Realitas bangsa Indonesia secara horisontal (perbedaan yang bersifat etnik dan
agama) maupun vertikal (perbedaan profesi dan fungsi), adalah heterogenitas. Kita
lantas mafhum bahwa bangsa tidak merupakan kesatuan atas dasar kesamaan ras,
kesamaan bahasa, kesamaan agama, kesamaan interese, kesamaan geografis dan
kesamaan batas-batas wilayah yang bersifat alamiah. Sebuah bangsa terbentuk oleh
ke-bhineka-an. Khusus tentang hetrogenitas agama kita bisa katakan itu adalah
keuntungan tapi sekaligus tantangan.
Agama oleh kelompok tertentu dilihat sebagai sebuah way of life. Yang lain lagi
memandang agama sebagai kepercayaan akan sesuatu yang lebih agung dari manusia
atau sebagai suatu pencarian akan ‘ada ilahi’ atau ‘realitas tanpa batas’ seperti
dikatakan oleh P. Tillich: ‘dunia agama adalah dunia ultim. Agama adalah dimensi
terdalam dalam hidup manusia. Agama adalah aspek terdalam dari totalitas jiwa
manusia. Ini berarti semua aspek religius menunjuk kepada yang ultim, infinite dalam
hidup spiritual manusia.’
W. Schmidt berpendapat bahwa ide tentang ‘Allah yg maha tinggi’ adalah sesuatu
yang umum bagi semua agama. Ada jua yang memahami agama sebagai sekumpulan
aksi spesefik seperti ibadat, ritus, tingkah laku etis, doa-doa dan korban. Ada pula yang
berpendapat agama adalah usaha-usaha manusiawi untuk menemukan atau
menciptakan suatu makna bagi hidup ini. Ada lagi yg melihat agama sebagai ekspresi
dari emosi, inspirasi, kerinduan, entusiasme, kekaguman, ketakutan dsb.
Tantangan
Kata agama yg dikenal di Indonesia berasal dari bahasa Sanskrit: ‘a’ yg artinya tidak
dan ‘gama’ yg artinya kacau. Jadi agama berarti tidak kacau.
Untuk batas tertentu pluralitas adalah kekayaan namun dalam evolusinya ia tak saja
berhenti pada sekedar diversitas dan sebagai diversitas semata. Mungkin saja
perbedaan itu diametral dan antagonistik sehingga sebenarnya bukan lagi berbeda
melainkan bertentangan.
Term pluralisme agama lahir untuk membahasakan kenyataan adanya lebih dari
satu agama di sebuah tempat. Pluralitas dalam konteks kehidupan keagamaan tidak
hanya ditandai oleh kehadiran berbagai agama yang secara eksistensial memiliki tradisi
yang berbeda satu sama lain tetapi juga ditandai oleh pluralitas internal masing-masing
agama, baik berkenaan dgn aspek interpreatsi maupun aspek institusi.
Pluralitas interpretasi melahirkan berbagai mazhab, sekte keagamaan dan juga
melahirkan perbedaan kecendrungan pandangan dan sikap: eklusivisme dan
inklusivisme. Pluralitas institusi melalui mana agama memasuki ruang dan waktu,
mewujud dalam kehadiran tokoh-tokoh agama, organisasi-organisasi keagamaan dan
komunitas-komunitas keagamaan.
‘ Malu aku jadi orang Indonesia’, demikian salah satu judul sajak Taufik Ismail yang
juga menjadi judul kumpulan sajak terakhirnya. “Belum pernah saya semarah, sesedih
dan semalu saat ini’ kata Taufik Abdullah dalam pertemuan yang diselenggarakan
Badan Litbang Agama saat mendiskusikan kasus Ketapang dan Kupang.
Ungkapan-ungkapan ini agaknya menggambarkan perasaan banyak orang sehubungan
dgn berbagai kekerasan, kerusuhan, perusakan rumah-rumah ibadat sebagai simbol
kehadiran sebuah agama. Katastrofe ini menunjukkan betapa masyarakat seakan-akan
telah kehilangan akal sehat dan hati nurani. Lantas kita bisa simpulkan ‘kerukunan
selama ini semu.’
Nama Allah yg sesungguhnya adlh Cinta dgn sifatnya yg kekal. Kemarin ada Allah,
kemarin ada cinta; hari ini ada Allah, hari ini ada cinta; esok ada Allah, esok ada cinta.
Untuk selamanya ada Allah, untuk selamanya ada cinta.
Manipulasi metafisis ini bisa berwujud dua: eklusivisme: anggapan bahwa agamanya
dan Allah yang diimaninya dalam agama itu adalah yang paling benar, dan karena itu
juga menganggap diri sebagai kaum beriman yang paling benar. Selain dari itu juga ada
sikap inklusivisme: bahwa semua agama benar hanya bahwa kebenaran agamanya
tidak sempurna. Agamanya baru menjadi sempurna kalau ia melebur diri ke dalam
agama sempurna.
Gandhi pernah berkata tentang kekristenan sebagai berikut: ‚keyakinan saya adalah
bahwa semangat harian eropa tidak merealisasikan semangat Allah dan semangat
kristianisme, tetapi semangat setan. Setan memperoleh sukses besar ketika ia tampil
dengan nama Allah di bibir. Dalam kenyataan eropa menyembah Mammon. Saya
berpikir bahwa kekristenan gaya eropa sama dengan sebuah negasi terhadap
kristianisme Yesus. Sadhu Sundar Sirg mengatakan bahwa ia pernah berjumpa seorang
kafir tulen di eropa yang tiada duanya. Di negara ada orang yang menyembah dewa
dewi, tapi di Eropa ada orang yang menyembah dirinya sendiri, suatu hal yang paling
buruk. Orang-orang eropa untuk berabad-abad lamanya menjadi kristen: mereka hidup
dalam kristianisme tetapi kristianisme tak hidup dalam diri mereka. Kesalahan tak
terletak dalam kristianisme tetapi ada di dlm ketegaran hati. Naturalisme dan
intellektualisme telah membatukan hati mereka.
Orang Indonesia tahu bahwa agama artinya ‘tidak – bukan kekacauan.’ Agama benar
berorientasi kepada pelayanan perikemanusiaan dan menuntun manusia untuk tiba
pada kepenuhan eksistensinya. Sebuah agama adalah palsu dalam eksistensi jika ia
menaburkan benih-benih ketidakmanusiaan dan menghambat kepenuhan eksistensi
manusia. Jadi apa yang adalah human dan sungguh-sungguh human kiranya juga ‘ilahi.’
Dan apa yang adalah inhuman, ‘animal’ dan ‘bestial’ kiranya tak mengandung keilahian.
Perikemanusiaan adalah presuposisi (pengandaian) bagi agama benar. Agama sejati
adalah kepenuhan dari perikemanusiaan.
Selain dari dua proses manipulatif di atas ada juga hal lain yang memicu terjadinya
konflik antara agama yakni: persaingan dalam hal mendapatkan lapangan kerja yang
sama. Memaksakan unsur-unsur kebudayaan tertentu kepada warga yang lain. Ada
usaha untuk mendominasi suatu suku atau kelompok etnik lain secara politis.
Pertentangan persepsi tentang perspektif struktur sosial masyarakat yang masih
menganggap adanya warga negara kelas dua dalam suatu negara.
Kekurangan pengertian akan hidup orang lain dan kepentingan orang lain menyebabkan
kecemburuan sosial sedangkan prasangka merupakan anggapan yang kurang baik
mengenai sesuatu sebelum mengetahui, menyelidiki dan mengalami sendiri.
Dialog
Seorang filsuf dan teolog sekaligus, Raymond Panikkar menulis: ‘sebelum saya dapat
menjawab pertanyaan ‘siapa saya’? saya harus bertanya dan coba untuk menjawab
pertanyaan ‘siapa anda’? Sebelum saya dapat menjawab pertanyaan ‘siapa Allah-ku’?
saya harus bertanya ‘siapa dan apa Allah-mu’? Jika saya hanya tahu Allah saya, diri
saya, agama saya maka pengetahuan saya itu tak seimbang. Max Müller, menegaskan:
‘mereka yang mengetahui hanya satu agama saja, mereka sesungguhnya tak tahu apa-
apa.’
Sekali anda tahu dan sadar bahwa anda dan agama anda adalah ‘satu di antara banyak’
dan sekali anda memiliki kesempatan untuk mengalami keindahan dan nilai dalam diri
orang dan agama lain, anda secara natural merasakan kerinduan dan kuriositas untuk
belajar dari mereka karena memperkaya pengetahuan, spiritualitas dan moralitas anda.
Setiap pemeluk agama selalu harus melihat dan memahami kebenaran orang lain
melalui cultural telescope. Kebenaran bisa ditemukan hanya melalui conversation di
antara banyak dan orang yang berbeda-beda. Ini mengandaikan sangat kejujuran,
kerendahan hati dan keterbukaan.
Salah satu nilai luhur dalam setiap agama adalah keadilan. Dan musuh bersama dari
semua agama adalah kemiskinan dan ketidakadilan. Problem kemiskinan dan
ketidakadilan dialami oleh semua umat beragama. Ketidakadilan dan kemiskinan ini
mengundang setiap orang beragama untuk bahu membahu memerangi ketidakadilan
dan kemiskinan.
H. Küng melukiskan pentingnya dialog atas cara ini: ‘tiada damai antara bangsa-bangsa
jika tiada damai antara agama-agama. Tiada damai antara agama-agama jika tiada
dialog antara agama-agama. Tapi tidak ada dialog antara agama-agama tanpa suatu
pencarian teologis mendasar.’ Ini berarti dialog dalam lingkungan religius bukan sekedar
suatu percakapan. Dialog adalah suatu cara dlm berpikir, suatu cara baru dalam melihat
dan berefleksi tentang dunia dan maknanya.
Kesadaran akan pluralisme agama mengajarkan bahwa kita sedang beralih dari abad
monolog kepada abad dialog global (from the age of monologue to the age age of global
dialogue). Dialog sebuah pergeseran paradigma dlm epistemo-logi. Pergeseran
paradigma ini membuat dialog bukan saja mungkin tetapi adalah harus. Term-term
seperti immutability, simplicity dan monologue di masa silam digantikan dgn term-term
konstitutif seperti mutuality, relationality dan dialogue.
Memperhatikan perilaku para peserta dialog antar agama yang sedang jadi semarak di
Indonesia saya punya kesan ini: ada destructive dialogue: di mana elemen-elemen
agama dipolarisasikan dan dipertentangkan satu dengan yang lain. Ada diinterested
dialogue: elemen-elemen agama ditolerir. Ada dialogical dialogue: elemen-elemen
dalam agam itu saling belajar satu dengan yang lain. Ada deep dialogue: eleme-elemen
saling mentransformasikan satu dgn yang lain.
Suara Gereja
Gereja Katolik mengakui adanya nilai-nilai luhur yang ada di dalam agama-agama non
kristiani yg disebut: elemen-elemen kebenaran dan rahmat (Ad Gentes 9), benih-benih
ilahi (Ad Gentes 12), hal-hal yg benar dan suci (Nostrae Aetate 2).
Gereja Katolik tak pernah menolak apapun yg benar dan suci dalam agama-agama
(Nostra Aetate 2). Di dalam yang kudus dan benar, Gereja Katolik melihat suatu cahaya
kebenaran, yang menerangi manusia (Nostra Aetate 2). Gereja Katolik sembari
mendefenisikan agama-agama sebagai ‘mirabiliter creata’ mengharapkan juga bahwa
agama-agama adalah ‘mirabiliter reformanda.’ Karena itu Gereja Katolik mengajak
putera-puterinya untuk menghargai, menghormati eksistensi setiap agama beserta nilai-
nilai luhurnya, mengundang putera-puterinya untuk masuk dalam dialog yang jujur
dengan agama-agama lain.
Pada jantung setiap kultur dan peradaban terdapat agama. Agama memberi jiwa
kepada setiap kultur dan peradaban. Agama melahirkan segala sesuatu yg secara
esensial baik dan luhur bagi masyarakat. Semua institusi sosial yang besar harus lahir
dalam terang agama.
http://romopatris.blogspot.com/2010/11/pluralisme-agama-tantangan-dan-peluang.html