Anda di halaman 1dari 20

KUMPULAN MAKALAH

(Hadis Tarbawi III)

1. Usia Belajar dan Hukuman


2. Tugas dan Model Belajar
3. Ragam Kesuksesan dan Tugas Belajar
4. Tugas Belajar Mengajar
5. Bertanya dan Menghargai Perbedaan

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dalam Mata Kuliah Hadis
Tarbawi III pada Program Studi Pendidikan Agama Islam

Disusun Oleh:

Kelompok 1

Kelompok 2

Kelompok 3

Kelompok 4

Kelompok 5

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


AL-GAZALI SOPPENG
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Usia belajar adalah usia dimana anak sudah mampu untuk menerima

pembelajaran dengan baik. Pada suatu hadis Rasulullah menjelaskan peran Orang

tua untuk memerintahkan anaknya sholat ketika berusia 7 tahun. Karena pada saat

itu anak sudah paham tentang melaksanakan perintah dengan baik serta

mengetahui yang benar dan yang salah (Tamyiz) dan akan menerima konsekuensi

jika meninggalkannya.

Tugas belajar mengajar adalah tugas suci dan tugas kewajiban bagi semua

orang. Orang yang belum tahu ilmu, tugasnya adalah wajib mencari ilmu atau

belajar dari orang yang berilmu, sedangkan tugas orang yang berilmu adalah

mengajarkan ilmunya kepada orang yang belum tahu. Dalam hal ini kita perlu

memahami tentang usia berapa kita bisa mengajarkan hal tersebut serta hukuman

apa yang berlaku kepada anak dalam kesuksesan tugas belajar. Hal tersebut akan

kita bahas dalam makalah ini, serta hadis-hadis nabi yang berkenaan dengan hal
tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan di

atas, maka pokok masalah yang menjadi pembahasan adalah Hadis Tentang Usia

Belajar dan Hukuman. Untuk terarahnya pembahasan makalah ini, maka pokok

masalah tersebut di atas akan dianalisis secara teoritis dan empiris ke dalam

beberapa sub masalah, yaitu:

1. Apa hadis tentang usia belajar dan hukuman?

2. Bagaimana penjelasan hadis tentang usia belajar dan hukuman?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadis Tentang Usia Belajar dan Hukuman

1. Hadis
ْ ‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس مَّل َ م ُُر ْوا َأ ْواَل َدمُك‬ ِ ‫ قَا َل َر ُس ْو ُل‬: ‫َع ْن مَع ْ ِرو ْب ِن ُش َع ْي ٍب َع ْن َأ ِب ْي ِه َع ْن َج ِّد ِه قَا َل‬
ُ ‫هللا َص ىَّل‬
‫اِب َّلصاَل ِة َومُه ْ َأبْنَا ُء َس ْبع ِ ِس ِننْي َ َوارْض ِ ب ُ ْومُه ْ عَلَهْي َ ا َومُه ْ َأبْنَ ا ُء َعرْش ٍ َوفَ ّ ِر ْقُوا بَيْهَن ُ ْم ىِف الْ َم َض ِاجع ِ (أخرج ه‬
1
)‫أبو داود‬
Artinya : Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah

SAW bersabda: “Perintahkan anak-anakmu melaksanakan shalat ketika mereka

berusia tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat pada saat

mereka berumur 10 tahun dan pisahkan antara mereka di tempat tidurnya (laki-laki

dan perempuan)” (HR. Abu Dawud).

2. Kosakata

a. ‫ُم ُر ْوا‬ = Perintahlah

b. ْ ‫َأ ْواَل َدمُك‬ = Anak-anak, jamak dari kata ( ‫)ودل‬ anak laki-laki atau

perempuan.

c. َ ‫ = َأبْنَا ُء َس ْبع ِ ِس ِننْي‬Anak-anak berusia tujuh tahun, berumur tujuh tahun.


d. ْ ‫َوارْض ِ ب ُ ْومُه‬ = Dan pukullah mereka, maksudnya diberi pelajaran.

e. ‫َوف َ ّ ِرقُ ْوا‬ = Dan pisahkan.

f. ِ ‫اجع‬ِ َ‫ = ىِف الْ َمض‬Jamak dari kata (‫ )مضجع‬yang berarti tempat tidur.

1
Abu Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, (Beirut, Maktabah Ashriyah;889), h. 133.
B. Pembahasan Hadis Tentang Usia Belajar dan Hukuman

Hadis tersebut menjelaskan bagaimana mendidik agama pada anak- anak.

Pendidikan agama diberikan kepada anak sejak kecil, sehingga nanti pada usia

dewasa perintah-perintah agama dapat dilakukan secara mudah dan ringan. Diantara

perintah agama yang disebutkan dalam hadits ada tiga perintah yaitu perintah

melaksanakan shalat, perintah memberikan hukuman, dan perintah mendidik anak

tentang pendidikan seks.2


Apabila pendidikan agama itu tidak diberikan kepada anak sejak kecil, maka

akan sukarlah baginya untuk menerimanya nanti kalau ia sudah dewasa, karena

dalam kepribadiannya yang terbentuk sejak kecil itu, tidak terdapat unsur-unsur

agama. Hal itu berarti, jika dalam kepribadian itu tidak ada nilai- nilai agama, akan

mudahlah orang melakukan segala sesuatu menurut dorongan dan keinginan jiwanya

tanpa mengindahkan kepentingan dan hak orang lain. Ia selalu didesak oleh

keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan yang pada dasarnya tidak mengenal

batas-batas, hukum-hukum, dan norma-norma.

Tujuan pendidikan agama adalah agar jiwa seseorang dapat menunaikan

kewajiban- kewajibannya karena Allah. Dapat berusaha untuk kepentingan


keluarganya, kepentingan masyarakatnya, serta dapat berkata jujur dan berpihak

kepada yang benar, serta mau menyebarkan benih-benih kebaikan kepada manusia.

Pendidikan agama yang baik, tidak hanya memberi manfaat bagi yang bersangkutan

saja, akan tetapi akan membawa keuntungan dan manfaat terhadap masyarakat

lingkungan bahkan masyarakat ramai dan umat manusia seluruhnya.3

2
Abdul Majid Khon, Hadist Tarbawi : Hadist-Hadist Pendidikan (Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group, 2012) h. 263.
3
Mardiyah, Peran Orang Tua dalam Pendidikan Agama Terhadap Pembentukan
Kepribadian Anak, (Jurnal Kependidikan, Vol. III No. 2 November 2015) h. 111.
1. Perintah Sholat

Sholat menurut bahasa berarti doa, dinamakan sholat (yang berarti doa)

adalah karena ia mengandung doa. Sedangkan menurut fiqih, sholat adalah beberapa

ucapan atau rangkaian ucapan dan perbuatan (gerakan) yang dimulai dengan takbir

dan diakhiri dengan salam yang dengannya kita beribadah kepada Allah, dan

menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama.4

Orang tua memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendidikan


anak-anaknya untuk beribadah kepada Allah, khususnya perintah untuk

melaksanakan sholat. Seperti yang diperintahkan Rasulullah, beliau bersabda :

َ ‫ُم ُر ْوا َأ ْواَل َدمُك ْ اِب َّلصاَل ِة َومُه ْ َأبْنَا ُء َس ْبع ِ ِس ِننْي‬
“Perintahlah anak-anakmu melaksanakan sholat sedangkan mereka berusia

tujuh tahun”

Perintah disini maknanya dilakukan secara tegas, sebab pada umumnya

perintah sholat sebenarnya sudah dilakukan orang tua sejak sebelum usia tersebut.

Anak sejak usia empat atau lima tahun sudah diajak orang tuanya melaksanakan

sholat bersama-sama. Anak-anak melakukannya walaupun dengan cara ikut-ikutan

atau menirukan gerakan-gerakan sholat.

Perintah sholat berarti perintah untuk mengajarkan cara sholat, karena tidak
mungkin anak hanya diperintah sementara ia belum bisa melakukannya. Dalam

riwayat at-Trmidzi Rasulullah bersabda :

‫الص َال َة ا ْب َن َس ْبع ِ ِس ِن َني‬ َّ ‫عَ ِل ّ ُموا‬


َّ َّ ‫الصيِب‬
“Ajarkan anak akan sholat sedangkan ia belum berumur tujuh tahun”.

4
Risdianto Hermawan, Pengajaran Sholat pada Anak Usia Dini Perspektif Hadis
Nabi Muhammad SAW, (Insania, Vol. 23, No. 2, Juli – Desember 2018) h. 285.
Hadist ini berupa perintah mengajarkan sholat pada anak-anak tentang syarat-

syarat, rukum-rukun, dan beberapa sunnah dalam sholat.

Dalam Ilmu Pendidikan, perintah adalah salah satu alat pendidikan. Jadi

dalam pendidikan ada perintah dan ada larangan. Hal ini dimaksudkan agar anak

mengerti mana yang diperintahkan mana yang terlarang. Perintah adalah alat

pendorong anak untuk melakukan sesuatu, sedangkan larangan adalah alat untuk

menghentikan suatu pekerjaan.


Usia tujuh tahun dalam perkembangan anak disebut usia kritis atau mumayyiz

dan usia pendidikan. Pada usia ini seorang anak sudah dapat membedakan antara

kebenaran dan kesalahan, antara yang haq dan yang batil serta pada masa inilah anak

sudah mulai berpikiran cerdas menangkap pengetahuan serta dapat berkomunikasi

seara sempurna.

Oleh karena itulah, perintah shalat secara tegas dimulai pada usia ini pula

kemudian dijadikan pedoman dalam penerimaan sekolah di tingkat dasar sepeti

SD/MI. Merujuk pada hadits shalat di atas, maka pembelajaran shalat dapat diurutkan

ke dalam tiga fase yaitu fase ( 0-7 tahun, fase 7-10 tahun, dan fase 10 – anak

dewasa).5

a. Fase 0-7 Tahun (Fase Pendidikan Anak Usia Dini)


Fase anak usia dini (0-7 Tahun) merupakan fase yang sangat menentukan

pada fase-fase perkembangan anak di usia berikutnya terutama dalam pembelajaran

sholat. Pada fase ini pengenalan sholat kepada anak haruslah dikenalkan dengan

melakukan pembiasaan kepada anak. Pada fase ini disebut sebagai fase anak usia

dini. Pada fase ini juga pendidikan sangatlah penting untuk dikembangkan.

5
Risdianto Hermawan, Pengajaran Sholat pada Anak Usia Dini Perspektif Hadist
Nabi Muhammad SAW, (Insania, Vol. 23, No. 2, Juli – Desember 2018) h. 285.
Dengan demikian, perkembangan anak-anak berlangsung secara optimal. Hal-

hal yang perlu dikenalkan mengenai shalat kepada anak dimulai dari adanya ibadah

shalat dalam Islam, nama-nama shalat, waktu shalat, bilangan rakaat shalat, tempat

shalat, dan tata cara shalat. Pengenalan ini adalah upaya membentuk kesiapan anak

sehingga ketika dia mencapai usia 7 tahun dan mulai diperintah shalat, anak sudah

memiliki kesiapan secara mental dan emosional.

b. Fase 7-10 Tahun


Usia 7-10 tahun, anak berada dalam masa transisi dan menunjukkan sebagian

ciriciri dari tahap pertama perkembangan moral dan sebagian ciri dari tahap kedua

yaitu moralitas otonom. Anak mulai sadar bahwa peraturan dan hukum dibuat oleh

manusia, dan ketika menilai sebuah perbuatan, anak akan mempertimbangkan niat

dan konsekuensinya.

c. Fase 10 Tahun Keatas

Fase ini seringkali dinamakan sebagai fase pasca konvensional, dimana pada

fase ini anak mulai mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-

pilihan dan kemudian anak memutuskan satu kode moral pribadi. Dalam hal ini, anak

diharapkan sudah membentuk keyakinan sendiri, bisa menerima orang lain memiliki

keyakinan yang berbeda dan tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain.
2. Memberikan Hukuman Bagi Pembangkangnya

Perintah sholat secara tegas dimulai usia tujuh tahun dan berlanjut sampai

dengan usia 9 dan 10 tahun. Jika pada usia 10 tahun seorang anak tidak mau

melaksanakan perintah sholat, maka orang tua berhak untuk memukul. Sebagaimana

lanjutan hadist diatas :

ٍ ‫َوارْض ِ ب ُ ْومُه ْ عَلَهْي َا َومُه ْ َأبْنَا ُء َعرْش‬


“Pukullah mereka karena tinggal shalat sedang mereka berusia 10 tahun”
Untuk menjelaskan hadis tersebut, beberapa ulama telah memberikan

pendapat yang beragam. Di antaranya Syekh Fauzan dalam Ighatsatul Mustafid Bi

Syarh Kitab Tauhid berkata:

“Memukul merupakan salah satu sarana pendidikan. Sorang guru boleh

memukul, seorang pendidik boleh memukul, orang tua juga boleh memukul sebagai

bentuk pengajaran dan hukuman. Seorang suami juga boleh memukul isterinya

apabila dia membangkang. Akan tetapi ada batasnya. Misalnya tidak boleh memukul
yang melukai yang dapat membuat kulit lecet atau mematahkan tulang. Cukup

pukulan seperlunya.”6

Pendapat ini tampak terlalu berlebihan, dan akan menghadapi masalah serius

bila diterapkan pada masa sekarang. Apalagi pendapat ini ditutup dengan kata,

“cukup pukulan seperlunya.” Kalimat ini sama sekali tidak memiliki batasan atau

standar minimal yang jelas, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Meski seacara

kuantitatif seorang guru hanya memukul sekali, tetapi bila dengan tenaga penuh

maka anak didiknya dapat celaka, meski tidak ada kulit yang lecet ataupun tulang

yang patah. Pada zaman dulu, mungkin hukuman dengan pukulan atas nama

pendidikan (li tarbiyyah) seperti ini dapat diterima, meski tanpa ketentuan dan aturan

yang jelas. Tetapi pada zaman sekarang, seorang guru yang melakukan pemukulan
terhadap anak didiknya bisa berurusan dengan polisi.

Hadis tersebut memberikan hukuman bagi anak ynag membangkang atau

melanggar aturan. Pukulan disini maknanya adalah hukuman yang sesuai dengan

kondisi, bisa jadi yang dipukul adalah batinnya dengan cara diisolasi atau sikap tak

suka, sikap marah dan lain-lain.

6
Syeikh al-Fauzan Ighatsatul Mustafid Bi Syarh Kitab Tauhid, h. 282-284, diakses
dari http:// islamqa.info, pada 24 Oktober 2021.
Pukulan merupakan salah satu cara mendidik, khususnya jika pukulan itu

mendatangkan manfaat atau mencegah yang tidak baik yang dilakukan setelah diberi

nasehat dan bimbingan. Tetapi pukulan itu harus mendidik dan tidak boleh melukai,

dan hendaknya hindari pukulan di wajah. Karena wajah itu identik dengan

kehormatan seseorang. Jangan sesekali menjatuhkan mental dan kehormatan seorang

anak, nantinya anak menjadi penakut, rendah diri, dan lain sebagainya.7

Jika hanya memperhatikan hadis di atas, orang mungkin akan terburu-buru


menyimpulkan bahwa kekerasan memiliki legalitas tersendiri dalam pendidikan

Islam. Asumsi ini sebenarnya menyimpan problem serius. Hanya bermodalkan satu

hadis, maka seseorang cukup membuat kesimpulan tersebut. Padahal, ada banyak

hadis lain yang justru menunjukkan bahwa Nabi lebih sering menempuh cara-cara

penuh kelembutan dan kasih sayang dalam mendidik seseorang. Dalam riwayat

Aisyah bahkan dikatakan:

“Sesungguhnya Aisyah r.a berkata: “Demi Allah, Rasulullah tidak pernah

memukul dengan tangannya, baik terhadap isteri maupun terhadap pelayannya,

kecuali dia berjihad di jalan Allah.”8

Hal yang patut dicatat ialah, redaksi hadis ini memakai kata-kata sumpah.

Sampai-sampai Aisyah, isteri beliau bersumpah bahwa nabi tidak pernah memukul
seseorang dengan tangannya kecuali saat perang atau jihad di jalan Allah. Ini artinya,

nabi tidak pernah mempraktikkan kekerasan dalam mendidik para sahabatnya, baik

sahabat yang masih kecil maupun sudah dewasa. Padahal para sahabat yang dewasa

7
Abdul Majid Khon, Hadist Tarbawi : Hadis-Hadis Pendidikan (Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group, 2012) h. 266.
8
Al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I al-Kubra jld. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1991), h. 370.
itu banyak yang berasal dari suku-suku pedalaman dan beberapa di antara mereka

memiliki sifat kasar semacam Umar bin Khatab.

Jika kekerasan dianggap sebagai metode pendidikan yang disunnahkan Nabi,

tentulah para sahabat yang dewasa dan kasar itu menjadi orang-orang yang paling

banyak meriwayatkan hadis yang berisi tentang pukulan yang mereka terima saat

belajar agama Islam dari beliau Saw. Anehnya, kabar tentang kekerasan dalam

pendidikan ini justru muncul dalam konteks pendidikan shalat bagi anak kecil.
Bukankah konteks para sahabat yang sudah dewasa itu lebih kuat sacara fisik

maupun psikis dalam menerima tindak kekerasan. Kenapa hadis itu tidak muncul

dalam konteks dewasa tersebut?.

Informasi yang menarik juga datang dari Anas bin Malik r.a., sahabat yang

sejak kecil diserahkan oleh ibu kandungnya untuk ikut dan dididik oleh Nabi dengan

cara menjadi pembantu beliau. Beberapa sumber sejarah mencatat bahwa Anas

dipasrahkan kepada Nabi saat masih usia 10 tahun. Anas bercerita mengenai

pengalamannya:

“Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari beliau

mengutusku untuk suatu keperluan. Demi Allah, aku pun berangkat. Dalam benakku,

aku akan berangkat sesuai apa yang diperintahkan Nabi Saw. Aku pun berangkat
hingga akhirnya melintasi anak-anak yang sedang bermain di pasar dan bergabung

dengan mereka. Tiba-tiba Nabi memegang bajuku dari belakang. Aku melihat

beliau tersenyum seraya bersabda, “Wahai Unais, pergilah seperti yang aku

perintahkan?” Maka aku pun salah tingkah aku menjawab, “Ya, sekarang aku

berangkat wahai Rasulullah.”9

Masih tentang Nabi, Anas juga bercerita:

9
Imam Muslim, Shahih Muslim, jld. 4 (Beirut: Dar Ihya’ Turats al-Arabi, th), 1805.
“Demi Allah, aku telah berkhidmat kepada beliau selama sepuluh tahun,

beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang aku lakukan, “Mengapa kamu

melakukan ini?” Beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang aku tinggalkan,

“Mengapa kamu tidak mengerjakan ini?”

Riwayat di atas membuktikan bahwa Nabi tidak pernah menggunakan

kekerasan dalam mendidik Anas bin Malik r.a, sekalipun saat itu Anas masih dalam

usia anak-anak. Seandainya Nabi memandang bahwa kekerasan adalah salah satu
metode yang baik dan layak diapakai untuk mendidik, niscaya beliau telah

mempraktikkannya kepada Anas jauh-jauh hari sejak dulu kala. Buktinya, Nabi Saw.

lebih memilih cara lain yang terbukti lebih efektif membekas dalam benak para

sahabatnya semacam Anas bin Malik tadi.

Uraian di atas sekali lagi menunjukkan bahwa Nabi tidak pernah

mempraktikkan kekerasan dalam mendidik para sahabat beliau, sekalipun dalam

hadis shalat di atas terdapat redaksi yang mengarah ke sana. Tampaknya ini mirip

dengan perintah Nabi kepada para sahabat untuk menshalatkan jenazah seorang

sahabat yang meninggal dalam keadaan menyembunyikan sebagian dari barang

rampasan perang. Dalam masalah ini, Nabi memerintahkan para sahabat untuk tetap

menshalatkan jenazah orang tersebut, sekalipun beliau sendiri tidak ikut


mensalatkannya.

Terdapat teks hadis yang menginformasikan bahwa orang tua boleh memukul

anaknya, tetapi dalam praktiknya Nabi Saw justru lebih mengutamakan sikap arif dan

lemah lembut dalam mendidik para sahabat. Sikap lemah lembut dan penuh kasih

sayang inilah yang justru menanamkan kesan mendalam di hati para sahabat.

Sehingga mereka mudah menerima pencerahan dari Nabi Saw. Hadis yang

membolehkan orang tua untuk memukul anaknya saat usia 10 tahun sebenarnya perlu
dipahami secara kontekstual dan sesuai perkembangan zaman, sehingga tidak

menimbulkan masalah baru.

3. Pendidikan Seks

Hadis berikutnya yaitu menerangakan tentang pendidikan seks yang diberikan

ketika berusia 10 tahun. Sebagaimana sabda beliau :

ِ ‫َوفَ ّ ِرقُ ْوا بَيْهَن ُ ْم ىِف الْ َمضَ ِاجع‬


“Pisahkan antara mereka di tempat tidurnya”
Perintah memisahkan tempat tidur antara mereka, dimaksudkan menghindari

fitnah seks di tempat tidur, karena usia 10 tahun adalah usia menjelang baligh atau

masa remaja. Perkembangan seksnya mengalami perkembangan sebagaimana

perkembangan jasmani, rohani, dan nafsaninya.

Pendidikan seks merupakan upaya transfer pengetahuan dan nilai (knowledge

and values) tentang fisik-genetik dan fungsinya khususnya yang terkait dengan jenis

(sex) laki-laki dan perempuan sebagai kelanjutan dari kecenderungan primitif

makhluk hewan dan manusia yang tertarik dan mencintai lain jenisnya.

Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan

tentang masalahmasalah seksual yang diberikan pada anak, dalam usaha menjaga

anak terbebas dari kebiasaan yang tidak Islami serta menutup segala kemungkinan ke
arah hubungan seksual terlarang.

Secara garis besar, pendidikan seks diberikan sejak usia dini (dan pada usia

remaja) dengan tujuan sebagai berikut:

a. Membantu anak mengetahui topik-topik biologis seperti pertumbuhan, masa

puber, dan kehamilan.

b. Mencegah anak-anak dari tindak kekerasan.

c. Mengurangi rasa bersalah, rasa malu, dan kecemasan akibat tindakan seksual.
d. Mencegah remaja perempuan di bawah umur dari kehamilan.

e. Mendorong hubungan yang baik.

f. Mencegah remaja di bawah umur terlibat dalam hubungan seksual (sexual

intercourse).

g. Mengurangi kasus infeksi melalui seks.

h. Membantu anak muda yang bertanya tentang peran laki-laki dan perempuan di

masyarakat.10
Al-Abrasyiy dalam Abdul Majid Khon menyebutkan beberapa tahapan pada

usia anak dalam pendidikan, sebagai berikut :

a. Usia balita atau sampai lima tahun, usia pendidikan jasmani, akhlak dan

pembiasaan ucapan yang baik seperti terima kasih, maaf, dan lain-lain.

b. Usia enam tahun usia sekolah diberi pendidikan jasmani, rohani, akli, akhlaq, dan

sosial.

c. Usia tujuh tahun dipisahkan tempat tidurnya, diajarkan berwudlu dan dibiasakan

sholat.

d. Usia 13 tahun dipukul sebagai hukuman jika meninggalkan sholat.

e. Umur 16 tahun di nikahkan.

Usia pendidikan hendaknya dimulai sejak kecil dan kontinuitas dari tahapan
ke tahapan perkembangan usianya sehingga tumbuh dewasa. Belajar dimulai sejak

kecil akan lebih mudah dan lebih baik daripada dimulai ketika usia dewasa,

sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bayhaaqiy dan al-Thabraniy dari

Abi al Darda dalam Kitab al-Aswath :

10
Mahrus Surur, Pendidikan Seks pada Anak Usia Dini, (ResearchGate : Desember
2018) h. 5.
“Perumpamaan orang yang belajar ilmu pada usia kecil bagaikan mengukir

diatas batu dan perumpamaan orang yang belajar ilmu pada usia dewasa bagaikan

menulis diatas air” (HR. Al-Thabaraniy dari Abi al-Darda).

Hal ini kian mempertegas bahwa Islam memperhatikan pendidikan anak sejak

kecil dalam segala aspek pendidikan dalam segala perkembangan anak. Baik

pendidikan jasmani, pendidikan rohani, pendidikan nafsani, dan pendidikan

perkembangan seksual.11
Pelajaran yang dapat dipetik dari hadist tersebut antara lain :

a. Kewajiban orang tua untuk memerintahkan sholat pada anaknya dan kewajiban

mengajarkan ilmu-ilmu berkaitan dengan kewajiban shalat.

b. Pendidikan secara tegas dalam masalah kewajiban dan perlunya hukuman dan

hadiah dalam mendidk anak untuk memberikan motivasi belajar.

c. Menjaga perkembangan anak dari hal-hal yang menimbulkan fitnah, terutama

pada saat peralihan remaja atau masa pubertas.

d. Usia kritis (tamyiz) dan usia sekolah tujuh tahun dan usia pubertas awal

menjelang baligh berusia sepuluh tahun.

4. Biografi Singkat Perawi Hadis

Imam Abu Dawud (817 / 202 H – meninggal di Basrah; 888 / 16 Syawal 275


H; umur 70–71 tahun) adalah salah seorang perawi hadis, yang mengumpulkan

sekitar 50.000 hadis lalu memilih dan menuliskan 4.800 di antaranya dalam kitab

Sunan Abu Dawud. Nama lengkapnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats

As-Sijistani. Untuk mengumpulkan hadis, dia bepergian ke Arab Saudi, Irak,

11
Abdul Majid Khon, Hadist Tarbawi : Hadist-Hadist Pendidikan (Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group, 2012) h. 268.
Khurasan, Mesir, Suriah, Nishapur, Marv, dan tempat-tempat lain, menjadikannya

salah seorang ulama yang paling luas perjalanannya.

Bapak beliau yaitu Al Asy'ats bin Ishaq adalah seorang perawi hadis yang

meriwayatkan hadis dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga saudaranya Muhammad

bin Al Asy`ats termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadis dan ilmu-

ilmunya juga merupakan teman perjalanan dia dalam menuntut hadis dari para ulama

ahli hadis.
Abu Dawud sudah berkecimpung dalam bidang hadis sejak berusia belasan

tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H, dia sudah berada di Baghdad,

dan di sana dia menemui kematian Imam Muslim, sebagaimana yang dia katakan:

"Aku menyaksikan jenazahnya dan mensholatkannya".[1] Walaupun sebelumnya dia

telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sijistan, seperti khurasan, Baghlan, Harron, Roi

dan Naisabur.

Setelah dia masuk kota Baghdad, dia diminta oleh Amir Abu Ahmad Al

Muwaffaq untuk tinggal dan menetap di Bashroh,dan dia menerimanya,akan tetapi

hal itu tidak membuat dia berhenti dalam mencari hadis.12

12
https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Dawud, pada 24 Oktober 2021
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hadis Tentang Usia Belajar dan Hukuman


ْ ‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس مَّل َ م ُُر ْوا َأ ْواَل َدمُك‬ ِ ‫ قَا َل َر ُس ْو ُل‬: ‫َع ْن مَع ْ ِرو ْب ِن ُش َع ْي ٍب َع ْن َأ ِب ْي ِه َع ْن َج ِّد ِه قَا َل‬
ُ ‫هللا َص ىَّل‬
‫اِب َّلصاَل ِة َومُه ْ َأبْنَا ُء َس ْبع ِ ِس ِننْي َ َوارْض ِ ب ُ ْومُه ْ عَلَهْي َ ا َومُه ْ َأبْنَ ا ُء َعرْش ٍ َوفَ ّ ِر ْقُوا بَيْهَن ُ ْم ىِف الْ َم َض ِاجع ِ (أخرج ه‬
)‫أبو داود‬
Artinya : Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah

SAW bersabda: “Perintahkan anak-anakmu melaksanakan shalat ketika mereka

berusia tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat pada saat

mereka berumur 10 tahun dan pisahkan antara mereka di tempat tidurnya (laki-laki

dan perempuan)” (HR. Abu Dawud).

2. Penjelasan Hadis Tentang Usia Belajar dan Hukuman

Hadis tersebut menjelaskan bagaimana mendidik agama pada anak- anak.

Pendidikan agama diberikan kepada anak sejak kecil, sehingga nanti usia dewasa

perintah-perintah agama dapat dilakukan secara mudah dan ringan. Diantara perintah

agama yang disebutkan dalam hadits ada tiga perintah yaitu perintah melaksanakan

shalat, perintah memberikan hukuman, dan perintah mendidik pendidikan seks.

B. Implikasi

Berdasarkan pandangan penyusun mengenai hadist tentang usia belajar dan

hukuman pada anak, yang sangat perlu dalam pendidikan itu sendiri tentu ialah

pendidiknya. Dan sebagai seorang calon pendidik dan orang tua di masa depan, yang

perlu diperhatikan bukan hanya bagaimana cara mendidik anak itu, melainkan

memperhatikan dan mencegah berbagai faktor yang memungkinkan anak terjerumus


dalam hal-hal yang tidak diinginkan. Maka dari itu, kita sebagai calon guru maupun

orang tua kelak juga harus belajar dan memahami apa saja yang akan menjadi

hambatan dalam mendidik nantinya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Fauzan, Syeikh Ighatsatul Mustafid Bi Syarh Kitab Tauhid, h. 282-284, diakses


dari http://islamqa.info/ar/ref/127233, (24 Oktober 2021).
Hermawan, Risdianto , Pengajaran Sholat pada Anak Usia Dini Perspektif Hadist
Nabi Muhammad SAW, (Insania, Vol. 23, No. 2, Juli – Desember 2018).
https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Dawud, pada 24 Oktober 2021.
Khon, Abdul Majid. Hadist Tarbawi : Hadist-Hadist Pendidikan, Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group, 2012.
Mardiyah, Peran Orang Tua dalam Pendidikan Agama Terhadap Pembentukan
Kepribadian Anak, (Jurnal Kependidikan, Vol. III No. 2 November 2015).
Muslim, Imam, Shahih Muslim, jld. 4. Beirut: Dar Ihya’ Turats al-Arabi, 1805.
Al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I al-Kubra jld. 5. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991.
Sulaiman, Abu Daud. Sunan Abi Daud. Beirut: Maktabah Ashriyah. 889.
Surur, Mahrus. Pendidikan Seks pada Anak Usia Dini, (ResearchGate : Desember
2018.
PERTANYAAN

1. Bagaimana kondisi psikologi anak jika diperlakukan secara kasar dan

bagaimana tanggapan pemakalah jikalau anak anda dipukuli oleh guru? (Masriadi)

Jawaban : Melakukan kekerasan terhadap anak merupakan salah satu faktor

yang dapat mempengaruhi kondisi psikolog. Seorang anak bisa saja mengalami

traumu ataupun rasa takut yang berlebih bahkan bukan tidak mungkin di masa depan

ia melakukan hal yang sama kepada anaknya nantinya. Mengenai anak yang diberi

hukuman, entah dalam bentuk apapun asalkan masih dalam bentuk wajar dan jelas

bersifat mendidik tentu adalah hal yang sudah menjadi kewajiban seorang guru.

Namun memberikan hukuman, selain memiliki batas juga perlu pemahaman kepada

peserta didik itu sendiri agar ia dapat paham mengapa ia diberi hukuman.

2. Bagaimana peran orangtua dalam pendidikan seksual anak usia dini? (Ayu

Lestari)

Jawaban : Perang orangtua tentu sangatlah penting, mulai dari mendidik

dirumah, memberikan pemahaman sedikit demi sedikit seiring bertambahnya usia

sang anak tentang apa saja yang dilarang bagi anak perempuan dan laki-lakinya.

Sesuai dengan yang disebutkan dalam hadis bahwa orangtua harus memisahkan

tempat tidur anak perempuan dan laki-lakinya.


3. Bagaimana pemakalah dapat menyesuakan kondisi sekarang dengan anak

yang diberi hukuman oleh guru langsung mengadu kepada orangtuanya? (Titinur)

Jawaban : Pemberian hukuman kepada serta didik harus dalam bentuk wajar

dan adanya pemberian pemahaman terhadap peserta didik maupun orangtuayna.

Karena tanggung jawab seseorang pendidik ialah mendidik peserta didik yang telah

dititipkan para orangtua peserta didik. Maka dari itu, dengan adanya komunikasi
antara pendidik dan orangtua sangat diperlukan. Dan salah satu contohnya ia

pendidik yang berkecimbung di bidang konseling untuk peserta didik.

4. Bagaimana pendidik memberikan pemahaman kepada peserta didik bahwa

hukuman berupa pukulan itu tujuannya untuk mendidik (pukulan sebagai proses

mendidik). Lalu bagaimana pendidik memberikan pendidikan seks sedangkan hal

tersebut masih terbilang tabu?

Jawaban : Pemberian hukuman tidak serta merta langsung berupa pukulan. Seperti
yang dilakukan Rasulullah Saw. yang selalu memberikan nasehat secara lemah

lembut, seorang pendidik juga harus mengutamakan hal tersebut. Apabila pendidik

telah memberikan nasehat, memberikan pemahaman namun masih berbuat kesalahan

maka pemberian hukuman berupa pukulan sudah mesti ia pahami bahwa itu tahap

yang harus dihadapi seiring dengan pemberian nasehat serta pemahaman sebelumnya

yang telah ia abaikan. Sedangkan untuk pendidikan seks, seorang pendidik baiknya

melakukan pemberian ilmu/materi secara terpisah antara perempuan dan laki-laki.

Dengan begitu terdapat semua batasan dimana pendidik bisa lebih leluasa

memberikan pemahaman mendalam kepada peserta didik sesuai dengan gender-nya

masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai