Beberapa petugas jaga – yang sebagian lagi ngobrol sambil nonton telenovela di televisi, dan
sebagian lagi asyik main domino – langsung tergeragap kaget.
Koruptor : ‘’Tolong tangkap saya,’’
koruptor ternama itu kembali bicara sambil mengulurkan kedua tangannya seolah-olah minta
diborgol. Para petugas jadi langsung gemeteran.
Koruptor : ‘’Makanya saya di sini, minta diadili. Saya tak hendak membantah. Itu
urusan para pengacara saya, karena untuk itulah mereka dibayar: membuat saya kelihatan tak
bersalah.’’
Wartawan : ‘’Jadi bapak tidak akan membantah kalau Bapak koruptor kakap?’’
Korptor : “Saya hanya ingin meluruskan anggapan keliru, yang menyatakan koruptor
macam saya tak lebih benalu bangsa tak berguna. Koruptor macam saya jelas aset bangsa.
Kamilah yang menggerakkan roda perekonomian. Dengan korupsi uang jadi terdistribusi.
Terjadi pemerataan. Seperti pembangunan, korupsi juga terjadi di segala bidang. Kami tak
pernah menikmati buat sendiri. Kami ikut nyumbang pembangunan rumah ibadah,
menyantuni anak yatim, membantu korban bencana, menyokong olahraga, iuran
tujuhbelasan. Banyak. Karena sebagai koruptor yang baik, kami tahu cara mengelabui.
Dengan berbuat baik, kami menjadi dihormati. Duduk di depan bila ada hajatan, dan diminta
bicara di pengajian.’’
Wartawan : ‘’Bagaimana dengan para mahasiswa yang terus berdemonstrasi menuntut
semua koruptor dipenjarakan, Pak?’’
Koruptor : ‘’ahhh siapa peduli pula dengan ocehan belaka. Naif, bila para mahasiswa
terus menuntut koruptor di penjara. Nanti malah repot mesti bikin buuanyak penjara. Karena
70% warga republik ini pasti akan masuk penjara. Tidaklah itu hanya akan menghabiskan
Anggaran Belanja Negara? Percayalah, biaya memenjarakan koruptor jauh lebih tinggi
ketimbang dana subsidi BBM yang dialokasikan buat mengatasi kemiskinan. Jadi,
memenjarakan koruptor itu justru kontraproduktif bagi keuangan negara. Daripada uang
dihambur-hamburkan membangun penjara, lebih baik uang itu kami korupsi lalu kami bagi-
bagikan secara adil dan merata.”