TESIS
Deny Wibisana
NPM : 2000831016
NIRM : 41068171000135
TESIS
Deny Wibisana
NPM : 2000831016
NIRM : 41068171000135
Pembimbing :
Prof. Dr. Ir. A. Aziz Djajaputra, MSCE
TESIS
Deny Wibisana
NPM : 2000831016
NIRM : 41068171000135
Persetujuan Tesis :
Pembimbing :
Prof. Dr. Ir. A. Aziz Djajaputra, MSCE _________________________
Penguji :
Prof. Ir. Paulus Pramono Rahardjo, MSCE, Ph.D. _________________
Penguji :
Ir. Wisjnu Yoga Brotodihardjo, MSCE __________________________
Kupersembahkan untuk orang tuaku yang terkasih,
Papa dan Mama yang telah membimbingku
Deny Wibisana
NPM : 2000831016
NIRM : 41068171000135
Longsoran tanah merupakan salah satu bencana alam yang sangat sering ditemui.
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab terjadinya pergerakan tanah pada suatu lereng.
Beberapa faktor tersebut antara lain, menurunnya kekuatan geser tanah, aliran air tanah,
penambahan beban pada lereng dan lainnya.
Penelitian ini dilakukan pada lokasi studi Blok B-10 Extension, Cibubur, yang telah
mengalami pergerakan yang cukup besar. Pada lokasi studi telah dilakukan penimbunan
tanah yang berguna bagi pembangunan tahap selanjutnya berupa beberapa buah kapling
rumah dan jalan raya selebar 8 m. Timbunan direncanakan hingga mencapai ketinggian 29 m,
tetapi ketika tinggi timbunan mencapai ketinggian 24 m, terjadi pergerakan yang cukup besar
pada tubuh timbunan. Ketika dilakukan penelitian tanah tambahan di lokasi longsoran
ditemukan adanya muka air tanah pada tubuh timbunan. Terperangkapnya air tanah di dalam
tubuh timbunan diduga akibat tertutupnya jalur awal dari aliran air tanah sehingga air tanah
tidak mempunyai jalan keluar menuju sungai yang berada di kaki lereng timbunan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pada tahap-tahap awal analisis yaitu ketika tinggi
timbunan mencapai ketinggian 20 m, dan muka air tanah masih berada dibawah ketinggian 0
m, lereng masih dalam keadaan stabil. Dari hasil analisis menunjukan bahwa ketika tinggi
timbunan mencapai ketinggian 22 m, terjadi pergerakan sebesar 0,50 m dan gaya tarik
geotekstil sebesar 192,16 kN/m dan diperkirakan pada keadaan ini geotekstil telah terkoyak
dan kehilangan fungsinya. Dari hasil analisis slope-w dengan metode grid & radius, ketika muka
air tanah berada pada ketinggian 10 m nilai faktor keamanan memberikan nilai yang sangat
kritis yaitu sebesar 1,014 sehingga setiap saat dapat terjadi pergerakan tanah. Dengan
menggunakan metode fully specified, lereng diperkirakan akan bergerak dengan bidang
keruntuhan tepat berada pada ujung dari lembaran geotekstil dan pada elevasi muka air tanah
10 m, didapatkan nilai faktor kemanan kritis sebesar 1,082.
i
Abstract
Slope Stability Evaluation of Geotextile Reinforcement Embankment
Case Study : Cibubur’s Landslide
Deny Wibisana
NPM : 2000831016
NIRM : 41068171000135
Landslide is one of the most natural disasters that we could meet. Several factors
could cause the movement of a slope such as degradation of shear strength, ground water
flow, slope surcharge and others.
The case study of this research would took place at B-10 Extension Block, Cibubur,
which had been slided in big direction. At the case study, an embankment had been done for
further development of several houses and 8 m road. Embankment was planned for about
29 m heights, but when the height reached about 24 m, a big slide was occurred. When an
extra soil investigation was conducted at the location, ground water table was found at the
body of landfill. The trapped of ground water table was estimated as the result of the
blocking of natural lane of ground water flow so the ground water didn’t have an exit way
out to the river which is located at the feet of land fill.
First step of analysis was doing a Proctor standard compaction test, and was
continued by direct shear test at several water content. The direct test is to obtain adhesion
(ca) and friction angle (δ) of geotextile to soil. The results of the experiment are the value ca
and δ will decrease when the water content is increase. Slope stability analysis at this research
was performed using plaxis and slope-w softwares. Plaxis software was used to analysis the
stage of construction, meanwhile slope-w software is to determine the safety factor slope
stability. The method, which is used in slope-w, was based at the assumption of the circular
failure plane (grid & radius analysis) and translation failure plane (fully specified analysis).
The result of the analysis presents at the beginning of construction stage, the
embankment was in the secure position when the height of embankment was 20 m heights
and the ground water level at 0 m height. When the height was in 22 m heights, 0.50 m
deformation was occurred and the axial force at the geotextile was 192.16 kN/m and was
estimated to be torn and has lost its function. From the slope-w analysis by grid & radius
method, when the ground water level at 10 m heights, the safety factor is 1.014 and could
occurred sudden landslide. By fully specified method, the slope was estimated to be slide at
the end of geotextile reinforcement sheet and the safety factor is 1.082 when the ground
water level was at 10 m heights.
ii
Prakata
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena hanya
berkat rahmat dan bimbingannya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
sebagai suatu persyaratan kelulusan pada program Magister Teknik Sipil, Universitas
Katolik Parahyangan, Bandung.
Pada kesempatan ini, penulis hendak menyampaikan penghargaan dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Yang tercinta, kedua orang tua penulis : Purwadi Wibisana - Juhana
Sukiman, dan kedua adik penulis: V.M. Mia L. Deliyanthi dan M.V. Mike
L. Damayanti, atas segala kepercayaan dan pengertiannya selama penulis
menyelesaikan studi dan memberikan semangat, dukungan, bantuan fisik dan
doa-doa yang tak kunjung hentinya.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Aziz Djajaputra, MSCE, selaku dosen pembimbing
atas segala bimbingan, pengarahan dan masukan selama proses penulisan tesis
ini.
3. Bapak Prof. Ir. Paulus Pramono Rahardjo, MSCE, Ph.D, selaku dosen
pembahas atas segala masukannya saat seminar, informasi-informasi berupa
data dan segala bantuannya dalam proses penyelesaian thesis ini.
4. Bapak Ir. Wisjnu Yoga Brotodihardjo, MSCE, selaku dosen pembahas atas
segala masukannya saat seminar, dan segala bantuannya dalam proses
penyelesaian thesis ini.
5. Keluarga Pak Soehardiman dan Bu Jenny T. Rahardja, Arivianti W.,
Sonny K., atas segala penghiburan dan masukannya.
6. Keluarga Besar Legio Mariae Presidium Sumber Sukacita, baik anggota
aktif, anggota auksiler maupun para mantan anggotanya, di manapun kalian
berada, atas segala dukungan, tawa, canda, sedih, susah, benci dan berbagai
macam warna dan kegilaan yang telah mengisi hidup ini.
7. Rekan-rekan KMK Unpar yang sudah tidak ketahuan kemana saja selama ini,
atas segala kebersamaan dan kegilaannya selama ini.
iii
8. Rekan-rekan S-1 Teknik Sipil Unpar Angkatan 1995, di manapun kalian
berada, penulis tak akan pernah melupakan kebersamaan kita walaupun sudah
sekian lama berlalu dan tak pernah bersua.
9. Rekan-rekan Magister Teknik Sipil Angkatan 2000, Yunan Halim, Pak
Budi Wuryanto, Mbak Surya, Paulus Sianto, Aris Handoko, Stephanus
Herry, Yunius Sinsin, Audry atas segala bantuan dan kebersamaannya
selama ini.
10. Rekan-rekan MTS lainnya Toet-toet, Lento, Stephen, Lina, Santy, Kuari,
Glenn, atas gurauannya yang kadang-kadang menghabiskan waktu dan
setelah dipikir-pikir kembali ternyata tidak berguna sama sekali.
11. Rekan-rekan kos Bukit Hegar II / 26, atas segala keceriaannya selama penulis
menghabiskan hidup di Bandung selama 8 tahun.
12. Dan untuk rekan-rekan, kerabat dan kenalan yang tak sempat untuk
disebutkan satu persatu atas segala bantuannya kepada penulis.
Maybe There is not enough place for all of you in this paper, but there’s always enough
place for all of you in my heart. Thank a lot guys….
Pada akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan akibat berbagai macam keterbatasan. Maka dengan rendah hati penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu geoteknik pada khususnya.
A Deny P Wibisana
iv
Daftar Isi
Abstrak i
Prakata ii
Daftar Isi v
Daftar Gambar viii
Daftar Tabel xi
Daftar Notasi xii
Bab 1 Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah 1-1
1.2. Maksud dan Tujuan Penulisan 1-2
1.3. Lingkup Pembahasan 1-3
1.4. Metode Penulisan 1-3
1.5. Sistematika Penulisan 1-3
Bab 2 Tinjauan Pustaka
2.1. Pengelompokan Lereng 2-1
2.1.1. Lereng Alam 2-1
2.1.2. Lereng Buatan 2-2
2.1.2.1. Embankment 2-2
2.1.2.2. Penggalian (Cut-Slope) 2-2
2.2. Tinjauan Umum Longsoran 2-2
2.3. Faktor-faktor Penyebab Longsoran 2-6
2.3.1. Faktor-Faktor yang Meningkatkan Tegangan Geser 2-6
2.3.2. Faktor-Faktor yang Menurunkan Kuat Geser 2-8
2.4. Ciri-ciri Gerakan Tanah 2-9
2.5. Konsep Dasar Analisis Stabilitas Lereng 2-16
2.5.1. Tegangan Efektif Tanah 2-16
2.5.2. Kekuatan Geser Tanah 2-20
2.5.2.1. Tegangan Normal dan Tegangan Geser pada Tanah 2-20
2.5.2.2. Kriteria Keruntuhan Mohr-Coulomb 2-21
2.5.3. Metode Analisis Stabilitas Lereng 2-22
2.5.3.1. Metode Fellinius 2-22
2.5.3.2. Metode Bishop 2-23
v
2.6. Kondisi Air Tanah 2-25
2.7. Prinsip dan Dasar-dasar Perkuatan Geotekstil 2-26
2.7.1. Sifat-Sifat Geotesktil 2-26
2.7.1.1. Sifat Fisik 2-26
2.7.1.2. Sifat Mekanik 2-28
2.7.1.3. Tegangan Ultimate Geotekstil dan
Tegangan Ijin Geotekstil 2-30
2.7.2. Fungsi Geotekstil dan Mekanismenya 2-31
2.7.2.1. Pemisahan (Separation) 2-32
2.7.2.2. Penahan (Reinforcement) 2-32
2.7.2.3. Filtrasi 2-34
2.7.2.4. Drainase 2-34
2.7.2.5. Fungsi Kombinasi 2-34
2.7.3. Desain untuk Timbunan dan Perkuatan Tanah 2-35
2.7.3.1. Latar Belakang 2-35
2.7.3.2. Metode Desain 2-36
2.7.3.2.1. Keseimbangan Internal 2-36
2.7.3.2.2. Keseimbangan Eksternal 2-38
Bab 3 Penyelidikan Longsoran
3.1. Deskripsi Masalah 3-1
3.2. Kondisi Tanah dan Longsoran 3-2
3.3. Konstruksi Timbunan dengan Geotekstil 3-4
3.4. Penyelidikan Tanah dan Parameter-Parameter Tanah 3-5
Bab 4 Analisis Kestabilan Lereng
4.1. Parameter-Parameter Tanah yang Digunakan 4-1
4.1.1. Uji Kompaksi pada Tanah Timbunan 4-1
4.1.2. Uji Kuat Geser Langsung pada Tanah Timbunan 4-3
4.2. Pemodelan Plaxis 4-4
4.2.1. Pemodelan Material 4-5
4.2.2. Analisis Tahapan Konstruksi 4-6
4.2.3. Hasil Analisis Plaxis 4-8
4.2.3.1. Analisis Deformasi Global 4-8
4.2.3.2. Analisis Deformasi Untuk Tiap Lapis Geotekstil 4-11
vi
4.2.3.3. Analisis Kekuatan 4-16
4.3. Pemodelan Slope-W 4-24
4.3.1. Pemodelan Material 4-25
4.3.2. Metode Analisis 4-27
4.3.3. Hasil Analisis Slope-W 4-29
4.4. Analisis Kondisi Lereng 4-31
Bab 5 Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan 5-1
5.2. Saran 5-2
Daftar Pustaka
Lampiran
Lampiran A. Uji Lapangan
Lampiran B. Uji Laboratorium
Lampiran B. Output Plaxis
Lampiran C. Output Slope-W
vii
Daftar Gambar
viii
Gambar 4.3. Hubungan antara kadar air terhadap φ (soil – soil) dan
δ (soil – geotekstil) 4-4
Gambar 4.4. Tahapan-tahapan dalam analisis tahapan konstruksi 4-7
Gambar 4.5. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap peningkatan
deformasi global 4-8
Gambar 4.6. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap
peningkatan deformasi global 4-8
Gambar 4.7. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap deformasi global 4-9
Gambar 4.8. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap
deformasi global 4-10
Gambar 4.9. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap peningkatan
deformasi pada tiap lapis geotekstil 4-11
Gambar 4.10. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap
peningkatan deformasi pada tiap lapis geotekstil 4-12
Gambar 4.11. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap deformasi pada
tiap lapis geotekstil 4-14
Gambar 4.12. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap deformasi
pada tiap lapis geotekstil 4-14
Gambar 4.13. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap peningkatan gaya
aksial maksimum 4-16
Gambar 4.14. Hubungan antara tinggi muka air tanah terhadap peningkatan
gaya aksial maksimum 4-16
Gambar 4.15. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap gaya aksial
maksimum 4-18
Gambar 4.16. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap gaya
aksial maksimum 4-18
Gambar 4.17. Hubungan antara tingi timbunan terhadap peningkatan gaya
aksial pada tiap lapis geotekstil 4-20
Gambar 4.18. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap peningkatan
gaya aksial pada tiap lapis geotekstil 4-20
Gambar 4.19. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap gaya aksial pada
tiap lapis geotekstil 4-22
Gambar 4.20. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap gaya aksial
ix
pada tiap lapis geotekstil 4-22
Gambar 4.21. Keruntuhan mengikuti pola keruntuhan rotasi
(analisis grid & radius) 4-25
Gambar 4.22. Keruntuhan mengikuti pola keruntuhan translasi
(analisis fully specified) 4-25
Gambar 4.23. Hubungan antara matric suction (ua-uw) terhadap kadar air 4-26
Gambar 4.24. Hubungan antara matric suction (ua-uw) terhadap nilai φ b 4-27
Gambar 4.25. Analisis kestabilan lereng berdasarkan metode grid & radius 4-28
Gambar 4.26. Analisis kestabilan lereng berdasarkan metode fully specified 4-29
Gambar 4.27. Hubungan antara tinggi muka air tanah dengan faktor
keamanan berdasarkan metode grid & radius dan
metode fully specified 4-29
x
Daftar Tabel
Tabel 2.1. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng tanah yang belum
mengalami pergerakan 2-11
Tabel 2.2. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng batuan yang
belum mengalami pergerakan 2-12
Tabel 2.3. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng tanah yang telah
mengalami pergerakan 2-13
Tabel 2.4. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng batuan yang telah
mengalami pergerakan 2-15
Tabel 2.5. Perbandingan Nilai Gs 2-27
Tabel 4.1. Parameter Tanah Asli untuk Pemodelan pada Plaxis 4-5
Tabel 4.2. Parameter Tanah Timbunan untuk pemodelan pada Plaxis 4-6
Tabel 4.3. Parameter Tanah Asli untuk Pemodelan pada slope-w 4-26
Tabel 4.4. Parameter Tanah Timbunan untuk pemodelan pada slope-w 4-27
xi
Daftar Notasi
xiv
Bab 1 - Pendahuluan
Bab 1
Pendahuluan
I-1
Bab 1 - Pendahuluan
Pada kasus longsoran yang terjadi pada Kompleks Perumahan Citra Grand
Blok B-10, Cibubur, lapisan perkuatan geotekstil digunakan sebagai suatu dinding
penahan tanah dan di atas tanah timbunan tersebut akan dibangun beberapa kapling
baru. Kondisi dari lereng tersebut berbatasan langsung dengan suatu sungai dan
membentuk lereng yang amat terjal dengan elevasi pada kapling adalah + 70.0 m dan
elevasi pada bantaran sungai adalah + 43.1 m.
Usulan awal untuk penimbunan lereng dengan menggunakan perkuatan
geotekstil dengan maksud untuk memperluas lahan disekitar belakang kapling
sehingga akan dapat dibuat jalan di bagian belakang kapling tersebut.
Pada saat pelaksanaan konstruksi penimbunan tersebut telah terjadi suatu
longsoran pada saat timbunan lereng mencapai ketinggian ± 24 m dan diperlukan
penimbunan ulang untuk mencapai ketinggian sebelumnya tetapi longsoran terulang
kembali. Pergerakan horisontal pun telah terjadi sampai sejauh 11.0 m dari posisi
semula menuju ke arah sungai. Pergerakan horisontal ini turut mempengaruhi
terjadinya pergerakan arah vertikal sehingga menyebabkan penurunan di bagian atas
lereng.
Hal yang menarik dari permasalahan ini adalah bahwa tanah pada bagian kaki
lereng timbunan telah dipersiapkan dengan menggali sampai kedalaman tanah keras,
sehingga kemungkinan terjadinya keruntuhan pada bagian kaki lereng (base failure)
tidak seharusnya terjadi. Hal ini menunjukan kemungkinan besar adanya faktor-faktor
lain yang saling terkait sehingga terjadi suatu longsoran yang cukup besar ini.
I-2
Bab 1 - Pendahuluan
I-3
Bab 1 - Pendahuluan
I-4
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Bab 2
Tinjauan Pustaka
II - 1
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
yang kita temukan pada sepanjang bidang gelincir umumnya sangat kecil akibat telah
terjadi suatu pergesaran yang terdahulu.
2.1.2. Lereng Buatan
Lereng buatan adalah lereng yang dibangun oleh manusia. Lereng buatan ini
dapat terjadi karena dua hal utama yaitu yang terjadi karena proses penimbunan dan
yang terjadi karena proses penggalian.
2.1.2.1. Embankment
Lereng dengan timbunan umumnya ditujukan untuk suatu tujuan tertentu
seperti untuk badan jalan raya, jalan kereta api, dam, dan tanggul. Sifat teknis suatu
tanah timbunan sangat dipengaruhi oleh cara penimbunan, metode konstruksi dan
kepadatan dari tanah timbunan. Umumnya penimbunan tanah diperlukan untuk
meningkatkan kekuatan tanah sehingga dengan demikian dapat meningkatkan daya
dukung pondasi di atasnya.
Pada suatu lereng dengan timbunan harus dilakukan analisis secara terpisah
untuk kondisi jangka pendek, kondisi jangka panjang, kondisi penurunan muka air
secara tiba-tiba dan gangguan gempa.
2.1.2.2. Penggalian (Cut – Slope)
Perencanaan galian adalah untuk membuat suatu lereng dengan kemiringan
tertentu yang cukup aman dan ekonomis. Kestabilan dari galian amat ditentukan oleh
kondisi geologi, sifat teknis, tekanan air akibat rembesan dan metode penggalian.
Suatu lereng yang terlalu curam dari segi biaya akan lebih ekonomis namun
mempunyai resiko longsoran yang lebih besar untuk jangka panjang. Sebaliknya
lereng yang landai akan memutuhkan biaya yang lebih besar sehingga kurang
ekonomis dan tidak praktis.
II - 2
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Gambar 2.1. Penamaan lereng yang mengalami longsoran. (Sumber : Transportation Research
Board, 1978)
Pada gambar 2.1. diatas disajikan beberapa istilah untuk bagian-bagian dari
suatu lereng yang telah mengalami suatu longsoran yang didasarkan penamaan dari
Transportation Research Board (TRB, 1978).
Crown. Material tanah yang tetap berada pada tempatnya. Bagian ini berbatasan
dengan bagian teratas dari longsoran utama (Main Scarp).
Main Scarp. Suatu permukaan yang curam / dalam pada bagian tanah yang tak
terganggu (yang tidak mengalami longsoran) di sekeliling luar dari bidang
gelincir, yang terjadi karena pergerakan material-material tanah / batuan
menjauhi bagian tanah / batuan yang tak terganggu (yang tidak mengalami
longsoran). Dapat kita temukan pada bagian teratas dari longsoran.
Flank. Sisi bagian samping dari bidang longsoran.
Minor Scarp. Suatu permukaan yang curam pada bagian material yang bergerak
yang diakibatkan perbedaan pergerakan pada sepanjang bidang gelincir.
Head. Bagian teratas dari material yang mengalami longsoran yang terletak di
antara pada bagian material yang mengalami perpindahan dan bagian sisi curam
yang tak mengalami longsoran (main scarp).
II - 3
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Main Body. Bagian dari material yang mengalami perpindahan yang terbentang
di bidang longsoran (surface of scrupture) di antara bagian yang tak mengalami
longsoran (main scarp) dengan bagian ujung permukaan longsoran (toe).
Top. Titik pertemuan tertinggi antara bagian material yang mengalami
perpindahan dengan main scarp.
Foot. Bagian dari material yang mengalami perpindahan yang terbentang pada
bagian bawah longsoran dari bagian ujung (toe) bidang longsoran.
Toe. Suatu bagian yang membentang dari material yang mengalami perpindahan
yang berjarak paling jauh dari permukaan curam yang tak mengalami longsoran
(main scarp).
Tip. Titik yang terletak pada ujung longsoran (toe) yang mempunyai jarak terjauh
dari puncak longsoran.
Original Ground Surface. Suatu lereng yang ada sebelum dan sesudah
terjadinya pergerakan.
Left and Right. Arah kompas umumnya lebih sering digunakan, tetapi jika
tetap ingin menggunakan istilah left and right (kiri dan kanan) maka yang
menjadi pengacu adalah jika longsoran dilihat dari bagian crown.
Surface of Separation. Permukaan yang memisahkan antara material yang
terbawa dengan material yang tetap pada tempatnya. Permukaan ini amat sulit
diamati karena terletak di bawah material yang mengalami pergerakan.
Displaced Material. Material yang telah terbawa dari tempatnya yang asli.
Material ini dapat ditemukan dalam bentuk yang sudah berubah bentuk dan yang
belum mengalami perubahan bentuk.
Zone of Depletion. Suatu daerah dimana material yang bergerak terhampar di
bawah permukaan asli lereng yang mengalami longsoran.
Zone of Accumulation. Suatu daerah dimana material yang mengalami
pergerakan terhampar di atas permukaan asli lereng yang mengalami longsoran.
Suatu kegagalan lereng umumnya mengacu pada suatu keadaan yang tidak
stabil dari lereng tersebut. Berdasarkan jenis gerakannya, ketidakstabilan lereng dapat
dibedakan atas :
II - 4
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
• Runtuhan (Falls)
Runtuhan dapat didefinisikan sebagai suatu gerakan massa akibat terlepasnya
satu atau beberapa blok batuan atau tanah dengan suatu gerak jatuh bebas. Tipe
gerakan ini umumnya terjadi secara tiba -tiba dan massa yang jatuh umumnya tidak
ditahan oleh suatu geseran antar material sehingga tidak akan ditemukan suatu bidang
gelincir dan umumnya ditemukan pada tebing-tebing yang curam, sehingga akan
sangat dipengaruhi oleh gaya gravitasi.
• Pengelupasan (Topples)
Gerakan ini merupakan suatu gerakan rotasi keluar dari suatu unit massa yang
berputar pada suatu titik akibat adanya gaya gravitasi atau gaya-gaya yang lainnya
seperti adanya air pada rekahan yang menyebabkan tekanan hidrostatis.
• Aliran Tanah (Earth Flow)
Pada umumnya jenis gerakan tanah ini terjadi pada suatu kondisi tanah yang
amat sensitif atau sebagai akibat dari gaya gempa. Bidang gelincir yang terjadi
diakibatkan adanya suatu gangguan mendadak dan gerakan tanah yang terjadi
umumnya bersifat cepat tetapi da pat juga sangat lambat seperti pada kasus rayapan
(creep). Tanah atau batuan yang bergerak berbentuk suatu cairan kental dan akan
berhenti pada jarak yang cukup jauh pada zona longsor.
• Longsoran (Slides)
Dalam longsoran yang sebenarnya, gerakan ini merupakan peregangan secara
geser dan peralihan yang terjadi sepanjang satu atau lebih bidang gelincir. Gerakan ini
dapat bersifat progresif yang berarti bahwa kekuatan geser tidak terjadi secara
seketika pada suatu bidang gelincir melainkan merambat dari satu titik ke titik lain.
Massa yang bergerak menggelincir di atas lapisan batuan / tanah asli dan akan terjadi
suatu pemisahan dari kedudukan semula. Sifat gerakan yang terjadi umumnya lambat
hingga sangat lambat.
Berikut adalah berbagai tipe macam longsoran berdasarkan bentuk dari bidang
gelincir yang terjadi.
• Longsoran Rotasi
Longsoran rotasi adalah suatu gerakan yang relatif lambat dari suatu blok batuan,
tanah ataupun campuran keduanya sepanjang bidang gelincir yang berbentuk
suatu busur lingkaran. Longsoran rotasi ini merupakan bentuk longsoran yang
paling sering dijumpai. Pada kondisi tanah homogen, bidang gelincir yang terjadi
II - 5
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
II - 6
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
II - 7
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
II - 8
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
II - 9
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
tanah yang berlaku, faktor-faktor variabel yang dapat berubah-ubah dan tekanan air
pori yang terjadi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Rib and Ta Liang, 1978, Transportation
Research Board) maka disusun suatu tabel mengenai ciri-ciri dan mekanisme pergerakan
tanah pada daerah yang belum atau mungkin akan mengalami pergerakan tanah dan
pada daerah yang telah mulai mengalami pergerakan tanah atau sudah mengalami
pergerakan yang masing-masing dibedakan untuk material batu dan tanah.
II - 10
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Tabel 2.1. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng tanah yang belum mengalami
pergerakan (Sumber : Transportation Research Board, 1978)
Tipe Gerakan Bagian stabil disekeliling bagian yang longsor
Macam
Material Crown Main Scarp Flanks
Runtuhan Adany retakan di Curam, aktif, segar. Hampir tegak.
belakang bagian Scarp.
Curam, gundul,
Ketinggian scarp
cekung ke arah
menurun sampai
longsoran. Biasanya
pada bagian foot.
Banyak retakan, hampir tinggi, adanya alur
Longsoran scarp
Longsoran rotasi semuanya cekung ke goresan pada
dapat lebih tinggi
arah longsoran. permukaan dari crown
dari permukaan
sampai head. Pada
asli antara foot dan
bagian teratas
toe.
umumnya tegak.
Mempunyai scarp
Hampir tegak pada
yang sangat
Kebanyakan retakan bagian atasnya dan
rendah dengan
Longsoran hampir tegak dan hampir datar dan
retakan tegak
translasi cenderung mengikuti miring agak curam
lurus yang
bidang longsoran. pada bagian
menyebar ke arah
bawahnya.
bawah.
Berbentuk corong Mempunyai
Aliran Kering Tanah Tidak ada retakan. pada sudut hentinya lengkung menerus
(angle of repose). sampai ke scarp.
Bagian atas berbentuk Curam, tidak
Basah : V. Panjang, sempit, teratur, pada
Sedikit ret ak-retak.
Aliran Debris gundul dan biasanya bagian atas dapat
tergores. terbentuk tanggul.
Cekung ke arah
longsoran. Pada
beberapa tipe, scarp
Dapat mempunyai Lengkung pada
Aliran Tanah hampir berbentuk
beberapa retakan. sisinya cekung.
lingkaran. Longsoran
bergerak melalui celah
yang sempit
Curam, cekung ke
arah longsoran,
mempunyai bentuk
Biasanya
Aliran Pasir yang bervariasi,
Sedikit retakan. menyebar ke arah
atau Tanah hampir lurus,
gerakan.
lingkaran, atau
berbentuk seperti
botol.
II - 11
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Tabel 2.2. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng batuan yang belum mengalami
pergerakan (Sumber : Transportation Research Board, 1978)
Tipe Gerakan Bagian stabil disekeliling bagian yang longsor
Macam
Material Crown Main Scarp Flanks
Batuan lepas, Hampir vertikal, Bagian atas
kemungkinan ada bentuk tidak teratur, umumnya
retakan di bagian segar, aktif. Biasanya tersingkap.
Runtuhan
belakang scarp. merupakan bidang
Mempunyai bentuk kekar (joint) atau sesar
yang tidak teratur (fault ).
mengikuti pola kekar
(joint).
Goresan pada
Curam, gundul, bagian sisi scarp
cekung ke arah mempunyai
longsoran dan komponen tegak
biasanya tinggi. Dapat dengan head.
Retakan mengikuti pola menunjukan alur Ketinggian akan
Longsoran rotasi
kekar batuan dasarnya. goresan pada menurun
permukaan dari crown mendekati foot. Sisi
Batuan sampai ke head. Pada longsoran dapat
bagian atasnya dapat lebih tinggi dari
tegak. permukaan asli
antara foot dan toe.
Umumnya bertangga
mengikuti bidang
kekar atau pelapisan.
Permukaannya tidak
Batuan lepas dan
Longsoran teratur, pada bagian
adanya retakan-retakan Tidak teratur.
translasi atas condong agak
antar blok.
curam dan bagian
bawahnya bisa hampir
datar / terdiri dari
luncuran batu.
Sama seperti pada Sama seperti pada Sama seperti pada
Aliran Kering
runtuhan batuan. runtuhan batuan. runtuhan batuan.
II - 12
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Tabel 2.3. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng tanah yang telah mengalami
pergerakan (Sumber : Transportation Research Board, 1978)
Bagian yang telah bergerak
Tipe Gerakan Macam
Material Head Body Foot Toe
Umumnya sulit Tidak teratur. Umumnya Tidak teratur.
dikenali. tertimbun. Bila
Reruntuhan terlihat akan
material menunjukan
Runtuhan
membentuk bukti sebab
Tanah
tumpukan dekat terjadinya
dengan scarp. longsoran
seperti lapisan
yang lembek /
tergerus.
Permukaan Blok besar Punggungan Sering
tanah lebih datar akan menjadi melintang dan merupakan
daripada lereng massa yang retakan daerah aliran
asli / bahkan kecil, biasanya terjadi tanah,
miring ke arah mempunyai di atas foot berbentuk
bukit retakan merupakan bidang V
membentuk memanjang. daerah yang menjulur.
cekungan. Punggungan terangkat. Material akan
Mempunyai terbentuk Tidak ada blok- tergulung dan
retakan-retakan karena tekanan blok, pohon- terkurung.
Longsoran rotasi melintang, minor dan terkadang pohon Pohon-pohon
scarps, terban, menjorok. umumnya akan rebah dan
bongkahan Biasanya condong ke bercampur
besar. Arah terbentuk arah bawah. dengan tanah.
perlapisan genangan-
berbeda dengan genangan kecil.
daerah di
sekitarnya.
Pohon akan
condong ke arah
atas.
Relatif tidak Biasanya terdiri Tidak ada foot, Permukaan
terganggu. Tidak dari satu / tidak ada tanah seperti
ada rotasi. beberapa unit. daerah yang terbajak.
Longsoran
Tidak terangkat.
translasi
terganggu
kecuali pada
retakan tarik.
Biasanya tidak Merupakan Tidak ada foot. -
mempunyai head. tumpukan pasir
berbentuk
Aliran Kering kerucut yang
volumenya
sama dengan
daerah kepala.
II - 13
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
II - 14
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Tabel 2.4. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng batuan yang telah mengalami
pergerakan (Sumber : Transportation Research Board, 1978)
Tipe Gerakan Bagian yang telah bergerak
Macam
Material Head Body Foot Toe
Runtuhan Biasanya tidak Permukaan Bagian foot Jika
jelas. Material tidak teratur umumnya longsorannya
yang meluncur dan terdiri dari tertimbun. Bila kecil akan
membentuk tumpukan terlihat akan merupakan
tumpukan pada batuan, menunjukan tumpukan
bagian scarp. melandai bukti-bukti debris dan
menjauhi scarp. terjadinya rombakan yang
Batuan
longsoran tidak teratur.
seperti lapisan Jika besar akan
batu yang berbentuk
terlalu lunak / bulat dengan
adanya punggungan
gerusan. melengkung
dan lebar.
Permukaan Blok-blok yang Punggungan Tidak terjadi
tanah lebih datar besar akan melintang, aliran tanah.
dari lereng asli menjadi massa retak dan Bagian toe akan
bahkan miring yang kecil, biasanya terjadi umumnya
ke arah bukit retakan di atas foot. dekat dengan
dengan memanjang. Tidak ada blok- foot dan
membentuk Punggungan blok, pohon umumnya
cekungan. Arah terbentuk akan condong dapat curam.
pelapisan karena tekanan, ke arah bawah.
berbeda dengan kadang-kadang
Longsoran rotasi
arah daerah menjorok dan
disekitarnya. biasanya
Pohon-pohan terbentuk
akan condong ke genangan-
arah atas genagan kecil,
longsoran. tetapi material
tidak
mengalami
perubahan
secara plastis.
Banyak blok Permukaan Biasanya tidak Merupakan
batuan. kasar. Beberapa mempunyai tumpukan
bagian arahnya foot. pecahan
masih sama batuan.
dengan aslinya
Longsoran
tetapi akan
translasi
lebih rendah
pada bagian
bawahnya bila
alirannya
lambat.
II - 15
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
II - 16
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Bagian lainnya yang merupakan sisa tegangan total akan dipikul oleh butiran-
butiran tanah dan yang kita kenal dengan nama tegangan efektif tanah. Dengan
demikian besarnya tegangan total dapat dinyatakan dengan
σ = σ '+ u (2.3)
dengan menggabungkan persamaan (2.1) dan (2.2) di atas didapat
σ ' = σ − u = ( h1γ + h2γ sat ) − h2γ w = h1γ + h2 ( γ sat − γ w )
II - 17
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Secara umum, jika suatu tegangan total normal pada suatu titik massa tanah
adalah σ1, σ2, dan σ3 seperti terlihat pada gambar 2.3, maka tegangan efektif da ri
tanah dapat dinyatakan dengan,
untuk arah 1, σ 1' = σ1 − u (2.5)
dimana F1(v), F 2(v), F3(v) ,…… merupakan komponen vertikal dari gaya F1, F2, F3
, ……
II - 18
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Pada kasus ini persamaan 2.2 dan 2.14 akan menunjukan kesamaan
sehingga σig = σ’. Tetapi untuk kasus-kasus di mana nilai A’ – R’ besar, maka σig ≠ σ’.
II - 19
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Hal ini umumnya terjadi pada tanah dengan plastisitas tinggi, lempung-lempung
dispersi.
Untuk suatu nilai σx, σy, dan τxy dari persamaan 2.16 akan memberikan dua
buah nilai sudut θ yang berbeda 900. Hal ini menunjukan adanya dua bidang yang
dapat dibentuk pada sudut yang sama yang memberikan nilai tegangan geser sebesar
nol. Bidang ini disebut dengan Bidang Utama (Principal Planes). Tegangan-tegangan
normal yang bekerja pada bidang utama dikenal dengan nama tegangan utama
(principal stresses). Dengan mensubstitusikan persamaan 2.17 kepada persamaan 2.15,
maka akan didapatkan besarnya nilai-nilai tegangan utama yaitu :
tegangan utama mayor (Major principal stresses) :
II - 20
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
(σ − σ x )
2
σ +σ x
σ1 = z + z + τ xz
2
(2.18)
2 2
tegangan utama minor (Minor principal stresses) :
(σ − σ x )
2
σ +σ x
σ3 = z − z + τ xz
2
(2.19)
2 2
Banyak permasalahan dalam mekanika tanah menyederhanakan kasus-kasus
3D menjadi kasus-kasus 2D, maka untuk teorema dalam tegangan utama akan
menjadi :
σ 1 = σ 3 tan 2 ( π 4) + ( π 2 ) + 2c tan ( π 4 ) + ( π 2 ) (2.20)
dimana s adalah tegangan geser dan σ adalah tegangan geser pada bidang runtuh.
Suatu bidang runtuh yang dinyatakan dalam persamaan (2.15) umumnya berupa suatu
garis lengkung.
Pada tahun 1776, Coulomb menyatakan fungsi f(σ) sebagai,
s = c + σ tan φ (2.22)
dimana c adalah kohesi dan φ merupakan sudut geser dari tanah. Persamaan 2.22 di
atas pada saat ini dikenal sebagai persamaan keruntuhan Mohr-Coulomb.
II - 21
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
∑W x = ∑τ I R
i i i i
(2.23)
i =1 i =1
Maka dapat ditentukan besarnya faktor keamanan dari lereng tersebut adalah :
n
∑τ I R i i
FK = i =1
n
(2.24)
∑W x i i
i =1
II - 22
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
FK =
∑ c ' I + (W cos θ − uI ) tan φ (2.25)
∑ (W sinθ )
dimana c’ = kohesi tanah pada bidang gelincir
φ = sudut geser dalam
I = panjang busur pada bidang gelincir
W = berat segmen tanah
θ = sudut yang dibentuk antara W dan titik pusat gelincir O pada
bidang gelincir
II - 23
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
II - 24
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Tekanan air pori negatif meningkatkan tekanan efektif dari suatu massa tanah
dan membantu kestabilan suatu lereng. Peningkatan kekuatan tanah ini dapat
dinyatakan sebagai gambar 3 dimensi seperti terlihat pada gambar 2.7 diatas dan Ho
dan Fredlund (1982) menyarankan suatu peningkatan tegangan geser terhadap
tekanan air pori negatif yang dinyatakan sebagai berikut :
c = c '+ (u a − u w ) tan φb (2.28)
II - 25
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
c’ = kofesi efektif
(ua – uw) = matriks suction
φ b = gradien dari matric suction dimana nilai σ - ua dianggap
konstan
Dengan kata lain, dengan memperhatikan persamaan diatas dan penggambaran tiga
dimensi dari peningkatan matriks suction maka dapat dikatakan matriks suction akan
dapat meningkatkan kekuatan geser dari tanah.
II - 26
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Terlihat bahwa untuk beberapa jenis bahan penyusun geotekstil mempunyai nilai Gs
lebih kecil daripada 1 yang harus diperhitungakan dalam desain apabila geotekstil
akan tersebut akan digunakan di bawah air yang dapat menyebabkan geotekstil
terangkat.
• Berat per Satuan Luas
Massa / berat dalam hal ini harus dinyatakan dalam toleransi 0,01 % yang
terdekat dari total massa yang sebenarnya. Dan untuk panjang dan lebar harus
dinyatakan pada keadaan tidak adanya tegangan atau belum mengalami tarik pada
geotekstil. Peraturan pengujian dapat kita lihat secara lebih mendetail pada ASTM
D5261. Untuk beberapa tipe geotekstil yang umum digunakan mempunyai nilai berat
per luas sebesar 135 – 680 g/m2. Karena biaya pembuatan dan untuk beberapa hal
yang berhubungan dengan sifat-sifat mekanik secara langsung berhubungan dengan
massa per satuan luas, maka unit ini menjadi sangat penting.
• Ketebalan (Thickness)
Ketebalan dari suatu geotekstil terkadang disebutkan dalam spesifikasi bahan,
hanya untuk memberikan gambaran saja yang umumnya tidak berpengaruh pada
sifat-sifat yang langsung berhubungan dengan desain. Ketebalan dinyatakan sebagai
jarak antara bagian teratas dengan terbawah dari lembaran geotekstil yang ditentukan
pada suatu keadaan tegangan tertentu. ASTM D5199 menyatakan bahwa ketebalan
dari suatu geotekstil harus dinyatakan pada suatu tingkat toleransi sedikitnya 0,001
inch (atau 0,02 mm) pada suatu tegangan sebesar 2,0 kPa. Ketebalan dari suatu
geotekstil umumnya antara 10 – 300 mils, dimana 1 mil setara dengan 0,001 inch.
• Kekakuan (Stiffness)
Kekakuan atau kelenturan dari suatu lembar geotekstil umumnya
diperdebatkan dengan nilai modulus yang umumnya dinyatakan dari grafik tegangan-
regangan. Pada pengujian yang sama, kekakuan dinyatakan sebagai interaksi antara
berat dari geotekstil dan ketebalan dari geotekstil pada saat geotekstil tersebut
II - 27
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
mengalami tegangan tarik, seperti tercantum dalam ASTM D1388. Unit kekakuan
menunjukan kemampuan dari geotekstil untuk dibentuk sedemikian rupa pada saat
pemasangannya di lapangan. Unuk menghamparkan geotekstil pada tanah-tanah
lunak, geotekstil dengan kekakuan tinggi lebih baik untuk digunakan.
• Kompresibilitas
Kompresibilitas dari suatu geotekstil dinyatakan dengan mengetahui
ketebalan dari geotekstil untuk setiap kali mengalami tegangan normal yang berbeda -
beda. Gambar berikut menunjukan kompresibilitas dari berbagai macam geotekstil
dimana pengaruh tegangan pada ketebalan terlihat sangat jelas. Kemiringan dari
kurva menunjukan koefisien kompresibilitas yang merupakan nilai sifat mekanik yang
cukup penting.
II - 28
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Gambar 2.8. Kompresibiltas dari berbagai macam tipe geotekstil. (NW-NP = non-woven
needle punched, NW-HB = non-woven heat bonded)
• Tahanan Geser
Dalam berbagai macam desain, perilaku geser antara tanah dengan geotekstil-
lah yang paling mempengaruhi segala macam parameter. Penguijian yang umumnya
dilakukan adalah dengan mengunakan alat Direct Shear. Seperti terlihat pada gambar,
lembar geotekstil akan diletakkan di antara spesimen tanah. Setelah tegangan normal
dikerjakan, suatu gaya geser akan dikenakan pada spesimen hingga mengalami
keruntuhan. Pengujian diulangi dengan merubah-rubah tegangan normal yang
dikerjakan pada sampel, maka dengan menggunakan kriteria keruntuhan Mohr-
Coulomb, maka akan dapat diketahui perilaku geser yang terjadi antara tanah dengan
geotekstil.
Gambar 2.9. Pengujian untuk menentukan sifat geser antara geotesktil dengan
tanah, dan diagram hasil pengujian.
II - 29
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
• Tahanan anker
Geotekstil seringkali digunakan untuk berbagai macam aplikasi yang
berhubungan dengan perilaku anker. Pemodelan anker dapat dilakukan dengan
melakukan pengujian pada Direct Shear yang sedikit dimodifikasi. Setalah
memberikan tegangan normal, maka geotekstil akan ditarik oleh suatu gaya tertentu
seperti terlihat pada gambar berikut.
II - 30
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
II - 32
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
P (1 − 2µ ) cos 2 θ
σh = 3sin θ cos θ − (2.31)
2 3
2π z 2 1 + cos θ
dimana σh = tegangan horisontal pada kedalaman z dengan sudut θ
P = beban luar arah vertikal
z = kedalaman titik yang ditinjau
µ = rasio poisson
θ = sudut antara bidang vertikal dnegan beban P
Semakin dekat jarak antara geotekstil dengan beban luar yang bekerja, maka akan
semakin besar pula tegangan yang dialami oleh geotekstil tersebut.
• Tipe Geser
Pemodelan yang terbaik untuk geotekstil yang menggunakan tipe geser adalah
dengan menggunakan direct shear. Dengan mengadapatasi dari Keruntuhan Mohr-
Coulomb maka besarnya tegangan geser yang terjadi akibat perilaku geser antara
tanah dengan membran yaitu sebesar
τ = ca + σ n' tan δ (2.32)
II - 33
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
• Tipe Anker
Geotekstil yang berperilaku sebagai anker dapat disamakan dengan geotekstil
yang berperilaku geser, tetapi perbedaan yang cukup mendasar adalah tanah akan
bekerja pada kedua sisi sebagai suatu gaya tekan yang akan menahan geotekstil yang
hendak keluar dari lapisan tanah.
Pemodelan di laboratorium dapat digunakan alat direct shear dimana lembar
geotekstil diletakkan diantara spesimen tanah dan mengerjakan gaya tarik pada
lembar geotekstil tersebut.
2.7.2.3. Filtrasi
Fungsi geotekstil sebagai suatu filtrasi melibatkan suatu pergerakan cairan
melewati lembar geotekstil. Pada saat yang bersamaan, geotekstil juga harus berfungsi
sebagai penahan bagi aliran air pada bagian atas geotekstil. Geotekstil, ketika didesain
dan dibangun dengan baik akan menawarkan suatu pemecahan bagi aliran-aliran air.
Pada fungsi filtrasi arah aliran yang menjadi titik berat adalah ketika air
mengalir pada arah vertikal, yang berbeda dengan fungsi drainase yang lebih
menitikberatkan aliran pada arah horisontal.
2.7.2.4. Drainase
Untuk beberapa keadaan tertentu, geotekstil akan berperilaku menjadi suatu
media yang akan mengalirkan cairan sehingga membentuk suatu drainase.
Pembahasan ini mungkin akan saling bersinggungan dengan fungsi filtrasi. Tetapi
perbedaan utama yaitu arah dari aliran cairan dimana pada geotekstil yang berfungsi
drainase akan mengalirkan air ke arah horisontal, sedangkan untuk fungsi filtrasi akan
mengalirkan air ke arah horisontal.
II - 34
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
- Jalan kereta api, dimana terjadi kombinasi antara fungsi pemisahan, penahan,
dan drainase.
Untuk kasus yang berhubungan dengan kombinasi fungsi, maka masing-
masing fungsi harus dievaluasi secara mendetail. Semua harus memenuhi standar
keamanan yang paling minimum. Tetapi perlu diperhatikan pula faktor keamanan
yang akan timbul akibat kombinasi perilaku dari fungsi-fungsi yang terlibat yang akan
memberikan suatu nilai faktor keamanan yang berbeda bila dilakukan evaluasi secara
terpisah.
Gambar 2.12. Berbagai macam metode pemasangan geotekstil. Berdasarkan spasi (jarak antar
geotekstil) dan panjang hamparan geotekstil (a) Spasi sama, panjang sama. (b)
Spasi berbeda, panjang sama. (c) Spasi sama, panjang sama dengan beberapa
bagian lebih pendek pada bagian muka. (d) Spasi sama, panjang berbeda
dengan beberapa bagian lebih pendek pada bagian muka.
II - 35
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
II - 36
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
σ hq = K a q (2.36)
x2 z
σ hl = P (2.37)
R5
σ h = σ hs + σhq + σ hl (2.38)
2 φ
Ka = tan 45 − (2.39)
2
di mana σhs = tekanan lateral dari tanah sendiri
Ka = koefisien tekanan tanah aktif
φ = sudut geser tanah
γ = berat jenis tanah
z = kedalaman tanah yang ditinjau dari permukaan tanah
σhq = tekanan akibat tanah timbunan
q = γsD = beban akibat tanah timbunan pada permukaan tanah
γs = berat jenis tanah timbunan
D = tinggi tanah timbunan
γhl = tekanan tanah akibat beban hidup
P = beban terpusat
x = jarak horisontal beban terpusat dari dinding perkuatan
R = jarak radial dari beban terpusat ke titik pada dinding perkuatan
maka jarak antar lapis geotekstil dari suatu struktur timbunan dapat dinyatakan
sebagai berikut :
Tallow
Sv = (2.40)
Sv FS
di mana Sv = jarak antar tiap lapis geotekstil
FS = faktor keamanan
σh = tekanan total lateral tanah pada kedalaman yang ditinjau
Tallow = tegangan tarik yang diijinkan
II - 37
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Untuk mengetahui panjang dari lapis geotekstil yang digelar dinyatakan sebagai
berikut :
L = LE + LR (2.41)
dimana
φ
LR = ( H − z ) tan 45 − (2.42)
2
dan
Svσ h FS
LE = (2.43)
2 ( c + γ z tan δ )
dimana LE = panjang penggelaran geotekstil pada zona pengankeran
LR = panjang penggelaran geotekstil yang bersifat tidak aktif
τ = kuat geser antara tanah dengan geotekstil
Sv = jarak antar tiap lapis geotekstil
σh = tekanan total lateral tanah pada kedalaman yang ditinjau
FS = faktor keamanan
c = nilai kofesi tanah
γ = berat jenis tanah
z = kedalaman tanah yang ditinjau dari permukaan tanah
δ = sudut geser antara tanah dengan geotekstil
Panjang pengelaran yang saling bertumpang tindih Lo, dengan mengambil besarnya
nilai z berada tepat pada tengah-tengah timbunan dapat dinyatakan sebagai berikut :
S vσ h FS
Lo = (2.44)
4 ( c + γ z tan δ )
dimana panjang Lo minimum adalah sebesar 1 m.
II - 38
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
∑ ( N i tan φ + c∆ li ) R + ∑ Ti yi
FS = i =1
n
i =1
(2.45)
∑ ( w sinθ ) R
i i
i =1
n m
II - 39
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Gambar 2.14. Detail dari analisis kestabilan lereng dengan menggunakan geotekstil
Gambar 2.15. Detail dari analisis kestabilan lereng yang diperkuat dengan geotekstil
pada tanah berbutir halus untuk kondisi tak teralir (undrained)
II - 40
Bab 2 – Tinjauan Pustaka
Untuk tanah kohesi yang berbutir halus, kekuatan geser dapat dihitung pada
kondisi tak terdrainase, sehingga permasalahan kestabilan lereng dapat lebih
dipermudah seperti terlihat pada gambar di atas.
Kita tidak perlu membagi bidang gelincir menjadi beberapa elemen, karena
kekuatan tanah tidak lagi bergantung pada gaya normal pada bidang geser seperti
terlihat pada gambar diatas. Persamaan-persamaan dapat dipermudah sehingga
menjadi sebagai berikut :
m
cLarc R + ∑ Ti yi
FS = i =1
(2.47)
WX
dimana FS = faktor keamanan menyeluruh
c = kohesi tanah
Larc = panjang bidang runtuh
R = jari-jari bidang runtuh
Ti = Tegangan geser yang diijinkan untuk tiap lapis geotekstil
yi = panjang lengan momen dari geotekstil
W = berat dari bidang runtuh
X = panjang lengan momen dari titik berat bidang runtuh
II - 41
Bab 1 - Pendahuluan
Bab 1
Pendahuluan
I-1
Bab 1 - Pendahuluan
Pada kasus longsoran yang terjadi pada Kompleks Perumahan Citra Grand
Blok B-10, Cibubur, lapisan perkuatan geotekstil digunakan sebagai suatu dinding
penahan tanah dan di atas tanah timbunan tersebut akan dibangun beberapa kapling
baru. Kondisi dari lereng tersebut berbatasan langsung dengan suatu sungai dan
membentuk lereng yang amat terjal dengan elevasi pada kapling adalah + 70.0 m dan
elevasi pada bantaran sungai adalah + 43.1 m.
Usulan awal untuk penimbunan lereng dengan menggunakan perkuatan
geotekstil dengan maksud untuk memperluas lahan disekitar belakang kapling
sehingga akan dapat dibuat jalan di bagian belakang kapling tersebut.
Pada saat pelaksanaan konstruksi penimbunan tersebut telah terjadi suatu
longsoran pada saat timbunan lereng mencapai ketinggian ± 24 m dan diperlukan
penimbunan ulang untuk mencapai ketinggian sebelumnya tetapi longsoran terulang
kembali. Pergerakan horisontal pun telah terjadi sampai sejauh 11.0 m dari posisi
semula menuju ke arah sungai. Pergerakan horisontal ini turut mempengaruhi
terjadinya pergerakan arah vertikal sehingga menyebabkan penurunan di bagian atas
lereng.
Hal yang menarik dari permasalahan ini adalah bahwa tanah pada bagian kaki
lereng timbunan telah dipersiapkan dengan menggali sampai kedalaman tanah keras,
sehingga kemungkinan terjadinya keruntuhan pada bagian kaki lereng (base failure)
tidak seharusnya terjadi. Hal ini menunjukan kemungkinan besar adanya faktor-faktor
lain yang saling terkait sehingga terjadi suatu longsoran yang cukup besar ini.
I-2
Bab 1 - Pendahuluan
I-3
Bab 1 - Pendahuluan
I-4
Bab 3 – Penyelidikan Longsoran
Bab 3
Penyelidikan Longsoran
III - 1
Bab 3 – Penyelidikan Longsoran
Lokasi timbunan
pengembangan blok B-10
III - 2
Bab 3 – Penyelidikan Longsoran
lereng yang dinilai dalam keadaan rawan longsor, dan untuk mendapatkan parameter-
parameter tanah yang berhubungan untuk desain konstruksi lereng pengaman.
Pada saat terjadi keruntuhan, posisi geotekstil telah mengalami pergerakan
baik ke arah horisontal maupun arah vertikal. Berdasarkan pengamatan visual,
geotekstil telah mengalami pergerakan horisontal sejauh 11 m. Dugaan awal adalah
tidak bekerjanya perkuatan geotekstil yang seharusnya menjadi struktur penahan
akibat dilampauinya tegangan tarik maksimum yang mampu dipikul oleh lembaran
geotekstil. Hal ini dapat dilihat pada beberapa lembar geotekstil yang mengalami
robekan cukup besar.
Pergerakan horisontal ini menyebabkan terjadinya penurunan pada bagian
atas sisi lereng yang berdasarkan pengamatan mencapai hampir 3 m. Juga ditemukan
beberapa bagian geotekstil yang telah robek - yang dapat dilihat pada gambar 3.3.-
yang diduga akibat dilampauinya kapsitas tegangan maksimum yang dapat dipikul
oleh lembaran geotekstil tersebut.
Gambar 3.3. Robeknya beberapa lapis geotekstil yang diduga akibat dilampauinya
tegangan maksimum yang diijinkan dari lembar geotekstil .
III - 3
Bab 3 – Penyelidikan Longsoran
Tetapi berdasarkan laporan, pada bagian base telah dilakukan penggalian sampai
dengan kedalaman tanah keras untuk dipersiapkan menjadi tanah pondasi, maka
keruntuhan yang terjadi akibat runtuhnya pondasi sangatlah menjadi tidak masuk
akal. Maka yang hipotesa paling memungkinkan adalah telah terjadinya keruntuhan
atau kegagalan pada lapisan geotekstil yang terbawah yang tidak sanggup menahan
beban-beban luar yang bekerja sehingga geotekstil tidak sanggup menahan tekanan
tanah yang terjadi sehingga geotekstil menjadi robek dan berakibat pada keseluruhan
konstruksi lereng tersebut.
Jalur drainase yang tertutup akibat struktur geotekstil hanya didesain sebagai
struktur penahan saja tanpa memperhatikan fungsi utama lainnya yaitu drainase
diduga juga turut berperan meningkatkan tekanan lateral yang terjadi sehingga akan
mendorong konstruksi lereng tersebut. Jalur drainase yang tertutup juga
menyebabkan air akan merembes keluar ke arah sisi lereng pada satu bagian saja yang
akan menjenuhkan tanah sekitar sehingga akan menurunkan tegangan dari tanah
timbunan.
Geotekstil BW 250
14,5 m
Gambar 3.4. Potongan Melintang dari struktur timbunan dan tanah asli
III - 4
Bab 3 – Penyelidikan Longsoran
Geotekstil yang akan menjadi pembungkus digelar dan akan disambung dengan jalan
penjahitan. Taha p awal konstruksi yaitu dengan melakukan penggalian tanah hingga
mencapai tanah keras yang akan digunakan sebagai dasar pondasi. Pada saat
penggalian, ditemukan suatu aliran air tanah yang diduga bahwa dasar pondasi berada
pada muka air tanah. Mata air tanah ini lalu dialirkan melalui pipa pralon ke luar
daerah timbunan. Berdasarkan informasi, drainase ini digunakan hanya untuk
mengatasi masalah yang timbul selama proses konstruksi dan tidak dipersiapkan
untuk kestabilan struktur jangka panjang.
Setelah dasar pondasi siap, geotekstil akan digelar dan pada bagian sekeliling
lereng akan dipasang karung-karung pasir yang berguna untuk menahan tanah
sementara dan juga untuk melindungi geotekstil dari gerakan alat berat. Kemudian
tanah merah digelar dan dipadatkan dengan menggunakan roller. Untuk memberikan
tegangan awal pada geotekstil, pada bagian tengah timbunan digali menyerupai parit
dimana ujung geotekstil akan ditanam dan ditimbun oleh tanah merah kembali.
Proses dilanjutkan berulang kali sehingga dicapai total ketinggian timbunan
yang diinginkan. Pengawasan kualitas tanah timbunan dilakukan dengan
mengggunakan uji sondir dan diperoleh nilai tahanan ujung qc sebesar 10 – 25
kg/cm2.
III - 5
Bab 3 – Penyelidikan Longsoran
longsoran. Pengujian SPT dan pemboran tambahan dilakukan sebanyak 2 buah titik
pada tubuh timbunan yang mengalami longsoran yaitu pada elevasi +58,84 m (BH-1)
dan pada elevasi + 58,57 m (BH-2). Dilakukan pula pengujian CPT pada 5 buah titik
dimana yaitu pada elevasi +59 m (S-01), + 58,95 m (S-02), + 62,06 m (S-03) dan +
58,58 m (S-04) dan pada elevasi + 43 m.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari pemboran di atas diketahui
bahwa pada lapisan teratas didominasi oleh lapisan silty clay dengan nilai N-SPT 4 –
7 (pukulan / 30 cm) dengan konsistensi medium. Pada lapisan bawahnya ditemukan
lapisan sand dengan nilai N-SPT 11 – 50 (pukulan / 30 cm).
Muka air tanah ditemukan pa da kedalaman -14,5 m dari permukaan tanah
asli. Data permukaan air tanah diduga cukup memegang peranan penting, karena
pada hasil penyelidikan geoteknik tambahan yang dilakukan tepat pada tubuh
timbunan, ditemukan muka air tanah berada pada tubuh timbunan. Hal ini diduga
akibat drainase yang tidak baik sehingga menyebabkan air tanah terperangkap dalam
tubuh timbunan dan menggenanginya sehingga lapisan geotekstil menjadi semacam
suatu bendungan baru. Air yang terperangkap ini dapat berasal dari muka air tana h
asli atau berasal dari rembesan air hujan yang masuk ke dalam tanah.
Akibat adanya air, diduga sistem timbunan yang diperkuat dengan geotekstil
seakan-akan menjadi terapung, sehingga tidak akan timbul suatu tegangan tarik yang
diharapkan muncul dari perkuatan geotekstil tersebut. Hal ini menyebabkan
hilangnya suatu struktur perkuatan yang menjadi penahan gaya geser yang terjadi.
Setelah hilangnya kekuatan untuk menahan geser tersebut, tanah pada timbunan tidak
mampu menahan pergerakan lateral dari material tanah yang cukup besar sehingga
struktur timbunan akan mengalami pergerakan. Akibat pergerakan yang timbul akan
menimbulkan gaya tarik yang besar yang akan melampaui tegangan ijin dari tiap lapis
geotekstil sehingga akan merobek lembaran geotekstil tersebut yang akan
menyebabkan semakin hilangnya kinerja dari struktur perkuatan geotekstil tersebut.
III - 6
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
Bab 4
Analisis Kestabilan Lereng
IV - 1
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
tinggi 11,52 cm (4,54 inch). Pada sampel kompaksi, ditambahkan air sehingga
didapatkan kadar air yang berbeda-beda. Air yang ditambahkan pada sampel adalah
sebanyak 100, 200, 300, 400, dan 500 cm3.
Dari hasil pengujian didapatkan bahwa kadar air optimum pada tanah
timbunan yang akan digunakan adalah sebesar 37 % seperti terlihat pada gambar 4.1.
yang menunjukan hubungan antara kadar air dengan berat tanah kering
1,5
1,45
1,4
3
Berat isi kering ; gr/cm
1,35
1,3
1,25
1,2
1,15
1,1
20 25 30 35 40 45 50
IV - 2
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
0,8
0,7
0,6
0,5
c, ca (kg/cm )
2
0,4
0,3
0,2
Soil - soil
0
30 35 40 45 50
Gambar 4.2. Hubungan antara kadar air terhadap kohesi (c) dan adhesi (ca)
IV - 3
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
14
12
φ, δ ( 0 ) 10
2 Soil vs soil
Soil vs Geotekstil
0
30 35 40 45 50
IV - 4
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
IV - 5
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
IV - 6
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
dimulai pada elevasi tepat pada kaki timbunan hingga mencapai suatu elevasi tertentu
hingga terjadi suatu keruntuhan dari sisten tersebut.
Untuk setiap tahap analisis akan dilakukan analisis deformasi baik deformasi
yang terjadi secara global pada seluruh struktur sistem penahan, yaitu tubuh
timbunan yang diperkuat dengan geotekstil yang berfungsi sebagai suatu struktur
perkuatan, maupun deformasi lokal yaitu deformasi yang terjadi pada tiap lapis
geotekstil. Analisis kekuatan juga akan dilakukan pada setiap lapis geotekstil untuk
memantau besarnya tegangan-tegangan aksial yang terjadi pada seluruh lapis
geotekstil pada setiap tahapan konstruksi. Dari analisis deformasi dan analisis
kekuatan yang dilakukan akan ditarik suatu kesimpulan mengenai perilaku dari sistem
dan mendapatkan gambaran apa yang terjadi selama proses konstruksi berlangsung.
Tahapan-tahapan dalam analisis selama proses konstruksi dapat dilihat pada
gambar 4.4.
Analisis Kekuatan
Analisis Deformasi Analisis Kekuatan Analisis Deformasi
Deformasi pada Tubuh Gaya Tarik pada Deformasi pada Gaya Tarik pada
Timbunan Tiap Lapis Geotekstil Tubuh Timbunan Tiap Lapis Geotekstil
Deformasi Total Gaya Tarik Total Deformasi Total Gaya Tarik Total
untuk Tiap Tahap untuk Tiap Tahap untuk Tiap Tahap untuk Tiap Tahap
IV - 7
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
0,3
0,25
Peningkatan deformasi (m)
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0 4 8 12 16 20 24
Tinggi timbunan (m)
Gambar 4.5. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap peningkatan deformasi global
7
Peningkatan deformasi (m)
4
3
0
0 2 4 6 8 10 12
Gambar 4.6. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap peningkatan deformasi global
IV - 8
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
0,8
0,7
0,6
Deformasi (m)
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0 4 8 12 16 20 24
Tinggi timbunan (m)
IV - 9
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
10
9
8
7
Deformasi (m)
5
4
3
2
1
0
0 2 4 6 8 10 12
Tinggi mat (m)
Gambar 4.8. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap deformasi global
IV - 10
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
Pada saat terjadi peningkatan elevasi muka air tanah umumnya terjadi
peningkatan deformasi terutama setelah elevasi muka air tanah berada pada
ketinggian lebih besar dari 6 m dari permukaan tanah. Pada saat elevasi muka air
tanah berada pada elevasi 0 – 6 m dari permukaan tanah deformasi yang terjadi
cenderung stabil dan berada pada rentang 70,83 – 73,17 cm. Setelah elevasi muka air
tanah mencapai ketinggian 8 m, deformasi yang terjadi meningkat cukup tajam
dimulai dari deformasi sebesar 1,10 m dan mencapai deformasi sebesar 8,58 m pada
saat elevasi muka air tanah mencapai ketinggian 12 m dari permukaan tanah.
Peningkatan elevasi muka air tanah di dalam tubuh timbunan diduga akan
menyebabkan terjadinya suatu penambahan tekanan aktif yang bekerja pada tubuh
timbunan. Pada awal perencanaan diperkirakan tidak memperhitungkan
kemungkinan dari timbulnya tekanan aktif yang cukup besar ini sehingga lapisan
geotesktil yang didesain sebagai struktur penahan tidak dapat bekerja seperti yang
diharapkan sebelumnya.
0,8
0,7 0
2
Peningkatan deformasi (m)
0,6
4
0,5 6
8
0,4
10
0,3 12
0,2 14
16
0,1
18
0 20
0 4 8 12 16 20 24 22
Tinggi timbunan (m)
IV - 11
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
9
0
8
2
7 4
Peningkatan deformasi (m)
6
6
8
5 10
4 12
14
3
16
2 18
20
1
22
0
2 4 6 8 10 12
Tinggi muka air tanah (m)
Gambar 4.10. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap
peningkatan deformasi pada tiap lapis geotekstil
IV - 12
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
IV - 13
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
0,8
0
0,7
2
0,6 4
6
Deformasi (m)
0,5 8
10
0,4
12
0,3 14
16
0,2
18
0,1 20
22
0
0 4 8 12 16 20 24
Tinggi timbunan (m)
Gambar 4.11. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap deformasi
pada tiap lapis geotekstil
10
9 0
8 2
7 4
Deformasi (m)
6
6
8
5
10
4
12
3
14
2 16
1 18
0 20
2 4 6 8 10 12 22
Tinggi muka air tanah (m)
Gambar 4.12. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap deformasi
pada tiap lapis geotekstil
IV - 14
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
IV - 15
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
120
80
60
40
20
0
0 4 8 12 16 20 24
180
160
Peningkatan gaya aksial (kN/m)
140
120
100
80
60
40
20
0
0 2 4 6 8 10 12
Tinggi muka air tanah (m)
Gambar 4.14. Hubungan antara tinggi muka air tanah terhadap peningkatan
gaya aksial maksimum
IV - 16
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
IV - 17
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
300
250
Gaya aksial (kN/m)
200
150
100
50
0
0 4 8 12 16 20 24
Gambar 4.15. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap gaya aksial maksimum
600
500
Gaya Aksial (kN/m)
400
300
200
100
0
0 2 4 6 8 10 12 14
Tinggi muka air tanah (m)
Gambar 4.16. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap gaya aksial maksimum
IV - 18
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
IV - 19
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
120
0
100 2
250
0
Peningkatan gaya aksial (kN/m)
200 2
4
6
150
8
10
100
12
14
50 16
18
0 20
2 4 6 8 10 12 22
Tinggi muka air tanah (m)
IV - 20
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
IV - 21
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
300
0
250 2
4
Gaya aksial (kN/m)
200
6
8
150
10
100 12
14
50 16
18
0 20
0 4 8 12 16 20 24 22
Tinggi timbunan (m)
600
0
2
500
4
6
Gaya aksial (kN/m)
400 8
10
300 12
14
200 16
18
20
100
22
0
2 4 6 8 10 12
Tinggi muka air tanah (m)
Gambar 4.20. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap gaya aksial
pada tiap lapis geotekstil
IV - 22
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
Gambar 4.19. menunjukan hubungan antara besarnya gaya aksial yang terjadi
ketika dilakukan penimbunan tanah. Dari gambar terlihat pada tahap awal, yaitu
ketika timbunan berada pada ketinggian 0 – 18 m, gaya aksial yang bekerja pada
seluruh lapis geotekstil masih cukup kecil dengan rentang antara 0 – 20,78 kN/m.
Ketika timbunan semakin tinggi, gaya aksial yang terjdi pada seluruh lapisan
geotekstil cenderung meningkat dengan nilai yang cukup beragam. Ketika elevasi
timbunan berada pada ketinggian 20 m, gaya aksial yang bekerja adalah sebesar 0 –
94,36 kN/m. Pada saat tinggi timbunan mencapai ketinggian 22 m dan 24 m, pada
geotekstil dengan ketinggian 6 m terjadi gaya aksial terbesar adalah sebesar 192,16
kN/m (tingggi timbunan 22 m) dan 254,38 kN/m (tinggi timbunan 24 m) dan telah
melampaui gaya aksial yang diijinkan yaitu sebesar 100 kN/m dan diperkirakan pada
saat ini geotekstil tersebut telah tersobek dan mengalami kegagalan fungsi.
Gambar 4.20. menunjukan besarnya gaya aksial yang bekerja pada setiap lapis
geotekstil ketika terjadi peningkatan elevasi muka air tanah. Pada tahap awal, yaitu
ketika elevasi muka air tanah berada pada ketinggian 2 – 6 m, gaya aksial yang bekerja
cenderung stabil dan tidak mengalami peningkatan yang cukup besar dan gaya aksial
terbesar yaitu sebesar 262,21 kN/m, yang bekerja pada lapis geotekstil dengan elevasi
6 m pada saat elevasi muka air tanah berada pada ketinggian 6 m dari dasar timbunan.
Ketika elevasi muka air tanah berada pada ketinggian 8 m dari dasar
timbunan, gaya aksial baru mengalami peningkatan yang cukup besar. Gaya aksial
yang terbesar terjadi pada lapis geotekstil yang berada pada ketinggian 6 m, yaitu
sebesar 345,81 kN/m. Ketika elevasi muka air tanah semakin meningkat yaitu pada
ketinggian 12 m dari dasar timbunan, terjadi peningkatan gaya aksial yang cukup
besar pada geotekstil pada beberap alapis geotekstil. Gaya aksial yang bekerja pada
lapis geotekstil tersebut pada saat elevasi muka air tanah berada pada ketinggian 12 m
yaitu sebesar 95,57 – 478,60 kN/m. Pada keadaan ini, diperkirakan geotekstil telah
mengalami kerusakan dan tidak dapat lagi bekerja menahan gaya-gaya yang bekerja
kecuali untuk lapis geotekstil yang berada pada ketinggian 20 dan 22 m yang hanya
mengalami gaya tarik sebesar 95,57 kN/m dan 97,46 kN/m.
Dari hasil analisis, didapatkan bahwa pada seluruh lapis geotekstil gaya aksial
yang bekerja umumya terjadi pada ujung dari lembaran geotekstil. Hal ini dikarenakan
bahwa bagian tersebut adalah bagian yang paling lemah dan pola keruntuhan yang
terjadi akan mengikuti pola dari ujung lembar geotekstil tersebut.
IV - 23
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
Pada simulasi yang dilakukan terdapat suatu kelemahan, yaitu bahwa dalam
melakukan simulasi tetap menganggap bahwa geotekstil berada dalam keadaan cukup
baik untuk menahan gaya-gaya yang bekerja. Pada keadaan sebenarnya geotekstil
tidak dapat lagi bekerja sesuai dengan fungsinya ketika gaya aksial yang terjadi telah
melebihi gaya aksial yang diijinkan.
Simulasi yang dilakukan lebih diutamakan untuk mengetahui tegangan-
tegangan total yang bekerja dan lebih berdasarkan untuk tujuan desain dan bukan
untuk keperluan evaluasi. Dalam hal ini, diperlukan suatu modifikasi dalam
pemodelan untuk melakukan analisis yang bertujuan untuk evaluasi.
IV - 24
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
IV - 25
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
Gambar 4.23. Hubungan antara matric suction (ua-uw) terhadap kadar air
(Fredlund dan Rahardjo, 1993)
IV - 26
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
IV - 27
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
Tiap metode memiliki tahapan-tahapan yang sama, yaitu akan terjadi suatu
peningkatan elevasi muka air tanah dari dasar timbunan hingga muka air tanah berada
pada ketinggian 14 m dari dasar timbunan. Pada setiap tahap akan elevasi muka air
tanah akan mengalami peningkatan sebesar 2 m dimulai dari elevasi tepat berada pada
dasar timbunan hingga mencapai ketinggian 14 m dari dasar timbunan.
Contoh analisis kestabilan lereng dengan menggunakan metode grid & radius
dapat dilihat pada gambar 4.25. Hasil dari analisis yang dilakukan oleh slope-w akan
beruapa suatu bidang keruntuhan rotasi yang mungkin terjadi dan memiliki nilai
faktor keamanan terkecil.
Gambar 4.25. Analisis kestabilan lereng berdasarkan metode grid & radius
Untuk analisis dengan metode fully specified, dalam analisis kestabilan lereng ini
keruntuhan translasi diperkirakan akan terjadi di tiga bidang seperti terlihat pada
gambar 4.26. Keruntuhan translasi ke-1 diperkirakan akan terjadi tepat pada
perbatasan antara lereng asli dengan tanah timbunan. Keruntuhan translasi ke-2
diperkirakan terjadi tepat pada ujung lembaran pada seluruh lapis geotekstil dan
keruntuhan translasi ke-3 terjadi pada bagian tengah dari lembar geotekstil. Keluaran
dari analisis dengan menggunakan metode fully specified ini akan berupa bidang
keruntuhan translasi yang memiliki nilai fa ktor keamanan terkecil dari seluruh bidang
translasi yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam analisis ini bidang keruntuhan
yang terjadi merupakan salah satu dari ketiga bidang yang telah ditentukan
sebelumnya.
IV - 28
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
1 2 3
1,8
1,4
1,2
0,8
0,6
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Gambar 4.27. Hubungan antara tinggi muka air tanah dengan faktor keamanan
berdasarkan metode grid & radius dan metode fully specified
Pada analisis kestabilan lereng yang menggunakan metode grid & radius, dari
gambar 4.27. dapat dilihat bahwa seiring dengan terjadinya kenaikan muka air tanah
akan terjadi penurunan nilai faktor keamanan dari kondisi lereng. Pada tahap awal,
ketika elevasi muka air tanah mengalami peningkatan dari elevasi 0 m menjadi 2 m,
IV - 29
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
nilai faktor keamanan tidak mengalami perubahan yang cukup besar yaitu sebesar
1,365 (elevasi 0 m) dan 1,338 (elevasi 2 m). Nilai faktor keamanan mengalami
penurunan yang cukup besar ketika elevasi muka air tanah berada pada ketinggian 4 –
10 m yaitu nilai faktor keamanan bergerak pada nilai 1,251 (ketinggian muka air tanah
4 m) – 0,702 (ketinggian muka air tanah 14 m). Kondisi kritis terjadi ketika muka air
tanah berada pada ketinggian antara 10 m (fk = 1,014) dan 12 m (fk = 0,942), dimana
ketika muka air tanah berada diantara ketinggian 8 – 10 m akan memberikan nilai
faktor keamanan 1,0.
Dari hasil keluaran program slope-w dapat dilihat juga bahwa pada seluruh
tahapan analisis bidang keruntuhan yang terjadi akan berbentuk rotasi dan seluruhnya
terjadi pada seluruh tubuh timbunan kecuali ketika elevasi muka air tanah berada
pada ketinggian 14 m, diperkirakan akan terjadi keruntuhan pada bagian muka tubuh
timbunan saja.
Dari gambar 4.27. juga terlihat bahwa analisis kestabilan lereng yang
dilakukan dengan metode fully specified akan memberikan pola yang sama dengan hasil
analisis yang menggunakan metode grid & radius, bahwa ketika terjadi peningkatan
elevasi muka air tanah akan terjadi penurunan nilai faktor keamanan. Nilai faktor
keamanan akan terus mengalami penurunan dengan sangat cepat yang ditunjukan
dengan grafik yang berbentuk curam ketika elevasi muka air tanah mengalami
kenaikan.
Pada elevasi muka air tanah berada pada ketinggian 0 m pada bidang
keruntuhan translasi yang terjadi akan memberikan nilai 1,707 yang menunjukan
lereng timbunan dalam kondisi yang cukup aman. Penurunan nilai faktor keamanan
akan berlangsung secara linear seiring dengan terjadinya peningkatan elevasi muka air
tanah.
Kondisi kritis diperkirakan terjadi ketika elevasi muka air tanah berada pada
ketinggian antara 10 - 12 m, dimana nilai faktor keamanan yang dihasilkan adalah
sebesar 1,082 (elevasi muka air tanah 10 m) dan sebesar 0,961 (elevasi muka air tanah
12 m).
Dari hasil keluaran program slope-w dapat dilihat juga bahwa pada seluruh
tahapan analisis bidang keruntuhan yang terjadi akan berbentuk translasi mengikuti
pola keruntuhan translasi ke-2, yaitu akan terjadi keruntuhan yang tepat berada pada
ujung lembaran geotekstil. Dengan nilai faktor keamanan yang cenderung menuju
IV - 30
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng
nilai 1,0 seiring dengan terjadinya peningkatan elevasi muka iar tanah, maka dapat
dikatakan lereng berada pada kondisi tidak aman jika terjadi suatu keruntuhan
translasi.
IV - 32
Bab 5 – Kesimpulan dan Saran
Bab 5
Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis kestabilan lereng dari lokasi lereng Blok B-10 extension,
Cibubur, dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Longsoran yang terjadi pada lereng ini melibatkan berbagai macam faktor
yang saling terkait sehingga mendorong terjadinya suatu longsoran. Salah
satu faktor adalah tubuh timbunan yang terlampau tinggi menyebabkan
tanah pada bagian dasar timbunan tidak dapat memikul beban timbunan
diatasnya. Ketika tinggi timbunan mencapai ketinggian 22 m, gaya tarik
yang bekerja pada geotekstil pada beberapa lapis telah melebihi gaya tarik
yang diijinkan, sehingga diperkirakan geotekstil telah terkoyak dan telah
kehilangan funginya. Pada ketinggian yang sama telah terjadi pergerakan
sebesar 49,99 cm.
2. Air tanah yang ditemukan pada tubuh timbunan diperkirakan akibat
tertutupnya jalur aliran awal dari air tanah yang hendak mengalir menuju
sungai di bagian kaki timbunan. Air tanah akan mempengaruhi parameter
tanah dan memberikan tekanan aktif pada tubuh timbunan yang akan
mempengaruhi pergerakan tubuh timbunan sehingga terjadi peningkatan
gaya aksial pada geotekstil. Meningkatnya kadar air tanah di dalam tubuh
V-1
Bab 5 – Kesimpulan dan Saran
5.2. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Diperlukan suatu metode analisis yang lebih tepat, mengingat kondisi
program plaxis yang melakukan analisis berdasarkan tujuan desain dan
bukan berdasarkan evaluasi. Program plaxis hanya membatasi
V-2
Bab 5 – Kesimpulan dan Saran
V-3
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Abramson, Lee W., Thomas S. Lee, Sunil Sharma, Glenn M. Boyce., Slope Stability
and Stabilization Methods, John Wiley & Sons, Inc., New York, 1996
Das, Bradja M., Advanced Soil Mechanics, Hemisphere Publishing Corporation,
Washington, 1983
Floss, R., Soil Systems with Geotextile Reinforcement Elements State of The Art on Stability
Analyses, Proceedings of The Post Conference on Geotextiles,
International Geotextile Society, Singapore, 1987
Fredlund, D. G., H. Rahradjo, Soil Mechanics for Unsaturated Soils, John Wiley &
Sons, Inc., New York, 1993
Geoslope International Ltd., User’s Guide Slope/W for slope stability analysis Version
3, Geo-Slope International Ltd., Alberta, 1995
Gouw, Tjie Liong, Dinding Perkuatan Tanah (Mechanically Stabilized Earth / MSE
Wall), Prosiding Seminar Geoteknik - Geosynthetic Design and
Construction, Program Pascasarjana Geoteknik Unpar & ASCE -,
Bandung, 1996
Irsyam, Masyhur, Perkuatan Tanah untuk Lereng dan Timbunan dengan Geotextile dan
Sistem-sistem Lainnya, Prosiding Seminar Geoteknik - Geosynthetic Design
and Construction, Program Pascasarjana Geoteknik Unpar & ASCE -,
Bandung, 1996
Koerner, Robert M., Designing with Geosynthetics, 3rd Edition, Prentice Hall Inc., New
Jersey, 1994
Lee, Ian. K., Weeks White, Own G. Ingles, Geotechnical Engineering, Pitman
Publishing Pty Ltd., Melbourne, 1983
Rahardjo, Paulus P., El Fie Salim, Budijanto Widjaja, Manual Kestabilan Lereng,
GEC Unpar, Bandung, 2002
Rahardjo, Paulus P., Laporan : Desain Rehabilitasi Konstruksi Lereng B-10 Extension,
Bandung, 2002
Rahardjo, Paulus P., Preliminary Report : Tinjauan Longsoran pada Blok B-10 Citra-
Grand dan Rekomendasi Tindakan Darurat, Bandung, 2002
VI - 1
Daftar Pustaka
Rankilor, P.R., Membranes in Ground Engineering, John Wiley & Sons, Chichester,
1981
Rib, Harold T., Ta Liang, Recognition and Identification, Transportation Research
Board Special Report 176, Landslides Analysis and Control, National
Academy of Sciences, Washington, 1978
Schuster, Robert L., Introduction, Transportation Research Board Special Report
176, Landslides Analysis and Control, National Academy of Sciences,
Washington, 1978
Tscebotarioff, Gregory P., Foundations, Retaining and Earth Structures – the art of
design and construction and it’s scientific basis in soil mechanics, 2 nd edition,
McGraw-Hill Kogakusha, Ltd., Tokyo, 1973
Varnes, David J., Slope Movement Types and Processes, Transportation Research
Board Special Report 176, Landslides Analysis and Control, National
Academy of Sciences, Washington, 1978
VI - 2