Anda di halaman 1dari 3

Indahnya Menjadi Seorang Muslim di Jerman

“Jangan lupa shalat ya nak”, titah ibu setiap akan menutup telepon. Itulah pesan yang tidak pernah
bosan2nya diucapkan oleh ibu. Mungkin beliau khawatir akan nasib iman anaknya selama berada di
Eropa, benua yang bertebaran orang2 ateis. Apalagi di Jerman. Negara yang mayoritas penduduknya
beragama Nasrani, namun hanya menjadikan agama sebagai symbol . Mereka lupa, bahwasanya nenek
moyang mereka lah yang dahulu mereformasi agama Kristen menjadi seperti sekarang. Martin Luther,
seorang teolog dari Jerman, orang yang menggagas gerakan protes terhadap golongan gereja. Gerakan
yang merupakan bentuk perlawanan umat terhadap otorisasi Gereja Katolik yang berpusat di Vatikan.
Gerakan yang menentang bentuk penindasan dalam agama, karena sang pastur lupa (atau mungkin
sengaja), bahwa konsep pengampunan dosa bukanlah wewenang mereka, melainkan hanya atas kuasa
Tuhan. Ampunan bukan hanya monopoli orang2 kaya yang mampu membeli surat penghapusan dosa
dengan harga tinggi, namun juga hak setiap umat baik kaya maupun miskin, selama ia berjanji untuk
tidak mengulangi dosa. Gerakan yang bernama Protestan.

Jerman adalah negara yang menetapkan hari Natal jatuh setiap tanggal 25 Desember. Jerman juga yang
menularkan tradisi2 perayaan natal seperti halnya penggunaan pohon cemara yg dihias menjadi pohon
natal, lagu2 gospel natal, maupun mitos figur Santa Klaus yang sebenarnya bernama Saint Nicholas,
seorang uskup dari daerah Myra (Turki-sekarang) yang hidup pada abad ke-4 Masehi. Namun seperti
layaknya sebuah tradisi, semua itu pada akhirnya hanya menjadi symbol, tidak lebih. Simbol2 perayaan
yang walaupun sampai sekarang masih dipakai, tapi tidak pernah di mengerti apa makna dibalik semua
itu. Gereja jarang diisi setiap minggunya, hanya dijadikan objek wisata, museum.

Bersyukurlah kita dilahirkan sebagai muslim. Karena umat muslim tidak mengkultuskan simbol2. Bahkan
menggambarkan sosok Rasulullah saja sudah haram hukumnya. Hal inilah yang tidak bisa dipahami oleh
umat2 non Muslim. Mereka hanya bisa mempercayai apa yang bisa dilihat oleh mata, maka dibuatlah
patung sebagai media penyembahan. Sebaliknya, umat Muslim telah berpikir jauh melampaui apa yang
hanya bisa dilihat oleh mata. Seorang umat Islam yang taat akan selalu bisa merasakan adanya Tuhan,
bahkan merindukan kehadiranNya setiap saat.

"Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang hidup kekal lagi terus-
menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur, Kepunyaan-Nya apa yang di
langit dan di bumi. Tiada dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui
apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa
dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan
Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar." (al-
Baqarah: 255)
"Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya,
agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya
Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu." (ath-Thalaaq: 12)

Keyakinan itu yang menjadikan umat Muslim menjadi kuat menghadapi arus gelombang perubahan
zaman. Al Qur’an tidak pernah berubah isinya sedikitpun sejak diturunkan melalui malaikat Djibril
kepada junjungan Rasulullah SAW. Gerakan dan doa shalat tidak pernah dirubah sejak di perntahkan
Allah dimalam Isra’ Mi’raj. Bahasa Arab menjadi bahasa persatuan. Inilah agama langit (samawi) yang
sebenarnya.

Melihat perkembangan populasi umat Muslim yang begitu pesat di Jerman mau tidak mau membuat
saya ikut berbangga hati. Disini, umat muslim yang 90% adalah imigran Turki memegang peranan yang
lumayan penting dalam bidang perekonomian. Banyak pengusaha2 sukses yang berasal dari muslim
Turki. Keadaan yang menurut saya sangat menguntungkan bagi mahasiswa2 muslim dari negara lain
yang sedang menuntut ilmu di Jerman. Terbukti pada waktu bulan Ramadhan kemarin, kami para
mahasiswa Aceh maupun mahasiswa2 dari negara Pakistan, Palestina, Afghanistan dan Kazakhstan
mendapat berkah setiap berbuka puasa bersama di salah satu mesjid di sini. Sumbangan makanan yang
melimpah, fenomena yang saya rasakan sama seperti ketika saya merasakan nikmatnya berbuka puasa
bersama di Mesjid di Aceh. Menu makanan yang mungkin di Negara kita tergolong “mewah” seperti nasi
briyani, daging domba, ataupun kari kambing di sajikan hampir setiap 2 hari sekali. Bahkan pada minggu
terakhir Ramadhan frekwensi berbuka bersama ditambah menjadi setiap hari. Subhanallah.

Rasa persaudaraan juga saya rasakan dari sesama mahasiswa asing beragama Muslim yang sama2
berjuang untuk bisa tetap survive di negara ini. Kami sesama mahasiswa Muslim saling mengingatkan
jika ada salah satu dar kami lalai dalam menjalankan shalat Jumat, ataupun memberitahukan jenis
makanan yang dijual apa saja yang halal untuk dimakan. Karena berburu makanan disini bukanlah
perkara yang mudah. Kentang goreng yang dikemas secara instan pun ternyata bisa jadi mengandung
daging babi di dalam adonannya. Belum lagi kalau kita terpaksa untuk makan di kantin kampus, salah2
roti yang kita makan berisi daging babi. Dan bisa dipastikan umumnya daging ayam maupun sapi yang
dijual di restoran2 umum tidak dipotong secara islami. Terpaksa kami bergerilya mencari restoran Turki
yang memajang lambang halal dimuka pintunya.

Ah, indahnya persaudaraan sesama muslim disini. Persaudaraan yang benar2 diterapkan kedalam
pergaulan, bukan hanya ucapan di mulut. Saya sempat terharu dimana saya memiliki 2 orang teman
sekelas dari Kazakhstan. Yang awalnya kami sama2 tidak mengetahui kalau kami adalah sesama saudara
Muslim. Hingga ketika pada sekali waktu selesai shalat Jumat kami bertemu dan saling berjabat tangan.
Ia pun berucap, “Assalamaualaikum, wah.. saya tidak tau kalau kamu ternyata adalah saudara saya..”
Dan sejak saat itu setiap kami berjumpa baik didalam kelas maupun diluar selalu berjabat tangan sambil
mengucapkan, “Assalamu’alaikum my brother…” (Assalamu’alaikum wahai saudaraku)

Ternyata anggapan yang selama ini saya (dan saya yakin orang lain banyak beranggapan hal yang sama)
duga bahwasanya tinggal di Jerman dapat melunturkan kadar keimanan saya, tidak sepenuhnya benar.
Bahkan saya merasa lebih beriman (InsyaAllah) setelah berada disini. Hal ini mungkin dikarenakan oleh
sikap untuk tetap bertahan dan berjuang sebagai kaum minoritas. Hal yang tidak pernah kita rasakan
selama berada di negara sendiri. Kita terlena oleh status mayoritas kita sebagai Muslim, sehingga musuh
yang selama ini mengintai dapat dengan mudah memecah belah. Tidak adanya lagi rasa persaudaraan
sesama muslim, lenyap digantikan oleh kepentingan golongan masing2. Apakah ini masa depan kejayaan
Islam yang kita idam2kan?

Stuttgart, Nov 14 2010

Anda mungkin juga menyukai