Tradisi
JURNAL SENI DAN BUDAYA
Vol. 1, No. 1, November 2010
SUSUNAN REDAKSI
i
Pengantar Redaksi
Salam budaya.
ii
Daftar Isi
iii
SENI PERTUNJUKAN DAN TRADISI LISAN DI KAWASAN
CANDI RATU BOKO, SLEMAN, YOGYAKARTA
Zulfi Hendri, Sri Harti Widyastuti, Siti Mulyani, Herlina .............. 95
iv
Negara dalam Pandangan Filsafat Jawa 1
Iva Ariani
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
Abstract
Human is a “political animals” or animal that like doing politics. Politics
is one of the human interaction type that involve a party that get and run
power on another. Since last years ago in oppose of danger, disaster and
defend alive, earn life with continue breed, human can not live alone, human
needs groups and push their soul that causes them must societal alive.
Javanesse culture also give contribution towards politics development and
opinions about existence a country along with right and the duty.
The subject policies culture in the eyes of java culture actually can be
studied from ethics. Javanesse politics philosophy proposes that element of
king, people and god be unitary can not dismember one another. The power
of king usually has been connected with the king. The power of king will
not come off hand but pass struggle that shiver from individual king or
administrator concerned because the individual great that is the king get
support from the people for example people figures priests. The sign of the
success in this effort if he is success gets “wahyu or pulung”. Pulung is the
country power symbol. Therefore after all the great somebody reaches after
pulung, latest rule doesn’t reside in his hand but on hand’s god.
Keywords: politic, human interaction, state
Pendahuluan
Manusia adalah “political animals” atau binatang yang suka
berpolitik. Hal ini dikemukakan Aristoteles lebih dari 2000 tahun yang
lalu. Lasswel dalam bukunya A Study of Power (1950:54) mengatakan
bahwa di dalam setiap masyarakat, kekurangan sumber daya yang
bernilai memaksa orang untuk bermain politik, untuk menentukan
2 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Pengertian Negara
Negara mempunyai dua pengertian. Pertama, negara diartikan
sebagai organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Kedua, negara diartikan
sebagai kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah
tertentu yang diorganisasir di bawah lembaga politik dan pemerintah
yang efektif, mempunyai kesatuan poltik, berdaulat sehingga berhak
menentukan tujuan nasionalnya.
Pengertian lain tentang negara ditulis oleh Frans Magnis-Suseno
(2003:170). Magnis-Suseno merumuskan dua pengertian negara,
pertama adalah masyarakat atau wilayah yang merupakan satu
kesatuan politis seperti negara India, Korea Selatan atau Brazilia.
Kedua, negara adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis
itu. Pulau-pulau di Nusantara menjadi suatu negara yang disebut
Indonesia, karena adanya lembaga pusat yang menjamin kesatuan
politisnya (Raga Maran, 1999 : 189).
Negara dan kekuasaan (kewibawaan) mempunyai hubungan
yang sama terhadap peradaban atau masyarakat dan merupakan
satu kenyataan seperti hubungan bentuk dengan benda. Bentuk ada-
lah rupa yang menjaga adanya benda dengan perantaraan potongan
tertentu dari bangunan yang diwakilinya. Di dalam ilmu filsafat telah
ditetapkan, bahwa yang satu tidak dapat dicerai-pisahkan dari yang
lainnya. Kita sungguh tidak dapat membayangkan satu negara tanpa
peradaban atau masyarakat, sedangkan peradaban atau masyarakat
tanpa negara dan kekuasaan wibawa adalah tidak mungkin, karena
umat manusia menurut wataknya haruslah saling bantu membantu,
dan hal ini menuntut adanya satu kewibawaan (Raliby, 1978:143).
Negara dapat melakukan tugasnya untuk meregulasi, mengatasi
konflik, dan mengalokasikan berbagai sumber daya hanya karena ia
memiliki suatu kekuasaan yang besar. Di sejumlah masyarakat peme-
rintah juga memiliki kekuasaan untuk menginstruksikan penduduk
tentang apa yang harus mereka lakukan dan Tuhan atau Dewa apa
yang dapat mereka sembah. Pemerintah memungut pajak dari pen-
duduk dan menggunakannya untuk pendidikan anak-anak atau un-
tuk menyingkirkan suatu pemerintah asing atau melakukan banyak
hal lainnya. Max Weber mengatakan, negara modern dibedakan dari
4 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Yang artinya :
“Suatu negara yang baik harus bisa menjalankan tuntunan yang
disebut Pancadarma sebagai berikut :
1. Percaya pada Tuhan Yang Maha Kuasa
2. Manusia yang menyembah dan percaya pada kekuasaan Sang
Maha Kuasa, bisa dilihat dari rasa kemanusiaan yang sejati, tercermin
dalam hubungan kemasyarakatan yang selalu berdasar tenggang
rasa
3. Harus selalu menjaga nama baik bangsa. Artinya keluhuran derajat
bangsa ditentukan dari perilaku manusia sebagai warga negara
4. Harus memiliki rasa dan merasa, bahwa berdirinya suatu negara
terjadi dari kekuatan manusia sebangsa
5. Semua perbuatan lahir batin harus didasarkan sikap adil.
Yang artinya :
“Militer dan kemiliteran bagi negara dan tata negara menjadi
bayangkari/pelindung pemerintahan, artinya menjadi perisai dan
beteng keselamatan negara. Militer dan kemiliteran sebagai pelin-
dung, erat hubungannya dengan tata kekuasaan pemerintah, karena
bayangkari berkewajiban menjaga kewibawaan pemerintah ber-
dasar hukum.”
Kesimpulan
Penelitian tersebut di atas merupakan penelitian budaya jawa
sebagai objek materinya. Dalam penelitian ini jelas terlihat bahwa :
1. Kebudayaan Jawa pada kenyataannya memberikan kontribusi
yang demikian besar pada ajaran-ajaran politik yang dapat digu-
nakan sebagai wahana pendidikan politik di Indonesia.
2. Ajaran politik dan social masyarakat Jawa lebih ditekankan pada
ajaran kesahajaan dengan filsafat hidupnya “aja dumeh” saat me-
maknai suatu prestasi atau keberuntungan.
3. Rasa kebersamaan dan kekeluargaan dalam ajaran budaya Jawa
tercermin dalann sikap “mangan ora mangan sing penting kumpul”.
4. Politik Jawa lebih banyak mengajarkan sikap merendahkan hati
dan mengurangi sikap kesewenang-wenangan bertindak walau-
pun ke bawahannya sekalipun dengan istilah “Ngluruk tanpa bala,
digdaya tanpa aji-aji, menang tanpa ngasorake.”
5. Kekuasaan dalam pandangan budaya Jawa tidak dating dengan
sendirinya, tetapi melalui perjuangan yang gigih namun tetap
ada kekuatan adikodrati yang ikut memegang peranan penting
dalam tata kehidupannya.
6. Hubungan rakyat dengan raja menurut pandangan budaya jawa
bukanlah hubungan yang impersonal, melainkan hubungan
mistik yang saling menguatkan yang sering disebut dengan istilah
“kawula-gusti”.
10 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Daftar Pustaka
Aristoteles, 1943. Politics, New York: Random House.
Laski, Harold.J, 1947. The State in Theory and Practise, New York: Viking
Press.
Lasswel, Harold. D, 1950. Study of Power, Illionis: The Free Press.
Lombard, Denys, 2005. Nusa Jawa: Silang Budata Warisan Kerajaan-
Kerajaan Konsentris, Jakarta: Gramedia.
Mac Iver, Robert M, 1947. The Way of Government, New York: The
Mac Millan Company.
Mac Iver, Robert M, 1955. The Modern State, London: Oxford
University Press.
Max Weber, 1958. From Max weber : Essays in Sociology, New York:
Oxford University Press.
Osman, Raliby, 1978. Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara,
Jakarta: Bulan Bintang.
Rafael, Raga Maran, 1999. Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Rineka
Cipta.
Soemarsaid, Moertono, 1968. State And Statecraft In Old Java, New
York: Cornel University.
Sunoto, 1987. Menuju Filsafat Indonesia, Yogyakarta: Hanindita.
Suseno, FM, 2003. Etika Politik :Prinsip-prinsip Moral dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: Gramedia.
Syafii, Inu Kencana, 2005. Filsafat Politik, Bandung: Mandar manju.
Perkembangan Fungsi Seni Kerajinan... 11
Ismadi
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta
Abstract
This research aims to describes about Batik made in Bayat, Klaten.
Batik was a heritage that live in Javanese culture. In histociral perspective,
batik has multifunction. There are for social, personal, ceremonial, arts,
works activity and daily wear. As an handicratf, batik made in Bayat brings
an happiness for Klaten district. In nasional context, batik become identity.
Keywords : batic, heritage, identity
Pendahuluan
Perkembangan seni kerajinan batik telah membuktikan bahwa batik
sangat dinamis dan dapat menyesuaikan dirinya baik dalam dimensi
bentuk, ruang, dan waktu. Seni kerajinan batik telah tersebar ke penjuru
wilayah nusantara dan berkembang dari masa lalu sampai masa
sekarang. Sekitar abad ke-15 seni kerajinan batik menuju ke arah
keindahan setelah mendapat pengaruh dari India, Cina, dan Arab
seiring dengan berkembangnya kebudayaan Islam yang masuk ke
nusantara. Setelah runtuhnya Majapahit, penyebaran dan pengembang-
an seni kerajinan batik kemudian banyak dilakukan pada masa-masa
kerajaan Mataram.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, seni kerajinan batik
banyak dilakukan para wanita di lingkungan keraton. Pada saat itu
seni kerajinan batik merupakan bentuk seni menggambar dengan
halus di atas kain yang umumnya dikerjakan oleh para wanita
12 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
jarit atau kain panjang dan sarung saja tetapi lebih luas seperti bahan
sandang, perlengkapan rumah tinggal, batik kayu, batik kaos, dan
lain sebagainya.
Fenomena ini telah membuka era baru di dunia batik khususnya
Bayat, yaitu selain batik fungsi tradisional sebagai benda pakai (jarit
atau kain panjang dan sarung), juga berkembang menjadi lebih luas
sebagai bahan sandang, perlengkapan rumah tangga, benda hias,
dan benda seni (Jaka Isgiyarta, 2008). Selanjutnya, produk seni kera-
jinan batik kain meluas pada batik pakaian, batik kain hiasan, dan
aksesoris rumah tangga lain seperti taplak, sarung bantal, seprei, saja-
dah, dan lain-lain. Selain batik kain, dengan berkembangnya ilmu
dan pengetahuan batik dikembangkan batik kayu dengan hasil pro-
duk itu meliputi piring, bejana buah, tatakan gelas, nampan, tempat
tisu, wayang, sandal, dan hiasan-hiasan rumah tangga.
Sejak itu pula mulai bermunculan lagi perajin-perajin batik di
wilayah Kecamatan Bayat. Sebagian besar dari perajin tersebut
berada di wilayah Desa Jarum. Sebagian perajin memproduksi seni
kerajinan batik berupa pakaian, batik kain hiasan, dan aksesoris
rumah tangga lain seperti taplak, sarung bantal, seprei, sajadah dan
sebagian membatik dengan media kayu yang kemudian dikenal
dengan nama batik ukir. Dari produk batik ukir muncul berbagai
kreasi seperti topeng kayu, asbak, sampai sandal dengan ukiran batik.
Masing-masing dari produk seni kerajinan batik tersebut memiliki
pangsa pasar yang berlainan. Untuk produk batik kayu pangsa pasar
terbesar adalah Bali dan Yogyakarta (Wawancara dengan Suyanto,
27 Februari 2010). Batik kain, kaos, dan aksesoris rumah tangga, pang-
sa pasar adalah Yogyakarta, Surakarta, dan kota-kota besar di Indo-
nesia. Dari semua pangsa pasar tersebut, konsumen terbesar adalah
wisatawan domestik maupun manca negara yang tersebar kawasan
wisata Bali, Yogyakarta, Surakarta dan beberapa kota lainnya.
Namun setelah berjalan sekitar tujuh tahun, para perajin mulai
merasakan krisis yang melanda Indonesia tahun 1997 yang meng-
akibatkan kehidupan seni kerajinan batik Bayat mulai merasakan
efek yang buruk khususnya pada sisi perekonomian dan permodalan.
Banyak diantara perajin batik yang tidak bisa melangsungkan
usahanya dan memilih berhenti dari pada jika terus dijalankan justru
Perkembangan Fungsi Seni Kerajinan... 15
Fungsi fisik
Fungsi seni kerajinan batik mulanya erat kaitannya dengan hal-
hal simbolis, digunakan sebagai identitas status sosial dalam masya-
rakat. Pada masa lalu seni kerajinan batik hanya digunakan kalangan
raja, bangsawan keraton, dan tokoh yang sangat berpengaruh di ka-
langan masyarakat. Seni kerajinan batik memiliki fungsi sebagai bahan
untuk membuat jarit/kain panjang, demikian halnya dengan awal
munculnya seni kerajinan batik Bayat bermula dengan batik yang
berfungsi sebagai bahan pembuat kain panjang/jarit sebagai pakaian
bawah pria maupun wanita.
16 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Fungsi Sosial
Seni kerajinan batik Bayat tidak hanya dikonsumsi oleh masya-
rakat dalam setempat atau pasar dalam negeri, tetapi juga banyak
diminati oleh masyarakat global. Hal ini bisa dipahami karena seni
kerajinan batik dibuat dengan tujuan agar bisa diterima oleh masya-
rakat pemakainya. Pada hakikatnya fungsi sosial batik ada keter-
kaitan hubungan antara respons yang diterima masyarakat pemakai
dengan karya perajin baik. Selama ini pemasaran batik Bayat sebagian
besar dilakukan di Kota Surakarta, Yogyakarta, dan Bali berlangsung
baik. Sebagian pembatik sudah ada yang berusaha melalukan ekspor
ke Jepang (Jaka Isgiyarta, 2008). Selain itu, keberlangsungan aktivitas
batik berdampak luas bagi masyarakat sekitarnya. Nilai pembuatan
seni kerajinan batik butuh waktu yang panjang yang melibatkan
interaksi antara individu maupun kelompok masyarakat. Keterlibatan
Perkembangan Fungsi Seni Kerajinan... 17
Fungsi Personal
Ditinjau dari segi proses pembuatan, seni kerajinan batik Bayat
merupakan produk kolektif, namun dari sisi ide dasar dan desain
seni kerajinan batik Bayat merupakan produk perseorangan/perajin
itu sendiri. Dalam mengemukakan ide dan menciptakan desain,
memunculkan sisi artistik, para perajin sering bermain garis, bentuk,
dan warna sebagai ujud ungkapan dari dalam dirinya. Ungkapan
dalam ujud visual itu tidak semata-mata berhubungan dengan emosi
pribadi saja, akan tetapi juga respon terhadap situasi sosial, ekonomi,
dan keadaan alam lingkungan sekitar.
Pengalaman estetis dari masing-masing perajin dan seniman batik
Bayat tertuang dalam setiap karya-karyanya menjadikan karya seni
kerajinan batik Bayat sebagai alat ekspresi pribadi dan berhubungan
dengan emosi pribadi yang dipengaruhi faktor sosial, ekonomi, dan
keadaan alam lingkungan. Tidak heran, jika ekspresi perajin batik
Bayat tertuang secara visual berupa bentuk seni kerajinan batik yang
didalamnya terdapat tanda-tanda dan simbol-simbol yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari di wilayah Bayat yang dapat dibaca
orang lain. Di sisi lain, tentunya karya seni kerajinan batik juga
diharapkan dapat diterima masyarakat pendukungnya.
Berdasarkan temuan di lapangan, dalam dua dasa warsa terakhir
gaya seni kerajinan batik Bayat sebagian bertahan pada batik corak
18 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
klasik. Batik corak klasik ini masih diminati konsumen dengan usia
tertentu. Selain itu, sebagian dari perajin batik Bayat melakukan pe-
ngembangan pada aspek bahan, teknik pembuatan, dan pengembang-
an bentuk seni kerajinan batik sehingga mengakibakan perubahan
fungsi seni kerajinan batik.
Kesimpulan
Seni Kerajinan Batik yang berkembang di wilayah Kecamatan Bayat
berawal dari produk batik corak/gaya Surakarta, berciri khas batik motif
lèrèng dengan satu warna coklat tua atau hitam. Dalam proses pem-
buatannya, para perajin batik Bayat masih menggunakan teknik seperti
pada pembuatan batik tradisional. Seiring berjalannya waktu pembuatan
kerajinan batik di Bayat mengalami banyak perubahan di bidang bahan,
20 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
alat, teknik pembuatan, sehingga tercipta bentuk dan gaya yang memiliki
fungsi yang baru pada seni kerajinan batik.
Seni kerajinan batik Bayat memiliki fungsi fisik, sosial, maupun
personal. Fungsi fisik seni kerajinan batik Bayat diantaranya sebagai
bahan pembuat kain panjang/jarit, bahan sandang, seragam, kaos,
asesoris rumah tinggal, peralatan rumah tangga dan lain-lain. Kaitan-
nya dengan fungsi sosial, keberlangsungan kerajinan batik berdam-
pak luas bagi masyarakat sekitar, di antaranya perajin atau pengusa-
ha, tenaga kerja, pedagang, dan masyarakat pendukungnya. Ditinjau
dari segi proses pembuatan, seni kerajinan batik Bayat merupakan
produk kolektif, namun dari sisi ide dasar dan desain seni kerajinan
batik Bayat merupakan produk perseorangan/perajin itu sendiri. Di
sisi lain keberadaan kerajinan batik sangat dipengaruhi oleh segi-
segi kehidupan dan lingkungan sekitar. Sebagai akibat interaksi
tersebut, maka diantara kerajinan batik tersebut mengungkapkan atau
menggambarkan segi-segi kehidupan sosial desa setempat.
Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi perkem-
bangan fungsi batik Bayat dapat diklasifikan menjadi dua, yaitu faktor
internal dan eksternal. Beberapa faktor internal di antaranya banyak-
nya pengusaha batik maupun perajin batik memiliki latar belakang
keahlian membatik tulis halus dan yang menjadi tradisi turun temurun
dari generasi sebelumnya. Penggunaan bahan kain lurik, kaos, kayu,
dan kulit sebagai media batik, wujud penerapan perkembangan ilmu
pengetahuan yang dimiliki para perajin batik Bayat sehingga tercipta
berbagai bentuk dan fungsi kerajinan batik.
Adapun beberapa faktor dari luar yang mempengaruhi perkem-
bangan kerajinan batik Bayat diantaranya perubahan ekonomi, sosial,
wisata, perkembangan desain yang ada di pasaran, dan perkembang-
an ilmu pengetahuan dan teknologi. Meningkatnya sektor pariwisata
Indonesia tahun 1990 sampai tahun dengan tahun 1997 memberi
peluang bagi para perajin batik Bayat memproduksi batik untuk wisa-
ta dengan beberapa jenis produk dikemas dalam bentuk, fungsi, dan
gaya seni yang bervariasi dengan tujuan pengiriman Bali, Surabaya,
Surakarta, Yogyakarta dan kota-kota lainnya.
Perkembangan Fungsi Seni Kerajinan... 21
Daftar Pustaka
Anggraeni, Dewi, 2008. Sekelumit Sejarah Batik di Indonesia, Batik
Indonesia dalam Perspektif, Yogyakarta: PT. Mizan Publika.
Burke, Edmund, Feldman, 1967. Art as Image and Idea, New Jersey:
The University of Georgia Prentice Hall, Inc, Englewood Cliff.
Gustami, SP, 2000. Studi Komparatif Gaya Seni Yogya - Solo,
Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Hamengku Buwana X, Sri Sultan, 1990. “Pengantar” dalam Sekaring
Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat. Jakarta: Himpunan Pecinta
Kain Batik dan Tenun Wastraprema.
Haryono, Timbul, 2008. Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif
Arkeologi Seni, Surakarta: ISI Pers Solo.
Husnan, Halimi. “Sejarah Batik Indonesia”. Kompas CyberMedia,
15 September 2004, didownload versi PDF dari http://
durian19-arts.com.
Isgiyarta, Jaka. “Mewujudkan Desa Wisata Bayat” Artikel di harian
Suara Merdeka, Semarang edisi 20 Nopember 2008.
__________. “Peran Masyarakat Intelektual dalam Penyelamatan dan
Pelestarian warisan Budaya Lokal”, Sambutan Dies Natalis
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ke-63 tahun 2008.
Soedarsono, R.M., 1999. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata.
Bandung, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Sugiantoro, Rony. “Yogyakarta Jadi Salah Satu Obyek Wisata Studi
Pariwisata”. Artikel di harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta,
edisi 15 Februari 1993.
Susanto, Sewan, 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia, Yogyakarta: Balai
Penelitian Batik dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan
Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian RI.
Suyanto, A.N., 2002. Sejarah Batik Yogyakarta. Yogyakarta: Rumah
Penerbitan Merapi.
22 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Perubahan Perilaku Masyarakat... 23
Pujiwiyana
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta
Abstract
Hummanity, society and culture always become an interesting topic of
study in modern era. Method and theory of multiculturalism can give life
balancing. Modern community need local wisdom. Arts, linguistic, litera-
ture, music, poetry are very important in global situation. This research
aims to describes about social and culture changes.
Keywords: society, culture, local wisdom
Pendahuluan
Globalisasi kebudayaan telah mengikuti pola yang sama dengan
globalisasi ekonomi. Kebudayaan universal muncul, disebarkan melalui
semakin banyaknya media global yang kebanyakan dikendalikan oleh,
dan bekerja untuk kepentingan modal transnasional. Televisi, dan
bentuk-bentuk rekreasi lainnya semakin serupa (dan banyak yang secara
menekan) di manapun tempatnya di dunia. Kota yang satu sangat mirip
dengan kota-kota lainnya, hotel bentuknya sama di seluruh dunia, dan
televisi, iklan dan teknologi komputer tampaknya bekerja tak kenal lelah
untuk mewujudkan keseragaman (Ife,J. 1997 : 155)
Dalam menghadapi globalisasi kebudayaan, bagi masyarakat
perkotaan sangat sulit untuk melestarikan kebudayaan lokalnya sen-
diri yang unik, walaupun ini merupakan komponen penting dari pem-
bangunan masyarakat. Ini secara historis merupakan gejala terjadi
pada masyarakat perkotaan. Sampai abad ke dua puluh, kegiatan-
24 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
kegiatan kebudayaan seperti itu sebagian besar lokal dan sangat parti-
sipatoris, dan perbedaan daerah mempunyai arti dan penting. Globa-
lisasi dan perubahan kebudayaan bersama-sama merupakan bagian
penting dari hilangnya norma-norma sosial masyarakat yang banyak
terjadi pada masyarakat perkotaan.
Kehadiran media masa baik cetak maupun elektronik pada saat
ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat di Indonesia terutama masyarakat perkotaan. Dalam ke-
sibukan rutinitas perilaku kehidupan masyarakat perkotaan media
masa menjadi sarana penting untuk mendapat informasi yang dibu-
tuhkan. Sehingga kebanyakan dari masyarakat perkotaan mempu-
nyai kecenderungan anggapan bahwa apabila mereka sudah meneri-
ma informasi dari media masa seolah-olah mereka sudah merasa
menjadi bagian dari kelompok masyarakat tersebut walaupun tidak
melakukan interaksi dengan masyarakat sekitarnya.
Pengaruh media masa pada sebagian masyarakat memunculkan
budaya instan, dimana informasi melalui media masa diterima begitu
saja tanpa melalui proses penganalisisan terhadap informasi tersebut.
Sedangkan tidak semua bentuk informasi, terutama tayangan televisi
adalah informasi yang benar terutama tayangan-tayangan yang ber-
format hiburan. Oleh karena kesibukan dan tingkat aktivitas pekerja-
an masyarakat perkotaan yang sangat padat, maka pilihan hiburan
yang ditayangkan oleh televisi menjadi pilihan hiburan yang murah
dan mudah didapat.
Secara umum sebagian besar tayangan televisi seolah-olah telah
menguasai manusia, bahkan menjadi tolok ukur telah menjadi peri-
laku manusia di segala bidang. Hal tersebut juga terjadi pada masalah
budaya, dimana unsur hiburan (seni) yang merupakan genre budaya
mendominasi tayangan televisi terutama budaya populer. Kebanyakan
kemasan acara hiburan di televisi berorientasi pada selera pasar tanpa
harus mempertimbangkan kualitas dan nilai (value), sehingga dikha-
watirkan bagi sebagian besar masyarakat yang tidak mempunyai
dasar pemahaman yang memadai terhadap objek tayangan tersebut
akan menganggap menu tayangan tersebut sebuah kebenaran. Seba-
gian kecil contoh : apabila seorang penyanyi tampil di layar televisi
dengan gaya rambut gondrong dan berwarna selain hitam, maka
Perubahan Perilaku Masyarakat... 25
kesenian, atau selalu menjurus ke arah seni. Begitu pula predikat bu-
dayawan, hanya terbatas diberikan kepada mereka yang berkecimpung
dalam dunia kesenian (seniman atau artis) (Djohar, 1999 : 106)
Telah kita ketahui bersama, bahwa era globalisasi pada dasarnya
adalah era persaingan pasar bebas yang akan banyak menampilkan
kompetisi ukuran-ukuran kualitas produk barang dan jasa, yang dila-
tarbelakangi oleh dukungan kualitas manusia sebagai pelakunya. Yang
menjadi masalah adalah, ukuran kualitas manusia yang bagaimana
yang mampu menghasilkan barang dan jasa yang mampu merebut
pasar. Seni sebagai produk budaya manusia juga terjadi proses yang
demikian, terutama seni yang berfungsi sebagai media hiburan. Dengan
adanya media tayangan televisi, maka produk hiburan yang berbasis
seni berkembang dengan pesat. Maka untuk memenuhi tuntutan ma-
syarakat di bidang hiburan, para pelaku jasa hiburan terutama pada
tayangan televisi memperlakukan seni sebagai komoditi industri. Se-
hingga dengan pranata industrialisasi tersebut nilai seni akan bergeser
menuju ke arah budaya instan. Hal tersebut akan memunculkan kon-
disi pendangkalan terhadap pemaknaan terhadap seni, oleh karena
masyarakat hanya memahami bagian luarnya saja, sedangkan hakikat
yang seni yang sebenarnya tidak pernah dipahami.
Masyarakat perkotaan sekarang selalu berhadapan dengan per-
saingan hidup yang sangat ketat, sehingga untuk memenuhi kebutuh-
an hidup, dan menjawab tantangan tersebut mereka dituntut
beraktivitas dengan mobilitas yang tinggi. Untuk memenuhi
kebutuhan hiburan (kebutuhan phsikis), mereka mencari hiburan
yang sifatnya instan dengan kemasan yang praktis. Hiburan yang
semacam itu sangat mudah didapatkan melalui tayangan hiburan
di layar televisi. Hal tersebut sangat mungkin masyarakat hanya
memahami bagian luarnya saja, tanpa harus berpusing-pusing
memahami makna yang sebenarnya. Sebagai contoh sebagian besar
tayangan sinetron selalu menggambarkan gaya hidup masyarakat
prkotaan kelas atas dengan segala permasalahannya. Sedang sebagian
besar masyarakat yang menonton tayangan sinetron justru dari
kalangan masyarakat perkotaan kelas menengah ke bawah. Hal yang
demikian mengakibatkan banyak masyarakat berpikir pada tataran
fantasi (khayalan) bukan pada realitas (kenyataan) yang dihadapi.
Perubahan Perilaku Masyarakat... 29
Kesimpulan
Perkembangan kesenian di era global saat ini menuntut sikap
antisipatif terhadap situasi yang terjadi. Pengaruh budaya global tidak
dapat dipungkiri lagi akan berpengaruh pada eksistensi seni tradisio-
nal. Seni sebagai bagian dari kebudayaan memang selalu berkembang
mengikuti arus perubahan zaman. Hanya saja kita dituntut secara
arif untuk selalu menyikapi perubahan-perubahan itu, sehingga
substansi seni tradisi tetap bisa dipertahankan. Mempertahankan
substansi seni dalam menghadapi era globalisasi menjadi suatu yang
penting, mengingat roh kesenian berasal dari tradisi budaya pada
suatu kelompok masyarakat. Dari sumber-sumber tradisi itulah berba-
gai ekspresi seni bisa dikembangkan dalam bentuk lain yang bersifat
kreasi atau modern. Pengembangan bentuk dari konvensional menuju
ke arah kreasi modern ini sebenarnya merupakan sebuah upaya pe-
lestarian budaya dalam bentuk dan format yang baru.
Aktifitas kebudayaan yang berakar pada seni tradisional se-
sungguhnya adalah usaha pewarisan nilai dari suatu generasi kepada
generasi berikutnya. Sehingga interaksi yang terjadi dalam aktivitas
seni tradisional merupakan kegiatan belajar, dimana dalam aktivitas
tersebut akan terjadi terjadi dialog antara kelompok masyarakat yang
berada di dalam habitat kesenian tersebut. Dalam dialog dimungkin-
kan terjadi suatu proses identifikasi terhadap masalah-masalah yang
dihadapi, sehingga kelompok masyarakat tersebut akan berusaha
mencari solusi dalam rangka pemecahan masalah-masalah yang di-
hadapi, dan pada akhirnya secara mandiri mampu meningkatkan
harkat dan martabat kelompok masyarakat tersebut.
Agar pembinaan seni tradisional efektif di dalam konteks pemba-
ngunan dan pemberdayaan masyarakat yang lebih luas, maka seni
tradisional tidak boleh dipisahkan dari kehidupan masyarakat, tetapi harus
dipandang sebagai suatu bagian nyata dari kehidupan masyarakat.
Perubahan Perilaku Masyarakat... 33
Daftar Pustaka
Charon, Joel, M., 1992. Sociology : A Conceptual Approach, Boston:
Allyn and Bacon.
Danandjaja, J., 1991. Folklor di Indonesia, Jakarta: Penerbit UI.
Dieter Mark, 1996. Apresisi Musik Tradisional, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Djohar, MS, tt. Reformasi dan Masa Depan Pendidikan Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Harrison, LE, 2000. Culture Matters, New York: BASIC BOOK
Hugh M., Miller, 1986. Apresiasi Musik (Introduction to Music a Guide
to Good Listening). Yogyakarta: ISI YOGYAKARTA.
Ife, J., 1997. Community Development, Australia: LONGMAN
Lauer, Robert, 1993. Perspektif tentang Perubahan Sosial, Terjemahan
Alimandan, S.U, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Roger Kamien, 1980. Music An Appreciation. New York: Mc. GRAW-
HILL BOOK COMPANY
Salim, Agus, 2002. Perubahan Sosial : Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi
Kasus Indonesia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Tilaar, HAR., 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan, Jakarta: PT.
Grasindo.
34 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Wayang dalam Perspektif Pendidikan 35
WAYANG
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
Muhammad Mukti
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta
Abstract
This research describe about wayang that have Islamic moral and
spiritual education. In history, Javanese community think was as character
building, specially for national identity. Dalang ought to teach people or
ummat-umara to do goodness or akhlakul karimah by wayang performants
arts.
Keywords : wayang, education, Javanese
Pendahuluan
Data terakhir menyebutkan, bahwa wayang kulit purwa dalam
arti pertunjukan (selanjutnya disebut dengan istilah wayang begitu
saja), Yogyakarta sebagai barometer budaya sepanjang tahun 2009
ada sebanyak 75 kali, sedang dulu tahun 1980 350 kali -turun 70 %
(lihat plat form pada jadwal Radio Republik Indonesia Yogyakarta,
2009). Meski demikian, tetap saja menarik untuk dibicarakan ter-
masuk dalam berbagai perspektifnya.
Wayang, dalam perspektif pendidikan tidak terkecuali agama
Islam selama ini sering dipandang positif oleh masyarakat, dan nyaris
tidak ada yang berani berkata miring. Hal ini bisa dimaklumi, sebab
memang awalnya begitu -digunakan untuk kepentingan dakwah oleh
para Wali. Berikut di antara masyarakat tersebut sekaligus pandangan
positifnya.
36 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
positif atau tidak tetap saja dipandang positif. Kedua karena wayang
awalnya memang begitu -positif terutama setelah datangnya agama
Islam-digunakan untuk kepentingan agama-dakwah para Wali
(Munarsih Sahana dalam The Jakarta Post, 2009:5). Jawaban dari “orang
yang tidak punya kababel dalam bidang tersebut” menyiratkan tidak
demikian sesungguhnya wayang, artinya dalam perspektif pendidikan
agama Islam bagai isu korupsi-layak dibongkar atau ditinjau ulang atas
kebenarannya.
Pertanyaan berikut akan menjadi dasar penuntun awal sampai
akhir tulisan ini.
1. Bagaiaman kebenarannya wayang selama ini dalam perspektif
pendidikan agama Islam.
2. Adakah bisa wayang tersebut mengantarkan manusia sampai
pada Penciptanya?
3. Jika tidak lalu bagaimana pemecahannya?
Pendidikan Agama
Pendidikan agama, adalah sebuah usaha untuk mengantarkan
manusia sampai pada Penciptanya -Tuhan-Allah-dzat yang khaliq-
yang menciptakan, malik-yang merajai, dan raziq yang memberi rizki,
sehingga tidak ada cara selain harus taat kepadanya melakukan segala
perintah dan menjauhi segala larangannya.
Adapun usaha untuk mengantarkan manusia sampai pada
Penciptanya itu dalam agama Islam sesungguhnya telah ditetapkan
ada tiga-pertama dakwah, kedua taklim, ketiga ibadah-robbanaa wab’ats
fiihim Rasulanminhum yatluu ‘aihi aayaatika wayu’allimuhumul kitaaba
wal hikmah …”. Yaa Allah bangkitkan dari kalangan mereka seorang
Rasul yang menyampaikan ayat-ayat kebesaranmu (dakwah) meng-
ajarkan kitab (taklim), dan membersihkan hati (ibadah) (surat Al-
Baqarah:129). Tafsir terhadap dakwah, taklim, dan ibadah tersebut,
tentu saja macam-macam termasuk aplikasinya.
Dakwah
Dakwah artinya adalah mengajak (Abdullah, 2002:3) —
manusia taat kepada Allah dengan bijaksana, atau dengan baha-
sa Al-Qur’annya hikmah—sesuai dengan maqam atau kekuatan
38 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Allah
Kebenaran
Manusia Manusia
Melanggaran
Taklim
Taklim, artinya belajar-mengajar -agama Islam. Karena
belajar-mengajar agama Islam, maka seluruh ilmunya harus
datang dari Al-Qur’an dan Al-Hadits (Zakariyya, 2000). Aplikasi
taklim khusus untuk orang-orang Jamaah Tabligh di antaranya
adalah membaca buku “Fadlilah amal” sekali di masjid bersama
jamaah masjid, dan sekali di rumah bersama anak istri. Buku
tersebut isinya tentang keuntungan membaca Al-Qur’an, ke-
untungan dzikir, dakwah, dan shalat.
Ibadah
Ibadah, artinya mengabdi -kepada Allah- mengamalkan
ajaran agama Islam secara benar (Zakariyya, 2000). Berbeda
dengan dakwah yang sifatnya bergerak antara pelanggaran dan
kebenaran, ibadah ini sifatnya mandeg dalam kebenaran saja.
Aplikasi ibadah khusus untuk orang-orang Jamaah Tabligh,
difokuskan antara lain pada shalat, dzikir pagi petang, tidur dan
istirahat, masuk-keluar masjid, dan masuk keluar wc.
Wayang
Wayang adalah sebuah seni drama yang dipertunjukkan -menyi-
ratkan adanya cerita, pelaku, perabot, dan operasional pertunjukan.
Karena seni yang dipertunjukkan, maka keberadaan penonton tidak
bisa diabaikan.
Cerita
Cerita wayang adalah Mahabarata dan Ramayana, keduanya
merupakan hasil karya sastra untuk kepentingan agama Hindu
(Sudarsono, 1996:7) -menceritakan peperangan Pandawa-Kurawa
40 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Pelaku
Pelaku wayang paling utama adalah dalang, didukung oleh
pengrawit atau penabuh gamelan yang biasa disebut dengan istilah
niyaga, wiraswara atau penyanyi laki-laki yang biasa disebut dengan
istilah penggerong, dan swarawati atau penyanyi perempuan yang
biasa disebut dengan istilah pesindhen, dan penonton.
Perabot
Perabot wayang yang paling utama adalah wayang.
Bentuknya pipih seperti gambar manusia, didukung gamelan yang
terdiri dari kendang, gong-kempul, balungan- saron, demung dan
centhe, seruling, kenong, siter, rebab, dan gawang-kelir dengan
patung ular naga beradu pethit.
Operasional Pertunjukan
Cerita wayang Mahabarata dan Ramayana dipertunjukkan
dengan ada judul, tokoh, dan alur cerita. Judulnya bisa macam-
macam Wirathaparwa, Dewaruci, atau yang lain. Kalau judul-
nya Wirathaparwa, maka tokohnya adalah Pandawa-Kurawa,
sedang alur ceritanya mulai dari adegan Wiratha -prabu Matswa-
pati susah kehilangan cucunya Pandawa sampai dengan bahagia
bisa bertemu kembali.
Pelaku dalang, pengrawit, wirasuwara, mengenakan baju
kejawen -blangkon, buskab, jarit, keris, dan stagen, swarawatinya
tabarruj -memakai celak, benges, mengenakan baju kebaya, dan sampir
selendang panjang. Pelaku duduk ihtilat campur antara laki-laki dan
perempuan sesuai dengan penataan perabot yang ada -dalang paling
depan menghadap kelir, sindhen di sebelah kanan, menghadap dalang
dan atau penonton, pengrawit -penggender di belakang dalang berikut
pengendang, pengerong di sebelah kiri, pembonang di sebelah kanan,
pembalung di belakang pengendang, dan berikut penonton ada di
belakang pengrawit menghadap wayang.
Wayang dalam Perspektif Pendidikan 41
Pemecahan
Wayang selama ini agar dalam perspektif agama Islam bisa
mengantarkan manusia sampai pada Penciptanya, haruslah disam-
bungkan dengan dakwah khuruj fii sabiilillaah keluar tiga hari, empat-
puluh hari, atau empat bulan. Untuk itu perlu diperhatikan cerita,
pelaku perabot, dan operasioal pertunjukannya.
Ceritanya tetap Mahabarata dan Ramayana yang ada, tetapi
dibuat Islami baik judul, tokoh dan alur ceritanya. Judul Bimasuci,
dibuat menjadi Bima Dakwah, Tokohnya Pendeta Durna, dibuat
menjadi Kyai Haji Durna, Gareng Petruk dibuat menjadi Abdulah
Sugareng dan Muhammad Supetruk. Alur ceritanya mulai dari Brata-
Wayang dalam Perspektif Pendidikan 43
sena berguru makrifat kepada Kyai Haji Durna, sampai dengan ke-
berhasilannya ketemu Dewaruci—paham agama.
Pelaku dalang, pengrawit, wirasuwara, mengenakan baju Islami
-serban, jubah atau baju koko lengan panjang, celana blunci tidak pan-
jang bawah kemiri, tidak pendek atas dhengkul. Pelaku -sedemikian
rupa sesuai dengan penataan perabot yang ada—dalang paling depan,
pengrawit—penggendher di belakang dalang berikut pengendang,
pengegong di sebelah kiri, pembonang di sebelah kanan, pembalung
di belakang pengendang, dan berikut penonton ada di belakang peng-
rawit. Yang penting pelaku ini dalang dan pengrawit di atas trap,
penonton lesehan duduk iftiras—sepertia duduknya orang shalat dalam
tahiyat awal di lantai bawah.
Pelaku sesuai dengan perannya—dalang terlebih dulu ada wudlu
doa secara sunnah bismillaahirrahmaanirrahiim kemudian memainkan
wayang dengan sebentar-sebentar suluk mengucapkan shalawat
“allaahumma shalli ’alaa Muhammad”, pengrawit menabuh gamelan,
rebana dan bedhug, penggerong melantunkan lagu, dan penonton
tawajuh menikmati wayang, jika terkesan mengucapkan subhaanallaah.
Kesimpulan
Wayang memakan waktu dua jam mulai talu bakdal Isak jam
20.00. sore sampai dengan 22.00 menjelang malam. Setelah wayang
usai, disambungkan dengan dakwah, artinya semua penonton
kemudian khuruj fii sabiilillah keluar tiga hari, empatpuluh hari, atau
empat bulan, dengan terlebih dulu diberi bayan hidayah—pembekalan
berisi tentang cara dakwah, selesai diberi bayan tangguh—pesan-pesan
untuk tetap dakwah kepada diri, ahli keluarga, dan masyarakat.
Kebenaran wayang selama ini dalam perspektif pendidikan aga-
ma Islam sesungguhnya bukanlah dakwah, taklim, maupun ibadah.
Karena kebenaran wayang Selama ini dalam perspektif agama Islam
bukan dakwah, taklim maupun ibadah, maka tidak bisa mengantar-
kan manusia sampai pada Penciptnya, tetapi pada yang lain—harta,
tahta, dan wanita. Pemecahannya, wayang agar dalam perspektif
agama Islam bisa mengantarkan manusia sampai pada Penciptanya,
harus disambungkan dengan dakwah khuruj fii sabiilillaah keluar tiga
hari, empatpuluh hari, atau empat bulan.
44 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Daftar Pustaka
Abdullah, 2002. Wayang Purwa dan Dakwah. Bandung: Al-ma’arif.
Departemen Agama, 1985. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Departemen
Agama Republik Indonesia Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-
Qur’an.
Effendi, Zarkasi, 1977. Unsur-unsur Islam dalam Pewayangan. Bandung:
Al-Ma’arif.
Gronendael, Van, 1985. “dalang di balik Wayang”. The Rule of The
Surakarta dan Yogyakarta. Dardrecht, Forist Publication.
Harimawan, 1977. Dramaturgi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hazim, Amir, 1991. Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Kasidi, 2009. “Estetika Sulukan”. Desertasi untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program studi Ilmu filsafat. Universitas Gajahmada
Yogyakarta.
Murtiyoso, 1997. “Faktor-fakrtor Pendukung Popularitas Dalang”. Tesis
S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Jurusan Ilmu-
ilmu Humaniora. Program Pascasarjana Universitas Gajahmada.
Mulyosuseno, 2002. Pendidikan budi Pekerti. Surabaya: Jayabaya.
Sahana, Munarsih, 2009. “Show Cats Puppet in a Different Light”.
Dalam The Jakarta Post, Jum’at 18 2009.
Sholihin, 2009. “Konferensi Internasional Filsafat Nusantara Program
Word Class Reserch University” Fakulktas Filsafat UGM. Seni
Budaya Wayang untuk Pengembangan Filsafat Nusantara”.
Yogyakarta, 2009.
Soetarno, 1996. Wayang Kulit Jawa. Surakarta. CV. Cinderawasih.
Soetarno, 1978. “Dampak Perubahan Sistem Nilai Terhadap
Pertunjukan Wayang Kulit”. Laporan Penelitian, Dibeayai oleh
Program DUE Like, No. Kontrak: 343/P/DUE/2000. Sekolah
Tinggi Indonesia Surakarta:96
Zakariyya, 2000. Fadlilah Tabligh. Diterjemahkan oleh Abdurrahman,
Yogyakarta: Ashshaaff.
Makna Lambang Keraton Surakarta... 45
Purwadi
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta
Abstract
This research discribes about symbol of Surakarta Kingdom namely
Radya Laksana. Surakarta Kingdom is very well known in simbolic culture.
So that its influence to nowadays life as a reference for civil society develop-
ment. The mean of Radya Laksana was about leaders morality in doing
their deeds, ethics to the leaders and the relation between folks and govern-
ments to make society and nation in harmony. This heritage ought to keep
another to use as identity and cultural building of Indonesian people.
Keywords : symbol, radya laksana, identity
Pendahuluan
Keraton Surakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa yang
telah memberi kontribusi besar terhadap perjalanan sejarah bangsa
Indonesia. Oleh karena raja memiliki kekuasaan yang sangat besar
sebagai sumber hukum, pengatur kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, dan bahkan dianggap sebagai ‘wakil Tuhan di muka bumi
(Soemarsaid Moertono, 1985: 15). Berbagai pergumulan politik,
ideologi, sosial, budaya dan keagamaan sangat dipengaruhi oleh ke-
bijakan sang raja yang berkuasa.
Para raja Keraton Surakarta Hadiningrat sangat taat dengan
tradisi yang diwariskan leluhurnya (Bratadiningrat, 1992: 540. Ajar-
an-ajaran yang diwariskan oleh para pendahulunya di Keraton Sura-
karta selalu ia dijadikan referensi untuk memecahkan problematika
yang dihadapinya. Sebegitu pentingnya nilai etis filosofis untuk
46 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
teksnya dan menerapkan teks yang kaku dan lepas dari keterkaitan
waktu pada situasinya sendiri (Jan Van Luxemburg, 1986:62-63). Untuk
mendukung teori hermeneutik ini, ini digunakan pula teori semantik
yang menelaah tentang makna. Semantik juga menelaah lambing-
lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna
yang satu dengan makna yang lainnya serta pengaruhnya terhadap
manusia dan masyarakatnya (Henry Guntur Tarigan, 1986:1-13).
Hermeneutik merupakan pendekatan yang sudah lazim diguna-
kan dalam metodologi ilmu sosial untuk mengkaji teks. Teks di sini
adalah dalam arti karya sastra. Hermeneutik berasal dari bahasa
Yunani hermeneuein yang artinya menafsirkan. Kata hermeneia secara
harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Istilah
Yunani ini mengingatkan pada tokoh Mitologis bernama Hermes,
seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Dewa Jupiter
kepada manusia. Tugas mahapenting Hermes ini bisa berakibat fatal
bagi umat manusia jika ia keliru menafsirkan pesan dari para dewa.
Sejak saat itu, Hermes menjadi simbol seorang utusan yang dibebani
misi penerjemahan dan penafsiran.
Pendekatan ini berawal dari kegiatan filologis atau pengkajian naskah
kuno oleh para pendeta Nasrani untuk memahami berbagai teks suci kuno
yang tidak selalu jelas maknanya, karena teks-teks tersebut berasal dari
kurun waktu yang lama. Pendekatan ini kemudian diadopsi ilmuwan sosial
untuk mengkaji teks-teks meskipun bukan teks suci. Hal ini terjadi karena
apa yang ditampilkan dalam teks belum tentu dapat dipahami dengan
jelas. Metode ini menganggap bahwa fenomena yang dihadapi bersifat
simbolik. Fenomena ini ‘mengatakan’ dan ‘menyatakan’ sesuatu, namun
belum begitu jelas apakah ‘sesuatu’ itu. Apakah pesan yang dikandung
dalam ‘sesuatu’ itu. Di sini peneliti tidak mencari korelasi dan kausalitas
untuk ‘menjelaskan’, melainkan untuk menangkap dan memahami makna
sedalam-dalamnya. Dengan kata lain, menurut Richard E. Palmer (2005 :
122), peneliti tidak berusaha merumuskan hukum-hukum atau melakukan
generalisasi. Sebaliknya dia akan memandang kebudayaan sebagai hal yang
unik, dengan makna yang khas, yang tidak dapat dibandingkan dengan
kebudayaan lain untuk dicari prinsip universalnya.
Metode hermeneutik dalam perkembangannya tidak hanya digu-
nakan untuk analisis sastra, melainkan juga untuk wilayah fenomena
48 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
sosial lain. Asumsi dasar dari upaya ini adalah sebagaimana karya sastra,
fenomena sosial dalam kehidupan manusia pada dasarnya merupakan
fenomena simbolik, atau gejala yang melambangkan dan mengatakan
sesuatu. Karena bersifat simbolik, maka fenomena sosial tidak berbeda
dengan karya sastra filosofis. Oleh karena itu pendekatan karya seni
dan sastra dapat digunakan untuk memahami realitas sosial filosofis.
Metode hermeuneutik digunakan untuk memahami makna etika
kesastraan dengan cara peneliti langsung menyatu dengan obyek
penelitiannya. Metode Hermeneutik ini memang relevan untuk memberi
penafsiran terhadap fenomena adat istiadat dan budaya Jawa.
Kesimpulan
Penataan nilai yang berakar pada jati diri bangsa mutlak di-
perlukan. Yakni jati diri yang bersumber pada perjalanan sejarah
dan tata nilai budaya sendiri. Di antara konsep keraton yang bisa
digunakan sebagai referensi masa sekarang adalah sikap pemimpin
yang bawa leksana, yang berarti konsekuen dan konsisten (Moedjanto,
1994:18). Penggalian nilai-nilai luhur yang dikandung dalam lambang
Keraton Surakarta adalah langkah tepat, karena akan diperoleh
realitas jati diri serta kepribadian nasional yang dapat mempertajam
wawasan kebangsaan. Jati diri, kepribadian dan wawasan kebangsa-
waan yang bernuansa historis dan kultual yang berkesinambungan
sebenarnya merupakan kekayaan bangsa Indonesia. Bersama dengan
kearifan lokal yang diperolah dari daerah lain, penggalian local wisdom
perlu dikaji secara sistematis, integral dan komprehensif.
Sebuah negeri yang aman sentausa di bawah limpahan anugerah
serta ampunan Tuhan Yang Maha Esa tentu menjadi impian semua
warganya. Masyarakat Jawa menyebut dengan istilah negari ingkang
panjang punjung pasir wukir, gemar ripah loh jinawi, tata tentrem karta
raharja. Dengan menggali kearifan luhur berbasis budaya itu, semoga
bangsa Indonesia menjadi masyakat adil makmur, damai dan sejahtera.
56 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Daftar Pustaka
Bratadiningrat, 1992. Asalsilah Warni-warni. Surakarta
Darusuprapta, 1986, Sêrat Wulangrèh, Citra Jaya Murti, Surabaya.
Kamajaya, 1980, Pujangga Ranggawarsita, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Yogyakarta.
Kusumadilaga, 1930, Pakêm Sastramiruda, de Blikeem, Sala.
Larson, George D., 1990. Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan
Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942. Yogyakarta :
Gamapress.
Luxemburg, Jan Van, 1986, Teori Ilmu Sastra, Gramedia, Jakarta.
Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja
Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Moertono, Soemarsaid, 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa
Masa Lampau, Studi Masa Mataram Abad XVI-XIX. Jakarta : Obor.
Padmawarsita, 1953. Silsilah Keraton Surakarta. Semarang: Pelajar.
Ricklefs, 1995:98. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Press.
Soeratman, Darsiti, 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830 –
1939. Yogyakarta: Disertasi Pascasarjana UGM.
_______________, 1990. Istana Sebagai Pusat Kebudayaan Lampau dan
Kini. Yogyakarta: Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM.
Tarigan, Henry Guntur, 1983. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa
Wirodiningrat, 1980. Catatan Sasana Wilapa. Keraton Surakarta.
Etika Islam dalam Seni Pewayangan 57
ETIKA ISLAM
DALAM SENI PEWAYANGAN
M. Dimyati Huda
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri
Abstract
This research describes about Javanese morality in wayang arts.
Community of Java likes wayang performance. Its performance still has its
existence and this catches the attention of the moslem public. Wayang pro-
vides a wide range of alternatives about the characters applicable to the
Islamic life, so that the moslem public regards wayang not daily only as a
performance or entertainment, but also as morality a discourse for social
interaction or silaturahmi. The pergelaran wayang has Islamic education
of local wisdom that can be considered as one of the akhlakul karimah edu-
tainment.
Keywords: wayang, local wisdom, akhlakul karimah
Pendahuluan
Seni pewayangan merupakan salah satu bentuk seni budaya
klasik tradisional bangsa Indonesia yang telah berkembang selama
berabad-abad. Terbukti ada satu prasasti peninggalan Raja Balitung
pada tahun 907 dengan kisah Bima Kumara dan Ramayana. Dalam
beberapa teks kuno itu juga disebutkan dinamika seorang dhalang
beserta upah yang diterimanya. Sampai saat ini seni pakeliran tetap
berkembang dalam berbagai strata masyarakat baik perkotaan apalagi
pedesaan. Pergelaran wayang senantiasa mengandung nilai uswatun
khasanah atau teladan luhur yang memberi inspirasi.
Pertunjukan wayang merupakan cermin bagi kehidupan manu-
sia. Perwatakan manusia yang berbeda-beda digambarkan oleh wa-
yang. Pertumbuhan dan perkembangan cerita wayang berjalan
58 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
melalui jalur lisan dan tulisan. Melalui jalur lisan wayang disebarkan
oleh para dhalang dan orang-orang tua yang sudah tahu banyak
tentang ceritanya. Pada saat ini kegiatan itu masih berlangsung secara
turun-temurun. Wayang mampu menyajikan kata-kata mutiara
sebagai sarana untuk mengembangkan pendidikan, tontonan dan
tuntunan.
Sebagai warisan budaya, sejak zaman keraton Demak Bintara,
wayang merupakan bahasa simbol kehidupan yang lebih bersifat
rohaniah daripada jasmaniah. Jika orang melihat pergelaran wayang,
yang dilihat bukan wayangnya, melainkan masalah yang tersirat
dalam lakon wayang itu. Di dalam pola-pola permasalahan yang
tetap, terjabar akumulasi problematikanya, lalu munculnya cahaya
bulan, titik terang sekaligus titik balik dari berbagai gara-gara, yaitu
penyelesaian permasalahannya. Dalam makalah ini akan dikaji
mengenai akhlakul karimah atau nilai etika Islam yang dikandung
seni pewayangan.
Landasan Teori
Etika merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat. Dalam bi-
dang kefilsafatan, etika juga disebut filsafat moral, yang membi-
carakan manusia dari sudut perbuatannya. Perbuatan atau tingkah
laku manusia dalam hal ini adalah tindakan-tindakan yang didorong
oleh akal budi yang menghasilkan perbuatan baik dan buruk. Kecen-
derungan orang dalam menilai perbuatan seseorang adalah penilaian
terhadap tingkah laku yang dipengaruhi oleh kedudukan dan marta-
batnya. Semakin tinggi kedudukan serta martabatnya, maka semakin
besarlah penilaian orang atas dirinya.
Berdasarkan sumber teori nilai itu, maka terbentuklan berbagai
aturan tentang bagaimana sebuah tingkah laku dinilai baik. Peratur-
an-peraturan itu sering disebut dengan norma. Nilai yang pada mula-
nya bersifat subyektif setelah menjadi milik sebuah komunitas kemu-
dian dianggap menjadi bersifat subyektif. Berdasarkan cara pengkaji-
annya, etika dapat diklasifikasikan menjadi etika deskriptif dan etika
normatif. Etika deskriptif adalah etika yang menerangkan secara
obyektif, apa adanya, tanpa dikurangi dan ditambahi serta tidak
memberikan sesuatu interpretasi apapun. Sedangkan etika normatif
Etika Islam dalam Seni Pewayangan 59
guna menata kembali kehidupan yang baik dan benar, sekaligus men-
jamin kebahagiaan di dunia maupun sesudah menjalani mati yaitu
kehidupan akherat. Allah SWT berfinnan dalam Al Qur’an yang arti-
nya : Barang siapa yang mengerjakan amal saleh,. baik laki-laki mau-
pun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Berdasarkan ayat ini bahwa manusia senuanya telah diberi we-
wenang untuk dapat membangun suatu peradaban yang baik, serta
mendapat jaminan yang berupa pahala yang setimpal, sehingga
manusia dapat memerangi kelemahan dan kemiskinan terhadap diri-
nya. Jadi Islam bukanlah hanya suatu agama yang melulu menerang-
kan soal-soal wudhu, sholat, dzikir atau ibadah-ibadah lainnya. Tetapi
lebih dari itu Islam telah mengajar kan bagaimana manusia itu harus
hidup, baik kehidupan sehari-hari maupun dalam soal kekuasaan
dan pemerintahan, politik, perekonomian dan lain-lain. Agama Islam
juga sangat memperhatikan soal soal duniawi, sebagaimana firman
Allah SWT yang artinya; “Apabila telah ditunaikan sembahyang,
maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah
dan ingatlah Allah banyak banyak supaya kaau beruntung.”
Di sini memang Islam menganjurkan untuk memperhatikan
urusan duniawi, naaun tetap ingat sembahyang. Artinya dalam soal-
soal duniawi tidak sampai kepada penghambaan kekayaan harta
benda semata. Jadi, Islam adalah agama yang lunak dan lapang dada
serta umat Islam tidak boleh iri-hati atau dengki dengan adanya kapi-
talisme, bahkan sistem apapun selama sistem atau negara-negara itu
tidak menyerang agama Islam. Negara Islam tetap mau konsisten
atau hidup secara bersama dengan negara lain, hanya saja sudah
barang tentu, Islam sudah mempunyai dasar pemikiran dan perti-
mbangan serta tetap dalam keadaan berpegang teguh pada prinsip
ekonomi Islam.
66 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Kesimpulan
Kepustakaan Wayang dan Islam Kejawen, pengaruh ajaran tasa-
wuf dan tuntutan budi pekerti luhur terasa sangat menonjol. Demiki-
an juga istilah-istilah Arab yang berkaitan dengan Agama Islam dan
tasawuf, merupakan bagian kepustakaan Jawa. Islam telah lama men-
jadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa. Oleh karena itu, sese-
orang akan sulit memahami kepustakaan Jawa dengan baik, tanpa
pengenalan ajaran Islam dan pengetahuan bahasa Arab yang cukup.
Dalam gubahan Serat Dewaruci berbentuk sekar macapat misalnya,
mengandung beberapa istilah Arab seperti: wujud, dzat, sifat, makrifat,
nikmat, dan manfaat. Tanpa disadari, baik Bahasa Jawa maupun Baha-
sa Indonesia banyak me-nyerap unsur-unsur Bahasa Arab .
Pada awal penyebaran agama, kelompok Wali Sanga, terutama
Sunan Kalijaga menyadari bahwa dengan wayang dakwah Islam
bisa berkembang dengan pesat. Bentuk dan cerita wayang telah dimo-
difikasi sesuai dengan ajaran Islam. Untuk menghilangkan kerancu-
an, yang berisi tentang silsilah wayang dengan menyatakan bahwa
para dewa yang diagungkan oleh masyarakat Jawa itu sedikit demi
sedikit memudar. Silsilah tersebut tidak masuk akal, para nabi sendiri
adalah utusan Allah SWT, sehingga hal ini merupakan siasat dakwah
yang jitu. Dengan bertindak selaku dalang, Sunan Kalijaga sebagai
mubaligh menyadarkan masyarakat untuk memahami pengetahuan
Agama Islam.
Pemikiran yang terkandung dalam kitab yang berasal dari ling-
kungan luar keraton dapat masuk ke dalam lingkungan keraton Islam.
Saat Islam datang ke Indonesia sufisme sedang mengalami masa
kejayaan. Akibatnya Islam yang kemudian datang ke Indonesia juga
tidak dapat terlepas dari pengaruhnya. Hal ini terbukti dari perkem-
bangan pemikiran Islam di Indonesia yang lekat dengan warna sufi-
nya. Komunitas Nusantara yang terbiasa dengan tradisi mistik relatif
lebih mudah mengadopsi Islam. Demikianlah kajian mengenai wa-
yang yang ternyata berisi dengan nilai-nilai akhlakul karimah.
Etika Islam dalam Seni Pewayangan 67
Daftar Pustaka
Amir, Hazim, 1996. Sastra Jawa dalam Pendidikan Moral Pancasila.
Malang : Kongres Bahasa Jawa II.
Aryandini, Woro. 1996. Citra Bima Sepanjang Zaman. Jakarta : Pepadi.
Benton, William, 1972. Encyclopedia Britanica. London : ITC.
Drijarkara, 1978. Percikan Filsafat. Jakarta: Djambatan.
Effendi, Zarkasi. 1987. Nilai Islam dalam Pewayangan. Jakarta:
Departemen Agama.
Fudyartanta, 1974. Kearifan Timur. Yogyakarta : Andi Ofshet.
Haq Khan, Mazhar Ul, 1994. Wanita Islam Korban Patologi Sosial.
Bandung: Pustaka.
Haryanto, S. 1998. Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan
Wayang. Jakarta: Djambatan.
Mudhofir, Ali, 1988. Kamus Filsafat. Yogyakarta: Liberty.
Poejawiyatna, 1983. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta : Obor
Indonesia.
Simuh, 1995. Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa.
Yogyakarta : Bentang Budaya.
Siswoharsoyo. 1952. Serat Dewaruci. Yogyakarta: Percetakan
Persatuan.
___________. 1957. Serat Guna Cara Agama. Yogyakarta: Percetakan
Persatuan.
Suseno, Franz Magnis, 1997. Etika Jawa Sebuah Analisis Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
68 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Analisis Bentuk dan Struktur Lagu... 69
Abstract
This research is aimed at describing structure and form of Playful Duet
by W. A. Mozart for two violins (mirror). This research is a qualitative one
with the use of naturalistic approach, because the object is nature without
any change. Object of this research is Playful Duet (mirror) by W. A. Mozart
for two violins, by listen, play and also analyse the score. The results show
that Playful Duet (mirror) by W. A. Mozart was compose for two violin.
Keywords: structure, form Playful Duet
Pendahuluan
Karya musik dapat menjadi media bagi komponis dalam meng-
ekspresikan rasa dan pikiran, maupun cita-cita, harapan dan ide.
Komponis memiliki berbagai alasan dalam menciptakan karya musik.
Schumann (Schindler, 1980: 6) mengatakan, orang membuat kompo-
sisi itu untuk berbagai alasan, misalnya karena ingin menjadi jutawan,
menghargai teman, melihat sepasang mata indah, atau tanpa alasan
yang pasti. Bagaimanapun motivasi awal membuat seorang komponis
bekerja adalah dasar hasrat ekspresi pribadi yang cemerlang, sehing-
ga dalam memainkan sebuah karya musik, seorang pemain harus
mengerti dan memahami buah pikiran yang dituangkan komponis
dalam karya musiknya.
Hal ini bertujuan agar pesan yang ada dalam musik dapat sampai
kepada pendengar. Setelah melalui proses penciptaan, hingga sampai
pada hasil akhir, yaitu suatu bentuk karya musik, seorang komponis
70 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa dalam ilmu ana-
lisis musik terdapat kecenderungan memotong dan memperhatikan
detil sambil melupakan keseluruhan dari sebuah karya musik, hingga
hilang nilai kesenian dan keindahannya. Seharusnya cara yang
dilakukan ialah dengan tetap memandang keseluruhan lagu; awal dan
akhir dari sebuah lagu, titik koma, gelombang naik turun serta tempat
puncaknya, hingga dapat ditemukan nilai seni di dalam musik tersebut.
ritme, melodi dan harmoni secara retrograde antara biola satu dan
biola dua, mulai separuh akhir lagu, sehingga meskipun sekilas lagu
Plafyul Duet ini terlihat sederhana, namun jika dikaji terlebih dalam
terdapat kerumitan yang mengagumkan. Selain hal-hal yang telah
diuraikan di atas penulis memilih karya tersebut karena lagu dengan
teknik komposisi mirror menghasilkan suatu keunikan tersendiri, serta
termasuk bentuk karya musik yang jarang ditemui, dimana skor/
notasi untuk dua instrumen (dua biola sopran) ditulis dalam bentuk
yang merupakan cerminan dari instrumen lainnya (notasi biola satu
merupakan cerminan dari notasi biola dua, dan sebaliknya notasi
biola dua merupakan cerminan dari notasi biola satu).
Dalam seni, bentuk dimaksudkan sebagai rupa indah yang me-
nimbulkan kenikmatan artistik melalui serapan penglihatan dan atau
pendengaran. Bentuk indah dicapai karena keseimbangan struktur artis-
tik, keselarasan (harmoni) dan relevansi. Seni pada hakikatnya
merupakan bentuk yang indah; tanpa bentuk indah tak ada seni. (Ensi-
klopedi Indonesia, Edisi Khusus, 1987 : 448). Struktur atau susunan dari
suatu karya seni adalah aspek yang menyangkut keseluruhan dari karya
yang meliputi peranan dari masing-masing bagian dalam keseluruhan
karya tersebut. Kata struktur mengandung arti bahwa di dalam karya
seni terdapat suatu pengorganisasian, pengaturan, ada hubungan yang
tertentu antara bagian-bagian dari sesuatu (Djelantik, 1990 : 32).
Dalam musik, bentuk berdasarkan susunan rangka lagu yang
ditentukan menurut bagian-bagian kalimatnya (Banoe, 2003 : 151).
Sebagaimana dalam karya sastra bahasa, musik juga memiliki frase,
kalimat, anak kalimat, dan sebagainya. Pada dasarnya musik terdiri
dari melodi, irama/pola ritme, harmoni horisontal maupun harmoni
vertikal yang merupakan kesatuan membentuk suatu komposisi
musik. Semua unsur musik itu berkaitan erat dan sama-sama memiliki
peranan penting dalam sebuah lagu. Dalam proses penciptaan suatu
karya musik, komponis merangkai bahan-bahan musikal yang dimili-
kinya, menyusun dan mengembangkannya hingga menjadi sebuah
komposisi. Suatu penciptaan karya musik diawali dengan sebuah
tema/ide dasar musikal, yang kemudian dapat diperluas dan di-
kembangkan lebih lanjut. Musik hampir selalu digubah berdasarkan
satu atau lebih ide musikal yang disebut tema. Ide ini mempersatukan
Analisis Bentuk dan Struktur Lagu... 73
Peneliti
I memiliki dua frase, frase pertama (a) terdapat pada (opmaat) birama
1-4, dan frase kedua (b) terdapat pada (opmaat) birama 5-8. Dua bira-
ma pertama (birama 1-2) diawali dengan motif 1 (m), motif ini menon-
jolkan pada kekuatan ritme yang cukup meminta perhatian pende-
ngar dengan nada-nada yang persis sama pada biola satu dan biola
dua (unisono) dengan teknik 8bassa, yaitu antara melodi biola satu
dan melodi biola dua memiliki interval oktaf (biola dua satu oktaf
lebih rendah dari biola satu, dan sebaliknya; dalam pergerakan melodi
yang persis sama), yang diakhiri dengan dua nada terakhir unisono
dengan teknik double stop (memainkan lebih dari dua nada dalam
satu waktu) pada biola satu dan biola dua. Selanjutnya diikuti dengan
motif 2 (m1) (birama 3-4) yang merupakan pengembangan dari akor
motif 1 (akor I), dan adanya pengembangan ritme dengan pengguna-
an teknik diminuation of the value (pemerkecilan nilai nada).
Pada birama 5-6 muncul motif baru (n) yang lebih ringan dalam
not-not 1/8, yang bermain dalam progresi akor. Kemudian pada birama
7-8 merupakan motif (n1) sama dengan birama 5-6 (n), namun disini
Mozart melakukan pertukaran melodi, sebagai berikut; melodi biola satu
pada birama 5-6 diulangi dengan teknik 8bassa pada melodi biola dua
pada birama 7-8; dan sebaliknya, melodi biola dua pada birama 5-6
digunakan pada melodi biola satu pada birama 7-8 (sama persis, tanpa
adanya perubahan). Jika dianalisis secara horisontal, yaitu antara biola
satu dan biola dua dianalisis secara terpisah, maka pergerakan melodi
biola satu pada (opmaat) birama 7-8 merupakan sekwen turun dari
melodi birama (opmaat) 5-6; demikian pula dengan biola dua.
Analisis Bentuk dan Struktur Lagu... 79
Kesimpulan
Berdasar hasil analisis data yang diperkuat oleh studi dokumentasi,
kajian pustaka, observasi langsung dengan mendengarkan dan me-
mainkan lagu Playful Duet, maka dapat diambil kesimpulan mengenai
Analisis Bentuk dan Struktur Lagu Playful Duet (mirror) Karya W. A.
Mozart, yaitu: Lagu Playful Duet karya W. A. Mozart merupakan lagu
untuk (duet) dua biola sopran, ditulis dalam bentuk yang merupakan
cerminan dari instrumen lainnya (notasi biola satu merupakan cerminan
dari notasi biola dua, dan sebaliknya notasi biola dua merupakan cerminan
dari notasi biola satu).
Meskipun lagu Playful Duet ini berbentuk mirror, bentuk dan
struktur lagu Playful Duet dari birama 38 – 75 bukan merupakan
retrograde murni, (cerminan/pengulangan secara terbalik dan sama
persis) dari birama 1 – 37, karena adanya pertukaran partitur antara
biola satu dan biola dua, sebagai berikut : mulai dari birama 38 – 75
biola satu memainkan melodi, ritme dan akor (harmoni) biola dua
birama 1 – 37 secara retrograde, dan sebaliknya mulai dari birama 38 –
75 biola dua memainkan melodi, ritme dan akor (harmoni) birama 1 –
37 secara retrograde pula. Lagu Playful Duet merupakan suatu karya
musik yang dapat mewakili musik pada era klasik, yang sekilas tampak
sederhana dan lurus, dengan penggunaan melodi dan ritme yang
sederhana serta akor-akor pokok, namun diketahui adanya perhitung-
an yang cermat dan matang dalam setiap bagian-bagian dan keseluruh-
an lagunya seperti telah dijabarkan dalam pembahasan di atas.
Saran yang dapat dikemukakan, bahwa hendaknya kajian repertoar,
termasuk analisis bentuk dan struktur lagu dapat lebih banyak dan lebih
kerap dilakukan, serta dijadikan suatu kebutuhan, terutama bagi praktisi
musik untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai
suatu karya musik tertentu dan musikologi secara lebih luas.
80 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Daftar Pustaka
Banoe, Pono, 2003. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius.
Blume, Friederich, 1970. Classic and Romantic Music. London: W. W.
Norton and Company Inc.
Chaplin, C. P, 2000. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: P. T. Raja
Grafindo Persada.
Djelantik, A. A. M, 1990. Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid 1 (Estetika
Instrumental). Denpasar : Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)
Denpasar.
Jamalus, 1981. Musik Untuk PSG. Jakarta: Depdikbud.
Keraf, Gorys, 1981. Eksposisi dan Deskripsi. Flores: Nusa Indah.
Kodijat, Latifah-Marzoeki, 2004. Istilah-istilah Musik. Jakarta:
Djambatan.
Kusumawati, Heni, 2004. Komposisi Dasar. Yogyakarta: Program Studi
Seni Musik Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri
Yogyakarta.
Moleong, J. L., 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: P. T.
Remaja Rosdakarya.
Persichetti, Vincent, 1961. Twentieth Century Harmony. London: Faber
and Faber Limited.
Prier, Karl-Edmund SJ, 1993. Sejarah Musik Jilid 2. Yogyakarta: Pusat
Musik Liturgi.
Schindler, A, 1980. Listening To Music. New York: Holt, Rinehart and
Wiston.
Soeharto, M., 1975. Belajar Notasi Balok. Jakarta: P. T. Gramedia.
Syafiq, Muhammad, 2003. Ensiklopedia Musik Klasik. Yogyakarta:
Adicita Nusa.
Tim Penyusun, 1987. Ensiklopedi Indonesia Jilid 3 – Edisi Khusus. P. T.
Ichtiar Baru.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Makna Simbolik dalam Tatarakit Tari Bedhaya 81
Abstract
Bedhaya dance is a classical Javanesse dance which full with high
Javanesse philosophy and meaning in the palace. This dance reflecting the
believe of palace community, manunggaling kawula gusti concept, which
is shows in the number of the dancer, nine. That number shows the nine
live principles of the Javanesse people.
The nine dancers also shows the symbol of babahan hawa sanga or ’the
nine holes’ they are: 2 eyes, 2 ears, 2 nose holes, 1 mouth, 1 sex, 1 anus.
Besides, it can also means the nine parts of human body: head, neck, sex,
anus, 2 hands, 2 legs. Each part of the body have its own function in this
live and completing each other. Bedhaya dance born in the cultural, social,
religius, educational, ritus and philoshopyc background which live among
Javanesse people. Bedhaya dance also hane adiluhung or high concept, it
have estetic, philosophic, religius, and educational which can effect other
aspect in this live.
Keywords: bedhaya, classic dance, palace community
Pendahuluan
Sesuai dengan pokok masalah yang akan dikemukakan tentang
fungsi simbol dalam tari Bedhaya, tulisan ini akan mengungkapkan
makna simbol yang terdapat dalam komposisi tari Bedhaya. Tujuan
ini dimaksudkan agar makna-makna simbol yang ada pada tata rakit
serta tokoh yang ditampilkan dapat dipahami sebagai apresiasi terha-
dap tari Bedhaya.
82 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Salah satu tangkai budaya adalah seni tari. Seni tari memiliki
dua dimensi, yakni ruang dan waktu. Kebudayaan itu sendiri merupa-
kan hasil karya manusia yang mengandung ide dan gagasan dari
masyarakat pelakunya yang berwujud dalam aktivitas sebagai upaya
untuk menginterpretasikan pengalaman batinnya. Seperti dikatakan
oleh Koentjaraningrat, kebudayaan itu diekspresikan dalam tiga pem-
bagian wujud, yakni kebudayaan sebagai kompleks tingkah laku,
kebudayaan sebagai ide gagasan nilai, dan kebudayaan sebagai hasil
karya manusia (Koentjaraningrat, 1987: 5).
Proses mewujudkan simbol-simbol sangat diperlukan, hal itu ber-
tujuan mempermudah manusia berupaya memahami hubungannya
dengan Sang Pencipta, alam, dan sesama manusia, maupun alam
gaib. Cassirer mengatakan bahwa manusia hidup dalam suatu dunia
simbolis, bahasa mite, seni, agama adalah bagian-bagian dari dunia
simbolis, sehingga pemikiran simbolis merupakan ciri yang menun-
jukkan kekhususan bagi kemajuan kebudayaan manusia (Cassirer,
1990: 39-41).
Seni tari sebagai salah satu bagian dari kebudayaan sangat banyak
memiliki simbol-simbol, seperti yang terdapat pada tari Klasik Jawa
maupun Bali. Tari Klasik Jawa pada dasarnya lahir dari tempat yang
penuh dengan tata aturan nilai dan falsafah Jawa yang tinggi, yaitu
l i n g k u n Bedhaya merupakan salah satu wujud kebu-
g a n k e r a t o n . T a r i
Biografi
Teori tentang simbol diungkapkan oleh seorang antropolog yang
lahir di Amerika, L.A. White (1900-1975). Pemikirannya mengembang-
kan konsumsi energi dalam evolusi kebudayaan. Di samping itu, White
juga mempunyai konsep lain mengenai simbol. Dalam bukunya The
Evolution of Culture (1959), ia mengungkapkan sebagai berikut.
1. Simbol adalah benda atau objek material yang nilainya ditetapkan
oleh orang yang menggunakannya.
2. Perilaku manusia berasal dari pemakaian lambang.
84 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Tari Bedhaya
Tari Bedhaya merupakan tari klasik Jawa yang dianggap tari
sakral. Bedhaya berasal dari akar kata Budha, sehingga telah dianalisis
menjadi bentuk tarian batin, dalam ritus agama asli yang berasimilasi
dengan agama Hindu. Hal itu dapat juga diketahui dari beberapa
pendapat. Weda Pradangga menyebutkan “... Jejer-jejer Sawi beksa sarta
tinabuhan gangsa lokanantha (Gendhing Kemanak), binarung ing kidung
Sekar Sawi utawi Sekar Ageng”, yang berarti menari dalam posisi
Makna Simbolik dalam Tatarakit Tari Bedhaya 85
Keterangan:
X = Penari > = Arah hadap penari
6 8
^ ^
X X
1 2 3 4 5
^ ^ ^ ^ ^
X X X X X
7 9
^ ^
X X
X X
6 8
^ ^ ^ ^
X X X X X
1 2 3 4 5
7 ^
X X
X> <X
6 8
X> <X <X <X <X
1 2 3 4 5
X> <X
7 9
<X
6
<X <X <X <X <X <X
2 3 4 1 8 5
<X
7
X
X X 6
1 8 ^
X X X ^ ^ X
2 3 4 5
X
X 9
7
1 2 8
^ ^ ^
X X X
6 3 5
^ ^ ^
X X X
7 4 9
^ ^ ^
X X X
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tari Bedhaya
memiliki enam tata rakit, masing-masing memiliki simbol yang dimulai
dari lahir, proses, dan kematian. Hal ini menggambarkan siklus hidup
manusia yang berakhir dengan kemanunggalan. Di samping itu, juga
diartikan adanya sembilan tubuh manusia, yakni kepala, leher, dada, alat
kelamin, dubur, kedua tangan, dan kedua kaki, yang masing-masing me-
miliki fungsi dalam kehidupan manusia. Masing-masing anggota tubuh
harus saling melengkapi, sehingga terjalin satu kesatuan yang utuh.
Lahirnya Bedhaya merupakan gambaran adanya jalinan komu-
nikasi antardua alam, yakni nyata dan gaib, yang dipercaya sebagai
pertemuan Sri Sultan dengan Kanjeng Ratu Kidul. Semua itu merupa-
kan bagian dari paham filosofi yang ada dalam masyarakat Jawa,
yang sampai sekarang masih dipegang erat oleh lingkungan keraton
(masyarakat pemiliknya), dalam arti orang yang pernah mendalami
tari Bedhaya, khususnya abdi dalem Bedhaya.
Makna Simbolik dalam Tatarakit Tari Bedhaya 93
Daftar Pustaka
Berg, C.C. dalam KGPH. Hadi Widjoyo, tt. Bedhaya Ketawang.
Surakarta: Radyapustaka.
Cassirer, Ernest, 1990. Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Essei tentang
Manusia (Terj. Alois A. Nugroho). Jakarta: Gramedia.
Hans, Daeng J, 1992. Diktat Pengantar Antropologi Seni. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Kodiran, 1999. Hand-out Mata Kuliah Teori Kebudayaan. Yogyakarta:
PPS UGM.
Koentjaraningrat, 1987. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia.
———————, 1990. Sejarah Antropologi II. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Langer, Suzanne K, 1988. Problematika Seni (Terj. FX Widaryanto).
Bandung: ASTI Bandung.
Ronggowarsito. 1884-1906. Pustaka Radja Poero Vol. I. Yogyakarta.
Soedarsono, 1997/1978. Kamus Istilah Tari dan Karawitan Jawa. Yogyakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Yogyakarta.
Wardhana, Wisnoe, 1981. “Tari Tunggal, Bekso, dan Tarian Skral
Gaya Yogyakarta” dalam Mengenal Tari Klasik Yogyakarta. (ed.
Fred Wibowo). Yogyakarta: Dewan Kesenian Provinsi DIY.
White dalam H. Judistira K. Garna, 1996. Ilmu-ilmu Sosial Dasar-
Konsepsi-Posisi. Bandung: PPS Universitas Padjadjaran Bandung.
94 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Seni Pertunjukan dan Tradisi Lisan... 95
Abstract
This research aims to describes about culture and oral tradition in Ratu
Boko Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Sociologically arts, literature, foklore
and another traditions become parts of religion spirits in Javanese
community. This research discovere many culture activities called: dadung
awuk, srandul, jathilan, ketoprak, campursari, mitoni, ruwahan, labuhan,
wiwitan, merti dusun, suran, manten, mitung dina, and mendhak. There
can be use as reference of live in globalization era. In Indonesian context,
this tradition ought to be nasional identity.
Keywords : Ratu Boko, oral tradition, nasional identity
Pendahuluan
Ratu Baka adalah situs purbakala yang merupakan komplek
sejumlah sisa bangunan yang berada kira-kira 3 km di sebelah selatan
komplek Candi Prambanan. Adapun letak situs Ratu Baka terletak
18 km sebelah timur kota Yogyakarta atau 50 km di sebelah barat
daya Kota Surakarta. Luas keseluruhan kompleks situs Ratu Baka
sekitar 25 ha. Situs ini diperkirakan berasal dari abad ke-8 pada masa
Wangsa Sailendra (Rakai Panangkaran) di Kerajaan Medang
(Mataram Hindu). Dilihat dari pola peletakan sisa-sisa bangunan,
diduga kuat situs ini merupakan bekas keraton (istana raja). Nama
“Ratu Baka” sendiri di dasarkan dari legenda masyarakat setempat.
Ratu Baka (secara harafiah berarti “raja bangau”) adalah ayah dari
96 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Tinjauan Pustaka
Tradisi lisan sering disebut pula sebagai folklore, yaitu sebagian
kebudayaan yang penyebarannya pada umumnya melalui tutur kata
atau lisan (Dananjaya, 1986: 5). Tradisi lisan atau folklore lisan tam-
pak pada bentuk bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan
tradisional, sajak dan puisi rakyat, cerita prosa rakyat dan nyanyian
rakyat (Dananjaya, 1986: 22). Sementara itu bentuk bahasa rakyat
tampak pada logat, atau dialek, slang atau kosa kata atau idiom dari
kolektif khusus, cant atau slang dalam arti khusus atau sering disebut
bahasa rahasia. Shop talk atau bahasa para pedagang, colloquial atau
bahasa sehari-hari yang menyimpang dari bahasa konvensional, se-
perti misalnya bahasa para mahasiswa di Jakarta yang pada dasar-
nya adalah bahasa Betawi yang dibubuhi kata-kata khusus atau istilah
khusus. sirkomlokusi atau ungkapan tidak langsung, contoh sirkomlo-
kusi di Jawa Tengah. Jika seseorang berjalan di hutan maka ia tidak
berani menyebut harimau dengan nama harimau namun akan diganti
namanya menjadi mbah atau kakek, hal itu untuk melindungi orang
yang sedang berjalan di hutan tersebut dari terkaman harimau karena
98 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Metodologi Penelitian
Penelitian ini bersifat analitis-kualitatif melalui etnografi untuk
mengetahui dan mendeskripsikan budaya masyarakat di sekitar situs
Ratu Baka, Prambanan. Hal itu sesuai dengan apa yang disebutkan
oleh Malinowski (1922: 25) yang menyatakan bahwa tujuan etnografi
adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya de-
ngan kehidupan untuk mendapatkan pandangan mengenai dunia-
nya. Penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia
orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir dan
bertindak dengan cara yang berbeda. Jadi etnografi tidak hanya mem-
pelajari masyarakat namun lebih dari itu, etnografi belajar dari masya-
rakat (Spradley, 2007:4). Pada aktivitas penelitian ini dilakukan pema-
haman suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk mela-
lui observasi langsung terhadap kegiatan masyarakat dalam konteks
sosial dan budaya sehari-hari, sehingga dapat diketahui alasan
masyarakat di sekitar situs Ratu Baka menjalani kearifan lokalnya
100 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
pada kesenian tradisional yang masih hidup dan sebagian lagi masuk
pada tradisi masyarakat.
Kuatnya tradisi Islam di masyarakat sangat mempengaruhi pola
pandang masyarakat terhadap seni pertunjukan dan tradsi lisan yang
ada. Pemahaman yang menafikan seni pertunjukan dan tradisi lisan
disebabkan oleh pandangan bahwa kearifan lokal tersebut tidak men-
dukung keagamaan masyarakat menjadikan masyarakat memandang
keberadaan seni pertunjukan dan tradisi lisan yang ada tidak diperlu-
kan lagi. Keadaan tersebut terutama pada seni pertunjukan yang
menggunakan ritual-ritual seperti sesaji untuk pelaksanaannya. Hal
itu dipaparkan oleh narasumber sebagai salah satu hal yang mempe-
ngaruhi keberadaan seni pertunjukan dan tradisi lisan.
Kesimpulan
Berbagai kesenian tradisi sebagai industri kreatif sedikit menga-
lami pengembangan. Hal ini disebabkan karena adanya suatu proses
kreativitas dalam pembaharuan elemen-elemen pertunjukan tanpa
meninggalkan nilai-nilai tradisi yang ada. Kesenian Srandhul sebagai
industri kreatif sedikit mengalami pengembangan. Hal ini disebabkan
karena adanya suatu proses kreativitas dalam pembaharuan elemen-
elemen pertunjukan tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisi yang ada.
Dari usaha pengembangan yang sudah dilakukan oleh kelompok
Srandhul dari Dusun Gatak dan Jathilan yang ada di Dusun Jamusan
Desa Bokoharjo, dimaksudkan sebagai upaya pengembangan ke arah
pemuasan permintaan konsumsi penonton, dimana dari pengembang-
an tersebut memunculkan dua jenis model pertunjukan, baik pada
kesenian Srandhul maupun Jathilan. Bentuk pengembangan yang
dimaksud adalah, pengembangan jenis pertunjukan pakem ke pertun-
jukan massa. Pengembangan tersebut, akan sangat menguntungkan
para pelaku kesenian, karena mereka (grup kesenian) memiliki ke-
sempatan lebih untuk mempertunjukkan hasil karya seni tradisinya
bagi konsumsi penonton.
Adapun pengembangan yang terkait dengan waktu pementasan
akan semakin diminati para pengunjung/penonton. Hal ini dikarena-
kan dengan waktu yang relatif lebih singkat, sehingga pertunjukan
akan lebih luwes dipentaskan untuk pertunjukan panggung. Dari
faktor gerak, pengembangan difokuskan pada gerak tari yang telah
Seni Pertunjukan dan Tradisi Lisan... 109
digarap. Hal itu akan lebih menarik perhatian penonton. Gerak yang
monoton pada saat pertunjukan akan membuat penonton cepat me-
rasa jenuh, sehingga dengan pengembangan gerak tersebut diharap-
kan akan menjadi lebih menarik dan mendatangkan banyak penon-
ton. Dari sisi kostum pemain terjadi pengembangan, dengan mengiku-
ti mode yang sedang trend saat ini, tanpa meninggalkan unsur dan
makna tradisinya. Sebagai contohnya, dipakainya asesoris kostum
yang akan menambah unsur estetika dalam penampilan para pemain.
Alat musik (gamelan) juga mengalami perubahan ke arah pe-
ngembangan. Alat musik yang digunakan semula sangat tradisional.
Dengan sentuhan warna musik yang dirubah dalam berbagai jenis
warna musik yang disesuaikan dengan kebutuhan penonton pada saat
ini. Dengan kata lain mengisi variasi di tengah “kemonotonan”, akan
menjadikan pertunjukan lebih semarak. Salah satu contohnya dengan
penambahan alat musik drum pada kesenian Jathilan yang berpengaruh
pada semangat para pemainnya dalam mementaskan seni tradisinya.
Pengambangan pada tempat pementasan juga sangat berpe-
ngaruh dalam proses industrialisasi seni tradisi khususnya di Desa
Bokoharjo. Semula pementasan di tempat yang seadanya. Salah satu
contoh tempat pementasan Kesenian Srandhul, yang semula ber-
tempat di depan (teras) rumah, pada saat ini sudah mulai dikembang-
kan dengan menggunakan setting panggung pertunjukan. Hal ini
diharapkan kedepan mempunyai prospek industri keratif yang dapat
dikonsumsi oleh penonton secara profesional.
Daftar Pustaka
NILAI ESTETIS
DALAM GAMELAN JAWA
Sukatmi Susantina
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
Abstract
Javanese culture is a part of world community. This research describes
about aesthetic values of gamelan in Javanese culture which related with
system of social wisdom. Historically Javanese society have colective
experience in arts works. Javanese people, dhalang, waranggana and niyaga
always use gamelan as reflection and recreation. There are many aesthetic
values in gamelan. This orientation is an equilibrium of life.
Keywords: gamelan, aesthetic values, Javanese culture
Pendahuluan
Kebudayaan Jawa mengenal secara populer mengenai seluk-beluk
seni gamelan. Gamelan merupakan seperangkat instrumen sebagai
pernyataan musikal yang sering disebut dengan istilah karawitan.
Karawitan berasal dari bahasa Jawa rawit yang berarti rumit, berbelit-
belit, tetapi rawit juga berarti halus, cantik, berliku-liku dan enak.
Kata Jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada
musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada non diatonis
(dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggu-
nakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan
aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan cam-
puran yang indah didengar. Seni gamelan Jawa mengandung nilai-
nilai historis dan filosofis bagi bangsa Indonesia.
Menurut sejarahnya, gamelan Jawa juga mempunyai sejarah
yang panjang. Seperti halnya kesenian atau kebudayaan yang lain,
112 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Landasan Teori
Dalam ilmu filsafat dikenal adanya cabang pengetahuan yang
dinamakan estetika. Estetika menelaah keindahan rasa, kaidah mau-
pun hakikiat suatu keindahan. Cara menguji dan nisbah keindahan
tersebut dengan perasaan dan pikiran manusia, pengaruh lingkungan
dan tradisi atas penilaian serta apresiasi keindahan sebagai suatu
kategori terpisah dari logika dan etika (Haryanto, 1992: 171).
Secara etimologis estetika adalah teori tentang ilmu pengindera-
an. Ada juga yang mengartikan estetika sebagai teori keindahan dan
seni. Estetika sebagai salah satu cabang filsafat sejak zaman Yunani
kuno sampai pertengahan abad XVIII sering disebut dengan pelbagai
nama yaitu: Filsafat keindahan (Philosophy of beauty), Filsafat cita rasa
(Philosophy of taste), Filsafat seni (Philosophy of art), Filsafat kritik
(Philosophy of criticism). Kemudian istilah filsafat dalam bahasa Inggris
Nilai Estetis dalam Gamelan Jawa 113
Hasil Pembahasan
Apresiasi estetis seni gamelan banyak dilakukan oleh para peneli-
ti baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Salah satunya adalah
Anderson Sutton, Guru Besar Etnomusikologi dari Universitas Wis-
consin Amerika Serikat ini merupakan salah sebuah sari dari pener-
bitan Pengkajian Etnomusikologi dari Universitas Cambridge di
Inggris yang sangat bergengsi. Sebagai seorang mahasiswa etnomusi-
kologi yang sangat gandrung pada kesenian Jawa khususnya gamel-
an, Sutton telah berkali-kali mengadakan penelitian di Jawa. Dalam
penelitian untuk tesis master serta untuk disertasi doktornya, ia masih
tercekam oleh keagungan gamelan Jawa gaya Yogyakarta dan Sura-
karta. Namun setelah menyelesaikan gelar doktornya di Universitas
Michigan pada tahun 1982, Dr. Sutton mulai memperhatikan gamelan
Jawa di luar tradisi Surakarta dan Yogyakarta, yaitu tradisi Banyu-
mas, Semarang, dan Jawa Timur.
Hampir setiap musim panas ia menyisihkan waktu liburannya
barang satu sampai dua bulan untuk pergi ke Indonesia mengadakan
peneltian, hingga menghasilkan buku berjudul Traditions of Gamelan
Music in Java: Musical Pluralism and Regional Identity yang diterbitkan
oleh Cambridge University Press pada tahun 1991. Isinya membahas
secara historis, teknis, struktural, ciri-ciri khas dari masing-masing
tradisi, serta penyebarannya di kalangan masyarakat Jawa (Soedarso-
no, 1993). Buku setebal 291 halaman ini dibagi menjadi dua bagian.
Bagian I membahas tradisi gamelan dari Surakarta dan Yogyakarta
yang selalu bersaing, tradisi gamelan Banyumas yang makin subur
perkembangannya, tradisi gamelan Jawa di Semarang serta tradisi
gamelan di Jawa Timur. Bagian II membicarakan berbagai bentuk
pertunjukan yang menghadirkan gamelan, baik dalam bentuk lomba
maupun festival, serta pendidikan gamelan di sekolah-sekolah formal,
sampai pada penyebaran gamelan lewat berbagai media, baik lewat
media cetak, radio, televisi, serta rekaman cassette. Dari hasil peng-
amatannya yang sangat cermat, fungsi media cetak dalam penyebar-
Nilai Estetis dalam Gamelan Jawa 115
Terjemahan :
Ibu pertiwi
paring boga lan sandhang kang murakabi
paring rejeki manungsa kang bekti
ibu pertiwi, ibu pertiwi
sih sutresna mring sesami
ibu pertiwi kang adil luhuring budi
ayo sungkem mring ibu pertiwi
Terjemahan :
Ibu Pertiwi
memberi kecukupan sandang pangan
kasih rejeki pada insan berbakti
ibu pertiwi, ibu pertiwi
kasih sayang pada sesama
ibu pertiwi yang adil luhur budi
mari berbakti pada ibu pertiwi
Terjemahan :
Kesimpulan
Bagi masyarakat Jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang
berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Kita harus
bangga memiliki alat kesenian tradisional gamelan. Keagungan
gamelan sudah jelas ada. Duniapun mengakui bahwa gamelan adalah
alat musik tradisional timur yang dapat mengimbangi alat musik Barat
yang serba besar.
Di dalam suasana bagaimanapun suara gamelan mendapat
tempat di hati masyarakat. Sebagai karya estetis, gamelan adalah
122 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
alat kesenian yang serba luwes. Di bawah ini sebagai contoh keluwes-
an gamelan. Gamelan dan pendidikan. Gamelan dapat digunakan
untuk mendidik rasa keindahan seseorang. Orang yang biasa berke-
cimpung dalam dunia karawitan, rasa setiakawan tumbuh, tegur
sapa halus, tingkah laku sopan. Semua itu karena jiwa seseorang
menjadi sehalus gendhing-gendhing (Trimanto, 1984). Gamelan dan
tari-tarian. Gamelan memang tidak bisa dipisahkan dengan tari-tari-
an. Gamelan memang alat untuk mengiringi tari-tarian. Gamelan bisa
untuk mengiringi semua macam tari-tarian.
Berbagai pentas kesenian modern, gamelan selalu bisa digunakan
untuk mengiringinya (Trimanto, 1984). Menurut sejarah gamelan mula-
mulanya digunakan untuk pemujaan kepada roh-roh baik roh halus,
maupun roh-roh leluhur (upacara ritual). Dari upacara ritual, gamelan
berkembang menjadi bersifat keagamaan, sebagai sarana untuk
membuat suasana hening, untuk pemusatan perhatian dan lain-lain.
Daftar Pustaka
Becker, Judith, 1980. Traditional Music in Modern Jawa: Gamelan in a
Changing Society. New York : ICT Press.
Gie, The Liang, 1976, Garis Besar Estetika, Filsafat Keindahan, Karya
Kencana, Yogyakarta.
Haryono, Timbul, 2001. Logam dan Peradaban Manusia. Yogyakarta :
Filosofi Press.
Hartoko, Dick, 1984. Manusia dan Seni, Kanisius, Yogyakarta.
Haryanto, 1992. Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan
Wayang. Jakarta: Djambatan.
Harsono Kodrat, 1982. Gending-gending Karawitan Jawa. Balai Pustaka.
Jakarta.
Kattsoff, 1963. Element of Philosophy. London : LemonPress.
Soedarsono, 1993. Wayang Wong. Yogyakarta : Gama Press.
Sutton, Anderson, 1991. Traditions of Gamelan Music in Java: Musical
Pluralism and Regional Identity. Cambridge: Cambridge University
Press.
Nilai Estetis dalam Gamelan Jawa 123
Tradisi
JURNAL SENI DAN BUDAYA