Buku Ajar Manajemen Keuangan RS
Buku Ajar Manajemen Keuangan RS
KEUANGAN
RUMAH SAKIT
MANAJEMEN KEUANGAN
RUMAH SAKIT
ii
BUKU AJAR MANAJEMEN KEUANGAN
RUMAH SAKIT
Penulis :
Editor :
Penerbit :
UMLA Press
Redaksi :
Jl. Raya Plalangan Plosowahyu KM 2
Lamongan 62251
Tel (0322) 322 356
Fax (0322) 322 356
Email: umlapress@gmail.com
iii
KATA PENGANTAR
Keuangan itu menarik, meski pernyataan tersebut terdengar seperti iklan namun setiap individu
selalu dihadapkan pada berbagai masalah bagaimana mengelola keuangan dan bagaimana mengelola
kelebihan penghasilan mereka akan disimpan. Tersedia berbagai alternative yang mungkin dipilih. Karena
dihadapkan pada berbagai pilihan,mereka harus mengambil keputusan. Keputusan yang merupakan
keputusan keuangan. Dalam dunia kesehatan, ilmu keuangan dapat dipergunakan untuk mengetahui
keputusan keuangan apa yang harus dilakukan yang berhubungan dengan investasi dan persoalan logistik
di institusi pelayanan kesehatan. Bahan ajar ini dibuat sebagai pedoman mahasiswa dalam mengikuti
semua kegiatan pembelajaran dari mata kuliah ini. Semoga bahan ajar ini dapat dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya untuk meningkatkan wawasan mahasiswa Kesehatan Masyarakat mengenai manajemen
keuangan Rumah Sakit dan implementasinya dalam pelayanan kesehatan
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI 1
PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. MANAJEMEN KEUANGAN DI RUMAH SAKIT 1
C. PENETAPAN TARIF RUMAH SAKIT 3
D. KONSEP ABLITY TO PAY 4
E. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ATP 5
F. KEMAMPUAN MEMBAYAR PASIEN DENGAN TARIF 7
G. KEMAMPUAN MEMBAYAR MASYARAKAT 8
H. CARA MENGUKUR ABILITY TO PAY 8
I. KEMAUAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO PAY) 9
J. PERMASALAHAN KESEHATAN WTP 10
K. KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT 11
L. HUBUNGAN ABILITY TO PAY (ATP) DAN WILLINGNESS TO PAY (WTP) 11
PEMBAHASAN 16
IMPLEMENTASI UNIT COST SEBAGAI DASAR PENERAPAN TARIF 20
A. PENGERTIAN UNIT COST 20
B. TUJUAN DAN MANFAAT PENGHITUNGAN UNIT COST 20
C. KLASIFIKASI DAN PENGELOMPOKAN BIAYA 21
D. LANGKAH-LANGKAH PENGHITUNGAN UNIT COST 22
E. METODE PENGHITUNGAN UNIT COST 24
F. IMPLEMENTASI UNIT COST 25
MANAJEMEN LOGISTIK 27
USIA TEKNIS ALAT KESEHATAN 28
USIA EKONOMIS ALAT KESEHATAN 29
A. ANALISIS ABC 29
B. MANAJEMEN LOGISTIK RUMAH SAKIT 31
LOGISTIK MEDIS 37
ANALISIS BREAK EVEN POINT 46
REFERENSI 50
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................... I
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
M. LATAR BELAKANG.................................................................................................. 1
N. MANAJEMEN KEUANGAN DI RUMAH SAKIT .................................................... 1
O. PENETAPAN TARIF RUMAH SAKIT ...................................................................... 3
P. KONSEP ABLITY TO PAY ........................................................................................ 4
Q. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ATP ................................................ 5
R. KEMAMPUAN MEMBAYAR PASIEN MEMPUNYAI HUBUNGAN DENGAN TARIF
YANG BERLAKU ................................................................................................................ 7
S. KEMAMPUAN MEMBAYAR MASYARAKAT ....................................................... 8
T. CARA MENGUKUR ABILITY TO PAY.................................................................... 8
U. KEMAUAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO PAY)............................................. 9
V. PERMASALAHAN KESEHATAN WTP DIPENGARUHI OLEH BEBERAPA FAKTOR
10
W. KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT ........................................................... 11
X. HUBUNGAN ABILITY TO PAY (ATP) DAN WILLINGNESS TO PAY (WTP) .... 11
CASE STUDY ..................................................................................................................... 14
PEMBAHASAN .................................................................................................................. 16
IMPLEMENTASI UNIT COST SEBAGAI DASAR PENERAPAN TARIF DI INDONESIA20
REFERENSI........................................................................................................................ 50
vii
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
akan mempunyai demand yang lebih tinggi akan status kesehatannya. Pendekatan
dengan berbasis pada konsep produksi, pelayanan kesehatan merupakan salah satu
supply bekerja dalam sector kesetor salah stunya bias dilihat dari implemnetasi
mudah. Akan tetapi rumah sakit pemerintah seringkali kesulitan dalam masalah
dana karena jumlah dana yang dialokasikan untuk kesehatan masih terbatas. Hal ini
diperparah dengan biaya pelayanan kesehatan dan medis yang semakin mahal.
1
Menurut Thabrany (2002) dalam Rianti, dkk (2012) saat ini dapat kita lihat
maupun masyarakat. Alokasi umum biaya kesehatan hanya sebesar 2,5% dari
seluruh anggaran pemerintah. Alokasi ini masih jauh dari alokasi anggaran yang
ditentukan dalam undang undang kesehatan yaitu 5% dari anggaran pendapatan dan
belanja Negara (APBN) dan penganggaran yang dianjurkan oleh WHO yaitu
minimal 5% dari total Gross National Product (GNP) (Thabrany (2002) dalam
berpengaruh pada tarif rumah sakit pemerintah. Tarif yang ada saat ini tidak
untuk berkembang semakin tinggi karena persaingan antar rumah sakit semakin
besar (Munawar, Slradjuddln Beku, & Maidin, 2009). Untuk itulah pemerintah
Penetapan tarif dalam konteks rumah sakit pemerintah adalah sebagai alat
Pemerintah demi pelayanan yang terjangkau dan bermutu di rumah sakit dan
sebagai pengemban misi sosial bagi rumah sakit yang diharapkan bisa
2
berkesinambungan memberikan pelayanan secara gratis dan bermutu kepada pasien
Mengatur besaran tarif rumah sakit merupakan sebuah upaya yang dilakukan
berpendapatan tinggi. Untuk itu, tarif pelayanan kesehatan perlu ditetapkan secara
rasional salah satunya dengan adanya survei kemampuan dan kemauan membayar
rumah sakit dengan sejumlah uang dimana berdasarkan nilai tersebut, rumah sakit
dalam penetapan tarif rumah sakit menurut Gani (1997) adalah sebagai berikut :
1) Biaya satuan.
3) Subsidi silang
3
D. KONSEP ABLITY TO PAY
Pendekatan yang digunakan dalam analisis ATP didasarkan pada alokasi biaya untuk
kesehatan dan intensitas pengguna jasa layanan. Besar ATP adalah rasio anggaran
dianggap ideal. ATP menjelaskan besar tarif yang sanggup dibayar oleh masyarakat
pengeluaran pangan non esensial dan non makanan. Batasan ini didasarkan
digunakan secara lebih efisien dan efektif untuk kesehatan. Misalnya dengan
4
mengurangi pengeluaran alkohol/ tembakau/sirih untuk kesehatan
(Adisasmita, 2008).
biaya kesehatan terhadap kebutuhan sehari-hari pendapatan rutin. Harga barang (tarif
bahwa jumlah anggota keluarga juga dapat mempengaruhi Ability To Pay. Rumah
tangga dengan jumlah keluarga lebih dari 4 orang memiliki risiko pemiskinan lebih
tinggi. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka akan semakin banyak pula
menunjukkan bahwa idealnya setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama
untuk mencapai kondisi optimal dari kesehatan mereka. Tidak ada orang pun yang
5
boleh merasa dirugikan untuk mencapai ekuitas kesehatan sehingga jika inekuitas
harus dicegah.
Bila pendapatan total keluarga semakin besar, tentunya semakin banyak uang
yang dimilikinya sehingga akan semakin besar alokasi biaya kesehatan yang
Semakin besar alokasi biaya kesehatan yang disediakan sebuah keluarga, maka
fasilitas pelayanan kesehatan maka secara otomatis akan semakin banyak alokasi
dana dari penghasilan keluarga per bulan yang harus disediakan (Sastrosubroto,
2012).
dilakukan dengan pendekatan health budget, dengan asumsi bahwa setiap keluarga
pembayaran free for service maupun kapitasi dan INA CBGS dan lain-lain
(Sastrosubroto, 2012).
6
Jika tarif yang harus dibayar mempunyai proporsi yang besar dari tingkat
murah, tetapi jika tidak ada pilihan lain maka ia akan menggunakan pelayanan
merupakan faktor yang mempengaruhi daya beli atas jasa pelayanan kesehatan.
berlaku
Dalam kondisi ini, jenis pelayanan kesehatan dapat dibayar oleh pasien tanpa
(Sastrosubroto, 2012).
7
Dalam kondisi ini kemampuan membayar masyarakat termasuk buruk karena
berada di bawah tarif yang ada, sehingga masyarakat pasti tidak akan mau untuk
1) Pendapatan masyarakat.
2) Pengeluaran masyarakat.
terhadap yankes.
kemampuan membayar masyarakat dapat dilihat dari dari sisi pengeluaran untuk
kesehatan dapat dilihat dari pengeluaran tersier non pangan (Gani dkk, 1997).
pelayanan kesehatan dapat diukur dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk
8
konsumsi kebutuhan di luar kebutuhan dasar. Dalam hal ini antara lain minuman
jadi, minuman beralkohol, tembakau atau sirih, serta pengeluaran pesta yang diukur
dan biaya jasa pelayanan lain yang dibutuhkan masyarakat untuk hidup (Susilowati
dkk. 2001).
Non Pangan.
Russel (1996) mengemukakan bahwa kemauan membayar suatu jasa dapat dilihat
dari dua hal: pertama, mengamati dan menempatkan model pemanfaatan jasa
kemauan untuk membayar paket atau jasa pelayanan kesehatan (Russel, 1996).
9
biaya pelayanan kesehatan dapat dilihat dari pengeluaran kesehatan riil dalam bentuk
Dengan produksi jasa pelayanan kesehatan yang besar, maka tingkat kualitas
pelayanan akan lebih baik, dengan demikian dapat dilihat pengguna dapat
mengakses layanan yang cepat dan bermutu dengan kondisi tersebut tentunya
Jika manfaat yang dirasakan konsumen semakin besar terhadap suatu pelayanan
terhadap tarif yang berlaku, demikian sebaliknya jika manfaat yang dirasakan
2012).
4) Penghasilan pengguna
membayar tarif perjalanannya semakin besar hal ini disebabkan oleh alokasi
10
biaya perjalanannya lebih besar, sehingga akan memberikan kemampuan dan
Consultan memberikan penjelasan tentang hubungan antara tarif, ATP dan WTP
yaitu dalam pelaksanaan untuk menentukan tarif sering terjadi benturan antara
besarnya WTP dan ATP, kondisi tersebut selanjutnya disajikan secara ilustrasi yang
11
Gambar 1. Persentase Responden yang Mempunyai ATP dan WTP tertentu
Kondisi ini menunjukan bahwa kemampuan membayar lebih besar dari pada
penghasilan yang relatif tinggi tetapi utilitas terhadap jasa tersebut relatif
rendah, pengguna pada kondisi ini disebut choiced riders (Sastrosubroto, 2012).
pengguna untuk membayar jasa tersebut lebih besar dari pada kemampuan
penghasilan yang relatif rendah tetapi utilitas terhadap jasa tersebut sangat
lebih dipengaruhi oleh utilitas, pada kondisi ini pengguna disebut captive riders
(Sastrosubroto, 2012).
3) ATP = WTP
12
Kondisi ini menunjukan bahwa antara kemampuan dan keinginan membayar
jasa yang dikonsumsi pengguna tersebut sama, pada kondisi ini terjadi
Bila parameter ATP dan WTP yang ditinjau, maka aspek pengguna dalam
hal ini dijadikan subyek yang menentukan nilai tarif yang diberlakukan dengan
lainnya yang dibutuhkan sesuai pada kondisi, dimana nilai tarif berlaku
lebih besar dari ATP, sehingga didapat nilai tarif yang besarnya sama
(Sastrosubroto, 2012).
3) Bila perhitungan tarif berada jauh dibawah ATP dan WTP, maka terdapat
2012).
13
CASE STUDY
pemerintah daerah telah menetapkan tarif layanan kesehatan. Besaran tarif yang
No. 3 Tahun 2011. Penetapan tarif yang dilakukan di RSUD Karangasem yang ada
pada Peraturan Bupati Karangasem berdasarkan studi penghitungan biaya satuan dan
survei Ability To Pay (ATP) dan Willingnes To Pay (WTP) pada tahun 2008
inflasi tidak diimbangi dengan penyesuaian dan pembaharuan studi analisis ATP dan
WTP yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem. Hal ini tentu
akan menimbulkan biaya operasional rumah sakit yang meningkat sedangkan alokasi
dana untuk kesehatan terbatas dan tarif yang berlaku tidak diperbaharui (Pemerintah
Saat ini penetapan tarif yang dilakukan di RSUD Karangasem yang ada pada
Peraturan Bupati Karangasem berdasarkan studi penghitungan biaya satuan dan survei
ability to pay (ATP) dan willingnes to pay (WTP) pada tahun 2008 (Pemerintah
melihat kemampuan dan kemauan membayar pasien rawat inap dapat dijadikan dasar
14
untuk mengetahui penerimaan masyarakat pengguna pelayanan kesehatan terhadap
tarif yang baru. Dengan studi ini maka rumah sakit dapat meningkatkan upaya
pemerataan dengan mengatur besaran subsidi dan sasaran yang akan mendapatkan
subsidi. Untuk itu peneliti tertarik dalam menganalisis kemampuan dan kemauan
2011).
Tabel 2. Tabel tarif hasil penelitian dan tarif yang ada di Peraturan Bupati Karangasem
No 3 Tahun 2011
Kelas Rawat Tarif Berdasarkan Studi Unit Tarif berdasarkan peraturan Bupati
No Inap Cost Karangasem No. 3 Tahun 2011
1 VIP A Rp 259.259,90 Rp 297.500,00
2 Kelas I Rp 81.670,56 Rp 107.000,00
3 Kelas II Rp 74.062,99 Rp 76.500,00
4 Kelas III Rp 22.838,40 Rp 42.500,00
Sumber: Perda Karangasem, 2011
Penelitian survei kemampuan membayar pasien (ATP) rawat inap berdasarkan
kelas perawatan yakni 15 orang responden dari kelas VIP A, 1 orang responden dari
kelas VIP B (I), 1 orang responden dari kelas II dan 89 orang responden dari kelas
III sehingga jumlah total responden adalah 106 orang responden (Ayu Juliasih,
2014).
15
PEMBAHASAN
Karangasem disesuaikan agar tarif yang dibentuk tersebut menjadi sebuah tarif
terjangkau dan mampu dibayar oleh masyarakat setempat. Penentuan tarif terjangkau
biasanya sangat subyektif yang merupakan keputusan antara DPRD dan Pemerintah
Daerah dalam konteks ini yang diusulkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
Karangasem. Pada umumnya penetapan tarif di masa lalu tidak didasarkan pada
berapa banyak masyarakat mampu membayar tarif tersebut ketika ia sakit. Namun
yang diperoleh ada 2 yaitu kemampuan membayar dan kemauan membayar. Data
yaitu 10% dari kebutuhan non pangan dan non esensial dikali 12 bulan. Data
kemauan membayar pasien akan dianalisis dengan melihat alternatif tarif yang paling
membayar pasien.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Ayu Juliasih (2014)
menyatakan bahwa kemampuan membayar pasien (ATP) pada fasilitas rawat inap
kelas VIP A,VIP B (I), kelas II dan kelas III lebih besar dari kemauan membayar
pasien (WTP) dan tarif yang diberlakukan lebih kecil dari daya beli masyarakat. Hal
tingkat utilitas pelayanan kesehatan rumah sakit rendah. Bila dilihat dari sisi
16
kemauan membayar pasien (WTP), terlihat bahwa sebagian besar responden memilih
tarif yang lebih rendah dari tarif yang berlaku saat ini.
Tabel 3. Hasil ATP dan WTP pasien Yang Berkunjung Ke RSUD Karangasem
Dilihat dari tabel diatas, maka dapat diketahui bahwa kemauan membayar
(WTP) untuk memilih tarif yang lebih kecil bervariasi dari pengguna kelas VIP, kelas
II maupun kelas III. Menurut Gani (1997) dalam Hendriyanto (2009) menyebutkan
bahwa penetapan tarif adalah biaya satuan, jenis pelayanan, tingkat utilitas dan
subsidi silang, tingkat kemampuan masyarakat (yakni ATP dan WTP) dan elastisitas.
Dengan memperhatikan tingkat kemampuan (dalam hal ini WTP) akan membuat
penilaian terhadap kualitas pelayanan yang diterima. Dari kasus ini, peneliti
memaparkan beberapa alasan pengguna kelas VIP dan kelas II memilih tarif yang
17
lebih rendah yakni alasan ekonomis dan alasan antisipasi adanya tambahan biaya
yang mungkin muncul sedangkan pengguna kelas III lebih disebabkan oleh tingkat
dengan tarif yang lebih kecil dari tarif yang berlaku mengindikasikan bahwa tarif
yang berlaku saat ini berdasarkan peraturan Bupati Karangasem No 54 Tahun 2011
belum dapat diterima dengan baik. Gani (1997) dan Hendriyanto (2009)
kondisi kemampuan membayar lebih besar dari pada kemauan membayar jasa
pelayanan kesehatan, hal ini dapat terjadi bila penggguna jasa mempunyai
penghasilan yang relatif tinggi tetapi utilitas terhadap jasa tersebut relatif rendah,
pengguna jasa pada kondisi ini disebut choiced riders (Hadi, 2008).
Dari hasil penelitian, kemampuan masyarakat cukup baik, karena tarif yang
diberlakukan ternyata lebih kecil dari daya beli masyarakat. Artinya bahwa rata-rata
masyarakat sebenarnya mampu tetapi tidak mau membayar jasa layanan rawat inap.
tingkat kemauan masyarakat dalam membayar tarif pelayanan, Cahyono (2009) dan
Hazibuan (2008).
Walaupun kemampuan membayar pasien baik, mereka tetap memilih kalau bisa
membayar lebih murah tetapi fasilitasnya tetap bagus sehingga banyak pasien
memilih tarif paling murah. Tarif ini merupakan tarif peraturan daerah yang sudah
tidak berlaku lagi saat ini. Hal ini berarti tarif yang ada sekarang belum dapat
18
cost sudah dilakukan pada tahun 2008 dan jika dilihat dari kondisi sekarang tingkat
inflasi semakin tinggi dari tahun sebelumnya yang mengakibatkan harga pelayanan
dibayarkan. Dengan adanya tarif yang sesuai diharapkan dapat menutup seluruh
biaya produksi suatu usaha (barang dan jasa) termasuk rumah sakit. Dalam
persaingan usaha yang sangat ketat, besarnya harga yang harus dibayarkan oleh
konsumen akan menentukan minat konsumen dalam hal ini pasien untuk
(satu) layanan rumah sakit yakni RSUD Kab. Karangasem sehingga tidak ada pilihan
bagi masyarakat sekitar untuk memilih alternatif pelayanan kesehatan lain (RS
19
IMPLEMENTASI UNIT COST SEBAGAI DASAR PENERAPAN
TARIF DI INDONESIA
Unit cost dapat diartikan sebagai biaya per unit produk atau biaya per
pelayanan. Sedangkan menurut Hansen & Mowen dalam Chikitta (2011), unit cost
didefinisikan sebagai hasil pembagian antara total cost yang dibutuhkan dengan
jumlah unit produk yang dihasilkan. Produk yang dimaksudkan dapat berupa
biaya, dengan demikian unit cost dapat ditentukan. Unit cost ini merupakan
informasi yang sangat penting bagi suatu entitas. Dengan penghitungan unit cost,
efisiensi dan kinerja suatu entitas dapat dimonitor dengan baik. Selain itu dengan
penghitungan unit cost akan dihasilkan informasi mengenai biaya per item,
berbagai keputusan penting lainnya. Dengan kata lain informasi mengenai unit cost
dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan bagi suatu entitas.
20
C. KLASIFIKASI DAN PENGELOMPOKAN BIAYA
menjadi:
1. Biaya variabel adalah biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan
perubahan tingkat aktivitas. Biaya bahan habis pakai adalah contoh biaya
variabel, dimana biaya ini tergantung dari banyaknya kegiatan dalam melayani
pengguna jasa.
2. Biaya tetap adalah biaya yang jumlah totalnya tetap dalam kisar volume
tertentu. Gaji pegawai adalah contoh dari biaya tetap, walaupun pengguna jasa
3. Biaya campuran adalah biaya yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai biaya
tetap ataupun biaya variabel. Dengan kata lain, biaya campuran merupakan
biaya yang mengandung sebagian unsur biaya tetap dan sebagian unsur biaya
variabel.
menjadi:
1. Biaya langsung adalah biaya yang terjadi karena adanya sesuatu yang dibiayai.
Biaya langsung di tiap-tiap ruang pelayanan adalah semua biaya yang terjadi
21
2. Biaya tidak langsung adalah biaya yang terjadinya tidak harus disebabkan oleh
pelayanan jasa yang diberikan adalah biaya produksi tidak langsung atau biaya
overhead.
Berikut adalah langkah-langkah perhitungan unit cost dalam suatu unit kerja:
2. Identifikasi semua produk/jasa yang dihasilkan oleh unit kerja, dan tentukan
3. Identifikasi semua biaya yang timbul di unit kerja karena melakukan pelayanan
kepada pengguna jasa, berupa biaya langsung dan biaya tidak langsung.
4. Tentukan dasar alokasi biaya bersama. Biaya bersama adalah biaya yang
6. Analisis unit atau bagian lain yang secara logika biayanya timbul akibat
7. Telusuri biaya tidak langsung dan hitung alokasi biaya tidak langsung untuk
unit kerja.
8. Hitung unit cost per pelayanan dengan cara mengalokasikan total biaya (biaya
Agar perhitungan biaya di suatu rumah sakit dapat dilakukan dengan baik dan
dikerjakan dengan efisien, menurut Lubis dalam bukunya yang berjudul Ekonomi
22
Kesehatan (2009) diperlukan langkah-langkah yang secara garis besar dijabarkan
sebagai berikut:
a. Penentuan Pusat Biaya. Pusat biaya adalah unit yang menyerap biaya rumah
sakit. Seluruh bagian rumah sakit harus dibagi habis ke dalam berbagai pusat
biaya. Secara garis besar, pusat biaya rumah sakit dibagi menjadi pusat biaya
biaya. Data biaya dikumpulkan dari semua sumber yang ada, baik dari laporan
keuangan maupun perincian biaya di setiap pusat biaya. Data biaya meliputi
data biaya investasi, yang diukur dengan membuat daftar semua investasi
pembelian dan masa pakainya. Kemudian data biaya operasional meliputi obat
dan bahan medis, bahan habis pakai, bahan makanan, binatu dan biaya
operasional lainnya.
setiap pusat biaya rumah sakit sebagai dasar distribusinya. Misalnya adalah luas
disetiap unit penunjang ke setiap unit produksi yang terkait. Pada dasarnya unit
produksi terkait. Apabila seluruh biaya asli unit penunjang telah dipindahkan
ke unit produksi terkait, maka tidak ada lagi biaya tersisa di satu unit penunjang.
23
E. METODE PENGHITUNGAN UNIT COST
terlibat biasanya hanya biasa langsung saja, yaitu biaya tenaga kerja dan biaya
representatif.
suatu solusi untuk masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan baik
oleh sistem biaya tradisional. Sistem biaya ABC ini merupakan hal yang baru
Based Costing (ABC), sebagai suatu konsep akuntansi biaya yang berdasarkan
menimbulkan biaya. Dalam sistem biaya ABC ini dirancang sedemikian rupa
sehingga setiap biaya yang tidak dapat dialokasikan secara langsung kepada
produk, dibebankan kepada produk berdasarkan aktivitas dan biaya dari setiap
24
F. IMPLEMENTASI UNIT COST DI RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK
Penerapan penghitungan unit cost pelayanan di suatu Rumah Sakit dapat berupa
metode Activity Based Costing (ABC). Activity Based Costing merupakan suatu
sistem kalkulasi biaya yang pertama kali menelusuri biaya semua aktivitas dan
kemudian ke produk yang dinilai dapat mengukur secara cermat biaya-biaya yang
dikelompokkan kedalam sebuah kelompok biaya (cost pool) dan penyebab biaya
(cost driver). Cost pool adalah penggabungan dua atau lebih aktivitas yang
memiliki cost driver yang sama untuk dapat dibebankan secara bersama-sama ke
Penentuan tarif kelompok dilakukan dengan cara membagi biaya aktivitas untuk
setiap kelompok biaya per tahun dengan jumlah cost driver untuk setiap kelompok
Perhitungan tarif rawat inap di RSUD Sunan Kalijaga Demak dapat diambil
1. Harga berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa biaya
rawat inap untuk pasien pada RSUD Sunan Kalijaga berbeda tiap kelasnya, sesuai
25
2. Harga berdasarkan perhitungan dengan metode Activity Based Costing dibanding
dengan harga yang ditentukan oleh RSUD Sunan Kalijaga adalah sebagai berikut:
ANALISIS JURNAL
perhitungan unit cost dengan metode Activity Based Costing (ABC), rumah sakit
ini masih menggunakan sistem perhitungan tradisional. Penentuan tarif rawat inap
dengan metode tradisional menghasilkan hasil yang kurang akurat karena lebih
menekankan pada harga pokok produk yang dijual. Akibatnya metode ini hanya
sakit.
yang lebih baik. Biaya setiap aktifitas dibebankan dengan lebih akurat dan
terperinci kedalam produk atau jasa sehingga lebih mudah ditelusuri. Selain itu
dengan metode ini manajemen dapat menganalisis hasil dari suatu aktivitas,
sehingga dapat memberikan dasar keputusan yang lebih akurat karena informasi
26
Terdapat selisih harga antara perhitungan tarif rawat inap metode ABC
dengan metode yang digunakan RSUD Sunan Kalijaga saat ini. Pada kelas VIP A
dan VIP B harga tarif rawat inap lebih besar dari perhitungan ABC sehingga
terdapat selisih yang besar sedangkan pada kelas I, II, dan III terdapat selisih kurang
karena harga yang berlaku lebih rendah dari perhitungan menggunakan metode
perhitungan ini lebih tepat dan akurat serta data yang disajikan adalah data yang
sesungguhnya.
Referensi
Nurhayati. 2004. Perbandingan Sistem Biaya Tradisional Dengan Sistem Biaya ABC.
Putri, Maretandra Inri. 2014. Analisis Perhitungan Tarif Rawat Inap Rumah Sakit dengan
MANAJEMEN LOGISTIK
27
Menurut Lukas Dwiantara dan Rumsari H.S (2004), logistik adalah segala sesuatu
yang berwujud dan dapat diperlakukan secara fisik atau tangible, baik yang digunakan
M. Siagian (2005) logistik merupakan bagian dari proses supply chain yang berfungsi
untuk merencanakan, melaksanakan, serta mengontrol secara efektif dan efisien dalam
mengadakan, mengelola, dan menyimpan barang, atau mengatur aliran barang dari awal
perencanaan hingga titik konsumsi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Dari beberapa
pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa logistik adalah segala sesuatu yang
berwujud dan dikendalikan alirannya secara efektif dan efisien dari awal perencanaan
Berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu organisasi atau instansi, logistik
dapat dibedakan sesuai kegunaannya, salah satunya logistik medis yang digunakan untuk
58 tahun 2014 logistik medis merupakan sediaan berupa obat, bahan medis habis pakai,
serta alat kesehatan yang digunakan untuk memberikan tindakan medis. Alat kesehatan
berbeda dengan bahan medis habis pakai. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin
dan/ atau implan yang tidak mengandung obat, yang digunakan untuk mencegah,
memulihkan kesehatan manusia, dan/ atau membentuk struktur atau memperbaiki fungsi
tubuh. Sedangkan bahan medis habis pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk
digunakan satu kali pakai, yang daftar produknya diatur dalam peraturan perundang-
28
Usia teknis adalah lama waktu suatu alat dapat digunakan secara teknis (Evans dan
Cooper, 2010). Setiap alat kesehatan memiliki usia teknis yang berbeda-beda tergantung
cara pemakaian alat maupun pemeliharaan alat (Kementerian Kesehatan RI, 2015). Usia
teknis alat kesehatan harus diperhatikan sebagai tolak ukur efektivitas penggunaan alat
kesehatan.
Usia ekonomis adalah lama waktu suatu alat dapat digunakan dan masih
menguntungkan secara ekonomis (BPKP, 2017). Nilai ekonomis suatu alat dapat
menentukan biaya penyusutan suatu alat yang merupakan aktiva tetap. Salah satu penetuan
biaya penyusutan suatu alat atau mesin dapat menggunakan metode garis lurus, yaitu suatu
metode perhitungan biaya penyusutan pertahun yang relatif tetap (BPKP, 2017). Berikut
Nilai investasi pada rumus tersebut merupakan harga awal suatu alat atau mesin, sedangkan
nilai sisa pada rumus tersebut merupakan harga akhir dari alat atau mesin tersebut (BPKP,
2017).
A. ANALISIS ABC
Analisis ABC merupakan salah satu metode pada manajemen persediaan. Analisis
ABC didasarkan pada konsep Hukum Pareto (Ley de Pareto) yang menyatakan bahwa
bagian yang memiliki persentase terkecil, yaitu 20% memiliki pengaruh persentase
terbesar, yaitu 80%. Konsep tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Ford Dickie dari
29
General Electric sekitar tahun 1940-an menjadi konsep ABC dalam klasifikasi barang
persentase yang berbeda. Kelompok dari masing-masing kelas tersebut sebagai berikut
1. Kelompok A (Always)
kumulatif investasi tertinggi yaitu 70% - 80% dari total investasi persediaan yang
diadakan.
2. Kelompok B (Better)
kumulatif investasi cukup tinggi yaitu 15% - 20% dari total investasi persediaan yang
diadakan.
3. Kelompok C (Control)
investasi terendah yaitu 5% - 15% dari total investasi persediaan yang diadakan.
30
4. Lakukan perangkingan pada setiap jenis barang sesuai dengan total dana
investasi, dimulai dari total dana investasi terbesar hingga yang terkecil.
5. Lakukan perhitungan persentase kumulatif nilai investasi barang dari total nilai
menyatakan bahwa rumah sakit sebagai suatu institusi penyedia pelayanan kesehatan
dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pada
penunjang setiap tindakan medis yang dilakukan. Logistik medis seperti obat, bahan habis
pakai, alat kesehatan, reagen, dan medical supply memiliki peranan lebih dari 90% dalam
pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit. Bahkan, perbekalan farmasi seperti, obat
dan bahan habis pakai memberikan kontribusi 50% dari seluruh pendapatan rumah sakit
(Suciati dan Adisasmito, 2006). Agar pengadaan dan penggunaan logistik medis menjadi
efektif dan efisien sehingga mampu menghasilkan keuntungan yang optimal diperlukan
manajemen logistik yang baik dan benar sebagai suatu usaha pengendalian logistik medis
di rumah sakit.
31
Manajemen logistik yang merupakan suatu proses supply chain memiliki fungsi
pada perencanaan, pelaksanaan, serta pengendalian guna mencapai efisiensi dan efektivitas
penyimpanan dan aliran barang, pelayanan dan informasi terkait dari titik permulaan (point
of origin) hingga titik konsumsi (point of consumption) dalam tujuannya untuk memenuhi
kebutuhan para pelanggan (Roos, 2016). Salah satu metode manajemen logistik medis yang
aplikatif dalam mencapai keefektifan dan efisiensi aliran barang, khususnya pada fungsi
perencanaan dan pengadaan logistik medis, serta fungsi pengawasan penggunaan obat,
adalah dengan melakukan analisis ABC indeks kritis. Oleh karena itu, pada penulisan ini
akan membahas Analisis ABC Indeks Kritis sebagai Metode Manajemen Logistik Medis
di Rumah Sakit.
Analisis ABC indeks kritis merupakan suatu metode manajemen logistik medis
yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana pada pengadaan logistik
medis di rumah sakit dengan melakukan pengelompokan logistik medis, baik perbekalan
farmasi seperti obat dan bahan habis pakai, alat kesehatan, reagen, serta medical supply,
berdasarkan perhitungan nilai pakai, nilai investasi, dan nilai kritis atau dampak yang
diberikan suatu logistik medis bagi kesehatan. (Suciati dan Adisasmito, 2006). Pada
metode ini terdapat 3 kelompok persentase pada masing- masing kriteria perhitungan nilai
indeks kritis, yaitu kelompok A dengan persentase 70- 80%, kelompok B dengan
persentase 15- 20%, dan kelompok C dengan persentase 5- 15% (Quick et al, 2012).
Terdapat 4 langkah dalam melakukan analisis ABC indeks kritis yaitu, mulai dari
menghitung nilai pakai, menghitung nilai investasi, menentukan nilai kritis, hingga
akhirnya ditentukannya nilai indeks kritis suatu logistik medis. Berikut pemaparan
langkah- langkah analisis data logistik medis berdasarkan metode ABC indeks kritis:
32
1. Melakukan Perhitungan Nilai Pakai
Perhitungan nilai pakai dilakukan dengan menghitung total pemakaian obat atau
jenis logistik medis lainya dalam kurun waktu 1 tahun. Data pemakaian logistik
pemakaian obat.
pemakaian obat.
pemakaian obat.
Misalkan pada suatu rumah sakit terdapat 1007 item obat yang kemudian
- Kelompok A: Terdapat 124 item (12, 31%) dari total item obat di instalasi
farmasi dengan jumlah pemakaian 506.214 (69, 10%) dari jumlah pemakaian
obat seluruhnya.
- Kelompok B: Terdapat 176 item (17, 48%) dari total item obat di instalasi
obat seluruhnya.
- Kelompok C: Terdapat 707 item (70, 21%) dari total item obat di instalasi
farmasi dengan jumlah pemakaian 72.240 (9, 86%) dari jumlah pemakaian
seluruhnya.
33
Tabel 2.1. Pengelompokan Obat dengan Analisis ABC berdasarkan Nilai
Note: Perhitungan ini juga dapat dilakukan pada jenis logistik medis lainnya.
jenis obat atau jenis logistik medis lainya yang diurutkan dari nilai investasi
- Kelompok A adalah kelompok obat dengan nilai investasi 70% dari total
investasi obat.
- Kelompok B adalah kelompok obat dengan nilai investasi 20% dari total
investasi obat.
- Kelompok C adalah kelompok obat dengan nilai investasi 10% dari total
investasi obat.
34
Misalkan pada suatu rumah sakit terdapat 1007 item obat yang kemudian
- Kelompok A: Terdapat 76 item (7, 55%) dari total item obat di instalasi
- Kelompok B: Terdapat 169 item (16, 78%) dari total item obat di instalasi
farmasi dengan jumlah nilai investasi sebesar Rp. 801.463.078, 00 (20, 21%)
- Kelompok C: Terdapat 76 item (7, 55%) dari total item obat di instalasi
farmasi dengan jumlah nilai investasi sebesar Rp. 382.215.061, 00 (9, 64%)
Perhitungan ini juga dapat dilakukan pada jenis logistik medis lainnya.
masing- masing kelompok obat. Pada kelompok obat dengan nilai investasi besar
jumlah stok atau pembelian barang, tetapi frekuensi pembelian ditingkatkan atau
35
3. Menentukan Nilai Kritis
Pada tahap ini obat dikelompokan berdasarkan nilai kritis obat atau manfaat
penggunaan dana yang ada. Penentuan nilai kritis obat dilakukan oleh tenaga ahli,
yang tentu sifat penilaiannya subjektif sesuai dengan pengetahuan atau wawasan
yaitu,
20%. Kelompok obat ini juga merupakan obat yang bekerja pada sumber
terapetik 10%, yang juga sebagai obat penunjang agar tindakan atau
keluhan. Pada kelompok ini kekosongan obat dapat ditoleransi lebih dari 48
jam.
36
4. Menentukan Nilai Indeks Kritis
Setelah dilakukannya penentuan nilai pakai, nilai investasi, dan nilai kritis suatu
obat atau logistik medis lainnya, maka akan dapat dihitung nilai indeks kritis
suatu obat atau logistik medis lainnya yang juga akan dikelompokan pada 3
kelompok Nilai Indeks Kritis (NIK). Berikut perhitungan nilai indeks kritis:
Kemudian nilai indeks kritis yang didapatkan masing- masing item akan
Kelompok dengan nilai indeks kritis tertinggi merupakan obat dengan kategori
kritis bagi sebagian besar pemakaianya, serta memiliki nilai investasi dan turn
over yang tinggi. Diharapkan dengan diketahuinya hal tersebut, maka pengadaan
obat atau logistik medis tersebut dapat dikendalikan atau dikontrol dengan baik
LOGISTIK MEDIS
operasional Rumah Sakit, maka diperlukan filling system yang tepat. Sistem pengelolaan
obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang meliputi aspek seleksi dan perumusan
37
kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan obat. Salah satu
tahap dalam proses penggunaan obat adalah penyerahan sediaan obat dari Instalasi
Farmasi rumah sakit sampai kepada penderita untuk digunakan. Proses penyerahan
sediaan obat yang diminta dokter dari Instalasi Farmasi rumah sakit untuk penderita
tertentu sampai ke tempat penderita dirawat disebut pendistribusian obat (Siregar, 2004).
a) Berdasarkan ada atau tidaknya satelit farmasi/depo farmasi, sistem distribusi obat
kemudian resep itu diproses sesuai dengan kaidah yaitu cara dispensing
tertentu.
Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit yang besar, misalnya
kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar sehingga jarak
antara Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan perawatan pasien sangat jauh.
38
Desentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang
pelayanan farmasi. Instalasi farmasi dalam hal ini bertanggung jawab terhadap
b) Berdasarkan distribusi obat bagi pasien rawat inap, digunakan empat sistem, yaitu
sentral sesuai dengan yang ditulis pada order/resep atas nama penderita
sistem ini obat diberikan kepada pasien berdasarkan resep yang ditulis oleh
dokter.
Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit-rumah sakit yang besar,
sehingga jarak antara IFRS dengan perawatan pasien sangat jauh. Sistem ini
39
Dalam sistem ini, semua obat yang dibutuhkan penderita tersedia
dipasok oleh IFRS. Obat yang didispensing dalam sistem ini terdiri atas obat
menyeluruh dan resep obat yang harus dibayar sebagai biaya obat.
Obat penggunaan umum ini terdiri atas obat yang tertera dalam daftar yang
obat yang ada di ruangan sesuai resep dokter untuk diberikan kepada pasien,
di ruang
oleh instalasi farmasi sentral dan sebagian lagi disiapkan dari persediaan
banyak pasien, setiap hari diperlukan dan harga obat relatif murah,
40
Alur sistem distribusi obat kombinasi persediaan di ruang dan resep
individual adalah dokter menulis resep untuk pasien dan resep tersebut
dilakukan oleh perawat dan apoteker. Obat disiapkan kepada pasien oleh
perawat.
Obat dosis unit adalah obat yang disorder oleh dokter untuk
penderita, terdiri dari satu atau beberapa jenis obat yang masing-masing
dalam kemasan dosis unit tunggal dalam jumlah persediaan yang cukup
dikonsumsi saja.
pimpinan rumah sakit dan staf administratif. Sistem distribusi dosis unit
IFRS dalam rumah sakit. Sistem dosis unit dapat berbeda dalam bentuk,
tergantung pada kebutuhan khusus rumah sakit. Dasar dari semua sistem
dosis unit adalah obat dikandung dalam kemasan unit tunggal di-dispensing
dalam bentuk siap konsumsi, dan untuk beberapa obat tidak lebih dari 24
41
jam persediaan dosis serta dihantarkan atau tersedia pada ruang perawatan
Metode pengoperasian sistem distribusi dosis unit ada tiga macam, yaitu :
1. Sentralisasi
tersebut hanya ada satu IFRS tanpa adanya cabang IFRS di beberapa
2. Desentralisasi
dasarnya sistem ini sama dengan sistem distribusi obat persediaan lengkap
Biasanya hanya dosis awal dan dosis keadaan darurat dilayani oleh
perbekalannya. Terdapat dua golongan yaitu perbekalan farmasi habis pakai atau
42
yang lazim disebut barang habis pakai (BHP) serta obat dan alkes. Contoh BHP
adalah handscoen, Water for injection (WFI), alkohol, kasa, masker, reagen dll.
Untuk jenis BHP, setiap petugas di nurse station dapat langsung mengadakan
permintaan dilakukan untuk stok selama satu bulan, namun jika dalam satu
gudang. Pemesanan ini dinamakan permintaan cito dan gudang harus segera
Alur distribusi obat dan alkes yang dilaksanakan ke apotek rawat inap
dan apotek rawat jalan adalah sama yaitu masing-masing apotek membuat laporan
penerimaan barang dan cek barang yang diminta serta menyetujui barang yang
diminta kemudian pihak gudang menyiapkan barang yang diminta setelah itu
Jika barang yang dipesan tidak ada maka pihak gudang obat akan menghubungi
supplier.
Selain dari PBF, obat yang dibutuhkan di JIH juga ada yang dibeli
Yogyakarta terlebih lagi jika obat yang diinginkan bersifat cito biasanya dari
pihak gudang ataupun apotek rawat jalan atau rawat inap yang membuka layanan
24 jam dapat membeli langsung obat di rumah sakit atau apotek terdekat yang
menyediakan obat yang diinginkan. Pembelian obat dengan cara ini biasanya
43
terjadi di malam hari dikarenakan gudang obat hanya dibuka pagi sampai sore
hari. Dilakukan dengan pembelian langsung dengan bantuan kurir dan keesokan
harinya pihak yang membeli obat (apotek rawat jalan atau apotek rawat inap)
apotek rawat jalan, obat & alkes dapat didistribusikan ke Unit Gawat Darurat
(UGD), hemodialisa (HD) dan poliklinik. Sedangkan dari apotek rawat inap
rawat inap mendapat resep yang terdapat obat bebas maka dapat meminta ke
apotek rawat jalan dan mencatatnya di buku ekspedisi dan demikian sebaliknya jika
apotek rawat jalan membutuhkan suatu obat tetapi tidak ada disana maka
dapat meminta di apotek rawat inap. Hal ini dikarenakan tidak semua jenis obat
yang terdapat di kedua apotek tersebut sama karena sifatnya saling melengkapi dan
sama.
menerima resep dan melakukan screening resep, petugas lalu mencatat obat-
obat yang digunakan di dalam catatan penggunaan obat yang berbeda di tiap
pasien dan obat akan disiapkan sesuai jadwal pemberiannya. Petugas mengatur
jadwal minum obat sesuai dengan signa (aturan pakai obat) yang tertulis pada
resep. Untuk obat oral diberikan langsung oleh apoteker/ asisten apoteker rawat
44
inap sesuai jadwal, sedangkan untuk obat-obat parenteral dikirim ke nurse station
dan diberikan oleh perawat. Obat dan alkes yang dibayar pasien hanya yang
telah digunakan dan hal ini sangat menguntungkan bagi pasien terutama dari
segi biaya. Ketika pasien pulang akan diresepkan untuk obat-obat yang terapinya
dilanjutkan di rumah.
Individual Prescription
pasien rawat inap yang mendapat resep saat pulang. Setelah apotek menerima
Floor Stock
Stock (FS) untuk alkes dispossible dan bahan medis yang digunakan habis pakai
Emergency Kit
45
pasien yang mengalami penurunan status kesehatan dengan tiba-tiba. Obat yang
ada di emergency kit selalu dipertahankan dalam jumlah yang sama seperti
semula. Emergency kit dan FS dikelola oleh perawat dan dipantau oleh petugas
farmasi yang terkait yang dapat digunakan langsung untuk menolong pasien
emergency kit tersedia di setiap nurse station pada tiap bangsal sehingga pasien
Macam dan jenis perbekalan farmasi baik pada Floor Stock maupun Emergency
berjumlah sama di nurse station pada tiap bangsal, setiap waktu pengecekan obat
(stock opname) kepala pelayanan apotek rawat inap akan mengeceknya di tiap
nurse station untuk memastikan obat dan alkes yang ada disana dalam keadaan
baik, tidak rusak dan tidak kadaluarsa serta jumlah yang ada sesuai dengan
permintaan. Jika jumlahnya kurang akan ada penambahan jumlah obat-dan alkes,
sebaliknya jika berlebih maka obat dan alkes yang ada akan diambil kembali
(Wijayanti, 2011).
Break Even Point (BEP) adalah titik impas jumlah pemakaian atau penjualan suatu
barang dimana pembiayaan, penjualan, dan laba berada di titik yang sama atau mulai dapat
46
menghasilkan keuntungan (Kasmir, 2010). Oleh karena itu, BEP merupakan teknik analisis
yang digunakan untuk menentukan tingkat penjualan dan komposisi produk untuk menutup
semua biaya yang terjadi selama periode tetentu (Prastowo dan Julianty, 2008).
Analisis BEP pada alat kesehatan dapat digunakan untuk melihat hubungan antara
cost atau biaya alat kesehatan, volume pemakaian, tarif penggunaan alat kesehatan, dan
laba. Selain itu dapat diketahui juga struktur biaya tetap alat kesehatan dan biaya variabel
alat kesehatan, serta hal yang tidak kalah penting adalah mengetahui kemampuan suatu
instansi rumah sakit dalam menekan biaya alat kesehatan dan mencapai batas dimana
penggunaan alat kesehatan tidak mengalami laba dan rugi, atau berada pada keadaan impas
antara biaya yang dikeluarkan dengan pendapatan yang diterima. (Iskandar, 2012).
Perhitungan BEP dapat dilakukan secara matematik maupun dengan grafik, yang
dalam memberikan informasi. Pada model matematik, dapat diketahui dengan mudah titik
impas suatu produk dalam bentuk numerik, sedangkan pada model grafik dapat diketahui
informasi yang lebih luas terkait biaya-biaya pembentuk titik impas dari produk tersebut
(Kasmir, 2010).
1. Pendekatan Matematik
produk pada keadaan impas serta menghitung pendapatan dari produk pada keadaan
FC
Q BEP =
P − VC
47
Berikut rumusan analisis titik impas dalam rupiah:
FC
BEP (Rp) =
1 − VC/S
Dimana:
Hal penting yang perlu diperhatikan pada perhitungan matematis ini adalah
melakukan penentuan biaya yang merupakan komponen atau unsur-unsur dari analisis
BEP, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah total biaya yang tidak akan
mengalami perubahan terhadap aktivitas usaha, sedangkan biaya variabel adalah total biaya
yang dapat berubah berbanding lurus dengan perubahan output dari aktivitas atau volume
Penentuan biaya merupakan langkah awal dalam analisis BEP dalam memisahkan
komponen biaya yang ada, baik biaya tetap atau biaya variabel. Penentuan biaya dapat
a. Pendekatan Analitis, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan meneliti setiap jenis
dan unsur biaya yang terkandung secara rinci pada biaya yang ada beserta sifat-sifat
48
b. Pendekatan Historis, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan memisahkan biaya
tetap dengan biaya variabel berdasarkan angka-angka dan data biaya masa lampau
(Kasmir, 2010).
2. Pendekatan Grafik
dengan menggunakan grafik. Titik impas atau BEP digambarkan sebagai titik
perpotongan antara garis pendapatan dengan garis biaya total (Prastowo dan Julianty,
2008). Dengan melakukan pendekatan grafik BEP, pihak manajemen selain akan
mampu mengetahui hubungan antara biaya, volume pemakaian, dan laba, dapat juga
mengetahui besarnya biaya yang tergolong biaya tetap dan yang tergolong biaya
variabel, serta mengetahui tingkat volume pemakaian alat kesehatan yang masih
Biaya adalah nilai kas yang digunakan untuk barang dan jasa yang diperkirakan
dapat membawa manfaat di masa sekarang atau masa yang akan datang pada
Biaya tetap adalah total biaya yang tidak akan mengalami perubahan terhadap
Biaya variabel adalah total biaya yang dapat berubah sesuai dengan perubahan
d. Kuantitas (Q)
Kuantitas adalah volume produk yang dijual (Prastowo dan Julianty, 2008)
REFERENSI
Anonim. (2004). No. 1197 Tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI. 2009. Undang- Undang RI No 44 Tahun 2009 tentang Rumah
50
Nurhayati. 2004. Perbandingan Sistem Biaya Tradisional Dengan Sistem Biaya ABC.
Putri, Maretandra Inri. 2014. Analisis Perhitungan Tarif Rawat Inap Rumah Sakit dengan
Metode Activity Based Costing di RSUD Sunan Kalijaga Demak [pdf]. http://e-
Quick, JD., et al. 2012. Inventory Management in Managing Drug Supply. Third Edition,
Siregar, Ch.J. P., dan Amalia, L. (2004). Farmasi Rumah Sakit, Teori dan Penerapan.
Suciati, Susi dan Adisasmito, Wiku B.B. 2006. Analisis Perencanaan Obat Berdasarkan
ABC Indeks Kritis di Instalasi Farmasi. J Manajemen Pelayanan Kesehatan (Vol 09.
Wijayanti, Tri, dkk. (2011). Jurnal Farmasi Indonesia, hal 20-27. Fakultas Farmasi,
51