Anda di halaman 1dari 122

ISLAMIC COACHING I

BADAN KOORDINASI LEMBAGA


DAKWAH KAMPUS
(BKLDK)

dakwahkampusbooks

DAFTAR ISI

Islamnya Kita
(Sebuah Catatan Awal)

Manusia
sesungguhnya
akan
menjalani
kehidupan sesuai dengan fitrah yang dimilikinya.
Sejauh apa pun ia berjalan menyelisihi fitrah
kemanusiaannya, ia akan berusaha mencari jalan
kembali. Sebagaimana kisah seorang pembunuh,
yang dalam titik jenuh setelah membunuh 99
korbannya, ia pun tersadar. Dicarilah olehnya
tempat dimana ia bisa menemukan fitrah diri
sebagai
manusia.
Allah
SWT
membawa
langkahnya untuk bertemu dengan seorang rahib.
Sayangnya,
sang
rahib
menyangkal
dan
mengatakan bahwa ia tak mungkin kembali pada
fitrahnya, ia telah terlanjur berlumur dosa. Si
pembunuh marah, ia pun tak segan memenggal
kepala sang rahib. Genap sudah korbannya
menjadi 100 orang. Namun dirinya tak berputus
asa. Ia kembali mencari jalan pertaubatan.
Hingga ditemuilah seorang shalih yang memberi
nasihat bijak padanya. Sungguh pintu taubaut
terbuka
luas
untuk
anda.
Tinggalkanlah
lingkungan buruk yang selama ini membuat anda
menjadi
seorang
pembunuh,
datangilah
lingkungan baik yang akan menuntun anda
menjadi orang yang senantiasa beramal shalih
guna menebus segala kesalahan anda di masa
yang lalu.
Ia pun menangis sejadi-jadinya, menyesali semua
perbuatan salah yang membuatnya menjauh dari

fitrah dirinya. Ia bulat untuk bertaubat. Ia pun


berkemas, meninggalkan lingkungan buruk yang
selama ini menjerumuskan pada kubangan
maksiat. Langkahnya mantap menuju lingkungan
baru yang lebih baik. Ia telah bertekad untuk
hijrah menuju dirinya yang fitrah. Namun Allah
menakdirkan lain bagi dirinya. Di tengah-tengah
perjalanan, nyawanya dicabut. Malaikat pun
berselisih tentangnya. Malaikat Rahmat menilai ia
layak masuk surga karena telah bertaubat,
sementara Malaikat siksa menilai ia pantasnya
diseret ke neraka, karena meski telah mengucap
taubat
namun
ia
belum
benar-benar
membuktikan bahwa dirinya telah menjadi orang
yang kembali pada fitrahnya. Akhirnya malaikat
bersepakat, ia dimasukkan ke surga, alasannya
jarak dirinya saat meninggal dunia lebih dekat
pada lingkungan baik yang ia niati sebagai
tempat tujuan hijrahnya dibanding jarak ke
lingkungan buruk tempat masa lalunya yang
telah ia tinggalkan.
Kisah di atas dituturkan oleh Rasulullah
Muhammad saw yang kemudian diriwayatkan
oleh Bukhari, Muslim dan Imam Ahmad. Kanjeng
Rasul yang mulia mengajarkan pada kita dari
kisah ini tentang hakikat fitrah. Ya, fitrah manusia
adalah pada al-khair (jalan kebaikan). Dan, Alkhair itu adalah al-Islam. Dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu
'anhu, Rasulullah saw bersabda:

Setiap anak dilahirkan di atas fitrah (kesucian)


maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan
dia Yahudi atau Nasrani atau Majusi. (HR. AlBukhari dan Muslim)
Pertanyaan sederhana mungkin muncul di benak
kita. Jika fitrah manusia adalah Islam. Mengapa
ada orang nasrani, hindu, budha bahkan ada
yang atheis? Mengapa ada orang jahat,
perampok, koruptor, oportunis, pragmatis dan
penjilat? Mengapa ada orang munafik, musyrik,
pluralis, liberal juga sekuler? Jawabannya sudah
ada pada hadist di atas. Semua bermuara pada
lingkungan yang berpengaruh kuat. Lingkungan
terdekat adalah keluarga, orangtua. Lalu,
lingkungan pergaulan kita sehari-hari. Lingkungan
juga bisa dipengaruhi adat istiadat peninggalan
nenek moyang yang seringkali teramat sulit
untuk ditinggalkan.
Kita bisa belajar dari sirah perjuangan Rasulullah
betapa
susahnya
mengislamkan
penduduk
Makkah waktu itu. Mereka, masyarakat jahiliyah
Quraisy belum bisa lepas dari keyakinankeyakinan lokal yang dibudayakan turunmenurun. Penyembahan mereka pada tuhan yang
banyak susah ditinggalkan dan diganti menuju
penyembahan hanya pada Yang Maha Esa, Allah
SWT. Budaya jahiliyah yang dilakukan masyarakat
Makkah saat itu juga tak mudah untuk
disingkirkan. Mabuk-mabukan, berjudi, main
perempuan dan membunuhi anak perempuan
sudah teramat biasa sehingga dianggap wajar

oleh mereka. Ketika Rasulullah menyeru hendak


memberantas itu semua, timbullah perlawanan.
Hingga seorang Abu Thalib, paman yang sangat
mencintai Rasulullah SAW, tak kuasa menolak
budaya jahiliyah Quraisy yang dibawanya hingga
sakaratul maut menjemput. Wahai Paman,
ucapkanlah Laa Ilaaha Ilallaah maka engkau akan
selamat, bujuk Rasul sesaat menjelang kematian
paman yang dikenal selalu membela dan
melindungi perjuangannya itu. Sayangnya, saat
nyawa masih tertahan di kerongkongan, hanya
satu kalimat yang diucapkannya. Tetap pada
agama Abdul Muthalib, tetap pada millah nenek
moyang kita.... ujar Abu Thalib mengakhiri
hidupnya tetap dalam keadaan tak beriman.
Padahal Allah SWT tegas-tegas melarang untuk
mengikuti segala macam adat istiadat dan
budaya yang hanya menjerumuskan kita pada api
neraka. FirmanNya:
Jika dikatakan pada mereka, Ikutilah apa-apa
yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab,
Tetapi kami mengikuti apa yang telah dilakukan
oleh nenek moyang kami. Apakah mereka akan
mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka
itu tidak mengetahui sesuatu apa pun, dan tidak
mendapat petunjuk? (QS. Al Baqarah: 170)
Dan apakah mereka akan mengikuti bapakbapak mereka, walaupun syetan menyeru
mereka ke dalam siksa api neraka yang menyalanyala? (QS. Luqman: 21)

Label jahiliyah yang disematkan pada waktu itu


bukanlah
identik
pada
sifat
kebodohan,
keterbelakangan atau pun ketertinggalan secara
lahiriah. Namun, jahiliyah lebih dimaknai sebagai
sikap penolakan kebenaran yang berasal dari
Allah SWT yang disyiarkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Hal ini dapat dibuktikan salah satunya pada
pribadi Abu Jahl, Bapaknya orang-orang jahiliyah.
Nama aslinya adalah Amr ibn Hisyam. Ia dikenal
juga dengan nama Abul Hakam. Al Hakam berarti
seorang
yang
berada
dalam
lingkaran
pemerintahan (hukumah) kota Makkah. Juga
seorang yang memiliki banyak hikmah kebijakan
(hakiim) dan atau orang yang memiliki kekuasaan
untuk menentukan hukum (al haakim).
Pada
kenyataannya, Abu Jahl alias Amr ibn Hisyam
adalah seorang yang pandai bacatulis, ahli sastra,
hartawan dan dikenal cerdas lagi terpandang di
antara kaumnya.
Sejarah rupanya berulang. Saat kini, kita hidup
juga di jaman jahiliyah. Meski semua nampak
serba canggih dan modern, namun tak sedikit
yang menolak kebenaran Islam. Tak semua
ditolak memang, tapi sebagian-sebagian.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada
Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud
memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah
dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami
beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir
terhadap
sebahagian
(yang
lain)",
serta
bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil

jalan (tengah) di antara yang demikian (iman


atau kafir) merekalah orang-orang yang kafir
sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan
untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang
menghinakan. (QS al-Nisa': 150-151).
Pernikahan sesama muslim diatur dengan syariat
Islam melalui Kantor Urusan Agama, namun
mengapa lokalisasi perzinahan juga masih
diakomodir oleh pemerintah? Di saat para pejabat
negara diambil sumpah jabatannya dengan
menggunakan al Quran di atas kepalanya sebagai
simbol ketaatan, tapi mengapa justru aturanaturan
yang
dibuatnya
tak
pernah
memperdulikan al Quran sama sekali bahkan
terkesan mencampakkannya? Jika kita disarankan
untuk jangan lupa berzakat dan bersedekah, tapi
mengapa riba dan segala perangkatnya (bank
konvensional, pola kredit ribawi dan lainnya)
masih tetap digunakan? Banyak sekali anjuran
agar akhlak kita disesuaikan dengan yang
ditauladankan Nabi SAW namun mengapa dalam
berpolitik kita tak mencontoh Rasul, malahan
mengikuti sistem demokrasi yang tak pernah
sekali pun dicontohkan Rasul?
Bukan hanya itu, ketika nasionalisme dianggap
sebagai warisan dari para pendiri bangsa ini yang
notabene juga muslim, maka sebagian dari kita
pun
kemudian
beralasan
untuk
tetap
mempertahankannya.
Hak
asasi
manusia,
liberalisasi, hermeneutika, budaya permisif,
hedonis semuanya serba jahiliyah. Berhala-

berhala jaman modern tak lagi berbentuk Latta


dan Uzza namun berubah ujud menjadi Harta,
Tahta dan Wanita. Berapa banyak yang
menyembah harta kekayaan, sehingga ia rela
mengorbankan segalanya, menghalalkan segala
cara. Hawa nafsu pun dijadikannya sesembahan.
Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan
hawa
nafsunya
sebagai
sesembahannya dan Allah membiarkannya sesat
berdasarkan ilmuNya? Dan Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan
penutup di atas penglihatannya (QS. Al
Jatsiyah : 23)
Hidup di era jahiliyah modern saat ini mungkin
menjadi tantangan tersendiri bagi keberislaman
kita. Sepertinya Allah SWT tak pernah berhenti
menguji hamba-hambaNya yang beriman. Saat
Allah menguji Rasul dan para sahabat dengan
segala tantangan dan hambatan di jamannya,
Allah juga menguji kita sebagai pengikut Rasul
yang setia dengan halangan dan rintangan yang
tak jauh berbeda.
"Apakah kalian mengira akan masuk surga
padahal belum datang ujian yang semisal dengan
yang menimpa orang-orang sebelum kalian.
Mereka ditimpa gangguan dan marabahaya serta
digoncangkan seguncang-guncangnya hingga
Rosul dan orang-orang yang beriman yang
bersamanya berkata, "Kapankah pertolongan
Allah datang?" Ketahuilah, bahwa pertolongan
Allah sangatlah dekat." (QS. Al-Baqoroh: 214)

Namun Allah jualah yang menakdirkan mental


orang-orang beriman sebagai mental para
pemenang. Sebagaimana keimanan tentara
Muhammad Al Fatih yang menghantarkan mereka
untuk menaklukkan konstantinopel. Simaklah
pidato Muhammad Al Fatih sebelum mereka
berangkat berperang berikut ini:
Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa
kepada Allah dan kunasehatkan untuk tetap
bersabar. Jangan melangkah sekalipun kecuali
kalian selalu mengingat Allah. Kita berperang
untuk meninggikan kalimat Allah bukan karena
ghonimah atau harta. Dan yang paling
kukhawatirkan adalah dosa-dosa kalian lalu
menyerang kalian hingga tekad dan kekuatan
kalian melemah. Bertaubatlah kalian niscaya
Allah akan memenangkan kita.
Dan atas izin Allah, pasukan kaum muslimin
berhasil memenangkan peperangan.

BAB I
THARIQUL IMAN
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi dan silih bergantunya siang dan malam
ada tanda-tanda bagi orang yang berakal? (QS
Al I-Imron: 190)

Uqdatul Kubro
Manusia adalah mahluk yang dikarunia
keistimewaan oleh Allah, yang itu tidak diberikan
kepada makhluk lainnya yakni akal. Dengan akal
itulah manusia dapat berfikir. Ketika manusia
dewasa ia mulai mempertanyakan tentang
keberadaan dirinya di dunia ini. Ia mulai
berpikir tentang beberapa pertanyaan mendasar
yang harus ia jawab. Jawaban tersebut akan
menjadi landasan dalam kehidupannya. Selama
masalah ini belum terjawab, selama itu pula
manusia hidup tanpa tujuan yang jelas dan tidak
akan berjalan di dunia ini dengan tenang. Karena
sifatnya yang demikian beberapa pertanyaan
pokok dan mendasar itu sering disebut sebagai
Uqdatul Kubro (masalah/simpul yang sangat
besar).
Pertanyaan mendasar tersebut berupa:
* Dari manakah manusia dan kehidupan
ini ?

* Untuk apa manusia dan kehidupan ini


ada ?
* Akan ke mana manusia dan kehidupan
setelah ini ?
Bila pertanyaan ini terjawab maka seseorang
akan memiliki landasan kehidupan sekaligus
tuntunan dan tujuan kehidupannya, -- terlepas
dari jawabannya benar atau salah. Manusia akan
berjalan di dunia ini dengan landasan tersebut,
berekonomi dan berbudaya berdasar landasan
itu, bahkan ia akan mengajak orang dan kaum
lain agar mengikuti landasan tersebut.
Jika seseorang atau suatu kaum yang
menyelesaikan uqdatul kubra dengan jawaban
kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya,
manusia berasal dari tanah materi dan kelak
akan kembali lagi menjadi materi/benda,
sehingga
manusia
hidup
untuk
mencari
kebahagiaan materi selama ia mampu hidup,
maka mereka akan hidup dengan aturan yang
dibuatnya sendiri, dengan standar baik-buruk
yang ia kehendaki. Mereka akan bertingkah laku,
berbudaya, berekonomi dan berpolitik untuk
mencapai kebahagiaan material, selama mereka
mampu hidup. Orang dan kaum seperti ini tidak
meyakini adanya hal ghaib (malaikat, akhirat,
pahala-dosa dsb). Yang mereka percayai hanyalah
segala materi yang dapat dirasakan oleh panca
indra belaka.

Selain itu ada orang atau suatu kaum yang


menjawab di balik alam dan kehidupan ini ada
Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam,
termasuk
dirinya,
memberi
tugas/amanah
kehidupan pada manusia dan kelak ada
kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan
menghisab seluruh perbuatannya di dunia, maka
mereka akan hidup, berekonomi, berbudaya,
berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain,
berdasarkan aturan Penciptanya. Standar baikburuk berdasarkan aturan Sang Pencipta, dan
sekaligus menjadi standar amal yang harus ia
pertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta.
Demikianlah
gambaran
ringkas
tentang
landasan kehidupan seseorang/suatu kaum,
yang sekaligus merupakan jawaban uqdatul
kubro manusia. Tetapi bagaimanakah jawaban
yang benar terhadap masalah ini?

Pemecahan yang Benar Uqdatul Kubro


Dengan berbagai usaha berfikir, manusia
mencoba mencari jawaban atas pertanyaan
mendasar tersebut melalui segala hal yang dapat
dijangkau oleh akalnya. Karena segala hal yang
dapat dijangkau akal manusia, tidak lepas dari (1)
alam semesta (al kaun), (2) manusia (al insan)
dan (3) kehidupan (al hayaah), maka ketiga hal
inilah yang dijadikan obyek/media berpikir untuk
mencari jawaban yang dimaksud.

Pemecahan yang benar terhadap masalah ini


tidak akan terbentuk kecuali dengan pemikiran
yang mustanir (jernih) dan menyeluruh tentang
alam semesta, manusia dan kehidupan serta
hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum
dan sesudah kehidupan dunia ini. Islam telah
memberi jawaban melalui proses berpikir yang
jernih, menyeluruh, benar, sesuai dengan akal,
menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah
manusia. Proses pencarian keshahihan dari
uqdatul qubra itu adalah sebagai berikut:
1.

Proses

keimanan

terhadap

Al

Kholiq

(Sang Pencipta)
Islam menjawab bahwa di balik alam semesta,
manusia dan kehidupan ini ada Al Kholiq (Sang
Pencipta), yang mengadakan semua itu dari tidak
ada menjadi ada. Al Kholiq itu bersifat wajibul
wujud (wajib/pasti adanya). Ia pun bukan mahluk
karena
sifatnya
sebagai
Sang
Pencipta
memastikan bahwa diri-Nya bukanlah makhluk.
Bukti bahwa segala sesuatu itu mengharuskan
adanya Pencipta dapat dibuktikan sebagai
berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat
dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur,
yaitu manusia, alam semesta dan kehidupan.
Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat
lemah, serba kurang dan saling membutuhkan
kepada yang lain. Misalnya manusia, ia merasa
terbatas
sifatnya
karena
tumbuh
dan
berkembang tergantung terhadap segala sesuatu
yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat

dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat


terbatas, mulai dari ketiadaannya sampai batas
waktu yang tidak bisa dilampauinya lagi. Begitu
pula halnya dengan kehidupan (nyawa), ia
bersifat
terbatas
pula,
sebab
penampakan/perwujudannya bersifat individual
semata. Dan apa yang kita saksikan selalu
menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu
berhenti pada satu individu itu saja. Jadi jelas
kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula
halnya dengan alam semesta. Iapun bersifat
terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas
dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi
alam semesta itupun bersifat terbatas. Kini
jelaslah bahwa manusia, kehidupan dan alam
semesta, ketiganya bersifat terbatas (termasuk
memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Jika sesuatu itu bersifat terbatas, akan didapati
bahwa segala hal tersebut tidak azali (tidak
berawal dan tidak berakhir). Sebab apabila ia
azali, bagaimana mungkin ia bersifat terbatas?
Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang
terbatas ini membutuhkan adanya sesuatu
yang lain. Dan sesuatu yang lain inilah yang
dinamakan Al Kholiq, yang menciptakan
manusia, kehidupan dan alam semesta. Dalam
menentukan sifat Al Kholiq (Pencipta) paling tidak
ada tiga kemungkinan.
Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Dengan
pemikiran aqliyah yang jernih dan mendalam,
akan dipahami bahwa kemungkinan ini adalah
kemungkinan yang salah (tidak dapat diterima
oleh akal). Sebab jika Ia diciptakan oleh yang lain
maka Ia adalah makhluk dan bersifat terbatas,

yaitu
butuh
kepada
mengadakannya.

yang

lain

untuk

Kedua,
Ia
menciptakan
diri-Nya
sendiri.
Kemungkinan kedua ini pun juga bathil. Karena
jika demikian adanya, maka ia akan menjadi
makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan.
Jelas ini tidak dapat diterima oleh akal.
Ketiga, Ia bersifat azali dan wajibul wujud dan
mutlak adanya. Jika dua kemungkinan di atas
dinyatakan bathil, maka hanya tinggal satu
kemungkinan lagi yakni Al Kholiq itu tidak boleh
tidak harus bersifat azali dan wajibul wujud
serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT. Inilah
cara berfikir dalam menentukan sifat sang kholik
yang shohih.
Sesungguhnya
bagi
setiap
orang
yang
mempunyai akal hanya dengan perantaraan
wujud benda-benda yang dapat diinderanya, ia
dapat memahami bahwa dibalik benda-benda itu
terdapat Pencipta yang telah menciptakannya.
Dengan memahami bahwa semua benda-benda
tadi bersifat serba kurang, sangat lemah dan
saling membutuhkan kepada yang lain, maka
semua hanyalah makhluk. Karenanya untuk
membuktikan adanya Al Khaliq yang Maha
Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan
mengamati segala sesuatu yang ada di alam
semesta, kehidupan, dan di dalam diri manusia
itu sendiri.
Karena itu kita jumpai bahwa Al Quran
senantiasa mengajak manusia untuk mengamati
segala apa yang ada di sekelilingnya dan apa

yang berhubungan dengannya, agar dapat


membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan
mengamati benda-benda akan memberikan suatu
pemahaman yang meyakinkan manusia tentang
adanya Allah yang Maha Pencipta lagi Maha
Pengatur secara pasti tanpa ada keraguan.
Banyak ayat Al quran yang berbicara berkenaan
dengan hal ini, antara lain firman Allah :

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan


bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang
berakal. (QS Ali Imran: 190)

Juga firman-Nya:

(Dan) Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya


ialah diciptakannya langit dan bumi serta berlainlainnya bahasa dan warna kulitmu. (QS Ar
Rum: 22)

Serta firman-Nya yang lain seperti QS Al


Ghasiyah: 17-20, juga QS Ath Thariq: 5-7, atau
juga firman-Nya berikut yang artinya :

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan


bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu
Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering) dan
Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan
pengisaran air dan awan yang dikendalikan antar
langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu
terdapat tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS Al
Baqarah: 164)

Masih banyak lagi ayat yang sejenis yang


mengajak manusia untuk memperhatikan bendabenda alam, serta melihat apa yang ada
disekelilingnya untuk dijadikan petunjuk atas
adanya Sang Pencipta yang Maha Pengatur.
Dengan demikian imannya kepada Allah SWT
menjadi mantap, yang berakar dari akal dan bukti
nyata.
Inilah jawaban shohih secara ringkas, tentang
keberadaan Al Kholiq dibalik manusia, alam
semesta dan kehidupan.

Dibangkitka
n

Penciptaan

Setelah mati

Saat di dunia

Sebelum dunia

ADA SAAT
PEMBALASAN
SETELAH MATI

IBADAH

ADA PENCIPTA

KEPADA ALLAH

Perintah/larangan

Hisab

Skema Pemecahan Shohih Uqdatul Qubro

Sifat Fitri Keimanan


Iman kepada Yang Maha Pengatur ini
merupakan suatu hal yang fithri dalam diri setiap
manusia. Akan tetapi iman yang fithri ini hanya
muncul dari perasaan hati yang ikhlas belaka.
Keimanan semacam ini tidak bisa dianggap
aman. Sebab perasaan hati semacam ini sering
menambah-nambah terhadap apa yang diimani
dengan
sesuatu
yang
realistis.
Bahkan
mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu
yang lazim terhadap apa yang ia imani sehingga
dapat menjerumuskan ke arah kesesatan.
Penyembahan berhala dan khurafat (cerita
bohong), tak lain tak bukan akibat salahnya

perasaan hati. Maka dari itu Islam tidak


membiarkan perasaan hati ini sebagai satusatunya jalan menuju iman.
Islam menegaskan penggunaan akal bersamasama dengan perasaan hati dan mewajibkan atas
setiap muslim untuk menggunakan akalnya
dalam beriman kepada Allah SWT serta melarang
bertaqlid (ikut-ikutan) dalam masalah aqidah.
Untuk itulah Islam telah menjadikan akal sebagai
timbangan
dalam
beriman
kepada
Allah.
Sebagaimana firman Allah SWT :

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan


bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.
(QS Ali Imran: 190)

Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim


membangun keimananya betul-betul muncul dari
proses berfikir, meneliti, memperhatikan serta
bertahkim pada akalnya dalam beriman kepada
Allah SWT secara mutlak.

Batas akal dalam memahami sang Khaliq


Kendati Islam mewajibkan atas manusia untuk
menggunakan akalnya dalam beriman kepada
Allah SWT, namun tidak mungkin akal manusia
bisa memahami apa yang ada di luar jangkauan
indranya. Hal ini karena sifat dan kekuatan akal
manusia terbatas, sehingga pemahamannya pun
terbatas.
Oleh karena itu, akal tidak mampu untuk
memahami Dzat Allah dan hakekat-Nya, sebab
Allah berada di luar ketiga unsur pokok alami
yang dapat diindera manusia (alam semesta,
manusia dan kehidupan). Hanya saja tidak dapat
dikatakan : Bagaimana mungkin orang dapat
beriman kepada adanya Allah SWT, sedang
akalnya sendiri tidak mampu memahami Dzat
Allah?. Memang tidak bisa dikatakan demikian,
sebab pada hakekatnya iman itu adalah percaya
akan adanya (wujud/keberadaan-Nya) Allah,
di mana wujud Allah ini dapat dipahami melalui
keberadaan makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam
semesta, manusia dan kehidupan. Ketiganya ini
berada dalam batas-batas yang dapat dicapai
oleh akal.
Dengan memahami ketiga hal itu, orang dapat
memahami adanya Al Khaliq, yaitu Allah SWT.
Karenanya, iman kepada adanya Allah harus
berdasarkan akal dan dalam jangkauan akal. Lain
halnya jika orang hendak memahami Dzat Allah
di mana hal ini mustahil terjadi. Sebab Dzat-Nya
di luar jangkauan kemampuan akal. Padahal akal

itu sendiri tidak mungkin memahami hakekat apa


yang berada diluar jangkauannya, disebabkan
keterbatasannya untuk melakukan hal itu.
Sesungguhnya apabila iman kepada Allah SWT
muncul dari akal, pemahaman kita terhadap
adanya Al Khaliq pun akan menjadi sempurna
pula. Apabila perasaan hati (yang timbul dari
fithrah-peny) yang mengatakan adanya Allah
dibarengi pula oleh akal maka perasaan semacam
ini akan tumbuh menjadi suatu keyakinan yang
kokoh, yang akan memberikan suatu pemahaman
yang sempurna serta perasaan yang yakin atas
semua sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya
hal ini akan meyakinkan diri kita bahwa kita tidak
akan sanggup memahami hakekat Dzat Allah,
justru karena kuatnya iman kita kepada-Nya.

2. Proses keimanan terhadap Rasul


Adapun bukti mengenai hubungan manusia
terhadap para rasul dapat kita lihat dari
terbuktinya manusia sebagai mahluk Allah SWT
yang bersifat terbatas, akal dan kemampuannya.
Juga dapat dilihat dari terbuktinya agama itu
sebagai suatu hal yang fithri dalam diri manusia,
karena ia merupakan salah satu fithrah pentaqdis-an (pengagungan dan pensucian-peny)
manusia.
Dalam
fithrahnya
itu
manusia
senantiasa mentaqdiskan Penciptanya. Pekerjaan
mentaqdiskan inilah yang selanjutnya dikenal
sebagai ibadah, yang merupakan tali penghubung

antara manusia dan Penciptanya. Apabila


hubungan ini dibiarkan tanpa aturan akan
cenderung terjadi kekacauan ibadah serta
menyebabkan terjadinya penyembahan terhadap
selain dari pencipta yang sebenarnya. Jadi harus
ada aturan tertentu yang mengatur hubungan ini
dengan baik. Hanya saja aturan ini tidak boleh
datang dari pihak manusia, karena ia sendiri tidak
mampu
memahami
hakekat
Al
Khaliq
(maksudnya tentang perbuatannya, apakah
perbuatan itu diterima atau ditolak oleh Al Khaliqpeny) untuk dapat meletakkan aturan antara
dirinya dengan Sang Pencipta. Karenanya aturan
ini harus datang dari Al Khaliq serta harus sampai
ke tangan manusia. Maka tidak boleh tidak harus
ada para rasul yang menyampaikan agama
(aturan) Allah ini kepada umat manusia.
Bukti lain akan kebutuhan manusia terhadap
para rasul adalah bahwa pemuasan manusia akan
tuntutan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan
gharizah/nalurinya merupakan hal yang mutlak
diperlukan. Jika pemuasan ini dibiarkan berjalan
tanpa aturan akan menjadi pemuasan yang salah,
berlebihan serta menyebabkan malapetaka bagi
manusia. Karena itu harus ada aturan yang
mengatur gharizah dan kebutuhan-kebutuhan
jasmani ini. Tetapi aturan ini tidak boleh datang
dari pihak manusia, sebab pemahamannya dalam
mengatur gharizah dan kebutuhan jasmani selalu
menjadi obyek (sasaran) kekeliruan, perselisihan
dan keterpengaruhan oleh lingkungan yang
didiaminya. Maka dari itu aturan tersebut harus

datang dari Allah SWT, yang untuk dapat sampai


ke tangan manusia, haruslah melalui seorang
rasul.

3. Proses Keimanan terhadap Al Quran


Kalamullah
Adapun bukti yang sangat mudah bahwa Al
Quran itu datang dari Allah SWT, dapat dilihat
dari kenyataan/fakta bahwa Al Qur'an itu sebuah
kitab berbahasa arab yang dibawa oleh
Rasulullah SAW. Karena fakta tersebut, maka
dalam upaya menentukan dari mana asal Al
Qur'an itu, dapat kita buktikan dengan tiga
kemungkinan dan hanya tiga kemungkinan itu,
tidak ada kemungkinan yang lain. Ketiga
kemungkinan tersebut adalah:
Pertama, ia merupakan karangan bangsa Arab.
Kemungkinan yang pertama ini, orang yang
mengatakan bahwa Al Qur'an merupakan
karangan
bangsa
Arab
adalah
suatu
kemungkinan yang bathil. Sebab Al Qur'an
sendiri menantang mereka (bangsa Arab)
untuk
membuat
karya
yang
serupa.
Sebagaimana tertera dalam firman-Nya:

Katakanlah: Maka datangkanlah sepuluh


surat yang menyamainya. (QS Hud: 13)

Katakanlah: Kalau benar yang kamu


katakan maka coba datangkan sebuah surat
yang menyamainya. (QS Yunus: 38)

Bangsa
Arab
telah
berusaha
untuk
menghasilkan karya yang serupa, akan tetapi
mereka tidak juga berhasil. Jadi, jelas Al Qur'an
bukan berasal dari perkataan orang Arab,
karena
ketidakmampuan
mereka
untuk
menghasilkan karya yang serupa.

Kedua, ia merupakan karangan Muhammad SAW.


Adapun
kemungkinan
yang
kedua,
mengatakan bahwa Al Qur'an itu karangan
Muhammad SAW, adalah kemungkinan yang
bathil pula. Sebab Muhammad adalah orang
Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetaplah
ia sebagai seorang manusia yang menjadi
salah satu anggota dari bangsanya. Jika

bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya


yang serupa, maka masuk akal pula apabila
Muhammad SAW yang orang Arab itu juga
tidak mampu menghasilkan karya yang
serupa. Jelaslah bahwa Al Qur'an, bukan
karangannya.
Hal tersebut makin diperkuat dengan
banyaknya hadits-hadits shahih dan mutawatir
dari Nabi Muhammad SAW, yang bila setiap
hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun
dalam Al Qur'an jelas tidak akan dijumpai
adanya kemiripan dari segi gaya bahasa
(uslub), padahal keduanya berasal dari orang
yang sama. Akan tetapi keduanya tetap
berbeda dari segi gaya bahasanya. Dan
bagaimanapun
kerasnya
seseorang
menciptakan berbagai macam gaya bahasa
dalam pembicaraannya, tetap akan terdapat
kemiripan antara gaya bahasa yang satu
dengan gaya bahasa yang lain. Jadi karena
tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al
Qur'an dengan gaya bahasa hadits maka
yakinlah bahwa Al Qur'an itu bukan perkataan
Nabi Muhammad SAW.
Dengan
demikian
maka
terbantahlah
kemungkinan pertama dan kedua. Kini tinggal
tuduhan lain yang mereka lontarkan, yaitu
bahwa Al Qur'an itu disadur oleh Muhammad
SAW dari seorang pemuda Nasrani bernama
Jabr. Tuduhan itu ditolak keras oleh Allah SWT
melalui firmannya:

(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui


bahwa mereka berkata, Sesungguhnya Al
Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia
kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa
orang yang mereka tuduhkan (bahwa)
Muhammad belajar kepadanya (adalah)
bahasa ajami (non arab), sedangkan Al
Qur'an itu dalam bahasa Arab yang jelas.
(QS An Nahl: 103)

Inilah pembuktian yang jelas bahwa Al


Qur'an itu bukan karangan bangsa Arab atau
karangan Muhammad SAW. Al Qur'an adalah
perkataan Allah (kalam Allah) yang menjadi
mukjizat bagi pembawanya (Muhammad SAW).
Tidak ada kemungkinan lain selain ini, dilihat
dari kenyataan bahwa Al Qur'an itu berbahasa
Arab.

Ketiga,
ia
berasal
dari
Allah
sebagaimana pernyataan pembawanya.

semata,

Setelah
kedua
kemungkinan
tersebut
terbantahkan,
kini
hanya
tinggal
satu
kemungkinan yaitu bahwa Al Quran itu adalah
kalamullah. Kemungkinan inilah yang shahih di

antara
tiga
kemungkinan
yang
ada.
Kemungkinan
ini
sekaligus
membuktikan
bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah
karena tidak ada yang membawa syariat dan
mukjizat kecuali seorang nabi dan rasul.
Sedangkan yang membawa syariat (Al Quran)
tersebut tidak lain adalah Muhammad SAW.

Demikian uraian-uraian singkat namun jelas


dan tegas tentang dalil aqli untuk beriman
kepada (wujudnya) Allah, kepada kebenaran
kerasulan Muhammad SAW dan kepada Al Qur'an,
bahwasanya Al Qur'an merupakan kalam Allah.

Konsekuensi Iman Kepada Allah, Rasulullah


SAW, dan Al Quran
Jadi iman kepada (wujud) Allah itu datang dari
akal dan memang harus datang dari jalan seperti
ini. Ini pula yang menjadi dasar kuat untuk
beriman terhadap hal-hal yang ghaib dan segala
hal yang dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab jika
kita telah beriman kepada Allah SWT, yang
memiliki sifat-sifat ketuhanan itu, maka wajib
pula bagi kita untuk beriman terhadap apa saja
yang dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat
dicerna oleh akal maupun tidak, karena semua itu
dikabarkan oleh Allah SWT.
Dari sini kita wajib beriman kepada hari
kebangkitan dan pengumpulan (baats), surga
dan neraka, hisab dan siksa, juga beriman akan

adanya malaikat, jin dan syaithan, serta apa saja


yang telah diterangkan Al Qur'an dan hadist
qathi. Iman seperti ini walaupun didapat dengan
jalan mengutip (naql) dan mendengar (sama),
akan tetapi pada dasarnya telah terbukti oleh
akal. Jadi aqidah seorang muslim itu harus
bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang
telah terbukti dasarnya oleh akal. Apa saja yang
tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal
serta nash Al Qur'an dan hadist qathi
(mutawatir), haram baginya untuk meyakininya.
Sebab aqidah tidak boleh diambil kecuali dengan
kepastian (keyakinan).
Oleh karena itu kita wajib beriman kepada
kehidupan sebelum dunia, yaitu adanya Allah
SWT dan proses penciptaan oleh-Nya; serta
beriman kepada kehidupan setelah dunia yaitu
hari
akhirat.
Perintah-perintah
Allah
itu
merupakan tali penghubung (shilah) antara
kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum
dunia, yaitu hubungan penciptaan (shilatul
khalq); dan sekaligus menjadi tali penghubung
kehidupan dunia dengan kehidupan sesudah
dunia (shilatul muhasabah). Dan pastilah hal
ihwal manusia terikat oleh tali penghubung ini.
Karenanya manusia wajib berjalan dalam
kehidupan ini sesuai dengan peraturan Allah dan
wajib beritiqad bahwa ia diciptakan oleh Allah,
dan akan dihisab di hari kiamat atas segala
perbuatannya di dunia.

Dengan demikian telah terbentuklah pemikiran


yang jernih tentang apa yang ada di balik
kehidupan, alam semesta dan manusia. Telah
terbentuk pula pemikiran yang jernih tentang
alam sebelum dan alam sesudah dunia. Dan
bahwasanya terdapat tali penghubung antara
dunia dengan kedua alam tersebut. Dengan
demikian telah terurailah masalah besar itu
secara pasti kebenarannya dengan Aqidah
Islamiyah.
Apabila manusia telah berhasil memecahkan
hal tadi ia dapat beralih memikirkan kehidupan
dunia serta mewujudkan pemahaman yang benar
(terhadap dunia), yang dihasilkan dari pemikiran
dasar tersebut. Pemecahan itu pula yang menjadi
dasar bagi berdirinya suatu prinsip ideologis
kehidupan (mabda) yang membentuk jalan
menuju kebangkitan suatu kaum. Mabda itu pula
yang akan menjadi
dasar bagi
tumbuh
kembangnya peradaban (hadloroh) suatu kaum.
Juga menjadi dasar bagi peraturan-peraturan
hidupnya, dan juga menjadi dasar untuk
mendirikan negaranya. Dengan demikian dasar
bagi berdirinya Islam, baik secara fikroh (ide
dasar)
maupun
thoriqoh
(pola
operasional/metode pelaksanaan) adalah Aqidah
Islam itu sendiri.

Allah SWT berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah


beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada
Kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya
dan kepada Kitab yang diturunkan sebelumnya.
Dan siapa saja yang mengingkari Allah dan
Malaikat-Nya dan Kitab-Kitab-Nya dan RasulRasul-Nya dan hari akhir maka ia telah sesat
sejauh-jauhnya kesesatan. (QS An Nisa: 136)

Apabila semua ini (Iman kepada Allah, dst tadi)


telah terbukti kebenarannya, maka wajib pula
beriman kepada Syariat Islam (sebagaimana
terhadap Aqidah Islam). Karena seluruh syariat ini
tercantum dalam Al Qur'an dan telah dibawa oleh
Rasulullah SAW. Apabila tidak beriman maka ia
kufur. Seorang yang ingkar terhadap hukumhukum syara secara keseluruhan atau sebagian,
dapat menyebabkan ia menjadi kufur. Baik
hukum-hukum itu berkaitan dengan ibadah,
muamalah, uqubat (sanksi), ataupun mathumat
(yang berkaitan dengan makanan). Maka kufur
terhadap ayat:

Dirikanlah shalat..
sebenarnya sama saja kufur terhadap ayat:

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli


dan mengharamkan riba. (QS Al Baqarah:
275)
Atau terhadap ayat :

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang


mencuri potonglah tangan keduanya. (QS Al
Maidah: 38)
Atau ayat :

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,


darah, daging babi dan (hewan yang disembelih
atas nama selain Allah. (QS Al Maidah: 3)

Dengan demikian, iman terhadap syariat


sebenarnya tidak berhenti pada akal semata,
tetapi juga harus ada penyerahan mutlak
terhadap segala yang datang dari sisi-Nya,
sebagaimana firman-Nya :

Maka demi Rabb-mu mereka itu (pada


hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim
(pemutus) terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di
hati mereka suatu keberatan terhadap putusan
yang engkau berikan dan mereka menerima
(pasrah) dengan sepenuhnya. (QS An Nisa: 65)

Kebangkitan Manusia
Bangkitnya manusia tergantung dari landasan
kehidupan (aqidah)nya, yang merupakan jawaban
atas pertanyaan mendasar tentang kehidupan ini.
Karenanya umat harus diarahkan kepada aqidah
yang benar, sehingga memiliki pandangan hidup
yang benar dan mendorongnya berbuat sesuai
dengan aturan yang muncul dari aqidah yang
benar tadi. Pemahaman aqidah ini selalu ada
dalam diri suatu manusia, umat atau kaum;
karenanya, untuk mengubah keadaan suatu kaum
agar bangkit, aqidah inilah yang harus diubah
terlebih dahulu. Allah SWT berfirman :

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah


keadaan suatu kaum sebelum kaum itu sendiri
mengubah apa yang ada pada diri mereka. (QS
Ar Rad: 11)

Satu-satunya jalan perubahan aqidah dengan


membentuk pemikiran yang benar dan jernih
tentang aqidah yang shohih yang melandasi
kehidupan dan kebangkitannya. Hal ini dapat
dengan menyampaikan (kepada manusia-peny)
pemikiran yang benar tentang pemecahan simpul
pada masalah besar (Uqdatul Kubro) dalam diri
manusia. Apabila masalah besar ini telah
teruraikan, maka terurai pula masalah yang
lainnya, sebab hanya merupakan bagian atau
cabang dari masalah besar tadi. Oleh karena itu
bagi mereka yang menghendaki kebangkitan dan
kehidupan berada diatas jalan yang mulia, harus
terlebih dahulu memecahkan masalah besar ini
dengan pemecahan yang benar, yakni dengan
aqidah yang benar.
Islam telah menangani masalah besar ini.
Dipecahkannya
untuk
manusia
dengan
pemecahan
yang
sesuai
dengan
fithrah,
memuaskan akal serta memberikan ketenangan
jiwa. Oleh sebab itu Islam dibangun diatas satu
dasar
yaitu
aqidah,
yang
mengatakan
bahwasanya dibalik alam semesta, manusia dan
kehidupan terdapat Sang Pencipta (Al Khaliq)
yang telah menciptakan ketiganya, dan yang
telah menciptakan pula segala sesuatu yang
lainnya. Dialah Allah SWT. Aqidah yang
mengatakan bahwasanya Pencipta ini telah
menciptakan segala sesuatu dari tidak ada
menjadi ada. Ia bersifat wajibul wujud (wajib
adanya), Ia bukan makhluk, karena sifat-Nya
sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-Nya

bukan makhluk, serta memastikan pula bahwa ia


mutlak adanya. Segala sesuatu menyandarkan
wujudnya kepada diri-Nya, sedangkan Ia tidak
bersandar kepada sesuatu apapun.

BAB II
Mabda Islam
Hai orang-orang yang beriman masuklah
kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah)
dan janganlah kamu mengikuti langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuhmu yang paling
nyata (QS. Al Baqarah: 208)
Jika kita amati perubahan yang terjadi di
berbagai belahan dunia, tidak terlepas dari
perbedaan tingkat pemikiran manusia saat itu.
Konflik antar manusia, antar suku, antar bangsa
atau antar agama adalah hal yang wajar terjadi
dilihat
dari
keragaman
pemikiran
dalam
masyarakat. Namun, dari berbagai perubahan
yang terjadi, perbedaan ideologilah yang nampak
banyak mempengaruhi perubahan tersebut.
Terjadinya perang dingin antara blok barat
(kapitalis) dan blok timur (sosialis/komunis) yang
melibatkan sejumlah negara selama bertahuntahun menunjukkan bukti tersebut.
Dengan berakhirnya perang dingin, kini
ideologi kapitalis yang dimotori Amerika Serikat
berusaha
menjadikan
ideologinya
sebagai
landasan berfikir bagi semua negara di dunia. Hal
ini dilatarbelakangi
oleh keyakinan bahwa
ideologi kapitalis bersifat universal seperti yang
digambarkan oleh Samuel P Huntington dalam
tesisnya. Amerika Serikat lewat berbagai media
komunikasi
yang
dikuasainya
berusaha
mempropagandakan ide-ide kapitalis ke seluruh

dunia seperti pluralisme, HAM, demokrasi,


perdagangan bebas dan ide-ide kufur lainnya.
Wajarlah bila
hampir semua konflik atau
perubahan
tidak luput dari perhatian dan
keikutsertaan Amerika Serikat. Bila negaranegara tersebut tidak memenuhi keinginannya,
maka AS pun tak segan-segan memberikan
sanksi, baik secara ekonomi ataupun secara
militer.
Kesombongan AS dengan kapitalisnya, bukan
berarti tanpa perlawanan. Di beberapa negara
mayoritas Islam seperti Iran, Irak, Malaysia, Libya
dan juga di Indonesia mulai bangkit orang-orang
yang menentang kesombongan AS. Demikian
juga di negara-negara sisa komunis seperti Kuba,
RRC dan Korea Utara. Kampanye anti Amerika
juga dilancarkan oleh sejumlah LSM di berbagai
negara. Dari sini, tampak jelas bahwa persaingan
ideologi telah melahirkan suatu konflik yang
berkepanjangan, apalagi
setiap pengemban
ideologi akan berusaha untuk mempertahankan
dan menyebarkan ideologinya ke seluruh penjuru
dunia.
Selain kedua ideologi tersebut, masih ada
sebuah ideologi lagi yang pernah menguasai
dunia, yaitu ideologi Islam. Sebagai sebuah
ideologi, Islam pernah jaya selama belasan abad
sejak masa Rasulullah SAW hingga keruntuhan
Daulah Khilafah Turki Utsmani th 1924. Sejak
runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani hingga
awal abad kedua puluh satu ini, ideologi Islam
tidak pernah lagi diterapkan secara kaffah.
Bahkan umat Islam sendiri banyak yang tidak
mengetahui bahwa agamanya adalah sebuah
ideologi yang mampu menyelesaikan segala
permasalahan hidup, bahkan mengungguli kedua
ideologi yang lain.

Definisi Mabda (Ideologi)


Muhammad Ismail dalam bukunya Al Fikru Al
Islamiy, menyatakan bahwa idelogi (mabda)
merupakan aqidah aqliyyah yanbatsiqu anha an
nizham.
Artinya;
aqidah
aqliyyah
yang
melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan
(nizham). Menurut definisi ini, nampak bahwa
sesuatu disebut ideologi bila memiliki dua syarat,
yaitu memiliki aqidah aqliyyah sebagai fikroh
(ide) dan memiliki sistem (aturan) sebagai
thariqah (metode penerapan). Bila tidak
memiliki kedua hal tersebut, maka tidak bisa
dikatakan sebagai ideologi.
Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitab Nizham Al
Islam menjelaskan bahwa aqidah merupakan
pemikiran
yang
menyeluruh
tentang
kehidupan dunia, kehidupan sebelum dunia,
setelah dunia dan bagaimana hubungan
antara dunia dengan kehidupan sesudah
dunia.
Sedangkan
sistem
aturan
adalah
mencakup
berbagai
pemecahan
terhadap
berbagai problema kehidupan (baik pribadi,
keluarga, maupun negara; menyakut persoalan
ibadah, akhlak, sosial, politik, ekonomi, dan
budaya). Selain itu juga harus mencakup metode
untuk
menerapkan
berbagai
pemecahan
tersebut, metode untuk memelihara aqidah, dan
metode untuk menyebarkan aqidah tersebut.
Dengan demikian, aqidah aqliyyah dan
bagaimana cara pemecahan problem manusia
disebut dengan ide/fikrah. Sedangkan tentang
bagaimana penerapan
berbagai pemecahan
tersebut, bagaimana
pemeliharaan ide/fikroh,
dan cara untuk menyebarkan ide/fikroh tersebut
disebut thariqah (metode operasional untuk

menerapkan aqidah tersebut). Dengan demikian


suatu ideologi bukan hanya bersifat ide-ide
teoritis tanpa adanya realitas pelaksanaannya
(seperti filsafat-peny) namun mesti ada metode
(cara operasional) yang jelas tentang bagaimana
penerapannya dalam masyarakat.
Dari penjelasan di atas nampak bahwa Islam
mempunyai keunikan sendiri dibanding dengan
agama-agama lain di dunia. Dari segi wilayah
ajarannya, Islam tidak hanya mengatur hal yang
bersifat aqidah seperti keimanan kepada Allah,
Malaikat, Rasul, kitab, hari kiamat, serta qadla
dan qadar yang baik dan buruk semata dari Allah
SWT. Namun Islam juga mengatur masalah sistem
atau dalam istilah lain disebut nizham atau
syariah. Sistem (nizham atau
syariah) ini
berbicara bagaimana Islam mengatur seluruh
masalah manusia.
Dengan demikian akan
nampak kesempurnaan Islam sebagai sebuah
agama dan juga ideologi. Kesempurnaan Islam
tersebut secara tegas disebutkan dalam Al Quran
Al Karim sebagaimana firman Allah SWT:
Dan kami turunkan kepada kamu kitab ini
untuk menerangkan semua perkara. (QS An
Nahl: 89)
juga firman-Nya:
Hari ini telah Aku sempurnakan agama kamu
dan telah Aku cukupkan nikmatKu untukmu, serta
Aku ridlai Islam sebagai agama bagimu.(QS Al
Maidah: 3)
Dari nash tersebut, jelas bahwa Islam telah
sempurna sehingga pastilah tidak ada satu hal

pun yang tidak diatur oleh Islam. Dari masalah


yang sangat sederhana seperti memindahkan
duri dari tengah jalan sampai masalah yang
sangat kompleks seperti pemerintahan, Islam
mengaturnya.
Namun
demikian,
penjelasan
yang
menerangkan segala urusan tersebut secara
umumnya dinyatakan dalam bentuk amarat
(tanda-tanda umum) serta tanda-tanda yang
perlu penggalian hukum untuk menguraikannya.
Orang yang bertugas untuk menggali hukumhukum tersebut dan menyampaikannya kepada
umat haruslah seorang mujtahid. Agar hasil
ijtihad dari mujtahid itu benar maka syarat-syarat
ijtihad seperti pendalaman bahasa Arab, ilmu
hadits, ilmu Al Quran, dan tsaqofah Islam yang
lainnya mutlak diperlukan bagi seorang mujtahid.
Adanya mujtahid untuk melakukan ijtihad
merupakan fardlu kifayah. Sehingga, tidak boleh
dalam suatu kurun waktu tidak ada orang yang
melakukan ijtihad untuk disampaikan kepada
umat.
Dari uraian di atas nampak bahwa syariat
Islam adalah syariat yang lengkap yang
mengatur seluruh urusan manusia seperti ibadah,
ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, pendidikan
dan yang lainnya. Namun semua hukum-hukum
Islam
tersebut
hanya
akan
sempurna
dilaksanakan
umat
Islam
tatkala
segala
perangkat yang melaksanakannya ada. Dalam hal
ini adanya Daulah tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Bila sekarang tidak ada sistem tersebut maka
kewajiban kaum musliminlah untuk mengadakan
sistem tersebut sehingga segala hukum-hukum
Islam dapat diterapkan dengan sempurna. Sebab
bagi orang yang beriman, Allah SWT telah
memerintahkan untuk masuk ke dalam Islam

secara
keseluruhan
dan
tidak
melaksanakannya
sebagian-sebagian.
berfirman:

boleh
Allah

Hai orang-orang yang beriman masuklah


kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah)
. (QS Al Baqarah: 208 )
Adanya dakwaan Islam bukan ideologi dan
pandangan hidup yang berkembang dalam
masyarakat adalah karena akibat pemahaman
umat yang keliru akan Islam. Atau juga akibat
kebodohan umat Islam, sehingga mereka kurang
bisa melihat realitas sejarah. Mereka akhirnya
memandang Islam sama dengan agama-agama
lain di dunia. Padahal agama-agama tersebut
tidak memiliki konsep politik yang mengatur
masalah kehidupan. Maka tatkala umat keliru
dalam memahami Islam tersebut maka umat pun
akan keliru dalam menerapkan Islam dalam
masyarakat. Demikian juga ketika ada masalah
yang muncul dalam masyarakat dan karena tidak
ada yang sanggup berijtihad sehingga masalah
tersebut tidak bisa dipecahkan, maka umat pun
memandang Islam tidak lengkap. Akhirnya
mereka beralih kepada ideologi selain Islam untuk
pemecahan masalah tersebut. Mereka pun
akhirnya mencampur adukkan Islam dengan
ideologi lain seperti demokrasi Islam dan
sosialisme Islam.
Aqidah
Islam
sesungguhnya
telah
memerintahkan
setiap
individu
untuk
menyembah hanya kepada Allah semata (QS Adz
Dzariyat: 56). Penyembahan
tersebut harus
dilakukan secara keseluruhan dan dilaksanakan
sebagaimana yang telah diperintahkan dan
dicontohkan Rasulullah SAW. Penyembahan itu

pula tidak hanya ditunjukkan pada satu bentuk


saja semisal akhlak (tingkah laku), namun juga
ditujukan pada semua aspek kehidupan, semua
urusan masyarakat dan pemerintahan.
Secara
umum
sistem
Islam
mengatur
setidaknya tiga hal. Pertama, hukum-hukum yang
berkenaan dengan individu dan Al Khaliq, yakni
Allah SWT (hablum minallah) seperti ibadah yang
meliputi shalat, puasa, zakat, haji dan jihad.
Kedua, mengatur hubungan satu individu dengan
dirinya sendiri (hablum minannafsi) seperti
hukum berpakaian, makan, minum, dan termasuk
diantaranya akhlak. Ketiga, mengatur hubungan
individu dengan individu yang lainnya dalam
masyarakat (hablum minannasi) seperti urusan
niaga, pendidikan, sosial, pemerintahan , politik
dan hukum-hukum yang lainnya.
Bila semua hubungan itu diatur merujuk pada
sistem Islam, artinya orang Islam telah
melaksanakan kehidupan berdasarkan aqidah
Islam yang benar (ideologi Islam). Selain itu akan
nampaklah bahwa memang Islam lebih unggul
dibanding agama atau ideologi yang lainnya.
Realitas sejarah telah menunjukkan bagaimana
tingginya peradaban Islam dibanding peradaban
yang lainnya saat itu. Umat Islam kala itu pun
pantas disebut umat terbaik sebagaimana
tercantum dalam Al Quran surat Ali Imran ayat
110.
Secara umum kita mengenal tiga ideologi
besar dunia. Mereka adalah Kapitalis/Liberalisme,
Sosialisme dan Islam. Kapitalisme dan Sosialisme
sampai saat ini masih diemban oleh beberapa
Negara dan beberapa LSM. Sedangkan untuk
Islam sampai saat ini masih diemban oleh
individu/partai dan belum diemban oleh Negara
sejak runtuhnya Daulah Khilafah Turki Utsmani

pada 3 Maret 1924. Namun demikian Insya Allah


Daulah Khilafah Islamiyah yang akan kembali
melanjutkan Islam akan segera berdiri.
Sejak kelahirannya, setiap ideologi mempunyai
kekhasannya masing-masing, baik dari ide
ataupun dari metode operasionalnya. Tentang
perbandingan ketiga ideologi ini secara garis
besar bisa dilihat pada tabel-tabel dibawah ini.

Fikrah/I
de
Aqida Aqliya
h
h

Ideologi/Mab
da ISLA
M

Penyelesamasal hidu
ian
ah
p

Ima
Ruku Ima
n
n
n huku
Idetenta huku
m
ibada
-mas,
ng, sos
, m
ekono
, y
h
pemerinta
,
mi
pengadil
pendidik
, pengadil
han
akhla an
da
an akhla an
n q
q

Thariqah/me
Thariqah/me
tode
tode
MetodpenerapIdeolo
e
an
gi
Metodmenja Ideolo
e
ga
gi
MetodpenyebarluaIdeolo
e
san
gi

Skema Mabda Islam

KhilafaIslamiy
h
ah
Huku -huku Isla
m
m
m
Dakwa&
h
Jihad

Perbandingan Ketiga Mabda Dunia


No

Perihal

Islam

Kapitalisme

Sumber

Wahyu
Allah SWT
kepada
Rasululla
h SAW

Dasar
qiyadah
fikriyah

La ilaha
illallah;
menyatuk
an antara
hukum
Allah SWT
dengan
kehidupan

Kesesuaia
n dengan
fitrah
(dalam hal
ini adanya
manusia
yang
lemah dan
perlu
pencipta
yang
Maha
Mengatur)

Sesuai.
Islam
menetapk
an
manusia
itu lemah.
Oleh
sebab itu,
segala
aturan
apa pun
harus
berasal
dari Allah
SWT lewat
wahyuNya.

Pembuat
Hukum
dan

Allah SWT
lewat
wahyu-

Buatan
akal
manusia
yang
memang
terbatas
Sekularis
me;
memisahk
an agama
dari
kehidupan
masyarak
at dan
negara
Tidak
sesuai.
Sebab,
disatu sisi
mengakui
keberadaa
n Tuhan
namun
pada saat
yang sama
manusiala
h yang
dianggap
layak dan
tidak
punya
kekuranga
n untuk
menetapk
an aturan.
Manusia

Sosialisme
Komunism
e
Buatan
akal
manusia
yang
memang
terbatas
Materiali
sme dan
evolusi,
menolak
keberada
an agama

Tidak
sesuai.
Sebab
tidak
percaya
adanya
Pencipta.
Manusia
dianggap
pusat
segalany
a.

Manusia

Aturan

Fokus

Ikatan
perbuatan

Nya. Akal
manusia
berfungsi
menggali
fakta dan
mamaham
i hukum
dari
wahyu.
Individu
merupaka
n salah
satu
anggota
masyakat.
Individu
diperhatik
an demi
kebaikan
masyarak
at, dan
masyarak
at
diperhatik
an untuk
kebaikan
individu

Seluruh
perbuatan
terikan
dengan
hukum
syara.
Perbuatan
baru
bebas
dilakukan
bila sesuai
dengan
hukum

Individu
di atas
segalanya.
Masyarak
at adalah
kumpulan
individu
individu
saja.

Serba
bebas
(liberalis
me) dalam
masalah
aqidah,
pendapat,
pemilikan
dan
kebebasan
pribadi

Negara
di atas
segalany
a.
Individu
merupak
an salah
satu gigi
roda
dalam
roda
masyarak
at yang
berupa
sumber
daya
alam,
manusia,
barang
produksi
dan lainlain.
Tidak
ada
kebebasa
n dalam
aqidah
dan
pemilika
n. Dalam
perbuata
n bebas

7.

Tujuan
tertinggi
yang
hendak
dicapai

8.

Tolok
ukur
kebahagia
an

9.

Kebebasa
n pribadi
dalam
berbuat

10
.

Pandanga
n
terhadap
masyaraka
t

syara
Ditetapka
n oleh
Allah SWT
seperti
telah
dibahas
Mencapai
ridla Allah
SWT yang
terletak
dalam
ketaatann
ya dalam
setiap
perbuatan
Distandari
sasi oleh
hukum
syara.
Bila
sesuai
bebas
dilakukan,
bila tidak
maka
tidak
boleh
dilakukan
Masyarak
at
merupaka
n
kumpulan
individu
yang
memiliiki
perasaan
dan
pemikiran
yang satu
serta
diatur

Ditetapka
n manusia
sesuai
kondisi

Ditetapk
an
manusia
sesuai
kondisi

Meraih
sebanyak
banyak
materi
(berupa
pangkat,
keduduka
n, pujian
dll.)

Meraih
sebanyak
banyak
materi
(berupa
pangkat,
keduduk
an,
pujian
dll.)
Mendewa
kan
kebebasa
n pribadi
demi
meraih
kebahagi
aan yang
mereka
definisik
an

Mendewa
kan
kebebasan
pribadi
demi
meraih
kebahagia
an yang
mereka
definisika
n
Masyarak
at
merupaka
n
kumpulan
individuindividu.

Masyarak
at
merupak
an
kumpula
n dan
kesatuan
manusia,
alam dan
interaksi
nya
dengan
alam

11
.

Dasar
Perekono
mian

12
.

Kemuncul
an sistem
aturan

oleh
hukum
yang
sama.
Setiap
orang
bebas
menjalank
an
perekono
mian
dengan
membatas
i sebab
pemilikan
dan jenis
pemilikny
a.
Sedangka
n jumlah
kekayaan
yang
boleh
dimiliki
tidak
dibatasi.
Allah
telah
menjadika
n bagi
manusia
sistem
aturan
untuk
dijalankan
dalam
kehidupan
yang
diturunka
n pada
nabi
Muhamma
d SAW .
Manusia

Ekonomi
berada di
tangan
para
pemilik
modal.
Setiap
orang
bebas
menempu
h cara apa
saja.
Tidak
dikenal
sebabsebab
pemilikan.
Jumlahnya
pun bebas
dimiliki
tanpa
batasan.
Manusia
membuat
hukum
bagi
dirinya
berdasar
fakta yang
dilihatnya

Ekonomi
di tangan
negara.
Tidak
ada
sebab
pemilika
n, semua
orang
boleh
mencari
kekayaan
dengan
cara apa
pun.
Namun
jumlah
kekayaan
yang
boleh
dimiliki
dibatasi.
Sistem
aturan
diambil
dari alatalat
produksi

13
.

Tolok
ukur

14

Penerapan
hukum

hanya
memaham
i
permasala
han, lalu
menggali
hukum
dari Al
Quran
dan As
Sunah.
Halal haram
Atas dasar
ketaqwaa
n individu,
kontrol
masyarak
at dan
penerapan
dari
masyarak
at

Manfaat
kekinian
Terserah
individu

Tolok
ukur
materi
Tangan
besi dari
negara

BAB III
Dakwah dan Perubahan
Sosial
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan
ummat (kelompok) yang mengajak kepada
kebajikan (Islam), memerintahkan kepada
yang maruf dan mencegah dari yang munkar
dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung. (QS Ali Imran: 104)

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan


hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Sehingga individu dipandang sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari masyarakat. Tidak ada
satu pun agama atau ideologi lain yang memiliki
aturan semacam itu apalagi menandinginya.
Rasulullah SAW telah menjelaskan hubungan
individu dengan masyarakat ini melalui sabdanya:
Perumpamaan orang yang menjaga dan
menerapkan batas (peraturan) Allah adalah
laksana kelompok penumpang kapal yang
mengundi tempat duduk mereka.
Sebagian
mereka mendapat tempat di bagian atas, dan
sebagian lain di bagian bawah, jika mereka
membutuhkan air, maka harus berjalan melewati
bagian atas kapal. Maka merekapun berujar,
bagaimana jika kami lobangi saja bagian bawah
kapal ini (untuk mendapatkan air), toh hal itu

tidak menyakiti orang yang berada di bagian


atas. Jika kalian biarkan mereka berbuat
menuruti keinginan mereka itu, maka binasalah
mereka, dan seluruh penumpang kapal itu. Tetapi
jika kalian cegah mereka, maka selamatlah
mereka dan seluruh penumpang yang lain. (HR
Bukhari)
Beliau
juga
menjelaskan
bagaimana
keterpaduan individu dan masyarakat, dimana
individu berbuat untuk kemaslahatan masyarakat
dan masyarakat berbuat untuk menjaga individu.
Sabda Beliau SAW:
Perumpamaan
orang-orang
muslim,
bagaimana kasih sayang dan tolong menolong
terjalin antar mereka, adalah laksana satu tubuh.
Jika satu bagian merintih merasakan sakit, maka
seluruh
bagian
tubuh
akan
bereaksi
membantunya, dengan berjaga (tidak tidur) dan
bereaksi meningkatkan panas badan (demam).
(HR Muslim)
Oleh karena itu Islam mewajibkan setiap
pemeluknya untuk bertanggung jawab terhadap
saudaranya dan segenap umat manusia pada
setiap waktu dan keadaan. Sama sekali tidak ada
tempat bagi orang yang egois atau individualis.
Rasulullah SAW bersabda:
Siapa saja yang bangun pagi hari dan ia
hanya memperhatikan masalah dunianya, maka
orang tersebut tidak berguna apa-apa disisi Allah;
dan barangsiapa yang tidak memperhatikan
urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk

golongan mereka.
Dzar Al Ghifari)

(HR

Thabrani dari Abu

Apabila secara jernih kita melihat kondisi


kaum muslimin di seluruh dunia saat ini, maka
akan kita dapati ternyata setelah Daulah Khilafah
runtuh pada tahun 1924 kaum muslimin berada
dalam
keterpurukan
di
berbagai
bidang
kehidupan. Mulai dari terpecah belahnya kaum
muslimin
oleh
sekat-sekat
nasionalisme,
terancamnya aqidah kaum muslimin oleh
serangan
misionaris
agama
kristen,
diterapkannya sistem demokrasi kufur di kancah
kehidupan, pola hidup barat yang sudah
mengakar di negeri-negeri kaum muslimin,
sehingga tidak ada satupun negeri kaum
muslimin yang menerapkan Islam sebagai sebuah
Ideologi. Semua ini berpangkal pada rendahnya
taraf berpikir kaum muslimin yang teramat parah.
Problematika Umat Islam Kekinian
Kondisi umat Islam kekinian masih diliputi
derita. Imperialisme, kemiskinan, kebodohan,
ketertinggalan dan sederet permasalahan lainnya
belum juga terselesaikan. Di negeri Indonesia ini
saja misalnya, sebagai negeri yang berpenduduk
muslim terbesar di dunia, krisis multidimensi
yang sejak beberapa tahun ke belakang melanda
kita nampaknya masih akan terus dirasakan.
Bagaikan benang kusut, berbagai masalah itu
membelit, sehingga tidak dapat diketahui mana
ujung pangkalnya, dan mana yang lebih dahulu
harus diuraikan dan diselesaikan, karena lilitan
masalah itu terjadi hampir di semua segi

kehidupan. Begitu juga yang dirasakan oleh umat


Islam di Asia Tengah seperti Chechnya, di Eropa
seperti Albania dan Bosnia Herzegovina, Sudan
(Afrika), Iraq, Afghanistan dan Palestina (Asia
Barat), Malaysia, Pattani, dan Filipina (Asia
Tenggara), Bangladesh, Pakistan dan India (Asia
Selatan), serta negeri-negeri Islam yang lain yang
tengah mengalami kondisi yang tak jauh berbeda.
Jika kita amati, negeri-negeri Islam saat ini
tidak
memiliki
kedaulatan
penuh
untuk
menentukan
kehidupan
mereka.
Intervensi
negara-negara
adikuasa
terutama
Amerika
Serikat sangat kental dalam menentukan
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para
penguasa negeri-negeri tersebut. Imperialime
klasik berbentuk penjajahan fisik memang tidak
lagi populer, tetapi sesungguhnya umat Islam
masih menjadi obyek imperalisme gaya baru
yang
lebih
halus dan mematikan berupa
penjajahan politis dan dominasi ekonomi melalui
PBB,
IMF,
WTO
dan
berbagai
lembaga
internasional lainnya.
Secara ekonomi, kebanyakan negeri-negeri
kaum muslimin tergolong sebagai negara miskin.
Kenyataan ini sebenarnya sangat mengherankan.
Sebab negara-negara yang bergelimang dengan
kemiskinan dan penderitaan itu sebenaranya
adalah negara-negara yang sumber daya
alamnya sangat melimpah. Indonesia, misalnya,
negara
yang
sangat
terkenal
dengan
kesuburannnya, dan berbagai tambang minyak,

emas, tembaga, batu bara, dsb. yang bertebaran


di berbagai wilayahnya, justru mengemis-ngemis
kepada IMF, negara-negara donor, dan investor
asing. Itu terjadi karena di samping buruknya
pengelolaan kekayaan tersebut, meluasnya
paktek-praktek korupsi, kolusi, dan suap yang
dilakukan atau melibatkan penguasa setempat,
juga akibat dieksploitasi dan dikeruk oleh negaranegara adidaya. Tambang emas di Irian jaya,
misalnya, setiap hari diangkut ke Amerika dan
Kanada melalui Freeport. Minyak di negaranegara Teluk tandas disedot melalui politik
perdagangan yang culas dan curang.
Beberapa permasalahan tersebut hanyalah
sebagian
kecil
dari
permasalahan
yang
kesengsaraannya
langsung
dirasakan.
Pengrusakan terparah yang dilakukan musuhmusuh Islam itu kini justru berfokus pada
pengrusakan pemikiran Islam yang ada di kepala
kaum muslimin. Pemikiran Islam yang telah
membuat kaum muslimin berjaya selama
berabad-abad itu telah hilang, dirusak dan diganti
dengan
pemikiran-pemikiran
sesat
yang
dilancarkan barat yang merusak aqidah dan
akhlak kaum muslimin. Tidak lain hal itu
sebenarnya merupakan upaya musuh-musuh
Islam untuk semakin menancapkan kuku-kukunya
di tubuh kaum muslimin. Berbagai pengrusakan
itu antara lain:
(1). Sekulerisme
Sekulerisme merupakan asas dari ideologi
imperialis Kapitalisme. Inti ide ini adalah

memisahkan agama dari kehidupan sosialkemasyarakatan. Artinya, agama jangan


campur
tangan
dalam
urusan
sosial
kemasyarakatan. Politik, ekonomi, pendidikan,
budaya, hubungan luar negeri, tidak boleh
diatur oleh agama secara praktis. Kalaupun
agama mau berperan hanya secara moral
(etika) yang memang tidak punya pengaruh
berarti. Perlu kita ingat, bukan berarti agama
tidak diakui dalam sekulerisme ini, tapi agama
dimandulkan hanya urusan ritual, moral, dan
individual.
Sekulerisme juga berarti menolak aqidah
Islam dan syariah Islam mengatur masyarakat
kita.
Padahal,
kita
menyakini
dengan
keyakinan yang penuh umat Islam harus
tunduk pada seluruh aturan Allah SWT dalam
seluruh aspek kehidupannya. Dengan asas
sekulerisme ini semua yang berbau syariah
Islam akan ditolak. Tidak peduli apakah
syariah Islam akan menyelamatkan manusia
dan memberikan solusi atau tidak. Sama tidak
pedulinya,
bahwa
aturan
yang
bukan
bersumber
dari
syariah
Islam
telah
menghancurkan manusia.
Akibatnya, dunia diatur oleh Ideologi
Kapitalisme dengan asas sekulerisme ini.
Dunia diatur oleh para kapitalis yang membuat
aturan atas nama rakyat, tapi justru
menyengsarakan rakyat. Kemiskinan, konflik,
kesengsaraan, ketidak adilan, merupakan
buah dari kepemimpinan ideologi Kapitalisme
sekarang ini.
(2). Liberalisme
Liberalisme masih merupakan satu paket
dengan ideologi Kapitalisme. Liberalisme
sendiri lahir dari masyarakat sakit Eropa di

abad kegelapan. Belenggu dominasi raja yang


mengatasnamakan
Tuhan
mengancam
perkembangan sains dan teknologi. Rajapun
berkolabrasi dengan agamawan palsu untuk
menindas rakyat. Solusinya, belenggu ini
harus
dihilangkan
dengan
memberikan
manusia kebebasan.
Melihat dari latar belakangnya jelas tidak
sesuai dengan kaum muslim. Dalam Islam,
meskipun masyarakatnya terikat pada aturan
Allah, ilmu, sains, dan dan teknologi tidak
terbelenggu. Bahkan Islam mendorong negara
dan masyarakat untuk meningkatkan sains
dan teknologi. Bukan hanya itu, Islam juga
menyediakan fasilitas pendidikan gratis dan
penghargaan terhadap sains dan teknologi
yang luar biasa.
Sejarah keemasan Islam, saat diatur oleh
syariat Islam, penuh dengan ketinggian sains
dan teknologi yang sulit dibantah oleh orangorang
yang
jujur.
Dunia
pemikiran
(intelektual), meskipun didasarkan pada Islam
dan tunduk pada aturan Islam, bukan berarti
terbelenggu. Berkembangnya mazhab dan
tumbuh suburnya ijtihad merupakan bukti dari
perkembangan intelektual yang produktif ini.
Karya-karya ulama bertaburan. Perpustakaan
dunia Islam dipenuhi dengan berbagai karya
ulama yang membahas berbagai persoalan,
mulai tafsir, aqidah, fiqh, sampai sains dan
teknologi.Aturan Islam yang diterapkan negara
pun tidak menimbulkan kediktatoran, malah
memberikan
kebaikan
pada
masyarakat
dengan pemimpin yang amanah.
Liberalisme ini juga berbahaya. Atas dasar
kebebasan berpikir, mereka berpendapat
sebebas-bebasnya tanpa terikat pada Islam.

Termasuk mempersoalkan yang jelas-jelas


perkara yang qoth'i yang seharusnya tidak
bisa diganggu gugat lagi . Al-Qur'an pun
diragukan
keabsahannya.
Atas
nama
kebebasan berpendapat pemikiran seseorang
tidak boleh dilarang, meskipun pemikiran itu
bertentangan dengan aqidah dan syariah
Islam. Kebebasanpun merambah kepada
tingkah laku. Homoseksual dan lesbianisme
menjadi kenyataan yang harus diterima atas
nama kebebasan. Termasuk pernikahan antar
homo
atau
lesbi
bisa
menjadi
legal.
Pelacuranpun dibela dan dianggap profesi
yang harus dilindungi. Liberalisme yang
mengusung kebebasan ini justru akan
membawa manusia ke jurang kehinaan.
(3). Pluralisme
Sebagaimana dua pemikiran sebelumnya,
pluralisme merupakan pemikiran yang berasal
dari ideologi kapitalisme. Pemikiran ini
memandang bahwa masyarakat itu tersusun
atas individu-individu, dan masing-masing
individu memiliki berbagai macam akidah,
kemaslahatan (kepentingan), keturunan dan
kebutuhan yang berbeda-beda. Karena itu
sudah semestinya bahwa masyarakat itu
majemuk (berbeda-beda), karena masingmasing kelompok memiliki tujuan khusus.
Masing-masing kelompok itu memiliki ciri
khas yang tidak sama satu dengan yang lain,
baik dari sisi kebutuhannya, tujuannya, nilainilai yang dimilikinya, bahkan akidah atau ide
yang
dianutnya.
Perbedaan-perbedaan

tersebut harus dijaga, karena tidak mungkin


dipersatukan. Pandangan ini terkait dengan
ide kebebasan individu dalam pemikiran
kapitalisme.
Pluralisme
membolehkan
munculnya
berbagai
partai,
gerakan,
kelompok, organisasi, bahkan jamaah apapun
yang berlandaskan kepada akidah yang kufur,
atau
berasaskan
pada
sesuatu
yang
bertentangan dengan Islam, seperti partaipartai
yang
berasaskan
nasionalisme,
kesukuan dan primordialisme. Masyarakat
yang pluralis adalah masyarakat yang
membolehkan munculnya kelompok-kelompok
yang berasaskan pada sesuatu yang haram.
Misalnya,
dibolehkannya
perkumpulan
(komunitas) orang-orang homo, lesbian, sex
bebas, perkumpulan para pemabuk atau
penjudi.
Dalam hal agama, pluralisme diekspresikan
dalam bentuk dialog antar agama, toleransi
umat beragama (seperti yang dipahami Barat
dan kalangan orientalis). Lebih berbahaya lagi,
pluralisme menafikkan kebenaran yang
absolut. Kebenaran menjadi relatif.
Implikasinya, tidak satu agamapun yang
berhak mengklaim dirinya paling benar.
Dengan demikian tidak ada lagi yang
membedakan agama yang satu dengan agama
yang lain. Muncullah anggapan agama itu
pada dasarnya sama. Di bidang politik juga
tampak dalam bentuk aliansi (atau koalisi)

berbagai kelompok/partai yang berbeda-beda


asasnya tetapi sama dalam kepentingan yang
bersifat temporer. Itu gambaran tentang
pluralisme di dalam masyarakat kapitalis
sekular.

(4). Terorisme
Terorisme menjadi topik paling hangat
dibahas media massa di seluruh dunia. Pasca
peledakan gedung WTC 11 September 2001,
isu terorisme memang telah menjadi isu
global. Media massa Barat - yang kemudian
diikuti oleh media massa lainnya - mempunyai
andil dalam membangun opini bahwa aktivitas
terorisme berkaitan dengan perjuangan Islam,
yaitu melawan penjajahan AS dan sekutunya
di negeri-negeri Muslim, khususnya di Irak dan
Afganistan. Aksi terorisme yang sangat kejam
itu diopinikan sebagai aktivitas kelompok Islam
atau bahkan aktivitas kaum Muslim secara
umum dalam merespon penjajahan AS
tersebut.
Dalam tataran global, aksi terorisme dapat
menjadi senjata ampuh Barat pimpinan AS
untuk memojokkan Islam. Pasca keruntuhan
Komunisme, Islam menjadi ancaman serius
bagi Barat. Sebab, faktanya hanya Islamlah
saat ini yang memiliki daya tolak yang
memadai terhadap sistem Kapitalisme yang
diperjuangkan Barat. Sistem ini tidak akan
berdaya di hadapan kesempurnaan sistem
Islam yang berasal dari Zat Yang Mahaagung.

Karena itu, Barat berkepentingan untuk


melakukan pencitraan buruk terhadap Islam.
Kasus-kasus terorisme semakin mendekatkan
hubungan negara-negara di dunia dengan AS
dalam agenda bersama memerangi terorisme.
Artinya, semakin banyak aksi terorisme maka
semakin besar pula peluang AS untuk
mendapat kewenangan menjadi pimpinan
utama
dunia
dalam
perang
melawan
terorisme. Target utamanya adalah kaum
Muslim yang tidak sejalan dengan agenda
global
Kapitalisme-sekular.
Ada
proses
sistematis yang berupaya menjelmakan Islam
menjadi musuh bersama (common enemy)
dunia.
Realitanya, isu perang melawan terorisme
telah menjadi senjata pamungkas bagi Barat
pimpinan AS untuk melumpuhkan kebangkitan
Islam. Secara lebih spesifik, isu itu digunakan
untuk menggiring publik dunia pada suatu
perang global terhadap kaum Muslim yang
memperjuangkan
tegaknya
syariah
dan
Khilafah.
Mereka
memahami
bahwa
perjuangan penegakan syariah tersebut secara
nyata telah mengancam hegemoni sistem
Kapitalisme yang mencengkeram dunia saat
ini.
(5). Nasionalisme
Pasca
keruntuhan
kekhilafahan
Islam
terakhir yang berpusat di Istambul Turki 1924,
dunia Islam memang tidak lagi menjadi
kekuatan politik yang disegani. Wilayahnya
yang luas telah terkotak-kotak menjadi lebih
dari lima puluh negara dan terkerat-kerat oleh
ikatan nasionalisme. Ikatan nasionalisme inilah
yang menggantikan ikatan kukuh yang berupa
aqidah dan persaudaraan Islam yang selama

ini mereka miliki. Dengan ikatan rapuh berupa


hubungan ketetanggaan, persahabatan dan
kepentingan bersama itu mereka bekerjasama.
Ikatan ini pula yang menjadikan mereka
bersikap individualistik ketika negeri muslim
lain mendapat persoalan dan membutuhkan
bantuan dengan alasan masalah dalam negeri
negara lain. Sangat jelas fakta dalam benak
kita bagaimana Palestina yang merupakan
jantung umat Islam hingga saat ini masih
dikuasai Yahudi, sedangkan 1,2 milyar kaum
muslimin tidak mampu melakukan tindakan
yang berarti.
Jangankan untuk menentang nasionalisme,
banyak orang Islam sendiri yang justru
melanggengkan
nasionalisme
dengan
melandaskannya pada: Cinta tanah air
sebagian dari iman. Padahal kalimat yang
dianggap sebagai hadits tersebut hanyalah
sebuah propaganda untuk memecah belah
kaum muslimin. Selain itu kalimat tersebut
bertentangan dengan sabda Rasulullah, yaitu :
Bukanlah golonganku orang yang menyeru
kepada ashobiyah, bukanlah golonganku
orang yang berjuang untuk ashobiyah dan
bukan golonganku orang yang mati dalam
memperjuangkan ashobiyah. (HR Muslim)
Ashobiyah yang dimaksud adalah perasaan
fanatisme golongan termasuk ke dalamnya
kesukuan dan nasionalisme. Ashobiyah inilah
yang telah memecah belah kaum muslimin.
(6). HAM dan Demokrasi
Di sisi aqidah, kaum muslimin juga banyak
terpesona oleh ide-ide yang bertentangan
dengan Islam. Tanpa ragu ide-ide demokrasi
dan HAM dianut dan diperjuangkan sebagai
pemecah
berbagai
problematika
hidup.

Padahal ide-ide tersebut justru menjadi


sumber masalah di negeri-negeri mereka.
Dengan alasan demokrasi dan HAM, kaum
muslimin
ikut-ikutan
memperjuangkan
kebebasan
bertingkah
laku,
kebebasan
beragama dan kebebasan berpendapat. Dari
ide-ide ini munculah derivatnya berupa ide
permisivisme (keserbabolehan),. termasuk
memperbolehkan bertingkah laku apa saja
asalkan tidak mengganggu orang lain.
Akhirnya judi, minuman keras, pergaulan
bebas dan freesex muncul di mana-mana
dengan alasan hal itu tidak mengganggu
orang lain. Akhirnya muncu bencana baru
berupa AIDS yang hingga saat ini belum
ditemukan obatnya.
(7). Pengrusakan Martabat Wanita
Di barat, wanita bukanlah seorang sosok
yang berperan sangat mulia untuk mendidik
generasi mendatang yang berkualitas. Mereka
mengganggap wanita sebagai sebuah barang
dan bisa jadi sebuah komoditi yang bisa
dirasakan oleh siapa saja. Aurat wanita
diumbar di mana-mana. Media massa tidak
henti-hentinya menayangkan gambar wanita
telanjang maupun sedikit tidak telanjang
untuk melariskan dagangan. Model wanita
karier berkembang dimana-mana. Kuno dan
haram sepertinya ketika harus memakan gaji
suami. Sehingga akhirnya tugasnya yang mulia
sebagai pendidik generasi masa depan yang
berkualitas ditinggalkan.
Al Qadliyyah al Mashiriyyah
Melihat begitu banyaknya permasalahan
yang terjadi hampir pada semua aspek

kehidupan, umat Islam harus mengetahui dan


membatasi masalah utamanya. Masalah utama
(al qadliyyah al mashiriyyah) ini adalah
masalah yang sangat mendesak dan harus
didahulukan penyelesaiannya sebelum masalah
lainnya. Dengan mengetahui dan membatasi
masalah utama tersebut, akan memudahkan
umat
Islam
dalam
menentukan
arah
perjuangannya. Seluruh potensi dan kekuatan
umat pun harus dikerahkan menyelesaikan
masalah utama tersebut. Tanpa memahami dan
membatasi masalah tersebut, maka arah
perjuangan umat pasti tidak akan terarah dan
berakhir dengan kesia-siaan.
Dengan membatasi masalah utama umat
Islam ini pula, maka menjadi jelaslah tujuan yang
diupayakan oleh seluruh pengemban dakwah
Islam, baik dalam bentuk kutlah-kutlah (kelompok
dakwah), jamaah-jamaah, atau pun partai-partai
politik (al hizbu as siyaasi).
Setelah melakukan pengkajian secara
mendalam terhadap Islam dan kondisi umat Islam
saat ini, maka dapat disimpulkan bahwa
sesungguhnya al qadliyyah al mashiriyyah
umat
Islam
saat
ini
adalah
bagaimana
memberlakukan kembali hukum yang diturunkan
Allah SWT secara totalitas. Caranya, dengan
menegakkan kembali sistem Khilafah Islamiyyah
dan mengangkat seorang khalifah yang dibaiat
atas dasar Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.
Dialah yang akan mengusir negara kafir
imperialis dari negeri-negeri muslim, menggusur
perundang-undangan kufur untuk kemudian
menggantinya dan merealisasikan hukum-hukum
Islam, menyatukan negeri-negeri Islam di dalam
naungan khilafah, serta mengemban risalah Islam
ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad.

Minimal
ada
dua
alasan
mengapa
berlakunya hukum-hukum Islam dalam kehidupan
individu, masyarakat, dan negara ini dapat
dikategorikan
sebagai
al
qadliyyah
al
mashiriyyah bagi umat Islam.
Pertama, Allah SWT telah mewajibkan
umat Islam untuk menerapkan Islam secara
totalitas. Dan hal itu hanya bisa dilakukan dengan
tegaknya Daulah Khilafah Islamiyyah. Ada pun
dasar
pemikiran
tentang
wajibnya
memberlakukan
hukum-hukum
Islam
dan
menegakkan daulah adalah sebagai berikut:
Beriman terhadap keberadaan Allah SWT,
tidak cukup hanya mengimani-Nya sebagai satusatunya Dzat yang menciptakan alam semesta
dan isinya, tetapi juga mengimaninya sebagai
Rabb dan Ilaah yang wajib ditaati semua perintah
dan larangan-Nya. Allah SWT telah menciptakan
manusia semata-mata untuk beribadah kepadaNya (Ad Dzariyaat: 56). Dan untuk itu, Allah SWT
menurunkan dien yang mewajibkan seluruh
manusia untuk menjalankannya. Terakhir, Allah
menurunkan Islam sebagai risalah penutup
semua risalah yang dibawa oleh para nabi
sebelumnya. Keberadaan risalah yang dibawa
Rasulullah SAW tersebut menghapus berlakunya
risalah
sebelumnya.
Risalah
Islam
ini
diperuntukkan kepada seluruh manusia tanpa
terkecuali (QS. Saba :28). Sehingga, sejak
diturunkannya Islam ke dunia, seluruh manusia
wajib mengikatkan dirinya dengan syariat Islam,
menerapkan,
dan
memberlakukan
hukumhukumnya. Kewajiban ini tercantum dalam nashnash syara, baik dalam Al Quran maupun
Sunnah Rasulullah SAW. Di antaranya adalah
firman Allah SWT ;

Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu


maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah" (QS. AL Hasyr: 7)
Dalalah (penunjukan) ayat ini bersifat
qathiy dalalah (pasti penunjukkannya), yakni
menunjukkan kewajiban terikat dengan hukumhukum syara. Allah memerintahkan kaum
muslimin agar melaksanakan apa-apa yang
dibawa atau diperintahkan Rasulullah, baik yang
berupa perintah wajib, sunnah, maupun mubah,
serta mengharuskan mereka meninggalkan
segala yang dilarang, baik yang haram maupun
yang makruh. Dan Allah juga memerintahkan
untuk mencegah apa yang dilarang bagi mereka.
Maka seluruh manusia wajib terikat dengan setiap
seruan yang dibawa Rasulullah. Sedangkan
perintah dalam ayat tersebut menunjukkan wajib
apabila dikaitkan dengan qarinah (indikasi) ayat
lainnya. Seperti, firman Allah SWT:
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah
atau ditimpa azab yang pedih" (An Nur: 63).
Pada ayat ini, Allah SWT memberikan
ancaman kepada siapa saja yang menyimpang
dari perintah Rasulullah akan diberikan iqaab
(sanksi) berupa ditimpakannya fitnah atau adzab
yang pedih di akhirat. Ini menunjukkan bahwa
mentaati syariat yang dibawa Rasulullah (Islam)
itu bersifat jazim (tegas/pasti), yakni memberikan
implikasi hukum wajib. Dengan demikian lafadz
dan pada QS Al Hasyr : 7 itu bersifat wajib.
Indikasi lain yang menunjukkan bahwa
wajib bagi setiap muslim untuk mengambil
hukum syara dan terikat dengannya adalah
firman Allah SWT:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu

sebagai hakim terhadap perkara yang mereka


perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya" ( An Nisa 65)
Ayat ini menafikan (meniadakan) iman
seseorang yang tidak merujuk kepada Rasulullah
SAW atau hukum syara. Sebab bertahkim kepada
Rasulullah berarti juga bertahkim kepada hukum
syara. Pengertian tersebut bisa disimpulkan
demikian
karena
Rasulullah
SAW
tidak
memutuskan
hukum
apapun
berdasarkan
undang-undang yang berlaku menurut adat dan
kebiasaan masyarakat, ataupun mitos nenek
moyang mereka. Akan tetapi Rasulullah SAW
diperintahkan untuk mengadili dan memutuskan
mereka dengan hukum syara semata yang
berasal dari Allah SWT, seperti yang ditegaskan
dalam firman-Nya:
"Dan handaklah kamu memutuskan hukum di
antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan berhati-hatilah dengan tipu daya
mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah
SWT kepadamu" (QS Al Maidah: 49).
Disamping
itu,
Allah
SWT
telah
mengkaitkan perintah-Nya untuk menjadikan
Rasulullah SAW sebagai hakim dengan ada atau
tidaknya iman. Juga, diwajibkan atas mereka
untuk menerima keputusan Rasulullah SAW
tersebut dengan rela dan tunduk, serta tidak
boleh ada sedikit pun ada keberatan dalam
dirinya.
Allah SWT mengancam bagi orang-orang
yang mengambil hukum selain hukum syara
sebagaimana firman-Nya:

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang


yang mengaku dirinya beriman kepada apa yang
telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak
berhakim kepada thaghut padahal mereka telah
diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan
syaithan
bermaksud
menyesatkan
mereka
dengan penyesatan sejauh-jauhnya" (An Nisa:
60).
Pengakuan bahwa mereka telah beriman
kepada Al Quran, mengharuskan mereka untuk
bertahkim kepada hukum Al Quran itu. Apabila ia
justru menginginkan untuk bertahkim kepada
hukum yang tidak bersumber dari Al Quran
(hukum thaghut), padahal ia diperintahkan untuk
mengkufurinya, maka jelas itu bertentangan
dengan pengakuan orang tersebut bahwa ia telah
beriman. Oleh karena itu, iman seseorang kepada
Islam mewajibkan ia bertahkim kepadanya.
Dengan demikian, seorang muslim harus terikat
dengan hukum-hukum Islam. Apabila ia tidak
terikat, berarti ia telah menempuh jalan
kekufuran. Bahkan pada hakikatnya ia tidak
beriman kepada ajaran Islam.
Syara juga telah menegaskan hal ini secara
jelas
dan
terang-terangan
terhadap
para
penguasa dan qadli/hakim. Merekalah pihak yang
termasuk ke dalam jajaran para pelaksana hukum
syara. Mereka dilarang menjalankan hukum
thaghut (selain hukum Allah SWT). Jika mereka
tetap menjalankan hukum thaghut, maka mereka
termasuk orang-orang kafir, dzalim, dan fasik.
Mereka dianggap kafir secara pasti apabila
meyakini bahwa hukum Islam tidak relevan lagi
untuk memecahkan problematika manusia di
abad sekarang, justru meyakini bahwa selain
Islam, semisal sosialisme atau kapitalisme, lebih

handal dan mampu memecahkan problematika


hidup. Allah SWT berfirman:
"Barang siapa yang tidak memutuskan hukum
menurut apa yang diturnkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang kafir" (Al Maidah: 44).
Tetapi jika mereka masih meyakini bahwa
hukum Islam itu mampu memecahkan segala
problema kehidupan, tetapi ia taat pada hukumhukum selain Islam karena alasan takut terhadap
penguasa atau tekanan negara-negara besar atau
ada keyakinan bahwa mereka tidak mampu
menerapkan
hukum
Islam,
maka
mereka
termasuk orang-orang yang dzalim dan fasik,
sebagaimana yang disebutkan dalam Al Quran
surat Al Maidah 45 dan 47. Sebab, ia telah
mengerjakan sesuatu yang diharamkan.
"Barang siapa yang tidak memutuskan hukum
menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang dzalim (Al
Maidah 45).
"Barang siapa yang tidak memutuskan hukum
menurut apa yang diturnkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang fasik " (Al Maidah: 47).
Ada pun negeri-negeri Islam --sebuah
kondisi yang amat disayangkan--semuanya
memberlakukan perundang-undangan dan hukum
kufur, kecuali hanya sebagian saja hukum-hukum
Islam, seperti hukum nikah, talak, rujuk, cara
memberi nafkah, waris, perwalian, atau pun
sengketa tentang anak. Hanya hukum-hukum
semacam
inilah
yang
mereka
serahkan
pelaksanaannya kepada pengadilan khusus, yang
diberi istilah sebagai pengadilan agama.
Jika ini yang terjadi, maka jelaslah masalah
utama (al qadliyyah al mashiriyyah) umat
Islam sejak runtuhnya daulah khilafah Islamiyyah
di Turki adalah kembali diterapkannya Islam

dalam bernegara dan bermasyarakat, yaitu


dengan jalan menegakkan kembali sistem
khilafah dan membaiat seorang khalifah yang
akan memberlakukan kitabullah dan sunnah
Rasul-Nya, menyatukan negeri-negeri Islam
menjadi satu negara, dan mengemban risalah
Islam keseluruh dunia.
Mengapa
masalah
tersebut
dianggap
sebagai masalah utama? Karena syara telah
mewajibkan seluruh kaum muslimin untuk
mengamalkan
hukum-hukum
Islam
secara
totalitas dan direalisasikan secara nyata dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahkan
Islam telah menjadikan ketentuan sikap terhadap
masalah utama ini sebagai masalah antara hidup
dan mati. Hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah
bin Shamit ra dan hadits Auf bin Malik di atas
menunjukkan bahwa kaum muslimin harus
menggusur bahkan memerangi para penguasa
dalam daulah Islamiyyah yang menghentikan
penerapan
hukum
Islam,
dan
justru
memberlakukan hukum-hukum kufur.
Rasulullah SAW juga menegaskan betapa
pentingnya keberadaan khilafah bagi kaum
muslimin. Siapa saja di antara mereka yang mati
sedangkan khilafah tidak tegak, mereka diancam
dengan ancaman yang sangat menakutkan, yakni
mati jahiliyyah. Rasulullah SAW bersabda:
Barang siapa yang melepaskan tangannya
dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan
menemui Allah di hari Kiamat dengan tanpa
alasan. Dan barang siapa yang mati sementara di
lehernya tidak ada baiat (kepada khalifah) maka
dia mati dalam keadaan mati jahiliyyah (HR
Muslim).
Kewajiban
mendirikan
khilafah
tidak
sebagaimana
kewajiban-kewajiban
lainnya.

Sebab, lenyapnya daulah Islamiyyah berarti


terlantarnya lebih dari tiga per empat syariat
Islam. Hukum-hukum Islam yang mengatur
persoalan
pemerintahan,
ekonomi,
sosial,
pendidikan, hubungan luar negeri, jihad, hudud,
jinayat, tazir, mukholafat, dan sebagainya tidak
bisa diterapkan.
Alasan
kedua
mengapa
mendirikan
khilafah Islamiyyah yang menerapkan hukumhukum Islam itu menjadi masalah utama
--disamping kewajiban tegaknya khilafah yang
harus
segera
didirikan-adalah
karena
sebenarnya berbagai problematika lainnya yang
sekarang menghimpit kaum muslimin adalah
akibat lenyapnya Daulah Khilafah Islamiyyah.
Tiadanya Daulah Khilafah Islamiyyah telah
mengakibatkan
bercokolnya
pemikiran
dan
hadlarah (peradaban), akhlak, dan gaya hidup
Barat di benak putra-putri kaum muslimin. Aqidah
Islam yang merupakan satu-satunya aqidah yang
shahih justru ditanggalkan oleh sebagian besar
putra-putri kaum muslimin, dan diganti dengan
aqidah sekularisme yang memisahkan agama dari
kehidupan
dan
ide-ide
turunannya
yang
mendatang malapetaka bagi manusia.
Tiadanya khilafah yang memimpin kaum
muslimin
secara
keseluruhan
telah
mengakibatkan
terpecah
belahnya
kaum
muslimin menjadi lebih dari 50 negara dan
terbukti telah menimbulkan banyak persoalan.
Lebarnya jurang kemiskinan dan kekayaan
yang terjadi di dunia Islam adalah akibat
diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme,
Demikian pula kemiskinan yang di alami kaum
muslimin karena mereka dipimpin oleh para
pemimpin yang sangat korup, dan membiarkan
kekayaan begerinya dijarah dan dikuras oleh para

penjajah kafir. Ini juga tidak akan terjadi jika


sistem khilafah ada di tengah-tengah umat.
Merosotnya moralitas, tingginya angka
kriminalitas,
dan
merebaknya
berbagai
kemungkaran dan kemaksiatan adalah produk
sistem kufur yang melingkupi mereka. Jika ada
Daulah Khilafah Islamiyyah maka semua itu akan
dicegahnya.
Khilafah
Islamiyyah
akan
menghentikannya, membasmi kerusakan yang
nampak
di
tengah-tengah
masyarakat,
memelihara aqidah, serta yang akan mencegah
seluruh penyimpangan aqidah, perusakan aqidah
atau menyalahi aqidah.
Khilafah juga menghantarkan terciptanya
suasana penuh keimanan, akhlak yang mulia di
seluruh lapisan masyarakat, melalui media
penerangan, pendidikan, serta berbagai lembaga
lainnya. Penanganan dan pengaturan Daulah
Islamiyah ini tidak akan mengkhawatirkan
hanyutnya para pemuda dan pemudi dari
propaganda
kemungkaran,
kerusakan,
demoralisasi.
Tiadanya khilafah Islamiyyah memberikan
kemudahan bagi negara-negara Barat yang kafir
untuk mencengkeramkan dominasi mereka
terhadap kaum muslimin, merampok kekayaan
alamnya,
menginjak-injak
kehormatannya,
bahkan mengusir dan membantai penghuninya.
Raulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya seorang imam (khalifah) adalah
perisai. Diperangi orang yang ada di baliknya dan
dijadikan pelindung" (HR Muslim).
Berbagai problematika yang yang sekarang
melilit kaum muslimin Itu tidak akan terjadi jika
sistem khilafah masih tegak. Karena Daulah
Khilafah Islamiyyah bukan sekadar sistem
pemerintahan, tetapi juga berfungsi sebagai al

haaris (penjaga) aqidah, al munaffidz (pelaksana)


syariah, al muqiim (penegak) agama, al
muwahhid (penyatu) barisan kaum muslimin, al
haamiy (penjaga) negeri-negeri kaum muslimin,
darah, harta, dan cita-cita mereka, serta yang
yang akan mengemban risalah Islam ke seluruh
dunia dan memimpin umat dalam berjihad
fisabilillah.
Wujud Kepedulian dan Tanggungjawab
Sungguh tidak cukup hanya dengan mengelus
dada atau mengeluarkan air mata, menyaksikan
realitas buruk di depan mata. Karena bagaimana
mungkin seseorang dapat tegak berdiri di
hadapan Allah SWT apabila ditanya tentang
keterdiamannya ketika hukum-hukum Allah
dicampakkan, ketika Islam tidak dijadikan sebagai
pemutus perkara di tengah-tengah kehidupan,
ketika Islam terasing di pojok-pojok sempit
kehidupan sebatas etika, moral dan spiritual,
yang bermuara pada tidak adanya kehidupan
yang Islami.
Umat membutuhkan orang-orang yang mau
dan mampu membawa umat kembali menuju
kemuliaan dan ketinggiannya dengan jalan
meningkatkan taraf berpikir umat dengan
pemikiran Islami. Sehingga bukan mustahil masa
kejayaan Islam seperti pada masa Rasulullah
SAW, para shahabat, Khulafaur Rasyidin dan para
kekhalifahan sesudahnya akan terulang kembali.
Sebagaimana firman Allah SWT:

Dan Allah SWT telah berjanji kepada orangorang yang beriman diantara kamu dan
mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia
sungguh pasti menjadikan mereka berkuasa di
muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa (QS
An Nur: 55)
Juga para sahabat pernah bertanya kepada
Rasulullah SAW:Ya Rasulullah, kota manakah
yang akan lebih dahulu ditundukkan, kota
Konstantinopel ataukah kota Roma? Rasulullah
SAW menjawab:Kota Heraklius (Konstantinopel)
yang akan ditundukkan terlebih dahulu. (HR
Ahmad dan Ad Darmi)
Sejarah mencatat bahwa kota Konstantinopel
--sekarang Istambul, Turki -- sudah pernah
ditundukkan oleh pasukan kaum muslimin.
Sementara,
kota
Roma
belum
pernah
ditundukkan. Insya Allah, suatu saat terjadi dan
kejayaan Islam tinggal menunggu waktunya saja.
Oleh sebab itu, orang yang memiliki rasa
tanggung jawab dan peduli terhadap diri,
keluarga, dan umatnya serta mengharapkan
keridhaan Rabbnya, akan berusaha sekuat tenaga
melakukan perubahan ke arah Islam. Berkaitan
dengan ini Allah SWT mensyariatkan aktivitas
--yang dikenal dengan istilah dakwah-- yang
merupakan salah satu bagian syariat Islam.
Dengan dakwah, Islam bisa kembali tersebar ke
seluruh penjuru dunia, dipeluk, dipahami dan
diamalkan oleh manusia dari berbagai suku dan
bangsa.

Dakwah, suatu Kewajiban


Dakwah menurut makna bahasa adalah seruan.
Sedangkan menurut makna syara, dakwah
adalah seruan kepada orang lain agar mengambil
yang khoir (Islam), melakukan kemarufan dan
mencegah
kemunkaran.
Atau
juga
dapat
didefinisikan dengan upaya untuk merubah
manusia baik perasaan, pemikiran, maupun
tingkah lakunya-- dari jahiliyah ke Islam, atau dari
yang sudah Islam menjadi lebih kuat lagi
Islamnya. Terhadap masalah dakwah ini Allah
SWT berfirman:

Serulah manusia ke jalan Rabbmu (Allah)


dengan jalan hikmah (hujjah) dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
lebih baik (QS An Nahl: 125)

Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan


perempuan, sebagian mereka menjadi penolong
bagi sebagian yang lainnya. Mereka menyuruh
kepada yang maruf dan mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat
dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka akan diberi rahmat oleh Allah dan

sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha


Bijaksana. (QS At Taubah: 71)
Dari ayat-ayat itu, jelas bahwa dakwah
hukumnya wajib karena Allah berjanji akan
memberi rahmat kepada orang yang berdakwah.
Hal ini merupakan indikasi (qarinah) yang
menunjukkan
ketegasan
perintah
tersebut.
Demikian pula qarinah yang tegas itu terlihat
pada sabda Rasulullah SAW:
Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya,
sungguh kalian (memiliki dua pilihan, yaitu)
benar-benar memerintah berbuat maruf dan
melarang berbuat munkar, ataukah Allah akan
mendatangkan siksa dari sisi-Nya yang akan
menimpa kalian. Kemudian setelah itu kalian
berdoa, maka doa itu tidak akan dikabulkan.
(HR Tirmidzi)

Barangsiapa diantara kalian yang melihat


kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya
dengan tangannya, dan apabila ia tidak mampu,
maka hendaklah ia merubahnya dengan lisannya,
dan apabila ia tidak mampu, maka hendaklah
merubahnya dengan hatinya. Dan sesungguhnya
hal itu merupakan selemah-lemahnya iman. (HR
Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At Turmidzi, An
Nasaai, Ibnu Majah, dari Abi Said Al
Khudri)
Seorang muslim yang ingin berbekal taqwa,
maka tentunya ia akan bersama-sama dengan
kaum muslimin yang lain memikul kewajiban

dakwah ini. Bila tidak berarti ia ridho dengan


keadaan saudaranya --kaum muslimin-- yang
sedang terpuruk dan terhina, lebih dari itu di
akhirat Allah SWT menyediakan siksaan yang
amat pedih sebagai balasan atas perbuatan yang
dipilihnya.
Agenda Dakwah ke Depan
Kita umat Islam harusnya menyadari
kekuatan dan potensi yang kita miliki, sehingga
dengan potensi ini kita mengetahui kenapa Allah
Swt menjuluki kita sebagai khairul ummah, umat
yang terbaik (Q.S Ali Imran 110). Potensi dan
kekuatan yang dimiliki umat Islam diantaranya,

Negeri Islam adalah wilayah yang kaya


sumber daya alam dan strategis secara
geopolitis
Lebih 70% cadangan minyak dunia yang
sangat vital itu ada di dunia Islam
Belum lagi sumber daya alam lain (emas,
timah, tembaga, batubara, dan sebaganya)
Posisi negeri Islam (wilayah timur tengah,
Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Selatan)
berada pada titik-titik penting secara
geografis, ekonomi dan militer.
Menguasai dunia Islam berarti menguasai
pasokan energi dan SDA lain serta
menguasi posisi strategis dunia
Islam juga adalah peradaban (hadharah)
yang lebih unggul (Samuel P Huntington,
the Clash of Civilization: 1996);
Peradaban Islam mempunyai konsepsi
kehidupan yang khas dan unik; berbeda
dengan Sosialisme maupun Kapitalisme,

baik di bidang politik, pemerintahan,


ekonomi,
sosial,
budaya,
pendidikan,
pertahanan, keamanan, maupun yang lain.
Islam adalah satu-satunya agama dan
ideologi yang sesuai dengan fitrah manusia,
memuaskan akal dan menenteramkan jiwa.
Karena diturunkan oleh Dzat yang Maha
Tahu akan fitrah, akal dan jiwa ciptaan-Nya.
Sumber daya manusia yang sangat besar
(lebih dari 1,4 milyar), lebih besar dari
pemeluk agama manapun
Sumber daya alam yang sangat melimpah
lebih dari wilayah manapun
Posisi geografis yang sangat strategis
secara ekonomi, politik dan militer
Dengan Islam sebagai pandangan hidup
yang sempurna dan basis ideologi serta
sistem politik yang khas, maka Islam dan
Dunia Islam bakal menjadi rival potensial
yang akan mengancam dominasi Barat di
masa mendatang pasca era perang dingin
Melihat realitas potensi yang dimiliki, sangat
mungkin
umat
Islam
bangkit
dari
keterpurukannya selama ini. Namun, bagaimana
langkah nyata menuju sebuah kebangkitan?
Kita harus berfikir mendalam untuk
memahami apa sesungguhnya rahasia sebuah
kebangkitan, sebelum kemudian menentukan
langkah menuju kesana. Kebangkitan bisa berarti
kesadaran, ketercerahan, kemampuan untuk
memahami dan menentukan langkah mandiri.
Kebangkitan juga diindikasikan oleh kemampuan
mempengaruhi bahkan menguasai.
Kebangkitan
bangsa-bangsa
tidak
ditentukan oleh kemajuan teknologinya karena

kita menyaksikan bagaimana Jepang


yang
merupakan salah satu negara yang menguasai
teknologi
tinggi
tapi
ia
tidak
mampu
mengendalikan kekuatannya, dan masih dalam
kendali Amerika. Kebangkitan juga bukan
ditentukan oleh masalah ekonomi, karena
dengan jelas kita melihat bagaimana Saudi
Arabia, Brunei Darussalam termasuk juga Jepang
dan negeri-negeri kaya lain yang tetap tidak
mampu menentukan keputusan mereka secara
mandiri.
Nasib
mereka
berada
dalam
genggaman Amerika.
Saudi Arabia saat ini
terbelit utang kepada Amerika, sedang Jepang
harus memberikan sumbangan dana kepada
Amerika agar kepentingan ekonominya terjaga.
Kita juga bisa memastikan kebangkitan tidak
ditentukan oleh ketinggian moral (kemuliaan
akhlak) karena kita membuktikan Madinah yang
penduduknya adalah penduduk yang paling mulia
akhlaknya di seluruh dunia tetapi mereka
ternyata tidak bangkit. Mereka membeku seperti
es tatkala menyaksikan perang saudara antara
Arab Saudi dengan Iraq yang notabene keduanya
adalah kaum muslimin. Sebaliknya masyarakat
Paris adalah masyarakat yang bermoral rendah
tetapi mereka bangkit. Termasuk masyarakat
Amerika dan Eropa yang gaya hidupnya bebas
dan tidak terikat oleh etika-etika moral tetapi
mereka mampu menguasai dunia.
Sungguh
kebangkitan ternyata tidak ditentukan oleh itu
semua.
Rahasia kebangkitan adalah kebangkitan
taraf berfikir.
Dari berfikir hewani yang
sekedar berfikir untuk hidup-, meningkat menjadi
berfikir
manusiawi
-yang
berusaha
memperjuangkan kemuliaan manusia dengan
ideologi tertentu. Berfikir ideologis inilah yang

telah menghantarkan umat Islam dahulu mampu


menguasai dunia, meski hanya berkendaraan
kuda dan unta. Sebab teknologi hanya sarana
yang akan berubah mengikuti perubahan dunia.
Sedangkan mabda
tidak akan berubah
terutama mabda Islam. Ia tetaplah mabda dan
tetap layak menguasai dunia. Menjadi semakin
jelas bagi kita bahwa hanya dengan menjadikan
Islam sebagai mabda maka kaum muslimin akan
bangkit, bergerak dan menyelesaikan berbagai
persoalannya.
Tugas para pengemban dakwah ke depan
adalah menyadarkan umat untuk bersama-sama
bangkit dan menggunakan seluruh potensi serta
kekuatan
yang
dimiliki
sehingga
mampu
menyelesaikan
seluruh
problematika
umat
sekaligus
menghancurluluhkan
kaum
kair
imperialis yang selama ini memusuhi Islam dan
kaum muslimin.
Hal tersebut tentu saja menjadi tugas berat
bagi para pengemban dakwah. Beberapa hal
yang dapat menjadi bekal pengemban dakwah
dalam menjalani perjuangaannya dipaparkan
sebagai berikut:
1. Membentuk
pemikiran
ideologis.
Artinya,
pengemban
dakwah
harus
memahami Islam sebagai sebuah ideologi,
yang terdiri dari akidah dan syariat, yang
berfungsi untuk memecahkan seluruh
problematika hidup manusia. Pengemban
dakwah
harus
yakin
bahwa
Islam
merupakan aturan hidup yang sempurna,
yang tidak lagi membutuhkan pengurangan

atau penambahan dari aturan-aturan lain di


luar Islam.
2. Tidak
berpikir
pragmatis.
Artinya,
pengemban dakwah tidak boleh terjebak
oleh kepentingan-kepentingan sesaat atau
jangka pendek dalam mengambil sikap dan
keputusan. Setiap sikap dan keputusan
harus diambil berdasarkan pertimbangan
ideologi Islam. Misalnya, ketika terjadi krisis
ekonomi, penyelesaiannya bukan dengan
mengundang IMF, tetapi harus ditelusuri
akar permasalahannya, lalu dipecahkan
dengan mengacu pada ideologi Islam yang
memiliki konsep tersendiri dalam bidang
ekonomi.
3. Memiliki kepekaan politis. Hal ini
penting agar pengemban dakwah tidak
mudah tertipu oleh manuver-manuver
politik kaum penjajah berserta kroninya
yang ingin melanggengkan penjajahannya.
Sebagai contoh, pengemban dakwah harus
memahami kampanye yang kumandangkan
Amerika tentang "Perang melawan Teroris".
Apa dan siapa yang dimaksud teroris oleh
Amerika? Apa target Amerika di balik
kampanye tersebut? Demikian seterusnya.
4. Meraih kemuliaannya dengan Islam.
Pengemban dakwah harus memahami
bahwa kemuliaan hidupnya, di dunia dan
akhirat,
hanya
bisa
diraih
dengan
mewujudkan tegaknya aturan Islam dalam
naungan khilafah. Sebaliknya, kehinaannya
di dunia dan akhirat, semata-mata karena
mengambil aturan kufur. Semakin banyak
ide-ide kufur yang diadopsi, akan semakin
jauh pengemban dakwah terperosok ke

dalam jeratan penjajahan dan arah


perjuangan semakin kabur yang ujungujungnya berakhir pada titik kegagalan
yang selalu berulang.
Adapun bagaimana dakwah yang mesti
ditempuh saat ini untuk terwujudnya
Islam
sebagai
sebuah sistem kehidupan tentu saja
tidak terlepas dari contoh yang telah diberikan
Rasulullah yang telah terbukti keberhasilannya.
Beberapa tahapan kongkrit yang mesti
ditempuh antara lain Pertama, membina
individu-individu (kader-kader dakwah)
dengan ruh dan pemikiran Islam sebagai
sebuah
ideologi
disertai
dengan
gambaran penerapan ideologi tersebut
dalam kehidupan. Pemahaman ini akan
mendorong
upaya-upaya
untuk
memperjuangkannya. Kedua, melakukan
interaksi di tengah-tengah masyarakat
untuk membina kesadaran masyarakat
terhadap
ideologi
Islam
melalui
pertarungan pemikiran dan perjuangan
politik.
Dengan
aktivitas
ini
akan
terbentuk opini Islam yang berkembang
luas dan kesadaran masyarakat terhadap
Islam. Ketiga, penerapan seluruh aturan
Islam melalui tegaknya Khilafah Islamiyah
yang didukung penuh oleh seluruh
masyakat. Dukungan ini terbentuk dari
kesadaran
yang
terwujud
manakala
aturan tersebut lahir dari ideologi yang
diyakini. Inilah agenda umat yang harus
segera dilaksanakan, saat ini juga !

Terpuruknya kaum muslimin di berbagai sendi


Terpuruknya kaum muslimin di berbagai sendi
kehidupan
kehidupan
sejak runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah 1924
sejak runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah 1924
Dakwah wajib
meningkatkan taraf berpikir umat
meningkatkan taraf berpikir umat

Wujud kepedulian
dan tanggung
jawab

Islam berjaya kembali


Islam berjaya kembali

BAB IV
AL KHILAFAH
"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian
kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan
ulil amri di antara kalian." (QS. An-Nisaa` [4]: 59)

Khilafah adalah kepemimpinan, imamah, biasa


juga disebut kekhalifahan. Ia merupakan satu
bentuk
pemerintahan
Islam.
Pemimpin
pemerintahannya dinamakan khalifah.
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi
seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah
bertanggung jawab menerapkan hukum Islam,
dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka
bumi. Khilafah terkadang juga disebut Imamah;
dua kata ini mengandung pengertian yang sama
dan banyak digunakan dalam hadits-hadits
shahih.
Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan
sistem manapun yang sekarang ada di Dunia
Islam. Meskipun banyak pengamat dan sejarawan
berupaya menginterpretasikan Khilafah menurut
kerangka politik yang ada sekarang, tetap saja
hal itu tidak berhasil, karena memang Khilafah
adalah sistem politik yang khas.
Khilafah sama sekali berbeda dengan sistem
Republik yang kini secara luas dipraktekkan di
Dunia Islam. Sistem Republik didasarkan pada
demokrasi, dimana kedaulatan berada pada
tangan rakyat. Ini berarti, rakyat memiliki hak
untuk membuat hukum dan konstitusi. Di dalam
Islam, kedaulatan berada di tangan syariat. Tidak

ada satu orang pun dalam sistem Khilafah,


bahkan termasuk Khalifahnya sendiri, yang boleh
melegislasi
hukum
yang
bersumber
dari
pikirannya sendiri.
Khalifah adalah kepala negara dalam sistem
Khilafah. Dia bukanlah raja, melainkan seorang
pemimpin terpilih yang mendapat otoritas
kepemimpinan dari kaum Muslim, yang secara
ikhlas memberikannya berdasarkan kontrak
politik yang khas, yaitu baiat. Tanpa baiat,
seseorang tidak bisa menjadi kepala negara. Ini
sangat berbeda dengan konsep raja atau dictator,
yang menerapkan kekuasaan dengan cara paksa
dan kekerasan. Contohnya bisa dilihat pada para
raja dan diktator di Dunia Islam saat ini, yang
menahan dan menyiksa kaum Muslim, serta
menjarah kekayaan dan sumber daya milik umat.
Sebagian kalangan menyamakan Khalifah dengan
Paus, seolah-olah Khalifah adalah Pemimpin
Spiritual kaum Muslim yang sempurna dan
ditunjuk oleh Tuhan. Ini tidak tepat, karena
Khalifah bukanlah pendeta. Jabatan yang
diembannya merupakan jabatan eksekutif dalam
pemerintahan Islam. Dia tidak sempurna dan
tetap berpotensi melakukan kesalahan. Itu
sebabnya dalam sistem Islam banyak sarana
check and balance untuk memastikan agar
Khalifah dan jajaran pemerintahannya tetap
akuntabel.

Dalil wajibnya Khilafah


Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah
Khilafah yang berarti negara. Tetapi di dalam alQuran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya

umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri)


dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukumhukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT
berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian
kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya
dan ulil amri di antara kalian." (TMQ. An-Nisaa`
[4]: 59).
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk
mentaati Ulil Amri, yaitu Al Haakim (Penguasa).
Perintah ini, secara dalalatul iqtidha`, bererti
perintah
pula
untuk
mengadakan
atau
mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu
tidak
ada,
sebab
tidak
mungkin
Allah
memerintahkan kita untuk mentaati pihak yang
eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin
mewajibkan kita untuk mentaati seseorang yang
keberadaannya berhukum mandub.
Maka menjadi jelas bahawa mewujudkan ulil amri
adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah
memberi perintah untuk mentaati ulil amri,
bererti
Allah
memerintahkan
pula
untuk
mewujudkannya.
Sebab
adanya
ulil
amri
menyebabkan
terlaksananya
kewajiban
menegakkan
hukum
syara,
sedangkan
mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan
terabaikannya hukum syara. Jadi mewujudkan
ulil amri itu adalah wajib, kerana kalau tidak
diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya
perkara yang haram, iaitu mengabaikan hukum
syara (tadhyii al hukm asy syari).
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan
Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum

muslimin
berdasarkan
hukum-hukum
diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:

yang

"Maka putuskanlah perkara di antara di antara


mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
(dengan) meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu." (TMQ. Al-Maidah [5]: 48).
"Dan putuskanlah perkara di antara di antara
mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan
janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka.
Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa
yang telah diturunkan Allah kepadamu" (TMQ. AlMaidah [5]: 49).
Dalam kaedah ushul fiqh dinyatakan bahwa,
perintah (khithab) Allah kepada Rasulullah juga
merupakan perintah kepada umat Islam selama
tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini
hanya
untuk
Rasulullah
(Khithabur
rasuli
khithabun li ummatihi malam yarid dalil
yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil
yang mengkhususkan perintah tersebut hanya
kepada Rasulullah SAW.
Oleh kerana itu, ayat-ayat tersebut bersifat
umum, iaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan
menegakkan hukum-hukum yang diturunkan
Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali
menegakkan hukum dan pemerintahan (as
sultan), sebab dengan pemerintahan itulah
hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat
diterapkan secara sempurna. Dengan demikian,
ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan
sebuah negara untuk menjalankan semua hukum
Islam, yaitu negara Khilafah.

Sementara itu, beberapa hadist juga memperkuat


wajibnya Khilafah tegaki di tengah-tengah umat.
Abdullah
bin
Umar
meriwayatkan,
"Aku
mendengar Rasulullah mengatakan, Barangsiapa
melepaskan tangannya dari ketaatan kepada
Allah, nescaya dia akan menemui Allah di Hari
Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa
mati sedangkan di lehernya tak ada baiah
(kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan
mati jahiliyah." [HR. Muslim].
Nabi SAW mewajibkan adanya baiat pada leher
setiap muslim dan mensifati orang yang mati
dalam keadaan tidak berbaiat seperti matinya
orang-orang jahiliyyah. Padahal baiat hanya
dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada
yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban
mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya
dapat terwujud baiat di leher setiap muslim.
Sebab baiat baru ada di leher kaum muslimin
kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin
Khilafah.
Rasulullah SAW bersabda: "Bahawasanya Imam
itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat
berperang dan dengannya umat berlindung." [HR.
Muslim]
Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi
yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang
nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada
lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan
jumlahnya
akan
banyak."
Para
Sahabat
bertanya,Apa yang engkau perintahkan kepada
kami? Nabi menjawab,Penuhilah baiat yang
pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah
hak-hak
mereka.
Allah
akan
meminta

pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi


kewajiban mereka." (HR. Muslim)
Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang
melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya
(pemimpinnya),
maka
bersabarlah.
Sebab
barangsiapa memisahkan diri dari penguasa
(pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia
mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." (HR.
Muslim)
Hadis
pertama
dan
kedua
merupakan
pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW
bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai,
dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang
memerintah
kaum
muslimin.
Pernyataan
Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu
laksana perisai menunjukkan pemberitahuan
tentang adanya faedah-faedah keberadaan
seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan
(thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang
berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila
mengandung celaan (adz dzamm) maka yang
dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan
(thalab at tarki), atau merupakan larangan (an
nahy); dan apabila mengandung pujian (al madhu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk
melakukan perbuatan (thalab al fili). Dan kalau
pelaksanaan perbuatan yang dituntut
itu
menyebabkan tegaknya hukum syara atau jika
ditinggalkan
mengakibatkan
terabaikannya
hukum
syara,
maka
tuntutan
untuk
melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti
(fardu). Jadi hadis pertama dan kedua ini
menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa
Khilafah banyak hukum syara akan terabaikan.

Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum


muslimin keluar (memberontak, membangkang)
dari penguasa (as sulthan). Bererti keberadaan
Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib
tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas
menyatakan bahawa orang yang memisahkan diri
dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini
menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan
bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.
Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa
membaiat seorang Imam (Khalifah), lalu
memberikan
genggaman
tangannya
dan
menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia
mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika
datang
orang
lain
hendak
mencabut
kekuasaannya, penggallah leher orang itu." (HR.
Muslim)
Dalam
hadis
ini
Rasululah
SAW
telah
memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati
para Khalifah dan memerangi orang-orang yang
merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah
ini bererti perintah untuk mengangkat seorang
Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan
cara memerangi orang-orang yang merebut
kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan
tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum
muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau
tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW
memberikan perintah yang begitu tegas untuk
memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk
memerangi orang yang akan merebut kekuasaan
Khalifah.

Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini


telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum
muslimin.
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma
Sahabat menunjukkan bahawa mengangkat
seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti
Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah
sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash
Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan,
dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah alaihim.
Ijma Sahabat yang menekankan pentingnya
pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam
kejadian bahawa mereka menunda kewajiban
menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan
mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah
pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat
secepatnya
adalah
suatu
kewajiban
dan
diharamkan atas orang-orang yang wajib
menyiapkan
pemakaman
jenazah
untuk
melakukan kesibukan lain sebelum jenazah
dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib
menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW
ternyata sebahagian di antaranya justeru lebih
mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat
Khalifah
daripada
menguburkan
jenazah
Rasulullah. Sedangkan sebahagian Sahabat lain
mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah
tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda
kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW
sampai dua malam, padahal mereka mampu
mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan
jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan
adanya kesepakatan (ijma) mereka untuk segera
melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah
daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak

mungkin terjadi kecuali jika status hukum


mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib
daripada menguburkan jenazah.
Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama
hidup mereka telah bersepakat mengenai
kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering
muncul perbezaan pendapat mengenai siapa
yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi
Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih
pendapat sedikit pun mengenai wajibnya
mengangkat seorang Khalifah, baik ketika
wafatnya Rasulullah SAW mahupun ketika
pergantian masing-masing Khalifah yang empat.
Oleh kerana itu Ijma Sahabat merupakan dalil
yang jelas dan kuat mengenai kewajiban
mengangkat Khalifah.
Pendapat Para Ulama
Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar
tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan
wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh
Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam
kitabnya Al Fiqh Ala Al Madzahib Al Arbaah, jilid
V, hal. 362 :
"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafii,
dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat
bahawa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan
bahawa umat Islam wajib mempunyai seorang
imam (khalifah) yang akan meninggikan syiarsyiar agama serta menolong orang-orang yang
tertindas dari yang menindasnya..."
Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang
mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan

Ahlus Sunnah dan Syiah 'termasuk Khawarij dan


Mutazilah' tanpa kecuali bersepakat tentang
wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau
pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan
Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu
ditolak, kerana bertentangan dengan nas-nas
syara yang telah jelas.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8
hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah,
minoriti Mutazilah, dan Asy Ariyah, (Khilafah)
adalah wajib menurut syara." Ibnu Hazm dalam
Al Fashl fil Milal Wal Ahwa Wan Nihal juz 4 hal. 87
mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus
Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syiah, dan
seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah
(Khilafah)."
Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum
Islam yang wajib bukan haram apalagi bidah dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah
Islamiyah yang sangat kaya.
Sejarah kegemilangan Khilafah
Allah
menegaskan
bahwa
Islam
akan
mendatangkan rahmat bagi seluruh alam (QS alAnbiya [21]: 107). Allah pun menjamin
keberkahan hidup masyarakat akan terealisasi
jika masyarakat beriman dan bertakwa (QS alAraf [7]: 96), yaitu dengan menerapkan syariah
Islam secara total dan formal.
Pernahkah fakta normatif kesejahteraan dan
keberkahan hidup itu terwujud secara real di
tengah-tengah kaum Muslim? Pertanyaan itu
penting untuk dijawab, karena jika tidak pernah

terwujud dalam 1300 tahun lebih sejarah kaum


Muslim, sementara Khilafah Islam diterapkan,
maka orang sulit percaya bahwa sistem Islam
akan mampu mewujudkannya pada masa datang.
Berikut adalah beberapa catatan sejarah akan hal
itu.
Abu Ubaid menuturkan, pada masa Umar ibn alKhaththab (13-23 H/634-644 M), di provinsi
Yaman, tiap tahun Muadz ibn Jabal mengirimkan
separuh bahkan seluruh hasil zakat kepada
Khalifah. Sebab, ia tidak menjumpai seorang
(miskin) pun yang berhak menerima bagian
zakat. Yahya ibn Said pernah ditugaskan
memungut zakat di Afrika oleh Umar ibn Abdul
Aziz (99-101 H/717-120 M). Ia pun tidak bisa
menjumpai satu orang miskin pun di Afrika.
Gubernur Basrah, Hamid ibn Abdurrahman, sesuai
arahan Umar bin Abdul Aziz, membelanjakan kas
negara berlimpah untuk gaji pegawai dan
anggaran rutin, membantu mereka yang dililit
utang dan membantu mereka yang ingin
menikah. Uang yang masih banyak di kas negara
pun dijadikan sebagai pinjaman modal bagi warga
non-Muslim agar bisa mengolah tanahnya, dan
pengembaliannya setelah dua tahun atau lebih.
Sebagai gambaran kemakmuran pada masa
Abbasiyah, Philip K. Hitti menyatakan bahwa alMansur membangun Baghdad mulai tahun 762 M
menurut as-Suyuthi tahun 141 Hselama 4
tahun dengan menggunakan tenaga lebih dari
100.000 orang baik insinyur, arsitek, pekerja ahli
hingga pekerja biasa dan menghabiskan total
biaya 4.883.000 dirham. Menurut M. Kurdi Ali, alMansur juga membangun sejumlah jembatan,

kanal dan berbagai bendungan, tersebar merata


di wilayah Khilafah.
Meski pembangunan begitu gencar, saat alMansur meninggal (159 H/775 M ) keuangan
negara masih surplus sebesar 600 juta dirham
dan 14 juta dinar. Saat Harun ar-Rasyid
meninggal (194 H/809 M), di kas ada 900 juta.
Saat al-Muktafi meninggal (296 H/908 M), kas
negara surplus 100 juta dinar. Dari sisi
pemasukan negara, Ibn Khaldun mencatat pada
masa al-Makmun sebesar 332 juta dirham; Ibn
Qudamah mencatat, pada masa al-Mutashim
sebesar 388,3 juta dirham setahun. Pada masa
inilah dibangun kota Samarasingkatan dari
sarra man raa (Memuaskan Mata Orang yang
Memandangnya).
Adapun
Ibn
Khurdazbeh
mencatat, pemasukan negara pada pertengahan
abad ke-3 H sebesar 299,3 juta dirham.
Dari sisi pembangunan terdapat begitu banyak
catatan proyek pembangunan yang dijalankan.
Hal
itu
tentu
berdampak
positif
dalam
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Khilafah
Umayah di antaranya fokus pada pembuatan
saluran air dan jaringan irigasi, penggalian sungai
dan kanal, pembangunan bendungan dan
penciptaan lahan produktif dari lahan mati yang
ada.
Muawiyah
telah
memulai
proyek
penghijauan Hijaz. Khalifah al-Walid ibn Abdul
Malik banyak membangun masjid, membuka
berbagai rumah sakit, asrama orang-orang cacat,
dan memberikan bantuan pembiayaan pada
usaha pembangunan. Daerah rawa al-Bataih di
Irak antara Basrah dan Kufah pun disulap menjadi
lahan produktif dengan biaya 3 juta dirham
(jumlah yang cukup besar saat itu) dan dibagikan

kepada rakyat. Khalifah Hisyam menggali sumbersumber air di sepanjang perjalanan Makkah. Ia
juga mendirikan Rasafa, tempat peristirahatan
bagi pekerja dan musafir.
Jaringan irigasi itu tetap dipelihara dan diperluas
oleh Khilafah Abbasiyah. Istri Harun ar-Rasyid
turut membiayai pembangunan saluran air di
Makkah yang lalu dinamakan dengan namanya,
mata air Zubaidah. Bahkan Khilafah Abbasiyah
membentuk Direktorat Irigasi (Diwn al-Mi)
dengan pegawai ribuan orang. Khilafah Abbasiyah
juga fokus pada industrialisasi. Ribuan pabrik
dibangun pada masa itu dan tersebar di berbagai
wilayah negara. Damaskus terkenal dengan
pabrik bajanya. Tripoli, Kairo, Maroko dan Spanyol
terkenal dengan galangan kapalnya. Moshul
terkenal sebagai pusat industri tembaga. Menurut
Svend Dahl, abad ke-8 M pada masa Harun arRasyid, pabrik kertas sudah berdiri di Baghdad
dan beberapa kota lainnya. Pada abad ke-10 M
pabrik kertas itu sudah menyebar di Mesir.
Sultan Abdul Hamid II pada 1900 M berhasil
membangun jaringan kereta api Hijaz dari
Damaskus ke Madinah dan dari Aqaba ke Maan.
Beliau juga membangun jaringan fax antara
Yaman, Hijaz, Syiria, Irak dan Turki; lalu
dihubungkan dengan jaringan fax India dan Iran.
Semua itu diselesaikan hanya dalam dua tahun.
Ini adalah potensi besar bagi kemajuan
perekonomian, karena infrasruktur transportasi
dan komunikasi sangat vital bagi kemajuan
perekonomian.
Dalam dunia pendidikan, Khalifah Umar ibn alKhaththab menggaji tiga orang guru yang

mengajar anak-anak di Madinah 15 dinar (63,75


gram emas murni). M. Sharif menerangkan,
pendidikan di Dunia Islam berkembang secepat
kilat. Tidak ada satu kampung tanpa ada masjid,
sekolah
dasar
dan
menengah
yang
pertumbuhannya seiring pertumbuhan masjid.
Prof. Ballasteros dan Prof. Ribera menerangkan
bahwa sekolah-sekolah disediakan dekat sekali
dengan semua anak-anak. Untuk mahasiswa
disediakan berbagai sekolah tinggi, akademi dan
universitas beserta para guru besarnya.
Bahkan telah diketahui secara umum, dunia
pendidikan, sains, teknologi dan pemikiran, pada
masa Abbasiyah telah berkembang sangat maju.
Sekolah dari tingkat dasar hingga universitas dan
berbagai fasilitas pendidikan, sains, teknologi dan
pemikiran
dibangun
secara
modern
dan
disediakan
sebagai
fasilitas
gratis
untuk
masyarakat. Di antara yang terkenal adalah
universitas yang didirikan oleh al-Makmun dan
perpustakaan Bait al-Hikmahnya, yang dilengkapi
observatorium; Universitas Nizhamiyah yang
didirikan oleh Nizham al-Muluk wazir Sultan Alp
Arsalan pada 1065 atau 1067 M; Madrasah
Mustanshiriyah yang didirikan oleh Khalifah alMustanshir (1226 1242 M) di Baghdad yang
bebas biaya dengan fasilitas perpustakaan dan
laboratorium dan fasilitas lainnya.
Mahasiswanya dijamin kehidupannya dan masih
diberi
beasiswa
satu
dinar
(4,25
g
emas)/orang/bulan. Tidak boleh dilupakan adalah
universitas Nuriah di Damaskus yang dirikan oleh
Sultan Nuruddin Muhammad Zanki, dengan
fasilitas lengkap. Perpustakaan pun menyebar di
berbagai kota. Yang terkenal adalah perpustakaan

Bait al-Hikmah di Baghdad, perpustakaan Darul


Hikmah di Kaero dengan koleksi 1,6 juta buku,
perpustakaan
di
Tripoli
(2
juta
lebih),
perpustakaan al-Hakim (720 ribu judul lebih), 20
perpustakaan
di
Andalusia,
perpustakaan
Cordova (400 ribu judul lebih), perpustakaan
Madrasah Fadliliyah (100 ribu) dan 6500 di
antaranya tentang engginering dan astronomi di
samping dua buah globe untuk Bathlimus dan
Abul Hasan as-Sufi, sepuluh perpustakaan di
Khurasan (masing-masing 12 ribu), perpustakaan
Khizanatul Hakam ats-Tsani (400 ribu) dan masih
banyak lagi.3 Wajar jika kemudian lahir ribuan
ilmuwan, pioner dan penemu di berbagai bidang
keilmuan dan terwujud kemajuan sains, teknologi
dan pemikiran. Yang mengesankan, semua itu
mempengaruhi renaissance Eropa. Hal itu seperti
yang diakui oleh Philip K. Hitti, Prof. Ballasteros,
Prof. Ribera, Svend Dahl, Sigrid Hunke, Lothrop
Stoddard, Lucas H. Grollenberg dan cendekiawan
Barat lainnya.4
Tentang realisasi keadilan tanpa ada diskriminasi,
Prof Brelvi menyatakan, Pemerintah Abbasiyah
sangat terbuka, seperti pemerintahan negaranegara modern di dunia saat ini, yang belum
mampu
melebihinya.
Semua
kantor
pemerintahannya terbuka untuk rakyat Muslim
dan non-Muslim secara sama.
Al-Baladzuri melaporkan, keadilan Islam oleh
kaum Muslim telah membuat rakyat Hims dan
wilayah Syam umumnya lebih memilih hidup di
bawah Khilafah. Keadilan itu pula yang membuat
kaum Kristen Koptik malah membantu pasukan
Amru bin al-Ash dalam pembebasan (futht)
Mesir atas pemerintahan Bizantium yang Kristen.

Karena keadilan itu pula Qadhi an-Najiy


memvonis pasukan kaum Muslim yang sudah
menaklukkan Samarqand tidak sesuai prosedur
yaitu tanpa menyerukan Islam dan jizyah terlebih
dulu, yang lalu diprotes oleh penduduknyaharus
keluar dan memulainya lagi sesuai prosedur. Hal
itu membuat penduduk Samarqand justru
memilih hidup di bawah Khilafah.
Keadilan Khilafah pulalah yang membuat kaum
Yahudi Spanyol memilih tinggal di wilayah
Khilafah setelah inkuisisi oleh Ratu Isabella. Hal
yang sama juga membuat orang-orang Rusia
memilih tinggal di wilayah Khilafah pasca
Revolusi Bolchevik.
Masih banyak sekali catatan sejarah tentang
kesejahteraan,
kemakmuran,
kemajuan,
keberkahan dan kerahmatan yang sudah pernah
diwujudkan oleh generasi kaum Muslim terdahulu.
Lalu bagaimana dengan kondisi dunia sekarang?
Faktanya, sistem Kapitalisme hanya berhasil
dalam mewujudkan kemajuan materi, sains dan
teknologi. Sebaliknya, Kapitalisme pun berhasil
meruntuhkan dan menghancurkan nilai-nilai
moral, spiritual, kemanusiaan, keadilan, dan nilainilai luhur lainnya. Kapitalisme justru berhasil
menciptakan malapetaka dan kesengsaraan,
dekadensi
moral,
kekosongan
spiritual,
penindasan,
penjajahan
dan
perbudakan.
Karenanya, tuntutan kemanusiaan meniscayakan
diterapkannya ideologi dan sistem yang bisa
menjadi solusi, yang tidak lain adalah syariah dan
Khilafah Islamiyah. Semua catatan kegemilangan
di atastentu bukan demi romantismebisa
membuat kita, kaum Muslim, percaya diri bahwa

ke depan, dengan menerapkan sistem Islam


dalam wadah Khilafah, kita akan mampu
mewujudkan hal yang sama, bahkan lebih.
Apalagi Rasul saw. telah memberikan bisyrah:

Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah


yang memberikan harta secara berlimpah dan
tidak terhitung banyaknya. (HR Muslim)
Abu Said menuturkan, bahwa Rasul saw. juga
pernah bersabda:

:
,

Sungguh, di antara para pemimpin kalian ada


seorang pemimpin yang memberikan harta
secara berlimpah yang tidak terhitung,
seseorang mendatanginya dan meminta harta
kepadanya. Lalu pemimpin itu berkata,
Ambillah!
Kemudian
orang
itu
menghamparkan pakaiannya dan pemimpin
itu mencurahkan (harta/uang) di atasnya
Orang itu mengambilnya, lalu pergi. (HR Ibnu
Katsir dalam al-Bidyah wa an-Nihyah)

Bisyarah Rasul akan Kembalinya Khilafah


Hadis Imam Ahmad juga diriwayatkan
Baihaqi dari Nu'man Bin Basyir:

oleh

Rasulullah Sallallahu alaihi wa Sallam bersabda:

Masa kenabian itu ada di tengah-tengah kalian,


adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah
mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk
mengangkatnya.
Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti
jejak kenabian (Khilafah ala minhaj annubuwwah), adanya atas kehendak Allah,
kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia
menghendaki untuk mengangkatnya.
Selanjutnya masa kerajaan yang menggigit
(Mulkan Adhan), adanya atas kehendak Allah,
kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia
menghendaki untuk mengangkatnya.
Setelah itu, masa kerajaan yang menyombong
(Mulkan Jabariyyan), adanya atas kehendak Allah,
kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia
menghendaki untuk mengangkatnya.
Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti
jejak kenabian (Khilafah ala minhaj annubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.
[HR Ahmad dan Baihaqi dari Numan bin
Basyir dari Hudzaifah]

BAB V
Kewajiban
Jamaah

Dakwah

secara

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang


berperang di jalannya dalam barisan yang teratur
seakan-akan mereka seperti bangunan yang
tersusun kokoh.
( QS Ash Shaff: 4)

Jika kita melihat kondisi kaum muslimin dan Islam


saat ini, akan kita dapati bahwa Islam tidak lagi
menjadi sebuah tubuh yang utuh apalagi
sempurna. Jangankan untuk menjadi rahmatan lil
alamin, untuk menjadi rahmatan lil muslimin pun
sangat sulit dilihat faktanya. Banyak di antara
kaum muslimin di berbagai belahan dunia saat ini
dalam keadaan menderita, baik karena bencana
alam, peperangan maupun ketertindasan. Bahkan
banyak di antaranya berada
pada deretan
negara miskin.
Untuk mewujudkan Islam sebagai sebuah
rahmatan lil alamin, tidak bisa tidak Islam harus
dilaksanakan secara kaffah. Ini merupakan suatu
kewajiban. Allah SWT berfirman: Dan masuklah
kalian ke dalam Islam secara kaffah. Kekaffahan
Islam hanya akan terjadi apabila semua obyek

dikenai hukum, yaitu individu yang bertaqwa,


masyarakat yang islami sebagai kontrol sosial
pelaksanaan syariat Islam serta negara yang
melaksanakan dan melindungi penerapan syariat
Islam ada.
Pada saat ini, penerapan hukum Islam terhadap
ketiga obyek di atas tidak terlaksana dengan
sempurna, terlebih lagi dalam hal ini negara yang
menerapkan Islam. Untuk itulah dakwah menjadi
sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh
setiap Muslim.
Untuk mendakwahi seorang individu, hanya
dengan seorang pengemban dakwah saja sudah
cukup. Namun untuk mendakwahi sebuah
masyarakat apalagi untuk mewujudkan sebuah
negara yang menerapkan syariat Islam, sangat
tidak mungkin apabila hanya dilaksanakan
seorang diri. Tidak bisa tidak haruslah dilakukan
dengan cara berjamaah. Sebuah kaidah syara
menyebutkan apabila suatu kewajiban tidak
terlaksana tanpa adanya sesuatu, maka sesuatu
itu wajib adanya. Demikian juga perwujudan
syariat Islam tidak akan bisa kaffah tanpa adanya
jamaah dakwah, maka keberadaan jamaah
dakwah adalah wajib.

Kewajiban Dakwah Berjamaah

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan


umat yang menyeru kepada kebaikan dan
mencegah kepada kemunkaran. Dan merekalah
orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imron:
104)
Ayat tersebut mengisyaratkan tentang sebuah
kewajiban adanya kelompok atau jamaah yang
berdakwah untuk menyeru kepada yang maruf
dan mencegah kepada yang munkar. Lafadz
ummah pada ayat di atas, tidak membatasi
jumlah jamaah atau kelompok atau gerakan
Islam, walaupun ayat tersebut menyebutkan agar
kaum muslimin membentuk suatu jamaah yang
melaksanakan tugas dakwah.
Seandainya telah terbentuk sebuah jamaah,
maka kewajiban tersebut tidak lagi dibebankan
kepada yang lain. Dengan demikian apabila telah
terbentuk sebuah jamaah, maka tujuan dari ayat
tersebut sudah terlaksana sehingga tidak ada
kewajiban untuk membentuk yang lain. Jika
ternyata muncul jamaah yang kedua, maka
pembentukan itu pada dasarnya hukumnya
adalah mubah. Dengan demikian, adanya suatu
jamaah yang ber-amar maruf nahi munkar
adalah sebuah fardlu kifayah.
Namun selama ini fardlu kifayah hanya
dipahami sebagai sebuah kewajiban yang apabila
telah dilaksanakan oleh seseorang atau suatu
kelompok, maka fardlu itu telah gugur. Padahal
fardlu kifayah hanya akan gugur sebagai sebuah
fardlu yakni apabila sesuatu yang dibebankan

tersebut sudah dilaksanakan dengan tuntas atau


sempurna. Jika kewajiban yang dibebankan
tersebut belum tuntas dilaksanakan, maka
seluruh umat Islam tetap terbebani fardlu
tersebut
hingga
fardlu
itu
sempurna
dilaksanakan.
Demikian juga beban untuk mewujudkan
terlaksananya syariat Islam mulai dari individu
hingga negara. Beban ini tidak akan hilang
hingga terwujudnya sebuah institusi negara yang
menerapkan Islam serta memelihara dan
melindungi pelaksanaan syariat Islam, baik oleh
individu maupun negara.

Kelompok Dawah dalam Islam


Kelompok dawah dalam Islam sering disebut
sebagai gerakan Islam. Gerakan dalam bahasa
arab adalah harokah. Harokah berasal dari akar
kata taharruk yang artinya bergerak. Istilah
tersebut kemudian diartikan sebagai sebuah
kelompok yang terdiri dari orang-orang tertentu
serta mempunyai target tertentu, dengan
menempuh suatu metode yang telah ditetapkan
oleh gerakan tersebut, terlepas apapun bentuk
dari gerakannya. Dengan demikian sebuah
kelompok dapat disebut sebagai sebuah gerakan
apabila:
1. Mempunyai landasan tertentu.

2. Mempunyai tujuan atau target yang telah


ditetapkan.
3. Mempunyai metode untuk meraih target.
Syarat gerakan di atas adalah umum bagi
setiap gerakan. Sebagai contoh gerakan sosial
seperti panti asuhan akan mempunyai landasan
tersendiri, dengan target membantu anak yatim,
piatu dan anak-anak dari keluarga tidak mampu
dengan metode tertentu yang telah dirumuskan,
misalnya dengan mencari sumbangan dan
sebagainya. Demikian juga ketika suatu kelompok
menamakan
organisasinya
sebagai
gerakan/harokah Islam. Maka yang menjadi
syarat bagi kelompok tersebut adalah:
1. Terdiri dari orang-orang Islam.
2. Menggunakan Islam sebagai landasan dalam
merumuskan target dan metode.
3. Mempunyai target terlaksananya syariat Islam.
4. Mempunyai metode yang sesuai dengan Islam,
yaitu harus sesuai dengan metode Rasulullah
dalam berdakwah untuk menegakkan Islam di
muka bumi.
Target Kelompok Dakwah
Saat ini cukup banyak terdapat harokahharokah Islam di muka bumi. Dari berbagai
harokah yang ada saat ini, ada yang bersifat lokal
dalam suatu negara, misalnya Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama dan Persis, ada juga yang
bersifat Internasional, seperti Jamaah Tabligh,
Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Jamaah
Salafiyah. Masing-masing gerakan ini mempunyai
tujuan spesifik. Tujuan dari setiap harokah ini

tentunya sangat mempengaruhi metode dari


harokah tersebut untuk mencapai target.
Apabila diamati banyaknya harokah dawah
saat ini, setidaknya ada tiga kategori harokah
dawah dilihat dari target yang hendak
dicapainya. Ketiga target tersebut adalah:

1. Gerakan
yang
Memperhatikan
Kepentingan Individu.
Target semacam ini banyak dianut oleh
perkumpulan Tarekat dan Sufi. Menurut
kelompok ini, kemenangan dan keselamatan di
akhirat adalah target utamanya. Dari sinilah
mereka mulai melakukan aktivitas-aktivitas
rohani untuk mencapai target tersebut, salah
satunya
adalah
dengan
ber-uzlah
atau
mengasingkan diri dari masyarakat. Jamaah ini
menganggap bahwa salah satu cara untuk
menyelamatkan diri dari kesesatan ketika
keadaan
masyarakat
sudah
mengalami
kerusakan adalah dengan cara mengasingkan
diri. Mereka memahami hal ini dari firman
Allah:

Hai orang-orang yang beriman, jagalah


dirimu; tidaklah orang sesat itu akan memberi
madlarat kepadamu apabila kamu telah
mendapat petunjuk. (QS Al Maidah: 105)

Maksud yang sebenarnya dari ayat ini adalah


menunjukkan bahwa apabila Allah telah
memberi petunjuk kepada seseorang, maka
tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkan.
Ayat ini sama sekali tidak memerintahkan
orang untuk mengasingkan diri, dan melarang
manusia untuk ber-amar maruf nahi munkar.

2. Target Memperbaiki Aqidah dan Akhlak


Individu.
Gerakan yang mempunyai target demikian
sebenarnya
mempunyai
keinginan
untuk
memperbaiki
masyarakat.
Gerakan
ini
berpendapat
bahwa
masyarakat
adalah
sekumpulan individu yang di dalamnya terjadi
interaksi. Dengan demikian baik buruk suatu
masyarakat akan ditentukan oleh baik buruk
individu yang ada di masyarakat tersebut.
Atas dasar pandangan ini gerakan tersebut
menjadikan individu sebagai dasar utama
untuk
perubahan
masyarakat.
Dari
pemahaman tersebut, gerakan ini mulai
mencoba
memperbaiki
individu
dengan
perbaikan aqidah dan akhlaknya sehingga
dapat menjaga interaksi di antara individu di
dalamnya agar tetap berjalan lancar tanpa ada
masalah.
Pandangan
mereka
terhadap
definisi
masyarakat ini sebenarnya adalah suatu
kekeliruan. Dari pandangan tersebut, justru

yang akan terbentuk cenderung sebuah


jamaah yang terdiri dari orang-orang yang
beraqidah dan berakhlak baik, bukan sebuah
masyarakat. Padahal seharusnya
sebuah
masyarakat tidak hanya terdiri dari banyak
individu yang saling berinteraksi, namun juga
terdapat sebuah peraturan yang sama yang
mengatur interaksi tersebut, serta individuindividu yang ada di dalamnya mempunyai
pandangan yang sama terhadap suatu kemashlahat-an maupun ke-mudlarat-an, baik
individu itu muslim maupun non-muslim.

3. Target Memperbaiki Masyarakat.


Kelompok Organisasi ketiga ini mempunyai
pandangan bahwa masyarakat adalah suatu
kumpulan individu yang di dalamnya terdapat
suatu interaksi. Di dalam interaksi itu terdapat
suatu aturan yang sama yang mengaturnya.
Selain itu interaksi tersebut juga disatukan oleh
perasaan dan pemikiran yang sama terhadap
suatu
kemashlahatan
dan
kemudlaratan
sehingga
pandangan
mereka
terhadap
kemashlahatan dan kemudlaratan sama.
Menurut kelompok ketiga ini, rusaknya
masyarakat terlihat dari interaksi yang ada di
dalam masyarakat tersebut. Hal ini berarti juga
rusaknya perasaan, pemikiran serta peraturan
yang mengatur interaksi tersebut serta
rusaknya pandangan masyarakat tentang hal
yang dianggap mashlahat atau madlarat. Untuk

itu dalam memperbaiki masyarakat haruslah


diperbaiki perasaan, pemikiran serta peraturan
yang mengatur interaksi tersebut.

Dari ketiga macam target tersebut, manakah


yang seharusnya menjadi target dari sebuah
harokah? Dalam surat Ali Imron ayat 104, Allah
telah menyebutkan bahwa aktifitas suatu jamaah
seharusnya adalah amar maruf nahi munkar.
Kemunkaran yang terbesar saat ini adalah tidak
dilaksanakaannya hukum Islam secara kaffah.
Dan kekaffahan hukum Islam itu hanyalah dapat
terwujud dengan adanya institusi negara yang
menjalankan dan melindungi penerapan syariat
Islam. Dengan demikian keberadaan jamaah yang
berusaha mewujudkan pemerintahan Islam itu
wajib sebagaimana wajibnya pemerintahan Islam.

Metode untuk Meraih Target


Jamaah
dakwah
pertama
dan
kedua,
sebenarnya jamaah ini lebih konsen terhadap
urusan individu. Kedua jenis jamaah ini
berpandangan bahwa masyarakat yang islami
hanya akan terbentuk apabila seluruh individu di
dalam
masyarakat
itu
beragama
islam,
mempunyai aqidah yang benar serta akhlak yang
baik.
Dengan
demikian
metode
yang
diterapkannya pun adalah membina masyarakat
dengan
suatu
pembinaan
yang
arahnya
individual, di mana individu yang lebih awal
dibina nantinya diharuskan menyebarkannya ke

individu lain sehingga seluruh individu yang ada


akan beraqidah dan berakhlak baik. Dengan
demikian masyarakat islami akan terbentuk
ketika seluruh anggota masyarakat itu telah
beraqidah islam dan berakhlak mulia.
Seandainya jumlah masyarakat yang akan
diperbaiki hanya ratusan orang, hal itu tidak
terlalu menjadi masalah. Namun bagaimana
ketika masyarakat yang hendak diperbaiki itu
adalah seluruh penduduk suatu negara yang
jumlahnya ratusan juta dan di dalamnya terdapat
aqidah dan kondisi yang berbeda-beda. Selain itu,
seandainya seluruh anggota masyarakat telah
beraqidah dan berakhlak baik, siapakah yang
akan menerapkan hukum-hukum Islam, terutama
hukum-hukum yang menyangkut pemerintahan,
sistem ekonomi serta uqubat yang seharusnya
hal itu dilakukan oleh negara, baik ke dalam
maupun ke luar negeri. Padahal hal ini sama
sekali bukan termasuk urusan individu maupun
jamaah. Tidak pula dapat diselesaikan hanya
dengan akhlak yang baik, karena hukum yang
dilaksanakan oleh negara ini sudah ditetapkan
bentuk-bentuknya.
Ditambah
lagi
apabila
ternyata pengikut dari jamaah ini dalam
pembinaannya sama sekali belum pernah
mendapatkan bagaimana gambaran sistem Islam
yang seharusnya. Baik itu menyangkut sistem
pemerintahan, politik luar negeri, ekonomi, sosial
dan
sebagainya;
melihat
yang
menjadi
pembinaan utama adalah aqidah dan akhlak.
Dengan demikian tentu kedua macam jamaah
dakwah ini cukup kesulitan ketika harus
menegakkan masyarakat Islam secara kaffah.
Adapun kelompok dakwah yang ketiga adalah
kerlompok dakwah yang konsen terhadap
perbaikan masyarakat. Dari pemahamannya

terhadap definisi masyarakat yang merupakan


sekumpulan individu yang saling berinteraksi dan
mempunyai perasaan, pemikiran dan peraturan
yang sama, kelompok ini memandang kerusakan
di masyarakat terjadi akibat adanya kerusakan
perasaan, pemikiran dan peraturan yang ada di
masyarakat. Sehingga ketika ingin memperbaiki
masyarakat yang dilakukan adalah memperbaiki
pemikiran dan perasaan masyarakat dengan
pemikiran dan perasaan Islam serta sistem yang
mengatur interaksi dalam masyarakat itu.
Pada intinya tujuan dari kelompok ketiga ini
adalah berusaha mewujudkan kehidupan Islam
kembali dengan penerapan sistem Islam yang
akan melindungi dan memelihara pelaksanaan
hukum Islam yang berada di tengah-tengah
masyarakat, sehingga masyarakat dapat berubah
secara totalitas.
Untuk mengubah secara totalitas tersebut,
haruslah melalui metode yang telah dicontohkan
oleh Rasulullah, bagaimana beliau dengan para
sahabat menegakkan masyarakat Islam. Dengan
demikian metode atau strategi dakwah yang
harus dilakukan meliputi:

(1)

Tahap Pembinaan dan Pengkaderan


(Marhalah Tatsqif)
Tahap ini dimulai sejak beliau SAW diutus
menjadi Rasul, setelah firman Allah SWT:

Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu


berilah peringatan! (QS Al Muddatstsir: 12)
Tahapan
pertama
atau
tahapan
pengkaderan ini dilakukan secara lebih
tersembunyi (siriyyah). Tahapan ini merupakan
sebuah masa untuk mendidik kader, di mana
kader yang terbentuk inilah yang akan
menyebarkan
pemahaman
Islam
ke
masyarakat. Pada pengkaderan ini ditanamkan
pada diri kader tentang target dakwah yang
akan diraih, yaitu menegakkan Islam kembali
di muka bumi dengan cara tegaknya sebuah
pemerintahan yang akan menerapkan Islam
dalam setiap sendi kehidupan.

(2)

Tahap Interaksi dengan


dan Perjuangan
(Marhalah Tafaaul wal kiffah)

Masyarakat

Tahap ini ditempuh setelah melalui tahapan


pembinaan.
Hal
ini
dilakukan
setelah
Rasulullah mendapat perintah dari Allah:

Maka
terangan

sampaikanlah
secara
terangsegala apa yang diperintahkan

kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang


musyrik.(QS Al Hijr: 94)
Pelaku dakwah adalah orang-orang yang
telah mengalami pengkaderan sebelumnya.
Dibandingkan dengan tahap pertama, tahapan
ini akan lebih berat dari segi tantangan yang
akan dihadapi. Tahapan ini dibagi ke dalam
dua strategi, yaitu:
(a).

Shiraaul
pemikiran)

fikri

(pertarungan

Target dari aktivitas shiraaul fikri adalah


menjelaskan kepada masyarakat bahwa
sistem yang ada saat ini tidak sesuai dengan
Islam. Hal ini dilakukan dengan memerangi
pemikiran-pemikiran
kufur
dengan
mengungkapkan kelemahan, kerusakan dan
kepalsuannya serta memberikan pemikiran
Islam yang jernih sebagai penggantinya.
Pada tahap ini, pengkaderan terhadap
individu-individu yang akan melakukan
dakwah harus terus dilakukan.
(b). Kiffah as siyasi (perjuangan politik)
Aktivitas kiffah as siyasi (perjuangan
politik)
adalah
mengkritik
kebijakan
pemimpin yang tidak sesuai dengan Islam,
tidak
membela
kemashlahatan
kaum
muslimin serta membongkar berbagai makar
yang akan menghalang-halangi tegaknya
Islam kembali, baik makar antar pemimpin

maupun dengan negara lain. Dengan begitu,


rakyat mengetahui dengan jelas hakikat para
penguasa mereka.

3. Tahap Penerapan Syariat Islam (Tathbiq Al


Ahkaam Al Islam).
Tahap ini ditandai dengan didirikannya
Daulah Islamiyah sebagai pelaksana hukum
Islam dan sebagai pengemban risalah Islam ke
seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan
jihad.

Dengan telah dipahaminya tentang kewajiban


mengorganisasikan dakwah dengan baik serta
tujuan yang jelas juga metode yang jelas, insya
Allah kehidupan Islam yang diinginkan semua
umat dapat terwujud. Islam pun akan mampu
kembali menjadi rahmatan lil alamin.

BAB VI
Pengantar Tata Pergaulan
dalam Islam
Sistem sosial kemasyarakatan (Nidzam Al
Ijtimai) adalah sistem yang mengatur hubungan
pria dan wanita dan sebaliknya serta mengatur
hubungan yang timbul di antara mereka karena
pertemuan tersebut.
Saat ini, sering kita saksikan bahwa wanita
tidak lagi memiliki sifat seperti seharusnya
wanita. Di televisi maupun media-media cetak,
wanita
dipampang
dengan
menampakkan
auratnya seolah mereka adalah pelaris barang
dagangan. Wanita sudah seperti komoditi yang
diperdagangkan. Bahkan sering kali barang yang
tidak ada hubungannya sama sekali dengan
wanita berusaha dihubung-hubungkan. Wanita
yang mengumbar aurat di mana-mana, sudah
merupakan hal yang biasa. Bahkan model wanita
karier, di mana wanita bekerja di luar rumah
hingga meninggalkan tugas utamanya sebagai
ibu rumah tangga adalah hal yang dianggap
modern. Dan dianggap kuno jika seorang wanita
tidak bekerja dan memakan gaji suaminya saja.
Selain hal tersebut, di sisi lain pergaulan bebas
antara pria dan wanita sudah mulai merebak.
Hubungan intim maupun hidup serumah tanpa

ikatan perkawinan, terutama penduduk kota


besar dan selebritis adalah hal yang biasa dan
bahkan menjadi suatu kebutuhan. Akhirnya,
manusia yang pada fitrahnya adalah tinggi, sudah
tidak ada bedanya lagi dengan binatang.
Islam telah mengatur bagaimana sosial
kemasyarakatan harus berjalan. Dalam Islam,
tugas utama wanita adalah mengurus rumah
tangga serta menjaga kehormatan diri, keluarga
maupun suami. Hal ini dipandang sangat remeh
dan kuno oleh kapitalis dan bahkan malah
dipandang
merendahkan
wanita.
Padahal
sebenarnya tugas pengurusan rumah tangga ini
adalah tugas yang sangat mulia dan berat.
Karena di sini kader-kader unggul akan dicetak.
Dan proses pencetakan kader yang unggul ini
bukanlah merupakan sesuatu yang mudah dan
remeh. Karena jika terjadi kesalahan mendidik
(walaupun
kecil-peny)berarti
telah
menyianyiakan kader. Dalam kapitalis hal ini justeru
dipandang rendah. Sehingga banyak perempuan
yang meninggalkan tugas utamanya, hanya
sekedar untuk menjadi wanita karier sehingga
urusan rumah tangganya diserahkan kepada
pembantu rumah tangga. Walhasil, yang terjadi
adalah keberantakan di dalam rumah tangga.
Dalam hak dan kewajiban sebagai warga
negara, pria dan wanita mempunyai kedudukan
yang sama. Wanita berhak memiliki barangbarang individu sebagaimana pria. Apabila wanita
bersalah wanita juga akan terkena hukuman

sebagaimana pria. Bahkan dalam struktur


kenegaraan, wanita diperbolehkan menduduki
posisi tertentu, misalnya menjadi anggota majelis
umat. Namun ada beberapa posisi yang memang
tidak diperbolehkan untuk wanita yaitu Al hakim
(Khalifah maupun wakil dan pembantunya,
wali/gubernur, ketua qadli dan amil), atau tugastugas lain yang berkenaan dengan pemerintahan
seperti qadli madzalim.
Dalam masalah hukum asal, wanita dan pria
adalah terpisah. Dengan demikian apabila tidak
ada suatu keperluan yang dibenarkan oleh syara,
maka hukumnya akan kembali ke asalnya yaitu
terpisah.
Dalam hal lingkungan kehidupan, Islam
mengaturnya
dengan
pemisahan
antara
kehidupan umum dan kehidupan khusus.
Kehidupan umum adalah suatu tempat di mana
tidak perlu adanya izin ketika seseorang,
siapapun orangnya ingin memasuki tempat
tersebut. Sedangkan kehidupan khusus adalah
suatu tempat di mana ketika seseorang
memasuki tempat tersebut harus mendapatkan
izin dari yang mempunyai tempat tersebut. Dasar
dari peraturan ini adalah firman Allah SWT:

Wahai orang-orang yang beriman, kamu


jangan memasuki rumah orang lain, sehingga

kamu mendapatkan izin dan kamu mengucapkan


salam kepada penghuninya. (QS An Nur: 27)

Tempat Umum
Sebagaimana definisi dari tempat umum, maka
di tempat ini setiap orang diperbolehkan
memasukinya tanpa perlu memperoleh izin
seseorang. Tempat umum yang dimaksud sebagai
contohnya adalah sekolah/kampus, pasar, jalan
dan supermarket. Hanya saja pertemuan baik
yang tanpa adanya interaksi (ijtima) maupun
dengan interaksi
(ikhtilath) tetap diatur oleh
Islam. Kondisi ijtima hanya diperbolehkan jika hal
tersebut tidak dilakukan dengan berkhalwat
(berdua-duaan) misalnya ditempat yang sepi
antara pria dan wanita yang bukan mahrom.
Ikhtilath pun pada dasarnya boleh dilakukan
dengan syarat bahwa apa yang dibicarakan
bukanlah sebuah hal yang diharamkan serta tidak
dilakukan dengan berkhalwat. Pada tempat
umum ini baik pria maupun wanita harus dalam
kondisi tertutup auratnya.

Tempat Khusus
Tempat khusus adalah suatu tempat di mana
ketika seseorang ingin memasukinya, maka orang
itu harus meminta izin terlebih dahulu kepada
penghuninya. Contoh dari tempat khusus adalah
rumah dan mobil pribadi. Pada tempat khusus ini

pertemuan antara pria dan wanita hanya


diperbolehkan apabila pihak wanita ditemani oleh
beberapa orang yang diperbolehkan. Ketika
terjadi ikhtilath pun apa yang dibicarakan
terbatas pada apa yang diperbolehkan oleh
syara. Adapun yang terkategori orang yang boleh
menemani wanita dalam tempat khusus tersebut
telah diterangkan dalam Al Quran, yaitu:

Dan hendaklah mereka menutupkan kain


kerudung
ke
dadanya,
dan
janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada
suami mereka, ayah mereka, ayah dari suami
mereka, putera-putera mereka, putera-putera
suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka,
putera-putera saudara laki-laki mereka, puteraputera saudara perempuan mereka, wanitawanita Islam, budak-budak yang mereka miliki,
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. (QS An
Nur: 31)

Ijtima
(berkumpul tanpa
berinteraksi)

Haram (harus
terpisah)
kekhusuaan

Tempat khusus
Rumah tempat
tinggal, kamar,
mobil pribadi
Tempat Umum:
Masjid, pasar,
sekolah

Ikhtilat
(bercampur
dengan

interaksi)

Hukum asal :
haram

Di tempat
khusus

kekhususan
Di tempat
umum

Tanpa
mahram

haram

Dengan
mahram
boleh

boleh

Berkhalwat :
HARAM
Tanpa mahram:
haram
Dengan mahram

Interaksi yg boleh: boleh


Interaksi yang tidak boleh:
haram

Interaksi yag dilarang:


haram
Hukum asal: boleh
Interaksi yg
boleh
Berkhalwat:
haram

Bagan Peraturan Hubungan Pria dan


Wanita

Anda mungkin juga menyukai