Anda di halaman 1dari 3

Pentingnya Mencari Ilmu

Oleh : Mohamad Yusuf, S.Pd.I


Lahir : Tegal, 4 Agustus 1989
Alamat: Jatilaba, 03/08 Kec. Margasari-Tegal

Sejak pertengahan Maret 2020 proses kegiatan belajar dan mengajar di madrasah/sekolah dan
perkuliahan di kampus secara langsung dihentikan sampai batas yang tidak ditentukan. Tindakan
ini diambil dalam rangka berupaya mencegah penyebaran Covid-19. Selanjutnya ujian nasional
pada tahun ini ditiadakan. Bahkan kegiatan para santri pondok pesantren kebanyakan diliburkan
lebih maju dari kebiasaanya, yaitu minggu kedua bulan Sya’ban.

Kebijakan ini tentu berpegaruh besar terhadap banyak hal mulai persoalan akademik itu sendiri,
aktivitas orang tua di rumah sampai perekonomian di sekitar tempat-tempat belajar dan bahkan
lebih luas lagi. Para murid/siswa dan santri yang sudah berada di rumah, masihkah wajib belajar?
Dalam Islam mencari ilmu adalah perintah agama, utamanya ilmu tentang hal-hal pokok yang
terkait dengan kewajiban asasi dalam agama seperti shalat dan puasa maupun kebutuhan hidup
sehari-hari, seperti sandang, pangan dan papan untuk diri dan keluarga.

‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬


َ َ‫ال ق‬
َ َ‫ك ق‬ ِ ‫ع َْن أَن‬-
ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬
َ ‫طَلَبُ ْال ِع ْل ِم فَ ِري‬
« ‫ضةٌ َعلَى ُكلِّ ُم ْسلِ ٍم‬
Artinya, “Dari Anas bin Malik ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Mencari ilmu sangat
diwajibkan atas setiap orang Islam,” (HR Ibnu Majjah).

ada hadits di atas Rasulullah SAW tidak membatasi tempat maupun waktu/masa. Sebab orang
yang mencari ilmu sudah pasti tidak terhindar dari tempat dan terjadi di dalam waktu/masa.
Madrasah, sekolah, kampus, dan pondok pesantren adalah salah satu pilihan tempat mencari ilmu

Tempat-tempat itu tentu dikelola oleh pihak penyelenggara yang sudah semestinya ada
penjenjangan belajar, masa belajar, libur belajar, dan seterusnya. Ilmu dipelajari bukan sekadar
agar mengerti, melainkan harus bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan sebagaimana halnya
kebutuhan rezeki/pangan untuk bertahan hidup. Seseorang yang tidak makan atau minum dalam
waktu tertentu dapat mengalami kelaparan bahkan mati. Demikian pula ketika jiwa/hati yang
tidak dikasih makan, yaitu ilmu pengetahuan khususnya ilmu agama, tentu hatinya akan gersang
bahkan lama-lama juga mati.
‫ كما أن غذاء الجسم الطعام‬،‫فَ إن غذاء القلب العلم والحكمة وبهما حياته‬

Artinya, “Sungguh santapan bagi hati (jiwa) adalah ilmu dan hikmah. Sebab keduanya hati
menjadi hidup sebagaimana halnya santapan bagi fisik/badan adalah makanan,” (Lihat
Jamaluddin Al-Qasimi, Mau’izhatul Mu’minin min Ihya’i Ulumiddin, [Jakarta, Darul Kutub Al-
Islamiyyah: tanpa tahun], juz I, halaman 9).
Sepanjang masih hidup, mereka tidak boleh terlepas dari ilmu dan makanan untuk
keberlangsungan hidup jiwa dan raganya. Oleh sebab itu, pemberlakuan social distancing atau
pembatasan gerak masyarakat saat ini bukan alasan untuk berhenti belajar sebagaimana halnya
tidak alasan berhenti makan. Jika madrasah/sekolahan, kampus dan pesantren memberlakukan
masa libur, tetapi aktivitas belajar/thalabul ilmi tidak boleh libur hingga kematian tiba. Adapun
anak yang masih belum mencapai usia baligh (kira-kira sebelum usia 12-13 tahun) terkait
kewajiban belajar menjadi tanggung jawab orang tuanya. Sebenarnya pihak orang tua yang
pertama menanggung kewajiban belajar anak-anaknya, tidak hanya soal biaya tetapi juga yang
mengajarnya. Sedangkan guru, ustadz, dosen, atau yang lainya menjalankan tugas mengajar atas
dasar fardhu kifayah. Jika kemudian mendapat amanah dari para orang tua murid/santri, maka
kewajiban mereka semakin kokoh karena telah menerima amanah itu.

Jadi orang tua yang langsung sebagai pengajar anaknya atau para guru, ustadz, dosen dan lainya
tentu tidak oleh teledor sebab keteledorannya membuat mereka tidak hanya berdosa melainkan
menjadi penyesalan di dunia dan akhirat akibat keteledoran menjaga amanah Allah yang berupa
anak/keturunan. ‫صالَ ِة َوهُ ْم أَ ْبنَا ُء َسب ِْع ِسنِينَ َواضْ ِربُوهُ ْم َعلَ ْيهَا َوهُ ْم‬
َّ ‫ « ُمرُوا أَوْ الَ َد ُك ْم بِال‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬
َ َ‫ق‬
َ‫ أَ ْبنَا ُء َع ْش ِر ِسنِين‬Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Perintahlah anak-anak kalian mengerjakan
shalat ketika telah berusisa tujuh tahun Hijriyyah dan pukullah mereka karena meninggalkan
shalat ketika usia sepuluh Hijriyyah.” (HR Abu Dawud). ‫يجب علي ولي الصبي والصبية المميز أن يأمرهما‬
‫ بالصالة ويعلمهما أحكامها بعد سبع سنين ويضربهما علي تركها بعد عشر سنين كصوم أطاقاه‬Artinya, “Wali (orang
tua atau keluarga) wajib memerintahkan anak yang sudah tamyiz baik laki-laki dan perempuan
agar menjalankan shalat dan mengajarkan hukum-hukumnya sesudah genap usia tujuh tahun dan
memukul mereka karena meninggalkan shalat ketika usia sepuluh tahun, demikian pula adalah
ibadah puasa di mana mereka sudah mampu,” (Lihat Abdullah bin Al-Husain bin Thahir bin
Muhammad bin Hasyim Ba ‘Alawiy, Sullamut Taufiq, [Indonesia, Al-Haramain: tanpa tahun],
halaman 18). Syekh Muhammad Nawawi Banten dalam syarah Sullamut Taufiq menjelaskan,
wali adalah kedua orang tuanya yaitu ayah dan ibunya sampai ke atas sekalipun dari jalur ibu.
Jadi jika salah seorang dari kedua orang tuanya telah melaksanakan kewajiban ini, maka ia telah
menggugurkan tuntutan perintah hadits di atas. Di sisi lain Syekh Nawawi Banten juga
menegaskan bahwa kewajiban dasar orang tua terhadap anaknya adalah nafkah ketika mereka
masih dalam kondisi belum mampu dari segi harta dan penghasilan,’ (Syekh Muhammad
Nawawi, Marqatu Shu’udit Tashdiq, [Indonesia, Al-Haramain: tanpa tahun], halaman 56).
Tradisi masyarakat Indonesia khususnya Jawa di mana orang tua tetap menanggung biaya
pendidikan anak-anaknya sampai kadang mereka berkeluarga, itu menunjukkan betapa kegigihan
perjuangan orang tua kita dalam mempersiapkan anak-anaknya agar menjadi generasi yang
berkualitas. Oleh karena itu, kita harus menyadarinya dan jangan sampai hati orang tua kita
terluka akibat ulah anaknya.

Mudah2an anak2ku yang membaca artikel ini bisa memahami dan bermanfaat untuk kehidupan
sehari-hari, amiiin

Kalibakung, 14 Juli 2021

Anda mungkin juga menyukai