Anda di halaman 1dari 131

ISSN 2087 5282

Tradisi
JURNAL SENI DAN BUDAYA
Vol. 1, No. 1, November 2010

SUSUNAN REDAKSI

Ketua : Drs. Sumaryadi, M.Pd. (Universitas Negeri Yogyakarta)


Sekretaris : Dra. Sukatmi Susantina, M.Hum. (ISI Yogyakarta)
Anggota : Dr. Purwadi, M.Hum. (Universitas Negeri Yogyakarta)
Dr. Soetrisno R., M.Si (STKW Surabaya)
Dr. M. Dimyati Huda (STAIN Kediri)
Dr. Wahyu Lestari (Universitas Negeri Semarang)
Dr. Cut Kamaril (Universitas Negeri Jakarta)
Drs. Yaya Mulyana, M.Si. (UNPAS Bandung)
Mahmudi, M.Si. (UII Yogyakarta)
Penyunting Bahasa : Dr. Iva Ariani, M.Hum. (Universitas Gadjah Mada)
Megandaru W. Kawuryan, M.Si. (IIP Jakarta)
M. Gandi, SS (Universitas Airlangga Surabaya)
TU dan Sirkulasi : Primarta Nor Sevitawan, S.E.
Divya Nor Wirasanti, S.P., M.Si.
Penerbit : Asosiasi Pendidik Seni Indonesia (APSI)
Daerah Istimewa Yogyakarta
Alamat Sekretariat : Jl. Madura C-73, Nogotirto III, Yogyakarta, 55292
Telp./Fax.: (0274) 620646
E-mail: sumaryadi@rocketmail.com
gusjumanto@yahoo.com
Frekuensi Terbit : 2 x setahun (November dan Mei)

i
Pengantar Redaksi

Salam budaya.

Keberadaan seni dan budaya di era globalisasi ini sungguh ber-


makna untuk mengimbangi gencarnya arus pemikiran yang serba
materialistik. Kondisi sosial yang dipenuhi oleh iklan bisnis tentu ber-
ujung pada menguatnya peran kapitalisme. Masyarakat menjadi terasa
gersang dan kering. Oleh karena itu, wacana dan wawasan mengenai
kedudukan seni tradisi adalah sebuah keniscayaan untuk memperoleh
sebuah equilibrium atau keseimbangan kehidupan.
Terbitnya Jurnal Tradisi ini diharapkan menjadi wahana bagi para
pakar dan pengamat sosial, budaya, seni, dan pendidikan. Ibarat setetes
embun yang menyejukkan dan menyegarkan, sehingga ide-ide brilian
dapat ditemukan, dikomunikasikan dan disosialisasikan. Apalagi
bangsa Indonesia yang sejak dahulu kala kaya akan nilai-nilai historis,
sosiologis, estetis, dan filosofis tentu membutuhkan pengkajian yang
sistematis, integral dan komprehensif.
Redaksi mengundang para pembaca agar berpartisipasi aktif untuk
memberikan kontribusi pada edisi selanjutnya. Dengan demikian sila-
turahmi pemikiran akan tetap berlangsung.

Yogyakarta, November 2010

ii
Daftar Isi

PENGANTAR REDAKSI ......................................................................... ii


DAFTAR ISI ............................................................................................. iii

NEGARA DALAM PANDANGAN FILSAFAT JAWA


Iva Ariani ............................................................................................. 1

PERKEMBANGAN FUNGSI SENI KERAJINAN BATIK BAYAT


Ismadi ................................................................................................. 11

PERUBAHAN PERILAKU MASYARAKAT DITINJAU DARI


SUDUT BUDAYA
Pujiwiyana ......................................................................................... 23

WAYANG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN


Muhammad Mukti ............................................................................. 35

MAKNA LAMBANG KRATON SURAKARTA DALAM


PERSPEKTIF HERMENEUTIK
Purwadi .............................................................................................. 45

ETIKA ISLAM DALAM SENI PEWAYANGAN


M. Dimyati Huda ............................................................................... 57

ANALISIS BENTUK DAN STRUKTUR LAGU PLAYFUL DUET


KARYA W. A. MOZART
Yunike Juniarti Fitria ......................................................................... 69

MAKNA SIMBOLIK DALAM TATARAKIT TARI BEDHAYA


Enis Niken Herawati .......................................................................... 81

iii
SENI PERTUNJUKAN DAN TRADISI LISAN DI KAWASAN
CANDI RATU BOKO, SLEMAN, YOGYAKARTA
Zulfi Hendri, Sri Harti Widyastuti, Siti Mulyani, Herlina .............. 95

NILAI ESTETIS DALAM GAMELAN JAWA


Sukatmi Susantina ........................................................................... 111

SYARAT PENULISAN NASKAH ...................................................... 125

iv
Negara dalam Pandangan Filsafat Jawa 1

NEGARA DALAM PANDANGAN


FILSAFAT JAWA

Iva Ariani
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada

Abstract
Human is a “political animals” or animal that like doing politics. Politics
is one of the human interaction type that involve a party that get and run
power on another. Since last years ago in oppose of danger, disaster and
defend alive, earn life with continue breed, human can not live alone, human
needs groups and push their soul that causes them must societal alive.
Javanesse culture also give contribution towards politics development and
opinions about existence a country along with right and the duty.
The subject policies culture in the eyes of java culture actually can be
studied from ethics. Javanesse politics philosophy proposes that element of
king, people and god be unitary can not dismember one another. The power
of king usually has been connected with the king. The power of king will
not come off hand but pass struggle that shiver from individual king or
administrator concerned because the individual great that is the king get
support from the people for example people figures priests. The sign of the
success in this effort if he is success gets “wahyu or pulung”. Pulung is the
country power symbol. Therefore after all the great somebody reaches after
pulung, latest rule doesn’t reside in his hand but on hand’s god.
Keywords: politic, human interaction, state

Pendahuluan
Manusia adalah “political animals” atau binatang yang suka
berpolitik. Hal ini dikemukakan Aristoteles lebih dari 2000 tahun yang
lalu. Lasswel dalam bukunya A Study of Power (1950:54) mengatakan
bahwa di dalam setiap masyarakat, kekurangan sumber daya yang
bernilai memaksa orang untuk bermain politik, untuk menentukan
2 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana. Politik adalah salah


satu tipe interaksi manusia yang melibatkan suatu partai yang mem-
peroleh dan menjalankan kekuasaan atas yang lain. Politik yang dise-
rahkan kepada individu-individu akan menjadi suatu permainan
yang buruk, dengan pemain-pemain yang mencoba saling mencekik
untuk melindungi kepentingan mereka masing-masing.
Sejak zaman dahulu kala dalam melawan bahaya, bencana dan
mempertahankan hidup, mencari nafkah serta melanjutkan keturun-
an, manusia tak dapat hidup seorang diri, manusia memerlukan hi-
dup berkelompok dan dorongan nalurinyalah yang menyebabkan
mereka harus hidup bermasyarakat. Manusia pada saatnya telah men-
capai organisasi kemasyarakatan, dan ketika peradaban dunia telah
mempengaruhi hidup manusia, maka pada akhirnya manusia me-
merlukan seseorang yang akan melaksanakan satu aturan dengan
kewibawaan dan memelihara serta menjalankan aturan-aturan terse-
but. Hal ini terjadi karena pada dasarnya manusia memiliki watak
kehewanan, sehingga permusuhan dan kezaliman mewarnai kehi-
dupan manusia tersebut. Senjata-senjata yang dibuat untuk perta-
hanan manusia dari serangan binatang-binatang buas tidaklah men-
cukupi dibandingkan dengan pertahanan dari serangan-serangan
manusia terhadap manusia yang lain. Hal ini terjadi dikarenakan
masing-masing manusia juga memiliki persenjataan sendiri-sendiri.
Oleh karena itu manusia sangat memerlukan sesuatu yang lain untuk
pertahanan terhadap serangan-serangan sesama manusia.
Negara dalam hal ini hadir sebagai suatu institusi politik yang
mengatur konflik dan mengalokasikan berbagai sumber daya di ka-
langan penduduk dari suatu negara. Negara sering disamakan dengan
pemerintah, tetapi kedua kata ini mempunyai arti yang berbeda. Ne-
gara adalah suatu entitas yang abstrak, kombinasi dari lembaga-lem-
baga. Pemerintah terdiri dari individu-individu tertentu yang men-
jalankan urusan-urusan negara, seperti presiden, ketua MA (di Indo-
nesia), dan lain-lain. Pejabat-pejabat pemerintah datang dan pergi,
tetapi negara tetap tinggal. Negara bersifat abstrak. Kita tidak pernah
melihat negara Perancis ataupun Indonesia, yang kita lihat hanya
benderanya, orangnya, lambangnya, atau merasakan ideologinya dan
mendengarkan lagu kebangsaannya serta bahasa nasionalnya.
Negara dalam Pandangan Filsafat Jawa 3

Pengertian Negara
Negara mempunyai dua pengertian. Pertama, negara diartikan
sebagai organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Kedua, negara diartikan
sebagai kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah
tertentu yang diorganisasir di bawah lembaga politik dan pemerintah
yang efektif, mempunyai kesatuan poltik, berdaulat sehingga berhak
menentukan tujuan nasionalnya.
Pengertian lain tentang negara ditulis oleh Frans Magnis-Suseno
(2003:170). Magnis-Suseno merumuskan dua pengertian negara,
pertama adalah masyarakat atau wilayah yang merupakan satu
kesatuan politis seperti negara India, Korea Selatan atau Brazilia.
Kedua, negara adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis
itu. Pulau-pulau di Nusantara menjadi suatu negara yang disebut
Indonesia, karena adanya lembaga pusat yang menjamin kesatuan
politisnya (Raga Maran, 1999 : 189).
Negara dan kekuasaan (kewibawaan) mempunyai hubungan
yang sama terhadap peradaban atau masyarakat dan merupakan
satu kenyataan seperti hubungan bentuk dengan benda. Bentuk ada-
lah rupa yang menjaga adanya benda dengan perantaraan potongan
tertentu dari bangunan yang diwakilinya. Di dalam ilmu filsafat telah
ditetapkan, bahwa yang satu tidak dapat dicerai-pisahkan dari yang
lainnya. Kita sungguh tidak dapat membayangkan satu negara tanpa
peradaban atau masyarakat, sedangkan peradaban atau masyarakat
tanpa negara dan kekuasaan wibawa adalah tidak mungkin, karena
umat manusia menurut wataknya haruslah saling bantu membantu,
dan hal ini menuntut adanya satu kewibawaan (Raliby, 1978:143).
Negara dapat melakukan tugasnya untuk meregulasi, mengatasi
konflik, dan mengalokasikan berbagai sumber daya hanya karena ia
memiliki suatu kekuasaan yang besar. Di sejumlah masyarakat peme-
rintah juga memiliki kekuasaan untuk menginstruksikan penduduk
tentang apa yang harus mereka lakukan dan Tuhan atau Dewa apa
yang dapat mereka sembah. Pemerintah memungut pajak dari pen-
duduk dan menggunakannya untuk pendidikan anak-anak atau un-
tuk menyingkirkan suatu pemerintah asing atau melakukan banyak
hal lainnya. Max Weber mengatakan, negara modern dibedakan dari
4 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

lembaga-lembaga yang lain oleh kekuasaannya untuk memonopoli


penggunaan kekuatan fisik (Max Weber,1958:60).
Negara yang dibahas dalam ilmu politik merupakan negara dalam
arti lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis, yang menata
dan dengan demikian menguasai wilayah itu. Fungsi dasar dan hakiki
negara sebagai pemersatu masyarakat adalah merupakan penetapan
aturan-aturan kelakuan yang mengikat. Negara dalam pengertian
tersebut juga memiliki batasan. Max Weber (1958:78) memberikan
batasan sebagai berikut : Negara adalah suatu organisasi asosiasi yang
mempunyai monopoli dalam penggunaan kekuasaan fisik secara sah
dalam suatu wilayah.
Batasan negara yang lain juga diterangkan oleh Robert M. Mac
Iver (1955:22) yang mengatakan bahwa negara adalah asosiasi yang
menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam sua-
tu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan
oleh suatu pemerintahan yang untuk maksud tersebut diberi kekuasa-
an memaksa. Sedangkan Harold J. Laski (1947:8-9) memberikan batas-
an negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mem-
punyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih
agung daripada individu atau kelompok merupakan bagian dari ma-
syarakat itu. Masyarakat merupakan negara kalau tata cara hidup
yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi yang diten-
tukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat
bagi semua.
Tugas negara yaitu kegiatan-kegiatan tertentu yang harus dilak-
sanakan negara untuk kelangsungan hidupnya dan kesejahteraan
umum. Mac Iver (1947:74) menitik beratkan pada perubahan fungsi
negara selama pertumbuhan lembaga itu dari negara-negara kota
Yunani Kuno sampai ke negara modern abad ke-20. Menurut Mac
Iver, tugas negara adalah fungsi kesejahteraan umum. Fungsi kultural
dari negara sesungguhnya terletak dalam aktivitas rakyat sendiri.
Karena itu, negara harus memajukan, melengkapi, serta menginten-
sifkan usaha rakyat.
Negara dalam Pandangan Filsafat Jawa 5

Ajaran Filsafat Jawa dalam Konsep Kenegaraan


Budaya Jawa yang menjadi tolok ukur perkembangan budaya
wayang juga memberikan kontribusi terhadap perkembangan politik
dan pandangan-pandangan tentang keberadaan suatu negara beserta
hak dan kewajibannya. Budaya politik kawula gusti dalam pandangan
budaya Jawa sebenarnya dapat dikaji dari etika Jawa, yang terkenal
tabah tetapi ulet. Masyarakat Jawa memang sudah sejak dulu terpatri
dalam kromo inggil yang termukil dalam berbagai falsafah hidup. Mi-
salnya dalam kepasrahan mengahadapi tantangan hidup, mereka
disebut “nrimo” (menerima dengan pasrah). Sebaliknya dalam menia-
dakan kesombongan bila memperoleh keberuntungan mereka mema-
kai istilah “ojo dumeh” (jangan mentang-mentang).
Bila menghormati orang yang dituakan, lalu mengangkat seluruh
jasa-jasanya untuk dicontoh dan membenamkan dalam-dalam apa yang
keliru diperbuat oleh tokoh tersebut supaya tidak terulang lagi dan
sebagainya, “mikul dhuwur mendhem jero” (memikul tinggi-tinggi
mengubur dalam-dalam). Untuk meningkatkan kebersamaan dan ke-
keluargaan mereka beristilah “mangan ora mangan pokoke kumpul”
(makan tidak makan yang penting berkumpul). Memantapkan peker-
jaan agar teliti dan berhati-hati walaupun kemudian memerlukan waktu
mereka beristilah “alon-alon waton kelakon” (pelan-pelan asal tercapai).
Politik Jawa mengajarkan sikap merendahkan diri dan mengu-
rangi kesewenang-wenangan bertindak, walaupun bawahan sekali-
pun, orang Jawa memberi istilah “ngono yo ngono ning ojo ngono”.
Hal ini sejalan dengan usaha bertata krama walaupun terhadap pihak
yang telah dikalahkan, mereka memberi istilah “ngluruk tanpa bolo,
digdaya tanpa aji-aji, menang tanpa ngasorake” (menyerang tanpa pasu-
kan, sakti tanpa ilmu, menang tanpa merendahkan).
Dalam politik Jawa relatif lebih merendah dibandingkan suku-
suku lain di Indonesia yang terwujud dan bagaimana cara mereka
memasang keris. Bila orang Bugis-Makasar, Minangkabau, Banjar-
masin dan Aceh masing-masing menyelipkan badik, keris mandau
dan rencong mereka pada dada dan perut (di depan), maka orang
Jawa menyimpan kerisnya di punggung (di belakang), agar nampak
tidak mengancam hanya mungkin ada yang menilai kurang jantan
(Inu Kencana Syafi’e, 2005:113-114).
6 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Hakekat asal-usul kekuasaan negara di Jawa memang sulit di-


pahami. Hal itu dikarenakan sulitnya bahan yang memerinci tentang
asal usul negara, bentuk negara, kekuasaan negara, tujuan negara,
alat perlengkapan negara maupun sifat negara sangat sulit dicari.
Filsafat politik Jawa mengemukakan bahwa unsur raja, rakyat dan
Tuhan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu
sama lain. Kekuasaan raja biasanya disangkutpautkan dengan raja-
nya. Kekuasaan raja tidak datang begitu saja akan tetapi melalui
perjuangan yang gigih dari pribadi raja atau penguasa yang ber-
sangkutan. Karena pribadinya yang hebat itu ia mendapat dukungan
rakyat melalui tokoh-tokoh rakyat misalnya para pendeta. Ling-
kungan alam di Jawa menjadikan manusia yang hidup di dalamnya
percaya bahwa ada kekuatan yang bersifat adikodrati yang ikut
memegang peranan penting dalam tata kehidupanya. Kekuatan yang
tertinggi inilah kekuatan Tuhan Yang Maha Kuasa (Sunoto,1987:12)
Tiga unsur yang merupakan sumber kekuasaan negara dalam
pandangan filsafat politik Jawa bukanlah sesuatu yang dapat dipisah-
pisahkan, karena pengejawantahanya selalu nampak bersama-sama.
Misalnya, seseorang sebagai pendukung negara pada hakikatnya
dapat berusaha dan berjuang sesuai dengan kemampuannya untuk
memerintah negara. Tanda berhasilnya seseorang dalam usaha ini
adalah jika ia berhasil mendapatkan “wahyu atau pulung”. Pulung
adalah lambang kekuasaan negara. Karena itu betapapun hebatnya
seseorang berusaha mendapatkan pulung tersebut, ketentuan terakhir
tidak berada di tangannya tetapi di tangan Tuhan.
Akibat dari kedudukan raja yang demikian besarnya, maka
pengaruh terhadap masyarakatnyapun demikian besar. Rakyat patuh
karena kepatuhan tersebut dianggap sebagai kewajiban utama yang
harus tetap dijunjung tinggi. Oleh karena itu apa yang ditetapkan
oleh raja lalu dipatuhi sedemikian rupa dan lama kelamaan melemba-
ga dalam masyarakat. Mengingkari atau melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan adat kebiasaan tersebut akan kesiku artinya
menerima hukuman atau akibat yang buruk.
Hubungan antara raja dan rakyatnya dalam tradisi masyarakat
Jawa bukanlah merupakan hubungan yang impersonal dan saling
menghargai. Hubungan raja dan rakyat menurut tradisi Jawa
Negara dalam Pandangan Filsafat Jawa 7

merupakan hubungan mistik yang saling menguatkan yang sering disebut


dengan istilah kawula-gusti. Dalam mistisisme Jawa, Jumbuhing Kawula
Gusti merupakan tujuan hidup manusia atas dasar penghargaan terhadap
“Yang Satu” yaitu Tuhan (Soemarsaid Moertono,1968:14).
Para ahli yang mempelajari konsep kuno tentang konsep kekuasa-
an raja di Jawa melihat kerajaan sebagai mikrokosmos, dengan raja
sebagai pelaku utama yang bertugas mempertahankan keserasian
antara mikrokosmos dan makrokosmos (jagad raya). Di Jawa, konsep
cendekia dari telaah kosmologi Sansekerta telah datang melengkapi
bentuk-bentuk pemujaan asli yang lebih kuno, yang ditujukan kepada
gunung-gunung dan yang dikaitkan pada diri sang raja. Beberapa
petunjuk, seperti nama wangsa Syailendra, dapat memberi kesan
bahwa konsep itu sudah ada pada masa awal sejarah Jawa. Namun
barulah pada abad ke-11 dalam kakawin Arjunawiwaha karangan
Mpu Kanwa, kita temukan apa yang oleh S. Supomo dinamakan
“penyebutan pertama yang pasti tentang adanya pemujaan gunung
di Jawa” (Denys Lombard,2005:61).
Kebudayaan juga mengambil peran dalam perjalanan politik
tradisional Jawa. Kebudayaan kerokhanian yang berperan dalam
pemerintahan negara antara lain adalah cerita-cerita dan seni. Di
samping itu terdapat pula upacara-upacara yang pada hakikatnya
mempunyai peranan dan berpengaruh dalam pemerintahan negara.
Salah satunya adalah cerita-cerita pewayangan.
Pagelaran wayang yang kerap dijadikan pedoman hidup dan
ajaran-ajaran moral bagi orang Jawa pun banyak memberikan ajaran-
ajaran politik dan kenegaraan yang sering disebut dengan istilah
ajaran “Rèh Kaprajan”. Dalam pagelaran wayang kulit lakon “Kangsa
Léna”. Begawan Padmanaba memberikan wejangan kepada Raden
Narayana sbb:

“Nêgari ingkang utami kêdah sagêd andarmakakên tuntunan kang


sinêbat Pancadarma, inggih punika :
1. Manêmbah dumatêng ingkang Maha Kuwasa
2. Tataraning manungsa ingkang manêmbah sarta pitados dhatêng
Panguwasaning Kuwaos wau, sami katitik saking raos kamanung-
sanipun ingkang sêjati, gumêlaripun wontên ing sasrawungan
sarta wontên ing bêbrayan, tansah adhêdhasar têpa sarira.
8 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

3. Kêdah tansah rumêksa sarta kêdah tansah ngangkah luhuring


bangsa jêr punika yêkti mbotên saged kapisah kaliyan sarira liripun
asor luhuring tumindak manungsa têntu badhê angêmbèt dhuma-
têng darajating bangsa.
4. Kêdah ngraos sarta ngrumaos, bilih adêging nagari punika duma-
dos saking golonganing kêkiyatan kawula sabangsa.
5. Samubarang tumindak lahir batos kêdah adhêdhasar adil.

“Nagari ingkang sagêd andarmakên Pancadarma makatên wau,


kajawi para kawulanipun badhê nêmani kartaraharjaning bêbrayan-
ipun, nêgarinipun badhè kuncara, bangsanipun badhè luhur darajat-
ipun, kajèn kinèringan sasamining nagari”.

Yang artinya :
“Suatu negara yang baik harus bisa menjalankan tuntunan yang
disebut Pancadarma sebagai berikut :
1. Percaya pada Tuhan Yang Maha Kuasa
2. Manusia yang menyembah dan percaya pada kekuasaan Sang
Maha Kuasa, bisa dilihat dari rasa kemanusiaan yang sejati, tercermin
dalam hubungan kemasyarakatan yang selalu berdasar tenggang
rasa
3. Harus selalu menjaga nama baik bangsa. Artinya keluhuran derajat
bangsa ditentukan dari perilaku manusia sebagai warga negara
4. Harus memiliki rasa dan merasa, bahwa berdirinya suatu negara
terjadi dari kekuatan manusia sebangsa
5. Semua perbuatan lahir batin harus didasarkan sikap adil.

Negara yang dapat melaksanakan Pancadarma tersebut selain


warga masyarakatnya akan sejahtera dan sentosa, negaranya juga akan
mulya bangsanya akan mendapatkan derajat yang tinggi dihormati oleh
negara-negara lain. Lakon “Pêndhawa Tiyasa” Resi Bisma, Resi Krepa
dan Begawan Drona memberikan wejangan kepada Pendhawa dan
Kurawa berkaitan dengan ilmu kenegaraan sebagai berikut :

“Prajurit sarta kaprajuritan punika tumraping nagari sarta tata


nagari, tuhu dados bayangkarining praja, atêgês dados têraping sarta
bêbétèng kawilujêngan ipun nagari. Prajurit lan kaprajuritan minangka
bayangkari, rakêt sangêt gegandhènganipun, inggih punika gandhèng
cènèngipun kaliyan tatapanguwaosing praja, jêr bayangkari kalawan
kajibah dados pikêkah pangrêkso kawibawa ning praja, wibawa ingkang
tuwuh saking tumindaking kukum.”
Negara dalam Pandangan Filsafat Jawa 9

Yang artinya :
“Militer dan kemiliteran bagi negara dan tata negara menjadi
bayangkari/pelindung pemerintahan, artinya menjadi perisai dan
beteng keselamatan negara. Militer dan kemiliteran sebagai pelin-
dung, erat hubungannya dengan tata kekuasaan pemerintah, karena
bayangkari berkewajiban menjaga kewibawaan pemerintah ber-
dasar hukum.”

Ajaran-ajaran berkaitan dengan ilmu tata negara dalam pagelaran


wayang tersebut mengandung maksud bahwa keberadaan suatu negara
sangat erat hubungannya dengan sikap dan tingkah laku warga negara-
nya. Kekuatan dan kejayaan serta nama baik suatu negara jelas sangat
tergantung pada hak dan kewajiban yang dilakukan oleh warganya.

Kesimpulan
Penelitian tersebut di atas merupakan penelitian budaya jawa
sebagai objek materinya. Dalam penelitian ini jelas terlihat bahwa :
1. Kebudayaan Jawa pada kenyataannya memberikan kontribusi
yang demikian besar pada ajaran-ajaran politik yang dapat digu-
nakan sebagai wahana pendidikan politik di Indonesia.
2. Ajaran politik dan social masyarakat Jawa lebih ditekankan pada
ajaran kesahajaan dengan filsafat hidupnya “aja dumeh” saat me-
maknai suatu prestasi atau keberuntungan.
3. Rasa kebersamaan dan kekeluargaan dalam ajaran budaya Jawa
tercermin dalann sikap “mangan ora mangan sing penting kumpul”.
4. Politik Jawa lebih banyak mengajarkan sikap merendahkan hati
dan mengurangi sikap kesewenang-wenangan bertindak walau-
pun ke bawahannya sekalipun dengan istilah “Ngluruk tanpa bala,
digdaya tanpa aji-aji, menang tanpa ngasorake.”
5. Kekuasaan dalam pandangan budaya Jawa tidak dating dengan
sendirinya, tetapi melalui perjuangan yang gigih namun tetap
ada kekuatan adikodrati yang ikut memegang peranan penting
dalam tata kehidupannya.
6. Hubungan rakyat dengan raja menurut pandangan budaya jawa
bukanlah hubungan yang impersonal, melainkan hubungan
mistik yang saling menguatkan yang sering disebut dengan istilah
“kawula-gusti”.
10 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Daftar Pustaka
Aristoteles, 1943. Politics, New York: Random House.
Laski, Harold.J, 1947. The State in Theory and Practise, New York: Viking
Press.
Lasswel, Harold. D, 1950. Study of Power, Illionis: The Free Press.
Lombard, Denys, 2005. Nusa Jawa: Silang Budata Warisan Kerajaan-
Kerajaan Konsentris, Jakarta: Gramedia.
Mac Iver, Robert M, 1947. The Way of Government, New York: The
Mac Millan Company.
Mac Iver, Robert M, 1955. The Modern State, London: Oxford
University Press.
Max Weber, 1958. From Max weber : Essays in Sociology, New York:
Oxford University Press.
Osman, Raliby, 1978. Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara,
Jakarta: Bulan Bintang.
Rafael, Raga Maran, 1999. Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Rineka
Cipta.
Soemarsaid, Moertono, 1968. State And Statecraft In Old Java, New
York: Cornel University.
Sunoto, 1987. Menuju Filsafat Indonesia, Yogyakarta: Hanindita.
Suseno, FM, 2003. Etika Politik :Prinsip-prinsip Moral dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: Gramedia.
Syafii, Inu Kencana, 2005. Filsafat Politik, Bandung: Mandar manju.
Perkembangan Fungsi Seni Kerajinan... 11

PERKEMBANGAN FUNGSI SENI


KERAJINAN BATIK BAYAT

Ismadi
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract
This research aims to describes about Batik made in Bayat, Klaten.
Batik was a heritage that live in Javanese culture. In histociral perspective,
batik has multifunction. There are for social, personal, ceremonial, arts,
works activity and daily wear. As an handicratf, batik made in Bayat brings
an happiness for Klaten district. In nasional context, batik become identity.
Keywords : batic, heritage, identity

Pendahuluan
Perkembangan seni kerajinan batik telah membuktikan bahwa batik
sangat dinamis dan dapat menyesuaikan dirinya baik dalam dimensi
bentuk, ruang, dan waktu. Seni kerajinan batik telah tersebar ke penjuru
wilayah nusantara dan berkembang dari masa lalu sampai masa
sekarang. Sekitar abad ke-15 seni kerajinan batik menuju ke arah
keindahan setelah mendapat pengaruh dari India, Cina, dan Arab
seiring dengan berkembangnya kebudayaan Islam yang masuk ke
nusantara. Setelah runtuhnya Majapahit, penyebaran dan pengembang-
an seni kerajinan batik kemudian banyak dilakukan pada masa-masa
kerajaan Mataram.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, seni kerajinan batik
banyak dilakukan para wanita di lingkungan keraton. Pada saat itu
seni kerajinan batik merupakan bentuk seni menggambar dengan
halus di atas kain yang umumnya dikerjakan oleh para wanita
12 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

kalangan bangsawan. Awalnya seni kerajinan batik merupakan kebu-


dayaan yang terbatas dalam keraton saja (budaya ageng) dan hasilnya
berupa kain untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya
(Gustami, 2000:31-32). Ragam corak dan warna juga terbatas, bebera-
pa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu dinamakan batik
tradisional. Batik tradisonal dipakai dalam upacara-upacara adat,
karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan
masing-masing.
Tradisi membatik diperkenalkan sejak kecil bagi kaum wanita
keluarga keraton Surakarta, selain itu juga para abdi dalem (Timbul
Haryono, 2008:83). Oleh karena banyak dari pengikut raja yang ting-
gal diluar keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar
keraton dan dikerjakan di tempatnya masing-masing. Seiring berjalan-
nya waktu seni kerajinan batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan
selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah
tangganya untuk mengisi waktu senggang (Halimi Husnan, 2004:13).
Selanjutnya pekerjaan membatik ini menjadi tradisi yang turun temu-
run. Seiring berjalannya waktu batik yang tadinya hanya pakaian
keluarga keraton, menjadi pakaian rakyat yang digemari baik wanita
maupun pria, muda maupun tua.

Seni Kerajinan Batik Bayat


Tradisi membatik telah ada sejak lama terjadi di wilayah Keca-
matan Bayat. Tradisi membatik di Bayat sangat erat dengan sejarah
Keraton Surakarta. Bayat merupakan salah satu kota kecamatan di
Kabupaten Klaten yang memberi kontribusi dalam penciptaan karya
seni kerajinan batik batik di Keraton Surakarta. Pada saat itu banyak
warga Bayat khususnya kaum wanita yang buruh membatik di
Keraton Surakarta. Sebagian dari pekerjaan itu dikerjakan di rumah
masing-masing. Dari beberapa bahan kain batik yang di bawa
kerumah masing-masing, sebagian diantaranya dikerjakan oleh
warga tetangga setempat (Halimi Husnan, 2004:3). Selanjutnya,
seiring dengan berjalannya waktu banyak kaum wanita Kecamatan
Bayat yang menjalani kehidupan sehari-harinya sebagai pembatik.
Kegiatan pembuatan seni kerajinan batik ini dilakukan turun temurun.
Dari ketekunan para perempuan tersebut menjadikan Kecamatan
Perkembangan Fungsi Seni Kerajinan... 13

Bayat sebagian besar penduduknya terutama perempuan menekuni


seni kerajinan batik. Hampir dua pertiga dari perempuan Kecamatan
Bayat menjalani kehidupannya dengan membatik (buruh batik) atau
menjadi pengusaha batik (Juragan).
Ciri khas batik Bayat adalah batik tulis Latar ireng (dasaran warna
hitam dan cokat atau gelap) dengan motif tradisional gaya Keraton
Surakarta. Sekitar tahun 1978 batik Bayat menjadi karya seni yang
banyak diburu konsumen di pasar Klewer, Surakarta. Batik motif
lèrèng dengan satu warna coklat tua, batik tipe ini hampir terdapat
pada semua kios dan toko di pasar Klewer dan banyak disukai konsu-
men. Batik Bayat dibuat secara sederhana, yaitu mori biru dengan
témbokan Parang rusak dan dicelup warna coklat tua inilah salah satu
tipe batik Bayat di tahun 1978 (Sewan Susanto, 1980: 486). Ketertarik-
an konsumen pada saat itu dikarenakan jika dilihat cukup indah
seperti batik biasa, sedang harganya lebih rendah 25% dari pada batik
pada umumnya. Namun kesederhanaan itu tidak semata-mata menja-
di ciri dari batik Bayat, karena ada beberapa produk yang lain dengan
kualitas bahan motif halus maupun kasar. Warna yang menggunakan
satu warna dan cenderung coklat tua dan hitam sepertinya menjadi
karakter atau gaya batik Bayat pada waktu itu.
Setelah mengalami masa keemasan, sekitar tahun 1985 seni kera-
jinan batik Bayat mulai surut. Satu persatu juragan batik mulai meng-
hentikan usahanya. Salah satu sebab macetnya usaha seni kerajinan
batik Bayat pada waktu itu adalah banyaknya buruh batik yang ber-
alih bekerja di perusahaan yang lebih besar yang berada di luar wila-
yah Kecamatan Bayat, seperti batik Keris Surakarta, dan beberapa
perusahaan batik di wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Alasan ke-
pindahan para buruh tersebut adalah untuk mendapatkan upah yang
lebih besar.
Kemudian, tahun 1990 seni kerajinan batik Bayat mulai tumbuh
kembali. Hal ini bersamaan dengan berkembangnya sektor pariwisata
Indonesia. Sekitar tahun 1990 sampai 1997 sektor pariwisata Indone-
sia berkembang pesat. Pertumbuhan seni kerajinan batik tersebut juga
diiringi dengan adanya perkembangan dan inovasi bahan, teknik
pembuatan, bentuk, dan jenis produk, sehingga tercipta batik kreasi
baru yang memiliki nilai fungsi yang tidak hanya untuk membuat
14 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

jarit atau kain panjang dan sarung saja tetapi lebih luas seperti bahan
sandang, perlengkapan rumah tinggal, batik kayu, batik kaos, dan
lain sebagainya.
Fenomena ini telah membuka era baru di dunia batik khususnya
Bayat, yaitu selain batik fungsi tradisional sebagai benda pakai (jarit
atau kain panjang dan sarung), juga berkembang menjadi lebih luas
sebagai bahan sandang, perlengkapan rumah tangga, benda hias,
dan benda seni (Jaka Isgiyarta, 2008). Selanjutnya, produk seni kera-
jinan batik kain meluas pada batik pakaian, batik kain hiasan, dan
aksesoris rumah tangga lain seperti taplak, sarung bantal, seprei, saja-
dah, dan lain-lain. Selain batik kain, dengan berkembangnya ilmu
dan pengetahuan batik dikembangkan batik kayu dengan hasil pro-
duk itu meliputi piring, bejana buah, tatakan gelas, nampan, tempat
tisu, wayang, sandal, dan hiasan-hiasan rumah tangga.
Sejak itu pula mulai bermunculan lagi perajin-perajin batik di
wilayah Kecamatan Bayat. Sebagian besar dari perajin tersebut
berada di wilayah Desa Jarum. Sebagian perajin memproduksi seni
kerajinan batik berupa pakaian, batik kain hiasan, dan aksesoris
rumah tangga lain seperti taplak, sarung bantal, seprei, sajadah dan
sebagian membatik dengan media kayu yang kemudian dikenal
dengan nama batik ukir. Dari produk batik ukir muncul berbagai
kreasi seperti topeng kayu, asbak, sampai sandal dengan ukiran batik.
Masing-masing dari produk seni kerajinan batik tersebut memiliki
pangsa pasar yang berlainan. Untuk produk batik kayu pangsa pasar
terbesar adalah Bali dan Yogyakarta (Wawancara dengan Suyanto,
27 Februari 2010). Batik kain, kaos, dan aksesoris rumah tangga, pang-
sa pasar adalah Yogyakarta, Surakarta, dan kota-kota besar di Indo-
nesia. Dari semua pangsa pasar tersebut, konsumen terbesar adalah
wisatawan domestik maupun manca negara yang tersebar kawasan
wisata Bali, Yogyakarta, Surakarta dan beberapa kota lainnya.
Namun setelah berjalan sekitar tujuh tahun, para perajin mulai
merasakan krisis yang melanda Indonesia tahun 1997 yang meng-
akibatkan kehidupan seni kerajinan batik Bayat mulai merasakan
efek yang buruk khususnya pada sisi perekonomian dan permodalan.
Banyak diantara perajin batik yang tidak bisa melangsungkan
usahanya dan memilih berhenti dari pada jika terus dijalankan justru
Perkembangan Fungsi Seni Kerajinan... 15

merugi. Tidak ingin terpuruk pada perekonomian Indonesia yang


semakin tidak jelas kapan baiknya, para pengusaha dan perajin mulai
berfikir keras berusaha bangkit lagi untuk mempertahankan kehidup-
an berwirausaha yang sempat terhenti. Salah satu pemikiran yang
terpecahkan adalah pengembangan desain, bahan, teknik pembuatan,
dan bentuk produk seni kerajinan batik (Wawancara dengan Budi
Santosa, 29 Juni 2010). Guna menekan biaya produksi, para perajin
batik mengembangkan teknik-teknik pembuatan batik yang lebih
efektif dan efisien yang dapat meningkatkan kuantitas dengan tidak
mengurangi kualitas produk.
Sampai tahun 2010, kegiatan membatik tersebut masih menjadi
pekerjaan sehari-hari bagi sebagian besar penduduk, khususnya kaum
perempuan wilayah Kecamatan Bayat di samping bertani, berladang,
dan beternak.

Perkembangan Fungsi Seni Kerajinan Batik Bayat


Dengan meminjam teori Feldman, fungsi seni kerajinan batik
dapat dibagi menjadi 3 antara lain: (1) fungsi fisik, yaitu suatu ciptaan
yang dapat berfungsi sebagai alat; (2) fungsi sosial, diuraikan (a) karya
seni mencari atau cenderung mempengaruhi perilaku kilektif orang
banyak, (b) karya seni itu diciptakan untuk dilihat atau dipahami
khususnya dalam situasi umum, (c) karya seni itu mengekspresikan
aspek-aspek tentang sosial atau kolektif; (3) fungsi personal, sebagai
alat ekspresi pribadi, namun tidak semata-mata berhubungan dengan
emosi pribadi (Edmund Feldman, 1967: 4).

Fungsi fisik
Fungsi seni kerajinan batik mulanya erat kaitannya dengan hal-
hal simbolis, digunakan sebagai identitas status sosial dalam masya-
rakat. Pada masa lalu seni kerajinan batik hanya digunakan kalangan
raja, bangsawan keraton, dan tokoh yang sangat berpengaruh di ka-
langan masyarakat. Seni kerajinan batik memiliki fungsi sebagai bahan
untuk membuat jarit/kain panjang, demikian halnya dengan awal
munculnya seni kerajinan batik Bayat bermula dengan batik yang
berfungsi sebagai bahan pembuat kain panjang/jarit sebagai pakaian
bawah pria maupun wanita.
16 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Seiring dengan perkembangan jaman, seni kerajinan batik dalam


fungsi dan kegunaanya tidak mengenal batas, tingkat sosial dan
ekonomi. Dalam perkembangannya seni kerajinan batik digunakan
hampir semua lapisan masyarakat. Sejak tahun 1990, fungsi seni
kerajinan batik Bayat mulai berkembang dari batik sebagai bahan
pembuat jarit menjadi seni kerajinan batik yang berfungsi sebagai
bahan sandang, seragam, kaos, asesoris rumah tinggal, peralatan ru-
mah tangga dan lain-lain. Selain batik kain juga dikembangkan batik
dengan media kayu, produk ini berfungsi sebagai topeng, wayang,
sandal, nampan, piring, alas/sanggan kitab, dan hiasan rumah
tangga. Dengan demikian seni kerajinan batik mengalami perubahan
fungsi dan telah berhasil berjalan melintasi jaman.
Pada dasarnya fungsi benda dibuat dengan berbagai pertimbang-
an. Selain untuk menghasilkan produk bernilai pakai, seni kerajinan
batik juga menyenangkan jika dilihat. Kehadiran seni kerajinan batik
tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan prastis semata, tetapi juga
untuk memenuhi kebutuhan ekonomis. Secara fisik seni kerajinan
batik Bayat didesain sesuai kegunaannya sebagai alat (jarit, bahan
sandang, seragam, kaos, asesoris rumah tinggal, peralatan rumah
tangga dan lain-lain) dan sekaligus diselaraskan dengan segi artistik,
sehingga kedua hal itu hadir secara bersamaan.

Fungsi Sosial
Seni kerajinan batik Bayat tidak hanya dikonsumsi oleh masya-
rakat dalam setempat atau pasar dalam negeri, tetapi juga banyak
diminati oleh masyarakat global. Hal ini bisa dipahami karena seni
kerajinan batik dibuat dengan tujuan agar bisa diterima oleh masya-
rakat pemakainya. Pada hakikatnya fungsi sosial batik ada keter-
kaitan hubungan antara respons yang diterima masyarakat pemakai
dengan karya perajin baik. Selama ini pemasaran batik Bayat sebagian
besar dilakukan di Kota Surakarta, Yogyakarta, dan Bali berlangsung
baik. Sebagian pembatik sudah ada yang berusaha melalukan ekspor
ke Jepang (Jaka Isgiyarta, 2008). Selain itu, keberlangsungan aktivitas
batik berdampak luas bagi masyarakat sekitarnya. Nilai pembuatan
seni kerajinan batik butuh waktu yang panjang yang melibatkan
interaksi antara individu maupun kelompok masyarakat. Keterlibatan
Perkembangan Fungsi Seni Kerajinan... 17

ini diantaranya antara perajin atau pengusaha, tenaga kerja, peda-


gang, dan masyarakat pendukungnya.
Di sisi lain keberadaan seni kerajinan batik sangat dipengaruhi
oleh segi-segi kehidupan dan lingkungan sekitar. Sebagai akibat inte-
raksi tersebut, maka diantara seni kerajinan batik tersebut mengung-
kapkan atau menggambarkan segi-segi kehidupan sosial desa setem-
pat. Hal ini sesuai pendapat Feldman, bahwa suatu karya seni memi-
liki fungsi sosial apabila (1) seni itu dengan sengaja atau menunjukkan
kecenderungan untuk mempengaruhi tingkah laku kolektif dari
orang; (2) seni itu secara khusus diciptakan untuk dilihat atau di-
manfaatkan dalam lingkungan tertentu; (3) seni itu mengungkapkan
atau menggambarkan segi-segi kehidupan sosial atau kolektif dan
bukan semata-mata hanya menyajikan pengalaman pribadi saja.

Fungsi Personal
Ditinjau dari segi proses pembuatan, seni kerajinan batik Bayat
merupakan produk kolektif, namun dari sisi ide dasar dan desain
seni kerajinan batik Bayat merupakan produk perseorangan/perajin
itu sendiri. Dalam mengemukakan ide dan menciptakan desain,
memunculkan sisi artistik, para perajin sering bermain garis, bentuk,
dan warna sebagai ujud ungkapan dari dalam dirinya. Ungkapan
dalam ujud visual itu tidak semata-mata berhubungan dengan emosi
pribadi saja, akan tetapi juga respon terhadap situasi sosial, ekonomi,
dan keadaan alam lingkungan sekitar.
Pengalaman estetis dari masing-masing perajin dan seniman batik
Bayat tertuang dalam setiap karya-karyanya menjadikan karya seni
kerajinan batik Bayat sebagai alat ekspresi pribadi dan berhubungan
dengan emosi pribadi yang dipengaruhi faktor sosial, ekonomi, dan
keadaan alam lingkungan. Tidak heran, jika ekspresi perajin batik
Bayat tertuang secara visual berupa bentuk seni kerajinan batik yang
didalamnya terdapat tanda-tanda dan simbol-simbol yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari di wilayah Bayat yang dapat dibaca
orang lain. Di sisi lain, tentunya karya seni kerajinan batik juga
diharapkan dapat diterima masyarakat pendukungnya.
Berdasarkan temuan di lapangan, dalam dua dasa warsa terakhir
gaya seni kerajinan batik Bayat sebagian bertahan pada batik corak
18 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

klasik. Batik corak klasik ini masih diminati konsumen dengan usia
tertentu. Selain itu, sebagian dari perajin batik Bayat melakukan pe-
ngembangan pada aspek bahan, teknik pembuatan, dan pengembang-
an bentuk seni kerajinan batik sehingga mengakibakan perubahan
fungsi seni kerajinan batik.

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Seni Kerajinan Batik Bayat


Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi perkem-
bangan batik Bayat dapat diklasifikan menjadi dua, yaitu faktor in-
ternal dan eksternal. Beberapa faktor internal di antaranya banyaknya
pengusaha batik maupun perajin batik memiliki latar belakang
keahlian membatik tulis halus dan yang menjadi tradisi turun temurun
dari generasi sebelumnya. Penggunaan bahan kain lurik, kaos, kayu,
dan kulit sebagai media batik, wujud penerapan perkembangan ilmu
pengetahuan yang dimiliki para perajin batik Bayat sehingga tercipta
berbagai bentuk dan fungsi kerajinan batik dari bahan yang bervariasi.
Penggabungan lukisan batik teknik remukan, dan teknik printing kare-
na beberapa perajin yang memiliki keahlian tersebut. Munculnya ber-
bagai jenis produk dikarenakan adanya satu atau beberapa perajin
yang memiliki keahlian mendesain bentuk-bentuk yang inovatif,
kreatif, baru dan original dengan fungsi yang bervariasi mampu me-
rangsang daya tarik pasar atau konsumen.
Selain faktor internal yang mempengaruhi perkembangan seni
kerajinan batik Bayat, ternyata faktor eksternal atau faktor dari luar
perajin ternyata sangat mempengaruhi dalam perkembangan seni
kerajinan batik Bayat. Ada beberapa faktor dari luar yang mempe-
ngaruhi perkembangan seni kerajinan batik Bayat diantaranya per-
ubahan perkembangan desain yang ada di pasaran, ilmu penge-
tahuan dan teknologi, pariwisata, perubahan ekonomi, sosial, dan
politik. Selain itu pengaruh budaya asing juga memegang peranan
dalam perkembangan seni kerajinan batik Bayat.
Penggunaan bahan kayu dalam bentuk topeng, perlengkapan
rumah tinggal berawal munculnya perajin topeng di daerah Desa
Bobung Kecamatan Patuk Kabupaten Gunung Kidul yang mempro-
duksi topeng kayu dan perlengkapan rumah tinggal berbahan kayu
yang sebagian dijual dengan keadaan belum di warnai. Adanya
Perkembangan Fungsi Seni Kerajinan... 19

pengetahuan bahwa batik dapat diterapkan pada kayu, mendorong


para perajin batik Bayat yang sebagian besar wilayah Desa Jarum
sekitar tahun 1990 memulai membatik bermedia kayu dengan produk
topeng, perlengkapan rumah tinggal, dan lain-lain.
Sekitar tahun 1990 sampai 1997 sektor pariwisata Indonesia
berkembang pesat. Pada tahun 1994, jumlah wisatawan yang datang
ke Indonesia mencapai sekitar 4.000.000 wisatawan, tahun 1997 lebih
dari 5.000.000 wisatawan (Soedarsono, 1999 :7). Berbagai program
dari pemerintah dibuat sebagai upaya untuk mendorong wisatawan
agar menikmati obyek wisata dengan merasa tenang dan aman. Seperti
dalam program sapta pesona yang dikeluarkan terkait dengan adanya
program Tahun Kunjungan Indonesia (Visit Indonesia Year) dicanang-
kan meliputi: keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan,
keramah-tamahan, dan kenangan (Rony Sugiantoro, 1993).
Sejak saat itu terobosan batik kemasan untuk wisata dengan berbagai
jenis produk berkembang pesat. Jenis produk batik Bayat dengan bentuk-
bentuk yang variatif menggunakan media mori, kain lurik, kaos, kayu,
dan kulit mulai banyak diminati pasar. Beberapa jenis produk seni
kerajinan batik tersebut dikemas dalam bentuk, fungsi dan gaya seni
yang bervariasi serta murah harganya. Hal ini sesuai teori seni wisata
yang ditulis R.M. Soedarsono, bahwa seni wisata memiliki ciri-ciri; a)
tiruan dari aslinya; b) singkat atau padat atau bentuk mini dari aslinya;
c) penuh variasi; d) ditanggalkan nilai-nilai sakral dan magis; e) murah
harganya. Jenis produk berbahan kayu itulah yang kemudian dikenal
dengan nama batik ukir. Dari produk batik ukir muncul berbagai kreasi
seperti topeng kayu, asbak, sampai sandal dengan ukiran batik yang
saat itu membanjiri pasaran seni kerajinan di Bali, Surabaya, Surakarta,
Yogyakarta dan kota-kota lainnya.

Kesimpulan
Seni Kerajinan Batik yang berkembang di wilayah Kecamatan Bayat
berawal dari produk batik corak/gaya Surakarta, berciri khas batik motif
lèrèng dengan satu warna coklat tua atau hitam. Dalam proses pem-
buatannya, para perajin batik Bayat masih menggunakan teknik seperti
pada pembuatan batik tradisional. Seiring berjalannya waktu pembuatan
kerajinan batik di Bayat mengalami banyak perubahan di bidang bahan,
20 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

alat, teknik pembuatan, sehingga tercipta bentuk dan gaya yang memiliki
fungsi yang baru pada seni kerajinan batik.
Seni kerajinan batik Bayat memiliki fungsi fisik, sosial, maupun
personal. Fungsi fisik seni kerajinan batik Bayat diantaranya sebagai
bahan pembuat kain panjang/jarit, bahan sandang, seragam, kaos,
asesoris rumah tinggal, peralatan rumah tangga dan lain-lain. Kaitan-
nya dengan fungsi sosial, keberlangsungan kerajinan batik berdam-
pak luas bagi masyarakat sekitar, di antaranya perajin atau pengusa-
ha, tenaga kerja, pedagang, dan masyarakat pendukungnya. Ditinjau
dari segi proses pembuatan, seni kerajinan batik Bayat merupakan
produk kolektif, namun dari sisi ide dasar dan desain seni kerajinan
batik Bayat merupakan produk perseorangan/perajin itu sendiri. Di
sisi lain keberadaan kerajinan batik sangat dipengaruhi oleh segi-
segi kehidupan dan lingkungan sekitar. Sebagai akibat interaksi
tersebut, maka diantara kerajinan batik tersebut mengungkapkan atau
menggambarkan segi-segi kehidupan sosial desa setempat.
Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi perkem-
bangan fungsi batik Bayat dapat diklasifikan menjadi dua, yaitu faktor
internal dan eksternal. Beberapa faktor internal di antaranya banyak-
nya pengusaha batik maupun perajin batik memiliki latar belakang
keahlian membatik tulis halus dan yang menjadi tradisi turun temurun
dari generasi sebelumnya. Penggunaan bahan kain lurik, kaos, kayu,
dan kulit sebagai media batik, wujud penerapan perkembangan ilmu
pengetahuan yang dimiliki para perajin batik Bayat sehingga tercipta
berbagai bentuk dan fungsi kerajinan batik.
Adapun beberapa faktor dari luar yang mempengaruhi perkem-
bangan kerajinan batik Bayat diantaranya perubahan ekonomi, sosial,
wisata, perkembangan desain yang ada di pasaran, dan perkembang-
an ilmu pengetahuan dan teknologi. Meningkatnya sektor pariwisata
Indonesia tahun 1990 sampai tahun dengan tahun 1997 memberi
peluang bagi para perajin batik Bayat memproduksi batik untuk wisa-
ta dengan beberapa jenis produk dikemas dalam bentuk, fungsi, dan
gaya seni yang bervariasi dengan tujuan pengiriman Bali, Surabaya,
Surakarta, Yogyakarta dan kota-kota lainnya.
Perkembangan Fungsi Seni Kerajinan... 21

Daftar Pustaka
Anggraeni, Dewi, 2008. Sekelumit Sejarah Batik di Indonesia, Batik
Indonesia dalam Perspektif, Yogyakarta: PT. Mizan Publika.
Burke, Edmund, Feldman, 1967. Art as Image and Idea, New Jersey:
The University of Georgia Prentice Hall, Inc, Englewood Cliff.
Gustami, SP, 2000. Studi Komparatif Gaya Seni Yogya - Solo,
Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Hamengku Buwana X, Sri Sultan, 1990. “Pengantar” dalam Sekaring
Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat. Jakarta: Himpunan Pecinta
Kain Batik dan Tenun Wastraprema.
Haryono, Timbul, 2008. Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif
Arkeologi Seni, Surakarta: ISI Pers Solo.
Husnan, Halimi. “Sejarah Batik Indonesia”. Kompas CyberMedia,
15 September 2004, didownload versi PDF dari http://
durian19-arts.com.
Isgiyarta, Jaka. “Mewujudkan Desa Wisata Bayat” Artikel di harian
Suara Merdeka, Semarang edisi 20 Nopember 2008.
__________. “Peran Masyarakat Intelektual dalam Penyelamatan dan
Pelestarian warisan Budaya Lokal”, Sambutan Dies Natalis
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ke-63 tahun 2008.
Soedarsono, R.M., 1999. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata.
Bandung, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Sugiantoro, Rony. “Yogyakarta Jadi Salah Satu Obyek Wisata Studi
Pariwisata”. Artikel di harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta,
edisi 15 Februari 1993.
Susanto, Sewan, 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia, Yogyakarta: Balai
Penelitian Batik dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan
Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian RI.
Suyanto, A.N., 2002. Sejarah Batik Yogyakarta. Yogyakarta: Rumah
Penerbitan Merapi.
22 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Perubahan Perilaku Masyarakat... 23

PERUBAHAN PERILAKU MASYARAKAT


DITINJAU DARI SUDUT BUDAYA

Pujiwiyana
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract
Hummanity, society and culture always become an interesting topic of
study in modern era. Method and theory of multiculturalism can give life
balancing. Modern community need local wisdom. Arts, linguistic, litera-
ture, music, poetry are very important in global situation. This research
aims to describes about social and culture changes.
Keywords: society, culture, local wisdom

Pendahuluan
Globalisasi kebudayaan telah mengikuti pola yang sama dengan
globalisasi ekonomi. Kebudayaan universal muncul, disebarkan melalui
semakin banyaknya media global yang kebanyakan dikendalikan oleh,
dan bekerja untuk kepentingan modal transnasional. Televisi, dan
bentuk-bentuk rekreasi lainnya semakin serupa (dan banyak yang secara
menekan) di manapun tempatnya di dunia. Kota yang satu sangat mirip
dengan kota-kota lainnya, hotel bentuknya sama di seluruh dunia, dan
televisi, iklan dan teknologi komputer tampaknya bekerja tak kenal lelah
untuk mewujudkan keseragaman (Ife,J. 1997 : 155)
Dalam menghadapi globalisasi kebudayaan, bagi masyarakat
perkotaan sangat sulit untuk melestarikan kebudayaan lokalnya sen-
diri yang unik, walaupun ini merupakan komponen penting dari pem-
bangunan masyarakat. Ini secara historis merupakan gejala terjadi
pada masyarakat perkotaan. Sampai abad ke dua puluh, kegiatan-
24 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

kegiatan kebudayaan seperti itu sebagian besar lokal dan sangat parti-
sipatoris, dan perbedaan daerah mempunyai arti dan penting. Globa-
lisasi dan perubahan kebudayaan bersama-sama merupakan bagian
penting dari hilangnya norma-norma sosial masyarakat yang banyak
terjadi pada masyarakat perkotaan.
Kehadiran media masa baik cetak maupun elektronik pada saat
ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat di Indonesia terutama masyarakat perkotaan. Dalam ke-
sibukan rutinitas perilaku kehidupan masyarakat perkotaan media
masa menjadi sarana penting untuk mendapat informasi yang dibu-
tuhkan. Sehingga kebanyakan dari masyarakat perkotaan mempu-
nyai kecenderungan anggapan bahwa apabila mereka sudah meneri-
ma informasi dari media masa seolah-olah mereka sudah merasa
menjadi bagian dari kelompok masyarakat tersebut walaupun tidak
melakukan interaksi dengan masyarakat sekitarnya.
Pengaruh media masa pada sebagian masyarakat memunculkan
budaya instan, dimana informasi melalui media masa diterima begitu
saja tanpa melalui proses penganalisisan terhadap informasi tersebut.
Sedangkan tidak semua bentuk informasi, terutama tayangan televisi
adalah informasi yang benar terutama tayangan-tayangan yang ber-
format hiburan. Oleh karena kesibukan dan tingkat aktivitas pekerja-
an masyarakat perkotaan yang sangat padat, maka pilihan hiburan
yang ditayangkan oleh televisi menjadi pilihan hiburan yang murah
dan mudah didapat.
Secara umum sebagian besar tayangan televisi seolah-olah telah
menguasai manusia, bahkan menjadi tolok ukur telah menjadi peri-
laku manusia di segala bidang. Hal tersebut juga terjadi pada masalah
budaya, dimana unsur hiburan (seni) yang merupakan genre budaya
mendominasi tayangan televisi terutama budaya populer. Kebanyakan
kemasan acara hiburan di televisi berorientasi pada selera pasar tanpa
harus mempertimbangkan kualitas dan nilai (value), sehingga dikha-
watirkan bagi sebagian besar masyarakat yang tidak mempunyai
dasar pemahaman yang memadai terhadap objek tayangan tersebut
akan menganggap menu tayangan tersebut sebuah kebenaran. Seba-
gian kecil contoh : apabila seorang penyanyi tampil di layar televisi
dengan gaya rambut gondrong dan berwarna selain hitam, maka
Perubahan Perilaku Masyarakat... 25

sebagian masyarakat memberi kesimpulan bahwa seorang penyanyi


(seniman) harus berpenampilan seperti yang di tayangan televisi.
Dalam makalah kecil ini akan membahas perubahan perilaku ma-
syarakat perkotaan yang disebabkan oleh pengaruh tayangan media
masa televisi, terutama tayangan hiburan yang berbasis seni.

Pengaruh Budaya Populer Terhadap Budaya Tradisional


Suatu budaya yang terkenal (populer) pada sebuah kelompok ma-
syarakat adalah budaya yang diketahui banyak orang, disukai keba-
nyakan orang, dan mudah dipahami. Akan tetapi dipahami yang
dimaksud, kebanyakan dari masyarakat hanya memahami bagian
luarnya saja, bukan memahami dari arti dan maksud hakikat budaya
yang sesungguhnya. Istilah populer berasal dari bahasa Latin, yang
berkaitan erat dengan kesan “berhubungan dengan masyarakat atau
rakyat “. Pada budaya Romawi seorang Populer adalah anggota partai
rakyat yang mengambil sikap oposan dalam sistem pemerintahan
Romawi pada zaman itu.
Pada saat sekarang tafsiran terhadap istilah populer tidak ber-
kaitan tafsiran yang bersifat kualitatif akan tetapi tafsiran yang ber-
sifat kuantitatif belaka. Kenyataan ini tidak mengherankan pada ba-
nyak hal yang terjadi pada masyarakat sekarang. Seolah-olah sudah
menjadi kebiasaan yang umum, apabila suatu kondisi yang sederha-
na, semakin mudah difahami, asal kesederhanaan menyangkut kebia-
saan-kebiasaan yang umum. Kondisi masyarakat perkotaan sekarang
ini sangat memungkinkan untuk terjadinya kondisi tersebut, karena
tuntutan pemenuhan kebutuhan yang semakin meningkat, sehingga
mobilisasi masyarakat perkotaan juga semakin tinggi dalam rangka
memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat
perkotaan akan mencari pemecahan permasalahan yang dihadapi
dengan cara yang sederhana, cepat, tanpa memikirkan efek yang
akan timbul dari yang ditempuh.
Keadaan tersebut diperparah dengan industrialisasi di segala
bidang, termasuk industri seni sebagai bagian dari genre budaya. In-
dustri seni pada saat sekarang ini banyak dikemas dalam bentuk hi-
buran pada tayangan televisi. Media televisi yang merupakan media
yang banyak berperan pada ruang-ruang publik seharusnya berperan
26 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

aktif dalam proses edukasi masyarakat dalam bidang sosial, politik,


ekonomi, dan kebudayaan. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi
bahwa, tayangan hiburan mempunyai prosentase yang jauh lebih
tinggi apabila dibandingkan dengan tayangan yang bersifat edukatif.
Apabila keadaan ini terjadi terus-menerus dan tanpa kontrol,
maka sangat mungkin budaya tradisional akan semakin jauh dari
tatanan perikehidupan masyarakat perkotaan. Kita ketahui bersama
sebagian besar budaya tradisional kita berkembang dan dilestarikan
dari “tradisi lisan”. Tradisi yang demikian disebut folklor, (“folk” =
rakyat; “lor” = unsur-unsur tradisi di dalam suatu budaya tertentu).
(Danandjaja, 1991:5). Adapun ciri-ciri umum Folklor adalah :
a. Penyebaran dan pewarisanya secara lisan;
b. Bersifat tradisional disebarkan dalam bentuk tetap dan standar;
c. Bersifat anonym;
d. Mempunyai bentuk dan pola tertentu yang hampir sama pada
semua daerah;
e. Mempunyai kegunaan yang bersifat kolektif (menjadi milik
bersama)
f. Bersifat prologis, mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai
dengan logika umum..

Apabila ditinjau dari ciri umum budaya di atas, jelaslah kecil


kemungkinan budaya tersebut dapat berkembang dan diterima oleh
masyarakat perkotaan (modern) seperti sekarang ini. Di mana tun-
tutan perubahan yang cepat bahkan cenderung instan, dan masyara-
kat perkotaan mulai berpikir individualistik, yang mengurangi kontak
dan berkomunikasi dengan lingkungan sosial di sekitarnya jika tidak
mempunyai urusan yang berkaitan dengan kepentingannya.
Secara umum perbedaan antara budaya tradisional dan populer
adalah :
Budaya tradisional Budaya populer
- penyebaran lisan - penyebaran dengan media
- pola penyebaran tetap (standar) - pola penyebaran bervariasi
- bersifat anonym - jelas penciptanya
- kegunaan bersifat kolektif - kegunaan bersifat individu atau
- mempunyai logika tersendiri kelompok kecil
- mempunyai logika umum
Perubahan Perilaku Masyarakat... 27

 Dari perbedaan-perbedaan yang mendasar tersebut sangat jelas


bahwa masyarakat perkotaan yang lebih dekat dengan budaya po-
puler sangat bertolak belakang dengan tatanan umum budaya tradi-
sional. Kondisi yang semacam ini akan menyebabkan budaya populer
akan kontra produktif terhadap budaya tradisional.
 
Perubahan Sosial Ditinjau dari Sudut Budaya
Dalam persoalan kebudayaan, orang mungkin menempatkan
kebudayaan sebagai idiom, atau menempatkan kebudayaan sebagai
simbol. Kalau kebudayaan ditempatkan sebagai simbol, maka kebudayaan
mempunyai makna tertentu bagi masyarakat yang menyatakannya.
Misalnya, jati diri bangsa dapat dinyatakan sebagai idiom kebudayaan,
maka maknanya hanya bisa dipahami oleh bangsa itu sendiri. Apabila
kebudayaan ditempatkan sebagai simbol, maka kebudayaan itu adalah
fenomena nyata. Agar fenomena dapat dipahami orang, maka orang mem-
berikan simbol pada fenomena tersebut. Artinya setiap orang yang menya-
takan simbol kebudayaan, siapapun akan paham apa yang dimaksudkan,
bahkan dapat menunjuk secara pasti fenomena itu. Oleh karena itu seni
menjadi sangat populer sebagai dimensi kebudayaan, karena seni
merupakan fenomena nyata kebudayaan yang dapat divisualisasikan.
Yang akhirnya bisa memunculkan dampak adanya miskonsepsi dalam
pemaknaan kebudayaan tersebut. Padahal kebudayaan sangat erat
hubungannya dengan keberadaan peradaban manusia itu sendiri.
Semua objek dan kejadian yang terjadi di alam ini sebagai akibat
sebagai ulah manusia adalah kebudayaan. Wujudnya mulai dari pro-
ses dan dasar manusia berulah sampai dengan produk ulahnya itu,
yaitu mulai dari bagaimana cara berpikir, bersikap, dan cara berperi-
laku, sampai dengan perwujudan cara berpikir dan berperilaku mere-
ka. Selain seni, simbol kebudayaan yang mudah ditangkap orang
adalah tata nilai hidup bermasyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lainnya, dalam tingkatan universal atau global, sampai tingkatan
yang sangat lokal. Dimensi budaya yang terkait dengan iptek, struktur
organisasi masyarakat, wawasan, sikap, cara berpikir, cara kerja, ting-
kat kepuasan, cara hidup lainnya tampak masih belum tersentuh
sebagai fenomena kebudayaan. Oleh karena itu, apabila setiap orang
membicarakan masalah kebudayaan seolah-olah hanya masalah
28 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

kesenian, atau selalu menjurus ke arah seni. Begitu pula predikat bu-
dayawan, hanya terbatas diberikan kepada mereka yang berkecimpung
dalam dunia kesenian (seniman atau artis) (Djohar, 1999 : 106)
Telah kita ketahui bersama, bahwa era globalisasi pada dasarnya
adalah era persaingan pasar bebas yang akan banyak menampilkan
kompetisi ukuran-ukuran kualitas produk barang dan jasa, yang dila-
tarbelakangi oleh dukungan kualitas manusia sebagai pelakunya. Yang
menjadi masalah adalah, ukuran kualitas manusia yang bagaimana
yang mampu menghasilkan barang dan jasa yang mampu merebut
pasar. Seni sebagai produk budaya manusia juga terjadi proses yang
demikian, terutama seni yang berfungsi sebagai media hiburan. Dengan
adanya media tayangan televisi, maka produk hiburan yang berbasis
seni berkembang dengan pesat. Maka untuk memenuhi tuntutan ma-
syarakat di bidang hiburan, para pelaku jasa hiburan terutama pada
tayangan televisi memperlakukan seni sebagai komoditi industri. Se-
hingga dengan pranata industrialisasi tersebut nilai seni akan bergeser
menuju ke arah budaya instan. Hal tersebut akan memunculkan kon-
disi pendangkalan terhadap pemaknaan terhadap seni, oleh karena
masyarakat hanya memahami bagian luarnya saja, sedangkan hakikat
yang seni yang sebenarnya tidak pernah dipahami.
Masyarakat perkotaan sekarang selalu berhadapan dengan per-
saingan hidup yang sangat ketat, sehingga untuk memenuhi kebutuh-
an hidup, dan menjawab tantangan tersebut mereka dituntut
beraktivitas dengan mobilitas yang tinggi. Untuk memenuhi
kebutuhan hiburan (kebutuhan phsikis), mereka mencari hiburan
yang sifatnya instan dengan kemasan yang praktis. Hiburan yang
semacam itu sangat mudah didapatkan melalui tayangan hiburan
di layar televisi. Hal tersebut sangat mungkin masyarakat hanya
memahami bagian luarnya saja, tanpa harus berpusing-pusing
memahami makna yang sebenarnya. Sebagai contoh sebagian besar
tayangan sinetron selalu menggambarkan gaya hidup masyarakat
prkotaan kelas atas dengan segala permasalahannya. Sedang sebagian
besar masyarakat yang menonton tayangan sinetron justru dari
kalangan masyarakat perkotaan kelas menengah ke bawah. Hal yang
demikian mengakibatkan banyak masyarakat berpikir pada tataran
fantasi (khayalan) bukan pada realitas (kenyataan) yang dihadapi.
Perubahan Perilaku Masyarakat... 29

Kondisi tersebut diperparah dengan tayangan iklan dari produk


kebutuhan pokok sehari-hari, yang mana tayangan tersebut selalu
menampilkan pesohor (selebritis) sebagai ikon konsumen yang loyal
terhadap produk tersebut. Padahal yang terjadi yang sesungguhnya
belum tentu pesohor tersebut menggunakan produk seperti tayangan
iklan yang diperankannya. Hal yang sama juga terjadi pada tangan
hiburan musik, pada umumnya artis yang tampil dengan segala atribut
dan dandananya selalu menjadi kiblat mode anak muda perkotaan za-
man sekarang . Mereka hanya memahami simbol-simbol tampilan luar-
nya saja, tanpa mau peduli terhadap hakikat seni yang sesungguhnya.
Dilihat dari pandangan konvensional (yang cukup beredar di
masyarakat saat ini) para seniman (artis) lazimnya dianggap sebagai
orang yang menghibur atau mengasuh masyarakat, yaitu memuas-
kan masyarakat dengan sesuatu yang di luar beban kehidupan sehari-
hari. Kemudian seniman hiburan dianggap sebagai orang yang ka-
dang-kadang egosentris dengan berbagai gejala kebebasan, atau sim-
bol-simbol perilakunya yang membuat mereka sebagai idola yang
dianut oleh kebanyakan masyarakat yang belum memperoleh kebe-
basan. Sehingga kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kebanyakan
masyarakat yang mengidolakan seniman (artis) tersebut.
Kenyataan tersebut merupakan kondisi yang memprihatinkan
di masyarakat perkotaan, di mana ada kecenderungan masyarakat
mencari idola-idola modern sebagai pengganti idola-idola yang dulu
masih berkaitan dengan mitologi asli budaya sendiri. Gejala tradisi
budaya yang bersifat fakta-fakta alami dan mitologis mulai ditinggal-
kan oleh sebagian masyarakat perkotaan. Sebagian masyarakat per-
kotaan mempunyai kecenderungan mengutamakan sarana dan pola
pemikiran yang berasal dari budaya-budaya maju sambil meng-
anaktirikan budaya sendiri dengan tradisi lama. (Mack, D. 2001:183)
 
Pendekatan Pendidikan Seni Budaya
Berdasarkan paparan-paparan di atas, maka perlu pemikiran
kembali relevansi konsep pendidikan sebagai proses pewarisan nilai-
nilai budaya tradisional, yang tentunya sangat berbeda dengan ke-
adaan pendidikan di Indonesia pada saat sekarang. Seandainya masih
relevan, akan terjadi pada nilai-nilai yang sifatnya adalah nilai dasar.
30 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Nilai-nilai dasar ini merupakan nilai-nilai yang hakiki dalam tatanan


kehidupan suatu bangsa, bahkan nilai-nilai dari suatu suku bangsa
atau etnis tertentu dalam suatu bangsa yang multi etnis. Pendekatan
pendidikan seni budaya melalui konsep keragaman budaya yang ma-
jemuk kiranya perlu dikembangkan untuk mengantisipasi perubahan
perilaku sosial yang terjadi.
Perubahan budaya yang terjadi pada masyarakat perkotaan
sekarang ini disebabkan oleh semakin transparannya kehidupan antar
bangsa (globalisasi), dan kenyataan objektif kehidupan yang semakin
dinamis. Sehingga manusia mulai mengalami kesulitan untuk mem-
buat proyeksi atau prediksi kehidupan di masa datang. Masyarakat
perkotaan mempunyai kecenderungan untuk mencermati tatanan
kehidupan nyata dari bangsa lain yang lebih maju dirasa akan lebih
mudah diraih dari pada masa depan mereka yang tidak jelas. Se-
lanjutnya tatanan kehidupan tersebut diadopsi sebagai nilai-nilai baru
yang dianggap lebih realistik.
Sebagai usaha untuk mengantisipasi kenyataan di atas diperlukan
suatu strategi dalam pelaksanaan pendidikan seni budaya di masya-
rakat, dengan cara mengaktifkan kembali kegiatan seni tradisi yang
hidup di masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan membentuk
Dewan Kebudayaan yang bertugas memberikan pertimbangan dan ma-
sukan kepada pemerintah dalam hal pelestarian dan pengembangan
budaya tradisional. Selanjutnya pemerintah melalui instansi teknis
(Dinas Pariwisata dan Kebudayaan) melakukan bentuk pembinaan se-
suai dengan masukan yang diberikan oleh Dewan Kebudayaan. Ada-
pun beberapa hal penting untuk mempertahan kebudayaan asli, agar
identitas masrakat masih nampak kokoh antara lain :
 
Melestarikan dan menghargai kebudayaan lokal
Tradisi kebudayaan lokal merupakan bagian penting dari rasa
bermasyarakat, dan membantu memberikan rasa identitas kepada
masyarakat. Maka dari itu, pembangunan masyarakat akan selalu
berusaha untuk mengidentifikasi elemen-elemen penting dari kebuda-
yaan lokal, dan melestarikannya. masyarakat. Bila ini tercapai, tradisi
kebudayaan lokal dapat menjadi titik fokus untuk interaksi sosial,
pelibatan masyarakat dan partisipasi berbasis luas, dan dapat menjadi
Perubahan Perilaku Masyarakat... 31

proses penting di dalam aspek-aspek lain dari pembangunan masya-


rakat, seperti pembangunan sosial, ekonomi, dan politik.
 
Melestarikan Dan Menghargai Kebudayaan Asli
Pelestarian dan penghargaan kebudayaan penduduk asli meru-
pakan persoalan kritis bagi pembangunan masyarakat. Walaupun
mungkin dikatakan bahwa kebudayaan asli hanyalah kasus khusus
dari kebudayaan lokal sebagaimana yang dibahas diatas, dinamika
yang berbeda yang mengelilingi kebudayaan asli berarti bahwa
kebudayaan ini harus diperlakukan sebagai kasus yang berbeda pula.
 
Multikulturalisme
Pola-pola pengembangan pendidikan kebudayaan Prinsip ke-
anekaragaman (diversity) mengharuskan bahwa keanekaragaman ke-
budayaan dipertahankan; kebudayaanlah yang memberikan kepada
warga masyarakat (people) rasa memiliki dan identitas, sehingga
pembangunan kebudayaan yang terpenting bagi masyarakat. dengan
cara mengkolaborasikan antara budaya tradisional dan modern (populer),
diharapkan mampu mengantisipasi perubahan perilaku masyarakat,
agar mereka tidak merasa ketinggalan zaman akan tetapi masih
menghargai dan menghayati nilai-nilai akar budaya tradisional.  
Aktivitas kebudayaan merupakan fokus penting untuk identitas
masyarakat, partisipasi, interaksi sosial dan pembangunan masyara-
kat. Satu cara untuk mendorong masyarakat yang sehat adalah
mendorong partisipasi luas dalam aktivitas-aktivitas kebudayaan,
sehingga kesenian, musik, teater, dan tari menjadi sesuatu yang di-
lakukan dan bukan hanya ditonton oleh masyarakat.
Aktivitas-aktivitas ini sendiri punya potensi untuk pembangunan
masyarakat progresif, karena mempunyai kekuatan untuk meng-
ilhami, menginformasikan dan menyatukan suatu masyarakat. Maka
dari itu mendorong partisipasi di dalam aktivitas-aktivitas kebudayaan
merupakan bagian penting dari pembangunan masyarakat.
32 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Kesimpulan
Perkembangan kesenian di era global saat ini menuntut sikap
antisipatif terhadap situasi yang terjadi. Pengaruh budaya global tidak
dapat dipungkiri lagi akan berpengaruh pada eksistensi seni tradisio-
nal. Seni sebagai bagian dari kebudayaan memang selalu berkembang
mengikuti arus perubahan zaman. Hanya saja kita dituntut secara
arif untuk selalu menyikapi perubahan-perubahan itu, sehingga
substansi seni tradisi tetap bisa dipertahankan. Mempertahankan
substansi seni dalam menghadapi era globalisasi menjadi suatu yang
penting, mengingat roh kesenian berasal dari tradisi budaya pada
suatu kelompok masyarakat. Dari sumber-sumber tradisi itulah berba-
gai ekspresi seni bisa dikembangkan dalam bentuk lain yang bersifat
kreasi atau modern. Pengembangan bentuk dari konvensional menuju
ke arah kreasi modern ini sebenarnya merupakan sebuah upaya pe-
lestarian budaya dalam bentuk dan format yang baru.
Aktifitas kebudayaan yang berakar pada seni tradisional se-
sungguhnya adalah usaha pewarisan nilai dari suatu generasi kepada
generasi berikutnya. Sehingga interaksi yang terjadi dalam aktivitas
seni tradisional merupakan kegiatan belajar, dimana dalam aktivitas
tersebut akan terjadi terjadi dialog antara kelompok masyarakat yang
berada di dalam habitat kesenian tersebut. Dalam dialog dimungkin-
kan terjadi suatu proses identifikasi terhadap masalah-masalah yang
dihadapi, sehingga kelompok masyarakat tersebut akan berusaha
mencari solusi dalam rangka pemecahan masalah-masalah yang di-
hadapi, dan pada akhirnya secara mandiri mampu meningkatkan
harkat dan martabat kelompok masyarakat tersebut.
Agar pembinaan seni tradisional efektif di dalam konteks pemba-
ngunan dan pemberdayaan masyarakat yang lebih luas, maka seni
tradisional tidak boleh dipisahkan dari kehidupan masyarakat, tetapi harus
dipandang sebagai suatu bagian nyata dari kehidupan masyarakat.
Perubahan Perilaku Masyarakat... 33

Daftar Pustaka
Charon, Joel, M., 1992. Sociology : A Conceptual Approach, Boston:
Allyn and Bacon.
Danandjaja, J., 1991. Folklor di Indonesia, Jakarta: Penerbit UI.
Dieter Mark, 1996. Apresisi Musik Tradisional, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Djohar, MS, tt. Reformasi dan Masa Depan Pendidikan Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Harrison, LE, 2000. Culture Matters, New York: BASIC BOOK
Hugh M., Miller, 1986. Apresiasi Musik (Introduction to Music a Guide
to Good Listening). Yogyakarta: ISI YOGYAKARTA.
Ife, J., 1997. Community Development, Australia: LONGMAN
Lauer, Robert, 1993. Perspektif tentang Perubahan Sosial, Terjemahan
Alimandan, S.U, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Roger Kamien, 1980. Music An Appreciation. New York: Mc. GRAW-
HILL BOOK COMPANY
Salim, Agus, 2002. Perubahan Sosial : Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi
Kasus Indonesia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Tilaar, HAR., 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan, Jakarta: PT.
Grasindo.
34 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Wayang dalam Perspektif Pendidikan 35

WAYANG
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN

Muhammad Mukti
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract
This research describe about wayang that have Islamic moral and
spiritual education. In history, Javanese community think was as character
building, specially for national identity. Dalang ought to teach people or
ummat-umara to do goodness or akhlakul karimah by wayang performants
arts.
Keywords : wayang, education, Javanese

Pendahuluan
Data terakhir menyebutkan, bahwa wayang kulit purwa dalam
arti pertunjukan (selanjutnya disebut dengan istilah wayang begitu
saja), Yogyakarta sebagai barometer budaya sepanjang tahun 2009
ada sebanyak 75 kali, sedang dulu tahun 1980 350 kali -turun 70 %
(lihat plat form pada jadwal Radio Republik Indonesia Yogyakarta,
2009). Meski demikian, tetap saja menarik untuk dibicarakan ter-
masuk dalam berbagai perspektifnya.
Wayang, dalam perspektif pendidikan tidak terkecuali agama
Islam selama ini sering dipandang positif oleh masyarakat, dan nyaris
tidak ada yang berani berkata miring. Hal ini bisa dimaklumi, sebab
memang awalnya begitu -digunakan untuk kepentingan dakwah oleh
para Wali. Berikut di antara masyarakat tersebut sekaligus pandangan
positifnya.
36 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Amijoyo memandang -mengatakan bahwa wayang itu sebagai


gambaran dari sebuah alam yang sempurna- dalang sebagai Tuhan-
nya, wayang manusia, kotak asal manusia tiada. Dalang sebagai
Tuhan yang mempunyai purbawasesa untuk menentukan nasib hidup
matinya wayang -sebagai manusia dari kotak tiada. Wayang demiki-
an, jika dihayati benar akan menjadikan orang semakin tebal imannya
(Amir Hazim, 1991:15).
Kasidi (1991:100) mengatakan bahwa suluk yang dilantunkan oleh
dalang dalam wayang itu asalnya dari kata salaka, artinya jalan -yang
ditempuh. Suluk merupakan doa yang jika dihayati benar akan bisa
mengantarkan dalang sampai pada Penciptanya -manunggaling kawula-
Gusti- makrifat kepada Allah. Zarkasi Effendi (1977:80) mengatakan
bahwa lakon Dewaruci adalah cerita makrifat, oleh karena itu jika
dihayati benar, akan menjadikan orang paham terhadap Penciptanya-
Tuhan. Kemudian Zarkasi berharap agar orang Islam Jawa khususnya
tidak meninggalkan wayang yang sejarah telah nyata-nyata berhasil
dalam usahanya mengantarnya bangsa menjadi Islam mayoritas.
Zarkasi Effendi pula mengatakan bahwa maksud perabot-perabot
wayang -kendang- tak ndang tak ndang itu artinya bersegeralah, saron
-nang ning nung nong- di sana -dalam agama Islam ada kebesaran
Tuhan. Maksudnya, sebuah ajakan “bersegeralah untuk masuk-me-
meluk agama Islam, maka anda akan melihat kebesaran Tuhan di
sana (di dalam agama Islam) (Zarkasi, 1977:7). Solihin (2009:17)-
ketua Senawangi mengatakan panjang lebar bahwa wayang itu
merupakan penggambaran dari sebuah makrokosmos dan mikrokos-
mos. Oleh karena itu, jika dihayati benar akan bisa memberikan
kontribusi terhadap perbaikan budaya Jawa yang kental dengan sua-
sana agama -sangkan paran.
Sebuah pertanyaan kemudian, mengapa demikian- wayang selalu
dipandang positif oleh masyarakat dan nyaris tidak ada yang berani
berkata miring? Terhadap pertanyaan itu Abdullah “orang yang
mengaku tidak punya kapabelitas dalam bidang tersebut” memberikan
jawaban spekulasi: pertama karena wayang telah berhasil menina
bobokkan masyarakat dengan berbagai perhidmatan maksimal seperti
sabet yang akrobatik, penataan sindhen yang artistik -menghadap bisa
dilihat langsung oleh dalang dan penonton, hingga bagaimanapun
Wayang dalam Perspektif Pendidikan 37

positif atau tidak tetap saja dipandang positif. Kedua karena wayang
awalnya memang begitu -positif terutama setelah datangnya agama
Islam-digunakan untuk kepentingan agama-dakwah para Wali
(Munarsih Sahana dalam The Jakarta Post, 2009:5). Jawaban dari “orang
yang tidak punya kababel dalam bidang tersebut” menyiratkan tidak
demikian sesungguhnya wayang, artinya dalam perspektif pendidikan
agama Islam bagai isu korupsi-layak dibongkar atau ditinjau ulang atas
kebenarannya.
Pertanyaan berikut akan menjadi dasar penuntun awal sampai
akhir tulisan ini.
1. Bagaiaman kebenarannya wayang selama ini dalam perspektif
pendidikan agama Islam.
2. Adakah bisa wayang tersebut mengantarkan manusia sampai
pada Penciptanya?
3. Jika tidak lalu bagaimana pemecahannya?

Pendidikan Agama
Pendidikan agama, adalah sebuah usaha untuk mengantarkan
manusia sampai pada Penciptanya -Tuhan-Allah-dzat yang khaliq-
yang menciptakan, malik-yang merajai, dan raziq yang memberi rizki,
sehingga tidak ada cara selain harus taat kepadanya melakukan segala
perintah dan menjauhi segala larangannya.
Adapun usaha untuk mengantarkan manusia sampai pada
Penciptanya itu dalam agama Islam sesungguhnya telah ditetapkan
ada tiga-pertama dakwah, kedua taklim, ketiga ibadah-robbanaa wab’ats
fiihim Rasulanminhum yatluu ‘aihi aayaatika wayu’allimuhumul kitaaba
wal hikmah …”. Yaa Allah bangkitkan dari kalangan mereka seorang
Rasul yang menyampaikan ayat-ayat kebesaranmu (dakwah) meng-
ajarkan kitab (taklim), dan membersihkan hati (ibadah) (surat Al-
Baqarah:129). Tafsir terhadap dakwah, taklim, dan ibadah tersebut,
tentu saja macam-macam termasuk aplikasinya.

 Dakwah
Dakwah artinya adalah mengajak (Abdullah, 2002:3) —
manusia taat kepada Allah dengan bijaksana, atau dengan baha-
sa Al-Qur’annya hikmah—sesuai dengan maqam atau kekuatan
38 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

sasaran manusia yang diajak (Zakariyya, 2000:400)—ud’uu ilaa


rabbika bilhikmati …..” ajaklah manusia kepada Tuhanmu dengan
cara bijaksana ….” (An-Nahl:125)
Walaupun pengertian dakwah tersebut harus dilakukan
dengan cara bijaksana, tetapi dalam pengertian umum sering
sekali kaprah atau rancu. Sebab tidak boleh ada pelanggaran di
dalamnya. Khamamah Suratno misalnya, mengatakan: “budaya
dimaksud dalam dakwah kultural itu adalah budaya-budaya
yang telah seperti Nabi lakukan (Mimbar Pagi -Kuliah Ramadlan
dalam TVRI, 2005, jam 05.00). Kalau budaya dimaksud seperti
yang telah Nabi lakukan, itu berarti kebenaran -bukan pelanggar-
an. Kalau kebenaran, berarti kebijakan tidak berlaku di dalamnya.
Khusus untuk orang-orang Jamaah Tabligh, karena dakwah
ini mengajak manusia untuk taat kepada Allah dengan bijaksana,
artinya mengajak manusia dari tidak taat kepada taat sesuai de-
ngan maqam sasaran manusia yang diajak, maka dakwah ini sifat-
nya aktif bergerak antara pelanggaran -apa-apa yang dilarang
oleh Allah dan kebenaran- apa-apa yang diperintahkan oleh
Allah. Gambar berikut kiranya bisa lebih memperjelas.

Allah

Kebenaran

Manusia Manusia

Melanggaran

Aplikasi dakwah, khusus orang-orang Jamaah Tabligh, adalah


keluar khuruj fii sabiilillaah tiga hari, empatpuluh hari, atau empat
Wayang dalam Perspektif Pendidikan 39

bulan-diawali dari bayan hidayah atau pembekalan sebelum


berangkat-berisi pengetahuan-pengetahuan cara dakwah di
lapangan seperti tidak boleh menyentuh khilafiah, politik, aib
masyarakat dan sebagainya, diakhiri dengan bayan tangguh-
pesan-pesan setelah selesai dakwah- di antara yang penting ada-
lah agar tetap dakwah kepada keluarga, tetangga, dan masya-
rakatnya.

 Taklim
Taklim, artinya belajar-mengajar -agama Islam. Karena
belajar-mengajar agama Islam, maka seluruh ilmunya harus
datang dari Al-Qur’an dan Al-Hadits (Zakariyya, 2000). Aplikasi
taklim khusus untuk orang-orang Jamaah Tabligh di antaranya
adalah membaca buku “Fadlilah amal” sekali di masjid bersama
jamaah masjid, dan sekali di rumah bersama anak istri. Buku
tersebut isinya tentang keuntungan membaca Al-Qur’an, ke-
untungan dzikir, dakwah, dan shalat.

 Ibadah
Ibadah, artinya mengabdi -kepada Allah- mengamalkan
ajaran agama Islam secara benar (Zakariyya, 2000). Berbeda
dengan dakwah yang sifatnya bergerak antara pelanggaran dan
kebenaran, ibadah ini sifatnya mandeg dalam kebenaran saja.
Aplikasi ibadah khusus untuk orang-orang Jamaah Tabligh,
difokuskan antara lain pada shalat, dzikir pagi petang, tidur dan
istirahat, masuk-keluar masjid, dan masuk keluar wc.

Wayang
Wayang adalah sebuah seni drama yang dipertunjukkan -menyi-
ratkan adanya cerita, pelaku, perabot, dan operasional pertunjukan.
Karena seni yang dipertunjukkan, maka keberadaan penonton tidak
bisa diabaikan.

 Cerita
Cerita wayang adalah Mahabarata dan Ramayana, keduanya
merupakan hasil karya sastra untuk kepentingan agama Hindu
(Sudarsono, 1996:7) -menceritakan peperangan Pandawa-Kurawa
40 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

karena rebutan harta dan tahta Hastina untuk Mahabarata, dan


menceritakan peperangan Rama-Rahwana karena rebutan wanita
Dewi Sinta untuk Ramayana (Sudarsono, 1996:7).

 Pelaku
Pelaku wayang paling utama adalah dalang, didukung oleh
pengrawit atau penabuh gamelan yang biasa disebut dengan istilah
niyaga, wiraswara atau penyanyi laki-laki yang biasa disebut dengan
istilah penggerong, dan swarawati atau penyanyi perempuan yang
biasa disebut dengan istilah pesindhen, dan penonton.

 Perabot
Perabot wayang yang paling utama adalah wayang.
Bentuknya pipih seperti gambar manusia, didukung gamelan yang
terdiri dari kendang, gong-kempul, balungan- saron, demung dan
centhe, seruling, kenong, siter, rebab, dan gawang-kelir dengan
patung ular naga beradu pethit.

 Operasional Pertunjukan
Cerita wayang Mahabarata dan Ramayana dipertunjukkan
dengan ada judul, tokoh, dan alur cerita. Judulnya bisa macam-
macam Wirathaparwa, Dewaruci, atau yang lain. Kalau judul-
nya Wirathaparwa, maka tokohnya adalah Pandawa-Kurawa,
sedang alur ceritanya mulai dari adegan Wiratha -prabu Matswa-
pati susah kehilangan cucunya Pandawa sampai dengan bahagia
bisa bertemu kembali.
Pelaku dalang, pengrawit, wirasuwara, mengenakan baju
kejawen -blangkon, buskab, jarit, keris, dan stagen, swarawatinya
tabarruj -memakai celak, benges, mengenakan baju kebaya, dan sampir
selendang panjang. Pelaku duduk ihtilat campur antara laki-laki dan
perempuan sesuai dengan penataan perabot yang ada -dalang paling
depan menghadap kelir, sindhen di sebelah kanan, menghadap dalang
dan atau penonton, pengrawit -penggender di belakang dalang berikut
pengendang, pengerong di sebelah kiri, pembonang di sebelah kanan,
pembalung di belakang pengendang, dan berikut penonton ada di
belakang pengrawit menghadap wayang.
Wayang dalam Perspektif Pendidikan 41

Pelaku sesuai dengan perannya -dalang terlebih dulu doa japa


mantra, kemudian memainkan wayang dengan sebentar-sebentar
suluk mengucapkabn “o” atau hong, pengrawit menabuh gamelan,
penggerong dan pesinden menyanyikan lagu, penonton menikmati
sambil sebentar-sebentar tertawa dan tepuk tangan. Wayang
memakan waktu semalam suntuk atau tidak kurang dari tujuh
jam mulai dari talu jam 21.00 sampai dengan adegan tanceb kayon
jam 04.00 pagi.

Kebenaran Wayang dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam


Berdasar tiga usaha dakwah, taklim, dan ibadah yang bisa
mengantarkan manusia sampai pada Penciptanya tersebut, maka
kebenaran wayang dalam perspektif agama Islam selama ini
sesungguhnya bukanlah dakwah, bukan taklim, bukan pula ibadah.
Wayang selama ini bukanlah dakwah. Kalau wayang selama ini
itu dakwah, bergerak ke mana? Ke dakwah sebenarnyakah? Atau
ke taklim? Ke ibadah? Tidak! wayang selama ini tidak bergerak ke
mana-mana -alias mandeg dalam pelanggaran wayang itu sendiri
sebagai pertunjukan tunggal- barjibarbeh salaman Petruk -bubar siji bubar
kabeh ra tau pethuk- tidak ada kelanjutannya.
Wayang selama ini juga bukan taklim. Kalau wayang selama ini
itu taklim, adakah cerita Ramayana dan Mahabarata itu dari Al-Qur’an
dan Al-Hadits? Perabot gamelan -kendang, gong kempul, balungan-
demung, saron, dan centhe, seruling, kenong, siter, rebab datang Al-
Qur’an dan Al-Hadits? Gawang kelir dengan ada patung ular beradu
pethit itu datang dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, penataan duduk ihtilat,
dandan tabarruj, japa mantra atau mengucapkan “o” atau “hong”
menyanyi itu datang dari Al-Qur’an dan Al-Hadits? Tidak! semua itu
datang dari agama Hindu, Budha, budaya, dan sebagainya.
Wayang selama ini bukan pula ibadah. Kalau wayang selama ini
itu ibadah, adakah cerita Ramayana dan Mahabarata itu sesuai dengan
Al-Qur-an dan Al-Hadits? perabot gamelan kendang, gong, kempul,
balungan—demung, saron, centhe, seruling, kenong, siter, rebab datang
dari Al-Qur’an dan Al-Hadits? gawang kelir dengan ada patung ular
beradu pethit itu datang dari Al-Qur’an dan Al-Hadits? penataan pelaku
duduk ihtilat, dan tabarruj, japa mantra atau mengucapkan “o” atau
42 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

“hong” yang sesunguhnya itu bahasa persembahan agama Hindu, dan


menyanyi itu sesuai dengan syariat Al-Qur’an dan Al-Hadits? Tidak!
semua itu tidak sesuai dengan syariat baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits.

Wayang Tidak Bisa Mengantarkan Manusia Sampai pada Penciptanya


Melihat kebenaran wayang selama ini dalam perspektif pendidik-
an agama Islam yang bukan dakwah, taklim dan ibadah tersebut,
maka sudah barang tentu tidak bisa mengantarkan manusia sampai
pada Penciptanya, tetapi pada yang lain—harta, tahta, dan wanita
sebagai pokok-pokok selain daripada Pencipta yang paling dikenal
oleh masyarakat selama ini. Dengan dipatoknya harga setiap kali
tanggapan Rp. 30. 000.000, 40.000.000, atau berapa pun oleh dalang-
dalang sekarang ini (lihat tarip tiga dalang kondang: Anom Soeroto,
Manteb Soedrsono, Enthus Susmono, dalam Murtiyoso, 1996:20),
cukuplah dikatakan sampai pada harta.
Dengan diberinya kewenangan penuh kepada dalang sebagai
pemimpin yang menentukan berbagai hal—membagi uang tanggapan,
menentukan jadwal latihan, menentukan waktu keberangkatan menuju
tempat pertunjukan—pagi, siang, sore, malam, dan sebagainya (lihat
Van Gronendael, 1985:78, cukuplah dikatakan sampai pada harta.
Dengan ditatanya posisi pesindhen menghadap dalang dan penonton
hingga sesekali bisa dipandang, bisa diajak bicara, bahkan memang
sengaja demikian—malah sebagai hiburan (lihat tentang Destruktif
Wayang dalam Soetarno, 1978), cukuplah dikatana sampai pada wanita.

Pemecahan
Wayang selama ini agar dalam perspektif agama Islam bisa
mengantarkan manusia sampai pada Penciptanya, haruslah disam-
bungkan dengan dakwah khuruj fii sabiilillaah keluar tiga hari, empat-
puluh hari, atau empat bulan. Untuk itu perlu diperhatikan cerita,
pelaku perabot, dan operasioal pertunjukannya.
Ceritanya tetap Mahabarata dan Ramayana yang ada, tetapi
dibuat Islami baik judul, tokoh dan alur ceritanya. Judul Bimasuci,
dibuat menjadi Bima Dakwah, Tokohnya Pendeta Durna, dibuat
menjadi Kyai Haji Durna, Gareng Petruk dibuat menjadi Abdulah
Sugareng dan Muhammad Supetruk. Alur ceritanya mulai dari Brata-
Wayang dalam Perspektif Pendidikan 43

sena berguru makrifat kepada Kyai Haji Durna, sampai dengan ke-
berhasilannya ketemu Dewaruci—paham agama.
Pelaku dalang, pengrawit, wirasuwara, mengenakan baju Islami
-serban, jubah atau baju koko lengan panjang, celana blunci tidak pan-
jang bawah kemiri, tidak pendek atas dhengkul. Pelaku -sedemikian
rupa sesuai dengan penataan perabot yang ada—dalang paling depan,
pengrawit—penggendher di belakang dalang berikut pengendang,
pengegong di sebelah kiri, pembonang di sebelah kanan, pembalung
di belakang pengendang, dan berikut penonton ada di belakang peng-
rawit. Yang penting pelaku ini dalang dan pengrawit di atas trap,
penonton lesehan duduk iftiras—sepertia duduknya orang shalat dalam
tahiyat awal di lantai bawah.
Pelaku sesuai dengan perannya—dalang terlebih dulu ada wudlu
doa secara sunnah bismillaahirrahmaanirrahiim kemudian memainkan
wayang dengan sebentar-sebentar suluk mengucapkan shalawat
“allaahumma shalli ’alaa Muhammad”, pengrawit menabuh gamelan,
rebana dan bedhug, penggerong melantunkan lagu, dan penonton
tawajuh menikmati wayang, jika terkesan mengucapkan subhaanallaah.

Kesimpulan
Wayang memakan waktu dua jam mulai talu bakdal Isak jam
20.00. sore sampai dengan 22.00 menjelang malam. Setelah wayang
usai, disambungkan dengan dakwah, artinya semua penonton
kemudian khuruj fii sabiilillah keluar tiga hari, empatpuluh hari, atau
empat bulan, dengan terlebih dulu diberi bayan hidayah—pembekalan
berisi tentang cara dakwah, selesai diberi bayan tangguh—pesan-pesan
untuk tetap dakwah kepada diri, ahli keluarga, dan masyarakat.
Kebenaran wayang selama ini dalam perspektif pendidikan aga-
ma Islam sesungguhnya bukanlah dakwah, taklim, maupun ibadah.
Karena kebenaran wayang Selama ini dalam perspektif agama Islam
bukan dakwah, taklim maupun ibadah, maka tidak bisa mengantar-
kan manusia sampai pada Penciptnya, tetapi pada yang lain—harta,
tahta, dan wanita. Pemecahannya, wayang agar dalam perspektif
agama Islam bisa mengantarkan manusia sampai pada Penciptanya,
harus disambungkan dengan dakwah khuruj fii sabiilillaah keluar tiga
hari, empatpuluh hari, atau empat bulan.
44 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Daftar Pustaka
Abdullah, 2002. Wayang Purwa dan Dakwah. Bandung: Al-ma’arif.
Departemen Agama, 1985. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Departemen
Agama Republik Indonesia Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-
Qur’an.
Effendi, Zarkasi, 1977. Unsur-unsur Islam dalam Pewayangan. Bandung:
Al-Ma’arif.
Gronendael, Van, 1985. “dalang di balik Wayang”. The Rule of The
Surakarta dan Yogyakarta. Dardrecht, Forist Publication.
Harimawan, 1977. Dramaturgi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hazim, Amir, 1991. Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Kasidi, 2009. “Estetika Sulukan”. Desertasi untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program studi Ilmu filsafat. Universitas Gajahmada
Yogyakarta.
Murtiyoso, 1997. “Faktor-fakrtor Pendukung Popularitas Dalang”. Tesis
S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Jurusan Ilmu-
ilmu Humaniora. Program Pascasarjana Universitas Gajahmada.
Mulyosuseno, 2002. Pendidikan budi Pekerti. Surabaya: Jayabaya.
Sahana, Munarsih, 2009. “Show Cats Puppet in a Different Light”.
Dalam The Jakarta Post, Jum’at 18 2009.
Sholihin, 2009. “Konferensi Internasional Filsafat Nusantara Program
Word Class Reserch University” Fakulktas Filsafat UGM. Seni
Budaya Wayang untuk Pengembangan Filsafat Nusantara”.
Yogyakarta, 2009.
Soetarno, 1996. Wayang Kulit Jawa. Surakarta. CV. Cinderawasih.
Soetarno, 1978. “Dampak Perubahan Sistem Nilai Terhadap
Pertunjukan Wayang Kulit”. Laporan Penelitian, Dibeayai oleh
Program DUE Like, No. Kontrak: 343/P/DUE/2000. Sekolah
Tinggi Indonesia Surakarta:96
Zakariyya, 2000. Fadlilah Tabligh. Diterjemahkan oleh Abdurrahman,
Yogyakarta: Ashshaaff.
Makna Lambang Keraton Surakarta... 45

MAKNA LAMBANG KRATON SURAKARTA


DALAM PERSPEKTIF HERMENEUTIK

Purwadi
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract
This research discribes about symbol of Surakarta Kingdom namely
Radya Laksana. Surakarta Kingdom is very well known in simbolic culture.
So that its influence to nowadays life as a reference for civil society develop-
ment. The mean of Radya Laksana was about leaders morality in doing
their deeds, ethics to the leaders and the relation between folks and govern-
ments to make society and nation in harmony. This heritage ought to keep
another to use as identity and cultural building of Indonesian people.
Keywords : symbol, radya laksana, identity

Pendahuluan
Keraton Surakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa yang
telah memberi kontribusi besar terhadap perjalanan sejarah bangsa
Indonesia. Oleh karena raja memiliki kekuasaan yang sangat besar
sebagai sumber hukum, pengatur kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, dan bahkan dianggap sebagai ‘wakil Tuhan di muka bumi
(Soemarsaid Moertono, 1985: 15). Berbagai pergumulan politik,
ideologi, sosial, budaya dan keagamaan sangat dipengaruhi oleh ke-
bijakan sang raja yang berkuasa.
Para raja Keraton Surakarta Hadiningrat sangat taat dengan
tradisi yang diwariskan leluhurnya (Bratadiningrat, 1992: 540. Ajar-
an-ajaran yang diwariskan oleh para pendahulunya di Keraton Sura-
karta selalu ia dijadikan referensi untuk memecahkan problematika
yang dihadapinya. Sebegitu pentingnya nilai etis filosofis untuk
46 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

pegangan hidup sehari-hari maka para penguasa Keraton Surakarta, juga


terlibat aktif dalam bidang sastra budaya. Oleh karena itu muncul istilah
brahmana raja, sebuah predikat agung yang mendudukkan raja sekaligus
bergelar pujangga. Dalam bidang budi pekerti, raja Surakarta yang
bernama Sinuwun Paku Buwana IV mewariskan ajaran luhur dalam
kitabnya yang berjudul Serat Wulangreh (Darusuprapta, 1986: 15).
Sebagai institusi resmi, Keraton Surakarta mempunyai lambang
yang disebut dengan istilah Radya Laksana. Bentuknya mempunyai
nilai filosofis yang tinggi. Dari segi seni, lambang keraton ini tampak
sangat indah dan menarik. Dengan demikian lambang ini juga me-
ngandung logika, etika dan estetika sehingga perlu dilakukan peneli-
tian dan pengkajian agar maknanya bisa diketahui masyarakat umum.

Metode dan Landasan Teori


Masyarakat Jawa gemar akan kehidupan yang penuh dengan
perlambang, pasemon atau simbol. Simbol itu mencakup dalam kait-
annya dengan bahasa, religi, dan tradisi. Lambang Keraton Surakarta
itu sangat menarik karena di dalamnya kaya simbolisme. Makna-
makna simbolik di dalam warisan budaya itu senantiasa kontekstual
dan multi interpretasi. Makna yang dikandung dalam Lambang Kera-
ton Surakarta mendapat tempat di hati orang Jawa. Simbol-simbol
di balik ungkapan itu terdapat refleksi dan kontemplasi atas segala
yang ada, demi kemakmuran negeri.
Adapun metode yang digunakan untuk mengungkapkan makna
Lambang Keraton Surakarta adalah metode hermeneutik, yakni me-
tode yang menjelaskan penafsiran terhadap suatu teks yang dilaku-
kan oleh penafsir dengan menyadari bahwa dirinya sendiri di tengah-
tengah sejarah yang menyangkut baik penerimaan maupun penafsir-
an, serta cara mengerti sebuah teks yang turut dihasilkan tradisi.
Teori ini menjelaskan tentang penafsiran terhadap karya sastra
yang dilakukan oleh penafsir dengan menyadari bahwa dirinya
sendiri di tengah-tengah sejarah yang menyangkut baik penerimaan
maupun penafsiran, cara dia mengerti sebuah teks yang turut dihasil-
kan tradisi. Selain itu, dia ditentukan oleh individualitas dan masyara-
katnya. Penafsiran terjadi sambil meleburkan cakrawala masa silam
dan masa kini, selain yang tejadi adalah si juru tafsir memahami
Makna Lambang Keraton Surakarta... 47

teksnya dan menerapkan teks yang kaku dan lepas dari keterkaitan
waktu pada situasinya sendiri (Jan Van Luxemburg, 1986:62-63). Untuk
mendukung teori hermeneutik ini, ini digunakan pula teori semantik
yang menelaah tentang makna. Semantik juga menelaah lambing-
lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna
yang satu dengan makna yang lainnya serta pengaruhnya terhadap
manusia dan masyarakatnya (Henry Guntur Tarigan, 1986:1-13).
Hermeneutik merupakan pendekatan yang sudah lazim diguna-
kan dalam metodologi ilmu sosial untuk mengkaji teks. Teks di sini
adalah dalam arti karya sastra. Hermeneutik berasal dari bahasa
Yunani hermeneuein yang artinya menafsirkan. Kata hermeneia secara
harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Istilah
Yunani ini mengingatkan pada tokoh Mitologis bernama Hermes,
seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Dewa Jupiter
kepada manusia. Tugas mahapenting Hermes ini bisa berakibat fatal
bagi umat manusia jika ia keliru menafsirkan pesan dari para dewa.
Sejak saat itu, Hermes menjadi simbol seorang utusan yang dibebani
misi penerjemahan dan penafsiran.
Pendekatan ini berawal dari kegiatan filologis atau pengkajian naskah
kuno oleh para pendeta Nasrani untuk memahami berbagai teks suci kuno
yang tidak selalu jelas maknanya, karena teks-teks tersebut berasal dari
kurun waktu yang lama. Pendekatan ini kemudian diadopsi ilmuwan sosial
untuk mengkaji teks-teks meskipun bukan teks suci. Hal ini terjadi karena
apa yang ditampilkan dalam teks belum tentu dapat dipahami dengan
jelas. Metode ini menganggap bahwa fenomena yang dihadapi bersifat
simbolik. Fenomena ini ‘mengatakan’ dan ‘menyatakan’ sesuatu, namun
belum begitu jelas apakah ‘sesuatu’ itu. Apakah pesan yang dikandung
dalam ‘sesuatu’ itu. Di sini peneliti tidak mencari korelasi dan kausalitas
untuk ‘menjelaskan’, melainkan untuk menangkap dan memahami makna
sedalam-dalamnya. Dengan kata lain, menurut Richard E. Palmer (2005 :
122), peneliti tidak berusaha merumuskan hukum-hukum atau melakukan
generalisasi. Sebaliknya dia akan memandang kebudayaan sebagai hal yang
unik, dengan makna yang khas, yang tidak dapat dibandingkan dengan
kebudayaan lain untuk dicari prinsip universalnya.
Metode hermeneutik dalam perkembangannya tidak hanya digu-
nakan untuk analisis sastra, melainkan juga untuk wilayah fenomena
48 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

sosial lain. Asumsi dasar dari upaya ini adalah sebagaimana karya sastra,
fenomena sosial dalam kehidupan manusia pada dasarnya merupakan
fenomena simbolik, atau gejala yang melambangkan dan mengatakan
sesuatu. Karena bersifat simbolik, maka fenomena sosial tidak berbeda
dengan karya sastra filosofis. Oleh karena itu pendekatan karya seni
dan sastra dapat digunakan untuk memahami realitas sosial filosofis.
Metode hermeuneutik digunakan untuk memahami makna etika
kesastraan dengan cara peneliti langsung menyatu dengan obyek
penelitiannya. Metode Hermeneutik ini memang relevan untuk memberi
penafsiran terhadap fenomena adat istiadat dan budaya Jawa.

Keraton dan Lingkungan Budayanya


Keraton dikelilingi pagar bata setebal 2 meter, ruangannya hanya
dua, Brajanala Utara dan Brajanala Selatan. Pada tahun 1903 pagar
bata Baluwarti tersebut ditambah lagi ke arah timur, barat dan ke
selatan mengelilingi keraton. Di sebelah timur dan barat ditambah
satu ruangan lagi disebut Butuhan. Pembangunannya selesai pada
tanggal 23 Jumadilawal Wawu 1833 atau tanggal 19 Juni 1903.
Menurut Darsiti Soeratman (1989:36), lingkungan budaya Kera-
ton Surakarta senantiasa berkaitan dengan pola pikir dan pandangan
hidup masyarakat Jawa. Benteng di Solo dibuat sejak tahun 1775
sampai 1779. Dulu, di depan benteng, kanan dan kiri jalan masuk
benteng tadi, terdapat kolam, namun sekarang sudah hilang diganti
dengan taman. Tanah tempat mendirikan benteng tersebut bentuknya
cekung, jadi setiap musim hujan sering kebanjiran, airnya masuk ke
dalam benteng. Bentuk benteng tersebut tidak jauh berbeda dengan
benteng-benteng Belanda lainnya, hanya berbeda besar kecilnya saja.
Benteng tersebut dikelilingi pengokoh. Jalan masuknya dari depan
dan belakang menggunakan jembatan yang bisa diangkat. Malam
hari setelah jam 10, jembatan tadi diangkat sehingga tidak bisa dile-
wati. Pintu paling depan dijaga pengawal siang dan malam, bergilir
setiap jam. Pintu belakang juga dijaga tapi hanya pada waktu malam
saja. Jalan Gladhag adalah sebuah jalan besar mulai dari Gapura
Gladhag ke utara sampai Purbayan
Di Surakarta maupun di Yogyakarta, setiap tahun diadakan tiga
kali garebeg, yang jatuh tiap tanggal 1 Syawal, tanggal 10 bulan Besar
Makna Lambang Keraton Surakarta... 49

serta tanggal 12 Mulud. Setiap malam Bakda atau Garebeg, di Kepa-


tihan serta di rumah para pembesar Bupati semua memainkan game-
lan Monggang atau Kodhok Ngorek sampai terbitnya matahari, seki-
tar jam setengah enam pagi. Setelah itu, pada jam 7 pagi para abdi
dalem panewu, mantri, lurah, bekel dan jajar, semua memakai pakai-
an basahan, kuluk mathak berwarna putih atau hitam, pakaian sikep-
an agung (Padmawarsita, 1953:15). Ada juga yang memakai pakaian
dengan bordir. Setelah itu mereka berkumpul di kabupaten pada jam
8 pagi, lalu berangkat bersama-sama membawa lalayu, rontek, um-
bul-umbul serta payung agung di belakang bendera lalayu. Gamelan
dipikul dan dibunyikan di sepanjang jalan menuju alun-alun utara.
Setelah sampai semua menempati posisi masing-masing. Pada
jam 9 semuanya sudah berada di Pagelaran, lalu Kanjeng Susuhunan
diiringi para abdidalem panewu mantri tiba di Kepatihan, beserta
dengan para tamu yang lain memasuki keraton. Di dalam keraton,
para Gusti Kanjeng Pangeran Putra dalem, para saudara serta
Pangeran sentana, dan lain-lain semua sudah hadir.
Gunungan diarak ke alun-alun. Sesampainya di sebelah selatan
ringin kurung lalu masuk ke Masjid Agung diikuti para abdidalem ser-
ta gamelan sekaten alit. Setelah gunungan masuk, Ingkang Sinuhun
memerintahkan untuk memainkan gamelan Kyai Sekar Dlima. Setelah
acara selesai, kanjeng sinuhun kembali ke keraton, sedangkan Kanjeng
Raden Adipati masuk ke masjid untuk mengambil gunungan.
Sekaten mulai diadakan sejak jaman keraton Demak, pada masa
pemerintahan Raden Patah. Para wali berkumpul di masjid untuk
membahas memperingati Maulud Nabi. Sang prabu setuju bahwa
peringatan akan diadakan di masjid setahun sekali. Setelah semua
setuju, para wali dan bawahannya datang ke keraton dan bersama-
sama dengan sang prabu pergi ke masjid untuk menghadiri peringat-
an Maulud Nabi tersebut. Di sekitar masjid didirikan tenda-tenda,
juga diadakan khotbah untuk menyiarkan agama Islam pada seluruh
masyarakat yang hadir pada acara tersebut.
Di masjid terdapat seperangkat gamelan dan dimainkan sebagai
penghormatan pada semua orang yang akan datang ke masjid.
Gamelan dimainkan siang dan malam selama 7 hari. Begitulah per-
ingatan hari Maulud Nabi pada jaman Keraton Demak. Para wali
50 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

dan ulama bergantian memberikan khotbah dan menuntun orang-


orang mengucapkan kalimat syahadat bagi yang ingin masuk Islam.
Cendekiawan istana yang produktif mempublikasikan karya-karya
yang berkaitan dengan seni sastra budaya di antaranya adalah Raden
Ngabehi Ranggawarsita (Kamajaya, 1980: 77). Oleh karena itu juga
disebut Pasamuan Sahadaten, namun karena kesalahan pengucapan
lama-kelamaan berubah menjadi Sekaten. Pada jaman Mataram,
selama Sultan Agung Hanyakrakusuma berkuasa selama 32 tahun,
ia tidak habis-habisnya memerintahkan pada rakyatnya untuk
melaksanakan ajaran agama Islam dengan sebaik-baiknya (Ricklefs,
1995:98). Atas petunjuk Kanjeng Sultan, peringatan garebeg yang
dibuat paling besar adalah Garebeg Maulud dengan memainkan
gamelan Sekaten di halaman masjid agung.
Para raja, pangeran dan adipati di luar keraton berdatangan
untuk ikut memuliakan nama Nabi Muhammad, serta menghadap
sang prabu untuk mempersembahkan pajak dari tempatnya masing-
masing, biasanya berwujud uang. Sebenarnya sejak jaman Majapahit
sudah ada hal demikian, hanya saja dilaksanakan pada awal tahun
baru. Oleh karena itu, Kanjeng Sultan Agung sangat menjunjung
tinggi keadilan dan kesejahteraan rakyatnya.

Arti Penting Keraton bagi Bangsa


Istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat, terletak di ujung timur
jalan utama yang membelah kota Solo (Darsiti Soeratman, 1990: 22).
Apabila kita memasuki kompleks keraton dari arah utara, di sebelah
kiri dan Kanangapura, akan tampak satu pasang patung yang me-
rupakan salah satu ciri khas, daerah ini disebut Gladak. Di belakang
gapura tersebut akan tampak dua buah pohon beringin, dan setelah
melewati kedua pohon tersebut, akan tampak satu tanah lapang yang
luas dan di tengah lapangan tersebut juga akan terlihat sepasang
pohon beringin. Daerah tersebut disebut Alun-alun Lor.
Sepanjang sejarahnya, banyak cendekiawan yang senantiasa
mengulas hal ikhwal aspek material dan spiritual (George Larson,
1990: 65). Ada beberapa tempat yang berhubungan dengan keraton,
meskipun secara fisik terpisah dari keraton, di antaranya adalah
Taman Sriwedari yang merupakan taman yang biasa digunakan
Makna Lambang Keraton Surakarta... 51

untuk istirahat raja. Tempat lainnya adalah Museum Radyapustaka


yang juga merupakan museum keraton Surakarta, museum ini juga
terletak di lingkungan taman Sriwedari. Menurut Wirodiningrat
(1980:14-17), ada tujuh pengertian makna keraton atau saptawedha :
1. Pertama, keraton berarti kerajaan.
2. Kedua, keraton berarti kekuasaan raja yang mengandung dua
aspek: kenegaraan atau staatsrechtelijk dan magischreligieus.
3. Ketiga, keraton berarti penjelmaan wahyu nurbuwat dan oleh
karena itu menjadi pepunden dalam kajawen.
4. Keempat, keraton berarti istana, kedaton, atau dhatulaya.
5. Kelima, bentuk bangunan keraton yang unik dan khas mengan-
dung makna simbolik yang tinggi, yang menggambarkan per-
jalanan jiwa ke arah kesempurnaan.
6. Keenam, keraton sebagai cultuur historische instelling atau lembaga
sejarah kebudayaan yang menjadi sumber dan pemancar
kebudayaan.
7. Ketujuh, Keraton sebagai badan juridische instellingen, artinya
Keraton mempunyai barang-barang hak milik atau wilayah
kekuasaan atau bezittingen sebagai sebuah dinasti.

Fungsi Pujangga di Keraton Surakarta adalah untuk pengkajian dan


menuliskan gagasan, hasil kerja pikir dan batin keraton berupa perilaku
hidup menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan perilaku hidup
sosial budaya. Nilai yang terkandung di dalamnya diwariskan
pelestariannya dari generasi ke generasi, melalui proses penulisan nilai
tersebut menurut lintasan perjalanan sejarah. Pujangga keraton adalah
wujud dan gambaran inti kebudayaan Keraton Surakarta, sebagai acuan
perilaku lahir dan batin untuk menjunjung tinggi negara.

Memahami Simbolisme Radya Laksana


Bentuk serta lambang keraton telah diuraikan oleh para intelek-
tual istana atau pujangga. Pujangga Keraton Surakarta menggam-
barkan isi dan arah kebudayaan keraton. Inti nilai ajaran budaya
keraton dapat dipelajari dan dipahami dari sini, karena budaya Kera-
ton Surakarta merupakan salah satu sumber budaya Jawa yang besar.
Warisan budaya dari para pujangga dapat memungkinkan masya-
52 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

rakat yang ingin memahami makna budaya keraton dan orientasi


nilai budaya yang dianut dan dikembangkannya. Salah satu simpul
budaya keraton Surakarta terdapat dalam radya laksana, yakni lam-
bang keraton. Dalam lambang keraton tersebut terdapat unsur-unsur
sebagai berikut :

1. Gambar mahkota, yang terdapat pada bagian atas.


2. Warna merah dan kuning. Warna tersebut terdapat pada
mahkota, sedangkan kuning terdapat pada warna bulan, bintang,
metahari, dan bumi.
3. Warna biru muda
4. Warna biru ini merupakan warna dasar dari bentuk bulat tersebut.
5. Gambar matahari
6. Gambar sasangka atau bulan
7. Gambar bintang
8. Gambar bumi atau dunia
9. Gambar paku yang menancap pada gambar bumi.
10. Gambar kapas dan padi
11. Gambar pita pita merah putih

Lambang tersebut merupakan karya Paku Buwono X, berdasar-


kan relief gambar kuno yang merupakan lambang kerajaan Jawa kuno
yang terdapat di atas Regol atau Kori Sri Manganti. Secara harfiah
radya laksana berarti : ciri kerajaan, tanda kerajaan, atau jalan kerajaan.
Radya laksana sebagai lambang Keraton Surakarta : kata radya dapat
berarti negara dalam pengertian Keraton Surakarta, sedangkan laksana
tetap berarti jalan. Oleh karena itu, Radya laksana dapat diartikan
Makna Lambang Keraton Surakarta... 53

Jalan Negara dalam arti konsep-konsep untuk menjalankan negara


yaitu Keraton Surakarta Hadiningrat.
Selain secara harafiah, radya laksana memiliki makna sebagai
ajaran dan patokan bagi siapapun yang memiliki watak jiwa ratu,
jiwa sentana, jiwa abdi dalem, dan kawula dalem yang berkiblat ke
Keraton yang berdasarkan pada jiwa budaya Jawa. Radya adalah
negara. Yang disebut negara adalah bersatunya ratu, putra sentana,
abdi dalem, kawula bangunan keraton, pemerintahan, daerah dan
pepundhen. Adapun laksana berarti tindakan. Tindakan yang
didasarkan pada Lahir dan Batin. Tindakan dalam bentuk batiniah
harus dapat tercermin dalam wujud tindakan lahiriah. Sedangkan
makna gambar-gambar tersebut adalah :
1. Mahkota. Simbol raja dan kebudayaan Jawa. Oleh karena itu, siapa
saja yang memakai atau menerima gambar mahkota selayaknya
berjiwa budaya Jawa. Dalam arti bahwa jiwa budaya Jawa
memberi tuntunan, budaya sebagai uwoh pangolahing budi secara
lahir dan batin berdasarkan budi luhur dan keutamaan. Pakarti
lahir harus seiring dengan pakarti batin, hal yang demikian
mencerminkan adanya sifat keharmonisan dalam budaya Jawa.
2. Warna merah dan kuning. Dalam budaya Jawa merah dan
kuning merupakan simbol kasepuhan. Sifat kasepuhan ini terlihat
dalam bentuk lahir dan batin, yang mencerminkan sabar, tidak
terburu nafsu dan sejenisnya. Hal ini memiliki makna filosofis
bahwa seseorag raja harus memiliki jiwa kasepuhan.
3. Warna biru muda. Dasar warna biru muda dan putih. Warna
biru dan putih membawa watak menolak perbuatan yang tidak
baik. Warna biru muda merupakan simbol angkasa atau langit,
merupakan simbol orang yang berwatak luas pandangannya dan
juga pemberi maaf.
4. Matahari. Surya atau matahari merupakan sumber kekuatan dan
sumber penerangan dan hidup, yang akan menjadikan dunia tegak
penuh dengan sinar penerang dan hidup. Hal ini merupakan simbol
bahwa orang yang berjiwa budaya harus dapat menanamkan
kekuatan dan dapat memancarkan sinar kehidupan dengan tidak
mengharapkan imbalan. Surya menjadi sarana kehidupan bumi.
54 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

5. Bulan. Bulan merupakan sumber penerangan di malam hari


tanpa menimbulkan panas, tetapi teduh, memberi cahaya kepada
siapapun dan apapun tanpa kecuali. Hal yang demikian memiliki
makna bahwa jiwa budaya harus didasari watak pemberi dan
memancarkan penerangan yang tidak menyebabkan silau tetapi
memancarkan kelembutan dan kedamaian. Candra menjadi
sarana daya rasa bagi kehidupan di bumi.
6. Bintang. Kartika atau bintang memiliki sifat memancarkan sinar,
hanya kelihatan gemerlap di sela-sela kegelapan malam. Hal ini
memiliki ajaran bahwa raja atau seseorang agar dapat memberi-
kan penerangan kepada siapapun yang sedang dalam kegelapan.
Makna itu juga mengingatkan kepada kita bahwa masalh gelap
dan terang dalam kehidupan ini silih berganti. Kartika menjadi
sarana dan daya menambah teduhnya kehidupan di bumi.
7. Bumi. Secara lahiriah bumu merupakan tempat kehidupan dan
juga tempat berakhirnya kehidupan. Bumi atau jagad melam-
bangkan bahwa manusia sebagai mikrokosmos yang memiliki
jagad besar atau makrokosmos. Di sini sebagai kiasan atau pase-
mon adanya kesatuan jagad kecil dan jagad besar. Bumi atau
jagading manungsa berada dalam hati. Oleh karena itu manusia
agar dapat menguasai keadaan, harus dapat menyatukan diri
dengan dunia besar. Dalam Kejawen disebut Manunggaling
Kawula-Gusti. Sifat bumi adalah momot dan kamot, dapat me-
nampung dan menerima segala yang gumelar. Bumi sebagai
lambang welas asih, dapat anyrambahi sakabehe.
8. Paku. Paku sebagai kiasan atau pasemon agar selalu kuat. Hal
ini mengandung ajaran bahwa kehidupan di bumi bisa kuat,
sentosa harus didasari jiwa yang kuat, tidak mudah goyah, atas
dasar satu kekuatan yang maha besar dari Tuhan Yang Maha
Esa, yang menjadi pegangan bagi manusia yang hidup di bumi
9. Kapas dan padi. Kapas dan padi melambangkan sandang pangan
yakni kebutuhan lahir dalam kehidupan manusia. Sandang di-
nomorsatukan, sedang pangan dinomorduakan. Hal yang demi-
kian mengandung ajaran bahwa sandang berhubungan dengan
Makna Lambang Keraton Surakarta... 55

kesusilaan dan diutamakan, sedangkan pangan berhubungan


dengan lahiriah dinomorduakan. Oleh karena itu manusia
hendaknya mengutamakan kesusilaan daripada masalah pangan.
10. Pita merah putih. Pita merah putih sebagai kiasan bahwa manu-
sia terjadi dengan perantara ibu-bapak. Merah melambangkan
ibu, sedangkan putih melambangkan bapak. Oleh karena itu, ma-
nusia hendaknya selalau ingat kepada ibu-bapak, yang tercermin
dalam ungkapan : mikul dhuwur mendhem jero maksudnya se-
bagai anak harus dapat mengharumkan nama orangtua dan da-
pat menghapuskan kejelekan nama orang tua dengan perbuatan
lebih utama dari pada Orang tua. Juga dapat diartikan laki-laki
dan perempuan sebagai lambang persatuan.

Kesimpulan
Penataan nilai yang berakar pada jati diri bangsa mutlak di-
perlukan. Yakni jati diri yang bersumber pada perjalanan sejarah
dan tata nilai budaya sendiri. Di antara konsep keraton yang bisa
digunakan sebagai referensi masa sekarang adalah sikap pemimpin
yang bawa leksana, yang berarti konsekuen dan konsisten (Moedjanto,
1994:18). Penggalian nilai-nilai luhur yang dikandung dalam lambang
Keraton Surakarta adalah langkah tepat, karena akan diperoleh
realitas jati diri serta kepribadian nasional yang dapat mempertajam
wawasan kebangsaan. Jati diri, kepribadian dan wawasan kebangsa-
waan yang bernuansa historis dan kultual yang berkesinambungan
sebenarnya merupakan kekayaan bangsa Indonesia. Bersama dengan
kearifan lokal yang diperolah dari daerah lain, penggalian local wisdom
perlu dikaji secara sistematis, integral dan komprehensif.
Sebuah negeri yang aman sentausa di bawah limpahan anugerah
serta ampunan Tuhan Yang Maha Esa tentu menjadi impian semua
warganya. Masyarakat Jawa menyebut dengan istilah negari ingkang
panjang punjung pasir wukir, gemar ripah loh jinawi, tata tentrem karta
raharja. Dengan menggali kearifan luhur berbasis budaya itu, semoga
bangsa Indonesia menjadi masyakat adil makmur, damai dan sejahtera.
56 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Daftar Pustaka
Bratadiningrat, 1992. Asalsilah Warni-warni. Surakarta
Darusuprapta, 1986, Sêrat Wulangrèh, Citra Jaya Murti, Surabaya.
Kamajaya, 1980, Pujangga Ranggawarsita, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Yogyakarta.
Kusumadilaga, 1930, Pakêm Sastramiruda, de Blikeem, Sala.
Larson, George D., 1990. Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan
Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942. Yogyakarta :
Gamapress.
Luxemburg, Jan Van, 1986, Teori Ilmu Sastra, Gramedia, Jakarta.
Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja
Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Moertono, Soemarsaid, 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa
Masa Lampau, Studi Masa Mataram Abad XVI-XIX. Jakarta : Obor.
Padmawarsita, 1953. Silsilah Keraton Surakarta. Semarang: Pelajar.
Ricklefs, 1995:98. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Press.
Soeratman, Darsiti, 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830 –
1939. Yogyakarta: Disertasi Pascasarjana UGM.
_______________, 1990. Istana Sebagai Pusat Kebudayaan Lampau dan
Kini. Yogyakarta: Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM.
Tarigan, Henry Guntur, 1983. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa
Wirodiningrat, 1980. Catatan Sasana Wilapa. Keraton Surakarta.
Etika Islam dalam Seni Pewayangan 57

ETIKA ISLAM
DALAM SENI PEWAYANGAN

M. Dimyati Huda
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri

Abstract
This research describes about Javanese morality in wayang arts.
Community of Java likes wayang performance. Its performance still has its
existence and this catches the attention of the moslem public. Wayang pro-
vides a wide range of alternatives about the characters applicable to the
Islamic life, so that the moslem public regards wayang not daily only as a
performance or entertainment, but also as morality a discourse for social
interaction or silaturahmi. The pergelaran wayang has Islamic education
of local wisdom that can be considered as one of the akhlakul karimah edu-
tainment.
Keywords: wayang, local wisdom, akhlakul karimah

Pendahuluan
Seni pewayangan merupakan salah satu bentuk seni budaya
klasik tradisional bangsa Indonesia yang telah berkembang selama
berabad-abad. Terbukti ada satu prasasti peninggalan Raja Balitung
pada tahun 907 dengan kisah Bima Kumara dan Ramayana. Dalam
beberapa teks kuno itu juga disebutkan dinamika seorang dhalang
beserta upah yang diterimanya. Sampai saat ini seni pakeliran tetap
berkembang dalam berbagai strata masyarakat baik perkotaan apalagi
pedesaan. Pergelaran wayang senantiasa mengandung nilai uswatun
khasanah atau teladan luhur yang memberi inspirasi.
Pertunjukan wayang merupakan cermin bagi kehidupan manu-
sia. Perwatakan manusia yang berbeda-beda digambarkan oleh wa-
yang. Pertumbuhan dan perkembangan cerita wayang berjalan
58 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

melalui jalur lisan dan tulisan. Melalui jalur lisan wayang disebarkan
oleh para dhalang dan orang-orang tua yang sudah tahu banyak
tentang ceritanya. Pada saat ini kegiatan itu masih berlangsung secara
turun-temurun. Wayang mampu menyajikan kata-kata mutiara
sebagai sarana untuk mengembangkan pendidikan, tontonan dan
tuntunan.
Sebagai warisan budaya, sejak zaman keraton Demak Bintara,
wayang merupakan bahasa simbol kehidupan yang lebih bersifat
rohaniah daripada jasmaniah. Jika orang melihat pergelaran wayang,
yang dilihat bukan wayangnya, melainkan masalah yang tersirat
dalam lakon wayang itu. Di dalam pola-pola permasalahan yang
tetap, terjabar akumulasi problematikanya, lalu munculnya cahaya
bulan, titik terang sekaligus titik balik dari berbagai gara-gara, yaitu
penyelesaian permasalahannya. Dalam makalah ini akan dikaji
mengenai akhlakul karimah atau nilai etika Islam yang dikandung
seni pewayangan.

Landasan Teori
Etika merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat. Dalam bi-
dang kefilsafatan, etika juga disebut filsafat moral, yang membi-
carakan manusia dari sudut perbuatannya. Perbuatan atau tingkah
laku manusia dalam hal ini adalah tindakan-tindakan yang didorong
oleh akal budi yang menghasilkan perbuatan baik dan buruk. Kecen-
derungan orang dalam menilai perbuatan seseorang adalah penilaian
terhadap tingkah laku yang dipengaruhi oleh kedudukan dan marta-
batnya. Semakin tinggi kedudukan serta martabatnya, maka semakin
besarlah penilaian orang atas dirinya.
Berdasarkan sumber teori nilai itu, maka terbentuklan berbagai
aturan tentang bagaimana sebuah tingkah laku dinilai baik. Peratur-
an-peraturan itu sering disebut dengan norma. Nilai yang pada mula-
nya bersifat subyektif setelah menjadi milik sebuah komunitas kemu-
dian dianggap menjadi bersifat subyektif. Berdasarkan cara pengkaji-
annya, etika dapat diklasifikasikan menjadi etika deskriptif dan etika
normatif. Etika deskriptif adalah etika yang menerangkan secara
obyektif, apa adanya, tanpa dikurangi dan ditambahi serta tidak
memberikan sesuatu interpretasi apapun. Sedangkan etika normatif
Etika Islam dalam Seni Pewayangan 59

adalah etika yang menjelaskan sebuah penilaian tentang mana yang


baik dan mana yang buruk serta menunjukkan apa yang sebaiknya
diperbuat oleh manusia.
Dalam etika Jawa terdapat aliran yang mengandung nilai eudae-
monisme theologis. Eudaemonisme berasal dari bahasa Yunani eudae-
moni, artinya kebahagiaan. Eudaemonisme adalah teori dalam etika
yang menyatakan bahwa suatu tujuan manusia adalah kesejahteraan
pribadi atau kebahagiaan (Mudhofir, 1988: 26). Selanjutnya aliran
theologi menyatakan bahwa suatu tindakan disebut bermoral jika
tindakan itu sesuai dengan perintah Tuhan. Sedangkan tindakan bu-
ruk yaitu yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Tuntutan moral
yang baik dalam hal ini telah digariskan oleh agama dan tertulis dalam
kitab suci dari masing-masing agama (Franz Magnis, 1997: 83). Bagi
orang Jawa pada umumnya memang ditekankan keselarasan antara
makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad cilik). Aliran eu-
daemonisme theologis ini terdapat dalam ungkapan Serat Wedhatama
yaitu agama ageming aji, bahwa agama merupakan sarana untuk men-
capai kebahagiaan yang hakiki.
Moral atau kesusilaan adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia.
Dengan kata lain moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan manu-
sia sebagai manusia. Kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia
(Drijarkara, 1978: 25). Pada umumnya manusia mempunyai penge-
tahuan adanya baik dan buruk. Pengakuan manusia mengenai baik
dan buruk itu disebut kesadaran moral atau moralitas (Poedjawijatna,
1983: 130). Kriteria perbuatan susila adalah kehendak yang baik,
keputusan akal yang baik dan penyesuaian dengan hakikat manusia
(Fudyartanta, 1974: 18). Poerwadarminta mengatakan bahwa moral
mempunyai arti ajaran tentang baik buruk perbuatan, kelakuan,
akhlak, dan kewajiban.
Di samping itu, moral juga berarti kesusilaan yang terbentuk dari
kata sila berasal dari bahasa Sansekerta dan mempunyai arti berbagai
ragam. Sedang menurut Sunoto bahwa moral, dari kata mores yang
berarti adat istiadat, ialah sesuatu yang ada di luar diri manusia dan
memberi pengaruh ke dalam. Pengertian moral di sini masih berkaitan
dengan acat istiadat masyarakat tradisional. Khusus dalam arti adat-
istiadat atau kebiasaan, kata moral ini dalam bahasa Yunani disebut
60 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

ethos, yang populer disebut dengan kata etika. Menurut Encyclopedia


Britanica, yang disusun oleh William Benton, menyatakan bahwa:

Ethics from Greeks ethos character is the systematic study of the


nature of value concept good and bad, ought, right, wrong, etc, and at
general principle with justify us in applying them anything, also called
moral philosophy from latin mores customs (William Benton, 1972: 752).

Etika Jawa bersifat kosmologis dan simbolis. Problema etika


kefilsafatan mula-mula bersifat Kosmologis. Ketertiban mikro dijabar-
kan dari ketertiban makro-kosmologis yang berlaku secara konform,
kita masih ingat ucapan kuno dari Herakleitos:

This world order, which is the same for all,


more of the gods or men has made;
it was ever, is now and shall be;
an ever living Fire, kindling in measures
and being extinguished in measures.

Penampilan Socrates dengan seruannya; Gnothi Seauton,


merupakan pembalikan orientasi dari kosmologi makro ke kosmologi
mikro. Masalahnya yang timbul ialah apabila orang mengukur kese-
mestaannya dari pangkal tolak individual, sedangkan anjuran: pe-
ngawikan pribadi tersebut tidak kunjung ditaati; kalau demikian maka
orang tidak akan mencapai taraf mulat-sarira; bahkan juga tidak ber-
hasil: tepa-sarira; mereka yang demikian ini selamanya hanya: nandhing-
sarira. Dalam masyarakat Islam Jawa, nilai etis atau akhlakul karimah
sangat diperhatikan sewaktu menjalankan praktik kehidupannya.

Wayang dan Kebudayaan Jawa


Timbulnya Wayang Purwa terjadi pada zaman Demak, artinya
para Wali berhasil memberantas kemusyrikan yang besar sekali,
walaupun demikian karena kebijaksanaannya rakyat tidak apa-apa.
Para wali membangun Wayang Kulit itu bukan sekedar dengan mak-
sud untuk memberantas kemusyrikan saja, tetapi juga yang terutama
untuk mengajarkan apakah sebenarnya agama Islam itu. Agar
supaya orang kemudian mau memeluk dan mengamalkannya (Siswo-
harsoyo, 1957: 54).
Etika Islam dalam Seni Pewayangan 61

Para Wali itu yang mula-mula memberikan pengaruh Islam pada


ceritera-ceritera. Tentu saja itu semua dengan maksud untuk mendak-
wahkan Islam. Untuk memberi penjelasan mengenai hukum meng-
gambar dan seni lukis, Seh Tonthowy Jauhary telah mengupas dan
termuat dalam Tafsir Jawahir, yang kesimpulannya sebagai berikut:
Gambar sejenis pemandangan, tanam-tanaman, bukit, air, rumah, dan
lain-lain ini para alim ulama bermufakat boleh. Patung manusia atau
hewan yang mempunyai bayangan lengkap, umpama dimasuki ruh
dapat hidup, ini haram menurut hadits. Demikian itu kecuali jikalau
dibuat melatih anak-anak guna pendidikan atau pemeliharaan anak.
Gambar di kertas atau kain, ini hukumnya boleh, menurut hadits
Hasan riwayat dari Sahabat Zaid bin Khalid. Gambar yang wajib,
ini apabila guna menjelaskan bab ilmiyah umpamanya ilmu ke-
sehatan, ilmu hayat dan lain-lain. Jika tidak digambarkan sudah tentu
kurang jelas. Hal semacam ini menjadi perantaraan menyampaikan
wajib, maka menjadi wajib pula. Pada pokoknya yang menjadi la-
rangan Islam ialah gambar-gambar terutama patung yang dipuja-
puja dan dianggap sebagai Tuhan. Hal wayang dan hubungannya
dengan hukum telah jelas. Karena asal mulanya wayang tadi me-
mang menggambarkan bayangan orang-orang yang perlu di peringati
sifat ujud dan riwayat hidupnya untuk menjadi tauladan yang baik
(Zarkasi Efendy, 1987: 15). Kerja sama para Wali dalam membangun
pewayangan.
Adapun kerja sama para wali dalam hal membangun pewayang-
an, Ki Siswoharsoyo menguraikan seperti berikut: Berhubung dengan
usulnya Sunan Kalijaga pada tahun 1443 Saka (6 tahun sesudah ber-
tahtanya Raden Patah), para Wali menciptakan Wayang Purwa dibuat
satu-satunya dari kulit kerbau. Masing-masing wayang digapit sebagai
alat menancapkannya. Tangannya wayang masih terusan (dengan
badan wayang) seperti Batara Guru sekarang ini; dan gambaran pa-
kaiannya belum berupa pahatan. Pulasannya (pewarnaan) baru.
Berujud dasaran putih dari bubukan tulang serta dihiasi dengan
warna hitam. Kerja sama para wali dalam membangun pewayangan
itu ialah: Sunan Giri menciptakan sebangsa kera. Sunan Bonang men-
ciptakan ricikan, binatang buruan hutan dan perampogan (empyak).
Sunan Kalijaga menciptakan alat-alat keperluan pertunjukan, seperti:
62 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

kelir, batang pisang simpingan (menancapkan) serta blencong. Ketika


Ratu Tunggal di Giri (Sunan Giri) mewakili sebagai raja di Demak pada
tahun 1480 Saka, juga membangun Wayang Purwa Kulit tadi,
wujudnya dikecilkan lalu dinamakan “Wayang Kidang Kencana”.
Bentuknya: wayang perempuan ram-terurai, ada yang bersanggul dan
ada yang hiasan. Dewa, Kera serta Raksasa dibentuk bercawat seperti
arca. Perabot-perabot tadi sudah dilukis hiasan-hiasan. Waktu itu
Sunan Ratu Tunggal juga menciptakan Pakem Laon Wayang serta
Sulukan. Penciptanya pada tahun 1478 Saka (Siswoharsoyo, 1957: 66).
Selain para Wali yang dengan kerja sama menciptakan wayang dan
alat-alat pewayangan, maka hasil kerja itu dipelihara dan diteruskan
serta disempurnakan oleh tokoh-tokoh penting di zaman keislaman.
Mereka itu ialah : Sultan Demak (Raden Patah), Menciptakan kayon
(gunungan) yang ditancapkan ditengah panggung kelir serta
menciptakan simpingannya. Tatkala Sultan Trenggana bertahta sebagai
Sultan Alam Akbar III tahun 1447 juga membangun Wayang Purwa
buatan Demak I dengan dipahat bentuk mulutnya, mata dan telinganya.
Tatkala Jaka Tingkir bertahta jadi Sultan Pajang bergelar Sultan
Hadiwijaya, ia juga ikut membangun pakaian Wayang Purwa. Para
raja, kesatria, prajurit-prajurit dan pejabat-pejabat, dihiasi dengan
pakaian celana. Raksasa-raksasa, kera-kera, masih tetap pakai cawat
dan bermata dua. Para dewa bentuknya masih saja miring tanpa baju.
Wayang perempuan rambutnya gendong. Alat-alat peperangan
ditambah dengan pada, bindi dan alugara. Tetapi tangan wayang-
wayang tadi semua masih terusan (tidak lepasan dan diikat seperti
wayang buatan Demak, hanya tinggi badannya ditambah sedikit).
Tatkala Penembahan Senapati jadi raja di Mataram, mau ikut
membangun Wayang Purwa yang berpokok pada ciptaan Pajang,
tetapi tingginya wayang agak ditambah. Pakaian dan rambut digam-
bar pahatan. Kecuali itu beliau juga memperbaiki wanda (raut muka)
wayang. Seperti: Harjuna berwanda jimat, Sena wanda mimis tanpa
dodot, hanya bercawat poleng. Selesainya ciptaan ditandai dengan
candra sengkala memet.
Sandi gambar yang menunjukan angka tahun. Terdapat gambar
wayang Bathara Guru, yang wujudnya: tangan, empat, yang dua
sedakep, yang dua memegang cis perang semacam tombak, tertancap
Etika Islam dalam Seni Pewayangan 63

ke bawah. sengkalan memet yang diwujudkan begitu itu, jika dibuat


candra sengkala jelasnya: tangan papat, ngecis bumi, artinya peringatan
tahun 1542. Tatkala Sultan Agung Hanyakrakusuma, bertahta di
Mataram (Mataram ke III) membangun wanda Wayang Purwa Bala
Dewa Wanda geger, Kresna wanda gendrek, Arjuna wanda mangu,
wayang lanyapan tubuhnya srengkuk, matanya (semacam) terjepit.
Sumbadra wanda rangkung. Benawati wanda golek, Semar wanda
brebes, Bagong gilut, Petruk wanda jegong (Zarkasi Efendy, 1987: 98).
Dengan demikian masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam
dalam sejarahnya selalu melibatkan wayang sebagai seni budaya yang
berfungsi untuk referensi serta refleksi hidup.

Pembentukan Akhlakul Karimah


Wayang ternyata sejak dahulu kala digunakan untuk menyebarkan
budi pekerti luhur atau akhlakul karimah. Dari waktu ke waktu para
raja Islam dengan dibantu oleh para wali menjadikan wayang sebagai
sarana dakwah Islamiyah. Kemajuan pertunjukan Wayang Purwa yang
selama 576 tahun (mulai zaman Memenang sampai zaman Majapahit,
tahun 861 - 1437 Saka) sejak berwujud rontal sampai berwujud Wayang
Beber tadi, walaupun diceritakan juga oleh Dalang, bagi penonton tentu
hanya seperti melihat gambar mati sambil mendengarkan dongeng saja.
Sebab masing-masing tokoh wayang yang diceriterakan tidak dapat
digerakan seperti wayang-wayang zaman sekarang ini.
Isi ajaran Wali Sanga yang disampaikan kepada rakyat ialah ajaran
Islam yang terutama bercorak mistik (Tasawuf) dari aliran Sunnah
yang mutasyadidah (ekstrim = keras), bercampur dengan aliran Syiah
yang mutadilah (moderat = sedang), dan Syiah yang Khullah (ekstrim
= keras). Aliran-aliran ini di Indonesia membeku menjadi dua aliran:
Sunnah Mutasyadidah dan Siah Mutadilah, ini diikuti oleh Wali 8 yang
disebut Wali Sanga. Syiah Ghullah, diikuti oleh Seh Siti Jenar yang
dibunuh oleh Wali lain karena ajarannya yang menyesatkan. Ajaran
yang benar, baik ajaran syariat, thariqat, hakikat, dan makrifat,
seluruhnya mendapat perhatian dan dianggap penting.
Berkaitan dengan dzat Tuhan yang diibaratkan sebagai samudra,
manusia adalah satu titik air di dalamnya. Lukisan semacam itu sama
halnya dengan ajaran Serat Dewaruci, yaitu Bima masuk ke tubuh
64 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Dewaruci melalui telinga kiri (Simuh, 1988: 290). Konsep manungga-


ling kawula Gusti atau kesatuan manusia dengan Tuhan (wahdatul
wujud) yang dipergunakan untuk menggambarkan, dalam kepustaka-
an Islam kejawen, adalah curiga manjing warangka, warangka manjing
curiga. Manusia masuk dalam diri Tuhan, laksana Arya Sena masuk
dalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, warangka manjing curiga.
Yakni Tuhan masuk (nitis) dalam diri manusia, seperti halnya dewa
Wisnu nitis pada diri Kresna. Dan paham nitis, yakni masuknya roh
dewa dalam diri manusia, atau roh manusia dalam binatang masih
kelihatan dalam Serat Wirid Hidayat Jati. Roh manusia yang sesat
tidak dapat kembali ke dalam singgasana Tuhan, dikatakan akan
nitis dalam alam brakasakan (jin), bangsa burung, binatang dan air.
Doktrin metafisik dan kosmologis dari sufisme Ibnu Arabi dengan
mudah diasimilasikan ke gagasan mistik itu. Konsep tentang insan
kamil memberi penguasa setempat suatu potensi yang kaya untuk
legitimasi mistik. (Woro Aryandini, 1996: 35). Islam masuk ke Indone-
sia bersamaan dengan berkembangnya sufisme pada abad Pertengah-
an dan timbulnya apa yang disebut tarikat. Aliran inilah yang memain-
kan peranan meluaskan penyebaran Islam ke wilayah timur sampai
ke Indonesia (Simuh, 1991: 4). Islam sufi tumbuh subur di pesantren.
Perkembangan ajaran Islam yang sufistik ini, gagasan metafisik sufi
dan klasifikasi simbolik yang didasarkan pada doktrin Martabat Tujuh
menjadi kepercayaan yang populer bagi sebagian orang Jawa
(Mazhar Ul Haq Khan, 1994: 10-11). Serat Centhini dan Serat Wirid
Hidayat Jati memuat ajaran Martabat Tujuh.
Kepercayaan Islam tidak mengenal Trimurti dan sistem dewa-
dewa yang pantheistis. Maka para Wali Sanga kemudian mengubah
suatu sistem hirarki kedewaan yang menempat-kan dewa-dewa itu
sebagai pelaksana perintah Tuhan saja dan bukan sebagai Tuhan. Juga
disusunlah cerita-cerita baru yang bernafaskan keislaman seperti
Dewaruci, Jimat Kalimasada dan Bima Suci. Dengan jalan ini, maka Islam
menyebar di kawasan Nusantara berlangsung secara halus dan damai,
tanpa ada keguncangan dan keterkejutan (Hazim Amir, 1994: 45).
Agama Islam yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi
Muhammad SAW. untuk disebarkan kepada seluruh umat manusia
dan merupakan ajaran tauhid sebagai rahmat Ilahi yang mengalir
Etika Islam dalam Seni Pewayangan 65

guna menata kembali kehidupan yang baik dan benar, sekaligus men-
jamin kebahagiaan di dunia maupun sesudah menjalani mati yaitu
kehidupan akherat. Allah SWT berfinnan dalam Al Qur’an yang arti-
nya : Barang siapa yang mengerjakan amal saleh,. baik laki-laki mau-
pun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Berdasarkan ayat ini bahwa manusia senuanya telah diberi we-
wenang untuk dapat membangun suatu peradaban yang baik, serta
mendapat jaminan yang berupa pahala yang setimpal, sehingga
manusia dapat memerangi kelemahan dan kemiskinan terhadap diri-
nya. Jadi Islam bukanlah hanya suatu agama yang melulu menerang-
kan soal-soal wudhu, sholat, dzikir atau ibadah-ibadah lainnya. Tetapi
lebih dari itu Islam telah mengajar kan bagaimana manusia itu harus
hidup, baik kehidupan sehari-hari maupun dalam soal kekuasaan
dan pemerintahan, politik, perekonomian dan lain-lain. Agama Islam
juga sangat memperhatikan soal soal duniawi, sebagaimana firman
Allah SWT yang artinya; “Apabila telah ditunaikan sembahyang,
maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah
dan ingatlah Allah banyak banyak supaya kaau beruntung.”
Di sini memang Islam menganjurkan untuk memperhatikan
urusan duniawi, naaun tetap ingat sembahyang. Artinya dalam soal-
soal duniawi tidak sampai kepada penghambaan kekayaan harta
benda semata. Jadi, Islam adalah agama yang lunak dan lapang dada
serta umat Islam tidak boleh iri-hati atau dengki dengan adanya kapi-
talisme, bahkan sistem apapun selama sistem atau negara-negara itu
tidak menyerang agama Islam. Negara Islam tetap mau konsisten
atau hidup secara bersama dengan negara lain, hanya saja sudah
barang tentu, Islam sudah mempunyai dasar pemikiran dan perti-
mbangan serta tetap dalam keadaan berpegang teguh pada prinsip
ekonomi Islam.
66 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Kesimpulan
Kepustakaan Wayang dan Islam Kejawen, pengaruh ajaran tasa-
wuf dan tuntutan budi pekerti luhur terasa sangat menonjol. Demiki-
an juga istilah-istilah Arab yang berkaitan dengan Agama Islam dan
tasawuf, merupakan bagian kepustakaan Jawa. Islam telah lama men-
jadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa. Oleh karena itu, sese-
orang akan sulit memahami kepustakaan Jawa dengan baik, tanpa
pengenalan ajaran Islam dan pengetahuan bahasa Arab yang cukup.
Dalam gubahan Serat Dewaruci berbentuk sekar macapat misalnya,
mengandung beberapa istilah Arab seperti: wujud, dzat, sifat, makrifat,
nikmat, dan manfaat. Tanpa disadari, baik Bahasa Jawa maupun Baha-
sa Indonesia banyak me-nyerap unsur-unsur Bahasa Arab .
Pada awal penyebaran agama, kelompok Wali Sanga, terutama
Sunan Kalijaga menyadari bahwa dengan wayang dakwah Islam
bisa berkembang dengan pesat. Bentuk dan cerita wayang telah dimo-
difikasi sesuai dengan ajaran Islam. Untuk menghilangkan kerancu-
an, yang berisi tentang silsilah wayang dengan menyatakan bahwa
para dewa yang diagungkan oleh masyarakat Jawa itu sedikit demi
sedikit memudar. Silsilah tersebut tidak masuk akal, para nabi sendiri
adalah utusan Allah SWT, sehingga hal ini merupakan siasat dakwah
yang jitu. Dengan bertindak selaku dalang, Sunan Kalijaga sebagai
mubaligh menyadarkan masyarakat untuk memahami pengetahuan
Agama Islam.
Pemikiran yang terkandung dalam kitab yang berasal dari ling-
kungan luar keraton dapat masuk ke dalam lingkungan keraton Islam.
Saat Islam datang ke Indonesia sufisme sedang mengalami masa
kejayaan. Akibatnya Islam yang kemudian datang ke Indonesia juga
tidak dapat terlepas dari pengaruhnya. Hal ini terbukti dari perkem-
bangan pemikiran Islam di Indonesia yang lekat dengan warna sufi-
nya. Komunitas Nusantara yang terbiasa dengan tradisi mistik relatif
lebih mudah mengadopsi Islam. Demikianlah kajian mengenai wa-
yang yang ternyata berisi dengan nilai-nilai akhlakul karimah.
Etika Islam dalam Seni Pewayangan 67

Daftar Pustaka
Amir, Hazim, 1996. Sastra Jawa dalam Pendidikan Moral Pancasila.
Malang : Kongres Bahasa Jawa II.
Aryandini, Woro. 1996. Citra Bima Sepanjang Zaman. Jakarta : Pepadi.
Benton, William, 1972. Encyclopedia Britanica. London : ITC.
Drijarkara, 1978. Percikan Filsafat. Jakarta: Djambatan.
Effendi, Zarkasi. 1987. Nilai Islam dalam Pewayangan. Jakarta:
Departemen Agama.
Fudyartanta, 1974. Kearifan Timur. Yogyakarta : Andi Ofshet.
Haq Khan, Mazhar Ul, 1994. Wanita Islam Korban Patologi Sosial.
Bandung: Pustaka.
Haryanto, S. 1998. Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan
Wayang. Jakarta: Djambatan.
Mudhofir, Ali, 1988. Kamus Filsafat. Yogyakarta: Liberty.
Poejawiyatna, 1983. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta : Obor
Indonesia.
Simuh, 1995. Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa.
Yogyakarta : Bentang Budaya.
Siswoharsoyo. 1952. Serat Dewaruci. Yogyakarta: Percetakan
Persatuan.
___________. 1957. Serat Guna Cara Agama. Yogyakarta: Percetakan
Persatuan.
Suseno, Franz Magnis, 1997. Etika Jawa Sebuah Analisis Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
68 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Analisis Bentuk dan Struktur Lagu... 69

ANALISIS BENTUK DAN STRUKTUR LAGU


PLAYFUL DUET KARYA W. A. MOZART

Yunike Juniarti Fitria


Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract
This research is aimed at describing structure and form of Playful Duet
by W. A. Mozart for two violins (mirror). This research is a qualitative one
with the use of naturalistic approach, because the object is nature without
any change. Object of this research is Playful Duet (mirror) by W. A. Mozart
for two violins, by listen, play and also analyse the score. The results show
that Playful Duet (mirror) by W. A. Mozart was compose for two violin.
Keywords: structure, form Playful Duet

Pendahuluan
Karya musik dapat menjadi media bagi komponis dalam meng-
ekspresikan rasa dan pikiran, maupun cita-cita, harapan dan ide.
Komponis memiliki berbagai alasan dalam menciptakan karya musik.
Schumann (Schindler, 1980: 6) mengatakan, orang membuat kompo-
sisi itu untuk berbagai alasan, misalnya karena ingin menjadi jutawan,
menghargai teman, melihat sepasang mata indah, atau tanpa alasan
yang pasti. Bagaimanapun motivasi awal membuat seorang komponis
bekerja adalah dasar hasrat ekspresi pribadi yang cemerlang, sehing-
ga dalam memainkan sebuah karya musik, seorang pemain harus
mengerti dan memahami buah pikiran yang dituangkan komponis
dalam karya musiknya.
Hal ini bertujuan agar pesan yang ada dalam musik dapat sampai
kepada pendengar. Setelah melalui proses penciptaan, hingga sampai
pada hasil akhir, yaitu suatu bentuk karya musik, seorang komponis
70 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

dapat memperdengarkan kepada publik/masyarakat umum dengan


cara memainkan karya musik tersebut atau melalui orang lain untuk
memainkannya, hingga karya musik tersebut dikenal - sebagai usaha
untuk memperkenalkan karya musik tersebut.
Musik adalah sebuah bahasa, sebuah bentuk komunikasi yang
dapat membangkitkan respon emosional dan menggugah pikiran,
tetapi musik tidak dapat memberi pengertian nyata atau gagasan
berpikir seperti yang tampak dalam kata benda, kata kerja dan kata
sifat. Musik adalah bahasa abstrak yang artinya tergantung dari
hubungan antara pencipta dan pendengar musik. Tanpa studi yang
mendalam dan perkenalan yang terus-menerus, kemungkinan sukar
bagi seseorang untuk menangkap kedalaman arti dari musik.

Landasan Teori dan Metode Penelitian


Landasan teori dalam penelitian ini menggunakan teori analisis.
Penelitian ini berusaha mendeskripsikan mengenai struktur bentuk
lagu Playful Duet (mirror) untuk dua biola sopran karya W. A. Mozart,
sehingga digunakan metode penelitian kualitatif naturalistik yang
disertai dengan analisis musikologis atau ilmu musik. Penelitian ini
lebih mendekatkan pada metode naturalistik, karena variabel pene-
litian merupakan objek yang apa adanya, sesuai dengan aslinya tanpa
adanya perubahan dari peneliti dan tidak memerlukan pengukuran
dan statistik. Analysis (analisis) ialah proses mengurangi kompleksitas
suatu gejala rumit sampai pada pembahasan bagian-bagian paling
elementer atau bagian-bagian paling sederhana. (Chaplin, 2000 : 25).
Pendapat lain, Keraf (1981 : 60), analisis adalah suatu cara mem-
bagi-bagi objek penelitian ke dalam komponen-komponen yang mem-
bentuk satu bagian utuh. Secara umum dalam Ensiklopedi Nasional
Indonesia (1988 : 19) dijelaskan bahwa analisis adalah memeriksa
suatu masalah untuk menemukan semua unsur-unsur yang bersang-
kutan. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa analisis
dalam musik adalah cara mengurai sebuah karya musik melalui proses
membagi-bagi objek penelitian (karya musik) ke dalam komponen-
komponen hingga sampai pada pembahasan bagian-bagian paling
elementer untuk menemukan unsur-unsur musik yang tersusun dalam
elemen-elemen musik sehingga membentuk satu bagian utuh.
Analisis Bentuk dan Struktur Lagu... 71

Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa dalam ilmu ana-
lisis musik terdapat kecenderungan memotong dan memperhatikan
detil sambil melupakan keseluruhan dari sebuah karya musik, hingga
hilang nilai kesenian dan keindahannya. Seharusnya cara yang
dilakukan ialah dengan tetap memandang keseluruhan lagu; awal dan
akhir dari sebuah lagu, titik koma, gelombang naik turun serta tempat
puncaknya, hingga dapat ditemukan nilai seni di dalam musik tersebut.

Bentuk dan struktur lagu


Pada kenyataannya, sering terjadi bahwa pesan dari karya musik
tidak dapat sampai pada pendengar. Hal ini terjadi karena kurangnya
informasi mengenai musik, seperti teknik bermain, sejarah, maupun
ilmu bentuk musik. Salah satu cara untuk mengenal karya dengan
baik adalah dengan menganalisis lagu, mengetahui riwayat komponis,
serta ciri khas dari jaman apa lagu tersebut diciptakan. Dengan
mengkaji (lebih dalam) suatu lagu, diharapkan dapat membantu da-
lam memainkan atau membawakan, mengapresiasikan dan mengana-
lisis lagu dengan benar. Memperhatikan hal ini penulis bermaksud
ingin menyumbangkan hasil pemikiran dengan cara mengadakan
penelitian terhadap karya seorang komponis besar dari jaman klasik
(1750-1820), yaitu Wolfgang Amadeus Mozart.
Adapun karya yang diangkat dalam penelitian ini adalah lagu
Playful Duet untuk dua biola sopran; yang berbentuk mirror, me-
nyangkut masalah analisis (bentuk) strukturalnya. Dengan memper-
hatikan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka lagu Playful Duet,
sebagai salah satu dari sekian banyak karya W.A Mozart demikian
menarik untuk diteliti, terlebih karena karya ini berbentuk mirror yang
merupakan suatu bentuk repertoar yang jarang ditemukan dalam
pergelaran-pergelaran musik, dan tidak seperti bentuk karya musik
mirror pada umumnya yang hanya menggunakan teknik komposisi
mirror retrograde saja, sehingga membentuk suatu lagu yang berben-
tuk mirror murni yaitu separuh dari akhir lagu merupakan cerminan
(kebalikan) secara persis dari separuh awal lagu, baik ritme maupun
melodinya, namun teknik komposisi yang digunakan dalam lagu
Playful Duet ini selain menggunakan teknik mirror retrograde, juga
menggunakan teknik pembalikan (inversion) interval, serta pertukaran
72 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

ritme, melodi dan harmoni secara retrograde antara biola satu dan
biola dua, mulai separuh akhir lagu, sehingga meskipun sekilas lagu
Plafyul Duet ini terlihat sederhana, namun jika dikaji terlebih dalam
terdapat kerumitan yang mengagumkan. Selain hal-hal yang telah
diuraikan di atas penulis memilih karya tersebut karena lagu dengan
teknik komposisi mirror menghasilkan suatu keunikan tersendiri, serta
termasuk bentuk karya musik yang jarang ditemui, dimana skor/
notasi untuk dua instrumen (dua biola sopran) ditulis dalam bentuk
yang merupakan cerminan dari instrumen lainnya (notasi biola satu
merupakan cerminan dari notasi biola dua, dan sebaliknya notasi
biola dua merupakan cerminan dari notasi biola satu).
Dalam seni, bentuk dimaksudkan sebagai rupa indah yang me-
nimbulkan kenikmatan artistik melalui serapan penglihatan dan atau
pendengaran. Bentuk indah dicapai karena keseimbangan struktur artis-
tik, keselarasan (harmoni) dan relevansi. Seni pada hakikatnya
merupakan bentuk yang indah; tanpa bentuk indah tak ada seni. (Ensi-
klopedi Indonesia, Edisi Khusus, 1987 : 448). Struktur atau susunan dari
suatu karya seni adalah aspek yang menyangkut keseluruhan dari karya
yang meliputi peranan dari masing-masing bagian dalam keseluruhan
karya tersebut. Kata struktur mengandung arti bahwa di dalam karya
seni terdapat suatu pengorganisasian, pengaturan, ada hubungan yang
tertentu antara bagian-bagian dari sesuatu (Djelantik, 1990 : 32).
Dalam musik, bentuk berdasarkan susunan rangka lagu yang
ditentukan menurut bagian-bagian kalimatnya (Banoe, 2003 : 151).
Sebagaimana dalam karya sastra bahasa, musik juga memiliki frase,
kalimat, anak kalimat, dan sebagainya. Pada dasarnya musik terdiri
dari melodi, irama/pola ritme, harmoni horisontal maupun harmoni
vertikal yang merupakan kesatuan membentuk suatu komposisi
musik. Semua unsur musik itu berkaitan erat dan sama-sama memiliki
peranan penting dalam sebuah lagu. Dalam proses penciptaan suatu
karya musik, komponis merangkai bahan-bahan musikal yang dimili-
kinya, menyusun dan mengembangkannya hingga menjadi sebuah
komposisi. Suatu penciptaan karya musik diawali dengan sebuah
tema/ide dasar musikal, yang kemudian dapat diperluas dan di-
kembangkan lebih lanjut. Musik hampir selalu digubah berdasarkan
satu atau lebih ide musikal yang disebut tema. Ide ini mempersatukan
Analisis Bentuk dan Struktur Lagu... 73

nada-nada musik serta terutama bagian-bagian komposisi yang dibu-


nyikan satu per satu sebagai kerangka. Sebuah tema sendiri terdiri
dari elemen-elemen yang mengandung melodi, ritme dan harmoni,
yang dipadukan untuk memberikan karakter atau individualitas yang
berbeda pada ide musikal (Miller dalam Bramantyo, tanpa tahun : 152).
Bentuk musik dapat dilihat juga secara praktis: sebagai ‘wadah’
yang ‘diisi’ oleh seorang komponis dan diolah sedemikian hingga men-
jadi musik yang hidup (Prier, 1996 : 2). Menurut Jamalus (1988 : 1):

“Musik adalah suatu hasil karya seni yang berbentuk lagu/kompo-


sisi yang mengungkapkan perasaan dan pikiran penciptanya melalui
unsur-unsur musik, yaitu : irama, melodi, harmoni, bentuk dan struktur
lagu serta ekspresi (dinamika) sebagai satu kesatuan”.

Pengertian bentuk dan struktur lagu yang berhubungan dengan


musik menurut Jamalus (1988 : 35) diartikan sebagai susunan serta
hubungan antara unsur-unsur musik dalam suatu lagu, sehingga meng-
hasilkan komposisi atau lagu yang bermakna. Dari beberapa pengertian
di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk dan struktur sebuah karya
musik ialah susunan cara unsur-unsur musik disusun dengan pola
tertentu, dengan pengorganisasian/pengaturan dan hubungan antara
bagian-bagian musik sehingga menjadi wujud – yaitu sebuah karya
musik.
Dalam Kamus Musik, Banoe mengemukakan bahwa mirror me-
rupakan teknik penyusunan kanon satu bagian refleksi bagian sebe-
lumnya. Notasi biola satu dari lagu Playful Duet karya W. A. Mozart
merupakan cerminan/refleksi/pembalikan dari notasi biola dua, dan
sebaliknya, notasi biola dua merupakan cerminan dari notasi biola
satu, serta penggunaan teknik komposisi mirror retrograde dan inver-
sion (pembalikan interval). Kusumawati, (2004 : 20), menuliskan bah-
wa dalam teknik pembalikan (inversion) setiap interval naik dijadikan
interval turun demikian juga setiap interval yang dalam motif asli
menuju ke bawah dalam pembalikannya diarahkan ke atas. Dalam
buku yang sama dituliskan bahwa retrograsi (retrograde) merupakan
pengulangan sebuah frase melodi dengan melakukan gerak mundur
yang dimulai dengan nada terakhir frase sebelumnya (2004 : 22).
Terdapat dua jenis mirror yaitu:
74 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

a. Mirror retrograde, dengan contoh sebagai berikut:

b. Return retrograde, dengan contoh sebagai berikut:

Dari contoh di atas maka dapat dilihat bahwa teknik mirror


retrograde merupakan pembalikan/pencerminan/gerak mundur baik
dalam pergerakan melodi maupun ritme, sedangkan teknik return
retrograde merupakan pergerakan mundur/pencerminan dalam me-
lodi namun pengulangan tanpa adanya perubahan pada ritme.
Akor tertian, quartal, secundal, polychordal atau akor susun, dapat
ditulis dalam bentuk mirror dengan menambahkan di bawah format/
bentuk aslinya, dengan membalikan intervalnya (inverted intervals)
dalam pantulan yang simetris. Harmoni mirror memiliki tekstur yang
kompleks tidak seperti format akor yang lainnya karena pantulan
pembalikannya berlawanan dengan suara aslinya.
Empat macam kemungkinan dalam penulisan akor mirror ialah:
(a) susunan tetap dari pantulan yang dihasilkan; (b) dengan mengge-
rakkan susunan dari pantulan yang dihasilkan; (c) dengan membuat
bentuk dari pantulan yang bergerak berlawanan dari nada asli; (d)
susunan akor pertama sesuai pantulan, lalu pergerakkan selanjutnya
bebas (Persichetti, 1961 : 174). Objek penelitian ini adalah lagu Playful
Duet (mirror) untuk dua biola sopran karya W. A. Mozart, baik melalui
skor maupun dengan mendengarkan dan memainkan lagu Playful
Duet karya W. A. Mozart. Sumber data yang dimanfaatkan dalam
penelitian ini diambil dari skor lagu Playful Duet untuk dua biola
sopran karya W. A. Mozart. Di dalam pengumpulan data, peneliti
juga mencari beberapa sumber data yang ada kaitannya dengan karya
musik tersebut, yang meliputi buku-buku dan artikel mengenai riwa-
yat W. A. Mozart. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan metode dokumentasi dan pengamatan pendengar-
an. Metode ini dilakukan dengan cara:
Analisis Bentuk dan Struktur Lagu... 75

1. Memanfaatkan skor lagu Playful Duet dan memainkannya de-


ngan biola, mendengarkan, mencatat hal-hal yang berkaitan de-
ngan objek penelitian kemudian merangkumnya.
2. Memanfaatkan skor lagu Playful Duet untuk dua biola sopran
karya W. A. Mozart yang ada, dengan melakukan analisis bentuk
dan struktur lagu pada karya musik tersebut.

Karya tulis ini membahas atau menganalisis objek yang diteliti


berdasarkan data-data dan catatan-catatan yang diperoleh guna men-
dapatkan gambaran yang jelas dalam bentuk karya tulis dengan
expert. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis konten
deskriptif, karena analisis ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk
dan struktur lagu Playful Duet untuk dua biola sopran karya W. A.
Mozart. Dalam proses pendeskripsian lagu Playful Duet untuk dua
biola sopran karya W.A. Mozart, peneliti menggunakan bentuk anali-
sis lagu yang telah dikembangkan oleh Prier (1996). Proses analisis
tersebut dapat diskemakan sebagai berikut:

Lagu Analisis bentuk Analisis Analisis


dan struktur kalimat motif

Gambar Analisis Data

Tahap-tahap/proses analisis lagu Playful Duet yang peneliti


lakukan sebagai berikut: peneliti mencermati skor lagu Playful Duet,
mendengarkan, memainkan dan mendiskripsikan keseluruhan lagu,
kemudian mempersempit pencermatan/proses analisis pada bentuk
dan struktur lagu, lalu menganalisis kalimat lagu, selanjutnya sampai
pada analisis motif.
Konsep validitas dan reabilitas yang berlaku dalam penelitian
diperbaharui menjadi teknik pemeriksaan keabsahan data pada
penelitian kualitatif (Moleong, 2000 : 171). Teknik yang digunakan
untuk memeriksa keabsahan data adalah dengan cara triangulasi.
Menurut Moleong (2000 : 178), Triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data
itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap
data tersebut.
76 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Dalam penelitian ini triangulasi digunakan untuk mengecek kebenaran


dan penafsiran data dengan cara membandingkan data hasil observasi
langsung, kajian pustaka, studi dokumentasi dan kecukupan referensial
serta konsultasi dari hasil analisis kepada ahlinya (expert). Triangulasi Hasil
Penelitian dapat ditunjukkan seperti gambar di bawah ini:

Peneliti

Expert Observasi langsung, Kajian


Pustaka/Referensi dan
Dokumen

Gambar Triangulasi Penelitian

Pembahasan Hasil Penelitian


Lagu Playful Duet karya W. A. Mozart merupakan lagu untuk
duet biola sopran dengan bentuk mirror dalam sukat 4/4 dengan
tempo Allegro. Tidak seperti bentuk karya musik mirror pada umum-
nya yang hanya menggunakan teknik komposisi mirror retrograde
saja, sehingga membentuk suatu lagu yang berbentuk mirror murni
yaitu separuh dari akhir lagu merupakan cerminan (kebalikan) secara
persis dari separuh awal lagu, baik ritme maupun melodinya, namun
teknik komposisi yang digunakan dalam lagu Playful Duet ini selain
menggunakan teknik mirror retrograde, juga menggunakan teknik
pembalikan (inversion) interval, serta pertukaran ritme, melodi dan
harmoni secara retrograde antara biola satu dan biola dua, mulai
separuh akhir lagu (birama 38 – 75), sehingga meskipun sekilas lagu
Plafyul Duet ini terlihat sederhana, namun jika dikaji terlebih dalam
terdapat kerumitan yang mengagumkan di dalamnya.
Notasi biola satu lagu Playful Duet karya W. A. Mozart merupa-
kan cerminan/refleksi/pembalikan dari notasi biola dua, dan
sebaliknya notasi biola dua merupakan cerminan dari notasi biola
satu. Penggunaan teknik komposisi mirror retrograde yang merupakan
pengulangan sebuah frase melodi dengan melakukan gerak mundur
Analisis Bentuk dan Struktur Lagu... 77

yang dimulai dengan nada terakhir frase sebelumnya; dan inversion


(pembalikan interval), dalam teknik pembalikan (inversion) setiap per-
gerakan interval naik dijadikan pergerakan interval turun demikian
juga setiap interval yang dalam motif asli menuju ke bawah (turun)
dalam pembalikannya diarahkan ke atas (naik). Teknik mirror retro-
grade lagu Playful Duet merupakan pembalikan/pencerminan/gerak
mundur baik dalam pergerakan melodi maupun ritme.
Dari segi harmoni, mulai dari birama 38 – 75, yang merupakan
perpotongan, sekaligus pertukaran melodi dan ritme antara biola satu
dan biola dua, akor-akornya merupakan pantulan pembalikkan dari
birama 1 – 37, (berlawanan dengan suara aslinya), yakni: progresi
akor pada opmaat birama 1 – 37. Bentuk dan struktur lagu dalam
Lagu Playful Duet ini terdiri dari enam tema pokok dan pengulangan
pada tema sebagai berikut:

Lagu Playful Duet ini diawali tanpa adanya introduksi, melainkan


langsung masuk pada Tema I yang dimulai dengan birama gantung
(opmaat) dengan nilai nada ¼, atau satu ketukan pada up beat. Tema
78 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

I memiliki dua frase, frase pertama (a) terdapat pada (opmaat) birama
1-4, dan frase kedua (b) terdapat pada (opmaat) birama 5-8. Dua bira-
ma pertama (birama 1-2) diawali dengan motif 1 (m), motif ini menon-
jolkan pada kekuatan ritme yang cukup meminta perhatian pende-
ngar dengan nada-nada yang persis sama pada biola satu dan biola
dua (unisono) dengan teknik 8bassa, yaitu antara melodi biola satu
dan melodi biola dua memiliki interval oktaf (biola dua satu oktaf
lebih rendah dari biola satu, dan sebaliknya; dalam pergerakan melodi
yang persis sama), yang diakhiri dengan dua nada terakhir unisono
dengan teknik double stop (memainkan lebih dari dua nada dalam
satu waktu) pada biola satu dan biola dua. Selanjutnya diikuti dengan
motif 2 (m1) (birama 3-4) yang merupakan pengembangan dari akor
motif 1 (akor I), dan adanya pengembangan ritme dengan pengguna-
an teknik diminuation of the value (pemerkecilan nilai nada).
Pada birama 5-6 muncul motif baru (n) yang lebih ringan dalam
not-not 1/8, yang bermain dalam progresi akor. Kemudian pada birama
7-8 merupakan motif (n1) sama dengan birama 5-6 (n), namun disini
Mozart melakukan pertukaran melodi, sebagai berikut; melodi biola satu
pada birama 5-6 diulangi dengan teknik 8bassa pada melodi biola dua
pada birama 7-8; dan sebaliknya, melodi biola dua pada birama 5-6
digunakan pada melodi biola satu pada birama 7-8 (sama persis, tanpa
adanya perubahan). Jika dianalisis secara horisontal, yaitu antara biola
satu dan biola dua dianalisis secara terpisah, maka pergerakan melodi
biola satu pada (opmaat) birama 7-8 merupakan sekwen turun dari
melodi birama (opmaat) 5-6; demikian pula dengan biola dua.
Analisis Bentuk dan Struktur Lagu... 79

Kesimpulan
Berdasar hasil analisis data yang diperkuat oleh studi dokumentasi,
kajian pustaka, observasi langsung dengan mendengarkan dan me-
mainkan lagu Playful Duet, maka dapat diambil kesimpulan mengenai
Analisis Bentuk dan Struktur Lagu Playful Duet (mirror) Karya W. A.
Mozart, yaitu: Lagu Playful Duet karya W. A. Mozart merupakan lagu
untuk (duet) dua biola sopran, ditulis dalam bentuk yang merupakan
cerminan dari instrumen lainnya (notasi biola satu merupakan cerminan
dari notasi biola dua, dan sebaliknya notasi biola dua merupakan cerminan
dari notasi biola satu).
Meskipun lagu Playful Duet ini berbentuk mirror, bentuk dan
struktur lagu Playful Duet dari birama 38 – 75 bukan merupakan
retrograde murni, (cerminan/pengulangan secara terbalik dan sama
persis) dari birama 1 – 37, karena adanya pertukaran partitur antara
biola satu dan biola dua, sebagai berikut : mulai dari birama 38 – 75
biola satu memainkan melodi, ritme dan akor (harmoni) biola dua
birama 1 – 37 secara retrograde, dan sebaliknya mulai dari birama 38 –
75 biola dua memainkan melodi, ritme dan akor (harmoni) birama 1 –
37 secara retrograde pula. Lagu Playful Duet merupakan suatu karya
musik yang dapat mewakili musik pada era klasik, yang sekilas tampak
sederhana dan lurus, dengan penggunaan melodi dan ritme yang
sederhana serta akor-akor pokok, namun diketahui adanya perhitung-
an yang cermat dan matang dalam setiap bagian-bagian dan keseluruh-
an lagunya seperti telah dijabarkan dalam pembahasan di atas.
Saran yang dapat dikemukakan, bahwa hendaknya kajian repertoar,
termasuk analisis bentuk dan struktur lagu dapat lebih banyak dan lebih
kerap dilakukan, serta dijadikan suatu kebutuhan, terutama bagi praktisi
musik untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai
suatu karya musik tertentu dan musikologi secara lebih luas.
80 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Daftar Pustaka
Banoe, Pono, 2003. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius.
Blume, Friederich, 1970. Classic and Romantic Music. London: W. W.
Norton and Company Inc.
Chaplin, C. P, 2000. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: P. T. Raja
Grafindo Persada.
Djelantik, A. A. M, 1990. Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid 1 (Estetika
Instrumental). Denpasar : Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)
Denpasar.
Jamalus, 1981. Musik Untuk PSG. Jakarta: Depdikbud.
Keraf, Gorys, 1981. Eksposisi dan Deskripsi. Flores: Nusa Indah.
Kodijat, Latifah-Marzoeki, 2004. Istilah-istilah Musik. Jakarta:
Djambatan.
Kusumawati, Heni, 2004. Komposisi Dasar. Yogyakarta: Program Studi
Seni Musik Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri
Yogyakarta.
Moleong, J. L., 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: P. T.
Remaja Rosdakarya.
Persichetti, Vincent, 1961. Twentieth Century Harmony. London: Faber
and Faber Limited.
Prier, Karl-Edmund SJ, 1993. Sejarah Musik Jilid 2. Yogyakarta: Pusat
Musik Liturgi.
Schindler, A, 1980. Listening To Music. New York: Holt, Rinehart and
Wiston.
Soeharto, M., 1975. Belajar Notasi Balok. Jakarta: P. T. Gramedia.
Syafiq, Muhammad, 2003. Ensiklopedia Musik Klasik. Yogyakarta:
Adicita Nusa.
Tim Penyusun, 1987. Ensiklopedi Indonesia Jilid 3 – Edisi Khusus. P. T.
Ichtiar Baru.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Makna Simbolik dalam Tatarakit Tari Bedhaya 81

MAKNA SIMBOLIK DALAM TATARAKIT


TARI BEDHAYA

Enis Niken Herawati


Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract
Bedhaya dance is a classical Javanesse dance which full with high
Javanesse philosophy and meaning in the palace. This dance reflecting the
believe of palace community, manunggaling kawula gusti concept, which
is shows in the number of the dancer, nine. That number shows the nine
live principles of the Javanesse people.
The nine dancers also shows the symbol of babahan hawa sanga or ’the
nine holes’ they are: 2 eyes, 2 ears, 2 nose holes, 1 mouth, 1 sex, 1 anus.
Besides, it can also means the nine parts of human body: head, neck, sex,
anus, 2 hands, 2 legs. Each part of the body have its own function in this
live and completing each other. Bedhaya dance born in the cultural, social,
religius, educational, ritus and philoshopyc background which live among
Javanesse people. Bedhaya dance also hane adiluhung or high concept, it
have estetic, philosophic, religius, and educational which can effect other
aspect in this live.
Keywords: bedhaya, classic dance, palace community

Pendahuluan
Sesuai dengan pokok masalah yang akan dikemukakan tentang
fungsi simbol dalam tari Bedhaya, tulisan ini akan mengungkapkan
makna simbol yang terdapat dalam komposisi tari Bedhaya. Tujuan
ini dimaksudkan agar makna-makna simbol yang ada pada tata rakit
serta tokoh yang ditampilkan dapat dipahami sebagai apresiasi terha-
dap tari Bedhaya.
82 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Salah satu tangkai budaya adalah seni tari. Seni tari memiliki
dua dimensi, yakni ruang dan waktu. Kebudayaan itu sendiri merupa-
kan hasil karya manusia yang mengandung ide dan gagasan dari
masyarakat pelakunya yang berwujud dalam aktivitas sebagai upaya
untuk menginterpretasikan pengalaman batinnya. Seperti dikatakan
oleh Koentjaraningrat, kebudayaan itu diekspresikan dalam tiga pem-
bagian wujud, yakni kebudayaan sebagai kompleks tingkah laku,
kebudayaan sebagai ide gagasan nilai, dan kebudayaan sebagai hasil
karya manusia (Koentjaraningrat, 1987: 5).
Proses mewujudkan simbol-simbol sangat diperlukan, hal itu ber-
tujuan mempermudah manusia berupaya memahami hubungannya
dengan Sang Pencipta, alam, dan sesama manusia, maupun alam
gaib. Cassirer mengatakan bahwa manusia hidup dalam suatu dunia
simbolis, bahasa mite, seni, agama adalah bagian-bagian dari dunia
simbolis, sehingga pemikiran simbolis merupakan ciri yang menun-
jukkan kekhususan bagi kemajuan kebudayaan manusia (Cassirer,
1990: 39-41).
Seni tari sebagai salah satu bagian dari kebudayaan sangat banyak
memiliki simbol-simbol, seperti yang terdapat pada tari Klasik Jawa
maupun Bali. Tari Klasik Jawa pada dasarnya lahir dari tempat yang
penuh dengan tata aturan nilai dan falsafah Jawa yang tinggi, yaitu
l i n g k u n Bedhaya merupakan salah satu wujud kebu-
g a n k e r a t o n . T a r i

dayaan yang ada di keraton. Di dalam tari Bedhaya terdapat simbol-


simbol melalui paham filosofis Jawa atau keyakinan-keyakinan yang
dianut. Berdasarkan pengertian-pengertian yang berlambang pada
pola pemikiran masyarakat Jawa ini dapat ditemui adanya nilai dan
norma. Dalam hal ini, pola pikir masyarakat Jawa adalah pola pikir
yang terpengaruh Hindu, Budha, dan Islam. Sehingga, pola penyu-
sunan tari Bedhaya lebih menitikberatkan: konsep fungsi dan kedu-
dukan lambang sembilan di dalam pola pemikiran masyarakat Jawa,
konsep Manunggaling Kawula Gusti, dan konsep bentuk penggunaan
lambang kehidupan yang lain.
Konsep fungsi dan lambang sembilan dalam pola pikir masyara-
kat Jawa tampak pada jumlah penari Bedhaya, yakni sembilan orang.
Seluruh penarinya dilukiskan dalam wujud kembar atau sama,
namun masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda. Nama-
Makna Simbolik dalam Tatarakit Tari Bedhaya 83

nama fungsi dari masing-masing penari Bedhaya adalah: Endhel Pajeg,


Batak, Jangga (Gulu), Dhadha, Apit Ngajeng, Apit Wingking, Endhel
Wedalan Ngajeng, Endhel Wedalan Wingking, dan Buntil.
Pada konsep Manunggaling Kawula Gusti diisyaratkan bahwa
alam pikiran mnusia mengakui adanya kenyataan-kenyataan yang
bersifat inderawi dan bersifat maya atau gaib. Sebagai contoh, eksis-
tensi manusia pada dasarnya boleh ditunjuk sebagai salah satu contoh
kenyataan inderawi. Sedangkan “ada” dari Tuhan boleh ditunjuk
sebagai kenyataan yang bersifat gaib (tidak inderawi). Melalui contoh
itu diketahui bahwa hubungan manusia dengan Tuhan pada hakikat-
nya harus dihayati sebagai hubungan salah satu bentuk kenyataan
inderawi dengan bentuk kenyatan tertinggi yang gaib, yakni Tuhan
Yang Maha Esa (Pudjasworo, 1982: 4).
Sebagai perwujudan tertinggi dari hubungan antara manusia dan
Tuhannya, diadakanlah berbagai bentuk aktivitas religius, salah satu-
nya adalah tari Bedhaya yang merupakan hasil penghayatan terhadap
hubungan antara manusia dan Tuhan.
Dari aspek-aspek yang melatarbelakangi kehidupan masyarakat
Jawa, simbol-simbol tersebut juga berfungsi sebagai sarana masyarakat
Jawa untuk lebih memahami nilai-nilai dan falsafah Jawa untuk
dapat memahami nilai dan falsafah Jawa dalam tari Bedhaya yang
terlihat pada simbol komposisi tari Bedhaya dan penarinya.
Beberapa permasalahan yang layak diajukan di sini meliputi: (a)
simbol-simbol apa sajakah yang terdapat dalam komposisi dan penari
Bedhaya? (b) makna apa sajakah yang terdapat pada simbol tari
Bedhaya? (c) bagaimanakah fungsi simbol dalam tari Bedhaya?

Biografi
Teori tentang simbol diungkapkan oleh seorang antropolog yang
lahir di Amerika, L.A. White (1900-1975). Pemikirannya mengembang-
kan konsumsi energi dalam evolusi kebudayaan. Di samping itu, White
juga mempunyai konsep lain mengenai simbol. Dalam bukunya The
Evolution of Culture (1959), ia mengungkapkan sebagai berikut.
1. Simbol adalah benda atau objek material yang nilainya ditetapkan
oleh orang yang menggunakannya.
2. Perilaku manusia berasal dari pemakaian lambang.
84 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

3. Lambang menstranformasikan homosapiens menjadi manusia.


4. Fungsi lambang adalah untuk mempermudah komunikasi sebagai
dorongan kebutuhan naluri manusia.
5. Setiap lambang secara instrinsik mengandung sifat keterbukaan,
maka diberi arti yang berbeda-beda.
6. Nilai yang melekat pada lambang tidak terikat secara instrinsik
pada bendanya sendiri. (Kodiran, PPS UGM: 21 April 1999).

Dalam bukunya Energy and the Evolution of Culture (1943) ia


membuat penyataan sebagai berikut.
1. Kebudayaan diciptakan manusia karena manusia mempunyai
kapasitas simbolisasi. Dengan kapasitas simbolisasi dapat
menciptakan sesuatu yang semula tidak ada menjadi ada, dan
seolah-olah benar-benar ada.
2. Manusia sebagai mahkluk organisme, adalah sama dengan makh-
luk organisme yang lain, yaitu untuk hidup manusia harus mencu-
kupi energi dari alam. Ini dilakukan dengan alat yaitu kebudayaan
(Koentjoroningrat, 1990: 120).

Menurut White kebudayaan merupakan simbol-simbol yang


bergantung kepada pemakainya, yaitu suatu organisasi gejala-gejala
(pola tingkah laku), objek (alat pertukangan dan produksinya), ide-
ide (kepercayaan dan ilmu pengetahuan), dan sentimen (sikap dan
nilai). White mengungkapkan bahwa kebudayaan itu bermula dari
terwujudnya manusia dan diturunkan dari generasi satu ke generasi
lainnya yang diakibatkan oleh hakikat kebudayaan yang simbolik
itu (White dalam H. Judistira K. Garna, 1996: 158).

Tari Bedhaya
Tari Bedhaya merupakan tari klasik Jawa yang dianggap tari
sakral. Bedhaya berasal dari akar kata Budha, sehingga telah dianalisis
menjadi bentuk tarian batin, dalam ritus agama asli yang berasimilasi
dengan agama Hindu. Hal itu dapat juga diketahui dari beberapa
pendapat. Weda Pradangga menyebutkan “... Jejer-jejer Sawi beksa sarta
tinabuhan gangsa lokanantha (Gendhing Kemanak), binarung ing kidung
Sekar Sawi utawi Sekar Ageng”, yang berarti menari dalam posisi
Makna Simbolik dalam Tatarakit Tari Bedhaya 85

berbaris diiringi gamelan Lokananta, dibarengi dengan puisi metris


Sekar Sawi atau Sekar Ageng (Ronggowarsito, 1884-1906: 217-218).
Tari Bedhaya adalah salah satu tari klasik yang lahir dan berkem-
bang di keraton. Menurut R.M. Wisnoe Wardhana, Tari Bedhaya
merupakan tari yang lebih tua, lebih magis, daripada tari Srimpi.
Kadang-kadang nama “Bedhaya” dikaitkan dengan akar kata
“Budha” sehingga dijadikan sebagai tari ritus agama asli yang
berasimilasi dengan agama Budha (Wardhana, 1981: 35).
Menurut Kamus Istilah Tari dan Karawitan, tari Bedhaya adalah
komposisi tari klasik gaya Surakarta dan Yogyakarta yang dibawakan
oleh sembilan orang penari putri (Soedarsono, 1997/1978: 14). Dari
dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tari Bedhaya adalah
tari yang bersifat sakral dan dibawakan oleh sembilan penari putri.
Tari Bedhaya pada awal penciptaannya, ditarikan oleh putra-putri
raja dan bangsawan. Namun, setelah melalui perkembangan zaman
dan keterbukaan pihak keraton untuk melestarikan tari Bedhaya, tari
tersebut bisa dipelajari oleh masyarakat di luar tembok keraton, teruta-
ma bagi mereka yang telah menjadi abdi dalem. Sebagai salah satu
tari klasik, Bedhaya memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain penyajiannya
dibawakan atau ditarikan oleh sembilan penari putri, terdiri atas pola
lantai berbaris dan berjajar, serta memiliki simbol tertentu. Ciri yang
lain adalah penggunaan busana/kostum dan tata rias yang sama,
sehingga membedakan peran dalam penyajian melalui tokoh/peran,
yakni Batak. Di samping itu, tari Bedhaya mengandung cerita yang
bersifat mistis, dengan tema cerita mistis.
Berdasarkan sejarahnya, tari Bedhaya ini adalah tari yang lahir
dari latar belakang aspek budaya, sosial, religius, edukatif, dan ritual
maupun paham filosofis yang hidup di lingkungan masyarakat Jawa
khususnya keraton.
Tari Bedhaya memiliki konsep ke-adiluhung-an, mengandung nilai
estetik, filosofis, religius, edukatif, dan ritual yang mampu mencakup
berbagai aspek kehidupan manusia serta diwujudkan dalam lambang
atau simbol-simbol tertentu. Tari Bedhaya juga merupakan suatu sim-
bol yang memiliki makna tertentu dalam tradisi kehidupan Jawa.
Makna-makna simbolis ini memiliki arti yang penting, yaitu konsep
ke-adiluhung-an.
86 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Tari Bedhaya sebagai salah satu simbol dari aktivitas religius


masyarakat Jawa, di dalamnya juga terdapat konsep manunggaling
kawula Gusti yang berwujud simbol. Contohnya, jumlah sembilan
pada penari Bedhaya yang membentuk pola lantai, secara keseluruhan
menggambarkan proses perjalanan hidup manusia: lahir, hidup, dan
mati. Selain itu, Bedhaya juga dianggap sebagai pengejawantahan
satu badan manusia yang telah siap untuk menyatu dengan Tuhan-
nya. Menurut Pudjasworo, keberadaan Tuhan dalam hal ini diwakili
oleh kehadiran Sang Raja sebagai saksi tunggal dalam tari Bedhaya
(Pudjasworo, 1982: 31-35).
Fungsi dan lambang sembilan dalam pola pikir masyarakat Jawa,
juga tercermin dalam kehidupan keraton. Jumlah 9 pada tari Bedhaya
merupakan simbol mikrokosmos yang ditandai dengan adanya 9
lubang pada manusia, semuanya terwakili dalam peran yang dilaku-
kan oleh masing-masing penari Bedhaya. Makna simbolis yang ada
pada masing-masing penari menggambarkan perwujudan lahiriah
manusia sempurna. Peperangan antara Batak melawan Endhel Pajeg,
punya pengertian peperangan melawan musuh dalam diri manusia,
yaitu nafsu atau keinginan hati. Demikian juga, perwujudan per-
cintaan adalah simbol di dalam kehidupan yang penuh dengan per-
tentangan baik dan buruk, kanan dan kiri. Berdasarkan hal tersebut,
maka tak heran apabila masyarakat Jawa menempatkan tari Bedhaya
sebagai sesuatu yang bersifat religius-magis dan dikeramatkan, serta
merupakan salah satu sarana untuk menuntun olah semedi dan pa-
traping panembah.

Makna Simbolik Tari Bedhaya


Makna simbolik merupakan tanda-tanda yang dapat bermanfaat
dalam penyampaian maksud dan tujuan manusia di berbagai bidang
kehidupan. Dalam seni tari, seperti tari Bedhaya, banyak dijumpai
nilai-nilai dan falsafah Jawa seperti yang terdapat dalam tiga konsep
di atas. Ketiga konsep tersebut dapat ditemui dalam tari Bedhaya yang
diwujudkan melalui simbol-simbol. Melalui simbol-simbol tersebut
akan lebih dimengerti bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan-
nya, manusia dengan alam, dan manusia dengan sesamanya.
Makna Simbolik dalam Tatarakit Tari Bedhaya 87

Secara etimologis kata ’simbol’ berasal dari kata sumballo (Yunani)


yang berarti berwawancara, merenungkan, mengoperasi, melempar-
kan menjadi satu atau menyatukan (Daeng, 1992: 19). Simbol adalah
ide-ide yang melambangkan suatu maksud tertentu yang dapat berupa
bahasa (pantun, syair, peribahasa), gerak (tari, musik, suara atau bunyi),
garis, warna, dan rupa (lukisan, hiasan, ukiran) (Langer, 1988: 128).
Dari pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa simbol
adalah dunia makna yang memiliki nilai fungsional berupa tanda
buatan yang diwujudkan dalam seni. Simbol dapat dibedakan men-
jadi simbol diskursif dan simbol presentasional, simbol yang dengan
spontan menghadirkan apa yang dikandungnya, seperti dijumpai
pada lukisan, gerak tari, dan suara. Menurut pemakainya simbol dibe-
dakan menjadi empat, yaitu ritus, mitos, bahasa, dan musik.
Pada konsep bentuk penggunaan lambang-lambang kehidupan
yang lain, tari Bedhaya sebagai salah satu bentuk pusaka raja, menurut
kepercayaan akan dapat menambah kekuasaan dan kesaktian raja.
Berg juga menguatkan bahwa kesaktian raja ini selain berupa benda-
benda pusaka, juga berupa orang-orang yang karena sifatnya dapat
menambah kekuatan dan kekuasaan raja. Melalui hubungan tersebut
tampak dengan jelas bahwa para penari Bedhaya merupakan salah
satu wujud kesaktian raja. Dalam kitab Jnanasidhanta, kata astha sakti
(delapan sakti) mempunyai arti kekuatan, tenaga, atau daya agung,
dan berkuasa. Astha sakti diduga merupakan delapan kesaktian yang
harus dimiliki oleh raja untuk melegitimasi dirinya, yang terdiri atas:
ajara, amara, aksaya (aksa) apratihatagih, baddhaya, abddhaya, wasya,
dan anwasya (Berg, t.t.: 51).
Sebagai tari yang dikeramatkan, Bedhaya mengandung simbol-
simbol yang saling terkait antara kekuasaan raja dan jagad raya. Hal
ini dapat dilihat dari jumlah penari Bedhaya yang terdiri atas sembilan
penari wanita yang masih suci. Sembilan penari ini melambangkan
sembilan lubang pintu masuk keraton. Selain itu, juga sebagai lambang
arah mata angin, bintang-bintang, dan planet. Kekuatan lambang-lam-
bang tersebut dapat mendatangkan kemakmuran dan kesuburan, atau
sebaliknya, yang kesemuanya sangat bergantung kepada manusia atau
kelompok sosial yang berada di atasnya. Di samping itu, perwujudan
tari Bedhaya dari awal hingga akhir juga dapat dipandang sebagai
88 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

simbolisasi manusia dalam hal pengetahuan totalitas kehidupan, yaitu


wujud yang dimulai sejak lahir. Perwujudan manusia tersebut secara nyata
juga tampak dalam komposisi lantainya yang lazim disebut rakit lajur.
Berdasarkan hal tersebut di atas dan sesuai dengan pokok masa-
lah yang diajukan, maka konsep-konsep tentang teori simbol akan
langsung diarahkan pada aplikasi makna simbolis tari Bedhaya.

Tata Rakit Tari Bedhaya

Keterangan:
X = Penari > = Arah hadap penari

1. Endhel Pajeg 2. Batak


3. Jangga 4 Darma
5. Buntil 6. Apit Ngajeng
7. Apit Wingking 8. Endhel Wedalan Ngajeng
9. Endhel Wedalan Wingking

a. Pola lantai rakit lajur

6 8
^ ^
X X
1 2 3 4 5
^ ^ ^ ^ ^
X X X X X
7 9
^ ^
X X

Pola lantai ini menyimbolkan wujud lahiriah manusia yang


terbagi atas tiga bagian, yaitu: bagian kepala (dilambangkan
dengan endhel pajeg, batak, dan jangga); bagian badan (dhadha
dan buntil); bagian anggota badan (apit ngajeng, apit wingking,
dan endhel wedalan wingking (simbol kaki kanan/kiri)).
Keterangan : Pola lantai rakit lajur.
Makna Simbolik dalam Tatarakit Tari Bedhaya 89

b. Pola lantai iring-iringan

X X
6 8
^ ^ ^ ^
X X X X X
1 2 3 4 5
7 ^
X X

Pola lantai ini menyimbolkan proses hidup batiniah seorang


manusia. Adapun pergolakan-pergolakan yang diciptakan oleh
endhel pajeg dan batak merupakan penggambaran ketidaksesuaian
antara kehendak dan pikiran. Keluar dan masuknya endhel dan
apit ke dalam lajur pada hakikatnya melambangkan suatu ke-
hendak kestabilan suasana batin manusia.

c. Pola lantai ajeng-ajengan

X> <X
6 8
X> <X <X <X <X
1 2 3 4 5
X> <X
7 9

Pola lantai ini menyimbolkan siklus kehidupan manusia yang


dihadapkan pada dua pilihan antara melakukan hal yang baik
dan yang buruk. Dalam rakit ajeng-ajengan muncul nafsu atau
keinginan hati nurani, yakni pertentangan antara baik dan buruk.
Pada manusia terkadang timbul sifat baiknya dan terkadang pula
timbul sifat jahatnya. Manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh
kedua sifat tersebut, yang secara sadar maupun tidak, akan berada
pada sifat yang telah digariskan sebagai kodratnya.
90 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

d. Pola lantai lumebet lajur

<X
6
<X <X <X <X <X <X
2 3 4 1 8 5
<X
7

Pola lantai mlebet lajur memberikan gambaran bagi manusia


akan kepatuhan yang telah disepakati dalam aturan-aturan yang
ada mengenai hal-hal yang baik atau norma-norma yang ada
pada lingkungan internal (keluarga) dan pada lingkungan ekster-
nal (masyarakat dan negara).

e. Pola lantai endhel-endhel apit medal

X
X X 6
1 8 ^
X X X ^ ^ X
2 3 4 5
X
X 9
7

Endhel-endhel apit medal saking lajur menyimbolkan bagaimana


manusia ingin melepaskan diri dari aturan yang telah disepakati
bersama. Mnusia selalu merasa tidak puas dengan apa yang ada
atau apa yang diperolehnya. Penggambaran ketidaksesuaian an-
tara kehendak dan pikiran pada hakikatnya melambangkan ke-
tidakstabilan suasana batin manusia, sungguhpun akhirnya kem-
bali menyatu dengan wujud manusia sempurna dan mampu un-
tuk mulih malanila dumadi.
Makna Simbolik dalam Tatarakit Tari Bedhaya 91

f. Pola lantai VI rakit tiga-tiga

1 2 8
^ ^ ^
X X X
6 3 5
^ ^ ^
X X X
7 4 9
^ ^ ^
X X X

Pola lantai rakit tiga-tiga menimbulkan sirkulasi pikiran


manusia yang diawali dari keadaan yang tetap, kemudian goyah,
dilanjutkan dengan pencapaian kesadaran, dan berakhir dengan
kemanunggalan. Itu semua merupakan bagian dari paham filosofi
yang ada pada masyarakat Jawa.
Dari keenam rakit yang ada dalam komposisi tari Bedhaya
masing-masing memiliki tugas dan kedudukan sesuai dengan
fungsi simbol yang ada di dalamnya. Hal ini berkaitan dengan
pendapat White yang mengatakan bahwa ada enam batasan sim-
bol yang disampaikan dan keenam batasan simbol tersebut salah
satunya mengatakan bahwa perilaku manusia berasal dari pema-
kaian lambang yang tercermin dalam komposisi Bedhaya tentang
perilaku manusia yang dimulai sejak lahir, proses, dan berakhir
dengan kemanunggalan.

Makna Simbolik Penari


Sebagaimana telah dikatakan bahwa tari Bedhaya merupakan sa-
lah satu pusaka raja, maka penari Bedhaya haruslah disucikan secara
lahir batin terlebih dahulu. Proses penyucian berawal dari menghadap
raja, keramas dan mandi yang disebut dengan mandi ajinabat, yaitu
mandi dan keramas sebagai penyucian jiwa raga (Brake-Pepen
Nuijen, 1988: 37).
Sembilan penari juga merupakan simbol diri manusia. Dalam diri
manusia terdapat babahan hawa sanga atau sembilan lubang manusia
yang terdiri atas 2 lubang mata, 2 lubang telinga, 2 lubang hidung, 1
92 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

lubang mulut, 1 lubang kelamin, dan 1 lubang dubur. Berdasarkan


pemikiran Jawa, babahan hawa sanga adalah kelengkapan jasmaniah
yang dipakai sebagai sarana untuk mulih mulanila dumadi.
Simbol tari Bedhaya juga berkaitan dengan perbintangan. KGPH
Hadi Widjoyo menyatakan bahwa nawagraha disimbolkan dengan
arca yang berjumlah sembilan. Dengan demikian, kiranya dapat di-
pahami bahwa simbol-simbol yang terdapat dalam tari Bedhaya ber-
fungsi sebagai sarana untuk memelihara nilai filosofis Jawa yang ma-
sih tetap dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
Kedudukan masing-masing tokoh dalam tari Bedhaya melambang-
kan komunikasi antara Sri Sultan dan Nyi Roro Kidul. Dalam tokoh
tersebut ada yang dinamakan endhel, yakni sebagai gaib, sedangkan
batak sebagai kepala. Hal itu menyimbolkan adanya komunikasi anta-
ra dua dunia, yaitu alam nyata dan alam gaib, sebagaimana peng-
gambaran pertemuan Sri Sultan dengan Kanjeng Ratu Kidul. Perlam-
bangan ini tentunya tidak jauh berbeda dengan apa yang dinyatakan
dalam konsep White tentang fungsi lambang untuk mempermudah
komunikasi sebagai dorongan kebutuhan.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tari Bedhaya
memiliki enam tata rakit, masing-masing memiliki simbol yang dimulai
dari lahir, proses, dan kematian. Hal ini menggambarkan siklus hidup
manusia yang berakhir dengan kemanunggalan. Di samping itu, juga
diartikan adanya sembilan tubuh manusia, yakni kepala, leher, dada, alat
kelamin, dubur, kedua tangan, dan kedua kaki, yang masing-masing me-
miliki fungsi dalam kehidupan manusia. Masing-masing anggota tubuh
harus saling melengkapi, sehingga terjalin satu kesatuan yang utuh.
Lahirnya Bedhaya merupakan gambaran adanya jalinan komu-
nikasi antardua alam, yakni nyata dan gaib, yang dipercaya sebagai
pertemuan Sri Sultan dengan Kanjeng Ratu Kidul. Semua itu merupa-
kan bagian dari paham filosofi yang ada dalam masyarakat Jawa,
yang sampai sekarang masih dipegang erat oleh lingkungan keraton
(masyarakat pemiliknya), dalam arti orang yang pernah mendalami
tari Bedhaya, khususnya abdi dalem Bedhaya.
Makna Simbolik dalam Tatarakit Tari Bedhaya 93

Daftar Pustaka
Berg, C.C. dalam KGPH. Hadi Widjoyo, tt. Bedhaya Ketawang.
Surakarta: Radyapustaka.
Cassirer, Ernest, 1990. Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Essei tentang
Manusia (Terj. Alois A. Nugroho). Jakarta: Gramedia.
Hans, Daeng J, 1992. Diktat Pengantar Antropologi Seni. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Kodiran, 1999. Hand-out Mata Kuliah Teori Kebudayaan. Yogyakarta:
PPS UGM.
Koentjaraningrat, 1987. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia.
———————, 1990. Sejarah Antropologi II. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Langer, Suzanne K, 1988. Problematika Seni (Terj. FX Widaryanto).
Bandung: ASTI Bandung.
Ronggowarsito. 1884-1906. Pustaka Radja Poero Vol. I. Yogyakarta.
Soedarsono, 1997/1978. Kamus Istilah Tari dan Karawitan Jawa. Yogyakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Yogyakarta.
Wardhana, Wisnoe, 1981. “Tari Tunggal, Bekso, dan Tarian Skral
Gaya Yogyakarta” dalam Mengenal Tari Klasik Yogyakarta. (ed.
Fred Wibowo). Yogyakarta: Dewan Kesenian Provinsi DIY.
White dalam H. Judistira K. Garna, 1996. Ilmu-ilmu Sosial Dasar-
Konsepsi-Posisi. Bandung: PPS Universitas Padjadjaran Bandung.
94 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Seni Pertunjukan dan Tradisi Lisan... 95

SENI PERTUNJUKAN DAN TRADISI LISAN


DI KAWASAN CANDI RATU BOKO,
SLEMAN, YOGYAKARTA

Zulfi Hendri, Sri Harti Widyastuti, Siti Mulyani, Herlina


Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract
This research aims to describes about culture and oral tradition in Ratu
Boko Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Sociologically arts, literature, foklore
and another traditions become parts of religion spirits in Javanese
community. This research discovere many culture activities called: dadung
awuk, srandul, jathilan, ketoprak, campursari, mitoni, ruwahan, labuhan,
wiwitan, merti dusun, suran, manten, mitung dina, and mendhak. There
can be use as reference of live in globalization era. In Indonesian context,
this tradition ought to be nasional identity.
Keywords : Ratu Boko, oral tradition, nasional identity

Pendahuluan
Ratu Baka adalah situs purbakala yang merupakan komplek
sejumlah sisa bangunan yang berada kira-kira 3 km di sebelah selatan
komplek Candi Prambanan. Adapun letak situs Ratu Baka terletak
18 km sebelah timur kota Yogyakarta atau 50 km di sebelah barat
daya Kota Surakarta. Luas keseluruhan kompleks situs Ratu Baka
sekitar 25 ha. Situs ini diperkirakan berasal dari abad ke-8 pada masa
Wangsa Sailendra (Rakai Panangkaran) di Kerajaan Medang
(Mataram Hindu). Dilihat dari pola peletakan sisa-sisa bangunan,
diduga kuat situs ini merupakan bekas keraton (istana raja). Nama
“Ratu Baka” sendiri di dasarkan dari legenda masyarakat setempat.
Ratu Baka (secara harafiah berarti “raja bangau”) adalah ayah dari
96 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Roro Jonggrang (yang diberikan menjadi nama candi utama pada


komplek Candi Prambanan). Secara administratif, candi ini berada
di wilayah Kecamatan Bokoharjo, Kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Terletak pada ketinggian hampir 200 m di atas
permukaan laut.
Di kawasan situs Ratu Baka, Prambanan, dapat ditemukan
berbagai bentuk seni pertunjukan dan tradisi, baik yang berupa tari,
musik, teater rakyat, maupun resitasi yang berpijak pada tradisi lokal.
Patut diduga bahwa sebagian di antaranya diposisikan sebagai
bagian dari pelaksanaan ritual, sebagian yang lain merupakan tonton-
an atau hiburan. Penyajiannya bermuatan norma dan nilai-nilai ke-
arifan lokal, sehingga masyarakat setempat dapat melabuhkan ha-
rapan dan kepenatan batinnya.
Seperti lazimnya seni pertunjukan dan tradisi Nusantara yang lain,
penampilan berbagai jenis seni pertunjukan tersebut tidak lepas dari
kepentingan tradisi yang ada, misalnya rangkaian peristiwa pernikahan,
khitan, menunaikan nadar, dan bersih desa. Di samping itu, penampilan
sejumlah seni pertunjukan juga sering terkait dengan pelaksanaan
perhelatan khusus yang lain. Hal serupa pernah dikemukakan oleh
Kusmayati (2007), bahwa tujuan seni pertunjukan sering dikedepankan
lebih daripada aspek-aspek yang lain, termasuk di dalamnya aspek
bentuk. Oleh karenanya, bentuk sajian yang diselenggarakan berkaitan
dengan perhelatan pernikahan dapat serupa dengan rangkaian yang
diketengahkan ketika pelaksanaan khitan atau menunaikan nadar.
Dalam perjalanannya, di masa kini pelaku dan penonton seni
pertunjukan tertentu terutama pertunjukan tradisional tampak sedikit
demi sedikit mulai menyurut dan bahkan menghilang. Gejala lain
yang layak dicatat ialah bahwa mayoritas pelakunya sudah berusia
relatif tua dan kalangan generasi muda tidak banyak lagi yang berse-
dia menjalankannya. Seiring dengannya, jumlah dan kesetiaan
penonton juga menyusut dan mulai meluntur. Akibatnya, proses rege-
nerasinya tidak dapat berjalan dengan mulus, bahkan dapat dikata-
kan mengkhawatirkan.
Dipilihnya kawasan situs Ratu Baka sebagai wilayah penelitian,
karena kawasan situs Ratu Baka ini termasuk kawasan yang dikem-
bangkan pemerintah untuk pengembangan pariwisata daerah. Hal
Seni Pertunjukan dan Tradisi Lisan... 97

itu di sebabkan di seputar wilayah tersebut merupakansitus yang


pada masa lalu merupakan pusat kebudayaan, atau keraton. Sebagai
suatu wilayah yang dahulu adalah keraton maka dipastikan bahwa
wilayah tersebut adalah wilayah yang mempunyai kesuburan kultur.
Kesuburan kultur di sekitar kawasan situs Ratu Baka yang pada per-
kembangannya mulai menampakkan adanya gejala melemahnya
keinginan untuk berkesenian dan meninggalkan tradisi lokalnya se-
hingga kearifan lokal dan hasil-hasil budaya yang ada menjadi mati
perlu diteliti. Penelitian tidak hanya sebatas pada mencari sebab musa-
bab melemahnya kultur, namun perlu pula dicari solusi untuk me-
ngembangkan harta kultural yang dapat berterima bagi masyarakat
pemilik harta kultural tersebut maupun masyarakat luas. Pengem-
bangan harta kultural ke arah industri kreatif akan menjadi salah
satu tujuan penelitian, hal itu didukung oleh adanya fasilitas yang
sudah dibangun oleh pemerintah berupa pendopo dan fasilitas per-
tunjukan kesenian dan pengembangan kawasan Ratu Baka menjadi
salah satu tempat wisata unggulan Yogyakarta.

Tinjauan Pustaka
Tradisi lisan sering disebut pula sebagai folklore, yaitu sebagian
kebudayaan yang penyebarannya pada umumnya melalui tutur kata
atau lisan (Dananjaya, 1986: 5). Tradisi lisan atau folklore lisan tam-
pak pada bentuk bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan
tradisional, sajak dan puisi rakyat, cerita prosa rakyat dan nyanyian
rakyat (Dananjaya, 1986: 22). Sementara itu bentuk bahasa rakyat
tampak pada logat, atau dialek, slang atau kosa kata atau idiom dari
kolektif khusus, cant atau slang dalam arti khusus atau sering disebut
bahasa rahasia. Shop talk atau bahasa para pedagang, colloquial atau
bahasa sehari-hari yang menyimpang dari bahasa konvensional, se-
perti misalnya bahasa para mahasiswa di Jakarta yang pada dasar-
nya adalah bahasa Betawi yang dibubuhi kata-kata khusus atau istilah
khusus. sirkomlokusi atau ungkapan tidak langsung, contoh sirkomlo-
kusi di Jawa Tengah. Jika seseorang berjalan di hutan maka ia tidak
berani menyebut harimau dengan nama harimau namun akan diganti
namanya menjadi mbah atau kakek, hal itu untuk melindungi orang
yang sedang berjalan di hutan tersebut dari terkaman harimau karena
98 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

dengan logika seorang kakek tentu tidak akan menerkam cucunya.


Bentuk bahasa rakyat yang lain adalah cara pemberian nama sese-
orang. Gelar kebangsawanan, bahasa bertingkat atau dalam bahasa
Jawa disebut sebagai undha unsuk basa. Selanjutnya bentuk bahasa
rakyat yang lain adalah onomatopoetic atau onomastis adalah kata-
kata yang dibentuk dengan mencontoh suara alamiah.
Menurut Dananjaya (1986: 28) salah satu bentuk folklore lisan
yang lain adalah ungkapan atau kata-kata yang dibentuk dengan
mencontoh bunyi-bunyi alamiah. Ungkapan tradisional merupakan
kebijaksanaan orang banyak yang merupakan kecerdasan seseorang,
atau kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman panjang. Cerita
prosa rakyat adalah termasuk salah satu bentuk folklore lisan. Menu-
rut Bascom cerita prosa rakyat dapat dibagi menjadi mite, legenda,
dan dongeng. Bentuk lain dari folklore lisan adalah nyanyian rakyat.
Kesenian adalah perwujudan dari bentuk-bentuk yang ekspresif
atau penampilan bentuk-bentuk ekspresif dari seseorang. Sebagai ba-
gian kebudayaan kesenian dapat digolongkan menjadi tiga golongan
utama, yaitu seni rupa, misalnya seni patung, kria, seni geafik, seni
reklame, seni arsitektur dan seni dekorasi. Seni pertunjukan misalnya
seni tari, karawitan, seni musik, deklamasi, dan seni drama. Seni audio
visual misalnya seni video dan seni film (Bandem, 1985: 303). Adapun
unsur-unsur yang terdapat dalam kesenian tersebut meliputi ide,
perilaku, dan wujud (Havland, 1975: 11). Sementara itu seni pertun-
jukan dapat dipilah menjadi kesenian tradisi, kesenian modern dan
kesenian massa. Kesenian tradisi merupakan kesenian yang berasal
dari tradisi masyarakat lokal yang berkembang turun-temurun mi-
nimal dua generasi. Kesenian modern adalah kesenian yang dikem-
bangkan dari tradisi yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia
modern. Kesenian massa adalah kesenian yang diubah perannya se-
bagai tontonan yang dapat menarik massa sebanyak-banyaknya. Ke-
senian tradisi masih dibedakan menjadi kesenian keraton dan keseni-
an rakyat. Kesenian keraton adalah kesenian yang lahir di keraton,
berkembang dan dipertunjukkan di keraton. Kesenian rakyat adalah
kesenian yang muncul, dipertunjukkan, dan dimainkan oleh rakyat.
Seni pertunjukan Jawa yang awalnya sebagai milik masyarakat
agraris diarahkan oleh seperangkat gagasan dan nilai kultural yang
Seni Pertunjukan dan Tradisi Lisan... 99

berbeda dengan tema kultural masyarakat industrial-global. Perbeda-


an di antara masyarakat agraris dan industrial-global tersebut dapat
juga dideskripsikan dalam pengertian perbedaan di antara masing-
masing gagasan dan nilai kulturalnya, yang selanjutnya diorganisasi-
kan dalam pola yang terpahami. Pola yang perlu diteliti.
Seni pertunjukan Jawa hakikatnya merupakan ekspresi gagasan
atau nilai-nilai kultural. Penerimaan salah satu gagasan mengarahkan
penolakan terhadap yang lain, dan realisasi penolakan tersebut bisa
saja menuntut penerimaan yang berikutnya. Gagasan atau nilai kultu-
ral yang berbeda bisa saling melengkapi, tetapi bisa juga saling ber-
lawanan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut seni pertunjukkan
tradisional akan dapat mempertahankan eksistensinya dengan mem-
perhatikan atau meningkatkan para pecinta, dan penggemar terma-
suk di dalamnya para wisatawan asing (Soedarsono, 1985:262). Lebih
lanjut dicontohkan peranan wisatawan asing dalam usaha pelestarian
pertunjukkan seni tradisional telah terjadi di daerah-daerah wisata,
Di daerah itu seni pertunjukkan tradisional dikemas untuk para wisa-
tawan (tourist art) yang sebagian besar penontonnya adalah wisata-
wan asing.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini bersifat analitis-kualitatif melalui etnografi untuk
mengetahui dan mendeskripsikan budaya masyarakat di sekitar situs
Ratu Baka, Prambanan. Hal itu sesuai dengan apa yang disebutkan
oleh Malinowski (1922: 25) yang menyatakan bahwa tujuan etnografi
adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya de-
ngan kehidupan untuk mendapatkan pandangan mengenai dunia-
nya. Penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia
orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir dan
bertindak dengan cara yang berbeda. Jadi etnografi tidak hanya mem-
pelajari masyarakat namun lebih dari itu, etnografi belajar dari masya-
rakat (Spradley, 2007:4). Pada aktivitas penelitian ini dilakukan pema-
haman suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk mela-
lui observasi langsung terhadap kegiatan masyarakat dalam konteks
sosial dan budaya sehari-hari, sehingga dapat diketahui alasan
masyarakat di sekitar situs Ratu Baka menjalani kearifan lokalnya
100 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

yang tercermin dalam tradisi lisan, dan seni pertunjukannya. Peng-


gunaan metode etnografi digunakan pula untuk merancang pengem-
bangan budaya melalui industri kreatif yang dapat meningkatkan
taraf ekonomi dan ketahanan budaya sesuai dengan karakteristik
masyarakatnya.
Lebih lanjut dalam rangka mengembangkan seni pertunjukan
tradisional dan tradisi lisan yang berkembang di kawasan geokultural
Situs Ratu Baka ke arah industri kreatif temuan dari puncak analisis
etnografis ini dilakukan analisis pasar. Analisis pasar dipergunakan
untuk mencari alternatif pengembangan, pada kegiatan yang dimung-
kinkan untuk dilakukan pengembangan terkait dengan seni pertun-
jukan tradisional.
Dari temuan yang didapat, mengindikasikan adanya dua perlakuan
yang dapat diaplikasikan pada seni pertunjukan tradisional tersebut.
Perlakuan itu adalah pertama untuk konsumsi yang memanfaatkan seni
pertunjukan tradisional sebagai sarana upacara atau hiburan suatu
perhelatan seni pertunjukan ditampilkan sebagimana adanya yang
berkembang dalam masyarakat pendukungnya. Selanjutnya untuk
meningkatkan peranan seni pertunjukan dalam peningkatan nilai
ekonomi (mengemas seni pertunjukan sebagai sajian bagi para
wisatawan yang memiliki keterbatasan waktu kunjung) dan sebagai
sarana penerusan nilai-nilai budaya perlu dikemas agar dapat berterima
di era global kini. Penelitian ini menggunaan langkah-langkah penelitian
yang merupakan langkah pengumpulan data yang mengacu pada
Spradley (1997). Alternatif pengembangan tersebut dapat berupa
pengembangan elemen-elemen yang terkandung dalam seni pertunjukan
tradisional yang meliputi unsur gerak, tata rias dan busana, pola lantai,
properti, iringan, dan tempat pertunjukan.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Kawasan Geokultural Ratu Boko merupakan kawasan yang
sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan perbukitan yang
sebagaian lahannya merupakan lahan pettanian, sebagain lagi me-
rupakan lahan yang tanahnya ditumbuhi aneka pepohonan yang
biasanya kayunya dimanfaatkan untuk kayu bakar. Pada kawasan
agraris tersebut terdapat tradisi-tradisi lisan dan seni pertunjukan.
Seni Pertunjukan dan Tradisi Lisan... 101

Sebelum dideskripsikan hasil identifikasi tradisi lisan dan seni


pertunjukan serta tradisi lisan yang berada di kawasan Geokultural
Situs Ratu Boko akan dipaparkan terlebih dahulu data monografi
Kelurahan Bokoharjo, yang merupakan wilayah pemerintahan tem-
pat keberadaan Situs Ratu Boko.
Seni Pertunjukan dan tradisi lisan di kawasan Bokoharjo dewasa
ini mengalami berbagai perubahan. Peubahan yang terjadi adalah
punahnya berbagai tradisi yang ada baik seni pertunjukan maupun
tradisi lisan yang pernah ada. Disamping itu terdapat berbagai pe-
ngambangan seni pertunjukan dan tradisi lisan yang ada. Keadaan
tersebut disebabkan oleh berbagai hal, yaitu:
Pengaruh industrialisasi bagi masyarakat Bokoharjo. Industriali-
sasi yang dimaksud adalah berubahnya perilaku masyarakat berda-
sarkan pandangan dunia yang memandang semua hal yang dihasil-
kan berkaitan dengan kemajuan ekonomi. Terdapat penghitungan
laba dan rugi untuk setiap hal yang dilakukan oleh masyarakat. Sem-
ula kesenian ada untuk pemenuhan kebutuhan naluri manusia, dima-
na salah satu naluri manusia adanya adanya kebutuyhan tentang
keindahan. Berkaitan dengan hal tersebut semula masyarakat secara
alami memperlakukan kesenian untuk pemenuhan rasa estetis mere-
ka. Pada jaman wilayan nusantara merupakan kerajaan-kerajaan,
dengan Hindu dan Budha sebagai agamanya, maka kesenian menjadi
salah satu pemenuhan kebutuhan kehidupan estetis dan religi. Untuk
itu maka masyarakat rela menyisihkan uang untuk pemenuhan ke-
butuhan tersebut.
Adapun konteks masyarakat pada zaman seperti yang telah
disebutkan di atas, adalah konteks masyarakat agraris. Hal itu dise-
babkan oleh latar belakang masyarakat pada waktu itu masih dalam
masa agraris. Pandangan masyarakat agraris bersifat komunal.
Hubungan antar anggota masyarakat sangat dekat. Gotong royong
dan saling membantu antar anggota masyarakat sangat tinggi. Pada
waktu itu banyak muncul kearifan local yang dalam istilah masyara-
kat modern sebagian besar disebut sebagai folklore. Seni pertunjukan
merupakan kegiatan yang muncul sebagai pemenuhan kebutuhan
estetis. Masyarakat sebagai pelaku dan penonton sangat menantikan
setiap pertinjukan yang diadakan. Oleh karena itu pertunjukan
102 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

tradisional dan pertunjukan rakyat mempunyai masa penonton yang


sangat banyak. Masyarakat sudah tidak memikirkan keuntungan dan
kerugian atas biaya, waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk me-
ngadakan pertunjukan seni.
Pada era pasca penjajahan maka masyarakat telah berubah pan-
dangan hidupnya. Pola-pola kehidupan masyarakat industry telah
mulai merebak, seiring dengan berbagai pembangunan yang dilaku-
kan. Masyarakat berlomba-lomba unutk menata kehidupan ekonomi
keluarganya. Hal itu berdampak pada mulai tumbuhnya jiwa indivi-
dual di kalangan masyarakat. Namun demikian di satu sisi seni per-
tunjukan dan tradisi lisan juga mengalami perubahan perlakuan.
Orang berpikir untuk berkreasi merubah seni pertunjukan tradisional
menjadi kesenian massa. Demikian pula tradisi ilmiah mulai digalak-
kan untuk penelitan-penelitian trasdisi lisan dan seni pertunjukkan.
Sementara itu dari wawancara yang dilakukan terhadap nara-
sumber didapatkan kesimpulan bahwa pola masyarakat industri men-
jadi penyebab berkurangnya dukungan terhadap seni pertunjukan
dan tradisi lisan. Indikator yang ditunjukkan oleh narasumber adalah
sudah banyaknya fasilitas TV dengan aneka program dengan jam
tayang semalam suntuk. Banyaknya kegiatan terkait dengan upaya
untuk mencari nafkah maupun organisasi dari masyarakat sehingga
mereka kekurangan waktu untuk bertemu dan berkumpul untuk ber-
eksplorasi melalui seni pertunjukan dan tradisi lisan.
Meningkatnya kesempatan berorganisasi dan kebutuhan hidup.
Berdasarkan wawancara menunjukkan bahwa banyaknya organisasi
yang mengadakan pertemuan, arisan, dan rapat cukup menyibukkan
warga. Hal itu ditambah dengan banyaknya masyarakat yang sudah
tidak menjadi petani. Masyarakat banyak menjalani profesi sebagai
karyawan pabrik, perusahaan, pegawai negeri, pedagang,dan buruh.
Hal itu mempengaruhi pola hidup masyarakat. Padatnya waktu yang
dipunyai mayarakat sehingga untuk mengalokasikan waktu untuk
berkumpul latihan seni pertunjukan secara rutin sangat sulit.
Demikian pula semakin sulitnya waktu berkumpul untuk berbin-
cang-bincang bersama, bersenda gurau sambil memainkan kata-kata
sehingga terbentuk tradisi lisan sudah sulit dilakukan. Tradisi lisan
tidak lagi tumbuh namun, untuk kehidupannya sebgain besar masuk
Seni Pertunjukan dan Tradisi Lisan... 103

pada kesenian tradisional yang masih hidup dan sebagian lagi masuk
pada tradisi masyarakat.
Kuatnya tradisi Islam di masyarakat sangat mempengaruhi pola
pandang masyarakat terhadap seni pertunjukan dan tradsi lisan yang
ada. Pemahaman yang menafikan seni pertunjukan dan tradisi lisan
disebabkan oleh pandangan bahwa kearifan lokal tersebut tidak men-
dukung keagamaan masyarakat menjadikan masyarakat memandang
keberadaan seni pertunjukan dan tradisi lisan yang ada tidak diperlu-
kan lagi. Keadaan tersebut terutama pada seni pertunjukan yang
menggunakan ritual-ritual seperti sesaji untuk pelaksanaannya. Hal
itu dipaparkan oleh narasumber sebagai salah satu hal yang mempe-
ngaruhi keberadaan seni pertunjukan dan tradisi lisan.

Peranan Seni Pertunjukan dan Tradisi Lisan


Seni pertunjukan dan tradisi lisan merupakan bagian budaya yang
muncul dalam masyarakat agraris sehingga seni pertunjukan dan
tradisi lisan tersebut merupakan resitasi yang berpijak dari tradisi
lokal masyarakat agraris. Penyajian seni pertunjukan dan tradisi lisan
sebagian merupakan bagian dari pelaksanaan ritual, meskipun ada
juga penyajian seni pertunujkan dan tradisi lisan tersebut sebagai
tontonan atau hiburan pada acara-acara suatu perhelatan. Karena
merupakan bagian dari pelaksanaan ritual maka dalam penyajian
seni pertunjukan dan tradisi lisan bermuatan norma dan nilai-nilai
kearifan lokal yang berlaku dalam masyarakat pendukungnya dan
amat dijunjung tinggi oleh pelaku seni dan amat dipahami oleh ma-
syarakat pendukungnya. Kenyataan semacam itu juga dapat ditemu-
kan di kawasan geokultural situs Ratu Baka.
Sebagai bagian dari kegiatan ritual maka pementasan seni per-
tunjukan dan tradisi lisan lebih mengutamakan aspek kemayarakatan
atau kegotongroyongan antar warga. Hal itu disebabkan kegiatan ritual
yang melibatkan pementasan seni pertunjukan dan tradisi lisan tersebut
merupakan hajat bersama masrarakat setempat. Sebagai misal adanya
kegiatan bersih desa yaitu kegiatan ritual yang dilaksanakan oleh
sekelomok masyarakat untuk memohon keselamatan seluruh warga.
Sebagai bentuk hajat bersama masyarakat secara suka rela merancang
wujud kegiatan, waktu bahkan sampai masalah pembiayaan tanpa
104 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

memikirkan untung dan rugi bagi diri masing-masing warga yang


diutamakan adalah lancaranya kegiatan bersama tersebut.
Karena fungsi seni pertunjukan dan tradisi lisan yang demikian
tersebut berpengaruh pada saat seni pertunjukan dipergelarkan se-
bagai tontonan/hiburan dalam suatu perhelatan yang diselenggara-
kan oleh seseorang. Kelompok–kelompok seni pertunjukan yang
berpola hidup sederhana dan belum tersentuh oleh pola hidup modern
kalau diberi kesempatan untuk pentas merasa senang, meskipun tidak
diberi imbalan, bahkan ada kelompok seni yang rela mengeluarkan
dana untuk suatu pementasan. Para anggota kelompok seni tersebut
merelakan sebagian kehidupannya untuk mengabdi pada seni pertun-
jukan tradisi. Mereka merasa senang apabila seni pertunjukan tradisi
tersebut masih tetap hidup di masyarakat.
Seni pertunjukan dan tradisi lisan bagi kelompok-kelompok seni
yang demikian tidak menjadikan seni pertunjukan sebagai sumber
penghidupan bagi keluarga, mereka tidak menjadikan seni pertunjuk-
an sebagai mata pencahariannya. Mereka memposisikan seni per-
tunjukan sebagai sarana untuk melabuhkan harapan untuk bisa men-
jaga/melestarikan budaya di samping itu seni pertunjukan tradisi
dipergunakan sebagai sarana untuk menghilangkan kepenatan
batinnya. Sementara itu, jika ditinjau dari masyarakat penikmat seni
pertunjukan tradisi kurang menarik sehingga bila ada masyarakat
yang ingin menanggap menghargai seni pertunjukan tradisi dengan
nilai/ harga yang rendah . Kekurangmenarikan tersebut disebabkan
berbagai hal terkait dengan elemen-elemen yang terkandung dalam
seni pertunjukan tradisi tersebut.

Peningkatan Nilai Ekonomi


Seni pertunjukan dan tradisi lisan merupakan harta kultural be-
lum secara optimal memberikan manfaat secara ekonomi bagi warga-
nya. Pengembangan harta kultural ke arah industri kreatif akan men-
jadi salah satu tujuan penelitian, hal itu didukung oleh adanya fasilitas
yang sudah dibangun oleh pemerintah berupa pendopo dan fasilitas
pertunjukan kesenian dan pengembangan kawasan Ratu Baka men-
jadi salah satu tempat wisata unggulan Yogyakarta. Hal itu didasar-
kan adanya fenomena bahwa pembangunan fasilitas di kawasan situs
Seni Pertunjukan dan Tradisi Lisan... 105

Ratu Baka belum mampu menggunggah minat masyarakat sekitar


untuk mengembangkan harta kulturalnya. Pengembangan harta kul-
tural tersebut dengan mengembangkan elemen-elemen yang terkan-
dung dalam seni pertunjukan tradisi tersebut yang meliputi aspek
gerak, tata rias dan busana, pola lantai, properti, iringan, dan tempat
pertunjukan. Tradisi setengah lisan yang ditemukan di Desa Bokoharjo:
Tradisi
No. Dusun
Setengah Lisan
Pulerejo, Klurak Baru, Kranggan, Gatak,
1. Mitoni Ringinsari, Dawung, Cepit, Marangan,
Majasem, Jobohan, Pelemsari, Jirak, Jamusan
2. Ruwahan Gathak, Jamusan, Jirak, Kobohan, Majasem,
3. Labuh Cepit
4. Wiwitan Gatak, Jamusan, Cepit, Kranggan
5. Merti Dusun Pelemsari, Jamusan
6. Suran Gatak
Pulerejo, Klurak Baru, Kranggan, Gatak,
7. Manten Ringinsari, Dawung, Cepit, Marangan,
Majasem, Jobohan, Pelemsari, Jirak, Jamusan
Pulerejo, Klurak Baru, Kranggan, Gatak,
8. Mitung Dina Ringinsari, Dawung, Cepit, Marangan,
Majasem, Jobohan, Pelemsari, Jirak, Jamusan
Pulerejo, Klurak Baru, Kranggan, Gatak,
9. Mendhak Ringinsari, Dawung, Cepit, Marangan,
Majasem, Jobohan, Pelemsari, Jirak, Jamusan
Pulerejo, Klurak Baru, Kranggan, Gatak,
10. Nyewu Ringinsari, Dawung, Cepit, Marangan,
Majasem, Jobohan, Pelemsari, Jirak, Jamusan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka diperoleh pe-


metaan seni pertunjukan dan tradisi lisan di wilayah Bokoharjo yang
meliputi 13 dusun yaitu Jamusan, Gathak, Ringinsari, Dawung, Cepit,
Kranggan, Marangan, Klurak Baru, Majasem, Jobohan, Pelemsari,
Jirak, dan Pulerejo.

Pengembangan Seni Pertunjukan


Berdasarkan analisis yang telah dilakukan tampak terdapat dua
kesenian yang mempunyai potensi untuk dikembangkan ke arah in-
dustri kreatif. Kedua kesenian tersebut adalah Srandhul dan Jathilan.
106 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Srandhul dan Jathilan termasuk seni tradisional kerakyatan merupa-


kan bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan
sebagai milik sendiri oleh masyarakat di lingkungannya. Pada mula-
nya, seni ini tidak hadir semata-mata sebagai karya baru yang tiba-
tiba muncul begitu saja, akan tetapi seni ini tumbuh dan berkembang
dalam rentang waktu yang begitu panjang. Kesenian rakyat merupa-
kan cermin ekspresi masyarakat, yang memiliki ciri sederhana dan
biasanya ditarikan dalam bentuk tari berkelompok.
Sebagai seni tradisi kerakyatan, kesenian ini tampaknya mampu
memberikan kontribusi kepada masyarakat yang berujud pesan moral.
Untuk itu, agar pesan moral yang disampaikan dapat diterima oleh
masyarakat, maka perlu diadakannya suatu pertunjukan. Bentuk per-
tunjukan berarti wujud dan susunan pertunjukan yang meliputi ber-
bagai elemen-elemen pertunjukan. Elemen-elemen yang mendukung
suatu pertunjukan dapat berupa gerak tari, tata rias dan tata busana,
iringan, tempat pertunjukan dan perlengkapan yang lain seperti pro-
perti. Perlu disadari bahwa hadirnya elemen-elemen dalam suatu per-
tunjukan merupakan faktor yang sangat penting serta menentukan
suksesnya sebuah pertunjukan. Elemen-elemen tersebut merupakan
aspek pendukung visual yang dapat dilihat dalam suatu pertunjukan.

Bentuk Penyajian Kesenian


Kesenian Jathilan merupakan kesenian tradisional kerakyatan
yang bentuk garapannya masih sederhana dan masih berpijak pada
warisan seni tradisional yang hidup dan berkembang di kalangan
masyarakat. Kesenian rakyat merupakan cermin ekspresi masyarakat,
yang memiliki ciri sederhana dan biasanya ditarikan dalam bentuk
tari berkelompok. Tari kerakyatan biasanya tidak diketahui pencipta-
nya atau penata tarinya, karena pada umumnya secara turun temu-
run dianggap sebagai karya kolektif dan milik bersama masyarakat
setempat. Dalam pertunjukannya masih ada sifat magis, untuk men-
capai klimaks biasanya ada yang ndadi atau kesurupan/trance. Sebagai
kesenian rakyat, kesenian Jathilan ini memiliki elemen-elemen penyaji-
an yang membentuk satu penyajian yang harmonis, elemen-elemen
tersebut adalah gerak tari, tata rias dan busana, iringan, desain lantai,
tempat pertunjukan, dan properti.
Seni Pertunjukan dan Tradisi Lisan... 107

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, salah satu di antara keseni-


an Jathilan yang ada di Dusun Jamusan, Bokoharjo, Prambanan,
Sleman adalah kesenian Jathilan Guntur Geni. Kehadiran kesenian
tersebut mampu memberikan identitas budaya pada masyarakat di
Dusun Jamusan, Bokoharjo, Prambanan, Sleman, dan merupakan
salah satu potensi yang sedang dikembangkan. Fenomena yang terjadi
pada pertunjukan Jathilan, tampaknya perlu mendapat perhatian
dari berbagai pihak, baik pemerintah, seniman maupun kalangan
akademisi. Oleh karena itu, masalah tersebut sangat menarik untuk
ditindaklanjuti bahkan lebih dikembangkan lagi agar kesenian Jathil-
an Guntur Geni ini mendapat nilai tambah dan daya saing tinggi.
Untuk itulah, kami tim peneliti mencoba untuk memberikan masukan
pada elemen-elemen tari agar pertunjukan kesenian Jathilan Guntur
Geni ini dalam pertunjukkannya semakin lebih menarik.
Berikut ini adalah bentuk pertunjukan kesenian Jathilan Guntur
Geni di Dusun Jamusan, Bokoharjo, Prambanan, Sleman dan elemen-
elemennya. Gerak merupakan proses perpindahan dari gerak anggota
tubuh yang satu ke anggota tubuh yang lain. Ragam gerak yang di-
lakukan pada kesenian Jathilan Guntur Geni ini adalah:
a) Berjalan berurutan dengan berbaris dua-dua masuk ke arena
pertunjukan tanpa membawa kuda lumping, diikuti oleh peran
Bancak dan Doyok dengan gerak improvisasi.
b) Gerak trecetan
c) Jalan di tempat dengan bentuk tangan ngepal (seperti kuda-kuda)
di depan dada
d) Gerak sembah dengan loncatan di tempat sambil berputar-putar
e) Gerak jengkeng disertai manggut-manggut, bentuk tangan
bapangan
f) Gerak permainan pedhang
g) Gerak permainan kuda lumping
h) Jogedan kuda lumping
i) Perangan
j) Jathilan ndadi/trance

Gerakan dilakukan secara serempak dengan jumlah penari 6


orang laki-laki remaja. Sedangkan pada peran Bancak dan Doyok
108 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

gerak dilakukan secara improvisasi. Kesenian Srandhul merupakan


kesenian tradisional kerakyatan yang berupa drama tari. Ceritera
yang disajikan pada kesenian Srandhul biasanya berupa ceritera rak-
yat, baik yang pernah terjadi maupun hanya karangan saja. Misal-
nya ceritera lahirnya Cakra Sudarmin, Demang Cakra Yudha, Pra-
wan Sundi, dan lain-lain. Kesenian Srandhul memiliki nilai-nilai filsa-
fat yang yang terkandung di dalamnya. Sebagai kesenian tradisionsl
kerakyatan Srandhul juga memiliki elemen-elemen penyajian yang
membentuk satu penyajian yang harmonis. Elemen-elemen tersebut
adalah gerak tari, tata rias dan busana, iringan, desain lantai, tempat
pertunjukan, properti, dan waktu pertunjukan.

Kesimpulan
Berbagai kesenian tradisi sebagai industri kreatif sedikit menga-
lami pengembangan. Hal ini disebabkan karena adanya suatu proses
kreativitas dalam pembaharuan elemen-elemen pertunjukan tanpa
meninggalkan nilai-nilai tradisi yang ada. Kesenian Srandhul sebagai
industri kreatif sedikit mengalami pengembangan. Hal ini disebabkan
karena adanya suatu proses kreativitas dalam pembaharuan elemen-
elemen pertunjukan tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisi yang ada.
Dari usaha pengembangan yang sudah dilakukan oleh kelompok
Srandhul dari Dusun Gatak dan Jathilan yang ada di Dusun Jamusan
Desa Bokoharjo, dimaksudkan sebagai upaya pengembangan ke arah
pemuasan permintaan konsumsi penonton, dimana dari pengembang-
an tersebut memunculkan dua jenis model pertunjukan, baik pada
kesenian Srandhul maupun Jathilan. Bentuk pengembangan yang
dimaksud adalah, pengembangan jenis pertunjukan pakem ke pertun-
jukan massa. Pengembangan tersebut, akan sangat menguntungkan
para pelaku kesenian, karena mereka (grup kesenian) memiliki ke-
sempatan lebih untuk mempertunjukkan hasil karya seni tradisinya
bagi konsumsi penonton.
Adapun pengembangan yang terkait dengan waktu pementasan
akan semakin diminati para pengunjung/penonton. Hal ini dikarena-
kan dengan waktu yang relatif lebih singkat, sehingga pertunjukan
akan lebih luwes dipentaskan untuk pertunjukan panggung. Dari
faktor gerak, pengembangan difokuskan pada gerak tari yang telah
Seni Pertunjukan dan Tradisi Lisan... 109

digarap. Hal itu akan lebih menarik perhatian penonton. Gerak yang
monoton pada saat pertunjukan akan membuat penonton cepat me-
rasa jenuh, sehingga dengan pengembangan gerak tersebut diharap-
kan akan menjadi lebih menarik dan mendatangkan banyak penon-
ton. Dari sisi kostum pemain terjadi pengembangan, dengan mengiku-
ti mode yang sedang trend saat ini, tanpa meninggalkan unsur dan
makna tradisinya. Sebagai contohnya, dipakainya asesoris kostum
yang akan menambah unsur estetika dalam penampilan para pemain.
Alat musik (gamelan) juga mengalami perubahan ke arah pe-
ngembangan. Alat musik yang digunakan semula sangat tradisional.
Dengan sentuhan warna musik yang dirubah dalam berbagai jenis
warna musik yang disesuaikan dengan kebutuhan penonton pada saat
ini. Dengan kata lain mengisi variasi di tengah “kemonotonan”, akan
menjadikan pertunjukan lebih semarak. Salah satu contohnya dengan
penambahan alat musik drum pada kesenian Jathilan yang berpengaruh
pada semangat para pemainnya dalam mementaskan seni tradisinya.
Pengambangan pada tempat pementasan juga sangat berpe-
ngaruh dalam proses industrialisasi seni tradisi khususnya di Desa
Bokoharjo. Semula pementasan di tempat yang seadanya. Salah satu
contoh tempat pementasan Kesenian Srandhul, yang semula ber-
tempat di depan (teras) rumah, pada saat ini sudah mulai dikembang-
kan dengan menggunakan setting panggung pertunjukan. Hal ini
diharapkan kedepan mempunyai prospek industri keratif yang dapat
dikonsumsi oleh penonton secara profesional.

Daftar Pustaka

Brodjonegoro, Satryo Soemantri, 2003. “Pengantar Semiloka


Peningkatan Kualitas Pendidikan Seni di Indonesia”, Surakarta:
Sekolah Tinggi Seni Indonesia, 29-30 April 2003.
Kuntowijoyo, 1987. Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Kusmayati, A.M., 2000. Arak-Arakan: Seni Pertunjukan dalam Upacara
di Madura, Yogyakarta: Tarawang.
110 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Kusnadi, 1993. “Tradisi Rokat Pangkalan di Pasean Madura”, Jember:


Universitas Jember.
Mistortoify, Zulkarnain, 1993. “Tabbhuan Thukthuk dalam Konteks
Pesta Rakyat (Kesenian) Karapan Sapi di Madura” dalam Seni
Pertunjukan Indonesia, Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia dan PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Morris, Desmond, 1997. Manwatching: A Field Guide to Human
Behavior, New York: Harry N. Abrams, Inc.
Soedarsono, 1989/1990. Seni Pertunjukan Jawa Tradisional dan Pariwisata
di Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Bagian
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Jawa.
__________, 1999. “The Impact of Tourism on Indonesian Performing
Arts (Dampak Pariwisata terhadap Seni Pertunjukan
Indonesia)”, laporan akhir penelitian, Yogyakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan URGE Project.
__________, 1986. Kesenian, Bahasa, dan Foklor Jawa, Yogyakarta:
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara
(Javanologi) Dirjen Kebudayaan Depdikbud.
__________, 1985. Keadaan dan Perkambangan Bahasa, Sastra, Etika,
Tatakrama, dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali, dan Sunda,
Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan
Nusantara (Javanologi) Dirjen Kebudayaan Depdikbud.
__________, 1970. Tari-Tarian Indonesia I, Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Media Pengembangan
Kebudayaan.
Spradley, J.P., 1980. Participan Observation. Holt, Rinehart and
Winston: New  York.
___________, 1979. The Etnographic Interview. Holt, Rinehart and
Winston: New York.
Sujarwa, 1999. Manusia dan Fenomena Budaya, Menuju Perspektif
Moralitas Agama, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Nilai Estetis dalam Gamelan Jawa 111

NILAI ESTETIS
DALAM GAMELAN JAWA

Sukatmi Susantina
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta

Abstract
Javanese culture is a part of world community. This research describes
about aesthetic values of gamelan in Javanese culture which related with
system of social wisdom. Historically Javanese society have colective
experience in arts works. Javanese people, dhalang, waranggana and niyaga
always use gamelan as reflection and recreation. There are many aesthetic
values in gamelan. This orientation is an equilibrium of life.
Keywords: gamelan, aesthetic values, Javanese culture

Pendahuluan
Kebudayaan Jawa mengenal secara populer mengenai seluk-beluk
seni gamelan. Gamelan merupakan seperangkat instrumen sebagai
pernyataan musikal yang sering disebut dengan istilah karawitan.
Karawitan berasal dari bahasa Jawa rawit yang berarti rumit, berbelit-
belit, tetapi rawit juga berarti halus, cantik, berliku-liku dan enak.
Kata Jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada
musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada non diatonis
(dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggu-
nakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan
aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan cam-
puran yang indah didengar. Seni gamelan Jawa mengandung nilai-
nilai historis dan filosofis bagi bangsa Indonesia.
Menurut sejarahnya, gamelan Jawa juga mempunyai sejarah
yang panjang. Seperti halnya kesenian atau kebudayaan yang lain,
112 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

gamelan Jawa dalam perkembangannya juga mengalami perubahan-


perubahan. Perubahan terjadi pada cara pembuatannya, sedangkan
perkembangannya menyangkut kualitasnya. Dahulu pemilikan ga-
melan ageng Jawa hanya terbatas untuk kalangan istana. Kini siapa-
pun yang berminat dapat memilikinya sepanjang bukan gamelan-
gamelan Jawa yang termasuk dalam kategori pusaka (Timbul Haryo-
no, 2001). Secara filosofis gamelan Jawa merupakan satu bagian yang
tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa.
Hal demikian disebabkan filsafat hidup masyarakat Jawa berkaitan
dengan seni budayanya yang berupa gamelan Jawa serta berhubungan
erat dengan perkembangan religi yang dianutnya. Istilah gamelan telah
lama dikenal di Indonesia, sudah disebut pada beberapa kakawin Jawa
kuno. Arti kata gamelan, sampai sekarang masih dalam dugaan-dugaan.
Mungkin juga kata gamelan terjadi dari pergeseran atau perkembangan
dari kata gembel. Gembel adalah alat untuk memukul. Karena cara
membunyikan instrumen itu dengan dipukul-pukul. Barang yang sering
dipukul namanya pukulan, barang yang sering diketok namanya
ketokan atau kentongan, barang sering digembel namanya gembelan.
Kata gembelan ini bergeser atau berkembang menjadi gamelan
(Trimanto, 1984). Dalam tulisan ini akan diulas mengenai hal ikhwal
seni gamelan yang ditinjau dari perspektif estetika.

Landasan Teori
Dalam ilmu filsafat dikenal adanya cabang pengetahuan yang
dinamakan estetika. Estetika menelaah keindahan rasa, kaidah mau-
pun hakikiat suatu keindahan. Cara menguji dan nisbah keindahan
tersebut dengan perasaan dan pikiran manusia, pengaruh lingkungan
dan tradisi atas penilaian serta apresiasi keindahan sebagai suatu
kategori terpisah dari logika dan etika (Haryanto, 1992: 171).
Secara etimologis estetika adalah teori tentang ilmu pengindera-
an. Ada juga yang mengartikan estetika sebagai teori keindahan dan
seni. Estetika sebagai salah satu cabang filsafat sejak zaman Yunani
kuno sampai pertengahan abad XVIII sering disebut dengan pelbagai
nama yaitu: Filsafat keindahan (Philosophy of beauty), Filsafat cita rasa
(Philosophy of taste), Filsafat seni (Philosophy of art), Filsafat kritik
(Philosophy of criticism). Kemudian istilah filsafat dalam bahasa Inggris
Nilai Estetis dalam Gamelan Jawa 113

sering diganti dengan theory, sehingga estetika disebut juga: Teori


keindahan (Theory of beauty), Teori cita rasa (Theory of taste), Teori seni
indah (Theory of fine art), Teori lima seni (Theory of the five arts). Istilah
estetika berasal dari bahasa Yunani yaitu : Aisthetika yang berarti hal-
ha yang dapat diserap panca indera. Aisthesis yang berarti pencerapan
indera (Gie, 1976: 15). Ada lagi yang mengatakan bahwa estetika berasal
dari kata kerja Yunani yang berarti merasakan (to sense, to perceive).
Kata tersebut mempunyai akar kata yang sama dengan teori atau teater.
Dalam The Encyclopedia Americana pengertian estetika disebutkan
demikian : Aesthetics, has traditionally been conceived of the brance
of philosophy concerned with beauty and the beautiful in nature and
art (Wiener, 1955: 234). Pemikiran keindahan dan seni sudah ada
sejak zaman Yunani kuno. Keindahan dirintis oleh Sokrates kemudian
dilanjutkan oleh Plato dan Aristoteles dengan memakai istilah lain.
Aristoteles misalnya memakai istilah poetika (Hartoko, 1984: 16). Pada
zaman purba pemikiran estetika bersifat spekulatif, sedang pada abad
pertengahan bersifat normatif. Sejak abad XVIII estetika mendapat
nilai subjektif dengan pengertian bahwa yang dititikberatkan tidak
hanya aspek keindahan saja, tetapi juga keindahan yang terpantul
oleh keindahan yang ada pada manusia. Sedang fenomenologi
estetika dan ilmu pengetahuan dalam abad XX memperhatikan unsur
subjektif dan objektif (Haryanto, 1992: 171). Estetika secara umum
diartikan sebagai filsafat keindahan. Estetika juga diartikan sebagai
teori keindahan dan seni.
Menurut Louis O. Kattsoff suatu objek dapat disebut indah bila
bisa ditemukan dengan jalan memperhatikan apa yang diutamakan
oleh akal. Syarat keindahan yang dikemukakan adalah : Harus ada
keutuhan atau kesempurnaan; Ketertiban serta ketunggalan yang
terungkap melalui keseimbangan yang cocok; Kejelasan (Kattsoff,
1986: 389). Filsuf Jerman, Alexander Gotliel Baumgarten (1714-1762),
pencipta istilah estetika, merumuskan bahwa tujuan dari segenap
pengetahuan indrawi adalah keindahan. Jadi aesthetica adalah the
science of sensuous knowledge, whose aim is beauty (Gie, 1976: 15). Bila-
mana diperinci selengkapnya objek material estetika itu meliputi ke-
indahan, keindahan dalam alam dan seni, keindahan khusus pada
seni, keindahan dan seni, seni (segi penciptaan dan kritik seni, serta
114 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

hubungan dan peranan seni), citarasa, ukuran nilai baku, keindahan


dan kejelekan, nilai estetik, benda estetik, pengalaman estetis. Gamelan
sebagai karya cipta manusia juga mengandung nilai estetis.

Hasil Pembahasan
Apresiasi estetis seni gamelan banyak dilakukan oleh para peneli-
ti baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Salah satunya adalah
Anderson Sutton, Guru Besar Etnomusikologi dari Universitas Wis-
consin Amerika Serikat ini merupakan salah sebuah sari dari pener-
bitan Pengkajian Etnomusikologi dari Universitas Cambridge di
Inggris yang sangat bergengsi. Sebagai seorang mahasiswa etnomusi-
kologi yang sangat gandrung pada kesenian Jawa khususnya gamel-
an, Sutton telah berkali-kali mengadakan penelitian di Jawa. Dalam
penelitian untuk tesis master serta untuk disertasi doktornya, ia masih
tercekam oleh keagungan gamelan Jawa gaya Yogyakarta dan Sura-
karta. Namun setelah menyelesaikan gelar doktornya di Universitas
Michigan pada tahun 1982, Dr. Sutton mulai memperhatikan gamelan
Jawa di luar tradisi Surakarta dan Yogyakarta, yaitu tradisi Banyu-
mas, Semarang, dan Jawa Timur.
Hampir setiap musim panas ia menyisihkan waktu liburannya
barang satu sampai dua bulan untuk pergi ke Indonesia mengadakan
peneltian, hingga menghasilkan buku berjudul Traditions of Gamelan
Music in Java: Musical Pluralism and Regional Identity yang diterbitkan
oleh Cambridge University Press pada tahun 1991. Isinya membahas
secara historis, teknis, struktural, ciri-ciri khas dari masing-masing
tradisi, serta penyebarannya di kalangan masyarakat Jawa (Soedarso-
no, 1993). Buku setebal 291 halaman ini dibagi menjadi dua bagian.
Bagian I membahas tradisi gamelan dari Surakarta dan Yogyakarta
yang selalu bersaing, tradisi gamelan Banyumas yang makin subur
perkembangannya, tradisi gamelan Jawa di Semarang serta tradisi
gamelan di Jawa Timur. Bagian II membicarakan berbagai bentuk
pertunjukan yang menghadirkan gamelan, baik dalam bentuk lomba
maupun festival, serta pendidikan gamelan di sekolah-sekolah formal,
sampai pada penyebaran gamelan lewat berbagai media, baik lewat
media cetak, radio, televisi, serta rekaman cassette. Dari hasil peng-
amatannya yang sangat cermat, fungsi media cetak dalam penyebar-
Nilai Estetis dalam Gamelan Jawa 115

an gamelan ternyata tidak begitu berarti. Rupanya gamelan masih


tetap tersebar lewat tradisi lisan (Soedarsono, 1993).

Apresiasi Estetis karya Nartosabdo


Munculnya perusahaan rekaman cassette yang lain seperti Kusu-
ma di Klaten, Fajar di Semarang, Ira Record di Semarang, Borobudur
dan lain-lain memberi kesempatan lebih banyak bagi grup-grup kara-
witan dari daerah selain Surakarta untuk menyelenggarakan rekam-
an. Akhirnya bukan saja gendhing-gendhing uyon-uyon atau klenengan
saja yang tersebar lewat rekaman cassette, tetapi juga wayang kulit,
kethoprak, ludruk, tayuban, gandrung Banyuwangi, sronen, kreasi-kreasi
baru Ki Nartosabdo dan lain-lain. Lagu-lagu Ki Nartosabdo banyak
memuat nasihat, filosofi dan pelajaran hidup. Beliau mendapat inspi-
rasi dari persinggungannya langsung dengan masyarakat. Di bawah
ini dikutipkan estetika yang berkaitan dengan keindahan wilayah
Jawa Tengah karya Ki Nartosabdo yakni gendhing Jawa Tengah:

Mungguh sumbere Wawasan Nusantara


dadi paugeran raharjaning bangsa
Tri Gatra Panca Gatra
kang ginayuh trus binudi
supaya lestari jejeg santosa
mujudake tata tentrem
karta raharjaning Jawa Tengah
sumbere budaya agung
murih lestarining bangsa
strategi wawasan identitas Jawa Tengah

Dalam lintasan sejarah ada indikasi yang cukup menakjubkan,


bahwa rakyat Jawa Tengah sejak zaman dahulu pendidikan huma-
niora yang berhubungan dengan nilai-nilai budi pekerti luhur sangat
diperhatikan. Kehidupan karya cipta sastra tidak menjadi milik kelas
bangsawan tertentu saja, melainkan pendidikan yang harus dipelajari
oleh masyarakat umum. Penguasaan materi ilmu humaniora menjadi
prasarat untuk menjadi pegawai istana (Zoetmulder, 1985: 179). Ter-
nyata perusahaan-perusahaan rekaman yang baru itu juga sangat
sedikit memproduksi gendhing-gendhing gaya Yogyakarta. Ini berarti
penyebaran gendhing-gendhing gaya Mataraman tidak semeriah gaya-
116 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

gaya yang lain. Dari hasil penelitian Sutton tentang penyebaran


gendhing-gendhing gamelan Jawa dari berbagai gaya itu, tentu kita
lalu bertanya-tanya, mengapa gendhing-gendhing dari Yogyakarta
atau Mataraman tidak begitu digemari oleh kalangan masyarakat
Jawa? Kita bisa memprediksi bahwa jatidiri Jawa Tengah akan berjaya
dan mengalami zaman kencanarukun dengan tidak perlu waktu lebih
dari 10 tahun. Syaratnya cuma sederhana kerja keras dan tertib dalam
segala hal. Targetnya minimal memberi kontribusi kebudayaan paling
berkualitas di kawasan regional Asia Tenggara. Kesadaran rakyat
Jawa mengenai potensi yang dikandung oleh laut diekspresikan secara
estetis oleh Ki Nartosabdo dalam lagunya Ayo Praon demikian:

Yo kanca neng gisik gembira


alerab-lerab banyuning segara
anggliyak numpak prau layar
ing dina Minggu keh pariwisata
alon praune wis nengah
byah byuh byah banyu binelah
ora jemu jemu karo mesem ngguyu
ngilangake rasa lungkrah lesu
adhik njawil mas jebul wis sore
witing kelapa katon ngawe-awe
prayogane becik bali wae
dene sesuk esuk tumandang nyambut gawe

Terjemahan :

Mari kawan bergembira ria


berombak-ombak air samudra
pada hari Minggu banyak wisatawan
ramai naik perahu layar
pelanlah perahu sudah menengah
berdeburan air membelah
tiada jemu sambil senyum
menghilangkan rasa lelah
adik bilang telah sore
pohon kelapa tampak melambai
lebih baik kembali dulu
besuk pagi hendak bekerja
Nilai Estetis dalam Gamelan Jawa 117

Syair tembang dolanan di atas mengandung nilai rekreasi dan


produksi, berwisata dan berkarya secara serasi, selaras dan seimbang.
Secara simbolik mengandung makna bahwa sesuatu harus dikerjakan
dengan tidak berlebihan. Karena sikap yang berlebihan pada akhir-
nya hanya akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Bumi kelahir-
an, tanah tumpah darah, dan rasa kebangsaan mendapat apresiasi
positif di mata rakyat Jawa. Ki Nartosabdo mengungkapkan rasa
cinta tanah air itu dalam bentuk lagu Ketawang Ibu Pertiwi demikian:

Ibu pertiwi
paring boga lan sandhang kang murakabi
paring rejeki manungsa kang bekti
ibu pertiwi, ibu pertiwi
sih sutresna mring sesami
ibu pertiwi kang adil luhuring budi
ayo sungkem mring ibu pertiwi

Terjemahan :

Ibu Pertiwi
memberi kecukupan sandang pangan
kasih rejeki pada insan berbakti
ibu pertiwi, ibu pertiwi
kasih sayang pada sesama
ibu pertiwi yang adil luhur budi
mari berbakti pada ibu pertiwi

Lagu Ibu Pertiwi sering digunakan untuk mengiringi langen tayub,


sebagai lagu kehormatan, karena sifatnya yang khidmat, tenang,
berwibawa, dan kontemplatif. Ibu Pertiwi atau tanah air harus dijun-
jung, dihargai dan dicintai agar jiwa nasionalisme kita tetap lekat.
Rasa nasionalisme itu perlu dipupuk supaya kelangsungan hidup
berbangsa dan bernegara selama ini tetap terjamin dan lestari. Rakyat
Jawa sangat menyadari arti penting pangan, sebagai kebutuhan hi-
dup yang paling mendasar. Pangan harus selalu ada dan mencukupi.
Konflik sosial yang cepat bergolak salah satunya karena persediaan
pangan di suatu daerah yang bersangkutan mengalami kehabisan.
Untuk itu Ki Nartosabdo menganjurkan adanya lumbung desa.
118 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Lumbung desa pra tani padha makarya


ayo dhi njupuk pari nata lesung nyandhak alu
ayo yu padha nutu yen wis rampung nuli adang
ayo kang dha tumandang nosoh pari nata lumpang

Terjemahan :

Lumbung desa para petani sedang bekerja


ayo dik ambil padi
menata lesung pegang alu
ayo mbak sama nutu
jika selesai lalu masak
mari mas sama melakukan
menggiling padi menata lumpang

Syair tembang sederhana di atas mengandung makna kebersama-


an, ketekunan, kemandirian, kesejajaran, kemitraan, dan kegiatan
yang tulus. Kondisi begini akan mengantarkan masyarakat itu mem-
punyai percaya dan harga diri. Ketahanan pangan penting supaya
rakyat tentram hidupnya. Sutton juga mengetengahkan dua kompo-
nis Jawa Ki Wasitodiningrat dari Yogyakarta dan Ki Nartosabdo dari
Semarang yang pernah pula diteliti oleh Judith Becker dalam bukunya
Traditional Music in Modern Jawa: Gamelan in a Changing Society (1980)
dari aspek lain. Dua tokoh yang hidup dalam masa yang sama ini
adalah tokoh yang giat membuat komposisi-komposisi baru yang
banyak mengambil unsur-unsur Banyumas dan Jawatimuran, bahkan
juga di Bali dan Sunda. Sebelum hijrah ke Amerika Ki Wasitodiningrat
banyak bekerjasama dengan koreografer Bagong Kussudiardjo. Ia
banyak mengambil suara-suara musikal dari Banyuwangi, Bali, dan
Sunda.
Sebaliknya, Ki Nartosabdo yang banyak menampilkan gendhing-
gendhing Banyumasan ciptaannya, tetap diterima oleh masyarakat Ba-
nyumas. Rekaman-rekaman cassette gendhing-gendhing Banyumasan
karya Ki Nartosabdo yang banyak diproduksi pada tahun 1980-an
tetap sangat laris. Adapun sebabnya, karena dalam mencipta gendhing-
gendhing Banyumasan itu Ki Nartosabdo benar-benar mempelajarinya
dan mendalaminya, sampai sempat memboyong seorang pasindhen
tenar Nyi Suryati dari Banyumas ke Semarang (Soedarsono, 1993).
Nilai Estetis dalam Gamelan Jawa 119

Gendhing Karawitan Jawa dibagi menjadi 2 kelompok besar sesuai


dengan Laras (Nada) yang ada pada kedua instrumen Gamelan
Slendro maupun Pelog. Kalau kita perhatikan dan rasakan tentang
ciri-ciri khas yang ada pada kedua kelompok gendhing-gendhing ter-
sebut, kita akan mengetahui sedikit banyaknya persamaan dan per-
bedaannya. Adapun yang saya maksudkan dengan ciri-ciri khas itu
terletak pada Cengkok (tipe khusus suatu alunan nada-nada yang
ada pada masing-masing gendhing) dan Laras. Persamaan antara
Gendhing Slendro dan Gendhing Pelog ialah, keduanya dapat digu-
nakan untuk mengiringi salah satu macam tarian, umpamanya Tari
Golek Lambangsari. Di sini dapat digunakan Gendhing Laras Slendro,
yaitu Gendhing Lambangsari Slendro Manyura Ketuk 2 atau Gen-
dhing Lambangsari Pelog Barang Ketuk 2. Umpamanya lagi Tari
Gambyong, Golek Cluntang, Pangkur, Asmarandana dan sebagainya,
bisa diiringi dengan gendhing-gendhing yang sama tetapi nadanya
lain. Selain itu patokan-patokan yang ada pada gendhing-gendhing
Slendro hampir sama dengan Gendhing Pelog.
Secara geografis apa yang diutarakan Sutton tidak salah, tetapi secara
politis nama Daerah Istimewa Yogyakarta perlu disebut, sebab dewasa
ini istilah Jawa Tengah di Indonesia selalu diartikan Jawa Tengah minus
Daerah Istimewa Yogyakarta (Soedarsono, 1993). Sutton ini memang
lain dari yang lain. Para pakar etnomusikologi yang terdahulu pada
umumnya hanya memperhatikan satu tradisi atau gaya saja, mau
bahkan tidak membedakan antara gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta.
Seperti musiknya Metle flood lebih cenderung ke gaya Yogyakarta; Judith
Becker pada tokoh Ki Wasitodipuro; Rene Lysloff pada gaya
Banyumasan; Roger Vetter pada gaya Mataraman; Sri Hastanto pada
gaya Surakarta; dan sebagainya. Sedangkan karya Sutton yang satu ini
meliputi semua gamelan Jawa, yang ternyata sekarang gaya daerah
makin kuat mewarnai kehidupan seni di daerah masing-masing.

Nilai Estetis Titi Laras


Susunan gamelan Jawa, sebagian besar terdiri atas instrumen pukul
(percussion), dilengkapi dengan seruling, instrumen gesek (rebab), dan
siter, yang bila dibandingkan dengan susunan musik Barat lebih banyak
instrumen tiup dan gesek/petik daripada instrumen pukulnya.
120 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

Akibat perbedaan ini ada sementara pendapat dari Barat yang


menganggap susunan gamelan Jawa yang kaya instrumen pukul
tetapi miskin dalam instrumen gesek dan tiup itu sebagai kepincangan.
Orang Barat lebih terbiasa mengungkapkan perasaannya dengan
bunyi yang ditiup, digesek atau dipetik. Gamelan Jawa dibagi menjadi
2 bagian. Pembagian ini berdasarkan perbedaan nada (Laras) yang
ada pada masing-masing gamelan tersebut, yaitu Gamelan Laras
Slendro dan Gamelan Laras Pelog (Harsono Kodrat, 1982). Kalau
kita bertanya dalam hati, mana yang lebih tua umurnya atau existensi-
nya memang akan sedikit memusingkan untuk menjawabnya. Tetapi
ada sekedar ancer-ancer yang bisa dipergunakan untuk pegangan.
Kalau diperhatikan keseluruh instrumen yang ada pada Gamelan
Slendro maupun Pelog, memang agak sulit untuk menentukannya.
Ancer-ancer yang saya maksudkan yaitu terhadap adanya Gamelan
Kodok Ngorek dan Gamelan Munggang. Gamelan Kodok Ngorek
terdiri Laras Slendro, sedang Gamelan Munggang Seton terdiri Laras
Pelog. Kedua gamelan tersebut sudah ada pada ratusan tahun yang
lalu. Instrumen Gender yang ada pada Gamelan Kodok Ngorek Laras
Slendro itu jelas umurnya jauh lebih tua daripada Gender Pelog yang
ada pada gamelan sekarang. Sedang Bonang Pelog yang ada pada
Gamelan Munggang existensinya jauh lebih tua daripada Bonang
Slendro yang ada pada gamelan sekarang. Jadi kesimpulan ada be-
berapa instrumen Gamelan Slendro yang lebih tua, ada juga instru-
men Gamelan Pelog yang lebih tua dari Gamelan Slendro (Harsono
Kodrat, 1982).
Perbedaan yang agak kentara pada kedua gendhing-gendhing
tersebut ialah pada gerak lagunya Irama atau ritme. Kalau gendhing-
gendhing Slendro sedikit agak kalem, luwes, dan menarik hati (ndudut
ati). Inilah kelebihan Empu-empu dalam mengolah rasa yang
dituangkan dalam Gendhing Slendro terutama. Anggapan penga-
rang, seolah-olah gendhing-gendhing Slendro konsumtip bagi orang-
orang tua (Kasepuhan) yang sesuai dengan Irama yang Mengalun
Lembut, Penuh Kewibawaan dan Ketenangan. Sedang sebagian besar
gendhing-gendhing laras Pelog kentara sekali akan gerak-gerak lagu-
nya yang begitu bergairah, sentuhan-sentuhan ritme yang meleng-
king-lengking kenes, lengganglenggoknya irama yang menjengkelkan
Nilai Estetis dalam Gamelan Jawa 121

tetapi sangat menyenangkan hati, aneh tetapi nyata (Gregetake ning


merakati).
Sutton menyimpulkan bahwa musik gamelan Jawa dewasa ini
bukan merupakan satu kesatuan musikal yang utuh yang tersebar di
Jawa Tengah (termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta) dan Jawa
Timur, tetapi setiap wilayah budaya ingin menonjolkan tradisi atau
gayanya masing-masing. Inilah yang ia sebut sebagai pluralitas dalam
tradisi gamelan Jawa. Perbedaan tradisi-tradisi daerah ini bukan ha-
nya pada gendhing-gendhing-nya saja, tetapi juga pada instrumenta-
sinya serta pada pathet dan sebagainya. Perbedaan teknik permainan
yang bisa kita dengar terutama terletak pada permainan bonang,
kendang, gaya vokal, serta tempo. Dari teknik permainan ini dengan
gampang para musisi dan pendengar Jawa mengenal gaya mana
gendhing yang sedang didengarkan itu.
Ternyata perbedaan ini bukan hanya terletak pada gamelannya
saja, tetapi juga pada produk-produk seni dan budaya yang lain
seperti batik, makanan khas, busana tradisional, tari, wayang, dan
sebagainya. Maka layaklah bila meskipun mereka sama-sama meng-
aku sebagai orang Jawa, tetapi setiap daerah memiliki kesenian dan
kebudayaan daerahnya sendiri. Inilah yang dimaksud oleh Sutton
sebagai identitas daerah (regional identity) (Soedarsono, 1993). Sutton
memang sangat cermat dan hati-hati dalam menuangkan hasil
penelitiannya lewat buku ini, hingga nyaris tak ada kesalahan. Hanya
rupanya ia tak begitu memperhatikan pembaca Indonesia, karena
hanya selalu menyebut Jawa Tengah, tanpa menyinggung-nyinggung
nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kesimpulan
Bagi masyarakat Jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang
berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Kita harus
bangga memiliki alat kesenian tradisional gamelan. Keagungan
gamelan sudah jelas ada. Duniapun mengakui bahwa gamelan adalah
alat musik tradisional timur yang dapat mengimbangi alat musik Barat
yang serba besar.
Di dalam suasana bagaimanapun suara gamelan mendapat
tempat di hati masyarakat. Sebagai karya estetis, gamelan adalah
122 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

alat kesenian yang serba luwes. Di bawah ini sebagai contoh keluwes-
an gamelan. Gamelan dan pendidikan. Gamelan dapat digunakan
untuk mendidik rasa keindahan seseorang. Orang yang biasa berke-
cimpung dalam dunia karawitan, rasa setiakawan tumbuh, tegur
sapa halus, tingkah laku sopan. Semua itu karena jiwa seseorang
menjadi sehalus gendhing-gendhing (Trimanto, 1984). Gamelan dan
tari-tarian. Gamelan memang tidak bisa dipisahkan dengan tari-tari-
an. Gamelan memang alat untuk mengiringi tari-tarian. Gamelan bisa
untuk mengiringi semua macam tari-tarian.
Berbagai pentas kesenian modern, gamelan selalu bisa digunakan
untuk mengiringinya (Trimanto, 1984). Menurut sejarah gamelan mula-
mulanya digunakan untuk pemujaan kepada roh-roh baik roh halus,
maupun roh-roh leluhur (upacara ritual). Dari upacara ritual, gamelan
berkembang menjadi bersifat keagamaan, sebagai sarana untuk
membuat suasana hening, untuk pemusatan perhatian dan lain-lain.

Daftar Pustaka
Becker, Judith, 1980. Traditional Music in Modern Jawa: Gamelan in a
Changing Society. New York : ICT Press.
Gie, The Liang, 1976, Garis Besar Estetika, Filsafat Keindahan, Karya
Kencana, Yogyakarta.
Haryono, Timbul, 2001. Logam dan Peradaban Manusia. Yogyakarta :
Filosofi Press.
Hartoko, Dick, 1984. Manusia dan Seni, Kanisius, Yogyakarta.
Haryanto, 1992. Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan
Wayang. Jakarta: Djambatan.
Harsono Kodrat, 1982. Gending-gending Karawitan Jawa. Balai Pustaka.
Jakarta.
Kattsoff, 1963. Element of Philosophy. London : LemonPress.
Soedarsono, 1993. Wayang Wong. Yogyakarta : Gama Press.
Sutton, Anderson, 1991. Traditions of Gamelan Music in Java: Musical
Pluralism and Regional Identity. Cambridge: Cambridge University
Press.
Nilai Estetis dalam Gamelan Jawa 123

Trimanto, 1984. Membuat dan Merawat Gamelan. Depdikbud.


Yogyakarta.
Winner, Norbert, 1955. Aesthetics, the Encyclopedia Americana, Vol. I,
American Corporation, New York.
Zoetmulder, 1995. Sastra Jawa Kuno. Jakarta : Djambatan.
124 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010
Nilai Estetis dalam Gamelan Jawa 125

Tradisi
JURNAL SENI DAN BUDAYA

SYARAT PENULISAN NASKAH

Redaksi menerima artikel dari pembaca sekalian untuk dimuat


di edisi berikutnya, dengan persyaratan sebagai berikut :
1. Tulisan berisi kajian ilmiah tentang seni, budaya, filsafat, religi,
termasuk kajian tentang pendidikan dan atau pembelajarannya.
2. Naskah belum pernah dipublikasikan di media cetak, elektronik
maupun media online.
3. Tulisan disusun dengan sistematika (a) judul, (b) nama penulis
disertai institusi, (c) abstrak dan kata kunci, (d) pendahuluan, (e)
teori dan metode, (f) hasil/pembahasan, (g) kesimpulan (dan
saran), dan (h) daftar pustaka.
4. Pendahuluan memuat paparan mengenai alasan pemilihan topik,
butir permasalahan, serta tujuan dan manfaat.
5. Teori dan metode berisi tentang paparan teori yang digunakan,
metode yang diterapkan, dan penentuan (sumber) data.
6. Panjang naskah 12—15 halaman kuarto diketik spasi ganda.
7. Judul harus singkat, jelas, dan mencerminkan pokok masalah
serta ditulis dengan huruf kapital.
8. Subjudul dicetak tebal yang dapat menggambarkan alur pembahasan.
9. Artikel berbahasa Indonesia, abstrak ditulis berbahasa Inggris.
Dalam artikel berbahasa Inggris/Arab, abstrak ditulis berbahasa
Indonesia. Abstrak memuat masalah, teori dan metode, serta hasil
pembahasan. Panjang abstrak sekitar 150 kata; berjarak satu spasi.
10. Penulisan berpedoman pada bahasa standar, termasuk ejaannya.
126 Tradisi Vol. 1, No. 1, November 2010

11. Penulisan sumber acuan seperti contoh berikut.


1) Soedarsono (1988:25) menyatakan bahwa ....
2) ... terdiri atas lima tipe (Soedarsono, 1989:96).
12. Daftar pustaka disusun secara alfabetis tanpa nomor urut.
Contoh sebagai berikut.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1995. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tarigan, Henry Guntur. 1983. Pengajaran Semantik. Bandung:
Angkasa.
13. Biodata penulis (disajikan secara naratif pada lembar tersendiri)
memuat nama lengkap, gelar, tempat tanggal lahir, pendidikan
terakhir, pekerjaan, dan daftar karya ilmiah yang relevan.
14. Naskah dikirim rangkap dua disertai kopi-file (program MS
Word), atau diemail langsung.
15. Naskah yang diterima redaksi dapat dimuat (a) tanpa revisi, (b)
direvisi penulis lalu dipertimbangkan kembali, dan (c) ditolak
karena dinilai tidak memenuhi syarat.
16. Penulis yang naskahnya dimuat akan memperoleh 3 eksemplar
jurnal bukti pemuatan.
17. Jurnal terbuka untuk umum.

Anda mungkin juga menyukai