
Kata kunci : tanah lunak, faktor keamanan, stabilisasi tanah.

1. PENDAHULUAN
Tanah sebagai tanah dasar untuk pondasi konstruksi jalan raya harus memiliki daya dukung yang cukup. Beberapa
hal yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan tanah dasar pada konstruksi jalan raya adalah masalah stabilitas
timbunan yang akan timbul, besarnya penurunan timbunan dan kekuatan daya dukung untuk menahan beban yang
bekerja di atasnya. Namun tak jarang konstruksi jalan raya berada di atas tanah rawa, dimana tanah rawa umumnya
merupakan tanah lunak atau tanah gambut.
Menurut Tay dkk, permasalahan yang kerap kali terjadi pada tanah lunak adalah penurunan yang besar karena beban
timbunan di atasnya menyebabkan konsolidasi tanah yang besar. Selain itu menurut Apriyanti jenis tanah ini
memiliki daya dukung yang rendah apabila dijadikan untuk tanah dasar. Keadaan tanah lunak sebagai tanah dasar
dapat mempengaruhi struktur jalan seperti kerusakan perkerasan yang akan terus menjadi masalah sehingga biaya
pemeliharaan akan menjadi tinggi jika tidak ditangani dengan baik.
Untuk menangani permasalahan tersebut, terdapat beberapa cara untuk meningkatkan daya dukung tanah lunak,
antara lain stabilisasi terhadap tanah lunak, menambahkan bahan timbunan secara bertahap pada proses pekerjaan
timbunan di atas tanah lunak, penambahan material lain pada tanah lunak seperti cerucuk bambu atau mini pile.
Beberapa penelitian dan metode pekerjaan timbunan di atas tanah lunak telah dilakukan dalam rangka menambah
daya dukung tanah lunak sebagai tanah dasar.
Sumiyati (2011) menyatakan penambahan tetes tebu 30% dan kapur 7% pada tanah lempung ekspansif dengan
plastisitas tinggi dapat menurunkan kadar air dari 36,51% menjadi 12,34 dan indeks plastisitas dari 51,48% menjadi
23,21% serta menaikkan nilai CBR dengan proses pemeraman dari 6,869% menjadi 24,739%.

GEO - 1
Menurut Sutra (2014), tanah dasar di pelabuhan Belawan merupakan tanah lempung lunak sehingga untuk
memperbaiki dan menambah daya dukung tanah dasarnya digunakan metode preloading sistem surcharge, yaitu
prefabricated vertical drain (PVD) diterapkan pada tanah dasar dengan pola segitiga untuk mempercepat
konsolidasi, penambahan geotekstile diterapkan pada tanah timbunan untuk mengatasi kelongsoran, sheetpile baja
sebagai pelindung timbunan pada sisi dalam dan concrete matress sebagai pelindung timbunan pada sisi dangkal.
Berdasarkan latar belakang dan penelitian sebelumnya, maka penelitian ini akan dibahas mengenai pengaruh
perbaikan tanah rawa yang merupakan tanah lunak (soft soil) dengan penambahan serbuk kaca dan serbuk keramik
sebagai tanah dasar dengan metode preloading surcharge. Pada penelitian ini akan dilihat perubahan daya dukung
tanah rawa sebelum distabilisasi dengan sesudah distabilisasi jika diberi penambahan beban tambahan (surcharge)
berupa tanah timbunan.

2. LANDASAN TEORI
Tanah Lunak
Konstruksi yang berada di atas tanah lunak akan mengalami banyak permasalahan, karena daya dukung yang
dimiliki tanah lunak sangat rendah. Menurut Pedoman Konstruksi dan Bangunan, 2005 dalam Tay dkk, tanah lunak
adalah tanah yang memiliki kuat geser undrained lapangan kurang dari 40 kPa dan memiliki kompresibilitas yang
tinggi bahkan menurut Pasaribu dan Iskandar, tanah lunak mempunyai kekuatan geser kurang dari 25 kPa. Tanah
lunak merupakan jenis tanah berkohesif dengan penyusunnya sebagian besar adalah butiran-butiran halus atau
berdiameter kurang dari 1μm seperti tanah lanau, tanah lempung dan tanah gambut.

Perbaikan Tanah Lunak


Permasalahan yang dihadapi konstruksi yang berada di atas tanah lunak antara lain daya dukung yang rendah dan
penurunan yang besar ketika menerima beban di atasnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan
tindakan perbaikan tanah dengan pendekatan terhadap design struktur bangunan atau pendekatan terhadap tanahnya
sendiri.
1. Perkuatan dengan Geosintetik
Pada dasarnya, geosintetik terbagi menjadi dua yaitu tekstil dan jaring (web). Berdasarkan bahannya,
geosintetik dibagi memenjadi bahan sintetik dan alami. Berdasarkan sifat permeabilitas, geosintetik terbagi
menjadi kedap air dan lolos air. Geotekstil adalah jenis geosintetik yang lolos air yang berasal dari bahan
tekstil. Geomembran merupakan jenis geosintetik kedap air yang biasa digunakan sebagai penghalang zat cair
(Pedoman Konstruksi dan Bangunan, 2009).
Perbaikan timbunan di atas tanah lunak dengan menggunakan geosintetik dapat menambah kuat geser material
timbunan sehingga meningkatkan kapasitas daya dukung pondasi. Selain itu geosintetik memiliki kekuatan
tarik yang tinggi sehingga memberikan solusi untuk meningkatkan dan mempercepat stabilitas timbunan yang
dibangun di atas tanah lunak dengan biaya efektif (Tencate, 2012).
Untuk perencanaan stabilitas timbunan di atas tanah lunak yang diperkuat geotekstil, terdapat 2 kondisi yang
harus ditinjau, yaitu (Nurtjahjaningtyas, 2005):
a. Internal Stability
Perhitungan kestabilan timbunan agar tidak terjadi kelongsoran pada bagian tubuh timbunan itu sendiri
b. Overall Stability
Kestabilan timbunan bila ditinjau terhadap keruntuhan menurut bidang gelincirnya.
2. Pendekatan Terhadap Tanahnya
Sedangkan perbaikan tanah dengan pendekatan terhadap tanahnya sendiri yaitu dengan stabilisasi tanah.
Menurut Wahjoedi (2015) stabilisasi tanah untuk memperbaiki susunan tanah agar lebih kompak, juga agar
susunan tanah butirannya lebih baik, yaitu ukuran butiran merata sehingga pori tanah menjadi kecil. Metode
stabilisasi yang umumnya dilakukan adalah stabilisasi mekanis dan stabilisasi kimia.

GEO - 2
Stabilisasi Tanah dengan Serbuk Kaca dan Serbuk Keramik
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan untuk menambah daya dukung tanah lunak antara lain dengan stabilisasi
kimia. Stabilisasi kimia yang dilakukan dengan penambahan bahan lain seperti kapur dan semen atau bahan yang
mengandung silika dan kapur. Pada penelitian ini akan digunakan data tanah yang telah mengalami stabilisasi
serbuk kaca dan serbuk keramik.
Pemilihan serbuk kaca dan serbuk keramik sebagai bahan tambahan yang digunakan dalam stabilisasi tanah lunak
pada penelitian ini karena kedua bahan tersebut memiliki kandungan mineral silika dan kalsium. Menurut
Handayasari (2015), silika pada kaca dapat berfungsi sebagai bahan pengikat pada tanah karena silika menghasilkan
reaksi pozzolanic dengan tanah. Pozzolanic adalah reaksi bahan/mineral yang terdiri dari mineral silika dan alumina
yang bersifat reaktif, sehingga jika bersenyawa dengan kapur dan air membentuk massa yang padat, keras dan tidak
larut dalam air.

California Bearing Ratio (CBR)


Untuk menentukan daya dukung tanah dasar pada perencanaan perkerasan jalan dinyatakan dengan nilai CBR
(California Bearing Ratio). CBR adalah perbandingan beban percobaan (test load) dengan beban standar (standard
load) yang dinyatakan dalam persen (%) (Anonim, 2003 dalam Utami dkk., 2015). Pengukuran CBR dapat dihitung
dengan persamaan berikut ini:
1. Nilai CBR untuk tekanan penetrasi pada 0,254 cm (0,1”) terhadap penetrasi standar yang besarnya 70,37 kg/cm 2
(1000 psi)

(1)

2. Nilai CBR untuk tekanan penetrasi pada penetrasi 0,508 cm (0,2”) terhadap penetrasi standar yang besarnya
105,56 kg/cm2 (1500 psi)

(2)

Hubungan Nilai CBR dengan Parameter Kuat Geser


Dalam merencanakan konstruksi jalan beberapa faktor yang harus diperhatikan adalah daya dukung tanah dasar,
kestabilan lereng timbunan dan besarnya penurunan konstruksi jalan raya akibat beban. Jika konstruksi jalan raya
yang terletak di atas timbunan, maka lereng timbunan harus stabil sehingga tidak menimbulkan kelongsoran pada
sebagian atau seluruh ruas jalan raya. Untuk menentukan kestabilan lereng timbunan maka dibutuhkan parameter
kuat geser tanah.
Pada penelitian ini akan dianalisis besarnya parameter kuat geser yang dibutuhkan dalam perhitungan kestabilan
lereng timbunan yaitu sudut geser dalam dan kohesi. Parameter kuat geser tanah yang akan digunakan didapat dari
perhitungan korelasi antara nilai CBR dengan sudut geser dalam dan korelasi antara nilai CBR dengan kohesi tanah.
Nilai korelasi atau pendekatan dari besarnya CBR terhadap parameter kuat geser pada penelitian ini menggunakan
pendekatan yang didapat dari Purnomo (2011), yaitu :
1. Hubungan CBR dengan sudut geser dalam:
Ya = 18,38 – 1,16X (3)
Yb = 10,50 – 1,71X (4)
o o
Dengan Ya = batas atas sudut geser dalam ( ), Yb = batas bawah sudut geser dalam ( ), X = nilai CBR (%)
2. Hubungan CBR dengan kohesi:
Ya = 0,165X – 0,28 (5)
Yb = 0,174X – 0,56 (6)
Dengan Ya = batas atas sudut geser dalam (o), Yb = batas bawah sudut geser dalam (o), X = nilai CBR (%)

GEO - 3
Analisis Stabilitas Lereng Timbunan
Dalam analisis stabilitas lereng timbunan yang wajib diperhitungkan adalah angka keamanannya. Angka keamanan
merupakan perbandingan antara gaya yang menahan dengan gaya yang menggerakkan, jika terdapat geotekstil
sebagai perkuatan maka gaya yang menahan akan bertambah.

(7)

(8)

Program GEO5 v.17


Program GEO5 merupakan alat bantu atau perangkat lunak (software) yang didalamnya terdapat kemampuan untuk
menganalisis stabilitas yang berhubungan dengan geoteknik. Program ini menggunakan prinsip metode elemen
hingga untuk menganalisis deformasi dan stabilitas dua dimensi dalam proyek rekayasa geoteknik (Pruska).
Menurut Prasetya (2016), GEO5 dapat menghitung dan menganalisis stabilitas lereng, stabilitas dinding penahan
tanah, menganalisis keamanan dari dimensi dinding penahan tanah dan sebagainya.

3. METODE PENELITIAN
Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dari penelitian sebelumnya. Data sekunder
tersebut didapat dari pengujian tanah lunak yang berasal dari Jalan Pantai Indah Selatan, Pantai Indah Kapuk,
Jakarta Utara. Data yang dibutuhkan dalam acuan penelitian adalah data karakteristik fisik dan data CBR dari tanah
lunak kondisi inisial dan tanah lunak terstabilisasi serbuk kaca, serbuk keramik.
Tahapan pengolahan data sekunder pada penelitian ini adalah dengan melihat korelasi data karakteristik fisik yang
didapat di laboratorium seperti kadar air, berat jenis dan plastisitas dengan data yang dibutuhkan dalam perhitungan
daya dukung tanah dasar seperti berat volume tanah, kohesi dan sudut geser dalam. Data korelasi yang didapat
digunakan untuk menghitung daya dukung tanah lunak sebagai tanah dasar. Pengolahan data dilakukan terhadap
tanah asli dan tanah dengan perlakuan.

Metode Perencanaan dan Analisis Timbunan


Beban yang digunakan untuk mengetahui daya dukung tanah lunak adalah beban tanah timbunan. Data tanah
timbunan dan tinggi timbunan direncanakan dengan spesifikasi teknis tanah timbunan yang meliputi parameter
tanah timbunan yaitu berat volume tanah, kohesi, sudut geser dalam dan geometri timbunan yang meliputi tinggi
timbunan dan luas area timbunan.
Pada tahapan perencanaan timbunan terdapat 2 kondisi, yaitu kondisi dengan penambahan lapisan geogrid yang
diletakkan di bawah tanah timbuanan dan kondisi tanpa penambahan geogrid. Geogrid yang digunakan adalah
HDPE Uniaxial Geogrid dengan pemegang distribusi adalah PT. Teknindo Geosistem Unggul dengan tensile
strength 200 kN/m’.
Pada tahapan analisis, data perencanaan dan pembahasan, data sekunder yang didapat dari pengujian tanah lunak
digabung dengan data rencana tanah timbunan dan penambahan data rencana geogrid untuk dianalisis dengan
bantuan perangkat lunak Geo5 demo version. Hasil yang didapat dari perhitungan perangkat lunak adalah angka
keamanan (SF) dari timbunan dengan tanah lunak inisial dan tanah lunak terstabilisasi sebagai tanah dasar.

GEO - 4
4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Uji California Bearing Ratio

Tabel 1. Hasil Pengujian CBR


Nilai Uji CBR (%)
No. Variasi Campuran Pemeraman 0 Pemeraman 7 Pemeraman 14
Hari Hari Hari
1 Tanah asli + 0% Serbuk kaca + 0% Serbuk 0,5133 2,0739 1,0031
keramik (Inisial)
2 Tanah asli + 10% Serbuk kaca + 10% 2,8877 4,5325 2,9676
Serbuk Keramik
3 Tanah asli + 20% Serbuk kaca + 20% 3,2857 1,8205 2,7879
Serbuk keramik
4 Tanah asli + 30% Serbuk kaca + 30% 0,7160 1,1638 1,3420
Serbuk keramik
Sumber: Sepriyanna (2016)

Analisis Korelasi Nilai CBR dan Kuat Geser Tanah

Tanah dasar merupakan tanah yang berfungsi sebagai pondasi, dimana kekuatan tanah dasar mempengaruhi
ketebalan lapisan perkerasan. Dalam penelitian ini nilai yang digunakan dalam analisis adalah nilai CBR kondisi
tanah asli (inisial) dan sebagai pembanding akan digunakan nilai CBR pada tanah dengan perlakuan dan usia
pemeraman 7 hari. Hal ini disebabkan nilai uji CBR pada tanah dengan perlakuan di usia pemeraman digunakan
dalam yang memiliki nilai CBR terbesar (maksimum) dibandingkan pada usia pemeraman 14 hari yang disajikan
dalam Tabel 2.

Tabel 2. Nilai CBR Kondisi Inisial dan Kondisi Optimum


Nilai Uji CBR (%)
No. Variasi Campuran
Inisial Maksimum
1 Tanah asli + 0% Serbuk kaca + 0% Serbuk keramik (Inisial) 0,5133 2,0739
2 Tanah asli + 10% Serbuk kaca + 10% Serbuk Keramik 2,8877 4,5325
3 Tanah asli + 20% Serbuk kaca + 20% Serbuk keramik 3,2857 1,8205
4 Tanah asli + 30% Serbuk kaca + 30% Serbuk keramik 0,7160 1,1638
Sumber: Sepriyanna (2016)

Korelasi nilai uji CBR dengan sudut geser dalam (ø) untuk masing-masing variasi campuran dan pemeraman dapat
dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3. Batas Atas Korelasi Nilai Uji CBR dengan Sudut Geser Dalam (ø)
Korelasi Sudut Geser Dalam
No. Variasi Campuran (ø)
Inisial Maksimum
1 Tanah asli + 0% Serbuk kaca + 0% Serbuk keramik (Inisial) 17,780 15,970
2 Tanah asli + 10% Serbuk kaca + 10% Serbuk Keramik 15,030 13,122
3 Tanah asli + 20% Serbuk kaca + 20% Serbuk keramik 14,569 16,268
4 Tanah asli + 30% Serbuk kaca + 30% Serbuk keramik 17,549 17,030
Sumber: Hasil Perhitungan

Tabel 4. Batas Bawah Korelasi Nilai Uji CBR dengan Sudut Geser Dalam (ø)
Korelasi Sudut Geser Dalam
No. Variasi Campuran (ø)
Inisial Maksimum
1 Tanah asli + 0% Serbuk kaca + 0% Serbuk keramik (Inisial) 9,620 6,950
2 Tanah asli + 10% Serbuk kaca + 10% Serbuk Keramik 5,562 2,749
3 Tanah asli + 20% Serbuk kaca + 20% Serbuk keramik 4,881 7,387
4 Tanah asli + 30% Serbuk kaca + 30% Serbuk keramik 9,276 8,510
Sumber: Hasil Perhitungan

GEO - 5
Korelasi nilai uji CBR dengan kohesi (C) untuk masing-masing variasi campuran dan pemeraman dapat dilihat pada
Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 5. Batas Atas Korelasi Nilai Uji CBR dengan Kohesi (C)
Korelasi Kohesi (C)
No. Variasi Campuran
Inisial Maksimum
1 Tanah asli + 0% Serbuk kaca + 0% Serbuk keramik (Inisial) (-) 0,195 0,062
2 Tanah asli + 10% Serbuk kaca + 10% Serbuk Keramik 0,196 0,468
3 Tanah asli + 20% Serbuk kaca + 20% Serbuk keramik 0,262 0,020
4 Tanah asli + 30% Serbuk kaca + 30% Serbuk keramik (-) 0,162 (-) 0,088
Sumber: Hasil Perhitungan

Tabel 6. Batas Bawah Korelasi Nilai Uji CBR dengan Kohesi (C)
Korelasi Kohesi (C)
No. Variasi Campuran
Inisial Maksimum
1 Tanah asli + 0% Serbuk kaca + 0% Serbuk keramik (Inisial) (-) 0,471 (-) 0,199
2 Tanah asli + 10% Serbuk kaca + 10% Serbuk Keramik (-) 0,058 0,229
3 Tanah asli + 20% Serbuk kaca + 20% Serbuk keramik 0,012 (-) 0,243
4 Tanah asli + 30% Serbuk kaca + 30% Serbuk keramik (-) 0,435 (-) 0,357
Sumber: Hasil Perhitungan

Analisis Faktor Keamanan Timbunan Di Atas Tanah Dasar Inisial


1. Analisis Faktor Keamanan Timbunan Tanpa Perkuatan
Setelah menganalisis korelasi antara nilai CBR yang didapat dari hasil penelitian sebelumnya dengan nilai
parameter kuat geser yang dibutuhkan dalam perhitungan factor keamanan timbunan. Langkah selanjutnya adalah
membuat model timbunan dengan program GEO5 dengan tinggi timbunan 3 m dan ketebalan lapisan tanah dasar 3
m serta di bawah tanah dasar adalah tanah asli (Gambar 1).

Gambar 1. Model Timbunan di Atas Tanah Dasar (Inisial)


Setelah pembuatan model timbunan dengan bantuan program Geo5 sebagai beban dari tanah dasar yang akan
dianalisis besarnya faktor keamanannya. Langkah selanjutnya adalah menentukan bidang gelincir yang berbentuk
circular karena stabilitas lereng timbunan akan dianalisis dengan metode Bishop. Setelah penentuan bidang gelincir
dari lereng tanah timbunan, maka proses analisis dengan bantuan perangkat lunak Geo 5 dapat dijalankan.
Berdasarkan analisis perangkat lunak Geo5 untuk stabilitas lereng timbunan dengan tanah dasar tanpa perlakuan
atau tanah asli yang tidak diberi campuran serbuk kaca dan serbuk keramik didapatkan faktor keamanannya adalah
1,21 ≤ 1,5 sehingga lereng dari timbunan tidak aman atau tanah dasar tidak mampu menahan beban tanah timbunan.
Untuk perhitungan faktor keamanan selanjutnya dengan variasi kombinasi serbuk kaca + serbuk keramik dan masa
pemeraman dapat dilihat pada Tabel 7.

GEO - 6
Tabel 7. Analisis Faktor Keamanan dengan Variasi Tanah Dasar
Faktor Keamanan
No. Variasi Campuran
Inisial Maksimum
1 Tanah asli + 0% Serbuk kaca + 0% Serbuk keramik (Inisial) 1,21 1,20
2 Tanah asli + 10% Serbuk kaca + 10% Serbuk Keramik 1,38 1,24
3 Tanah asli + 20% Serbuk kaca + 20% Serbuk keramik 1,40 1,30
4 Tanah asli + 30% Serbuk kaca + 30% Serbuk keramik 1,50 1,36
Sumber: Hasil Perhitungan

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa faktor keamanan stabilitas lereng timbunan minimum atau terkecil terdapat
pada tanah asli tanpa perlakuan dengan pemeraman selama 7 hari yaitu sebesar 1,20 atau menurun sebesar 0,83%
dari tanah dasar inisial. Sedangkan faktor keamanan terbesar adalah 1,50 yang terdapat pada tanah dasar dari tanah
asli ditambah 30% serbuk kaca dan 30% serbuk keramik tanpa pemeraman atau mengalami peningkatan sebesar
25% dari tanah dasar inisial.

Selain itu berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 7 faktor keamanan dari stabilitas lereng timbunan dengan
tanah dasar untuk masing-masing kombinasi penambahan serbuk kaca dan serbuk keramik tanpa pemeraman lebih
besar dibandingkan tanah dasar setelah pemeraman, dimana variasi penurunan faktor keamanan berkisar 0,83%
sampai dengan10,14%. Penurunan faktor keamanan ini disebabkan karena salah satu parameter kuat geser yaitu
sudut geser dalam pada tanah dasar sebelum pemeraman lebih besar dibandingkan setelah pemeraman.

Analisis Faktor Keamanan Timbunan Dengan Perkuatan


Pada penelitian ini akan dibandingkan besarnya faktor keamanan timbunan tanpa perkuatan dengan faktor
keamanan timbunan dengan perkuatan. Perkuatan yang digunakan dalam analisis adalah HDPE Uniaxial Geogrid
yang didistribusikan oleh PT. Teknindo Geosistem Unggul dengan tensile strength 200 kN/m’. Geogrid
dihamparkan dipermukaan tanah dasar atau dibagian dasar tanah timbunan (Gambar 2).

Letak Geogrid

Gambar 2. Pemodelan Timbunan dengan Perkuatan

Langkah selanjutnya adalah menentukan bidang gelincir, dengan posisi bidang gelincir yang sama seperti analisis
faktor keamanan timbunan tanpa perkuatan sebelumnya. Setelah penentuan bidang gelincir, maka analisis faktor
keamanan timbunan dengan bantuan software Geo5 dapat dijalankan.
Dari hasil analisis perangkat lunak Geo5 untuk stabilitas lereng timbunan dengan perkuatan pada tanah dasar tanpa
perlakuan atau tanah asli yang tidak diberi campuran serbuk kaca dan serbuk keramik didapatkan faktor
keamanannya adalah 1,55 ≤ 1,5 sehingga lereng dari timbunan aman dari kelongsoran. Untuk perhitungan faktor
keamanan selanjutnya dengan variasi kombinasi serbuk kaca + serbuk keramik dan masa pemeraman dapat dilihat
pada Tabel 8.

GEO - 7
Tabel 8. Analisis Faktor Keamanan dengan Perkuatan dan Variasi Tanah Dasar
Faktor Keamanan
No. Variasi Campuran
Inisial Maksimum
1 Tanah asli + 0% Serbuk kaca + 0% Serbuk keramik (Inisial) 1,55 1,54
2 Tanah asli + 10% Serbuk kaca + 10% Serbuk Keramik 1,55 1,54
3 Tanah asli + 20% Serbuk kaca + 20% Serbuk keramik 1,57 1,64
4 Tanah asli + 30% Serbuk kaca + 30% Serbuk keramik 1,67 1,70
Sumber: Hasil Perhitungan

Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa faktor keamanan stabilitas lereng timbunan dengan perkuatan geogrid
minimum atau terkecil terdapat pada tanah asli kondisi inisial atau tanpa perlakuan dengan masa pemeraman 7 hari
dan pada tanah asli dengan penambahan 10% serbuk kaca dan 10% serbuk keramik dengan pemeraman selama 7
hari yaitu sebesar 1,54 atau menurun sebesar 0,65% dari faktor keamanan tanah dasar inisial. Sedangkan faktor
keamanan terbesar adalah 1,70 yang terdapat pada tanah dasar dari tanah asli ditambah 30% serbuk kaca dan 30%
serbuk keramik dengan pemeraman selama 7 hari atau mengalami peningkatan sebesar 9,68% dari tanah dasar
inisial.
Selain itu berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 8 faktor keamanan dari stabilitas lereng timbunan dengan
perkuatan pada tanah dasar inisial atau tanpa penambahan serbuk kaca dan serbuk keramik serta pada tanah dasar
dengan penambahan 10% serbuk kaca dan 10% serbuk keramik, masing-masing tanpa masa pemeraman lebih besar
dibandingkan tanah dasar setelah pemeraman. Besarnya penurunan faktor keamanan untuk masing-masing
kombinasi adalah 0,65%.
Sedangkan faktor keamanan dari stabilitas lereng timbunan dengan perkuatan pada tanah dasar dengan penambahan
20% serbuk kaca dan20% serbuk keramik serta pada tanah dasar dengan penambahan 30% serbuk kaca dan 30%
serbuk keramik, masing-masing dengan masa pemeraman lebih besar dibandingkan tanah dasar tanpa pemeraman.
Besarnya peningkatan faktor keamanan untuk masing-masing kombinasi adalah 4,46 % dan 1,8%.

Perbandingan Faktor Keamanan Timbunan Tanpa Perkuatan dengan Faktor Keamanan Dengan Perkuatan
Perbandingan faktor keamanan timbunan tanpa perkuatan dan faktor keamanan timbunan dengan perkuatan terlihat
pada Gambar 3 dan 4

Gambar 3. Perbandingan Faktor Keamanan Timbunan untuk Tanah Dasar Tanpa Pemeraman

Faktor keamanan tanah timbunan tanpa perkuatan geogrid lebih rendah dibandingkan faktor keamanan dengan
perkuatan geogrid. Faktor keamanan tanah timbunan tanpa perkuatan cenderung mengalami peningkatan seiring
dengan penambahan prosentase serbuk kaca dan serbuk keramik pada tanah dasar. Sedangkan faktor keamanan
tanah timbunan dengan perkuatan terlihat ada penurunan pada kombinasi penambahan 10% serbuk kaca dan 10%

GEO - 8
serbuk keramik dibandingkan pada tanah dasar asli (inisial) untuk kemudian mengalami peningkatan seiring
penambahan prosentase serbuk kaca dan serbuk keramik pada tanah dasar.
Faktor keamanan tanah timbunan tanpa perkuatan berada dikisaran 1,2 – 1,5, untuk faktor keamanan kurang dari 1,5
maka timbunan dapat mengalami kelongsoran atau timbunan tidak aman. Sedangkan faktor keamanan tanah
timbunan dengan perkuatan berada dikisaran 1,5 sampai dengan 1,6, faktor keamanan di atas 1,5 atau berada di atas
batas aman sehingga tanah timbunan stabil.

Gambar 4. Perbandingan Faktor Keamanan Timbunan untuk Tanah Dasar Dengan Pemeraman

Faktor keamanan tanah timbunan tanpa perkuatan geogrid lebih rendah dibandingkan faktor keamanan dengan
perkuatan geogrid. Faktor keamanan tanah timbunan tanpa perkuatan cenderung mengalami peningkatan seiring
dengan penambahan prosentase serbuk kaca dan serbuk keramik pada tanah dasar. Sedangkan faktor keamanan
tanah timbunan dengan perkuatan terlihat ada penurunan pada kombinasi penambahan 10% serbuk kaca dan 10%
serbuk keramik dibandingkan pada tanah dasar asli (inisial) untuk kemudian mengalami peningkatan seiring
penambahan prosentase serbuk kaca dan serbuk keramik pada tanah dasar.
Faktor keamanan tanah timbunan tanpa perkuatan berada dikisaran 1,2 – 1,3, karena faktor keamanan kurang dari
1,5 maka timbunan dapat mengalami kelongsoran atau timbunan tidak aman. Sedangkan faktor keamanan tanah
timbunan dengan perkuatan berada dikisaran 1,5 sampai dengan 1,7, faktor keamanan di atas 1,5 atau berada di atas
batas aman sehingga tanah timbunan stabil.
Faktor keamanan pada tanah timbunan dengan perkuatan baik itu pada tanah dasar tanpa pemeraman maupun
dengan pemeraman cukup besar sehingga geogrid sebagai perkuatan tanah dasar berfungsi dengan baik. Selain itu
geogrid juga berfungsi untuk menahan air tanah masuk ke dalam tanah timbunan karena jika air tanah masuk ke
dalam tanah timbunan dapat menambah beban terhadap tanah dasar.

5. KESIMPULAN
Dari hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Faktor keamanan tanah timbunan tanpa perkuatan dengan penambahan serbuk kaca dan serbuk keramik
tanpa masa pemeraman maksimum terdapat pada penambahan 30% serbuk kaca + 30% serbuk keramik yaitu
sebesar 1,50. Sedangkan faktor keamanan tanah timbunan tanpa perkuatan dengan penambahan serbuk kaca
dan serbuk keramik dengan masa pemeraman maksimum terdapat pada penambahan 30% serbuk kaca + 30%
serbuk keramik yaitu sebesar 1,36.
2. Faktor keamanan tanah timbunan dengan perkuatan dengan penambahan serbuk kaca dan serbuk keramik
tanpa masa pemeraman maksimum terdapat pada penambahan 30% serbuk kaca + 30% serbuk keramik yaitu
sebesar 1,67. Sedangkan faktor keamanan tanah timbunan dengan perkuatan dengan penambahan serbuk
kaca dan serbuk keramik dengan masa pemeraman maksimum terdapat pada penambahan 30% serbuk kaca +
30% serbuk keramik yaitu sebesar 1,70.

GEO - 9
3. Tanah dasar yang berupa tanah rawa terstabilisasi 30% serbuk kaca + 30% serbuk keramik tanpa masa
pemeraman mampu menahan timbunan setinggi 3 m dengan lebar 10 m.
4. Tanah dasar yang berupa tanah rawa asli mampu menahan tanah timbunan setinggi 3 m dengan lebar 10 m
jika diberi perkuatan dengan geogrid.
5. Tanah dasar yang berupa tanah rawa terstabilisasi serbuk kaca dan serbuk keramik mampu menahan tanah
timbunan setinggi 3 m dengan lebar 10 m jika diberi perkuatan geogrid.

DAFTAR PUSTAKA
Apriyanti, Peningkatan Nilai CBR Tanah Lempung dengan Menggunakan Semen Untuk Timbunan Jalan.
Ariyani, Ninik; Prilani Dwi Wahyuni, 2007, Perbaikan Tanah Lempung dari Grobogan Purwodadi dengan
Campuran Semen dan Abu Sekam Padi, Majalah Ilmiah UKRIM Edisi 1 Tahun XII, Hal. 1-17.
Aschuri, Imam, Perbaikan Tanah Ekspansif dengan Menggunakan Garam Anorganik (Studi Kasus: Tanah
Cikampek).
Das, Braja M., 1991, Mekanika Tanah, Penerbit : Erlangga, Jakarta.
Gunawan, Sumiyati, 2011, Perbaikan Dasar Pondasi dengan Tetes Tebu dan Kapur, Prosiding Seminar Nasional-1
BMPTTSSI, KoNTekS 5, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Handayasari, Indah; Siklus, 2015, Stabilisasi Tanah Pada Lahan Bekas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah
dengan Pemanfaatan Serbuk Limbah Kaca Sebagai Bahan Campuran, Prosiding Seminar Nasional, UTA45,
Jakarta.
Hardiyatmo, Hary Christady, 2010, Mekanika Tanah 1, Edisi kelima, Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Hardiyatmo, Hary Christady, 2013, Stabilisasi Tanah Untuk Perkerasan Jalan, Edisi kedua, Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Nurtjahjaningtyas, Indra, 2005, Pemilihan Metode Perbaikan Tanah Untuk Kawasan Pantai (Studi Kasus: Di
Wilayah Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya), Jurnal Media Sipi, Hal 65-70.
Pedoman Konstruksi Bangunan, 2009, Perencanaan dan Pelaksanaan Perkuatan Tanah dengan Geosintetik,
Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat Bina Teknik, Jakarta.
PT. Teknindo Geosistem Unggul, 2012, Perbaikan Tanah Lunak, Materi Presentasi Kuliah Tamu, Surabaya. PT.
Tetrasa Geosinindo, 2012, Solusi Tencate Untuk Perkuatan Dasar Timbunan. Brosur. Jakarta.
Purnomo, Mega, 2011, Korelasi Antara CBR, PI dan Kut Geser Tanah Lempung, Jurnal Teknik Sipil &
Perencanaan No. 1 Vol. 13.
Pruska, J, 2003, Comparison of geotechnic software – Geo FEM, Plaxis, Z-Soil, Proc. XIII ECSMGE (Vol. 2), 819-
824 p, Prague.
Shayan, Ahmad, 2002, Value-Added Utilisation Of Waste Glass In Concrete ResearchJournal, IABSE Symposium,
Melbourne.
Sutra, Nila; Noor Endah; Putu Tantri Kumalasari, 2015, Perencanaan Perbaikan Tanah Dasar dan Analisa
Stabilitas Tanggul Pada Area Reklamasi Proyek Pengembangan Pelabuhan Peti Kemas Belawan, Medan
(Tahap II), Skripsi tidak dipublikasi, ITS press, Surabaya.
Tay, Pretty Angelina, dkk., Analisa Perkuatan Geotekstil Pada Timbunan Konstruksi Jalan dengan Plaxis 2D.
Utami, Sri Utami; Theresia MCA; Lucky Dwi Andriani, 2015, Stabilisasi Tanah Dasar (Subgrade) dengan
Menggunakan Pasir Untuk Menaikkan Nilai CBR dan Menrunkan Swelling, Prosiding Seminar Nasional
Sains dan Teknologi Terapan III, ITATS, Surabaya.
Wahjoedi, dkk., 2015, Karakteristik Campuran Tanah Lempung Merah dengan Serbuk Batu Bata Pada Berbagai
Porsi Campuran Untuk Peningkatan Daya Dukung Lapisan Tanah Dasar (Subgrade), Jurnal Wahana Teknik
Sipil Vol. 20 No. 2, Hal. 93-102.
Zaika, Yulvi; Budi Agus Kombino, 2010, Penggunaan Geotextile Sebagai Alternatif Perbaikan Tanah Terhadap
Penurunan Pondasi Dangkal, Jurnal Rekayasa Sipil Vol. 4 No. 2, Hal 91-98.

GEO - 10
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

KARAKTERISTIK DAYA DUKUNG LATERAL PONDASI HELICAL PADA TANAH


GAMBUT

Ferry Fatnanta1, Syawal Satibi2, dan Muhardi3

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Riau, Jl. Subrantas KM 12.5 Pekanbaru 28293
Email: fatnanto1964@gmail.com
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Riau, Jl. Subrantas KM 12.5 Pekanbaru 28293
Email: ssatibi@gmail.com
3
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Riau, Jl. HR Subrantas KM 12,5 Pekanbaru 28293
Email: adimuhardi@gmail.com

ABSTRAK
Penggunaan pondasi helical untuk mendukung struktur pada tanah gambut termasuk metode baru.
Pondasi helical merupakan alternatif untuk pengganti tiang cerocok pada tanah gambut. Oleh sebab
itu, pada penelitian ini ingin dikaji mengenai karakteristik daya dukung lateral pondasi helical pada
lapisan tanah gambut. Penelitian ini menganalisis pengaruh jumlah, jarak dan diameter pelat helical
terhadap kapasitas daya dukung lateral pondasi helical pada tanah gambut. Sedangkan sebagai
pembanding digunakan kayu cerocok dan tiang polos. Jenis pondasi helical yang digunakan adalah
L, M, S, LL50, LLL50, LM50, LMS50, LL30, LLL30, LMS30 dan LM30. Pemberian beban lateral
berdasarkan tipe pembebanan constant rate of penetration. Variasi eksentrisitas adalah 300 mm dan
500 mm. Kapasitas daya dukung lateral diinterpretasikan dengan menggunakan metode standar
kegagalan lateral struktur (Sakr, 2010). Sedangkan, analisis daya dukung lateral secara teoritis
menggunakan metode Broms (1964). Sesuai hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan
diameter akan meningkatkan daya dukung lateral tiang heliks. Namun, apabila diameter heliks
bagian bawah lebih kecil, maka penambahan diameter heliks tidak berpengaruh signifikan pada
kapasitas dukung lateral. Sedangkan, makin besar nilai eksentrisitas, maka daya dukung pondasi
helikal akan makin berkurang. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa kayu cerocok mempunyai
daya dukung lateral lebih besar dibandingkan dengan pondasi helikal. Perbandingan daya dukung
pengujian dengan teoritis menunjukkan bahwa daya dukung pengujian lebih kecil dibandingkan
daya dukung teoritis. Oleh sebab itu, nilai kuat geser tanah gambut untuk perhitungan daya dukung
teoritis lateral harus direduksi menjadi 0,05cu, dimana cu adalah hasil pengujian kuat geser
menggunakan uji vane shear (VST).
Kata kunci: pondasi helical, diameter dan jumlah helical, gambut, daya dukung lateral, eksentrisitas

1. PENDAHULUAN

Tanah gambut adalah tanah yang memiliki daya dukung kecil dibandingkan dengan jenis tanah yang lainnya seperti
pasir, lanau maupun lempung ini disebabkan oleh kandungan organik yang sangat tinggi. Tanah ini terbentuk dari
sisa – sisa pelapukan tumbuhan rawa yang telah mati, seperti rumput, pandan, bakau, dan lain – lain. Menurut
Aazokhi (2012), Tanah gambut mempunyai sifat yang kurang menguntungkan bagi konstruksi bangunan sipil, sebab
mempunyai kadar air yang tinggi, kemampuan daya dukung rendah, dan pemampatan tinggi.

Kondisi tanah gambut yang tidak bersahabat membuat para engineer perlu menentukan metode stabilisasi atau
rancangan pondasi yang tepat dan efisien. Di Indonesia pada umumnya para pekerja kontruksi menggunakan
cerucuk untuk meningkatkan daya dukung atau sebagai pondasi struktur pada tanah gambut. Cerucuk kayu yang
tahan terhadap kadar asam tanah gambut dan metode yang murah dan mudah, namun mempunyai efek samping
berupa kerusakan lingkungan, karena harus menebang kayu untuk dijadikan sebagai kayu cerucuk.
Menghindari kerusakan tersebut diperlukan strategi yang lebih tepat dan efisien dan salah satu jawabannya adalah
helical pile. Menurut Sakr (2010) ukuran lebar pelat helical mampu untuk menambah kekuatan tiang dalam
menahan beban lateral pada tanah cohesive dan non-cohesive, dengan penambahan lebar 10 cm dapat menambah
daya dukung lateral lebih-kurang 140 kN.

Penggunaan pondasi helical pada tanah gambut masih termasuk metode yang baru, sehingga perlu diadakan
penelitian dengan tujuan mengetahui kapasitas daya dukung pondasi helical terhadap tanah gambut. Penelitian ini

GEO - 11
diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam kemajuan teknik sipil dan kontruksi di Indonesia dengan
memberikan solusi dalam pendesainan pondasi untuk tanah gambut. Alasan – alasan di atas yang menjadikan judul
ini semakin menarik untuk dilakukan penelitian.

Khusus pada penelitian ini dilakukan studi mengenai perilaku pengaruh variasi diameter pelat helical terhadap daya
dukung lateral helical pada tanah gambut. Penelitian pondasi helical pada tanah gambut dilakukan dengan cara
teoritis dan pemodelan lapangan, sehingga dapat memberikan hasil yang akurat secara teori dan pengujian langsung
di lapangan.

2. METODOLOGI PENGUJIAN

Alat dan bahan

Tanah gambut diambil dari daerah Rimbo Panjang, kabupaten Kampar, Pekanbaru Riau. Merancang alat uji lateral
dilakukan agar alat bisa digunakan dengan baik dan sesuai dengan kondisi dilapangan. Rangkaian alat pengujian
diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat Uji

Mechanical jack Kapasitas 5 ton


Proving ring Kapasitas 2,8 kN
Dial gauge Kapasitas 50 mm
Bak pemodelan Ukuran 3 x 6 m, kedalam tanah gambut
2.8 m
Vane shear test 20 x 40 mm

Penamaan pondasi

Pada penelitian ini terdapat beberapa variasi tiang helical. Panjang pile helical mencapai 2 m. Diameter tiang adalah
6 cm. Diameter pelat helical yang digunakan adalah 15, 25, dan 35 cm, dimana plat helical diameter 15 cm
dinamakan plat small (S), plat helical diameter 25cm dinamakam plat medium (M), dan plat helical diameter 35 cm
dinamakan plat helical Large (L), dapat dilihat pada Gambar 1. Variasi penamaan pondasi helical dapat dilihat pada
Tabel 2.

Gambar 1. Diameter plat helikal

GEO - 12
Tabel 2. Penamaan Plat Helical

Diameter plat helical, cm Spasi, Penamaan pile helical


atas center bottom cm
35 35 35 30 LLL30
- 35 35 30 LL30
35 - L
- 35 25 30 LM30
35 25 15 30 LMS30
- 35 35 50 LLL 50
- - 25 - M
- - - - Tiang tanpa plat helikal
- - - - Tiang cerocok

Prosedur pengujian

Prosedur pengujian dimulai dengan melakukan penanaman pondasi sampai kedalaman 1.5 m. Melakukan
pemasangan rangkaian alat pengujian daya dukung lateral, yaitu mechanical jack, proving ring (load), dan dial
gauge (penetration), seperti yang terlihat pada Gambar 2. Kemudian mechanical jack digerakkan sehingga piston
mendorong pondasi secara lateral. Di dalam pengujian ini pencatatan beban dilakukan setiap 1 mm pergerakan
tiang. Pengujian dikatakan selesai apabila pergerakan mencapai 4.5 cm. Sebelum melakukan uji lateral, tanah
gambut diuji kekuatan geser dengan menggunakan vane shear pada kedalaman 50, 100, dan 150 cm. Pada penelitian
ini dilakukan variasi eksentrisitas, yaitu 30cm dan 50cm.

Gambar 2. Rangkaian Alat Uji

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat fisik tanah gambut

Sifat fisik tanah yang akan digunakan dalam penelitian ini diuji terlebih dahulu di Laboratorium Mekanika Tanah
Jurusan Teknik Sipil Universitas Riau. Sampel diambil pada 2 titik dalam area kolam pengujian. Sampel diambil
pada kedalaman 50 cm – 100 cm dan 100cm – 150 cm. Hasil pengujian sifat fisik tanah yang telah diuji oleh Adi,
(2015), seperti ditampilkan pada Tabel 3.

GEO - 13
Tabel 3. Karaktersitik tanah gambut

Hasil per Kedalaman


Karakteristik Tanah Gambut
50 - 100 cm 100 - 150 cm
Kadar air rerata (w), % 190,949 236,837
Berat Volume basah, gr/cm3 0,794 0,795
Berat Volume kering, gr/cm3 0,273 0,236
Specific Gravity, - 1,355 1,480
Kadar Abu, % 35,544 54,463
Kadar Serat, % 5,281 6,114

Kuat geser tanah

Pengujian kuat geser tanah menggunakan alat uji Vane shear. Pengujian kuat geser dilakukan pada setiap pengujian
jenis pondasi. hasil Pengujian kuat geser tanah gambut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Pengujian Vane Shear

Nama pondasi Kuat geser, kPa


3L30 9,00
2L30 9,33
L 10,33
LMS30 10,00
LM30 9,00
M 9,67
Pipa tanpa helical 11,33
Cerucuk 11,67

Jumlah plat helical diameter sama

Hubungan beban - perpindahan pada variasi jumlah plat helical diameter sama ditampilkan pada Gambar 3. Sesuai
hasil pengujian menunjukkan bahwa jumlah plat helical berpengaruh terhadap daya dukung lateral pondasi.
Penambahan jumlah plat helical akan memperbesar kapasitas daya dukung pondasi. Hal ini disebabkan
penambahan jumlah plat helical akan memperbesar luas bidang kontak antara helical dengan tanah sehingga
menghasilkan kekuatan untuk menahan beban lateral yang lebih besar. Namun terlihat bahwa kapasitas daya dukung
lateral 3L50 lebih besar dibandingkan dengan 2L50 dan L (Hidayat, 2015)

Gambar 3. Variasi jumlah plat helical diameter sama

GEO - 14
Jumlah pelat helical diameter berbeda

Secara umum, penambahan jumlah pelat helical akan menambah kapasitas daya dukung lateral pondasi tiang helical.
Pada kapasitas daya dukung lateral, diameter posisi plat helical paling bawah berpengaruh postif terhadap kapasitas
daya dukung lateral. Hal terlihat pada Gambar 4, bahwa jenis pondasi LMS50 mempunyai kapasitas daya dukung
terbesar dibandingkan dengan pondasi tiang tipe LM50 dan L. Kondisi ini berbeda dengan fenomena kapasitas daya
dukung axial tekan pondasi tiang helikal, dimana LMS mempunyai daya dukung paling rendah (Fatnanta, 2015).

Sedangkan kapasitas daya dukung pondasi L lebih kecil dibandingkan LMS50. Hal ini karena jumlah plat helical
pada pondasi LMS50 menggunakan plat helical yang lebih banyak, sehingga menghasilkan tahanan lateral yang
lebih besar. Fenomena yang terjadi diatas membuktikan bahwa jumlah plat helical mempunyai peranan yang
signifikan dalam menambah daya dukung lateral pondasi helical pada tanah gambut.

Gambar 4. Variasi jumlah pelat helical diameter berbeda

Perbandingan dengan pondasi cerocok dan pondasi tiang tanpa helical (polos)

Perbandingan hasil pengujian cerocok dan pondasi tiang helical ditampilkan pada Gambar 5. Hasil pengujian
memperlihatkan bahwa keberadaan plat helical berpengaruh terhadap beban lateral yang mampu ditahan pondasi..
Penambahan plat helical di ujung tiang pondasi menyebabkan beban lateral yang mampu ditahan pondasi tiang
helical menjadi lebih besar dari pada tiang polos. Namun masih lebih kecil dibandingkan dengan kapasitas daya
dukung lateral pondasi cerocok. Hal ini disebabkan pondasi cerocok mempunyai diameter relatif besar, 11cm dan
gesekan pada permukaan cerocok lebih besar, karena permukaan cerocok lebih kasar.

Gambar 5. Perbandingan daya dukung lateral dengan cerocok dan pondasi tanpa helical (polos)

GEO - 15
Pengaruh eksentrisitas

Pada penelitian ini dilakukan kajian mengenai pengaruh eksentrisitas. Eksentrisitas divariasikan yaitu 30cm dan 50
cm. Hasil pengujian pada tipe tiang yang sama, tetapi dengan eksentrisitas yang berbeda berpengaruh terhadap daya
dukung lateral, seperti tampak pada Gambar 6, meskipun tidak terlalu signifikan.

Gambar 6. Variasi eksentrisitas

Perbandingan pengujian dengan perhitungan

Perhitungan kapasitas aksial pondasi helical dilakukan berdasarkan hasil pengujian kuat geser tanah dan kurva
beban vs penuruan. Kuat geser tanah diperlukan untuk menghitung kapasitas aksial pondasi secara teoritis. Kurva
beban vs penurunan akan diinterpretasi menjadi kapasitas daya dukung ultimate.

Ramadhan (2016) melakukan kajian analisa kapasitas lateral pondasi helical secara teoritis dengan menggunakan
metode Broms (1964) dibandingkan dengan pengujian. Gambar 7 menampilkan hasil perbandingan kapasitas daya
dukung lateral hasil pengujian dengan perhitungan dengan menggunakan metode Broms (1964). Pengujian kapasitas
daya dukung lateral digunakan deformasi 25 mm sebagai acuan. Sesuai Gambar 7 menunjukkan bahwa teori Broms
menghasilkan daya dukung lateral lebih besar. Hal ini kemungkinan disebabkan parameter kuat geser tanah gambut
digunakan masih menggunakan nilai kuat geser hasil pengujian. Sedangkan Golebiewska (1983) and Landva La
Rochele (1983) menyatakan bahwa pada tanah gambut perlu dilakukan reduksi sebesar 0,50 -0,57. Pada Fatnanta
dkk (2017) diperoleh nilai reduksi sebesar 0,6 untuk kapasitas daya dukung aksial tekan.

1.800 Teori Broms, e = 0,5 m


1.600 pengujian, deformasi 25 mm
Daya Dukung Lateral (N)

1.400 Teori Broms, e = 0,3 m


1.200 pengujian, deformasi 25 mm
1.000
800
600
400
200
0
LMS-30 LM-30 3L-30 2L-30 L M POLOS CERUCUK
Jenis Tiang

Gambar 7. Perbandingan hasil pengujian dan perhitungan

GEO - 16
4. KESIMPULAN

Sesuai hasil uji beban lateral menunjukkan bahwa penambahan plat helical berpengaruh terhadap daya dukung
lateral. Secara umum pondasi tiang helical menghasilkan daya dukung lateral lebih besar dibandingkan pondasi
tiang tanpa helical. Sedangkan daya dukung lateral cerocok lebih besar dibandingkan daya dukung lateral pondasi
tiang helical. Pondasi tiang helical 3 plat diameter sama menghasilkan daya dukung yang lebih besar dibandingkan
pondasi 1 tiang dan 2 tiang helical yang berdiamer sama.

Eksentrisitas berpengaruh terhadap daya dukung lateral. Pada tipe pondasi helical sama, eksentrisitas 0,3 meter,
mempunyai daya dukung lateral lebih besar dibandingkan eksentrisitas 0,5 meter.

Sesuai hasil perbandingan antara pengujian dan perhitungan kapasitas daya dukung lateral, hasil perhitungan daya
dukung lateral memberikan daya dukung yang lebih besar. Hal ini kemungkinan disebabkan parameter yang
digunakan belum dilakukan reduksi. Jadi, untuk perhitungan perlu dilakukan reduksi.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Sapria (2015), Analisis Pengaruh Variasi Diameter Plat Helical Terhadap Daya Dukung Tekan Pondasi
Helical Pada Tanah Gambut, Tugas Akhir, Program Studi S1 Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Riau.
Fatnanta, Ferry, dkk (2017), Bearing Capacity Of Helical Pile Foundation in Peat Soil Based On The Number and
Spacing Of Helical Plates, The 15th QiR UI 2017, Paper No. 86, Denpasar.
Golebiewska A., (1983), Vane Testing in peat, Prosiding 7th Danube ECSMFE, Kishinev, Vol 1, pp. 113-117.
Hidayat, Rio (2016), Analisis Pengaruh Jumlah Pelat Helical Terhadap Kapasitas Daya Dukung Lateral Pondasi
Helical Pada Tanah Gambut, Tugas Akhir, Program Studi S1 Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Riau.
Landva A.O., and La Rochelle P., (1983), Compressibility and shear strength characteristics of Radforth Peats,
Testing of Peats and Organics Soils, ASTM STP 820, P.M. Jarret (ed), pp. 157-191.
Ramadhan, Suryadi (2017), Pengaruh Diameter Pelat Helical Terhadap Kapasitas Daya Dukung Lateral Pondasi
Helical Pada Tanah Gambut, Tugas Akhir Program Studi S1 Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Riau.
Sakr, Mohammed. (2010). Lateral Resistance of High Capacity Helical Piles – Case Study. Almita Manufacturing
Ltd. Ponaka, Alberta, Canada.
Waruwu, Aazokhi, (2012), Perilaku Tanah Gambut Berserat. Jurnal Teknik Sipil & Perencanaan, vol. 26, No. 1.

GEO - 17
GEO - 18
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

KECEPATAN ALIRAN HORISONTAL DENGAN IJUK DAN LIMBAH PLASTIK


SEBAGAI DRAINASI VERTIKAL

Sumiyati Gunawan1 dan Agatha Padma Laksitaningtyas2

1
Fakultas Teknik Sipil, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari 44Yogyakarta
Email: sumiyatig@yahoo.co.id
2
Fakultas Teknik Sipil, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari 44Yogyakarta
Email: padma_agatha@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengembangkan metode perbaikan tanah lunak sebelum pembangunan
suatu struktur. Salah satu cara memperbaiki kekuatan dukung tanah lunak adalah mempercepat
penurunan tanah dengan menggunakan drainase vertikal yang umumnya menggunakan Sand Drains
dan Prefabricated Vertical Drains. Permasalahan yang timbul adalah biaya yang tidak murah dan
material pengisi drainase vertikal. Dalam penelitian ini akan mencoba menggunakan bahan pengisi
drainase vertikal yang merupakan bahan lokal dan buangan / limbah, yang lebih murah dan
berwawasan lingkungan. Hasil yang diharapkan merupakan suatu inovasi baru yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat ataupun industri Teknik sipil. Model penelitian dilakukan di
laboratorium, dengan sample tanah lunak jenuh dengan drainasi vertical, kemudian dibebani
bertahap dan dicatat penurunannya. Bahan pengisi drainasi vertikal berupa pasir, ijuk dan limbah
plastik. Pembebanan dilakukan mulai dari beban 0,4 ton/m2 sampai dengan 2,0 ton/m2 dengan
interval 0,4 ton/m2. Masing-masing dilakukan 10 hari pengamatan. Diameter drainasi vertikal yang
dipakai 2,5cm, jarak drainasi vertikal 15,0 cm dengan pola segiempat pada tanah lunak dengan
ketebalan 10 cm dan dalam kondisi double drain. Ada 4 pengujian, tanah lunak tanpa drainasi,
drainasi vertikal pasir, ijuk dan sampah plastik. Pasir lolos ayakan no.40, ijuk dari pohon aren dan
limbah plastik adalah sampah botol plastik ukuran ±1cm. Hasil yang diperoleh kecepatan aliran
horizontal dinyatakan dengan Koefisien Konsolidasi horizontal (Ch) dan kecepatan aliran vertikal
dinyatakan dengan Koefisien Konsolidasi horizontal (Cv), akibat adanya drainasi vertical sebagai
berikut tanpa drain Cv= 0.0001953cm2/dt ; drain pasir Cv= 0.0003214cm2/dt, Ch=
0.0039563cm2/dt ; drain ijuk Cv=0.0006712cm2/dt, Ch= 0.0044845cm2/dt ; drain sampah plastic
Cv= 0.0008136cm2/dt, Ch= 0.0053629cm2/dt.
Kata kunci : drainasi vertikal, pembebanan, koefisien konsolidasi horizontal

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bangunan yang didirikan di atas suatu lapisan tanah liat lunak harus mempertimbangkan kekuatan dukung tanah
yang sangat terbatas serta penurunan yang cukup besar , yang membutuhkan waktu yang tak terhingga.
Kegagalan struktur bawah, jelas akan sangat mempengaruhi kestabilan stuktur atasnya. Oleh sebab itu, kita harus
sangat hati hati menentukan secara analisa sifat dan perilaku tanah terutama penurunan tanah akibat konsolidasi
pada tanah lempung.
Tanah lempung merupakan tanah berbutir halus dan mempunyai sifat lekatan antar butirnya sehingga sulit dilalui
air. Apabila lapisan tanah lempung jenuh dibebani (misal : Bangunan), maka tekanan air dalam porinya akan
meningkat, sesuai dengan tekanan yang diterimanya. Perbedaan tekanan air pori pada lapis lapis tanah, berakibat air
mengalir ke lapis lapis tanah dengan tekanan air pori yang lebih rendah, yang diikuti penurunan tanahnya.
Konsolidasi adalah peristiwa keluarnya air dari pori tanah akibat pembebanan di atas tanah sehingga tanah
mengalami penurunan. Karena penurunan tersebut berlangsung dalam waktu yang sangat lama sehingga sangat
merugikan pada pelaksanaan konstruksi.
Salah satu cara untuk mempercepat aliran air/laju konsolidasi lempung jenuh dengan menggunakan drainase
vertikal. Drainase vertikal dipasang vertikal di dalam lapisan tanah pada area tanah lunak tersebut, sehingga
tegangan air pori berlebih dapat mengalirkan air ke drainase vertikal terdekat, sehingga tegangan air pori berlebih
dapat dikeluarkan / diturunkan lebih cepat. Drainase vertikal yang umum digunakan adalah berupa Sand Drains dan
Prefabricated Vertical Drains (PVD). Permasalahan yang timbul dalam perbaikan tanah menggunakan drainase
vertikal adalah biaya yang tidak murah pada operasional dan material pengisi drainase vertikal. Alternatif lain

GEO - 19
menggunakan drainase vertikal dengan pengisi bahan lokal dan buangan / Limbah. Dalam penelitian ini akan dicoba
drainase vertikal dengan bahan pengisi berupa ijuk dan limbah plastik. Bahan pengisi berupa ijuk sudah pernah
dilakukan. Ijuk yang memiliki sifat menyerap air dan menyimpan air terbukti dapat menjadi alternatif sebagai bahan
pengisi drainase vertikal. Limbah plastik ( kaku) digunakan sebagai pengisi drainase vertikal karena limbah plastik
susah dipampatkan. Ketika plastik dipampatkan akan menghasilkan pemampatan yang kurang sempurna dan akan
membentuk rongga-rongga yang menjadi jalan aliran air apabila ada tekanan yang bekerja. Bahan pengisi yang akan
dibandingkan adalah pasir, ijuk dan limbah plastik yang berupa sampah botol plastik. Pada penelitian ini
menggunakan pola penyusunan drainase vertikal berupa segi empat dengan jumlah drainase yang digunakan adalah
enam belas buah.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghasilkan inovasi pada percepatan penurunan tanah yang bertujuan untuk memperbaiki
kekuatan dukung tanah dasar pondasi
Tujuan praktis penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kecepatan penurunan tanah menggunakan drainasi vertikal dengan bahan pengisi pasir, ijuk dan
limbah plastik.
2. Memberi alternatif bahan pengisi drainasi vertikal dari bahan lokal dan buangan / limbah.
3. Menghasilkan inovasi dan pengembangan ipteks yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan industri teknik
sipil.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain:
1. Memberi alternatif bahan pengisi drainasi vertikal dari bahan lokal dan buangan / limbah.
2. Menghasilkan inovasi dan pengembangan ipteks yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan industri teknik
sipil.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Penurunan tanah merupakan hal yang sangat diperhitungkan dalam pembangunan sebuah bangunan konstruksi.
Proses penurunan tanah membutuhkan yang cukup lama. Berbagai cara dilakukan untuk mempercepat penurunan
tanah.
Wahyu (2007) melakukan penelitian tentang penurunan tanah organik menggunakan metode sand drain pada
kondisi double drain dengan pemodelan axisymmetric. Pengujian dengan sand drain dengan pembebanan bertahap
dilakukan dengan pola segitiga dan segiempat. Metode sand drain dengan pembebanan bertahap ternyata dapat
mempercepat proses penurunan tanah (konsolidasi) dan proses pengaliran air tanah. Penggunaan metode sand drain
dengan pola segiempat ternyata dapat menurunkan tanah lebih cepat daripada pola segitiga. Hal ini disebabkan
karena lubang pada pola segiempat lebih banyak yaitu 21 lubang dibandingkan pola segitiga yaitu 19 lubang. Pada
metode sand drain dengan pola segitiga penurunan tanah terjadi sebesar 2.860 cm dalam waktu 35 hari, dan 3.680
cm dalam waktu 35 hari pada metode sand drain pola segiempat.
Mahmudi (2005) melakukan penelitian tentang pengaruh pola susunan sand drain terhadap kecepatan pemampatan
konsolidasi pada sistem vertical sand drain. Dalam penelitian ini mengatakan bahwa semakin besar tegangan maka
angkapori juga besar sehingga terjadi pemampatan besar, pada pola susunan empat lubang terjadi pemampatan lebih
besar dari pada 7 lubang. Index pemampatan (Cc) pada pola susunan empat lubang lebih besar dibanding dengan
pola susunan tujuh lubang, sedang pada konsolidasi klasik besar penurunannya sangat kecil sekali.
Sumiyati (1999) melakukan penelitian tentang drainasi vertikal dengan pengisi menggunakan bahan lokal yaitu ijuk
pohon aren yang dibungkus goni yang dibandingkan dengan geotektil dan juga pasir, masing-masing 2 sample.
Hasilnya koefisien konsolidasi arah vertikal ijuk bungkus goni rerata 4,065.10 -4 cm2/dt, pasir rerata 2,34.10-4 cm2/dt,
geotektil rerata 1,25.10-4 cm2/dt dan yang tanpa drainasi vertikal sebesar 9,53.10 -5 cm2/dt. Hasil koefisien
konsolidasi arah horisontal ijuk dibungkus goni rerata 2,296.10 -2 cm2/dt, pasir rerata 1,37.10-2 cm2/dt, geotekstil
rerata 7,39.10-3 cm2/dt. Penurunan total, drainasi vertikal ijuk dibungkus goni rerata 0,389 cm, pasir rerata 0,3785
cm, geotekstil rerata 0,373 cm dan tanpa drainasi vertikal 0,3115 cm. Sehingga, dilihat dari hasil percobaan ini maka
ijuk dari pohon aren yang dibungkus goni bisa djadikan bahan alternatif sebagai drainasi vertikal.
Tjandra, Daniel & Budi, Gogot Setyo. (2009), melakukan penelitian pengaruh elektrokinetik terhadap peningkatan
daya dukung tanah lempung lunak. Besar Voltase adalah 12 Volt. Variabel waktu adalah 48, 72, 96, 120 jam. Jenis
material yang dipakai untuk kutub anoda dan katoda adalah tembaga. Metode elektrokinetik dengan memberikan
tegangan secara kontinu ternyata dapat mempercepat penurunan kadar air di sekitar anoda dan dapat meningkatkan
daya dukung tanah di sekitar anoda. Penelitian ini dilaksanakan dengan cara memberikan tegangan sebesar 12 volt
secara kontinu pada tanah uji dalam kurun waktu tertentu. Ada 6 tipe pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini,
yang membedakan dari tiap pengujian tersebut terletak pada jumlah elektroda dan jarak elektroda. Hasil penelitian

GEO - 20
dengan metode elektrokinetik yaitu dapat menurunkan nilai kadar air di lokasi sekitar kutub anoda sampai dengan
15 % dan peningkatan kuat geser un-drained sampai dengan 139 % dari kondisi awalnya.

3. METODE PENELITIAN
Persiapan Tanah Sample
Sampel tanah lunak yang berasal dari daerah Kasongan, Bantul, Yogyakarta yang diambil pada kedalaman -5,50m
yang kemudian akan diuji parameternya di laboratorium Mekanika Tanah Fakultas Teknik UAJY.
Parameter yang diuji meliputi pengujian kadar air, berat jenis, berat volume, gradasi, hydrometer analysis, batas-
batas Atterberg, geser langsung dan konsolidasi.
Setelah parameter tanah diuji dan hasilnya menunjukan bahwa sampel tanah yang diambil sesuai dengan yang
diinginkan, selanjutnya tanah dimasukkan kedalam bak uji untuk dilakukan pengujian.

Lokasi Pengujian
Sampel diambil di daerah Kasongan Bantul Yogyakarta. Tanah sampel diambil di daerah Kasongan Bantul karena
tanah ini memiliki karakteristik tanah yang cukup berlempung dan sering digunakan sebagai bahan kerajinan tanah
liat. Tanah diambil pada kedalaman -5,50m dari permukaan tanah. Pengujian pembebanan dilakukan di
Laboratorium Mekanika Tanah Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan yyang diperlukan dalam penelitian ini antara lain :
1. Bak pengujian dengan ukuran 100 cm x 100 cm x 80 cm lengkap dengan rangka penahan box beban. Tong
terbuat dari rangka besi profil siku dan diberi multiplex setebal 3 cm yang diberi perkuatan plat baja sebagai
penutup sisinya (Gambar 3.1)
2. Tanah lunak (lempung) yang diambil dari Kasongan Bantul dan Pasir lolos saringan nomor 4 tertahan nomor 40
sebagai double drain.
3. Beban-beban dari tanah yang dibungkus dengan karung dengan berat 25 kg per karung.
4. Box Beban dengan ukuran 80 x 80 x 45 cm3 yang terbuat dari multiplex setebal 3cm.
5. Dial dengan ketelitian 0.01 mm
6. Pipa dengan diameter 2.5 cm
7. Ijuk dari pohon aren
8. Sampah botol plastik / gelas plastik dengan ukuran ±1 cm2
9. Penggaris
10. Stopwatch
11. Alat tulis
12. Kertas folio
13. Perangkat computer dan mesin hitung
14. Peralatan dokumentasi
15. Peralatan laboratorium

Model Uji
Penelitian ini akan dilakukan dengan cara membebani tanah lunak yang telah disiapkan dalam bak uji dengan beban
yang diletakkan dalam box beban dengan ukuran 80 x 80 x 45 cm3 (Gambar 3.1).
Dial
Gauge

Kotak
Beban

Pasir 15cm
80cm

10cm
Lempung Drainasi
Pasir Vertikal
30cm

Saluran
100cm Drainasi
Gambar 3.2
Gambar 3.1 Bak Uji Pola Susunan Drainase Vertikal pada Bak Uji

Percobaan pembebanan yang akan dilakukan meliputi :


1. Sampel Tanah Lunak Tanpa Drainase Vertikal
2. Sampel Tanah Lunak dengan Drainase Vertikal Ijuk
3. Sampel Tanah Lunak dengan Drainase Vertikal Sampah Plastik
4. Sampel Tanah Lunak dengan Drainase Vertikal Pasir

GEO - 21
Prosedur Pelaksanaan Pengujian
Sebelum dilakukan penelitian pembebanan, sampel tanah akan diuji untuk mengidentifikasi parameter tanah.
Penelitian meliputi pengujian kadar air, berat jenis, berat isi, gradasi, hydrometer analysis, batas-batas Atterberg,
geser langsung dan konsolidasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah sampel yanah yang diambil dari
lapangan telah memenuhi syarat-syarat sebagai tanah lunak atau tidak. Setelah itu persiapan pembebanan dapat
dilakukan.
Tanah yang diambil dari lapangan diisi kedalam tong pembebanan. Pasir yang sudah disaring di masukkan ke dalam
bak uji dengan setebal 30 cm. lalu tanah lunak diisi selapis-demi selapis dengan tinggi tiap lapis sekitar 10 cm,
kemudian diinjak-injak agar lebih padat hingga penuh dan diratakan sambil diberi air sedikit demi sedikit. Setelah
10 cm tanah lunak dimasukkan, pasir di masukkan kembali setebal 15 cm. setelah itu proses penjenuhan dilakukan
selama 2 hari.
Setelah penjenuhan selesai, pengujian dapat dimulai. Pengujian dilakukan dengan memberi pembebanan secara
bertahap. Untuk pembebanan dilakukan dengan beban 0,4 ton/m2 sampai dengan 2,0 ton/m2 dengan interval 0,4
ton/m2. Untuk setiap tahap pembebanan dilakukan selama 10 x 24 jam pengamatan.
Setelah pengujian tanpa drainasi vertikal selesai, tanah sampel yang ada di dalam bak uji di bongkar, lalu
dimasukkan kembali selapis demi selapis dengan diberi air sedikit demi sedikit. Setelah tanah lunak dimasukkan,
tanah tersebut dilubangi dengan pipa berdiameter 2.5 cm dengan jarak 15 cm (Gambar 3.2), lubang tersebut sebagai
drainase vertikal. Setelah tanah dilubangi, ijuk atau pasir atau plastik dimasukkan sampai penuh dengan dipadatkan.
Setelah drainase vertikal siap, pasir di letakkan diatasnya kembali dengan tebal 15 cm lalu dilakukan penjenuhan.
Setelah penjenuhan selesai, maka pengujian dapat dimulai seperti yang sudah dijelaskan di atas pada percobaan
tanpa drainasi vertikal.

Pembacaan Dial dan Pembebanan


Untuk setiap percobaan angka yang dicatat pada dial adalah angka penurunan yang terjadi. Prosedur pembebanan
untuk semua pengujian sama. Prosedur pembebanannya sebagai berikut :
1. Pertama-tama sampel tanah dalam bak uji di bebani 0,4 ton dan dilakukan pencatatan penurunan (mm)
terhadap waktu yang dinyatakan dalam menit masing-masing untuk waktu 0,1; 0,25; 0,5; 1; 2; 3; 4; 6; dan
seterusnya dengan waktu yang diakarkan hasilnnya bulat selama 10 hari (14400menit).
2. Langkah selanjutnya adalah pembebanan menjadi 0,8 ton setelah pengamatan selama 10 hari. Dan
seterusnya sama sampai dengan beban 2,0 ton.
3. Setelah pembebanan 2,0 ton selesai, beban dibongkar lalu dilanjutkan pada pengujian dengan bahan pengisi
drainase vertikal yang lain.

Bagan Alir Prosedur Penelitian


Prosedur pengujian dilakukan seperti bagan alir berikut:

Gambar 3.3. Bagan alir Prosedur Penelitian

GEO - 22
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Sampel tanah yang diambil di daerah Kasongan bantul, Yogyakarta kemudian diuji parameternya di Laboratorium
Mekanika Tanah Fakultas Teknik UAJY. Hasil pengujian parameter tanah asli adalah sebagai berikut:
Kadar air (ω) = 42.31 %
Berat jenis (G) = 2,5989 gr/cm3
Berat volume basah (γb) = 1,63 gr/cm3
Berat volume kering (γk) = 1,08 gr/cm3
Liquid limit (LL) = 54 %
Plastis limit (PL) = 35.41 %
Plastis indeks (PI) = 18.59 %
Angka Pori awal = 1.384273

HASIL TES PEMBEBANAN


Hasil pembebanan disajikan dalam bentuk grafik hubungan antara penurunan (mm) dan waktu (menit),

Konsolidasi Tanah Asli Lapangan Pengujian Laboratorium


Dari pembebanan yang dilakukan di laboratorium, disajikan dalam bentuk grafik dan tabel dibawah ini.

Tabel 4.1 Nilai Cv tanah asli


pada pengujian konsolidasi
laboratorium
Tanah Asli di Laboratorium
Tebal
Beban t90 t90 t90 Cv
sample
kg/cm2 (menit) (menit) (detik) (cm2/detik)
(cm)
0.25 2.53062 10.7500 115.5625 6933.7500 0.000195804
0.5 2.53062 10.7500 115.5625 6933.7500 0.000195804
1 2.53062 10.8960 118.7228 7123.3690 0.000190592
2 2.53062 11.0400 121.8816 7312.8960 0.000185652
4 2.53062 10.7500 115.5625 6933.7500 0.000195804
Gambar 4.1 Grafik Penurunan Vs Waktu 8 2.53062 10.6500 113.4225 6805.3500 0.000199498
Rata2 0.000193859
(Tanah Asli di Laboratorium)

Dari hasil pengujian konsolidasi di laboratorium, tanah asli lapangan mempunyai nilai
Cvrerata=0.000194cm2/detik.

Konsolidasi Tanah Bak Pengujian Laboratorium


Dari pembebanan yang dilakukan di laboratorium, disajikan dalam bentuk grafik dan tabel dibawah ini.

Tabel 4.2 Nilai Cv tanah bak


pada pengujian konsolidasi
laboratorium
Tanah Sample Bak di Laboratorium
Tebal
Beban t90 t90 t90 Cv
sample
kg/cm2 (menit) (menit) (detik) (cm2/detik)
(cm)
0.25 2.805 11.8900 141.3721 8482.3260 0.000196647
0.5 2.805 11.9400 142.5636 8553.8160 0.000195003
1 2.805 11.9400 142.5636 8553.8160 0.000195003
2 2.805 12.5300 157.0009 9420.0540 0.000177071
4 2.805 11.7400 137.8276 8269.6560 0.000201704
Gambar 4.2 Grafik Penurunan Vs Waktu 8 2.805 11.7400 137.8276 8269.6560 0.000201704
(Sample bak di laboratorium) Rata2 0.000194522

Dari hasil pengujian konsolidasi di laboratorium sample tanah bak, tanah pada bak mempunyai nilai
Cv rata-rata = 0.000195 cm2/detik.

GEO - 23
Konsolidasi Tanah Tanpa Drainase Vertikal
Hasil dari pembebanan yang dilakukan pada bak uji pada perbaikan tanah lunak tanpa drainase vertikal adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.3 Nilai Cv Konsolidasi Bak tanpa
Drainasi
Tanah Sample Bak tanpa Drain
Tebal
Beban Cv
sample t50 (menit) t50 (detik) 2
ton/m2 (cm /detik)
(cm)
0.40 10 418.0000 25080.0000 0.000196372
0.80 10 421.0000 25260.0000 0.000194972
1.20 10 422.0000 25320.0000 0.000194510
1.60 10 415.0000 24900.0000 0.000197791
Gambar 4.3 Grafik Penurunan Vs Waktu 2.00 10 420.0000 25200.0000 0.000195437
(tanpa drainase vertikal di Bak uji) Rata2 0.000195816
Dari hasil pengujian konsolidasi sample tanah di bak tanpa drainasi vertikal, maka nilai
Cv rata-rata = 0.000196 cm2/detik.

Konsolidasi Tanah dengan Drainase Vertikal Pasir


Hasil dari pembebanan yang dilakukan pada bak uji pada perbaikan tanah lunak dengan drainase vertikal pasir
adalah sebagai berikut:
Tabel 4.4 Nilai Cv konsolidasi Bak uji
dengan drainase vertikal pasir
Tanah Sample Bak Dengan Drain Pasir
Tebal
Beban Cv
sample t50 (menit) t50 (detik) 2
ton/m2 (cm /detik)
(cm)
0.40 10 260.0000 15600.0000 0.000315705
0.80 10 255.0000 15300.0000 0.000321895
1.20 10 260.0000 15600.0000 0.000315705
1.60 10 250.0000 15000.0000 0.000328333
Gambar 4.4 Grafik Penurunan Vs Waktu 2.00 10 255.0000 15300.0000 0.000321895
(drainase vertikal Pasir di Bak Uji) Rata2 0.000320707

Dari hasil pengujian konsolidasi di bak uji, dengan drainase vertikal pasir mempunyai nilai
Cv rata-rata = 0.000321 cm2/detik.

Konsolidasi Tanah dengan Drainase Vertikal Ijuk


Hasil dari pembebanan yang dilakukan pada bak uji pada perbaikan tanah lunak dengan drainase vertikal Ijuk adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.5 Nilai Cv konsolidasi Bak uji
dengan drainase vertikal ijuk
Tanah Sample Bak Dengan Drain Ijuk
Tebal
Beban Cv
sample t50 (menit) t50 (detik) 2
ton/m2 (cm /detik)
(cm)
0.40 10 122.0000 7320.0000 0.000672814
0.80 10 122.0000 7320.0000 0.000672814
1.20 10 121.0000 7260.0000 0.000678375
1.60 10 123.0000 7380.0000 0.000667344
Gambar 4.5 Grafik Penurunan Vs Waktu 2.00 10 122.0000 7320.0000 0.000672814
(drainase vertikal Ijuk di Bak Uji) Rata2 0.000672832

Dari hasil pengujian konsolidasi di bak uji dengan drainase vertikal ijuk mempunyai nilai
Cv rata-rata = 0.000673 cm2/detik.

GEO - 24
Konsolidasi Tanah dengan Drainase Vertikal Plastik
Hasil dari pembebanan yang dilakukan pada bak uji pada perbaikan tanah lunak dengan drainase vertikal plastik
adalah sebagai berikut:

Tabel 4.6 Nilai Cv konsolidasi Bak uji


dengan drainase vertikal Plastik
Tanah Sample Bak Dengan Drain Plastik
Tebal
Beban Cv
sample t50 (menit) t50 (detik) 2
ton/m2 (cm /detik)
(cm)
0.40 10 101.0000 6060.0000 0.000812706
0.80 10 102.0000 6120.0000 0.000804739
1.20 10 100.0000 6000.0000 0.000820833
1.60 10 100.0000 6000.0000 0.000820833
Gambar 4.6 Grafik Penurunan Vs Waktu 2.00 10 101.0000 6060.0000 0.000812706
(drainase vertk Plastik di Bak Uji) Rata2 0.000814364

Dari hasil pengujian konsolidasi di bak uji dengan drainase vertikal plastik mempunyai nilai
Cv rata-rata = 0.000814 cm2/detik.

ANALISA HASIL PENELITIAN


Dari hasil penurunan akibat pembebanan dan akar waktu diperoleh koefisien konsolidasi arah vertikal yang dapat
dibandingkan sebagai berikut :
Tabel 4.7. Perbandingan Koefisien Konsolidasi

Sample di Bak Smax Cv Ch


St (mm) Ugab (%) Cc 2 2 Ch/Cv
dg Drain (mm) (cm /detik) (cm /detik)
Tanpa 4.02894 0.96900 24.05097 0.13315 0.0001953
Pasir 4.39324 3.49773 79.61619 0.14519 0.0003214 0.0039563 20.25674
Ijuk 4.82996 4.00400 82.89929 0.15962 0.0006712 0.0044845 22.96142
Sampah Plastik 4.88906 4.45200 91.06043 0.16158 0.0008136 0.0053629 27.45896

Dari hasil perbandingan di atas, terlihat bahwa drainasi vertikal dengan menggunakan Sampah Plastik dan Ijuk
mempunyai koefisien konsolidasi arah vertikal dan konsolidasi arah horisontal yang lebih besar dibandingkan
dengan yang menggunakan pasir bersih.
Dari perhitungan indeks kompresi tanah dan hasil perhitungan parameter tanah maka didapat :
a) Indeks kompresi (Cc) rata rata sebesar 0,15
b) Berat volume tanah (b) rata rata sebesar 1,63 gr/cm3
c) Angka pori (eo) rata rata sebesar 1,38
Yang nanti selanjutnya hasil ini akan di gunakan pada contoh hitungan di bawah ini.

Contoh soal di Lapangan


Direncanakan suatu konstruksi jalan raya di atas tanah lempung kompresif setebal 2,0m yang berada di tengah
tengah lapisan pasir dengan tebal masing masing 2,0m. Badan jalan dianggap cukup luas sehingga memberikan
tambahan tekanan rata pada lempung sebesar p = 0,2 kg/cm2. Direncanakan pemasangan vertical drain dengan
diameter 30 cm, jarak antara vertical drain 3,0m dengan susunan bujur sangkar.(m.a.t. pada -1.50m).
Diketahui :
a) Indeks kompresi Lempung (Cc) = 0,15
b) Berat volume tanah (b) lempung = 1,63 gr/cm3
c) Berat volume tanah (b) pasir = 1,90 gr/cm3
d) Angka pori (eo) lempung = 1,38
e) Angka pori (eo) pasir = 0,6
f) Berat jenis lempung G = 2,6
g) Berat jenis pasir G = 2,7
h) Berat volume terendam air : Lempung ’Lempung = 0,67 gr/cm3 ; Pasir ’pasir = 1,063 gr/cm3

GEO - 25
Hasil contoh di lapangan
Tabel 4.8. Proses Konsolidasi
arah vertikal dan horisontal
drain pasir
Ugab
Uv Uh
Pasir
0.100 0.047 0.056
0.200 0.075 0.136
0.300 0.098 0.224
0.400 0.121 0.318
0.500 0.143 0.416
0.600 0.158 0.482
0.700 0.188 0.604
0.800 0.223 0.728
0.900 0.273 0.858
1.000 0.587 1.000 Gambar 4.8. Grafik Proses Konsolidasi arah vertikal
dan horisontal drain pasir

Tabel 4.9. Proses


Konsolidasi arah vertikal
dan horisontal drain ijuk
Ugab
Uv Uh
Ijuk
0.100 0.045 0.058
0.200 0.071 0.139
0.300 0.093 0.228
0.400 0.114 0.323
0.500 0.136 0.422
0.600 0.149 0.485
0.700 0.177 0.607
0.800 0.210 0.731
0.900 0.257 0.860 Gambar 4.9. Grafik Proses Konsolidasi arah vertikal
1.000 0.553 1.000 dan horisontal drain ijuk

Tabel 4.10. Proses


Konsolidasi arah vertikal
dan horisontal drain
Sampah Plastik
Ugab
Sampah Uv Uh
Plastik
0.100 0.042 0.061
0.200 0.066 0.143
0.300 0.087 0.234
0.400 0.106 0.329
0.500 0.125 0.428
0.600 0.137 0.488
0.700 0.163 0.611
0.800 0.193 0.735 Gambar 4.10. Grafik Proses Konsolidasi arah vertikal
0.900 0.236 0.863 dan horisontal drain Sampah Plastik
1.000 0.508 1.000

GEO - 26
Tabel 4.11. Perbandingan
Proses Konsolidasi dan Waktu

Derajat
Waktu Berkonsolidasi (Hari)
Konsolidasi
Sampah
Ugab Tanpa Pasir Ijuk
Plastik
0.100 18.600 4.076 3.730 3.274
0.200 74.500 10.340 9.360 8.105
0.300 167.600 17.970 16.195 13.930
0.400 297.900 27.120 24.370 20.880
0.500 465.500 38.210 34.260 29.270
0.600 678.500 46.680 41.520 35.070
0.700 955.000 65.690 58.420 49.350
0.800 1344.500 92.480 82.250 69.480
0.900 2010.000 138.250 123.000 103.850
1.000 9310.739 640.431 569.607 481.132

Gambar 4.11. Grafik Hubungan Waktu dan


derajat Konsolidasi

Dari grafik diatas terlihat bahwa tanah lunak dengan drainase vertikal plastik mempunyai waktu konsolidasi yang
paling cepat dibandingkan dengan tanah lunak dengan drainase vertikal ijuk dan pasir.
Contoh pada hasil grafik di atas (gb 4.11.)
Pada t (waktu) = 30 hari,
1. Tanah lunak tanpa Drainasi mencapai derajat konsolidasi 21,42% dari penurunan total.
2. Tanah lunak dengan pasir sebagai drainasi vertikal mencapai derajat konsolidasi 48.51% dari penurunan total.
3. Tanah lunak dengan ijuk sebagai drainasi vertikal mencapai derajat konsolidasi 51.34% dari penurunan total
4. Tanah lunak dengan sampah plastik sebagai drainasi vertikal mencapai derajat konsolidasi 55.70%.

Contoh pada hasil grafik di atas (gb 4.11.)


Pada t (waktu) = 60 hari,
1. Tanah lunak tanpa Drainasi mencapai derajat konsolidasi 23.83% dari penurunan total.
2. Tanah lunak dengan pasir sebagai drainasi vertikal mencapai derajat konsolidasi 67.31% dari penurunan total.
3. Tanah lunak dengan ijuk sebagai drainasi vertikal mencapai derajat konsolidasi 70.80% dari penurunan total
4. Tanah lunak dengan sampah plastik sebagai drainasi vertikal mencapai derajat konsolidasi 75.80%.

GEO - 27
DAFTAR PUSTAKA

Mahmudi, A., 2007, Pengaruh Pola Susunan Sand Drain terhadap Kecepatan Pemampatan Konsolidasi pada Sistim
Vertical Sand Drain, Jurnal Penelitian, Universitas Bhayangkara, Surabaya.
Wahyu, 2007, Penurunan Tanah Organik menggunakan Metode Sand Drain pada Kodisi Double drain
Sumiyati, 1999, Analisa Drainase Vertikal dengan bahan pengisi Ijuk dibungkus Goni dan Pasir
Tjandra, Daniel & Wulandari, Sri Paravita, 2006. Pengaruh Elektrokinetik Terhadap Daya Dukung Pondasi Tiang di
Lempung marina, Jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra
Das,B.M, 1998. Mekanika Tanah (prinsip-prinsip Rekayasa Geoteknik), Penerbit Erlangga, Jakarta

GEO - 28
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

KONTRIBUSI AKAR BAMBU KEPADA PARAMETER KEKUATAN GESER TANAH


TERHADAP STABILITAS LERENG

Mukhsin1, Maimun Rizalihadi2, Banta Chairullah3, dan Haris Novian Saputra4

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syeh Abdul Rauf No. 7, Banda Aceh
Email: mukhsin.abubakar@unsyiah.ac.id
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syeh Abdul Rauf No. 7, Banda Aceh
Email: dilamaila@hotmail.com
3
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syeh Abdul Rauf No. 7, Banda Aceh
Email: bantachairullah@yahoo.com
4
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syeh Abdul Rauf No. 7, Banda Aceh
Email: mharismunandaranas@gmail.com

ABSTRAK
Ketidakstabilan lereng dapat dikaitkan dengan beberapa faktor seperti keadaan cuaca, jenis tanah,
sudut lereng, topografi, dan pohon atau gabungannya. Hujan lebat yang berkelanjutan pada lereng
dapat memicu terjadinya longsor. Dampak dari longsor tersebut menyebabkan ikut terbawanya
pohon yang berada disekitarnya. Lama-kelamaan tanah hasil longsoran bercampur dengan pohon
dan air hujan mengalir ke bawah lereng secara bersamaan. Terutama, di lokasi tebing dekat daerah
aliran sungai (DAS) kecil yang respon curah hujan dengan limpasan (runoff) pendek dan
mengakibatkan banjir bandang. Permasalahan adalah kontribusi akar bambu pada bawah lereng,
apakah dapat meningkatkan parameter kekuatan geser tanah terhadap stabilitas lereng tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kontribusi akar kepada kekuatan geser tanah.
Metode penelitian dengan pengambilan sampel akar-tanah di lapangan berjarak, yaitu: 0,25 m, 0,50
m, 0,75 m, dan 1,00 m dari pohon bambu dengan kedalaman 0,50 m dan 1,00 m yang dilakukan
dengan alat Root Auger. Kemudian, dilakukan pengujian Direct Shear di laboratorium. Di lain
pihak, dilakukan juga pengujian sifat fisis dan mekanis yang di ambil sampel tanah tanpa akar
berjarak lebih dari 1,00 m serta permeabilitas. Hasil menunjukkan bahwa kontribusi akar di
kedalaman 0.50 m berjarak dekat pohon bambu dengan signifikan meningkatkan nilai kohesi.
Sementara, kedalaman 1.00 m tidak signifikan peningkatannya. Sebaliknya, untuk parameter sudut
geser terjadi penurunan nilainya. Jadi, kontribusi akar yang diduduki lebih banyak dan berdekatan
pohon bambu meningkatkan parameter kohesi. Hal ini, parameter kekuatan geser yang berperan
terhadap stabilitas lereng adalah kohesi tambahan (Δs) akibat interaksi antara akar dan tanah.
Kata kunci : akar, bambu, Δs, stabilitas lereng

1. PENDAHULUAN
Curah hujan yang sangat tinggi menyebabkan terjadinya longsor pada lereng berisiko. Dampak dari longsor tersebut
menyebabkan ikut terbawanya/tercabutnya pohon yang berada disekitarnya. Lama-kelamaan tanah hasil longsoran
bercampur dengan pohon dan air hujan mengalir ke bawah lereng secara bersamaan. Pada saat curah hujan menjadi
maksimal yang menyebabkan longsoran yang terjadi sangat besar dan menghancurkan segala sesuatu yang
dilaluinya dengan kecenderungan arah arus relatif lurus yang selanjutnya dapat menyababkan terjadinya banjir
bandang. Peristiwa tesebut banyak terjadi di Indonesia, terutama daerah provinsi Aceh, seperti di Kecamatan Tangse
Kabupaten Pidie pada tanggal 10 maret 2011, Kecamatan Leuser Aceh Tengara pada tanggal 17 agustus 2012, dan
Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar pada tanggal 2 januari 2013. Banjir bandang sering terjadi di sekitar
pegunungan dengan lereng yang curam dan memiliki daerah aliran sungai (DAS) kecil yang menyebabkan respon
curah hujan dengan limpasan (runoff) yang pendek.

Ketidakstabilan lereng dapat dikaitkan dengan beberapa faktor seperti keadaan cuaca, jenis tanah, sudut lereng,
topografi, dan pohon atau gabungan. Perkuatan lereng pada saat ini sering dilakukan dengan penggunaan penguatan
akar atau bio-engineering. Teknik ini lebih relatif murah jika dibandingkan dengan teknik perkuatan lereng yang
lain nya seperti dinding perkuatan beton bertulang, atau geosintetik. Selain itu, teknik perkuatan lereng dengan bio-
engineering dapat sebagai penghijauan yang mendukungnya kembali kepada alam. Pohon pada lereng dapat
mengurangi infiltrasi pada permukaan tanah dan juga erosi. Air yang telah terinfiltrasi ke dalam tanah diserap oleh

GEO - 29
akar, akibatnya tekanan air pori pada lereng berkurang, hal ini meningkatkan stabilitas lereng. Di sisi lain, akar juga
meningkatkan permeabilitas tanah sehingga air dapat masuk dengan jumlah yang lebih banyak. Chirico dkk. (2013)
menjelaskan bahwa dua pengaruh positif pohon terhadap stabilitas lereng adalah (i) pengaruh geo-mekanika (geo-
mechanical), yaitu perkuatan dengan akar pohon, dan (ii) pengaruh hidrologi-tanah (soil-hydrological), yaitu
kemampuan akar dalam menyerap air dalam tanah. Pengaruh geo-mekanis memberikan kontribusi yang sangat besar
terhadap parameter kekuatan geser tanah.

Penelitian yang akan dilakukan pada akar bambu yang terdapat di sekitar lereng sungai Seulimeum, apakah pohon
bambu dapat mempertahankan tanah longsor. Permasalahan adalah kontribusi akar bambu di bawah lereng, apakah
dapat meningkatkan parameter kekuatan geser tanah. Oleh karena itu, kajian-kajian mengenai kekuatan geser antara
akar-tanah untuk menganalisis stabilitas lereng. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi kontibusi akar bambu
terhadap parameter kekuatan geser akibat interaksi akar-tanah di bawah lereng.

Hasil menunjukkan bahwa kontribusi akar di kedalaman 0.50 m berjarak dekat pohon bambu dengan persentase
signifikan meningkat nilai kohesi. Sementara, kedalaman 1.00 m tidak signifikan peningkatannya. Sebaliknya, untuk
parameter sudut geser terjadi penurunan nilainya. Jadi, kontribusi akar yang diduduki lebih banyak berdekatan
pohon bambu meningkatkan parameter kohesi. Hal ini, parameter kekuatan geser yang berperan terhadap stabilitas
lereng adalah kohesi tambahan (Δs) akibat interaksi antara akar dan tanah.

2. KAJIAN PUSTAKA
Kekuatan geser tanah adalah kemampuan tanah melawan tegangan geser yang terjadi pada saat terbebani. Bila
tanah mengalami pembebanan maka beban akan ditahan karena pengaruh adanya kekuatan geser tanah yaitu, oleh
adanya gesekan dalam (Ø) antara butir-butir tanah berbanding lurus dengan tegangan vertikal (tegangan efektif) yang
bekerja pada bidang geser dan kohesi tanah yang bergantung pada jenis tanah dan kepadatannya, tetapi tidak
tergantung dari tegangan vertikal yang bekerja pada bidang gesernya.

Akar pohon merupakan bagian terpenting dalam mencegah terjadi tanah longsor melalui dua mekanisme yaitu
mencengkeram tanah dan menopang tegaknya batang sebagai jangkar. Menurut Abe dan Ziemer (1991) akar pohon
dapat membantu menjaga stabilitas lereng melalui peningkatan kekuatan geser tanah (soil shear strength).

Pengaruh kontribusi akar kepada parameter kekuatan geser tanah

Pohon di lereng mempunyai pengaruh penting kepada hidrologi sehingga mempengaruhi aktivitas erosi dan tanah
longsor. Pohon sendiri juga menciptakan lingkungan di mana air terperangkap atau tersimpan di dalam tanah,
terutama pada musim kering (Rietkerk dkk., 2004). Penangkapan hujan merupakan proses hidrologi yang mengubah
kuantitas, waktu, dan luas distribusi input dan output air. Oleh itu, infiltrasi air hujan masuk ke dalam tanah diserap
oleh sebagian akar dan memainkan peranan penting terhadap pengeringan lereng. Pohon juga dapat berkontribusi
kepada sabilitas lereng dan meningkatkan kekuatan geser melalui penguatan akar (Gray dan Sotir, 1996). Tanah
longsor pada kedalaman dangkal dapat terjadi di lereng yang disebabkan oleh infiltrasi air hujan pada sudut lebih
besar dari sudut geser tanah efektif (Chirico dkk., 2013).

Peranan aspek mekanika merupakan pencengkeraman tanah yang memberikan kontribusi kepada parameter
kekuatan geser tanah, tetapi sangat bergantung pada faktor seperti sistem morfologi, penguatan, distribusi akar, dan
interaksi antara akar-tanah (Reubens dkk., 2007). Keberadaan akar pohon di tanah bertindak sebagai penguatan
melalui efek kohesi dan meningkatkan stabilitas lereng (Van Beek dkk., 2005). Pengaruh kontribusi akar dapat
dinyatakan dalam suatu nilai kohesi melalui kriteria kegagalan Morh-Coulomb dimana gabungan akar-tanah dapat
menghitung kekuatan geser (τ) seperti berikut:

τ = c + σ tan Ø + Δs (1)

di mana Δs adalah kohesi tambahan dari penguatan akar, c adalah nilai kohesi tanah, dan σ adalah tegangan normal.

Gaya geser ketika bergerak tanah dapat diterjemahkan ke dalam kekuatan tarik akar. Mobilisasi kekuatan tarik akar
dapat dipecah menjadi komponen tangensial dan normal. Asumsi akar yang elastis dan awalnya berorientasi tegak
lurus terhadap bidang gelincir, sepenuhnya dimobilisasi dalam tegangan oleh penguatan akar (Wu, 2013). Nilai Δs
seperti persamaan (2) sebagai berikut ini

Δs = tr (sin θ + cos θ tan Ø) (2)

GEO - 30
di mana tr adalah rata-rata mobilisasi kekuatan tarik akar per unit luasan tanah dan θ = (tan-1 x/z) adalah sudut akar
pembelokan setelah gelincir, x adalah perpindahan gelincir, dan z adalah ketebalan zona geser.

Di sisi lain, akar miring seperti persamaan (3) dengan pertambahan nilai kohesi tambahan (Δs) oleh penguatan akar
dapat diasumsikan menjadi persamaan berikut (Wu, 2013):

Δs = tr [sin(90 - ψ) + cos(90 - ψ) tan Ø] (3)

di mana: ψ = tan-1 [1/m + (tan i)-1 = sudut akar pembelokan sesudah gelincir; i = sudut lereng awal terhadap
permukaan geser; dan m = rasio distorsi geser (m = x/z).

Penelitian sebelumnya (Mukhsin dkk., 2016), kekuatan geser tanah bertambah seiring kekuatan tarik akar bambu.
Stabilitas tanah di bawah lereng meningkat dengan pertambahan nilai kohesi dari akar bambu kepada kekuatan geser
tanah. Sementara di penelitian lain Mukhsin, 2016), kekuatan tarik setiap luasan tanah (tr) cenderung menurun
karena diduduki oleh pertambahan jumlah akar. Nilai kohesi tambahan akibat akar Pohon agave seperti yang
ditemukan dengan persamaan Δs = 1,012 tr sebagai kontribusi kepada peningkatan kekuatan geser tanah dan
memainkan peran penting terhadap analisis stabilitas lereng. Di lain pihak, penguatan akar di tanah lereng dapat
memperkecil pergerakan tanah yang diakibatkan oleh infiltrasi air hujan. Penguatan akar pohon yang terletak pada
tanah lereng dapat meminilimasir pergerakan tanah (Mukhsin, 2017).

3. METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ini berada di Desa Keunaloi, Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.
Sampel akar-tanah tak terganggu dilakukan di sekitar pohon bambu dengan jarak 0,25 m, 0,50 m, 0,75 cm, 1,00 m
pada kedalaman 50 cm dan 100 cm. Pengambilan sampel tersebut mengunakan alat Root Auger dengan total benda
uji untuk pegujian Direct Shear adalah 72 buah. Pengambilan sampel tanah tanpa akar tidak terganggu dilakukan
pada tiga titik di setiap lokasi dengan jarak lebih dari 1,00 meter di sekitar pohon bambu. Pengambilan tanah
dilakukan dengan menggunakan tabung yaitu tabung khusus dari besi seperti diperlihatkan pada Gambat 1. Metode
penelitian merupakan langkah-langkah yang dilakukan secara sistematis dengan kerangka acuan yang jelas dalam
menyelesaikan permasalahan seperti diperlihat pada Gambar 2.

Gambar 1: Sketsa Pengambilan Sampel Tanah

GEO - 31
Gambar 2: Bagan Alir Penelitian

4. HASIL PEMBAHASAN

Pengaruh curah hujan terhadap kekuatan geser tanah lereng

Curah hujan menjadi salah satu pemicu terjadinya tanah longsor dengan kondisi lereng tertentu. Curah hujan tinggi
yang berkelanjutan berpotensi terjadinya tanah longsor karena pada kondisi tersebut terjadi penjenuhan tanah oleh
air kepada massa tanah. Pohon di atas dan tengah lereng yang akarnya tidak menembus bidang longsor (slip surface)
mempengaruhi stabilitas lereng. Hujan lebat yang berkelajutan menyebabkan terjadinya tanah langsor pada 2 Januari
2013 dengan curah hujan jumlah bulanan maksimum sebesar 400 mm yang mengakibatkan banjir bandang. Curah
hujan bulanan tertinggi pada tahun berikutnya yaitu Oktober 2014 sebesar 404 mm, di lokasi tersebut tidak
menyebabkan kelongsoran lagi karena sudah terjadi setahun yang lalu. Hasil pengujian permeabilitas pada lokasi
termasuk ke dalam kelas sedang. Berdasarkan hidrologi menunjukan bahwa kemampuan tanah dalam menyerap dan
meloloskan air hujan ke dalam pori-pori tanah tidak besar (sedang). Pada lokasi memiliki jenis tanah lanau dengan
kemampuan tanah untuk meloloskan air ke dalam pori-pori tanah tersebut. Tetapi, penyebaran dan kekuatan geser
akar bambu-tanah di bawah lereng dapat mengstabilkan kemampuan tanah dalam menyerap air hujan.

Karakteristik tanah di lereng

Pada lokasi jenis tanah berdasarkan klasifikasi sistem AASHTO dan USCS adalah jenis tanah lanau, dan memiliki
kadar air yang rendah. Pada lokasi memiliki berat volume tanah yang tinggi, maka tanah sangat keras sehingga sulit
untuk berinfiltrasi air ke dalam tanah. Lokasi penelitian memiliki jenis tanah lempung berlanau dengan karakteristik
tanah dapat diperlihatkan seperti pada Tabel 1 di bawah ini.

GEO - 32
Tabel 1. Karakteristik tanah pada lokasi
Specific gravity (SG) 2,69
Berat volume tanah (γ, gram/cm³) 1,763
Indeks plastisitas (IP, %) 3,11
Kelolosan butiran < 0,063 mm (%) 56,04
Kohesi tanah (c, kg/cm2) 0,63
Sudut geser tanah (ϕ, o) 13
Koefisien permeabilitas (k, cm/jam) 7,21

Kontribusi akar bambu kepada kekuatan geser tanah terhadap stabilitas lereng

Hasil kontribusi akar bambu kepada kekuatan geser tanah menunjukkan bahwa semakin dekat jarak dengan pohon
maka bertambahnya nilai kohesi seperti yang diperlihatakan pada Gambar 3. Berdasarkan gambar tersebut di
kedalaman 0,50 m terjadi peningkatan kohesi secara signifikan dibandingkan kedalaman 1,00 m dan parameter nlai
kohesi akibat kontribusi akar dapat ditentukan dengan persamaan (4) dan (5). Hasil analisis nilai sudut geser dalam
menunjukan bahwa semakin dekat jarak dengan pohon bambu maka semakin kecil seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 4. Berdasarkan gambar tersebut di kedalaman 0.50 m dan 1.00 m terjadi penurunannya secara signifikan.
Hal ini, parameter nilai sudut geser yang terjadi sebaliknya dengan kohesi. Nilai sudut geser akibat adanya akar
dapat ditentukan dengan persamaan (6) dan (7).

c0.50 = -0,064 x + 1,140 R² = 0,998 (4)

c1.00 = -0,025 x + 0,8294 R² = 0,829 (5)

Ø0.50 = 0.783 x + 6.910 R² = 0.993 (6)

Ø1.00 = 0.877 x + 5.29 R² = 0.941 (7)

Gambar 3: Hubungan nilai kohesi (c) dengan jarak (m)

GEO - 33
Gambar 4: Hubungan nilai sudut geser dalam (Ø) dengan Jarak (m)

Berdasarkan hasil uji Anova didapatkan nilai F hitung. Sementara, F tabel diperoleh dengan menggunakan tabel F
dengan derajat bebas, df residual (sisa) yaitu sebagai df penyebut dan df regression (perlakuan) yaitu sebagai df
pembilang. Pada kedalaman 0.50 m memiliki nilai F hitung lebih besar dari F tabel, maka mempengaruhi parameter
kekuatan geser terutama untuk nilai kohesi. Pada kedalaman 1.00 m tidak mempengaruhi banyak terhadap parameter
kekuatan geser seperti yang dierlihatkan dalam Tabel 2.

Tabel 2: Hasil uji Anova parameter kekuatan geser akar-tanah terhadap tanah tanpa akar

Kedalaman 0.50 m Kedalaman 1.00 m


Parameter
F hitung F tabel F hitung F tabel
Kohesi (c) 468,92 18,51 11,567 18,51
Sudut Geser (Ø) 77,07 18,51 75,96 18,51

Persentase kontribusi akar bambu terhadap parameter kekuatan geser

Kontribusi akar bambu terhadap parameter kekuatan geser dapat meningkat karena akar berkemampuan mengikat
tanah dan berguna untuk sistem konstruksi penahan lereng. Di samping itu, akar bambu dapat menyerap air dari
dalam tanah dan menurunkan tekanan air pori. Hasil persentase yang di dapat dari parameter-parameter kekuatan
geser akar bambu–tanah seperti diperlihatkan pada Tabel 3 untuk nilai kohesi (c) dan Tabel 4 untuk nilai sudut geser
dalam (Ø).

Tabel 3: Persentase peningkatan nilai kohesi (c) akar bambu-tanah

Tanpa Akar Akar Bambu-Tanah


Kedalaman Kedalaman
Jarak Kohesi (c) Jarak Persentase Persentase
0,50 m 1,00 m
(m) (kg/cm2) (m) (%) (%)
c (kg/cm2) c (kg/cm2)
0,25 1,07 69,84 0,82 30,69
0,50 0,96 52,38 0,69 10,05
>1,00 0,630
0,75 0,82 29,63 0,66 5,29
1,00 0,69 9,52 0,64 2,12

GEO - 34
Tabel 4 : Persentase peurunan sudut geser dalam (Ø) akar bambu-tanah

Tanpa Akar Akar Bambu-Tanah


Sudut Kedalaman Kedalaman
Jarak Jarak Persentase Persentase
Geser (Ø) 0,50 m 1,00 m
(m) (m) (%) (%)
(o) Ø (o) Ø (o)
0,25 6,07 53,33 7,67 41,03
0,50 8,17 37,18 9,33 28,21
>1,00 13
0,75 9,83 24,36 10,67 17,95
1,00 10,43 19,74 12,67 2,54

Pada kedalaman 0.50 m dan 1,00 m nilai kohesi (c) dengan jarak 0.25 m, 0.50 m, 0.75 m dan 1.00 m dari pohon
bambu persentasenya meningkat terhadap nilai kohesi tanah tanpa akar seperti diperlihatkan dalam Tabel 3.
Sementara, nilai sudut geser dalam (Ø) persentasenya terjadi menurun terhadap nilai sudut geser tanah tanpa akar
seperti diperlihatkan dalam Tabel 4. Oleh karena itu, kontribusi akar yang diduduki lebih banyak berdekatan pohon
bambu meningkatkan parameter kohesi. Dalam hal ini, kontribusi akar di lokasi tersebut lebih berpengaruh kepada
kohesi terhadap parameter kekuatan geser tanah. Parameter kekuatan geser yang berperan terhadap stabilitas lereng
adalah kohesi tambahan (Δs) akibat interaksi antara akar bambu dan tanah. Penguatan akar semakin besar perannya
untuk peningkatan kekuatan geser terhadap kedalaman kurang dari 1,00 m. Jadi, pohon bambu mempunyai sistem
perakaran serabut dengan struktur yang rapat dan menyebar ke segala arah yang secara horizontal dan secara
vertikal. Sistem perakaran serabut yang berkontribusi seperti akar bambu tersebut dapat mempengaruhi stabilitas
lereng. Dalam hal ini, pencegahan longsor tebing di daerah aliran sungai yang menyebabkan respon curah hujan
terhindari oleh ada pohon bambu dengan kontribusi akar tersebut.

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian kontribusi akar bambu bagian bawah lereng terhadap parameter kekuatan geser tanah,
Kecamatan Seulimeum, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh dapat diambil kesimpulan antara lain:
1. Curah hujan jumlah bulanan yang terjadi sebesar 400 mm pada 2 Januari 2013 terjadi longsor dengan
permeabilitas tanah termaksud kelas sedang.
2. Kontribusi akar di kedalaman 0.50 m berjarak dekat pohon bambu dengan signifikan meningkat nilai kohesi.
Sementara, kedalaman 1.00 m tidak signifikan peningkatannya. Sebaliknya, untuk parameter nilai sudut geser
terjadi penurunan.
3. Kontribusi akar bambu dengan jarak 0.25 m, 0.50 m, 0.75 m, dan 1.00 m terhadap tanah tanpa akar dengan nilai
kohesi di kedalaman 0.50 m dan pesentase peningkatan adalah 69,84%, 52,38%, 29,6%, dan 9,52%. Sementara,
nilai sudut geser dalam dengan persentase penurunan adalah 53,33%, 37,18%, 24,36%, dan 19,74%.
4. Kontribusi akar bambu dengan jarak sama terhadap tanah tanpa akar di kedalaman 1.00 m dengan nilai kohesi
pesentase peningkatan adalah 30,69%, 10,05%, 5,29%, dan 2,12%. Sementara, nilai sudut geser dalam dengan
persentase penurunan adalah 41,03%, 28,21%, 17,95%, dan 2,54%.
5. Kontribusi akar yang diduduki lebih banyak dan berdekatan pohon bambu meningkatkan parameter kohesi. Hal
ini, parameter kekuatan geser yang berperan terhadap stabilitas lereng adalah kohesi tambahan (Δs) akibat
interaksi antara akar dan tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Abe, K. and Ziemer, RR. (1991). “Effect of tree roots on a shear zone: modelling reinforced shear strength”. Can J
Forest, Vol. 21, 1012-1019.
Chirico, GB. Borga, M., Tarolli, P. Rigon, R. and Preti, F. (2013). “Role of vegetation on slope stability under
transient unsaturated conditions”. Procedia Environmental Sciences. Vol. 19, 932-941.
Gray, DH.and Sotir, RB. (1996). “Biotechnical and soil bioengineering slope stabilisation”. A Practical Guide for
Erosion Control. Wiley, NewYork.
Mukhsin, Rizalihadi, M. dan Ramadhan, R. (2016). “Studi kekuatan tarik akar bambu terhadap stabilitas tanah di
bawah lereng”. Prosiding 3rd Andalas Civil Engineering National Conference, Padang, 22-23 Oktober 2016,
377-385.
Mukhsin, (2016). “Kekuatan tarik akar Pohon agave terhadap stabilitas lereng”. Prosiding Konferensi Nasional
Pascasarjana Teknik Sipil, Bandung, 8 November 2016, V1-V9.
Mukhsin, (2017). “Pergerakan tanah pada lereng dengan penguatan akar pohon terhadap stabilitas lereng”.
Proceedings The 6th Aceh Development Conference 2017, Kuala Lumpur, 24-26 March 2017, 460-467.

GEO - 35
Reubens, B. Poesen, J. and Danjon, F. (2007). “The role of fine and coarse roots in shallow slope stability and soil
erosion control with a focus on root system architecture”, a review, Vol. 21, 385-402.
Rietkerk, M. Dekker, SC. De Ruiter, PC. and Van de Koppel, J. (2004). “Self-organized patchiness and catastrophic
shifts in ecosystems”. Science, Vol. 305, 1926-1929.
Van Beek, LP. Wint, H. Cammeraat, LH. and Edwards, JP. (2005). “Observarsion and simulation of root
reinforcement on abandoned Mediterranean slopes”. Plant soil, Vol. 278, 55-74.
Wu, TH. (2013). “Root reinforcement of soil: Review of analytical models, test results and applications to design”,
Canadian Geotechnical Journal, Vol. 3, 259-274.

GEO - 36
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

DAYA DUKUNG PONDASI KACA PURI PADA TANAH ALUVIAL PASANG SURUT
DI MANDOMAI KALIMANTAN TENGAH

Putu Ratna Suryantini1 dan I Ketut Suwantara2

1
Balai Litbang Perumahan Wilayah II Denpasar
Email: ratnasurya_putu@yahoo.com
2
Balai Litbang Perumahan Wilayah II Denpasar
Email: tara_iwan@yahoo.com

ABSTRAK
Tanah aluvial merupakan tanah dengan indeks plastisitas rendah yang terdapat di Mandomai,
Kalimantan Tengah. Tanah ini berada pada kondisi pasang surut karena dekat dengan sungai.
Potensi terbesar yang terjadi adalah penurunan muka tanah yang menyebabkan kerusakan secara
struktural pada bangunan. Untuk mengatasi kondisi tersebut masyarakat setempat menggunakan
pengetahuan lokal yaitu sistem kaca puri pada pondasi rumah tradisional suku Dayak Ngaju, namun
secara teknis belum diketahui daya dukung pondasi kaca puri, sehingga perlu dilakukan penelitian
terkait pondasi pada jenis tanah aluvial pasang surut ini untuk mendapatkan informasi kesesuaian
tipe pondasi dengan pengetahuan lokal. Metode penelitian adalah uji tekan aksial skala penuh. Jenis
pengujian adalah tipe pondasi kaca puri dengan urugan tanah kembali adalah tanah sisa galian (tipe
1), jenis pondasi kaca puri dengan urugan tanah kembali adalah urugan pasir lokal (tipe 2) dan jenis
pondasi kaca puri dengan penambahan layer kaca puri dengan urugan tanah kembali adalah tanah
sisa galian (tipe 3). Alat uji yang digunakan adalah loadcell kapasitas 10 ton, LVDT, data logger,
alat sondir kapasitas 5 ton. Hasil pengujian lapangan diperoleh bahwa pondasi pada pengujian tipe 3
merupakan pondasi yang lebih baik dari kedua tipe pengujian lainnya. Dalam hal ini, pondasi pada
pengujian tipe 1 dibandingkan dengan pondasi pada pengujian tipe 3, dimana penambahan kaca puri
pada pondasi meningkatkan daya dukung tahanan ujungnya sebesar 2x lebih besar. Sedangkan
pengaruh urugan pasir dapat diketahui dari perbandingan hasil pondasi pada pengujian tipe 1 dan 2
dimana pondasi pada pengujian tipe 2 memiliki nilai daya dukung yang lebih baik dibanding
pondasi pada pengujian tipe 1 rata-rata 2x lebih baik.
Kata kunci: pondasi, kaca puri, tanah aluvial,rumah tradisional Dayak Ngaju

1. PENDAHULUAN
Tanah aluvial merupakan tanah yang dibentuk dari lumpur sungai yang mengendap di dataran rendah, memiliki sifat
tanah yang subur. Tanah aluvial merupakan tanah muda yang berasal dari hasil pengendapan, berdasarkan bahan
induknya terdapat tanah aluvial pasir, lempung, kapur, basa, asam dan lain-lain. Kondisi tanah aluvial ini berada pada
kondisi pasang surut karena dekat dengan sungai. Kondisi ini menunjukkan rendahnya daya dukung tanah aluvial
pasang-surut dalam hal menahan beban bangunan diatasnya.

Rumah tradisional suku Dayak merupakan struktur rumah dari kayu Ulin dengan pondasi kaca puri (Gambar 1).
Pondasi ini sangat sederhana, tiang menerus sebagai kolom yang ditanam didalam tanah dan dipasang kaca puri (usuk
melintang) kurang lebih 1 meter dari ujung pondasi. Hal ini bertujuan mereduksi settlement pondasi pada tanah yang
berdaya dukung rendah.

GEO - 37
Gambar 1. Tipe pondasi rumah tradisional Huma Hai, suku dayak Ngaju di Kalimantan Tengah

2. KAJIAN PUSTAKA
Rumah tradisional Suku Dayak Ngaju merupakan rumah dengan struktur kayu dimana tiang-tiang utama menyangga
atap dan meneruskan beban ke pondasi dan tiang-tiang anak menyangga balok atap dan meneruskan beban ke
pondasi seperti pada Gambar 2.

Balok lantai
Tiang Jihi

Balok Struktur

Tungket

Kaca puri

Gambar 2. Struktur atas dan struktur bawah Huma Hai

Rumah kayu suku Dayak Ngaju menggunakan sistem pondasi berupa kayu dengan sistem kaca puri yang ditanam
dengan kedalaman 2 m dari permukaan tanah. Gambar 3 menunjukan pondasi rumah suku dayak ngaju.

GEO - 38
1250
285
465
Gambar 3. Pondasi rumah suku dayak ngaju

Daya dukung tanah adalah kemampuan tanah untuk memikul tekanan atau beban maksimum yang diizinkan untuk
bekerja pada pondasi. Faktor keamanan atau safety factor (SF) adalah suatu hal yang sangat penting dalam analisis
dan perencanaan struktur secara keseluruhan. Nilai yang diperoleh disebut dengan tegangan tanah yang diizinkan.
q
q  ult (1)
SF
Dengan q = tegangan tanah yang diizinkan, qult = daya dukung batas dan SF = faktor keamanan

Untuk memenuhi syarat keamanan, disarankan faktor aman terhadap keruntuhan akibat beban maksimum sama
dengan 3. Penentuan daya dukung pondasi umumnya dilakukan uji pembebanan dengan memberikan beban secara
bertahap untuk kemudian diukur penurunan pondasi. Dari hasil uji pembebanan dapat diperoleh kurva beban
terhadap penurunan. Dari kurva tersebut dapat dilakukan interpretasi untuk menentukan besarnya beban ultimit
dengan melakukan ekstrapolasi. Ada berbagai metode dalam interpretasi hasil uji, salah satunya adalah Metode
Mazurkiewicz.

Adapun prosedur penentuan beban ultimit dari pondasi tiang dengan menggunakan metode mazurkiewicz adalah
sebagai berikut :
1. Gambarkan kurva beban terhadap penurunan.
2. Tentukan beberapa titik pada sumbu penurunan dengan interval penurunan yang sama.
3. Tarik garis sejajar dengan sumbu beban dari beberapa titik penurunan yang telah ditentukan hingga
memotong kurva, dan tarik garis sejajar sumbu penurunan hingga memotong sumbu beban.
4. Dari perpotongan setiap beban tersebut,tarik garis yang membentuk sudut 45° terhadap garis
perpotongan berikutnya, dan seterusnya.
5. Tarik garis lurus yang mewakili titik-titik yang terbentuk. Perpotongan garis lurus ini dengan sumbu
beban merupakan beban ultimit dari tiang (lihat Gambar4)

Gambar 4. Interpretasi daya dukung ultimit dengan metode Mazurkiewicz (Sumber : Manual Pondasi Tiang, 2005)

GEO - 39
Penurunan (settlement)
Deformasi tanah atau penurunan terjadi apabila suatu beban dikerjakan pada benda yang elastis, kemudian akan
dihasilkan suatu regangan. Panjang regangan yang terjadi akibat tegangan disebut deformasi atau penurunan
(settlement). Secara umum penurunan diartikan sebagai perpindahan vertikal permukaan tanah sehubungan dengan
pengurangan volume pori yang berakibat bertambahnya berat volume kering akibat beban yang bekerja dalam
periode tertentu.

3. METODE PENELITIAN
Sampel yang dikaji adalah tipe sub struktur (pondasi) rumah tradisional suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah
dengan populasi pondasi kaca puri. Data dikumpulkan melalui pengamatan dan pembacaan static load test. Data
pengujian diperoleh dari hasil uji loading test di lapangan pada tanah aluvial pasang surut.
Variabel penting yang harus didata di lapangan adalah: load (beban), deformasi, dan parameter input.

Pengujian dilapangan direncanakan dilakukan dengan 3 tipe metode pengujian dengan dua tipe pondasi, antara lain:
1. Pengujian Tipe 1
Pengujian tipe 1 dilakukan dengan menggunakan pondasi dengan tiang utama yang dimodifikasi menjadi
20x10 cm2 dengan panjang 2 m dan menggunakan 1 buah kaca puri berukuran 5x7 cm2 dengan panjang
1.05 m seperti tampak pada Gambar 5.a. Pondasi direncanakan dipasang dengan metode digali kemudian
ditimbun kembali dengan tanah lempung setempat. Setelah pondasi terpasang akan dilakukan pengujian
beban sesuai dengan perkiraan hasil analisis.
2. Pengujian Tipe 2
Pengujian tipe 2 dilakukan dengan menggunakan pondasi dengan tiang utama yang dimodifikasi menjadi
20x10 cm2 dengan panjang 2 m dan menggunakan 1 buah kaca puri berukuran 5x7 cm2 dengan panjang
1.05 m seperti tampak pada Gambar 5.a. Pondasi direncanakan dipasang dengan metode digali kemudian
ditimbun kembali dengan tanah pasir setempat. Mengganti tanah pasir dengan tujuan untuk meningkatkan
daya dukung pondasi. Setelah pondasi terpasang akan dilakukan pengujian beban sesuai dengan perkiraan
hasil analisis.
3. Pengujian Tipe 3
Pengujian tipe 3 dilakukan dengan menggunakan pondasi dengan tiang utama yang dimodifikasi menjadi
20x10 cm2 dengan panjang 2 m dan menggunakan 2 buah kaca puri berukuran 5x7 cm2 dengan panjang
1.05 m seperti tampak pada Gambar 5.b. Penambahan kaca puri dengan tujuan untuk meningkatkan daya
dukung pondasi. Pondasi direncanakan dipasang dengan metode digali kemudian ditimbun kembali dengan
tanah lempung setempat. Setelah pondasi terpasang akan dilakukan pengujian beban sesuai dengan
perkiraan hasil analisis.

Tiang pondasi 20 x 10 cm2


Tiang pondasi 20 x 10 cm2
gabungan dari 2 Balok 10 x 10 cm2 gabungan dari 2 Balok 10 x 10 cm2

Baut

Baut

Kacapuri 5 x 7 cm2 2 Kacapuri 5 x 7 cm2

(a) (b)
Gambar 5. (a) Pondasi pada Pengujian Tipe 1 & 2; (b) Pondasi pada Pengujian Tipe 3

Uji tekan aksial dilakukan di lokasi rumah tradisional dengan uji beban statis yang akan dilakukan mengacu pada
Static Load Test standard ASTM namun akan dimodifikasi sesuai dengan kondisi lapangan dan kapasitas benda
uji. Pada prinsipnya uji tekan aksial akan dilakukan pada model pondasi kaca puri dan mencari perbandingan
antara beban dengan penurunan (settlement). Uji dilakukan dengan kontrol pembebanan pada kondisi undrain
sehingga dapat dilakukan uji tekan

GEO - 40
Modifikasi alat uji menggunakan alat sondir (Gambar 6) yang pada bagian dudukan alat diberi kekangan
(angkur) sehingga posisinya tidak berubah (pada saat diberi beban alat tidak terangkat). Kekangan dapat
dilakukan dengan menambahkan angkur berkapasitas 500 kg yang ditancapkan kedalam tanah. Alat pendukung
lain yang diperlukan adalah load cell kapasitas 10 ton untuk dapat membaca beban yang diberikan dan wire
gause lengkap dengan data logger untuk merekam pembacaan pembebanan. Hidroulic Jack untuk memberikan
beban sesuai tahapan pembebanan.

Gambar 6. Desain pengujian tekan aksial yang dimodifikasi dengan alat Sondir

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis pondasi kaca puri juga dilakukan dengan melakukan pengujian uji tekan aksial di lapangan yaitu di Rumah
Uma Hai di Desa Mandomai Kalimatan Tengah. Dari hasil pengujian, data akan diolah dalam bentuk tabel dan
dianalisis dengan metode mazurkiewicz. Hasil uji pembebanan dapat digambarkan kurva beban terhadap penurunan,
sehingga dari kurva tersebut dapat dilakukan interpretasi untuk menentukan besarnya beban ultimit dengan
melakukan ekstrapolasi ini.

1) Pengujian Tipe 1
Desain uji pondasi pada pengujian tipe 1 merupakan gabungan 2 buah pondasi tiang kayu berukuran 10x10
cm sehingga mempunyai ukuran 20x10 cm2 sepanjang 2 m yang diberi 1 kaca puri berukuran 5 x 7 cm.
Semua sambungan pondasi dan kaca puri disambung menggunakan baut.
Dari hasil uji pembebanan diperoleh kurva beban terhadap penurunan seperti tampak pada Gambar 7.
Selanjutnya dilakukan interpretasi untuk menentukan besarnya beban ultimit dengan melakukan
ekstrapolasi dengan metode mazurkiewicz seperti pada Gambar 8.

GEO - 41
Gambar 7.Hubungan Beban- Deformasi Pondasi Tipe 1

Gambar 8 . Interpretasi daya dukung ultimit dengan metode Mazurkiewicz

Berdasarkan hasil analisis lapangan diperoleh besarnya daya dukung ultimit aksial pondasi pengujian tipe 1
adalah sebesar 10 kN atau 1,0 Ton.

2) Pengujian Tipe 2
Desain uji pondasi pada pengujian tipe 2 menggunakan pondasi dengan ukuran yang sama persis dengan
pondasi desain uji pengujian tipe 1. Pondasi desain uji ini merupakan gabungan 2 buah pondasi tiang kayu
berukuran 10x10 cm2 sehingga mempunyai ukuran 20x10 cm2 sepanjang 2 m yang diberi 1 kaca puri
berukuran 5 x 7 cm. Yang membedakan adalah pasir yang digunakan sebagai urugan tanah kembali. Pada
saat pengujian pondasi tipe 2 ini kondisi tanahpun sudah digenangi air (pasang).
Dari hasil uji pembebanan diperoleh kurva beban terhadap penurunan seperti tampak pada Gambar 9.
Selanjutnya dilakukan interpretasi untuk menentukan besarnya beban ultimit dengan melakukan
ekstrapolasi dengan metode mazurkiewicz seperti pada Gambar 10.

GEO - 42
Gambar 9. Hubungan Beban- Deformasi Pondasi Tipe 2

Gambar 10. Interpretasi daya dukung ultimit dengan metode Mazurkiewicz

Berdasarkan hasil analisis lapangan diperoleh besarnya daya dukung ultimit aksial pondasi tipe 2 adalah
sebesar 20 kN atau 2,0 Ton.

3) Pengujian Tipe 3
Desain uji pondasi pengujian tipe 3 merupakan pondasi tiang kayu nerukuran 20 x 10 cm2 sepanjang 2 m
yang merupakan gabungan dari 2 buah pondasi berukuran 10x10 cm2 dan diberi 2 buah kaca puri
berukuran 5 x 7 cm. Dua buah kaca puri tersebut dipasang searah. Semua koneksi balok pondasi dan kaca
puri dihubungkan menggunakan baut baja
Dari hasil uji pembebanan diperoleh kurva beban terhadap penurunan seperti tampak pada Gambar 11.
Selanjutnya dilakukan interpretasi untuk menentukan besarnya beban ultimit dengan melakukan
ekstrapolasi dengan metode mazurkiewicz seperti pada Gambar 12. Berdasarkan hasil analisis lapangan,
daya dukung ultimit yang diperoleh adalah 21 kN atau 2,1 Ton.

GEO - 43
Gambar 11. Hubungan Beban- Deformasi Pondasi Tipe 3

Gambar 12. Interpretasi daya dukung ultimit dengan metode Mazurkiewicz

Berdasarkan hasil analisis lapangan diperoleh besarnya daya dukung ultimit aksial pondasi tipe 3 adalah 21 kN atau
2,1 Ton. Nilai ini merupakan nilai yang lebih besar dibanding dengan tipe 1 dan 2, hal tersebut dikarenakan adanya
dua buah kaca puri pada pondasi sehingga nilai tersebut menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dengan
penambahan kaca puri.

Dari hasil pengujian dan simulasi tersebut dapat terlihat bahwa pengujian tipe 1 merupakan pondasi dengan kondisi
asli yang memiliki daya dukung yang rendah yaitu hanya 10 kN, dengan mengganti tanah urug asli dengan pasir
pada pengujian tipe 2 dapat meningkatkan daya dukung menjadi 2x lebih baik, namun tidak dapat mengurangi
settlement. Dengan adanya pengujian tipe 3, daya dukung dan settlement menjadi lebih baik karena penambahan
kaca puri.

5. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian, beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah :
1. Pondasi pada pengujian tipe 3 merupakan pondasi yang lebih baik dari kedua tipe lainnya. Selain karena
memiliki daya dukung yang lebih tinggi, namun juga memiliki penurunan deformasi yang landai.
2. Pondasi pada pengujian tipe 1 dibandingkan dengan pondasi pengujian tipe 3, dimana penambahan kaca puri
pada pondasi meningkatkan daya dukung tahanan ujungnya sebesar 110%. Sedangkan pengaruh pasir dapat

GEO - 44
diketahui dari perbandingan hasil pondasi pengujian tipe 1 dan 2 dimana pondasi pada pengujian tipe 2
memiliki nilai daya dukung yang lebih baik dibanding pondasi pengujian tipe 1 rata-rata 2x lebih baik.
3. Dari hasil pengujian keterkaitan sistem pondasi yang mendukung rumah adat Huma Hai ini jika mendukung
rumah konvensional adalah tergantung dari beberapa aspek yaitu beban yang dipikul oleh pondasi itu sendiri.
Jika beban yang dipikul lebih kecil daripada beban pada rumah tradisional Huma Hai, maka jenis pondasi ini
dapat digunakan. Selain itu, berdasarkan hasil pengujian bahwa untuk tanah pasang surut diperoleh nilai daya
dukung yang relatif kecil sehingga untuk meningkatkan daya dukung dapat dilakukan dengan menambah kaca
puri. Perihal mengaplikasikan pondasikaca puri pada rumah konvensional yang bukan tanah pasang surut maka
perlu dikaji terlebih dahulu perilaku tanahnya.

DAFTAR PUSTAKA
Borneo Geotec Engineering(2015).Laporan Akhir Hasil Penyelidikan Tanah Sondir dan Bor Dalam, “Pembangunan
Model Teknologi Bangunan dan Lingkungan Dayak Ngaju Kecamatan Mandomai Kabupaten Palang Pisau
Provinsi Kalimantan Tengah”, Balai Litbang Pemukiman Tradisional Wilayah Tengah Denpasar Bali, Bali
Kjekstad, O., Lunne, T. and Clausen, C.J.F. (1978), “Comparison between in situ cone resistance and laboratory
strength for overconsolidated North Sea Clays”. Marine Geotechnology, 3(1), 23-26.
Ladd, C. C., R. Foott, K. Ishihara, F. Schlosser and H. G. Poulos, 1977 stress deformation and strength
characteristics, proceedings 9th ICSMFE, Tokyo, Vol. 2, p 421-494.
Lunne, T., and Kleven, A. (1981) “Role of CPT in North Sea foundation engineering”. Session at the ASCE
National Convention: Cone Penetration Testing and Materials, St. Louis, 76 – 107, American Society of
Engineers (ASCE)
Manual : Midas GTS NX 2014, Manual Pengguna, Midas Family Program, 2014
Manual : Midas GTS NX 2014, Referensi Analisis, Midas Family Program, 2014
Manual Pondasi Tiang (2005). Geotecnical Engineering Center. Unpar.
Pranata, Y.A., & Suryoatmono, B., 2013, “Kekuatan Tekan Sejajar Serat dan Tegak Lurus Serat Kayu Ulin
(Eusideroxylon Zwageri)”. Jurnal Teknik Sipil, Vol.21-No.1-Hal-13-22. ISSN 0853-2982.
PT. GEC, 2016, “Laporan Hasil Uji Geoteknik Lapangan Uji Piezocone (CPTu), Kegiatan Pengembangan Model
Teknologi Sub Struktur pada Tanah Aluvial Pasang Surut, Mandomai, Palangkaraya – Kalimantan Tengah”, ,
Balai Litbang Pemukiman Tradisional Wilayah Tengah Denpasar Bali, Bali
Teh, C.L. (1987), “An analytical study of the cone penetration test”. D. Phill. Thesis, Oxford University.
Tim Peneliti BPTPT Denpasar. “Laporan Akhir: Pengkajian Teknologi Bangunan dan Lingkungan Permukiman
Tradisional Suku Dayak Ngaju di Pulau Kalimantan”. Desember 2015.

GEO - 45
GEO - 46
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 October 2017

KAJIAN RENTANG KADAR AIR TERHADAP NILAI KUAT GESER PERBAIKAN


SIRTU DENGAN METODE CTB

Soewignjo Agus Nugroho1, Suratman2, dan Dodi Pratama3

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Riau, Jl. H.R. Subrantas KM 12 Pekanbaru
Email: nugroho.sa@eng.unri.ac.id
2
PLP Laboratorium Mekanika Tanah, Jl. HR Subrantas KM 12 Pekanbaru
Email: suratman@yahoo.co.id
3
Program S1 Teknik Sipil, Universitas Riau, Jl. H.R Subrantas KM 12, Pekanbaru
Email: dodipratama@gmail.com

ABSTRAK
Penambahan kuat geser tanah dilakukan dengan perbaikan tanah. Macam perbaikan tanah
diantaranya pemadatan. Perbaikan dengan pemadatan dengan cara pemadatan static (hydrologic)
dan pemadatan mekanik (kneading, tamping, vibro). Apabila nilai kuat geser tanah hasil pemadatan
masih dibawah nilai yang disyaratkan, kombinasi perbaikan tanah mekanik dan kimiawi di lakukan.
Cement Treated Base (CTB) adalah perbaikan Timbunan aggregate kelas C, menggunakan semen,
digunakan sebagai lapis fondasi bawah (base) pada konstruksi Jalan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh kadar air pada sisi kering dan sisi basah terhadap nilai kuat geser tanah CTB.
Sampel berupa tanah sirtu yang dicampur lempung dengan kadar 15%. Campuran sirtu dan lempung
di Stabilisasi semen dengan kadar 6%, 6.5%, dan 7%. Stabilisasi dilakukan di Laboratorium
Mekanika Tanah dengan pemadatan laboratorium Metode Standard Proctor. Kadar. Air yang
ditambahkan pada sampel di pilih pada sisi kering (3 variasi) dan pada sisi basah (3 variasi). Setelah
pelaksanaan pemadatan, sampel diperam (curing) pada suhu ruangan selama 7, 14, dan 28 hari.
Pengujian kuat geser tanah dilakukan dengan uji Unconfined Compression Strength (UCS) setelah
selesai pemeraman. Hasil pengujian menunjukan bahwa kandungan semen dalam campuran akan
menyerap air dalam campuran, ini terlihat dari berkurangnya kadar air sesaat setelah dilakukan
pencampuran. Pada penambahan kadar semen dari 6.0% ke 6.5%, nilai kuat geser tanah meningkat
berbanding lurus dengan lama pemeraman dan kadar semen. Kuat geser tanah pada kadar semen
6.5% dan 7.0% tidak berbeda jauh, artinya kadar semen optimal berada pada nilai 6.5% sampai
dengan 7.0%. Penambahan waktu pemeraman akan meningkatkan nilai kuat geser tanah dengan
gradient peningkatan kekuatan semakin mengecil dengan bertambahnya waktu pemeraman. Nilai
kuat geser tanah pada sisi kering lebih tinggi daripada nilai kuat geser tanah pada sisi basah.
Regangan pada saat patah (qu max), sisi basah lebih tinggi dari sisi kering. Artinya sampel pada sisi
basah lebih elastis daripada pada sisi kering.
Keywords: CTB, pemadatan, perbaikan tanah, kuat geser, semen

1. PENDAHULUAN
Tanah yang distabilisasi semen adalah bahan tanah yang telah ditambahkan semen dengan proporsi semen yang
relatif kecil daripada yang dibutuhkan untuk menghasilkan tanah semen yang keras. Tujuan dari stabilisasi ini
adalah untuk mengubah sifat tanah bermasalah yang tidak diinginkan sehingga sesuai untuk digunakan dalam
konstruksi.
Tanah yang distabilisasi semen dikelompokkan menjadi dua kelompok sesuai dengan ukuran butiran yang dominan
sebagai berikut:
 Tanah halus (silt-clay) yang distabilisasi semen adalah tanah yang mengandung lebih dari 35 persen tanah lanau
dan lempung (didefinisikan sebagai bahan yang melewati saringan No. 200 (75 μm) sesuai dengan ASTM
D4318). Tujuan umumnya adalah memperbaiki tanah yang tidak sesuai untuk digunakan pada lapisan subgrade
atau subbase. Tujuan khusus mungkin untuk mengurangi karakteristik plastisitas dan perubahan volume, untuk
meningkatkan kekuatan fondasi, atau untuk menyediakan platform yang stabil dimana lapisan perkerasan dapat
dibangun.
 Tanah granular yang distabilisasi semen adalah tanah yang mengandung kurang dari 35 persen tanah lanau dan
lempung. Tujuan yang biasa dilakukan adalah mengubah bahan di bawah standar sehingga memenuhi

GEO - 47
persyaratan yang ditentukan untuk dasar perkerasan atau lapisan subbase. Base yang baik penting untuk struktur
apapun, terutama subgrade. Subgrade memberikan ketebalan dan kekakuan yang diperlukan untuk membawa
beban lalu lintas yang padat.
Keuntungan stabilisasi dengan semen:
1. Stabilisasi semen meningkatkan kekakuan dan kekuatan subgrade. Subgrade yang lebih kaku mengurangi
defleksi karena beban lalu lintas, menghasilkan strain yang lebih rendah di permukaan aspal. Ini menunda
timbulnya gangguan di permukaan, seperti retak kelelahan, dan memperpanjang umur perkerasan.
2. Dukungan seragam yang kuat yang diberikan oleh stabilisasi semen menghasilkan tekanan yang berkurang yang
diterapkan pada tanah dasar. Bagian stabil yang diperkuat semen dapat mengurangi tegangan tanah dasar lebih
dari lapisan tebal basis agregat yang tidak diobati. Kegagalan tanah, lubang, dan kekasaran jalan berkurang.
3. Intrusi kelembaban adalah dasar perkerasan nemesis. Trotoar yang stabil untuk konstruksi membentuk basis
tahan kelembaban yang membuat air keluar dan mempertahankan tingkat kekuatan yang lebih tinggi, bahkan
saat jenuh.
4. Basis yang stabil semen juga mengurangi potensi pemompaan butiran halus subgrade. Dengan jumlah kecil
semen yang umumnya digunakan, CTB menjadi berlapis atau sedikit mengeras. CTB masih berfungsi sebagai
tanah, meski lebih baik. Tingkat perbaikan tergantung pada jumlah semen yang digunakan dan jenis tanah. Oleh
karena itu, dengan penambahan jumlah semen yang bervariasi, dimungkinkan untuk menghasilkan tanah yang
dimodifikasi dengan berbagai sifat rekayasa.
Perbaikan tanah karena penambahan sejumlah kecil semen dapat diukur dengan beberapa cara termasuk:
• Reduksi plastisitas yang diukur dengan Indeks Plastisitas (PI)
• Pengurangan jumlah partikel ukuran lumpur dan tanah liat
• Peningkatan Nilai California Bearing Ratio (CBR) dan kuat geser (UCS)
• Penurunan perubahan volume

2. TINJAUAN PUSTAKA

Struktur Tanah
Tanah terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu: udara, air, dan butiran padat. Udara dianggap tidak mempunyai
pengaruh teknis, sedangkan air sangat mempengaruhi sifat-sifat teknis tanah. Ruang diantara butiran-butiran,
sebagian atau seluruhnya dapat terisi oleh air atau udara. Bila rongga tersebut terisi air seluruhnya, tanah dikatakan
dalam kondisi jenuh. Bila rongga terisi oleh udara dan air, tanah berada pada kondisi jenuh sebagian (partially
saturate). Tanah kering adalah tanah yang tidak mengandung air sama sekali atau kadar airnya nol (Das, 2002).
Struktur tanah merupakan susunan dari geometrik butiran tanah. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi struktur
tanah adalah bentuk, ukuran, komposisi mineral dari butiran tanah, serta sifat dan komposisi dari tanah (Das, 1985).
Cohesionless soil (kerikil, pasir) merupakan butiran-butiran tanah yang terpisah-pisah dan hanya melekat apabila
berada dalam keadaan basah. Struktur tanah tak berkohesi pada umumnya adalah struktur single-grained dan
struktur honeycombed. Cohesive soil (lanau, lempung) merupakan butiran-butiran tanah yang menyatu sesamanya,
waktu kering diperlukan suatu gaya untuk memisahkan butiran-butiran tanah tersebut. Tanah kohesif dapat bersifat
tidak plastis, plastis, dan dapat bersifat seperti cairan tergantung pada nilai kadar air tanah

Penelitian Terdahulu
Takaendengan (2013) ingin mengetahui swelling berdasarkan nilai index plastisitas dan nilai daya dukung
berdasarkan pengujian Kuat Tekan Bebas. Kadar air benda uji diambil dari hasil pemadatan proctor standar dengan
variasi campuran semen 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%. Hasil menunjukan, pada campuran semen sebesar 20%
terjadi peningkatan nilai daya dukung 767.01%, penurunan index plastisitas sebesar 56.4% dari index plastisitas
tanah asli.
Pirmadona dkk (2015) mencampur tanah plastisitas rendah dengan semen OPC (Ordinary Portland Cement) dan
PCC (Portland Composite Cement) pada kadar semen 5%-20%. Dikaji perubahan nilai plastisitas dan perbandingan
kenaikan nilai UCS dan CBR antara kedua jenis semen.
Andriani dkk (2012) mencampur tanah lempung dari daerah Lambung Bukit dengan semen portland tipe 1 sebanyak
5%, 10%, 15%, dan 20%. Sampel diperam selama 3 hari sebelum diuji CBR lab. Hasil menunjukan terjadi
peningkatan nilai CBR tanah asli dari 8,20 % menjadi 64,14% pada penambahan semen sebesar 20%.

Nugroho dkk (2013) mencoba Melihat pengaruh kadar air di sekitar nilai OMC pada tanah yang di stabilisasi
Dengan serat dan bahan Stabilisasi. Tahun 2014, Nugroho dkk juga mencoba melihat pengaruh kadar air Diatas

GEO - 48
OMC pada lempung Organik dan lempung dicampur dengan Abu Terbang. Nugroho dkk melanjutkan kajian yang
sama pada tanah pasir-lempung pada tahun 2015. Kajian yang dilihat adalah Nilai CBR non Rendaman dan CBR
Rendaman. Hasil menunjukan bahwa nilai CBR tertinggi tetap pada kadar air OMC (Optimum Moisture Content).

Tujuan Penelitian/Hipotesa
Penelitian bertujuan untuk mengkaji pengaruh kadar semen dan waktu pemeraman terhadap nilai kuat geser dari uji
tekan bebas pada kondisi kadar air OMC (Optimum Moisture Content). Penelitian juga akan Melihat pengaruh
perubahan kadar air di sekitar OMC yaitu pada sisi kering (dry side), yaitu kadar air dibawah OMC dan pada sisi
basah (wet side), yaitu kadar air yang lebih tinggi dari OMC.
Kadar semen dan kadar air sangat berpengaruh terhadap nilai kuat geser tanah. Kekuatan tanah dipengaruhi oleh air
yang dikandung dalam tanah dan bahan stabilisasi.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi

Lokasi pengambilan tanah sirtu adalah di quarry, Perawang, Kabupaten Siak. Sedangkan semen merupakan semen
PCC (Portland Composite Cement) product dari Padang Sumatera Barat.
Bahan Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Geoteknik Jurusan Teknik Sipil, Universitas Riau. Pengujian dibagi
menjadi dua tahap yaitu pengujian Pendahuluan dan Pengujian Utama
Pengujian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan meliputi uji properties tanah, sifat fisik tanah dan pengujian pemadatan. Pengujian propertie
dan sifat fisik tanah di antaranya adalah uji kadar air, analisa saringan, berat jenis, konsistensi tanah. Tujuan uji
pendahuluan adalah untuk klasifikasi tanah. pengujian proktor standar masing variasi tanah campuran untuk
mendapatkan kadar air optimum (OMC) dan berat volume kering maksimum (MDD).
Pengujian Utama
Pengujian Utama terdiri dari pengujian Unconfined Compression Strength (UCS), baik kondisi pemeraman (curing)
atau tidak pemeraman. Air yang ditambahkan pada pembuatan benda uji UCS merupakan nilai OMC masing masing
variasi campuran. Melakukan pengujian UCS pada masing-masing campuran tanah baik tanpa pemeraman (curing)
ataupun dengan pemeraman 7, 14, dan 28 hari.

Gambar 1 Bagan Alir jalannya Penelitian

GEO - 49
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengujian
Data-data yang diperoleh dari penelitian ini berasal dari serangkaian pengujian yang dilaksanakan di laboratorium,
kemudian disajikan secara sistematis dan jelas sehingga dapat dilakukan analisa. Data-data yang diperoleh yaitu
spesific gravity, batas cair dan batas plastis, MDD, OMC, nilai UCS tanpa pemeraman dan UCS pemeraman.
Hasil Pengujian Standard Proctor
Setelah dilakukan pengujian standard proctor terhadap tanah dicampur semen 6,0%; 6,5%; 7,0%, maka berdasarkan
hasil pemeriksaan diperoleh nilai berat jenis seperti yang terlihat pada Tabel 2 sampai Tabel 4.

Tabel 2 Hasil Pengujian Standard proctor, cement 6.0 %


Number of Curing 7 hari Curing 14 hari Curing 28 hari
samples
Water Density Water Density Water Density
content (%) (kN/m3) content (%) (kN/m3) content (%) (kN/m3)
9.81 2.003 9.96 2.021 9.88 2.018
Sample -1
10.80 2.056 10.83 2.057 10.88 2.043
Sample-2
11.97 2.078 11.94 2.070 11.98 2.057
Sample-3
12.89 2.052 12.86 2.029 12.86 2.021
Sample-4
13.75 2.027 13.78 1.985 13.82 1.979
Sample-5
14.68 2.005 14.76 1.953 14.79 1.943
Sample-6

Tabel 3 Hasil Pengujian Standard proctor, cement 6.5 %


Number of Curing 7 hari Curing 14 hari Curing 28 hari
samples
Water Density Water Density Water Density
content (%) (kN/m3) content (%) (kN/m3) content (%) (kN/m3)
9.79 1.999 9.86 2.015 9.90 2.022
Sample -1
10.91 2.064 10.95 2.060 10.91 2.063
Sample-2
11.84 2.087 11.87 2.090 12.81 2.067
Sample-3
12.85 2.084 12.81 2.078 12.81 2.078
Sample-4
13.95 2.052 12.81 2.050 13.78 2.028
Sample-5
14.88 2.037 14.91 2.042 14.89 2.025
Sample-6

Tabel 4 Hasil Pengujian Standard proctor, cement 7.0 %


Number of Curing 7 hari Curing 14 hari Curing 28 hari
samples
Water Density Water Density Water Density
content (%) (kN/m3) content (%) (kN/m3) content (%) (kN/m3)
9.90 2.031 9.91 2.039 9.93 2.032
Sample -1
10.95 2.060 10.98 2.070 10.99 2.061
Sample-2
11.86 2.082 11.90 2.081 11.93 2.068
Sample-3
12.83 2.080 12.90 2.078 12.86 2.054
Sample-4
13.82 2.065 13.82 2.045 13.82 2.046
Sample-5
14.93 2.000 14.92 2.011 14.96 1.975
Sample-6

GEO - 50
Hasil Pengujian UCS
Pengujian pemadatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah standard compaction test yang digunakan untuk
menentukan Optimum Moisture Content (OMC) dan Maximum Dry Density (MDD). Hasil pengujian pemadatan
standar ini digunakan untuk memperoleh OMC dan MDD. Kadar air optimum tersebut dijadikan acuan sebagai
kadar air yang akan digunakan dalam pembuatan benda uji CBR. Berdasarkan hasil pengujian Tekan bebas
(Unconfined Compression Strength) dari data Tabel 2 sampai Tabel 4, maka dapat ditentukan nilai kadar air
optimum dan berat volume kering maksimum dengan hasil yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil Pengujian UCS pada curing 7, 14, dan 28 hari


Semen 6.0 % Semen 6.5 % Semen 7.0 %

7 hari 14 hari 28 hari 7 hari 14 hari 28 hari 7 hari 14 hari 28 hari

w qu w qu w qu w qu w qu w qu w qu w qu w qu
9.81 948 9.91 1087 9.87 1654 9.81 1140 9.87 1580 9.87 2129 9.87 1583 9.93 1831 9.93 2345
10.82 1061 10.82 1403 10.85 1936 10.89 1616 10.93 1995 10.93 2354 10.93 1796 10.95 1995 10.95 2674
11.97 1624 11.93 1925 11.78 2078 11.83 2116 11.86 2397 11.86 2932 11.86 2074 11.94 2529 11.91 2971
12.10 1690 11.65 1950 11.54 2090 12.55 2128 12.45 2415 12.35 2950 12.30 2135 12.00 2587 11.98 3012
12.87 1317 12.85 1692 12.82 1928 12.87 1637 12.83 2101 12.83 2570 12.83 1933 12.89 2513 12.89 2839
13.75 1125 13.79 1360 13.81 1377 13.94 1125 13.81 1761 13.81 1870 13.81 1648 13.84 1805 13.84 1935

Pembahasan
Setelah data-data dari pengujian pemadatan standar, batas-batas konsistensi, pemeraman, serta nilai UCS diperoleh
untuk setiap variasi pemeraman dan dengan variasi kadar air yang telah ditentukan, maka dapat dianalisa
hubungannya terhadap faktor-faktor yang berpengaruh.
Pengaruh kadar semen terhadap nilai kadar air optimum

a. Grafik proctor untuk penambahan semen 6.0% b. Grafik proctor untuk penambahan semen 6.5%
Gambar 2 Grafik Pemadatan Standar Proctor
Melihat Gambar 2 di atas dapat disimpulkan bahwa penambahan semen akan menaikan kadar air optimum. Pada
penambahan semen sebesar 6.0 %, nilai kadar air optimum untuk curing 7 hari sebesar 11.60% sedangkan untuk
penambahan semen 6.5%, kadar air optimum didapat sebesar 12.55%
Pengukuran kadar air setelah dilakukan curing (sebelum pengujian UCS) selama 7, 14, dan 28 hari menunjukan
bahwa nilai kadar air berubah berturut turut menjadi 11.60%, 11.65, dan 11.88%
Pengaruh Kadar semen terhadap nilai kepadatan (density) tanah
Pengaruh kepadatan terhadap nilai kepadatan maksimum pada penambahan semen 6.5% dan 7.0% disajikan pada
Gambar 3 berikut.

GEO - 51
a. Max dry density penambahan semen 6.5% b. Max dry density penambahan semen 7.0%
Gambar 3 Kepadatan maksimum pada kadar semen 6.5% dan 7.0%
Dari Gambar 3 di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan semakin banyak kadar semen, nilai kepadatan cenderung
meningkat. Nilai kepadatan maksimum, untuk curing 14 hari, pada kadar semen 6.0% sebesar 2,069 gr/cm3,
sementara untuk kadar semen 6.5% dan 7.0% berturut turut sebesar 2,074 gr/cm3 dan 2,081 gr/cm3.
Pengaruh Kadar semen terhadap nilai UCS

Nilai qu dari pengujian UCS pada beberapa penambahan kadar semen dan lama pemeraman ditampilkan pada
Gambar 4 berikut:

a. Nilai qu pada kadar semen 6.0% b. Nilai qu pada kadar semen 6.5%
Gambar 4 Hubungan nilai qu dengan kadar air

Dari Gambar 4a, terlihat bahwa nilai qu pada kadar air OMC merupakan nilai kuat geser maksimum, baik untuk
pemeraman 7, 14, dan 28 hari. Hal ini juga terlihat pada kadar semen 6.5% pada Gambar 4b. Semakin lama waktu
pemeraman, maka nilai qu akan semakin besar, ini terjadi pada kadar semen 6.0% maupun 6.5%.
Penambahan semen juga akan meningkatkan nilai qu. Pada pemeraman 28 hari, penambahan semen 6.0%
mempunyai nilai qu sebesar 2090 kN/m2 sedangkan penambahan semen 6.5% menghasilkan nilai qu sebesar 2950
kN/m2.
Nilai Kuat Tekan Bebas, pada sisi kering, Optimum Moisture Content, dan sisi basah

Nilai kuat tekan bebas (qu max), pada sisi kering, sisi basah dan kadar air optimum, sebagai contoh untuk curing 7
hari, di sajikan pada Tabel 6 berikut:

Tabel 6 Perbandingan nilai qu, strain, dan kadar air pada sisi kering, OMC, dan sisi basah
no Description Sisi kering Kondisi Sisi basah
dry-1 dry-2 dry-3 OMC wet-3 wet-2 wet-1
1. Kadar air (%) 9.80 10.80 11.50 12.10 12.80 13.80 14.80
2. Kuat Tekan bebas, qu (kPa) 800 1000 1600 1690 1300 1000 800
3. Regangan saat patah (%) 19 12.5 7.2 15.2 17.0 15.0 9.0

GEO - 52
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa nilai qu tertinggi didapat pada kondisi kadar air OMC, sementara pada sisi kering
dan sisi basah nilai kuat tekan bebas menurun.
Pengaruh Semen, Kadar Air pada sisi Kering terhadap nilai UCS dan Elastisitas tanah

Gambar 5 merupakan grafik hubungan tegangan dengan regangan hasil pengujian tekan bebas pada kadar air lebih
kecil dari kadar air kondisi OMC. Pada posisi dry side-1, semakin tinggi kadar semen maka kuat tekan bebas (qu)
akan semakin tinggi. Sebaliknya semakin tinggi qu, maka regangan pada saat sampel patah akan semakin mengecil.

a. Hubungan tegangan regangan dry side-1 b. Hubungan tegangan regangan dry side-2
Gambar 5 Hubungan tegangan regangan pada dry side
Jika membandingkan nilai tegangan dan regangan pada sisi kering dari Gambar 5a dan Gambar 5b, kadar air
semakin mendekati nilai OMC maka nilai qu semakin besar dan regangan saat patah akan semakin meningkat.
Artinya sifat tanah akan semakin elastis dan kuat.
Pengaruh Semen, Kadar Air pada Sisi Basah terhadap Nilai UCS dan Elastisitas Tanah

Kadar air pada sisi basah (wet side), ditampilkan pada Gambar 6. Pada wet side-1 terlihat bahwa kuat tekan bebas
lebih besar daripada pada sisi basah dua (wet side-2), tetapi regangan yang terjadi pada wet side-2 lebih tinggi
daripada wet side-1.

a. Hubungan tegangan regangan wet side-1 b. Hubungan tegangan regangan wet side-1
Gambar 6 Hubungan tegangan regangan pada wet side
Dengan membandingkan Gambar 5 dan Gambar 6, secara umum pengujian sampel pada kadar air di bawah OMC,
yaitu pada sisi kering akan mendapatkan nilai kuat tekan bebas yang besar, tetapi sampel mudah patah atau regangan
yang terjadi kecil. Sementara sampel yang diuji dengan kadar air di atas OMC, akan mendapatkan kuat tekan geser
lebih kecil dibandingkan dengan sampel dengan kadar air di bawah OMC. Tetapi regangan yang terjadi lebih besar
dari sisi kering.
Dapat disimpulkan bahwa sampel dengan kadar air di bawah OMC akan mempunyai kuat tekan besar tetapi bersifat
getas, sementara sampel dengan kadar air di atas OMC akan bersifat lebih elastis tetapi kuat tekan yang lebih kecil.

GEO - 53
5. KESIMPULAN
Dari penjelasan pada sub bab-sub bab terdahulu, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Penambahan semen akan meningkatkan kuat tekan tanah sirtu
2. Penambahan semen akan meningkatkan nilai kadar air optimum
3. Pemeraman akan meningkatkan nilai kuat tekan tanah dan menyerap air sehingga kadar air sampel
berkurang karena proses hidrasi oleh semen
4. Nilai kuat tekan bebas sampel dengan nilai kadar air di bawah OMC lebih tinggi daripada tanah dengan
kadar air di atas OMC
5. Tanah dengan kadar air di atas OMC bersifat lebih elastis daripada tanah dengan kadar air di bawah OMC
6. Kuat tekan bebas tanah dengan kadar semen 6.0% dan 6.5% meningkat signifikan sebesar 25% sampai
dengan 45% tergantung lama pemeraman.
7. Peningkatan kuat tekan bebas penambahan semen dari 6.5% menjadi 7.05 hanya meningkatkan nilai kuat
tekan sebesar maksimal 2.5%. bisa disimpulkan kadar semen optimal adalah 6.5%

DAFTAR PUSTAKA
Das, B., M. (1985). Mekanika Tanah (Prinsip-prinsip Rekayasa Geoteknis), Erlangga, Jakarta.
Das, B., M. (2012). Fundamentals of Geotechnical Engineering, Cengage Learning Product, Stamford, USA
Kezdi, A. (1979). Stabilization Earth Road, Elsevier Scientific Publishing Company, New York.
Nugroho, S. A., Fatnanta, F., & Zaro, K. (2015). Pengaruh Kadar Air Diatas Optimum Moisture Content Terhadap
Nilai CBR Tanah Lempung Organik. Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil 9, Makassar, 7-8 Oktober
2015, 45-54
Nugroho, S., A.dkk (2013). Proceedings 17th Annual National Conference on Geotechnical Engineering, Jakarta, 15-
16 November 2013, 111-119
Nugroho, S., A., dkk. (2014). Proceedings 18th Annual National Conference on Geotechnical Engineering, Jakarta,
11-12 November 2014, 78-84
Andriani, Yuliet, R., Fernandez, F. L. (2012). “Pengaruh Penggunan Semen Sebagai Bahan Stabilisasi Pada Tanah
Lempung Daerah Lambung Bukit Terhadap Nilai CBR”, Jurnal Rekayasa Sipil Unand, Vol. 8, No. 2, 29-43
Nugroho, Soewignjo Agus. (2014). “Pengaruh Penambahan Air Di Atas Kadar Air Optimum Terhadap Nilai CBR
Dengan Dan Tanpa Rendaman Pada Tanah lempung Yang di Campur Abu Terbang”. JOM Bidang Teknik dan
Sains, Vol. 1, No.2, 1-7
Nugroho, Soewignjo Agus. (2014). “Pengaruh Kadar Lempung Dengan Kadar Air di Atas OMC Terhadap Nilai
Dengan Dan Tanpa Rendaman Pada Tanah Lempung Organik”. JOM Bidang Teknik dan Sains, Vol. 1 No.2,
1-5
Nugroho, S. A., Wibisono, G., Kasbi, F. (2013). “Analisa Peningkatan kekuatan Tanah Yang Diperkuat Serat Dan
Bahan Stabilisasi Pada Sisi Kering Dan Sisi Basah”. Jurnal Teknik Sipil UAJY, Vol. 12, No. 2, 137-144
Nugroho, S. A. (2015). “Pengaruh Kadar Lempung Dan Kadar Air Pada Sisi basah Terhadap Nilai CBR Pada Tanah
Lempung Kepasiran (Sandy Clay)”. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Teknik dan Sains, Vol. 1, No.2,
1-12.
Nugroho, S. A., Hendri, A., Ningsih, S. R. (2012). “Correlation between Index properties and California Bearing
Ratio test of Pekanbaru Soils with and without Soaked”. Canadian Journal on Environmental, Construction
and Civil Engineering, Vol. 3 No.1, 7-17.
Takaendengan, P., P., Monintia, S., Ticoh, J., H., Sumampouw, J., E., R. (2013). “Pengaruh Stabilisasi Semen
Terhadap Swelling Lempung Ekspansif”, Jurnal Sipil Statik, Vol.1, No. 6, 77-84
Pirmadona, S, Muhardi, Kurniawandy, A. (2015). “Stabilitas Tanah Plastisitas Rendah Dengan Semen”, JOM
Bidang Teknik dan Sains, Vol. 2, No. 2, 1-11.
Sudjati, J. J., Tarigan, R. A., dan Tresna, I. B. M. (2015). Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil 9, Makassar,
7-8 Oktober 2016, 887-892

GEO - 54
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

STUDI PENINGKATAN DAYA DUKUNG TANAH LEMPUNG DENGAN


MENGGUNAKAN SEMEN

Parea Russan Ranggan1, Hendrianto Masiku2, Marthen Luther Paembonan3, Israel Padang4,
dan Yudistira Upa5

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Kristen Indonesia Toraja, Jl. Nusantara No. 12 Makale 91811, Tana Toraja
usd_blessing@yahoo.com
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Kristen Indonesia Toraja, Jl. Nusantara No. 12 Makale 91811, Tana Toraja
Email: henriantomasiku@yahoo.com
3
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Kristen Indonesia Toraja, Jl. Nusantara No. 12 Makale 91811, Tana Toraja
Email: mlpaembonan@yahoo.com
4
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Kristen Indonesia Toraja, Jl. Nusantara No. 12 Makale 91811, Tana Toraja
Email: padangisrael@yahoo.com
5
MahasiswaJurusan Teknik Sipil, Universitas Kristen Indonesia Toraja, Jl. Nusantara No. 12 Makale 91811, Tana
Toraja
Email: Yudistiraupa@yahoo.com

ABSTRAK
Tanah merupakan aspek penting dalam pekerjaan konstruksi Teknik sipil sebab hampir seluruh
konstruksi Teknik sipil meletakkan struktur pekerjaan di atas tanah. Tanah dasar merupakan bagian
terpenting dari konstruksi sebab berfungsi untuk mendukung beban lapis pekerjaan. Tanah
mempunyai sifat fisik yang berbeda-beda, tergantung dari jenis dan struktur tanah. Tujuan penelitian
ini yaitu untuk mengetahui pengaruh penambahan semen pada stabilisasi tanah lempung untuk daya
dukung tanah serta sebagai perbandingan nilai CBR antara tanah lempung tanpa penambahan semen
dengan tanah yang distabilisasi dengan menggunakan semen. Dalam penelitian ini tanah lempung
yang dipergunakan berasal dari Dusun Bonoran, Kel. Panta’nakan lolo, Kec. Kete’ Kesu. Penelitian
ini dilakukan pada sampel tanah lempung dan tanah yang diberikan tambahan stabilisasi kimiawi
berupa penambahan semen Portland dengan berbagi variasi campuran. Pengujian dilakukan di
Laboratorium Dinas Pekerjaan Umum, Makale, Tana Toraja. Penelitian tanah yang dilakukan di
laboratorium meliputi penelitian Sifat Fisik tanah yaitu batas-batas Atterberg dan sifat mekanik
tanah yaitu Pemadatan dan California Bearing Ratio (CBR). Hasil penelitian menunjukkan Nilai
CBR pada pengujian tanah asli adalah 36%, untuk nilai CBR tanah dengan campuran semen 10%
dengan nilai CBR 40%, dan untuk campuran semen 12% dengan nilai CBR 48%, sedangkan untuk
penambahan semen 15% didapatkan nilai CBR sebesar 60% dimana dapat disimpulkan bahwa nilai
CBR tanah yang dicampurkan dengan semen dapat meningkatkan nilai CBR tanah lempung, serta
mempengaruhi daya dukung tanah lempung.
Kata Kunci : Tanah Lempung, Semen Portland, CBR, Daya dukung tanah

1. PENDAHULUAN
Tanah merupakan aspek penting dalam pekerjaan konstruksi Teknik sipil sebab hampir seluruh konstruksi teknik
sipil meletakkan struktur pekerjaan di atas tanah. Tanah berasal dari pelapukan batuan yang menjadi butiran yang
terjadi secara fisik maupun kimia dengan atau tanpa kandungan organik. Sifat fisik tanah dipengaruhi oleh sifat
batuan induk yang merupakan material asalnya. Berdasarkan latar belakang diatas maka dalam penelitian ini
dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaruh penambahan Semen pada daya dukung tanah lempung untuk nilai CBR ?
2. Apakah nilai california bearing ratio (CBR) tanah lempung dapat dinaikkan setelah dilakukan stabilisasi tanah
menggunakan semen ?
Tujuan penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengaruh penambahan semen pada Stabilisasi tanah lempung untuk nilai CBR.
2. Mengetahui nilai California Bearing Ratio (CBR) untuk tanah lempung setelah dilakukan stabilisasi dengan
semen.

GEO - 55
Sifat-sifat fisik tanah
Sifat-sifat fisik tanah merupakan prosedur-prosedur umum yang digunakan untuk membeda-bedakan berbagai
keadaan yang dimiliki suatu jenis tanah tertentu. Sifat-sifat fisik tanah yang ada antara lain :
Porositas (Porosity)
(1)

dengan N : porositas, Vv : Volume rongga (cm3), V : Volume total (cm3)


Angka pori (Void Ratio)
(2)
3
dengan E: angka pori, Vv : volume rongga (cm3), Vs : volume butiran (cm )
a. Batas-batas atterberg (Atterberg Limit)
Atterberg adalah seorang peneliti tanah berkembangsaan swedia yang telah menemukan batas-batas atterberg pada
tahun 1911. Atterberg mengusulkan ada lima keadaan konsistensi tanah. Batas-batas konsistensi tanah ini
didasarkan pada kadar air, yaitu batas cair (liquid limit), batas plastis (plastis limit ), batas susut (shrinkage limit),
batas lengket (sticky limit) dan batas kohesi (cohesion limit). Tetapi pada umumnya batas lengket dan batas kohesi
tidak digunakan.

Gambar 1. Batas-batas atterberg


1. Batas cair (Liquid limit)
(3)
dengan LL: Batas cair, Wn: kadar air pada tumbukan ke-n, N : jumlah tumbukan
2. Batas plastis (Plastic Limit)
Batas plastis dapat didefinisikan sebagai kadar air pada tanah dimana pada batas bawah daerah plastis atau kadar air
minimum.
3. Indeks plastisitas (Plasticity Index)
IP = LL – PL (4)
dengan LL : Batas Cair, PL: Batas Plastis
4. Kadar air
(5)
dengan Wc: Kadar air, W1: Berat Tinbox Kosong, W2: Berat Tinbox + Tanah basah, W3: Berat tinbox + tanah
kering
5. Berat jenis (Specific Gravity)
(6)
dengan γs : Berat Volume Padat (gr/cm3), γw: Berat Volume Air (gr/cm3), Gs: Berat Jenis Tanah
6. Pemadatan tanah (Compaction)
Pada pengujian pemadatan di laboratorium alat pemadatan berupa silinder mould dengan volume 9,34 x 10-4 m3, dan
penumbuk dengan berat 2,5 Kg dengan tinggi jatuh 30,5 cm. pada pengujian Compaction tanah dipadatkan dalam 3
lapisan (Standar Protocol) dan 5 lapisan (modified Protocol) dengan pukulan sebanyak 25 kali pukulan. Pengujian-
pengujian tersebut dilakukan dengan pemadatan sampel tanah basah (pada kadar air terkontrol) dalam suatu cetakan
dengan jumlah lapisan tertentu. Setiap lapisan yang dipadatkan dengan sejumlah tumbukan yang ditentukan dengan
penumbuk dengan massa dan tinggi jatuh tertentu. Standar AASHTO hendaknya digunakan sebagai acuan rincian
pengujian tersebut. Kadar air yang memberikan berat unit kering yang maksimum disebut kadar air optimum. Usaha
pemadatan diukur dari segi energi tiap satuan volume dari tanah yang telah dipadatkan.
Pengujian California Bearing Ratio (CBR)
California Bearing Ratio (CBR) adalah percobaan daya dukung tanah yang dikembangkan oleh California state
Haighway Department. Ada dua macam pengukuran CBR :
1. Nilai CBR untuk tekanan penetrasi pada 0,254 cm (0,1”) terhadap penetrasi standar besarnya 70,37 kg/cm2
(1000 psi) nilai CBR = (PI/70,37) x 100% (PI dalam kg/cm2

GEO - 56
2. Nilai CBR untuk tekanan penetrasi pada 0,508 cm (0,2”) terhadap penetrasi standar yang besarnya 105,56
kg/cm2 (1500 psi) nilai CBR = (PI/105,56) x 100 % (PI dalam kg/cm 2). Dari kedua hitungan tersebut digunakan
nilai terbesar. Dimana nilai CBR dapat di rumuskan sebagai berikut :

(7)

Kekuatan tanah diuji dengan uji CBR. Nilai kekuatan tanah tersebut digunakan sebagai acuan perlu tidaknya
stabilisasi setelah dibandingkan dengan yang disyaratkan dalam spesifikasinya.

2. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian lokasi pengambilan sampel tanah dari Dusun Bonoran, kel. Panta’nakan Lolo, Kec. Kete’ Kesu.
Penelitian ini dilakukan pada sampel tanah lempung (tanah asli) dan pada tanah lempung yang di berikan tambahan
stabilisasi kimiawi berupa penambahan semen Portland dengan berbagai variasi campuran. Pengujian dilakukan di
Laboratorium Dinas Pekerjaan Umum, Makale, Tana Toraja.

3. HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian batas cair


Tabel 1. Pengujian Kadar air
berat berat
kode Berat jumlah
cawan+tanah cawan+tanah kadar air
cawan Cawan putaran
basah kering
F1 15.8 75.7 50.7 20 71.63
F2 16.6 77.7 48.9 15 87.61
Ivc 16.5 75.3 56.1 25 48.88
Pengujian Tanah Dengan tambahan semen
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan antara tanah asli yang tanpa menggunakan tambahan
semen dengan tanah yang ditambahkan semen denganvariasi campuran 10%, 12% dan 15% .
Pengujian Batas cair Tanah dengan campuran Semen
Tabel 2. Hasil Pengujian Batas Cair Pada Tanah dengan campuran semen 10%
berat berat
jumlah
kode cawan Berat Cawan cawan+tanah cawan+tanah kadar air
putaran
basah kering
F1 15.8 53.6 39.7 28 62.3
Z4 16.4 60.7 40.3 10 85.35
W3 16.5 65.5 51.7 37 39.20
Tabel 3. Hasil Pengujian Batas Cair tanah dengan campuran 12% semen
berat berat
kode jumlah
Berat Cawan cawan+tanah cawan+tanah kadar air
cawan putaran
basah kering
F1 15.8 60.2 49.4 25 32.14
Z4 16.4 64.3 49.3 12 45.6
W3 16.5 65.5 51.7 24 39.2
Tabel 4. Hasil Pengujian Batas cair tanah untuk campuran semen 15%
berat berat
kode jumlah
Berat Cawan cawan+tanah cawan+tanah kadar air
cawan putaran
basah kering
Z4 16.4 77.7 57.7 23 48
IVc 16.6 67.8 50.1 20 52.8
F2 16.5 70.7 50.7 17 58.4

GEO - 57
Pengujian batas plastis
Berdasarkan pengujian Batas plastis yang di lakukan di laboratorium Dinas Pekerjaan Umum didapatkan hasil
sebagai berikut :
Tabel 5. Hasil Pengujian Batas Plastis

Cawan F1 Ivc
Berat cawan kosong 15,8 16,5
Berat cawan + Tanah basah 68,5 53,3
Berat cawan + Tanah Kering 53,1 40,1
Berat Air 15,4 13,2
Berat Tanah Kering 37,3 23,5
Kadar Air 41,1 56,1
Kadar Air rata-rata 48,6
Hasil pengujian indeks plastis
Hasil pengujian Indeks Plastis didapatkan dari nilai Batas Cair dan Batas Plastis pengujian dari pengujian
sebelumnya, dimana nilai Indeks Plastis di tentukan dengan persamaan sebagai berikut:

dengan IP = Indeks Plastis, LL = Nilai Rata-rata Batas Cair, PL = Nilai Rata-rata Batas Plastis

Berdasarkan persamaan diatas dapat diketahui bahwa nilai Indeks Plastis (IP) > 11
Hasil uji analisa saringan
Tabel 6. Analisa Saringan

BERAT Berat Berat ∑. B PERSENTASE


NOMOR SARINGAN saringan Tertahan TERTAHAN
TERTAHAN LOLOS
SARINGAN + (GR)
% %
tertahan
11/2* (38,1mm) 655 0 0 0 100
1* (25,4) 604 0 0 0 100

3/4* (19,1mm) 536 0 0 0 100


3/8* (9,52 mm) 515.9 520.9 50 50 2.5 97.5

N0.4 (4,75mm) 806.6 335.1 385.1 19.255 80.745


426.5
NO.8(2.36mm) 431 716 285 670.1 33.505 66.495

N0.10(1,18mm) 425.2 738 312.8 982.9 49.145 50.855

N0.30 (0,60 mm) 402.4 820 417.6 1400.5 70.025 29.975

NO.50 (0,30 mm) 405.3 573 167.7 1568.2 78.41 21.59

N0.100 (0,15 mm) 397.4 563 165.6 1733.8 86.69 13.31

N0. 200 (0,075 mm) 401.4 648.9 247.5 1981.3 99.065 0.935
PAN 470 488.7 18.7 2000 100 0

GEO - 58
Tabel 7. data Uji Sifat Fisik Tanah asli
NO Pengujian Hasil
1 Kadar air (water content) 45.6
2 Berat Jenis (specific gravity) 2,6
3 Batas cair (liquid limit) 65.36
4 Batas plastis (plastic limit) 48.6
5 Indeks plastisitas (plasticity index) 16.79
6 Persen lolos saringan no.200 0.94

Hasil pengujian pemadatan


Percobaan pemadatan ini dilakukan untuk mencari kadar air, pengujian ini dimaksudkan untuk menentukan
hubungan antara kadar air dan berat isi tanah dengan memadatkan didalam mold pemadatan, kemudian ditumbuk
dengan alat penumbuk yang memiliki beban penumbuk 2,5 kg (5,5lbs) dengan ketinggian jatuh 12 in (304,8 mm).

Tabel 8. Pengujian Kadar air dan Penambahan Air


Penambahan Lapisan Berat Berat Berat tinbox Berat Berat Kadar air %
air tanah tinbox tinbox + T. + T. Kering air contoh
basah kering
1 2 3 4 5 6 (4-5) 7 (5-3) 8(6/7) x 100 %
A 15.8 64.2 56.1 8.1 40.3 20.10

0 % (140 ml) T 16.2 55.5 50.9 4.6 34.7 13.26


B 16.5 60.5 51.3 9.2 34.8 26.44
Rata – rata 19.93
A 16 53.6 47.1 6.5 31.1 20.90
T 18.8 52.5 47.9 4.6 29.1 15.81
3%
B 17.1 55.5 46.9 8.6 29.8 28.86
Rata – rata 21.86
A 20 62.4 61.1 1.3 41.1 18.57
T 17.1 54.8 52.5 2.3 35.4 32.86
-3%
B 16.2 69.2 68.8 0.4 52.6 5.71
Rata – rata 19.05
A 15.2 57.8 41.1 16.7 25.9 64.48
6% T 17.2 61.2 55.1 6.1 37.9 16.09
B 13.9 53.6 51.1 2.5 37.2 6.72
Rata – rata 29.10
A 14.2 50 47.2 2.8 33 8.48
-6% T 18.8 70.6 67.5 3.1 48.7 6.37
B 19.1 65.3 59.2 6.1 40.1 15.21
Rata – rata 10.02

GEO - 59
Pemadatan Tanah dengan Semen 10 % ,Semen 12 % dan 15 %
Tabel 9. Pengujian penambahan air dan kadar air tanah + semen 10%
Penambahan Lapisan Berat Berat Berat Berat Berat Kadar air %
air tanah tinbox tinbox + tinbox + air contoh
T. basah T. Kering kering
1 2 3 4 5 6 (4-5) 7 (5-3) 8(6/7) x 100 %

A 15.8 65.2 56.1 9.1 40.3 22.58

0 % (260 ml) T 16.2 63.4 53.8 9.6 37.6 25.53


B 16.5 66.2 63.2 3 46.7 6.42
Rata – rata 18.18
A 15.8 56 49.8 6.2 34 18.24
T 16.6 60.4 55.2 5.2 38.6 13.47
3%
B 16.5 59.7 49.9 9.8 33.4 29.34
Rata – rata 20.35
A 20 55.2 53.9 1.3 33.9 18.57
T 17.1 56.3 54.7 1.6 37.6 22.86
-3%
B 16.2 61.5 60.3 1.2 44.1 17.14
Rata – rata 19.52
A 15.2 49.3 41.1 8.2 25.9 31.66
6% T 17.2 52.4 48.4 4 31.2 12.82
B 13.9 57.9 49.9 8 36 22.22
Rata – rata 22.23
A 14.2 53.2 47.2 6 33 18.18
-6% T 18.8 59.9 54.6 5.3 35.8 6.83
B 19.1 60.4 58.8 1.6 39.7 4.03
Rata – rata 12.34

Tabel 10. Pengujian Penambahan air dan Kadar air tanah dengan campuran semen 12%
Penambahan Lapisan Berat Berat Berat Berat Berat Kadar air %
air tanah tinbox tinbox + tinbox + air contoh
T. basah T. Kering kering

1 2 3 4 5 6 (4-5) 7 (5-3) 8(6/7) x 100 %

A 15.8 67.3 56.1 11.2 40.3 27.79

0 % (270 ml) T 16.2 62.5 53.4 9.1 37.2 24.46


B 16.5 65.9 61.2 4.7 44.7 10.51
Rata – rata 20.92
A 15.8 67.8 55.6 12.2 39.8 30.65
T 16.6 62.1 56.1 6 39.5 15.19
3%
B 16.5 63.4 55.9 7.5 39.4 19.04
Rata – rata 21.63
A 20 57.6 56.3 1.3 36.3 18.57
-3% T 17.1 55.3 54.2 1.1 37.1 15.71
B 16.2 61.1 59.7 1.4 43.5 20.00

GEO - 60
Rata – rata 18.10
A 15.2 49.3 41.1 8.2 25.9 31.66
6% T 17.2 52.4 48.4 4 31.2 12.82
B 13.9 57.9 49.9 8 36 22.22
Rata – rata 22.23
A 14.2 68.9 61.6 7.3 47.4 15.40
-6% T 18.8 67.3 60.5 6.8 41.7 16.31
B 19.1 60.4 54.6 5.8 35.5 16.34
Rata – rata 16.02

Tabel 11. Penambahan dan pengurangan kadar air pada pengujian pemadatan untuk Tanah dengan variasi 15%
Penambahan Lapisan Berat Berat tinbox Berat Berat Berat Kadar air %
air tanah tinbox + T. basah tinbox + air contoh
T. Kering kering

1 2 3 4 5 6 (4-5) 7 (5-3) 8(6/7) x 100 %

A 15.8 64.2 54.3 9.9 38.5 25.71

0 % (320 ml) T 16.2 55.2 49.1 6.1 32.9 18.54


B 16.5 60.5 52.1 8.4 35.6 23.60
Rata – rata 22.62
A 16 63.2 53.1 10.1 37.1 27.22
T 18.8 55.5 47.9 7.6 29.1 26.12
3%
B 17.1 55.5 46.9 8.6 29.8 28.86
Rata – rata 27.40
A 15.2 62.8 53.1 9.7 37.9 25.59
T 17.2 61.2 55.1 6.1 37.9 16.09
-3%
B 13.9 58.6 52.1 6.5 38.2 17.02
Rata – rata 19.57
A 20 62.4 60.1 2.3 40.1 32.86
6% T 17.1 56.8 52.5 4.3 35.4 61.43
B 16.2 69.2 68.8 0.4 52.6 5.71
Rata – rata 33.33
A 14.2 53.7 47.2 6.5 33 19.70
-6% T 18.8 68.5 60.7 7.8 41.9 18.62
B 19.1 65.3 60.5 4.8 41.4 11.59
Rata – rata 16.64

GEO - 61
Hasil pengujian CBR pada tanah asli
Tabel 12. Hasil Pengujian CBR

Pengujian California Bearing Ratio (CBR) Laboratorium


Hasil pengujian CBR yang dilakukan pada Variasi campuran semen 10%, 12 %, dan 15% yang didapatkan dari
pengujian dilaboratorium ditunjukkan pada :
Tabel 13. Hasil Pengujian CBR Tanah dengan campuran semen 10 %

GEO - 62
Tabel 14. Hasil Pengujian Data CBR Tanah lempung Campuran Semen 12 %

Tabel 15. Hasil Pengujian Data CBR tanah dengan campuran semen 15%

GEO - 63
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan serta hasil yang telah di tunjukkan pada Bab sebelumnya, dapat
disimpulkan berdasarkan rumusan masalah bahwa :
1. Pengaruh penambahan semen untuk daya dukung tanah lempung sangat baik karena dapat meningkatkan nilai
dari CBR tanah asli dimana pada perbandingan nilai CBR antara tanah asli dengan nilai CBR tanah yang di
campurkan dengan semen dapat naik secara siknifikan dimana nilai CBR tanah asli sebesar 36 % sedangkan
untuk penambahan semen 10 % nilai CBR yang di dapatkan sebesar 40%, untuk penambahan semen 12 % nilai
CBR yang di dapatkan sebesar 48% dan untuk penambahan semen 15% nilai CBR yang di dapatkan sebesar
60%.
2. Nilai CBR dapat ditingkatkan dengan menggunakan semen dari nilai CBR 36 % untuk tanah biasa dapat naik
sampai 60% untuk penambahan semen 15% dari berat kering tanah yang digunakan maka dapat disimpulkan
bahwa nilai CBR dapat di tinggkatkan dengan cara penambahan semen.

DAFTAR PUSTAKA
Bowless J. E, 1991, “Sifat-sifat Fisis Dan Geoteknis Tanah”, Ahli Bahasa Johan Kelanaputra Hainim, Penerbit
Erlangga.
Hary Christady Hardiyatmo, 1992, “Mekanika Tanah I”, Penerbit Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Peck B, Ralph dan Terzaghi Karl, 1987, “Mekanika Tanah dalam Prakter Rekayasa jilid I edisi kedua”, Ahli bahasa
Ir.Bagus Witjaksono & Ir. Benny Krisna R. Penerbit Erlangga, Jakarta.
SNI 03-1744-1989, “Metode Pengujian CBR Laboratorium”

GEO - 64
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

ANALISIS PENGARUH BEBAN GEMPA DAN PONDASI TIANG BOR TERHADAP


KEAMANAN LERENG DI TEGALALANG, GIANYAR-BALI

I Gusti Ngurah Putu Dharmayasa1 dan Dewa Ayu Nyoman Ardi Utami 2

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pendidikan Nasional, Jl. Bedugul39Denpasar
Email: ngurah.dharmayasa@gmail.com
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pendidikan Nasional, Jl. Bedugul39Denpasar
Email: ardee_utami@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan di daerah Banjar Dukuh, Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pengambilan
sampel serta pengujian tanah di lapangan dilakukan pada dua lokasi lereng yaitu lereng 1-1 dan
lereng 2-2. Terhadap lereng ini dilakukan empat macam analisis yaitu pertama analisis keamanan
lereng terhadap kondisi lereng alami yaitu tanpa beban gempa dan tanpa perkuatan bore pile, kedua
adalah analisis keamanan lereng tanpa beban gempa dengan perkuatan bore pile, ketiga adalah
analisis terhadap lereng dengan beban gempa dan tanpa perkuatan bore pile, serta keempat adalah
analisis keamanan lereng dengan beban gempa dengan perkuatan bore pile. Hasil analisis keamanan
lereng setelah dilakukan analisis pada lereng 1-1 untuk analisis 1, 2, 3 dan 4 adalah 1.00, 1.244,
0.533 dan 0.597. Sedangkan untuk lereng 2-2 adalah 1.431, 1.681, 0.709 dan 0.774. Angka
keamanan tertinggi adalah analisis 2 yaitu dengan perkuatan bore pile tanpa beban gempa dengan
angka keamanan (SF) =1,681 pada lereng 2-2. Sedangkan angka keamanan terendah adalah analisis
3 yaitu analisis dengan beban gempa tanpa perkuatan bore pile dengan angka keamanan (SF) =
0.533 pada lereng 1-1. Berdasarkan keempat analisis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
dengan pemasangan bore pile dan tanpa beban gempa dapat meningkatkan nilai angka keamanan
(SF) > 1.25 seperti pada analisis 2, kondisi ini mengurangi terjadinya resiko longsor. Pengaruh
beban gempa terhadap keamanan lereng cukup besar mengurangi angka keamanan walaupun
dengan perkuatan bore pile yaitu (SF) <1 seperti pada analisis 3 dan 4 sehingga dapat meningkatkan
peluang terjadinya longsor.
Kata kunci: lereng, angka keamanan lereng, bore pile, beban gempa

1. PENDAHULUAN
Analisis keamanan lereng sangat penting dilakukan untuk mengetahui keamanan lereng dan bentuk bidang
gelincirnya. Dengan diketahuinya bidang gelincir maka akan dapat diperkirakan kedalaman bidang longsor yang
mungkin terjadi.
Agar analisis keamanan lereng dapat dilakukan dengan cepat, makabantuan program atau perangkat lunak yang
khusus dibuat untuk menghitung keamanan suatu lereng sangat diperlukan. Dalam analisis keamanan lereng ini
digunakan program SLOPE/W sehingga dapat diperoleh nilai kemanan yang memadai untuk lereng yang diteliti
termasuk didalamnya pengaruh gempa dan perkuatan oleh pondasi tiang bor (bore pile). Dalam penelitian ini
dilakukan empat macam analisis yaitu pertama analisis keamanan lereng terhadap kondisi lereng alami yaitu tanpa
beban gempa dan tanpa perkuatan pondasi tiang bor (bor pile). Analisis kedua adalah analisis keamanan lereng
tanpa beban gempa dengan perkuatan pondasi tiang bor (bore pile). Analisis ketiga dilakukan analisis terhadap
lereng dengan beban gempa dan tanpa perkuatan pondasi tiang bor (bore pile). Analisis terakhir atau keempat
adalah analisis keamanan lereng dengan beban gempa dengan perkuatan pondasi tiang bor (bore pile).
Penelitian keamanan lereng dilakukan di daerah Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Bali dan lereng yang dianalisis
cukup curam karena kemiringannya mencapai lebih dari 25°. Pada lokasi penelitian banyak dibangun villa sehingga
sangat penting dilakukan analisis terhadap keamanan lereng sehingga bangunan yang akan dibangun dapat berdiri
dengan aman.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Penyelidikan Tanah
Tujuan dari penyelidikan tanah adalah untuk mengetahui lapisan tanah sehingga diketahui lapisan tanah yang cukup
kuat untuk bangunan dapat berdiri dengan stabil. Penyelidikan tanah meliputi penyelidikan lapangan (lokasi
pembangunan) yaitu pengeboran, pengambilan contoh tanah dan uji penetrasi (sondir). Sedangkan penyelidikan

GEO - 65
laboratorium meliputi uji kadar air (water content), uji berat volume (γ) dan uji berat jenis (specific gravity) dan uji
geser langsung (direct shear test). (Gunawan, 1991)

Perhitungan Koefisien Gempa di Indonesia


Untuk zona gempa di Indonesia digunakan tipe batuan C karena secara umum batuan di Indonesia termasuk batuan
lunak. Untuk aplikasi dalam desain bangunan tahan gempa perlu dikoreksi pengaruh jenis tanah setempat sesuai
dengan persamaan (1) :
ad = z × ac × v (1)
dengan ad = percepatan gempa terkoreksi, ac = percepatan gempa dasar (g) sesuai dengan periode ulang T (tahun)
sesuai dengan syarat dari bangunan yang dirancang, v = faktor koreksi jenis batuan dan z = koefisien zona gempa
sesuai dengan koordinat lokasi bangunan yang dibangun.
Berdasarkan persamaan diatas maka dapat dihitung koefisien gempa dengan persamaan (2):
kh = ad/g (2)
dengan kh = koefisien gempa horizontal, ad = percepatan gempa terkoreksi dan g = percepatan gravitasi.
(Departemen P.U., 2004).
Metode Simplified Bishop
Salah satu metode yang banyak digunakan untuk menghitung keamanan lereng adalah diabaikan tanpa metode
Simplified Bishop. Pada metode Bishop Simplified diasumsikan bahwa resultante gaya pada sisi samping segmen
dapat diabaikan tanpa mengakibatkan kesalahan. Gambar 1 memperlihatkan suatu sistem gaya yang bekerja pada
suatu segmen tanah pada analisis Bishop Simplified.

i
(ci'/F ) Li
 xi i/F) tan i'

Wi i+1 Wi
 Li i
Vi
i'
i ci' Li + i tan i')/F
i
i

Ui
i
Ui

Gambar 1 Metode Bishop simplified (Redana, 2010)

Bishop menyatakan nilai angka keamanan lereng sesuai dengan persamaan (3):
SF =  c i Δx i  (Wi  ui Δx)cos  tan  i  / Mαi (3)
 W sin α
i i

Jika tekanan air pori (ui) diabaikan (Dharmayasa, 2014) maka menjadi persamaan (4):
SF =  c i Δx i  Wi cos tan  i  / Mαi (4)
W i sin α i

Mαi = cos αi tan  tan αi  1 (5)


 SF 
dengan α = sudut antara segmen tanah dengan bidang gelincir (º), ϕ = sudut gesek dalam tanah (º), SF = angka
keamanan, c = nilai kohesi tanah (kg/cm2), Δx = panjang segmen dan W = berat segmen tanah (kg)

GEO - 66
Perhitungan keamanan kereng terhadap gempa dilakukan dengan metode pseudostatik yaitu memasukkan koefisien
gaya gaya gempa horizontal (Fh) dan gaya gempa vetikal (Fv) kedalam persamaan 4, sehingga menghasilkan
persamaan (6):
 1 
   
  c i  Δx i  Wi  Fv cos α i  Fh sinα tan  i 
SF =  Mα  (6)
 Wi  Fv  sin α i  Fh cosα
dengan Fv = gaya gempa arah vertikal (W×kv), Fh = gaya gempa arah horizontal (W×kh), kh = koefisien gempa
horizontal (berdasarkan daerah gempa) dan kv = koefisien gempa vertikal dapat digunakan 0,5 kh (Choudhury dkk,
2006).

Hubungan beberapa variasi nilai faktor keamanan terhadap kemungkinan longsoran lereng maupun pada
perancangan lereng menurut Bowles (1989) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hubungan nilai safety factor (SF) dan kemungkinan


kelongsoran lereng tanah (Bowles, 1989)
Nilai SF Kemungkinan Longsor
< 1,07 Kelongsoran bisa terjadi
1,07 <SF < 1,25 Kelongsoran pernah terjadi
> 1,25 Kelongsoran jarang terjadi

SLOPE/W GeoStudio 2007


SLOPE/W adalah perangkat lunak yang dibuat berdasarkan limit equilibrium untuk menghitung faktor keamanan
tanah dan kemiringan batuan. Dengan SLOPE/W, kita dapat menganalisis masalah baik secara sederhana maupun
kompleks untuk berbagai permukaan yang miring, kondisi tekanan pori-air, sifat tanah dan kondisi beban . Dengan
fasilitas pada program SLOPE/W dapat dianalisis hampir semua jenis masalah yang berhubungan dengan ilmu
geoteknik, teknik sipil dan pertambangan. (Geo-Slope International Ltd, 2016)

3. METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Dalam suatu penelitian sangat penting untuk menentukan daerah yang diteliti karena ketepatan pemilihan lokasi
penelitian akan dapat memenuhi data-data yang diperlukan untuk penelitian. Karena penelitian ini adalah mengenai
keamanan lereng maka daerah Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Bali sangat memenuhi syarat untuk melakukan
penelitian karena terletak pada daerah perbukitan. Lokasi penelitian diperlihatkan pada gambar 2.

Gambar 2. Lokasi Penelitian (Sumber: Google Map, 2017)

Pengujian Tanah di Lapangan dan di Laboratorium

GEO - 67
Penyelidikan tanah dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Penyelidikan tanah di lapangan meliputi pengujian
dengan sondir dan SPT. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui daya dukung tanah secara langsung di lapangan
serta untuk mengetahui lapisan tanah di lapangan. Sedangkan pengujian tanah di laboratorium dilakukan untuk
mengetahui data – data tanah yaitu kekuatan mekanis tanah dengan tes geser langsung (direct shear test) dan siaft
fisik tanah meliputi kadar air, berat jenis, dan berat volume (γ)
Analisis Keamanan Lereng dengan SLOPE/W
Analisis keamanan lereng dengan program SLOPE/W dilakukan dengan tahapan:
1. Membuat model dari lereng yang dianalisis dengan software SLOPE/W 2007.
2. Selanjutnya dipilih menu KeyIn Analyses maka akan muncul jendela KeyIn Analyses dan pada klik pada
tombol Add untuk menambah analisis yang akan dilakukan. Kemudian pada kolom Analysis Type dapat
dipilih beberapa jenis analisis, misalnya Bishop, Ordinary and Janbu. Pada tab Setting di kolom PWP
Condition from diisi Parent Analysis, kemudian dilanjutkan ke tab SlipSurface. Pada tombol Direction of
movement dipilih Right to left karena arah gelincir lereng dari kanan ke kiri. Sedangkan untuk Slip Surface
Option dipilih Entry and Exit kemudian jendela KeyIn Analyses dapat ditutup dengan menglik tombol
Close.
3. Untuk menentukan lapisan tanah ditambahkan dari menu KeyIn sehingga muncul jendela KeyIn Materials
dan material lapisan tanah akan terlihat. Pada kolom Material Model dipilih Morh-Coulomb. Pada tab
Basic ,kolom Unit Weight diisi dengan berat jenis material timbunan, kolom Cohesion diisi dengan nilai
kohesi material timbunan dan kolom Phi diisi dengan nilai sudut geser tanah.
4. Selanjutnya adalah menentukan kemungkinan daerah gelincir pada lereng yaitu dengan memilih menu
DrawSlip SurfaceEntry and Exit sehingga tampil jendela Draw Slip Surface Entry and Exit Range.
Kemudian pilih lereng yang akan dihitung keruntuhannya dengan menarik garis dari satu ujung ke ujung
yang lainnya.
5. Setelah menentukan daerah gelincir pada lereng maka perhitungan dapat dilakukan yaitu dengan menglik
tombol Solve Analyses pada toolbar. Setelah selesai jendela Solve Analyses dapat ditutup dengan mengklik
tombol Close. Selanjutnya untuk melihat hasil perhitungan dapat di lakukan dengan menglik tombol
Switches the CONTOUR view to display computed results, sehingga muncul nilai angka keamanan dan
bentuk gelincir pada lereng.
Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian ini dilakukan dengan melakukan penyelidikan tanah di lokasi penelitian. Data yang digunakan
untuk analisis ini adalah data hasil penyondiran (CPT) dan data hasil pengujian di laboratorium. Hasil penyondiran
digunakan untuk mengetahui kedalaman tanah keras dan data hasil pengujian laboratorium digunakan untuk
melakukan analisis dengan program SLOPE/W.
Setelah dilakukan pengujian terhadap tanah dan diperoleh hasilnya, selanjutnya dilakukan pemodelan lereng yang
dianalisis dengan program SLOPE/W terhadap kondisi lereng masih alami tanpa beban gempa dan perkuatan pile,
kondisi lereng dengan beban gempa tanpa perkuatan pondasi tiang, serta kondisi lereng dengan beban gempa dan
perkuatan pondasi tiang.
Berdasarkan hasil analisis diharapkan dapat dibandingkan akibat pengaruh beban gempa dan pondasi tiang bor (bore
pile) terhadap keamanan lereng. Pertama keamanan lereng terhadap kondisi lereng alami yaitu tanpa beban gempa
dan tanpa perkuatan pondasi tiang bor (bore pile), kedua adalah keamanan lereng tanpa beban gempa dengan
perkuatan pondasi tiang bor (bore pile), ketiga yaitu keamanan lereng dengan beban gempa dan tanpa perkuatan
pondasi tiang bor (bore pile) dan yang terakhir adalah keamanan lereng dengan beban gempa dengan perkuatan
pondasi tiang bor (bore pile).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Data Penelitian
Data yang diperlukan dan digunakan untuk penelitian ini berupa data kontur, data tanah serta beban bangunan yang
akan dibangun. Data kontur digunakan untuk mengetahui bentuk lereng, selanjutnya data tanah digunakan untuk
menghitung daya dukung tanah di lokasi penelitian. Sedangkan data bangunan digunakan untuk menghitung beban
yang akan bekerja pada lereng dan pondasi.

GEO - 68
1
1 B1= Bor 1 B3= Bor 3
2 B2= Bor 2
S1= Sondir 1
B4= Bor 4
S3= Sondir 3
NK

S2= Sondir 2 S4= Sondir 4

BM4

TL

TL
2

Gambar 3. Lokasi titik bor dan sondir pada lokasi penelitian

Pengujian Tanah di Lapangan


Pengujian tanah di lapangan berupa pengujian dengan sondir (CPT) dan dengan pengujian SPT. Hasil pengujian
sondir untuk tanah pada lereng 1-1 yaitu pada titik sondir 1 dan sondir 2, serta pada lereng 2-2 yaitu pada titik sondir
3 dan titik sondir 4 ditampilkan pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengujian sondir pada lereng 1-1 dan dan lereng 2-2
Titik Kedalaman tanah keras Nilai rata-rata konus (qc)
No
sondir (m) (kg/cm2)
1 Sondir 1 6 250
2 Sondir 2 1.6 250
3 Sondir 3 8 183.33
4 Sondir 4 2.6 250
Sumber: Data pengujian laboratorium Mektan Undiknas 2017

Pengujian SPT pada lereng 1-1 dilakukan pada titik bor 1 dan 2 sedangkan pada lereng 2-2 dilakukan pada titik bor
3 dan 4. Sesuai hasil SPT pada bor 1 diperoleh tanah keras berada pada kedalaman 8 meter dan pada bor 2 tanah
keras berada pada kedalaman 2 meter. Sedangkan untuk bor 3 tanah keras berada pada kedalaman 8 meter dan pada
bor 4 tanah keras berada pada kedalaman 2 meter. Hasil pengujian SPT diperlihatkan pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengujian SPT pada lereng 1-1 dan lereng 2-2
Kedalaman Tanah Jumlah Pukulan Jenis tanah
No Titik
Keras (m) (N)
1 Bor 1 8 77 Cadas padat dan keras, berwarna coklat kehitaman
2 Bor 2 2 65 Cadas padat dan keras, berwarna coklat kehitaman
3 Bor 3 8 47 Cadas padat dan keras, berwarna coklat kehitaman
4 Bor 4 2 85 Cadas padat dan keras, berwarna coklat
Sumber: Data pengujian laboratorium Mektan Undiknas 2017

Pengujian Tanah di Laboratorium


Pengujian tanah di laboratorium dilakukan untuk mengetahui kekuatan mekanis dan kondisi fisik tanah dan hasilnya
dapat dilihat pada tabel 4.

GEO - 69
Tabel 4. Hasil pengujian tanah di laboratorium
Lokasi Berat Berat Jenis Sudut
No lereng Bor Kedalaman Kadar Air volume (γ) (Gs) geser Kohesi
(m) (%) (g/cm3) (°) (kg/cm2)
1 1 Bor 1 1 17.29 1.686 2.678 21.8 0.04
2 1 Bor 1 9 14.48 1.677 2.594 33.8 0.03
3 1 Bor 2 1 14.62 1.632 2.688 38.6 0.01
4 1 Bor 2 7.5 13.95 1.629 2.636 38.6 0.01
5 2 Bor 3 2.5 19.70 1.660 2.637 10.2 0.08
6 2 Bor 3 7 16.46 1.630 2.61 36.9 0.02
7 2 Bor 4 1 17.23 1.648 2.683 12.4 0.03
8 2 Bor 4 3 12.60 1.598 2.663 41 0
Sumber: Data pengujian laboratorium Mektan Undiknas 2017

Analisis Struktur
Analisis struktur dilakukan untuk memperoleh beban maksimum dari beban struktur. Dari analisis struktur pada
bangunan yang akan dibangun dihasilkan beban aksial maksimum pada pondasi adalah 68456.67 kg atau 684,57
kN.
Koefisien Gempa untuk Keamanan Lereng
Untuk perhitungan gempa di Indonesia digunakan batuan tipe C karena secara umum batuan di Indonesia adalah
batuan lunak dan perhitungan gempa untuk keamanan lereng ini menggunakan periode ulang 100 tahun.
Koefisien zona gempa untuk lokasi penelitian:
z = 1,3
Percepatan gempa dasar untuk periode ulang 100 tahun :
ac = 0,289g
= 0,289 × 981
= 283,509 cm/detik2
Faktor koreksi jenis batuan :
v = 1,2
Percepatan gempa terkoreksi :
ad = z × ac × v
= 1,3 × 283,509 × 1,2
= 442,274 cm/detik2
Koefisien gempa horizontal:
kh = ad/g
= 442,274/981
= 0,45
kv = 0,5 kh
= 0,5 × 0,45
= 0,225
Analisis Keamanan Lereng Dengan Software SLOPE/W
Untuk melakukan analisis keamanan lereng ini diperlukan data-data hasil penyelidikan tanah di laboratorium,
seperti pada tabel 5. Untuk lereng 1 kemiringan lereng mencapai 25° dan lereng 2 mempunyai kemiringan 33º

Tabel 5. Data-data untuk analisis keamanan lereng


No Lokasi Lapis tanah Berat volume Sudut geser Kohesi
(kg/m3) (°) (kg/m2)
1 1 1 1659 21.8 250
2 1 2 1653 33.8 200
3 1 3 1629 38.6 100
4 2 1 1654 10.2 550
5 2 2 1614 36.9 100
6 2 3 1598 41 0
Sumber: Data pengujian laboratorium Mektan Undiknas 2017

GEO - 70
Analisis 1: Keamanan Lereng Pada Kondisi Alami (Tanpa Beban Gempa dan Tanpa Perkuatan)
Dari hasil analisis untuk lereng kondisi alami tanpa mendapat beban gempa dan tanpa pemasangan pondasi tiang bor
(bore pile) dengan program SLOPE/W dihasilkan bidang longsor sedalam 10 meter dari permukaan lereng untuk
lereng1-1dan lereng 2-2. Sedangkan angka keamanan (SF) yang diperoleh untuk lereng 1-1 adalah 1,00 dan untuk
lereng 2-2 angka keamanan yang diperoleh 1.431 seperti yang diperlihatkan pada gambar 4.

a. lereng 1 b. lereng 2
Gambar 4. Hasil analisis lereng tanpa beban gempa dan tanpa tiang bor (bore pile)
Analisis 2: Keamanan Lereng Tanpa Beban Gempa dan Dengan Pondasi Tiang Bor (Bore Pile)
Untuk pemasangan pondasi tiang bor (bore pile) pada lereng digunakan panjang pondasi tiang bor tunggal (single
bore pile) sampai ke lapisan tanah keras yaitu pada kedalaman 10 meter, beban yang bekerja pada pondasi tiang bor
(bore pile) adalah beban maksimum dari hasil analisis struktur yaitu 68456.67 kg. Jarak antar pondsi tiang bor
(bore pile) adalah 4 m dengan posisi tiang sesuai dengan rencana pondasi bangunan yang akan dibangun seperti
terlihat pada gambar 5.

a. lereng 1 b. lereng 2
Gambar 5. Hasil analisis lereng tanpa beban gempa dengan perkuatan pondasi tiang bor (bore pile)

Hasil analisis keamanan lereng dengan SLOPE/W dengan perkuatan pondasi tiang bor tanpa memperhitungkan
beban gempa menghasilkan angka keamanan (SF) pada lereng 1-1 sebesar 1.244 dan pada lereng 2-2 sebesar 1.681.
Analisis 3: Keamanan Lereng Dengan Beban Gempa dan Tanpa Pondasi Tiang Bor (Bore Pile)
Analisis keamanan lereng tanpa perkuatan pondasi tiang bor (bore pile) terhadap beban gempa digunakan koefisien
gempa horizontal (kh) = 0.45 dan koefisien gempa vertikal (kv) = 0.225. Hasil analisis ditampilkan pada gambar 6.

GEO - 71
a.lereng 1 b. lereng 2
Gambar 6. Hasil analisis lereng dengan beban gempa tanpa perkuatan tiang bor (bor pile)

Dari hasil analisis keamanan lereng dengan program SLOPE/W diperoleh angka keamanan (SF) pada lereng 1-1
dengan beban gempa sebesar 0.533 dan pada lereng 2-2 sebesar 0.709.
Analisis 4: Keamanan Lereng Dengan Beban Gempa dan Dengan Pondasi Tiang Bor (Bore Pile)
Pada analisis keamanan lereng dengan beban gempa dan dengan pondasi tiang bor (bore pile), pemasangan pondasi
tiang bor (bor pile) pada lereng digunakan pondasi tiang bor tunggal (single bore pile) seperti pada analisis 1 dan
koefisien gempa seperti pada analisis 3. Dari hasil analisis keamanan lereng dengan program SLOPE/W diperoleh
angka keamanan (SF) pada lereng 1-1 dengan beban gempa sebesar 0.597 dan pada lereng 2-2 sebesar 0.774 seperti
pada gambar 7.

a. lereng 1 b. lereng 2
Gambar 7. Hasil analisis lereng dengan beban gempa dan perkuatan pondasi tiang bor (bor pile)

Hasil seluruh analisis keamanan lereng dirangkum pada tabel 6 dan hubungan kombinasi analisis dan angka
keamanan (SF) diperlihatkan pada gambar 8.

Tabel 6. Rangkuman analisis keamanan lereng


Angka keamanan (SF)
No Kombinasi Analisis
Lereng 1-1 Lereng 2-2
1 Tanpa beban gempa dan tanpa bore pile 1.000 1.431
2 Tanpa beban gempa dan dengan bore pile 1.244 1.681
3 Dengan beban gempa dan tanpa bore pile 0.533 0.709
4 Dengan beban gempa dan dengan bore pile 0.597 0.774

GEO - 72
Gambar 8. Grafik hubungan kombinasi analisis dengan angka keamanan (SF)

5. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dari analisis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan:
1. Berdasarkan analisis dengan program SLOPE/W diperoleh kedalaman bidang longsor pada lereng 1 dan
lereng 2 adalah 10 meter dari muka lereng.
2. Untuk hasil analisis yang dilakukan yaitu analisis 1, analisis 2, analisis 3 dan analisis 4, diperoleh angka
keamanan tertinggi adalah analisis 2 yaitu analisis dengan perkuatan pondasi tiang bor (bor pile) tanpa
beban gempa dengan angka keamanan (SF) =1.244 pada lereng 1 dan angka keamanan (SF) pada lereng 2
= 1.681. Sedangkan angka keamanan terendah adalah analisis 3 yaitu analisis dengan beban gempa tanpa
perkuatan pondasi tiang bor (bore pile) dengan angka keamanan (SF) = 0.533 pada lereng 1 dan angka
keamanan (SF) = 0.709 pada lereng 2.
3. Pemasangan pondasi tiang bor (bore pile) dapat meningkatkan nilai angka keamanan. Dapat dilihat dari
hasil analisis dengan perkuatan pondasi tiang bor (bore pile) pada analisis 2 lebih besar terhadap analisis 1
yaitu analisis keamanan lereng tanpa perkuatan. Hal ini dapat juga dibandingkan antara analsis 4 dengan
analisis 3. Pada analisis 4 keamanan lereng dengan beban gempa dan dengan perkuatan pondasi tiang bor
menghasilkan angka keamanan yang lebih besar daripada pada analisis 3 yaitu analisis keamanan lereng
dengan beban gempa tanpa perkuatan pondasi tiang bor (bore pile). Kondisi ini mengurangi terjadinya
resiko longsor karena angka keamanan (SF) > 1.25.
4. Pengaruh beban gempa terhadap keamanan lereng cukup besar mengurangi angka keamanan yaitu dapat
dilihat dari perbandingan analisis 1 dan analisis 3 atau analisis 2 dan analisis 4. Walaupun telah diperkuat
dengan pondasi tiang bor (bore pile) sangat menurunkan nilai angka keamanan (SF) <1 sehingga dapat
meningkatkan peluang terjadinya longsor.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan
Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas bantuan hibah dosen pemula sehingga
dapat menghasilkan penelitian ini dan semoga dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Bowles, J. E., (1989). Sifat-sifat Fisik & Geoteknis Tanah, Erlangga, Jakarta, 562 hal.
Choudhury D., Nimbalkar S.S., dan Mandal J.N.(2006). “Comparison of Pseudo-Static and Pseudo-Dynamic
Methods for Seismic Earth Pressure on Retaining Wall”, J. Ind. Geophys.Union( October 2006 ),10(4),263-
271
Departemen P.U. (2004). Peta Zona Gempa Indonesia Sebagai Acuan Dasar Perencanaan dan Perancangan
Bangunan, Puslitbang Sumber Daya Air, Bandung
Dharmayasa, I. G., Redana, I. W., & Suwarsa Putra, T. G. (2014). “Analisis Keamanan Lereng Bendungan Utama
Pada Bendungan Benel di Kabupaten Jembrana”, Jurnal Spektran, 2(2), 68-77
Dharmayasa, I., & Eratodi, I. (2017). Analisis Dinding Penahan Tanah Dengan Pondasi Tiang Bor (Studi Kasus
Tower PLN No. 71 SUTT 150 KV Di Jalan Gatot Subroto Barat Denpasar). Dinamika Rekayasa, 12(2), 71-78.

GEO - 73
Google (2017). Map Data@2017 Google Indonesia. Retrieved August 25, 2017, from
https://www.google.co.id/maps/search/banjar dukuh desa kendran tegalalang gianyar bali/@-
8.4601036,115.2809802,338m/data=!3m1!1e3?hl=en
Geo-Slope International Ltd. (2016). SLOPE/W.diakses 09 Juli 2017, https://www.geo-slope.com/products/slope-w
Gunawan, R. (1991). Pengantar Teknik Fondasi. Cetakan Kelima, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Pujianto H., Purwanta Y. M., dan Surjandari N.S.(2017). “Analisis Pengaruh Beban Gempa Terhadap Stabilitas
Lereng di Desa Sendangmulyo, Tirtomoyo, Wonogiri”, Matriks Teknik Sipil, 5(1), 202-207
Redana. I W.(2010).Teknik Pondasi, Udayana University Press, Denpasar

GEO - 74
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

PENGEMBANGAN ALAT UJI PNEUMATIC RAPID IMPACT COMPACTION


PADA SKALA UJI MODEL LABORATORIUM

Arifin Beddu1, Lawalenna Samang2, Tri Harianto3, dan Achmad Muhiddin4

1
Mahasiswa Program Doktor Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddi, Jl. Poros Malino-Gowa
Email: arifin_beddu@yahoo.com
2
Departemen Teknik Sipil, Universitas Hasanuddi, Jl. Poros Malino-Gowa
Email: samang_l@yahoo.com
3
Departemen Teknik Sipil, Universitas Hasanuddi, Jl. Poros Malino-Gowa
Email: triharianto@ymail.com
4
Departemen Teknik Sipil, Universitas Hasanuddi, Jl. Poros Malino-Gowa
Email: achmad_muhiddin@yahoo.com

ABSTRAK
Penggunaan metode Rapid Impact Compaction (RIC) sebagai Low Energy Dynamic
Compaction,LEDC untuk pemadatan lapisan timbunan dan deposit lapisan tanah yang tebal telah
luas digunakan disejumlah negara. Namun peningkatan penggunaan metode tersebut belum diiringi
pengembangan alat uji dilaboratorium yang sesuai dengan mekanisme kerja RIC. Untuk itu dalam
penelitian ini dikembangkan inovasi alat pengujian metode RIC berbasis Elektro-Pneumatic Air
Pressure yang di peruntukkan pada pengujian skala model laboratorium. Alat ini dirancang untuk
bekerja pada sistem pembebanan dinamis dengan mekanisme kerja sebagai beban impak berulang.
Alat secara skematik terdiri atas beberapa bagian yaitu kompressor udara bertekanan kerja 6 bar
sebagai sumber tekanan penumatik yang dilengkapi tabung 100-150 liter; Pneumatic double acting
dengan panjang piston 50 cm berdiameter 10-12 cm dengan kapasitas angkat beban aktual
maksimum 150 kg; valve converter tipe selenoid sebagai mekanis pengatur kondisi jalur tekanan
udara; relief valve sebagai pengendali kelebihan tekanan udara, pemantau tekanan udara
menggunakan pressure gauge. Untuk mensimulasikan proses dan frekuensi pembebanan dinamis
impak yang berulang maka sistem alat uji ini dilengkapi dengan panel pengendali, PLC
(Programmable Logic Controller) yaitu sistem elektronika digital yang dirancang mengendalikan
valve converter dengan proses implementasi fungsi nalar kendali sekuensial dan operasi pewaktuan,
pencacahan dan aritmatika.
 PLC terdiri dari processor, unit memori, unit kontrol, dan unit
Input/Output module. Hasil yang didapatkan dari inovasi alat ini adalah dapat mensimulasikan
energi pemadatan dengan menyesuaikan tinggi jatuh beban penumbuk, berat penumbuk dan
mengatur frekuensi tumbukan dalam satuan waktu tertentu, sehingga dengan alat ini penelitian-
penelitian pemadatan tanah berbasis Impact Compaction dapat dilakukan dilaboratorium.
Kata kunci: pneumatic air pressure, rapid impact compaction, low energy

1. PENDAHULUAN
Rapid Impact Compaction,RIC adalah sistem pemadatan tanah secara dinamis dengan konsep Low Energi Dynamic
Compaction, (Parvizi, 2009) yang pertama kali diperkenalkan di United Kingdom di awal tahun 1990 sebagai
metode yang awalnya digunakan untuk memperbaiki runway lapangan terbang yang rusak akibat bomb, dan sejak
tahun 2003 telah mulai digunakan secara efektif dibeberapa negara seperti transportations agencies di the United
States (Becker, 2011), Dubai UEA (Tarawneh & Matraji, 2014), dan negara-negara seperti Canada, South Africa,
Japan, China and Iran.
Meskipun metode RIC saat ini telah banyak digunakan, namun perkiraan kedalaman efektif dan luasnya cakupan
perbaikan kebanyakan diturunkan dari pengalaman lapangan (Adel M Hanna et.al, 2014) (Tarawneh & Matraji,
2014). Beberapa penelitian di laboratorium dan pemodelan numerik metode impact compaction sebelumnya telah
dilakukan diantaranya adalah, (Airey, et.al, 2012),(Parvizi, 2009), (Arslan, et.al 2007) dengan fokus variabel yang
diteliti adalah berat tamper, tinggi jatuh, diameter tamper, simulasi pembebanan dan sifat fisik tanah berbutir berupa
kepadatan.
Namun berdasarkan siklus tumbukan dan berat tamper yang digunakan serta sistem dan perangkat pemadat yang
digunakan belum menggambarkan metode Rapid Impact Compaction yang akan diteliti. Untuk itu direncanakan

GEO - 75
melakukan penelitian dengan mengembangkan sistem pemadatan dinamis berupa Repeated Load tipe Rapid Impact
Compaction berbasis penggerak mekanis berupa pneumatic air pressure pada piston double acting yang
dikendalikan dengan sistem mikro kontroller.
Perangkat mekanis Repeated Load tipe Rapid Impact Compaction dapat diterapkan pada pemadatan struktur
timbunan untuk mengembangkan hubungan parameter penelitian seperti energi pemadatan(massa penumbuk, tinggi
jatuh, frekuensi tumbukan, ukuran geometri alas penumbuk) terhadap parameter karaketristik pemadatan tanah yaitu
besarnya penurunan, pola dan jarak distribusi tegangan serta perubahan tekanan air pori pada lapisan tanah lunak
dibawah lapisan timbunan yang bersesuaian dengan energi pemadatan yang dikenakan oleh sistem.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Berbagai upaya dan inovasi teknologi telah dilakukan untuk meminimalkan permasalahan yang timbul pada
konstruksi timbunan diatas tanah lunak, yang mana metodenya dapat dikelompokkan berdasarkan inovasi terhadap
perkuatan struktur timbunan dan inovasi terhadap lapisan tanah lunaknya. (Liu, Ng, & Fei, 2007). (J. F. Chen,et al ,
2015)(Cascone & Biondi, 2013) (Branch, et. al, 2016). Untuk mencapai kualitas timbunan pada kedua kelompok
metode tersebut usaha pemadatan merupakan hal yang penting di perhatikan karena hal ini terkait dengan pengaruh
yang ditimbulkannya baik pada lapisan konstruksi timbunannya sendiri maupun terhadap lapisan tanah lunaknya
selama pelaksanaan konstruksi.
Diantara beberapa metode pemadatan seperti vibrocompaction dan dynamic compaction yang telah lama dan luas
digunakan. Saat ini telah berkembang metode pemadatan lain yang dikenal sebagai Rapid Impact Compaction
(RIC). Jika dibandingkan dengan vibrocompaction dan dynamic compaction yang dapat digunakan sampai
kedalaman 10-60m, maka Rapid Impact Compaction (RIC) merupakan pemadatan dekat lapisan permukaan dengan
kedalaman efektif pemadatan 4-10 m, namun masih lebih tebal dari dynamic roller dan static roller yang kurang dari
1m (Adam & Paulmichl, 2007). Rapid Impact Compaction telah sukses diterapkan pada beberapa negara.
Peralatan Rapid Impact Compaction, RIC terdiri atas tiga komponen utama Gambar 1 ; yaitu alas penumbuk (anvil);
alur penumbuk (rig) dan penumbuk (hammer;compactor). Karakteristik peralatan metode RIC dibedakan
berdasarkan tipe berat penumbuk yang tersedia yaitu RIC 5000, RIC 7000 and RIC 9000 dimana angkanya
menunjukkan berat penumbuk dalam kilogram, sementara untuk alas penumbuk seberat 4 ton, diameter alas
penumbuk 1,5 m; pengaturan tinggi jatuh 0,8m-1,5m tetapi yang umum digunakan adalah 1,2m (Kristiansen &
Davies, 2004) (Serridge & Synac, 2006); (Hamidi, Nikraz, & Varaksin, 2009); (Mohammed et al., 2010);. Peralatan
penumbuk Rapid Impact Compaction ditautkankan ke hydraulic excavator sebagai perangkat penopang mekanik
yang dapat mengatur frekuensi tumbukan antara 40-60 /menit sebagai ciri metode rapid compaction. (Falkner, et.al,
2010); (Adam, et.al, 2011); (Tarawneh & Matraji, 2014).
Parameter energi pemadatan metode, RIC ditentukan oleh berat penumbuk (Compactor); berat dan luas geometri
landasan penumbuk (anvil); frekuensi tumbukan dan kumulatif total tumbukan dalam satu siklus pemadatan pada
titik tumbukan yang sama. Namun energi pemadatan difokuskan pada besarnya berat penumbuk dan jumlah
tumbukan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian (Koohsari, 2016) bahwa pada metode impact compaction efek
dari berat penumbuk lebih signifikan dibandingkan dengan ketinggian jatuh penumbuk. Efek dari peningkatan berat
penumbuk pada impact compaction terhadap kedalaman dapat dijelaskan dengan efek peningkatan momentum pada
efisiensi energi yang ditransferkan ke lapisan tanah. Penelitian tesebut juga sejalan dengan yang telah dilaporkan
sebelumnya oleh (Ghanbari & Hamidi, 2014) dimana estimasi pengaruh jarak pemadatan arah radial ditentukan oleh
energi pemadatan dan suatu nilai kofisien faktor penyesuaian.

GEO - 76
c
d

Gambar 1. Perangkat utama RIC, a. Anvil landasan penumbuk; b. Compactor-Hammer; c. Rig Compactor; d.
Perangkat mekanik (diesekogroup.com, 2017).

Untuk mensimulasikan pola pembebanan dinamis Rapid Impact Compaction dapat dipandang sebagai beban siklik
satu arah yaitu beban berulang satu arah (tidak bolak-balik) sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh (Yin,
et.al, 2013) dimana melakukan pengamatan terhadap perilaku tanah berlempung dibawah pembebanan siklik.
Tumbukan menimbulkan gelombang permukaan dan gelombang badan berupa gelombang geser dan gelombang
tekan yang dijalarkan pada lapisan tanah, pada tanah tidak jenuh air gelombang yang dipancarkan dari hasil
tumbukan menggeser dan mengatur ulang konfigurasi tanah ke kondisi yang lebih padat, sementara pada tanah
jenuh air efek gelombang akan mengakibatkan keluarnya air dari pori tanah dan megatur ulang posisi butiran pada
kondisi yang lebih padat. Baik pada tanah tidak jenuh maupun jenuh air efek pemadatan akan mengakibatkan
berkurangnya pori dan meningkatkan gesekan dalam antar butir yang secara langsung akan meningkatkan sifat
mekanis tanah, sementara efek berkurangnya pori ditandai dengan turunnya permukaan tanah (Hamidi et al., 2009).
Pada metode pemadatan Rapid Impact Compaction, penumbuk dijatuhkan pada alas penumbuk yang ditempatkan
diatas permukaan tanah secara tetap, dalam hal ini besarnya kecepatan sebelum dan setelah terjadi tumbukan
menurut ((Falkner et al., 2010) yang diturunkan dari persamaan momentum dapat dihitung dengan persamaan [1;2]
sebagai:

(1)

(2)
dalam hal ini h = tinggi jatuh,m
WH = berat penumbuk, kg
WF = Berat alas penumbuk,kg
g = grafitasi, m/det2
VH = Kecepatan penumbuk pada saat terjadi tumbukan,m/det
VF = Kecepatan pelat alas penumbuk dan penumbuk sesaat setelah terjadi tumbukan, m/det
g = percepatan graivitasi; m/det2

Berdasarkan perumusan kecepatan tumbukan oleh (Falkner et al., 2010), maka energi tumbukan bersama antara
pelat penumbuk dan alas penumbuk jika dihitung dari persamaan dasar energi kinetik dan momentum, dapat
dihitung dengan persamaan (3) sebagai:

(3)
dalam hal ini h = tinggi jatuh,m
Eb = Energi Pertumbukan, kN.m (Joule)
WH = Berat Penumbuk, kg

GEO - 77
WF = Berat Alas Penumbuk,kg
VF = Kecepatan Pelat Alas Peumbuk sesaat setelah terjadi tumbukan, m/det.

analog dengan besarnya energi pemadatan menurut (Lukas, 1992) pada metode dynamic compactioan, maka total
energi E tumbukan per luas bidang kontak alas penumbuk (kJ/m2), dihitung dengan persamaan (4) sebagai:

(4)

adalah
dalam hal ini E kumulatif total energi yang dikenakan kN.m (kJ), A adalah luas bidang tumbuk dari alas
penumbuk (m2), dan N adalah jumlah tumbukan. Merujuk pada persamaan (1) dan (2) maka dapat dirumuskan
besarnya momentum dan gaya impuls yang terjadi sesuai persamaan (5) dan (6) (Mostafa, 2010) sebagai:

(5)

(6)

dalam hal ini:


m.v = momentum
mH = Berat massa penumbuk, (kg.det2/m)
mF = Berat massa alas penumbuk, (kg.det2/m)
VH = Kecepatan penumbuk pada saat terjadi tumbukan,m/det
VF = Kecepatan pelat alas penumbuk sesaat setelah terjadi tumbukan, m/det
v = Perubahan kecepatan, m/det
t = Rentang waktu perlambatan tumbukan, det
= Gaya tumbukan, kg

adapun besarnya gaya dinamis maksimum yang yang diteruskan dipermukaan tanah dapat dianalogikan dengan
perumusan gaya dinamis maksimum menurut Wayne pada dynamic compaction, (Mostafa, 2010) yaitu besarnya
gaya dinamis maksimum yang bekerja pada sistem rapid impact compaction adalah:

(7)

selanjutnya hasil penurunan persamaan dengan analogi pada persamaan (7) menggunakan nilai pada persamaan (1)
dan (2) didapatkan persamaan (8) untuk rapid impact compaction yang terdiri dari berat penumbuh WH dan berat
alas peumbuk WF berjari-jari ro sebagai berikut:

(8)

dalam hal ini :


WH = Berat Penumbuk, kg
WF = Berat Alas Penumbuk,kg
h = Tinggi jatuh,m
G = Modulus geser tanah, kg/m2
ro = Jari-jari alas penumbuk
v = poisson ratio
Pemodelan beban impak dinamis menjadi salah satu bagian yang krusial. Penelitian ini memfokuskan pada metode
yang umum digunakan untuk mensimulasikasn beban impact adalah riwayat waktu impact terhadap beban setengah
sinus yang digunakan oleh (Pan & Selby, 2002) dimana waktu impak disimulasikan 0,05 detik, untuk time rate
tumbukan ditentukan oleh disain jumlah tumbukan persatuan waktu sehingga untuk aplikasi pada model uji yang
berdasarkan kecepatan tumbukan massa penumbuk terhadap tanah sebagaimana dirumuskan oleh (Wang et al.,
2017) dan diuraikan secara jelas sebelumnya oleh Falkner (Falkner et al., 2010) sesuai persamaan (1) dan(2).

GEO - 78
Gambar 3. Hubungan waktu-beban impact, (Pan & Selby, 2002)

3. RANCANGAN ALAT PENGUJIAN


Model uji eksperimental skala laboratorium dalam rancangan penelitian ini mengikuti sistem pembebanan dinamis
dengan mekanisme kerja sebagai beban impak berulang yang ditunjukkan secara skematik pada Gambar 1.

Gambar 4. Disain skematik elektro-air pneumatik pressure Impact Compaction skala laboratorium
Sesuai Gambar 4. rancangan alat tersebut terdiri atas dua kelompok komponen utama yaitu unit mekanis pemadatan
dan sistem kontrol yang masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut:

Sistem Mekanis
a. Kompressor udara, beban kerja 6 bar sebagai sumber tekanan penumatik beserta tabungnya dengan kapasitas
penyimpanan 100 liter; Sumber tegangan untuk kompressor digunakan dari tegangan listrik AC pada
tengangan 220 Volt.
b. Pneumatik piston double acting, dengan kapasitas angkat beban aktual 100 kg; panjang piston 25-50 cm
berdiameter 10-12 cm. Unit piston air pneumatik pressure ditempatkan pada rangka baja yang di pertinggi
sampai 1,0m diatas bak pengujian, unit piston di disain pada posisi yang mampu mengangkat unit penumbuk
yang memliki berat 50-100 kg, dengan tinggi jatuh 10-15 cm, geometri pelat alas tumbukan (anvil) disesuaikan
dengan ukuran sisi dalam silinder bak pengujian yang berdiameter 20cm-30 cm dengan berat 10kg-15 kg.
Frekuensi tumbukan impak diatur dari mikro kontroller yang dapat mengikuti sistem pembebanan dinamis
dengan menggunakan fungsi pewaktuan.
c. Valve converter tipe selenoid sebagai mekanis pengatur 3 kondisi arah tekanan udara;
d. Relief Valve sebagai valve kendali terhadap over pressure, dimana sistem pressure dimonitor dengan pressure
gauge.

GEO - 79
Sistem Kontrol
Panel pengendali, (Micro Controller) adalah suatu sistem elektronika digital yang dirancang agar dapat
mengendalikan valve converter dengan proses mengimplementasikan fungsi nalar kendali sekuensial dan operasi
pewaktuan, pencacahan dan aritmatika.
 Microcontroller terdiri dari processor, unit memori, unit kontrol, dan unit
Input/Output. .Bagian-bagian dari sistem control :
1. Mikrokontroller Arduino Uno adalah papan pengembangan (development board) mikrokontroler yang berbasis
chip ATmega328P. Disebut sebagai papan pengembangan karena board ini berfungsi sebagai arena prototyping
sirkuit mikrokontroller.
2. LCD Liquid Crystal Display LCD (Liquid Crystal Display) merupakan komponen elektronika yang digunakan
untuk menampilkan suatu karakter, baik itu angka, huruf atau karakter tertentu, sehingga tampilan tersebut dapat
dilihat secara visual. Pemakaian LCD sebagai tampilan digunakan karena daya yang dibutuhkan LCD relatif
kecil (orde mikro watt), meskipun pada modul ini dibatasi oleh sumber cahaya eksternal/internal, suhu dan
jangka hidup. Sebuah panel LCD akan terhubung pada mikrokontroller untuk mengatur titik-titik untuk
mengatur karakter huruf atau angka, data akan dikirim dalam bentuk kode ASCII, kode ini akan diterima dan
diolah sehingga terbentuk matrik matrik yang dapat terbaca secara visual.
3. Keypad adalah bagian penting dari suatu perangkat elektronika yang membutuhkan interaksi manusia. Keypad
berfungsi sebagai interface antara perangkat (mesin) elektronik dengan manusia atau dikenal dengan istilah HMI
(Human Machine Interface). Konfigurasi keypad dengan susunan bentuk matrix ini bertujuan untuk
penghematan port mikrokontroler karena jumlah key (tombol) yang dibutuhkan banyak pada suatu sistem
dengan mikrokontroler
4. Real Time Clock (RTC).
 Untuk komponen yang digunakan pada Real Time Clock adalah. IC DS1307
 Battery
CR2032 (3 volt) dengan socket Resistor dengan ukuran 10K,
 Crystal 32768 kHz, sebagai signal generator.
Rangkaian RTC dengan IC DS1307, menggunakan jalur komunikasi I2C dengan microcontroller dan
menggunakan tegangan input sebesar 5 volt. Pull up resistor yang digunakan adalah sebesar 10k, namun dapat
disesuaikan dengan resistor dengan hambatan yang lebih rendah. Adapun penggunaan resistor dengan nilai
hambatan yang rendah, tujuannya agar komunikasi I2C dapat berlangsung lebih cepat

4. KESIMPULAN
Dengan memahami metode kerja prototype alat pemadat sistem Rapid Impact Compaction khususnya siklus
tumbukan dan pemodelan berat tamper yang digunakan maka dapat dikembangkan sistem pemadatan dinamis untuk
pengujian skala laboratorium berupa Repeated Load tipe Rapid Impact Compaction berbasis penggerak mekanis
berupa pneumatic air pressure pada piston double acting yang dikendalikan dengan sistem mikro kontroller.
Sistem pemadatan dinamis untuk pengujian skala laboratorium berupa Repeated Load tipe Rapid Impact
Compaction berbasis pneumatic air pressure yang dikembangkan ini dapat menjadi dasar pemodelan untuk
pengembnagan alat uji mekanis pengujian-pengujian lain skala laboratorium pada bidang rekayasa geoteknik.

DAFTAR PUSTAKA
Adam, D., Adam, C., Falkner, F. and Paulmichl, I. (2011) ‘Vibration Emission Induced by Rapid Impact
Compaction’, in 8th International Conference on Structural Dynamics. Leuven, Belgium, pp. 914–921.
Adam, D. and Paulmichl, I. (2007) ‘Rapid Impact Compactor − An Innovative Dynamic Compaction Device for
Soil Improvement’, Improvement of Soil Properties, (Dc), pp. 183–193.
Adel M Hanna and Mustafa Yulek (2014) ‘Impact compaction on a subgrade layer overlying deep deposit’,
International Journal of Pavement Engineering, 15:8, pp. 742–751.
Airey, D., Nazhat, Y., Moyle, R. and Avalle, D. (2012) ‘Dynamic Compaction – Insights From Laboratory Tests’, in
dhima Indraratna, C. R. and J. S. V. (ed.) Proceedings of the International Conference on Ground
Improvement and Ground Control, pp. 987–996.
Arslan, H., Baykal, G. and Ertas, O. (2007) ‘Influence of tamper weight shape on dynamic compaction’, Journal of
Ground Improvement, 11(2), pp. 61–66.
Becker, P. J. (2011) Assessment of rapid impact compaction for transportation infrastructure applications, Graduate
Theses and Dissertations. Paper 10261. Iowa State University.
Branch, G. K., Kavoos, G. and Branch, A. (2016) ‘Geo-China 2016 GSP 258 68’, pp. 68–76.
Cascone, E. and Biondi, G. (2013) ‘A case study on soil settlements induced by preloading and vertical drains’,
Geotextiles and Geomembranes. Elsevier Ltd, 38, pp. 51–67.

GEO - 80
Chen, J. F., Li, L. Y., Xue, J. F. and Feng, S. Z. (2015) ‘Failure mechanism of geosynthetic-encased stone columns
in soft soils under embankment’, Journal of Geotextiles and Geomembranes. Elsevier Ltd, 43(5), pp. 424–431.
Falkner, F., Adam, C., Paulmichl, I., Adam, D. and Fürpass, J. (2010) ‘Rapid Impact Compaction for Middle-Deep
Improvement of the Ground – Numerical and Experimental Investigations’, From Research to Design in
European Practice, (June), pp. 2–11.
Ghanbari, E. and Hamidi, A. (2014) ‘Numerical modeling of rapid impact compaction in loose sands’, Journal of
Geomechanics and Engineering, 6(5), pp. 487–502.
Hamidi, B., Nikraz, H. and Varaksin, S. (2009) ‘A Review on Impact Oriented Ground Improvement’,
Koohsari, H. et al (2016) ‘Evaluation of factors affecting the estimated improvement depth of dynamic compaction
using fuzzy method and PSO’, Journal Soils and Foundations 2016, The Japanese Geotechnical Society.
Kristiansen, H. and Davies, M. (2004) ‘Ground Improvement Using Rapid Impact Compaction’, 13th World
Conference on Earthquake Engineering, 13th(August 1-6), p. 496.
Liu, H. L., Ng, C. W. W. and Fei, K. (2007) ‘Performance of a Geogrid-Reinforced and Pile-Supported Highway
Embankment over Soft Clay: Case Study’, Journal of Geotechnical and Geoenvironmental Engineering,
133(12), pp. 1483–1493.
Lukas (1992) ‘Lukas, R.G., 1992. Dynamic compaction engineering consolidations. Grouting/ soil improvement and
geosynthetics. Geotechnical Special Publication, 30 ,(ASCE, New York, pp. 940–953.’, p. 1992.
Mohammed, M. M., Hashim, R. and Salman, A. F. (2010) ‘Effective improvement depth for ground treated with
rapid impact compaction’, Scientific Research and Essays, 5(18), pp. 2686–2693.
Mostafa, K. (2010) Numerical Modeling of Dynamic Compaction in Cohesive Soils.
Pan, J. . and Selby, A. . (2002) ‘Simulation of dynamic compaction of loose granular soils’, Journal of Composites
for Advances in Engineering Software, 33(7–10), pp. 631–640. doi: 10.1016/S0965-9978(02)00067-4.
Parvizi, M. (2009) ‘Soil response to surface impact loads during low energy dynamic compaction’, Journal of
Applied Sciences, 9(11), pp. 2088–2096.
Serridge, C. J. and Synac, O. (2006) ‘Application of the Rapid Impact Compaction (RIC) technique for risk
mitigation in problematic soils’, Iaeg2006, (294), pp. 1–13.
Tarawneh, B. and Matraji, M. (2014) ‘Ground improvement using rapid impact compaction: case study in Dubai’,
Journal of the Croatian Association of Civil Engineers, 66, pp. 1007–1014.
Wang, W., Chen, J. and Wang, J. (2017) ‘Estimation method for ground deformation of granular soils caused by
dynamic compaction’, Soil Dynamics and Earthquake Engineering. Elsevier, 92(January 2015), pp. 266–278.
Yin, Z., Xu, Q., Chang, C. S. and Asce, M. (2013) ‘Modeling Cyclic Behavior of Clay by Micromechanical
Approach’, Journal of Engineering Mechanics, 139(September), pp. 1305–1309.

GEO - 81
GEO - 82
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

PENGARUH PEMILIHAN TARGET SPEKTRA PADA ANALISIS RESIKO GEMPA


BENDUNGAN LEUWIKERIS, PROVINSI JAWA BARAT

Fioliza Ariyandi1 dan Muhammad Riza.H2

1
Sekolah Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung-Indonesia
Email: f.ariyandi.81@gmail.com
2
Geotechnical Engineer, PT. Bima Sakti Geotama, Bandung-Indonesia
Email: m_riza_h@yahoo.com

ABSTRAK
Pada kasus kegempaan pemilihan target spektra memberikan hasil yang cukup signifikan terhadap
prediksi nilai respon spektra. Pemilihan target spektra terdiri dari metode UHS dan CMS. UHS
didefinisikan sebagai tempat kedudukan dari titik-titik dimana nilai spectral acceleration pada
setiap periode memiliki probabilitas terlampaui sama dengan probabilitas target, sedangkan CMS
dihitung berdasarkan deaggregasi PSHA dengan cara menghitung bobot rata-rata CMS yang telah
dinormalisasi pada semua sumber gempa. Analisis resiko gempa (seismic hazard analysis)
Bendungan Leuwikeris Kab. Ciamis Provinsi Jawa Barat menggunakan metode probabilistik dengan
periode ulang 145 dan 10000 tahun digunakan sebagai studi kasus untuk menentukan pengaruh
pemilihan target spektra berdasarkan UHS dan CMS terhadap prediksi nilai respon spektra. Hasil
dari studi ini akan menampilkan pengaruh pemilihan target spektra yang hanya dibatasi pada grafik
ground motion, yang akan digunakan dalam analisis resiko gempa.
Kata kunci: bendungan, seismic hazard, target spectra, UHS, CMS

1. PENDAHULUAN
Untuk memenuhi kebutuhan air irigasi, pengendalian banjir, penyediaan air baku dan penyedian energi listrik,
BBWS Citanduy memandang perlu untuk membangun Bendungan Leuwikeris yang berlokasi di Sungai Citanduy,
Desa Ancol, Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Oleh karena itu untuk mengurangi
dampak kerusakan akibat gempa diperlukan suatu kajian berupa analisis resiko gempa (Seismic Hazard Analisis)
dilokasi Bendungan Leuwikeris. Didalam kajian analisis resiko gempa tersebut, pengaruh pemilihan target spektra
diprediksi akan memberikan hasil yang cukup signifikan terhadap nilai respon spektra (Baker and Cornel, 2006 ;
Baker, 2011).
Oleh karena itu pada paper ini pengaruh pemilihan target spektra berdasarkan uniform hazard spektrum (UHS) dan
Conditional Mean Spectrum (CMS) terhadap nilai respon spektra untuk pembuatan ground motion sintetik dengan
periode ulang 145 dan 10000 tahun dilakukan pada studi ini. Hasil dari studi ini akan menampilkan pengaruh
pemilihan target spektra yang hanya dibatasi pada grafik ground motion.

2. PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA


Data gempa yang dikumpulkan pada studi ini adalah data kejadian gempa dalam cakupan area 10° LU hingga 12°
LS dan 90° BT hingga 145° BT, dengan minimum magnitude Mw = 5 dan kedalaman maksimum 300 km dalam
rentang waktu tahun 1900-2014. Data kejadian gempa dikumpulkan dari katalog gempa Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia, National Earthquake Information Center U.S Geological Survey
(NEIC-USGS, PDE), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan Advanced National Seismic
System (ANSS). Umumnya data yang berasal dari katalog gempa memiliki magnitude yang tidak seragam,
mengandung data gempa utama (main shock) dan data gempa susulan (after shock) serta data kejadian gempa-
gempa kecil yang umumnya tidak lengkap dibandingkan dengan data kejadian gempa-gempa besar. Oleh karena itu
sebelum digunakan dalam analisis resiko gempa, data gempa tersebut harus dikoreksi dan diolah terlebih dahulu.
Pengolahan data kejadian gempa meliputi; (1) Konversi skala magnitude, (2) Pemisahan gempa utama dan susulan
(analisa depedency) dan, (3) Analisa kelengkapan data (completeness).
Berdasarkan hasil analisa depedancy yang memisahkan antara gempa utama dengan gempa susulan, dari 67.934
kejadian gempa yang berhasil dikumpulkan didapat 5.754 kejadian gempa yang merupakan gempa utama (main
shock).

GEO - 83
Gambar 1. Distribusi kejadian gempa utama dalam radius 500 km dari wilayah studi

Sementara hasil analisis completeness (analisis kelengkapan) menunjukkan hasil yang ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Hasil analisa completeness terhadap data kejadian gempa

Umumnya katalog gempa yang diambil dari berbagai sumber, lengkap hanya pada kejadian-kejadian gempa dengan
magnitude besar saja. Sedangkan untuk magnitude kecil umumnya tidak lengkap. Ketidaklengkapan data gempa
akan mengakibatkan parameter resiko gempa yang dihasilkan menjadi overestimate atau underestimate. Berdasarkan
prosedur yang dikemukakan oleh Stepp (1973), Kelengkapan data pada suatu perioda waktu tertentu dapat dilihat
dari gradien kecenderungan data yang berubah. Rentang waktu dimana standar deviasi menunjukkan perubahan dan
menjadi lebih curam menunjukkan data gempa yang tidak lengkap. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dapat
diketahui bahwa untuk rentang magnitude 5.0 < M w ≤ 6.0 terlihat bahwa data gempa lengkap selama 47 tahun,
rentang magnitude 6.1 < Mw ≤ 7.0 terlihat bahwa data gempa lengkap selama 56 tahun, rentang magnitude 7.1 < M w
≤ 8.0 terlihat bahwa data gempa lengkap selama 106 tahun, dan rentang magnitude M w > 8.0 terlihat bahwa data
gempa lengkap selama 111 tahun.

GEO - 84
3. PEMODELAN SUMBER GEMPA

Pemodelan seismotektonik atau pemodelan zona sumber gempa diperlukan sebagai penghubung antara data kejadian
gempa dengan model perhitungan yang digunakan dalam menentukan tingkat resiko gempa. Zona sumber gempa
didefinisikan sebagai area yang mempunyai derajat gempa yang sama, dimana setiap titik dalam zona tersebut
mempunyai kemungkinan yang sama akan terjadinya gempa dimasa yang akan datang. Data utama yang diperlukan
dalam membuat model sumber gempa adalah seismogenic zones, local mechanisms dan katalog gempa. Kondisi
seismogenic ini termasuk geometri atau geomorfologi lempeng tektonik seperti fault dan zona subduksi.

Berdasarkan tatanan tektonik disekitar wilayah studi, umumnya zona sumber gempa yang mempengaruhi daerah studi
berada pada radius 500 km dari lokasi studi dan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona sumber gempa : sumber gempa
fault, sumber gempa subduksi, dan sumber gempa background. Kejadian gempa yang lebih jauh dari radius 500 km
umumnya tidak menyebabkan kerusakan terhadap lokasi studi.
Tatanan seismotektonik di lokasi studi khususnya diambil berdasarkan hasil publikasi terkini yang telah dievaluasi
secara rinci oleh beberapa peneliti dan telah dipakai sebagai acuan untuk pembuatan model sumber gempa dan input
parameter seismic hazard untuk wilayah Indonesia. Tatanan seismotektonik di lokasi studi khususnya dapat dilihat
pada Gambar 3.

Gambar 3. Tatanan seismotektonik di sekitar wilayah studi

4. FUNGSI ATTENUASI
Fungsi atenuasi merupakan persamaan matematika sederhana yang menghubungkan antara parameter kegempaan di
lokasi sumber gempa (Magnituda M dan jarak R) dengan parameter pergerakan tanah (spektra percepatan) di lokasi
yang ditinjau (Campbell, 2001). Fungsi atenuasi cenderung spesifik untuk setiap wilayah dan untuk suatu tipe
sumber gempa
Salah satu data yang digunakan untuk menurunkan fungsi tersebut adalah data time histories yang didapatkan dari
hasil pencatatan alat accelerograph saat berlangsungnya kejadian gempa. Karena minimnya data pencatatan time
histories untuk keperluan pembuatan fungsi atenuasi di Indonesia, maka pemakaian fungsi atenuasi yang diturunkan
dari negara lain tidak dapat dihindari. Pemilihan fungsi atenuasi didasarkan pada kesamaan kondisi geologi dan
tektonik dari wilayah dimana rumus atenuasi itu dibuat. Dalam studi ini, fungsi attenuasi yang digunakan adalah
sebagai berikut.

GEO - 85
1. Sumber gempa shallow crustal, mencakup sumber gempa fault dan shallow background :
a. Boore Atkinson NGA (Boore dan atkinson, 2008)
b. Campbell-Bozorgnia NGA (Campbell dan Bozorgnia, 2008)
c. Chiou-Young NGA (Chiou dan Young, 2008)

2. Sumber gempa subduksi interface (Megathrust), untuk model sumber gempa subduksi :
a. Geomatrix subduction (Young et al., SRL, 1997)
b. Atkinson-Boore BC (atkinson dan Boore, 2003)
c. Zhao et al (Zhao et al., 2006)

3. Sumber gempa Benioff (deep intraslab), untuk model sumber gempa intraslab :
a. Atkinson-Boor (Atkinson-Boore, Cascadia, 2003)
b. Geomatrix slab seismicity rock (Young et al., 1997)
c. Atkinson-Boore (Atkinson-Boore, Worldwide, 2003)

5. UNIFORM HAZARD SPECTRUM (UHS)


Umumnya analisis probabilistik resiko gempa bertujuan untuk mengetahui respon spektra disain yang akan
digunakan pada analisis struktur maupun geoteknik. Respon spektra disain didapat melalui pendekatan yang
dilakukan dengan cara menghitung uniform hazard spektrum (UHS). Spektra tersebut didapat dengan melakukan
perhitungan probabilistic seismic hazard analysis (PSHA) dan menghasilkan percepatan pada periode tertentu. Lalu
nilai percepatan pada target annual rate of exceedance yang diinginkan, diambil untuk periode yang telah
ditentukan.

Gambar 4. Pembuatan kurva UHS (An Introduction to Probabilistic Seismic Hazard Analysis, Jack W. Baker 2008)

Meskipun berasal dari percepatan spektra yang memiliki periode (t) berbeda dan masing-masing mungkin berasal
dari kejadian gempa yang berbeda, namun karena nilai percepatan spektra pada setiap periode memiliki tingkat
probabilitas terlampaui yang sama, sehingga spektra ini disebut uniform hazard spektrum (UHS). Seiring dengan
berkembangnya penelitian-penelitian dibidang seismik, banyak ditemukan beberapa kelemahan dalam penggunaan
UHS sebagai target spektra. Spektra UHS dianggap tidak mewakili spektra tunggal hasil pencatatan gempa yang
terjadi dilokasi. Pada spektra UHS, bagian frekuensi tinggi seringkali didominasi oleh gempa-gempa dengan
magnitude kecil dan jarak yang dekat, sementara bagian frekuensi rendah seringkali didominasi oleh gempa-gempa
dengan magnitude besar dan jarak yang jauh. Akibatnya, tidak ada gempa tunggal yang akan menghasilkan respon

GEO - 86
spektra setinggi respon spektra UHS pada disepanjang frekuensi yang dipertimbangkan, karena tinggi rendahnya
frekuensi berasal dari kejadian gempa yang berbeda.
Pada kriteria disain dengan tingkat probabilitas tahunan yang rendah (periode ulang yang panjang), spektra UHS
hampir selalu lebih tinggi dibandingkan rata-rata spektra untuk kejadian gempa pada suatu lokasi. Bahkan bila
ditemukan nilai percepatan spektra dari hasil pencatatan setinggi percepatan spektra UHS, nilai percepatan tersebut
tidak mungkin akan selalu berdekatan atau sama tingginya dengan nilai percepatan spektra UHS pada seluruh
periode (t).

6. CONDITIONAL MEAN SPECTRUM (CMS)


Conditional Mean Spectrum (CMS) dihitung berdasarkan deaggregasi PSHA dengan cara menghitung bobot rata-
rata CMS yang telah dinormalisasi pada semua sumber gempa. Bobot pada setiap sumber gempa diperoleh
berdasarkan kontribusinya terhadap deaggregasi. Bobot rata-rata CMS yang telah dinormalisasi, sehingga nilainya
sama persis dengan amplitudo yang digunakan untuk deaggregasi pada periode spektra yang diinginkan. Umumnya
rata-rata epsilon, jarak dan magnitude untuk sumber tertentu dapat sangat berbeda dengan rata-rata epsilon, jarak
dan magnitude hasil deaggregasi. Perata-rataan amplitudo CMS dilakukan berdasarkan rata-rata aritmatika dan
bukan berdasarkan rata-rata geometrik.

7. PEMILIHAN GROUND MOTION DI BATUAN DASAR


Berdasarkan ketentuan ASCE/SEI 7-10 (ASCE, 2005, 2010), pemilihan jumlah input ground motion yang akan
digunakan pada analisis dinamik time history minimal diperlukan 3 (tiga) rekaman data ground motion. Jika
sekurang-kurangnya ada 7 rekaman ground motion yang dianalisis, disain value dari engineering demand parameters
(EDPs) diambil sebagai nilai rata-rata dari EDPs. Sedangkan jika kurang dari 7 rekaman ground motion yang
dianalisis, maka disain value dari EDPs diambil sebagai nilai maksimum dari EDPs.
Hasil analisa deagreasi dilakukan dilokasi rencana Bendungan Leuwikeris untuk memperlihatkan nilai kisaran jarak
(R) dan magnitude (M) rata-rata yang memberikan kontribusi terbesar dari sumber gempa tertentu pada lokasi studi.
Nilai kisaran jarak dan magnitude ini yang kemudian akan menjadi landasan dalam mencari input accelerometer
yang memiliki karaktertistik yang mendekati kondisi yang diinginkan dan kemudian digunakan sebagai salah satu
input dalam analisa spectral matching.

Tabel 1. Rangkuman hasil deagregasi

GEO - 87
Gambar 5. Kurva deagregasi

Adapun karakteristik input motion yang akan digunakan pada analisa spectra matching untuk mendapatkan ground
motion sintetik dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik ground motion yang digunakan dalam analisa spectral matching

Perbandingan antara target spectra UHS, CMS dan spectra ground motion individual untuk periode ulang 10.000
dapat dilihat sebagai berikut :

GEO - 88
Gambar 6. Perbandingan target respon spectra UHS, CMS dan individual spectra

Berdasarkan kurva diatas dapat dilihat bahwa bentuk spectra UHS (garis merah) untuk annual exceedance
probability (AEP) 1:10.000 akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan bentuk mean spectra dari ground motion
hasil pencatatan yang sebenarnya (garis hijau). Hampir seluruh hasil pencatatan ground motion dilapangan akibat
gempa berada dibawah spectra UHS. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan spectra UHS sebagai target
spectra untuk menentukan ground motion disain akan memberikan beban disain gempa yang over-conservative
untuk seluruh periode disain. Hal ini juga akan mengakibatkan prediksi berlebih terhadap prilaku respons dinamik
bendungan.
Bentuk mean spectra hasil pencatatan ground motion dilapangan dipandang lebih mendekati bentuk target spectra
CMS. Sehingga penggunaan spectra CMS sebagai target spectra akan memberikan pendekatan yang lebih realistis
dibandingkan spectra UHS.

GEO - 89
Gambar 7. Perbandingan usulan ground motion sintetik utk AEP 1: 145 antara UHS dan CMS

Gambar 8. Perbandingan usulan ground motion sintetik utk AEP 1: 10000 antara UHS dan CMS

GEO - 90
8. KESIMPULAN
Berdasarkan kajian diatas tentang pengaruh pemilihan target spektra pada analisis resiko gempa Bendungan
Leuwikeris, Provinsi Jawa Barat dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Pada studi ini telah diberikan 3 (tiga) sintetik ground motion dari berbagai periode ulang dan sumber gempa. Hal
ini telah mengacu kepada ketentuan ASCE/SEI 7-10 (ASCE, 2010) dimana dalam pemilihan input ground
motion digunakan minimal 3(tiga) rekaman data ground motion yang diperoleh dari rekaman kejadian gempa
yang memiliki magnitude, jarak dan mekanisme sumber gempa yang sesuai. Sehingga disain value dari
engineering demand parameters (EDPs) diambil sebagai nilai maksimum dari EDPs.
2. Hampir seluruh hasil pencatatan ground motion dilapangan akibat gempa berada dibawah spectra UHS. Hal ini
mengindikasikan bahwa penggunaan spectra UHS sebagai target spectra untuk menentukan ground motion
disain akan memberikan beban disain gempa yang over-conservative untuk seluruh periode disain. Hal ini juga
akan mengakibatkan prediksi berlebih terhadap prilaku respons dinamik bendungan
3. Bentuk mean spectra hasil pencatatan ground motion dilapangan dipandang lebih mendekati bentuk target
spectra CMS. Sehingga penggunaan spectra CMS sebagai target spectra akan memberikan pendekatan yang
lebih realistis dibandingkan spectra UHS.
4. Pemilihan ground motion sintetik yang paling mewakili merupakan hal yang sangat penting untuk memperoleh
hasil analisis dinamik bendungan yang menggambarkan prilaku bendungan sesuai dengan kondisi disain resiko
gempa dilokasi studi. Untuk kasus rencana Bendungan Leuwikeris, pemilihan input ground motion untuk
pendekatan probabilistik seismic hazard direkomendasikan menggunakan target spectra CMS.

DAFTAR PUSTAKA
American Society Of Civil Engineers (ASCE), 2010. ASCE/SEI 7-10 Minimum Design Load For Buildings and
Other Structures, Reston, VA.
Baker, W. Jack., (2011),”Conditional Mean Spectrum; Tool For Ground Motion Selection”, Journal of Structural
Engineering, 137(3). 322-331.
Baker, W. Jack., Cornel, A. C., (2006),”Spectral Shape, Epsilon and Record Selection”, Earthquake Engineering
and Structural Dynamics, 35(9), 1077-1095.
Haselton, B. C., Whittaker, S. A., Hortascu, A., Baker, W. J., Bray, J., Grant, N. D., (2012), “Selecting and Scalling
Earthquake Ground Motions for Performing response-History Analyses”, 15th World Conference on Earthquake
Engineering, Lisboa.
Hull, A., Augello, A., Erdik, M., (2004), “Seismic Hazard Assessment For Phase-I Design, Hakkari Dam, Turkey”,
13th World Conference on Earthquake Engineering, Vancouver, Canada.
International Committee on Large Dams, “Selecting Seismic Paramete of Large Dams”, ICOLD Buletin 72, 2010
Revision
Jitno, H.,”Effect of Earthquake Design Ground Motions on The Seismic Response of Upstream-raised Tailing
Dams”, IPENZ Proceedings of Technical Groups 39 (LD).
Kramer, L, Steven. (1996), “Geotechnical Earthquake Engineering”, Prentice Hall, Inc.
Lopez, J. F., Chopra, K. A., (2012), “Response-History Analysis of the Moondarra Intake Tower: A Novel Approach
Based on New Methodologies and Performance Requirements”, International Symposium on Dams For A
Changing World, Kyoto, Japan.
Parashar, K. Ashish., Atmapoojya, S., Rathore, S. S., (2015), “Seismic Hazard Analysis of Sondur Dam Site of
Chhattisgarh State”, European Scientific Journal vol 11, No 6 ISSN: 1857-7881.
Wieland, M., (2012), “Seismic Design and Safety Aspects of Bottom Outlets, Spillway and Intake Structure of Large
Storage Dams”, 15th World Conference on Earthquake Engineering, Lisboa Lisboa.
Yildiz, E., Guner, R., (2012), “Seismic Hazard Assessment For Cetin Dam”, 15th World Conference on Earthquake
Engineering, Lisboa

GEO - 91
GEO - 92
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

UJI KUAT TEKAN BEBAS PADA STABILITASI TANAH LEMPUNG DENGAN


CAMPURAN SEMEN DAN ADITIF ALKALIN

Tri Harianto1, Abd. Rahman Djamaluddin2, dan Jasruddin3

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddini, Makassar
Email: triharianto@ymail.com
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar
Email: jamaluddin_abdulrahman@yahoo.co.id
3
Program Magister Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar
Email: diens_st83@yahoo.co.id

ABSTRAK
Perbaikan tanah sudah umum dilakukan dalam pekerjaan konstruksi dengan tujuan untuk
meningkatkan daya dukung tanah agar dapat memikul beban konstruksi yang akan berdiri diatasnya.
Metode yang sering digunakan yaitu stabilisasi tanah dengan penambahan bahan stabilisator. Pada
penelitian ini stabilisasi tanah lempung dilakukan dengan penambahan semen Portland dan aditif
alkaline. Penelitian ini dimulai dengan melakukan pengambilan sampel tanah lempung dan
pengujian di laboratorium guna mengetahui nilai index properties tanah asli dan engineering
properties menggunakan uji kuat tekan bebas (Unconfined Compression Test). Sampel tanah terdiri
dari 5 (lima) variasi campuran semen dan aditif alkaline. Dengan kadar aditif alkaline sebanyak 2 %
dan variasi kadar semen dari 0%, 2%, 4% dan 6% . Dari penelitian ini diperoleh bahwa sampel
tanah memiliki indeks plastisitas 31.6%. Dari uji kuat tekan bebas pada sampel tanah asli diperoleh
nilai kuat tekan tanah sebesar 0.95 kg/cm². Setelah tanah distabilisasi dengan aditif alkaline dan
variasi semen diperoleh kesimpulan bahwa variasi campuran Tanah Asli + Aditif Alkalin + Cemen
(TA + AA + C) yang menghasilkan parameter nilai kuat tekan bebas tertinggi adalah TA + 2% AA
+ 6% C sebesar 4,56 kg/cm² yaitu mengalami peningkatan kekuatan tekan sebesar 77,3%. Hasil
penelitian ini menunjukkan penggunaan aditif alkaline dengan masa pemeraman 7 hari, 14 hari dan
28 hari menunjukkan hasil yang memenuhi persyaratan pada tanah dasar untuk perencanaan jalan
(subgrade).
Kata kunci : Stabilisasi, Subgrade, Aditif Alkaline, Semen.

1. PENDAHULUAN
Perbaikan tanah dibidang rekayasa teknik sipil disebut dengan stabilisasi tanah. Stabilisasi dapat dilaksanakan
dengan menambah sesuatu bahan atau komposit tertentu untuk menambah kekuatan pada tanah.
Umumnya sebagian besar wilayah Indonesia ini diliputi oleh tanah lempung dengan pengembangan yang cukup
besar (plastisitas tinggi), volumenya akan berubah (mengembang) bila kadar air bertambah (berubah). Volumenya
akan membesar dalam kondisi basah dan akan menyusut bila dalam kondisi kering. Sifat inilah yang menyebabkan
kerusakan pada konstruksi-kontruksi bangunan yang berada diatas tanah lempung.
Stabilisasi tanah dapat dilakukan secara mekanis maupun menggunakan bahan-bahan aditif (zat kimia). Secara
mekanis stabilisasi tanah dilakukan dengan mengatur gradasi butiran tanah kemudian dilakukan proses pemadatan,
sedangkan stabillisasi yang menggunakan bahan aditif dapat dilakukan dengan menambah bahan aditif kemudian
dilakukan pemadatan. Pada penelitian ini digunakan semen dan aditif alkaline sebagai bahan stabilisasi.
Aditif alkaline adalah mineral bubuk 100% mineral, komponennya terdiri dari alkaline dan alkali tanah pilihan.
Bahan aditif alkaline digunakan sebagai semen campuran aditif type l, type 2 portland semen.
Bahan aditif alkaline digabungkan dengan semen portland dan takaran air yang optimal akan meningkatkan
pembentukan pengkristalan selama proses hidrasi, sehingga menghasilkan kekuatan yang lebih tinggi, menetralkan
tingkat Ph, juga membuat lapisan tidak tembus air. Bahan aditif alkaline adalah ramah lingkungan hijau dan 100%
dapat di daur ulang.
Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan ini adalah untuk mengetahui sifat mekanik tanah sebelum dan sesudah
di stabilisasi, untuk mengetahui pengaruh penambahan semen dan aditif alkaline terhadap pemadatan (proctor

GEO - 93
standart) sebelum dan sesudah di stabilisasi, untuk mengetahui hasil tes kuat tekan bebas dan pengaruh dari
penambahan semen dan aditif alkaline.
Pengujian terhadap tanah dasar ini adalah usaha untuk perbaikan tanah dasar dengan bahan aditif. Dimana berfungsi
untuk meningkatkan ketahanan soil cement terhadap retak serta menambah sifat kedap air.Pengujian ini terdiri dari
penyediaan tanah yang distabilisasi dengan semen dan aditif alkaline.
Penambahan semen dan aditif alkaline terhadap tanah dasar menyebabkan peningkatan daya dukung tanah. Sifat
bahan semen secara umum yang berbentuk butir halus ialah sangat kuat mengikat air karena kondisi mineralnya
yang aktif. Sehingga menyebabkan proses pengerasan lebih cepat.
Sedangkan bahan aditif alkaline akan membentuk kristal selama proses hidrasi sehingga menghasilkan kekuatan
yang lebih tinggi. Proses pencampuran tanah + semen + aditif alkaline tersebut tergantung dari kadar semen dan
renolit yang ditambahkan.
Hal ini dimaksudkan supaya mencapai peningkatan tanah yang paling maksimum. Dimana kekuatan tanah yang
paling maksimum didapatkan apabila kadar semen dan aditif alkaline mencapai proporsi yang paling maksimum.

2. MATERIAL DAN METODE


Jenis tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah lempung yang diambil dari Jl. Poros Malino Gowa.
Kemudian tanah dikeringkan (kering udara) dan gumpalan – gumpalan tanah dihancurkan dengan menggunakan
palu karet dan disaring menggunakan saringan no. 4.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental yang dilaksanakan di Laboratorium
dengan melakukan pengujian karakteristik dari sifat fisik dan mekanis tanah lempung yang distabilisasi dengan
semen dan aditif alkaline. Beberapa tahapan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut; pertama, melakukan kajian
literatur; kedua, melakukan uji pendahuluan terhadap sampel yang telah diambil untuk mengetahui karakteristik
tanah lempung. Uji labratorium untuk mengatahui sifat-sifat fisik yang meliputi kadar air, batas-batas konsistensi,
dan spesifik grafiti, sedangkan uji sifat mekanis meliputi uji pemadatan, uji kuat tekan, dan california bearing ratio
(CBR).
Pengujian batas-batas konsistensi tanah dilakukan dengan uji Atterberg Limit, untuk pengujian pemadatan dilakukan
dengan pemadatan Proctor standar, uji kuat tekan dilakukan dengan pengujian Unconfined Compression Test, dan
daya dukung tanah dilakukan dengan pengujian CBR laboratorium. Standard pengujian sifat-sifat dasar tanah (fisik
dan mekanik) yang digunakan seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Standard pengujian yang digunakan

No. Pengujian Standard ASTM


1 Berat Jenis (Gs) D-162
2 Kadar Air (Wc) D-2216-98
3 Analisa Ukuran Butir
a. Analisa Saringan C-136-06
b. Analisa Hydrometer D-1140-54
4 Atterberg Limit
a. Batas Cair (LL) D-423-66
b. Batas Plastis (PL) D-424-74
c. Indeks Plastis (PI) D-4318
5 Uji Standard Proctor D-698
6 Uji Kuat Tekan Bebas D-633-1994
7 Uji California Bearing Ratio (CBR) D-1833

3. ANALISA DAN PEMBAHASAN


Hasil Uji Sifat Fisik Tanah Asli
Pada penelitian ini pemeriksaan sifat fisik dan mekanik pada tanah asli dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :

GEO - 94
Tabel 1. Data Uji sifat fisik tanah

No. Pengujian Hasil Satuan


1 Berat Jenis (Gs) 2.65
2 Kadar Air (Wc) 38.85 %
3 Analisa Ukuran Butir
a. Gravel 0.00 %
b. Sand 41.80 %
c. Silt 11.77 %
d. Clay 46.43 %
4 Batas- Batas Konsistensi
a. Batas Cair (LL) 65.49 %
b. Batas Plastis (PL) 33.90 %
c. Indeks Plastis (IP) 31.6 %

Dari data hasil uji sifat fisik diperoleh klasifikasi tanah berdasarkan ASSHTO termasuk ke dalam jenis tanah A-7-6,
sedangkan menurut USCS tanah termasuk dalam kelompok CH yaitu lempung anorganik dengan plastisitas tinggi.

Pengujian Pemadatan Tanah (Compaction) Tanah Asli


Hasil yang diperoleh pada penelitian berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air optimum dan berat
isi kering maksimum. Hasil uji pemadatan tanah tertera dalam tabel 2 dan kurva kepadatan tanah ditunjukkan pada
gambar 2.

Tabel 2. Data Uji Pemadatan Tanah

No Pengujian Hasil Satuan


1 Kadar air optimum (Wopt) 31.38 %
2 Berat volume kering (dry) 1.40 gr/cm3

Gambar 2. Kurva Kepadatan Tanah

GEO - 95
Pengujian Pemadatan Tanah (Compaction) dengan Bahan Stabilisator
Hasil pengujian pemadatan tanah lempung yang telah distabilisasi dengan campuran semen dan aditif alkaline yang
diperoleh adalah nilai kepadatan maksimum (dry maks) dengan kadar air optimum (W opt) sebagaimana ditunjukkan
pada Tabel 3.
Adapun pengaruh – pengaruh pencampuran tersebut diantaranya adalah :
Tabel 3. Data Hasil Uji Pemadatan Tanah dengan Bahan Stabilisator

Kadar air Berat Isi Kering


No.
Sampel
Variasi Campuran optimum Wopt dry
% gr/cm3
S1 TA 31.38 1.40
S2 TA + 2% AA + 0% C 30.83 1.42
S3 TA + 2% AA + 2% C 28.74 1.44
S4 TA + 2% AA + 4% C 27.80 1.46
S5 TA + 2% AA + 6% C 27.27 1.51

Dari hasil uji pemadatan tanah yang dilakukan pada tanah asli diperoleh nilai berat isi kering tanah sebesar 1,40
gr/cm³. Pada penambahan 2% aditif alkaline dan variasi 2% aditif alkaline dengan semen 2%, 4% dan 6% semen
terjadi kenaikan nilai berat isi kering dan penurunan kadar air optimum dibandingkan tanah asli. Hal ini disebabkan
semen dan aditif alkaline mengisi rongga pori tanah, yang pada kondisi tanah asli, rongga pori tersebut terisi oleh air
dan udara. Akibat adanya semen dan aditif alkaline dalam rongga pori tanah persentase air yang dikandung tanah
menjadi berkurang. Peningkatan jumlah partikel padat pada tanah berdampak pada peningkatan berat volume
keringnya dibandingkan pada kondisi tanah asli.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa semen dan aditif alkaline begitu berpengaruh terhadap kepadatan maksimum
yang dicapai. Untuk grafik hubungan antara dry terhadap Wopt, grafik hubungan antara Wopt terhadap variasi
campuran dan grafik hubungan antara dry terhadap variasi campuran seperti pada Gambar 1, gambar 2 dan Gambar
3.

Gambar 3. Hubungan antara berat volume kering (dry ) terhadap kadar air optimum (Wopt)

GEO - 96
Gambar 4. Hubungan antara berat volume kering (dry ) terhadap Variasi campuran

Gambar 5. Hubungan antara kadar air optimum (Wopt) terhadap Variasi campuran

Pengujian Kuat Tekan Bebas ( Unconfined Compression Test)


Hasil dari pengujian ini adalah nilai kuat tekan bebas tanah (qu) pada tanah asli, tanah asli yang telah dicampur
dengan variasi campuran semen dan aditif alkaline dengan waktu pemeraman selama 0 hari, 7 hari, 14 hari dan 28
hari. Hasil dari uji kuat tekan bebas yang diperoleh adalah nilai qu pada setiap variasi campuran yang dapat dilihat
pada Tabel 4.

Tabel 4. Data Hasil Uji Kuat Tekan Bebas (qu)

qu
No Variasi Campuran Kg/cm2
0 7 14 28
S1 TA 0.95 2.24 2.41 2.57
S2 TA + 2% AA + 0% C 0.88 2.69 2.84 3.07
S3 TA + 2% AA + 2% C 1.00 4.04 4.13 4.27
S4 TA + 2% AA + 4% C 1.14 4.17 4.30 4.40
S5 TA + 2% AA + 6% C 1.16 4.24 4.36 4.56

GEO - 97
Tabel 5. Prosentase perubahan nilai Kuat Tekan Bebas terhadap tanah asli

Perubahan Nilai qu
No Variasi Campuran %
0 hr 7 hr 14 hr 28 hr
S1 TA 0 0 0 0
S2 TA + 2% AA + 0% C -7.79 19.79 26.74 19.39
S3 TA + 2% AA + 2% C 5.74 80.21 84.03 66.06
S4 TA + 2% AA + 4% C 19.67 86.11 91.67 71.21
S5 TA + 2% AA + 6% C 22.13 89.24 94.44 77.27

Pada Gambar 6 ditunjukkan perbandingan nilai kuat tekan tanah (qu) antara tanah asli dengan tanah campuran. Nilai
kuat tekan tanah pada tanah asli adalah sebesar 0,95 kg/cm² pada umur 0 hari. Pada tanah asli yang dicampur 2%
aditif alkaline pada umur 0 hari mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena belum terjadinya proses hidrasi
sehingga belum terjadi pengkristalan pada aditif alkaline. Pada sampel variasi tanah campuran umur 7 hari, 14 hari
dan 28 hari mengalami kenaikan.

Gambar 6. Grafik Hubungan antara Nilai Kuat Tekan Tanah (qu) dengan variasi campuran

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasandapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Dari penelitian ini diperoleh bahwa sampel tanah memiliki kadar air 38.85 %, berat jenis 2,65, batas cair 65.49%
dan indeks plastisitas 31.6%.
Kondisi tanah dasar (subgrade) pada ruas jalan Jl. Poros Malino Gowa adalah tanah lempung anorganik dengan
plastisitas tinggi.

GEO - 98
Dari uji Kuat Tekan Bebas pada sampel tanah asli diperoleh nilai kuat tekan tanah sebesar 0.95 kg/cm². Setelah
tanah distabilisasi dengan aditif alkaline dan variasi semen diperoleh kesimpulan bahwa variasi campuran TA + AA
+ C yang menghasilkan parameter nilai kuat tekan bebas tertinggi adalah TA + 2% AA + 6% C sebesar 4,56 kg/cm².
Hasil penelitian ini menunjukkan penggunaan aditif alkaline dengan masa pemeraman 7 hari, 14 hari dan 28 hari
menunjukkan hasil yang memenuhi persyaratan pada tanah dasar untuk perencanaan jalan (subgrade).

DAFTAR PUSTAKA
Fadilla H. 2013, “Pengujian Kuat Tekan Bebas (Unconfined Compression Test) Pada Stabilitas Tanah Lempung
Dengan Campuran Semen Dan Abu Sekam Padi”. Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Abidin Z. 2010, “Kuat Tekan Bebas Tanah Lempung Dengan Stabilisasi Campuran Semen Dan Limbah Karbit”.
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Saing Z, Samang L, Harianto, Patanduk J. 2016, “Karakteristik Kuat Tekan Tanah Ferro Laterit dengan pemeraman
sebagai Lapisan Pondasi Jalan”. Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin
Makassar.
Hastuty, P. I, Roesyanto, Yesika F. 2016, “Kajian Efektifitas Penggunaan Semen dan Limbah Karbit Terhadap
Stabilitas Tanah Lempung Dengan Pengujian Kuat Tekan Bebas (Unconfined Compression Test)”.
Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara Medan.
Saragi Y, Pasaribu P, Simanjuntak J, 2016, “Pengujian Kuat Tekan Bebas Pada Stabilisasi Tanah Lempung Dengan
Campuran Kapur”. Program Studi Teknik Sipil, Universitas HKBP Nommensen.
Ibrahim, 2014, “Stabilisasi Tanah Lempung Dengan Bahan Aditif Fly Ash Sebagai Lapisan Pondasi Dasar Jalan
(Subgrade)”. Staf Pengajar Teknik Sipil, Politeknik Negeri Sriwijaya,
Susanto A, Ratna T, Choirudin J, 2013, “Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula (Abu Ampas Tebu) untuk Memperbaiki
Karakteristik Tanah Lempung Sebagai Subgrade Jalan”. Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Al-Huda N, Gunawan H, 2013, “Pemanfaatan Limbah Karbit Untuk Meningkatkan Nilai CBR Tanah Lempung
Desa Cot Seunong”. Jurusan Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala.
Andriani, Yuliet R, Fernandez F, 2012, “Pengaruh Penggunaan Semen Sebagai Bahan Stabilisasi Pada Tanah
Lempung Daerah Lambung Bukit Terhadap Nilai Cbr Tanah”. Dosen Jurusan Teknik Sipil Fakultas
Teknik Universitas Andalas.
Yunaefi, 2010, “Pengujian Kinerja Bahan “Eco-Cure21“ Sebagai Bahan Stabilisasi Tanah Untuk Lapisan Sub-Base
Perkerasan Jalan”. Program Pascasarjana Bidang Keahlian Geoteknik Jurusan Teknik Sipil, FTSP,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Basuki R, Machsus, Diah W, 2009, “Stabilisasi Tanah Dasar Dengan Penambahan Semen Dan Renolith”. Program
Studi Diploma Teknik Sipil FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

GEO - 99
GEO - 100
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

PENGARUH PENAMBAHAN BAKTERI (BACILLUS SUBTILIS) PADA TANAH


LUNAK TERHADAP KARAKTERISTIK KUAT TEKAN

Hasriana1, Lawalenna Samang2, M.Natsir Djide3, dan Tri Harianto4

1
Program Doktor Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar
Email: hasrianahasan99@yahoo.com
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar
Email: samang_l@yahoo.com
3
Jurusan Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar
Email: natsirdj@yahoo.com
4
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar
Email: triharianto@ymail.com

ABSTRAK
Tanah lunak dengan daya dukung rendah tidak mampu mendukung konstruksi diatasnya sehingga
diperlukan suatu metode perbaikan tanah guna memperbaiki struktur tanah tersebut. Stabilisasi
tanah dengan bahan kimia seperti kapur, semen , dan fly ash merupakan metode stabilisasi yang
paling populer. Saat ini alternative bio stabilisasi ramah lingkungan semakin berkembang dengan
pemanfaatan mikroorganisme (bakteri bacillus subtilis). Tujuan penelitian ini adalah untuk
menentukan karakteristik tanah lunak yang dicampur larutan konsentrasi bakteri bacillus subtilis
dengan melakukan pengujian kuat tekan Unconfined Compression Test (UCT). Medium larutan
konsentrasi bakteri yang digunakan adalah bacillus subtilis cultur 6 hari dengan komposisi 2%, 4%,
6%, 8% dan 10% pada kondisi kepadatan optimum. Waktu pemeraman dilakukan selama 3, 7, 14
dan 28 hari setelah pembuatan benda uji. Hasil pengujian menunjukan bahwa kuat tekan optimum
didapatkan pada penambahan larutan konsentrasi bakteri bacillus subtilis 6% dengan waktu
pemeraman 28 hari. Peningkatan nilai kuat tekan dari 26 kN/m2 menjadi 382,86 kN/m2 atau sebesar
15 kali dari tanah tanpa stabilisasi. Hal ini menunjukkan penggunaan larutan konsentrasi bakteri
bacillus subtilis cukup signifikan meningkatkan nilai kuat tekan.
Kata Kunci : Tanah lunak, bacillus subtilis, UCT

1. PENDAHULUAN
Di Indonesia seringkali dijumpai kondisi tanah kurang baik seperti tanah lunak (soft soil). Jenis tanah ini banyak
ditemukan di tempat– tempat yang kondisi tanahnya memiliki kadar air yang tinggi seperti pada daerah rawa-rawa
atau pinggiran sungai. Di daerah tersebut juga banyak ditemukan bangunan infrastruktur khususnya konstruksi
perkerasan jalan. Pembangunan jalan di atas tanah lunak akan menghadapi beberapa masalah geoteknik, salah
satunya adalah masalah stabilitas timbunan dan penurunan yang sangat besar serta permeabilitas yang rendah.
Dalam perencanaan jalan raya, daya dukung tanah dasar sangat mempengaruhi tebal perkerasan, semakin tinggi kuat
dukung tanah, maka tebal perkerasan yang diperlukan semakin tipis untuk menahan beban lalulintas. Daya dukung
tanah dasar (Subgrade) dipengaruhi oleh jenis tanah, tingkat kepadatan, kandungan air, dan lain-lain. Apabila suatu
tanah yang terdapat di lapangan bersifat sangat lepas atau sangat mudah tertekan dan mempunyai indeks konsistensi
yang tidak sesuai, untuk suatu proyek pembangunan, maka tanah tersebut harus dilakukan perbaikan tanah sehingga
dapat memenuhi syarat-syarat teknis yang diperlukan. Metode bio stabilisasi tanah lunak dengan bakteri bacillus
subtilis diyakini dapat memperbaiki karakteristik tanah dengan Meningkatkan kekuatan tanah pondasi bangunan,
mengurangi kompressibilitas dan permeabilitas, dan mengurangi variasi volume dari pengembangan. Tujuan
penelitian untuk mengetahui pengaruh penambahan larutan konsentrasi bakteri pada tanah lunak terhadap nilai kuat
tekan. Keuntungan pemakaian bakteri bacillus subtilis ini dapat membantu mengurangi pencemaran tanah maupun
lingkungan.
Usaha-usaha untuk memperbaiki sifat tanah yang mengandung sifat kembang susut besar telah banyak dilakukan
dengan metode stabilisasi tanah, diantaranya stabilisasi yaitu menggunakan metode grouting yang tidak ramah
lingkungan yang biasanya berupa suspense (semen, lempung-semen, pozzolan, bentonite, dsb) atau emulsi (aspal,
dsb) (Takaendengan P,P, 2013). Oleh sebab itu kami mencari alternative metode stabilisasi yang ramah lingkungan,
yaitu dengan pemanfaatan mikroorganisme yang berasal dari bakteri karena dapat menghasilkan kalsit/kristal
kalsium karbonat yang dapat merubah perilaku butiran. Berbagai penelitian telah dilakukan sebelumnya antara lain,

GEO - 101
Bio-Mediated Soil Improvement : Cementation of Unsaturated Sample(David Jason Dejong, 2006). Penelitian ini
menggunakan Bio-Mediated Calcit Precipitation. Sebagai bahan perbaikan tanah. Selanjunya penelitian
Eksperimental proses biogrouting menggunakan bakteri jenis Bacillus Subtilis, spesies bakteri yang mengandung
sejumlah besar enzim urease. Biogrouting Stabilization on Marine Sandy Clay Soil (T. Harianto. 2013). Van Passen
(2009). hasil menujukkan bahwa urease yang mengkatalisasi konversi urea menjadi amonium dan karbonat
dihasilkan presipitat dengan kalsium sebagai kristal kalsium karbonat. Kristal ini membentuk ikatan antara butiran
pasir dapat meningkatkan kekuatan. Peningkatan kekuatan kolom pasir mencapai tingkat yang wajar homogenitas
tanpa pembentukan kerak dipermukaan. Wijngaarden (2009). Hasil menunjukkan Biogrout mempengaruhi sifat
beberapa lapisan tanah tersebut. Hasilnya adalah pengendapan kalsium karbonat padat dapat menurunkan porositas
dan permeabilitas. Akiyama (2010). Hasil menunjukkan penggunaan ekstrak tanah dari tanah asam, hasil
biogrouting kalsium senyawa fosfat (CPC) didapatkan hasil pengujian uji kuat tekan bebas lebih besar dibandingkan
dengan biogrouting tanpa sumber amonia. Keykha (2011). Hasil menunjukkan cara membuat curah hujan karbonat
diinduksi (CaCO3) untuk memperbaiki tanah sehingga dapat digunakan pada tanah berbutir halus seperti tanah liat,
lumpur dan gambut. Lisdayanti (2011) . Hasil menunjukkan bahwa didapatkan jenis bacteri Bacillus subtilis
menunjukkan bahwa bakteri yang dapat berkembang biak dengan suhu di indonesia serta menghasilkan kalsit/kristal
terbanyak berasal dari wilayah Papua. Pada penelitian ini menyajikan sebuah aplikasi yang digunakan untuk
meningkatkan daya dukung tanah dengan cara bio stabilisasi. Dalam penulisan ini Perbaikan tanah lunak dengan
bakteri aktivasi ,untuk menganalisa digunakan percobaan kuat tekan bebas, Pemadatan tanah , dan CBR . Cara
perbaikan tanah diperkenalkan dalam studi ini untuk meningkatkan daya dukung tanah sebagai stabilisasi tanah
dengan aman dan ramah akan lingkungan.
Bakteri merupakan organisme mikroskopis rata-rata berdiameter 1,25mikrometer (μm). (mikrometer = 1/1000000
meter). Bakteri yang terkecil adalah Dialister pneumosintes dengan panjang tubuh 0,15 – 0,30 μm,sedangkan
bakteri terbesar adalah Spirillum voluntans, panjang tubuh 13 – 15μm. , Ukuran bakteri adalah mikroskopis artinya
dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Bakteri aktif bergerak pada kondisi lembab. Pada keadaan
kekurangan air, bakteri akan tidak aktif bahkan dapat menyebabkan kematian. Amonium klorida tersisa diekstraksi
dan dibuang Cheng (2012). Hasil menunjukkan bakteri dapat bergerak di kolom lebih dari 1 m panjang pada tingkat
isolasi yang tinggi dengan menerapkan lapisan bergantian beberapa suspensi bakteri dan solusi fiksasi diikuti
dengan inkubasi. Mikro organisme dikembangbiakkan dengan menginokulasikan mikroorganisme kedalam suatu
medium baru, Teknik inokulasi yang digunakan adalah teknik gores, dengan sebelumnya dilakukan pengenceran
terlebih dahulu agar hasil koloni yang didapat berupa biakan murni. Setelah diinkubasi dalam keadaan aerob selama
24 jam. Medium kultur yang digunakan terdiri dari agar nutrien dan kaldu nutrisi atau nutrien broth (NB). Peran
bakteri dalam menstabilkan tanah tersebut pada saat proses presipitasi kalsium karbonat. aktivitas sel bakteri, ion
Ca2+ dari senyawa CaCl2 yang ditarik oleh bakteri dari lingkungan dan terdepositkan pada permukaan sel, dan
enzim urease yang mengambil urea ke dalam bakteri yang mendekomposisinya dengan ammonia NH3 dan
carbondioksida (CO2).

Gambar 1. bagian-bagian struktur bakteri

2. MATERIAL DAN METODE


Material yang digunakan dalam Penelitian ini adalah tanah lunak dengan pengambilan sampel tanah secara
konvensional menggunakan linggis dan sekop, selanjutnya contoh tanah ditempatkan dalam karung sampel dan
dibungkus dengan plastik untuk menjaga kondisi kadar air asli, Beberapa tahapan yang akan dilakukan adalah
sebagai berikut; pertama, melakukan kajian literatur dan survey pendahuluan untuk mengidentifikasi masalah dan

GEO - 102
identifikasi lokasi pengambilan sampel; kedua, melakukan uji pendahuluan terhadap sampel yang telah diambil
untuk mengetahui karakteristik tanah lunak. Uji labratorium untuk mengatahui sifat-sifat fisik yang meliputi kadar
air, batas-batas konsistensi, dan spesifik grafiti, sedangkan uji sifat mekanis meliputi uji pemadatan, uji kuat tekan,
dan uji daya dukung.

Tabel 1. Standar Metode Pengujian Sifat Fisis Tanah

Pengujian Standard Metode


Pengujian Kadar Air ASTM D 2216-71
Pengujian Berat Jenis Tanah SNI 03-1964-2008
Pengujian Batas Cair SNI 03-1967-1990
Pengujian Batas Plastis SNI 03-1966-1990
Pengujian Analisa Saringan SNI 03-1968-1990
Pengujian Pemadatan SNI 03-1742-1989
Pengujian Kuat Tekan Bebas SNI 03-6887-2002
Pengujian Hidrometer SNI 03-3423-1994

Uji pertumbuhan
Uji pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui sifat pertumbuhan suatu jenis bakteri melalui kurva pertumbuhan
yang ditandai dengan kekeruhan pada media cair dengan bantuan alat penggoyang (shaker) dan inkubator.
Bakteri aktivasi bacillus subtilis pada medium (air sebanyak 1 liter yang dicampur dengan urea 20g. Nutrien Broth
3g ,NaHCO3 2,12g , CaCl2.2H2O 4,1g, NH4CI 10g, Dan H2O (Gambar 2a). Setelah itu dimasukan kedalam alat
Autoclave dengan suhu 121ºC dengan waktu 15 menit tekanan 1 ATM pada Gambar 2b. setelah medium dingin
dilakukan proses inokulasi bakteri yaitu pencampuran isolat bakteri kedalam medium dan ditumbuhkan diruang
shaker selama 6 hari untuk digunakan pada tanah lunak

a b c
Gambar 2. a.Bahan Nutritif. b.Alat Autoclave dan c.isolat bakteri
Uji sifat fisis tanah

a b c d

Gambar 3. Tahapan pelaksanaan pengujian: a) pencampuran tanah dengan bakteri , b) pembuatan benda uji
c) proses pemeraman, d) pengujian kuat tekan (UCS test )
Pengukuran kuat tekan dalam penelitian ini dilakukan dengan mencampur tanah lunak dengan air yang sesuai
kadar air optimum dari hasil pemadatan proctor dan dicampur dengan larutan konsentrasi bakteri bacillus subtilis

GEO - 103
sebanyak 2%, 4%, 6%, 8% dan 10%, untuk pengujian 3, 7, 14 dan 28 hari . Ukuran sampel diameter 4,50 cm dan
tinggi 9,15 cm

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji sifat fisik tanah lunak


Hasil pengamatan secara visual, tanah lempung lunak memiliki warna abu2 kehitaman, bertekstur keras sehingga
tidak mudah diremas pada kondisi kering, sedangkan jika terkena air, tanah menjadi licin dan lengket ditangan,
mudah dibentuk dan terkesan plastis. Dari hasil penelitian di laboratorium sebagai berikut, Kadar air awal 78,12%.
Hasil uji pemadatan standard Proctor diperoleh kadar air optimum 26,5% dengan berat volume kering (d) 1,48
gr/cm3. Berat jenis tanah lunak 2,68 gr/cm3. Berdasarkan pengujian batas Atterberg batas cair sebesar 67,89 %, batas
plastis 37,08 %, batas cair yang lebih besar dari 50 % merupakan salah satu ciri umum yang dimiliki oleh tanah
lunak .
Hasil pengujian distribusi ukuran butiran tanah, diketahi bahwa 95,76% lolos saringan No.200 dengan indeks
plastisitas 37,08%, sehingga disimpulkan menurut sistem klasifikasi USCS ,digolongkan tanah berbutir halus dan
diklasifikasikan ke dalam jenis CH yaitu lempung dengan plastisitas tinggi. Menurut sistem klasifikasi AASHTO
sampel tanah termasuk dalam kelompok A-7-5 yaitu merupakan tanah berlempung dengan penilaian sedang sampai
buruk, karena butiran sampel tanah lolos saringan No.200 35% dan indeks plastis 30%

Tabel 2. Hasil pengujian sifat fisik pada tanah lunak

Pengujian Hasil
Kadar Air (%) 78,12
Berat jenis 2,68
Batas cair (%) 67,89
Batas Plastis (%) 30,8
Indeks Plastisitas (%) 37,08
AASTHO soil classification A-7-5
USCS Soil classification CH
Pasir (%) 4,2
Lanau (%) 35,21
Lempung (%) 60,55
Optimum moisture conten (%) 26,5
Maximum dry density (ton/m 1,48

Hasil uji kuat tekan Bebas


Hasil uji tekan bebas dilakukan pada tanah lunak yang distabilisasi dengan variasi penambahan larutan bakteri
bacillus subtilis dan masa perawatan 3,7, 14 dan 28. Gambar 4, menunjukkan peningkatan modulus elastisitas pada
umur 28 hari dengan penambahan larutan konsentrasi bakteri 2% yaitu 5724 kN/m2, untuk 4% 7008 kN/m2, 6%
9571, 8% 9220 kN/m dan untuk 10% 8257 kN/m2.
Nilai pengujian kuat tekan bebas bahwa tanah lunak tanpa stabilisasi bakteri sebesar 26 kN/m2..Penambahan bakteri
6% sebesar 96,49 kN/m2 dengan pemeraman 3 hari, 138,98 kN/m2 pemeraman 7 hari, 203,61 kN/m2 pemeraman 14
hari, dan 382,84 pemeraman 28 hari.
Dari hasil pengujian dapat di interprestasikan bahwa tanah lunak yang tidak dicampur dengan bacteri mempunyai
nilai kuat tekan yang sangat kecil dan tegolong tanah sangat lunak. Semakin lama pemeraman dan semakin besar
penambah larutan konsentrasi bakteri sampai optimum yaitu 6% yang dicampurkan kedalam tanah maka semakin
besar pula nilai kekuatan tanah lunak 382,84kN/m2 (gambar 5 ).atau meningkat 14 x dari tanah asli.

GEO - 104
(a) (b) (c)

GEO - 105
(d) (e)
Gambar 4. . Hubungan Tegangan-Regangan dengan waktu peram terhadap penambahan bakteri
a) 2%, b) 4%, c) 6%, d) 8% dan e) 10%

Gambar 5. Hubungan nilai qu dengan penambahan bakteri terhadap waktu peram

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian laboratorium yang diperoleh bahwa tanah lunak memiliki kadar air awal sebesar 78,12
%. Uji pemadatan standard Proctor diperoleh kadar air optimum 26,5% dengan berat volume kering (d)
1,48gr/cm3. Berat jenis tanah ekspansif 2,68 gr/cm3. Berdasarkan pengujian batas Atterberg batas cair sebesar 67,89
%, batas plastis 30,80 %. Batas cair yang lebih besar dari 50 % merupakan salah satu ciri umum yang dimiliki oleh
tanah lunak, nilai plastisitas indeks 37,08%, tanah tersebut sangat peka terhadap air disekitarnya. Pengujian
distribusi ukuran butiran tanah, diketahi bahwa 95,76 % lolos saringan No.200 dengan indeks plastisitas 37,08 %,
sehingga disimpulkan menurut sistem klasifikasi USCS ,digolongkan tanah berbutir halus dan diklasifikasikan ke
dalam jenis CH yaitu lempung dengan plastisitas tinggi. Menurut sistem klasifikasi AASHTO sampel tanah
termasuk dalam kelompok A-7-5 yaitu merupakan tanah berlempung dengan penilaian sedang sampai buruk, karena
butiran sampel tanah lolos saringan No.200 35% dan indeks plastis 30%. Komposisi optimum stabilisasi tanah
lunak dengan penambahan bakteri 6% kultur 6 hari dan pemeraman 28 hari diperoleh nilai kuat tekan 382,84
kN/m2.

DAFTAR PUSTAKA
Akiyama Masaru.(2010). Microbially mediate sand solodification using calcium phosphate compounds, Faculty of
Engineering. Hokkaido University, Kata 13, Nishi 8, Kita-ku, Sapporo, Hokkaido 060-8628, Japan
Cheng, L. (2012). In-Situ Soil Cementation with Ureolytic Bacteria by Surfa Percolation, Ecologocal Engieering,
42. Pp. 64-72.
Dejong,J (2006). Microbially induced Cementation to Control Sand Response to Undrained Shear. Journal Of
Geotechnical and Geoenvironmental
Keyka A. Hamed.(2011). Electro- Biogrouting abd Its challenges, Int.J. Electrochem. Sci., 7 2012 1196 – 1204.
Lisdiyanti P. (2011). Bacterial carbonate precipitation for biogrouting, Prosiding Simposium Nasional
Ekohidrologi, PP 219-232.
Takaendengan P,P, S. Monintja, J.H.Tieoh, J.R.Sumampouw. Pengaruh Stabilisasi Semen Terhadap
SwellingLempung Ekspansif , Jurnal Sipil Statis.Vol1.No 8. Mei 2013

GEO - 106
T. Harianto, S.Hamzah, Fadliah, WalennaPuspita (2013),Biogrouting Stabilization on Marine Sandy Clay Soil
International Conference on Asian ad pacific Coasts
Van Paassen, LA (2009). Biogrout ground improvement by micribial induced carbonate precipitation. Delft
University of Technology, pp 202.
Wjngaarden V K.W M. (2009) Modelling Biogrout: a new ground improvement method based on microbial induced
carbonate precipitation, ISSN 1389-6520 Reports of the Delft Institute of Applied Mathematics Delft 2009.

GEO - 107
GEO - 108
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

MENAMBAH KUALITAS INVESTIGASI GEOTEKNIK LAPANGAN DENGAN


MENGGUNAKAN METODE GELOMBANG PERMUKAAN

Khaizal Jamaluddin1,2, Banta Chairullah1, Muhazir1, Irwandi2, dan Ibnu Rusydy3

1.
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Email: khaizal@unsyiah.ac.id, bantachairullah@yahoo.com, muhazir.sipil@yahoo.com
2.
Program Studi Teknik Geofisika, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Email: Irwandi@unsyiah.ac.id
3.
Program Studi Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Email: Ibnu@unsyiah.ac.id

ABSTRAK
Untuk keperluan geoteknik diperlukan investigasi bawah permukaan sebelum mendirikan struktur
di atas maupun di dalamnya. Metode investigasi yang sudah lama dikenal seperti lubang bor, N-
SPT, qc-CPT. Metode ini memberikan informasi data 1-D dan untuk suatu luasan pengujian
diperlukan beberapa titik pengujian sehingga mengakibatkan biaya pengujian menjadi mahal. Untuk
masalah investigasi geoteknik ini metode gelombang permukaan 2-D digunakan. Gelombang
permukaan untuk interpretasi geoteknik bawah permukaan berdasarkan kecepatan gelombang geser.
Di lapangan geophone sebanyak 24 buah, frekwensi 10 Hz dan spasi geophone 1,5 m digunakan.
Untuk menghasilkan 2D, palu seberat 7 kg diketuk pada setiap di antara geophone dan offset 10 m
dipakai. Hasil image 2D diperlihatkan perbedaan karakteristik lapisan-lapisan tanah berdasarkan
parameter kecepatan gelombang geser. Dibandingkan dengan data qc-CPT memperlihatkan
kesesuaian di antara keduanya.
Kata kunci: investigasi geoteknik, gelombang permukaan, kecepatan gelombang geser.

1. PENDAHULUAN
Kegagalan infrastruktur telah banyak dilaporkan, di antara penyebab karena kurangnya informasi geoteknik bawah
permukaan. Material geologi (tanah dan batuan) yang terjadi secara alami, bersifat heterogenitis, dan unisotropi baik
pada area endapan, residual maupun lapisan batuan. Bagaimanapun untuk keperluan geoteknik diperlukan
penyelidikan detail bawah permukaan di area tapak sebelum membangun struktur di atas maupun di dalamnya.
Selama ini di dalam geoteknik metode konvensional yang sudah lama digunakan yaitu lubang bor dengan sampel
tanah, N-SPT, qc-CPT, vane shear test. Metode investigasi geoteknik yang diberi nama metode konvensional ini
walaupun sudah teruji digunakan untuk desain tetapi masih ada kekurangannya di antaranya memberikan informasi
data satu dimensi (1-D), pelaksanaan membutuhkan banyak tenaga kerja dan waktu pengujian lama. Untuk
pengujian pada area tertentu diperlukan beberapa titik pengujian sehingga mengakibatkan biaya pengujian menjadi
mahal kurang efisien. Untuk mengatasi permasalahan geoteknik lapangan ini metode seismik gelombang permukaan
dicoba digunakan. Di dalam penelitian ini dispersi gelombang permukaan Rayleigh digunakan. Penelitian ini
bertujuan mendeteksi lapisan-lapisan bawah permukaan berdasarkan parameter kecepatan gelombang geser. Metode
gelombang permukaan dapat diuji dalam bentuk hasil dua dimensi (2-D) atau image. Dapat diinterpretasi dalam
bentuk dua dimensi sehingga menghasilkan cakupan area yang lebih besar. Alat ini tidak banyak memakai tenaga
kerja dan pekerjaan dapat dilakukan lebih cepat. Cocok untuk konstruksi yang membutuhkan masa kerja lebih cepat.

2. METODE PENELITIAN
Deskripsi site dan geologi lokal
Aplikasi penelitian ini dilakukan pada studi penyelidikan geoteknik bawah permukaan untuk perancangan pondasi
jembatan. Penyelidikan geoteknik untuk jembatan Singgah Mata KM 27 Jalan BabahRot Kabupaten Aceh Barat
Daya – Trangon Kabupaten Gayo Lues. Area penelitian masuk dalam taman nasional gunung Leuser Provinsi Aceh.
Vegetasi sekitar lokasi penelitian berupa hutan tropis.
Area penelitian masuk dalam formasi BabahRot di mana berupa batuan serpih (Shale). Dari data pengamatan
lapangan permukaan berupa batuan yang sudah lapuk. Tingkat pelapukan batuan permukaan terlihat bervariasi.
Pengujian gelombang permukaan dilakukan dua line masing-masing pada lokasi rencana perletakan abutment.
Sketsa peta lokasi dan letak line diperlihatkan pada Gambar 1.

GEO - 109
North

Ke Gayo lues
HUTAN

SUNGAI L 1 MULAI
SUNGAI
L 2 MULAI

HUTAN
HUTAN
a
dy
Ab
ri
Da

TITIK SONDIR
LINE SEISMIK

Gambar 1. Sketsa situasi pengujian gelombang permukaan line 1 dan line 2. Titik awal line sesuai dengan arah
panah.
Gelombang permukaan
Gelombang permukaan adalah gelombang yang merambat pada permukaan suatu media. Gelombang ini terdiri dari
dua jenis: gelombang Rayleigh dan Love. Gelombang Rayleigh berperilaku geser vertikal dan Love berperilaku
geser horizontal. Sebanyak 67 % dari energi gelombang diserap kedalam gelombang permukaan (Huda 2009). Oleh
karena itu efektif digunakan untuk karakterisasi material. Penelitian ini menggunakan bangkitan gelombang aktif
sehingga dalam analisis dispersinya, phase velocity yang berlaku. Dispersi adalah perubahan sifat gelombang ketika
melewati material yang berbeda elastisitasnya. Oleh karena itu walaupun lapisan tipis dapat dideteksi oleh
gelombang ini. Sehingga sangat efektif digunakan untuk investigasi geoteknik bawah permukaan. Pengujian
gelombang permukaan menggunakan multi geofon atau multichannel analisis diperkenalkan oleh Park dan kawan-
kawan (1999). Pekerjaan Park ini merupakan lanjutan dari kerja Nazarian dan Stokoe (1984) yang merupakan
permulaan dari analisis gelombang permukaan dengan hanya dua channel geofon.
Penelitian seismik menggunakan gelombang permukaan Rayleigh telah dilakukan. Sebanyak 24 geofon vertikal
dengan frekuensi 10 Hz telah digunakan. Spasi geofon telah digunakan dengan jarak 2 m. Palu untuk bangkitan
energi gelombang seberat 7 Kg telah digunakan. Palu dipukul pada plat dengan ukuran 10 cm persegi. Stacking per
shoot dilakukan 3 kali. Jarak kedua offset digunakan masing-masing 20 m. Pengujian seismik menghasilkan 2-D,
ketukan palu dilakukan pada kedua offset dan pada setiap di antara geofon. Seismometer yang digunakan merk
PASI 16S-24P Italy dan dua gulungan kabel seismik PASI telah digunakan. Peralatan lainnya berupa battery 12 volt
untuk power supply, satu gulungan trigger kabel, measuring tape 50 m dan Global Positioning System. Record
gelombang seismik dilakukan dengan travel time 1250 msecond dan sampling time 250 mikrosecond. Gelombang
seismik yang didapatkan dalam parameter waktu kemudian ditransformasikan ke dalam frekwensi atau panjang
gelombang. Proses transformasi mengunakan metode fast fourier transform. Tahap pengubahan dari waktu ke
frekwensi diberi nama proses dispersi menghasilkan kurva dispersi di mana hubungan frekwensi terhadap phase
velocity. Kurva dispersi kemudian dihitung kembali sehingga menghasilkan grafik kecepatan geser (shear velocity)
terhadap kedalaman lapisan. Perubahan ini diberi nama proses inversi (inversion proses). Kurva inversi dapat
menggambarkan perbedaan lapisan dan kecepatan gesernya. Perbedaan ini menggambarkan karakteristik masing-
masing lapisan. Semua tahap perhitungan yang dilakukan dalam penelitian menggunakan SeisImager program.
Gambar 2 diperlihatkan susunan peralatan pada waktu akuisisi data seismik.

GEO - 110
Gambar 2. Konfigurasi pengujian seismik gelombang permukaan (Rusdy dan kawan-kawan, 2016)

3. HASIL DAN DISKUSI


Penelitian ini dilakukan dua line gelombang permukaan: line 1 dan line 2 seperti pada Gambar 1. Di samping
pengujian gelombang permukaan, dilakukan juga pengujian sondir sebagai perbandingan terhadap hasil dari
parameter kecepatan gelombang geser per kedalaman.
Line 1
Hasil image line 1 memperlihatkan tiga lapisan. Lapisan permukaan dengan kedalaman sampai 6 m dimana
dikatergorikan ke dalam tanah kepadatan sedang. Menurut SNI (1726:2012) kepadatan sedang memiliki rentang
kecepatan gelombang geser (Vs) di antara 175 – 350 m/detik. Jika dikorelasikan dengan nilai N-SPT di antara 15 –
50. Nilai di bawahnya merupakan tanah lunak dan di atasnya tanah keras. Pada Gambar 3 juga diperlihatkan lapisan
peralihan dari padat sedang ke padat keras. Lapisan ini padatnya di antara sedang dan keras. Sementara pada lapisan
ke tiga padat keras sampai sangat keras di kategorikan batuan dalam istilah geoteknik.

Gambar 3. Image hasil pengujian pada line 1

Line 2
Image line 2 memperlihatkan tiga karakteristik lapisan yaitu padat lunak, padat sedang, dan keras. Berbeda
dengan line 1, line 2 ini terlihat tanah lapisan sedang lebih dalam hingga 12 m dari permukaan. Pada permukaan

GEO - 111
juga terlihat bagian-bagian singkapan tanah yang agak lunak, singkapan ini disebabkan proses pelapukan. Lapisan
tanah keras sebagai batuan terlihat lebih dalam dibandingkan line 1. Pada image terlihat jelas lapisan-lapisan yang
menggambarkan derajat pelapukan batuan. Pelapukan lebih kecil pada kedalaman yang lebih dalam dari permukaan.
Perbedaan karakter lapisan pada arah horizontal juga dapat dilihat secara jelas di mana perbedaan ini juga
menggambarkan tingkat pelapukan batuan. Karakteristik lapisan menurut arah horizontal sulit diperoleh dari metode
konvensional seperti lubang bor. Gelombang permukaan dapat diuji menurut arah horizontal dengan jarak yang
lebih jauh. Sehingga didapatkan informasi bawah permukaan dengan cakupan yang lebih besar. Dengan biaya
pengujian yang relatif murah sehingga sangat sesuai untuk diaplikasikan untuk geoteknik.

Gambar 4. Image hasil pengujian pada line 2

Data dari hasil bor, N-SPT maupun qc-CPT hanya memberikan data berupa satu dimensi. Untuk mendapatkan
gambaran bawah permukaan lebih detail diperlukan jumlah titik-titik pengujian yang lebih banyak. Jumlah titik bor
maupun sondir lebih banyak baru dapat menggambarkan pendekatan dua dimensi atau tiga dimensi. Metode
gelombang permukaan ini menawarkan kemudahan dalam interpretasi bawah permukaan. Dalam pengujiannya
dapat menghasilkan satu dimensi seperti bor dan sondir dan dua dimensi secara cepat dan efektif. Bahkan jika
pengujian lebih banyak line dapat menggambarkan informasi bawah permukaan dengan pendekatan tiga dimensi.
Seperti diperlihatkan pada image line 1 dan 2. Dalam investigasi geoteknik bawah permukaan umumnya jika
pengujian gelombang permukaan diikutsertakan maka akan menambah kualitas inverstigasi. Di mana dalam hal ini
data interpretasi bawah permukaan saling melengkapi satu sama lain. Untuk suatu luasan pengujian yang lebih besar
dapat mengurangi jumlah pengujian titik bor, N-SPT maupun sondir. Sehingga menghasilkan data lebih detail,
waktu pengujian lebih efektif dan biaya pengujian dapat direduksi. Untuk melihat keandalan data hasil gelombang
permukaan yang diuji pada permukaan tanah, Xia dan kawan-kawan (2002) telah membandingkannya dengan uji
seismik di dalam lubang bor didapatkan tingkat keandalan hingga 85 sampai 90 persen. Gambar 5 diperlihatkan
perbandingan hasil antara pengujian qc-CPT dengan kecepatan gelombang geser menunjukan kesesuaian kepadatan
tanah antara keduanya. Pada sondir terlihat tanah padat sedang sedangkan pada pengujian gelombang permukaan
tanah padat sedang. Hal ini menunjukan metode gelombang permukaan bersesuaian dengan metode konvensional
secara kualitatif maupun kuantitatif. Untuk penelitian selanjutnya perlu juga dilakukan perbandingan dengan
pengujian N-SPT khususnya untuk tanah di Indonesia. Sehingga dapat diambil sebuah ukuran bahwa metode
gelombang permukaan ini dapat diterapkan secara lebih luas. Penggunaan metode gelombang permukaan pada
pekerjaan ini berawal dari pihak kontraktor yang ingin mengetahui informasi bawah permukaan pada batuan yang
sudah lapuk. Dalam geoteknik diberi nama tanah residu yang umum dijumpai di Indonesia umumnya daerah tropis.

GEO - 112
Vs (m/s) Qc Kg/Cm²
50 100 150 200 250 300 50 100 150 200 250
0 0
Kedalaman (m)

1 1

1.5 1.5

2 2

2.5
Tanah Sedang 2.5

3 3
Tanah Sedang
3.5 3.5

4 4

4.5 4.5

5 5

Gambar 5. Perbandingan kepadatan tanah di antara pengujian gelombang permukaan dengan qc-CPT.

4. KESIMPULAN
Image hasil pengujian gelombang permukaan memperlihatkan kesesuaian dengan kondisi lapangan. Geologi
lapangan menunjukkan batuan permukaan telah mengalami pelapukan. Semakin dekat dengan permukaan tingkat
pelapukan semakin tinggi dan sebaliknya semakin dalam pelapukan semakin kurang. Untuk persoalan geoteknik
kecepatan gelombang geser dikaitkan dengan kepadatan tanah lunak, sedang, keras dan sangat keras. Dari
interpretasi ini maka parameter kecepatan gelombang dapat mengetahui karakteristik geoteknik bawah permukaan.
Metode konvensional memberikan data satu dimensi sedangkan metode ini dapat dua dimensi. Sehingga dapat
mengcover area yang lebih luas dibandingkan metode konvensional. Akhirnya biaya untuk inversitigasi dapat
diefektifkan dan waktu yang dibutuhkan lebih efisien.
UCAPAN TERIMAKASIH
Peneltian ini telah selesai, penulis mengucapkan terimakasih kepada PPTK Perencanaan, Dinas Bina Marga Provinsi
Aceh yang telah memberikan dana penelitian. Laboratorium Near surface Geophysics, Program Studi Teknik
Geofisika Universitas Syiah Kuala yang telah memberi izin penggunaan alat seismik. Penulis juga berterimakasih
kepada Professor Taksiah Majid, School of Civil Engineering, Universiti Sains Malaysia yang telah memberikan
penggunaan software SeisImager. Dan juga mahasiswa geoteknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Syiah Kuala
yang telah membantu akuisisi data seismik di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Huda, H dan Santosa, B.J., 2009. Pencitraan struktur permukaan bawah tanah dengan menggunakan analisa kurva
dispersi, studi kasus: kampus geomatika FTSP ITS Surabaya, Seminar nasional pascasarjana.
Nazarian, S. and Stokoe, K.H. II, 1984. In situ shear wave velocities from spectral analysis of surface waves: In:
Proceedings of the 8th Conference on Earthquake Engineering, San Francisco, 3, 31–38.
Park, C.H., Miller, R.D. and Xia, J., 1999. Multichannel analysis of surface waves, Geophysics, 64, 800–808.
Rusydy, I., Jamaluddin, K., Fatimah, E., Syafrizal, dan Andika, F. (2016). Studi awal: analisa kecepatan gelombang
geser (Vs) pada cekungan Takengon dalam upaya mitigasi gempa bumi. Jurnal Teknik Sipil Universitas Syiah
Kuala, 1-12.
SNI (1726:2012), Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung.
Jakarta. Badan Standarisasi Nasional.
Xia, J., Miller, R.D., Park, C.B., Hunter, J.A., Harris, J.B. and Ivanov, J., 2002. Comparing shear-wave velocity
profiles inverted from multichannel surface wave with borehole measurements, Soil Dynamic Earthquake
Engineering. 22, 181–190.

GEO - 113
GEO - 114
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

STUDI PENGENDALIAN EROSI LERENG DI WILAYAH BUKIT WONGGE


KABUPATEN ENDE

Veronika Miana Radja1, Fransiskus Xaverius Ndale2, dan Kristoforus Je3

1
Porgram Studi Teknik Sipil , Universitas Flores, Jl.Sam Ratulangi Ende Flores
Email: veronika_mira@yahoo.com
2
Porgram Studi Teknik Sipil , Universitas Flores, Jl.Sam Ratulangi Ende Flores
Email: milanonet66@gmail.com
3
Porgram Studi Teknik Sipil , Universitas Flores, Jl.Sam Ratulangi Ende Flores
Email: kristoforus_je@yahoo.co.id

ABSTRAK
Wilayah kota Ende dengan luas sekitar 250 km2 memiliki topografi dari permukaan laut sekitar 79
% dengan ketinggian kurang dari 500 m. Perkembangan jumlah penduduk mengakibatkan
pengembangan pemukiman ke arah kawasan perbukitan dan tepi pantai. Hal tersebut menjadi
fenomena dimana perluasan wilayah ke arah perbukitan yang semula merupakan ruang terbuka hijau
menjadi area pemukiman penduduk. Perluasan wilayah tersebut dilakukan tanpa adanya
pengawasan oleh pihak perencana tata kota, sehingga setiap terjadinya hujan dengan intensitas yang
cukup tinggi akan menimbulkan alur aliran air yang deras saat hujan menuju infrastruktur dan
pemukiman di bawahnya serta membawa gerusan tanah karena erosi permukaan. Penelitian ini
diawali dengan melakukan pengamatan lapangan untuk memperoleh gambaran dan identifikasi
lokasi pengambilan sampel tanah yang tererosi. Penelitian dilakukan dengan uji bor dan penetrasi
statis untuk mendapatkan karakteristik fisik dan mekanis tanah. Dari data yang diperoleh
selanjutnya dilakukan kajian untuk penanganan erosi permukaan tanah akibat limpasan air hujan.
Kajian tersebut meliputi besar limpasan air permukaan saat hujan, letak kedalaman bidang longsor,
dan nilai stabilitas lereng. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, diperoleh bahwa jenis
tanah di wilayah bukit wongge adalah pasir berkerikil dengan sedikit bagian halus. dengan besar
koefisien rembesan 1,05 x 10-1 sehingga banyaknya limpasan air saat hujan dengan intensitas tinggi
adalah 125 mm/jam, kedalaman bidang longsor saat kondisi jenuh sampai pada kaki lereng dengan
angka keamanan 0,556 Maka penanganan pendekatan yang diambil untuk mengatasinya antara lain
penggunaan dinding penahan untuk menahan gerusan tanah bagian permukaan lereng dan
longsoran permukaan serta pembuatan sumur resapan untuk mengurangi limpasan permukaan yang
besar sehingga tidak terbentuk lagi alur aliran pada permukaan tanah.
Kata kunci : erosi, limpasan permukaan, bidang longsor , sumur resapan, alur aliran

1. PENDAHULUAN
Bukit Wongge sebelumnya merupakan area hutan yang terletak di bagian utara wilayah kota Ende. Oleh karena
perkembangan penduduk dan peningkatan kebutuhan lahan, maka area lereng bukit wongge dimanfaatkan sebagai
tempat pemukiman. Belum adanya perencanaan yang matang dari pemerintahan untuk tata kota dan pembuatan
drainase yang baik, sehingga pembangunan di area bukit wongge dilakukan sekenanya oleh para pemilik lahan
dengan tidak memperhatikan pengaruh yang akan ditimbulkan. Seperti yang terlihat pada beberapa titik di sepanjang
lereng, adanya alur-alur aliran air akibat adanya hujan. Adanya alur tersebut menimbulkan aliran air yang deras
saat hujan menuju infrastruktur dan pemukiman di bawahnya serta membawa gerusan tanah. Sehingga pada
beberapa bagian jalan dan pemukiman penduduk terjadi banjir dan adanya timbunan pasir yang mengganggu
aktivitas. Untuk mencegah terjadinya alur aliran dan gerusan permukaan tanah daerah lereng saat hujan, diperlukan
suatu penyelidikan agar dapat mengatasi permasalahan tersebut antara lain dengan cara mendapatkan sifat fisik dan
mekanis tanah, besar limpasan air hujan, letak bidang gelincir dan kondisi stabilitas lereng di wilayah bukit
Wongge.

2. RUMUSAN MASALAH
Untuk mencegah terjadinya alur aliran dan gerusan permukaan tanah daerah lereng saat hujan, diperlukan suatu
penyelidikan agar dapat mengatasi permasalahan tersebut.
Adapun masalah yang dilihat dalam penelitian ini adalah :

GEO - 115
- Sifat fisik dan mekanis tanah di wilayah lereng bukit Wongge
- Besarnya limpasan air hujan di wilayah lereng bukit wongge
- Kondisi stabilitas lereng wilayah bukit Wongge
- Letak bidang gelincir pada lereng bukit Wongge
- Cara untuk mengatasi aliran permukaan yang menimbulkan erosi pada permukaan tanah`

3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini diawali dengan melakukan pengamatan lapangan untuk memperoleh gambaran dan identifikasi lokasi
pengambilan sampel tanah yang tererosi, selanjutnya ;
- Melakukan sondir sebanyak 4 titik pada lokasi yang tererosi dan boring untuk pengambilan sampel tanah yang
terganggu dan tidak terganggu untuk diuji di laboratorium.
- Pengujian di laboratorium untuk mendapatkan parameter fisik dan mekanis tanah antara lain berat volume
tanah kondisi lapangan, berat volume tanah saat jenuh, berat jenis, konsistensi tanah, gradasi butiran, koefisien
permeabilitas, angka pori, kohesi dan sudut geser dalam dari tanah.
- Dari parameter geser tersebut digunakan untuk menghitung analisa stabilitas lereng, dalam hal ini
menggunakan analisa Geo-Slope sekalian untuk mendapatkan kedalaman bidang gelincirnya.
- Selanjutnya menghitung banyaknya limpasan air hujan yang diperoleh dari hitungan besarnya intensitas air
hujan terhadap laju infiltrasi.
- Memperkirakan besarnya erosi tanah permukaan.

4. PENYELIDIKAN TANAH
Penyelidikan lapangan dengan cara melakukan sondir sebanyak 4 titik pada lokasi yang tererosi dan boring untuk
pengambilan sampel tanah yang terganggu dan tidak terganggu untuk diuji di laboratorium. Hasil sondir mencapai
tanah keras > 200 kg/cm2, dimana pada lokasi penelitian diperoleh pada kedalaman 5 m sampai 7 m.

Selanjutnya melakukan pengujian di laboratorium. Dimana hasil pengujian di laboratorium seperti terlihat pada
tabel 1.

Tabel 1. Parameter tanah hasil pengujian di laboratorium


No. Jenis Pengujian Simbol Satuan Nilai Keterangan
1 Berat volume tanah (γt) gr/cm3 2,16 -
initial
2 Berat volume tanah (γd) gr/cm3 1,86 -
kering
2 Berat spesifik (Gs) - 2,87 -
3 Indeks plastisitas (IP) % 5,45 Plastisitas rendah
4 USCS SW - - Pasir bergradasi baik dengan
sedikit bahan halus
5 AASHTO A-2-4 - - Pasir berlanau atau berlempung
6 Koef. permeabilitas k Cm/det 1,05x10-1 Pasir dan kerikil kelanauan
7 Derajat kejenuhan (Sr) % 53,10 -
8 Angka pori (e) - 0,35 -
9 Porositas (n) % 24,8 -
10 Kohesi (C) O 0,34 -
11 Sudut geser dalam (Ø) Kg/cm2 35,25 -

5. ANALISIS STABILITAS LERENG


Menurut Karnawati (2005), longsoran merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan yang umunya
terjadi pada kemiringan lereng 20o-40o dengan massa yang bergerak berupa tanah residual, endapan koluvial dan
batuan vulkanik yang lapuk. Tanah residual dan koluvial umumnya merupakan tanah yang bersifat lepas-lepas dan
dapat menyimpan air. Akibatnya kekuatan gesernya relatif lemah, apalagi bila air yang dikandungnya semakin jenuh
dan menekan. Peningkatan kejenuhan air dapat terjadi apabila tanah tersebut menumpang di atas lapisan tanah atau
batuan yang lebih kompak dan kedap air. Sehingga air yang meresap ke dalam tanah sulit menembus lapisan tanah
atau batuan di bawahnya, dan hanya terakumulasi dalam tanah yang relatif gembur. Kontak antara lapisan tanah atau
batuan yang lebih kedap dengan massa tanah di atasnya sering merupakan bidang gelincir gerakan tanah.

GEO - 116
Dalam Wesley (2010), longsoran lereng pada tanah residual terutama pada lereng yang curam, bidang gelincirnya
tidak seperti tipe longsoran dalam yang berbentuk lingkaran. Pada lereng tanah residual kedalaman bidang
longsornya relatif dangkal, seringkali dengan agak membentuk kurva atau hampir planar. Meskipun demikian,
volume dari material yang longsor masih sangat besar.

Tujuan mencari letak dan bentuk bidang gelincir adalah untuk menentukan metode penanggulangan longsoran
lereng yang sesuai. Penentuan letak bidang gelincir di lapangan tidak dilakukan secara langsung, namun dikaitkan
dengan menghitung analisa stabilitas lereng dengan menggunakan Geo Slope. Dalam model, sudut lereng diambil
90o dengan ketebalan lapisan tanah adalah 7 meter. Beban yang bekerja pada lereng merupakan tanah tegalan dan
bangunan rumah penduduk diperkirakan sebesar 200 kg/cm2. Muka air tanah tidak ditemui, namun pada musim
kemarau kondisi tanah setelah disingkap beberapa saat masih dalam keadaan kering udara. Sehingga dalam
penelitian ini elevasi muka air tanah diasumsikan berada pada kedalaman tanah kerasnya

Berdasarkan hasil analisis stabilitas lereng untuk untuk tanah kondisi jenuh diperoleh angka keamanan 0,556 dengan
kedalaman bidang gelincir sampai pada kaki lereng. Kondisi lereng yang tidak aman saat jenuh air maka perlu
pembuatan dinding penahan untuk menjaga stabilitas tanah saat adanya hujan.

Gambar 1. Model keruntuhan lereng pada kondisi kritis

6. INFILTRASI AIR HUJAN


Horton (1940) mendeskripsikan infiltrasi tanah dengan pendekatan empiris yang merupakan fungsi dari waktu.

(1)

(2)

Dimana ;
ft = laju infiltrasi pada waktu t (mm/jam)
fc = laju infiltrasi konstan (cm)
fo = laju infiltrasi awal (cm)
e = 2,71828
K = konstanta hidrolik tanah jenuh
t = lama waktu hujan (jam)

sehingga nilai laju infiltrasi diperoleh sebagai berikut :

Tabel 2. Hasil uji laju infiltrasi tanah


No. Jenis Pengujian Simbol Satuan Nilai Keterangan
1 Laju infiltrasi awal fo Cm/jam 13,92 Cepat
2 Laju infiltrasi konstan fc Cm/jam 0,57 Sedang lambat
3 Besar infiltrasi Ft Cm/jam 5,48 lambat

GEO - 117
Jadi nilai laju infiltrasi tanah pada wilayah bukit Wongge tersebut tergolong lambat, sehingga limpasan airnya
menjadi lebih banyak.

7. ANALISA DEBIT BANJIR


Aliran permukaan (run off) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke lautan.
Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah ada yang langsung masuk ke dalam tanah atau disebut air infiltrasi.
Sebagian lagi tidak sempat masuk ke dalam tanah dan oleh karenanya mengalir di atas permukaan tanah ke tempat
yang lebih rendah. Ada juga bagian dari air hujan yang telah masuk ke dalam tanah, terutama pada tanah yang
hampir atau telah jenuh, air tersebut ke luar ke permukaan tanah lagi dan lalu mengalir ke bagian yang lebih rendah.
Kecepatan infiltrasi ditentukan oleh faktor karakteristik hujan, kondisi permukaan tanah, karakteristik tanah, kadar
air dalam tanah, aktifitas manusia dan kondisi iklim.

Data curah hujan pada wilayah bukit Wongge bervariasi, ada yang relatif lengkap dan ada yang kurang sehingga
dipakai stasiun hujan yang terdekat dan relatif lebih lengkap dengan karakteristik daerah yang sama. Analisis curah
hujan maksimum menggunakan metode Gumbell :

XT = x + S.K (3)

Dimana :
XT = nilai hujan rencana (mm)
x = nilai rata-rata hujan (mm)
S = deviasi standar (simpangan baku)
K = faktor frekuensi yang merupakan tinggi dari periode ulang dan type distribusi frekuensi

(4)
n = banyaknya data

Untuk mendapatkan nilai faktor frekuensi (K) dengan menggunakan persamaan :

(5)
YT = nilai reduksi variant dari variabel yang diharapkan terjadi pada periode ulang T tahun.

Sehingga diperoleh :

(6)

Dari perhitungan curah hujan di stasiun dan curah hujan maksimum rencana untuk periode ulang 5 tahun (Rt)
diperoleh sebesar 24,75 mm.

Intensitas hujan untuk waktu (Tc) dapat dihitung dengan rumus Manobe (Soemartono,1977) yaitu :

(7)

Dimana :
I = Intensitas hujan (mm/jam)
Tc = Waktu konsentrasi (jam)

(8)

L = panjang lintasan air dari titik terjauh sampai titik yang ditinjau (km)
S = kemiringan rata-rata daerah lintasan air
Rt = curah hujan maksimum harian rata-rata pada periode tertentu

GEO - 118
Perhitungan debit limpasan menggunakan metode rasional dengan rumus :

(9)

Dimana :
C = koefisien run off (perkampungan 0,25-0,40)
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
A = luas daerah tangkapan hujan (km2)
Q= debit limpasan (m3/det)

Perhitungan tersebut membutuhkan data sebagai berikut :


1. Intensitas curah hujan (I)
2. Koefisien aliran (C) untuk perkampungan diambil 0,3
3. Luas daerah tangkapan (A) yang diperoleh dari hasil perhitungan peta topografi kawasan lereng bukit wongge
sekitar 0,25 km2.
4. Panjang lintasan air dari titik terjauh sampai titik yang ditinjau 100 m = 0,1 km
5. Kemiringan rata-rata daerah lintasan air = 30%.
Sehingga diperoleh waktu konsentrasi Tc = 0,018 jam, sehingga intensitas curah hujannya 125,35 mm/jam.
Hasil analisa debit banjir (Q) = 2,613 m3/dtk.

8. PERKIRAAN BESARNYA EROSI PERMUKAAN


Dari beberapa metoda untuk memperkirakan besarnya erosi permukaan, metoda Universal Soil Loss Equation
(USLE) yang dikembangkan oleh Wischmeir dan Smith (1978) adalah metode yang paling umum digunakan untuk
memperkirakan besarnya erosi. USLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk memprediksi erosi rata-rata
jangka panjang dari erosi lembar atau alur dibawah keadaan tertentu. Persamaan kehilangan tanah tersebut dapat
dituliskan sebagai berikut:

E=RxKxLxSxCxP (10)

Dimana :
E = Besarnya kehilangan tanah persatuan luas lahan (ton/hektar).
R = Faktor erosivitas curah hujan dan air larian untuk daerah tertentu (EI).
EI = 210 + (89 log I).
R = Σ EI/100 X
K = Faktor erodibilitas tanah untuk horizon tanah tertentu dan merupakan kehilangan tanah per satuan luas untuk
indeks erosivitas tertentu.
L = Faktor panjang kemiringan lereng yang tidak mempunyai satuan.
S = Faktor gradien atau kemiringan lereng yang tidak mempunyai satuan.
C = Faktor pengelolaan tanaman, cara bercocok tanam yang tidak mempunyai satuan.
P = Faktor praktik konservasi tanah atau faktor
X = Jumlah tahun atau musim hujan yang digunakan sebagai dasar perhitungan Sementara
Dari tabel dapat diperoleh ;
- faktor erodibilitas untuk Tanah aluvial residual K = 0,47
- kemiringan lereng >40o, LS = 9,5
- Jenis penggunaan lahan penutupan tanah sebagian ditumbuhi alang-alang CP = 0,02.
Berdasarkan hasil analisa menunjukan bahwa rata-rata erosi yang terjadi pertahunnya sebesar 0,68 ton/ha/thn,
dengan klasifikasi bahaya erosi yang sangat ringan.

9. SUMUR RESAPAN
Karena limpasan air permukaannya lebih besar dari laju infiltrasi maka perlu dibuat sumur resapan. Sumur resapan
air hujan adalah prasarana untuk menampung dan meresapkan air hujan ke dalam tanah, dengan persyaratan umum
yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut:
a. Sumur resapan air hujan ditempatkan pada lahan yang relatif datar;
b. Air yang masuk ke dalam sumur resapan adalah air hujan tidak tercemar;
c. Penetapan sumur resapan air hujan harus mempertimbangkan keamanan bangunan sekitarnya;

GEO - 119
d. Harus memperhatikan peraturan daerah setempat;
e. Hal-hal yang tidak memenuhi ketentuan ini harus disetujui Instansi yang berwenang.
Persyaratan teknis yang harus dipenuhi antara lain adalah sebagai berikut:
a. Ke dalam air tanah minimum 1,50 m pada musin hujan;
b. Struktur tanah yang dapat digunakan harus mempunyai nilai permebilitas tanah ≥ 2,0 cm/jam.
c. Jarak penempatan sumur resapan air hujan terhadap bangunan,

Tabel 3. Jarak minimum sumur resapan terhadap bangunan


No Jenis Bangunan Jarak minimum dari sumur resapan
air hujan (m)
1 Sumur resapan air hujan/ sumur air bersih 3
2 Pondasi bangunan 1
3 Bidang resapan /sumur resapan tangki septik 5

10. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, diperoleh bahwa jenis tanah di wilayah bukit wongge adalah pasir
berkerikil dengan sedikit bagian halus. dengan besar koefisien rembesan 1,05 x 10-1, besar infiltrasi 5,4 cm/jam
(tergolong lambat), sehingga limpasan air saat hujan dengan intensitas tinggi adalah sebesar 125 mm/jam, dan
kedalaman bidang longsor saat kondisi jenuh sampai pada kaki lereng dengan angka keamanan 0,556 (kondisi
kritis), maka penanganan pendekatan yang diambil untuk mengatasinya antara lain penggunaan dinding penahan
untuk menjaga stabilitas tanah lereng dan menahan gerusan tanah bagian permukaan lereng serta pembuatan sumur
resapan untuk mengurangi limpasan permukaan yang besar sehingga tidak terbentuk lagi alur aliran pada
permukaan tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Tata Cara PerencanaanSumur Resapan Air Hujan untuk Lahan Pekarangan SNI No. 03-2453-
2002.Jakarta: Balitbang Kimpraswil
Asdak, Chay., Hidrologi dan Pengeolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002
Bowles, J.E. (1984). Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis Tanah, Erlanga, Jakarta
Bowles, Joseph B., Analisis Dan Desain Pondasi, Jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1997.
Das, Braja M. (1985). Mekanika Tanah (Prinsip-prinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid Penerbit Erlangga : Jakarta
Hardjoamidjojo, Soedodo, Sukartaamatmadja, Budi Santtoso. (1998). Mekanika Tanah Lanjutan. Gunadarma
Jakarta
Kelompok Kerja Erosi dan Sedimentasi., 2002. Kajian Erosi dan Sedimentasi Pada DAS Teluk Balikpapan
Kalimantan Timur. Proyek Pesisir/CRMP
Kironoto, Bambang Agus, dkk., 2000. Diktat Kuliah Hidraulika Transfor Sedimen. PPS-Teknik Sipil, Yogyakarta
Linsley, Rey K., Franzini Joseph B.,1989. Teknik Sumber Daya Air, Jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta
Rahim, Supli Effendi., 2000. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup, Penerbit
Bumi Aksara, Jakarta.
Rantung, Marizca Monica, dkk., 2013. Analisa Erosi dan Sedimentasi Pada Lahan Di Sub DAS Panasen Kabupaten
Minahasa, Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Sam Ratulangi.
Sukandi., 2008. Teknik Pengawetan Tanah Dan Air, Graha Ilmu dan Creata-LPPM, Yogyakarta
Sutapa, I Wayan., 2010. Analisis Potensi Erosi Pada DAS Di Sulawesi Tengah, Fakultas Teknik Jurusan Sipil
Universitas Tadulako

GEO - 120
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

Daya Layan Uji Geolistrik untuk Mendapatkan Sumber Air Tanah

I Wayan Redana1, I Nengah Simpen2, dan Kadek Suardika3

1
Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran Badung, Bali
Email: iwayanredana@alumni.uwaterloo.ca
2
Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Badung, Bali
Email: simpen.nengah@yahoo.com
3
Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Badung, Bali
Email: dikaudayana15@gmail.com

ABSTRAK
Pengeboran air tanah dengan tanpa melakukan uji duga sumber air seperti uji geolistrik sering
berhasil dan juga sering gagal mendapatkan sumber air yang baik. Hal ini terjadi pada salah satu
lokasi sumur bor yang pada kenyataannya tidak memberikan sumber air yang bagus. Uji geolistrik
yang dilaksanaan setelah pengeboran sumur memberi indikasi bahwa air yang baik tersedia hanya
beberapa meter jauhnya dari sumur yang telah dibuat tersebut. Hal ini memberikan suatu lesson
learned atau pembelajaran bahwa untuk mendapatkan sumber air yang baik pada suatu lokasi
diperlukan uji geolistrik. Peralatan yang dipakai untuk uji geolistrik antara lain: satu set resistivity
meter, elektroda, kabel, dan aki 12 volt. Pengukuran dilakukan dengan memakai metode Werner.
Pengujian geolistrik memanfaatkan empat electrode. Dua electrode dipakai untuk menginjeksi arus
listrik kedalam tanah, dan dua electrode lainnya dipakai untuk menangkap beda potensial yang
terjadi akibat arus listrik yang diinjeksikan. Tahanan jenis tanah dapat ditentukan sampai kedalaman
30 m atau lebih tergantung kemampuan peralatan. Hasil yang didapat dari uji geolistrik ini
dituangkan dalam contour penampang resistivitas pada lintasan pengukuran dan menunjukkan
contour aquifer berdasar besar resistivitas batuan. Uji pumping dilaksanakan setelah kedua sumur
bor dibuat yaitu sumur bor sebelum dan sesudah uji geolistrik. Uji pumping memberikan nilai
Transmisivity (T=0,01163 m2/s), Storativity (S=0,001356), hydraulic conductivity (K=0,0008459
m/s) yang menunjukkan bahwa aquifer mempunyai kualitas baik. Uji kelayakan air sumur bor untuk
dimanfaatkan sebagai air minum juga menunjukkan nilai yang baik pada sumur sesuai hasil tes
geolistrik. Sedangkan, pada sumur yang telah dibuat lebih dahulu tanpa melakukan uji geolistrik, uji
kelayakan air tidak memenuhi syarat. Kesimpulan dari kajian ini bahwa daya layan uji geolistrik
sangat baik dalam menentukan aquifer sumber air.
Kata kunci: Air tanah, Uji pumping, Geolistrik

1. PENDAHULUAN
Pendugaan geolistrik dapat dipakai untuk memperoleh gambaran tentang kandungan air tanah dibawah permukaan
berdasarkan nilai kontras tahanan jenis. Nilai tahanan jenis tanah yang diperoleh ini dapat juga dipakai untuk
mengetahui penyebaran jenis lapisan tanah secara vertikal maupun horizontal dibawah tanah didaerah penelitian.
Rumusan masalah penelitian adalah bahwa sumur yang dibuat tanpa penyelidikan geolistrik mendapatkan air yang
tidak layak minum, sehingga diperlukan pengetahuan uji geolistrik untuk mendapatkan sumber air atau aquifer.
Tujuan penelitian adalah untuk menguji daya layan geolistrik mendapatkan air yang layak minum.
Nilai koefisien Konductifitas hidraulik (K) yang didapat dari uji pumping dan tebal lapisan aquifer yang
mengandung air yang didapat dari uji geolistrik dipakai untuk menghitung parameter transmisivitas dan storatifitas
dari sumur. Parameter transmisivitas dan storatifitas dipakai untuk menentukan produktifitas air sumur untuk
keperluan rumah tangga. Uji kelayakan kualitas air sumur dipakai untuk menentukan kelayakan air sumur sebagai
air minum. Hasil uji geolistrik dan uji pumping ini dapat dipakai untuk membandingkan produktifitas dan kelayakan
kualitas air kedua sumur yaitu sumur yang dibuat tanpa penyelidikan dan sumur yang dibuat setelah penyelidikan
geolistrik.

GEO - 121
2. METODOLOGI

Pendugaan geolistrik
Prinsip dasar metode geolistrik memanfaatkan arus listrik yang diinjeksikan kedalam tanah dan menangkap beda
potensial yang dihasilkannya. Dalam menginterpretasikan pengukuran pada metoda geolistrik bumi dianggap
homogen isotropis, yaitu setiap lapisan memiliki resistivitas yang sama. Prinsip dasar metoda geolistrik adalah
mengukur respon potensial pada suatu elektroda potensial akibat arus listrik yang diinjeksikan ke dalam bumi
melalui elektroda arus, oleh karena itu perumusan teoritis metoda geolistrik didasarkan pada prinsip perhitungan
potensial listrik pada suatu medium tertentu akibat suatu sumber arus listrik di permukaan bumi. Jika arus (I)
diinjeksikan ke dalam bumi yang homogen dan isotropis melalui sebuah elektroda tunggal, maka arus listrik tersebut
akan menyebar ke segala arah dalam permukaan-permukaan ekuipotensial pada bumi berupa permukaan setengah
bola seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 1 (Telford, 1990).

Gambar 1. Aliran Arus Listrik dan Bidang Ekuipotensial

Nilai resistivitas listrik suatu formasi bawah permukaan dapat ditentukan menurut persamaan:

V r   I
4r  (1)

Karena permukaan yang dialiri arus adalah permukaan setengah bola yang mempunyai luas 2r , maka
2

2rV  I  1
 atau V    (2)
I  2  r
Apabila dipasang empat buah elektroda seperti Gambar 2, dan jarak antara dua elektroda arus tidak terlalu besar,
potensial disetiap titik dekat permukaan akan dipengaruhi oleh kedua elektroda arus tersebut, sehingga equipotensial
yang dihasilkan dari kedua titik sumber ini bersifat lebih kompleks dibandingkan sumber arus tunggal.

Gambar 2. Skema Elektroda Arus dan Elektroda Potensial (Telford dkk., 1990)

Bila digambarkan garis-garis ekuipotensialnya akan didapatkan tampak atas seperti Gambar 3. Apabila digambarkan
dalam bentuk penampang akan didapatkan seperti Gambar 4. Perubahan potensial sangat drastis pada daerah dekat
sumber arus, sedangkan pada daerah antara A dan B gradien potensial kecil dan mendekati linier. Dari alasan ini,
pengukuran potensial paling baik dilakukan pada daerah diantara A dan B yang mempunyai gradien potensial linier.
Untuk menentukan perbedaan potensial antara dua titik yang ditimbulkan oleh sumber arus listrik A dan B, maka
dua elektroda potensial misalnya M dan N ditempatkan di dekat sumber seperti pada Gambar 3.

GEO - 122
Gambar 3. Garis-Garis Equipotensial Dilihat dari Atas (Telford dkk., 1990)
Dengan prinsip bidang ekuipotensial, akan didapatkan bahwa pengukuran potensial di permukaan tanah akan
menghasilkan nilai yang sama dengan beda potensial di dalam tanah pada radius yang sama untuk pengukuran beda
potensial antara titik M dan N dari sumber arus A dan B di permukaan seperti Gambar 4. (Telford et al, 1990).

Gambar 4. Elektroda Arus dan Elektroda Potensial, Serta Garis-Garis Ekuipotensial.

Sehingga persamaan menjadi:

I  1 1 
VM  
2  AM BM 
 (3)

I  1 1 
VN  
2  AN BN 
 (4)

Maka selisih beda potensial antara titik M dan N adalah:

V  VM  VN (5)

dan didapat persamaan untuk menentukan resistivitas yaitu:

1
 1 1   1 1  AV V
  2      atau   K (6)
 AM BM   AN BN  I I

Dimana K yang merupakan faktor geometri mempunyai nilai:


2
K (7)
 1 1   1 1 
 AM  MB    AN  NB 
   

Apabila dalam pengambilan data jarak spasi elektroda dibuat sama yaitu AM = MN = NM = a, maka AM = NB = a
dan MB = AN = 2a, lihat Gambar 2, maka persamaan (7) akan menjadi:
K  2a (8)
Konfigurasi seperti ini dikenal dengan Konfigurasi Wenner, dimana K merupakan faktor geometri. Jadi dengan
melakukan pengukuran beda potensial (V), kuat arus (I) dan jarak antar elektroda (a) akan didapatkan resistivitas
(resistivitas semu) pada titik pengukuran tersebut. Besar resistivitas berbanding terbalik dengan kemampuan
menghantarkan listrik. Makin besar daya hantar listrik, makin kecil resistivitas. Resistivitas air laut atau air asin
kira-kira sebesar 0.2Ωm. Variasi berbagai resistivitas batuan seperti pada Gambar 5.

GEO - 123
Gambar 5. Resistivitas berbagai lapisan tanah

Uji pumping

Tes sumur tunggal dapat dilakukan untuk mendapatkan konduktivitas hidraulik (K) dengan tes konstan head
didaerah aliran sumur. Geometri dari suatu sumur tes atau piezometer diperlihatkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Tes pada sumur tunggal

Langkah pada tes ini adalah: pompa air keluar ukur Q dan ukur h1 dan h2 untuk mendapatkan h. Tes ini akan bagus
untuk nilai K tinggi seperti pasir kasar dan gravel atau retakan batuan.
Q  FKh (9)
Q
K (10)
Fh
Faktor bentuk F diberikan oleh dua bentuk ujung sumur atau piezometer seperti Gambar 7 (Redana, 2016).
Piezometer dengan selubung dan saringan, tanpa sand pack:
F  2,75r  (11)

Piezometer dengan sand pack disekeliling saringan dan di atas saringan direkatkan dengan bentonit atau semen.
2L
F (12)
L
ln  
R
Untuk L>8R

(a) (b)

Gambar 7. Faktor bentuk untuk piezometer (a) tanpa dan (b) dengan sand pack

GEO - 124
Transmisivitas(T) dan Storativitas (S)

Secara mendasar, ada enam parameter yang diperlukan untuk menjelaskan aspek hidraulik dari aliran air tanah.
Parameter tersebut ada pada parameter tanah dan ada pada air (Redana, 2016). Parameter tanah atau media
porousnya adalah: porositas (n), permeabilitas (k) dan kompresibilitas tanah ( ). Parameter air atau fluida adalah:
kerapatan air (), viskositas air (μ), dan kompresibilitas air (β). Parameter yang lain yang sering dipakai diturunkan
dari enam parameter di atas seperti parameter hidraulik konduktivitas (K), Specific storage (Ss), Storativitas (S) dan
Transmisivitas (T). Nilai transmisivitas, T>0,015 m2/s, menyatakan parameter aquifer yang baik untuk pengambilan
air, sedangkan nilai storativitas, S, berkisar antara 0,005 sampai 0,00005.
Untuk sebuah confined aquifer setebal b, transmisivitas (T) didefinisikan sebagai:
T  Kb (13)
Storativitas didefinisikan sebagai:

S  Ssb (14)

Specific Storage (Ss)

Specific storage Ss didefinisikan sebagai volume air yang dikeluarkan oleh satu unit volume aquifer pada satu unit
penurunan head hidraulik. Dua mekanisme terjadi yaitu: pemampatan aquifer yang disebabkan oleh kenaikan
tegangan efektif, e, oleh karenanya dikontrol oleh kompresibilitas  dan pengembangan air yang disebabkan oleh
tekanan p, oleh karenanya dikontrol oleh kompresibilitas fluida, β. Specific storage merupakan gabungan persamaan
dengan dua mekanisme tersebut yang menghasilkan:
S s  g   n  (15)

Uji kualitas air

Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dan akan menjadi air minum setelah dimasak
terlebih dahulu. Sebagai batasannya, air bersih adalah air yang memenuhi persyaratan bagi sistem penyediaan air
minum. Adapun persyaratan yang dimaksud adalah persyaratan dari segi kualitas air yang meliputi kualitas fisik,
kimia, biologi dan radiologis, sehingga apabila dikonsumsi tidak menimbulkan efek samping (Ketentuan Umum
Permenkes No.416/Menkes/PER/IX/1990., Tentang Pengawasan dan Syarat Syarat Kualitas Air).

3. HASIL
Hasil uji geolistrik

Hasil penelitian geolistrik berupa gambar penampang resistivitas lintasan pengukuran hasil output program
Res2dinv dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Kontur Penampang Resistivitas Riil Lintasan Pengukuran

Lintasan pengukuran berada pada posisi 4 m di utara batas tanah Puri Persada dengan kedudukan 1,5 m lebih
rendah dari tanah di dalam Puri Persada. Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa penempatan sumur 1 berada pada

GEO - 125
lapisan tanah yang kurang mengandung air. Penempatan sumur 2 yang dibuat setelah uji geolistrik berada pada
daerah contour resistivitas lapisan tanah aquifer yang mengandung lebih banyak air.

Hasil uji pumping

Posisi sumur 1 dan sumur 2 pada gambar kontur resistivitas penampang lintasan seperti pada Gambar 8. Jarak antara
sumur 1 dan sumur 2 adalah 50 m. Untuk mengetahui kemampuan sumur 2 dalam memproduksi air, dilakukan uji
pumping. Sumur 1 sebagai sumur pantau. Pengujian dilakukan pada tiga tingkat debit, namun hanya satu saja yang
dibahas pada kesempatan ini. Hasil uji pumping selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tabulasi hasil uji pumping atau Pumping Test

Debit Waktu Kedalaman muka Air Kedalaman muka Air


Pengukuran sumur pantau (1) sumur geolistrik (2)
(l/s) (l/Menit) (m) (m)
14.00 – 14.30 15,25 17,50
10/44 13,63 14.30 – 15.00 15,25 17,75
15.00 – 15.30 15,25 17,80
15.30 – 16.00 15,25 17,80 (tetap)

Kedalaman awal muka air sumur 2 adalah 16,25 m Berdasarkan hasil pumping dapat dilihat bahwa, walaupun sumur
2 secara terus menerus airnya diambil, tetapi permukaan air sumur 1 tidak turun. Keadaan seperti ini berdasarkan
gambar penampang resistivitas dapat dijelaskan bahwa sumber air sumur 1 berbeda dengan sumber air sumur 2.
Sumur 1 mengambil air pada air permukaan yang meresap, sedangkan sumur 2 mengambil air pada aquifer yang
terlindung dengan lapisan keras. Antara sumber air sumur 1 dengan sumber air sumur 2 terdapat lapisan pembatas.

Berdasarkan Tabel 1 diatas setiap pengaturan debit tertentu dilakukan tiga tahap pengukuran penurunan permukaan
air di dalam sumur uji. Pengukuran penurunan kedalaman permukaan air dilakukan setiap 30 menit, dimulai dari
pukul 14.00 sampai pukul 20.00 dengan waktu pumping sebesar 2 jam setiap satu tahap pengaturan debit sumur.
Waktu total yang dibutuhkan uji pumping adalah 6 jam. Dengan kedalaman awal permukaan air dalam sumur 2
sebelum dilakukan uji pumping adalah 16,25 m.
Sehingga, dapat diketahui bahwa nilai debit (Q) dan nilai penurunan permukaan air sumur (∆h) adalah sebagai
berikut:

Tabel 2 hubungan nilai debit(Q) dan penurunan muka air sumur 2 (∆h)

Q (l/menit) ∆h (m)
13,63 1,55

Berdasarkan Tabel 2 dapat dicari besarnya Konduktivitas hidraulik sumur (K), Transmisivitas (T), Storativitas (S)
dan Spesifik Storativitas (Ss). Konduktivitas hidraulika sumur 2 (K) dapat dicari dengan Rumus (10) dengan nilai
(δr)= jari-jari dalam casing sumur (0,063 m), Konstanta sumur F= (2,75)(δr)=2,75 x 0,063=0,17325 m didapat:
Q m
K  0.0008459 (16)
Fh s
Selanjutnya untuk mencari nilai Transmisivitas(T) dihitung dengan Rumus (13) dengan nilai Konduktivitas
hidraulik sumur sebesar K=0,0008459 m/s dan dengan memperhatikan Gambar 8 contour resistivitas nilai ketebalan
aquifer sebesar b=13,75m. Jadi nilai Transmisivitas, T adalah:
m2
T  Kb  0.0008459 (13.75)  0.01163 (17)
s
Nilai Spesifik Storativitas(Ss) dapat dicari dengan Rumus (15) dengan =Kerapatan Air(1000 Kg/m3), g=gravitasi
(9,72 m/s2), Φ=Porositas pasir (35%), β=Kompresibilitas air (4,4x10-10 m2/N)=4,4x10-3 ms2/kg (Hundak,2004), α
=Kompresibilitas aquifer(10-8 m2/N)=10-8 ms2/kg (Hundak,2004):
S s  g   n   0.9869 x10 4 m1 (18)

GEO - 126
Nilai S dengan ketebalan aquifer b =13,75 m dapat dicari dengan rumus berikut:
S  S s b  0.9869 x10 4 (13.75)  0.001356 (19)

Tabel 3. Karakteristik Aquifer

Parameter Aquier Satuan Kuantitas Syarat akuifer baik


Konduktivitas Hidrolik (K) m/s 0,0008459 -
Transmisivitas (T) m2/s 0,01163 >0.015
Spesifik Storativitas (Ss) /m 0,9869x10-4 -
Storativitas (S) - 0,001356 0.005-0.00005

Berdasarkan parameter- parameter aquifer yang didapat, diinterpretasikan bahwa: konduktivitas hidrolik
K=0,0008459 m/s, menurut Todd (1980) aquifer berupa pasir, Transmisivitas T=0,01558808 m2/s, menurut U.S Def.
of the Interior (2012) produktivitas sumurnya sangat baik untuk keperluan domestic dan irigasi, Storativitas
S=0,001356, menurut Todd (1980) aquifernya merupakan aquifer tertekan. Hasil pendugaan juga dibuktikan dengan
hasil pengeboran yaitu pada daerah aquifer berupa pasir. Hasil pengukuran geolistrik menunjukan di sekitar aquifer
ada perlapisan dengan resistivitas lebih tinggi yang berarti aquifernya berupa auifer tertekan.
Uji kualitas air sumur

Berikut ini merupakan hasil uji kualitas air yang dikeluarkan oleh pihak Laboratorium Analitik, universitas
Udayana:
Tabel 4. Hasil uji kualitas air sumur

No Parameter Satuan Hasil Ambang


Air sumur 1 Air sumur 2
1)
1 pH - 7,17 7,47 6-9
2 COD mg/L 24,099 *) 9,205 10 1)
3 BOD mg/L 11,315 *) 4,733 10 1)
4 NO2(Nitrit) mg/L 0,036 Ttd 0,06 1)
5 NO3(Nitrat) mg/L Ttd Ttd 10 1)
6 SO4(Sulfat) mg/L 63,468 12,165 400 1)
7 Klorida mg/L 24,85 21,30 600 1)
8 NH3(Amoniak) mg/L 0,385 Ttd 0,50 1)

Peraturan Gubernur Bali No.8 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Baku Kerusakan
Lingkungan Hidup menyatakan:
* ) Tidak Sesuai atau melebihi batas ambang 1)
Ttd = Tidak terdeteksi pada alat dengan limit deteksi 0,001 mg/l

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa uji kualitas yang dikeluarkan pihak dari berbagai parameter yang dijuji
meliputi : pH, COD, BOD, NO2, NO3, SO4, Cl, dan NH3. Berdasarkan Tabel 4 diatas terbukti nilai parameter
sampel air sumur 1 dan sampel air sumur 2 berbeda. Ini berarti kualitas kedua air berbeda. Nilai pH sebesar 7,17
untuk sampel 1 dan 7,47 untuk sampel 2(geolistrik). Berarti pH dari sampel tersebut sudah sesuai dengan syarat
kelayakan air yaitu pH 6-9 (Peraturan Gubernur Bali No.8 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup dan
Baku Kerusakan Lingkungan Hidup).

Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) untuk sampel 1 sebesar 24,099 mg/L dan BOD (Biological Oxygen
Demand) sebesar 11,315 mg/L. Sampel 2(geolistrik) memiliki nilai COD sebesar 9,205 mg/L dan BOD sebesar 4,33
mg/L. Hal ini dapat diartikan bahwa sampel 2(geolistrik) memiliki kualitas lebih baik dari pada sampel 1, karena
semakin tinggi nilai COD dan BOD kualitas air semakin rendah dan sebaliknya, semakin rendah nilai COD dan
BOD, maka kualitas air semakin tinggi.

Nilai dari parameter NO2(Nitrit) dan NO3(Nitrat) pada masing-masing sampel sangat kecil dan tidak semua
terdeteksi. Hal itu dapat diketahui pada sampel 1 yang hanya mengandung senyawa NO 2. Sampel 2(geolistrik) tidak
mengandung senyawa nitrit maupun nitrat. Sehingga kualitas sampel 2 lebih baik dari pada sampel 1, karena pada
kondisi ideal dan normal kandungan Nitrit dan Nitrat adalah nol (Eugene R. Weiner. Konsentrasi untuk SO4(Sulfat)

GEO - 127
pada sampel 1 sebesar 63,468 mg/L dan untuk sampel 2 (geolistrik) sebesar 12,165mg/L. Konsentrasi sulfat pada
kedua sampel masih berada dibawah ambang batas untuk kualitas air bersih, yaitu 400 mg/L.(Peraturan Gubernur
Bali No.8 Tahun 2007)

Sementara untuk kandungan Cl(Klorida) pada sampel 1 sebesar 24,85 mg/L dan sampel 2 memiliki kandungan
klorida sebesar 21,30mg/L. Kandungan klorida pada kedua sampel masih berada dibawah ambang batas yaitu 250
mg/L.(Permenkes, RI No.907/Menkes/SK/VII/2002) Terakhir, untuk kandungan NH3(Amonia) hanya ada pada
sampel 1 yaitu sebesar 0,385 mg/L dan untuk sampel 2 (geolistrik) tidak terdeteksi adanya kandungan ammonia.
Sehingga dapat diartikan bahwa sampel 2 lebih berkualitas dari sampel 1 karena untuk air bersih tidak boleh
terdeteksi ammonia (Peraturan Gubernur Bali No.8 Tahun 2007.

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa air dari sumur 2 (geolistrik) memiliki kualitas yang lebih baik dari
sumur 1, karena nilai parameter kualitas air untuk sumur geolistrik sudah sesuai dengan ketentuan Peraturan
Gubernur Bali No.8 Tahun 2007 dalam batas ambang yang sudah ditentukan.

4. KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa letak pengeboran pada posisi 22,2 m – 28,7 m dari pojok
Barat Laut tanah Puri Persada diduga dengan kedalaman 18 m sudah ketemu akuifer. Pengeboran dengan
kedalaman 30 m sudah dianggap cukup. Sumur yang dibuat sebelumnya, tanpa melakukan uji geolistrik tidak
mendapatkan air kualitas baik. Dari studi ini didapatkan bahwa daya layan uji geolistrik sangat memuaskan dalam
menentukan produktifitas aquifer dan sumber air yang berkualitas baik.

DAFTAR PUSTAKA
Telford, W. M., Geldart, L. P., Sherif, R.E dan Keys, D. D. 1990. Applied Geophysics First Edition.
Cambridge University Press. Cambridge. New York.
Todd, D.K. 1980. Groundwater Technology. Associate Professor of Civil Engineering California University. Jihn
Wiley and Son. New York.
Redana, IW. 2016. Air Tanah. Denpasar. Udayana University Press.

GEO - 128
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

TUNTUTAN DAN TANTANGAN PEMBUATAN PETA BAHAYA GEMPA BUMI :


STUDY KASUS PIDIE JAYA DAN BANDA ACEH

Irwandi1,2,4, Yunita Idris3,4, Khaizal Jamaluddin1,3 dan Mohamad Ridwan5

1
Jurusan Teknik Geofisika, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh
2
Jurusan Fisika, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh
Email: irwandi@unsyiah.ac.id
3
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh
Email: khaizal@unsyiah.ac.id
4
TDMRC, Universitas Syiah Kuala, Ulee Lhee Banda Aceh
Email: yunita.idris@unsyiah.ac.id
5
Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Bandung
Email: m.ridwan@pu.go.id

ABSTRAK
Serangkaian kejadian gempabumi besar yang menimbulkan kerusakan bangunan dan infrastruktur
menuntut pemerintah untuk mempersiapkan peta zona bahaya gempa bumi sebagai panduan dalam
mendirikan bangunan yang tahan terhadap bahaya gempa bumi. Serangkaian upaya telah dilakukan
pemerintah untuk membuat peta bahaya gempa bumi (Seismic Hazard Map) pertama pada tahun
1983, kemudian diperbaharui tahun 2002, dan setelah kejadian gempa dan tsunami 2004 peta
bahaya gempa terbaru telah direvisi pada tahun 2012. Efek post seismic gempa magnitude 9.3
tersebut terus belanjut dan terjadi beberapa gempa di sesar yang selama ini diduga tidak aktif.
Sehingga pemerintah merevisi peta bahaya gempa yang rencananya akan terbitkan akhir tahun 2017.
Penerbitan peta bahaya gempa tersebut telah memasukkan kejadian gempa Pidie Jaya magnitude 6.5
terjadi justru di jalur sesar yang diduga tidak aktif dan tidak terlalu diperhitungkan akan berdampak
gempa. Maka dari sisi kebutuhan desain bangunan tahan gempa, merupakan hal yang sangat
menarik untuk dikaji. Terutama untuk keberhasilan estimasi bahaya gempa pada daerah sering dan
jarang berdampak gempa, misal Banda Aceh dan Pidie Jaya. Ternyata untuk kasus daerah yang
jarang berdampak gempa, resiko bahaya gempa termasuk besar karena kerentanan bangunan yang
tinggi dan sebaliknya daerah sering berdampak gempa bahkan memiki resiko kecil karena bangunan
telah didesain dengan memperhitungkan kapasitas gempa yang cukup tinggi sehingga memiliki
kerentanan yang rendah. Hal ini terbukti dari banyaknya bangunan yang rusak akibat gempa Pidie
Jaya 7 Desember 2016 yang disebabkan banyak bangunan memiliki kerentanan yang tinggi dari sisi
rendahnya mutu material, struktural, dan faktor lokasi bangunan. Sikap alami masyarakat yang
jarang mengalami dampak gempa tidak akan memperhitungkan suatu standar desain bangunan yang
tidak beresiko tinggi terhadap bahaya gempa. Oleh karena itu, intervensi pemerintah melalui
penyediaan informasi peta bahaya gempa yang akurat merupakan salah satu upaya penting dalam
mengurangi kerentanan masyarakat terhadap bahaya gempa. Tantangan tersebut dapat diatasi bila
dilakukan penelitian secara komprehensif.
Kata kunci: sesar aktif; kerentanan bangunan; peta bahaya gempa

1. PENDAHULUAN
Indonesia yang berada pada pertemuan 3 lempeng memiliki aktivitas geodinamik yang tinggi sehingga memiliki
aktivitas kegempaan yang tinggi (Ito et. al. 2012). Sedangkan struktur bumi yang kompleks yang masih menjadi
misteri untuk melihat keterkaitan satu kejadian gempa dengan yang lainnya. Sudah diperkirakan sebelumnya gempa
laut (subduksi 2004) akan memicu gempa darat (strike-slip) dan perambatan ke darat tersebut sudah dimulai sejak
gempa Padang 30 September 2009 (Irwandi 2009). Serentetan musibah akibat gempa darat tersebut termasuk yang
terjadi pada tanggal 7 Desember 2016, gempa berkekuatan 6.5 Mw dengan epicenternya berada di 5.281 oN dan
96.108oE dengan kedalaman pusat gempabumi diperkirakan berada di sekitar 8.7 km (Sumber USGS). Gempa bumi
tersebut dirasakan hingga ke Banda Aceh, Medan dan beberapa kota lainnya di sebelah utara Pulau Sumatera.
Sampai dengan sore tanggal 7 Desember 2016, jumlah korban jiwa tercatat 102 meninggal dunia, 650 jiwa luka
berat/ringan, ribuan rumah mengalami kerusakan berat dan ringan. Kerusakan fisik pada bangunan pribadi, publik,
dan infrastruktur secara jelas dapat ditemukan di Tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Pidie Jaya (Pijay), Pidie, dan
Bireuen (Umar, M., Irwandi et.,al. 2017).

GEO - 129
Berdasarkan hasil pengamatan cepat, gempa telah menyebabkan banyak bangunan rubuh serta rusak. Kebanyakan
bangunan yang rubuh adalah bangunan yang berlantai lebih dari satu tingkat. Beberapa bangunan yang rubuh adalah
bangunan publik seperti bangunan sekolah/dayah, perguruan tinggi, masjid-masjid, ruko (rumah toko) dan pasar
serta fasilitas kesehatan seperti rumah sakit. Rumah-rumah masyarakat juga mengalami kerusakan berat, sedang dan
ringan, termasuk di dalamnya rumah-rumah masyarakat yang hanya berlantai satu seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 1. Oleh karena itu masyarakat khususnya lembaga atau perusahaan menuntut penyediaan peta bahaya
gempa bumi yang menjadi panduan untuk membuat bangunan yang tahan terhadap gempa bumi.

(a) (b) (c)


Gambar 1. Dampak kerusakan akibat gempa Pidie Jaya 7 Desember 2016 (dokumen pribadi)

2. SEJARAH PETA BAHAYA GEMPA BUMI


Pemerintah yang bekerjasama dengan para pakar gempa telah berupaya menyusun peta bahaya gempa bumi atau
lebih sering disebut Seismic Hazard Map. Pada tahun 1983 pertama sekali secara resmi pemerintah mengeluarkan
Peta Hazard Gempa Indonesia dalam Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung 1983 dan
membagi 8 tingkat bahaya gempa seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2 kiri yang merupakan pekerjaan dari
Beca Carter Hollings dan Ferner (1978). Pidie Jaya dan Banda Aceh secara berturut-turut diletakan pada kategori
wilayah 2 dan 3 (Gambar 2 kanan). Pada tahun 2002 kementerian Pekerjaan Umum mengeluarkan revisi peta
bahaya gempa yang berbasis pada perhitungan PSHA (Probabilistik Seismic Hazard Assessment) seperti yang
diperlihatkan pada gambar 3 kiri (SNI 03-1726-2002). Untuk peta tersebut Pidie Jaya dan Banda Aceh berada pada
wilayah 4 dengan nilai PGA 0.2g (Gambar 3 kanan). Setelah terjadi gempa dan tsunami 2004, pemerintah
melakukan kajian lebih lanjut untuk mengantisipasi gempa yang lebih besar sehingga dikeluarkan peta baru pada
tahun 2010 yang telah memasukan hasil kajian baru patahan besar Sumatra dan kategori untuk daerah Pidie Jaya
adalah berwarna hijau dengan PGA 0.2-0.25g dengan 10% probabilitas terlampaui selama 50 tahun untuk batuan
dasar tanpa efek amplifikasi. Bila peluang terlampaui dipersempit 2% sehingga sangat sulit terjadi dan kompilasi
nilainya diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai PGA berdasarkan perkembangan peta bahaya gempa nasional untuk tahun 1989, 2002, dan 2010.
Sedangkan nilai obsevasi PGA diturunkan dari nilai intensitas MMI (Modified Mercalli Intensity) maksimum untuk
gempa 26 Desember 2004 dan 7 Desember 2016.

Nilai PGA Untuk tahun: Observasi Frekuensi


Gempa
Lokasi\Tahun 1989 2002 2010, 10% 2010, 2% Intensity/PGA
Pidie Jaya Wilayah 3 Wilayah 4 Hijau muda Kuning X Jarang Gempa
0.20g 0.2-0.25g 0.4-0.5g >1.24g

Banda Aceh Wilayah 2 Wilayah 4 Cream Pink IX Sering Gempa


0.20g 0.3-04g 0.6-0.7g 0.65- 1.24g

GEO - 130
1983

Pijay: Wilayah Gempa-3


Banda Aceh : Wilayah gempa-2

Gambar 2. Peta gempa ini merupakan hasil studi oleh Beca Carter dalam kerjasama bilateral Indonesia-New
Zealand (Beca Carter Hollings dan Ferner, 1978, PU 1989)

2002

Pijay dan Banda Aceh:


Wilayah 4 Kuning
PGA 0,20 g
Gambar 3. Peta gempa hasil analisis probabilistik dari empat tim peneliti yang berbeda yang mewakili Perguruan
Tiggi, Depertemen Pekerjaan Umum,Pusat Penelitian Geologi, dan Konsultan (SNI 03-1726-2002).

2010

Pijay: Hijau, PGA 0,2-0.25 g


Bna:Cream, PGA 0,3-0.4 g
Gambar 4. Peta percepatan puncak (PGA) di batuan dasar (S B ) untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun.
Peta Hazard Gempa Indonesia 2010 (Irsyam et.,al. 2010, Tim Revisi Peta Gempa 2010).

GEO - 131
Usaha yang telah dilakukan pemerintah untuk memetakan bahaya gempa bumi, ternyata terpatahkan dengan
terjadinya gempa Pidie Jaya pada dini hari 7 December 2016 dengan magnitudo M6.5. Gempa tersebut
menghasilkan dampak kerusakan yang serius. Berdasarkan hasil pemantuan cepat yang penulis lakukan, terlihat ada
banyak lokasi yang dapat diperkirakan memiliki intensitas dampak gempa mencapai sepuluh (X) skala MMI yang
ditandai dengan bangunan dengan struktur rangka beton bertulang rusak berat serta pondas bangunan, pasir dan
lumpur bergeser secara horizontal termasuk di daerah pantai dan tanah yang datar. Bila mengacu pada klasifikasi
dari USGS (badan survey geologi Amerika) (Wald 1999) nilai PGA yang terkait intensiti X bisa melebihi 1.24g.
Nilai tersebut jauh dari nilai yang diperkirakan oleh peta gempa yang resmi dikeluarkan sejak ditandatangani oleh
kementrian Pekerjaan Umum 2010. Sedangkan untuk Banda Aceh intensitas goncangan gempa terkuat dirasakan
ketika gempa Sumatra Andaman 26 Desember 2004 dan bedasarkan hasil pengamatan kerusakan pada bangunan
tipe C yaitu bangunan dengan rangka kayu runtuh, beberapa kerusakan pada bangunan tipe B dan A yaitu bangunan
berdinding bata dengan dan tanpa konstruksi rangka beton bertulang,. Semua kerusakan bangunan yang terjadi tidak
sampai ke pondasi sehingga maksimum hanya mencapai intensitas IX skala MMI dan kisaran PGA terkait adalah
0.65- 1.24g, Dari hasil kompilasi semua informasi tersebut yang diperlihatkan pada Tabel 1 menunjukan estimasi
nilai PGA lebih besar di Banda Aceh daripada Pidie Jaya, namun hasil kenyataan dilapangan menujukan fakta
sebaliknya.

3. KERENTANAN BANGUNAN PIDIE JAYA DAN BANDA ACEH


Ungkapan “Bukan Gempa, tetapi Bangunan yang Membunuh” ini menujukan bahwa risiko gempa bumi dapat
dikurangi bila nilai kerentanan suatu bangunan dapat diperkecil. Hal ini sesuai dengan rumus yang banyak dikenal
dimana Risk = Hazard * Exposure * Vunaribility. Dalam hal gempa bumi vunaribility atau kerentanan menjadi hal
yang sangat peting karena hal tersebut terkait dengan membangun budaya ketahanan masyarakat terhadap bencana
gempa bumi (Building Community Resilience to Disasters). Daerah yang sering terjadi gempa masyarakatnya sesalu
memperhitungkan faktor kekuatan gempa ketika membangun suatu bangunan.
Masyarakat di kota Banda Aceh sering merasakan gempa sehingga dalam membangun suatu bangunan selalu
memperhatikan faktor kekuatan gempa dalam mendesain dan memilih bahan bangunan (Soviana et.,al.). Apalagi
setelah gempa Sumatra-Andaman 2004 banyak bangunan di Banda Aceh yang dibangun sangat tahan gempa seperti
yang diperlihatkan pada gambar 6. Hal yang sama juga kita temui di banyak negara, seperti Jepang kebanyakan
bangunan tahan gempa sehingga memiliki kerentanan terhadap gempa yang relatif kecil.
Bila diperhatikan bangunan yang hancur setelah gempa Pidie Jaya ada banyak jenis kerentanan yang terekspos
bangunan baik bagian struktur maupun bagian non-struktural bangunan seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5.
Ada banyak penyebab kegagalan struktur bangunan akibat gempa yang dapat dirangkum dari hasil pengamatan
cepat di lapangan. Kurang detailnya penulangan di daerah kritis tiang penyangga atau kolom atau di bagian
sambungan antara kolom dan balok menyebabkan kolom mengalami kerusakan di bagian ujung-ujungnya sehingga
tidak dapat menahan beban bangunan seperti yang terlihat dari Gambar 5a. Kegagalan struktur bangunan lainnya
dapat terjadi apabila kolom jauh lebih lemah dibandingkan balok bangunan (soft storey effect) sehingga kehancuran
terjadi pada daerah kolom, sedangkan balok bangunan masih terlihat utuh. Beberapa kegagalan bangunan adalah
ketidak mampuan struktur bangunan menahan tambahan beban akibat gempa dikarenakan struktur bawah bangunan
didesain tidak untuk penambahan beban lantai yang dibangun setelahnya. Banyak bangunan-bangunan ruko yang
dijadikan berlantai empat untuk peternakan burung Wallet. Pada beberapa pengamatan di lapangan, terdapat
penyimpangan-penyimpangan detail sambungan kolom dengan struktur banguanan lainnya seperti balok dan
pondasi. Fakta lainnya seperti kurangnya panjang penyaluran antara tulangan besi kolom dengan tulangan pondasi
di bawahnya. Sambungan antar tulangan besi kolom dan pondasi tepat berada di daerah kritis kolom yaitu di daerah
kira-kira sepanjang lebar kolom. Dan di kebanyakan kolom, terutama kolom-kolom di bagian terluar, terlihat
penanaman pipa-pipa untuk pembuangan air (talang air) yang berada di daerah inti kolom (Gambar 5b). Keberadaan
pipa-pipa talang itu mengurangi daerah inti beton sehingga kehancuran beton jauh sebelum kegagalan tulangan. Di
beberapa daerah kerusakan kolom terlihat besi tulangan membengkok tidak wajar akibat beban lateral. Mekanisme
gempa di Pidie Jaya adalah gempa geser sehingga sangat dominan gaya lateralnya. Sedangkan dinding yang tidak
didesian untuk menahan gaya lateral akan mengalami kehancuran non struktur (Gambar 5c).
Bangunan yang dipilih pada Gambar 6 belum dapat menggambarkan secara keseluruhan kerentanan bagunan di
Banda Aceh, namun hal itu menjadi contoh perbandingan yang dipilih untuk mengambarkan bagaimana masyarakat
dan pemerintah di Banda Aceh dalam mendesain suatu bangunan serius memperhitungkan faktor bahaya gempa
bumi. Gedung ICT (Information and Communication Technology) Center unsyiah merupakan contoh gedung yang
memiliki kerentangan yang sangat kecil selain struktur yang kuat dilengkapi dengan sistem Seismicosilated building.
Gedung TDMRC Unsyiah yang memiliki kolom yang besar namun masih tidak meletakan pipa pembuangan air di
dalamnya namun diletakan di luar tiang colom di gedung TDMRC Unsyiah. Bahkan ada bangunan diberikan besi
menyilang yang digunakan untuk menahan beben geser gambar 6c.

GEO - 132
(a) (b) (c)

Gambar 5. Struktur bangunan yang rentan terekspos akibat gempa 7 Decembar 2016 di Pidie Jaya: (a) Tiang
struktur yang kecil (b) pipa yang ditanamkan ke dalam tiang struktur (c) dinding tanpa ketahanan beban geser.

(a) (b) (c)


Gambar 6. Bangunan di Banda Aceh (a) Seismicosilated building di ICT Center Unsyiah, (b) Pipa diletakan di
luar tiang colom di gedung TDMRC Unsyiah, (c) Penahan beban geser di Pukesmas Lampenerut

4. URGENSI MENCARI PATAHAN AKTIF


Kenapa musibah harta benda dan korban jiwa akibat kerentanan bangunan yang tinggi bisa terjadi di Pidie Jaya,
apakah ini suatu kelalain?. Tentu tidak karena para peneliti yang dibentuk pemerintah pusat sudah bekerja begitu
keras untuk membuat peta tersebut yang mengikuti standar prosedur yang ada. Gambar 7-kiri memperlihatkan sesar
aktif yang telah diketahui dan digunakan untuk menghasilkan Peta Hazard Gempa Indonesia 2010 (Natawidjaja dan
Triyoso 2007). Namun letak permasalahannya adalah mencari sesar aktif bukan suatu pekerjaan mudah apalagi di
Indonesia yang merupakan tempat pertemuan tiga lempeng besar. Personil dan waktu yang terbatas tersebut tidak
mungkin meneliti semua sesar yang ada di Indonesia, sehingga banyak sesar aktif yang luput dari pengamatan.

GEO - 133
Bila mengacu kepada beberapa literatur dari peneliti geologi yang telah serius melakukan eksplorasi minyak bumi
dan barang tambang lainnya, jauh sebelum dibuat peta bahaya gempa bumi 2010 telah terpetakan adanya
percabangan dari patahan besar Sumatra, misalnya Patahan Samalanga-Sipopok dan Patahan Lhoksemawe yang
diteruskan ke patahan Lokop-Kotacane (gambar 8 kanan). Namun kenapa sesar aktif tersebut dilupakan dalam
pembuatan peta gempa bahaya gempa nasional 2010 (gambar 7 kanan)? Ini masih merupakan pertanyaan tersendiri
bagi penulis. Memang memetakan patahan aktif bukan merupakan pekerjaan yang mudah, ditambah lagi frekuensi
gempa untuk sesar cabang relatif lebih kecil dibandingkan dengan gempa yang dihasilkan oleh sesar utamanya.
Bila kita perhatikan sesar di luar Aceh di pulau Sumatra, dari segmen sesar Semangko di lampung hingga ke segmen
sesar Renun di Tanah Karo, Sumatra Utara tidak menunjukan adanya pola percabangan seperti apa yang terjadi di
Aceh (gambar 7 kiri). Kenapa daerah Aceh memiliki keistimewaan dari sisi patahan gempa buminya? Hal ini bisa
terjawab bila kita sedikit jeli melihat penyelesaian akhir dari ujung-ujung garis lurus dari sesar besar Sumatra,
dimana yang paling selatan di Lampung hingga paling utara di Aceh. Pada daerah yang paling selatan berada di
daerah kerak bumi yang relatif lunak yang ditunjukan dengan aktifitas volkanik yang tinggi dari gunung Krakatau,
sehingga ujung sesar besar Sumatra dapat dengan mudah berhenti di kerak bumi yang lunak tersebut. Namun tidak
pada daerah yang paling utara aktifitas volkaniknya relatif tidak tinggi sehingga sesar besar Sumatra harus
diteruskan hingga ke zona lunak berikutnya. Dan bila kita perhatikan lebih jauh hingga ke dasar laut Andaman
ternyata aktifitas volkaniknya sangat tinggi dengan adanya Mergui Ridge (gunung api dasar laut). Ternyata Mergui
Ridge tersebut tidak segaris dengan sesar besar Sumatra dan justru mengarah ke gempa yang terjadi di Pijay
(gambar 8 kanan). Bahkah Petersan (2004) dalam membuat peta bahaya gempa Sumatra sengaja tidak memasukan
perhitungannya untuk daerah Aceh karena kerumitan tersebut. Inilah penyebab kenapa percabangan gempa menjadi
penting diperhitungkan untuk daerah Provinsi Aceh.
Pemetaan patahan aktif dapat dilakukan dengan beberapa tahapan yang dimulai dari kajian geomofologi untuk
melihat indikasi kehadiran patahan aktif dan dilanjutkan dengan pengamatan secara rinci. Gambar 8 (kiri)
Memperlihatkan kajian geomorfologi yang telah dilakukan oleh tim Jepang dan Unsyiah (Tabei et. Al 2015) di sesar
utama Sumatra. Karena efek percabangan sesar utama Sumatra maka sangat urgen untuk melakukan kajian
geomorfologi di bagian timur Sumatra.

Gambar 7. Peta Tektonik dan sesar aktif di Indonesia (Irsyam et.,al. 2010, Tim Revisi Peta Gempa 2010).

GEO - 134
Gambar 8. (kiri) Kajian geomorfologi yang telah dilakukan oleh tim Jepang dan Unsyiah (Tabei et. Al 2015) di
sesar utama Sumatra. (Kanan) Bila dilihat dari skala yang lebih luas maka ujung pulau Sumatera memiliki cabang
yang bersabung ke Mergui Basin (Chakraborty & Khan 2009, Curray 2005).

5. PEMBAHARUAN METODE SEISMIC HAZARD ASSESSMENTS


Pembuatan peta bahaya gempa memiliki tantangan yang tidak mudah, selain sulitnya menentukan patahan aktif juga
terdapat banyak tahapan dalam melakukan seismic hazard analysis. Misalnya penggunaan persamaan atenuasi
secara umum pada pembuatan peta berbasis probabilitik (PSHA) masih terdapat kelemahan bila dibandingkan
dengan langsung melakukan perhitungan perambatan gelombang gempa itu sendiri. Bahkan sebagian persamaan
atenuasi tidak memperhatikan informasi mekanisme gempa itu sendiri (focal mechanism), sehingga harus dipilih
yang sesuai dengan sumber-sumber gempa Indonesia. Pengembangkan Neo Deterministic Seismic Hazard
Assessment (NDSHA) (Panza et. al. 2012, Zuccolo et., al. 2011) telah dilakukan di Italia dimana dalam perhitungan
bahaya gempa telah melibatkan informasi geologi, geofisika, dan mekanisme gempa.
Pembaharuan peta bahaya gempa bumi yang lebih akurat diperlukan oleh Pemda Aceh, konsultan, dan masyarakat,
sebagai upaya mitigasi bencana gempa bumi. Keakuratan peta tersebut diperoleh karena metode yang digunakan
lebih komprehensif karena menggabungkan informasi patahan aktif, model geologi, mekanisme gempa yang
dihitung secara neo-deterministik NDSHA dalam skala regional Aceh dan skala local untuk beberapa kota seperti
Banda Aceh, Pidie Jaya, Langsa, dan kota penting lainnya yang padat penduduk (urban area).

6. KESIMPULAN
Tingginya tuntutan dan tantangan untuk menghasilkan peta bahaya gempabumi seharusnya mendapatkan suatu
perhatian yang lebih serius dengan memperhatikan penelitian yang terkait dengan kegempaan. Diharapkan adanya
perhatian serius dari pemerintah untuk kajian tentang penelitian bahaya gempa bumi sebagai usaha mitigasi bencana
di Indonesia yang merupakan titik pertemuan tiga lempeng tektonik besar dunia. Suatu hal yang sangat mendesak
dan urgen adalah untuk dilakukan kajian geomorfologi di bagian timur Sumatra untuk mengidentifikasi sesar aktif
dari percabangan sesar besar Sumatra.
Selain mengenal potensi bencana tersebut, hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana mensosialisasikan hasil
penelitian dalam bentuk building code yang baru dengan mempertimbangkan peta bahaya gempa bumi kepada
masyarakat, pemerintah, dan konsultan. Perlu adanya pengawasan pembangunan untuk gedung publik yang
bertingkat.

GEO - 135
DAFTAR PUSTAKA
Beca, Carter, Hollings, and Ferner (1978). Indonesian Earthquake Study (6 volumes), Wellington, New Zealand
(unpublished).
Curray, J.R. (2005). Tectonics and History of the Andaman Sea Region. Journal of Asian Earth Sciences, 25(1),
187-232
Chakraborty, P. P., & Khan, P. K. (2009). Cenozoic geodynamic evolution of the Andaman–Sumatra subduction
margin: Current understanding. Island Arc, 18(1), 184-200.
Irsyam, M., Sengara, W., Aldimar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W., Natawidjaja, D.H., Kertapati, E., Meilano, I.,
Asrurifak, M., Suhardjono, and Ridwan, M. (2010). Summary of Study: Development of Seismic Hazard
Maps of Indonesia for Revision of Hazard Map in SNI 03-1726-2002. Indonesia Seismic Hazard Map
Revision Team.
Irwandi (2009). Gempa Padang Akan Memicu Gempa Darat di Aceh? Selisik KONTRAS No. 521 Tahun XI 24-30
Desember 2009.
Irwandi (2017). Advantages of Realistic Model Based on Computational Method: NDSHA versus Standard PSHA.
IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 56 (2017) doi:10.1088/1755-1315/56/1/012007.
Ito, T., Gunawan, E., Kimata, F., Tabei, T., Simons, M., Meilano, I., Agustan, Ohta, Y., Nurdin, I., and Sugiyanto,
D. (2012). Isolating along-strike Variations in the Depth Extent of Shallow Creep and Fault Locking on the
Northern Great Sumatran Fault. J. Geophys. Res.: Solid Earth 117 (B6), 1978–2012.
Natawidjaja, Hilman, D., and Triyoso, W. (2007). The Sumatran Fault Zone-From Source To Hazard. Journal Of
Earthquake and Tsunami, Vol. 1, No. 1 (2007) 21–47.
Panza, G.F., Mura, C.L., Peresan, A., Romanelli, F., and Vaccari, F. (2012). Seismic Hazard Scenarios as
Preventive Tools for a Disaster Resilient Society. Chapter Three. Advances in Geophysics. Vol. 53, 2012, pp.
93–165.
Petersen, M.D., Dewey, J., Hartzell, S., Mueller, C., Harmsen, S., Frankel, A., and Rukstales, K. (2004).
Probabilistic Seismic Hazard Analysis for Sumatra, Indonesia and across the Southern Malaysian Peninsula.
Tectonophysics, 390(1), 141-158.
PU (Departemen Pekerjaan Umum), Ditjen Cipta Karya, Direktorat Masalah Bangunan. (1983). Peraturan
Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung.
Soviana, Widya, Abdullah, Syamsidik. (2015). Analisis Kerentanan Bangunan Gedung dalam Menghadapi Bencana
Tsunami di Kecamatan kuta Alam Banda Aceh. Jurnal Penanggulangan Bencana. Volume 6. Nomor 1. Tahun
2015.
Standar Nasional Indonesia (SNI) (2002). Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung (SNI
03-1726-2002), Badan Standardisasi Nasional.
Tabei, T., Kimata, F., Ito, T., Gunawan, E., Tsutsumi, H., Ohta, Y., Yamashina, T., Soeda, Y., Ismail, N., Irwandi
Nurdin and Sugiyanto, D. (2015). Geodetic and Geomorphic Evaluations of Earthquake Generation Potential
of the Northern Sumatran Fault, Indonesia.
Tim Revisi Peta Gempa (2010). Peta Hazard Gempa Indonesia 2010 Sebagai Acuan Dasar Perencanaan dan
Perancangan Infrastruktur Tahan Gempa. Indonesia
Umar, M., Irwandi, Munadi, K., Meilianda, E., Idris, Y., Rusydy, I. Nugroho, A., Setiawan, I., Syamsidik, Al'ala,
M., dan Fachrurrazi (2016). Laporan Kaji Cepat Universitas Syiah Kuala Terhadap Gempa Bumi 6.5 Mw
Tanggal 7 Desember 2016 Disekitar Pidie Jaya-Aceh. Satuan Tugas Pemulihan Gempa Pidie Jaya. Universitas
Syiah Kuala. Meureudu, 17 Desember 2016.
Wald, D.J., Quitoriano, V., Heaton, T.H., and Kanamori, H. (1999). Relationships between Peak Ground
Acceleration, Peak Ground Velocity, and Modified Mercalli Intensity in California. Earthquake Spectra:
August 1999, Vol. 15, No. 3, pp. 557-564.
Zuccolo, E., Vaccari, F., Peresan, A., and Panza, G.F. (2011). Neo-Deterministic and Probabilistic Seismic Hazard
Assessments: a Comparison over the Italian Territory. Volume 168, Numbers 1-2 / January 2011.

GEO - 136
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

KEMAMPUAN BAMBU PETUNG MENERIMA TEKANAN TANAH LATERAL


PADA TANAH NON KOHESIF DENGAN MUKA AIR TINGGI

Kurniadi Wahyudianto1, Yusep Muslih Purwana2, dan Niken Silmi Surjandari2

1
PT Wijaya Karya
Email: adhujugaa@gmail.com
2
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: ymuslih@yahoo.com
2
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: nikensilmisurjandari@gmail.com

ABSTRAK
Tekanan lateral tanah dengan muka air tinggi relatif lebih besar dibanding di lokasi kering. Pada
kondisi ini galian struktur bawah di tanah memerlukan konstruksi dinding penahan supaya tidak
longsor. Mateial yang diperlukan harus memiliki kriteria aman, mudah didapat, mudah
pelaksanaan, dan biaya relatif murah. Bambu petung (Dendrocalamus asper) merupakan salah
satu material bahan bangunan yang mudah diperoleh di Indonesia, mempunyai sifat mekanika
yang baik, dan harganya relatif murah dibanding material lain dengan fungsi sejenis. Penelitian
ini bertujuan mengkaji kemampuan bambu petung sebagai material konstruksi dinding penahan
galian dalam menerima tegangan yang terjadi akibat tekanah tanah lateral pada kondisi tanah
non kohesif dengan muka air tanah tinggi. Data yang diambil adalah data sekunder tanah non
kohesif. Analisis data yang dilakukan meliputi analisis beban, analisis tekanan tanah lateral,
dan analisis kekuatan bambu petung dengan memeriksa kemampuan menahan tegangan dan
lendutan yang terjadi. Hasil analisis menunjukkan bahwa bambu petung mampu menahan
tekanan tanah lateral pada kondisi tanah non kohesif dengan muka air tinggi, sampai kedalaman
galian 6m, dengan panjang bambu hingga 1m.
Kata kunci: bambu petung, tekanan lateral, tanah non kohesif

1. PENDAHULUAN
Pelaksanaan bangunan konstruksi bawah seringkali membutuhkan galian tegak. Agar tidak terjadi longsor dalam
pelaksanaannya perlu diperkuat dengan konstruksi dinding penahan sementara yang umumnya menggunakan
steel sheet pile. Penelitian ini menawarkan penggunaan material bambu petung (Dendrocalamus asper) sebagai
bahan dinding penahan galian tegak sementara. Pemilihan material ini didasarkan atas kemudahan mendapatkan
material bambu petung di pasar tradisional Indonesia dengan harga relatif murah. Pelaksanaan pekerjaannya
dapat menggunakan peralatan yang relatif lebih sederhana dengan waktu pelaksanaan yang relatif cepat.
Bambu petung atau material dengan nama latin Dendrocalamus asper, merupakan jenis bambu yang
amat kuat (Morisco, 1999) dan memiliki kuat tarik rata-rata lebih besar dari 5 jenis bambu lain yang umum ada
di Indonesia (Hakim, 1987). Di Indonesia material bambu petung banyak dimanfaatkan karena mudah
didapatkan di pasaran bahan bangunan dengan harga yang relatif murah. Penelitian ini meneliti kemampuan
bambu petung yang diaplikasikan dalam konstruksi dinding kombinasi profil baja IWF dengan bambu petung,
pada kondisi tanah non kohesif dengan muka air tanah tinggi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
referensi untuk pembangunan konstruksi yang membutuhkan pelindung galian tegak sementara.

2. METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan lokasi samping di daerah Palur. Asumsi beban tambahan di luar dinding
penahan diambil dengan mengacu pada lokasi proyek Flyover Palur, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Lokasi studi kasus dapat dilihat di Gambar 1.

GEO - 137
Gambar 1. Lokasi sampling (sumber : Google Earth)
Pengumpulan data
Penelitian ini menggunakan asumsi dan data sekunder dari literatur dan hasil-hasil kajian dari beberapa peneliti
terdahulu. Data sekunder yang digunakan adalah data beban, data tanah, dan data material bambu petung. Data
beban yang dimaksud adalah asumsi beban yang bekerja pada tanah pondasi diluar dinding turap (asumsi beban
lalu lintas, alat berat dan mesin yang bekerja di samping galian) serta tinggi muka air tanah. Data parameter
tanah yang digunakan adalah data tanah non kohesif. Data properties material yang digunakan adalah parameter
material bambu petung.
Cara penelitian
Penelitian menganalisis kekuatan bahan dari material bambu petung yang diaplikasikan pada desain dinding
penahan galian dengan kombinasi baja IWF dan bambu petung. Tiang profil baja IWF dipancang dengan jarak
tertentu (menjadi variabel panjang bambu dengan jarak sampling : 0,5m; 1m; 1,5m; 2m) dengan kedalaman
galian sesuai kebutuhan (menjadi variabel dengan kedalaman galian sampling : 2m; 3m; 4m; 5m; 6m). Antara
tiang profil baja tersebut disusun bambu petung secara melintang dari bawah ke atas, dengan diameter lebih
kurang 15 cm dan tebal 1 cm. Untuk menahan rembesan air tanah, perlu ditambah material pelapis kedap air di
sisi dalam susunan bambu. Sebagai perkuatan dipasang walling beam melintang, dari baja IWF. Dan walling
beam tersebut akan ditopang oleh profil baja penopang. Diasumsikan peletakan bambu pada profil baja
merupakan peletakan sendi-sendi.

Tegangan aktif yang disimulasikan dalam kajian ini ada 3 macam, yaitu : tegangan akibat tekanan tanah di
belakang dinding penahan (a1), tegangan akibat beban merata yang ada (a2), tegangan akibat muka air tanah
(a3). Tekanan pasif yang timbul diabaikan. Asumsi perhitungan dalam desain ini mirip dengan perhitungan
perencanaan dinding bekisting. Tekanan horisontal dan momen guling yang terjadi (akibat tekanan tanah dan
tekanan air setinggi kedalaman galian ditambah beban tambahan di luar dinding penahan akibat lalu lintas dan
beban alat kerja) akan ditahan oleh dinding bambu petung dan tiang baja. Selanjutnya beban tersebut diteruskan
ke konstruksi walling beam dan terakhir akan diterima oleh konstruksi baja penopang.

Dalam penelitian ini dilakukan beberapa macam analisis, yaitu : 1) analisis beban tambahan di luar dinding
penahan; 2) analisis tegangan tanah pada dinding penahan; 3) analisis properties bambu petung (kontrol
tegangan dan lendutan). Dalam penelitian ini dibatasi hanya menganalisis sampai dengan kekuatan (keamanan)
material bambu petung dengan dimensi diameter luar 15cm dan tebal 1cm, untuk menahan tegangan dan
lendutan yang terjadi, pada kondisi tanah non kohesif dengan muka air tanah 2m dibawah permukaan tanah rata-
rata. Perhitungan kekuatan lapisan kedap air serta kekuatan tiang baja maupun baja penopang tidak dikaji dalam
penelitian ini.

Analisis data pembebanan yang bekerja pada tanah pondasi diluar dinding turap diperkirakan sebesar 2 t/m2
(asumsi beban lalu lintas, alat berat dan mesin yang bekerja di samping galian sesuai kondisi pelaksanaan

GEO - 138
proyek Flyover Palur). Muka air tanah diasumsi 1m dibawah permukaan tanah. Sedangkan analisis data tanah
menggunakan metode perhitungan cara Rankine.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Tambahan beban yang bekerja pada tanah pondasi diluar dinding turap diperkirakan sebesar = 2 t/m2 (asumsi
untuk mengakomodir beban lalu lintas, alat berat dan mesin yang bekerja di samping galian, mengacu pada
kondisi di proyek Flyover Palur). Muka air tanah diasumsi 1m di bawah permukaan tanah rata-rata. Data tanah
dibuat variabel dengan parameter properties rata-rata untuk jenis tanah non kohesif. Untuk mendapatkan
parameter properties rata-rata dari jenis tanah non kohesif, mengacu dari hasil penelitian ataupun referensi
pustaka yang telah ada.

Dari hasil beberapa penelitian dan pustaka yang ada, ditinjau dari konsistensi tanah, didapat tabel parameter data
tanah non kohesif (Tabel 1).
Tabel 1. Parameter Data Tanah Non Kohesif
Konsistensi Tanah Very Medium
Loose Dense Very Dense
Loose Loose
Meyerhof N SPT <4 4 - 10 10 - 30 30 - 50 > 50
(1965)  o
< 30 30 - 35 35 - 40 40 - 45 > 45
N blow/m 0 - 10 11 - 30 31 - 50 > 50
Whilliam
 kN/m3 12 - 16 14 - 18 16 - 20 18 – 23
(1962)
 o
25 - 32 28 - 36 30 - 40 > 35
Terzaghi &
N blow/m 0-4 4 - 10 10 - 30 30 - 50 > 50
Peck (1948)
Budhu sat kN/m3 18 - 22
(2000) dry kN/m3 13 – 17
fs kN/m2 0,2 0,1 – 0,4 1,5 1-3 1–2
 o
30 - 40
Das
Pasir Pasir padat, Pasir padat,
(1998) Pasir Pasir agak
Klasifikasi sangat pasir pasir
lepas padat
lepas kelanauan kekerikilan

Nilai parameter tanah non kohesif yang digunakan merujuk dari hasil yang tersaji dalam Tabel 1. Nilai sat
digunakan 20 kN/m3, yang merupakan rata-rata dari rentang nilai 18 kN/m3 – 22 kN/m3 (Budhu, 2000). Nilai
sudut geser () digunakan nilai 25 o, 33 o dan 40 o; yang merupakan rentang nilai 25o – 40o (Whilliam, 1962).
Nilai kohesi (c) diabaikan.

Parameter properties material bambu petung didapat dari beberapa hasil penelitian dan pustaka yang telah
dilakukan peneliti-peneliti terdahulu. Hasil penelitian tersebut terangkum dalam Tabel 2.

Tabel 2. Parameter Kemampuan Material Bambu Petung


Siopongco dan
Parameter Kemampuan Hakim Morisco Budi, A.S. Munandar (1987)
Material Bambu Petung (1987) (1999) (2013) dalam Morisco
(1999)
Kuat Tarik kg/cm2 3.958,23 1.770 – 2.278 1.180 - 2.750
Kuat Lentur kg/cm2 785 - 1.960
Kuat Tekan kg/cm2 2.769 – 5.479 499 - 588
Tensille Strenght kg/cm2 2.454,49
E tarik kg/cm2 87.280 - 313.810

Tolok ukur kuat lentur rata-rata bambu petung mengacu pada hasil pengujian yang disajikan pada (Tabel 2).
Dari Tabel 2 digunakan nilai batas terbawah, didapat dari hasil penelitian Siopongco dan Munandar (1987).
Hasil tersebut merupakan hasil pengujian yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman
Departemen Pekerjaan Umum pada 3 spesies bambu yang umum di Indonesia, yakni bambu apus (Gigantochloa
apus), bambu wulung (Gigantochloa verticillata) dan bambu petung (Dendrocalamus asper).

GEO - 139
Menggunakan teori Rankine, berdasarkan data beban dan data parameter tanah non kohesif, dilakukan analisis
tekanan tanah yang terjadi untuk masing-masing variabel kedalaman galian (2m; 3m; 4m; 5m; dan 6m). Setelah
diperoleh data tekanan tanah yang terjadi, tekanan tanah tersebut didistribusikan ke material bambu petung,
untuk dianalisis tegangan yang terjadi akibat tekanan tanah tersebut dengan variabel panjang bambu. Adapun
distribusi tegangan tanah dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Distribusi tegangan tanah

Menggunakan teori Rankine dapat dihitung koefisien tanah aktif (Ka). Berikutnya dihitung tegangan tanah aktif
akibat tanah di belakang dinding (a1), tegangan tanah aktif akibat muka air (a2) dan tegangan tanah aktif
akibat beban tambahan (a3).
(1)

(2)
(3)
(4)

Nilai  merupakan besarnya sudut geser dalam. Nilai  merupakan besaran berat volume tanah dan air
merupakan nilai berat volume air. Nilai H menunjukkan kedalaman galian, sedang nilai h air merupakan
kedalaman muka air tanah sampai dasar galian. Nilai c adalah besaran kohesi tanah (c diabaikan) dan nilai q
menunjukkan besaran tambahan beban yang bekerja pada tanah pondasi diluar dinding turap (asumsi q = 2
t/m2).
Detail distribusi tegangan tanah pada bambu disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Detail distribusi tegangan tanah pada bambu

Dengan asumsi peletakan bambu pada tiang profil baja IWF merupakan peletakan sendi-sendi, dapat dicari
besar momen maksimal yang dapat terjadi pada material bambu tersebut. Material bambu yang digunakan
berdimensi diameter luar (D = 15 cm) dan diameter dalam (d = 1 cm). Dari data tersebut dapat dicari tegangan
yang terjadi pada material bambu, dan dilakukan pengecekan terhadap tegangan lentur rata-rata untuk material
bambu petung sebesar 785 kg/cm2 (Siopongco dan Munandar, 1987 dalam Morisco, 1999).
Untuk mencari besar momen maksimal pada peletakan sendi-sendi, menggunakan rumus :

GEO - 140
(5)
Nilai Mn adalah besar momen maksimal, L merupakan panjang pias bambu (variabel)dan Q merupakan
komulatif beban merata yang diterima bambu (Sunggono, 1995 ; Frick, 1981). Rumus yang digunakan untuk
mencari Q adalah:
Q = z.D = (a1 + a2 + a3).D (6)
Nilai z merupakan tegangan maksimal yang terjadi di kedalaman H, dan D merupakan diameter luar bambu.
Untuk mencari tegangan yang terjadi menggunakan rumus :
(7)

Nilai  merupakan besaran tegangan yang terjadi, dan W merupakan momen lawan untuk material bambu
(Sunggono, 1995 ; Frick, 1981). Safety factor untuk perhitungan tegangan digunakan nilai 1,2.
Sebagai kontrol keamanan konstruksi ditinjau dari tegangan yang terjadi, dilakukan pengecekan terhadap
tegangan lentur rata-rata untuk material bambu petung sebesar 785 kg/cm2 (Siopongco dan Munandar, 1987
dalam Morisco, 1999).

Kontrol keamanan selanjutnya adalah ditinjau dari lendutan yang terjadi. Batasan lendutan ijin (f max) digunakan
(1/300)L sesuai standarisasi konstruksi kayu, dimana fmax adalah nilai lendutan maksimal yang diijinkan dan L
merupakan bentang kayu (Sunggono, 1995 ; Frick, 1981). Untuk menghitung lendutan yang terjadi
menggunakan rumus :
(8)
Nilai f merupakan besar lendutan yang terjadi dengan asumsi peletakan bambu merupakan peletakan sendi-sendi
(Frick, 1981). Q merupakan beban yang terjadi dan L merupakan panjang bambu. Nilai E merupakan modulus
elastisitas material bambu dan I merupakan besar momen inersia bambu. Digunakan E = 87.280 kg/cm 2 sesuai
Tabel 2 (Siopongco dan Munandar, 1987 dalam Morisco, 1999). Untuk menghitung I, asumsi material bambu
disimilarkan dengan bentuk pipa (Frick, 1981), menggunakan rumus :
(9)
Nilai D merupakan diameter luar bambu dan nilai d merupakan diameter dalam bambu.

Sebagai kontrol keamanan terhadap lendutan, hasil lendutan yang terjadi dibandingkan dengan lendutan ijin
untuk masing-masing panjang bambu, yakni :
- Lendutan ijin untuk panjang bambu L = 0,5 m adalah (1/300). 50cm = 0,166 cm
- Lendutan ijin untuk panjang bambu L = 1,0 m adalah (1/300). 100cm = 0,333 cm
- Lendutan ijin untuk panjang bambu L = 1,5 m adalah (1/300). 150cm = 0,500 cm
- Lendutan ijin untuk panjang bambu L = 2,0 m adalah (1/300). 200cm = 0,666 cm
Hasil dari analisis tegangan dan lendutan yang terjadi, terangkum dalam Tabel 3.

Tabel 3. Tabel nilai tegangan dan lendutan yang terjadi untuk masing-masing kedalaman

Dalam  = Tegangan (kg/cm2) f = Lendutan (cm)


Galian
(H) L = 0,5 L = 1,0 L = 1,5 L = 2,0 L = 0,5 L = 1,0 L = 1,5 L = 2,0
m m m m m m m m
20,23 80,91 182,04 323,63 0,0067 0,1073 0,5432 1,7166
2m Aman Aman Aman Aman Aman Aman Tidak Tidak
Aman Aman
28,91 115,65 260,21 462,60 0,0096 0,1534 0,7764 2,4538
3m Aman Aman Aman Aman Aman Aman Tidak Tidak
Aman Aman
37,60 150,39 338,38 601,56 0,0125 0,1994 1,0096 3,1909
4m
Aman Aman Aman Aman Aman Aman Tidak Tidak

GEO - 141
Aman Aman
46,28 185,13 416,55 740,53 0,0153 0,2455 1,2428 3,9280
5m Aman Aman Aman Aman Aman Aman Tidak Tidak
Aman Aman
54,97 219,87 494,71 879,49 0,0182 0,2916 1,4761 4,6651
6m Aman Aman Aman Tidak Aman Aman Tidak Tidak
Aman Aman Aman
Catatan : warna merah menunjukkan hasil analisis melebihi batas ijin yang disyaratkan

Berdasarkan hasil analisis tegangan, akan didapat grafik hubungan kedalaman galian vs panjang bambu yang
diijinkan untuk konstruksi dinding penahan galian di tanah non kohesif, ditinjau dari tegangan yang terjadi,
sebagaimana ditampilkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik hubungan kedalaman galian vs panjang bambu yang diijinkan untuk konstuksi dinding
penahan galian di tanah non kohesif ditinjau dari tegangan yang terjadi

Berdasarkan hasil analisis lendutan, akan didapat grafik hubungan kedalaman galian vs panjang bambu yang
diijinkan untuk konstruksi dinding penahan galian di tanah non kohesif, ditinjau dari lendutan yang terjadi,
sebagaimana ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik hubungan kedalaman galian vs panjang bambu yang diijinkan untuk konstuksi dinding
penahan galian di tanah non kohesif ditinjau dari lendutan yang terjadi

GEO - 142
Berdasarkan grafik tersebut, asumsi kondisi beban tambahan (q) sebesar 2 t/m2 untuk lokasi dengan jenis tanah
pasir non kohesif dengan muka air tanah 1m dibawah permukaan tanah rata-rata , dengan kajian keamanan
ditinjau dari tegangan yang terjadi dibandingkan tegangan lentur bambu petung, dan menggunakan material
bambu petung dengan diameter luar (D = 15cm) dan diameter dalam (d = 1cm), didapat bahwa :
a. Untuk panjang pias bambu (L) sebesar 0,5m, ditinjau dari segi tegangan dan lendutan yang terjadi,
konstruksi masih aman untuk kedalaman galian (H) sampai 6m.
b. Untuk panjang pias bambu (L) sebesar 1m, ditinjau dari segi tegangan dan lendutan yang terjadi,
konstruksi masih aman untuk kedalaman galian (H) sampai 6m.
c. Untuk panjang pias bambu (L) sebesar 1,5m, ditinjau dari segi tegangan yang terjadi, konstruksi masih
aman untuk kedalaman galian (H) sampai 6m. Tetapi ditinjau dari segi lendutan yang terjadi,
konstruksi tidak aman untuk kedalaman galian lebih dari 2m.
d. Untuk panjang pias bambu (L) sebesar 2m, ditinjau dari segi tegangan yang terjadi, konstruksi masih
aman untuk kedalaman galian (H) sampai 5m. Tetapi ditinjau dari segi lendutan yang terjadi,
konstruksi tidak aman untuk kedalaman galian lebih dari 2m.

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil analisis, ditinjau dari kemampuan menahan tegangan yang terjadi, didapatkan bahwa material bambu
petung dengan diameter 15cm dan tebal 1cm layak dan aman digunakan sebagai material alternatif konstruksi
penahan galian pada tanah non kohesif, untuk kedalaman galian sampai dengan 6 meter dengan panjang bambu
hingga 1m. Diharapkan hasil analisis ini dapat bermanfaat bagi praktisi yang memerlukan alternatif desain guna
menahan ancaman longsoran dari konstruksi galian tegak.
Perlu dilaksanakan penelitian sejenis untuk mengetahui pengaruh variabel dimensi terhadap tegangan dan
lendutan yang terjadi, serta pengaruh perlakuan pengawetan material terhadap durasi ketahanan material bambu
petung. Serta perlu dilakukan penelitian kekuatan lapisan kedap air yang digunakan sebagai pelapis dinding agar
tidak terjadi rembesan air tanah ke lokasi galian.

DAFTAR PUSTAKA

Budhu, Muni. (2000). Soil Mechanics and Foundations. John Willey & Sons, NewYork.
Budi, A.S., Sambowo, K.A., and Kurniawati, I. (2013). “Model Balok Beton Bertulangan Bambu Sebagai
Pengganti Tulangan Baja”. Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil 7, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta, 24 Oktober 2013, S 245-252.
Das, B.M. (1998). Mekanika Tanah : Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknis Jilid 1 (Terjemahan). Erlangga,
Jakarta.
Das, B.M. (1998). Mekanika Tanah : Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknis Jilid 2 (Terjemahan). Erlangga,
Jakarta.
Fahrina, R. (2014). “Pemanfaatan Bambu Betung Bangka Sebagai Pengganti Tulangan Balok Beton
Bertulangan Bambu”. Jurnal Fropil, Vol 2 Nomor 1, p 56-68.
Frick, H. (1981). Ilmu Konstruksi Bangunan Kayu. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Hakim, A. (1987). Pengujian Beberapa Sifat Fisika dan Mekanika Enam Jenis Bambu Dalam Kondisi Segar.
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Unpublished.
Handayani, S. (2007). “Pengujian Sifat Mekanik Bambu (Metode Pengawetan Dengan Boraks)”. Jurnal Teknik
Sipil dan Perencanaan, Vol 9 Nomor 1, p 43-53.
Hardiyatmo, H.C. (2012). Mekanika Tanah 1. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hardiyatmo, H.C. (2012). Mekanika Tanah 2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Irsyam, M. (2012). Rekayasa Pondasi. Penerbit ITB, Bandung.
Lambe, T.C., dan Whitman, R.V. (1969). Soil Mechanics. John Wiley Sons, NewYork.
Mayerhof, G.G. (1965). “Shallow Foundation”. Journal ASCE, Soil MechanicFoundation Div, vol. 91, No.
SM2.
Morisco. (1999). Rekayasa Bambu. Penerbit Nafiri, Yogyakarta.
Permono, D.S. (2010). Kekakuan Lentur Balok Bambu Petung (Dendrocalamus asper). Tesis Program Studi S2
Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Unpublished.
Sunggono. (1995). Buku Teknik Sipil, Nova, Bandung.
Wahyudianto, K. (2017). “Penggunaan Bambu Petung Sebagai Alternatif Material Konstruksi Dinding
Penahan Galian Pada Kondisi Tanah Non Kohesif”. Jurnal Muara, Vol 1 No 1, hlm 175-183.
Wahyudianto, K. (2017). Bambu Petung Sebagai Alternatif Material Dinding Penahan Tanah Pada Galian
Tegak. Tesis Program Studi S2 Teknik Sipil Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Unpublished.

GEO - 143
Widha. (2010). Perencanaan Teknik Fly Over Palur (Paket 4). SNVT Perencanaan & Pengawasan Jalan dan
Jembatan Provinsi Jawa Tengah Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum,
Semarang. Unpublished.
Zayadi, R. (2013). “Evaluasi Pergerakan Dinding Penahan Tanah Pelaksanaan Galian Dalam Pada Tanah
Lunak di Jakarta”. Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil 7, 24 Oktober 2013, G 183-191.

GEO - 144
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

UJI KOMPAKSI DAN CBR DENGAN CARA MANUAL DAN OTOMATIS


PENGARUHNYA PADA NILAI CBR, DAN KEPADATANNYA

Aniek Prihatiningsih 1, Gregorius Sandjaja Sentosa 2, dan Djunaidi Kosasih3

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara, Jl. Let.Jen S. Parman 1 Jakarta
Email: aniekp@ft.untar.ac.id
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara, Jl. Let.Jen S. Parman 1 Jakarta
Email: gregoriuss@ft.untar.ac.id
3
Departemen Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung, Jl. Takkesasar 10, Bamndung
Email: drkosasih@gmail.com

ABSTRAK
Uji kompaksi dan CBR di laboratorium biasa dilakukan secara manual, dan akhir-akhir ini
pengujian secara otomatispun sering dilakukan. Ketidak konsistenan data hasil uji menyebabkan
peneliti tertarik untuk meneliti perbedaan yang antara pengujian yang dilakukan dengan cara manual
dan otomatis. Pengujian kompaksi akan dilakukan untuk metode standar dan modifikasi, sedangkan
pengujian CBR akan dilakukan pada tanah yang dipadatkan terlebih dahulu secara standar dan
modifikasi. Hasil akhir dari penelitian ini akan dilihat pengaruh nilai CBR, kadar air, dan berat isi
kering terhadap tanah yang dipadatkan secara uji manual dan otomatis. Dasar pembanding yang
akan diambil untuk nilai CBR, kadar air, dan berat isi kering berdasarkan karakteristik dari tanah
yang diuji pada pengujian Index properties, atterberg limit dan grain size.
Kata kunci: Uji pemadatan, kadar air optimum, berat isi kering, index properties, atterberg.

1. PENDAHULUAN
Pengujian laboratorium saat ini sudah banyak menggunakan alat-alat yang bekerja otomatis, bahkan beberapa alat
sudah didesain menggunakan mekanisme digital. Di Indonesia produk alat-alat laboratorium otomatis sudah cukup
banyak, tetapi antara produk yang satu dengan yang lain belum ada standarisasi yang memadai, sehingga ketika
menggunakan alat-alat tersebut beberapa kali hasilnya tidak konsisten, agak menyimpang jauh dari uji yang satu
dengan lainnya, sehingga menimbulkan keraguan terhadap hasil pengujiannya. Prosedur pengujian harus
diperhatikan dengan cermat agar tidak ada penyimpangan prosedur yang dapat mengakibatkan kesenjangan hasil.
Kondisi ini mendorong dilakukan penelitian untuk membandingkan antara penggunaan alat uji otomatis dan alat uji
manual. Dalam membandingkan penggunaan alat laboratorium ini, dibatasi pada penggunaan alat uji pemadatan
tanah dan alat uji CBR di Laboratorium Mekanika Tanah.
Dalam manual pelatihan teknisi ’Mid Atlantic Region Technician Certification Program’ untuk uji pemadatan tanah
di laboratorium diidentifikasi 17 kemungkinan ketidak-tepatan pengujian oleh teknisi penguji yang mungkin terjadi
ketika dilakukan menurut standar AASHTO (http://www.roads.maryland.gov/omt/ sacompaction.pdf). Sementara
Walker (2010) yang mendesain alat otomatis kompaksi di laboratorium, menyimpulkan bahwa penggunaan alat
pemadatan otomatis dapat digunakan dengan tingkat keyakinan hasil akhir yang sangat memadai.
Dalam studi perbandingan antara alat uji laboratorium otomatis dan manual ini standar yang diacu adalah standar uji
AASHTO untuk pemadatan tanah dan uji CBR. Dalam melakukan perbandingan ini benda uji dibuat dalam kondisi
sama dan kemudian diuji dengan alat uji otomatis dan manual. material benda uji dibuat di laboratorium dan diambil
dari dua lokasi berbeda. Dari kedua cara pengujian otomatis dan manual tersebut diharapkan dapat diperoleh
perbedaan yang mungkin terjadi.
Studi ini merupakan kelanjutan dari penelitian yang pernah dipublikasikan sebelumnya (Prihatiningsih, 2016),
karena itu jenis tanah yang digunakan dalam makalah ini sama dengan makalah tersebut.

2. STUDI LITERATUR
Dalam studi yang dilakukan Prihatiningsih (2016, 1), telah dijelaskan proses pengujian pemadatan dan uji CBR di
laboratorium. Tanah diambil dari dua lokasi berbeda, dan kemudian diuji di laboratorium dengan mengikuti standar
AASHTO baik untuk pemadatan standar dan modifikasi. Pada setiap campuran kadar air benda uji dibuat lebih dari
satu (duplo 1 dan 2). Untuk uji CBR dilakukan pada kondisi masing-masing kadar air dan kondisi 98% berat isi
kering maksimum pada sisi basah dan kering, serta pada kondisi kadar air optimum (100% berat isi kering

GEO - 145
maksimum). Untuk tanah yang dipilih pada kadar air 98% kondisi lebih basah dan kering dari titik kadar air
optimum serta kadar air optimum hanya dibuat 2 (dua) benda uji untuk masing-masing kondisi.
Dari studi Prihatiningsih (2016, 1) disimpulkan bahwa untuk pemberian enersi pemadatan pada pemadatan
modifikasi hampir dua kali lipat daripada enersi pada pemadatan standar. Jika dilihat dari pemberian enersi, maka
nampak bahwa pada enersi tinggi, nilai CBR akan meningkat dengan cukup berarti, bahkan dapat mencapai >100%
nilai CBR pada pemadatan standar. Tetapi ketika kadar air berada pada sisi basah di atas 98% γdmaks, pemberian
enersi yang besar tidak meningkatkan nilai CBR dengan cukup berarti.
Dalam studi ini akan diperhatikan pengaruh enersi yang diberikan terhadap contoh tanah yang dipadatkan dengan
menggunakan alat yang diopersikan secara manual dan otomatis. Demikian pula uji CBR dilakukan menggunakan
alat manual dan otomatis. Proses pengujian mengikuti standar AASHTO.
Kondisi sifat fisik tanah yang diuji dapat dilihat pada Tabel 2 (Prihatiningsih, 2016, 1).

3. UJI LABORATORIUM

Spesifikasi alat yang digunakan pada pengujian manual dan mekanik seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Spesifikasi alat yang digunakan pada pengujian kompaksi


Standar Modifikasi
Kriteria Pengujian
Manual Otomatis Manual Otomatis
Ukuran diameter tabung silinder, mm 152 152 152 152
(inch) (6) (6) (6) (6)
Tinggi mold, mm 116.43 116.43 116.43 116.43
(inch) (4.584) (4.584) (4.584) (4.584)
Berat hammer, N 25 25 45.4 45.4
(kg, lb) (2.5, 5.5) (2.5, 5.5) (4.54, 10) (4.54, 10)
Tinggi jatuh hammer, mm 305 305 457 457
(inch) (12) (12) (18) (18)
Jumlah lapisan tanah yang dikumpul (lapis) 3 3 5 5
Jumlah pukulan per lapisan 56 56 56 56

Material butiran tanah melewati saringan ukuran, mm 4.75 4.75 4.75 4.75
(inch) (0.19) (0.19) (0.19) (0.19)
Jumlah contoh tanah yang disiapkan, N, 70 70 70 70
(kg, lb) (7, 16) (7, 16) (7, 16) (7, 16)

4. UJI LABORATORIUM
Uji laboratorium mengikuti standar AASHTO, yaitu:
(1) Uji specific gravity (Gs), sesuai Standar AASHTO T 217-02;
(2) Uji batas-batas Atterberg sesuai Standar AASHTO, T89-10 dan T90-00;
(3) Uji ukuran butir (analisis saringan dan hydrometer) sesuai Standar AASHTO T88-10;
(4) Pemadatan standar sesuai Standar AASHTO T99-10 atau ASTM D698;
(5) Pemadatan modifikasi sesuai Standar AASHTO T180-10 atau ASTM D1557;
(6) Uji CBR sesuai Standar AASHTO T193-10 metode B;

GEO - 146
Untuk uji pemadatan jumlah enersi yang diberikan 531 kJ/m3 untuk pemadatan standar dan 2665 kJ/m3 untuk
pemadatan modifikasi. Enersi tersebut dibuat sama baik pada alat manual dan otomatis.

5. HASIL PENGUJIAN
Untuk dapat membandingkan antara hasil uji manual dan otomatis, maka hasil uji dari kedua pengujian tersebut
digambar pada sumbu Cartesian (sumbu X dan Sumbu Y) dengan garis diagonal membentuk sudut 45 derajat
terhadap sumbu X. Jika titik-titik hasil uji berada dekat dengan garis diagonal dan berimpitan, maka artinya hasil uji
menunjukkan konsitensi yang baik untuk kedua uji manual dan otomatis. Tetapi jika titik-titik hasil uji menyebar
secara acak di sekitar garis diagonal, maka antara kedua cara pengujian manual dan otomatis menunjukkan hasil
yang kurang konsisten.
Dalam studi belum dicari potensi penyebab terjadinya ketidak-konsistenan, tetapi masih terbatas memperlihatkan
potensi ketidak-konsistenan dapat terjadi jika menggunakan alat otomatis dan manual karena itu perancang perlu
hati-hati dalam menafsirkan hasil uji jika menggunakan alat otomatis.

Tabel 2. Parameter tanah hasil uji laboratorium (Prihatiningsih, 2016, 1 ).

NILAI DARI LOKASI


UJI LABORATORIUM UNIT
TANGERANG BANDUNG
SPECIFIC GRAVITY
Gs 2.73 2.75
ATTERBERG (batas plastis, cair dan indeks plastis)
Batas Cair (wL) 80.18 69.13 %
Batas Plastis (wP) 53.71 47.61 %
Indek Plastisitas (Ip) 26.47 21.52 %
Kadar air awal, wn (%) 48.95 25.95 %
GRAIN SIZE (ukuran butir)
kerikil (gravel) 0.16 0.96 %
Pasir (sand) 3.10 10.02 %
Lanau (silt) 82.06 65.96 %
lempung (clay) 14.84 24.02 %
Koefisien kelengkungan (Cc) - -
Koefisien keseragaman (Cu) - -
STANDARD COMPACTION (Pemadatan standar) 56x HK MB 3L
Kadar air optimum (wopt) 35.9 37.5 %
kepadatan kering maksimum (γdmaks) 1.29 (12.65) 1.26 (12.33) gr/cm (kN/m3)
3

MODIFIED COMPACTION (Pemadatan modifikasi) 56x HB MB 5L


Kadar air optimum (wopt) 29.6 31.9 %
kepadatan kering maksimum (γdmaks) 1.48 (14.47) 1.41 (13.78) gr/cm (kN/m3)
3

Klasifikasi Tanah (AASHTO) A-7-5 A-7-5


Klasifikasi Tanah (USCS) MH MH

Perbandingan hasil uji pemadatan standar untuk kedua lokasi (Tangerang dan Bandung) dapat dilihat pada gambar-
gambar di bawah ini.

GEO - 147
Gambar 1. Hasil uji pemadatan standar yang menunjukkan perbandingan kadar air untuk lokasi Tangerang dan
Bandung

Gambar 2. Hasil uji pemadatan standar yang menunjukkan perbandingan kepadatan kering untuk lokasi
Tangerangdan Bandung

GEO - 148
Gambar 3. Hasil perbandingan uji CBR (penetrasi piston 2.5mm) dengan kondisi tanah dipadatkan menurut
pemadatan standar untuk lokasi Tangerang dan Bandung

Gambar 4. Hasil perbandingan uji CBR (penetrasi piston 5mm) dengan kondisi tanah dipadatkan menurut
pemadatan standar untuk lokasi Tangerang dan Bandung

GEO - 149
Perbandingan hasil uji pemadatan modifikasi untuk kedua lokasi (Tangerang dan Bandung) dapat dilihat pada
gambar-gambar di bawah ini.

Gambar 5. Hasil uji pemadatan modifikasi yang menunjukkan perbandingan kadar air untuk lokasi Tangerang dan
Bandung

Gambar 6. Hasil uji pemadatan modifikasi yang menunjukkan perbandingan kepadatan kering untuk lokasi
Tangerang dan Bandung

GEO - 150
Gambar 7. Hasil perbandingan uji CBR (penetrasi piston 2.5mm) dengan kondisi tanah dipadatkan secara
pemadatan modifikasi untuk lokasi Tangerang dan Bandung

Gambar 8. Hasil perbandingan uji CBR (penetrasi piston 5mm) dengan kondisi tanah dipadatkan secara pemadatan
modifikasi untuk lokasi Tangerang dan Bandung

GEO - 151
Dari hasil perbandingan penggunaan alat manual dan otomatis dapat dianalisis hal-hal berikut:
(1) Spesifikasi alat yang digunakan antara pemadatan manual dan otomatis sama, baik untuk berat hammer
maupun tinggi jatuh.
(2) Untuk urutan titik pemadatan ada perbedaan dimana untuk manual dan otomatis. Pada uji otomatis terkendala
dengan ketidakkonsistenan urutan penumbukannya.
(3) Untuk kadar air, pada pengujian pemadatan metode standar dan modifikasi, nilai kadar air untuk pengujian
standar dan modifikasi relatif hampir sama nilainya terlihat dari titik-titik yang hampir berimpit dan pada
umumnya titik-titik nilai kadar air berada pada garis diagonal (Gambar 1.). Hal yang sama juga diperlihatkan
pada uji pemadatan modifikasi (Gambar 5.).
(4) Untuk berat isi kering tanah dari kedua daerah yang diuji memperlihatkan bahwa tanah Tangerang berat isi
kering pada uji otomatis sedikit lebih rendah daripada uji secara manual. Hal ini dapat dilihat titik-titik berada
di bawah garis diagonal. Sedangkan pada tanah Bandung berat isi kering pada nilai yang lebih rendah
memperlihatkan nilai yang sedikit lebih tinggi untuk uji otomatis, tetapi ketika nilai berat isi kering tinggi,
maka nilai berat isi kering untuk uji manual nilainya menjadi lebih tinggi (Gambar 2.). Sedangkan pada uji
pemadatan modifikasi berat isi kering cenderung hampir sama dan sedikit lebih tinggi untuk uji pemadatan
modifikasi dengan alat otomatis (Gambar 6.).
(5) Untuk uji CBR penggunaan alat manual dan otomatis, baik pada pengujian standar dan modifikasi belum dapat
memperlihatkan hasil yang saling mendukung satu sama lain, hal ini terlihat dari titik-titik nilai CBR yang
menyebar di sekitar garis diagonal pada Gambar 3, 4, 7 dan 8. Ini memperlihatkan bahwa dengan penggunaan
alat otomatis perlu kewaspadaan akan hasil yang kurang tepat. Secara umum jika memperhatikan sebaran titik-
titik perbandingan Gambar 3, 4, 7, 8 maka terlihat kecenderungan nilai CBR sedikit lebih tinggi pada uji secara
manual. Secara umum masih agak sulit membuat korelasi dengan data yang masih sangat terbatas ini.
Penambahan titik-titik perbandingan akan sengat perlu untuk mendapatkan rumus empiris korelasi yang
mengkaitkan alat manual dan otomatis

6. KESIMPULAN
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan hal-hal berikut:
(1) Penggunaan alat uji manual dan otomatis memerlukan kecermatan dalam pengoperasiannya, karena hasil yang
diperoleh tidak sama.
(2) Pada pemeriksaan kadar air untuk kedua jenis alat tersebut, relatis nilai kadar air yang diperoleh pada uji
pemadatan standar dan modifikasi dapat dikatakan tidak ada perbedaan yang mencolok.
(3) Pada uji kepadatan isi kering hasil yang diperoleh sedikit berbeda, untuk uji secara manual sedikit
menunjukkan nilai yang lebih tinggi daripada uji secara manual.
(4) Untuk uji CBR penggunaan alat manual dan otomatis, baik pada pengujian standar dan otomatis belum dapat
memperlihatkan hasil yang saling mendukung satu sama lain. Secara umum jika memperhatikan sebaran titik-
titik perbandingan pada penelitian ini maka terlihat kecenderungan nilai CBR sedikit lebih tinggi pada uji
secara manual.

UCAPAN TERIMA KASIH


Makalah ini merupakan bagian dari penelitian yang didanai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat,
Direktorat Jenderal Penguatan Riset Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan
Lembaga Penelitian dan Publikasi Ilmiah (LPPI) Universitas Tarumanagara tahun 2016, 2017. Kami mengucapkan
terima kasih atas dukungan institusi tersebut sehingga penelitian dan makalah ini dapat tersusun.

DAFTAR PUSTAKA
American Association of State Highway and Transportation Organization (AASHTO), (2011). Standard
Specification for Transportation Materials and Methods of Sampling and Testing, WashingtonD.C.
American Society for Testing and Materials (ASTM), (2009). Soil and Rock (I), Vol. 04.08, Pennsylvania, USA.
Mid Atlantic Region Technician Certification Program (MARTCP)(diunduh 2016). Test Descriptions, Soil and
Aggregate Compaction, Chapter 1, http://www.roads.maryland.gov/ omt/sacompaction.pdf)

GEO - 152
Prihatiningsih, A., Gregorius S. Sentosa, Djunaedi Kosasih (2013). Pengumpulan Data Awal untuk Pembuatan
Database Karakteristik Material Tanah Dasar, Penelitian Hibah kompetisi Dikti, Universitas Tarumanagara,
Jakarta
Prihatiningsih, A., Gregorius S. Sentosa, Djunaedi Kosasih (2016, 1). Pengaruh Ukuran Butir Tanah Dan Kondisi
Pemadatan Terhadap Nilai CBR Pada Pengujian Di Laboratorium, Prosiding Konteks 10, Program Studi
Teknik Sipil Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hal. 629-636.
Prihatiningsih, A., Gregorius S. Sentosa, Djunaedi Kosasih (2016, 2). Analisis Konsistensi Kualitas Uji Kepadatan
Tanah dan CBR di Laboratorium Menggunakan Alat Uji Manual dan Otomatis, Laporan Akhir Penelitian
Hibah Bersaing, LPPI-UNTAR, Jakarta.
Sentosa, Gregorius, S., Djunaedi Kosasih, Aniek Prihatiningsih (2011). Uji Pemadatan dan Pembuatan Rumpun
Kurva Rancangan Database Karakteristik Material Tahan Dasar, Universitas Tarumanagara, Jakarta.
Walker, C. (2010). Automated Soil Compaction Machine for the Preparation of California Bearing Ratio and
Proctoe Specimen, Dissertation for Fulfilment Bachelor Degree, University of Southern Queensland, Australia.

GEO - 153
GEO - 154
KELOMPOK PEMINATAN

KAWASAN DAN LINGKUNGAN


Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

DESAIN IPAL KOMUNAL UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN SANITASI


DI DESA LUENGBARO, KABUPATEN NAGAN RAYA, ACEH

Meylis Safriani1 dan Cut Suciatina Silvia2

1
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Teuku Umar, Jl. Alue Peunyareng, Meureubo, Meulaboh
Email: Safrianimeylis@gmail.com
2
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Teuku Umar, Jl. Alue Peunyareng, Meureubo, Meulaboh
Email: coetsilvia@gmail.com

ABSTRAK
Masyarakat di Desa Luengbaro belum memiliki sarana sanitasi yang baik dikarenakan masih
membuang air besar di berbagai tempat seperti saluran irigasi, saluran drainase, dan alue (anak
sungai). Perencanaan IPAL Komunal bertujuan untuk mengatasi permasalahan sanitasi di desa
tersebut. Penelitian ini dilakukan di Desa Luengbaro, Kecamatan Seunagan, Kabupaten Nagan
Raya, Provinsi Aceh dengan mengambil lokasi daerah layanan di Dusun Indrapuri dan Dusun Cot
Rundeng. Pengumpulan data primer meliputi wawancara dan survei lokasi sebagai lokasi
perencanaan IPAL Komunal. Data sekunder meliputi data jumlah penduduk, data jumlah rumah,
dan peta topografi wilayah perencanaan. Hasil analisa data menujukkan bahwa dengan jumlah
penduduk 318 jiwa, luas area lahan yang diperlukan dalam perencanaan IPAL adalah 28,4 m2 dan
luas daerah layanan 18,6 ha. Desain IPAL Komunal dengan sistem Anaerob terdiri dari Bak
Ekualisasi, bak Settler, bak ABR, bak AF, dan bak outlet. Dimensi bak inlet yang direncanakan
yaitu 2 m x 0,6 m x 1 m, bak settler 3 m x 2 m x 2,4 m, bak ABR adalah 1 m x 2 m x 2,4 m dimana
bangunan ABR ini direncanakan 2 buah, dimensi bak settler adalah 1,2 m x 2 m x 2,4 m dan
bangunan AF ini direncanakan sebanyak 4 buah, dan dimensi bak outlet adalah 2 m x 0,6 m x 1 m.
Pipa dengan diameter 3” tipe PVC diperuntukkan pada pipa yang mengalirkan buangan limbah dari
jamban ke bak kontrol, pipa dengan diameter 4” tipe PVC SDR-41 diperuntukkan untuk
mengalirkan limbah dari bak kontrol menuju pipa induk, dan pipa dengan diameter 6” tipe PVC
SDR-41 diperuntukkan untuk mengalirkan limbah dari pipa induk menuju bangunan IPAL.
Kata kunci: Limbah, sanitasi, IPAL Komunal, Sistem Anaerob

1. PENDAHULUAN
Sanitasi merupakan salah satu sektor yang penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dalam suatu
lingkungan permukiman. Sanitasi yang baik diperlukan untuk menciptakan kebersihan dan kenyamanan di
lingkungan tempat tinggal. Suatu lingkungan akan menurun kualitasnya apabila tidak ada sanitasi lingkungan yang
layak seperti pengelolaan air limbah rumah tangga, persampahan dan drainase. Dengan bertambahnya jumlah
penduduk yang mendiami satu area lingkungan, maka semakin meningkat pula air limbah yang dihasilkan di suatu
perumahan atau perkampungan. Pembuangan limbah rumah tangga penduduk secara sembarangan akan
mempengaruhi kualitas air tanah dan akan menyebabkan air tanah tersebut terkontaminasi. Kondisi sistem
pembuangan limbah yang buruk dapat menyebabkan tingginya kontaminasi dan pengaruh terhadap kualitas air
sumur serta dapat menyebabkan tingginya jumlah bakteri E. coli.
Salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Seunagan, Kabupaten Nagan Raya yang termasuk rawan sanitasi adalah
Desa Luengbaro. Berdasarkan survei awal, masyarakat di Desa Luengbaro belum memiliki sarana sanitasi yang
baik. Kebiasaan masyarakat di desa tersebut masih membuang air besar di berbagai tempat seperti saluran irigasi,
saluran drainase, alue (anak sungai), dan bahkan ada yang membuang air besar di halaman kosong di belakang
rumah mereka. Rumah masyarakat di desa tersebut pada umumnya belum memiliki jamban (septic tank). Bagi
masyarakat yang telah memiliki jamban, pembuangan air limbahnya belum ada penanganan (treatment) yang layak
terlebih dahulu. Ketidakpedulian warga terhadap kebersihan lingkungan sangat berpengaruh pada tingkat
kesejahteraan dan kenyamanan di dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mengatasi sanitasi pada desa ini,
pemerintah telah membangun WC Komunal pada tahun 2015 untuk digunakan secara bersama oleh masyarakat.
Namun, dikarenakan WC Komunal tersebut kurang berfungsi sehingga masyarakat kembali membuang limbah air
besar tidak pada tempatnya. Berdasarkan permasalahan tersebut, dibutuhkan perencanaan Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) Komunal untuk memperbaiki sistem sanitasi di desa ini. Desain IPAL Komunal di Desa Luengbaro
bertujuan untuk meningkatkan sanitasi masyarakat yang lebih baik dalam mempertahankan stabilitas ekosistem

KL - 1
lingkungan. Dengan adanya IPAL Komunal tersebut, maka berbagai limbah dari kamar mandi, dapur dan cucian
baju diharapkan lebih aman kandungannya sebelum dibuang ke sungai.
Beberapa penelitian terkait permasalahan sanitasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Sapel et. al. (2011)
menyatakan untuk menangani permasalahan air limbah domestik masyarakat Pinggir Desa Lingkar Kampus IPB di
Kampung Cangkurawok, RT.02/RW.03, Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor yang terdiri dari 70
KK perlu didesain WC komunal dengan dilengkapi tangki septik dan sumur resapan. Desail volume tangki septic
adalah 26,5 m3 dengan dimensi panjang sebesar 2,75 m, lebar sebesar 5,5 m dan tinggi tangki septik sebesar 1,5 m
dan dimensi sumur resapan mempunyai kedalaman 3 m dan diameter 1 m. Prameswari et. al. (2014) merencanakan
pelayanan pengolahan air limbah secara komunal di Desa Krasak dengan menggunakan dua variabel, yaitu aspek
teknis dan aspek kelembagaan. Pada perencanaan pelayanan air limbah komunal Desa Krasak, digunakan pipa PVC
tipe D, diameter 114 mm untuk pipa servis yang menerima air limbah dari setiap rumah. Diameter 114-140 mm
digunakan pada saluran pipa lateral menuju induk yang menuju ke IPAL. Selain itu menggunakan teknologi IPAL
berupa ABR dengan luasan lahan dibutuhkan sebesar 32 m2.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Sanitasi
Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan kepada pengawasan terhadap berbagai faktor
lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia, jadi lebih mengutamakan usaha pencegahan terhadap
berbagai faktor lingkungan sedemikian rupa munculnya penyakit dapat dihindari. Usaha sanitasi berarti suatu usaha
untuk menurunkan jumlah bibit penyakit yang terdapat dalam bahan-bahan pada lingkungan fisik manusia
sedemikian rupa sehingga derajat kesehatan manusia dapat terpelihara (Daryanto, 2004).

Proyeksi Jumlah Penduduk dengan Metode Geometrik


Proyeksi jumlah penduduk dengan metode geometrik menggunakan Persamaan sebagai berikut.
Pn = Po (1 + q)n (1)
dengan Pn = jumlah penduduk tahun rencana, Po = jumlah penduduk tahun awal, n = jumlah tahun rencana, dan q =
laju pertumbuhan penduduk.
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) adalah sebuah struktur/bangunan yang dirancang untuk mengolah limbah
rumah tangga dan mengurangi kandungan beban pencemar yg terdapat pada limbah (biologis dan kimiawi) sehingga
memungkinkan air hasil olahan tersebut tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan atau dapat untuk
digunakan pada aktivitas yang lainnya. IPAL Komunal merupakan bangunan yang dipergunakan untuk menampung
dan mengolah air limbah dari banyak sumber secara bersama-sama. Perencanaan IPAL meliputi aspek dari segi
sarana pengumpulan dan sarana pengolahan. Dilihat dari segi sarana pengumpulan, air limbah yang dihasilkan akan
dialirkan secara gravitasi melalui jaringan perpipaan (yang dilengkapi dengan bak perangkap lemak, bak kontrol,
manhole) atau saluran ke tempat pengolahan (IPAL). Dilihat dari segi sarana pengolahan, pengolahan air limbah
menyangkut persoalan pilihan teknologi pengolahan, kapasitas, ketersediaan lahan, kemudahan operasi, biaya
operasional dan maintenance serta efisiensi pengurangan zat pencemar. Sistem pengolahan air limbah dibagi
menjadi 3 (tiga) yaitu pengolahan secara an-aerobik, pengolahan secara aerobik, dan pengolahan kombinasi antara
an-aerobik dan aerobic.

3. METODOLOGI PENELITIAN
Pengumpulan Data
Pengumpulan data awal diperlukan untuk dapat mendesain Bangunan IPAL. Data-data yang diperlukan terdiri dari
data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diambil secara langsung pada wilayah perencanaan
dengan melakukan observasi untuk mengetahui kondisi di lapangan. Data primer yang diambil berupa foto kondisi
pembuangan limbah di lokasi perencanaan, foto eksisting lahan perencanaan IPAL, dan wawancara terhadap
masyarakat setempat. Wawancara dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya WC di rumah mereka, jumlah
anggota keluarga, dan jenis pekerjaan. Data sekunder yang digunakan adalah data jumlah penduduk, data jumlah
rumah di Desa Luengbaroe,peta wilayah perencanaan, dan peta topografi wilayah perencanaan. Data-data tersebut
akan digunakan dalam perencanaan pelayanan air limbah komunal di Desa Luengbaroe.

KL - 2
Analisis Data
Perencanaan IPAL Komunal antara lain :
a. Perhitungan proyeksi jumlah penduduk
Perhitungan proyeksi jumlah penduduk untuk 10 tahun ke depan dengan data yang diambil adalah jumlah
penduduk mulai dari tahun 2013-2017. Jumlah penduduk pada suatu daerah merupakan salah satu hal
yang penting dalam perhitungan sistem penyaluran air limbah. Semakin banyak penduduk maka semakin
besar air limbah yang dihasilkan.

b. Perhitungan debit air limbah


Berdasarkan Kriteria Perencanaan Ditjen Cipta Karya Dinas PU (1996), kebutuhan air bersih per orang per hari
diambil berdasarkan jumlah penduduk. Apabila dibawah 20.000 jiwa, maka kebutuhan air bersih diambil
80lt/org/hari. Perhitungan debit air limbah dilakukan menggunakan asumsi bahwa 80% dari kebutuhan air minum
akan menjadi air limbah. Perhitungan ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar debit dan beban air limbah yang
masuk ke badan air penerima. Perhitungan beban air limbah yang masuk ke badan air penerima dilakukan dengan
menggunakan karakteristik air limbah. Debit Rata-Rata Air Limbah dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Q rata-rata air limbah = (80) % x Q air minum (2)
dengan Q air minum = 80 liter/ orang/ hari

Timbulan air limbah domestik (Q) dapat menggunakan rumus :


Qair limbah = 1,1 x Q rata-rata air limbah (3)

c. Perencanaan sistem jaringan perpipaan


Jaringan pipa sambungan rumah dapat ditentukan berdasarkan jenis buangan air limbah. Pipa dari kloset (black
water) : diameter pipa minimal 75 mm, bahan dari PVC, kemiringan pipa (1-2)%. Pipa untuk pengaliran air limbah
non tinja (grey water) : Diameter pipa minimal 50 mm, bahan dari PVC, kemiringan (0,5-1) %, khusus air limbah
dari dapur harus dilengkapi dengan unit perangkap lemak (grease trap). Pada pipa sekunder slope yang
direncanakan berkisar (0,7–1)%, sedangkan pipa induk (pipa primer) direncanakan slope (0,5 – 0,7)%.

d. Perencanaan bangunan IPAL yang meliputi bak pengendap, bak AF, dan bak ABR
Kapasitas IPAL yang direncanakan yaitu menggunakan Persamaan :
Kapasitas IPAL = Qair limbah X Pn (4)

Desain bak ekualisasi (Inlet), bak Settler/Pengendap, bak Anaerobic Buffle Reactor (ABR), bak Anaerobic Filter
(AF), bak pengendap akhir (outlet) menggunakan Persamaan 5.

HRT (5)
Volume  xKapasitasIPAL
24
dengan HRT = waktu tinggal limbah dalam bak, HRT bak ekualisasi = 30 menit, HRT Bak Settler = 12 jam, HRT
bak ABR = 6 jam, dan HRT bak AF = 18 jam, HRT bak outlet = 30 menit.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Luengbaro, Kecamatan Seunagan, Kabupaten Nagan Raya. Penelitian ini
dengan pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer meliputi wawancara dan survei lokasi sebagai
lokasi perencanaan IPAL (untuk mendapatkan data karakteristik air limbah Desa Luengbaro). Data sekunder
meliputi data jumlah penduduk, data jumlah rumah, dan peta topografi wilayah perencanaan. Analisa debit air
limbah, dimensi pipa dan dimensi penentuan bangunan pelengkap IPAL direncanakan setelah data primer dan
sekunder diperoleh.
Deskripsi wilayah
Desa Luengbaro merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Suka Makmue yang penduduknya paling
padat dibandingkan dengan desa lain dengan jumlah penduduk 1251 orang (BPS, 2016). Desa Luengbaroe memiliki
lima dusun diantaranya Dusun Cot Rondeng, Dusun Indrapuri, Dusun Cot Bak Joek, Dusun Padang Arawet, dan
Dusun Paya Teladan. Lokasi yang menjadi prioritas penelitian adalah Dusun Indrapuri dan Dusun Cot Rondeng.
Jumlah KK pada kedua dusun tersebut pada tahun 2017 yaitu 68 KK dengan jumlah penduduk 272 orang.
Penduduk di Dusun Indrapuri dan Dusun Cot Rondeng pada umumnya bekerja sebagai petani (62%), pekebun
(21%), pedagang (12%), dan bekerja di kantor (5%). Di kedua dusun tersebut, terdapat saluran irigasi yang lebarnya
1 sampai 1,5 meter pada badan jalan. Saluran irigasi ini untuk mensuplai kebutuhan DI Jeuram. Selain irigasi,

KL - 3
terdapat saluran drainase dengan lebar 30 cm yang terdapat di samping dan belakang rumah warga. Namn, drainase
tersebut tidak berfungsi dengan baik. Lokasi anak sungai atau Alue Luengbaroe tidak jauh dari rumah warga sekitar
100 meter yang lebarnya 2-3 meter.
Berdasarkan hasil survei, dari 11,7% rumah warga yang terdapat septiktank, sedangkan 88,3% warga lagi
membuang ke saluran irigasi, saluran drainase, dan ke Alue/anak sungai. Meskipun sudah memiliki WC, dari 11,7%
warga yang sudah ada septictank, 4,4% warga tersebut lebih menyukai membuang kotoran ke badan air. Beberapa
“WC terbang” yang dibuat oleh warga setempat untuk membuang tinja di atas saluran irigasi ditampilkan pada
Gambar berikut.

Gambar 1. Pembuangan limbah oleh masyarakat di saluran irigasi

Perencanaan Desain IPAL Komunal


Hasil proyeksi penduduk dari metode geometrik diperoleh jumlah penduduk untuk 10 tahun ke depan adalah 318
orang. Hasil perhitungan untuk bangunan-bangunan pada IPAL ditampilkan pada Tabel 1. Data-data yang
digunakan untuk perhitungan dimensi bangunan IPAL sebagai berikut.
Pn = 318 orang
Q air bersih = 80 lt/orang/hari
Kapasitas air limbah = 20.352 liter/hari = 0,848 m3/jam

Tabel 1. Rekapitulasi dimensi bangunan IPAL


Dimensi Bak
No Nama Bak Volume yang diperlukan (m3)
P (m) L (m) T (m)
1 Bak Ekualisasi (inlet) 0,4664 2 0,6 1
2 Bak Settler 11,1936 3 2 2,4
3 Bak ABR 5,5968 2 2 2,4
4 Bak AF 16,7904 4,8 2 2,4
5 Bak akhir (outlet) 0,4664 2 0,6 1

IPAL Komunal mengolah air limbah dari rumah-rumah melalui jaringan perpipaan. Pipa yang dipergunakan adalah
pipa jenis air limbah berbahan PVC SNI dengan diameter 4 – 6 inchi (ditanam sesuai dengan peraturan dari SNI
yang berlaku) dan dilengkapi dengan bangunan pelengkap (bak kontrol, bak perangkap minyak, dan manhole) di
setiap ujung gang, belokan dan persimpangan. Pada desain IPAL Komunal di Desa Luengbaroe ini, jenis pipa yang
digunakan adalah tipe PVC dan tipe PVC SDR-41. Pipa dengan diameter 3” tipe PVC diperuntukkan pada pipa
yang mengalirkan buangan limbah dari jamban ke bak kontrol, sedangkan pipa dengan diameter 4” tipe PVC SDR-
41 diperuntukkan untuk mengalirkan limbah dari bak kontrol menuju pipa induk, dan pipa dengan diameter 6” tipe
PVC SDR-41 diperuntukkan untuk mengalirkan limbah dari pipa induk menuju bangunan IPAL. Sistem IPAL yang
digunakan adalah IPAL Anaerob sebab untuk biaya investasi dan biaya operasional IPAL Anaerob termasuk
katagori murah dan pelaksanaan perawatan bangunannya lebih mudah dibandingkan dengan sistem yang lain.
Panjang pipa diameter 6” yang dibutuhkan adalah 189 m dan pipa diameter 4” dibutuhkan sepanjang 823 m. Dari
analisis data diperoleh, perencanaan manhole (bak pengecekan di pipa induk) dengan ukuran 60/60 cm sebanyak 74
unit, bak kontrol dan bak pengontrol minyak dengan ukuran 30/60 cm masing-masing sebanyak 136 unit. Luas
daerah layanan yang diperuntukkan untuk desain adalah 18,6 ha. Untuk desain IPAL, lahan yang diperlukan seluas
28,4 m2. Layout desain jaringan perpipaan dan lokasi desain IPAL Komunal ditampilkan pada Gambar 2 sedangkan
bangunan-bangunan yang terdapat pada IPAL Komunal disajikan pada Gambar 3.

KL - 4
Gambar 2. Desain jaringan IPAL Komunal di Desa Luengbaroe

Gambar 3. Tampak atas dari bangunan IPAL Komunal

Beberapa bangunan yang terdapat pada IPAL Komunal dengan sistem Anaerob
1. Bak Ekualisasi (Inlet)
Dimensi bak inlet yang direncanakan yaitu 2 m x 0,6 m dengan kedalaman 1 m. Bagian inlet ini berfungsi untuk
jalan masuk pertama limbah tinja dan limbah dapur serta kamar mandi. Dimana fungsi bak inlet juga untuk
membagi aliran yang masuk agar tijak terjadi turbulen pada saat jam-jam tertentu. Sehingga berubah menjadi
laminer dengan adanya bak inlet ini.

2. Settler (Bak Pengendap)


Dimensi bak settler yang direncanakan adalah 3 m x 2 m dengan kedalaman 2,4 m (sudah ditambah dengan ambang
bebas). Bangunan ini sama dengan settling tank/septic tank dimana didalamnya terjadi proses
sedimentasi/pengendapan dan dilanjutkan dengan stabilisasi dari bahan yang diendapkan tersebut melalui proses
anaerobic. Tujuannya adalah untuk mengendapkan dan menstabilkan lumpur aktif sebelum masuk ke pengolahan
selanjutnya (sebagai pengolahan awal).

3. Anaerobic Buffle Reactor (ABR)


Unit proses pengolahan air limbah yang digunakan pada perencanaan ini berupa Anaerobic Baffled Reactor yang
dipilih karena murah dalam operasional dan perawatannya serta memiliki efisiensi yang cukup tinggi. Dimensi bak
ABR yang direncanakan adalah 1 m x 2 m dengan kedalaman 2,4 m (sudah ditambah dengan ambang bebas) dan
bangunan ABR ini direncanakan 2 buah. Bangunan ini bertujuan untuk mengalirkan air limbah dimana terjadi

KL - 5
proses pengendapan selanjutnya melewati/mengkontakan dengan lumpur aktif dan terjadi proses penguraian karena
kontak antara limbah dengan akumulasi mikroorganisme pada lumpur aktif.

4. Anaerobic Filter (AF)


Dimensi bak settler yang direncanakan adalah 1,2 m x 2 m dengan kedalaman 2,4 m (sudah ditambah dengan
ambang bebas) dan bangunan AF ini direncanakan sebanyak4 buah. Bangunan ini menggunakan sistem yang
diharapkan untuk memproses bahan-bahan yang tidak terendapkan dan bahan padat terlarut (dissolved solid) secara
mengkontakan dengan surplus mikro organisme pada media filter dimana akan menguraian bahan organik terlarut
(dissolved organic) dan bahan organic yang terspresi (dispersed organic) yang ada dalam limbah. Gambar potongan
Bangunan AF dapat dilihat pada Gambar 4.

5. Bak Outlet
Bak ini berfungsi sebagai hasil akhir (Effluent) dari pengolahan dari sebelumnya, dimana air hasil dari bagian outlet
inilah yang akan rutin di test di laboratorium mengetahui kadar BOD, COD, Nitrogen dan lain sebagainya. Dimensi
bak outlet yang direncanakan yaitu 2 m x 0,6 m dengan kedalaman 1 m.

Gambar 4. Potongan dari gambar Bangunan Anaerobic Filter

Pada Gambar di atas tampak bahwa aliran dari Bak ABR akan menuju ke dalam BAK AF dimana bak AF
merupakan bak yang terdapat media filter yang berguna sebagai tempat hidup bakteri. Bakteri yang terdapat pada air
limbah pada saat masuk ke dalam bak AF akan menempel pada media ini, sehingga air limbah menjadi berkurang
bakterinya. Media filter direncanakan berasal dari bioball sarang tawon dari pabrikasi atau menggunakan botol
bekas air mineral. Proses didalam bak ini berlangsung secara alami dengan durasi yang telah didesain dari awal,
sehingga didapat air hasil keluaran dari bak AF (effluent) sudah dapat dibuang ke badan air sesuai dengan permen
LHK 2016 tentang baku mutu air limbah domestik.

5. KESIMPULAN
Perencanaan IPAL Komunal di Desa Luengbaroe, Kecamatan Seunagan, Kabupaten Nagan Raya diperuntukkan
untuk mengatasi permasalahan sanitasi di desa tersebut. Luas area lahan yang diperlukan dalam perencanaan IPAL
adalah 28,4 m2 dengan luas daerah layanan 18,6 ha dimana yang termasuk luas daerah layanan ini yaitu Dusun
Indrapuri dan Dusun Cot Rondeng. Bangunan yang terdapat pada IPAL Komunal dengan sistem Anaerob
diantaranya Bak Ekualisasi (Inlet), Settler (Bak Pengendap), bak Anaerobic Buffle Reactor (ABR), bak Anaerobic
Filter (AF), dan bak outlet. Dimensi bak inlet yang direncanakan yaitu 2 m x 0,6 m dengan kedalaman 1 m. Dimensi
bak settler yang direncanakan adalah 3 m x 2 m dengan kedalaman 2,4 m. Dimensi bak ABR yang direncanakan
adalah 1 m x 2 m dengan kedalaman 2,4 m dan bangunan ABR ini direncanakan 2 buah. Dimensi bak settler yang

KL - 6
direncanakan adalah 1,2 m x 2 m dengan kedalaman 2,4 m dan bangunan AF ini direncanakan sebanyak4 buah.
Untuk bak outlet, dimensi yang direncanakan adalah 2 m x 0,6 m dengan kedalaman 1 m.

DAFTAR PUSTAKA (DAN PENULISAN PUSTAKA)


BPS. (2016). Kecamatan Seunagan Dalam Angka 2016. Badan Pusat Statistik Kabupaten Nagan Raya, Provinsi
Aceh.
Daryanto, (2004). Masalah Pencemaran. Tarsito. Bandung.
Prameswari, RA. P., dan Purnomo, A., (2014). “Perencanaan Pelayanan Air Limbah Komunal di Desa Krasak
Kecamatan Jatibarang Kota Indramayu. Jurnal Teknik POMITS”. Vol. 3, No. 2. Pp: 81-84.
Sapel, A., Purwanto, M.Y., dan Kurniawan, A. “Desain Instalasi Pengolah Limbah WC Komunal Masyarakat
Pinggir Sungai Desa Lingkar Kampus”. (2011). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Vol 16, No. 2, pp: 91-99.

KL - 7
KL - 8
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

PERENCANAAN DESAIN TANGKI SEPTIK KOMUNAL DI KAMPUNG CIHIRIS,


DESA CISARUA KECAMATAN NANGGUNG, BOGOR

Femylia Nur Utama1, Lina Aryani1, Yanuar Chandra Wirasembada1, Yudi Chadirin1

1
Departemen Teknik Spil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, Jl. Raya Darmaga, Bogor 16680,
Email: yudi@ipb.ac.id

ABSTRAK
Mandi, cuci dan kakus (MCK) merupakan fasilitas sanitasi dasar yang wajib dimiliki oleh setiap
rumah tangga guna terciptanya sanitasi lingkungan yang baik. Mayoritas rumah tangga dengan
tingkat ekonomi menengah ke bawah di pemukiman padat penduduk tidak mempunyai akses MCK.
Hal tersebut disebabkan keterbatasan lahan rumah dan jarak aman antara tangki septik dengan
sumber air bersih tidak tercapai. Kondisi itu saat ini sedang dialami oleh masyarakat di Kampung
Cihiris, Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, diperlukan
penyediaan tangki septik komunal yang digunakan dan dikelola secara bersama-sama dalam suatu
wilayah pemukiman guna terciptanya sanitasi lingkungan yang lebih baik. Tujuan penelitian ini
adalah merencanakan desain tangki septik komunal di Kampung Cihiris berdasarkan proyeksi
jumlah penduduk untuk 10 tahun mendatang. Perencanaan desain tangki septik komunal meliputi 4
tahap, yakni proyeksi penduduk, perhitungan dimensi tangki septik komunal, pemetaan lahan di
lokasi perencanaan dan penyusunan detail engineering design (DED) tangki septik komunal. Hasil
perhitungan proyeksi pendugaan jumlah penduduk desa dalam 10 tahun yang akan datang sebesar
5,165 jiwa. Maka, debit puncak yang yang harus ditampung di tangki septik sebanyak 469.3 m3.
Desain tangki septik terdiri dari 2 bak yaitu bak pengendapan pertama dengan dimensi tinggi 3.3 m,
lebar 7.5 m dan panjang 15 m sedangkan bak kedua memiliki dimensi tinggi 3.3 m, lebar 9 m dan
panjang 18 m. Hasil perancangan tangki septik tersebut mampu menampung air limbah penduduk
Kampung Cihiris selama 10 tahun dengan asumsi pengurasan tangki septik dilakukan minimal
setiap 2 tahun.
Kata kunci: air limbah domestik, sanitasi lingkungan, tangki septik komunal

1. PENDAHULUAN
Permasalahan sanitasi lingkungan merupakan salah satu permasalahan yang masih sering ditemukan di Indonesia
saat ini terutama mengenai akses terhadap sanitasi dasar seperti ketersediaan sarana mandi, cuci, kakus (MCK).
Permasalahan yang sering dihadapi terkait MCK ini adalah tidak tersedianya tangki septik yang berfungsi untuk
menampung limbah dari kegiatan MCK. Hal ini menyebabkan limbah langsung dibuang ke lingkungan sehingga
dapat mencemari tanah dan air tanah. Permasalahan tentang tangki septik ini juga terjadi di Kampung Cihiris Desa
Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor Jawa Barat. Sarana sanitasi lingkungan di desa ini kurang memadai
dan masih ada warga yang buang air besar (BAB) sembarangan di sungai maupun menggunakan WC “cubluk”,
yaitu lubang yang dibuat di tanah untuk menampung limbah yang dihasilkan. Selain itu, Kampung Cihiris memiliki
luas sebesar 6.97 Ha dengan jumlah penduduk saat ini sebanyak 1,539 jiwa sehingga kepadatan penduduk di
Kampung ini adalah 221 jiwa/ha.
Menurut SNI 03-1733-2004, kepadatan penduduk yang berada pada interval 200 jiwa/ha hingga 400 jiwa/ha
termasuk dalam kategori tinggi. Oleh sebab itu, berdasarkan peraturan tersebut maka kepadatan penduduk di
Kampung Cihiris termasuk dalam kategori tinggi. Tingginya angka kepadatan penduduk tersebut menjadi indikasi
bahwa penggunaan tangki septik pada setiap rumah tidak memungkinkan karena sebagian besar masyarakat di
Kampung Cihiris menggunakan air sumur sebagai sumber air bersih sehingga penggunaan tangki septik pada setiap
rumah akan berpotensi besar mencemari air tanah. Air tanah yang tercemar oleh limbah yang berasal dari tangki
septik dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Kondisi ini semakin diperparah karena tangki septik yang
digunakan warga saat ini tidak memenuhi standar sanitasi yang seharusnya. Buruknya sarana sanitasi lingkungan ini
akan berdampak buruk terhadap kesehatan manusia karena dapat menjadi penyebab timbulnya berbagai macam
penyakit (Adisasmito 2007).
Oleh sebab itu, untuk menghindari terjadi dampak negatif terhadap kesehatan akibat sanitasi lingkungan yang buruk
di Kampung Cihiris perlu dirancang sistem tangki septik secara komunal. Sistem tangki septik komunal dapat
diterapkan untuk mengurangi resiko terjadinya pencemaran air tanah yang akan berdampak pada kesehatan

KL - 9
masyarakat Kampung Cihiris. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan lokasi penempatan tangki septik
komunal yang optimum dan efektif bagi penduduk di Kampung Cihiris, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan untuk
menyusun desain dan rancangan (fungsional dan struktural) tangki septik komunal dan bidang resapan tangki septik
komunal sesuai SNI 03- 2398-2002.

2. BAHAN DAN METODE PENELITIAN


Penelitian dilaksanakan di Kampung Cihiris Desa Cisarua Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Pada penelitian ini pemetaan topografi dilakukan dengan menggunakan alat auto level untuk mendapatkan peta
kontur lahan. Data hasil pengukuran topografi selanjutnya akan digunakan untuk membuat peta kontur dengan
menggunakan perangkat lunak Surfer 9. Proyeksi jumlah penduduk 10 tahun mendatang dihitung dengan
menggunakan metode eksponensial (Barclay, 1970) berdasarkan jumlah penduduk tahun 2014-2016.
Setelah itu proses perencanaan memasuki tahap perhitungan kapasitas penampung lumpur dan air merujuk pada
penelitian sebelumnya (Sapei et al 2011). Kebutuhan kapasitas penampung lumpur (A) dihitung dengan Persamaan
(1). Kebutuhan kapasitas penampung air (B) dihitung dengan Persamaan (2) dan (3).

𝑃∗𝑁∗𝑆
𝐴= (1)
1000

𝑇ℎ = 2.5 − (0.3 ∗ 𝑙𝑜𝑔(𝑃 ∗ 𝑄)) (2)

𝑃 ∗ 𝑄 ∗ 𝑇ℎ
𝐵= (3)
1000

Keterangan
P = jumlah penduduk hasil proyeksi, N = waktu pengurasan tangki septik komunal, S = rata-rata lumpur terkumpul
per orang per tahun, Th = waktu penahanan minimum untuk pengendapan lebih besar dari 0.2 hari, Q = debit limbah
(l/orang/hari)

Volume tangki septik merupakan penjumlahan dari volume tangki A dan B. Volume tangki pengendapan pertama
dihitung dengan Persamaan (4).

3
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑘𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 = ( ) ∗ 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑘𝑖 𝑠𝑒𝑝𝑡𝑖𝑘 (4)
4

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Kampung Cihiris merupakan salah satu kampung dari 29 kampung yang ada di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung
dengan kondisi sistem sanitasi yang kurang memadai. Kampung Cihiris memiliki total luas wilayah 6.97 ha yang
terbagi dalam 3 RT dengan jumlah penduduk pada tahun 2016 sebanyak 1,539 jiwa. Berdasarkan data hasil
perhitungan proyeksi jumlah penduduk untuk 10 tahun yang akan datang di Kampung Cihiris dengan menggunakan
metode perhitungan eksponensial diperoleh laju pertumbuhan jumlah penduduk di Kampung Cihiris dari tahun 2014
hingga tahun 2016 adalah 12.1 persen sementara hasil proyeksi jumlah penduduk Kampung Cihiris pada tahun 2026
adalah 5,165 jiwa.
Pengukuran topografi di lahan lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode controlling point. Metode
ini digunakan karena kondisi topografi lahan yang tidak datar dan terdapat banyak pohon-pohon penghalang. Hasil
pengukuran berupa koordinat Bujur Timur (x) dan koordinat Lintang Selatan (y) serta elevasi lahan (z) yang
selanjutnya diolah menggunakan program Surfer 9 sehingga diperoleh peta kontur dalam bentuk 2 dimensi seperti
pada Gambar 1. Tanda panah yang terdapat pada Gambar 1 menunjukkan arah aliran air (flow net) pada lahan yang
dipengaruhi oleh elevasi lahan. Air akan mengalir dari elevasi tertinggi menuju elevasi yang lebih rendah

KL - 10
Gambar 1. Peta kontur lokasi septik komunal
Penempatan lokasi tangki septik komunal disesuaikan berdasarkan kondisi lapang dan peta kontur Kampung Cihiris
yang diperoleh dari hasil pemetaan seperti pada Gambar 1. Tangki septik komunal yang di desain untuk Kampung
Cihiris ditempatkan pada lokasi elevasi 450 mdpl. Pada lokasi tersebut terdapat lahan kosong yang memungkin
untuk dibangun tangki septik komunal karena luas lahan cukup luas dan topografinya masih memungkinkan untuk
dilakukan cut-fill. Selain itu, lokasi ini merupakan lokasi yang paling efektif dan optimum untuk dibangun tangki
septik komunal karena hanya terdapat 2 blok layanan yang memiliki elevasi lebih rendah dari elevasi lahan tangki
septik komunal. Artinya, limbah dari semua blok layanan dapat dialirkan secara gravitasi kecuali 2 blok layanan
lainnya yang memiliki elevasi lebih rendah dari lahan tangki septik komunal. Total jumlah blok yang dapat terlayani
adalah sebanyak 30 blok layanan.
Desain fungsional dan struktural tangki septik komunal
Tangki septik komunal dan bidang resapan yang didesain terdiri dari beberapa unit fungsional yaitu tangki
pengendapan pertama, tangki septik 2, baffel, manhole, pipa inspeksi dan pipa ventilasi. Tangki pengendapan
pertama berfungsi untuk tahap awal pengendapan lumpur dan padatan serta tahap awal proses degradasi senyawa
organik secara biologis. Sementara tangki septik 2 berfungsi sebagai unit pengolahan lanjutan terhadap senyawa-
senyawa organik dengan menggunakan mikroorganisme. Baffel berfungsi sebagai sekat atau kompartemen di dalam
tangki septik komunal. Fungsi sekat atau kompartemen ini adalah untuk menahan air limbah yang baru masuk dari
pipa inlet baffel agar waktu detensi air limbah di dalam tangki septik lebih panjang sehingga pengolahan oleh
mikroorganisme bisa berlangsung efektif.
Manhole adalah lubang inspeksi yang berfungsi sebagai jalan masuk dan keluar untuk kegiatan pemeliharaan. Selain
manhole pada bagian atas tangki septik juga terdapat komponen lainnya yaitu pipa ventilasi dan pipa inspeksi. Pipa
ventilasi merupakan komponen yang berfungsi untuk mengeluarkan gas metan dari dalam tangki. Pipa inspeksi
berfungsi sebagai lubang inspeksi secara visual dari luar tangki dan sebagai lubang untuk melakukan penyedotan
lumpur. Sementara itu, bidang resapan tangki septik komunal terdiri atas beberapa lapisan yaitu lapisan kerikil yang
berfungsi sebagai media infiltrasi air limbah, lapisan ijuk yang berfungsi agar tanah urug tidak turun dan masuk ke
dalam lapisan kerikil, lapisan pasir yang berfungsi untuk menyaring air hujan yang ikut terinfiltrasi dan urugan
tanah yang berfungsi untuk mengurangi infiltrasi air hujan.
Berdasarkan hasil perhitungan dimensi tangki septik komunal di Kampung Cihiris menggunakan diperoleh hasil
seperti pada Tabel 1.

KL - 11
Tabel 1 Data hasil perhitungan dimensi tangki septik komunal Kampung Cihiris
Kriteria Desain Nilai Satuan
Jumlah penduduk (P) 5165 orang
Waktu pengurasan (N) 2.0 tahun
Lumpur yang dihasilkan (S) 40.0 liter/orang/tahun
Kebutuhan kapasitas penampung air (A) 413.2 m3
Debit limbah kakus (Q) 10.0 liter/orang/hari
Waktu detensi (Th) 1.1 hari
Kebutuhan kapasitas penampung lumpur (B) 56.1 m3
Volume tangki septik 469.3 m3
Volume tangki pengendapan pertama 352.0 m3
Perbandingan panjang terhadap lebar 1:2
Freeboard 0.3 m
Tinggi tangki septik 3.0 m
Tinggi keseluruhan tangki 3.3 m
Lebar tangki 2 9.0 m
Panjang tangki 2 17.0 m
Lebar tangki bak pengendapan pertama 7.5 m
Panjang bak pengendapan pertama 15.0 m

Pada rancangan tangki septik komunal dinding yang digunakan merupakan dinding batu bata dengan spesi 1:3
sedangkan pelat beton yang digunakan merupakan beton bertulang dengan tebal 8 cm pada pelat bagian atas dan 10
cm untuk pelat bagian bawah. Selain itu, salah satu unit struktural lainnya adalah baffel. Berdasarkan SNI- 03-2798-
2002 baffel diletakkan pada jarak 2/3 dari panjang tangki. Baffel untuk tangki pengendapan pertama diletakkan pada
jarak 10 m dari pipa inlet sedangkan baffel pada tangki septik kedua diletakkan pada jarak 12 m dari pipa inlet. Unit
struktral lainnya yaitu manhole yang didesain dengan diameter 60 cm. Jumlah manhole yang di desain untuk tangki
1 dibuat 6 manhole sedangkan untuk tangki septik 2 dibuat 8 manhole. Selain manhole pada bagian atas tangki
septik juga terdapat komponen lainnya yaitu pipa ventilasi dan pipa inspeksi. Kedua pipa ini mempunyai diameter
pipa yang sama yaitu 10 cm. Jumlah pipa ventilasi yang dirancang untuk tangki septik 1 dan tangki septik 2 masing-
masing sebanyak 8 pipa. Pada tangki septik 1 jumlah pipa inspeksi yang dirancang. sebanyak 6 pipa sedangkan pada
tangki septik 2 tangki septik yang dirancang sebanyak 8 pipa.
Bidang resapan tangki septik komunal
Berdasarkan (Sumardji dan Hamdi 2013) terdapat beberapa kriteria desain dalam merancang bidang resapan
diantaranya laju perkolasi pada lahan tersebut ada di interval 0.5-24 menit/cm, ketinggian muka air tanah minimum
0.6 m di bawah dasar rencana saluran peresap atau (1-1.5) m di bawah muka tanah dan jarak horizontal dari sumber
air (seperti sumur) tidak boleh kurang dari 10 m. Berdasarkan data peta jenis tanah di Kecamatan Nanggung
diketahui bahwa jenis tanah di Kampung Cihiris adalah Komplek Latosol Merah Kekuningan sehingga menurut
(Committee On Tropical Soils Agriculture Board National Research Council 1972) tanah jenis ini mempunyai laju
perkolasi 1.65 menit/cm. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan kedalaman sumur warga yang ada disekitar
lahan tangki septik komunal yang mempunyai kedalaman 10 m maka dapat disimpulkan bahwa tinggi muka air
tanah di daerah ini lebih dari 1.5 m dari permukaan tanah. Jarak sumur dari rumah warga yang terdekat yang ada
disekitar lahan tangki septik komunal adalah 13 m.
Berdasarkan hasil analisis terhadap kriteria desain bidang resapan diperoleh data dimensi tangki septik komunal
seperti pada Tabel 2.

KL - 12
Tabel 2 Data dimensi bidang resapan tangki septik komunal Kampung Cihiris
Parameter Nilai Satuan
lebar dasar saluran 60 cm
lebar atas saluran 90 cm
diameter pipa peresap 10 cm
jarak bukaan perforasi 0.5 cm
diameter bukaan 1 cm
jarak antar bidang resapan 160 cm
lebar boks bagi 200 cm
tinggi boks bagi 200 cm
panjang boks bagi 200 cm

Data di atas diperoleh berdasarkan kriteria desain menurut (Sumardji dan Hamdi 2013). Lebar dasar saluran
digunakan 60 cm karena laju perkolasi pada lahan tersebut 1.65 menit/cm. Jarak bukaan perforasi setiap 3-6 mm dan
diameter bukaan 1 cm dengan jarak antar bidang resapan harus lebih dari 150 cm. Bidang resapan terdiri dari 4
lapisan dengan material yang berbeda yaitu lapisan batu pecah pada lapisan paling bawah dan kemudian berturut-
turut lapisan ijuk, pasir dan urugan tanah. Tebal setiap lapisan bidang resapan ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Data dimensi bidang resapan tangki septik komunal Kampung Cihiris
Parameter Nilai Satuan
lebar dasar saluran 60 cm
lebar atas saluran 90 cm
diameter pipa peresap 10 cm
jarak bukaan perforasi 0.5 cm
diameter bukaan 1 cm
jarak antar bidang resapan 160 cm
lebar boks bagi 200 cm
tinggi boks bagi 200 cm
panjang boks bagi 200 cm

4. KESIMPULAN
Tangki septik komunal yang di desain untuk Kampung Cihiris ditempatkan pada elevasi 450 mdpl. Lokasi ini
merupakan lokasi yang paling efektif dan optimum untuk dibangun tangki septik komunal karena hanya terdapat 2
blok layanan yang memiliki elevasi lebih rendah dari elevasi lahan tangki septik komunal. Artinya, limbah dari
semua blok layanan dapat dialirkan secara gravitasi kecuali 2 blok layanan lainnya. Total blok yang dapat terlayani
adalah sebanyak 30 blok layanan.
Tangki septik komunal terdiri atas beberapa unit fungsional yaitu tangki pengendapan pertama, tangki septik 2,
baffel, manhole, pipa inspeksi dan pipa ventilasi. Sementara itu, bidang resapan terdiri dari beberapa lapisan yaitu
lapisan kerikil, ijuk, pasir dan urugan tanah. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh dimensi septik komunal yaitu
lebar 7.5 m, panjang 15 m dan tinggi 3.3 m untuk tangki pengendapan pertama dan lebar 9 m, panjang 18 m dan
tinggi 3.3 m untuk tangki septik 2. Jumlah manhole, pipa ventilasi dan pipa inspeksi yang dirancang untuk tangki
pengendapan pertama sebanyak 6 manhole, 9 pipa ventilasi dan 6 pipa inspeksi sedangkan pada tangki septik 2
dirancang sebanyak 7 manhole, 9 pipa ventilasi dan 8 pipa inspeksi. Manhole didesain dengan diameter 60 cm
sedangkan diameter pipa inspeksi dan ventilasi didesain 10 cm. Bidang resapan terdiri dari beberapa lapisan yaitu
lapisan kerikil pada bagian bawah dengan tebal 40 cm, lapisan ijuk dengan tebal 5 cm, lapisan pasir dengan tebal 10
cm dan yang terakhir adalah urugan tanah setebal 30 cm.

KL - 13
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito W. (2007). “Faktor resiko diare pada bayi dan balita di indonesia: Systematic review penelitian
akademik bidang kesehatan masyarakat”. Makara Kesehatan.Vol 11(1):1-10.
Barclay GW. (1970). Techniques of Population Analysis. John Wiley & Son,.New York, United State.
Committee On Tropical Soils Agricultural Board National Research Council. (1972). Soils Of The Humid Tropics.
National Academy Of Sciences, Washington DC, United State.
[BSN]. Badan Standardisasi Nasional. (2004). SNI 03-1733-2004 tentang tata cara perencanaan lingkungan
perumahan di perkotaan. Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
[BSN]. Badan Standardisasi Nasional. (2002) .SNI 03-2398-2002 tentang tata cara perencanaan tangki septik
dengan sistem resapan. Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
Kruijff. (1987). Rencana sistem tangki septik. Cipta Karya Direktorat Penyehatan Lingkungan
Permukiman, Jakarta.
Sapei A, Purwanto MYJ, Sutoyo, Kurniawan A. (2011). “Desain instalasi pengolah limbah wc komunal masyarakat
pinggir sungai desa lingkar kampus.” Ilmu Pertanian Indonesia.Vol 16(2):91-99.
Sugiharto.(1987). Dasar-Dasar Pengolahan Air Limbah. Universitas Indonesia, Jakarta.
Sumardji, Hamdi. (2013). Tangki septik dan peresapannya sebagai sistem pembuangan air kotor di permukiman
rumah tinggal keluarga. Teknik Sipil.Vol 9(2):134-142.
Zuliyanto, A. (2011). “Strategi pengolahan air limbah domestik di kecamatan lamongan kabupaten lamongan”.
Jurnal Teknika Vol 2(2):17-24

KL - 14
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

PERANAN BAMBU DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN WILAYAH YANG


BERKELANJUTAN
Noverma1

1
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Sunan Ampel, Jl. Ahmad Yani 117 Surabaya
Email: noverma@uinsby.ac.id / noverma18@gmail.com

ABSTRAK
Bentuk geografis wilayah Indonesia merupakan salah satu wilayah bambu tumbuh dengan baik.
Tingkat pertumbuhan bambu yang tinggi, mudah tumbuh dengan masa panen sangat cepat,
menjadikan budidaya bambu cukup menjajikan dibandingkan dengan kayu. Namun permasalahan
saat ini bambu tidak dibiarkan tumbuh dengan baik dan dimanfaatkan dengan maksimal, bahkan
beberapa jenis bambu mulai langka dan sulit ditemukan. Adapun yang menjadi faktor kepunahan
bambu adalah karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan bambu secara
maksimal, paradigama buruk masyarakat tentang bambu yang berhubungan dengan kemiskinan, alih
tata guna lahan, eksplorasi bambu yang tidak terkendali, serta kurangnya perhatian pemerintah
dalam pelestarian tumbuhan ini. Untuk itu penelitian ini dilakukan untuk mengkaji peranan bambu
dalam mendukung pembangunan wilayah yang berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan
kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang arti penting keberadaan pohon bambu bagi
lingkungan, sosial ekonomi dan budaya. Penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data melalui
pengamatan langsung dan eksplorasi dari para ahli, praktisi, masyarakat serta berbagai refferensi
yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bambu mempunyai peranan yang cukup penting
dalam mendukung pembangunan wilayah yang berkelanjutan. Hal ini ditinjau dari fungsi bambu
terhadap lingkungan sekitar, sosial ekonomi dan budaya. Diantaranya adalah pohon bambu dapat
menjadi alternatif solusi permasalahan pemanasan global dan dapat berperan sebagai mitigasi
bencana alam; longsor, banjir, erosi, meredam kebisingan, dan dimanfaatkan sebagai material
bangunan tahan gempa. Bambu merupakan jenis bahan bangunan ramah lingkungan, renewable
serta memiliki sifat elastis dan kuat tarik yang tinggi, sehingga dapat juga menjadi alternatif material
bangunan pengganti kayu.
Kata kunci: Bambu, lingkungan, berkelanjutan

1. PENDAHULUAN
Bentuk geografis wilayah Indonesia yang merupakan salah satu wilayah, dimana bambu tumbuh dengan baik.
Terdapat Sekitar 159 spesies bambu dari 1.250 jenis bambu di dunia, tumbuh di wilayah indonesia dengan 88
spesies merupakan jenis endemik atau jenis bambu khas yang terdapat di suatu daerah dan memberikan banyak
manfaat bagi lingkungan sekitar. Sejak zaman dahulu, bambu sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, dan
dimanfaatkan untuk banyak hal. Beberapa penggunaan bambu sejak zaman nenek monyang diantaranya
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, transportasi, peralatan rumah tangga, bahan kerajinan, peralatan musik dan
sebagainya, bahkan juga dibuat sebagai senjata dalam berperang melawan penjajah. Disamping itu saat ini juga
diperkenalkan berbagai macam produk olahan bambu berupa bambu lapis dan bambu laminasi dengan kekuatannya
setara dengan kayu kelas kuat III. Sehingga bambu menjadi alternative pengganti kayu, yang semakin langka untuk
diperoleh. Selain merupakan jenis material yang murah dan mempunyai nilai estetika yang tinggi, Penelitian
morisco (2006), menunjukkan bahwa kekuatan tarik bambu melampaui kuat tarik baja disamping kuat lentur dan
keelastisitas bambu yang juga tinggi. Jika dibandingkan dengan kayu, bambu merupakan jenis tumbuhan yang
mudah ditanam dan dapat tumbuh dimana saja, dalam hal budidaya, bambu dapat tumbuh terus menerus tanpa harus
ditanam lagi, kualitas bambu yang baik sudah dapat diperoleh dalam waktu yang sangat singkat sekitar 3 – 5 tahun.
Sebaliknya bambu juga dikenal mempunya durabilitas yang rendah, namun hal ini bukan permasalahan yang harus
dikhawatirkan, karena hal ini dapat diatasi dengan berbagai macam metode pengawetan bambu yang telah
dikembangkan oleh para peneliti. Adapun permasalahan yang terjadi adalah kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang keunggulan dan pemanfaatan bambu secara maksimal serta paradigama yang berkembang di masyarakat,
yang menghubungkan bambu dengan masyarakat kelas bawah. Disamping itu kurangnya perhatian pemerintah
dalam mengeluarkan kebijakan akan manfaat dan pentingnya tanaman bambu bagi lingkungan, sosial ekonomi dan
budaya. Oleh karena itu bambu menjadi tidak dilestarikan karena dianggap tumbuhan yang tidak begitu penting,
sehingga beberapa spesies bambu menjadi langka dan hampir punah. Jika hal ini terus dibiarkan, dapat diperkirakan
kepunahan akan semakin besar dan tanaman bambu tidak ditemukan lagi. Faktor utama dari kepunahan spesies

KL - 15
bambu diantarnya adalah alih fungsi lahan, ekplorasi yang tidak terkendali serta terjadinya penyelundupan ke luar
negeri. Berdasarkan permasalahan ini maka perlu dilakukan kajian mengenai peran bambu dalam mendukung
pembangunan wilayah yang berkelanjutan sehingga meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang
arti penting keberadaan pohon bambu bagi lingkungan, sosial ekonomi dan budaya. Adapun tujuan dari penelitian
ini adalah diharapkan bambu menjadi tanaman yang dilestarikan untuk menjadi salah satu solusi permasalahan
lingkungan dan sebagai upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2. KAJIAN PUSTAKA
Bambu
Menurut Sharma (1987) dalam Morisco (2006) berbagai jenis bambu yang tersebar di dunia tercatat lebih dari 75
genera dan 1250 spesies bambu, sedangkan menurut Uchimura (1980) dalam Morisco (2006) bahwa 80% dari
jumlah bambu yang ada di seluruh dunia, tersebar di Asia Selatan dan Asia Tenggara terutama di daerah tropis,
termasuk Indonesia dengan jumlah spesies paling banyak adalah genus Bambusa yang tersebar. Salah satu jenis
bambu yang dikenal adalah bambu dengan nama botani Gigantochloa atroviolacea Widjaja, yang dikenal di
Indonesia adalah dengan nama bambu hitam atau awi hideung, awi wulung, pring wulung dan pring ireng. Beberapa
ciri-ciri yang dapat dikenali dari jenis bambu ini adalah mempunyai rumpun yang jarang, tumbuh di dataran rendah
sampai ketinggian 650 m di atas permukaan air laut. Warna kulit batang hitam, hijau kehitam-hitaman atau ungu
tua. Tinggi batang dapat mencapai 20 m, panjang ruas 40 s.d. 50 cm, dengan diameter 6 s.d. 9 cm, tebal dinding
buluh 6 s.d. 8 mm.

Gambar 1. Bentuk Tanaman Bambu (Morisco 2006)

Bambu mempunyai banyak keunggulan yang dapat dimanfaatkan, namun juga memiliki kelemahan. Kelemahan
bambu diantaranya mudah terserang kumbang bubuk. Ketahanan bambu dipengaruhi oleh ketahanan fisik,
kandungan pati pada bambu, Waktu penebangan, dan kandungan air pada bambu dan lain-lain. Untuk mengatasi
permasalahan ini, maka waktu penebangan perlu diperhatikan, dianjurkan penebangan dilakukan pada musim
kemarau dan melakukan pengawetan terlebih dahulu. Terdapat berbagai metode yang diperkenalkan untuk
meningkatkan durabilitas bambu,baik tanpa menggunakan bahan kimia maupu dengan bahan kimia diantaranya
adalah dengan metode pengasapan, metode curing, metode pelaburan, perendamn dalam air, perebusan, metode Butt
Treatment, metode tangki terbuka, metode Boucherie dan lain-lain.

pembangunan wilayah yang berkelanjutan

Pembangunan terus berkembang seiring dengan tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat. Meningkatnya
pertumbuhan penduduk, berdampak pada kebutuhan pemukiman, infrastruktur, lahan pertanian/perkebunan serta
tumbuhnya berbagai sektor industri. Adapun beberapa permasalahan dampak dari pembangunan diantaranya; (1)
permasalahan sumber daya alam; kerusakan hutan, kepunahan hewan dan tumbuhan, serta perluasan lahan kritis. (2)
Permasalahan permukiman; sanitasi, permukiman kumuh, air bersih, dan kesehatan lingkungan. (3) Polusi
lingkungan; pencemaran air, tanah, udara dan kebisingan. Akibat dari permasalahan ini dapat meyebabkan
terjadinya bencana alam dan permasalahan di bidang sosial ekonomi. Adapun solusi dari permasalahan lingkungan
akibat dari pembangunan adalah melalui konsep pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan yang
berkelanjutan merupakan pembangunan jangka panjang dalam jangka waktu antar generasi yang berupaya
memenuhi sumber daya dan lingkungan yang sehat baik di masa sekarang maupun dimasa mendatang. Dalam

KL - 16
memenuhi kebutuhan sekarang tidak mengabaikan pemenuhan kebutuhan mendatang baik terkait aspek sosial,
ekonomi maupun lingkungan. Pembangunan, harus tetap memperhatikan kelestarian lingkungan, pembangunan
ekonomi dan keadilan sosial. Adapun ciri pembangunan berkelanjutan adalah; (1) Sinerginya aspek ekonomi, sosial,
dan lingkungan hidup dalam meningkatkan kualitas manusia. Aspek ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan
tetap memfokuskan kepada pertumbuhan, pemerataan, stabilitas, dan arif. Aspek sosial meliputi pemberdayaan,
peran serta, kebersamaan, mobilitas, identitas kebudayaan, pembinaan kelembagaan, dan pengentasan kemiskinan.
Aspek ekologi bertujuan pada integritas ekosistem, ramah lingkungan dan hemat sumber daya alam, pelestarian
keanekaragaman hayati, dan tanggapan isu global. (2) Keterkaitan yang kompleks antara manusia dengan
lingkungan dapat dimungkinkan untuk masa kini dan masa yang mendatang. (3) Pandangan jangka panjang dapat
digunakan untuk merencanakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang mendukung pembangunan agar
secara berkelanjutan dapat dimanfaatkan. (4) Strategi pembangunan yang berwawasan lingkungan dilandasi oleh
pemerataan distribusi lahan dan faktor produksi, pemerataan kesempatan perempuan, dan pemerataan ekonomi
untuk kesejahteraan. (5) Keanekaragaman hayati merupakan dasar bagi tatanan lingkungan. Pemeliharaan
keanekaragaman hayati memiliki kepastian bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk
masa kini dan masa mendatang

3. METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data melalui pengamatan langsung dan eksplorasi dari para ahli,
praktisi, masyarakat serta berbagai refferensi yang relevan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil kajian, diketahui bahwa bambu mempunyai peranan yang cukup penting dalam mendukung
pembangunan wilayah yang berkelanjutan. Bambu diketahui dapat menjadi solusi permasalahan lingkungan,
mendukung aspek social ekonomi dan budaya.

Peranan Bambu Terhadap Lingkungan Sekitar

Adapun peranan bambu terhadap lingkungan sekitar, bambu dapat menjadi solusi permasalahan pemanasan global,
polusi udara dan suara serta dapat menjadi pengendali erosi, longsor, banjir dan kekeringan, selain itu bambu juga
dapat digunakan sebgai material bangunan sebagai upaya dalam mitigasi bencana gempa bumi.

Dampak dari peningkatan suhu global adalah merupakan suatu masalah yang harus dicarikan solusi
penyelesaiannya. Karena hal ini dapat mengganggu keseimbangan alam dan mempengaruhi sistem perekonomian,
kesehatan dan punahnya berbagai jenis hewan. Untuk mengatasi permasalahan ini, maka perlu metode untuk
mengurangi atau memperlambat peningkatan emisi gas-gas rumah kaca. Hal ini dapat dilakukan dengan mencegah
terlepasnya karbondioksida ke atmosfer dengan menyimpan komponen karbon di tempat yang berbeda melalui
penghijauan. Penghijauan dilakukan melalui pemeliharaan dan penanaman pohon. Pohon dengan daun yang hijau
dalam pertumbuhanya mengalami proses fotosintesis sehingga terjadi pengikatan karbondioksida dalam kayu untuk
diolah menjadi cadangan makanan. Namun penanaman pohon membutuhkan waktu yang sangat lama dan
membutuhkan pemeliharaan yang baik untuk bisa tumbuh, sehingga salah satu alternatif dalam penghijauan adalah
dengan menggatikan pohon dengan bambu. Bambu selain juga merupakan tanaman hijau yang mengalami
fotosintesis, bambu adalah tanaman yang mudah tumbuh dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi.

Dalam mengatasi permasalahan polusi udara dan polusi suara yang terjadi hampir di setiap kota-kota besar, tanaman
bambu dapat menjadi pilihan solusi. Pohon bambu dapat menjaga kebersihan udara karena menghasilkan 30 persen
oksigen lebih besar ketimbang pohon lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan satu batang bambu
dapat mensuplai kebutuhan oksigen satu orang dalam waktu satu hari. Hal ini juga didukung oleh klorofil dalam
bambu yang memiliki kelebihan untuk memproses fotosintesis lebih cepat dibandingkan dengan daun yang lain.
Kemampuan bambu untuk melepaskan banyak oksigen membuat bambu dapat menetralisir udara kotor. Selain itu
bentuk bambu yang memiliki batang yang berongga dapat berfungsi meredam suara-suara bising juga menghasilkan
suara-suara khas yang mendamaikan, ketika batang-batangnya saling bergesekan.

Beberapa bencana yang sering terjadi di Indonesia adalah longsor, erosi dan banjir dan kekeringan dan dapat
menyebabkan kerugian harta benda maupun korban jiwa. Hal ini disinyalir akibat tanah yang kurang stabil. Untuk
mengatasi permasalahan ini, dilakukan berbagai upaya pencegahan diantaranya melalui betonisasi. Namun dengan
metode ini disamping memerlukan biaya yang relatif mahal, juga bersifat menstabilkan tanah secara kinetik. Selain

KL - 17
itu dengan metode betonisasi juga berdampak pada hilangnya sumber mata air di sekitar sungai. Untuk itu metode
betonisasi ini menjadi tidak efektif untuk dilaksanakan. Salah satu solusi adalah dengan menggunakan bahan alam
yaitu melalui penanaman bambu. Bambu mempunyai jenis akar rimpang dengan rambut-rambut yang terdapat pada
akar dapat mengikat tanah dan air dengan baik dibandingkan dengan pepohonan. Untuk itu tanaman bambu menjadi
sangat efektif dalam usaha reboisasi untuk menstabilkan tanah, mencegah erosi, longsor dan banjir. Selain itu
bambu juga dapat menjadi tanaman konservasi air melalui sifat kapiler batang bambu yang dapat menghisap dan
menampung air sehingga jika terjadi kemarau dalam jangka waktu yang lama, sumber mata air masih dapat
ditemukan.

Bentuk geografis wilayah Indonesia juga menjadikan Indonesia sering dilanda bencana gempa bumi. Bencana
gempa bumi yang terjadi meakibatkan rusaknya bangunan, baik kategori rusak ringan, sedang, maupun kategori
rusak berat. Adapun yang mempengaruhi kerusakan bangunan adalah berat bangunan itu sendiri dan beban-beban
yang bekerja. Banyaknya korban jiwa akibat gempa bumi, rata-rata disebabkan oleh rerentuhan bangunan.
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa hampir rata-rata bangunan modern menggunakan material beton,
sehingga jika terjadi guncangan gempa bumi dengan kekuatan tinggi dapat merusak bangunan dan membahayakan
penghuninya. Mengatasi permasalahan ini, bambu dapat menjadi pilihan material alternatif untuk digunakan sebagai
bahan bangunan di daerah rawan gempa. Adapun alasan pimilihan material bambu adalah karena bambu merupakan
bahan jenis kayu yang mudah diperoleh serta bambu mempunyai banyak keunggulan. Adapun keunggulan bambu
dalam hal mitigasi bencana adalah karena sifat bahan yang dimiliki bamboo, diantaranya; (1) mempunyai sifat lentur
yang tinggi, sehingga ketika terjadi gempa, bambu dapat mengikuti arah gaya gempa yang bekerja tanpa mengalami
patah sampai batas lentur yang diizinkan, sehingga Sifat lenturnya yang cukup tinggi menjadikan bambu tahan
terhadap guncangan yang kuat dibandingkan dengan baja atau beton yang keras, kaku, dan mudah pecah. (2) Bentuk
bambu dengan batang berlubang akan mengurangi berat bangunan sehingga memperkecil pengaruh terhadap gaya
gempa, karna bentuknya yang berlubang membuat bambu menjadi lebih ringan dengan momen lembam yang besar
dan merata, sehingga dapat menahan arah gaya gempa yang sulit diperkirakan. Sifat bambu yang ringan juga
membuat bambu tidak terlalu berbahaya jika menimpa manusia pada saat terjadinya gempa. Disamping sifat bahan
yang dimiliki oleh bambu dalam mitigasi bencana gempa adalah sistem sambungan yang kaku, bersama-sama dalam
penyaluran beban dan saling menghilangkan momen yang ditimbulkan oleh besarnya beban yang bekerja.

Peranan Bambu Dalam Aspek Sosial Ekonomi


Ditinjau dari segi sosial ekonomi, bambu bermanfaat untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran,
mencegah urbanisasi serta mendorong pariwisata. Bambu dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sektor industri
kreatif sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, diataranya dapat digunakan sebagai material
bangunan, peralatan rumah tangga, bahan baku kertas, obat-obatan, bahan kerajinan, bahan makanan dan
sebagainya. Batang Bambu yang sudah siap tebang dengan umur 3 tahun sampai dengan 5 tahun dapat dimanfaakan
sebagai material bangunan pondasi, lantai, balok, kolom, dinding, rangka atap dan sebagainya.

Gambar. 2. Contoh Pemanfaatan Bambu pada Konstruksi Bangunan (Morisco 2006)


Disamping dapat digunakan sebagai bahan bangunan batang bambu juga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam
kerajinan untuk pembuatan alat rumah tangga, peralatan masak, miniatur, furniture, dan sebagainya.

KL - 18
Gambar. 3. Pemanfaatan bambu sebagai bahan kerajinan (Morisco 2006)

Selain bagian batang bambu, daun bambu, serat bambu, dan bahkan bambu yang masih muda juga dapat
dimanfaatka. Bagian daun bambu dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan beberapa jenis penyakit. Hal ini
karena kandungan senyawa kimia yang ada pada daun bambu, diantaranya adalah asam amino, klorofil, flavonoid,
polisakarida dan beberapa vitamin. Beberapa jenis penyakit yang dapat disembuhkan diataranya adalah; dapat
meringankan gejala asam urat, mempercepat penyembuhan luka, obat cacingan dan sebagainya. Serat bambu dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan kertas dan benang untuk produk tekstil. Sedangkan untuk
bambu yang masih muda dapat dimanfatkan sebagai makanan yang biasa disebut rebung.

Jika ditinjau dalam aspek pertanian, budidaya pohon bambu cukup menjanjikan. Hal ini ditinjau dari beberapa faktor
dalam budidaya tanaman. Bambu adalah jenis tanaman yang mudah tumbuh tidak memerlukan perawatan khusus,
pemupukan, dan tidak memerlukan pembibitan juga tidak memerlukan penanaman kembali setelah ditebang.
Tingkat pertumbuhan bambu sangat cepat berkisar antara 3 tahun sampai dengan 5 tahun untuk bisa ditebang dan
dimanfaatkan, sangat berbeda dengan kayu yang membutuhkan waktu yang sangat lama. Dengan keunggulan
tersebut, budidaya bambu dapat memberikan hasil yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan kayu.
Sedangkan untuk mendorong sektor pariwisata, hutan bambu dapat dikelola menjadi spot yang menarik untuk
jepretan kamera. Dengan pengelolaan yang baik dapat menarik minat wisatawan berkunjung untuk melihat konsep
pedesaan alami dengan tumbuhan jenis bambu dan udara yang menyejukkan.

Peranan Bambu Dalam Aspek Budaya Indonesia

Pengenalan masyarakat Indonesia dengan tanaman bambu telah berlangsung sangat lama dan merupakan warisan
budaya yang diwariskan oleh nenek monyang yang sudah dikenal oleh masyarakat luas. Bambu sudah
dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, Sehingga tanaman ini sangat lekat dengan budaya nusantara Indonesia.
bambu telah dikenal sejak masa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur.
Bukti catatan sejarah kerajaan tarumanegara ditunjukkan dengan adanya rakit-rakit sebagai alat transportasi air
pada masa itu. Sementara bukti sejarah pada masa kerajaan Kutai adalah pemanfaatan bambu untuk membuat bagan
penangkap ikan di lautan. Adanya keanekaragaman dan penyebaran suku-suku yang berbeda-beda di seluruh
wilayah Nusantara dari Sabang sampai mearuke, memberikan karakteristik/ciri-ciri budaya yang berbeda antara
suku yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat terlihat dari cara pemanfaatan bambu di setiap suku daerah
nusantara. Pemanfaatan bambu pada zaman dahulu digunakan sebagai material bangunan. Masyarakat pada zaman
dahulu menggunakan bambu dalam desain struktur rumah tradisional dengan desain yang beranekaragam sesuai
dengan budaya dan suku masyarakat. Peralatan rumah tangga seperti peralatan dapur dan furniture. Bambu juga
merupakan bagian dalam kehidupan seni dan budaya yaitu sebagai alat musik berbagai suku daerah di Indonesia.
Saluang dari Sumatra Barat, Taktok Trieng dari Aceh, Angklung dari Jawa Barat, Gamolan dari Lampung, Rindik
dari Bali, Tatali dari Sulawesi Tengah, Sansando dari NTT, dan lain-lain. Peralatan musik ini digunakan dalam
banyak ritual adat masyarakat seluruh nusantara. Selain itu bambu juga digunakan sebagai senjata atau alat bela
diri. Pada masa penjajahan, para pejuang nusantara biasa menggunakan bambu sebagai senjata untuk membela diri
dalam mempertahankan wilayah nusantara dalam berperang melawan penjajah. Lekatnya budaya bambu dengan
masyarakat Indonesia sejak zaman kerajaan nusantara, dikarenakan tanaman ini mudah tumbuh dan ditemukan
hampir di seluruh wilayah nusantara.

KL - 19
Gambar. 4. Pemanfaatan Bambu dalam Seni dan Budaya (http://www.antaranews.com/berita/538757/ibc-gelar-
festival-bambu-internasional-pada-april)

5. KESIMPULAN
Bambu dapat mendukung pembangunan wilayah yang berkelanjutan serta dimanfaatkan untuk berbagai macam
kebutuhan ditinjau dalam berbagai aspek sebagai berikut:
- Ditinjau dari aspek lingkungan, bambu dapat mengatasi masalah banjir, longsor, kekeringan, gempa bumi,
serta polusi udara dan suara. Hal ini karna sifat bambu yang mempunyai jenis akar rimpang, sifat kapiler,
batang yang berlubang dan ringan, serta jumlah oksigen yang lebih besar dan kecepatan dalam melakukan
fotosintesis dibandingkan dengan tanaman hijau lainnya.
- Ditinjau dari aspek sosial ekonomi, pemanfaatan bambu dalam bidang industri, pertanian dan pariwisata dapat
mengurangi jumlah pengangguran dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat. Hal ini karena keunggulan
bambu yang mudah ditanam dengan pertumbuhan yang cepat, murah serta mempunyai kekuatan Tarik dan
lentur yang tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan bahan baku industri. Selain itu
bagian daun dan bambu muda juga dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan dan bahan makanan.
- Ditinjau dari aspek budaya, bambu sudah dikenal sejak zaman dahulu dan merupakan warisan nenek
monyang. Pada zaman dahulu bambu sudah dimanfaatkan dalam seni dan budaya, dalam pembuatan alat musik
untuk upacara adat, disain struktur rumah tradisional, senjata untuk membela diri, alat transportasi sungai dan
sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA
Feri purnama (2016). IBC gelar festival bambu internasional pada April.
http://www.antaranews.com/berita/538757/ibc-gelar-festival-bambu-internasional-pada-april. 07Agustus 2017.
Morisco. (2006). Teknologi Bambu. Program Magister Teknologi Bahan Bangunan. UGM, Yogyakarta.
Santoso, Adi. (2015). Pengolahan Hasil Hutan kayu dan Bambu. Pusat penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan,
Badan Penelitian dan pengembangan kehutanan, Kementerian Kehutanan, Bogor

KL - 20
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

PEMANFAATAN TUMBUHAN AIR UNTUK MEREDUKSI LIMBAH LOGAM


TIMBAL DAN BESI MODEL REAKTOR “CONSTANT HEAD” TIPE FILTRASI

Nurul Fitri Rasyid1, Lawalenna2, dan Achmad Zubair3

1
Mahasiswa S1 Program Studi Teknik Lingkungan Departemen Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, BTN.
Minasaupa Blok B10 No. 8, Makassar 90222
Email: Nurulfitrirasyid@ymail.com
2
Dosen Departemen Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Jl. Hertasning VIII Blok E9 No. 4 Makassar 90222
Email: samang_l@yahoo.com
3
Dosen Departemen Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Komp. Tamalanrea Blok-GB 5, Makassar 90245
Email:Achmad.zubair@gmail.com

ABSTRAK
Pencemaran air oleh logam berat dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Mengingat logam pb dan fe tergolong logam berat dengan toksik yang tinggi, maka perlu upaya
remediasi. Salah satu alternatif sistem pengolahan limbah logam pb dan fe adalah sistem lahan
basah buatan dengan memanfaatkan tumbuhan air yaitu eceng gondok dan kiapu yang
dikombinasikan dengan metode filtrasi seperti tanah aluvial dan zeolit. Penelitian ini bertujuan
untuk menguji besarnya tingkat reduksi logam pb dan fe setelah perlakuan kombinasi teknologi
fitoremediasi dan media filtrasi. Perlakuan penelitian yaitu P1 (100% eceng gondok), P2 (75%
eceng gondok : 25% kiapu), P3 (50% eceng gondok : 50% kiapu), P4 (25% eceng gondok : 75%
kiapu) dan P5 (100% kiapu). Proses kombinasi teknologi fitoremediasi dan media filtrasi pada air
limbah diamati selama 15 hari dengan rentang pengambilan sampel 5 hari kemudian dianalisis
menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kombinasi teknologi fitoremediasi dan media filtrasi mampu menurunkan konsentrasi pb dan fe
dalam air limbah. Hasil perlakuan P1 menunjukkan tingkat reduksi tertinggi, dimana konsentrasi pb
0,02 ppm memiliki penyerapan 99,6%. Sedangkan konsentrasi fe 0,14 ppm memiliki penyerapan
97,1% dengan konsentrasi awal 5 ppm. Perlakuan kombinasi teknologi fitoremediasi dan media
filtrasi di hari ke-15 mampu mereduksi logam pb dan fe dengan nilai keefektifan berkisar 94 – 99%,
sesuai dengan baku mutu peraturan pemerintah no. 82 tahun 2001. Penyerapan logam berat pb dan
fe dengan variasi waktu tinggal menvisualkan perubahan morfologi tanaman eceng gondok dan
kiapu mengalami klorosis pada daun, batang menjadi layu dan rontok pada akar. Hasil penelitian ini
sangat efektif digunakan untuk pengendalian limbah cair yang terkontaminasi logam pb dan fe.
Kata kunci : fitoremediasi, metode filtrasi, eceng gondok, kiapu, logam pb dan fe

1. PENDAHULUAN
Besarnya ketergantungan akan penggunaan bahan kimia membawa implikasi yang cukup serius yaitu pada masalah
sisa dari hasil produksi yang biasa disebut sebagai limbah. Pembuangan limbah industri yang dilakukan secara
langsung akan dapat menyebar ke air, udara dan tanah sehingga berpotensi menimbulkan terjadinya pencemaran
penanganan limbah cair perlu mendapatkan perhatian intensif oleh semua pihak. Pengolahan limbah cair dengan
metode yang tepat diharapkan dapat meminimalisasi kandungan zat – zat polutan terutama logam berat yang
berpotensi merusak lingkungan. Adapun logam berat berpotensi merusak lingkungan pada beberapa kasus adalah
timbal (pb) dan besi (fe). Kedua logam ini merupakan jenis logam berat yang banyak digunakan dalam berbagai
kegiatan industri.
Seiring berkembangnya teknologi, para ahli lingkungan mengembangkan metode secara alami yaitu memanfaatkan
penggunaan tumbuhan untuk meminimalisir dan menurunkan konsentrasi logam dalam air limbah industri. Untuk
meningkatkan kinerja tumbuhan air maka diperlukan media filtrasi. Constructed wetlands merupakan salah satu cara
alternatif untuk sistem pengolahan limbah cair yang mengandung logam berat dengan memanfaatkan tumbuhan air
yang dikombinasikan dengan metode filtrasi.
Fakta membuktikan bahwa metode filtrasi dianggap cukup baik karena media filter yang digunakan mempunyai
tingkat keefektifan tinggi untuk menurunkan bahan pencemar, melalui pertukaran ion dan adsorpsi. Sedangkan
tumbuhan air dapat mengakumulasi logam-logam dari lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini,
tanaman yang digunakan adalah eceng gondok (eichornia crassipes) dan kiapu (pistia stratiotes). Pemilihan jenis

KL - 21
tanaman ini didasari oleh penelitian (Syafrani, 2007) bahwa teknik pengolahan limbah cair terbaik dalam
mengurangi kadar bahan pencemar adalah kombinasi media penyaring tanah aluvial - zeolit dengan tumbuhan air
gabungan, dari 19 parameter yang dianalisis mampu menurunkan 13 parameter bahan pencemar dengan nilai
keefektivan berkisar antara 75%-100%, termasuk kadar logam timbal (pb) dan besi (fe).
Dalam konteks mencari solusi permasalahan tersebut, dan berkontribusi terhadap upaya pengolahan limbah cair,
maka penelitian ini bertujuan untuk menguji besarnya tingkat reduksi logam berat timbal dan besi post–fitofiltrasi,
menguji penyerapan logam timbal dan besi dengan waktu fitofiltrasi dan mengidentifikasi morfologi fitofiltrasi
tanaman eceng gondok dan kiapu.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Pengolahan limbah cair secara biologi (teknologi fitoremediasi)

Teknologi fitoremediasi (phytoremediation) merupakan suatu sistem dimana tanaman tertentu, secara sendiri atau
bekerjasama dengan mikroorganisme dalam media (tanah, koral dan air) yang dapat mengubah zat kontaminan
(pencemar / polutan) menjadi kurang atau tidak atau tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang berguna secara
ekonomi. Konsep mengolah air limbah dengan menggunakan media tanaman telah lama dikenal oleh manusia,
bahkan digunakan juga untuk mengolah limbah berbahaya (B3) atau untuk limbah radioaktif (Mardhiani, 2012).
Pada Penelitian ini tumbuhan air yang digunakan yaitu tumbuhan air eceng gondok (eichhornia crassipes) dan kiapu
(pistia stratiotes). Eceng gondok (eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Dalam
perkembangannya, eceng gondok (eichhornia crassipes) lebih banyak dikenal sebagai tanaman tumbuhan
penganggu (gulma) yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok (eichhornia crassipes) memiliki
kecepatan tumbuh yang tinggi, mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya. Untuk itulah berbagai cara
dilakukan untuk menanggulanginya, antara lain: memanfaatkan eceng gondok sebagai bahan baku pembuatan
kertas, kompos, biogas, kerajinan tangan, bahkan biofilter cemaran logam berat. (prasetyaningrum, 2010 dalam
suharto, 2014). Sedangkan tumbuhan air kiapu memiliki kemampuan untuk menyerap bahan- bahan pencemar
sehingga dapat digunakan untuk mengurangi limbah akibat pencemaran di lingkungan. Karena kemampuan tersebut,
maka tanaman ini dapat dikatakan sebagai fitoremediator. Hal ini didasari oleh kemampuan sejumlah tanaman
termasuk kiapu (pistia stratiotes) untuk mengakumulasi bahan pencemar tertentu sehingga konsentrasi pada biota
jauh diatas konsentrasi media tanamnya yang merupakan jalur masuknya bahan pencemar (Untung, 2014).

Gambar 1. Tumbuhan air kiapu dan eceng gondok

Pengolahan limbah cair secara fisika (metode filtrasi)

Metode filtrasi merupakan teknik penyaringan, pengendapan, dan penyerapan. Media yang sering digunakan adalah
pasir, ijuk, arang batok, kerikil, tawas, bubuk kapur. Saat ini zeolit banyak digunakan sebagai media penyaring.
Pada penelitian ini media filtrasi yang digunakan yaitu zeolit dan tanah aluvial. Zeolit merupakan senyawa alumino
- silikat terhidrasi yang terutama tersusun oleh kation - kation alkali dan alkali tanah. Zeolit juga berperan sebagai
adsorpsi yang selektif, sebagai penukar kation. Kation - kation dalam zeolit dapat dipertukarkan dengan kation lain
dalam suatu larutan, zeolit juga bisa sebagai penukar anion. (Goto, 1990). Sedangkan tanah alluvial merupakan
tanah muda, dan belum berkembang lanjut, tanah ini biasanya cukup subur, kandungan pasirnya kurang dari 60%
(Hardjowigeno, 1987).

KL - 22
Gambar 2. Media filtrasi zeolit dan tanah aluvial

Tahap pengujian logam timbal dan besi

Untuk penentuan kadar timbal (pb) dan besi (fe) dalam penelitian ini, digunakan instrument AAS (atomic
absorbtion spectrofotometer). AAS menggunakan lampu sesuai panjang gelombang maksimum yang dapat
menyerap sampel secara maksimal. Metode AAS (atomic absorbtion spectrofotometer) berpinsip pada absorpasi
cahaya oleh atom. Atom – atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat
unsurnya (khopkar, 1990). Absorbansi menunjukkan kemampuan sampel untuk menyerap radiasi elektromagnetik
pada panjang gelombang maksimum. Absorbans yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi larutan
standar yaitu semakin besar konsentrasi yang digunakan, maka absorbansnya juga semakin besar.
Pengukuran kadar timbal dan besi dengan mengacu pada SNI (standar nasional indonesia). Untuk timbal (pb)
berdasarkan SNI 06-6989.8-2004 Sedangkan untuk besi (fe) berdasarkan SNI 06-6989.4-2004.

3. METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam skala laboratorium dengan metode penelitian eksperimental, yaitu mengadakan
percobaan untuk melihat pengaruh variabel yang teliti. Adapun tabel rancangan penelitian dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:

Tabel 1. Rancangan penelitian

Rancangan penelitian
P1: tanaman tunggal (100% EG)
P2: tanaman kombinasi (75% EG:25% KA)
Kombinasi tanaman (P) P3: tanaman kombinasi (50% EG:50% KA)
P4: tanaman kombinasi (25% EG:75% KA)
P5: tanaman tunggal (100% KA)
T1: 5 hari
Waktu tinggal (T) T2: 10 hari
T3: 15 hari

Desain alat dan bahan penelitian

Proses Perancangan terdiri dari beberapa tahap, yaitu pemilihan bentuk, penentuan dimensi, penentuan alat dan
bahan yang akan digunakan. Hal ini merupakan bagian yang sangat penting karena akan berdampak langsung pada
kinerja alat yang akan dirancang.

Bagian desain alat ini secara umum terbagi atas reaktor filtasi yaitu drum plastik ukuran diameter 48 cm x tinggi 50
cm, berisi media tanah aluvial dengan ketinggian 12 cm dalam tiap wadah, media zeolit (nomor 1) dengan
ketinggian 8 cm dalam tiap wadah, pipa paralon, kran air, tanaman air eceng gondok sebanyak 500 gr tiap wadah
dan Kiapu sebanyak 500 tiap wadah. Desain struktur alat dan bahan dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

KL - 23
Gambar 3. Media rekator filtrasi

Gambar 4. Kombinasi tumbuhan air dengan media filtrasi

Aklimatsasi tanaman

Aklimatisasi tanaman dilakukan selama tujuh hari untuk mengkondisikan tanaman air yang digunakan agar dapat
beradaptasi dengan air limbah logam yang mengandung timbal (pb) dan besi (fe). Kemampuan untuk beradaptasi
dapat dilihat dari layu atau tidaknya tanaman tersebut selama masa aklimatisasi. Aklimatisasi selama 1 minggu
mengacu pada penelitian (Suryati tuti dan budhi priyanto, 2010). Setelah masa aklimatisasi selesai, maka tanaman
tersebut siap untuk dipergunakan dalam penelitian.

Perlakuan media filtrasi dan tumbuhan air (teknologi fitoremediasi)

Setelah aklimatisasi selesai, menyiapkan reaktor filtasi. Sebelum digunakan media filtrasinya dicuci hingga bersih,
kemudian dijemur dibawah sinar matahari. Diameter tanah aluvial yang digunakan berukuran antara ± 1-1,5 mm dan
media zeolit menggunkan zeolit nomor 1 (ukuran paling kecil). Setelah media siap, reaktor diisi dengan media.
Ukuran 12 cm untuk tanah aluvial sedangkan 8 cm untuk media zeolit. Kemudian mengisi aquadests sebanyak 37
liter pada reaktor yang sudah diisi dengan media filtrasi, lalu memasukkan air logam buatan dengan konsentrasi 5
ppm. Reaktor filtrasi dijenuhkan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agar terdapat konsentrasi yang dijadikan sebagai
kontrol. Proses ini dibiarkan selama 1 hari. Hari berikutnya, tumbuhan air dimasukkan ke dalam reaktor yang
dijadikan kontrol. Tumbuhan air diisi berdasarkan variasi tanaman. Pada penelitian ini, terdapat 10 drum plastik.
Ada 5 wadah untuk perlakuan logam timbal (pb) dan 5 wadah untuk perlakuan logam besi (fe). Masing – masing
wadah berisi tanaman terdiri atas 5 perlakuan tanaman yaitu tunggal P1 dengan jumlah tanaman eceng gondok
adalah 500 gram, kombinasi P2 (75 EG : 25 KA) dengan jumlah eceng gondok adalah 375 gram dan kayu apu 125
gram, kombinasi P3 ( 50 EG : 50 KA) dengan masing – masing jumlah eceng gondok dan kiapu adalah 250 gram,
kombinasi P4 ( 25 EG : 75 KA) dengan jumlah eceng gondok adalah 375 gram dan kayu apu 125 gram dan tunggal
P5 dengan jumlah tanaman kiapu 500 gram. Jumlah tanaman yang digunakan pada setiap perlakuan tanaman adalah
sebanyak 500 gram.

Media filtrasi yang digunakan yaitu kombinasi media tanah aluvial dan zeolit. Pada masing – masing reaktor filtrasi,
berisi perlakuan tanaman, yaitu perlakuan tanaman tunggal dan perlakuan tanaman kombinasi. Tumbuhan air yang
digunakan yaitu tumbuhan air eceng gondok (eichhornia crassipes) dan tanaman kiapu (scirpus grossus) yang
digunakan sebanyak 500 gram tiap wadah. Perlakuan fitromediasi dilakukan selama 15 hari, dimana hasil
penyerapan optimum terjadi pada waktu detensi 15 hari untuk mengetahui titik jenuh tanaman dalam fitoremediasi
atau batas waktu maksimum yang dapat ditolerir oleh tanaman.

KL - 24
Setiap perlakuan ditempatkan di rooftop gedung sipil dengan membuat tenda green house, hal ini dikarenakan
tanaman eceng gondok dan kiapu merupakan tanaman air yang membutuhkan sinar matahari yang cukup untuk
pertumbuhannya. Selain itu perlakuan fitoremediasi juga harus terhindar dari air hujan yang dapat mempengaruhi
konsentrasi air limbah akibat proses pengenceran.

Monitoring konsentrasi logam pb dan fe

Monitoring logam timbal (pb) dan besi (fe) dalam air limbah dilakukan pada tiap perlakuan konsentrasi logam
terhadap reaktor filtrasi dan tumbuhan air. Pengamatan dilakukan selama 15 hari, dengan pengambilan sampel
dilakukan setiap 5 hari sekali. Sampel air limbah diambil sebanyak 50 – 100 ml dari masing – masing perlakuan
dengan memutar kran air output yang sudah disediakan. Selanjutnya, kadar logam timbal (pb) dan besi (fe) dari
sampel untuk masing – masing perlakuan diukur dengan menggunakan AAS (atomic absorbtion spectofotometer).
Cara pengujian kadar logam timbal (pb) berdasarkan SNI 066989.8:2004. Sedangkan logam besi (fe) dilakukan
berdasarkan SNI 066989.4:2004.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat reduksi logam pb dan fe post - fitofiltrasi

Hasil penelitian kombinasi teknologi fitoremediasi dengan menggunakan reaktor filtrasi menunjukkan bahwa terjadi
keefektifan dalam penyerapan dan penurunan konsentrasi dalam air limbah yang mengandung logam berat timbal
dan besi. Adapun variasi perlakuan tumbuhan air yang digunakan yaitu perlakuan PI (Perbandingan Eichornia
crassipes 100 : 0), perlakuan P2 (perbandingan eichornia crassipes dan pistia stratiotes 75 : 25), perlakuan P3
(perbandingan eichornia crassipes dan pistia stratiotes 50 : 50), perlakuan P4 (perbandingan eichornia crassipes dan
pistia stratiotes 25 : 75) dan perlakuan P5 (perbandingan pistia stratiotes 100 : 0). Penelitan ini dilakukan selama 15
hari (setelah sebelumnya dilakukan aklimatisasi selama 7 hari) dengan rentang pengambilan sampel setiap 5 hari
sekali, yang kemudian dianalisis menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA). Air limbah yang digunakan
pada penelitian ini merupakan air limbah artifisial mengandung logam timbal (pb) dan besi (fe) dengan konsentrasi
awal masing – masing sebesar 5 ppm. Setelah perlakuan fitofiltrasi, konsentrasi timbal (pb) dan besi (fe) pada air
limbah mengalami penurunan secara signifikan. Berikut ini data pengujian laboratorium dengan menggunakan alat
Spektrofotometer serapan atom (AAS) dimana hasil tingkat reduksi logam timbal (pb) pada air limbah untuk masing
– masing perlakuan dapat dibuatkan grafik serta tabel seperti pada Gambar 5 dan Gambar 6 dibawah ini:

Gambar 5. Grafik reduksi logam timbal (pb) pada air limbah

KL - 25
Gambar 6. Grafik variasi tuumbuhan air pada waktu pengamatan

Berdasarkan gambar 5, grafik garis menjelaskan bahwa konsentrasi pb cenderung menurun linear pada waktu
tinggal untuk semua variasi perlakuan tumbuhan air. Dimana konsentrasi awal air limbah sebesar 5 ppm. Pada hari
ke-5, perlakuan P1 menurun hingga 0,15 ppm, perlakuan P2 sebesar 0,26 ppm. Perlakuan P3 sebesar 0,16 ppm,
perlakuan P4 sebesar 0,32 ppm dan perlakuan P5 sebesar 0,28 ppm. Hal ini dikarenakan kemampuan media reaktor
filtrasi dan tumbuhan air pada awal percobaan dalam menyerap logam masih sangat tinggi.
Selanjutnya kadar logam pb pada air limbah semakin menurun hingga hari ke-10 dan hari ke-15. Dalam penelitian
diperoleh bahwa semua perlakuan dengan konsentrasi awal 5 ppm terbukti mampu menyerap logam pb pada air
limbah hingga waktu tinggal 15 hari. Dari semua perlakuan, tingkat reduksi timbal (pb) yang signifikan terjadi pada
perlakuan P1 sebesar 0,02 ppm, dikarenakan pada perlakuan P1 persentase penggunaan eceng gondok (eichornia
crassipes) lebih banyak yaitu 100 %. Tingkat reduksi terbesar kedua terjadi pada perlakuan P2 sebesar 0,03 ppm
yaitu perlakuan kombinasi dengan penggunaan eceng gondok (eichornia crassipes) sebanyak 75% dan kiapu (pistia
statiotes) sebanyak 25%. Tingkat reduksi terbesar ketiga terjadi pada perlakuan P3 sebesar 0,05 yaitu perlakuan
kombinasi dengan penggunaan eceng gondok (eichornia crassipes) sebanyak 50% dan kiapu (pistia statiotes)
sebanyak 50%. Tingkat reduksi terbesar keempat pada perlakuan P5 sebesar 0,06 yaitu perlakuan tunggal dengan
penggunaan kiapu (pistia statiotes) sebanyak 100%. Perlakuan P4 sebesar 0,08 dengan penggunaan 25% eceng
gondok (eichornia crassipes) dan sebanyak 75% kiapu (pistia statiotes) merupakan perlakuan kombinasi dengan
tingkat reduksi terkecil.
Berdasarkan hasil analisis, semua perlakuan media filtrasi terhadap variasi tumbuhan air dalam penelitian ini
mampu menurunkan konsentrasi logam timbal (pb) secara signifikan, walaupun belum semua perlakuan memenuhi
baku mutu yaitu sebesar 0,03 ppm (peraturan pemerintah republik indonesia no. 82 tahun 2001).
Selanjutnyaa berdasarkan gambar 6, terlihat garis yang saling berhubungan yaitu garis biru (5 hari), garis merah (10
hari) dan garis hijau (15 hari) menggambarkan variasi tumbuhan air pada waktu pengamatan. Grafik garis naik turun
(tidak konstan) menunjukkan adanya variasi tanaman yang berbeda pada tiap perlakuan Dari grafik garis ini,
diketahui bahwa pola penyerapan yang optimal terjadi pada perlakuan P1 (eceng gondok 100%) dan perlakuan P3
(eceng gondok 50% : kiapu 50%). Bila dibandingkaan dengan perlakuan P2 (eceng gondok 75% : kiapu 25%),
perlakuan P4 ( eceng gondok 25% : kiapu 75%) dan perlakuan P5 (kiapu 100%) menunujukkan pola penyerapan
yang hampir setingkat (sama). Berdasarkan hal tersebut, penggunaan eceng gondok (eichornia crassipes) yang lebih
banyak merupakan perlakuan terbaik dengan tingkat penyerapan yang tinggi, sehingga diketahui bahwa kemampuan
dalam menyerap kontaminan oleh eceng gondok (eichornia crassipes) lebih tinggi dibandingkan dengan kiapu
(pistia statiotes). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Suryati T dan budhi, 2003) bahwa dari tiga
jenis tanaman air yang digunakan untuk fitoremediasi logam berat yang paling efektif berturut – turut: eceng
gondok, kiapu, dan kiambang. Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh (Rosmiati,
2015) yang menggunakan kombinasi tumbuhan air yaitu eceng gondok dan kiapu untuk fitoremediasi logam berat
pada air limbah artifisial, dan hasil yang didapatkan bahwa diantara perlakuan kombinasi yang dilakukan, perlakuan
kombinasi dengan penggunaan eceng gondok yang paling banyak merupakan perlakuan dengan tingkat penyerapan
tertinggi.
Kemampuan menyerap logam yang lebih tinggi pada eceng gondok dimungkinkan karena penyerapan yang terjadi
dalam dua cara yaitu secara aktif dan pasif (Puspita, dkk 2011). Penyerapan secara pasif yaitu dengan bantuan sinar
matahari dan secara pasif dengan cara transpirasi. Penyerapan aktif tergantung pada anion dan kation yang terdapat
pada tumbuhan. Proses inilah yang melibatkan zat khelat yang terdapat pada akar sehingga ion logam dapat terserap.

KL - 26
Sedangkan untuk tingkat reduksi logam besi (fe) pada air limbah pada masing-masing perlakuan dapat dibuatkan
grafik serta tabel seperti pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4 dibawah ini:

Gambar 7. Grafik reduksi logam besi (fe) pada air limbah

Gambar 8. Grafik variasi tumbuhan air pada waktu pengamatan

Berdasarkan gambar 7, grafik garis menjelaskan bahwa konsentrasi fe cenderung menurun linear pada waktu tinggal
untuk semua variasi perlakuan tumbuhan air. Dimana konsentrasi awal air limbah sebesar 5 ppm. Pada hari ke-5,
perlakuan P1 menurun hingga 1,00 ppm, perlakuan P2 sebesar 1,37 ppm. Perlakuan P3 sebesar 1,02 ppm, perlakuan
P4 sebesar 1,34 ppm dan perlakuan P5 sebesar 1,42 ppm. Hal ini dikarenakan kemampuan media reaktor filtrasi dan
tumbuhan air pada awal percobaan dalam menyerap logam masih sangat tinggi.
Selanjutnya kadar logam Fe pada air limbah semakin menurun hingga hari ke-10 dan hari ke-15. Dalam penelitian
diperoleh bahwa semua perlakuan dengan konsentrasi awal 5 ppm terbukti mampu menyerap logam fe pada air
limbah hingga waktu tinggal 15 hari. Dari semua perlakuan, tingkat reduksi konsentrasi besi (fe) yang signifikan
terjadi pada perlakuan P1 sebesar 0,14 ppm yaitu perlakuan tunggal, dikarenakan pada perlakuan tersebut presentase
penggunaan eceng gondok (eichornia crassipes) lebih banyak yaitu 100 % . Tingkat reduksi terbesar kedua terjadi
pada perlakuan P2 sebesar 0,19 ppm yaitu perlakuan kombinasi dengan penggunaan eceng gondok (eichornia
crassipes) sebanyak 75% dan kiapu (pistia statiotes) sebanyak 25%. Penurunan terbesar ketiga terjadi pada
perlakuan P3 sebesar 0,24 yaitu perlakuan kombinasi dengan penggunaan eceng gondok (eichornia crassipes)
sebanyak 50% dan kiapu (pistia statiotes) sebanyak 50%. Tingkat reduksi terbesar keempat pada perlakuan P5
sebesar 0,27 yaitu perlakuan tunggal dengan penggunaan kiapu (pistia statiotes) sebanyak 100%. Perlakuan P4
sebesar 0,26 dengan penggunaan 25% eceng gondok (eichornia crassipes) dan sebanyak 75% kiapu (pistia statiotes)
merupakan perlakuan kombinasi dengan tingkat reduksi terkecil.
Berdasarkan hasil analisis, semua perlakuan media filtrasi terhadap variasi tumbuhan air dalam penelitian ini
mampu menurunkan konsentrasi logam besi (fe) secara signifikan, Semua perlakuan memenuhi baku mutu yaitu
sebesar 0,3 ppm (Peraturan pemerintah republik indonesia no. 82 tahun 2001).
Selanjutnyaa berdasarkan gambar 8, terlihat garis yang saling berhubungan yaitu garis biru (5 hari), garis merah (10
hari) dan garis hijau (15 hari) menggambarkan variasi tumbuhan air pada waktu pengamatan. Grafik garis naik turun
(tidak konstan) menunjukkan adanya variasi tanaman yang berbeda pada tiap perlakuan Dari grafik garis ini,
diketahui bahwa pola penyerapan yang optimal terjadi pada perlakuan P1 (eceng gondok 100%) dan perlakuan P3

KL - 27
(eceng gondok 50% : kiapu 50%). Bila dibandingkaan dengan perlakuan P2 (eceng gondok 75% : kiapu 25%),
perlakuan P4 (eceng gondok 25% : kiapu 75%) dan perlakuan P5 (kiapu 100%) menunujukkan pola penyerapan
yang hampir setingkat (sama). Berdasarkan hal tersebut, penggunaan eceng gondok (eichornia crassipes) yang lebih
banyak merupakan perlakuan terbaik dengan tingkat penyerapan yang tinggi, sehingga diketahui bahwa kemampuan
dalam menyerap kontaminan oleh eceng gondok (eichornia crassipes) lebih tinggi dibandingkan dengan kiapu
(pistia statiotes). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Suryati T dan budhi, 2003) bahwa dari tiga
jenis tanaman air yang digunakan untuk fitoremediasi logam berat yang paling efektif berturut – turut: eceng
gondok, kiapu, dan kiambang. Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh (Rosmiati 2015)
yang menggunakan kombinasi tumbuhan air yaitu eceng gondok dan kiapu untuk fitoremediasi logam berat pada air
limbah artifisial, dan hasil yang didapatkan bahwa diantara perlakuan kombinasi yang dilakukan, perlakuan
kombinasi dengan penggunaan eceng gondok yang paling banyak merupakan perlakuan dengan tingkat penyerapan
tertinggi.
Kemampuan menyerap logam yang lebih tinggi pada eceng gondok dimungkinkan karena penyerapan yang terjadi
dalam dua cara yaitu secara aktif dan pasif (Puspita, dkk 2011). Penyerapan secara pasif yaitu dengan bantuan sinar
matahari dan secara pasif dengan cara transpirasi. Penyerapan aktif tergantung pada anion dan kation yang terdapat
pada tumbuhan. Proses inilah yang melibatkan zat khelat yang terdapat pada akar sehingga ion logam dapat terserap.

Penyerapan logam berat pb dan fe dengan waktu fitofiltrasi

Konsentrasi awal logam digunakan untuk melihat batas paparan logam sehingga media reaktor filtrasi dan tumbuhan
air mampu menyerap secara maksimal. Pada penelitian ini digunakan konsentrasi awal logam timbal (pb) dan besi
(fe) sebesar 5 ppm dengan waktu tinggal selama 5, 10, dan 15 hari. Pengaruh waktu tinggal dan konsentrasi awal
terhadap penurunan logam timbal (pb) dan besi (fe) dalam air limbah dapat dilihat dari besarnya persentase
penyerapan dari setiap perlakuan. Dengan menggunakan rumus presentase penyerapan dapat diperoleh hasil
perhitungan seperti yang ditunjukkan oleh tabel dan grafik berikut ini:

Tabel 2. Persentase penyerapan logam timbal (pb) dan besi (fe) pada tiap perlakuan

Persentase Kandungan Waktu tinggal (hari)


penyerapan logam
5 hari 10 hari 15 hari
(%) (ppm)
timbal (pb) 97,0 98,4 99,6
P1
besi (fe) 79,1 83,5 97,1
timbal (pb) 94,8 99,0 99,4
P2
besi (fe) 71,4 93,7 96,0
timbal (pb) 96,8 97,8 99,0
P3
besi (fe) 78,7 83,9 95,0
timbal (pb) 93,5 96,8 98,4
P4
besi (fe) 72,0 81,8 94,4
timbal (pb) 94,4 98,4 98,8
P5
besi (fe) 70,3 85,2 94,6

Gambar 9. Rata- - rata persentase penyerapan logam timbal (pb) dan besi (fe) pada semua perlakuan

Dari hasil yang didapatkan (gambar 9) dapat diketahui bahwa perlakuan P1 (100% eceng gondok : 0% kiapu)

KL - 28
merupakan kombinasi paling efektif dalam menurunkan konsentrasi logam timbal (pb) dan besi (fe) pada air limbah.
Bila dirata – ratakan tingkat penyerapan logam timbal (pb) mencapai 98,3% dari konsentrasi 5 ppm. Sedangkan
tingkat penyerapan logam besi (fe) mencapai 86,6% di hari ke-15 dari konsentrasi 5 ppm. Berdasarkan hal tersebut
dapat diketahui bahwa semakin rendah konsentrasi awal air limbah maka tingkat efektivitas semakin meningkat. Hal
ini terkait dengan kemampuan media reaktor filtrasi dan tumbuhan air dalam menyerap logam berat. Selain itu
kondisi ini membantu pertumbuhan tanaman.

Morfologi fitofiltrasi tanaman eceng gondok (eichornia crassipes) dan kiapu (pistia stratiotes)

Perubahan fisik tumbuhan pada hari ke-5 atau 5 hari pertama tidak banyak perubahan terjadi pada tanaman, hanya
terlihat perubahan warna pada ujung daun, baik tumbuhan air eceng gondok (eichornia crassipes) maupun kiapu
(pistia stratiotes). Perubahan yang cukup signifikan pada kedua tumbuhan terjadi pada hari ke-10 hingga hari ke-15.
Secara umum kondisi perubahan fisik tumbuhan air yang terjadi setelah perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut
ini:
Tabel 3. Kondisi perubahan tumbuhan air post - fitofiltrasi
Kriteria tumbuhan
Kondisi setelah perlakuan
Jenis tumbuhan yang baik
5 hari 10 hari 15 hari
Kiapu (pistia Daun berwarna hijau Beberapa Banyak Sebagian
stratiotes) muda, makin ke ujung daun tumbuh daun terlihat
pangkal makin putih menguning anakan menguning
dan berwarna kuning (runner). dan ujung
apabila tua. Akar Sebagian akar daun banyak
jumbai panjang tenggelam yang tidak
berwarna putih dan rata, akar
mengambang bebas banyak yang
tenggelam
Eceng Gondok Cocok terhadap pH Memiliki Ujung daun Ujung daun
(Eichornia 7,0 – 7,5. Fase daun yang menguning, menguning,
Crassipes) generatif dicirikan masih akar panjang akar pendek
adanya daun yang berwarna dan berwarna dan
melengkung hijau, akar biru keunguan menggumpal
panjang dan
berwarna
hitam
kecoklatan
Perbedaan yang terjadi pada tumbuhan air eceng gondok di hari ke-10 hingga hari ke-15 yang menunjukkan fase
generatif dengan adanya daun yang melengkung dan ukurannya bertambah besar. (Rahmansyah, 2009)
mengemukakan bahwa tumbuhan air eceng gondok memiliki tingkat survival yang tinggi pada media yang
terkontaminasi. Hal tersebut ditunjukkan dengan kondisi pertumbuhan eceng gondok yang masih dapat tumbuh
baik, meskipun pada lingkungan yang tercemar. Perubahan yang terlihat yaitu pada ukuran daun yang makin
membesar, walaupun sebagian daun terlihat menguning, juga banyak tumbuh anakan eceng gondok. Menurut
(Smith, 1981) dan (Onggo, 2005) menerangkan bahwa gejala yang ditimbulkan akibat pencemaran logam berat
yakni klorosis dan nekrosis pada ujung serta sisi daun. Kinerja kerusakan tanaman tidak dapat digunakan sebagai
indikator banyaknya kandungan logam yang diserap karena tanaman yang kelihatannya terlihat segar dapat
mengandung lebih banyak logam dibandingkan dengan tanaman yang layu. Tumbuhan yang menunjukkan gejala
tanaman yang layu adalah tumbuhan air kiapu. Hal tersebut dikarenakan kemampuan tumbuhan air kiapu terhadap
penyerapan logam sangat rendah bila dibandingkan dengan tumbuhan air eceng gondok sehingga mengakibatkan
terjadinya klorosis pada daun dan rontoknya akar.

Kapasitas fitoremediasi dengan reaktor filtrasi

Kombinasi metode filtrasi dan teknologi fitoremediasi sistem lahan basah buatan menggunakan tumbuhan air yang
berbeda mampu mereduksi logam timbal dan besi dengan nilai keefektifan berkisar antara 97% - 99%, sehingga
bahan pencemar memenuhi baku mutu yang ditetapkan dan disarankan dapat digunakan untuk pengendalian limbah
cair bagi kawasan industri.
Pemanfaatan tumbuhan air untuk mereduksi limbah logam berat dengan menggunakan reaktor filtrasi merupakan
suatu teknik yang secara alami mampu mengurangi bahan pencemar yang masuk ke dalam rawa. Belajar dari proses

KL - 29
pembersihan air yang terjadi di rawa alami, para ahli lingkungan membuat ide dengan menciptakan rawa buatan
yang dapat dimanfaatkan sebagai pengendalian limbah. Manfaat lain yang bisa didapatkan dari proses penelitian ini
yaitu suatu upaya penghematan penggunaan energi sehingga pembangunan bisa berkelanjutan.

5. KESIMPULAN
Kombinasi Teknologi Fitoremediasi dengan media reaktor filtrasi, cenderung mampu menurunkan konsentrasi
logam pb dan fe dalam air limbah dimana perlakuani P1 (100 EG : 0 KA) merupakan perlakuan dengan tingkat
reduksi tertinggi yaitu konsentrasi pb yang tertinggal setelah proses fitofltrasi sebesar 0,02 ppm (99,6%) sedangkan
konsentrasi fe yang tertinggal setelah proses fitofiltrasi sebesar 0,14 ppm (97,1%) dengan konsentrasi awal 5 ppm.
Besarnya tingkat reduksi pb dan fe terhadap waktu tinggal cenderung berpengaruh terhadap penyerapan. Persentase
penyerapan pb dan fe pada air limbah yang semakin meningkat seiring bertambahnya waktu tinggal dikarenakan
tanaman masih mampu menyerap kadar logam pb dan fe pada air limbah hingga hari ke-15.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh civitas akademik Fakultas Teknik Universitas
Hasanuddin.

DAFTAR PUSTAKA

Ami Paramitasari. (2014). Kemampuan Tumbuhan Air Kiapu (Pistia Stratiotes) dan Kiambang (Salvinia Molesta)
dalam Fitoremediasi Timbal (Pb). Dramaga: Institut Pertanian Bogor.
Badan Standarisasi Nasional. 2004. SNI 06-6989.4: 2004, Cara Uji Besi (Fe) secara Spektrofotometri Serapan Atom
(SSA)- nyala. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2004. SNI 06-6989.8: 2004, Cara Uj Timbali (Pb) secara Spektrofotometri Serapan
Atom (SSA)- nyala. Jakarta.
Goto, I. (1990). “The application of zeolite on Agriculture: Effect of Zeolite on Soil Improvement. Zeolite”, vol. 7,
No. 3, 8-15
Hardjowigeno, S. (1987). Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.
Murdhiani. (2012). Penurunan Logam Berat Timbal (Pb) Pada Kolam Biofiltrasi Air Irigasi dengan Menggunakan
Tanaman Air (Aquatic Plant). Tesis. Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara.
Onggo, T.M. 2009. Pengaruh Konsentrasi Larutan Berbagai Senyawa Timbal (Pb) terhadap Kerusakan Tanaman
Hasil dan Beberapa Kriteria Kualitas Sayuran Daun Spinasia. Skripsi-S1. Fakultas Pertanian Universitas
Padjajaran. Bandung.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.
Rahmansyah, M dkk. 2009. Tumbuhan Akumulator Untuk Fitiremidiasi Lingkungan Tercemar Penambangan Emas.
Cibinong. LIPI Press.
Smith, J. 1981. Air Pollution and Plant Life. John Willey & Sons Ltd. Chichester, New York. Lestari, S., Slamet
Santoso dan Sulastri A. 2011. Efektivitas Eceng Gondok (Eichornia crassipes) dalam Penyerapan Kadmium
(Cd) pada Leachate TPA Gunung Tugel. Jurnal Molekul Vol.6. No.1.
Suryati Tuti dan Budhi Priyanto. 2003.Eliminasi Logam Berat Kadmium Dalam Air Limbah Menggunakan
Tumbuhan Air. Balai Teknologi Lingkungan.
Syafrani. (2009). Kajian Pemanfatan Media Penyaring dan Tumbuhan Air Setempat untukPengendalian Limbah
Cair pada Sub-Das Tapung Kiri, Propinsi Riau. Dramaga: Institut Pertanian Bogor.
Untung Santoso dan Emmy Sri Mahreda. (2014). Pengolahan Limbah Cair Sasirangan Melalui Kombinasi Metode
Filtrasi dan Fitoremediasi Sistem Lahan Basah Buatan Menggunakan Tumbuhan Air yang Berbeda” .
Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat.
Puspita, UR., A.S. Siregar dan N.V. Hidayati. 2011. Kemampuan Tumbuhan Air Sebagai Agen Fitoremediator
Logam Berat Kromium (Cr) yang Terdapat pada Limbah Cair Industri Batik. Jurnal Penelitian Berkala
Perikanan Terubuk, vol. 39 no.1. Himpunan Alumni Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.
Rosmiati. 2010. Fitoremediasi Logam Berat Kadmium (Cd) Menggunakan Kombinasi Eceng Gondok (Eichornia
Crassipes) dan Kayu Apu (Pistia Stratiotes) dengan Aliran Batch. Makassar: Fakultas Teknik Universitas
Hasanuddin.

KL - 30
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

FITOREMEDIASI AIR TERCEMAR LOGAM KADMIUM (Cd) DENGAN TANAMAN


ECENG GONDOK

Achmad Zubair1, Nurelly2, dan Lawalenna Samang3

1
Dosen Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin
Email: achmad.zubair@gmail.com
2
Mahasiswa Program Studi Teknik Lingkungan, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin
Email: nur.elly20@yahoo.co.id
3
Dosen Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin
Email: samang_l@yahoo.com

ABSTRAK
Perkembangan industri semakin pesat dari tahun ke tahun yang limbahnya mencemari lingkungan.
Salah satu limbah industri adalah logam berat kadmium (Cd) dengan sifat beracun yang tinggi yang
sangat berpotensi mencemari lingkungan, khususnya pencemaran air dan tanah. Untuk mereduksi
logam Cd, pada studi ini dilakukan metode pengolahan fitoremediasi dengan menggunakan reaktor
paralel dan seri tipe aliran sirkulasi dengan media tanaman eceng gondok 1000 gram/kompartemen.
Penelitian ini dilakukan selama 9 hari dengan waktu pengambilan sampel pada hari 3, 6 dan 9 hari.
Hasil penelitian menunjukkan reduksi Cd menurun secara linear pada tiap kompartemen untuk
observasi 9 hari secara paralel dan seri dan penurunan logam Cd tertinggi terjadi pada kompartemen
7. Dengan demikian efektivitas reduksi logam Cd dalam air limbah artifisial meningkat seiring
dengan bertambahnya waktu observasi dan jumlah kompartemen. Tingkat reduksi kadar logam Cd
pada reaktor paralel dan seri tidak berarti perbedaannya, namun kedua reaktor tersebut sangat
signifikansi mereduksi cemaran logam Cd pada air limbah artifisial.
Kata Kunci: Fitoremediasi, Air Limbah Artifisial Logam Cd, Eceng Gondok

1. PENDAHULUAN
Pencemaran air merupakan salah satu pencemaran berat yang ada di Indonesia dan limbah sektor perindustrian
merupakan sumber pencemaran air yang dominan. Disamping sektor perindustrian, pencemaran air ini juga
ditimbulkan di sektor-sektor yang lain seperti pertambangan, pertanian dan rumah tangga. Akibat dari pencemaran
air tersebut adalah menurunnya kadar kualitas air yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Air dapat tercemar oleh
komponen-komponen anorganik, diantaranya berbagai logam berat yang berbahaya. Komponen-komponen logam
berat ini berasal dari kegiatan industri. Kegiatan industri yang melibatkan penggunaan logam berat antara lain
industri tekstil, pelapisaan logam, cat/ tinta warna, percetakan, bahan agrokimia dll. Beberapa logam berat ternyata
telah mencemari air, melebihi batas yang berbahaya bagi kehidupan. Salah satu logam berat yang berpotensi
merusak lingkungan pada beberapa kasus adalah kadmium (Cd). Logam kadmium merupakan salah satu jenis logam
berat yang banyak digunakan dalam berbagai kegiatan industri kimia di Indonesia. Kadmium (Cd) merupakan salah
satu jenis logam berat yang berbahaya karena elemen ini beresiko tinggi terhadap pembuluh darah, kadmium
berpengaruh terhadap manusia dalam jangka waktu panjang dan dapat terakumulasi pada tubuh khususnya hati dan
ginjal (Palar, 1994).
Salah satu alternatif yang bisa digunakan untuk mengurangi konsentrasi pencemaran logam adalah metode
fitoremediasi. Fitoremediasi merupakan satu-satunya metode pengolahan limbah yang menggunakan tanaman
sebagai indikator, mudah untuk diakukan atau diaplikasikan, tidak memakan biaya banyak dan tanaman yang
digunakan juga banyak terdapat di alam (Melethia dkk, 1996).
Salah satu tanaman yang mampu mengurangi kadar dampak logam berat pada air adalah tanaman eceng gondok.
Eceng gondok memiliki kemampuan untuk mengolah limbah, baik itu berupa logam berat, zat organik maupun
anorganik. Eceng gondok dapat dijadikan sebagai fitoremediator pencemaran air karena kemampuannya dalam
mengakumulasi logam berat dalam tubuhnya (bioakumulator). Keberadaan eceng gondok dalam jumlah besar dan
mudah dicari menjadi salah satu pertimbangan untuk menggunakan tanaman ini sebagai bioakumulator limbah.
Oleh karena itu, dilakukan penelitian tentang fitoremediasi logam berat Cd dengan menggunakan tanaman eceng
gondok (Eichornia crassipes) perlu dilakukan untuk menganalisa besarnya penurunan konsentrasi Cd dalam air
limbah setelah perlakuan fitoremediasi dengan dengan menggunakan reaktor paralel dan reaktor seri.

KL - 31
2. METODOLOGI PENELITIAN
Studi literatur
Studi literatur yang digunakan meliputi teori - teori mengenai hal-hal yang berkaitan dengan fitoremediasi logam
berat kadmium, penggunaan eceng gondok (Eichornia crassipes) dalam fitoremediasi air limbah serta kajian
terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang relevan. Studi literatur yang digunakan berasal dari jurnal ilmiah, buku
teks, laporan tugas akhir, tesis, penelitian terdahulu yang berkaitan dan sebagainya.
Persiapan alat dan bahan
Alat yang digunakan yaitu : Bak plastik, Meteran, Pipa, Mesin Pompa, Lem pipa, Katup, Pipa L, Pipa T, meja kayu,
Gergaji, SSA (Spektrofotometer Serapan Atom) ,Timbangan analitik, erlenmeyer dan pipet ukur untuk keperluan
pengambilan sampel. Adapun bahan-bahan yang digunakan yaitu : eceng gondok (Eichornia crassipes) sebagai
tanaman uji, larutan Cd murni dan air bersih (air aquades).
Perancangan reaktor paralel dan reaktor seri
Reaktor paralel dan reaktor seri masing-masing tersusun dari 7 kompartemen sehingga kompartemen yang
digunakan ada 14 buah, dimana kompartemen tersebut dibuat menggunakan bak plastik, komparteman I dengan
tinggi 30 cm, diameter atas 45 cm dan diameter bawah 33 cm, Kemudian 7 buah kompartemen tersebut di
hubungkan dengan pipa dan di rangkai secara paralel selanjutnya 7 buah komparteman yang lainnya juga
dihubungkan dengan pipa dan di rangkai secara seri.

Gambar 1 Reaktor paralel Gambar 2 Reaktor seri

Perlakuan fitoremediasi
Sampel tanaman yang telah dipilih masing-masing dimasukkan ke dalam bak penelitian berisi air limbah artifisial
Cd dengan konsentrasi 10 ppm sebanyak untuk setiap perlakuan dan setiap reaktor. Fitoremediasi yang dilakukan
adalah fitoremediasi yang menggunakan reaktor paralel dan reaktor seri dimana air limbah tersebut terus mengalir.
Proses fitoremediasi dilakukan selama 9 hari.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Tingkat reduksi cemaran logam kadmium (cd) pada kompartemen reaktor paralel
Penelitian mengenai kemampuan tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes) ini dilakukan untuk mengetahui
besarnya penurunan konsentrasi logam kadmium (Cd) pada air limbah setelah perlakuan fitoremediasi dengan
menggunakan reaktor paralel. Reaktor paralel adalah reaktor yang dihubungkan dengan pipa pvc berdiameter ½
serta pada setiap baknya dipasang valve/katup. Reaktor ini terdiri dari 7 kompartemen/bak yang diisi air limbah

KL - 32
artifisial logam kadmium (Cd) ±20 liter setiap kompartemennya, reaktor ini dirangkai dengan susunan 1, 3, 2, 1
artinya susunan pertama tersusun dari 1 kompartemen yaitu kompartemen 1, susunan kedua tersusun dari 3
kompartemen yaitu kompartemen 2, 3 dan 4, susunan ketiga tersusun dari 2 kompartemen yaitu kompartemen 5 dan
6 dan tingkat terakhir tersusun dari 1 kompartemen yaitu kompartemen 7. Kompartemen 1 tidak diisi dengan
tanaman sedangkan kompartemen 2-7 diisi dengan tanaman sebanyak 1000 gram/kompartemen. Pemilihan tanaman
1000 gram karena semakin banyak tanaman yang digunakan maka semakin besar tingkat penurunan yang terjadi.
Pada reaktor ini dipasangkan pompa sehingga aliran air limbah akan kembali ke kompartemen 1 (aliran sirkular).
Dimensi kompartemen yang digunakan adalah tinggi 30 cm, diameter atas 45 cm dan diameter bawah 33 cm. Alasan
pemilihan dimensi komparteman jenis ini yaitu mempertimbangkan bentuk dan ukuran tumbuhan yang dijadikan
sebagai tumbuhan uji dalam penelitian ini sehingga akar tanaman bisa terendam secara maksimal dengan air limbah.
Kompartemen yang digunakan seragam untuk semua perlakuan mengacu pada penelitian Mahyatun Penelitian ini
dilakukan selama 9 hari (setelah sebelumnya dilakukan aklimatisasi tanaman selama 7 hari) dengan rentang
pengambilan sampel setiap 3 hari sekali, yang kemudian dianalisis menggunakan spektrofotometer serapan atom
(SSA). Penelitian dengan reaktor paralel dirangkai dengan susunan 1, 3, 2, 1 alasan memilih susunan seperti ini
yaitu pada tahapan kedua terdiri dari 3 kompartemen agar proses dalam mereduksi kandungan logam didalam air
limbah artifisial lebih cepat sehingga pada tahapan selanjutnya konsentrasi air limbah yang direduksi tidak terlalu
besar, karena air limbah yang masuk pada kompartemen selanjutnya telah tereduksi pada kompartemen sebelumnya.
Air yang digunakan pada penelitian ini adalah air artifisial mengandung logam Cd dengan konsentrasi awal 10 ppm.
Penurunan konsentrasi logam kadmiun (Cd) pada air artifisial untuk kompartemen reaktor paralel dapat dilihat pada
Tabel 1 dibawah ini:
Tabel 1 Konsentrasi logam kadmium (Cd) dalam air limbah pada kompartemen reaktor paralel
Konsentrasi logam kadmium (cd) dalam air limbah artifisial (ppm)
Waktu fitoremediasi
reaktor paralel
(hari)
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
0 9,960 9,955 9,955 9,955 9,950 9,945 9,94
3 8,837 7,587 7,587 7,587 7,220 7,217 7,107
6 6,215 5,542 5,542 5,542 5,125 5,122 5,082
9 3,987 2,877 2,876 2,875 2,424 2,425 2,136
Dari tabel 1, dapat dibuatkan grafik penurunan konsentrasi logam kadmium (Cd) dalam air artifisial pada
kompartemen reaktor paralel seperti pada gambar 3 sebagai berikut:

KL - 33
10
9 P1

Penurunan Konsentrasi
8
P2
7
Cd(ppm) 6 P3
5
P4
4
3 P5
2 P6
1
0 P7
3 6 9
Waktu Fitoremediasi (Hari)

10
Penurunan Konsentrasi Cd (ppm)

9
HARI 3
8
7
HARI 6
6
5
HARI 9
4
3
2
1
0
1 P1
2P2 3
P3 P4 4 P5 5 P6 P7
6 7
Kompartemen
Gambar 3 Penurunan konsentrasi logam kadmium (Cd) dalam air limbah artifisial pada kompartemen reaktor
paralel

Berikut hasil perhitungan persentase penyerapan untuk konsentrasi Cd dengan menggunakan reaktor paralel pada
Tabel 2
Tabel 2 Efektivitas penyerapan logam kadmium (Cd) dalam air artifisial pada reaktor paralel

Waktu fitoremediasi Efektivitas (%)


(Hari) Paralel
3 23,691
6 45,166
9 71,796
Dari Tabel 2 diperoleh grafik hubungan antara perlakuan fitoremediasi dengan waktu fitoremediasi terhadap
efektivitas penyerapan Cd yang ditunjukkan pada Gambar 4

80

70 y = 8.0175x - 1.2207
R² = 0.9962
Efektivitas (%)

60

50

40
Paralel
30
Linear (Paralel)
20

10

0
0 3 6 9
Waktu Fitoremediasi (Hari)

KL - 34
Gambar 4 Hubungan antara perlakuan paralel dengan waktu fitoremediasi terhadap efektivitas penyerapan Cd

Grafik 3 memperlihatkan bahwa reduksi Cd menurun secara linear pada tiap kompartemen dengan waktu observasi
9 hari pada hari ke-3 semua kompartemen pada reaktor paralel telah mengalami penurunan konsentrasi logam
kadmium (Cd). Penurunan konsentrasi logam Cd dalam air limbah mengindikasikan bahwa telah terjadi pemindahan
logam dari air ke tanaman dan penurunan kadar logam Kadmium (Cd). Selanjutnya, kadar Kadmium (Cd) pada air
artifisial semakin menurun sampai hari ke-6 dan hari ke-9. Hal ini menunjukkan tanaman masih mampu menyerap
kadar logam kadmium (Cd) pada air artifisial karena belum melewati titik jenuh. Belum melewati titik jenuh karena
konsentrasi yang digunakan pada penelitian ini yaitu 10 ppm ternyata masih dalam batas toleransi artinya tanaman
masih dapat bertahan hidup pada konsentrasi tersebut. Titik jenuh adalah batas waktu maksimum yang dapat
ditolerir tumbuhan air dalam menyerap kontaminan. Setelah melewati titik jenuh, kemampuan dalam menyerap
logam menurun bahkan konsentrasi logam dalam air limbah dapat meningkat karena tumbuhan air dapat melepaskan
kembali logam yang telah diserap. Kemampuan menyerap tanaman yang masih berlangsung hingga pada hari ke-9
menunjukkan bahwa pengaruh banyaknya jumlah tanaman telah mampu meningkatkan penurunan logam kadmium
(Cd). Selanjutnya dari gambar 4 menunjukkan efektivitas penyerapan Cd. Berdasarkan grafik tersebut dapat
diketahui bahwa persentase penyerapan kadar Cd pada perlakuan paralel terus mengalami peningkatan sampai hari
ke-9. Dari hasil analisa bahwa waktu kontak eceng gondok dengan air limbah pada perlakuan paralel memiliki
korelasi atau hubungan yang sangat kuat (R>0,75) terhadap eektivitas penyisihan Cd.
Tingkat reduksi cemaran logam kadmium (cd) pada kompartemen reaktor seri
Pada penelitian ini juga menggunakan reaktor seri. Reaktor seri adalah reaktor yang dihubungkan dengan pipa pvc
berdiameter ½ serta pada setiap baknya dipasang valve/katup. Reaktor ini terdiri dari 7 kompartemen/bak yang diisi
air limbah artifisial logam kadmium (Cd) ±20 liter setiap kompartemennya, reaktor ini dirangkai 7 susun dimana
susunan 1 sampai 7 terdiri dari 1 kompartemen. Kompartemen 1 tidak diisi dengan tanaman sedangkan
kompartemen 2-7 diisi dengan tanaman sebanyak 1000 gram/kompartemen. Pada reaktor ini dipasangkan pompa
sehingga aliran air limbah akan kembali ke kompartemen 1 (aliran sirkular). Pada reaktor seri proses fitoremediasi
juga dilakukan selama 9 hari (setelah sebelumnya dilakukan aklimatisasi tanaman selama 7 hari) dengan rentang
pengambilan sampel setiap 3 hari sekali, yang kemudian dianalisis menggunakan spektrofotometer serapan atom
(SSA). Air yang digunakan pada penelitian ini adalah air artifisial mengandung logam Cd dengan konsentrasi awal
10 ppm. Penurunan konsentrasi logam kadmium (Cd) pada air artifisial untuk kompartemen reaktor seri dapat
dilihat pada Tabel 3 dibawah ini:

Tabel 3. Konsentrasi logam kadmium (Cd) dalam air limbah pada kompartemen reaktor seri

Konsentrasi Logam Kadmium (Cd) dalam Air Limbah (ppm)


Waktu
Reaktor Seri
Fitoremediasi (Hari)
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7
0 9,960 9,955 9,950 9,940 9,945 9,945 9,940
3 7,985 7,320 7,142 7,027 6,862 6,682 6,577
6 5,882 5,112 4,965 4,735 4,425 4,120 3,875
9 2,621 2,462 2,292 2,156 1,878 1,647 1,489

Dari Tabel 3, dapat dibuatkan grafik penurunan konsentrasi logam kadmium (Cd) dalam air artifisial pada
kompartemen reaktor seri seperti pada Gambar 5 sebagai berikut:

KL - 35
9

Penurunan Konsentrasi Cd
8
7 SI
6 S2
(ppm) 5
S3
4
3 S4
2 S5
1
S6
0
3 6 9 S7

Waktu Fitoremediasi (Hari)


9
Penurunan Konsentrasi Cd

8
7
6
(ppm)

5
Hari 3
4
Hari 6
3
2 Hari 9

1
0
SI 2S2 S3 S44 5S5 S6 S7
S11 d 9
iC
s 7
a
tr 6
en
s )5
n m
o p4
K (p
n 3
a
n 2
ru
u 1
n 0
e
8
SI
S2
S3
S4
S5
S6
3 6 7
P 3 6 9 S7

Waktu Fitoremediasi (Hari)

Kompartemen

Gambar 5 Penurunan konsentrasi logam kadmium (Cd) dalam air limbah artifisial pada kompartemen reaktor seri

Berikut hasil perhitungan persentase penyerapan untuk konsentrasi Cd dengan menggunakan reaktor seri
pada tabel 4

Tabel 4 Persentase penyerapan logam kadmium (Cd) dalam air limbah artifisial pada kompartemen reaktor
seri

Waktu fitoremediasi Efektivitas (%)


(Hari) Seri
3 28,742
6 52,381
9 79,015
Dari Tabel 4 diperoleh grafik hubungan antara perlakuan fitoremediasi dengan waktu kontak eceng gondok terhadap
efektivitas penyerapan Cd yang ditunjukkan pada Gambar 6.

KL - 36
80

70
y = 8.3788x + 3.1063
60
R² = 0.9988

Efektivitas (%)
50

40
Seri
30
Linear (Seri)
20

10

0 3 6 9
Waktu Fitoremediasi (Hari)

Gambar 6 Hubungan antara perlakuan seri dengan waktu fitoremediasi terhadap efektivitas penyerapan Cd

Grafik diatas memperlihatkan bahwa pada hari ke-3 semua kompartemen pada reaktor seri telah mengalami
penurunan konsentrasi logam kadmium (Cd) dimana pada kompartemen 1 konsentrasinya 7,985 ppm, kompartemen
2 konsentrasinya 7,320 ppm, dan pada kompartemen 3, 4, 5, 6 dan 7 yaitu 7,142 ppm, 7,027 ppm, 6,862 ppm, 6,682
ppm , dan 6,577 ppm. Penurunan konsentrasi logam Cd dalam air limbah mengindikasikan bahwa telah terjadi
pemindahan logam dari air ke tanaman dan penurunan kadar logam Kadmium (Cd) disebabkan karena tanaman
mampu menyerap dan mengakumulasi logam berat dalam jaringan akar dan daun. tumbuhan air eceng gondok
mempunyai kemampuan untuk menyerap kontaminan dalam jaringan akar. Akar serabut yang dimiliki mampu
menyerap logam berat lebih efektif karena akar serabut tersebut memiliki modifikasi lapisan epidermis berupa
rambut – rambut akar yang dapat menyerap nutrisi lebih tinggi dan zat – zat lainnya (Ulfin dan Widya, 2005).
Proses absorpsi logam Kadmium (Cd) pada tanaman dapat dikategorikan sebagai fitoremediasi. Menurut Khiji and
Bareen (2008) salah satu proses penting dalam fitoremediasi adalah rhizofiltrasi. Rhizofiltrasi merupakan
pengendapan zat kontaminan seperti logam berat oleh akar dengan bantuan zat pengkhelat. Penyerapan logam berat
oleh tanaman dilakukan jika konsentrasi logam dalam media cukup tinggi. Selanjutnya, kadar Kadmium (Cd) pada
air artifisial semakin menurun sampai hari ke-6 dan hari ke-9. Hal ini menunjukkan tanaman masih mampu
menyerap kadar logam kadmium (Cd) pada air artifisial karena belum melewati titik jenuh. Belum melewati titik
jenuh karena konsentrasi yang digunakan pada penelitian ini yaitu 10 ppm ternyata masih dalam batas toleransi
artinya tanaman masih dapat bertahan hidup pada konsentrasi tersebut. Titik jenuh adalah batas waktu maksimum
yang dapat ditolerir tumbuhan air dalam menyerap kontaminan. Setelah melewati titik jenuh, kemampuan dalam
menyerap logam menurun bahkan konsentrasi logam dalam air limbah dapat meningkat karena tumbuhan air dapat
melepaskan kembali logam yang telah diserap. Kemampuan menyerap tanaman yang masih berlangsung hingga
pada hari ke-9 menunjukkan bahwa pengaruh banyaknya jumlah tanaman telah mampu meningkatkan penurunan
logam kadmium (Cd). Selanjutnya dari gambar 6 diketahui bahwa persentase penyisihan kadar Cd untuk perlakuan
seri terjadi pada hari ke-9 yaitu mencapai 79,015%. Dari hasil uji korelasi diketahui bahwa pada perlakuan seri
hubungan antara waktu fitoremediasi dengan efektivitas penyerapan Cd mempunyai tingkat korelasi yang sangat
kuat dengan interpretasi R>0,75.

Perbedaan tingkat cemaran logam (Cd) pada reaktor paralel dan reaktor seri konsentrasi awal logam
digunakan

Penggunaan dua reaktor digunakan untuk melihat perbandingan penurunan konsentrasi logam kadmium (Cd). Pada
penelitian ini digunakan reaktor paralel dan reaktor seri dengan konsentrasi awal masing-masing 10 ppm dan waktu
tinggal selama 3, 6 dan 9 hari.perbedaan efektivitas penyerapan dapatdilihat pada tabel 5 sebagai berikut:

KL - 37
Tabel 5 Perbedaan efektivitas penyerapan logam kadmium (Cd) dengan menggunakan reaktor
paralel dan seri
Waktu Efektivitas (%)
Fitoremediasi (Hari) Paralel Seri
3 23,691 28,742
6 45,166 52,381
9 71,796 79,015
∑ 46,884 53,379

Gambar 7 Perbedaan efektivitas

Grafik diatas menunjukkan bahwa reaktor juga memberikan pengaruh terhadap penurunan konsentrasi logam
kadmium (Cd) dalam air limbah, dimana pada rektor seri menunjukkan penurunan konsentrasi logam kadmium
(Cd) lebih tinggi di bandingkan dengan reaktor parale, dimana nilai efektivitas yang diperoleh pada perlakuan seri
sebesar 53,379% dan perlakuan paralel sebesar 48,884%. Hal ini di sebabkan karena pada reaktor seri menggunakan
pipa yang cukup panjang untuk pengaliran air dibandingkan pipa yang digunakan pada reaktor paralel, dimana
kandungan logam dalam air limbah dapat tertinggal pada pipa yang dialiri limbah tersebut.
Pada reaktor paralel dan reaktor seri menunjukkan hasil yang tidak jauh beda hal ini dikarenakan jumlah tanaman
yang digunakan pada reaktor paralel sama dengan jumlah tanaman pada reaktor seri dan kemampuan tanaman dalam
menyerap pun hampir sama
Tingkat reduksi kadar logam kadmium (Cd) pada reaktor paralel dan seri tidak berarti perbedaannya, namun kedua
reaktor tersebut sangat signifikansi mereduksi cemaran logam kadmium (Cd) pada air limbah artifisial
Secara umum, semua perlakuan reaktor mampu menurunkan konsentrasi logam kadmium (Cd) secara signifikan,
walaupun semua kompartemen baik pada reakor paralel maupun pada reaktor seri belum memenuhi baku mutu yaitu
sebesar 0,01 ppm (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001).
Secara biologi proses penyerapan unsur-unsur kimia oleh tanaman air dilakukan lewat membran sel. Kation dari
unsur-unsur kimia tersebut terdapat didalam molekul air dan dikelilingi oleh molekul air lainnya. Jadi jumlah ion
yang berdifusi ke rambut-rambut akar tergantung pada jumlah molekul air yang berdifusi ke membran sel. Semakin
banyak molekul air yang diserap oleh tanaman, berarti semakin banyak ion-ion logam tersebut yang masuk kedalam
tubuh tanaman (Supradata, 1992 dalam Syahputra. 2005).

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Dari hasil analisa penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:
a. Fitoremediasi dengan menggunakan tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes) cenderung mampu
menurunkan konsentrasi logam Cd dalam air limbah pada reaktor paralel, reduksi Cd menurun secara linear
pada tiap kompartemen untuk waktu observasi 9 hari dan efektivitas meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu observasi dimana efektivitas tertinggi pada perlakuan paralel terjadi pada hari ke -9
yaitu tingkat penyerapannya mencapai 72%.

KL - 38
b. Fitoremediasi dengan menggunakan tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes) cenderung mampu
menurunkan konsentrasi logam Cd dalam air limbah pada reaktor seri, reduksi Cd menurun secara linear
pada tiap kompartemen untuk waktu observasi 9 hari dan efektivitas meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu observasi dimana efektivitas tertinggi pada perlakuan seri terjadi pada hari ke -9 yaitu
tingkat penyerapannya mencapai 79%.

c. Persentase penyerapan logam kadmium (Cd) pada air limbah yang semakin meningkat seiring
bertambahnya waktu tinggal dikarenakan tanaman masih mampu menyerap kadar logam kadmium (Cd)
pada air limbah hingga hari ke-9 karena tidak adanya titik jenuh. Persentase penyerapan yang diperoleh
pada reaktor seri lebih tinggi dibandingkan persentase penyerapan pada reaktor paralel
Saran
a. Peneliti selanjutnya, diharapkan mengganti kadar logam lainnya. Dalam melakukan analisis logam berat
perlu menggunakan lebih dari satu jenis ekstrak sebagai pembanding.
b. Penelitian lanjutan diharapkan menambah waktu tinggal air limbah terhadap tanaman untuk mengetahui
titik jenuh tanaman.
c. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan kontrol terhadap faktor eksternal seperti uji transpirasi
(penguapan) dan uji tanaman

DAFTAR PUSTAKA
Aneta, Febrianingsi. 2013. Pengaruh Lama Waktu Kontak Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) Terhadap
Penyerapan Logam Berat Merkuri (Hg). Fakultas Ilmu – Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan, Universitas
Negeri Gorontalo.
Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 6989. 16: 2009. Cara Uji Kadmium (Cd) secara Spektrofotometri Serapan
Atom (SSA) – nyala. Jakarta
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Hidup Makhluk Hidup. UI-Press.Jakarta.
Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. UI-Press.Jakarta
Eddy, Syaiful. Kemampuan Tanaman Eceng Gondok Sebagai Agens Fitoremediasi Air Tercemar Timbal (Pb).
Dosen Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas PGRI Palembang. Vol 6 No 2.
Ernawati. 2010. Kerang Bulu (Anadara inflata) Sebagai Bioindikator Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) Dan
Cadmium (Cd) dimuara Sungai Asahan. Program Studi Magister Biologi-FMIPA. Universitas Sumatera Utara.
Fachruddin. L. Dan Musbir. 2009. The Concentration Of Heavy Metal Cd In Marine Water, Sediment and Green
Mussel Around Marine Estuarine Of Makassar. Universitas Hasanuddin Makassar.
Fardiaz. 1995. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.
Fitriyah, Khaina Rinda. 2007. Studi Pencemaran Logam Berat Kadmium (Cd), Merkuri (Hg) dan Timbal (Pb) Pada
Air Laut, Sedimen dan Kerang Bulu (Anadara antiquata) di Perairan Pantai Lekok Pasuruan. Biologi-
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Malang.
Hartanti, Putri Indah, dkk. 2014. Pengaruh Kerapatan Tanaman Eceng Gondok (Eichornia Crassipes) Terhadap
Penurunan Logam Chromium Pada Limbah Cair Penyamakan Kulit. Universitas Brawijaya.
Kelly. E. B. 1997. Ground Water Polution : Phytoremediation. Downloading
available at http:www.cee.vt.edu/program_areas/enviromental/teach/gwprimer/phyto/hyto/html.
Lestari, S., Slamet Santoso dan Sulastri A. 2011. Efektivitas Eceng Gondok (Eichornia crassipes) dalam
Penyerapan Kadmium (Cd) pada Leachate TPA Gunung Tugel. Fakultas Biologi Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto. Jurnal Molekul Vol.6. No.1.
Mahyatun, Waode. 2015. Fitoremediasi Logam Berat Kadmium (Cd) Menggunakan Kombinasi Eceng Gondok
(Eichornia Crassipes) dan Kayu Apu (Pistia Stratiotes) dengan Aliran Kontinyu. Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Moenir, Misbachul. 2010. Kajian Fitoremediasi Sebagai Alternatif Pemulihan Tanah Tercemar Logam Berat.
Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Dan Pencemaran Industri. Vol. 1 No 2.
Indrasti, Nastiti S. dkk. Penyerapan Logam Pb dan Cd Oleh Eceng Gondok : Pengaruh Konsentrasi Logam dan
Lama Waktu Kontak. J. Tek. Ind. Pert. Vol. 16(1), 44-50.
Murdhiani. 2012. Penurunan Logam Berat Timbal (Pb) pada kolam Biofiltrasi Air Irigasi dengan Menggunakan
Tanaman Air (Aquatic Plant). Agroekoteknologi-Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Palar H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat . Penerbit PT. Rieneka Cipta. Jakarta.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Baku Mutu Air
Limbah Bagi Kawasan Industri.
Ritonga, H. (2011). Kadar N-Total Dalam Air Limbah Cair. Diakses:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28006/4/Chapter%20II.pdf. 20 Desember 2016.

KL - 39
Rosmiati. 2015. Fitoremediasi Logam Berat Kadmium (Cd) Menggunakan Kombinasi Eceng Gondok (Eichornia
Crassipes) dan Kayu Apu (Pistia Stratiotes) dengan Aliran Batch. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Rossi, Belasanta, dkk. 2014. Penurunan Konsentrasi Logam Pb2+ Dan Cd2+
Pada Limbah Cair Industri Sasirangan Dengan Metode Fitoremediasi. Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas
Lambung Mangkurat.Jurnal Vol 1 No 1.
Sudarwin, 2008.Analisi Spasial Pencemaran Logam Berat (Pb dan Cd) pada Sedimen Aliran Sungai dari Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Jatibarang, Semarang, Program Studi Magister Kesehatan Lingkungan
Universitas Diponegoro.
Sunu. 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. PT.Grasindo.Jakarta
Surbakti, Patut, 2011. Analisis Logam Berat Cadmium (Cd), Cuprum (Cu), Cromium (Cr), Ferrum (Fe),Nikel (Ni),
Zinkum (Zn) Pada Sedimen Muara Sungai Asahan di Tanjung Balai dengan Metode Spektrofotometri Serapa
Atom (SSA). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Suryati, T. dan Budhi Priyanto. 2003. Eliminasi Logam Berat Kadmium dalam Air Limbah Menggunakan Tanaman
Air. Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

KL - 40
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

STUDI KUALITAS DAN KUANTITAS AIR SUNGAI KARAJAE SEBAGAI SUMBER


AIR BERSIH UNTUK KOTA PAREPARE

Rahmawati1, Muh. Saleh Pallu2, Mary Selintung3, dan Farouk Maricar4

1
Mahasiswa S3 Program Studi Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Jl. Poros Malino
Email : rahmawatiramli09@gmail.com
2
Dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Jl. Poros Malino
Email : salehpallu@hotmail.com
3
Dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Jl. Poros Malino
Email : mary.selintung@yahoo.com
4
Dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Jl. Poros Malino
Email : fkmaricar@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kuantitas dan kualitas air Sungai Karajae Kota
Parepare yang dapat digunakan sebagai sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Kota Parepare. Berdasarkan gambaran letak lokasi Sungai Karajae dengan adanya perkembangan
dan pertumbuhan masyarakat yang terus meningkat dari tahun ke tahun, pada khususnya
masyarakat Kota Parepare, kebutuhan air bersih meningkat pula. Analisis laboratorium dilakukan
di Laboratorium PDAM Kota Parepare. Pengambilan sampel air sungai dan pengukuran debit
dilakukan pada saat air pasang di musim hujan pada tanggal 6 Juli 2017 pukul 11.00 - 14.00
WITA. Data primer dalam menghitung debit Sungai Karajae diperoleh debit maksimum pada titik
10 sebesar 27.18 m3/det dengan Luas penampang sebesar 66,73 m2. Kecepatan aliran maksimum
sebesar 0,50 m/det pada titik 7 dan titik 8. Pengujian kualitas air dilakukan di Laboratorium PDAM
Kota Parepare. Parameter yang diuji adalah parameter Fisik dan Kimia. Kesimpulannya adalah
bahwa kualitas air di Sungai Karajae masih memenuhi standar kualitas air baku untuk di olah
menjadi air bersih menurut PP Nomor 82 Tahun 2001. Tingkat kekeruhan dan kadar garam (Cl)
yang paling maksimum berada pada titik 1, sedangkan kekeruhan paling min sebesar 0,87 skala
NTU berada pada titik 9 dan kadar garam (Cl) yang paling minimum sebesar 6.37 mg/l berada pada
titik 10.
Kata Kunci : Kuantitas, Kualitas, Kadar garam (Cl), Kekeruhan

1. PENDAHULUAN
Air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia untuk memajukan
kesejahteraan umum dan berperan juga dalam sebagian faktor utama pembangunan. Potensi sumber air yang
ada perlu dikaji dalam memenuhi kebutuhan air masyarakat Kota Parepare untuk pengembangan suatu kota. Hal
ini berkaitan dengan terbatasnya ketersediaan sumber air dan biaya yang tinggi untuk mengelola air sebelum
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluaan sehari- hari.
Dengan adanya perkembangan dan pertumbuhan masyarakat yang terus meningkat dari tahun ke tahun, pada
khususnya masyarakat Kota Parepare, kebutuhan akan air bersih meningkat pula. Banyak kendala yang dihadapi
pihak PDAM Kota Parepare untuk memenuhi kebutuhan air. Kawasan perkotaan yang dicirikan dengan tingkat
pembangunan yang pesat dan pertumbuhan penduduk yang tinggi, air bersih merupakan barang langka dan mahal.
Mengingat air adalah kebutuhan utama bagi kehidupan, maka penyediaan air perlu menjadi perhatian.
Berdasarkan peruntukannya, tentu diharapkan bahwa kualitas air yang ada di sungai tersebut masih dalam batas-
batas toleransi. Kriteria kualitas air, apakah masih layak untuk dimanfaatkan atau tidak, dalam artian kualitas air
digunakan untuk mengetahui apakah air itu cukup aman untuk di konsumsi atau dipergunakan untuk kegiatan
tertentu (Mary Selintung, 2011).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kuantitas dan kualitas air Sungai Karajae Kota Parepare yang dapat
digunakan sebagai sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Parepare.

KL - 41
2. METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi Penelitian

9 10
1 8
2 3 6 7
4 5

Sungai Karajae

Sungai Lappa Angin

Gambar 1. Skema Lokasi Pengambilan Sampel Air Payau

Penelitian dilakukan di Muara Sungai Karajae Kota Parepare. Panjang Sungai Karajae sebagai lokasi penelitian
adalah sepanjang ± 1 km dimulai dari perencanaan Bendung Karet (3,6 km dari muara sungai) yang berlokasi di
Kecamatan Bacukiki Kelurahan Lemoe. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium PDAM Kota Parepare.
Pengambilan sampel air sungai dan pengukuran debit dilakukan pada saat air pasang di musim hujan pada tanggal
6 Juli 2017 pukul 11.00 - 14.00 WITA.
Parameter yang diukur dan diamati meliputi parameter fisika dan kimia. Pengambilan sampel air dan p engukuran
debit di lakukan pada 10 titik dimana jarak masing-masing titik 100 meter higga 1 km.
Prosedur Penelitian
Pengukuran Debit Aliran
1. Menentukan lokasi pengamatan.
2. Mengukur dimensi saluran (lebar atas, lebar dasar saluran, kemiringan talut, dan keliling basah).
3. Memasang tali yang telah ditandai dengan ruas-ruas.
4. Membentangkan tali tegak lurus dengan arah aliran saluran.
5. Menyiapkan alat Current Meter dan mulai mengukur aliran sesuai dengan kedalaman dan jumlah titik yang telah
ditentukan.
6. Mencatat kedalaman dan pembacaan alat Current Meter di setiap titik pengamatan.
Cara Pengambilan Sampel Air
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan perahu dimulai ± 3,6 KM dari muara Sungai Karajae.
Pengambilan sampel di ambil 10 titik/segmen dengan jarak masing-masing 100 meter yaitu titik awal dimulai dari
perencanaan bendung karet. Selanjutnya pada titik yang telah ditentukan sampel air sungai diambil secara komposit
dengan menggunakan alat pengambil sampel yaitu botol-botol kaca, kemudian langsung ditutup rapat dengan
terlebih dahulu dipanaskan penutupnya. Volume sampel air yang diambil dari setiap titik lokasi untuk pemeriksaan
di lapangan dan laboratorium harus sama. Untuk pemeriksaan sifat fisik air diperlukan kurang lebih 2 liter, sifat
kimia air diperlukan kurang lebih 5 liter dan pemeriksaan mikrobiologi diperlukan kurang lebih 100 mililiter.
Sampel air kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang sesuai peruntukan analisis. Langkah selanjutnya adalah
pemberian label pada wadah sampel air, yang memuat keterangan mengenai lokasi pengambilan, waktu
pengambilan, cuaca, petugas yang mengambil sampel dan sketsa lokasi. Wadah ditutup rapat agar sampel air tidak
tertumpah selama pengangkutan ke laboratorium. Waktu pengambilan sampel dilakukan bersamaan dengan waktu
pengambilan beberapa parameter fisik penunjang seperti suhu, pH, kekeruhan dan kecerahan secara in situ.

KL - 42
Analisa Laboratorium
Setelah pengambilan sampel air kemudian dimasukkan ke dalam cool box yang berisi dry ice. Hal ini berguna untuk
menghambat laju reaksi yang terjadi dalam sampel air akibat aktivitas mikroorganisme maupun reaksi-reaksi kimia
yang umumnya terjadi pada perairan alami, sehingga kandungan parameter yang akan diukur tidak berubah. Sampel
kemudian disimpan pada suhu 40C dan segera akan dilakukan pengujian dalam kurun waktu kurang dari 24 jam.
Analisis kimia dilakukan di Laboratorium PDAM Kota Parepare. Prosedur analisa dari sampel, baik dalam
pengambilan sampel sampai analisa laboratorium mengikuti: Standard Methods for the Examination of Water and
wastewater; 14 th.ed American Public Health Association, 1989.
Alat dan Bahan yang digunakan

Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:


1. GPS (global position system)
2. Perahu
3. Meteran
4. Current Meter
5. Botol
6. Alat Pengambil Sampel Air
7. Pulpen
8. Label
9. Spidol

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sampel air payau Sungai Karajae yang disimpan dalam botol
Aqua.
Data Kecepatan Aliran dan Kedalaman Sungai
Data kecepatan aliran dan kedalaman sungai diperoleh dari hasil Current Meter dan pengukuran langsung
sehingga diperoleh profil sungai serta kecepatan aliran setiap titik. Dari data yang diperoleh dapat dianalisa debit
pada setiap titik.
Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data dari Current Meter dimaksudkan agar diperoleh hasil perhitungan untuk memperoleh hasil
perhitungan debit Sungai Karajae dan menjadi acuan dalam menentukan kuantitas aliran Sungai Karajae. Analisis
kualitas air dengan mengacu baku mutu kualitas air sungai menurut PP 82/2001.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Perhitungan Debit
Untuk perhitungan debit pengaliran dalam penelitian ini dilakukan dengan metode Current Meter dan metode
pengukuran langsung. Pengukuran kecepatan aliran dengan metode current meter di lakukan dengan menurunkan
alat current meter sedangkan pengukuran lebar dan kedalaman Sungai dilakukan dengan menggunakan alat-alat
sederhana seperti GPS, rol meteran, alat tulis, dan stopwatch.
Perhitungan debit dengan metode current meter
- Luas penampang saluran Sungai tiap titik dengan jarak 100 meter
Diketahui : Tinggi Muka Air tiap titik (h) = 0.83 m
Lebar Sungai (b) = 54 m
Dimana : A = h x b
A = 0.83 x 54
A = 45 m2
- Perhitungan debit saluran titik 1 dengan jarak 100 meter
Diketahui : Luas Penampang Saluran Titik 1 = 45 m2
Kecepatan (V) = 0,30 m/det
Debit (Q) = V x A
Q = 0,30 x 45
Q = 13,67 m3/det

KL - 43
Tabel 1. Rekapitulasi Perhitungan Debit

Tinggi Debit
Jarak Lebar Luas (A) Kecepatan
Titik Muka (Q)
(m) (b) (m2) (V) m/det
Air (h) (m3/det)
1 100 0.83 54.00 45.00 0.30 13.67
2 100 1.10 55.80 61.38 0.28 17.47
3 100 1.26 56.40 71.06 0.20 14.19
4 100 1.30 58.60 76.18 0.25 18.97
5 100 1.12 56.70 63.32 0.29 18.66
6 100 0.96 55.70 53.47 0.41 21.66
7 100 0.91 55.40 50.23 0.50 24.98
8 100 0.96 54.50 52.14 0.50 25.93
9 100 0.82 55.11 45.01 0.47 21.33
10 100 1.21 55.30 66.73 0.41 27.18
Sumber : Hasil Analisis 2017

Dari Tabel 1 diatas, maka didapatkan nilai debit aliran sungai pada tiap titik. Debit maksimum berada pada titik 10
sebesar 27,18 m3/det dengan Luas penampang sebesar 66,73 m2. Kecepatan aliran maksimum sebesar 0,50 m/det
pada titik 7 dan titik 8.
Hasil pemeriksaan Kualitas Sampel Air Sungai Karajae
Hasil Analisis kualitas air Sungai Karajae di 10 titik pengambilan sampel. Pemeriksaan parameter yaitu fisika dan
kimia di Laboratorium PDAM Kota Parepare maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 2 dibawah ini.
Tabel. 2. Hasil Pemeriksaan Kualitas Sampel Air Sungai Karajae
STANDAR KUALITAS AIR
TITIK/100 meter BERSIH INDONESIA
JENIS
NO
PENETAPAN MAKS YANG
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 SATUAN
DIBOLEHKAN

FISIKA
Skala
1 Warna 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 15 TCU
2 Bau NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL
3 Rasa NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL NIHIL
Skala
4 Kekeruhan 3,64 2,35 1,81 1,43 2,49 1,72 2,05 1,17 0,87 2,35 5 NTU
Total zat padat
5 terlarut (TDS) 110 110 110 110 110 110 110 110 110 110 500 mg/l
6 Suhu 28,9 28,9 28,8 28,8 28,9 28,9 28,6 28,7 28,9 28,9 ± 30 °C °C
KIMIA
Derajat Keasaman
1 (PH) 6,5 6,5 7,4 7,2 7,8 7,2 7,6 7,6 7,2 7,2 6,5 - 8,5 mg/l
2 Kesadahan 225 166 187 179 215 198 64,2 58,3 188 192 500 mg/l
3 Khlorida (Cl) 26,96 14,21 12,74 12,25 13,71 9,31 9,31 6,86 8,33 6,37 250 mg/l
4 Total Besi (Fe) 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 1,0 mg/l
5 Mangan (Mn) 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,4 mg/l
6 Nitrat (NO3) 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 50 mg/l
7 Nitrit (NO2) 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 3,0 mg/l
Zat Organik
8 (KMnO4) 4,9 4,6 3,2 6,4 3,7 6,4 2,0 3,2 5,6 4,7 10 mg/l
9 Amonia (NH4) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,5 mg/l
Sumber : Hasil Analisis, 2017

KL - 44
Berdasarkan hasil pengujian sampel air Sungai Karajae menunjukkan hasil yang baik dengan baku mutu air yang
telah ditetapkan, tingkat kekeruhan dan kadar garam (Cl) yang paling maksimum berada di titik 1. Titik 1
merupakan percabangan Sungai Karajae dan Sungai Lappa Angin. Pada titik 9 di dapatkan kekeruhan paling
Minimum sebesar 0.87 Skala NTU dan titik 10 diperoleh kadar garam (Cl) paling minimum sebesar 6.37 mg/l.

4. KESIMPULAN
Hasil pengukuran 10 titik pengambilan sampel dengan menggunakan Current Meter sebagai data primer dalam
menghitung debit Sungai Karajae diperoleh debit maksimum pada titik 10 sebesar 27.18 m3/det dengan Luas
penampang sebesar 66,73 m2. Kecepatan aliran maksimum sebesar 0,50 m/det pada titik 7 dan titik 8. Pengujian
sampel kualitas air dilakukan di Laboratorium PDAM Kota Parepare. Parameter yang ditinjau adalah parameter
Fisik dan Kimia. Hasil pemeriksaan kualitas air di Sungai Karajae masih memenuhi standar kualitas air baku untuk
di olah menjadi air bersih menurut PP Nomor 82 Tahun 2001. Tingkat kekeruhan dan kadar garam (Cl) yang paling
maksimum berada pada titik 1, sedangkan kekeruhan paling minimum sebesar 0,87 skala NTU berada pada titik 9
dan kadar garam (Cl) yang paling minimum sebesar 6.37 mg/l berada pada titik 10.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih tak terhingga penulis tujukan kepada seluruh laboran laboratorium PDAM Kota Parepare atas
bantuan dan dukungannya dalam penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Akbar MA, Pallu MS , dan Johannes, (2012), Studi Kuantitas dan Kualitas Air Sungai Tallo sebagai Sumber Air
Baku, Jurnal Penelitian Jurusan Sipil Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Badan Standar Nasional 2008, Standar Nasional Indonesia (SNI) 6989.57:2008 Air dan Air Limbah-Bagian 57 :
Metode Pengambilan Contoh Air Permukaan, Jakarta, Dewan Standardisasi Nasional.
Br Harto Sri., (2000), Hidrologi: Teori, Masalah, Penyelesaian, Nafiri, Yogyakarta.
Triatmodjo B, (2008), “Hidrologi Terapan”, Beta Ofset, Yogyakarta.
Dede, Nieke, dan Didik, (2012), Model Prediksi Kualitas Air di Sungai Kalimas Surabaya (Segmen Ngagel - taman
Prestasi) dengan Pemodelan QUAL2Kw, Jurusan Teknik Lingkungan ITS, Surabaya.
Dyah, Budi, dan Sudarno, (2012), Analisis Kualitas Air dan Strategi Pengendalian Pencemaran Air Sungai Blukar
Kabupaten Kendal, Jurnal Presipitasi Vol. 9 No.2.
Effendi, H, (2003). Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan, Yogyakarta:
Kanisisus.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Purnisa, Melati, dan Widyo, (2009), Kajian Kualitas Air Sungai Cipinang Bagian Hilir ditinjau dari Parameter
BOD dan DO Menggunakan Model QUAL2E, Jurnal Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti, Jakarta,
Vol. 5.
Selintung, Mary, (2011), Pengenalan Sistem Penyediaan Air Minum, Makassar : ASPublishing
Suripin, (2004), Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air, Andi Offset, Yogyakarta.

KL - 45
KL - 46
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PADA PENGELOLAAN TEMPAT


PEMROSESAN AKHIR SAMPAH (TPA) MANDUNG DI KABUPATEN TABANAN

Kadek Diana Harmayani 1, Anak Agung Diah Parami Dewi 2, dan I Gusti Agung Bagus Kresna Indrawijaya 3

1
Dosen Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana Denpasar
Email: kdharmayani@yahoo.com
2
Dosen Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana Denpasar
Email: anakagungdewi@yahoo.com
3
Alumni Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana Denpasar
Email: bagoestkresna@gmail.com

ABSTRAK
Saat ini kondisi TPA Mandung sudah dalam keadaan jenuh (overload). Hal ini disebabkan karena
belum optimalnya pengelolaan TPA Mandung. Terbatasnya dana yang dialokasikan untuk
pengelolaan persampahan dan pendapatan operasi persampahan tidak dapat menutupi biaya operasi
dan pemeliharaan. Peranan pemerintah dan kepedulian masyrakat setempat sangat dibutuhkan dalam
penanggulangan permasalahan ini, sehingga diperlukan sistem pengelolaan serta kelayakan finansial
TPA Mandung. Data primer diperoleh dengan cara observasi sistem pengelolaan eksisting. Data
sekunder yang meliputi jumlah penduduk yang di peroleh melalui data BPS (Badan Pusat Statistik),
perkiraan pertumbuhan penduduk didapat dari data penduduk 5 tahun terakhir, volume timbulan
sampah dicari menggunakan rumus laju timbulan sampah. Tujuan dari perhitungan volume timbulan
sampah untuk mendapatkan proyeksi volume timbulan sampah sampai tahun 2025 di Kecamatan
Tabanan dan Kecamatan Kediri. Rencana perluasan lahan urug TPA Mandung selama 10 tahun
proyeksi diperoleh dengan pengukuran langsung dan observasi daya tampung lahan urug eksisting.
analisis kelayakan finansial digunakan metode NPV, BCR dan IRR. Hasil dari penelitian
mendapatkan volume timbulan sampah Kecamatan Tabanan sampai tahun 2025 sebesar 787,193 m³
dan volume timbulan sampah Kecamatan Kediri sampai 2025 adalah sebesar 1,073,483 m³. Metode
perencanaan yang digunakan untuk TPA Mandung adalah sanitary landfill, terdapat sistem
pengomposan metode open windrow, sistem penangkapan gas metan dan sistem pengolahan lindi.
Perluasan lahan urug TPA Mandung diperoleh sebesar 5 Ha terdapat 8 unit zona penimbunan
dengan ukuran 80 m x 50 m x 15 m, dengan total volume zona penimbunan 480,000 m³. Sampah
yang masuk ke zona penimbunan selama 10 tahun proyeksi dengan faktor reduksi 0.25 adalah
sebesar 465.169 m³. Untuk pengoperasian landfill selama 10 tahun dibutuhkan 1 unit ekskavator dan
1 unit bulldozer. Retribusi naik 11.9%/tahun. Hasil kelayakan finansial diperoleh NPV sebesar -Rp
26,646,201,663, BCR sebesar 0.473092085 dengan discount rate 10% dan IRR sebesar - 14. 65%
sehingga analisis kelayakan finansial dianggap tidak layak dari segi ekonomi.
Kata kunci: TPA Mandung, Analisis Kelayakan, Pengelolaan Sampah, Kabupaten Tabanan

1. PENDAHULUAN
TPA untuk wilayah Kabupaten Tabanan terdapat di Desa Mandung Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan.
Berdasarkan data dari DKP Kabupaten Tabanan, TPA Mandung mulai beroperasi dari tahun 1995 dengan luas TPA
adalah 2,75 hektar. Saat ini kondisi TPA Mandung sudah berada pada ambang overload/keadaan jenuh
Maka dari itu perlu dilakukan analisis untuk sistem pengelolaan, analisis perluasan lahan, analisis penambahan alat
operasional dan analisis kelayakan finansial perluasan lahan, serta pembelian alat operasional pada TPA Mandung.
Bila perbaikan sistem pengelolaan dapat dilaksanakan maka pengelolaan sampah dapat membantu menangani
permasalahan penumpukan sampah di Kabupaten Tabanan agar tercapai tujuan Kota Tabanan yang bebas sampah.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Teknik operasi pengelolaan sampah
Teknik operasi pengelolaan sampah terdiri dari kegiatan pewadahan sampah sampai dengan pembuangan akhir
sampah harus bersifat terpadu dengan melakukan pemilahan sejak dari sumbernya.

KL - 47
Sampah yang digunakan sebagai bahan baku kompos adalah sampah dapur (terseleksi) dan daun potongan tanaman,
serta metode pembuatan kompos dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan open windrow dan
caspary.
Sistem penanganan dalam lahan urug saniter, gas bio harus dialirkan ke udara terbuka melalui ventilasi sistem
penangkap gas, lalu dibakar pada gas flare. Sangat dianjurkan menangkap gas bio tersebut untuk dimanfaatkan. Pada
sistem lahan urug terkendali, gas bio harus dialirkan ke udara terbuka melalui ventilasi sistem penangkap gas,
sedemikian sehingga tidak berakumulasi yang dapat menimbulkan ledakan atau bahaya toksik lainnya. Kriteria
desain perpipaan vertikal pipa gas: 80.
Pola tulang ikan atau pola lurus dipakai dalam konstruksi sistem under drain yang direncanakan pada landfill,
dengan kemiringan saluran pengumpul lindi antara 1 - 2 % yang menggunakan pengaliran secara gravitasi menuju
instalasi pengolah lindi (IPL). Sistem penangkap lindi diarahkan menuju pipa berdiameter minimum 200 mm, atau
saluran pengumpul lindi. Pada lahan urug saniter, pertemuan antar pipa penangkap atau antara pipa penangkap
dengan pipa pengumpul dibuat bak kontrol (junction box), yang dihubungkan sistem ventilasi vertikal penangkap
atau pengumpul gas.
Menghitung laju timbulan
Laju timbulan sampah (Cs) dihitung dengan menggunakan data tingkat pertumbuhan penduduk, pertumbuhan
sektor industri, pertumbuhan sektor pertanian, dan laju peningkatan pendapatan per kapita.

(1)

Dimana Cs = timbulan sampah, untuk Ci,Cp,Cqn digunakan rata-rata pertumbuhan perkapita dan untuk p
digunakan rata-rata pertumbuhan penduduk (r) yang didapat pada perhitungan pertumbuhan penduduk.
Produksi excavator
Produksi perjam dari excavator dapat dihitung dengan rumus berikut :

(m3/jam) (2)

Produksi per siklus;


(3)
Waktu Siklus ( CT )
(4)
Dimana: Q = produksi perjam (m3/jam) ,q = produksi per siklus (m3), Cm = waktu siklus (menit), E = job factor,
ql = kapasitas bucket, K = faktor bucket (Rochmanhadi, 1985)
Produksi bulldozer
Produksi perjam dari bulldozer dapat dihitung dengan rumus pada persamaan 2, 3, dan 4.
Kebutuhan unit excavator dan bulldozer
(5)

Dimana: V = Total volume sampah sampai akhir tahun rencana, T = Waktu kerja alat jam/hari, P = Produksi alat
jam/hari
Harga oli / jam
Ganti oli diasumsikan setiap 3 bulan sekali
Harga oli/jam
Kebutuhan oli = (kapasitas oli )/(kapsitas botol oli)
Harga oli = Kebutuhan oli x Harga oli/botol
(Harga oli )/(3 bulan)= harga oli per bulan
Efektif jam kerja = 1 hari 8 jam kerja
= 1 bulan 20 hari kerja
= 8 x 20 = 160 jam/bulan

KL - 48
Harga oli per jam=(harga oli per bulan )/(efektif jam kerja)

Biaya pemeliharaan per tahun alat berat


Ongkos reparasi = 12% s/d 17,5% x B
Ongkos suku cadang = 6,75 % s/d 8,75% x B

Biaya operasional alat berat per tahun


Ongkos bahan bakar = 12% s/d 15% x HP x Harga bahan bakar x jam kerja dalam setahun
Ongkos pelumas = 2,5% s/d 3% x HP x Harga oli/jam x jam kerja dalam setahun
Gaji operator = gaji per bulan x 12
Dimana: B = Harga alat berat, HP = Horse Power

Proyeksi pertumbuhan penduduk


Proyeksi penduduk dengan metode aritmatik
Metoda ini dapat dipakai apabila pertambahan penduduk relatif konstan tiap tahunnya.

(6)

Dimana: Pn = jumlah penduduk pada tahun ke-n, Po = jumlah penduduk mula-mula, n = periode waktu proyeksi, r
= % pertumbuhan penduduk tiap tahun

Net Present Value (NPV)


NPV merupakan selisih antara pengeluaran dan pemasukan yang telah didiskon dengan menggunakan social
opportunity cost of capital sebagai diskon factor, Dimana rumusnya:

(7)
Dimana : t = waktu arus kas, i = suku bunga diskonto yang digunakan, Rt = arus kas bersih (the net cash flow)
dalam waktu
Internal Rate of Return (IRR)
IRR adalah metode penilaian untuk mengetahui tingkat kemampuan cash flow untuk mengembalikan investasi. Nilai
IRR dijelaskan dalam persen (%)/periode waktu. IRR dapat dihitung saat tercapai NPV=0, sehingga suku bunga
dapat diketahui, Dimana rumusnya:
(8)

Penyusutan / Depresisasi
Penyusutan / Depresiasi secara umum dapat di definisikan sebagai berkurangnya nilai suatu aset sesuai dengan
waktu.

(9)
Dimana:
Dt = laju depresiasi pada tahun pertama, P = nilai asset, S = nilai akhir

3. METODE PENELITIAN
Data-data primer hasil observasi di TPA Mandung dan data sekunder yang telah dikumpulkan dianalisis untuk
kemudian diketahui hasilnya. Adapun hasil yang ingin diketahui adalah Menghitung analisis finansial perluasan
lahan dan penambahan sarana dan prasarana TPA menggunakan metode NPV, IRR, dan Benefit Cost ratio maka
akan diketahui kelayakan investasi lahan dan sarana prasarana TPA.

KL - 49
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Prediksi pertumbuhan penduduk kabupaten tabanan tahun 2016 Sampai Tahun 2025
Digunakan Proyeksi Penduduk dengan Metode Aritmatik, metoda ini dapat dipakai apabila pertambahan penduduk
relatif konstan tiap tahunnya. Jika diplot grafik maka pertambahan penduduk adalah linear. Karena r belum
diketahui maka digunakan rumus

(10)

r x 100 agar mendapatkan hasil dalam bentuk %


Tabel 1. Proyeksi jumlah penduduk Kecamatan Tabanan dan Kediri tahun 2016 sampai tahun 2025

Proyeksi Penduduk
No. Kecamatan
2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025

1 Tabanan
70,210 71,346 72,500 73,674 74,866 76,077 77,308 78,559 79,830 81,122
2 Kediri
86,866 90,052 93,354 96,777 100,325 104,004 107,818 111,771 115,870 120,118

Proyeksi timbulan sampah Kecamatan Tabanan dan Kediri Tahun 2015-2025


Laju timbulan sampah (Cs) dihitung dengan menggunakan data tingkat pertumbuhan penduduk, pertumbuhan
sektor industri, pertumbuhan sektor pertanian, dan laju peningkatan pendapatan per kapita.

(1)

Untuk Ci,Cp,Cqn digunakan rata-rata pertumbuhan perkapita dan untuk p digunakan rata-rata pertumbuhan
penduduk (r) yang didapat pada perhitungan pertumbuhan penduduk

Jadi laju timbulan sampah di Kabupaten Tabanan sebesar 2.20%


Tabel 3. Proyeksi Timbulan Sampah Kecamatan Tabanan dan Kediri Tahun 2015-2025
PROYEKSI TIMBULAN SAMPAH
No Uraian Satuan
2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025

1 Tabanan
Jmlh.Penduduk Jiwa 67,774 70,210 71,346 72,500 73,674 74,866 76,077 77,308 78,559 79,830 81,122
Timbulan sampah lt/org/hari 2.54 2.60 2.65 2.71 2.76 2.82 2.88 2.93 2.99 3.04 3.10
Total Timbulan m3 /hari 172 182 189 196 204 211 219 227 235 243 251
ton/hari 51.64 54.68 56.76 58.89 61.08 63.32 65.62 67.98 70.40 72.87 75.41
m3 /tahun 62,833 66,523 69,055 71,650 74,312 77,041 79,840 82,708 85,649 88,663 91,752

2 Kediri
Jmlh.Penduduk Jiwa 80,250 86,866 90,052 93,354 96,777 100,325 104,004 107,818 111,771 115,870 120,118
Timbulan sampah lt/org/hari 2.54 2.60 2.65 2.71 2.76 2.82 2.88 2.93 2.99 3.04 3.10
Total Timbulan m3 /hari 204 225 239 253 267 283 299 316 334 353 372
ton/hari 61.15 67.65 71.64 75.83 80.23 84.86 89.71 94.81 100.16 105.77 111.66
m3 /tahun 74,400 82,305 87,160 92,259 97,616 103,241 109,148 115,349 121,858 128,690 135,859

TOTAL
Jumlah Penduduk Jiwa 148,024 157,076 161,398 165,854 170,450 175,191 180,081 185,126 190,330 195,700 201,240
Timbulan sampah m3 /hari 376 408 428 449 471 494 518 543 569 595 624
ton/hari 112.79 122.32 128.40 134.72 141.31 148.18 155.33 162.79 170.55 178.65 187.08
m3 /tahun 137,233 148,829 156,214 163,910 171,928 180,282 188,987 198,057 207,507 217,353 227,611

KL - 50
Cara pengomposan sampah organik
Diperoleh hasil analisis alat pencacah dengan daya < 5 kW yaitu mesin pencacah kelas A dengan hasil produksi 500
kg/jam dan mesin ayakan kompos tipe yanmar 5,5 HP dengan bahan bakar solar dengan kapasitas 5 m³
Sistem penangkapan dan pemanfaatan gas metan
Setelah dilakukan analisis maka direncanakan sistem penangkapan gas metan yaitu disalurkan ke kompor untuk
dimanfaatkan sebagai sumber energi pembakaran yang berpedoman pada Peraturan Menteri Nomor 03/PRT/M/2013
Tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan
Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Sistem pengolahan lindi
Sistem pengolahan lindi direncanakan sistem alternatif 1 (Anaerobik, Fakultatif, Maturasi, Biofilter) yang diperoleh
dari Peraturan Menteri Nomor 03/PRT/M/2013 dengan rincian:
-1 Kolam anaerobik: panjang 30 m, lebar 24 m dan kedalaman 5 m
-1 Kolam fakultatif: panjang 20 m, lebar 20 m dan kedalaman 2 m
-1 Kolam maturasi: panjang 20 m, lebar 20 m dan kedalaman 1.5 m
-1 Kolam biolfilter: panjang 30 m, lebar 28 m dan kedalaman 2 m
Luas rencana perluasan lahan urug TPA Mandung
Data-data yang diperlukan untuk menghitung kapasitas lahan terdapat pada tabel 4.
Tabel 4. Data Untuk Perhitungan Kapasitas Lahan
Luas
lahan Kedalaman Faktor Faktor Faktor
rencana tumpukan lahan sarana Reduksi
5 Ha 15 m 0.7 0.3 0.25

Faktor reduksi sampah ke zona penimbunan adalah 0.25. Jadi jumlah sampah yang masuk setiap tahun dikalikan
0.25, rincian perhitungan terdapat pada tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Sampah ke Zona Pengurugan
Jumlah Sampah Jumlah Sampah ke Zona Pengurugan
No. Tahun Faktor Reduksi
(m³/Tahun) (m³/Tahun)
1 2016 148828.514 0.25 37207
2 2017 156214.106 0.25 39054
3 2018 163909.531 0.25 40977
4 2019 171927.676 0.25 42982
5 2020 180281.973 0.25 45070
6 2021 188987.183 0.25 47247
7 2022 198057.158 0.25 49514
8 2023 207507.090 0.25 51877
9 2024 217352.806 0.25 54338
10 2025 227610.797 0.25 56903
TOTAL 465169

Analisis kebutuhan zona penimbunan


Didapatkan volume zona penimbunan sebesar 480.000 m³ > 465.169 m³ total jumlah sampah yang tereduksi untuk
akhir tahun perencanaan 2025 dengan ukuran 80 m x 50 m x 15 m dan 8 unit zona pengurugan.
Kebutuhan alat berat
Perluasan lahan seluas 5 Ha dan produksi samnpah sebesar 155.90 m³/hari diperlukan masing masing 1 unit
ekskavator dan bulldozer dengan jam kerja 8 jam per hari.
Biaya perluasan lahan TPA Mandung
Data yang diperoleh dari hasil observasi adalah harga tanah di Desa Mandung adalah Rp 72.000.000 / are

KL - 51
Untuk mengetahui harga total pembelian tanah perluasan digunakan perhitungan:
Harga Tanah x Luas Tanah yang dibeli = Rp 72.000.000 x 500 are
= Rp 36.000.000.000
Biaya pembelian alat berat
Harga Excavator type komatsu PC 200 = $ 30.000 / Rp 393.060.000
Harga Bulldozer type Komatsu D85ESS-2A = $ 40.000 / Rp 524.080.000
Sumber: Komatsu unit price japan 2016
( 1 USD = Rp 13.102 Kurs Agustus 2016 )
Biaya investasi dan sumber dana
Biaya investasi terdiri dari:
- Biaya pembelian lahan seluas 5 Ha = Rp 36.000.000.000
- Biaya 2 buah alat berat (ekskavator dan bulldozer) = Rp 917.140.000
- Biaya operasional alat berat selama 10 tahun = Rp 8.665.163.494
Sumber dana
Jumlah dana investasi yang dibutuhkan di tahun awal yaitu sebesar Rp 36,917,140,000 dengan asumsi meminjam
dana pada Bank, syarat kredit diperhitungkan dengan tingkat suku bunga 10% per tahun, pengembalian cicilan
setiap tahun selama 10 tahun. Rincian pinjaman bank terdapat pada tabel 8 dan total biaya investasi terdapat pada
tabel 6.
Tabel 6. Rincian Pinjaman Bank
BUNGA MENURUN
Tahun Pokok Pinjaman Angsuran Pokok Bunga (10%) Saldo Kredit
Rp Rp Rp Rp
2016 36,917,140,000 3,691,714,000 3,691,714,000 7,383,428,000
2017 33,225,426,000 3,691,714,000 3,322,542,600 7,014,256,600
2018 29,533,712,000 3,691,714,000 2,953,371,200 6,645,085,200
2019 25,841,998,000 3,691,714,000 2,584,199,800 6,275,913,800
2020 22,150,284,000 3,691,714,000 2,215,028,400 5,906,742,400
2021 18,458,570,000 3,691,714,000 1,845,857,000 5,537,571,000
2022 14,766,856,000 3,691,714,000 1,476,685,600 5,168,399,600
2023 11,075,142,000 3,691,714,000 1,107,514,200 4,799,228,200
2024 7,383,428,000 3,691,714,000 738,342,800 4,430,056,800
2025 3,691,714,000 3,691,714,000 369,171,400 4,060,885,400

Tabel 7. Total Biaya Investasi

KL - 52
Total Pendapatan Hasil Produksi Kompos dan Retribusi Tahun 2016-2025

Dalam penelitian ini benefit atau pendapatan diperoleh dari retribusi dan hasil penjualan produksi kompos, rincian
terdapat pada tabel 8.

Tabel 8. Pendapatan Hasil Produksi Kompos dan Retribusi Tahun 2016-2025


Pendapatan Retribusi Retribusi kendaraan
Tahun Total Pendapatan
Kompos Penduduk ke TPA Mandung
2016 Rp 29,924,533 Rp 942,457,727 Rp 1,063,060,811 Rp 2,035,443,071.2
2017 Rp 31,063,205 Rp 1,083,623,328 Rp 1,248,597,034 Rp 2,363,283,567.4
2018 Rp 32,230,893 Rp 1,246,055,785 Rp 1,466,008,013 Rp 2,744,294,690.5
2019 Rp 33,428,236 Rp 1,432,976,925 Rp 1,720,711,326 Rp 3,187,116,487.1
2020 Rp 34,655,889 Rp 1,648,099,275 Rp 2,019,038,555 Rp 3,701,793,719.3
2021 Rp 35,914,666 Rp 1,895,701,182 Rp 2,368,398,342 Rp 4,300,014,190.7
2022 Rp 37,205,106 Rp 2,180,713,480 Rp 2,777,429,388 Rp 4,995,347,973.8
2023 Rp 38,527,904 Rp 2,508,819,493 Rp 3,256,233,268 Rp 5,803,580,665.3
2024 Rp 39,883,770 Rp 2,886,570,443 Rp 3,816,611,081 Rp 6,743,065,294.4
2025 Rp 41,273,427 Rp 3,321,518,635 Rp 4,472,348,145 Rp 7,835,140,206.7

Kelayakan Investasi

Kelayakan investasi dihitung dengan metode NPV, IRR dan BCR.


Tabel 9. Kelayakan Investasi Dengan Metode NPV, IRR, dan BCR
DF
Tahun Biaya Pendapatan PV Cost PV Benefit
(i=10%)
0 Rp 36,917,140,000 1 Rp 36,917,140,000
1 Rp 2,409,853,244 Rp 2,035,443,071 0.909 Rp 2,190,556,599 Rp 1,850,217,752
2 Rp 2,352,565,112 Rp 2,363,283,567 0.826 Rp 1,943,218,783 Rp 1,952,072,227
3 Rp 2,297,665,308 Rp 2,744,294,690 0.751 Rp 1,725,546,646 Rp 2,060,965,313
4 Rp 2,245,392,662 Rp 3,187,116,487 0.683 Rp 1,533,603,188 Rp 2,176,800,561
5 Rp 2,196,009,893 Rp 3,701,793,719 0.621 Rp 1,363,722,143 Rp 2,298,813,900
6 Rp 2,149,805,986 Rp 4,300,014,191 0.565 Rp 1,214,640,382 Rp 2,429,508,018
7 Rp 2,107,098,828 Rp 4,995,347,974 0.513 Rp 1,080,941,699 Rp 2,562,613,511
8 Rp 2,068,238,095 Rp 5,803,580,665 0.467 Rp 965,867,191 Rp 2,710,272,171
9 Rp 2,033,608,429 Rp 6,743,065,294 0.424 Rp 862,249,974 Rp 2,859,059,685
10 Rp 2,003,632,936 Rp 7,835,140,207 0.386 Rp 773,402,313 Rp 3,024,364,120
TOTAL Rp 50,570,888,918 Rp 23,924,687,255
NPV -Rp 26,646,201,663
BCR 0.473092085
IRR -14.65%

Dari Tabel 11 didapatkan hasil sebagai berikut:


NPV = -Rp 26,646,201,663 < 0
BCR = 0.473092085 < 0
IRR = - 14. 65% < i/10%
Maka dari hasil perhitungan kelayakan investasi dengan metode NPV, BCR dan IRR diperoleh hasil investasi
dianggap tidak layak dari segi ekonomi

KL - 53
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :
1. Volume timbulan sampah total Kecamatan Tabanan dari tahun 2015 sampai 2025 adalah sebesar 787,193
m³ dan Volume timbulan sampah total Kecamatan Kediri dari tahun 2015 sampai 2025 adalah sebesar
1,073,483 m³.
2. Dalam perencanaan ini sistem pengelolaan yang digunakan untuk TPA Mandung adalah metode sanitary
landfill, untuk sistem pengomposan digunakan metode open windrow dengan 1 unit mesin pencacah kelas a
dengan kapasitas produksi 500kg/jam dan mesin ayakan type Yanmar 5,5 HP, untuk sistem penangkapan
gas metan digunakan desain penangkapan Pipa gas dengan casing PVC: 150 mm, Lubang bor berisi kerikil
: 100 cm; Perforasi: 12 mm, Kedalaman : 80%, Jarak antara ventilasi vertikal : 25 m, Jarak antara ventilasi
horizontal : 15 m, untuk sistem pengolahan lindi digunakan alternatif 1 yaitu metode Anaerobik,
Fakultatif, Maturasi dan Biofilter sebanyak 4 kolam.
3. Kondisi landfill eksisting TPA Mandung sudah mengalami kelebihan kapasitas landfill, karena volume
lahan penimbunan (43,353 m³) < produksi sampah tahun 2016 (148.829 m³). Maka direncanakan perluasan
lahan urug TPA Mandung sebesar 5 Ha dengan jumlah 8 unit zona penimbunan, 1 unit zona menampung
60,000 m³ dengan ukuran panjang 80 m, lebar 50 m, dan kedalaman 15 m , dengan total volume zona
penimbunan 480,000 m³. Untuk pengoperasian landfill selama 10 tahun dibutuhkan 1 unit ekskavator dan 1
unit bulldozer. Sampah yang masuk ke zona penimbunan selama 10 tahun proyeksi dengan faktor reduksi
0.25 adalah sebesar 465.169 m³, maka untuk 10 tahun proyeksi mencukupi dilihat dari total volume zona
penimbunan (480,000 m³) > (465,169m³) Sampah yang masuk ke zona penimbunan.
4. Retribusi untuk penduduk dan kendaraan yang masuk ke TPA Mandung naik 11,9%/tahun menurut rata-
rata pendapatan Kabupaten Tabanan, dari retribusi awal tahun 2016 retribusi penduduk sebesar Rp.
3.000/bulan dan tarif retribusi awal tahun 2016 kendaraan yang masuk ke TPA Mandung sebesar Rp
50.000/kendaraan, dari hasil kelayakan investasi diperoleh Net Present Value sebesar -Rp 26,646,201,663,
Benefit Cost Ratio sebesar 0.473092085 dengan discount rate 10% dan IRR sebesar - 14. 65% sehingga
analisis kelayakan finansial perluasan lahan, pembelian alat berat dan biaya operasional alat berat selama
10 tahun dengan dana 100% pinjaman bank dianggap tidak layak dari segi ekonomi.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dilakukan dapat memberikan saran sebagai berikut :
1. Perlu diadakan penelitian lanjutan mengenai pelaksanaan perencanaan metode TPA sanitary landfill secara
mendetail.
2. Perlu diadakan penelitian lanjutan mengenai pelaksanaan pengolahan gas metan di TPA Mandung.
3. Perlu diadakan penelitian lanjutan mengenai pelaksanaan unit pengolahan lindi di TPA Mandung.
4. Perlu diadakan penelitian lanjutan mengenai pelaksanaan sistem pengomposan di TPA Mandung.
5. Perlu ditinjau lebih mendalam untuk penentuan tarif retribusi di Kabupaten Tabanan.

DAFTAR PUSTAKA
Kurniawan, Y., 2008, Analisis Kebutuhan Peralatan Pengangkutan dan Pengolahan Sampah di Kota Amplapura,
Kab. Karangasem, Tugas Akhir, Program Studi, Teknik Sipil Fakultas Teknik, Universitas Udayana,
Denpasar, Bali.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 03/PRT/M/2013, 2013, Penyelenggaraan
Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah
Tangga, Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta.
Rochmanhadi, 1992, Alat Alat Berat dan Penggunaanya, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta
Standar Nasional Indonesia, 1994, Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan, Badan Standarisasi
Nasional, Jakarta.
Standar Nasional Indonesia, 1995, Spesifikasi Timbulan Sampah Untuk Kota Kecil dan Sedang di Indonesia, Badan
Standarisasi Nasional, Jakarta.
Standar Nasional Indonesia, 2002, Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan, Badan
Standarisasi Nasional, Jakarta.
Standar Nasional Indonesia, 2008, Pengelolaan sampah di permukiman, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

KL - 54
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

ANALISIS PENERAPAN GREENSHIP NEIGHBORHOOD VERSION 1.0 PADA


KAWASAN PERUMAHAN

Iqbal Sadjarwo1, dan Arianti Sutandi2

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara, Jl. S. Parman 1, Jakarta Barat
Email: Iqbal.Sadjarwo@gmail.com
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara, Jl. S. Parman 1, Jakarta Barat
Email: ari.sutandi@gmail.com

ABSTRAK
Pada tahun 2015, Green Building Council Indonesia (GBCI) mengeluarkan perangkat
penilaian Greenship Neighborhood sebagai pedoman untuk membantu menciptakan
pembangunan kawasan berkelanjutan di Indonesia. Pembangunan berkelanjutan adalah prinsip
pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini tanpa mengurangi
kemampuan ataupun mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. Studi ini dilakukan untuk
mengetahui penerapan Greenship Neighborhood pada 2 kawasan perumahan yaitu perumahan
X yang sedang dalam proses pengajuan sertifikasi green neighborhood serta perumahan Y
yang memperoleh penghargaan Green Property Award dari salah satu majalah properti. Studi
dilakukan dengan pengamatan di lapangan dan wawancara kepada pihak-pihak terkait untuk
mengetahui bagaimana penerapan Greenship Neighborhood untuk kawasan perumahan . Dari
hasil perhitungan point rating Greenship, perumahan X mendapat 64 poin dengan peringkat
Silver, sedangkan kawasan perumahan Y mendapat 43 poin dengan peringkat Bronze.
Perolehan point rating perumahan X belum sesuai target, sehingga perlu upaya peningkatan
antara lain dengan penggunaan air alternatif untuk kebutuhan air bersih dalam kawasan, serta
melakukan upaya penghematan energi listrik dengan menggunakan energi alternatif. Kawasan
perumahan Y belum memenuhi keseluruhan kategori Greenship Neighborhood, upaya yang dapat
dilakukan untuk peningkatan point rating antara lain; penggunaan sumber air alternatif,
pengurangan pembuangan limpasan air hujan, melakukan manajemen limbah cair kawasan,
penghematan penggunaan energi kawasan, serta memberdayakan tenaga ahli dari Greenship
Association (GA) dan Greenship Professional (GP) dalam pengembangan dan pengelolan kawasan.
Kata kunci: GBCI, Greenship Neighborhood, Pembangunan Berkelanjutan, Kawasan Perumahan.

1. PENDAHULUAN
Kawasan perumahan (residential area) adalah suatu kawasan kelompok rumah atau bangunan lainnya yang
dibangun secara bersamaan dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikelola dan
dikembangkan suatu perusahaan pengembang atau kontraktor yang telah memiliki izin untuk membangun suatu
kawasan perumahan. Pengertian tersebut juga tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman.

Pembangunan perumahan terus berkembang seiring dengan bertambahnya populasi penduduk Indonesia. Namun
terkadang pembukaan lahan kawasan perumahan baru harus mengorbankan kawasan hijau yang sangat diperlukan
bagi kehidupan manusia. Untuk membantu menciptakan pembangunan yang berkelanjutan pada suatu kawasan, baik
itu kawasan perumahan, kawasan industri ataupun kawasan komersial lainnya, Green Building Council Indonesia
(GBCI) sebagai lembaga sertifikasi konsep hijau di Indonesia telah mengeluarkan sebuah perangkat penilaian
konsep hijau untuk kawasan yang disebut Greenship Neighborhood Version 1.0.

KL - 55
Greenship Neighborhood Version 1.0 dikeluarkan oleh GBCI pada Desember 2015, dan sejauh ini belum ada
kawasan komersial yang tersertifikasi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan studi mengenai penerapan Greenship
Neighborhood Version 1.0 untuk mengetahui bagaimana penerapannya di kawasan perumahan dan upaya apa saja
yang perlu dilakukan oleh pengembang untuk mendapatkan sertifikasi Green Neighborhood dari GBCI.
Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana penerapan Greenship Neighborhood version 1.0
pada kawasan perumahan X dan Y.

Tujuan dari penelitian ini, yaitu:


1. Mengetahui kategori penilaian apa saja dalam Greenship Neighborhood Version 1.0 yang telah diterapkan pada
kawasan perumahan X dan Y.
2. Mengetahui perolehan poin perumahan X dan Y menurut kriteria Greenship Neighborhood Version 1.0.
3. Mengetahui upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perolehan poin pada kawasan perumahan
X dan Y agar memenuhi kriteria kawasan hijau.

2. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian ini perlu diketahui beberapa hal, yaitu:
1. Kategori penilaian Greenship Neighborhood Version 1.0.
2. Masterplan kawasan perumahan X dan Y.
3. Sistem manajemen pengelolaan kawasan perumahan X dan Y.
4. Kondisi kawasan perumahan X dan Y.

Kategori penilaian Greenship Neighborhood Version 1.0. dan data yang diperlukan didapat dari:
1. Studi litelatur (buku, jurnal, website) serta wawancara dengan pihak GBCI.
2. Wawancara dengan pihak pengelola kawasan perumahan untuk mendapatkan masterplan dan mengetahui sistem
manajemen pengelolaan kawasan.
3. Melakukan studi lapangan dan observasi di kawasan perumahan untuk mengetahui kondisi kawasan perumahan.

Diagram alir proses penelitian dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1 Diagram Alir Penelitian

KL - 56
3. GREENSHIP NEIGHBORHOOD VERSION 1.0
Greenship adalah perangkat sistem penilaian atau tolok ukur (rating tool) untuk bangunan hijau di Indonesia yang
disusun dan dipersiapkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI). GBCI adalah sebuah lembaga
mandiri/independent (non government) yang berkomitmen penuh terhadap pendidikan masyarakat dalam
mengaplikasikan praktik-praktik terbaik lingkungan dan memfasilitasi transformasi industri bangunan global yang
berkelanjutan di Indonesia.

GBCI merupakan emerging member dari World Green Building Council (WGBC) yang berpusat di Toronto,
Canada, yang memiliki lebih dari 100 lembaga council di lebih dari 80 negara. GBCI menyusun rating tools atau
perangkat penilaian untuk bangunan hijau yang disebut dengan greenship serta melakukan kegiatan sertifikasi
terhadap bangunan hijau di Indonesia.

Greenship yang telah dikeluarkan oleh GBCI mempunyai beberapa tipe sesuai dengan obyek yang akan disertifikasi
yaitu; Greenship New Building (untuk bangunan baru), Greenship Existing Building (untuk bangunan terbangun),
Greenship Interior Spaces (untuk ruang interior), Greenship Neighborhood (untuk kawasan), Greenship Home
(untuk bangunan rumah).

Greenship Neighborhood Version 1.0 adalah Greenship untuk kawasan yang merupakan perangkat penilaian untuk
menyebarkan dan menginspirasi dalam penerapan dan perwujudan pembangunan kawasan yang berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan adalah suatu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat saat
ini tanpa mengurangi kemampuan dan mengorbankan kebutuhan generasi mendatang ( World Commission On
Enviromental Development (WCED), 1987).

Greenship Neighborhood Version 1.0 memiliki 7 kategori penilaian dengan bobot penilaian yang berbeda (tabel 1):

Tabel 1. Kategori Penilaian Dalam Greenship Neighborhood versi 1.0


Greenship Neighborhood
No. Kategori Nilai Bobot
1. Land Ecological Enhancement (LEE) 19 15%
2. Movement and Connectivity (MAC) 26 21%
3. Water Management and Conservation (WMC) 18 15%
4. Solid Waste and Material (SWM) 16 13%
5. Community Wellbeing Strategy (SWM) 16 13%
6. Building and Energy (BAE) 18 15%
7. Innovation and Future Development (IFD) 11 9%
Total nilai maksimum 124 100%

Pencapaian dan persentase nilai yang didapat oleh sebuah kawasan dalam menerapkan berbagai kriteria penilaian
Greenship Neighborhood akan menentukan peringkat sertifikat yang dapat diperolehnya. Tahap penilaian Greenship
dibagi 2 tahap yaitu tahap Rekognisi Desain (Desain Recognition- DR) dengan maksimum nilai 77 poin dan tahap
Penilaian Akhir (Final Assessment- FA) dengan maksimum nilai 101 poin. Peringkat sertifikat yang dikeluarkan
oleh GBCI dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Persentase dan Nilai Minimum Peringkat


Peringkat Persentase Nilai Min DR Nilai Min FA
Platinum 73% 56 74
Gold 57% 43 58
Silver 46% 35 46
Bronze 35% 27 35

KL - 57
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Persyaratan Penilaian Kawasan Perumahan
Ada tiga kriteria terkait persyaratan GBCI tentang kawasan hunian yang harus terpenuhi, yaitu:
1. Luas lahan kawasan perumahan minimal 5.000 m2 dan maksimal 60 Ha.
2. Minimum terdiri atas 2 (dua) bangunan.
3. Satu pengelola.
Penilaian pada suatu kawasan perumahan dilakukan kepada setiap klaster yang terdapat pada perumahan tersebut.
Penilaian Greenship Neighborhood Versi 1.0 pada Kawasan Perumahan X
Kawasan perumahan X terletak di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, sedang dalam proses penilaian Greenship
Neighborhood. Pada penelitian ini penilaian Greenship untuk perumahan X dilakukan pada salah satu klaster di
dalamnya dengan luas lahan 166.625 m2 atau 16,6 Ha. Dari data master plan dan hasil pengamatan dan wawancara
di lapangan untuk klaster di perumahan X untuk tujuh kategori penilaian dalam Greenship Neighborhood versi 1.0,
didapat penilaian sbb:

- Penilaian untuk kategori Land Ecological Enhancement (LEE) terdiri dari 1 kriteria prasyarat (LEEP) dan 5
kriteria penilaian yaitu LEE 1 sampai LEE 5, dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Penilaian kawasan X terhadap Kategori Land Ecological Enhancement (LEE)


Kriteria Uraian kondisi dan syarat Perolehan poin
penilaian
LEEP: Area Dasar Luas ruang terbuka hijau di klaster 26.874 m2, total luas klaster 166.625 Memenuhi
Hijau atau 16,13% luas klaster. Syarat ruang terbuka hijau minimum 1.250 m2 Prasyarat
(Permen PU No.05/PRT/M/2008)
LEE1: Area Hijau 16,13% x luas lahan . Syarat minimum: 25% luas lahan (Greenship) -
untuk Publik
LEE2: Pelestarian Dalam klaster terdapat tanaman buah dan semak. Syarat Greenship: 2
Habitat menggunakan tanaman lokal
LEE3: Revitalisasi Klaster dibuat diatas lahan sawah, kebun, dan rumah warga. Syarat: -
Lahan memanfaatkan lahan yang bernilai negatif dan tidak terpakai
LEE4: Iklim Menanam pohon peneduh di lahan seluas 26.874 m2 (56,95%x luas 1
Mikro ruang publik). Syarat Minimum > 40% total luas ruang publik
LEE5: Lahan Di kawasan terdapat tanaman buah dan sayur a.l. manggis, jambu, sawo, 2
Produktif kemiri dll. Syarat: menyediakan lahan produktif

- Penilaian untuk kategori Movement and Connectivity (MAC) terdiri dari 3 kriteria prasyarat (MAC P) dan 6
kriteria penilaian yaitu MAC 1 sampai MAC 6, dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Penilaian Kawasan X Terhadap Kategori Movement and Connectivity


Kriteria Uraian kondisi dan Syarat Perolehan poin
penilaian
MAC P1 MAC P1: Analisa Pergerakan Orang dan Barang. Memenuhi
Kondisi: studi dan kajian lalu lintas dan perencanaan aksesibilitas kawasan. Prasyarat
MAC P2 MAC P2: Jaringan dan Fasilitas untuk Pejalan Kaki Memenuhi
Kondisi: Tersedia fasilitas jalur pejalan kaki. Prasyarat
MAC P3 MAC P: 3Kawasan perumahan terkoneksi dengan jaringan transportasi umum. Memenuhi
Syarat: Kawasan Terhubung Prasyarat
MAC 1 MAC 1: Strategi Desain Jalur Pejalan Kaki
Kondisi:
1. Jalur pejalan kaki di dalam kawasan 100% tidak terputus (poin 2)
2. persimpangan jalur pejalan kaki = jalur kendaraan bermotor (rasio=1) (poin=2) 10
3. Pejalan kaki mendapat prioritas utama di setiap persimpangan jalan (poin=2)
4. Terdapat pohon peneduh jalan sepanjang jalur pejalan kaki (poin=2)
5. Jalur pejalan kaki adalah lingkungan atraktif karena; terdapat pohon peneduh,
terdapat lampu jalan, bersih, terdapat kursi tempat istirahat di sisi jalur (poin 2)
MAC 2 MAC 2: Transportasi Umum 2
Kondisi: transportasi umum sejauh 400 m dari sisi terluar kawasan

KL - 58
Tabel 4. Penilaian Kawasan X Terhadap Kategori Movement and Connectivity (lanjutan)
Kriteria Uraian kondisi dan Syarat Perolehan poin
penilaian
MAC 3 MAC 3: Utilitas dan Fasilitas Umum 2
Kondisi: Tersedia jaringan jalan, drainase, pipa air bersih, listrik, telpon, fiber
optic, pengelolaan limbah, sistem pemadam kebakaran, pembuangan sampah
MAC 4 MAC 4: Aksesibiltas Universal -
Kondisi: belum ada akses untuk disabilitas
MAC 5 MAC 5: Jaringan dan Tempat Peyimpanan Sepeda
Kondisi: 4
1. Tersedia jalur sepeda dengan sistem share street dan signing yang lengkap
2. Terdapat parkir sepeda di gerbang masuk dan di taman.
MAC 6 MAC 6: Parkir Bersama 1
Kondisi: lahan parkir terdapat di tiap rumah tetapi tidak ada lahan parkir yang
bersifat publik.

- Penilaian untuk kategori Water Management and Conservation (WMC) terdiri dari 1 kriteria prasyarat (WMC P)
dan 4 kriteria penilaian yaitu WMC 1 sampai WMC 4, dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Penilaian Kawasan X Terhadap Kategori Water Management and Conservation


Kriteria Uraian kondisi dan Syarat Perolehan poin
penilaian
WMC P WMC P: Skematik Air di Kawasan Memenuhi
Kondisi: terdapat perhitungan kapasitas unit pengolahan air bersih dan Prasyarat
pengelolaan limbah cair untuk memenuhi kebutuhan air kawasan
WMC 1 WMC 1: Air Alternatif 1
Kondisi: terdapat pengolahan air rumah tangga dan air hujan secara biofilter aerob
dan anaerob untuk air alternatif irigasi kawasan
WMC 2 WMC 2: Manajemen Limpasan Air Hujan 7
Kondisi: terdapat unit pengolahan limbah cair dan limpasan air hujan di kawasan
WMC 3 WMC 3: Pelestarian Badan Air dan Lahan Basah 2
Kondisi: terdapat danau alami di dekat lahan, dan melakukan konservasi
lingkungan sekitar danau
WMC 4 WMC 4: Manajemen Limbah Cair 3
Kondisi: terdapat pengolahan limbah cair rumah tangga dan limpasan air hujan

- Penilaian untuk kategori Solid Waste and Material (SWM) terdiri dari 1 kriteria prasyarat (SWMP) dan 4 kriteria
penilaian yaitu SWM1 sampai SWM 4, dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Penilaian Kawasan X Terhadap Kategori Solid Waste and Material


Kriteria Uraian kondisi dan Syarat Perolehan poin
penilaian
SWM P SWM P: Manajemen Limbah Padat Tahap Operasional Memenuhi
Kondisi: memiliki sistem pengolahan sampah meliputi pemisahan, pengumpulan Prasyarat
dan pengangkutan
SWM 1 SWM 1: Manajemen Limbah Padat Tingkat Lanjut 4
Kondisi: melakukan pengolahan sampah yg mudah terurai (poin:2) dan bekerja
sama dengan pihak ketiga untuk sampah yang dapat didaur ulang (poin 2)
SWM 2 SWM 2: Manajemen Limbah Konstruksi -
Kondisi: belum memiliki pedoman penanganan limbah padat, limbah cair dan
polusi udara serta belum melakukan penangan sampah pada masa konstruksi.
SWM 3 SWM 3: Material Regional untuk Infrastruktur Jalan 4
Kondisi: infrastruktur jalan menggunakan material 100% regional (poin 4)
SWM 4 SWM 4: Material Daur Ulang dan Bekas untuk Infrastruktur Jalan -
Kondisi: belum menggunakan bahan daur ulang untuk infrastruktur jalan

- Penilaian untuk kategori Community Wellbeing Strategy (CWS) terdiri dari 6 kriteria penilaian (tabel 7).

KL - 59
Tabel 7. Penilaian Kawasan X Terhadap Kategori Community Wellbeing Strategy
Kriteria Uraian kondisi dan Syarat Perolehan poin
penilaian
CWS 1 CWS 1: Fasilitas Bagi Masyarakat 2
Kondisi: fasilitas berupa taman yang luas, lapangan basket, dan tempat istirahat
CWS 2 CWS 2: Manfaat Sosial dan Ekonomi 2
Kondisi: ada majalah kawasan triwulan, warga dapat menghubungi pengelola
CWS 3 CWS 3: Kepedulian Masyarakat 1
Kondisi: promosi gaya hidup yang berkelanjutan melalui majalah kawasan,
kegiatan berkala edukasi untuk inovasi pengelolaan limbah untuk zero waste
CWS 4 CWS 4: Kawasan Campuran (minimal 15% luas untuk sektor komersial) -
Kondisi: dalam kawasan hanya ada hunian (poin 0)
CWS 5 CWS 5: Kebudayaan Lokal 1
Kondisi: penamaan Sunda untuk jalan, informasi budaya Sunda di tiap taman
CWS 6 CWS 6: Lingkungan yang Aman 2
Kondisi: penjaminan keamanan dengan dinding pembatas kawasan, pos keamanan
di setiap gerbang, pompa hydrant di beberapa tempat dalam kawasan.

- Penilaian untuk kategori Building And Energy (BAE) terdiri dari 6 kriteria penilaian (tabel 8).

Tabel 8. Penilaian Kawasan X Terhadap Kategori Building And Energy


Kriteria Uraian kondisi dan Syarat Perolehan poin
penilaian
BAE 1 BAE 1: Bangunan Hijau Greenship -
Kondisi: belum ada
BAE 2 BAE 2: Hunian Berimbang 1
Kondisi: hunian berimbang dengan pola 1:2:3 untuk rumah mewah: rumah
menengah: rumah sederhana
BAE 3 BAE 3: Efisiensi Energi dalam Kawasan 2
Kondisi: menggunakan lampu LEED di seluruh kawasan
BAE 4 BAE 4: Energi Alternatif -
Kondisi: belum menggunakan energi alternatif
BAE 5 BAE 5: Pengurangan Polusi Cahaya 2
Kondisi: menggunakan tudung pada lampu jalan dan lampu taman
BAE 6 BAE 6: Pengurangan Polusi Suara 2
Kondisi: kendaraan bermotor yang tidak berkepentingan dilarang masuk,
menanam banyak pohon besar untuk meredam polusi suara

- Penilaian untuk kategori Innovation and Future Development (IFD) terdiri dari 3 kriteria penilaian (tabel 9).

Tabel 9. Penilaian Kawasan X Terhadap Kategori Innovation and Future Development


Kriteria Uraian kondisi dan Syarat Perolehan poin
penilaian
IFD 1 IFD 1: Pemberdayaan Greenship Association (GA)/ Greenship Proffesional (GP) 2
Kondisi: ada
IFD 2 IFD 2: Pengelolaan kawasan 2
Kondisi: ada konsep berkelanjutan untuk effisiensi energi, air dan pengurangan
volume sampah
IFD 3 IFD 3: Inovasi -
Kondisi: belum ada inovasi pengembangan fungsi lingkungan, sosial dan ekonomi

Penilaian Greenship Neighborhood Versi 1.0 Pada Kawasan Perumahan Y

Kawasan perumahan Y merupakan salah satu kawasan perumahan yang terletak di Kota Tangerang Selatan, Banten.
Dalam penilaian pada kawasan perumahan Y digunakan salah satu klaster yang ada pada kawasan tersebut.
Kawasan klaster tersebut memiliki luas lahan sebesar 61.237,5 m2 atau 6,12 Ha. Kawasan ini mendapatkan
penghargaan Green Property Award sebagai kawasan berkonsep hijau. Dari data master plan dan hasil pengamatan

KL - 60
dan wawancara di lapangan untuk klaster di perumahan Y untuk 7 kategori penilaian dalam Greenship
Neighborhood versi 1.0, kategori penilaian yang mendapatkan nilai dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10 Kategori Penilaian dan Perolehan Poin Kawasan Y


Kriteria Uraian kondisi dan syarat Perolehan poin
penilaian
LEEP Luas ruang terbuka hijau di klaster 12.307,5 m2, total luas klaster 61.237,5 m2 Memenuhi
atau 20,1% luas klaster. Syarat ruang terbuka hijau minimum 1.250 m2 Prasyarat
(Permen PU No.05/PRT/M/2008)
LEE2 Dalam klaster terdapat tanaman buah dan semak. Syarat Greenship: 2
menggunakan tanaman lokal
LEE4 Menanam pohon peneduh di lahan seluas 12.307,5 m2 (45,59%x luas ruang 1
publik). Syarat Minimum > 40% total luas ruang publik
MAC P1 Kondisi: studi dan kajian lalu lintas dan perencanaan aksesibilitas kawasan. Memenuhi
Prasyarat
MAC P2 Kondisi: Tersedia fasilitas jalur pejalan kaki. Memenuhi
Prasyarat
MAC P3 Kawasan perumahan terkoneksi dengan jaringan transportasi umum. Syarat: Memenuhi
Kawasan Terhubung Prasyarat
MAC 1 1. Jalur pejalan kaki di dalam kawasan 100% tidak terputus (poin 2)
2. persimpangan jalur pejalan kaki = jalur kendaraan bermotor (rasio=1)
(poin=2)
3. Pejalan kaki mendapat prioritas utama di setiap persimpangan jalan (poin=2) 10
4. Terdapat pohon peneduh jalan sepanjang jalur pejalan kaki (poin=2)
5. Jalur pejalan kaki adalah lingkungan atraktif karena; terdapat pohon
peneduh, terdapat lampu jalan, bersih, terdapat kursi tempat istirahat di sisi
jalur (poin 2)
MAC 2 Bus intrans melalui gerbang kawasan. Angkutan umum massal dapat dijangkau 4
sejauh 400 m dari sisi terluar kawasan (tolok ukur 1B dan 2A)
MAC 3 - Tersedia jaringan jalan, drainase, pipa air bersih, listrik, telpon, fiber optic, 2
pengelolaan limbah, sistem pemadam kebakaran, pembuangan sampah, jaringan
pedestrian terintegrasi di luar kawasan.
- dalam radius 400 m dari kawasan terdapat: klinik kesehatan, mushola, pom
bensin, mini market, kursus bahasa, sekolah, bengkel, pusat niaga
MAC 5 1. Tersedia jalur sepeda dengan sistem share street dan signing yang lengkap
2. Terdapat parkir sepeda di gerbang masuk dan di taman. 4
MAC 6 lahan parkir terdapat di tiap rumah tetapi tidak ada lahan parkir yang bersifat 1
publik.
WMC P Menggunakan air PDAM dengan meteran air untuk mengontrol penggunaan air Memenuhi
dalam kawasan Prasyarat
SWM P memiliki sistem pengolahan sampah meliputi pemisahan, pengumpulan dan Memenuhi
pengangkutan Prasyarat
SWM 1 melakukan pengolahan sampah yg mudah terurai (poin:2) dan bekerja sama 4
dengan pihak ketiga untuk sampah yang dapat didaur ulang (poin 2)
SWM 3 infrastruktur jalan menggunakan material fabrikan Indonesia (poin 2) 2
CWS 1 fasilitas berupa taman yang luas, lapangan basket, dan tempat istirahat 2
CWS 2 Komunikasi warga dan pengelola melalui pengurus RW 2
CWS 3 Lomba K3 (Kebersihan, Ketertiban, Kelestarian) setiap bulan, terdapat 2
majalah kawasan, program eco-comunity dalam acara di kawasan
CWS 6 penjaminan keamanan dengan dinding pembatas kawasan, pos keamanan di 2
setiap gerbang, pompa hydrant di beberapa tempat dalam kawasan.
BAE 5 menggunakan tudung pada lampu jalan dan lampu taman 2
BAE 6 kendaraan bermotor yang tidak berkepentingan dilarang masuk, menanam 2
banyak pohon besar untuk meredam polusi suara

KL - 61
Rekapitulasi hasil pengamatan dan perhitungan poin rating yang telah dilakukan pada kawasan perumahan X dan Y
dapat dilihat pada tabel 11 dan tabel 4.16 di bawah ini.

Tabel 11 Rekapitulasi Poin Rating untuk Kawasan Perumahan X dan Y


Poin Perumahan X Perumahan Y
Kategori
Maksimal Poin Persentase Poin Persentase
Land Ecological Enhancement (LEE) 19 5 26,32% 3 15,79%
Movement and Connectivity (MAC) 26 19 73,08% 21 80,77%
Water Management and Conservation (WMC) 18 13 72,22% 0 0%
Solid Waste and Material (SWM) 16 8 57,14% 6 42,86%
Community Wellbeing Strategy (SWM) 16 8 50% 9 56,25%
Building and Energy (BAE) 18 7 38,89% 4 22,22%
Innovation and Future Development (IFD) 11 4 36,36% 0 0%
TOTAL 122 64 52,46% 43 35,83%

Dari hasil perhitungan total poin yang diperoleh kawasan perumahan X adalah 64 poin dengan persentase 52,46%
dan mendapatkan peringkat Silver sedangkan total poin yang diperoleh kawasan perumahan Y sebesar 43 poin
dengan persentase 35,83% peringkat Bronze.

Pada kawasan perumahan X untuk 7 kategori Greenship Neighborhood versi 1.0, terdapat beberapa kategori yang
memperoleh nilai baik dan memperoleh predikat silver, tetapi ada 2 kategori yang masih memiliki nilai rendah atau
kurang dari 35% yaitu kategori Land Ecological Enhancement.

Perolehan poin pada kawasan perumahan Y masih cukup rendah, karena terdapat beberapa kategori yang bernilai
rendah dan ada 2 kategori yang tidak dapat dipenuhi (poin= 0), kategori penilaian tersebut ialah Water Management
and Conservation dan Innovation and Future Development.
Pembahasan Hasil Penilaian Greenship Neighborhood Versi 1.0 Pada Kawasan perumahan X
Kawasan perumahan X sedang dalam proses untuk mendapatkan sertifikasi Greenship Neighborhood dari GBCI
dengan target peringkat Gold. Untuk meningkatkan peringkat dari Silver menjadi Gold perlu peningkatan perolehan
poin sebesar 6 poin sehingga dapat mencapai peringkat Gold dengan 70 poin atau 57%.

Pada kawasan perumahan X kategori dengan persentase poin terbesar adalah Movement and Connectivity dengan
persentase perolehan poin sebesar 73,08%. Sedangkan untuk persentase poin kategori terkecil adalah kategori Land
Ecological Enhancement dengan persentase perolehan poin sebesar 26,32% tetapi untuk kategori ini tidak banyak
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan poin.

Dari hasil pengamatan di lapangan peningkatan nilai di kawasan X dapat dilakukan pada kriteria:
1. Air Alternatif: pada saat ini kawasan perumahan baru memanfaatkan air hujan dan air rumah tangga yang telah
diolah untuk keperluan irigasi kawasan. Sistem pengolahan yang sama juga dapat dimanfaatkan untuk
pengolahan air danau di dekat kawasan untuk dipakai sebagai sumber air bersih kawasan. Untuk 50%
pemenuhan air bersih kawasan akan menambah 6 poin untuk kriteria air alternatif.
2. Energi Alternatif: manajemen kawasan dapat menggunakan sistem fotovoltaik sebagai sumber energi kawasan.
Dapat dipakai pada lampu jalan maupun lampu taman, dengan perkiraan investasi sebesar Rp.1.000.000,-/ 110
watt. Jika hal ini diterapkan untuk memenuhi 50% kebutuhan energi kawasan, akan ada tambahan 2 poin.
Pembahasan Hasil Penilaian Greenship Neighborhood Versi 1.0 Pada Kawasan perumahan Y
Kawasan perumahan Y telah memperoleh penghargaan Green Property Award oleh majalah Housing Estate, namun
penghargaan tersebut hanya menilai konsep hijau berdasarkan satu kategori yaitu sistem transportasi yang dimiliki
oleh kawasan tersebut. Pada Greenship Neighborhood ada 7 kategori yang dinilai dan kawasan perumahan Y
mendapat poin terbesar pada kategori Movement and Connectivity dengan persentase 80,77%. Sedangkan untuk
kategori Water Management and Conservation dan kategori Innovation and Future Development kawasan
perumahan Y mendapat 0%.

Perolehan poin pada kawasan Y menunjukan bahwa penilaian dan kategori pada Greenship Neighborhood jauh
lebih luas cakupan penilaiannya daripada kategori lingkungan hijau yang secara umum diketahui oleh masyarakat

KL - 62
luas. Sehingga perlu ada sosialisasi tentang sistem penilaian Greeship untuk kawasan agar Green Neighborhood
atau kawasan hijau dapat menjadi kawasan yang berkelanjutan.
5. KESIMPULAN

Berdasarkan penilaian yang telah dilakukan pada kawasan perumahan X dan Y terhadap tujuh kategori Greenship
Neighborhood versi 1.0, didapatkan hasil sebagai berikut:
1. Total perolehan poin yang didapat pada masing-masing kawasan perumahan yaitu:
 Kawasan perumahan X memperoleh poin sebesar 64 poin dengan persentase 52,46% dan memperoleh
peringkat Silver.
 Kawasan perumahan Y memperoleh poin sebesar 43 poin dengan persentase 35,83% dan memperoleh
peringkat Bronze.
2. Target perolehan poin kawasan perumahan X untuk mendapatkan peringkat Gold belum dapat terpenuhi,
sehingga perlu diadakan upaya peningkatan perolehan poin dengan cara yaitu:
 Melakukan upaya penggunaan air alternatif.
 Melakukan upaya penghematan energi.
3. Kawasan perumahan Y mendapat Green Property Award tetapi mendapat nilai poin Greenship yang minim .
4. Perlu sosialisasi tentang Greenship Neighborhood agar para pelaku property mengetahui pentingnya konsep
kawasan berkelanjutan dan adanya perangkat penilaian yang dapat dijadikan pedoman untuk pembangunan
kawasan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Green Building Council Indonesia, [online], (www.gbcindonesia.org, diakses Maret 2017).


Green Building Council Indonesia . (2014). Greenship Homes Version 1.0.. Jakarta.
Green Building Council Indonesia . (2015). Greenship Neighborhood Version 1.0.. Jakarta.
Pambudi, Gandhi Bagus. 2012. Analisis Kesesuaian Desain Rumah Terhadap Konsep Greenship Home Pada
Perumahan Menengah Ke Atas Di Kota Gresik. Jurnal Skripsi Universitas Negeri Surabaya, Surabaya.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang
Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
Rachman, Siti Nur Ayu Agustina. 2011. Strategi Berkelanjutan Pada Bangunan. Skripsi Universitas Indonesia.
Depok.
Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia, [online], (www.sdgsindonesia.or.id, diakses Juni 2017).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelololaan Lingkungan
Hidup. Jakarta.

KL - 63
KL - 64
KELOMPOK PEMINATAN

KEAIRAN
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

UNJUK KERJA SUMUR PERESAPAN DALAM SISTEM DRAINASE

Bambang Sulistiono1 dan Khalis Fatmawati2

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Islam Indonesia, Jalan Kaliurang KM. 14.5, Sleman, Yogyakarta
Email: bambangsulis33@gmail.com
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Islam Indonesia, Jalan Kaliurang KM. 14.5, Sleman, Yogyakarta
Email: khalis.fatmawati@gmail.com

ABSTRAK
Kelebihan air permukaan yang dibuang melalui saluran drainasi merupakan penyelesaian masalah
genangan pada kondisi sesaat, namun dapat menimbulkan kerugian terhadap pendayagunaan sumber
air terutama cadangan air tanah. Sumur resapan diharapkan merupakan solusi dalam memotong
aliran langsung ke badan air dan dimanfaatkan sebagai imbuhan air tanah. Unjuk kerja sumur
resapan dalam mengurangi debit limpasan pada saluran drainasi merupakan topik yang menarik
untuk dikaji. Desain penelitian adalah dengan membuat sumur peresapan pada beberapa panjang
saluran drainasi dengan mengalirkan ke sumur resapan beberapa meter di samping saluran. Debit
drainase dihitung dengan cara rasional, sedangkan pola jaringan drainase didasarkan pada peta
topografi. Analisis dimensi saluran dan sumur resapan digunakan persamaan kontinuitas. Data
sekunder meliputi data hujan dan topografi, sedangkan pola, arah dan kemiringan saluran diukur
pada lokasi penelitian. Data permeabilitas tanah didapat dari pengujian insitu dengan berpedoman
pada SNI 03 – 3968 – 1995. Sumur resapan didesain dengan konstruksi dinding kedap air dengan
dasar rata. Unjuk kerja sumur resapan ditunjukan dengan pengurangan debit buangan ke sungai
sebagai saluran drainasi sekunder. Hasil analisis memperlihatkan terdapat hubungan antara jarak
sumur resapan dan besarnya pengurangan debit limpasan. Debit yang terbuang ke badan sungai rata-
rata berkurang sebesar 100%; 95,38%; dan 84,78% pada kala ulang 2, 5, dan 10 tahun beturutan.
Dimensi sumur resapan yang dipakai agar debit dapat berkurang secara optimal merupakan
kombinasi dari diamater 0,6 dan 0,8 meter, sedangkan kedalaman yaitu 1,5; 2; dan 3 meter. Jarak
antar sumur resapan berkisar antara 30, 40, 50, dan 60 meter.
Kata kunci: unjuk kerja, sumur resapan, drainase, dimensi

1. PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah penduduk berbanding lurus dengan peningkatan kebutuhan pemukiman, yang berakibat
berkurangnya lahan terbuka untuk meresapnya air ke dalam tanah. Permasalahan tersebut terjadi pada lokasi di
Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai kawasan terbangun sebagai konsekuensi kawasan
pendidikan. Sistem drainase pada kawasan eksisting dapat dikatakan masih konvensional, kelebihan air langsung
dibuang ke sungai yang terdapat di kawasan tersebut. Terdapat empat sungai sebagai saluran drainasi sekunder yaitu
Kali Kladuan, Kali Kimpulan, Kali Bojotan, dan Kali Pelang. Terbuangnya kelebihan air secara keseluruhan ke
sungai dapat berakibat pada banjir di hilir sungai. Sebagai solusi dari permasalahan tersebut maka perlu adanya
perbaikan sistem drainase konvensional menjadi drainase dengan inovasi berwawasan lingkungan. Penerapan
drainase berwawasan lingkungan yaitu dengan meresapkan kelebihan air ke dalam tanah. Air dapat diresapkan
dengan memasang konstruksi sumur resapan pada tiap-tiap saluran drainase, yaitu dengan menempatkan sumur
resapan di samping saluran drainase. Kelebihan air yang masuk ke drainase disalurkan ke sumur resapan dengan
menggunakan pipa hubung. Adanya penambahan konstruksi sumur resapan pada sistem drainase dapat mengurangi
kelebihan air yang dibuang ke sungai. Besarnya perbedaan kelebihan air sebelum dan sesudah adanya sumur resapan
dapat menggambarkan unjuk kerja dari sumur resapan yang dipasang. Secara kuantitatif unjuk kerja sumur resapan
dapat diwakilkan dengan persentase air yang berkurang. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui unjuk kerja dari sumur resapan dalam sistem drainase berwawasan lingkungan.

2. TUJUAN
Tujuan dari penelitian adalah melihat unjuk kerja penerapan sumur peresapan pada sistem drainase daerah
penelitian.

AIR - 1
3. LANDASAN TEORI
Hujan Rerata Kawasan
Hujan rerata kawasan dipakai metode isohyet. Metode ini merupakan metode yang paling akurat untuk menentukan
hujan rata-rata. Cara ini memperhitungkan secara aktual pengaruh tiap-tiap pokok penakaran hujan. Dengan kata
lain asumsi pada metode Thiessen yang menganggap bahwa tap-tiap pos penakar mencatat kedalaman yang sama
untuk daerah sekitarnya dapat dikoreksi. Hujan rerata kawasan dapat dihitung dengan Persamaan (1) sebagai
berikut:

 P1  P2  P P  P P 
A1    A 2  2 3   ...  A n  n -1 n 
P
 2   2   2  (1)
A1  A 2  ...  A n -1

dengan P adalah hujan rata-rata kawasan (mm), P1 adalah hujan pada garis isohyet 1(mm), Pn adalah hujan pada
garis isohyet n (mm), A1 adalah luas area diantara garis isohyet 1 dan 2 (ha,km2,m2), dan An-1 adalah luas area
diantara garis isohyet n-1 dan n (ha,km2,m2). Dalam menghitung hujan rerata kawasan metode Isohyet, data hujan
yang dipakai yaitu data hujan maksimum yang terjadi di semua stasiun dalam waktu yang sama. Namun, kenyataan
di lapangan hal itu sangat sulit untuk ditemukan karena hujan yang terjadi di setiap stasiun selalu berubah dan belum
tentu mempunyai hujan maksimum di hari yang sama. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan dalam penyiapan
data hujan harian guna mendapatkan hujan rerata kawasan tahunan maksimum.
Banjir Rancangan
Banjir rancangan dicari pada kala ulang 2,5 dan 10 tahun. Metode yang dipakai untuk mencari banjir rancangan
yaitu dengan menggunakan metode rasional. Metode ini mudah pengunaannya tetapi hanya terbatas untuk DAS
dengan ukuran kecil yaitu kurang dari 300 ha (Goldman et.all,1986). Persamaan matematik metode Rasional
dinyatakan dalam Persamaan (2) sebagai berikut ini.
Q  0,002778  C  I  A (2)
dengan Q adalah laju aliran permukaan (debit) puncak (m3/detik), C adalah koefisien aliran permukaan (0 ≤ C ≤ 1), I
adalah intensitas hujan (mm/jam), dan A adalah luas DAS (ha). Langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu
mencari hujan kala ulangan dengan analisis frekuensi. Nilai dari hujan kala ulang akan menjadi masukan untuk
mencari intensitas hujan. Intensitas hujan dapat dicari dengan menggunakan persamaan Mononobe sebagai terlihat
pada Persamaan (3) berikut.
2/3
 24 
R 24
I   (3)
24  t 
dengan t adalah durasi hujan (jam), dan R24 adalah curah hujan maksimum selama 24 jam (mm). Nilai dari R24
didapatkan dari hujan rancangan pada kala ulang 2, 5, dan 10 Tahun. Dalam hal ini nilai dari durasi hujan (t) sama
dengan waktu konsentrasi (tc). Waktu konsentrasi yaitu waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh untuk
mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat keluaran DAS (titik kontrol). Waktu konsentrasi dapat dicari dengan
menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Kirpich (1940), sebagaimana Persamaan (4) sebagai berikut.
0,385
 0,87  L2 
t c    (4)
 1000  S 
dengan tc adalah waktu konsentrasi (jam), dan L adalah panjang saluran utama dari hulu sampai penguras (km), atau
dengan Persamaan (5), (6), dan (7):

t t t (5)
c o d

2 n 
to    3,28  L   (6)
3 S

Ls
td  (7)
60V

AIR - 2
dengan tc adalah waktu Konsentrasi (menit), to adalah waktu alir permukaan lahan (menit), td adalah waktu alir
saluran (menit), n adalah angka kekasaran Manning, S adalah kemiringan lahan, L adalah panjang lintasan aliran di
atas permukaan lahan (m), Ls adalah panjang lintasan aliram di dalam saluran/sungai (m), dan V adalah kecepatan
aliran di dalam saluran (m/detik). Dari persamaan (3) dan (4) dipilih nilai waktu konsentrasi terbesar.
Sumur Resapan
Secara teoritis, volume dan efisiensi sumur resapan dapat dihitung berdasarkan keseimbangan air yang masuk ke
dalam sumur dan air yang meresap ke dalam tanah (Sunjoto, 1988) dan dapat dituliskan sebagaimana Persamaan
(8) sebagai berikut ini.

 FKT 

Q  2 
H  1  e πR  (8)
FK  
 
dengan H adalah tinggi muka air dalam sumur (m), F adalah faktor geometrik (m), Q adalah debit air masuk
(m3/detik), T adalah waktu pengaliran (detik), K adalah koefisien permeabilitas tanah (m/detik), R adalah jari-jari
sumur (m). Sumur resapan didesain pada banjir kala ulang 5 tahun. Nilai dari debit air masuk dicari dengan
melakukan penelusuran saluran sehingga didapatkan kebutuhan dimensi sumur resapan yang tepat. Untuk
mengetahui unjuk kerja sumur resapan maka perlu dilakukan pengecekan kinerja sumur resapan pada kala ulang 2,
5, dan 10 tahun pada dimensi sumur resapan hasil perencanaan. Kondisi sumur yang direncanakan pada penelitian
adalah kondisi dengan resapan terletak pada tanah yang seluruhnya porus dengan dinding sumur resapan kedap air
dan dasar sumur rata permeabel. Gambar 1 dan 2 berikut adalah sketsa kondisi dan dimensi sumur resapan.

Gambar 1. Sketsa Kondisi Sumur Resapan Gambar 2. Dimensi pada Sumur Resapan
Nilai faktor geometrik pada kondisi diatas dapat dirumuskan pada Persamaan (9) berikut ini.
F  5,5R (9)
dengan F adalah faktor geometrik (m), R adalah jari-jari sumur (m), H adalah kedalaman dinding sumur kedap air
dari muka tanah (m). Nilai permeabilitas tanah dicari dengan berpedoman pada SNI 03 – 3968 – 1995 tentang
Metode Pengukuran Kelulusan Air pada Tanah Zone Tak Jenuh dengan Lubang Auger. Tujuan pengukuran ini
adalah untuk mendapatkan nilai kelulusan air pada zone tak jenuh. Persamaan yang dipakai dalam perhitungan
pengukuran kelulusan air pada tanah zone tak jenuh dengan menggunakan lubang Auger sebagaimana terlihat pada
Persamaan (10), (11), dan (12) berikut ini.
K  1,15 . r . a (10)


log h t m  
r  r
  log h t n   2 
a
 2   (11)
tn  tm

h(ti)  D  H(ti) (12)

dengan K adalah nilai kelulusan tanah (cm/jam), r adalah jari-jari lubang pengukuran (cm), a adalah koefisien, h(ti)
adalah ketebalan air dalam sumur pada waktu ti (cm), D adalah ketinggian standar acuan pengukuran dari dasar
sumur (cm), dan H(ti) adalah data pengukuran pada waktu ke-i (cm).

AIR - 3
Ujuk Kerja Sumur Resapan
Ujuk kerja sumur resapan digambarkan dengan pengurangan kelebihan air sebelum dan sesudah adanya sumur
resapan. Nilai dari ujuk kerja sumur resapan merupakan perbandingan antara pengurangan kelebihan air setelah
terpasang sumur resapan dengan kelebihan air sebelum adanya sumur resapan. Berikut adalah rumusan dari ujuk
kerja sumur resapan yang dapat diperlihatkan dengan Persamaan (13) berikut ini.

Q sebelum  Q setelah
UK   100% (13)
Q sebelum

dengan UK adalah unjuk kerja sumur resapan (%), Qsebelum adalah banjir rancangan kala ulang T (m3/detik), dan
Qsetelah adalah air terbuang setelah terpasang sumur resapan (m3/detik).

4. METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian bertempat di Kampus Terpadu UII dengan sungai yang menjadi titik keluaran yaitu Kali Kladuan,
Kimpulan, Bojotan, dan Pelang. Data yang dibutuhkan adalah data primer meliputi koefisien permeabilitas tanah,
dan data dimensi drainase eksisting, sedangkan data sekunder meliputi data hujan harian dari tahun 2005 s/d 2015 di
stasiun hujan Angin-angin, Beran, Bronggang, Kemput, Plataran, dan Prumpung, dan denah lokasi penelitian.
Sebagai acuan dalam penelitian maka disusun bagan alir seperti terlihat pada Gambar 3 sebagai berikut.

Mulai

Persiapan

Landasan teori

Pengumpulan data:
primer dan sekunder
Data hujan Dimensi drainase Permeabilitas
tanah

Hujan rerata
metode Isohyet

Pengolahan dan analisis data

Banjir Rancangan Kebutuhan sumur


metode rasional resapan

Debit keluaran sebelum Debit keluaran setelah


ada sumur resapan ada sumur resapan

Efektifitas eko-drainase

Selesai

Gambar 3. Bagan Alir Penelitian

AIR - 4
5. HASIL PENELITIAN
Koefisien Permeabilitas Tanah (K)
Nilai dari koefisien permeabilitas tanah dicari dengan berpedoman pada SNI 03 – 3968 – 1995. Pengambilan data
permebilitas ditanah dicari pada 5 titik uji yang menyebar di kawasan penelitian. Pengujian permeabilitas tanah
dilakukan dengan tiga kali ulangan dalam satu tempat. Nilai permeabilitas tanah yang dipakai yaitu pada ulangan
ketiga. Hal ini bertujuan agar tanah mendekati kondisi jenuh. Berikut adalah gambar pengujian permeabilitas di
lapangan (Gambar 4) dan hasil grafik pengujian permeabilitas tanah (Gambar 5) pada lokasi 1.

Gambar 4. Pengujian Insitu Permeabilitas Tanah Gambar 5. Grafik Uji Permeabilitas Tanah
Berdasarkan pada persamaan (10) didapatkan hasil pengujian permeabilitas tanah sebagaimana Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Koefisien Permeabilitas Tanah
No. Lokasi K (m/det) Ket. Lokasi No. Lokasi K (m/det) Ket. Lokasi
Lokasi 1 4,103 . 10-6 Gedung FTSP UII Lokasi 4 4,642 . 10-5 Gedung Rektorat
Lokasi 2 6,464 . 10-5 Lap. Sepak Bola Lokasi 5 2,374 . 10-5 Bolevard
Lokasi 3 1,948 . 10-5 Utara GOR UII
Data Hujan Harian
Data Sekunder berupa data hujan harian pada stasiun hujan Kemput, Angin-Angin, Bronggang, Prumpung, Plataran,
dan Beran. Analisis dilakukan dari tahun 2005 s/d 2015. Untuk mendapatkan nilai hujan maksimum tahunan maka
dilakukan pendekatan dengan memilih tiga penjumlahan terbesar dari semua stasiun dalam satu tahun. Apabila
hujan ditinjau selama sebelas tahun maka didapatkan 33 perhitungan hujan kawasan Isohyet. Digunakan aplikasi
Arc-Gis untuk menganalisis hujan pada setiap stasiun agar menjadi hujan rerata kawasan. Pada Gambar 6,
diperlihatkan analisis hujan metode Isohyet.

Gambar 6. Analisis Isohyet Tahun 2005 Maksimum ke-3


Untuk mencari nilai hujan kawasan menggunakan persamaan (1) dengan hasil sebagaimana terlihat pada Tabel 2
berikut ini.

AIR - 5
Tabel 2. Hujan Rerata Kawasan Maksimum Tahunan
No Tahun Hujan (mm) No Tahun Hujan (mm)
1 2005 99,74 7 2011 74,89
2 2006 104,93 8 2012 59,06
3 2007 62,21 9 2013 47,12
4 2008 84,76 10 2014 47,96
5 2009 65,21 11 2015 90,93
6 2010 43,02
Hujan Rancangan
Hujan rancangan dicari pada kala ulang 2, 5, dan 10 tahun. Pada analisis frekuensi didapatkan hasil dari koefisien
probabilitas dengan menggunakan Distribusi Log Pearson III dengan hasil parameter didapatkan rata-rata hujan
dalam log ( Y ) = 4,218 mm; standar deviasi (s) = 0,3119 mm; koefisien variasi (Cv) = 0,0739; koefisien skewness
(Cs) = -0,05; dan koefisien kurtosis(Ck) = 2,5532. Nilai kala ulang hujan pada 2, 5, dan 10 tahun beturut-turur adalah
68,036 mm, 88,276 mm, dan 101,026 mm.
Banjir Rancangan
Berdasarkan hasil survei terdapat 25 sub drainase, 15 titik kontrol, dan 4 titik buangan yang berada di lokasi
penelitian. Setiap sub drainase mempunyai dimensi dan kemiringan masing-masing. Perhitungan banjir rancangan
dilakukan pada tiap-tiap sub drainase dengan kala ulang 2, 5, dan 10 tahun. Setiap saluran drainase mempunyai nilai
intensitas hujan yang berbeda-beda hal itu dikarenakan waktu pengaliran pada tiap saluran berbeda. Perhitungan
intensitas hujan merujuk pada persamaan (3) dengan waktu pengaliran yaitu 9,729 menit dan hujan rancangan
68,036 mm (kala ulang 2 tahun) didapatkan intensitas hujan pada saluran 1 yaitu 79,32 mm/jam. Banjir rancangan
metode rasional dihitung dengan persamaan (2) dengan nilai C yaitu 0,70 dan A yaitu 0,230 ha didapatkan banjir
rancangan kala ulang 2 tahun pada saluran 1 yaitu 0,0355 m3/detik
Perencanaan Sumur Resapan
Sumur resapan direncanakan berdasarkan debit kala ulang 5 tahun dan dilakukan pengecekan kinerja sumur resapan
pada kala ulang 2, 5, dan 10 tahun. Dimensi dalam perencanaan sumur resapan baik diameter maupun kedalaman
sudah ditentukan terlebih dahulu sehingga komponen yang dicari yaitu jumlah dan jarak antar sumur resapan.
Batasan dimensi yang dipakai untuk jari-jari yaitu 0,6; 0,8; dan 1 meter, sedangkan kedalaman yaitu 1,5; 2, dan 3
meter. Perencaanaan sumur resapan menggunakan sistem trial. Dimensi, jumlah, dan jarak antar sumur resapan
ditentukan berdasarkan penelusuran debit aliran pada tiap drainase. Penelusuran debit drainase dimulai dari hulu
saluran hingga titik keluaran debit saluran. Debit yang masuk pada bagian hulu merupakan debit saluran pada kala
ulang 5 tahun. Aliran debit pada drainase akan terus berkurang bila melewati lubang pipa sumur resapan yang ada
di samping drainase. Dengan menggunakan persamaan (8) maka didapatkan hasil resapan sumur sebagaimana Tabel
3 sebagai berikut ini.
Tabel 3. Perencanaan Sumur Resapan dengan Kala Ulang 5 Tahun
Nomor Q masuk Jumlah L R H Q limpas
Teresap (%) Keterangan
Saluran (m3/det) sumur (m) (m) (m) (m3/det)
1 0,0461 3 40 0,3 1,5 0,0011 97,51
3 0,0568 2 30 0,3 2 0,0019 96,61
2 0,0440 3 50 0,3 2 0,0044 89,95
4 0,0167 1 40 0,3 2 0,0018 89,48
Kali Kladuan
5 0,0254 2 40 0,3 1,5 0,0031 87,95
6 0,0609 1 40 0,4 2 0,0039 93,59
7 0,0578 2 40 0,4 1,5 0,0069 88,05
8 0,0208 1 50 0,3 1,5 0,0037 81,96
9 0,2442 2 30 0,4 3 0,0009 99,65
10 0,0378 1 40 0,4 1,5 0,0002 99,60 Kali
13 0,1105 4 40 0,4 2 0,0034 96,88 Kimpulan
14 0,0303 3 60 0,3 2 0,0025 91,62
11 0,0483 3 40 0,4 3 0,0044 90,98
12 0,0117 2 40 0,3 2 0,0014 88,38
15 0,0937 3 30 0,3 2 0,0094 89,95
Kali Bojotan
16 0,0289 1 50 0,4 2 0,0041 85,79
19 0,0862 5 50 0,4 2 0,0163 81,06
17 0,1276 5 40 0,3 2 0,0218 82,87
18 0,0820 4 40 0,3 2 0,0036 95,63

AIR - 6
Lanjutan Tabel 3.
20 0,0369 4 50 0,3 2 0,0043 88,35
21 0,0594 2 30 0,3 1,5 0,0079 86,75
22 0,0105 1 40 0,3 1,5 0,0006 94,10
25 0,0402 3 50 0,3 2 0,0023 94,26 Kali Pelang
23 0,0170 1 40 0,3 2 0,0023 86,44
24 0,0085 1 60 0,3 1,5 0,0006 93,23

Rangkuman Hasil
Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini berupa perbedaan debit yang terbuang sebelum dan sesudah adanya
sumur resapan pada Kali Kladuan, Kali Kimpulan, Kali Bojotan, dan Kali Pelang. Tabel 4, 5, dan 6 adalah hasil dari
perhitungan unjuk kerja sumur resapan dengan persamaan (13)
Tabel 4. Hasil Unjuk Kerja Sumur Resapan Kala Ulang 2 Tahun
Sebelum sumur Setelah sumur Unjuk Kerja
Sungai
(m3/detik) (m3/detik) (%)
Kali Kladuan 0,2421 0,0000 100,00
Kali Kimpulan 0,3259 0,0000 100,00
Kali Bojotan 0,7805 0,0000 100,00
Kali Pelang 0,0827 0,0000 100,00
Rata-rata 0,3578 0,0000 100,00

Tabel 5. Hasil Unjuk Kerja Sumur Resapan Kala Ulang 5 Tahun


Sebelum sumur Setelah sumur Unjuk Kerja
Sungai
(m3/detik) (m3/detik) (%)
Kali Kladuan 0,2929 0,0227 92,43
Kali Kimpulan 0,4228 0,0070 98,35
Kali Bojotan 1,0127 0,0449 89,99
Kali Pelang 0,1073 0,0052 95,17
Rata-rata 0,4060 0,0199 95,38

Tabel 6. Hasil Unjuk Kerja Sumur Resapan Kala Ulang 10 Tahun


Sebelum sumur Setelah sumur Unjuk Kerja
Sungai
(m3/detik) (m3/detik) (%)
Kali Kladuan 0,3357 0,0592 82,37
Kali Kimpulan 0,4839 0,0681 85,94
Kali Bojotan 1,1590 0,1163 77,33
Kali Pelang 0,1228 0,0235 80,84
Rata-rata 0,5253 0,0668 84,78
Berdasarkan pada Tabel 4, 5, dan 6 didapatkan unjuk kerja sumur resapan yaitu 100%; 95,38%; dan 84,78% pada
kala ulang 2, 5, dan 10 tahun. Desain sumur resapan dengan kedalaman 1,5 dan diameter 0,6 sebagaimana terlihat
pada Gambar 7. Nilai kedalaman dihitung dari dasar saluran drainase.

Gambar 7. Desain Sumur Resapan

AIR - 7
6. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dalam penerapan sumur resapan pada tiap saluran drainase eksisting,
dimensi sumur resapan merupakan komposisi dari diameter 0,6 dan 0,8 meter, sedangkan kedalaman dengan
komposisi dari 1,5; 2; dan 3 meter. Jarak antar sumur resapan berkisar diantara 30, 40, 50, dan 60 meter dengan
jumlah sumur resapan dalam satu saluran berkisar diantara 1 sampai 5 buah. Unjuk kerja sumur resapan di lokasi
penelitian sebesar 100%; 95,38%; dan 84,78% pada kala ulang 2, 5, dan 10 tahun berturutan

DAFTAR PUSTAKA
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Metode Pengukuran Kelulusan Air pada Tanah Zone Tak Jenuh dengan
Lubang Auger. SNI – 03 – 3968 – 1996
Balany, F. 2008. Perbandingan Tingkat Ketelitian Metode Rerata-Rataan Hujan DAS dalam Debit Rancangan.
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Chow, V. T. Open Channerl Hydraulics. 1959. Penerbit McGraw Hill Book Company. International ed. New York.
Harto, S. 1993. Hidrologi Terapan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Kamiana, I. M. 2011. Teknik Peritungan Debit Rencana Bangunan Air. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta
Nugraha, T. 2013. Pengaruh Sumur Resapan dan Kolam Retensi di Sistem Drainase UGM. Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta.
Sunjoto. 1989. Teknik Konservasi Air pada Kawasan Pemukiman. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Sunjoto. 2011. Teknik Drainase Pro Air. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Penerbit Andi Offset. Yogyakarta.
Triatmojo, B. 2008. Hidrologi Terapan. Penerbit Beta Offset. Yogyakarta
Triyono. 2014. Rekayasa Sistem Drainase Berwawasan Lingkungan pada Kawasan Industri Piyungan Kabupaten
Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

AIR - 8
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

APLIKASI ALGORITMA SAWAH PADA PROGRAM SWAT UNTUK MEMPREDIKSI


HASIL AIR SUB-DAS CISADANE HULU

Asep Sapei1, Yuli Suharnoto2, Sutoyo3 dan Eri Stiyanto4

1
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor
Email: asep_sapei@yahoo.com
2
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor
Email: y.suharnoto@gmail.com
3
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor
Email: sutoyo@apps.ipb.ac.id
4
Alumni program magister sains Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor
Email: eristiyanto@apps.ipb.ac.id

ABSTRAK
Soil and Water Assessment Tool (SWAT) merupakan sebuah model hidrologi yang dikembangkan
di Amerika Serikat dan telah banyak diterapkan di Asia untuk menganalisis dampak dari tata guna
lahan terhadap hasil air (debit) dan sedimentasi. Akan tetapi, perhitungan neraca air di dalam
SWAT menggunakan neraca air untuk tanaman yang ditanam pada lahan kering (up land) termasuk
tanaman padi yang ditanam di lahan sawah. Penelitian ini bertujuan utk mengevaluasi aplikasi
algoritma sawah yang dikembangkan oleh Sakaguchi et.al. (2014) pada program SWAT terhadap
Sub-DAS Cisadane Hulu yang bersawah. Luas sawah di Sub-DAS Cisadane Hulu mencakup
sekitar 20% dari luas total. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa modul dgn algoritmna sawah dapat
memprediksi debit relative lebih baik dibandingkan dengan modul yang asli (tanpa algoritma sawah)
yang ditunjukkan oleh nilai determinasi (R2) dan Nash-Sutcliffe efficiency (NSE). Nilai R2 modul
dgn algoritma sawah sebesar 0.59 untuk debit harian dan 0.76 untuk debit bulanan. Sedangkan nilai
R2 modul asli sebesar 0.54 untuk debit harian dan 0.71 untuk debit bulanan. Nilai NSE modul
dengan algoritma sawah sebesar 0.48 untuk debit harian dan 0.61 untuk debit bulanan. Sedangkan
nilai NSE modul asli sebesar 0.43 untuk debit harian dan 0. 56 untuk debit bulanan.
Kata kunci: DAS, hasil air, sawah, SWAT

1. PENDAHULUAN
SWAT (Soil and Water Assessment Tools) merupakan model yang dikembangkan di Amerika yang digunakan untuk
menganalisis pengaruh manajemen lahan terhadap debit, sedimentasi, dan kualitas air di suatu Daerah Aliran
Sungai. SWAT juga telah banyak digunakan di Asia untuk mengkaji dampak penggunaan lahan termasuk
persawahan terhadap debit dan sedimentasi. Namun perhitungan mengenai neraca air (water balance) yang ada di
SWAT untuk tanaman padi masih disamakan dengan tanaman lainnya, yaitu menggunakan metode SCS (Soil
Conservation Service). Metode SCS sendiri tidak bisa mewakili tata kelola air sawah, oleh karena itu kondisi ini
belum menggambarkan kondisi sawah yang sesungguhnya. Selain itu parameter – parameter nilai kondisi hidrologi
Amerika dan Indonesia juga pasti berbeda.
Kang et al. (2006) telah mengembangkan algoritma yang memperhitungkan perkolasi pada genangan air di sawah
dalam proses perhitungan total maksimum beban harian. Xie and Cui (2011) telah mengembangkan algoritma untuk
padi sawah terkait kedalaman penggenangan serta irigasi. Watanabe et al. (2013) telah membahas penggunaan dua
pendekatan untuk memasukkan pengaruh padi sawah pada SWAT, yaitu dengan menggunakan curve number (CN)
untuk melihat respon limpasan terhadap hujan dan menggunakan penggenangan. Aplikasi dari pengembangan SCS
juga telah diujikan oleh Jung et al. (2012). Sakaguchi et al. (2014) mengembangkan modul padi sawah dari modul
pothole yang tersedia di SWAT yang diperuntukan bagi padi sawah di Jepang.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi penerapan algoritma padi sawah pada pada program Soil and Water
Assesment Tools (SWAT) untuk memprediksi hasil air (water yield) dari sub-DAS Cisadane Hulu yang mempunyai
lahan sawah.

AIR - 9
2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Sub-DAS Cisadane Hulu dengan outlet di Batu Beulah (Gambar 1). Proporsi lahan
sawah di DAS Cisadane tahun 2009 mencapai 21.21 % dari luas total Sub-DAS Cisadane Hulu (18 086 ha).
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (1) data iklim dan data curah hujan harian (2004-2014)
statsiun Dramaga, Kracak, Pasir Jaya, Empang, dan Cihideung; (2) data debit harian untuk outlet Batu Beulah
(2004- 2014); (3) peta tata guna lahan; (4) peta Rupa Bumi Indonesia (RBI); (6) peta tanah skala 1 : 250 000.
Peralatan yang digunakan adalah komputer dengan perangkat lunak yang digunakan adalah Map Window 4.8.8,
MWSWAT 2012 (source codes rev 627 & rev 637), SWAT CUP 2012 ver 5.1.6.2. dan Eclipse-parallel-luna-SR2-
win32.

Gambar 1 Sub-DAS Cisadane Hulu


Sakaguchi at al (2014) mengembangkan algoritma padi sawah dengan melakukan modifikasi algoritma pothole pada
program SWAT dengan pendekatan neraca air seperti yang terlihat pada Gambar 2. Modifikasi dilakukan pada
algoritma perkolasi, bentuk tampungan, algoritma irigasi, algoritma drainase (release) dan algoritma evaporasi.

Gambar 2. Diagram neraca air pada sawah aktual, modul pothole dan dan modul sawah (Sakaguchi et al., 2014)
Pada penelitian ini, hanya diterapkan 3 algoritma dari 5 algoritma yang dikembangkan oleh Sakaguchi et al (2014),
yaitu: algoritma bentuk tampungan, algoritma perkolasi dan algoritma evaporasi. Algoritma irigasi dan algoritma
drainase (release) tidak diterapkan karena terbatasnya data irigasi dan drainase. Algoritma diterapkan dengan
memodifikasi program source code pothole dan dijadikan executable program.
Modifikasi bentuk tampungan dilakukan dengan merubah luas permukaan yang mengikuti kerucut pada pothole
(persamaan 1) menjadi luas yang konstan (persamaan 2)

AIR - 10
(1)

(2)

dimana SA: luas permukaan (ha), V : volume air yang masuk kedalam tampungan (m3 H2O), slp: kelerengan (m/m)
dan areahru: luas area hru (ha).
Algoritma perkolasi pada pothole (persamaan 3 sampai persamaan 7) yang menghasilkan sedikit perkolasi apabila
tanah sudah jenuh diganti dengan persamaan 8 dan persamaan 9.

(3)

(4)

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

dimana Vseep : volume air resapan dalam satu hari(m3 H2O), KS: konduktifitas hidrolik (mm/jam), SA: luas
permukaan (ha), SW: kadar air lapisan tanah pada hari tertentu (mm H2O), FC: kadar air tanah saat kapasitas lapang
(mm H2O), SWly,excess: drainable (tersedia untuk perkolasi) volume air pada lapisan tanah pada hari tertentu (mm
H2O), SWly: kadar air tanah awal (mm H2O), FCly: kadar air tanah saat kapasitas lapang (mm H2O), PP: laju
perkolasi potensial (mm H2O), danVstored: jumlah air awal pada hari tertentu (m3 H2O).
Algoritma evaporasi (persamaan 10) dirubah dengan persamaan 11 dan persamaan 12 agar perhitungan tidak
melebihi evaporasi sebenarnya.

(10)

(11)

(12)

dimana Vevap: volume air yang keluar saat evaporasi siang hari (m3H2O), ƞ: koefisien evaporasi, LAI: indeks luas
daun tanaman, LAIevap: indeks luas daun tanaman dimana evaporasi dari air permukaan tidak terjadi, dan E0: PET
untuk hari tertentu (mm).
Evaluasi modul menggunakan parameter koefisien determinasi (R2) dan Nash Sutcliffe Efficiency (NSE) yang
dihitung dengan persamaan berikut (Nash dan Sutcliffe, 1970) :

(13)

(14)
3 3
Dengan Qm: debit observasi (m /s), Qs : debit simulasi (m /s), : rata – rata debit observasi (m /s) dan
3
: rata –
rata debit simulasi (m3/s).

AIR - 11
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Sub Das Cisadane Hulu


Sub-DAS Cisadane Hulu mempunyai luas sebesar 85 219 Ha, sungai sepanjang 46.7 Km dan rata – rata elevasi
619 mdpl. Kemiringan lahan di Sub-DAS Cisadane Hulu didominasi oleh kelas lereng 25% - 45 % seperti yang
ditunjukan pada
Gambar 3 Kelas lereng lahan Sub-DAS Cisadane Hulu

3. Tata
guna lahan di Sub-DAS Cisadane Hulu berdasarkan data dari BPDAS tahun 2013 didominasi oleh ladang seperti
yang disajikan pada Gambar 4. Jenis tanah di Sub-DAS Cisadane Hulu terdiri dari 11 jenis tanah dan didominasi
oleh tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat p.seperti dapat dilihat pada
Gambar 4 Tata guna lahan tahun 2013 Gambar 5.

Gambar 3 Kelas lereng lahan Sub-DAS Cisadane Hulu

Gambar 4 Tata guna lahan tahun 2013 Gambar 5 Jenis tanah

AIR - 12
Aplikasi Algoritma Sawah
Algoritma sawah yang diaplikasikan adalah algoritma bentuk tampungan, algoritma perkolasi (rembesan) dan
algoritma evaporasi. Aplikasi algoritma dilakukan dengan memodifikasi source code modul pothole seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8.

Gambar 6 Modifikasi algoritma bentuk tampungan

Gambar 7 Modifikasi algoritma perkolasi

Gambar 8 Modifikasi algoritma evaporasi

Evaluasi
Evaluasi dilakukan pada kondisi tata guna lahan tahun 2006, tahun 2009 dan tahun 2013. Evaluasi terhadap hasil air
dilakukan dengan tiga kondisi pendekatan hidrologi sawah, yaitu: (a) tanpa modul pothole dengan metode SCS dan
nilai CN default, (b) modul dengan pothole, dan (c) modul dengan aplikasi algoritma padi sawah (modul sawah).
Perlakuan tersebut dilakukan untuk melihat dan membandingkan nilai evaluasi model serta debit untuk masing –
masing kondisi.
Simulasi awal program SWAT menghasilkan hasil air seperti yang terlihat pada Gambar 9 (debit harian) dan
Gambar 10 (debit bulanan)

AIR - 13
Gambar 9 Debit harian hasil simulasi awal tata guna lahan 2006 (a), 2009 (b) dan 2013 (c)
Dari Error! Reference source not found.9 dan Error! Reference source not found.0 terlihat nilai debit hasil
simulasi dan observasi masih terlalu besar bedanya yang ditunjukan oleh nilai R2 dan NSE yang rendah. Nilai
evaluasi R2 dan NSE masing – masing modul di sajikan pada Gambar 11.

Gambar 10 Debit bulanan hasil simulasi awal tata guna lahan 2006 (a), 2009 (b) dan 2013 (c)
Dari Gambar 11 dapat dilihat kecenderungan R2 dan NSE modul sawah sedikit lebih baik dari pada modul original
maupun modul pothole pada periode harian maupun bulanan, tapi untuk NSE pada periode bulanan mengalami
kenaikan yang baik (dari -0.610 menjadi -0.003).
Kalibrasi dilakukan sama dengan simulasi awal modul untuk tiga kondisi tata guna lahan 2006, 2009, dan 2013.
Fluktuasi debit hasil kalibrasi dapat dilihat pada Error! Reference source not found.12 dan Error! Reference
source not found.13. Nilai evaluasi R2 dan NSE hasil kalibrasi masing – masing modul di sajikan pada Gambar14.

AIR - 14
Gambar 11. Nilai evaluasi model simulasi awal

Gambar 12 Debit harian hasil kalibrasi tata guna lahan 2006 (a), 2009 (b) dan 2013 (c)

Gambar 13 Debit bulanan hasil kalibrasi tata guna lahan 2006 (a), 2009 (b) dan 2013 (c)

AIR - 15
Gambar 14. Nilai evaluasi model setelah kalibrasi
Validasi dilakukan sama dengan simulasi awal modul untuk tiga kondisi tata guna lahan 2006, 2009, dan 2013.
Fluktuasi debit hasil kalibrasi dapat dilihat pada Error! Reference source not found.15 dan Error! Reference
source not found.16. Nilai evaluasi R2 dan NSE hasil validasi masing – masing modul di sajikan pada Gambar 17

Gambar 15 Debit harian hasil validasi tata guna lahan 2006 (a), 2009 (b) dan 2013 (c)

Gambar 16 Debit bulanan hasil validasi tata guna lahan 2006 (a), 2009 (b) dan 2013 (c)

AIR - 16
Gambar 17.Nilai evaluasi model setelah validasi

Dari Gambar 17 dapat dilihat kecenderungan R2 dan NSE modul sawah lebih baik dari pada modul original maupun
modul pothole untuk periode harian maupun bulanan.

4. KESIMPULAN
Modul SWAT dengan aplikasi algoritma sawah memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan modul
SWAT original dan modul SWAT dengan pothole di Sub-DAS Cisadane Hulu.
Pada proses validasi nilai R2 dan NSE modul padi lebih baik dari pada modul original maupun modul pothole. Nilai
R2 pada modul padi 0.59 untuk data harian dan 0.757 untuk data bulanan dibanding modul original (0.537 untuk
harian, 0.707 untuk bulanan). Nilai NSE pada modul padi 0.477 untuk data harian dan 0.613 untuk data bulanan
dibanding modul original (0.427 untuk harian, 0.563 untuk bulanan).

DAFTAR PUSTAKA
Arnold JG, Moriasi DN, Gassman PW, Abbaspour KC, White MJ, Srinivasan, Santhi C, Harmel RD, Grienven V,
Van Liew MW, Kannan N, Jha MK. 2012. “SWAT : Model Use, Calibration, and Validation”. Trans.
ASABE.55 (4):1491-1508.
Jung JW, Yoon KS, Choi DH, Lim SS, Choi WJ, Choi SM, Lim BJ. 2012. “Water Management Practices And SCS
Curve Numbers Of Paddy Fields Equipped With Surface Drainage Pipes”. J.Agric. Water Manage. 110:78–83.
doi:10.1016/j.agwat.2012.03.014.
Kang MS, Park SW, Lee JJ, Yoo KH, 2006. “Applying SWAT for TMDL Programs to A Small Watershed
Containing Rice Paddy Fields”. J. Agric. Water Manage. 79 (1):72–92.doi:10.1016/j.agwat.2005.02.015.
Loague K, Green RE, 1991. “Statistical and Graphical Methods for Evaluating Solute Transport Models: Overview
and Application”. J. Contam. Hydrol. 7(1–2): 51-73. doi:10.1016/0169-7722(91)90038-3.
Nash JE, Sutcliffe JV. 1970. “River Flow Forecasting Through Conceptual Models Part I - A Discussion of
Principles”. J. Hydrol. 10:282–290. doi:10.1016/0022-1694(70) 90255-6.
Sakaguchi A, Eguchi S, Kato T, Kasuya M, Ono K, Miyata A, Tase N. 2014. Development and Evaluation of A
Paddy Module for Improving Hydrological Simulasion in SWAT. J. Agric. Water Manage. 137:116–122.
doi:10.1016/j.agwat.2014.01.009.
Watanabe H, Boulange J, Eguchi S, Kato T, Sakaguchi A,Gassman PW. 2013. Rice paddy module development in
SWAT (Discussion session). Handout received in 3 rdSWAT-SEEA conference, 18–19 Jun. 2013,
Bogor,Indonesia.
Xie X, Cui Y. 2011. Development and Test of SWAT for Modeling Hydrological Processes in Irrigation Districts
with Paddy Rice. J. Hydrol. 396:61–71. doi:10.1016/j.jhydrol.2010.10.032.

AIR - 17
AIR - 18
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

SISTEM LOCK-BRICK MENDUKUNG PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR


BIAYA RENDAH DAN BERKELANJUTAN

Susilawati1, Veronika2, dan Shuayib3

1
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Flores, Jl. Sam Ratulangi Ende-Flores
Email: sr.susi.dp@gmail.com
2
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Flores, Jl. Sam Ratulangi Ende-Flores
Email: veronika_mira@yahoo.com
3
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Flores, Jl. Sam Ratulangi Ende-Flores
Email: aeb.lussi.li@gmail.com

ABSTRAK

Bangunan air untuk mendukung pengelolaan air hujan skala rumah tangga acap kali terkendala oleh
biaya konstruksi yang cukup tinggi, seperti bangunan tanggul, jebakan air berantai, bak atau sumur
tampung, yang menyaratkan kondisi kedap air. Biaya yang tinggi ini disebabkan oleh pengadaan
semen dan besi sebagai struktur bangunan air tersebut. Sistem lockbrick yang menggunakan bahan
dasar tanah, dicampur sedikit semen akan menekan biaya tersebut, disamping penggunaan besi juga
lebih sedikit. Batu lockbrick dapat dibuat secara mudah sehingga dapat dikerjakan oleh masyarakat
sendiri. Struktur yang diperlukan juga lebih sederhana, sehingga pelaksanaan pekerjaan konstruksi
juga lebih mudah. Contoh bangunan bak tampung air hujan dengan dimensi 40 m3 dan 60 m3 telah
dikonstruksi di kompleks asrama putri Divina Providentia, Kupang. Untuk seluruh konstruksi secara
konvensional dapat mencapai harga Rp. 65.000.000.-, sedangkan dengan sistem lockbrick mencapai
harga Rp. 15.000.000.-. Bangunan ini dilengkapi juga dengan konstruksi selokan penangkap dan
pembawa limpasan air hujan sebelum masuk ke dalam bak tampung air hujan, yang berfungsi
sebagai proses mineralisasi, sehingga air yang tertampung mempunyai kualitas lebih baik
dibandingkan bila langsung ditampung dari atap rumah. Dari konstruksi ini, biaya yang dibutuhkan
menjadi rendah, dan sistem ini juga mudah dalam operasi dan pemeliharaannya. Sistem lockbrick
ini juga dapat diterapkan untuk bangunan infrastruktur lainnya seperti rumah sehat, dinding penahan
dan lainnya. Kegunaan dan kesederhanaan sistem lockbrick ini, baik dalam pembuatan, konstruksi
maupun operasi dan pemeliharaannya, menjadikan sistem lockbrick ini dapat mendukung
pembangunan infrastruktur dengan biaya rendah dan berkelanjutan.
Kata kunci: lockbrick, bangunan infrastruktur, biaya rendah, berkelanjutan

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber air hujan merupakan sumber daya air yang paling utama untuk dikembangkan. Karenanya untuk
meningkatkan ketersediaan air guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, dikembangkan suatu model pengelolaan air
hujan skala rumah tangga (Susilawati, 2014, 2016a,b). Dalam pengembangan model ini, diperlukan bangunan-
bangunan infrastruktur pendukung seperti bak tampung air, selokan penangkap air hujan, jebakan air berantai dan
lainnya. Bangunan air yang diperlukan untuk mendukung pengelolaan air hujan skala rumah tangga ini, acap kali
terkendala oleh biaya konstruksi yang cukup tinggi, seperti bangunan tanggul, jebakan air berantai, bak atau sumur
tampung, yang mensyaratkan kondisi kedap air. Bangunan tanggul, jebakan air berantai, bak tampung ataupun
sumur tampung, biasaya dikonstruksi dengan material bahan semen, pasir dan batu pecah serta perkuatan besi yang
terpadu sebagai konstruksi beton. Hal ini menyebabkan biaya yang cukup tinggi ini, karena berat sendiri beton
tersebut harus dipertimbangkan dalam analisa struktur konstruksi yang dipakai.
Sistem lockbrick yang menggunakan bahan dasar tanah, dicampur sedikit semen akan menekan biaya tersebut,
disamping penggunaan besi juga lebih sedikit. Pengerjaan sistem ini juga lebih mudah, sehingga dapat dikerjakan
secara mandiri, yang artinya dapat menghemat biaya tukang. Hal ini mendorong untuk dikembangkan secara serius
teknologi ini guna mendukung pembangunan infrastruktur yang sedang ditekankan dan dibutuhkan.

AIR - 19
Kajian Pustaka
Menelusuri perkembangan sistem lockbrick ini, ternyata sistem ini telah banyak dikembangkan di Amerika sejak
lama, hal ini dapat dilihat dari banyaknya paten yang telah dikeluarkan tentang lockbrick/interlocking bricks atau
bata bertautan, yang dituliskan seperti dalam Tabel 1.
Tabel 1. Paten terkait pengembangan lockbrick

No. Tahun Inventor Judul Invensi Catatan


1 2013 M.A. Kashinath Interlocking Brick No.: 3434/MUM/2013
Building Blocks With Mating Coupling Means For
2 2012 Janssens et al US 2012/0102868
Constructing Wall And Associated Method
Steve Eugene Structural Building Block System And Method
3 2009 Patent No.: US 7472520
Everett Comprising Same
Uniform Building Construction Using Interlocking
4 1999 John H Patent Number: 5901521
Connectors
5 1997 Williams et al Flue Walls Using Interlocking Patent Number: 5676540
6 1981 Khoo Tian Bricks No. 4,299,071
7 1970 Zagray Interlocking building block construction Paten US 3534518
8 1939 A. J. Cilento Interlocking Brick Serial No. 251260
9 1934 P. Brown Interlocking Building Brick US 1984393
10 1908 J. Soss Interlocking Brick US 903906
11 1895 George J. Herth Lock-Brick US Patent No. 535497
12 1892 Louis A. Steiger Interlocking Brick Patent No. 468840
Sumber: hasil rekap penulis
Beberapa tulisan terkait pengembangan teknologi terapan batu bata bertautan atau lockbrick/interlocking bricks ini
juga ditelusuri, dan dituliskan seperti dalam Tabel 2.
Tabel 2. Tulisan terkait pengembangan lockbrick

No. Tahun Penulis Judul Tulisan Catatan


Lockbrick Moduler Sebagai Inovasi Material
1 2014 Anis Rahmawati Penelitian Ristekdikti
Dinding Bangunan Rumah Tinggal
Vol 1, No 01 (2013)
Perancangan Komponen Prapabrikasi Rumah
2 2013 M. Khasani, dkk. Jurnal Pendidikan Teknik
Tinggal Tumbuh
Bangunan
Bahan Bangunan Dalam Peradaban Manusia:
Humaniora Vol.2 No.1
3 2011 Gatot Suharjanto Sebuah Tinjauan Dalam Sejarah Peradaban
April 2011: 814-825
Manusia
Pengembangan Mesin Pencetak Segmen Sloof dan
4 2011 Sri Sumarni, dkk Balok Moduler Rumah Sederhana Tumbuh Tahan draft artikel ilmiah
Gempa (RT2G)
Design Of Interlocking Bricks For Enhanced Wall
Simion Hosea
5 2009 Construction Flexibility, Alignment Accuracy And disertasi
Kintingu
Load Bearing
Sumber: hasil rekap penulis
Tantangan untuk membangun dengan biaya terjangkau mendorong untuk dikembangkan teknologi bata bertautan
dengan bahan dasar tanah, yang mudah di dapat di lokasi, yaitu tanah setempat, dengan sedikit menambahkan bahan
semen lokal. Daryanto-Susilawati-Budi Setiadi (1996) pernah meneliti tentang pengujian material bahan bangunan
untuk bata bertautan (lock brick), yang mengambil sampel tanah pada 8 lokasi di sekitar kota Semarang. Menurut
Daryanto, dkk., tanah sebagai bahan dasar pembuatan bata bertautan mempunyai klasifikasi yang bermacam-
macam, komposisi campuran semen-tanah maupun semen-kapur-tanah perlu dicari campuran yang paling efektif
agar didapat hasil yang baik dan kuat. Oleh karena itu, sebelum tanah digunakan sebagai bahan dasar pembuatan
bata bertautan, tanah tersebut perlu diuji laboratorium untuk mengetahui klasifikasi dan gradasinya. Daniel H. dan
Susilawati (2002) menyimpulkan bahwa pembangunan rumah sederhana di pemukiman pedesaan diperlukan bata
dengan kuat tekan sekitar 15 – 20 kg/cm2, dan tanah lempung yang dicampur dengan kapur akan meningkatkan kuat
tekan batu bata bahan dasar tanah. Material kapur dimaksudkan untuk mengasorpsi kadar air dalam tanah lempung.

AIR - 20
Landasan Teori
Batu lockbrick dapat dibuat secara mudah sehingga dapat dikerjakan oleh masyarakat sendiri. Struktur yang
diperlukan juga lebih sederhana, sehingga pelaksanaan pekerjaan konstruksi juga lebih mudah. Contoh bangunan
bak tampung air hujan dengan dimensi 40 m3 dan 60 m3 telah dikonstruksi di kompleks asrama putri Divina
Providentia, Kupang. Bangunan ini dilengkapi juga dengan konstruksi selokan penangkap dan pembawa limpasan
air hujan sebelum masuk ke dalam bak tampung air hujan, yang berfungsi sebagai proses mineralisasi, sehingga air
yang tertampung mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan bila langsung ditampung dari atap rumah. Dari
konstruksi ini, biaya yang dibutuhkan menjadi rendah, dan sistem ini juga mudah dalam operasi dan
pemeliharaannya. Sistem lockbrick ini juga dapat diterapkan untuk bangunan infrastruktur lainnya seperti rumah
sehat, dinding penahan dan lainnya.
Sebagai gambaran, ketika dirancang suatu bangunan bak tampung air, maka perlu dipertimbangkan dalam analisa
struktur, yaitu kondisi saat bak tampung terisi air penuh ataupun kosong, juga bagaimana konstruksi bak tampung
air tersebut dirancang, yaitu di bawah tanah atau di atas permukaan tanah. Hal ini dijelaskan dalam Gambar 1.

Kosong
Isi

Kasus A Kasus B

Kosong Isi

Kasus C Kasus D

Gambar 1. Proses analisis perhitungan bak tampung air


Pada Gambar 1A, kasus saat bak tampung kosong, maka analisis konstruksi diperhitungkan adanya gaya tekan tanah
pada dinding bak selain tekanan tanah pada dasar. Tulangan beton dipakai untuk menahan beban akibat gaya
tersebut. Pada Gambar 1B, kasus saat bak tampung berisi air, maka analisis konstruksi menjadi lebih ringan karena
gaya tekan tanah diimbangi dengan gaya tekan air pada dinding, begitu pula gaya tekan pada dasar bak tampung.
Gambar 1C, kasus pada bak tampung di atas permukaan tanah, yaitu pada saat bak kosong. Analisis perhitungan
struktur diperhitungkan akibat berat sendiri struktur. Gambar 1D, saat bak tampung berisi air, maka analisis struktur
diperhitungkan adanya beban tekan air pada dinding konstruksi. Apabila konstruksi bak tampung tersebut dari beton
bertulang, maka kebutuhan besi beton harus mampu menahan beban gaya yang ditimbulkan adanya kasus-kasus
seperti yang dijelaskan di atas.

2. METODE PENELITIAN
Pertama-tama, dilakukan kajian pustaka terkait pengembangan sistem lockbrick yang menggunakan bahan dasar
tanah ini. Kemudian diuji cobakan dalam bangunan infrastruktur yang sedang dibangun sesuai dengan kebutuhan.
Dari uji coba ini, dapat dianalisis sejauh mana sistem lockbrick ini dapat mendukung pembangunan infrastruktur
dengan biaya yang rendah, namun tetap dapat berkelanjutan.

AIR - 21
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses kerja dalam sistem lockbrick ini, pada mulanya tanah disaring melewati saringan 5 mm, kemudian dicampur
dengan bahan sedikit semen dengan perbandingan 1 semen : 8 tanah. Setelah bahan tanah dan semen tercampur rata,
maka mulai disiram air secara lembut dan diaduk, sampai terbentuk campuran yang lembab. Campuran ini
dimasukkan ke dalam cetakan untuk siap dipres menghasilkan bata lock-brick. Proses ini ditunjukkan seperti dalam
Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Proses pembuatan batu bata lockbrick dengan bahan dasar tanah
Uji Coba Bangunan Rumah Tinggal
Uji coba bangunan rumah tinggal dilakukan pada rumah tinggal dari Bpk. Lukas Hiller Liunesi dan Bpk. Markus
Nitcae, di Desa Tli’u, Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Gambar 3 menunjukkan
hasil kedua keluarga dalam menyetak batu lock-brick tersebut untuk siap disusun menjadi rumah tinggal.

Gambar 3. Batu bata yang telah dicetak dan terkumpul


Proses penyusunan batu lock-brick, dari struktur pondasi, balok sloof, pemasangan dinding bangunan, kolom pada
dinding bangunan, balok lingkar sebagai landasan konstruksi atap, balok latai di atas ambang pintu dan jendela,
ditunjukkan seperti dalam gambar-gambar berikut ini.

Gambar 4. Pelaksanaan komponen pondasi dan bata sloof (Susilawati, 2016c)

AIR - 22
Gambar 5. Pekerjaan sloof dan penyusunan dinding dan kolom praktis (Susilawati, 2016c)

Gambar 6. Pelaksanaan pekerjaan konstruksi ambang di atas pintu/jendela (Susilawati, 2016c)

Selanjutnya dikerjakan pemasangan atap dan pintu-jendela, yang semuanya dilakukan oleh keluarga itu sendiri
(Gambar 7 dan 8). Pemasangan kosen pintu ataupun jendela perlu memperhatikan ikatan antara dinding batu bata
bertautan dengan kayu kosen pintu ataupun jendela. Ikatan ini menggunakan sistema ikatan dengan sekrup ukuran
panjang 10 cm dan  8 mm. Dinding batu bata dibuat lubang dengan menggunakan alat bor, kemudian dimasukkan
spiser dan baru sekrup untuk mengikat antara batu dan kayu kosen. Pemasangan pintu dilakukan sebagaimana cara
konvensional.

Gambar 7. Pelaksanaan pekerjaan pemasangan pintu jendela (Susilawati, 2016c)


Pemasangan atap dilakukan seperti halnya cara konvensional. Yang perlu diperhatikan dalam membentuk dinding
penutup miring, maka batu bata bertautan perlu dipotong sesuai dengan kemiringan atap yang akan dipasang.
Pemotongan dilakukan dengan menggunakan alat potong keramik, sehingga membentuk lapisan yang rata.

AIR - 23
Gambar 8. Pelaksanaan pekerjaan pemasangan atap (Susilawati, 2016c)
Hasil akhir rumah nampak dalam Gambar 9.

Gambar 9. Rumah batu bata bertautan bahan dasar tanah (Susilawati, 2016c)
Uji Coba untuk Bangunan Bak Tandon Air Hujan

Untuk bak tampung ukuran 3x3x3 m3 seperti ditunjukkan dalam Gambar 1, maka volume beton yang diperlukan
sebanyak mendekati 4 m3, dengan tebal dinding bak antara 12-15 mm. Besi yang dibutuhkan untuk tiap beton plat
secara standar dibutuhkan sebanyak 68 kg, atau untuk 5 buah beton plat dibutuhkan besi sebanyak 340 kg. Untuk 5
buah beton plat dibutuhkan besi sebesar Rp. 30.600.000.- dan bahan beton cor sebesar Rp. 4.000.000.- belum
termasuk ongkos tukang atau dengan ongkos tukang dan papan cetak. Sehingga untuk seluruh konstruksi dapat
mencapai harga Rp. 65.000.000.-.
Untuk bak tampung ukuran yang sama terdiri dari bata lockbrick, maka dibutuhkan sebanyak 1400 buah bata
lockbrick standard. Dengan harga lockbrick per-buah Rp. 3000.- (sudah termasuk pembuatan), maka dibutuhkan
biaya sebesar Rp. 4.200.000.-. Besi yang dibutuhkan untuk perkuatan konstruksi sebanyak 10 batang atau 74 kg,
atau seharga Rp. 5.500.000.-. Untuk seluruh konstruksi dapat mencapai harga Rp. 15.000.000.-, atau seharga 25%
dari harga konstruksi konvensional.
Penerapan sistem lockbrick pada bak tampung air pada asrama putri Divina Providentia, Kupang diperlihatkan
seperti dalam Gambar 10.

Gambar 10. Pemasangan balok sloof penguat lantai dan dinding bak tampung

AIR - 24
Penyelesaian konstruksi bak tampung air hujan ini disyaratkan agar kedap air, maka digunakan bahan semen dengan
cairan khusus yang membentuk lapisan kedap air, antara lain seperti pelapis anti bocor yang elastis dan digunakan
pada suatu permukaan agar tahan air dan tidak bocor atau merembes, produksi Sikka, seperti dalam Gambar 11.
Pelapis anti bocor ini sekaligus menutup permukaan dinding bata bertautan atau lockbrick pada bagian yang
bersentuhan dengan air. Sedangkan penyelesaian penutup bak, apabila dikehendaki dari bahan beton bertulang,
maka dibuat secara konvensional, dengan memanfaatkan struktur bondex atau combidex pada struktur beton, seperti
ditunjukkan dalam Gambar 12.

Gambar 11. Sikka, lapisan mortar kedap air

Gambar 12. Bahan bondex dan combidex untuk pelat penutup bak tampung air hujan

4. KESIMPULAN
Kegunaan dan kesederhanaan sistem lock-brick ini, baik dalam proses pembuatannya, penyusunan konstruksi
maupun operasi dan pemeliharaannya, mudah dilakukan secara mandiri, sehingga menjadikan sistem lock-brick ini
dapat mendukung pembangunan infrastruktur dengan biaya rendah dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
Anis Rahmawati, 2014. Lockbrick Moduler Sebagai Inovasi Material Dinding Bangunan Rumah Tinggal. Penelitian
Ristekdikti. http://journals.ums.ac.id/ index.php/sinektika/issue/download/258/9 [diakses tanggal 26Mei 2017]
Daniel Hartanto dan Susilawati, 2002. Pembangunan Rumah Sederhana di Pemukiman Pedesaan. Laporan
Penelitian Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang.
Daryanto-Susilawati-Budi Setiadi, 1996. Pengujian Material Bahan Bangunan Untuk Bata Bertautan (Lock Brick).
Laporan Penelitian Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang.
Gatot Suharjanto, 2011. Bahan Bangunan Dalam Peradaban Manusia: Sebuah Tinjauan Dalam Sejarah Peradaban
Manusia. Humaniora Vol.2 No.1 April 2011: 814-825. http://journal.binus.ac.id/index.php/Humaniora/
article/view/3100 [diakses tanggal 26 Mei 2017]
M. Khasani, dkk., 2013. Perancangan Komponen Prapabrikasi Rumah Tinggal Tumbuh. Jurnal Pendidikan Teknik
Bangunan Vol 1, No 01 (2013). http://www.jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/ptb/article/view/1375 [diakses
tanggal 26 Mei 2017]

AIR - 25
Simion Hosea Kintingu, 2009. Design Of Interlocking Bricks For Enhanced Wall Construction Flexibility,
Alignment Accuracy And Load Bearing. Disertasi. https://wrap.warwick.ac.uk/2768/1/WRAP_THESIS
_Kintingu_2009.pdf [diakses tanggal 26 Mei 2017]
Sri Sumarni, dkk., 2011. Pengembangan Mesin Pencetak Segmen Sloof dan Balok Moduler Rumah Sederhana
Tumbuh Tahan Gempa (RT2G). draft artikel ilmiah. http://lppm.uns.ac.id/kinerja/files/pemakalah/lppm-
pemakalah-2011-0308201380248.pdf [diakses tanggal 25 Mei 2017]
Susilawati, 2014. Inovasi Teknologi Keairan yang Berkelanjutan Pengelolaan Air Hujan Lingkup Rumah Tangga.
Prosiding PIT-HATHI 31, Hal. 51-62. ISBN 978- 979- 98805-7-4, Padang 2014.
Susilawati, 2016a. System-Trap-Rainwater Engineering and Lock-brick Technology in Household Scope to Improve
Quality of Life. ARPN Journal of Engineering and Applied Sciences Vol. 11/No.11/June 2016, ISSN 1819-
6608.
Susilawati, 2016b. Rainwater Management for Agriculture and Life in The Household Scale. Ciencia E Tecnica
Vitivinicola Vol.31 No.2, Feb. 2016. Page: 32-40, ISSN: 0254-0223.
Susilawati, 2016c. Model Desain Prototipe Kombinasi Jebakan Air Berantai dengan Rumput Vetiver untuk
Mengatasi Permasalahan Sumber Daya Air pada Pulau Kecil Daerah Kering Indonesia. Laporan Akhir
Penelitian Hibah Bersaing

AIR - 26
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

ANALISIS JENIS LUBANG RESAPAN BIOPORI SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN


INFILTRASI PADA LAHAN KAMPUS UNIVERSITAS TEUKU UMAR

Muhammad Ikhsan1, Meidia Refiyanni2, dan Teuku Rizkika Agusti3

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Teuku Umar, Jl. Kampus Alue Peunyareng Meulaboh
Email: mikhsanrustam@gmail.com
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Teuku Umar, Jl. Kampus Alue Peunyareng Meulaboh
Email: refiyannim@gmail.com
3
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Teuku Umar, Jl. Kampus Alue Peunyareng Meulaboh
Email: teukuariskiy@gmail.com

ABSTRAK
Perubahan tata guna lahan dan berkurangnya lahan terbuka di kampus UTU diperkirakan dapat
mengakibatkan mengecilnya air hujan yang terinfiltrasi dan menyebabkan meningkatnya aliran
permukaan (surface runoff). Bertambah besarnya aliran permukaan ini dapat menyebabkan dimensi
saluran drainase yang telah ada tidak mampu menampung limpasan langsung air hujan yang ada dan
terjadi banjir genangan. Oleh sebab itu, agar tidak terjadi banjir genangan ini, perlu upaya
memperbesar air hujan yang terinfiltrasi antara lain dengan metode Lubang Resapan Biopori (LRB).
LRB adalah metode resapan air yang ditujukan untuk mengatasi genangan air dengan cara
meningkatkan daya resap air pada tanah, peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan
membuat lubang pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan
kompos. Sampah organik yang akan digunakan adalah sampah sayuran, kulit buah dan sabut kelapa.
Sampah organik yang ditimbun pada lubang ini kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang
seterusnya akan membentuk pori-pori atau terowongan dalam tanah (biopori) yang dapat
mempercepat resapan air ke dalam tanah secara horizontal. Dari analisis data hasil laju resap LRB di
dapat hasil resapan air yang berbeda-beda antara tiap jenis sampah. LRB yang lebih besar dalam
meresapkan air limpasan berdasarkan variasi umur 21 hari yaitu LRB jenis kulit buah. Hal ini dapat
disebabkan aroma kulit buah yang sangat kuat dan berasa manis sehingga mampu menarik lebih
banyak mikroba atau hewan pengurai lain seperti cacing, semut, rayap, dan sebagainya. Jumlah
LRB yang dihasilkan untuk luasan lahan terbangun pada UTU yaitu seluas ± 20.000 m2, yaitu
sebanyak 586 buah LRB.
Kata kunci: Infiltrasi, LRB,Sampah Organik, UTU

1. PENDAHULUAN
Perubahan tata guna lahan dan berkurangnya lahan terbuka di kampus UTU diperkirakan dapat mengakibatkan
mengecilnya air hujan yang terinfiltrasi dan menyebabkan aliran permukaan bertambah besar. Bertambah besarnya
aliran permukaan ini dapat menyebabkan dimensi saluran drainase yang telah ada tidak cukup lagi sehingga air
melimpas dan terjadi banjir genangan. Oleh sebab itu, agar tidak terjadi banjir genangan ini, perlu upaya
memperbesar air hujan yang terinfiltrasi antara lain dengan Lubang Resapan Biopori (LRB).
Lubang Resapan Biopori (LRB) adalah metode resapan air yang ditujukan untuk mengatasi genangan air dengan
cara meningkatkan daya resap air pada tanah, peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan membuat
lubang pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang
akan digunakan adalah sampah sayuran, kulit buah dan sabut kelapa. Sampah organik yang ditimbun pada lubang
ini kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang seterusnya akan membentuk pori-pori atau terowongan dalam
tanah (biopori) yang dapat mempercepat resapan air ke dalam tanah secara horizontal.
Beberapa teknologi peresapan air ke dalam tanah seperti kolam resapan (infiltration basin), parit resapan
(infiltration trench), dan sumur resapan (french drain) sudah dikenal masyarakat. Namun, teknologi peresapan air
tersebut belum dapat diterapkan secara meluas karena berbagai alasan, antara lain memerlukan tempat yang relatif
luas, waktu yang relatif lama, dan biaya yang relatif mahal. Dengan demikian, masih perlu dikembangkan lagi
alternatif teknologi peresapan air yang lebih tepat guna pada lahan disekitar kampus Universitas Teuku Umar, yang
tidak perlu lahan luas dan waktu pembuatan yang lama, mudah dibuat dan dipelihara dengan biaya lebih murah,
serta lebih ramah lingkungan. Teknologi peresapan air hujan tersebut adalah Model Peresapan Air Hujan dengan

AIR - 27
menggunakan Metode Lubang Resapan Biopori (LRB). Lubang resapan biopori (LRB) dikembangkan atas dasar
prinsip ekohidrologis, yaitu dengan memperbaiki kondisi ekosistem tanah untuk perbaikan fungsi hidrologis
ekosistem tersebut. Pada penelitian ini akan menggunakan 3 jenis sampah organik pada 3 lubang resapan air.

2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Hujan adalah bentuk presipitasi yang berbentuk cairan yang turun sampai ke bumi. Presipitasi adalah proses
pengembunan di atmosfer. Jadi, proses terjadinya air hujan adalah jalannya bentuk presipitasi berbentuk cairan yang
turun sampai ke bumi. Hujan terbentuk apabila titik-titik air yang terpisah dari awan jatuh ke bumi. Sebelum
terjadinya hujan, pasti ada awan karena awan adalah penampung uap air dari permukaan bumi. Air yang ada di
permukaan bumi baik laut, sungai atau danau menguap karena panas dari sinar matahari. Uap air ini akan naik dan
menjadi awan. Awan yang mengandung uap air ini akan terkumpul menjadi awan yang mendung (Harto, 2000).
Lubang resapan biopori
Menurut Brata (2008), lubang resapan biopori (LRB) merupakan lubang berbentuk silindris berdiameter sekitar 10
cm yang digali di dalam tanah. Kedalamannya tidak melebihi muka air tanah, yaitu sekitar 100 cm dari permukaan
tanah. LRB dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan air. Air tersebut meresap melalui biopori
yang menembus permukaan dinding LRB ke dalam tanah di sekitar lubang. Dengan demikian, akan menambah
cadangan air dalam tanah serta menghindari terjadinya aliran air di permukaan tanah. Gambar lubang resapan
biopori seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1: Lubang resapan biopori


Sumber: Brata, 2008.

Brata (2008), menyebutkan peresapan air ke dalam tanah dapat diperlancar dengan adanya biopori yang dapat
diciptakan oleh fauna tanah dan akar tanaman. Untuk menyediakan lingkungan yang kondusif bagi penciptaan
biopori di dalam tanah, LRB perlu diisi dengan sampah organik sebagai sumber makanan bagi biodiversitas tanah.
Adanya LRB dapat mempercepat peresapan air hujan dan mengatasi sampah organik sehingga dapat mencegah
timbulnya genangan air dan banjir, serta menjauhkan dari bencana erosi dan longsor. Selain itu, sampah organik
yang ditimbun di dalam lubang juga dapat dijadikan sebagai kompos, sekaligus meningkatkan kesuburan tanah serta
dapat meningkatkan cadangan air bersih (Brata, 2008).
Lubang resapan biopori adalah teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk mengatasi banjir dengan cara,
(Brata, 2008):
1. meningkatkan kapasitas infiltrasi;
2. mengubah sampah organik menjadi kompos dan mengurangi emisi gas rumah kaca;
3. memanfaatkan peran aktivitas fauna dan akar tanaman, dan mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh genangan
air seperti penyakit demam berdarah dan malaria.
Lokasi pembuatan Lubang Resapan Biopori (LRB) harus benar-benar diperhatikan. Walaupun diameternya cukup
kecil bila dibandingkan dengan sumur resapan, tetapi lokasi lubang tidak boleh dibuat di sembarang tempat. Selain
harus indah dilihat, LRB pun harus ditempatkan di lokasi yang dilalui aliran air serta tidak membahayakan bagi

AIR - 28
manusia dan hewan peliharaan. LRB juga dapat dibuat untuk membuang air hujan, di dasar alur yang dibuat
disekeliling batang pohon, atau batas taman (Brata, 2008).
Jumlah LRB yang akan dibuat sebaiknya disesuaikan dengan luasan tanah yang ada. Jumlah LRB pada setiap luasan
lahan bisa dihitung berdasarkan rumus berikut (Brata, 2008):

(2.1)

Debit banjir rencana

Debit banjir rencana adalah debit maksimum yang akan dialirkan oleh saluran drainase untuk mencegah terjadinya
genangan. Metode untuk memperkirakan laju aliran puncak yang umum digunakan adalah Metode Rasional USSCS
(1973), namun penggunannya terbatas untuk DAS dengan ukuran kecil, yaitu kurang dari 300 ha (Suripin, 2004).
Untuk penelitian drainase perkotaan sering digunakan Rumus Rasional Modifikasi seperti berikut (Subarkah, 1980):
(2.2)
Dengan:
Q: debit limpasan (m3/dtk);
C: koefisien pengaliran/limpasan;
I: intensitas curah hujan (mm/jam);
A: luas daerah pengaliran (km2).

Koefisien limpasan

Koefisien limpasan adalah perbandingan antara jumlah air hujan yang mengalir atau melimpas di atas permukaan
tanah (surface run-off) dengan jumlah air hujan yang jatuh dari atmosfer atau dengan kata lain nisbah antara puncak
aliran permukaan terhadap intensitas hujan.
Suripin (2004) menyebutkan faktor utama yang mempengaruhi koefisien limpasan adalah laju infiltrasi tanaman
penutup tanah dan intensitas hujan. Permukaan kedap air seperti aspal dan atap bangunan, akan menghasilkan aliran
hampir 100% setelah permukaan menjadi basah.
Intensitas hujan
Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Makin singkat hujan berlangsung
intensitasnya cenderung semakin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin besar pula intensitasnya. Apabila
data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian, maka intensitas hujan dapat dihitung
dengan rumus Mononobe seperti berikut (Suripin, 2004)

(2.3)

Dengan :
I : intensitas hujan (mm/jam);
t : lama hujan (jam);
: curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) (mm).
Hujan rencana

Perhitungan curah hujan rencana dapat dilakukan dengan analisis statistik yaitu dengan menghitung parameter
statistik dari data yang dianalisis. Curah hujan rencana adalah curah hujan terbesar tahunan di dalam suatu daerah
dengan kala ulang tertentu, yang dipakai sebagai dasar perhitungan penelitian suatu dimensi bangunan (Harto,
2000).
Penentuan jenis distribusi
Triatmodjo (2008) menyebutkan penentuan jenis distribusi yang sesuai dengan data dilakukan dengan mencocokkan
parameter statistik dengan syarat masing-masing jenis ditribusi. Untuk menentukan jenis parameter distribusi dapat
dilihat pada Tabel 1.

AIR - 29
Tabel 1 Parameter Statistik untuk Menentukan Jenis Distribusi
No. Distribusi Persyaratan
1 Normal (ẋ ± s) =68.27%
(ẋ ± 2s) = 95.44 %
Cs ≈ 0
Ck ≈ 3
2 Log Normal Cs = 1.1502
Ck = 5.4412
3 Gumbel Cs = 1.14
Ck = 5.4
Log Pearson
4 Selain dari nilai di atas
III
Sumber: Triatmodjo, 2008

3. METODE PENELITIAN

Pengumpulan data
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah ukuran dimensi LRB dan proses pembuatan LRB, peta tata
guna lahan dan data curah hujan yang merupakan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah pemilihan jenis
distribusi curah hujan, curah hujan rencana dan debit banjir rencana.

Ukuran dimensi lubang resapan biopori

Lubang resapan biopori sebaiknya berdiameter 10 cm dengan kedalaman lubang 80 - 100 cm. Pada penelitian ini
LRB menggunakan 3 jenis sampah organik yang berbeda, yaitu sabut kelapa, sayur-sayuran, dan kulit buah. Data ini
digunakan untuk menganalisis laju resapan air pada tiap jenis LRB.
- Alat – alat yang digunakan dalam pembuatan lubang resapan biopori (LRB):
1. Bor biopori
2. Sampah organik (sayuran busuk, kulit buah dan sabut kelapa)
3. Kawat jaring
4. Wadah untuk tanah
5. Gayung dan timba
6. Pipa PVC 3 inch

- Proses pembuatan lubang resapan biopori (LRB) sebagai berikut:


a. Siram dengan sedikit air bagian tanah yang akan dibor, agar tanah menjadi lunak dan tidak melekat saat
pengeboran.
b. Buat lubang silindris secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10 cm. Kedalamannya sekitar 80 -
100 cm atau sampai melampaui muka air tanah jika dibuat tanah yang mempunyai permukaan air dangkal.
c. Putar setang bor biopori searah jarum jam sambil ditekan, setelah mata bor terisi dengan tanah, tariklah bor
biopori keluar
d. Lanjutkan kembali mengebor sampai kedalaman yang diinginkan 40, 60, 80 dan 100 cm.
e. Perkuat mulut LRB dengan pipa.
f. Isi lubang dengan sampah organik yang berasal dari sampah dapur, dan sisa-sisa tanaman pada ketiga LRB.
g. Sampah organik perlu ditambahkan jika isi lubang sudah berkurang atau menyusut akibat proses pelapukan.

Data curah hujan

Data curah hujan diperlukan untuk mendapatkan curah hujan rencana yang kemudian hujan rencana ini digunakan
untuk mendapatkan debit banjir rencana. Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan harian
maksimum tahunan dengan panjang pencatatan selama 10 tahun yaitu mulai tahun 2000 hingga tahun 2009 hasil
pencatatan stasiun di BMKG Cut Nyak Dhien, Aceh Barat.

AIR - 30
Peta tata guna lahan

Pemanfaatan lahan di suatu daerah perkotaan merupakan salah satu parameter utama penyebab terjadinya genangan.
Peta tata guna lahan dapat digunakan untuk menentukan koefisien aliran (C). Peta tata guna lahan diperoleh dari
Bappeda Kota Meulaboh.
Analisis data
Analisis data meliputi kegiatan-kegiatan menganalisis data penentuan jumlah lubang resapan biopori, debit banjir
rencana dan pemilihan jenis distribusi curah hujan.

Jumlah lubang resapan biopori

Untuk menentukan jumlah lubang resapan biopori yang ideal pada kawasan Fakultas Teknik UTU dilakukan
analisis mencari intensitas hujan luas bidang kedap dan laju resapan air perlubang pada persamaan 2.1.
Debit banjir rencana
Penentuan debit banjir rencana dilakukan dengan cara menganalisis debit Q limpasan menggunakan persamaan 2.2
Setelah dihitung Q limpasan selanjutnya dihitung koefisien pengaliran/limpasan dan intensitas hujan dengan
menggunakan persamaan 2.3. dengan cara menganalisis curah hujan maksimum dalam setahun.
Pemilihan jenis distribusi curah hujan

Pemilihan jenis distribusi curah hujan akan ditentukan dengan mecocokkan parameter statistik dengan syarat
masing-masing distribusi. Tabel parameter statistik untuk penentuan jenis ditribusi dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Halaman 13. Penentuan jenis distribusi mengikuti distribusi Normal dan Log Normal, distribusi Gumbel dan
distribusi Log Pearson III berdasarkan perhitungan yang di tunjukkan pada persamaan 2.4 sampai 2.8. Halaman 8
dan 11. Berdasarkan hasil perhitungan jenis distribusi hujan, curah hujan rencana dihitung menurut jenis distribusi
yang terpilih.
Tahapan pelaksanaan penelitian
Tahapan-tahapan pelaksanaan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan data primer dan data sekunder.
2. Menentukan lokasi pembuatan LRB.
3. Melakukan pembuatan LRB sebanyak 9 lubang selama 2 hari.
4. Memeriksa kondisi LRB dalam jangka waktu 7,14 dan 21 hari.
5. Memeriksa kondisi sampah organik pada 7 hari, jika sudah terjadi pembusukan maka akan diisi kembali
sampah organic lain.
6. Mengolah data hasil LRB yang didapat selama 7,14 dan 21 hari.
7. Mengolah data curah hujan bulanan maksimum selama periode 10 tahun untuk mendapatkan hujan selama 24
jam.
8. Menghitung Q debit banjir puncak akibat hujan berdasarkan pengaruh tata guna lahan dengan Metode
Rasional.
9. Menghitung data curah hujan maksimal kemudian diturunkan dengan Mononobe.
10. Menggambar kurva IDF berdasarkan data-data yang telah didapat.
11. Setelah nilai kedua data di dapat akan ditentukan jumlah LRB yang dibutuhkan pada kawasan Fakultas
Teknik UTU untuk mencegah adanya genangan.
12. Jika jumlah LRB telah diktetahui dan dari jumlah LRB yang ditentukan sanggup mengurangi genangan maka
penelitian ini dianggap selesai.

4. HASIL

Penggunaan tataguna lahan

Universitas Teuku Umar mempunyai luas 1,098,948.89 m2. Oleh karena itu kampus UTU dibagi menjadi beberapa
wilayah salah satunya wilayah Fakultas Teknik yang rutin mengalami genangan pada saat terjadi durasi hujan dan
intensitas yang tinggi, dimana penambahan gedung infrastruktur pendukung akan mengakibatkan mengecilnya air
hujan yang terinfiltrasi dan menyebabkan air permukaan yang bertambah.

AIR - 31
Untuk menghitung aliran permukaan air hujan koefisien limpasan (C) perlu diketahui luas lokasi dan jenis
penggunaan lahan pada suatu daerah untuk dapat memperkirakan persentase jenis penggunaan lahan pada suatu
lokasi. Untuk lebih jelasnya penggunaan lahan pada kampus UTU pada wilayah Fakultas Teknik dapat dilihat pada
Tabel 2.

Tabel 2 Penggunaan lahan pada wilayah Fakultas Teknik


Persentase Luas
Jenis Daerah Coefisien (C) CxA
(%) daerah(m)
Lahan Berumput 45.000 2.622 0.1 0.26222
Jalan Aspal 10.000 0.583 0.9 0.52443
Gedung Fak.
Teknik 30.000 1.748 0.5 0.87405
Jalan batu 15.000 0.874 0.7 0.61184
Total 100.000 5.827 2.27253
C = 0.39

Analisis hidrologi
Analisis data hidrologi merupakan analisis dari data-data yang telah tersedia. Berdasarkan data tersebut maka
dilakukan analisis untuk mendapatkan hujan bulanan maksimum rata-rata dan mendapatkan nilai intensitas curah
hujan.

Curah hujan maksimum


Analisis curah hujan memerlukan data curah hujan dalam kurun waktu tertentu. Data curah hujan yang digunakan
merupakan data curah hujan dari BMKG Stasiun Cut Nyak Dhien 10 tahunan (2000 – 2009). Data curah hujan
maksimum dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Data curah hujan harian maksimum (mm/hari)


Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nov Des Max
2000 132 54 61 75 83 78 97 48 38 69 46 131 132
2001 64 89 58 78 75 39 97 92 69 58 79 57 97
2002 15 17 98 43 59 86 39 97 47 37 83 42 98
2003 96 30 96 70 49 62 131 42 85 95 101 35 131
2004 121 125 62 102 35 48 38 155 80 61 116 82 155
2005 43 73 106 83 68 37 48 46 85 53 72 56 106
2006 50 70 52 42 19 54 66 65 88 107 60 31 107
2007 39 41 31 37 50 37 60 101 35 135 42 94 135
2008 165 100 31 95 94 40 100 100 96 75 77 69 165
2009 25 63 96 107 100 66 45 59 95 45 75 26 107

Data curah hujan maksimum yang telah dianalisis dari tahun 2000-2009 sehingga bisa mendapatkan grafik tinggi
rendahnya durasi curah hujan pada 10 tahun terakhir. Perbedaan tinggi durasi hujan tiap tahun yang telah dianalisis
dapat di lihat pada Gambar 2.

Gambar 2: Grafik tinggi curah hujan maksimum

AIR - 32
Analisis intensitas curah hujan
Intensitas curah hujan adalah curah hujan per satuan waktu. Setelah dilakukan analisis curah hujan periode ulang 10
tahunan, dengan menggunakan distibusi Log Pearson III.
Dari hasil perhitungan intensitas curah hujan yang telah dilakukan sebelumnya dapat digambarkan kurva Intensitas
Durasi Frekuensi (IDF). Dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3 kurva Intensitas Durasi Frekuensi (IDF)

Analisis Lubang Resapan Biopori (LRB)


Lokasi pembuatan LRB dilakukan di depan gedung Fakultas Teknik yang berada di atas lahan kampus UTU,
pembuatan LRB dilakukan di 3 lokasi tetapi salah satu lokasi tidak dapat digunakan karena limpasan dan genangan
yang tinggi, oleh karena itu hanya 2 lokasi yang dilakukan pembuatan LRB, dimana masing-masing lokasi
pembuatan dibuat 3 lubang berbentuk silinder dengan cara menggali didalam tanah menggunakan alat bor manual,
berdiameter mata bor 10 cm dan panjang 80-100 cm, dan jarak antar LRB 100 cm, kemudian diberi sampah organik.

Analisis lubang resapan biopori (LRB) pada lokasi I


Dari pengamatan yang di dapat volume pada minggu pertama sayur 0.0063 lt/dtk, sabut kelapa 0,0067 lt/dtk dan
kulit buah 0.0071 lt/dtk pada minggu kedua sayur 0.0055 lt/dtk, sabut kelapa 0.0048, dan kulit buah 0.0067 dan
pada minggu ketiga sayur 0.0038 lt/dtk, sabut kelapa 00.0029 lt/dtk dan kulit buah 0.0063 lt/dtk, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4 Perbandingan hasil laju resap LRB pada lokasi I


Sayur Sabut Kelapa Kulit Buah
7 hari 0.0063 0.0067 0.0071
14 hari 0.0055 0.0048 0.0067
21 hari 0.0038 0.0029 0.0063

Sayur Sabut Kelapa Kulit


Buah umur sampah dalam satuan lt/dtk.
Gambar 4. Grafik perbandingan hasil resapan LRB berdasarkan

AIR - 33
Analisis lubang resapan biopori (LRB) pada lokasi II
Hasil pengamatan pada lokasi II minggu pertama di dapat volume pada sayur 0.0065 lt/dtk, sabut kelapa 0,0066
lt/dtk dan kulit buah 0.0075 lt/dtk minggu kedua sayur 0.0062 lt/dtk, sabut kelapa 0.0056, dan kulit buah 0.0063 dan
pada minggu ketiga sayur 0.0048 lt/dtk, sabut kelapa 00.0040 lt/dtk dan kulit buah 0.0062 lt/dtk, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5 Perbandingan hasil laju resapan LRB pada lokasi II


Sabut
Sayur Kulit Buah
Kelapa
7 hari 0.0065 0.0066 0.0075
14 hari 0.0062 0.0056 0.0063
21 hari 0.0048 0.0040 0.0062

Sayur Sabut Kelapa Kulit


Buahberdasarkan umur sampah (lt/dtk)
Gambar 4.3.2 Grafik perbandingan hasil laju resapan LRB

Dari data analisis hasil laju resap LRB pada dua lokasi penelitian diatas di dapat hasil resapan air yang berbeda-beda
antara tiap jenis sampah. Namun pada lokasi II juga menunjukkan LRB yang lebih besar dalam meresapkan air
limpasan berdasarkan variasi umur adalah LRB dengan umur sampah 7 hari adalah pada jenis kulit buah. Besarnya
resapan air yang didapat adalah sebesar 0,0075 lt/dtk.

Hal ini dapat disebabkan aroma kulit buah yang sangat kuat dan berasa manis sehingga mampu menarik lebih
banyak mikroba atau hewan pengurai lain seperti cacing, semut, rayap, dsb menuju sampah. Selain itu permukaan
kulit yang licin/ angka kekasarannya yang sangat kecil juga berpengaruh dalam melewatkan air menjadi semakin
mudah. Sedangkan massa sabut kelapa jauh lebih ringan/ kecil daripada sampah sayuran dalam hal ini sayur
kangkung memiliki batang yang tebal dan lebih lama dalam mengurainya.

5. KESIMPULAN

1. Intensitas curah hujan yang terjadi dengan durasi curah hujan 24 jam untuk periode ulang 10 tahunan
dengan menggunakan metode Log Pearson III adalah 21,094 mm/dtk.
2. Pengamatan pada titik lokasi 1 besarnya resapanair yang didapatkan adalah sebesar 4,085lt/dtk.
3. Pada titik lokasi 2 besarnya resapan air yang terjadi adalah sebesar 4,871 lt/dtk.
4. Jumlah LRB yang disarankan pada wilayah kampus Universitas Teuku Umar adalah sebanyak 586 LRB.
5. Perlunya peningkatan kajian, komunikasi dan sosialisasi agar LRB dapat diterapkan dengan baik dan
menyeluruh disetiap daerah yang membutuhkan.

DAFTAR PUSTAKA
Brata, K.R & Nelistya A, (2008). “Lubang Resapan Biopori”. Penebar Swadaya, Depok.
Chow, V.T., (1997). “Hidrolika Saluran Terbuka”. Terjemahan Nensi Rosalina, Erlangga, Jakarta.
Harto, S., (2000). “Analisis Hidrologi”. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Humaira, Z., (2011). “Perbedaan Dimensi Saluran Drainase Kopelma Darussalam Pada Lahan Dengan Dan Tanpa
Memanfaatkan Biopori”. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.

AIR - 34
Soemarto, C.D., (1995). “Hidrologi Teknik”. Erlangga, Jakarta.
Suripin, (2004). “Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan”. Andi, Yogyakarta.
Triatmodjo, B., (2003). “Hidraulika II”. Beta Offset, Yogyakarta
Triatmodjo, B., (2008). “Hidrologi Terapan”. Beta Offset, Yogyakarta.

AIR - 35
AIR - 36
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

EVALUASI SISTEM PEMBAGIAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI BISOK


BOKAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH

Siti Nurul Hijah1 dan Ahmadi Sahraen2

1,2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Islam Al-Azhar Mataram, Jl. Unizar No. 20 Turida Mataram
Email : sitinurulhijah@unizar.ac.id

ABSTRAK
Daerah Irigasi Bisok Bokah merupakan daerah irigasi yang mempunyai areal layanan seluas 1.255
Ha yang mencakup enam Desa terletak di Kecamatan Kopang Kabupaten Lombok Tengah. Sumber
air utama Bendung Bisok Bokah berasal dari aliran sungai Renggung Perempung dengan luas DAS
256,73 Km2. Kondisi ketersediaan air untuk irigasi pada DI. Bisok Bokah cukup baik dengan debit
andalan (Q) + 1,779 m3/dtk, namun akhir-akhir ini pendistribusian air mulai berkurang dalam
mengairi areal layanan yang ada, sehingga perlu dilakukan evaluasi pembagian air agar
mendapatkan sistem pembagian air yang optimal ditinjau dari potensi ketersediaan air dan pola
tanam yang ada di Daerah Irigasi Bisok Bokah. Analisis data curah hujan, data klimatologi, peta
rupa bumi dan pola tanam eksisting, digunakan untuk menghitung curah hujan rerata daerah, debit
andalan, evapotranspirasi, luas DAS dan kemiringan sungai serta analisa potensi kebutuhan air ideal
di Daerah Irigasi Bisok Bokah. Pengelolaan distribusi air untuk DI. Bisok Bokah dengan Pola tanam
Eksisting (Padi-Padi+ Palawija-Palawija) dilakukan perubahan pada awal musim tanam yaitu
Nopember-I, Nopember-II dan Desember-I. Sistem pembagian air irigasi yang optimal ditinjau dari
potensi ketersediaan air dan pola tanam yang ada di DI. Bisok Bokah dalam kondisi aliran air di
DAS Renggung Perempung memasuki tahun kering (kemarau) dengan Q80%, maka DI Bisok
Bokah akan melakukan sistem gilir air K1=4 kali, K2=0, K3=1 kali dan K4=19 kali, saat kondisi
normal dengan Q50%, maka DI Bisok Bokah akan melakukan sistem gilir air K1=5 kali, K2=1 kali,
K3=0 dan K4=18 kali dan saat kondisi basah (hujan) dengan Q20%, maka DI Bisok Bokah akan
melakukan sistem gilir air K1=7 kali, K2=0, K3=3 kali dan K4=14 kali.
Kata kunci : Bisok Bokah, Irigasi, Pola Tanam.

1. PENDAHULUAN
Daerah Irigasi Bisok Bokah merupakan daerah irigasi yang terletak di Kecamatan Kopang Kabupaten Lombok
Tengah, yang jaringannya mengairi sawah di beberapa desa diantaranya : Desa Bisok Bokah, Desa Jurit, Desa
Kopang Rembige, Desa Bingkok, Desa Montong Gamang, dan Desa Embung Karung. Daerah Irigasi Bisok Bokah
mempunyai areal layanan seluas 1.255 ha., dengan panjang saluran + 13.000 M1. Daerah irigasi ini dikelola oleh
Balai Pengembangan Sumber Daya Air (PSDA) Wilayah Sungai Pulau Lombok Dinas Pekerjaan Umum Provinsi
Nusa Tenggara Barat yang merupakan tingkat jaringan teknis, mengambil air untuk keperluan irigasi dari Bendung
Bisok Bokah Kecamatan Kopang Kabupaten Lombok Tengah.
Kondisi ketersediaan air untuk irigasi pada DI. Bisok Bokah cukup baik dengan debit andalan (Q) + 1,779 m3/dtk.,
namun akhir – akhir ini pendistribusian air mulai berkurang dalam mengairi areal layanan yang ada, sehingga perlu
dilakukan analisa pembagian air agar mendapatkan sistem pembagian air yang optimal ditinjau dari potensi
ketersediaan air dan pola tanam yang ada di Daerah Irigasi Bisok Bokah.
Dari beberapa permasalahan diangap sangat perlu melakukan upaya peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi
dengan menganalisa pembagian air yang optimal terutama untuk ketersediaan air di Bendung Bisok Bokah,
kebutuhan air optimal, tingkat keseimbangan air berdasarkan potensi ketersediaan air dan kebutuhan air dan sistem
pembagian air irigasi yang optimal ditinjau dari potensi ketersediaan air dan pola tanam yang ada di Daerah Irigasi
Bisok Bokah.

2. LANDASAN TEORI
Penentuan Curah Hujan
Dalam menentukan tinggi curah hujan rata-rata di atas areal tertentu dari angka-angka curah hujan di beberapa titik
pos penakar atau pencatat, dapat dilakukan dengan cara:

AIR - 37
 Cara tinggi rata-rata
Tinggi rata-rata curah hujan didapatkan dengan mengambil harga rata-rata hitung (arithmetic mean) dari
penakaran pada penakar hujan dalam areal tersebut, dengan persamaan sebagai berikut :
P1  P2  ...  Pn P
Pm  
n n (1)
dengan : Pm = tinggi curah hujan rata-rata areal, P1 = tinggi curah hujan pada pos penakar 1, P2 = tinggi curah
hujan pada pos penakar 2, Pn = tinggi curah hujan pada pos penakar n.

 Cara Polygon Thiessen


A1 . P1  A1 . P2  ...  An . Pn  AP
Pm  
A1  A2  ... An A (2)
dengan : Pm = tinggi curah hujan rata-rata areal, P1 = tinggi curah hujan pada pos penakar 1, P2 = tinggi curah
hujan pada pos penakar 2, Pn = tinggi curah hujan pada pos penakar n , A1 = luas areal untuk pos penakar 1,
A2 = luas areal untuk pos penakar 2, An = luas areal untuk pos penakar n
Penman Modifikasi
Metode Penman modifikasi sering digunakan di Indonesia untuk menghitung angka evapotranspirasi.
Data-data dari stasiun klimatologi seperti temperatur, kelembaban, kecepatan angin, lama penyinaran matahari dan
curah hujan dipakai untuk perhitungan evapotranspirasi lahan. Data stasiun yang terpakai adalah stasiun-stasiun
yang terdekat dalam lokasi pengamatan. Rumusan metode ini dapat dijabarkan dalam rumus berikut :
PET  C.(W .Rn  (1  W ). F (  ).( ea  ed ) (3)
dengan : PET = Potensi evapotranspirasi (mm/hari), W = Faktor pengaruh radiasi pada PET, Rn = Jumlah radiasi yang
setara dengan evapotranspirasi, F() = Faktor pengaruh angin, ea = Tekanan uap jenuh (mbar), ed = Tekanan uap di
udara yang sebenarnya (mbar), C = Faktor koreksi karena pengaruh kondisi cuaca siang dan malam hari.

Langkah–langkah perhitungan Evapotranspirasi potensial dengan metode Penman adalah sebagai berikut :
(1) Hitung/cari data suhu rata-rata setengan bulanan (T = °C dari data MET meteorologi)
(2) Hitung tekanan uap jenuh (ea = mbar, dari Tabel)
(3) Hitung kelembaban relatif rata-rata (Rh = %, dari data MET)
(4) Hitung tekanan uap aktual (ed = mbar ((2) x (3)/100))
(5) Hitung Defisit tekanan uap (ea-ed = mbar)
(6) Hitung kecepatan angin (U = km/jam, dari data MET)
(7) Hitung fungsi angin (f(U) = 0,27 x (1 + (6)/100))
(8) Hitung radiasi matahari (Ra = mm/hari, dari tabel)
(9) Hitung lama penyinaran matahari maksimum (N = jam/hari, dari data MET)
(10) Hitung rata-rata lama penyinaran matahari (n = jam/hari, dari data MET)
(11) Hitung radiasi gelombang pendek dari luar (Rs = mm/hari ((8) x (0,25 + (0,5 x (10)/(9)))
(12) Hitung Rnl berdasarkan suhu rata-rata (Rnl = mm/hari, dari tabel)
(13) Hitung Rnl berdasarkan ed ( Rnl = mm/hari, dari tabel)
(14) Hitung n/N (n/N = jam/hari ((10) / (9))
(15) Hitung Rnl berdasarkan n/N (Rnl = mm/hari, dari tabel)
(16) Hitung radiasi gelombang panjang netto (Rnl = mm/hari, ((12) x (13) x (16))
(17) Hitung jumlah radiasi netto (Rn = mm/hari ((0,75 x (11)) - (16))
(18) Hitung faktor W berdasarkan suhu dan elevasi (W = baca dari tabel)
(19) Hitung kelembaban relatif maksimum (Rh maks = %, dari data MET)
(20) Hitung kecepatan angin rata-rata (U siang = m/det, dari data MET)
(21) Hitung rasio U siang dan U malam (Us/Um = dari data MET)
(22) Hitung faktor penyesuaian (c = baca dari (16), berdasarkan (20) dan (21)
(23) Hitung Evapotranspirasi potensial (ETO = mm/hari ((22) x ((19) x (17) + (1-(19)) x (7) x (5))
(24) Hitung Evapotranspirasi potensial (ETO = mm/bulan dari (23))

AIR - 38
Metode FJ. MOCK
Model pendekatan inflow secara teoritis FJ. Mock dapat digunakan untuk mengetahui besarnya limpasan permukaan
(surface run off) akibat curah hujan. Model F.J Mock secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
SMS  ISM  R *  E (4)
WS  ISM  R  E  SMC (5)
G stor( t )  G stor( t 1 xRC  0,5(1  RC ) xINFL
(6)
Qbase  INFL  G stor( t )  G stor( t 1)
(7)
Qdirect  WSx(1  IF ) (8)
Qstorm  RxPF (9)
Qtotal  Qbase  Qdirect  Qstorm # (10)
dengan : SMS = kelembaban tanah (%), ISM = kelembaban tanah awal (%), R = curah hujan bulanan DAS (mm), E =
peguapan bulanan (mm), SMC = kapasitas kelembaban tanah, IF = faktor Infiltrasi, RC = konstanta aliran resesi, PF =
koefisien limpasan, INFL = infiltrasi (mm), Gstor(t-1) = penampungan air tanah pada akhir periode (mm), Gstor(t) =
penampungan tanah pada awal periode (mm), Qbase = aliran dasar (m3/dt), Qdirect = aliran permukaan(m3/dt),
Qstorm = aliran limpasan (m3/dt), Qtotal = aliran total(m3/dt).

Evapotranspirasi yang sebenarnya dihitung dengan :


E sesungguhnys  E p (m / 20)(18  n)
(11)
dengan : m = prosen luas tanah yang tidak tertutup vegetasi, n = jumlah hari hujan.
Perhitungan Kebutuhan Air
Perhitungan kebutuhan air irigasi didasarkan pada keseimbangan air yang terjadi pada suatu lahan irigasi. Agar
terjadi keseimbangan air, maka pada lahan irigasi harus terjadi keadaan sebagaimana persamaan berikut ini :
IR = ( ET + Pd + P & I ) - R (12)
dengan : IR = kebutuhan air irigasi, ET = kebutuhan air tanaman, Pd = pengolahan lahan, P = perkolasi, R = curah
hujan efektif

- Penyiapan Lahan
Air diperlukan selama penyiapan lahan untuk mempermudah pembajakan dan menyiapakan kelembaban tanah
guna pertumbuhan tanaman. Untuk produksi padi, perhitungan air irigasi selama penyiapan lahan didasarkan
pada Metode Van de Goor/Zijlstra (1968). (KP-Penunjang, 1986, Standar Perencanaan Irigasi, hal. 5).
IR  Me k /(e k  1) (13)
dengan : IR = kebutuhan air di sawah (mm/hari), M = 1.1ETo + P (mm/hari), merupakan kebutuhan air
puncak, Eto = evapotranspirasi potensial (mm/hari), P = perkolasi (mm/hari), k = M.T/S, T = jangka waktu
penyiapan lahan (hari), S = kebutuhan air untuk penjenuhan.

- Curah Hujan Efektif


Curah hujan efektif diperhitungkan sebesar 70% dari curah hujan andalan R80 dan R50 tengah bulanan yang
terlampaui.
1. Untuk padi : 70% . R80
2. Untuk palawija : 70% . R50

- Penggunaan Konsumtif
Penggunaan konsumtif dihitung dengan persamaan :
ETc  kc * ETo (14)
dengan : Etc = penggunaan konsumtif (mm/hari), ETo = evapotranspirasi potensial (mm/hari), dihitung dengan
motode Penman Modifikasi, Kc = koefisien tanaman, besarnya tergantung pada jenis, macam dan umur
tanaman.

AIR - 39
Potensi Ketersediaan Air
Dari potensi ketersediaan air dan kebutuhan air kemudian dibandingkan untuk mendapatkan kondisi sumberdaya air
irigasi di Daerah Irigasi Bisok Bokah dengan parameter hasil sebagai berikut :

Tabel 1. Klasifikasi neraca air berdasarkan Indeks Kebutuhan Air Irigasi

No Indeks Kebutuhan Air Irigasi Kategori


1 IKA ≤ 50% Surplus
2 50% ≤ IKA ≤ 70% Kritis
3 IKA > 70% Defisit
Sumber : NSDAD Aspek Air Permukaan Propinsi NTB

3. METODE PENELITIAN
Bagan Alir Penelitian

AIR - 40
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa Evapotranspirasi Potensial
Hasil analisa perhitungan Evapotranspirasi potensial dengan metode Penman untuk Bulan Januari I adalah sebagai
berikut :
Diketahui : Elevasi rerata Daerah Irigasi Bisok Bokah = + 515 m
Elevasi Pos Iklim CR. Kopang = + 284,96 m
1. Suhu (T) = 26,95 ˚C
2. Rh (%) = 0,91
3. = 65,81 km/hari
4. n/N (%) = 0,38
5. Tc (˚C) = T – 0,006 ( 284,96 – 515 )= 25,57 ˚C
6. U2c = × ( Elv. Rerata daerah irigasi/Elv. Sta. Klimatologi) (1/7)
= 65,81 × ( 515/284,96) (1/7) = 71,54 km/hari
7. es = 24,60 mbar
8. ea = 24,60 × 0,91Tc = 24,60 × 0,9125,57= 22,49 mbar
9. beda tekanan uap = es – ea = 24,60 – 22,49 = 2,11 mbar
10. perpindahan angin= (es-ea) x f(U) x del = 2,11 x 0,00 x 2,08 = 0,02
11. f (T) = 11,25 × 1,0133Tc = 11,25 × 1,013325,57= 15,68
12. f (u) = 0,27 = 0,00
13. f (ea) = 0,34 – 0,044 × (ea0,5) = 0,34 – 0,044 × (22,490,5)= 0,10
14. f (n/N) = 0,10 + 0,90 × ( n/Nc ) = 0,10 + 0,90 × (0,38)= 0,43
15. Ra = 924,98
16. Rs = ( Koef.a + Koef.b ) × Ra = 0,25 + 0,54 × 924,98= 406,29 mm/hari
17. Rn = ( Rns – Rn1 )
= (1 – (albedo/100)) × Rs – (f(T)×f(ea)×f(n/N))
= (1 – 0,25) × 406,29/100 – (15,68×0,10×0,43) = 0,58 mm/hari
18. c = 0,485 : (del + 0,485)= 0,19
19. angka radiasi = del/(del+c) x (Rs/58 x (1 – albeldo))
= 0,81 x (406,29/100)/58 x (1 – 0,25)= 4,26
20. Eto = angka radiasi – (radiasi gelombang panjang netto + angka perpindahan angin neto)
= 4,26 – (0,58 + 0,00)= 3,69 mm/hari
21. Eto = Eto × 15= 3,69 × 15 = 55,29 mm/1/2bulan

Demikian pula dengan perhitungan untuk bulan-bulan berikutnya, hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 2.
Evapotranspirasi potensial pada Bulan Januari I didapatkan sebesar 3,69 mm/hari. Sedangkan evapotranspirasi
potensial Bulanan pada bulan Januari I dan Januari II didapatkan nilai rata-rata sebesar 3,76 mm/ hari, perhitungan
rata-rata pada bulan lainnya dapat dilihat pada tabel 3.

AIR - 41
Tabel 2. Evapotranspirasi Potensial Setengah Bulanan DI. Bisok Bokah
Pos Iklim : CR KOPANG `
Altitude EL .(m) : 284.96 m Elevasi : 515 (average)
Latitude (deg-S) : 8.62 m Albedo : 0.25 ( r )

Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
No. Uraian
I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II
Jumlah Hari 15 16 14 14 15 16 15 15 15 16 15 15 15 16 15 16 15 15 15 16 15 15 15 16

1 Temperatur, t(a) (C) 26.95 27.18 26.91 26.63 26.64 27.43 27.55 27.51 27.27 27.24 26.91 26.44 26.45 26.74 26.28 27.13 26.91 27.41 27.57 28.35 28.03 27.93 26.85 27.55
2 Kecepatan Angin, U (km/hr) 65.81 51.11 67.52 55.77 47.10 38.52 30.91 29.71 28.55 26.73 31.92 33.06 31.84 36.11 42.05 37.93 40.71 41.79 42.20 35.11 30.40 30.30 38.29 53.26
3 Temperatur terkoreksi, t(c) (C) 25.57 25.80 25.53 25.25 25.26 26.05 26.17 26.13 25.89 25.86 25.54 25.06 25.07 25.36 24.90 25.76 25.53 26.04 26.19 26.97 26.66 26.55 25.47 26.17
4 Kelembaban relatif, RH 0.91 0.95 0.91 0.91 0.95 0.95 0.95 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94 0.95 0.96 0.95 0.96 0.95 0.95 0.95 0.95 0.94 0.94 0.91 0.94
5 Lama penyinaran, n/N 0.38 0.40 0.41 0.43 0.42 0.46 0.50 0.57 0.50 0.45 0.44 0.42 0.47 0.56 0.59 0.61 0.59 0.60 0.58 0.58 0.49 0.37 0.35 0.33
6 Kecepatan angin terkoreksi, Uc (km/hari) 71.54 55.55 73.40 60.62 51.20 41.87 33.60 32.30 31.04 29.05 34.69 35.93 34.61 39.25 45.71 41.23 44.25 45.43 45.88 38.16 33.05 32.93 41.62 57.90

7 Tekanan uap jenuh,es(mbar) 24.60 24.94 24.55 24.14 24.15 25.32 25.51 25.44 25.08 25.03 24.55 23.86 23.87 24.30 23.62 24.88 24.55 25.30 25.53 26.75 26.26 26.10 24.46 25.51
8 Tekanan uap jenuh aktual, ea(mbar) 22.49 23.65 22.45 22.03 22.92 24.11 24.10 23.96 23.57 23.50 23.15 22.39 22.60 23.21 22.37 23.79 23.26 24.07 24.16 25.46 24.66 24.53 22.26 24.07
9 Beda tekanan uap,es-ea(mbar) 2.11 1.30 2.10 2.10 1.23 1.21 1.40 1.48 1.51 1.53 1.40 1.47 1.27 1.08 1.25 1.09 1.29 1.22 1.37 1.29 1.61 1.57 2.20 1.44
10 Fungsi kecepatan angin, f(U) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
11 Konstanta kemiringan tekanan uap, del 2.08 2.09 2.07 2.05 2.05 2.11 2.12 2.11 2.10 2.10 2.07 2.04 2.04 2.06 1.96 2.09 2.07 2.11 2.12 2.17 2.15 2.14 2.07 2.12
12 Angka perpindahan angin (Aerodynamic term) 0.02 0.01 0.02 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.01 0.00 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.01
13 Radiasi extra terrestial, Ra (mm/hari) 924.98 924.98 923.49 923.49 891.00 891.00 846.76 846.76 748.02 748.02 705.09 705.09 721.40 721.40 782.27 782.27 785.87 785.87 903.56 903.56 918.04 918.04 928.22 928.22
14 Radiasi matahari, Rs (mm/hari) 406.29 417.21 422.38 430.76 409.12 428.04 423.54 453.44 372.23 355.21 330.42 323.25 350.07 380.95 424.89 435.79 429.97 431.37 487.15 487.91 456.49 399.75 393.68 387.20

15 Radiasi Gelombang panjang


a. f (t) pada T 15.68 15.80 15.67 15.53 15.53 15.92 15.97 15.95 15.85 15.83 15.67 15.43 15.44 15.58 15.85 15.78 15.67 15.91 15.98 16.29 16.16 16.12 15.64 15.97
b. f (ea) pada ea 0.10 0.10 0.11 0.11 0.10 0.09 0.09 0.09 0.10 0.10 0.10 0.11 0.10 0.10 0.11 0.09 0.10 0.09 0.09 0.08 0.09 0.09 0.11 0.09
c. f (n/N) pada n/N 0.43 0.44 0.45 0.46 0.45 0.47 0.49 0.52 0.49 0.47 0.46 0.45 0.48 0.52 0.53 0.54 0.54 0.54 0.53 0.53 0.49 0.43 0.42 0.41
16 del / (del + c) 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.80 0.81 0.81 0.81 0.81 0.82 0.82 0.82 0.81 0.81
17 c / (del + c) 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.20 0.19 0.19 0.19 0.19 0.18 0.18 0.18 0.19 0.19
18 Angka Radiasi 4.26 4.38 4.43 4.51 4.28 4.50 4.46 4.77 3.91 3.73 3.46 3.38 3.66 3.99 4.41 4.57 4.51 4.53 5.13 5.16 4.82 4.22 4.12 4.07
19 Radiasi gelombang panjang netto 0.58 0.54 0.60 0.62 0.57 0.56 0.59 0.63 0.60 0.58 0.58 0.59 0.62 0.65 0.71 0.66 0.67 0.64 0.63 0.57 0.56 0.50 0.56 0.49
20 Angka perpindahan angin netto 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

21 Evapotranspirasi potensial, ETo(mm/hari) 3.69 3.84 3.83 3.89 3.71 3.94 3.87 4.14 3.31 3.15 2.88 2.79 3.04 3.34 3.69 3.92 3.84 3.89 4.50 4.59 4.25 3.72 3.56 3.58
22 Evapotranspirasi potensial, ETo(mm/15 hari) 55.29 61.40 53.61 54.39 55.60 63.04 58.07 62.06 49.61 50.44 43.25 41.79 45.63 53.49 55.38 62.64 57.55 58.42 67.48 73.36 63.82 55.77 53.45 57.33
Sumber : Hasil Perhitungan
Sumber : Hasil Perhitungan

Tabel 3. Evapotranspirasi Potensial Bulanan DI. Bisok Bokah

Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des

Evapotranspirasi (mm/hari) 3.76 3.86 3.82 4.00 3.23 2.83 3.19 3.80 3.87 4.54 3.99 3.57
Sumber
Sumber: Hasil Perhitungan
: Hasil Perhitungan

Analisa Ketersediaan Air


Hasil analisa ketersediaan air Metode FJ. Mock pada DI. Bisok Bokah selama 20 tahun (1996 – 2015) disajikan
pada Tabel 4.

AIR - 42
Tabel 4. Rekapitulasi Ketersediaan Air D.I. Bisok Bokah dengan Metode FJ. Mock (m3/dt)
Nama Bangunan : Bendung Bisok Bokah
2
Catchment Area : 5.1468 km
m3/dt
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nov Des
No Tahun
I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II
1 1996 0.33 0.36 0.36 0.32 0.40 0.34 0.32 0.17 0.14 0.13 0.12 0.12 0.30 0.10 0.13 0.09 0.09 0.09 0.09 0.35 0.31 0.40 0.35 0.19
2 1997 0.35 0.18 0.24 0.32 0.44 0.30 0.33 0.22 0.41 0.21 0.15 0.14 0.19 0.12 0.12 0.11 0.10 0.10 0.10 0.08 0.26 0.26 0.37 0.15
3 1998 0.27 0.29 0.30 0.30 0.44 0.35 0.31 0.30 0.34 0.44 0.31 0.30 0.40 0.22 0.16 0.14 0.15 0.15 0.18 0.37 0.31 0.28 0.44 0.31
4 1999 0.27 0.35 0.55 0.50 0.38 0.52 0.46 0.39 0.32 0.23 0.23 0.24 0.22 0.17 0.19 0.15 0.15 0.14 0.31 0.28 0.38 0.47 0.46 0.37
5 2000 0.26 0.48 0.38 0.31 0.44 0.51 0.40 0.57 0.33 0.50 0.30 0.38 0.24 0.21 0.21 0.19 0.19 0.17 0.37 0.33 0.39 0.37 0.45 0.39
6 2001 0.51 0.45 0.59 0.33 0.35 0.40 0.48 0.28 0.26 0.24 0.38 0.27 0.19 0.19 0.17 0.15 0.18 0.14 0.35 0.34 0.34 0.50 0.33 0.23
7 2002 0.37 0.43 0.37 0.29 0.35 0.28 0.19 0.18 0.15 0.14 0.13 0.12 0.12 0.11 0.10 0.09 0.09 0.10 0.11 0.07 0.16 0.19 0.12 0.08
8 2003 0.41 0.24 0.21 0.38 0.21 0.14 0.27 0.13 0.11 0.09 0.08 0.08 0.07 0.07 0.07 0.08 0.18 0.28 0.35 0.14 0.37 0.35 0.47 0.36
9 2004 0.48 0.32 0.30 0.33 0.38 0.26 0.20 0.31 0.27 0.35 0.16 0.16 0.15 0.13 0.14 0.11 0.12 0.13 0.10 0.21 0.23 0.31 0.42 0.41
10 2005 0.30 0.36 0.42 0.43 0.54 0.36 0.41 0.25 0.23 0.19 0.22 0.22 0.27 0.16 0.17 0.15 0.14 0.24 0.47 0.42 0.29 0.44 0.43 0.46
11 2006 0.56 0.44 0.48 0.60 0.52 0.45 0.44 0.60 0.53 0.38 0.31 0.38 0.26 0.24 0.22 0.20 0.20 0.19 0.19 0.15 0.22 0.19 0.43 0.28
12 2007 0.22 0.30 0.25 0.29 0.44 0.25 0.38 0.36 0.23 0.25 0.19 0.41 0.18 0.17 0.19 0.15 0.14 0.16 0.15 0.31 0.34 0.24 0.45 0.44
13 2008 0.47 0.32 0.57 0.52 0.41 0.40 0.43 0.35 0.32 0.23 0.24 0.22 0.20 0.19 0.20 0.18 0.17 0.18 0.22 0.18 0.35 0.35 0.48 0.25
14 2009 0.54 0.47 0.42 0.41 0.53 0.48 0.35 0.32 0.23 0.20 0.20 0.19 0.18 0.16 0.16 0.14 0.16 0.14 0.22 0.19 0.30 0.34 0.40 0.24
15 2010 0.22 0.21 0.20 0.19 0.20 0.14 0.13 0.12 0.15 0.19 0.14 0.09 0.23 0.11 0.11 0.33 0.43 0.27 0.30 0.22 0.16 0.20 0.34 0.31
16 2011 0.25 0.23 0.35 0.23 0.35 0.40 0.47 0.29 0.31 0.22 0.17 0.16 0.15 0.15 0.13 0.12 0.14 0.12 0.25 0.11 0.39 0.33 0.39 0.37
17 2012 0.49 0.35 0.52 0.40 0.45 0.39 0.47 0.43 0.56 0.25 0.25 0.24 0.27 0.25 0.20 0.17 0.17 0.18 0.25 0.30 0.21 0.34 0.37 0.31
18 2013 0.48 0.41 0.41 0.61 0.47 0.51 0.46 0.35 0.37 0.47 0.31 0.60 0.34 0.27 0.25 0.26 0.23 0.20 0.23 0.26 0.40 0.41 0.47 0.43
19 2014 0.50 0.37 0.31 0.37 0.37 0.33 0.27 0.36 0.22 0.23 0.20 0.18 0.32 0.18 0.16 0.15 0.14 0.13 0.12 0.11 0.45 0.21 0.45 0.41
20 2015 0.23 0.34 0.31 0.53 0.50 0.38 0.36 0.33 0.43 0.20 0.21 0.19 0.18 0.16 0.16 0.14 0.14 0.13 0.13 0.11 0.21 0.29 0.30 0.36
Rerata 0.37 0.35 0.38 0.38 0.41 0.36 0.36 0.32 0.30 0.26 0.22 0.23 0.22 0.17 0.16 0.16 0.17 0.16 0.22 0.23 0.30 0.32 0.40 0.32
Sumber : Hasil Perhitungan
Sumber : HasilModel Mock
Perhitungan

Debit Andalan
Untuk menentukan debit andalan dengan peluang keandalan 80% dan 50% dengan menggunakan metode Basic
Year. Hasil analisa dapat disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Analisa Debit Andalan DI Bisok Bokah


Nama Bangunan : Bendung Bisok Bokah
2
Catchment Area : 5.15 km
m3/dt
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nov Des
Urut Prob (%)
I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II
1 5% 0.48 0.41 0.41 0.61 0.47 0.51 0.46 0.35 0.37 0.47 0.31 0.60 0.34 0.27 0.25 0.26 0.23 0.20 0.23 0.26 0.40 0.41 0.47 0.43
2 10% 0.56 0.44 0.48 0.60 0.52 0.45 0.44 0.60 0.53 0.38 0.31 0.38 0.26 0.24 0.22 0.20 0.20 0.19 0.19 0.15 0.22 0.19 0.43 0.28
3 14% 0.26 0.48 0.38 0.31 0.44 0.51 0.40 0.57 0.33 0.50 0.30 0.38 0.24 0.21 0.21 0.19 0.19 0.17 0.37 0.33 0.39 0.37 0.45 0.39
4 19% 0.49 0.35 0.52 0.40 0.45 0.39 0.47 0.43 0.56 0.25 0.25 0.24 0.27 0.25 0.20 0.17 0.17 0.18 0.25 0.30 0.21 0.34 0.37 0.31
5 24% 0.27 0.35 0.55 0.50 0.38 0.52 0.46 0.39 0.32 0.23 0.23 0.24 0.22 0.17 0.19 0.15 0.15 0.14 0.31 0.28 0.38 0.47 0.46 0.37
6 29% 0.51 0.45 0.59 0.33 0.35 0.40 0.48 0.28 0.26 0.24 0.38 0.27 0.19 0.19 0.17 0.15 0.18 0.14 0.35 0.34 0.34 0.50 0.33 0.23
7 33% 0.30 0.36 0.42 0.43 0.54 0.36 0.41 0.25 0.23 0.19 0.22 0.22 0.27 0.16 0.17 0.15 0.14 0.24 0.47 0.42 0.29 0.44 0.43 0.46
8 38% 0.47 0.32 0.57 0.52 0.41 0.40 0.43 0.35 0.32 0.23 0.24 0.22 0.20 0.19 0.20 0.18 0.17 0.18 0.22 0.18 0.35 0.35 0.48 0.25
9 43% 0.27 0.29 0.30 0.30 0.44 0.35 0.31 0.30 0.34 0.44 0.31 0.30 0.40 0.22 0.16 0.14 0.15 0.15 0.18 0.37 0.31 0.28 0.44 0.31
10 48% 0.54 0.47 0.42 0.41 0.53 0.48 0.35 0.32 0.23 0.20 0.20 0.19 0.18 0.16 0.16 0.14 0.16 0.14 0.22 0.19 0.30 0.34 0.40 0.24
11 52% 0.50 0.37 0.31 0.37 0.37 0.33 0.27 0.36 0.22 0.23 0.20 0.18 0.32 0.18 0.16 0.15 0.14 0.13 0.12 0.11 0.45 0.21 0.45 0.41
12 57% 0.22 0.30 0.25 0.29 0.44 0.25 0.38 0.36 0.23 0.25 0.19 0.41 0.18 0.17 0.19 0.15 0.14 0.16 0.15 0.31 0.34 0.24 0.45 0.44
13 62% 0.23 0.34 0.31 0.53 0.50 0.38 0.36 0.33 0.43 0.20 0.21 0.19 0.18 0.16 0.16 0.14 0.14 0.13 0.13 0.11 0.21 0.29 0.30 0.36
14 67% 0.25 0.23 0.35 0.23 0.35 0.40 0.47 0.29 0.31 0.22 0.17 0.16 0.15 0.15 0.13 0.12 0.14 0.12 0.25 0.11 0.39 0.33 0.39 0.37
15 71% 0.48 0.32 0.30 0.33 0.38 0.26 0.20 0.31 0.27 0.35 0.16 0.16 0.15 0.13 0.14 0.11 0.12 0.13 0.10 0.21 0.23 0.31 0.42 0.41
16 76% 0.33 0.36 0.36 0.32 0.40 0.34 0.32 0.17 0.14 0.13 0.12 0.12 0.30 0.10 0.13 0.09 0.09 0.09 0.09 0.35 0.31 0.40 0.35 0.19
17 81% 0.35 0.18 0.24 0.32 0.44 0.30 0.33 0.22 0.41 0.21 0.15 0.14 0.19 0.12 0.12 0.11 0.10 0.10 0.10 0.08 0.26 0.26 0.37 0.15
18 86% 0.41 0.24 0.21 0.38 0.21 0.14 0.27 0.13 0.11 0.09 0.08 0.08 0.07 0.07 0.07 0.08 0.18 0.28 0.35 0.14 0.37 0.35 0.47 0.36
19 90% 0.22 0.21 0.20 0.19 0.20 0.14 0.13 0.12 0.15 0.19 0.14 0.09 0.23 0.11 0.11 0.33 0.43 0.27 0.30 0.22 0.16 0.20 0.34 0.31
20 95% 0.37 0.43 0.37 0.29 0.35 0.28 0.19 0.18 0.15 0.14 0.13 0.12 0.12 0.11 0.10 0.09 0.09 0.10 0.11 0.07 0.16 0.19 0.12 0.08
Rerata 0.37 0.35 0.38 0.38 0.41 0.36 0.36 0.32 0.30 0.26 0.22 0.23 0.22 0.17 0.16 0.16 0.17 0.16 0.22 0.23 0.30 0.32 0.40 0.32
Q80% 0.34 0.21 0.27 0.32 0.43 0.31 0.33 0.21 0.36 0.19 0.15 0.13 0.21 0.11 0.12 0.11 0.10 0.09 0.09 0.13 0.27 0.29 0.37 0.16
Q50% 0.52 0.42 0.37 0.39 0.45 0.40 0.31 0.34 0.23 0.22 0.20 0.19 0.25 0.17 0.16 0.15 0.15 0.14 0.17 0.15 0.37 0.28 0.43 0.33
Q20% 0.44 0.35 0.53 0.42 0.43 0.41 0.47 0.43 0.51 0.25 0.24 0.24 0.26 0.23 0.20 0.17 0.17 0.18 0.26 0.29 0.24 0.36 0.39 0.32
Sumber : Hasil Perhitungan
Sumber : Hasil Perhitungan

Analisa Kebutuhan Air


Kebutuhan air untuk DI Bisok Bokah didasarkan pada pola tanam eksisting (Padi – Padi + Palawija – Palawija) dan
ditekankan kepada pengelolaan pada tingkat distribusi air. Hal ini disebabkan karena kebiasaan pola tanam

AIR - 43
penduduk di sepanjang saluran irigasi Bisok Bokah yang cukup sulit dirubah. Perubahan yang dikedepankan adalah
awal pola tanam yaitu Nopember-I, Nopember-II dan Desember-I. Berikut rekapitulasi hasil perhitungan kebutuhan
air tanaman yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rekapitulasi Kebutuhan Air DI Bisok Bokah


dalam (lt/det/ha)
No. Setengah DR
Bulanan Nov-01 Nov-02 Dec-01 Dec-02
1 Nov-1 0.33 0.00 0.00 0.06
2 Nov-2 0.92 0.31 0.00 0.00
3 Dec-1 1.04 0.66 0.22 0.00
4 Dec-2 1.47 1.50 1.01 0.23
5 Jan-1 1.01 1.37 1.41 1.00
6 Jan-2 0.70 0.90 1.26 1.38
7 Feb-1 0.78 0.81 1.00 1.24
8 Feb-2 0.56 0.81 0.84 0.95
9 Mar-1 0.14 0.30 0.46 0.75
10 Mar-2 0.15 0.22 0.47 0.57
11 Apr-1 0.50 0.24 0.38 0.54
12 Apr-2 0.81 0.59 0.37 0.48
13 May-1 0.87 0.85 0.65 0.42
14 May-2 0.74 0.89 0.85 0.65
15 Jun-1 0.84 0.85 0.99 0.85
16 Jun-2 0.78 0.82 0.83 0.99
17 Jul-1 0.64 0.82 0.87 0.84
18 Jul-2 0.40 0.67 0.87 0.89
19 Aug-1 0.23 0.45 0.74 0.90
20 Aug-2 0.21 0.24 0.46 0.75
21 Sep-1 0.26 0.20 0.23 0.45
22 Sep-2 0.31 0.25 0.18 0.23
23 Oct-1 0.16 0.13 0.08 0.16
24 Oct-2 0.07 0.11 0.08 0.09
Maximum 1.47 1.50 1.41 1.38
Rata-rata 0.58 0.58 0.59 0.60

Sumber : Hasil Perhitungan

Kebutuhan air Daerah Irigasi Bendung Bisok Bokah maksimum didapatkan pada awal musim tanam November II
dengan nilai satuan kebutuhan air irigasi (DR) sebesar 1,50 lt/dt/ha.
Analisa Keseimbangan Air
Keseimbangan air didifinisikan sebagai perbandingan antara kebutuhan air dengan ketersediaan air. Semakin besar
ketersediaan air maka daerah irigasi tersebut mempunyai defisit air akan semakin kecil demikian juga sebaliknya.
Pada perencanaan irigasi, defisit air dapat diatasi dengan menggunakan sistem gilir air seperti yang diatur dalam
KP-01 tahun 1986.

Tabel 7. Nilai Faktor K Dalam Sistem Pemberian Air

K Nilai Pemberian Air Keterangan


0.70 – 1.25 Baik Kontinyu K1
0.50 – 0.70 Cukup Rotasi Tersier K2
0.25 – 0.50 Buruk Rotasi Sekunder K3
< 0.25 Sangat Buruk Rotasi Primer K4

Dengan perbandingan tersebut, maka keseimbangan air di Daerah Irigasi Bisok Bokah dapat dianalisa. Hasil analisa
keseimbangan air di DI Bisok Bokah dapat dilihat pada Tabel 8.

AIR - 44
Tabel 8. Hasil Analisa Keseimbangan Air DI Bisok Bokah

Kebutuhan Air Ketersediaan Air (lt/dt) Faktor K Defisit Kategori


No Periode
Irigasi (lt/dt) Q80% Q50% Q20% Q80% Q50% Q20% Q80% Q50% Q20% Q80% Q50% Q20%
1 Jan-1 1221.33 342.10 517.40 444.14 0.28 0.42 0.36 72% 58% 64% K4 K4 K4
2 Jan-2 1689.49 213.58 418.55 353.47 0.13 0.25 0.21 87% 75% 79% K4 K4 K4
3 Feb-1 1520.82 266.01 367.51 525.39 0.17 0.24 0.35 83% 76% 65% K4 K4 K4
4 Feb-2 1158.80 317.09 387.75 419.24 0.27 0.33 0.36 73% 67% 64% K4 K4 K4
5 Mar-1 917.72 427.84 452.01 433.34 0.47 0.49 0.47 53% 51% 53% K4 K4 K4
6 Mar-2 704.26 305.07 403.65 414.93 0.43 0.57 0.59 57% 43% 41% K4 K4 K4
7 Apr-1 659.43 328.45 309.79 467.66 0.50 0.47 0.71 50% 53% 29% K4 K4 K3
8 Apr-2 584.14 209.05 338.69 425.45 0.36 0.58 0.73 64% 42% 27% K4 K4 K3
9 May-1 508.48 355.73 225.79 514.01 0.70 0.44 1.00 30% 56% 0% K3 K4 K1
10 May-2 800.43 194.43 215.15 247.97 0.24 0.27 0.31 76% 73% 69% K4 K4 K4
11 Jun-1 1043.98 146.33 198.86 243.59 0.14 0.19 0.23 86% 81% 77% K4 K4 K4
12 Jun-2 1208.08 132.83 185.27 240.72 0.11 0.15 0.20 89% 85% 80% K4 K4 K4
13 Jul-1 1031.38 208.98 249.29 261.18 0.20 0.24 0.25 80% 76% 75% K4 K4 K4
14 Jul-2 1084.40 112.87 166.36 230.88 0.10 0.15 0.21 90% 85% 79% K4 K4 K4
15 Aug-1 1101.58 121.62 157.66 195.48 0.11 0.14 0.18 89% 86% 82% K4 K4 K4
16 Aug-2 915.52 107.74 146.14 168.31 0.12 0.16 0.18 88% 84% 82% K4 K4 K4
17 Sep-1 556.35 99.90 148.77 169.12 0.18 0.27 0.30 82% 73% 70% K4 K4 K4
18 Sep-2 284.93 94.27 137.01 175.50 0.33 0.48 0.62 67% 52% 38% K4 K4 K3
19 Oct-1 200.22 94.57 170.03 264.03 0.47 0.85 1.00 53% 15% 0% K4 K2 K1
20 Oct-2 106.36 134.22 150.22 293.87 1.00 1.00 1.00 0% 0% 0% K1 K1 K1
21 Nov-1 74.18 271.87 371.77 243.98 1.00 1.00 1.00 0% 0% 0% K1 K1 K1
22 Nov-2 0.00 285.88 276.64 363.79 1.00 1.00 1.00 0% 0% 0% K1 K1 K1
23 Dec-1 0.00 366.37 428.20 388.46 1.00 1.00 1.00 0% 0% 0% K1 K1 K1
24 Dec-2 286.57 157.68 325.99 318.18 0.55 1.00 1.00 45% 0% 0% K4 K1 K1
Kondisi Neraca Air : K1 4 5 7 17% 21% 29%
K2 0 1 0 0% 4% 0%
K3 1 0 3 4% 0% 13%
K4 19 18 14 79% 75% 58%
Sumber: Hasil
Sumber Perhitungan
: Hasil Perhitungan

Dengan kondisi defisit lebih dari 40% maka DI tersebut kondisinya cukup buruk dan harus mengadakan rotasi pada
saluran Primer (K4), defisit 20%-40% kondisi DI dikatakan masih buruk dan gilir air pada saluran sekunder (K3),
defisit kurang dari 20% maka DI tersebut dikatakan cukup dan kegiatan gilir hanya di saluran tersier (K2),
sedangkan untuk surplus, DI tersebut dikategorikan baik dengan pengaliran terus menerus (kontinyu) (K1).

Apabila kondisi aliran air di DAS Renggung Perempung memasuki tahun kering (kemarau) dengan Q80%, maka DI
Bisok Bokah akan melakukan sistem gilir air K1 = 4 kali, K2 = 0, K3 = 1 kali dan K4 = 19 kali, untuk kondisi aliran
air di DAS Renggung Perempung memasuki tahun normal dengan Q50%, maka DI Bisok Bokah akan melakukan
sistem gilir air K1 = 5 kali, K2 = 1 kali, K3 = 0 dan K4 = 18 kali, sedangkan untuk kondisi aliran air di DAS
Renggung Perempung memasuki tahun basah (hujan) dengan Q20%, maka DI Bisok Bokah akan melakukan sistem
gilir air K1 = 7 kali, K2 = 0, K3 = 3 kali dan K4 = 14 kali.

5. KESIMPULAN
Dari hasil analisa dan pembahasan yang dipaparkan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
a. Ketersediaan Air pada Bendung Bisok Bokah dengan keandalan 80% (Q80) maksimum terjadi pada bulan
Desember I sebesar 0,37 m3/det. Sedangkan ketersediaan air dengan keandalan 50% (Q50) ketersediaan
terbesar terjadi pada bulan Januari I sebesar 0,52 m3/det.
b. Kebutuhan air Daerah Irigasi Bendung Bisok Bokah optimum pada awal Musim Tanam November II dengan
Pola tanam Eksisting D.I Bisok Bokah didapatkan dengan nilai satuan kebutuhan air irigasi (DR) sebesar
1,50 lt/dt/ha.

AIR - 45
c. Tingkat keseimbangan air berdasarkan potensi ketersediaan air dan kebutuhan air dengan kondisi defisit lebih
dari 40% maka DI. tersebut kondisinya cukup buruk dan harus mengadakan rotasi pada saluran Primer (K4),
defisit 20%-40% kondisi DI dikatakan masih buruk dan gilir air pada saluran sekunder (K3), defisit kurang
dari 20% maka DI tersebut dikatakan cukup dan kegiatan gilir hanya di saluran tersier (K2), sedangkan untuk
surplus, DI tersebut dikategorikan baik dengan pengaliran terus menerus (kontinyu) (K1).
d. Sistem pembagian air irigasi yang optimal ditinjau dari potensi ketersediaan air dan pola tanam yang ada di
Daerah Irigasi Bisok Bokah pada kondisi aliran air di DAS Renggung Perempung memasuki tahun kering
(kemarau) dengan Q80%, maka DI Bisok Bokah akan melakukan sistem gilir air K1 = 4 kali, K2 = 0, K3 = 1
kali dan K4 = 19 kali, untuk kondisi aliran air memasuki tahun normal dengan Q50% dilakukan sistem gilir air
K1 = 5 kali, K2 = 1 kali, K3 = 0 dan K4 = 18 kali dan kondisi aliran air memasuki tahun basah (hujan) dengan
Q20%, maka akan dilakukan sistem gilir air K1 = 7 kali, K2 = 0, K3 = 3 kali dan K4 = 14 kali.

UCAPAN TERIMA KASIH


Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Universitas
Islam Al-Azhar Mataram dan Balai Informasi Sumber Daya Air (BISDA) Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan
Ruang Provinsi NTB atas bantuan dan dukungannya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pengairan Departemen PU, (1986). “Standar Perencanaan Irigasi (Bagian Penunjang,
KP 01-07”). CV. Galang Persada, Bandung.
Fuad Bustomi, (2000). Simulasi Tujuh Teknik Pemberian Air Irigasi Untuk Padi di Sawah dan Konsekuensi
Kebutuhan Air Satu Masa Tanam. Tesis Program Pascasarjana Program Studi Teknik Sipil UGM, Yogyakarta.
Fatchan Nurrochmad “Kajian Pola-Hemat Pemberian Air Irigasi” Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas
Teknik, Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika No. 2 Yogyakarta 55281
M. Nurul Huda, Donny Harisuseno, dan Dwi Priyantoro, “Kajian Sistem Pemberian Air Irigasi Sebagai Dasar
Penyusunan Jadwal Rotasi Pada Daerah Irigasi Tumpang Kabupaten Malang”. Mahasiswa Program Magister
Teknik Pengairan Universitas Brawijaya Malang.
Susi Susilawati PI, MSc.HE. “Pengelolaan Distribusi Air Untuk Irigasi Dan Pemahaman Partisipatif Kondisi
Pedesaan (Studi Kasus Daerah Irigasi Tinalun)” dibiayai oleh: lembaga penelitian-Universitas Katolik
Soegijapranata Semarang Tahun Anggaran 2001 – 2002
Sri Wigati, dan Ridwan Zahab., “Analisis hubungan debit dan kehilangan air Pada saluran irigasi tersier di daerah
irigasi punggur utara ranting dinas pengairan punggur lampung tengah” Jurusan Teknik Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1974., “Tentang Pengairan”.

AIR - 46
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

KEBUTUHAN SUMUR RESAPAN SEBAGAI KONSERVASI AIR TANAH UNTUK


BERBAGAI TIPE RUMAH

Zufrimar1

1
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Bung Hatta
Email: zufrimar_me@yahoo.com

ABSTRAK
Kejadian gempa Sumatera Barat berkekuatan 7,6 Skala Richter yang terjadi pada 30 September
2009, memberikan dampak besar bagi penduduk. Khususnya Kota Padang sebagai ibukota propinsi
yang terletak di pantai barat pulau Sumatera merupakan lokasi berpotensi tsunami. Akibat gempa
dan potensi tsunami tersebut untuk penduduk yang tinggal di tepi pantai menimbulkan dampak
psikologis. Dampak ini menimbulkan perpindahan penduduk yang sebelumnya bermukim di tepi
pantai berusaha mendapatkan rumah tinggal ke tempat yang jauh dari tepi pantai yaitu ke arah timur.
Hal ini menimbulkan perubahan tata guna lahan dimana awalnya berupa lahan pertanian dan tanah
terbuka berubah menjadi areal perumahan penduduk. Dengan banyaknya perumahan ini, air hujan
yang turun akan lebih banyak menjadi surface run-off dan sedikit yang meresap ke dalam tanah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang sumur resapan sebagai upaya konservasi air tanah
agar dapat menambah cadangan air tanah. Metode yang digunakan yaitu melakukan pengujian
perkolasi untuk mendapatkan permeabilitas tanah. Intensitas hujan diperoleh dari analisis data hujan
yang berada pada DAS Batang Kuranji yaitu Stasiun Batu Busuak, Stasiun Gunung Nago, Stasiun
Koto Tuo dan Stasiun Ladang padi dengan rentang data tahun 1994-2015. Luas atap sebagai luas
tangkapan air hujan berdasarkan tipe rumah yaitu rumah tipe 21, tipe 36, tipe 45, tipe 54, tipe 60,
tipe 70, tipe 90 dan tipe 120. Hasil pengujian perkolasi diperoleh permeabilitas tanah 3,742 cm/jam.
Hujan rancangan pada DAS Batang Kuranji untuk kala ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan 20
tahun terdistribusi normal. Kedalaman sumur resapan pada berbagai tipe rumah berkisar antara 1,0
m hingga 8,8 m. Untuk kedalaman melebihi 3 m, sumur resapan dapat dibuat paralel. Semakin luas
atap rumah akan menampung air hujan lebih banyak sehinggan volume sumur resapan juga semakin
besar.
Kata kunci: surface run-off, sumur resapan, tipe rumah.

1. PENDAHULUAN
Kejadian gempa Sumatera Barat berkekuatan 7,6 Skala Richter yang terjadi pada 30 September 2009, memberikan
dampak besar bagi penduduk. Khususnya Kota Padang sebagai ibukota propinsi yang terletak di pantai barat pulau
Sumatera merupakan lokasi berpotensi tsunami. Akibat gempa dan potensi tsunami tersebut untuk penduduk yang
tinggal di tepi pantai menimbulkan dampak psikologis. Dampak ini menimbulkan perpindahan penduduk yang
sebelumnya bermukim di tepi pantai berusaha mendapatkan rumah tinggal ke tempat yang jauh dari tepi pantai.
Menurut RTRW Kota Padang, kegiatan pengembangan permukiman terutama diarahkan ke utara dan timur untuk
mengurangi tekanan fisik dan arus lalu lintas di dan ke kawasan pusat kota yang dikeluarkan oleh Direktorat
Penataan Ruang Wilayah I (2014). Hal ini menimbulkan perubahan tata guna lahan dimana awalnya berupa lahan
pertanian dan tanah terbuka berubah menjadi areal perumahan penduduk. Perubahan ini juga dapat mengurangi
daerah resapan air hujan ke dalam tanah. Sebagian besar air hujan akan menjadi air permukaan (surface run-off),
hanya sedikit yang meresap sebagai infiltrasi akibat tutupan lahan perumahan.
Air sebagai sumber kehidupan mahkluk hidup di bumi perlu mendapatkan perhatian serius dari segi kualitas dan
kuantitas. Secara kualitas air mengalami peningkatan pencemaran oleh manusia dan secara kuantitas kebutuhan air
semakin tinggi sedangkan sumberdaya air relatif tetap sehingga tidak mencukupi. Untuk itu perlu usaha bersama
untuk melestarikan sumberdaya air tersebut secara berkelanjutan melalui kegiatan konservasi air hujan. Salah satu
usaha yang dapat dilakukan adalah menampung air hujan sebanyak-banyaknya dengan sumur resapan. Manfaat yang
dapat diperoleh dengan sumur resapan ini adalah dapat menambah kapasitas air tanah dan mengurangi limpasan
permukaan. Dengan peningkatan infiltrasi ini juga dapat menurunkan puncak banjir dan genangan air. Berdasarkan
Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Bangunan Gedung, pasal 53 ayat 2 menyatakan
bahwa “setiap bangunan gedung dan pekarangannya harus dilengkapi dengan sistem penyaluran air hujan baik

AIR - 47
dengan sistem peresapan air ke dalam tanah pekarangan dan atau dialirkan ke dalam sumur resapan sebelum
dialirkan ke jaringan drainase lingkungan” (Anonim, 2015).

2. TINJAUAN PUSTAKA
Permeabilitas tanah
Permeabilitas tanah merupakan kemampuan tanah yang dapat meloloskan air. Tanah dengan permeabilitas tinggi
dapat menaikan nilai infiltrasi sehingga menurunkan aliran permukaan. Permeabilitas juga dapat didefinisikan
sebagai sifat bahan yang memungkinkan aliran rembesan zat cair mengalir melalui rongga pori (Hardiyatmo, 2001).
Hujan DAS
Stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan dimana stasiun tersebut berada, sehingga untuk
memperoleh hujan pada suatu DAS harus diperkirakan dari titik pengukuran tersebut. Jika terdapat beberapa stasiun
hujan yang ditempatkan secara terpencar pada DAS tersebut, maka hujan DAS dapat dihitung dengan tiga metode
yaitu metode rerata aritmatik, metode poligon Thiessen dan metode isohiet. Hujan DAS tersebut merupakan hujan
rerata pada DAS yang ditinjau (Triatmodjo, 2014)
Intensitas hujan
Intensitas hujan merupakan tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Sifat umum hujan adalah makin
singkat kejadian hujan, intensitas hujannya cendrung makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi
pula intensitasnya. Hubungan antara intensitas, lama hujan dan frekuensi hujan dapat dinyatakan dalam kurva
kelengkungan hujan (IDF curve). Data yang digunakan dapat berasal dari stasiun hujan otomatis maupun stasiun
hujan harian (Suripin, 2004).
Analisis intensitas hujan berdasarkan data curah hujan otomatis dapat menggunakan persamaan menurut Talbot
(1881), Sherman (1905) dan Ishiguro (1953). Sedangkan berdasarkan data curah hujan harian, intensitas hujan dapat
menggunakan persamaan menurut Mononobe yaitu :

R 24  24  2/3
I   (1)
24  t 
dengan I = intensitas hujan (mm/jam), t = lamanya hujan (jam) dan R 24 = curah hujan maksimum harian selama 24
jam (mm).
Luas tangkapan hujan
Luas tangkapan air hujan merupakan luas atap rumah, yang dihitung berdasarkan tipe rumah. Komplek perumahan
terdiri dari beberapa tipe rumah seperti tipe 21, tipe 36, tipe 45, tipe 54, tipe 60,tipe 70, tipe 90 dan tipe 120. Tipe 21
merupakan rumah yang mempunyai luas bangunan 21 m2 yang tertutup atap bangunan. Rumah tipe ini ada yang
mempunyai luas lahan 60 m2 dan 72 m2, sehingga disebut juga rumah tipe 21/60 dan rumah tipe 21/72. Begitu juga
untuk rumah tipe-tipe lain yang secara prinsip pembedanya terletak pada luas bangunan dan luas lahan yang
menyertainya.
Debit rancangan
Untuk memperkirakan laju aliran puncak dalam menetapkan debit rancangan dapat digunakan metode Rasional.
Metode ini sangat mudah penggunaanya, namun terbatas pada DAS ukuran kecil yaitu kurang dari 300 ha
(Goldman, 1986 dalam Suripin, 2004). Persamaan metode Rasional dinyatakan dalam bentuk :
(2)

dengan Qp = laju aliran permukaan (debit) puncak (m3/detik), C = koefisien aliran permukaan (0 ≤ C ≤ 1), I =
intensitas hujan (mm/jam) dan A = luas (ha).
Sumur resapan
Menurut Sunjoto (1988) dalam Suripin (2004), volume dan efisiensi sumur resapan dapat dihitung berdasarkan
keseimbangan air yang masuk ke dalam sumur dan air yang meresap ke dalam tanah yang dapat dihitung dengan
persamaan :

(3)

AIR - 48
dengan H = tinggi muka air dalam sumur (m), F = faktor geometrik (m), Q = debit air masuk (m3/dt), T = waktu
pengaliran (detik), K = koefisien permeabilitas tanah (m/dt) dan R = jari-jari sumur (m).
Dalam SNI 03-2453-2002 tentang standar cara perencanaan sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan
termasuk persyaratan umum dan teknis mengenai batas muka air tanah (mat), nilai permeabilitas tanah, jarak
terhadap bangunan, perhitungan dan penentuan sumur resapan air hujan. Struktur tanah yang dapat digunakan harus
mempunyai nilai permeabilitas tanah ≥2,0 cm/jam. Selain itu dalam SNI 03-2459-2002 tentang spesifikasi sumur
resapan air hujan untuk lahan pekarangan, kedalaman sumur resapan maksimum adalah 3 m.

3. CARA PENELITIAN
Penelitian kebutuhan sumur resapan untuk konservasi ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer
berupa data permeabilitas tanah yang diperoleh dari pengukuran perkolasi di lokasi perumahan Kuranji. Sedangkan
data sekunder yang berasal dari instansi dinas PSDA Propinsi Sumatera Barat berupa data hujan dari stasiun hujan
harian dan peta topografi. Data hujan harian berasal dari 4 stasiun hujan yaitu stasiun hujan Koto Tuo, stasiun hujan
Batu Busuak, stasiun hujan Gunung Nago dan stasiun hujan Ladang Padi yang mempengaruhi DAS Batang Kuranji.
Dari peta topografi terdapat batas-batas DAS dan posisi 4 stasiun hujan yang mempengaruhinya yang dapat
digunakan untuk mendapatkan koefisien Thiessen dengan terlebih dahulu membuat poligon Thiessen. Curah hujan
maksimum ditentukan dari data hujan harian setiap stasiun hujan selama 22 tahun yaitu dari tahun 1994 sampai
tahun 2015. Berdasarkan nilai koefisien Thiessen dan curah hujan maksimum dapat dihitung hujan rata-rata DAS.
Analisis frekuensi dilakukan untuk untuk mengetahui kondisi hujan maksimum pada kondisi ekstrim dengan
probabilitas/kala ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, dan 20 tahun. Intensitas hujan dengan kala ulang tersebut
dihitung menggunakan metode Mononobe dan digambarkan bentuk kurva IDF. Selanjutnya debit rancangan
diperoleh dengan metode Rasional yang mempertimbangkan intensitas hujan setiap kala ulang tertentu, luas
tangkapan hujan dan koefisien aliran. Kedalaman sumur resapan untuk setiap luas tangkapan dihitung menggunakan
metode Sunjoto.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Permeabilitas tanah
Pengujian permeabilitas tanah dilakukan pada lokasi perumahan Kuranji yang termasuk dalam DAS Batang Kuranji
dengan 3 titik pengamatan yaitu titik A, B dan C seperti tampak pada Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi penelitian

AIR - 49
Hasil pengujian perkolasi untuk memperoleh permeabilitas tanah untuk lokasi A 2,096 cm/jam, lokasi B 1,838
cm/jam dan lokasi C 7,293 cm/jam. Rerata permeabilitas tanah untuk ketiga lokasi tersebut adalah 3,742 cm/jam.
Berdasarkan SNI 03-2453-2002 yang menetapkan persyaratan tanah yang dapat digunakan sebagai sumur resapan
adalah ≥2,0 cm/jam, sehingga lokasi ini layak ada sumur resapan.

Hujan rata-rata DAS


Terdapat 5 stasiun hujan yang mempengaruhi DAS Kuranji, karena ada 2 stasiun hujan yang berdekatan maka yang
digunakan empat stasiun hujan yaitu stasiun Koto Tuo, stasiun Batu Busuak, stasiun Ladang Padi dan stasiun
Gunung Nago. Berdasarkan peta DAS dan letak stasiun hujan, diplot dengan Arc-GIS sehingga diperoleh koefisien
poligon Thiessen untuk masing-masing stasiun yang mewakili seperti tampak pada Gambar 2.

Gambar 2. Polygon Thiessen DAS Batang Kuranji


Hujan rata-rata diperoleh dari hujan maksimum harian pada tahun tertentu untuk setiap stasiun hujan. Perkalian
antara hujan maksimum dan koefisien Thiessen maka diperoleh hujan rata-rata DAS untu setiap tahun selama 22
tahun data yang terrsedia. Tabel 1 menunjukkan hujan harian maksimum rata-rata DAS Kuranji. Curah hujan
tertinggi yang tercatat terjadi pada 26 April 2001 sebesar 200,64 mm sedangkan terendah terjadi pada 27 Maret
2010 sebesar 42,16 mm.
Tabel 1. Hujan maksimum harian rata-rata DAS

Kejadian Hujan maks


No.
Tahun Bulan Tanggal harian rata-rata (mm)
1 2015 November 12 142.18
2 2014 Januari 3 107.74
3 2013 Desember 4 103.09
4 2012 September 13 105.29
5 2011 July 12 116.90
6 2010 Maret 27 42.16
7 2009 July 11 63.27
8 2008 July 22 113.97
9 2007 Januari 23 122.29
10 2006 Agustus 30 94.50
11 2005 September 2 165.49
12 2004 November 19 97.61
13 2003 November 19 105.98
14 2002 Februari 20 114.79

AIR - 50
15 2001 April 26 200.64
16 2000 Oktober 15 143.06
17 1999 Maret 20 61.34
18 1998 Agustus 30 166.46
19 1997 May 11 117.41
20 1996 September 2 146.99
21 1995 Desember 4 114.65
22 1994 Desember 3 124.76

Analisis frekuensi
Analisis frekuensi data hidrologi untuk mencari hubungan antara besarnya kejadian ekstrim terhadap frekuensi
kejadian dengan menggunakan distribusi probabilitas. Distribusi probabilitas mempunyai hubungan terbalik dengan
kala ulang (T). Besaran hujan maksimum dianalisis untuk setiap kala ulang dengan masing-masing distribusi seperti
terlihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Analisis frekuensi dan probabilitas
P(x>=Xm) T Karakteristik Hujan (mm) Menurut Probabilitasnya
Kala NORMAL LOG-NORMAL GUMBEL LOG-PEARSON III
Probabilitas
Ulang XT KT XT KT XT KT XT KT
0,5 2 116,844 0,000 110,884 -0,166 110,940 -0,164 117,966 0,177
0,2 5 147,088 0,842 148,836 0,890 142,698 0,719 148,977 0,844
0,1 10 162,898 1,282 173,595 1,579 163,725 1,305 163,294 1,107
0,05 20 175,953 1,645 197,116 2,234 183,894 1,866 173,741 1,284

Ket :
1. XT = m + KT * s
2. Menurut Uji Chi-Kuadrat, yang terbaik menggunakan distribusi LOG-PEARSON III
3. Sedangkan menurut Uji Smirnov-Kolmogorov, yang terbaik menggunakan distribusi NORMAL
4. Hitungan dilakukan dengan menggunakan rumus dalam buku 'Applied Hidrology', 1988, Ven Te Chow, et.
al.

Tabel 2 menunjukkan hasil analisis frekuensi untuk berbagai kala ulang. Berdasarkan hasil analisis dan pengujian
menurut Chi-kuadrat serta pengujian menurut Smirnov-Kolmogorov, distribusi yang sesuai dengan data hujan DAS
Kuranji adalah distribusi Normal.

Intensity duration frequency curve

Untuk membuat kurva intensity duration frekuensi menurut Mononobe dapat menggunakan Persamaan 1. Sumbu
vertikal kurva mewakili intensitas hujan dalam satuan mm/jam dan sumbu horizontal mewakili waktu (durasi) dalam
satuan menit. Setiap kurva dibuat untuk setiap kala ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan 20 tahun seperti tampak
pada Gambar 3.

AIR - 51
350

300

250
Intensitas Hujan-i (mm/jam)

Kala ulang 2 th
200
Kala Ulang 5 th
Kala Ulang 10 th
150 Kala Ulang 20 th

100

50

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
Waktu-t (menit)

Gambar 3. Kurva Kelengkungan Hujan DAS Batang Kuranji kala

Debit rancangan
Debit rancangan merupakan debit yang diperkirakan akan mengisi sumur resapan yang dihitung berdasarkan metode
Rasional dari Persamaan 2. Koefisien aliran permukaan untuk atap berkisar 0,75-0,95 maka yang digunakan adalah
0,85 (Suripin, 2004). Intensitas hujan yang digunakan adalah pada durasi 2 jam dengan perkiraan lama kejadian
hujan pada lokasi studi selama 2 jam, sedangkan luasnya berdasarkan luas atap bangunan rumah menurut tipe rumah
yang ditinjau. Tabel 3 menunjukkan debit rancangan dengan kala ulang tertentu.
Tabel 3. Debit rancangan untuk berbagai luas atap rumah

Q Pada Kala Debit Rancangan (m3 /detik) Untuk Berbagai Luas Atap Rumah
Ulang (Tahun) 21 36 45 54 60 70 90 120
Q2 0,00013 0,00022 0,00027 0,00032 0,00036 0,00042 0,00054 0,00072
Q5 0,00016 0,00027 0,00034 0,00041 0,00045 0,00053 0,00068 0,00091
Q10 0,00018 0,00030 0,00038 0,00045 0,00050 0,00059 0,00075 0,00101
Q20 0,00019 0,00033 0,00041 0,00049 0,00054 0,00063 0,00082 0,00109
Tampak pada Tabel 3 hubungan debit rancangan yang berbading lurus terhadap luas atap rumah. Ini berarti semakin
luas atap rumah akan menampung debit air hujan lebih banyak. Begitu juga debit terhadap kala ulang, semakin
tinggi kala ulang debit maka debit rancangan juga semakin besar.

Kedalaman sumur resapan


Sumur resapan direncanakan berbentuk tabung berdiameter 1 m dengan kedalaman yang bervariasi tergantung debit
masuk. Kedalaman sumur resapan diperoleh dari metode Sunjoto dengan menggunakan Persamaan 3.

Tabel 4. Kedalaman sumur resapan untuk berbagai luas atap rumah


H Pada Kala Kedalaman Sumur Resapan (m) Untuk Berbagai Luas Atap Rumah
Ulang (Tahun) 21 36 45 54 60 70 90 120
H2 1,0 1,7 2,2 2,6 2,9 3,4 4,4 5,8
H5 1,3 2,2 2,7 3,3 3,7 4,3 5,5 7,3
H10 1,4 2,4 3,0 3,7 4,1 4,7 6,1 8,1
H20 1,5 2,6 3,3 3,9 4,4 5,1 6,6 8,8
Tabel 4 menunjukkan kedalaman sumur resapan untuk setiap luas atap rumah dan pada kala ulang 2 tahun, 5 tahun,
10 tahun dan 20 tahun. Atap rumah sebagai penampung air hujan, akan mengalirkan air sebagai debit kedalam
sumur resapan. Semakin luas atap rumah akan diperoleh kedalaman sumur resapan yang semakin besar. Dalam SNI

AIR - 52
03-2459-2002 tentang spesifikasi kedalaman sumur resapan maksimum adalah 3 m (Anonim, 20102). Maka untuk
kedalaman sumur resapan yang melebihi 3 m, sumur resapan dapat dibuat paralel atau lebih dari satu.

Volume sumur resapan

Kapasitas maksimum yang dapat menampung air hujan ditentukan dari volume sumur resapan. Semakin besar
volume akan menampung air hujan yang lebih banyak.

Tabel 5. Volume sumur resapan untuk berbagai luas atap rumah

H Pada Kala Volume Sumur Resapan (m3 ) Untuk Berbagai Luas Atap Rumah
Ulang (Tahun) 21 36 45 54 60 70 90 120
H2 0,80 1,37 1,71 2,06 2,29 2,67 3,43 4,57
H5 1,01 1,73 2,16 2,59 2,88 3,36 4,32 5,76
H10 1,12 1,91 2,39 2,87 3,19 3,72 4,78 6,37
H20 1,20 2,07 2,58 3,10 3,44 4,02 5,16 6,89

Tabel 5 menunjukkan volume sumur resapan, dimana volume terkecil 0,8 m3 terdapat pada rumah tipe 21 dengan
kedalaman sumur resapan 1,0 m. Sedangkan volume terbesar 6,89 m3 terdapat pada rumah bertipe 120 pada kala
ulang 20 tahun.
5. KESIMPULAN
Dari analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada daerah studi nilai permeabilitas tanah 3,742
cm/jam. Hujan rancangan pada DAS Batang Kuranji untuk kala ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan 20 tahun
terdistribusi normal. Kedalaman sumur resapan pada berbagai tipe rumah berkisar antara 1,0 m hingga 8,8 m. Untuk
kedalaman melebihi 3 m, sumur resapan dapat dibuat paralel. Semakin luas atap rumah akan menampung air hujan
lebih banyak sehinggan volume sumur resapan juga semakin besar.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim (2015). Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Bangunan Gedung. Padang.
Anonim (2014). Rencana Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Evakuasi Dalam Rangka Mitigasi Bencana Tsunami
di Kota Padang. Padang. Direktorat Penataan Ruang Wilayah I Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Departemen Pekerjaan Umum.
Anonim (2002). Spesifikasi Sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan SNI 03-2459-2002. Jakarta. Badan
Standardisasi Nasional
Hardiyatmo, H. C. (2001). Mekanika Tanah I. Gramedia, Jakarta.
Suripin. (2004). Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan. AndiOffset, Yogyakarta.
Triatmodjo, B. (2008). Hidrologi Terapan. Beta Offset, Yogyakarta.

AIR - 53
AIR - 54
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

EMISI GAS RUMAH KACA PADA BUDIDAYA PADI SYSTEM OF RICE


INTENSIFICATION (SRI) DENGAN BERBAGAI PERLAKUAN IRIGASI

Chusnul Arif1, Budi Indra Setiawan1, Deka Trisnardi Munarso1, Muhammad Didik Nugraha1, Paradha
Wihandi Simarmata1, Ardiansyah2, dan Masaru Mizoguchi3

1
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia
Email:chusnulipb@gmail.com, budindra@yahoo.com
2
Jurusan Teknik Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Indonesia
Email: ardi.plj@gmail.com
3
Department of Global Agricultural Sciences, The University of Tokyo, 1-1-1 Yayoi, Bunkyo-Ku,
Tokyo 113-8657, Japan
Email: amizo@mail.ecc.u-tokyo.ac.jp

ABSTRAK
Padi sawah dengan irigasi tergenang terus menerus ditengarai sebagai sumber emisi gas rumah kaca.
System of Rice Intensification (SRI) merupakan alternative budidaya padi sawah yang lebih hemat
air dan memiliki potensi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Dua jenis GRK utama
yang diemisikan dari padi sawah adalah gas metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O). Gas CH4
diemisikan dalam jumlah besar ketika air tergenang dilahan, sebaliknya gas N 2O diemisikan dalam
jumlah besar ketika kondisi lahan umumnya kering. Oleh sebab itu, studi tentang perlakuan irigasi
terhadap emisi GRK pada budidaya SRI sangat diperlukan untuk mencari kondisi ketersediaan air
optimum dilahan dalam rangka menurunkan emisi GRK dari padi sawah. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis emisi GRK pada padi sawah dengan berbagai perlakuan irigasi. Penelitian
dilakukan di laboratorium lapang Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB, Bogor, Jawa Barat
pada satu musim tanam dari tanggal 14 April sampai 5 Agustus 2016. Terdapat 3 perlakuan irigasi,
yaitu rejim tergenang (RT), moderate (RM) dan kering (RK). Sampel gas diambil setiap seminggu
sekali dan dianalisis dilaboratorium menggunakan Gas Chromatography. Hasilnya menunjukkan
bahwa dengan perlakuan irigasi, emisi GRK yang dihasilkan berbeda-beda. Perlakuan RT
menghasilkan emisi CH4 terbesar dibandingkan perlakuan lain sebesar 20.64 kg/ha/musim,
sebaliknya perlakuan ini menghasilkan emisi N2O terkecil dibandingkan yang lain. Secara umum,
total emisi GRK pada masing-masing perlakuan berturut-turut adalah 467.13, 520.70 dan 306.77
kg/ha/musim untuk perlakuan RT, RM dan RK. Hal ini menunjukkan perlakuan rejim kering
memiliki potensi pemanasan global yang paling kecil dan dapat dijadikan sebagai strategi mitigasi
GRK dari lahan sawah.
Kata kunci: System of Rice Intensification, perlakuan irigasi, emisi gas rumah kaca, padi sawah

1. PENDAHULUAN
Padi sawah dengan irigasi teknis maupun non-teknis merupakan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca
(GRK) terbesar dari lahan pertanian khususnya gas metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O) (Setyanto, 2008).
Emisi gas tersebut dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik yang dipengaruhi beberapa faktor seperti
pemberian air irigasi, jenis tanah, cuaca, pemberian pupuk dan jenis varietas padi (Cai, et al., 1997, Setyanto et al.,
2000, Setyanto et al., 2004, Setyanto dan Bakar, 2005). Pemberian air irigasi yang beragam akan berakibat
berubahnya parameter biokimia dan biofisika seperti pH tanah, redok potensial tanah, kelembaban tanah, suhu tanah
yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme didalamnya yang secara langsung maupun tidak langsung akan
menghasilkan emisi GRK.
Pemberian air irigasi secara tergenang terus menerus pada padi sawah yang dibudidayakan secara konvensional oleh
petani pada umumnya telah menciptakan kondisi anaerob yang minim oksigen didalam tanah. Kondisi tersebut
memicu bakteri metanogen untuk aktif beraktivitas dalam proses dekomposisi yang banyak menghasilkan emisi gas
CH4. Sehingga emisi gas CH4 yang dihasilkan oleh budidaya padi secara konvensional sangat besar. Hasil studi
yang disampaikan oleh global methane initiative menunjukkan bahwa gas CH 4 yang dihasilkan dari padi sawah
adalah 10% dari total gas CH4 dari seluruh aktivitas manusia. Selain itu, pemberian air irigasi secara tergenang terus
menerus juga tidak efisien dan boros karena air irigasi yang diberikan melebihi kebutuhan tanaman.

AIR - 55
System of Rice Intensification (SRI) merupakan alternative sistem budidaya padi yang lebih hemat air karena air
irigasi tidak diberikan secara tergenang terus menerus. Pada system ini, air irigasi diberikan secara berselang sesuai
kebutuhan tanaman. Pada dasarnya, ada 6 prinsip dalam budidaya SRI ini, yaitu: mengunakan bibit muda ketika
bibit hanya memiliki 2-3 helai dengan umur antara 7-14 hari, bibit tersebut ditanam satu persatu setiap lubang, jarak
tanam lebar antara 30x30 cm2, penyiangan dilakukan rutin setiap 10 hari sekali, irigasi berselang tanpa
penggenangan, menggunakan pupuk kompos sebanyak mungkin (Uphoff et al., 2011).
Dengan prinsip yang berbeda dengan system budidaya konvensional, maka kondisi parameter lingkungan biokimia
dan biofisika didalam tanah akan berbeda yang menyebabkan emisi GRK juga akan berbeda. Oleh sebab itu,
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui emisi GRK dengan system SRI dengan berbagai perlakuan air irigasi.
Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah a) menganalisis perubahan parameter lingkungan terhadap perlakuan air
irigasi yang beragam, b) menganalisis pengaruh perlakuan air irigasi terhadap pertumbuhan tanaman dan c)
menganalisis emisi GRK pada padi sawah SRI dengan berbagai perlakuan irigasi.

2. PENGUKURAN LAPANG
Pengukuran lapang dilakukan pada 1 musim tanam dari 14 April – 5 Agustus 2016 pada plot percobaan
laboratorium lapang Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB, Bogor Jawa Barat. Adapun fokus percobaan
adalah pemberian air irigasi yang berbeda pada plot berukuran 2 x 2 m 2 sebanyak 6 plot. Varietas yang digunakan
dalam penanaman padi adalah varietas padi Pertiwi. Kemudian, dalam budidaya diberikan pupuk organik (kompos)
dengan prinsip SRI serta dilakukan pemasangan sensor-sensor untuk memonitori kondisi lingkungan mikro (sekitar
lahan budidaya). Sensor yang digunakan seperti sensor radiasi matahari (PYR Solar Radiation), sensor intensitas
hujan (ECRN-100 Precipitation), sensor suhu dan kelembaban udara (EHT RH/Temp), sensor tinggi muka air (E-
Tape sensor), sensor suhu dan kelembaban tanah (5TE Moisture/Temp/EC), dan data logger EM50 untuk
menyimpan data.
Sistem irigasi yang dilakukan terbagi menjadi tiga perlakuan irigasi, yaitu rejim tergenang (RT), moderate (RM) dan
kering (RK) dengan dua kali pengulangan. Pada perlakuan RT, tinggi muka air selalu dijaga dengan ketinggian
1-2 cm diatas permukaan tanah sampai tanaman berumur 70 HST, kemudian diturunkan sampai tinggi muka
air dipermukaan tanah. Untuk perlakuan RM, tinggi muka air selalu dijaga berada dipermukaan tanah sampai
panen. Sedangkan untuk perlakuan RK, pada umur 20-30 HST, tinggi muka air dijaga pada permukaan tanah
dan kemudian sampai panen diturunkan sampai 5 cm dibawah permukaan tanah (Gambar 1)

Gambar 1. Tinggi muka air pada masing-masing perlakuan irigasi: a) RT, b) RM, c) RK

Selain pengukuran parameter lingkungan, pertumbuhan tanaman diamati seminggu sekali mulai 7 hari setelah
tanam (HST). Parameter pertumbuhan tanaman terdiri dari tinggi tanaman (cm), jumlah anakan/rumpun
dan jumlah malai/rumpun. Produksi padi yang dihasilkan dihitung dengan sistem ubinan (ton/ha).
Untuk emisi gas rumah kaca, emisi gas CH4 dan N2O, diukur dengan menggunakan chamber box tertutup
dengan ukuran panjang x lebar x tinggi sebesar 30 x 30 x 120 cm 3 dan dilengkapi dengan kipas angin
didalamnya untuk menyeragamkan aliran udara didalam chamber box. Pengambilan sampel dilakukan di
siang hari ketika suhu udara mencapai nilai tertinggi hariannya. Ketika pengambilan sampel gas, chamber
box tersebut diletakkan pada chamber base yang ditengahnya terdapat satu rumpun tanaman padi.
Pengambilan gas dilakukan sebanyak 4 kali dengan interval waktu 10 menit. Sampel gas kemudian dianalisis
menggunakan gas chromatografi di lab gas rumah kaca milik Balai Penelitian Lingkungan Pertanian di
Jakenan Pati Jawa Tengah. Nilai flux dari gas tersebut ditentukan dengan dari laju perubahan konsentrasi gas
per satuan waktu dengan persamaan berikut ini (IAEA, 1993):

AIR - 56
(1)

Dimana:

E : flux GRK CH4/N2O (mg/m2/menit); : perbedaan konsentrasi gas per waktu; V: volume chamber box (m3)

A : luas chamber box (m2); mW: berat molekul GRK; mV: volume molekul GRK; T: suhu udara didalam chamber
box (oC)
Kemudian total flux dalam satu musim tanam dihitung dengan mengintegralkan nilai flux tersebut. Persamaan
integral yang digunakan adalah metode numeric model Simpson (Arif et al., 2015)

3. KONDISI PARAMETER LINGKUNGAN


Gambar 2 menunjukkan perubahan dinamis kelembaban udara, suhu udara, radiasi matahari dan evapotranspirasi
potensial yang terjadi dalam satu musim tanam. Suhu udara dan kelembaban udara berfluktatif dan memiliki trend
yang berbanding terbalik. Nilai suhu udara rata-rata berkisar antara 24.39 – 28.90oC, sedangkan kelembaban udara
berkisar antara 0.71 – 0.92. Suhu udara terendah terjadi pada 65 HST (tanggal 18 Juni 2016) sebesar 24.39 oC. Pada
hari juga, kelembaban udara mencapai nilai tertinggi sebesar 0.92 yang berarti kandungan uap air mencapai puncak
ketika suhu udara minimum. Begitu juga sebaliknya, ketika suhu udara meningkat, kelembaban udara memiliki
trend menurun sebagaimana terlihat pada Gambar 2 tersebut.

Gambar 2. Kondisi parameter lingkungan: suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari dan evapotranspirasi
potensial.
Hal yang sama juga terjadi pada radiasi matahari dan evapotranspirasi potensial. Kedua parameter tersebut juga
berfluktuatif dan memiliki trend yang berbeda. Nilai radiasi matahari selama satu musim tanam berkisar antara 4.7 –
19.0 MJ/m2/hari, sedangkan nilai evapotranspirasi potensial berkisar antara 1.10 – 4.93 mm/hari. Nilai
evapotranspirasi potensial terkecil terjadi ketika radiasi matahari dan suhu udara mencapai nilai terendah pada
tanggal 18 Juni 2016. Hal ini menandakan bahwa pada hari tersebut radiasi matahari tertutup oleh awan hampir
seharian dan terjadi hari hujan sebesar 72.8 mm dengan intensitas yang tinggi.

AIR - 57
4. PERTUMBUHAN TANAMAN PADA BERBAGAI PERLAKUAN IRIGASI
Pertumbuhan tanaman pada setiap rejim air dapat dilihat pada Gambar 3. Terlihat bahwa tinggi tanaman
untuk masing-masing rejim air tidak berbeda nyata. Rata-rata tinggi tanaman diakhir periode budidaya pada
perlakuan RT, RM dan RK adalah berturut-turut 136.5 cm, 138.2 cm, 136.6 cm. Berbeda halnya dengan tinggi
tanaman, jumlah anakan/rumpun pada perlakuan RT justru paling sedikit dibandingkan dengan perlakuan
RM dan RK. Rata-rata jumlah anakan/rumpun pada perlakuan RT hanya 42.6, sedangkan pada RM dan RK
berturut-turut adalah 58.1 dan 58.6. Jumlah anakan/rumpun yang sedikit bisa disebabkan oleh jumlah
oksigen yang terbatas didalam tanah ketika lahan terus tergenang. Hal ini bisa berakibat pada rendahnya
proses penyerapan nutrisi oleh tanaman. Sebaliknya pada perlakuan RM dan RD, oksigen tersedia cukup
untuk proses penyerapan nutrisi oleh tanaman. Hal ini didukung oleh penelitian Barison (2003) yang
menyatakan bahwa efisiensi penyerapan nutrisi oleh tanaman meningkat melalui SRI dengan irigasi
berselang yang direpresentasikan dengan penetrasi akar yang lebih dalam dibandingkan dengan sistem
konvensional.

Gambar 3. Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan pada berbagai perlakuan irigasi
Meskipun perlakuan RM memiliki jumlah anakan/rumpun lebih banyak daripada RK, akan tetapi gabah
kering panen (GKP) yang dihasilkan lebih rendah daripada perlakuan RK meskipun perbedaannya tidak
signifikan seperti terlihat pada Tabel 1. Perlakuan RM hanya menghasilkan biomassa tertinggi dibandingkan
dengan perlakuan rejim air yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan RK lebih produktif dalam
menghasilkan gabah dibandingkan dengan perlakuan rejim air yang lain.
Hasil ini cukup menarik mengingat perlakuan RK adalah perlakuan rejim air yang paling sedikit
membutuhkan air irigasi dibandingkan dengan rejim air yang lain. Meskipun demikian mampu menghasilkan
produktivitas lahan yang paling tinggi dibandingkan dengan yang lain. Kemungkinan kunci utama pada rejim

AIR - 58
air ini adalah 30 awal setelah tanam dimana kondisi lahan adalah tergenang secara dangkal dan macak-
macak. Pada kondisi ini, kondisi kelembaban tanah adalah jenuh atau basah yang sangat diperlukan tanaman
di fase awal dan vegetatif untuk pembentukan akar, batang dan daun (Arif et al., 2014; Uphoff et al., 2011).
Fase awal ini sangat penting yang menentukan kondisi pada fase berikutnya. Apabila kondisi kering sudah
terjadi diawal fase ini, maka tanaman akan stress dan kekurangan air untuk proses pembentukan akar,
batang dan daun.

Tabel 1. Produktivitas tanaman pada masing-masing perlakuan irigasi


Parameter Perlakuan Irigasi
RT RM RK
GKP (ton/ha) 5.92 ± 0.36 7.42 ± 0.22 7.55 ± 0.64
Biomassa/Jerami (ton/ha) 30.47 ± 4.22 33.51 ± 3.49 30.84 ± 4.74
Panjang Akar (cm) 27 25 28

Setelah fase tersebut, tinggi muka air dapat diturunkan sampai maksimum kedalaman 5 cm dibawah
permukaan tanah dengan asumsi kondisi kelembaban tanah pada kondisi agak basah (nilai pF antara 1.6 –
2.54). Tujuan utama adalah untuk menciptakan kondisi aerobik yang menyediakan oksigen cukup dan dapat
menghindari serta mengurangi jumlah bulir yang tidak produktif khususnya pada waktu sekitar
pembentukan bunga (Bouman et al., 2005). Kondisi ini akan memacu akar untuk melakukan penetrasi lebih
dalam yang direpresentasikan dengan panjang akar tertinggi dibandingkan rejim air yang lain

5. EMISI GAS RUMAH KACA PADA BERBAGAI PERLAKUAN IRIGASI


Gambar 4 menunjukkan perubahan dinamis flux gas CH 4 pada masing-masing rejim air. Terlihat bahwa pada
minggu ke-1 sampai ke-4 bahwa flux gas CH4 cukup kecil bahkan untuk perlakuan RM dan RK bernilai negatif
untuk beberapa minggu. Hal ini dimungkinkan karena pada tahap awal tahap pertumbuhan dimana akar belum
tumbuh secara sempurna sehinga produksi eksudat akar masih rendah. Eksudat akar merupakan pendorong aktivitas
bakteri metanogenik dalam memproduksi gas CH4 (Setyanto, 2008), sehingga apabila jumlah sedikit, maka gas CH 4
yang dihasilkan juga rendah. Peningkatan flux gas CH4 terjadi setelah minggu ke-4 khususnya pada perlakuan RT.
Pada perlakuan RM, nilai flux gas CH4 sangat berflutuatif mengalami peningkatan dan penurunan secara periodik
setiap 1-3 minggu sekali. Sedangkan pada perlakuan RK, flux gas CH4 yang dihasilkan paling rendah dibandingkan
kedua rejim yang lain. Tingginya flux gas CH4 yang bernilai positif pada perlakuan RT dan RM menandakan emisi
gas CH4 yang dilepaskan cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh kondisi lahan tergenang atau paling tidak jenuh
selama beberapa minggu (minggu ke-5 sampai 12). Kondisi tergenang memungkinkan aktivitas bakteri metanogenik
meningkat pada waktu tersebut sehingga emisi gas CH4 juga meningkat.
Kondisi sebaliknya terjadi untuk flux gas N2O pada masing –masing rejim air seperti terlihat pada Gambar 5. Flux
gas N2O pada perlakuan RT cenderung bernilai negative yang berarti tidak terjadi emisi gas N2O bahkan penyerapan
gas N2O. Pada perlakuan ini, flux gas N 2O bernilai positif dan mencapai puncak pada minggu ke-13 ketika lahan
mulai dikeringkan. Nilai maksimum flux pada minggu tersebut mencapai 90 mg/m 2/hari. Pada perlakuan RM,
jumlah flux gas N2O yang bernilai positif dan negative hampir berimbang, yang mengindikasikan bahwa pelepasan
gas N2O juga dibarengi dengan penyerapan gas N 2O dalam satu periode musim tanam. Sedangkan pada perlakuan
RK, flux gas N2O lebih banyak bernilai positif yang berarti gas N2O banyak diemisikan pada rejim air ini. Dari
perubahan dinamis flux gas N2O ini menegaskan bahwa ketika kondisi tanah aerobik (kandungan oksigen lebih
banyak), dekomposisi bahan organik didalam tanah lebih cepat yang menyebabkan reduksi nitrat menjadi N2O. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa emisi gas N2O mencapai puncak ketika
sawah tidak digenangi bahkan dalam kondisi kering (Snyder et al., 2007).

AIR - 59
Gambar 4. Emisi gas CH4 pada berbagai perlakuan irigasi

Gambar 5. Emisi gas N2O pada berbagai perlakuan irigasi


Secara total emisi gas CH4 dan N2O pada masing-masing rejim air dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel tersebut
menegaskan bahwa tinggi muka air sangat berpengaruh pada emisi gas rumah kaca yang dihasilkan yang berakibat
menghasilkan potensi pemasanan global yang berbeda-beda. Perlakuan RT dengan rejim air tergenang
menghasilkan emisi gas CH4 terbesar dibandingkan perlakuan rejim air yang lain. Akan tetapi, rejim air ini tidak
mengemisikan gas N2O dalam satu periode musim tanam. Sebaliknya, perlakuan RK menghasilkan emisi gas CH4
terendah dibandingkan dengan perlakuan lain. Akan tetapi, perlakuan rejim air ini mengemisikan gas N 2O terbesar

AIR - 60
dalam satu musim tanam. Sedangkan perlakuan RM terlihat sebagai rejim air yang berada ditengah dalam
mengemisikan baik gas CH4 dan N2O. Emisi gas CH4 yang dihasilkan lebih rendah dari rejim RT, dan emisi gas
N2O yang dihasilkan lebih rendah dari rejim RK.
Tabel 2 Emisi gas rumah kaca pada berbagai perlakuan irigasi

Emisi GRK Total Emisi


(kg C-CO2
Rejim Air CH4 (kg/ha/musim) N2O (kg/ha/musim) eq/ha/musim)
Rejim Tergenang (RT) 20.64 -0.16 467.13
Rejim Moderate (RM) 19.77 0.09 520.70
Rejim Kering (RK) 9.99 0.19 306.77
*Total emisi dihitung untuk periode waktu 100 tahun dengan persamaan TE= 25CH4 + 298N2O (IPCC, 2007)

6. KESIMPULAN
Perlakuan irigasi yang berbeda pada budidaya padi dengan System of Rice Intensification (SRI) menghasilkan
kondisi parameter lingkungan, pertumbuhan tanaman dan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbeda-beda.
Perlakuan Rejim Tergenang (RT) menghasilkan emisi CH4 terbesar dibandingkan perlakuan lain sebesar 20.64
kg/ha/musim, sebaliknya perlakuan ini menghasilkan emisi N2O terkecil dibandingkan yang lain. Secara umum,
total emisi GRK pada masing-masing perlakuan berturut-turut adalah 467.13, 520.70 dan 306.77 kg/ha/musim untuk
perlakuan RT, RM dan RK. Hal ini menunjukkan perlakuan rejim kering memiliki potensi pemanasan global yang
paling kecil dan dapat dijadikan sebagai strategi mitigasi GRK dari lahan sawah.

DAFTAR PUSTAKA
IAEA (International Atomic Energy Agency). (1993). Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide
Emission from Agriculture. Vienna (AUT):IAEA.
Arif C, Setiawan BI, Widodo S, Rudiyanto, Hasanah NAI, Mizoguchi M. (2015). Pengembangan Model Jaringan
Saraf Tiruan Untuk Menduga Emisi Gas Rumah Kaca Dari Lahan Sawah Dengan Berbagai Rejim Air. Jurnal
Irigasi. 10(1):1-10.
Arif, C, B.I Setiawan, M. Mizoguchi. (2014). Penentuan Kelembaban Tanah Optimum Untuk Budidaya Padi Sawah
Sri (System Of Rice Intensification) Menggunakan Algoritma Genetika (Determining Optimal Soil Moisture
for System of Rice Intensification Paddy Field using Genetic Algorithms). Jurnal Irigasi. Vol.9 (1): 1-12
Barison, J. (2003). Nutrient-use efficiency and nutrient uptake in conventional and intensive (SRI) rice cultivation
systems in Madagascar. Master Thesis. Department of Crop and Soil Sciences, Cornell University, Ithaca, NY
Bouman, B.A.M., S.Peng., Castaneda, A.R., Visperas, R.M., (2005). Yield and water use of irrigated tropical
aerobic rice systems. Agr Water Manage 74: 87-105.
Cai, Z.C., Xing, G.X., Yan, X.Y., Xu, H., Tsuruta, H., Yagi, K., Minami, K., (1997). Methane and nitrous oxide
emissions from rice paddy fields as affected by nitrogen fertilisers and water management. Plant Soil 196, 7-
14.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), (2007). In: Solomon, S., Qin,D., Manning, M., Chen, Z.,
Marquis, M., Averyt, K.B., Tignor, M., Miller, H.L. (Eds.),Climate Change 2007: The Physical Scientific
Basis, Contribution of WorkingGroup I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge, UK
Setyanto P, Rosenani AB, Boer R, Fauziah CI, Khanif MJ. (2004). The effect of rice cultivars on methane emission
from irrigated rice field. Indonesian Journal of Agricultural Science 5(1): 20–31
Setyanto, P. 2008. Teknologi Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dari Lahan Sawah. Buletin Iptek Tanaman
Pangan Vol 3(2): 205-214.
Setyanto, P., Bakar R.A., (2005). Methane emission from paddy fields as Influenced by different water regimes in
central java. Indonesian Journal of Agricultural Sciences 6(1): 1-9.
Setyanto, P., Makarim, A.K., Fagi, A.M., Wassman, R., Buendia, L.V., (2000). Crop management affecting methane
emissions from irrigated and rainfed rice in Central Java (Indonesia). Nutr Cycl Agroecosys 58, 85-93.
Snyder, C.S., Bruulsema, T.W., Jensen, T.L., (2007). Best Management Practices to Minimize Greenhouse Gas
Emissions Associated with Fertilizer Use. Better crops 19, 16-18.
Uphoff, N., Kassam, A., Harwood, R., (2011). SRI as a methodology for raising crop and water productivity:
productive adaptations in rice agronomy and irrigation water management. Paddy Water Environ 9: 3-11

AIR - 61
AIR - 62
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

SYSTEM PLANNING KEBUTUHAN AIR BAKU KECAMATAN SUKAKARYA


KABUPATEN MUSI RAWAS SUMATERA SELATAN

Anna Emiliawati1
1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Musi Rawas, Jl. Pemb Komp Perkantoran Pemkab MURA
Email : na_white221@yahoo.com

ABSTRAK
Air merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Di daerah kabupaten Musi Rawas terutama
kecamatan Sukakarya, air menjadi permasalahan yang sangat krusial. Kebutuhan air tiap tahun
meningkat seiring dengan jumlah penduduk tetapi ketersediaan air terbatas. Kecamatan Sukakarya
ini merupakan salah satu wilayah yang belum mendapatkan air bersih dan daerah yang termasuk
rawan air. Instalasi Pengolahan Air (IPA) di kecamatan ini telah lama tidak beroperasi dikarenakan
tidak terpelihara dengan baik sehingga terjadi kerusakan dan terputusnya jaringan air yang ada.
Dalam rangka upaya mewujudkan pelaksanaan pembangunan fisik prasarana dan sarana air minum
yang berorientasi pada azas keterpaduan dan keserasian antara kebutuhan dengan potensi sumber
daya air yang tersedia, maka diperlukan pengendalian dan system planning sebagai arahan dan
panduan untuk pengembangan sumber daya air berupa analisis kebutuhan air baku terhadap sistem
penyediaan dan jaringan distribusi air minum di Kecamatan Sukakarya Kabupaten Musi Rawas.
Data yang digunakan meliputi data primer elevasi wilayah yang diperoleh dari pengukuran langsung
melalui GPS dan Waterpass, sedangkan data sekunder berupa data curah hujan dan data jumlah
penduduk Kecamatan Sukakarya yang dihitung dengan metode Aritmatik dan Geometrik. Dalam
penelitian ini, diprediksikan kebutuhan air pada daerah layanan selama 20 tahun dihitung
berdasarkan satuan unit yang direncanakan dan perkembangannya disesuaikan dengan
perekonomian penduduk setempat, menganalisis ketersediaan air dan membuat skema jaringan
perpipaan existing dan pengoptimalan dengan bantuan program WaterCAD. Hasil kajian
menunjukkan bahwa kebutuhan air maksimal di Kecamatan Sukakarya tahun 2035 sebesar 37,14
liter/detik dengan kapasitas produksi sebesar 30 liter/detik sehingga diprediksikan debit yang ada
masih mengalami kelebihan air (surplus) sebesar 0,023 liter/jam dengan cakupan pelayanan 80%.
Agar dapat memenuhi kebutuhan air bersih di Kecamatan Sukakarya ini maka diperlukan tindakan
optimalisasi pengambilan sumber air pada danau gegas dengan sistem pengaliran pemompaan.
Penanganan air bersih menggunakan 2 cara yaitu perpipaan sambungan rumah dan hidran umum,
serta penyederhanaan sistem perpipaan serta melakukan perubahan diameter pipa eksisting.
Kata Kunci : Sistem penyediaan air baku, Kebutuhan Air, Ketersediaan Air, IPA

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air bersih adalah salah satu jenis sumberdaya berbasis air yang bermutu baik dan biasa dimanfaatkan oleh manusia
untuk dikonsumsi atau dalam melakukan aktivitas sehari-sari. Pemenuhan kebutuhan air bersih di beberapa tempat
diwilayah perkotaan dan perdesaan merupakan masalah yang tidak mudah untuk diselesaikan, hal ini berkaitan
dengan ketersediaan sumber air yang sangat terbatas, kebutuhan biaya serta teknologi pengolahan sebelum
dimanfaatkan oleh berbagai masyarakat untuk berbagai keperluannya. Air menjadi permasalahan yang sangat
krusial di daerah Kabupaten Musi Rawas terutama Kecamatan Sukakarya. Kebutuhan air tiap tahun meningkat
seiring dengan jumlah penduduk tetapi ketersediaan air terbatas. Kecamatan Sukakarya ini merupakan salah satu
wilayah yang belum mendapatkan fasilitas air bersih dan daerah yang termasuk rawan air serta desa tertinggal.
Instalasi Pengolahan Air di kecamatan Sukakarya yang telah lama tidak beroperasi dikarenakan tidak terpelihara
dengan baik sehingga terjadi kerusakan dan terputusnya jaringan air yang ada. IPA yang ada ini telah tidak bekerja
selama beberapa tahun belakang ini sehingga untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari masyarakat sukakarya
memanfaatkan sungai-sungai kecil yang ada di daerah sekitar. Dalam upaya mewujudkan peningkatan pelayanan
prasarana dan sarana air minum yang berorientasi pada azaz keterpaduan dan keserasian antara kebutuhan dengan
potensi sumber daya air yang tersedia, maka perlu diadakan suatu perangkat pengendalian sebagai arahan dan
panduan untuk peningkatan sarana dan prasarana air di Kecamatan Sukakarya ini. Salah satu bentuk pengendalian
yaitu berupa System Planning Kebutuhan Air Baku Kecamatan Sukakarya Kabupaten Musi Rawas.

AIR - 63
Rumusan Masalah
a. Memproyeksikan kebutuhan air pada tahun 2035;
b. Bagaimana sistem pengaliran air bersih dan ketersediaan air yang ada di tahun 2035.

Tujuan Penelitian
Mengembangkan kapasitas sarana air minum yang ada di kecamatan sukakarya yang dapat memberikan area
pelayanan kebutuhan air bersih lebih luas sehingga dapat memenuhi kebutuhan air bersih di kecamatan sukakarya
hingga tahun 2035 mendatang.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Proyeksi Penduduk
Proyeksi jumlah penduduk sampai pada akhir tahun perencanaan mutlak dihitung sebagai dasar untuk menentukan
kapasitas debit yang harus terpasang. Perhitungan proyeksi penduduk pada prinsipnya adalah suatu usaha
perkiraan/peramalan yang didasarkan pada trend/kecenderungan yang dihasilkan dari sejumlah data yang ada pada
tahun-tahun sebelumnya (data berkala). Pola pertumbuhan penduduk secara tidak langsung dipengaruhi oleh luas
wilayah, potensi ekonomi dan pengembangan kota. Sehingga, disamping data mengenai jumlah penduduk itu
sendiri, diperlukan pula, data pendukung yang menggambarkan ke tiga hal tersebut, seperti : perluasan wilayah
kabupaten/kota, data mengenai perkembangan industri, perdagangan pelabuhan dll. Dengan demikian, metoda
proyeksi penduduk yang akan digunakan merupakan metoda yang paling sesuai untuk kondisi Kabupaten yang ada.
Berikut ini metode – metode analisis yang dapat digunakan untuk melakukan proyeksi penduduk pada penelitian ini
berdasarkan Adietomo dan Samosir, 2010 dalam buku Pedoman Perhitungan Proyeksi Penduduk dan Angkatan
Kerja, Badan Pusat Statistik (2010) :
a. Metode Aritmatik
Metode arithmatik digunakan apabila data berkala menunjukan jumlah penambahan (Absolut Number) yang relatif
sama untuk setiap tahun. Hal tersebut dapat terjadi pada daerah yang memiliki luas wilayah yang kecil dengan
pertumbuhan perekonomian yang rendah dan potensi pertumbuhan kabupaten yang tidak terlalu pesat. Alasan
penggunaan metode arithmatik adalah dengan pertimbangan bahwa kabupaten dengan karakteristik demikian akan
menghasilkan pertumbuhan penduduk yang kecil dan lambat. Persamaan metode arithmatik adalah sebagai berikut :
Pt = P0 (1+rt) (1)
(2)
b. Metode Geometrik
Trend eksponensial sering digunakan untuk meramalkan data / kejadian lain yang perkembangan atau
pertumbuhannya sangat cepat (berkembang secara geometrik). Untuk keperluan proyeksi jumlah penduduk,
metodeini digunakan bila data jumlah penduduk menunjukan peningkatan yang pesat dari waktu – waktu
(pertumbuhan bersifat eksponensial).
(3)
Jumlah Kebutuhan
Kebutuhan air bersih sangat bervariasi, bergantung pada kondisi lingkungan seperti iklim, jumlah penduduk, kondisi
ekonomi (standar hidup), industri dan besaran kota. Umumnya kebutuhan air bersih akan bertambah setiap tahun
dan pertambahan ini bervariasi sesuai dengan karakteristik dari kabupaten itu sendiri. Variasi pertambahan dapat
disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk, perubahan kondisi sosial – ekonomi (standar hidup) dan
pengembangan industri.

Konsumsi Air
Air yang dialirkan ke suatu kota atau kawasan dapat digunakan untuk kebutuhan – kebutuhan yang meliputi
domestik, komersial, industri dan lain-lain. Dalam menyusun sistem pengadaan air bersih target konsumsi air bersih
disusun berdasarkan standar konsumsi air bersih yang disesuaikan dengan kebiasaan dan perilaku penduduknya,
serta karakteristik daerah / kawasan tertentu. Target pelayanan konsumsi air bersih untuk perkotaan adalah 80%,
pedesaan adalah 60% yang dilaksanakan oleh pemerintah, sedangkan sisanya dilakukan oleh swasta dan masyarakat.
Dalam menyusun target pelayanan konsumsi air diperkotaan dan pedesaan perlu juga dipertimbangkan aspek
kebocoran air yang dapat disebabkan oleh aspek teknis maupun administrasi.

AIR - 64
Penggunaan Air
Berdasarkan buku Hidrologi Terapan, 2008 penggunaan air di perkotaan maupun pedesaan terdiri dari :
a. Kebutuhan Domestik
Kebutuhan ini dimaksudkan untuk penggunaan berbagai kebutuhan rumah tangga yang meliputi minum, memasak,
mandi, mencuci dan penggunaan lainnya. Kebutuhan domestik bervariasi antara kota satu dengan yang lainnya. Dan
ini bergantung pada kondisi sisial – ekonomi, jenis pemakai air dan iklim. Adapun kriteria tersebut terdapat dalam
Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Penentuan Kebutuhan Air Domestik


Jumlah Penduduk Domestik Non Domestik Kehilangan Air
(l/kapita/hr) (l/kapita/hr) (l/kapita/hr)
> 1.000.000 150 60 50
500.000 – 1.000.000 135 40 45
100.000 – 500.000 120 30 40
20.000 – 100.000 105 20 30
< 20.000 82,5 10 24

b. Kebutuhan Sosial
Kebutuhan sosial biasanya diperuntukan untuk kegiatan kantor pemerintah, sekolah, rumah sakit, tempat ibadah dan
hidran kebakaran. Jumlah kebutuhan hidran kebakaran disesuaikan dengan standar kebutuhan hidran yaitu untuk
kota dengan penduduk diatas 500.000 jiwa.
c. Kebutuhan Komersil
Kebutuhan komersil diperuntukan untuk perkantoran swasta, fasilitas perdagangan, restoran, hotel dan kegiatan
bisnis lainnya. Jumlah kebutuhan yang harus disediakan didasarkan pada jumlah orang yang bekerja pada tiap – tiap
kegiatan bisnis yang terdapat di daerah tersebut. Selain itu pula bergantung pada luas bangunan, jumlah lantai
bangunan dan jumlah pekerja pada stiap lantai.
d. Kebutuhan Industri
Jumlah kebutuhan air bersih untuk kegiatan industri bergantung pada perluasan industri dan jenis industrinya.
Beberapa industri besar mempergunakan air pengolahan sendiri atau sumur artesis. Dengan adanya pembagian zona
industri, akan mempermudah menghitung kebutuhan air untuk industri. Penggunaan ulang untuk industri akan
mengurangi kebutuhan akan air.
e. Kehilangan Air
Untuk menganalisa kehilangan air seperti yang disebabkan oleh kebocoran (fisik dan non fisik) sulit untuk
dilaksanakan. Kehilangan air bersih dari sistem perpipaan di Indonesia mencapai sekitar 10 % hingga 20 % dari
jumlah produksi yang disalurkan. Kehilangan air dapat terjadi akibat ebocoran pipa distribusi, kerusakan meter air,
sambungan – sambungan dan lainnya. Kebocoran dapat terjadi akibat pemasangan instalaisi yang kurang baik,
kurangnya perawatan terhadap pipa distribusi serta sistem plumbing dari rumah – rumah penduduk.
Variasi Kebutuhan
a. Kebutuhan Rata – Rata Perhari
Kebutuhan rata – rata perhari adalah total kebutuhan pertahun dibagi 365 hari (jumlah hari dalam setahun), dan
kebutuhan rata – rata yang diberikan adalah kebutuhan rata – rata perhari dibagi dengan jumlah penduduk dari
rumah ke rumah.
b. Kebutuhan Hari Maksimum
Konsumsi air bersih berubah menurut musim. Besar kebutuhan hari maksimum berkisar 130 % dari kebutuha rata –
rata per hari untuk kota besar atau kota industri, 150 % untuk kota sedang dan kecil. Atau ratio rata – rata dengan
maksimum adalah berkisar 70 % untuk kota sedang dan keci dan 80 % untuk kota besar.

AIR - 65
c. Kebutuhan Jam Maksimum
Kebutuhan puncak terjadi setiap hari, dan ini bergantung pada karakteristik dari kota. Ada kalanya waktu puncak
terjadi pada pagi hari yaitu pada saat orang mulai melakukan kegiatan. Atau pada sore hari pada saat orang selesai
melakukan aktivitasnya. Kebutuhan jam maksimum berkisar 130 % dari kebutuhan rata – rata untuk kota besar, 150
% untuk kota sedang dan kecil serta 200 % untuk desa atau suatu daerah perumahan. Kebutuhan jam maksimum
digunakan untuk menghitung diameter pipa distribusi.
Sistem Penyediaan Air Bersih
Sistem penyediaan air bersih meliputi besarnya komponen pokok antara lain unit sumber baku, unit pengolahan, unit
produksi, unit transmisi, unit distribusi dan unit konsumsi. Tujuan dari sistem penyediaan air bersih adalah agar
dapat menyalurkan/mensuplai air bersih kepada konsumen dalam jumlah yang cukup. Prinsip penyediaan air bersih
adalah :
a. Kualitas air
Air bersih dipengaruhi oleh bahan baku air itu sendiri atau mutu air yang berasal dari alam atau melalui proses
pengolahan.
Di daerah Kabupaten Musi Rawas terutama Kecamatan Sukakarya, Kuantitas air berhubungan langsung dengan
jumlah ketersediaan air yang akan diolah yang disesuaikan dengan cakupan wilayah pelayanan konsumen.
b. Kontinuitas air
Kontinuitas air menyangkut kelangsungan penggunaan dan pengaliran kebutuhan air secara terus menerus teruatama
pada saat musim kemarau. Salah satu cara menjaga agar kontinuitas air tetap tersedia yaitu dengan membuat
reservoar untuk menyimpan air sebagai persediaan air pada musim kemarau.
Sistem Distribusi dan Sistem Pengaliran Air Bersih
Sistem dsitribusi adalah sistem yang langsung berhubungan dengan konsumen yang mempunyai fungsi pokok
mendistribusikan air yang telah memenuhi syarat keseluruh daerah pelayanan. Sistem ini meliputi unsur sistem
perpipaan dan perlengkapannya, hidran kebakaran, tekanan tersedia, sistem pemompaan dan reservoir distribusi. Hal
yang harus diperhatikan dalam sistem distribusi adalah tersedianya jumlah air yang cukup dengan tekanan yang
memenuhi (kontinuitas pelayanan) serta menjaga keamanan kualitas air yang berasal dari instalasi pengolahan.

Sistem pengaliran air kepada konsumen dengan kualitas, kuantitas dan tekanan yang cukup memerlukan sistem
perpipaan yang baik. Metode pendistribusian air tergantung kepada kondisi topografi dari sumber air dan posisi
konsumen berada. Sistem pengaliran yang dipakai adalah cara gravitasi dan cara pemompaan.

3. METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian ada di daerah Kecamatan Sukakarya Kabupaten Musi Rawas selama 3 (tiga) bulan, yaitu pada
bulan Agustus – November 2016.
Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Langkah-langkah perhitungan kebutuhan air bersih adalah sebagai berikut :
a. Menghitung proyeksi jumlah penduduk hingga tahun perencanaan (2035);
b. Menghitung debit yang diperlukan sesuai dengan potensi pelanggan yang terdapat didaerah pelayanan sampai
akhir tahun perencanaan;
c. Mengalokasikan debit air sesuai dengan hasil perhitungan, setelah mempertimbangkan faktor puncak dan
kebocoran air.

AIR - 66
Domestik : Non Domestik : Faktor Puncak dan
- Jumlah penduduk yang - Karakteristik Kebocoran Air
akan dilayani; kota.
- Standar kebutuhan air.

Hasil Studi Sosial –


Tersedianya Air KEBUTUHAN Ekonomi dan
Baku AIR Kelayakan Finansial
Gambar 1. Langkah perhitungan kebutuhan air

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Jumlah Penduduk
Analisa proyeksi penduduk diperlukan untuk memperkirakan kapasitas debit air kebutuhan air penduduk pada saat
umur rencana yaitu tahun 2035. Perhitungan dilakukan dengan dua metode yaitu metode aritmatik dan metode
geometrik. Untuk menentukan pilihan rumus proyeksi jumlah penduduk yang akan digunakan dengan hasil
perhitungan yang paling mendekati kebenaran sehingga harus dilakukan analisis dengan menghitung standar
deviasi. Berikut hasil analisis proyeksi penduduk yang dilakukan dengan kedua metode diatas.

Tabel 2. Deviasi Standar dari Hasil Perhitungan Aritmatik


Tahun ke Jumlah Penduduk Hasil Perhitungan
Tahun Yi – Y mean (Yi – Y mean)2
(X) (Jiwa) Aritmatik (Yi)
2010 1 12.888 12.888 -738,17 544.890,03
2011 2 13.184 13.182 -444,37 197.461,73
2012 3 13.479 13.476 -150,57 22.670,32
2013 4 13.781 13.769 143,23 20.515,79
2014 5 14.068 14.063 437,03 190.998,13
2015 6 14.357 14.357 730,83 534.117,36
Jumlah 21 81.757 1.510.653,37
Y mean 13.626,17
Standar 549,66
Deviasi

Tabel 3. Deviasi Standar dari Hasil Perhitungan Geometrik


Tahun ke Jumlah Penduduk Hasil Perhitungan
Tahun Yi – Y mean (Yi – Y mean)2
(X) (Jiwa) Geometrik (Yi)
2010 1 12.888 12.888 -738,19 544.931,82
2011 2 13.184 13.169 -456,94 208.790,67
2012 3 13.479 13.457 -169,54 28.743,60
2013 4 13.781 13.750 124,13 15.408,11
2014 5 14.068 14.050 424,21 179.951,60
2015 6 14.357 14.357 730,83 534.117,36
Jumlah 21 81.757 1.511.943,15
Y mean 13.626,17
Standar 549,90
Deviasi

Rata-rata pertumbuhan penduduk dari tahun 2010 sampai 2015 adalah 294 jiwa/tahun dengan persentase
pertambahan penduduk rata-rata per tahun sebesar 2,182%. Hasil perhitungan standar deviasi memperlihatkan angka
yang berbeda pada kedua metode proyeksi. Angka terkecil dalam perhitungan proyeksi pertumbuhan penduduk ada
pada metode aritmatik yaitu sebesar 549,66. Sehingga penentuan proyeksi penduduk untuk Kecamatan Sukakarya
pada tahun 2035 dipilih dengan menggunakan metode aritmatik. Target yang akan dilayani dalam umur rencana
adalah sebesar 80% dari jumlah penduduk di akhir tahun rencana. Sedangkan 20% lainnya diperkirakan memenuhi

AIR - 67
kebutuhan air bersih berasal dari sumur warga sendiri. Analisa proyeksi pertumbuhan penduduk dengan
menggunakan metode aritmatik didapatkan hasil seperti Tabel 4.

Tabel 4. Analisa Perhitungan Proyeksi Pertumbuhan Penduduk sampai tahun 2035


Tahun Ka n Po Ka (Tn-To) Jumlah Jiwa
2016 294 1 14.357 294 14.651
2017 294 2 14.357 588 14.945
2018 294 3 14.357 881 15.238
2019 294 4 14.357 1.175 15.532
2020 294 5 14.357 1.469 15.826
2021 294 6 14.357 1.763 16.120
2022 294 7 14.357 2.057 16.414
2023 294 8 14.357 2.350 16.707
2024 294 9 14.357 2.644 17.001
2025 294 10 14.357 2.938 17.295
2026 294 11 14.357 3.232 17.589
2027 294 12 14.357 3.526 17.883
2028 294 13 14.357 3.819 18.176
2029 294 14 14.357 4.113 18.470
2030 294 15 14.357 4.407 18.764
2031 294 16 14.357 4.701 19.058
2032 294 17 14.357 4.995 19.352
2033 294 18 14.357 5.288 19.645
2034 294 19 14.357 5.582 19.939
2035 294 20 14.357 5.876 20.233

Kebutuhan Air Bersih Rumah Tangga


Kebutuhan air bersih rumah tangga (domestik) dihitung berdasarkan jumlah penduduk dan kebutuhan air per kapita.
Kriteria penentuan kebutuhan air domestik dikeluarkan oleh Puslitbang Pengairan Departemen Pekerjaan Umum,
menggunakan parameter jumlah penduduk sebagai penentuan jumlah air yang dibutuhkan perkapita per hari. Untuk
Kecamatan Sukakarya dikarenakan jumlah penduduk ada pada range 100 – 500 ribu jiwa berdasarkan kriteria yang
telah dikeluarkan pemerintah maka kebutuhan air domestik sambungan rumah dipakai 120 l/kapita/hari sedangkan
untuk hidran umum diambil 30 l/kapita/hari. Penyediaan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga dihitung
berdasarkan jumlah penduduk, persentase jumlah penduduk yang akan dilayani, cara pelayanan air dan konsumsi
pemakaian air. Periode perencanaan selama 20 tahun dibagi menjadi 4 tahap, yaitu tahap I (2016 – 2020), tahap II
(2021-2025), tahap III (2026-2030) dan tahap IV (2031-2035). Tingkat pelayanan air minum di tiap tahap berbeda-
beda dan disetiap tahapan terjadi peningkatan cakupan wilayah pelayanan. Berdasarkan cara pelayanan air minum
maka kebutuhan air domestik terbagi menjadi dua jenis yaitu sambungan rumah dan hidran umum. Pada awal tahun
perencana (2016), cakupan wilayah yang terlayani sebesar 35%. Proyeksi kebutuhan di akhir tahun perencanaan
(2035) adalah sebesar 80% untuk sambungan rumah.

Tabel 5. Proyeksi Kebutuhan Air untuk Sambungan Rumah Kecamatan Sukakarya


Tahun 2016 2020 2025 2030 2035
Jumlah Penduduk (Jiwa) 14.651 15.826 17.295 18.764 20.233
Persentase (%) 40 50 60 70 80
Jumlah terlayani (Jiwa) 5.860 7.913 10.377 13.135 16.186
Keb. Standar (l/Org/hari) 120 120 120 120 120
Jumlah Keb. Air (l/hari) 703.238 949.560 1.245.240 1.576.176 1.942.368
Jumlah Keb. Air (l/detik) 8,14 10,99 14,41 18,24 22,48

Hidran umum merupakan jenis sambungan yang dipasang melalui sebuah kran, berada di tempat umum yang
digunakan masyarakat untuk kebutuhan mck. Pelayanan kebutuhan air bersih ini ditujukan untuk masyarakat yang
kondisi ekonominya termasuk golongan menengah ke bawah atau dalam arti kata yang menempatin rumah non
permanen. Tabel 6 menunjukkan proyeksi kebutuhan air untuk hidran umum yang diperkirakan mengalami
penurunan seiring dengan meningkatnya kondisi perekonomian masyarakat.

AIR - 68
Tabel 6. Proyeksi Kebutuhan Air untuk Hidran Umum Kecamatan Sukakarya
Tahun 2016 2020 2025 2030 2035
Jumlah Penduduk (Jiwa) 14.651 15.826 17.295 18.764 20.233
Persentase (%) 60 50 40 30 20
Jumlah terlayani (Jiwa) 8.730 7.913 6.918 5.629 4.047
Keb. Standar (l/Org/hari) 30 30 30 30 30
Jumlah Keb. Air (l/hari) 263.714 237.390 207.540 168.876 121.398
Jumlah Keb. Air (l/detik) 3,05 2,75 2,40 1,95 1,41

Kebutuhan Air Sektor Non-Domestik


Kebutuhan air non domestik merupakan kebutuhan air dari berbagai fasilitas penunjang masyarakat seperti fasilitas
pendidikan, masjid/mushola, puskesmas, pasar, kegiatan industri maupun fasilitas rekreasi. Hasil perhitungan
kebutuhan air non domestik secara keseluruhan pada tahap I adalah 2,98 l/detik, tahap II 2,99 l/detik, tahap III 3,03
l/detik dan tahap IV 3,04 l/detik. Jumlah kebutuhan air non domsetik di Kecamatan Sukakarya selama periode
perencanaan ditunjukkan dalam tabel 7.Tabel 7. Rekapitulasi Proyeksi Kebutuhan Air Non Domestik Kecamatan
Sukakarya
Tahun 2016 2020 2025 2030 2035
Pendidikan (l/detik) 0,98 0,89 0,79 0,68 0,58
Masjid (l/detik) 0,59 0,59 0,63 0,66 0,69
Mushola (l/detik) 0,79 0,79 0,81 0,83 0,86
Pasar (l/detik) 0,61 0,66 0,72 0,78 0,84
Perkantoran (l/detik) 0,006 0,008 0,009 0,010 0,012
Puskesmas (l/detik) 0,023 0,023 0,023 0,046 0,046
Jumlah Keb. Air (l/detik) 2,99 2,96 2,97 3,01 3,03

Kehilangan Air
Kehilangan air merupakan faktor yang dapat menyebabkan kerugian pada sistem penyediaan air. Kehilangan air ini
biasanya disebabkan oleh kebocoran air pada pipa transmisi dan distribusi maupun kesalahan dalam pembacaan
meter. Pada saat terjadinya kehilangan air, maka PDAM akan mengalami kerugian secara ekonomi sedangkan bagi
konsumen akan mengalami terganggunya kapasistas dan kontinuitas pelayanan. Kehilangan air pada Kecamatan
Sukakarya diambil sebesar 20% akibat kebocoran dari jumlah total kebutuhan air selama masa tahun berjalan
berdasarkan Kriteria Perencanaan Ditjen Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum 1996.
Tabel 8. Perhitungan Kehilangan Air di Kecamatan Sukakarya
Tahun 2016 2020 2025 2030 2035
Kebutuhan Air
11,19 13,74 16,81 20,20 23,89
Domestik (l/detik)
Kebutuhan Air Non
2,99 2,96 2,97 3,01 3,03
Domestik (l/detik)
Kehilangan Air (l/detik) 2,84 3,34 3,96 4,64 5,38
Kebutuhan Air Rata-rata
17,02 20,04 23,75 27,85 32,30
(Qr) (l/detik)

Kebutuhan Air Harian Maksimum dan Jam Puncak


Perhitungan kebutuhan air maksimum dan kebutuhan jam puncak berasal dari nilai faktor hari maksimum dan nilai
faktor jam maksimum. Faktor hari maksimum untuk Kecamatan Sukakarya diambil pada nilai 1,15 sedangkan faktor
jam puncak 1,56 yang disesuaikan dengan Kriteria Perencanaan Ditjen Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum 1996
termasuk dalam kategori kota kecil berdasarkan jumlah penduduk. Debit pada hari maksimum dan jam puncak ini
akan digunakan untuk perencanaan distribusi yaitu kapasitas pengolahan dan kapasitas distribusi.

AIR - 69
Tabel 9. Kebutuhan Harian Maksimum, Jam Puncak dan Rata-rata di Kecamatan Sukakarya

Tahun 2016 2020 2025 2030 2035

Kebutuhan Air Rata-rata (Qr)


17,02 20,04 23,75 27,85 32,30
(l/detik)

Kebutuhan Air Harian


19,58 23,04 27,31 32,03 37,14
Maksimum (l/detik)

Kebutuhan Air Jam Puncak


26,56 31,26 37,04 43,45 50,38
(l/detik)

Berdasarkan perhitungan diatas, maka kapasitas pengolahan yang harus disediakan oleh PDAM pada tahun 2035
sebesar 32,30 l/detik. Minimal perencanaan 30 l/detik sehingga perencanaan dapat dilanjutkan pada perencanaan
jalur distribusi dengan mempertimbangkan aspek sosial ekonomi masyarakat.
Ketersediaan Air
Pemilihan sumber air baku di Kecamatan Sukakarya Kabupaten Musi Rawas didasarkan pada potensi ketersediaan
air dan dari segi kualitas maupun kuantitas. Pemilihan urutan pemanfaatan sumber air baku dimulai dari
pemanfaatan mata air (gravitasi), air tanah, air permukaan dan pemanfaatan air hujan. Tahap pertama dalam
perencanaan sistem air bersih adalah memilih sumber air yang sesuai yang dapat memenuhi kebutuhan air bersih
suatu pemukiman. Pemenuhan kebutuhan domestik dan non domestik di Kecamatan Sukakarya berasal dari sumber
air Danau Gegas. Pada studi ini dilakukan analisa terhadap ketersediaan air permukaan yang dihitung dengan
menggunakan metode F.J Mock. Besarnya angka probabilitas yang akan diambil adalah 80% dengan pertimbangan
debit 80% merupakan keandalan relatif rata-rata antara kebutuhan dan ketersediaan air. Hasil analisa debit dan
kualitas air dapat dilihat dari tabel 10 berikut :
Tabel 10. Analisa Sumber Air Baku Potensial

Sumber Air Baku Debit (l/detik) Kesimpulan Kualitas Kesimpulan


Danau Gegas 30,00 Memenuhi Layak Dapat digunakan

Dari pemilihan sumber air baku potensial ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas tersebut Danau gegas layak
dimanfaatkan sebagai sumber air baku penyediaan air bersih. Berdasarkan debitnya, danau gegas dapat digunakan
sebagai sumber air baku dengan mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kontinuitas aliran dikarenakan fungsi
utama danau gegas adalah untuk memenuhi kebutuhan irigasi dan perikanan.

Analisa Neraca Air


Keseimbangan air di Danau Gegas Kecamatan Sukakarya diperoleh dengan membandingkan kebutuhan dan
ketersediaan air untuk kondisi sekarang dan tahun-tahun yang diproyeksikan. Ketersediaan air didasarkan pada debit
andalan 80%. Kebutuhan air domestik dan non domestik adalah konstan sepanjang tahunnya. Dari grafik Gambar 2
dapat dilihat secara keseluruhan untuk sepanjang tahun terjadi surplus air. Dalam gambar tersebut ditunjukkan pula
jika ketersediaan air konstan dan kebutuhan air semakin meningkat setiap tahunnya. Kebutuhan air pada tahun 2035
mencapai 133,71 m3/hari sehingga persentase kebutuhan air terpenuhi di akhir tahun 2035 mencapai 69,05%.

AIR - 70
Gambar 2. Grafik Keseimbangan Air Danau Gegas di Kecamatan Sukakarya

Sistem Penyediaan Air Bersih


a. Bangunan Intake
Dalam perencanaan bangunan penyadap pada danau gegas menggunakan reservoir intake karena air yang digunakan
berasal dari dam bendungan air gegas dan dengan mudah menggunakan menara intake dan mesin pompa.

Gambar 3. Skema Sistem Penyediaan Air Bersih di Kecamatan Sukakarya

Gambar 4. Bangunan Intake

AIR - 71
b. Pipa Transmisi Air Baku
Pipa transmisi merupakan salah satu sistem penyediaan air yang berfungsi mengalirkan air dari sumber air ke
reservoir maupun instalasi pengolahan air. Pada penelitian ini, tipe sistem merupakan saluran bertekan (perpipaan)
dipasang diatas tanah dengan menggunakan pipa GIP. Adapun dimensi pipa transmisi air disajikan dalam tabel 11.
Tabel 11. Dimensi Sistem Pipa Transmisi Kecamatan Sukakarya
Panjang Pipa Dimensi dan Jenis Keterangan
Sumber air - Intake 8,16 m Ø 200 mm (GIP) Tinggi muka air (HWL) 6,16 m
Intake – IPA 1120 m 1 – 2 Ø 250 mm (GIP) IPA 30 l/s
IPA - Reservoir 3,00 m Ø 250 mm (GIP) Reservoir Kap. 225 m3
Reservoir – Rumah 2,00 m Ø 250 mm (GIP)
Pompa
Rumah Pompa - Pipa Distribusi
Pelayanan

Untuk menyalurkan air dari intake ke IPA digunakan pipa gip diameter 250 mm. Mengalami kehilangan head
sebesar 0,865 m dihitung dengan menggunakan persamaan Hazen-Williams. sedangkan dari IPA ke reservoir
menggunakan pipa gip diamter 250 mm dan mengalami loss head sebesar 0,593 m.

Gambar 4. Rencana Lokasi Intake dan IPA Air Bersih Kecamatan Sukakarya

c. IPA dan Reservoir


Kapasitas IPA didesain dengan debit 30 liter/detik sedangkan reservoir didesain dengan kapasitas 225 m3 ukuran
9,5x9,5x2,5 m dengan menggunakan pompa genset sebagai alat pendistribusian air ke konsumen. Pada reservoir
dilapisi waterstop agar air tidak merembes ke beton.

5. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Dari hasil perhitungan dan analisa didapatkan bahwa :
a. Kebutuhan air di Kecamatan Sukakarya pada tahun 2035 sebesar 37,14 l/detik.
b. Berdasarkan analisis teknis, sistem jaringan transmisi air bersih dari sumber baku Danau Gegas dialirkan
secara pemompaan.

AIR - 72
c. Ketersediaan air pada tahun 2035 masih mencukup kebutuhan air ditahun yang sama. Ketersediaan air
mengalami surplus atau kelebihan air sebesar 315,735 m3. Atau dengan kata lain pelayanan air masih
mencukupi sebesar 69,05%.
Saran
a. Guna penelitian lebih lanjut dapat dilakukan pengkajian potensi sumber daya air baku yang ada;
b. Perlu dilakukan pengkajian kelayakan investasi sistem jaringan air bersih.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2010). “Pedoman Perhitungan Proyeksi Penduduk dan Angkatan Kerja”. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Gaib, Dwi Tirta Yudha., Tanudjaja, Lambertus dan Hendratta, Liany A. (2016). “Perencanaan Peningkatan
Kapasitas Produksi Air Bersih Ibukota Kecamatan Nuangan”. Jurnal Sipil Statik Vol 4 No. 8 Agustus 2016
(481- 490) ISSN : 2337-6732.
Joko, Tri. (2010). “Unit Produksi Dalam Sistem Penyediaan Air Minum”. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Lubis, Zulfikli dan Affandy, Nur Azizah. (2014). “Kebutuhan Air Bersih di Kecamatan Glagah Kabupaten
Lamongan”. Jurnal TeknikA Vol 6 No. 2 September 2014.
Triatmodjo, Bambang. (2008). “Hidrologi Terapan”. Beta Offset. Yogyakarta.
Soewarno. (1995). “Hidrologi, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data, Jilid 1”. NOVA. Bandung.
Soewarno. (1995). “Hidrologi, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data, Jilid 2”. NOVA. Bandung.

AIR - 73
AIR - 74
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

PENGISIAN DATA HUJAN YANG HILANG DENGAN PENGUJIAN DEBIT


ANDALAN DI DAS TIRTOMOYO

Siti Dwi Rahayu1, Rintis Hadiani2 dan Setiono3

1
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
Email: sitidwii@gmail.com
2
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
Email: rintish@gmail.com
3
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
Email: setiono@ft.uns.ac.id

ABSTRAK
Data hujan merupakan salah satu komponen terpenting dalam analisis hidrologi. Permasalahan yang
terjadi dalam pengumpulan data hujan adalah ketidaklengkapan data pada periode perekaman di
stasiun hujan tertentu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan model hidrologi pengisian
data hujan yang hilang. Pengisian data hujan dilakukan dengan dua metode yaitu metode Reciprocal
yang umum digunakan dan metode Multiple Nonlinear Standardize Correlation (MNSC) yang
disarankan dalam SNI. Penelitian dilakukan di DAS Tirtomoyo, Wonogiri, Jawa Tengah dengan
data hujan 15 harian dalam kurun waktu 10 tahun di 4 stasiun hujan. Proses simulasi model diawali
dengan mengeliminasi data menggunakan metode sampling dengan kesalahan relatif 1%.
Kemudian, dilakukan perhitungan model untuk mendapatkan data hujan kembali dengan metode
Reciprocal dan metode MNSC. Kesesuaian model dengan DAS berdasarkan penggunaan akhir dari
data tersebut. Pada penelitian ini data digunakan untuk menghitung debit andalan. Dengan demikian
pemilihan model yang sesuai dengan membandingkan debit andalan berdasarkan data observasi dan
debit andalan berdasarkan data simulasi. Hasil perhitungan pengisian data hujan menunjukkan
bahwa metode Reciprocal mempunyai korelasi tinggi terhadap data observasi yang ditinjau pada
masing-masing stasiun yaitu Stasiun Watugede, Stasiun Ngancar, Stasiun Puter dan Stasiun Balong
memiliki korelasi berturut-turut 0,89; 0,97; 0,96; dan 0,93. Sedangkan untuk metode MNSC
didapatkan hasil korelasi masing-masing stasiun yaitu 0,66; 0,84; 0,79 dan 0,75. Berdasarkan
perhitungan Q55 dan Q82 data hasil simulasi metode MNSC memiliki nilai korelasi yang lebih
tinggi terhadap perhitungan dengan data observasi yaitu 0,93 dan 0,96. Jadi, pengisian data hujan
yang hilang dengan metode Reciprocal ataupun metode MNSC hasilnya tidak berpengaruh apabila
diuji dengan metode Mock.
Kata kunci: Data Hujan yang Hilang, Debit Andalan, Metode Multiple Nonlinear Standardize
Correlation (MNSC), Metode Reciprocal

1. PENDAHULUAN
Analisis hidrologi merupakan analisis awal dalam perencanaan dan perancangan bangunan hidraulik. Komponen
terpenting yang diperlukan dalam proses analisis hidrologi adalah data hujan. Pencatatan data curah hujan yang
dilakukan pada suatu DAS dilakukan di beberapa titik stasiun pencatat curah hujan. Didalam pengukuran data curah
hujan sering dialami dua masalah. Pertama adalah tidak tercatatnya data hujan karena rusaknya alat atau pengamat
tidak mencatat data. Data yang hilang ini dapat diisi dengan nilai prakiraan. Masalah kedua adalah karena adanya
perubahan kondisi di lokasi pencatatan selama suatu periode pencatatan, seperti pemindahan atau perbaikan stasiun
dan perubahan prosedur pengukuran. Guna melengkapi kekosongan data hujan tersebut dalam penelitian ini
digunakan metode pengisian data hujan. Pengisian data hujan yang hilang dilakukan dengan metode Reciprocal
yang sering digunakan pada umumnya dan dengan metode Multiple Nonlinear Standardize Correlation yang
disarankan oleh SNI.
Metode Multiple Nonlinier Standardize Correlation (MNSC) adalah pengisian data hujan yang mencakup hubungan
korelasi dan regresi antar seri data pengisi dan yang diisi. Penerapan pedoman ini memerlukan beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi antara lain jumlah stasiun minimal 3 buah. Metode Reciprocal (Linsley,dkk., 1975) adalah
metode untuk pengisian data yang hilang dengan memanfaatkan jarak antar stasiun sebagai faktor koreksi
(weighting factor). Nampak disini bahwa korelasi antara dua stasiun hujan menjadi semain kecil dengan semakin
besarnya jarak antara stasiun.

AIR - 75
Dalam penelitian ini, model hidrologi untuk pengisian data hujan yang hilang dengan metode Reciprocal dan
metode MNSC dilakukan pada DAS Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri.

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI


Penelitian tentang pengisian data hujan yang hilang telah dikaji sebelumnya. Purwanto (2016) melakukan Penelitian
model hidrologi pengisian data hujan yang hilang berdasarkan debit andalan di DAS Dengkeng, dengan metode
rerata, Reciprocal, Autoregresif dan Jaringan Saraf Tiruan dihasilkan metode Reciprocal merupakan metode terbaik
untuk pengisian data hujan dibanding ke-3 metode lain yang digunakan. Korelasi yang dihasilkan mencapai 0,98.

Daerah Aliran Sungai


Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-
punggumg gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui
sungai utama pada suatu titik/stasiun yang dituju.
Uji Konsistensi
Uji konsistensi harus dilakukan untuk mengetahu data hujan yang akan digunakan untuk analisis layak digunakan
atau perlu dikonsistensikan. Uji konsistensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kurva massa ganda
(double mass curve). Data dikatakan konsisten apabila koefisien deterministik (R2) ~ 1. Adapun koefisien
deterministik antara variabel x dan y dapat diperoleh dengan Persamaan (1).


 ( x y )  { ( x ) ( y )} / n
i i i i
2

 ( x )  { ( x ) / n ( y )  { ( y ) / n
2
R 2 2 2 2
(1)
i i i i

dengan : i = data ke; n = jumlah data.

Sampling Data
Sampling data merupakan teknik pengambilan sampel untuk menentukan jumlah sampel yang akan digunakan
dalam penelitian. Dalam perhitungan sampling data meode yang digunakan adalah metode sampling purposive.
Jenis sampling ini memungkinkan peneliti untuk mengambil sampel sesuai dengan tujun penelitian. Taraf kesalahan
relatif yang diambil adalah 1%.

Pengisian Data Hujan dengan Metode Reciprocal

Metode Reciprocal adalah salah satu metode yang digunakan untuk mencari data yang hilang. Metode perhitungan
ini memperhitungkan stasiun yang berdekatan untuk mencari data curah hujan yang hilang di stasiun tersebut.
Dengan menggunakan Metode Reciprocal, data curah hujan yang hilang dapat dihitung dengan Persamaan (2).

n
Pi
L
i 1
2
Px  n
i
(2)
1
 2
i 1 Li

dengan: Px = hujan yang hilang di stasiun X (mm); Pi = data hujan di stasiun sekitarnya pada eriode yang sama
(mm); Li = jarak stasiun X dengan stasiun disekitarnya (km); n = jumlah stasiun hujan di sekitarnya.

Pengisian Data Hujan dengan Metode Reciprocal


Standar Nasional Indonesia (SNI) kode Pd T-22-2004-A telah menetapkan metode pengisian data hujan dengan
metode Multiple Nonlinier Standardize Correlation (MNSC). Prinsip dari metode ini adalah menormalisasikan seri
data hujan dengan cara transformasi ke bentuk logaritma dengan asumsi bahwa seri data hujan dalam bentuk
logaritma mengikuti distribusi normal. Setelah stasiun pengisi diperoleh, seri data stasiun yang akan diisi dan stasiun
pengisi disusun ke bawah sesuai dengan urutan waktunya kemudian baru ditransformasi, standarisasi, skala 0-1.
Korelasi dan regresi dengan banyak variabel yang sudah diskalakan dilakukan untuk mendapatkan faktor bobot

AIR - 76
persamaan. Setelah persamaan metode ini diperoleh, semua variabel dikembalikan ke bentuk semula (RSNI PD
T22-2004-A, 2004).
Hasil penghitungan diuji dengan kesalahan absolut dan parameter statistik. Kategori kesalahan absolut yang
digunakan adalah Kesalahan Absolut Rata-rata (KAR) dan Kesalahan Absolut lebih besar atau sama dengan dari
25% (KA ≥ 25%), semakin kecil kesalahan, semakin layak pengisian data yang dilakukan (RSNI PD T22-2004-A,
2004).

Tahapan pengisian data dengan metode Multiple Nonlinier Standardize Correlation adalah sebagai berikut:

1. Transformasi
Transformasi yang digunakan dalam pedoman ini adalah bentuk ln seperti pada Persamaan (3).
Yi , j  ln( X i , j  1) (3)
dengan : Yi,j = besaran variabel masukan yang sudah ditransformasi untuk data ke i di stasiun j; Xi,j = data asli yang
sudah diurutkan pada urutan i pada stasiun j; i = urutan data ke i sesuai urutan waktunya, dengan i = 1, 2, 3, …..n; n
= stasiun hujan j sebagai stasiun pengisi dengan j = 1, 2, 3, …m dan stasiun yang diisi dengan j = 0.

2. Standardisasi
Setelah diubah dalam bentuk logaritma, seri data hujan tersebut distandardisasi untuk mendapatkan nilai rata-rata
sama dengan nol dan simpangan baku sama dengan satu. Standardisasi ini menggunakan Persamaan (4).
Yi , j  Y j
Zi , j  (4)
 Yi , j
dengan : Zi,j = besaran variabel masukan yang sudah distandarisasi untuk data ke i di stasiun j; Yi,j = variabel yang
sudah ditransformasi hasil dari persamaan (3) untuk data ke i di stasiun j; Yj = nilai rata-rata dari variabel di stasiun j
yang sudah ditransformasi; σYi,i = nilai simpangan baku dari variabel yang sudah ditransformasi di stasiun j.

3. Skala 0-1
Untuk memasukkan semua besaran variabel di dalam batasan minimum sampai maksimum dan mengurangi
fluktuasinya maka digunakan skala 0-1 sehingga besaran variabel mempunyai nilai minimum 0,1 dan maksimum
0,9 dari seluruh variabel. Skala 0-1 ini dibuat dalam Persamaan (5).
 0,8   0,8Z maks0  j 
Y 'i , j   Z i , j    0,9   (5)
 (Z  Z )   ( Z  Z ) 
 maks 0  j min 0  j   maks 0  j min 0  j 
dengan : Y’i,j = variabel masukan ke metode untuk data ke i pada stasiun j; Zi,j = besaran variabel hasil dari
persamaan (4); Zmin,0-j = besaran variabel minimum di seluruh stasiun; Zmaks,0-j = besaran variabel maksimum di
seluruh stasiun.

4. Korelasi
Untuk mendapatkan gambaran hubungan variabel dari stasiun yang diisi dengan variabel stasiun pengisi untuk data
asli maka dihitung koefisien korelasinya. Persamaan untuk estimasi koefisien korelasi data asli mrnggunakan fungsi
Ms. Excel yaitu =CORREL (sheet1;sheet2;....)

5. Regresi
Regresi dari banyak variabel dilakukan setelah data diskalakan dengan pendekatan kuadrad terkecil untuk regresi
garis lurus dengan persyaratan besarnya koefisien determinasi (R 2) lebih besar dari 0,9. Jika R2 < 0,9 maka
pengisian tidak dapat dilakukan. Persamaan regresi linier dengan banyak variabel dapat dilihat pada Persamaan (6).

Y '  a1Y '1 a2Y '2 ......amY 'm a (6)


dengan : Y’ = persamaan regresi linier dengan banyak variabel; a1...am = koefisien regresi dari variabel Y’1 sampai
Y’m; Y’1...aY’m = variabel yang sudah diskalakan dari stasiun pengisi dari stasiun 1 sampai stasiun m; a = konstanta
regresi.

6. Faktor bobot
Untuk mengetahui kontribusi hubungan stasiun pengisi terhadap stasiun yang diisi digunakan faktor bobot setiap
stasiun pengisi yang merupakan rasio dari perkalian absolut koefisien korelasi dan regresi di salah satu stasiun

AIR - 77
pengisi dibagi dengan jumlah total perkalian absolut koefisien korelasi dan regresi semua stasiun. Faktor bobot
tersebut tertera pada Persamaan (6) dan syarat yang harus dipenuhi tertera pada Persamaan (7).
| oj oj |
j  (7)
| 11 |  |  2 2 | ..... |  m m |
Syarat yang harus dipenuhi untuk rumus tersebut adalah :
1   2  ....   m  1 (8)
dengan : δj = faktor bobot untuk lokasi stasiun pengisi j yaitu salah satu dari stasiun 1 sampai m; α = koefisien
regresi dilokasi yang ditinjau; ρoj = koefisien korelasi antara variabel yang sudah diskalakan di stasiun yang ditinjau
dan stasiun yang diisi; α01.... α0m = koefisien regresi di stasiun 1 sampai stasiun m; ρo1….ρom = koefisien korelasi
antar variabel yang sudah diskalakan di stasiun 1 sampai stasiun m.

7. Persamaan metode korelasi distandardisasi nonlinier bertingkat


Persamaan metode merupakan perkalian dari faktor bobot dan variabelnya untuk estimasi besaran data yang kosong
di stasiun X. Persamaan tersebut tertera pada Persamaan (9).
m
Y c ,i   jY 'i , j (9)
j 1

dengan : Y’c,i = variabel yang dihitung untuk data ke i; δj = faktor bobot stasiun pengisi j; Y’i,j = variabel yang sudah
diskalakan untuk data ke-i di stasiun pengisi j.

8. Pengembalian ke bentuk semula


Hasil yang diperoleh pada Persamaan (9) di atas masih dalam bentuk skala 0-1 untuk itu harus dikembalikan ke
bentuk semula yaitu deskala, denormalisasi, destandardisasi dan detransformasi.

a) Deskala
Deskala adalah pengembalian dari bentuk skala ke bentuk standardisasi yang rumusnya merupakan pembalikan dari
Persamaan (5) menjadi Persamaan (10).
 0,9.Z maks, 0  j  Z maks0  j  Z maks0  j 
Z c ,i  Yc ,i   0,9   

(10)
 
 ( Z maks0  j Z min 0  j 
) 0,8 
dengan : Zc,i = variabel ke i hasil penghitungan di stasiun yang diisi dalam bentuk standardisasi; Zmaks 0-j = nilai
maksimum dari variabel seluruh stasiun dalam bentuk standardisasi; Zmin 0-j = nilai minimum dari variabel seluruh
stasiun dalam bentuk standardisasi.

b) Destandardisasi
Destandarisasi ini merupakan pengembalian ke bentuk distribusi kumulatif standar normal (Normsdist) untuk rata-
rata dan simpangan baku yang dhasilkan dari Persamaan (11) Persdengan menggunakan spread sheet dapat
digunakan fungsi seperti Persamaan (12).
Y 'c ,i  Normdist ( Z c,i ) (12)
dengan pengertian : Y’c,i = variabel ke i hasil penghitungan dalam bentuk probabilitas.

c) Denormalisasi
Denormalisasi ini merupakan kebalikan dari distribusi kumulatif normal (Norminv) untuk ratarata (µ) dan
simpangan baku (σ) dari variabel yang dihasilkan pada Persamaan (4) Estimasi denormalisasi dapat dilihat pada
Persamaan (13) pada tahap ini nilai yang dihasilkan masih dalam bentuk logaritma (ln) yang nantinya perlu
dikembalikan lagi ke dalam bentuk aslinya.
Y 'c ,i  Nor min v(Y 'ci ,  , ) (13)
dengan : Y”c,i = variabel ke i hasil penghitungan di stasiun yang diisi dalam bentuk ln.

d) Detransformasi
Detransformasi ini merupakan pengembalian ke data asli yang merupakan hasil akhir dari metode ini. Persamaan
detransformasi merupakan kebalikan dari Persamaan (3) dan dapat dilihat pada Persamaan (14).
X c,i  e 1
(Y "c , i )
(14)

AIR - 78
dengan : Xc,i = variabel ke i hasil penghitungan dalam bentuk asli.

9. Evaluasi
Evaluasi pada metode ini dimaksudkan untuk mengetahui keakuratan metode yang digunakan. Tolok ukur yang
digunakan adalah kesalahan absolut dan parameter statistik. Toleransi kesalahan diambil 25%, jika kesalahan lebih
besar dari 25% maka dianggap pengisian tidak akurat. Dua katagori kesalahan yang digunakan yaitu KAR dan KA ≥
25%. Persamaan KA dan KAR tertera pada Persamaan (15) dan (16).
| X c ,i  X 0,i |
KA  (15)
X 0,i
1 n | X c ,i  X 0,i |
KAR   X
n i 1
(16)
0,i
dengan : n = jumlah sampel data; Xc,i = besaran hujan ke i hasil penghitungan di stasiun yang diisi; X0,i = besaran
hujan ke i hasil pengamatan di stasiun yang diisi.

Perhitungan Hujan Wilayah


Dalam menghitung hujan wilayah pada penelitian ini menggunakan metode poligon Thiessen karena metode ini
memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Rumus metode Thiessen
dapat dilihat pada Persamaan (17).


n
P A  P A  ...  Pn An P Ai
P 1 1 1 1  i 1 i
(17)
A1  A2  ....  An 
n
A
i 1 i

dengan = curah hujan rata-rata DAS (mm); P1, P2, ...., Pn = curah hujan di stasiun hujan 1, 2, .... , n (mm); dan A1,
A2, ...., An = luas areal poligon dari stasiun hujan 1, 2, .... , n (km2).

Evapotranspirasi

Metode yang digunakan untuk perhitungan evapotranspirasi adalah metode Penman-Monteith. Perhitungan
Evapotranspirasi menggunakan Aplikasi Cropwat ver 8.0 – daily Eto Penman – Monteith.

Perhitungan Debit dengan Metode Mock


Metode Mock merupakan model neraca air yang dapat menghitung debit bulanan dari data curah hujan,
evapotranspirasi, kelembapan tanah dan tampungan air tanah. Data dan asumsi yang diperlukan untuk perhitungan
Metode Mock adalah sebagai berikut (KP-01,2013):

a. Data Curah Hujan


Data curah hujan yang digunakan adalah curah hujan 15 harian. Stasiun curah hujan yang dipakai adalah
stasiun yang dianggap mewakili kondisi hujan di daerah tersebut.

b. Evapotranspirasi Terbatas (Et)


Evapotranspirasi terbatas adalah evapotranspirasi aktual dengan mempertimbangkan kondisi vegetasi dan
permukaan tanah serta frekuensi curah hujan.
Untuk menghitung evapotranspirasi terbatas diperlukan data:
1. Curah hujan 15 harian (P)
2. Jumlah hari hujan (n)
3. Jumlah permukaan kering 15 harian (d) dihitung dengan asumsi bahwa tanah dalam suatu hari hanya
mampu menahan air 12 mm dan selalu menguap sebesar 4 mm.
4. Exposed surface (m%) ditaksir berdasarkan peta tata guna lahan atau dengan asumsi:
m = 0% untuk lahan dengan hutan lebat
m = 0% pada akhir musim hujan dan bertambah 10% setiap bulan kering untuk lahan sekunder.
m = 10% - 40% untuk lahan yang tererosi.
m = 20% - 50% untuk lahan pertanian yang diolah.
Secara matematis evapotranspirasi terbatas dirumuskan pada Persamaan (18) dan Persamaan (19).
Et  E p  E (18)

AIR - 79
m
E  E p x  x(18  n) (19)
 20 
dengan: E = Beda antara evapotranspirasi potensial dengan evapotranspirasi terbatas (mm); Et =
Evapotranspirasi terbatas (mm); Ep = Evapotranspirasi potensial (mm); m = singkapan lahan (Exposed
surface); n = jumlah hari hujan.

c. Luas Daerah Pengaliran


Semakin besar daerah pengaliran dari suatu aliran kemungkinan akan semakin besar pula ketersediaan
debitnya.

d. Kapasitas Kelembaban Tanah (SMC)


Soil Moisture Capacity adalah kapasitas kandungan air pada lapisan tanah permukaan (surface soil) per m2.
Dalam perhitungan ini nilai SMC diambil antara 50 mm sampai dengan 200 mm. Besarnya kapasitas
kelembaban tanah dihitung dengan Persamaan (20) dan (21).
SMC( n )  SMC( n 1)  IS( n ) (20)
Ws  As  IS (21)
dengan : MC = Kelembaban tanah; SMC (n) = Kelembaban tanah periode ke n; SMC(n-1) = Kelembaban tanah
periode ke n-1; IS = Tampungan awal (initial storage) (mm); As = Air hujan yang mencapai permukaan tanah.

e. Keseimbangan air di permukaan tanah


Keseimbangan air di permukaan tanah dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
 Air hujan,
 Kandungan air tanah (soil storage),
 Kapasitas kelembaban tanah (SMC),
Air Hujan (As)
Air hujan yang mencapai permukaan tanah dihitung dengan Persamaan (22).
As  P  Et (22)
dengan : As = air hujan yang mencapai permukaan tanah; P = curah hujan bulanan; Et = Evapotranspirasi.

f. Kandungan air tanah


Besar kandungan tanah tergantung dari harga As. bila harga As negatif. Maka kapasitas kelembaban tanah
akan berkurang dan bila As positif maka kelembaban tanah akan bertambah.

g. Aliran dan Penyimpangan Air Tanah (run offdan Ground water storage)
Nilai run off dan ground water tergantung dari keseimbangan air dan kondisi tanahnya.

h. Koefisien Infiltrasi
Koefisien nilai infiltrasi diperkirakan berdasarkan kondisi porositas tanah dan kemiringan DPS. Lahan DPS
yang poros memiliki koefisien infiltrasi yang besar. Sedangkan lahan yang terjadi memiliki koefisien infitrasi
yang kecil. karena air akan sulit terinfiltrasi ke dalam tanah. Batasan koefisien infiltrasi adalah 0 – 1.

i. Faktor Resesi Aliran Tanah (k)


Faktor Resesi adalah perbandingan antara aliran air tanah pada bulan ke n dengan aliran air tanah pada awal
bulan tersebut. Faktor resesi aliran tanah dipengaruhi oleh sifat geologi DPS. Dalam perhitungan ketersediaan
air metode FJ Mock, besarnya nilai k didapat dengan cara coba-coba sehingga dapat dihasilkan aliran seperti
yang diharapkan.

j. Initial Storage (IS)


Initial Storage atau tampungan awal adalah perkiraan besarnya volume air pada awal perhitungan. IS di lokasi
studi diasumsikan sebesar 100 mm.

k. Penyimpangan air tanah (Ground Water Storage)


Penyimpangan air tanah besarnya tergantung dari kondisi geologi setempat dan waktu. Sebagai permulaan dari
simulasi harus ditentukan penyimpanan awal (initial storage) terlebih dahulu.
Perhitungan penyimpanan air tanah dihitung dengan Persamaan (23) dan (24).
Vn  kxVn 1  0,5(1  k ) I (23)

AIR - 80
Vn  vn  vn 1 (24)
dengan : Vn =Volume air tanah periode ke n; K = qt/qo = faktor resesi aliran tanah; qt = aliran air tanah pada
waktu periode ke t; qo = aliran air tanah pada awal periode (periode ke 0); vn-1 = volume air tanah periode ke
(n-1); vn = perubahan volume aliran air tanah.

l. Aliran Sungai
Air yang mengalir di sungai merupakan jumlah dari aliran langsung (direct run off). aliran dalam tanah
(interflow) dan aliran tanah (base flow).

Besarnya masing-masing aliran tersebut adalah:


1. Interflow = infiltrasi – volume air tanah
2. Direct run off= water surplus – infiltrasi
3. Base flow = aliran yang selalu ada sepanjang tahun
4. Run off= interflow + direct run off+ base flow.

3. METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ini dilakukan di Sungai Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Sungai terletak di DAS
Tirtomoyo di titik Stasiun debit Sulingi yang memiliki luas 182,73 km2. Data-data yang diperlukan antara lain data
hujan 15 harian 2007-2016 dari 4 stasiun di DAS Tirtomoyo yaitu Stasiun Watugede, Stasiun Ngancar, Stasiun
Puter dan Stasiun Balong. Data debit lapangan Stasiun Sulingi dan data klimatologi Stasiun Wd. Ngancar tahun
2007 – 2016. Peta stasiun hujan dan peta DAS Tirtomoyo 1:25000. Analisis data dilakukam dengan Microsoft
Excel, AutoCAD, dan Cropwatt ver. 8.0
Tahapan penelitian pertama yang dilakukan adalah uji konsistensi data hujan dengan kurva masa ganda. Data yang
telah konsisten dilakukan sampling dati dengan menghilangkan data hujan untuk simulasi setiap stasiun hujan.
Kesalahan relatif sampling data 1% dengan menghilangkan 64 data dan yang digunakan 176 data setiap stasiun
hujan. Data yang telah dihilangkan kemudian dilakukan pengisian dengan metode Reciprocal dan metode Multiple
Nonlinear Standardize Correlation (MNSC). Hasil dari data yang disimulasikan dan data observasi kemudian
dihitung debit nya dengan metode Mock. Hasil dari debit kemudian untuk mencari debit andalan Q50 dan Q80 dari
masing-masing dari observasi dan simulasi. Kemudian dicari korelasi masing-masing simulasi terhadap perhitungan
dengan data observasi. Hasil korelasi antar data hujan simulasi terhadap data hujan observasi dan debit data simulasi
terhadap debit data observasi untuk menentukan metode pengisian data hujan yang hilang yang terbaik.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Konsistensi Data dengan Kurva Masa Ganda


Perhitungan uji konsistensi data dilakukan untuk masing-masing stasiun hujan pada DAS Tirtomoyo. Data curah
hujan yang digunaka untuk pengujian ini adalah data hujan tahunan pada masing-masing stasiun dari tahun 2007-
2016. Hasil uji konsistensi data ditunjikkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik Kurva Masa Ganda Uji Stasiun Hujan di DAS Tirtomoyo

AIR - 81
Sampling dan Pengisian Data

Dari setiap stasiun hujan data disimulasikan untuk dihilangkan datanya dari tiap masing-masing stasiun sejumlah 64
data secara acak. Data dihilangkan dengan tujuan untuk disi dengan metode Reciprocal dan metode Multiple
Nonlinear Standardize Correlation (MNSC). Sehingga didapatkan nilai data hujan yang baru.

Korelasi Data Hujan Simulasi terhadap Data Hujan Observasi

Dari data hujan hasil simulasi dihitung korelasinya terhadap data hujan observasi dari masing-masing stasiun hujan.
Hasil perhitungan dtunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Korelasi Data Hujan Hasil Simulasi terhadap Data Hujan Observasi
Jenis Nama Stasiun Nilai Keterangan
Simulasi Hujan Korelasi (R)
Watugede 0,89 Sangat Tinggi
Ngancar 0,97 Sangat Tinggi
Reciprocal
Puter 0,96 Sangat Tinggi
Balong 0,93 Sangat Tinggi
Multiple Watugede 0,66 Cukup
Nonlinear Ngancar 0,84 Tinggi
Standardize Puter 0,79 Tinggi
Correlation Balong 0,75 Tinggi
Dari hasil perhitungan menunjukkan dengan metode Reciprocal memiliki keakuratan lebih tinggi terhadap data asli.

Perhitungan Hujan Wilayah


Pada penelitian ini untuk menentukan hujan wilayah digunakan metode poligon Thiessen. Data curah hujan yang
digunakan berupa data hujan 15 harian selama 10 tahun dari tahun 2007-2016 yang berasal dari empat stasiun hujan
yaitu Watugede, Ngancar, Puter dan Balong. Hujan wilayah dihitung dari masing-masing data hujan simulasi dan
data hujan observasi. Pembuatan Poligon Thiessen DAS Tirtomoyo ini menggunakan program AutoCAD dengan
hasil yang ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Poligon Thiessen DAS Tirtomoyo

Dari poligon Thiessen tersebut dapat dihitung koefisien Thiessen untuk masing-masing stasiun hujan sesuai dengan
luasan poligon seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

AIR - 82
Tabel 2. Koefisien Thiessen Stasiun Hujan
Stasiun Hujan Luas (km2) Koefisien Thiessen
Watugede 95,64 0,52
Ngancar 36,36 0,20
Puter 12,97 0,07
Balong 37,76 0,21
Jumlah 182,73 1

Perhitungan Debit

Pada penelitian ini, dari hasil perhitungan hujan wilayah masing-masing data hujan simulasi dan data hujan
observasi kemudian dihitung debit dengan metode Mock. hasil perhitungan debit dengan metode Mock dari masing-
masing data dan data debit lapangan Stasiun Sulingi digambarka pada Gambar 3.

Gambar 3. Hasil Debit Lapangan Stasiun Sulingi degan Perhitungan Debit dari Data Hujan Simulasi dan Data Hujan
Observasi

Perhitungan Debit Andalan dan Korelasi Debit Andalan

Perhitungan debit andalan pada penelitian ini digunakan metode Basic Month dengan menggunakan data debit dari
hasil perhitungan masing-masing data simulasi dan data observasi. Debit andalan yang dihitung adalah debit andalan
dengan probabilitas 50% dan 80%. Dengan metode Basic Month didapatkan debit andalan dengan probabilitas 55%
dan 82%. Hasil perhitungan korelasi dari debit andalan masing masing data simulasi dan data observasi serta hasil
perhitungan selisih debit ditunjukan pada Tabel 3.

Tabel 3. Korelasi Perhitungan Debit Andalan Data Simulasi terhadap Perhitungan Debit Andalan Data Observasi
Perhitungan
Jenis Data Korelasi Debit
Selisih Debit
Q55 Q80 Q55 Q80
Reciprocal 0,837 0,944 1,648 1,180
MNSC 0,928 0,960 1,353 0,522
Dari hasil perhitungan menunjukkan dengan metode MNSC memiliki korelasi lebih tinggi dibanding perhitungan
dengan metode Reciprocal.

AIR - 83
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
a. Dari jumlah data masing-masing stasiun 240 data hujan yang terdiri dari data hujan 15 harian dalam kurun
waktu 10 tahun, jumlah sampling pengosongan data hujan pada setiap masing-masing stasiun 64 buah data
hujan. Sehingga data yang dipakai untuk sampel 176 buah
.
b. Simulasi pengisian data hujan dengan metode Reciprocal menghasilakan korelasi yang sangat tinggi terhadap
data observasi yang ditinjau pada masing-masing stasiun yaitu yaitu Stasiun Watugede, Stasiun Ngancar,
Stasiun Puter dan Stasiun Balong memiliki korelasi berturut-turut 0,89; 0,97; 0,96; dan 0,93. Sedangkan untuk
metode MNSC didapatkan hasil korelasi masing-masing stasiun secara berturut-turut adalah 0,66; 0,84; 0,79
dan 0,75. Jadi, dengan metode Reciprocal didapatkan korelasi mencapai 0,89 – 0,97 sedangkan untuk metode
MNSC didapatkan korelasi data mencapai 0,66 – 0,84.

c. Q50 dan Q80 dalam perhitungan didapatkan nilai Q55 dan Q82. Nilai korelasi yang dihasilkan untuk metode
MNSC dengan Q55 adalah 0,93; untuk Q82 adalah 0,96 sedangkan untuk metode Reciprocal dihasilkan nilai
korelasi dengan Q55 adalah 0,84; untuk Q82 adalah 0,94.
Jadi, dengan metode Reciprocal didapatkan korelasi debit mencapai 0,94 sedangkan untuk metode MNSC
didapatkan korelasi lebih tinggi mencapai 0,96 dapat disimpulkan pengisian data hujan yang hilang dengan
metode Reciprocal ataupun dengan metode MNSC hasilnya tidak berpengaruh apabila diuji dengan metode
Mock. Hasil tersebut dikarenakan diduga variabel perhitungan jumlah hari hujan data simulasi yang di
regresikan linear yang dapat memperbaiki hasil serta metode yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Ashruri. (2015) .“Pemodelan Periodik dan Stokastik untuk Menganalisis Data Curah Hujan yang Hilang
Menggunakan Studi Kasus Stasiun Hujan Sukarame”. Jurnal Rekayasa. Vol.19. No.1 (April 2015).
Fauzi, Manyuk dkk. (2012) .”Pengisian Kekosongan Data Hujan dengan Metode Multiple Nonlinear Standardize
Corelation pada Stasiun Hujan Daerah Aliran Sungai Indragiri dan Rokan”. Program Studi S-1 Teknik Sipil
Fakultas Teknik Unversitas Riau. Riau.
Huda, Ary Miftakhul. dkk. (2012) .“Peramalan Data Curah Hujan dengan Seasonal Autoregressive Integrated
Moving Average (SARIMA) dengan Deteksi Outlier sebagai Upaya Optimalisasi Produksi Pertanian di
Kabupaten Mojokerto”. Universitas Trunojoyo. Madura.
Prawaka, Fanny. (2016) .”Analisis Data Curah Hujan yang Hilang dengan Menggunakan Metode Normal Ratio,
Inversed Square Distane, dan Rata-Rata Aljabar (Studi Kasus Curah Hujan Beberapa Stasiun Hujan Daerah
Bandar Lampung)”. JRSDD. Volume 4. No.3, Hal 397-406 (ISSN: 2303-0011).
Purwanto. (2016) .”Model Hidrologi untuk Mengisi Data Hujan yang Hilang Berdasarkan Debit Andalan (Studi
Kasus d DAS Dengkeng)”. Unversitas Sebelas Maret. Surakarta.
SNI PD T22-2004-A. (2004) . Pengisian Kekosongan Data Hujan Dengan Metode Korelasi Distandardisasi
Nonlinear Bertingkat.
SNI 7745. (2012) . Tata Cara Penghitungan Evapotranspirasi Tanaman Acuan dengan Metode Penman-Monteith.
Sobriyah. (2012) . Model Hidrologi. UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press). Surakarta.
Suripin. (2004) . Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Andi Offset. Yogyakarta.
Triatmojo, Bambang. Hidrologi Terapan. (2008) . Beta Offset, Yogyakarta.

AIR - 84
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

POTENSI PENGENDALI BANJIR DENGAN EMBUNG DI SUNGAI TUNGGUL


KABUPATEN JEPARA

Hannah Nuril Layaliya1, Rintis Hadiani2, dan Adi Yusuf Muttaqien3

1
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
Email: hannahnuril@gmail.com
2
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
Email: rintish@gmail.com
3
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
Email: adiyusuf2013@gmail.com

ABSTRAK
Banjir di Kabupaten Jepara merupakan peristiwa yang terjadi setiap tahun. Daerah di sekitar Sungai
Tunggul, Kabupaten Jepara ketika musim hujan sering mengalami banjir, sedangkan pada musim
kemarau mengalami kekurangan air. Banjir sering terjadi akibat hujan 2 harian berurutan. Maka
penelitian ini juga menganalisis banjir akibat hujan 2 harian berurutan. Salah satu metode yang
memungkinkan untuk pengendalian banjir adalah dengan pembangunan sebuah embung. Pada
penelitian ini dilakukan analisis debit banjir maksimum, volume simpanan embung dan potensi
penurunan banjir. Debit banjir maksimum dihitung menggunakan metode HSS Nakayasu, HSS SCS
(Soil Conservation Service) dan HSS ITB-1 untuk periode ulang 5, 20 dan 50 tahun, dan analisis
banjir yang pernah terjadi akibat hujan 2 harian berurutan maksimum tahunan. Volume simpanan
embung dan potensi penurunan banjir dihitung menggunakan HEC-RAS. Hasil analisis
menunjukkan bahwa debit banjir maksimum di Sungai Tunggul yaitu debit banjir kala ulang 5 tahun
(Q5) sebesar 141,4395 m3/dt, kala ulang 20 tahun (Q20) sebesar 205,3685 m3/dt, kala ulang 50 tahun
(Q50) sebesar 261,5307 m3/dt dan debit akibat hujan 2 harian maksimum tahunan (Q 2-Harian) sebesar
272,1833 m3/dt. Berdasarkan hasil analisis dengan HEC-RAS menunjukkan bahwa terjadi banjir di
RS 20 (cross section di titik 20 pada Sungai Tanggul) akibat Q50 dan Q2-Harian. Dengan adanya
embung seluas 100.000 m2 dengan elevasi +17 m., dapat mereduksi volume banjir untuk Q 50 dan Q2-
3 3
Harian sampai sebesar 10.000 m dan 11.610 m . Potensi penurunan banjir untuk Q 50 dan Q2-Harian
berturut-turut setara dengan 6,54% dan 7,39% serta penurunan tinggi muka air maksimum sampai
0,41 m.
Kata kunci: Sungai Tunggul, pengendalian banjir, HEC-RAS, embung

1. PENDAHULUAN
Banjir di Kabupaten Jepara merupakan peristiwa yang terjadi setiap tahun. Kondisi saat ini di wilayah Kabupaten
Jepara mengalami penurunan sumber daya air, antara lain berupa penurunan muka air tanah yang signifikan, kondisi
air sungai yang kering pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan. Sungai Tunggul merupakan salah satu
sungai yang mengalami banjir saat musim hujan dan kekurangan air saat musim kemarau. Salah satu cara
pengendalian banjir yang dapat dilakukan adalah dengan pembangunan sebuah embung. Prinsip dari embung adalah
menampung air saat debit air tinggi untuk digunakan saat debit air rendah. Melalui penelitian ini diharapkan terdapat
suatu langkah pengendalian banjir yang efektif di Sungai Tunggul agar tidak terjadi banjir lagi di kemudian hari.

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI


Beberapa penelitian sebelumnya telah menganalisis pengendalian banjir dengan embung. Umboro Lasminto, dkk
(2009) melakukan penelitan tentang studi potensi tampungan hulu DAS Sungai Sampean untuk pengendalian banjir
dan penyediaan air bersih yang menghasilkan bahwa terdapat 11 lokasi yang berpotensi untuk dibangun tampungan
air atau embung. Selain itu penelitian tersebut juga menghasilkan bahwa embung akan mereduksi debit puncak
banjir 50 tahunan sebesar 100 m3/dt.
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh punggung-punggung gunung/pegunungan dimana air
hujan yang jatuh di daerah tersebut akan mengalir menuju sungai utama pada suatu titik/stasiun yang ditinjau
(Bambang Triatmodjo, 2009).

AIR - 85
Pengisian Data Hujan yang Hilang
Pengisian data hujan yang hilang ada dua metode, yaitu Metode Perbandingan Normal (Normal Ratio Method) dan
Reciprocal Method. Pengisian data hujan yang hilang pada penelitian ini menggunakan Reciprocal Method. Metode
ini lebih baik karena memperhitungkan jarak antar stasiun (Li), seperti pada Persamaan 1 (Bambang Triatmodjo,
2009).
n Pi
 2
Px  i 1 Li
n 1 (1)
 2
i 1 Li
dengan Px = hujan yang hilang di stasiun X, n = jumlah stasiun hujan di sekitar X, Pi = data hujan di stasiun
sekitarnya pada periode yang sama dan Li = jarak antar stasiun hujan (km).
Uji Konsistensi Data dengan Kurva Massa Ganda
Tingkat korelasi antar stasiun hujan yang digunakan juga perlu diketahui sebelum digunakan dalam analisis lanjutan
sehingga derajat ketelitian peralatan, interpolasi dan penentuan distribusi hujan yang dilakukan dapat diketahui.
Tingkat korelasi tersebut dapat diketahui dengan menghitung harga R menggunakan Persamaan 2 dimana x adalah
kumulatif curah hujan tahunan stasiun penguji dan y adalah kumulatif curah hujan tahunan stasiun uji. Data hujan
stasiun tersebut dikatakan konsisten apabila r2=1 (Wiesner, 1979 dalam Annisa Ayu, 2015).
n  xy  (  x )(  y )
r (2)
2 2 2 2
(n x  ( x) (n y  ( y ) )
dengan x = kumulatif curah hujan tahunan stasiun penguji, y = kumulatif curah hujan tahunan stasiun uji dan n =
jumlah data hujan.
Hujan Wilayah
Penelitian ini digunakan metode Rerata Aritmatik (Aljabar) untuk mengubah hujan titik menjadi hujan kawasan.
Metode ini adalah yang paling sederhana untuk menghitung hujan rerata pada suatu daerah. Pengukuran yang
dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah
stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang berada di dalam DAS, tetapi stasiun di
luar DAS yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan. Hujan rerata pada seluruh DAS diberikan seperti pada
Persamaan 3 (Bambang Triatmodjo, 2009).
p1  p 2  p3  ...  p n
p (3)
n
dengan p = hujan rerata kawasan (mm), pn = hujan di stasiun n dan n = jumlah stasiun hujan.
Pemilihan Jenis Distribusi Sebaran
Sebelum menentukan jenis distribusi sebaran yang digunakan, terlebih dahulu menentukan parameter-parameter
statistik berupa Standar Deviasi (Sd), Koefisien Skewness (Cs), Koefisien Kurtosis (Ck) dan Koefisien Variasi (Cv).
Perhitungan Parameter Statistik data berfungsi dalam menentukan analisis distribusi yang akan digunakan dalam
hujan rencana. Penentuan jenis analisis distribusi berdasarkan parameter statistik dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter Statistik untuk Menentukan Jenis Distribusi
No. Jenis Distribusi Syarat
Cs = 0
1. Normal
Ck = 3
Cv3 + 3 Cv = 1,5
Cs = 0
2. Log Normal
Ck = 3 Cv8 + 6Cv6 + 15 Cv4 + 16 Cv2 + 3 =
7,27
Cs = 1,14
3. Gumbell
Ck = 5,4
4. Log Pearson III J jika semua syarat tidak terpenuhi
Sumber: Bambang Triatmodjo, 2009

AIR - 86
Pengujian Kecocokan Sebaran
Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai maksimum, yaitu selisih maksimum antara plot data dengan
garis teoritis pada kertas probabilitas. Nilai kritis (Δcr, Smirnov-Kolmogorov Test) tergantung dari jumlah data (n)
dan derajat kegagalan (α). Apabila nilai Δmaks < Δcr maka sebaran dikatakan sesuai.
Waktu Konsentrasi
Metode analisis yang digunakan adalah menggunakan rumus Kirpich seperti pada Persamaan 4.
0,385
 0,87  L2 
tc    (4)
 1000  S 
 
dengan tc = waktu konsentrasi (jam), L = panjang saluran utama dari hulu sampai penguras (km) dan S = kemiringan
rata-rata saluran utama (m/m).
Intensitas Hujan
Intensitas hujan dihitung menggunakan metoe Mononobe seperti pada Persamaan 5.
2/3
R  24 
It  24   (5)
24  t 
dengan It = intensitas hujan untuk lama hujan t (mm/jam), t = lamanya curah hujan (jam) dan R24 = curah hujan
maksimum selama 24 jam (mm).
Alternatif Block Method (ABM)
Alternating Block Method (ABM) adalah cara sederhana untuk membuat hyetograph rencana dari kurva IDF (Chow,
1988 dalam Bambang Triatmodjo, 2009). Hyetograph rencana yang dihasilkan oleh metode ini adalah hujan yang
terjadi dalam n rangkaian interval waktu yang berurutan dengan durasi Δt selama waktu Td = n Δt.
Hidrograf Satuan Sintetis (HSS) Nakayasu
Hidrograf satuan sintetis Nakayasu dikembangkan berdasar beberapa sungai di Jepang (Soemarto dalam Bambang
Triatmodjo, 2009). Rumus debit puncak HSS Nakayasu diberikan pada Persamaan 6 (Bambang Triatmodjo, 2009).
 A R 
Qp 
1  e  (6)
36  0,3T p  T0,3 
 
dengan Qp = debit puncak banjir (m3/dt), A = luas DAS (km2), Re = curah hujan efektif (1 mm), T p = waktu dari
permulaan banjir sampai puncak hidrograf banjir (jam) dan T 0,3 = waktu dari puncak banjir sampai 0,3 kali debit
puncak banjir (jam).
Hidrograf Satuan Sintetis (HSS) Soil Conservation Service (SCS)
Ordinat debit diekspresikan sebagai rasio antara debit q dengan debit puncak q p dan absis waktu diekspresikan
sebagai rasio waktu t dengan waktu puncak tp, dimana waktu naik Tp dapat diekspresikan sebagai bagian dari waktu
puncak tp dan lamanya hujan efektif tr. Rumus debit puncak HSS SCS diberikan pada Persamaan 7.
Qp  qp  Pe  0,028 (7)
dengan Qp = debit puncak limpasan (m3/dt), qp = debit puncak (in) dan Pe = kedalaman hujan efektif (mm).
Hidrograf Satuan Sintetis (HSS) ITB-1
Hidrograf satuan dapat dibuat dengan menggunakan satu fungsi tunggal sederhana (HSS ITB-1) yang
dikombinasikan dengan faktor debit puncak yang dapat disesuaikan secara otomatis berdasarkan rasio antara luas
DAS dan luas hidrograf satuan yang dihitung secara numerik menggunakan prosedur tabulasi sederhana. Rumus
debit puncak HSS ITB-1 diberikan pada Persamaan 8.
R A DAS
Qp  (8)
3,6  Tp A HSS
dengan Qp = debit puncak (m3/dt), R = curah hujan satuan (1 mm), T p = waktu puncak (jam), ADAS = luas DAS
(km2) dan AHSS = luas HSS (km2).

AIR - 87
3. METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ini dilakukan di Sungai Tunggul, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Sungai ini terletak di
DAS Sungai Tunggul dengan luas 24 km2. Data-data yang digunakan antara lain hujan harian Sta
Pelemkerep/Mayong dan Karanggayam dari tahun 2001-2015, peta DAS Sungai Tunggul skala 1:25.000 dan data
penampang Sungai Tunggul. Analisis data menggunakan Ms. Excel, AutoCAD dan HEC-RAS.
Perhitungan penelitian dimulai dengan uji konsistensi data hujan, selanjutnya menghitung hujan wilayah dari hujan
titik yang diperoleh menggunakan distribusi sebaran yang sesuai. Perhitungan debit banjir maksimum menggunakan
metode HSS Nakayasu, HSS SCS dan HSS ITB-1. Debit banjir maksimum digunakan untuk penelusuran banjir
menggunakan HEC-RAS. Setelah ditentukan rencana embung, dilakukan simulasi penelusuran banjir dengan
embung sehingga diketahui volume simpanan embung dan potensi penurunan banjir dengan penambahan embung.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Distribusi dan Sebaran Hujan
Berdasarkan perhitungan, didapatkan nilai Cs = 0,39 dan Ck = 3,19. Karena tidak ada yang sesuai dengan
persyaratan, maka jenis distribusi sebaran hujan yang digunakan adalah Log Person III. Berdasarkan uji sebaran
Smirnov-Kolmogorov, nilai Δmaks (0,07) < Δcr (0,34) maka distribusi Log Pearson III dapat diterima.
Analisis Frekuensi Hujan Kala Ulang
Hasil hujan kala ulang 5, 20 dan 50 tahun berdasarkan metode Log Pearson III dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Perhitungan Hujan Kala Ulang

Kala Ulang k k.S + k.S Rt (mm)


Q5 0,82 0,35 5,09 163
Q20 1,69 0,72 5,46 236
Q50 2,26 0,96 5,71 301

Hujan 2 Harian Maksimum Tahunan


Selain menggunakan hujan kala ulang, dihitung pula hujan 2 harian maksimum tahun dari tahun 2001-2015. Hasil
perhitungan hujan 2 harian maksimum tahunan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Perhitungan Hujan 2 Harian Maksimum Tahunan
Tahun Rt (mm) Tahun Rt (mm)
2001 129 2009 164
2002 364 2010 136
2003 225 2011 230
2004 167 2012 148
2005 113 2013 124
2006 197 2014 354
2007 142 2015 176
2008 179

Hujan Efektif
Hujan efektif dihitung dengan mengalikan hujan kala ulang dan hujan wilayah 2 harian maksimum tahunan dengan
koefisien limpasan yang ditentukan berdasarkan tata guna lahan. Hasil perhitungan hujan efektif dapat dilihat pada
Tabel 4 dan 5.
Tabel 4. Hasil Perhitungan Hujan Efektif Kala Ulang
Kala Ulang Peff (mm)
5 109,72
20 159,31
50 202,87

AIR - 88
Tabel 5. Hasil Perhitungan Hujan Efektif 2 Harian Maksimum Tahunan
Tahun Peff (mm) Tahun Peff (mm)
2001 86,74 2009 110,36
2002 245,36 2010 91,80
2003 151,54 2011 155,25
2004 112,73 2012 99,56
2005 75,94 2013 83,36
2006 132,64 2014 238,95
2007 95,51 2015 118,80
2008 120,49

Waktu Konsentrasi dan Pola Agihan Hujan


Perhitungan waktu konsentrasi (tc) menggunakan rumus Kirpich sebagai berikut:
tc = G k (L/S0,5)0,77
= 0,0078 x 1,0 (21,3/0,0150,5)0,77
= 3,519 jam
4 jam
Intensitas hujan dihitung menggunakan rumus Mononobe dengan menggunakan hasil perhitungan waktu konsentrasi
(tc). Setelah intensitas hujan diketahui, selanjutnya dihitung pola distribusi hujan dengan menggunakan metode
ABM (Alternating Block Method). Rekapitulasi pola distribusi hujan jam-jaman DAS Sungai Tunggul dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6. Rekapitulasi Pola Distribusi Hujan Jam-Jaman DAS Sungai Tunggul
Intensitas hujan (I) jam ke- (mm)
Hujan P (mm)
1 2 3 4
5 109,72 5,22 31,35 62,70 10,45
Kala Ulang 20 159,31 7,59 45,52 91,03 15,17
50 202,87 9,66 57,96 115,93 19,32
2001 86,74 4,13 24,78 49,56 8,26
2002 245,36 11,68 70,10 140,21 23,37
2003 151,54 7,22 43,30 86,59 14,43
2004 112,73 5,37 32,21 64,41 10,74
2005 75,94 3,62 21,70 43,39 7,23
2006 132,64 6,32 37,90 75,79 12,63
2 Harian 2007 95,51 4,55 27,29 54,58 9,10
Maksimum 2008 120,49 5,74 34,43 68,85 11,48
Tahunan 2009 110,36 5,26 31,53 63,06 10,51
2010 91,80 4,37 26,23 52,46 8,74
2011 155,25 7,39 44,36 88,71 14,79
2012 99,56 4,74 28,45 56,89 9,48
2013 83,36 3,97 23,82 47,64 7,94
2014 238,95 11,38 68,27 136,54 22,76
2015 118,80 5,66 33,94 67,89 11,31

Perhitungan Debit Banjir Maksimum


Debit banjir maksium diperoleh dari perhitungan debit puncak metode HSS Nakayasu, HSS SCS dan HSS ITB-1.
Debit banjir yang dihitung adalah debit banjir kala ulang 5, 20 dan 50 tahun serta 2 harian maksimum tahunan.
Berdasarkan hasil perhitungan, debit banjir maksimum di DAS Sungai Tunggul yang digunakan untuk penelusuran
banjir dengan HEC-RAS adalah debit banjir metode HSS SCS kala ulang 5 tahun sebesar 141,4395 m3/dt, kala ulang
20 tahun sebesar 205,3685 m3/dt dan kala ulang 50 tahun sebesar 261,5307 m3/dt serta berdasarkan hujan 2 harian
maksimum tahunan metode HSS Nakayasu sebesar 272,1833 m3/dt. Rekapitulasi hasil perhitungan debit banjir
rencana dapat dilihat pada Tabel 7.

AIR - 89
Tabel 7. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Debit Banjir Rencana
Debit Banjir (Q) (m3/dt)
Hujan
HSS Nakayasu HSS SCS HSS ITB-1
5 121,8732 141,4395 94,6652
Kala Ulang 20 176,9584 205,3685 137,4527
50 225,3514 261,5307 175,0420
2001 96,2189 218,7226 170,5303
2002 272,1833 267,8653 211,6560
2003 168,1022 165,4354 130,7201
2004 125,0471 123,0633 97,2395
2005 84,2383 82,9019 65,5056
2006 147,1362 144,8020 114,4165
2 Harian 2007 105,9531 104,2722 82,3915
Maksimum 2008 133,6581 131,5377 103,9356
Tahunan 2009 122,4263 120,4841 95,2015
2010 101,8347 100,2192 79,1890
2011 172,2205 169,4884 133,9226
2012 110,4458 108,6936 85,8852
2013 7,3581 14,8674 8,9434
2014 10,6839 21,5873 12,9858
2015 131,7861 129,6955 102,4799

Penelusuran Banjir Kondisi Eksisting


Penelusuran banjir kondisis eksisting dilakukan menggunakan HEC-RAS 5.0.3 dengan memasukkan data geometri
dan aliran sungai. Analisis dilakukan dengan asumsi aliran steady. Analisis sungai menggunakan 25 titik potongan
melintang (River STA / RS). Berdasarkan perhitungan, banjir terjadi di sebelah kanan RS 20 akibat Q 50 dan Q2-Harian
seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil perhitungan ditunjukkan pada gambar potongan profil memanjang
yang ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 1. Profil Muka Air RS 20 Kondisi Eksisting

Gambar 2. Profil Memanjang Sungai Tunggul Kondisi Eksisting

AIR - 90
Penelusuran Banjir Kondisi Penambahan Embung
Berdasarkan hasil penelusuran kondisi eksisting sungai, diketahui bahwa terjadi banjir di RS 20. Oleh karena itu
perlu dilakukan penanganan banjir dengan menambahkan embung di sebelah kanan RS 20. Luas embung sebesar
100.000 m2 yang dihubungkan ke sungai melalui pelimpah samping di RS 20,3 yang berada 20 m di hilir RS 21,
memiliki panjang pelimpah samping 50 m dengan mercu peluap pada elevasi +17 m, serta sayap kiri dan kanan
masing-masing pada elevasi +19 m dengan panjang 2 m. Data tambahan tersebut dimasukkan pada program HEC-
RAS untuk dilakukan penelusuran banjir dengan embung. Lokasi yang digunakan untuk pembuatan embung
merupakan bukan area pemukiman, melainkan berupa lahan kosong seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.

embung

Gambar 3. Lokasi Area Embung Berupa Lahan Kosong


Sumber: Google Earth
Hasil penelusuran ditunjukkan pada gambar potongan profil memanjang sungai kondisi penambahan embung yang
ditampilkan pada Gambar 4. Berdasarkan penelusuran diperoleh bahwa penambahan embung dapat menurunkan
muka air akibat Q50 dan Q2-Harian seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 4. Profil Memanjang Sungai Tunggul Kondisi Penambahan Embung

Gambar 5. Profil Muka Air RS 20 Kondisi Penambahan Embung

AIR - 91
Volume Simpanan Embung
Volume simpanan embung dihitung dengan mengurangkan volume kumulatif aliran sungai pada kondisi eksisting
dan setelah penambahan embung. Volume simpanan embung berdasarkan Q5 dan Q20 sebesar 0 m3 (karena tidak
terjadi banjir). Sedangkan berdasarkan Q50 dan Q2-Harian sebesar 10.000 m3 dan 11.610 m3.
Potensi Penurunan Banjir
Potensi penurunan banjir berdasarkan Q5 dan Q20 adalah 0% (karena tidak terjadi banjir). Sedangkan berdasarkan
Q50 dan Q2-Harian sebesar 6,54% dan 7,39%. Potensi penurunan tinggi muka air maksimum dengan penambahan
embung berdasarkan Q5 sebesar 0 m, Q20 sebesar 0,07 m, Q50 sebesar 0,35 m dan Q2-Harian sebesar 0,41 m.

5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Debit banjir maksimum yang terjadi di Sungai Tunggul berdasarkan hasil perhitungan metode HSS Nakayasu,
HSS SCS (Soil Conservation Service) dan HSS ITB-1 diperoleh debit banjir maksimum sebagai berikut:
a. debit banjir kala ulang 5 tahun (Q5) sebesar 141,4395 m3/dt, kala ulang 20 tahun (Q20) sebesar 205,3685
m3/dt dan kala ulang 50 tahun (Q50) sebesar 261,5307 m3/dt diperoleh dari metode HSS SCS,
b. debit banjir 2 harian maksimum tahunan (Q2-Harian) sebesar 272,1833 m3/dt diperoleh dari metode HSS
Nakayasu.
2. Besar volume simpanan embung yang harus disediakan untuk mereduksi banjir yang terjadi adalah sebagai
berikut:
a. akibat debit banjir kala ulang 50 tahun (Q50) sebesar 10.000 m3 dan debit banjir 2 harian maksimum tahunan
(Q2-Harian) sebesar 11.610 m3,
b. lokasi embung berada di kanan RS 20 yang memiliki luas 100.000 m2 dan elevasi +12 m.
Volume simpanan embung maksimum yang dapat ditampung adalah 500.000 m3, sehingga dapat dikatakan
pengurangan banjir sebesar 11.610 m3 adalah aman.
3. Potensi pengurangan banjir setelah adanya embung yang dibangun di sekitar Sungai Tunggul yaitu akibat debit
banjir kala ulang 50 tahun (Q50) sebesar 6,54% dan debit banjir 2 harian maksimum tahunan (Q 2-Harian) sebesar
7,39%. Sedangkan potensi penurunan tinggi muka air maksimum dengan penambahan embung berdasarkan Q 5
sebesar 0 m, Q20 sebesar 0,07 m, Q50 sebesar 0,35 m dan Q2-Harian sebesar 0,41 m.
Hal ini dapat diartikan bahwa potensi pengurangan banjir berdasarkan volume sungai sebesar 7,39% dan
penurunan muka air setinggi 0,41 m adalah aman. Jadi angka tersebut merupakan nilai minimum potensi
pengurangan banjir di Sungai Tunggul.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Standardisasi Nasional (BSN). (2016). SNI 2415:2016. Tata Cara Perhitungan Debit Banjir Rencana.
Budiretno, Hermono Suroto, dkk. (2009). “Evaluasi Kemampuan Pengendalian Banjir pada 37 Embung di Hulu
Kota Semarang”. Dinamika Teknik Sipil, Akreditasi BAN DIKTI No: 110/DIKTI/Kep/2009.
Chow V.T., Maidment D.R., Mays L.W. (1988). Applied Hydrology. Mc. Graw-Hill Book Company, Singapura.
Karepowan, Reinaldo. (2015). “ Perencanaan Hidrolis Embung Desa Touliang Kecamatan Kakas Barat Kabupaten
Minahasa Sulawesi Utara”. Jurnal Teknik Sipil Statik, Vol. 3 No. 6 Juni 2015 ISSN: 2337-6732, 383-390.
Natakusumah, Dantje K. (2011). “Prosedur Umum Perhitungan Hidrograf Satuan Sintesis dengan Cara ITB dan
Beberapa Contoh Penerapannya”. Jurnal Teoritis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil, Vol. 18 No. 3 Desember
2011 ISSN: 0853-2982, 251-290.
Suripin. (2004). Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. ANDI Offset, Yogyakarta.
Triatmodjo, Bambang. (2009). Hidrologi Teraoan. Beta Offset, Yogyakarta.
Umboro, Lasminto. (2009). Studi Potensi Tampungan Hulu DAS Sungai Sampean untuk Pengendalian Banjir dan
Penyediaan Air Bersih. Skripsi Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Utami, Hesti Astria. (2015). “ Perencanaan Embung Somosari di Jepara”. Jurnal Karya Teknik Sipil, Vol. 4 No. 4,
529-537.

AIR - 92
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

SIMULASI STOKASTIK PENENTUAN LUAS LAYANAN EMBUNG SURUHAN,


BLORA

Hari Abrianto1, Adeline Larisa2, Suharyanto3, dan Hari Nugroho4

Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Semarang
1
Email: hariabrianto95@gmail.com
2
Email: adelinesibuea@yahoo.com
3
Email: suharyanto20@yahoo.co.id
4
Email: harinugroho66@yahoo.co.id

ABSTRAK

Sebagian Kabupaten Blora merupakan bagian wilayah Sub DAS Lusi dengan luas DTA 843,70 km2
atau 40% dari luas wilayah DAS Lusi. Luas lahan sawah di Kabupaten Blora seluas 461,30 km2,
sebesar 64,44% nya merupakan sawah tadah hujan, sedangkan sisanya sudah menggunakan sistem
irigasi (Pemkab Blora, 2014). Para penduduk membangun beberapa tempat penampungan air hujan
untuk mengairi sawah nya. Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2007 telah melakukan studi
dan menidentifikasi 28 lokasi embung yang potensial. Salah satu embung yang prioritas dibangun
adalah Embung Suruhan dengan kapasitas rencana 4,489 juta m3 (Departemen Pekerjaan Umum,
2011). Pemanfaatan air Embung Suruhan untuk mensuplai Daerah Irigasi Watulumbung di wilayah
Kecamatan Jiken dan Kecamatan Jepon, dengan luas sawah eksisting 240 ha dan perluasan
(ekstensifikasi) seluas 136 ha. Dengan melihat bahwa potensi areal sawah yang dapat diairi dari
Embung Suruhan, maka perlu dilakukan penelitihan mengenai luas daerah layanan Embung Suruhan
yang paling optimal. Dalam paper ini disajikan simulasi pengoperasian Embung Suruhan secara
stokastik dengan berbagai pola tanam. Karena tidak ada data debit hasil pencatatan (observed),
maka data inflow diprediksi dengan menggunakan metode FJ Mock. Data inflow ini digunakan
sebagai data ‘historik’ dan dibangkitkan sepanjang 25 tahun dengan metode Thomas Fiering.
Kebutuhan air dianalisis menggunakan metode KP Irigasi. Simulasi dengan menggunakan berbagai
pola tanam menghasilkan adanya peningkatan areal layanan yang cukup signifikan dengan tingkat
keandalan yang cukup (>80%).
Kata kunci : Data Debit Bangkitan, Simulasi stokastik, operasi embung.

1. PENDAHULUAN
Pengumpulan data debit air suatu sungai yang berupa deret yang cukup panjang untuk keperluan bangunan air
seperti bendungan, waduk, embung dan bendung tidaklah mudah. Untuk dapat melakukan studi-studi simulasi,
khususnya studi simulasi stokastik, yang berkaitan dengan sistem DAS (Daerah Aliran Sungai) maka dibutuhkan
seri data debit sungai yang cukup panjang. Seri data debit ini dapat berupa runtun waktu (data historis). Akan tetapi
data historis sering ditemukan tidak cukup panjang. Sebagai jalan keluarnya maka dapat digunakan seri data sintetik
hasil bangkitan (Soetopo dkk, 2015).
Data historis yang tercatat merupakan data representatif dari kinerja embung yang ada, sehingga data tersebut perlu
dibangkitan untuk proyeksi kinerja embung yang akan datang. Pembangkitan data historis menjadi data baru
digunakan untuk mengkaji hubungan antara kemiripan karakteristik data hasil bangkitan dengan data historisnya.
Kinerja hasil pembangkitan diukur dari nilai kesalahan realtif hasil pembangkitan data historis. Beberapa metode
pembangkitan data (model stokastik) yang dapat digunakan salah satunya seperti Thomas-Fiering yang dapat
meramalkan data untuk proyeksi kinerja beberapa tahun kedepan.
Adapun penelitian ini menggunakan kasus lokasi di Embung Suruhan, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah.
Embung Suruhan merupakan salah satu embung potensial dan yang diprioritaskan untuk dibangun. Dari hasil
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Departemen Pekerjaan Umum dalam Studi dan Basic Desain Rencana
Pengelolaan SDA Sub DAS Lusi pada tahun 2008, mengenai potensi Embung Suruhan dalam analisisnya
mempunyai kapasitas tampungan sebesar 0,71 juta m3. Kemudian pada tahun 2010 menurut hasil Paparan Balai
Besar Wilayah Sungai Pemali Juana oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (SDA), volume tampungan Embung
Suruhan sebesar 4,811 juta m3. Pada tahun 2013 dilakukan penelitian kembali oleh Direktorat Pekerjaan Umum
dalam Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air WS Jratunseluna, merencanakan volume tampungan Embung

AIR - 93
Suruhan mencapai 6,69 juta m3. Namun dari hasil penelitian terkini yang dilakukan oleh Bertha Silvia Pratiwi dalam
tesisnya mengenai Kajian Peramalan Ketersediaan Air Daerah Irigasi Layanan Embung Suruhan tahun 2017,
volume tampungan Embung Suruhan sebesar 4,489 juta m3. Pola tanam yang digunakan adalah padi-padi-palawija
(Pratiwi, 2017). Daerah studi termasuk daerah yang sulit air, sehingga pemanfaatan penampungan/embung
tergolong sangat penting/vital. Namun yang menjadi kendala adalah ketidaktentuan ketersediaan air (debit sungai)
yang relatif tinggi, sehingga perlu dilakukan analisa stokastik.
Oleh karena itu, melihat adanya potensi dari Embung Suruhan, embung perlu kajian lebih detail. Hasil kajian
terhadap pembangkitan data yang representatif pada model stokastik ini dapat digunakan sebagai evaluasi masa
operasi embung pada tahun berikutnya.

U
Bendung Watulumbung

EMBUNG SURUHAN

(Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, 2008)


Gambar 1 Lokasi Embung Suruhan
2. METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini untuk mendapatkan luasan panen yang optimal dilakukan dengan simulasi beberapa altenatif
luasan areal irigasi. Kapasitas embung dengan ukuran eksisting dan debit yang di bangkitkan dari debit historis 10
tahun terakhir.
Secara garis besar, kegiatan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu:
Tahap Awal Penelitian

Tahap awal penelitian ini adalah pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan untuk kepentingan analisa yang
akan diteliti. Sumber data diperoleh dari data sekunder, yaitu data yang didapatkan dari sumber yang telah
dikumpulkan oleh pihak lain. Data yang digunakan, meliputi:
1. Data Curah Hujan
Data ini merupakan hasil rekaman dari stasiun hujan terdekat yang berpengaruh pada wilayah penelitian.
Lamanya data curah hujan 10 tahun, yaitu stasiun hujan: Tempuran. Data yang diperlukan meliputi data hujan
harian yang diolah menjadi data hujan 2 mingguan. Data tersebut diperoleh dari pengelola BBWS Pemali Juana.
2. Data Klimatologi
Data ini terdiri dari data suhu udara, data kelembaban udara, data kecepatan angin dan data lamanya penyinaran
matahari. Diperlukan untuk menghitung evaporasi potensial yang selanjutnya dipakai sebagai dasar perhitungan
kebutuhan konsumtif tanaman. Data Klimatologi yang digunakan diambil dari stasiun yang terdekat, yaitu:
Stasiun Tempuran. Lamanya data klimatologi 10 tahun, yaitu dari tahun 2003-2012.
3. Data Luas Areal Irigasi
Data ini sebagai dasar acuan untuk perhitungan analisis kebutuhan air irigasi. Dalam penelitian ini menggunakan
data luas lahan irigasi adalah 376 ha. Data ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik, BDA (Blora Dalam Angka)
dan studi terdahulu.
4. Pola Tanam dan Awal Waktu Tanam
Awal waktu tanam adalah waktu mulai tanam dalam satu tahun, yaitu masa tanam 1 (MT 1), masa tanam 2 (MT
2), dan masa tanam 3 (MT 3). Awal tanam dihitung setiap dua minggu (setengah periode) sampai menemukan
kebutuhan air yang paling minimal. Pola tanam adalah urutan jenis tanaman yang ditanam pada masa tanam 1

AIR - 94
(MT1), masa tanam 2 (MT 2), dan masa tanam 3 (MT 3). Pola tanam mempengaruhi luas tanam atau indeks
penanaman (IP). Pola tanam yang sering digunakan adalah Padi-Padi-Palawija dan Padi-Palawija-Palawija.
Mayoritas urutan tanaman palawija yang di gemari petani di Kabupaten Blora adalah: jagung dan kedelai. Data
jenis tanaman palawija diperoleh dari Kalender Tanam Terpadu Kabupaten Blora 2014, Blora Dalam Angka
2013-2015 dan berdasarkan SK Bupati Kabupaten Blora.
5. Data Teknis Embung
Data teknis Embung Suruhan diambil dari DED pada penelitian-penelitian sebelumnya. Disamping data teknis
konstruksi, data yang penting adalah grafik hubungan antara tinggi-volume-luas genangan Embung Suruhan.
Bentuk hubungan tersebut berupa garis yang menghubungkan tinggi muka embung (m) dengan besarnya volume
tampungan (m3) dan luas genangan (m2). Data ini untuk mengetahui volume kapasitas embung agar dapat
diketahui berapa ketersediaan air yang dapat tertampung. Data diperoleh dari studi terdahulu (Departemen
Pekerjaan Umum, 2008; Departemen Pekerjaan Umum, 2011; Departemen Pekerjaan Umum, 2013).

Tahap Analisa dan Pembahasan

1. Curah Hujan Rerata DAS


Analisis curah hujan rerata DAS menggunakan persamaan Metode Thiessen. Data yang digunakan untuk
perhitungan adalah data curah hujan harian yang diolah menjadi data dua mingguan. Perhitungan metode
Thiessen dilakukan setelah ploting lokasi stasiun hujan untuk mendapatkan bobot luas pengaruh hujan, sehingga
akan didapat stasiun hujan yang berpengaruh terhadap DAS Suruhan.
2. Evapotranspirasi
Analisis evapotranspirasi dihitung dengan menggunakan Metode Penman yang telah dimodifikasi. Data yang
digunakan dalam perhitungan evapotranspirasi adalah data klimatologi, yaitu suhu udara (°C), kelembaban
relatif (%), kecepatan angin (m/detik), penyinaran matahari (%).
3. Analisis Debit
Analisis debit digunakan mendapatkan hasil debit andalan atau ketersediaan air. Dalam penelitian ini, analisis
debit berdasar data hujan, hari hujan dan evapotranspirasi dengan menggunakan Metode Mock (Salamun, 2007).
Urutan perhitungan debit dengan Metode Mock terdapat empat tahapan perhitungan, yaitu:
Tahap I – Evapotranspirasi Terbatas (Et)
Tahap II – Keseimbangan air permukaan.
Tahap III – Limpasan dan Penyimpanan Air Tanah (Run Off & Groundwater Storage).
Tahap IV – Debit Aliran Sungai (River Flow).
4. Pembangkitan Data Model Thomas-Fiering
Thomas dan Fiering mengembangkan model untuk membangkitkan aliran sungai seperiode. Model Thomas-
Fiering secara implisit memungkinkan untuk ketidakstationeran yang diamati pada data aliran seperiode (Clarke,
1973 dalam Gunawan, 2006). Dalam cara ini, data selama n tahun dibagi menjadi 12 bagian. Langkah pertama
dengan menghitung debit rata-rata tiap periode dari data aliran historis yang dilanjutkan dengan menghitung
standar deviasi tiap periode semua data debit historis. Kemudian menghitung koefisien korelasi serial, koefisien
regresi, koefisien variasi, dan koefisien asimetri tiap periode data debit historis. Selanjutnya membuat bilangan
acak berdistribusi seragam antara 0 dan 1. Mengubah menjadi bilangan acak berdistribusi normal baku dengan
nilai tengah 0 dan variasi 1, dan mengoreksi menjadi distribusi gamma.
Membangkitkan data sintetik model Thomas-Fiering sebagai berikut :
q i , j  qi   j .(qi , j  q j 1 )  t i , , j . j (1   j )
2
(1)
dengan qi,j = debit tahun ke-i, periode ke-j, qj = debit rata-rata periode ke-j, qi,j-1 = debit rata-rata periode ke-j-1, βj
= koefisien korelasi serial periode ke-j dengan periode ke-j-1, ρj = koefisien korelasi serial debit rata-rata periode
ke-j dan periode ke-j-1, ti,γ,j = nilai acak berdistribusi normal baku pada tahun ke-i periode ke-j, σ,j = standar
deviasi periode ke-j.
5. Analisis Kebutuhan Air Irigasi
Variasi Pola tanam lahan sawah yang digunakan petani adalah pola tanam bergilir antara padi dan palawija. Hal
ini dilakukan mengingat sebagian besar lahan sawah di kabupaten Blora khususnya di DAS Suruhan adalah
lahan sawah tanpa irigasi (tadah hujan). Pola tanam yang digunakan dalam yaitu pola tanam dengan padi–padi–
palawija.
6. Simulasi Pengoperasian Embung
Dalam penelitian ini dilakukan simulasi berdasarkan SOP (Standard Operating Policy) (Budiman, 2007)..
Langkah pertama simulasi embung dapat dilakukan dengan memasukkan data input berupa debit inflow.
Kemudian menentukan besarnya evaporasi yang merupakan fungsi dari luas genangan awal embung dikalikan
koefisien periode dikalikan besar annual evaporasi, memasukkan data demand dan menentukan besarnya
pelepasan. Setelah itu, Menentukan kapasitas awal embung pada awal periode pengoperasian dengan trial and

AIR - 95
error agar elevasi akhir yang dihasilkan mendekati elevasi akhir eksisting yang ada, menentukan kapasitas akhir
embung dengan menggunakan parsamaan kesetimbangan air :
S t  S t 1  I t  RLt  Evt (2)
dengan St = tampungan waduk pada akhir periode ke-t (juta m3/ periode), St-1 = tampungan waduk awal periode
ke-t (juta m3/ periode), It = debit inflow waduk pada periode ke-t(juta m3/ periode), RLt = release waduk pada
periode ke-t (juta m3/ periode), Evt = Evapotranspirasi.
Spill terjadi jika volume tampungan akhir embung melebihi kapasitas maksimum. Elevasi awal dan akhir
ditentukan dengan menggunakan persamaan lengkung kapasitas embung. Langkah terkahir adalah menentukan
indikator unjuk kerja kebutuhan yaitu dengan membandingkan antara pelepasan dengan demand.
7. Analisa Unjuk Kerja Embung
Kinerja pengoperasian embung merupakan indikator embung dalam pengoperasian untuk memenuhi kebutuhan.
Beberapa indikator untuk menilai besarnya performance operasi embung (Suharyanto, 1997 dalam Budiman,
2007), yaitu keandalan (reliability), kelentingan (resiliency), dan kerawanan (vulnerability).
- Keandalan (Reliability)
Keandalan merupaka indikator seberapa sering waduk untuk memenuhi kebutuhan yang ditargetkan selama
pasa pengoperasiannya.
Menghitung tingkat keandalan embung dengan rumus sebagai berikut :
 ( Zt )
  100 % (3)
n
dengan α = tingkat keandalan ( %), Zt = banyaknya periode sukses, n = banyaknya periode pengoperasian.
- Kelentingan (Resiliency)
Indikator ini untuk mengukur kemampuan waduk untuk kembali ke keadaan memuaskan dari keadaan gagal.
Menghitung tingkat kelentingan embung dengan rumus sebagai berikut:
  lim
n 
1
n W t (4)

1  (5)
1  1
dengan ρ = probabilitas terjadinya transisi embung dari keadaan gagal ke keadaan memuaskan, Wt = jumlah
rerata terjadi transisi embung dari keadaan gagal menjadi keadaan memuaskan, γ1 = kinerja kelentingan, n =
banyaknya periode pengoperasian.
- Kerawanan (Vulnerability)
Jika terjadi kegagalan, kinerja kerawanan menunjukkan/ mengukur seberapa besar (seberapa rawan) suatu
kegagalan yang terjadi.
Menghitung tingkat kerawanan embung dengan rumus sebagai berikut:
DEFt
 n
t 1
Dt
v1  (6)
 t 1 (1  Z t )
n

 DEFt 
v 2  max   (7)
 Dt 
v3  max DEFt  (8)
dengan Zt = banyaknya periode sukses, v1 = nilai rerata “deficit-ratio”, v2 = nilai maksimum “deficit-ratio”, v3
= nilai maksimum “deficit”.

3. ANALISA DAN PEMBAHASAN

Analisa Ketersediaan Air


Ketersediaan air didapat dengan Metode Mock menggunakan input data evapotranspirasi potensial dan curah hujan
rerata. Selain itu ada beberapa parameter yang mempengaruhi, yaitu evapotranspirasi terbatas, keseimbangan air,
aliran dan penyimpanan air tanah (Run Off) dan luas DAS. Dari perhitungan FJ Mock, didapat debit aliran selama 10
tahun terakhir dari tahun 2003-2012, data ini dianggap sebagai data historis. Dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

AIR - 96
Tabel 1 Rekapitulasi data Historis debit ketersediaan air Tahun 2003-2012
Rata2 St. dev Korel Varian
Bulan ke- 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Qj Sj rj bj
1 0.483 1.366 0.683 1.230 0.391 0.155 1.021 1.923 0.097 1.069 0.842 0.583 0.174 0.567
Jan
2 0.176 0.459 0.740 0.805 0.306 0.973 6.596 1.094 0.485 0.732 1.237 1.905 0.221 0.072
1 2.247 0.702 0.851 1.850 0.338 1.023 1.595 0.596 1.400 0.641 1.124 0.622 0.165 0.117
Feb
2 0.802 0.673 1.036 1.294 1.264 0.952 2.023 1.179 0.592 0.553 1.037 0.440 0.533 0.652
1 0.952 1.560 0.645 0.546 0.991 0.470 1.883 1.680 0.498 0.571 0.980 0.538 0.478 0.614
Mar
2 0.272 1.638 1.686 1.118 0.652 0.539 0.879 2.524 0.716 0.600 1.063 0.691 0.081 0.062
1 1.023 0.775 1.853 0.407 0.507 0.125 0.755 0.271 0.158 1.041 0.691 0.526 0.182 0.131
Apr
2 1.118 0.158 0.360 0.924 0.574 0.100 0.788 0.217 0.112 0.142 0.449 0.377 0.773 0.869
1 1.424 0.319 0.742 1.177 0.219 0.080 0.941 0.805 0.619 0.526 0.685 0.424 0.114 0.114
May
2 0.371 1.106 1.249 0.516 0.469 0.060 0.633 1.083 0.171 0.216 0.587 0.423 0.767 0.696
1 0.166 0.406 1.375 0.502 0.268 0.051 0.351 0.658 0.077 0.485 0.434 0.384 0.180 0.132
Jun
2 0.114 0.114 0.196 0.128 0.544 0.041 0.147 0.947 0.233 0.081 0.255 0.281 0.480 0.458
1 0.091 0.745 0.258 0.103 0.079 0.033 0.118 0.693 0.057 0.065 0.224 0.268 0.594 0.651
Jul
2 0.068 0.092 0.571 0.077 0.168 0.025 0.128 0.917 0.042 0.049 0.214 0.294 0.944 0.250
1 0.058 0.079 0.118 0.066 0.055 0.021 0.077 0.293 0.036 0.041 0.084 0.078 0.961 1.495
Aug
2 0.102 0.059 0.088 0.049 0.098 0.016 0.058 0.431 0.027 0.031 0.096 0.121 0.989 1.733
1 0.099 0.050 0.095 0.042 0.210 0.013 0.049 0.715 0.023 0.029 0.133 0.213 0.949 1.524
Sep
2 0.034 0.101 0.122 0.092 0.037 0.011 0.178 1.141 0.065 0.021 0.180 0.342 0.844 0.608
1 0.335 0.034 0.363 0.088 0.291 0.009 0.300 0.817 0.016 0.124 0.238 0.246 0.869 2.010
Oct
2 0.415 0.160 0.591 0.024 0.101 0.006 0.088 1.890 0.367 0.040 0.368 0.569 0.510 0.543
1 0.043 0.422 0.753 0.037 1.644 0.006 0.716 1.535 1.210 0.539 0.690 0.606 0.580 0.519
Nov
2 0.034 0.893 1.310 0.074 0.739 0.004 1.507 1.058 0.905 1.054 0.758 0.542 0.385 0.386
1 0.027 0.628 0.348 0.707 1.213 0.004 0.572 1.813 0.924 0.550 0.679 0.543 0.678 0.783
Dec
2 0.021 0.953 1.547 1.236 1.732 0.003 1.322 1.474 0.861 0.395 0.954 0.627 0.371 0.103
Rata-rata 0.437 0.562 0.733 0.545 0.537 0.197 0.947 1.073 0.404 0.400

Pembangkitan Data Debit

Tujuan dari pembangkitan data debit adalah untuk menganalisa berbagai kemungkinan data series debit yang
mungkin terjadi sepanjang pengoperasian embung. Pada pembangkitan data debit, input yang digunakan adalah
debit historis tahun 2003-2012, yang berupa debit dua mingguan. Data debit tersebut (data historik) kemudian di-
generate dengan menggunakan metode Thomas-Fiering. Analisis dengan Metode Thomas-Fiering dilakukan dengan
bantuan perangkat lunak Ms Excel.
Tabel 2 Rekapitulasi debit bangkitan selama 25 tahun
Bulan ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

1 0.842 1.117 0.957 0.000 0.848 0.518 0.934 0.633 1.578 0.341 2.010 0.293 0.553 1.475 0.867 0.793 0.916 0.270 0.000 1.169 1.669 1.039 1.044 1.693 0.417
Jan
2 4.650 2.222 3.261 3.279 0.000 0.000 0.710 0.245 2.984 0.078 1.886 0.101 2.025 0.135 3.016 3.718 0.000 2.244 3.091 4.285 7.050 2.801 0.000 0.108 0.000
1 2.263 1.466 1.220 1.122 0.558 1.096 0.722 0.206 0.000 0.594 2.051 0.672 1.267 0.953 0.961 1.828 0.867 0.552 1.430 1.867 1.267 1.391 0.661 1.303 0.960
Feb
2 1.658 1.350 1.191 0.934 0.422 0.653 0.952 0.996 0.312 0.842 1.718 0.711 1.448 1.825 0.220 1.422 0.962 1.304 0.459 1.060 0.851 1.415 0.911 1.549 1.508
1 1.773 1.826 1.112 1.137 0.652 0.870 1.895 1.503 0.231 0.853 1.031 0.383 1.456 1.274 0.653 1.405 0.207 0.979 0.567 1.360 0.508 1.142 0.431 1.553 1.301
Mar
2 1.528 3.362 2.165 0.752 1.054 0.000 1.614 2.529 0.332 0.701 0.086 0.000 0.578 1.131 1.439 0.851 1.232 0.580 0.735 1.334 1.599 2.374 1.659 1.389 3.017
1 0.373 0.113 1.785 1.586 0.224 1.172 0.374 1.804 0.213 0.137 0.806 0.909 0.711 0.418 0.332 1.206 0.255 0.475 1.590 1.274 1.760 0.345 0.723 0.000 0.743
Apr
2 0.111 0.589 0.602 0.356 0.421 0.744 0.055 0.492 0.168 0.623 0.000 0.839 0.450 0.512 0.499 0.318 0.896 0.751 0.888 0.060 1.050 0.435 0.343 0.110 0.425
1 0.772 0.431 0.521 0.641 0.264 0.562 0.084 0.922 0.859 0.656 0.552 1.032 0.347 0.968 0.877 0.567 0.811 1.447 1.015 0.329 1.395 0.104 0.678 0.192 0.696
May
2 0.528 1.010 1.547 0.797 0.155 0.903 0.406 0.607 1.000 0.789 1.008 0.086 0.445 0.846 0.443 0.039 1.042 1.166 0.943 1.661 0.000 0.097 1.229 0.152 0.768
1 0.251 0.700 1.075 0.844 0.373 0.850 0.000 0.938 0.719 0.689 0.897 0.110 0.676 0.597 0.152 0.072 0.267 1.036 0.735 0.988 0.000 0.119 0.652 0.000 0.514
Jun
2 0.000 0.548 0.567 0.573 0.000 0.702 0.017 0.224 0.033 0.591 0.000 0.680 0.200 0.182 0.376 0.139 0.302 0.197 0.392 0.443 0.668 0.378 0.326 0.472 0.428
1 0.000 0.706 0.416 0.295 0.000 0.098 0.000 0.453 0.151 0.130 0.113 0.852 0.380 0.328 0.474 0.000 0.380 0.533 0.160 0.011 0.577 0.228 0.361 0.280 0.525
Jul
2 0.181 0.464 0.186 0.150 0.139 0.082 0.000 0.354 0.007 0.062 0.155 0.459 0.211 0.055 0.423 0.000 0.000 0.259 0.225 0.181 0.694 0.152 0.192 0.580 0.635
1 0.088 0.176 0.061 0.058 0.047 0.108 0.000 0.134 0.000 0.040 0.074 0.159 0.090 0.085 0.155 0.000 0.007 0.074 0.075 0.048 0.233 0.074 0.090 0.167 0.190
Aug
2 0.084 0.256 0.032 0.044 0.012 0.216 0.000 0.203 0.000 0.008 0.068 0.188 0.177 0.131 0.186 0.000 0.000 0.096 0.091 0.005 0.384 0.066 0.113 0.241 0.207
1 0.098 0.469 0.077 0.047 0.029 0.393 0.000 0.347 0.000 0.000 0.062 0.320 0.321 0.168 0.299 0.000 0.000 0.123 0.172 0.000 0.633 0.081 0.187 0.384 0.290
Sep
2 0.233 0.771 0.051 0.044 0.000 0.514 0.008 0.323 0.204 0.040 0.000 0.512 0.394 0.081 0.393 0.000 0.055 0.099 0.408 0.078 1.149 0.000 0.421 0.790 0.349
1 0.126 0.541 0.201 0.098 0.121 0.533 0.194 0.435 0.081 0.145 0.086 0.446 0.475 0.080 0.229 0.086 0.208 0.000 0.453 0.187 1.164 0.027 0.204 0.590 0.342
Oct
2 0.230 0.984 0.363 0.293 0.683 0.761 0.122 1.021 0.000 0.562 0.322 1.031 0.623 0.000 0.450 0.343 0.894 0.000 0.679 0.000 2.124 0.042 0.412 0.853 0.300
1 1.584 1.160 0.492 1.448 0.881 1.121 0.497 1.299 0.068 0.653 0.971 1.057 1.132 1.482 0.852 1.183 0.620 0.000 0.000 0.691 1.678 0.000 0.745 0.896 1.125
Nov
2 0.696 0.340 0.250 0.692 0.806 0.937 0.204 1.061 0.304 0.521 0.943 1.767 1.152 1.603 1.176 0.000 0.596 0.585 0.658 0.690 0.838 0.800 0.932 0.854 1.644
1 1.138 0.000 0.536 0.575 0.694 0.560 0.350 1.158 0.222 0.980 0.510 1.239 1.136 1.036 1.076 0.424 0.052 0.557 0.909 0.951 0.813 0.339 0.572 0.404 1.862
Dec
2 1.322 1.292 0.000 0.000 1.147 1.273 0.372 1.544 0.868 0.881 0.839 1.823 1.867 1.528 1.071 1.059 1.316 0.731 1.634 1.032 1.001 1.617 1.453 0.548 1.844

Perbandingan Data Historis dan Bangkitan

Bangkitan data dapat digunakan sebagai basis utama dalam mengkaji kinerja operasi embung di masa mendatang
hanya dengan syarat, yaitu hasil bangkitan memiliki kesamaan karakteristik statistik. Hasil perbandingan parameter
statistik disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 3 s/d 6.

AIR - 97
Tabel 3 Perbandingan Parameter Statistik Data Historis
dan Data Bangkitan
Historik Bangkitan 15 tahun Terakhir
Bulan ke- Rata2 St. dev Korel Varian Rata2 St. dev Korel Varian
Qj Sj rj bj Qj Sj rj bj
1 0.842 0.583 0.174 0.567 0.947 0.586 0.138 0.484
Jan
2 1.237 1.905 0.221 0.072 2.031 2.057 0.480 0.107
1 1.124 0.622 0.165 0.117 1.202 0.459 0.274 0.278
Feb
2 1.037 0.440 0.533 0.652 1.157 0.466 0.717 0.692
1 0.980 0.538 0.478 0.614 0.950 0.450 0.154 0.274
Mar
2 1.063 0.691 0.081 0.062 1.200 0.800 -0.154 -0.097
1 0.691 0.526 0.182 0.131 0.770 0.505 0.285 0.182
Apr
2 0.449 0.377 0.773 0.869 0.505 0.322 0.755 0.942
1 0.685 0.424 0.114 0.114 0.734 0.402 0.064 0.082
May
2 0.587 0.423 0.767 0.696 0.662 0.521 0.854 0.608
1 0.434 0.384 0.180 0.132 0.454 0.371 -0.497 -0.250
Gambar 3 Data Historis dan Data Bangkitan Rata-rata
Jun
2 0.255 0.281 0.480 0.458 0.346 0.186 0.551 0.678
1 0.224 0.268 0.594 0.651 0.347 0.229 0.583 0.570
Jul
2 0.214 0.294 0.944 0.250 0.281 0.224 0.954 0.282
1 0.084 0.078 0.961 1.495 0.101 0.066 0.945 1.489
Aug
2 0.096 0.121 0.989 1.733 0.130 0.104 0.990 1.662
1 0.133 0.213 0.949 1.524 0.203 0.175 0.937 1.760
Sep
2 0.180 0.342 0.844 0.608 0.315 0.329 0.937 0.850
1 0.238 0.246 0.869 2.010 0.305 0.298 0.912 1.691
Oct
2 0.368 0.569 0.510 0.543 0.538 0.554 0.437 0.404
1 0.690 0.606 0.580 0.519 0.829 0.511 0.368 0.335
Nov
2 0.758 0.542 0.385 0.386 0.949 0.465 0.724 0.704
1 0.679 0.543 0.678 0.783 0.792 0.452 0.535 0.505
Dec
2 0.954 0.627 0.371 0.103 1.291 0.427 -0.541 -0.175

Gambar 4 Data Historis dan Data Bangkitan Deviasi

Gambar 5 Data Historis dan Data Bangkitan Korelasi Gambar 6 Data Historis dan Data Bangkitan Varian
Dari hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa data hasil bangkitan sudah memiliki kesamaan statistik dengan data
historis. Sehinggadata dapat dipakai untuk analisa selanjutnya.

Simulasi Pengoperasian Embung

Simulasi operasi embung adalah suatu acuan pengaturan air untuk pengoperasian embung yang disepakati bersama
oleh para pemanfaat air dan pengelola melalui Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA). Dalam penelitian ini
menggunakan metode Standard Operating Policy (Budiman, 2007). Untuk rembesan yang terjadi pada embung
diasumsikan sebesar 0-3%.

AIR - 98
Gambar 7 Volume Tampungan Embung Suruhan Tahun Bangkitan ke 11 sd 25

Gambar 8 Volume Limpasan dan Volume kebutuhan yang tidak terpenuhi Tahun ke 11 sd 25

Gambar diatas adalah kurva volume tampungan dan perbandingan limpasan dengan kekurangan air yang didapat
dari hasil perhitungan simulasi operasional Embung Suruhan, menggunakan data debit bangkitan sebagai inflow
embung dengan luas layanan irigasi eksisting 376Ha dan asumsi rembesan yang terjadi 0%. Hal tersebut dilakukan
pada 15 tahun terakhir bangkitan, dengan asumsi rembesan dan variabel luasan layanan embung sehingga didapat
kinerja embung.

Kinerja Embung

Kinerja pengoperasian waduk/embung merupakan indikator dalam pengoperasian untuk memenuhi kebutuhan.
Beberapa indikator utuk menilai besarnya performance operasi embung dapat meliputi keandalan (reliability),
kelentingan (resiliency) dan kerawanan (vulnerability).
Berdasarkan persamaan kinerja embung dan hasil simulasi pengoperasian embung, dengan asumsi rembesan yang
terjadi pada tampungan embung sebesar 0-3% dan variabel luasan areal layanan eksisting 376Ha hingga estimasi
500Ha maka didapat unjuk kinerja Embung Suruhan sesuai pada Tabel 4 dibawah ini.

AIR - 99
Tabel 4 Rekapitulasi Kinerja Embung
Rembesan Embung (% )
Keterangan
0 1 2 3
87.40% 86.30% 85.27% 84.28% Keandalan
Luas Areal Irigasi (Ha) 376 16.43% 17.25% 17.97% 18.68% Kerawanan
35.38% 34.78% 32.43% 31.65% Kelentingan
85.28% 84.30% 83.30% 82.34% Keandalan
400 18.86% 19.55% 20.29% 20.97% Kerawanan
33.80% 31.65% 30.49% 30.95% Kelentingan
81.16% 80.21% 79.32% 78.48% Keandalan
450 23.62% 24.27% 24.86% 25.40% Kerawanan
29.55% 27.66% 27.84% 26.92% Kelentingan
77.17% 76.36% 75.37% 74.48% Keandalan
500 28.10% 28.61% 29.14% 29.66% Kerawanan
27.03% 26.50% 24.19% 23.81% Kelentingan
464 453 441 430 Luas (Ha)
Goal Seek
Analisis

80.00% 80.00% 80.00% 80.00% Keandalan


24.92% 24.50% 24.09% 23.69% Kerawanan
27.37% 27.37% 27.66% 27.96% Kelentingan
Berdasarkan analisis menggunakan Goal Seek pada perangkat lunak Ms. Excel, untuk mendapatkan luasan yang
optimal dengan keandalan 80%, maka di atur dengan luas areal irigasi seperti pada tabel diatas. Dengan
mempertimbangkan ketidakpastian inflow, demand, dan kondisi sedimentasi embung, maka luasan areal layanan
maksimal yang direkomendasikan ialah 430Ha.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan hasil pembahasan yang dilakukan pada Embung Suruhan dengan pembatasan dan asumsi
seperti yang diuraikan sebelumnya, dabat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Data historik dari tahun 2003-2012 dibangkitkan dengan menggunakan model stokastik Thomas-Fiering hingga
25 tahun kedepan, mempunyai karakteristik yang sama dengan data historik.
2. Berdasarkan unjuk kinerja, Embung Suruhan memiliki keandalan yang relatif tinggi sehingga masih dapat di
tingkatkan luas layanan embung sampai maksimal 430 Ha.

Saran
1. Perlu adanya kajian mengenai pengaruh sedimentasi yang terjadi pada tampungan embung.
2. Perlu kajian tentang pola operasi atau rule curve sebagai pedoman pengoperasian embung yang optimum.
3. Konservasi DAS harus direalisasikan.

DAFTAR PUSTAKA
Budiman, A. dan Natarbora O., B. (2007). Kinerja Pengoperasian Waduk Sempor Jawa Tengah dan Perbaikan
Jaringan Irigasinya. Skripsi, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.
Departemen Pekerjaan Umum. (2008). Studi dan Basic Desain Rencana Pengelolaan SDA Sub DAS Lusi. PT. Tera
Buana Manunggal Jaya. Semarang.
Departemen Pekerjaan Umum. (2011). Peta Waduk dan Embung Potensial. BBWS Pemali Juana. Semarang.
Departemen Pekerjaan Umum. (2013). Laporan Akhir, Studi Pengembangan dan Pengelolaan SDA di Sub DAS
Lusi. PT. Gracia Widyakarsa. Semarang.
Dethan, Y., Bunganaen, W., dan Messah, Y. A. (2015). “Evaluasi Kinerja Embung Oeltua”. Jurnal Teknik Sipil,
Vol. IV, No. 1, 105-118.

AIR - 100
Direktorat Jendral Pengairan. (1985). Pedoman Kebutuhan Air untuk Tanaman Padi dan Tanaman Lain.
Departemen Pekerjaan Umum, Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum.
Direktorat Jendral Pengairan. (1986). Standar Perencanaan Irigasi Kriteria Perencanaan Bagian Perencanaan
Jaringan Irigasi (KP-01). Departemen Pekerjaan Umum, Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum.
Gunawan, S. (2006). Kajian Panjang Data Historis yang Representatif pada Model Stokastik. Tesis, Fakultas
Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.
Indra, Z., Jasin, M. I., Binilang, A., dan Mamoto, J. D. (2012). “Analisis Debit Sungai Munte dengan Metode Mock
dan Metode NRECA untuk Kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Air”. Jurnal Sipil Static,Vol. I, No. 1, 34-
38.
Juwono, P. T. (2010) “Pengaruh Perbedaan Rerata Data Debit pada Pemodelan Hidrologi Deret Berkala untuk
Peramalan Debit Sungai dengan Metode Arfima”. Jurnal Teknik Pengairan, Vol . I, No. 2, 136-146.
Linsley, R. K., dan Fransini, J. B. (1995). Teknik Sumber Daya Air Jilid 1 . Erlangga, Jakarta.
Linsley, R. K., Kohler, M. A., dan Paulhus, J. L. H. (1986). Hidrologi untuk Insinyur. Erlangga, Jakarta.
Nisa A. dan Romulus H., C. (2008). Perencanaan Detail Embung UNDIP sebagai Pengendali Banjir pada Banjir
Kanal Timur. Skripsi, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.
Pemkab Blora. (2014). Geografis. Dipetik Agustus 20, 2015, dari Pemerintah Kabupaten Blora:
http:/www.blorakab.go.id
Prasetya, D. A., dan Hadiwijoyo, P. (2012). Perencanaan Embung Susukan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
Jawa Tengah. Skripsi, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.
Pratiwi, B. S. (2017). Kajian Peramalan Ketersediaan Air Daerah Irigasi Layanan Embung Suruhan. Tesis,
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.
Salamun. (2007). Rekayasa Irigasi dan Bangunan Air. Buku Ajar, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro. Semarang.
Sastrawijaya, P. (2015). Analisis Stabilitas Lereng Pembangunan Embung Desa Bumi Ayu Kecamatan Pringsewu.
Skripsi, Fakultas Teknik Universitas Bandar Lampung. Bandar Lampung.
Soetopo, W. (2010). Operasi Waduk Tunggal. Asrori, Malang.
Soetopo, W., dkk. (2015). “Model-model Pembangkitan Data Sintetis untuk Curah Hujan Harian di Wilayah Brantas
Tengah”. Teknik Pengairan, Vol. VI, No. 1, 88-94.

AIR - 101
AIR - 102
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

KALIBRASI MODEL HEC-HMS PADA SIMULASI DEBIT AKIBAT PERUBAHAN


TATAGUNA LAHAN DI SUBDAS KAMPAR KANAN

Bambang Sujatmoko 1, Ferry Vergiawan2, dan Mudjiatko3

1
J urusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau
Email : b_sujatmoko@yahoo.com
2
J urusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau
Email : ferry.virgiawan@yahoo.com
3
J urusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau
Email : mudji_atko@yahoo.com

ABSTRAK
Perubahan tata guna lahan di sub DAS Kampar Kanan telah berlangsung dari tahun ke tahun dan
mengakibatkan terjadinya perubahan debit aliran pada sub DAS tersebut. Untuk mengetahui
seberapa besar pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap perubahan debit di sub DAS Kampar
Kanan yang akurat dapat dilakukan dengan menggunakan model hidrologi terkalibrasi. Model
Hidrologi HEC-HMS dapat digunakan untuk memodelkan pengaruh perubahan tata guna lahan
terhadap debit pada sub DAS Kampar Kanan dengan bantuan HEC-GeoHMS sebagai ekstensi pada
software geography information system (GIS). Daerah studi terbatas pada daerah aliran yang
berkontribusi terhadap limpasan di stasiun AWLR Danau Bingkuang seluas 3226 km2, mencakup
satu stasiun pencatat hujan Pasar Kampar, satu stasiun klimatologi Pasar Kampar, dan satu reservoir
yaitu Bendungan Koto Panjang. Debit aliran permukaan dihitung dengan metode kehilangan SCS
dan metode transformasi hidrograf satuan SCS. Model meteorologi yang digunakan adalah hujan
frekuensi dengan kala ulang 50 tahun dan hujan jam-jaman dengan durasi 3 jam. Hasil kalibrasi
menunjukkan nilai debit puncak hasil simulasi model sebesar 121,4 m3/detik terhadap debit
lapangan sebesar 116,0 m3/detik. Proses kalibrasi menghasilkan parameter kalibrasi yang telah
teroptimasi [Curve Number (CN), Initial Abstraction (IA), dan Time Lag (TL)] yaitu: CN seluruh
daerah aliran sebesar 119% dari nilai CN awal, IA seluruh daerah aliran sebesar 148% dari nilai IA
awal dan nilai Time Lag hanya untuk daerah aliran 06, 02, 07, 09, 10 dan 16. Simulasi aliran
permukaan untuk tata guna lahan tahun 2008 menghasilkan debit 641 m3/detik dan untuk tata guna
lahan tahun 2014 menghasilkan debit 617 m3/detik pada outlet stasiun AWLR Danau Bingkuang
(terjadi penurunan sebesar 3,7%).
Kata kunci : kalibrasi, model hidrologi, HEC-HMS, tataguna lahan, debit aliran

1. PENDAHULUAN
Suatu daerah aliran sungai (DAS) yang menyuplai suatu sungai memiliki beragam sifat yang dapat mempengaruhi
aliran permukaan pada daerah aliran tersebut apabila diberikan presipitasi. Salah satu sifat tersebut adalah tata guna
lahan. Sub DAS Kampar Kanan dengan luas + 3920 km2 merupakan suatu daerah aliran sungai dengan beragam
jenis peruntukan tata guna lahan. Sub DAS Kampar Kanan terletak pada sistem daerah aliran yang lebih besar yaitu
DAS Kampar. Sub DAS Kampar Kanan memiliki peran yang sangat penting selain karena sebagai daerah tangkapan
bagi Sungai Kampar, juga sebagai lokasi dimana waduk untuk PLTA Koto Panjang terdapat. Sub DAS ini juga
memiliki satu stasiun pencatat debit untuk Sungai Kampar yaitu Stasiun AWLR Danau Bingkuang.
Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan tata guna lahan di sub DAS Kampar Kanan seperti perubahan
lahan pertanian menjadi lahan perkebunan sawit yang juga berpengaruh terhadap debit AWLR Danau Bingkuang
sebagai outlet dari sub DAS Kampar Kanan. Memprediksi perubahan tata guna lahan dan pengaruhnya terhadap
ketersediaan air, risiko banjir dan tingkat erosi untuk negara yang berkembang dengan cepat merupakan suatu hal
yang penting (Koch, et al, 2012). Lahan hutan yang merupakan komponen utama pengendali aliran permukaan dapat
mengalami perubahan baik berupa penurunan atau pertambahan pada tahun-tahun yang akan datang. Penelitian
sebelumnya mengenai dampak perubahan tata guna lahan yang dilakukan oleh Firdaus (2014) pada sub DAS
Kampar Kiri menunjukkan bahwa perubahan tata guna lahan mengakibatkan kenaikan debit aliran permukaan pada
sub DAS Kampar Kiri.

AIR - 103
HEC-HMS dapat digunakan untuk melakukan permodelan hidrologi dengan bantuan HEC-GeoHMS sebagai
ekstensi pada program GIS. Permodelan hidrologi merupakan suatu proses yang komplek dan harus dikalibrasi
untuk memastikan keandalan hasil perhitungan program. Kalibrasi yang tersedia pada program ini dapat
memodelkan suatu daerah aliran sesuai dengan karakteristik yang sebenarnya (Begam et al, 2013).
Terjadinya perubahan lahan di sub DAS Kampar Kanan telah berlangsung dari tahun ke tahun sehingga diperlukan
suatu model hidrologi yang terkalibrasi untuk mengetahui besarnya perubahan debit aliran permukaan yang terjadi
akibat adanya perubahan tata guna lahan pada sub DAS Kampar Kanan.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Model Hidrologi
Daerah aliran (watershed atau catchment area) adalah daerah yang menyuplai sebuah sistem sungai, dan atau
reservoir. Keseluruhan daerah aliran terdiri atas daerah-daerah aliran yang lebih kecil yang menyuplai air ke sungai
utama serta sebagai tangkapan langsung yang mengalirkan air langsung ke danau atau sungai utama. Menurut
Soemarto (1986), daerah pengaliran sungai adalah suatu sistem yang merubah curah hujan (atau input) ke dalam
debit (atau output, respon) di pelepasannya (outlet).
Daerah pengaliran sungai merupakan sistem yang kompleks dan heterogen yang terdiri atas beberapa sub sistem di
mana sub sistem tersebut dapat dianggap homogen. Suatu model hidrologi diperlukan untuk untuk memodelkan
kondisi atmosferik suatu daerah aliran yang kompleks dalam bentuk jaringan aliran. Model hidrologi ini dapat
dibuat dari data elevation model (DEM) dengan menggunakan bantuan program seperti HEC-GeoHMS dan HEC-
HMS.

Pemodelan Hidrologi HEC-HMS


Sistem Permodelan Hidrologi Hydrologic Engineering Center (HEC-HMS) mensimulasikan proses presipitasi-
limpasan pada sistem daerah aliran. HMS menggunakan permodelan matematis deterministik untuk menghitung
berbagai komponen siklus hidrologi. Komponen-komponen tersebut adalah evapotranspirasi, presipitasi, infiltrasi
dan limpasan. Evapotranspirasi adalah jumlah dari evaporasi dan transpirasi tanaman dari permukaan bumi ke
atmosfer. Presipitasi adalah air yang dilepaskan oleh awan sebagai hujan. Infiltrasi adalah porsi presipitasi setelah
mencapai permukaan bumi dan merembes melalui lapisan tanah. Limpasan adalah presipitasi yang mencapai
permukaan bumi namun tidak menginfiltrasi tanah.
HMS dapat diaplikasikan pada daerah dengan rentang geografi yang luas untuk memecahkan berbagai macam
masalah termasuk daerah aliran sungai yang luas, suplai air dan hidrologi banjir, serta limpasan pada daerah aliran
alami atau buatan. Hidrograf yang dihasilkan oleh HMS digunakan langsung atau beriringan dengan program lain
untuk kajian ketersediaan air, pengairan perkotaan, peramalan aliran, dampak urbanisasi di masa yang akan datang,
desain pelimpah air, reduksi kerusakan banjir, pengaturan dataran banjir dan sistem operasi (Scharrffenberg, 2013).
Metode kehilangan/loss rate method. Curah hujan yang jatuh pada suatu DAS akan mengalami proses infiltrasi,
intersepsi, evaporasi dan bentuk kehilangan lainnya sebelum menjadi limpasan. Model volume limpasan
menghitung besar curah hujan efektif dari pengurangan total curah hujan yang turun dengan volume air yang
terintersepsi, terinfiltrasi, tertampung pada permukaan, dan terevapotranspirasi. Limpasan merupakan bagian air
yang berada di permukaan yang terdiri dari empat unsur yaitu tahanan permukaan (surface detention), tampungan
cekungan (surface storage), aliran limpasan (overland flow) dan limpasan permukaan (surface run-off).
Metode yang dapat digunakan untuk menetukan kehilangan hujan dalam program HEC-HMS antra lain adalah
Deficit and Constant, Exponentia, Green and Ampt, Gridded SCS Curve Number, Gridded Soil Moisture
Accounting, Initial and Constant, SCS Curve Number, Smith Parlange dan Soil Moisture Accounting
Metode transformasi/Transform method. Model limpasan langsung di dalam model HEC-HMS mengikuti prinsip
hidrograf satuan dengan asumsi sebagai berikut : hujan terjadi merata diseluruh DAS (evenly distributed) dan
intensitas tetap pada setiap interval waktu (constant intensity), hujan terjadi kapanpun tidak berpengaruh pada proses
transformasi hujan menjadi debit atau hidrograf (time invariant),
Transform adalah pemodelan metode hidrograf satuan yang digunakan. Unit hidrograf merupakan metode yang
sangat familiar dan dapat diandalkan. Beberapa metode transform yang tersedia pada program HEC-HMS yaitu :
Clark Unit Hydrograph, Kinematik Wave, Modclark, SCS Unit Hydrograph, Snyder Unit Hydrograph, User -
Specified S-Graph, dan User – Specified Unit Hydrograph

AIR - 104
Parameter yang diperlukan untuk metode transformasi terutamanya untuk metode SCS Unit Hydrograph adalah
Time Lag. Time lag, L suatu daerah aliran didefinisikan sebagai waktu dari pusat luasan kelebihan hujan hingga
waktu puncak tp pada hidrograf satuan. Hubungan rata-rata time lag dan tc adalah (Chang, 2009)
(1)
Waktu konsentrasi tc adalah waktu yang diperlukan oleh limpasan untuk bergerak secara hidrolik dari tempat yang
paling jauh pada daerah aliran ke titik referensi di hilir. Fungsi utama tc adalah untuk memberikan waktu bagi
hidrograf. Perkembangan daerah urban tidak hanya meningkatkan volume limpasan tetapi juga mengurangi waktu
gerak tc sehingga memperpendek waktu puncak hidrograf dan meningkatkan debit puncak. Waktu konsentrasi dapat
dihitung dengan (Kurniadi dalam Firdaus, 2014)

(2)

Kalibrasi Model Hidrologi


Kalibrasi pada program HEC-HMS dilakukan dengan berdasarkan kepada debit puncak hasil simulasi dan debit
puncak di lapangan. Proses kalibrasi dilakukan untuk mendapatkan model hidrologi yang mendekati keadaan di
lapangan. Kalibrasi pada program HEC-HMS dilakukan dengan cara optimasi parameter (Parameter Optimization).
Perkiraan paramater merupakan suatu proses mengadaptasi suatu model umum untuk suatu daerah aliran
(Scharrffenberg (2013) ; Feldman (200)). Produk utama dari proses kalibrasi ini adalah parameter-parameter yang
teroptimasi. Simulasi dengan menggunakan parameter yang telah dioptimasi ini nantinya akan memberikan
hidrograf dengan debit puncak yang mendekati debit puncak yang tercatat di lapangan.
Pengukuran kualitatif kecocokan antara hasil perhitungan dari model dengan debit lapangan disebut objective
function. Untuk melakukan kalibrasi diperlukan perkiraan parameter awal kemudian di sesuaikan berdasarkan debit
lapangan untuk mendapatkan hasil perhitungan yang mendekati keadaan di lapangaan sedekat mungkin. Percobaan-
percobaan kalibrasi dilakukan secara otomatis dengan menggunakan program HEC-HMS namun berdasarkan
kriteria-kriteria kalibrasi yang telah ditentukan oleh pengguna serta harus tetap berada pada nilai-nilai batas
penyesuaian parameter yang telah diberikan oleh HEC-HMS. Walaupun perkiraan parameter dengan optimalisasi
tidak memberikan hasil yang sempurna, namun dapat menjadi alat bantu yang berguna dalam pengkalibrasian
model.
Optimalisasi parameter. Prosses optimalisasi yang digunakan dimulai dari perkiraan parameter awal dan
menyesuaikannya agar hasil simulasi mendekati hasil di lapangan sedekat mungkin. Walaupun perkiraan parameter
dengan optimalisasi tidak memberikan hasil yang sempurna, namun dapat menjadi alat bantu yang berguna dalam
pengkalibrasian model.
Perkiraan parameter merupakan proses mengadaptasi model umum terhadap suatu daerah aliran tertentu. Beberapa
parameter dapat diperkirakan secara langsung melalui pengukuran lapangan. Sebagai contoh, luasan yang harus
dimasukkan untuk suatu elemen subbasin dapat diukur secara langsung di lapangan menggunakan prosedur survey
standar atau melalui pengembangan peta lewat survey. Beberapa parameter dapat diperkirakan secara tidak langsung
dari pengukuran lapangan. Dalam hal ini, pengukuran lapangan tidak memberikan suatu nilai yang dapat
dimasukkan secara langsung ke dalam program namun pengukuran lapangan dapat memberikan rekomendasi yang
kuat untuk suatu parameter berdasarkan pengalaman sebelumnya. Misalnya, pengukuran tekstur tanah berhubungan
erat dengan parameter seperti konduktifitas hidrolik.
Terdapat juga parameter yang hanya bisa diperkirakan dengan cara membandingkan hasil hitungan dengan hasil
lapangan seperti debit aliran lapangan. Dalam optimalisasi parameter, batasan-batasan diberikan untuk memastikan
bahwa nilai parameter yang tidak sesuai tidak digunakan.
Untuk metode kehilangan SCS, parameter yang dapat diperkirakan adalah initial abstraction dan curve number.
Sementara untuk metode transformasi SCS, parameter yang dapat diperkirakan adalah time lag.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Daerah Studi dan Model Hidrologi


Penelitian ini dilakukan pada daerah aliran sungai (DAS) Kampar Kanan (Gambar 1). DAS Kampar kanan memiliki
luas total +/- 3.980 km2. Daerah studi dibatasi hanya pada daerah-daerah aliran yang berkontribusi terhadap
limpasan pada Stasiun AWLR Danau Bingkuang yaitu seluas 3.226 km2. Daerah studi mencakup satu stasiun
pencatat hujan yaitu stasiun Pasar Kampar, satu stasiun klimatologi yaitu Stasiun Pasar Kampar, dan satu
tampungan/reservoir yaitu Bendungan Koto Panjang.

AIR - 105
Karakteristik daerah aliran didapatkan dari pengolahan data DEM dengan menggunakan program HEC-GeoHMS
dalam lingkungan GIS. Model hidrologi dibuat dengan menggunakan program HEC-HMS. Elemen-elemen hidrologi
yang digunakan pada model yaitu subbasin, junction, reach, reservoir untuk memodelkan waduk Kotopanjang dan
sink untuk memodelkan stasiun AWLR Danau Bingkunang. Debit aliran permukaan dihitung dengan metode
kehilangan SCS dan metode transformasi hidrograf satuan SCS. Parameter-parameter kehilangan dan transformasi
diperkirakan untuk melakukan simulasi aliran permukaan dengan menggunakan data hujan lapangan.

Daerah
Penelitian

Gambar 1. Daerah Penelitian (Sumber : BWS III Provinsi Riau)

Analisis HEC-GeoHMS
Pemotongan (clipping) model elevasi digital dilakukan sesuai dengan daerah penelitian yang akan dikaji. Proses ini
dan proses-proses selanjutnya dalam pengolahan daerah tangkapan dilakukan dengan bantuan program berbasis GIS.
Batasan yang digunakan untuk proses pemotongan ini disesuaikan dengan ketersediaan data. Dalam hal ini, data tata
guna lahan yang tersedia adalah data untuk daerah aliran Kampar Kanan sehingga model elevasi digital dipotong
sesuai dengan DAS Kampar Kanan.
Penggambaran (delineation) daerah aliran berdasarkan model elevasi digital yang telah dipotong dilakukan untuk
mengetahui aliran sungai dan daerah-daerah alirannya (Flemming, 2013). Proses ini dilakukan dengan menggunakan
bantuan program HEC-GeoHMS.
Penggambaran sub-daerah aliran dilakukan berdasarkan segmen-segmen aliran yang telah didapat sebelumnya. Pada
proses ini daerah aliran dibagi menjadi sub-daerah aliran yang lebih kecil (Gambar 2). Garis-garis
pengaliran/drainage line juga ditentukan pada proses ini. Salah satu keluaran dari proses ini adalah luas sub-daerah
aliran yang merupakan salah satu masukan pada program HEC-HMS.

Gambar 2. Pembagian sub-daerah aliran/subbasin

Simulasi dan Kalibrasi HEC-HMS


Simulasi hujan dengan menggunakan data hujan lapangan dan perkiraan parameter daerah aliran awal untuk
menghasilkan hidrograf aliran permukaan yang akan digunakan sebagai dasar kalibrasi. Kalibrasi awal dilakukan
dengan menggunakan parameter-parameter perkiraan dengan skala 1. Proses kalibrasi akan menghasilkan skala
parameter beserta sensitifitas untuk masing-masing parameter tersebut. Kalibrasi selanjutnya dilakukan dengan
berdasarkan kepada hasil kalibrasi sebelumnya dengan mempertimbangkan parameter yang paling sensitif.

AIR - 106
Parameter yang dikalibrasi adalah parameter Curve Number dan Initial Abstraction untuk metode kehilangan serta
parameter Time Lag untuk metode transformasi.
Proses Kalibrasi. Kalibrasi dilakukan untuk mendapatkan hasil perhitungan yang mendekati hasil di lapangan.
Kalibrasi dilakukan berdasarkan perhitungan simulasi permodelan yang telah dilakukan terlebih dahulu untuk suatu
model daerah aliran tertentu. Untuk melakukan kalibrasi diperlukan data seri waktu berupa data debit lapangan
sebagai pembanding. Data seri waktu yang telah dibuat harus diasosiasikan dengan elemen yang akan dijadikan
sebagai tinjauan dengan cara memilih elemen yang diinginkan (misalnya : elemen sink AWLR Danau Bingkuang)
pada daftar komponen. Untuk memulai kalibrasi, percobaan optimasi harus dibuat terlebih dahulu. Secara Default
suatu percobaan optimasi akan terdiri atas suatu Objective Function. Pada panel Objective Function, tentukan
metode yang digunakan, lokasi elemen yang ingin dioptimasi, persentase kehilangan data debit, dan waktu optimasi
pada kotak yang disediakan. Untuk melakukan percobaan optimasi, perlu dibuat parameter yang akan dioptimasi.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Model Hidrologi
Model hidrologi dibuat pada program HEC-HMS berdasarkan skema permodelan yang dibuat pada program HEC-
GeoHMS dalam lingkungan GIS. Pada model hidrologi terdapat beberapa sub-daerah aliran yang terletak pada
daerah genangan Waduk Kotopanjang. 51 subbasin dimodelkan sebagai elemen pada program HEC-HMS.
Parameter kehilangan dibuat masing-masing untuk tata guna lahan tahun 2008 dan tahun 2014.
Model hidrologi juga mencakup penentuan metode kehilangan, metode transformasi hujan-limpasan, komponen
model meteorologi, komponen spesifikasi kontrol dan komponen data pasangan. Metode SCS Curve Number dipilih
sebagai metode kehilangan sementara metode SCS Unit Hydroghraph dipilih sebagai metode transformasi hujan-
limpasan. Metode hujan frekuensi dipilih sebagai metode pada komponen model meteorologi. Waktu simulasi pada
komponen spesifikasi kontrol diatur pada tanggal 1 Januari 2009 pukul 00:00 sampai 3 Januari 2009 pukul 00:00.
Data Simpanan-Debit dipilih sebagai data pasangan untuk reservoir.

Gambar 2. Model hidrologi HEC-HMS

Simulasi hujan lapangan dan kalibrasi debit lapangan


Simulasi hujan lapangan dilakukan dengan menggunakan data hujan yang didapat dari stasiun hujan Pasar Kampar.
Debit lepasan waduk pada elemen source yang digunakan untuk simulasi hujan lapangan adalah debit outflow total
(Gambar 3). Rentang data hujan pada komponen meteorologi yang digunakan disesuaikan dengan rentang waktu
pada komponen Control Spesification yaitu waktu mulai pada 1 Januari 2009 pukul 00:00 hingga 30 Januari 2009
pukul 00:00. Parameter-parameter kehilangan dan tansformasi yang digunakan adalah parameter-parameter tahun
2008 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil simulasi hujan lapangan pada elemen AWLR Danau Bingkuang
ditunjukkan pada Gambar 4.
Hasil simulasi hujan lapangan menunjukkan debit pada outlet daerah aliran sebesar 319 m3/detik. Proses Kalibrasi
dilakukan pada hasil simulasi hujan lapangan untuk mendapatkan hasil perhitungan yang mendekati keadaan di
lapangan. Proses kalibrasi juga dilakukan untuk mendapatkan parameter-parameter perhitungan yang optimal.
Parameter-parameter yang dapat dioptimasi adalah parameter Curve Number untuk seluruh sub-daerah aliran;
parameter Initial Abstraction untuk seluruh sub-daerah aliran; dan parameter Time Lag untuk sub-daerah aliran yang
berdekatan dengan elemen AWLR Danau Bingkuang. Data debit lapangan yang digunakan sebagai dasar kalibrasi
adalah debit lapangan stasiun AWLR Danau Bingkuang.

AIR - 107
Gambar 3. Debit PLTA Kotopanjang pada Januari 2009
(Sumber : Anonim, 2015)

Tabel 1. Nilai perkiraan awal curve number, impervous, dan Ia (2008; 2014)
ID Impervious Time Lag
CN Komposit Ia
Subbasins Komposit (menit)
2008 2008 2014 2008 2014 2008 2014 --
2 86 86 0 0,0 8.41 8 103.69
6 74 74 0 0,0 18.22 18 46.78
7 79 79 6 5,3 13.59 13 166.18
8 67 73 0 0,0 25.21 19 35.22
9 81 80 1 1,9 12.23 12 115.15
10 81 82 19 17,3 11.64 11 98.95
11 84 84 0 0,0 9.35 9 86.49
14 74 73 12 15,2 18.17 19 59.46
16 81 79 0 0,0 11.90 14 106.53
19 78 78 0 0,4 14.24 15 121.85
20 74 74 0 0,6 18.03 18 114.44

Gambar 4. Hasil simulasi hujan lapangan pada elemen AWLR Danau Bingkuang

Perhitungan dan Kalibrasi HEC-HMS


Simulasi hujan lapangan dilakukan dengan menggunakan data hujan yang didapat dari stasiun hujan Pasar Kampar.
Parameter-parameter kehilangan dan tansformasi yang digunakan adalah parameter-parameter untuk tata guna lahan
tahun 2008. Hidrograf simulasi hujan lapangan ditunjukkan pada Gambar 5. Hasil simulasi hujan lapangan
menunjukkan debit pada outlet daerah aliran sebesar 136,5 m3/detik sementara debit lapangan sebesar 116 m3/detik.
Proses kalibrasi dilakukan pada hasil simulasi hujan lapangan untuk mendapatkan hasil perhitungan yang mendekati
keadaan di lapangan. Proses kalibrasi juga dilakukan untuk mendapatkan parameter-parameter perhitungan yang
optimal dan hanya mengacu pada debit puncak hitungan maupun lapangan (tidak memasukkan pengaruh volume
limpasan). Dari tiga parameter yang dioptimasi, parameter curve number dikurangi dari nilai perkiraan untuk
mendapatkan aliran permukaan yang lebih kecil dan mendekati nilai di lapangan. Parameter initial abstraction

AIR - 108
ditambah karena nilai ini dapat mengurangi besarnya aliran permukaan. Parameter time lag hanya diubah pada sub
daerah aliran yang berdekatan dengan titik outlet saja.
Kalibrasi awal menghasilkan skala optimasi parameter dan persentase perbedaan antara debit hitungan dan debit
lapangan sebesar 7,2%. Debit hasil kalibrasi awal didapat sebesar 124,4 m3/detik (Gambar 5.a). Dari ketiga
parameter yang dapat dioptimasi (Gambar 5.b) parameter initial abstraction memiliki sensitivitas paling tinggi
karena perubahan parameter pada sub daerah ini akan berpengaruh besar terhadap limpasan.

(a) (b)
Gambar 5. Hasil kalibrasi awal. (a) Hidrograf, (b) Skala parameter
Kalibrasi awal menunjukkan persentase perbedaan yang masih cukup besar, sehingga diperlukan kalibrasi
selanjutnya dengan menggunakan data hasil kalibrasi awal. Pada kalibrasi selanjutnya nilai awal initial abstraction
ditetapkan dengan skala 1,5 dan nilai awal curve number ditetapkan dengan skala 1,04 serta nilai time lag untuk
beberapa elemen subbasin yang berdekatan dengan titik outlet. Persentase perbedaan yang didapat dari kalibrasi
terakhir ini adalah sebesar 4,8%.
Hasil kalibrasi (Gambar 6.a) menunjukkan nilai debit puncak sebesar 121,4 m3/detik terhadap debit lapangan
sebesar 116,0 m3/detik serta parameter hasil kalibrasi yang telah teroptimasi (Gambar 6.b). Kalibrasi ini
memberikan parameter yang lebih akurat dibandingkan kalibrasi sebelumnya. Perbandingan skala parameter
perkiraan sebelumnya dengan skala parameter hasil kalibrasi akhir tidak menunjukkan perbedaan yang besar yang
menandakan bahwa perkiraan nilai parameter telah tepat. Berkurangnya sensitifitas parameter initial abstraction
juga mengindikasikan proses kalibrasi yang lebih akurat.

(a) (b)
Gambar 6. Hasil kalibrasi akhir. (a) Hidrograf, (b) Skala parameter
Simulasi Debit dengan tata guna lahan untuk tahun 2008 dan 2014 (Gambar 7 dan Gambar 8) dilakukan untuk
mengetahui besar perubahan aliran permukaan. Parameter-parameter daerah aliran yang digunakan adalah parameter
daerah aliran untuk masing-masing tata guna lahan yang dioptimasi dengan menggunakan skala hasil kalibrasi.
Model meteorologi yang digunakan adalah hujan frekuensi dengan kala ulang 50 tahun dan hujan jam-jaman dengan
durasi hujan 3 jam.

AIR - 109
Gambar 7. Simulasi Debit dengan tata guna lahan tahun 2008

Gambar 8. Simulasi Debit dengan tata guna lahan tahun 2014


Hasil simulasi debit dengan tata guna lahan tahun 2008 dan tahun 2014 menunjukkan debit puncak pada stasiun
AWLR Danau Bingkuang berturut-turut sebesar 641 m3/detik dan 617 m3/detik. Debit puncak yang didapatkan dari
hasil simulasi dengan model HEC-HMS menunjukkan adanya penurunan debit aliran permukaan sebesar 3,7% pada
tahun 2014 dibanding debit puncak tahun 2008.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil kalibrasi dan simulasi yang dilakukan terhadap model hidrologi pada program HEC-HMS untuk
menganalisa besar aliran permukaan akibat perubahan tata guna lahan, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
a. Hasil kalibrasi menghasilkan parameter-parameter daerah aliran yang telah dioptimasi. Curve Number untuk
seluruh daerah aliran sebesar 119% dari nilai Curve Number perkiraan awal. Initial Abstaction untuk seluruh
daerah aliran sebesar 148% dari nilai Initial Abstraction awal. Nilai Time Lag hanya untuk untuk daerah aliran
06, 02, 07, 09, 10 dan 16.
b. Simulasi aliran permukaan untuk tata guna lahan tahun 2008 dan 2014 memberikan debit berturut-turut sebesar
641 m3/detik dan 617 m3/detik. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan debit pada outlet Stasiun AWLR Danau
Bingkuang sebesar 3,7% pada tahun 2014 dibanding dari tahun 2008.

Saran
Terdapat banyak metode perhitungan yang dapat dilakukan pada program HEC-HMS misalnya metode Initial dan
Constant, eksponensial, Green-Ampt, Smith Parlange, Soil Moisture Accounting, untuk menghitung kehilangan
hujan dan metode Clark atau hidrograf unit Snyder, gelombang kinematik, ModClark, dan hidrograf buatan
pengguna untuk menghitung debit puncak. Masing-masing metode tersebut memiliki beragam persyaratan
ketersediaan datanya masing-masing. Selain metode perhitungan, program HEC-HMS juga dapat melakukan
analisa-analisa untuk keperluan yang lain misalnya analisa kedalaman-area, analisa sedimen, peramalan aliran, dan
analisa lain yang disediakan oleh HEC-HMS. Untuk penelitian selanjutnya, dapat dilakukan analisa-analisa yang
berbeda dengan menggunakan metode-metode perhitungan yang yang tersedia.

AIR - 110
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2015. Penyusunan Database Wilayah Sumber Daya Air Sungai Kampar. Balai Wilayah Sungai III Provinsi
Riau. Pekanbaru.
Begam, et al. (2013). Calibration and Validation of HEC-HMS Model for a River Basin in Eastern India. ARPN
Journal of Engineering and Applied Science.
Chang, Chi-Wen. (2009). Application of CN SCS Method in HEC-HMS ini ShihMen Watershed – Simulation of
Rainfall-Runoff Hydrologic Model. Florida State University. Florida.
Firdaus. (2014). Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Debit Banjir di Sub DAS Kampar Kiri
(Studi Kasus Sub DAS Kampar Kiri ). Jurusan Teknik Sipil Universitas Riau. Pekanbaru.
Flemming, M.J., Doan, James H. (2013). HEC-GeoHMS Geospatial Hydrologic Modeling Extension Version 10.1.
U.S. Corps of Engineering Hydrologic Engineering Center HEC. Davis.
Feldman, Arlen D (Ed.). (2000). Hydrologic Modeling System HEC-HMS Technical Reference Manual. U.S Army
Corps of Engineers Hydrologc Engineering Center, HEC. Davis.
Koch, et al, (2012). “The Effect of Land Use Change on Hydrological Responses in the Choce Mountain Range
(Ethiopia) – A New Approach Addressing Land Use Dynamics in The Model SWAT”. International
Environmental Modeling and Software Society. Leipzig.
Scharrffenberg, William A. (2013). Hydrologic Modelling System HEC-HMS Users Manual Version 4.0. U.S Corps
of Engineering Hydrologic Engineering Center HEC. Davis.
Soemarto, CD. (1987). Hidrologi Teknik. Usaha Nasional. Surabaya.

AIR - 111
AIR - 112
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

ANALISIS EMBUNG PADA DAERAH TOMRA UNTUK MENGATASI RAWAN AIR

Ony Frengky Rumihin1


1
Program Doktor Ilmu Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara, Jalan Letjen S. Parman No. 1 Tomang, Grogol
Petamburan Jakarta Barat
Email: ony_fregkyr@yahoo.co.id

ABSTRAK
Provinsi Maluku merupakan daerah kepulauan dengan pulau-pulau kecil yang tersebar. Hingga kini
terdapat empat wilayah sungai yang tersebar pada beberapa kabupaten, salah satunya adalah WS
Kepulauan Yamdena-Wetar yang berada pada Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Maluku Barat
Daya. WS Yamdena-Wetar adalah Wilayah Sungai Strategis Nasional, yang perlu dikembangkan
baik secara infrastruktur maupun sumber daya manusia. Namun keadaan yang terjadi hingga saat ini
ketersediaan air yang ada belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air baku, selain itu juga
sumber air yang ada sering menjadi ancaman yang diakibatkan tipikal sungai yang merupakan
sungai intermitten, yaitu sungai yang berair pada saat musim penghujan saja. Pulau Leti yang
terletak di Kabupaten Maluku Barat Daya untuk dibangun tampungan air berupa embung untuk
menampung kelebihan air yang ada pada musim penghujan agar dapat dimanfaatkan pada musim
kemarau. Metode analisis embung Tomra dimulai dengan pengumpulan data baik sekunder maupun
primer, dari data-data yang didapatkan kemudian dilakukan analisis embung untuk tampungan air
baku. Rangkaian perhitungan analisis embung dimulai dengan analisis curah hujan, analisis
evapotranspirasi potensial, analisis debit inflow, analisis debit andalan, analisis kapasitas tampungan
dan analisis tampungan embung. Dari hasil analisis yang ada didapatkan tampungan efektif waduk =
36.478,09 m3 dengan keandalan = 91 %. Dengan kapasitas yang ada dapat memenuhi kebutuhan air
baku masyarakat dengan proyeksi 50 tahun penduduk hingga 4580 jiwa, serta kebutuhan air ternak
sapi = 1920, kerbau = 183, kambing = 2559, babi = 5649, Itik = 2670, ayam = 200544.
Kata kunci: wilayah sungai strategis, rawan air, embung.

1. PENDAHULUAN

Provinsi Maluku merupakan daerah kepulauan dengan pulau-pulau kecil yang tersebar. Hingga kini terdapat 4
(empat) wilayah sungai yang tersebar pada beberapa kabupaten, salah satunya adalah Wilayah Sungai Kepulauan
Yamdena -Wetar yang berada pada Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Maluku Barat Daya. Wilayah Sungai ini
menjadi berbeda dengan Wilayah Sungai lainnya karena Wilayah Sungai Yamdena-Wetar adalah Wilayah Sungai
Strategis Nasional, yang merupakan daerah yang perlu dikembangkan baik secara infrastruktur maupun sumber daya
manusia. Salah satu yang wajib tersedia untuk pengembangan suatu wilayah adalah sumber air baku. Sumber air
baku dapat dimanfaatkan sebagai sumber air minum maupun irigasi. Namun keadaan yang terjadi hingga saat ini
ketersediaan air yang ada untuk memenuhi kebutuhan air baku pada Kabupaten Maluku Barat Daya belum
tercukupi, selain itu juga sumber air yang ada sering menjadi ancaman pada saat musim kemarau, yang diakibatkan
tipikal sungai yang merupakan sungai intermitten, yaitu sungai yang berair pada saat musim penghujan saja.

Hingga saat ini di Kabupaten Maluku Barat Daya hanya terdapat satu Danau yakni Danau Tihu di Pulau Wetar.
Pulau Leti yang terletak di Kabupaten Maluku Barat Daya dan berada di kawasan Wilayah Sungai Kepulauan
Yamdena -Wetar memiliki potensi secara hidrologi yang cukup untuk dibangun tampungan air. Secara topografi
daerah tersebut juga cukup potensial menjadi daerah embung. Namun pada saat ini belum terdapat bangunan
tersebut terutama di daerah Tomra. Sehingga untuk mewujudkan Wilayah Sungai Yamdena -Wetar sebagai Wilayah
Sungai Strategis Nasional. Diharapkan dengan adanya embung Tomra ini dapat mengatasi permasalahan rawan air
yang terjadi pada kabupaten Maluku Barat Daya, dan dapat mendukung Wilayah Sungai Yamdena-Wetar sebagai
salah satu Wilayah Sungai Strategis Nasional.

2. METODOLOGI
Berikut ini merupakan metodologi analisis penelitian embung daerah Tomra, yang dimulai dengan pengumpulan
data baik sekunder maupun primer dimana data-data sekunder diperoleh dari dinas provinsi maupun kabupaten
meliputi data curah hujan, suhu, kelembaban, kecepatan angin, radiasi matahari, debit, dan tata guna lahan.
Kemudian dilakukan survey lapangan untuk mengetahui kondisi di lapangan, baik permasalahan yang terjadi mapun

AIR - 113
potensi tampungan yang ada. Dari data-data yang didapatkan kemudian dilakukan analisis embung untuk
tampungan air baku.
Rangkaian perhitungan analisis embung dimulai dengan analisis curah hujan, analisis evapotranspirasi potensial,
analisis debit inflow, analisis debit andalan, analisis kapasitas tampungan dan analisis tampungan embung. Dari
hasil analisis kemudian didapatkan perbandingan kebutuhan air dengan potensi tampungan yang ada apakah mampu
memenuhi kebutuhan air yang ada atau tidak.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Curah hujan

Berikut ini merupakan grafik pola hujan bulanan pada stasiun hujan Saumlaki yang menunjukkan bulan basah
(hujan > 300 mm) terjadi awal dan akhir tahun yang dapat dilihat pada Gambar 1.

350,0

300,0

250,0

200,0

150,0

100,0

50,0

0,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Gambar 1. Pola Hujan Stasiun Hujan Saumlaki (Tahun 2008)


Dari pembagian pola hujan diatas dapat diketahui lokasi daerah studi termasuk memiliki curah hujan yang tinggi
dan termasuk dalam pola hujan tipe Monsoon (region A). Berikut ini metupakan tabel hujan maksimum bulanan
curah hujan yang diambil dari stasiun terdekat dan dari lokasi penelitian, yaitu stasiun Saumlaki, yang dapat dilihat
pada tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Hujan Maksimum Bulanan Stasiun Saumlaki (mm)

No Tahun Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
1 2000 62 54 63 44 161 48 19 3 9 84 61 43
2 2001 62 83 33 45 239 58 10 14 7 0 23 79
3 2002 96 96 49 26 37 9 15 27 3 0 10 23
4 2003 52 34 25 42 144 24 32 12 4 5 47 102
5 2004 73 51 19 49 148 33 7 1 1 16 16 39
6 2005 34 49 74 64 4 2 88 2 0 6 19 38
7 2006 73 44 69 67 120 50 39 21 0 2 4 37
8 2007 65 41 79 54 22 70 11 24 2 14 24 62
9 2008 78 48 56 54 66 54 4 2 0 7 9 34
10 2009 44 70 48 159 98 21 21 9 0 7 21 26
11 2010 117 58 82 80 80 136 55 52 76 63 109 0
12 2011 76 53 61 148 57 8 40 4 1 2 17 153
13 2012 45 50 80 33 107 4 19 2 6 0 0 4
14 2013 89 19 79 58 99 48 14 8 6 17 98 51
15 2014 54 91 32 26 49 107 14 4 0 0 2 43

AIR - 114
Tabel 2. Hujan Maksimum Tahunan Stasiun Saumlaki (mm)

Tahun H Max
2000 161
2001 239
2002 96
2003 144
2004 148
2005 88
2006 120
2007 79
2008 78
2009 159
2010 136
2011 153
2012 107
2013 99
2014 107

Evapotranspirasi potensial
Dalam penyelesaian studi ini untuk menghitung besarnya evapotranspirasi digunakan rumus Penmann Modifikasi.
Metode Penmann dipilih karena memiliki data iklim terukur yang lebih banyak, sehingga hasil perhitungan lebih
teliti. Untuk perhitungan pada daerah-daerah di Indonesia (Suhardjono, 1994) rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut :
Eto  c.ET *
Dimana :
ET *  w(0,75Rs  Rn1)  (1  w) f (u)(ea  ed )
Dengan :
w = Faktor yang berhubungan dengan temperatur (T) dan elevasi daerah. Untuk daerah Indonesia dengan elevasi
antara 0 - 500 m, hubungan harga T dan w ; Rs = Radiasi gelombang pendek dalam satuan evaporasi (mm/hari) =
(0,25 + 0,54 n/N) Ra ; Ra =Radiasi gelombang pendek yang memenuhi batas luar atmosfer (angka angot) yang
dipengaruhi oleh letak lintang daerah ; Rn1 = Radiasi bersih gelombang panjang (mm/hari) = f(t) . f(ed) .
f(n/N ; f(t) = Fungsi suhu ; f(ed) = Fungsi tekanan uap = 0,34 - 0,44 . (ed) ; f(n/N) = Fungsi kecerahan = 0,1 +
0,9 n/N ; f(u) = Fungsi dari kecepatan angin pada ketinggian 2 m dalam satuan (m/dt) = 0,27 (1 + 0,864 u) ; U
= Kecepatan angin (m/dt) ; ed = ea . Rh ; RH = Kelembapan udara relatif (%) ; ea = Tekanan uap jenuh
(mbar) ; ed = Tekanan uap sebenarnya (mbar) ; c = Angka koreksi Penmann yang memasukkan harga perbedaan
kondisi cuaca siang dan malam.
Berikut ini merupakan hasil perhitungan evapotranspirasi potensial pada kabupaten Maluku Barat Daya, yang dapat
dilihat pada table 3.

AIR - 115
Tabel 3. Evapotranspirasi Metode Penmann Modifikasi

Bulan
Parameter Satuan
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des
Data
a. Temperatur, t °C 27.89 27.88 26.91 27.47 27.15 26.42 26.09 26.11 26.56 27.57 28.67 28.45
b. Kelembaban
84.67 84.53 84.00 82.60 81.53 79.20 78.27 76.60 78.67 77.73 77.20 81.00
relatif, RH %
c. Kecerahan
56.33 54.93 55.00 64.07 60.67 62.40 63.60 84.53 88.07 91.87 86.33 58.53
matahari, n/N %
d. Kecepatan
5.27 5.45 4.27 4.64 6.45 7.82 8.82 8.00 6.91 5.55 4.18 4.82
angin, u km/jam
m/dt 1.46 1.52 1.19 1.29 1.79 2.17 2.45 2.22 1.92 1.54 1.16 1.34
Perhitungan
1. w mbar 0.774 0.774 0.764 0.770 0.766 0.759 0.756 0.756 0.761 0.771 0.782 0.779
2. Angka angot,
16.10 16.09 15.47 14.35 13.17 12.43 12.58 13.50 14.68 15.64 15.95 16.00
Ra mm/hr
3. Radiasi gel.
8.92 8.79 8.46 8.55 7.61 7.29 7.46 9.54 10.65 11.67 11.42 9.06
Pendek, Rs mm/hr
4. Fungsi suhu, f(t) 16.28 16.28 16.06 16.19 16.11 15.94 15.87 15.88 15.91 16.21 16.46 16.41
5. Tekanan uap
37.58 37.55 35.47 36.66 35.97 34.47 33.81 33.83 34.76 36.89 39.33 38.82
jenuh, ea mbar
6. Tekanan uap
31.82 31.74 29.79 30.28 29.33 27.30 26.46 25.92 27.34 28.67 30.36 31.44
nyata, ed mbar
7. Fungsi tek uap,
0.09 0.09 0.10 0.10 0.10 0.11 0.11 0.12 0.11 0.10 0.10 0.09
f(ed)
8. Fungsi kecerahan
0.61 0.59 0.60 0.68 0.65 0.66 0.67 0.86 0.89 0.93 0.88 0.63
matahari, f(n/N)
9. Radiasi gel.
0.91 0.89 0.95 1.07 1.06 1.16 1.21 1.59 1.56 1.57 1.41 0.96
panjang, Rn1
10. Fungsi angin,
0.61 0.62 0.55 0.57 0.69 0.78 0.84 0.79 0.72 0.63 0.54 0.58
f(u) m/dt
11.Evapotranspirasi,
5.27 5.23 4.85 4.95 4.63 4.61 4.82 5.73 6.16 6.72 6.65 5.49
Eto* mm/hr
12. Angka koreksi,
1.10 1.10 1.00 0.90 0.90 0.90 0.90 1.00 1.10 1.10 1.10 1.10
c
13. Evapotranspirasi
5.80 5.76 4.85 4.45 4.17 4.15 4.34 5.73 6.78 7.39 7.32 6.04
potensial, Eto mm/hr
14. Evapotranspirasi
untuk 1 bulan, mm 174 172.7 145.6 133.6 125 124.5 130 172 203 221.8 220 181.3
Eto

Debit inflow sungai

Pendugaan debit aliran sungai dilakukan karena ketersediaan akan pencatatan data debit yang tersedia amat sedikit
atau tersedia dalam keadaan yang tidak lengkap. Data pencatatan debit disungai sangat penting guna perencanaan
suatu kawasan irigasi, perhitungan debit andalan sangat mutlak dilakukan sehingga dapat ditentukan berapa
kebutuhan yang dapat optimal di suplai oleh embung tersebut.
Terdapat beberapa model hujan-limpasan yang sering digunakan untuk menghitung besarnya debit aliran sungai di
Indonesia. Dalam Studi ini digunakan pemodelan debit inflow sungai dengan menggunakan metode FJ. Mock
F.J. Mock (1973) memperkenalkan model sederhana simulasi keseimbangan air bulanan untuk aliran dari data
hujan. Metode ini menganggap bahwa hujan yang jatuh pada catchment area sebagian akan hilang sebagai
evapotranspirasi, sebagian akan langsung menjadi direct run off dan sebagian lagi akan masuk ke dalam tanah
(infiltrasi). Infiltrasi ini pertama-tama akan menjenuhkan top-soil dulu baru kemudian menjadi perkolasi ke
tampungan air tanah yang nantinya akan keluar ke sungai sebagai base flow. Dalam hal ini harus ada keseimbangan

AIR - 116
antara hujan yang jatuh dengan evapotranspirasi, direct run off dan infiltrasi sebagai soil moisture dan ground water
discharge. Aliran dalam sungai adalah jumlah aliran yang langsung di permukaan tanah (direct run off) dan base
flow (Sri Harto Br, 1993).
Metode Mock mempunyai dua prinsip pendekatan perhitungan aliran permukaan yang terjadi di sungai, yaitu neraca
air di atas permukaan tanah dan neraca air bawah tanah yang semua berdasarkan hujan, iklim dan kondisi tanah.
Parameter perhitungan F.J. Mock untuk Sungai Tomra antara lain sebagai berikut ini:
Luas DAS = 0,749 Km2
SMC = 120 mm
Koefisien Infiltrasi (Ci) = 0,3
Faktor resesi aliran air tanah (k) = 0,95
Tampungan Awal = 100 mm
Dari parameter–parameter tersebut maka didapatkan hasil perhitungan yang dapat dilihat pada tabel 4 di
bawah ini.

Tabel 4. Rekapitulasi Debit Inflow Sungai DAS Tomra


JAN FEB MRT APR
No Tahun
I II III I II III I II III I II III
1 2000 0.01 0.06 0.02 0.03 0.05 0.04 0.05 0.04 0.01 0.02 0.02 0.06
2 2001 0.06 0.02 0.00 0.16 0.04 0.01 0.01 0.01 0.07 0.02 0.06 0.03
3 2002 0.00 0.00 0.07 0.01 0.05 0.02 0.09 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
4 2003 0.02 0.00 0.00 0.02 0.01 0.01 0.00 0.00 0.01 0.00 0.02 0.05
5 2004 0.07 0.01 0.00 0.06 0.01 0.07 0.02 0.02 0.01 0.05 0.01 0.01
6 2005 0.00 0.01 0.01 0.02 0.00 0.01 0.06 0.02 0.04 0.08 0.05 0.01
7 2006 0.06 0.01 0.06 0.01 0.01 0.11 0.01 0.07 0.01 0.05 0.05 0.07
8 2007 0.07 0.01 0.04 0.02 0.01 0.07 0.07 0.09 0.05 0.08 0.06 0.01
9 2008 0.09 0.01 0.01 0.08 0.07 0.01 0.04 0.02 0.03 0.03 0.04 0.01
10 2009 0.04 0.01 0.02 0.01 0.06 0.01 0.07 0.01 0.04 0.09 0.05 0.12
11 2010 0.05 0.08 0.01 0.04 0.01 0.01 0.03 0.01 0.01 0.03 0.07 0.14
12 2011 0.05 0.09 0.03 0.01 0.02 0.05 0.01 0.02 0.08 0.04 0.19 0.03
13 2012 0.00 0.04 0.03 0.04 0.01 0.01 0.05 0.08 0.03 0.01 0.01 0.05
14 2013 0.00 0.07 0.03 0.01 0.01 0.01 0.07 0.08 0.04 0.08 0.01 0.01
15 2014 0.00 0.13 0.03 0.01 0.15 0.01 0.02 0.01 0.01 0.02 0.01 0.01

(Lanjutan)

MEI JUN JUL AGS


No Tahun
I II III I II III I II III I II III
1 2000 0.16 0.20 0.10 0.04 0.05 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
2 2001 0.28 0.01 0.01 0.10 0.06 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
3 2002 0.07 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
4 2003 0.18 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00
5 2004 0.10 0.02 0.20 0.05 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
6 2005 0.01 0.01 0.04 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.04 0.01 0.01 0.00
7 2006 0.01 0.16 0.01 0.01 0.06 0.01 0.01 0.03 0.01 0.01 0.01 0.01
8 2007 0.01 0.01 0.01 0.07 0.04 0.03 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
9 2008 0.01 0.04 0.07 0.01 0.01 0.08 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
10 2009 0.12 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
11 2010 0.05 0.08 0.01 0.01 0.08 0.21 0.06 0.01 0.04 0.03 0.01 0.01
12 2011 0.01 0.01 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
13 2012 0.20 0.14 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
14 2013 0.05 0.07 0.10 0.07 0.06 0.05 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
15 2014 0.03 0.06 0.04 0.11 0.01 0.03 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01

AIR - 117
(Lanjutan)

SEP OKT NOV DES


No Tahun
I II III I II III I II III I II III
1 2000 0.01 0.01 0.01 0.01 0.03 0.01 0.01 0.01 0.02 0.05 0.01 0.01
2 2001 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.06 0.01 0.01
3 2002 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
4 2003 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.05 0.14 0.02
5 2004 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.04
6 2005 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03
7 2006 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.01
8 2007 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.05
9 2008 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.02
10 2009 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00
11 2010 0.07 0.01 0.02 0.01 0.04 0.07 0.07 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
12 2011 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.15
13 2012 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00
14 2013 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.03 0.02 0.01
15 2014 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00

Debit andalan
Debit andalan diartikan sebagai debit yang tersedia guna keperluan tertentu (seperi air baku dan kebutuhan air
ternak) sepanjan tahun, dengan resiko kegagalan yang telah diperhitungkan. Besarnya andalan yang diambil dapat
dilihat pada tabel 5 berikut ini

Tabel 5. Debit Andalan dengan Berbagai Keperluan

Keperluan Andalan
Penyediaan air minum 99 %
Penyediaan air industri 95-98 %
Penyediaan air irigasi untuk :
- Daerah beriklim lembab 70-85 %
- Daerah beriklim kering 80-95 %

Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) 85-90 %

Perhitungan debit andalan dilakukan dengan metode bulan dasar (Basic month), yaitu menentukan suatu tahun
tertentu sebagai dasar perencanaan. Bulan dasar yang dipakai adalah bulan yang data debitnya mempunyai
keandalan 90% (Q90), artinya resiko yang akan dihadapi adanya debit – debit lebih kecil dari debit andalan adalah
sebesar 10 %. Berikut ini merupakan grafik debit model F.J.Mock yang dapat dilihat pada Gambar 2 dan rincian
perhitungannya yang dapat dilihat pada tabel 6 dibawah ini

AIR - 118
GRAFIK DEBIT MODEL FJ. MOCK
0,010

Q FJ. Mock

Debit (m3/dt)
0,008

0,006

0,004

0,002
I II III I II III I II III I II III I II III I II III I II III I II III I II III I II III I II III I II III

JAN FEB MRT APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOV DES

Bulan

Gambar 2. Grafik Debit Model F.J. Mock

Tabel 6. Debit Andalan DAS Embung Tomra


No JAN FEB MRT APR
urut P (%)
data I II III I II III I II III I II III
1 6.250 0.09 0.13 0.07 0.16 0.15 0.11 0.09 0.09 0.08 0.09 0.19 0.14
2 12.500 0.07 0.09 0.06 0.08 0.07 0.07 0.07 0.08 0.07 0.08 0.07 0.12
3 18.750 0.07 0.08 0.04 0.06 0.06 0.07 0.07 0.08 0.05 0.08 0.06 0.07
4 25.000 0.06 0.07 0.03 0.04 0.05 0.05 0.07 0.07 0.04 0.08 0.06 0.06
5 31.250 0.06 0.06 0.03 0.04 0.05 0.04 0.06 0.04 0.04 0.05 0.05 0.05
6 37.500 0.05 0.04 0.03 0.03 0.04 0.02 0.05 0.02 0.04 0.05 0.05 0.05
7 43.750 0.05 0.02 0.03 0.02 0.02 0.01 0.05 0.02 0.03 0.04 0.05 0.03
8 50.000 0.04 0.01 0.02 0.02 0.01 0.01 0.04 0.02 0.03 0.03 0.04 0.03
12 75.000 0.00 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.01 0.01
13 81.250 0.00 0.01 0.00 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
14 87.500 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
15 93.750 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 0.00 0.01 0.00 0.01 0.01
Q rerata 0.042 0.043 0.027 0.040 0.039 0.034 0.042 0.038 0.033 0.044 0.050 0.049
Q 90% 0.004 0.004 0.004 0.005 0.005 0.006 0.006 0.005 0.006 0.006 0.007 0.007

(Lanjutan)
No MEI JUN JUL AGS
urut P (%)
data I II III I II III I II III I II III
1 6.250 0.28 0.20 0.20 0.11 0.08 0.21 0.06 0.03 0.04 0.03 0.01 0.01
2 12.500 0.20 0.16 0.10 0.10 0.06 0.08 0.02 0.01 0.04 0.01 0.01 0.01
3 18.750 0.18 0.14 0.10 0.07 0.06 0.05 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
4 25.000 0.16 0.08 0.07 0.07 0.06 0.03 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
5 31.250 0.12 0.07 0.04 0.05 0.05 0.03 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
6 37.500 0.10 0.06 0.04 0.04 0.04 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
7 43.750 0.07 0.04 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
8 50.000 0.05 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
12 75.000 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
13 81.250 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00
14 87.500 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00
15 93.750 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Q rerata 0.099 0.067 0.051 0.040 0.034 0.038 0.014 0.011 0.014 0.010 0.008 0.007
Q 90% 0.007 0.007 0.006 0.006 0.006 0.006 0.005 0.005 0.006 0.005 0.005 0.004

AIR - 119
(Lanjutan)
No SEP OKT NOV DES
urut P (%)
data I II III I II III I II III I II III
1 6.250 0.07 0.01 0.02 0.01 0.04 0.07 0.07 0.01 0.02 0.06 0.14 0.15
2 12.500 0.01 0.01 0.01 0.01 0.03 0.01 0.01 0.01 0.02 0.05 0.03 0.05
3 18.750 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.05 0.02 0.04
4 25.000 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.03 0.02 0.03
5 31.250 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02
6 37.500 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.01 0.02
7 43.750 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.01 0.01
8 50.000 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01
12 75.000 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
13 81.250 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
14 87.500 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
15 93.750 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Q rerata 0.012 0.007 0.007 0.007 0.010 0.011 0.010 0.006 0.008 0.020 0.023 0.029
Q 90% 0.004 0.004 0.004 0.004 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003

Analisis kapasitas tampungan


Besarnya volume tampungan yang dibutuhkan pada waduk secara hidrologis dipengaruhi oleh besarnya kapasitas
tampungan efektif serta besarnya tampungan yang disediakan untuk menampung sedimen dalam periode waktu
yang direncanakan.
Lengkung kapasitas tampungan merupakan kurva yang menggambarkan hubungan antara luas muka air (reservoir
area), volume (capacity) dan elevasi (reservoir water level). Dari lengkung kapasitas ini akan diketahui berapa
besarnya volume tampungan pada elevasi tertentu, sehingga dapat diketahui ketinggian muka air yang diperlukan
untuk menentukan besarnya volume tampungan pada elevasi tertentu. Kurva ini juga dipergunakan untuk
menentukan besarnya kehilangan air akibat perkolasi yang dipengaruhi oleh luas muka air pada elevasi tertentu.
Dalam penelitian digunakan perhitungan volume dengan metode kerucut terpancung karena metodologi perhitungan
lebih mendekati kondisi real lapangan dengan bentuk tampang kontur yang tidak teratur. Berikutnya dengan data
luas dan volume bisa dibentuk kurva kapasitas yang dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini.

Elevasi Crest Embung

Elevasi Crest Pelimpah


M.A. Banjir
M.A. Normal
TUBUH EMBUNG
Tampungan Efektif

Tampungan Sedimen

Gambar 3. Penampang Memanjang Embung


Dari hasil analisis yang dilakukan bisa dibentuk kurva kapasitas volume luas pada as Embung Tomra. Luas
genangan diketahui dari analisis luas dari perhitungan. Volume tampungan didapat dari perhitungan dengan metode
kerucut terpancung, dengan rumusan volume yang digunakan
1
V  ( H i 1 H i)( Ai 1  Ai  ( Ai 1 * A1 ) )
3

AIR - 120
Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 6, serta hubungan antara elevasi dan volume tampungan yang dapat dilihat
pada Gambar 4 dibawah ini
Tabel 6. Data Tampungan Hasil Pengukuran

Elevasi Luas Volume


H
+m m² Ha m3 103 m³
41 0 2,025.58 0.203 0 0
42 1 12,916.47 1.292 6,685.69 6.686
43 2 14,533.05 1.453 20,402.51 20.403
44 3 17,669.14 1.767 36,478.09 36.478
45 4 21,313.93 2.131 55,941.16 55.941
46 5 39,559.93 3.956 85,911.62 85.912
47 6 58,191.07 5.819 134,488.47 134.488
48 7 76,379.62 7.638 201,568.00 201.568
49 8 93,579.45 9.358 286,402.11 286.402
50 9 110,189.44 11.019 388,173.54 388.174
51 10 125,482.27 12.548 505,926.61 505.927
52 11 141,408.04 14.141 639,292.50 639.293
53 12 155,234.48 15.523 787,560.03 787.560
54 13 168,572.60 16.857 949,417.77 949.418
55 14 181,096.47 18.110 1,124,214.91 1,124.215
56 15 193,618.19 19.362 1,311,537.36 1,311.537
57 16 206,236.84 20.624 1,511,431.68 1,511.432
58 17 218,967.39 21.897 1,724,002.03 1,724.002
59 18 231,939.42 23.194 1,949,424.33 1,949.424
60 19 244,967.52 24.497 2,187,848.13 2,187.848

Luas Genangan (Ha)


24 23 22 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
60
59

58
57
56

55
54
Elevasi (+ m)

53
52
51

50
49

48
47

46
45
44

43
42

41
0 200 400 600 800 1.000 1.200 1.400 1.600 1.800 2.000 2.200

Volume Tampungan (ribu m3)

Gambar 4. Kurva Kapasitas Tampungan


Analisis tampungan embung
Yang pertama dilakukan adalah perhitungan kebutuhan air baku didasarkan potensi yang ada di Embung Tomra.
Kebutuhan air baku untuk domestik ini dihitung berdasarkan pada potensi jumlah penduduk yang dilayani oleh
Tampungan Embung Tomra yaitu 2785 jiwa dengan perkiraan laju pertumbuhan penduduknya sebesar 1% pertahun.
Sehingga prediksi jumlah penduduk untuk 50 tahun yang akan datang dengan persamaan pertumbuhan penduduk
secara geometrik. Berikut adalah analisa perhitungannya:
Jumlah penduduk = 2.785 orang
Kebutuhan perjiwa = 100 l/hari/orang
Pertumbuhan penduduk =1
Usia Guna Embung = 50 thn

AIR - 121
Proyeksi Penduduk 50thn = 4.580
Kebutuhan air baku = 458.030 lt/hari
3
= 0.005 m / det
Yang kedua adalah perhitungan kebutuhan air ternak. Desa Tomra memiliki potensi ternak yang cukup besar.
Sejalan dengan program pemerintah untuk swasembada produksi daging ternak, maka perencanaan Embung Tomra
ini akan sangat menunjang terselenggaranya program tersebut.

Tabel 7. Kebutuhan Air Ternak

No. Jenis Ternak Jumlah Kebutuhan air Jumlah Kebutuhan


Ternak (lt/ekor/hari) (lt/hari)
1 Sapi 1,920 40 76,800
2 Kerbau 183 40 7,320
3 Kambing 2,559 5 12,795
4 Babi 5,649 6 33,894
5 Itik 2,670 0.6 1,602
6 Ayam 200,544 0.6 120,326
TOTAL 252,737 lt/hari
0.003 m3/dt

Simulasi Tampungan Embung


Analisis tampungan dilakukan untuk mengetahui apakah debit yang tertampung di dalam tampungan embung ini
cukup untuk memenuhi kebutuhan air baku bagi penduduk dan kebutuhan air ternak daerah sekitar. Selain itu, juga
untuk menentukan besarnya kapasitas tampungan pada waduk, yakni tampungan efektif. Untuk itu, perlu dilakukan
perhitungan model simulasi neraca air pada waduk guna mengetahui apakah pada periode waktu tertentu tampungan
waduk dapat berfungsi menyalurkan kebutuhan air.
Dari perhitungan simulasi tampungan Embung Tomra dengan mencoba-coba nilai tampungan efektif didapatkan
nilai yang optimal sebagai berikut :

Tampungan efektif waduk = 36.478,09 m3


Keandalan Waduk = 91 %

4. KESIMPULAN

Embung Tomra diharapkan dapat memenuhi kebutuhan air baku dan air ternak, dengan prioritas memenuhi
kebutuhan air baku. Dapat dirici sebagi berikut :
 Air baku mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dengan proyeksi 50 tahun penduduk hingga 4580 jiwa.
 Air baku mampu memenuhi kebutuhan air ternak sapi 1920 ekor, kerbau 183 ekor, kambing 2559 ekor, babi
5649 ekor, Itik 2670 ekor, ayam 200544 ekor.
Diharapkan dengan adanya embung Tomra ini dapat mengatasi permasalahan rawan air yang terjadi pada kabupaten
Maluku Barat Dara, dan dapat mendukung WS Yamdena -Wetar sebagai salah satu WS Strategis Nasional.

DAFTAR PUSTAKA
BPS Maluku Barat Daya (2015) “Kabupaten Maluku Barat Daya Dalam Angka”
Kementrian Pekerjaan Umum (2014) “Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Kepulauan Yamdena-Wetar”
Mock, F.J., (1973) “Land Capability Appraisal Indonesia. Water Avaibility Appraisal, Report Prepared for the
Land Capability Appraisal Project”, Bogor-Indonesia.
Suhardjono (1994) “Kebutuhan Air Tanaman”. Institut Teknologi Nasional, Malang.
Sri Harto Br., (1993) ”AnalisisHidrologi”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

AIR - 122
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

PENANGANAN BANJIR DAN GENANGAN DI DAERAH JALAN KYAI TAPA


DENGAN KONSEP SISTEM DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN

Ivan Fahreza Wiratama1, Sih Andayani2, dan Dina P.A. Hidayat3

1
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Trisakti, Jakarta
Email: reza.ivan16@yahoo.com
2
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Trisakti, Jakarta
Email: sandajani23@gmail.com
3
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Trisakti, Jakarta
Email: dinaparamitha06@gmail.com

ABSTRAK
Banjir dan genangan di Jalan Kyai Tapa telah menjadi permasalahan yang berkelanjutan. Kawasan
resapan air yang kurang, kapasitas Saluran Drainase Kyai Tapa yang kurang memadai, Kali Grogol
sebagai outlet Saluran Drainase Kyai Tapa juga tidak memadai kapasitasnya dan pentingnya
peranan kawasan disekitar Jalan Kyai Tapa sebagai kawasan pemukiman, perkantoran, perdagangan
dan pendidikan membuat penulis tertarik untuk membantu menyelesaikan masalah banjir dan
genangan di Jalan Kyai Tapa. Dalam penanganannya Saluran Drainase Kyai Tapa diperlakukan
menjadi 4 kondisi, yaitu (1) Kondisi saluran dan pompa eksisting, (2) Kondisi saluran dan pompa
eksisting dengan diterapkannya rain water harvesting, (3) Normalisasi saluran dan pompa eksisting
dengan adanya rain water harvesting, (4) Meningkatkan kapasitas pompa dengan kondisi saluran
setelah normalisasi dan adanya rain water harvesting. Selain dari aspek teknis, penanganan banjir
dan genangan dilakukan juga dari aspek non teknis yang berwawasan lingkungan. Dari hasil analisis
hidrologi didapat bahwa debit banjir yang digunakan adalah periode ulang 10 tahun berkisar 6,66
m3/detik sampai 24,07 m3/detik. Berdasarkan analisis hidrolika menggunakan software HEC RAS
didapatkan bahwa penanganan banjir dan genangan dapat teratasi setelah saluran drainase berada di
pemodelan kondisi ketiga, yaitu normalisasi saluran dan pompa berkapasitas 2,5 m3/detik dengan
adanya rain water harvesting.
Kata kunci: banjir, genangan, rain water harvesting.

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah Jakarta Barat memiliki jumlah penduduk 1,706,770 jiwa, sedangkan pertumbuhan penduduknya sebesar
3,51 % dan kepadatan penduduk sebesar 13,211 jiwa/km2. Dengan adanya pembangunan tanpa kendali di wilayah
hilir, penyimpangan peruntukan lahan kota, dan penurunan tanah akibat eksploitasi air oleh industri, menyebabkan
turunnya kapasitas penyaluran air sistem sungai yang menyebabkan terjadinya banjir besar di Jakarta.
Universitas Trisakti merupakan salah satu kampus yang letaknya berada di Jakarta Barat. Kampus ini selalu
memiliki masalah pada saat musim hujan, yaitu genangan yang merendam seluruh kawasan kampus. Penyebab
genangan di daerah ini karena Saluran Drainase Kyai Tapa yang tidak mampu menampung limpasan air dari
sekitarnya. Akibatnya terjadi genangan di sepanjang saluran.
Dari berbagai permasalahan di daerah Jalan Kyai Tapa, mulai dari kawasan resapan air yang kurang, kapasitas
Saluran Drainase Kyai Tapa yang kurang memadai, Kali Grogol sebagai tempat pembuangan air yang berada di
saluran drainase juga tidak memadai kapasitasnya dan pentingnya peranan kawasan disekitar Saluran Drainase Kyai
Tapa sebagai kawasan pemukiman, kawasan perkantoran serta kawasan pendidikan membuat penulis tertarik untuk
membantu menyelesaikan masalah banjir dan genangan di Jalan Kyai Tapa.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut faktor penyebab banjir dan genangan di Jalan Kyai Tapa, antara lain:
1) Tata guna lahan disepanjang Jalan Kyai Tapa yang padat mengakibatkan debit limpasan banjir meningkat. Hal
ini menyebabkan kurangnya lahan untuk menjadi daerah resapan air sehingga debit limpasan air hujan menjadi
besar.

AIR - 123
2) Pemeliharaan Saluran Drainase Kyai Tapa yang kurang baik dari pemerintah dan kurangnya kesadaran
masyarakat sekitar terhadap sampah yang dibuang ke saluran drainase mengakibatkan berkurangnya kapasitas
saluran drainase.
3) Kapasitas pompa eksisting yang kurang dan terjadinya bottle neck pada hilir Saluran Drainase Kyai Tapa,
sehingga terjadinya antrian air di saluran drainase yang mengakibatkan banjir dan genangan .
Batasan Masalah
Dalam penulisan tugas akhir ini ruang lingkup yang dikerjakan :
1) Batasan Wilayah Tugas Akhir ini adalah Saluran Drainase Kyai Tapa (Roxy Square-Trisakti)
2) Penyelesaian permasalahan pada Saluran Drainase Kyai Tapa dengan beberapa alternatif penyelesaian dari
aspek teknis dan aspek non teknis yang berwawasan lingkungan.
3) Simulasi hidrolika hanya dilakukan dalam 1 dimensi dengan perangkat lunak HEC RAS 5.0.1.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini, yaitu memberikan alternatif kombinasi dalam mengatasi banjir dan genangan
di Saluran Drainase Kyai Tapa dengan konsep drainase berwawasan lingkungan.
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan Tugas Akhir ini diharapkan dapat membantu pemerintah Dinas Tata Air Kota Jakarta dalam
mengatasi permasalahan banjir genangan di daerah Jalan Kyai Tapa dengan sistem drainase berwawasan lingkungan
dan memberikan beberapa alternatif lain baik dalam segi teknis maupun non teknis dalam mengatasi permasalahan
yang ada.

2. LANDASAN TEORI
Drainase Berwawasan Lingkungan
Konsep dasar pengembangan drainase berkelanjutan menurut Suripin (2004) adalah: (1) meningkatkan daya guna
air, (2) meminimalkan kerugian, dan (3) memperbaiki dan konservasi lingkungan. Prioritas utama kegiatannya
adalah mengelola limpasan permukaan dengan cara mengembangkan fasilitas untuk menahan air hujan (rainfall
retention facilities). Fasilitas penahan air hujan dapat dikelompokkan menjadi dua tipe yaitu tipe penyimpanan
(storage types) dan (2) tipe peresapan (infiltration types).
Terdapat beberapa metode sistem drainase berwawasan lingkungan yang bisa digunakan di Indonesia, diantaranya
adalah metode kolam konservasi, sumur resapan, river side polder, pengembangan areal perlindungan air tanah dan
rain water harvesting.
Untuk jenis alternatif drainase berwawasan lingkungan yang dapat diterapkan di Jalan Kyai Tapa yaitu Pemanenan
Air Hujan (Rain Water Harvesting System). Pemanenan air hujan (Rain Water Harvesting) adalah sistem
pengumpulan dan penampungan air hujan untuk digunakan kembali dalam kegiatan sehari-hari, seperti untuk
menyiram tanaman, flushing water, air minum untuk hewan ternak, air untuk irigasi, mencuci, dan lain-lain.
Solusi ini diberikan karena keadaan muka air tanah yang berada kurang lebih 1 meter dibawah permukaan tanah
dengan kondisi tanah lempung dan tata guna lahan telah digunakan sebagai gedung-gedung perkantoran dan
sekolah. Selain itu di Jalan Kyai Tapa tidak terdapat lahan kosong yang bisa dibangun untuk bangunan kolam
konservasi. Jadi sistem pemanenan air hujan akan dilakukan pada setiap bagian rooftop perumahan, gedung
perkantoran, gedung komersial dan gedung sekolah disekitar Jalan Kyai Tapa.
Pemanenan air hujan (rain water harvesting) adalah sistem pengumpulan dan penampungan air hujan untuk
digunakan kembali dalam kegiatan sehari-hari, seperti untuk menyiram tanaman, flushing water, air minum untuk
hewan ternak, air untuk irigasi, mencuci, dan lain-lain. Air hujan juga sangat cocok untuk digunakan sebagai
alternatif sumber air minum sebab dibandingkan air sungai yang kualitas dan kuantitasnya terbatas, maupun air
tanah yang kuantitasnya juga terbatas, air hujan kuantitasnya melimpah dan kualitasnya lebih baik daripada air
sungai. Dibutuhkan sedikit pengolahan untuk dapat menggunakannya sebagai air minum.

AIR - 124
Gambar 1. Rooftop Water Harvesting System

Sumber : http://www.ahlilingkungan.com/rain-harvesting_Manfaat-rain-harvesting.php
Ada berbagai cara untuk rainwater harvesting, terutama untuk rumah dan perkantoran, diantaranya ialah
dengan rooftop garden. Taman diatas gedung atau rumah ini diharapkan tidak hanya memiliki fungsi estetika saja,
namun juga dapat dimanfaatkan sebagai filter air hujan. Air hujan yang telah melewati proses filtrasi dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan air toilet, penyiraman tanaman, pendingin ruangan dan berbagai fungsi lainnya. Air
hujan yang telah ditampung dapat disimpan di tangki-tangki air yang dapat disimpan di bawah tanah (underground)
maupun di atas tanah (on ground).
Aspek Hidrolika
Analisis dilakukan dengan menggunakan program pemodelan matematik HEC RAS 5.0.1. Prosedur penggunaan
Software tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur sebagaimana ditunjukan bagan alir pada Gambar Bagan Alir
Pemodelan Hidrodinamik Menggunakan HEC RAS 5.0.1. HEC RAS (Hydrologic Engineering Center’s River
Analysis System) dirancang untuk membuat simulasi aliran satu dimensi. Perangkat lunak ini memberikan
kemudahan kepada pemakai dengan tampilan grafisnya.
Pada HEC RAS Versi 5.0.1 analisis hidraulika dilakukan dengan analisis steady flow. Aliran dikatakan tetap
debitnya (steady flow) apabila kecepatan (v) tidak berubah (constant) selama selang waktu tertentu. Perangkat lunak
ini dapat menangani analisis pada saluran bercabang atau saluran tunggal. Pengaruh dari berbagai bangunan seperti
jembatan, gorong-gorong, bendung dapat dimasukkan pada sistem. Analisis yang dilakukan meliputi analisis
kemampuan kondisi saluran dan pompa eksisting maupun rencana. Tujuan analisa untuk mengetahui kemampuan
sistem draianse dalam mengalirkan debit banjir rencana. Langkah-langkah pemodelan adalah sebagai berikut:
a. Membuat skematik saluran drainase yang akan dimodelkan berdasarkan hasil pengukuran lapangan.
b. Memasukkan data geometri saluran.
c. Mendefinisikan kondisi-kondisi batas / boundary conditions yang akan digunakan dalam analisis.
d. Menjalankan program pemodelan.
e. Mencetak hasil/ output.

3. METODOLOGI
Data dimensi Saluran Drainase Kyai Tapa diperoleh dari konsultan perencana LAPI. Sedangkan untuk tinggi muka
air di saluran dilakukan dengan pengukuran langsung di lapangan. Cara mengukuran kedalaman tanggul dilakukan
dari tanggul saluran dengan menggunakan alat ukur meteran yang hasil pengukurannya tidak langsung berupa tinggi
muka air di saluran, melainkan harus dihitung kembali dengan cara tinggi dimensi saluran dikurang dengan hasil
pengukuran dilapangan sehingga menghasilkan tinggi muka air di saluran
Tahap perhitungan pada tugas akhir ini meliputi perhitungan yang ditinjau dari aspek hidrologi untuk mendapatkan
curah hujan rencana dan aspek hidrolika untuk mendapatkan tinggi muka air limpasan di saluran eksisting, luas
penampungan, bak penampungan, tinggi muka air limpasan setelah dilakukan pemanenan, dimensi saluran baru dan
kapasitas pompa yang baru. Aspek hidrologi dilakukan terlebih dahulu karena hasil dari perhitungan hidrologi
digunakan untuk merancang bangunan hidrolikanya.

AIR - 125
Gambar 2. Bagan Alir Tahap Penelitian

4. PEMBAHASAN
Perhitungan Curah Hujan Rencana
Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan harian maksimum setiap tahunnya yang didapatkan
selama dua puluh tahun. Data curah hujan yang diperoleh adalah data curah hujan harian dari stasiun hujan BMKG
yang letaknya berada di Kemayoran, Jakarta Pusat mulai tahun 1995 – 2014
Setelah dilakukannya uji chi-kuadrat dan uji smirnov kolmogorov yang dihasilkan adalah sebaran percontoh gumbel
yang mengikuti sebaran kekerapan teoritik dengan nilai chi-kuadrat 0,4000 dan smirnov kolmogorov sebesar
0,0664. Dengan hasil perhitungan tersebut sebaran gumbel dapat digunakan untuk mencari curah hujan rencana.
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Curah Hujan Rencana

Penanganan Banjir dan Genangan Dari Aspek Teknis Berwawasan Lingkungan


Pada penelitian ini, pemodelan hidrolika yang dilakukan ada 3 macam. Masing-masing kondisi pemodelan
dibedakan sebagai berikut:

AIR - 126
Tabel 2. Skema pemodelan HEC-RAS

Pemodelan Hidrolika Kondisi 1


a. Skematik Pemodelan Kondisi 1

Gambar 3. Skematik Pemodelan Eksisting Saluran Drainase dan Pompa Kyai Tapa

b. Data Geometri
Data geometri saluran dimasukkan melalui data potongan melintang. Dari data cross hasil pengukuran lapangan
selanjutnya dihitung elevasi tiap titik cross dan jarak kumulatif dari setiap titik hasil pengukuran. Data yang
diperoleh dari hasil pengukuran lapangan menjadi input data potongan melintang. Sesuai dengan kondisi eksisting,
kapasitas pompa Kyai Tapa yang akan dimodelkan adalah 2 x 0.75 m3/s dan 1 x 1.0 m3/s.
c. Data Flow Boundary Condition
Analisa hidrolika akan dilakukan dengan steady flow analysis. Boundary condition dalam pemodelan yang diinput
dihulu saluran adalah debit catchment area 1 dengan luas tangkapan sebesar 177.386 m2 sebesar 6,66 m3/detik.
Dilanjutkan dengan meng-input debit di cathcment area lainnya dengan masing-masing besaran adalah 9,93
m3/detik; 14,82 m3/detik; 16,13 m3/detik; 24,07 m3/detik. Sedangkan boundary condition dihilir saluran merupakan
inisial muka air pada level tertentu.
d. Hasil Running/ Output
Apabila semua proses mulai dari awal sampai dengan akhir telah dilakukan dengan benar, maka akan diperoleh hasil
pemodelan berupa profil muka air setiap selang waktu tertentu sesuai dengan yang telah ditetapkan saat eksekusi
program dijalankan untuk setiap penampang saluran di sepanjang saluran, juga debit dan kecepatan di tiap-tiap
segmen saluran. Berikut ini adalah profil muka dalam saluran yang diperoleh dari hasil running pada saat debit
banjir rencana.

Gambar 4. Profil Memanjang Muka Air Saluran Drainase dan Pompa Kyai Tapa Kondisi 1

AIR - 127
Berdasarkan gambar profil memanjang muka air saluran drainase dan pompa Kyai Tapa debitya melimpas sehingga
masih terjadi banjir dan genangan.
Pemodelan Hidrolika Kondisi 2
Pemodelan hidrolika kondisi 2 berupa saluran dan pompa eksisting berkapasitas 2,5 m3/detik, serta adanya
penambahan drainase berwawasan lingkungan yaitu rain water harvesting dimana hujan yang jatuh diatap bangunan
gedung dan perumahan dialirkan melalui talang dan pipa untuk ditampung di tangki dan digunakan kembali.
Pemilihan metode rain water harvesting ini dapat diterapkan karena metode ini dapat meningkatkan daya guna air
dikarenakan air hujan yang ditampung digunakan kembali, kemudian dapat meminimalkan kerugian karena dapat
mengurangi limpasan air. Selain itu ketersediaan lahan terbuka dimana daerah pengaliran saluran sudah dipadati
gedung dan perumahan, dan daerah Kyai Tapa memiliki kedalaman muka air tanah yang relatif dangkal, yaitu
kurang lebih 1 meter sehingga tidak memungkinkan untuk meresapkan air hujan yang banyak. Maka dari itu, untuk
penerapan rain water harvesting diasumsikan dengan luas daerah 60% dari daerah pengaliran saluran yang berupa
bangunan gedung dan perumahan yang dapat diterapkan rain water harvesting, yaitu 60% dari 93 Ha sebesar 56 Ha.
a. Skematik Pemodelan Kondisi 2
Skematik saluran yang digunakan masih sama dengan yang sebelumnya, yaitu dengan saluran dan pompa eksisting.
Namun disini memiliki perbedaan pada debit limpasannya. Berikut ini gambar skema saluran drainase.

Gambar 5. Skematik Pemodelan Eksisting Saluran Drainase dan Pompa Kyai Tapa

b. Data Geometri
Data geometri saluran dimasukkan melalui data potongan melintang. Dari data cross hasil pengukuran lapangan
selanjutnya dihitung elevasi tiap titik cross dan jarak kumulatif dari setiap titik hasil pengukuran. Data yang
diperoleh dari hasil pengukuran lapangan menjadi input data potongan melintang. Sesuai dengan kondisi eksisting,
kapasitas pompa Kyai Tapa yang akan dimodelkan adalah 2 x 0.75 m3/s dan 1 x 1.0 m3/s.
c. Data Flow Boundary Condition
Analisa hidrolika akan dilakukan dengan steady flow analysis. Boundary condition dalam pemodelan yang diinput
dihulu saluran adalah debit rasional dengan luas tangkapan sebesar 71.788 m2 sebesar 2,67 m3/detik. Dilanjutkan
dengan meng-input debit lateral inflow lainnya dengan masing-masing besaran adalah 3,97 m3/detik; 5,93
m3/detik; 6,45 m3/detik; 9,63 m3/detik. Sedangkan boundary condition dihilir saluran merupakan inisial muka air
pada level tertentu.
d. Hasil Running/ Output
Berikut ini adalah profil muka dalam saluran yang diperoleh dari hasil running pada saat debit banjir rencana.

Gambar 6. Profil Memanjang Muka Air Saluran Drainase dan Pompa Kyai Tapa Kondisi 2

Berdasarkan gambar profil memanjang dan melintang muka air saluran drainase dan pompa Kyai Tapa dengan debit
banjir rencana periode 10 tahun masih terjadi limpasan. Terlihat pada gambar potongan memanjang dan melintang

AIR - 128
saluran drainase di hulu masih terjadi genangan yang cukup tinggi. Untuk melihat kondisi setiap river station dapat
dilihat pada lampiran 4.
Penerapan rain water harvesting ini belum bisa mengatasi banjir secara 100%, tetapi dapat menurunkan tinggi
limpasan sebesar 27 cm. Namun rain water harvesting merupakan salah satu solusi yang bisa diterapkan pada
daerah yang berkarakteristik seperti daerah Kyai Tapa, mengingat daerah ini memiliki keterbatasan untuk lahan
terbuka yang telah dipadati oleh bangunan gedung dan perumahan, serta memiliki kedalaman muka air tanah yang
dangkal yaitu kurang dari 1 m dan tidak memungkinkan untuk meresapkan banyak air hujan.
Pemodelan Hidrolika Kondisi 3
Karakteristik pemodelan kondisi 3 berupa pompa eksisting sebesar 2,5 m3/detik, penerapan rain water harvesting
pada bangunan di daerah pengaliran saluran, kemudian melakukan normalisasi saluran. Normalisasi saluran
dilakukan mulai dengan mengubah bentuk saluran dari trapesium menjadi persegi dan memperdalam saluran 1
hingga 2 meter dengan jenis material menggunakan pasangan beton. Normalisasi saluran dipilih dengan alasan
dasar, yaitu untuk meminimalkan kerugian akibat adanya limpasan banjir dari saluran karena tidak dapat
menampung debit limpasan, kemudian memperbaiki dan melakukan konservasi lingkungan. Saluran yang baru ini
difungsikan seperti kolam konservasi (Long Storage).
a. Skematik Pemodelan Kondisi 3
Skematik permodelan kondisi rencana sama dengan skematik kondisi pemodenal eksisting yang membedakan hanya
dimensi saluran drainase Kyai Tapa yang baru. Untuk pemodelan rencana normalisasi saluran, skematik pemodelan
sebagai berikut:

Gambar 7. Skematik Pemodelan Rencana Saluran Normalisasi Dengan Pompa Eksisting 2,5 m3/s

b. Data Geometri
Data geometri saluran dimasukkan melalui data potongan melintang. Dari data cross hasil pengukuran lapangan
selanjutnya direncanakan dengan desain tertentu, dihitung elevasi tiap titik cross dan jarak kumulatif dari setiap titik
hasil pengukuran. Data ini kemudian menjadi input data potongan melintang pemodelan kondisi rencana.
Berikut ini disajikan contoh inputing data potongan memanjang dan potongan melintang saluran normalisasi dan
pompa eksisting yang akan dimodelkan:

Gambar 8. Potongan Memanjang Normalisasi Saluran Drainase Kyai Tapa

AIR - 129
Gambar 9. Potongan Melintang Rencana Normalisasi Saluran Drainase Kyai Tapa

Normalisasi saluran dilakukan dengan menggali dasar saluran menuju pompa Kyai Tapa, pendalaman saluran
sedalam 1 hingga 2 m serta perubahan penampang saluran , dari trapesium menjadi persegi. Dengan kapasitas
pompa pada kondisi eksisting yaitu dengan 2,5 m3/s.
c. Data Flow Boundar Condition
Analisa hidrolika akan dilakukan dengan steady flow analysis. Boundary condition dalam pemodelan yang diinput
dihulu saluran adalah debit rasional dengan luas tangkapan sebesar 71.788 m2 sebesar 2,67 m3/detik. Dilanjutkan
dengan meng-input debit lateral inflow lainnya dengan masing-masing besaran adalah 3,97 m3/detik; 5,93
m3/detik; 6,45 m3/detik; 9,63 m3/detik. Sedangkan boundary condition dihilir saluran merupakan inisial muka air
pada level tertentu.
Besarnya debit yang akan dilayani oleh Pompa Kyai Tapa akan berlaku sebagai boundary condition dalam
pemodelan matematik ini. Besaran debit yang digunakan sebagai input merupakan debit banjir dengan periode ulang
10 tahun yang didistribusikan dalam bentuk debit disetiap catchment area yang telah dibagi.
d. Hasil Running/ Output
Apabila semua proses mulai dari awal sampai dengan akhir telah dilakukan dengan benar, maka akan diperoleh hasil
pemodelan berupa profil muka air setiap selang waktu tertentu sesuai dengan yang telah ditetapkan saat eksekusi
program dijalankan untuk setiap penampang saluran di sepanjang saluran, juga debit dan kecepatan di tiap-tiap
segmen saluran. Berikut ini adalah profil muka dalam saluran yang diperoleh dari hasil running pada saat debit
banjir rencana, untuk kondisi rencana normalisasi saluran drainase Kyai Tapa dengan pompa eksisting 2,5 m 3/detik.

Gambar 10. Profil Memanjang Muka Air Saluran Drainase dan Pompa Kyai Tapa Kondisi 3

Pada pemodelan kondisi ini yaitu melakukan normalisasi saluran telah bisa mengatasi banjir pada debit rencana 10
tahun. Bila dilihat dari gambar potongan memanjang dan melintang, untuk tinggi muka air di hulu masih berada
didalam saluran dengan tinggi jagaan lebih dari 1 m dan tidak terdapat genangan disepanjang Saluran Drainase Kyai
Tapa. Penanganan banjir di Kyai Tapa bisa diatasi dengan pemodelan kondisi ini dimana pompa eksisting sebesar
2,5 m3/detik, penerapan rain water harvesting pada bangunan yang berada di daerah pengaliran saluran dan
melakukan normalisasi saluran mulai dari perubahan bentuk saluran, pendalaman saluran 1 hingga 2 meter dengan
material pasangan beton.
Perbandingan Hasil Pemodelan
Apabila hasil dari pemodelan dibandingkan, akan terlihat perbedaan yang cukup signifikan. Berikut ini merupakan
hasil output pemodelan kondisi setelah harvesting dengan dasar saluran eksisting dengan hasil output pemodelan
kondisi harvesting setelah dasar saluran dilakukan normalisasi.

AIR - 130
Gambar 11. Profil Memanjang Muka Air Saluran Drainase Kondisi Harvesting dengan menggunakan saluran eksisting dan
saluran setelah dinormalisasi.

Dari gambar perbandingan tersebut apabila hanya dilakukan dengan pemodelan rain water harvesting dan
menggunakan saluran eksisting menghasilkan tinggi muka air yang masih berada diluar tanggul. Apabila pemodelan
tersebut dikombinasikan dengan melakukan rain water harvesting dan melakukan normalisasi saluran, maka banjir
dan genangan di Kyai Tapa dapat teratasi.
Penanganan Banjir dan Genangan Dari Aspek Non Teknis Berwawasan Lingkungan
Penanganan banjir dan genangan di Jalan Kyai Tapa tidak hanya dilakukan dari aspek teknis saja, tetapi perlu juga
diperhatikan dari aspek non teknis. Aspek non teknis dilakukan oleh 2 belah pihak, yaitu pemerintah dan masyarakat
sekitar. Pemerintah dan masyarakat diharapkan saling bekerjasama untuk menciptakan kawasan tersebut terbebas
dari banjir dan genangan. Hal-hal yang dapat dilakukan dari aspek non teknis untuk menangani banjir dan genangan
di Jalan Kyai Tapa sebagai berikut.
1) Pemeliharaan Saluran Drainase Kyai Tapa dilakukan setiap hari oleh pemerintah menyangkut pembersihan
saluran dari sampah-sampah yang menggenangi saluran. Selain itu kesadaran masyarakat sekitar untuk tidak
membuang sampah pada Saluran Drainase Kyai Tapa (saluran makro dan saluran mikro).

2) Sosialisasi mengenai rain water harvesting kepada masyarakat sekitar untuk mulai menerapkan sistem tersebut
agar dapat mengurangi limpasan air hujan yang masuk ke saluran. Target sosialisasi diarahkan kepada
masyarakat pemilik gedung maupun rumah yang berada di daerah pengaliran saluran Kyai Tapa.

3) Pembentukan satgas O&P (operasi dan pemeliharaan) drainase oleh pemerintah dan bekerjasama dengan
masyarakat sekitar. Satgas O&P dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan koordinasi antara pemerintah dan
masyarakat akan adanya lonjakan debit pada Saluran Drainase Kyai Tapa.

4) Pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait produksi limbah yang dihasilkan oleh gedung-
gedung, pemukiman, pasar maupun pembangunan yang nantinya diharapkan limbah tersebut dapat didaur ulang
terlebih dahulu. Sehingga produksi limbah berkurang dan limbah yang masuk ke saluran drainase tidak banyak.
Daur ulang limbah bisa dengan mengolah limbah tersebut menjadi kompos.

5) Perlakuan khusus untuk proyek pembangunan agar limbah yang dihasilkan tidak mengaliri saluran drainase.
Akan sangat berbahaya apabila terdapat semen, pasir dan material lainnya dalam jumlah yang tidak sedikit
masuk ke saluran drainase. Sehingga perlu diberikan sanksi tegas dari pemerintah untuk proyek pembangunan
disekitar saluran drainase.

6) Pembuatan tempat pengelolaan sampah terpadu oleh masyarakat untuk memilah sampah, pengomposan, dan
daur ulang dengan tujuan mengurangi beban pada saluran drainase akibat sampah.

5. KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penanganan banjir dan genangan di Jalan Kyai Tapa, Jakarta Barat, DKI
Jakarta yang diakibatkan oleh curah hujan rencana 10 tahun dapat ditangani dengan alternatif kombinasi sistem
drainase berwawasan lingkungan, yaitu pompa eksisting berkapasitas 2,5 m3/detik, rain water harvesting pada
bangunan di daerah pengaliran saluran yang meliputi gedung-gedung dan perumahan dengan luas daerah yang
diasumsikan 60% dari luas daerah pengaliran saluran, kemudian melakukan normalisasi saluran dengan mengubah
bentuk saluran menjadi persegi dan memperdalam saluran 1 hingga 2 meter dengan material pasangan beton.

AIR - 131
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penulis memberikan beberapa saran, yaitu pemeliharaan saluran secara
rutin yang dilakukan dari pemerintah dan masyarakat sekitar, mengingat bahwa normalisasi saluran ini difungsikan
seperti kolam konservasi sehingga diperlukan perhatian khusus untuk pemeliharaannya dan melakukan pengelolaan
limbah yang dihasilkan dari daerah pengaliran saluran Kyai Tapa agar saluran terlihat bersih.

DAFTAR PUSTAKA
Triatmodjo, Bambang. 2008. Hidrologi Terapan. Yogyakarta: Beta Offset.
Badan Pusat Statistik. 2016. Jakarta. Sumber: https://jakbarkota.bps.go.id/.
Kementerian Pekerja Umum. 2012. Panduan Drainase Berwawasan Lingkungan. Direktorat Jenderal Cipta Karya.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2012. Sistem Drainase Perkotaan. Kementrian PU.
Kementrian Pekerja Umum. 2014. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2014 Tentang
Pengelolaan Air Hujan Pada Bangunan Gedung dan Persilnya. Kementrian PU
Manfaat Rain Water Harvesting. Sumber: http://www.ahlilingkungan.com/rain-harvesting Manfaat-rain-harvesting.
php.
1994. Tata Cara Perencanaan Drainase Permukaan Jalan (SNI 03-3424-1994). Kementrian PU.

AIR - 132
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

STUDI ANGKUTAN SEDIMEN DASAR SUNGAI SERAYU DI LABORATORIUM

Wati A. Pranoto1 dan Lucky Sumanton2

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara, Jl. S. Parman 01 Jakarta
Email: watipranoto@gmail.com
2
Jl. Semeru Raya No: 14A, Jakarta Barat
Email: lucky.sumanton@yahoo.com

ABSTRAK
Pendangkalan pada sungai-sungai di Indonesia banyak terjadi, salah satunya yaitu di Sungai Serayu,
Jawa Tengah. Pendangkalan pada aliran Sungai Serayu yang terjadi karena proses sedimentasi tentu
mengakibatkan fungsi sungai terganggu. Pada umumnya, pendangkalan disebabkan oleh
sedimentasi dari material tanah yang terbawa oleh aliran sungai. Angkutan sedimen dasar
merupakan salah satu faktor utama yang harus diteliti untuk mengetahui besarnya sedimentasi yang
terjadi. Pengetahuan tentang angkutan sedimen dasar yang terbawa oleh aliran air telah banyak
dikembangkan oleh beberapa ahli dalam bidang keairan. Penelitian ini dilakukan dengan
menciptakan simulasi aliran air sehingga terjadi proses angkutan sedimen dasar pada sungai.
Selanjutnya dilakukan analisis besarnya sedimen yang terangkut oleh aliran. Sedimen yang diuji
dalam penelitian ini adalah sedimen yang tertahan di saringan No.40 (0.425 mm), No.60 (0.25 mm),
No.140 (0.106 mm). Hasil dari penelitian laboratorium angkutan sedimen dasar pada Sungai Serayu
adalah mengetahui hubungan antara besarnya debit air yang terjadi dengan besarnya angkutan
sedimen dasar pada masing-masing ukuran diameter sedimen. Selanjutnya hasil yang diperoleh dari
penelitian dibandingkan dengan hasil perhitungan besarnya angkutan sedimen dasar (qb) dari
beberapa pendekatan yang telah dikemukakan oleh ahli-ahli dalam bidang angkutan sedimen seperti
Duboys, Shields, dan Schoklitsch. Hasil akhir yang diperoleh dari laboratorium berada di dalam
kisaran ketiga rumus yang digunakan untuk analisis data.
Kata kunci: serayu, debit, angkutan sedimen dasar.

1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki banyak sungai. Sungai merupakan salah jantung utama roda
kehidupan masyarakat di Indonesia. Kehidupan perekonomian banyak tergantung dari sungai. Di lain sisi, banyak
permasalahan pada sungai-sungai di Indonesia, salah satunya adalah pendangkalan sungai. Sebagai contoh nya
adalah Sungai Serayu di Jawa Tengah.
Proses pengaliran air yang terjadi di sungai tidak sesederhana seperti yang kita bayangkan. Air yang mengalir di
saluran terbuka ini bukan hanya mengalirkan air, tetapi mengalirkan sedimen yang terbawa bersama dengan aliran
air yang mengalir. Aliran air di saluran terbuka ini mengangkut sedimen yang berasal dari hasil pengerusan atau
erosi dasar saluran terbuka dan tepi saluran terbuka di area hilir saluran maupun sepanjang saluran terbuka. Proses
erosi yang terjadi pada aliran saluran terbuka menyebabkan adanya pengendapan sedimen di beberapa badan sungai
maupun di bagian hulu sungai. Pengendapan sedimen inilah yang merupakan permasalahan utama pada
pendangkalan sungai.
Partikel yang terangkut oleh aliran air pada saluran terbuka merupakan lapisan tanah yang terangkat oleh aliran air
sehingga terbawa oleh aliran dan mengalami sedimentasi di beberapa bagian pada saluran terbuka. Angkutan
sedimen berhubungan erat dengan kecepatan aliran pada saluran terbuka yang menyebabkan terbawanya sedimen
bersama dengan aliran. Selain dipengaruhi oleh kecepatan aliran, angkutan sedimen (bed load transport)
dipengaruhi oleh penampang dari saluran terbuka, kemiringan saluran dan sifat-sifat dari tanah pada saluran terbuka
seperti tekstur, stabilitas agregat, kekuatan geser.
Studi mengenai sedimen yang dilakukan guna mempelajari sifat-sifat dan dinamika dari angkutan sedimen yang
terangkut pada saluran terbuka sehingga karakteristik dari angkutan sedimen tersebut dapat ditentukan. Analisis
angkutan sedimen dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa parameter-parameter hidrolik dari saluran
terbuka itu sendiri antara lain panjang saluran, kemiringan dasar saluran, penampang saluran, kedalaman saluran dan
berbagai parameter lain nya yang berpengaruh terhadap proses sedimentasi. Diharapkan dari parameter-parameter

AIR - 133
yang ada, kita dapat menganalisa, memperkirakan jumlah sedimentasi yang terjadi serta memaksimalkan efisiensi
dari saluran terbuka.
Tentunya dalam setiap pendekatan dan rumus yang telah dikembangkan oleh para ahli-ahli hidrolika dalam
penelitian tentang angkutan sedimen dasar mempunyai nilai lebih dan kurang jika dibandingkan satu sama lain. Hal
tersebut sangat menarik untuk dibahas karena semakin banyaknya penelitian yang dilakukan dalam bidang angkutan
sedimen dasar dengan menggunakan beberapa rumus dan pendekatan diatas sehingga dapat ditentukan pendekatan
rumus yang lebih tepat untuk menghitung karakteristik angkutan sedimen dasar dari suatu saluran terbuka.
Penelitian tentang angkutan sedimen dasar pada Sungai Serayu (bed load transport) dilakukan untuk mempelajari
karakteristik dari angkutan sedimen di sungai tersebut

2. METODE PENELITIAN
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Melakukan studi literatur mengenai angkutan sedimen (bed load transport) dari buku dan jurnal-jurnal
penelitian peneliti lain sebelumnya.
2. Pengambilan sampel di muara Sungai Serayu yang terletak di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah
3. Pembuatan sampel dengan mencampur pasir dengan air
4. Percobaan laboratorium untuk menggunakan sircular race flume track sediment transport
5. Mengelolah data yang didapat dari hasil percobaan di laboratorium.
6. Menganalisis data yang didapat dengan menggunakan beberapa persamaan yang dikemukakan oleh ahli-ahli
di bidang sediment transport.
7. Menarik kesimpulan dari penelitian tersebut.
Beberapa persamaan yang dikemukakan ahli-ahli mengenai sediment transport antara lain:
a) Duboys
Pendekatan Duboys merupakan salah satu pendekatan yang klasik. Banyak peneliti menganalisis dan
memodifikasi persamaan Duboys berdasarkan investigasi yang berbeda-beda. Duboys (1879) berasumsi bahwa
partikel sedimen yang bergerak sebagai angkutan sedimen dasar bergerak karena adanya gaya gesekan yang
terjadi antara partikel dengan aliran fluida. Semua data dalam persamaan Duboys diambil dari percobaan flume
laboratorium dengan sampel partikel sedimen yang bervariasi.
Berikut rumus yang dikemukakan oleh Duboys :

(1)
Dimana:
qb = debit angkutan sedimen dasar ((ft3/s)/ft )
d = diameter sedimen (mm)
= γDS (lb/ft2)
D = kedalaman air (ft)
γ = berat spesifik air (lb/ft3)
S = kemiringan tanah (asumsi 1%)
= tegangan geser kritis (lb/ft2)

AIR - 134
Gambar 1. Parameter sedimen dan gaya tarik untuk persamaan angkutan dasar menurut Duboys.

b) Shields
Shields (1936) dalam penelitiannya mengenai pergerakan awal dari sedimen dengan mengukur kondisi aliran
dengan sedimen transport yang lebih besar dari nol dan kemudiaan memberikan hubungan terhadap penentuaan
kondisi aliran yang berhubungan pada gerak yang baru mulai.

(2)

(3)

(4)

(5)

Dimana :
qb = debit angkutan sedimen dasar ((ft3/s)/ft )
q = debit air ((ft3/s)/ft)
d50 = diameter sedimen (mm)
= γDS (lb/ft2)
D = kedalaman air (ft)
γ = berat spesifik air (lb/ft3)
S = kemiringan tanah (asumsi 1%)
= tegangan geser kritis (lb/ft2)
= kecepatan geser (ft/s)
= bilangan Reynold
C=dimensionless shear stress

AIR - 135
Gambar 2. Diagram Shields (Dake, M.K Jones., 1985)

c) Schoklitsch
Scholitsch (1934) merupakan ilmuwan yang mengemukakan adanya pengaruh dari debit air yang terjadi untuk
menentukan besarnya debit angkutan sedimen dasar. Satuan yang digunakan Scholitsch dalam rumusnya adalah
dalam satuan metrik. Berikut persamaan Scholitsch:

(6)

(7)

Dimana:
= debit angkutan sedimen dasar ((kg/s)/m)
d = ukuran partikel sedimen (mm)
q = debit air yang terjadi ((m3/s)/m)
= debit kritis air saat terjadi gerak awal ((m3/s)/m)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Pemeriksaan Sampel Sungai Serayu
Tanah yang digunakan dalam percobaan merupakan tanah dari Sungai Serayu. Sampel tanah ini kemudian harus
dianalisa gradasi ukuran pasir yang dominan dalam tanah tersebut dengan menggunakan Metode Analisa Saringan
(Sieve Analysis). Dari data analisa saringan didapat bahwa ukuran diameter pasir yang dominan di Sungai Serayu
adalah diameter 0,425 mm, 0,25 mm dan 0,106 mm. Hasil dari analisa saringan terhadap sampel tanah dapat dilihat
pada Tabel 1.

AIR - 136
Tabel 1. Data Analisa Saringan.

Analisa hubungan debit air dengan debit sedimen dari percobaan laboratorium
Dari hasil percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa dengan bertambahnya debit air maka besarnya nilai debit
angkutan sedimen dasar semakin besar. Hal ini terjadi pada ketiga diameter pasir yang diuji.
a) Diameter 0,425 mm
Grafik 1. menunjukkan klasifikasi debit pada percobaan untuk pasir diameter 0,425 mm. Nilai debit angkutan
sedimen dasar pada debit rendah berkisar diantara 0.0048 lb/s/ft – 0.0206 lb/s/ft. Pada debit tinggi dihasilkan debit
angkutan sedimen dasar berkisar diantara 0.7137 lb/s/ft – 1.0304 lb/s/ft.

Grafik 1. Hasil Laboratorium Diameter 0,425 mm

b) Diameter 0,25 mm
Grafik 2. menunjukkan klasifikasi kecepatan pada percobaan untuk pasir diameter 0,25 mm. Nilai debit angkutan
sedimen dasar pada debit rendah berkisar diantara 0.0087 lb/s/ft – 0.4957 lb/s/ft. Pada debit tinggi dihasilkan debit
angkutan sedimen dasar berkisar diantara 0.6565 lb/s/ft – 1.2603 lb/s/ft.

Grafik 2. Hasil Laboratorium Diameter 0,25 mm

AIR - 137
c) Diameter 0,106 mm
Grafik 3. menunjukkan klasifikasi kecepatan pada percobaan untuk pasir diameter 0,106 mm. Nilai debit angkutan
sedimen dasar pada debit rendah berkisar diantara 0.0123 lb/s/ft – 0.3365 lb/s/ft. Pada debit tinggi dihasilkan debit
angkutan sedimen dasar berkisar diantara 1.0001 lb/s/ft – 1.4413 lb/s/ft.

Grafik 3. Hasil Laboratorium Diameter 0,106 mm

Analisa debit angkutan sedimen menggunakan pendekatan rumus


Data yang telah diperoleh dari percobaan di laboratorium kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan-
pendekatan yang telah dikemukakan oleh ahli-ahli untuk mengetahui nilai dari debit angkutan sedimen dasar pada
sampel. Hasil dari analisis yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan itu antara lain:

a) Duboys
Grafik 4 didapat dengan menganalisa data-data yang didapat dari percobaan laboratorium dengan menggunakan
pendekatan menghitung qb yang dikemukan oleh Duboys. Dari Grafik 4, dapat kita lihat bahwa nilai qb pada sampel
0,425 mm mempunyai nilai qb yang paling kecil. Sampel 0,25 mm mempunyai nilai qb yang besarnya ada diantara
sampel 0,425 mm dan 0,106 mm, sedangkan sampel 0,106 mm menunjukkan hasil qb yang paling besar dari
pendekatan Duboys. Hasil dari pendekatan rumus Duboys ini berupa garis lurus horizontal pada Grafik 4, hal ini
menunjukkan bahwa besarnya nilai debit angkutan sedimen dasar (qb) dengan pendekatan Duboys tidak dipengaruhi
oleh besarnya debit air.

Grafik 4. Hubungan Q dengan Qb dengan pendekatan Duboys

AIR - 138
b) Shields

Grafik 5. Hubungan Q dengan Qb dengan pendekatan Shields

Analisis data percobaan di laboratorium dengan menggunakan pendekatan Shields menghasilkan data hubungan
debit air terhadap debit angkutan sedimen dasar yang linear. Bertambahnya nilai debit air menyebabkan nilai debit
angkutan sedimen dasar semakin besar. Pada Grafik 5, dapat dilihat bahwa nilai debit angkutan sedimen terbesar
terdapat pada sampel 0,106 mm, sampel 0,425 mm menunjukkan nilai debit angkutan sedimen dasar yang paling
kecil dan nilai angkutan sedimen dasar sampel 0,25 mm berada diantara sampel 0,425 mm dan 0,106 mm.
 Diameter 0,425 mm
Grafik 5 menunjukkan nilai debit angkutan sedimen dasar pada debit air rendah berkisar diantara nilai
0.4116 lb/s/ft – 0.4621 lb/s/ft, sedangkan untuk debit tinggi besarnya nilai debit angkutan sedimen dasar
berkisar diantara 0.5403 lb/s/ft – 0.6203 lb/s/ft.
 Diameter 0,25 mm
Grafik 5 menunjukkan nilai debit angkutan sedimen dasar pada debit air rendah berkisar diantara nilai
0.3807 lb/s/ft – 0.4631 lb/s/ft, sedangkan untuk debit tinggi besarnya nilai debit angkutan sedimen dasar
berkisar diantara 0.5488 lb/s/ft – 0.6164 lb/s/ft.
 Diameter 0,106 mm
Grafik 5 menunjukkan nilai debit angkutan sedimen dasar pada debit air rendah berkisar diantara nilai
0.4047 lb/s/ft – 0.4928 lb/s/ft, sedangkan untuk debit tinggi besarnya nilai debit angkutan sedimen dasar
berkisar diantara 0.5467 lb/s/ft – 0.6510 lb/s/ft.

c) Schoklitsch
Dari pendekatan Schoklitsch, didapat hubungan antara nilai debit air dengan debit angkutan sedimen dasar yang
linear dimana semakin bertambahnya nilai debit air maka nilai debit angkutan sedimen dasar juga semakin besar.
 Diameter 0,425 mm
Grafik 6 menunjukkan nilai debit angkutan sedimen dasar pada debit rendah berkisar diantara 0.017
lb/s/ft – 0.0221 lb/s/ft, sedangkan untuk debit tinggi besarnya nilai debit angkutan sedimen dasar
berkisar diantara 0.0314 lb/s/ft – 0.0362 lb/s/ft.
 Diameter 0,25 mm
Grafik 6 menunjukkan nilai debit angkutan sedimen dasar pada saat debit rendah adalah sebesar 0.017
lb/s/ft – 0.0406 lb/s/ft, sedangkan untuk debit tinggi besarnya nilai debit angkutan sedimen dasar
berkisar diantara 0.0462 lb/s/ft – 0.0594 lb/s/ft.
 Diameter 0,106 mm
Grafik 6 menunjukkan nilai debit angkutan sedimen dasar pada debit rendah berkisar diantara nilai
0.017 lb/s/ft – 0.0406 lb/s/ft, sedangkan untuk debit tinggi besarnya nilai debit angkutan sedimen dasar
berkisar diantara 0.0462 lb/s/ft – 0.0594 lb/s/ft.

AIR - 139
Grafik 6. Hubungan Q dengan Qb dengan pendekatan Schoklitsch

Analisa hubungan debit air dengan debit angkutan sedimen pendekatan rumus
Nilai debit angkutan sedimen dasar yang diperoleh dari hasil percobaan di laboratorium selanjutnya dibandingkan
dengan nilai debit angkutan sedimen dasar yang diperoleh dari hasil analisis menggunakan pendekatan-pendekatan
rumus yang dikemukakan oleh para ahli untuk mengetahui bagaimana hasil yang didapatkan dari percobaan
laboratorium jika dibandingkan hasil yang didapat dari analisis rumus. Hasil yang dibandingkan dengan
menggunakan nilai debit air yang sama dan ukuran partikel sedimen yang sama.
Berikut hasil analisis perbandingan antara nilai debit angkutan sedimen dasar percobaan laboratorium dengan nilai
dari pendekatan rumus:
a) Diameter 0.425 mm

Grafik 7. Perbandingan Qb penelitian langsung dengan pendekatan rumus sampel 0,425 mm


Grafik 7 menunjukkan nilai debit angkutan sedimen dasar untuk diameter pasir 0,425 mm yang dihasilkan dari
perhitungan dengan menggunakan rumus Shields berada di urutan paling atas, persamaan Duboys berada dibawah
persamaan Shields dan persamaan Schoklitsch menghasilkan nilai debit angkutan sedimen yang paling kecil.
Pada Grafik 7 juga menunjukkan besarnya debit angkutan sedimen dasar dari percobaan laboratorium dapat
dibandingkan dengan hasil analisa menggunakan ketiga rumus perhitungan debit angkutan sedimen dasar yaitu
rumus Duboys, Shields, dan Schoklitsch. Pada debit rendah sampai dengan debit sedang (0.085 ft3/s – 0.11 ft3/s),
nilai debit angkutan sedimen dasar laboratorium berkisar diantara persamaan Schoklitsch dan Duboys. Untuk debit
sedang hingga debit tinggi (0.11 ft3/s – 0.12 ft3/s), nilai debit angkutan sedimen dasar laboratorium berkisar diantara
persamaan Duboys dan Shields. Tetapi pada debit yang lebih tinggi (>0.12 ft3/s), hasil laboratorium semakin
menjauhi nilai debit angkutan sedimen dari persamaan Shields.

AIR - 140
b) Diameter 0.25mm

Grafik 8. Perbandingan Qb penelitian langsung dengan pendekatan rumus sampel 0,25 mm


Pada pasir diameter 0,25 mm didapat bahwa debit angkutan sedimen dasar dengan menggunakan persamaan
Schoklitsch menghasilkan nilai paling kecil, kemudian Duboys berada diatasnya. Nilai debit sedimen dasar dari
persamaan Shields tetap pada nilai yang paling besar diantara Schoklitsch dan Duboys.
Grafik 8 menunjukkan besarnya debit angkutan sedimen dasar dari percobaan laboratorium dapat dibandingkan
dengan hasil dari analisa data menggunakan ketiga rumus perhitungan debit angkutan sedimen dasar yaitu rumus
Duboys, Shields, dan Schoklitsch. Pada debit rendah (0.075 ft3/s – 0.095 ft3/s), nilai debit angkutan sedimen dasar
laboratorium berdekatan dengan nilai debit angkutan sedimen dasar dari persamaan Schoklitsch. Untuk debit sedang
(0.095 ft3/s – 0.115 ft3/s), besarnya debit angkutan sedimen dasar laboratorium berkisar diantara hasil debit dari
ketiga persamaan tersebut. Tetapi pada debit tinggi (0.115 ft3/s – 0.125 ft3/s), hasil laboratorium berada diatas
persamaan Shields.
c) Diameter 0.106mm

Grafik 9. Perbandingan Qb penelitian langsung dengan pendekatan rumus sampel No.140


Berdasarkan Grafik 9, terlihat bahwa pada sampel pasir diameter 0,106 mm, persamaan Schoklitsch menghasilkan
nilai debit angkutan sedimen dasar yang paling kecil, kemudian Shields berada diatasnya.
Berbeda dengan sampel diameter 0,425 mm dan 0,25 mm, pada sampel 0,106 mm, persamaan Duboys mempunyai
nilai angkutan sedimen dasar paling besar jika dibandingkan dengan Schoklitsch dan Duboys.
Besarnya debit angkutan sedimen dasar dari percobaan laboratorium dapat dibandingkan dengan hasil dari analisa
menggunakan ketiga rumus perhitungan debit angkutan sedimen dasar yaitu rumus Duboys, Shields, dan
Schoklitsch seperti yang terlihat pada Grafik 4.10. Pada debit rendah (0.08 ft3/s – 0.095 ft3/s), nilai debit angkutan
sedimen dasar laboratorium berkisaran dipersamaan Schoklitsch. Untuk debit sedang (0.095 ft3/s – 0.11 ft3/s),
besarnya debit angkutan sedimen dasar laboratorium berkisar diantara hasil debit dari ketiga persamaan tersebut.
Tetapi pada debit tinggi (0.11 ft3/s – 0.13 ft3/s), hasil laboratorium berada diatas persamaan Duboys.

AIR - 141
4. KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dari analisa saringan ukuran diameter pasir yang dominan pada sampel
pasir sedimen di Sungai Serayu adalah ukuran diameter 0,425 mm, 0,25 mm, 0,106 mm. Pada percobaan
laboratorium hasil yang didapat menunjukkan bahwa dengan bertambahnya debit air maka debit angkutan sedimen
semakin besar. Sedangkan bila dengan menggunakan analisa rumus, didapat bahwa pada rumus yang dikemukakan
oleh Shields dan Schoklitsch, semakin besar debit maka besarnya debit angkutan sedimen dasar semakin bertambah.
Pada persamaan Duboys, nilai debit angkutan sedimen tidak ditentukan oleh besarnya nilai debit aliran air. Dari
hasil analisa perbandingan, didapat bahwa nilai debit angkutan sedimen dasar laboratorium menghasilkan nilai debit
yang berkisar diantara hasil dari ketiga pendekatan rumus yang digunakan (Shields, Schoklitsch dan Duboys).
Dengan membandingkan hasil dari laboratorium dengan pendekatan rumus, maka untuk menghitung nilai debit
angkutan sedimen dasar pada Sungai Serayu pada kecepatan tinggi digunakan persamaan Shields sedangkan untuk
kecepatan rendah dengan menggunakan persamaan Schoklitsch.

DAFTAR PUSTAKA
Buchanan, T.J. dan Somers, W.P. (1969). Discharge Measurements at Gaging Stations: U.S. Geological Survey
Techniques of Wter-Resources Investigations, Book 3, Chapter A8, 1p.
Laboratorium Hidrolika Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara., (2015). Penuntun Praktikum
Tegangan Kritis Erosi, Jakarta.
Laboratorium Mekanika Tanah Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara. Penuntun
Praktikum Mekanika Tanah, Jakarta.
Levorsen, A.I., (1958). Geology of Petroleum. W.H. Freeman & Co., San Fransisco.
Pranoto , W.A., (2014)., “Tegangan Geser Kritis Erosi Sedimen Sungai Brantas Di Jawa Timur.”. Jakarta.
Sengupta, S.M., Introduction to Sedimentology.
Sengupta, Supriya., (1979). “Grain-size Distribution of Suspended Load in Relation to Bed Materials and Flow
Velocity. Sedimentology”, vol 26, pp 63-82.
Triatmodjo, B. (1999). Teknik Pantai. Fakultas Teknik. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Yang, C. T. (1973)., Incipient Motion and Sediment Transport.” Journal of the Hydraulics Division, ASCE, vol.99,
No.HY10, pp. 1679-1704.
Yang, C. T. (1979)., “Unit Stream Power Equations for Total Bed Load.” Journal of the Hydraulics Division,
vol.40, pp. 123-138.
Yang, C. T. (1996)., Sediment Transport: Theory dan Practice. The McGraw-Hill Companies,Inc, United Stated of
America.
Yahya, Andi., “Studi Experimental Angkutan Sedimen Dasar Pada Saluran Terbuka.” Universitas Hasanuddin,
Makassar.

AIR - 142
KELOMPOK PEMINATAN

MANAJEMEN KONSTRUKSI
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

ANALISIS KEBUTUHAN TULANGAN PELAT LANTAI BETON BERTULANG PADA


KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG

Tripoli1, Nurisra2, dan Mubarak3

1, 2, 3
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syeh abdul Rauf No. 7 Banda Aceh
Email: tripoli_jci@yahoo.com

ABSTRAK
Anggaran biaya dari sebuah konstruksi sangat ditentukan oleh besarnya kebutuhan (requirement)
material, peralatan, dan tenaga kerja. Pada konstruksi beton bertulang, material utama yang
dibutuhkan terdiri dari besi tulangan, semen, dan agregat. Kebutuhan tulangan dalam tiap m3 beton
sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama terkait dengan beban yang diterima oleh komponen
tersebut. Bila perencanaan sebuah bangunan dikaitkan dengan potensi beban akibat gempa bumi,
maka dapat diduga besarnya tulangan yang dibutuhkan juga akan berbeda. Untuk itu, penelitian ini
ditujukan untuk menganalisis besarnya penggunaan tulangan untuk tiap m3 beton berdasarkan
zonasi wilayah gempa. Penelitian ini difokuskan pada kebutuhan penggunaan tulangan untuk
konstruksi pelat lantai beton bertulang bangunan gedung. Penelitian ini menggunakan data sekunder
berupa data gambar dan biaya konstruksi pelat lantai pada Zona 15, meliputi wilayah Kota Banda
Aceh dan Kabupaten Aceh Barat Daya di Provinsi Aceh. Penentuan zonasi mengacu pada Peta
Zonasi Gempa Indonesia SNI 1726:2012. Objek bangunan yang dianalisis merupakan bangunan
gedung berlantai 2 dengan fungsi sebagai bangunan perkantoran, hunian, dan pendidikan. Hasil
analisis menunjukkan bahwa kebutuhan tulangan rerata untuk tiap m3 beton pada pada Zona 15
sebesar 187,41 kg. Nilai tersebut lebih tinggi dari 24,94% dari nilai kebutuhan yang tersebut pada
Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) dalam SNI 7394:2008 yaitu 150 kg/m3 beton. Dari sisi
fungsi, rasio kebutuhan tulangan terbesar adalah untuk fungsi bangunan pendidikan dan diikuti oleh
fungsi hunian dan perkantoran. Penggunaan AHSP tersebut untuk bangunan pada wilayah yang
tercakup dalam Zona 15 berpotensi menghasilkan estimasi biaya yang tidak akurat. Ketidak-
akuratan tersebut menghasilkan nilai estimasi biaya dibawah nilai yang semestinya dibutuhkan
untuk pekerjaan konstruksi pelat lantai.
Kata kunci: rasio kebutuhan tulangan, pelat lantai, beton bertulang, bangunan gedung.

1. PENDAHULUAN
Perencanaan konstruksi seperti bangunan gedung, jalan, jembatan, bangunan sipil lainnya perlu mempertimbangkan
adanya potensi gempa bumi yang mungkin terjadi pada sebagian besar wilayah Indonesia. Wilayah Indonesia
menempati zona tektonik yang sangat aktif karena tiga lempeng besar dunia dan sembilan lempeng kecil lainya
saling bertemu di wilayah Indonesia (Bird, 2003). Keberadaan interaksi antar lempeng-lempeng ini menempatkan
wilayah Indonesia sebagai wilayah yang sangat rawan terhadap gempa bumi (Milson, 1992). Perencanaan
konstruksi tahan gempa di Indonesia mulai diaplikasikan pada tahun 1983 berpedoman pada peta percepatan
maksimum gempa dan PPTI- UG (Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung). Pedoman tata
cara perencanaan konstruksi tahan gempa Indonesia terus mengalami perkembangan, hingga pada saat ini
perencanaan berpedoman pada SNI 1726:2012 (Tata cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung
dan Non Gedung).
Kontruksi bangunan merupakan bentuk struktur atau bentuk fisik yang dihasilkan dari serangkaian proses yang
dimulai dengan desain oleh perencana dan pembangunan oleh kontraktor. Proses ini melibatkan organisasi dan
koordinasi dari semua sumberdaya proyek untuk menyelesaikan proyek tepat waktu, sesuai anggaran serta
standar kualitas dan kinerja yang ditentukan. Keberhasilan melaksanakan proyek konstruksi tepat waktu dengan
anggaran yang sesuai rencana adalah sasaran dan harapan pemilik proyek maupun kontraktor. Dalam pelaksanaan
proyek kontruksi, keterampilan sumber daya menjadi faktor penting tercapainya akurasi penawaran harga yang lebih
kompetitif dan efektif dari kompetitor yang bersaing. Tidak hanya itu, akurasi harga penawaran juga berpengaruh
positif bagi pemilik (owner) dalam mengelola anggaran yang terbatas.
Salah satu acuan yang digunakan dalam proses estimasi biaya adalah Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) yang
mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI mengatur AHSP untuk sejumlah pekerjaan. Khusus untuk

MK - 1
pekerjaan beton, AHSP ditetapkan melalui SNI 7394:2008 tentang tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan
beton untuk konstruksi bangunan gedung dan perumahan. Standar ini menetapkan kebutuhan (requirement) terkait
dengan material dan tenaga kerja untuk tiap satuan harga. Ada sejumlah analisis yang dapat digunakan untuk
menentukan langsung harga satuan dari beberapa jenis konstruksi beton bertulang, seperti pondasi, sloof, balok,
kolom, pelat, dan dinding. Analisis tersebut dapat dipakai tanpa harus menghitung harga satuan beton, tulangan, dan
bekisting secara terpisah. Pembatasan penggunaan analisis ditetapkan hanya berdasarkan berat tulangan (dalam kg)
yang digunankan dalam tiap meter kubik beton. Sebagai ilustrasi, analisis harga satuan untuk konstruksi pelat beton
bertulang secara khusus disebut dalam SNI 7394:2008 pada Analisis No. 6.32. Penggunaan analisis tersebut dibatasi
untuk struktur pelat dengan jumlah tulangan sebesar 150 kg per meter kubik beton.
Bila dikaji dengan mempertimbangkan beragamnya intensitas gempa sesuai dengan jumlah zonasi gempa yang ada
di Indonesia, penetapan jumlah tulangan tersebut dapat menimbulkan potensi bias pada estimasi biaya. Pola tersebut
memberi peluang terhadap tidak akuratnya estimasi biaya yang dihasilkan, baik dalam bentuk potensi ‘terlalu
mahal’ atau ‘terlalu murah’. Dengan demikian, diperlukan adanya kajian yang dapat memberi informasi sejauh
mana analisis tersebut dapat diaplikasikan bila dikaitkan dengan bangunan gedung yang dibangun pada wilayah
dengan zonasi gempa yang berbeda. Menindaklanjuti kondisi tersebut, maka penelitian ini ditujukan untuk
menganalisis besarnya rasio penggunaan tulangan pada tiap meter kubik beton. Lebih lanjut, penelitian ini juga akan
merekomendasikan sejauhmana standar AHSP dapat diaplikasikan pada zonasi tertentu.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Zonasi gempa bumi Indonesia


Indonesia menempati zona tektonik yang sangat aktif karena tiga lempeng besar dunia dan sembilan lempeng kecil
lainya saling bertemu di wilayah Indonesia (Bird, 2003). Keberadaan interaksi antar lempeng-lempeng ini
menempatkan wilayah Indonesia sebagai wilayah yang sangat rawan terhadap gempa bumi (Milson, 1992).
Perencanaan konstruksi tahan gempa di Indonesia mulai diaplikasikan pada tahun 1983 berpedoman pada peta
percepatan maksimum gempa dan Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung (PPTIUG).
Pedoman tata cara perencanaan konstruksi tahan gempa Indonesia terus mengalami perkembangan, hingga pada saat
ini perencanaan berpedoman pada peta zonasi gempa SNI 1726:2012 (Tata cara Perencanaan Ketahanan Gempa
untuk Bangunan Gedung dan Non Gedung). Pembaruan yang ditekankan pada standar tersebut terkait dengan :
1. Periode ulang
Pada SNI 2012, kemungkinan pelampauan (probability of exceedance) diambil sebesar 2% dalam 50 tahun.
Dengan persamaan yang sama, didapat periode ulang gempa sebesar 2.475 tahun atau dibulatkan menjadi 2.500
tahun. Kemungkinan pelampauan merupakan faktor langsung terhadap berubahnya periode ulang. Semakin
kecil kemungkinan pelampauan semakin besar periode ulang, sekaligus semakin kecil kemungkinan terjadi
gempa diatas gempa rencana hingga dapat terhindar dari kejadian gempa.
2. Pendekatan Deterministik
SNI 2012,menambahkan satu konsep yang disebut Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA). Pada
konsep ini, probabilitas gempa tidak hanya diturunkan dari statistic terjadinya gempa yang tercatat. Probabilitas
juga diturunkan dengan mengidentifikasi adanya subduksi lapisan bumi dan sesar aktif (active faults) pada
suatu wilayah.
3. Uniform Hazard vs Uniform Risk
Peta gempa SNI 1726 2012 mengadopsi konsep uniform risk yang artinya beban gempa didasarkan pada resiko
keruntuhan bangunan yang sama yaitu 1% resiko keruntuhan dalam 50 tahun. Oleh karena itu, percepatan
gempa pada peta SNI 1726 2012 disebut sebagai risk targeted ground motion yaitu percepatan tanah yang
sudah disesuaikan untuk mencapai target resiko keruntuhan 1% dalam 50 tahun. Konsep risk of collapse
mengindikasikan bahwa tidak semua gedung yang terkena beban gempa diatas gempa rencana tidak selamat
atau menunjukan kegagalan struktur sesuai prediksi desain.
4. Koefisien pada Respon Spektra
Peta gempa SNI 1726 2012 memberikan tambahan koefisien spektra berupa PGA (percepatan di batuan dasar),
0,2 detik dan 1 detik. PGA digunakan untuk menentukan percepatan gempa pada desain pondasi. Koefisien 0,2
detik dan 1 detik digunakan untuk membuat respon spektra gedung.

MK - 2
Peta zonasi wilayah gempa menunjukkan posisi seluruh wilayah Indonesia berdasarkan tingkat respon sprektra
gempa dan warna berbeda untuk setiap batasan nilai respon sprektra atas dan bawah dalam satuan gravity (g). Nilai
sprektra ini dijadikan acuan untuk mendesain beban gempa dalam perencanaan suatu bangunan gedung di Indonesia.
Peta zonasi gempa SNI 1726:2012 ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Zonasi Gempa Indonesia (http://puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain_spektra_indonesia_2011/)

Konstruksi pelat beton bertulang


Pelat lantai atau slab didenisikan sebagai struktur beton bertulang untuk membuat pondasi atau lantai yang
ditumpukan pada kolom/dinding struktural bangunan, berupa material pracetak atau dicor langsung ke dalam
bekisting (Elliott, 2012). Berdasarkan posisi peletakan tumpuan, pelat lantai dapat diklasifikasikan sebagai pelat
dengan 1 arah tumpuan dan pelat dengan 2 arah tumpuan (Ching, 2014). Pada posisi 1 arah, pelat ditumpukan pada
dua ujung pelat dengan posisi sejajar, sedangkan untuk 2 arah, pelat ditumpukan pada keempat sisinya. Penggunaan
pelat dengan 2 arah lebih lazim dipakai (Gambar 2).
Sebagai salah satu komponen struktur bangunan gedung, ada beberapa metode kontruksi pelat lantai yang lazim
dipakai (Ahadi, 2013), yaitu :
a. Metode konvensional, pada metode ini seluruh struktur pelat lantai dikerjakan ditempat, bekisting
menggunakan plywood dengan perancah scaffolding. Ini merupakan cara lama yang paling banyak digunakan
namun membutuhkan waktu lama serta biaya tinggi.
b. Metode half slab, merupakan struktur pelat lantai yang sebagian dikerjakan dengan sistem precast, bagian
tersebut bisa dibuat di pabrik lalu dikirim ke lokasi proyek untuk dipasang, selanjutnya dilakukan pemasangan
besi tulangan bagian atas lalu dilakukan pengecoran separuh pelat ditempat.
c. Metode full precast, merupakan sistem paling cepat, namun yang perlu diperhatikan jika menggunakan metode
ini adalah segi kekuatan alat angkat, misalnya kuat angkat ujung tower crane harus lebih besar dari total berat
beton precast.
d. Metode bondek, dilaksanakan dengan menghilangkan tulangan bawah dan fungsinya digantikan oleh pelat
bondek, dengan begini diharapkan ada penghematan besi tulangan dan bekisting dibawahnya.

MK - 3
1) Isometri Bentuk Pelat Lantai
2) Tampak Atas Pelat Lantai

3) Potongan Pelat Lantai


Gambar 2. Konstruksi Pelat Lantai (Ching, 2014)

Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP)


Analisis harga satuan pekerjaan didefinisikan sebagai analisis harga yang dihitung berdasarkan analisis harga satuan
bahan dan upah (SNI 7394:2008). Besarnya harga bahan dan upah ditentukan oleh nilai indeks bahan dan tenaga
kerja. Indeks tersebut berperan sebagai faktor pengali atau koefisien yang menjadi dasar penghitungan biaya bahan
dan upah kerja. Analisis harga satuan suatu pekerjaan konstruksi dijabarkan dalam perkalian indeks bahan bangunan
dan upah kerja dengan harga bahan bangunan dan upah tenaga kerja, untuk penyelesaian per satuan pekerjaan.
Untuk konstruksi pelat lantai dapat digunakan Analisis No. 6.32 pada SNI 7394:2008 (Tabel 1).

Tabel 1. Kebutuhan 1 m3 pelat beton bertulang (150 kg besi + bekisting)

Kebutuhan Satuan Indeks


Kayu kelas III m3 0,320
Paku 5 cm – 12 cm kg 3,200
Minyak bekisting liter 1,600
Besi beton polos kg 157,500
Kawat beton kg 2,250
Bahan Portland Cement kg 336,000
Pasir Beton m3 0,540
Kerikil m3 0,810
Kayu kelas II balok m3 0,120
Plywood 9 mm lembar 2,800
Dolken kayu galam, φ (8-10) cm, panjang 4 m batang 32,000
Pekerja OH 5,300
Tukang batu OH 0,275
Tukang kayu OH 1,300
Tenaga kerja
Tukang besi OH 1,050
Kepala tukang OH 0,265
Mandor OH 0,265

MK - 4
3. METODE PENELITIAN

Objek penelitian
Penelitian ini melakukan analisis berdasarkan objek bangunan gedung yang di bangun di wilayah Provinsi Aceh.
Objek penelitian difokuskan pada bangunan gedung dengan klasifikasi sederhana dan non sederhana
sebagaimana didefinisikan dalam Peraturan Menteri PU No. 45 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis
Pembangunan Bangunan Gedung Negara. Bangunan tersebut merupakan gedung berlantai dua yang difungsikan
sebagai bangunan hunian, perkantoran, dan pendidikan.

Pengumpulan Data
Data dikumpulkan berdasarkan peta zonasi gempa SNI 1726:2012 untuk Zona 15 (respon sprektra percepatan
gempa 1,2 – 1,5 g). Bangunan yang dikaji berlokasi di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Barat Daya di
Provinsi Aceh. Data yang dikumpulkan bersumber dari dokumen kontrak proyek bangunan gedung yang telah
dibangun dari tahun 2012 sampai dengan 2015. Data tersebut berupa daftar kualitas harga (bill of quantity), dan
gambar bestek.

Analisis
Proses pengolahan data dilakukan sesuai dengan tahapan berikut :
1) Pengelompokan data. Data diklasifikasikan berdasarkan fungsi bangunan gedung pendidikan (BGP), bangunan
gedung hunian (BGH), dan bangunan gedung perkantoran (BGK).
2) Analisis kebutuhan material tulangan dan beton. Analisis kebutuhan tulangan pelat lantai dilakukan berdasarkan
dimensi penampang, jenis tulangan (polos), dan diameter tulangan yang dipakai. Hasil analisis memberikan
informasi jumlah tulangan (dalam kg) yang dibutuhkan pada tiap bangunan gedung. Jumlah penggunaan beton
(dalam m3) dianalisis berdasarkan dimensi tebal pelat dan luas lantai.
3) Rekapitulasi hasil analisis kebutuhan tulangan pelat lantai. Hasil analisis dikelompokkan berdasarkan fungsi
bangunan.
4) Analisis rasio penggunaan tulangan per meter kubik beton untuk konstruksi pelat lantai. Rasio ini diperoleh dari
perbandingan volume tulangan yang digunakan (dalam kg) dengan volume beton (dalam m 3). Analisis statistik
deskriptif juga digunakan untuk menentukan nilai rerata, nilai maksimum, nilai minimum, dan standar deviasi.

4. HASIL DAN DISKUSI

Deskripsi objek
Objek yang ditinjau pada penelitian ini adalah 10 bangunan gedung yang dibangun pada lokasi Kota Banda
Aceh dan Kabupaten Aceh Barat Daya di Provinsi Aceh. Lokasi terletak pada Zona 15 sesuai peta zonasi gempa
SNI 1726:2012. Seluruh bangunan merupakan bangunan gedung 2 lantai. Berdasarkan fungsi bangunan, kajian
dilakukan pada 3 bangunan gedung pendidikan (BGP), 3 bangunan gedung hunian (BGH), dan 4 bangunan gedung
perkantoran (BGK). Objek yang ditinjau merupakan bangunan yang dibangun dalam masa waktu tahun 2012
sampai 2015. Deskripsi bangunan yang dianalisis ditunjukkan dalam Tabel 2.

Penggunaan material beton dan tulangan pada konstruksi pelat lantai


Perhitungan kuantitas beton dan tulangan pelat lantai dilakukan berdasarkan gambar bestek yaitu gambar konstruksi
pelat lantai beserta detail konstruksi. Besarnya kuantitas beton dianalisis berdasarkan informasi ketebalan pelat dan
luasan lantai. Volume tulangan dianalisis berdasarkan panjang tulangan sesuai bentuk terpasang. Total panjang
tulangan tersebut kemudian dikonversikan dalam ukuran berat tulangan (kg). Pada seluruh kasus yang dianalisis,
tulangan yang digunakan merupakan besi polos dengan diameter 10 mm. Rekapitulasi hasil analisis volume beton
dan tulangan untuk setiap objek berdasarkan zona gempa dapat dilihat pada Tabel 3.

MK - 5
Tabel 2. Deskripsi Bangunan Gedung yang Ditinjau
No Nama/Kode Lokasi Tahun Fungsi Tebal Pelat Luas Lantai
Bangunan Pembangunan Bangunan (cm) (m2)
1 BGH 15-1 Banda Aceh 2015 Hunian 12 164,50
2 BGH 15-2 Banda Aceh 2015 Hunian 12 384,00
3 BGH 15-3 Banda Aceh 2013 Hunian 12 380,80
4 BGK 15-1 Banda Aceh 2015 Kantor 12 162,00
5 BGK 15-2 Banda Aceh 2014 Kantor 12 288,00
6 BGK 15-3 Aceh Barat Daya 2014 Kantor 12 304,50
7 BGK 15-4 Banda Aceh 2015 Kantor 12 507,50
8 BGP 15-1 Banda Aceh 2015 Pendidikan 12 256,50
9 BGP 15-2 Aceh Barat Daya 2015 Pendidikan 12 148,00
10 BGP 15-3 Banda Aceh 2012 Pendidikan 12 122,50
Rerata 271,83
Max 507,50
Min 122,50
Std Deviasi 125,95

Tabel 3. Hasil Analisis Penggunaan Tulangan dan Beton Pada Konstruksi Pelat Lantai

Jumlah Penggunaan Material


Tebal Pelat Luas Lantai
No Nama Bangunan Fungsi Bangunan Beton Tulangan
(cm) (m2)
(m3) (kg)
1 BGH 15-1 Hunian 12 164,50 19,74 3.577,16
2 BGH 15-2 Hunian 12 384,00 46,08 8.630,10
3 BGH 15-3 Hunian 12 380,80 45,70 8.428,91
4 BGK 15-1 Kantor 12 162,00 19,44 3.268,14
5 BGK 15-2 Kantor 12 288,00 34,56 6.170,27
6 BGK 15-3 Kantor 12 304,50 36,54 5.573,25
7 BGK 15-4 Kantor 12 507,50 60,90 12.424,67
8 BGP 15-1 Pendidikan 12 256,50 30,78 7.080,13
9 BGP 15-2 Pendidikan 12 148,00 17,76 3.494,13
10 BGP 15-3 Pendidikan 12 122,50 14,70 2.811,13
Rasio kebutuhan tulangan per m3 beton pada konstruksi pelat lantai
Rasio tulangan dianalisis dengan membandingkan kuantitas tulangan dan beton yang digunakan dalam sebuah
bangunan. Nilai rasio tersebut memberikan indikasi besaran kebutuhan tulangan untuk tiap meter kubik beton dari
tiap konstruksi beton bertulang. Dari hasil analisis, diketahui bahwa rasio penggunaan tulangan untuk Zona 15
berada dalam rentang 152,52 kg/m3 - 230,02 kg/m3 beton dan rerata 187,41 kg/m3 beton. Nilai rasio untuk seluruh
konstruski pelat lantai seluruhnya lebih besar dari nilai kebutuhan tulangan sebesar 150 kg/m3 beton sebagaimana
tersebut dalam SNI 7394:2008 pada Analisis No. 6.32. Hasil analisis rasio tulangan untuk seluruh objek kajian
ditunjukkan dalam Tabel 4.
Bila dikaji berdasarkan fungsi bangunan, rasio tulangan terbesar terlihat pada bangunan dengan fungsi
pendidikan, kemudian diikuti oleh fungsi hunian dan perkantoran. Nilai rerata untuk ketiga fungsi tersebut
masing-masing adalah 206,00 kg/m3, 184,31 kg/m3, dan 175,80 kg/m3. Dengan mempertimbangkan standar
deviasi yang muncul pada ketiga fungsi bangunan, terlihat bahwa rasio tulangan untuk konstruksi pelat lantai
tidak berbeda secara signifikan. Bila dibandingkan dengan kebutuhan tulangan seperti tersebut dalam SNI
7394:2008 pada Analisis No. 6.32, nilai rasio tulangan aktual seluruhnya bernilai lebih besar. Deskripsi hasil
analisis rasio tulangan untuk tiga fungsi bangunan ditunjukkan dalam Tabel 5.

MK - 6
Tabel 4. Rasio Kebutuhan Tulangan Konstruksi Pelat Lantai
No Nama/Kode Fungsi Jumlah Penggunaan Rasio
Bangunan Bangunan Material Tulangan
Beton Tulangan (kg/m3)
(m3) (kg)
1 BGH 15-1 Hunian 19,74 3.577,16 181,21
2 BGH 15-2 Hunian 46,08 8.630,10 187,29
3 BGH 15-3 Hunian 45,70 8.428,91 184,44
4 BGK 15-1 Kantor 19,44 3.268,14 168,11
5 BGK 15-2 Kantor 34,56 6.170,27 178,54
6 BGK 15-3 Kantor 36,54 5.573,25 152,52
7 BGK 15-4 Kantor 60,90 12.424,67 204,02
8 BGP 15-1 Pendidikan 30,78 7.080,13 230,02
9 BGP 15-2 Pendidikan 17,76 3.494,13 196,74
10 BGP 15-3 Pendidikan 14,70 2.811,13 191,23
Rerata 187,41
Max 230,02
Min 152,52
Std Deviasi 20,84

Tabel 5. Rasio Kebutuhan Tulangan Konstruksi Pelat Lantai Berdasarkan Fungsi Bangunan
No Nama/Kode Fungsi Jumlah Rasio Tulangan
Bangunan Bangunan Penggunaan Material (kg/m3)
Beton Tulangan Rerata Standar
(m3) (kg) Deviasi
1 BGH 15-1 Hunian 19,74 3.577,16
2 BGH 15-2 Hunian 46,08 8.630,10 184,31 3,04
3 BGH 15-3 Hunian 45,70 8.428,91
4 BGK 15-1 Kantor 19,44 3.268,14
5 BGK 15-2 Kantor 34,56 6.170,27
175,80 21,64
6 BGK 15-3 Kantor 36,54 5.573,25
7 BGK 15-4 Kantor 60,90 12.424,67
8 BGP 15-1 Pendidikan 30,78 7.080,13
9 BGP 15-2 Pendidikan 17,76 3.494,13 206,00 20,99
10 BGP 15-3 Pendidikan 14,70 2.811,13

Perbadingan yang dilakukan secara keseluruhan dan berdasarkan fungsi bangunan mengindikasikan penggunaan
tulangan yang lebih besar dari nilai tersebut pada SNI 7394:2008 (150 kg/m3 beton konstruksi pelat lantai).
Besarnya deviasi yang muncul pada tiap bangunan bervariasi mulai dari yang terendah 2,52 kg/m3 (1,68%) sampai
dengan yang tertinggi 80,02 kg/m3 (53,35%), dan rerata 37,41 kg/m3 (24,94%). Bila dikaji berdasarkan fungsi
bangunan, deviasi rerata terendah terlihat pada fungsi bangunan perkantoran (25,80 kg/m3 atau 17,20%) dan
tertinggi pada fungsi bangunan pendidikan (56,00 kg/m3 atau 37,33%). Deviasi rasio tulangan secara keseluruhan
dan berdasarakan fungsi bangunan ditunjukkan dalam Tabel 6.

Aplikasi AHSP berdasarkan SNI 7394:2008 untuk konstruksi pelat lantai pada bangunan gedung di Zona 15
berpotensi menghasilkan estimasi biaya yang tidak akurat. Kondisi ini terlihat dari besarnya jumlah material
tulangan yang belum terpenuhi sesuai hasil perencaan pada zonasi gempa tersebut. Indeks kebutuhan material
tulangan konstruksi pelat lantai untuk Zona 15 ternyata lebih besar dari 150 kg/m3 beton. Penggunaan AHSP
tersebut dapat berdampak pada jumlah harga satuan yang tidak mencukupi untuk bagi pelaksanaan konstruksi. Bagi
kontraktor, kondisi ini tentu sangat merugikan dan dapat berpengaruh menghambat proses penyelesaian pekerjaan.
Bagi konsultan perencana, penggunaan AHSP tersebut dapat berpengaruh pada akurasi nilai engineer estimate (EE)
yang akan dilaporkan pada pemilik proyek.

MK - 7
Tabel 6. Perbandingan Rasio Kebutuhan Tulangan dan SNI 7394:2008
No Nama/Kode Fungsi Rasio Tulangan Deviasi Deviasi Rerata
Bangunan Bangunan per m3 Beton Berdasarkan Fungsi
Bangunan
Aktual SNI kg/m3 % kg/m3 %
7394:2008
1 BGH 15-1 181,21 150 31,21 20,81
2 BGH 15-2 Hunian 187,29 150 37,29 24,86 34,31 22,88
3 BGH 15-3 184,44 150 34,44 22,96
4 BGK 15-1 168,11 150 18,11 12,08
5 BGK 15-2 178,54 150 28,54 19,03
Kantor 25,80 17,20
6 BGK 15-3 152,52 150 2,52 1,68
7 BGK 15-4 204,02 150 54,02 36,01
8 BGP 15-1 230,02 150 80,02 53,35
9 BGP 15-2 Pendidikan 196,74 150 46,74 31,16 56,00 37,33
10 BGP 15-3 191,23 150 41,23 27,49
Rerata 187,41 37,41 24,94 38,70 25,80
Max 230,02 80,02 53,35 56,00 37,33
Min 152,52 2,52 1,68 25,80 17,20
Std Deviasi 20,84 20,84 13,89 15,57 10,38

5. KESIMPULAN
Hasil analisis dan diskusi yang telah dibuat pada bagian terdahulu menunjukkan bahwa rasio kabutuhan tulangan
aktual bervariasi menurut bangunan dan fungsinya. Nilai rasio kebutuhan tulangan tersebut seluruhnya lebih besar
dari nilai standar yang ditetapkan dalam SNI 7394:2008 Analisis No. 6.32 untuk konstruksi pelat lantai beton
bertulang. Potensi deviasi yang mungkin timbul adalah rata-rata 37,41 kg/m3 atau 24,94% dari kebutuhan aktual
pada Zona 15.
Penelitian lebih lanjut untuk aplikasi standar tersebut masih diperlukan agar tidak menimbulkan kerugian bagi
pihak-pihak yang berkepentingan, baik pemilik proyek, kontraktor, maupun konsultan. Potensi ketidak-akuratan
estimasi dapat muncul mengingat belum tersedianya informasi yang memadai terhadap pengggunaan AHSP pada
zonasi gempa yang lain (zona dengan respon sprektra percepatan gempa kurang dari 1,2g). Penelitian ini baru
mampu mengindikasikan bahwa aplikasi standard AHSP pada Zona 15 atau zona dengan respon sprektra percepatan
gempa lebih besar dari 1,2g.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini terlaksana atas dukungan pendanaan dari Hibah Penelitian Produk Terapan Tahun Anggaran 2017 No.
55/UN11.2/PP/SP3/2017, pada Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi. Penulis menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada seluruh pihak yang telah memberi
kontribusi dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Sdr. Rita Safitri dan tim peneliti
lainnya yang berkontribusi mulai dari pengumpulan data sampai dengan selesainya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ahadi, 2013, Macam-macam Metode Struktur Pelat Lantai Gedung, http://www.ilmusipil.com/macam-macam-
metode-struktur-pelat-lantai-gedung, tersedia pada 3 November 2013.
Bird, P, 2003, ‘An Update Digital Model of Pelate Boundaries’, Geochemistry, Geophysics, Geosystems,
Vol. 4, No. 3, pp. 1-52.
Ching, FDK, 2014, Building Construction Illustrated, 5th Edition, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey.
Elliott, F, 2012, Dictionary of Construction Terms, Informa UK Ltd., London.
Milsom, J, Masson, D, Nichols, G, Sikumbang, N, Dwiyanto, B, Parson, L, and Kallagre, H, 1992, ‘The Manokwari
Trought and The Western End of The New Guinea Trench’, Tectonic, Vol. 11, No. 1, pp. 145-153.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan
Gedung Negara.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman PU, 2010, Peta Zonasi Gempa Indonesia, tersedia pada
http://puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain_spektra_indonesia_2011/, Tanggal 10 Juli 2017.

MK - 8
SNI 1726:2012 tentang Tata cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung dan Non Gedung.
SNI 7394:2008 tentang Tata cara Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Beton untuk Konstruksi Bangunan Gedung
dan Perumahan.

MK - 9
MK - 10
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

PERCEPATAN PEKERJAAN KONSTRUKSI DENGAN METODE PERTUKARAN


WAKTU DAN BIAYA (STUDI KASUS: PROYEK PEMBANGUNAN GEDUNG
SEKOLAH SMP ISLAM FARADISA TANGGERANG SELATAN)

Mardiaman1, Iwan Bahtiar2, dan Kristina Sembiring3

1
Jurusan Teknik Sipil Universitas Tama Jagakarsa Jalan Letjen TB Simatupang No. 152 Jakarta
Email:mardi240967@gmail.com
2
Juurusan Teknik Sipil Universitas Tama Jagakarsa Jalan Letjen TB Simatupang No. 152 Jakarta
Email: iwanbahtiar1986@gmail.com
3
Jurusan Teknik Sipil Universitas Tama Jagakarsa Jalan Letjen TB Simatupang No. 152 Jakarta
Email: kristinasembiring70@gmail.com

ABSTRAK
Percepatan waktu dalam lingkup proyek dilaksanakan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat kritis,
karena kegiatan-kegiatan kritis memiliki hubungan saling bergantung. Percepatan durasi waktu
dapat dilakukan dengan cara menambah jam kerja dan jumlah tenaga kerja. Percepatan dilakukan
dengan metode pertukaran waktu dan biaya (time cost trade off), dimana jumlah upah kerja akan
bertambah karena ada tambahan waktu kerja sesuai keputusan menteri tenaga kerja No. 102/
MEN/VI/2004. Studi kasus dilakukan pada Proyek Pembangunan Gedung Sekolah SMP Islam
Faradisa Tanggerang Selatan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan biaya karena
dilakukan perpanjangan waktu dan penambahan jumlah tenaga kerja pada kegiatan-kegiatan yang
bersifat kritis. Data terkait dikumpulkan secara langsung dari kontraktor. Dari hasil analisis data
diperoleh bahwa biaya optimum untuk penambahan waktu kerja selama satu jam, akan
menyebabkan penambahan biaya sebesar Rp 15.818.250 dan pengurangan waktu selama 49 hari.
Sementara itu, untuk penambahan tenaga kerja didapat penambahan biaya sebesar Rp 33.985.000
dan pengurangan waktu selama 49 hari. Penelitian ini berkontribusi bagi kontraktor karena dapat
diketahui persentase pengurangan biaya dan waktu pelaksanaan konstruksi.
Kata kunci : biaya, waktu, percepatan, pertukaran waktu dan biaya, lintasan kritis.

1. PENDAHULUAN
Pelaksanaan proyek konstruksi dapat diperlambat dan dipercepat. Beberapa faktor penyebab terjadinya
keterlambatan: kondisi lokasi buruk, perubahan desain, cuaca, kurang pekerja, material, peralatan, salah spesifikasi,
dan pemilik proyek kurang terlibat. Keterlambatan pekerjaan konstruksi dapat dipercepat, namun harus diperhatikan
faktor biaya, apakah menambah biaya rencana atau tidak. Pertambahan biaya karena percepatan diharapkan
seminimum mungkin namun mutu tetap terjaga. Percepatan dilakukan dengan menambah jam kerja, peralatan yang
lebih produktif, jumlah pekerja, menggunakan material yang lebih cepat pemasangannya, dan metode konstruksi
yang lebih cepat. Penambahan jam kerja mempengaruhi produktivitas pekerja (Gartiwi, 1999).
Dengan adanya keterbatasan jumlah tenaga kerja, maka dapat digunakan alternatif menambah jam kerja. Percepatan
proyek dilakukan pada kegiatan yang bersifat kritis, sehingga perlu ditentukan lintasan kritisnya (Wiratmani &
Prawitasari, 2013). Dalam percepatan akan ada hubungan antara pengurangan waktu pelaksanaan kegiatan kritis dan
pertambahan biaya yang terjadi. Istilah ini disebut dengan analisis pertukaran waktu dan biaya (time cost trade off
analysis). Penelitian relevan telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu seperti (Palma, Putra, Arief
Andriansyah, dan Pudjianto, 2014); (Lilik, Rochani, dan Supomo, 2012); (Ariany, 2010). Pembangunan sekolah
SMP Faradisa yang menjadi objek penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2015 sampai selesai dengan durasi
waktu 58 minggu (406 hari) dengan anggaran biaya Rp 14.310.796.558,- (empat belas milyar tiga ratus sepuluh juta
tujuh ratus sembilan puluh enam ribu lima ratus lima puluh delapan rupiah). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
perbandingan biaya karena dilakukannya pertambahan waktu kerja dan penambahan tenaga kerja.

2. KAJIAN TEORI
Percepatan pada suatu kegiatan dalam lingkup proyek dapat dilakukan dengan cara yaitu: 1) menambah jumlah
tenaga kerja; 2) menambah jam kerja (Darmayudha dan Armaeni, 2015), 3) menggunakan peralatan yang baik dan
4) mengubah metode konstruksi. Menambah tenaga kerja perlu memperhatikan yaitu: produktivitas kerja,
keterbatasan sumber daya, jumlah tenaga kerja di lapangan. Penambahan jam kerja akan menambah besar biaya

MK - 11
tenaga kerja karena upah kerja akan berbeda setelah jam kerja normal. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.102/MEN/VI/2004 (Anonim, 2004) bahwa upah karena
dilakukannya penambahan jam kerja akan bervariasi. Penambahan waktu kerja satu jam pertama, maka besar upah
menjadi 1,5 kali upah waktu normal dan jam kerja ke dua menjadi 2 kali upah per jam waktu normal. Menurut
Keputusan Gubernur Provinsi Banten No. 561/Kep.553-Huk/2016 tanggal 23 November 2016 tentang penetapan
upah minimum kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2017 (Keputusan Gubernur, 2016) ditetapkan seperti pada
tabel 1:
Tabel 1. Upah Minimum Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2017
No. Kab/Kota Biaya
1 Kota Serang Rp. 2.866.595,31
2 Kabupaten Lebak Rp. 2.127.112,50
3 Kabupaten Pandeglang Rp. 2.164.979,43
4 Kabupaten Tangerang Rp. 3.270.936,13
5 Kota Cilegon Rp. 3.331.997,62
6 Kabupaten Serang Rp. 3.258.866,25
7 Kota Tangerang Rp. 3.295.075,88
8 Kota Tangerang Selatan Rp. 3.270.936,13
Sumber : Dinakertrans Prov Banten 2017

Salah satu strategi dalam mempercepat penyelesaian proyek konstruksi dilakukan dengan menambah jam kerja
(lembur) pekerja. Tenaga kerja langsung mempengaruhi program crashing (Sirait, 2010). Penambahan jam kerja
sering dilakukan karena dapat memberdayakan sumber daya yang sudah ada di lapangan. Lama waktu kerja normal
adalah 7 jam (jam 08.00 - 16.00, satu jam istirahat), jam lembur dilakukan setelah jam kerja normal. Penambahan
jam kerja dilakukan dengan penambahan 1 jam, 2 jam, 3 jam, dan 4 jam sesuai lama waktu yang diinginkan.
Adapun rencana kerja yang akan dilakukan dalam mempercepat durasi sebuah pekerjaan dengan metode jam kerja
lembur adalah:
1. Waktu kerja normal adalah 8 jam (08.00–17.00), sedangkan lembur dilakukan setelah waktu kerja normal.
2. Besar upah pekerja untuk kerja lembur menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 102/MEN/VI/2004 pasal
11 dihitung sebagai berikut:
a. Untuk jam kerja lembur pertama, harus dibayar upah lembur sebesar 1,5 (satu setengah) kali upah satu jam.
b. Untuk etiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah lembur sebesar 2 (dua) kali upah satu jam.

3. METODE PENELITIAN
Data lingkup kegiatan proyek, upah kerja, gambar jaringan dan data terkait dikumpulkan dari kontraktor.
Selanjutnya data terkait diolah untuk mendapatkan perbandingan biaya karena dilakukan perpanjangan waktu dan
penambahan jumlah tenaga kerja pada kegiatan-kegiatan yang bersifat kritis.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Perhitungan waktu penyelesaian semua kegiatan dalam proyek diperoleh dengan membuat jaringan (networking)
proyek dan menentukan lintasan kritisnya dengan hitungan maju dan mundur seperti digambarkan dalam gambar 1
dan 2.

Gambar 1. Diagram CPM pada kegiatan proyek gedung SMP Islam Faradisa Tanggerang Selatan
Sumber : Pengolahan data.

MK - 12
Gambar 2. Diagram CPM pada kegiatan proyek Gedung SMP Islam Faradisa Tanggerang Selatan.
Berdasarkan gambar 1 dan 2 didapat daftar pekerjaan kritis dalam lintasan kritis seperti pada tabel 2.

Tabel 2. Kegiatan-kegiatan Kritis


No Kode Uraian Pekerjaan Durasi
1 A Pekerjaan Persiapan 32
2 B1 Struktur Dasar 106
3 B2 Struktur Lantai 1 80
4 B3 Struktur Lantai 2 80
5 D1 Instalasi Listrik Lantai Dasar 52
6 C1 Sanitasi dan Arsitektur Lantai Dasar 79
7 B4 Struktur Lantai 3 81
8 D2 Instalasi Listrik Lantai 1 45
9 C2 Sanitasi dan Arsitektur Lantai 1 65
10 B5 Struktur Lantai 4 dan Atap 45
11 D3 Instalasi Listrik Lantai 2 52
12 C3 Sanitasi dan Arsitektur Lantai 2 65
13 D4 Instalasi Listrik Lantai 3 45
14 C4 Sanitasi dan Arsitektur Lantai 3 65

Dalam pelaksanaan kegiatan ada 2 biaya yang dikeluarkan adalah biaya langsung dan tidak langsung. Adapun
rincian biaya langsung pada setiap jenis pekerjaan dapat dilihat dalam tabel 3.

MK - 13
Tabel 3. Biaya Langsung
Kode Jenis Pekerjaan Biaya (Rp)
A Pekerjaan persiapan 19.045.051,00
B Pekerjaan struktur
I Lantai dasar 872.461.363,76
II Lantai 1 888.420.688,94
III Lantai 2 888.420.688,94
IV Lantai 3 888.420.688,94
V Lantai 4 + Atap 219.002.092,20
C Pekerjaan arsitektur dan sanitasi
I Lantai dasar 722.730.518,18
II Lantai 1 585.434.105,23
III Lantai 2 581.148.851,35
IV Lantai 3 581.148.851,35
V Pekerjaan lain-lain 617.141.769,30
D Pekerjaan listrik
I Lantai dasar 44.418.159,00
II Lantai 1 36.394.714,00
III Lantai 2 30.204.962,00
IV Lantai 3 39.704.962,00
Jumlah (RC) dan overhead 10% 7.715.507.212,79

Adapun rincian biaya tidak langsung dapat dilihat pada tabel 4


Tabel 4. Biaya Tidak Langsung
Jenis Biaya Pekerja Gaji/bulan (Rp) Biaya (RP)
1.Gaji Staff Proyek
- Proyek Manager 1 Orang 12.000.000 12.000.000
- Site Manager 1 Orang 8.000.000 8.000.000
- ME 1 Orang 3.500.000 3.500.000
- Pelaksana 2 Orang 4.000.000 8.000.000
- Administrasi 1 Orang 3.100.000 3.100.000
- Logistik 1 Orang 3.100.000 3.100.000
- Drafter 1 Orang 3.500.000 3.500.000
- Satpam 2 Orang 2.800.000 5.600.000
2. Fasilitas
- Listrik 5.000.000
- Air 2.000.000
Total 53.800.000

Penambahan jam kerja memakai 8 jam kerja normal dan 1 jam istrahat (08.00-17.00), sedangkan kerja lembur
dilakukan setelah waktu kerja normal (18.00-22.00). Menurut keputusan menteri tenaga kerja No.102/MEN/VI/2004
pasal 3, pasal 7 dan pasal 11 standar upah untuk lembur:
1. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 3 (jam) dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam
dalam 1 (satu) minggu.

MK - 14
2. Memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama 3
jam atau lebih.
3. Untuk kerja lembur pertama harus dibayar sebesar 1,5 kali upah/jam.
4. Untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar sebesar 2 (dua) kali upah per jam.

Tabel 5. Upah lembur tenaga kerja


No Jenis Pekerjaan Upah kerja/hari (Rp) Upah kerja/jam (Rp)
1 Mandor 130.000,00 16.250,00
2 Kepala tukang 120.000,00 15.000,00
3 Tukang 105.000,00 13.125,00
4 Pekerja 85.000,00 10.625,00
5 Operator alat berat 130.000,00 16.250,00
6 Pembantu operator 95.000,00 11.875,00
7 Supir truk 95.000,00 11.875,00
8 Kernet truk 85.000,00 10.625,00
9Security 85.000,00 10.625,00

Produktivitas kerja lembur diperhitungkan sebesar 75% dari produktivitas kerja normal. Untuk kegiatan-kegiatan
kritis yang dipercepat dihitung berdasarkan data biaya langsung pekerjaan sehingga diperoleh pertambahan biaya
(cost slope) pekerjaan untuk pertambahan makanan, minuman dan buah diasumsikan sebesar Rp, 25.000/pekerja,
perhitungannya sebagai berikut:
Pekerjaan Struktur Lantai dasar
Volume = 81.80 m³
Durasi normal (B1) = 106 hari x 8 jam = 848 jam
Crasing = 14 hari
Durasi percepatan = 106 – 14 = 92 hari x 8 jam = 736 jam
Produktivitas harian normal = = = 0,096 m³/jam

Produktifitas harian dipercepat = = = 0,111 m³/jam

Waktu lembur per hari = x 8 jam x 75% = 0,91 jam/hari = 1 jam/hari


Tambahan waktu lembur = 1 jam/hari x 14 hari =14 jam

Biaya lembur perjam :


Tukang = Rp.13.125 x 1,5 = Rp.19.687,5
Kepala tukang = Rp.15.000 x 1,5 = Rp.22.500
Mandor = Rp.16.250 x 1,5 = Rp.24.375
Pekerja = Rp.10.625 x 1,5 = Rp.15.375
Operator alat berat = RP.16.250 x 1,5 = Rp.24.375
Pembantu operator = Rp.11.875 x 1,5 = Rp.17.812,5
Supir truk = Rp.11.875 x 1,5 = Rp.17.812,5
Kernet truk = Rp.10.625 x 1,5 = Rp.15.375
Security malam = Rp.10.625 x 1,5 = Rp.15.375
Upah Lembur :
Tukang = 2 x 14 jam x Rp.19.687,5 = Rp.551.250
Kepala tukang = 1 x 14 jam x Rp.22.500 = Rp.315.000
Mandor = 1 x 14 jam x Rp.24.375 = Rp.341.250
Pekerja = 6 x 14 jam x Rp.15.375 = Rp.1.291.500
Operator alat berat = 1 x 14 jam x Rp.24.375 = Rp.341.250
Pembantu operator = 1 x 14 jam x Rp.17.812,5 = Rp.249.375
Supir truk = 1 x 14 jam x Rp.17.812,5 = Rp.249.375
Kernet truk = 1 x 14 jam x Rp.15.375 = Rp.215.250
Security malam = 1 x 14 jam x Rp.15.375 = Rp.215.250
Total upah lembur = Rp.3.769.500

MK - 15
Total biaya tambahan makanan, minuman dan buah = Rp.25.000 x Jumlah pekerja. Maka total biaya lembur = Rp,
3.769.500 + (Rp.25.000 x 15) = Rp. 4.144.500
Biaya normal = Rp, 33.390.000,00
Biaya percepatan = Rp, 33.390.000,00 + Rp 4.144.500 = Rp, 37.159.500,00
Slope biaya per hari =
=
= Rp, 45.048,913 /hari
Slope biaya crasing = Rp, 45.048,913 x 14 hari = Rp,630.684,782,-
Maka perhitungan upah lembur dan slope biaya seperti tabel 6 dan 7

Tabel 6. Upah Biaya Lembur


No Pekerjaan Upah Lembur (Rp)
1 Struktur dasar 4.144.500
2 Struktur lantai 1 2.259.750
3 Struktur lantai 2 2.259.750
4 Sanitasi dan arsitektur lantai dasar 1.990.500
5 Sanitasi dan arsitektur lantai 1 1.721.250
6 Sanitasi dan arsitektur lantai 2 1.721.250
7 Sanitasi dan arsitekturlLantai 3 1.721.250

Tabel 7. Slope Biaya Pekerjaan Akibat Percepatan dengan Jam Lembur


Normal Percepatan Slope
Kode Crasing
Hari Biaya (Rp) Hari Biaya (Rp) Biaya (Rp)
B1 106 33.390.000 14 92 37.159.500 4.144.500
B2 80 14.400.000 7 73 16.284.750 2.259.750
B3 80 15.600.000 7 73 17.484.750 2.259.750
C1 79 58.302.000 6 73 59.917.500 1.990.500
C2 65 12.675.000 5 60 14.021.250 1.721.250
C3 65 9.262.500,00 5 60 10.608.750 1.721.250
C4 65 9.262.500 5 60 10.608.750 1.721.250

Perhitungan biaya langsung, biaya tidak langsung dan biaya total akibatkan pertambahan jam kerja:
Biaya langsung = Rp,7.014.097.466,17 + Rp,4.144.500 = Rp,7.018.241.966,17
Biaya tidak langsung = (Rp, 7.280.931.198 : 406) x 392 = Rp. 7.029.865.360
Biaya total = Rp,7.280.931.198+Rp,7.029.865.360 = Rp. 14.310.796.558
Dari pengolahan data pada pekerjaan lintasan kritis diperoleh hasil seperti pada table 8:

Tabel 8. Perhitungan Biaya Langsung Jam Lembur


N0 Jenis Pekerjaan Durasi Biaya (Rp)
1 Pekerjaan Struktur Lantai Dasar 392 7.017.866.966,17
2 Pekerjaan Struktur Lantai 1 399 7.015.982.216.17
3 Pekerjaan Struktur Lantai 2 399 7.015.982.216.17
4 Pekerjaan Sanitasi dan Arsitektur Lantai Dasar 400 7.015.712.966,17
5 Pekerjaan Sanitasi dan Arsitektur Lantai 1 401 7.015.443.716,17
6 Pekerjaan Sanitasi dan Arsitektur Lantai 2 401 7.015.443.716,17
7 Pekerjaan Sanitasi dan Arsitektur Lantai 3 401 7.015.443.716,17
Selanjutnya perhitungan biaya tidak langsung akibat jam lembur yang terdapat pada pekerjaan yang ada dalam jalur
lintasan kritis pada tabel 9.

MK - 16
Tabel 9. Perhitungan Biaya Tidak Langsung dengan Jam Lembur
Durasi Biaya (Rp)
No Jenis Pekerjaan
406 7.029.985.360,00
1 Pekerjaan struktur lantai dasar 392 6.787.456.209,66
2 Pekerjaan struktur lantai 1 399 6.908.660.784,83
3 Pekerjaan struktur lantai 2 399 6.908.660.784,83
4 Pekerjaan sanitasi dan arsitektur Lt dasar 400 6.925.975.724,14
5 Pekerjaan sanitasi dan arsitektur Lt 1 401 6.943.290.663,45
6 Pekerjaan sanitasi dan arsitektur Lt 2 401 6.943.290.663,45
7 Pekerjaan sanitasi dan arsitektur Lt 3 401 6.943.290.663,45

Tabel 10. Total Biaya Proyek akibat Jam Lembur


No Durasi Biaya Langsung (Rp) Biaya Tidak Langsung(Rp) Total Biaya(Rp)
1 392 Hari 7.017.866.966 6.787.456.210 13.805.323.176
2 399 Hari 7.015.982.216 6.908.660.785 13.924.643.001
3 399 Hari 7.025.982.216 6.908.660.785 13.924.643.001
4 400 Hari 7.015.712.966 6.925.975.724 13.941.688.690
5 401 Hari 7.015.443.716 6.943.290.663 13.958.734.380
6 401 Hari 7.015.443.716 6.943.290.663 13.958.734.380
7 401 Hari 7.015.443.416 6.943.290.663 13.958.734.380

Berdasarkan tabel 11 diperoleh total biaya proyek dengan durasi atau umur proyek yang optimal yakni pada
umur proyek 357 hari kerja dengan total biaya proyek yang optimum sebesar Rp, 8.034.341.024 dengan
persentase efisiensi waktu dan biaya proyek yaitu:
1. Efisiensi waktu proyek
406 HK – 49 HK = 357 hari atau x 100% = 12,069 %
2.Efisiensi biaya proyek Rp, 3.038.307.000 - Rp, 3.034.341.024 = Rp 3.965.976
atau x 100% = 0,131%

Untuk perhitungan penambahan pekerja dilakukan pada kegiatan-kegiatan kritis yang akan dipercepat dan dihitung
berdasarkan data biaya langsung pekerjaan sehingga diperoleh pertambahan biaya (cost slope) pekerjaan. Adapun
salah satu contoh perhitungannya yaitu:
Pekekerjaan Struktur Dasar
Volume = 81,80 m³
Durasi normal = 106 hari
Kapasitas tenaga kerja per 1 m³ adalah:
Pekerja 3,80 org/hr = Rp, 85.000,00
Mandor 0,30 org/hr = Rp, 130.000,00
Tukang 1,80 org/hr = Rp, 105.000,00
Kepala tukang 0,10 org/hr = Rp, 120.000,00
Kapasitas pekerja = = 0,2632 m³/orang.hari
Jumlah pekerja = = 2.93 dibulatkan 3 orang
Jadi upah pekerja = 3 orang x Rp, 85.000,00 = Rp,255.000,00/hari
Kapasitas mandor = = 0,0789 m³/orang.hari
Jumlah mandor = 0,0789 x 3 orang = 0,24 = 1 orang

Jadi upah mandor = 1 orang x Rp, 130.000,00 = Rp, 130.000/hari.


Kapasitas tukang = = 0,556 m³/orang.hari
Jumlah tukang = = 1,39 =2 orang

MK - 17
Jadi upah tukang = 2 orang x Rp, 105.000,00 = Rp, 210.000/hari
Kapasitas kepala tukang = = 0,056 m³/orang.hari
Jumlah kepala tukang = 0,056 x 2 orang = 0,11 = 1 orang
Jadi upah kepala tukang = 1 orang x Rp,120.000,00 = Rp,120.000/hari
Jadi upah tenaga kerja selama 106 hari durasi normal pekerjaan pada kolom utama 40/40 lantai dasar: ( Rp,255.000
+ Rp, 130.000 + Rp, 210.000 + Rp, 120.000 ) x 106 hari = Rp,75.790.000
Pekerjaan ini akan dipercepat dengan durasi percepatan 14 hari, maka perhitungan yang akan diperoleh yaitu:
Kondisi percepatan
Durasi = 92 hari
Volume = 81,80 m³
Perhitungan biaya tenaga kerja adalah :
Kapasitas pekerja = = 0,2632 m³/orang.hari
Jumlah pekerja = = 3,379 = 4 orang
Jadi upah pekerja = 4 orang x Rp, 85.000 = Rp, 340.000 perhari
Kapasitas mandor = = 0,0789 m³/orang.hari
Jumlah mandor = 0,0789 x 9 orang = 0,710 dibulatkan 1 orang
Jadi upah mandor = 1 orang x Rp, 130.000,00 = Rp, 130.000,00 perhari
Kapasitas tukang = = 0,556 m³/orang.hari
Jumlah tukang = = 1,599 dibulatkan 2 orang
Jadi upah tukang = 2 orang x Rp, 105.000 = Rp, 210.000/hari
Kapasitas kepala tukang = = 0,056 m³/orang.hari
Jumlah kepala tukang = 0,056 x 2 orang = 0,112 dibulatkan 1 orang
Jadi upah kepala tukang = 1 orang x Rp,120.000 = Rp,120.000/hari
Jadi upah tenaga kerja selama 92 hari durasi normal pekerjaan pada kolom utama 40/40 lantai 2: (Rp,340.000 + Rp,
130.000 + Rp, 210.000 + Rp, 120.000) x 92 hari = Rp, 73.600.000,00
Slope biaya akibat percepatan pekerjaan adalah :
Slope biaya =
= = Rp, 156.428,57 perhari
Slope biaya percepatan 14 hari = Rp, 156.428,57 x 14 = Rp,2.190.000
Untuk selanjutnya, perhitungan slope biaya pekerjaan disajikan dalam tabel 11:

Tabel 11. Slope Biaya Pekerjaan Akibat Penambahan Pekerja

Kode Normal Percepatan Slope


Hari Biaya Rp) Crasing Hari Biaya (Rp) Biaya (Rp)
B1 106 75.790.000 14 92 77.980.000 2.190.000
B2 80 86.000.000 7 73 93.525.000 7.525.000
B3 80 86.000.000 7 73 93.525.000 7.525.000
C1 79 128.375.000 6 73 131.920.000 3.545.000
C2 65 123.500.000 5 60 127.900.000 4.400.000
C3 65 123.500.000 5 60 127.900.000 4.400.000
C4 65 123.500.000 5 60 127.900.000 4.400.000

Berdasarkan tabel 12 diperoleh total durasi percepatan proyek selama 49 hari dengan slope biaya sebesar Rp.
33.985.000. Setelah diperoleh pertambahan biaya (cost slope) masing-masing pekerjaan, selanjutnya dilakukan
perhitungan kenaikan biaya langsung pekerjaan. Untuk perhitungan biaya langsung dilakukan dengan cara:
Biaya langsung = Rp 7.014.097.466,17 + Rp 2.190.000 = Rp 7.016.287.466,17.

MK - 18
Tabel 12. Perhitungan Biaya Langsung Penambahan Pekerja
No Jenis Pekerjaan Durasi Biaya (Rp)
406 7.014.097.466,17
1 Pekerjaan struktur lantai dasar 392 7.016.287.466,17
2 Pekerjaan struktur lantai 1 399 7.021.622.466,17
3 Pekerjaan struktur lantai 2 399 7.021.622.466,17
4 Pekerjaan sanitasi & arsitektur lantai dasar 400 7.017.642.466,17
5 Pekerjaan sanitasi dan arsitektur lantai 1 401 7.018.497.466,17
6 Pekerjaan sanitasi dan arsitektur lantai 2 401 7.018.497.466,17
7 Pekerjaan sanitasi dan arsitektur lantai 3 401 7.018.497.466,17

Tabel 13. Perhitungan Biaya Tidak Langsung Penambahan Pekerjaan


No Jenis Pekerjaan Durasi Biaya (Rp)
406 7.029.985.360,00
1 Pekerjaan struktur lantai dasar 392 6.787.456.209,66
2 Pekerjaan struktur lantai 1 399 6.908.660.784,83
3 Pekerjaan struktur lantai 2 399 6.908.660.784,83
4 Pekerjaan sanitasi dan arsitektur lantai dasar 400 6.925.975.724,14
5 Pekerjaan sanitasi dan arsitektur lantai 1 401 6.943.290.663,45
6 Pekerjaan sanitasi dan arsitektur lantai 2 401 6.943.290.663,45
7 Pekerjaan sanitasi dan arsitektur lantai 3 401 6.943.290.663,45

Adapun salah satu perhitungannya adalah sebagai berikut:


Biaya Gaji/hari = Total Biaya Tidak Langsung/Umur Proyek
= Rp, 7.029.985.360 ÷ 406 HK = Rp. 17.314.939,31/hari
Total Biaya Gaji = Biaya Gaji/hari x Waktu Percepatan = Rp. 17.314.939,31 x14 hari = Rp. 242.409.150,30
Biaya Tidak Langsung = Total Biaya Tidak Langsung – Total Biaya Gaji
= Rp. 7.029.985.360 – Rp. 242.409.150,30
= Rp. 6.787.456.209,66
Total biaya adalah jumlah dari biaya langsung ditambah dengan biaya tidak langsung. Kedua-duanya berubah
sesuai dengan waktu dan kemajuan proyek seperti pada tabel 14.

Tabel 14. Perhitungan Total Biaya Proyek dari tiap pekerjaan


Durasi Biaya Langsung (Rp) Biaya Tidak Langsung (Rp) Total Biaya (Rp)
406 Hari 7.014.097.466,17 7.029.865.360,00 14.043.962.826,27
392 Hari 7.016.287.466,17 6.787.456.209,66 13.803.743.675,83
399 Hari 7.021.622.466,17 6.908.660.784,83 13.930.283.251,00
399 Hari 7.021.622.466,17 6.908.660.784,83 13.930.283.251,00
400 Hari 7.017.642.466,17 6.925.975.724,14 13.943.618.190,31
401 Hari 7.018.497.466,17 6.943.290.663,45 13.961.788.129,62
401 Hari 7.018.497.466,17 6.943.290.663,45 13.961.788.129.62
401 Hari 7.018.497.466,17 6.943.290.663,45 13.961.788.129.62

Dari perhitungan didapat perbedaan antara biaya total akibat penambahan jam lembur dan pekerja, seperti tertulis
pada tabel 15.

MK - 19
Tabel 15. Biaya total Jam Lembur dan Penambahan Pekerja
No Durasi Biaya Total (Rp)
Jam Lembur Penambahan Pekerja
1 B1 4.144.500 2.190.000
2 B2 2.259.750 7.525.000
3 B3 2.259.750 7.525.000
4 C1 1.990.500 3.545.000
5 C2 1.721.250 4.400.000
6 C3 1.721.250 4.400.000
7 C4 1.721.250 4.400.000

5. KESIMPULAN
1. Biaya yang diperoleh dari hasil penambahan jam kerja (lembur) pada setiap pekerjaan yang dipercepat
memperoleh biaya total sebesar Rp, 15.818.250,00 selama 49 hari kerja.
2. Biaya yang diperoleh dari hasil penambahan pekerja pada tiap pekerjaan yang dipercepat memperoleh biaya total
sebesar Rp, 33.985.000,00 selama 49 hari kerja.
3. Pilihan terbaik adalah dengan penambahan jam kerja (lembur), karena menghasilkan efisiensi biaya yang paling
sedikit dengan biaya total sebesar Rp,15.818.250,00 selama 49 hari.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2004). Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia,Waktu kerja lembur dan
upah kerja lembur (Vol. VI). Jakarta: Departemen PU.
Ariany, F. (2010). Analisis Percepatan Pelaksanaan Dengan Menambah Jam Kerja Optimum Pada Proyek
Konstruksi. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil, 14(2), 113-126.
Darmayudha, A. A., S, I. K., & Armaeni, N. K. (2015, Juni). Analisa Program Percepatan Pada Proyek Konstruksi
Dengan Metode Penambahan Jam Kerja (Studi Kasus Proyek Pembangunan Agranusa Signature Villa Nusa
Dua Bali). PADURAKSA, 4(1), 35-47.
Febriatmoko, A. (2015). Analisa pertukaran waktu dan biaya dengan metode Time Cost Trade Off pada proyrk
pembangunan rumah susun sederhana dan sewa (Rusunawa). Surabaya.
Frederika, A. (2010). Kajian Analisa percepatan pelaksanaan dengan menambah jam kerja optimum pada proyek
konstruksi (Vol. 14). Denpasar: Teknik Sipil Universitas Udayana Denpasar.
Gartiwi, M. (1999). Pengaruh Kerja Lembur Terhadap Produktivitas Pekerja (Studi Kasus : Proyek Pembangunan
Gedung Wisma Pan-Asia, Bandung). Bandung, Jawa Barat: Manaemen dan Rekayaasa Konstruksi Program
Studi Teknik Sipil Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung 1999.
Gubernur Keputusan. (2016). Penerapan Upah Minimum Kabupaten/Kota. Banten: Keutusan Gubernur Banten.
Lilik, H. N., Rochani, I., & Supomo, H. (2012). Analisa Penerapan Metode Crash Program Untuk Percepatan
Pembangunan Hull Constraction LCU 300 DWT dan Pengaruhnya Terhadap Sumberdaya Galangan. Jurnal
Teknik Pomits, 1(1), 1-6.
Palma, V., Putra, R. H., Arief Andriansyah, M. A., & Pudjianto, B. (2014). Penerapan Metode Crashing Proyek
Pembangunan Elizabeth Building RS. Santo Borromeus Paket 1 Bandung. JURNAL KARYA TEKNIK SIPIL,
3(3), 597 – 616.
Setiawan, B. (2012). Kajian Analisa Pertukaran Waktu dan Biaya dengan metode Time Cost Trade Off pada proyek
pembangunan gedung . Jakarta. Skripsi: Teknik Sipil Muhammadiyah Jakarta.
Sirait, R. P. (2010, Maret). Analisis Pengaruh Crashing Program Terhadap Biaya Tenaga Kerja Langsung Pada
Proyek Konstruksi. Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Atmajaya Yogyakarta
Yogyakarta, Maret 2010.
Sudarsana, K. (2005). Kajian akselerasi penyelesaian proyek dengan analisa pertukaran waktu dan biaya (Time
Cost Trade Off) (Vol. 9). Denpasar: Teknik Sipil Uneversitas Udayana Denpasar.
Wiratmani, E., & Prawitasari, G. (2013). Penerapan Metode Jalur Kritis Dalam Penyusunan Jadwal Pelaksanaan
Proyek Pembangunan Fasilitas Rumah Karyawan. Faktor Exacta, 6(3), 210-217.

MK - 20
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

PEMBOROSAN MATERIAL DAN TINDAKAN PENCEGAHANNYA: SURVAI PADA


PROYEK PEMBANGUNAN GEDUNG DI YOGYAKARTA

Albani Musyafa1

1
Teknik Sipil, Universitas Islam Indonesia, Jalan Kaliurang Km 15, Yogyakarta
Email: 955110102@uii.ac.id / albani_musyafa@yahoo.com

ABSTRAK
Dalam pelaksanaan konstruksi, terdapat pemborosan baik berupa tenaga, waktu maupun material.
Pemborosan tersebut dapat membebani pembangunan. Oleh karena itu, material sisa tersebut harus
diminimalisir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: jenis material yang banyak mengalami
pemborosan dan bentuk tindakan manajerial yang efektif meminimalisir pemborosan material dalam
pelaksanaan konstruksi bangunan. Penelitian ini dilakukan pada proyek pembangunan gedung
bertingkat di Yogyakarta. Data penelitian diperoleh dengan survai menggunakan kuisioner.
Narasumbernya adalah pengawas/supervisor pada proyek pembangunan gedung bertingkat di
Yogyakarta. Data diolah dengan analisis perbandingan dan korelasi. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa: pemborosan material yang sering terjadi pada pelaksanaan pembangunan gedung bertingkat
di Yogyakarta adalah kayu bekisting, besi tulangan, dan bata untuk dinding; jenis tindakan
pencegahan pemborosan maerial yang sering dilakukan dalam pelaksanaan konstruksi gedung
bertingkat di Yogyakarta adalah memperhatikan dokumen kontrak, meningkatkan supervisi tenaga
kerja, dan updating kebutuhan material; serta tindakan pencegahan pemborosan material yang
efektif adalah meminimalisir perubahan rencana, meningkatkan kompetensi tenaga kerja, dan
penggunaan material yang tepat.
Kata kunci: Pemborsan material, Pelaksanaan, Konstruksi gedung, Manajemen kontruksi

1. PENDAHULUAN
Umumnya, pekerjaan-pekerjaan dalam pelaksanaan konstruksi terjadi pemborosan akibat material sisa, terbuang,
dan tidak terpakai sesuai rencana (Musyafa, 2015a). Pekerjaan konstruksi seperti pekerjaan kayu, pasangan bata,
beton, dan plesteran sering terjadi pemborosan material. Industri konstruksi menghasilkan pemborosan material
yang lebih banyak dari industri-industri lainnya (Musyafa, 2013). Pemborosan yang kurang terkendali berpengaruh
sangat buruk terhadap biaya dan perkembangan konstruksi.

Material yang digunakan dalam proses konstruksi memiliki banyak jenis. Masing-masing material kemungkinan
memiliki tingkat pemborosan yang berbeda-beda karena kondisi material, cara perlakuannya dan cara pengerjaannya
yang berbeda. Disamping itu, dari sisi pencegahan, banyak jenis tindakan yang dapat digunakan untuk
meminimalisir pemborosan ini. Tingkat efektifitas dari tindakan tersebut mungkin juga berbeda-beda. Hal tersebut
terkait dengan karakteristik proses konstruksi yang unik (Soeharto, 1995).

Penelitian ini bertujuan untuk: 1. mengetahui jenis material yang banyak mengalami pemborosan pada proyek
kontruksi, 2. mengetahui tindakan pencegahan yang sering dilakukan pada proyek kontruksi, 3. mengetahui tindakan
pencegahan tersebut yang efektif mengurangi tingkat pemborosan material pada proyek kontruksi.
Manfaat penelitian ini adalah bahwa hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pembina, pelaksana dan supervisor
konstruksi sebagai informasi tambahan dalam menyusun strategi untuk mengurangi/meminimalkan pemborosan
material baik di tingkat proyek atau tingkat yang lebih tinggi.
Batasan penelitian: data diperoleh dari proses pelaksanaan konstruksi gedung bertingkat di Yogyakarta

2. TINJAUAN PUSTAKA
Konstruksi bangunan gedung memiliki tingkat material sisa yang relatif tinggi (Soeharto, 1995). Pemborosan
material pada pelaksanaan bangunan gedung tersebut disebabkan pekerja, perlatan, metode kerja, tempat kerja dan
lingkungan kerja (Dipohusodo, 1996).
Dari material yang dipakai dalam pelaksanaan konstruksi gedung, sembilan material dikaji tingkat pemborosannya
dalam penelitian ini, yaitu: pasir, batu pecah, besi tulangan, bata, keramik, kayu bekisting, beton, PC/semen, dan
mortar (Iswinarno, 2017).

MK - 21
Berdasarkan prosesnya, pemborosan material pada konstruksi bangunan gedung dapat dikategorikan: pengadaan
material, transportasi, penyimpanan, proses konstruksi. Bentuk penyebabnya berupa: pengawasan yang kurang, area
kerja yang tidak mendukung, peralatan bantu yang kurang memadai, tidak adanya pengklasifikasian bidang
pekerjaan, tidak efektifnya jumlah tenaga kerja dalam suatu area kerja, dan kurangnya pengalaman para tukang.

Terkait dengan penyebab tersebut, tindakan pencegahan pemborosan material dan frekuensinya yang dikaji dalam
penelitian ini adalah: meminimalisir perubahan rencana, memperjelas order pengadaan, meningkatkan kompetensi
tenaga kerja, memperjelas informasi bahan, memperhatikan dokumen kontrak, updating kebutuhan material,
penggunaan peralatan yg lebih tepat, meningkatkan supervisi tenaga kerja, dan memperbaiki tata kelola (Iswinarno,
2017).

3. METODE PENELITIAN
Ini adalah penelitian survai. Data diperoleh melalui kuisioner yang ditujukan pada supervisor bangunan yang telah
memiliki pengalaman yang dianggap cukup. Dalam kuisioner narasumber diminta untuk memberikan informasi
tentang penyebab pemborosan material dan tindakan pencegahannya berdasarkan pengamatan yang terjadi di
lapangan saat narasumber tersebut berkerja dalam pelaksanaan konstruksi gedung(Nazir, 2003). Survai dilakukan di
wilayah kota Yogyakarta dan sekitarnya pada akhir tahun 2016 hingga awal tahun 2017.
Kuisioner terdiri dari 3 sub bahasan pertanyaan, yaitu: 1. Data Umum Responden, yang terdiri: pengalaman kerja,
pendidikan, usia, jenis kelamin dll; 2. tingkat pemborosan pada sembilan jenis material; dan 3. frekuesi sembilan
tindakan pencegahan untuk meminalisir pemborosan material.

Setelah data primer dianggap cukup, kemudian dilakukan analisis data menggunakan metode analisis untuk mencari
peringkat jenis material yang mengalami pemborosan dan tindakan pencegahan terjadinya pemborosan material.
Hasil analisis peringkat tersebut divalidasi dengan uji non parametrik, yaitu Kendall’s W(Santoso, 2001, Sugiyono,
2010). Sementara tindakan pencegahan yang efektif ditentukan dari analisis korelasi antara tingkat pemborosan
material dan intensitas tindakan pencegahan. Korelasi tersebut dihitung dengan Spearman Rank.

4. RESPONDEN
Dari sisi usia, sebagian besar responden berusia muda. Komposisi responden dengan usia kurang dari 40 lebih dari
90 persen. Sisanya adalah responden dengan usia di atas 40 tahun. Dengan usia yang muda ini, diharapkan dapat
memberikan informsi yang akurat dan terkini sesuai tujuan penelitian(Sugiyono, 2009).
Dari sisi jenis kelamin, lebih dari 90 % responden adalah laki-laki. Komposisi ini juga sesuai persentasi tenaga kerja
konstruksi yang didominasi oleh laki-laki.
Dari sisi pendidikan, hampir setengah dari responden memiliki tingkat pendidikan Sarjana. Hampir seperempatnya
memiliki pendidikan Diploma. Sisanya adalah memiliki pendidikan SLTA dan SLTP. Dari sisi ini, kualitas
responden sangat baik sehingga informasi yang didapat dari responden juga dapat dipercaya.
Dari sisi pengalaman kerja, sekitar 90 % responden memiliki pengalaman kerja tidak lebih dari 10 tahun. Hal ini
sesuai dengan usia responden yang termasuk kategori muda. Bagaimanapun pengalaman ini sudah dianggap cukup
untuk memberikan informasi untuk penelitian ini.
Dari sisi jabatan, responden memiliki variasi yang tersebar yang baik, dengan mayoritas responden adalah Site
engineer dan staf teknik. Semua jabatan tersebut terkait erat dengan pengendalian material dalam pelaksanaan
konstruksi bangunan. Hal ini sesuai dengan informasi yang diperlukan untuk penelitian ini.
Berdasarkan diskripsi tersebut, dapat katakana bahwa klasifikasi responden sangat baik untuk memberikan
informasi/data dalam penelitian ini (Nazir, 2003).

5. JENIS MATERIAL
Ditetapkan sembilan jenis material diteliti, yaitu: pasir, batu pecah, besi tulangan, bata, keramik penutup lantai,
beton, semen, mortar, dan kayu bekisting. Dari Sembilan material tersebut, responden menilai bahwa kayu bekisting
memiliki tingkat pemborosan yang paling tinggi. Sedangkan batu pecah memiliki tingkat sisa yang paling rendah.
Selengkapnya, jawaban responden terhadap material yang mengalami pemborosan ditunjukkan pada Tabel 1.

MK - 22
Tabel 1. Diskripsi data tingkat volume pemborosan
No Jenis material N Mean Std. Dev. Min. Max. Mean Rank Ranking
1 Pasir 41 1,32 ,722 1 4 4,10 7
2 Satu pecah 41 1,20 ,601 1 4 3,61 9
3 Besi Tulangan 41 2,44 1,050 1 4 6,79 2
4 Bata 41 1,71 ,844 1 4 5,34 3
5 Keramik 41 1,39 ,666 1 4 4,46 5
6 Kayu bekisting 41 3,17 1,138 1 5 8,13 1*
7 Beton 41 1,39 ,833 1 5 4,32 6
8 PC/semen 41 1,22 ,571 1 4 3,85 8
9 Mortar 41 1,44 ,867 1 5 4,39 4
Keterangan: *material yang paling banyak mengalami pemborosan
Tabel 1 menunjukkan bahwa kayu bekisting merupakan jenis material yang paling mengalami pemborosan, disusul
berturut-turut besi tulangan, bata, mortar, keramik, beton, pasir, semen dan batu pecah.
Urutan tersebut dianggap tetap dan tidak berubah karena uji Kendall’s W menunjukkan bahwa signifikansinya
bernilai 0,000. Hasil uji tersebut ditunjukkan pada Tabel 2. Hal ini dapat diartikan bahwa urutan tersebut tidak akan
berubah secara signifikan walaupun sampel ditambah.
Tabel 2. Hasil Uji Kendall's Coefficient of Concordance terhadap data volume pemborosan
No Keterangan Nilai
1 N 41
2 Kendall's W Coefficient of ,436
Concordance
3 Chi-square 143,023
4 Df 8
5 Asymp. Sig. ,000

6. TINDAKAN PENCEGAHAN
Dalam penelitian ini, tindakan pencegahan terjadinya pemborosan material ditentukan sebanyak sembilan tindakan,
yaitu(Musyafa, 2015b, Musyafa, 2014): 1. Meminimalisir Perubahan Desain; 2. Memperjelas Order Pengadaan; 3.
Meningkatkan Kompetensi Tenaga Kerja; 4. Memperjelas Informasi Bahan, 5. Memperhatikan Dokumen Kontrak;
6. Updating Kebutuhan Material; 7. Penggunaan Peralatan yang Lebih Tepat; 8. Meningkatkan Supervisi Tenaga
Kerja; dan 9. Memperbaiki Tata Kelola.
Berdasarkan tanggapan responden, tindakan yang paling sering dilakukan untuk meminimalkan pemborosan adalah
Memperhatikan Dokumen Kontrak. Sementara tindakan yang paling jarang dilakukan adalah Memperhatikan
Dokumen Kontrak. Secara lengkap, urutan tindakan yang sering dilakukan untuk mengatasi pemborosan
ditunjukkan pada Tabel 3.

MK - 23
Tabel 3. Diskripsi data frekuensi tindakan pencegahan pemborosan material
No Mean Rankin
Jenis tindakan pencegahan
N Mean Std. Dev. Min. Max. Rank g
1 Meminimalisir Perubahan Rencana 41 3,78 ,652 2 5 4,93 5
2 Memperjelas Order Pengadaan 41 3,56 ,838 2 5 4,54 7
3 Meningkatkan Kompetensi Tenaga 41 2,63 ,994 1 5 2,26 9
Kerja
4 Memperjelas Informasi Bahan 41 3,68 ,934 2 5 4,90 6
5 Memperhatikan Dokumen Kontrak 41 4,17 ,629 2 5 6,24 1*
6 Updating Kebutuhan Material 41 4,15 1,038 2 5 6,12 3
7 Penggunaan Peralatan Yg Lebih Tepat 41 3,59 ,670 2 5 4,37 8
8 Meningkatkan Supervisi Tenaga Kerja 41 4,17 ,834 2 5 6,18 2
9 Memperbaiki Tata Kelola 41 3,95 ,631 3 5 5,46 4
Keterangan: * tindakan pencegahan yang paling sering dilakkukan
Urutan tersebut dianggap tetap dan tidak berubah karena uji Kendall’s W, menunjukkan bahwa signifikansinya
bernilai 0,000. Hasil uji tersebut dapat di lihat pada Tabel 4. Hal ini dapat diartikan bahwa urutan tersebut tidak akan
berubah secara signifikan jika sampel ditambah.
Tabel 4. Hasil Uji Kendall's Coefficient of Concordance terhadap data tindakan pencegahan pemborosan
No Keterangan Nilai
1 Jumlah Sampel, N 41
2 Kendall's W Coefficient of Concordance ,246
3 Chi-square 80,835
4 Df 8
5 Asymp. Sig. ,000

7. TINDAKAN YANG EFEKTIF


Tindakan pencegahan yang efektif untuk mengurangi pemborosan ditentukan dengan analisis korelasi antara antara
“frekuensi tindakan” dan “tingkat pemborosan”. Dalam korelasi ini, tindakan yang efektif diketahui berdasarkan
arah korelasinya. Jika tindakan tersebut dapat mengurangi volume pemborosan material, maka tindakan tersebut
dikatakan tindakan efektif. Dengan demikian, arah korelasinya negatif. Dengan kata lain, semakin tinggi tindakan
pencegahan, maka semakin rendah tingkat pemborosan material.
Dengan jenis data ordinal maka, metode korelasi yang digunakan adalah Spearman rank. kuatnya korelasi
dinyatakan dalam bentuk angka 0 sampai 1.

MK - 24
Tabel 5 menunjukkan hasil uji korelasi antar “tindakan pencegahan material” dan “tingkat pemborosan material”
dari 41 kasus.
Tabel 5. Korelasi antara frekuensi tindakan pencegahan dan tingkat volume pemborosan material
Jenis tindakan Jenis Material
Batu Besi Keramik Kayu Beton Mortar
Pecah Tul. bekisting
Meminimalisir
X X X
Perubahan Desain
Memperjelas
X
Order Pengadaan
Meningkatkan
Kompetensi X X
Tenaga Kerja
Memperjelas
X
Informasi Bahan
Memperhatikan
X
Dokumen Kontrak
Updating
X
Kebutuhan Material
Penggunaan
X X
Peralatan Yg Lebih Tepat
Meningkatkan
X
Supervisi Tenaga Kerja
Memperbaiki
X
Tata Kelola
Keterangan: tanda “x” menunjukkan ada pengaruh yang signifikan dari tindakan terhadap pengurangan
pembororosan material.
Hasil korelasi tersebut, menunjukkan tindakan-tindakan tertentu berpengaruh secara signifikan untuk megurangi
pemborosan material tertentu. Sebagai contoh tindakan “meminimalisir perubahan desain” akan mempengaruhi
tingkat pemborosan pada material keramik, beton dan mortar. Lebih lengkap tentang tindakan yang efektif tersebut
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Tidakan pencegahan dan jenis material yang dihemat
No Tindakan pencegahan Material yang dipengaruhi
1 Meminimalisir Perubahan Desain - Keramik,
- Beton,
- Mortar
2 Memperjelas Order Pengadaan Besi tulangan
3 Meningkatkan Kompetensi Tenaga - Besi tulangan,
Kerja - Kayu bekisting
4 Memperjelas Informasi Bahan Besi tulangan
5 Memperhatikan Dokumen Kontrak Kayu bekisting
6 Updating Kebutuhan Material Kayu bekisting
7 Penggunaan Peralatan Yg Lebih Tepat - Batu pecah,
- Beton
8 Meningkatkan Supervisi Tenaga Kerja Beton
9 Memperbaiki Tata Kelola Kayu bekisting

Dari beberapa tindahan pencegahan di atas, tindakan pencegahan yang memiliki korelasi paling kuat yaitu
pemberian pelatihan pekerja kontruksi, terhadap material kayu bekisting. Ini berarti, semakin sering dilakukan
pelatihan kepada pekerja kontruksi maka timbulnya pemborosan kayu bekisting menjadi sedikit.
Dengan tindakan-tindakan tersebut diharapkan pemborosan tersebut bisa diminimalisir. Pencegahan timbulnya
pemborosan material, karena dengan meminimalisir dapat meningkatkan keuntungan baik terhadap semua pihak.

MK - 25
8. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa:
1. Pemborosan material yang paling dominan pada pelaksanaan pembangunan gedung bertingkat di
Yogyakarta adalah kayu bekisting, besi tulangan, dan bata untuk dinding.
2. Jenis tindakan pencegahan pemborosan maerial yang sering dilakukan dalam pelaksanaan konstruksi
gedung bertingkat di Yogyakarta adalah memperhatikan dokumen kontrak, meningkatkan supervisi tenaga
kerja, dan updating kebutuhan material.
3. Tindakan pencegahan pemborosan material yang efektif adalah meminimalisir perubahan rencana,
meningkatkan kompetensi tenaga kerja, dan penggunaan material yang tepat.
Saran berdasarkan penelitian ini adalah:
1. Untuk meminimalisir pemborosan material pada pelaksanaan konstruksi gedung, tindakan-tindakan
pencegahan yang terbukti efektif tersebut perlu ditingkatkan baik frekuensinya maupun intensitasnya.
2. Untuk melengkapi informasi hasil penelitian ini, perlu penelitian lanjutan yang melibatkan faktor dan
variable yang lain dengan jenis pekerjaan konstruksi yang berbeda.
TERIMA KASIH
Terima kasih kepada sdri Nurul Mentari Iswinarno, mahasiswi Teknik Sipil UII, yang telah membantu dalam
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dipohusodo, I. (1996) Mananajemen Proyek dan Kontruksi, Kanisius.Yogyakarta
Iswinarno, N. M. (2017) Analisis Pemborosan Material (Material Waste) Pada Proyek Pembangunan Gedung
Bertingkat di Daerah Istmewa Yogyakarta, Civil Engineering, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
Musyafa, A. (2013) "Komposisi Harga Jual Rumah Tinggal Layak Huni Di Yogyakarta: Studi Kasus Pembangunan
Rumah Tipe 90/115 di Luar Kompleks Perumahan", Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7): Peran
Rekayasa Sipil dan Lingkungan dalam Mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan, Kampus Universitas
Sebelas Maret (UNS), Solo
Musyafa, A. (2014) "Kompetensi Yang Penting Dikuasai Oleh Mandor Konstruksi Bangunan Rumah Tinggal
Tembokan", Seminar Nasional Teknik Sipil, UMS, Solo
Musyafa, A. (2015a) "Eksperimen Untuk Menentukan Indeks Kebutuhan Tukang Pada Pekerjaan Pasangan
Dinding Bata Dengan Alat Cetakan Spasi", ILT, UII Yogyakarta
Musyafa, A. (2015b) "Identifikasi Kompetensi Tenaga Ahli Pelaksana Konstruksi Perumahan Di Yogyakarta".
Jurnal Teknisia, Vol. 20, No. 1,
Nazir, M. (2003) Metode Penelitian, Ghalia Indonesia.Jakarta.
Santoso, S. (2001) Buku Latihan SPSS Statistik Non Parametrik, Elex Media Komputindo.Jakarta
Soeharto, I. (1995) Manajemen Proyek: dari Konseptual sampai Operasional, Erlangga.Jakarta
Sugiyono (2009) Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta.Bandung
Sugiyono (2010) Statistik untuk Penelitian, Alfabeta.Bandung

MK - 26
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

KAJIAN DAYA SAING KONTRAKTOR BESAR INDONESIA

Peter Kaming1, Ferianto Raharjo2, dan Putu Ika Swantari1

1
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jalan Babarsari 44, PO Box 1086, Yogyakarta, 55281.
Email: kaming@mail.uajy.ac.id
2
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jalan Babarsari 44, PO Box 1086, Yogyakarta, 55281.
Email: feri@mail.uajy.ac.id

ABSTRAK
Industri jasa kontruksi adalah bisnis yang penuh dengan persaingan ketat. Banyaknya jumlah
perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi terutama kontraktor, mengakibatkan tingginya
persaingan antara masing-masing perusahaan tersebut. Sejalan dengan kondisi meningkatnya
persaingan, maka perusahaan jasa konstruksi dituntut untuk selalu meningkatkan daya saingnya
dalam bentuk kompetensi dan kinerjanya. Oleh sebab itu sangatlah penting untuk meneliti
karakteristik dari perusahaan jasa konstruksi dalam mengembangkan usahanya serta meningkatkan
daya saing di pasar global. Salah satu faktor yang mempengaruhi dan menjadi penentu kesuksesan
perusahaan jasa konstruksi, yaitu faktor internal. Faktor internal merupakan salah satu faktor yang
penting di dalam menentukan strategi untuk pengembangan perusahaan. Faktor internal ini antara
lain terdiri dari manajemen, budaya perusahaan, sumber daya manusia, keuangan, dan sumber daya
lainnya. Tujuan dari studi ini adalah mengidentifikasi key performance indicator perusahaan dan
memetakan posisi daya saing kontraktor-kontraktor besar Indonesia. Metode analisis dilakukan
secara deskriptif untk identifikasi daya saing dan dilanjutkan dengn teknik multiple dimensional
untuk memetakan posisi daya saing kontraktor Indonesia. Dari sebanyak 21 kontraktor nasional
berpartisipasi dalam studi ini menunjukkan bahwa lima faktor yang paling mempengaruhi daya
saing kontraktor Indonesia adalah: manajemen K3 dan lingkungan; rekaman kinerja proyek;
manajemen kontrak dan resiko; kualitas sumber daya manusia; dan tingkat kredibilitas dari
kontraktor. Sedangkan hasil pemetaan dari 21 kontraktor menghasilkan 4 kelompok mencirikan
kemiripan karakteristik dan faktor-faktor internal yang mempengaruhi keunggulan daya saing antar
perusahaan.
Kata kunci : kontraktor Indonesia, daya saing, strategi, key performance indicator, multidimensional
scaling

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perkembangan industri kontraktor pada beberapa tahun terakhir ini memang menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan. Pertumbuhan sektor konstruksi diperkirakan dapat mencapai 10% - 15% seiring program Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) hingga 2025. Saat ini rata-rata pertumbuhan
sektor tersebut per tahun mencapai 7% - 8%. Dari keadaan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa industri
konstruksi merupakan salah satu industri yang menjanjikan hingga 10 tahun ke depan. Ditambah lagi dengan adanya
dukungan dari pemerintah yang mendorong sinergi antara kontraktor kecil, menengah, dan besar untuk menggarap
proyek-proyek tersebut.
Selain itu, dengan akan diadakannya AFTA pada tahun 2015 dimana akan dibentuk suatu kawasan perdagangan
bebas di antara anggota-anggota ASEAN dan Cina, membuat industri kontraktor akan menjadi pusat perhatian
investor dari luar negeri. Dengan adanya pasar bebas, maka akses yang dimiliki oleh investor asing untuk
menanamkan modalnya di Indonesia akan sangat besar. Hal ini didukung dengan bukti jumlah perusahaan yang
bergerak di bidang kontraktor dimana hingga saat ini, di Indonesia, terdapat sekitar 180.000 unit usaha.Tentunya
dengan jumlah unit usaha yang sangat banyak ini, persaingan antar masing-masing perusahaan yang bergerak di
industri konstruksi tersebut pastinya sangatlah tinggi. Industri kontraktor itu sendiri adalah industri yang bergerak
dalam bidang jasa konstruksi. Jasa konstruksi dapat didefinisikan sebagai layanan jasa konsultasi perencanaan
pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan
pekerjaan konstruksi. Melihat dari banyaknya jaringan bisnis yang ada pada sebuah industri konstruksi, maka dapat

MK - 27
dipastikan hal ini akan menjadi fokus utama persaingan. Semakin lengkap jaringan bisnis pada sebuah perusahaan
yang bergerak di industri konstruksi, maka semakin tinggi pula daya saing yang dimiliki oleh perusahaan tersebut.
Beberapa faktor yang mempengaruhi dan menjadi penentu kesuksesan perusahaan jasa konstruksi, yaitu faktor
internal, faktor eksternal dan market forces. Faktor internal perusahaan merupakan salah satu faktor yang sangat
penting dan mempunyai pengaruh sebesar 42% terhadap kesuksesan perusahaan. Pengaruh faktor internal terhadap
kesuksesan suatu perusahaan khususnya perusahaan jasa konstruksi didominasi oleh manajemen, peralatan, sumber
daya manusia, budaya perusahaan, dan keuangan. Faktor internal merupakan salah satu faktor yang penting di dalam
menentukan strategi untuk pengembangan perusahaan. Faktor internal ini antara lain terdiri dari manajemen, budaya
perusahaan, sumber daya manusia, keuangan, dan sumber daya lainnya (Das & Teng, 2000). Sejalan dengan
meningkatnya persaingan, maka menuntut perusahaan jasa konstruksi untuk selalu meningkatkan kualifikasi dan
kinerjanya, mengingat persaingan dan banyaknya pesaing yang ada. Melihat hal tersebut, maka sangatlah penting
untuk meneliti karakteristik dari perusahaan jasa konstruksi dalam mengembangkan usahanya serta meningkatkan
daya saing di pasaran global.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. indikator apa saja yang mempengaruhi keunggulan bersaing perusahaan kontraktor besar di Indonesia?
2. bagaimana karakteristik perusahaan kontraktor besar di Indonesia?
3. bagaimana mapping perusahaan kontraktor besar di Indonesia berdasarkan karakteristik dan Key
Competitiveness Indicators?

Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. penelitian ini hanya dilakukan pada kontraktor golongan besar di Indonesia;
2. obyek studi yang dibahas hanya pada key competitiveness indicators (KCIs) dan karakteristik perusahaan
kontraktor besar di Indonesia;
3. penelitian dilakukan berdasarkan sudut pandang top manager perusahaan jasa konstruksi.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. mengidentifikasi key competitiveness indicator perusahaan kontraktor besar di Indonesia;
2. mengidentifikasi karakteristik perusahaan kontraktor besar di Indonesia;
3. mebuat mapping perusahaan kontraktor besar di Indonesia berdasarkan karakteristik dan key competitiveness
indicators (KCIs).

2. TINJUAN PUSTAKA

Industri Jasa Konstruksi di Indonesia


Industri jasa konstruksi adalah industri yang mencakup semua pihak yang terkait dengan proses konstruksi,
termasuk tenaga profesi, pelaksana konstruksi dan juga para pemasok yang bersama-sama memenuhi kebutuhan
pelaku dalam industry (Hillebrandt, 2000). Jasa konstruksi adalah jasa yang menghasilkan prasarana dan sarana
fisik. Jasa tersebut meliputi kegiatan studi, penyusunan rencana teknis/rancang bangun, pelaksanaan dan
pengawasan serta pemeliharaannya. Prasarana dan sarana fisik merupakan landasan pertumbuhan sektor-sektor
dalam pembangunan nasional, termasuk di sektor pertambangan, serta jasa konstruksi berperan pula sebagai
penyedia lapangan kerja, maka jasa konstruksi penting dalam pembangunan nasional (Parikesit, dkk. 2007).
Sebelum terjadi krisis moneter, sektor jasa konstruksi mengalami pertumbuhan yang cukup fantastik sehingga
merupakan salah satu motor penggerak sektor perekonomian yang utama.

Kontraktor Besar Menurut LPJK


Kontraktor adalah salah satu jasa di industri konstruksi menurut UU no 2 tahun 2017. Adapun lingkup dan besarnya
jasa yang dilayani ditentukan dengan kualifikasinya. Adapun kualifikasi Badan Usaha Jasa Golongan Besar menurut
Peraturan Lembaga LPJK No 11a Tahun 2008 adalah sebagai berikut ini.
Golongan Besar I meliputi kriteria: 1) Kekayaan bersih: Lebih dari Rp 10 milyar sampai dengan Rp 50 milyar. 2)
Pengalaman: a) Untuk setiap subklasifikasi yang dimiliki, Nilai Pengalaman Tertinggi selama kurun waktu 10 tahun
terakhir sekurang-kurangnya adalah Rp 16.66 Milyar pada pekerjaan subkualifikasi usaha Menengah 2 (M2) dan

MK - 28
wajib memiliki PJBU (Penanggungjawab Badan Usaha), PJT (Penanggungjawab Teknik) dan PJK
(Penangungjawab Klasifikasi) secara terpisah; b) Untuk setiap subklasifikasi yang dimiliki, nilai kumulatif
pekerjaan selama kurun waktu 10 tahun sekurang-kurangnya adalah Rp 50 milyar pada subkualifikasi usaha
Menengah 2 (M2) dan untuk setiap Klasifikasi memiliki PJK yang tidak boleh merangkap (PJK minimal memiliki
sertifikat setara PJT). 3) PJT: 1 orang bersertifikat minimal SKA tingkat madya. 4) PJBU: Wajib memiliki PJBU
yang terpisah dari PJT dan PJK. 5) Kemampuan Melaksanakan Pekerjaan: 0 sampai dengan Rp 250 Milyar. 6)
Batasan Nilai Satu Pekerjaan: Maksimum Rp 250 Milyar. 7) Jumlah Paket: 6 atau 1.2 x N. 8). Maksimum jumlah
subklasifikasi dan klasifikasi: Maksimum 14 Subklasifikasi dalam 4 klasifikasi yang berbeda.
Golongan Besar II meliputi kriteria: 1) Kekayaan bersih: Lebih dari Rp 50 milyar sampai dengan tak terbatas. 2)
Pengalaman: a) untuk setiap subklasifikasi yang dimiliki, Nilai Pengalaman Tertinggi selama kurun waktu 10 tahun
terakhir sekurang-kurangnya adalah Rp83.33 Milyar pada pekerjaan subkualifikasi usaha besar 1(B1); dan Wajib
memiliki PJBU, PJT dan PJK secara terpisah; b) Untuk setiap subklasifikasi yang dimiliki, nilai kumulatif pekerjaan
selama kurun waktu 10 tahun sekurang-kurangnya adalah Rp 250 Milyar pada subkualifikasi usaha Besar1 (B1) dan
Untuk setiap Klasifikasi memiliki PJK yang tidak boleh merangkap (PJK minimal memiliki sertifikat setara PJT). 3)
PJT: 1 orang bersertifikat minimal SKA tingkat utama atau SKA (Sertifikat Keahlian Ahli) tingkat Madya. 4) PJBU:
Wajib memiliki PJBU yang terpisah dari PJT dan PJK. 5) Kemampuan Melaksanakan Pekerjaan: 0 sampai dengan
tak terbatas. 6) Batasan Nilai Satu Pekerjaan: Tak Terbatas. 7) Jumlah Paket: 6 atau 1.2 x N. 8) Maksimum jumlah
subklasifikasi dan klasifikasi: Tak Terbatas.

Daya Saing (Competitiveness)


Istilah daya saing berasal dari kata daya yang bermakna kekuatan, dan kata saing yang berarti mencapai lebih dari
yang lain, atau beda dengan yang lain dari segi mutu, atau memiliki keunggulan tertentu. Artinya daya saing dapat
bermakna kekuatan untuk berusaha menjadi unggul dalam hal tertentu yang dilakukan oleh kelompok atau institusi
tertentu. Konsep daya saing mengacu pada kemampuan untuk mencapai dominasi dan kemantapan dalam kompetisi
antara perusahaan individual dan pesaing ditingkat mikro (perusahaan) dan antara ekonomi pada tingkat ekonomi
makro (Markus, 2008). Daya saing (competitiveness) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tingkat hirarki yaitu negara
(makro), sektor industri (meso) dan perusahaan (mikro) (Momaya dan Selbi, 1998). Daya saing negara didefinisikan
sebagai suatu lingkungan nasional yang dapat membangun bisnis. Daya saing sektor didefinisikan sebagai sektor
bisnis yang menawarkan potensi untuk tumbuh dan ROI (return oninvestment) yang menarik. Konsep ini bisa
didefinisikan sebagai kemampuan kolektif perusahaan untuk bersaing secara internasional. Daya saing perusahaan
didefinisikan sebagai kemampuan untuk mendesain, memproduksi, dan memasarkan produk yang lebih superior
dibanding pesaingnya, dengan mempertimbangkan harga dan kualitas.
Menurut Kadin (2002), kondisi-kondisi yang diperlukan untuk mencapai industri jasa konstruksi yang kuat dan
tangguh yaitu:
1. Tersedianya tenaga manajemen maupun tenaga ahli yang profesional dalam jumlah yang cukup.
2. Bahan baku/material yang distandardisasi secara nasional dan diproduksi sesuai dengan kebutuhan.
3. Peralatan konstruksi harus diperoleh dengan mudah dan kompetitif.
4. Sistem informasi industri jasa konstruksi yang tepat dan terbuka mulai dari konsepsi proyek sampai saat-saat
pelelangan.
5. Pengenalan terhadap metode-metode konstruksi yang mutakhir dan efisien sehingga dapat unggul dalam
pelelangan internasional.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang mengalami beberapa permasalahan yang sering terjadi pada
industri jasa konstruksi yang mengakibatkan rendahnya daya saing, yaitu:
1. Buruknya sikap mental dan perilaku oknum. Menurut Pranoto (2005), yang menjadi penyebab berbagai
permasalahan di sektor konstruksi dan investasi diIndonesia adalah adanya korupsi, kolusi dan nepotisme,
monopoli dan praktek persaingan usaha yang tidak sehat yang merupakan akibat dari bobroknya moral dan sikap
mental (attitude) dan buruknya perilaku oknum.
2. Kurangnya daya saing dengan kontraktor asing akibat keterbatasan dana dan teknologi. Menurut penjelasan
Sutjipto (1991), fasilitas jaminan bank kontraktor Indonesia masih sering ditolak oleh pemilik proyek di luar
negeri yang menyebabkan kontraktor nasional masih sangat kesulitan untuk bersaing dengan kontraktor asing
yang mampu memperoleh finansial dengan bunga rendah di negaranya. Selain itu, akibat keterbatasan
kemampuan pemerintah maupun swasta untuk membiayai pembangunan proyek-proyeknya dengan anggaran
dalam negeri, maka menyebabkan hampir semua proyek-proyek besar milik pemerintah maupun swasta dibiayai
oleh dana pinjaman luar negeri. Dengan menggunakan alasan bahwa kontraktor nasional belum berpengalaman
dan berkemampuan dalam teknologinya, investor asing cenderung membawa kontraktor dari negaranya.
Akibatnya, secara otomatis kontraktor-kontraktor asing masuk bersama dengan datangnya pinjaman luar negeri
tersebut.

MK - 29
3. Kesadaran masyarakat akan manfaat dan pentingnya peran jasa konstruksi bagi kepentingannya masih perlu
ditumbuh kembangkan (Trisnowardono, 2002).

Indikator Kunci Daya Saing Perusahaan Jasa Konstruksi


Berdasarkan penelitian Langford dan Male (2001), dijelaskan beberapa indikator kunci daya saing (key competitive
indicators) perusahaan jasa konstruksi seperti ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Key Competitive Indicators Menurut Langdon dan Male (2001).


1. Corporate Image 3. Marketing capability 5. Project management skill
a. Organization's credibility a. Market coverage a. Site progress management
b. Qualification of the company b. Procurement ability b. Quality control
c. Project performance record c. Ability to forecast market c. Coordination with
changes subcontractors
d. Relationship with clients and d. Contract and risk
consultants management
e. Environmental and safety
management
f. Knowledge about local
construction law
2. Technology and innovation 4. Financial capability 6. Organization & Human resource
a. Technology know-how a. Financial status a. Organizational structure and
b. Technology advancement b. Credibility grade culture
c. Investment on R&D c. Payment to subcontractors b. Quality of personnel
d. Conversant with local or suppliers c. Effectiveness of training
practice d. Loan repayment program
d. Effectiveness of internal
cooperation

3. METODE PENELITIAN
Yang menjadi objek atau sasaran dalam melakukan penelitian ini yaitu perusahaan – perusahaan kontraktor
golongan besar dan respondennya adalah bagian top manajemen dari perusahaan tersebut yang akan bertindak
sebagai responden. Pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada manajer di perusahaan
konstruksi.
Komposisi kuisioner berisi tentang: 1) Data diri responden, yang meliputi nama, umur, pendidikan terakhir, alamat
perusahaan, posisi responden di perusahaan, masa kerja responden dan kualifikasi/gred kontraktor. 2) Isi kuisioner
ini berisi tentang pertanyaan mengenai karakteristik perusahaan berdasarkan kualifikasi badan usaha jasa konstruksi
dan seberapa penting key competitiveness indicator pada perusahaan tersebut.
Metode analisis data untuk mengidentifikasikan indikator kunci daya saing digunakan statistik deskriptif.
Selanjutnya untuk pemetaan posisi kontraktor besar Indonesia dengan menggunakan analisis Multidimensional
Scaling (MDS). Analisis multidimensional scaling merupakan salah satu teknik peubah ganda yang dapat digunakan
untuk menentukan posisi suatu objek lainnya berdasarkan penilaian kemiripannya. MDS digunakan untuk
mengetahui hubungan interdepensi atau saling ketergantungan antar variabel atau data. MDS dibedakan atas MDS
berskala metrik dan MDS berskala non-metrik. Menurut Ginanjar (2008), untuk melakukan analisis data MDS
digunakan nilai-nilai yang menggambarkan tingkat kemiripan atau tingkat ketakmiripan antar objek yang disebut
proximity yang terbagi atas similarity (kemiripan) dan dissimilarity (ketakmiripan). Berdasarkan tipe data tersebut,
MDS dibagi menjadi dua yaitu multidimensional scaling metrik dan multidimensional scaling non-metrik. Namun
pada penelitian ini metode yang digunakan adalah multidimensional scaling metrik.
Setelah pengelompokan dilakukan, selanjutnya dikaji kemiripan dan perbedaan dengan menggunakan Analysis of
Variance (ANOVA). Setelah penyajian dan pembahasan tabel hasil survey, kemudian untuk tahap selanjutnya
dilakukan analisis data. Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis multidimensional scaling
yang tujuannya untuk menentukan posisi suatu objek dengan objek lain berdasarkan kemiripannya. Kemudian,
dilakukan denganmencari perbedaan dengan ANOVA. Selanjutnya dilakukan dengan multiple comparison
technique untuk mencari signifikansi perbedaan ke empat kelompok kontraktor.

MK - 30
4. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Hasil Survei
Dari 30 kuesioner yang disebarkan kepada calon responden, sebanyak 21 kuesioner telah dikembalikan dan diisi
dengan tepat. Hasil survei disajikan pada penjelasan berikut. Berdasarkan jabatan responden yang dimiliki masing-
masing perusahaan: Direktur Finance= 7 (33%); Kepala Cabang = 10 (48%); Project Manager = 4 (19%).
Berdasarkan umur responden: 20 – 40 tahun = 7 (33%); dan 40 – 60 tahun = 14 (67%). Berdasarkan tingkat
pendidikan responden S2 = 1 (5%); S1 = 20 (95%). Berdasarkan pengalaman kerja responden: 0 – 5 tahun= 3
(14%); > 5 – 15 tahun = 4 (19%); dan > 15 – 30 tahun = 14 (67%).

Analisis Key Competitiveness Indicator Perusahaan Kontraktor Besar di Indonesia


Untuk mengetahui indicator apa saja yang mempengaruhi keunggulan bersaing perusahaan kontraktor besar di
Indonesia maka digunakan analisis deskriptif dengan menggunakan analisis mean. Hasil tingkat indikator yang
mempengaruhi keunggulan bersaing antar kontraktor dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2. Tingkat Pengaruh Key Competitiveness Indicators terhadap Daya Saing Perusahaan Besar di Indonesia,
Mean, SD, dan Rank dari Key Competitive Indicators.
Key Competitiveness Indicators Mean SD Ranking
1. Corporate Image
a. Organization’s credibility 4,57 0,68 9
b. Qualification of the company 4,62 0,50 6
c. Project performance record 4,81 0,40 3
2. Technology and innovation
a. Technology know-how 4,24 0,44 17
b. Technology advancement 4,57 0,51 7,5
c. Investment on R&D 4,05 0,74 24
d. Conversant with local practice 4,24 0,70 18
3. Marketing capability
a. Market coverage 4,48 0,51 12
b. Procurement ability 4,14 0,48 20
c. Ability to forecast market changes 4,33 0,58 15
d. Relationship with clients and consultants 4,52 0,60 10,5
4. Financial capability
a. Financial status 4,57 0,51 7,5
b. Credibility grade 4,67 0,48 5
c. Payment to subcontractors or suppliers 4,10 0,70 22,5
d. Loan repayment 4,05 0,86 25
5. Project management skill
a. Site progress management 4,29 0,64 16
b. Quality control 4,38 0,67 13,5
c. Coordination with subcontractors 4,14 0,85 21
d. Contract and risk management 4,81 0,40 3
e. Environmental and safety management 4,86 0,48 1
f. Knowledge about local construction law 4,38 0,67 13,5
6. Organization and Human Resource
a. Organizational structure and culture 4,10 0,70 22,5
b. Quality of personnel 4,81 0,40 3
c. Effectiveness of training program 4,19 0,60 19
d. Effectiveness of internal cooperation 4,52 0,60 10,50
Sumber: Data diadopsi dari Swantari (2015)
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 2 dari 21 kontraktor, indikator yang paling mempengaruhi dalam keunggulan
bersaing antar kontraktor di Indonesia adalah 1) environmental dan safety management (mean 4,86 dan SD 0,48).
Jika perusahaan konstruksi lalai dalam mengantisipasi kontaminasi terhadap lingkungan akibat efek dari pengerjaan
proyek, maka perusahaan tersebut akan mengalami kerugian finansial yang besar jika hal ini benar terjadi. Hal ini
tentu akan berpengaruh terhadap daya saing perusahaan jika perusahaan tersebut mengalami kerugian finansial
sampai bangkrut. Manajemen keahlian proyek yang baik membantu kontraktor untuk mempertahankan dan

MK - 31
meningkatkan efektivitas dalam operasi mereka dan memiliki keunggulan kompetitif dalam penawaran. Kemudian
dilanjutkan rekam kinerja proyek/project performance record (mean 4,81 dan SD 0,40). Manajemen kontrak dan
resiko/contract dan risk management yang artinya dalam proses tender, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
dalam kontrak. Jika perusahaan konstruksi lalai dalam memenuhi persyaratan ini, serta kurangnya perhatian
terhadap resiko-resiko yang kemungkinan terjadi maka tipis kemungkinan untuk memenangkan tender, yang berarti
daya saing perusahaan juga akan rendah (mean 4,81 dan SD 0,40) serta kualitas personil/quality of personnel
maksudnya sumber daya manusia yang berkualitas merupakan modal utama perusahaan untuk dapat bersaing
dengan perusahaan lainnya, karena dengan tenaga ahli yang berkualitas, perusahaan konstruksi dapat menghasilkan
kualitas pekerjaan sesuai dengan keinginan dan harapan owner. Jika owner puas dengan hasil pekerjaan yang
dihasilkan kontraktor, maka akan selalu diberikan kepercayaan untuk mengerjakan proyek. Hal ini tentunya akan
meningkatkan daya saing dan profit perusahaan (mean 4,81 dan SD 0,40). Indikator kelima adalah merupakan
tingkat kredibilitas/credibility grade (mean 4,67 dan SD 0,48).

Karakteristik Perusahaan Jasa Konstruksi Kualifikasi Besar


Untuk memudahkan dalam mendeskripsikan jawaban kuesioner tentang karakteristik perusahaan jasa konstruksi
kualifikasi besar maka dikelompokan sesuai dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan karakteristik jasa
konstruksi kualifikasi besar seperti faktor personalia/sumber daya manusia, faktor keuangan, faktor pengalaman
kerja, dan faktor peralatan. Faktor personalia/sumber daya manusia terdiri dari enam pertanyaan untuk mengetahui
tingkat pendidikan penanggungjawab badan usaha, tingkat pendidikan penanggung jawab teknik badan usaha,
sertifikat yang dimiliki oleh penanggung jawab teknik badan usaha, jumlah tenaga kerja, asal tenaga kerja serta
status tenaga ahli yang dipekerjakan. Faktor keuangan terdiri dari tiga pertanyaan untuk mengetahui nilai proyek
pekerjaan sepuluh tahun terakhir, kekayaan bersih, dan modal yang dimiliki. Faktor pengalaman kerja terdiri dari
enam pertanyaan untuk mengetahui jumlah proyek pekerjaan yang dikerjakan dalam sepuluh tahun terakhir,
pengguna jasa yang paling sering memakai jasa perusahaan, lama pengalaman di bidang konstruksi, sub bidang
pekerjaan yang sering dikerjakan, sistem pengadaan dalam memperoleh pekerjaan, dan lingkup wilayah lelang yang
diikuti. Faktor peralatan terdiri dari tiga pertanyaan untuk mengetahui status peralatan yang dimiliki, jumlah
peralatan kerja yang dimiliki dan umur peralatan kerja yang dimiliki.

Analisis Multidimension Scaling (MDS)


Hasil dari pengolahan program MDS ini didapatkan koordinat (stimulus coordinates) masing-masing kontraktor
besar di Indonesia yang ditunjukkan pada konfigurasi dijabarkan dalam 2 dimensi. Berdasarkan koordinat dari dua
dimensi tersebut, dapat dihasilkan peta posisi dari masing-masing kontraktor besar dengan konfigurasi kelompok
kontraktor yang memiliki kemiripan. Lihat Swanatri (2015).
a. Kelompok 1: WIKA, HK, PP, WASKITA, ADHI dan TOTAL merupakan kelompok perusahaan kontraktor
besar yang paling bersaing di Indonesia karena jarak titiknya yang berdekatan dan terletak di kuadran yang sama.
Sedangkan SBBK walaupun terletak dikuadran yang sama tetapi jarak titiknya berjauhan dengan kontraktor
besar lainnya ini berarti perusahaan tersebut kurang memiliki kemiripan karakteristik maupun persepsi indikator
yang mengungguli persaingan antar kontraktor besar.
b. Kelompok 2: TJS, PMU dan CHU merupakan kelompok perusahaan kontraktor besar yang kurang bersaing
diantara ketiganya. Dilihat dari Jarak titik antara ketiga perusahaan berjauhan di kuadran yang sama artinya
ketiga perusahaan ini tidak ada kemiripan dalam hal karakteristik maupun persepsi indicator yang mengungguli
persaingan antar kontraktor besar.
c. Kelompok 3: LB, TIB, SSR, SKS, AM dan TOM merupakan kelompok perusahaan kontraktor besar yang
sedang bersaing di Indonesia karena jarak titiknya yang berdekatan dan terletak di kuadran yang sama. KK juga
termasuk kelompok 3 karena jarak titiknya yang lebih dekat dengan SKS
d. Kelompok 4: NRC, NINDYA dan ADP merupakan kelompok perusahaan kontraktor yang kurang bersaing
dilihat dari jarak antar titik yang berjauhan.
Perbandingan Karakteristik kelompok 1, kelompok 2, kelompok 3 dan Kelompok 4 dalam penelitian ini adalah
tercantum pada Tabel 3. Lebih detail dapat di lihat di Swantari (2015).

Tabel 3. Komparasi Daya Saing Empat Kelompok Kontraktor Berdasarkan Karakteristiknya.


Kelompok 1 2 3 4
1 0.126 0.001 0.000
2 0.126 0.000 0.000
3 0.001 0.000 0.001
4 0.000 0.000 0.001

MK - 32
Sumber: Swantari, (2015)
Dari tabel 4.26 terlihat bahwa karakteristik perusahaan antara kelompok 1, kelompok 2 memiliki persamaan didalam
melakukan persaingan (0,126). Jika dilihat pada lampiran profil perusahaan, persamaan yang dimiliki kedua
kelompok ini ada pada sub bidang layanan dari masing-masing perusahaan yang mana sama sama bergerak dibidang
kontruksi bangunan & infrastruktur. Sedangkan kelompok yang memiliki karakteristik yang berbeda adalah
kelompok 1 dan kelompok 3 (0,001). Kelompok 1 hampir sebagian besar merupakan BUMN sedangkan kelompok 2
merupakan perusahaan swasta. Perbedaan lain yang ada antara kedua kelompok ini terletak pada lamanya
perusahaan berdiri, jenis sub bidang layanan yang dimiliki masing-masing perusahaan, asset dan jumlah karyawan
yang dimiliki. Dari total asset perusahaan yang dimiliki, PT.Wijaya Karya memiliki asset terbesar yaitu Rp.
15.915.161.682.000 dengan sub bidang pekerjaan meliputi perumahaan, gedung, infrastruktur, irigasi, EPC dan
investasi. Selanjutnya yang memiliki asset terbesar adalah PT. Pembangunan Perumahan (PP) sebesar Rp.
14.611.865.000.000, PT. Waskita Karya sebesar Rp. 12.542.042.000.000, PT. Adhi Karya sebesar Rp.
10.458.882.000.000, PT. Hutama Karya sebesar Rp. 5.993.122.641.820 dengan sub bidang pekerjaan meliputi
perumahaan, gedung, infrastruktur, irigasi, EPC dan investasi. Sedangkan perusahaan yang memiliki asset < 1
Triliun adalah perusahaan PT. Kresna Karya, PT. Surya Karya Sari, PT. Tenaga Inti Buwana, PT. Suradi Sejahtera
Raya, PT. Nata Putra, PT. Tom Konstruksi dan PT. Laju Baru. Perusahaan-perusahaan yang memiliki asset < 1
Triliun hanya bergerak dibidang infrastruktur, perumahan dan gedung. Sedangkan dilihat dari tahun berdirinya
perusahaan yan memliki asset > 1 Triliun sudah berdiri > 50 tahun, sedangkan perusahaan-perusahaan yang
memiliki asset < 1 Triliun < 50 Tahun. Ini menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki usia yang lebih lama,
memiliki pengalaman dan tingkat kepercayaan yang lebih dalam menjalankan perusahaan sehingga dapat menambah
nilai investasi dalam perusahaan tersebut. Ini juga terlihat dari jumlah karyawan yang dimiliki. Terlihat bahwa
perusahaan yang memiliki asset > 1 Triliun dan usia > 50 tahun mempunyai jumlah karyawan yang lebih banyak
dari perusahaan yang lainnya. Perbedaan Kelompok 1 dan 4 (0,000) terletak pada sub bidang layanan dimana
hampir semua perusahaan yang ada pada kelompok 1 meliputi perumahaan, gedung, infrastruktur, irigasi, EPC dan
investasi sedangkan pada kelompok 4 hanya meliputi perumahaan, gedung dan infrastruktur. Selanjutnya perbedaan
antara kelompok 2 dan kelompok 3 (0,000) terletak pada jumlah asset dan sub bidang layanan tiap perusahaan. Pada
kelompok 2 terdapat PT. Tunas Jaya Sanur dan PT. Pulau Mas Utama yang memiliki total asset > 1 Triliun
sedangkan untuk kelompok 3 rata-rata total asset yang dimiliki perusahaan < 1 Triliun untuk sub bidang layanan
yang dikerjakan, kelompok 2 meliputi pekerjaan perumahan dan gedung, sedangkan kelompok 3 hanya meliputi
pekerjaan infrastruktur saja. Adapun perbedaan kelompok 2 dan kelompok 4 (0,000), kelompok 2 sub bidang
layanan yang dikerjakan meliputi pekerjaan perumahan dan gedung, sedangkan kelompok 4 sub bidang layanan
yang dikerjakan meliputi pekerjaan perumahan,gedung dan infrastruktur. Selanjutnya, kelompok 3 dan kelompok 4
(0,001) terdapat perbedaan pada jumlah asset yang dimiliki antar perusahaan. Jumlah asset pada kelompok 3 rata-
rata < 250 Milyar sedangkan jumlah asset pada kelompok 4 > 250 Milyar.
Untuk mengetahui Key Competitiveness Indicators perusahaan yang berbeda antara kelompok 1, kelompok 2,
kelompok 3 dan kelompok 4, penulis menggunakan uji LSD. Dengan melihat hasil uji tersebut, dapat di peroleh
karakteristik perusahaan mana yang berbeda dan yang sama dalam melakukan daya saing di Indonesia seperti
terlihat pada Tabel 4. Lebih detail dapat dilihat di Swantari (2015).

Tabel 4. Signifikansi Perbandingan KCI Empat Kelompok Kontraktor


kelompok 1 2 3 4
1 0.042 0.026 0.002
2 0.042 0.001 0.000
3 0.026 0.001 0.093
4 0.002 0.000 0.093
Sumber Swantari (2015).
Dari Tabel 4. terlihat bahwa Key Competitiveness Indicators perusahaan antara kelompok 3 dan kelompok 4
memiliki persamaan persepsi dalam tingkat pengaruh key competitiveness indivators yang diadopsi dari penelitian
Yang Tao di Hongkong terhadap daya saing antar kontraktor besar di Indonesia (0,093). Terlihat bahwa sebagian
besar kontraktor memilih kemampuan keuangan dan keterampilan pada manajemen proyek tiap perusahaan
merupakan indicator yang berpengaruh terhadap daya saing. Sedangkan, kelompok yang memiliki persepsi yang
berbeda adalah kelompok 1 dan kelompok 2 (0,042), kelompok 1 dan kelompok 3 (0,026), kelompok 1 dan 4
(0,002), kelompok 2 dan kelompok 3 (0,001), kelompok 2 dan kelompok 4 (0,000). Misalnya indikator "Tingkat
investasi pada Penelitian dan Pengembangan" tidak dianggap sebagai indikator yang paling berpengaruh terhadap
daya saing kontraktor di indonesia, hal ini menunjukkan kemampuan teknologi beberapa perusahaan yang lebih
rendah dari kontraktor lainnya.

MK - 33
Perbandingan Dengan Penelitian Lain
Penelitian mengenai Competitive of Contractors yang pernah dilakukan sebelumnya adalah Penelitian di Hong
Kong oleh Yong-tao Tan yang berjudul “Contractor Key Competitiveness”. Menurut Tan, pasar konstruksi di negara
maju atau daerah seperti Hong Kong memiliki daya saing yang nyata. Ini menyajikan pentingnya bagi kontraktor
untuk mendapatkan pemahaman yang tepat tentang bagaimana praktek daya saing mereka dinilai dalam pasar
konstruksi tertentu. Penelitian ini memperkenalkan sistem indikator daya saing untuk menilai daya saing kontraktor
dari enam aspek: citra perusahaan, teknologi dan inovasi, kemampuan pemasaran, kemampuan pembiayaan,
keterampilan manajemen proyek, dan organisasi dan sumber daya manusia. Indikator daya saing utama (KPI)
diidentifikasi, yang akan digunakan untuk meningkatkan efisiensi memahami daya saing kontraktor dalam industri
konstruksi Hong Kong.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan baik dengan klien, pemerintah departemen, dan konsultan
profesional dapat keuntungan kompetitif bagi kontraktor. Kontraktor harus terlibat dalam berbagai jenis hubungan
dengan peserta proyek. Hubungan kontraktor dengan klien, pemerintah departemen, dan konsultan profesional
sangat penting, dan telah memiliki latar belakang yang berbeda dan keunggulan kompetitif dalam persaingan.
Penelitian lain oleh Harijanto Setiawan yang berjudul “Competitive Aggressiveness of Contractors: A study of
Indonesia”. Penelitian tersebut mengidentifikasi lima faktor kunci agresivitas daya saing kontraktor antara lain : 1)
bertindak sebagai pemecah masalah bagi klien; 2) menjadi berbeda dibandingkan dengan pesaing; 3) membangun
dan memelihara kepercayaan klien; 4) menjaga hubungan baik dengan klien; dan 5) posisi di pasar yang prihatin
tentang kualitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agresivitas kompetitif kontraktor dilakukan melalui berbagai
upaya untuk mendekati pemilik proyek dan untuk membangun kepercayaan klien. Oleh karena itu, hubungan yang
baik dengan klien merupakan elemen kuat dari kontraktor untuk meraih kepercayaan klien.

5. KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan secara keseluruhan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Indikator yang paling mempengaruhi keunggulan bersaing antar perusahaan konstruksi di Indonesia adalah pada
environmental dan safety management (mean 4,86 dan SD 0,48), project performance record (mean 4,81 dan SD
0,40), contract dan risk management (mean 4,81 dan SD 0,40), quality of personnel (mean 4,81 dan SD 0,40),
dan yang terakhir merupakan credibility grade (mean 4,67 dan SD 0,48).
2. Dari 21 responden perusahaan kontraktor besar di Indonesia, sebanyak 100% perusahaan memiliki tingkat
pendidikan penanggung jawab badan usaha dan tingkat pendidikan penanggung jawab teknik yang sama yaitu
pada tingkat pendidikan S1/S2/S3. Sebanyak 100% rata-rata sertifikat yang dimiliki penanggung jawab teknik
badan usaha tiap perusahaan adalah Sertifikat Keahlian Kerja. Sehingga untuk tingkat pendidikan
penanggungjawab teknik badan usaha dan sertifikat yang dimiliki oleh penanggungjawab teknik badan usaha
dapat disimpulkan semua pengusaha jasa konstruksi memenuhi syarat dasar karena didalam Undang-Undang
Nomor 18 tahun 1999 tidak disebutkan latar belakang pendidikan penanggungjawab teknik badan usaha, tetapi
hanya diatur bahwa tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksana
konstruksi harus memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian kerja. Sedangkan Peraturan Lembaga LPJK
No.11a Tahun 1999 juga tidak mensyaratkan pendidikan minimal bagi penanggungjawab teknik badan usaha,
tetapi menyebutkan bahwa PJT (Penanggung Jawab Teknik) adalah tenaga ahli atau tenaga terampil bersertifikat
yang ditunjuk PJBU untuk bertanggung jawab dalam hal teknik atas keseluruhan kegiatan Badan Usaha. Sebesar
28,57% perusahaan kontraktor besar di Indonesia memiliki kekayaan bersih antara Rp. 10 Milyar s.d Rp 50
Milyar, sebebsar 23,81% perusahaan kontraktor besar di Indonesia memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50
Milyar s.d Rp 250 Milyar, sebesar 9,52% perusahaan kontraktor besar di Indonesia memiliki kekayaan bersih
lebih dari Rp 250 Milyar s.d Rp 1 Triliun dan sebesar 38,10% perusahaan kontraktor besar di Indonesia memiliki
nilai proyek lebih dari Rp 1 Triliun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semua pengusaha jasa konstruksi
kualifikasi besar di Indonesia sudah memenuhi syarat dasar dalam PerLem LPJK No.11a Tahun 2008
mensyaratkan bahwa Usaha Golongan Besar memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 1 Milyar. Peraturan
Lembaga LPJK No. 11a tahun 2008 yang telah menetapkan besaran kekayaan bersih untuk kualifikasi kontraktor
besar. Hal ini juga menunjukan bahwa pengusaha jasa konstruksi semakin memiliki daya saing serta struktur
usaha yang semakin andal sehingga mampu menghasilkan pekerjaan konstruksi yang berkualitas.
3. Hasil ALSCAL menunjukkan perusahaan-perusahaan kontraktor besar di Indonesia mengelompok dalam empat
kelompok yaitu: a) Kelompok 1: WIKA, HK, PP, WASKIT, ADHI dan TOTAL merupakan kelompok
perusahaan kontraktor besar yang bersaing secara ketat di Indonesia karena jarak titiknya yang berdekatan dan
terletak di kuadran yang sama. Sedanglan SBBK walaupun terletak dikuadran yang sama tetapi jarak titiknya
berjauhan dengan kontraktor besar ke enam kontraktor lainnya ini berarti perusahaan tersebut kurang memiliki

MK - 34
kemiripan karakteristik maupun persepsi indikator yang mengungguli persaingan antar kontraktor besar. b).
Kelompok 2: TJS, PMU dan CHU merupakan kelompok perusahaan kontraktor besar yang bersaing dengan
tingkatan sedang diantara ketiganya. Dilihat dari Jarak titik antara ketiga perusahaan berjauhan di kuadran yang
sama artinya ketiga perusahaan ini kurang ada kemiripan dalam hal karakteristik maupun persepsi indikator yang
mengungguli persaingan antar kontraktor besar. c). Kelompok tiga: LB, TIB, SSR, SKS, AM dan TOM
merupakan kelompok perusahaan kontraktor besar yang bersaing ketat karena jarak titiknya yang berdekatan dan
terletak di kuadran yang sama. KK juga termasuk kelompok tiga karena jarak titiknya yang lebih dekat dengan
SKS. d). Kelompok 4: NRC, NINDYA dan ADP merupakan kelompok perusahaan kontraktor yang bersain
dengan tingkatan kurang dilihat dari jarak antar titik yang berjauhan.
Saran untuk pemerintah yang merupakan klien tunggal terbesar di industri konstruksi Indonesia dan bertanggung
jawab untuk semua bangunan publik seperti rumah sakit dan sekolah-sekolah, dan semua proyek infrastruktur utama
termasuk jalan, terowongan, saluran pembuangan, jembatan, dan lain-lain. Maka hubungan kontraktor yang baik
dengan klien, arsitek, konsultan, subkontraktor, dan pemasok dapat membantu kontraktor untuk memiliki informasi
lebih lanjut dan kesempatan untuk memperoleh kontrak konstruksi. Oleh karena itu, masuknya kontaktor pada daftar
tender untuk pekerjaan pemerintah sangat penting didalam kompetensi.
Kontraktor juga harus lebih menekankan pada teknologi dan inovasi, kemampuan pemasaran dan organisasi dan
sumber daya manusia jika mereka ingin mencapai pertumbuhan dalam penghargaan kontrak. Kemampuan
pemasaran yang baik dapat memungkinkan kontraktor untuk mencari peluang baru di pasar. Teknologi canggih dan
sumber daya manusia yang baik memungkinkan kontraktor untuk menyediakan klien dengan pelayanan yang baik
yang akan membangun reputasi kontraktor di industri. Reputasi yang baik juga akan membantu kontraktor menarik
lebih banyak klien untuk bekerja sama dengan mereka. Membangun budaya organisasi yang sehat dan sistem
manajemen sumber daya manusia yang baik dapat meningkatkan kerjasama internal dan efisiensi kerja, sehingga
keuntungan yang lebih tinggi dapat dicapai melalui menyelesaikan proyek-proyek konstruksi yang lebih efisien.

DAFTAR PUSTAKA
Das,T.K & Teng, S-H. 2000. Instabilities of Strategic Alliances: An Internal Tensions Perspective, Organizational
Science, Vol 11, Issue 1, 77-101.
Ginanjar, I. 2008. Aplikasi Multidimensional Scaling (MDS) Untuk Peningkatan Pelayanan Proses Belajar
Mengajar (PBM). Staf Pengajar Jurusan Statistika FMIPA UNPAD, Bandung.
Hilebrant, P.M. 2000. Econmic Theory and The Construction Industry, Palgrave Macmillan; 3rd Edition.
Kadin, 2002, Industri Jasa Konstruksi di Indonesia, Kompartemen Jasa Konstruksi, Konsultasi, Real Estate dan
Teknologi Tinggi, Kadin Indonesia, Jakarta, hal. 9
Langford, D. & Male, S. 2001. Strategic Management in Construction (2nd ed.). Oxford: Blackwell Science.
LPJK NO. 11a tahun 2008 tentang Kualifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi di Indonesia
Markus, G., 2008, “Measuring Company Level Competiveness in Porter’s Diamond Model Framework”, FIKUSZ
2008 Business Sciences Symposium for Young Researchers: Proceedings : 149-158.
Momaya, K. and Selby, K., 1998, “International Competitiveness of the Canadian Construction Industry: A
Comparison with Japan and the United States”, Canadian Journal Civil Engineering 25: 640-652
Parikesit,D.; Suraji,A.; Purwanto, H.; Susilo, L.W.B. 2007 Sektor Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri
Konstruksi Ke Depan, Konferensi Nasional Teknik Sipil 1-2007 (KoNTekS 1), 64-87.
Pranoto, 2005, Menyiasati KKN Sektor Konstruksi, Lembaga Pengemnagan Jasa Konstruksi Nasional, Indonesia.
Setiawan, H. (2015) “Competitive Aggressiveness of Contractors: a study of Indonesia”. The 5th International
Conference of Euro Asia Civil Engineering Forum (EACEF-5). Surabaya.
Sutjipto, 1991, Strategi Industri Jasa Konstruksi Nasional Dalam Era Globalisasi, Jakarta, hal. 7, 9
Swantari, P.I. (2015) Kajian Daya Saing Kontraktor Besar Indonesia, Tesis, MTS-PPS, UAJY.
Tan, Yongtao (2008). “Contractor Key Competitiveness Indicators (KCIs) : A Hong Kong Study ” . Surveying and
Built Environtment Vol 18 (2), 33-46.
Timm, N. H. (2002). Applied Multivariate Analysis. Springer-Verleg. New York
Trisnowardono, N., (2002). Menuju Usaha Jasa Konstruksi Yang Handal, Abdi Tandur, Jakarta
UU (2017) Undang Undang Jasa Konstruksi no 2 Tahun 2017.

MK - 35
MK - 36
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

IDENTIFIKASI PENYEBAB, DAMPAK, SERTA ANALISIS FAKTOR-FAKTOR


RISIKO CHANGE ORDER PADA PROYEK WISATA EDUKASI AKUARIUM DI
JAKARTA

Adi Nugroho Hudiono1, Andreas F. V. Roy2, dan Adrian Firdaus3

1
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Jl. Ciumbuleuit 94 Bandung
Email: adihudiono94@gmail.com
2
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Jl. Ciumbuleuit 94 Bandung
Email: andrevan@unpar.ac.id
3
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Jl. Ciumbuleuit 94 Bandung
Email: adrianfirdaus91@gmail.com

ABSTRAK
Karakteristik proyek konstruksi yang dinamis menjadikan aktivitas konstruksi selalu dalam kondisi
penuh risiko. Variasi yang ada pada proyek konstruksi, baik itu pihak-pihak yang terlibat,
lingkungan yang dihadapi, proses kerja dan lain-lain seringkali memicu terjadinya change order.
Change order umumnya memiliki dampak negatif terhadap proyek. Berdasarkan telaah terhadap
sejumlah literatur, diperoleh 23 buah faktor risiko penyebab change order. Duapuluh tiga faktor ini
digunakan untuk menelaah 64 item perubahan yang terjadi pada proyek pembangunan wisata
edukasi akuarium di Jakarta. Berdasarkan 64 item perubahan tersebut diketahui bahwa tidak semua
faktor risiko terjadi pada proyek ini, hanya ada enam faktor risiko yang terjadi. Lebih jauh
berdasarkan riwayat perubahannya analisis dilanjutkan dengan pengklasifikasian atas pihak
penyebab, faktor risiko berdampak terbesar, dan paket pekerjaannya. Hasil kajian mendapati bahwa
pihak pengguna jasa (pemberi kerja) adalah pihak penyebab terbanyak sebanyak 50 kali. Sementara
faktor risiko terbesar adalah akibat dari perubahan desain dan perubahan lingkup kerja, masing-
masing memiliki frekuensi 20 kali. Empat puluh kali perubahan ini memiliki dampak biaya sebesar
4,1 milyar rupiah atau hampir mencapai 11% dari RAB. Selain itu, atas dua faktor risiko ini, jika
dibandingkan dengan durasi rencana proyek sebesar 20 minggu, maka terjadi rata-rata dua kali
perubahan dalam seminggu. Berdasarkan klasifikasi frekuensi yang disusun masuk dalam kategori
sangat sering. Lebih jauh sesuai dengan karakteristik proyek pada lokasi studi berupa kumpulan
akuarium, maka paket pekerjaan yang paling banyak mengalami perubahan adalah pada pakerjaan
mekanikal elektrikal dan plumbing.
Kata kunci: Change Order, Pengguna Jasa, Perubahan desain dan perubahan lingkup kerja

1. PENDAHULUAN
Dalam pelaksanaan proyek konstruksi perubahan kerja sering kali tidak dapat dihindari (Sun dan Meng, 2009)
(Serag et al., 2010). Perubahan kerja tersebut terjadi sebagai akibat dari adanya change order (Yasin, 2009).
Perubahan kerja bisa terjadi di awal, pertengahan, atau mendekati tahap akhir proyek konstruksi (Yasin, 2009).
Perubahan kerja dapat berbentuk penambahan atau pengurangan lingkup kerja (Hanna et al., 2002). Demikian pula
perubahan kerja dapat disebabkan oleh keunikan yang dimiliki masing-masing proyek, modifikasi pada lingkup
kerja, dan atau karena perencanaan yang kurang matang (Hanna et al., 2002).
Perubahan kerja tersebut disampaikan melalui suatu dokumen change order. Change order dapat berupa
perubahan formal atau informal yang seringkali menimbulkan dampak negatif terhadap pekerjaan konstruksi
(Yasin, 2009). Dampak negatif dari change order umumnya terjadi pada biaya (Zou dan Lee, 2004) dan waktu
(Sun et al., 2006). Biaya dan waktu membengkak disebabkan oleh kehilangan efisiensi tenaga kerja, kehilangan
jam atau hari kerja, penambahan material, dan lain-lain (Wu, et al.,2004) (Moselhi, et al., 2005).
Change order muncul dari pihak-pihak yang terlibat pada proyek baik itu dari penyedia jasa ataupun pengguna
jasa (pemberi kerja) (Motawa et al., 2007). Change order yang berasal dari pengguna jasa biasanya berupa perintah
perubahan kerja, sedangkan dari pihak penyedia jasa (penerima kerja) biasa berupa usulan perubahan (Fisk,
2003). Perubahan kerja akibat adanya change order baru akan sah jika sebelumnya memang sudah diatur pada
kontrak awal terkait kegiatan perintah perubahan kerja (Fisk, 2003). Baik penyedia jasa atau pengguna jasa
sama-sama perlu memahami sebab dan akibat dari adanya change order. Apabila tidak dicermati, perubahan yang
ditimbulkan bisa jadi tidak hanya merugikan kedua pihak (Fisk, 2003). Masalah perubahan kerja yang sulit

MK - 37
diselesaikan dapat memburuk serta menjadi sengketa dan klaim (Hassanein dan El Nemr, 2007; Yasin, 2009;
Assbeihat dan Sweis, 2015).
Uraian beberapa paragraf sebelumnya memberikan gambaran bahwa change order dipicu oleh sejumlah faktor yang
bersumber dari dua pihak yang terlibat, baik itu pengguna jasa ataupun penyedia jasa. Pada tulisan ini akan ditelaah
faktor-faktor pemicu atau penyebab change order. Faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor risiko ini akan
digunakan sebagai acuan dalam menelaah terjadinya change order pada sebuah proyek wisata edukasi akuarium di
Jakarta. Berdasarkan data changer order yang terjadi di proyek tersebut akan dikaji faktor change order mana yang
dominan terjadi serta besarnya dampak yang ditimbulkan.

2. KONSEP CHANGER ORDER DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBABNYA


Change order atau dalam bahasa Indonesia perintah perubahan adalah sebuah cara untuk menyampaikan suatu
perubahan dalam suatu proses konstruksi setelah kontrak awal disetujui (Fisk, 2003). Perubahan tersebut dapat
berupa penambahan atau pengurangan pekerjaan (Hanna et al., 2002) (Fisk, 2003). Secara sederhana, change order
dapat didefinisikan sebagai modifikasi dari kontrak awal (Schaufelberger & Holm, 2002).
Change order dapat diajukan secara formal ataupun secara informal .Secara formal, change order diajukan secara
tertulis dan telah terlebih dahulu oleh pihak-pihak terkait . Bentuk change order yang diajukan secara informal
seringkali disebut perubahan konstruktif dalam bahasa hukum (Yasin, 2009). Perubahan konstruktif biasanya
dilakukan secara lisan sehingga sulit untuk dikendalikan (Fisk, 2003).
Change order dapat dilakukan oleh owner atau konsultan perencana dan kontraktor (Sapulette, 2009). Melalui
dokumen perubahan, owner atau pengguna jasa dapat melakukan perubahan setelah kontrak awal disetujui oleh
pihak-pihak terkait (Yasin, 2009). Dalam bahasa Indonesia change order oleh pengguna jasa sering disebut dengan
perintah perubahan (Yasin, 2009). Sementara itu jika change order berasal dari kontraktor (penyedia jasa
pelaksana) biasa disebut usulan perubahan (Fisk, 2003). Usulan perubahan tersebut harus disetujui oleh pengguna
jasa atau konsultan perencana (penyedia jasa perencana) atau pihak Manajemen Konstruksi sebagai wakil pengguna
jasa (Fisk, 2003).
Sejumlah penelitian tentang change order mencoba mengindentikasi penyebabnya. Penyebab terjadinya change
order dapat disebut sebagai faktor risiko. Hal ini karena changer order dapat memberikan dampak yang umumnya
negatif.
Barrie dan Paulson (1992) menjelaskan ada sebelas faktor yang menjadi penyebab terjadinya change order.
Kesebelas faktor penyebab tersebut adalah tidak sempurnanya proses perencanaan, perubahan desain, keselamatan
kerja, adanya pekerjaan tambah/kurang, kurang jelasnya kontrak, penghentian pekerjaan sementara, keterbatasan
keterampilan sumber daya manusia, adanya campur tangan pihak ketiga, kinerja subkontraktor yang buruk, dan
masalah pada kontrak, dan perselisihan antar owner.
Bartholomew (2002) menjelaskan juga bahwa change order dapat disebabkan oleh perubahan metode kerja. Dari
Schaufelberger & Holm (2002) diketahui juga bahwa perubahan perkejaan yang telah selesai termasuk kedalam
salah satu penyebab terjadinya change order.
Sementara Hsieh, et al. pada tahun 2004 mendapatkan penyebab lain melalui penelitiannya, yaitu gambar spesifikasi
yang tidak lengkap atau tidak jelas, kebutuhan tambahan akibat alih fungsi, kurangnya komunikasi antar pihak,
kondisi politik atau perubahan peraturan, perbedaan kondisi lapangan aktual dengan kondisi lapangan rencana,
permohonan masyarakat sekitar proyek, masalah sumber daya manusia, dan akibat terjadinya kesalahan dalam
pelaksanaan.
Melalui bukunya, Soeharto (1995) menjelaskan bahwa ada sebab lain yang mengakibatkan change order, yaitu
perubahan material. Enshassi et al. mendapatkan ada 10 faktor penyebab terjadinya change order. Dari kesepuluh
faktor tersebut, ditemukan penyebab lain, yaitu akibat dari kesulitan finansial dari pihak pengguna jasa.
Msallam et al. (2015), melalui penelitiannya mendapatkan 12 penyebab change order, yaitu kesalahan dalam
perencanaan, perubahan desain, pertimbangan keselamatan dan keamanan kerja, perubahan lingkup pekerjaan,
konflik pada dokumen kontrak, kesulitan finansial pengguna jasa, kurangnya koordinasi antar pelaku proyek,
kondisi politik dan perubahan peraturan , perbedaan kondisi lapangan aktual dengan kondisi lapangan rencana,
masalah sumber daya manusia, kesalahan dalam pelaksanaan, kinera subkontraktor.
Rangkuman atas sejumlah penelitian tentang faktor penyebab atau pemicu change order tersebut disajikan pada
Tabel 1. Tabel 1 menyajikan 23 faktor penyebab change order. Dapat dilihat bahwa terdapat faktor-faktor penyebab
change order yang teridentifikasi berulang kali oleh sejumlah peneliti, tetapi ada pula faktor-faktor penyebab

MK - 38
change order yang hanya teridentifikasi satu kali. Hal ini memberikan gambaran karakteristik proyek yang dikaji
memberikan hasil identifikasi faktor penyebab change order yang berbeda.

Tabel 1. Penyebab Change Order


Referensi
No. Faktor Penyebab Change Order
A B C D E F G
1 Kesalahan dalam perencanaan x x x x x
2 Perubahan desain x x x x x x
3 Perubahan metode kerja x x
Gambar spesifikasi yang tidak lengkap/tidak
4 x
jelas
5 Perubahan material x x
6 Pertimbangan keselamatan dan keamanan kerja x x x x
8 Penundaan atau percepatan pekerjaan x
Penambahan atau pengurangan (perubahan)
9 x x x
lingkup pekerjaan
10 Kebutuhan tambahan akibat alih fungsi x
11 Perubahan pekerjaan yang telah selesai x
Konflik pada dokumen kontrak (kurang lengkap
12 x x x x x
atau tumpang tindih)
13 Kesulitan finansial pengguna jasa (pemilik) x x
14 Kurangnya koordinasi di antara pelaku proyek x x x
15 Kondisi politik dan perubahan peraturan x x x
Perbedaan kondisi lapangan aktual dengan
16 x x x
kondisi lapangan rencana
17 Penghentian kontrak sementara x x
18 Permohohanan masyarakat sekitar proyek x
19 Masalah sumber daya manusia x x x
20 Intervensi pihak ketiga x x
21 Kesalahan dalam pelaksanaan x x
22 Kinerja subkontraktor x x
23 Perselisihan pengguna jasa x

Keterangan Tabel 2-1:


A. Barrie & Paulson (1992)
B. Bartholomew (2002)
C. Schaufelberger & Holm (2002)
D. Hsieh, et al. (2004)
E. Soeharto (1995)
F. Enshassi et al. (2010)
G. Msallam et al. (2015)

3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan berdasarkan diagram alir pada Gambar 1. Studi literatur yang dilakukan memuat konsep dan
faktor penyebab change order. Setelah proses identifikasi faktor-faktor penyebab change order diselesaikan,
langkah selanjutnya dalam penelitian ini adalah pengumpulan data. Data di ambil dari sebuah proyek wisata edukasi
akuarium di Jakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara personal dan observasi langsung
dilapangan. Dari pengumpulan data diperolah hasil riwayat perubahan. Atas riwayat perubahan yang terjadi
dilakukan klasifikasi. Pengklasifikasian dilakukan untuk tiga kriteria, yaitu terhadap pihak penyebab, sebab
terjadinya, dan lingkup pekerjaan. Dalam masing-masing pengklasifikasian dilakukan perhitungan frekuensi
terjadinya termasuk dampaknya terhadap biaya dari masing-masing sumber penyebab change order.

MK - 39
Gambar 1. Diagram Alir Metodologi Penelitian

Untuk kriteria pihak penyebab change order dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu pemberi kerja (owner) dan
penerima kerja (kontraktor). Untuk kriteria sebab terjadinya, atas 23 faktor, terdidentifikasi hanya 6 faktor yang
terjadi pada objek penelitian ini. Kriteria ketiga adalah untuk mengetahui sumber dari lingkup pekerjaan yang
terpengaruh change order. Lingkup kriteria pekerjaan dibagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu arsitektur, struktur, dan
MEP.
Peta sebab terjadinya change order juga digunakan untuk menganalisis faktor risiko change order. Hasil frekuensi
dan dampak terhadap biaya diklasifikasikan kembali untuk mendapatkan kelas-kelas dari masing-masing faktor
risiko.

4. HASIL DAN ANALISIS


Klasifikasi berdasarkan Pihak Penyebab Change Order
Dari proses pemetaan pihak penyebab change order paling banyak dilakukan oleh owner. Dari 64 item perubahan,
perubahan dari owner terjadi sebanyak 50 kali dan dari kontraktor sebanyak 14 kali. Biaya dampak yang
ditimbulkan oleh pihak owner adalah sebesar Rp 4,556,379,604.83 dan oleh pihak kontraktor adalah sebesar Rp
1,388,524,664.02. Tabel 2 memberikan rincian hasil klasifikasi pihak penyebab change order.

Tabel 2. Hasil Klasifikasi Pihak Penyebab Change Order


Pihak Penyebab
Parameter
Owner Kontraktor
Frekuensi 50 14
Persentase (%) 78.13% 21.88%
Biaya Dampak Rp 4,556,379,604.83 Rp 1,388,524,664.02

MK - 40
Klasifikasi berdasarkan Sebab Terjadinya
Dari enam faktor penyebab change order yang terjadi, maka perubahan desain dan penambahan lingkup pekerjaan
adalah dua faktor yang paling sering terjadi. Masing-masing penyebab terjadi sebanyak 20 kali selama proyek
berlangsung. Perubahan pekerjaan yang telah selesai terjadi sebanyak 10 kali, kebutuhan tambahan untuk fungsional
8 kali, gambar spesifikasi yang tidak lengkap 5 kali, dan akibat perubahan material hanya terjadi sebanyak 1 kali.
Perubahan desain dan penambahan lingkup pekerjaan menjadi penyebab change order dengan dampak biaya
terbesar dengan nilai Rp 3,048,176,083.20 dan Rp 1,068,049,634.00. Tabel 4 memberikan rincian frekuensi,
persentase serta dampak dari keenam faktor penyebab changer order tersebut.

Tabel 3. Hasil Klasifikasi terhadap Sebab Terjadinya


Sebab Terjadinya
Gambar Kebutuhan
Parameter Penambahan Perubahan
Perubahan Perubahan spesifikasi tambahan
lingkup pekerjaan yang
desain material yang tidak untuk
Pekerjaan telah selesai
lengkap fungsional
Frekuensi 20 1 5 20 10 8
Persentase (%) 31.25% 1.56% 7.81% 31.25% 15.63% 12.50%
Rp Rp
Biaya Dampak Rp 3,048,176,083.20 Rp 503,604,174.00 139,313,700.00 Rp 1,068,049,634.00 Rp 440,153,887.63 745,606,790.02

Klasifikasi berdasarkan Lingkup Pekerjaan


Lingkup pekerjaan yang paling banyak terpengaruh adalah lingkup pekerjaan MEP, terjadi sebanyak 30 kali. Pada
lingkup pekerjaan arsitektur terjadi sebanyak 20 kali, dan 15 kali pada lingkup pekerjaan struktur. Lingkup
pekerjaan MEP paling banyak terpengaruh karena satu perubahan yang terjadi dapat menimbulkan efek beruntun
pada sistem pemipaan atau listrik, ataupun mesin yang digunakan. Change order yang terjadi pada Proyek Jakarta
Aquarium menimbulkan penambahan biaya sebesar Rp5.944.904.269,00. Tabel 3. menyajikan rincian frekuensi,
persentase dan dampak biayanya.

Tabel 4. Hasil Klasifikasi Lingkup Pekerjaan


Lingkup Pekerjaan
Parameter
Arsitektur Struktur MEP
Frekuensi 20 15 30
Persentase
(%) 30.77% 23.08% 46.15%
Biaya Rp Rp Rp
Dampak 880,081,240.83 1,451,699,864.02 3,613,123,164.00

Peta Hasil Klasifikasi


Untuk melakukan analisis sebab dan faktor risiko changer order, proses pemetaan dilakukan terlebih dahulu. Proses
pemetaan dilakukan dengan menggunakan pendekatan mindmap. Contoh peta mindmap disajikan pada Gambar 2.

MK - 41
Gambar 2. Peta Mindmap Change Order dari Pemberi Kerja (Owner)
Pada contoh peta tersebut dapat dilihat bahwa terdapat terdapat tiga faktor penyebab change order yang berasal dari
pemberi kerja. Masing-masing faktor memiliki dampaknya sendiri, sehingga secara akumulatif dapat dihitung biaya
dampak akibat permintaan dari pemberi kerja.
Analisis Faktor Risiko dari Change Order
Hasil klasifikasi sebab terjadinya, digunakan kembali untuk analisis faktor risiko dari masing-masing sebab. Nilai
frekuensi kejadian dan nilai dampak terhadap biaya diklasifikasikan, masing-masing dibagi menjadi 6 kelas.
Pengklasifikasian untuk frekuensi dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai maksimal 20 digunakan dengan pendekatan total
durasi proyek adalah 20 minggu. Selanjutnya nilai maksimal tersebut dijadikan dasar pembagian untuk 6 kelas
berbeda,

Tabel 5. Pengklasifikasian Frekuensi Kejadian


Jumlah
Poin Keterengan
Kejadian

0 tidak pernah 0

sangat
1 1-4
jarang
2 jarang 5-8
3 sedang 9-12
4 sering 13-16
Sangat
5 17-20
sering

Pengklasifikasian biaya dampak dari masing-masing risiko dilihat dari persentasenya terhadap biaya total.
Persentase dampak terbesar diadopsi dari buku Project Management Body of Knowledge (2013) yaitu di atas 20%
biaya total. Tabel pengklasifikasian biaya dampak dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Klasifikasi Biaya Dampak

Poin Keterangan Rentang Biaya Dampak


0 tidak berdampak 0
1 dampak sangat kecil < Rp59.999.999
2 dampak kecil Rp60.000.000-Rp299.999.999
3 dampak cukup Rp300.000.000-Rp599.999.999
4 dampak besar Rp600.000.000-Rp1.199.999.999
5 dampak sangat besar > Rp1.200.000.000

MK - 42
Atas klasifikasi frekuensi dan dampak tersebut dapat dipetakan ke dalam risk quandrant agar dapat diketahui posisi
dari dari masing-masing faktor risiko yang ada. Hasil pemetaan pada risk factor pada risk quandrant x dapat dilihat
pada Gambar 3.

Gambar 2. Risk Matrix


Keterangan: A. Faktor Risiko Perubahan desain
B. Faktor Risiko Perubahan material
C. Faktor Risiko Gambar spesifikasi tidak lengkap
D. Faktor Risiko Penambahan lingkup pekerjaan
E. Faktor Risiko Perubahan pekerjaan yang telah selesai
F. Faktor Risiko Kebutuhan tambahan untuk fungsional

Berdasarkan risk quandrant tersebut, maka dilihat bahwa faktor dengan kode A (perubahan desain), kode D
(penambahan lingkup pekerjaan), dan kode E (perubahan pekerjaan yang telah selesai) tergolong dalam sebab yang
memiliki risiko tinggi terhadap keberlangsungan proyek. Dilihat dari frekuensi kejadiannya, perubahan desain dan
penambahan lingkup pekerjaan masing-masing terjadi sebanyak 20 kali. Kedua sebab tersebut terjadi sangat sering,
yaitu sebanyak 2 kali dalam 1 minggu. Keduanya juga merupakan faktor dengan dampak tertinggi dengan total
Rp4.116.225.717,00.

5. KESIMPULAN
Dari proses pengklasifikasian dan analisis yang telah dijalankan diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Pihak pengguna jasa (pemberi kerja) atau owner menjadi pihak yang paling banyak melakukan change order.
Pengajuan change order paling banyak disebabkan karena perubahan desain dan penambahan lingkup
pekerjaan. Secara berturut-turut, keduanya menjadi penyebab dengan frekuensi tertinggi dan memberikan
dampak biaya terbesar.
2. Lingkup pekerjaan MEP paling banyak terpengaruh oleh aktivitas change order. Hal tersebut dikarenakan
adanya efek beruntun akibat satu perubahan ke perubahan lainnya. Disamping karakteristik proyek yang
sebagian besar biayanya berkaitan dengan pekerjaan MEP.
3. Dari analisis faktor risiko didapat perubahan desain, penambahan lingkup pekerjaan, serta perubahan pekerjaan
yang telah selesai menjadi penyebab risiko tertinggi. Keduanya memberikan biaya dampak sebesar Rp
4,556,379,605.

MK - 43
DAFTAR PUSTAKA
A Guide To The Project Management Body Of Knowledge (PMBOK Guides), 5 thed., 2013. Project Management
Institute.
Assbeihat, J., M. & Sweis, G.J., 2015. Factors Affecting Change Orders in Public Construction Projects.
International Journal of Applied Science and Technology, 5(6), pp.56-63.
Barrie, D. S. & Paulson, B. C. J., 1992.Professional Construction Management. 3rd ed. Singapore: Mc Graw-Hill.
Bartholomew, S. H., 2002. Construction Contracting Business and Legal Principles.New Jersey: Prentice Hall.
Enshassi, A.; Arain, F.; and Al-Raees, S., 2010. Causes of variation orders in construction projects in the Gaza Strip.
Journal of Civil Engineering and Management, 16 (4), 540-551
Fisk, E., 2003.Construction Project Administration.New Jersey: Prentice Hall.
Flanagan, R. & George, N., 1993. Risk Management and Construction. s.l.:Blackwell Science Ltd.
Hanna, A. S., Camlic, R., Peterson, P. A., Nordheim, E. V. (2002). Quantitative Definition of projects Impacted by
Change Orders. Journal of Construction Engineering and Management ASCE 128(1),pp. 57-64
Hanna, A. & Gunduz, M., 2004a. Impact of change orders on small laborintensive projects. Journal of
Construction Engineering and Management ASCE 130(5),pp. 726–733.
Hassanein, A., A., G. & El Nemr, W., 2007. Management of Change Order Claims in the Egyptian Industrial
Construction Sector. Journal of Financial Management of Property and Construction, 12 (1), pp. 45-60.
Hsieh, T.-y., Lu, S.-t. & Wu, C.-h., 2004. Statistical Analysis of Causes for Change Orders in Metropolitan
Public Works.International Journal of Project Management,Volume 22, p. 679–686.
Msallam, M.; Abojaradeh, M.; Jrew, B.; and Zaki, I., 2015. Controlling of variations orders in highway projects in
Jordan. Journal of Engineering and Architecture, 3 (2),95-104
Moselhi, O., Assem, I. & E.-R., 2005. Change Orders Impact on Labor Productivity.Journal of Construction
Engineering and Management,pp. 354-359.
Motawa, I, Anumba, C, Lee, S and Peña-Mora, F, 2007. An integrated system for change management in
construction. Automation in Construction, 16(3), pp. 368-377.
Schaufelberger, J. E. & Holm, L., 2002.Management of Construction Project A Constructor’s
Perspective.New Jersey: Prentice Hall.
Serag, E., Oloufa, A., Malone, L., & Radwan, E., 2010. Model for Quantifying the Impact of Change Orders on
Project Cost for U.S. Roadwork Construction. Journal of Construction Engineering and Management, 136 (9),
pp. 1015-1027.
Soeharto, I., 1995.Manajemen Proyek dari Konseptual Sampai Operasional. Jakarta: Erlangga.
Sun, M, Fleming, A, Senaratne, S, Motawa, I, Yeoh, M, L, 2006. A change management toolkit for construction
projects. Architectural Engineering and Design Management, 2(4), 261-271.
Sun, M & Meng, X., 2009. Taxonomy for change causes and effects in construction projects. International Journal
of Project Management, 27(6), pp. 560-572
Wu, C., Hsieh, T., Cheng, W. & Lu, S., 2004. Grey Relation Analysis of Causesfor Change Orders in Highway
Construction. Construction Management and Economics,pp. 509-520.
Yasin, N., 2009.Administrasi Proyek Konstruksi. Jakarta: PT. Mediatama Saptakarya.
Zou, Y & Lee, S., 2004. The impacts of change management practices on project change cost performance.
Construction Management and Economics, 26(4), pp. 387-393.

MK - 44
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

ANALISA FAKTOR PENGHAMBAT PENERAPAN BUILDING INFORMATION


MODELING DALAM PROYEK KONSTRUKSI

Handika Rizky Hutama1 dan Jane Sekarsari Tamtana2

1
Program Magister Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti
Jl. Kyai Tapa No. 1, Jakarta 11440 Telp 021 5663232 pes. 8201
Email: handikarizkyhutama@yahoo.co.id
2
Program Magister Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti
Jl. Kyai Tapa No. 1, Jakarta 11440 Telp 021 5663232 pes. 8201
Email: tamtana.js@gmail.com

ABSTRAK
Pemanfaatan teknologi informasi menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan kinerja dan daya
saing perusahaan dalam menangani proyek konstruksi secara efektif dan efisien. Building
Information Modeling (BIM) adalah sistem yang memproses input menjadi informasi dalam bentuk
pemodelan bangunan sebagai alat bantu dalam proses pengambilan keputusan setiap tahapan proyek
konstruksi. Penerapan BIM menghadapi berbagai hambatan yang berakibat tidak optimal
pemanfaatannya. Dari penelitian sebelumnya belum terdapat adanya studi analisa faktor
penghambat penerapan BIM pada proyek konstruksi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan
mendapatkan faktor-faktor dan faktor utama penghambat penerapan BIM dalam proyek konstruksi
serta bermanfaat bagi perusahaan dalam meningkatkan penerapannya dalam proyek konstruksi yang
ditanganinya. Metode penelitian ini dilakukan dengan metode statistik deskriptif untuk mengetahui
karakteristik data yang diperoleh, analisa korelasi untuk mengetahui hubungan antar variabel ,dan
analisa faktor yang berfungsi untuk mereduksi beberapa variabel yang saling independen menjadi
sedikit variabel. Teknik pengumpulan data dengan mengunakan kuisioner dan wawancara.
Kuesioner disebarkan kepada responden pengguna BIM pada proyek sebanyak 40 responden. Hasil
analisis deskriptif diketahui bahwa rata-rata responden merespon setiap variabel penghambat
penerapan BIM pada tingkat pengaruh kurang mempengaruhi (skala 2) sampai dengan tingkat
mempengaruhi (skala 4), analisa korelasi dengan menggunakan Pearson Correlation menyatakan
semua variabel tepat, dan hasil analisa faktor Dari hasil analisis faktor tersebut membentuk 7
komponen yang mempunyai karakteristik data yang identik. Selanjutnya dilakukan
rangking/peringkat dari 7 komponen tersebut untuk menunjukan tingkat pengaruh variabel terhadap
penghambat penerapan BIM. Hasil penelitian faktor dominan penghambat penerapan BIM dalam
proyek konstruksi yaitu kurangnya partisipasi manajemen dalam memberikan motivasi, pelatihan,
dan pengawasan yang ditetapkan perusahaan.
Kata kunci : faktor penghambat BIM, implementasi, konstruksi.

1. PENDAHULUAN
Proyek konstruksi dengan tingkat kompleksitas yang tinggi harus memiliki manajemen yang baik dalam mengelola
sumber daya – sumber daya untuk mencapai tujuan/sasaran yang telah direncanakan secara efisien dan efektif
dengan memperhatikan kesempatan yang ada serta memperhitungkan risiko/hambatan yang dihadapi. Adapun
sumber daya yang sering disebutkan dalam proyek konstruksi sebagai input hanya 5M (Man, Machine, Method,
Material, dan Money) tanpa menyebut informasi, yang justru merupakan masukan yang penting (Sekarsari, Jane
2014). Informasi adalah fakta, kejadian, statistik atau bentuk data lainnya yang dapat dipahami mengalami proses
transformasi dan mempunyai arti, bernilai atau bermanfaat bagi seseorang untuk keperluan/pekerjaan tertentu. Data
pada umumnya harus diolah terlebih dahulu sehingga menjadi informasi yang dapat dipahami dan bermanfaat atau
lebih bermanfaat. Informasi merupakan salah satu sumber daya yang diperlukan dalam pengambilan keputusan.
Untuk mempercepat, mempermudah, mendapatkan informasi diperlukan teknologi informasi. Menurut Utomo
(2000), menyebutkan bahwa dewasa ini teknologi informasi menjadi salah satu strategi bagi manajer untuk
meningkatkan kinerja dan daya saing perusahaan. Teknologi informasi dalam manajemen proyek yang dimaksud
adalah Building Information Modeling (BIM). BIM adalah sistem informasi untuk mengelola sumber daya informasi
yang memproses data/input menjadi informasi dalam bentuk pemodelan bangunan untuk diberikan kepada pelaku
proyek dalam aktivitas konstruksi sebagai dasar dalam pengambilan keputusan, proses menghasilkan dan mengelola
data bangunan dalam siklus proyeknya. BIM dapat menampilkan informasi-informasi menggunakan tiga dimensi

MK - 45
secara real-time, software bangunan pemodelan dinamis untuk meningkatkan produktivitas dalam membangun
desain dan konstruksi. Proses ini menghasilkan Informasi Model Bangunan yang meliputi bangunan geometri,
hubungan spatial, informasi geografis, dan jumlah dan sifat dari komponen bangunan. BIM salah satu teknologi di
bidang AEC (Arsitekture, Engineering dan Construction) yang mampu mensimulasikan seluruh informasi di dalam
proyek pembangunan ke dalam model 3 dimensi. Dengan menerapkan metode BIM, baik developer, konsultan
maupun kontraktor mampu menghemat waktu pengerjaan, biaya yang dikeluarkan serta tenaga kerja yang
dibutuhkan.
Menurut Bicara BIM (2016) penggunaan BIM di Indonesia dirasakan belum maksimal dengan perkembangan yang
semakin stagnan . Penggunaan BIM sendiri di Indonesia masih hanya sebatas menjawab persoalan bagaimana
mengefisiensikan kebutuhan tenaga kerja, waktu dan uang. Dalam penerapan BIM , manajer menghadapi tantangan
berat untuk menerapkannya agar dapat mendukung sasaran-sasaran organisasi yang bersangkutan. Sistem informasi
dan organisasi akan sangat mempengaruhi. Disatu sisi sistem informasi harus disinkronkan dengan organiasi agar
kebutuhan informasi dari organisasi terpenuhi, disisi lain organiasi harus terbuka terhadap pengaruh-pengaruh dari
sistem informasi agar mendapatkan keuntungan maksimal dari teknologi baru yang dipakai. Karena sistem informasi
potensial merubah struktur, budaya , politik, dan pola kerja organisasi, maka sering timbul hambatan pada saat
penerapannya.
Penelitian faktor penghambat penerapan BIM telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu diluar negeri,
tetapi di Indonesia penulis belum menemukan penelitian tersebut. Penerapan BIM masih menghadapi tantangan
berat dengan berbagai faktor-faktor penghambat. Menurut Boya Ji, Zhenqiang Qi, and Zhanyong Jin I (2014)
masalah penerapan BIM dibagi dalam 3 aspek yaitu teknologi, organisasi, dan personal. Menurut Challenges AEC
industry BIM Advantages BIM Solutions BIM Management in BIM Implementation (2013) faktor penghambat
implementasi BIM yaitu sistem yang kompleks, kurang kompetensi dan pengetahuan BIM (keahlian), resisten
terhadap perubahan ,budaya kerja, informasi Manajemen hambatan dalam mengelola sumber daya dan informasi,
keterlibatan pelaku proyek yang kurang ,harga yang tinggi, mengubah proses kerja dalam organisasi, dan
perusahaan khawatir biaya yang mengikuti setelah pelaksanaan BIM, terbatas nya transfer data karena
ketidakcocokan sistem antar pelaku proyek, pengguna BIM diaplikasikan untuk pekerjaan yang berisiko akibatnya
pekerjaan yang tidak berisiko tidak di terapkan (tidak seluruh pekerjaan diterapkan), kurang pengalaman, BIM
efektif untuk pengadaan konstruksi Desain and Build atau Construction Management and Risk tetapi masih banyak
yang menggunakan Desain Bid-Build proyek, tingginya investasi, keberhasilan rendah, sumber daya manusia yang
tidak terampil ,serta kurang dukungan dari perusahaan, masalah dalam pertukaran data, kurangnya efisiensi
penggunaan hardware.
Penelitian tesis ini dilakukan dari sudut pandang yang berbeda yaitu untuk menganalisis faktor – faktor penghambat
penerapan BIM sehingga didapatkan informasi faktor-faktor dan faktor utama yang mempengaruhi terhambatnya
penerapan dalam proyek konstruksi sehingga dapat ditemukan solusi yang tepat mengatasi faktor penghambat yang
utama. Selain itu penelitian ini dapat bermanfaat bagi perusahaan dalam usaha meningkatkan dan pengembangan
penerapan BIM dalam proyek konstruksi yang ditanganinya.

2. METODOLOGI
Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dalam penerapan BIM suatu proyek konstruksi disusunlah metodologi
penelitian. Alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini :

MK - 46
Pendahuluan

Studi Pustaka dan Penelitian Terdahulu

Wawancara Pakar

Menentukan Variabel Penelitian

Survei Kuesioner

Pengumpulan dan Tabulasi Data Kuisioner

Analisis Data : (Software SPSS ver.20)


1. Uji Validitas dan Realibilitas Data
2. Analisa Deskriptif Data
3. Analisa Faktor :
a. Analisis Kaiser Mayer Olkin dan Barlettest of sparetcity
b. Analisis Matrik Image Correlation
c. Analisis Total Variance Explained
d. Analisis Rotated Component tabel Matrik

Hasil dan Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

Gambar 1. Gambar Alur Penelitian

1. Penelitian dilakukan dengan 4 tahap :


a. Tahap pertama
Melakukan studi pustaka dan penelitian terdahulu untuk mengetahui teori-teori yang berhubungan dengan
faktor penghambat penerapan BIM, mencari metode penelitian, teknik analisa data dan sebagainya yang
berhubungan dengan penelitian ini. Hasil telaah studi pustaka dan penelitian terdahulu dapat dilihat pada
tabel 1 sebagai berikut:

MK - 47
Tabel 1. Tahap Pertama : Hasil Telaah Studi Pustaka dan Penelitian Terdahulu
Faktor Penghambat Sumber
Organisasi
1 Kurangnya kemampuan sumber daya manusia yang ditempatkan Tonny Dwihanata Prayogo (2000)
di proyek
2 Kebiasaan-kebiasaan kerja sistem lama yang ada di perusahaan Yosi Agustiawan (2011); Boya Ji,
(budaya organisasi perusahaan) Zhenqiang Qi, and Zhanyong Jin (2014)
3 Tidak Jelasnya target/sasaran BIM yang ditetapkan perusahaan. Prio Budiono (2013)
4 Kurangnya Motivasi individu dalam mengembangkan BIM. Tonny Dwihanata Prayogo (2000) ;
(cara tradisional dalam melakukan pekerjaan) Boya Ji, Zhenqiang Qi, and Zhanyong
Jin (2014)
5 Kurangnya Tanggung jawab individu terhadap hasil pekerjaan Tonny Dwihanata Prayogo (2000);
BIM,. (Kurangnya kemampuan teknis pemanfaatan BIM) Boya Ji, Zhenqiang Qi, and Zhanyong
Jin (2014)
6 Perangkat keras dan perangkat lunak komputer pada proyek Prio Budiono (2013);; Darius
sulit dioperasikan Migilinskas, Vladimir Popov, Virgaudas
Juocevicius, Leonas ustinovichius (2013)
7 Kurangnya Fasilitas Komputer yang memenuhi spesifikasi Prio Budiono (2013) ;; Darius
(Perangkat keras dan perangkat lunak komputer ) pada Migilinskas, Vladimir Popov, Virgaudas
proyek. Juocevicius, Leonas ustinovichius (2013)
8 Perangkat keras dan perangkat lunak komputer pada proyek Prio Budiono (2013);; Darius
tidak memiliki kemampuan proses yang tinggi. Migilinskas, Vladimir Popov, Virgaudas
Juocevicius, Leonas ustinovichius (2013)
9 Kurangnya partisipasi manajemen dalam memberikan motivasi, Boya Ji, Zhenqiang Qi, and Zhanyong
pelatihan, dan pengawasan Jin (2014)
10 Perusahaan kecil tidak memiliki SDM yang cukup untuk Boya Ji, Zhenqiang Qi, and Zhanyong
mempertahankan/menggunakan BIM. Jin (2014)
11 Kurangnya peraturan/standar prosedur operasional BIM yang Prio Budiono (2013)
ditetapkan perusahaan.
12 Tidak menerapkan BIM manajemen proyek karena kontaktor Prio Budiono (2013); Boya Ji,
dan perencana tidak mengunakan. Zhenqiang Qi, and Zhanyong Jin (2014)
13 Rencana mutu yang belum jelas sehingga sulit untuk Prio Budiono (2013)
diaplikasikan dalam proyek
14 Kompleksitas pekerjaan ,menjadi beban bagi pengguna BIM Tonny Dwihanata Prayogo (2000)
manajemen proyek.
15 Prosedur operasional BIM yang kompleks. Prio Budiono (2013)
16 BIM efektif untuk Desain Build atau CM-Risk tetapi masih Saeed Reza Mohades (2014)
banyak yang menggunakan Design Bid Build pada proyek.
17 Tidak Konsisten manajerial dalam menerapkan BIM Prio Budiono (2013)
manajemen proyek sesuai SOP
18 Penerapan software manajemen proyek SOP yang tidak Prio Budiono (2013)
sepenuhnya.
19 Kurangnya pengawasan/audit dalam penerapan BIM Prio Budiono (2013)
manajemen proyek
20 BIM memiliki popularitas yang rendah Boya Ji, Zhenqiang Qi, and Zhanyong
Jin (2014)
21 Biaya investasi besar Tonny Dwihanata Prayogo (2000)
;Boya Ji, Zhenqiang Qi, and Zhanyong
Jin (2014) ; Darius Migilinskas,
Vladimir Popov, Virgaudas Juocevicius,
Leonas ustinovichius .(2013)
22 Belum adanya peraturan/standar BIM di Indonesia https://forums.autodesk.com/t5/komunita
s-indonesia/materi-autodesk-cad-camp-
2015-bandung/ba-p/5612144

MK - 48
23 Belum jelasnya road map dari pemerintah selaku regulator https://forums.autodesk.com/t5/komunita
untuk sosialisasi BIM. s-indonesia/materi-autodesk-cad-camp-
2015-bandung/ba-p/5612144
24 Penerapan BIM di Indonesia masih dilakukan secara sporadis https://medium.com/bicara-
oleh masing-masing aktor tanpa ada lembaga atau organisasi bim/mempelajari-penerapan-building-
yang saling menghubungkan sehingga tidak ada ketercapaian information-modeling-bim-di-amerika-
lain yang ditargetkan dari penggunaan BIM . serikat-acafd7274696#.fexp55ywr
Personal
25 Kurangnya Pemahaman di bidang komputerisasi Prio Budiono (2013)
26 Kurangnya pemahaman individu tentang BIM Prio Budiono (2013); Boya Ji,
Zhenqiang Qi, and Zhanyong Jin (2014)
27 Etika individu yang kurang dalam penggunaan perangkat BIM Jane (2014)
28 Penggunaan BIM manajemen proyek menurunkan produktivitas Tonny Dwihanata Prayogo (2000)
dalam melaksanakan pekerjaan
29 Usia membuat kurangnya maksimalnya penggunaan BIM Tonny Dwihanata Prayogo (2000) ;
manajemen proyek. (lemahnya dayaa nalar dan ingat)
30 Kurangnya BIM sebagai dasar dalam efisiensi pelaksanaan Boya Ji, Zhenqiang Qi, and Zhanyong
Jin (2014) ; Darius Migilinskas,
Vladimir Popov, Virgaudas Juocevicius,
Leonas ustinovichius .(2013)
31 Pengembangan BIM belum sempurna Boya Ji, Zhenqiang Qi, and Zhanyong
Jin (2014)
Teknologi
32 Kesulitan dalam sinergi desain Boya Ji, Zhenqiang Qi, and Zhanyong
(Kurang memenuhi kebutuhan pengguna/user), Terbatasnya Jin (2014) ; Darius Migilinskas,
transfer data karena ketidakcocokan sistem antar pelaku Vladimir Popov, Virgaudas Juocevicius,
proyek. Leonas ustinovichius (2013)
33 Kejahatan komputer (hacker dan virus) karena software Tonny Dwihanata Prayogo (2000)
memiliki kelemahan
34 Kesulitan sistem pada software BIM Saeed Reza Mohades (2014)
35 Masalah dalam pertukaran data Saeed Reza Mohades (2014)

Hasil kajian pustaka dan peneltian terdahulu dimana terdapat 34 variabel faktor penghambat penerapan BIM
kemudian dikonsultasikan kepada pakar BIM yang memiliki pengalaman menggunakan BIM pada proyek
konstruksi. Para pakar tersebut diminta persetujuan dan komentarnya untuk menyarankan apakah variabel tersebut
masih memerlukan tambahan atau pengurangan terhadap indikatornya dan apakah variabel penghambat yang
diberikan penulisdari studi pustaka sesuai dengan penerapan BIM dalam proyek konstruksi di Indonesia.

b. Tahap Kedua
Wawancara pakar yaitu wawancara kepada untuk dikonsultasikan kepada pakar BIM yang memiliki pengalaman
menggunakan BIM pada proyek konstruksi untuk memvalidasi dan klarifikasi hasil kajian pustaka dan penelitian
terdahulu pada tahap 1. Kriteria pakar pada penelitian tahap kedua yaitu memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun di
dunia konstruksi dengan pendidikan terakhir S1 dan minimal berpengalaman 5 tahun. Para pakar tersebut diminta
persetujuan dan komentarnya untuk menyarankan apakah variabel tersebut masih memerlukan tambahan atau
pengurangan terhadap indikatornya dan apakah variabel penghambat yang diberikan penulisdari studi pustaka sesuai
dengan penerapan BIM dalam proyek konstruksi di Indonesia. Hasil wawancara pakar disusun menjadi kuisioner
responden, yang tentunya akan mengalami banyak perubahan sesuai komentar dari para pakar tersebut. Hasil
wawancara pakar (validasi dan klarifikasi) tahap kedua pada tabel 2 berikut ini:

MK - 49
Tabel 2. Hasil Wawancara Pakar (Validasi dan Klarifikasi) Tahap Kedua
No Faktor Penghambat
Organisasi
1 Kurangnya kemampuan sumber daya manusia yang ditempatkan di proyek
2 Kebiasaan-kebiasaan kerja sistem lama yang ada di perusahaan (budaya organisasi perusahaan)
3 Kurangnya Motivasi individu dalam mengembangkan BIM. (cara tradisional dalam melakukan
pekerjaan)
4 Kurangnya Tanggung jawab individu terhadap hasil pekerjaan BIM,. (Kurangnya kemampuan
teknis pemanfaatan BIM)
5 Perangkat keras dan perangkat lunak komputer pada proyek sulit dioperasikan
D
6 Kurangnya Fasilitas Komputer yang memenuhi spesifikasi (Perangkat keras dan perangkat
lunak komputer ) pada proyek.
7 Perangkat keras dan perangkat lunak komputer pada proyek tidak memiliki kemampuan
proses yang tinggi.
8 Kurangnya partisipasi manajemen dalam memberikan motivasi, pelatihan, dan pengawasan
9 Kurangnya peraturan/standar prosedur operasional BIM yang ditetapkan perusahaan.
10 Tidak menerapkan BIM manajemen proyek karena kontaktor dan perencana tidak
mengunakan.
11 Tidak Jelasnya target/sasaran BIM yang ditetapkan perusahaan.
12 Rencana mutu yang belum jelas sehingga sulit untuk diaplikasikan dalam proyek
13 Kompleksitas pekerjaan ,menjadi beban bagi pengguna BIM manajemen proyek.
14 Prosedur operasional BIM yang kompleks.
15 Tidak Konsisten manajerial dalam menerapkan BIM manajemen proyek sesuai SOP
16 Penerapan software manajemen proyek SOP yang tidak sepenuhnya.
17 Kurangnya pengawasan/audit dalam penerapan BIM manajemen proyek
18 Biaya investasi besar
19 Kurangnya Pemahaman di bidang komputerisasi
20 Kurangnya pemahaman individu tentang BIM
Personal
21 Etika individu yang kurang dalam penggunaan perangkat BIM
22 Penggunaan BIM manajemen proyek menurunkan produktivitas dalam melaksanakan
pekerjaan
23 Usia membuat kurangnya maksimalnya penggunaan BIM manajemen proyek. (lemahnya daya
nalar dan ingat)
24 Kurangnya BIM sebagai dasar dalam efisiensi pelaksanaan
25 Pengembangan BIM belum sempurna
Teknologi
26 Kesulitan dalam sinergi desain (Kurang memenuhi kebutuhan pengguna/user ), Terbatasnya
transfer data karena ketidakcocokan sistem antar pelaku proyek.
27 Kejahatan komputer (hacker dan virus) karena software memiliki kelemahan

Hasil wawancara pakar diperoleh 27 variabel dari 35 variabel pada penelitian tahap pertama. Hasil tersebut
dijadikan variabel penelitian sebagai pertanyaan pada tahap ketiga penelitian yaitu survei kuisioner.

c. Tahap Ketiga
Tahap ketiga dilaksanakan survei dengan penyebaran kuisioner kepada 40 responden pada beberapa proyek di
Jakarta dan sekitarnya. Kriteria sampel responden memiliki kesempatan terlibat langsung penerapan BIM sesuai
dengan jabatannya di perusahaan, dengan waktu operasional ditetapkan selama minimal 3 tahun, memiliki kemauan
dan kemampuan merespon penerapan BIM sesuai dengan jabatannya di proyek, serta dibedakan berdasarkan gender,
umur, pendidikan,dan pengalaman kerja. Skala ukuran yang sering digunakan dalam penelitian adalah skala liekert
seperti pada Tabel 3 berikut ini :

MK - 50
Tabel 3. Angka skor tingkat kepentingan dan tingkat pengaruh
Tingkat kepentingan Skor Tingkat pengaruh
Sangat setuju 5 Sangat Mempengaruhi
Setuju 4 Mempengaruhi
Ragu-ragu 3 Cukup Mempengaruhi
Tidak Setuju 2 Kurang Mempengaruhi
Sangat Tidak Setuju 1 Tidak Mempengaruhi

Pertanyaan kuisioner dalam skala likert, responden menentukan tingkat persetujuan mereka terhadap suatu
peryataan dengan memilih salah satu dari pilihan yang tersedia. Setelah dilakukan survei kuisioner didapatkan data
kuisioner yang akan dianalisa pada penelitian tahap keempat.
d. Tahap Keempat
Data hasil pentabulasian kemudian digunakan sebagai input data ke dalam program SPSS ( Statistical Program For
Social Science) untuk dilakukan analisis sebagai berikut :

1. Uji Validitas dan Reliabilitas Data


Validitas adalah ketepatan atau kecermatan suatu instrument dalam mengukur apa yang diukur. Teknik pengujian
menggunakan Pearson Correlation. Uji Reliabilitas digunakan untuk mengetahui konsitensi alat ukur, apakah alat
ukur yang dapat digunakan dapat diandalkan dan tetap konsisten jika pengukuran tersebut diulang. Di dalam
penelitian ini akan digunakan metode Cronbach’s Alpha.
2. Interpretasi Statistik Deskriptif
Dari hasil analisis deskriptif yang telah dilakukan, dapat diketahui karakteristik data yang diperoleh.
3. Analisa Faktor
Analisa faktor merupakan suatu analisis statistik yang berfungsi untuk mereduksi atau meringkas beberapa variabel
yang saling independen menjadi sedikit variabel. Tahapan analisa faktor sebagai berikut :
a. Analisis Kaiser Mayer Olkin (KMO) dan Barlettest of sparetcity
Analisis Kaiser Mayer Olkin (KMO) dan Barlettest of sparetcity merupakan uji statistik yang digunakan
untuk menguji ada tidaknya korelasi antar variabel dalam populasi.
b. Analisis Matrik Image Correlation
Selanjutnya untuk melihat korelasi antar variabel independen dapat diperhatikan tabel Anti Image
Matrices.
c. Analisis Total Variance Explained
Analisis Total Variance Explained menunjukkan besarnya persentase keragaman total yang mampu
diterangkan oleh keragaman faktor - faktor yang terbentuk.
d. Analisis Rotated Component tabel Matrik
Pada proses rotasi ini biasanya masih terdapat variabel-variabel yang belum mempunyai posisi yang jelas
dalam suatu kelompok atau grup faktor. Metode rotasi yang digunakan adalah metode Varimax.

3. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Hasil analisa data sebagai berikut :
1. Uji Validitas dan Reliabilitas Data
Hasil pengujian uji validitas menyatakan semua variabel valid/tepat. Hasil dari pengujian reliabilitas data
yang dilakukan sebaran data memenuhi kriteria reliabilitas/tetap.
2. Interpretasi Statistik Deskriptif
Dari hasil analisis deskriptif yang telah dilakukan, dapat diketahui karakteristik data yang diperoleh. Dari
data yang telah dianalisis diketahui bahwa rata-rata responden merespon setiap variabel penghambat
penerapan BIM pada tingkat pengaruh kurang mempengaruhi (skala 2) sampai dengan tingkat
mempengaruhi (skala 4).
3. Analisa Faktor
Hasil analisa faktor sebagai berikut :
a. Analisis Kaiser Mayer Olkin (KMO) dan Barlettest of sparetcity
Hasil dari uji KMO dan Bartlett’s Test of Shpericity yang telah dilaksanakan menyatakan bahwa
data dapat dianalisis dengan analisis faktor.
b. Analisis Matrik Image Correlation

MK - 51
Hasil analisis Matrik Anti Image Correlation memenuhi syarat analisis selanjutnya dapat
dilakukan dan data dapat dianalisis dengan analisis faktor.
c. Analisis Total Variance Explained
Hasil analisis Total Variance Explained, diketahui bahwa variabel-variabel penghambat penerapan BIM
dikelompokan menjadi 7 faktor utama dengan hasil Total Variance merupakan kumulatif untuk semua
komponen (faktor) berada pada tingkat memuaskan. Sedangkan dari tabel dan grafik eigenvalue
menunjukkan terdapat 7 komponen atau faktor.
d. Analisis Rotated Component tabel Matrik
Hasil analisis diatas diketahui bahwa seluruh variabel yang dianalisis membentuk 7 komponen dan yang
tereduksi valid.

Dari hasil analisis faktor variabel-variabel tersebut membentuk 7 komponen, adanya pengelompokan menjadi 7
komponen variabel ini disebabkan mempunyai sifat/karakteristik data yang identik antara variabel satu dan lainnya.
Selanjutnya dilakukan rangking/peringkat dari 7 komponen tersebut untuk menunjukan tingkat pengaruh variabel
terhadap penghambat penerapan BIM. Setelah dilakukan rangking pada ke 7 komponen tersebut dilakukan
pemberian nama sesuai dengan faktor penghambat penerapan BIM yang terdapat pada kelompok masing –masing.
Dari rangking/peringkat dari 7 komponen variabel, diketahui bahwa peringkat 1 yaitu variabel-variabel yang berada
pada komponen 1 (faktor1) (Pengembangan BIM (tim proyek)) terdiri dari 6 faktor yaitu : X2 Kurangnya partisipasi
manajemen dalam memberikan motivasi, pelatihan, dan pengawasan, X4 Tidak Jelasnya Target/sasaran BIM yang
ditetapkan perusahaan, X8 Tidak menerapkan BIM manajemen proyek karena kontraktor dan perencana tidak
mengunakan, X9 rencanamutu yang belum jelas sehingga sulit untuk diaplikasikan dalam proyek, X18
Kompleksitas pekerjaan ,menjadi beban bagi pengguna BIM manajemen proyek, X21 Prosedur operasional BIM
yang kompleks.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa faktor utama
penghambat penerapan BIM pada proyek konstruksi gedung adalah kurangnya partisipasi manajemen dalam
memberikan motivasi, pelatihan, dan pengawasan. Motivasi adalah salah satu upaya untuk menjadikan perusahaan
itu bisa berkembang dan maju. Dengan motivasi para karyawan akan memberikan kontribusinya sesuai dengan
kemampuannya semaksimal mungkin. Pelatihan karyawan berhubungan erat terhadap hasil pekerjaan karyawan,
tujuannya agar para karyawan memiliki pengetahuan, kemampuan dan keterampilan sesuai dengan tuntutan
pekerjaan yang mereka lakukan. Pelatihan karyawan yang tepat, dapat memberikan efek yang baik kepada karyawan
sehingga karyawan dapat mengembangkan diri dan mampu memahami beberapa hal terkait pekerjaannya.
Pengawasan merupakan suatu kegiatan yang berusaha untuk mengendalikan agar pelaksanaan dapat ber jalan
sesuai dengan rencana dan memastikan apakah tujuan organisasi tercapai dan apabila terjadi penyimpangan dimana
letak penyimpangan itu dan bagaimana pula tindakan yang perlu kan untuk mengatasinya. Faktor penghambat utama
tersebut dapat mengakibatkan penerapannya tidak akan efektif.

5. SARAN
Berdasarkan kesimpulan penelitian, disarankan manajemen perusahaan agar lebih meningkatkan dukungan terhadap
penerapan dan pengembangan BIM seperti memberikan fasilitas, motivasi , pelatihan, dan pengawasan. Selain itu
bagi peneliti selanjutnya perlu dilakukan penelitian analisa faktor utama penghambat penerapan BIM pada proyek
konstruksi bangunan air, jalan ,dan jembatan.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Riduwan (2014). “Penulisan Sumber Kutipan dan Daftar Pustakan(Tugas Akhir, Skripsi, Tesis, Disertasi,
dan Artikel Jurnal) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya”. Havard- American
Psychological Association Style.
Andy K. D. Wong, Francis K. W. Wong, Abid Nadeem. (2010). Attributes of Building Information Modelling
Implementations in Various Countries.
Boya Ji, Zhenqiang Qi, and Zhanyong Jin I (2014). The Obstacles and Strategy of Building Information Modeling
Application in Chinese Construction Industry, International Journal of Computer Theory and Engineering,
Vol. 6, No. 6, December 2014.
Dorojatun Galih (2012). Building Information Modeling (BIM)
Febriana Saputri (2012). Penerapan Building Information Modeling (BIM) pada Pembangunan Sruktur Gedung
Perpustakaan IPB Menggunakan Software Tekla Structures 17
Hendrawan, Eka Prasetya (2000) .Sistem Informasi Manajemen Untuk Pengendalian Mutu Pekerjaan Konstruksi
https://en.wikipedia.org/wiki/Building_information_modeling diakses tgl 23 September 2016

MK - 52
http://www.bimhub.com/blog/challenges-bim-implementation/ diakses tgl 14 September 2016
http://www.statistikian.com/2014/03/interprestasi-analisis-faktor-dengan.html diakses tgl 10 Oktober 2016
https://medium.com/bicara-bim/mempelajari-penerapan-building-information-modeling-bim-di-amerika-serikat-
acafd7274696#.fexp55ywr diakses tgl 21 Oktober 2016
https://forums.autodesk.com/t5/komunitas-indonesia/materi-autodesk-cad-camp-2015-bandung/ba-p/5612144
diakses tgl 4 Nopember 2016
Kaming, P.F, (2000), Pengaruh Teknologi Informasi Pada Manajeman Konstruksi Masa Mendatang, UAJY,
Yogyakarta, 2.
Lingjie Feng, Svetlana Olbina, and Raymond Issan (2014). Implementation of Building Information Modeling on K-
12. Educational Facility Projects in Florida Rinker School of Construction Management University of Florida
Gainesville.
Migilinskas Darius, Popov Vladimir, Juocevicius Virgaudas, Ustinovichius Leonas . (2013). The Benefits, Obstacles
and Problems of Practical BIM Implementation.Vilnius Gediminas Technical University , Civil Engineering
Faculty
Prayogo,Tonny Dwihanata (2000), Analisis FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Terhambatnya Implementasi Sistem
Informasi Berbasis Komputer Pada PT. Wijaya Kusuma Contractors Di Jakarta. Universitas Atmajaya ,
Yogyakarta.
Ranti Ramadiaprani (2012). Aplikasi Building Information Modeling (BIM) Menggunakan Software Tekla
Structures 17 Pada Konstruksi Gedung Kuliah Tiga Lantai Fahutan IPB, Bogor.
Reza Mohandesa Saeed, Rahim Abdul , Hamidb Abdul , Sadeghic Haleh (2014). Exploiting Building Information
Modeling Throughout the Whole Lifecycle of Construction Projects.
Riduwan (2008). Metode dan Teknik Menyusun Tesis, Alfabeta, Bandung.86-88, 109-113
Sekarsari, Jane (2014), Sistem Informasi Manajemen – Teori dan Konsep Aplikasi pada Sektor Konstruksi,
Universitas Trisakti, Jakarta. 10,58-59, 86
Yogi Agustiawan (2011), Perubahan Dalam Organisasi dalam Implementasi Sistem Informasi. Jurnal Ilmiah, Vol 1
, No.2
Yunfeng Chen, Hazar Dib, Robert F. Cox. (2014). A Measurement Model of Building Information Modelling
Maturity

MK - 53
MK - 54
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

EFEKTIFITAS PENGGUNAAN TENAGA KERJA WANITA DALAM PELAKSANAAN


PROYEK KONSTRUKSI DI KABUPATEN PAMEKASAN

Dedy Asmaroni1

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Madura, Jl. Raya Panglegur, KM. 3,5 Pamekasan
Email: dedyasmaroni@gmail.com

ABSTRAK
Kegiatan konstruksi adalah kegiatan yang berkaitan dengan upaya pembangunan infrastruktur atau
sarana fisik, yang mempunyai rangkaian kegiatan dan memenuhi persyaratan melalui suatu ruang
lingkup pekerjaan tertentu yang dilakukan beberapa kelompok orang. Pekerja proyek di lapangan,
dalam hal ini meliputi tukang dan buruh bangunan, yang identik dengan pekerjaan sektor keras dan
mayoritas dilakukan oleh pekerja laki-laki. Tetapi fenomena dewasa ini tidak jarang dijumpai
pekerja wanita terlibat langsung dalam pelaksanaan pembangunan proyek kontruksi, baik sebagai
tukang atau buruh bangunan. Metodologi analisis yang digunakan adalah analisis Regresi Linier
Berganda terhadap jawaban dari kuisioner yang disebarkan kepada 28 responden dari pihak
kontraktor, owner dan konsultan pengawas yang terlibat dalam proyek pembangunan Gedung
Pemerintah di Kabupaten Pamekasan pada tahun anggaran 2016 dengan nilai kontrak diatas Rp.
500.000.000, Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Efektifitas penggunaan tenaga kerja
wanita dalam pelaksanaan proyek konstruksi di Kabupaten Pamekasan tidak efektif. Hal ini
dibuktikan dengan rata-rata prosentase responden sebesar 0% (karena tidak ada satupun yang
menjawab S (Setuju) dan SS (Sangat Setuju) dan rata-rata skoring penilaian responden sebesar 1,82.
Efektifitas Penggunaan tenaga kerja wanita dalam pelaksanaan proyek konstruksi di Kabupaten
Pamekasan dipengaruhi sebesar 87,9% oleh variabel Sumber Daya Manusia (X1), Perusahaan (X2),
Kondisi Lapangan (X3), dan Lingkungan Kerja (X4). Sedangkan sisanya sebesar 12,1% dipengaruhi
oleh variabel lain di luar empat variabel bebas yang diteliti dalam penelitian ini. Faktor yang paling
dominan yang mempengaruhi Efektifitas Penggunaan tenaga kerja wanita dalam pelaksanaan
proyek konstruksi di Kabupaten Pamekasan adalah variabel Sumber Daya Manusia (X1). Oleh
karena itu rencana penggunaan tenaga kerja wanita dalam pelaksanaan proyek konstruksi harus
dipertimbangkan dengan baik.
Kata kunci : Proyek, Efektivitas, Tenaga Kerja Wanita.

1. PENDAHULUAN
Kegiatan konstruksi identik dengan pekerjaan proyek konstruksi, yaitu kegiatan sementara yang berlangsung dalam
jangka waktu terbatas, dengan alokasi sumber daya tertentu untuk melaksanakan tugas yang sasarannya telah
digariskan dengan jelas. Dalam kegiatan pelaksanaan proyek konstruksi, faktor Lingkungan Kerja, Material,
Peralatan, metode pelaksanaan, desain, kemampuan Finansial dan Tenaga Kerja (SDM) sangat menentukan apakah
kegiatan proyek konstruksi akan berjalan dengan rencana yang telah ditetapkan. Asmaroni (2014) menyatakan
bahwa Faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi keterlambatan waktu pelaksanaan pekerjaan pada proyek
pembangunan Gedung Pemerintah di Kabupaten Pamekasan adalah faktor Tenaga Kerja (SDM) dengan nilai
koefisien β sebesar 0,165.

Pekerja proyek di lapangan, dalam hal ini meliputi tukang dan buruh bangunan, yang identik dengan pekerjaan
sektor keras dan mayoritas dilakukan oleh pekerja laki-laki. Tetapi fenomena dewasa ini tidak jarang dijumpai
pekerja wanita terlibat langsung dalam pelaksanaan pembangunan proyek kontruksi, baik sebagai tukang atau buruh
bangunan. Fenomena pekerja bangunan wanita mayoritas terjadi pada kalangan masyarakat kelas bawah, dimana
faktor ekonomi yang menjadi latar belakang dan mendorong pekerja wanita untuk mengambil keputusan bekerja di
pekerjaan kasar, di samping faktor lainnya adalah sosial dan budaya. Kinerja pekerja wanita dilapangan dapat
dipengaruhi oleh pekerjaan konstruksi di lapangan yang relatif berat, serta kompleksitas faktor-faktor yang
mempengaruhi pekerja wanita baik pendukung maupun penghambatnya. (Suprayitno, 2014).

Dalam pelaksanaan proyek, penurunan kinerja pekerja wanita sering dijumpai yang menjadi permasalahan dalam
proyek baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tampak dari hasil kerja baik dari kualitas maupun
kuantitasnya. Dalam pelaksanaan proyek biasanya dibedakan berdasarkan jenis pekerjaan pria dan wanita. Biasanya

MK - 55
pekerjaan yang dilakukan para pekerja wanita adalah pekerjaan finishing, dimana wanita dianggap lebih teliti dan
rapi untuk melaksanakan pekerjaan finishing sebuah bangunan. Banyak juga dijumpai wanita bekerja sebagai buruh
kasar, yaitu tenaga angkut material bangunan atau yang sering disebut sebagai asisten tukang. Nur Andayani, dkk.
(2007) Menyatakan bahwa produktivitas pekerjaan pemasangan batu bata per kelompok kerja pada lokasi penelitian
dalam rata-rata yang tertinggi dalam satu hari adalah sebesar 31.58.m2. Produktivitas pemasangan batu bata yang
maximum pada proyek pembangunan perumahan diperoleh pada jumlah persentase tenaga kerja kasar wanita
sebesar 25%.

2. LANDASAN TEORI
Pengertian Proyek
Proyek adalah usaha sementara yang dilakukan untuk menciptakan produk yang unik, layanan, atau hasil. sifat
sementara proyek menunjukkan bahwa proyek pasti memiliki awal dan akhir. Akhir tercapai ketika tujuan proyek
itu telah dicapai atau ketika proyek dihentikan karena tujuannya tidak akan atau tidak dapat dipenuhi, atau ketika
kebutuhan untuk proyek tersebut tidak ada lagi. Sebuah proyek juga dapat dihentikan jika klien ingin mengakhiri
proyek. (PMBOK® Guide-Fifth Edition,2013:3)
Ciri-ciri proyek sebagaimana disebutkan oleh Widiasanti (2013:26) sebagai berikut :
1. Memiliki tujuan dan sasaran berupa suatu produk akhir.
2. Proyek memiliki sifat sementara, yaitu jelas titik awal mulai dan selesai.
3. Biaya, waktu, mutu, tujuan dan sasaran tersebut telah ditentukan.
4. Jenis dan intensitas kegiatan berubah sepanjang proyek berlangsung menyebabkan proyek memiliki sifat
nonrepetitif, atau tidak berulang.

Definisi Tenaga Kerja


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tenaga Kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut
UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat. Secara garis besar penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan
bukan tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut telah memasuki usia kerja. Batas usia
kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun – 64 tahun. Menurut pengertian ini, setiap orang yang
mampu bekerja disebut sebagai tenaga kerja. Ada banyak pendapat mengenai usia dari para tenaga kerja ini, ada
yang menyebutkan di atas 17 tahun ada pula yang menyebutkan di atas 20 tahun, bahkan ada yang menyebutkan di
atas 7 tahun karena anak-anak jalanan sudah termasuk tenaga kerja

Konsep Efektifitas
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif berarti ketepatan penggunaan atau tepat guna yang merupakan unsur
pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran dalam suatu organisasi atau kegiatan. Emerson (1994), Kurniawan (2005)
serta hidayat (1986) juga menyatakan bahwa pengukuran atau kemampuan melaksanakan tugas disebut efektif jika
dapat terlaksana dengan baik. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran
yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana
target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu.

Ukuran Efektivitas
Mengukur efektivitas organisasi bukanlah suatu hal yang sangat sederhana, karena efektivitas dapat dikaji dari
berbagai sudut pandang dan tergantung pada siapa yang menilai serta menginterpretasikannya. Bila dipandang dari
sudut produktivitas, maka seorang manajer produksi memberikan pemahaman bahwa efektivitas berarti kualitas dan
kuantitas (output) barang dan jasa.

Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara rencana yang telah ditentukan dengan hasil
nyata yang telah diwujudkan. Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat
sehingga menyebabkan tujuan tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka hal itu dikatakan tidak efektif.

3. METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan adalah termasuk dalam penelitian Deskriptif untuk menganalisa faktor-faktor yang
mempengaruhi produktifitas tenaga kerja wanita serta untuk mengetahui tingkat efektifitasnya. Penelitian dilakukan
dengan mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data, dengan
jangka waktu pelaksanaan kurang lebih 1 tahun.

MK - 56
Bagan Alir Penelitian

Mulai

Perumusan Masalah :
Efektifitas Penggunaan Tenaga Kerja Wanita Dalam
Pelaksanaan Proyek Konstruksi Di Kabupaten Pamekasan

Tinjauan Pustaka
Efektifitas, Pekerja Wanita, Analisa Statistik Desktriptif

Bebas : SDM, Perusahaan, Kondisi Lapangan, Lingkungan Kerja.


Terikat : Efektifitas Penggunaan Tenaga Kerja Wanita

Pembuatan Kuisioner

Penyebaran Kuisioner

Penarikan Kuisioner

Analisa Data Deskriptif Perbaiki Kuisioner

Uji Validitas
Periksa Kuisioner
& Reabilitas
r

Analisa Faktor

Analisa Regresi Linier Berganda

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pekerja


Wanita dan Efektifitas Penggunaannya

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Materi dan Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian dilakukan pada proyek pembangunan gedung pemerintah di Kabupaten Pamekasan pada tahun
anggaran 2016 dengan nilai kontrak diatas Rp. 500.000.000.

MK - 57
Populasi dan Sampel
Berdasarkan data yang kami terima dari Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat daerah Kabupaten
Pamekasan, Jumlah proyek pembangunan gedung Pemerintah di Kabupaten Pamekasan yang dilaksanakan pada
tahun 2016 dan sesuai dengan Kriteria penelitian adalah sebanyak 30 Kegiatan.

Dalam penelitian ini sampel diambil dengan cara acak / Random, Jika tingkat kesalahan ditentukan berkisar pada 5
% (e = 0,05), maka dengan memakai rumus Slovin, didapat perhitungan jumlah sampel (n) berikut:

N
n= (1)
1  N.e2

30
= = 27,9 ≈ 28
1  30 x 0,052

Dari perhitungan didapatkan bahwa jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 28, Adapun rincian dari 28 sampel
tersebut adalah dijelaskan dalam Tabel 1. berikut :

Tabel 1. Rincian Sampel Penelitian


No. Keterangan Jumlah
1. Pejabat Pembuat komitmen (PPK) 2
2. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) 2
3. Tim Teknis (Dinas Pekerjaan Umum) 2
4. Konsultan Pengawas 6
5. Kontraktor 5
6. Mandor 6
7. Tukang / Pekerja 5
JUMLAH 28

Sampel penelitian ini adalah orang-orang yang mengetahui kondisi dan yang terlibat secara langsung di dalam
pekerjaan proyek pembangunan gedung pemerintah di Kabupaten Pamekasan pada tahun Anggaran 2016.

Penilaian Indikator Variabel


Definisi operasional variabel menunjukkan cara pendekatan peneliti dalam mengukur suatu variabel. Dalam
penelitian ini pengukuran variabel menggunakan skala 5 point (Likert). Skala Likert adalah skala yang didasarkan
atas penjumlahan sikap responden dalam merespon pernyataan berkaitan indikator-indikator suatu konsep atau
variabel yang sedang diukur.

Skala ordinal adalah skala pengukuran yang menyatakan sesuatu lebih dari yang lain, sedangkan skala rasio
merupakan skala pengukuran yang menunjukkan peringkat, jarak dan perbandingan construct yang diukur (Sanusi,
2003). Adapun nilai skala Likert adalah sebagi berikut :
1. Sangat setuju (SS) : diberi skor 5
2. Setuju (S) : diberi skor 4
3. Kurang setuju (KS) : diberi skor 3
4. Tidak setuju (TS) : diberi skor 2
5. Sangat tidak setuju (STS) : diberi skor 1
Khusus untuk pengukuran efektifitas digunakan skala sebagai berikut:
1. Sangat Efektif (SE) : Range skor antara 4 – 5,00
2. Efektif (E) : Range skor antara 3 – 3,99
3. Kurang Efektif (KE) : Range skor antara 2 – 2,99
4. Tidak Efektif (TE) : Range skor antara 1 – 2,99
5. Sangat Tidak Efektif (STE) : Range skor antara 0 – 1,99

Rancangan Kuisioner
Kuesioner adalah kumpulan pertanyaan yang akan ditanyakan kepada responden terpilih untuk menjawab hipotesis-
hipotesis yang dikembangkan sesuai tujuan penelitian, pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner harus dapat
mengumpulkan keterangan-keterangan responden yang diperlukan untuk menghasilkan indikator atau memenuhi
rancangan tabulasi yang ingin dikaji.

MK - 58
Dalam penelitian ini Kuesioner akan disusun dan terdiri dari Variabel bebas dan Variabel Terikat seperti yang
dijelaskan dalam Tabel 2 berikut

Tabel 2. Variabel Penelitian


No. Variabel Penelitian Sub Variabel Indikator
X1.1 Kondisi Fisik dan Psikologis
X1.2 Pendidikan
X1 Sumber Daya Manusia
X1.3 Pengalaman
X1.4 Keahlian & Keterampilan
X2.1 Physicological Needs
X2.2 Savety Needs
X2 Perusahaan X2.3 Social Needs
X2.4 The Need for Esteem
X2.5 Self Actualization
A. Variabel Bebas (X) X3.1 Lokasi dan Kondisi Alam
X3.2 Supply Material
X3.3 Peralatan Proyek
X3 Kondisi Lapangan X3.4 Waktu Kerja
X3.5 Lembur (Overtime)
X3.6 Beban Kerja
X3.7 Change Order
X4.1 Lingkungan Keluarga
X4 Lingkungan Kerja X4.2 Lingkungan Sosial
X4.3 Sistem Budaya
Y1 Produktifitas
B. Variabel Terikat (Y)
Y2 Kualitas

4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Analisis Statistik Deskriptif
Analisa statistik deskriptif akan memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari rata-rata (mean),
standart deviasi varian dan sweknes (kemencengan distribusi). Adapun variabel-variabel yang berkaitan dengan
efektivitas Penggunaan Tenaga Kerja Wanita dalam Pelaksanaan Proyek Konstruksi di Kabupaten Pamekasan
berdasarkan data yang telah dikumpulkan, maka diperoleh deskripsi data penelitian sebagai berikut :

Tabel 3. Descriptives (Analisis deskriptif skor total variabel)


Variabel N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic
SDM (X1) 28 13 18 15.11 .379 2.006
Perusahaan (X2) 28 17 24 20.46 .444 2.349
Kondisi Lapangan (X3) 28 26 32 29.18 .408 2.161
Lingkungan Kerja (X4) 28 6 12 9.29 .329 1.740
Efektifitas (Y) 28 2 5 3.64 .207 1.096

Tabel 4. Descriptives (Analisis deskriptif rata-rata variabel)


N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic
RataX1 28 3.25 4.50 3.7768 .09479 .50157
RataX2 28 3.40 4.80 4.0929 .08878 .46977
RataX3 28 3.71 4.57 4.1686 .05865 .31032
RataX4 28 2.00 4.00 3.0950 .10964 .58015
RataY 28 1.00 2.50 1.8214 .10356 .54796
Valid N (listwise) 28

MK - 59
Berdasarkan pada Tabel 3. diatas dapat digambarkan bahwa SDM (X1) mempunyai rata-rata sebesar 15,11 dengan
standar deviasi sebesar 2,006. Perusahaan (X2) mempunyai rata-rata sebesar 20,46 dengan standar deviasi sebesar
2,349. Kondisi Lapangan (X3) mempunyai rata-rata sebesar 29,18 dengan standar deviasi sebesar 2,161.
Lingkungan Kerja (X4) mempunyai rata-rata sebesar 9,29 dengan standar deviasi sebesar 1,740. Dan Efektifitas
Penggunan Tenaga Kerja Wanita dalam Pelaksanaan Proyek Konstruksi (Y1) mempunyai rata-rata sebesar 3,64
dengan standar deviasi sebesar 1,096.

Deskripsi Variabel SDM (Sumber Daya Manusia) (X1)


Variabel SDM (Sumber Daya Manusia) diukur menggunakan indikator yaitu Kondisi Fisik & Psikologis (X1.1),
Pendidikan (X1.2), Pengalaman (X1.3) dan Keahlian & Keterampilan (X1.4). Berdasarkan survei terhadap
responden yang diukur menggunakan skala Likert, diperoleh informasi mengenai distribusi frekuensi jawaban
responden terhadap dimensi-dimensi pada variabel SDM (X1) sebagai berikut:

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Jawaban Terhadap Variabel X1


Persentase Jawaban Responden
Persentase Skor
Indikator STS TS KS S SS
(S+SS)
f % f % f % f % f %
X1.1 0 0 0 0 0 0 15 53,57 13 46,43 100
X1.2 6 21,43 11 39,29 11 39,29 0 0 0 0 0
X1.3 0 0 0 0 5 17,86 14 50 9 32,14 82,14
X1.4 0 0 0 0 0 0 19 67,86 9 32,14 100
Rata-rata Keseluruhan 70,54

Dari Tabel 5. diatas terlihat bahwa indikator Kondisi Fisik & Psikologis (X1.1) mempunyai pengaruh sebesar 100%,
indikator Pendidikan (X1.2) mempunyai pengaruh terhadap sebesar 0%, indikator Pengalaman (X1.3) mempunyai
pengaruh terhadap sebesar 82,14% dan indikator Keahlian & Keterampilan (X1.4) mempunyai pengaruh sebesar
100%. dari keempat indikator yang sangat berpengaruh terhadap Variabel SDM (X1) versi responden adalah
Kondisi Fisik & Psikologis (X1.1) dan Keahlian & Keterampilan (X1.4).

Deskripsi Variabel Perusahaan (X2)


Variabel Perusahaan diukur menggunakan indikator yaitu Physicological Needs (X2.1), Savety Needs (X2.2), Social
Needs (X2.3), The Need for Esteem (X2.4) dan Self Actualization (X2.5). Berdasarkan survei terhadap responden
yang diukur menggunakan skala Likert, diperoleh informasi mengenai distribusi frekuensi jawaban responden
terhadap dimensi-dimensi pada variabel Perusahaan (X2) sebagai berikut:

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Jawaban Terhadap Variabel X2


Persentase Jawaban Responden
Persentase Skor
Indikator STS TS KS S SS
(S+SS)
f % f % f % f % f %
X2.1 0 0 0 0 0 0 17 60,71 11 39,29 100
X2.2 0 0 0 0 0 0 16 57,14 12 42,86 100
X2.3 0 0 0 0 7 25 16 57,14 5 17,86 75
X2.4 0 0 0 0 8 28,57 14 50 6 21,43 71,43
X2.5 0 0 0 0 12 42,86 10 35,71 6 21,43 57,14
Rata-rata Keseluruhan 80,72

Dari Tabel 6. diatas terlihat bahwa indikator Physicological Needs (X2.1) mempunyai pengaruh sebesar 100%,
indikator Savety Needs (X2.2) mempunyai pengaruh terhadap sebesar 100%, indikator Social Needs (X2.3)
mempunyai pengaruh terhadap sebesar 75%, indikator The Need for Esteem (X2.4) mempunyai pengaruh terhadap
sebesar 71,43% dan indikator Self Actualization (X2.5) mempunyai pengaruh sebesar 57,14%. dari kelima indikator
yang sangat berpengaruh terhadap Variabel Perusahaan (X2) versi responden adalah Physicological Needs (X2.1)
dan Savety Needs (X2.2).

Deskripsi Variabel Kondisi Lapangan (X3)


Variabel Kondisi Lapangan diukur menggunakan indikator yaitu Lokasi dan Kondisi Alam (X3.1), Supply Material
(X3.2), Peralatan Proyek (X3.3), Waktu Kerja (X3.4), Lembur (Overtime) (X3.5), Beban Kerja (X3.6) dan Change
Order (X3.7). Berdasarkan survei terhadap responden yang diukur menggunakan skala Likert, diperoleh informasi

MK - 60
mengenai distribusi frekuensi jawaban responden terhadap dimensi-dimensi pada variabel Kondisi Lapangan (X3)
sebagai berikut:
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Jawaban Terhadap Variabel X3
Persentase Jawaban Responden
Persentase Skor
Indikator STS TS KS S SS
(S+SS)
f % f % f % f % f %
X3.1 0 0 0 0 0 0 19 67,86 9 32,14 100
X3.2 0 0 0 0 0 0 19 67,86 9 32,14 100
X3.3 0 0 0 0 0 0 16 57,14 12 42,86 100
X3.4 0 0 0 0 0 0 13 46,43 15 53,57 100
X3.5 0 0 0 0 12 42,86 14 50 2 7,14 57,14
X3.6 0 0 0 0 0 0 15 53,57 13 46,43 100
X3.7 0 0 1 3,57 14 50 12 42,86 1 3,57 46,43
Rata-rata Keseluruhan 86,22

Dari Tabel 7. diatas terlihat bahwa indikator Lokasi dan Kondisi Alam (X3.1) mempunyai pengaruh sebesar 100%,
indikator Supply Material (X3.2) mempunyai pengaruh terhadap sebesar 100%, indikator Peralatan Proyek (X3.3)
mempunyai pengaruh terhadap sebesar 100%, indikator Waktu Kerja (X3.4) mempunyai pengaruh terhadap sebesar
100%, indikator Lembur (Overtime) (X3.5) mempunyai pengaruh terhadap sebesar 57,14%, indikator Beban Kerja
(X3.6) mempunyai pengaruh terhadap sebesar 100% dan indikator Change Order (X3.7) mempunyai pengaruh
sebesar 46,43%. dari ketujuh indikator yang sangat berpengaruh terhadap Variabel Kondisi Lapangan (X3) versi
responden adalah Kondisi Alam (X3.1), Supply Material (X3.2), Peralatan Proyek (X3.3), Waktu Kerja (X3.4) dan
Beban Kerja (X3.6).

Deskripsi Variabel Lingkungan Kerja (X4)


Variabel Lingkungan Kerja diukur menggunakan indikator yaitu Lingkungan Keluarga (X4.1), Lingkungan Sosial
(X4.2) dan Sistem Budaya (X4.3). Berdasarkan survei terhadap responden yang diukur menggunakan skala Likert,
diperoleh informasi mengenai distribusi frekuensi jawaban responden terhadap dimensi-dimensi pada variabel
Lingkungan Kerja (X4) sebagai berikut:

Tabel 8. Distribusi Frekuensi Jawaban Terhadap Variabel X4


Persentase Jawaban Responden
Persentase Skor
Indikator STS TS KS S SS
(S+SS)
f % f % f % f % f %
X4.1 0 0 3 10,71 9 32,14 16 57,14 0 0 57,14
X4.2 0 0 9 32,14 12 42,86 7 25 0 0 25
X4.3 0 0 7 25 17 60,71 4 14,29 0 0 14,29
Rata-rata Keseluruhan 32,14

Dari Tabel 8. diatas terlihat bahwa indikator Lingkungan Keluarga (X4.1) mempunyai pengaruh sebesar 57,14%,
indikator Lingkungan Sosial (X4.2) mempunyai pengaruh terhadap sebesar 25% dan indikator Sistem Budaya
(X4.3) mempunyai pengaruh sebesar 14,29%. dari ketiga indikator yang sangat berpengaruh terhadap Variabel
Lingkungan Kerja (X4) versi responden adalah Lingkungan Keluarga (X4.1).

Deskripsi Variabel Efektifitas Penggunaan Tenaga Kerja Wanita dalam Proyek Konstruksi (Y)
Variabel Efektifitas Penggunaan Tenaga Kerja Wanita diukur menggunakan indikator yaitu Produktifitas (Y1) dan
Kualitas (Y2). Berdasarkan survei terhadap responden yang diukur menggunakan skala Likert, diperoleh informasi
mengenai distribusi frekuensi jawaban responden terhadap dimensi-dimensi pada variabel Efektifitas Penggunaan
Tenaga Kerja Wanita (Y) sebagai berikut:

Tabel 9. Distribusi Frekuensi Jawaban Terhadap Variabel Y


Persentase Jawaban Responden
Persentase Skor
Indikator STS TS KS S SS
(S+SS)
f % f % f % f % f %
Y1 6 21,43 14 50 8 28,57 0 0 0 0 0
Y2 12 42,86 16 57,14 0 0 0 0 0 0 0
Rata-rata Keseluruhan 0

MK - 61
Dari Tabel 9. diatas terlihat bahwa indikator Produktifitas (Y1) mempunyai pengaruh sebesar 0% dan indikator
Kualitas (Y2) juga mempunyai pengaruh sebesar 0%. dari kedua indikator yang ada, tidak ada satupun yang
berpengaruh terhadap Variabel Efektifitas Penggunaan Tenaga Kerja Wanita (Y).

Uji Instrumen Penelitian


Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengetahui kevalidan angket dalam mengumpulkan data. Dasar pengambilan
keputusan dalam uji validitas adalah:
1. Jika nilai rhitung > nilai rTabel pada nilai signifikasi 5%, maka item angket dinyatakan valid.
2. Jika nilai rhitung < nilai rTabel pada nilai signifikasi 5%, maka item angket dinyatakan tidak valid.

Uji validitas dilaksanakan dengan rumus korelasi bivariate person. Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan
dengan alat bantu program SPSS. Adapun ringkasan hasil uji validitas sebagaimana data dalam Tabel berikut ini.

Tabel 10. Hasil Uji Validitas


Variabel Indikator rhitung rTabel 5% (28) Kriteria
X1.1 0,713 0,374 Valid
SDM X1.2 0,824 0,374 Valid
(X1) X1.3 0,853 0,374 Valid
X1.4 0,855 0,374 Valid
X2.1 0,758 0,374 Valid
X2.2 0,796 0,374 Valid
Perusahaan
X2.3 0,736 0,374 Valid
(X2)
X2.4 0,725 0,374 Valid
X2.5 0,717 0,374 Valid
X3.1 0,555 0,374 Valid
X3.2 0,555 0,374 Valid
Kondisi X3.3 0,573 0,374 Valid
Lapangan X3.4 0,584 0,374 Valid
(X3) X3.5 0,601 0,374 Valid
X3.6 0,563 0,374 Valid
X3.7 0,610 0,374 Valid
Lingkungan X4.1 0,838 0,374 Valid
Kerja X4.2 0,822 0,374 Valid
(X4) X4.3 0,841 0,374 Valid
Efektifitas Y1 0,930 0,374 Valid
(Y) Y2 0,853 0,374 Valid

Hasil pehitungan uji validitas sebagaimana Tabel 10. diatas, menunjukkan bahwa semua nilai r hitung lebih besar dari
nilai rTabel pada nilai signifikasi 5%. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa semua item dalam angket penelitian
ini valid sehingga dapat digunakan sebagai instrumen penelitian

Uji Reliabilitas
Uji konsistensi internal (uji reliabilitas) dilakukan dengan menghitung koefisien (cronbach) alpha dari masing-
masing instrumen dalam suatu variabel. Instrumen yang dipakai dalam variabel tersebut dikatakan andal (reliabel)
bila memiliki koefisien Cronbach alpha lebih dari 0,60.

Uji reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan alat bantu program SPSS. Adapun ringkasan hasil uji
reliabilitas sebagaimana data dalam Tabel 11. berikut ini:

Tabel 11. Hasil Uji Reliabilitas


No. Variabel alpha Kriteria
1 X1 0,811 Reliabel
2 X2 0,780 Reliabel
3 X3 0,663 Reliabel
4 X4 0,775 Reliabel
5 Y 0,722 Reliabel

MK - 62
Analisis Regresi
Analisis regresi bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Dasar
pengambilan keputusan dalam uji regresi adalah:
1. Jika nilai signifikansi < 0,05, maka hipotesis diterima yang artinya variabel bebas berpengaruh terhadap
variabel terikat.
2. Jika nilai signifikansi > 0,05, maka hipotesis ditolak yang artinya variabel bebas tidak berpengaruh terhadap
variabel terikat.
Tabel 12. Analisis Regresi Linear Berganda
Variabel Koefisien Regresi Beta t Sig
Konstanta -7,092
X1 0,155 0,284 2,958 0,007
X2 0,129 0,277 2,677 0,013
X3 0,144 0,283 2,580 0,017
X4 0,168 0,266 2,353 0,028
Fhitung = 41,794
R2 = 0,879

Berdasarkan Tabel 12. diatas diperoleh persamaan regresi linear berganda sebagai berikut:
Y= -7,092 + 0,155 X1 + 0,129 X2 + 0,144 X3+ 0,168 X4
Adapun interpretasi dari persamaan regresi linear berganda tersebut adalah:
1. a = -7,092
Nilai konstan ini menunjukkan bahwa apabila tidak ada variabel-variabel bebas (X1, X2, X3, dan X4),
maka Efektifitas nilainya negatif sebesar -7,092.
2. b1 = 0,155
Koefisien regresi bertanda positif menunjukkan hubungan yang searah atau berbanding lurus yang artinya adalah
semakin baik X1 maka Efektifitas juga akan semakin baik.
3. b2 = 0,129
Koefisien regresi bertanda positif menunjukkan hubungan yang searah atau berbanding lurus yang artinya
adalah semakin baik X2 maka Efektifitas juga akan semakin baik. Begitupula sebaliknya, jika X2 tidak baik
maka Efektifitas juga tidak baik.
4. b3 = 0,144
Koefisien regresi bertanda positif menunjukkan hubungan yang searah atau berbanding lurus yang artinya
adalah semakin baik X3 maka Efektifitas juga akan semakin baik. Begitupula sebaliknya, jika X3 tidak baik
maka Efektifitas juga tidak baik.
5. b4 = 0,168
Koefisien regresi bertanda positif menunjukkan hubungan yang searah atau berbanding lurus yang artinya
adalah semakin baik X4 maka Efektifitas juga akan semakin baik. Begitupula sebaliknya, jika X4 tidak baik
maka Efektifitas juga tidak baik.

Koefisien Determinasi
Salah satu hasil analisa regresi linear adalah koefisien determinasi seperti yang tercantum dalam Tabel 24. berikut :

Tabel 13. Data Determinasi


Std. Error of the
Model R R Square Adjusted R Square Estimate Durbin-Watson
a
1 .938 .879 .858 .413 1.924
a. Predictors: (Constant), Lingkungan Kerja (X4), Sumber Daya Manusia (X1), Perusahaan (X2),
Kondisi Lapangan (X3)
b. Dependent Variable: Efektifitas (Y)

Dari Tabel 13. diatas, nilai koefisien determinasi R Square (R2) sebesar 0,879 atau 87,9%. Hal ini dapat diartikan
bahwa variabel Efektifitas dipengaruhi sebesar 87,9% oleh varaibel X1, X2, X3, dan X4. Sedangkan sisanya sebesar
12,1% dipengaruhi oleh variabel lain di luar empat variabel bebas yang diteliti dalam penelitian ini.

MK - 63
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Efektifitas penggunaan tenaga kerja wanita dalam pelaksanaan proyek konstruksi di Kabupaten Pamekasan tidak
efektif. Hal ini dibuktikan dengan rata-rata prosentase responden sebesar 0% (karena tidak ada satupun yang
menjawab S dan SS dan rata-rata skoring penilaian responden sebesar 1,82 (Tabel 6.2).
2. Efektifitas Penggunaan tenaga kerja wanita dalam pelaksanaan proyek konstruksi di Kabupaten Pamekasan
dipengaruhi sebesar 87,9% oleh variabel X1, X2, X3, dan X4. Sedangkan sisanya sebesar 12,1% dipengaruhi
oleh variabel lain di luar empat variabel bebas yang diteliti dalam penelitian ini.
3. Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi Efektifitas Penggunaan tenaga kerja wanita dalam pelaksanaan
proyek konstruksi di Kabupaten Pamekasan adalah variabel Sumber Daya Manusia (X1).

Saran
1. Saran untuk para pelaku usaha konstruksi, penggunaan tenaga kerja wanita dalam pelaksanaan proyek konstruksi
harus dipertimbangkan dengan baik.
2. Para pekerja wanita yang dimiliki oleh pengusaha konstruksi sebaiknya perlu untuk diikutkan dalam pelatihan
kerja dan sejenisnya, hal ini untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan para pekerja wanita tersebut.
3. Saran untuk peneliti selanjutnya, diharapkan menambah indicator-indikator variabel bebas yang mempengaruhi
variabel efektifitas. selain itu, diharapkan penelitian ini dapat diterapkan untuk penelitian di bidang yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
A Guide to the Project Management Body of Knowledge (PMBOK® Guide) – Fifth Edition, 2013, Project
Management Institute.
Andayani, Nur, dkk. 2007. Efektivitas Tenaga Kerja Wanita Terhadap Produktivitas Pekerjaan Pemasangan Batu
Bata Di Bidang Pembangunan Perumahan. Universitas Negeri Surabaya.
Asmaroni, Dedy. 2014. Analisa Keterlambatan Waktu Pelaksanaan Proyek Pembangunan Gedung Pemerintah Di
Kabupaten Pamekasan. Institut Teknologi Nasional Malang.
Ervianto, Wulfram I. 2005. Manajemen Proyek Konstruksi, Edisi Revisi. Andi Offset. Yogyakarta.
Ismael, Idzurnida. 2013. keterlambatan proyek konstruksi gedung,Faktor penyebab dan tindakan pencegahannya.
Institut Teknologi Padang
Kaming, Peter F. 2000. Studi Mengenai Penentuan Kelompok Kerja oleh Kontraktor. Conference on Construction
Project Management: Critical Issue and Challenges into the Next Millenium. Yogyakarta. 23 September 2000.
Fakultas Teknik –Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
Melati, Rita Dyana, dkk. 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pekerja Wanita Pada Proyek Konstruksi
Di Kota Denpasar. Jurnal Rekayasa Sipil / Volume 5, No.2 – 2011 ISSN 1978 – 5658.
Setiawan, Harijanto. 2006. Efektifitas Kelompok Tukang, Jurnal Teknik Sipil Volume 7 No. 1, Oktober 2006 : 58 –
66.
Suprayitno. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pekerja Wanita Pada Proyek Konstruksi Di
Yogyakarta. universitas atmajaya.
Sinungan, Muchdarsyah. 1992. Produktivitas Apa dan Bagaimana, Edisi Kedua. Bumi Aksara. Jakarta.
Soeharto, Imam.1995. Manajemen Proyek dari Konseptual sampai Operasional. Erlangga. Jakarta.
Wetik, J.L. 1976. Penelitian Kerja dan Pengukuran Kerja. Erlangga. Jakarta.

MK - 64
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

EFEKTIVITAS PEMBANGUNAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH SECARA


SWAKELOLA DI KABUPATEN PAMEKASAN

Muhammad Saifuddin1

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Madura, Jl. Raya Panglegur, KM. 3,5 Pamekasan
Email: msaif2480@gmail.com

ABSTRAK
Kabupaten Pamekasan merupakan salah satu kabupaten di Pulau Madura yang menerima program
bantuan sosial pembangunan perpustakaan yang meliputi ruang perpustakaan berikut perabotnya.
Dalam pelaksanaannya, sekolah penerima bantuan harus membentuk tim pelaksana kegiatan untuk
melaksanakan pembangunan dengan kualitas sesuai dengan spesifikasi teknis yang terdapat dalam
rancangan teknis dan anggaran biaya serta diharapkan adanya partisipasi masyarakat. Penelitian ini
dilakukan terhadap tim pelaksana kegiatan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan pembangunan
perpustakaan sekolah dengan sistem swakelola di Kabupaten Pamekasan, faktor-faktor yang
mempengaruhinya serta strategi yang dapat dilakukan untuk peningkatan efektivitas. Metode
pengolahan data menggunakan statistika deskriptif dan analisa regresi linier berganda. Penelitian
dilakukan melalui penyebaran kuisioner kepada 66 responden di 11 sekolah dasar penerima bantuan
perpustakaan. Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa efektivitas pembangunan
perpustakaan sekolah secara swakelola di Kabupaten Pamekasan sebesar 88,30%. Adapun nilai
koefisien determinasi R Square (R2) sebesar 0,535 atau 53,5%. Artinya bahwa variabel efektivitas
pembangunan perpustakaan dipengaruhi sebesar 53,5% oleh administrasi proyek, mutu/kualitas,
biaya, manfaat, partisipasi masyarakat, waktu dan kemampuan pelaksana, dan sebesar 46,5%
dipengaruhi oleh variabel lain selain yang diteliti dalam penelitian ini. Dari hasil uji F
didapatkan F hitung sebesar 9,552, lebih besar dari F tabel sebesar 2,17. Selain itu, nilai p-value
sebesar 0,000 lebih kecil dari nilai  sebesar 0,05. Artinya terdapat pengaruh yang signifikan
secara simultan dari administrasi proyek, mutu/kualitas, biaya, manfaat, partisipasi
masyarakat, waktu dan kemampuan pelaksana terhadap efektivitas pembangunan perpustakaan.
Dari hasil uji t didapatkan bahwa secara parsial faktor administrasi proyek (t hitung = 2,629) dan dan
faktor manfaat (t hitung = 2,538) berpengaruh secara signifikan terhadap efektivitas pembangunan
perpustakaan secara swakelola, karena t hitung > ttabel. (ttabel = 2,002). Adapun mutu/kualitas,
biaya, partisipasi masyarakat, waktu dan kemampuan pelaksana tidak berpengaruh signifikan
karena memiliki t hitung < t tabel. Dari ketujuh variabel yang diteliti, variabel manfaat memiliki
pengaruh paling dominan sebab variabel tersebut memiliki koefisien regresi terbesar, yaitu  =
0,389. Strategi untuk meningkatkan efektivitas adalah dengan meningkatkan faktor manfaat dan
faktor administrasi proyek yang merupakan faktor yang berpengaruh signifikan dalam penelitian ini.
Kata Kunci: Efektivitas, Swakelola

1. PENDAHULUAN
Kabupaten Pamekasan sebagai salah satu kabupaten penerima bantuan sosial untuk pembangunan perpustakaan
sekolah secara swakelola. Pada program bantuan sosial tersebut, pelaksana proyek bukan orang-orang yang
memiliki kompetensi dalam masalah konstruksi tetapi dituntut untuk melaksanakan pembangunan dengan kualitas
sesuai dengan spesifikasi teknis yang terdapat dalam rancangan teknis dan anggaran biaya serta diharapkan adanya
partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya. Hal lain yang dilakukan adalah dibentuknya organisasi proyek di
sekolah menjadi faktor penentu dalam suksesnya pembangunan perpustakaan.

Tujuan dari penelitian ini antara lain mengetahui efektivitas, faktor-faktor yang mempengaruhi, faktor paling
dominan yang mempengaruhi, dan menentukan strategi untuk peningkatan efektivitas pelaksanaan pembangunan
perpustakaan sekolah secara swakelola di Kabupaten Pamekasan.

2. LANDASAN TEORI
Manajemen Proyek Konstruksi
Proyek dapat diartikan sebagai upaya yang diorganisasikan untuk mencapai tujuan, sasaran dan harapan-harapan

MK - 65
penting dengan menggunakan anggaran dana serta sumber daya yang tersedia (Dipohusodo, 1995:9). Soeharto
(1999) mendefinisikan bahwa proyek adalah suatu rangkaian aktivitas yang dapat direncanakan, yang didalamnya
menggunakan sumber-sumber keuangan, tenaga kerja dan lain-lain untuk mendapatkan manfaat atau hasil pada
masa yang akan datang. Aktivitas proyek ini mempunyai saat mulai dan saat berakhir.

Ciri-ciri proyek sebagaimana disebutkan oleh Widiasanti (2013:26) adalah memiliki tujuan dan sasaran berupa suatu
produk akhir, proyek memiliki sifat sementara, yaitu telah jelas titik awal mulai dan selesai, biaya, waktu, dan mutu
dalam pencapaian tujuan dan sasaran tersebut telah ditentukan, jenis dan intensitas kegiatan berubah sepanjang
proyek berlangsung menyebabkan proyek memiliki sifat nonrepetitif, atau tidak berulang.

Manajemen Proyek adalah penerapan ilmu pengetahuan, keahlian dan keterampilan, cara teknis yang terbaik dan
dengan sumber daya yang terbatas, untuk mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditentukan agar mendapatkan
hasil yang optimal dalam hal kinerja biaya, mutu dan waktu, serta keselarnatan kerja (Husen, 2011:5).

Efektivitas Proyek
Yang dimaksud efektif dalam proyek adalah produk perencanaan berfungsi sesuai yang diharapkan (Husen,
2011:85). Efektivitas proyek berkaitan dengan kinerja proyek. Suatu proyek dikatakan efektif jika standar kinerja
proyek selama proses berlangsung telah ditetapkan sedetail dan seakurat mungkin untuk meminimalkan
penyimpangan. Husen (2011:60) menyebutkan kinerja proyek dapat diukur dari indikator kinerja biaya, mutu,
waktu, serta keselamatan kerja dengan merencanakan secara cermat, teliti, dan terpadu seluruh alokasi sumber daya
manusia, peralatan, material serta biaya yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Semua itu diselaraskan
dengan sasaran dan tujuan proyek.

Mekanisme Swakelola Pembangunan Perpustakaan


Swakelola dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Pasal 26 Ayat 1 adalah Pengadaan Barang/Jasa dimana
pekerjaannya direncanakan, dikerjakan, dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran,
instansi pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat. Pembangunan perpustakaan sekolah pada penelitian ini
merupakan program kegiatan dari dana APBN tahun anggaran 2013 yang dikatagorikan sebagai swakelola yang
dilaksanakan oleh kelompok masyarakat. Dalam Panduan Pelaksanaan Bantuan Pembangunan Perpustakaan
Sekolah Dasar tahun 2013 diuraikan tentang mekanisme pemberian bantuan sosial kepada sekolah yang secara
ringkas sebagai berikut :
1. Sekolah mengajukan proposal permohonan bantuan pembangunan perpustakaan kepada Direktorat Pembinaan
Sekolah Dasar melalui Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi
2. Direktur Pembinaan Sekolah Dasar selaku Kuasa Pengguna Anggaran menerbitkan Surat Keputusan
Penetapan Sekolah Penerima Bantuan Pembangunan Perpustakaan berdasarkan hasil verifikasi bersama Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi
3. Dinas Pendidikan Provinsi menginformasikan dan mengkoordinasikan kepada Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota yang diteruskan ke sekolah penerima tentang bantuan sosial yang akan dilaksanakan.
4. Sekolah membentuk Tim Pelaksana Pembangunan Perpustakaan secara demokratis dan transparan yang terdiri
dari penanggungjawab, ketua, sekretaris, bendahara, penanggungjawab teknis dan anggota
5. Dalam menjalankan tugasnya, Tim pelaksana tersebut dibantu oleh perencana/pengawas yang berpengalaman
dalam masalah proyek dan bertanggungjawab kepada tim pelaksana.
Beberapa aspek yang berbeda antara manajemen proyek konstruksi pada umumnya dengan swakelola pembangunan
perpustakaan sebagai berikut
Tabel 1. Manajemen Proyek Konstruksi pada Swakelola Pembangunan Perpustakaan
Manajemen Proyek Swakelola Pembangunan
No. Aspek
Konstruksi Perpustakaan
1. Pemilik proyek Pemilik proyek pada Direktorat Pembinaan Sekolah
umumnya sebagai pemilik Dasar sebagai pemilik dana
dana dan pengelola hasil Sekolah sebagai pengelola hasil
proyek proyek

2. Konsultan Konsultan ditunjuk oleh Konsultan ditunjuk oleh sekolah


pemilik proyek dan dan bertanggungjawab kepada tim
bertanggungjawab kepada pelaksana kegiatan di sekolah
pemilik proyek
3. Pelaksana Kontraktor yang ditentukan Sekolah yang ditunjuk oleh
proyek oleh pemilik proyek melalui Direktorat Pembinaan Sekolah

MK - 66
Manajemen Proyek Swakelola Pembangunan
No. Aspek
Konstruksi Perpustakaan
proses lelang Dasar melalui proses verifikasi
usulan
4. Keterlibatan Masyarakat terlibat dalam Adanya partisipasi masyarakat
masyarakat pelaksanaan pembangunan sekitar sekolah sejak pelaksanaan
yang berprofesi sebagai sampai dengan pemeliharaan
mandor/ tukang
5. Studi kelayakan Dilaksanakan oleh pemilik Dilaksanakan oleh Direktorat
proyek dengan memakai Pembinaan Sekolah Dasar
jasa konsultan bekerjasama dengan Dinas
Pendidikan Provinsi dan
Kabupaten/Kota
6. Mekanisme Sistem lelang berdasarkan Usulan dari sekolah yang
pengadaan Peraturan Presiden No. 54 diverifikasi oleh Direktorat
proyek tahun 2010 Pembinaan Sekolah Dasar
7. Pelaksanaan Berpedoman pada RKS Berpedoman pada petunjuk teknis
proyek yang telah disusun oleh yang diterbitkan oleh Direktorat
konsultan Pembinaan Sekolah Dasar
8. Operasi dan Dilaksanakan oleh pemilik Dilaksanakan oleh sekolah
pemeliharaan proyek penerima bantuan

Sumber : Husen (2011) dan Panduan Pelaksanaan Bantuan Pembangunan Perpustakaan Sekolah Dasar
tahun 2013

Dengan adanya pertimbangan wacana dari Panduan Pelaksanaan Bantuan Pembangunan Perpustakaan Sekolah
Dasar tahun 2013, maka dalam penelitian ini digunakan tujuh indikator sebagai faktor yang mempengaruhi
efektivitas pembangunan perpustakaan secara swakelola. Ketujuh indikator tersebut adalah administrasi proyek,
mutu/kualitas pekerjaan, biaya, manfaat, partisipasi masyarakat, waktu, dan kemampuan tim pelaksana.

Populasi dan Sampel


Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sampel adalah bagian
dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. (Sugiyono, 2013).

Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian


Pengujian validitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah kuesioner yang dibuat merupakan alat yang
tepat dan cermat untuk mengukur apa yang ingin diukur, dalam hal ini apakah kuesioner sudah cukup dipahami oleh
semua responden yang diindikasikan oleh kecilnya jawaban yang tidak terlalu menyimpang dengan rata-rata
jawaban responden lain. (Riduwan, 2010)

Reliabilitas menunjukan satu pengertian bahwa suatu instrumen stabil dan konsisten untuk digunakan sebagai alat
pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. (Riduwan, 2010)

Regresi Linier
Regresi linier digunakan untuk merumuskan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Rumus yang dapat
digunakan sebagai berikut (Sugiyono, 2010).
Y = a + b1 . X1 + b2 . X2 + b3 . X3…….+ bn . Xn
Dimana:
Y : Subyek dalam varibel dependen yang diprediksikan
Xn : Subyek data variabel Independen yang mempunyai nilai tertentu.
a : Harga Y bila X = 0 (Harga Konstanta)
bn : Angka arah atau koefisien regresi yang menunjukan angka peningkatan ataupun penurunan
variabel independen. Bila b (+) maka naik, dan bila b (-) maka terjadi penurunan.

Analisa Faktor
Analisa faktor merupakan perluasan dari analisis komponen utama. Analisis faktor digunakan untuk mereduksi
data dan untuk menggambarkan hubungan korelasi dari beberapa variabel dalam sejumlah kecil faktor. Tujuan

MK - 67
utama dari analisis faktor adalah mendefinisikan struktur suatu data matrix dan menganalisa struktur saling
hubungan (korelasi) antar sejumlah besar variabel dengan cara mendefinisikan satu set kesamaan variabel atau
dimensi yang sering disebut dengan faktor (Gozali, 2006:267).

3. METODE PENELITIAN
Bagan Alir Penelitian
Dalam penelitian ini langkah – langkah yang harus dilakukan oleh peneliti digambarkan di dalam diagram alir
sebagai berikut :

Mulai

Rumusan Masalah
Peningkatan efektivitas

Tinjauan Pustaka
efektivitas dan swakelola

Identifikasi Variabel
Variabel bebas :
Administrasi proyek, mutu, biaya, manfaat, partisipasi
masyarakat, waktu, kemampuan pelaksana
Variabel terikat :
Efektivitas pembangunan perpustakaan

Pengumpulan Data

Perbaikan kuisioner

Uji Validitas dan


Reliabilitas
kuisioner Tidak

Ya
Pengolahan dan analisis data
Uji Asumsi klasik, Uji F, Uji t, Regresi dan
Analisa Faktor

Faktor yang berpengaruh Tingkat efektivitas


terhadap efektivitas pembangunan perpustakan

Pembahasan hasil analisis


data

Kesimpulan dan saran

Selesai

Gambar 1 Bagan Alir Penelitian

MK - 68
Tempat dan Jenis Penelitian
Penelitian yang akan dilaksanakan termasuk penelitian deskriptif kuantitatif, yaitu penelitian yang mengambil
sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara memberikan beberapa pertanyaan yang berupa kuesioner kepada responden.
Objek penelitian adalah Pembangunan Perpustakaan di 11 Sekolah Dasar yang tersebar di 7 kecamatan di
Kabupaten Pamekasan, antara lain :
1. Kecamatan Pamekasan : SDN Kangenan I, SDN Barurambat Kota IV
2. Kecamatan Proppo : SDN Tlangoh, SDN Batu Kalangan I
3. Kecamatan Tlanakan : SDN Dabuan I, SDN Dabuan II
4. Kecamatan Pademawu : SDN Sentol II
5. Kecamatan Pakong : SDN Pakong II
6. Kecamatan Palengaan : SDN Rek Kerrek II, SDN Potoan Daya III
7. Kecamatan Kadur : SDN Kertagenah Tengah II

Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah Tim Pelaksana Pembangunan Perpustakaan se-Kabupaten Pamekasan yang
berada di sekolah penerima bantuan. Sampel dari penelitian ini adalah jumlah anggota tim pelaksana pembangunan
perpustakaan sebanyak 6 orang pada masing-masing sekolah

Variabel Penelitian
Untuk mendapatkan data-data yang akan digunakan dalam penelitian ini melalui kuisioner, maka dibuat pertanyaan-
pertanyaan yang berhubungan antara variabel-variabel tersebut dengan indikatornya masing-masing sebagaimana
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Variabel dan Indikator Penelitian
Variabel Indikator
Administrasi proyek administrasi diselesaikan tepat waktu (X11)
(X1) data pendukung administrasi lengkap (X12)
administrasi sesuai dengan petunjuk teknis (X13)
laporan mingguan, bulanan dan akhir proyek (X14)
Mutu/Kualitas (X2) kemampuan tukang untuk melaksanakan pekerjaan (X21)
adanya tim pendamping teknis yang berpengalaman (X22)
peralatan yang memadai untuk kelancaran pekerjaan (X23)
metode pelaksanaan dapat dipertanggungjawabkan secara
teknis (X24)
pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai spesifikasi teknis
(X25)
Biaya (X3) kesesuaian dana yang digunakan dengan pelaksanaan di
lapangan (X31)
transparan dalam pengelolaan dana (X32)
peran aktif tim dalam pengelolaan dana (X33)
tidak terdapat sisa dana proyek (X34)
Manfaat (X4) bangunan digunakan sebagaimana mestinya (X41)
adanya organisasi pengelola bangunan (X42)
adanya peningkatan fungsi bangunan (X43)
adanya sarana pendukung fungsi bangunan (X44)
Partisipasi masyarakat peran aktif masyarakat pada setiap tahapan pelaksanaan
(X5) kegiatan (X51)
operasional dan pemeliharaan proyek melibatkan masyarakat
(X52)
swadaya masyarakat selain tenaga kerja (X53)
swadaya berupa tenaga kerja tanpa dibayar (X54)
Waktu (X6) Waktu awal mulai pekerjaan (X61)
Waktu selesai pekerjaan (X62)
Tahapan sesuai perencanaan (X63)
Tidak terdapat pekerjaan terlambat (X64)
Kemampuan tim Pengalaman mengelola proyek sejenis (X71)
pelaksana (X7) Pengetahuan tentang petunjuk teknis (X72)

MK - 69
Variabel Indikator
Koordinasi perencanaan (X73)
Koordinasi pelaksanaan (X74)
Efektifitas pembangunan Gedung perpustakaan yang dibangun bermanfaat bagi
perpustakaan dengan sekolah (Y1)
sistem swakelola (Y) Sekolah penerima bantuan membutuhkan perpustakaan
sekolah (Y2)
Pembangunan perpustakaan sesuai petunjuk teknis (Y3)
Biaya pembangunan gedung sesuai dengan hasil yang
dilaksanakan (Y4)
Pembangunan gedung perpustakaan menggunakan material
lokal (Y5)

Penilaian Indikator Variabel


Pengukuran variabel pada penelitian ini menggunakan skala 5 point (Likert). Skala Likert adalah skala yang
didasarkan atas penjumlahan sikap responden dalam merespon pernyataan berkaitan indikator-indikator suatu
konsep atau variabel yang sedang diukur. Nilai skala Likert variabel bebas dan variabel tidak bebas sebagai berikut :

Tabel 3. Skala Likert


Variabel Bebas (X) Variabel Tidak Bebas (Y)
Sangat setuju : diberi skor 5 Sangat efektif : diberi skor 5
Setuju : diberi skor 4 Efektif : diberi skor 4
Cukup setuju : diberi skor 3 Cukup Efektif : diberi skor 3
Tidak setuju : diberi skor 2 Tidak Efektif : diberi skor 2
Sangat tidak setuju : diberi skor 1 Sangat tidak Efektif : diberi skor 1

Metode Analisis Data


Setelah mengidentifikasi faktor – faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas pembangunan perpustakaan
secara swakelola, maka untuk mendapatkan faktor – faktor yang paling dominan pengaruhnya, menggunakan model
regresi linier ganda. Pengujian dalam analisis regresi adalah menggunakan uji F, uji t dan koefisien determinasi (R 2).

Uji F merupakan pengujian untuk mengetahui pengaruh secara simultan variabel bebas terhadap variabel terikat yang
diuji menggunakan F-test dan  = 5 %. Uji t merupakan Pengujian untuk mengetahui pengaruh secara parsial
variabel bebas terhadap variabel terkait dilakukan menggunakn t-test dengan  = 5%. Sedangkan koefisien determinasi
(R2) digunakan untuk mengukur prosentase variasi variabel tidak bebas yang dijelaskan oleh semua variabel bebasnya.
Nilai koefisien determinasi terletak antara 0 dan 1 (0 < R2 < 1), dimana semakin tinggi nilai R2 suatu regresi atau
semakin mendekati 1, maka hasil regresi tersebut akan semakin baik.

4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Hasil Uji Validitas
Dan hasil uji validitas variabel administrasi proyek (X1), mutu/kualitas (X2), biaya (X3), manfaat (X4), partisipasi
masyarakat (X5), waktu (X6), kemampuan tim pelaksana (X7), dan efektivitas pembangunan perpustakaan (Y)
dijelaskan bahwa nilai thitung pada setiap pertanyaan kuisioner dari masing -masing variabel lebih besar
daripada t t ab el (1,996) dengan derajat bebas sebesar 66. Nilai koefisien korelasi tiap variabel > 0,3 dan nilai
p-value pada tiap variabel <  (0,05) (lampiran I). Dapat disimpulkan bahwa kuisioner yang digunakan dalam
penelitian ini sudah valid.

Tabel 4. Hasil Uji Validitas

Pertanyaan Koefisien Nilai t Nilai t


Variabel p- value Hasil
kuisoner korelasi hitung tabel

X1 Administrasi X11 0,861 13,543 1,996 0,000 valid


Proyek
X12 0,791 10,343 1,996 0,000 valid
X13 0,857 13,304 1,996 0,000 valid
X14 0,800 10,667 1,996 0,000 valid

MK - 70
Pertanyaan Koefisien Nilai t Nilai t
Variabel p- value Hasil
kuisoner korelasi hitung tabel

X2 X21 0,828 11,813 1,996 0,000 valid


Kualitas / Mutu
X22 0,889 15,532 1,996 0,000 valid
X23 0,515 4,806 1,996 0,000 valid
X24 0,480 4,377 1,996 0,000 valid
X25 0,697 7,776 1,996 0,000 valid
X3 X31 0,636 6,593 1,996 0,000 valid
Biaya
X32 0,888 15,449 1,996 0,000 valid
X33 0,687 7,563 1,996 0,000 valid
X34 0,377 3,256 1,996 0,002 Valid
X4 X41 0,787 10,205 1,996 0,000 valid
Manfaat
X42 0,781 10,004 1,996 0,000 valid
X43 0,693 7,690 1,996 0,000 valid
X44 0,685 7,522 1,996 0,000 valid
X5 X51 0,586 5,785 1,996 0,000 valid
Partisipasi
Masyarakat X52 0,578 5,666 1,996 0,000 valid
X53 0,801 10,704 1,996 0,000 valid
X54 0,659 7,009 1,996 0,000 valid
X6 X61 0,675 7,319 1,996 0,000 valid
Waktu
X62 0,779 9,939 1,996 0,000 valid
X63 0,850 12,909 1,996 0,000 valid
X64 0,896 16,142 1,996 0,000 valid
X7 X71 0,729 8,520 1,996 0,000 valid
Kemampuan
Pelaksana X72 0,872 14,251 1,996 0,000 valid
X73 0,760 9,355 1,996 0,000 valid
X74 0,803 10,779 1,996 0,000 Valid
Y Y1 0,829 11,859 1,996 0,000 valid
Efektifitas
pembangunan Y2 0,775 9,811 1,996 0,000 valid
Y3 0,785 10,137 1,996 0,000 valid
Y4 0,810 11,050 1,996 0,000 valid
Y5 0,785 10,137 1,996 0,000 valid

Hasil Uji Reliabilitas


Dari tabel uji reliabilitas validitas variabel administrasi proyek (X1), mutu/kualitas (X2), biaya (X3), manfaat (X4),
partisipasi masyarakat (X5), waktu (X6), kemampuan tim pelaksana (X7), dan efektivitas pembangunan
perpustakaan (Y), didapatkan koefisien Alpha lebih besar daripada 0,6. Sehingga dapat disimpulk an bahwa
kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini dapat dihandalkan atau reliable

Tabel 5. Hasil Uji Reliabilitas


Cronbach's N of
No. Variabel Keterangan
Alpha Items
1 Administrasi Proyek (X1) 0.822 5 Reliabel
2 Mutu/Kualitas (X2) 0.758 6 Reliabel
3 Biaya (X3) 0.756 5 Reliabel
4 Manfaat (X4) 0.778 5 Reliabel

MK - 71
5 Partisipasi Masyarakat (X5) 0.759 5 Reliabel
6 Waktu (X6) 0.814 5 Reliabel
7 Kemampuan Pelaksana (X7) 0.795 5 Reliabel
8 Efektifitas Pembangunan 0.792 6 Reliabel
Perpustakaan (Y)

Pengujian Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dari variabel bebas terhadap
variabel tidak bebas secara simultan dan parsial. Dalam pengolahan data dengan menggunakan analisa regresi
linier berganda, dilakukan beberapa tahapan untuk mencari hubungan antara variabel bebas dan tidak bebas.
Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan software SPSS didapatkan ringkasan seperti terlihat pada
tabel berikut :

Tabel 6. Ringkasan Pengujian Hipotesis


Variabel Koefisien  t Sig Keterangan
(Constant) 14.797 1.912 0.061
X1 0.340 2.629 0.011 Signifikan
X2 -0.174 -1.100 0.276 Tidak Signifikan
X3 -0.358 -1.295 0.200 Tidak Signifikan
X4 0.389 2.538 0.014 Signifikan
X5 0.007 0.065 0.948 Tidak Signifikan
X6 0.180 0.871 0.387 Tidak Signifikan
X7 0.123 0.743 0.460 Tidak Signifikan
Sumber: Data diolah dengan SPSS 16, 2014
ttabel = 2,002
R = 0,732
R2 = 0,535
Fhitung = 9,552
Ftabel = 2,17
Sig. F = 0,000
ttabel = 2,002
Model regresi yang diperoleh berdasarkan tabel diatas adalah sebagai berikut :
Y = 14,797 + 0,340X1 – 0.174X2 – 0,358X3 + 0,389X4 + 0,007X5 + 0,180X6 + 0,123X7
Dari tabel diatas diperoleh nilai koefisien determinasi R Square (R2) sebesar 0,535 atau 53,5%. Hal ini dapat
diartikan bahwa variabel efektivitas pembangunan perpustakaan dipengaruhi sebesar 53,5% oleh administrasi
proyek, mutu/kualitas, biaya, manfaat, partisipasi masyarakat, waktu dan kemampuan pelaksana. Sedangkan
sisanya sebesar 46,5% dipengaruhi oleh variabel lain di luar tujuh variabel bebas yang diteliti dalam
penelitian ini.

Untuk uji F, didapat nilai F hitung sebesar 9,552, sedangkan F tabel didapat dengan melihat perpotongan nilai
df(N1) = 7 dan nilai df(N2) = 58 sehingga didapat nilai 2,17. Dengan demikian jika dibandingkan nilai
F hitung lebih besar dari nilai F tabel. Selain itu, nilai p-value sebesar 0,000 lebih kecil dari nilai  sebesar 0,05.
Kesimpulannya adalah Ho ditolak yang artinya terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan variabel
administrasi proyek (X1), mutu/kualitas (X2), biaya (X3), manfaat (X4), partisipasi masyarakat (X5), waktu (X6),
dan kemampuan tim pelaksana (X7) terhadap efektivitas pembangunan perpustakaan (Y).

Dari hasil uji t didapatkan bahwa secara parsial faktor administrasi proyek (t hitung = 2,629) dan dan faktor manfaat
(t hitung = 2,538) berpengaruh secara signifikan terhadap efektivitas pembangunan perpustakaan secara swakelola,
karena t hitung yang diperoleh lebih besar daripada t tabel , dimana t tabel = 2,002. Sedangkan faktor mutu (t hitung = -
1,100), biaya (t hitung = -1,295), partisipasi masyarakat (t hitung = 0,065), waktu (t hitung = 0,871) dan kemampuan
pelaksana (t hitung = 0,743) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap efektivitas pembangunan perpustakaan
secara swakelola, sebab t hitung yang diperoleh lebih kecil dari t tabel .

Untuk menentukan variabel bebas yang paling dominan berpengaruh terhadap efektivitas pembangunan
perpustakaan, dapat dilakukan dengan melihat nilai koefisien regresi () diantara variabel bebas tersebut, yaitu
variabel manfaat merupakan variabel yang memiliki koefisien regresi terbesar.

MK - 72
Pengukuran Efektivitas
Efektivitas pembangunan perpustakaan secara sweakelola dapat diukur melalui persentase jawaban responden
terhadap variabel efektivitas pembangunan perpustakaan secara swakelola. Berdasarkan hasil skor indikator
efektivitas dirata-rata sehingga menghasilkan skor rata-rata sebesar 88,30%, yang merupakan nilai efektivitas
pembangunan perpustakaan sekolah secara swakelola di Kabupaten Pamekasan

Hasil Analisa Faktor


1. Variabel Administrasi Proyek dipengaruhi oleh administrasi diselesaikan tepat waktu (X11), data pendukung
administrasi lengkap (X12), administrasi sesuai dengan petunjuk teknis (X13), dan laporan mingguan, bulanan
dan akhir proyek (X14) dengan kontribusi terbesar atau faktor dominannya adalah faktor administrasi
diselesaikan tepat waktu (X11) sebesar 0,869 atau 86,9%.
2. Variabel Mutu/Kualitas dipengaruhi oleh kemampuan tukang untuk melaksanakan pekerjaan (X21), adanya tim
pendamping teknis yang berpengalaman (X22), metode pelaksanaan dapat dipertanggungjawabkan secara
teknis (X24), dan pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai spesifikasi teknis (X25) dengan faktor dominan
adalah kemampuan tukang untuk melaksanakan pekerjaan (X21) sebesar 0,898 atau 89,8 %.
3. Variabel Biaya dipengaruhi oleh kesesuaian dana yang digunakan dengan pelaksanaan di lapangan (X31),
transparan dalam pengelolaan dana (X32), dan peran aktif struktur dalam pengelolaan dana (X33) dengan faktor
dominan adalah transparan dalam pengelolaan dana (X32) sebesar 0,920 atau 92,0 %.
4. Variabel Manfaat dipengaruhi oleh bangunan digunakan sebagaimana mestinya (X41), adanya organisasi
pengelola bangunan (X42), adanya peningkatan fungsi bangunan (X43), dan adanya sarana pendukung fungsi
bangunan (X44) dengan kontribusi terbesar atau faktor dominannya adalah faktor bangunan digunakan
sebagaimana mestinya (X41) sebesar 0,910 atau 91,0%.
5. Variabel Partisipasi Masyarakat dipengaruhi oleh operasional dan pemeliharaan proyek melibatkan masyarakat
(X52), swadaya masyarakat selain tenaga kerja (X53), dan swadaya berupa tenaga kerja tanpa dibayar (X54)
dengan faktor dominan adalah swadaya masyarakat selain tenaga kerja (X53) sebesar 0,828 atau 82,8%.
6. Variabel Waktu dipengaruhi oleh waktu awal mulai pekerjaan (X61), waktu selesai pekerjaan (X62), tahapan
sesuai perencanaan (X63), dan tidak terdapat pekerjaan terlambat (X64) dengan kontribusi terbesar atau faktor
dominannya adalah faktor tidak terdapat pekerjaan terlambat (X64) sebesar 0,915 atau 91,5%.
7. Variabel Kemampuan Pelaksana dipengaruhi oleh pengalaman mengelola proyek sejenis (X71), pengetahuan
tentang petunjuk teknis (X72), koordinasi perencanaan (X73), dan koordinasi pelaksanaan (X74) dengan faktor
dominannya adalah faktor koordinasi pelaksanaan (X74) sebesar 0,868 atau 86,8 %.

Tabel 7. Ringkasan Strategi Peningkatan Efektivitas


Nama Variabel
Indikator Rencana Tindak Lanjut
Bebas
Manfaat (X4) bangunan digunakan Dinas Pendidikan Kabupaten Pamekasan harus
sebagaimana mestinya melakukan monitoring secara berkala untuk memastikan
(X41) bahwa hasil dari pembangunan perpustakaan tersebut
digunakan oleh sekolah sebagaimana mestinya.
adanya organisasi Sekolah penerima bantuan perpustakaan harus
pengelola bangunan membentuk organisasi pengelola perpustakaan serta
(X42) memfungsikan struktur organisasi tersebut secara
maksimal
sarana pendukung Sekolah penerima bantuan perpustakaan harus
fungsi bangunan (X44) mengusahakan untuk pengadaan sarana pendukung
fungsi bangunan, seperti meubelair, komputer serta
koleksi buku yang dibutuhkan oleh sekolah
peningkatan fungsi Perpustakaan sekolah harus ditingkatkan fungsinya,
bangunan (X43) misalnya sekaligus sebagai laboratorium komputer dan
internet bagi siswa
Administrasi administrasi Tim pelaksana kegiatan pembangunan perpustakaan
Proyek (X1) diselesaikan tepat diberikan dukungan yang dibutuhkan untuk
waktu (X11) menyelesaikan pertanggungjawaban administrasi proyek
tepat waktu pada saat pembangunan selesai.
administrasi sesuai Dalam pelaporan administrasi pelaksanaan
dengan petunjuk teknis pembangunan, tim pelaksana kegiatan harus mengacu
(X13) pada petunjuk teknis pelaksanaan pembangunan

MK - 73
Nama Variabel
Indikator Rencana Tindak Lanjut
Bebas
perpustakaan yang dikeluarkan oleh Direktorat
Pembinaan Pendidikan Dasar
data pendukung Dalam penyelesaian administrasi proyek, maka tim
administrasi lengkap pelaksana kegiatan harus melengkapi
(X12) pertanggungjawaban administrasi proyek dengan data-
data pendukung yang benar
laporan mingguan, Tim pelaksana kegiatan membuat laporan mingguan,
bulanan dan akhir bulanan secara rutin serta laporan akhir sebagai bagian
proyek (X14) pertanggungjawaban administrasi proyek.

5. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Efektivitas pembangunan perpustakaan sekolah secara swakelola di Kabupaten Pamekasan termasuk
katagori sangat efektif karena berdasarkan analisa deskripsi variabel efektivitas menghasilkan nilai rata-rata
jawaban responden sebesar 88,30%.
2. Terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan dari variabel administrasi proyek, mutu/kualitas, biaya,
manfaat, partisipasi masyarakat, waktu, dan kemampuan tim pelaksana terhadap efektivitas pembangunan
perpustakaan.
3. Faktor administrasi proyek (t hitung = 2,629) dan dan faktor manfaat (t hitung = 2,538) berpengaruh secara
signifikan terhadap efektivitas pembangunan perpustakaan secara swakelola, karena t hitung yang diperoleh
lebih besar daripada t tabel, dimana t tabel = 2,002.
4. Variabel manfaat memiliki pengaruh paling dominan terhadap efektivitas pembangunan perpustakaan
secara swakelola, sebab variabel tersebut memiliki koefisien regresi terbesar, yaitu  = 0,389.
5. Strategi untuk meningkatkan efektivitas pembangunan perpustakaan sekolah secara swakelola di
Kabupaten Pamekasan dengan cara mengoptimalkan indikator-indikator yang terdapat pada variabel
manfaat dan administrasi proyek.
Saran
1. Hasil pembangunan perpustakaan tersebut dimanfaatkan sebagaimana fungsinya serta membentuk struktur
pengelola perpustakaan untuk pemanfaatan yang lebih optimal.
2. Untuk pelaksanaan proyek pembangunan secara swakelola sebaiknya diberikan bimbingan teknis bagi tim
pelaksana proyek untuk pengelolaan administrasi proyek serta pelaksanaannya didampingi oleh konsultan
yang berkompeten dalam masalah administrasi proyek.
3. Dinas Pendidikan Kabupaten Pamekasan lebih proaktif dalam memonitoring hasil pembangunan tersebut
terutama dari segi pemanfaatan dan administrasi proyeknya agar pembangunan gedung perpustakaan
tersebut bisa lebih efektif.
4. Untuk peneliti yang akan datang, jika ingin meneliti efektivitas suatu proyek yang dilaksanakan secara
swakelola, sebaiknya menggunakan variabel selain yang telah dibahas pada penelitian ini, atau penelitian
dilakukan untuk jenis proyek yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Dipohusodo, Istimawan. 1996. Manajemen Proyek & Konstruksi. Kanisius. Yogyakarta


Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Penerbit Universitas
Diponegoro.
Husen, Abrar, Ir, MT. 2011. Manajemen Proyek. Pustaka Andi. Yogyakarta.
Janie, Dyah Nirmala Arum. 2012. Statistik Deskriptif & Regresi Linier Berganda dengan SPSS. Semarang
University Press. Semarang
Peraturan Presiden N0. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah.
Panduan Pelaksanaan Bantuan Pembangunan Perpustakaan Sekolah Dasar Tahun 2013. Direktorat Pembinaan
Sekolah Dasar.
Riduan. 2006. Dasar-dasar Statistik. Alfabetha. Bandung
Sugiyono. 2013. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Widiasanti, Irika & Lenggogeni. 2013. Manajemen Konstruksi. Rosda. Bandung.

MK - 74
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

MODEL FAKTOR RISIKO YANG BERPENGARUH PADA PERBAIKAN PROYEK


KONSTRUKSI JALAN RAYA

Darmawan Pontan1 dan Nurluthfi Kusumawardhani2

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Trisakti, Jl. Kyai Tapa No. 1 Grogol, Jakarta
Email : pontz_2u@yahoo.com
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Trisakti, Jl. Kyai Tapa No. 1 Grogol, Jakarta
Email : nurluthfikwardhani@yahoo.co.id

ABSTRAK
Proyek konstruksi merupakan bidang yang dinamis dan mengandung banyak risiko. Risiko dapat
memberikan pengaruh terhadap produktivitas, kinerja, kualitas dan batasan biaya dari proyek.
Risiko dapat merupakan akibat yang mungkin terjadi secara tak terduga. Walaupun setiap
kegiatan telah direncanakan sebaik mungkin, tetap mengandung ketidakpastian, nantinya akan
berjalan sesuai rencana. Indikator keberhasilan proyek konstruksi jalan raya ditunjukkan oleh
kesesuaian biaya, waktu dan kualitas dengan rencana awal. Di Indonesia, terdapat proyek
konstruksi jalan raya yang mengalami keterlambatan, permasalahan terhadap biaya dan kualitas
yang tidak sesuai dengan perencanaan. Penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko utama yang
terjadi pada proyek konstruksi jalan raya dan mengetahui juga tingkat faktor risiko (ranking
risiko) utama yang mempengaruhi pada perbaikan jalan raya (y), yaitu manajemen operasional
(x1), sumber daya (x2) dan lingkungan dan peristiwa alam (x3). Selanjutnya, pada pelaksanaan
proyek, pihak yang berkepentingan dapat mengetahui dan mengantisipasi risiko yang terjadi
sehingga pelaksanaan proyek dapat berjalan dengan baik. Metode penelitian ini menggunakan
analisis regresi linier untuk membuat model faktor risiko, kemudian dilakukan analisis data
statistik dengan menggunakan metode Index Mean untuk menentukan tingkat faktor risiko. Hasil
dari metode index mean: faktor risiko utama yang paling tinggi adalah variabel lingkungan dan
peristiwa alam (X3) dengan pekerjaan relokasi utilitas eksisting yang dilewati proyek jalan
sehingga berpengaruh ke biaya (X3 4), sedangkan risiko-risiko yang terjadi pada variabel
manajemen operasional (X1) sangat kecil, sehingga dapat diabaikan. Hasil faktor risiko
berdasarkan regresi linier adalah perbaikan jalan raya (Y) berpengaruh 13,5 % terhadap
pekerjaan relokasi utilitas (X3 4), 24,3 % terhadap kelelahan akibat lembur (X 2 3) dan 16,2 %
terhadap gangguan premanisme (X3 7).
Kata kunci: faktor risiko, index mean, jalan raya, proyek konstruksi

1. PENDAHULUAN

Risiko dapat menyebabkan pertambahan biaya dan keterlambatan jadwal penyelesaian proyek konstruksi jalan
raya. Oleh karena itu sangat diperlukan identifikasi terhadap faktor risiko agar dapat mengantisipasi kejadian
yang tidak diinginkan dan proyek konstruksi jalan raya dapat berjalan dengan baik. Proyek konstruksi khususnya
proyek jalan bersifat unik, yaitu mempunyai proses satu arah dan tidak dapat dibalikan. Dalam proses tersebut
terdapat tahap-tahap pelaksanaan pekerjaan yang melibatkan sumber daya manusia, material, peralatan,
organisasi proyek dan teknologi konstruksi. Berbagai risiko dapat timbul dalam pelaksanaan pekerjaan jalan raya
akibat banyaknya sumber daya yang terlibat.

Penelitian ini dilaksanakan untuk melakukan identifikasi risiko pada tahap pelaksanaan proyek jalan raya pada
lingkup perusahaan kontraktor dan owner agar di masa mendatang dapat menjadi acuan bagi para pelaksana
pekerjaan jalan raya kemungkinan terjadinya risiko yang potensial di proyek. Penelitian dilakukan dengan
melakukan identifikasi risiko di semua tahap pelaksanaan pekerjaan proyek jalan raya berdasarkan studi literatur
dan best practice di lapangan. Setelah mengindentifikasi risiko, maka selanjutnya menganalisis peringkatnya
berdasar data kuesioner frekuensi dan dampak oleh metode Analisis Statistik Deskriptif. Dari hasil penelitian,
proses identifikasi risiko pada pelaksanaan proyek jalan terbukti sangat efektif untuk mengetahui risiko-risiko
yang dapat terjadi di lapangan.

MK - 75
2. PEKERJAAN KONSTRUKSI JALAN RAYA

Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang digunakan untuk melayani beban lalu
lintas. Berikut adalah penjelasan pengerjaan konstruksi jalan raya menggunakan aspal dan beton.

Perbedaan Pekerjaan Jalan dengan Aspal dan Beton


1. Tahap pengerjaan konstruksi jalan raya dengan menggunakan aspal:
Sebelum jalan dibangun maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah pembersihan lahan. Setelah itu
dilakukan pekerjaan pemerataan tanah dengan mengunakan buldozer. Untuk memindahkan tanah bekas galian
digunakan dump truck. Tahap selanjutnya adalah penghamparan material pondasi bawah berupa batu kali
dengan mengunakan transportasi dump truck kemudian diratakan dan dipadatkan dengan mengunakan alat
tandem roller. Pekerjaan perataan dengan tandem roller dilakukan lagi pada saat pengamparan lapis pondasi
atas dan lapis permukaan gunanya untuk pemadatan. Pada saat penghamparan lapis pondasi dilakukan
pekerjaan pengukuran elevasi urugan dengan alat theodolit dan perlengkapanya. Setelah itu dilakukan
penghamparan aspal yang sebelumnya telah dipanaskan terlebih dahulu hingga mencair. Untuk
menghamparkan aspal digunakan alat asphalt finisher. Setelah aspal berhasil dilemparkan dengan elevasi jalan
raya yang telah diukur mengunakan theodolit sesuai pekerjaan perencanaan selanjutnya adalah pemadatan
dengan buldozer hingga memenuhi kepadatan dan elevasi yang direncanakan. Pekerjaan selanjutnya adalah
finishing pemadatan dan perataan jalan raya dengan alat peneumatic roller.

2. Tahap pengerjaan konsruksi jalan raya dengan menggunakan beton:


Pertama dilakukan pembersihan lokasi jalan yang akan dibetonisasi. Selanjutnya pekerjaan pengukuran
dilakukan selama pekerjaan berlangsung untuk menentukan elevasi ketinggian konstruksi, kontrol kedataran
jalan, kebenaran posisi jalan dan yang lainya. Urugan dan timbunan tanah diperlukan untuk meratakan
elevasi jalan dengan tinggi sesuai perencanaan. Setelah itu penghamparan pondasi jalan dapat menggunakan
batu kali. Kemudian pemadatan pondasi jalan beton agar tidak terjadi penurunan saat konstruksi sudah
selesai dibangun sehingga menyebabkan kerusakan atau retak-retak. Pekerjaan selanjutnya pemasangan besi
tulangan di atas pondasi yang sudah mengalami pemadatan, pemasangan papan bekisting pada tepi cor.
Sesudah itu pengecoran beton yang dilakukan setelah pembesian dan bekisting terpasang sempurna. Perataan
permukaan jalan beton dilakukan saat cor masih basah menjelang kering.

Jenis Pengerjaan Konstruksi Jalan


1. Pekerjaan Jalan dengan Aspal Hotmix Pekerjaan pencampuran dilakukan di pabrik pencampur, kemudian
dibawa ke lokasi dan dihampar dengan mempergunakan alat penghampar (paving machine) sehingga
diperoleh lapisan lepas yang seragam dan merata untuk selanjutnya dipadatkan dengan mesin pemadat dan
akhirnya diperoleh lapisan padat aspal.

2. Pekerjaan CMRFB (Cold Mix Recycling by Foam Bitumen)


Pekerjaan CMRFB adalah teknologi stabilisasi pondasi jalan dengan sistem daur ulang campuran dingin
pada perkerasan jalan. Prinsip dari proses ini adalah memanfaatkan material jalan yang ada yang sudah tidak
memiliki nilai struktur untuk diolah dan ditambah bahan additive sehingga dapat dipergunakan kembali
dengan nilai struktur yang lebih tinggi.
3. Pekerjaan Speedcrete
Speedcrete adalah semen curah atau beton dengan tambahan agregat tertentu yang digunakan untuk jalan
raya. Keunggulan teknologi speedcrete adalah penyelesaian pekerjaan sangat cepat karena hanya
membutuhkan waktu singkat dan kurang dari sehari. Jika pengecoran dengan semen biasa membutuhkan
waktu pengeringan selama 28 hari, speedcrete hanya butuh waktu 4 jam (untuk jalan persimpangan dan
padat lalu lintas) atau 8 jam untuk jalur busway. Pekerjaan dilakukan di malam hari kemudian pagi harinya
sudah bisa dilewati kendaraan.
4. Pekerjaan Pemasangan Marka Jalan
Marka jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan jalan atau di atas permukaan jalan berupa
peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong serta lambang lainnya
yang berfungsi untuk mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu lintas.
5. Pekerjaan Peningkatan Jalan-Jalan Strategis
Peningkatan jalan adalah perbaikan kondisi jalan dengan kemampuan tidak mantap atau kritis, baik struktur
(fisik) maupun geometrik (kemiringan) dengan umur rencana 10 tahun atau 5 tahun. Perbaikan jalan dapat
berupa pelebaran lajur jalan, pembuatan trotoar untuk pejalan kaki dan lain sebagainya. Tujuan peningkatan

MK - 76
jalan adalah untuk menjaga jalan agar fungsinya dalam sistem infrastruktur jalan (atau lebih dikenal sebagai
jaringan jalan) dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai tujuan penyelenggaraan jalan itu sendiri.

3. METODE PENELITIAN

Metode penelitian dilakukan dengan cara melakukan pengambilan data pada proyek, dan penyebaran kuesioner
kepada kontraktor (project manager, wakil, staff dan mandor).
Skala pengukuran untuk pengisian kuesioner terhadap variabel oleh para kontraktor proyek jalan raya yang
ditinjau adalah sebagai berikut:

Skala pengukuran analisa kejadian (frekuensi)


[1] = Jarang hanya terjadi pada situasi yang sangat khusus (rare)
[2] = Cenderung dapat terjadi di suatu waktu (unlikely)
[3] = Moderat, seharusnya terjadi di suatu waktu (moderate)
[4] = Kemungkinan akan terjadi di semua situasi (likely)
[5] = Hampir pasti diharapkan akan terjadi di semua situasi (almost certain)

Skala pengukuran analisa konsekuensi (dampak)


[1] = Tidak Signifikan (tanpa kecelakaan manusia dan kerugian materi)
[2] = Minor (bantuan kecelakaan awal, kerugian materi yang medium)
[3] = Moderat (diharuskan penanganan secara medis, kerugian cukup tinggi)
[4] = Major (kecelakaan berat, kehilangan kemampuan operasi/produksi, kerugian materi)
[5] = Bencana Kematian (bahaya radiasi dengan efek penyebaran yang luas, kerugian keuangan yang
sangat besar)

Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan dari kuesioner akan diolah dengan menggunakan program Analisis Statistik Deskriptif
atau SPPS. Dari pengolahan data menggunakan SPSS akan menghasilkan Index Mean RRI dan Rangking Risiko.
Rangking risiko merupakan langkah selanjutnya dalam mencapai tujuan penelitian ini dilakukan. Rangking risiko
bertujuan untuk mengetahui variabel risiko mana yang menjadi peringkat pertama yang mendapat perhatian dari
responden.

Uji Validitas
Validitas adalah ketepatan atau kecermatan suatu instrument dalam mengukur apa yang ingin diukur. Dalam
pengujian instrument pengumpulan data, validitas bisa dibedakan menjadi validitas faktor dan validitas item.
Validitas faktor diukur bila item yang disusun menggunakan lebih dari satu faktor. Pengukuran validitas faktor
ini dengan cara mengkolerasi antar skor faktor dengan skor total faktor, sedangkan pengukuran validitas item
dengan cara mengkolerasi antara skor item dengan skor total item. Pada pembahasan ini akan dibahas untuk
metode pengujian validitas item validitas item ditunjukan dengan adanya korelasi atau dukungan terhadap item
total (skor total), perhitungan dilakukan dengan cara mengkorelasikan antara skor item dengan skor total item.
Keputusan Uji:
Bila r hitung > r tabel, Artinya valid
Bila r hitung < r tabel, Artinya tidak valid

Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari peubah atau konstruk.
Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau
stabil dari waktu ke waktu.
Ukuran kemantapan alpha menurut (Triton, 2006):
1. Nilai Alpha cronbach’s 0,00 s.d. 0,20 berarti kurang reliabel
2. Nilai Alpha cronbach’s 0,21 s.d. 0,40 berarti agak reliabel
3. Nilai Alpha cronbach’s 0,41 s.d. 0,60 berarti cukup reliabel
4. Nilai Alpha cronbach’s 0,61 s.d. 0,80 berarti reliabel
5. Nilai Alpha cronbach’s 0,81 s.d. 1,00 berarti sangat reliabel

Uji Regresi
Analisis regresi adalah salah satu analisis yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh suatu variabel terhadap
variabel lain, dengan kata lain untuk mengetahui seberapa jauh perubahan variabel bebas dalam mempengaruhi
variabel terkait. . Jika dalam persamaan regresi hanya terdapat satu variabel bebas dan satu variabel terkait, maka

MK - 77
disebut sebagai persamaan regresi sederhana. Sedangkan jika variabel bebasnya lebih dari satu, maka disebut
sebagai persamaan regresi berganda. Untuk mengetahui bentuk hubungan dari variabel-variabel tersebut linier
atau nonlinier, maka dilakukan regresi berganda secara transformasi logaritma natural terhadap variabel-variabel.
Model regresi liner berganda untuk hubungan Y dan X dapat dinyatakan sebagai berikut:

Y = a + b1 X1 + b2 X2 + … + bn Xn (1)

Dimana:
Y : variabel terikat
a : konstanta
b1, b2, … bn : koefisien regresi
X1, X2, … Xn : variabel bebas

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyebaran kuesioner ditujukan kepada 9 kontraktor dan 1 owner terhadap 55 responden, kuesioner yang
kembali sejumlah 39 kuesioner. Setiap 1 proyek diberikan 1-5 kuesioner dan pengisian dilakukan oleh orang
yang terlibat dalam proses pelaksanaan proyek konstruksi.Data yang diperoleh dari total 39 kuesioner berupa
nama per usahaan, jenis kelamin, jabatan, pengalaman kerja, dan pendidikan terakhir. Adapun nama-nama
perusahaan yang terdata sebagai responden, yaitu: Dinas Bina Marga, PT. Dambha Prima Utama, PT. Jaya
Konstruksi MP. Tbk, PT. Lesindo Utama Sakti, PT. Multi Karya Cemerlang, PT. Nikita Sari Jaya, PT. Pendawa
Lestari Perkasa, PT. Perkasa Adiguna Sembada, PT. Tiga Arka Kencana, dan PT. Tindodi Karya Lestari.

Berdasarkan jenis kelamin, pendidikan terakhir dan lama pengalaman kerja responden pada pengisian kuesioner,
didapatkan data yang dapat dilihat pada gambar 1, gambar 2 dan gambar 3 di bawah ini:

Gambar 1. Diagram Jenis Kelamin Responden Gambar 2. Diagram Pendidikan Terakhir Responden
Sumber : Hasil Olah Data Sumber : Hasil Olah Data

Gambar 3. Diagram Pengalaman Kerja Responden


Sumber : Hasil Olah Data

MK - 78
Pembahasan Uji Validitas
1. Faktor Manajemen
Pada penjelasan tabel 1. berikut, akan menunjukan hasil analisa uji validitas variabel faktor
manajemen operasional.

Tabel 1. Validasi Faktor Manajemen Operasional


Frekuensi Dampak
Corrected Corrected
Variabel Valid/ Valid/
Item-Total Item-Total
Tdk valid Tdk valid
Correlation Correlation

X1 1 0,718 Valid 0,847 Valid


Manajemen keuangan yang kurang
professional
Biaya operasional dan overhead yang
X1 2 0,787 Valid 0,757 Valid
tinggi
Terlambatnya progress pekerjaan karena
X1 3 kontraktor kekurangan dana untuk 0,630 Valid 0,825 Valid
menutupi biaya
Kurangnya pelatihan yang diberikan
X1 4 kepada pekerja proyek dalam hal SOP 0,854 Valid 0,816 Valid
pembangunan jalan
Keterlambatan akibat penggunaan metode
X1 5 0,799 Valid 0,821 Valid
yang kurang tepat
Kurangnya pengendalian terhadap jadwal
X1 6
pelaksanaan pekerjaan 0,683 Valid 0,843 Valid
X1 7 Kurangnya pengawasan terhadap pekerja
dan supplier 0,641 Valid 0,810 Valid
X1 8 Kurangnya koordinasi antar pihak yang
terlibat dalam proyek 0,464 Valid 0,664 Valid
Rendahnya sistem evaluasi dan
X1 9
pengambilan keputusan 0,669 Valid 0,834 Valid
Sumber : Hasil olah data SPSS 20

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh variabel memiliki nilai koefisien korelasi ≥ r table
(=0,316) sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh variabel tersebut dinyatakan valid.

2. Faktor Sumber Daya


Pada penjelasan tabel 2 berikut, akan menunjukan hasil analisa uji validitas variabel faktor sumber daya.

Tabel 2. Validasi Faktor Sumber Daya


Frekuensi Dampak
Corrected Corrected
Variabel Valid/ Valid/
Item-Total Item-Total
Tdk valid Tdk valid
Correlation Correlation
Produktivitas tenaga kerja yang minimum
X2 1 sehingga mempengaruhi progress 0,726 Valid 0,831 Valid
pekerjaan
Keterlambatan tenaga kerja akibat libur
X2 2 0,665 Valid 0,509 Valid
nasional atau hari raya

Kelelahan akibat banyaknya pekerjaan


X2 3 0,513 Valid 0,711 Valid
yang dilakukan secara lembur

MK - 79
Kualitas pekerjaan yang tidak baik karena
X2 4 0,723 Valid 0,949 Valid
tenaga kerja yang tidak kompeten
Pekerja yang meremehkan faktor
X2 5 keselamatan, tidak menggunakan K3 0,533 Valid 0,881 Valid

Pemanfaatan material yang kurang efisien


X2 6 0,759 Valid 0,830 Valid
sehingga merugikan kontraktor
Uji sampel bahan yang tidak sesuai 0,381 Valid 0,790 Valid
X2 7
dengan standar kualitas yang ditetapkan
Tidak tersedianya bahan secara cukup di
X2 8 0,674 Valid 0,844 Valid
lapangan
Pengiriman material yang terlambat yang
X2 9 berpengaruh terhadap pelaksanaan 0,730 Valid 0,855 Valid
konstruksi
Efisiensi alat berat yang kurang
X2 10 0,625 Valid 0,906 Valid
maksimum

X2 11 Kekurangan alat berat 0,706 Valid 0,834 Valid

Lokasi penempatan alat yang tidak


X2 12 0,562 Valid 0,804 Valid
strategis
Sumber : Hasil olah data SPSS 20

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh variabel memiliki nilai koefisien korelasi ≥ r table
(=0,316) sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh variabel tersebut dinyatakan valid.

3. Faktor Lingkungan dan Peristiwa Alam


Pada penjelasan tabel 3 berikut, akan menunjukan hasil analisa uji validitas variabel faktor lingkungan
dan peristiwa alam.

Tabel 3. Validasi Faktor Lingkungan dan Peristiwa Alam


Frekuensi Dampak
Corrected Corrected
Variabel Valid/ Valid/
Item-Total Item-Total
Tdk valid Tdk valid
Correlation Correlation
Terganggunya kelancaran pekerjaan
X3 1 akibat tingginya tingkat kepadatan lalu 0,549 Valid 0,631 Valid
lintas di sekitar lokasi proyek
Sulitnya akses masuk bagi alat berat yang
X3 2 akan digunakan selama pelaksanaan 0,287 Tdk Valid 0,850 Valid
proyek karena kemacetan dan sebagainya

Kemacetan di sekitar proyek sehingga


X3 3 0,650 Valid 0,762 Valid
menghambat kedatangan material

Pekerjaan relokasi utilitas eksisting yang


X3 4 0,487 Valid 0,718 Valid
dilewati proyek jalan sehingga
Kecelakaan yang terjadi di lokasi yang
X3 5 0,052 Tdk Valid 0,807 Valid
menyebabkan kerusakan pada konstruksi

X3 6 Kecelakaan yang terjadi di lokasi yang 0,380 Valid 0,602 Valid


menyebabkan luka
X3 7 Adanya gangguan keamanan/premanisme 0,433 Valid 0,575 Valid

MK - 80
Personil konsultan pengawas menderita
X3 8 0,488 Valid 0,671 Valid
sakit

X3 9 Keterlambatan proyek akibat cuaca 0,089 Tdk Valid 0,590 Valid


X3 10 Kerusakan akibat adanya bencana alam 0,032 Tdk Valid 0,719 Valid
Sumber : Hasil olah data SPSS 20

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa indikator yang memikiki nilai koefisien korelasi ≥ r table (=0,316) dapat
dikatakan bahwa indikator-indikator dari masing-masing variabel tersebut dikatakan valid, sedangkan untuk
variabel X3 2, X3 5, X3 9 dan X3 10 yang memiliki koefisien korelasi < r table dikatakan bahwa variabel tersebut
tidak valid, sehingga variabel tersebut tidak bisa diikutsertakan dalam analisis berikutnya.

Pembahasan Uji Reliabilitas


Tabel 4. Uji Reliabilitas
No Variabel Cronbach’s alpha Reliabilitas
1 Faktor Manajemen Operasional Berdasarkan Frekuensi 0,908 sangat reliabel
2 Faktor Manajemen Operasional Berdasarkan Dampak 0,949 sangat reliabel
3 Faktor Sumber Daya Berdasarkan Frekuensi 0,904 sangat reliabel
4 Faktor Sumber Daya Berdasarkan Dampak 0,955 sangat reliabel
5 Faktor Lingkungan dan Peristiwa Alam Berdasarkan Frekuensi 0,687 reliabel
6 Faktor Lingkungan dan Peristiwa Alam Berdasarkan Dampak 0,916 sangat reliabel
Sumber : Hasil olah data SPSS 20

Berdasarkan tabel 4, dapat disimpulkan bahwa pada hasil uji reliabilitas, faktor manajemen operasional
berdasarkan frekuensi, faktor manajemen operasional berdasarkan dampak, faktor sumber daya berdasarkan
frekuensi, faktor sumber daya berdasarkan dampak, dan faktor lingkungan dan peristiwa alam berdasarkan
dampak reliabilitasnya yaitu sangat reliabel, sedangkan faktor lingkungan dan peristiwa alam berdasarkan
frekuensi reabilitasnya yaitu reliabel.

Pembahasan Analisis Index Mean dan Peringkat Akhir Index Mean

Tabel 5. Hasil Perhitungan Total Index RRI


Index Index
Total
Variabel Mean Mean Ranking
Index
Frekuensi Dampak
Pekerjaan relokasi utilitas eksisting yang
X3 4 dilewati proyek jalan sehingga 2,769 2,461 2,461 1
berpengaruh ke biaya
Terganggunya kelancaran pekerjaan
2,590 2,410 6,242 2
X3 1 akibat tingginya tingkat kepadatan lalu
lintas di sekitar lokasi proyek
Kelelahan akibat banyaknya pekerjaan
X2 3 2,564 2,282 5,851 3
yang dilakukan secara lembur

Kemacetan di sekitar proyek sehingga


X3 3 2,359 2,436 5,746 4
menghambat kedatangan material

Adanya gangguan
X3 7 2,795 2,000 5,590 5
keamanan/premanisme

MK - 81
X2 5 Pekerja yang meremehkan faktor 2,282 2,205 5,03 6
keselamatan, tidak menggunakan K3
X1 2 Biaya operasional dan overhead yang 2,513 1,949 4,897 7
tinggi
Kurangnya pelatihan yang diberikan
X1 4 kepada pekerja proyek dalam hal SOP 2,256 2,15 4,860 8
pembangunan jalan
Kurangnya koordinasi antar pihak yang 2,333 2,026 4,726 9
X1 8
terlibat dalam proyek
Produktivitas tenaga kerja yang
X2 1 minimum sehingga mempengaruhi 2,103 2,205 4,636 10
progress pekerjaan
Kurangnya pengendalian terhadap
X1 6 2,154 2,077 4,473 11
jadwal pelaksanaan pekerjaan

Pengiriman material yang terlambat


X2 9 yang berpengaruh terhadap pelaksanaan 2,128 2,077 4,420 12
Konstruksi
X2 4 Kualitas pekerjaan yang tidak baik
2,205 2,000 4,410 13
karena tenaga kerja yang tidak kompeten
Uji sampel bahan yang tidak sesuai
X2 7 1,718 2,154 3,700 14
dengan standar kualitas yang ditetapkan

Tidak tersedianya bahan secara cukup di


X2 8 1,923 1,923 3,698 15
Lapangan

Pemanfaatan material yang kurang


X2 6 2,000 1,846 3,692 16
efisien sehingga merugikan kontraktor

X2 11 Kekurangan alat berat 1,590 2,051 3,261 17

Personil konsultan pengawas menderita


X3 8
sakit 1,923 1,692 3,254 18
Efisiensi alat berat yang kurang
X2 10 1,667 1,923 3,205 19
maksimum
Lokasi penempatan alat yang tidak
X2 12 1,641 1,923 3,156 20
strategis

X2 2 Keterlambatan tenaga kerja akibat libur 1,564 2,000 3,128 21


nasional atau hari raya
Terlambatnya progress pekerjaan karena
X1 3 kontraktor kekurangan dana untuk 2,051 2,128 4,366 22
menutupi biaya
Manajemen keuangan kontraktor yang
X1 1 2,359 1,846 4,355 23
kurang professional
X3 6 Kecelakaan yang terjadi di lokasi yang 1,846 2,359 4,355 24
menyebabkan luka
Kurangnya pengawasan terhadap pekerja
X1 7 2,103 2,026 4,259 25
dan supplier

MK - 82
Rendahnya sistem evaluasi dan
X1 9 pengambilan keputusan 2,128 1,949 4,147 26
Keterlambatan akibat penggunaan
X1 5 2,154 2,077 4,087 27
metode yang kurang tepat
Sumber : Hasil olah data SPSS 20

Tabel 10 di atas menunjukan hasil dari index mean dan peringkat akhir index mean dari beberapa variabel yang
telah ditentukan. Peringkat pertama yang paling berpengaruh adalah variabel C4 yaitu pekerjaan relokasi utilitas
eksisting yang dilewati proyek jalan sehingga berpengaruh ke biaya.

Pembahasan Uji Regresi


Tabel 6. Uji Regresi

Standardized
Unstandardized Coefficients
Model Coefficients t Sig.
Y Std. Error Beta
Constant 0,245 0,177 1,386 0,175
X3 4 0,135 0,051 0,260 2,656 0,012
X3 1 0,075 0,067 0,134 1,118 0,272
X2 3 0,243 0,050 0,410 4,879 0,000
X3 3 0,125 0,069 0,228 1,817 0,078
X3 7 0,162 0,051 0,316 3,193 0,003
Sumber : Hasil olah data SPSS 20

Dari tabel 6, menunjukkan bahwa t hitung > t tabel, maka diperoleh model persamaan regresi tersebut adalah
Y = 0,245 + 0,135 X3 4 + 0,243 X2 3 + 0,162 X3 7. (2)
Dengan keterangan yaitu :
Y = Perbaikan Jalan Raya
X1 = Manajemen Operasional
X2 = Sumber Daya
X3 = Lingkungan dan Peristiwa Alam

Dan keterangan variabel yaitu:


X3 4 = Pekerjaan relokasi utilitas eksisting yang dilewati proyek jalan sehingga berpengaruh ke biaya
X2 3 = Kelelahan akibat banyaknya pekerjaan yang dilakukan secara lembur
X3 7 = Adanya gangguan keamanan/premanisme

MK - 83
5. KESIMPULAN
Berdasarkan pengolahan data yang telah dilaksanakan, maka dapat dilihat bahwa faktor risiko yang
diprioritaskan dalam perbaikan proyek konstruksi jalan raya merupakan faktor risiko dengan peringkat satu
sampai dengan lima yaitu:
a. X3 4, Pekerjaan relokasi utilitas eksisting yang dilewati proyek jalan sehingga berpengaruh ke
biaya
b. X3 1, Terganggunya kelancaran pekerjaan akibat tingginya tingkat kepadatan lalu lintas di sekitar
lokasi proyek
c. X2 3, Kelelahan akibat banyaknya pekerjaan yang dilakukan secara lembur.
d. X3 3, Kemacetan di sekitar proyek sehingga menghambat kedatangan material
e. X3 7, Adanya gangguan keamanan/premanisme

Pada peringkat satu sampai lima, faktor risiko yang terjadi merupakan variabel sumber daya dan
lingkungan dan peristiwa alam. Di dalam perbaikan jalan raya, risiko–risiko yang terjadi pada variabel
manajemen operasional sangat kecil sehingga dapat diabaikan.

Berdasarkan faktor risiko yang diprioritaskan dalam perbaikan proyek konstruksi jalan raya tersebut, model
persamaan regresinya adalah Y = 0,245 + 0,135 X3 4 + 0,243 X2 3 + 0,162 X3 7 , dengan keterangan
variabel yaitu: Y = Perbaikan Jalan Raya, X3 4 = Pekerjaan relokasi utilitas eksisting yang dilewati proyek
jalan sehingga berpengaruh ke biaya, X2 3 = Kelelahan akibat banyaknya pekerjaan yang dilakukan secara
lembur, X3 7= Adanya gangguan keamanan/premanisme.

DAFTAR PUSTAKA
Ariyanti, Dewi. (2015). Identifikasi Faktor Risiko pada Keterlambatan Pembangunan Bendung Pice Baru
di Kabupaten Belitung Timur. Jakarta: Tesis Magister Teknik Sipil, Universitas Trisakti.
Asmuruf, Adolf Alpius. (2016). Faktor-faktor Risiko Pembangunan Jalan di Kabupaten Sarmi Jayapura.
Jakarta: Tesis Magister Teknik Sipil, Universitas Trisakti.
Azhari, Teuku dan Ibnu. (2014). Faktor-faktor Risiko yang Mempengaruhi Kinerja Kontraktor pada
Pelaksanaan Proyek Infrastruktur di Kabupaten Aceh Jaya. Banda Aceh: Jurnal Jurusan Teknik Sipil
Universitas Syahkuala.
Bina Marga. (1983). Petunjuk Pelaksanaan Lapis Aspal Beton (LASTON) No 13/PT/B/1983. Jakarta:
Departemen Pekerjaan Umum, Bina Marga.
C.H, Hary. (2011). Perencanaan Perkerasan Jalan dan Penyelidikan Tanah. Yogyakarta: Biro Penerbit
Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada.
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementrian Keuangan. (2015). Penerapan Manajemen Risiko,
Berinisiatif Menjadi Kreatif Sekaligus Inovatif. Jakarta: Artikel Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
Flanagan, R., and G. Norman. (1993). Risk Management and Constructions. Blackwell Science Ltd.
Oxford. Kangari, R. (1995). Risk Management Perception and Trends of U.S Construction, Journal of
Construction Engineering and Management, 121, Page 422-429.
Labombang, Mastura. (2011). Manajemen Risiko dalam Proyek Konstruksi. Palu: Jurnal Teknik Sipil
Universitas Tadulako.
Loosemore, M,. Nguyen, B. T. and Dennis, N. (2000). Encouraging Conflict in the Construction
Industry.
Journal of Construction Management and Economic, 18, Page 447-457.
Messah, Yunita A. (2011). Analisis Nilai Resiko Proyek Konstruksi Menggunakan Qualitative Risk
Analysis. Nusa Tenggara Timur: Jurnal Jurusan Teknik Sipil FST Undana.
Rusdi, Suharman dan Imam. (2011). Preferensi Alokasi Risiko pada Proyek Pengembangan Public Private
Partnership (PPP) Infrastruktur Bandar Udara di Indonesia. Makasar: Jurnal Jurusan Teknik Sipil
Universitas Hasanudin.
Sandyavitri, Ari. (2008). Manajemen Resiko di Proyek Konstruksi. Pekanbaru: Jurnal Jurusan Teknik Sipil
Universitas Riau.
Winarto, Sigit. (2006). Identifikasi dan Analisis Pengaruh Resiko dalam Tahap Konstruksi terhadap
Kinerja Waktu Pelaksanaan Pembangunan Proyek Jalan yang Dikerjakan oleh PT Hutama Karya.
Jakarta: Jurnal Jurusan Teknik Sipil Universitas Tarumanegara.

MK - 84
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

PEMODELAN SYSTEM DYNAMICS UNTUK ALIRAN KNOWLEDGE MANAGEMENT


DI PERUSAHAAN KONSTRUKSI: SEBUAH STUDI KASUS

Rudi Waluyo1

1
Program Studi/ Jurusan Teknik Sipil, Universitas Palangka Raya, Jl.Hendrik Timang, Palangka Raya
Email: rudiwaluyo30@gmail.com

ABSTRAK
Perusahaan konstruksi memiliki sumber daya berwujud seperti tanah, peralatan, material, dan mesin.
Selain itu, sumber daya tak berwujud seperti pengetahuan juga dimiliki perusahaan konstruksi tetapi
belum dikelola dengan baik. Dengan knowledge management yang merupakan konsep pengelolaan
pengetahuan di organisasi, diharapkan dapat membantu organisasi dalam mengelola aset
pengetahuan yang dimiliki. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model system dynamics
untuk aliran knowledge management di perusahaan konstruksi. Dengan model ini diharapkan dapat
membantu dalam menerapkan knowledge management yang cocok bagi perusahaan konstruksi.
Metode yang digunakan adalah system dynamics. Penelitian dilakukan pada konsultan proyek
konstruksi bidang perencanaan. Aliran knowledge management memuat knowledge codification,
transfer, application and development. Penelitian ini memberikan perhatian yang besar terhadap
usaha untuk pengembangan dan evaluasi terhadap model aliran knowledge management dan
variabel-variabel yang mempengaruhi kinerja perusahaan secara efisien. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perencanaan dan pengelolaan aliran KM yang baik dan benar memberikan
pengaruh yang positif terhadap knowledge development, knowledge codification, knowledge sharing
dan knowledge application. Jumlah knowledge semakin meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu,
pengelolaan aliran KM juga berpengaruh terhadap akurasi perencanaan dan kinerja perusahaan.
Kata kunci: model, system dynamics, knowledge management, aliran, perusahaan konstruksi.

1. PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir, pengetahuan bertumbuh dengan pesat. Teknologi dan pengetahuan terus dihasilkan
dan jumlahnya meningkat dengan cepat seiring perkembangan zaman. Perkembangan ini memunculkan sikap baru
untuk menangani dan mengelola pertumbuhan pengetahuan dengan nama knowledge management. Knowledge
management adalah istilah modern, rasional dan argumentatif dan memiliki berbagai deskripsi. American
Productivity and Quality Center mendefinisikan knowledge management sebagai taktik dan aliran untuk
mengidentifikasi dan menangkap dan berbagi pengetahuan (Atefeh et al., 1999). Hal ini dapat dijelaskan lebih lanjut
bahwa aliran pengetahuan dalam knowledge management melibatkan empat aktivitas. Aktivitas-aktivitas ini adalah
creation atau generation, storage atau retrieval, transfer atau sharing, utilization application (Alavi dan Leinder,
2001).
Di industri konstruksi Indonesia, knowledge management sudah diterapkan dalam aktivitas sehari-hari. Aktivitas-
aktivitas knowledge management sudah dilakukan oleh konsultan perencana proyek konstruksi. Kegiatan ini sangat
berguna untuk menghasilkan detail engineering design (DED) dan rencana anggaran biaya (RAB). Walaupun
demikian, pengelolaan yang teratur dan sistematis belum dilakukan (Waluyo, 2017). Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk membangun model system dynamics untuk aliran knowledge management di perusahaan konstruksi
khususnya konsultan perencana proyek konstruksi. Dengan adanya model ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk
membangun sistem knowledge management di konsultan perencana.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Knowledge management
Beragam definisi tentang tentang knowledge management (KM) dari beberapa peneliti disajikan untuk memberikan
pemahaman yang lebih mendalam. Katsoulakos dan Zevgolis (2004) menyatakan bahwa KM adalah tentang
perlindungan terhadap pengembangan dan eksploitasi aset knowledge (pengetahuan). Sedangkan Kasali (2010)
berpendapat bahwa dalam KM, perusahaan menerapkan cara-cara untuk mengidentifikasi, menciptakan,
mengoreksi, mentabulasi, mendistribusikan, dan memperkuat upaya untuk mengadopsi segala wawasan dan
pengalaman berharga. Rasli (2005) mengungkapkan bahwa KM merupakan sebuah proses yang luas untuk
menciptakan, mengorganisasi, menempatkan, mendistribusi dan berbagi pengetahuan untuk mencapai tujuan

MK - 85
organisasi. Secara lebih eksplisit Azhari dan Wardoyo (2005) mendefinisikan KM sebagai proses sistematis dari
penemuan, penciptaan, pemilihan, pengorganisasian, penyaringan, dan penyajian data, informasi dan pengetahuan
dengan cara lebih terpola secara komprehensif sehingga karyawan mampu memanfaatkan dan meningkatkan
penguasaan pengetahuan dalam suatu bidang kajian yang spesifik, untuk selanjutnya mampu menginstitusionalkan
pengetahuan yang dimiliki menjadi pengetahuan organisasi (Muggenhuber, 2006; Ellitan dan Anatan, 2009; Thakur
dan Sinha, 2013). Penelitian-penelitian di industri konstruksi juga memberikan hasil yang serupa. Chen (2007)
menyatakan bahwa di dalam KM terdapat beberapa aktivitas seperti responsiveness to knowledge, knowledge
acquisition, knowledge dissemination dan knowledge utilisation. Aktivitas-aktivitas ini saling berinterkoneksi untuk
mengelola pengetahuan di dalam perusahaan konstruksi. Selain itu Waluyo (2014) menyatakan bahwa KM
merupakan konsep, cara dan sistem untuk mengelola pengetahuan dengan berbagai aktivitas. Aktvitas-aktivitas KM
dalam perusahaan konstruksi, yaitu: menciptakan, berbagi, mendokumentasikan, mengaplikasikan, menyebarkan,
mentransfer, menyerap dan responsif terhadap knowledge baik yang berasal dari internal maupun eksternal
perusahaan.
Dari beragam sudut pandang tentang KM di atas ada 4 hal yang harus diperhatikan, yaitu terdapat proses dari yang
sederhana sampai yang sistematis, dari proses yang sedikit sampai yang luas atau banyak, melibatkan banyak
individu dalam aktivitasnya dan memberikan manfaat yang besar dan dari seluruh aktivitas KM tersebut
memperlihatkan bahwa ada aliran pengetahuan didalamnya.

Aliran knowledge management


Menurut Nielsen (2006) aliran KM berbasis delapan aktivitas substansial. Aktivitas-aktivitas tersebut adalah
knowledge creation, knowledge acquisition, knowledge capture, knowledge assembly, knowledge sharing,
knowledge integration, knowledge leverage dan knowledge exploitation. Setahun kemudian, Zaim (2007)
menyatakan bahwa aliran KM berisi empat aktivitas dan memuat knowledge creation dan development, knowledge
codification dan storage, knowledge transfer dan sharing, dan knowledge utilization dan application. Jika melihat
lebih dalam ada empat aktivitas yang berkaitan dengan penelitian ini, yang kemudian akan dijelaskan secara singkat.
a. Knowledge development
Knowledge development organisasi mencakup pengembangan organisasi secara modern. Knowledge
development berkaitan dengan perluasan pengetahuan di perusahaan. Sebenarnya knowledge creation harus
menjadi pusat dan jantung, taktik dan strategi perusahaan dalam menjalankan roda bisnisnya (Zaim, 2007).
Sedangkan Hendrik (2003) menyatakan bahwa knowledge creation merupakan tahap memasukkan segala
pengetahuan yang baru ke dalam sistem, termasuk juga pengembangan pengetahuan dan penemuan pengetahuan.
Hal yang hampir sama juga diungkapkan Sangkala (2007) bahwa pada tingkatan yang paling dasar, pengetahuan
sebenarnya diciptakan (creation) oleh individu yang ada dalam organisasi. Organisasi pada dasarnya tidak dapat
menciptakan pengetahuan tanpa individu-individu yang ada di dalam organisasi. Fungsi organisasi adalah
memberi dukungan kepada kreativitas individu yang ada di dalam organisasi atau menyediakan suatu konteks
bagi individu untuk menciptakan pengetahuan. Zuhal (2010) menyatakan bahwa proses knowledge creation
dapat dijelaskan sebagai berikut: pengetahuan tentang apa yang diinginkan oleh pelanggan (tacit knowledge)
dapat kita konversikan menjadi suatu konsep produk baru (explicit knowledge) melalui proses sosialisasi dan
eksternalisasi. Pengetahuan yang sudah terkonsepsi tersebut kemudian dijadikan petunjuk untuk sistemisasi yang
dilakukan lewat proses kombinasi antara explicit knowledge yang telah ada dengan komponen-komponen
teknologi baru kemudian dari situ lahirlah explicit knowledge baru.
b. Knowledge codification
Menurut Alavi (2000), knowledge development saja tidak cukup bagi perusahaan. Siklus pengetahuan yang baik
di dalam perusahaan dibutuhkan untuk menyimpan akumulasi pengetahuan dan kemudian menangkapnya
kembali bila diperlukan. Memori organisasi dibutuhkan untuk mengatasi hal ini. Dalam kondisi nyata,
knowledge codification harus terhubung ke dalam memori organisasi. Hal ini melibatkan banyak faktor seperti
data base perusahaan yang berbentuk elektronik atau kertas, informasi terstruktur, pengetahuan karyawan dan
metode kerja yang berbasis organisasi. Untuk melindungi pengetahuan, ada beberapa kegiatan yang dapat
dilakukan: membatasi akses ke pengetahuan dengan menggunakan user ID dan kata kunci, memberi
penghargaan terhadap pengetahuan khusus dengan cepat, memberi perlindungan terhadap pengetahuan tacit dan
eksplisit dan yang terpenting adalah mengkomunikasikan nilai perlindungan pengetahuan organisasi secara
besar-besaran (Probast et al., 2000)
c. Knowledge sharing
Menurut Setiarso (2009), knowledge sharing merupakan salah satu kegiatan dalam KM yang digunakan untuk
memberikan kesempatan kepada anggota suatu organisasi, instansi atau perusahaan untuk berbagi ilmu
pengetahuan, teknik, pengalaman dan ide yang mereka miliki kepada anggota lainnya. Munir (2008) menyatakan
bahwa sasaran knowledge sharing adalah menyebarkan pengetahuan yang dikuasai oleh satu orang ke sebanyak
mungkin orang di organisasi. Penyebaran pengetahuan dari satu orang ke orang lain, atau dari satu unit kerja ke

MK - 86
unit kerja yang lain diharapkan akan meningkatkan kualitas pengetahuan yang dimiliki oleh individu, unit kerja
dan akhirnya organisasi. Dengan kombinasi pengetahuan baru dan pengetahuan yang telah dimiliki akan
menghasilkan inovasi-inovasi.
d. Knowledge application
Poin dasar dalam KM adalah memastikan bahwa pengetahuan yang ada dapat memberikan keuntungan bagi
organisasi. Penerapan pengetahuan yang efektif membantu perusahaan meningkatkan efisiensi dan mengurangi
biaya (Davenport dan Klahr, 1998). Seleim dan Khalil (2007) menyatakan bahwa knowledge application
mengacu pada kegiatan-kegiatan organisasi untuk menggunakan pengetahuan yang tersedia untuk memperbaiki
proses, produk, dan pelayanan juga kinerja organisasi. Ellitan & Anatan (2009) menyatakan bahwa knowledge
application mencakup aplikasi pengetahuan dalam skenario yang baru dan belajar dari skenario tersebut yang
mencakup analisis dan evaluasi kritis. Aplikasi (penerapan) pengetahuan yang menekankan pengetahuan harus
diterapkan dalam produk, proses dan jasa. Hal ini dikarenakan jika organisasi tidak menemukan tempat yang
tepat untuk menempatkan pengetahuan, organisasi akan kesulitan untuk menciptakan keunggulan kompetitif,
artinya organisasi mengembangkan pengetahuan lebih aktif dan relevan untuk meningkatkan nilai.
Knowledge application meliputi operasi pemanfaatan dan pemecahan masalah yang pada akhirnya dapat
menghasilkan pengembangan pengetahuan (knowledge development). Knowledge application menjadi bagian
terpenting dalam aliran KM ini. Semua manfaat pada tahap awal seperti acquisition dan dissemination harus
dikumpulkan dalam kerangka aliran pemanfaatan dan memberikan keuntungan bagi perusahaan (Salojarvi et
al., (2010). Keterkaitan aktivitas KM dapat dilihat pada kerangka teori aliran KM yang ditampilkan pada
Gambar 1.

KM Enabler

Knowledge Knowledge
Aliran KM
application development

Knowledge Knowledge
sharing codification

Gambar 1. Kerangka teori aliran KM

System Dynamics
System dynamics pertama kali diperkenalkan oleh Jay W. Forrester di MIT pada dekade lima puluhan adalah suatu
metode pemodelan (modelling method) yang penggunaannya erat berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan
tentang tendensi-tendensi dinamik sistem-sistem yang kompleks, yaitu pola-pola tingkah laku yang dibangkitkan
oleh sistem itu dengan bertambahnya waktu. Asumsi utama dalam paradigma system dynamics adalah bahwa
tendensi-tendensi dinamik yang persistent pada setiap sistem yang kompleks bersumber dari struktur kausal yang
membentuk sistem itu. Oleh karena itulah model-model system dynamics diklasifikasikan ke dalam model
matematik kausal.
System dynamics adalah model mental yang menggambarkan bagian-bagian dalam sistem yang kompleks dengan
menyatakan keterkaitan antar bagian, umpan balik, informasi, waktu tunda, sifat non linearitas dalam sub sistem.
Manfaat system dinamics adalah untuk mensimulasikan sistem guna mendalami dan menguji perilakunya, serta
dampak dari kebijakan, sehingga diharapkan dapat dihasilkan kebijakan yang berkualitas. Penggunaan system
dynamics lebih ditekankan kepada tujuan-tujuan peningkatan pemahaman kita tentang bagaimana tingkah laku
muncul dari struktur kebijaksanaan dalam sistem itu. Pemahaman ini sangat penting dalam perancangan kebijakan
yang efektif (Nagara, 2009).
Asumsi utama dalam paradigma system dynamics adalah bahwa struktur fenomena di atas merupakan suatu
kumpulan (assembly) dari struktur-struktur kausal yang melingkar dan tertutup (causal loop structure). Keberadaan
struktur ini sebagai suatu konsekuensi logis dari adanya kendala-kendala fisik dan tujuan-tujuan sosial, penghargaan
dan tekanan yang menyebabkan manusia bertingkah laku dan membangkitkan secara kumulatif tendensi-tendensi
dinamik yang dominan dari sistem secara keseluruhan. Sesuai dengan namanya, system dynamics erat berhubungan
dengan pertanyaan-pertanyaan tentang tendensi-tendensi dinamik sistem-sistem yang kompleks, yaitu pola-pola
tingkah laku yang dibangkitkan oleh sistem itu dengan bertambahnya waktu (Samudra, 2008). Dalam system
dynamics ada 3 (tiga) hal yang sangat berpengaruh, yaitu: causal loop diagram, stock flow diagram dan persamaan
matematis

MK - 87
Bersamaan dengan perkembangan fondasi teoritis, berkembang pula sejumlah software yang ikut mendukung
sehingga penggunaan metodologi system dynamics sebagai salah satu pemodelan menjadi lebih efisien. Saat ini
berkembang software-software yang bukan cuma memudahkan pemakai untuk membangun model, tetapi juga
melakukan simulasi dan berbagai uji sensitivitas model, antara lain: Ithink, Stella, Powersim dan Vensim.

3. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada sebuah konsultan perencana proyek (CV. ABC) di Kota Palangka Raya, Provinsi
Kalimantan Tengah. Penelitian dilaksanakan selama 6 (enam) bulan, dari maret – agustus 2016. Penelitian ini
menggunakan metode system dynamics dan dilaksanakan dalam empat tahapan. Tahap pertama adalah review
literatur dan membangun model konseptual. Tahap kedua adalah observasi dan wawancara secara lebih mendalam
untuk mendapatkan data penelitian. Tahap ketiga adalah membangun causal loop diagram dan stock flow diagram.
Tahap keempat adalah analisis dan kesimpulan. Analisis system dynamics menggunakan software Powersim 2.5.
Hasil simulasi aliran KM ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik untuk memberikan pemahaman yang lebih
mendalam. Tahapan penelitian ditampilkan pada Gambar 2.

Tahapan Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4


Membangun causal
Review literatur Observasi dan loop diagram Analisis dan
Proses dan membangun wawancara kesimpulan
(CLD) dan stock
konseptual model flow diagram
(SFD)

Output Output Output Output Output


Model konseptual Data penelitian Model dynamics Kesimpulan dan
saran

Gambar 2. Tahapan penelitian

4. ANALISIS DATA
Model konseptual
Model konseptual aliran KM dibangun berdasarkan kajian literatur dan penelitian terdahulu. Nielsen (2006)
menyatakan aliran KM berbasis delapan aktivitas substansial, yaitu: knowledge creation, knowledge acquisition,
knowledge capture, knowledge assembly, knowledge sharing, knowledge integration, knowledge leverage dan
knowledge exploitation. Zaim (2007) menyatakan bahwa aliran KM berisi empat aktivitas dan memuat knowledge
creation dan development, knowledge codification dan storage, knowledge transfer dan sharing, dan knowledge
utilization dan application. Chen (2007) menyatakan bahwa di dalam KM terdapat beberapa aktivitas seperti
responsiveness to knowledge, knowledge acquisition, knowledge dissemination dan knowledge utilisation. Aktivitas-
aktivitas ini saling berinterkoneksi untuk mengelola pengetahuan di dalam perusahaan konstruksi. Selain itu Waluyo
(2014) menyatakan bahwa KM merupakan konsep, cara dan sistem untuk mengelola pengetahuan dengan berbagai
aktivitas. Aktvitas-aktivitas KM dalam perusahaan konstruksi, yaitu: menciptakan, berbagi, mendokumentasikan,
mengaplikasikan, menyebarkan, mentransfer, menyerap dan responsif terhadap pengetahuan baik yang berasal dari
internal maupun eksternal perusahaan. Gambar 3 menampilkan tentang model konseptual aliran KM.

Knowledge Knowledge
codification development

Aliran KM Kinerja organisasi

Knowledge Knowledge
application sharing

Gambar 3. Model konseptual aliran KM

MK - 88
Causal loop diagram aliran knowledge management
Causal loop diagram (CLD) digunakan untuk menangkap model mental dan menyajikan keterkaitan antar komponen
dan umpan baliknya dalam sebuah sistem. CLD aliran KM dibangun dari model konseptual dan kondisi pada
konsultan perencana proyek konstruksi (CV. ABC). CLD aliran KM memuat 1 loop reinforcing atau memperkuat
(R) dan 1 loop balancing atau menyeimbangkan (B). Gambar 4 menyajikan CLD aliran KM di konsultan perencana
proyek konstruksi dan keterkaitan antar komponen yang ada didalamnya.

Inovasi yang
terkonfirmasi Setelah proyek Perbandingan
selesai dengan
kompetitor
Dokumen +
berbasis kertas +
+
+ Knowledge
Dokumen + development +
berbasis +
elektronik
Knowledge
codification
R1(+) Kinerja
Perusahaan
+ +
Knowledge
Berbasis sharing
+ B2(-) +
internet

+ Knowledge
+ +
Rapat application Kesalahan
perencanaan
Pelatihan
-

Gambar 4. Causal loop diagram aliran KM


CLD aliran KM pada Gambar 4. memuat satu loop positif (R1) dan satu loop negatif (B2). Dengan membentuk
loop, masing-masing unsur memberikan umpan balik (feedback). Pada loop R1 mengambarkan bahwa knowledge
development yang diakibatkan secara positif (hubungan searah) oleh kinerja perusahaan, perbandingan dengan
kompetitor, setelah proyek selesai dan informasi yang terkonfirmasi. Knowledge development menyebabkan
pertambahan knowledge codification. Sedangkan knowledge codification diakibatkan secara positif oleh dokumen
berbasis kertas, dokumen berbasis elektronik dan knowledge development. Knowledge sharing diakibatkan secara
positif oleh berbasis internet, rapat, pelatihan dan knowledge codification. Knowledge application diakibatkan secara
positif oleh knowledge sharing, selanjutnya mengakibatkan secara positif kinerja perusahaan dan kinerja perusahaan
mengakibatkan secara positif knowledge development. Dengan demikian hubungan knowledge development sampai
kinerja perusahaan pada loop R1 adalah saling menguatkan atau reinforcing.
Pada loop B2 mengambarkan bahwa knowledge development yang diakibatkan secara positif (hubungan searah)
oleh kinerja perusahaan, perbandingan dengan kompetitor, setelah proyek selesai dan informasi yang terkonfirmasi.
Knowledge development menyebabkan pertambahan knowledge codification. Sedangkan knowledge codification
diakibatkan secara positif oleh dokumen berbasis kertas, dokumen berbasis elektronik dan knowledge development.
Knowledge sharing diakibatkan secara positif oleh berbasis internet, rapat, pelatihan dan knowledge codification.
Knowledge application diakibatkan secara positif oleh knowledge sharing, selanjutnya mengakibatkan secara
negative (hubungan negatif atau berlawanan arah) kesalahan perencanaan. Penurunan kesalahan perencanaan
mengakibatkan secara positif kinerja perusahaan dan kinerja perusahaan mengakibatkan secara positif knowledge
development. Dengan demikian hubungan knowledge development sampai kinerja perusahaan pada loop B2 adalah
saling menyeimbangkan atau balancing.
Stock flow diagram aliran knowledge management
Stock flow diagram aliran KM dibangun berdasarkan CLD yang sudah ditampilkan pada Gambar 3. Variabel-
variabel dalam CLD diterjemahkan menjadi stok dan flow yang menunjukkan hubungan antar variabel. Stock flow
diagram aliran KM dapat dilihat pada Gambar 5.

MK - 89
Setelah_proyek_selesai
Inovasi_terkonfirmasi

Knowledge_development

Perbandingan_dengan_kompetitor

Penambahan_development

Kinerja_perusahaan
Rasio_development
Dokumen_berbasis_kertas Kesalahan_perencanaan

Knowledge_codification

Rasio_kesalahan
Penambahan_codification Penambahan_application
Berbasis_internet

Dokumen_berbasis_elektronik Knowledge_application

Rasio_codification Knowledge_sharing

Rasio_application
Rapat Penambahan_sharing

Pelatihan Rasio_sharing

Gambar 5. Stock flow diagram aliran KM

Simulasi aliran knowledge management


Simulasi dilakukan terhadap stock flow diagram aliran KM pada Gambar 4. Hasil simulasi ditunjukkan dalam
bentuk perilaku aliran KM yang dapat dilihat melalui tabel dan grafik pada Gambar 6.

Knowledge Knowledge Knowledge Knowledge


Tahun development codification sharing application
(knowledge) (knowledge) (knowledge) (knowledge)
2013 500 500 500 500
2014 753 2500 2125 650
2015 1007 4753 5750 1288
2016 1260 7260 11628 3013
2017 1513 10020 20013 6501
2018 1767 13033 31158 12505
2019 2020 16300 45317 21853
2020 2273 19820 62742 35448
2021 2527 23593 83687 54270
2022 2780 27620 108405 79376
2023 3033 31900 137150 111898
2024 3287 36433 170175 153043
2025 3540 41220 207733 204095

Gambar 6. Hasil simulasi aliran KM


Berdasarkan hasil simulasi aliran KM Gambar 6. menunjukkan bahwa peningkatan knowledge development,
knowledge codification, knowledge sharing, dan knowledge application. Jumlah knowledge pada knowledge
development dan knowledge codification mengalami peningkatan secara signifikan (linier) dari tahun 2013-2025.
Selain itu, jumlah knowledge pada knowledge sharing dan knowledge application mengalami peningkatan secara
signifikan (eksponensial) dari tahun 2013-2025. Perencanaan dan pengelolaan aliran KM yang baik dan benar
memberikan pengaruh yang positif terhadap knowledge development, knowledge codification, knowledge sharing
dan knowledge application. Hal ini terlihat dari jumlah knowledge yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Pengelolaan aliran KM yang baik ini tentu saja akhirnya mempengaruhi kinerja perusahaan.

MK - 90
5. KESIMPULAN
Pemodelan system dynamics aliran KM pada konsultan perencana proyek konstruksi memberikan hasil bahwa
perencanaan dan pengelolaan aliran KM yang baik dan benar memberikan pengaruh yang positif terhadap
knowledge development, knowledge codification, knowledge sharing dan knowledge application. Hal ini terlihat dari
jumlah knowledge yang meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Dan tentu saja ini berpengaruh terhadap
akurasi perencanaan dan kinerja perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA
Atefeh, S., McCamble, L., Moorchead, C. dan Gitters, S. H. (1999). “Knowledge management: the new challenge
for the 21 century”, Journal of Knowledge Management, 3(3), 172-179.
Alavi, B. (2000). Human resource management information system. Tadbir Magazine, (I.M.O), 105.
Alavi, M. dan Leinder, D. (2001). “Review: Knowledge Management and Knowledge Management systems:
Conceptual Foundations and Research Issues”, MIS Quarterly, Vol.24 No 1, pp.107 136.
Azhari, dan Wardoyo, R. (2005). Rancangan Model Manajemen Pengetahuan Untuk Mendukung Proses
Pembentukan Tim Proyek Teknologi Informasi, Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi (SNATI),
pp.E71-E80.
Chen, L. (2007). Linking Knowledge Management To Organizational Business Performance in Construction,
Disertasi, Dr, Griffith University Gold Goast Campus.
Davenport, T., dan Klahr, P. (1998). Managing customer support knowledge. California
Ellitan, L., dan Anatan, L. (2009). Manajemen Inovasi Transformasi Menuju Organisasi Kelas Dunia, Penerbit
Alfabeta, Bandung.
Hendrik, (2003). Sekilas tentang Knowledge Management, Artikel Populer Ilmu Komputer.com, pp.1-7.
Kasali, R. (2010). Myelin Mobilisasi Intangibles Menjadi Kekuatan Perubahan, PT.Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Katsoulakos, P dan Zevgolis, D. (2004). Knowledge Management Review, @ K- Net 2004, pp.1-16.
Rasli, A.M. (2005). Knowledge Management Framework For The Malaysian Construction Consulting Companies,
IRPA Project vote no.7, Faculty of Management and Human Resources Development, Universiti Teknologi
Malaysia, Malaysia.
Muggenhuber, G. (2006). Knowledge Management as a useful tool for implementing projects, The FIG Workshop
on eGovernance, Budapest, Hungary, pp.215-222.
Munir, N. (2008). Knowledge Management Audit, Pedoman Evaluasi Kesiapan Organisasi Mengelola
Pengetahuan, Penerbit PPM, Jakarta.
Nagara, C. (2009). Analisis Hubungan Kelembagaan Antar Institusi Teknis Pengelola Jalan Dalam Penanganan
Kerusakan Jalan Nasional Dengan Pendekatan System Dynamics, Tesis, MT, Universitas Indonesia, Jakarta.
Nielsen A.P. (2006). “ Understanding Dynamic Capabilities through Knowledge Management”, Journal of
Knowledge Management. Vol.10 No.4, pp.59 71.
Probst, G., Raub, S. dan Romhardt, K. (2000). Managing Knowledge: Building Blocks for Success, New York :
John Wiley & Sons
Salojarvi et al. (2010). Organizational factors enhancing customer knowledge utilization in the management of
key account relationship. Industrial Marketing Management.
Samudra, A. A. (2008). Kinerja Organisasi Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Dengan Pendekatan System Thinking dan System Dynamics, Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas
Indonesia, Jakarta.
Sangkala, (2007). Knowledge Management, Suatu Pengantar Memahami Bagaimana Organisasi Mengelola
Pengetahuan Sehingga Menjadi Organisasi Yang Unggul, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Setiarso, B., Harjanto, N., Triyono, dan Subagyo, H. (2009). Penerapan Knowledge Management pada Organisasi,
Graha Ilmu, Yogyakarta.
Seleim, A., and Khalil, O. (2007). “Knowledge Management and Organizational Performance in the Egyptian
Software Firms”, International Journal of Knowledge Management, Vol.3, No.4, pp.37-66.
Thakur, V., and Sinha, S. (2013). “Knowledge Management in an Indian Perspective, The SIJ Transactions on
Industrial, Financial & Business Management (IFBM)”, Vol. 1, No. 1, pp.7-12.
Waluyo, R. (2014). Model Hubungan Antara Culture, Knowledge Management Dan Performance Di Perusahaan
Konstruksi, Disertasi, Program Doktor Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang
Waluyo, R. (2017). Identifikasi Praktik Knowledge Management Pada Konsultan Proyek Konstruksi, Seminar
Nasional ke-2: Sains, Rekayasa & Teknologi UPH, Tangerang, 17-18 mei 2017, pp.IV-167 – IV-171
Zaim H. et al. (2007). “ Performance of Knowledge Management Practices: a causal analysis”. Journal of
Knowledge Management. Vol.11 No.6, pp. 54 67.
Zuhal, (2010). Knowledge and Innovation Platform Kekuatan Daya Saing, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

MK - 91
MK - 92
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

PENGARUH KOMUNIKASI DAN TIM KERJA TERHADAP KEBERHASILAN


KOLABORASI DESAIN PADA KONSULTAN TEKNIK DI JAWA TENGAH

Raflis1, Yani Rahmawati2, Yuni Ulfiyati3 dan Christiono Utomo4

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Trisakti, Jakarta
Email: raflis@trisakti.ac.id
2,3,4
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan , Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
2
Email: yanirahmawati@mb.its.ac.id
3
Email: yuni_ulfia@yahoo.co.id
4
Email: christiono@ce.its.ac.id

ABSTRAK
Komunikasi merupakan salah satu faktor pendukung penyatuan obyek desain dalam kolaborasi
desain. Pada prakteknya, penyampaian informasi yang akurat tidak selalu tercapai karena adanya
gangguan dalam penyampaian pesan dan media komunikasi yang digunakan. Pesan yang diterima
terkadang tidak sesuai dengan makna aslinya, sehingga sering terjadi perbedaan persepsi dan
konflik. Maka dari itu perlu adanya pengelolaan komunikasi untuk mempermudah proses
penyelesaian desain sehingga dapat mencapai hasil yang terbaik. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh komunikasi dan tim kerja terhadap keberhasilan kolaborasi desain. Studi
literatur dipergunakan untuk membangun model konseptual, dan SEM (Structural Equation
Modelling) dipergunakan untuk mengkonfirmasi model konseptual penelitian. Konsep penelitian
dalam penelitian ini adalah konfirmatori. Survey dan penyebaran kuesioner dilakukan untuk
mengumpulkan data persepsi responden. Kuesioner disebarkan pada konsultan teknik dan pelaku
desain di Jawa Tengah yang berpengalaman di dalam perencanaan bangunan properti komersial.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi dan tim kerja memberikan pengaruh positif
terhadap keberhasilan kolaborasi desain, tetapi pengaruh komunikasi terhadap keberhasilan
kolaborasi desain tidak signifikan terjadi pada konsultan teknik dan pelaku desain di Jawa Tengah.
Kata kunci : komunikasi, tim kerja, kolaborasi desain, manajemen proyek konstruksi.

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industri konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang berperan dalam pembangunan ekonomi nasional,
tetapi kecenderungan peningkatan nilai konstruksi berpotensi menimbulkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh
sebab itu diperlukan pola perencanaan pembangunan yang lebih terarah dan berkelanjutan. Permasalahannya,
penerapan konsep bangunan berkelanjutan atau sustainable development pada industri konstruksi menjadikan desain
bangunan berkembang menjadi lebih rumit dan kompleks (Rahmawati et al, 2014). Berdasarkan kondisi tersebut,
penyelesaian desain bangunan tidak dapat dilakukan oleh satu individu saja (Ren et al, 2011). Konsep kolaborasi
dalam proses desain diperlukan untuk mencapai hasil desain terbaik (Lu et al, 2007). Diperkuat oleh pernyataan
Rahmawati et al (2013) dan Ren et al (2011), kolaborasi desain dapat diterapkan untuk menyelesaikan desain yang
kompleks dengan melibatkan berbagai pihak atau partisipan dengan latarbelakang keahlian, keilmuan, dan
pengalaman profesional yang berbeda-beda dengan hasil akhir berupa hasil desain terbaik.
Berdasarkan pada hasil observasi proses kolaborasi desain di Jawa Tengah, kolaborasi yang dilakukan tidak seperti
konsep kolaborasi yang telah didefinisikan oleh beberapa peneliti sebelumnya (Kalay, 2001 ; Zha & Du, 2006; Ren
et al, 2011). Menurut peneliti tersebut, kolaborasi dilakukan secara simultan dari awal proses desain sampai dengan
selesai dan melibatkan partisipan dengan beragam disiplin ilmu, sedangkan yang terjadi di Jawa Tengah kolaborasi
diawali dari Arsitek untuk desain awal setelah itu diikuti oleh partisipan dari bidang sipil dan ME (Mekanikal dan
Elektrikal). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ketua IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) cabang DIY yang menyebutkan
“Tahap pertama dalam kolaborasi desain diawali oleh Arsitek, Arsitek menetukan desainnya seperti apa”. Sejalan
dengan pernyataan tersebut, ketua INKINDO (Ikatan Nasional Konsultan Indonesia) DIY juga menyatakan
“kolaborasi desain di DIY Arsitek yang berperan pertama setelah itu baru diserahkan kebidang lainnya dan
diperlukan proses saling berbagi di antara partisipan karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki”.

MK - 93
Para konsultan atau pelaku desain yang terlibat dalam tim kerja pada proses desain di Jawa Tengah banyak berasal
dari perusahaan yang berbeda-beda dan ada juga yang tidak terikat pada perusahaan. Tim kerja bekerja secara
terpisah dan beda kota, akan tetapi masih dalam satu lingkup daerah yang sama. Adanya perbedaan tempat kerja
pada tim kerja memerlukan komunikasi yang baik dalam proses desain untuk mendukung kelancaran proses desain.
Rahmawati et al (2013) menyatakan bahwa dalam proses kolaborasi desain ada dua aspek yang perlu diintegrasikan
yaitu obyek desain yang berupa data, informasi atau pengetahuan yang berkaitan dengan proses pengembangan
desain; serta partisipan dalam tim kerja konsultan atau pelaku desain yang dilibatkan dalam proses desain.
Terintegrasinya kedua aspek tersebut merupakan pencapaian keberhasilan kolaborasi desain.
Komunikasi merupakan salah satu faktor pendukung integrasi obyek desain dalam kolaborasi desain (Rahmawat et
al, 2012). Komunikasi mempunyai peran penting pada tim kerja dan keberhasilan kolaborasi desain (Chiu, 2002 ;
Gabriel & Maher,2002). Fasilitas komunikasi antar partisipan diperlukan untuk mendukung proses kolaborasi
desain. Selain fasilitas komunikasi, media kerja juga perlu dikembangkan untuk mendukung proses koaborasi desain
yang terhambat oleh permasalahan perbedaan ketersediaan waktu dan tempat yang berbeda masing-masing
partisipan. Beberapa peneliti telah mengembangkan penelitian yang berbasis aplikasi teknologi informasi dan
komunikasi dalam menemukan sistem dan peralatan pendukung untuk mengatasi masalah perbedaan tempat kerja
antar partisipan (Kolarevic et al, 2000; Woo et al, 2001; Nam & Wright, 2001; dan Qin et al., 2003).
Ada beberapa permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan proses kolaborasi desain dengan berbasis teknologi
informasi dan komunikasi (Rahmawati, 2013). Hal itu terjadi karena pengembangan sistem dan fasilitas pendukung
kolaborasi hanya terfokus kepada media kerja sebagai fasilitas pendukung yang dapat mendukung proses kolaborasi
obyek desain, akan tetapi tidak memperhatikan kolaborasi partisipan yang terlibat. Sehingga kolaborasi partisipan
yang terlibat perlu untuk dipertimbangan. Pada prakteknya, tujuan utama komunikasi dalam menyampaikan
informasi yang akurat tidak selalu tercapai karena adanya gangguan dalam penyampaian pesan dan masalah media
yang digunakan, sehingga dalam penerimaaan pesan terkadang tidak sesuai dengan makna asli yang diharapkan
(Chiu, 2002). Seperti fakta yang ditemukan dalam observasi dan wawancara, faktor kejernihan suara dan lokasi
menjadi permasalahan komunikasi dalam proses desain, sehingga sulit mengintegrasikan ide atau mengkoordinir
alternatif desain, informasi ataupun pengetahuan yang dimiliki oleh konsultan, hal ini juga dikemukakan oleh
Utomo & Idrus (2011) serta Utomo et al (2014). Permasalahan lainnya adalah adanya perbedaan persepsi antar
partisipan karena kurangnya pemahaman proses pengembangan desain yang dapat menimbulkan konflik (Utomo,
2010) dan berpengaruh pada proses negosiasi dan pengambilan keputusan dalam proses desain (Utomo et al, 2009).
Dengan berdasarkan pada permasalahan tersebut perlu adanya pengaturan komunikasi untuk mempermudah proses
penyelesaian desain sehingga dapat mencapai hasil yang tebaik. pencapaian hasil terbaik tidak hanya melalui
obyek desainnya saja akan tetapi kolaborasi antara partisipan juga perlu dipertimbangkan (Rahmawati, 2013),
diperkuat oleh pernyataan Vivacqua et al (2011) yang mengungkapkan bahwa desain terbaik belum tercapai apabila
dalam proses kolaborasi desain belum belum mempertimbangkan faktor yang berkaitan dengan partisipan yang
terlibat dalam tim kerja.
Adanya perbedaan antara sistem kolaborasi yang terjadi dengan teori yang ada dan juga adanya perbedaan tempat
kerja dan permasalahan komunikasi dalam kolaborasi di Jawa Tengah, merupakan salah satu landasan latarbelakang
diperlukannya pengembangan riset tentang pengaruh komunikasi dan tim kerja dalam kolaborasi desain, dimana
tujuan utama yang akan dicapai melalui penelitian tesis ini yaitu menemukan sebuah model konseptual komunikasi
dalam kolaborasi desain dan didapatkan faktor-faktor yang berpengaruh dalam komunikasi dan tim kerja sehingga di
ketahui seberapa besar pengaruhnya yang perlu dipertimbangkan dalam mencapai masing-masing indikator dalam
kolaborasi desain.

2. KAJIAN PUSTAKA

Komunikasi
Komunikasi adalah pemindahan maksud atau makna dari suatu informasi atau ide diantara sekelompok orang
tertentu yang juga bisa dimengerti oleh penerima (Robbins, 2003). Menurut Chiu (2002) komunikasi desain
merupakan pusat untuk pengembangan desain dalam proses desain, dimana efektivitas komunikasi menjadi penting
bagi partisipan desain dalam membagikan informasi desain, pengambilan keputusan dan koordinasi tugas.
Dalam komunikasi seseorang atau kelompok tertentu menggunakan komunikasi secara lisan, tertulis atau dengan
penggunaan media komunikasi. Ada keunggulan dan kekurangan dalam komunikasi menggunakan lisan atau
tertulis, dengan menggunakan lisan keunggulannya pesan yang ingin disampaikan cepat tersampaikan dan cepat
menerima respon atau feedback tetapi memiliki kekurangan mudahnya kesalahpahaman makna pesan jika
disampaikan dari mulut kemulut. Sedangkan komunikasi tertulis memiliki keunggulan dapat terlihat dalam bentuk

MK - 94
nyata, bisa dibuktikan, lebih berhati-hati dalam menyampaikan pesan akan tetapi memiliki kekurangan dalam
waktu, karena membutuhkan waktu yang banyak dan kurang atau bahkan tidak ada feedback. (Robbins, 2003)
Memilih media komunikasi yang tepat dapat meningkatkan komunikasi, memilih media komunikasi yang salah
akan membawa pada masalah yang lebih besar (Robbins, 2003) . Selain masalah media ada kendala-kendala untuk
komunikasi yang efektif diantaranya faktor Filtering (menyaring), memanipulasi informasi, persepsi selektif,
kelebihan informasi, emosi, bahasa, dan ketakutan dalam komunikasi, dimana menurut Cheng et al (2000) dalam
Saputra,A.A.(2013) komunikasi yang efektif dapat membantu dalam menfasilitasi pertukaran ide, tujuan dan solusi,
dimana pertukaran yang seperti ini membutuhkan kejelasan pesan yang disampaikan dan juga informasinya kepada
pihak lain. Dalam menjalankan suatu hubungan kerja yang efektif, kejelasan komunikasi merupakan elemen kritis
dalam menjalankan suatu hubungan kerja dalam perusahaan.

Tim Kerja
Tim menghasilkan sinergi positif melalui sebuah upaya yang terkoordinasi, upaya individu dalam tim mengasilkan
tingkat kinerja yang lebih besar daripada jumlah input individual. Tim dapat melakukan berbagai macam hal,
membuat sebuah produk, negosiasi, meyediakan pelayanan, koordinasi proyek, memberikan nasihat, dan membuat
keputusan akan tetapi kerja tim tidak selalu digunakan karena teamwork membutuhkan lebih banyak waktu , tim
meningkatkan tuntutan komunikasi, konflik untuk dikelola, dan pertemuan-pertemuan yang akan dijalankan
(Robbins, 2003).
Menurut Chiu (2002) dalam sebuah proyek berskala besar, tim kerja bisa terorganisir secara berbeda dan akibatnya
akan mempengaruhi pola komunikasi dan perilaku. Dan Ping et al ( 2011) mengungkapkan bahwa untuk
mendukung efektivitas kolaborasi desain, faktor pembentukan tim juga diperlukan. Dimana berhubungan dengan
faktor tim kerja dalam mendukung proses kolaborasi desain , Huang et al ( 2010) menyatakan bahwa keterpaduan
antar partisipan yang terlibat dalam tim kerja dipengaruhi gaya kepemimpinan yang dijalankan dalam tim kerja.

Kolaborasi Desain
Menurut Chiu (2002) kolaborasi desain adalah suatu aktivitas yang mensyaratkan keterlibatan beberapa pihak untuk
berbagi informasi serta mengorganisir pekerjaan dan sumber daya desain. Tujuan utama dari kolaborasi desain
adalah untuk berbagi ide, pengalaman, sumber daya dan tanggung jawab.
Menurut Rahmawati et al (2013) kolaborasi desain merupakan sebuah pendekatan yang dilakukan pada proses
desain yang melibatkan berbagai partisipan untuk menyelesaikan permasalahan dalam desain melalui beberapa
aktivitas, yang terdiri atas pertukaran informasi, negosiasi pemilihan alternatif, dan pengambilan keputusan untuk
memilih alternatif yang terbaik yang dipergunakan untuk menyelesaikan desain.
Keterlibatan partisipan yang memiliki keahlian yang berbeda untuk menyelesaikan desain yang tidak dapat
dilakukan secara individu merupakan tujuan utama dari penerapan kolaborsi desain. Dimana salah satu aktivitas
dalam kolaborasi desain adalah aktivitas berbagi data, informasi atau pengetahuan untuk mendapatkan alternatif
desain, sebelum aktivitas-aktivitas dilakukan tersebut perlu dilakukan penetapan batasan dan kriteria dalam desain.
Pengelolaan data , informasi atau pengetahuan supaya dapat ditinjau ulang (Gabriel & Maher, 2002). Pemilihan
alternatif dilakukan untuk mendapatkan desain terbaik melalui negosiasi dan pengambilan keputusan pada alternatif
yang terpilih (Detienne, 2006).

3. METODOLOGI PENELITIAN

Konsep dan Model Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh komunikasi tim kerja terhadap keberhasilan kolaborasi
desain pada konsultan teknik di Jawa Tengah . Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode survey dengan
(menyebar kuisioner) untuk mengumpulkan data dan mengungkapkan fakta. Pendekatan yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah konfirmatori. Penelitian konfirmatori (confirmatory research) adalah penelitian yang bertujuan
untuk membuktikan dan menilai atau menguji sesuatu untuk membantu peneliti dalam memilih tindakan
selanjutnya, penelitian ini untuk menguji hubungan sebab akibat antar variabel (Kuncoro, 2009). Berdasarkan kajian
pustaka diperoleh kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini dan digambarkan pada Gambar 1.
Dari kerangka konseptual dapat dijelaskan hipotesis dari penelitian ini, yaitu :
1. Faktor komunikasi melalui pertimbangan terhadap komunikasi desain, media komunikasi yang digunakan,
organisasi tim kerja dan alur informasi mempengaruhi kolaborasi desain.

MK - 95
2. Faktor komunikasi yang diterapkan proses kolaborasi desain mempengaruhi faktor tim kerja dalam
kolaborasi desain.
3. Faktor tim kerja mempengaruhi kolaborasi desain.
Metode pengumpulan data
Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data pada penelitian ini yaitu melalui survey kuesioner.
Kuesioner ditujukan kepada responden yang telah ditentukan yaitu Konsultan teknik dan pelaku desain yang
berpengalaman pada proses kolaborasi desain bangunan komersial di Jawa Tengah dan kuesioner diserahkan dengan
mendatangi perusahaan-perusahaan dimana responden berada kemudian responden diberikan waktu untuk mengisi
selama maksimal 2 minggu , selanjutnya perusahaan-perusahaan tersebut dihubungi kembali untuk memastikan
kuesioner telah dikirim kembali via pos ke alamat yang telah ditentukan dan tercantum didalam amplop balasan.
Data primer yang terkumpul adalah jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner lalu
dilakukan tabulasi pada data tersebut untuk dilakukan analisis data.

Pembentukan Gaya Perilaku


Tim Kerja Kepemimpinan Partisipan

Komunikasi
Desain Komunikasi
TIM KERJA Desain
Media H H
Komunikasi 2 3
Media
KOMUNIKASI KOLABORASI Komunikasi
Organisasi DESAIN
Tim Kerja H
1
Alur Organisasi
Informasi Tim Kerja

Gambar 1. Kerangka Konseptual (Hasil olahan peneliti, 2014) , mengadopsi Rahmawati et al ( 2013), Chiu (2002),
Ping et al (2011), Gabriel dan Maher (2002), Kvan (2000), Lu et al (2007), Girard dan Robin (2006), Huang et al
(2010), Vivacqua et al ( 2011).
Metode analisis data
Metode analisa data dengan menggunakan teknik analisa SEM (Structural Equation Modeling), menurut Ferdinand
(2005) SEM merupakan sebuah kombinasi antara analisis faktor dan analisis regresi berganda, dan dapat
diaplikasikan secara terpisah hanya dalam analisis faktor (Confirmatory Factor Analysis), ataupun analisis regresi
saja.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Model konseptual yang dikembangkan dianalis dengan menggunakan SEM dengan menggunakan data yang
didapatkan dari hasil survey dan penyebaran kuesioner. Sebanyak 92 responden yang tersebar di Jawa Tengah turut
berpartisipasi dalam riset, dan berdasarkan data tersebut diperoleh hasil analisa seperti yang ditampilkan dalam
gambar 2 berikut ini :

MK - 96
Gambar 2. Hasil analisis SEM
Dari Gambar 2 dapat dijelaskan bahwa secara keseluruhan ada pengaruh positif antara satu variabel laten terhadap
variabel laten lainnya hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien / parameter tidak ada yang nilainya sama dengan
nol, dan menunjukkan model yang baik begitu juga dengan hasil uji kecocokan keseluruhan model (Goodness of
Fit) seperti yang terlihat pada Tabel 1 menunjukkan hasil model yang baik walaupun dengan beberapa keterbatasan,
masih ada angka kriteria pengukuran yang menunjukkan angka marginal fit atau acceptabel fit.
Tabel 1. Goodness of fit indices
Kriteria Model Struktural Rule of thumb Kesimpulan
Output LISREL 8.8 (Yamin 2014, Wijanto,2008)
Chi – Square 57.36 Diharapkan kecil Baik
P-Value for 0.0005 >0,05 Kurang Baik
Chi-Square
NCP 30.356 Nilai yang kecil Kurang Baik
Interval (12.340 ; 56.119) Interval yang sempit
GFI 0.90 ≥ 0.90 Baik (good fit)
RMR 0.05 ≤0.05 Baik (good fit)
Standardized 0.10 ≤0.05 Marginal fit
RMR
RMSEA 0.11 0.05-0.10 Kurang Baik
ECVI 1.026 < ECVI Saturated model dan Baik (good fit)
Independence model
AGFI 0.80 ≥0.90 Marginal fit
NFI 0.907 ≥0.90 Baik (good fit)
NNFI 0.924 ≥0.90 Baik (good fit)
RFI 0.90 ≥0.90 Baik (good fit)
IFI 0.944 ≥0.90 Baik (good fit)
CFI 0.943 ≥0.90 Baik (good fit)
AIC 93.356 < AIC Saturated model dan Baik (good fit)
Independence model
CAIC 156.749 < CAIC Saturated model dan Baik (good fit)
Independence model
CN 67.448 >200 Kurang Baik

Dari hasil analisis fakta empiris yang terjadi pada konsultan teknik di Jawa Tengah dalam proses kolaborasi desain
didapatkan suatu temuan sebagai penjelasan terhadap fenomena yang ada yaitu bahwa ternyata kecanggihan media
komunikasi dalam kolaborasi desain di Jawa Tengah tidak penting karena pada proses kolaborasi desain, partisipan
yang terlibat dalam tim kerja walaupun bekerja dalam tempat yang berbeda tetapi masih dalam satu lingkup daerah
yang sama sehingga masih ada kesempatan untuk bertemu, seperti yang diungkapkan oleh Ketua IAI cabang DIY,
Ir. Arief Heru Swasono, MTP, IAI., Minggu(07/12/2014), “pertemuan antar pelaku desain biasanya terjadi

MK - 97
seminggu sekali”. Selain itu mayoritas pelaku desain yang terlibat dalam proses desain berperan sebagai konsultan
Arsitektur sehingga dapat diduga bahwa interaksi yang terjadi hanya dua arah yaitu konsultan Arsitek dengan
konsultan Struktur saja atau konsultan Arsitek dengan konsultan Mekanikal/ Elektrikal saja seperti struktur
organisasi pekerjaan pada konsep kerjasama yang dijelaskan oleh Lu et al (2007). Dalam proses kolaborasi desain
juga tidak menemukan bukti bahwa proses kolaborasi desain menggunakan alat-alat canggih seperti Teleconference,
Virtual Design Studio dan media internet canggih lainnya seperti yang digunakan ditempat lain. Jawa Tengah belum
mencapai kecanggihan media sehingga kecanggihan media tidak mempunyai relevansi dengan kolaborasi desain.
Pada proses kolaborasi desain di Jawa Tengah, kolaborasi yang terjadi dapat didefinisikan sebagai pertemuan dan
kerjasama. Yang terpenting dalam proses desain adalah bertemunya antara pelaku desain. Dengan mengatur
hubungan antar partisipan dan mengatur pekerjaan masing-masing partisipan yang terlibat dalam proses desain
maka tim kerja desain akan semakin baik dalam proses desain dan keberhasilan kolaborasi desain dapat lebih mudah
tercapai.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dari 92 responden di Jawa Tengah dapat diambil beberapa kesimpulan sesuai
rumusan masalah yaitu sebagai berikut :
1. Komunikasi mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan kolaborasi desain, nilai loading faktor
komunikasi dengan keberhasilan kolaborasi desain sebesar 0.03 dan hipotesa pertama (H1) tentang faktor
komunikasi melalui pertimbangan terhadap komunikasi desain, media komunikasi yang digunakan, organisasi
tim kerja dan alur informasi mempengaruhi kolaborasi desain dapat diterima tetapi pengaruhnya tidak signifikan.
2. Komunikasi mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap tim kerja, nilai loading faktor komunikasi
dengan keberhasilan kolaborasi desain sebesar 0.79 dan hipotesa kedua (H2) tentang faktor komunikasi yang
diterapkan proses kolaborasi desain mempengaruhi faktor tim kerja dalam kolaborasi desain dapat diterima.
3. Tim kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap keberhasilan kolaborasi desain, nilai loading
faktor komunikasi dengan keberhasilan kolaborasi desain sebesar 0.84 dan hipotesa ketiga (H3) tentang faktor
tim kerja mempengaruhi kolaborasi desain dapat diterima.

Saran
Riset ini terbatas pada uji terhadap hubungan faktor komunikasi dan tim kerja terhadap pengaruhnya pada
keberhasilan kolaborasi desain. Riset-riset lanjutan diperlukan untuk menguji hubungan dan pengaruh pada variabel
yang lebih luas, termasuk riset untuk penggunaan teknologi informasi pada keberhasilan kolaborasi desain dibidang
konstruksi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Peneliti menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Institut Teknologi Sepuluh Nopember ( ITS ) yang telah
mendanai penelitian berjudul “ Pengembangan Konfigurasi Spasial dan Nilai Ekonomi Urban Heritage yang Adaptif
dan Kolaboratif ” melalui program “ Riset Unggulan Perguruan Tinggi Tahun 2014 ”.

DAFTAR PUSTAKA
Cheng, E., Li, H., & P.E.D, L. (2000). “Establishment Of Critical Success Factors For Construction Partnering” .
Journal Of Management In Engineering, 84-92.
Cheng, N. (2003). “Approaches to Design Collaboration Research”. Automation in Construction Journal, 12, 715-
723.
Chiu, M. (2002). “An organizational view of design communication in design collaboration”. Design Studies, 23,
187-210.
Detienne, F. (2006). “Collaborative Design : Managing Task Interpendencies And Multiple Perspective”.
Interacting With Computer, 1-20.
Ferdinand, A. (2005). Structural Equation Modeling Dalam Penelitian Manajemen. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Gabriel, G., & Maher, M. (2002). “Coding and Modelling Communication in Architectural Collaborative Design” .
Automation in Construction, 199-211.

MK - 98
Girard, P., & Robin, V. (2006). “Analysis of collaboration for project design management”. Computers in Industry ,
817–826.
Huang, R., Kahai, S., & Jestice, R. (2010). “The contingent effects of leadership on team collaboration in virtual
teams”. Computers in Human Behavior, 1098–1110.
Kalay, Y. (2001). “Enhancing multi-disciplinary collaboration through semantically rich representation” .
Automation in Construction , 741-755.
Kolarevic, B., Schmitt, G., Hirschberg, U., Kurman, D., & Jonhnson, B. (2000). “An Experiment in Design
Collaboration”. Automation in Construction, 73-81.
Kuncoro, M. (2009). Metode Riset untuk Bisnis & Ekonomi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kvan, T. (2000). “Collaborative Design : What Is It?” Automation in Construction, 9, 409-415.
Lin, c., Standing, C., & Lieu, Y. (2008). A model to develop effective virtual teams. Decision Support Systems, 45,
1031–1045.
Lu, S., Elmaraghy, W., Schuh, G., & Wilhelm, R. (2007). “A Scientific Foundation of Collaborative Engineering”.
Annals of the CIRP, 56, 605-634.
Nam, T., & Wright, D. (2001). “The Development and Evaluation of Syco3D : A real-time collaborative 3D CAD
system”. Design Studies, 557-582.
Peng, C. (1994). “Exploring communication in collaborative design: co-operative architectural modelling”. Design
Studies, 14, 19-44.
Ping, C., Keung, C., & Ramanathan, M. (2011). “Integrated Team Design Process – Successful Stories of Hong
Kong MTR Corporation Projects”. Procedia Engineering, 14, 1190–1196.
Qin, S., Harrison, R., West, A., Jordanov, I., & Wright, D. (2003). “Framework of web-based conceptual design”.
computer in industry, 153-164.
Raflis, Yani Rahmawati, Yuni Ulfiyati, and Christiono Utomo. (2014). “Konsep Pengaruh Komunikasi Tim Kerja
Terhadap Keberhasilan Kolaborasi Desain Pada Konsultan Enjinering Di Jawa Tengah.” In Konferensi
Nasional Pascasarja Teknik SIpil ITB 2014, Bandung.
Rahmawati, Y., Anwar, N., & Utomo, C. (2013). A Concept of Successful Collaborative Design towards
Sustainability of Project Development. International Journal of Social, Human Science and Engineering, 7,
219-225.
Rahmawati, Y., Utomo, C., & Anwar, N. (2012). “Collaborative Design in Construction : Past, Present, and Future
Research”. International Conference of Sustainable Built Environment.
Rahmawati, Y., Utomo, C., & Anwar, N. (2012). “Exploring Socio-Technical Factors to Successful Collaborative
Design in Product Development : A Review”. paper seminar ICOI.
Rahmawati, Y., Utomo, C., & Anwar, N. (2013). “Pengembangan Konfigurasi Spasial dan Nilai Ekonomi
Infrastruktur Berkelanjutan yang Adaptif dan Kolaboratif”. Seminar Nasional Strategi Pengelolaan
Infrastruktur Bidang Ke-PU-an Berkelanjutan Mendukung Percepatan Pencapaian MDGs. Jakarta: Puslitbang
Sosekling.
Rahmawati, Y., Utomo, C., Anwar, N., Setijanti, P., & Nurcahyo, B. (2014). “An Empirical Model for
SuccessfulCollaborative Design Towards”. Journal of Sustainable Development, vol 7, 1.
Ren, Z., Yang, F., Bouchlaghem, N., & Anumba, C. .. (2011). “Multi-disciplinary collaborative building design—A
comparative study between multi-agent systems and multi-disciplinary optimisation approaches”. Automation
in Construction, 20, 537-549.
Robbins, S. P. (2003). Organizational Behavior. USA: Pearson Education International.
Saputra, A. (2013). “Pengaruh Komunikasi, Kepercayaan, dan Komitmen Terhadap Keberhasilan Penyelesaian
Pekerjaan Proyek”. Tesis.
Ulfiyati, Yuni, Christiono Utomo, Yani Rahmawati, and Raflis. (2014). “Theoretical Model on the Effect of
Leadership Style and Knowledge Management Toward Successful Collaborative Design.” In Proceedings of
the 1st International Conference on Engineering Technology and Industrial Application, , 157–61.
http://hdl.handle.net/11617/4970.

Utomo, C., Idrus, A., & Napiah, M. (2009). “Methodology for Multi Criteria Group Decision and Negotiation
Support onValue-based Decision”. International Conference on Advanced Computer Control. IEEE Computer
Society.
Utomo, C. (2010). “Multi-person Decision Model for Unfinished” . The Journal for Technology and Science.
Utomo, C., & Idrus, A. (2011). “A Concept toward Negotiation Support for Value Management on Sustainable
Construction”. Journal of Sustainable Development.
Utomo, C., Idrus, A., Napiah, M., & Khamidi, M. (2009). “Agreement Options on Multi Criteria Group Decision
and Negotiation”. International Scholarly and Scientific Research & Innovation.
Utomo, C., Zin, R., Zakaria, R., & Rahmawati, Y. (2014). “A Conceptual Model of Agreement Options for Value-
based Group Decision on Value Management”. Jurnal Teknologi (Sciences & Engineering), 39-45.

MK - 99
Vivacqua, A., Garcia, A., & Gomes, A. (2011). “BOO : Behavior Oriented Ontology to Describe Participant
Dynamics in Collocated design meetings”. Expert Systems with Applications, 1139–1147.
Wijanto, S. (2008). Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8 : Konsep dan Tutorial. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Woo, S., Lee, E., & Sasada, T. (2001). “The Multiuser Workspace As The Medium for Communication in
Collaborative Design”. Automation in Construction , 303-308.
Yamin, S. (2014). Rahasia Olah Data Lisrel. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Zha, X., & Du, H. (2006). “Knowledge Intensive Collaborative Design Modelling and Support Part 1 : Review
Distributed Model and Framework”. Journal of Computer in Industry, 39-55.

MK - 100
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

STUDI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TENAGA


KERJA PADA PROYEK PEMBANGUNAN RUANG KELAS SMK NEGERI 1 SESEAN

Parea Russan Ranggan1, Hendrianto Masiku2, Harni E Tarru3, dan Novianty Ylimbu4

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Kristen Indonesia Toraja, Jl. Nusantara No. 12 Makale 91811, Tana Toraja
Email:usd_blessing@yahoo.com
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Kristen Indonesia Toraja, Jl. Nusantara No. 12 Makale 91811, Tana Toraja
Email: henriantomasiku@yahoo.com
3
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Kristen Indonesia Toraja, Jl. Nusantara No. 12 Makale 91811, Tana Toraja
Email: eharnit@yahoo.com
4 MahasiswaJurusan Teknik Sipil, Universitas Kristen Indonesia Toraja, Jl. Nusantara No. 12 Makale 91811, Tana
Toraja
Email: novi@yahoo.com

ABSTRAK

Dalam dunia konstruksi salah satu faktor yang berperan penting demi keberhasilan suatu proyek
adalah produktivitas tenaga kerja. Mengukur produktivitas tenaga kerja menggunakan berbagai cara,
misalnya mengukur tingkat LUR (Labour Utilitation Rate) masing-masing tenaga kerja, yaitu
dengan meneliti seberapa besar tingkat efektivitas pekerja dalam bekerja, atau menggunakan metode
SNI dengan meneliti durasi dan volume pekerjaan. Produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor diantaranya, faktor umur atau usia, kondisi lapangan dan sarana bantu,
keahlian pekerja, pengalaman kerja, kesesuaian upah, kesehatan pekerja, keselamatan kerja,
koordinasi dan perencanaan, pengawasan, dan manajerial. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja. Penelitian ini
dilaksanakan pada proyek pembangunan ruang kelas SMK Negeri 1 Sesean pada pekerjaan
pemasangan plat lantai beton bertulang. Penelitian dilakukan dengan mengamati tingkat
produktivitas 9 tenaga kerja dan pengisian kuisioner. Pengamatan tingkat produktivitas (LUR)
dilakukan selama 5 hari pada masing-masing pekerja. Dari hasil pengumpulan data, baik data
produktivitas dan kuisioner dilakukan proses pengolahan data dengan bantuan komputer program
SPSS (Statistical Package for Social Science) versi 20. Analisis data yang telah dilakukan dapat
diketahui bahwa rata-rata tingkat produktivitas tenaga kerja dengan menggunakan metode SNI
adalah sebesar 0,010 m3/menit. Sedangkan tingkat produktivitas (LUR) pekerja rata-rata sebesar
77,07%. Jadi tingkat produktivitas tenaga kerja, produktif karena >50%. Variabel yang telah
ditentukan ternyata signifikasinya 0,223>0,05 maka secara simultan tidak berpengaruh terhadap
besarnya tingkat produktivitas. Secara parsial variabel yang mempunyai pengaruh secara signifikan
adalah variabel umur dengan nilai beta 0,926.
Kata kunci : SNI, LUR, Produktivitas

1. PENDAHULAN
Latar belakang masalah
Untuk dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja, terlebih dahulu para kontraktor harus mengetahui faktor-
faktor yang berperan dalam mempengaruhi produktivitas tenaga kerja. Faktor-faktor ini pun bisa sangat beragam,
baik yang berasal dari diri para pekerja maupun yang berasal dari manajemen dan lingkungan proyek yang
bersangkutan. Semua faktor-faktor tersebut harus diperhatikan agar tercipta suasana lingkungan kerja proyek yang
kondusif sehingga para pekerja dapat secara maksimal meningkatkan kinerjanya. Penelitian ini berusaha untuk
mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja.

MK - 101
Rumusan masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah :
a. Apakah faktor umur mempengaruhi produktivitas tenaga kerja pembangunan ruang kelas SMK Negeri 1
Sesean?
b. Bagaimana tingkat produktivitas tenaga kerja pembangunan ruang kelas SMK Negeri 1 Sesean?

Maksud dan tujuan penulisan


Maksud dari penulisan ini adalah untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja.
Sedangkan tujuan dari penulisan ini adalah untuk menganalisis tingkat produktivitas tenaga kerja.

Batasan masalah
Agar penelitian ini lebih terarah pada permasalahan yang ada, maka penulis akan memberikan batasan-batasan
masalah dengan:
a. Penelitian ini dilakukan pada proyek Pembangunan Ruang Kelas Baru SMK Negeri 1 Sesean pada pekerjaan
plat beton lantai 2.
b. Pengamatan tenaga kerja dilaksanakan selama 5 hari mulai pada jam 08.00-17.00 dengan istirahat satu jam
12.00-13.00.
c. Metode yang digunakan yaitu metode SNI 2002

Metode penulisan
a. Kajian Pustaka
Pada tahap ini dilakukan dengan jalan mengumpulkan referensi-referensi yang ada baik berupa buku-buku maupun
bahan-bahan kuliah yang berhubungan dengan pokok bahasan ini.
b. Studi Lapangan
Pada tahap ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data proyek yang mengenai kondisi atau keadaan proyek
terutama data keadaan tenaga kerja.
c. Simulasi Komputer
Pada tahap ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer untuk mengolah data-data proyek, yaitu
dengan program SPSS.

2. LANDASAN TEORI
Pengertian produktivitas
Produktivitas berasal dari bahasa inggris “Product” yaitu hasil, dan production yaitu kegiatan atau proses
memproduksi sesuatu. Selanjutnya “Productive” yang berarti menghasilkan, dan “Productivity” yaitu kemampuan
menghasilkan sesuatu. Perkataan itu dipergunakan dalam bahasa Indonesia menjadi produktivitas (Ndraha 1997)
Ndraha (1997) memberikan pengertian produktivitas adalah suatu hubungan antara masukan-masukan (input)
dengan keluaran-keluaran (output) suatu produktivitas.

Profil Produktivitas
a. Mobilisasi
Pada tahap awal ini yang berlangsung 10-15% dari masa kontruksi, produktivitas berkurang (±10%). Hal ini
karena para pekerja memerlukan masa pengenalan dan penyesuaian pekerjaan. Juga pada masa menanjak (build
up) sering kali sulit mengikuti secara tepat kenaikan jumlah kegiatan dengan kenaikan jumlah pekerja yang
diperlukan sehingga menimbulkan pengaturan yang kurang efisien.
b. Periode puncak
Pada masa ini dicapai produktivitas optimal, jumlah tenaga kerja tidak bertambah dan telah terbiasa dengan
pekerjaan maupun kondisi medan atau lapangan yang dihadapi.
c. Periode menurun
Pada masa menjelang akhir kontruksi, produktivitas cenderung menurun, terutama disebabkan oleh :
1) Kurang tepatnya perencanaan. Misalnya masa kontrak kerja belum berakhir sedangkan pekerjaan sudah menipis,
sehingga terjadi kelebihan tenaga kerja.
2) Sikap mental atau semangat yang berkurang, karena melihat pekerjaan mulai berkurang dan belum tentu tersedia
lapangan kerja yang berikutnya.
3) Terlambatnya mobilisasi. Sering dijumpai penyelia ingin menahan pekerja yang berlebihan dengan menunggu
sampai hasil kerjanya meyakinkan.

MK - 102
3. METODOLOGI PENELITIAN
Gambaran umum lokasi penelitian
a. Letak Geografis Kabupaten Toraja Utara
Kabupaten Toraja Utara terletak ditengah-tengah Pulau Sulawesi, salah satu pulau terbesar berbentuk bintang laut
diantara pulau Kalimantan (Borneo) dan Papua, Indonesia. Secara geografis berada pada 2° 40’LS sampai 3° 25’
LS dan 119° 30’BT sampai 120° 25’BT diapit oleh tiga wilayah provinsi yakni Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara
dan Sulawesi Selatan .
b. Gambaran kondisi SMK Negeri 1 Sesean
Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja dilakukan pada proyek
pembangunan ruang kelas SMK Negeri 1 Sesean.
SMK Negeri 1 Sesean terletak di jalan poros Sa’dan-Rantepao Km 5, Pangli Selatan, Kecamatan Sesean, Kabupaten
Toraja Utara, dengan batas lokasi:
 Sebelah utara berbatasan dengan jalan poros Sa’dan
 Sebelah timur berbatasan dengan rumah penduduk
 Sebelah selatan berbatasan dengan rumah penduduk
 Sebelah barat berbatasan dengan rumah penduduk

Tahap dan prosedur penelitian


Tahap dan prosedur penelitian dilakukan secara sistematis. Adapun tahap dan prosedur penelitian yang akan
dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Tahap I
Tahap I yaitu tahap persiapan. Langkah yang dilakukan yaitu merumuskan masalah penelitian, tujuan penelitian, dan
menggali kepustakaan serta mempersiapkan alat dan bahan agar dalam penelitian dapat berjalan lancar.
b. Tahap II
Tahap II yaitu tahap mencari data lapangan dan pengumpulan data. Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap
ini adalah :
1) Survei lapangan untuk melihat apakah proyek yang ada memenuhi syarat untuk dijadikan lokasi penelitian serta
melakukan proses perijinan kepada pelaksana atau pemilik proyek.
2) Menentukan zona yang akan diamati, pengumpulan data tentang tenaga kerja yang diperlukan untuk mendukung
penelitian dengan wawancara langsung atau pengisian kuesioner.
3) Pengumpulan data efektifitas pekerjaan tenaga kerja pada pekerjaan plat lantai beton bertulang yaitu dengan
mengamati pekerjaan yang dilakukan didalam satu hari jam kerja.
c. Tahap III
Tahap III yaitu tahap penelitian dan rekapitulasi data masukan tingkat produktivitas/LUR (Labour Utilization
Rate). Langkah yang dilakukan dalam tahap ini adalah memberikan nilai terhadap jawaban responden dalam
wawancara dan menghitung kinerja sumber daya manusia pekerjaan plat lantai beton bertulang dengan cara
membandingkan data pekerjaan efektif dan ¼ pekerjaan kontribusi yang dihasilkan dengan waktu kerjanya
sehingga didapatkan produktivitas dalam presentase LUR (Labour Utilization Rate).
d. Tahap IV
Tahap IV yaitu tahap analisis data. Adapun langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yaitu
menganalisis data penelitian dengan menggunakan analisis deskripsi dengan bantuan komputer program SPSS.
e. Tahap V
Tahap V yaitu tahap pembahasan hasil analisis. Langkah yang dilakukan adalah melakukan pembahasan dari
hasil penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas untuk mendapatkan kesimpulan.
f. Tahap VI
Tahap VI yaitu tahap kesimpulan dan saran. Langkah yang dilakukan adalah dengan menyimpulkan hasil
penelitian dan memberi saran yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan.

MK - 103
Peralatan penelitian
Alat yang digunakan adalah peralatan yang berada di Proyek Pembangunan Ruang kelas SMK Negeri 1 Sesean
yang diperlukan untuk mengitung produktivitas tenaga kerja dan mengetahui faktor yang mempengaruhi
produktivitas tenaga kerja.
Dalam proses pengumpulan data adapun peralatan yang digunakan antara lain :
a. Lembar formulir pencatatan jam kerja.
b. Alat tulis dan alat bantu lain.
c. Stopwatch atau jam tangan sebagai penunjuk waktu.
d. Komputer sebagai tempat penyimpanan data dan sebagai alat proses pengolahan data hasil penelitian.
e. Kamera sebagai alat dokumentasi penelitian

Jenis data dan sumber data


a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh di lapangan, berupa data jam kerja yaitu pekerjaan efektif (effective work),
pekerjaan kontribusi (essential contributory work) dan pekerjaan tidak efektif (ineffective work). Pencatatan akan
dilakukan oleh peneliti. Data primer juga diperoleh dari hasil wawancara pada tenaga kerja dan pihak pelaksana
kontraktor.
b. Data Sekunder
Data Sekunder diperoleh dari pihak pelaksana pekerjaan kontruksi yang dalam hal ini adalah kontraktor. Data-data
sekunder itu bisa berupa: gambar kerja, jadwal proyek, RAB, data tenaga kerja.

Teknik pengumpulan data


Untuk memperoleh data penelitian jenis ini digunakan dua jenis metode yaitu :
a. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan tanya jawab sepihak kepada yang bersangkutan yaitu tenaga kerja.
b. Observasi (pengamatan), dilakukan dengan pengamatan dilapangan untuk mendapatkan data masukan untuk
menghitung besarnya LUR (Labour Utilization Rate) dengan cara mengamati nilai pekerjaan efektif (effective
work), pekerjaan kontribusi (essential contributory work) dan pekerjaan tidak efektif (ineffective work). Dari
besaran nilai LUR (Labour Utilization Rate) tersebut dapat digunakan untuk mengetahui seberapa efektif atau
produktif tenaga kerja pada suatu proyek.
Pemilihan metode tersebut karena sumber data yang digunakan adalah tenaga kerja yang sedang bekerja dan agar
tidak mengganggu jalannya pekerjaan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Data hasil penelitian
Data produktivitas tenaga kerja
Waktu total bekerja efektif , waktu konstribusi dan waktu tidak efektif dan nilai LUR (Labour Utilitation
Rate)/Faktor Utilitas Pekerja hari ke- 1 (Pertama).
Tabel 1. waktu konstribusi dan waktu tidak efektif dan nilai LUR (Labour Utilitation Rate)/Faktor Utilitas Pekerja
hari ke- 1 (Pertama)

Total waktu Total waktu


Total waktu
Nama Tenaga kerja bekerja tidak LUR
No bekerja efektif
kerja konstribusi efektif (%)
(menit)
(menit) (menit)
1 ABDUL 412 24 44 87,08
2 ALY 423 21 36 89,22
3 HENDRA 363 53 64 78,39
4 BAHAR 342 71 67 74,95
5 ADY 366 66 48 79,69
6 RAMLI 332 83 65 73,49
7 ADY RESNADY 313 95 72 70,16
8 VIKTOR 345 77 58 75,89
9 ANGGI 318 94 68 71,15
Rata-Rata 357,11 64,89 58,00 77,78

MK - 104
Perhitungan faktor utilitas tenaga kerja
Contoh perhitungan faktor ulititas tenaga kerja pada hari ke- 1 (Pertama):
Pengamatan total = waktu efektif + waktu kontribusi + waktu tidak efektif
Pengamatan total tenaga kerja Abdul pada hari ke-1 = 412 + 24 + 44 = 480 menit
Faktor utilitas tenaga kerja =

Faktor utilitas Abdul pada hari ke-1 = = 87,08 %

Perhitungan produktivitas dengan metode/cara SNI


Produktivitas kerja dihitung dalam 1 tim kerja setiap hari. Produktivitas tenaga kerja dihitung dari koefisien-
koefisien upah tenaga kerja.
Tenaga Kerja:

 Pekerja : 6 x 5,600 = 33,6 OH


 Tukang Batu : 1 x 0,350 = 0,350 OH
 Tukang Kayu : 1 x 2,640 = 2,640 OH
 Tukang Besi : 1 x 1,050 = 1,050 OH
 Kepala Tukang : 1 x 0,400 = 0,400 OH
 Mandor : 1 x 0,193 = 0,193 OH

Produktivitas = (m3/menit)

Volume pekerjaan = 2 m3

Durasi pekerjaan yaitu waktu bekerja efektif yang diperoleh dari rata-rata waktu bekerja efektif dari semua tenaga
kerja selama sehari. Durasi pekerjaan hari ke-1 = 357,11 menit

Produktivitas = = 0,006 m3/menit

Rekapitulasi hasil perhitungan LUR

Tabel 2. Produktivitas Tenaga Kerja (LUR) Pada Pekerjaan Plat Lantai Beton Bertulang Pada Pembangunan Ruang
Kelas Baru SMK Negeri 1 Sesean
LUR LUR LUR LUR LUR
Rata-Rata
No Nama Tenaga kerja Hari Ke- Hari Ke- Hari Ke- Hari Ke- Hari Ke-
LUR
1 2 3 4 5

1 ABDUL 87,08 89,58 83,18 85,36 89,11 86,86


2 ALY 89,22 89,90 84,58 89,43 88,39 88,30
3 HENDRA 78,39 83,28 79,32 78,49 82,19 80,33
4 BAHAR 74,95 77,71 82,55 78,65 79,48 78,67
5 ADY 79,69 82,45 76,09 80,05 78,18 79,29
6 RAMLI 73,49 81,77 76,35 65,36 62,03 71,80
7 ADY RESNADY 70,16 75,83 72,66 60,21 56,93 67,16
8 VIKTOR 75,89 84,53 78,13 62,81 60,16 72,30
9 ANGGI 71,15 79,53 74,69 61,30 58,07 68,95
Rata-Rata LUR 77,78 82,73 78,62 73,52 72,73 77,07

Dari hasil penelitian dapat diketahui faktor utilitas pekerja (LUR) yang paling besar di lakukan oleh Aly pada hari
pertama yaitu sebesar 89,22 %. Sedangkan rata-rata LUR yang paling besar adalah Aly sebesar 88,30 %. Rata-rata
tingkat LUR tertinggi terjadi pada hari ke-2, yaitu sebesar 89,90%.

MK - 105
Sedangkan rata-rata tingkat LUR Total sebesar 77,07%. Jadi dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa
tingkat produktivitas pekerjaan pada pekerjaan plat lantai beton bertulang memuaskan, karena faktor utilitas pekerja
atau nilai LUR (Labour Utilitation Rate) lebih dari 50 %.

Data hasil kuesioner


Tabel 3. Jawaban Hasil Kuesioner Untuk Tenaga Kerja Pekerjaan Plat Lantai Beton Bertulang di Proyek
Pembangunan Ruang Kelas Baru SMK 1 Sesean

Skoring data
Skoring data untuk masing masing variable yaitu umur (X 1), kondisi lapangan dan sarana bantu (X2), keahlian
pekerja (X3), pengalaman kerja (X4), kesesuaian upah (X5), kesehatan pekerja (X6), keselamatan kerja (X7)
koordinasi dan perencanaan (X8), pengawasan (X9), dan manajerial (X10). Skoring Data Hasil Kuesioner Untuk
Tenaga Kerja Pekerjaan Plat Lantai Beton Bertulang di Proyek Pembangunan Ruang Kelas Baru SMK 1 Sesean
Skoring Data: A=1 C=3 E=5
B= 2 D=4
Tabel 4 Skoring Data

Pengujian Instrumen Penelitian


Uji Validasi
Tabel 5. Hasil Uji Validitas
Koefisien Koefisien
Item Syarat Kesimpulan Item Syarat Kesimpulan
Korelasi Korelasi
1 0,844 0,3 Valid 8 0,67 0,3 Valid
2 0,162 0,3 Tidak Valid 9 0,303 0,3 Valid
3 -0,11 0,3 Tidak Valid 10 0,487 0,3 Valid
4 0,236 0,3 Tidak Valid 11 0,266 0,3 Tidak Valid
5 0,485 0,3 Valid 12 -0,781 0,3 Tidak Valid
6 0,729 0,3 Valid 13 -0,451 0,3 Tidak Valid
7 0,578 0,3 Valid 14 -0,243 0,3 Tidak Valid

MK - 106
Dari tabel hasil pengujian validitas terhadap 9 responden dapat diketahui bahwa item atau butir pertanyaan
memiliki nilai koefisien korelasi product moment person lebih besar dari pada r kritis 0,3, jika kurang dari 0,3 maka
poin instrumen yang r korelasinya kurang dari 0,3 kita anggap tidak valid, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
seluruh item pertanyaan valid.

Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui kestabilan dan kekonsistenan apabila dilakukan pengukuran kembali
dengan subyek yang sama. Pengukuran reliabilitas dilakukan dengan menggunakan Cronbach’s alpha (alpha
cronbach) . Dari hasil pengujian dilakukan penganalisaan dengan membandingkan terhadap Rtabel yang dapat dicari
dengan menginterpolasi jumlah butir pertanyaan dengan koefisien reliabilitasnya.

Tabel 6. Uji Reliabilitas

Nilai Minimal Nilai Alpha


Variabel Kesimpulan
Alpha Analisa
X1 0,347 0,400 Reliabel
X2 0,347 0,514 Reliabel
X3 0,347 0,499 Reliabel
X4 0,347 0,615 Reliabel
Tidak
X5 0,347 0,295
Reliabel
X6 0,347 0,523 Reliabel
X7 0,347 0,513 Reliabel
X8 0,347 0,633 Reliabel
X9 0,347 0,615 Reliabel
X10 0,347 0,541 Reliabel

Dari tabel pengujian reliabilitas dengan metode Alpha cronbach dapat diketahui bahwa nilai koefisien reliabilitas
hitungan apabila dibandingkan dengan dengan koefisien hasil hitungan tabel ternyata R hitung > Rtabel, karena koefisien
reliabilitas pengujian lebih besar daripada koefisien reliabilitas tabel maka dapat disimpulkan bahwa instrument
terbukti tidak semua reliabel.

Uji Normalitas Data


Asumsi normalitas terpenuhi jika Asymp Sig(2-tailed) nilainya lebih besar dari  (0,05). Hasil pengujian
Kolmogorof -Smirnov dengan menggunakan SPSS Versi 20 ditunjukan dalam tabel dibawah ini.

Tabel 7. Uji Normalitas Data

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Produktivitas
N 9
a,b Mean 77,0733
Normal Parameters
Std. Deviation 7,53941
Absolute ,181
Most Extreme Differences Positive ,181
Negative -,139
Kolmogorov-Smirnov Z ,543
Asymp. Sig. (2-tailed) ,929
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai Asymp.Sig (2-tailed) adalah sebesar 0,929. Hal ini menunjukan bahwa
data tersebut terdistribusi normal, karena nilai probabilitas 0,05 lebih kecil dari 0,929.

MK - 107
Analisis Regresi Linier Sederhana
Analisis regresi digunakan untuk menaksir atau meramal besarnya dependent variabel (variabel terikat Y)
berdasarkan nilai independent variabel (variabel bebas X) yang disebut regresi sederhana. Pada analisis regresi
sederhana ini, yang dianggap berpengaruh terhadap terjadinya variabel terikat Y adalah variabel bebas X.
Produktivitas

Variabel

Gambar 1. Variabel penyebab tinggi rendahnya produktivitas

Analisis Rergresi Linier Berganda


Analisis ini digunakan untuk mengetahui pengaruh dari variabel secara bersama-sama terhadap produktivitas.
Karena pengaruh semua variabel diperhitungkan maka akan didapat persamaan linier berganda. Berikut adalah hasil
dari pengujian regresi linier berganda dengan bantuan SPSS versi 20 :

Tabel 8. Hasil pengujian regresi linier berganda


Coefficientsa
Model Unstandardized Standardized t Sig.
Coefficients Coefficients
B Std. Error Beta
1 (Constant) 38,063 6,089 6,251 ,000
6,624 1,020 ,926 6,498 ,000
1,978 3,337 ,219 ,593 ,572
8,291 5,652 ,485 1,467 ,186
1,575 ,665 ,667 2,369 ,050
Umur 3,038 1,456 ,619 2,086 ,075
Kondisi_Sarana 11,010 7,468 ,487 1,474 ,184
Keahlian _Pekerja 4,015 5,494 ,266 ,731 ,489
Pengamalan_Kerja -11,172 3,377 -,781 -3,308 ,013
Kesesuaian_Upah -6,800 5,087 -,451 -1,337 ,223
Kesehatan_Pekerja -4,149 6,269 -,243 -,662 ,529
Keselamatan_Kerja
Perencanaan
Pengawasan
Manajerial

a. Dependent Variable: Produktivitas

MK - 108
Dari hasil perhitungan analisis regresi linier ganda diatas diperoleh koefisien masing-masing variabel dan dapat
disusun persamaan linier berganda sebagai berikut :
Y = b0 +b1.X1+b2.X2+b3.X3+b4.X4+b5.X5 +b6.X6+b7X7+ b8.X8+ b9.X9+ b10.X10
Maka persamaan tersebut menjadi :
Y = 38,063 + 6,624 X1 + 1,978X2 + 8,291X3 + 1,575X4 + 3,038X5 + 11,010X6 + 4,015X7 -11,172X8 + -6,800X9 –
4,149X10

Uji Hipotesis
Tabel 9. Rekapitulasi nilai t, F , sig dan beta
Sig.
No Variabel T R2 beta
T
1. Umur (X1) 6,498 0,00 0,858 0,926
Kondisi
Lapangan R2
2. 0,593 0,572 0,048 0,219
Dan Saran Simultan
Bantu (X2) = 0,976
Keahlian
3. 1,467 0,186 0,235 0,485
Pekerja (X3)
Pengalaman
4. 2,369 0,050 0,445 0,667
Kerja (X4)
Kesesuaian
5. 2,086 0,075 0,383 0,619
Upah (X5)
Kesehatan
6. 1,474 0,184 0,237 0,487
Pekerja (X6)
Keselamatan F=
7. 0,731 0,489 0,071 0,266
Kerja (X7) 5,892
Koordinasi
dan - -
8. 0,013 0,610
Perencanaan 3,308 0,781
(X8)
Pengawasan - -
9. 0,223 0,203
(X9) 1,337 0,451 Sig. F =
Manajerial - - 0,307
10 0,529 0,059
(X10) 0,662 0,243

a. Uji Hipotesis pengaruh variabel bebas secara simultan (bersama-sama) terhadap variabel terikat atau uji F.
1) Hipotesis Operasional :
HO : Variabel bebas secara simultan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat.
HI : Variabel bebas secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat.
2) Perhitungan F tabel :
Tingkat signifikasi () = 0,05
F tabel = F (;f1,f2)
F tabel = F (;[k-1],[n-1]-[k-1])
Dengan jumlah variabel (k) = 10 dan jumlah sample (n) = 9, maka :
F tabel = F (0,05;[10-1],[9-1]-[10-1])
F tabel = F (0,05;[9],[-8])
F tabel = 3,3881
3) Dasar pengambilan keputusan :
a) Berdasarkan tabel F , Jika :
F hitung < F tabel (3,3881), maka HO diterima
F hitung > F tabel (3,3881), maka HO ditolak
b) Berdasarkan nilai probabilitas, Jika :
Sig > 0,05 maka HO diterima
Sig < 0,05 maka HO ditolak

MK - 109
5. PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Besarnya tingkat produktivitas tenaga kerja/LUR pada pekerjaan plat lantai beton bertulang pada Proyek
pembangunan ruang kelas baru SMK Negeri 1 Sesean, rata-rata sebesar 77,07%, berarti tingkat produktivitasnya
cukup memuaskan karena faktor utilitas pekerjanya (LUR) lebih dari 50%. Sedangkan, besarnya tingkat
produktivitas tenaga kerja dengan cara SNI rata-rata sebesar 0,008 m3/menit.
b. Variabel yang telah ditentukan yaitu umur atau usia pekerja, kondisi lapangan dan sarana bantu, keahlian
pekerja, umur, kesesuaian upah, pengalaman dalam bekerja, kesehatan pekerja, keselamatan kerja, koordinasi
dan perencanaan, pengawasan, manajerial atau manajemen lapangan, secara parsial atau sendiri- sendiri variabel
yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap besarnya tingkat produktivitas tenaga kerja adalah variabel
umur berdasarkan hasil uji hipotesis pengaruh variabel bebas secara sendiri-sendiri terhadap variabel terikat (Uji
T).
c. Variabel umur mempunyai pengaruh yang dominan terhadap tingkat produktivitas tenaga kerja di proyek
pembangunan Ruang Kelas Baru SMK Negeri 1 Sesean, berdasarkan hasil uji T, uji koefisien determinasi
berganda dan uji dominan.

Saran
Sebagai akhir dari penulisan ini, penulis memberikan beberapa saran yang berhubungan dengan penelitian
faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja sebagai berikut:
a. Untuk meningkatkan kinerja tenaga kerja, pemilik proyek atau kontraktor dapat memprioritaskan faktor-faktor
yang sangat signifikan mempengaruhi tingkat produktivitas tenaga kerja.
b. Dalam merumuskan kuesioner, sebaiknya pertanyaan harus diujikan kepada responden awal terlebih dahulu
untuk mengetahui apakah pertanyaan dapat dijadikan instrumen penelitian.
c. Dalam melakukan pengamatan data LUR (Labour Utilitation Rate) tenaga kerja, sebaiknya satu pengamat
mengawasi maksimal 3 orang pada wilayah yang sama (tidak terpisah).

DAFTAR PUSTAKA

Andi, et al. /Analisa Produktifitas Pekerja dengan Metode Work Sampling/CED, Vol. 6, No. 2, 72–79. September
2004. Civil Engineering Dimension, ISSN 1410-9530 print © 2007 Thamson GaleTM.
http://puslit.petra.ac.id/journals/civil. April 2013
Dwi Laksono, Taufik. Produktivitas Pada Proyek Konstruksi. Teodolita Vol.8, No.2. Desember 12 2007:11-18.
April 2013
Ervianto, Wulfram I.. Manajemen Proyek Konstruksi. Edisi Revisi. Penerbit Andi. Yogyakarta. 2005
Husan, Abrar. Manajemen Proyek: Perencanaan, Penjadwalan, dan Pengendalian Proyek. Edisi Revisi. Penerbit
Andi. Yogyakarta. 2011
Istimawan Dipohusodo. Manajemen Proyek dan Konstruksi. Kanisius, Yogyakarta. 1996
Malik, Alfian. Pengantar Bisnis Jasa Pelaksana Konstruksi. Penerbit Andi, Yogyakarta. 2010
Mukomoko, J.A. Dasar Penyusunan Anggaran Biaya Bangunan. Gaya Media Pratama. Jakarta. 2005
Nugraha, Paulus, Natan, Ishak, Sutjipto, R.. Manajemen Proyek Konstruksi 1. Penerbit Kartika Yudha. Surabaya.
1985
SNI 2837:2002 tentang Tata Cara Perhitungan Satuan Pekerjaan untuk Konstruksi Bangunan Gedung dan
Perumahan. 2002
SNI 7394:2002 tentang Analisa SNI pembuatan plat lantai beton bertulang. 2002
Soeharto, Iman. Manajemen Proyek : Dari Konseptual sampai Operasional. Jidil 1. Penerbit Erlangga. Jakarta.
1995
Soeharto, Iman. Manajemen Proyek : Dari Konseptual sampai Operasional. Jidil 2. Penerbit Erlangga. Jakarta.
1995.
Sulistyawan, Abriyani. Analisis Kerja Lembur Dan Produktivitas Tukang Batu Pada Proyek Konstruksi. e-Jurnal
Wahana. sipil.polines@yahoo.co.id. April 2013
Tanto, Dwi, Dewi, Sri Murni, Budio, Sugeng P.. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Pekerja Pada
Pengerjaan Atap Baja Ringan Di Perumahan Green Hills Malang. JURNAL REKAYASA SIPIL / Volume 6,
No. 1 – 2012 ISSN 1978 – 5658. April 2013
Tisnawati Sule, Ernie, Saefullah Kurniawan. Pengantar Manajemen. Edisi Pertama. Prenada Media. Jakarta. 2000

MK - 110
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

STANDARISASI PENATAAN PASAR TRADISIONAL DI INDONESIA


(STUDI KASUS REVITALISASI PASAR DI KOTA SEMARANG)

Gita Anggraini1, Dina Amalia2, Ferry Hermawan3, dan Ismiyati4

1
Departemen Teknik Sipil, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH Tembalang, Semarang
Email : gitaanggraini06@gmail.com
2
Departemen Teknik Sipil, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH Tembalang, Semarang
Email : dinassegaf@gmail.com
3
Departemen Teknik Sipil, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH Tembalang, Semarang
Email : hermawan.ferry@gmail.com
4
Departemen Teknik Sipil, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH Tembalang, Semarang
Email : ismiyati_hs@yahoo.com

ABSTRAK
Gejala menurunnya minat pengunjung pasar tradisional adalah salah satu dampak menjamurnya
pasar moderen. Upaya pemerintah untuk tetap mempertahankan eksistensi pasar tradisional salah
satunya melalui program revitalisasi. Penelitian ini bertujuan menganalisa perbandingan pasar
tradisional zaman dahulu dan sekarang, dampak yang ditimbulkan oleh revitalisasi, standar penataan
pasar tradisional, dan penerapan kebijakan di pasar tradisional. Studi kasus mengambil objek tiga
pasar yaitu pasar Rasamala, Bulu, dan Peterongan dengan pendekatan metode kualitatif deskriptif.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara dengan dinas pasar, pedagang,
pengunjung, dan lurah pasar dari studi kasus yang diambil. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan
antara pasar tradisional zaman dahulu dan sekarang mulai dari segi jenis dagangan, peran pasar,
bentuk interaksi, dan sistem rotasi pasar. Dampak yang ditimbulkan oleh revitalisasi yaitu dari segi
bangunan menjadi lebih bagus, lebih bersih, tidak becek lagi jika hujan, tetapi dari segi pendapatan,
tidak semua pasar mengalami peningkatan setelah direvitalisasi. Standar penataan pasar tradisional
yang direvitalisasi dari Standard Nasional Indonesia (SNI) Pasar Rakyat, masih ditemukan beberapa
hal yang harus diperbarui dan ditambahkan, karena belum sesuai jika diimplementasikan di
lapangan dan masih ada standar penataan yang belum terakomodasi di dalam SNI tersebut, seperti
standar lebar lorong di dalam pasar tradisional, tipikal dan jumlah lantai bangunan, penataan dan
pengelolaan fasilitas, peningkatan aksesibilitas, penataan pedagang lesehan, dan sistem penarikan
retribusi. Hasil penelitian ini menghasilkan rekomendasi teknis dan manajemen khsuusnya penataan
dan pengelolaan revitalisasi pasar tradisional di Indonesia.
Kata kunci: Pasar Tradisional, Revitalisasi, Standar Penataan, Kebijakan

1. PENDAHULUAN
Peran pasar tradisional masih sangat penting bagi masyarakat, karena pasar tradisional merupakan salah satu tempat
untuk manusia berbelanja memenuhi kebutuhan pangan dan sandang. Dalam penelitian Rizal (2013) disebutkan
selain untuk memenuhi kebutuhan, pasar tradisional juga merupakan aspek penting dalam perekonomian
masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah orang yang mencari mata pencaharian di pasar tradisional
seperti petani lokal yang mempunyai perkebunan dan pertanian bisa menjual hasil buminya secara langsung.
Pasar tradisional sudah ada sejak zaman dahulu dan masih bertahan hingga sekarang, tetapi eksistensi pasar
tradisional pada saat ini mulai menurun karena kondisi bangunan pasar yang memprihatinkan. Masyarakat mulai
beralih berbelanja di pasar modern karena kondisi yang lebih bersih dan nyaman dibandingkan dengan kondisi pasar
pasar tradisional di kota besar saat ini seperti disebutkan dalam penelitian Rufaidah (2008) bahwa kondisi bangunan
pasar tradisional di Kota Bandung sebagian besar, kotor, gelap, becek dan bocor ketika hujan. Begitu pula dengan
kondisi Pasar di Surabaya minimnya sarana serta jalan-jalan di sekitar pasar banyak yang rusak sehingga
menyebabkan terjadinya genangan air (Fanani, 2013). Begitu pula dengan kondisi pasar tradisional di Kota
Semarang, kondisinya sangat memperihatinkan karena hampir 40% pasar di Kota Semarang dalam keadaan rusak
(Nugroho dan Herbasuki, 2014). Sehingga, untuk mempertahankan eksistensi pasar tradisional tersebut perlu
dilakukan revitalisasi dengan memperhatikan bentuk bangunan, penataan los atau kios, jumlah pedagang, sarana
prasarana, lokasi pasar serta aksesibilitas pasar tradisional (Qoriah, 2014). Namun, penanganan pasar di Indonesia
masih bersifat parsial pada tiap daerah dan tidak semua revitalisasinya sukses. Belum adanya standar revitalisasi

MK - 111
pasar tradisional yang komprehensif terhadap kebutuhan dasar bangunan publik yang berkelanjutan di Indonesia
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tidak semua pasar tradisional sukses setelah direvitalisasi. Pasar
tradisional seharusnya menjadi basis perekonomian nasional yang bisa diandalkan bagi rakyat. Kehidupan pasar
tradisional seharusnya diupayakan pengelolaannya agar terus menjadi roda perputaran perdagangan yang kuat dan
berdaya. Oleh sebab itu, penelitian ini berupaya mengisi gap terhadap kebutuhan standarisasi bangunan pasar
tradisional yang berkelanjutan tersebut.

2. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif deskriptif dengan observasi lapangan, dan
dilengkapi dengan wawancara. Tahapan penelitian ini seperti dijelaskan pada bagan alir Gambar 1.

Fenomena:
Kegiatan Revitalisasi
Pasar Tradisional di
Indonesia
Kajian Pustaka

Gap
(Hipotesa)

Pengumpulan Data

Data Primer Data Sekunder


 Data teknis bangunan pasar  Gambar DED pasar tradisional.
tradisional  Jumlah pedagang
 Informasi tentang kondisi  Jumlah dan ukuran kios dan los.
pasar tradisional,  Lokasi pasar tradisional
pedagang, pengunjung,  Data pustaka tentang bangunan dan
kepala pasar, dinas pasar, sejarah pasar tradisional
dan sistem retribusi

Analisis Data

Analisis Lokasi dan Analisis Jumlah Lantai


Bangunan dan Fasilitas Analisis Kebijakan
Aksesibilitas

Identifikasi Masalah Penataan Pasar Tradisional Indonesia

Kesimpulan

Rekomendasi

Gambar 1. Tahapan Penelitian Standarisasi Pasar Tradisional Indonesia

MK - 112
Wawancara dilakukan terhadap Dinas Pasar, pedagang, pengunjung, Kepala Pasar Rasamala, Bulu, dan Peterongan.
Data kondisi pasar tradisional diperoleh dari kondisi sebelum dan setelah revitalisasi, sistem retribusi, fasilitas serta
aksesibilitas di pasar tradisional. Sedangkan data sekunder untuk menjustifikasi kondisi eksisting bangunan di tiga
lokasi studi diperoleh dari dokumen gambar perencanaan Detail Engineering Drawing (DED). Data lain yang
digunakan adalah data jumlah pedagang, jumlah dan ukuran kios dan los, dan lokasi pasar diperoleh dari arsip dinas
Pasar Kota Semarang. Strategi wawancara dilakukan untuk melengkapi data pasar yang tidak lengkap atau data
yang sifatnya persepsi dari para pihak yang berada di tiap lokasi studi. Seluruh data diperoleh secara resmi melalui
ijin dan dilengkapi dengan Consent Form (Form Kesediaan Terlibat dalam Penelitian) untuk setiap pihak yang
berwenang dalam pengelolaan pasar. Seluruh identitas responden dirahasiakan untuk keperluan penelitian.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Perbandingan Karakteristik Pasar Tradisional Zaman Dahulu dan Sekarang
Berdasarkan kajian pustaka dan hasil observasi dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan karakteristik antara pasar
tradisional zaman dahulu dan sekarang, mulai dari jenis barang dagangan yang mengalami perbedaan seperti alat
tulis, bahan adonan kue dan jasa penggilingan bumbu (Anggraini dan Amalia, 2016). Perbedaan lainnya yaitu dari
segi peran pasar yang sekarang tidak lagi sebagai tempat untuk menyampaikan pengumuman. Hiburan yang terdapat
di pasar tradisional zaman sekarang contohnya odong-odong dan topeng monyet. Dari segi interaksi juga mengalami
perbedaan yaitu pada pasar tradisional zaman sekarang interaksi antar pedagang sangat baik, berbeda dengan zaman
dahulu. Dari segi rotasi, pasar tradisional zaman zaman dahulu diadakan sekali dalam seminggu sedangkan pasar
tradisional zaman sekarang diadakan setiap hari.
Kondisi dan Dampak Revitalisasi Pasar Tradisional
Kondisi pasar tradisional sebelum revitalisasi sangat memprihatinkan, misalnya pada pasar Bulu dan Rasamala
sering terjadi banjir saat hujan dan kondisi jalan yang becek. Dampak yang ditimbulkan oleh revitalisasi yaitu dari
segi bangunan menjadi lebih bagus, lebih bersih, tidak banjir lagi jika hujan. Tetapi dari segi pendapatan, tidak
semua pasar menjadi ramai setelah direvitalisasi, contohnya pasar Bulu, banyak pedagang yang mengeluhkan
kondisi pasar yang sepi pengunjung yang menyebabkan penghasilan berkurang, tetapi hal tersebut berbeda dengan
pasar Rasamala, sebagian besar pedagang di Rasamala menyebutkan bahwa pasar yang baru dengan yang lama
hampir sama dari segi pendapatan. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh pedagang pasar Bulu, dan
Rasamala yang dapat dilihat pada hasil kesimpulan wawancara pada Tabel 1
Tabel 1. Kesimpulan Wawancara Pedagang

No Kode Lama Berjualan Asal Kulakan Kutipan Pernyataan Responden (Quotation)


(tahun)
1 PDR2 27 Sales “antara pasar yang lama dengan pasar yang baru
tidak ada bedanya, semua bagus”
2 PDR3 40 Ungaran  “antara pasar yang lama dengan pasar yang baru
sama saja, kalau hujan tidak becek”
 “Pasar Rasamala ramai pada hari Sabtu dan
Minggu”
3 PDR4 10 Sales  “bagus pasar yang sekarang, lebih bersih dan tidak
banjir saat hujan”
 “ukuran kios dikurangi dari 1,25 m jadi 1 m”
4 PDR 37 Johar, Sales “enak yang dulu, sekarang sepi, jarang yang beli
5 tapi banyak yang berjualan”
5 PDB1 30 Sales  “masih banyak kios yang kosong”
 “tempat yang baru bersih, tapi belum seramai dulu”
6 PDB2 23 Sales “enak di bangunan baru karena tidak banjir
sedangkan di tempat lama sering banjir”
7 PDB4 20 Johar “enak di bangunan lama, di bangunan baru pembeli
malas naik ke lantai atas”
8 PDB5 46 Jepara “enak dan ramai pasar yang lama”
Sumber: Aggraini dan Amalia (2016)
Ket : PDR = Pedagang Pasar Rasamala, PDB = Pedagang Pasar Bulu

MK - 113
Faktor Revitalisasi Pasar Tradisional
a. Bentuk Bangunan Ideal
Bentuk bangunan pasar tradisional berpengaruh pada kenyamanan pembeli. Berdasarkan gambar DED dapat
dilihat bahwa pasar Rasamala, Bulu, dan Peterongan memiliki bentuk dasar bangunan persegi. Hal itu sudah
sesuai menurut studi tipologi bentuk dan fungsi bahwa persegi atau segi empat adalah bentuk yang cocok
untuk bangunan pasar (Genah dan Kindangen, 2013).
b. Penataan Kios dan Los
Penataan di Pasar Rasamala sudah cukup baik dengan zonasi berdasarkan jenis dagangannya, yaitu sembako
dan sayur di lantai satu, daging, ikan, pakaian dan aksesoris di lantai dua, dan buah di lantai basement. Tiap
zona sudah memiliki papan keterangan yang terletak di atas agar mudah terbaca oleh pengunjung. Hanya
beberapa kios saja yang sudah memiliki papan nama dan identitas. Pasar Rasamala memiliki ukuran kios 3 x
2,5 meter dan los 2 x 1 meter dengan tinggi meja 80 cm. Permasalahan penataan pedagang yaitu masih
banyaknya pedagang dasaran terbuka dan pancakan, yaitu pedagang yang berjualan secara lesehan dan
tempatnya berpindah – pindah yang keberadaannya tidak teratur sehingga mengganggu kenyamanan
pengunjung.
Penataan di Pasar Bulu juga sudah melakukan pembagian zonasi kios dan los berdasarkan jenis barang
dagangannya. Lantai satu untuk pedagang sembako, sayur, pakaian, lantai dua untuk buah, daging, ikan,
makanan ringan, dan lantai tiga untuk peralatan rumah tangga. Pedagang di Pasar Bulu sebagian besar sudah
memberikan papan identitas untuk kios-kiosnya. Pasar Bulu memiliki ukuran kios 3 x 3 meter dan los 2 x 1,5
meter dengan tinggi meja 135 cm. Permasalahan penataan pedagang yaitu terdapat banyak pedagang yang
tidak menempati kiosnya dan lebih memilih untuk berjualan di tempat yang tidak seharusnya.
Pasar Peterongan memiliki ukuran kios 3 x 2 meter dan los 1 x 1,5 meter dengan tinggi meja 85cm.
Dari hasil wawancara dan observasi lapangan dapat dilihat bahwa untuk pembagian zonasi tiap lantai dan
ukuran kios dan los yang paling ideal adalah pasar Rasamala.
c. Kinerja Ruas Jalan dan Aksesibilitas
Pasar Rasamala berlokasi sekitar 40 meter dari jalan utama yaitu Jalan Jati Raya, pasar Bulu berlokasi di
daerah kawasan Tugumuda di Jalan Mgr Soegijopranoto dan Pasar Peterongan berlokasi di Jalan MT Haryono.
Untuk lebih jelasnya mengenai lokasi pasar Rasamala, Bulu, dan Peterongan dapat dilihat pada Gambar 2.

(a) (b)

(c)

Gambar 2. (a) Lokasi Pasar Rasamala, (b) Lokasi Pasar Bulu, (c) Lokasi Pasar Peterongan
(Anggaraini dan Amalia, 2016)

MK - 114
Analisis pengaruh adanya pasar tradisional terhadap kinerja ruas jalan dan kawasan sekitarnya, didapatkan dari
data berdasarkan hasil pengamatan seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan Faktor Sirkulasi Pasar Tradisional**)


No Faktor Pasar Rasamala Pasar Bulu Pasar Peterongan

1 Luasan Pasar * 924 m2 5380 m2 3556 m2

2 Lebar Jalur Jalan 7 meter 7 meter 9 meter


Akses Utama
3 Tipe Parkir Off street Off street Off street

On street On street

4 Akses masuk dan Tidak terpisah Tidak terpisah Tidak terpisah


keluar kendaraan
5 Area Bongkar Muat Tersedia khusus Tersedia khusus Tidak tersedia khusus

6 Hambatan Samping PKL dan PKL PKL dan

On street parkir On street parkir

Sumber: * www.pasarsemarang.ssndoc.com, ** Anggaraini dan Amalia (2016)

Dari Tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa untuk Pasar Rasamala pada jam puncak pasar akan mempengaruhi
kondisi lalu lintas akibat adanya peningkatan volume kendaraan. Kemacetan yang timbul diakibatkan oleh keluar
masuknya kendaraan yang parkir di bahu jalan terdekat gedung pasar. Keberadaan PKL di sepanjang jalan menuju
pasar juga menjadi faktor yang menyebabkan berkurangnya kapasitas ruas jalan. Lokasi yang terpengaruh
terhadap kondisi lalu-lintas tersebut berada di Jalan Jati Raya dan Jalan Rasamala Timur. Potensi kemacetan di
Pasar Bulu diakibatkan oleh kendaraan yang keluar dan masuk melalui Jalan MGR Soegiopranoto dan keberadaan
PKL di Jalan Jayengan. Akses keluar masuk kendaraan yang tidak terpisah di Pasar Peterongan, ditambah lagi
dengan penggunaan bahu jalan dari Jalan MT Haryono sebagai tempat parkir. Pada analisa aksesibilitas pasar
tradisional, ditentukan indikator penilaian untuk setiap faktor yang mempengaruhi seperti disajikan pada Tabel 3
dan Tabel 4 berikut:
Tabel 3. Analisa Faktor dan Indikator Aksesibilitas Pasar

Indikator
No Faktor
Mudah Cukup Sulit

1 Jarak dari Jalan Raya ke Bangunan Pasar* < 100 m 100 - 300 m > 300 m

2 Jumlah Pintu Masuk** 3 buah 2 buah 1 buah

3 Jumlah Tangga per Lantai** > 3 lokasi 2 – 3 lokasi 1 lokasi

4 Lebar Pintu Masuk*** >2m 1,8 - 2 m < 1,8 m

5 Lebar Lorong > 1,5 m 1,5 - 1,8 m < 1,5 m

6 Ramp Ada Ada Tidak Ada

7 Eskalator Ada Ada Tidak Ada

8 Akses untuk kursi roda Ada Ada Tidak Ada

6 Transportasi Angkutan Umum > 2 moda 1 - 2 moda Tidak Ada

Sumber: SNI Pasar Rakyat (2015)

MK - 115
Tabel 4. Analisa Aksesibilitas Pasar Tradisional

No Faktor Pasar Rasamala Pasar Bulu Pasar Peterongan


1 Jarak dari Jalan Raya ke 40 m 3m 6m
Bangunan Pasar

2 Jumlah Pintu Masuk ke Bangunan 2 2 2


Pasar

3 Lebar Pintu Masuk 4,5 m 1 m 3,4 m

4 Jumlah Tangga dari lantai 1 ke 2 4 7 1

Jumlah Tangga dari Lantai 2 ke 3 1 7

5 Lebar Lorong < 1,5 m 1,8 m 1,75 m

6 Ramp Tidak Ada Ada Ada

7 Eskalator Tidak Ada Ada Tidak Ada

8 Akses untuk kursi roda Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada

9 Transportasi Angkutan Umum Angkot Angkot, Bus, Becak Angkot, Bus, Becak

Sumber: Gambar DED Pasar Rasamala, Bulu, dan Peterongan dari Dinas Pasar Kota Semarang

Berdasarkan indikator di Tabel 3 dan hasil analisa di Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada Pasar Rasamala kemudahan
akses untuk menuju pasar tersebut ditinjau dari jumlah dan lebar pintu masuk yang sudah cukup baik.
Ketersediaan fasilitas ramp untuk akses bagi pedagang dalam mengangkut barang dan fasilitas eskalator masih
belum ada di Pasar Rasamala. Lebar lorong di beberapa titik masih belum cukup untuk akses dan pergerakan
pengunjung. Untuk transportasi angkutan umum, Pasar Rasamala hanya dilewati oleh angkot karena lokasinya
yang berada di jalan lingkungan.
Kemudahan akses untuk Pasar Bulu dapat dilihat dari jarak dari jalan raya ke bangunan pasar yang cukup dekat.
Lebar lorong yang ada juga cukup untuk pergerakan pengunjung di dalam pasar. Ketersediaan fasilitas ramp,
eskalator, dan lokasi pasar yang dilewati oleh jalur angkot, bus, dan juga becak membuat Pasar Bulu memiliki
nilai akesibilitas yang tinggi. Kesulitan dalam akses tampak pada lebar pintu masuk yang masih kurang dan belum
tersedianya akses untuk penyandang disabilitas.
Untuk Pasar Peterongan, kemudahan akses didapat dari jarak antara jalan raya utama dan bangunan pasar yang
sangat dekat, karena memang lokasinya berada di pinggir jalan. Lokais pasar juga cukup strategis karena dilewati
oleh beberapa jenis angkutan umum, yaitu angkot, bus, dan becak. Lebar pintu masuk dan lebar lorong di dalam
pasar dinilai cukup, namun belum ideal.

MK - 116
d. Fasilitas
Dari analisa tentang fasilitas yang ada di pasar Rasamala, Bulu, dan Peterongan tersebut di atas, maka hasilnya
dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:
Tabel 5. Analisa Fasilitas Pasar Tradisional
Standar menurut Peraturan

Pasar Bulu
Pasar Rasamala Pasar Peterongan
No Fasilitas (Pasar Tipe III)
(Pasar Tipe I)
(Pasar Tipe I)
Pasar Tipe I Pasar Tipe III

1 Kantor di dalam di dalam dalam lokasi dalam dalam lokasi


Pengelola lokasi pasar lokasi pasar pasar lokasi pasar pasar

2 Tempat Parkir proporsional proporsional proporsional proporsional Tidak


proporsional

3 Tempat tersedia ada tersedia khusus tersedia Tidak tersedia


Bongkar Muat khusus khusus

4 Pelayanan ada ada ada ada ada


Kebersihan

5 Masjid / min 2 ruang ada 1 ruang 2 ruang 1 ruang


Musholla

6 MCK min berada di min berada di berada di 3 berada di 6 berada di 4


4 lokasi 2 lokasi lokasi lokasi lokasi

7 Listrik ada ada ada ada ada

8 Alat Pemadam ada ada ada ada ada


Kebakaran

9 Pos Ukur min 2 min 2 1 2 2


Ulang

Sumber: SNI Pasar Rakyat (2015)

Dari hasil observasi dan berdasarkan gambar DED dapat dilihat bahwa fasilitas yang ada di Pasar Bulu dinilai paling
baik dan lengkap. Semua fasilitas yang disediakan sudah memenuhi standar dari SNI Pasar Rakyat. Meski begitu
masih ada beberapa fasilitas penunjang lain yang belum tersedia, seperti pos kesehatan yang belum berfungsi secara
optimal, ruang menyusui, dan area merokok.

Implementasi Kebijakan
Hasil analisa dari beberapa peraturan kebijakan terbaru yang berhubungan dengan penataan dan kegiatan revitalisasi
di tiga pasar tradisional di Kota Semarang, yaitu Pasar Rasamala, Pasar Bulu, dan Pasar Peterongan disertai
indikator penilaian implementasinya di lapangan disajikan pada Tabel 6.

MK - 117
Tabel 6. Analisa Implementasi Kebijakan Pasar Tradisional di Lapangan

Penerapan di Lapangan
No Aspek yang Ditinjau
Baik Kurang Buruk

1 Penempatan pedagang dilakukan secara adil dan transparan serta memberi √


peluang yang sama bagi para pedagang

2 Zonasi sesuai pengelompokan barang dagangan √

3 Penempatan pedagang diarahkan untuk memberikan skala prioritas √


kepada para pedagang lama

4 Apabila terdapat kelebihan atau pengembangan tempat usaha, skala √


prioritas diberikan kepada pedagang lama yang tidak memiliki ijin resmi
atau pedagang yang menyewa tempat usaha dari pedagang resmi

5 √
Pemberian fasilitas perolehan pinjaman lunak
6 Menyediakan tempat penampungan sementara bagi para pedagang pasar √
yang terkena evaluasi pasar (bervariasi)
7 √
Menempatkan kembali para pedagang lama di pasar semula
8 Setiap pemegang ijin dan ID CARD wajib menyediakan tempat sampah √
di dasarannya
9 Menempatkan, menyusun bara barang dagangan dan atau peralatan lain √
secara teratur
10 Pemegang ijin dilarang bertempat tinggal atau menginap di pasar atau di √
tempat berjualan
Keterangan:
No 1-4 mengacu pada Permendagri Nomor 70 Tahun 2013 Pasal 9 Ayat 3
No. 5 mengacu pada Perda Kota Semarang Nomor 9 Tahun 2013 Pasal 33 ayat 2
No. 6-7 mengacu pada Perda Kota Semarang Nomor 9 Tahun 2013 Pasal 35 ayat 2
No. 8-9 mengacu pada Perda Kota Semarang Nomor 9 Tahun 2013 Pasal 37
No. 10 mengacu pada Perda Kota Semarang Nomor 9 Tahun 2013 Pasal 38

4. KESIMPULAN
Berdasarkan data dan hasil diskusi di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Perbandingan kondisi pasar zaman dahulu dengan sekarang mengalami perbedaan, mulai dari jenis barang
dagangan yaitu contohnya jasa penggilingan bumbu, bahan adonan kue, dan alat tulis yang tidak dijual di pasar
zaman dahulu. Kemudian peran pasar tradisional yang tidak lagi sebagai kontrol penguasa terhadap hasil panen
tetapi pasar tradisional sebagai tempat perputaran ekonomi. Pasar tradisional pada zaman sekarang tidak
dimanfaatkan sebagai tempat untuk menyampaikan pengumuman karena sudah memanfaatkan teknologi untuk
menyampaikan pengumuman. Selain itu, rotasi pasar tradisional pada zaman dahulu berbeda dengan sekarang,
pada zaman dahulu pasar tradisional diadakan sekali dalam seminggu dengan tempat yang berbeda setiap
minggunya, sedangkan sekarang pasar tradisional diadakan setiap hari ditempat yang telah ditentukan.
2. Dampak yang ditimbulkan oleh revitalisasi yaitu dari segi bangunan menjadi lebih bagus, lebih bersih, tidak
becek lagi jika hujan, tetapi dari segi pendapatan, tidak semua pasar menjadi ramai setelah direvitalisasi,
contohnya pasar Bulu.
3. Untuk standar penataan pasar tradisional yang direvitalisasi dari SNI Pasar Rakyat didapat bahwa untuk
penerapan sistem zonasi dan penyediaan fasilitas dirasa sudah baik dan tepat. Namun ada beberapa hal yang
masih harus diperbarui dan ditambahkan, karena dalam standar yang ada masih belum sesuai jika
diimplementasikan di lapangan dan masih ada beberapa standar yang belum disebutkan di dalam SNI tersebut,
yaitu tentang standar lebar lorong di dalam pasar tradisional, tipikal dan jumlah lantai bangunan, penataan dan
pengelolaan fasilitas, peningkatan aksesibilitas, penataan pedagang lesehan, dan sistem penarikan retribusi.

MK - 118
4. Penerapan kebijakan di lapangan sudah baik. Tapi masih ada beberapa yang belum berjalan dengan baik dan
tidak sesuai, seperti kebijakan tentang penyediaan tempat sampah oleh masing-masing pedagang dan
penyusunan barang dagangan secara rapi dan teratur. Oleh sebab itu perlu adanya sistem pengelolaan pasar
tradisional yang baik sehingga kebijakan yang ada dapat diimplementasikan secara baik di lapangan.

5. REKOMENDASI
Dari hasil pengamatan dan analisa yang telah dilakukan, serta berdasarkan peraturan dan kebijakan yang ada,
penulis dapat memberikan beberapa rekomendasi terhadap standar penataan bangunan pasar tradisional yang
direvitalisasi. Rekomendasi tersebut berupa rekomendasi teknis dan rekomendasi manajemen

Rekomendasi Teknis

Bentuk bangunan yang ideal bagi bangunan pasar tradisional yaitu persegi. jumlah lantai yang ideal untuk pasar
tradisional adalah satu lantai karena pembeli lebih suka belanja di pasar tradisional satu lantai daripada pasar
tradisional bertingkat. Pengaturan zonasi perlu diterapkan di semua pasar tradisional. Tersedia papan nama yang
menunjukkan keterangan lokasi dan zona, dan setiap zona memiliki papan identitas yang jelas. Untuk bangunan
pasar bertingkat, lantai 1 bisa digunakan untuk pedagang bahan pangan kering, yaitu sembako, sayur, dan buah.
Kemudian pedagang bahan pangan basah, yaitu daging dan ikan, juga pedagang siap saji dan non pangan dapat
ditempatkan di lantai 2 pasar.

Direkomendasikan untuk luasan kios yang ideal untuk pedagang mendisplay dan menyimpan barang dagangannya
adalah 3x3 meter. Untuk los, ukuran meja minimal 2x1,5 meter. Berdasarkan hasil di lapangan direkomendasikan
tinggi meja yang ideal bagi kios dan los pedagang di pasar tradisional adalah 80 cm dari lantai. Dari standar
peraturan dan berdasarkan pengamatan di lapangan, maka direkomendasikan lebar lorong yang ideal untuk bisa
dilewati orang maupun barang, dan juga penyandang disabilitas adalah 2,2 meter.
Lokasi bangunan pasar baiknya ditempatkan pada tempat yang dekat dari jalan raya. Maka direkomendasikan untuk
jarak bangunan pasar dari jalan akses utama yaitu kurang dari 100 meter. Tersedia minimal 2 pintu masuk utama,
yaitu pada bagian depan dan belakang bangunan pasar. Lebar pintu masuk perlu didesain agar memudahkan
pergerakan pengunjung untuk masuk dan keluar pasar tanpa harus antri dan berdesak-desakan. Berdasarkan
peraturan yang ada dan hasil observasi, direkomendasikan untuk lebar pintu masuk yang ideal adalah 4,5 meter
seperti yang terdapat di Pasar Rasamala.

Luas area parkir yang baik adalah yang proporsional dengan area pasar. Jalan masuk dan keluar area parkir baiknya
terpisah dan dilengkapi dengan rambu. Untuk akses masuk dan keluar tempat parkir yang terpisah, pada saat
kendaraan masuk diberi karcis dan membayar ongkos parkir saat kendaraan keluar. Selain area parkir untuk
kendaraan bermotor, disediakan juga area parkir untuk kendaraan tidak bermotor, seperti becak dan sepeda. untuk
kegiatan bongkar muat harus disediakan khusus agar tidak menganggu arus lalu lintas di jalan raya. Area bongkar
muat baiknya disediakan dari area parkir pengunjung. Jumlah toilet harus proporsional dengan jumlah pedagang di
dalam pasar. Untuk itu dapat direkomendasikan lokasi toilet diletakkan pada tiap sudut pasar di tiap lantai, sehingga
mudah dijangkau. Lokasi toilet tidak ditempatkan dekat dengan tempat penjualan makanan dan bahan pangan,
dengan jarak minimal 10 meter. Setiap pedagang harus memiliki tempat sampah sendiri di dalam kios atau losnya.
Selain itu, tersedia tempat-tempat sampah di dalam bangunan pasar yang diletakkan di beberapa titik di sepanjang
koridor pasar. Tempat sampah yang disediakan dipisah antara jenis sampah organik, non organik, dan bahan yang
beracun. Lokasi TPS baiknya berada terpisah dari bangunan pasar dan memiliki akses yang berbeda dengan akses
pengunjung dan bongkar muat barang. disediakan bak penampung di TPS sementara berupa kontainer dari Armroll.
Sampah yang berada di TPS idealnya diangkut dua kali dalam sehari agar tidak menimbulkan penumpukan sampah.
Harus disediakan ruang khusus di dalam area pasar yang digunakan sebagai tempat beribadah oleh pedagang dan
juga pengunjung. Luas tempat ibadah atau musholla harus disesuaikan dengan jumlah pedagang yang ada. Musholla
idealnya diletakkan di bagian depan bangunan pasar. Di dalam suatu pasar tradisional harusnya disediakan fasilitas
pelayananan kesehatan, dapat berupa penyediaan ruangan yang digunakan jika ada pedagang atau pengunjung yang
sakit. Setiap pasar tradisional baiknya menyediakan fasilitas berupa papan informasi yang berisi kisaran harga
barang yang dijual di pasar tersebut. Papan informasi tersebut bisa diletakkan di bagian depan pasar agar bisa
terlihat langsung oleh pengunjung.

Rekomendasi Manajemen

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Dinas Pasar Kota Semarang bagian perencanaan dan tata bangunan dan
observasi lapangan, maka dapat direkomendasikan prosedur revitalisasi sebagai berikut: Pihak Dinas Pasar Kota

MK - 119
Semarang mengajukan RPJMD, kemudian membuat skala prioritas, pasar mana yang harus di revitalisasi terlebih
dahulu, melakukan sosialisasi dan melibatkan pedagang dalam pengambilan keputusan. Langkah selanjutnya yaitu
melakukan penganggaran, menyiapkan tempat relokasi, dan setelah tempat baru dibangun, pihak dinas pasar
melakukan pembagian tempat dengan cara diundi berdasarkan jenis barang dagangan.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi maka, sistem pengelolaan retribusi dapat direkomendasikan sebagai
berikut: Pengelola menjelaskan secara rinci jenis retribusi yang dipungut perhari di pasar tradisional berupa retribusi
kios dan los berdasarkan luasan yang dimiliki, retribusi kebersihan berdasarkan jenis dasaran, dan retribusi
keamanan. Dan sistem penarikan retribusi disediakan juga secara online.

DAFTAR PUSTAKA
______ (2013). Peraturan Daerah Kota Semarang No 9 Tahun 2013 tentang Pengaturan Pasar Tradisional,
Lembaran Daerah Kota Semarang Tahun 2013 No 9, Sekretaris Daerah Kota Semarang, Semarang.
Anggraini, G. dan Amalia, D. (2016). “Standar Revitalisasi Pasar Tradisional di Indonesia (Studi Kasus: Pasar
Tradisional di Kota Semarang”, Tugas Akhir, Program Studi S1, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik,
Universitas Diponegoro.
Fanani, F. dan Niswah, F. (2013). “Manajemen Strategi Pengelolaan Ketertiban Pedagang di Pasar Tradisional
Jagir Surabaya”, (http://ejournal.unesa.ac.id diakses 12 Mei 2016).
Genah, T.F dan Kindangen, J.L (2013). Redesain Pasar Tradisional Bersehati di Manado,
(http://ejournal.unsrat.ac.id diakses 12 Mei 2016).
Nugroho, B.A.A. dan Herbasuki, N., 2014. Strategi Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Semarang. Jurnal
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro: 3, (http://download.portalgaruda.org diakses
11 Mei 2016).
Qoriah, C.G. (2014). Model Penataan Pasar Tradisional Berdasarkan Karakteristik Kegiatan, Fasilitas, dan
Utilitas, Studi Kasus Pasar Tanjung di Kabupaten Jember, (http://repository.unej.ac.id diakses 12 Mei 2016).
______ (2013). Peraturan Menteri Perdagangan RI No 70 Tahun 2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, Sekretariat Jenderal Kementerian Perdagangan,
Jakarta.
BSN (2015). Standar Nasional Indonesia Pasar Rakyat, Jakarta.
Rizal, T.K. (2013). “Regulasi Pasar Modern dan Pasar Tradisional dalam Persaingan Usaha”.
(https://sansolvix.files.wordpress.com/2013/06/jurnal-regulasi-pasar-modern-dan-pasar-tradisional.pdf, diakses
12 mei 2016).
Rufaidah, P. (2008). Peran Teknologi Komunikasi dalam Rantai Nilai Pedagang di Pasar Tradisional, Jurnal
Sosioteknologi Edisi 14 Tahun 7: 405-408, (http://download.portalgaruda.org diakses 11 Mei 2016).

MK - 120
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

KONFLIK ANTARA KONTRAKTOR DAN PEMILIK PROYEK YANG BERPOTENSI


MENIMBULKAN KLAIM

Sondang Dwiputra Paiding Lewa1 dan Harijanto Setiawan2

1
Program Magiter Teknik Sipil, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari 43 Yogyakarta
Email: sondankpaidink27@gmail.com
2
Program Magister Teknik Sipil, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari 43 Yogyakarta
Email: haris@mail.uajy.ac.id

ABSTRAK
Pembangunan proyek konstruksi yang melibatkan berbagai pihak sangat berpotensi menimbulkan
konflik yang apabila tidak diselesaikan dengan baik akan berujung pada terjadinya klaim. Konflik
yang paling berpotensi terjadi adalah antara kontraktor dan pemilik proyek karena dua pihak ini
yang bekerja sama secara intensif dalam waktu relatif panjang selama proses pembangunan terjadi.
Konflik yang terjadi mempunyai berbagai dampak negatif terhadap kinerja proyek, oleh karenanya
konflik perlu diminimalkan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi penyebab konflik yang terjadi
antara kontraktor dan pemilik proyek yang berpotensi menimbulkan klaim, jenis klaim yang sering
terjadi dan cara menyelesaikannya. Penelitian dilakukan di kabupaten Mimika, propinsi Papua yang
merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang memiliki prospek pembangunan yang bagus.
Pengumpulan data melibatkan 54 responden dari kontraktor, konsultan perencana, dan pengawas.
Data diolah dengan metode statistik deskriptif yang berupa mean dan standard deviasi. Analisis
selanjutnya untuk membedakan hasil antar kelompok responden dan antar jenis kontrak digunakan
metode one-way anova dan t-test serta Spearman rank correlation. Hasil penelitian mendapati 8
penyebab konflik yang sering menimbulkan klaim yaitu curah hujan yang tinggi dari biasanya,
perubahan desain, permintaan pemilik proyek untuk mempercepat pekerjaan, pengurangan tenaga
kerja, perubahan metode pelaksanaan atas permintaan pemilik proyek, hujan yang turun berhari-hari
tanpa henti, pekerjaan tambah yang diminta pemilik proyek, dan pemanfataan bangunan oleh
pemilik proyek sebelum proyek diselesaikan. Jenis klaim yang sering diajukan kontraktor meliputi
klaim tambahan biaya dan waktu, dan klaim tambahan waktu tanpa tambahan biaya. Cara
penyelesaian konflik yang digunakan adalah arbritasi, negosiasi, dan engineering judgement.
Kata kunci : konflik, klaim, kontraktor, pemilik proyek

1. PENDAHULUAN
Pertumbuhan pasar konstruksi di Indonesia saat ini terus meningkat seiring dengan bertambahnya kebutuhan
pembangunan infrastruktur terlebih dengan dicanangkannya program percepatan pembangunan infrastruktur seperti
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Pertumbuhan yang
menjanjikan juga terjadi di kabupaten Mimika yang merupakan salah satu kabupaten di propinsi Papua karena
kabupaten ini kaya sumber daya alam. Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2009-
2025, kabupaten Mimika mempunyai visi sebagai berikut: ‘pada tahun 2025, mimika menjadi pusat pelayanan jasa
dan industri global berwawasan lingkungan menuju masyarakat madani’. Salah satu faktor pendukung tercapainya
visi ini adalah tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, oleh karenanya industri konstruksi mempunyai
peluang besar di kabupaten ini.

Industri konstruksi merupakan industri yang berbasis proyek. Pembangunan proyek konstruksi melibatkan banyak
pihak yang kadang mempunyai latar belakang dan kepentingan yang berbeda-beda padahal semua pihak tadi harus
mengarah ke satu tujuan yaitu keberhasilan pembangunan proyek. Dalam kondisi ini salah satu faktor kunci yang
mendukung keberhasilan pembangunan proyek adalah kerja sama yang baik antara pihak - pihak yang terlibat di
dalamnya. Sementara proses pembangunan proyek konstruksi yang kompleks dan dengan ketidak pastian yang
tinggi menyebabkan kemungkinan terjadinya perselisihan atau konflik antar pihak yang terlibat dalam kegiatan
proyek konstruksi. Sampai saat ini hampir tidak ada proyek konstruksi yang terhindar dari konflik.

Pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pembangunan proyek konstruksi antara lain adalah pemilik proyek
(owner), konsultan perencana, konsultan pengawas dan kontraktor. Diantara pihak-pihak ini, konflik yang sering

MK - 121
terjadi, baik karena faktor kesengajaan maupun ketidaksengajaan, adalah konflik antara kontraktor dan pemilik
proyek. Hal ini dikarenakan kerjasama antara kedua pihak ini sangat intensif dan terjadi dalam waktu yang relatif
lama sepanjang usia proyek. Lebih lanjut apabila konflik tidak diselesaikan dengan baik akan berakibat timbulnya
klaim.

Klaim akan berdampak negatif terhadap proses pembangunan proyek seperti tertunda atau bahkan terlambatnya
penyelesaian pekerjaan pada proyek yang dapat mengakibatkan terjadinya pembengkakan biaya apabila tidak
ditangani dengan baik. Oleh karena itu penyebab konflik yang berpotensi menimbulkan klaim antara kontraktor
sebagai penyedia jasa dan pemilik proyek sebagai pengguna jasa merupakan hal penting yang perlu diidentifikasi.
Dengan diketahuinya penyebab konflik tersebut diharapkan klaim dapat dihindari atau diminimalkan demi
tercapainya keberhasilan pembangunan suatu proyek konstruksi.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan mengetahui apa penyebab konflik
antara kontraktor dan pemilik proyek yang berpotensi menimbulkan klaim. Lebih lanjut akan diteliti juga klaim apa
yang sering diajukan kontraktor kepada pemilik proyek, dan cara penyelesaian apa yang sering digunakan untuk
menyelesaikan sengketa antara kontraktor dan pemilik proyek. Melengkapi tujuan tersebut, penelitian ini juga
bertujuan mengetahui apakah antara kontraktor, konsultan perencana, dan konsultan pengawas yang menjadi
responden penelitian ini terdapat perbedaan pendapat mengenai penyebab konflik yang berpotensi menimbulkan
klaim. Selain itu akan diteliti juga apakah ada perbedaan jika dilihat dari jenis kontrak yang digunakan dalam
hubungan kontraktor dan pemilik proyek.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Pihak - pihak yang Terlibat Dalam Proyek Konstruksi

Menurut Levy (2012) proyek konstruksi melibatkan berbagai pihak yang terlibat sejak awal hingga akhir proyek.
Pihak-pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi mempunyai peran, kewajiban dan tanggung-jawab yang berbeda-
beda. Sepanjang tahapan proyek konstruksi, pihak-pihak ini bekerja sama dan berinteraksi dalam upaya
mewujudkan proyek.

Pihak-pihak yang terlibat dalam setiap tahapan proyek konstruksi terdiri dari pemilik proyek, konsultan dan
kontraktor. Berdasarkan fungsinya, konsultan dapat dibedakan lagi menjadi konsultan perencana dan konsultan
pengawas. Ervianto (2002) menjelaskan pihak-pihak yang terlibat dalam tahapan proyek konstruksi sebagai berikut
ini.
1. Pemilik proyek
Pemilik proyek dapat perorangan maupun badan yang memiliki proyek dan memberikan pekerjaan atau
menyuruh memberikan pekerjaan kepada pihak penyedia jasa dan yang membayar biaya pekerjaan tersebut.
2. Konsultan perencana
Konsultan perencana dapat berupa perorangan atau badan yang bertugas membuat perencanaan bangunan
secara lengkap. Konsultan perencanaan ini dapat dibedakan lagi berdasarkan spesialisasinya, misalnya
konsultan perencana arsitektur, sipil, mekanikal elektrikal, dan sebagainya.
3. Konsultan pengawas
Konsultan pengawas merupakan perorangan atau badan yang ditunjuk pemilik proyek untuk melakukan
pengelolaan dan pengawasan pelaksanaan proyek konstruksi mulai dari awal hingga proyek selesai dibangun.
Konsultas pengawas bertugas untuk mengawasi kontraktor agar proyek dilaksanakan sesuai dengan
perencanaan yang telah dibuat.
4. Kontraktor
Kontraktor adalah orang/badan yang menerima pekerjaan dari pemilik proyek untuk membangun proyek sesuai
waktu dan biaya yang telah ditetapkan dan disepakati sesuai perencanaan, baik gambar rencana maupun
peraturan dan persyaratan, yang telah disiapkan.

Diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi tersebut, pemilik proyek dan kontraktor mempunyai
hubungan dengan intensitas tinggi dan diikat dengan kontrak yang berkekuatan hukum. Dengan demikian besar
kemungkinan terjadinya konflik antar kontraktor dan pemilik proyek. Penelitian ini berfokus pada konflik antara
pemilik proyek dan kontraktor, namun berdasarkan pendapat dari kontraktor sendiri maupun konsultan perencana
dan konsultan pengawas. Konsultan baik perencana maupun pengawas dilibatkan dalam penelitian ini karena kedua
konsultan ini terlibat dalam pelaksanaan proyek konstruksi dan berhubungan dengan pemilik proyek maupun
kontraktor, dengan demikian mereka juga memahami konflik yang terjadi antara pemilik proyek dan kontraktor.

MK - 122
Kontrak konstruksi

Kontrak konstruksi sebagaimana kontrak pada umumnya, menimbulkan hubungan hukum maupun akibat hukum
antara para pihak yang membuat perjanjian. Menurut Undang Undang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi Bab 1 Pasal 1 butir 8, ‘kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen
kontrak yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan jasa
konstruksi’.

Salah satu hubungan antara pemilik proyek dan kontraktor yang diatur dalam kontrak konstruksi adalah cara
pembayaran biaya proyek. Terkait dengan cara pembayaran biaya proyek, terdapat beberapa jenis kontrak yang
dapat dipilih oleh pemilik proyek dan kontraktor. Disini akan ditinjau 3 jenis kontrak yang paling sering digunakan
dalam industri konstruksi di Indonesia. Ketiga jenis kontrak tersebut seperti diuraikan berikut ini.
1. Kontrak Kontrak Harga Satuan (Unit Price)
Pada kontrak harga satuan, kontraktor menenentukan harga satuan tiap pekerjaan yang akan ditawarkan
kepada pemilik proyek. Volume pekerjaan yang tercantum dalam kontrak hanya merupakan perkiraan saja,
selanjutnya pada saat pekerjaan dilaksanakan, volume pekerjaan yang sesungguhnya akan ditentukan
kembali dan dijadikan dasar pembayaran pemilik proyek kepada kontraktor (Ervianto 2002).
2. Kontrak Biaya Menyeluruh (Lumpsum)
Menurut Kwakye (1997) pada kontrak lumpsum, kontraktor menyetujui untuk menyelesaikan seluruh
pekerjaan pada proyek dengan biaya total yang telah disepakati. Lebih lanjut Levy (2012) menjelaskan
jenis kontrak ini sering digunakan dalam penawaran pekerjaan yang kompetitif baik pada proyek
pemerintah maupun swasta. Kontrak ini memerlukan perencanaan proyek yang lengkap yang telah
disiapkan oleh pemilik proyek melalui konsultannya. Sementara jika terjadi perubahan baik desain, jenis
material dan segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan biaya, Ervianto (2002) menjelaskan
kontraktor akan menetapkan besarnya perubahan biaya tersebut yang besarnya dinegosisasikan antara
pemilik proyek dan kontraktor.
3. Kontrak Biaya Plus Jasa
Menurut Levy (2012), pada kontrak jenis ini, kontraktor akan menerima pembayaran dari pemilik proyek
untuk seluruh pengeluarannya sesuai pekerjaan yang telah dilaksanakan dengan ditambah sejumlah biaya
untuk biaya overhead dan keuntungan. Kontrak jenis ini memerlukan pertimbangan yang mendalam serta
persiapan dan administrasi yang baik agar dapat terlaksana dengan baik. Selain itu kontrak jenis ini juga
menuntut kepercayaan yang tinggi antara pemilik proyek dan kontraktor dan sarana komunikasi yang baik
untuk menyampaikan status pekerjaan dan biaya yang menyertainya.

Klaim konstruksi

Menurut Kwakye (1997), tujuan pemilik proyek pada umumnya adalah penyelesaian proyek tepat waktu dan dengan
biaya yang ekonomis. Di sisi lain kontraktor bertujuan menyelesaikan proyek sesuai ketentuan yang telah disepakati
dalam kontrak dengan biaya minimal agar memperoleh keuntungan yang maksimal. Walaupun kedua pihak ini
sama-sama menghendaki agar proyek dapat diselesaikan tepat waktu, tepat biaya dan sesuai spesifikasi proyek tetapi
tidak tertutup kemungkinan bahwa masing-masing pihak mempunyai pendapat yang berbeda terhadap ketentuan-
ketentuan proyek. Dengan demikian sangat mungkin terjadi konflik antar kedua pihak ini.

Lebih lanjut, Levy (2012) menyatakan bahwa konflik biasanya diawali dari terjadinya salah paham antara pemilik
proyek dan kontraktor yang melakukan kerjasama. Beberapa penyebab terjadinya konflik yang disampaikan Levy
(2012) apabila ditelaah lebih lanjut dapat dikategorikan ke dalam beberapa kelompok seperti diuraikan berikut ini.
1. Dokumen kontrak, antara lain: kesalahan dan ketidak-jelasan perencanaan dan spesifikasi proyek,
pengaturan tanggung jawab yang tidak memadai
2. Pelaksanaan proyek, antara lain: kondisi lapangan, kondisi yang tidak terduga, persoalan produktivitas
3. Perbuatan pihak yang bekerjasama, antara lain: tidak ditanggapi atau lambatnya tanggapan atas pertanyaan
yang diajukan, tidak ada niat atau tidak sanggup memenuhi tuntutan kontrak, pemilik proyek tidak
membayar tambahan biaya akibat perubahan pekerjaan, perubahan kondisi bangunan yang telah disepakai
dalam kontrak, pekerjaan tambah, pelanggaran kesepakatan dalam kontrak, gangguan, penundaan,
percepatan pekerjaan pada proyek, ketidak-mampuan secara finansial

Biasanya apabila konflik tidak diselesaikan dengan baik maka akan berakibat terjadinya klaim. Yasin (2004)
menyatakan bahwa klaim yang paling sering terjadi adalah klaim yang timbul akibat keterlambatan menyelesaikan
pekerjaan oleh penyedia jasa karena sebab dari pengguna jasa. Adapun jenis klaim yang terkait dengan
keterlambatan menyelesaikan pekerjaan adalah permintaan tambahan waktu dan tambahan biaya oleh kontraktor.

MK - 123
Selain itu akibat keterlambatan menyelesaikan pekerjaan juga dapat menimbulkan klaim biaya tak langsung
(overhead cost). Klaim biaya tak langsung dapat berupa biaya tak langsung lapangan seperti biaya untuk staf
lapangan, fasilitas lapangan, pemakaian sarana komunikasi, dsb. Selain itu klaim biaya tak langsung dapat juga
untuk kantor pusat seperti biaya administrasi, fasilitas di kantor pusat, dsb.

Selain kedua klaim tadi, Yasin (2004) juga menyatakan adanya klaim tambahan waktu tanpa tambahan biaya. Ada
kalanya permintaan pemilik proyek mengakibatkan tertundanya pekerjaan tetapi untuk menyelesaikannya tidak ada
tambahan biaya. Dalam kondisi seperti ini, kontraktor dapat meminta tambahan waktu saja tanpa tambahan biaya.
Adakalanya kontraktor dapat juga mengajukan klaim kompensasi selain waktu dan biaya. Klaim tidak selalu
dipenuhi seluruhnya karena ada kemungkinan keterlambatan tidak sepenuhnya diakibatkan kesalahan pemilik
proyek. Pada kondisi demikian, kontraktor harus ikut bertanggung jawab atas keterlambatan yang terjadi.

Cara penyelesaian klaim

Apabila klaim terjadi maka klaim tersebut harus diselesaikan dengan baik karena jika klaim tidak diselesaikan
dengan baik dan berakibat adanya pihak yang tidak puas maka klaim akan mengakibatkan terjadinya sengketa. Jika
terjadi sengketa maka penyelesaiannya akan menjadi lebih sulit, oleh karenanya harus diupayakan agar klaim
diselesaikan dengan baik dan sengketa dihindari.

Beberapa cara biasa digunakan untuk menyelesaikan klaim hingga sengketa agar dapat diselesaikan dengan baik dan
adil. Adapun beberapa cara yang biasa digunakan untuk menyelesaikan klaim hingga sengketa konstruksi seperti
dijelaskan oleh Barrie dan Paulson (1992) dan Malak et al (2002) akan diuraikan di bawah ini.
1. Penilaian ahli teknik atau engineering judgement dimana ahli teknk atau konsultan teknik ditunjuk oleh
pemilik proyek untuk memberikan penilaian terhadap klaim yang diajukan. Hasil penilaian ini dapat dijadikan
dasar untuk mengambil keputusan akhir penyelesaian klaim.
2. Negosiasi dimana pihak-pihak yang berselisih mencari penyelesaian tanpa campur tangan pihak lain.
3. Mediasi dimana pihak-pihak yang berselisih menggunakan pihak ketiga yang netral untuk berlaku sebagai
mediator untuk membantu menyelesaikan perselisihan
4. Arbitrasi dimana pihak-pihak yang berselisih menunjuk arbitrator dari badan arbitrase untuk menyelesaikan
perselisihan
5. Litigasi terjadi apabila perselisihan perlu dibawa ke pengadilan, dimana masing-masing pihak akan diwakili
oleh pengacaranya.
6. Mini-Trial dimana pihak yang berselisih diwakili oleh masing-masing manajer proyek dan adanya pihak ketiga
yang netral sebagai penasihat sehingga terbentuk panel tiga anggota atau three member panel.
7. Dispute review boards dimana masing-masing pihak yang berselisih memilih satu perwakilan lalu perwakilan
tersebut memilih pihak ketiga sehingga terbentuk panel tiga anggota atau three member panel.

3. METODE PENELITIAN

Pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan data primer yaitu data yang dikumpulkan langsung dari responden. Pengumpulan data
dilakukan di kabupaten Mimika, propinsi Papua dengan melibatkan 54 responden yang berasal dari kontraktor,
konsultan perencana, dan konsultan pengawas yang terdaftar di dalam GAPENSI dan INKINDO. Adapun perincian
jumlah responden dari masing-masing tipe perusahaan adalah kontraktor: 20, konsultan perencana: 18 dan konsultan
pengawas: 16. Sedangkan jabatan responden untuk kontraktor adalah direktur, project manager dan site manager,
sementara untuk konsultan adalah direktur, team leader dan chief engineer.

Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang di bagian awal memuat pertanyaan-pertanyaan tentang
latar belakang responden. Bagian berikutnya dari kuesioner merupakan bagian utama yang digunakan untuk
mengumpulkan data terkait konflik yang berpotensi menimbulkan klaim. Pada bagian kedua ditampilkan 33
penyebab konflik yang dirangkum dari beberapa penelitian terdahulu (Fisk, 1997, Chandra, 2005 dan Acharya,
2006). Selain itu ditampilkan juga jenis klaim yang diajukan kontraktor kepada pemilik proyek dan cara
penyelesaian sengketa antara kontraktor dan pemilik proyek. Dalam pengisian kusioner, responden diminta untuk
responden diminta untuk memberikan penilaian menggunakan skala Likert dari 1 hingga 5 dimana 1 untuk tidak
pernah, 2 untuk jarang, 3 kadang-kadang, 4 sering dan 5 untuk sangat sering.

MK - 124
Analisis data

Analisis data pada masing-masing kelompok pernyataan yaitu konflik yang berpotensi menimbulkan klaim, jenis
klaim dan cara penyelesaian sengketa dilakukan dengan metode deskriptif (mean dan standar deviasi). Selanjutnya
berdasarkan mean dan standar deviasi ditetapkan ranking masing-masing pernyataan. Analisis dilanjutkan dengan
menghitung natural cut off point yang merupakan nilai rata-rata dari mean terbesar dan terkecil dengan rumus
natural cut-off point = (mean maksimal + mean minimal) / 2. Maksud dari dihitungnya natural cut off point ini
adalah mereduksi jumlah variabel pada masing-masing kelompok sehingga diperoleh sekelompok variabel yang
dapat dikategorikan sering terjadi atau sering digunakan sehingga perlu mendapat perhatian.

Analisis lanjutan dilakukan untuk membandingkan pendapat antar kelompok responden yaitu kontraktor, konsultan
perencana dan konsultan pengawas. Perbandingan pendapat mengenai penyebab konflik yang berpotensi
menimbulkan klaim antar ketiga kelompok responden dilakukan dengan one-way ANOVA untuk tiap penyebab
konflik. Selain itu perbandingan juga dilakukan antar jenis kontrak, yang dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis
kontrak yaitu kontrak harga satuan dan kontrak harga lumpsum. Pengujian antar dua jenis kontrak ini untuk tiap
penyebab konflik dilakukan dengan analisis uji-T. Selain itu analisis Spearman rank correlation juga digunakan
untuk perbandingan pendapat antar kelompok responden dan perbandingan antar jenis kontrak untuk urutan
penyebab konflik.

4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Penyebab konflik yang Berpotensi Menimbulkan Klaim

Pada awalnya analisis dilakukan pada seluruh penyebab konflik yang berpotensi menimbulkan klaim yang pada
penelitian ini berjumlah 33 variabel dan dikelompokkan menjadi 8 kelompok variabel. Analisis dilakukan dengan
menghitung mean dan standart deviasi masing-masing variabel. Selanjutnya berdasarkan mean ditentukan ranking
tiap variabel berdasarkan nilai mean. Hasil analisis secara menyeluruh dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Penyebab konflik yang berpontensi menimbulkan klaim

Kode Penyebab konflik Mean SD Ranking


X1 Keterlambatan yang disebabkan oleh pemilik proyek
X1.1 Terlambat menyetujui shop drawing dan sample 2.50 1.04 31
X1.2 Terlambat menyetujui tes laboratorium untuk aktivitas berikutnya 2.72 1.12 24
Keterlambatan pemilik proyek menanggapi penyelidikan lapangan oleh
X1.3 2.93 1.20 11
kontraktor
X1.4 Perubahan - Perubahan desain 3.50 1.08 2
Campur tangan pemilik proyek dalam pekerjaan kontraktor selama
X1.5 2.93 1.13 10
pembangunan
X1.6 Perubahan dalam tingkat penyelidikan (inspeksi) 2.83 1.21 18
X1.7 Kegagalan dalam menyediakan jalan masuk kelapangan 2.81 1.20 20
X1.8 Terlambat mengeluarkan dokumen change order 2.91 1.10 12
X1.9 Pengurangan tenaga kerja 3.17 1.21 4
X1.10 Memperlambat pekerjaan (Directed slowdown) 2.80 1.14 21
X1.11 Keterlambatan pemilik proyek dalam menyediakan material yang 2.85 1.12 16
dibutuhkan
X2 Perubahan jadwal yang diperintahkan oleh pemilik proyek
Pemilik proyek memerintahkan untuk mempercepat pekerjaan sehingga
X2.1 3.19 1.10 3
pekerjaan selesai lebih cepat dari waktu yang ditetapkan dalam kontrak
Pemilik proyek menunda pekerjaan selama beberapa waktu karena alasan-
X2.2 2.50 1.04 27
alasan tertentu (seperti alasan keuangan, masalah hukum)
X2.3 Pekerjaan tambah yang diperintahkan pemilik proyek 3.00 1.06 7

MK - 125
Tabel 1. Penyebab konflik yang berpontensi menimbulkan klaim (lanjutan)

Kode Penyebab konflik Mean SD Ranking


X3 Perubahan konstruksi yang merugikan kontraktor
X3.1 Rancangan-rancangan dan spesifikasi yang cacat 2.50 1.04 29
X3.2 Kinerja yang lebih tinggi daripada standar spesifikasi 2.94 1.11 9
X3.3 Inspeksi dan penolakan yang tidak benar 2.87 1.08 15
X3.4 Perubahan metode pelaksanaan oleh pemilik proyek 3.07 1.13 5
X3.5 Pemilik proyek memerintahkan pelaksanaan kerja diluar urutan pekerjaan 2.72 1.20 25
X3.6 Gambar yang tidak mungkin dikerjakan dalam praktek 2.80 1.20 22
X4 Perbedaan kondisi lapangan yang merugikan kontraktor
X4.1 Kondisi lapangan yang berbeda dengan kontrak 2.83 1.19 17
Kondisi fisik lapangan yang berbeda dengan kondisi awal pada saat
X4.2 2.81 1.07 19
kontrak ditanda tangani
X5 Cuaca yang tidak lazim (tidak sesuai musimnya) yang merugikan kontraktor
X5.1 Curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya 3.50 1.04 1
X5.2 Hujan yang turun berhari-hari tanpa henti 3.02 1.11 6
X5.3 Badai, topan, angin ribut 2.50 1.04 28
X6 Gagal membuat kesepakatan harga change order
Kontraktor mengklaim biaya yang tidak termasuk dalam kontrak dengan
X6.1 2.50 1.04 30
alasan biaya tersebut tidak diperkirakan saat kontrak dibuat
X7 Konflik dalam rancangan dan spesifikasi yang merugikan kontraktor
X7.1 Standar material dalam spesifikasi sudah tidak diproduksi lagi. 2.50 1.04 32
Perbedaan interpretasi antara pemilik proyek dan kontraktor terhadap
X7.2 2.78 1.11 23
dokumen kontrak
X8 Penyebab lain yang merugikan kontraktor
Adanya kesalahan kerja/kerusakan yang dilakukan oleh kontraktor utama
X8.1 2.46 1.09 33
sebelumnya.
Pemanfaatan proyek (baik keseluruhan maupun sebagian) oleh pemilik
X8.2 3.00 1.17 8
proyek sebelum penyelesaian
X8.3 Pemilik proyek tidak membayar kontraktor dengan tepat waktu 2.91 1.17 13
Pemilik proyek menolak untuk menerima pekerjaan yang sudah
X8.4 2.50 1.04 26
diselesaikan
Tidak adanya pemberitahuan dari pemilik proyek akan fakta-fakta penting
X8.5 2.91 1.22 14
yang berkaitan dengan kondisi lapangan

Hasil analisis memperoleh mean terbesar dan terkecil masing-masing besarnya 3,50 dan 2,46 dengan demikian
didapat natural cut off point sebesar 2,98. Berdasarkan natural cut off point ini, variabel yang mempunyai mean
lebih besar dianggap sebagai penyebab konflik yang berpotensi menimbulkan klaim di proyek konstruksi yang
penting untuk diperhatikan. Setelah direduksi berdasarkan nilai natural cut off point, didapat delapan variabel
diantara 33 variabel yang dikategorikan sering terjadi. Delapan variabel tersebut beserta mean, standard deviasi dan
rankingnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Penyebab konflik yang berpotensi menimbulkan klaim yang sering terjadi

Kode Penyebab konflik Mean SD Ranking


X5.1 Curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya 3.50 1.04 1
X1.4 Perubahan - perubahan desain 3.50 1.08 2
X2.1 Pemilik proyek memerintahkan untuk mempercepat pekerjaan 3.19 1.10 3
X1.9 Pengurangan tenaga kerja 3.17 1.21 4
X3.4 Perubahan metode pelaksanaan oleh pemilik proyek 3.07 1.13 5
X5.2 Hujan yang turun berhari-hari tanpa henti 3.02 1.11 6
X2.3 Pekerjaan tambah yang diperintahkan oleh pemilik proyek 3.00 1.06 7
X8.2 Pemanfaatan proyek oleh pemilik proyek sebelum penyelesaian 3.00 1,17 8

Jika ditelaah lebih lanjut, kedelapan variabel tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu penyebab dari
faktor eksternal (X5.1, X5.2), pemilik proyek (X1.4, X2.1, X2.3, X3.4, X8.2) dan kontraktor (X1.9). Hasil ini

MK - 126
menunjukkan bahwa penyebab terjadinya konflik yang berpotensi menimbulkan konflik mayoritas diakibatkan dari
pemilik proyek.

Jenis Klaim yang Diajukan Kontraktor Kepada Pemilik proyek

Menggunakan analisis yang sama seperti sebelumnya, analisis data untuk klaim yang sering diajukan kontraktor
kepada pemilik proyek mendapati mean dan standard deviasi masing-masing variabel seperti pada Tabel 3. Hasil
analisis menunjukkan mean terbesar 3,61 dan terkecil 2,11 sehingga natural cut off point nya adalah 2,86.
Berdasarkan natural cut off point ini, diantara empat variabel hanya dua variabel yang dipertimbangkan sering
terjadi yaitu: X9.1 klaim biaya dan waktu, serta X9.3 klaim tambahan waktu tanpa tambahan biaya.

Tabel 3. Jenis Klaim yang diajukan kontraktor kepada pemilik proyek

Kode Jenis Klaim Mean SD Ranking


X9.1 Klaim biaya dan waktu 3.61 0.90 1
X9.2 Klaim biaya tidak langsung (overhead) 2.11 0.74 4
X9.3 Klaim tambahan waktu tanpa tambahan biaya 2.93 0.97 2
X9.4 Klaim kompensasi lainnya 2.31 1.06 3

Hasil di atas menunjukkan bahwa klaim yang muncul dari kontraktor kepada pemilik proyek lebih mementingkan
hal yang terkait langsung dengan penyelesaian proyek, yaitu biaya dan waktu, sementara biaya tidak langsung tidak
menjadi perhatian kontraktor. Hal ini dikarenakan biaya tidak langsung sering kali kurang diperhatikan oleh
kontraktor, padahal kontraktor harus menyadari bahwa keterlambatan proyek menimbulkan biaya tidak langsung
juga.

Cara penyelesaian sengketa

Berdasarkan analisis data seperti yang diterapkan sebelumnya, diperoleh hasil cara penyelesaian yang sering
digunakan untuk menyelesaikan konflik antara kontraktor dan pemilik proyek seperti dapat dilihat pada Tabel 4.
Hasil analisis menunjukkan mean terbesar dan terkecil masing-masing adalah 3,61 dan 2,19 sehingga diperoleh
natural cut off point sebesar 2.90. Dengan demikian cara penyelesaian perselisihan akibat klaim yang sering
digunakan ada tiga yaitu X10.4 arbitrasi, X10.2 negosiasi dan X10.1 engineering judgement.

Tabel 4. Cara penyelesaian sengketa

Kode Cara penyelesaian Mean SD Ranking


X10.1 Engineering judgement 3.20 0.83 3
X10.2 Negosiasi 3.33 0.95 2
X10.3 Mediasi 2.76 1.08 4
X10.4 Arbitrasi 3.61 1.00 1
X10.5 Litigasi 2.39 1.09 5
X10.6 Mini Trial 2.35 1.08 6
X10.7 Dispute review boards 2.19 1.12 7

Perbandingan pendapat antar kelompok responden terhadap penyebab konflik yang berpotensi
menimbulkan klaim

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah antara kontraktor, konsultan perencana, dan konsultan pengawas
terdapat perbedaan pendapat mengenai penyebab konflik yang berpotensi menimbulkan konflik. Uji one-way
ANOVA menjumpai ada perbedaan pendapat yang signifikan pada 14 penyebab konflik seperti dapat dilihat pada
Tabel 5.

MK - 127
Tabel 5. Uji one-way ANOVA konflik yang berpotensi menimbulkan klaim

Kode Konflik Sig. Keterangan


X1.1 Terlambat menyetujui shop drawing dan sample 0.009 Signifikan
X1.2 Terlambat menyetujui tes laboratorium untuk aktivitas berikutnya 0.003 Signifikan
Campur tangan pemilik proyek dalam pekerjaan kontraktor selama Signifikan
X1.5 0.028
pembangunan
X1.7 Kegagalan dalam menyediakan jalan masuk kelapangan 0.000 Signifikan
X1.8 Terlambat mengeluarkan dokumen change order 0.000 Signifikan
X1.9 Pengurangan tenaga kerja 0.001 Signifikan
X2.3 Pekerjaan tambah yang diperintahkan pemilik proyek 0.042 Signifikan
X3.1 Rancangan-rancangan dan spesifikasi yang cacat 0.000 Signifikan
X3.2 Kinerja yang lebih tinggi daripada standar spesifikasi 0.013 Signifikan
X4.1 Kondisi lapangan yang berbeda dengan kontrak 0.021 Signifikan
Kondisi fisik lapangan yang berbeda dengan kondisi awal pada saat Signifikan
X4.2 0.009
kontrak ditanda tangani
X5.1 Curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya 0.010 Signifikan
Kontraktor mengklaim biaya yang tidak termasuk dalam kontrak dengan Signifikan
X6.1 0.000
alasan biaya tersebut tidak diperkirakan saat kontrak dibuat
Pemilik proyek menolak untuk menerima pekerjaan yang sudah Signifikan
X8.4 0.019
diselesaikan

Selanjutnya untuk mengetahui hubungan pendapat antar kelompok responden untuk seluruh variabel, dilakukan
analisis Spearman rank correlation. Analisis ini menguji hubungan ranking penyebab konflik yang berpotensi
menimbulkan klaim antar satu kelompok responden dengan kelompok responden lainnya. Hasil analisis antar
kontraktor dengan konsultan perencana, kontraktor dengan konsultan pengawas dan konsultan perencana dan
pengawas dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum pendapat satu kelompok
responden dengan kelompok responden lainnya atas penyebab konflik yang berpontensi menimbulkan klaim tidak
berhubungan, kecuali kontraktor dan konsultan perencana yang mempunyai hubungan tetapi hubungannya lemah
dan tidak searah.

Tabel 6. Uji Spearman rank correlation pendapat antar kelompok responden

Kelompok responden Nilai p dan koefisien korelasi Keterangan


Kontraktor dengan konsultan perencana p = 0.047 < 0.05 dan rs = -.348 Ada hubungan signifikan,
hubungan lemah dan tidak searah
Kontraktor dengan konsultan pengawas p = 0.775 > 0.05 dan rs = 0.052 Tidak ada hubungan signifikan
konsultan perencana dengan pengawas p = 0.165 > 0.05 dan rs = 0.247 Tidak ada hubungan signifikan

Perbandingan penyebab konflik yang berpotensi menimbulkan klaim berdasarkan jenis kontrak

Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan penyebab konflik yang berpotensi
menimbulkan klaim apabila dilihat dari jenis kontrak yang digunakan. Jenis kontrak yang digunakan dalam proyek
yang menjadi obyek penelitian ini adalah kontrak harga satuan dan lumpsum. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan uji-T. Hasil uji-T mendapati perbedaan yang signifikan (p < 0.05) terjadi pada enam penyebab konflik
yang berpotensi menimbulkan klaim antara proyek dengan kontrak harga satuan dan lumpsum. Hasil uji-T pada
enam variabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

Lebih lanjut uji Spearman rank correlation digunakan untuk menganalisis urutan seluruh variabel penyebab konflik
yang berpotensi menimbulkan klaim. Uji ini menghasilkan koefisien korelasi antara jenis kontrak harga satuan dan
lumpsum yang menunjukkan hubungan urutan dari kedua jenis kontrak ini lemah dan searah. Selain itu didapat nilai
p = 0.210 > 0.05, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penyebab konflik yang berpotensi
menimbulkan klaim pada proyek dengan kontrak harga satuan dan lumpsum terhadap penyebab konflik yang terjadi.

MK - 128
Tabel 7. Uji-T konflik yang berpotensi menimbulkan klaim berdasarkan jenis kontrak

Kode Konflik Sig. (2-tailed) Keterangan


X1.4 Perubahan - Perubahan desain 0.042 Signifikan
X1.9 Pengurangan tenaga kerja 0.034 Signifikan
X5.1 Curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya 0.008 Signifikan
X5.3 Badai, topan, angin ribut 0.008 Signifikan
Kontraktor mengklaim biaya yang tidak termasuk dalam kontrak Signifikan
X6.1 0.017
dengan alasan biaya tersebut tidak diperkirakan saat kontrak dibuat
Tidak adanya pemberitahuan dari pemilik proyek akan fakta-fakta Signifikan
X8.5 0.002
penting yang berkaitan dengan kondisi lapangan

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data terkait penyebab konflik yang berpotensi menimbulkan klaim, jenis klaim yang
diajukan kontraktor kepada pemilik proyek dan cara penyelesaiannya, dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut ini.
1. Delapan variabel penyebab konflik antara kontraktor dan pemilik proyek yang berpotensi menimbulkan klaim
yang dikategorikan penting adalah: curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya, perubahan-perubahan desain,
pemilik proyek memerintahkan untuk mempercepat pekerjaan sehingga pekerjaan selesai lebih cepat daripada
waktu penyelesaian yang ditetapkan dalam kontrak, pengurangan tenaga kerja, perubahan metode pelaksanaan
oleh pemilik proyek, hujan yang turun berhari-hari tanpa henti, pekerjaan tambah yang diperintahkan pemilik
proyek, pemanfaatan proyek (baik keseluruhan maupun sebagian) oleh pemilik proyek sebelum penyelesaian.
2. Jenis klaim yang sering diajukan kontraktor kepada pemilik proyek adalah klaim biaya dan waktu, dan klaim
tambahan waktu tanpa tambahan biaya.
3. Cara penyelesaian yang sering digunakan kontraktor dan pemilik proyek dalam mengatasi perselisihan akibat
klaim adalah arbritasi yang melibatkan para ahli di bidang konstruksi, negosiasi yang hanya melibatkan dua
pihak yang mengalami konflik tanpa melibatkan pihak lain, dan penilaian ahli teknik yang melibatkan ahli
teknik atau konsultan teknik untuk memberikan pertimbangan yang menjadi dasar pegambilan keputusan.
4. Analisis perbandingan pendapat antar kelompok responden kontraktor, konsultan perencana dan konsultan
pengawas mendapati bahwa ketiga kelompok responden mempunyai perbedaan yang signifikan pada 14
penyebab konflik yang berpotensi menimbulkan klaim. Sementara secara keseluruhan tidak terdapat hubungan
yang signifikan pada urutan penyebab konflik yang berpotensi menimbulkan konflik berdasarkan pendapat
kelompok responden.
5. Dilihat dari jenis kontraknya, diperoleh kesimpulan adanya enam penyebab konflik yang berpotensi
menimbulkan konflik yang berbeda secara signifikan antara jenis kontrak harga satuan dan lumpsum.
Sementara jika ditinjau secara keseluruhan tidak terdapat hubungan yang signifikan pada urutan penyebab
konflik yang berpotensi menimbulkan konflik antara kontrak harga satuan dan lumpsum.

Kesimpulan ini diharapkan akan memberikan masukan kepada kontraktor dan pemilik proyek yang menjalin
kerjasama untuk mewujudkan proyek agar kedua pihak ini mengetahui berbagai penyebab yang dapat menimbulkan
konflik yang berpotensi menimbulkan klaim. Dengan mengetahui penyebabnya, diharapkan kedua pihak dapat
berupaya untuk meminimalkan terjadinya klaim yang berpotensi menimbulkan klaim. Walaupun hasil penelitian ini
didapat berdasarkan data yang dikumpulkan di kabupaten Mimika, propinsi Papua namum kontraktor pada
umumnya dapat memanfaatkan hasilnya setelah mempertimbangkan kondisinya masing-masing.
Penelitian sejenis dapat dilakukan di daerah lain dan untuk jenis kontrak lainnya agar diperoleh perbandingan
hasilnya dengan daerah lain dan jenis kontrak lain. Dengan perbandingan ini, diharapkan dapat ditarik kesimpulan
yang lebih umum.

DAFTAR PUSTAKA

Acharya, N.K., Lee Y.D., dan Im, H.M. (2006). “Conflicting factors in construction projects: Korean perspective”.
Journal Engineering, Construction and Architectural Management. Vol. 13 (6), 543-566.
Barrie, D.S. and Paulson, B.C. Jr. (1992). Professional Construction Management 3rd ed. McGraw-Hill, New York,
Chandra, H.P., Tunardih, E.C., dan Soetiono, I. (2005). “Studi Pengajuan Klaim Konstruksi dari Kontraktor ke
Pemilik Bangunan”. Jurnal of Civil Engineering Dimension. Vol.7 (2), 90-96.
Ervianto, W.I. (2002). Manajemen proyek konstruksi. Andi Offset, Yogyakarta.

MK - 129
Fisk, E. R. (1997). Construction Project Administration. Prentice Hall Inc.
Kwakye, A.A. (1997). Construction project administration in practice. Longman
Levy, S.M. (2012). Project management in construction, sixth edition. The McGraw-Hill Companies
Malak, A., Asem, M.U., El-Saadi, M.M.H., dan Abou-Zeid, M.G. (2002). “Process model for administrating
construction claims”. Journal of Construction Engineering and Management. Vol.18 (2), 84-94.
Yasin, H. N. (2004). Mengenal klaim konstruksi dan penyelesaian sengketa konstruksi. Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.

MK - 130
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

EFISIENSI ENERGI LISTRIK PADA GEDUNG PERKANTORAN RAMAH


LINGKUNGAN (GREEN OFFICE BUILDING)

Lina Yuliastina1 dan Johny Johan2

1
Alumni Mahasiswa Magister Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara, Jl. S. Parman, Jakarta
Email: lina.yuliastina@yahoo.co.id
2
Dosen Jurusan Magister Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara, Jl. S. Parman, Jakarta
Email: johnyjohan@gmail.com

ABSTRAK
Fenomena global warming (pemanasan global) dan kerusakan lingkungan semakin marak terjadi.
Pemanasan global merupakan fenomena global yang disebabkan oleh aktivitas manusia di seluruh
dunia, pertambahan populasi penduduk, serta pertumbuhan teknologi dan industri. Semua pihak
yang terlibat dalam dunia konstruksi sudah seharusnya mempertimbangkan faktor lingkungan dalam
setiap tahapan pembangunan yang akan dilakukan. Pengamatan para ahli memperlihatkan konsumsi
energi dunia meningkat pesat dalam beberapa dekade terakhir. Peningkatan ini terjadi bukan saja
pada sektor industri dan transportasi, namun juga mencolok pada sektor bangunan. Pembangunan
dengan konsep “Green Building” diyakini dapat mengurangi pengaruh negatif yang terjadi pada
lingkungan. Standar green building di Indonesia yaitu Greenship diselenggarakan oleh Green
Building Council Indonesia (GBCI) untuk melakukan kegiatan sertifikasi Bangunan Hijau di
Indonesia. Penelitian ini membahas tentang efisiensi energi pada gedung perkantoran, khususnya
analisis desain selubung gedung yang dilakukan dengan perhitungan Overall Thermal Transfer
Value (OTTV) dan perhitungan Intensitas Konsumsi Energi (IKE) pada green building dan gedung
konvensional. Perhitungan IKE dibatasi pada kegiatan operasional gedung. Hasil dari penelitian
pada studi kasus menunjukan bahwa green building lebih hemat energi dibandingkan dengan
gedung konvensional. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis data yaitu nilai OTTV yang lebih kecil
dari gedung konvensional dan masih di bawah standar SNI 03-6389-2011. Perhitungan IKE pun
menunjukkan bahwa green building lebih hemat 16% dibandingkan dengan gedung konvensional
dan lebih kecil 20% dari standar IKE GBCI.
Kata kunci: global warming, green building, gedung konvensional, efisiensi energi

1. PENDAHULUAN
Saat ini, fenomena global warming (pemanasan global) dan kerusakan lingkungan semakin marak terjadi. Penyebab
pemanasan global adalah emisi gas CO2 secara berlebihan ke udara akibat penggunaan sumber energi fosil seperti
minyak, batu bara, dan gas. Pemanasan global merupakan fenomena global yang disebabkan oleh aktivitas manusia
di seluruh dunia, pertambahan populasi penduduk, serta pertumbuhan teknologi dan industri. Perkembangan yang
terjadi pada pembangunan proyek konstruksi dalam beberapa tahun terakhir juga memberikan pengaruh besar pada
keseimbangan ekosistem lingkungan yang ditandai dengan berkurangnya area hijau dan habitat satwa liar (Ardiani,
2015).
Pengamatan para ahli memperlihatkan konsumsi energi dunia meningkat pesat dalam beberapa dekade terakhir ini.
Peningkatan ini terjadi bukan saja pada sektor industri dan transportasi, namun juga mencolok pada sektor
bangunan. Kesemuanya ini disebabkan oleh perkembangan pesat teknologi modern yang konsumtif terhadap
pemakaian energi. Sejumlah studi memperlihatkan data penggunaan energi dalam bangunan dari tahun ke tahun
naik rata-rata 5 s/d 10 persen. Kenaikan yang paling drastis terjadi di Amerika Serikat sebagai negara pemakai
energi terbesar dunia, yakni sekitar tiga kali lipat dalam kurun antara 1950-1973 dibanding masa-masa sebelumnya
(Karyono, 2013).

MK - 131
2. TINJAUAN PUSTAKA
Green Building
Salah satu cara yang dapat kita lakukan untuk efisiensi pada dunia konstruksi yaitu menerapkan konsep Green
Building dalam setiap pembangunan sebagai wujud kepedulian dan usaha nyata dalam mengatasi masalah
pemanasan global.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 02/PRT/M/2015 tentang
Bangunan Gedung Hijau mendefinisikan Bangunan Gedung Hijau adalah bangunan gedung yang memenuhi
persyaratan bangunan gedung dan memiliki kinerja terukur secara signifikan dalam penghematan energi, air dan
sumber daya lainnya melalui penerapan prinsip bangunan gedung hijau sesuai dengan fungsi dan klasifikasi dalam
setiap tahapan penyelenggaraannya.

Definisi green building dalam American Society of Testing and Materials (ASTM) Standard E2114-06a adalah
sebuah bangunan yang memenuhi persyaratan spesifik yang juga meminimalkan gangguan serta meningkatkan
fungsi dari ekosistem lokal, regional dan global selama masa konstruksi maupun pasca konstruksi. Pengertian ini
lebih ditekankan pada proses konstruksi dalam pembuatan sebuah green building. (Glavinich, 2008).

Menurut Ervianto (2010), manfaat dari kepemilikan green building yaitu :


1. Rendahnya biaya operasional, karena adanya efisiensi dalam pemanfaatan energi dan air.
2. Lebih nyaman, karena suhu dan kelembaban ruangan terjaga.
3. Sistem sirkulasi udara yang dapat menciptakan lingkungan dalam ruang yang sehat.
4. Mudah dan relatif lebih murah dalam penggantian berbagai komponen bangunan.
5. Tidak terlalu banyak menggunakan bahan material yang mengandung bahan kimia.
6. Biaya perawatan yang relatif lebih rendah.

Prinsip dasar green building menurut GBCI (2014) terdiri dari enam aspek yaitu:
1. Tepat Guna Lahan (Appropriate Site Development)
2. Efisiensi dan Konservasi Energi (Energy Efficiecy & Conservation)
3. Konservasi Air (Water Conservation)
4. Sumber dan Siklus Material (Material Resources and Cycle)
5. Kesehatan dan Kenyamanan dalam Ruang (Indoor Health and Comfort)
6. Manajemen Lingkungan Bangunan (Building Environment Management)

Arsitektur dan Energi


Gedung atau bangunan merupakan salah satu karya arsitektur. Ada tiga sasaran yang seharusnya dipenuhi oleh suatu
karya arsitektur. Pertama, bahwa bangunan harus merupakan produk dari suatu kerja seni (work of art). Kedua,
bahwa bangunan harus mampu memberikan kenyamanan (baik psikis maupun fisik) kepada penghuninya. Ketiga,
bahwa bangunan perlu hemat terhadap pemakaian energi. Bangunan yang gagal mewadahi aktivitas pemakainya
dengan nyaman akan dirombak, ditambah atau dikurangi agar bangunan tersebut menjadi nyaman. Sedangkan
bangunan yang gagal menghemat dalam pemakaian energi akan menjadi mahal secara operasional, apalagi jika
dikaitkan dengan masalah penipisan cadangan minyak bumi sebagai sumber utama energi untuk bangunan dewasa
ini (Karyono, 2013).

Konsumsi energi dalam bangunan (penerangan, AC, lift, dsb) tercatat hampir seperempat dari suplai tahunan energi
dunia pada akhir tahun 80-an. Celakanya hampir dua pertiganya disuplai dari bahan bakar minyak dan gas yang
usia cadangannya tidak lebih dari 100 tahun (30 tahun untuk Indonesia). Keadaan ini semakin memburuk terjadi di
negara-negara berkembang terutama di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Konsumsi energi paling besar
dialokasikan pada operasional pengkondisian suhu ruang dalam bangunan berupa AC, transportasi vertikal (lift/
eskalator) dan penerangan. Pengoperasian sistem tersebut dengan menggunakan teknologi dan cara yang tidak
efisien hanya akan memberikan dampak kepada pemborosan biaya akibat penggunaan listrik, namun juga memiliki
dampak yang besar pada perubahan iklim serta pemanasan global karena besarnya emisi CO2 pada pembangkit
listrik yang memberikan konstribusi pada efek rumah kaca. (Karyono, 2013).

Kategori Efisiensi dan Konservasi Energi (EEC) berdasarkan Green Building Council Indonesia (GBCI) tidak hanya
menitikberatkan kepada pengalihan penggunaan teknologi, namun juga sebagai sosialisasi dari beberapa
pemasangan fasilitas yang dapat mendukung prosedur pemantauan dan pencatatan konsumsi listrik seperti sub meter
untuk kebutuhan usaha penghematan listrik. Dengan kenyataan bahwa sistem penyediaan dan pemanfaatan energi

MK - 132
nasional di Indonesia masih didominasi oleh energi fosil, maka kriteria ini juga memberikan apresiasi terhadap
bangunan yang menerapkan penggunaan energi terbarukan dalam tapak. Energi terbarukan adalah energi yang
berasal dari alam dan jumlahnya dapat diperbarui secara alamiah seperti cahaya matahari, angin, tenaga air, tenaga
gelombang dan panas bumi (GBCI, 2014).

Penting bagi pemilik dan pengembang bangunan untuk mengintegrasikan strategi efisiensi energi pada tahap desain
awal untuk diimplementasikan pada tahap-tahap konstruksi, pengadaan dan operasional bangunan.

Kriteria Efisiensi dan Konservasi Energi


Kriteria efisiensi dan konservasi energi dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

Tabel 1 Kriteria Efisiensi dan Konservasi Energi


(Sumber: Greenship for New Building Ver 1.2)
Nilai
Kategori dan Kriteria Kriteria Keterangan
Maksimum
EEC P1 Pemasangan Sub Meter P
EEC P2 Perhitungan OTTV P
EEC1 Langkah Penghematan Energi 20 2 kriteria
prasyarat;
EEC2 Pencahayaan Alami 4 4 kriteria kredit;
EEC3 Ventilasi 1 1 kriteria bonus
EEC4 Pengaruh Perubahan Iklim 1
EEC5 Energi Terbarukan dalam Tapak 1

Overall Thermal Transfer Value (OTTV)


Terkait dengan isu penghematan energi, desain pasif memiliki peran dalam menurunkan beban listrik melalui desain
selimut bangunan gedung. Desain pasif adalah merupakan desain yang mengambil manfaat secara langsung sumber
alam tanpa bergantung dengan peralatan mekanikal dan elektrikal demi kesehatan dan kenyamanan dalam ruang.
Fungsi selimut bangunan adalah sebagai pengontrol interaksi antar kondisi luar dan kondisi dalam gedung dengan
cara menyaring elemen eksternal yang tidak diinginkan sebelum masuk ke dalam gedung. Sehingga, proporsi antara
jenis material transparan dan massif berdasarkan orientasi, luas permukaan, serta kemampuan konduksi dan radiasi
bangunan harus tepat untuk menghindari panas yang masuk namun tetap optimal menghasilkan penerangan alami ke
dalam ruang.

Perhitungan proporsi berdasarkan orientasi, luasan, kemampuan konduksi dan radiasi serta ini dapat diakomodasi
dalam perhitungan nilai perpindahan panas atau dikenal dengan Overall Thermal Transfer Value (OTTV). OTTV
adalah nilai perpindahan termal menyeluruh yaitu suatu nilai yang ditetapkan sebagai kriteria perancangan untuk
dinding dan kaca bagian luar bangunan gedung yang dikondisikan.

Berikut adalah cara perhitungan nilai OTTV berdasarkan SNI 03-6389-2011 tentang Konservasi Energi Selubung
Bangunan pada Bangunan Gedung.

(1)

Atau dengan asumsi A1 = Aw + Af, maka :

(2)

(3)

(4)

MK - 133
(5)

Sehingga rumus OTTV menjadi

(6)

Window to wall ratio atau WWR adalah perbandingan luas jendela dengan luas seluruh dinding luar pada
orientasi yang ditentukan.

Perhitungan ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :


1. Perpindahan kalor melalui konduksi oleh material yang massif (Qw)

Nilai absortansi panas atau α adalah nilai penyerapan energy thermal akibat radiasi matahari pada suatu bahan dan
ditentukan pula oleh warna bahan, dapat dilihat pada tabel 2 dan 3 berikut ini :

Tabel 2 Nilai Absorbtansi Panas untuk Jenis Material Dinding


(Sumber: Greenship for New Building Ver 1.2)
Jenis Material Dinding Luar Α
Beton berat 0.91
Bata merah 0.89
Beton ringan 0.86
Kayu permukaan halus 0.78
Beton ekspos 0.61
Keramik putih 0.58
Bata kuning tua 0.56
Atap putih 0.5
Seng putih 0.26
Bata gelazur putih 0.25
Aluminium Kilap 0.12

Tabel 3 Nilai Absorbtansi Panas untuk Jenis Cat Dinding


(Sumber: Greenship for New Building Ver 1.2)
Jenis Cat Dinding Luar Α Jenis Cat Dinding Luar Α
Hitam merata 0.95 Pernis hijau 0.79
Pernis hitam 0.92 Hijau medium 0.59
Abu-abu tua 0.91 Kuning medium 0.58
Pernis biru tua 0.91 Hijau / biru medium 0.57
Cat minyak hitam 0.9 Hijau muda 0.47
Coklat tua 0.88 Putih semi kilap 0.3
Abu-abu / biru tua 0.88 Putih kilap 0.25
Biru / hijau tua 0.88 Perak 0.25
Coklat medium 0.84 Pernis putih 0.21

Apabila diketahui nilai α bahan dan nilai α cat, maka :


(7)

MK - 134
 Luas dinding massif atau Aw (satuan m2) adalah luas area dinding yang tidak dapat ditembus cahaya
termasuk dengan komponen bukaan seperti kusen dan yang lainnya pada suatu orientasi tertentu.
 Luas dinding keseluruhan atau Ai (satuan m2) adalah luas total dinding massif dan dinding transparan pada
suatu orientasi tertentu.
 Nilai transmitansi termal dinding tak tembus cahaya atau Uw (satuan watt/m2.K) adalah koefisien
perpindahan kalor dari udara pada satu sisi bahan ke udara pada sisi lainnya.

(8)
 Beda temperatur ekivalen atau Tdek (satuan K) adalah beda antara temperatur ruangan dan temperatur
dinding luar atau atap yang diakibatkan oleh efek radiasi matahari yang ekuivalen dengan aliran kalor
sesungguhnya, sesuai dengan tabel berikut :
Tabel 4 Nilai Beda Temperatur Ekuivalen untuk Selimut
(Sumber: Greenship for New Building Ver 1.2)
Berat/satuan luas untuk selimut
TDEk
(kg/m2)
Kurang dari 125 15
126 ~ 195 12
Lebih dari 195 10

2. Perpindahan kalor melalui konduksi oleh material yang transparan (Qf1)

(9)
 Nilai transmittansi termal dinding tembus cahaya atau Uf (satuan watt/m2.K) adalah koefisien perpindahan
kalor dari udara pada satu sisi bahan ke udara pada sisi lainnya.

(10)
 Luas dinding masif atau Af (satuan m2) adalah luas area dinding yang dapat ditembus cahaya tidak termasuk
dengan komponen bukaan seperti kusen dan yang lainnya pada suatu orientasi tertentu.
 Luas dinding keseluruhan atau Ai (satuan m2) adalah luas total dinding massif dan dinding transparan pada
suatu orientasi tertentu.
 Beda Temperatur atau ∆T adalah beda temperatur perencanaan antara bagian luar dan bagian dalam,
umumnya diambil 5K.

3. Perpindahan kalor melalui radiasi oleh material yang transparan (Qf2)

(11)
 Faktor radiasi matahari atau SF (satuan watt/m2) adalah angka perbandingan antara perolehan kalor melalui
fenetrasi, dengan atau tanpa peneduh, dengan perolehan kalor melalui kaca biasa / bening setebal 3 mm tanpa
peneduh yang ditempatkan pada fenetrasi yang sama. Nilai faktor radiasi matahari sesuai pada tabel di bawah
ini :

Tabel 5 Nilai Faktor Radiasi Matahari atau SF


(Sumber: Greenship for New Building Ver 1.2)
Orientasi U TL T TG S BD B BL
130 113 112 97 97 176 243 211
U : Utara T : Timur S : Selatan B : Barat
Keterangan TL : Timur Laut TG : Tenggara BD : Barat Daya BL : Barat Laut
Berdasarkan data radiasi matahari di Jakarta (SFf untuk atap: 316)

 Luas dinding masif atau Af (satuan m2) adalah luas area dinding yang dapat ditembus cahaya tidak termasuk
dengan komponen bukaan seperti kusen dan yang lainnya pada suatu orientasi tertentu.
 Luas dinding keseluruhan atau Ai (satuan m2) adalah luas total dinding massif dan dinding transparan pada
suatu orientasi tertentu.

MK - 135
 Koefisien peneduh dari sistem fenetrasi atau SC adalah laju rata-rata setiap jam dari radiasi matahari pada
selang waktu tertentu yang sampai pada suatu permukaan
(12)
SCk : Koefisien peneduh kaca (dari pabrik)
SCeff : Koefisien peneduh efektif alat peneduh

Data teknis material dinding tembus dan tidak tembus cahaya meliputi :
 Tebal material (b) dalam meter; dan
 Nilai konduktivitas termal material (K) dalam Watt/m.K. Maka :

(13)
Berikut ini tabel data K untuk material selimut bangunan :

Tabel 6 Data K untuk Material Selimut Bangunan


(Sumber: Greenship for New Building Ver 1.2)
Densitas K Densitas K
No. Bahan bangunan 3 No. Bahan bangunan 3
(kg/m ) (W/m.K) (kg/m ) (W/m.K)

1 Beton 2,400 1.448 10 Kayu lapis 528 0.148


2 Beton ringan 960 0.303 11 Glasswool 32 0.035
3 Bata dengan lapisan plaster 1,760 0.807 12 Fibreglass 32 0.035
4 Bata langsung dipasang tanpa plaster, 1.154 13 Paduan alumunium 2,672 211
5 Plasteran pasir-semen 1,568 0.533 14 Tembaga 8,784 385
6 Kaca lembaran 2,512 1.053 15 Baja 7,840 47.6
7 Papan gypsum 880 0.17 16 Granit 2,640 2.927
8 Kayu lunak 608 0.125 17 Marmer/terazo/keramik/mozaik 2,640 1.298
9 Kayu keras 702 0.138

Tabel 7 Data R Lapisan Udara


(Sumber: Greenship for New Building Ver 1.2)
Resistansi termal (m2 .K/W)
No. Jenis celah udara
5 mm 10 mm 100 mm
1 RRU untuk dinding
Rongga udara vertikal (aliran panas secara horisontal)
1. Emisifitas tinggi 0.11 0.148 0.16
2. Emisifitas rendah 0.25 0.578 0.606
2 RRU untuk atap
Rongga udara horisontal/miring (aliran panas kebawah)
1. Emisifitas tinggi rongga udara horisontal 0.11 0.148 0.174
rongga udara dengan kemiringan
0.11 0.148 0.165
22 ½ °
rongga udara dengan kemiringan
0.11 0.148 0.158
45°
2. Emisifitas rendah rongga udara horisontal 0.25 0.572 1.423
rongga udara dengan kemiringan
0.25 0.571 1.095
22 ½ °
rongga udara dengan kemiringan
0.25 0.57 0.768
45°
3 RRU untuk loteng
1. Emisifitas tinggi. 0.458
2. Emisifitas rendah 1.356

MK - 136
Intensitas Konsumsi Energi (IKE)
Intensitas Konsumsi Energi Listrik (IKE) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan besarnya pemakaian
energi dalam bangunan gedung. Menurut GBCI, definisi Intensitas Konsumsi Energi adalah salah satu ukuran yang
sering digunakan untuk melihat tingkat efisien energi dalam suatu bangunan, dinyatakan dalam konsumsi energi per
satuan luas bangunan gedung. Satuan IKE adalah kWh/m2 per tahun. Standar persyaratan instensitas konsumsi
energi yang ditentukan oleh GBCI untuk gedung perkantoran adalah 250 kWh/m2 per tahun.

Perhitungan Intensitas Konsumsi Energi sesuai dengan rumus berikut ini :

(14)

3. METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan melalui studi kasus pada gedung-gedung perkantoran yaitu pada gedung baru
yang sudah memperoleh sertifikasi green, gedung terbangun yang sudah memperoleh sertifikasi green dan gedung
terbangun yang tidak bersertifikasi green.

4. HASIL PENELITIAN
Nilai OTTV
Dari data yang diperoleh, nilai Window to wall ratio (WWR), konduksi melalui dinding masif, konduksi melalui
dinding transparan dan radiasi melalui dinding transparan seperti pada tabel 8 berikut ini :

Tabel 8 Nilai Detail OTTV


OTTV (Watt/m2)
Konduksi Konduksi Radiasi
No. Gedung WWR
Dinding Dinding Dinding Total
Masif Transparan Transparan
1 NB-B 0,55 0,84 6,58 18,65 26,07
2 NB-D 0,44 1,41 5,83 21,68 28,92
3 NB-G 0,45 0,90 5,40 24,90 31,20
4 EB-A 0,66 1,34 3,34 39,74 44,42

Faktor terbesar yang menentukan nilai OTTV adalah akibat radiasi dinding transparan atau kaca. Perhitungan nilai
radiasi dinding transparan ditentukan oleh nilai WWR, koefisien peneduh dari sistem penetrasi (SC) dan solar factor
atau faktor radiasi matahari (SF) untuk berbagai orientasi.

Berikut ini tabel koefisien peneduh sistem fenetrasi gedung yang dianalisis:
Tabel 9 Koefisien peneduh (SC)
No. Gedung Jenis Kaca SC

1 NB-B Glass 6 mm stopsol supersilver blue green#2+AS12+6


0,34
mm Sunergy Clear #3

2 NB-D 8 mm T-Sunlux T-CS 140 #2 + 12mm AS + 6mm Panasap 0,35


Dark Blue (Bluish Grey)

8mm Clear + 12 mm AS + 6mm Clear 0,82

8mm Panasap Dark Blue 0,62

3 NB-G Laminate glass : 6 mm dark blue selective tempered + 0,47


1.14 clear PVB + 6 mm planibel G tempered #4

Double glass : 6 mm dark blue selective digital printing + 0,44

MK - 137
112 mm AS + 6 mm planibel G #3

4 EB-A 8mm Stopsol Green 0,4

8mm Stopsol Clear 0,63

Dari tabel 9 di atas, nilai SC dari gedung NB-B adalah yang terkecil. Nilai SC merupakan salah satu faktor yang
menentukan besar kecilnya nilai OTTV.

Intensitas Konsumsi Energi (IKE)


Pada gedung bersertifikasi green, nilai IKE sesuai dengan standard GBCI yaitu lebih kecil dari 250 kWh/m2/tahun.
Dari perbandingan antara gedung ramah lingkungan (green building) dengan gedung konvensional, nilai IKE green
building lebih kecil dibandingkan gedung konvensional. Berikut ini IKE Gedung sebelum bersertifikasi green dan
setelah bersertifikasi green.

Tabel 10 Perbandingan Nilai IKE sebelum dan setelah bersertifikasi Green


IKE setelah gedung
IKE % Selisih
beroperasi % Selisih
Standar setelah -
No. Gedung (kWh/m2.Thn) terhadap
(kWh/m2.T sebelum
standar
hn) Sebelum Setelah green

1 EG-A 250 216 174 19% 30%


2 EG-B 250 253 230 9% 8%
3 EG-C 250 250 174 30% 30%
4 EG-D 250 218 195 11% 22%
5 EG-E 250 250 226 10% 10%
Rata-rata 250 237 200 16% 20%

Berdasarkan tabel 10, dapat dihitung persentase perbedaan nilai IKE antara gedung sebelum dan setelah
bersertifikasi green, yaitu sebesar 19%. Apabila Nilai IKE green building dibandingkan terhadap standar IKE
menurut GBCI 250 kWh/m2/tahun, selisihnya sebesar 20%. Hal ini menunjukan bahwa green building lebih hemat
energi. Pada gedung sebelum bersertifikasi green, nilai IKE masih di bawah standar GBCI. Tetapi, apabila tidak
dilakukan usaha-usaha penghematan energi, maka nilai IKE tersebut bisa meningkat melebihi standar 250
kWh/m2/tahun.

Gedung-gedung yang dilakukan perhitungan nilai OTTV dan IKE, perbandingan analisis datanya dapat dilihat pada
tabel di bawah ini :
Tabel 11 Perbandingan Nilai OTTV dan IKE
OTTV OTTV % Selisih IKE setelah % Selisih
IKE Standar
No. Gedung Standar Desain OTTV gedung IKE
(kWh/m2/thn)
(Watt/m2) (Watt/m2) (Watt/m2) beroperasi (kWh/m2/thn)
1 NB-B 35 26.07 26% 250 155 38%
2 NB-D 35 28.92 17% 250 153 39%
3 NB-G 35 31.24 11% 250 78 69%
4 EB-A 35 44.42 127% 250 272 109%
Dari tabel tersebut dapat dibuat kesimpulan bahwa besarnya nilai OTTV berpengaruh terhadap nilai IKE atau
penghematan energi. Tetapi selain nilai OTTV, masih ada faktor-faktor lain yang berpengaruh yaitu antara lain yaitu
pemasangan sub meter, langkah penghematan energi, pencahayaan alami, ventilasi, pengaruh perubahan iklim dan
energi terbaru dalam tapak.

Penerapan Konsep Green Building


Peneliti akan menjabarkan penerapan konsep green building dan usaha-usaha yang sudah dilakukan oleh
manajemen gedung untuk melakukan penghematan energi.

MK - 138
a. Gedung Baru Bersertifikasi Green (Studi Kasus Gedung NB-B)
Gedung ini memiliki 5 lantai yang terdiri dari lantai basement 2 lantai dan area kantor 5 lantai yang terdiri
dari 2 wing (Wing A dan Wing B) dengan total area lantai kotor adalah 21.258 meter persegi. Mempunyai
area parkir seluas 25.000 m2 dengan kapasitas parkir mobil 447 unit, parkir motor 301 unit dan sepeda 120
unit, diatas parkir terdapat taman yang luasnya 25.293 m2, dan terdapat 6 buah water pond serta 1 buah danau
dengan luas 8.000 m2.

Kegiatan yang dilakukan untuk penghematan energi adalah dengan memonitor semua peralatan agar berjalan
dengan baik dan melakukan preventive maintenance terhadap peralatan Mekanikal Elektrikal termasuk
kontrol peralatan gedung melalui Building Automation System (BAS). Parameter yang menunjukan bahwa
gedung ini menghemat pemakaian konsumsi energi adalah IKE pada tahun 2015 mencapai 155
Kwh/m2/tahun, dengan acuan tersebut maka semua kegiatan efisiensi energi dapat diprogram dan
kenyamanan penghuni/pengguna gedung juga tidak terganggu. Seperti yang telah diketahui bahwa energi
yang besar berasal pada peralatan AC, maka Gedung NB-B untuk menghemat energi menggunakan Chiller
dengan system Water Cooled, Chiller yang digunakan tipe screw efisiensi energi-nya mencapai 0,55 KW/TR
dan peralatan yang dipakai hemat energi seperti; lampu T5 dan LED, Lift type VVVF, Motor pompa dan
motor AHU memakai VSD dan Fan di parkir kendaraan menggunakan sensor CO2 dalam pengoperasiannya
(Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, 2014).

Selain penghematan dari hasil hitungan IKE, Gedung NB-B mempunyai penghematan pada desain area lobby
dan atrium tidak dikondisikan (non AC), hal ini sangat membantu dalam penghematan energi listrik. Area
lobby tersebut mendapat aliran udara dari luar gedung yang sejuk karena di sekitar gedung telah dibuat water
pond dan danau sehingga microclimate cukup baik.

b. Gedung Baru Bersertifikasi Green (Studi Kasus Gedung NB-G)


Gedung ini memiliki 4 lantai, 1 semi basement dan 1 mezzanine dengan total area lantai kotor adalah 2.637
meter persegi. Gedung ini telah memaksimalkan desain pasif dan desain aktif yang menjadikan kinerja
bangunan ini menjadi lebih efisien dalam melakukan penghematan energi. Bangunan empat lantai yang telah
memanfaatkan penerangan alami ini juga menggunakan material dinding bata bertulang. Kaca double glass
dan penerapan roof garden membantu mengurangi panas yang masuk ke dalam bangunan.

Pemilihan peralatan mekanikal dengan efisiensi besar serta penggunaan lampu hemat energi dengan sensor
juga sangat membantu dalam mewujudkan penghematan energi (GBCI, 2016). Peralatan AC menggunakan
sistem VRV (Value Refrigerant Value) III dengan Coefficient of Performance (COP) 3,44. Desain
pencahayaan menggunakan lampu 2x T8 dan LED 7,7 W. Sistem transportasi vertikal atau lift yang
digunakan adalah tipe Schindler 3300 AP-800 Kg. Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk penghematan
energi adalah dengan membatasi akses penggunaan lift.

Manusia, atau dalam hal ini adalah karyawan, menjadi pertimbangan utama bagi direksi untuk mewujudkan
sebuah tempat kerja yang representatif dan dapat menunjang kreatifitas serta produktifitas bagi karyawannya.
Dengan desain open space concept, diharapkan terjadi interaksi dan sinergi antar karyawan sekaligus
komunikasi yang lebih baik untuk melahirkan inovasi-inovasi baru. Hal ini turut didukung dengan pencapaian
poin maksimal GBCI untuk kategori Indoor Health and Comfort (GBCI, 2016). Peneliti pun turut merasakan
kenyamanan pada saat berkunjung ke gedung ini. Pengaturan suhu ruangan yang pas membuat nyaman, tidak
merasakan terlalu dingin atau panas.

c. Gedung Terbangun Bersertifikasi Green


Studi kasus gedung terbangun pada gedung EG-A, EG-B, EG-C, EG-D dan EG-A. Gedung-gedung ini belum
bersertifikasi green pada waktu dioperasionalkan, tetapi beberapa tahun setelah operasional pemilik gedung
memutuskan untuk mensertifikasi gedung menjadi green. Usaha yang dilakukan pemilik gedung untuk
menjadikan green building berdasarkan ketentuan Green Building Rating Tool For Existing Building.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh manajemen gedung sebagai berikut :


1. Retrofit lampu hemat energi
2. Pengaturan pengoperasian AC
3. Pengaturan pencahayaan ruangan
4. Perbaikan, pemeliharaan dan perawatan AC
5. Pembenahan sistem kWh meter, yang meliputi sistem tata udara, sistem tata cahaya dan kotak kontak,
sistem beban lainnya dan ruang yang tidak dikondisikan.

MK - 139
Dari usaha-usaha tersebut, bisa didapatkan IKE listrik sampai lebih kecil dari IKE listrik standar acuan yang
ditentukan oleh GBC Indonesia.

5. KESIMPULAN
Berdasarkan data-data yang didapat dan pembahasan pada bab sebelumnya, penulis menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Semakin besar nilai window wall ratio (WWR) bisa menyebabkan semakin besarnya nilai Overall Thermal
Transfer Value (OTTV). Tetapi dengan desain luas dinding transparan atau kaca yang tepat bisa memperkecil
nilai OTTV.
2. Penggunaan jenis material dinding terutama dinding transparan atau kaca sangat menentukan besar kecilnya
nilai OTTV.
3. Nilai OTTV green building lebih kecil dari gedung non-green atau gedung konvensional. Nilai OTTV green
building masih lebih kecil dari persyaratan SNI 03-6389-2011.
4. Nilai OTTV berpengaruh terhadap efisiensi energi, namun masih ada faktor-faktor lain dalam penentuan
efisiensi dan konservasi energi, yaitu pemasangan sub meter, langkah penghematan energi, pencahayaan
alami, ventilasi, pengaruh perubahan iklim dan energi terbarukan dalam tapak.
5. Nilai Intensitas Konsumsi Energi (IKE) pada bangunan ramah lingkungan atau green building lebih kecil
sebesar 16% dibandingkan gedung konvensional. Apabila dibandingkan terhadap IKE standar, IKE green
building lebih kecil 20%. Hal ini menunjukkan bahwa gedung konvensional masih lebih boros dalam
penggunaan energi gedung dibandingkan dengan green building.
6. Bangunan ramah lingkungan pada studi kasus penelitian ini sudah menerapkan prinsip efisiensi energi. Hal ini
dibuktikan dengan nilai OTTV yang masih di bawah persyaratan SNI 03-6389-2011 dan IKE yang lebih kecil
dari standar GBCI.

DAFTAR PUSTAKA

Ardiani, M.Y. 2015. Sustainable Architecture. Jakarta : Penerbit Erlangga.


Ervianto, W. 2010. Studi Penerapan Konsep Green Building pada Industri Jasa Konstruksi. Indonesia: Jurnal ITS.
Glavinich, T.E. 2008. Contractor’s Guide to Green Building Construction. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Green Building Council Indonesia. 2011. Panduan Teknis Perangkat Penilaian Bangunan Hijau Untuk Gedung
Terbangun Versi 1.0.
Green Building Council Indonesia. 2014. Panduan Teknis Perangkat Penilaian Bangunan Hijau Untuk Bangunan
Baru Versi 1.2.
Green Building Council Indonesia. 2016. Wawancara dengan Peraih Mimpi.
Karyono, T.H. 2013. Arsitektur dan Kota Tropis Dunia Ketiga : Suatu Bahasan tentang Indonesia. Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 02/PRT/M/2015 tentang
Bangunan Gedung Hijau.
Standar Nasional Indonesia Nomor 03-6389-2011 tentang Konservasi Energi Selubung Bangunan pada Bangunan
Gedung.
www.gbcindonesia.org

MK - 140
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

RASIO KEBUTUHAN TULANGAN PONDASI BETON BERTULANG


PADA KONSTRUKSI GEDUNG DI PROVINSI ACEH

Nurul Malahayati1, Saiful Husin 2, Fachrurrazi3 dan Febriyanti Maulina4


1,2,3,4
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala, Jl. Syech Abdurrauf No 7 Kopelma darussalam Banda Aceh
Email: malahayatijj@unsyiah.ac.id

ABSTRAK
Provinsi Aceh merupakan salah satu wilayah yang terletak pada daerah potensi gempa yang variatif.
Perencanaan konstruksi bangunan gedung pada wilayah dengan potensi risiko gempa bumi perlu
mempertimbangkan pembebanan sesuai zonasi dimana bangunan tersebut dibangun. Perencanaan
sebuah konstruksi tidak hanya memperhitungkan aspek kekuatan/ketahanan, namun juga sangat
penting memperhatikan aspek biaya. Perencanaan biaya lazimnya menggunakan Analisa Harga
Satuan Pekerjaan (AHSP) diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang tata cara
perhitungan harga satuan pekerjaan untuk konstruksi bangunan gedung dan perumahan. Penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan rasio kebutuhan tulangan yang aktual dalam 1 m3 beton. Tinjauan
ini dikhususkan untuk komponen struktural pondasi tapak beton bertulang pada bangunan gedung
untuk wiayah zonasi gempa 10 dan 15 berdasarkan peta gempa SNI 1726:2012. Proses penelitian
diawali dengan pengumpulan 25 data skunder berupa gambar desain bangunan gedung bertingkat 2
yang dibangun pada tahun 2012 sampai dengan 2015. Hasil analisis menunjukkan bahwa rasio
kebutuhan tulangan pondasi beton bertulang pada zona 10 memiliki rasio rata-rata adalah 183.144
kg/m3 beton sedangkan untuk zona 15 rata-rata sebesar 189.040 kg/m3. Nilai tersebut lebih besar
bila dibandingkan dengan kebutuhan tulangan pondasi tapak yang dinyatakan dalam SNI yaitu
sebesar 150 kg/m3. Sehingga standar SNI untuk kebutuhan tulangan pada pondasi beton bertulang
berdasarkan zonasi gempa perlu ditinjau kembali.
Kata kunci: pondasi tapak, tulangan, rasio, zonasi gempa

1. PENDAHULUAN
Provinsi Aceh merupakan salah satu wilayah yang terletak pada daerah potensi gempa yang variatif. Perencanaan
konstruksi bangunan gedung pada wilayah dengan potensi risiko gempa bumi perlu mempertimbangkan
pembebanan sesuai zonasi dimana bangunan tersebut dibangun. Perencanaan sebuah konstruksi tidak hanya
memperhitungkan aspek kekuatan/ketahanan, namun juga sangat penting memperhatikan aspek biaya. Perencanaan
biaya lazimnya menggunakan Analisa Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) diatur dalam Standar Nasional Indonesia
(SNI) tentang tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan untuk konstruksi bangunan gedung dan perumahan.
Tinjauan ini dikhususkan untuk komponen struktural pondasi tapak beton bertulang pada bangunan gedung untuk
wiayah zonasi gempa 10 dan 15 berdasarkan peta gempa SNI 1726:2012.
Sejumlah hasil penelitian terhadap material tulangan pada konstruksi beton bertulang umumnya cenderung
diarahkan untuk menganalisis perilaku fisik dan mekanis beton bertulang (Shanmugam & Lakshmi, 2001; Elnashai,
et.al, 2003; Montes, et.al, 2008; Rao, et.al, 2008; Maekawa, 2009; Amir&Sigmund, 2013). Belum ada kajian yang
dilakukan spesifik untuk mengidentifikasi seberapa besar kebutuhan material tulangan untuk struktur beton
bertulang pada sejumlah komponen bangunan. Di samping itu, juga belum terjawab seberapa jauh dan dalam
kondisi pola kebutuhan material tulangan yang tersebut dalam standar AHSP komponen beton bertulang layak
diaplikasikan.
Secara teknis, jumlah tulangan pada struktur beton bertulang harus memadai. Dimensi dan jumlah material
ditentukan dari hasil analisis pada tiap komponen struktural, seperti pondasi, kolom, balok, pelat lantai, dan dinding.
Pada daerah dengan tingkat kerawanan gempa tinggi, perencanaan dilakukan menggunakan Pedoman Tata Cara
Perencanaan Konstruksi Tahan Gempa Indonesia.Tingkat kerawanan dapat dikenali dengan berpedoman pada peta
zonasi gempa sebagaimana tersebut dalam Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung dan
Non Gedung (SNI 1726:2012).
Beton bertulang merupakan salah satu material yang paling banyak digunakan pada konstruksi gedung dan juga
merupakan unsur penting pada konstruksi struktural bangunan gedung yang menanggung beban tekan dan tarik.
Pondasi tapak beton bertulang merupakan komponen struktural yang menerima dan meneruskan beban yang
ditopang oleh pondasi dan juga beratnya sendiri kepada dan kedalam tanah. Penggunaan material tulangan untuk

MK - 141
pekerjaan pondasi beton bertulang berdasarkan SNI 7394:2008 adalah 150 kg/m3. Nilai tersebut memungkinkan
adanya pergeseran dari segi jumlah tulangan disebabkan besarnya beban, zonasi gempa dan jenis konstruksi
bangunan gedung yang dapat mempengaruhi biaya konstruksi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rasio
kebutuhan tulangan yang aktual dalam 1 m3 beton. Manfaat dari penelitian ini dapat menginformasikan rasio
kebutuhan tulangan dalam kg/m3 pada komponen struktural pondasi tapak untuk setiap jenis bangunan gedung
bertingkat 2 (dua) sesuai dengan zonasi gempa.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Pondasi Tapak
Menurut Bowles (1993 : 2) Pondasi adalah bagian dari suatu sistem rekayasa struktur yang meneruskan beban yang
ditopang oleh pondasi dan beratnya-sendiri kepada dan ke dalam tanah dan batuan yang terletak di bawahnya.
Pondasi tapak (spread footing) merupakan pondasi yang berdiri sendiri dalam mendukung kolom. Umumnya dibuat
dengan kedalaman 1 sampai dengan 1,50 m dari permukaan tanah, atau lebih. Dalam merencanakan struktur suatu
bangunan bertingkat, digunakan struktur yang mampu mendukung berat sendiri, gaya angin, beban hidup maupun
beban khusus yang bekerja pada struktur bangunan tersebut dan struktural pondasi tapak menerima beban dari
elemen-elemen struktur yang didistribusikan dan diteruskan melalui struktural pondasi beton bertulang.

Sistem bekerjanya beban untuk elemen-elemen struktur gedung bertingkat secara umum dapat dinyatakan sebagai
berikut : beban pelat lantai didistribusikan terhadap balok anak dan balok portal, beban balok portal didistribusikan
ke kolom dan beban kolom kemudian diteruskan ke tanah dasar melalui pondasi. Pemilihan tipe pondasi didasarkan
atas: (a) fungsi bangunan atas (upper structure) yang dipikul pondasi tersebut; (b) besarnya beban dan berat
bangunan atas; (c) keadaan tanah untuk mendukung bangunan yang akan didirikan; (d) biaya pondasi dibandingkan
dengan bangunan atas.
Analisa SNI
Berdasarkan Anonim (2016) konstruksi bangunan gedung menggunakan Analisa Harga Satuan Pekerjaan (AHSP)
yang tercakup pada pekerjaan Cipta Karya. Terdapat 8 divisi untuk pengelompokan pekerjaan, salah satu adalah
divisi pekerjaan struktural . Dikarenakan lingkup pekerjaan AHSP Cipta Karya ini (Anonim, 2016) masih
berpedoman pada SNI-ABK tahun 2008, maka sub level dikelompokkan dan dirinci sesuai dengan SNI-ABK.
Sebagai ilustrasi, salah satu standar AHSP tersebut ditunjukkan dalam Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Membuat 1 m3 pondasi beton bertulang (150 kg besi + bekisting)

Kebutuhan Satuan Indeks


Bahan Kayu Kelas III m3 0,200
Paku 5 cm – 12 cm kg 1,500
Minyak bekisting Liter 0,400
Besi beton polos kg 157,500
Kawat beton kg 2,250
PC kg 336,000
PB m3 0,540
KR m3 0,810
Tenaga Kerja Pekerja OH 5,300
Tukang batu OH 0,275
Tukang kayu OH 1,300
Tukang besi OH 1,050
Kepala tukang OH 0,262
Mandor OH 0,265
Sumber: Anonim (2008)

MK - 142
Zonasi Gempa

Menurut Irsyam, et al (2010), gempa sangat berpotensial mengakibatkan kerugian besar dan tidak dapat diprediksi
kapan dan dimana akan terjadi. Gempa tidak dapat dicegah, namun hanya dapat dilakukan beberapa usaha untuk
mengurangi dampak yang terjadi. Salah satu usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan perencanaan konstruksi yang
berbasis tahan gempa. Perencanaan konstruksi tahan gempa di Indonesia mulai di aplikasikan pada tahun 1983
berpedoman pada peta percepatan maksimum gempa dan Peratuaran Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk
Gedung. Pedoman tata cara perencanaan konstruksi tahan gempa Indonesia terus mengalami perkembangan, hingga
pada saat ini perencanaan berpedoman pada peta zonasi SNI 1726:2012 (Tata cara Perencanaan Ketahanan Gempa
untuk Bangunan Gedung dan Non Gedung). Hubungan zonasi gempa sangat dipengaruhi untuk menentukan beban
gempa (Anonim, 2012 ) dikarenakan struktur bangunan yang akan direncanakan terletak pada wilayah gempa.

3. METODE PENELITIAN
Lokasi dan Objek Penelitian

Lokasi penelitian yaitu di wilayah Provinsi Aceh pada zona gempa 10 di lokasi Kota Banda Aceh dan Kabupaten
Aceh Besar, sedangkan zona 15 berada pada lokasi di Kota Langsa, Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara
(berdasarkan peta zonasi gempa SNI 1726:2012). Objek penelitian pada bangunan gedung yang berlantai 2 (dua)
dan difokuskan pada komponen struktural pondasi tapak. Bangunan gedung tersebut terdiri dari bangunan gedung
pendidikan, bangunan hunian (asrama dan rumah sakit) dan bangunan perkantoran.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data menggunakan metode pengumpulan data skunder. Data tersebut didapat dari perusahaan
konstruksi yang bergerak dibidang penyedia jasa dan juga pada instansi terkait yang ada di Provinsi Aceh. Data
yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
1. Dokumen kontrak untuk proyek gedung yang dibangun pada tahun 2012 sampai dengan 2015, yang berisikan
data bill of quantity, harga satuan, harga material, dan gambar bestek (site plan, denah, dan tampak
bangunan, dan gambar detail komponen struktural pondasi tapak)
Jumlah data pada konstruksi bangunan gedung pada zonasi 15 adalah 15 bangunan gedung dengan fungsi
bangunan yang berbeda yaitu 3 bangunan pendidikan, 10 bangunan hunian dan 2 bangunan kantor.
Sedangkan pada zonasi 10 berjumlah 10 bangunan dengan fungsi yang berbeda yaitu 5 bangunan pendidikan,
3 bangunan kantor dan 2 bangunan hunian.
2. Standar harga satuan bangunan yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur.
3. Peta zonasi gempa Indonesia berdasarkan SNI 1726:2012.

Metode Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan akan diproses secara rinci dan akan dilakukan analisis sebagai berikut :
1. Pengelompokan data.
Pengelompokan data di buat berdasarkan komponen struktural pondasi tapak bangunan gedung beserta fungsi
bangunan dan zonasi wilayah gempa.
2. Analisis kebutuhan tulangan struktural pondasi tapak
Analisis kebutuhan material tulangan pada komponen struktural pondasi tapak pada konstruksi bangunan gedung
berdasarkan dimensi penampang, jenis tulangan, fungsi tulangan (tulangan pokok dan tromol) dan diameter
tulangan yang dipakai.
3. Pengelompokan hasil analisis.
Pengelompokan hasil analisis berdasarkan kebutuhan tulangan pada komponen struktural pondasi tapak dari
zonasi gempa, tahun pembangunan, lokasi, fungsi bangunan hingga dimensi penampang pondasi tapak.

Kebutuhan tulangan hasil rekapitulasi data dianalisis menggunakan analisis statistik. Salah satu cara memperoleh
data rata-rata yaitu dengan menggunakan analisis statistik mean untuk memperoleh nilai rata-rata dari beberapa
sampel data. Nilai mean diperoleh dari menjumlahkan seluruh nilai dan membaginya dengan jumlah data.
Persamaannya adalah :

MK - 143
M
X (1)
N
Dimana :
M = Mean
X = Jumlah data
N = Banyaknya data

Kemudian untuk mengetahui tingkat sebaran data dalam sampel akan dihitung standar deviasi. Nilai standar deviasi
memberikan makna seberapa besar perbedaan rata-rata kebutuhan tulangan. Rumus standar deviasi yaitu :

S= (2)

Dimana:
S = Standar Deviasi
∑X = Jumlah Kebutuhan Tulangan
n = BanyaknyaData

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Volume dan Rasio Tulangan Pondasi Tapak

Perhitungan untuk volume beton dan tulangan pondasi tapak dihitung berdasarkan gambar bestek yang ada pada
dokumen kontrak. Hasilnya dimasukan dalam tabel analisis tulangan kebutuhan tulangan pondasi tapak.
Rekapitulasi volume beton, tulangan dan rasio untuk setiap objek berdasarkan zonasi gempa dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.

Tabel 2. Volume dan Rasio Tulangan Pondasi di Zona 10

No Nama Lokasi Fungsi Volume Berat Tulangan Rasio Tulangan


Proyek Bangunan Beton (m3) (kg) (kg/m3)
1 BG10-1 Kota Langsa Kantor 36.000 5698.265 158.285
2 BG10-2 Kota Langsa Pendidikan 156.464 33439.710 213.721
3 BG10-3 Kota Langsa Pendidikan 115.920 15342.524 132.354
4 BG10-4 Kota Langsa Hunian 59.594 10903.594 182.966
5 BG10-5 Kab. Aceh Timur Pendidikan 12.668 2508.498 198.019
6 BG10-6 Kab. Aceh Utara Pendidikan 12.936 1640.026 126.780
7 BG10-7 Kab. Aceh Timur Pendidikan 113.600 23953.119 210.855
8 BG10-8 Kota Lhokseumawe Kantor 59.586 16044.241 269.262
9 BG10-9 Kota Lhokseumawe Kantor 49 10300.986 193.573
10 BG10-10 Kota Lhokseumawe Pendidikan 125.314 18249.282 145.629
Rata-Rata 183.1444
Standar Deviasi 36.057

Tabel 3. Volume dan RasioTulangan Pondasi di Zona 15

No Nama Lokasi Fungsi Volume Berat Rasio Tulangan


Proyek Bangunan Beton (m3) Tulangan (kg) (kg/m3)
1 BG15-1 Kota Banda Aceh Pendidikan 7.920 1480.387 186.918
2 BG15-2 Kota Banda Aceh Kantor 48.000 6962.155 145.045
3 BG15-3 Kota Banda Aceh Kantor 34.560 6015.118 174.049
4 BG15-4 Kota Banda Aceh Hunian 83.920 12927.610 154.047
5 Kab. Aceh Barat 135.049
BG15-5 Pendidikan 12.638 1706.755
Daya

MK - 144
6 BG15-6 Kota Banda Aceh Hunian 32.951 3986.124 144.126
7 BG15-7 Kota Banda Aceh Hunian 18.816 3692.230 196.228
8 BG15-8 Kota Banda Aceh Hunian 14.534 3575.311 255.065
9 BG15-9 Kota Banda Aceh Hunian 19.440 3536.207 181.904
10 BG15-10 Kab. Aceh Barat Pendidikan 66.824 16575.417 248.046
11 BG15-11 Kota Banda Aceh Hunian 83.856 10436.718 124.460
12 BG15-12 Kota Banda Aceh Hunian 12.096 2785.207 230.259
13 BG15-13 Kota Banda Aceh Hunian 98.000 23367.572 238.445
14 BG15-14 Kota Banda Aceh Hunian 61.152 17694.184 289.348
15 BG15-15 Kota Banda Aceh Hunian 25.637 3399.735 132.613
Rata-Rata 189.040
Standar Deviasi 51.976

Tabel di atas merupakan hasil perhitungan volume beton dan tulangan pondasi tapak pada zonasi 15 dan 10 yang
telah direkapitulasi untuk setiap gedung yang ditinjau. Jumlah data pada konstruksi bangunan gedung pada zonasi
15 adalah 15 bangunan gedung dengan fungsi bangunan yang berbeda yaitu 3 bangunan pendidikan, 10 bangunan
hunian dan 2 bangunan kantor. Sedangkan pada zonasi 10 berjumlah 10 bangunan dengan fungsi yang berbeda yaitu
5 bangunan pendidikan, 3 bangunan kantor dan 2 bangunan hunian. Volume tulangan dan beton digunakan untuk
menghitung rasio kebutuhan tulangan pondasi tapak.

Hasil dari nilai rata-rata keseluruhan rasio kebutuhan tulangan pondasi tapak untuk zona gempa 10 dan 15 terdapat
perbedaan rasio kebutuhan tulangan, pada tabel tersebut zona 15 memiliki rasio dengan rata-rata sebesar 189,040
kg/m3 sedangkan rasio pada zona 10 sebesar 183,144 kg/m3, Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa penggunaan
tulangan pondasi tapak pada zona 15 lebih besar bila dibandingkan dengan penggunaan tulangan pondasi tapak pada
zona 10.

Rata-Rata Rasio Tulangan Pondasi Tapak Berdasarkan Fungsi dan Zona Gempa

Konstruksi yang ditinjau adalah berlantai 2 dengan fungsi bangunannya untuk pendidikan, hunian (asrama) dan
kantor. Hasil perhitungan terdapat adanya perbedaan kebutuhan tulangan berdasarkan fungsi bangunan dan lokasi
zonasi gempa. Gambar di bawah ini menjelaskan hasil rata-rata rasio kebutuhan tulangan pondasi berdasarkan
fungsi bangunan dan zonasi gempa.

Gambar di bawah dapat dijelaskan bahwa adanya perbedaan pada kebutuhan tulangan berdasarkan fungsi bangunan
dan zonasi gempa, seperti pada zonasi gempa 15 untuk konstruksi bangunan gedung pendidikan, bangunan
penghunian, dan kantor memiliki nilai rata-rata rasio kebutuhan tulangan pondasi beton bertulang dengan nilai
masing-masing bangunan yaitu 200,068 kg/m3, 185,846 kg/m3 dan 184,724 kg/m3. Pada zonasi gempa 10 dengan
fungsi konstruksi bangunan memiliki nilai rata-rata rasio kebutuhan tulangan pondasi beton bertulang dengan
memiliki masing-masing nilai rasio kebutuhan tulangan adalah 163,301 kg/m3, 165,829 kg/m3 dan 196,911 kg/m3.
Hal ini menunjukkan bahwa rasio kebutuhan tulangan pondasi beton bertulang pada fungsi konstruksi bangunan
pendidikan memiliki rasio terbesar berdasarkan hasil kajian, kemudian pada posisi kedua terdapat fungsi konstruksi
bangunan hunian dan yang ketiga adalah fungsi konstruksi bangunan gedung perkantoran. Diameter rata-rata
tulangan yang digunakan pada pekerjaan pondasi tapak yang berzonasi 10 adalah berdiameter 14 dan diameter rata -
rata tulangan pondasi tapak pada zonasi 15 adalah berdiameter 16

MK - 145
Rasio Berdasarkan Fungsi Bangunan dengan Standar
AHSP
250
Rasio Tulangan
(kg/m 3 ) 200
150
100
50
0
ZONA 15 ZONA 10
Pendidikan 200.068 163.301
Penghunian 184.724 196.911
Kantor 185.846 165.829
Standar AHSP 150 150

Gambar 1. Rasio Perbandingan Berdasarkan Fungsi Bangunan, Zonasi Gempa dan AHSP

5. KESIMPULAN
Pada zona 15 fungsi bangunan pendidikan memiliki nilai rata-rata rasio kebutuhan tulangan yang terbesar, kemudian
pada posisi kedua terdapat fungsi bangunan hunian dan pada posisi ketiga adalah bangunan perkantoran. Sedangkan
pada zona 10 fungsi bangunan hunian menempati urutan pertama memiliki nilai rasio kebutuhan tulangan yang
tertinggi, kemudian pada posisi kedua yaitu fungsi bangunan perkantoran dan pada posisi ketiga adalah bangunan
pendidikan. Sehingga disimpulkan bahwa zonasi gempa mempengaruhi nilai rasio kebutuhan tulangan. Rasio
kebutuhan tulangan berdasarkan hasil kajian lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan tulangan pondasi tapak
yang dinyatakan dalam SNI 7394-2008 yaitu sebesar 150 kg/m3. Sehingga standar SNI untuk kebutuhan tulangan
pada pondasi beton bertulang berdasarkan zonasi gempa perlu ditinjau kembali.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim., 2008., SNI 7394:2008 ., Tata Cara Perhitungan harga Satuan Pekerjaan Untuk Konstruksi Bangunan
Gedung dan Perumahan., BSN., Jakarta
Anonim, 2012, SNI 1726:2012).,Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung dan Non
Gedung ., BSN., Jakarta
Anonim., 2016., Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 28/PRT/2016., Tentang Pedoman Analisis
Harga Satuan Pekerjaan Bidang Pekerjaan Umum.
Bowles, J,E., 1993., Analisa dan Desain Pondasi., Jilid 2., Erlangga., Jakarta
Elnashai, AS, El-Ghazouli, AY, & Dowling, PJ., 2003., ‘International assessment of design guidance for composite
columns’, Journal of Constructional Steel Research, Vol. 15, pp. 191–213.
Irsyam, M., Asrurifak, M., Hendriyawan., Budiono, B., Triyoso, W., and Firmanti, A., 2010., Development of
Spectral Hazard Maps for Proposed Revision of Indonesia Seismic Building Code., Geomechanic and
Geengineering an International Journal., Vol. 5, No.1
Maekawa, K., 2009., ‘Anti-seismic Design, Diagnostics and Reinforcement for Concrete Structures’., Stock
Management for Sustainable Urban Regeneration., pp. 101-132.
Montes, EH., Gil-Martín, LM., Fernández, MP., & Aschheim, M., 2008., ‘Theorem of optimal reinforcement for
reinforced concrete cross sections’., Struct. Multidisc. Optim., vol.36, pp. 509–521.
Shanmugam, NE., & Lakshmi, B., 2001., ‘State of the art report on steel–concrete composite columns’., Journal of
Constructional Steel Research., Vol. 57, Issue 10, pp. 1041–1080.

MK - 146
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

PENGEMBANGAN PROFIL KINERJA PEMBINA JASA KONSTRUKSI DI


INDONESIA

Adrianto Oktavianus1 dan Anjar Pramularsih2

1
Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut
Teknologi Bandung, Jl. Ganesha No. 10, Bandung
Email: adrianto_o@yahoo.com
2
Subdirektorat Teknologi Konstruksi dan Produksi Dalam Negeri, Direktorat Bina Kelembagaan dan Sumber Daya
Jasa Konstruksi, Direktorat Jenderal Bina Konstruksi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat, Jl. Patimura No. 20, Jakarta Selatan
Email: anjarpram@gmail.com

ABSTRAK
Industri konstruksi yang sehat, kokoh, dan memiliki daya saing yang terbangun melalui tata kelola
yang baik (good governance) memerlukan peran sentral Pemerintah sebagai Pembina Jasa
Konstruksi. Keadaan pembina jasa konstruksi saat ini di tingkat nasional dan daerah
menggambarkan keadaan yang sesungguhnya dari dunia jasa konstruksi di Indonesia, dimana tenaga
kerja konstruksi sebagai salah satu bagian dari industri jasa konstruksi menjadi salah satu tanggung
jawab pembinaannya. Dengan kata lain, peran pembina jasa konstruksi menjadi sentral dalam upaya
mempersiapkan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga kerja sektor konstruksi. Adanya
permasalahan terkait sertifikasi dan kompetensi tenaga kerja di Indonesia mengindikasikan bahwa
peran pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah belum secara optimal dilakukan. Terlebih lagi,
situasi dunia jasa konstruksi menjadi makin kompleks dengan adanya UU Jasa Konstruksi dan UU
Pemerintahan Daerah yang baru, dimana ada pembagian kewenangan pembinaan tenaga kerja
konstruksi antara Pusat dan Daerah, yang mana tugas berat pelaksanaan pelatihan tenaga kerja
konstruksi dilimpahkan ke Daerah. Profil kinerja pembina jasa konstruksi merupakan instrumen
yang dapat digunakan untuk melihat kondisi dan kinerja dari pembina jasa konstruksi. Selain itu,
profil juga memperlihatkan hubungan antara pembina dengan badan usaha, tenaga kerja (ahli dan
terampil), lembaga jasa konstruksi serta masyarakat profesional jasa konstruksi. Studi ini bertujuan
untuk melihat kondisi dan upaya dari pembina jasa konstruksi melalui profil kinerja pembina jasa
konstruksi serta mengembangkan konsep profil yang lebih mantap dan dapat diimplementasikan
secara nasional. Studi ini juga menunjukkan model pembina jasa konstruksi yang mampu membina
jasa konstruksi di wilayahnya. Studi ini dilakukan dengan metode studi literatur yang mencakup
studi terkait kelembagaan, kriteria penyusunan profil berbasis kinerja, dan perundang-undangan.
Keluaran studi ini adalah konsep dan profil kinerja pembina jasa konstruksi yang kokoh, yang
selanjutnya dapat digunakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam
melaksanakan tugas pembinaan jasa konstruksi.
Kata kunci: profil kinerja, pembina jasa konstruksi, jasa konstruksi, nasional, daerah.

1. PENDAHULUAN
Sejak tahun 2015, Pemerintahan Kabinet Kerja (2014-2019) fokus memprioritaskan pembangunan infrastruktur
yang diikuti upaya menurunkan kesenjangan antar wilayah. Prioritas pembangunan tersebut ditunjukkan dengan
adanya peningkatan secara signifikan persentase anggaran infrastruktur pada anggaran belanja negara dimana pada
tahun 2017 mencapai 18,6% (Gambar 1). Alokasi anggaran sebesar 931,5 triliun rupiah yang tertuang dalam
Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga mengindikasikan keseriusan
pemerintah dalam menjalankan prioritas pembangunan infrastruktur.

MK - 147
Gambar 1. Anggaran infrastruktur dalam APBNP Tahun 2012-2017
Di sisi lain, prioritas pembangunan infrastruktur sesungguhnya menimbulkan suatu konsekuensi terhadap jumlah
dan mutu sumber daya manusia di sektor konstruksi. Kementerian PUPR menyatakan bahwa terdapat 6,9 juta
pekerja di sektor konstruksi dimana 60% merupakan tenaga kasar, 30% tenaga terampil, dan hanya 10% tenaga ahli.
Dari total tenaga kerja tersebut, kurang dari 10% yang telah disertifikasi (Rencana Strategis Kementerian PUPR,
2015). Data dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) menyatakan bahwa saat ini terdapat 166.057
tenaga ahli dan 348.558 tenaga terampil yang mempunyai sertifikasi, dimana sekitar 70% dari jumlah tenaga
konstruksi tersebut berada di Pulau Jawa dan Sumatera.
Ketersediaan jumlah dan peningkatan mutu tenaga kerja konstruksi, baik tenaga ahli maupun tenaga terampil,
menjadi bagian dari permasalahan yang harus diselesaikan oleh Pemerintah guna menyediakan dan menghasilkan
infrastruktur yang berkualitas. Di sisi lain, adanya ketidakmerataan jumlah tenaga kerja di tiap Provinsi juga
menjadi isu penting yang perlu mendapatkan pembenahan.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UUJK) dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) mengamanatkan secara jelas peran penyelenggaraan jasa konstruksi untuk
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Salah satu bentuk
penyelenggaraan Terkait dengan upaya peningkatan jumlah dan kompetensi tenaga kerja konstruksi, kewenangan
menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja diserahkan ke Pemerintah Daerah, pelatihan tenaga ahli di tingkat Provinsi
dan tenaga terampil di tingkat Kabupaten/Kota. Pemerintah Pusat hanya menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja
yang sifatnya percontohan (pilot project). Selain tugas pelatihan di atas, diamanatkan juga bagi pemerintah untuk
menyediakan data dan informasi jasa konstruksi dalam Sistem Informasi Jasa Konstruksi.
Pembagian kewenangan dan tugas penyelenggaraan jasa konstruksi yang kompleks antara Pemerintah Pusat dan
Daerah menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana sesungguhnya kinerja dari Pemerintah dapat dipantau dalam
menyelenggarakan tugas pembinaan di bidang jasa konstruksi. Profil kinerja pembina jasa konstruksi
menggambarkan upaya yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Daerah, selaku pembina jasa konstruksi, dalam
menyelenggarakan tugas pembinaan. Jadi, Sistem Informasi Jasa Konstruksi diharapkan bukan hanya menyajikan
data dan informasi mengenai kondisi riil jasa konstruksi di tiap daerah, namun juga kinerja pembina jasa konstruksi
dalam menciptakan kondisi jasa konstruksi yang lebih baik.
Studi ini bertujuan untuk menyusun suatu profil yang dapat memberikan gambaran mengenai kondisi dan kinerja
dari upaya dan penyelenggaraan pembinaan oleh pembina jasa konstruksi.

2. METODE PENELITIAN
Penyusunan tahapan kegiatan disesuaikan dengan langkah-langkah penting untuk mencapai tujuan. Kegiatan studi
ini dibagi dalam lima tahap yakni: (1) Persiapan dan Studi Literatur, (2) Pengumpulan Data dan Informasi, (3)
Analisis, (4) Penyusunan Konsep Profil Pembina jasa konstruksi daerah Provinsi, dan (5) Penyusunan Kesimpulan
dan Rekomendasi.
Pada tahap persiapan dilakukan dua kegiatan, yaitu pemantapan metodologi, maksud dari kegiatan; serta studi
literature. Pada tahap selanjutnya dilakukan pengumpulan data, baik data dari instansi terkait maupun data yang
diperoleh dari hasil-hasil studi yang telah dilakukan terkait dengan profil pembina jasa konstruksi daerah. Beberapa
data dan informasi yang terkait dengan studi ini antara lain terkait dengan (a) kajian pembina jasa konstruksi daerah
yang telah dilakukan sebelumny, (b) pengumpulan data eksisting berupa data Profil Pembina jasa konstruksi daerah
di Daerah Wilayah Timur dan Wilayah Barat (2009); dan (c) pengaturan organisasi perangkat daerah oleh
Kementerian Dalam Negeri di tahun 2017 sesuai dengan UU 23 tahun 2014 dan UU 2 tahun 2017.

MK - 148
Pada tahap analisis, dilakukan analisis berupa analisis konsep penilaian kinerja pembinaan jasa konstruksi daerah,
analisis penyusunan profil pembina jasa konstruksi daerah, dan analisis penyusunan bobot kriteria profil pembina
jasa konstruksi daerah. Melalui analisis di atas dan hasil diskusi yang dilakukan dengan stakeholders maka dapat
dirumuskan model penyusunan profil pembina jasa konstruksi daerah. Dari hasil analisa kondisi dan tantangan profil
pembina jasa konstruksi, verifikasi hasil model profil pembina jasa konstruksi dan input seluruh stakeholder; maka
dapat dikembangkan profil pembina jasa konstruksi untuk tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota serta arah dan
rekomendasi terkait profil pembina jasa konstruksi daerah.

3. DATA DAN ANALISIS


KONSEP PROFIL PEMBINA JASA KONSTRUKSI PUSAT DAN DAERAH
Pembinaan jasa konstruksi
Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UUJK) yang menggantikan Undang-Undang No. 18
Tahun 1999 memberikan pemahaman yang lebih baru mengenai pembinaan jasa konstruksi. Perbedaan utama dalam
hal pembinaan adalah sifat pembinaan yang berubah dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Hal ini mengikuti pola
pengaturan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang membagi kewenangan pembinaan
antara Pusat dan Daerah (UU Pemda). Pada dasarnya, UUJK melengkapi amanat penyelenggaraan pembinaan jasa
konstruksi di UU Pemda. Peran sentral pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat yang diatur oleh UU
18/1999 berubah menjadi pembinaan yang dilakukan dan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Provinsi dan
Kabupaten/Kota) sementara Pemerintah Pusat mempunyai peran yang lebih di bagian pengaturan dan koordinasi
pembinaan.
Selain dari tugas utama peningkatan kemampuan dan kapasitas usaha jasa konstruksi nasional, Pemerintah Pusat
mempunyai tanggung jawab yang terkait dengan tenaga kerja, yaitu Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas
meningkatnya kompetensi, profesionalitas, dan produktivitas tenaga kerja konstruksi nasional. Untuk melaksanakan
tanggung jawab yang diemban tersebut, Undang-Undang mengamanatkan kewenangan yang berbeda untuk
Pemerintah Pusat dan Daerah. Kewenangan untuk Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota disajikan pada
gambar berikut.

Gambar 2. Kewenangan Pemerintah dalam hal tenaga kerja konstruksi (UU No. 2 Tahun 2017)
Kewenangan tersebut dilakukan dengan memberikan tugas pembinaan kepada Pemerintah. UUJK mengamanatkan
lingkup pembinaan jasa konstruksi pada empat hal, yaitu: (1) penetapan kebijakan; (2) penyelenggaraan kebijakan;
(3) pengawasan, pemantauan, dan evaluasi; serta (4) pengembangan jasa konstruksi dan pengembangan kerjasama.
Secara lebih spesifik, Pemerintah Pusat dan Daerah mempunyai tanggung jawab pembinaan yang berbeda sesuai
dengan yang disajikan pada gambar di bawah ini. Lebih lanjut, pembinaan jasa konstruksi dilakukan oleh pembina
jasa konstruksi yaitu Menteri PUPR selaku pembina jasa konstruksi di tingkat Pusat; serta
Gubernur/Bupati/Walikota untuk pembinaan yang di tingkat Daerah. Selain itu, dalam melaksanakan pembinaan,
Pemerintah Pusat dapat mengikutsertakan masyarakat Jasa Konstruksi. Di daerah, perangkat daerah yang
menyelenggarakan pembinaan jasa konstruksi adalah Dinas/Instansi Teknis yang membidangi jasa konstruksi.

MK - 149
Gambar 3. Penyelenggaraan pembinaan jasa konstruksi oleh Pemerintah Pusat dan Daerah (UU No. 2 Tahun 2017)
Pembagian Urusan Pemerintahan
Pembagian tanggung jawab dan kewenangan di bidang jasa konstruksi pada UUJK dilakukan sejalan dengan asas
desentralisasi yang diusung oleh UU Pemda. Perimbangan kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
berdasarkan asas desentralisasi seperti yang diamanatkan melalui UU Pemda dilakukan dengan melakukan
pembagian urusan pemerintahan kepada Pemerintahan Pusat, Daerah Provinsi, dan Daerah Kabupaten/Kota.
Urusan pekerjaan umum dan penataan ruang merupakan satu dari enam urusan pemerintahan wajib yang berkaitan
dengan pelayanan dasar. Itu berarti urusan pekerjaan umum dan penataan ruang merupakan urusan pemerintahan
yang sebagian substansinya merupakan pelayanan dasar kepada masyarakat sehingga penyelenggara pemerintahan
pusat dan daerah harus memprioritaskan pelaksanaan urusan tersebut. Pada pelaksanaannya, pelaksanaan urusan
tersebut oleh Pemerintah Daerah tetap harus berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
Pembagian urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum dan penataan ruang terbagi menjadi 11 sub-urusan
pemerintahan dimana jasa konstruksi menjadi salah satu dari sub-urusan tersebut. Implikasi dari pengaturan ini
adalah bahwa wadah institusi pembina jasa konstruksi adalah Dinas Teknis yang membidangi urusan pekerjaan
umum dan penataan ruang. Kewenangan Pemerintah Daerah Urusan Konkuren dalam UU Pemda terkait Jasa
Konstruksi dijabarkan pada Tabel 1. Kewenangan yang pada tabel tersebut sejalan dengan kewenangan pemerintah
yang terdapat pada UUJK (Gambar 2).
Tabel 1. Kewenangan Pemerintah Daerah Urusan Konkuren terkait Jasa Konstruksi
Pusat Provinsi Kabu[paten/Kota
1. Penyelenggaraan Pelatihan 1. Penyelenggaraan pelatihan 1. Penyelenggaraan pelatihan
tenaga kerja konstruksi tenaga ahli konstruksi tenaga terampil konstruksi
percontohan 2. Penyelenggaraan sistem 2. Penyelenggaraan sistem
2. Pengembangan sistem informasi informasi jasa konstruksi informasi jasa konstruksi
jasa konstruksi cakupan nasional cakupan daerah provinsi cakupan Daerah kabupaten/kota
3. penerbitan izin usaha jasa 3. Penerbitan izin usaha jasa
konstruksi asing konstruksi nasional (non kecil
4. pengembangan standar dan kecil)
kompetensi kerja dan pelatihan 4. Pengawasan tertib usaha, terbit
jasa konstruksi penyelenggaraan dan tertib
pemanfaatan jasa konstruksi

Sebagai peraturan pelaksana dari UU Pemda, Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 (PP 18/2016) tentang
Perangkat Daerah mengatur mengenai pembentukan perangkat daerah yang disesuaikan dengan kewenangan yang
dipunyai oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Lebih lanjut, PP 18/2016 ini tidak hanya mengatur

MK - 150
mengenai pembentukan, jenis, dan kriteria tipelogi perangkat daerah; namun juga mengenai pemetaan urusan dan
beban pemerintah daerah.
PP 18/2016 mengatur beban kerja dari suatu pemerintah daerah melalui indikator pemetaan intensitas urusan
pemerintahan dan penentuan beban kerja perangkat daerah. Beban kerja tersebut menentukan tipelogi perangkat
daerah untuk Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Semakin besar beban kerjanya maka tipe perangkat
daerah yang dibutuhkan akan semakin besar pula. Penilaian beban kerja perangkat darerah terdiri dari penilai atas
variabel umum (jumlah penduduk, luas wilayah, dan besar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBD)) dan
variabel teknis untuk masing-masing urusan.
Sistem Informasi Jasa Konstruksi
Sistem Informasi Jasa Konstruksi (SIJK) adalah suatu sistem informasi yang terintegrasi untuk menyediakan data
dan informasi yang akurat dan terintegrasi dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Data dan informasi yang
terdapat pada SIJK adalah yang terkait dengan:
1. tanggung jawab dan kewenangan di bidang Jasa Konstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah;
2. tugas pembinaan di bidang Jasa Konstruksi yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan
3. tugas layanan di bidang Jasa Konstruksi yang dilakukan oleh masyarakat jasa konstruksi.
SIJK ini secara sistem dikelola oleh Pemerintah Pusat, sedangkan terkait penyediaan data dan informasi melibatkan
Pemerintah Daerah, Pengguna Jasa, dan Penyedia Jasa serta institusi yang terkait dengan Jasa Konstruksi.
Secara penyelenggaraan, Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas tersedianya SIJK dan memiliki kewenangan
untuk mengembangkan SIJK nasional. Sementara, Pemerintah Daerah Provinsi memiliki kewenangan dalam
penyelenggaraan penyediaan data dan informasi SIJK cakupan daerah provinsi. Sedangkan, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan penyediaan SIJK cakupan daerah kabupaten/kota.
Jadi, SIJK merupakan suatu sarana untuk menyajikan upaya penyelenggaraan pembinaan dan layanan informasi di
bidang jasa konstruksi oleh Pemerintah Pusat dan Daerah sesuai dengan kewenangan yang diembannya. Oleh karena
itu, SIJK sesungguhnya bukan hanya menyajikan kondisi mengenai jasa konstruksi di daerah yang dikoordinasikan
secara nasional, namun juga memberikan informasi jasa konstruksi serta upaya pembinaan dan layanan yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah di bidang jasa konstruksi dalam rangka penyelenggaraan secara nasional oleh
Pemereintah Pusat.

3.1. PENYUSUNAN PROFIL KINERJA PEMBINA JASA KONSTRUKSI


Konsep Profil
Kondisi geografis dan kependudukan antar daerah di Indonesia yang berbeda-beda memberikan pemahaman bahwa
terdapat adanya beban kerja di bidang konstruksi yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Terlebih,
terdapat perbedaan antar struktur pemerintahan daerah yang disesuaikan dengan prioritas wilayah dan potensi
daerah dalam pembangunan juga berdampak pada struktur organisasi perangkat daerah di bidang jasa konstruksi
yang juga berbeda antar daerah. Sehingga dalam melihat profil pembina jasa konstruksi perlu adanya
pengelompokan yang berbeda dari seluruh daerah-daerah. Penyusunan tipelogi daerah tersebut dilakukan dengan
mempertimbangkan tiga aspek, yaitu (1) kondisi umum (pemerintahan, geografis, kependudukan dan pendapatan);
(2) beban kerja jasa konstruksi (jumlah badan usaha konsultan, jumlah badan usaha kontraktor, jumlah tenaga ahli,
jumlah tenaga terampil); serta (3) beban kerja infrastruktur konstruksi (infrastruktur sumber daya air, infrastruktur
bina marga, infrastruktur cipta karya, infrastruktur perumahan dan penataan ruang, jasa konstruksi). Tipelogi ini,
berbeda dengan tipelogi PP 18/2016, harus mempertimbangkan urusan jasa konstruksi untuk menentukan beban
kerja suatu daerah. Beban kerja sub-urusan jasa konstruksi tidak cukup jika hanya mempertimbangkan jumlah
penerbitan IUJK di suatu daerah.
Setelah menentukan beban kerja, maka masuk ke dalam penyusunan profil kinerja yang akan memperlihatkan
bagaimana suatu organisasi perangkat daerah bekerja sesuai dengan beban yang diampunya. Penyusunan profil
kinerja pembina jasa konstruksi perlu menggunakan metode penilaian yang dapat menggambarkan bagaimana suatu
institusi bekerja. Metode Balanced Score Card (BSC) merupakan salah satu metode yang umum digunakan dalam
mengukur profil dan kinerja dari suatu institusi karena mempertimbangkan bukan saja aspek finansial, namun juga
aspek operasional. Balanced Score Card dapat digunakan untuk menyusun suatu profil institusi berdasarkan empat
perspektif, yaitu:

MK - 151
1. Perspektif learning and growth.
Yaitu perspektif yang menggambarkan kemampuan suatu perusahaan untuk melakukan perbaikan dan
perubahan dengan memanfaatkan sumber daya internal perusahaan, dimana kesinambungan suatu perusahaan
dalam jangka panjang sangat bergantung pada perspektif ini.
2. Perspektif financial.
Balanced score card pertama kali dikembangkan dari studi pengukuran kinerja di sektor bisnis, sehingga yang
dimaksud perspektif finansial disini ialah terkait dengan financial sustainability, yaitu berupa pandangan
stakeholder yang digunakan untuk menilai kinerja organisasi atau perusahaan.
3. Perspektif internal business process.
Merupakan serangkaian aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh suatu organisasi atau suatu perusahaan
untuk menciptakan produk dan jasa dalam rangka memenuhi dan melebihi harapan pelanggan. Perspektif ini
menjelaskan tentang proses bisnis yang dikelola oleh perusahaan untuk memberikan layanan dan nilai-nilai
kepada stakeholder dan customers.
4. Perspektif customer’s satisfaction.
Perspektif customer’s satisfaction ialah perspektif yang berorientasi kepada pelanggan, karena pada dasarnya
merekalah pemakai produk dan jasa organisasi. Dengan kata lain, suatu organisasi harus memperhatikan dan
memenuhi apa yang diinginkan oleh pelanggan mereka.
Keempat perspektif di atas dapat diejawantahkan ke dalam persepektif input, proses, output, dan outcome yang
mencerminkan seluruh perspektif tersebut. Perspektif input mencakup learning & growth dan financial. Sementara,
perspektif proses memberikan gambaran dari internal business process. Sedangkan, customer’s satisfaction
diterjemahkan ke dalam perspektif output dan outcome. Keempat perspektif tersebut disusun ke dalam profil yang
menggambarkan kondisi dari pembina jasa konstruksi di daerah melalui penjabaran kriteria yang terkait pembinaan
jasa konstruksi di daerah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.
Keempat perspekif yang ada pada Balanced Score Card ditunjukkan melalui aspek input dan process yang
terkandung dalam bagian landasan hukum, organisasi, finansial, dan program karena merupakan unsur yang melekat
dengan badan. Itu berarti bahwa suatu tim/unit yang terbentuk pasti terdapat unsur-unsur inheren yang melekat
kepadanya, tanpa adanya unsur dasar tersebut maka tim/unit tersebut tidak dapat bekerja. Dalam studi ini, unsur-
unsur dasar tersebut dikategorikan sebagai Profil Dasar. Kemudian, target/capaian dari suatu organisasi dalam
bentuk output yang dihasilkan dan outcome yang dicapai. Perspektif stakeholder's satisfaction yang terkandung
dalam bagian output dan outcome sangat terkait dengan hasil dan capaian yang diharapkan oleh seluruh pemangku
kepentingan terhadap perangkat daerah. Pengkategorian 3 profil tersebut (Profil Dasar, Profil Pengembangan, dan
Profil Capaian) menggambarkan kondisi kinerja suatu organisasi sehingga dapat meningkatkan kinerjanya sesuai
dengan yang diharapkan.

Gambar 4. Pembagian Profil Pembina Jasa Konstruksi

MK - 152
Kemudian, penjabaran kriteria yang terdapat pada masing-masing profil di atas dikelompokkan menjadi enam
bagian yang menggambarkan pembagian sesuai dengan struktur organisasi dan tata kelola pemerintahan di
Indonesia. Enam bagian tersebut berisi kriteria profil yang disusun berdasarkan perspektif dan unsur-unsur
pembentuk seperti yang dijelaskan pada Gambar 4. Enam bagian profil pembina jasa konstruksi itu antara lain
landasan hokum; struktur dan sumber daya organisasi; program dan anggaran; lembaga dan masyarakat professional
di daerah; pembinaan jasa konstruksi kabupaten/kota (khusus profil tingkat provinsi); serta data lainnya.
Sebagai resume dari seluruh penjelasan terkait dengan tipelogi beban kerja, kriteria profil, dan pembagian pemetaan
profil di atas; maka penyusunan profil pembina jasa konstruksi ini dapat digambarkan mekanismenya dalam bentuk
bagan alir yang terdapat pada Gambar 5 di bawah ini.

Gambar 5. Penyusunan Profil Pembina Jasa Konstruksi Daerah


Kriteria Profil
Profil pembina jasa konstruksi terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu tipelogi beban kerja dan kriteria profil.
Variabel dan indikator untuk profil kinerja pembina jasa konstruksi dijelaskan pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Beban kerja pada profil kinerja pembina jasa konstruksi
No. Bagian/Variabel Indikator
A. Tipelogi Beban Kerja
I. Umum
1 Pemerintahan a Nama Resmi
b Ibukota
c Jumlah Kabupaten/Kota (untuk Provinsi)
2 Geografis a Luas Wilayah
b Deskripsi Singkat Potensi Daerah
c Potensi Nilai Investasi Konstruksi
3 Kependudukan dan Pendapatan a Jumlah Penduduk
b Tenaga Kerja
c PAD
d APBD
e PDRB
f PDRB Sektor Konstruksi
II. Beban Kerja Jasa Konstruksi
4 Jumlah Badan Usaha Konsultan
5 Jumlah Badan Usaha Kontraktor
6 Jumlah Tenaga Ahli
7 Jumlah Tenaga Terampil
III. Beban Kerja Infrastruktur Konstruksi
8 Infrastruktur Sumber Daya Air a. Drainase
b. Pantai
c. Irigasi
d. Sungai
e. Jumlah kapasitas tampungan air

MK - 153
9 Infrastruktur Bina Marga a. Jalan
b. Jembatan
10 Infrastruktur Cipta Karya a. Air baku
b. Jumlah fasilitas pengelolaan air limbah
c. Luas Sistem Pengelolaan Air Limbah
11 Infrastruktur Perumahan a. Jumlah permukiman
b. Luas permukiman
c. Bangunan Strategis
d. Kawasan strategis
e. Penggunaan lahan

Tabel 3. Kriteria pada profil kinerja pembina jasa konstruksi


No. Bagian/Variabel Indikator
B. Kriteria Profil
I. Landasan Hukum
1 Landasan peraturan terkait a Susunan organisasi dan tata kerja
pembinaan jasa konstruksi b Jasa konstruksi
c TPJK (Tim Pembina Jasa Konstruksi)
d Peraturan terkait jasa konstruksi (SMK3, SMM, SIJK, dll).
2 Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Program
II. Struktur dan Sumber Daya Organisasi
3 TPJK Provinsi a Susunan TPJK (Bagan)
b Tupoksi dan SOP TPJK
c Sumber Daya Manusia Pendukung
d Sarana dan Prasarana Pendukung
4 Unit Pembina Jasa Konstruksi a Susunan Dinas Terkait Jasa Konstruksi (Bagan)
b Tupoksi Unit Jasa Konstruksi
c Sumber Daya Manusia Pendukung
d Sarana dan Prasarana Pendukung
e Administrator SIJK
i. SK Administrator SIJK
ii. Keberadaan Administrator SIJK di Unit Pembina Jasa Konstruksi
iii. PIC Administrator SIJK
III. Program dan Anggaran
5 TPJK/Kepala Daerah a Koordinasi Bidang Jasa Konstruksi
b Arahan Pelaksanaan Kebijakan Pembinaan Jasa Konstruksi
c Arahan Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan Jasa Konstruksi
d Arahan Pelaksanaan Pelatihan, Bimbingan Teknis, dan Penyuluhan
Arahan Pelaksanaan Pengawasan untuk Tertib Penyelenggaraan Pekerjaan
e
Jasa Konstruksi
f Penetapan upah tenaga kerja konstruksi
6 Unit Pembina Jasa Konstruksi Program Pengaturan Jasa Konstruksi
i. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan jasa konstruksi.
a ii. Sosialisasi Kebijakan Pusat.
iii. Penyusunan Pedoman Teknis dan Kebijakan Pelaksanaan Jasa
Konstruksi
Program Pemberdayaan Jasa Konstruksi
i. Pemberdayaan Pengguna Jasa (SKPD/PPK dan ULP)
ii. Pemberdayaan dan Penyelenggaraan Pembinaan Kepada Penyedia Jasa
b
iii. Pemberdayaan Masyarakat
iv. Pemberdayaan LPJK (untuk Provinsi)
v. Pemberdayaan Pemda Kabupaten/Kota (untuk Provinsi)
Program Pengawasan Jasa Konstruksi
c i. Pengawasan LPJK (untuk Provinsi)
ii. Evaluasi Kinerja Pemda Kabupaten/Kota (untuk Provinsi)
7 SPM Jasa Konstruksi Peningkatan Ketersediaan Informasi Jasa Konstruksi (SIJK)
i. Potensi Pasar Jasa Konstruksi
a
ii. Paket Pekerjaan Jasa Konstruksi
iii. Profil TPJK
b Capaian SPM
8 Besar Anggaran a TPJK
APBD Terkait Infrastruktur
b i. Konsultansi
ii. Konstruksi
Unit Pembina Jasa Konstruksi
i. Sumber APBD
c
- Swakelola
- Kontraktual

MK - 154
ii. Sumber APBN (Binjakonda, dll)
iii. Sumber lainnya (Dana Asing, dll)
9 Serapan Penggunaan Anggaran a Serapan Anggaran Terkait Infrastruktur
b Serapan Anggaran Unit Pembina Jasa Konstruksi
IV. Lembaga dan Masyarakat Profesional Jasa Konstruksi
10 LPJK Provinsi (untuk Provinsi) a Organisasi
b Sumber Daya Manusia dan Pendukung
c Anggaran
d Program dan Rapat Kerja
Pencapaian Tugas LPJKP (untuk Provinsi
i. Diklat
ii. Litbang
e
iii. Registrasi dan Sertifikasi Tenaga Kerja
iv. Registrasi Badan Usaha
v. Mediasi, Arbitrase, dan Penilai Ahli
11 Daftar Asosiasi Badan Usaha a Daftar Badan Usaha
b Daftar Badan Usaha yang masuk kelompok unsur LPJKP (untuk Provinsi)
12 Daftar Asosiasi Profesi a Daftar Asosiasi Profesi
Daftar Asosiasi Profesi yang masuk kelompok unsur LPJKP (untuk
b
Provinsi)
13 Kerjasama dengan Perguruan Tinggi a Daftar Kerjasama dengan Perguruan Tinggi dan LSM
dan LSM Daftar Perguruan Tinggi yang masuk kelompok unsur LPJKP (untuk
b
Provinsi)
V. Pembinaan dan Pemberdayaan Jasa Konstruksi Pemda Kab/Kota (untuk Provinsi)
14 Profil Singkat Pembinaan Jasa a Landasan Hukum dan Peraturan
Konstruksi Kabupaten/Kota i. Peraturan IUJK di Kabupaten/Kota
ii. Peraturan Terkait Jasa Konstruksi di Kabupaten/Kota
b Jumlah TPJK Kabupaten/Kota
c Unit Pembina Jasa Konstruksi Kab/Kota
i. Jumlah Unit Pembina Jasa Konstruksi Kab/Kota
ii. Posisi Kepala Unit Pembina Jasa Konstruksi Kab/Kota (Eselonisasi)
d Administrator SIJK di Kabupaten/Kota
i. Kabupaten/Kota mempunyai SK Administrator SIJK
ii. Keberadaan Administrator SIJK di Unit Pembina Jasa Konstruksi
Kabupaten/Kota
iii. PIC Administrator SIJK Kabupaten/Kota
e SPM Jasa Konstruksi Kab/Kota
f Laporan Tahunan TPJK Kabupaten/Kota
VI. Data Lainnya
15 Penghargaan Bidang Jasa Konstruksi yang Diterima Pemerintah Daerah
16 PIC Unit Pembina Jasa Konstruksi

ARAH PENGEMBANGAN PROFIL PEMBINA JASA KONSTRUKSI DI INDONESIA


Profil pembina jasa konstruksi menunjukkan kondisi dan upaya pembinaan yang dilakukan oleh pembina jasa
konstruksi di daerah. Profil ini menjadi bagian terintegrasi dengan SIJK yang menjadi sarana untuk
mengkoordinasikan penyelenggaraan pembinaan yang dilakukan oleh Daerah, dari tingkat kabupaten/kota hingga
provinsi, secara nasional. Penyelenggaraannya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah menjadi kunci utama dalam
mewujudkannya, koordinasi secara nasional oleh Pemerintah Pusat serta dukungan dana juga mutlak diperlukan.
Oleh karena itu, penyelenggaraannya memerlukan adanya sistem yang mutlak berbasis online. Bukan hanya diisi
secara manual oleh administrator, namun perlu suatu sistem yang terhubung dengan data yang dimiliki oleh BPS
dan Pemerintah Daerah. Sistem yang terintegrasi dengan pihak lain akan mempermudah dalam melakukan
konfirmasi jika ada kesalahan. Selain itu, pengisiannya juga tidak memerlukan adanya inputisasi manual yang terus
menerus oleh administrator, cukup dengan menghubungkannya dengan data yang sudah ada di unit lainnya. Secara
substansial, profil ini harus dipahami sebagai data dan informasi yang dimiliki oleh Daerah namun dapat diakses
secara luas secara nasional.
Selain itu, penyelenggaraan ini mutlak memerlukan koordinasi oleh Pemerintah Pusat. Dukungan teknis dalam
bentuk pelatihan dan sistem berbasis online yang terjamin fungsi dan kapasitasnya. Di sisi lain, penyelenggaraannya
juga memerlukan dukungan dana dari Pemerintah Pusat ke Daerah. Jaminan pelaksanaan juga harus didapat dari
Pemerintah Daerah dengan melakukan koordinasi secara terus menerus, bahwa profil ini sangat berguna bagi
Pemerintah Daerah dalam mengembangkan usaha jasa konstruksi serta upaya menarik investasi yang diperlukan
oleh daerahnya juga perlu dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

MK - 155
4. KESIMPULAN
Profil pembina jasa konstruksi memberikan gambaran mengenai kondisi jasa konstruksi di daerah serta upaya
pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Hal ini sesuai dengan amanat yang diberikan oleh UUJK untuk
dapat melaksanakan tanggung jawab dan kewenangan serta tugas pembinaan dan layanan oleh Pemerintah Daerah.
Dalam hal tenaga kerja konstruksi, upaya pembinaan ini menjadi pendorong utama peningkatan kompetensi tenaga
kerja konstruksi yang berbasis di daerah. Profil memberikan gambaran jumlah tenaga kerja yang berada di sektor
jasa konstruksi, baik tenaga ahli maupun tenaga terampil. Dengan mengetahui secara tepat jumlah tenaga kerja,
maka upaya pembinaan diharapkan dapat lebih tepat sasaran.
Terlebih lagi, beban kerja dari jasa konstruksi dan infrastruktur juga dapat menjadi pertimbangan dalam
melaksanakan pelatihan supaya dapat sesuai dengan kebutuhan dari usaha jasa konstruksi yang sedang berlangsung.
Penyelenggaraan pembinaan dengan pemberdayaan dan kerja sama baik antar Pemerintah Pusat dan Daerah serta
dengan lembaga dan masyarakat professional juga menjadi bagian yang sangat penting.
Maka, dengan pengembangan profil pembina jasa konstruksi diharapkan dapat mendukung upaya pembinaan untuk
mewujudkan penyelenggaraan jasa konstruksi di daerah melalui peningkatan jumlah dan mutu tenaga kerja
konstruksi. Tercapainya tenaga kerja yang unggul dan berdaya saing di sektor konstruksi maka akan mendukung
adanya industri jasa konstruksi yang mentap sehingga tercipta infrastruktur yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA
Direktur Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2017), “Informasi APBN 2017”.
Indonesia
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia (2017), “Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 13.1/PRT/M/2015, tentang Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019”. Indonesia
Pemerintah Republik Indonesia. (2014), “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014, tentang
Pemerintahan Daerah”. Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia. (2017), “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017, tentang Jasa
Konstruksi”. Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia (2016), “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016, tentang
Perangkat Daerah”. Indonesia.

MK - 156
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

ESTIMASI DURASI PROYEK PEMBANGUNAN TERMINAL PETIKEMAS


KALIBARU

Dian Setyowati1 dan Muhamad Abduh2

1
Program Studi Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132, Indonesia
Email: diansetyo_sw@yahoo.com
2
Program Studi Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132, Indonesia
Email: abduh@si.itb.ac.id

ABSTRAK
Indonesia saat ini banyak melaksanakan proyek infrastruktur skala besar seperti pelabuhan,
terminal, jalan tol, perumahan rakyat dan bangunan industri. Salah satu proyek infrastruktur skala
besar yang dimiliki oleh Indonesia yaitu proyek pembangunan Terminal Petikemas Kalibaru Utara
Tahap 1 Proyek yang direncanakan memakan waktu 50 bulan, serta memiliki 3 terminal petikemas
yang akan dibangun. Jangka waktu pelaksanaan akan dibagi menjadi tiga tahap, yakni pekerjaan
tahap 1 ditetapkan selama 20 bulan, pekerjaan tahap 2 selama 27 bulan dan pekerjaan tahap 3
ditetapkan selama 50 bulan. PT. PP sebagai kontraktor utama telah memulai kegiatan konstruksi
sejak awal 2012 dan menurut kontrak berakhir pada tahun 2016 untuk tahap pertamanya. Akan
tetapi pada bulan Juni 2016 proyek ini baru mencapai progres sebesar 67,347%. Untuk mengetahui
apakah proyek dapat menyelesaikan target 50 bulan untuk durasi penyelesaian proyek maka akan
dilakukan estimasi durasi dengan bantuan simulasi. Setelah mengetahui lama durasi penyelesaian
proyek akan dibuat usulan perbaikan agar penyelesaian proyek mendekati durasi dari kontrak yang
ada. Simulasi akan dilakukan menggunakan pemodelan CYCLONE yang akan dirunning pada
program komputer yaitu COST.
Kata kunci: Estimasi durasi, Simulasi, Produktivitas.

1. PENDAHULUAN
Sektor konstruksi menjadi hal yang penting dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Kontraktor lokal
dapat berpartisipasi dalam proyek-proyek pengembangan infrastruktur skala besar seperti pelabuhan, terminal, jalan
tol, sarana telekomunikasi, irigasi, drainase, perumahan rakyat, dan bangunan industri. Bagi negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia, kebutuhan akan infrastruktur dasar juga masih sangat besar.
Saat ini Indonesia banyak melaksanakan proyek-proyek infrastruktur skala besar seperti pelabuhan, bandar udara,
kereta cepat, dan jalan tol. Proyek skala besar tentu saja memiliki tingkat kompleksitas dan resiko yang besar.
Ketika proyek menjadi besar atau kompleks, maka proyek menjadi lebih sulit untuk dikelola menggunakan teknik
yang biasa digunakan dalam proyek pada umumnya seperti gedung. Teknik simulasi menjadi sangat efektif dalam
domain ini untuk memberikan peralatan yang diperlukan untuk merancang dan menganalisis proses konstruksi
terlepas dari kompleksitas atau ukurannya (AbouRizk, 2010).
Salah satu proyek infrastruktur skala besar yang dimiliki oleh Indonesia yaitu proyek pembangunan Terminal
Petikemas Kalibaru Utara Tahap 1 Pelabuhan Tanjung Priok mendapatkan perhatian bagi industri konstruksi.
Proyek yang direncanakan memakan waktu 50 bulan ini memilik tiga terminal petikemas yang akan dibangun.
Jangka waktu pelaksanaan akan dibagi menjadi tiga tahap, yakni pekerjaan tahap 1 ditetapkan selama 20 bulan,
pekerjaan tahap 2 selama 27 bulan dan pekerjaan tahap 3 ditetapkan selama 50 bulan. PT. PP sebagai kontraktor
utama ini telah memulai kegiatan konstruksi sejak awal 2012 dan menurut kontrak berakhir pada tahun 2016 untuk
tahap pertamanya. Akan tetapi pihak kontraktor memprediksi proyek ini akan mengalami keterlambatan.
Kompleksitas dari proyek pembangunan Terminal Petikemas Kalibaru ini sangat tidak memungkinkan melakukan
estimasi durasi secara manual. Dan dalam pelaksanaannya pula ditemukan pekerjaan yang bersifat berulang,
sehingga diperlukan suatu alat bantu yang mempermudah proses estimasi yaitu dengan menggunakan teknik
simulasi. Menurut AbouRizk (2010), simulasi dapat dengan mudah dilakukan dengan mengetahui karakteristik dari
operasi yang dimodelkan dan metode kerja telah diketahui secara jelas. Hal ini akan menghemat waktu dan lebih
spesifik dalam menjelaskan penggunaan sumber daya untuk melakukan estimasi durasi dibandingkan teknik yang
lainnya seperti PERT/CPM.

MK - 157
2. REKLAMASI
Reklamasi adalah suatu pekerjaan/usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih
kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa,
di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau (Permen PU NO.40/PRT/M/2007). Umumnya,
reklamasi perairan dibagi menjadi dua macam. Pertama, reklamasi yang menempel atau menyatu dengan garis
pantai dan yang kedua, reklamasi lahan yang terpisah dari pantai daratan induk. Sistem pengembangan yang
diterapkan juga merupakan hal yang penting dalam proyek reklamasi.

3. PEMODELAN UNTUK SIMULASI DI KONSTRUKSI


Simulasi penting dalam melakukan estimasi terhadap produktivitas suatu operasi konstruksi dan kinerja dari proyek.
Penjadwalan proyek dimodelkan dengan membangun hubungan antara kegiatan, yang pada gilirannya
diformulasikan dengan menggunakan operasi konstruksi. Maka kegiatan konstruksi terdiri dari operasi individu dan
saling berhubungan untuk menggambarkan sebuah proyek. (Halpin dan Riggs,1992)
Memprediksi durasi proyek konstruksi telah menarik berbagai upaya penelitian, tetapi sebagian besar upaya ini
mengasumsikan durasi proyek konstruksi. Selain itu, analisis regresi biasanya digunakan untuk perkiraan durasi
proyek. Bromilow (1969) mengusulkan model empiris pertama untuk peramalan durasi konstruksi berdasarkan data
dari ratusan proyek konstruksi yang dikumpulkan di Australia.
CYCLONE adalah singkatan Cyclic Operations Network. Ini adalah bahasa pemodelan simulasi yang pertama kali
diusulkan oleh Daniel Halpin setelah menyadari kekurangan bahwa metode sederhana seperti Critical Path Method
(CPM) dan Program Evaluation and Review Technique (PERT) memiliki keterbatasan dalam menganalisis operasi
siklik. Pada CYCLONE terdiri dari lima unsur pemodelan (Queue, Combi, Normal, Function dan Counter), serta
body dan panah. Hal ini bermanfaat untuk dicatat bahwa entitas ini tidak membawa atribut dengan diri mereka
sendiri (Simphony.net Development Team, 2011).
Dalam pemodelan CYCLONE sumber daya dimodelkan dalam flow unit. Flow unit bergerak dari satu status ke
status yang lain, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Pemodelan durasi dalam CYCLONE berada pada
NORMAL dan COMBI karena terkait dengan tertahannya flow unit pada suatu work task tertentu. Work task akan
saling terkait satu dengan lainnya, baik secara parallel maupun seri, sehingga gabungan durasi work task dapat
menghasilkan durasi operasi. Keberadaan pemodelan durasi dapat menghasilkan indikator operasi seperti
produktivitas, waktu tunggu, dan lainnya.

4. PEMODELAN SIMULASI
Informasi Umum Proyek
Pertumbuhan dari lalu lintas petikemas di pelabuhan Tanjung Priok dalam waktu 10 tahun (1999-2009) rata-rata
sebesar 5%. Di sisi lain, pengoperasian pelabuhan Tanjung Priok sekarang telah menjadi pelabuhan di Indonesia
yang dapat menerima dan melayani kapal dengan kapasitas 6.000 TUE’s. Sedangkan, pelabuhan besar lainnya di
dunia dapat menerima dan melayani kapal dengan kapasitas 15.000 – 18.000 TEU’s. Kondisi sekarang, kapal
dengan klasifikasi kapasitas yang lebih besar tidak dapat masuk dan dilayani di pelabuhan Indonesia. Struktur
organisasi proyek digambarkan ada diagram berikut ini:

Gambar 1. Struktur organisasi proyek New Priok (Sumber: PT.PP, 2013)

MK - 158
Lingkup Pekerjaan
Lingkup pekerjaan yang menjadi tanggung jawab Kontraktor Pelaksana sesuai Surat Perjanjian Pemborongan
terdiri atas:
a. Pekerjaan Tahap 1A1 (0-450 meter) terdiri dari:
1) Dermaga 1A sepanjang 450 meter (0-450 meter)
2) Container yard 1A (di belakang dermaga 0-450 meter)
3) Jalan akses
4) Pembongkaran breakwater eksisting timur dan jetty Medco
Ditetapkan selama 27 bulan terhitung sejak berita acara serah terima lokasi/lapangan.
b. Pekerjaan Tahap 1A2 (451-850 meter) terdiri dari:
1) Dermaga 1A sepanjang 450 meter (0-450 meter)
2) Container yard sepanjang 400 meter (541-850 meter)
3) Mekanika/elektrikal tahap 1A dan jalan akses
Ditetapkan selama 34 bulan terhitung sejak berita acara serah terima lokasi/la pangan.
c. Pekerjaan Tahap 1B terdiri dari:
1) Pekerjaan dermaga 1B
2) Pekerjaan breakwater disposal A
3) Pekerjaan breakwater disposal B
4) Pekerjaan breakwater container yard 1B
5) Pekerjaan pengerukan dan reklamasi
6) Pekerjaan mekanikal dan elektrikal 1B

Pemodelan Operasi
Dalam simulasi ini sebelum durasi dari studi kasus dari tiap task yang ada, dibuat dahulu model dari operasi-operasi
yang akan disimulasikan kemudian. Operasi yang dimodelkan adalah operasi penting yang biasanya menjadi
penyusun suatu proses pekerjaan reklamasi dimana operasi ini pasti selalu ada dalam pembangunan yang
menggunakan pekerjaan reklamasi apapun. Adapun model operasi penting yang menjadi penyusun dari keseluruhan
proyek ini terdiri dari:
1. Operasi Pengerukan
2. Operasi Pembuatan Sand Bund
3. Operasi Instalasi PVD
4. Operasi Penyemprotan Lumpur
Setelah pemodelan operasi dan durasi dibuat maka kemudian dibuat suatu pemodelan proyek yang mana dibuat dua
buah model proyek yang berbeda karakteristik antara suatu model dengan yang lainnya.

Operasi Pengerukan
Proyek ini terdiri dari pengerukan parit untuk dermaga 1A dan 1B dengan grab dredger dan pengerukan cekungan
dengan cutter suction dredger dan trailing suction hopper dredger. Tanah keras akan dikeruk dengan mengunakan
grab dredger dan/atau backhoe dredger kemudian disimpan di area reklamasi dermaga 1B (terminal kontainer)
sedangkan material lebih lembut akan dibuang di area disposal A dan B. Kolam alur dan cekungan akan diperdalam
oleh trailing hopper suction dredger.
A. Operasi Pengerukan Menggunakan TSHD
TSHD ‘Vox Maxima’ merupakan alat keruk yang dapat melakukan proses pengerukan tanpa harus diam disatu titik
tertentu. Alat ini tidak memiliki angkur dan kabel, tetapi bergerak dengan bebas, yang sangat penting jika area
proyek dekat dengan pelabuhan. Kekurangan dari alat ini jika dilihat dari segi ekonomi tidak cukup baik.

MK - 159
Gambar 2. Tahapan operasi pengerukan menggunakan TSHD

B. Operasi Pengerukan Menggunakan CSD


Cutter suction dredger ‘Athena’ akan digunakan untuk membantu operasi pengerukan pada proyek ini. CSD
cenderung tidak memiliki banyak kesulitan dalam pengoperasiannya pada proyek ini dikarenakan dasar laut kalibaru
yang cukup dalam. Pada umumnya, CSD mempunyai kelebihan jika profil dari daerah yang dikeruk telah jelas. Alat
ini hampir bisa mengeruk semua jenis tanah yang ada, meskipun tergantung kekuatan mesin yang diinstal. Selain
itu, alat ini memiliki kekurangan saat bekerja pada lepas pantai yang memiliki gelombang yang besar.

Gambar 3. Tahapan operasi pengerukan menggunakan CSD

C. Operasi Pengerukan Menggunakan Grab Dredger


Pada proyek ini, grab dredger ‘dione’ akan digunakan, alat ini dapat mengeruk tanah yang lunak hingga keras akan
tetapi tingkat produktivitas yang dimiliki cukup rendah. Alat ini membutuhkan waktu yang lebih lama jika
dibandingkan dengan alat keruk yang lain. Dua buah split barge akan membantu dione selama proses pengerukkan
untuk membawa material yang telah dikeruk menuju area timbunan. Split barge ini hanya mampu menimbun hingga
elevasi -1 mLWS.

Gambar 4. Tahapan operasi pengerukan menggunakan grab dredger

Operasi South Sandbund


Pengerjaan operasi ini disesuaikan dengan metode kerja yang akan dilakukan kontraktor di lapangan. Sebuah TSHD
akan digunakan untuk mengalirkan pasir ke area pembuatan sand bund. TSHD yang dipakai yaitu HAM 130 dengan
produktivitas sebesar 300.000 m3/minggu dan kapasitas hopper sebesar 13.000 m3. Material yang berada di TSHD
akan dipompa menggunakan pipa yang disambungkan ke spray pontoon. Untuk kedalam -1,00 mLWS spray
pontoon digunakan untuk membuat platform pada dasar laut. Jika kedalaman timbunan pasir telah mencapai -1,00
mLWS maka pipa pada spray pontoon dilepas dan pipa utama akan disambungkan dengan 2 pipa (shore pipeline)
yang akan mengalirkan pasir di atas platform yang telah dibuat.

Gambar 5. Tahapan operasi pembuatan south sand bund

MK - 160
Operasi Instalasi PVD
Instalasi PVD dilaksanakan oleh subkon spesialis yaitu PT. Geostructure Dynamics. Operasi instalasi PVD akan
terdapat 6 tahapan dalam pelaksanaannya, tahapan ini disesuaikan dengan metode kerja yang akan dilakukan
kontraktor di lapangan. Tiap subzona menggunakan 1 hidrolic rig untuk melakukan instalasi PVD. Terdapat 464
titik akan dipasang pada tiap-tiap subzona tersebut.

Gambar 6. Tahapan operasi instalasi PVD

Operasi Penyemprotan Lumpur


Operasi ini diawali dengan menyambungkan noozle CSD ke rubber pipeline. Selanjutnya rubber pipeline ini akan
disambungkan ke 5 shore pipeline yang akan menghubungkan ke area reklamasi. Setelah terpasang lumpur akan
disemprotkan dan diangkut oleh truck untuk diratakan ke area yang lebih jauh. Setelah lumpur yang diangkut oleh
truck sampai, maka excavator, bulldozer dan wheelloader akan bekerja meratakan material lumpur yang diangkut.

Gambar 7. Tahapan operasi penyemprotan lumpur

Pemodelan Proyek
Pemodelan proyek New Priok yang dilakukan pada penelitian ini hanya dilakukan pada pekerjaan pengerukan dan
reklamasi. Hal ini dikarenakan item pekerjaan ini merupakan jalur kritis proyek yang dimulai dari awal proyek
hingga proyek selesai (50 bulan). Terdapat 11 operasi untuk pekerjaan ini, keseluruhan operasi akan dimodelkan dan
kemudian dilakukan simulasi.
Pada model proyek ini tiap operasi dianggap sebagai worktask yang memiliki durasi keseluruhan dari operasi-
operasi yang ada dan kemudian disimulasikan sehingga hasil dari suatu model proyek adalah waktu keseluruhan
proyek pada tiap siklusnya.

5. HASIL DAN ANALISIS SIMULASI


Pada bagian ini akan dijabarkan mengenai hasil dari simulasi operasi dan proyek yang telah dilakukan.
Hasil Simulasi
Hasil Simulasi Operasi
Hasil simulasi operasi yang dilakukan akan berupa nilai produktivitas, waktu idle masing-masing resource, total
durasi, dan biaya yang dikeluarkan untuk masing-masing operasi.

A. Operasi Pengerukan
1. TSHD
Setelah semua input dimasukkan ke dalam program COST, maka akan didapatkan hasil berikut ini, dimana
simulasi dilakukan sebanyak 100 kali untuk mendapatkan grafik produktivitas yang sudah stabil. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan produktivitas terbaik dimana akan dihasilkan perkiraan durasi
terbaik dengan waste yang sudah semakin kecil. Dari simulasi didapatkan nilai produktivitas sebesar 0,085
hopper/jam.

MK - 161
2. CSD
Setelah semua input dimasukkan ke dalam program COST, maka akan didapatkan hasil berikut ini, dimana
simulasi dilakukan sebanyak 100 kali untuk mendapatkan grafik produktivitas yang sudah stabil. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan produktivitas terbaik dimana akan dihasilkan perkiraan durasi
terbaik dengan waste yang sudah semakin kecil.

3. Grab Dredger
Setelah semua input dimasukkan ke dalam program COST, maka akan didapatkan hasil berikut ini, dimana
simulasi dilakukan sebanyak 100 kali untuk mendapatkan grafik produktivitas yang sudah stabil. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan produktivitas terbaik dimana akan dihasilkan perkiraan durasi
terbaik dengan waste yang sudah semakin kecil. Dari simulasi didapatkan nilai produktivitas sebesar 0,0047
barge/menit.

B. Operasi South Sandbund


Setelah semua input dimasukkan ke dalam program COST, maka akan didapatkan hasil berikut ini, dimana simulasi
dilakukan sebanyak 100 kali untuk mendapatkan grafik produktivitas yang sudah stabil. Hal ini dilakukan dengan
tujuan untuk mendapatkan produktivitas terbaik dimana akan dihasilkan perkiraan durasi terbaik dengan waste yang
sudah semakin kecil. Dari simulasi didapatkan nilai produktivitas sebesar 0,024 hopper/jam.

C. Operasi Instalasi PVD


Setelah semua input dimasukkan ke dalam program COST, maka akan didapatkan hasil berikut ini, dimana simulasi
dilakukan sebanyak 100 kali untuk mendapatkan grafik produktivitas yang sudah stabil. Hal ini dilakukan dengan
tujuan untuk mendapatkan produktivitas terbaik dimana akan dihasilkan perkiraan durasi terbaik dengan waste yang
sudah semakin kecil. Dari simulasi didapatkan nilai produktivitas sebesar 0,0057 roll/menit.

D. Operasi Penyemprotan Lumpur


Setelah semua input dimasukkan ke dalam program COST, maka akan didapatkan hasil berikut ini, dimana simulasi
dilakukan sebanyak 100 kali untuk mendapatkan grafik produktivitas yang sudah stabil. Hal ini dilakukan dengan
tujuan untuk mendapatkan produktivitas terbaik dimana akan dihasilkan perkiraan durasi terbaik dengan waste yang
sudah semakin kecil. Dari simulasi didapatkan nilai produktivitas sebesar 0,224 hopper/jam.

Hasil Simulasi Proyek


Prosedur simulasi proyek hampir sama dengan simulasi operasi pada poin IV.4.1, hanya yang membedakan adalah
durasi yang dipakai untuk diolah pada program COST. Simulasi untuk proyek akan dirunning sebanyak 100 kali
untuk mendapatkan hasil yang stabil. Setelah dirunning didapatkan output dari durasi proyek tiap siklusnya seperti
yang dapat dilihat pada Gambar 6.7 ini.
Pada tabel 6.1 dibawah dapat dilihat range 75,5 – 76,25 menduduki peringkat pertama probabilitas dengan frekuensi
35 dari 100 buah sampel. Ini menunjukkan bahwa kemungkinan proyek dapat diselesaikan antara 75,5 hingga 76,25
bulan adalah sebesar 35%.

MK - 162
Gambar 8. Grafik output durasi operasi tiap siklus

Analisis Hasil Simulasi


Tingkat Produktivitas
Tingkat produktivitas yang didapatkan setelah melakukan simulasi pada masing-masing operasi dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Nilai produktivitas operasi hasil simulasi
Operasi Produktivitas Satuan
TSHD 0,085 TSHD Hopper/jam
CSD 0,114 CSD Hopper/jam
GRAB 0,282 Barge/jam
Sand
Bund 0,024 CSD Hopper/jam
PVD 0,342 Roll/jam
Fill Mud 0,227 TSHD Hopper/jam

Estimasi Durasi Penyelesaian Proyek


Salah satu keputusan yang paling penting yang dibuat oleh kontraktor yaitu pemilihan peralatan konstruksi. Di luar
proyek konstruksi sederhana, sejumlah besar kegiatan memerlukan peralatan. Peralatan ini baik dapat dibeli oleh
kontraktor atau disewa untuk proyek tertentu. Keputusan untuk pemilihan jenis tertentu dari peralatan mungkin
merupakan hasil dari proses optimasi atau mungkin hanya didasarkan pada kenyataan bahwa kontraktor sudah
memiliki peralatan tertentu yang harus dimanfaatkan. Keputusan ini harus diantisipasi atau dibuat oleh estimator,
dalam banyak kasus, untuk memperkirakan biaya yang diharapkan untuk peralatan pada proyek yang diestimasi.

MK - 163
Gambar 9. Grafik output durasi proyek tiap siklus

MK - 164
Gambar 10. CPM Proyek New Priok (Dredging-Reklamasi)

Gambar 11. Model CYCLONE Proyek New Priok (Dredging-Reklamas

MK - 165
A. Estimasi Durasi Operasi
Nilai produktivitas yang telah didapatkan setelah melakukan simulasi, perhitungan durasi dapat dilakukan dengan
membagi besaran volume dengan nilai produktivitas masing-masing operasi. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat
pada Gambar 12. di bawah.
B. Estimasi Durasi Proyek
Durasi proyek telah yang telah ditetapkan sesuai kontrak addendum II adalah selama 50 bulan. Setelah melakukan
simulasi pada tingkat proyek durasi proyek berubah menjadi 74 bulan. Sehingga kemungkinan keterlambatan dari
proyek ini diprediksi selama 24 bulan (2 tahun). Proyek yang semula harus selesai seluruh item pekerjaannya pada
bulan November 2016 ini, kemungkinan baru dapat diselesaikan pada November 2018 jika tingkat produktivitas di
lapangan sesuai dengan produktivitas yang telah disimulasikan

Gambar 12. Grafik perbandingan durasi masing- Gambar 13. Grafik perbandingan nilai produktivitas
masing operasi alat

Perbaikan Model Simulasi


Dalam melakukan usulan perbaikan pada suatu model simulasi hal paling umum dilakukan adalah analisis
sensitivitas. Analisis sensitivitas bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang akan terjadi terhadap
performansi sistem yang dimodelkan, jika dilakukan perubahan-perubahan terhadap jumlah alokasi sumberdaya.
Atau dengan kata lain dengan analisis sensitivitas, dapat terlihat seberapa sensitif model terhadap perubahan jumlah
sumberdaya. Dengan melakukan analisis sensitivitas, dapat membantu dalam penentuan keputusan untuk menambah
atau mengurangi performansi sistem. Proses analisis sensitivitas ini dilakukan dengan cara menjalankan berulang
kali model, sambil mengubah jumlah sumberdaya yang merupakan variabel kontrol manajemen.
Akan tetapi pada proyek ini produktivitas sangat dipengaruhi alat utama seperti TSHD, CSD dan grab dredger.
Ketiga alat tersebut memerlukan biaya yang sangat mahal jika dilakukan penambahan alatnya. Hanya grab dredger
yang memungkinkan ditambah jumlahnya, tetapi penambahan jumlah grab dredger tidak akan mempercepat durasi
penyelesaian proyek secara keseluruhan. Perbaikan yang dapat diterapkan pada pemodelan proyek New Priok yaitu:
1. Melakukan perubahan urutan pekerjaan.
Pada kasus ini hal yang dilakukan adalah dengan mendahulukan operasi yang dilalui oleh jalur kritis seperti operasi-
operasi dari pekerjaan reklamasi. Jika dibandingkan dengan operasi pengerukan yang memiliki float maka sebaiknya
operasi pembuatan south sand bund dapat dimulai pertama kali setelah operasi pembuatan breakwater telah selesai
dilakukan. Hal ini dapat dilakukan karena baik operasi pengerukan dan pembuatan south sand bund sama-sama
menggunakan TSHD. Sehingga tidak ada batasan dalam perubahan urutan kedua operasi tersebut. Dengan
perubahan urutan pekerjaan tersebut durasi operasi akan lebih cepat.
Sama seperti melakukan simulasi proyek yang telah dilakukan sebelumnya, simulasi perbaikan proyek ini akan
dilakukan dengan membuat CPM dari proyek terlebih dahulu. Setelah CPM telah dibuat maka CPM akan diubah
menjadi model CYCLONE yang digunakan sebagai input dari simulasi. Untuk input durasi tetap sama seperti input
pada simulasi proyek sebelumnya. Jika skenario perubahan tersebut disimulasikan ulang maka waktu penyelesaian
proyek akan berkurang 5 bulan menjadi 69 bulan.

MK - 166
2. Luasan zona kerja diperkecil
Penetapan zona kerja yang harus diperkecil sehingga waktu tunggu antar operasi tidak terlalu lama. Dalam
pemodelan yang telah dilakukan zona yang terlalu besar membuat operasi yang akan menjadi ancestor menunggu
terlalu lama. Sebagai contoh, operasi instalasi PVD akan dimulai jika 1 zona south sand bund telah siap pada elevasi
+2,50 mLWS. Dalam kasus ini operasi PVD harus menunggu dua hingga bulan untuk selesainya satu zona tersebut.
Jika zona lebih kecil sangat memungkinkan waktu tunggu operasi berkurang.

6. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini :
1. Pemodelan dan simulasi yang dimulai dari tingkat task kemudian digabungkan menjadi operasi dan kemudian
dilanjutkan ke tingkat yang lebih besar lagi yakni proyek, dapat dilakukan pada penilitian ini. Pemodelan durasi
operasi pada penelitian ini menggunakan durasi yang didapat dari wawancara dan pengamatan. Sedangkan untuk
pemodelan level proyek, sebanyak 4 operasi (operasi yang dilakukan pengamatan) menggunakan data hasil
simulasi operasi yang telah dilakukan dan 7 operasi (operasi yang tidak dilakukan pengamatan) menggunakan
durasi deterministik.
2. Hasil simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa proyek New Priok akan selesai dalam waktu 76 bulan. Jika
dibandingkan dengan durasi yang ada pada kontrak (50 bulan) maka proyek ini akan mundur 26 bulan hingga
seluruh proses konstruksi akan selesai pada bulan Januari 2018.
3. Perbaikan terhadap model simulasi dilakukan untuk mendapatkan optimasi durasi penyelesaian proyek. Pada
penelitian ini usulan perbaikan yang dilakukan adalah dengan mengubah urutan pekerjaan. Dengan perubahan
urutan operasi pengerukan menggunakan TSHD dan operasi pembuatan south sandbund durasi dapat
dipersingkat hingga 5 bulan.

DAFTAR PUSTAKA
AbouRizk, S. (2010): Role of simulation in construction engineering and management. J. Constr. Eng. Manage.,
136(10), 1140-1153
AbouRizk, S. M. dan Mohamed, Y. (2000): SIMPHONY—An integrated environment for construction simulation.
Proc., 2000 Winter Simulation Conf., Society for Computer Simulation International, San Diego, 1907–1914.
AbouRizk, S., Hajjar D. (1998): A framework for applying simulation in the construction industry. Can J. Civ. Eng.,
25(3), 604-617
AbouRizk, S. dan Halpin D., (1990): Probabilistic simulation studies for repetitive construction proces. J. Constr.
Eng. Manage., 116(4): 575-594
AbouRizk, S., Halpin D., Mohamed Y. dan Hermann U. (2011): Research in modeling and simulation for improving
construction engineering operations. J. Constr. Eng. Manage., 137(10), 843-852
Adji, Hadjar Seti dan Karmawan, Pande Ketut Gd. (2016): Proyek pembangunan terminal petikemas di kalibaru
utara tahap 1 pelabuhan tanjung priok. PT.PP (Persero) Tbk. Jakarta.
Alkoc, E. dan Erbatur, F. (1997): Productivity improvement in concreting operations through simulation models.
Build. Res. Inf., 25 2 , 82–91.
Amellonando, A. (2013): Alternatives of dredging method based on interpretation of soil investigation in the north
kalibaru project. Final Project. Hanzehogeschool Groningen
Win, Bo Myint dan Choa Victor. (2004): Reclamation and ground improvement. Thomson Learning. Singapore.
Bromilow, F. J. (1969): Contract time performance expexctations and reality. Build. Forum, 1(3), 70–80.
Halpin, D. W. (1990): MicroCYCLONE user’s manual, Div. of Construction Engineering and Management, Purdue
Univ., West Lafayette, Ind.
Halpin, D. W. (1997): CYCLONE: Method for modeling of job site process. J. Constr. Div. 103(3), 489-499.
Halpin, D. W. dan Riggs, L. S. (1992): Planning and analysis of construction operations. Wiley, New York.
Halpin, D. W. dan Woodhead, R.(1992): Design of construction and process construction. Wiley, New York.

MK - 167
MK - 168
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

ANALISIS PANDANGAN KONTRAKTOR TERHADAP PENYEBAB DAN AKIBAT


CONTRACT CHANGE ORDER (CCO) PADA BIAYA DAN WAKTU DI PROYEK
KONSTRUKSI JALAN RAYA

Subrata Aditama K.A.Uda1

1
Jurusan/Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Palangka Raya,
Email: subrata_aditama@yahoo.com

ABSTRAK
Pada pelaksanaan kegiatan proyek konstruksi sering ditemukan berbagai permasalahan terutama
masalah implementasi dari perencanaan ke konstruksi fisik. Pemasalahan ini menyebabkan
munculnya perubahan-perubahan metode dan kegiatan konstruksi baik pada awal, pertengahan, dan
akhir proyek. Perubahan kegiatan /pekerjaan sesuai ketentuan disebut Change Order (perubahan
pekerjaan). Adanya Change Order dapat menyebabkan penambahan maupun pengurangan waktu
pelaksanaan dan biaya proyek. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pandangan kontraktor terhadap terjadinya Contract Change Order (CCO) pada suatu pekerjaan
konstruksi, khususnya pada pekerjaan jalan raya, menganalisis penyebab dan dampak yang
ditimbulkan akibat dari penerapan Change Order terhadap biaya dan waktu, serta untuk mengetahui
apa saja faktor dominan yang dapat menyebabkan terjadinya Change Order pada pelaksanaan
proyek konstruksi khususnya proyek jalan raya yang ada di Kabupaten Katingan. Metode
pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan memberikan kuisioner pada perusahaan
kontraktor yang pernah/sedang melaksanakan proyek konstruksi jalan raya 5 (lima) tahun terakhir di
Kabupaten Katingan. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan nilai indeks dan varian
(untuk mengetahui peringkat dari masing-masing faktor). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perubahan penambahan biaya yang terjadi akibat Contract Change Order dominan adalah sebesar
>4-6% dengan persentase responden 50 %. Sedangkan pengurangan biaya yang terjadi apabila
terjadi Contract Change Order dominan adalah sebesar >2 – 4% dengan persentase responden
35,71%. Dampak yang juga terjadi terhadap waktu akibat terjadinya Contract Change Order adalah
penyelesaian dari proyek adalah tepat waktu, dengan persentase hasil jawaban responden 39,28%.
Sedangkan peringkat untuk masing-masing faktor penyebab terjadinya Change Order adalah
peringkat pertama diduduki oleh perubahan desain dan spesifikasi dengan indeks 50,000 dan varian
2407,407. Peringkat kedua diduduki oleh penambahan ataupun pengurangan pekerjaan dengan
indeks 33,928 dan varian 2602,513. Peringkat ketiga diduduki oleh keinginan mempercepat
penyelesaian pekerjaan atas permintaan owner dengan indeks 32,142 dan varian 2447,089.
Kata Kunci : Contract Change Order (CCO), Pekerjaan Jalan Raya, Indeks dan Varian.

1. PENDAHULUAN
Pada pelaksanaan kegiatan proyek konstruksi sering ditemukan berbagai permasalahan terutama masalah
implementasi dari perencanaan ke konstruksi fisik. Pemasalahan ini menyebabkan munculnya perubahan-perubahan
metode dan kegiatan konstruksi baik pada awal, pertengahan, dan akhir proyek. Perubahan kegiatan /pekerjaan
sesuai ketentuan disebut Change Order (perubahan pekerjaan). Perubahan itu dapat disebabkan dari permintaan
owner karena sesuatu dan lain hal. Hal ini menyebabkan perencanaan harus di ubah dan karena kondisi lapangan
yang tidak memungkinkan sehingga terjadi perubahan desain atau lazim disebut dengan Change Order (perubahan
pekerjaan).
Change Order adalah usulan perubahan secara tertulis antara pemilik dan kontraktor untuk mengubah beberapa
kondisi dari dokumen kontrak awal, seperti menambah atau mengurangi pekerjaan. Adanya perubahan ini dapat
mengubah spesifikasi biaya kontrak dan jadwal pembayaran, juga jadwal penyelesaian proyek. Istilah CCO
seringkali pula disamakan dengan pengertian addendum. Namun yang jadi pertanyaannya adalah apa perbedaan
antara CCO (Contract Changer Order) dengan addendum. Addendum adalah penambahan/perubahan dokumen
pada saat lelang atau sebelum kontrak ditandatangani, sedangkan CCO adalah penambahan/perubahan setelah
kontrak berjalan atau telah ditandatangani.

MK - 169
Bertitik tolak dari hal tersebut maka akan diteliti apa penyebab utama dari Change Order (perubahan pekerjaan),
dan dampaknya terhadap proyek-proyek konstruksi khususnya proyek jalan raya. Pada penelitian ini diambil lokasi
penelitian di Wilayah Kabupaten Katingan, baik proyek yang dikelola oleh pemerintah ataupun swasta.

2. KAJIAN LITERATUR
Biasanya addendum muncul karena adanya perubahan dari isi perjanjian, atau karena adanya hal-hal yang belum
diatur atau belum cukup diatur dalam perjanjian pokoknya, misalnya, kebutuhan untuk merinci lebih lanjut nilai
belanja proyek pada sebuah perjanjian pembangunan jalan tol, terhadap hal-hal tersebut, para pihak dapat
merundingkannya lebih lanjut dalam suatu musyawarah dan hasil kesepakatannya itulah yang dituangkan kedalam
addendum. Pembuatan addendum semacam ini lebih praktis ketimbang membuat perjanjian baru yang dapat
memakan waktu dan biaya tambahan.
Secara fisik addendum terpisah dari perjanjian pokok, namun secara hukum suatu addendum melekat dan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian utama. Menurut Imam Soeharto 1999, Didalam proses pencapaian tujuan
dari pelaksanaan proyek, ada batasan-batasan yang harus dipenuhi yaitu besar biaya (anggaran) yang dialokasikan,
jadwal, serta mutu yang harus dipenuhi. Ketiga hal tersebut merupakan parameter penting bagi penyelenggara
proyek yang sering di asosiasikan sebagai sasaran proyek.
Pengertian Change Order
Menurut Fisk (2006), Change Order merupakan surat kesepakatan antara pemilik dan kontraktor untuk menegaskan
adanya revisi-revisi rencana, dan jumlah kompensasi biaya kepada kontraktor yang terjadi pada saat pelaksanaan
konstruksi, setelah penandatanganan kontrak kerja antara pemilik dan kontraktor. Dokumen perubahan perintah
kerja (Change Order) akan merubah sesuatu lingkup semula kontrak, menegaskan revisi-revisi rencana, dan
menerapkan modifikasi lainnya. Semua hal itu tetap diterbitkan terlepas apakah akan diberikan jumlah kompensasi
ataukah tidak kepada kontraktor. Pada umumnya perubahan perintah kerja itu ditulis pada formulir yang baku dan
memuat uraian yang lengkap tetapi padat mengenai perubahan-perubahannya dan akibatnya terhadap rencana
kontrak dan harganya. Permintaan perubahan perintah kerja pada umumnya dipertimbangkan oleh manager
konstruksi profesional yang lazimnya memperbandingkan hal itu dengan perkiraan-perkiraan biaya wajar dari
perubahan itu. Sesudah pertimbangan tersebut dan setelah mengadakan negosiasi dengan kontraktor bila diperlukan,
manager itu dapat merekomendasikan suatu persetujuan oleh pihak pemilik, yang selanjutnya akan menyetujuinya
secara formal dan melaksanakan perubahan perintah kerja itu (Donald S. Barrie dan Boyd C. Paulson,1990).
Contract Change Order (perubahan kontrak kerja) ini meliputi : menambah atau mengurangi volume pekerjaan
yang tercantum dalam kontrak, menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan, mengubah spesifikasi teknis
pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan atau mengubah jadwal pelaksanaan. Perubahan juga mengakibatkan
proyek terlambat dan biaya yang melambung tinggi (cost overruns). Akibat sering terjadinya Change Order
(perubahan pekerjaan) dimana proses administrasinya tidak dijalankan sesuai prosedur maka sering terjadi
perselisihan antara pemilik dan kontraktor yang berakhir di arbitrase (pengadilan).

MK - 170
PEMILIK KONTRAKTOR

Usulan CO

Membuat proposal

Melaksanakan Pekerjaan CO
Gambar Arus proses Change Order.
(Sumber : Imam Soeharto,1995)

Dari hasil studi beberapa literatur penyebab terjadinya Change Order yang dikemukakan oleh kelima sumber antara
lain Hsieh. Lu & Wu, 2004; Barrie & Paulson, 1992; Shcaulferbeger & Holm, 2002; Sidney M. Levy, 2002; Imam
Soeharto, 1997, dari kelima sumber tersebut disusun 33 penyebab terjadinya Change Order dalam pelaksanaan
konstruksi. Hasil rangkuman penyebab Change Order dapat dilihat pada tabel 1.

3. METODE
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode deskriptif, yaitu mendeskriptifkan Contract Change Order (CCO) yang
terjadi pada proyek konstruksi yang meliputi penyebabnya dan dampak yang ditimbulkan akibat penerapan Contract
Change Order (CCO) ini. Studi literatur diperoleh dari bermacam-macam buku teks dan jurnal tentang penelitian
Change Order di beberapa daerah di Indonesia dan kutipan dari beberapa buku tentang penelitian Change Order di
luar negeri. Hasil strudi tersebut disusun menjadi beberapa pertanyaan dalam bentuk kuesioner.
Analisis Data
Untuk menganalisis data kuesioner digunakan nilai index dan varian untuk menentukan peringkat.Hasilnya akan
disajikan dalam bentuk tabulasi-tabulasi dan diagram untuk memperjelas gambaran hasil yang diperoleh. Data juga
akan diolah dengan statistik berupa analisa deskripsi data dengan menghitung nilai mean pada masing-masing
pernyataan yang ditampilkan kedalam tabel, kemudian dilakukan pengurutan (rangking) dari nilai mean tersebut
bisa diurutkan rangking pertama dan seterusnya.

(1)

Keterangan :
N1,N2,N3 = Jumlah responden
1,2,3 = Skala kuisioner

MK - 171
Tabel 1 Penyebab terjadinya Change Order hasil studi literatur

No Penyebab terjadinya change order Referensi


1 2 3 4 5
A1 Perubahan desain dan spesifikasi • • •
A2 Kesalahan dalam menghitung estimasi volume •
A3 Kontrak yang tidak jelas • • • •
A4 Ketidaksesuaian antara gambar dan kondisi di lapangan • • • •
A5 Percepatan pekerjaan atas permintaan owner • • •
A6 Gambar/spesifikasi yang tidak lengkap •
A7 Investasi yang tidak cukup pada saat perencanaan •
A8 Permintaan pekerja tambah untuk pekerjaan dibawah tanah •
A9 Peningkatan penyelidikan bawah tanah •
A10 Adanya rembesan air pada saat proses penggalian •
A11 Pertimbangan keselamatan/keamanan kerja di lapangan •
A12 Perubahan metode kerja •
A13 Terlambat mengakses ke lapangan •
A14 Kesalahan dalam perencanaan dan desain • •
A15 Perselisihan pemilik dan desain karena kesalahan persepsi •
A16 Penghentian kontrak sementara • •
A17 Kesalahan memulai pekerjaan •
A18 Kinerja kontraktor yang jelek • •
A19 Rendahnya keahlian pekerja •
A20 Jadwal terlambat • •
A21 Tidak adanya kesesuaian dengan kontrak •
A22 Material yang tidak sesuai di lapangan •
A23 Perubahan jadwal •
A24 Penundaan pekerjaan •
A25 Perubahan Lokasi Proyek •
A26 Perubahan spesifikasi material •
A27 Keinginan mempercepat jadwal pekerjaan •
A28 Keinginan mempercepat penyelesaian pekerjaan atas permintaan owner •
A29 Instalasi gagal bekerja •
A30 Permintaan owner •
A31 Perubahan dari pemerintah •
A32 Penghentian pekerjaan karena performance kantor yang jelek •
A33 Penambahan ataupun pengurangan pekerjaan •
Keterangan Referensi :
1 = Hsieh. Lu & Wu, 2004
2 = Barrie & Paulson, 1992
3 = Shcaulferbeger & Holm, 2002
4 = Sidney M. Levy, 2002
5 = Imam Soeharto, 1997

Data yang terkumpul diolah dan dianalisis untuk mengetahui hasilnya dengan mencari nilai indeks yang merupakan
bobot rata-rata (mean) pada masing-masing pertanyaan (penyebab).

MK - 172
Rumus nilai indeks adalah sebagai berikut:
i 5

 n' i x bobot' i
i 1
Nilai indeks (Xm) = (2)
n
Keterangan:
X = nilai indeks
m = nomor menurut jenis penyebab x (1,2,3,…..)
n’i = frekuensi pada skala i (i = 1,2,3,4,5)
bobot’i = bobot pada skala i
n = jumlah responden

Perhitungan nilai indeks merupakan bobot rata-rata untuk kesemua jenis faktor penyebab akan menghasilkan
formasi peringkat masing-masing faktor. Penentuan peringkat dengan nilai indeks ini perlu dirinci lebih jauh dengan
adanya nilai-nilai indeks yang sama, yakni dengan menghitung nilai varian masing-masing penyebab. Nilai indeks
yang sama dengan varian lebih kecil akan berperingkat lebih tinggi.
Rumus nilai varian:

1 i n
Varian =  n ' i [bobot ' i  (Xm)] 2
n  1 i 1
(3)

Keterangan:
X = nilai indeks
m = nomor urut jenis penyebab X (1,2,3,…)
n’i = frekuensi pada skala i ( i = 1,2,3,4,5)
bobot’i = bobot pada skala i
n = jumlah responden

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Jumlah populasi sampel yang diperoleh dari data Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Katingan yaitu ada 34
kontraktor.

n= = 25,373 = 25 (4)

Sejumlah 34 kuisioner dibagikan kepada kontraktor, kuisioner yang telah di isi dan dikembalikan berjumlah 28
eksemplar (82,35%). Kuisioner yang kembali tersebut semuanya layak untuk diolah.

MK - 173
Waktu terjadinya Change Order

No Waktu Terjadinya Frekuensi Persen


Change Order

1. Awal Proyek 6 21,42


2. Pertengahan Proyek 22 78,58
3. Akhir Proyek 0 0
Total 28 100

Penyebab Terjadinya Change Order berdasarkan Faktor Permintaan dari Pelaksana Konstruksi

No. Faktor Penyebab Change Order Frekuensi Persen


1. Owner, Konsultan dan Kontraktor 25 89,28
2. Owner dan Konsultan 1 3,57
3. Owner dan Kontraktor 2 7,15
4. Kontraktor dan Konsultan 0 0
Total 28 100

Prosentase Perubahan Penambahan/Pengurangan Biaya Akibat Terjadinya Change Order.


1. Prosentase Perubahan Penambahan Biaya Akibat Terjadinya Change Order.

No. Perubahan Frekuensi Persen


Penambahan Biaya
(%)
1. 0–2% 2 7,14
2. >2 – 4 % 4 14,28
3. >4–6% 8 28,57
4. > 6 – 10 % 14 50
Total 28 100

MK - 174
2. Prosentase Perubahan Pengurangan Biaya Akibat Terjadinya Change Order.

No. Perubahan Frekuensi Persen


Pengurangan Biaya
(%)
1. 0–2% 9 32,14
2. >2 – 4 % 10 35,71
3. >4–6% 7 25
4. > 6 – 10 % 2 7,15
Total 28 100

Menentukan Peringkat (Menggunakan Nilai Indeks dan Varian)


Penentuan peringkat dimulai dengan perhitungan nilai indeks (Xm) selanjutnya menentukan nilai varian masing-
masing aspek. Posisi peringkat dimulai dari peringkat 1 dan seterusnya, ditentukan berdasarkan nilai indeks yang
tinggi lebih dulu kemudian dilihat nilai variannya. Nilai indeks yang sama tetapi variannya berbeda-beda akan
menghasilkan beberapa peringkat yang tidak sama, varian yang lebih kecil akan berperingkat lebih tinggi.
Sedangkan bobot untuk masing-masing skala/nilai adalah 1, 2, 3, 4, dan 5 berturut-turut adalah -100, -50, 0, 50 dan
100.
Tabel 2 menunjukkan bahwa peringkat pertama di duduki oleh pernyataan A1 yaitu kesalahan dalam perencanaan
dan desain, peringkat kedua diduduki oleh pernyataan A33 yaitu penambahan ataupun pengurangan pekerjaan,
peringkat ketiga diduduki oleh pernyataan A28 yaitu keinginan mempercepat penyelesaian pekerjaan atas
permintaan owner, serta peringkat selanjutnya dapat dilihat pada tabel 2.

Kinerja Waktu Proyek

Data prosentase kinerja waktu yang digunakan untuk menyelesaikan proyek konstruksi jalan raya apabila terjadi
Change Order dibagi menjadi enam kategori, yaitu sangat terlambat, terlambat, agak terlambat, tepat, cepat, dan
sangat cepat. Dimana kinerja waktu dihitung dari rumus sebagai berikut :

Kinerja Waktu = (5)

Tabel 3 menunjukkan bahwa prosentase kinerja waktu yang digunakan untuk menyelesaikan proyek konstruksi jalan
raya apabila terjadi Change Order yang paling dominan adalah tepat waktu dengan persentase 39,28%. Berikut ini
adalah diagram prosentase kinerja waktu apabila terjadi Change Order :

MK - 175
Tabel 2
Pernyataan Frekuensi Jlh Indeks Varian Peringkat
1 2 3 4 5
A1 1 1 4 13 9 28 50,000 2407,407 1
A33 2 0 8 13 5 28 33,928 2602,513 2
A28 2 1 5 17 3 28 32,142 2447,089 3
A6 1 3 7 11 6 28 32,142 2817,468 4
A14 1 2 6 17 2 28 30,357 1914,682 5
A7 2 1 8 13 4 28 28,571 2671,965 6
A15 2 2 8 10 6 28 28,571 3227,513 7
A30 2 4 3 15 4 28 26,785 3237,433 8
A31 0 8 4 10 6 28 25,000 3240,740 9
A4 2 3 5 14 4 28 21,428 3082,016 10
A21 1 2 11 13 1 28 19,642 1729,497 11
A26 3 1 9 13 2 28 17,857 2817,460 12
A23 1 3 10 14 0 28 16,071 1676,587 13
A8 1 4 9 13 1 28 16,071 2046,961 14
A25 2 4 8 11 3 28 16,071 2972,883 15
A3 3 5 7 8 5 28 12,500 4073,962 16
A18 5 2 7 9 5 28 12,500 4560,185 17
A32 2 4 8 14 0 28 10,714 2288,359 18
A24 2 5 8 13 0 28 7,142 2354,497 19
A10 2 5 10 9 2 28 7,142 2724,867 20
A20 3 4 8 12 1 28 7,142 2910,052 21
A29 2 6 11 4 5 28 7,142 3465,608 22
A12 3 6 6 10 3 28 7,142 3650,607 23
A5 2 8 6 8 4 28 7,142 3650,793 24
A27 2 3 14 8 1 28 5,357 2099,867 25
A2 2 6 7 13 0 28 5,357 2470,238 26
A22 2 6 10 7 3 28 5,357 3025,795 27
A19 1 9 8 6 4 28 5,357 3210,979 28
A17 4 3 10 8 3 28 5,357 3581,349 29
A13 1 7 9 11 0 28 3,571 2023,812 30
A9 1 8 9 8 2 28 3,571 2100,334 31
A16 2 5 11 9 1 28 3,571 2394,179 32
A11 0 11 7 8 2 28 1,785 2497,464 33

Tabel 3 Prosentase Kinerja Waktu Pelaksanaan Proyek Akibat Terjadinya Change Order.

No. Prosentase Kinerja Waktu Frekuensi Persen


1. Sangat Terlambat 0 0
2. Terlambat 0 0
3. Agak Terlambat 4 14,28
4. Tepat 11 39,28
5. Cepat 8 28,57
6. Sangat Cepat 5 17,86
Total 28 100

MK - 176
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil data yang diperoleh dari responden selanjutnya dilakukan analisis data, maka dapat diambil
kesimpulan mengenai penyebab dan akibat terjadinya Contract Change Order terhadap biaya dan waktu pada
proyek konstruksi jalan raya adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor yang menyebabkan Contract Change Order pada proyek jalan raya berdasarkan hasil penelitian
antara lain adalah perubahan desain dan spesifikasi, penambahan ataupun pengurangan pekerjaan, dan
keinginan mempercepat penyelesaian pekerjaan atas permintaan owner.
2. Dampak yang akan terjadi terhadap biaya apabila terjadi Contract Change Order adalah terjadi penambahan
ataupun pengurangan biaya dalam pelaksanaan suatu proyek konstruksi tersebut. Menurut data yang
didapatkan dari data kuisioner yang dilaksanakan pada perusahaan kontraktor, perubahan penambahan biaya
yang terjadi akibat Contract Change Order dominan adalah sebesar >4-6% dengan persentase responden 50
%. Sedangkan pengurangan biaya yang terjadi apabila terjadi Contract Change Order dominan adalah sebesar
>2 – 4% dengan persentase responden 35,71%. Dampak yang juga terjadi terhadap waktu akibat terjadinya
Contract Change Order adalah penyelesaian dari proyek adalah tepat waktu, yaitu dengan klasifikasi kinerja
waktu (k) adalah 100 % ≤ k < 105 % dengan persentase hasil jawaban responden 39,28%.
3. Faktor dominan yang merupakan penyebab terjadinya Contract Change Order pada proyek jalan raya (3 faktor
dominan) berdasarkan hasil penelitian adalah peringkat pertama diduduki oleh perubahan desain dan
spesifikasi dengan indeks 50,000 dan varian 2407,407. Peringkat kedua diduduki oleh penambahan ataupun
pengurangan pekerjaan dengan indeks 33,928 dan varian 2602,513. Peringkat ketiga diduduki oleh keinginan
mempercepat penyelesaian pekerjaan atas permintaan owner dengan indeks 32,142 dan varian 2447,089.
DAFTAR PUSTAKA
Barrie, Donald S, and Paulson, Boyd C Jr. (1992). Professional construction management, third edition. Singapore:
Mc Graw-Hill.
Clough , R. H. and Sears, G. A.1994. Contruction Contracting. New York : John Wiley and Sons.
Ervianto, Wulfram I. 2005. Manajemen Proyek Konstruksi, Edisi Revisi, Penerbit ANDI, Yogyakarta.
Djojowirono, S., 2005, Manajemen Konstruksi, Edisi Keempat, Biro Penerbit KMTS FT UGM, Yogyakarta.
Fisk, Edward R, and Reynolds Wayne D.(2006).Construction Project Administration, eight edition. New Jersey :
Prentice Hall
Gilberth, Robert D. (1992). Managing Construction Contract Operational Control For Commercial Risk Second
Edition. New Jersey : John Wiley and Sons.
Hadi, Sutrisno. 1975. Statistik. Andi. Jogjakarta
Hsieh, Ting-Ya., Lu, Shih-Tong., and Wu, Chao-Hui. (2004). Statistical analysis of causes for change order in
metropolitan public work. International Journal of Project Management.
Husen, Abrar. 2011. Manajemen Proyek Perencanaan,Penjadwalan, & Pengendalian Proyek. Andi, Yogyakarta.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 54 tahun 2010, Pengadaan Barang/Jasa pemerintah, Jakarta.
Schaufelberger, John E. and Holm, Len. (2002). Management of construction project constructor’s perspective.
New Jersey: Prentice Hall
Sidney M. Levy. (2002). Project management in construction, fourth edition: New York: Mc Graw-Hill.
Soeharto, R. (1997). Management proyek dari konseptual sampai operasional, edisi kedua. Jakarta: Airlangga.
Usman, H. & R. Purnomo Setiady Akbar. 2000.Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara.

MK - 177
MK - 178
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

KAJIAN DAYA SAING KONTRAKTOR MENENGAH DAN KONTRAKTOR KECIL


DI INDONESIA

Peter F Kaming1, Wulfram I. Ervianto2, dan Eveline N. Anggriawan3

1
Staf Pendidik, Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Email: kaming@mail.uajy.ac.id
2
Staf Pendidik, Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Email: Ervianto@gmail.com
3
Alumus, Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Email: evelinenatalia@yahoo.com

ABSTRAK
Di Indonesia, industry jasa konstruksi dianggap sebagai salah satu industri yang paling kompetitif,
namun menarik dan menjanjikan. Hal ini terlihat pada jumlah total kontraktor nasional di Indonesia
hingga tahun 2016 dengan kontraktor kecil sebesar 87%, kontraktor menengah sebesar 12%, dan
kontraktor besar sebesar 1%. Pada tahun 2015 sebanyak 85% nilai pasar konstruksi Indonesia
dikuasai oleh kontraktor besar sedangkan sisanya sebesar 15% nilai pasar konstruksi diperebutkan
oleh kontraktor menengah dan kecil. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji perbedaan daya
saing kelompok kontraktor menengah, dan kelompok kontraktor kecil di Indonesia. Responden
dalam penelitian ini adalah para pimpinan perusahaan kontraktor menengah dan kontraktor kecil
yang berada di daerah Yogyakarta, Klaten, Surakarta, Magelang, Semarang, Tegal, Cirebon, Jakarta,
Banten, Bekasi, Sumba Timur, dan Saumlaki. Hasil analisis peta positioning dengan 26 perusahaan
kontraktor menengah dan 17 perusahaan kontraktor kecil terbagi menjadi empat kelompok
berdasarkan kemiripan karakteristiknya. Hasil studi ini menunjukkan bahwa tidak terdapatnya
perbedaan daya saing berdasarkan tingkat pendidikan penanggungjawab teknik badan usaha
perusahaan kontraktor menengah dan kontraktor kecil; tidak terdapat perbedaan daya saing
berdasarkan sertifikat pekerja yang dimiliki penanggungjawab teknik badan usaha perusahaan
kontraktor menengah. Terdapat perbedaan daya saing dalam hal metode kerja dan manajemen
proyek antara perusahaan kontraktor kecil yang tidak memiliki sertifikat dengan yang memiliki
sertifikat keahlian (SKA), serta terdapat perbedaan daya saing dalam hal metode kerja dan
manajemen proyek antara perusahaan kontraktor kecil yang memiliki SKA dengan perusahaan
kontraktor kecil yang sumber daya manusianya memiliki SKA dan sertifikat ketrampilan (SKT).
Kata Kunci: jasa konstruksi, daya saing, strategi, sertifikasi tenaga kerja

1. PENDAHULUAN
Industri jasa konstruksi di Indonesia dianggap sebagai salah satu industri yang paling menarik dan menjanjikan.
Menurut Swantari (2015), pertumbuhan sektor konstruksi di Indonesia per tahun hingga tahun 2015 mencapai tujuh
sampai delapan persen, dan diperkirakan hingga tahun 2025, pertumbuhan sektor konstruksi di Indonesia akan
mencapai 10%-15% seiring dengan adanya program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI), dan Program Pembangunan Jangka Panjang.
Menurut LPJK Nasional, pada tahun 2015 Indonesia mendominasi potensi bisnis konstruksi di kawasan negara
ASEAN yaitu mencapai 70% dan diperkirakan hingga tahun 2020 potensi bisnis kontruksi Indonesia akan terus
meningkat mencapai 79%. Oleh karena itu Indonesia memerlukan strategi dan kesiapan dalam bisnis konstruksi
yang berkelanjutan (Buletin LPJK Nasional (2014).
Data PUPR menginformasikan bahwa jumlah total kontraktor nasional di Indonesia hingga tahun 2016 berdasarkan
data dari Bina Konstruksi adalah sebesar 108.852 yang terdiri dari kontraktor perorangan (29), kontraktor kecil
(95.014), kontraktor menengah (13.225), dan kontraktor besar (584). Dari data terhitung bahwa jumlah kontraktor
besar di Indonesia hanya sebesar satu persen, kontraktor menengah sebesar 12%, dan kontraktor kecil sebesar 87%.
Dari segi pangsa pasar, data 2015 menunjukkan bahwa sebanyak 85% nilai pasar konstruksi Indonesia dikuasai oleh
kontraktor besar sedangkan sisanya sebesar 15% nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh kontraktor menengah dan
kecil. Keadaan ini menyebabkan persaingan usaha di pasar konstruksi kualifikasi menengah dan kecil ini menjadi
sangat ketat. Pasar konstruksi di Indonesia masih didominasi oleh badan usaha berkualifikasi besar yang jumlahnya
hanya satu persen dari seluruh badan usaha jasa konstruksi. Hal ini menjadi sebuah persoalan bagaimana

MK - 179
meningkatkan kelas badan usaha jasa konstruksi (kontraktor) menengah dan kecil menjadi badan usaha
berkualifikasi besar agar dapat memiliki daya saing dan dapat bertahan hidup di era yang sangat kompetitif ini.
(http://finance.detik.com/read/kontraktor-besar-kuasai-85-pasar-konstruksi-di-ri). Tujuan penelitian ini adalah
mengkaji perbedaan daya saing kelompok kontraktor menengah, dan kelompok kontraktor kecil di Indonesia.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Daya saing
Menurut Markus (2008), istilah daya saing berasal dari kata daya yang berarti mencapai lebih dari yang lain, atau
beda dengan yang lain dari segi mutu atau memiliki keunggulan tertentu, sehingga daya saing dapat diartikan
kekuatan untuk berusaha menjadi unggul dalam hal tertentu yang dilakukan oleh kelompok atau institusi tertentu.
Daya saing perusahaan mengacu pada kemampuan untuk merancang, memproduksi, dan (atau) memasarkan produk
unggulan selain yang ditawarkan oleh pesaing, dengan memperhatikan harga dan kualitas (El-Diraby dkk, 2006).
Menurut Lindelof & Lofsten (2004), dalam mengkaji konsep daya saing tidak terlepas dengan konsep strategi,
karena strategi mengandung pengertian peningkatan daya saing melalui pengembangan produk, kompetisi harga,
pengembangan teknologi, dan menganalisis pelaku pesaing. Strategi bersaing membuat perusahaan mampu bertahan
hidup dalam dunia kompetitif (Trout, 2004). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa daya saing adalah
kemampuan suatu perusahaan untuk bertahan hidup di era yang kompetitif dengan cara menghasilkan produk/jasa
yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan produk/jasa lainnya dengan memperhatikan keadaan keuangan,
sumber daya manusia, peralatan dan material, metode kerja dan manajemen proyek, hubungan antar pihak dan
komunikasi dalam proyek, kepemimpinan, dan kepuasan pengguna jasa (Lu. dkk, 2008).
Karakteristik jasa pelaksana pekerjaan konstruksi
Menurut Alwi (2001), karakteristik suatu organisasi akan memberikan efek persaingan dalam memenangkan
persaingan bisnis yang merupakan jawaban dalam pengembangan bentuk badan usaha. Menurut Surat Keputusan
LPJK Nomer 11a Tahun 2008, karakteristik jasa pelaksanan pekerjaan konstruksi berkaitan dengan kualifikasi
bentuk badan usaha. Menurut Christiawan (2014), kualifikasi merupakan penggolongan usaha di bidang jasa
konstruksi menurut tingkat/ kedalaman/ kompetensi dan kemampuan usaha yang dijalankan dan dapat dihitung dari
beberapa aspek yaitu: 1) Sumber Daya Manusia; 2) Kekayaan bersih; 3) Kemampuan Menangani Paket Pekerjaan;
dan 4) Peralatan.
Kualifikasi jasa konstruksi
Menurut Peraturan Lembaga Pembinaan Jasa Konstruksi (LPJK) No.10 Tahun 2014, kualifikasi badan usaha jasa
konstruksi kualifikasi kecil dan menengah adalah sebagai berikut: 1) Kualifikasi kecil I : kemampuan melaksanaan
pekerjaan 0 sampai dengan Rp 1 Milyar, dengan batasan nilai satu pekerjaan maksimum Rp 1 Milyar; 2) Kualifikasi
kecil II : kemampuan melaksanaan pekerjaan 0 sampai dengan Rp 1,75 Milyar, dengan batasan nilai satu pekerjaan
maksimum Rp 1.75 Milyar; 3) Kualifikasi kecil III : kemampuan melaksanaan pekerjaan 0 sampai dengan Rp 2,5
Milyar, dengan batasan nilai satu pekerjaan maksimum Rp 2,5 Milyar; 4) Kualifikasi menengah I : kemampuan
melaksanaan pekerjaan 0 sampai dengan Rp 10 Milyar, dengan batasan nilai satu pekerjaan maksimum Rp 10
Milyar; dan 5) Kualifikasi menengah II : kemampuan melaksanaan pekerjaan 0 sampai dengan Rp 50 Milyar,
dengan batasan nilai satu pekerjaan maksimum Rp 50 Milyar.

3. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian diawali dengan penyusunan penelitian yang terdiri dari identifikasi masalah dan studi literatur, lalu
dilanjutkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, penentuan obyek penelitian, rancangan kuesioner penelitian,
dan pengumpulan data. Lihat Gambar 1. Kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data pada kuesioner bagian A
yang terdiri dari data responden dan data perusahaan dan kuesioner bagian B berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai
daya saing kontraktor menengah dan kontraktor kecil.
Untuk mengetahui bagaimana mapping karakteristik perusahaaan kontraktor menengah dan kecil berdasarkan
kemiripannya dianalisis dengan Multidimensional Scalling (MDS), metode statistik nilai prosentase digunakan
untuk menentukan prosentase untuk data responden, sedangkan untuk daya saing kontraktor menengah dan
kontraktor kecil dianalisis dengan metode mean dan standar deviasi. Untuk mengetahui perbedaan daya saing
perusahaan berdasarkan kelompok mapping perusahaan menggunakan metode ANOVA. Untuk menguji daya saing
perusahaan kontraktor menengah dan kontraktor kecil berdasarkan tingkat pendidikan penanggungjawab teknik
badan usaha dilakukan analisis anova dan uji t, sedangkan untuk menguji daya saing perusahaan kontraktor
menengah dan kontraktor kecil berdasarkan sertifikat yang dimiliki oleh penanggungjawab teknik badan usaha
dilakukan uji anova. Lalu dilanjutkan dengan kesimpulan dan saran.

MK - 180
Mulai

Identifikasi Masalah Studi Literatur

Perumusan Masalah dan Tujuan


Penelitian

Obyek Penelitian

Rancangan Kuesioner Penelitian

Pengumpulan Data

Pengolahan dan Analisis Data

Kuesioner Bagian A Kuesioner Bagian B Sertifikat yang Dimiliki


Pendidikan PJT
PJT
Persentase dan
Mean dan Standar
Multidimensional
Deviasi Anova & Uji t Anova
Scalling (MDS)

Mapping Karakteristik
Perbedaan Daya Saing
Perusahaan Daya Saing
Berdasarkan Perusahaan
Kemiripannya

Anova

Perbedaan Daya
Saing

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Gambar 1. Bagan Alir Penelitian (Anggriawan, 2016)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Umum
Penelitian mengenai kajian daya saing kontraktor menengah dan kontraktor kecil ini dilakukan dengan langsung
melibatkan responden, yaitu para pemimpin perusahaan kontraktor menengah dan kontraktor kecil yang berada di
daerah Yogyakarta, Klaten, Surakarta, Magelang, Semarang, Tegal, Cirebon, Jakarta, Banten, Bekasi, Sumba Timur,
dan Saumlaki (Maluku Tenggara Barat). Jumlah responden pada penelitian ini adalah sebanyak 43 responden,
dimana terdapat 26 responden kontraktor menengah dan 17 responden kontraktor kecil.
Mapping karakteristik perusahaan kontraktor menengah dan kontraktor kecil di indonesia.
Karakteristik perusahaan jasa konstruksi kualifikasi menengah dan kualifikasi kecil dikelompokkan sesuai dengan
faktor-faktor yang berhubungan dengan karakteristik jasa konstruksi kualifikasi menengah dan kualifikasi kecil
seperti faktor personalia/ sumber daya manusia, faktor keuangan, faktor pengalaman kerja, dan faktor peralatan
(lihat Ginanjar, 2008). Dalam penelitian ini, perusahaan kontraktor menengah di Indonesia dikelompokkan dalam
empat kelompok, dimana dalam penentuan kelompok ini ditentukan berdasarkan kuadran. Titik perusahaan yang
letaknya berada dalam kuadran yang sama memiliki kemiripan karakteristik.. Dalam penelitian ini, perusahaan
kontraktor menengah di Indonesia dikelompokkan dalam empat kelompok, dimana dalam penentuan kelompok ini
ditentukan berdasarkan kuadran. Titik perusahaan yang letaknya berada dalam kuadran yang sama memiliki
kemiripan karakteristik.

MK - 181
Gambar 2. Hasil Multidimensional Scaling Kelompok Kontraktor Menengah (Anggriawan, 2016)

Gambar 2 menyajikan hasil positioning kontraktor menengah berdasarkan karakteristik perusahaan. Hasil
pengelompokan kontraktor menengah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Kelompok 1 : PT.C, PT.M,
PT.T, PT.N, PT.R, PER.U, PT.W, PT.V; b) Kelompok 2 : PT.Y, CV.B, CV.A, PT.Q, PT.F, PER..X, CV.D, PT.Z; c)
Kelompok 3 : PT.E, PT.I, CV.K, PER.O; dan d) Kelompok 4 : PT.J, PT.G, PT.P, PT.L, CV.H, CV.S
Dalam penelitian ini, kontraktor kecil di Indonesia dikelompokkan dalam empat kelompok, dimana dalam
penentuan kelompok ini ditentukan berdasarkan kuadran.

Gambar 3. Hasil Multidimensional Scaling Kelompook Kontraktor Kecil (Anggriawan, 2016)

Hasil pengelompokkan perusahaan kontraktor kecil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Kelompok 1 :
CV.K, CV.I,. CV.O, PT.C, CV.H; b) Kelompok 2 : CV. B, CV.L , CV.D, CV.F; c) Kelompok 3 : CV.N, CV.Q,
CV.G, PER.P. PER.A; dan d) Kelompok 4 : CV.E, PER.J, PER.M.
Perbedaan daya saing kelompok kontraktor menengah berdasarkan karakteristik perusahaan
Dari hasil pengelompokan kontraktor dengan MDS, dikaji perbedaan daya saing kelompok dengan ANOVA dan
kemudian dilanjutkan multiple comparison dengan teknik uji Least Square Different (LSD). Uji LSD berguna untuk
menlihat lebih detail perbedaan antar kelompok kontraktor yang telah teridentifikasi sebelumnya. Tabel 1
menyajikan hasil ANOVA dan LSD perbedaan daya saing kontraktor menengah di Indonesia.

MK - 182
Tabel 1. Uji Perbedaan Daya Saing Kelompok Kontraktor Menengah Indonesia (Anggriawan, 2016)

Daya Saing Hasil Uji Statistik Hasil Uji LSD


Faktor keuangan Nilai sig F= 0,923, maka tidak Tidak terdapat perbedaan
terdapat perbedaan
Faktor sumber daya manusia Nilai sig F= 0,450, maka tidak Tidak terdapat perbedaan
terdapat perbedaan
Faktor peralatan dan material Nilai sig F= 0,696, maka tidak Tidak terdapat perbedaan
terdapat perbedaan
Faktor metode kerja dan Nilai sig F= 0,580, maka tidak Tidak terdapat perbedaan
manajemen proyek terdapat perbedaan
Faktor hubungan antar pihak Nilai sig F= 0,018, maka tidak Tidak terdapat perbedaan antara
dan komunikasi terdapat perbedaan kelompok 1 dan kelompok 2,
kelompok 1 dan kelompok 4
Faktor kepimpinan Nilai sig F= 0,051, maka tidak Tidak terdapat perbedaan antara
terdapat perbedaan kelompok 1 dan kelompok 2
Faktor kepuasan pengguna Nilai sig F= 0,273, maka tidak Tidak terdapat perbedaan
jasa terdapat perbedaan

Dari Tabel 1 terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara ke empat kelompok kontraktor
menengah dari factor keuangan, sumber daya manusia, peralatan dan material, metode kerja dan manajemen proyek,
dan kepuasan pelanggan. Ada hubungan signifikan antar pihak dan komunikasi dengan nilai signifikansi = 0,018.
Pada uji LSD di factor hubungan pihak dan komunikasi terdapat perbedaan antara kelompok 1 dan 2, kelompok 1
dan 4. Demikian analisis perbedaan daya saing pada faktor kepemimpinan ada perbedaan (nilai signifikansi =
0,051). Pada uji LSD terdapat perbedaan antara kelompok 1 dan 2 .

Analisis perbedaan daya saing kelompok kontraktor kecil


Dari hasil pengelompokan kontraktor kecil dengan MDS, dikaji perbedaan daya saing ke empat kelompok dengan
ANOVA dan kemudian dilanjutkan multiple comparison dengan teknik uji Least Square Different (LSD). Uji LSD
berguna untuk menlihat lebih detail perbedaan antar kelompok kontraktor yang telah teridentifikasi sebelumnya.
Tabel 2 menyajikan hasil ANOVA dan LSD perbedaan daya saing kontraktor kecil Indonesia.
Dari Tabel 2 terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara ke empat kelompok kontraktor kecil dari
factor keuangan, peralatan dan material, hubungan antra pihak dan komunikasi, kepemimpinan, dan kepuasan
pengguna jasa. Ada hubungan signifikan dari factor sumberdaya manusia antara kelompok 2 dan 3. Demikian juga
faktor metode kerja dan manajemen proyek anatara kelompok 2, 3 dan 4.

Perbedaan daya saing kontraktor menengah dan kecil berdasarkan tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan pada kontraktor menengah dan kecil dalam penelitian ini terbagi menjadi empat kategori yaitu
S1/S2/S3 teknik, diploma teknik, STM/SMK, dan non teknik. Dari hasil kajian dengan ANOVA dan dilanjutkab
dengan LSD ternyata tidak terdapat prbedaan yang signifikan antara keempat kelompok dan juga antar kelompok
pada setiap factor daya saing.
Perbedaan daya saing kontraktor menengah dan kecil berdasarkan sertifikat tenaga kerja

Sertifikat tenaga kerja yang dimiliki sumber daya manusia kontraktor menengah dan kecil dalam penelitian ini
terbagi menjadi empat kategori yaitu tidak memiliki sertifikat, memiliki SKT, memiliki SKA, dan memiliki
SKT+SKA. Dari hasil kajian dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan LSD ternyata tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara ke empat kelompok dan juga antar kelompok pada setiap factor daya saing. Menurut Revantoro
(2010) yang hasil studinya dapat mendukung studi ini dan menyatakan bahwa sertifikasi keterampilan pada
kontraktor berpengaruh secara signifikan untuk kompetensi bantuan teknis, melakukan perhitungan, membuat
program kerja, dan pengawasan dan evaluasi. Sehingga, kontraktor kecil yang memiliki sumber daya manusia
dengan memiliki sertifikat keterampilan kerja dan metode kerja dan manajemen proyek yang baik akan dapat
berdaya saing lebih baik. Lihat Table 2.

MK - 183
Tabel 2. Uji Perbedaan Daya Saing Kelompok Kontraktok Kecil Indonesia (Anggriawan, 2016)

Daya Saing Hasil Uji Statistik Hasil Uji LSD


Faktor keuangan Nilai sig F= 0,359, maka tidak Tidak terdapat perbedaan
terdapat perbedaan
Faktor sumber daya manusia Nilai sig F= 0,181, maka tidak Terdapat perbedaan antara
terdapat perbedaan kelompok 2 dan 3
Faktor peralatan dan material Nilai sig F= 0,281, maka tidak Tidak terdapat perbedaan
terdapat perbedaan
Faktor metode kerja dan Nilai sig F= 0,039, maka terdapat Terdapat perbedaan antara
manajemen proyek perbedaan kelompok 2 dan 3, kelompok 2
dan 4
Faktor hubungan antar pihak Nilai sig F= 0,459, maka tidak Tidak terdapat perbedaan
dan komunikasi terdapat perbedaan
Faktor kepimpinan Nilai sig F= 0,383, maka tidak Tidak terdapat perbedaan
terdapat perbedaan
Faktor kepuasan pengguna jasa Nilai sig F= 0,134, maka tidak Tidak terdapat perbedaan
terdapat perbedaan

5. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Dalam penelitian ini, mapping karakteristik perusahaan kontraktor menengah dan kontraktor kecil di Indonesia
dikelompokkan dalam empat kelompok, dimana dalam penentuan kelompok ini ditentukan berdasarkan kuadran.
Titik perusahaan yang letaknya berada dalam kuadran yang sama memiliki kemiripan karakteristik. Hasil
pengelompokkan perusahaan kontraktor menengah dan kontraktor kecil dalam penelitian ini telah dilakukan.
Perbedaan daya saing perusahaan kontraktor menengah berdasarkan kelompok mapping perusahaan adalah sebagai
berikut: 1) antara kelompok 1, kelompok 2, kelompok 3, kelompok 4 perusahaan kontraktor menengah memiliki
persamaan daya saing perusahaan berdasarkan faktor keuangan, sumber daya manusia, peralatan dan material,
metode kerja dan manajemen proyek, serta kepuasan pengguna jasa; 2) terdapat perbedaan daya saing perusahaan
kontraktor menengah berdasarkan faktor hubungan antar pihak dan komunikasi antara kelompok 1 dan kelompok 2,
kelompok 1 dan kelompok 4. Sedangkan antara kelompok 1 dan kelompok 3, kelompok 2 dan kelompok 3,
kelompok 2 dan kelompok 4, kelompok 3 dan kelompok 4 memiliki persamaan daya saing perusahaan kontraktor
menengah berdasarkan faktor hubungan antar pihak dan komunikasi. 3) terdapat perbedaan daya saing perusahaan
kontraktor menengah berdasarkan faktor kepemimpinan antara kelompok 1 dan kelompok 2. Sedangkan antara
kelompok 1 dan kelompok 3, kelompok 1 dan kelompok 4, kelompok 2 dan kelompok 3, kelompok 2 dan kelompok
4, kelompok 3 dan kelompok 4 memiliki persamaan daya saing berdasarkan faktor kepemimpinan.
Perbedaan daya saing perusahaan kontraktor kecil berdasarkan kelompok mapping perusahaan adalah sebagai
berikut: 1) Antara kelompok 1, kelompok 2, kelompok 3, kelompok 4 perusahaan kontraktor kecil memiliki
persamaan daya saing perusahaan berdasarkan faktor keuangan, peralatan dan material, hubungan antar pihak dan
komunikasi, kepemimpinan, serta kepuasan pengguna jasa; 2) Antara kelompok 1 dan kelompok 2, kelompok 1 dan
kelompok 3, kelompok 1 dan kelompok 4, kelompok 2 dan kelompok 4, kelompok 3 dan kelompok 4 perusahaan
kontraktor kecil memiliki persamaan daya saing perusahaan berdasarkan faktor sumber daya manusia. Sedangkan
antara kelompok 2 dan kelompok 3 memiliki perbedaan daya saing perusahaan kontraktor kecil berdasarkan faktor
sumber daya manusia; dan 3) Antara kelompok 1 dan kelompok 2, kelompok 1 dan kelompok 3, kelompok 1 dan
kelompok 4, kelompok 3 dan kelompok 4 perusahaan kontraktor kecil memiliki persamaan daya saing perusahaan
kontraktor kecil berdasarkan faktor metode kerja dan manajemen proyek. Sedangkan antara kelompok 2 dan
kelompok 3, kelompok 2 dan kelompok 4 memiliki perbedaan daya saing perusahaan kontraktor kecil berdasarkan
faktor metode kerja dan manajemen proyek.
Terdapat perbedaan daya saing dalam hal metode kerja dan manajemen proyek antara perusahaan kontraktor kecil
yang tidak memiliki sertifikat dan perusahaan kontraktor kecil yang memiliki sertifikat keahlian kerja. Terdapat pula
perbedaan daya saing saing dalam hal metode kerja dan manajemen proyek antara perusahaan kontraktor kecil yang
hanya memiliki sertifikat keahlian kerja dan perusahaan kontraktor kecil yang memiliki dua sertifikat yaitu sertifikat
keterampilan kerja dan sertifikat keahlian kerja.

MK - 184
Saran
Dari hasil penelitian pembahasan Kajian Daya Saing Kontraktor Menengah dan Kontraktor Kecil di Indonesia,
terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan saran sebagai berikut: 1) Responden dalam penelitian ini hanya terdapat
di Pulau Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku. Sehingga kajian daya saing ini tidak dapat digeneralisasikan
untuk seluruh wilayah Indonesia. Maka perlu dilakukan penambahan variasi perusahaan kontraktor menengah dan
kontraktor kecil serta menambah jumlah responden di berbagai daerah di Indonesia secara merata. 2) Menurut
Peraturan Lembaga LPJK No. 10 Tahun 2014, penanggungjawab teknik badan usaha kontraktor menengah minimal
harus memiliki sertifikat keahlian kerja, sedangkan penanggungjawab teknik badan usaha kontraktor kecil minimal
harus memiliki sertifikat keterampilan kerja. Hal ini menjadi sebuah persoalan apakah sertifikasi hanya menjadi
sebuah formalitas atau dapat menunjukkan kompetensi dari perusahaan tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan
kajian lebih lanjut mengenai pengaruh sertifikasi yang dimiliki oleh penanggungjawab teknik badan usaha
konstruksi terhadap daya saing perusahaan, khususnya bagi perusahaan kontraktor menengah dan kontraktor kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Anggriawan, E.N (2016) Kajian Daya Saing Kontraktor Menengah dan Kontraktor Kecil di Indonesia, Tesis MTS,
PPS UAJY.
Alwi, S. (2001) Manajemen Sumber Daya Manusia, Strategi Keunggulan Kompetitif. Yogyakarta : BPFE
Buletin Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional., (2014) Tri Wulan Edisi II
El-Diraby, T.E., Costa, J. and Singh, S., (2006) “How do contractors evaluate company competitiveness and market
attractiveness? The case of Toronto contractors”, Canadian Journal of Civil Engineering (2006): 596-608
Ginanjar, I. (2008). Aplikasi Multidimensional Scaling (MDS) Untuk Peningkatan Pelayanan Proses Belajar
Mengajar (PBM). Staf Pengajar Jurusan Statistika FMIPA UNPAD, Bandung.
http://binakonstruksi.pu.go.id/v2/data_konstruksi.php?id=kontraktor.php diakses pada 1 Agustus 2016
http://finance.detik.com/read/2015/04/27/101532/2898809/4/kontraktor-besar-kuasai-85-pasar-konstruksi-di-ri
diakses pada 1 Agustus 2016
Lindelof, P. and Lofsten, H., (2004) “Proximity as a Resource Base for Competitive Advantage: University-Industry
Links for Technology Transfer”, Journal of Technology Transfer; Aug 2004, 29, 3-4: 311
Lu, W., Liyin Shen, LY., &Yam, M.C.H. (2008). “Critical Success Factors for Competitiveness of Contractors :
China Study”. Journal of Construction Engineering and Management ASCE.
Markus, G., (2008) “Measuring Company Level Competiveness in Porter’s Diamond Model Framework”, FIKUSZ
2008 Business Sciences Symposium for Young Researchers : Proceedings : 149-158.
Revantoro, N.B. (2010) Pengaruh Sertifikasi Ketrampilan di Bidang Jasa Konstruksi Terhadap Kinerja Pelakasanaan
Proyek di Perusahaan Kontraktor di Kota Malang. Jurnal Berkala Jurusan Teknik Sipl UM vol. 17, no 1.
Swantari, Putu Ika. (2015) “Kajian Daya Saing Kontraktor Besar di Indonesia”. Tesis. Universitas Atma Jaya
Yogyakarta
Timm, N. H. (2002) Applied Multivariate Analysis. Springer-Verleg. New York
Trout, J., 2004, Trout on Strategy: Capturing Mindshare Conquering Markets, McGraw-Hill Publiser, New York

MK - 185
MK - 186
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN


PELAKSANAAN PROYEK KONSTRUKSI

I.A.Rai Widhiawati1, I G.A.Adnyana Putera1, dan Lia Arista2

1
Dosen Teknik Sipil, Universitas Udayana, Denpasar
E-mail: dayurai@civil.unud.ac.id
2
Alumni Teknik Sipil, Universitas Udayana, Denpasar

ABSTRAK
Penyedia jasa umumnya berharap proyek berjalan sesuai rencana yang telah dibuat, namun dalam
pelaksanaannya kerap kali terjadi penyimpangan. Perbedaan antara rencana yang telah dibuat
dengan kenyataan di lapangan dapat menimbulkan masalah seperti keterlambatan waktu
pelaksanaan proyek. Banyak faktor yang dapat menyebabkan keterlambatan pelaksanaan proyek
konstruksi yang mungkin berbeda di setiap daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor
utama penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi, serta subfaktor yang paling
berpengaruh pada masing-masing faktor penyebab keterlambatan di Kabupaten Buleleng. Analisis
yang digunakan adalah Relatif Indeks (RI) dan Analisis Faktor. Pengumpulan data dilakukan
dengan menyebar kuesioner pada 30 responden yang berasal dari pihak-pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan proyek konstruksi di Kabupaten Buleleng tahun 2013-2015. Dari hasil analisis
didapatkan faktor utama penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi di Kabupaten
Buleleng yaitu Faktor Lingkup Kontrak/Dokumen Pekerjaan; Faktor Karakteristik Tempat dan
Faktor Situasi; serta Faktor Bahan. Subfaktor yang paling berpengaruh pada tujuh faktor
keterlambatan yaitu komunikasi yang kurang baik antara tenaga kerja dan mandor; perubahan
desain; pengiriman bahan; pemilik susah dihubungi dan ditemui; pengawas sering meninggalkan
lapangan dan susah ditemui; kualitas peralatan yang kurang baik; akses ke lokasi proyek yang jauh
atau sulit ditempuh.
Kata kunci : Penyebab Keterlambatan Pelaksanaan Proyek

1. PENDAHULUAN
Menyusun perencanaan merupakan tahap awal yang penting dilakukan sebelum memulai pekerjaan, Tujuan
perencanaan adalah untuk menentukan metode yang terbaik dalam melaksanakan pekerjaan sehingga suatu
pekerjaan selesai sesuai dengan mutu, waktu, dan biaya yang sudah direncanakan. Namun terkadang jadwal
pelaksanaan yang telah direncanakan tidak sesuai penerapannya di lapangan akibat faktor-faktor tertentu sehingga
menyebabkan keterlambatan dalam pelaksanaannya.

Kabupaten Buleleng merupakan wilayah Bali bagian Utara yang memiliki potensi pariwisata yang kini tengah
gencar-gencarnya dikembangkan oleh pemerintah guna menyeimbangkan pembangunan antara Bali Selatan
(Denpasar dan Badung) dan Bali Utara. Hal tersebut berdampak pada permintaan akan fasilitas penunjang atau
infrastruktur yang mendukung kelancaran pariwisata, sehingga banyak proyek-proyek konstruksi yang mulai
dibangun di Buleleng seperti hotel, perumahan, pertokoan, jalan raya, dan berbagai proyek infrastruktur. Contoh
beberapa proyek yang mengalami keterlambatan di Kabupaten Buleleng seperti proyek pembuatan kandang ternak,
dimana proyek ini terhenti sementara pembangunannya akibat menuai kritik dari masyarakat sekitar yang khawatir
akan terkena dampak apabila bangunan tersebut dioperasikan nantinya, sehingga pembangunan belum bisa
dilanjutkan sampai menemukan jalan tengah antara pemilik dengan masyarakat sekitar. Proyek lainnya yang
mengalami keterlambatan yaitu Proyek Usaha Jalan Tani, dimana proyek ini mengalami keterlambatan akibat lokasi
proyek yang berada di daerah terpencil dengan akses jalan yang susah ditempuh, sehingga kesulitan dalam
pengangkutan bahan ke lokasi proyek dan kesulitan penggunaan alat berat yang berdampak pada waktu pelaksanaan
proyek.

Penyebab keterlambatan pelaksanaan suatu proyek kemungkinan berbeda di setiap daerah. Namun keterlambatan
dapat diminimalisir apabila sudah diketahui faktor yang paling sering menjadi penyebab keterlambatan sehingga
bisa merencanakan metode kerja yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor–faktor apa saja yang
menjadi penyebab terjadinya keterlambatan pelaksanaan pekerjaan yang sering terjadi pada proyek-proyek
konstruksi khususnya di wilayah Kabupaten Buleleng. Terdapat tujuh faktor yaitu Faktor Tenaga Kerja; Faktor

MK - 187
Lingkup Kontrak/Dokumen Pekerjaan; Faktor Bahan; Faktor Manajerial; Faktor Sistem Inspeksi, Kontrol, dan
Evaluasi Pekerjaan; Faktor Peralatan; serta Faktor Karakteristik Tempat, Pada masing-masing faktor juga terdapat
Sub faktor yang paling berpengaruh pada masing-masing faktor penyebab keterlambatan pada pelaksanaan proyek
konstruksi. Hasil analisis diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan serta langkah awal untuk dapat
menghindari ataupun mengendalikan dan mengatasi keterlambatan waktu dalam pelaksanaan proyek.

2. MATERI DAN METODE


Pengertian Keterlambatan Proyek

Dalam suatu proyek, dikatakan terlambat apabila persentase realisasi pekerjaan di lapangan lebih kecil dari
persentase yang telah direncanakan. Menurut Levis dan Atherley (1996), suatu pekerjaan yang tidak dapat
diselesaikan sesuai waktu yang ditargetkan karena alasan tertentu, maka dikatakan pekerjaan itu mengalami
keterlambatan, yang akan berdampak pada perencanaan yang telah dibuat serta pada masalah keuangan.
Keterlambatan dapat merugikan kedua belah pihak, dari pihak kontraktor maupun pemilik proyek. Bagi kontraktor
yaitu bertambahnya biaya tidak langsung dan dapat dikenakan sanksi penalty sehingga mengurangi keuntungan.
Dampak keterlambatan bagi pemilik adalah tertundanya waktu pengoperasian gedung maupun usaha yang dibangun.

Penyebab Keterlambatan Proyek

Keterlambatan pelaksanaan proyek disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Proboyo (1999) diantaranya seperti
adanya perubahan rencana saat proses pelaksanaan, manajerial yang kurang baik, gambar dan spesifikasi yang tidak
lengkap, dan faktor lainnya akibat kesalahan kontraktor maupun yang terjadi akibat faktor eksternal.

Keterlambatan proyek dapat disebabkan baik dari pihak kontraktor, pemilik, ataupun oleh faktor alam dan
lingkungan diluar kemampuan manusia atau disebut dengan force majeur. Standard dokumen kontrak yang
diterbitkan AIA (American Institute Of Architects) mengklasifikasikan keterlambatan proyek menjadi tiga (3)
kelompok, yaitu (Alifen et al., 2000):

a. Compensable Delay adalah keterlambatan yang beralasan dan dapat diberikan kompensansi, diamana
keterlambatan ini disebabkan karena kesalahan oleh pihak pemilik. Dalam kasus ini kontraktor berhak atas
dispensasi waktu dan biaya ekstra.
b. Excusable/Non Compensable Delay adalah keterlambatan yang beralasan, tetapi tidak dapat diberikan
kompensasi. Seperti faktor cuaca buruk, kebakaran, banjir, peperangan, inflasi/eskalasi harga, dan keadaan tak
terduga lainnya.
c. Non-Excusable Delay adalah keterlambatan yang tidak beralasan, yang disebabkan karena kegagalan kontraktor
memenuhi tanggung jawabnya dalam pelaksanaan proyek. Dalam kasus ini kontraktor akan terkena denda
penalti sesuai dengan kontrak.

Analisis Relatif Indeks

Perhitungan Relatif Indeks digunakan untuk mencari tingkat pengaruh pada tujuh (7) faktor keterlambatan, dimana
faktor dengan nilai RI terbesar merupakan faktor yang memiliki pengaruh paling besar sebagai penyebab
keterlambatan pelaksanaan Proyek. Berikut ini adalah tahapan perhitungan untuk mendapatkan nilai RI:

1. Perhitungan Nilai Total


Dari hasil kuesioner yang didapat, data kemudian ditabulasi dan dicari nilai total pada setiap faktornya.

∑n= n1+ n2 + n3 + ….. + nn (1)

Keterangan:

∑n = Nilai Total masing-masing faktor

n = Jumlah subfaktor masing-masing faktor

MK - 188
2. Perhitungan Skor Total
Jumlah subfaktor pada masing-masing faktor berbeda, sehingga setelah mendapatkan nilai total, maka maka
hasil tersebut dibagi dengan jumlah masing-masing subfaktor:

Skor Total = (2)

3. Perhitungan Relatif Indeks (RI)


RI bertujuan untuk mengetahui tingkat pengaruh faktor yang diteliti Nilai RI yaitu antara 0-1, semakin
mendekati 1 nilai RI, semakin besar pengaruh faktor tersebut sebagai penyebab keterlambatan pelaksanan
proyek konstruksi.

RI = (3)

Analisis Faktor

Pengaruh subfaktor pada masing-masing faktor dapat diketahui dengan Analisis Faktor. Dari hasil Analisis Faktor
didapatkan nilai komunalitas, dimana semakin besar komunalitasnya maka semakin kuat pengaruh variabel tersebut
sebagai pembentuk faktor yang dimaksudkan. Berikut ini tahapan Analisis Faktor dengan menggunakan bantuan
program SPSS (Santoso, 2015) :

1. Menilai variabel yang layak dianalisis dengan menghitung nilai KMO (Kaiser-Meyer-Olkin), syarat nilai KMO
yaitu > 0,5.
2. Menghitung nilai Measure of Sampling Adequence (MSA). Syarat nilai MSA yaitu > 0,5. Apabila ada variabel
dengan nilai MSA dibawah 0,5 maka dilakukan pengujian ulang tanpa mengikutsertakan variabel tersebut
hingga tidak ada lagi nilai MSA < 0,5.
3. Melakukan ekstraksi faktor. Tahap ini bertujuan untuk melihat berapa faktor yang dapat terbentuk dari variabel
yang digunakan. Namun pada penelitian ini karena faktor dan masing-masing sub faktornya sudah ditentukan
sebelumnya oleh peneliti, maka diharapkan dari hasil ekstrasi faktor hanya terbentuk 1 faktor yang berarti
subfaktor yang telah ditentukan oleh peneliti sudah tepat variabelnya sebagai pembentuk faktor yang
dimaksudkan.
4. Menginterpretasikan hasil analisis faktor, yaitu dengan melihat skor faktor dan komunalitas pada masing-masing
subfaktor. Komunalitas adalah jumlah variansi (bisa dalam bentuk persen) dari suatu variabel yang bisa
dijelaskan/diwakilkan oleh faktor yang terbentuk. Subfaktor yang memiliki komunalitas di atas 75% dianggap
memiliki pengaruh besar sebagai pembentuk faktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi.

Metode Penelitian

Objek penelitian adalah proyek-proyek yang mengalami keterlambatan di daerah Buleleng. Dimana proyek tersebut
merupakan proyek yang sedang dikerjakan maupun telah selesai pembangunannya periode tahun 2013-2015 dengan
kualifikasi nilai proyek kecil dan menengah.

Data sekunder yaitu data proyek-proyek yang dijadikan objek penelitian diperoleh dari Dinas Perijinan Kabupaten
Buleleng berupa data penerima Ijin Mendirikan Bangunan periode tahun 2013-2015, dan data proyek serta
kontraktor yang menangani proyek tersebut yang didapat dari situs resmi LPSE (Layanan Pengadaan Secara
Elektronik) Kabupaten Buleleng. Dari data sekunder yang telah terkumpul, selanjutnya dilakukan penyebaran
kuesioner kepada pihak kontraktor yang menangani proyek tersebut. Hasil dari penyebaran kuesioner, didapat 30
responden yang ikut dalam pengisian kuesioner, dimana yang berhak menjadi responden tersebut adalah mereka
yang menduduki jabatan diantaranya yaitu Direktur, Project Manager, Site Manager, dan Pelaksana Lapangan.

Data jawaban responden kemudian dikonversi ke dalam skala Likert kemudian ditabulasi untuk memudahkan dalam
melakukan analisis. Namun sebelumnya perlu dilakukan pengujian terhadap kuesioner yaitu uji validitas dan uji
reliabilitas. Setelah kuesioner dinyatakan valid dan reliabel maka selanjutnya dilakukan analisis Relatif Indeks (RI)
dan Analisis Faktor dengan SPSS untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh pada penyebab keterlambatan
serta subfaktor yang paling berpengaruh pada masing-masing faktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek
konstruksi.

MK - 189
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perhitungan Relatif Indeks (RI)

RI digunakan untuk mengetahui peringkat dari tujuh (7) faktor yang dianalisis. Nilai RI berkisar antara 0-1. Dimana
dari hasil perhitungan, nilai RI yang paling besar berarti menduduki peringkat pertama sebagai faktor dengan
pengaruh paling besar. Tabel 1 menunjukkan peringkat pada tujuh faktor penyebab keterlambatan yang diurutkan
dari nilai RI terbesar.

Tabel 1. Peringkat Faktor Keterlambatan


Berdasarkan Hasil Perhitungan Nilai RI
Peringkat Faktor Keterlambatan RI
1 Faktor Lingkup Kontrak/Dokumen Pekerjaan (Contract
0,743
Document)
2 Faktor Karakteristik Tempat (Site Characteristic) dan
0,738
Faktor Situasi
3 Faktor Bahan (Materials) 0,719
4 Faktor Tenaga Kerja (Labors) 0,696
5 Faktor Sistem Inspeksi, Kontrol, dan Evaluasi Pekerjaan 0,695
6 Faktor Peralatan (Equipment) 0,682
7 Faktor Manajerial (Managerial) dan Perencanaan
0,672
(Planning)

Hasil Analisis Faktor

Analisis Faktor digunakan untuk mengetahui sub faktor yang memiliki pengaruh besar pada 7 faktor penyebab
keterlambatan. Perhitungan analisis faktor menggunakan bantuan program SPSS. Berikut adalah tahapan dalam
Analisis Faktor:

1. Menilai variabel yang layak dianalisis.


Untuk melihat variabel mana saja yang dapat dianalisis ke tahap selanjutnya yaitu dengan mencari nilai KMO
dan MSA. Gambar 1. Menunjukan hasil pengujian nilai KMO pada Faktor Lingkup Kontrak/Dokumen
Pekerjaan.

Gambar 1. Hasil pengujian nilai KMO dengan SPSS pada Faktor Lingkup Kontrak

Syarat nilai KMO adalah > 0,5. Dari Gambar 1 diperoleh nilai KMO sebesar 0,892 yang berarti data layak untuk
dianalisis lebih lanjut. Setelah variabel memenuhi syarat KMO, maka selanjutnya menentukan Measure of
Sampling Adequence (MSA). Hasil perhitungan MSA pada Faktor Lingkup Kontrak ditunjukkan pada Gambar
2.

Gambar 2. Hasil pengujian nilai MSA dengan SPSS pada Faktor Lingkup Kontrak

MK - 190
Nilai MSA ditunjukkan oleh angka dengan kode ‘a’ pada kolom anti-image correlation. Pada ke-6 subfaktor
sudah memenuhi nilai MSA yaitu > 0,5 sehingga data dapat digunakan ke analisis selanjutnya. Namun apabila
ada variabel dengan nilai MSA yang masih belum memenuhi syarat, maka variabel tersebut harus dihapus
kemudian dicari lagi nilai MSA tanpa mengikutsertakan variabel tersebut sehingga tidak ada lagi nilai MSA
yang kurang dari 0,5. Begitu juga seterusnya pada Faktor lainnya dilakukan dengan cara yang sama.

2. Ekstrasi Faktor
Ektrasi faktor bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis faktor yang akan dipakai. Karena variabel (subfaktor) pada
masing-masing faktor sudah ditetapkan oleh peneliti maka variabel tersebut dikatakan tepat apabila hanya
terbentuk 1 faktor. Contoh hasil ekstrasi faktor pada Faktor Lingkup Kontrak ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Hasil Ekstrasi Faktor dengan SPSS


pada Faktor Lingkup Kontrak

Eigenvalue yaitu kepentingan relatif masing-masing faktor dalam menghitung varians keenam variabel yang
dianalisis. Terdapat 1 nilai eigenvalue pada elemen tersebut dengan nilai lebih dari 1, dengan variansi sebesar
74,779%. Karena hanya terbentuk 1 faktor, maka keenam subfaktor tersebut diinterpretasikan sudah tepat
variabelnya sebagai subfaktor pada Faktor Lingkup Kontrak/Dokumen Pekerjaan.

Pada tujuh faktor yang dianalisis, masing-masing subfaktor di dalamnya hanya terbentuk 1 faktor sesuai yang
diharapkan. Sehingga subfaktor yang telah ditetapkan dapat dikatakan sudah tepat sebagai pembentuk faktor
yang dimaksudkan.

3. Menginterpretasikan Hasil Analisis Faktor


Tahap akhir dari analisis faktor yaitu menginterpretasikan hasilnya untuk melihat subfaktor yang memiliki
pengaruh besar sebagai pembentuk faktor tersebut. Interpretasi faktor dilakukan dengan melihat hasil skor faktor
dan komunalitas dari masing-masing faktor. Skor faktor dan komunalitas pada Faktor Lingkup
Kontrak/Dokumen Pekerjaan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Skor Faktor dan Komunalitas pada Faktor Lingkup Kontrak
Komunalitas
Subfaktor Skor Faktor
(%)
Gambar rencana dan spesifikasi pekerjaan yang tidak lengkap 0,866 74,9
Adanya perubahan desain pada waktu pelaksanaan proyek 0,934 87,2
Keterlambatan pemilik dalam membuat keputusan 0,714 50,9
Ketidaksepahaman aturan pembuatan gambar kerja antara
0,917 84,0
perencana dan kontraktor
Adanya permintaan perubahan atas pekerjaan yang telah selesai 0,828 68,6
Pemilik tidak melakukan pembayaran sesuai dengan waktu
0,911 82,9
perjanjian yang telah disepakati.

Didapat sub faktor yang memiliki skor faktor dan komunalitas paling besar yaitu sub faktor adanya perubahan
desain pada waktu pelaksanaan proyek, berarti pada Faktor Lingkup Kontrak/Dokumen Pekerjaan, sub faktor
yang paling berpengaruh yaitu adanya perubahan desain. Sub faktor ketidaksepahaman aturan pembuatan
gambar kerja antara perencana dan kontraktor, serta subfaktor pembayaran oleh pemilik yang lewat dari waktu
yang telah disepakati juga memiliki kontribusi yang besar (di atas 75%) sebagai sub faktor penyebab
keterlambatan pada Faktor Lingkup Kontrak/Dokumen Pekerjaan.
Untuk mengetahui subfaktor yang memiliki pengaruh besar pada faktor lainnya, dilakukan dengan cara yang
sama.

MK - 191
4. KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan pada proyek yang berada di Kabupaten Buleleng, dengan menggunakan
sampel sebanyak 30 maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Tiga faktor utama penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi di Kabupaten Buleleng adalah :
- Faktor Lingkup Kontrak/Dokumen Pekerjaan (Contract Document).
- Faktor Karakteristik Tempat (Site Characteristic) dan Faktor Situasi.
- Faktor Bahan (Materials).
2. Subfaktor yang memiliki pengaruh besar pada masing-masing faktor penyebab keterlambatan berdasarkan
perhitungan Analisis Faktor yaitu:
- Pada Faktor Lingkup Kontrak/Dokumen Pekerjaan (Contract Document) adalah subfaktor adanya
perubahan desain; ketidaksepahaman aturan pembuatan gambar kerja antara perencana dan kontraktor;
serta pembayaran oleh pemilik yang lewat dari waktu yang telah disepakati.
- Pada Faktor Karakteristik Tempat (Site Characteristic) dan Faktor Situasi adalah akses ke lokasi proyek
yang jauh atau sulit ditempuh dan intensitas curah hujan yang tinggi.
- Pada Faktor Bahan (Materials) adalah keterlambatan pengiriman bahan; terlambatnya waktu pemesanan
bahan; dan peningkatan harga material.
- Pada Faktor Tenaga Kerja (Labors) adalah komunikasi yang kurang baik antara tenaga kerja dan mandor.
- Pada Faktor Sistem Inspeksi, Kontrol, dan Evaluasi Pekerjaan adalah pengawas sering meninggalkan
lapangan dan susah ditemui sehingga memperlambat proses evaluasi pekerjaan.
- Pada Faktor Peralatan (Equipment) adalah kualitas peralatan yang kurang baik; dan jumlah peralatan yang
tersedia kurang memadai.
- Pada Faktor Manajerial (Managerial) dan Perencanaan (Planning) adalah pemilik susah dihubungi dan
ditemui sehingga komunikasi antara kontraktor dan pemilik kurang; dan metode konstruksi/pelaksanaan
kerja yang tidak tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Astina, N. 2012. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Pelaksanaan Pekerjaan Proyek Konstruksi di
Kabupaten Tabanan. (Tugas Akhir Program Sarjana Teknik Sipil Universitas Udayana, 2012)
Levis dan Atherley. 1996. Delay Construction, Langford
Nugraha, P., INatan, Sutjipto, R. 1985. Manajemen Proyek Konstruksi I. Kartika Yudha, Surabaya.
Nunnally, J.C. 1978. Psychometric Theory, 2 nd edition. McGraw-Hill Book, New York.
Proboyo, B. 1999. Keterlambatan Waktu Pelaksanaan Proyek : Klasifikasi dan Peringkat dari Penyebab-
Penyebabnya, Dimensi Teknik Sipil, Vol. 1, No.2, September 1999.
Purwatiningrum, O. 2011. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Pelaksanaan Pekerjaan Proyek Gedung
di Denpasar dan Badung. (Tugas Akhir Program Sarjana Teknik Sipil Universitas Udayana, 2011)
Santoso, S. 2015. Menguasai Statistik Multivariat : Konsep Dasar dan Aplikasi dengan SPSS. PT Elex Media
Komputindo, Jakarta
Soeharto, I. 1999. Manajemen Proyek : Dari Konseptual Sampai Operasional. Jilid 1 Erlangga, Bandung.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung, Alfabeta
Supranto. 2010. Analisis Multivariat Arti & Interpretasi. Cetakan ke-2. Rineka Cipta, Jakarta.

MK - 192
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

UNSAFE ACTION PEKERJA KONSTRUKSI PADA K3 PROYEK KONSTRUKSI

Dewi Yustiarini1

1
Departemen Pendidikan Teknik Sipil, Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudi No.207 Bandung
Email: dewiyustiarini@upi.edu

ABSTRAK
Pekerja konstruksi memilik peran mewujudkan bangunan konstruksi. Pada tahap pelaksanaan
konstruksi dibutuhkan kepatuhan pekerja terhadap metode pelaksanaan konstruksi, termasuk juga
dengan biaya, peralatan, dan material menjadi satu kesatuan. Pada saat pelaksanaan konstruksi
muncul beberapa data tentang kecelakaan kerja. Penelitian terdahulu menjelaskan bahwa kecelakaan
kerja dapat terjadi karena kesalahan pekerja konstruksi yang tidak patuh terhadap metode
pelaksanaan kerja. Ketidakpatuhan terhadap metode konstruksi mendatangkan kecelakaan kerja,
salah satu penyebabnya adalah tindakan tidak aman atau unsafe action. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui faktor dominan ketidakpatuhan pekerja konstruksi dalam bertindak tidak aman (unsafe
action). Pengumpulan data primer menggunakan kuisioner sebagai narasumber adalah pekerja
konstruksi dengan tujuan memperoleh faktor dominan ketidakpatuhan penyebab tindakan tidak
aman. Materi pertanyaan kuisioner disusun berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari penelitian
terdahulu, data proyek, dan kajian pustaka. Untuk menguatkan hasil kuisioner, dilakukan juga
wawancara ke beberapa narasumber, tenaga ahli terkait dengan keselamatan kerja serta pengamatan
langsung di lapangan. Pengolahan data dari kuisioner dengan memprosentasikan kategori kepatuhan
pekerja konstruksi. Hasil diperoleh bahwa kepatuhan pekerja konstruksi terhadap pengetahuan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) serta peraturan K3 telah baik bahkan sangat baik dengan
hasil 100%. Namun tingkat kepatuhan perilaku pekerja hanya 93,89%. Hal ini menunjukkan bahwa
masih ada 6% sebagai penyebab kecelakaan dari adanya tindakan tidak aman (unsafe action). Hasil
pengolahan data kemudian dikaji secara komprehensif dalam FGD (focus group discussion).
Diperoleh temuan penyebab perilaku pekerja konstruksi bertindak tidak aman, antara lain masih
rendahnya prioritas pekerja dalam menerapkan peraturan berdasarkan pengetahuan pekerja.
Kata kunci: pekerja, kepatuhan, unsafe action

1. PENDAHULUAN
Bangunan apartemen merupakan salah satu fasilitas hunian yang pokok untuk menunjang suatu kemanan,
kenyamanan serta ketersediaan bangunan-bangunan yang dapat dipergunakan sesuai kebutuhan. Pada pembangunan
apartemen, manajemen proyek harus bisa mengatur jalannya suatu pembangunan agar waktu yang di tetapkan tidak
mengalami kemunduran, hal yang harus diperhatikan salah satunya adalah pekerja yang melaksanakan pekerjaan
fisik suatu bangunan. Pekerja harus bekerja dengan baik sesuai dengan perencanaan, oleh sebab itu perlu adanya
pengendalian manajemen resiko bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Pada sektor konstruksi, kecelakaan kerja dapat disebabkan oleh faktor kesalahan manusia, faktor keahlian dan
pengalaman, faktor lingkungan kerja, dan faktor komitmen perusahaan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Hal
ini tentu merupakan hal yang tidak diharapkan, disatu sisi pelaksanaan pembangunan diharapkan dapat selesai
secepat mungkin namun dari segi kecelakaan juga ditekan seminimal mungkin sehingga zero accident dari awal
sampai proyek selesai.
Permasalahan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) secara umum di Indonesia masih terabaikan, kurangnya
perhatian terhadap kesehatan dan keselamatan kerja merupakan nilai negatif terhadap perusahaan yang mengelola
tersebut, masyarakat sering melihat sistem kesehatan keselamatan kerja pada proyek pembangunan kurang
diperhatikan keselamatannya serta rasa tidak bertanggung jawabnya terhadap dampak lingkungan. Disamping
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dapat diharapkan untuk menciptakan kenyamanan kerja yang ada dalam
kesehatan dan keselamatan kerja tidak terpaku pada faktor fisik, tetapi juga mental, emosional dan psikologi.
Pekerjaan dikatakan aman jika apapun yang dilakukan oleh pekerja tersebut dari resiko yang mungkin muncul dapat
dihindari, oleh dari itu pekerja harus memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), tetapi pada
kenyataannya banyak pekerja yang tidak memperhatikan dan acuh pada keselamatan dan kesehatan kerja.

MK - 193
Suizer (1999) salah seorang praktisi Behavioral Safety mengemukakan bahwa para praktisi safety telah melupakan
aspek utama dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja yaitu aspek behavioral (perilaku) para pekerja yang
berada dilapangan. Pernyataan ini diperkuat oleh John O. Cooper (2007) bahwa walaupun sulit untuk di kontrol
secara tepat, 80% - 95% persen dari seluruh kecelakaan kerja yang terjadi disebabkan oleh unsafe behavior.
Pendapat Cooper tersebut didukung oleh hasil riset dari NCS tentang penyebab terjadinya kecelakaan kerja pada
tahun 2009 yang menunjukkan bahwa penyebab kecelakaan kerja 88% adalah adanya unsafe behavior, 10% karena
unsafe condition dan 2% tidak diketahui penyebabnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh DuPont Company
menunjukkan bahwa kecelakaan kerja 96% disebabkan unsafe behavior dan 4% disebabkan unsafe condition.
Apabila sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) tidak dilaksanakan dengan baik maka dampak
yang ditimbulkan seperti kecelakaan kerja di proyek. Muncuk ketidakpatuhan dalam hal ini. Sehingga pertanyaan
selanjutnya penyebab kecelakaan di proyek dari faktor manusia dan faktor lingkungan. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui faktor dominan ketidakpatuhan pekerja konstruksi dalam bertindak tidak aman (unsafe action).

2. LANDASAN TEORI

Pengertian K3
Menurut Mangkunegara (2002, hlm.163) K3 atau keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan
upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya,
dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan makmur. Menurut
Simanjuntak (1994), Keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan
kerusakan saat bekerja yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi
pekerja.

Kecelakaan
Pengertian Kecelakaan Kerja menurut Suma’mur (1989) adalah suatu kecelakaan yang berkaitan dengan hubungan
kerja dengan perusahaan. Hubungan kerja disini berarti bahwa kecelakaan terjadi karena akibat dari pekerjaan atau
pada waktu melaksanakan pekerjaan. Kecelakaan didefinisikan sebagai suatu kejadian yang tak terduga, semula
tidak dikehendaki yang mengacaukan proses yang telah diatur dari suatu aktivitas dan dapat menimbulkan kerugian
baik bagi manusia dan atau harta benda, Sedangkan kecelakaan kerja adalah kejadian yang tak terduga dan tidak
diharapkan dan tidak terencana yang mengakibatkan luka, sakit, kerugian baik pada manusia, barang maupun
lingkungan. Menurut Per 03/Men/1994 mengenai Program JAMSOSTEK, pengertian kecelakaan kerja adalah
kecelakaan berhubung dengan hubungan kerja , termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja demikian
pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah
melalui jalan biasa atau wajar dilalui.( Bab I pasal 1 butir 7 ).

Penyebab kecelakaan

Menurut Anizar (2012), secara umum penyebab kecelakaan ada dua, yaitu unsafe action (faktor manusia) dan
unsafe condition (faktor lingkungan). Menurut penelitian bahwa 80%-85% kecelakaan disebabkan oleh unsafe
action. Unsafe action dapat disebabkan oleh berbagai hal berikut:
 Ketidakseimbangan fisik tenaga kerja, yaitu:
- posisi tubuh yang menyebabkan mudah lelah
- cacat fisik
- cacat sementara
- kepekaan pacna indra terhadap sesuatu
 Kurang pendidikan
- Kurang pengalaman
- Salah pengertian terhadap suatu perintah
- Kurang terampil
- Salah mengartikan SOP (Standard Operational Procedure) sehingga mengakibatkan kesalahan pemakaian alat
kerja.
 Menjalankan pekerjaan tanpa mempunyai kewenangan
 Menjalankan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya
 Pemakaian alat pelindung diri (APD) hanya berpura-pura
 Mengangkat beban yang berlebihan

MK - 194
 Bekerja berlebihan atau melebihi jam kerja

Suma’mur (dalam Cecep, 2014, hlm.76) mengemukakan bahwa 80% - 85% kecelakaan disebabkan oleh kelalalian
(unsafe human acts) dan kesalahan manusia (human error). Kecelakaan dan kesalahan tersebut meliputi faktor usia,
jenis kelamin, pengalaman kerja dan pendidikan. Kesalahan akan meningkat ketika pekerja mengalami stress pada
beban pekerjaan yang tidak normal atau ketika kapasitas kerja menurut akibat kelelahan”.
a. Faktor Pekerja
1) Giliran Kerja (Shift)
Giliran kerja adalah pembagian kerja dalam waktu dua puluh empat jam. Terdapat dua masalah utama pada
pekerja yang bekerja secara bergiliran yaitu ketidak mampuan pekerja untuk beradaptasi dengan sistem shift dan
ketidakmampuan pekerja untuk beradaptasi dengan kerja pada malam hari dan tidur pada siang hari. Pergeseran
waktu kerja dari pagi, siang dan malam hari dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kecelakaan akibat
kerja.
2) Jenis Pekerja
Jenis pekerjaan mempunyai pengaruh besar terhadap resiko terjadinya kecelakaan akibat kerja. Jumlah dan
macam kecelakaan akibat kerja berbeda-beda diberbagai kesatuan operasi dalam suatu proses.
b. Faktor Lingkungan
1) Lingkungan Fisik
Pencahayaan merupakan suatu aspek lingkungan fisik yang penting bagi keselamatan kerja. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa pencahayaan yang tepat dan sesuai dengan pekerjaan akan dapat
menghasilkan produksi yang maksimal dan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan akibat kerja. Kebisingan
ditempat kerja dapat berpengaruh terhadap pekerja karena kebisingan dapat menimbulkan gangguan
perasaan, gangguan komunikasi sehingga menyebabkan salah pengertian, tidak mendengar isyarat yang
diberikan, hal ini dapat berakibat terjadinya kecelakaan akibat kerja disamping itu kebisingan juga dapat
meyebabkan hilangnya pendengaran sementara atau menetap. Nilai ambang adalah 85 dBa untuk 8 jam kerja
sehari atau 40 jam kerja dalam seminggu. Faktor lingkungan kimia merupakan salah satu faktor lingkungan
yang memungkinkan penyebab kecelakaan kerja. Faktor tersebut dapat berupa bahan baku suatu produksi,
hasil suatu produksi dari suatu proses, proses tersebut sendiri ataupun limbah dari suatu produksi.
2) Lingkungan Biologi
Bahaya biologi disebabkan oleh jasad renik, gangguan dari serangga maupun bintang lain yang ada di tempat
kerja. Berbagai macam penyakit dapat timbul seperti infeksi, alergi, dan sengatan serangga maupun gigitan
binatang berbisa bebagai penyakit serta bias menyebabkan kematian.

3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif secara deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi
atau pengamatan langsung ke lapangan serta membaca beberapa literatur sebagai bagian dari studi pustaka.
Selanjutnya dibuat materi kuisioner untuk pekerja konstruksi. Dilanjutkan dengan wawancara untuk memperkuat
hasil kuisioner. Pada bagian pembahasan dilakukan diskusi grup untuk membahas hasil temuan. Dan bagian akhir
membuat simpulan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Untuk dapat menganalisis kepatuhan kontraktor terhadap penerapan Peraturan-Peraturan K3 Konstruksi Indonesia,
terlebih dahulu dilakukan pengolahan data terhadap penerapan peraturan-peraturan tersebut. Berdasarkan
rekapitulasi data dapat diperoleh jumlah list kewajiban kontraktor yang diterapkan atau tidak diterapkan oleh
kontraktor. Dengan membuat asumsi bahwa setiap list kewajiban kontraktor memiliki bobot penilaian yang sama,
analisis kepatuhan kontraktor dirumuskan ke dalam tiga kategori sebagai berikut:
a. Kategori kepatuhan terhadap Pengetahuan K3
Kategori yang diberikan kepada seluruh pekerja yang patuh menerapkan minimal 100% terhadap pengetahuan
mengenai K3 Konstruksi Indonesia pada konstruksi bangunan.

MK - 195
Gambar 4.1 Hasil pengolahan data kuisioner
Pada hasil kuisioner yang didapat, responden menjawab dengan benar dan mengetahui, memahami,
mengaplikasikan tentang bahaya yang terjadi di sekitar dan memahami tentang hal-hal yang perlu dihindari untuk
menjaga keselamatan pada dirinya masing-masing. Responden dengan latar belakang yang berbeda-beda menjawab
ya yang berarti memahami pertanyaan mengenai K3 di proyek konstruksi. Pada 30 responden, 30 memilih YA yang
berarti 100% mengetahui tentang K3 di proyek konstruksi.

b. Kategori kepatuhan terhadap Perilaku


Kategori yang diberikan kepada seluruh pekerja yang menyadari tindakan atau perbuatan dari beberapa pekerja yang
memperkecil kemungkinan terjadinya kecelakaan akibat kerja di proyek konstrusi sebesar 93,89% dan 6 % lainnya
tindakan atau perbuatan dari seseorang atau beberapa pekerja memperbesar kemungkinan terjadinya kecelaakaan
akibat kerja. Yang dimana tindakan tesebut membahayakan dirinya sendiri, orang lain maupun lingkungan
disekitarnya.

Gambar 4.2 Hasil pengolahan data kuisioner

Pada hasil kuisioner yang didapat, responden memiliki yang berbeda-beda menjawab ya yang berarti memahami
tentang bahaya yang terjadi dan tidak sedikit pula yang masih belum menyadari bahaya yang ditimbulkan akibat
kecelakaan kerja yang mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada dirinya, orang disekitar dan
ligkungannya di proyek konstruksi. Pada 30 responden, 18 pertanyaan tentang perilaku, memilih YA yang berarti
93,89% perilaku pekerja menyadari tentang bahaya yang terjadi dan 6% sisanya memilih tidak atau belum
menyadari akan bahaya yang timbul akibat perilaku yang membahayakan terhadap dirinya sendiri, orang lain
maupun linngkungan sekitar di proyek konstruksi.

c. Kategori Kepatuhan Peraturan


Kategori yang diberikan kepada seluruh pekerja yang patuh menerapkan minimal mengenai K3 Konstruksi
Indonesia pada konstruksi bangunan.

MK - 196
Gambar 4.3 Hasil pengolahan data kuisioner

Pada hasil kuisioner yang didapat, responden menjawab dengan benar dan mengetahui, memahami,
mengaplikasikan tentang peraturan yang ditetapkan dan memahami tentang hal-hal yang perlu dihindari untuk
menjaga keselamatan pada dirinya masing-masing. Responden dengan latar belakang yang berbeda-beda menjawab
ya yang berarti memahami pertanyaan mengenai K3 di proyek konstruksi. Pada 30 responden, 30 memilih tabel YA
yang berarti 100% mengetahui tentang peraturan K3 di proyek konstruksi.

Gambaran umum penerapan K3 proyek

Terdapat dua faktor yang berhubungan dengan perilaku tidak aman yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal antara lain (pengetahuan, sikap, motivasi, umur dan masa kerja) dan faktor eksternal antara lain
(ketersediaan APD, peraturan keselamatan kerja, safety promotion, safety meeting, safety talk, dan safety patrol).
Perilaku tentang kesadaran pada K3 di proyek konstruksi yakni perilaku tidak aman (unsafe action) dan perilaku
aman (safety behavior). Menurut Henrich (1980) dalam Budiono (2009) perilaku tidak aman/unsafe action yaitu
tindakan atau perbuatan dari seseorang atau bebrapa orang karyawan yang memperbesar kemungkinan terjadi
kecelakaan terhadap pekerja di proyek konstruksi. Secara umum perilaku tidak aman pada pekerja konstruksi,
diantaranya adalah tidak patuh terhadap praturan-peraturan dan prosedur keselamatan kerja, penyalahgunaan APD,
kebiasaan merokok, bergurau, melakukan tindakan berbahaya dan yang lainnya yang dapat meningkatkan resiko
terjadinya kecelakaan kerja. Adapun perilaku aman (safety behavior), menurut Henrich (1980) dalam Budiono
(2009) perilaku aman adalah tindakan atau perbuatan dari seseorang atau beberapa orang karyawan yang
memperkecil kemungkinan terjadinya kecelakaan terhadap pekerja konstrusi. Faktor internal yang peneliti kaji
didapat dari hasil wawancara dan observasi dilapangan yakni tentang pengetahuan dan perilaku tentang kesadaran
yang berhubungan dengan perilaku tidak aman di proyek konstruksi.

Faktor eksternal yang terdapat dari hasil wawancara dan observasi yakni antara lain (ketersediaan APD, peraturan
keselamatan kerja, safety promotion, safety meeting, safety talk, dan safety patrol). Ketersediaan APD dalam hal ini
merupakan salah satu bentuk dari faktor pendukung perilaku, dimana suatu perilaku otomatis belum terwujud dalam
suatu tindakan jika terdapat fasilitas yang mendukung perilaku tersebut, penggunaan APD merupakan alternatif
yang paling terakhir dalam hierarki pengendalian bahaya. Lebih baik mendahulukan tempat kerja yang aman, dari
pada pekerjaan safety karena tempat kerja yang memenuhi standar keselamatan lebih menjamin terselengggaranya
perlindungan bagi tenaga kerja. Pada penggunaan APD harus dipertimbangkan berbagai hal seperti pemilihan dan
penetapan jenis pelindung diri, standarisasi, pelatihan memakai dan merawat APD, efektifitas penggunaan,
pengawasan pemakaian, pemeliharaan dan penyimpanan, menurut tim K3 pada proyek konstruksi ketersediaan APD
sangatlah terbatas, para pekerja menyayangkan pemasukan atau anggaran untuk tersedianya APD kurang
diperhatikan. Peralatan seperti sarung tangan, helm, sepatu, dll terlihat sangat terbatas tidak sebanding dengan
jumlah pekerja.

Peraturan keselamatan merupakan dokumen tertulis yang mendokumentasikan standar norma, dan kebijakan
perilaku yang diharapkan. Cara ini menghasilkan perubahan perilaku yang cepat tetapi perubahan tersebut belum
tentu berlangsung lama karena didasari terjadi secara langsung maupun tidak langsung oleh kesadaran diri sendiri.
Safety promotion atau promosi K3 adalah suatu bentuk usaha yang dilakukan untuk mendorong dan menguatkan
kesadaran perilaku pekerja tentang K3 sehingga dapat melindungi pekerja, properti, dan lingkungan. Program

MK - 197
promosi K3 menjadi efektif apabila terdapat perubahan sikap dan perilaku pekerja. Safety promotion yakni tim ahli
K3 pada proyek memakai APD lengkap, atau taat pada aturan. Adapun safety talk yakni para pekerja dan staff
dikumpulkan pada hari Rabu jam 07.45 WIB dengan tujuan agar para pekerja dan seluruh staff yang hadir
mengetahui dan diberikan arahan-arahan mengenai K3, mengingatkan peraturan yang telah ditentukan, dan dapat
meningkatkan kesadaran dalam diri masing-masing agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pada hari sabtu
dilakukan safety meeting yakni staff K3 dan pengawas K3 berunding dan berkumpul dengan staff sub con mengenai
hal-hal yang diperlukan dalam cara menyadarkan, dan membahas tentang peraturan yang diperbaharui agar
tercapainya zero accident pada proyek. Pada hari yang bersamaan pukul 09.00 WIB dilakukan safety patrol yakni
mengawasi berbagai pekerjaan dengan staff K3 sekitar 15 orang, dan pada kegiatan ini setiap orang berkeliling dan
mengunjungi setiap jenis pekerjaan yang terdapat pada proyek untuk mengingatkan kembali tentang bahaya-bahaya
yang terjadi akibat kecelakaan kerja dan menyadari akan pentingnya menjaga diri setiap individu agar selalu aman
di setiap pekerjannya masing-masing.

Tabel 1 Komunikasi, Partisipasi, dan Konsultasi


No. Informasi Media yang Digunakan
1. Informasi keterangan jam kerja proyek Papan pengumuman
2. Informasi peraturan keselamatan dan tata tertib pekerjaan di lokasi Spanduk dan poster
proyek
3. Informasi mengenai jadwal dan waktu pekerjaan proyek Papan pengumuman dan
pemberitahuan lisan
4. Identifikasi stakeholder (pihak-pihak yang berkepentingan dan Pemberitahuan lisan
terkait)
5. Mekanisme partisipasi (saling memberi konsultasi dengan Pemberitahuan Lisan
stakeholder dan panitia-panitia)
6. Informasi ketertiban kendaraan proyek dan umum yang masuk ke Papan rambu-rambu pemberitahuan
lokasi proyek lisan, dan spanduk
7. Informasi menjaga kebersihan dilokasi proyek Spanduk dan poster
8. Informasi melalui Safety Talk Pemberitahuan Lisan
9. Informasi melalui Safety Meeting Pemberitahuan Lisan
10. Informasi melalui Safety Patrol Pemberitahuan Lisan

Pengelolaan K3 proyek
Manajemen mutu K3 pada proyek yang diterapkan perusahaan kontraktor untuk seluruh pekerja termasuk tamu
proyek. Manajemen mutu ini ditujukan untuk mencapai zerro accident pada proyek. Manajemen mutu K3
ditunjukkan melalui:
a. Seluruh karyawan memahami arti kebijakan mutu dan K3 perusahaan dan peran mereka dalam pekerjaan sehari-
hari terhadap pencapaian sasaran mutu dan K3 departemennya;
b. Menyusun dan meninjau secara berkala kebijakan mutu dan K3 perusahaan dan sasaran mutu dan K3 setiap
departemen/proyek;
c. Kebijakan mutu dan K3 ditinjau setiap 3 tahun;
d. Sasaran mutu dan K3 ditinjau setiap 2 bulan pada saat rapat tinjauan manajemen;
e. Meninjau pedoman mutu dan K3, prosedur-prosedur dan intsruksi kerja setiap 3 tahun dan merencanakan
penyempurnaan bertahap semua prosedur.
f. Memastikan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan untuk menerapkan sistem manajemen mutu dan K3
yang telah ditetapkan;
g. Menekankan kepada seluruh karyawan untuk memenuhi persyaratan pelanggan serta standar-standar dan
peraturan-peraturan yang berlaku;
h. Menetapkan nilai-nilai budaya perusahaan (cooperate values), yakni integritas, Komitmen, Kerjasama,
Kepemimpinan dan Perbaikan berkelanjutan untuk mendukung tindakan yang positif terhadap pencapaian visi
dan misi perusahaan.

MK - 198
5. SIMPULAN
Berdasaran pengumpulan dan pengolahan data yang telah dilakukan, pembahasan hasil penelitian bersama FGD dan
obeservasi langsung di lapangan, maka dapat disimpulkan penyebab perilaku pekerja tidak aman, antara lain:
a. Kurang pahamnya kontraktor terhadap penerapan peraturan-peraturan K3 konstruksi indonesia
b. Minimnya alokasi biaya K3
c. Rendahnya prioritas terhadap penerapan K3 oleh para pekerja
d. Sanksi pidana pelanggaran K3 ringan

DAFTAR PUSTAKA
Anizar. (2012). Teknik Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Jerusalam, M. A & Khayati, E. Z. (2010). Keselamatan dan kesehatan kerja. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigasi No. Per.01/MEN/1980 tentang “Keselamatan dan Kesehatan Kerja
pada Konstruksi Bangunan”.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per.05/MEN/1996 tentang “Sistem Keselamatan dan Kesehatan”.
Sucipto, Cecep, 2014, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Gosyen Publishing, Yogyakarta.
Ramli, Soehatman, 2010, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Dian Rakyat, Jakarta.
Suma’mur, 1985, Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan, Gunung Agung, Jakarta.

MK - 199
MK - 200
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

PENGARUH PERUBAHAN DESAIN PADA PELAKSANAAN PROYEK KONSTRUKSI


TERHADAP KINERJA PROYEK KONSTRUKSI

Agung Yana, A.A. Gde1

1
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Udayana, Kampus Unud Bukit Jimbaran
Email: agungyana@unud.ac.id

ABSTRAK
Proyek konstruksi selalu mengalami perubahan, perubahan memberikan dampak buruk terhadap
pelaksanaan proyek konstruksi. Banyak faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya
perubahanpada proyek konstruksi, salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah perubahan
design. Perubahan design yang terjadi pada pelaksanaan proyek konstruksi dapat memberikan
dampak yang tidak baik pada pelaksanaan proyek konstruksi, seperti terjadinya penambahan waktu
pelaksanaan proyek, penambahan biaya, mutu yang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan,
dan bahkan akan mengganggu kinerja dari proyek konstruksi itu sendiri. Tujuan penelitian yang
dilakukan disini adalah melakukan analisis seberapa besar pengaruh perubahan design yang terjadi
pada pelaksanaan proyek konstruksi terhadap kinerja proyek konstruksi. Analisis dilakukan dengan
menggunakan metoda Partial Least Square (PLS). PLS digunakan karena metoda PLS merupakan
model persamaan struktural yang sangat powerfull yang dapat digunakan untuk menganalisis
hubungan antar variabel, sehingga dapat diketahui bagaimana hubungan antara satu variabel
dengan variabel yang lainnya. Pengambilan sampel dilakukan diseluruh kabupaten yang ada di
Pulau Bali. Dari hasil analisis yang dilakukan ternyata perubahan desain yang terjadi pada
pelaksanaan proyek konstruksi akan memberikan pengaruh terhadap kinerja proyekkonstruksi.
Dari perhitungan dengan menggunakan structural equation model partial least square, path
coefficient antara variabel perubahan desain dengan kinerja proyek konstruksi sebesar 0,5795
dengan t-statistik sebesar 8,1663 (t-statistik>t-tabel=2,0452) dengan tingkat signifikan sebesar 5%.
Hasil penelitian menujukan bahwa terjadinya perubahan Desain pada pelaksanaaan proyek
konstruksi mempengaruhi kinerja proyek konstruksi.
Kata kunci: perubahan desain, kinerja proyek, proyek konstruksi, structural equation model, partial
least square

1. PENDAHULUAN
Industri yang akan menghasilkan bangunan gedung dan bangunan infrastruktur lainnya, serta akan menjadi modal
tetap dalam kegiatan perekonomian masyarakat sering disebut dengan industri konstruksi (Wibowo & Mawdesley,
2004; Oyewobi & Ogunsemi, 2010; Suraji & Pribadi, 2011). Untuk merealisasikan bangunan pada industri
konstruksi dilakukan dengan membuat proyek-proyek konstruksi. Menurut Ervianto (2005) proyek konstruksi
merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terjadi hanya satu kali, dimana pada umumnya berjangka waktu pendek,
serta terdapat suatu proses mengolah sumber daya proyek menjadi suatu hasil kegiatan berupa bangunan. Proyek
konstruksi semakin hari semakin komplek dan semakin besar, serta diikuti dengan adanya standar-standar baru,
teknologi baru, dan keinginan owner untuk melakukan penambahan atau perubahan, sehingga proyek konstruksi
selalu megalami perubahan baik dalam volume, sifat, dan permintaan atau durasi pekerjaan yang akan dilaksanakan
setelah kontrak ditandatangani/dimulai (Kaming et al, 1997). Perubahan yang terjadi pada proyek konstruksi
menyebabkan dampak yang buruk pada pelaksanaan proyek itu sendiri seperti terjadinya penyimpangan biaya,
penambahan waktu penyelesaian pekerjaan, mutu yang tidak memenuhi syarat dan sebagainya. ((Ibbs, 1997; Sun &
Meng, 2009; Li & Taylor, 2011; Kaming et al., 1997). Dari penelitian yang dilakukan oleh Burati Jr. et al. (1992)
menyebutkan bahwa perubahan desain merupakan penyebab terjadinya perubahan yang paling besar pada pada
proyek konstruksi. Dari penelitian tersebut diperoleh deviasi akibat desain rata rata sebesar 78% dari jumlah total
deviasi yang terjadi, rata-rata sebesar 795 dari jumlah total deviasi biaya, dan rata-rata sebesar 9,5% dari jumlah
total biaya. Dari deviasi yang terjadi akibat desain ternyata dua pertiganya diakibatkan oleh perubahan desain
(design change). Dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa deviasi yang terjadi pada proyek konstruksi 52%
diakibatkan oleh perubahan desain, atau dapat dikatakan bahwa deviasi yang terjadi pada proyek kontruksi lebih
dari setengahnya diakibatkan oleh perubahan desain (Burati Jr. et al., 1992).

MK - 201
Perubahan pada proyek konstruksi menyebabkan terganggunya aliran pekerjaan, bertambahnya biaya dan waktu,
terjadinya perselisihan, ketidakpuasan kontraktor dan owner, meningkatnya harga kontrak dan menyebabkan
perpanjangan waktu (Sun & Meng, 2009; Alnuaimi et al.,, 2010; Wasfy, 2010; Serag et al., 2010). Shaban, (2008)
melakukan penelitian dengan jalan mereview 17 penelitian terdahulu tentang faktor yang mempengaruhi kinerja
proyek konstruksi menemukan bahwa 16 (94,11%) penelitian mengatakan biaya dan waktu sebagai faktor yang
mempengaruhi kinerja proyek, 9 (52,94%) penelitian mengatakan faktor mutu yang mempengaruhi kinerja proyek,
8 (47,05%) penelitian mengatakan produktivitas sebagai faktor yang mempengaruhi kinerja proyek, dan yang
lainnya dibawah 7 (41,17%) penelitian di mana faktor-faktor tersebut adalah kepuasan clien, keselamatan dan
kesehatan, inovasi dan pembelajaran, lingkungan, kepuasan masyarakat, dan kepuasan orang yang terlibat. Dari
uraian di atas dapat dikatakan bahwa perubahan desain mempengaruhi biaya proyek, waktu pelaksanaan,
perselisihan pada proyek, ketidakpuasan dari owner maupun kontraktor, yang dapat disebut dengan kinerja proyek
konstruksi. Berdasarkan uraian di atas maka pada penelitian yang dilakukan disini melakukan analisis berapa besar
pengaruh dari perubahan desain yang terjadi pelaksanaan proyek konstruksi terhadap kinerja proyek konstruksi.

2. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN DESAIN


Banyak penelitian yang sudah dilakukan mengenai terjadinya perubahan pada pelaksanaan proyek konstruksi.
Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat 31 faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan desain (Alnuaimi et
al., 2010; Wu et al., 2005; Chang et al., 2011; Burati Jr. et al., 1992; Sun & Meng, 2009). Penyebab terjadi
perubahan tersebut dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu internal dan eksternal. Faktor internal
disebabkan oleh pihak pihak yang terlibat secara langsung pada pelaksanaan proyek konstruksi, yang terdiri dari
owner, konsultan desain, konsultan manajemen konstruksi, dan kontraktor. Owner terdiri dari lima faktor penyebab
perubahan desain, konsultan desain terdiri dari delapan faktor, konsultan manajemen konstruksi terdiri dari tiga
faktor, dan yang terakhir adalah kontraktor terdiri dari empat faktor penyebab perubahan desain. Faktor eksternal
adalah faktor yang tidak langsung terlibat dalam pelaksanaan proyek konstruksi, akan tetapi dapat mempengaruhi
terjadinya perubahan desain pada pelaksanaan proyek konstruksi, yang terdiri dari faktor politik dan ekonomi,
lingkungan alam, kemajuan teknologi, dan pihak ketiga. Politik dan ekonomi tediri dari tiga faktor, lingkungsn alam
terdiri dari tiga faktor, kemajuan teknologi terdiri dari tiga faktor, sedangkan pihak ketiga terdiri dari dua faktor.

3. KINERJA PROYEK KONSTRUKSI


Kinerja proyek dapat dikatakan adalah tingkat pencapain dari usaha atau pekerjaan yang sudah ditentukan, di mana
pekerjaan yang dihasilkan tersebut sesuai atau bahkan melebihi keinginan dari stakeholder (Rashid et al., 2006;
Langston, 2012). Untuk mengukur kinerja proyek konstruksi dapat dilakukan dengan mengukur 1) biaya, 2) waktu,
3) mutu, 4) produktivitas, 5) kepuasan client, 6) kesehatan dan keselamatan (Rashid et al., 2006; Langston, 2012;
Shaban, 2008).

4. METODA PENELITIAN
Metoda penelitian dilakukan dengan metoda survey, dengan kuesioner sebagai instrumen untuk teknik
menggumpulkan data. Hasil survey dengan menggunakan kuesioner ini digunakan sebagai pendekatan penilaian
kuantitatif agar dapat menjelaskan hubungan antar variabel dan pengujian hipotesa dalam penelitian. Responden
pada penelitian ini adalah manajer proyek baik itu yang berasal dari owner, konsultan desain, konsultan manajemen
konstruksi, dan kontraktor, karena manajer proyeklah yang mengetahui secara mendalam apa faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya perubahan desain dan bagaimana pengaruhnya terhadap kinerja proyek konstruksi.
Penelitian ini menggunakan skala ordinal dengan range dari 1 sampai dengan 5, yaitu dari sangat berpengaruh
sampai dengan sangat tidak berpengaruh.
Structural Equation Model (SEM) adalah metoda yang digunakan untuk menganalisis pengaruh perubahan desain
terhadap kinerja proyek konstruksi. SEM adalah metoda yang dikembangkan dari dua buah metoda statistik yaitu
analisi faktor yang dikembangkan untuk psikologi dan sosiologi dan persamaan simultan yang dikembangkan untuk
ekonometri (Waluyo, 2014). SEM dapat digambarkan sebagai metoda analisis yang mengkombinasikan antara
analisis faktor, model struktural dan analisis jalur (Sugiyono, 2012). Terdapat tiga buah model SEM yang disebut
dengan covariance based-structural equation model (CB-SEM), partial least structural equation model (PLS-SEM)
dan generalized structural component analysis (GSCA) (Waluyo, 2014).
Pada penelitian di sini menggunakan PLS-SEM karena 1) model dapat dibangunan berdasarkan teori yang lemah, 2)
jumlah sampel relatif kecil, 3) dapat digunakan untuk mengembangkan teori atau memperediksi model dan 4)
indikator dapat berbentuk reflektif dan formatif.
Langkah-langkah pemodelan persamaan struktur dengan menggunakan metoda PLS dapat dilihat pada

MK - 202
Gambar 1.

Merancang Model Struktural (Inner Model)

Merancang Model Pengukuran (Outer Model)

Mengkonstruksi Diagram Jalur

Konversi Diagram Jalur ke Sistem Persamaan

Estimasi : Weight, Koef. Jalur dan Loading

Evaluasi Goodness of Fit

Pengujian Hipotesis
Resampling Bootstraping
Gambar 1 Langkah-Langkah Analisis PLS
Sumber : (Soiimun, 2008)

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Response Rate
Kuseioner disebar kepada responden yang terdapat di pulau Bali, jumlah kuesioner yang dikirim sebanyak 60 buah.
Jumlah responden yang mengisi dan mengembalikan dan layak untuk di analisis adalah 31 buah, dari jumlah
tersebut maka response ratenya adalah sebesar 51,667% dan masuk dalam katagori baik. Dari data yang diperoleh,
responden yang mengisi data 58,06% memiliki pengalaman kerja >5 tahun, hal ini menujukkan bahwa responden
yang mengisi kuesioner memiliki pengalaman dibidang konstruksi, sehingga dapat diharapkan memberikan jawaban
dengan kualitas yang baik dan dapat digunakkan untuk melakukan analisis terhadap tujuan peneltian yang sudah
ditetapkan.

Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen.


Uji validitas digunakan untuk menguji tingkat ketepatan suatu instrumen penelitian pada kuesioner yang sudah diisi.
Instrumen dapat dikatakan valid bila instrumen tersebut dapat mengungkap atau mengukur apa yang harus diukur.
Uji validitas instrumen pada penelitian yang dilakukan disini menggunakan bantuan program SPSS 20.0, dengan
jalan melakukan uji signifikansi koefisien korelasi (pearson correlation) pada taraf signifikan ( ) sebesar 0,05. Uji
reliabilitas digunakan untuk mengukur instrumen penelitian. apakah instrumen penelitian tersebut dapat mengukur
sesuatu yang ingin diukur secara konsisten dari waktu kewaktu. Hasil uji reliabilitas pada penelitian ini
menggunakan bantuan program SPSS 20.0. dari hasil test validitas dan reliabilitas yang dilakukan dapat dikatan
bahwa instrument dalam penelitian ini valid dan reliabel.

Analisis Menggunan SEM-PLS


Analisis SEM-PLS dilakukan dengan menggunakan bantuan program SmartPLS 2.0 M3, model yang dibangun
adalah pengaruh dari perubahan desain terhadap kinerja proyek konstruksi. Tahap pertama yang dilakukan dalam
analisis menggunakan SEM-PLS adalah melakukan validitas dan reliabilitas model. Uji Validitas dilakukan dengan
jalan melakukan evaluasi terhadap validitas konvergen (convergen validity) dan validitas discriminant (discriminant
validity). Uji reliabilitas dilakukan dengan jalan melakukan evaluasi terhadap cronbach alpha dan composite
reliabilitynya
Evaluasi validitas konvergen dilakukan dengan jalan menilai loading factor indikator-indikator yang mengukur
konstruk tersebut. Rule of thumb yang digunakan untuk validitas konvergen adalah 1) loading factor>0,7 akan tetapi

MK - 203
untuk penelitian yang bersifat exploratory loading factor antara 0,6-0,7 masih dapat diterima, 2) communality>0,5
dan 3) average variance extracted (AVE)>0,5 (Latan dan Ghozali, 2012). Evaluasi validitas discriminant.
Parameter yang diuji pada validitas dikriminan adalah dengan jalan melihat cross loading, yaitu nilai korelasi
variabel variebel manifest terhadap konstruknya. Apabila nilai loading variabel manifest lebih besar terhadap
konstruknya dibandingkan dengan konstruk yang lain, maka varibel manifest tersebut telah tepat menyusun
konstruknya. Dari hasil perhitungan model memenuhi syarat validitas convergent dan validitas discriminant.
Reliabilitas model diuji dengan jalan mengukur composite reliability (CR) dan cronbach alpha. Menurut Latan dan
Ghozali (2012) lebih disarankan menggunakan composite reliability dalam pengujian reliabiltas suatu konstruk. Dari
hasil perhitungan yang dilakukan semua nilai composite reliability dari masing-masing konstruk memiliki nilai di
atas 0,7. Sehingga dari nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel manifest/indikator yang dipakai untuk
menyusun konstruk dalam penelitian ini reliabel.
Tahap selanjutnya adalah melakukan evaluasi terhadap model struktural perubahan desain terhadap kinerja proyek
konstruksi. Model Struktural dapat dilihat pada Gambar 2

Gambar 2 Model Struktural PDK


Sumber : Hasil Analisis dengan SmartPLS 2.0

Hasil analisis SEM PLS dengan menggunakan bantuan program SmartPLS 2.0 M3 menujukkan bahwa perubahan
desain berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja proyek dengan nilai original sample sebesar 0,5795
dengan t-statistik sebesar 8,1663 (t-statistik>t-tabel=2,0452) dengan tingkat signifikan sebesar 5%. Berdasarkan
hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa terjadinya perubahan desain mempengaruhi kinerja proyek konstruksi
sebesar 0,5795.

6. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa perubahan desain yang terjadi pada
pelaksanaan proyek konstruksi akan mempengaruhi kinerja proyek konstruksi sebesar konstruksi sebesar 0,5795,
sedangkan 0,4205 kinerja dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dianalisis pada penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alnuaimi, A. S., Taha, R. A., Mohsin, M. Al, & Al-harthi, A. S. (2010). Causes, Effects, Benefits, and Remedies of
Change Orders on Public Construction Projects in Oman. Journal of Construction Engineering and
Management, 136(May), 615–622.
Burati Jr., J. L., Farrington, J. J., & Ledbetter, W. B. (1992). Causes of Quality Deviations in Design and
Construction. Journal of Construction Engineering and Management, 118(1), 34–49.
Chang, A. S. T., Shih, J. S., & Choo, Y. S. (2011). Reasons and Costs for Design Change During Production.
Journal of Engineering Design, 22(4), 275–289. http://doi.org/10.1080/09544820903425218

MK - 204
Ervianto, W. I. (2005). Manajemen Proyek Konstruksi (Edisi Revisi). Yogjakarta: Andi Offset.
Ibbs, C. W. (1997). Quantitative Impacts of Project Change : Size Issues. Journal of Construction Engineering and
Management, 123(September), 308–311.
Kaming, P. F., Olomolaiye, P. O., Holt, G. D., & Harris, F. C. (1997). Factors Influencing Construction Time and
Cost Overruns on High-Rise Projects in Indonesia. Construction Management and Economics, 15, 83–94.
Langston, C. (2012). Comparing International Construction Performance. Retrieved from
http://epublications.bond.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=1149&context=sustainable_development
Latan, H., & Ghozali, I. (2012). Partial Least Square Konsep, Teknik dan Aplikasi Menggunakan Program
SmartPLS 2.0 M3. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Li, Y., & Taylor, T. R. B. (2011). The Impact of Design Rework on Construction Project Performance. In The 29th
International Conference of the System Dynamics Society (pp. 1–15). Washington. Retrieved from
http://www.systemdynamics.org/conferences/2011/proceed/papers/P1267.pdf
Oyewobi, L. O., & Ogunsemi, D. R. (2010). Factors Influencing Reworks Occurrence in Construction: A Study of
Selected Building Projects in Nigeria. Journal of Building Performance, 1(1), 1–24.
Rashid, R. A., Taib, I. M., Ahmad, W. B. W., Nasid, M. A., Ali, W. N. W., & Zainordin, Z. M. (2006). Effect Of
Procurement System On The Performance Of Construction Project. Retrieved from
http://eprints.utm.my/790/1/Procurement_performanceRosli.pdf
Serag, E., Oloufa, A., Malone, L., & Radwan, E. (2010). Model for Quantifying the Impact of Change Orders on
Project Cost for U.S. Roadwork Construction. Journal of Construction Engineering and Management,
136(September), 1015–1027.
Shaban, S. S. A. (2008). Factors Affecting the Performance of Construction Projects in the Gaza Strip. The Islamic
University of Gaza –Palestine.
Soiimun. (2008). Memahami Metoda Kuantitatif Mutahir Structural Equation Modeling dan Partial Least Square.
Malang: Program Studi Statistika FMIPA Universitas Brawijaya.
Sugiyono, P. D. (2012). Statistika untuk Penelitian (Cet. 20). Bandung: Penerbit CV. Alfa Beta.
Sun, M., & Meng, X. (2009). Taxonomy for Change Causes and Effects in Construction Projects. International
Journal of Project Management, 27(6), 560–572. http://doi.org/10.1016/j.ijproman.2008.10.005
Suraji, A., & Pribadi, K. S. (2011). Membangun Struktur Industri Konstruksi Nasional Yang Kokok, Andal dan
Berdayasaing Serta Memberikan Kesempatan Kepada Para Pelaku Usaha Tumbuh dan Berkembang Secara
Adil Melalui Restrukturisasi Sistem. Jakarta. Retrieved from
http://www.lpjk.net/download/Updated_Konsep_Consolidated_Position_Paper.pdf
Waluyo, R. (2014). Model Interaksi Antara Culture, Knowledge Management dan Performance di Perusahaan
Konstruksi. Universitas Diponegoro.
Wasfy, M. A. F. (2010). Severity and Impact of Rework, A Case Study of a Residential Commercial Tower Project
in The Eastern Province-KSA. King Fahd University.
Wibowo, M. A., & Mawdesley, M. J. (2004). The Effects of The Construction Process on The Local Economy in
Indonesia. Media Komunikasi Teknik Sipil, 12(3), 1–11.
Wu, C., Hsieh, T., & Cheng, W. (2005). Statistical Analysis of Causes for Design Change in Highway Construction
on Taiwan. International Journal of Project Management, 23(7), 554–563.
http://doi.org/10.1016/j.ijproman.2004.07.010

MK - 205
MK - 206
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

PERUMUSAN STRATEGI KONTRAKTOR KELAS MENENGAH DIBIDANG SDM


DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

Fajar S Handayani1, Josua Rian Adinda2, dan Sugiyarto1

1
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Jl. Ir. Sutarmi 36A Surakarta
Email:fajr_hani@yahoo.co.id
2
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Jl. Ir. Sutarmi 36A Surakarta
Email: josuarian@student.uns.ac.id

ABSTRAK
Perkembangan dunia bisnis saat ini berlangsung sangat cepat dan membuat pihak- pihak yang
terlibat didalamnya harus bekerja keras, terlebih sekarang Indonesia telah memasuki era baru
dimana sekarang sudah menjadi bagian dari Masyarakat Ekonomi Asean (MEA, tahun 2016)
sehingga persaingan tak hanya di lokal tetapi sudah bersaing dengan perusahaan luar negeri yang
masuk ke Indonesia. Bidang kontruksi pun tak luput dari hal tersebut sehingga harus berbenah
sehingga dapat bersaing dalam hal teknologi maupun tenaga kerja. Dengan ketersediaan sumber
daya manusia yang cukup banyak di Indonesia, maka aspek SDM merupakan salah satu bagian yang
perlu diperhatikan dalam menghadapi MEA. Karena hal tersebut diperlukanlah strategi untuk
menyiapkan SDM yang mampu bersaing dalam menghadapi MEA. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor strategis perusahaan, pengembangan alternatif-alternatif stratrgi, dan
perumusan strategi Dibidang SDM untuk menentukan pilihan-pilihan alternatif strategi secara cepat
dan handal dalam analisis SWOT pada kontraktor golongan menengah di wilayah Surakarta.
Penelitian ini menggunakan Analisis SWOT dengan mengevaluasi strengths, weaknesses, threats
dan opportunieses dari data primer yang diperoleh dari penyebaran kuesioner kepada kontraktor
kelas menengah di wilayah Surakarta untuk merumuskan strategi yang tepat dibidang SDM. Hasil
dari penelitian ini didapat strategi yang paling tepat yaitu memperbaiki Alternatif strategi yang
paling menarik dan tepat untuk kontraktor kelas menengah adalah Horizontal Integration dengan
jalan Meningkatkan komunikasi yang efektif dalam perusahaan dengan jalan meningkatkan sistem
kepemimpian yang mampu untuk menciptkan lingkungan dan iklim kerja yang sehat, serta mampu
memacu pekerja untuk lebih disiplin dalam bekerja.
Kata kunci: strategi, masyarakat ekonomi asean, swot

1. PENDAHULUAN
Di tahun 2017, negara-negara di ASEAN akan mengalami fase perkonomian dengan memiliki pasar tunggal dan
basis produksi yang dinamai ASEAN Economic Community (AEC) atau dapat disebut juga dengan Masyarakat
ekonomi ASEAN dalam rangka untuk mendapat perekonomias Asean yang stabil, mengutungkan dan berdaya saing
tinggi. Singkatnya, MEA merupakan kawasan bebas perdagangan di Asia Tenggara yang berdasarkan empat pilar
yaitu : 1) pasar tunggal dan basis produksi, 2) kawasan yang berdaya saing tinggi dan perekonomian, 3)
perkembangan ekonomi yang merata dan 4) integrase penuh dalam ekonomi secara global (Prasetya, 2015).

Sehingga persaingan tak hanya di lokal tetapi sudah bersaing dengan perusahaan luar negeri yang masuk ke
Indonesia. Sehingga untuk menunjang kontinuitas perusahaan kontraktor bergantung pada kinerja mereka.
Keberlanjutan perusahaan kontraktor adalah hasil kerja atau kinerja yang dicapai oleh kontraktor secara
berkesinambungan dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan konstruksi yang mengabungkan prinsip-prinsip dasar
dan pembangunan yang berkelanjutan dengan memperhatikan dan peduli terhadap aspek-aspek ekonomi, sosial,
lingkungan, hukum dan etika yang berlaku (Ameer, 2011). Lingkungan internal dan eksternal perusahaan kontraktor
sangat dinamis, membuat kontraktor harus menggunakan keputusan-keputusan strategis dalam melakukan strategi
(Izik, 2010). Terjaganya eksistensi suatu perusahaan diantaranya tergantung pada kemampuan perusahan tersebut
untuk melihat dan mengantifipasi peluang-peluang yang ada (Lansley, 2002). Tak luput dari hal tersebut sehingga
harus berbenah sehingga dapat bersaing dalam hal teknologi maupun tenaga kerja. Dengan ketersediaan sumber
daya manusia yang cukup banyak di Indonesia, maka aspek SDM merupakan salah satu bagian yang perlu
diperhatikan dalam menghadapi MEA. Karena hal tersebut diperlukanlah strategi untuk menyiapkan SDM yang
mampu bersaing dalam menghadapi MEA.

MK - 207
Dan apabila ditinjau dari keadaan di Indonesia dimana jumlah kontraktor kelas kecil dan menengah mencapai 99%
sedangkan pangsa pasar hanya 15%. Sementara jumlah kontraktor besar hanya 1% akan tetapi pangsa pasar yang
dikuasai mencapai 85%. Ketidaksamaan ini menunjukkan persaingan yang ketat dari kontraktor kelas kecil
menengah, sedangkan kinerjanya masih lemah (Husaini, 2013). Strategi yang tepat bagi kontraktor kecil dan
menengah dalam bidang pengelolaan sumber daya manusia untuk meningkatkan kinerja perusahaan adalah dengan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yaitu dengan memiliki sertifkasi keahlian (Handayani, 2017).

Dengan demikian maka suatu kontraktor harus melakukan pengambilan keputusan-keputusan yang bersifat strategik
secara formal, melalui kerangka kerja manajemen strategi. Kerangka kerja ini lahir melalui pengkombinasian pola
berpikir strategik dengan proses manajemen. Satu dari metode komprehensif pada perumusan masalah adalah
rational decision model (David, 2000). Adapun metode melalui tiga tahapan proses berupa proses perumusan
strategi, proses pelaksanaan strategi, dan proses evaluasi strategi. Dalam hal ini adalah perumusan strategi Sumber
daya manusia yang siap menghadapi MEA. Adapun tahapan dari perumusan strategi terdiri dari input stage,
matching stage dan decision stage. Tahapan formulasi strategi diatas dijelaskan sebagai berikut:

A. Pada tahap Input Stage ada dua macam matrik yaitu matrik IFE (Internal Factor Evaluation)dan matrik EFE
(External Factor Evaluation).Matriks IFE digunakan untuk mengetahui factor-faktor internal perusahaan yang
berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan yang dianggap penting. Matriks EFE digunakan untuk mengevaluasi
faktor eksternal perusahaan.

B. Pada tahap Matching Stage dilakukan perhitungan untuk matrik SWOT dan matrik Internal-Eksternal (IE). Hal
pertama yang harus dilakukan adalah mengisi komponen SWOT pada sel yang ada, dan setelah itu proses untuk
mengembangkan strategi alternatif dengan memperhatikan kesesuaian antara faktor lingkungan internal dengan
eksternal. Alternatif strategi yang dihasilkan harus secara logis konsisten dengan berbagai aspek internal
perusahaan, sesuai dengan kecenderungan eksternal yang ada dan secara realistis dapat dilaksanakan. Matriks
IE digunakan untuk menentukan suatu Strategic Business Unit (SBU) perusahaan ke dalam matriks yang terdiri
atas 9 sel. Matriks IE terdiri dari 2 dimensi, yaitu total skor dari matriks IFE pada sumbu X dan total Skor dari
matriks EFE pada sumbu Y. Matrik IE dapat dilihat pada gambar 1. Dari posisi perusahaan pada matriks IE
dapat diambil alternative sebagai berikut :

MK - 208
i. SBU yang berada pada sel I,II, atau IV adalah Grow atau Build . Strategi yang cocok adalah strategi intensif
seperti product development, market penetration, dan market development.
ii. SBU yang berada pada sel III, V, atau VII adalah sebagai Hold atau Maintaining. Strategi yang cocok adalah
Market penetration atau product development.
iii. SBU yang berada pada sel VI,VIII, atau IX strateginya adalah Harvest atau diveture.

C. Tahap Decision Stage. Dari beberapa alternative yang didapatkan, dipilih yang terbaik menggunakan
Quantitative strategic planning matrix (QSPM). Teknik ini menggunakan input dari matriks eksternal, matriks
internal, matriks SWOT, matriks IE, yang digunkan untuk informasi membuat QSPM. Matriks ini berdasar
faktor kunci yang ada dari faktor sebelumnya.

2. METODE
Metode penelitian dilakukan dari studi literature, penentuan objek penelitian, pengumpulan data dan analisis data.
Studi literature dilakukan untuk memperoleh semua faktor internal dan eksternal, yang digunakan pada analisis data
dan dipilah menjadi strength, weakness, opportunities, threats. Objek merupakan kontraktor kelas menengah di
wilayah Surakarta yang mempunyai pengalaman lebih dari 5 tahun dan perusahaan yang sehat. Data primer didapat
dari kuesioner dan wawancara langsung kepada koresponden yang memahami internal dan eksternal perusahaan.
Berdasarkan data yang diperoleh dilakukan analisis SWOT mengenai faktor-faktor lingkungan yang dominan.
Formulasi strategi yang digunkan adalah Rational Decision Model. Untuk menentukan strategi dilakukan tiga
tahapan yaitu Input Stage, Matching stage, dan Decision Stage. Pada input stage dilakukan analisis matriks IFE dan
matriks EFE. Pada maching stage dilakukan analisis matriks SWOT dan matrik internal-eksternal. Pada decision
stage dilakukan analisis matrik Quantitative Strategic Planning. Dan setelah didapatkan hasil strategi dari
Quantitavive Strategic Planning Matrix dibandingan dengan survey yang diberikan kepada expert dalam hal ini
adalah kontraktor kelas menengah di wilayah Surakarta, apakah strategi tersebut dapat diterima atau memilih
alternative strategi lain dari hasil SWOT matriks.
Hasil pemilahan faktor internal dan eksternal disajikan pada table 1 dan table 2.

Tabel 1. Hasil pemilahan faktor internal

FAKTOR INTERNAL BOBOT RATING

NO KEKUATAN/STRENGTH

1 Komunikasi 0.23 3.2

2 Pengawasan 0.11 3.14

3 Motivasi internal 0.11 3.14

4 Sifat etika kerja 0.07 3.02

5 Kepemimpinan 0.05 3.2

KELEMAHAN/WEAKNESS

1 Kualitas sdm 0.12 2.65

2 Pendidikan 0.11 2.77

3 Disiplin kerja 0.1 2.65

4 Keterampilan 0.08 2.83

5 Kondisi kesehatan 0.04 2.71

MK - 209
Tabel 2 Hasil pemilahan faktor eksternal

FAKTOR EKSTERNAL BOBOT RATING


NO PELUANG/OPPORTUNITY
1 Manajemen 0.16 3.2
2 Tingkat pendapatan 0.18 2.77
3 Lingkungan iklim kerja 0.14 3.2
4 Motivasi eksternal 0.15 2.89
5 Kondisi ekonomi politik 0.02 2.71
ANCAMAN/THREATS
1 Peraturan undang-undang 0.11 2.71
2 Teknologi 0.1 2.77
3 Kesempatan berprestasi 0.1 2.52
4 Jaminan sosial 0.04 2.28
5 Sarana produksi 0.02 2.4

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor SWOT
Dilakukannya pemilihan faktor SWOT dimaksudkan agar didapat factor-faktor yang secara relative memberikan
derajat kepentingan yang lebih tinggi dibanding dengan faktor lainnya. Tabel 1, 2 dan 3 menyajikan hasil pemilahan
faktor SWOT, dan nilai rating serta bobot hasil analisis data kuesioner.

Kontraktor golongan menengah menempatkan faktor komunikasi, pengawasan, motivasi internal, sifat etika kerja,
dan kepemimpinan sebagai kekuatan bagi kontraktor untuk dapat bersaing di era masyarakat ekonomi asean.

Faktor Kualitas SDM, Pendidikan, Disiplin kerja, keterampilan, dan kondisi kesehatan merupakan faktor yang
termasuk kategori weakness bagi kontraktor kelas menengah, hal ini mengisyaratkan sampai saat ini kontraktor
kelas menengah belum memperhatikan masalah kualitas sdm dan pendidikan sehingga dapat menjadi masalah
dikemudian hari.
Manajemen, tingkat pedapatan, lingkungan iklim kerja, motivasi eksternal, dan kondisi ekonomi politik merupakan
peluang bagi kontraktor untuk membuat karyawan dapat berkembang di era masyarakat ekonomi asean. Berlakunya
undang-undang jasa konstruksi dan otonomi daerah merupakan salah satu upaya pemerintah agar kontraktor dan
konsultan kecil terus dapat bertahan.

Faktor eksternal yang menjadi ancaman tentang masalah sumber daya manusia pada kontraktor golongan menengah
adalah peraturan undang-undang, teknologi, kesempatan berprestasi, jaminan social, dan sarana produksi akan
menjadi ancaman bagi kontraktor golongan menengah, hal ini bisa dipahami karena kontraktor kelas menengah
memiliki keterbatasan SDM.

Formulasi Strategi
Proses penentuan strategi yang dapat diterapkan kontraktor sebagai berikut:
Matriks IFE dan EFE
Posisi kontraktor secara internal dan eksternal dapat diketahui dari hasil skor matrik IFE dan matrik EFE, dimana
bila skor total matrik lebih besar atau sama dengan 2,50 maka secara internal kontraktor kuat dan secara eksternal
kontraktor telah merespon dengan baik peluan yang ada serta memiliki kemampuan yang baik dalam mengatasi
ancaman yang ada

MK - 210
Tabel 3 Matriks IFE dan EFE

FAKTOR INTERNAL BOBOT RATING SKOR


NO KEKUATAN/STRENGTH BxR
1 Komunikasi 0.23 3.2 0.74
2 Pengawasan 0.11 3.14 0.35
3 Motivasi internal 0.11 3.14 0.35
4 Sifat etika kerja 0.07 3.02 0.21
5 Kepemimpinan 0.05 3.2 0.16
KELEMAHAN/WEAKNESS
1 Kualitas sdm 0.12 2.65 0.32
2 Pendidikan 0.11 2.77 0.30
3 Disiplin kerja 0.1 2.65 0.27
4 Keterampilan 0.08 2.83 0.23
5 Kondisi kesehatan 0.04 2.71 0.11
Total 3.02

FAKTOR EKSTERNAL BOBOT RATING SKOR


NO PELUANG/OPPORTUNITY BxR
1 Manajemen 0.16 3.2 0.51
2 Tingkat pendapatan 0.18 2.77 0.50
3 Lingkungan iklim kerja 0.14 3.2 0.45
4 Motivasi eksternal 0.15 2.89 0.43
5 Kondisi ekonomi politik 0.02 2.71 0.05
ANCAMAN/THREATS
1 Peraturan undang-undang 0.11 2.71 0.30
2 Teknologi 0.1 2.77 0.28
3 Kesempatan berprestasi 0.1 2.52 0.25
4 Jaminan sosial 0.04 2.28 0.09
5 Sarana produksi 0.02 2.4 0.05
Total 2.91

Matriks IE

Dari matrik IFE didapat skor 3,02 sedangkan matrik EFE didapatkan skor 2,91. Berdasarkan matriks IE, strategi
business unit kontraktor golongan menengah terletak pada sel IV yang digambarkan sebagai Grow atau Build.
Strategi yang cocok adalah market development dan horizontal integration.

MK - 211
Matrik SWOT

Tabel 4 Matriks SWOT


Strength Weaknes
S1: Komunkasi W1: Kualitas SDM
S2: Pengawasan W2: Pendidikan
S3: Motivasi Internal W3: Disiplin Kerja
S4: Sifat Etika Kerja W4: Keterampilan
S5: Kepemimpinan W5: Kondisi Kesehatan
Opportunies S/O Strategi W/O Strategi
O1: Manajemen 1. Meningkatkan komunikasi yang efektif dalam 1. meningkatkan kemampuan manajemen
O2:Tingkat pendapatan perusahaan dengan jalan meningkatkan sistem untuk meningkatkan kualitas sdm serta
kepemimpian yang mampu untuk menciptkan disiplin kerja yang baik(o1,w1,w3)
O3: Lingkungan iklim lingkungan dan iklim kerja yang sehat (s1,s4,s5,
Kerja o3)
O4:Motivasi Eksternal 2. pengawasan yang yang mampu mengatur motivasi 2. membuat lingkungan iklim kerja yang
O5:Kondisi Ekonomi kerja yang lebih,(s2,s3,o4) memacu pekerja untuk lebih disiplin
Poltik dalam bekerja(o3,w3)
Threats S/T Strategi W/T Strategi
T1: Peraturan Undang- 1. penggunaan teknologi dan sarana prasarana untuk 1. pemanfaatan jaminan sosial dari
Undang menunjangnya komunikasi yang baik(s1,t2t5) peraturan undang-undang
T2: Teknologi ketenagakerjaan untuk menjamin
T3:Kesempatan 2. peningkatan kepemimpinan serta pengawasan yang kondisi kesehatan dari pekerja(t4,t1,w5)
Berprestasi mampu memacu kesempatan berprestasi dari para
T4: Jaminan Sosial karyawan(s2,s5,t3)
T5: Sarana Produksi

Pembuatan Matriks QSPM


Dari tahap matching stage yang menggunakan matriks IE dan matriks SWOT dihasilkan beberapa alternatif
strategi sebagai berikut :
1. Alternatif 1 (Market Development)
a. pengawasan yang yang mampu mengatur motivasi kerja yang lebih sehingga mampu meningkatkan
persaingan dengan perusahaan lain.
2. Alternatif 2 (Horizontal Integration)
a. Meningkatkan komunikasi yang efektif dalam perusahaan dengan jalan meningkatkan sistem kepemimpian
yang mampu untuk menciptkan lingkungan dan iklim kerja yang sehat.
b. membuat lingkungan iklim kerja yang memacu pekerja untuk lebih disiplin dalam bekerja.
3. Alternatif 3 (Stability)
a. meningkatkan kemampuan manajemen untuk meningkatkan kualitas sdm serta disiplin kerja yang baik.
b. membuat lingkungan iklim kerja yang memacu pekerja untuk lebih disiplin dalam bekerja.

Dari perhitungan Matriks Quantitative Strategic Planning tampak bahwa alternatif 2 (Horizontal Integration)
merupakan strategi alternatif yang paling menarik karena nilai yang lumayan jauh dari 2 alternatif lain. Sehingga
dapat diambil untuk menjadi strategi untuk menghadapi era masyarakat ekonomi asean.

MK - 212
Tabel 5 Matriks QSPM
Alternatif Alternatif Alternatif
1 2 3
Faktor kunci bobot AS TAS AS TAS AS TAS
Komunikasi 0.23 3 0.69 3 0.69 4 0.92
Pengawasan 0.11 4 0.44 2 0.22 3 0.33
Motivasi internal 0.11 4 0.44 2 0.22 3 0.33
Sifat etika kerja 0.07 2 0.14 3 0.21 3 0.21
Kepemimpinan 0.05 3 0.15 2 0.1 3 0.15
Kualitas sdm 0.12 2 0.24 4 0.48 2 0.24
Pendidikan 0.11 2 0.22 3 0.33 1 0.11
Disiplin kerja 0.1 3 0.3 4 0.4 4 0.4
Keterampilan 0.08 2 0.16 3 0.24 1 0.08
Kondisi kesehatan 0.04 2 0.08 2 0.08 2 0.08
Manajemen 0.16 3 0.48 4 0.64 3 0.48
Tingkat pendapatan 0.18 2 0.36 2 0.36 2 0.36
Lingkungan iklim kerja 0.14 2 0.28 4 0.56 4 0.56
Motivasi eksternal 0.15 4 0.6 2 0.3 2 0.3
Kondisi ekonomi politik 0.02 1 0.02 1 0.02 1 0.02
Peraturan undang-undang 0.11 1 0.11 1 0.11 1 0.11
Teknologi 0.1 1 0.1 1 0.1 2 0.2
Kesempatan berprestasi 0.1 2 0.2 2 0.2 2 0.2
Jaminan sosial 0.04 3 0.12 1 0.04 2 0.08
Sarana produksi 0.02 1 0.02 1 0.02 1 0.02
Jumlah 5.15 5.32 5.18

4. HASIL SURVEY STRATEGI ALTERNATIF KEPADA KONTRAKTOR


Untuk mengetahui apakah strategi yang diambil sesuai dan dapat digunakan kepada kontraktor kelas menengah di
wilayah Surakarta dilakukan survey kepada koresponden yang mengetahui keadaan sebenarnya dari perusahaan
kontraktor kelas menengah di wilayah Surakarta.

Gambar 2. Hasil suvey strategi kepada kontraktor


Dari sebagian besar perusahaan kontraktor kelas menengah memilih sama dengan hasil pemilihan alternatif dari
matriks QSPM dikarenakan mereka berpendapat bahwa alternative kedua lebih bisa dilakukan. Karena dari
keaadaan riil yang terjadi dilapangan keadaan kualitas sumber daya manusia yang kurang baik serta permasalahan
pengawasan yang masih belum terkontrol membuat kontraktor lebih melihat keadaan komunikasi serta membuat
iklim bekerja yang mampu memacu disiplin kerja dapat menjadi salah satu strategi yang mampu meningkatkan sdm
dari perusahaannya.

MK - 213
Tak terlepas dari alternatif2 strategi yang sudah dibuat untuk perusahaan kontraktor kelas menengah, merekas sudah
memiliki beberapa strategi sendiri untuk meningkatkan SDM-nya yaitu dengan memberikan pelatihan-pelatihan
kepada karyawan yang masih baru, dengan merekrut para fresh graduate yang masih segar dan energic sehingga
suasana kerja akan meningkat, dan dengan mulai meningkatkan jumlah tenaga ahli dengan mengikuti pelatihan serta
menimba ilmu di intitusi sehingga kualitas sumber daya manusianya mampu bersaing.

5. KESIMPULAN
Faktor lingkungan yang dominan untuk kontraktor swasta golongan menengah di Surakarta adalah faktor yang
menjadi kekuatan (Strength) yaitu komunikasi, pengawasan, motivasi internal, sifat etika kerja, dan kepemimpinan.
Faktor yang menjadi kelemahan (weaknees) adalah Kualitas SDM, Pendidikan, Disiplin kerja, keterampilan, dan
kondisi kesehatan. Faktor yang merupakan peluang bagi kontraktor untuk bersaing adalah manajemen, tingkat
pedapatan, lingkungan iklim kerja, motivasi eksternal, dan kondisi ekonomi politik. Faktor yang menjadi ancaman
adalah peraturan undang-undang, teknologi, kesempatan berprestasi, jaminan social, dan sarana produksi.

Alternatif strategi yang paling menarik dan tepat untuk kontraktor kelas menengah adalah Horizontal Integration
dengan jalan meningkatkan komunikasi yang efektif dalam perusahaan dengan jalan meningkatkan sistem
kepemimpian yang mampu untuk menciptkan lingkungan dan iklim kerja yang sehat. Serta membuat lingkungan
iklim kerja yang memacu pekerja untuk lebih disiplin dalam bekerja.

DAFTAR PUSTAKA
Ameer, R. And Othman, R. (2011). “Sustainability Practice and Coorporate Finansial Performance: A Study
Based on the Top Global Corporation”. Journal of Management in Engineering, Vol. 26, No.1, 9-18
David, FR. (2000). Concept in Strategic Management. Prentice Hall. USA
Handayani, F. S. (2017). “Strategy for Small-medium Scale Contractor Performance Improvement in ASEAN
Competitive market”. Procedia Engineering, Vol. 171, 387-395
Husaini, H. W. (2013). “Hadapi Perasingan Global, Kontraktor Diminta Ikuti Aturan, http://mdn.biz.id/n/68872,
diakses pada 16 Juni 2017
Izik Z. Arditi, David. Irem Dikmen. And M Talat Birgonoul. (2010), “Impact of Resource and Strategi on
Construction Company Performance Journal of Management Engineering”, Vol 26, No 1, pp 9-18
Lanslesy, P. R. (2002). “ Coorporate Strategy and Survivel in The UK Construction Industry”. Construction
Management Economic Journal, Vol5, 141-155
Prasetyo, R. F. dan Wiguna, P. A. (2015). “Menilai kesadaran dan kesiapan kontraktor di Indonesia menghadapi
msyarakat ekonomi asean”. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII, Surabaya, 24 januari
2015, 32-41
Rangkuti, F. (2005). Analisis SWOT. Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi Konsep Perencanaan Strategi
Untuk Menghadapi Abad 21, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

MK - 214
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEKERJAAN ULANG (REWORK)


PADA PROYEK KONSTRUKSI GEDUNG DI KABUPATEN BADUNG

G.A.P Candra Dharmayanti1, I.B Rai Adnyana2, dan I Putu Gede Wiryawan Ari Putra3

1,2,3
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Udayana, Jl.PB.Sudirman Denpasar
Email: candra_dharmayanti@unud.ac.id

ABSTRAK
Dalam dunia konstruksi, pekerjaan ulang (rework) tidak dapat dihindari. Rework dapat memberikan
dampak buruk pada performa dan produktifitas pada kontraktor. Untuk menghindari terjadinya
rework pada proyek konstruksi gedung, perlu diketahui faktor-faktor penyebab terjadinya rework.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor dominan penyebab terjadinya rework pada
proyek konstruksi gedung yang ditinjau dari pihak kontraktor yang dibedakan atas kontraktor yang
tersertifikasi ISO 9001 dan yang tidak tersertifikasi ISO 9001. Data yang terkumpul melalui survey
dianalisis menggunakan metode analisis faktor. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor penyebab
terjadinya rework pada kontraktor yang tidak tersertifikasi ISO 9001 sebanyak 6 faktor, yaitu faktor
I meliputi kesalahan menginterpretasi gambar, pengetahuan tentang karakter bahan, lembur dan
risiko kerja; Faktor II meliputi tidak melibatkan tenaga ahli, perubahan desain, informasi dan
komunikasi; Faktor III meliputi pengalaman, pengetahuan dan interaksi pekerja; Faktor IV meliputi
constructability dan keterlambatan material. Faktor V meliputi peralatan kerja dan pertimbangan di
lapangan. Faktor VI meliputi jadwal dan prosedur kerja. Sedangkan pada kontraktor yang
tersertifikasi ISO 9001 terdapat 5 kelompok faktor yaitu faktor I meliputi kesalahan
menginterpretasi gambar, lembur, pengetahuan tentang karakter bahan, dan risiko kerja. Faktor II
meliputi material terlambat, informasi lapangan, constructability, dan pertimbangan di lapangan.
Faktor III meliputi interaksi pekerja dan jadwal padat. Faktor IV meliputi kontrol dan pengawasan,
perubahan desain. Faktor V meliputi gangguan lingkungan sekitar. Faktor dominan penyebab
terjadinya rework yang teridentifikasi pada kedua kelompok kontraktor adalah faktor kesalahan
menginterpretasi gambar, lembur, pengetahuan tentang karakter bahan dan risiko kerja dengan
dengan nilai persentase varian terbesar yaitu 34,023%.
Kata kunci: rework, faktor rework, analisis faktor

1. PENDAHULUAN
Dalam dunia konstruksi, pekerjaan ulang (rework) dapat menurunkan kualitas dan produktifitas kontraktor. Rework
juga merupakan salah satu penyebab terjadinya pembengkakan biaya dan keterlambatan suatu proyek konstruksi
(Chan et al., 1997; Love, 2002). Suatu penelitian mengungkapkan biaya yang timbul akibat pekerjaan ulang cukup
tinggi. Burati (1992) menyebutkan bahwa dalam suatu proyek, biaya yang diakibatkan oleh permasalahan
menyangkut kualitas mencapai 12,4% dari nilai kontrak. Penelitian lain juga mengungkapkan biaya yang
diakibatkan oleh rework mencapai 25% dari nilai kontrak (Barber et al., 2000).
Menurut Andi (2004) faktor penyebab terjadinya pekerjaan ulang (rework) dapat bersumber dari faktor desain dan
dokumentasi, faktor manajerial, dan faktor sumber daya. Sedangkan menurut Herdianto (2014) faktor penyebab
terjadinya pekerjaan ulang (rework) dapat bersumber dari faktor metode kerja dan faktor lingkungan.
Pada penelitian terdahulu faktor-faktor penyebab rework tidak dibedakan atas kategori besar kecilnya kontraktor,
sehingga faktor-faktor yang didapatkan bersifat umum. Ukuran atau kategori suatu kontraktor tersebut sangat terkait
dengan proses dalam organisasi kontraktor. Pada kontraktor besar umumnya sudah memiliki suatu organisasi yang
teratur dan tersertifikasi ISO 9001:2008, misalnya terdapat tahapan-tahapan validasi pada setiap pekerjaan, sehingga
kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diminimalkan. Sebaliknya pada kontraktor kecil yang belum memiliki
sertifikasi ISO 9001:2008 belum memiliki organisasi yang teratur, sehingga kesalahan dalam pekerjaan dapat terjadi
akibat tidak adanya SOP yang jelas. Penelitian ini dilakukan untuk menggali lebih dalam mengenai faktor-faktor apa
saja yang menjadi penyebab terjadinya rework pada proyek konstruksi gedung yang ditinjau dari perspektif
kontraktor yang tersertifikasi dan yang tidak tersertifikasi ISO 9001.

MK - 215
2. REWORK
Pengertian rework

Rework jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia adalah pekerjaan ulang. Rework hampir terjadi diseluruh
pekerjaan proyek konstruksi. Berikut beberapa definisi rework berdasarkan beberapa sumber. CIDA (1995)
mendefinisikan rework sebagai pekerjaan yang dilakukan sebih dari satu kali yang diakibatkan oleh perbadaan
permintaan oleh pemilik proyek. Love et al (1999) menjelaskan rework sebagai suatu akibat dari pekerjaan yang
salah dikarenakan adanya suatu variasi atau kesalahan desain. Menurut CII (2000), rework merupakan suatu
pekerjaan ulang yang dilakukan pada suatu jenis pekerjaan yang merupakan bagian dari suatu proyek. COAA (2002)
mendefinisikan rework sebagai penambahan pekerjaaan dengan total biaya yang dikeluarkan selain biaya dan
sumber daya awal. Fayek et al (2002) mendefinisikan rework sebagai suatu pekerjaan di lapangan yang dikerjakan
lebih dari satu kali atau menghilangkan suatu pekerjaan yang sudah dikerjakan sebelumnya yang merupakan bagian
dari proyek, dimana tidak ada change order dan change of scope yang dikeluarkan.
Ada beberapa batasan tentang rework yang harus diketahui agar dapat membedakan mana yang termasuk rework
dan mana yang tidak termasuk rework. Berikut ini merupakan batasan atau hal-hal yang tidak masuk dalam kategori
rework (COAA, 2002):
 Scope pekerjaan yang dirubah tidak berdampak pada pekerjaan yang telah dilaksanakan.
 Kesalahan atau perubahan desain yang terjadi tidak berpengaruh terhadap pekerjaan di lapangan.
 Kesalahan fabrikasi off-site yang dibetulkan off-site
 Kesalahan fabrikasi on-site yang diperbaiki tanpa berpengaruh ke pekerjaan di lapangan.
Faktor-faktor penyebab rework
Faktor-faktor penyebab rework berdasarkan beberapa sumber / penelitian terdahulu dirangkum pada tabel 1, yang
diklasifikasikan ke dalam lima kelompok faktor yaitu desain dan dokumentasi, manajerial, sumber daya manusia,
metode kerja dan lingkungan.

3. METODE
Analisis data pada penelitian ini menggunakan metode analisis faktor, untuk mereduksi / mengelompokkan data
menemukan hubungan (interrelationship) beberapa variabel yang saling independen satu dengan yang lainnya,
sehingga bisa dibuat kumpulan variabel yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal sehingga akan lebih mudah
mengetahui faktor yang mempengaruhi terjadinya rework. Analisis faktor pada penelitian ini dilakukan dengan
program SPSS. Berikut merupakan langkah-langkah analisis faktor, yaitu (Singgih, 2012):
1. Memilih variabel yang layak untuk dianalisis faktor dengan melihat nilai KMO (Kaiser-Mayer-Olkins) dan nilai
MSA (Measure of Sampling Adequancy) yang lebih besar dari 0,5.
2. Ekstraksi variabel. Variabel yang terpilih atau yang layak kemudian diekstraksi dengan menggunakan metode
PCA (Principal Component Analysis). Penentuan terbentuknya jumlah kelompok faktor dilakukan dengan
melihat nilai eigen (eigen value) yang lebih besar dari 1. Semakin besar nilai eigenvalue, maka faktor tersebut
semakin representatif dalam mewakili sejumlah variabel. Nilai eigen (eigen value) dibawah 1 tidak dapat
digunakan dalam menghitung jumlah faktor yang terbentuk.
3. Rotasi faktor, yaitu penyederhanaan matriks faktor agar lebih mudah untuk dijabarkan. Penyederhanaan ini
dilakukan dengan mentransformasi matriks faktor menggunakan rotasi varimax. Proses rotasi menghasilkan
matriks komponen rotasi (Rotated Component Matrice). Pada tabel matriks komponen menunjukkan variabel-
variabel yang terdistribusi ke sejumlah faktor dengan melihat nilai loading factor yang terbentuk. Angka loading
factor merupakan nilai korelasi antara variabel dengan masing-masing faktor
4. Memberi nama faktor. Pada tahap ini, faktor yang terbentuk akan diberi nama sesuai dengan loading faktor pada
variabelnya. Penamaan faktor terbentuk pada analisis faktor bersifat subjektif. Nama dan konsep tiap faktor bisa
ditentukan berdasarkan variabel tersebar yang berkelompok pada faktor tersebut.

MK - 216
Tabel 1. Faktor-faktor Penyebab Rework
No. Faktor Variabel
1. Desain & dokumentasi  Kesalahan menginterpretasi gambar
 Perubahan desain oleh kontraktor
 Detail gambar tidak jelas
 Kurangnya constructability
 Kurangnya pengetahuan tentang karakter bahan
 Ketidakcocokan antara gambar struktur dengan gambar arsitektur
 Desakan terhadap waktu perencanaan
2. Manajerial  Jadwal kerja yang terlalu padat
 Kurangnya kontrol dan pengawasan
 Kurangnya interaksi sesama pekerja
 Informasi lapangan tidak jelas
 Material yang dating tidak sesuai dengan permintaan
 Material datang terlambat
 Buruknya alur informasi dan komunikasi
 Kurangnya atisipasi terhadap keadaan alam
3 Sumber Daya  Kurangnya pengetahuan para pekerja
 Jumlah jam kerja lembur terlalu banyak
 Kurangnya pengalaman pekerja
 Salah pertimbangan di lapangan
 Peralatan kerja tidak memadai
 Risiko kerja tinggi
4 Metode Kerja  Buruknya prosedur kerja
 Proses perencanaan produksi tidak melibatkan tenaga ahli
 Kesalahan dalam mengambil keputusan
5 Lingkungan  Kondisi alam tidak sesuai perkiraan
 Gangguan lingkungan sekitar
 Pengaruh cuaca ekstrim
Sumber: Andi (2004), Herdianto et al. (2014)
Penentuan Sampel Penelitian
Sampel diambil berdasarkan metode purposive sampling yang meliputi direktur, manajer proyek, site manager,
pelaksana lapangan, mandor, dan tukang yang bekerja pada kontraktor yang berdomisili di Kabupaten Badung, dan
sedang melaksanakan proyek. Sampel/responden dari kontraktor yang tidak tersertifikasi ISO 9001 diambil dari
lima (5) kontraktor dengan kualifikasi kecil (gred 2, 3, 4) dengan jumlah responden untuk masing-masing kontraktor
sebanyak 10 orang. Sedangkan sampel/responden dari kontraktor yang tersertifikasi ISO 9001 diambil dari 5
kontraktor berkualifikasi besar (gred 5, 6, 7) dengan jumlah responden masing-masing kontraktor adalah 10 orang.
Sehingga jumlah seluruh responden pada penelitian ini adalah 100 orang yang berasal dari kedua kelompok
kontraktor tersebut.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen


Uji validitas adalah pengujian yang dilakukan terhadap isi atau variabel dari suatu instrumen, untuk mengukur
ketepatan instrumen yang digunakan dalam mengukur apa yang ingin diukur dalam suatu penelitian. Uji validitas
dilakukan dengan membandingkan antara nilai r hitung dan nilai r tabel (product moment pada taraf signifikan 5 %).
Nilai r hitung diperoleh dari perhitungan menggunakan program SPSS. Nilai r tabel dengan taraf signifikan 5 % dan
jumlah responden (n) = 100 adalah sebesar 0,195. Hasil uji validitas dengan SPSS menunjukkan nilai r hitung
berkisar antara 0,204 sampai 0,703, atau dengan kata lain semua variabel memiliki nilai r hitung yang lebih besar
dari r tabel (0,195). Sehingga dapat dinyatakan bahwa instrumen/ kuisioner yang dirancang untuk penelitian ini
sudah valid.
Pengujian reliabilitas suatu instrumen harus dilakukan untuk mengukur ketepatan dan konsistensi pemahaman
responden terhadap pertanyaan/pernyataan (variabel) yang diajukan pada kuesioner. Uji reliabilitas dilakukan
berdasarkan nilai koefisien Alpha Cronbach. Instrumen dikatakan reliabel apabila nilai Alpha Cronbach ≥ 0,60.

MK - 217
Berdasarkan hasil pengujian reliabilitas instrumen dengan menggunakan SPSS didapatkan nilai koefisien Alpha
Cronbach lebih besar dari 0,60, yaitu 0,864. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman responden dalam menjawab
pertanyaan pada kuisioner sudah cukup, sehingga apabila dilakukan pengukuran kembali menggunakan kuisioner
tersebut terhadap responden lainnya, maka responden tersebut akan memiliki pemahaman yang sama terhadap
pertanyaan pada kuesioner.
Berdasarkan hasil pengujian validitas dan reliabilitas tersebut, maka seluruh variabel pada instrumen (kuisioner)
dapat dinyatakan valid dan reliabel.

Analisis Faktor
Analisis faktor dilakukan menggunakan SPSS untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya pekerjaan ulang
(rework) pada proyek konstruksi gedung di Kabupaten Badung. Analisis faktor ini dilakukan untuk 2 kelompok
sampel, yaitu yang berasal dari kontraktor yang tersertifikasi ISO 9001 dan yang berasal dari kontraktor yang tidak
terserifikasi ISO 9001. Hasil analisis faktor untuk tiap kelompok sampel dijelaskan sebagai berikut:
1. Analisis faktor pada kontraktor yang tidak tersertifikasi ISO 9001
a. Menilai variabel yang layak untuk dianalisis berdasarkan hasil analisis faktor mengunakan SPSS:
- Pada uji Keyser-Mayer-Olkin (KMO) and Bartlett’s Test of Sphericity didapatkan nilai 0,695 dengan
nilai signifikan lebih kecil dari 0,05, yaitu 0,000, berarti sampel dalam penelitian ini sudah cukup dan
layak karena nilai KMO > 0,5. Sehingga korelasi antar variabel dapat dijelaskan dan analisis faktor
dapat dilanjutkan.
- Nilai Measure of Sampling Adequancy (MSA). Pada Anti-Image Matrice menunjukkan nilai MSA dari
variabel tersebut. Pada analisis tahap ini dilakukan beberapa kali pengujian, karena terdapat beberapa
variabel yang nilai MSA < 0,5. Sehingga didapat 20 variabel lainnya dengan nilai MSA > 0,5.
b. Ekstraksi variabel.
Dengan menggunakan metode Principal Componen Analysis (PCA) didapatkan 6 kelompok faktor dengan
total nilai varian (78,315 %).
c. Rotasi faktor
Proses pengelompokan variabel ke dalam kelompok faktor dilakukan dengan pengurutan dari kelompok
faktor yang memiliki loading faktor tertinggi ke terendah. Dari hasil rotasi kelompok faktor masing-masing
variabel diperoleh output seperti yang dicantumkan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Faktor penyembab rework pada kontraktor yang tidak tersertifikasi ISO 9001
Kelompok Faktor/ Variabel Loading Varian
Nama Faktor factor
Faktor 1: - kesalahan menginterpretasi gambar 0,929 33,962 %
Faktor kesalahan - jumlah jam lembur yang terlalu banyak 0,898
menginterpretasi gambar, - risiko kerja tinggi 0,825
pengetahuan tentang karakter - kurangnya pengetahuan tentang karakter 0,678
bahan, lembur dan risiko kerja bahan
Faktor 2: - proses produksi tidak melibatkan tenaga ahli 0,852 12,569 %
Faktor tenaga ahli, perubahan - ketidakcocokan gambar struktur dengan 0,821
desain, informasi dan gambar arsitektur
komunikasi - terjadi perubahan desain gambar 0,815
- buruknya alur informasi dan komunikasi 0,526
Faktor 3: - kurangnya pengalaman pekerja 0,839 11,443%
Faktor pengalaman, pengetahuan - kurangnya pengetahuan pekerja 0,801
dan interaksi pekerja - kurangnya interaksi sesama pekerja 0,790
- detail gambar tidak jelas 0,787
Faktor 4: - kurangnya constructability 0,716 8,766%
Faktor constructability dan - material datang terlambat 0,707
material terlambat - kesalahan mengambil keputusan 0,557
Faktor 5: - peralatan kerja kurang memadai 0,879 6,188%
Faktor peralatan kerja dan - salah pertimbangan di Lapangan 0,706
pertimbangan di lapangan
Faktor 6: - jadwal kerja terlalu padat 0,906 5,387%
Faktor jadwal padat dan prosedur - prosedur kerja kurang baik 0,594
kerja.

MK - 218
d. Penamaan faktor
Pemberian nama pada faktor terbentuk bersifat subjektif. Dalam penelititan ini faktor diberi nama dengan
menggunakan loading factor tertinggi pada masing-masing pengelompokkan faktor dan disesuaikan dengan
variabel yang lebih banyak tersebar di dalamnya. Faktor yang terbentuk diberi nama seperti yang tercantum
pada kolom pertama pada Tabel 2 diatas.
e. Penentuan faktor dominan
Faktor dominan penyebab terjadinya rework pada kelompok pengujian kontraktor yang tidak tersertifikasi ISO
9001 adalah Faktor 1 yaitu faktor Faktor kesalahan menginterpretasi gambar, pengetahuan tentang karakter
bahan, lembur dan risiko kerja merupakan faktor dengan nilai persentase varian terbesar yaitu 33,962% yang
terdiri dari variabel:
a. Faktor kesalahan menginterpretasi gambar dengan loading factor sebesar 0,929.
b. Jumlah jam kerja lembur yang terlalu banyak dengan loading faktor sebesar 0,898.
c. Risiko kerja yang tinggi dengan loading faktor sebesar 0,825.
d. Kurangnya pengetahuan tentang karakter bahan dengan loading factor sebesar 0,678.

2. Analisis faktor pada kontraktor yang tersertifikasi ISO 9001


a. Menilai variabel yang layak untuk dianalisis
 Pada uji Keyser-Mayer-Olkin (KMO) and Bartlett’s Test of Sphericity didapatkan nilai 0,714 dengan nilai
signifikan lebih kecil dari 0,05, yaitu 0,000, berarti sampel dalam penelitian ini sudah cukup dan layak
karena nilai KMO > 0,5. Sehingga korelasi antar variabel dapat dijelaskan dan analisis faktor dapat
dilanjutkan
 Nilai Measure of Sampling Adequancy (MSA). Pada Anti-Image Matrice menunjukkan nilai MSA dari
variabel tersebut. Pada analisis tahap ini dilakukan beberapa kali pengujian, karena terdapat beberapa
variabel yang nilai MSA < 0,5. Sehingga didapat 15 variabel lainnya dengan nilai MSA > 0,5.
b. Ekstraksi variabel.
Suatu faktor terbentuk dari nilai eigenvalue. Jika nilai eigenvalue semakin besar, maka faktor tersebut
semakin representatif dalam mewakili sejumlah variabel. Eigenvalue harus lebih besar atau sama dengan satu.
Dengan menggunakan metode Principal Componen Analysis (PCA) didapatkan 5 kelompok faktor dengan total
nilai varian (81,078 %).
c. Rotasi faktor
Proses pengelompokan variabel ke dalam kelompok faktor dilakukan dengan pengurutan dari kelompok
faktor yang memiliki loading faktor tertinggi ke terendah. Dari hasil rotasi kelompok faktor masing-masing
variabel dengan menggunakan SPSS diperoleh output sebagai berikut:

Tabel 2. Faktor penyembab rework pada kontraktor yang tersertifikasi ISO 9001
Kelompok Faktor/ Variabel Loading Varian
Nama Faktor factor
Faktor 1: - kesalahan menginterpretasi gambar 0,957 34,023 %
Faktor kesalahan - jumlah jam lembur yang terlalu banyak 0,940
menginterpretasi gambar, - kurangnya pengetahuan tentang karakter 0,917
lembur, pengetahuan tentang bahan
karakter bahan, dan risiko kerja - risiko kerja tinggi 0,748
Faktor 2: - Keterlambatan material 0,911 24,244 %
Faktor material terlambat, - informasi keadaan lapangan tidak jelas 0,753
informasi lapangan, - kurangnya constructability 0,685
constructability, dan - salah pertimbangan di Lapangan 0,681
pertimbangan di lapangan - material tidak sesuai permintaan 0,637
Faktor 3: - kurangnya interaksi sesama pekerja 0,873 8,817%
Faktor interaksi pekerja dan - jadwal kerja terlalu padat 0,748
jadwal padat
Faktor 4: - kurangnya kontrol dan pengawasan 0,847 7,192%
Faktor kontrol dan pengawasan, - perubahan desain gambar 0,688
perubahan desain
Faktor 5: - gangguan lingkungan sekitar 0,866 6,849%
Faktor gangguan lingkungan
sekitar

MK - 219
d. Penamaan faktor
Pemberian nama pada faktor terbentuk bersifat subjektif. Dalam penelititan ini faktor diberi nama dengan
menggunakan loading factor tertinggi pada masing-masing pengelompokkan faktor dan disesuaikan dengan
variabel yang lebih banyak tersebar di dalamnya. Faktor yang terbentuk diberi nama yaitu seperti yang
tercantum pada kolom pertama pada tabel 3 diatas.
e. Penentuan faktor dominan
Faktor dominan penyebab terjadinya rework pada kelompok pengujian kontraktor ber-ISO adalah Faktor 1 yaitu
faktor Faktor kesalahan menginterpretasi gambar, pengetahuan tentang karakter bahan, lembur dan risiko kerja
merupakan faktor dengan nilai persentase varian terbesar yaitu 34,023% yang terdiri dari variabel:
a. Faktor kesalahan menginterpretasi gambar dengan loading factor sebesar 0,957.
b. Jumlah jam kerja lembur yang terlalu banyak dengan loading factor sebesar 0,940.
c. Kurangnya pengetahuan tentang karakter bahan dengan loading faktor sebesar 0,917.
d. Risiko kerja yang tinggi dengan loading faktor sebesar 0,748.
Perbandingan hasil analisis faktor
Berdasarkan hasil analisis faktor yang sudah didapatkan, dilakukan perbandingan hasil analisis faktor penyebab
terjadinya rework pada kontraktor yang tidak tersertifikasi ISO 9001 dan kontraktor tersertifikasi ISO 9001.
Terdapat persamaan dan perbedaan faktor yang terbentuk. Persamaan faktor terbentuk dapat dilihat pada faktor
nomor 1, yaitu Faktor kesalahan menginterpretasi gambar, pengetahuan tentang karakter bahan, lembur dan risiko
kerja. Faktor ini merupakan faktor dominan yang terbentuk dari hasil analisis faktor pada ketiga kelompok
pengujian. Persamaan ini menunjukkan konsistensi jawaban responden dalam menjawab kuisioner pada penelitian
ini.
Sedangkan perbedaan yang terlihat adalah pada jumlah faktor pembentuk pada setiap kategori kontraktor. Pada
kontraktor yang tidak tersertifikasi ISO 9001 diperoleh 6 faktor dan pada kontraktor tersertifikasi ISO 9001
diperoleh 5 faktor. Jumlah faktor terbentuk pada kontraktor yang tidak tersertifikasi ISO 9001 lebih banyak
dibandingkan dengan kontraktor tersertifikasi ISO 9001. Perbedaan juga terlihat pada salah satu faktor pada kategori
kontraktor yang tidak tersertifikasi ISO 9001, pada faktor nomor 6 terdapat variabel tentang prosedur kerja yang
kurang baik, sedangkan pada kategori kontraktor tersertifikasi ISO tidak ada variabel tersebut. Ini menunjukkan
bahwa kontraktor yang sudah memiliki standar akan bekerja lebih teratur sesuai dengan prosedur kerja dan
mengikuti standar yang ada sehingga faktor penyebab rework lebih sedikit untuk ditemui.

5. KESIMPULAN
Sesuai dengan hasil analisis faktor yang telah dilakukan, diperoleh faktor-faktor penyebab terjadinya rework pada
proyek konstruksi gedung di Kabupaten Badung yang disimpulkan sebagai berikut:
1. Pada kelompok kontraktor yang tidak tersertifikasi ISO terdapat 6 faktor yang meliputi:
a. Faktor 1: Faktor kesalahan menginterpretasi gambar, pengetahuan tentang karakter bahan, lembur dan risiko
kerja
b. Faktor 2: Faktor tenaga ahli, perubahan desain, informasi dan komunikasi
c. Faktor 3: Faktor pengalaman, pengetahuan dan interaksi pekerja
d. Faktor 4: Faktor constructability dan material terlambat
e. Faktor 5: Faktor peralatan kerja dan pertimbangan di lapangan
f. Faktor 6: Faktor jadwal dan prosedur kerja

2. Pada kelompok kontraktor yang tersertifikasi ISO terdapat 5 faktor yang meliputi:
a. Faktor 1: Faktor kesalahan menginterpretasi gambar, lembur, pengetahuan tentang karakter bahan, dan
risiko kerja
b. Faktor 2: Faktor material terlambat, informasi lapangan, constructability, dan pertimbangan di lapangan
c. Faktor 3: Faktor interaksi pekerja dan jadwal padat
d. Faktor 4: Faktor kontrol dan pengawasan, perubahan desain
e. Faktor 5: Faktor gangguan lingkungan sekitar
Terdapat Perbedaan yang sangat signifikan pada salah satu faktor pada kategori kontraktor tidak tersertifikasi
ISO, yaitu pada faktor nomor 6 terdapat variabel tentang prosedur kerja yang kurang baik, sedangkan pada
kategori kontraktor tersertifikasi ISO tidak ada variabel tersebut. Ini menunjukkan bahwa kontraktor yang sudah
memiliki standar akan bekerja lebih teratur sesuai dengan prosedur kerja dan mengikuti standar yang ada
sehingga faktor penyebab rework lebih sedikit untuk ditemui.

MK - 220
3. Faktor dominan penyebab terjadinya rework adalah Faktor 1 yaitu Faktor kesalahan menginterpretasi gambar,
pengetahuan tentang karakter bahan, lembur dan risiko kerja yang ditemukan pada kedua kelompok pengujian,
baik pada kategori kontraktor tidak tersertifikasi ISO dengan nilai persentase varian (33,962%), dan pada
kontraktor tersertifikasi ISO dengan nilai persentase varian (34,023%).

Adapun saran yang dapat diberikan untuk menghindari terjadinya rework pada proyek konstruksi gedung adalah
sebagai berikut:
1. Kontraktor sebaiknya menerapkan standar yang telah ada dalam bekerja agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan
dalam proses pengerjaan proyek, sehingga terhindar dari terjadinya pekerjaan ulang (rework) tersebut.
2. Kontraktor sebaiknya mempelajari terlebih dahulu desain dan gambar agar dapat memperkirakan perubahan atau
kesalahan yang terjadi pada gambar sehingga rework dapat dicegah
3. Memperhatikan jam kerja tambahan bagi para pekerja agar produktivitas pekerja tidak menurun.
4. Mengadakan pelatihan dan pendidikan tenaga kerja agar para kerja dapat menambah kemampuan dan
pengetahuan dalam bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Andi. (2004). Studi Mengenai Faktor-Faktor Penyebab Rework pada Proyek-Proyek di Surabaya, Skripsi,
Universitas Kristen Petra, Indonesia.
Burati, J.L., Farrington, J.J., and Ledbetter, W.B. (1992). Causes of Quality Deviations in Design and Construction,
Journal of Construction Engineering and Management, 118(1), pp. 34-39.
Barber, P., Sheath, D., Tomkins, C., and Graves, A.. (2000). The Cost of Qaulity Failures in Major Civil
Engineering Projects, International Journal of Quality and Reliability Management, 17(4/5), pp. 479-492.
Chan, D.W.M and Kumaraswamy, M.M. (1997). A Comparative Study of Causes of Time Overruns in Hong Kong
Construction Projects, International Journal of Project Management, 15(1), pp. 55-63
Construction Industry Development Agency (CIDA). (1995). Measuring Up or Muddling Tough: Best Practice in
the Australian Non-Residentila Construction Industry, CIDA and Masters Builders Australia, Sydney
Australia.
Fayek, A.R., Dissanayake, M., Campero, O., Wolf, H., & Van-Tol, A. (2002). Measuring and Classifying
Construction Filed Rework: A Pilot Study.
Herdianto, dkk. (2014). Evaluasi Pengerjaan Ulang (Rework) Pada Proyek Konstruksi Gedung Di Kota Semarang,
Jurnal Karya Teknik Sipil Undip, Volume 4, Nomor 1, Halaman 93 – 106.
Love, P.E.D. (2002). Influence of Project Type and Procurement Method on Rework Cost in Building Construction
Projects, Journal of Construction Engineering and anagement, 128(1), pp. 18-29
Singgih, S. (2012). Aplikasi SPSS pada statistic Multivariant. Media Komputindo. Jakarta.

MK - 221
MK - 222
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

ANALISIS TOTAL BIAYA PROYEK PENINGKATAN JALAN NASIONAL SECARA


EKONOMI DI PROVINSI BALI

Dewa Ketut Sudarsana1, Nyoman Marthajaya2, dan AA Gde Asmara3, dan Ida Bagus Made Artamana4

1,2,3
Prgram Studi Teknik Sipil, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran Badung, Bali
Email: dksudarsana@unud.ac.id
4
Alumni Program Studi Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Bali
Email: artamana@gmail.com

ABSTRAK
Komponen biaya untuk analisis studi kelayakan proyek peningkatan jalan yang bukan toll dikaji
dari perspektif ekonomi. Analisis secara ekonomi juga dilakukan untuk menentukan biaya total.
Biaya total pada proyek peningkatan jalan meliputi biaya konstruksi dan biaya sosial. Biaya sosial
ini dianalsis akibat ekses yang ditimbulkan semasa pelaksanaan proyek peningkatan jalan. Ekses
yang ditimbulakan dapat berupa kerugian pengguna jalan, kerusakan ekologi, penurunan derajat
kesehatan masyarakat akibat polusi udara, kebisingan dan debu. Pada proyek peningkatan jalan
biaya sosial yang sering dihitung adalah yang berekses pada pengguna jalan berupa peningkatan
biaya operasi kendaraan dan nilai waktu penumpang. Penyertaan biaya sosial dalam analisis total
biaya peningkatan jalan secara ekonomi belum dilakukan secara mendalam sehingga perlu dikaji.
Metode deskriptif dipergunakan dalam penelitian ini. Kasus studi adalah tujuh paket proyek
peningkatan jalan Nasional di provinsi Bali tahun anggaran 2015. Hasil analisis untuk biaya sosial
didapat rata-rata 8,36 % dari nilai konstruksi, sehingga total biaya proyek peningkatan jalan secara
ekonomi dapat ditentukan dari biaya kontruksi dengan faktor pengali sebesar 1,0836.
Kata kunci: analisis ekonomi, biaya sosial, biaya konstruksi, total biaya, peningkatan jalan

1. PENDAHULUAN
Proyek dikatakan memenuhi kelayakan apabila memenuhi kelayakan aspek teknis, sosial budaya, ekonomi finansial
dan lingkungan. Pada kajian aspek ekonomi dan finansial umumnya digunakan indikator kreteria investasi yaitu net
present value (NPV), benefit cost rasiao (BCR) , internal rate of return (IRR) dan pay back period (PBP). Analisis
ekonomi dan finansial secara garis besar terdiri dari dua komponen yaitu komponen biaya (cost) dan manfaat
(benefit) (Ichsan M, 1998; Kodoatie RJ, 1995; Husnan et al, 2000)
Komponen biaya untuk analisis studi kelayakan proyek jalan yang bukan toll umumnya dikaji dari perspektif biaya
ekonomi. Analisis biaya ekonomi sangat berbeda metode analisisnya dibanding metode analisis biaya secara
finansial. Perbedaan metode perhitungan misalnya dapat dilihat didalam pehitungan biaya konstruksi. Pada analisis
biaya secara finansial menggunakan harga-harga pasar, sedangkan pada analisis ekonomi menggunakan shadow
price.
Selain perbedaan dalam perhitungan biaya konstruksi, dapat dilihat dari analisis biaya total. Biaya total proyek dari
sudut pandang ekonomi adalah dengan menambahkan komponen biaya sosial. Biaya sosial untuk proyek
pemeliharaan jalan dapat berupa kecelakaan (DPU, 2005a), kerugian biaya pengguna jalan, kerusakan ekologi,
penurunan derajat kesehatan masyarakat akibat polusi udara, kebisingan dan debu. Biaya sosial ini timbul akibat
proses eksekusi proyek pemeliharaan jalan. Pada proses eksekusi proyek pemeliharaan jalan ini, penutupan lajur
jalan sebagian atau seluruhnya tidak dapat dihindarai. Hal ini berakibat terjadinay penurunan kecepatan bahkan
kemacetan lalu lintas dan terdundanya perjalanan pengguna jalan. Tundaan ini berekses pada konsumsi BBM
meningkat, polusi kendaraan meningkat dan kehilangan nilai waktu pengguna jalan. Di Indonesia penyertaan biaya
sosial dalam analisis total biaya pemeliharaan jalan Nasional khususnya jenis peningkatan jalan belum dilakukan,
sehingga perlu.

2. MATERI DAN METODE


Total biaya pemeliharaan jalan terdiri dari dari biaya konstruksi dan biaya pengguna jalan (Watanadata et al, 1987).
Secara diagramatis interaksi biaya pemeliharaan jalan ini disajikan pada Gambar 1. Biaya pengguna jalan yang
dimaksud adalah peningkatan biaya pengguna jalan akibat adanya kegiatan pekerjaan pemeliharaan jalan.

MK - 223
Peningkatan biaya pengguna jalan ini timbul akibat ekses pelaksanaan pemeliharaan jalan. Biaya-biaya yang timbul
akibat ekses pelaksanaan pemeliharaan jalan dikenal dengan biaya sosial (Allouce E.N et al, 2004). Selain
peningkatan biaya pengguna jalan juga timbul biaya soaial lainnya seperti biaya akibat polusi, kerugian pelaku
usaha.

Gambar 1. Interaksi Biaya Pemeliharaan Jalan


(Sumber: Watanatada, 1987 dalam Sudarsana et al, 2016)

Obyek studi penelitian ini adalah proyek pemeliharaan jenis peningkatan/rekonstruksi jalan Nasional /arteri tahun
2015, di provinsi Bali. Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 2. Pengumpulan data dilakukan dengan survey
tidak langsung berupa data sekunder. Data dikumpulkan dari instansi terkait yaitu Balai Pelaksana Jalan Nasional
VIII Bali. Metode penelitian secara deskriptif dengan mendeskripsikan tabel-tabel hasil pengolahan data dan
memformulasikan biaya total pemeliharaan jalan dengan mengkompilasi antara biaya konstruksi dengan kerugian
biaya pengguna jalan. Biaya konstruksi dikumpulkan dari kontak paket proyek. Sedangkan biaya sosial yang
diperhitungkan pada tulisan ini terbatas pada pertambahan biaya pengguna jalan berupa biaya operasi kendaraan dan
biaya nilai waktu penumpang.
Secara umum komponen biaya operasi kendaraan (BOK) terdiri dari:
1) Pemakaian bahan bakar
2) Pemakaian minyak pelumas (oli)
3) Pemakaian ban
4) Perbaikan dan pemeliharaan kendaraan
5) Depresiasi kendaraan
6) Bunga
7) Asuransi

MK - 224
Identifikasi
Masalah

Tujuan
Penelitian

Pengumpulan Data

Biaya Konstruksi Biaya Sosial

Total Biaya Peningkatan Jalan

Gambar 2. Kerangka Penelitian


Analisis lalu lintas seperti kapasitas digunakan Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997 (DPU, 1997). Perhitungan
komponen BOK untuk running cost yang meliputi pemakaian bahan bakar, pemakaian minyak pelumas (oli),
Pemakaian ban serta perbaikan dan pemeliharaan kendaraan digunakan Pd.T-15-2005-B (DPU, 2005b). Dan
perhitungan komponen BOK untuk fixed cost yang meliputi biaya depresiasi kendaraan, bunga dan asuransi
merujuk pada Tamin (2000). Sedangkan BOK khusus sepeda motor digunakan model hasil studi yang pernah
dilakukan di Bali yaitu PTS-BUIP/Public Transport Study Bali Urban Infrastructur Project, 1999 (Suryaningsih,
2010). Nilai waktu penumpang digunakan pendekatan dari upah minimum Kabupaten/Kota (Sudarsana DK, 2014).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini mengambil kasus studi pelaksanaan proyek peningkatan jalan Nasional tipe 2 lajur 2 arah di provinsi
Bali tahun anggaran 2015. Data lalu lintas terkait biaya sosial berupa Peningkatan Biaya Pengguna Jalan (PBPJ)
yaitu kecepatan pra konstruksi Vp (km/jam) dan volume lalu lintas pra konstruksi Qp (smp/hari) dapat dilihat pada
Tabel 1.
Table 1. Ruas jalan, Volume Qp (smp/hari) dan Kecepatan Vp (km/jam).
No Nama Ruas jalan Panjang ruas (km) Qp (smp/hari) Vp (km /jam)
1 Cekik-Seririt 4,00 11,400 42.0
2 Cekik-Negara 1,80 18,980 43.1
3 Angentelu-Amlapura 2,30 14,850 44.8
4 Jl Wahidin- Seiabudi Denpasar 6,78 66,827 15.9
5 Kuta- banjar Taman 1,70 102,347 30.0
6 Pesanggaran-Sesetan 5,32 70,585 27.5
7 Cekik-Singaraja 3,80 19,710 45.6

Untuk menentukan peningkatan BOK dan Nilai waktu akibat pemeliharaan jalan khususnya jenis
peningkatan/rekonstruksi memerlukan variable kecepatan kendaraan masa konstruksi Vm (km/jam) dan Volume
lalu lintas masa konstruksi Qm (smp/jam). Variable ini tidak ada tersedia terkait pelaksanaan proyek peningkatan
jalan. Pendekatan yang digunakan untuk meperkirakan Vm dan Qm adalah dengan menggunakan faktor
penyesuaian kecepatan Fv dan faktor penyesuaian Fq (Sudarsana, 2014). Nilai Fv rata-rata setiap periode jam adalah
Fv= 0,88, sedangkan Fq rata-rata adalah Fq= 0,91 (Sudarsana, 2014).

MK - 225
Sebagai contoh untuk ruas jalan Cekik-Negara, Fluktuasi Kecepatan Vp dan Vm disajikan pada Gambar 2 dan
fluktuasi Volume Qp dan Qm dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Fluktuasi kecepatan kendaraan Vp dan Vm (km/jam) perjam Ruas Jalan Cekik-Batas Kota Negara

Gambar 3. Fluktuasi kecepatan kendaraan Qp dan Qm (km/jam) perjam Ruas Jalan Cekik-Batas Kota Negara

Peningkatan Biaya Pemakai Jalan (PBPJ) yang dihitung pada penelitian ini adalah peningkatan biaya operasi
kendaraan BOK dan peningkatan biaya nilai waktu. Variable penentu besaran PBPJ adalah perubahan kecepatan
kendaraan Vp menjadi Vm, volume lalu lintas Qp dan Qm serta panjang ruas proyek jalan. Hasil analisis untuk
peningkatan PBPJ yang terdiri dari peningkatan BOK dan nilai waktu disajikan pada Tabel 2.

MK - 226
Tabel 2. Besaran nilai BOK, Nilai waktu dan PBPJ (Rp/hari)

No Nama Ruas jalan BOK (Rp/hari) Nilai waktu (Rp/hari) PBPJ (Rp/hari)
1 Cekik-Seririt 3,919,000 6,152,000 10,071,000
2 Cekik-Negara 6,837,000 9,774,000 16,611,000
3 Angentelu-Amlapura 5,344,000 7,770,000 13,114,000
4 Jl Wahidin-Seiabudi Denpasar 11,702,000 15,965,000 27,667,000
5 Kuta- banjar Taman 16,923,000 21,488,000 38,411,000
6 Pesanggaran-Sesetan 10,878,000 18,257,000 29,135,000
7 Cekik-Singaraja 7,943,000 10,121,000 18,064,000

Biaya sosial yang menjadi beban masyarakat pengguna jalan selama masa ekesekusi pemeliharaan peningkatan jalan
tergantung fungsi waktu. Semakin lama durasi eksekusi fisik peningkatan jalan ini, komulatif peningkatan biaya
pemakai jalan semakin besar. Pada kasus studi ini, jangka waktu eksekusi proyek pemeliharaan sesuai kontrak
berkisar dari 90 hari sampai 180 hari, lihat Tabel 3. Jangka waktu pelaksanaan sesuai kontrak ini tidak selamanya
berdampak pada peningkatan biaya pengguna jalan PBPJ. Dari hasil survey awal jumlah hari kerja yang belum
berekses pada pengguna jalan adalah rata-rata 30 hari. Selama 30 hari yang tidak berdampak ini, aktifitas proyek
berupa kegiatan persiapan, mobilisasi, demobilisasi dan provisional hand over (PHO) dan final hand over (FHO).
Sehingga untuk menghitung biaya sosial digunakan jangka waktu berdampak yang dihitung dari jangka waktu
kontrak dikurangi 30 hari. Waktu berdampak ini dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Table 3, juga dapat dilihat besaran
biaya sosial dari masing-masing kasus obyek studi. Besaran biaya sosial dihitung dari PBPJ (Rp/hari) dikalikan
waktu berdampak (hari).
Tabel 3. Jangka waktu kontrak, Waktu berdampak dan biaya sosial.
Waktu kontrak Waktu berdampak
No Nama Ruas jalan PBPJ (Rp/hari) Biaya Sosial (Rp)
(hari) (hari)
1 Cekik-Seririt 150 120 10,071,000 1,208,520,000
2 Cekik-Negara 90 60 16,611,000 996,660,000
3 Angentelu-Amlapura 120 90 13,114,000 1,180,260,000
4 Jl Wahidin--Setiabudi 210 180 27,667,000 4,980,060,000
Denpasar
5 Kuta- banjar Taman 90 60 38,411,000 2,304,660,000
6 Pesanggaran-Sesetan 180 150 29,135,000 4,370,250,000
7 Cekik-Singaraja 150 120 18,064,000 2,167,680,000

Total biaya pemeliharaan peningkatan jalan dihitung dengan menjumlahkan biaya konstruksi sesuai kontrak dengan
biaya sosial. Nilai konstruksi (sesuai pagu dana/kontrak) masing-masing obyek studi disajikan pada Tabel 4. Pada
Tabel 4, juga disajikan besaran total biaya proyek. Total biaya proyek yang dimaksud pada Tabel 4 adalah
penjumlahan dari nilai biaya konstruksi dijumlahkan dengan biaya sosial.
Tabel 4. Nilai biaya konstruksi, Biaya sosial dan Totan biaya proyek (Rp).
Total Biaya Proyek % Tambah
No Nama Ruas jalan Biaya Sosial (Rp) Nilai konstruksi (Rp)
(Rp) -an Biaya

1 Cekik-Seririt 1,208,520,000 20,973,060,000 22,181,580,000 5.76%


2 Cekik-Negara 996,660,000 8,958,420,000 9,955,080,000 11.13%
3 Angentelu-Amlapura 1,180,260,000 12,300,400,000 13,480,660,000 9.60%
Jl Wahidin--Setiabudi
4 Denpasar 4,980,060,000 59,966,200,000 64,946,260,000 8.30%
5 Kuta- banjar Taman 2,304,660,000 49,969,700,000 52,274,360,000 4.61%
6 Pesanggaran-Sesetan 4,370,250,000 51,762,221,000 56,132,471,000 8.44%
7 Cekik-Singaraja 2,167,680,000 20,253,060,000 22,420,740,000 10.70%
Rata-rata 8.36%

MK - 227
Untuk keperluan estimasi besarnya biaya sosial terhadap nilai konstruksi dilakukan pendekatan analisis deskriptif,
yaitu dengan menghitung prosentase peningkatan biaya sosial terhadap biaya konstruksi sesuai kontrak. Prosentase
biaya sosial terhadap biaya konstruksi sesuai kontrak pada kasus studi berkisar antara 4,61% sampai 11,13% dapat
dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 4. Rata-rata peningkatan biaya sosial terhadap biaya konstruksi adalah 8,36%, hal
dapat dilihat pada Tabel 4.

Nilai konstruksi (Rp) Total Proyek (Rp) Biaya Sosial (Rp) % Tambahan Biaya

12.00%
66,000,000,000 11.13%
61,000,000,000 10.70%
10.00%

Prosentase kenaikan Biaya Proyek


56,000,000,000 9.60%
51,000,000,000
8.30% 8.44%
46,000,000,000 8.00%
Biaya (Rp)

41,000,000,000
36,000,000,000 6.00%
5.76%
31,000,000,000
26,000,000,000 4.61%
4.00%
21,000,000,000
16,000,000,000
11,000,000,000 2.00%
6,000,000,000
1,000,000,000 0.00%
1 2 3 4 5 6 7

No Kasus Ruas Jalan

Gambar 4. Nilai Biaya Sosial, Biaya Konstruksi, Total Biaya Proyek dan Prosenatse Biaya Soial terhadap Biaya
Konstruksi

4. KESIMPULAN
Hasil analisis dan pembahasan penyertaan biaya sosial dalam menghitung total biaya proyek peningkatan jalan
Nasional di provinsi Bali tahun anggaran 2015, untuk tipe jalan 2 lajur 2 arah, dengan 7 ruas jalan sebagai kasus
studi dapat disimpulkan:
1. Biaya sosial yang ditemukan berkisar antara Rp. 996.660.000 sampai dengan Rp. 4.980.060.000
2. Total Biaya Proyek masing-masing ruas jalan ditemukan berkisar antara Rp. 9.955.080.000 sampai Rp.
64.946.260.000, yang merupakan penjumlahan dari biaya konstruksi sesuai kontrak ditambahkan dengan
biaya sosial.
3. Rata-rata peningkatan Biaya proyek terhadap biaya konstruksi yang ditemukan adalah 8,36%
DAFTAR PUSTAKA
Allouche E. N., Gilcrist A. 2004. Quantifying Construction Realized Social Costs, North American Society for
Trenchless Technology (NASTT), New Orleans, Lusiana
Departemen Pekerjaan Umum. (DPU). 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), Direktorat Jendral Bina
Marga, Jakarta.
Departemen Pekerjaan Umum (DPU). 2005a. Pedoman Perhitungan Besaran Biaya Kecelakaan Lalu Lintas
Dengan Menggunakan Metoda The Gross Output (Human Capital) Nomor : Pd.T-02-2005-B, Puslitbang
Prasarana Transportasi, Jakarta
Departemen Pekerjaan Umum (DPU). 2005b. Pedoman Perhitungan Biaya Operasi Kendaraan, Nomor : Pd.T-15-
2005-B, Puslitbang Prasarana Transportasi, Jakarta.
Husnan, S. dan Suwarsono, M. 2000. Studi Kelayakan Proyek, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Ichsan, M. 1998. Studi Kelayakan Proyek, Andi Offset, Yogyakarta.
Kadoatie, R.J. 1995. Analisis Ekonomi Teknik, Andi Offset, Yogyakarta.
Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI). 1996. Laporan Kemajuan Studi Pekerjaan Perhitungan Biaya
Operasi Kendaraan (BOK), PT Jasa Marga (PERSERO), ITB, Bandung.

MK - 228
Sudarsana, DK.2014. Model Kerugian Pengguna Jalan Pada Masa Proyek Rekonstruksi Jalan. Disertasi. Program
Doktor Teknik Sipil Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur.
Sudarsana DK, Martajaya N, Artamana IBM. 2016. Penyertaan Biaya Sosial Dalam Analisis Biaya Proyek
Peningkatan Jalan Nasiolan di Provinsi Bali, Laporan Penelitian Ketekniksipilan Program Magister,
Universitas Udayana.
Tamin, O.Z. 2000. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Penerbit ITB, Bandung.

MK - 229
MK - 230
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

FORMULASI STRATEGI PEMASARAN DEVELOPER GUNA MENINGKATKAN


DAYA SAING DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

Rinaldy Aldi1, Fajar Sri Handayani 2, dan Sugiyarto1

1
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
Email: Rinaldyaldi126@gmail.com
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
Email: Fajr_hani@yahoo.co.id

ABSTRAK
Berlakunya era MEA(Masyarakat Ekonomi ASEAN) mendorong para pelaku jasa konstruksi
khususnya developer untuk menyusun strategi supaya dapat bertahan dan mengambil bagian dalam
era ekonomi baru tersebut. Bagi developer, masalah utama yang dihadapi adalah pemasaran
perumahan yang Ia buat. Tentu saja di era MEA ini akan terjadi dinamika-dinamika yang akan
menjadi peluang maupun ancaman sehingga developer perlu membuat strategi pemasaran yang
fleksibel dengan perubahan yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alternatif strategi
pemasaran yang tepat untuk diterapkan oleh developer Surakarta dalam menghadapi era Masyarakat
Ekonomi ASEAN serta mengetahui apakah strategi tersebut memungkinkan untuk diterapkan oleh
developer tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskriptif serta
studi literatur. Data primer yang diperoleh dari penyebaran kuesioner dengan total 8 responden
dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur
untuk memperoleh faktor-faktor internal dan eksternal. Hasil analisis didapat strategi pemasaran
yang paling tepat dengan Menggunakan pengalaman dan reputasi perusahaan untuk meningkatkan
kepercayaan client dengan meningkatkan strategi promosi serta memperluas promosi, memilih
lokasi perumahan yang dekat dengan trayek transportasi dengan cara menggunakan keuangan yang
kuat untuk membeli tanah yang mempunyai akses mudah dikemudian hari, menggunakan
kemampuan dalam memilih lokasi perumahan supaya ketika ada pembangunan fasilitas baru dapat
dimanfaatkan dengan baik. Strategi yang terbaik berdasarkan tanggapan developer serta hasil
analisis adalah adalah membuat sarana promosi yang menarik dengan menonjolkan reputasi
perusahaan dan lokasi yang strategis melalui media televisi, sosial media, dan Koran untuk
memperluas jangkauan promosi serta memberikan bonus atau hadiah dalam setiap pembelian rumah
yang ditawarkan
Kata kunci: MEA, Strategi pemasaran, SWOT

1. PENDAHULUAN
Persaingan dalam dunia bisnis dalam perkembangannya akan semakin ketat. Dengan adanya MEA (Masyarakat
Ekonomi ASEAN), tahun 2016 membuat persaingan bisnis lokal akan semakin luas dan tentunya akan semakin
ketat terutama bidang konstruksi nasional. MEA bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal
berbasis produksi yang memiliki daya saing, serta menciptakan pembangunan ekonomi yang merata dan berintegrasi
kepada perekonomian global(Prasetya, 2015). Dalam kerangka MEA ada kemungkinan lebih luas bahwa perusahaan
konstruksi kawasan ASEAN menembus sektor konstruksi Indonesia dan membuat industri konstruksi yang sudah
kompetitif menjadi semakin kompetitif(Handayani, 2017). Berdasarkan data World Bank tahun 2014, pasar jasa
konstrusi Indonesia dengan merupakan pasar konstruksi terbesar di ASEAN dan nomor 4 di dunia(Direktorat
Perundingan Perdagangan Jasa). Hal ini menyebabkan pasar konstruksi Indonesia menjadi sasaran empuk bagi
industri jasa konstruksi yang ada di ASEAN. Namun produk fisik yang dihasilkan seringkali masih sangat buruk
jauh dari yang disyaratkan. Kondisi seperti ini tentu saja sangat mengkhawatirkan untuk dapat bersaing di pasar
bebas MEA dimana serbuan jasa konstruksi dari luar negeri akan semakin gencar, persaingan industri jasa
konstruksi akan semakin kompetitif. (Handayani,2015)

Lingkungan yang dinamis memaksa perusahaan jasa konstruksi nasional memanfaatkan keputusan strategis dalam
menjalankan bisnis (David, Dikmen, Birgonul, 2010). Hal ini bertujuan untuk membangun kembali komitmen
kompetitif berkelanjutan yang tahan lama (Lansley,2002) dan untuk menunjang kontinuitas perusahaan juga
tergantung kepada kinerja mereka yang dapat dicapai dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial, lingkungan,

MK - 231
hukum, dan etika saat melaksanakan pekerjaan konstruksi (Ameer, 2011). Strategi yang tepat bagi kontraktor dalam
bidang pengelolaan sumber daya manusia untuk meningkatkan kinerja perusahaan adalah dengan meningkatkan
sumber daya manusia yaitu dengan memiliki sertifikat keahlian (Handayani,2017)

Tidak semua wilayah Indonesia akan terdampak MEA secara langsung. MEA akan terlebih dahulu berdampak pada
kota-kota besar di Indonesia baru akan berdampak pada kota lain salah satunya adalah kota Surakarta. Pembangunan
di Surakarta tidak kalah pesat terutama pembangunan perumahan sehingga mendorong pihak asing untuk ber
investasi di Surakarta. Developer di Surakarta sering kali mempunyai kesulitan saat memasarkan produknya .
Masalah strategi pemasaran di Surakarta adalah promosi yang kurang luas, ada perumahan yang tidak laku karena
lokasi yang mempunyai akses yang sulit, lahan yang dimiliki ternyata dikemudian hari kurang strategis , daya beli
konsumen yang tidak mampu membeli rumah yang ditawarkan karena terlalu mahal, jaringan kerja yang sempit,
serta baliho yang masih cukup mahal . Untuk itu perlu dilakukan formulasi strategi dalam menghadapi era MEA ini.
Tahapan dalam formulasi strategi adalah
A. Input Stage. Pada tahap ini ada dua macam matrik yaitu matrik IFE (Internal Factor Evaluation) digunakan
untuk mengetahui faktor-faktor internal perusahaan (kekuatan dan kelemahan) dan matrik EFE (External
Factor Evaluation) digunakan untuk mengevaluasi faktor eksternal perusahaan (peluang dan ancaman)
B. Matching Stage dilakukan perhitungan untuk matrik SWOT dan matrik Internal-Eksternal (IE). Matriks IE
digunakan untuk menentukan suatu Strategic Business Unit (SBU) perusahaan ke dalam matriks 9 sel.
Matriks IE terdiri dari 2 dimensi, yaitu total skor dari matriks IFE pada sumbu X dan total Skor dari
matriks EFE pada sumbu Y. lalu mengembangkan alternatif strategi dengan memperhatikan kesesuaian
antara faktor lingkungan internal dengan eksternal. Matrik IE dapat dilihat pada gambar 1. Dari posisi
perusahaan pada matriks IE dapat diambil alternatif sebagai berikut :
1. SBU yang berada pada sel I,II, atau IV adalah Grow atau Build . Strategi yang cocok adalah strategi
intensif seperti product development, market penetration, dan market development.
2. SBU yang berada pada sel III, V, atau VII adalah sebagai Hold atau Maintaining. Strategi yang cocok
adalah Market penetration atau product development.
3. SBU yang berada pada sel VI,VIII, atau IX strateginya adalah Harvest atau diveture

Gambar 1 Matriks IE
C. Decision Stage. Dari beberapa alternatif yang didapatkan, kemudian dipilih dengan menggunakan
Quantitative strategic planning matrix (QSPM). input dari teknik ini adalah matriks eksternal, matriks
internal, matriks SWOT, matriks IE, yang digunkan untuk informasi membuat QSPM berdasar faktor kunci
yang ada dari faktor sebelumnya.

MK - 232
2. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan studi literatur, penentuan objek penelitian, pengumpulan data dan analisis data. Studi
literatur dilakukan untuk memperoleh semua faktor internal dan eksternal, dan dipilah menjadi strength, weakness,
opportunities, threats menggunakan pemilahan faktor. Objek penelitian merupakan developer di wilayah Surakarta
yang mempunyai pengalaman lebih dari 5 tahun dan merupakan perusahaan yang sehat. Data primer didapat dari
kuesioner serta wawancara langsung kepada koresponden yang memahami kondisi pemasaran perusahaan serta
kondisi internal dan eksternal perusahaan. Berdasarkan data yang diperoleh dilakukan analisis SWOT mengenai
faktor-faktor lingkungan yang dominan. Formulasi strategi menggunakan Rational Decision Model. Tahapan dalam
menentukan strategi yaitu Input Stage, Matching stage, dan Decision Stage. Pada input stage dilakukan analisis
matriks IFE dan matriks EFE. Pada maching stage dilakukan analisis matriks SWOT dan matrik internal-eksternal.
Pada decision stage dilakukan analisis matrik Quantitative Strategic Planning untuk memilih alternatif strategi yang
terbaik (Fred R,2000). Setelah mendapatkan strategi yang terbaik, strategi tersebut ditawarkan kembali kepada
developer melalui kuesioner kemudian diambil kesimpulan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor SWOT

Pemilihan faktor SWOT dimaksudkan agar didapat faktor-faktor yang secara relatif memberikan derajat
kepentingan yang lebih tinggi dibanding dengan faktor lainnya. Lima faktor dengan nilai tertinggi merupakan
kekuatan(faktor internal), dan peluang (faktor eksternal), sedangkan lima faktor terbawah adalah kelemahan(faktor
internal), dan ancaman(faktor eksternal). Berikut hasil pemilahan faktor SWOT, dan nilai rating serta bobot hasil
analisis data kuesioner.

Tabel 1. Hasil Pemilahan Faktor Internal

no Faktor internal Indeks Kategori Rating Bobot


pemilahan

1 Promosi 53 Strength 3,5 0,14

2 Pemilihan Lokasi Perumahan 51 Strength 3,5 0,16

3 Keuangan dan Pembelanjaan 43 Strength 3,3 0,14

4 Kualitas Material 41 Strength 3,3 0,10

5 Pengalaman dan reputasi perusahaan 41 Strength 3,3 0,11

6 Harga 34 Weakness 3,2 0,05

7 Organisasi dan Sumber Daya Manusia 28 Weakness 3 0,10

8 Desain 27 Weakness 3 0,11

9 Fasilitas Umum Perumahan 25 Weakness 3 0,05

10 Pengetahuan developer mengenai Masyarakat 6 Weakness 2,5 0,02


Ekonomi ASEAN

MK - 233
Tabel 2. Hasil Pemilahan Faktor Eksternal

no Faktor Eksternal Indeks Kategori Rating Bobot


pemilahan

1 Kepercayaan client 69 Opportunity 3,7 0,15

2 Harga Tanah yang Selalu Meningkat 69 Opportunity 3,6 0,17

3 Peraturan dan Kebijakan Pemerintah mengenai 66 Opportunity 3,6 0,13


MEA

4 Kebutuhan Rumah 56 Opportunity 3,3 0,15

5 Trayek Transportasi yang melewati 56 Opportunity 3,3 0,09

6 Tingkat Suku Bunga KPR 53 Threats 3,4 0,08

7 Pembangunan Fasilitas Baru 53 Threats 3,3 0,12

8 Persaingan Antar Developer, munculnya developer 47 Threats 3,2 0,06


baru, serta masuknya developer asing

9 Tren Arsitektural di ASEAN 35 Threats 3,3 0,02

10 Keterbukaan pasar ASEAN 30 Threats 2,9 0,04

Developer di Surakarta menempatkan faktor lokasi perumahan, promosi, pengalaman dan reputasi perusahaan, serta
keuangan yang kuat sebagai faktor kekuatan strategi pemasaran bagi developer untuk dapat bersaing di industri jasa
konstruksi. Peluang yang harus dimanfaatkan bagi developer adalah trayek transportasi yang melewati, harga tanah
yang selalu meningkat, Harga jual perumahan, organisasi dan SDM, desain, fasilitas umum, serta pengetahuan
mengenai MEA merupakan kelemahan untuk bersaing dengan developer baru serta developer asing. Faktor
eksternal yang merupakan ancaman adalah persaingan antar developer, developer baru serta, developer asing, tren
arsitektural di ASEAN, keterbukaan pasar ASEAN, tingkat suku bunga KPR, pembangunan fasilitas baru.

Matriks IFE

Matriks IFE digunakan untuk mengetahui Posisi developer secara internal. Bila total score matrik lebih besar atau
sama dengan 2.50 maka secara internal developer kuat
Tabel 3. Matrik IFE

N0 Faktor Internal Bobot Rating Skor


KEKUATAN/STRENGTH
1 Keuangan dan pembelanjaan 0.14 3.3 0,47
2 Pemilihan Lokasi Perumahan 0.16 3.5 0,57
3 Kualitas Material 0.10 3.3 0,34
4 Promosi 0.14 3.5 0,50
5 Pengalaman dan reputasi perusahaan 0.11 3.3 0,37
KELEMAHAN/WEAKNESSES
6 Harga 0.05 3 0,17
Pengetahuan developer mengenai
7 0.02 2.5 0,06
Masyarakat Ekonomi ASEAN
8 Organisasi dan Sumber Daya Manusia 0.10 3 0,31
9 Desain 0.11 3 0,14
10 Fasilitas Umum Perumahan 0.05 3.2 0,27
Total 3,26

MK - 234
Matriks EFE
matrik EFE digunakan untuk mengetahui posisi developer secara eksternal bila total score matrik lebih besar atau
sama dengan 2.50 maka secara secara eksternal developer telah merespon dengan baik peluang yang ada serta dapat
mengatasi ancaman yang ada.

Tabel 4 Matriks EFE

N0 Faktor Internal Bobot Rating Skor


PELUANG/OPPORTUNITY
1 Kepercayaan client 0.15 3.7 0,57
Peraturan dan Kebijakan Pemerintah
2 0.13 3.6 0,46
mengenai MEA
3 Kebutuhan Perumahan 0.15 3.3 0,50
4 Trayek Transportasi yang melewati 0.09 3.4 0,29
5 Harga Tanah yang Selalu Meningkat 0.17 3.6 0,60
ANCAMAN/THREATS
Persaingan antar developer, munculnya
6 developer baru, serta masuknya 0.06 3.3 0,18
developer asing
7 Tren Arsitektural di ASEAN 0.02 3.3 0,06
8 Keterbukaan pasar ASEAN 0.04 2.9 0,12
9 Tingkat Suku Bunga KPR 0.08 3.3 0,27
10 Pembangunan Fasilitas Baru 0.12 3.2 0,39
Total 3,44

Matriks IE
Dari matriks IFE diadapat skore 3,26 sedangkan matriks EFE diadapatkan skor 3,44. Berdasarkan matriks IE (pada
gambar 1), Strategic Business Unit developer terletak pada sel IV yang digambarkan sebagai Grow
atau Build. Strategi yang cocok adalah marked development dan horizontal integration.

Matriks SWOT
STRENGTH WEAKNESS
S1 :Keuangan dan pembelanjaan W1: Harga
S2: Pemilihan Lokasi Perumahan W2: Pengetahuan developer
mengenai Masyarakat Ekonomi
ASEAN
S3: Kualitas Material W3: Organisasi dan Sumber Daya
Manusia
S4: Promosi W4: Desain
S5: Pengalaman dan reputasi W5: Fasilitas Umum Perumahan
perusahaan
OPPORTUNITIES S/O STRATEGI W/O STRATEGI
O1: Kepercayaan client 1.Menggunakan pengalaman dan 1. meningkatkan pengetahuan
reputasi perusahaan untuk developer mengenai MEA supaya
O2: Peraturan dan Kebijakan
meningkatkan kepercayaan client dapat merespon dengan baik
Pemerintah mengenai MEA
dengan meningkatkan strategi kebijakan pemerintah mengenai
O3: Kebutuhan Perumahan promosi serta memperluas promosi. MEA (W2,O2)
( S1,S2,O1,S4).
O4: Trayek Transportasi yang 2. meningkatkan SDM, serta desain
2. Memilih lokasi perumahan yang
melewati menarik dengan harga murah untuk
dekat dengan trayek transportasi
mendapatkan kepercayaan client
O5: Harga Tanah yang Selalu dengan cara menggunakan keuangan
sehingga dapat memenuhi kebutuhan
Meningkat yang kuat untuk membeli tanah yang
rumah yang meningkat(W1, W3,
mempunyai akses mudah
W4, O1, O3)
dikemudian hari. Dengan

MK - 235
memanfaatkan harga tanah yang
selalu meningkat serta kebutuhan
rumah yang selalu meningkat maka
akan mendapatkan keuntungan yang
lebih ( S1,S2, O3, O4, O5)
THREAT S/T STRATEGI W/T STRATEGI
T1: Persaingan Antar Developer, 1. mempertahanlan keuangan yang 1. meningkatkan pengetahuan
munculnya developer baru, serta kuat serta peningkatan promosi developer mengenai MEA , SDM,
masuknya developer asing untuk menghadai persaingan antar serta harga yang bersaing untuk
developer serta developer menghadapi persaingan dengan
T2: Tren Arsitektural di ASEAN
asing(S1,S4,T1) developer asing, dan keterbukaan
T3: Keterbukaan pasar ASEAN pasar ASEAN (W1, W2,W3, T1,
2. menggunakan kemampuan dalam
T3)
T4: Tingkat Suku Bunga KPR memilih lokasi perumahan supaya
ketika ada pembangunanfasilitas 2. meningkatkan desain serta
T5: Pembangunan Fasilitas Baru baru dapat dimanfaatkan dengan fasilitas umum perumahan untuk
baik (S2, T5) mengatasi tren arsitektural di
ASEAN ( W4, W5, T2)

Matriks QSPM
Dari tahap matching stage (matriks IE dan matriks SWOT) dihasilkan beberapa alternatif strategi sebagai berikut:
1. Alternatif 1 (Market Development)

a. Menggunakan pengalaman dan reputasi perusahaan untuk meningkatkan kepercayaan client dengan
meningkatkan strategi promosi serta memperluas promosi

b. Memilih lokasi perumahan yang dekat dengan trayek transportasi dengan cara menggunakan keuangan
yang kuat untuk membeli tanah yang mempunyai akses mudah dikemudian hari

c. menggunakan kemampuan dalam memilih lokasi perumahan supaya ketika ada pembangunan fasilitas
baru dapat dimanfaatkan dengan baik

2. Alternatif 2 (Horizontal Integration)

a. meningkatkan SDM, serta desain menarik dengan harga murah untuk mendapatkan kepercayaan client
sehingga dapat memenuhi kebutuhan rumah yang meningkat

b. meningkatkan pengetahuan developer mengenai MEA , Sumber daya manusia, serta harga yang
bersaing untuk menghadapi persaingan dengan developer asing, dan keterbukaan pasar ASEAN

3. Alternatif 3 (Stabillity)

mempertahankan keuangan yang kuat serta peningkatan promosi untuk menghadai persaingan antar
developer serta developer asing
dari ke tiga alternatif diatas kemudian dipilih mana strategi yag terbaik dengan menggunakan QSPM sebagai
berikut:

MK - 236
Alternatif
Alternatif 2 Alternatif 3
1
Faktor Kunci Bobot
AS TAS AS TAS AS TAS

Keuangan dan pembelanjaan 0.14 4 0.57 2.00 0.28 4.00 0.57

Pemilihan Lokasi Perumahan 0.16 4 0.65 1.00 0.16 2.00 0.32

Kualitas Material 0.10 1 0.10 1.00 0.10 3.00 0.31

Promosi 0.14 4 0.57 1.00 0.14 4.00 0.57

Pengalaman dan reputasi perusahaan 0.11 2 0.23 2.00 0.23 2.00 0.23

Harga 0.05 2 0.11 3.00 0.16 2.00 0.11

Pengetahuan developer mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN 0.02 1 0.02 4.00 0.09 3.00 0.07

Organisasi dan Sumber Daya Manusia 0.10 2 0.21 3.00 0.31 1.00 0.10

Desain 0.11 1 0.11 4.00 0.45 2.00 0.23

Fasilitas Umum Perumahan 0.05 1 0.05 2.00 0.09 2.00 0.09

1.00

Kepercayaan client 0.15 3 0.46 3.00 0.46 1.00 0.15

Peraturan dan Kebijakan Pemerintah mengenai MEA 0.13 1 0.13 1.00 0.13 1.00 0.13

Kebutuhan Perumahan 0.15 2 0.31 3.00 0.46 1.00 0.15

Trayek Transportasi yang melewati 0.09 4 0.34 1.00 0.09 1.00 0.09

Harga Tanah yang Selalu Meningkat 0.17 4 0.66 1.00 0.17 1.00 0.17

Persaingan Antar Developer, munculnya developer baru, serta


0.05 2 0.11 4.00 0.23 4.00 0.23
masuknya developer asing

Tren Arsitektural di ASEAN 0.02 1 0.02 1.00 0.02 1.00 0.02

Keterbukaan pasar ASEAN 0.10 1 0.04 1.00 0.04 1.00 0.04

Tingkat Suku Bunga KPR 0.11 1 0.08 1.00 0.08 1.00 0.08

Pembangunan Fasilitas Baru 0.05 3 0.35 1.00 0.12 1.00 0.12

1.00

Total 5.11 3.80 3.76

Dari perhitungan Matriks Quantitative Strategic Planning diatas dapat dilihat bahwa alternatif 1 (market
development) merupakan strategi alternatif yang paling menarik. Sehingga dipilihlah strategi alternatif 1 untuk
stategi pemasaran developer di Surakarta

MK - 237
Tanggapan Developer Mengenai Strategi Hasil Analisis
Dari perhitungan QSPM maka dipilihlah strategi alternatif satu merupakan strategi terbaik. Strategi ini kemudian
ditawarkan lagi ke developer untuk kemudian dipilih manakah menurut developer strategi yang terbaik dan mungkin
untuk diterapkan melalui kuesioner kedua. Hasil kuesioner tersebut adalah 43,75% responden memilih strategi
poin a, 31,25% responden memilih strategi poin b, 25% responden memilih strategi poin c

4. KESIMPULAN
Dari hasil analisis strategi didapat strategi yang paling tepat adalah market development yaitu dengan menggunakan
pengalaman dan reputasi perusahaan untuk meningkatkan kepercayaan client dengan meningkatkan strategi promosi
serta memperluas promosi, memilih lokasi perumahan yang dekat dengan trayek transportasi dengan cara
menggunakan keuangan yang kuat untuk membeli tanah yang mempunyai akses mudah dikemudian hari,
menggunakan kemampuan dalam memilih lokasi perumahan supaya ketika ada pembangunan fasilitas baru dapat
dimanfaatkan dengan baik. Setelah dilakukan kuesioner ke dua mengenai tanggapan developer mengenai alternatif
strategi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa strategi yang terbaik adalah membuat sarana promosi yang menarik
dengan menonjolkan reputasi perusahaan dan lokasi yang strategis melalui media televisi, sosial media, dan Koran
untuk memperluas jangkauan promosi serta memberikan bonus atau hadiah dalam setiap pembelian rumah yang
ditawarkan

DAFTAR PUSTAKA
Ameer, R. And Othman, R. (2011). “Sustainability Practice and Coorporate Finansial Performance: A Study
Based on the Top Global Corporation”. Journal of Management in Engineering, Vol. 26, No.1, 9-18
David, Fred R. (2000). “Concept in Strategic Management. Prentice Hall”. USA
ensiklopediabebas.htm)
Direktorat Perundingan Perdagangan Jasa, Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan
Internasiaonal, Kementerian Perdagangan (2015). “Kesiapan Sektor Jasa Konstruksi
Nasional Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015”
Handayani, Fajar S dan Rifki, Yanuar (2015). “Strategi Pengembang Perumahan Menggunakan Rational Decision
Model”
Handayani, F. S. (2017). “ Strategy for Small-medium Scale Contractor Performance Improvement in ASEAN
Competitive market”. Procedia Engineering, Vol. 171, 387-395
Izik Z. Arditi, David. Irem Dikmen. And M Talat Birgonoul. (2010), “Impact of Resource and Strategi on
Construction Company Performance Journal of Management Engineering”, Vol 26, No 1, pp 9-18
Lansley, P.R. (2002), “Corporate Srategy and Survivel in The UK Construction Industry, Construction Management
Economic Journal”, Vol 5 pp, 141-155
Ryan Faza Prasetyo dan I Putu Artama Wiguna, (2015). “Menilai Kesadaran dan Kesiapan Kontraktor di Indonesia
Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean”
Prof. DR. Sofjan Assauri, M.B.A. (2010). “Manajemen Pemasaran Dasar, Konsep, dan Strategi”
cetakan ke 10

MK - 238
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

STUDI MANAJEMEN PEMELIHARAAN ASET PADA INFRASTRUKTUR SUNGAI


(STUDI KASUS BANGUNAN REVETMENT SUNGAI PEPE DI SURAKARTA)

Nectaria Putri Pramesti1


1
Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari No. 44 Yogyakarta
Email: nectaria@mail.uajy.ac.id

ABSTRAK
Aset merupakan hal yang sangat penting bagi perusahaan. Bangunan infrastruktur sungai merupakan
salah satu yang pengelolaannya juga melalui tahapan perencanaan, pengadaan, pemakaian, dan
pemeliharaan aset. Supaya bangunan infrastruktur sungai (revetment) dapat digunakan secara
optimal sesuai dengan usia konstruksinya dan fungsi dari bangunan ini tidak mengalami penurunan
maka perlu dilakukan analisis terhadap sistem pengelolaan pemeliharaan asset beserta biaya
perbaikannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pemeliharaan aset bangunan
infrastruktur sungai (revetment) di lingkungan Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo
khususnya pada sungai Pepe di Surakarta beserta biaya perbaikannya. Data yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah data survai lapangan, yang berupa data kerusakan bangunan beserta biaya
pemeliharaannya, selain itu, data berasal dari wawancara pada pengelola pemeliharaan bangunan
sungai di lingkungan Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo dan kuisioner tanggapan warga
sekitar terhadap pemeliharaan yang telah dilakukan oleh pemerintah. Manfaat dari penelitian ini
nantinya bisa digunakan sebagai acuan perencanaan yang lebih akurat dan tepat berdasarkan
kerusakan yang paling sering terjadi dan kebutuhan biaya pemeliharaan yang besar. Dari survai
lapangan kondisi bangunan beberapa hanya mengalami kerusakan ringan, berdasarkan wawancara
dengan pengelola pemeliharaan bangunan sungai (revetment) untuk saat ini belum ada pemeliharaan
rutin karena bangunan masih dalam kondisi baik serta jenis pemeliharaan yang dilakukan termasuk
pada jenis pemeliharaan berkala /emergency maintenance dikerjakan jika ada kerusakan yang harus
segera diperbaiki. Begitu pula dengan tanggapan warga bahwa bangunan selama beberapa tahun ini
kondisi bangunan pelindung tebing masih dalam kondisi baik.
Kata Kunci : Manajemen pemeliharaan aset, inventarisasi bangunan sungai,kerusakan, biaya
pemeliharaan, revetment

1. PENDAHULUAN

Latar belakang
Aset merupakan hal yang sangat penting bagi perusahaan. Banyak perusahaan masih menganggap manajemen aset
secara fisik hanyalah sekedar instrumen pengelolaan daftar aset. Realita di lapangan menunjukkan banyak kasus
yang sebenarnya dimulai dari salah kelola dan salah urus masalah aset, sehingga berdampak kerugian yang tidak
sedikit. Masalah yang timbul apabila tidak dibentuknya sebuah kerangka pengelolaan aset oleh pemerintah maka
pengelolaan aset yang sudah berjalan akan kurang efektif dan efisien.
Bangunan infrastruktur sungai merupakan salah satu yang pengelolaannya juga melalui tahapan perencanaan,
pengadaan, pemakaian, dan pemeliharaan asset. Supaya bangunan infrastruktur sungai dapat digunakan secara
optimal sesuai dengan usia konstruksinya dan fungsi dari bangunan ini tidak mengalami penurunan maka perlu
dilakukan analisis terhadap sistem pengelolaan asset beserta biaya pemeliharaannya.

Maksud dan tujuan penelitian


Penelitian ini dalam rangka mengembangkan kerangka pengelolaan pemeliharaan aset. Kerangka ini dikembangkan
untuk memberikan dasar bagi pemerintah dalam mengembangkan pengelolaan pemeliharaan aset yang terpadu,
dalam mengembangkan kerangka pengelolaan aset ini beberapa pertanyaan akan timbul yaitu bagaimana pemerintah
mengelola aset yang ada sekarang ini dan faktor apa saja yang mempengaruhi pengelolaan aset.

MK - 239
Berdasarkan pertanyaan tersebut maka tujuan penelitian ini adalah
1. Mengidentifikasi kondisi aset bangunan infrastruktur sungai (revetment) khususnya pada sungai Pepe di
Surakarta beserta biaya perbaikannya.
2. Mengidentifikasi pelaksanaan pengelolaan pemeliharaan aset bangunan infrastuktur sungai (revetment)

Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pemerintah khususnya di lingkungan Balai Besar Wilayah
Sungai Bengawan Solo untuk mengetahui kondisi aset bangunan infrastruktur (revetment) sekarang kemudian dari
data yang ada pemerintah dapat melakukan pengelolaan aset yang lebih terpadu, serta sebagai acuan perencanaan
yang lebih akurat dan tepat berdasarkan kerusakan yang paling sering terjadi dan kebutuhan biaya pemeliharaan
yang besar

Batasan penelitian
Penelitian ini hanya terbatas untuk mempelajari aset yang ada di lingkungan Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan
Solo khususnya aset bangunan infrastruktur sungai pepe berupa bangunan pelindung tebing (revetment).

2. TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian pemeliharaan aset sungai


Pengertian pemeliharaan aset sungai berdasarkan laporan pendukung manual operasi dan pemeliharaan BBWS
Bengawan Solo, pemeliharaan merupakan kegiatan untuk perawatan/ konservasi sumber air dan prasarana bangunan
sungai yang ditujukan untuk menjamin kelestarian fungsi sumber air dan bangunan prasarana sungai. Pemeliharaan
persungaian adalah pemeliharaan yang dilakukan pada alur sungai dan bangunan sungai.

Jenis pekerjaan pemeliharaan aset sungai


Pekerjaan pemeliharaan menurut buku manual operasi dan pemeliharaan BBWS Bengawan Solo terdiri dari
beberapa jenis seperti berikut ini:
1. Pemeliharaan preventif/ pencegahan: pemeliharaan untuk pencegahan kerusakan, maupun penurunan fungsi
sungai dan bangunan prasarana sungai, beserta lingkungannya.Pemeliharaan preventif dapat dibedakan dalam:
 Rutin, semua kegiatan pemeliharaan preventif yang perlu dilakukan dengan selang waktu kurang dari 1 (satu)
tahun.
 Berkala, Semua kegiatan pemeliharaan preventif yang perlu dilakukan dengan selang waktu lebih dari 1
(satu) tahun.
 Perbaikan kecil, perbaikan bangunan prasarana sungai, dimana kapasitas/ kondisi bangunan prasarana sudah
berkurang sampai dengan 30 % dari kapasitas yang direncanakan. Perbaikan ini bertujuan untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut. Pekerjaan perbaikan kecil adalah kegiatan perbaikan berskala kecil yang dibutuhkan
untuk memperbaiki bangunan agar kondisinya sesuai dengan kapasitas rencana yang disebabkan oleh
kerusakan kecil, seperti peninggian permukaan tanggul, perbaikan tanggul yang bocor, penggantian peralatan
pintu dan sebagainya, yang tidak berfungsi disebabkan oleh kerusakan kecil.
2. Pemeliharaan korektif.
Pemeliharaan korektif adalah semua kegiatan perbaikan yang diperlukan untuk mengembalikan kapasitas
(kemampuan) seperti kondisi semula atau bahkan meningkatkan fungsinya.
Pemeliharaan Korektif dibedakan atas :
 Perbaikan besar.
Perbaikan korektif yang diperlukan apabila kapasitas / kondisi sungai dan bangunan prasarana sungai telah
turun antara 30 % sampai dengan 70 % terhadap kapasitas semula.
 Rehabilitasi.
Pemeliharaan korektif yang diperlukan apabila kapasitas/ kondisi sungai dan bangunan prasarana sungai telah
turun melebihi 70 % terhadap kapasitas semula. Rehabilitasi dilaksanakan tanpa mengadakan perubahan
terhadap desain semula.
 Rektifikasi.

MK - 240
Pekerjaan seperti rehabilitasi namun pelaksanaan perbaikannya dilakukan dengan mengubah desain semula
(mengurangi/ menambah, mengganti jenis atau mengganti tipe bangunan), yang bertujuan untuk
meningkatkan fungsi dan kapasitas bangunan sungai tersebut.
3. Pemeliharaan Darurat,
Semua kegiatan pemeliharaan/ perbaikan sementara terhadap kerusakan- kerusakan yang tidak tercakup dalam
jenis pemeliharaan tersebut diatas, yang pada umummnya dilaksanakan sebelum perbaikan permanen dapat
dilaksanakan (misalnya perbaikan tanggul darurat dari karung pasir).
Kegiatan pemeliharaan aset sungai
Pada dasarnya kegiatan pemeliharaan dilakukan untuk menjaga agar sungai serta bangunan prasarana-nya dapat
berfungsi sesuai yang direncanakan dan memberikan pelayanan sesuai dengan umur yang diharapkan, dengan
kegiatan antara lain:
1. Pelestarian sumber air sungai,
Kegiatan ini merupakan kegiatan-kegiatan dalam upaya melestarikan sumber-sumber air, antara lain dengan
melakukan pengendalian erosi dan sedimen, dialur sungai maupun didaerah pengaliran sungai, serta
pengendalian polusi kualitas air.
2. Pemeliharaan badan sungai.
Kegiatan pemeliharaan alur sungai ditujukan untuk mempertahankan fungsi sungai, untuk mengalirkan air
rendah, maupun air tinggi/ banjir.
Kegiatan yang dilaksanakan meliputi:
Perbaikan alur sungai karena terjadinya gerusan tebing pada musim penghujan, degradasi dan agradasi sungsi,.
Pemeliharaan pelindung tebing sungai (turap, revetment, parapet-wall, krib-parapet), Pemeliharaan tanggul,
Pemeliharaan jalan inspeksi, Pemeliharaan sempadan sungai, Pemeliharaan bangunan fasilitas/ instrument
bangunan. Saluran drainase dan pintu air, Ground-sill, Intake dan rumah pompa, dan bangunan fasilitas lainnya.

3. METODOLOGI
Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah dengan melakukan studi kasus melalui tiga
kategori pendekatan yaitu wawancara, analisa dokumen dan pengamatan kondisi aset langsung di lapangan.
Pendekatan pertama melalui wawancara dengan pejabat diharapkan dapat menjawab identifikasi faktor yang
mempengaruhi pengelolaan aset beserta pelaksanaannya. Sedangkan pendekatan berupa analisa dokumen dan
berdasarkan pendekatan pengamatan langsung kondisi di lapangan diharapkan dapat mengusulkan perbaikan
pengelolaan aset kepada pemerintah di lingkungan Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo.

Data penelitian
Data yang didapatkan dari penelitian ini dikumpulkan langsung dari pengamatan di lapangan dan responden yang
berasal dari pejabat di lingkungan Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo dan para warga yang bertempat
tinggal di sekitar sungai pepe melalui wawancara. Data dibagi menjadi dua yaitu
1. Data Primer
Data yang berasal dari wawancara, kuisioner dan survey lapangan
2. Data Sekunder
Data sekunder dapat diperoleh dari beberapa literature dan jurnal penelitian yang berkaitan dengan infrastruktur
bangunan sungai dan manajemen pemeliharaan aset

Pengolahan data
Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini adalah :
1. Survai lapangan
Survai ini dimaksudkan untuk memperoleh data kondisi infrastruktur sungai secara langsung dengan melakukan
pengamatan, pengukuran, memeriksa dan meneliti bagian kerusakan dan membuat gambar kerusakan.
2. Menyebarkan kuisioner
3. Melakukan wawancara
4. Input data
5. Pengolahan data (metode analisa data)

MK - 241
4. HASIL PENELITIAN

Gambaran lokasi penelitian


Sungai pepe adalah sungai yang terletak di tengah kota Surakarta, Sungai pepe bagian hilir memiliki panjang lebih
kurang 5 km

Gambar 1. Lokasi Penelitian


Analisis manajemen pemeliharaan
Pelaksanaan sistem manajemen pemeliharaan dilakukan beberapa tahap yaitu pengumpulan informasi dan pelaporan
informasi.
Untuk pengumpulan informasi dilakukan melalui inspeksi langsung di lapangan dan beberapa tanggapan dari warga
tentang kerusakan atau keadaan darurat. Sedangkan mekanisme pelaporan yang berjalan mengacu pada laporan
pendukung (manual operasi dan pemeliharan) Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo tahun 2013 adalah
sebagai berikut
Apabila terjadi bencana alam/kerusakan berat pada sungai yang tidak dapat ditanggulangi oleh Petugas sungai/
penjaga pintu air, maka kerusakan tersebut harus segera dilaporkan kepada atasannya/ pemerintah, berikut usulan
perbaikannya, atas dasar laporan tersebut pemerintah mempertimbangkan langkah-langkah untuk
penanggulangannya baik darurat maupun berkala sesuai dengan prioritas dan anggaran yang tersedia, sementara itu
Mantri dan Penjaga pintu air segera melakukan perbaikan darurat sesuai dengan kemampuannya. Prosedur
pelaporan dapat dilihat pada bagan alir pelaporan seperti terlihat pada gambar 2.

Petugas Sungai / Penjaga Pintu

1 kecamatan 2 atau lebih kecamatan

Kepala Desa / Lurah Kepala Desa / Lurah

Satker PU Pengairan / Satlak PB


Kecamatan A Kecamatan B

Satker PU Pengairan / Satlak PB

Gambar 2. Prosedur Pelaporan Kerusakan Bangunan

MK - 242
Jalur penyampaian informasi dan instruksi dalam kegiatan pemantauan dan pengendalian banjir dapat dilihat pada
Gambar 3. Bagan Alir Pemberitaan & Pengendalian Banjir Wilayah Sungai Bengawan Solo.

Gambar 3. Bagan Alir Pemberitaan & Pengendalian Banjir Wilayah Sungai Bengawan Solo

Identifikasi kondisi bangunan infrastruktur Identifikasi kondisi bangunan infrastruktur sungai


(revetment)
sungai (revetment) khususnya pada sungai Pepe di Surakarta yang telah dilakukan pada penelitian ini dengan
melakukan survai langsung di sepanjang kali pepe, diperoleh hasil bahwa bangunan pelindung tebing (revetment)
tidak mengalami banyak kerusakan, beberapa kerusakan yang terjadi antara lain lepasnya pasangan batu, retakan
yang terjadi pada dinding bangunan, lepasnya plesteran yang disebabkan karena gerusan air. Apabila dimasukkan
dalam kategori kerusakan, aset bangunan infastruktur sungai (revetment) ini termasuk dalam kategori kerusakan
ringan dan tentunya dengan perbaikan ringan supaya aset ini bisa kembali pada fungsinya dan sesuai dengan
kinerjanya sebagai prasarana sungai.
Kegiatan identifikasi kondisi aset bangunan infrastruktur dengan beberapa contoh kondisi kerusakan yang terjadi di
sepanjang lebih kurang 5km hilir sungai pepe dapat dilihat pada tabel di bawah ini beserta perhitungan estimasi
biaya perbaikan.

MK - 243
Tabel 1. Kondisi Kerusakan Bangunan Revetment
No. Gambar Dimensi Kategori Pemeliharaan

1. Dimensi kerusakan bangunan dengan asumsi Pemeliharaan dengan


penampang segi empat perbaikan kecil/ringan
panjang: 30 cm
lebar : 30 cm
kedalaman retakan 15 cm
Volume 13500 cm3
Harga satuan pekerjaan per m3 pasangan batu 1:3
Rp.901.395
Biaya perbaikan Rp. 12.168

2. Dimensi kerusakan bangunan dengan asumsi Pemeliharaan dengan


penampang segi empat perbaikan kecil/ringan
panjang: 300 cm
lebar : 5 cm
kedalaman retakan 5 cm
Volume 7500 cm3
Harga satuan pekerjaan per m3 pasangan batu 1:3
Rp.901.395
Biaya perbaikan Rp. 6760

3. Dimensi kerusakan bangunan dengan asumsi Pemeliharaan dengan


penampang segi empat perbaikan kecil/ringan
panjang: 100 cm,
lebar : 60 cm
kedalaman 5 cm
Volume 30.000 cm3
Harga satuan pekerjaan per m3 pasangan batu 1:3
Rp.901.395
Biaya perbaikan Rp. 27.041

4. Dimensi kerusakan bangunan dengan asumsi Pemeliharaan dengan


penampang segi empat perbaikan kecil/ringan
panjang: 1000 cm,
lebar : 60 cm
kedalaman 5 cm
Volume 300.000 cm3
Kerusakan kecil terlepasnya plesteran sepanjang
1000cm di bagian bawah struktur jembatan

5. Dimensi kerusakan bangunan dengan asumsi Pemeliharaan dengan


penampang segi empat perbaikan kecil/ringan
panjang: 100 cm,
lebar : 30 cm
kedalaman 5 cm
Volume 15.000 cm3
Kerusakan kecil di bagian bawah struktur
jembatan

Dikarenakan identifikasi kondisi kerusakan bangunan hanya pada bangunan pelindung tebing (revetment) maka
pemeliharaan yang dilakukan hanya bersifat perbaikan kecil saja yang tidak dilakukan secara rutin, kondisi
bangunan pelindung tebing ini masih dalam kondisi kerusakan kurang dari 30 % dapat dilihat dari total volume

MK - 244
kerusakan yang hanya berkisar 700.000 cm3 membutuhkan biaya perbaikan yang sangat kecil. Hal inilah yang
menyebabkan pemeliharaan rutin bangunan pelindung tebing tidak rutin dilakukan karena kondisi lapangan yang
tidak mudah dijangkau, sehingga perbaikan hanya dilakukan apabila terjadi kerusakan yang mengakibatkan
bangunan tidak berfungsi semestinya.
Sedangkan kondisi kerusakan di bagian bawah struktur jembatan hanya kerusakan kecil yang tidak mempengaruhi
fungsi dari jembatan sendiri, sehingga hanya perbaikan kecil apabila jembatan akan dilakukan pemeliharaan.
Dengan kondisi kerusakan tersebut, pemeliharaan dapat dikategorikan kegiatan pemeliharaan preventif berupa
perbaikan kecil/ringan yaitu kegiatan perbaikan berskala kecil yang dibutuhkan untuk memperbaiki bangunan agar
kondisinya sesuai dengan kapasitas rencana yang disebabkan oleh kerusakan kecil.

Identifikasi pelaksanaan pengelolaan pemeliharaan aset bangunan infrastuktur sungai (revetment)


Secara garis besar pengumpulan informasi untuk mengidentifikasi bagaimana pelaksanaan pengelolaan
pemeliharaan aset bangunan infrastuktur sungai (revetment) dengan melakukan wawancara kepada staf pengelola
bagian pemeliharaan serta penyebaran kuisioner berdasarkan persepsi dan tanggapan warga tentang pengelolaan dan
pelaksanaan pemeliharaan aset bangunan infrastruktur sungai (revetment).
Mengidentifikasi pelaksanaan pengelolaan aset bangunan infrastuktur sungai (revetment) melalui wawancara dengan
staf bagian pemeliharaan diperoleh beberapa identifikasi pengelolaan pemeliharaan seperti di bawah ini
 Identifikasi pertama berupa kegiatan pemantauan keamanan sungai dan bangunan infrastuktur sungai
(revetment), kegiatan pemantauan termasuk salah satu kegiatan dalam pengelolaan aset dikarenakan kegiatan
ini dilakukan sebagai upaya perlindungan dan pencegahan terjadiya kerusakan aset infrastruktur sungai untuk
mempertahankan fungsi bangunan, Dari hasil wawancara dengan bagian pemeliharaan, kegiatan pemantauan
ini bukan merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh bagian pemeliharaan sehingga kegiatan ini hanya
dilakukan sesekali dengan kadar pemantauan yang tidak terlalu sering hanya bersifat kadang-kadang.
 Identifikasi yang kedua adalah kegiatan inventarisasi kerusakan dan pemeriksaan infrastruktur sungai
(revetment), kegiatan ini juga bukan merupakan kegiatan rutin yang dilakukan sehingga hampir tidak pernah
dilakukan penginvertarisasian kerusakan hanya pada saat kondisi kerusakan yang paling besar dan
membahayakan yang dapat terpantau kemudian segera dilakukan perbaikan.
 Identifikasi ketiga tentang kegiatan pemeliharaan, dimana kegiatan pemeliharaan dapat dibedakan menjadi
dua yaitu kegiatan pemeliharaan rutin dan kegiatan pemeliharaan berkala. Kegiatan pemeliharaan rutin adalah
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan jadwal rencana pelaksanaan dalam suatu waktu khusus
sedangkan kegiatan pemeliharaan berkala adalah kegiatan yang dikerjakan dari waktu ke waktu berdasarkan
pengamatan yang dibuat selama patroli rutin dan inspeksi rutin. Pemeliharaan khusus berupa rehabilitasi
dilakukan jika bangunan mempunyai kondisi nilai fungsi kerja dibawah 60%. Dari pengamatan kondisi nyata
di lapangan, karena kondisi bangunan masih mempunyai nilai fungsi di atas 80% maka belum ada perbaikan
kecil yang dilakukan.

Mengidentifikasi pelaksanaan pengelolaan aset bangunan infrastuktur sungai (revetment) berdasarkan persepsi dan
tanggapan warga melalui penyebaran kuisioner dari 30 orang responden yang bertempat tinggal di sepanjang sungai
yang menjadi lokasi penelitian. Seperti tersebut di bawah ini
 Tanggapan warga tentang kondisi aset infrastruktur sungai (revetment) di sepanjang sungai pepe dalam
kondisi yang baik, menurut warga bangunan tersebut belum pernah terjadi kerusakan besar yang dapat
menimbulkan masalah artinya kondisi daya tahan bangunan revetment dalam kondisi yang baik.
 Tanggapan warga untuk keadaan yang sangat darurat, menurut warga sudah terjadi penanganan yang cukup
baik dengan dibuktikan adanya pemeliharaan pada sungai bukan pada bangunan infrastruktunya yaitu
pengerukan sedimen dengan menggunakan alat berat, serta penanganan kerusakan revetment yang cepat
karena faktor kelalaian penggunaan alat berat.
 Tanggapan warga mengenai pemeliharaan rutin dan berkala, sebagian besar warga memberikan tanggapan
penanganan pemeliharaan yang kurang rutin, pemeliharaan hanya dilakukan secara berkala bukan pada
bangunan revetment tapi lebih kepada pemeliharaan aliran sungai yaitu pengerukan sedimen.
Dari beberapa identifikasi yang dilakukan berdasarkan wawancara dan penyebaran kuisioner dengan pihak terkait,
pengelolaan pemeliharaan aset infrastruktur (revetment) sudah dilakukan, melalui beberapa aspek pemeliharaan

MK - 245
bangunan namun belum maksimal dikarenakan kurangnya analisa kebutuhan aset yang mendesak sehingga
pengelolaan aset ini tidak bersifat rutin. Apabila terjadi keadaan darurat dan mengakibatkan kerusakan bangunan
sehingga menurunkan fungsi bangunan menjadi kurang dari 60% maka baru terjadi penanganan aset ini. Hal ini
diartikan bahwa jenis pemeliharaan yang dilakukan termasuk pada jenis pemeliharaan berkala atau bisa
dikategorikan sebagai emergency maintenance yang mana dikerjakan jika ada kerusakan yang harus segera
diperbaiki melebihi rencana yang ditetapkan misalnya terjadi retakan pada dinding revetment apakah hal ini
disebabkan oleh kesalahan penggunaan material yang menyebabkan material tersebut tidak tahan atau cepat rusak,
ataukah penyebab yang lain. Sedangkan untuk pemeliharaan darurat atau emergency maintenance, kegiatan
perbaikan darurat dapat dilaksanakan apabila diperlukan sekali seperti terjadinya longsor, banjir dsb, yang apabila
tidak segera ditangani akan berakibat fatal, seperti aliran air putus yang dapat mengancam kegagalan panen, setelah
perbaikan darurat perlu segera direncanakan perbaikan yang sifatnya permanen, kerusakannya antara lain tanggul
saluran putus, tanggul sungai putus, kerusakan bangunan prasarana sungai (manual OP,2012).

5. KESIMPULAN
Dari hasil survai dan analisis dapat disimpulkan beberapa hal yaitu bahwa prosentase kerusakan masih berada
dalam batas kerusakan ringan yaitu dibawah 30% sedangkan biaya pemeliharaan bervariasi dan cenderung hanya
merupakan biaya perbaikan yang kecil. Untuk melakukan pemeliharaan di sepanjang sungai juga dibutuhkan
peralatan komunikasi dan transportasi yang lengkap dikarenakan lokasi yang tidak mudah dijangkau. Sedangkan
sistem pengelolaan pemeliharaan aset pada studi kasus penelitian ini sudah terkoordinasi dengan cukup baik.
Dengan dijelaskan melalui prosedur pelaporan informasi kepada pihak yang berwenang yang terstruktur dan
informatif.
Namun demikian laporan pekerjaan pemeliharaan yang dilakukan dapat menggunakan sebuah sistem informasi
pemeliharaan aset yang baku kemudian hasil atau outputnya menjadi sebuah laporan pemeliharaan dan nantinya
dapat menjadi data history pekerjaan pemeliharaan sebelumnya untuk dijadikan dasar pekerjaan pemeliharaan pada
periode yang selanjutnya. Sehingga kerusakan yang terjadi (sebagian besar masih dalam kondisi yang wajar) dapat
diminimalisasikan dan bangunan dapat berfungsi dengan maksimal
Dengan penilitian ini diharapkan nantinya menjadi dasar untuk mengembangkan kerangka pengelolaan
pemeliharaan aset. Kerangka ini dikembangkan untuk memberikan dasar bagi pemerintah dalam mengembangkan
pengelolaan pemeliharaan aset yang terpadu

DAFTAR PUSTAKA
Kushendarto, D.D. (2016), “Studi Mengenai Pemeliharaan Bangunan Revetment Sungai Pepe di Surakarta”,
Yogyakarta, Teknik Sipil Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
PT. Satyakarsa Mudatama. (2013), “Laporan Pendukung, Manual Operasi dan Pemeliharaan Sungai SID dan DD
Bengawan Solo Hulu (Jurug-Mungkung)”, Surakarta, Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo.
Setiawan, T.H dan Pusphita,S.D. (2012), “Manajemen Pemeliharaan Pusat Belanja Dengan Studi Kasus
Cihampelas Walk Bandung”, Jurnal Teknik Sipil Volume 8 Nomor 2, Bandung, Oktober 2012 : 76-141.

MK - 246
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

ANALISIS INDIKATOR KEPUASAN PROYEK KONSTRUKSI BANGUNAN


TERHADAP KINERJA BIAYA, MUTU DAN WAKTU

Manlian Ronald A. Simanjuntak1 dan Andreas Kruniawan Djukardi2

1
Program Studi Magister Teknik Sipil, Universitas Pelita Harapan
Email: manlian.adventus@uph.edu
2
Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara
Email: andreas.djukardi@uph.edu

ABSTRAK
Akses kepada 300 juta jumlah penduduk serta perkembangan perumbuhan ekonomi Indonesia
berada pada posisi di atas 5% pada kuartal kedua tahun 2016 merupakan daya tarik investasi yang
besar pada bidang pembangunan terutama pada pembangunan infrastruktur. Pemerintahan juga
sedang melakukan fokus pengembangan pembangunan proyek-proyek konstruksi infrastruktur,
dimana pada tahun 2015 yang merupakan tahun peletakan pondasi pembangunan dan pada tahun
2016 merupakan tahun percepatan pembangunan. Keseriusan ini terlihat dengan nilai pasar jasa
kontruksi sebesar USD 271 miliar yang merupakan pasar jasa konstruksi peringkat 4 di Asia.
Besarnya nilai investasi jasa konstruksi ini belum disertai dengan peraturan yang memadai dari sisi
pemberi tugas, dimana pada proyek infrastruktur ini adalah Pemerintah, sehingga sulit untuk
mendapatkan gambaran yang cepat mengenai tingkat keberhasilan suatu proyek konstruksi
bangunan. Penelitian ini selanjutnya akan menyelesaikan permasalahan penelitian, yaitu: mengkaji
potret penyelenggaraan proyek konstruksi di Indonesia pada saat ini, mengkaji indikator kepuasan
penyelenggaraan proyek konstruksi bangunan (infrastruktur) di Indonesia, dan menganalisis
bagaimana peran indikator kepuasan penyelenggaraan proyek konstruksi bangunan (infrastruktur)
dalam rangka mendukung pembangunan konstruksi secara menyeluruh di Indonesia. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan argumentasi tentang dentifikasi indikator Kepuasan
Proyek Konstruksi Bangunan terhadap Kinerja Biaya, Mutu dan Waktu di Indonesia. Sehingga
indikator ini dapat dipakai untuk mendukung pembangunan konstruksi secara menyeluruh di
Indonesia.
Kata Kunci: indikator kepuasan, bangunan, kinerja, biaya, waktu, mutu

1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang sangat menarik untuk melakukan investasi dalam bidang-bidang konstruksi,
terutama dengan akses terhadap 300 juta jumlah penduduk yang memiliki perekonomian Indonesia pada triwulan
pertama tahun 2016 tumbuh 4,91%. Bahkan dalam Triwulan kedua tahun ini, pertumbuhan ekonomi nasional naik
menjadi 5,18% yang merupakan pertumbuhan ekonomi yang tertinggi di Asia. Hal ini menunjukkan kemampuan
Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi yang terbesar di ASEAN dan Asia secara luas. Namun pertumbuhan
yang tinggi dalam hal perekonomian ini tidak diikuti oleh pertumbuhan yang tinggi juga dalam bidang
pembangunan konstruksi, terutama pada proyek-proyek infrastruktur. Ini menyebabkan daya tarik yang kuat untuk
mengembangkan proyek-proyek konstruksi tersebut. Indonesia saat ini juga tercatat sebagai pasar jasa konstruksi
terbesar dengan nilai $ US 267 miliar, dimana untuk cakupan wilayah Asia, Indonesia termasuk dalam peringkat
keempat di bawah China ($ US 1,78 Triliun), Jepang ($ US 742 Milyar), India ($ US 427 Milyar).
Sejalan dengan rencana program Pemerintah Indonesia dimana pada tahun 2015 merupakan tahun peletakan pondasi
pembangunan dan tahun 2016 merupakan tahun percepatan pembangunan, pemerintah juga telah menetapkan
pembangunan infrastruktur di seluruh pelosok Tanah Air khususnya di desa-desa, di daerah-daerah pinggiran dan
wilayah perbatasan guna memperkuat konektivitas nasional. Pemerintah sendiri telah menyediakan berbagai macam
kemudahan untuk iklim investasi dalam proyek-proyek konstruksi baik melalui kerjasama swasta dan pemerintah,
maupun swasta dengan swasta, sehingga proyek-proyek konstruksi masih merupakan fokus utama dari pemerintah
Indonesia. Fokus ini terlihat dengan Peraturan Presiden (PP) No.67 tahun 2005 mengenai Kerjasama antara
Pemerintah dan Sektor Swasta untuk Provinsi pada bidang infrastruktur yang kemudian dilakukan Amandemen
dengan PP No. 13/2010, PP No. 56/2011 dan PP N0. 66/2013.
Tahun 2016 yang dicanangkan sebagai tahun percepatan pembangunan juga masih akan fokus pada infrastruktur,
namun hal ini mengandung risiko. Dengan tingkat investasi yang cukup tinggi, proyek-proyek konstruksi

MK - 247
diharapkan mempunyai suatu cara untuk mengukur tingkat kesuksesan dari suatu proyek. Hal ini sangat diperlukan
khususnya untuk pemberi tugas agar terus dapat memantau kemajuan dari suatu proyek sehingga tindakan perbaikan
ataupun pencegahan dapat diketahui dan dilakukan lebih dini. Kesuksesan penyelenggaraan proyek konstruksi
secara khusus proyek infrastruktur dapat diukur dari kepuasan para pihak baik pemberi tugas maupun penerima
tugas dalam proses penyelenggaraan konstruksi.
Sehubungan dengan pengukuran tingkat kesuksesaan suatu proyek didapatkan melalui kepuasan dari pelanggan
dalam hal ini adalah pemberi tugas, maka penelitian ini akan menekankan secara khusus berbagai indikator terpilih
dari berbagai hasil penelitian yang relevan dan berbagai referensi, yang kemudian akan menjadi rekomendasi yang
strategis. Dalam rangka percepatan pembangunan selanjutnya akan diperlukan suatu alat kendali/kontrol yang dapat
melihat secara tepat dan cepat tingkat dari kepuasan para pihak secara khusus pemberi tugas dari sebuah proyek.
Untuk dapat mengukur hal ini secara cepat dan tepat, maka diperlukan suatu penelitian yang yang dapat
memberikan kontribusi strategis dalam menyukseskan proses pembangunan Indonesia di masa depan.
Penelitian ini selanjutnya akan menyelesaikan beberapa permasalahan penting, yaitu:
1. Bagaimana potret penyelenggaraan proyek konstruksi di Indonesia pada saat ini?
2. Apa saja indikator kepuasan penyelenggaraan proyek konstruksi bangunan (infrastruktur) di Indonesia?
3. Bagaimana peran indikator kepuasan penyelenggaraan proyek konstruksi bangunan (infrastruktur) dalam
mendukung pembangunan konstruksi secara menyeluruh di Indonesia?

2. OPTIMASI MODEL OPERASIONAL PENELITIAN


Gambar 1 di bawah ini menggambarkan Optimasi Model Operasional Penelitian sebagai Kerangka Berfikir dalam
penelitian ini.

Analysis
Modelling Process System

· Recommendations
Variable Variable · Model
X Y · Improvement
· Decisions

Issue Research
· Cases Problems
· Background Analysis
· Relevant Research · Modelling
Findings · Optimization
Optimation Process
Gambar 1. Bagan Pola Pikir Optimasi Model Operasional Penelitian

Teknik pemilihan metode Optimasi dalam penilisan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan studi literatur,
pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang dikuantitatifkan. Pendekatan kajian pustaka atau studi literatur
mempunyai derajat pemenuhan dari persyaratan-persyaratan dari teori dan penelitian terdahulu yang pernah di
akukan serta opini-opini dari pakar. Research positioning penelitian ini ada dalam tahap mengidentifikasi dan
mengkaji variabel penelitian sebagai awal pembentuk model penelitian.

3. KAJIAN PUSTAKA
Program Pembangunan Pemerintah RI
Program pembangunan Pemerintah Republik Indonesia ini dapat terlihat dengan jelas pada Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 yang dikeluarkan oleh Kementrian Koordinator Bidang
Perekonomian bersama dengan Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional. Dalam program ini pemerintah sangat mempertimbangkan potensi serta keunggulan dan
tantangan-tantangan yang dihadapi dalam mempercepat serta memperluas pembangunan ekonomi untuk menuju
negara maju dan masyarakat sejahtera untuk dapat meningkatkan daya saing secara global.
Dengan adanya masterplan ini diharapkan fokus serta jalan menuju Indonesia masuk sebagai 10 (sepuluh) negara
besar di dunia pada tahun 2025, dapat lebih terarah dan pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 7-9% pertahun.

MK - 248
Dalam rencana pelaksanaannya, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi ini dibagi dalam 8 program utama
yang terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama. Strategi pelaksanaannya dengan integrase dari 3 elemen pilar utama:
1. Mengembangkan potensi ekonomi di wilayah 6 Koridor Ekonomi Indonesia; Sumatra, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Papua-Kepulauan Maluku.
2. Memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara nasional namun terhubung secara global.
3. Memperkuat sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan secara nasional untuk mendukung
pengembangan ekonomi secara nasional

Gambar 2. Gambar Prosentase Setiap Koridor Terhadap Keseluruhan Investasi


Mencermati program pemerintah dalam Masterplan ini, terlihat bahwa pada setiap pilar baik Pengembangan Potensi
Ekonomi, Perkuatan Konektivitas, Perkuatan SDM & IPTEK; pembangunan infrastruktur berupa konstruksi dari
fasilitas pendukung seperti jalan, pelabuhan, bandar udara, dan energi memainkan peranan yang sangat penting
untuk mendukung ketiga pilar tersebut. Investasi yang diperlukan untuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur
ini juga terlihat sangat besar sekali, kurang lebih 1.550 (seribu lima ratus lima puluh) Triliun rupiah yang
mempunyai rentang waktu dari tahun 2011 sampai tahun 2025.
Kondisi Eksisting Penyelenggaraan Proyek Bangunan di Indonesia
Kondisi eksisting penyelengaraan proyek bangunan di Indonesia tersirat dalam pidato Kenegaraan Presiden di depan
MPR serta DPR dalam memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 71. Dinyatakan bahwa pada tahun 2016
yang merupakan tahun percepatan ini, Pemerintah akan melakukan fokus pada tiga langkah terobosan dalam
mengatasi pengentasan kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan kesenjangan sosial. Ketiga langkah itu adalah:
percepatan pembangunan infrastruktur. penyiapan kapasitas produktif dan Sumber Daya Manusia. deregulasi dan
debirokratisasi.
Mencermati fokus 1 yakni percepatan pembangunan infrastruktur, hal ini akan lebih merata di seluruh Tanah Air
untuk memperkuat konektivitas antar wilayah dan memperkecil ketimpangan dan kesenjangan sosial. Akselerasi
pembangunan infrastruktur logistik meliputi jalan, pelabuhan, bandara, dan rel kereta api. Sedangkan akselerasi
pembangunan infrastruktur strategis mencakup pembangkit listrik, telekomunikasi, irigasi, dan perumahan
rakyat.Dinyatakan juga bahwa dalam dua tahun terakhir, Pemerintah telah mempercepat pembangunan jalan
nasional sepanjang 2.225 km, jalan tol sepanjang 132 km, dan jembatan sepanjang 16.246 m, atau sebanyak 160
jembatan. Pada tahun 2016 target pembangunan jalan nasional sepanjang 703 km dan jembatan sepanjang lebih dari
8.452 m. Pembangunan kereta api tidak hanya dilakukan di Pulau Jawa, tetapi juga di Pulau Sumatra, Kalimantan,
dan Sulawesi. Sampai sekarang jalur kereta api yang beroperasi telah mencapai sepanjang 5.200 Kilometer Spoor
(Km’sp). Di tahun 2015, 179,33 Km’sp telah selesai dibangun dan 271,5 Km’sp sedang dalam proses pembangunan.
Selain itu juga sedang dibangun kereta untuk transportasi perkotaan seperti Mass Rapid Transportation (MRT),
Light Rail Train (LRT), serta commuter line. Untuk program Tol Laut, Pemerintah telah menetapkan 24 pelabuhan
sebagai Simpul Jalur Tol Laut. Sebagai pendukung, turut dibangun 47 pelabuhan non-komersiil dan 41 pelabuhan
sedang dalam proses pembangunan. Target pemerintah adalah sudah terbangun 100 pelabuhan pada tahun 2019. Ini

MK - 249
untuk mewujudkan gagasan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Pembangunan dan pengembangan bandar
udara juga mengalami percepatan sebagai wujud pembangunan Jembatan Udara. Di tahun 2016, Sembilan bandar
udara telah dikembangkan sehingga memiliki standar yang lebih tinggi, dan enam bandar udara telah resmi dibuka
pada tahun 2016. Perihal penyediaan listrik, program 35.000 MW terus dipacu. Program 35.000 MW dipastikan
program ini terlaksana dengan lancar dan dapat mencapai target rasio elektrifikasi 100 persen di tahun 2019.
Indonesia akan bebas dari pemadaman listrik sehingga usaha kecil dan industri rumah tangga dapat berjalan lancar
dan anak-anak dapat belajar di malam hari dengan penerangan lampu listrik yang memadai. Selain itu juga
dilakukan percepatan pembangunan waduk dan embung untuk memperkuat program Ketahanan Air. Pada tahun
2016 ini, dilakukan percepatan penyelesaian 22 waduk yang sedang dibangun, 8 waduk baru, 387 embung/situ baru,
dan rehabilitasi 71 embung/situ.
Terlihat di sini bahwa memang pemerintah sangat serius dalam terus menerus mengejar pembangunan infrastruktur
untuk menuju Indonesia sebagai negara yang maju dengan konektivitas yang tinggi antar daerah. Hal ini memang
sangat diperlukan untuk kemajuan negara dimana apabila diperbandingkan dengan negara Korea Selatan yang
memiliki umur yang sama 71 tahun, merdeka di tahun 1945, namun hampir semua daerah terhubung dengan jalan
bebas hambatan, jembatan, terowongan bahkan jalur kereta api pun sudah sangat mumpuni.
Penyelenggaraan Proyek Konstruksi Bangunan
Dalam penyelenggaraan Proyek Konstruksi di Indonesia, Pemerintah dalam hal ini menyiapkan berbagai perangkat
peraturan yang mengatur jasa konstruksi, regulasi tersebut adalah: Undang Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang
Jasa Konstruksi, Keputusan Presiden RI No. 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah Berikut Perubahannya, Keputusan Menteri Kimpraswil No. 339/KPTS/M/2003 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi Oleh Instansi Pemerintah, Surat Edaran Menteri PU No. 08/SE/M/2006
Perihal Pengadaan Jasa Konstruksi Untuk Instansi Pemerintah Tahun Anggaran 2006, Peraturan Menteri PU No.
50/PRT/1991 Tentang Perizinan Perwakilan Perusahaan Jasa Konstruksi Asing, Keputusan Menteri Kimpraswil No.
257/KPTS/M/2004 Tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi (1 Set = 7 Buku), Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. 601/476/SJ Perihal Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Di Daerah, Surat Edaran Menteri
PU No. IK.01.06-MN/467 Perihal Pemberlakuan Sertifikat Badan Usaha Dalam Proses Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah T.A.2007, Keputusan Menteri PU No. 69/KPTS/M/2001 / 10 Juli 2001 Pedoman Pemberian Izin Usaha
Jasa Konstruksi Nasional, Keputusan Menteri PU No. 339/KPTS/M/2003 / 31 Desember 2003 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi Oleh Instansi Pemerintah, Keputusan Menteri PU No. 257/KPTS/M/2004 /
29 April 2004 Tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi, Keputusan Menteri PU No.
349/KPTS/M/2004/23 September 2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kontrak Jasa Pelaksanaan Konstruksi
(Pemborongan), Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per. 05/Men/1996 Tentang Sistem Manajemen
Keselamatan Dan Kesehatan Kerja, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor : 262/SE/KK/2009 Tentang Tata
Cara Penyampaian Sanggahan, Sanggahan Banding, Dan Pengaduan, Surat Edaran Menteri PU Nomor :
272/SE/KK/2009 Tentang Tata Cara Pemberian Sangsi Bagi Penyedia Jasa, Peraturan Menteri PU Nomor :
04/PRT/M/2011 Tentang Pedoman Persyaratan Pemberian Ijin Usaha Jasa Konstruksi Nasional, Peraturan Menteri
PU Nomor : 05/PRT/M/2011 Tentang Pedoman Persyaratan Pemberian Ijin Perwakilan Badan Usaha Jasa
Konstruksi Asing
Keberlanjutan Proyek/Project ustainability
Dalam beberapa dekade ini, isu-isu mengenai keberlanjutan atau yang lebih dikenal dengan Sustainability dalam
suatu proyek baik yang merupakan konstruksi gedung maupun konstruksi bangunan sudah merupakan pertimbangan
wajib bagi semua stakeholder yang terlibat. Hal-hal mengenai polusi dari tanah, air dan udara sudah merupakan
kewajiban dari suatu proyek untuk dipertimbangkan sebagai risk yang harus diatasi. Ditambah juga dengan
biodiversity, perubahan tata guna lahan, perlindungan lingkungan dan spesies binatang tertentu sudah menjadi check
list yang tak terpisahkan dari suatu proyek.
Pemerintahpun sudah mengatur hal ini melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 86 Tahun
2002 Tentang: Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup Dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Hidup, pada Pasal 1 ayat (1) Upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup
(UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).
Lebih jauh secara global internasional kepedulian dari stakeholeder terhadap lingkungan telah lebih dahulu disadari
dan sudah menjadi kebudayaan untuk selalu peduli melalui tanggung jawab social dalam suatu organisasi.
International Organization for Standardization (ISO) bahkan telah mengeluarkan ISO 26000 mengenai Social
Responsibility Standard, dimana pelaku usaha yang menerapkan ISO 26000 bentuk tanggung jawab pada
lingkungan sosial, sehingga sebagai hasil dari ini para pelaku usaha akan bertahan terhadap keberlanjutan usaha-

MK - 250
usahanya. Hal ini tentunya adalah kebutuhan yang lebih jauh lagi dari ISO 14001 yang mempunyai focus untuk
sistim manajemen lingkungan.
Manajemen Proyek
Manajemen dapat diartikan sebagai ilmu tentang mengelola organisasi yang terdiri dari kegiatan-kegiatan:
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan perbaikan berkelanjutan terhadap sumber-sumber daya yang terbatas
dalam usaha mencapai tujuan atau sasaran yang efektif dan efisien. Menurut PMBOK Guide – Fifth Edition: A
Guide to the Project Management Body of Knowledge proyek adalah: “A project is a temporary endeavor
undertaken to create a unigue product, service, or result.” yang dapat diartikan sebagai sesuatu usaha sementara
untuk menciptakan suatu produk, jasa ataupun hasil tertentu.
PMBOK Guide – Fifth Edition: A Guide to the Project Management Body of Knowledge, menyatakan bahwa
manajemen proyek adalah: “Project management is the application of knowledge, skills, tools, and techniques to
project activities to meet the project requirements.” Pernyataan ini dapat diartikan bahwa manajemen proyek adalah
aplikasi dari pengetahuan, keterampilan, alat pendukung serta teknik dalam aktivitas-aktivitas suatu proyek untuk
memenuhi kriteria proyek tersebut. Seperti juga dalam manajemen pada umumnya, manajemen proyek juga
mempunyai proses-proses yang dilakukan dalam melaksanakan menejemen proyek. Proses-proses ini adalah:
Inisiasi / Initiation, Perencanaan/Planning, Pelaksanaan/Execution, Monitoring dan Pengendalian/Monitoring and
Controlling, serta Penutup/Closing.
Manajemen Proyek dalam hal ini juga tetap harus diperhatikan dalam mengelola: identifikasi kebutuhan-kebutuhan
yang diperlukan; identifikasi kebutuhan, kepentingan dan ekspektasi dari stakeholder dalam perencanaan serta
selama pelaksanaan dari proyek; menginisiasi, melaksanakan serta terus menindaklanjuti komunikasi antar
stakeholder secara aktif, efektif dan dalam natur yang kolaboratif; menjaga kepentingan para stakeholder melalui
pertemuan-pertemuan mengenai kepentingan stakeholder dan membuat target-target capaian; menjaga
keseimbangan dari constraints yang ada dalam proyek seperti Ruang Lingkup Pekerjaan, Kualitas, Penjadwalan,
Sumber Dana, Sumber Daya Lain dan Resiko.
Kinerja Proyek
Peter F Kaming dalam penelitiannya, menjelaskan bahwa kinerja proyek adalah serangkaian kegiatan yang diukur
pada proses keluarannya. Selanjutnya kinerja proyek menurut Dozzi (1993), kinerja dapat diartikan rasio dari input
terhadap output, dimana input disini dapat diasosiasikan dengan sumber daya dan output adalah keluaran yang
menghasilkan nilai ekonomis.
Sunil Manjeri pada tahun 2011, dalam artikelnya menuliskan bahwa kinerja pada industry konstruksi dapat diartikan
efisiensi dalam organisasi atau individu. Nilai ekonomis diukur dari keluaran yang dihasilkan oleh material,
peralatan serta usaha dari buruh dalam menghasilkan suatu produk. Selanjutnya Sunil (2011) mengidentifikasi
bahwa kinerja dari proyek konstruksi lebih banyak dipengaruhi oleh produktivitas dari kerja buruh.
Indikator pengukuran kepuasan proyek
Nick & Paul Hague menjelaskan bahwa indikator pengukuran kepuasan proyek yang dilakukan melalui beberapa
kuesioner dapat di kategorikan pada beberapa hal seperti Tabel 1.

4. METODOLOGI PENELITIAN
Proses Penelitian
Proses penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan kajian pustaka. Kajian pustaka berisi uraian
sistematis tentang hasil penelitian terdahulu (prior research) tentang persoalan yang akan dikaji. Peneliti
mengemukakan dan menunjukkan dengan tegas bahwa masalah yang akan dibahas belum pernah diteliti
sebelumnya atau perlu pengembangan lebih lanjut. Dan menjelaskan hubungan antara penelitian tersebut dengan
penelitian sebelumnya, juga menjelaskan uraian teori penelitian sebelumnya, kemudian menjelaskan perbedaan dan
kontribusi penelitiannya, sehingga pembaca mengetahui perkembangan penelitian tersebut. Kajian pustaka bukanlah
suatu kumpulan fakta dan perasaan tapi merupakan argumentasi runtut yang mengarah kepada penjelasan usulan
penelitian. Dengan demikian kajian pustaka pada penelitian ini merupakan proses yang dipilih sebagai proses pada
penelitian ini.

MK - 251
Tabel 1. Indikator pengukuran kepuasan proyek (Nick & Paul)

Produk  Kualitas dari produk yang dihasilkan


 Umur dari produk
 Desain dari produk
 Konsistensi dari kualitas produk yang dihasilkan
 Kemampuan untuk menghasilkan variasi produk
 Kemampuan produk untuk memeberikan nilai tambah pada kegunaannya
Delivery  Kemampuan untuk menyelesaikan sesuai tenggat waktu
 Kecepatan dalam delivery
Sumber Daya  Pelayanan yang diberikan oleh SDM proyek
Manusia  Keberadaan perwakilan perusahaan on-site
 Tingkat pengetahuan dari perwakilan perusahaan
 Tingkat kepercayaan dalam follow up komunikasi
 Friendliness dari SDM proyek
 Resolusi kesesuaian dari produk
 Tingkat responsive dalam menindaklanjuti permintaan
 Tingkat layanan setelah penyelesaian
 Kemampuan teknikal dari SDM
Perusahaan  Reputasi perushaan
 Kemudahanan dalam bekerja sama
 Kejelasan dalam penagihan
 Ketepatan waktu dalam penagihan
Biaya  Kewajaran biaya
 Penggunaan biaya secara total
 Kesusaian biaya dengan produk yang dihasilkan

• Rasio proyek terselesaikan sesuai rencana


• Rasio kesesuaian pembagian beban kerja
Kepuasan
• Rasio peningkatan dan pemanfaatan infrastruktur jalan
stakeholder
• Rasio kelancaran pelaksanaan pekerjaan
• Rasio kelancaran pembayaran pekerjaan

• Rasio perubahan perencanaan pekerjaan (amandemen)


• Rasio tambahan pendapatan beban kerja
Strategi
• Rasio terjadinya konflik dengan masyarakat
• Rasio pekerjaan ulang/ perbaikan kembali
• Rasio kelengkapan administrasi pencairan

• Rasio ketersediaan ahli perencanaan dan teknis lapangan


• Rata-rata tingkat kedisiplinan pegawai
Kinerja Proses • Adanya keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan
Proyek
• Rasio pengujian spesifikasi bahan konstruksi
• Adanya prosedur pencairan yang jelas
• Rasio pelaksanaan pelatihan peningkatan kapasitas aparatur

• Rasio pelaksanaan pelatihan peningkatan kapasitas aparatur


Kapabilitas • Rasio ketersediaan fasilitas kantor
• Adanya wakil masyarakat (ksm
• Rasio kontraktor/ konsultan bersertifikat ahli
• Rasio ketersediaan tenaga keuangan proyek

• Pembangunan sesuai yang dibutuhkan masyarakat


Kontributsi • Rasio kelengkapan administrasi dan laporan data proyek
stakeholder • Rasio kelengkapan persyaratan usulan masyarakat
• Rasio kualitas barang sesuai spesifikasi
• Rasio penyerapan anggaran pembangunan

Gambar 3. Indikator Kinerja Proyek

MK - 252
Kajian Pustaka adalah pengkajian kembali literatur-literatur yang terkait (review of related literature). Sesuai
dengan arti tersebut kajian pustaka berfungsi sebagai pengkajian kembali (review) pustaka (laporan penelitian dan
sebagainya) tentang masalah yang berkaitan, tidak selalu tepat identik dengan bidang permasalahan yang dihadapi,
tetapi termasuk pula yang seiring dan berkaitan. Dalam kajian pustaka dimuat uraian sistematis tentang hasil
penelitian terdahulu yang mempunyai relevansi terhadap penelitian yang diteliti. Dalam paparan tersebut
hendaknya ditunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan belum menyentuh aspek yang telah dilakukan oleh
peneliti sebelumnya. Penelitian ini menjelaskan bahwa peneliti belum memperoleh hasil yang memuaskan dari
penelitian-penelitian terdahulu sehingga diperlukan penelitian lanjutan. Kajian pustaka diperlukan untuk
memberikan pemantapan dan penegasan tentang ciri-khas penelitian yang hendak dikerjakan. Ciri khas penelitian ini
tampak dengan menunjukkan buku-buku, artikel, skripsi, tesis hingga disertasi yang ditelaah belum atau tidak
menjawab persoalan yang diajukan oleh peneliti.
Instrumen Penelitian
Data primer penelitian ini berasal dari kajian berbagai hasil penelitian yang relevan, yang merupakan opini pakar
dan hasil kajian penelitian, yang kemudian dibahas dan dianalisis secara kualitatif. Data Sekunder. Data sekunder
penelitian ini berasal dari berbagai pustaka dan referensi yang terkait. Selain itu, data sekunder dalam penelitian ini
juga berasal dari berbagai peraturan dan standar dalam bidang konstruksi yang relevan sebagai materi pembahasan.
Responden Penelitian
Dalam merumuskan model pertanyaan yang akan dijadikan acuan untuk pengukuran akan menggunakan survei
kepada para ahli yang terlibat pada proyek-proyek konstruksi bangunan. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk
memperoleh dasar pemikiran mengenai kepuasan para ahli berdasarkan factor-faktor pengalaman yang dimiliki oleh
para ahli yang mengacu kepada pengalaman yang sudah lampau
Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif dari berbagai hasil kajian komparatif hasil
penelitian yang relevan. Hasil penelitian yang relevan yang telah menggunakan metode penelitian kuantitatif dan
kualitatif, akan menjadi acuan penelitian ini
· Pendekatan Penelitian.
Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif dari berbagai hasil kajian komparatif
hasil penelitian yang relevan. Hasil penelitian yang relevan yang telah menggunakan metode penelitian
kuantitatif dan kualitatif, akan menjadi acuan penelitian ini.
· Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pada tahap ini dengan berbagai kajian komparatif dari sumber-sumber pustaka, maka akan dilakukan
analisis untuk mendapatkan model diskriptif komparatif tentang indikator-indikator apa saja yang ada
untuk mengukur kepuasan Proyek Konstruksi Bangunan Terhadap Kinerja Biaya, Mutu dan Waktu. Data
yang didapat dari studi komparatif ini kemudian akan digunakan sebagai acuan metode survei yang akan
mendapatkan penilaian pakar yang terlibat dalam konstruksi bangunan di Indonesia. Setelah data
didapatkan akan dilakukan pengaolahan data secara kuantitatif yang akan kembali dilakukan studi
komparasi terhadap beberapa penelitian yang relevan. Hasil penelitian diharapkan merupakan suatu skala
penilaian yang komprehensif dalam mengukur tingkat keberhasilan suatu proyek dengan melakukan
penilaian terhadap kepuasan dari ahli/pakar yang merupakan representasi atau bahkan pemilik proyek
konstruksi bangunan tersebut.
Proses Penelitian
Proses penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Gambar 4.

MK - 253
Gambar 4. Proses Penelitian

5. ANALISIS & PEMBAHASAN


Potret kondisi penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi bangunan atau proyek infrastruktur di Indonesia sejalan
dengan rencana pemerintah untuk mencapai 10 negara besar didunia dengan pertumbuhan ekonomi 7%-9%
pertahun. Hal ini akan tercapai dengan direncanakan pelaksanaannya percepatan dan perluasan pembangunan
ekonomi ini dibagi dalam 8 program utama yang terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama. Strategi pelaksanaannya
dengan integrase dari 3 elemen pilar utama:
1. Mengembangkan potensi ekonomi di wilayah 6 Koridor Ekonomi Indonesia; Sumatra, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Papua-Kepulauan Maluku.
2. Memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara nasional namun terhubung secara global.
3. Memperkuat sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan secara nasional untuk mendukung
pengembangan ekonomi secara nasional

Dengan nilai investasi yang diperlukan untuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur ini juga terlihat sangat
besar sekali, mencapai 1.550 (seribu limaratus lima puluh) Triliun rupiah yang mempunyai rentang waktu dari tahun
2011 sampai tahun 2025.
Indikator-indikator kepuasan yang mempunyai pengaruh atas opini akhir dari sebuah proyek konstruksi bangunan
dapat dikategorikan sebagai berikut;

MK - 254
Tabel 4. Indikator kepuasan

Project Life-cycle Business


Strategic Focus KPI
Phase Perspective
Cost Predictability Cost predictability
Time Predictability Time predictability
Quality Predictability Specifications feasibility / buildability
Internal Quality Management Plan
Business Quality Assurance
Initiation &
Procurement stage Health & Safety Planning Health & safety management plan
Organizational & Internal Project management plan
Management Capability Estimation Human capital
Information capital
Contractual management plan

Partnership & Supplier Outsourcing Prospective partners & suppliers


Planning engagement
Risk Management Strategic Project deliverables risk management plan
Planning Project resources risk management plan
Project organizational risk management
plan
Society & Environmental Strategic Society impact analysis
Planning
Environmental impact analysis
Environmental certification
Customer Customer Business Relationship Client acquisition & branding
Client engagement
Business Financial Capabilities &
Financial Business Financial Stability
Prospects
Innovation & Process Improvement & Innovation
Process Improvement plan and objectives
Learning Analysis
Organizational Learning Strategy Organizational learning plan
Cost-in-use
Project
Construction Internal Cost Control Cost productivity & efficiency
Stage Business Cost of resources
Cost deviation for change orders
Cost accrued to defects
Cost of sub-contractors services

Legal claims

Project Life-cycle Business


Strategic Focus KPI
Phase Perspective
Project Internal Time for construction
Construction Business Time Management Time productivity & efficiency
Stage Time for resources allocation and
mobilitation
Time deviation for change orders
Time taken to rectify work defects
Time attributed for legal claims and work

MK - 255
stoppages
Quality Management System Quality Assurance
Quality Control
Health & Safety Conduct Health & Safety Conduct
Organizational & Internal Manpower attitude, efficiency and
Management Conduct effectiveness
Manpower attitude, efficiency and
Organizational & Internal effectiveness
Management Conduct Organizational leadership
Organizational teamwork
Organizational coherence and commitment
amongst project participants
Organizational & Internal Information operational systems and
Management Conduct management
Contractual management
Partnership & Supplier Values Joint Operation performance
Partnership & Supplier Values Sub-contractor performance
Supplier performance
Risk Management Risk Control
Society & Environmental Society engagement control
Management
Environmental impacts control
Customer cost satisfaction
Customer's Satisfaction
Customer Customer time satisfaction
Customer quality satisfaction
Customer's confidence
Customer's Commitment to Project Customer's financial commitment
Completion
Customer's respondence to project issues
Project Life-cycle Business
Strategic Focus KPI
Phase Perspective
Customer Customer's Working Relationship Customer's project information updates
Project Customer's working relationship
Construction Operational Financial Stability & Project financial stability
Financial
Stage Profitability
Project financial profitability
Employee's motivation, rewards and
Employee's Satisfaction recognition
Innovation &
Learning Condusive working environment
Employee's view of top management
Knowledge and organizational learning
Intellectual Capital Management management
Innovative designs and improvement
programs
Internal Cost Control Cost Evaluation
Business Time Management Time Evaluation
Quality Management System Quality Control
Health & Safety Conduct Health & Safety Evaluation
Organizational & Internal Organizational & Internal Management
Management Conduct Evaluation

MK - 256
Partnership & Supplier Values Partnership & Supplier Evaluation
Risk Management Risk Evaluation
Project
Completion and Society & Environmental
Society & Environmental Evaluation
Closeout Stage Management
Customer Customer Satisfaction Customer Satisfaction Evaluation
Customer Business Relationship Customer Business Prospects
Financial Business Financial Profitability Business Revenue & Profitability Ratios
Business Financial Market Value Market Value Evaluation
Employee's Satisfaction Employee's overall satisfaction evaluation
Overall R&D efficiency
Innovation &
Learning Intelectual Capital Management
Overall Internal business performance
evaluation

Indikator-indikator terdefinisi di atas akan menjadi acuan awal untuk dapat menghasilkan bahan-bahan yang
diperlukan dalam sebuah penelitian lanjutan yang berupa survei untuk proyek-proyek konstruksi bangunan yang
akan menjadi sampel penelitian Optimasi Pengukuran Kepuasan Proyek Konstruksi Bangunan Terhadap Kinerja
Biaya, Mutu dan Waktu Di Indonesia.

6. KESIMPULAN
a. Potret kondisi penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi bangunan atau proyek infrastruktur di Indonesia
sejalan dengan rencana pemerintah untuk mencapai 10 negara besar didunia dengan pertumbuhan ekonomi
7%-9% pertahun. Program ini tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2011-2025.
b. Terdapat 82 indikator kepuasan ketercapain proyek yang terbagi dalam 4 tahapan konstruksi.
c. Dalam penelitian ini terlihat bahwa 82 indikator ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kesuksesan proyek konstruksi.
DAFTAR PUSTAKA
Darrel R. Johnson, A. B. (2014). The Project and Construction Review. Jakarta: The Law Review.
Dewi, I. M. (2014). Analisis Kinerja Pembangunan Jalan Lingkungan di Provinsi Banten dengan Metode
Performance Prism. Jakarta: Universitas Pelita Harapan.
Dozzi, S. (1993). NRC-CNRC. Retrieved from NRC-CNRC Web site: http//www.nrc-cnrc.go.ca
Hague, N. H. (2016). B2B International . Retrieved from B2B International Web site:
http://www.b2binternational.com
Jack Widjajakusuma, A. K. (2014). Conceptual Performance Measurement Framework for Construction in
Indonesia Medium Size Construction Companies Undertaking Public Projects. Karawaci, Tangerang:
Universitas Pelita Harapan.
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. (2011). Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembanguna Ekonomi
Indonesia 2011-2025. Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian.
Liu, R. F. (1997). Research Methods for Construction. Berlin: Blackwell Science.
Menjeri, S. (2011). Productivity Measurement and Benchmarking. India: Shalby Hospital.
Peter F Kaming, F. R. (2010). Analisis Kinerja Proyek Konstruksi. Konferensi Nasional Teknik Sipil 4 (KoNTekS 4)
(pp. 209-247). Sanur, Bali: Universitas Udayana.
Project Management Institute. (2000). Construction Extension to A Guide to Project Management Body of
Knowledge (PMBOK@Guide). Pensylvania: PMI - Global Standard.
Project Management Institute. (2015). A Guide to Project Management Body of Knowledge (PMBOK@Guide) Fifth
Edition. Pensylvania: PMI - Global Standard.
Wibowo, A. (2009). Perencanaan Sistem Pengukuran Kinerja Proyek dengan Metode Performance Prism.
Surabaya: Institute Teknologi Sepuluh November.

MK - 257
MK - 258
Konferensi Nasional Teknik Sipil 11
Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017

MODEL VALIDASI PENERAPAN HASIL PENGEMBANGAN EARNED VALUE


METHOD UNTUK PERKIRAAN DURASI AKHIR PROYEK KONSTRUKSI
DI JAKARTA

Basuki Anondho1, Henny Wiyanto2 dan Dicky Dwi Putra3

1
Staf Pengajar tetap Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Tarumanagara
Email: basukia@ft.untar.ac.id
2
Staf Pengajar tetap Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Tarumanagara
Email: hennyw@ft.untar.ac .id
3
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Tarumanagara
Email: dickydwputra@gmail.com

ABSTRAK
Penggunaan earned value method (EVM) untuk memperkirakan durasi akhir proyek secara
tradisional pada umumnya menggunakan schedule performance index (SPI) atau schedule variant
(SV) yang dalam perhitungannya didasari atau mengacu biaya. Beberapa peneliti terdahulu
menemukan bahwa penggunaan SPI dan SV secara tradisional tersebut kurang tepat dan dalam
banyak kasus menunjukan kejanggalan dalam memprediksi durasi akhir suatu proyek konstruksi.
Pengembangan telah dilakukan oleh para peneliti tersebut terhadap EVM mulai dari planned value,
earned schedule dan yang terakhir earned duration dengan validasi di lokasi masing-masing untuk
menunjukan tingkat keakuratan yang lebih baik. Penelitian ini mencoba melakukan validasi
terhadap penerapan prediksi durasi akhir proyek dengan menggunakan metode Earned Duration
(ED) dengan data berasal dari proyek-proyek konstruksi bangunan gedung tinggi di Jakarta. Hasil
pengolahan data prediksi durasi akhir proyek dibandingkan antara metode EVM tradisional dengan
metode ED berdasarkan rata-rata hasil akhirnya. Metode yang memiliki standar deviasi yang lebih
kecil menunjukan keakuratan yang lebih baik. Hasil penelitian menunjukan bahwa pendekatan ED
lebih baik tingkat keakuratannya karena memiliki standar deviasi yang lebih kecil untuk proyek
konstruksi di Jakarta.
Kata kunci: Durasi Akhir, EVM, ED, Prediksi, Perbandingan.

1. PENDAHULUAN
Estimasi merupakan aspek penting dari pengambilan keputusan dalam lingkungan proyek yang biasanya tidak pasti.
Kebutuhan untuk estimasi timbul karena ada ketidakpastian tentang masa depan dan beberapa aspek dari masa
depan tidak dapat dikendalikan. Estimasi jadwal durasi proyek dan peringatan awal risiko jadwal yang akan datang
adalah elemen penting dari manajemen proyek yang efektif (Khamooshi, 2016).
Earned Value Management (EVM) merupakan metode pengendalian proyek untuk memperkirakan jangka waktu
dan biaya penyelesaian pada proyek. EVM membantu kepentingan manajemen untuk fokus pada hal-hal yang paling
membutuhkan perhatian, membantu dalam membuat prioritas dan penekanan manajemen pada proyek dalam sebuah
portofolio. Penyederhanaan perhitungan EVM, penggunaan alat grafis untuk meningkatkan pemahaman tren kinerja,
dan keberhasilan penerapan EVM dalam industri adalah faktor-faktor penting untuk perkembangan dan penggunaan
yang efektif dari metode value dalam manajemen proyek. (Frank T. Anbari, 2003).
Earned Value merupakan salah satu cara untuk melakukan perencanaan dan pengendalian proyek. Earned Value
atau Earned Value Management (EVM) memiliki pandangan tentang ruang lingkup, waktu, biaya proyek, terlepas
dari jenis, ukuran, maupun tingkat kerumitan proyek. Earned Value Management (EVM) secara umum digunakan
untuk menganalisa performa proyek serta sebagai alat peringatan bila terjadi resiko pertambahan biaya dan
pemunduran jadwal. (Flemming dan Koppelman, 2006). Menurut Rafaat (2012) memprediksi durasi akhir proyek
dengan menggunakan Earned Value Method (EVM) dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu, Planed Value
Method (PVM), Earned Duration Method (EDM), dan Earned Schedule Method (ESM).
EVM mendefinisikan beberapa parameter yang berfungsi untuk memonitor dan mengontrol proyek. EVM
mendefinisikan Planned Value (PV) sebagai nilai atau value yang telah direncanakan untuk dikerjakan sesuai
dengan jadwal pada waktu tertentu. PV dapat disebut juga BCWS atau Budgeted Cost of Work Scheduled. Earned
Value (EV) adalah nilai atau value dari pekerjaan yang telah dikerjakan atau selesai pada waktu tertentu. EV dapat

MK - 259
disebut juga BCWP atau Budgeted Cost of Work Performed. Dan Actual Cost (AC) mewakili nilai atau value dari
apa yang telah dikeluarkan untuk mencapai suatu perkembangan atau kemajuan yang dicapai pada suatu waktu
tertentu.
Indikator kinerja jadwal apabila dihitung dengan EVM konvensional kurang tepat untuk sebagian besar proyek
(Radenco Corovic, 2007). Asumsi linier berdasarkan SPI(t) untuk nilai yang direncanakan membuat hasil EVM
berada dalam potensi kesalahan (Chen dan Zhang, 2012). EVM sendiri tidak cukup untuk pengendalian proyek yang
baik, karena EVM merupakan prosedur sistematis untuk pengukuran kinerja yang efektif, hanya jika didukung
dengan sistem pengendalian biaya dan jadwal yang baik. (Daniel R. McConnell, 1985).
Earned Duration Management atau EDM diperkenalkan oleh Khamooshi dan Golafshani (2014) yang berfungsi
untuk mengukur atau memprediksi durasi proyek dengan memisahkan antara jadwal dan biaya. EDM dikembangkan
untuk menutupi kekurangan dari metode PVM dan ESM, dan dapat memainkan peran yang sama seperti yang
dilakukan EVM terhadap biaya. Menurut Vanhoucke et al, 2015, salah satu kelebihan EDM adalah dapat
menghilangkan penggunaan data biaya dalam konteks biaya. Namun, metode ini juga memiliki kekurangan, yaitu
sulitnya metode ini diterima dan diterapkan oleh para pekerja di lapangan.
EVM terbukti telah digunakan untuk meramal durasi. akan tetapi muncul praktik baru yaitu ES (Earned Schedule)
yang mempekerjakan jadwal berdasarkan waktu dan memberikan fasilitas untuk memprediksi hasil jadwal. Dari
penelitian yang dilakukan oleh Lipke et al, 2009, metode ES telah terbukti lebih baik dibandingkan dengan
pendekatan EVM berdasarkan jadwal prediksi selama hampir 500 bulan data dari 12 proyek. Melalui penelitian
tersebut, sampel data yang digunakan relatif kecil, murah, sampai sedang. Selain itu, data yang ada digunakan untuk
semua jenis dan ukuran proyek mulai dari durasi pendek dengan biaya rendah dan durasi panjang dengan harga
tinggi. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Lipke (2009), standar deviasi dari perkiraan pada durasi
akhir yang sebenarnya, dihitung untuk setiap proyek dan setiap persen jarak pengujian. Metode peramalan dinilai,
dan dari antara metode dan data set dipelajari, ES terbukti menjadi metode lebih baik untuk peramalan durasi
proyek. Kelebihan dari metode ini adalah dapat mengetahui secara detail nilai-nilai dari perbedaan standar deviasi
supaya diperoleh hasil yang tepat karena dilakukan pembuatan tujuh rentang persen secara lengkap untuk
mengisolasi karakteristik peramalan. Namun kelemahannya adalah hanya dapat menilai melalui hasil dari standar
deviasi yang telah dihitung, bukan dari perbedaan rumus pada metode yang dibandingkan. Hasilnya, metode ES
memberikan hasil yang dapat diandalkan dan menyederhanakan durasi akhir dan tanggal penyelesaian peramalan.
Bahkan, hasil prediksi lebih baik secara keseluruhan untuk jadwal daripada biaya. Sehingga ES terbukti lebih baik
dari metode EVM lainnya.

2. METODOLOGI PENELITIAN

Pengumpulan Data
Penelitian dimulai dengan mengumpulkan data dari proyek-proyek gedung bertingkat yang sedang berjalan
pembangunannya. Data yang dikumpulkan berupa: kurva S yang berisi grafik progress rencana dan aktual, kurva S
yang digunakan diasumsikan distribusi kegiatannya baku sehingga didapat durasi rencana dan aktual yang berasal
dari kurva S sebuah proyek. Untuk durasi rencana dan aktual yang digunakan adalah nilai kumulatifnya yang
ditinjau hingga waktu aktual terakhir. Jumlah data yang digunakan 30 data yang didapat dari proyek di sekitar
Jabodetabek.

Kurva S
Kurva S adalah kurva yang memaparkan jadwal pelaksanaan yang disajikan dalam bentuk tabel dan bagan yang
menyerupai huruf S. Kurva S merupakan alat yang penting dalam manajemen suatu proyek. Kurva ini dapat
memantau perkembangan/ kemajuan proyek dari waktu ke waktu dan sebagai catatan tentang apa saja yang telah
dikerjakan hingga saat ini. Analisis terhadap kurva S dapat mengidentifikasi pertumbuhan proyek dan masalah
potensial lainnya yang dapat berdampak negatif pada proyek jika tidak dilakukan tindakan.
Kurva S dibuat berdasarkan waktu kumulatif suatu proyek yang terdiri atas kurva S untuk waktu tercepat dan waktu
terlambat. Apabila waktu pelaksanaan melampaui waktu terlambat, maka dampak negatif pada proyek dapat terjadi.
Karena itu harus dilakukan pencegahan terhadap keterlambatan pekerjaan supaya waktu pelaksanaan setidaknya
berada di antara waktu tercepat dan waktu terlambat.
Kurva S diperoleh berdasarkan data seluruh proyek yang berisi bobot untuk setiap pekerjaan, mulai dari pekerjaan
awal hingga proyek selesai dikerjakan. Pekerjaan yang akan dianalisis adalah pekerjaan untuk struktur atas.

MK - 260
SPI
Schedule Performance Index (SPI) adalah indeks yang menyatakan seberapa efisien proyek yang sedang dikerjakan
dibandingkan dengan jadwal proyek yang direncanakan. Nilai SPI dapat ditentukan dengan membandingkan antara
EV (Earned Value) – nilai yang telah selesai hingga saat ini, dengan PV (Planned Value) – nilai yang disetujui dari
suatu pekerjaan yang akan diselesaikan dalam waktu tertentu.
Besar nilai SPI menyatakan apakah proyek yang sedang dikerjakan sesuai dengan jadwal atau tidak. Apabila SPI <
1, artinya proyek yang dikerjakan terlambat dari jadwal. SPI = 1, artinya proyek yang dikerjakan sesuai dengan
jadwal. Sedangkan apabila SPI > 1 artinya proyek yang dikerjakan lebih cepat dari jadwal yang direncanakan, sebab
nilai yang telah diperoleh (EV) lebih besar dari nilai yang akan diselesaikan (PV).

Perhitungan SPI EVM


Setelah memasukkan nilai dari BCWP dan BCWS yang dimasukkan lagi setelahnya adalah SPI (Schedule
Performance Index). SPI dihitung untuk menunjukkan tingkat kinerja suatu perkembangan atau progres proyek.
Rumus yang digunakan untuk menghitung SPI yaitu:
BCWP
SPI = (1)
BCWS
Setelah mendapatkan nilai dari SPI yang akan dihitung selanjutnya adalah EAC (Estimated at Completion) karena
dalam perhitungan EAC dibutuhkan nilai SPI. EAC sendiri merupakan perkiraan waktu penyelesaian proyek yang
didasarkan pada progress aktual suatu proyek. Untuk menghitung EAC dapat menggunakan rumus berikut:

PD-t
EAC = t + (2)
SPI
Keterangan:
t = waktu proyek yang diteliti
PD (Project Duration) = durasi total proyek
SPI = indeks kinerja jadwal

Perhitungan DPI EDM


Untuk menghitung ED (Earned Duration) digunakan rumus

TED-TPDt
ED(t) = t + ×1 (calendar unit) (3)
TPDt+1 (calendar unit)-TPDt
Keterangan:
t = waktu (dalam kalender)
TED = ∑ni-1 Edi
TPD = ∑ni-1 PDi

Setelah mendapatkan ED tiap satuan waktu, maka menghitung Duration Performance Index dengan menggunakan
rumus:
ED
DPI = (4)
AD
Keterangan:
ED = Earned Duration
AD = Actual Duration (durasi sekarang)

Setelah mendapatkan nilai dari DPI yang akan dihitung selanjutnya adalah EDAC (Estimated Duration at
Completion) karena dalam perhitungan EDAC dibutuhkan nilai DPI. EDAC sendiri merupakan perkiraan waktu
penyelesaian proyek yang didasarkan pada progress aktual suatu proyek. Untuk menghitung EDAC dapat
menggunakan rumus berikut:
BPD
EDAC = (5)
DPI
Dimana BPD adalah total durasi rencana proyek.

MK - 261
Model Perbandingan
1. Standar Deviasi

Standar deviasi atau simpangan baku adalah ukuran penyebaran yang sering digunakan dimana mayoritas nilai data
berada dalam satu deviasi standard dari mean. (Dr. Ir. Harinaldi, M.Eng. 2005). Rumus standar deviasi adalah:

2
∑ni= 1(xi -x̅ )
sx = √ (sampel) (6)
n-1

2
∑N
i=1 fi (xi -x
̅)
σx = √ (populasi) (7)
N

Semakin besar jumlah data (n) dalam sampel, maka nilai standar deviasi akan semakin kecil dan apabila jumlah data
sedikit maka nilai standar deviasi akan semakin besar. Deviasi standar yang besar menunjukkan bahwa titik-titik
data dapat menyebar jauh dari rata-rata dan standar deviasi kecil menunjukkan bahwa titik-titik data berada di
sekitar nilai rata-rata. Hal ini dapat menunjukkan error (penyimpangan) hubungan antara data dengan regresi linear
(rata-rata). Nilai standar deviasi mendekati nol menunjukkan bahwa nilai-nilai dalam suatu himpunan tidak
beragam.
Pada nilai standar deviasi yang lebih kecil maka probabilitas prediksi pada range akan lebih kecil, sehingga
perkiraan durasi menjadi lebih tepat karena pilihan durasi lebih sedikit. Sebaliknya pada nilai standar deviasi yang
lebih besar, probabilitas prediksi pada range lebih besar sehingga perkiraan durasi menjadi kurang tepat karena
pilihan durasi lebih banyak.

2. Kestabilan SPI

Selanjutnya, dilakukan perbandingan terhadap hasil SPI dengan luas lantai masing-masing proyek. Caranya adalah
dengan membuat grafik SPI vs Luas Lantai (LL). Tiap data SPI dan luas lantai di plot kemudian ditarik garis linear.
Hal ini dilakukan untuk menentukan metode mana yang lebih stabil apabila luas lantai berbeda-beda. Semakin besar
luas lantai, garis linear akan semakin menurun. Hal ini membuktikan apakah metode yang digunakan tidak stabil
atau sebaliknya. Produktivitas yang konsisten menunjukkan metode yang digunakan stabil. Tingkat kemiringan garis
regresi (slopeness) ditunjukkan dalam rumus sebagai berikut:
∑X . ∑Y
∑ XY -
n
b= ∑ X2
(8)
∑ X2 -
n
Dimana:
b = slope (tingkat kemiringan garis regresi)
X = luas lantai (m2)
Y = SPI (Schedule Performance Index)
n = jumlah sampel

Nilai slope yang lebih kecil menunjukkan bahwa metode yang digunakan lebih stabil pada luas lantai yang berbeda.
Sebaliknya apabila nilai slope lebih besar, maka metode yang digunakan kurang stabil terhadap luas lantai yang
berbeda.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perhitungan Durasi Akhir Proyek dari Titik Pengamatan dengan Metode Earned Value Method
(EVM)

Perhitungan durasi akhir proyek dari titik pengamatan dengan menggunakan metode EVM (Earned Value Method)
akan dilakukan dengan cara menghitung nilai dari SPI (Schedule Performance Index) terlebih dahulu, kemudian
hasil tersebut akan digunakan untuk mencari nilai dari EAC (Estimated at Completion). Perhitungan menggunakan
persamaan-persamaan sebagai berikut:

BCWP
SPI = (1)
BCWS

MK - 262
Selanjutnya menghitung Duration Performance Index (DPI) yang akan dibandingkan dengan SPI dengan
menggunakan rumus:
ED
DPI = (4)
AD
Kemudian perhitungan dilakukan pada semua data proyek yang sudah terkumpul. Nilai rata-rata DPI dan SPI per m2
dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Rata-rata SPI dan DPI tiap m2 Luas Lantai

SPI DPI
Luas (m2) SPI DPI (/m2) (/m2)
Luas Luas
35600 1.088455772 1.032044754 3.05746E-05 2.899E-05

45000 0.89064 0.594990031 0.000019792 1.3222E-05

148386 1.023566529 1.016740069 6.898E-06 6.85199E-06

142811.32 0.580085081 0.85020452 4.0619E-06 5.95334E-06

55000 0.38505532 0.552972184 7.00101E-06 1.0054E-05

17680 1.799647379 1.409967742 0.00010179 7.97493E-05

60000 0.810442187 0.933314629 1.35074E-05 1.55552E-05

69000 0.544659825 0.622444246 7.89362E-06 9.02093E-06

50000 1.948516877 1.274330924 3.89703E-05 2.54866E-05

88738.7 0.743143159 0.85487403 8.37451E-06 9.63361E-06

74913 0.790338144 0.878276707 1.05501E-05 1.1724E-05

31162.79 1.134469697 1.165045505 3.64046E-05 3.73858E-05

54000 0.655941955 0.907437358 1.21471E-05 1.68044E-05

11915.3 0.979901885 0.994620987 8.2239E-05 8.34743E-05

122179.9 0.484019769 0.8559359 3.96153E-06 7.00554E-06

235728 1.029367533 0.70521699 4.36676E-06 2.99166E-06

50000 0.865968586 0.940115591 1.73194E-05 1.88023E-05

22510.15 0.363864492 0.728178439 1.61645E-05 3.23489E-05

35000 1.930826189 1.001748245 5.51665E-05 2.86214E-05

50000 1.00013541 1.000031588 2.00027E-05 2.00006E-05

45000 2.673728814 1.968198954 5.94162E-05 4.37378E-05

56492 1.217391304 1.217353391 2.15498E-05 2.15491E-05

37000 1.168448084 1.109294806 3.15797E-05 2.99809E-05

80000 1.032892935 1.016243999 1.29112E-05 1.2703E-05

36562 1.416783217 1.290961899 3.87502E-05 3.53088E-05

188000 0.865809468 0.77714098 4.60537E-06 4.13373E-06

126327 0.620931866 0.937098979 4.91527E-06 7.41804E-06

94000 1.930826189 1.205571869 2.05407E-05 1.28252E-05

29324.21 1.599276527 1.166427088 5.45378E-05 3.97769E-05

63799 0.494340605 0.494340605 7.74841E-06 7.74841E-06


Rata-rata 2.51247E-05 2.26286E-05

MK - 263
Maka berdasarkan data SPI dan DPI yang telah dihitung, dilakukan plot pada diagram pengolahan data.

Gambar 1. Grafik SPI dan DPI terhadap Luas Lantai

Tingkat kemiringan garis regresi (slopeness) masing-masing adalah

SPI: b = -9.20651x10-7

DPI: b = -6.09715x10-7

Maka berdasarkan kedua hasil perhitungan, DPI menghasilkan tingkat kemiringan (slope) yang lebih landai
dibandingkan SPI.

4. KESIMPULAN

1. Prediksi durasi akhir proyek dapat dihitung lebih baik dengan metode ED. Karena perhitungan ED
menghasilkan indeks kinerja jadwal yang lebih baik, tetapi juga memerlukan data yang lebih detil karena
perhitungan berdasarkan aktivitas.

2. Indeks kinerja jadwal ED lebih akurat dibandingkan EV karena memiliki standar deviasi rata-rata yang
lebih kecil. Dari nilai rata-rata SPI dan DPI terhadap luas lantai, diperoleh nilai rata-rata DPI lebih kecil
dibandingkan dengan SPI sehingga menunjukkan bahwa DPI lebih baik dibandingkan dengan SPI.

3. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, dapat disimpulkan bahwa DPI lebih baik dibandingkan dengan SPI.
Hal ini dapat dibuktikan melalui grafik kemiringan garis regresi SPI dan DPI terhadap luas lantai, yaitu
apabila garis semakin landai maka semakin baik. Nilai slope yang lebih kecil menunjukkan bahwa metode
yang digunakan lebih stabil pada luas lantai yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut, SPI kurang stabil
terhadap luas lantai yang berbeda. Dengan kata lain, progress suatu proyek secara aktual pada DPI lebih
baik dibandingkan SPI.

MK - 264
DAFTAR PUSTAKA
Anbari, Frank T. (2003). Earned Value Project Management Method and Extensions.
Anondho, B., Rarasati, A. D., Latief, Y., and Mochtar, K. (2017). “Probabilistic Construction Project Duration
Prediction Models for High Rise Building Based on Earned Schedule Method in JakarMcConellta”.
International Journal of Innovation, Management and Technology, Quality in Research, Bali, 24 – 26 Juli
2017.
Chen, S dan Zhang, X. (2012). “An Analytic Review of Earned Value Management Studies in the Construction
Industry”.
Corovic, Radenko, MBA. “Why EVM Is Not Good for Schedule Performance Analyses (and how it could be...)”.
The Measurable News, 2006-2007.
Khamooshi, H., Abdi, A. (2016). “Project Duration Forecasting Using Earned Duration Management with
Exponential Smoothing Techniques”. Journal of Management in Engineering. 04016032.
Lipke, Walt. (2009). “A Comparison of Earned Value Management Methods to Earned Schedule.”
McConnell, Daniel R. Earned Value Technique for Performance Measurement. 1985.
Vanhoucke, M., Andrade, P., Salvaterra, F., dan Batselier, J. Introduction to Earned Duration. In the Measurable
News Issue 2. 2015.

MK - 265
MK - 266

Anda mungkin juga menyukai