Anda di halaman 1dari 14

PENDIDIKAN ṢALAT DALAM KELUARGA

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Psikologi Pendidikan Islam

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Muhtarom, H.M.

Disusun Oleh:

Muchamat Fatih: 20200011004

Kelas: A2 PERGUNU

PASCA SARJANA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

2021
PENDIDIKAN ṢALAT DALAM KELUARGA

Abstrak

Ṣalat lima waktu merupakan ibadah yang utama dalam Islam. Banyak kemuliaan dan
keistimewaan dalam ibadah ini. Perintah wajib dan dilakukan sebanyak lima kali dalam
sehari semalam menjadikan ṣalat sebagai ibadah yang sudah melekat di hati umat Islam.
Bagi umat Islam yang beriman dan bertakwa, selain dihinggapi perasaan berdosa apabila
meninggalkan, ṣalat juga menjadikan pelakunya menjadi tidak tenang. Sehingga dari sini
secara tidak langsung ṣalat sudah memberikan manfaat positif bagi siapa yang
menjalankannya. Inilah yang dinamakan dengan pendidikan. Ṣalat adalah azas yang
fundamental yang menjadi ukuran kualitas Islam dalam diri seseorang. Oleh karena itu ṣalat
perlu dipelajari, diketahui secara tepat dan dilaksanakan secara teratur, agar manfaatnya
dapat dinikmati dan dirasakan dengan sungguh-sungguh. Anak yang sejak kecil rajin
mengerjakan ṣalat sampai besar dalam keadaan bagaimanapun, mereka tidak akan lupa
kepada Allah swt. serta selalu menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik serta melahirkan
sikap pribadi yang disiplin.

Kata kunci: Pendidikan, Ṣalat, Keluarga

A. Pendahuluan

Islam sebagai agama yang universal, ajarannya meliputi segala aspek kehidupan
manusia namun bukan hanya aspek yang menyentuh hubungannya kepada Allah
melainkan juga menyentuh hubungannya dengan manusia. Hal ini dapat dilihat dalam
perkembangan ilmu pengetahuan yang telah terjadi islamisasi terhadap ilmu-ilmu,
lahirlah ilmu teologi Islam, sosiologi agama, ekonomi Islam dan lain sebagainya. Salah
satu aspek ajaran Islam yang paling diperhatikan adalah masalah pendidikan1
Seorang muslim yang taat tentu akan termotivasi untuk melaksanakan ibadah yang
diperintahkan Allah swt., dan berusaha untuk mengajarkannya kepada anak-anaknya
dalam bentuk pendidikan dan pembiasaan. Terbukti dalam firman Allah swt dalam Q. S.
Ṭāhā : 132

1
Jurnal Diskursus Islam Volume 7 Nomer 2 Agustus 2019 hal. 206 (diunduh pada hari Sabtu, 20 Maret 2021)
úq^&fe Öç]äReãp Úc]>=m o@ Úä]>< ceýBmv Úät~fQ =çËIãp ÕqfJeäæ cfsã =iüp
ÄØÚÙ á uÊ Õ<qAÅ
Artinya: Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan ṣalat dan sabar dalam
mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang
memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang
yang bertakwa.2
Ayat di atas menjelaskan sabar terhadap kesungguhan menjaga ṣalat dengan
ditunjukan melalui perbuatan. Bukan hanya berlaku untuk diri seseorang tetapi juga
untuk keluarganya. Artinya, pembiasaan mendirikan ṣalat dalam sebuah keluarga bukan
sekadar sabar dalam maknanya pasif, membutuhkan ketelatenan yaitu upaya terus-
menerus dengan berbagai cara yang terkadang bisa dilakukan dengan sikap persuasif,
namun dalam situasi tertentu diperlukan pula tindakan tegas. Hal ini dimaksudkan agar
seluruh anggota keluarga benar-benar menegakkan ṣalat. Ketelatenan yaitu upaya terus-
menerus dengan berbagai cara, yang terkadang bisa dilakukan dengan sikap persuasif,
namun dalam situasi tertentu diperlukan pula tindakan tegas. Ini dimaksudkan agar
seluruh anggota keluarga benar-benar menegakkan ṣalat.3
Berkaitan dengan pendidikan anak, khususnya dalam lingkungan keluarga, Nabi
saw., memberikan contoh yang baik dalam mendidik anak yaitu pertama, melalui
pembiasaan. Pengasuhan dan pendidikan di dalam lingkungan keluarga, lebih diarahkan
penanaman nilai-nilai moral keagamaan, pembentukan sikap dan perilaku yang
diperlukan agar anak-anak dapat mengembangkan dirinya secara optimal. Penanaman
nilai-nilai moral agama ada baiknya diawali dengan pengenalan simbol-simbol agama,
dalam hal ini tata cara ṣalat, membaca al-Quran, doa-doa dan sebagainya. Kedua,
pendidikan melalui keteladanan. Anak-anak khususnya pada usia dini selalu meniru apa
yang dilakukan orang sekitarnya, untuk menanamkan nilai agama termasuk pengamalan
agama , seperti ṣalat. Jika orang tua menginginkan anak-anak mereka melaksanakan
ṣalat, tentu orang tua terlebih dahulu melaksanakan ṣalat.

2
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama
RI, Jakarta, 1982, hal. 396
3
Jurnal Diskursus Islam Volume 7 Nomer 2 Agustus 2019 hal. 207 (diunduh pada hari Sabtu, 20 Maret 2021)
B. Landasan Teori dan Pembahasan
1. Pendidikan Ṣalat

Pendidikan berasal dari kata dasar didik, yang berarti memelihara dan memberi
latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.4 Kata
pendidikan pada awalnya berasal dari bahasa Yunani yakni paedagogie yang terdiri
atas dua kata, paes dan ago. Kata paes berarti anak dan kata ago berarti aku
membimbing.5 Dengan demikian, pendidikan secara etimologi selalu dihubungkan
dengan kegiatan bimbingan terutama kepada anak, karena anaklah yang menjadi
obyek didik.
Dalam bahasa Arab ditemukan penyebutannya ada tiga kata, yakni at-tarbiyah,
al-ta’līm dan alta’dīb yang secara etimologi yang kesemuanya bisa berarti bimbingan
dan pengarahan. Namun demikian para pakar pendidikan cenderung berbeda dalam
hal penggunaan ketiga kata tersebut.6
Berkaitan dengan itu, maka penulis memahami bahwa kata ta’dīb lebih mengacu
pada pendidikan moralitas (adab) dan kata ta’līm lebih mengacu pada aspek
intelektual (pengetahuan) dan tarbiyah lebih mengacu pada pengertian bimbingan,
pemeliharaan, arahan, penjagaan dan pembentukan kepribadian. Karena itu term
yang terakhir ini, kelihatannya lebih menunjuk pada arti yang lebih luas.
Ṣalat menurut bahasa adalah do'a mamohon kebajikan dan pujian. Sedangkan
menurut istilah adalah suatu ibadah kepada Allah swt yang berupa ucapan dan
perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam menurut
syarat-syarat yang telah ditentukan.7
Menanamkan pendidikan ṣalat kepada anak diperlukan metode yang tepat,
karena keberhasilan dalam pendidikan, khususnya dalam proses belajar tidak terlepas
dari metode yang digunakan dan materi yang akan disampaikan. Metode ini sangat
penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tanpa metode suatu materi
tidak dapat berproses secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dari
pendidikan. Metode tidak berarti tanpa didukung komponen yang lain. Metode

4
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Baru, hal. 187.
5
Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan, cet. I, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hal. 69.
6
Kata tarbiyah digunakan oleh Abd Rahman al-Nahlaw, kata ta’līm digunakan oleh Abd al-Fattah Jalal dan kata
ta’dīb digunakan oleh Naquib al-Attas.
7
Hasbiy Asy Shiddieqy, Pedoman Ṣalat, Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hal. 62.
hanya penting dalam hubungan dengan segenap komponen lainnya, seperti: tujuan
materi, anak didik, pendidik dan situasi.
Pada masa sekarang ini masih banyak orangtua yang kurang paham terhadap
perkembangan yang dimiliki oleh anaknya. Metode yang ditunjukkan hanya pada
ranah kognitif saja. Padahal anak pada usia 5-10 tahun belum memiliki konsep
yang jelas dalam hal pengetahuan. Mengingat pentingnya pendidikan ṣalat pada
anak usia 5-10 merupakan fondasi dari agama dan kepribadiannya, maka
memahami karakteristik anak menjadi sangat penting bagi orangtua untuk membantu
anak dalam proses perkembangannya apabila menginginkan generasi yang
mampu mengembangkan diri secara optimal. Metode pengajaran yang diterapkan
perlu disesuaikan dengan karakteristik anak. Penggunaan metode yang tepat dan
sesuai dengan karakter anak akan dapat membantu kemampuan anak secara optimal,
yang akan berakibat dengan tumbuhnya sikap dan perilaku positif bagi anak. 8
Al- Qur’an surah Luqman ayat 17 yang berbunyi:

ce: lã ÚcæäIãäi 2Q =çIãp =bnUã oQ umãp Xp=RUäæ =iüp ÕqfJeã k]ü énç}
ÄØÞá läj^e Õ<qAÅ <qivã h?Q oi
Artinya: Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang
makruf dan cegahlah mereka dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara
yang penting. (Q.S. Luqman: 17)9
Ayat tersebut mengandung kata perintah orang tua untuk mengajarkan anaknya
sholat sejak usia mencapai tujuh tahun. Pada usia ini, anak mulai difahamkan tentang
pendidikan shalat dengan cermat, telaten, seksama serta secara serius. Sehingga,
ketika sudah beranjak dewasa, anak sudah terbiasa disiplin dengan pendidikan agama
yang sangat kuat terutama pedidikan shalat. Namun demikian, bukan berarti menjadi
kewajiaban bagi anak usia tersebut dan dosa bila melalaikannya, akan tetapi ini
menjadi pendidikan agama yang harus diseriusi dengan mengajarkan kaifiyah secara

8
Muhammad Sopiyana, Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2020, Vol. 1
No. 1, Desember 2020, hal. 1321-1322 (diunduh pada hari Sabtu, 20 Maret 2021)
9
Ma'mun Al-Qurtubi et, Mushaf Tahfiz Yadain Standar Karantina Hafal Quran Sebulan, Jakarta: Yayasan
Tahfiz Al-Quran Nasional (YKTN), hal. 412
fiqhiyah juga mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam
gerakan, dan bacaan sholat, serta balasan bagi yang mengerjakannya.
Sabda Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dari jalur
Muhammad bin ‘Isā Ibn al-Tabbā‘, dari Ibrāhīm bin Sa‘d, dari ‘Abd al-Mālik bin al-Rabī’
bin Sabrah, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Rasulullah Saw dengan redaksi murū
(perintahlah) (al-Sijistānī, 2009). Riwayat Abū Dāwūd dengan redaksi murū
(perintahlah) juga diriwayatkan oleh Ibn al-Jarūd (Jarud, 1988), al-Tabarī (Tabari,
1994), al-Bayhaqī (Bayhaqi, 2003), dan al-Baghawī (Bahgawi, 1983). Hadith riwayat
Abū Dāwūd dengan redaksi murū (perintahlah) adalah:

À=FQ Ñänæü ksp Àät~fQ ksqæ=Mãp ÀGnA SçA Ñänæü ksp ÕwJeäæ ka8vpü ãp=i
S-äNUã ð ktn~æ ãq]=Yp
“Suruhlah anak-anak kecil kamu melakukan ṣalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah
mereka (bila lalai) atasnya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka di
tempat-tempat tidur”.10
Hadis tersebut harus dipahami dalam konteks pendidikan, bahwa menanamkan
kebiasaan ṣalat dan juga nilai-nilai luhur lainnya tidak mudah. Harus mulai ditanamkan
dan diajarkan sejak usia dini, sehingga untuk itu dibutuhkan kesabaran.
Hadis ini pula usia anak mulai diperintahkan untuk ṣalat, karena pada usia inilah
anak sudah mampu menerima perintah atau sudah paham menerima perintah yang
disebut dengan istilah mumayyiz , usia kritis atau cerdas. Demikian juga pada usia
inilah anak didik diperkirakan sudah bisa belajar ṣalat dengan baik, sudah mulai
mengenal bacaan dan gerakan-gerakan ṣalat dengan baik. Kalau usia sebelumnya anak
hanya ikut-ikutan, akan tetapi pada usia ini sudah mulai mampu belajar ṣalat dengan
baik. Konsekuensi anak yang telah mampu belajar ṣalat dengan baik berarti pula ia
telah menerima hukuman jika meninggalkannya.
Pendidikan dalam pembiasaan sholat anak terus dilakukan sejak usia tujuh tahun
hingga usia 10 tahun. Apabila diusia 10 tahun, anak masih membangkang dan tidak
menjalankan sholat, maka orang tua diperkenankan untuk memukul anaknya.
Hukuman yang dimaksudkan dalam hadist perintah Sholat adalah memukul bagi anak

10
Abū Dāwūd Sulaimān bin al-Asy’as\ bin Ishāq bin Basyīr bin Syaddād bin ‘Amr al-Azdi al-Sijistānī Sunan
Abu Dāwūd, hal. 133.
yang membangkang perintah shalat dan usianya telah mencapai 10 tahun. Menurut
AL-Khattabbi, kalimat dalam hadist Imam Abu Daud “Apabila sampai sepuluh tahun
maka pukullah mereka” adalah sebagai sarana untuk menunjukan kepada mereka
tentang betapa beratnya siksaan apabila ketahuan meninggalkan sholat. Pukulan yang
dimaksud disini adalah pukulan yang mendidik serta tidak menyakiti anak tersebut.
Perintah shalat sebagaimana tertuang dalam Hadis Abu Daud No 494 punsejalan
dengan perintah Allah dalam ayat-Nya Surat Lukam ayat 17 tentang perintah shalat
Lukman terhadap putranya.11
Hadis tentang kapan menyuruh anak melaksanakan ṣalat menjelaskan bahwa
salah satu bentuk upaya menjaga diri dan keluarga adalah dengan memerintahkan
ṣalat. Hadis tersebut mereduksi arti kata anfusakum. Hal ini karena sulitnya
memerintahkan anak untuk melakukan terhadap anak untuk melakukan ṣalat apabila
umur tujuh tahun, secara implisit mengandung pengertian agar orangtua senantiasa
memberikan contoh kebaikan (ṣalat jika orang tuanya sendiri tidak melakukannya.
Oleh karena itu, adanya perintah melakukan perintah agama) kepada keluarganya,
termasuk anak-anak mereka. Karena tatkala anak berusia tujuh tahun itu pada
dirinya tumbuh kemampuan untuk berimitasi terhadap lingkungannya. Oleh karena
itu, pendidikan dan dakwah dalam suatu keluarga mesti dimulai dari orangtua
sendiri.12

2. Hikmah Ibadah Ṣalat


Dalam buku Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam, hikmah ṣalat
dapat dilihat dari beberapa segi antara lain:
a. Membiasakan Hidup Bersih
Kebersihan merupakan kebutuhan hidup manusia, karena dengan kebersihan
manusia dapat melaksanakan kegiatannya dengan lancar tanpa hambatan. Salah
satu cara untuk membiasakan hidup bersih yang paling efektif adalah dengan
melaksanakan ṣalat secara teratur dan benar. Sebagaimana kita maklumi bahwa
orang yang melakukan ṣalat, syaratnya harus bersih, suci dari hadats dan najis,
bersih badan, pakaian, tempat dan lingkungannya. Oleh karena itu, manusia harus

11
Jurnal Kep endidikan , Vol . 8 No . 1 Mei 2020 (diunduh pada hari Rabu, 31 Maret 2021)
12
Jurnal Diskursus Islam Volume 7 Nomer 2 Agustus 2019 hal. 214 (diunduh pada hari Sabtu, 20 Maret 2021)
senantiasa membiasakan hidup bersih. Jadi, ṣalat merupakan upaya yang paling
efektif dalam membiasakan hidup bersih lahir dan batin.13
b. Membiasakan Hidup Sehat
Sehat merupakan karunia Allah swt. yang diberikan manusia dan harus
disyukuri. Dengan kesehatan manusia dapat melakukan aktivitas kehidupan
beribadah dengan baik. Cara mensyukuri kesehatan tersebut adalah dengan
mempergunakan kesehatan untuk beribadah kepada Allah swt. dan memelihara
kesehatan tersebut. Adapun cara membiasakan hidup sehat adalah dengan ṣalat.
Selain memuat bacaan-bacaan tertentu, ṣalat juga terdiri atas gerakan-gerakan
yang tertib, sehingga apabila dilaksanakan secara teratur akan berfungsi sebagai
olah tubuh yang baik untuk kesehatan. Dengan demikian, baik dilihat dari wuḍu,
ataupun gerakan ṣalat ternyata sangat efektif untuk membiasakan manusia hidup
sehat. Gerakan-gerakan dalam ṣalat itu justru nilainya di atas gerakan senam
ataupun olah raga.
c. Membina Kedisiplinan
Disiplin sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang yang disiplin akan
sukses dalam kehidupan, masyarakat yang disiplin akan mencerminkan ketenangan
dan ketentraman. Sebaliknya orang yang tidak disiplin akan rugi dalam
kehidupannya dan merugikan kehidupan orang lain.
Adapun cara membina kedisiplinan adalah ṣalat secara teratur, baik dan
benar. Melakukan ṣalat dituntun disiplin baik dengan waktu maupun ketaatan.
Ṣalat harus dilakukan pada waktunya. Tidaklah mungkin ṣalat subuh dilakukan pada
waktu ṣṣṣzuhur, ṣalat jum’at dilakukan pada hari kamis dan seterusnya. Ketika
imam sujud, maka semua jama’ah harus sujud. Dengan demikian ṣalat mampu
membina kedisiplinan.
d. Melatih Kesabaran
Manusia harus membiasakan diri untuk bersikap sabar. Dengan sabar hidup
menjadi tenang dan tenteram, serta tujuan hidup dapat tercapai. Orang yang tidak
sabar dalam kehidupan akan mengalami depresi mental dan stress.

13
Ahmad Syafi’i Mufid, et. al, Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam, Yudistira, Jakarta, 2002,
hal. 20.
Ṣalat yang dilakukan dengan baik dan benar dapat melatih kesabaran. Orang
yang ṣalat harus sabar mengikuti imam. Maksudnya tidak boleh mendahului imam.
Orang yang ṣalat harus menunggu tepat waktunya ṣalat dan harus sabar
menyelesaikan perbuatan ṣalat.
e. Mengikat Tali Persaudaraan Sesama Muslim
Mengingat pentingnya silaturrahmi dalam kehidupan, manusia harus
senantiasa menyambung silaturrahmi. Dengan silaturrahmi, persoalan hidup
menjadi mudah, jiwa menjadi tenang, rizki menjadi luas, bahkan umur menjadi
panjang. Cara membina silaturrahmi yang baik adalah dengan ṣalat, khususnya
ṣalat berjama’ah. Rosulullah SAW senantiasa ṣalat berjamaah dan menyuruh
umatnya untuk selalu berjamaah dalam setiap ṣalat fardlu dengan
melipatgandakan pahalanya sampai 27 kali lipat dari ṣalat sendirian.
f. Shalat dapat Menentramkan Baṭin
Kehidupan modern mengakibatkan kebutuhan yang meningkat. Hal tersebut
akan berdampak semakin meningkatnya persaingan prestise yang membawa
manusia pada kegelisahan dan kecemasan. Guna mengantisipasi kehidupan
tersebut, cara paling ampuh ialah dengan melakukan ṣalat secara baik dan benar.
Dengan cara ṣalat orang akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus
menentramkan bathinnya.14
Af’āl atau sikap dan gerak gerik kita dalam ṣalat mengandung hikmah yang
sangat efektif untuk mencegah kemaksiatan dan kejahatan, sebagaimana uraian
berikut:
a. Waktu ṣalat kita dituntut untuk menutup aurat dengan sempurna, baik laki
maupun wanita. Hikmah yang terkandung didalamnya adalah agar senantiasa
menutupi aurat kemanapun kita pergi atau berhadapan dengan orang lain yang
bukan muhrim, bukan suami atau istri.
b. Selama ṣalat, mata kita dilatih untuk hanya melihat tempat sujud, tidak boleh
menoleh kiri kanan atau ke belakang. Hal ini melatih diri kita untuk selalu
mengendalikan pandangan mata “Ghadhul bashār” karena mata yang liar adalah
sumber kejahatan dan kemaksiatan.

14
Ibid, hal. 20-25
c. Selama ṣalat lidah kita hanya boleh membaca bacaan ṣalat saja. Hal ini melatih diri
kita untuk senantiasa hanya mengucapkan kata-kata yang diridhai oleh Allah swt
saja, agar terjauh dari kata-kata kotor, bohong, gunjing, gossip dan caci maki yang
semunya akan membawa pada kejahatan dan kemaksiatan.
d. Selama ṣalat, telinga juga tidak boleh mendengarkan apapun dengan sengaja selain
bacaan ṣalat kita sendiri atau bacaan imam. Hal ini melatih diri kita untuk hanya
mendengarkan hal-hal yang diridhai Allah swt saja, menjauhkan pendengaran dari
hal yang tidak diridhai oleh Allah swt karena apa yang kita dengarkan akan
mempengaruhi hati dan tingkah laku kita.
e. Kaki dan tangan kita selama ṣalat dilatih tidak bergerak seenaknya, tidak
melangkah kemanapun, dan tidak memegang atau menggerakkan tangan
seenaknya, ini melatih kita agar kaki dan tangan kita juga hendaknya selalu
melangkah dan melakukan hal-hal yang diridhai oleh Allah swt. saja. Tidak
mempergunakannnya untuk kejahatan dan kemaksiatan apapun karena semuanya
itu akan dipertangggungjawabkan di hadapan Allah swt. kelak di akhirat.15

C. Metode
Metode yang dipakai adalah library research, dimana peneliti menggunakan
literature yang ada, kemudian mengklasifikasikannya, kemudian membandingkan antara
pemikiran beberapa ulama dan pakar keilmuan utamnya yang terkait dengan psikologi
tentang pendidikan salat dalam keluarga. Hasilnya penyusun mengambil kesimpulan dari
beberapa pemikiran kemudian mengambil kesimpulan dari literasi tersebut.

D. Pembahasan

Hemat penulis setelah mengkaji berbagai literasi terkait dengan pendidikan salat
dalam keluarga, betapa pentingnya ibadah salat yang dilaksanakan setiap hari dan
hikmah yang diterima dalam melaksanakan setiap hari utamanya ditinjau dari aspek
psikologi. Salat merupakan hadiah terbesar yang diberikan Allah swt kepada Nabi

15
Lentera Pendidikan, VOL. 14 NO. 1 JUNI 2011: 84 (diunduh pada hari Sabtu, 20 Maret 2021)
Muhammad saw dan umatNya secara langsung tanpa perantara malaikat Jibril.
Pendidikan salat dalam kelaurga akan tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah dan
rahmat, keluarga yang tentram, damai sejahtera dan keluarga yang selalu bersyukur
kepada Allah swt.
Tujuan utama pendidikan salat dalam keluarga adalah pembiasaan anak-anak
terhadap pelaksanaan ibadah salat yang kelak menjadi praktik kehidupan mereka.
Dengan pembiasaan sebagaimana diutarakan oleh Qawam al-Sunnah, al-‘Iraqi, al-Mala
‘Ali al-Qari dan Ibn ‘Allan di atas, praktik ibadah diharapkan dapat mendarah daging
dalam diri karena telah terbiasa mengerjakannya sejak dini. Dalam riwayat Ibn Abbās
disebutkan: Bangunkanlah anakmu untuk shalat walau hanya satu kali sujud. Dalam
riwayat lain, Ibn Abbās berkata: Perhatikanlah anak-anak kalian dalam masalah salat, lalu
biasakanlah dengan kebaikan, karena sesungguhnya kebaikan itu dengan pembiasaan.
Usia tujuh tahun sebagai permulaan perintah salat anak dan sepuluh tahun
sebagai permulaan perintah penerapan pukulan terhadap anak yang enggan
melaksanakan shalat, secara psikologis sesuai dengan kapasitas intelektual anak. Usia
tujuh tahun dipilih sebagai permulaan pendidikan ibadah anak, karena usia itu
merupakan usia strategis untuk menyediakan pengetahuan kognitif tentang ibadah
kepada anak. Redaksi muru (perintahlah) dan ‘allimu (belajarilah) merujuk pada
pengajaran orang tua tentang tata cara salat secara teknis disertai implementasinya
berdasarkan kapasitas intelektual anak.
Pada tahap intelektual, anak telah siap menerima pengetahuan kognitif dan
praktik ibadah yang hendak diajarkan. usia tujuh tahun tidak bermaksud membatasi
permulaan pendidikan salat, namun pendidikan ibadah anak harus dimulai sedini
mungkin sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Di antara riwayat
fleksibilitas batasan usia adalah riwayat Mu’adz bin Abdullah al-Juhni ketika berkunjung
kepada Hisyam bin Sa’ad, maka ia bertanya: “Kapankah seorang anak diperintah shalat?”
Ia menjawab: Dulu ada seorang laki-laki dari kami bercerita bahwa Rasul pernah ditanya
seperti itu. Beliau menjawab: “Saat anak itu mengetahui mana arah kanan dan mana
kirinya, maka perintahkanlah untuk salat.”. Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa
Ibrahim berkata: “Mereka (para sahabat) mengajarkan anak-anak mereka salat saat
mereka sudah ganti gigi”16
Diantara hikmah salat yang luar biasa adalah efektif dapat mencegah
kemaksiatan, kenakalan, kemungkaran dan kemungkaran. Sebagaimana firman Allah swt
dalam surah al-Ankabut ayat 45:

xäF2Zeã oQ ûtn% ÕqfJeã lã ÛÕqfJeã k]üp åä&beã oi c~eã é1pü äi g%ü


ÄÛÜ á $qçbnReã Õ<qAÅlqRnJ% äi kfR} êãp Ú=çaü êã =a;ep Ú=bnUãp

Artinya: Bacalah kitab (al-Quran) yang telah diwahyukan kepadamu(Muhammad) dan


laksanakanlah salat. Sesungguhnya, salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan
mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah swt (salat) itu lebih besar
(keutamaannnya dari ibadah yang lain. Allah maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa salat dapat mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar dan salat lebih besar keutamaannya dibandingkan ibadah-ibadah yang lainnya.
Dengan catatan salat harus dilaksanakan dengan benar, memenuhi syarat rukun salat
dan dilaksnakan dengan khusyuk.

E. Kesimpulan
Ḥadīṡ perintah shalat yang menginformasikan boleh memukul anak saat usia
sepuluh tahun sebenarnya perlu dipahami secara tekstual dan kontekstual serta sesuai
perkembangan zaman. Pesan pokok ḥadīṡ adalah pendidikan pembiasaan ibadah anak.
Walau secara tekstual berbau kekerasan fisik, pemukulan anak dalam ḥadīṡ hanyalah dari
salah satu media yang dapat berubah demi mencapai tujuan pokok. Dengan penelusuran
pendidikan salat dalam keluarga dapat ditelusuri spirit utama bahwa pendidikan Nabi
Muhammad saw justru lebih mengutamakan sikap arif dan lemah lembut dalam
mendidik para sahabat. Oleh karena itu, pendidikan salat dalam keluarga dapat
memberikan psikoedukasi bagi orangtua berdasarkan karakter dan pembiasaan positif

16
Bayhāqī (al), Abū Bakar Aḥmad bin Ḥusayn bin ‘Alī Ahmad bin al-Husayn. 2003. al-Sunan al-Kubra,
taḥqīq wa ta‘līq Muḥammad ‘Abd al-Qādir ‘Aṭā’, vol. III, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
yang Islami serta sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga tidak menimbulkan
masalah baru.
Sejatinya pendidikan salat dalam keluarga akan memberikan berbagai manfaat
dan hikmah dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua sebagai teladan anak-anaknya dalam
melaksanakan salat utamanya salat fardu sehari semalam dan akan menjadikan anak-
anak yang ṣaleh dan ṣalehah.
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Diskursus Islam Volume 7 Nomer 2 Agustus 2019

Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama

RI, Jakarta, 1982

Jurnal Diskursus Islam Volume 7 Nomer 2 Agustus 2019

Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Baru

Ahmadi Abu, Ilmu Pendidikan, cet. I, Jakarta: Balai Pustaka, 2002,

Asy Shiddieqy Hasbiy, Pedoman Ṣalat, Bulan Bintang, Jakarta, 1983

Sopiyana Muhammad, Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 2020, Vol. 1

No. 1, Desember 2020

Al-Qurtubi Ma'mun, Mushaf Tahfiz Yadain Standar Karantina Hafal Quran Sebulan, Jakarta: Yayasan Tahfiz

Al-Quran Nasional (YKTN)

Abū Dāwūd Sulaimān bin al-Asy’as\ bin Ishāq bin Basyīr bin Syaddād bin ‘Amr al-Azdi al-Sijistānī Sunan Abu

Dāwūd

Jurnal Kependidikan , Vol . 8 No . 1 Mei 2020

Jurnal Diskursus Islam Volume 7 Nomer 2 Agustus 2019

Syafi’i Mufid Ahmad , et. al, Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam, Yudistira, Jakarta, 2002

Lentera Pendidikan, VOL. 14 NO. 1 JUNI 2011: 84

Bayhāqī (al), Abū Bakar Aḥmad bin Ḥusayn bin ‘Alī Ahmad bin al-Husayn. 2003. al-Sunan al-Kubra, taḥqīq

wa ta‘līq Muḥammad ‘Abd al-Qādir ‘Aṭā’, vol. III, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Anda mungkin juga menyukai