Anda di halaman 1dari 110

Evaluasi Kestabilan Lereng yang Diperkuat

dengan Perkuatan Geotekstil


Studi Kasus : Longsoran Cibubur

TESIS

Deny Wibisana
NPM : 2000831016
NIRM : 41068171000135

Universitas Katolik Parahyangan


Program Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil
Bandung
2003
Evaluasi Kestabilan Lereng yang Diperkuat
dengan Perkuatan Geotekstil
Studi Kasus : Longsoran Cibubur

TESIS

Deny Wibisana
NPM : 2000831016
NIRM : 41068171000135

Pembimbing :
Prof. Dr. Ir. A. Aziz Djajaputra, MSCE

Universitas Katolik Parahyangan


Program Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil
Bandung
2003
Evaluasi Kestabilan Lereng yang Diperkuat
dengan Perkuatan Geotekstil
Studi Kasus : Longsoran Cibubur

TESIS

Deny Wibisana
NPM : 2000831016
NIRM : 41068171000135

Persetujuan Tesis :

Pembimbing :
Prof. Dr. Ir. A. Aziz Djajaputra, MSCE _________________________

Penguji :
Prof. Ir. Paulus Pramono Rahardjo, MSCE, Ph.D. _________________

Penguji :
Ir. Wisjnu Yoga Brotodihardjo, MSCE __________________________
Kupersembahkan untuk orang tuaku yang terkasih,
Papa dan Mama yang telah membimbingku

dan untuk kedua adikku yang tersayang


Veronika Maria Mia Laurentia Deliyanthi,
Maria Veronika Mike Laurentia Damayanthi.

"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan;


jadilah padaku menurut perkataan-Mu itu.”
(Lukas 1 : 38)
Abstrak
Evaluasi Kestabilan Lereng yang Diperkuat dengan Perkuatan Geotekstil
Studi Kasus : Longsoran Cibubur

Deny Wibisana
NPM : 2000831016
NIRM : 41068171000135

Pembimbing : Prof. Dr. Ir. A. Aziz Djajaputra, MSCE

Longsoran tanah merupakan salah satu bencana alam yang sangat sering ditemui.
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab terjadinya pergerakan tanah pada suatu lereng.
Beberapa faktor tersebut antara lain, menurunnya kekuatan geser tanah, aliran air tanah,
penambahan beban pada lereng dan lainnya.

Penelitian ini dilakukan pada lokasi studi Blok B-10 Extension, Cibubur, yang telah
mengalami pergerakan yang cukup besar. Pada lokasi studi telah dilakukan penimbunan
tanah yang berguna bagi pembangunan tahap selanjutnya berupa beberapa buah kapling
rumah dan jalan raya selebar 8 m. Timbunan direncanakan hingga mencapai ketinggian 29 m,
tetapi ketika tinggi timbunan mencapai ketinggian 24 m, terjadi pergerakan yang cukup besar
pada tubuh timbunan. Ketika dilakukan penelitian tanah tambahan di lokasi longsoran
ditemukan adanya muka air tanah pada tubuh timbunan. Terperangkapnya air tanah di dalam
tubuh timbunan diduga akibat tertutupnya jalur awal dari aliran air tanah sehingga air tanah
tidak mempunyai jalan keluar menuju sungai yang berada di kaki lereng timbunan.

Penelitian diawali dengan melakukan pengujian kompaksi dengan metode Proctor


standar, yang dilanjutkan dengan pengujian geser langsung (direct shear) pada berbagai macam
kadar air. Pengujian ini digunakan untuk mengetahui adhesi (ca) dan sudut geser dalam (δ)
antara tanah dengan geotekstil. Dari hasil pengujian didapatkan bahwa nilai ca dan δ akan
mengalami penurunan akibat meningkatnya kadar air tanah. Perhitungan analisis kestabilan
lereng di dalam penelitian ini menggunakan program plaxis dan slope-w. Program plaxis
digunakan untuk melakukan analisis terhadap tahapan-tahapan konstruksi, sedangkan
program slope-w untuk menentukan nilai faktor keamanan dari kestabilan lereng. Metode
yang digunakan dalam program slope-w berdasarkan asumsi bahwa bidang keruntuhan akan
mengikuti keruntuhan rotasi (analisis grid & radius) dan keruntuhan tranlasi (analisis fully
specified)

Hasil penelitian menunjukan bahwa pada tahap-tahap awal analisis yaitu ketika tinggi
timbunan mencapai ketinggian 20 m, dan muka air tanah masih berada dibawah ketinggian 0
m, lereng masih dalam keadaan stabil. Dari hasil analisis menunjukan bahwa ketika tinggi
timbunan mencapai ketinggian 22 m, terjadi pergerakan sebesar 0,50 m dan gaya tarik
geotekstil sebesar 192,16 kN/m dan diperkirakan pada keadaan ini geotekstil telah terkoyak
dan kehilangan fungsinya. Dari hasil analisis slope-w dengan metode grid & radius, ketika muka
air tanah berada pada ketinggian 10 m nilai faktor keamanan memberikan nilai yang sangat
kritis yaitu sebesar 1,014 sehingga setiap saat dapat terjadi pergerakan tanah. Dengan
menggunakan metode fully specified, lereng diperkirakan akan bergerak dengan bidang
keruntuhan tepat berada pada ujung dari lembaran geotekstil dan pada elevasi muka air tanah
10 m, didapatkan nilai faktor kemanan kritis sebesar 1,082.

i
Abstract
Slope Stability Evaluation of Geotextile Reinforcement Embankment
Case Study : Cibubur’s Landslide

Deny Wibisana
NPM : 2000831016
NIRM : 41068171000135

Advisor : Prof. Dr. Ir. A. Aziz Djajaputra, MSCE

Landslide is one of the most natural disasters that we could meet. Several factors
could cause the movement of a slope such as degradation of shear strength, ground water
flow, slope surcharge and others.

The case study of this research would took place at B-10 Extension Block, Cibubur,
which had been slided in big direction. At the case study, an embankment had been done for
further development of several houses and 8 m road. Embankment was planned for about
29 m heights, but when the height reached about 24 m, a big slide was occurred. When an
extra soil investigation was conducted at the location, ground water table was found at the
body of landfill. The trapped of ground water table was estimated as the result of the
blocking of natural lane of ground water flow so the ground water didn’t have an exit way
out to the river which is located at the feet of land fill.

First step of analysis was doing a Proctor standard compaction test, and was
continued by direct shear test at several water content. The direct test is to obtain adhesion
(ca) and friction angle (δ) of geotextile to soil. The results of the experiment are the value ca
and δ will decrease when the water content is increase. Slope stability analysis at this research
was performed using plaxis and slope-w softwares. Plaxis software was used to analysis the
stage of construction, meanwhile slope-w software is to determine the safety factor slope
stability. The method, which is used in slope-w, was based at the assumption of the circular
failure plane (grid & radius analysis) and translation failure plane (fully specified analysis).

The result of the analysis presents at the beginning of construction stage, the
embankment was in the secure position when the height of embankment was 20 m heights
and the ground water level at 0 m height. When the height was in 22 m heights, 0.50 m
deformation was occurred and the axial force at the geotextile was 192.16 kN/m and was
estimated to be torn and has lost its function. From the slope-w analysis by grid & radius
method, when the ground water level at 10 m heights, the safety factor is 1.014 and could
occurred sudden landslide. By fully specified method, the slope was estimated to be slide at
the end of geotextile reinforcement sheet and the safety factor is 1.082 when the ground
water level was at 10 m heights.

ii
Prakata

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena hanya
berkat rahmat dan bimbingannya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
sebagai suatu persyaratan kelulusan pada program Magister Teknik Sipil, Universitas
Katolik Parahyangan, Bandung.
Pada kesempatan ini, penulis hendak menyampaikan penghargaan dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Yang tercinta, kedua orang tua penulis : Purwadi Wibisana - Juhana
Sukiman, dan kedua adik penulis: V.M. Mia L. Deliyanthi dan M.V. Mike
L. Damayanti, atas segala kepercayaan dan pengertiannya selama penulis
menyelesaikan studi dan memberikan semangat, dukungan, bantuan fisik dan
doa-doa yang tak kunjung hentinya.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Aziz Djajaputra, MSCE, selaku dosen pembimbing
atas segala bimbingan, pengarahan dan masukan selama proses penulisan tesis
ini.
3. Bapak Prof. Ir. Paulus Pramono Rahardjo, MSCE, Ph.D, selaku dosen
pembahas atas segala masukannya saat seminar, informasi-informasi berupa
data dan segala bantuannya dalam proses penyelesaian thesis ini.
4. Bapak Ir. Wisjnu Yoga Brotodihardjo, MSCE, selaku dosen pembahas atas
segala masukannya saat seminar, dan segala bantuannya dalam proses
penyelesaian thesis ini.
5. Keluarga Pak Soehardiman dan Bu Jenny T. Rahardja, Arivianti W.,
Sonny K., atas segala penghiburan dan masukannya.
6. Keluarga Besar Legio Mariae Presidium Sumber Sukacita, baik anggota
aktif, anggota auksiler maupun para mantan anggotanya, di manapun kalian
berada, atas segala dukungan, tawa, canda, sedih, susah, benci dan berbagai
macam warna dan kegilaan yang telah mengisi hidup ini.
7. Rekan-rekan KMK Unpar yang sudah tidak ketahuan kemana saja selama ini,
atas segala kebersamaan dan kegilaannya selama ini.

iii
8. Rekan-rekan S-1 Teknik Sipil Unpar Angkatan 1995, di manapun kalian
berada, penulis tak akan pernah melupakan kebersamaan kita walaupun sudah
sekian lama berlalu dan tak pernah bersua.
9. Rekan-rekan Magister Teknik Sipil Angkatan 2000, Yunan Halim, Pak
Budi Wuryanto, Mbak Surya, Paulus Sianto, Aris Handoko, Stephanus
Herry, Yunius Sinsin, Audry atas segala bantuan dan kebersamaannya
selama ini.
10. Rekan-rekan MTS lainnya Toet-toet, Lento, Stephen, Lina, Santy, Kuari,
Glenn, atas gurauannya yang kadang-kadang menghabiskan waktu dan
setelah dipikir-pikir kembali ternyata tidak berguna sama sekali.
11. Rekan-rekan kos Bukit Hegar II / 26, atas segala keceriaannya selama penulis
menghabiskan hidup di Bandung selama 8 tahun.
12. Dan untuk rekan-rekan, kerabat dan kenalan yang tak sempat untuk
disebutkan satu persatu atas segala bantuannya kepada penulis.
Maybe There is not enough place for all of you in this paper, but there’s always enough
place for all of you in my heart. Thank a lot guys….

Pada akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan akibat berbagai macam keterbatasan. Maka dengan rendah hati penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu geoteknik pada khususnya.

Bandung, Juli 2003


Penulis

A Deny P Wibisana

iv
Daftar Isi

Abstrak i
Prakata ii
Daftar Isi v
Daftar Gambar viii
Daftar Tabel xi
Daftar Notasi xii
Bab 1 Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah 1-1
1.2. Maksud dan Tujuan Penulisan 1-2
1.3. Lingkup Pembahasan 1-3
1.4. Metode Penulisan 1-3
1.5. Sistematika Penulisan 1-3
Bab 2 Tinjauan Pustaka
2.1. Pengelompokan Lereng 2-1
2.1.1. Lereng Alam 2-1
2.1.2. Lereng Buatan 2-2
2.1.2.1. Embankment 2-2
2.1.2.2. Penggalian (Cut-Slope) 2-2
2.2. Tinjauan Umum Longsoran 2-2
2.3. Faktor-faktor Penyebab Longsoran 2-6
2.3.1. Faktor-Faktor yang Meningkatkan Tegangan Geser 2-6
2.3.2. Faktor-Faktor yang Menurunkan Kuat Geser 2-8
2.4. Ciri-ciri Gerakan Tanah 2-9
2.5. Konsep Dasar Analisis Stabilitas Lereng 2-16
2.5.1. Tegangan Efektif Tanah 2-16
2.5.2. Kekuatan Geser Tanah 2-20
2.5.2.1. Tegangan Normal dan Tegangan Geser pada Tanah 2-20
2.5.2.2. Kriteria Keruntuhan Mohr-Coulomb 2-21
2.5.3. Metode Analisis Stabilitas Lereng 2-22
2.5.3.1. Metode Fellinius 2-22
2.5.3.2. Metode Bishop 2-23
v
2.6. Kondisi Air Tanah 2-25
2.7. Prinsip dan Dasar-dasar Perkuatan Geotekstil 2-26
2.7.1. Sifat-Sifat Geotesktil 2-26
2.7.1.1. Sifat Fisik 2-26
2.7.1.2. Sifat Mekanik 2-28
2.7.1.3. Tegangan Ultimate Geotekstil dan
Tegangan Ijin Geotekstil 2-30
2.7.2. Fungsi Geotekstil dan Mekanismenya 2-31
2.7.2.1. Pemisahan (Separation) 2-32
2.7.2.2. Penahan (Reinforcement) 2-32
2.7.2.3. Filtrasi 2-34
2.7.2.4. Drainase 2-34
2.7.2.5. Fungsi Kombinasi 2-34
2.7.3. Desain untuk Timbunan dan Perkuatan Tanah 2-35
2.7.3.1. Latar Belakang 2-35
2.7.3.2. Metode Desain 2-36
2.7.3.2.1. Keseimbangan Internal 2-36
2.7.3.2.2. Keseimbangan Eksternal 2-38
Bab 3 Penyelidikan Longsoran
3.1. Deskripsi Masalah 3-1
3.2. Kondisi Tanah dan Longsoran 3-2
3.3. Konstruksi Timbunan dengan Geotekstil 3-4
3.4. Penyelidikan Tanah dan Parameter-Parameter Tanah 3-5
Bab 4 Analisis Kestabilan Lereng
4.1. Parameter-Parameter Tanah yang Digunakan 4-1
4.1.1. Uji Kompaksi pada Tanah Timbunan 4-1
4.1.2. Uji Kuat Geser Langsung pada Tanah Timbunan 4-3
4.2. Pemodelan Plaxis 4-4
4.2.1. Pemodelan Material 4-5
4.2.2. Analisis Tahapan Konstruksi 4-6
4.2.3. Hasil Analisis Plaxis 4-8
4.2.3.1. Analisis Deformasi Global 4-8
4.2.3.2. Analisis Deformasi Untuk Tiap Lapis Geotekstil 4-11
vi
4.2.3.3. Analisis Kekuatan 4-16
4.3. Pemodelan Slope-W 4-24
4.3.1. Pemodelan Material 4-25
4.3.2. Metode Analisis 4-27
4.3.3. Hasil Analisis Slope-W 4-29
4.4. Analisis Kondisi Lereng 4-31
Bab 5 Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan 5-1
5.2. Saran 5-2
Daftar Pustaka
Lampiran
Lampiran A. Uji Lapangan
Lampiran B. Uji Laboratorium
Lampiran B. Output Plaxis
Lampiran C. Output Slope-W

vii
Daftar Gambar

Gambar 2.1. Penamaan lereng yang mengalami longsoran 2-3


Gambar 2.2. Konsep tegangan efektif. 2-17
Gambar 2.3. Tegangan total normal pada suatu massa tanah 2-18
Gambar 2.4. Gaya-gaya yang bekerja pada longsoran rotasi 2-22
Gambar 2.5. Gaya-gaya yang bekerja pada potongan menurut
metode Bishop 2-23
Gambar 2.6. Penentuan harga Mi(α) 2-24
Gambar 2.7. Penggambaran 3 dimensi dari peningkatan matric suction 2-25
Gambar 2.8. Kompresibiltas dari berbagai macam tipe geotekstil. 2-29
Gambar 2.9. Pengujian untuk menentukan sifat geser antara geotesktil
dengan tanah, dan diagram hasil pengujian. 2-29
Gambar 2.10. Pengujian Tes Anker antara geotesktil dengan tanah 2-30
Gambar 2.11. Perbedaan mekanisme penggunaan geotekstil berdasarkan
fungsi pemisahan. 2-32
Gambar 2.12. Berbagai macam metode pemasangan geotekstil. Berdasarkan
spasi (jarak antar geotekstil) dan panjang hamparan 2-35
Gambar 2.13. Mekanisme gaya-gaya yang bekerja pada stabilitas dalam 2-36
Gambar 2.14. Detail dari analisis kestabilan lereng dengan menggunakan
geotekstil 2-40
Gambar 2.15. Detail dari analisis kestabilan lereng yang diperkuat dengan
geotekstil pada tanah berbutir halus untuk kondisi tak teralir
(undrained) 2-40
Gambar 3.1. Topografi daerah sekitar lereng timbunan 3-2
Gambar 3.2. Lokasi timbunan dan pengembangan blok B-10 3-2
Gambar 3.3. Robeknya beberapa lapis geotekstil yang diduga akibat
dilampauinya tegangan maksimum yang diijinkan dari
lembar geotekstil 3-3
Gambar 3.4. Potongan Melintang dari struktur timbunan dan tanah asli 3-4
Gambar 4.1. Kurva Kompaksi Tanah Timbunan 4-2
Gambar 4.2. Hubungan antara kadar air terhadap kohesi (c) dan adhesi (ca) 4-3

viii
Gambar 4.3. Hubungan antara kadar air terhadap φ (soil – soil) dan
δ (soil – geotekstil) 4-4
Gambar 4.4. Tahapan-tahapan dalam analisis tahapan konstruksi 4-7
Gambar 4.5. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap peningkatan
deformasi global 4-8
Gambar 4.6. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap
peningkatan deformasi global 4-8
Gambar 4.7. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap deformasi global 4-9
Gambar 4.8. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap
deformasi global 4-10
Gambar 4.9. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap peningkatan
deformasi pada tiap lapis geotekstil 4-11
Gambar 4.10. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap
peningkatan deformasi pada tiap lapis geotekstil 4-12
Gambar 4.11. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap deformasi pada
tiap lapis geotekstil 4-14
Gambar 4.12. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap deformasi
pada tiap lapis geotekstil 4-14
Gambar 4.13. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap peningkatan gaya
aksial maksimum 4-16
Gambar 4.14. Hubungan antara tinggi muka air tanah terhadap peningkatan
gaya aksial maksimum 4-16
Gambar 4.15. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap gaya aksial
maksimum 4-18
Gambar 4.16. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap gaya
aksial maksimum 4-18
Gambar 4.17. Hubungan antara tingi timbunan terhadap peningkatan gaya
aksial pada tiap lapis geotekstil 4-20
Gambar 4.18. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap peningkatan
gaya aksial pada tiap lapis geotekstil 4-20
Gambar 4.19. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap gaya aksial pada
tiap lapis geotekstil 4-22
Gambar 4.20. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap gaya aksial
ix
pada tiap lapis geotekstil 4-22
Gambar 4.21. Keruntuhan mengikuti pola keruntuhan rotasi
(analisis grid & radius) 4-25
Gambar 4.22. Keruntuhan mengikuti pola keruntuhan translasi
(analisis fully specified) 4-25
Gambar 4.23. Hubungan antara matric suction (ua-uw) terhadap kadar air 4-26
Gambar 4.24. Hubungan antara matric suction (ua-uw) terhadap nilai φ b 4-27
Gambar 4.25. Analisis kestabilan lereng berdasarkan metode grid & radius 4-28
Gambar 4.26. Analisis kestabilan lereng berdasarkan metode fully specified 4-29
Gambar 4.27. Hubungan antara tinggi muka air tanah dengan faktor
keamanan berdasarkan metode grid & radius dan
metode fully specified 4-29

x
Daftar Tabel

Tabel 2.1. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng tanah yang belum
mengalami pergerakan 2-11
Tabel 2.2. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng batuan yang
belum mengalami pergerakan 2-12
Tabel 2.3. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng tanah yang telah
mengalami pergerakan 2-13
Tabel 2.4. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng batuan yang telah
mengalami pergerakan 2-15
Tabel 2.5. Perbandingan Nilai Gs 2-27
Tabel 4.1. Parameter Tanah Asli untuk Pemodelan pada Plaxis 4-5
Tabel 4.2. Parameter Tanah Timbunan untuk pemodelan pada Plaxis 4-6
Tabel 4.3. Parameter Tanah Asli untuk Pemodelan pada slope-w 4-26
Tabel 4.4. Parameter Tanah Timbunan untuk pemodelan pada slope-w 4-27

xi
Daftar Notasi

γ = berat jenis tanah


τ = kuat geser antara tanah dengan geotekstil
θ = sudut antara bidang vertikal dengan beban P
δ = sudut geser antara tanah dengan geotekstil
φ = sudut geser dalam antara tanah dengan tanah
θ = sudut yang dibentuk antara W dan titik pusat gelincir O pada bidang
τ = tegangan geser antara tanah dengan geotekstil
θ = sudut yang dibentuk antara W dan titik pusat gelincir O pada bidang
φ, φ’ = sudut geser total dan efektif
µ,ν = rasio poisson
σ’ n = tegangan normal efektif pada bidang geser
σ1 = tegangan utama mayor
σ3 = tegangan utama minor
φb = gradien dari matric suction dimana nilai σ - ua dianggap konstan
σh = tegangan horisontal pada kedalaman z dengan sudut θ
σh = tekanan total lateral tanah pada kedalaman yang ditinjau
γhl = tekanan tanah akibat beban hidup
σhq = tekanan akibat tanah timbunan
σhs = tekanan lateral dari tanah sendiri
θI = sudut antara bidang singgung dengan titik berat tiap elemen
τi = Tegangan geser
σig = tegangan butir tanah
∆li = panjang tiap elemen
γs = berat jenis tanah timbunan
(ua – uw) = matric suction
a = As / A
A = luas total tanah
A’ = gaya tarik elektrik antar butiran tanah
xii
As = luas dari titik sentuh antar butiran tanah
b = lebar horisontal segmen (m)
c = kohesi antara tanah dengan tanah
c = kohesi tanah
c = kohesi tanah pada bidang gelincir
c = kohesi total tanah
c = nilai kofesi tanah
c,c’ = kohesi total dan kohesi efektif tanah
c’ = kofesi efektif
c’ = kohesi tanah pada bidang gelincir
ca = adhesi antara tanah dengan geotekstil
D = tinggi tanah timbunan
Eφ = efisiensi sudut geser
Ec = efisiensi kohesi
FS = faktor keamanan menyeluruh ( ≥ 1,3)
FSbc = faktor keamanan untuk sumbatan biologi
FSbd = faktor keamanan untuk kerusakan biologi
FScc = faktor keamanan untuk sumbatan bahan kimiawi
FScd = faktor keamanan untuk kerusakan kimiawi
FScr = faktor keamanan untuk pergerakan
FScr = faktor keamanan untuk pergerakan akibat berkurangnya ruang pori
FSid = faktor keamanan untuk kerusakan pada saat pemasangan
FSin = faktor keamanan untuk material yang berbatasan dengan geotekstil
FSscb = faktor keamanan untuk sumbatan tanah
I = panjang busur pada bidang gelincir
Ii = panjang busur lingkaran pada segemen yang dihitung
Ka = koefisien tekanan tanah aktif
Larc = panjang bidang runtuh
LE = panjang penggelaran geotekstil pada zona pengankeran
LR = panjang penggelaran geotekstil yang bersifat tidak aktif
m = jumlah lapisan geotekstil
Mi(α) = harga yang ditinjau pada masing-masing segmen
n = jumlah elemen
xiii
n = jumlah segmen
N’ i = berat efektif tanah
Ni = wi cos θI
P = beban luar arah vertikal
γsD = beban akibat tanah timbunan pada permukaan tanah
qallow = debit aliran yang diijinkan
qult = debit aliran ultimate
R = jarak radial dari beban terpusat ke titik pada dinding perkuatan
R = jari-jari bidang runtuh
R’ = gaya tolak elektrik antar butiran tanah
Ri = jari-jari keruntuhan lereng
Sv = jarak antar tiap lapis geotekstil
Sv = jarak antar tiap lapis geotekstil
Tallow = tegangan tarik yang diijinkan
Tallow = tegangan tarik yang diijinkan
Ti = tegangan geser yang diijinkan untuk tiap lapis geotekstil
Tult = tegangan tarik ultimate
u = tekanan air pori
W = berat segmen tanah
Wi = berat dari tiap elemen
x = jarak horisontal beban terpusat dari dinding perkuatan
X = panjang lengan momen dari titik berat bidang runtuh
Xi = jarak horisontal dari pusat gelincir ke titik berat segmen yang memaksa
masuk ke pori-pori geotekstil
yi = panjang lengan momen dari geotekstil
z = kedalaman tanah yang ditinjau dari permukaan tanah

xiv
Bab 1 - Pendahuluan

Bab 1
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah


Perkuatan dengan geotekstil saat ini sering dipergunakan dalam bidang
geoteknik untuk berbagai macam tujuan. Sebagai membran dalam lingkup geoteknik
umumnya mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai filtrasi dan sebagai media
pemisah. Suatu masalah yang umumnya dilakukan oleh para engineer adalah adanya
suatu keyakinan akan kekuatan dari membran tersebut cukup kuat untuk memikul
timbunan tanah yang besar atau suatu beban lalu lintas.
Dalam prakteknya, fungsi pemisahan dan filtrasi dari membran sering
ditemukan saling berjalan satu dengan yang lainnya. Pada kejadian alam, bila di suatu
tempat terjadi filtrasi maka pada tempat tersebut pula terjadi pemisahan partikel-
partikel dari tanah. Begitu pula yang terjadi dengan sebaliknya.
Dalam fungsi secara lebih umum, membran sering dipergunakan sebagai
struktur-struktur perkuatan pada lereng-lereng, konstruksi jalan, filter dan berbagai
macam fungsi lainnya. Dalam meningkatkan kestabilan lereng terutama pada lereng-
lereng tanah timbunan, membran akan bekerja sama dengan tanah. Pada umumnya
untuk tanah-tanah timbunan, membran akan menjadi pembungkus dari tanah urukan
yang telah dipadatkan, atau diletakkan pada suatu dasar timbunan di atas tanah lunak.

I-1
Bab 1 - Pendahuluan

Pada kasus longsoran yang terjadi pada Kompleks Perumahan Citra Grand
Blok B-10, Cibubur, lapisan perkuatan geotekstil digunakan sebagai suatu dinding
penahan tanah dan di atas tanah timbunan tersebut akan dibangun beberapa kapling
baru. Kondisi dari lereng tersebut berbatasan langsung dengan suatu sungai dan
membentuk lereng yang amat terjal dengan elevasi pada kapling adalah + 70.0 m dan
elevasi pada bantaran sungai adalah + 43.1 m.
Usulan awal untuk penimbunan lereng dengan menggunakan perkuatan
geotekstil dengan maksud untuk memperluas lahan disekitar belakang kapling
sehingga akan dapat dibuat jalan di bagian belakang kapling tersebut.
Pada saat pelaksanaan konstruksi penimbunan tersebut telah terjadi suatu
longsoran pada saat timbunan lereng mencapai ketinggian ± 24 m dan diperlukan
penimbunan ulang untuk mencapai ketinggian sebelumnya tetapi longsoran terulang
kembali. Pergerakan horisontal pun telah terjadi sampai sejauh 11.0 m dari posisi
semula menuju ke arah sungai. Pergerakan horisontal ini turut mempengaruhi
terjadinya pergerakan arah vertikal sehingga menyebabkan penurunan di bagian atas
lereng.
Hal yang menarik dari permasalahan ini adalah bahwa tanah pada bagian kaki
lereng timbunan telah dipersiapkan dengan menggali sampai kedalaman tanah keras,
sehingga kemungkinan terjadinya keruntuhan pada bagian kaki lereng (base failure)
tidak seharusnya terjadi. Hal ini menunjukan kemungkinan besar adanya faktor-faktor
lain yang saling terkait sehingga terjadi suatu longsoran yang cukup besar ini.

1.2. Maksud dan Tujuan Penulisan


Maksud dari penulisan ini adalah untuk melakukan analisis dari suatu
timbunan lereng yang diperkuat dengan perkuatan geotekstil dan mengetahui
pengaruh dari tinggi timbunan dan elevasi muka air tanah terhadap kestabilan lereng.
Untuk mendukung analisis ini diperlukan berbagai macam parameter yang didapat
dari hasil pengujian di lapangan maupun di laboratorium.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk untuk mengetahui mekanisme
keruntuhan timbunan dari suatu lereng yang diperkuat dengan lapisan geotekstil dan
menentukan penyebab dari keruntuhan yang terjadi.

I-2
Bab 1 - Pendahuluan

1.3. Lingkup Pembahasan


Dalam tulisan ini, akan dilakukan analisa dari stabilitas lereng timbunan pada
perumahan Citra Grand blok B-10, Cibubur dengan menggunakan bantuan program
plaxis dan slope-w yang akan melakukan analisa berdasarkan metode elemen hingga.
Pada penulisan ini akan dilihat pengaruh dari aliran air tanah yang menuju ke
sungai akibat berubahnya struktur alam sekitar dengan adanya penimbunan tersebut
terhadap kestabilan lereng timbunan yang baru.
Selain itu akan dilihat pula pengaruh dari tinggi timbunan serta parameter dan
dari tanah timbunan yang digunakan dan interaksinya dengan lapisan geotekstil
apakah juga ikut mempengaruhi kestabilan dari lereng tersebut.

1.4. Metode Penulisan


Analisa akan dilakukan dengan menggunakan bantuan program plaxis dan
slope-w yang akan membutuhkan parameter-parameter tanah dan karakteristik dari
perkuatan geotekstil.
Selain parameter tanah dan karakteristik geotekstil juga dibutuhkan
pemodelan dari tahap-tahap konstruksi (stage of construction) dari pelaksanaan
timbunan, sehingga akan dapat diamati perkembangan yang terjadi selama pekerjaan
timbunan dilakukan.
Pada lapisan perkuatan dengan menggunakan geotekstil ini akan dilihat
pengaruh dari aliran air tanah yang menuju ke sungai terhadap kestabilan dari lereng
timbunan tersebut. Juga akan dilihat pengaruh dari tinggi timbunan, elevasi muka air
tanah terhadap gaya aksial yang bekerja pada lapisan geotekstil tersebut.

1.5. Sistematika Penulisan


Penulisan thesis ini akan terdiri dari beberapa bab, yaitu :
Bab 1 Pendahuluan
Menguraikan latar belakang masalah, tujuan yang akan dicapai dalam analisa
terhadap longsoran ini.
Bab 2 Tinjauan Pustaka
Akan diuraikan beberapa teori yang berkaitan dengan kestabilan lereng.

I-3
Bab 1 - Pendahuluan

Bab 3 Penyelidikan Longsoran


Akan berisi beberapa uraian mengenai tahap-tahap penyelidikan yang
dilakukan baik di lapangan maupun berbagai macam uji yang dilakukan yang
berhubungan dengan parameter-parameter dari tanah timbunan maupun
tanah asli, baik uji yang dilakukan secara langsung di lapangan maupun uji
laboratorium.
Bab 4 Analisa Kestabilan Lereng
Berisi mengenai analisa yang dilakukan terhadap kestabilan lereng dengan
menggunakan bantuan program plaxis dan slope-w dan akan dibandingkan
hasil keluaran plaxis dan slope-w dengan kenyataan yang terjadi dilapangan.
Bab 5 Kesimpulan dan Saran
Akan berisi kesimpulan yang dapat ditarik dari kasus longsoran ini
berdasarkan perilaku tanah dengan geotekstil.

I-4
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Bab 2

Tinjauan Pustaka

2.1. Pengelompokan Lereng


Berdasarkan proses terbentuknya, lereng dapat dibedakan atas dua kelompok
besar yaitu lereng alam (natural slope) dan lereng buatan (man made slope).
2.1.1. Lereng Alam
Lereng alam merupakan suatu lereng yang terbentuk dengan sendirinya atau
sudah ada tanpa adanya campur tangan manusia. Untuk suatu tujuan tertentu
kemiringan lereng alam tersebut dapat diperbaiki baik dengan menimbun atau
memotong lereng tersebut. Lereng alam yang telah stabil selama bertahun-tahun
dapat mengalami longsoran karena berbagai macam faktor seperti perubahan
topografi, gempa, aliran air tanah, proses pelapukan akibat perubahan cuaca dan
penurunan kuat geser dari material tanah.
Dengan mengetahui bidang gelincir yang lama dari suatu lereng kita dapat
memperkirakan perilaku dari lereng alam tersebut, kelongsoran yang terjadi di waktu
lampau maupun aktivitas tektonik yang pernah terjadi. Kekuatan geser dari material

II - 1
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

yang kita temukan pada sepanjang bidang gelincir umumnya sangat kecil akibat telah
terjadi suatu pergesaran yang terdahulu.
2.1.2. Lereng Buatan
Lereng buatan adalah lereng yang dibangun oleh manusia. Lereng buatan ini
dapat terjadi karena dua hal utama yaitu yang terjadi karena proses penimbunan dan
yang terjadi karena proses penggalian.
2.1.2.1. Embankment
Lereng dengan timbunan umumnya ditujukan untuk suatu tujuan tertentu
seperti untuk badan jalan raya, jalan kereta api, dam, dan tanggul. Sifat teknis suatu
tanah timbunan sangat dipengaruhi oleh cara penimbunan, metode konstruksi dan
kepadatan dari tanah timbunan. Umumnya penimbunan tanah diperlukan untuk
meningkatkan kekuatan tanah sehingga dengan demikian dapat meningkatkan daya
dukung pondasi di atasnya.
Pada suatu lereng dengan timbunan harus dilakukan analisis secara terpisah
untuk kondisi jangka pendek, kondisi jangka panjang, kondisi penurunan muka air
secara tiba-tiba dan gangguan gempa.
2.1.2.2. Penggalian (Cut – Slope)
Perencanaan galian adalah untuk membuat suatu lereng dengan kemiringan
tertentu yang cukup aman dan ekonomis. Kestabilan dari galian amat ditentukan oleh
kondisi geologi, sifat teknis, tekanan air akibat rembesan dan metode penggalian.
Suatu lereng yang terlalu curam dari segi biaya akan lebih ekonomis namun
mempunyai resiko longsoran yang lebih besar untuk jangka panjang. Sebaliknya
lereng yang landai akan memutuhkan biaya yang lebih besar sehingga kurang
ekonomis dan tidak praktis.

2.2. Tinjauan Umum Longsoran


Longsoran dapat didefinisikan sebagai suatu proses pergerakan tanah ataupun
batuan dengan kecepatan yang bervariasi dengan suatu kemiringan lereng tertentu
dari keadaan awal. Longsoran ini dapat terjadi karena didorong oleh berbagai macam
faktor seperti gravitasi, beban luar, perubahan geometri lereng, pergerakan lempeng
bumi. Sudah merupakan suatu kewajiban dari para ahli geoteknik untuk
memperhitungkan besarnya suatu faktor keamanan dari suatu lereng, atau dengan

II - 2
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

bahasa lain untuk memperhitungkan besarnya probabilitas terjadinya keruntuhan


pada suatu lereng.

Gambar 2.1. Penamaan lereng yang mengalami longsoran. (Sumber : Transportation Research
Board, 1978)

Pada gambar 2.1. diatas disajikan beberapa istilah untuk bagian-bagian dari
suatu lereng yang telah mengalami suatu longsoran yang didasarkan penamaan dari
Transportation Research Board (TRB, 1978).
Crown. Material tanah yang tetap berada pada tempatnya. Bagian ini berbatasan
dengan bagian teratas dari longsoran utama (Main Scarp).
Main Scarp. Suatu permukaan yang curam / dalam pada bagian tanah yang tak
terganggu (yang tidak mengalami longsoran) di sekeliling luar dari bidang
gelincir, yang terjadi karena pergerakan material-material tanah / batuan
menjauhi bagian tanah / batuan yang tak terganggu (yang tidak mengalami
longsoran). Dapat kita temukan pada bagian teratas dari longsoran.
Flank. Sisi bagian samping dari bidang longsoran.
Minor Scarp. Suatu permukaan yang curam pada bagian material yang bergerak
yang diakibatkan perbedaan pergerakan pada sepanjang bidang gelincir.
Head. Bagian teratas dari material yang mengalami longsoran yang terletak di
antara pada bagian material yang mengalami perpindahan dan bagian sisi curam
yang tak mengalami longsoran (main scarp).

II - 3
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Main Body. Bagian dari material yang mengalami perpindahan yang terbentang
di bidang longsoran (surface of scrupture) di antara bagian yang tak mengalami
longsoran (main scarp) dengan bagian ujung permukaan longsoran (toe).
Top. Titik pertemuan tertinggi antara bagian material yang mengalami
perpindahan dengan main scarp.
Foot. Bagian dari material yang mengalami perpindahan yang terbentang pada
bagian bawah longsoran dari bagian ujung (toe) bidang longsoran.
Toe. Suatu bagian yang membentang dari material yang mengalami perpindahan
yang berjarak paling jauh dari permukaan curam yang tak mengalami longsoran
(main scarp).
Tip. Titik yang terletak pada ujung longsoran (toe) yang mempunyai jarak terjauh
dari puncak longsoran.
Original Ground Surface. Suatu lereng yang ada sebelum dan sesudah
terjadinya pergerakan.
Left and Right. Arah kompas umumnya lebih sering digunakan, tetapi jika
tetap ingin menggunakan istilah left and right (kiri dan kanan) maka yang
menjadi pengacu adalah jika longsoran dilihat dari bagian crown.
Surface of Separation. Permukaan yang memisahkan antara material yang
terbawa dengan material yang tetap pada tempatnya. Permukaan ini amat sulit
diamati karena terletak di bawah material yang mengalami pergerakan.
Displaced Material. Material yang telah terbawa dari tempatnya yang asli.
Material ini dapat ditemukan dalam bentuk yang sudah berubah bentuk dan yang
belum mengalami perubahan bentuk.
Zone of Depletion. Suatu daerah dimana material yang bergerak terhampar di
bawah permukaan asli lereng yang mengalami longsoran.
Zone of Accumulation. Suatu daerah dimana material yang mengalami
pergerakan terhampar di atas permukaan asli lereng yang mengalami longsoran.

Suatu kegagalan lereng umumnya mengacu pada suatu keadaan yang tidak
stabil dari lereng tersebut. Berdasarkan jenis gerakannya, ketidakstabilan lereng dapat
dibedakan atas :

II - 4
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

• Runtuhan (Falls)
Runtuhan dapat didefinisikan sebagai suatu gerakan massa akibat terlepasnya
satu atau beberapa blok batuan atau tanah dengan suatu gerak jatuh bebas. Tipe
gerakan ini umumnya terjadi secara tiba -tiba dan massa yang jatuh umumnya tidak
ditahan oleh suatu geseran antar material sehingga tidak akan ditemukan suatu bidang
gelincir dan umumnya ditemukan pada tebing-tebing yang curam, sehingga akan
sangat dipengaruhi oleh gaya gravitasi.
• Pengelupasan (Topples)
Gerakan ini merupakan suatu gerakan rotasi keluar dari suatu unit massa yang
berputar pada suatu titik akibat adanya gaya gravitasi atau gaya-gaya yang lainnya
seperti adanya air pada rekahan yang menyebabkan tekanan hidrostatis.
• Aliran Tanah (Earth Flow)
Pada umumnya jenis gerakan tanah ini terjadi pada suatu kondisi tanah yang
amat sensitif atau sebagai akibat dari gaya gempa. Bidang gelincir yang terjadi
diakibatkan adanya suatu gangguan mendadak dan gerakan tanah yang terjadi
umumnya bersifat cepat tetapi da pat juga sangat lambat seperti pada kasus rayapan
(creep). Tanah atau batuan yang bergerak berbentuk suatu cairan kental dan akan
berhenti pada jarak yang cukup jauh pada zona longsor.
• Longsoran (Slides)
Dalam longsoran yang sebenarnya, gerakan ini merupakan peregangan secara
geser dan peralihan yang terjadi sepanjang satu atau lebih bidang gelincir. Gerakan ini
dapat bersifat progresif yang berarti bahwa kekuatan geser tidak terjadi secara
seketika pada suatu bidang gelincir melainkan merambat dari satu titik ke titik lain.
Massa yang bergerak menggelincir di atas lapisan batuan / tanah asli dan akan terjadi
suatu pemisahan dari kedudukan semula. Sifat gerakan yang terjadi umumnya lambat
hingga sangat lambat.
Berikut adalah berbagai tipe macam longsoran berdasarkan bentuk dari bidang
gelincir yang terjadi.
• Longsoran Rotasi
Longsoran rotasi adalah suatu gerakan yang relatif lambat dari suatu blok batuan,
tanah ataupun campuran keduanya sepanjang bidang gelincir yang berbentuk
suatu busur lingkaran. Longsoran rotasi ini merupakan bentuk longsoran yang
paling sering dijumpai. Pada kondisi tanah homogen, bidang gelincir yang terjadi
II - 5
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

umumnya berbentuk suatu busur lingkaran, tetapi dalam kenyataannya tidak


seluruh bidang geser yang terjadi berupa suatu busur lingkaran akibat adanya
diskontinuitas seperti adanya sesar, lapisan lembek, dan faktor-faktor lainnya.
Analisis yang dilakukan para ahli umumnya sering menyimpang akibat tidak
diperhatikannya faktor-faktor tersebut.
• Longsoran Translasi
Dalam longsoran translasi suatu massa akan bergerak sepanjang bidang gelincir
yang berbentuk rata. Gerakan dari longsoran translasi umumnya dikendalikan
oleh permukaan yang lembek. Berdasarkan tipe gerakannya, longsoran translasi
yang terjadi dapat bersifat menerus dan luas dan dapat pula dalam suatu blok.
Gerakan yang bersifat menerus dan luas umumnya dipengaruhi oleh adanya
retakan / patahan pada massa batuan.

2.3. Faktor-faktor Penyebab Longsoran


Suatu longsoran dapat terjadi akibat beberapa hal. Faktor yang paling umum
menyebabkan terjadinya suatu longsoran adalah unsur geologi tanah atau batuan,
topografi dan iklim. Tetapi pada kenyataannnya longsoran yang terjadi umumnya
tidak hanya didorong oleh satu faktor saja melainkan merupakan kombinasi di antara
berbagai macam faktor. Seorang ahli harus mengerti dan memahami dulu mengenai
faktor yang menyebabkan suatu longsoran sebelum suatu tindakan pencegahan dan
pengamanan dilakukan.
Secara mekanika gaya, semua longsoran yang terjadi adalah akibat suatu
tegangan geser, maka dapat ditentukan dua faktor utama dari penyebab longsoran
dan tinjauan yang harus dilakukan adalah pada faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya peningkatan tegangan geser dan pada faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya penurunan tegangan geser.

2.3.1. Faktor-faktor yang Meningkatkan Tegangan Geser


Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kekuatan
geser antara lain :

II - 6
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

• Kehilangan dukungan (lateral maupun vertikal)


Pada kehilangan lateral maupun vertikal, akan terjadi suatu ketidakstabilan
lereng yang umumnya dapat terjadi akibat hal-hal berikut ini.
- Erosi.
Erosi ini dapat meliputi erosi sungai yang menyebabkan degradasi dasar
sungai dalam suatu proses pembentukan lereng dan erosi pantai yang banyak
kita temui pada badan jalan atau konstruksi lainnya yang terletak di pesisir
pantai
- Penggalian permukaan dan pengambilan material oleh manusia
- Penambangan
- Proses pelapukan pada bagian bawah lapisan tanah / batuan.

• Beban permukaan dan beban lain


Pada beban permukaan dapat dibedakan atas beban yang alamiah dan beban
yang merupakan akibat tindakan manusia.
Untuk beban yang bersifat alamiah dapat berupa :
- genangan air yang berasal dari hujan
- akumulasi talus di atas lereng
- Tekanan lateral yang dapat terjadi akibat air yang masuk melalui rekahan dan
terjadinya proses swelling (pengembangan) seperti yang terjadi pada tanah-
tanah lempung.
- Beban gempa dan getaran-getaran lainnya.
Gempa akan menimbulkan suatu percepatan horisontal yang dapat
menyebabkan terjadinya perubahan pada kondisi tegangan-tegangan material
tanah. Di samping itu getaran yang berasal dari proses ledakan, pemancangan,
lalu lintas dapat pula meningkatkan tegangan geser tanah pada suatu lereng.

Beban yang merupakan akibat tindakan manusia, dapat berupa :


- Konstruksi timbunan
- Beban bangunan dan konstruksi lainnya serta beban kendaraan
- Beban air dari kolam, reservoir dan lainnya.

II - 7
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

2.3.2. Faktor-Faktor yang Menurunkan Kuat Geser


• Sifat material
Sifat-sifat material tanah yang akan mempengaruhui penurunan kekuatan
geser antara lain :
- Komposisi
Material yang mempengaruhi penurunan kekuatan geser umumnya berasal
dari lempung sedimen, batuan yang mudah terurai (misal yang mengandung
bahan-bahan vulkanis) yang dapat melapuk menjadi material kelempungan,
material yang mengandung mineral-mineral lembek dan pipih (seperti mika,
sekis, talk, serpentin dan material organik).
- Tekstur
Hubungan dan susunan antara butir tanah / batuan akan menentukan tingkat
kepadatan dan porositas suatu material. Pada susunan yang tidak terlalu padat
akan dapat menurunkan kekuatan geser material tersebut akibat pengaruh
dari air.
- Struktur
Yang di maksud dengan struktur tanah disini adalah kondisi lapisan dari tanah
/ batuan tersebut yang dapat membentuk beberapa kemungkinan lapisan
seperti disebutkan pada bagian di bawah ini.
a. Diskontinuitas seperti pada patahan, lipatan, bidang perlapisan, sesar, dan
lainnya.
b. Letak lapisan masif yang terletak di atas lapisan lunak atau plastis.
c. Posisi lapisan miring
d. Lapisan yang berselang-seling antara lapisan yang impermeabel dan
lapisan yang permeabel.

• Pelapukan dan reaksi kimia


Perubahan tegangan geser akibat pelapukan dan rekasi kimia yang terjadi
dapat meliputi :
- Disintegrasi pada batuan yang berbutir seperti pada batu granit atau batu
pasir yang mengalami pelapukan secara mekanis

II - 8
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

- Hidrasi pada mineral lempung yang akan menurunkan kohesi kelempungan


sebagai tingginya kadar air dan dapat menimbulkan juga swelling
(pengembangan).
- Mengeringnya lapisan lempung yang akan menimbulkan retakan pada bidang
perlapisan dan bidang geser yang dapat mengakiba tkan pecahnya serpih
menjadi lempengan, sehingga air dapat mudah meresap.
- Hilangnya ikatan antar butir atau sementasi akibat pelarutan.

• Tekanan air pori


Akibat adanya tekanan air pori akan menyebabkan terjadinya perubahan pada
gaya-gaya yang bekerja antar butir. Perubahan itu dapat terjadi dalam berbagai macam
bentuk seperti disebutkan pada bagian berikut ini.
- Gaya apung yang terjadi akibat lapisan berada pada kondisi jenuh air yang
akan menyebabkan terjadinya penurunan tekanan efektif antar butiran.
- Timbulnya tekanan antar butir akibat hilangnya tarikan kapiler antar butir
akibat terjadi proses penjenuhan.
- Timbulnya tekanan rembesan dari air tanah yang mengalami perkulasi sebagai
akibat adanya gaya tarik (viscous drag) antara cairan dan butiran padat.

• Perubahan struktur tanah


Beberapa perubahan yang terjadi pada struktur tanah yang dapat
menyebabkan turunnya kekuatan geser tanah antara lain :
- Rekahan pada lempung yang terkonsolidasi normal akibat hilangnya penahan
lateral lereng
- Munculnya gangguan terhadap tanah yang sensitif seperti lempung atau pasir
lempung yang jenuh air.

2.4. Ciri-ciri Gerakan Tanah


Dengan beberapa pengamatan yang telah dilakukan maka menambah kasanah
ilmu pengetahuan menganai tipe-tipe dan mekanisme dari ketidakstabilan lereng.
Seorang ahli harus berkonsentrasi pada detail dari analisis mekanisme keruntuhan
yang terjadi, tanpa mengesampingkan sulitnya menentukan parameter-parameter

II - 9
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

tanah yang berlaku, faktor-faktor variabel yang dapat berubah-ubah dan tekanan air
pori yang terjadi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Rib and Ta Liang, 1978, Transportation
Research Board) maka disusun suatu tabel mengenai ciri-ciri dan mekanisme pergerakan
tanah pada daerah yang belum atau mungkin akan mengalami pergerakan tanah dan
pada daerah yang telah mulai mengalami pergerakan tanah atau sudah mengalami
pergerakan yang masing-masing dibedakan untuk material batu dan tanah.

II - 10
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Tabel 2.1. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng tanah yang belum mengalami
pergerakan (Sumber : Transportation Research Board, 1978)
Tipe Gerakan Bagian stabil disekeliling bagian yang longsor
Macam
Material Crown Main Scarp Flanks
Runtuhan Adany retakan di Curam, aktif, segar. Hampir tegak.
belakang bagian Scarp.

Curam, gundul,
Ketinggian scarp
cekung ke arah
menurun sampai
longsoran. Biasanya
pada bagian foot.
Banyak retakan, hampir tinggi, adanya alur
Longsoran scarp
Longsoran rotasi semuanya cekung ke goresan pada
dapat lebih tinggi
arah longsoran. permukaan dari crown
dari permukaan
sampai head. Pada
asli antara foot dan
bagian teratas
toe.
umumnya tegak.
Mempunyai scarp
Hampir tegak pada
yang sangat
Kebanyakan retakan bagian atasnya dan
rendah dengan
Longsoran hampir tegak dan hampir datar dan
retakan tegak
translasi cenderung mengikuti miring agak curam
lurus yang
bidang longsoran. pada bagian
menyebar ke arah
bawahnya.
bawah.
Berbentuk corong Mempunyai
Aliran Kering Tanah Tidak ada retakan. pada sudut hentinya lengkung menerus
(angle of repose). sampai ke scarp.
Bagian atas berbentuk Curam, tidak
Basah : V. Panjang, sempit, teratur, pada
Sedikit ret ak-retak.
Aliran Debris gundul dan biasanya bagian atas dapat
tergores. terbentuk tanggul.
Cekung ke arah
longsoran. Pada
beberapa tipe, scarp
Dapat mempunyai Lengkung pada
Aliran Tanah hampir berbentuk
beberapa retakan. sisinya cekung.
lingkaran. Longsoran
bergerak melalui celah
yang sempit
Curam, cekung ke
arah longsoran,
mempunyai bentuk
Biasanya
Aliran Pasir yang bervariasi,
Sedikit retakan. menyebar ke arah
atau Tanah hampir lurus,
gerakan.
lingkaran, atau
berbentuk seperti
botol.

II - 11
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Tabel 2.2. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng batuan yang belum mengalami
pergerakan (Sumber : Transportation Research Board, 1978)
Tipe Gerakan Bagian stabil disekeliling bagian yang longsor
Macam
Material Crown Main Scarp Flanks
Batuan lepas, Hampir vertikal, Bagian atas
kemungkinan ada bentuk tidak teratur, umumnya
retakan di bagian segar, aktif. Biasanya tersingkap.
Runtuhan
belakang scarp. merupakan bidang
Mempunyai bentuk kekar (joint) atau sesar
yang tidak teratur (fault ).
mengikuti pola kekar
(joint).
Goresan pada
Curam, gundul, bagian sisi scarp
cekung ke arah mempunyai
longsoran dan komponen tegak
biasanya tinggi. Dapat dengan head.
Retakan mengikuti pola menunjukan alur Ketinggian akan
Longsoran rotasi
kekar batuan dasarnya. goresan pada menurun
permukaan dari crown mendekati foot. Sisi
Batuan sampai ke head. Pada longsoran dapat
bagian atasnya dapat lebih tinggi dari
tegak. permukaan asli
antara foot dan toe.
Umumnya bertangga
mengikuti bidang
kekar atau pelapisan.
Permukaannya tidak
Batuan lepas dan
Longsoran teratur, pada bagian
adanya retakan-retakan Tidak teratur.
translasi atas condong agak
antar blok.
curam dan bagian
bawahnya bisa hampir
datar / terdiri dari
luncuran batu.
Sama seperti pada Sama seperti pada Sama seperti pada
Aliran Kering
runtuhan batuan. runtuhan batuan. runtuhan batuan.

II - 12
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Tabel 2.3. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng tanah yang telah mengalami
pergerakan (Sumber : Transportation Research Board, 1978)
Bagian yang telah bergerak
Tipe Gerakan Macam
Material Head Body Foot Toe
Umumnya sulit Tidak teratur. Umumnya Tidak teratur.
dikenali. tertimbun. Bila
Reruntuhan terlihat akan
material menunjukan
Runtuhan
membentuk bukti sebab
Tanah
tumpukan dekat terjadinya
dengan scarp. longsoran
seperti lapisan
yang lembek /
tergerus.
Permukaan Blok besar Punggungan Sering
tanah lebih datar akan menjadi melintang dan merupakan
daripada lereng massa yang retakan daerah aliran
asli / bahkan kecil, biasanya terjadi tanah,
miring ke arah mempunyai di atas foot berbentuk
bukit retakan merupakan bidang V
membentuk memanjang. daerah yang menjulur.
cekungan. Punggungan terangkat. Material akan
Mempunyai terbentuk Tidak ada blok- tergulung dan
retakan-retakan karena tekanan blok, pohon- terkurung.
Longsoran rotasi melintang, minor dan terkadang pohon Pohon-pohon
scarps, terban, menjorok. umumnya akan rebah dan
bongkahan Biasanya condong ke bercampur
besar. Arah terbentuk arah bawah. dengan tanah.
perlapisan genangan-
berbeda dengan genangan kecil.
daerah di
sekitarnya.
Pohon akan
condong ke arah
atas.
Relatif tidak Biasanya terdiri Tidak ada foot, Permukaan
terganggu. Tidak dari satu / tidak ada tanah seperti
ada rotasi. beberapa unit. daerah yang terbajak.
Longsoran
Tidak terangkat.
translasi
terganggu
kecuali pada
retakan tarik.
Biasanya tidak Merupakan Tidak ada foot. -
mempunyai head. tumpukan pasir
berbentuk
Aliran Kering kerucut yang
volumenya
sama dengan
daerah kepala.

II - 13
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Dapat tidak Blok yang Tidak ada kaki Menyebar


mempunyai head. besar dapat / tidak lateral
terdorong nampak. berbentuk
dalam suatu cuping. Bila
kumpulan kering dpaat
material yang mempunyai
lebih halus. bagian depan
Basah :
Jalur aliran yang curam
Aliran Debris
mengikuti jalur dengan
drainase dan ketinggian 1
dapat membuat meter.
belokan tajam,
sangat panjang
dibandingkan
lebarnya.
Biasanya terdiri Pecah menjadi Tidak ada kaki. Menyebar dan
dari blok. kecil. menjulur.
Aliran Tanah
Menunjukan
struktur aliran.
Biasanya di Menyebar pada Tidak ada kaki. Menyebar dan
Aliran Pasir bawah air bagian lantai menjulur.
atau Tanah dasar di bawah
air

II - 14
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Tabel 2.4. Karakteristik pergerakan tanah untuk lereng batuan yang telah mengalami
pergerakan (Sumber : Transportation Research Board, 1978)
Tipe Gerakan Bagian yang telah bergerak
Macam
Material Head Body Foot Toe
Runtuhan Biasanya tidak Permukaan Bagian foot Jika
jelas. Material tidak teratur umumnya longsorannya
yang meluncur dan terdiri dari tertimbun. Bila kecil akan
membentuk tumpukan terlihat akan merupakan
tumpukan pada batuan, menunjukan tumpukan
bagian scarp. melandai bukti-bukti debris dan
menjauhi scarp. terjadinya rombakan yang
Batuan
longsoran tidak teratur.
seperti lapisan Jika besar akan
batu yang berbentuk
terlalu lunak / bulat dengan
adanya punggungan
gerusan. melengkung
dan lebar.
Permukaan Blok-blok yang Punggungan Tidak terjadi
tanah lebih datar besar akan melintang, aliran tanah.
dari lereng asli menjadi massa retak dan Bagian toe akan
bahkan miring yang kecil, biasanya terjadi umumnya
ke arah bukit retakan di atas foot. dekat dengan
dengan memanjang. Tidak ada blok- foot dan
membentuk Punggungan blok, pohon umumnya
cekungan. Arah terbentuk akan condong dapat curam.
pelapisan karena tekanan, ke arah bawah.
berbeda dengan kadang-kadang
Longsoran rotasi
arah daerah menjorok dan
disekitarnya. biasanya
Pohon-pohan terbentuk
akan condong ke genangan-
arah atas genagan kecil,
longsoran. tetapi material
tidak
mengalami
perubahan
secara plastis.
Banyak blok Permukaan Biasanya tidak Merupakan
batuan. kasar. Beberapa mempunyai tumpukan
bagian arahnya foot. pecahan
masih sama batuan.
dengan aslinya
Longsoran
tetapi akan
translasi
lebih rendah
pada bagian
bawahnya bila
alirannya
lambat.

II - 15
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Tidak ada Permukaan Tidak ada foot. Menjulur


kepala. tidak teratur seperti lidah,
terdiri dari bisa melewati
campuran punggungan
pecahan batuan yang rendah di
yang melandai lembah.
dari arah
Aliran Kering sumbernya,
dan umumnya
meluas sampai
dasar lembah.
Menunjukan
pungung bukit
dan lembah
yang melintang.

2.5. Konsep Dasar Analisis Stabilitas Lereng


Kekuatan geser merupakan konsep yang sangat penting di dalam bidang
geoteknik. Stabilitas dari suatu lereng dan gerakan tanah yang terjadi pada suatu
lereng umumnya terjadi bila kekuatan geser tanah atau batuan dilampaui, yaitu bila
perlawanan geser pada bidang gelincir lebih kecil dan tidak cukup mampu untuk
menahan gaya-gaya yang bekerja pada bidang tersebut. Sebelum dilakukan
pembahasan mengenai kestabilan dari lereng maka akan diterangkan terlebih dahulu
mengenai prinsip tegangan efektif tanah dan kekuatan geser tanah.
2.5.1. Tegangan Efektif Tanah
Terzaghi (1925, 1936) merupakan orang yang pertama kali mengemukakan
mengenai prinsip-prinsip tegangan efektif. Dari gambar 2.2, besarnya total tegangan
untuk arah vertikal yang terjadi pada titik 0 dapat dinyatakan sebagai berikut :
σ = h1γ + h2γ sat (2.1)
Total tegangan yang terjadi pada tanah terdiri atas dua bagian. Satu bagian
adalah bagian yang diterima oleh air pada ruang di dalam pori-pori tanah. Tegangan
ini akan bekerja sama besar ke segala arah. Besarnya tegangan akibat air pori ini
dinyatakan sebagai berikut :
u = γ w h2 (2.2)

II - 16
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Gambar 2.2. Konsep tegangan efektif. (a) Potongan. (b) Potongan


melintang pada titik 0 (c) Gaya-gaya antar partikel tanah

Bagian lainnya yang merupakan sisa tegangan total akan dipikul oleh butiran-
butiran tanah dan yang kita kenal dengan nama tegangan efektif tanah. Dengan
demikian besarnya tegangan total dapat dinyatakan dengan
σ = σ '+ u (2.3)
dengan menggabungkan persamaan (2.1) dan (2.2) di atas didapat
σ ' = σ − u = ( h1γ + h2γ sat ) − h2γ w = h1γ + h2 ( γ sat − γ w )

σ ' = h1γ + h2γ ' (2.4)

Untuk tanah tak jenuh, u = 0, sehingga σ = σ’.

II - 17
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Gambar 2.3. Tegangan total normal pada suatu massa tanah

Secara umum, jika suatu tegangan total normal pada suatu titik massa tanah
adalah σ1, σ2, dan σ3 seperti terlihat pada gambar 2.3, maka tegangan efektif da ri
tanah dapat dinyatakan dengan,
untuk arah 1, σ 1' = σ1 − u (2.5)

untuk arah 2, σ 2' = σ 2 − u (2.6)

untuk arah 3, σ 3' = σ 3 − u . (2.7)

Sering kali teorema mengenai tegangan efektif dicampuradukkan dengan


teorema tegangan butiran tanah oleh para ahli-ahli geoteknik. Walaupun berangkat
dari teorema yang sama, tetapi keduanya merupakan sesuatu hal yang sangat berbeda.
Berikut akan dijabarkan mengenai perbedaan di antara keduanya. Berdasarkan
gambar 2.2, gaya vertikal total tanah F pada titik 0 merupakan gabungan antara
beberapa gaya di bawah ini.
• Gaya yang dipikul oleh butiran tanah yang bekerja pada titik-titik temu antar
butiran tanah yang melalui garis x-x. Maka gaya Fs yang bekerja merupakan
resultan dari gaya-gaya vertikal F1, F2, F3 ,…… yang bekerja pada tanah.
Sedangkan F1, F2, F3,…. merupakan resultan dari gaya yang bekerja pada titik
sentuk pada butiran tanah. Jadi,
Fs = F1(v ) + F2(v ) + F3( v ) (2.8)

dimana F1(v), F 2(v), F3(v) ,…… merupakan komponen vertikal dari gaya F1, F2, F3
, ……

II - 18
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

• Gaya dari air, FW


Fw = u ( A − As ) (2.9)
dimana u = tekanan air pori
A = luas total tanah
As = luas dari titik sentuh antar butiran tanah
• Gaya tarik elektrik antar partikel tanah pada titik 0, FA
• Gaya tolak elektrik antar partikel tanah pada titik 0, FR

Dengan demikian besarnya gaya total vertikal adalah


F = Fs + Fw − FA + FR (2.10)
atau
F Fs Fw FA FR
σ = = + − + (2.11)
A A A A A
dimana σ adalah tegangan efektif tanah pada titik 0, maka dapat dijabarkan lebih
lanjut
 A 
σ = σ ig +u  1 − s  − A ' + R ' = σ ig + u (1 − a ) − A '+ R ' (2.12)
 A
dimana σig = tegangan butir tanah
a = As / A
A’ = gaya tarik elektrik antar butiran tanah
R’ = gaya tolak elektrik antar butiran tanah
Nilai a, - yang merupakan rasio antara luas bidang kontak tanah dengan luas
penampang melintang tanah seluruhnya -, umumnya sangat kecil sekali, sehingga
umumnya orang akan menyederhanakan persamaan di atas menjadi
σ1 = σ − u −A' + R ' (2.13)
Untuk tanah berbutir, lanau, lempung dengan plastisitas rendah, nilai dari
A’ dan R’ sangatlah kecil, sehingga untuk memudahkan, tegangan antar butir akan
dinyatakan dengan
σ ig ≈ σ − u (2.14)

Pada kasus ini persamaan 2.2 dan 2.14 akan menunjukan kesamaan
sehingga σig = σ’. Tetapi untuk kasus-kasus di mana nilai A’ – R’ besar, maka σig ≠ σ’.

II - 19
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Hal ini umumnya terjadi pada tanah dengan plastisitas tinggi, lempung-lempung
dispersi.

2.5.2. Kekuatan Geser Tanah


Kuat geser suatu material tanah menempati aspek yang sangat penting pada
berbagai macam permasalahan di bidang rekayasa pondasi, kestabilan suatu lereng
dan tekanan tanah lateral pada dinding-dinding penahan tanah.
2.5.2.1. Tegangan Normal dan Tegangan Geser pada Material Tanah
Berdasarkan pemodelan dua dimensi dari gambaran tegangan-tegangan
normal dan tegangan geser yang bekerja pada suatu material tanah (σz > σx).
Berdasarkan persamaan kesetimbangan maka besarnya tegangan normal dan
tegangan geser yang bekerja pada suatu bidang yang membentuk suatu sudut θ dapat
dinyatakan dengan
σ z + σ x σ z −σ x
σn = + cos2θ + τ xz s i n 2θ (2.15)
2 2
Berdasarkan cara yang sama akan didapatkan besarnya tegangan geser yang bekerja
pada bidang EF adalah sebagai berikut :
σ z − σx
τn = sin2θ − τ xz cos2θ (2.16)
2
Dengan menggunakan persamaan 2.16, kita dapat menentukan besarnya sudut θ
sehingga tegangan geser bernilai nol, yaitu
2τ xz
tan2θ = (2.17)
σ z −σ x

Untuk suatu nilai σx, σy, dan τxy dari persamaan 2.16 akan memberikan dua
buah nilai sudut θ yang berbeda 900. Hal ini menunjukan adanya dua bidang yang
dapat dibentuk pada sudut yang sama yang memberikan nilai tegangan geser sebesar
nol. Bidang ini disebut dengan Bidang Utama (Principal Planes). Tegangan-tegangan
normal yang bekerja pada bidang utama dikenal dengan nama tegangan utama
(principal stresses). Dengan mensubstitusikan persamaan 2.17 kepada persamaan 2.15,
maka akan didapatkan besarnya nilai-nilai tegangan utama yaitu :
tegangan utama mayor (Major principal stresses) :

II - 20
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

 (σ − σ x ) 
2
σ +σ x
σ1 = z +  z  + τ xz
2
(2.18)
2  2 
tegangan utama minor (Minor principal stresses) :

(σ − σ x ) 
2
σ +σ x
σ3 = z −  z  + τ xz
2
(2.19)
2  2 
Banyak permasalahan dalam mekanika tanah menyederhanakan kasus-kasus
3D menjadi kasus-kasus 2D, maka untuk teorema dalam tegangan utama akan
menjadi :
σ 1 = σ 3 tan 2 ( π 4) + ( π 2 )  + 2c tan ( π 4 ) + ( π 2 )  (2.20)

dimana σ1 = tegangan utama mayor


σ3 = tegangan utama minor

2.5.2.2. Kriteria Keruntuhan Mohr Coulomb


Pada tahun 1910, Mohr memaparkan suatu teori mengenai kegagalan suatu
material. Berdasarkan teorinya, kegagalan / keruntuhan dari suatu material terjadi
akibat kombinasi antara tegangan normal dan tegangan geser yang bekerja. Suatu
fungsi yang menunjukan hubungan antara tegangan normal dan tegangan geser pada
suatu bidang runtuh dinyatakan dengan,
s = f (σ ) (2.21)

dimana s adalah tegangan geser dan σ adalah tegangan geser pada bidang runtuh.
Suatu bidang runtuh yang dinyatakan dalam persamaan (2.15) umumnya berupa suatu
garis lengkung.
Pada tahun 1776, Coulomb menyatakan fungsi f(σ) sebagai,
s = c + σ tan φ (2.22)

dimana c adalah kohesi dan φ merupakan sudut geser dari tanah. Persamaan 2.22 di
atas pada saat ini dikenal sebagai persamaan keruntuhan Mohr-Coulomb.

II - 21
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

2.5.3. Metode Analisis Stabilitas Lereng


Untuk keruntuhan lereng yang berbentuk lingkaran (rotasi), analisis kestabilan
lereng dapat menggunakan metode yang membagi tanah atas beberapa segmen baik
tanah homogen maupun tanah berlapis. Metode yang cukup dikenal saat ini adalah
metode Fellinius dan Metode Bishop

2.5.3.1. Metode Fellinius


Metode Fellinius ini memperhitungkan keseimbangan total dari momen yang
bekerja pada seluruh segmen. Berdasarkan gambar 2.4., dengan membagi lereng
menjadi beberapa segmen dapat ditentukan kesetimbangan momen yaitu sebagai
berikut :
n n

∑W x = ∑τ I R
i i i i
(2.23)
i =1 i =1

Gambar 2.4. Gaya-gaya yang bekerja pada longsoran rotasi

Maka dapat ditentukan besarnya faktor keamanan dari lereng tersebut adalah :
n

∑τ I R i i
FK = i =1
n
(2.24)
∑W x i i
i =1

dimana Wi = berat segmen tanah


Xi = jarak horisontal dari pusat gelincir ke titik berat segmen

II - 22
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Ii = panjang busur lingkaran pada segemen yang dihitung


Ri = jari-jari keruntuhan lereng
τi = Tegangan geser
n = jumlah segmen

Secara umum metode Fellinius dinyatakan dengan

FK =
∑ c ' I + (W cos θ − uI ) tan φ (2.25)
∑ (W sinθ )
dimana c’ = kohesi tanah pada bidang gelincir
φ = sudut geser dalam
I = panjang busur pada bidang gelincir
W = berat segmen tanah
θ = sudut yang dibentuk antara W dan titik pusat gelincir O pada
bidang gelincir

2.5.3.2. Metode Bishop


Metode bishop menggunakan cara yang sama dnegna metode Fellinius tetapi,
metode Bishop turut memperhatikan keseimbangan momen dari masing-masing
segmen potongan. Gaya-gaya yang bekerja merdasarkan metode Bishop dapat dilihat
pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.5. Gaya-gaya yang bekerja pada potongan


menurut metode Bishop

II - 23
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Formula umum dari metode Bishop dinyatakan sbegai berikut :


n
1
∑ cb + (W − u b ) tan φ  M
i =1
i i i i
i (α )
FK = n
(2.26)
∑ (W sinα ) i
i =1

dimana c = kohesi tanah pada bidang gelincir


φ = sudut geser dalam
b = lebar horisontal segmen (m)
W = berat segmen tanah
u = tegangan air pori
θ = sudut yang dibentuk antara W dan titik pusat gelincir O
pada bidang gelincir
Mi(α) = harga yang ditinjau pada masing-masing segmen
Harga Mi(α) dapat dengan dua macamcara yaitu :
a. Cara analitik dengan menggunakan persamaan
 tan α i tan φ 
M i( α ) = cos α i 1 +  (2.27)
 FK 
b. Menggunakan kurva hubungan antara α dengan Mi(α) dengan variasi (tan
φ / FK, yang dapat dilihat pada grafik dibawah ini :

Gambar 2.6. Penentuan harga Mi(α)

II - 24
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

2.6. Kondisi Air Tanah


Aliran air yang mengalir dapat dibagi atas dua macam aliran yaitu aliran di
permukaan tanah (run off) dan aliran air di bawah permukaan tanah. Pada saat
terjadinya hujan, sebagian air akan masuk ke alam tanah (infiltrasi) sedangkan
beberapa lagi akan mengalir di atas permukaan tanah dalam bentuk limpasan.
Aliran air tanah dapat dapat dibedakan atas dua macam yaitu zona tekanan
positif dan zona tekanan negatif. Pada kondisi tanah dibawah permukaan air tanah,
tanah akan dalam keadaan jenuh (fully saturated) dan tekanan pori berada diatas
tekanan atmosfir. Begitu pula sebaliknya, kondisi tanah yang terletak diatas
permukaan air tanah akan berada dalam kondisi tidak jenuh (unsaturated) dan tekanan
pori pada daerah ini besarnya di bawah tekanan atmosfir. Segala macam yang terjadi
pada perubahan tekanan pori yang disebabkan oleh naik turunnya permukaan air
tanah akan mempengaruhi kuat geser tanah dan mempunyai akibat yang luar biasa
pada kestabilan lereng.

Gambar 2.7. Penggambaran 3 dimensi dari peningkatan matric suction

Tekanan air pori negatif meningkatkan tekanan efektif dari suatu massa tanah
dan membantu kestabilan suatu lereng. Peningkatan kekuatan tanah ini dapat
dinyatakan sebagai gambar 3 dimensi seperti terlihat pada gambar 2.7 diatas dan Ho
dan Fredlund (1982) menyarankan suatu peningkatan tegangan geser terhadap
tekanan air pori negatif yang dinyatakan sebagai berikut :
c = c '+ (u a − u w ) tan φb (2.28)

dimana c = kohesi total tanah

II - 25
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

c’ = kofesi efektif
(ua – uw) = matriks suction
φ b = gradien dari matric suction dimana nilai σ - ua dianggap
konstan
Dengan kata lain, dengan memperhatikan persamaan diatas dan penggambaran tiga
dimensi dari peningkatan matriks suction maka dapat dikatakan matriks suction akan
dapat meningkatkan kekuatan geser dari tanah.

2.7. Prinsip dan Dasar-dasar Perkuatan Geotekstil


Tujuan dari perkuatan geotekstil adalah untuk meningkatkan kemampuan
material yang timbul pada tanah akibat pembebanan. Prinsip perkuatan membran ini
telah lama digunakan di dalam dunia teknik sipil pada konstruksi-konstruksi jalan raya
yang dibangun di atas tanah-tanah lunak pada jaman Romawi Kuno. Beberapa ahli
arkeologi juga menemukan di Inggris pada 2500 SM telah digunakan prinsip
perkuatan dengan menggunakan kayu-kayu yang dihamparkan di atas tanah lunak
sebagai perkuatan jalan. Di daerah Timur Tengah dan Timur Jauh, telah dibangun
struktur-struktur perkuatan dengan menggunakan jerami, ilalang dan bambu.

2.7.1. Sifat-sifat geoteksil


2.7.1.1. Sifat Fisik
Beberapa sifat fisik yang cukup mempengaruhi kinerja dari geotekstil adalah
sebagai berikut :
• Specific Gravity
Spesific Gravity didefinisikan sebagai rasio antara berat jenis suatu massa
dengan berat jenis air pada suhu 40C. Berikut beberapa perbandingan antara dari
beberapa bahan polimer penyusun geotekstil (sebaga i suatu pembanding
diikutsertakan juga perbandingan dengan baja, tanah/ batu, dan kaca)

II - 26
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Tabel 2.5. Perbandingan Nilai Gs


Material Gs Material Gs
Baja 7,87 Tanah / Batu 2,4 - 2,9
Kaca 2,54 Polyvinil chloride 1,69
Katun 1,55 Polyester 1,38 - 1,22
Nylon 1,14 - 1,05 Polyethylene 0,96 – 0,90
Polypropylene 0,91

Terlihat bahwa untuk beberapa jenis bahan penyusun geotekstil mempunyai nilai Gs
lebih kecil daripada 1 yang harus diperhitungakan dalam desain apabila geotekstil
akan tersebut akan digunakan di bawah air yang dapat menyebabkan geotekstil
terangkat.
• Berat per Satuan Luas
Massa / berat dalam hal ini harus dinyatakan dalam toleransi 0,01 % yang
terdekat dari total massa yang sebenarnya. Dan untuk panjang dan lebar harus
dinyatakan pada keadaan tidak adanya tegangan atau belum mengalami tarik pada
geotekstil. Peraturan pengujian dapat kita lihat secara lebih mendetail pada ASTM
D5261. Untuk beberapa tipe geotekstil yang umum digunakan mempunyai nilai berat
per luas sebesar 135 – 680 g/m2. Karena biaya pembuatan dan untuk beberapa hal
yang berhubungan dengan sifat-sifat mekanik secara langsung berhubungan dengan
massa per satuan luas, maka unit ini menjadi sangat penting.
• Ketebalan (Thickness)
Ketebalan dari suatu geotekstil terkadang disebutkan dalam spesifikasi bahan,
hanya untuk memberikan gambaran saja yang umumnya tidak berpengaruh pada
sifat-sifat yang langsung berhubungan dengan desain. Ketebalan dinyatakan sebagai
jarak antara bagian teratas dengan terbawah dari lembaran geotekstil yang ditentukan
pada suatu keadaan tegangan tertentu. ASTM D5199 menyatakan bahwa ketebalan
dari suatu geotekstil harus dinyatakan pada suatu tingkat toleransi sedikitnya 0,001
inch (atau 0,02 mm) pada suatu tegangan sebesar 2,0 kPa. Ketebalan dari suatu
geotekstil umumnya antara 10 – 300 mils, dimana 1 mil setara dengan 0,001 inch.
• Kekakuan (Stiffness)
Kekakuan atau kelenturan dari suatu lembar geotekstil umumnya
diperdebatkan dengan nilai modulus yang umumnya dinyatakan dari grafik tegangan-
regangan. Pada pengujian yang sama, kekakuan dinyatakan sebagai interaksi antara
berat dari geotekstil dan ketebalan dari geotekstil pada saat geotekstil tersebut

II - 27
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

mengalami tegangan tarik, seperti tercantum dalam ASTM D1388. Unit kekakuan
menunjukan kemampuan dari geotekstil untuk dibentuk sedemikian rupa pada saat
pemasangannya di lapangan. Unuk menghamparkan geotekstil pada tanah-tanah
lunak, geotekstil dengan kekakuan tinggi lebih baik untuk digunakan.

2.7.1.2. Sifat Mekanik


• Tahanan tarik
Salah satu paramater yang paling mempengaruhi di dalam desain geotekstil
adalah kemampuan bahan geotekstil untuk menahan tegangan tarik yang bekerja pada
lembaran geotekstil tersebut.
Tahanan tarik berfungsi dapat sebagai fungsi yang utama (primer) seperti pada
struktur-struktur penahan, dan dapat pula berfungsi sebgai fungsi kedua (sekunder)
seperti pada fungsi-sungsi pemisahan, filtrasi dan drainase. Dalam pengujian, lembar
geotekstil akan ditarik sedimikan rupa sehingga akan didapatkan kurva yang
menunjukan hubungan antara tegangan dengan regangan. Dari kurva tegangan vs
regangan didapatkan 4 fungsi utama yaitu :
- Tegangan tarik maksimum
- Regangan pada saat terjadi keruntuhan
- Kekakuan
- Modulus Elastisitas

• Kompresibilitas
Kompresibilitas dari suatu geotekstil dinyatakan dengan mengetahui
ketebalan dari geotekstil untuk setiap kali mengalami tegangan normal yang berbeda -
beda. Gambar berikut menunjukan kompresibilitas dari berbagai macam geotekstil
dimana pengaruh tegangan pada ketebalan terlihat sangat jelas. Kemiringan dari
kurva menunjukan koefisien kompresibilitas yang merupakan nilai sifat mekanik yang
cukup penting.

II - 28
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Gambar 2.8. Kompresibiltas dari berbagai macam tipe geotekstil. (NW-NP = non-woven
needle punched, NW-HB = non-woven heat bonded)

• Tahanan Geser
Dalam berbagai macam desain, perilaku geser antara tanah dengan geotekstil-
lah yang paling mempengaruhi segala macam parameter. Penguijian yang umumnya
dilakukan adalah dengan mengunakan alat Direct Shear. Seperti terlihat pada gambar,
lembar geotekstil akan diletakkan di antara spesimen tanah. Setelah tegangan normal
dikerjakan, suatu gaya geser akan dikenakan pada spesimen hingga mengalami
keruntuhan. Pengujian diulangi dengan merubah-rubah tegangan normal yang
dikerjakan pada sampel, maka dengan menggunakan kriteria keruntuhan Mohr-
Coulomb, maka akan dapat diketahui perilaku geser yang terjadi antara tanah dengan
geotekstil.

Gambar 2.9. Pengujian untuk menentukan sifat geser antara geotesktil dengan
tanah, dan diagram hasil pengujian.

II - 29
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

• Tahanan anker
Geotekstil seringkali digunakan untuk berbagai macam aplikasi yang
berhubungan dengan perilaku anker. Pemodelan anker dapat dilakukan dengan
melakukan pengujian pada Direct Shear yang sedikit dimodifikasi. Setalah
memberikan tegangan normal, maka geotekstil akan ditarik oleh suatu gaya tertentu
seperti terlihat pada gambar berikut.

Gambar 2.10. Pengujian Tes Anker antara geotesktil dengan tanah

2.7.1.3. Tegangan Ultimate Geotekstil dan Tegangan Ijin Geotekstil


Berbagai macam pengujian berdasarkan sifat-sifat diatas pada umumnya
didasarkan pada kondisi ideal. Sedangkan kondisi ideal sangatlah sulit dipertahankan
bila kita mengaplikasikannya di pekerjaan-pekerjaan lapangan. Konsep desain yang
berdasarkan fungsi menganjurkan agar diperhitungkannya suatu faktor keamanan
yang umumnya merupakan suatu faktor kemanan global yang didapatkan dari hasil
pengujian-pengujian di laboratorium. Walau demikian, hasil pengujian di
laboratorium tidak dapat dipergunakan seluruhnya secara langsung karena kondisi
pemodelan di laboratorium sangat jauh berbeda dengan kondisi lapangan. Berbagai
macam keterbatasan dihadapi di laboratorium seperti ukuran sampel, waktu, kondisi
air yang sama dengan di lapangan, pemodelan tegangan-tegangan dan kondisi-kondisi
lainnya. Untuk mengatasi hal tersebut dapat digunakan dua macam pendekatan yaitu :
(1) Menggunakan faktor kemanan secara global yang cukup tinggi untuk mengatasi
masalah-masalah yang mungkin terjadi, (2) menggunakan angka faktor kemanan yang
berbeda-beda pada berbagai macam hasil pengujian untuk mendekati kondisi yang
terjadi di lapangan.

II - 30
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Berdasarkan pendekatan terakhir maka berdasarkan penelitian yang dilakukan


Voskamp dan Risseum (1988) akan dapat didefinisikan hubungan antara tegangan
yang diijinkan bekerja dengan tegangan ultimate adalah sebagai berikut :
 1 
Tallow = Tult   (2.29)
 FSid × FS cr × FS cd × FSbd 
dimana Tallow = Tegangan tarik yang diijinkan
Tult = Tegangan tarik ultimate
FSid = faktor keamanan untuk kerusakan pada saat pemasangan
FScr = faktor keamanan untuk pergerakan
FScd = faktor keamanan untuk kerusakan kimiawi
FSbd = faktor keamanan untuk kerusakan biologi

Untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan aliran melewati atau di


dalam geotekstil, harus dilakukan suatu pemodelan sehingga mendapatkan kondisi
yang mendekati kondisi lapangan, sehingga menurut Voskamp dan Riseeuw (1988)
formula yang berlaku untuk besarnya aliran yang diijinkan sebagai berikut :
 1 
qallow = qult   (2.30)
 FS scb × FScr × FSin × FScc × FS bc 
dimana qallow = Debit aliran yang diijinkan
qult = Debit aliran ultimate
FSscb = faktor keamanan untuk sumbatan tanah
FScr = faktor keamanan untuk pergerakan akibat berkurangnya
ruang pori
FSin = faktor keamanan untuk material yang berbatasan dengan
geotekstil yang memaksa masuk ke pori-pori geotekstil
FScc = faktor keamanan untuk sumbatan bahan kimiawi
FSbc = faktor keamanan untuk sumbatan biologi

2.7.2. Fungsi Geoteksil dan Mekanismenya


Pada bagian ini akan membahas aplikasi dari berbagai macam geotekstil yang
akan dibagi atas berbagai macam fungsi utama mereka yaitu pemisahan, penahan,
filtrasi, dan drainase yang secara lebih umum dapat dinyatakan sebagai desain
berdasarkan fungsi (designing by function).
II - 31
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

2.7.2.1. Pemisahan (Separation)


Ketika menempatkan suatu agregat berbutir di atas suatu tanah halus ada dua
macam simulasi yang mungkin terjadi sepanjang waktu. Yang pertama adalah agregat
halus akan berusaha masuk ke dalam rongga-rongga agregat kasar yang akan
menurunkan kemampuan drainasenya dan yang kedua adalah agregat kasar akan
memaksa masuk ke agregat halus yang akan menurunkan kekuatan dari tanah. Hal ini
dapat dicegah dengan memanfaatkan geotekstil seperti terlihat pada gambar berikut.

Gambar 2.11. Perbedaan mekanisme penggunaan geotekstil berdasarkan fungsi


pemisahan. (a) Mekanisme dimana butir tanah halus memaksa
masuk ke dalam ruang di antara agregat kasar (b) Mekanisme
di mana agregat kasar berinterusi masuk ke tanah berbutir halus

2.7.2.2. Penahan (Reinforcement)


Tujuan utama dari pemakaian geotekstil sebagai penahan dapat dimengerti
sebagai suatu hubungan yang saling melengkapi dimana geotekstil yang cukup baik
untuk menahan tegangan tarik dengan tanah yang baik untuk menahan tekanan tetapi
lemah untuk menahan tegangan tarik. Dengan memperhatikan kondisi diatas, maka
dikenal tiga macam mekanisme yang bekerja sebagai berikut
• Tipe Membran
Suatu geotekstil akan berperilaku seperti suatu membran ketika suatu
geotekstil dipasang pada tanah yang umumnya mengalami pergerakan. Berdasarkan
kedalaman dimana geotekstil digunakan, maka didapat suatu tegangan yang berkerja
pada geotekstil (D.W. Taylor, 1948) yaitu sebesar :

II - 32
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

P  (1 − 2µ ) cos 2 θ 
σh = 3sin θ cos θ − (2.31)
2 3

2π z 2  1 + cos θ 
dimana σh = tegangan horisontal pada kedalaman z dengan sudut θ
P = beban luar arah vertikal
z = kedalaman titik yang ditinjau
µ = rasio poisson
θ = sudut antara bidang vertikal dnegan beban P
Semakin dekat jarak antara geotekstil dengan beban luar yang bekerja, maka akan
semakin besar pula tegangan yang dialami oleh geotekstil tersebut.

• Tipe Geser
Pemodelan yang terbaik untuk geotekstil yang menggunakan tipe geser adalah
dengan menggunakan direct shear. Dengan mengadapatasi dari Keruntuhan Mohr-
Coulomb maka besarnya tegangan geser yang terjadi akibat perilaku geser antara
tanah dengan membran yaitu sebesar
τ = ca + σ n' tan δ (2.32)

dimana τ = tegangan geser antara tanah dengan geotekstil


σ’ n = tegangan normal efektif pada bidang geser
ca = adhesi antara tanah dengan geotekstil
δ = sudut geser antara tanah dengan geotekstil
Dengan memperhatikan hubungan antara tegangan geser yang terjadi antara
maka dapat ditentukan besarnya efisiensi dari geotekstil tersebut berdasarkan rumus
berikut :
Ec = ( ca / c ) ×100 (2.33)

Eφ = ( tan δ /tan φ ) × 100 (2.34)

dimana E c = efisiensi kohesi


E φ = efisiensi sudut geser
c = kohesi antara tanah dengan tanah
φ = sudut geser antara tanah dengan tanah

II - 33
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

• Tipe Anker
Geotekstil yang berperilaku sebagai anker dapat disamakan dengan geotekstil
yang berperilaku geser, tetapi perbedaan yang cukup mendasar adalah tanah akan
bekerja pada kedua sisi sebagai suatu gaya tekan yang akan menahan geotekstil yang
hendak keluar dari lapisan tanah.
Pemodelan di laboratorium dapat digunakan alat direct shear dimana lembar
geotekstil diletakkan diantara spesimen tanah dan mengerjakan gaya tarik pada
lembar geotekstil tersebut.

2.7.2.3. Filtrasi
Fungsi geotekstil sebagai suatu filtrasi melibatkan suatu pergerakan cairan
melewati lembar geotekstil. Pada saat yang bersamaan, geotekstil juga harus berfungsi
sebagai penahan bagi aliran air pada bagian atas geotekstil. Geotekstil, ketika didesain
dan dibangun dengan baik akan menawarkan suatu pemecahan bagi aliran-aliran air.
Pada fungsi filtrasi arah aliran yang menjadi titik berat adalah ketika air
mengalir pada arah vertikal, yang berbeda dengan fungsi drainase yang lebih
menitikberatkan aliran pada arah horisontal.

2.7.2.4. Drainase
Untuk beberapa keadaan tertentu, geotekstil akan berperilaku menjadi suatu
media yang akan mengalirkan cairan sehingga membentuk suatu drainase.
Pembahasan ini mungkin akan saling bersinggungan dengan fungsi filtrasi. Tetapi
perbedaan utama yaitu arah dari aliran cairan dimana pada geotekstil yang berfungsi
drainase akan mengalirkan air ke arah horisontal, sedangkan untuk fungsi filtrasi akan
mengalirkan air ke arah horisontal.

2.7.2.5. Fungsi Kombinasi


Geotekstil umumya tidak haya digunakan untuk satu macam fungsi saja.
Ketika suatu geotekstil digunakan, maka ia dapat berperilaku dengan kombinasi
berbagai macam fungsi. Beberapa contoh yang umum yaitu :
- Perlindungan terhadap deformasi dan jalan, dimana funsi penahan cairan dan
struktur penahan berkombinasi

II - 34
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

- Jalan kereta api, dimana terjadi kombinasi antara fungsi pemisahan, penahan,
dan drainase.
Untuk kasus yang berhubungan dengan kombinasi fungsi, maka masing-
masing fungsi harus dievaluasi secara mendetail. Semua harus memenuhi standar
keamanan yang paling minimum. Tetapi perlu diperhatikan pula faktor keamanan
yang akan timbul akibat kombinasi perilaku dari fungsi-fungsi yang terlibat yang akan
memberikan suatu nilai faktor keamanan yang berbeda bila dilakukan evaluasi secara
terpisah.

2.7.3. Desain untuk Timbunan dan Perkuatan Tanah


2.7.3.1. Latar Belakang
Perbedaan yang paling terlihat dalam perbedaan antara pemahaman pada
masalah dinding penahan tanah dan timbunan adalah pada bidang masalah yang akan
dialami. Pada dinding penahan tanah yang paling memegang peranan adalah tekanan
lateral dari tanah, sedangkan pada penimbunan hal yang paling berpengaruh adalah
kestabilan lereng. Berbagai macam metode pemasangan geotekstil dapat kita kita lihat
pada gambar berikut.

Gambar 2.12. Berbagai macam metode pemasangan geotekstil. Berdasarkan spasi (jarak antar
geotekstil) dan panjang hamparan geotekstil (a) Spasi sama, panjang sama. (b)
Spasi berbeda, panjang sama. (c) Spasi sama, panjang sama dengan beberapa
bagian lebih pendek pada bagian muka. (d) Spasi sama, panjang berbeda
dengan beberapa bagian lebih pendek pada bagian muka.

II - 35
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

2.7.3.2. Metode Desain


Dalam melakukan analisis lapisan geotekstil yang akan dipergunakan sebagai
suatu perkuatan tanah, Witcomb dan Bell (1979) melakukan suatu pendekatan di
mana bagian-bagian yang berpengaruh pada perencanaan suatu perkuatan tanah
adalah sebagai berikut :
• Keseimbangan Internal, untuk menentukan faktor keamanan yang terjadi
akibat gaya yang bekerja pada geotekstil.
• Keseimbangan Eksternal, yang lebih menekankan pada terjadinya guling,
gelincir dan pondasi
• Berbagai macam pertimbanan lainnya seperti, detail konstruksi, drainase.

2.7.3.2.1. Keseimbangan Internal


Keruntuhan internal melalui suatu tubuh timbunan dapat terjadi bila kekuatan
geser di lapisan tanah lebih kecil dari tekanan aktif yang timbul.. Keadaan ini dapat
diperbaiki dengan menggunakan struktur penguat yang berfungsi menahan tekanan
tanah aktif yang timbul. Mekanisme gaya yang bekerja pada tubuh timbunan dengan
perkuatan geotekstil dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.13. Mekanisme gaya-gaya yang bekerja pada stabilitas dalam

II - 36
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Berdasarkan Gambar 2.13 besarnya tekanan lateral yang bekerja akibat


berbagai jenis pembebanan dinyatakan sebagai berikut :
σ hs = Kaγ z (2.35)

σ hq = K a q (2.36)

x2 z
σ hl = P (2.37)
R5
σ h = σ hs + σhq + σ hl (2.38)

dan nilai Ka dinyatakan sebagai berikut :

2 φ
Ka = tan  45 −  (2.39)
 2
di mana σhs = tekanan lateral dari tanah sendiri
Ka = koefisien tekanan tanah aktif
φ = sudut geser tanah
γ = berat jenis tanah
z = kedalaman tanah yang ditinjau dari permukaan tanah
σhq = tekanan akibat tanah timbunan
q = γsD = beban akibat tanah timbunan pada permukaan tanah
γs = berat jenis tanah timbunan
D = tinggi tanah timbunan
γhl = tekanan tanah akibat beban hidup
P = beban terpusat
x = jarak horisontal beban terpusat dari dinding perkuatan
R = jarak radial dari beban terpusat ke titik pada dinding perkuatan
maka jarak antar lapis geotekstil dari suatu struktur timbunan dapat dinyatakan
sebagai berikut :
Tallow
Sv = (2.40)
Sv FS
di mana Sv = jarak antar tiap lapis geotekstil
FS = faktor keamanan
σh = tekanan total lateral tanah pada kedalaman yang ditinjau
Tallow = tegangan tarik yang diijinkan

II - 37
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Untuk mengetahui panjang dari lapis geotekstil yang digelar dinyatakan sebagai
berikut :
L = LE + LR (2.41)
dimana
 φ
LR = ( H − z ) tan  45 −  (2.42)
 2
dan
Svσ h FS
LE = (2.43)
2 ( c + γ z tan δ )
dimana LE = panjang penggelaran geotekstil pada zona pengankeran
LR = panjang penggelaran geotekstil yang bersifat tidak aktif
τ = kuat geser antara tanah dengan geotekstil
Sv = jarak antar tiap lapis geotekstil
σh = tekanan total lateral tanah pada kedalaman yang ditinjau
FS = faktor keamanan
c = nilai kofesi tanah
γ = berat jenis tanah
z = kedalaman tanah yang ditinjau dari permukaan tanah
δ = sudut geser antara tanah dengan geotekstil
Panjang pengelaran yang saling bertumpang tindih Lo, dengan mengambil besarnya
nilai z berada tepat pada tengah-tengah timbunan dapat dinyatakan sebagai berikut :
S vσ h FS
Lo = (2.44)
4 ( c + γ z tan δ )
dimana panjang Lo minimum adalah sebesar 1 m.

2.7.3.2.2. Keseimbangan Eksternal


Keruntuhan eksternal terjadi apabila baik tanah, maupun pondasi tidak dapat
menahan gaya-gaya aktif yang bekerja yang ditimbulkan oleh berat sendiri timbunan
atau gaya-gaya luar lainnya. Untuk mengatasi hal ini kekuatan geser tanah timbunan
perlu ditingkatkan dengan menggunakan bahan penguat.

II - 38
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Salah satu metode yang umumnya digunakan dalam pemecahan masalah


kesetimbangan eksternal ini adalah metode keseimbangan batas. Persamaan yang
digunakan untuk kondisi tegangan total dinyatakan sebagai berikut :
n m

∑ ( N i tan φ + c∆ li ) R + ∑ Ti yi
FS = i =1
n
i =1
(2.45)
∑ ( w sinθ ) R
i i
i =1

n m

∑ ( N 'i tan φ '+ c ' ∆li ) R + ∑ Ti yi


FS = i =1
n
i =1
(2.46)
∑ ( w sin θ ) R
i i
i =1

dimana FS = faktor keamanan menyeluruh ( ≥ 1,3)


Ni = wi cos θI
N’ i = berat efektif tanah
Wi = berat dari tiap elemen
θI = sudut antara bidang singgung dengan titik berat tiap elemen
∆li = panjang tiap elemen
R = jari-jari bidang runtuh
φ, φ’ = sudut geser total dan efektif
c,c’ = kohesi total dan kohesi efektif tanah
Ti = Tegangan geser yang diijinkan untuk tiap lapis geotekstil
yi = panjang lengan momen dari geotekstil
n = jumlah elemen
m = jumlah lapisan geotekstil
W = berat dari bidang runtuh
X = panjang lengan momen dari titik berat bidang runtuh

II - 39
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Gambar 2.14. Detail dari analisis kestabilan lereng dengan menggunakan geotekstil

Kondisi tegangan total umumnya lebih baik digunakan untuk evaluasi


timbunan dimana tidak ditemukannya air tanah sehingga tidak diperhitungkannya
faktor air tanah. Sedangkan analisis dengan menggunakan tegangan efektif digunakan
untuk kondisi dimana tanah berada dalam kondisi jenuh.

Gambar 2.15. Detail dari analisis kestabilan lereng yang diperkuat dengan geotekstil
pada tanah berbutir halus untuk kondisi tak teralir (undrained)

II - 40
Bab 2 – Tinjauan Pustaka

Untuk tanah kohesi yang berbutir halus, kekuatan geser dapat dihitung pada
kondisi tak terdrainase, sehingga permasalahan kestabilan lereng dapat lebih
dipermudah seperti terlihat pada gambar di atas.
Kita tidak perlu membagi bidang gelincir menjadi beberapa elemen, karena
kekuatan tanah tidak lagi bergantung pada gaya normal pada bidang geser seperti
terlihat pada gambar diatas. Persamaan-persamaan dapat dipermudah sehingga
menjadi sebagai berikut :
m
cLarc R + ∑ Ti yi
FS = i =1
(2.47)
WX
dimana FS = faktor keamanan menyeluruh
c = kohesi tanah
Larc = panjang bidang runtuh
R = jari-jari bidang runtuh
Ti = Tegangan geser yang diijinkan untuk tiap lapis geotekstil
yi = panjang lengan momen dari geotekstil
W = berat dari bidang runtuh
X = panjang lengan momen dari titik berat bidang runtuh

II - 41
Bab 1 - Pendahuluan

Bab 1
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah


Perkuatan dengan geotekstil saat ini sering dipergunakan dalam bidang
geoteknik untuk berbagai macam tujuan. Sebagai membran dalam lingkup geoteknik
umumnya mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai filtrasi dan sebagai media
pemisah. Suatu masalah yang umumnya dilakukan oleh para engineer adalah adanya
suatu keyakinan akan kekuatan dari membran tersebut cukup kuat untuk memikul
timbunan tanah yang besar atau suatu beban lalu lintas.
Dalam prakteknya, fungsi pemisahan dan filtrasi dari membran sering
ditemukan saling berjalan satu dengan yang lainnya. Pada kejadian alam, bila di suatu
tempat terjadi filtrasi maka pada tempat tersebut pula terjadi pemisahan partikel-
partikel dari tanah. Begitu pula yang terjadi dengan sebaliknya.
Dalam fungsi secara lebih umum, membran sering dipergunakan sebagai
struktur-struktur perkuatan pada lereng-lereng, konstruksi jalan, filter dan berbagai
macam fungsi lainnya. Dalam meningkatkan kestabilan lereng terutama pada lereng-
lereng tanah timbunan, membran akan bekerja sama dengan tanah. Pada umumnya
untuk tanah-tanah timbunan, membran akan menjadi pembungkus dari tanah urukan
yang telah dipadatkan, atau diletakkan pada suatu dasar timbunan di atas tanah lunak.

I-1
Bab 1 - Pendahuluan

Pada kasus longsoran yang terjadi pada Kompleks Perumahan Citra Grand
Blok B-10, Cibubur, lapisan perkuatan geotekstil digunakan sebagai suatu dinding
penahan tanah dan di atas tanah timbunan tersebut akan dibangun beberapa kapling
baru. Kondisi dari lereng tersebut berbatasan langsung dengan suatu sungai dan
membentuk lereng yang amat terjal dengan elevasi pada kapling adalah + 70.0 m dan
elevasi pada bantaran sungai adalah + 43.1 m.
Usulan awal untuk penimbunan lereng dengan menggunakan perkuatan
geotekstil dengan maksud untuk memperluas lahan disekitar belakang kapling
sehingga akan dapat dibuat jalan di bagian belakang kapling tersebut.
Pada saat pelaksanaan konstruksi penimbunan tersebut telah terjadi suatu
longsoran pada saat timbunan lereng mencapai ketinggian ± 24 m dan diperlukan
penimbunan ulang untuk mencapai ketinggian sebelumnya tetapi longsoran terulang
kembali. Pergerakan horisontal pun telah terjadi sampai sejauh 11.0 m dari posisi
semula menuju ke arah sungai. Pergerakan horisontal ini turut mempengaruhi
terjadinya pergerakan arah vertikal sehingga menyebabkan penurunan di bagian atas
lereng.
Hal yang menarik dari permasalahan ini adalah bahwa tanah pada bagian kaki
lereng timbunan telah dipersiapkan dengan menggali sampai kedalaman tanah keras,
sehingga kemungkinan terjadinya keruntuhan pada bagian kaki lereng (base failure)
tidak seharusnya terjadi. Hal ini menunjukan kemungkinan besar adanya faktor-faktor
lain yang saling terkait sehingga terjadi suatu longsoran yang cukup besar ini.

1.2. Maksud dan Tujuan Penulisan


Maksud dari penulisan ini adalah untuk melakukan analisis dari suatu
timbunan lereng yang diperkuat dengan perkuatan geotekstil dan mengetahui
pengaruh dari tinggi timbunan dan elevasi muka air tanah terhadap kestabilan lereng.
Untuk mendukung analisis ini diperlukan berbagai macam parameter yang didapat
dari hasil pengujian di lapangan maupun di laboratorium.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk untuk mengetahui mekanisme
keruntuhan timbunan dari suatu lereng yang diperkuat dengan lapisan geotekstil dan
menentukan penyebab dari keruntuhan yang terjadi.

I-2
Bab 1 - Pendahuluan

1.3. Lingkup Pembahasan


Dalam tulisan ini, akan dilakukan analisa dari stabilitas lereng timbunan pada
perumahan Citra Grand blok B-10, Cibubur dengan menggunakan bantuan program
plaxis dan slope-w yang akan melakukan analisa berdasarkan metode elemen hingga.
Pada penulisan ini akan dilihat pengaruh dari aliran air tanah yang menuju ke
sungai akibat berubahnya struktur alam sekitar dengan adanya penimbunan tersebut
terhadap kestabilan lereng timbunan yang baru.
Selain itu akan dilihat pula pengaruh dari tinggi timbunan serta parameter dan
dari tanah timbunan yang digunakan dan interaksinya dengan lapisan geotekstil
apakah juga ikut mempengaruhi kestabilan dari lereng tersebut.

1.4. Metode Penulisan


Analisa akan dilakukan dengan menggunakan bantuan program plaxis dan
slope-w yang akan membutuhkan parameter-parameter tanah dan karakteristik dari
perkuatan geotekstil.
Selain parameter tanah dan karakteristik geotekstil juga dibutuhkan
pemodelan dari tahap-tahap konstruksi (stage of construction) dari pelaksanaan
timbunan, sehingga akan dapat diamati perkembangan yang terjadi selama pekerjaan
timbunan dilakukan.
Pada lapisan perkuatan dengan menggunakan geotekstil ini akan dilihat
pengaruh dari aliran air tanah yang menuju ke sungai terhadap kestabilan dari lereng
timbunan tersebut. Juga akan dilihat pengaruh dari tinggi timbunan, elevasi muka air
tanah terhadap gaya aksial yang bekerja pada lapisan geotekstil tersebut.

1.5. Sistematika Penulisan


Penulisan thesis ini akan terdiri dari beberapa bab, yaitu :
Bab 1 Pendahuluan
Menguraikan latar belakang masalah, tujuan yang akan dicapai dalam analisa
terhadap longsoran ini.
Bab 2 Tinjauan Pustaka
Akan diuraikan beberapa teori yang berkaitan dengan kestabilan lereng.

I-3
Bab 1 - Pendahuluan

Bab 3 Penyelidikan Longsoran


Akan berisi beberapa uraian mengenai tahap-tahap penyelidikan yang
dilakukan baik di lapangan maupun berbagai macam uji yang dilakukan yang
berhubungan dengan parameter-parameter dari tanah timbunan maupun
tanah asli, baik uji yang dilakukan secara langsung di lapangan maupun uji
laboratorium.
Bab 4 Analisa Kestabilan Lereng
Berisi mengenai analisa yang dilakukan terhadap kestabilan lereng dengan
menggunakan bantuan program plaxis dan slope-w dan akan dibandingkan
hasil keluaran plaxis dan slope-w dengan kenyataan yang terjadi dilapangan.
Bab 5 Kesimpulan dan Saran
Akan berisi kesimpulan yang dapat ditarik dari kasus longsoran ini
berdasarkan perilaku tanah dengan geotekstil.

I-4
Bab 3 – Penyelidikan Longsoran

Bab 3
Penyelidikan Longsoran

3.1. Deskripsi Masalah


Suatu pembangunan akan dilakukan pada blok B-10 lokasi Citra Grand, di
mana kondisi awal merupakan suatu lereng yang cukup terjal. Daerah kapling akan
direncanakan berada pada elevasi + 70.0 m sedangkan elevasi bantaran sungai akan
berada pada elevasi + 43.1 m. Perbedaan elevasi ini akan diatasi dengan membentuk
suatu lereng dengan suatu perkuatan dengan menggunakan geotekstil. Topografi dari
daerah pengembangan blok B-10 dapat dilihat pada gambar 3.1
Perencanaan awal dari kontraktor diusulkan untuk memperluas lahan kapling
tersebut sejauh ± 12 m dan konstruksi lereng tersebut akan diperkuat dengan
menggunakan geotekstil. Dengan sistem yang ditawarkan tersebut akan dapat dibuat
jalan selebar 8.0 m di bagian belakang kapling tersebut seperti terlihat pada gambar
3.2.
Konstruksi lereng dengan menggunakan geotekstil tersebut akan
menggunakan tanah yang dipadatkan dan dibungkus dengan geotekstil. Timbunan
akan dilakukan secara bertahap dan pada setiap taha pan akan dilakukan quality control
berupa uji sondir untuk memastikan kondisi dan kepadatan dari timbunan.

III - 1
Bab 3 – Penyelidikan Longsoran

Gambar 3.1. Topografi daerah sekitar lereng timbunan

Lokasi timbunan
pengembangan blok B-10

Gambar 3.2. Lokasi timbunan dan pengembangan blok B-10

3.2. Kondisi Tanah dan Longsoran


Kondisi tanah disekitar longsoran diketahui dari pemboran yang dilakukan
pada dua buah titik pengeboran yang berkode BH-4A dan B-3. Pemboran dilakukan
untuk mendapatkan gambaran geologi dari kondisi lereng tersebut mengingat kondisi

III - 2
Bab 3 – Penyelidikan Longsoran

lereng yang dinilai dalam keadaan rawan longsor, dan untuk mendapatkan parameter-
parameter tanah yang berhubungan untuk desain konstruksi lereng pengaman.
Pada saat terjadi keruntuhan, posisi geotekstil telah mengalami pergerakan
baik ke arah horisontal maupun arah vertikal. Berdasarkan pengamatan visual,
geotekstil telah mengalami pergerakan horisontal sejauh 11 m. Dugaan awal adalah
tidak bekerjanya perkuatan geotekstil yang seharusnya menjadi struktur penahan
akibat dilampauinya tegangan tarik maksimum yang mampu dipikul oleh lembaran
geotekstil. Hal ini dapat dilihat pada beberapa lembar geotekstil yang mengalami
robekan cukup besar.
Pergerakan horisontal ini menyebabkan terjadinya penurunan pada bagian
atas sisi lereng yang berdasarkan pengamatan mencapai hampir 3 m. Juga ditemukan
beberapa bagian geotekstil yang telah robek - yang dapat dilihat pada gambar 3.3.-
yang diduga akibat dilampauinya kapsitas tegangan maksimum yang dapat dipikul
oleh lembaran geotekstil tersebut.

Gambar 3.3. Robeknya beberapa lapis geotekstil yang diduga akibat dilampauinya
tegangan maksimum yang diijinkan dari lembar geotekstil .

Berdasarkan pengamatan, hipotesa yang paling memungkinkan untuk


menerangkan terjadinya kelongsoran tersebut adalah akibat terjadinya keruntuhan
pada bagian dasar ( base failure ) yang diikuti oleh pergeseran yang terjadi secara lateral.

III - 3
Bab 3 – Penyelidikan Longsoran

Tetapi berdasarkan laporan, pada bagian base telah dilakukan penggalian sampai
dengan kedalaman tanah keras untuk dipersiapkan menjadi tanah pondasi, maka
keruntuhan yang terjadi akibat runtuhnya pondasi sangatlah menjadi tidak masuk
akal. Maka yang hipotesa paling memungkinkan adalah telah terjadinya keruntuhan
atau kegagalan pada lapisan geotekstil yang terbawah yang tidak sanggup menahan
beban-beban luar yang bekerja sehingga geotekstil tidak sanggup menahan tekanan
tanah yang terjadi sehingga geotekstil menjadi robek dan berakibat pada keseluruhan
konstruksi lereng tersebut.
Jalur drainase yang tertutup akibat struktur geotekstil hanya didesain sebagai
struktur penahan saja tanpa memperhatikan fungsi utama lainnya yaitu drainase
diduga juga turut berperan meningkatkan tekanan lateral yang terjadi sehingga akan
mendorong konstruksi lereng tersebut. Jalur drainase yang tertutup juga
menyebabkan air akan merembes keluar ke arah sisi lereng pada satu bagian saja yang
akan menjenuhkan tanah sekitar sehingga akan menurunkan tegangan dari tanah
timbunan.

3.3. Konstruksi Timbunan dengan Geotekstil


Untuk melakukan penimbunan lereng, tinggi urugan total yang digunakan
adalah sebesar 29 m dan diharapkan akan memikul beban permukaan sebesar 10
kN/m2. Konstruksi timbunan yang digunakan akan berupa geotekstil yang akan
menjadi pembungkus tanah merah yang dipadatkan. Ketebalan tanah yang dibungkus
dengan geotekstil masing-masing setebal 2,0 m kecuali pada dua lapisan teratas yaitu
setebal 2,5 m. Potongan melintang dari struktur timbunan dapat dilihat pada gambar
3.4.
+ 70 m

Geotekstil BW 250
14,5 m

Muka air tanah ( + 55,5 m )


29 m

Gambar 3.4. Potongan Melintang dari struktur timbunan dan tanah asli

III - 4
Bab 3 – Penyelidikan Longsoran

Geotekstil yang akan menjadi pembungkus digelar dan akan disambung dengan jalan
penjahitan. Taha p awal konstruksi yaitu dengan melakukan penggalian tanah hingga
mencapai tanah keras yang akan digunakan sebagai dasar pondasi. Pada saat
penggalian, ditemukan suatu aliran air tanah yang diduga bahwa dasar pondasi berada
pada muka air tanah. Mata air tanah ini lalu dialirkan melalui pipa pralon ke luar
daerah timbunan. Berdasarkan informasi, drainase ini digunakan hanya untuk
mengatasi masalah yang timbul selama proses konstruksi dan tidak dipersiapkan
untuk kestabilan struktur jangka panjang.
Setelah dasar pondasi siap, geotekstil akan digelar dan pada bagian sekeliling
lereng akan dipasang karung-karung pasir yang berguna untuk menahan tanah
sementara dan juga untuk melindungi geotekstil dari gerakan alat berat. Kemudian
tanah merah digelar dan dipadatkan dengan menggunakan roller. Untuk memberikan
tegangan awal pada geotekstil, pada bagian tengah timbunan digali menyerupai parit
dimana ujung geotekstil akan ditanam dan ditimbun oleh tanah merah kembali.
Proses dilanjutkan berulang kali sehingga dicapai total ketinggian timbunan
yang diinginkan. Pengawasan kualitas tanah timbunan dilakukan dengan
mengggunakan uji sondir dan diperoleh nilai tahanan ujung qc sebesar 10 – 25
kg/cm2.

3.4. Penyelidikan Tanah dan Parameter-Parameter Tanah


Penyelidikan tanah di lokasi longsoran yang dilakukan adalah dengan
menggunakan pengujian langsung dilapangan (In-situ) berupa uji SPT (Standard
Penetration Test) dan uji CPT (Cone Penetration Test). Selain itu juga dilakukan
pengambilan sampel UDS (Undisturbed Sample) guna melakukan pengujian di
laboratorium. Penyelidikan tanah awal dilakukan oleh PT Testana Indoteknika pada
bulan Februari 2001 dan penyelidikan tanah tambahan dilakukan pada bulan Januari
2002. Data yang didapatkan adalah berupa data lapangan dan data laboratoriun yang
akan digunakan sebagai parameter-parameter untuk melakukan analisis dan dapat
dilihat pada lampiran A.
Pada Februari 2001 uji SPT dan pemboran dilakukan pada 2 buah titik yaitu
pada elevasi + 70 m (BH-4A) dan pada elevasi + 68 m (BH-3). Pada Januari 2002,
setelah terjadi longsoran dilakukan pengujian tambahan pada lereng yang mengalami

III - 5
Bab 3 – Penyelidikan Longsoran

longsoran. Pengujian SPT dan pemboran tambahan dilakukan sebanyak 2 buah titik
pada tubuh timbunan yang mengalami longsoran yaitu pada elevasi +58,84 m (BH-1)
dan pada elevasi + 58,57 m (BH-2). Dilakukan pula pengujian CPT pada 5 buah titik
dimana yaitu pada elevasi +59 m (S-01), + 58,95 m (S-02), + 62,06 m (S-03) dan +
58,58 m (S-04) dan pada elevasi + 43 m.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari pemboran di atas diketahui
bahwa pada lapisan teratas didominasi oleh lapisan silty clay dengan nilai N-SPT 4 –
7 (pukulan / 30 cm) dengan konsistensi medium. Pada lapisan bawahnya ditemukan
lapisan sand dengan nilai N-SPT 11 – 50 (pukulan / 30 cm).
Muka air tanah ditemukan pa da kedalaman -14,5 m dari permukaan tanah
asli. Data permukaan air tanah diduga cukup memegang peranan penting, karena
pada hasil penyelidikan geoteknik tambahan yang dilakukan tepat pada tubuh
timbunan, ditemukan muka air tanah berada pada tubuh timbunan. Hal ini diduga
akibat drainase yang tidak baik sehingga menyebabkan air tanah terperangkap dalam
tubuh timbunan dan menggenanginya sehingga lapisan geotekstil menjadi semacam
suatu bendungan baru. Air yang terperangkap ini dapat berasal dari muka air tana h
asli atau berasal dari rembesan air hujan yang masuk ke dalam tanah.
Akibat adanya air, diduga sistem timbunan yang diperkuat dengan geotekstil
seakan-akan menjadi terapung, sehingga tidak akan timbul suatu tegangan tarik yang
diharapkan muncul dari perkuatan geotekstil tersebut. Hal ini menyebabkan
hilangnya suatu struktur perkuatan yang menjadi penahan gaya geser yang terjadi.
Setelah hilangnya kekuatan untuk menahan geser tersebut, tanah pada timbunan tidak
mampu menahan pergerakan lateral dari material tanah yang cukup besar sehingga
struktur timbunan akan mengalami pergerakan. Akibat pergerakan yang timbul akan
menimbulkan gaya tarik yang besar yang akan melampaui tegangan ijin dari tiap lapis
geotekstil sehingga akan merobek lembaran geotekstil tersebut yang akan
menyebabkan semakin hilangnya kinerja dari struktur perkuatan geotekstil tersebut.

III - 6
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

Bab 4
Analisis Kestabilan Lereng

4.1. Parameter-Parameter Tanah yang Digunakan


Parameter tanah yang digunakan untuk analisis berasal dari penyelidikan
geoteknik yang telah dilakukan pada Februari 2001 dan Januari 2002. Beberapa
parameter tanah yang diketahui dan tidak tersedia maka digunakan suatu korelasi
terhadap hasil pemboran seperti nilai N-SPT dan parameter-parameter lainnya.
Parameter-parameter dari tanah asli yang akan digunakan dalam pemodelan dapat
dilihat pada tabel 4.1.
Sedangkan untuk tanah timbunan, dilakukan pula pengujian di laboratorium
untuk melakukan perilaku geser antara geotekstil dan tanah pada berbagai macam
kadar air tanah timbunan. Sebelumnya tanah timbunan dipadatkan dengan uji
kompaksi pada berbagai macam kadar air. Parameter-parameter dari tanah timbunan
yang akan digunakan dalam pemodelan dapat dilihat pada tabel 4.2.

4.1.1. Uji Kompaksi pada Tanah Timbunan


Uji kompaksi dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kadar air optimum
dari tanah yang mengalami pemadatan Hal ini untuk mendapatkan parameter yang
dibutuhkan sesuai dengan kondisi tanah timbunan di lapangan.
Uji kompaksi dilakukan pada berbagai macam kadar air dan dengan
menggunakan metode Proctor standard dengan mold diameter 10,17 cm (4 inch) dan

IV - 1
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

tinggi 11,52 cm (4,54 inch). Pada sampel kompaksi, ditambahkan air sehingga
didapatkan kadar air yang berbeda-beda. Air yang ditambahkan pada sampel adalah
sebanyak 100, 200, 300, 400, dan 500 cm3.
Dari hasil pengujian didapatkan bahwa kadar air optimum pada tanah
timbunan yang akan digunakan adalah sebesar 37 % seperti terlihat pada gambar 4.1.
yang menunjukan hubungan antara kadar air dengan berat tanah kering

1,5

1,45

1,4
3
Berat isi kering ; gr/cm

1,35

1,3

1,25

1,2

1,15

1,1
20 25 30 35 40 45 50

Kadar air (%)


Gambar 4.1. Kurva Kompaksi Tanah Timbunan

IV - 2
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

4.1.2. Uji Kuat Geser Langsung pada Tanah Timbunan


Setelah dilakukan kompaksi, sebagian tanah dibentuk untuk dilakukan Uji
Geser Langsung (Direct Shear). Uji ini bertujuan untuk mendapatkan parameter
geser dari tanah timbunan. Pengujian ini dilakukan pada dua tahap yaitu uji geser
langsung antara tanah dengan tanah, dan pengujian geser langsung antara tanah
dengan bidang geser yang dibatasi oleh suatu interface dalam hal ini adalah geotekstil.
Pengujian ini tidak dilakukan pada seluruh kondisi kadar air kompaksi
melainkan hanya dilakukkan pada tiga kondisi kadar air yang berbeda. Tidak
dilakukannya pengujian pada seluruh kondisi kadar air kompaksi dikarenakan sulitnya
untuk mengambil sampel untuk dilakukan pengujian geser langsung pada kondisi
kadar air yang rendah.
Dari hasil pengujian didapatkan bahwa dengan meningkatnya kadar air rata-
rata akan mengakibatkan penurunan nilai kohesi (c), adhesi (ca), φ dan δ seperti
terlihat pada gambar 4.2. dan gambar 4.3. dibawah ini.

0,8

0,7

0,6

0,5
c, ca (kg/cm )
2

0,4

0,3

0,2
Soil - soil

0,1 Soil - Geotekstil

0
30 35 40 45 50

Kadar air (%)

Gambar 4.2. Hubungan antara kadar air terhadap kohesi (c) dan adhesi (ca)

IV - 3
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

14

12

φ, δ ( 0 ) 10

2 Soil vs soil
Soil vs Geotekstil
0
30 35 40 45 50

Kadar air (%)


Gambar 4.3. Hubungan antara kadar air terhadap φ (soil – soil)
dan δ (soil – geotekstil)

4.2. Pemodelan Plaxis


Program Plaxis merupakan salah satu program bantu dalam bidang geoteknik
yang dikembangkan oleh Dr. R. B. J. Brinkgreve (Plaxis B.V., Netherlands) dan Prof.
P. A. Vermeer (University of Stuttgart, Germany). Program ini didasarkan pada
metode elemen hingga dengan kondisi plane strain (regangan bidang). Model plane
strain yang digunakan dalam plaxis ini mengansumsikan bahwa sepanjang potongan
melintang dari suatu struktur relatif sama dalam geometri dan peralihan dalam arah
tegak lurus dianggap tidak terjadi sama sekali.
Program Plaxis ini membagi elemen-elemen menjadi suatu elemen segitiga
dengan pilihan 6 atau 15 nodal untuk setiap elemen segitiga. Program Plaxis ini juga
dapat memodelkan tahapan konstruksi sehingga akan dapat dihasilkan suatu hasil
yang lebih reslistis terutama untuk memodelkan perubahan tegangan-tegangan yang
sesungguhnya terjadi selama proses konstruksi di lapangan.
Masukan data yang terpenting untuk melakukan analisis dengan Plaxis adalah
pemodelan material, analisis urutan konstruksi dan pemodelan tegangan-tegangan
yang bekerja pada elemen tanah.

IV - 4
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

4.2.1. Pemodelan Material


Pemodelan material dalam Plaxis akan memodelkan parameter-parameter
tanah yang diinterpretasikan berdasarkan hasil penyelidikan tanah dan percobaan di
laboratorium telah dilakukan. Bagi jenis-jenis material yang tidak tersedia parameter-
parameter tanahnya, maka akan digunakan berbagai macam korelasi terhadap hasil
pemboran dan pengujian di lapangan atau dengan korelasi terhadap parameter-
parameter yang telah tersedia. Model Mohr-Coulomb yang digunakan dalam analisis
memerlukan 6 buah parameter yaitu modulus elastisitas (E), berat jenis tanah (γdry,
γwet) Poisson’s ratio (ν), kohesi (c, ca), sudut geser dalam (φ, δ) dan sudut dilatansi (ψ).
Korelasi-korelasi empirik yang digunakan dalam penentuan beberapa
parameter adalah sebagai berikut :
- Nilai k dan ν adalah harga tipikal dari jenis tanah tersebut karena tidak
tersedianya data laboratorium
- Harga E ditentukan berdasarkan korelasi empirik, berupa E = 766 NSPT
kN/m2
- Nilai c diambil berdasarkan korelasi c = (1/8 – 1/16) Nspt kN/m2. Nilai
ini juga telah diverifikasi berdasarkan data bor disekitar lokasi longsoran.

Tabel 4.1. menunjukan parameter-parameter tanah asli yang digunakan


sebagai masukan dalam pemodelan Plaxis.

Tabel 4.1. Parameter Tanah Asli untuk Pemodelan pada Plaxis


Jenis N- c γdry γwet kx = ky E
Lapis φ ν
Tanah SPT (kN/m2) (kN/m3) (kN/m3) (m/s) (kN/m2)
1 Silty Clay 6 50 0 11 16 10-8 4596 0,3
2 Silty Clay 4 33 0 11 16 10-8 3064 0,35
3 Clayey Silt 4 40 0 11 16 10-8 3064 0,35
4 Sand 25 10 35 15 16 10-6 19150 0,25
5 Sandy Silt 5 10 28 14 15 10-6 3830 0,35
6 Sandy Silt 25 250 18 15 16 10-6 19150 0,25
7 Silty Sand 27 10 35 15 16 10-6 20680 0,25
Cemented
8 50 400 40 15,5 17 10-6 38300 0,25
Sand

IV - 5
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

Sedangkan untuk tanah timbunan selain digunakan data berdasarkan


pengujian lapangan, juga digunakan data hasil pengujian kuat geser tanah. Untuk
tanah timbunan, dibedakan penggunaannya yaitu berdasarkan tanah timbunan yang
akan berada di atas elevasi muka air tanah (timbunan 1) dan tanah timbunan yang
berada di bawah elevasi muka air tanah (timbunan 2). Tabel 4.2. menunkukan
parameter-parameter tanah timbunan yang digunakan dalam pemodelan Plaxis.

Tabel 4.2. Parameter Tanah Timbunan untuk Pemodelan pada Plaxis


Jenis ca γdry γwet kx = ky E
Tanah δ ν
Tanah (kN/m2) (kN/m3) (kN/m3) (m/s) (kN/m2)
Timbunan 1 Silty Clay 50 9 13 17 10-8 3830 0,3
Timbunan 2 Silty Clay 40 4 10 16 10-8 3830 0,3

4.2.2. Analisis Tahapan Konstruksi


Salah-satu kelebihan dari Plaxis adalah dimungkinkannya untuk melakukan
analisis dari tahapan-tahapan konstruksi. Dengan melakukan analisis dari tahapan-
tahapan konstruksi, maka analisis dapat dilakukan untuk memodelkan perubahan-
perubahan tegangan yang terjadi pada elemen tanah secara bertahap. Tahapan
konstruksi dalam analisis ini akan dibagi dalam 2 tahap yaitu, tahap penambahan
elevasi timbunan dan taha p peningkatan elevasi muka air tanah yang menggenang di
dalam tubuh timbunan.
Pada tahap awal yaitu tahap penambahan elevasi timbuhan, dilakukan dengan
menganalisis peningkatan elevasi timbunan yang disertai dengan penambahan jumlah
lapisan geotekstil. Tahapan ini dilakukan secara bertahap yaitu untuk setiap lapisan
timbunan dengan masing-masing elevasi sebesar 2 m hingga tubuh timbunan
mencapai ketinggian 24 m, sehingga pada tahap ini dilakukan sebanyak 12 tahap.
Setelah analisis pada tahap peningkatan elevasi timbunan selesai dilakukan
hingga tinggi timbunan mencapai elevasi 24 m, maka dilakukan tahapan selanjutnya
yaitu tahapan peningkatan elevasi muka air tanah dalam tubuh timbunan. Tahapan ini
dilakukan untuk melakukan analisis terhadap terjadinya penggenangan tanah di dalam
tubuh timbunan dan diikuti dengan peningkatan kadar air tanah sehingga akan
mempengaruhi dari nilai parameter kuat geser dari elemen tanah timbunan tersebut.
Pada tiap tahap, elevasi muka air tanah akan mengalami peningkatan sebesar 2 m

IV - 6
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

dimulai pada elevasi tepat pada kaki timbunan hingga mencapai suatu elevasi tertentu
hingga terjadi suatu keruntuhan dari sisten tersebut.
Untuk setiap tahap analisis akan dilakukan analisis deformasi baik deformasi
yang terjadi secara global pada seluruh struktur sistem penahan, yaitu tubuh
timbunan yang diperkuat dengan geotekstil yang berfungsi sebagai suatu struktur
perkuatan, maupun deformasi lokal yaitu deformasi yang terjadi pada tiap lapis
geotekstil. Analisis kekuatan juga akan dilakukan pada setiap lapis geotekstil untuk
memantau besarnya tegangan-tegangan aksial yang terjadi pada seluruh lapis
geotekstil pada setiap tahapan konstruksi. Dari analisis deformasi dan analisis
kekuatan yang dilakukan akan ditarik suatu kesimpulan mengenai perilaku dari sistem
dan mendapatkan gambaran apa yang terjadi selama proses konstruksi berlangsung.
Tahapan-tahapan dalam analisis selama proses konstruksi dapat dilihat pada
gambar 4.4.

Tahap peningkatan elevasi Tahap peningkatan elevasi


timbunan muka air tanah

Analisis Kekuatan
Analisis Deformasi Analisis Kekuatan Analisis Deformasi

Deformasi pada Tubuh Gaya Tarik pada Deformasi pada Gaya Tarik pada
Timbunan Tiap Lapis Geotekstil Tubuh Timbunan Tiap Lapis Geotekstil

Peningkatan Deformasi Peningkatan Gaya Tarik


Peningkatan Deformasi Peningkatan Gaya Tarik untuk Tiap Tahap untuk Tiap Tahap
untuk Tiap Tahap untuk Tiap Tahap

Deformasi Total Gaya Tarik Total Deformasi Total Gaya Tarik Total
untuk Tiap Tahap untuk Tiap Tahap untuk Tiap Tahap untuk Tiap Tahap

Deformasi pada Deformasi pada


Tiap Lapis Geotekstil Tiap Lapis Geotekstil

Peningkatan Deformasi Peningkatan Deformasi


untuk Tiap Tahap untuk Tiap Tahap

Deformasi Total Deformasi Total


untuk Tiap Tahap untuk Tiap Tahap

Gambar 4.4. Langkah-langkah dalam Analisis Sesuai Tahapan Konstruksi

IV - 7
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

4.2.3. Hasil Analisis Plaxis


4.2.3.1. Analisis Deformasi Global

0,3

0,25
Peningkatan deformasi (m)

0,2

0,15

0,1

0,05

0
0 4 8 12 16 20 24
Tinggi timbunan (m)

Gambar 4.5. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap peningkatan deformasi global

7
Peningkatan deformasi (m)

4
3

0
0 2 4 6 8 10 12

Tinggi muka air tanah (m)

Gambar 4.6. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap peningkatan deformasi global

IV - 8
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

Pada gambar 4.5. ditunjukan besarnya peningkatan deformasi yang terjadi


akibat adanya penambahan timbunan. Terlihat bahwa awal penimbunan terjadi tidak
terjadi peningkatan deformasi yang cukup signifikan. Pada tahap awal penimbunan
yaitu ketika ketinggian tinggi timbunan mencapai ketinggian 0 - 18 m, hanya terjadi
peningkatan deformasi sebesar 0,195 cm – 0,871 cm. Peningkatan deformasi cukup
signifikan terjadi setelah tinggi timbunan mencapai ketinggian 20 – 24 m yaitu sebesar
19,05 – 25,67 cm. Tetapi pergerakan yang terjadi masih dapat dikatakan cukup aman
bagi sistem struktur penahan tersebut.
Gambar 4.6 menunjukan hubungan antara elevasi muka air tanah dengan
peningkatan deformasi pada struktur penahan tersebut. Pada muka air dangkal
terlihat bahwa tidak terjadi peningkatan deformasi yang cukup besar sehingga
struktur dapat dikatakan cukup aman yaitu sebesar 0,611 - 1,03 cm. Tetapi ketika
elevasi muka air tanah mencapai elevasi 8 m, terjadi suatu peningkatan deformasi
yang cukup besar yaitu sebesar 36,83 cm. Hal ini dapat menjadi suatu petunjuk bagi
evaluasi keadaan di lapangan bahwa pada saat terjadi suatu pergerakan yang cukup
besar ditemukan muka air tanah di dalam tubuh timbunan.

0,8

0,7

0,6
Deformasi (m)

0,5

0,4

0,3

0,2

0,1

0
0 4 8 12 16 20 24
Tinggi timbunan (m)

Gambar 4.7. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap deformasi global

IV - 9
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

10
9

8
7
Deformasi (m)

5
4
3
2

1
0
0 2 4 6 8 10 12
Tinggi mat (m)

Gambar 4.8. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap deformasi global

Gambar 4.7 menunjukan hubungan antara besarnya deformasi yang terjadi


akibat adanya penambahan timbunan. Deformasi total yang terjadi pada saat
selesainya penimbunan tanah sampai elevasi 24 m adalah sebesar 0,71 m. Pada awal
penimbunan, deformasi yang terjadi cenderung meningkat secara teratur hingga
tinggi timbunan mencapai ketinggian 18 m dengan besar deformasi sebesar 5,24 cm
pada saat elevasi timbunan sebesar 18 m.
Deformasi total yang cukup terjadi besar terjadi akibat meningkatnya elevasi
muka air tanah pada tubuh timbunan, terutama setelah elevasi muka air tanah
mencapai 8 m seperti terlihat pada gambar 4.8. Dari gambar 4.8., pada saat elevasi
muka air tanah mencapai ketinggian 12 m dari dasar timbunan, terjadi deformasi total
8,58 m, dan berdasarkan data pengamatan pergerakan yang terjadi adalah sebesar 11,0
m. Hal ini menunjukan bahwa elevasi muka air tanah dalam tubuh timbunan
mempunyai kontribusi yang cukup besar bagi kegagalan sistem penahan tersebut.
Pada saat dilakukan penimbunan 0 – 18 m, berdasarkan analisis tidak terjadi
perubahan deformasi yang terjadi dan cenderung stabil dengan deformasi sebesar
0,56 – 5,04 cm. Deformasi yang terjadi cukup signifikan baru terjadi ketika tinggi
timbunan mencapai ketinggian 20 – 24 dengan deformasi yang terjadi sebesar 24,29 –
70,83 cm.

IV - 10
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

Pada saat terjadi peningkatan elevasi muka air tanah umumnya terjadi
peningkatan deformasi terutama setelah elevasi muka air tanah berada pada
ketinggian lebih besar dari 6 m dari permukaan tanah. Pada saat elevasi muka air
tanah berada pada elevasi 0 – 6 m dari permukaan tanah deformasi yang terjadi
cenderung stabil dan berada pada rentang 70,83 – 73,17 cm. Setelah elevasi muka air
tanah mencapai ketinggian 8 m, deformasi yang terjadi meningkat cukup tajam
dimulai dari deformasi sebesar 1,10 m dan mencapai deformasi sebesar 8,58 m pada
saat elevasi muka air tanah mencapai ketinggian 12 m dari permukaan tanah.
Peningkatan elevasi muka air tanah di dalam tubuh timbunan diduga akan
menyebabkan terjadinya suatu penambahan tekanan aktif yang bekerja pada tubuh
timbunan. Pada awal perencanaan diperkirakan tidak memperhitungkan
kemungkinan dari timbulnya tekanan aktif yang cukup besar ini sehingga lapisan
geotesktil yang didesain sebagai struktur penahan tidak dapat bekerja seperti yang
diharapkan sebelumnya.

4.2.3.2. Analisis Deformasi Untuk Tiap Lapis Geotekstil

0,8

0,7 0
2
Peningkatan deformasi (m)

0,6
4
0,5 6
8
0,4
10
0,3 12

0,2 14
16
0,1
18
0 20
0 4 8 12 16 20 24 22
Tinggi timbunan (m)

Gambar 4.9. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap peningkatan


deformasi pada tiap lapis geotekstil

IV - 11
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

9
0
8
2
7 4
Peningkatan deformasi (m)

6
6
8
5 10
4 12
14
3
16
2 18
20
1
22
0
2 4 6 8 10 12
Tinggi muka air tanah (m)
Gambar 4.10. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap
peningkatan deformasi pada tiap lapis geotekstil

Gambar 4.9. menunjukan hubungan antara tinggi timbunan terhadap


peningkatan deformasi yang terjadi pada masing-masing lapis dari geotekstil. Dari
gambar 4.9 terlihat bahwa setiap dilakukan penambahan timbuhan selalu terjadi
peningkatan deformasi dari tiap lapisan geotekstil, tetapi peningkatan pergerakan
yang terjadi cukup stabil yaitu dengan deformasi maksimum kira-kira 4,7 cm. Sampai
dengan tinggi timbunan mencapai ketinggian 18 m, peningkatan deformasi terjadi
menjadi lebih dari 4,7 cm untuk setiap peningkatan elevasi timbunan dan terus
cendurung meningkatan sampai mengalami peningkatan deformasi maksimum
sebesar 71,89 cm.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa peningkatan geotekstil terjadi
maksimum pada saat lapisan geotekstil tersebut baru untuk pertama kali dibebani dan
kemudian akan mengalami penurunan. Peningkatan deformasi cenderung untuk
mengalami peningkatan untuk setiap lapisan geotekstil yang berada pada elevasi yang
lebih tinggi atasnya untuk setiap peningkatan elevasi timbunan. Peningkatan
deformasi maksimum akan terjadi pada saat tubuh timbunan mencapai elevasi 22 m
dari dasar timbunan kecuali untuk lapisan geotekstil yang berada pada elevasi 22 m

IV - 12
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

karena belum terpasangnya lapisan geotekstil. Peningkatan deformasi ini kemudian


akan mengalami penurunan pada saat tubuh timbunan mencapai elevasi 24 m.
Dari hasil analisis, peningkatan pergerakan maksimum terjadi pada lapisan
geotekstil yang berada pada elevasi 22 m, walau hanya mengalami penambahan
elevasi timbunan sebesar 2 m yaitu dari elevasi timbunan 22 m menjadi elevasi
timbunan 24 m. Walau lapisan geotekstil tersebut hanya mengalami peningkatan
timbunan sebanyak satu tahap saja tapi terjadi dapat menimbulkan peningkatan
deformasi yang sedemikian besar diduga akibat pada bagian di bawah dari tubuh
timbunan dengan elevasi kurang dari 22 m juga telah mengalami deformasi yang
cukup besar pula.
Gambar 4.10. menggambarkan hubungan antara peningkatan elevasi muka air
tanah terhadap besarnya peningkatan deformasi pada tiap lapis geotekstil. Dari
gambar 4.8. menunjukan bahwa peningkatan deformasi pada seluruh lapis geotekstil
akibat naiknya elevasi muka air tanah relatif stabil sampai elevasi muka air tanah
mencapai ketinggian 8 m dari dasar timbunan.
Pada lapisan geotekstil dengan elevasi 0 – 6 m dari permukaan tanah
peningkatan deformasi maksimum yang terjadi umumnya sangat kecil, yaitu dengan
peningkatan deformasi sebesar 0,07 - 8,6 cm pada elevasi muka air tanah berada pada
ketingian 6 m dari dasar timbunan dan merupakan peningkatan deformasi maksimum
yang terjadi.
Pada lapisan geotekstil dengan elevasi 8 – 22 m, peningkatan deformasi yang
terjadi akibat meningkatnya elevasi muka air tanah cukup besar. Dengan elevasi muka
air tanah pada ketinggian 8 m dari dasar timbunan terjadi peningkatan pergerakan
sebesar 13,56 – 35,72 cm dan pergerakan ini cenderung meningkat seiring dengan
makin meningkatnya elevasi muka air tanah. Sebagai gambaran, pada elevasi muka air
tanah dengan ketinggian 12 m, pada lapisan geotekstil yang terletak pada elevasi 0 – 6
m terjadi peningkatan deformasi sebesar 3,68 – 91,72 cm, dan pada lapisan geotekstil
yang terletak pada elevasi 8 – 22 m akan terjadi peningkatan deformasi sebesar 3,55 –
7,4 m.

IV - 13
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

0,8
0
0,7
2

0,6 4
6
Deformasi (m)

0,5 8
10
0,4
12
0,3 14
16
0,2
18

0,1 20
22
0
0 4 8 12 16 20 24
Tinggi timbunan (m)
Gambar 4.11. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap deformasi
pada tiap lapis geotekstil

10
9 0
8 2

7 4
Deformasi (m)

6
6
8
5
10
4
12
3
14
2 16
1 18
0 20
2 4 6 8 10 12 22
Tinggi muka air tanah (m)

Gambar 4.12. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap deformasi
pada tiap lapis geotekstil

IV - 14
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

Gambar 4.11. menggambarkan hubungan antara tinggi timbunan dengan


deformasi yang terjadi pada tiap lapis geotekstil. Sepanjang peningkatan elevasi
penimbunan, deformasi yang terjadi cenderung meningkat. Tetapi ketika deformasi
yang terjadi sewatu tinggi timbunan mencapai elevasi 20 - 24 m, meningkat jauh lebih
besar bila dibandingkan ketika tinggi timbunan berada pada elevasi 0 – 18 m.
Pada saat elevasi timbunan mencapai elevasi 18 m, deformasi yang terjadi
pada lapisan geotekstil yang berada pada elevasi 0 – 16 m dari dasar timbunan adalah
sebesar 2,55 – 4,73 cm. Ketika tinggi timbunan mencapai elevasi 24 m dari dasar
timbunan terjadi defromasi sebesar 17,39 – 70,82 cm. Deformasi maksimum terjadi
pada lapisan geotekstil tertinggi yaitu pada elevasi 22 m dari permukaan tanah.
Gambar 4.12. menunjukaan besarnya deformasi yang terjadi pada tiap lapis
geotekstil akibat terjadi peningkatan elevasi muka air tanah. Pada lapisan geotekstil
dengan elevasi 0 – 6 m, deformasi yang terjadi ketika elevasi muka air tanah bergerak
naik dari elevasi 0 – 12 m dari dasar timbunan cenderung stabil. Pada elevasi muka air
tanah berada pada elevasi 2 m dari dasar deformasi yang terjadi pada lapisan
geotekstil dengan elevasi 0 – 6 m, adalah sebesar 17,46 – 39,54 cm dan ketika elevasi
muka air tanah mencapai elevasi 12 m, deformasi yang terjadi adalah sebesar 0,24 –
1,38 m.
Pada lapisan geotekstil yang berada pada elevasi 8 – 22 m dari dasar
timbunan, kenaikan muka air tanah memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap
terjadinya deformasi, terutama setelah permukaan air tanah berada pada elevasi 10 m
dari dasar timbunan. Pada saat elevasi muka air tanah berada pada elevasi 2 – 6 m
dari dasar timbunan, deformasi yang terjadi adalah sebesar 47,75 – 74,29 cm.
Pengaruh yang cukup besar terlihat ketika elevasi muka air tanah berada pada elevasi
8 – 12 m, akan terjadi deformasi sebesar 0,62 – 8,58 m dengan deformasi terbesar
terjadi pada lapisan geotekstil yangberada elevasi 18 m dari permukaan tanah.

IV - 15
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

4.2.3.3. Analisis Kekuatan

120

Peningkatan gaya aksial (kN/m)


100

80

60

40

20

0
0 4 8 12 16 20 24

Tinggi timbunan (m)

Gambar 4.13. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap peningkatan


gaya aksial maksimum

180

160
Peningkatan gaya aksial (kN/m)

140

120

100

80

60

40

20

0
0 2 4 6 8 10 12
Tinggi muka air tanah (m)

Gambar 4.14. Hubungan antara tinggi muka air tanah terhadap peningkatan
gaya aksial maksimum

IV - 16
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

Gambar 4.13 menunjukan hubungan antara peningkatan gaya aksial


maksimum yang bekerja pada geotekstil sehubungan dengan terjadinya peningkatan
elevasi timbunan. Dari hasil analisis terlihat bahwa ketika tinggi timbunan mencapai
ketinggian 18 m, geotekstil mengalami peningkatan gaya aksial maksimum yang
sangat kecil dengan nilai maksimum yaitu sebesar 4,80 kN/m yaitu ketika tinggi
timbunan mencapai ketinggian 6 m. Peningkatan gaya aksial yang cukup besar terjadi
ketika tinggi timbunan mencapai ketinggian 20 yang mencapai sebesar 73,58 kN/m
dan pada tinggi timbunan 22 m terjadi peningkatan gaya aksial maksimum yang
terbesar yaitu sebesar 97,80 kN/m. Tetapi ketika tinggi timbunan meningkat dari
elevasi 22 m menjadi 24 m, peningkatan gaya aksial maskimum mengalami
penurunan dari pola-sebelumnya yang cenderung meningkat yaitu dengan hanya
mengalami peningkatan gaya aksial maksimum sebesar 62,22 kN/m.
Gambar 4.14 menunjukan peningkatan hubungan antara peningkatan gaya
aksial maksimum yang bekerja pada geotekstil akibat meningkatnya elevasi muka air
tanah. Dari gambar terlihat bahwa peningkatan elevasi muka air tanah hanya memiliki
pengaruh ketika elevasi muka air tanah mencapai ketinggian lebih besar dari 6 m dari
dasar timbunan. Pada elevasi muka air tanah 2 – 6 m dari dasar timbunan,
peningkatan gaya aksial maksimum hanya terjadi sebesar 1,75 – 4,12 kN/m. pada saat
elevasi muka air tanah mencapai ketinggian 8 m dari dasar timbunan terjadi
peningkatan sebesar 83,60 kN/m dan ketika mencapai elevasi 10 m terjadi
peningkatan gaya aksial akan mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 10,20
kN/m dan ketika elevasi muka air tanah mencapai 12 m akan mengalami peningkatan
kembali menjadi sebesar 155,28 kN/m.

IV - 17
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

300

250
Gaya aksial (kN/m)

200

150

100

50

0
0 4 8 12 16 20 24

Tinggi timbunan (m)

Gambar 4.15. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap gaya aksial maksimum

600

500
Gaya Aksial (kN/m)

400

300

200

100

0
0 2 4 6 8 10 12 14
Tinggi muka air tanah (m)

Gambar 4.16. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap gaya aksial maksimum

IV - 18
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

Gambar 4.15. menggambarkan hubungan antara besarnya gaya aksial


maksimum yang bekerja pada geotekstil yang diakibatkan dengan peningkatan elevasi
timbunan. Sewaktu tinggi timbunan mencapai elevasi 24 m, gaya aksial maksimum
yang bekerja pada geotekstil yaitu sebesar 254,38 kN/m telah melampaui dari gaya
tarik yang diijinkan dari tiap lapis geotekstil yaitu sebesar 100 kN/m. Hal ini dapat
diartikan bahwa struktur sistem penahan tidak dapat menahan gaya-gaya yang bekerja
dan dalam kondisi tidak aman dalam hal kekuatan.
Ketika tinggi timbunan baru mencapai ketinggian antara 0 – 18 m, gaya yang
bekerja sangat kecil yaitu antara 0 – 20,78 kN/m. Ketika tinggi timbunan mencapai
elevasi 20 m dari dasar timbunan, terjadi peningkatan gaya aksial yang bekerja yang
cukup besar sehingga gaya aksial yang timbul cukup besar yaitu mencapai 94,36
kN/m. Gaya aksial maksmum semakin mengalami peningkatan yang sangat besar
ketika elevasi timbunan semakin ditingkatkan yaitu sebesar 192,16 kN/m pada tinggi
timbunan 22 m dan 254,38 kN/m pada tinggi timbunan 24 m.
Gambar 4.16. menunjukan hubungan antara gaya tarik maksimum yang
bekerja pada geotkstil yang diakibatkan meningkatnya elevasi muka air tanah. Pada
tahap-tahap awal, yaitu pada saat elevasi air tanah berada pada ketinggian 0 – 6 m dari
permukaan tanah, peningkatan elevasi muka air tanah terlihat tidak memberikan
pengaruh terhadap besarnya gaya tarik yang bekerja pada geotekstil. Gaya tarik
geotekstil yang bekerja hanya bergerak antara 254,38 – 362,21 kN/m.
Ketika elevasi air tanah mencapai ketinggian 8 m dari dasar timbunan, terjadi
peningkatan gaya tarik pada geotekstil sehingga gaya tarik yang bekerja menjadi
345,81 kN/m. Ketika elevasi air tanah semakin meningkat sehingga muka air tanah
berada pada elevasi 10 dan 12 m dari dasar timbunan, geotekstil akan mengalami gaya
sebesar 356,01 kN/m (muka air tanah +10 m dari dasar timbunan) dan 511,29 kN/m
(muka air tanah +12 m dari dasar timbunan), dan diperkirakan geotekstil telah
terobek.
Ketika geotekstil mengalami robekan, geotekstil telah kehilangan
kemampuannya untuk memikul gaya tarik yang seharusnya dapat dipikul, sehingga
struktur timbunan menjadi tidak stabil dan mengalami pergerakan yang cukup besar.

IV - 19
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

120
0

100 2

Peningkatan gaya aksial (kN/m)


4
6
80
8
10
60
12
14
40
16
18
20 20
22
0
0 4 8 12 16 20 24

Tinggi timbunan (m)

Gambar 4.17. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap peningkatan


gaya aksial pada tiap lapis geotekstil

250
0
Peningkatan gaya aksial (kN/m)

200 2
4
6
150
8
10
100
12
14
50 16
18
0 20
2 4 6 8 10 12 22
Tinggi muka air tanah (m)

Gambar 4.18. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap


peningkatan gaya aksial pada tiap lapis geotekstil

IV - 20
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

Gambar 4.17 menunjukan hubungan antara besarnya peningkatan gaya tarik


yang terjadi pada setiap lapis geotekstil pada saat terjadinya peningkatan elevasi
timbunan. Dari hasil analisis terlihat bahwa pada tahap-tahap awal penimbunan
tanah, seluruh lapis geotekstil tidak mengalami peningkatan yang cukup besar sampai
elevasi timbunan mencapai ketinggian 18 m. Peningkatan gaya tarik geotekstil yang
terjadi hanya mencapai nilai maksimum sebesar 4,80 kN/m yaitu pada lapis geotekstil
terbawah pada tinggi timbunan 6 m.
Ketika elevasi timbunan melebihi ketinggian 18 m, terjadi peningkatan gaya
tarik yang cukup besar pada beberapa lapis geotekstil. Hampir pada seluruh lapis
geotekstil, gaya tarik mengalami peningkatan maksimum ketika tinggi timbunan
mencapai ketinggian 22 m dari dasar timbunan. Pada saat tinggi timbunan mencapai
ketinggian 22 m, terjadi peningkatan gaya tarik makimum sebesar 97,80 kN/m pada
lapis geotekstil dengan elevasi 6 m dari dasar timbunan.
Nilai tersebut cenderung menurun ketika elevasi timbunan mencapai
ketinggian 24 m, kecuali pada lapis geotekstil yang berada pada elevasi 16 – 22 m.
Peningkatan gaya tarik yang terjadi ketika elevasi timbunan mencapai ketinggian 24 m
mempunyai rentang nilai sebesar 2,32 – 62,22 kN/m.
Gambar 4.18. menunjukan hubungan antara besarnya peningkatan gaya aksial
yang terjadi pada setiap lapis geotekstil pada saat terjadinya kenaikan elevasi muka air
tanah. Pada tahap-tahap awal analisis, yaitu pada saat elevasi muka air tanah berada
pada ketinggian 2 – 6 m dari dasar timbunan, tidak terjadi kenaikan gaya tarik yang
besar pada seluruh lapis geotekstil. Peningkatan gaya geotekstil yang terbesar hanya
terjadi pada lapis geotekstil yang berada pada ketinggian 6 m dari dasar timbunan
yaitu sebesar 4,12 kN/m ketika muka air tanah mencapai ketinggian 6 m.
Ketika elevasi muka air tanah mencapai ketinggian lebih dari 6 m,
peningkatan gaya tarik mengalami variasi yang cukup beragam. Pada elevasi muka air
tanah mencapai ketinggian 8 m, untuk seluruh lapis geotekstil, terjadi peningkatan
gaya aksial yang cukup beragam dengan rentang nilai 1,62 – 83,6 kN/m. Peningkatan
gaya aksial pada beberapa lapis geoekstil akan mengalami penurunan ketika elevasi
muka air tanah mencapai ketinggian 10 m dengan besarnya peningkatan gaya aksial
sebesar 2,41 - 37,27 kN/m.

IV - 21
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

300
0
250 2
4
Gaya aksial (kN/m)
200
6
8
150
10

100 12
14
50 16
18
0 20
0 4 8 12 16 20 24 22
Tinggi timbunan (m)

Gambar 4.19. Hubungan antara tinggi timbunan terhadap gaya aksial


pada tiap lapis geotekstil

600
0
2
500
4
6
Gaya aksial (kN/m)

400 8
10
300 12
14

200 16
18
20
100
22

0
2 4 6 8 10 12
Tinggi muka air tanah (m)

Gambar 4.20. Hubungan antara elevasi muka air tanah terhadap gaya aksial
pada tiap lapis geotekstil

IV - 22
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

Gambar 4.19. menunjukan hubungan antara besarnya gaya aksial yang terjadi
ketika dilakukan penimbunan tanah. Dari gambar terlihat pada tahap awal, yaitu
ketika timbunan berada pada ketinggian 0 – 18 m, gaya aksial yang bekerja pada
seluruh lapis geotekstil masih cukup kecil dengan rentang antara 0 – 20,78 kN/m.
Ketika timbunan semakin tinggi, gaya aksial yang terjdi pada seluruh lapisan
geotekstil cenderung meningkat dengan nilai yang cukup beragam. Ketika elevasi
timbunan berada pada ketinggian 20 m, gaya aksial yang bekerja adalah sebesar 0 –
94,36 kN/m. Pada saat tinggi timbunan mencapai ketinggian 22 m dan 24 m, pada
geotekstil dengan ketinggian 6 m terjadi gaya aksial terbesar adalah sebesar 192,16
kN/m (tingggi timbunan 22 m) dan 254,38 kN/m (tinggi timbunan 24 m) dan telah
melampaui gaya aksial yang diijinkan yaitu sebesar 100 kN/m dan diperkirakan pada
saat ini geotekstil tersebut telah tersobek dan mengalami kegagalan fungsi.
Gambar 4.20. menunjukan besarnya gaya aksial yang bekerja pada setiap lapis
geotekstil ketika terjadi peningkatan elevasi muka air tanah. Pada tahap awal, yaitu
ketika elevasi muka air tanah berada pada ketinggian 2 – 6 m, gaya aksial yang bekerja
cenderung stabil dan tidak mengalami peningkatan yang cukup besar dan gaya aksial
terbesar yaitu sebesar 262,21 kN/m, yang bekerja pada lapis geotekstil dengan elevasi
6 m pada saat elevasi muka air tanah berada pada ketinggian 6 m dari dasar timbunan.
Ketika elevasi muka air tanah berada pada ketinggian 8 m dari dasar
timbunan, gaya aksial baru mengalami peningkatan yang cukup besar. Gaya aksial
yang terbesar terjadi pada lapis geotekstil yang berada pada ketinggian 6 m, yaitu
sebesar 345,81 kN/m. Ketika elevasi muka air tanah semakin meningkat yaitu pada
ketinggian 12 m dari dasar timbunan, terjadi peningkatan gaya aksial yang cukup
besar pada geotekstil pada beberap alapis geotekstil. Gaya aksial yang bekerja pada
lapis geotekstil tersebut pada saat elevasi muka air tanah berada pada ketinggian 12 m
yaitu sebesar 95,57 – 478,60 kN/m. Pada keadaan ini, diperkirakan geotekstil telah
mengalami kerusakan dan tidak dapat lagi bekerja menahan gaya-gaya yang bekerja
kecuali untuk lapis geotekstil yang berada pada ketinggian 20 dan 22 m yang hanya
mengalami gaya tarik sebesar 95,57 kN/m dan 97,46 kN/m.
Dari hasil analisis, didapatkan bahwa pada seluruh lapis geotekstil gaya aksial
yang bekerja umumya terjadi pada ujung dari lembaran geotekstil. Hal ini dikarenakan
bahwa bagian tersebut adalah bagian yang paling lemah dan pola keruntuhan yang
terjadi akan mengikuti pola dari ujung lembar geotekstil tersebut.
IV - 23
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

Pada simulasi yang dilakukan terdapat suatu kelemahan, yaitu bahwa dalam
melakukan simulasi tetap menganggap bahwa geotekstil berada dalam keadaan cukup
baik untuk menahan gaya-gaya yang bekerja. Pada keadaan sebenarnya geotekstil
tidak dapat lagi bekerja sesuai dengan fungsinya ketika gaya aksial yang terjadi telah
melebihi gaya aksial yang diijinkan.
Simulasi yang dilakukan lebih diutamakan untuk mengetahui tegangan-
tegangan total yang bekerja dan lebih berdasarkan untuk tujuan desain dan bukan
untuk keperluan evaluasi. Dalam hal ini, diperlukan suatu modifikasi dalam
pemodelan untuk melakukan analisis yang bertujuan untuk evaluasi.

4.3. Pemodelan Slope-W


Program slope-w dikembangkan oleh Geo Slope International Ltd, (Alberta,
Canada) dan merupakan salah satu software komputer yang umum digunakan untuk
melakukan analisis kestabilan lereng. Keluaran utama dari software slope-w adalah
niai faktor keamanan lereng dan berbagai macam keluaran-keluaran tambahanlainnya
seperti gaya-gaya yang bekerja pada tiap potongan dan grafik-grafik tambahan unuk
menggambarkan gaya geser yang terjadi pada lereng yang dianalisa.
Program slope-w dalam melakukan analisis kestabilan lereng menggunakan
metode keseimbangan batas dengan metode analisis berdasarkan gaya-gaya antar
potongan. Analisis kestabilan lereng yang dilakukan pada slope-w umumnya dibagi
dua bagian. Analisis pertama yaitu analisis kestabilan lereng yang berdasarkan asumsi
bahwa bidang keruntuhan mengikuti keruntuhan rotasi, atau yang lebih dikenal
dengan analisis grid & radius. Analisis yang ke dua adalah dengan mendasarkan asumsi
bahwa bidang keruntuhan mengikuti keruntuhan translasi (analisis fully specified).
Gambar 4.21. menunjukan gambaran tipe keruntuhan rotasi dan keruntuhan translasi
Salah satu keunggulan dari program slope-w adalah dimungkinkannya untuk
memodelkan material tanah pada kondisi tidak jenuh (unsaturated).

IV - 24
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

Gambar 4.21. Keruntuhan mengikuti pola keruntuhan rotasi


(analisis grid & radius)

Gambar 4.22. Keruntuhan mengikuti pola keruntuhan translasi


(analisis fully specified)

4.3.1. Pemodelan Material


Pemodelan material dalam slope-w digunakan untuk memodelkan material-
material tanah yang diinterpretasikan berdasarkan hasil penyelidikan tanah dan
percobaan di laboratorium yang telah dilakukan. Bagi jenis-jenis material yang tidak
tersedia parameter-parameter tanahnya,maka akan digunakan berbagai macam
korelasi terhadap hasil pemcoran dan pengujian dilapangan atau dengan korelasi
terhadap parameter-parameter yang telah tersedia.
Model yang digunakan dalam analisis menggunakan slope-w menggunakan
pemodelan berdasarkan model mohr-coulomb. Model mohr-coulomb membutuhkan
4 buah parameter sebagai masukan awal yaitu berat jenis tanah (γdry), kohesi (c, ca),
sudut geser dalam (φ, δ) dan sudut matric suction pada kondisi unsaturated (φ b).
Parameter tanah asli yang digunakan dalam melakukan analisis dengan menggunakan
slope-w sama dengan yang digunakan oleh analisis dengan menggunakan Plaxis. Nilai
φ b diasumsikan sama dengan 0 untuk seluruh lapisan tanah. Tabel 4.3. menunjukan
parameter-parameter tanah asli yang digunakan sebagai masukan dalam pemodelan
slope-w.

IV - 25
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

Tabel 4.3. Parameter Tanah Timbunan untuk Pemodelan pada slope-w


Jenis N- c γwet
Lapis φ φb
Tanah SPT (kN/m2) (kN/m3)
1 Silty Clay 6 50 0 0 16
2 Silty Clay 4 33 0 0 16
3 Clayey Silt 4 40 0 0 16
4 Sand 25 10 35 0 16
5 Sandy Silt 5 10 28 0 15
6 Sandy Silt 25 250 18 0 16
7 Silty Sand 27 10 35 0 16
8 Cemented Sand 50 400 40 0 17

Untuk parameter tanah timbunan digunakan suatu korelasi untuk


menentukan nilai φ b berdasarkan nilai kadar air (w) yang telah tersedia dengan
sebelumnya melakukan korelasi terhadap nilai matric suction (ua-uw). Untuk
menentukan nilai matric suction digunakan korelasi berdasarkan hubungan antara kadar
air tanah, berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan sebelumnya ,
dengan matric suction. Kurva hubungan antara matric suction dengan kadar air tanah
alami dapat dilihat pada gambar 4.23. Dan untuk menentukan besarnya nilai φb
digunakan kurva yang diusulkan oleh Satija (1978) dan Rahardjo et al (1987) seperti
terlihat pada gambar 4.24 yang memperlihatkan hubungan antara nilai matric suction
dengan nilai φb .

Gambar 4.23. Hubungan antara matric suction (ua-uw) terhadap kadar air
(Fredlund dan Rahardjo, 1993)

IV - 26
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

Gambar 4.24. Hubungan antara matric suction (ua-uw) terhadap nilai φ b


(Satija (1978), Rahardjo et al (1987))

Parameter tanah untuk timbunan dibedakan menjadi 2 macam tanah, yaitu


tanah timbunan yang akan berada di atas elevasi muka air tanah (timbunan 1) dan
tanah timbunan yang berada di bawah elevasi muka iar tanah (timbunan 2). Untuk
tanah timbunan 1, diasumsikan akan berada dalam keadaan tanah jenuh dengan kadar
air berdasarkan kadar air optimum dari hasil pengujian kompaksi. Tanah timbunan 2
diasumsikan akan berada pada keadaan jenuh. Tabel 4.4. menunjukan parameter-
parameter tanah timbunan yang akan digunakan sebagai masukan dalam pemodelan
slope-w.
Tabel 4.4. Parameter Tanah Timbunan untuk pemodelan pada slope-w
Jenis ca γwet
Tanah δ φb
Tanah (kN/m2) (kN/m3)
Timbunan 1 Silty Clay 50 9 9 17
Timbunan 2 Silty Clay 40 4 0 16

4.3.2. Metode Analisis


Analisis dengan slope-w ini dilakukan berdasarkan dua buah metode utama,
yaitu analisis kestabilan lereng yang mengasumsikan bahwa bidang keruntuhan yang
terjadi mengikuti keruntuhan rotasi (analisis grid & radius) dana analisis kestabilan
lereng yang mengasumsikan bahwa bidang kerunuhan yang terjadi mengikuti
keruntuhan translasi (analisis fully specified).

IV - 27
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

Tiap metode memiliki tahapan-tahapan yang sama, yaitu akan terjadi suatu
peningkatan elevasi muka air tanah dari dasar timbunan hingga muka air tanah berada
pada ketinggian 14 m dari dasar timbunan. Pada setiap tahap akan elevasi muka air
tanah akan mengalami peningkatan sebesar 2 m dimulai dari elevasi tepat berada pada
dasar timbunan hingga mencapai ketinggian 14 m dari dasar timbunan.
Contoh analisis kestabilan lereng dengan menggunakan metode grid & radius
dapat dilihat pada gambar 4.25. Hasil dari analisis yang dilakukan oleh slope-w akan
beruapa suatu bidang keruntuhan rotasi yang mungkin terjadi dan memiliki nilai
faktor keamanan terkecil.

Gambar 4.25. Analisis kestabilan lereng berdasarkan metode grid & radius

Untuk analisis dengan metode fully specified, dalam analisis kestabilan lereng ini
keruntuhan translasi diperkirakan akan terjadi di tiga bidang seperti terlihat pada
gambar 4.26. Keruntuhan translasi ke-1 diperkirakan akan terjadi tepat pada
perbatasan antara lereng asli dengan tanah timbunan. Keruntuhan translasi ke-2
diperkirakan terjadi tepat pada ujung lembaran pada seluruh lapis geotekstil dan
keruntuhan translasi ke-3 terjadi pada bagian tengah dari lembar geotekstil. Keluaran
dari analisis dengan menggunakan metode fully specified ini akan berupa bidang
keruntuhan translasi yang memiliki nilai fa ktor keamanan terkecil dari seluruh bidang
translasi yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam analisis ini bidang keruntuhan
yang terjadi merupakan salah satu dari ketiga bidang yang telah ditentukan
sebelumnya.

IV - 28
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

1 2 3

Gambar 4.26. Analisis kestabilan lereng berdasarkan metode fully specified

4.3.3. Hasil Analisis Slope-w


Hasil analisis kestabilan lereng untuk metode grid & radius dan metode fully
specified dapat dilihat pada gambar 4.27. Gambar 4.27. menunjukan antara ketinggian
muka air tanah dengan nilai faktor keamanan (safety factor) dari kondisi lereng tersebut.
Hasil lengkap dari analisis kestabilan lereng yang telah dilakukan dengan
menggunakan program slope-w dapat dilihat pada lampiran D.

1,8

Grid & Radius


1,6
Fully Specified
Faktor Keamanan

1,4

1,2

0,8

0,6
0 2 4 6 8 10 12 14 16

Tinggi muka air tanah (m)

Gambar 4.27. Hubungan antara tinggi muka air tanah dengan faktor keamanan
berdasarkan metode grid & radius dan metode fully specified

Pada analisis kestabilan lereng yang menggunakan metode grid & radius, dari
gambar 4.27. dapat dilihat bahwa seiring dengan terjadinya kenaikan muka air tanah
akan terjadi penurunan nilai faktor keamanan dari kondisi lereng. Pada tahap awal,
ketika elevasi muka air tanah mengalami peningkatan dari elevasi 0 m menjadi 2 m,

IV - 29
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

nilai faktor keamanan tidak mengalami perubahan yang cukup besar yaitu sebesar
1,365 (elevasi 0 m) dan 1,338 (elevasi 2 m). Nilai faktor keamanan mengalami
penurunan yang cukup besar ketika elevasi muka air tanah berada pada ketinggian 4 –
10 m yaitu nilai faktor keamanan bergerak pada nilai 1,251 (ketinggian muka air tanah
4 m) – 0,702 (ketinggian muka air tanah 14 m). Kondisi kritis terjadi ketika muka air
tanah berada pada ketinggian antara 10 m (fk = 1,014) dan 12 m (fk = 0,942), dimana
ketika muka air tanah berada diantara ketinggian 8 – 10 m akan memberikan nilai
faktor keamanan 1,0.
Dari hasil keluaran program slope-w dapat dilihat juga bahwa pada seluruh
tahapan analisis bidang keruntuhan yang terjadi akan berbentuk rotasi dan seluruhnya
terjadi pada seluruh tubuh timbunan kecuali ketika elevasi muka air tanah berada
pada ketinggian 14 m, diperkirakan akan terjadi keruntuhan pada bagian muka tubuh
timbunan saja.
Dari gambar 4.27. juga terlihat bahwa analisis kestabilan lereng yang
dilakukan dengan metode fully specified akan memberikan pola yang sama dengan hasil
analisis yang menggunakan metode grid & radius, bahwa ketika terjadi peningkatan
elevasi muka air tanah akan terjadi penurunan nilai faktor keamanan. Nilai faktor
keamanan akan terus mengalami penurunan dengan sangat cepat yang ditunjukan
dengan grafik yang berbentuk curam ketika elevasi muka air tanah mengalami
kenaikan.
Pada elevasi muka air tanah berada pada ketinggian 0 m pada bidang
keruntuhan translasi yang terjadi akan memberikan nilai 1,707 yang menunjukan
lereng timbunan dalam kondisi yang cukup aman. Penurunan nilai faktor keamanan
akan berlangsung secara linear seiring dengan terjadinya peningkatan elevasi muka air
tanah.
Kondisi kritis diperkirakan terjadi ketika elevasi muka air tanah berada pada
ketinggian antara 10 - 12 m, dimana nilai faktor keamanan yang dihasilkan adalah
sebesar 1,082 (elevasi muka air tanah 10 m) dan sebesar 0,961 (elevasi muka air tanah
12 m).
Dari hasil keluaran program slope-w dapat dilihat juga bahwa pada seluruh
tahapan analisis bidang keruntuhan yang terjadi akan berbentuk translasi mengikuti
pola keruntuhan translasi ke-2, yaitu akan terjadi keruntuhan yang tepat berada pada
ujung lembaran geotekstil. Dengan nilai faktor keamanan yang cenderung menuju
IV - 30
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

nilai 1,0 seiring dengan terjadinya peningkatan elevasi muka iar tanah, maka dapat
dikatakan lereng berada pada kondisi tidak aman jika terjadi suatu keruntuhan
translasi.

4.4. Analisis Kondisi Lereng


Berdasarkan hasil analisis kestabilan lereng yang telah dilakukan terhadap
kondisi lereng, baik yang dilakukan oleh program plaxis maupun program slope-w
dapat dianalisis berbagai hal sebagai berikut :
• Ketika tinggi timbunan mencapai ketinggian 24 m dan elevasi muka air
tanah berada pada ketinggian 0 m dari dasar timbunan, timbunan relatif
berada dalam kondisi tidak aman dengan ditunjukan oleh deformasi yang
terjadi dan gaya aksial yang bekerja. Kondisi kritis terjadi ketika tinggi
timbunan mencapai ketinggian 20 m.
• Ketinggian muka air tanah sangat berpengaruh dalam analisis kestabilan
lereng yang dilakukan. Kenaikan muka air tanah akan sangat
mempengaruhi besarnya deformasi yang terjadi, gaya aksial yang timbul
pada geotekstil dan nilai faktor keamanan. Berdasarkan hasil analisis,
ketika elevasi muka air tanah mencapai ketinggian 10 m, lereng
diperkirakan dalam keadaan kritis yang ditunjukan dengan besarnya
deformasi yang terjadi, faktor keamanan dan gaya aksial yang bekerja.
• Air tanah memiliki pengaruh yang sangat dominan terhadap parameter
tanah sehingga turut mempengaruhi hasil dari analisis kestabilan lereng
yang dilakukan. Selain itu naiknya muka air tanah juga memberikan
tambahan tekanan aktif yang bekerja pada tubuh timbunan sehingga gaya-
gaya yang dipikul oleh geotekstil menjadi lebih besar bila dibandingkan
sebelum adanya air tanah.
• Salah satu penyebab keruntuhan lereng adalah karena terjadinya suatu
pergerakan yang cukup besar pada kaki timbunan sehingga akan
mempengaruhi tubuh timbunan di atasnya. Pergerakan yang terjadi
diperkirakan karena tanah pada kaki timbunan telah kehilangan
kemampuannya untuk menahan gaya-gaya yang bekerja terutama untuk
menahan beban timbunan yang berada di atasnya. Kehilangan daya
dukung dari tanah di bagian dasar timbunan ini menyebabkan
IV - 31
Bab 4 – Analisis Kestabilan Lereng

terkompresinya tanah pada bagian dasar timbunan dan mendorong


bergeraknya tubuh timbunan diatasnya.
• Dari hasil analisis terlihat bahwa gaya-gaya yang aksial tarik maksimum
bekerja pada geotekstil seluruhnya berada pada bagian di bagian belakang
lereng. Hal ini menerangkan bahwa keruntuhan yang terjadi akan
menyerupai keruntuhan translasi dengan bidang keruntuhan berada tepat
pada bagian ujung belakang lembaran geotekstil.
• Keruntuhan yang menyerupai pola translasi diperkirakan karena pola
runtuhan yang terjadi berada di luar bidang kerja geotekstil, sehingga
ujung lembaran geotekstil akan menjadi bidang yang terlemah dari tubuh
timbunan.

IV - 32
Bab 5 – Kesimpulan dan Saran

Bab 5
Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis kestabilan lereng dari lokasi lereng Blok B-10 extension,
Cibubur, dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Longsoran yang terjadi pada lereng ini melibatkan berbagai macam faktor
yang saling terkait sehingga mendorong terjadinya suatu longsoran. Salah
satu faktor adalah tubuh timbunan yang terlampau tinggi menyebabkan
tanah pada bagian dasar timbunan tidak dapat memikul beban timbunan
diatasnya. Ketika tinggi timbunan mencapai ketinggian 22 m, gaya tarik
yang bekerja pada geotekstil pada beberapa lapis telah melebihi gaya tarik
yang diijinkan, sehingga diperkirakan geotekstil telah terkoyak dan telah
kehilangan funginya. Pada ketinggian yang sama telah terjadi pergerakan
sebesar 49,99 cm.
2. Air tanah yang ditemukan pada tubuh timbunan diperkirakan akibat
tertutupnya jalur aliran awal dari air tanah yang hendak mengalir menuju
sungai di bagian kaki timbunan. Air tanah akan mempengaruhi parameter
tanah dan memberikan tekanan aktif pada tubuh timbunan yang akan
mempengaruhi pergerakan tubuh timbunan sehingga terjadi peningkatan
gaya aksial pada geotekstil. Meningkatnya kadar air tanah di dalam tubuh

V-1
Bab 5 – Kesimpulan dan Saran

timbunan juga akan menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan geser


antara tanah timbunan dengan geotekstil.
3. Ketinggian muka air tanah sangat mempengaruhi dari kestabilan lereng
tersebut. Ketinggian kritis ini dicapai ketika muka air tanah berada pada
ketinggian 10 m dari dasar timbunan. Pada saat muka air tanah berada
pada ketinggian 10 m dari dasar timbunan, terjadi deformasi yang terjadi
pada geotekstil cukup besar yaitu sebesar 1,17 m. Pada ketinggian muka
air tanah ini pula pada hampir seluruh lapis geotekstil terjadi gaya tarik
pada geotekstil melebihi gaya tarik yang diijnkan (100 kN/m) sehingga
diduga geotekstil telah terkoyak dan kehilangan fungsinya sebagai struktur
penahan. Pada ketinggian yang sama pula, dari hasil analisis slope-w, lereng
berada pada kondisi kritis dengan ditunjukan oleh angka faktor keamanan
sebesar 1,014.
4. Longsoran yang menyerupai pola translasi terjadi akibat bidang longsoran
berada pada bidang yang berada diluar bidang kerja geotekstil. Dari hasil
keluaran plaxis, terlihat juga bahwa pola runtuhan yang utama berada
pada daerah perbatasan antara tana h timbunan dengan tanah asli.
5. Geotekstil yang terobek pada bagian muka lereng diperkirakan akibat
besarnya tekanan gaya aktif dari tanah yang terkompresi oleh berat tanah
timbunan diatasnya tanpa diimbangi oleh adanya gaya pasif. Lembar
geotekstil pada bagian muka langsung berhubungan dengan udara luar
sehingga tidak ada tekanan pasif yang akan mengimbangi gaya aktif dari
tanah yang bekerja pada geotekstil. Pada bagian atas, bawah dan belakang
timbunan tanah yang dibentuk menjadi suatu bantalan geotekstil terdapat
suatu tekanan pasif yang akan mengimbangi tekanan aktif dari tanah yang
berada di dalam bantalan timbunan.

5.2. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Diperlukan suatu metode analisis yang lebih tepat, mengingat kondisi
program plaxis yang melakukan analisis berdasarkan tujuan desain dan
bukan berdasarkan evaluasi. Program plaxis hanya membatasi
V-2
Bab 5 – Kesimpulan dan Saran

programnya pada besarnya deformasi yang terjadi dan tegangan-tegangan


yang bekerja pada elemen tanah. Program plaxis belum memperhitungkan
bila terdapat material-material tambahan yang mempunyai beberapa
keterbatasan, sebagai contoh yang berhubungan dalam penelitian ini
adalah besarnya gaya tarik maksimum dari geotekstil. Dalam penelitian ini
analisis sebaiknya dibatasi oleh gaya tarik maksimum yang diijinkan dari
geotekstil, sehingga program plaxis dapat memberikan peringatan ketika
gaya tarik maksimum yang diijinkan dari geotekstil telah terlampaui.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam terutama untuk menentukan
parameter tanah terutama pada daerah perbatasan antara tanah timbunan
dengan tanah asli. Parameter tanah yang terdapat pada daerah perbatasan
ini mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk menentukan bidang
translasi yang terjadi.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan parameter
tanah dalam bentuk pengujian-pengujian di laboratorium utuk penentuan
parameter tanah dalam kondisi tak jenuh (unsaturated) dan diperlukan
pengukuran-pengukuran dilapangan guna menentukan parameter-
parameter tanah yang diperlukan dalam penelitian ini.

V-3
Daftar Pustaka

Daftar Pustaka

Abramson, Lee W., Thomas S. Lee, Sunil Sharma, Glenn M. Boyce., Slope Stability
and Stabilization Methods, John Wiley & Sons, Inc., New York, 1996
Das, Bradja M., Advanced Soil Mechanics, Hemisphere Publishing Corporation,
Washington, 1983
Floss, R., Soil Systems with Geotextile Reinforcement Elements State of The Art on Stability
Analyses, Proceedings of The Post Conference on Geotextiles,
International Geotextile Society, Singapore, 1987
Fredlund, D. G., H. Rahradjo, Soil Mechanics for Unsaturated Soils, John Wiley &
Sons, Inc., New York, 1993
Geoslope International Ltd., User’s Guide Slope/W for slope stability analysis Version
3, Geo-Slope International Ltd., Alberta, 1995
Gouw, Tjie Liong, Dinding Perkuatan Tanah (Mechanically Stabilized Earth / MSE
Wall), Prosiding Seminar Geoteknik - Geosynthetic Design and
Construction, Program Pascasarjana Geoteknik Unpar & ASCE -,
Bandung, 1996
Irsyam, Masyhur, Perkuatan Tanah untuk Lereng dan Timbunan dengan Geotextile dan
Sistem-sistem Lainnya, Prosiding Seminar Geoteknik - Geosynthetic Design
and Construction, Program Pascasarjana Geoteknik Unpar & ASCE -,
Bandung, 1996
Koerner, Robert M., Designing with Geosynthetics, 3rd Edition, Prentice Hall Inc., New
Jersey, 1994
Lee, Ian. K., Weeks White, Own G. Ingles, Geotechnical Engineering, Pitman
Publishing Pty Ltd., Melbourne, 1983
Rahardjo, Paulus P., El Fie Salim, Budijanto Widjaja, Manual Kestabilan Lereng,
GEC Unpar, Bandung, 2002
Rahardjo, Paulus P., Laporan : Desain Rehabilitasi Konstruksi Lereng B-10 Extension,
Bandung, 2002
Rahardjo, Paulus P., Preliminary Report : Tinjauan Longsoran pada Blok B-10 Citra-
Grand dan Rekomendasi Tindakan Darurat, Bandung, 2002

VI - 1
Daftar Pustaka

Rankilor, P.R., Membranes in Ground Engineering, John Wiley & Sons, Chichester,
1981
Rib, Harold T., Ta Liang, Recognition and Identification, Transportation Research
Board Special Report 176, Landslides Analysis and Control, National
Academy of Sciences, Washington, 1978
Schuster, Robert L., Introduction, Transportation Research Board Special Report
176, Landslides Analysis and Control, National Academy of Sciences,
Washington, 1978
Tscebotarioff, Gregory P., Foundations, Retaining and Earth Structures – the art of
design and construction and it’s scientific basis in soil mechanics, 2 nd edition,
McGraw-Hill Kogakusha, Ltd., Tokyo, 1973
Varnes, David J., Slope Movement Types and Processes, Transportation Research
Board Special Report 176, Landslides Analysis and Control, National
Academy of Sciences, Washington, 1978

VI - 2

Anda mungkin juga menyukai