Anda di halaman 1dari 58

MANAJAMEN

KEUANGAN
RUMAH SAKIT

Fara Nurdiana, M.Kes


Nuriyati, M.Kes
Ari Kusdiana, M.Kes
Muhamad Ganda Saputra, M.Kes
Buku Ajar

MANAJEMEN KEUANGAN
RUMAH SAKIT

Fara Nurdiana, M.Kes


Nuriyati, M.Kes
Ari Kusdiana, M.Kes
Muhamad Ganda Saputra, M.Kes

ii
BUKU AJAR MANAJEMEN KEUANGAN
RUMAH SAKIT

Penulis :

Fara Nurdiana, M.Kes


Nuriyati, M.Kes
Ari Kusdiana, M.Kes
Muhamad Ganda Saputra, M.Kes

ISBN : 978-623-95301-0-5 (PDF)

Editor :

Lilin Turlina, S.SiT., M.Kes


Faizatul Ummah, SSiT., M.Kes
Dian Nur Afifah., M.Kes
Abdul Rokhman., S.Kep.Ns., M.Kep

Desain sampul dan Tata Letak :


Soni Purnomo, S.Kep.Ns

Penerbit :
UMLA Press

Redaksi :
Jl. Raya Plalangan Plosowahyu KM 2
Lamongan 62251
Tel (0322) 322 356
Fax (0322) 322 356
Email: umlapress@gmail.com

Cetakan pertama, Juli 2020

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

iii
KATA PENGANTAR

Keuangan itu menarik, meski pernyataan tersebut terdengar seperti iklan namun setiap individu
selalu dihadapkan pada berbagai masalah bagaimana mengelola keuangan dan bagaimana mengelola
kelebihan penghasilan mereka akan disimpan. Tersedia berbagai alternative yang mungkin dipilih. Karena
dihadapkan pada berbagai pilihan,mereka harus mengambil keputusan. Keputusan yang merupakan
keputusan keuangan. Dalam dunia kesehatan, ilmu keuangan dapat dipergunakan untuk mengetahui
keputusan keuangan apa yang harus dilakukan yang berhubungan dengan investasi dan persoalan logistik
di institusi pelayanan kesehatan. Bahan ajar ini dibuat sebagai pedoman mahasiswa dalam mengikuti
semua kegiatan pembelajaran dari mata kuliah ini. Semoga bahan ajar ini dapat dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya untuk meningkatkan wawasan mahasiswa Kesehatan Masyarakat mengenai manajemen
keuangan Rumah Sakit dan implementasinya dalam pelayanan kesehatan

Penulis

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI 1
PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. MANAJEMEN KEUANGAN DI RUMAH SAKIT 1
C. PENETAPAN TARIF RUMAH SAKIT 3
D. KONSEP ABLITY TO PAY 4
E. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ATP 5
F. KEMAMPUAN MEMBAYAR PASIEN DENGAN TARIF 7
G. KEMAMPUAN MEMBAYAR MASYARAKAT 8
H. CARA MENGUKUR ABILITY TO PAY 8
I. KEMAUAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO PAY) 9
J. PERMASALAHAN KESEHATAN WTP 10
K. KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT 11
L. HUBUNGAN ABILITY TO PAY (ATP) DAN WILLINGNESS TO PAY (WTP) 11
PEMBAHASAN 16
IMPLEMENTASI UNIT COST SEBAGAI DASAR PENERAPAN TARIF 20
A. PENGERTIAN UNIT COST 20
B. TUJUAN DAN MANFAAT PENGHITUNGAN UNIT COST 20
C. KLASIFIKASI DAN PENGELOMPOKAN BIAYA 21
D. LANGKAH-LANGKAH PENGHITUNGAN UNIT COST 22
E. METODE PENGHITUNGAN UNIT COST 24
F. IMPLEMENTASI UNIT COST 25
MANAJEMEN LOGISTIK 27
USIA TEKNIS ALAT KESEHATAN 28
USIA EKONOMIS ALAT KESEHATAN 29
A. ANALISIS ABC 29
B. MANAJEMEN LOGISTIK RUMAH SAKIT 31
LOGISTIK MEDIS 37
ANALISIS BREAK EVEN POINT 46
REFERENSI 50

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................... I

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... II

PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1

M. LATAR BELAKANG.................................................................................................. 1
N. MANAJEMEN KEUANGAN DI RUMAH SAKIT .................................................... 1
O. PENETAPAN TARIF RUMAH SAKIT ...................................................................... 3
P. KONSEP ABLITY TO PAY ........................................................................................ 4
Q. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ATP ................................................ 5
R. KEMAMPUAN MEMBAYAR PASIEN MEMPUNYAI HUBUNGAN DENGAN TARIF
YANG BERLAKU ................................................................................................................ 7
S. KEMAMPUAN MEMBAYAR MASYARAKAT ....................................................... 8
T. CARA MENGUKUR ABILITY TO PAY.................................................................... 8
U. KEMAUAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO PAY)............................................. 9
V. PERMASALAHAN KESEHATAN WTP DIPENGARUHI OLEH BEBERAPA FAKTOR
10
W. KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT ........................................................... 11
X. HUBUNGAN ABILITY TO PAY (ATP) DAN WILLINGNESS TO PAY (WTP) .... 11
CASE STUDY ..................................................................................................................... 14

PEMBAHASAN .................................................................................................................. 16
IMPLEMENTASI UNIT COST SEBAGAI DASAR PENERAPAN TARIF DI INDONESIA20

G. PENGERTIAN UNIT COST ..................................................................................... 20


H. TUJUAN DAN MANFAAT PENGHITUNGAN UNIT COST ..................................20
I. KLASIFIKASI DAN PENGELOMPOKAN BIAYA ..................................................21
J. LANGKAH-LANGKAH PENGHITUNGAN UNIT COST .......................................22
vi
K. METODE PENGHITUNGAN UNIT COST .............................................................. 24

L. IMPLEMENTASI UNIT COST DI RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK ............... 25


MANAJEMEN LOGISTIK .............................................................................................. 27

USIA TEKNIS ALAT KESEHATAN.................................................................................. 28


USIA EKONOMIS ALAT KESEHATAN ........................................................................... 29
C. ANALISIS ABC ........................................................................................................ 29
D. MANAJEMEN LOGISTIK RUMAH SAKIT ............................................................ 31
LOGISTIK MEDIS ............................................................................................................ 37

ANALISIS BREAK EVEN POINT................................................................................... 46

REFERENSI........................................................................................................................ 50

vii
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kesehatan merupakan modal untuk bekerja dan hidup mengembangkan keturunan,

sehingga timbul keinginan yang bersumber dari kebutuhan hidup manusia.

Seseorang yang kebutuhan hidupnya sangat tergantung pada kesehatannya tentu

akan mempunyai demand yang lebih tinggi akan status kesehatannya. Pendekatan

ekonomi menekankan bahwa kesehatan merupakan suatu modal untuk bekerja.

Pelayanan kesehatan merupakan suatu input dalam menghasilkan hari–hari sehat

dengan berbasis pada konsep produksi, pelayanan kesehatan merupakan salah satu

input yang digunakan untuk proses produksi yang menghasilkan kesehatan.

Demand terhadap pelayanan kesehatan tergantung terhadap demand akan

kesehatan (Trisnantoro, 2006). Dalam memahami bagaimana teori demand dan

supply bekerja dalam sector kesetor salah stunya bias dilihat dari implemnetasi

penggunaan ilmu ekonomi khususnya keuangan dan logistic dalam pelyanan

kesehatan baik kesehatan dasar maupun lanjutan.

B. MANAJEMEN KEUANGAN DI RUMAH SAKIT

Rumah sakit pemerintah merupakan institusi pelayanan kesehatan yang

bertujuan agar masyarakat dapat mengakses pelayanan kesehatan secara lebih

mudah. Akan tetapi rumah sakit pemerintah seringkali kesulitan dalam masalah

dana karena jumlah dana yang dialokasikan untuk kesehatan masih terbatas. Hal ini

diperparah dengan biaya pelayanan kesehatan dan medis yang semakin mahal.

1
Menurut Thabrany (2002) dalam Rianti, dkk (2012) saat ini dapat kita lihat

rendahnya pembiayaan pelayanan kesehatan baik oleh pemerintah dan swasta

maupun masyarakat. Alokasi umum biaya kesehatan hanya sebesar 2,5% dari

seluruh anggaran pemerintah. Alokasi ini masih jauh dari alokasi anggaran yang

ditentukan dalam undang undang kesehatan yaitu 5% dari anggaran pendapatan dan

belanja Negara (APBN) dan penganggaran yang dianjurkan oleh WHO yaitu

minimal 5% dari total Gross National Product (GNP) (Thabrany (2002) dalam

Rianti, dkk (2012).

Dengan pembiayaan kesehatan yang terbatas ditambah dengan biaya produksi

pelayanan kesehatan di rumah sakit terus mengalami peningkatan akan

berpengaruh pada tarif rumah sakit pemerintah. Tarif yang ada saat ini tidak

memungkinkan rumah sakit pemerintah untuk berkembang, sementara kebutuhan

untuk berkembang semakin tinggi karena persaingan antar rumah sakit semakin

besar (Munawar, Slradjuddln Beku, & Maidin, 2009). Untuk itulah pemerintah

menyarankan terbentuknya rumah sakit dalam bentuk Badan Layanan Umum

(BLU) di mana dalam pola pengelolaan keuangannya memberikan fleksibilitas

berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (Kementerian Keuangan RI, 2012).

Penetapan tarif dalam konteks rumah sakit pemerintah adalah sebagai alat

untuk menghitung subsidi maupun anggaran yang harus disediakan oleh

Pemerintah demi pelayanan yang terjangkau dan bermutu di rumah sakit dan

sebagai pengemban misi sosial bagi rumah sakit yang diharapkan bisa

2
berkesinambungan memberikan pelayanan secara gratis dan bermutu kepada pasien

miskin. Thabrany (2002).

Mengatur besaran tarif rumah sakit merupakan sebuah upaya yang dilakukan

RSUD Karangasem untuk tetap dapat memberikan pelayanan kesehatan. Penetapan

tarif dalam pelayanan kesehatan sangat berperan dalam menentukan permintaan

dari kelompok yang berpendapatan rendah dibandingkan dengan kelompok yang

berpendapatan tinggi. Untuk itu, tarif pelayanan kesehatan perlu ditetapkan secara

rasional salah satunya dengan adanya survei kemampuan dan kemauan membayar

pasien. Thabrany (2002).

C. PENETAPAN TARIF RUMAH SAKIT

Departemen Kesehatan mengartikan tarif sebagai nilai suatu jasa pelayanan

rumah sakit dengan sejumlah uang dimana berdasarkan nilai tersebut, rumah sakit

bersedia memberikan jasa kepada pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan

dalam penetapan tarif rumah sakit menurut Gani (1997) adalah sebagai berikut :

1) Biaya satuan.

2) Jenis pelayanan dan tingkat pemanfaatan.

3) Subsidi silang

4) Tingkat kemampuan masyarakat (ATP dan WTP).

5) Tarif pelayanan pesaing yang setara.

3
D. KONSEP ABLITY TO PAY

Ability To Pay (ATP) adalah kemampuan seseorang untuk membayar jasa

rumah sakit yang diterimanya berdasarkan penghasilan yang dianggap ideal.

Pendekatan yang digunakan dalam analisis ATP didasarkan pada alokasi biaya untuk

kesehatan dan intensitas pengguna jasa layanan. Besar ATP adalah rasio anggaran

untuk kesehatan dengan pelayanan yang diberikan. Besaran ini menunjukkan

kemampuan masyarakat dalam membayar pelayanan kesehatan yang diperolehnya.

Menurut Sastrosubroto, (2012) menyatakan bahwa kemampuan seseorang

untuk membayar jasa pelayanan yang diterimanya berdasarkan penghasilan yang

dianggap ideal. ATP menjelaskan besar tarif yang sanggup dibayar oleh masyarakat

berdasarkan keadaan sosial ekonomi masyarakat (Sastrosubroto, 2012).

1) Kemampuan membayar kesehatan atau dikenal dengan ability to pay (ATP)

merupakan dana yang sebenarnya dapat dialokasikan oleh seseorang untuk

membiayai kesehatan (Kemenkes, 2001). Dua batasan ATP yang dapat

digunakan sebagai berikut:

a) ATP 1 adalah besarnya kemampuan membayar yang setara dengan 5% dari

pengeluaran pangan non esensial dan non makanan. Batasan ini didasarkan

bahwa pengeluaran untuk non makanan dapat diarahkan untuk keperluan

lain, termasuk untuk kesehatan (Adisasmita, 2008).

b) ATP 2 adalah besarnya kemampuan membayar yang setara dengan jumlah

pengeluaran untuk konsumsi alkohol, tembakau, sirih, pesta/upacara.

Batasan ini didasarkan kepada pengeluaran yang sebenarnya dapat

digunakan secara lebih efisien dan efektif untuk kesehatan. Misalnya dengan

4
mengurangi pengeluaran alkohol/ tembakau/sirih untuk kesehatan

(Adisasmita, 2008).

E. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ATP

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ATP, antara lain:

1) Harga barang (biaya kesehatan)

Kecenderungan biaya kesehatan yang naik dapat disebabkan oleh berapa

faktor-faktor, antara lain:

a. Kenaikan yang tajam dalam obat-obatan.

b. Perubahan struktur penduduk.

c. Perubahan utilisasi dalam pelayanan kesehatan.

d. Peningkatan kualitas tindakan medis seperti penggunaan alat kesehatan

yang semakin canggih (Thabrany, 2002).

Pendekatan yang digunakan dalam analisis ATP didasarkan pada alokasi

biaya kesehatan terhadap kebutuhan sehari-hari pendapatan rutin. Harga barang (tarif

pelayanan kesehatan), besar pendapatan, biaya pelayanan kesehatan dapat

mempengaruhi Ability To Pay seseorang. Sedangkan Thabrany, (2002) menjelaskan

bahwa jumlah anggota keluarga juga dapat mempengaruhi Ability To Pay. Rumah

tangga dengan jumlah keluarga lebih dari 4 orang memiliki risiko pemiskinan lebih

tinggi. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka akan semakin banyak pula

kebutuhan untuk memenuhi kesehatannya. Ekuitas atau keadilan dalam kesehatan

menunjukkan bahwa idealnya setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama

untuk mencapai kondisi optimal dari kesehatan mereka. Tidak ada orang pun yang

5
boleh merasa dirugikan untuk mencapai ekuitas kesehatan sehingga jika inekuitas

harus dicegah.

2) Penghasilan Keluarga Per Bulan

Bila pendapatan total keluarga semakin besar, tentunya semakin banyak uang

yang dimilikinya sehingga akan semakin besar alokasi biaya kesehatan yang

disediakannya (Sastrosubroto, 2012).

3) Alokasi Biaya Kesehatan

Semakin besar alokasi biaya kesehatan yang disediakan sebuah keluarga, maka

secara otomatis akan meningkatkan kemampuan membayar pelayanan

kesehatan / provider kesehatan, demikian pula sebaliknya (Sastrosubroto, 2012).

4) Jumlah Anggota Keluarga

Semakin banyak jumlah anggota keluarga tentunya akan semakin banyak

intensitas kunjungan ke fasilitas layanan kesehatan, semakin banyak kunjugan

fasilitas pelayanan kesehatan maka secara otomatis akan semakin banyak alokasi

dana dari penghasilan keluarga per bulan yang harus disediakan (Sastrosubroto,

2012).

Untuk menganalisis kemampuan membayar dari masyarakat pada dasarnya

dilakukan dengan pendekatan health budget, dengan asumsi bahwa setiap keluarga

akan selalu mengalokasikan sebagian dari penghasilannya untuk kebutuhan akan

aktivitas untuk memperoleh pelayanan kesehatan, baik yang menggunakan sistem

pembayaran free for service maupun kapitasi dan INA CBGS dan lain-lain

(Sastrosubroto, 2012).

6
Jika tarif yang harus dibayar mempunyai proporsi yang besar dari tingkat

pendapatannya maka masyarakat akan memilih pelayanan kesehatan yang lebih

murah, tetapi jika tidak ada pilihan lain maka ia akan menggunakan pelayanan

kesehatan tersebut secara terpaksa. Secara eksplisit tampak bahwa pendapatan

merupakan faktor yang mempengaruhi daya beli atas jasa pelayanan kesehatan.

Selanjutnya diperhitungkan persentase alokasi dana untuk pelayanan kesehatan

untuk setiap keluarga dari total pendapatannya. Setelah dilakukan perhitungan

terhadap persentase alokasi biaya kesehatan dalam keluarga, maka kemudian

diperhitungkan ATP tiap keluarga (Sastrosubroto, 2012).

F. KEMAMPUAN MEMBAYAR PASIEN MEMPUNYAI HUBUNGAN


DENGAN TARIF YANG BERLAKU

Adapun kemampuan membayar pasien mempunyai hubungan dengan tarif yang

berlaku

1) Tarif lebih kecil dari kemampuan membayar

Dalam kondisi ini, jenis pelayanan kesehatan dapat dibayar oleh pasien tanpa

harus memikirkan alternatif lain karena kemampuan membayarnya tinggi

(Sastrosubroto, 2012).

2) Tarif hampir sama dengan kemampuan membayar

Dalam kondisi ini, tidak semua konsumen kemungkinan akan memilih

pelayanan kesehatan tersebut, beberapa mungkin akan memikirkan alternatif

lain yang lebih murah (Sastrosubroto, 2012).

3) Tarif lebih besar dari kemampuan membayar

7
Dalam kondisi ini kemampuan membayar masyarakat termasuk buruk karena

berada di bawah tarif yang ada, sehingga masyarakat pasti tidak akan mau untuk

membeli barang dan jasa yang ditawarkan (Sastrosubroto, 2012).

G. KEMAMPUAN MEMBAYAR MASYARAKAT

Kemampuan membayar masyarakat mencakup :

1) Pendapatan masyarakat.

2) Pengeluaran masyarakat.

3) Pengeluaran masyarakat untuk makanan.

4) Pengeluaran masyarakat untuk non makanan.

5) Pengeluaran rumah tangga non esensial.

6) Kemampuan membayar masyarakat menurut pengeluaran non makanan

terhadap yankes.

7) Kemampuan membayar masyarakat menurut pengeluaran non esensial terhadap

yankes (Sastrosubroto, 2012).

H. CARA MENGUKUR ABILITY TO PAY

Menurut Mukti (2001) dapat menyimpulkan bahwa untuk mengetahui

kemampuan membayar masyarakat dapat dilihat dari dari sisi pengeluaran untuk

keperluan yang bersifat tersier seperti: pengeluaran rekreasi, sumbangan kegiatan

sosial, dan biaya rokok. Kemampuan masyarakat membayar biaya pelayanan

kesehatan dapat dilihat dari pengeluaran tersier non pangan (Gani dkk, 1997).

Susilowati dkk. (2001) berpendapat bahwa, kemampuan membayar biaya

pelayanan kesehatan dapat diukur dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk

8
konsumsi kebutuhan di luar kebutuhan dasar. Dalam hal ini antara lain minuman

jadi, minuman beralkohol, tembakau atau sirih, serta pengeluaran pesta yang diukur

setahun. Kemampuan untuk membayar berhubungan dengan tingkat pendapatan

dan biaya jasa pelayanan lain yang dibutuhkan masyarakat untuk hidup (Susilowati

dkk. 2001).

Menurut Depkes (2000) kemampuan membayar masyarakat dapat dilakukan

dengan pendekatan formula:

1) 10% dari Disposible income (pendapatan yang dapat dipakai setelah

dikeluarkan untuk pengeluaran pangan (esensial).

2) 50 % dari pengeluaran Rokok (Rokok/Sirih) ditambah dengan Pengeluaran

Non Pangan.

3) 5 % dari total Pengeluaran (Susilowati dkk. 2001).

I. KEMAUAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO PAY)

Beberapa rumusan tentang kemauan membayar (Willingness to Pay) adalah

Russel (1996) mengemukakan bahwa kemauan membayar suatu jasa dapat dilihat

dari dua hal: pertama, mengamati dan menempatkan model pemanfaatan jasa

pelayanan kesehatan di masa lalu, pengeluaran terhadap harga pelayanan kesehatan.

Kedua, wawancara langsung pada masyarakat seberapa besar kemampuan dan

kemauan untuk membayar paket atau jasa pelayanan kesehatan (Russel, 1996).

Mukti (2001), berpendapat kemauan membayar dapat dilihat dari pengeluaran

sebenarnya yang selama ini telah dibelanjakan untuk keperluan kesehatan.

Sedangkan pendapat Susilowati dkk. (2001) bahwa kemauan masyarakat membayar

9
biaya pelayanan kesehatan dapat dilihat dari pengeluaran kesehatan riil dalam bentuk

biaya obat, jasa pelayanan dan transportasi.

J. PERMASALAHAN KESEHATAN WTP DIPENGARUHI OLEH


BEBERAPA FAKTOR

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi WTP, antara lain:

1) Produk/jasa yang ditawarkan/disediakan oleh pemberi jasa pelayanan

kesehatan. Semakin banyak jumlah pelayanan yang melayani tentunya lebih

menguntungkan pihak pengguna (Sastrosubroto, 2012).

2) Kualitas dan kuantitas pelayanan yang disediakan.

Dengan produksi jasa pelayanan kesehatan yang besar, maka tingkat kualitas

pelayanan akan lebih baik, dengan demikian dapat dilihat pengguna dapat

mengakses layanan yang cepat dan bermutu dengan kondisi tersebut tentunya

konsumen dapat membayar yang lebih besar (Sastrosubroto, 2012).

3) Utilitas atau maksud pengguna terhadap pelayanan kesehatan tersebut

Jika manfaat yang dirasakan konsumen semakin besar terhadap suatu pelayanan

kesehatan yang dirasakannya tentunya semakin besar pula kemauan membayar

terhadap tarif yang berlaku, demikian sebaliknya jika manfaat yang dirasakan

konsumen rendah maka konsumen akan enggan untuk menggunakannya,

sehingga kemauan membayarnya pun akan semakin rendah (Sastrosubroto,

2012).

4) Penghasilan pengguna

Bila seseorang mempunyai penghasilan yang besar maka tentunya kemauan

membayar tarif perjalanannya semakin besar hal ini disebabkan oleh alokasi

10
biaya perjalanannya lebih besar, sehingga akan memberikan kemampuan dan

kemauan membayar tarif perjalanannya semakin besar (Sastrosubroto, 2012).

K. KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT

Kemauan membayar masyarakat mencakup :

1) Tempat memperoleh pelayanan kesehatan

2) Alasan pemilihan tempat pelayanan kesehatan

3) Penentu pemilihan tempat pelayanan kesehatan

4) Kemauan membayar aktual

5) Pengetahuan tentang tarif

6) Persepsi tentang tarif

7) Kemauan membayar normatif (Sastrosubroto, 2012)

L. HUBUNGAN ABILITY TO PAY (ATP) DAN WILLINGNESS TO PAY


(WTP)

Dalam website www.dardela.com, PT. Dardela Yasa Guna, Engineering

Consultan memberikan penjelasan tentang hubungan antara tarif, ATP dan WTP

yaitu dalam pelaksanaan untuk menentukan tarif sering terjadi benturan antara

besarnya WTP dan ATP, kondisi tersebut selanjutnya disajikan secara ilustrasi yang

terdapat pada gambar dibawah ini:

11
Gambar 1. Persentase Responden yang Mempunyai ATP dan WTP tertentu

(Sumber : konsultan Teknik Dardela Yasa Guna).

1) ATP > WTP

Kondisi ini menunjukan bahwa kemampuan membayar lebih besar dari pada

keinginan membayar jasa tersebut. Ini terjadi bila pengguna mempunyai

penghasilan yang relatif tinggi tetapi utilitas terhadap jasa tersebut relatif

rendah, pengguna pada kondisi ini disebut choiced riders (Sastrosubroto, 2012).

2) ATP < WTP

Kondisi ini merupakan kebalikan dari kondisi diatas, dimana keinginan

pengguna untuk membayar jasa tersebut lebih besar dari pada kemampuan

membayarnya. Hal ini memungkinkan terjadi bagi pengguna yang mempunyai

penghasilan yang relatif rendah tetapi utilitas terhadap jasa tersebut sangat

tinggi, sehingga keinginan pengguna untuk membayar jasa tersebut cenderung

lebih dipengaruhi oleh utilitas, pada kondisi ini pengguna disebut captive riders

(Sastrosubroto, 2012).

3) ATP = WTP

12
Kondisi ini menunjukan bahwa antara kemampuan dan keinginan membayar

jasa yang dikonsumsi pengguna tersebut sama, pada kondisi ini terjadi

keseimbangan utilitas pengguna dengan biaya yang dikeluarkan untuk

membayar jasa tersebut (Sastrosubroto, 2012).

Bila parameter ATP dan WTP yang ditinjau, maka aspek pengguna dalam

hal ini dijadikan subyek yang menentukan nilai tarif yang diberlakukan dengan

prinsip sebagai berikut:

1) ATP merupakan fungsi dari kemampuan membayar, sehingga nilai

tarif yang diberlakukan, sedapat mungkin tidak melebihi nilai ATP

kelompok masyarakat sasaran. Intervensi/campur tangan pemerintah baik

dalam bentuk subsidi langsung atau silang maupun dukungan pemerintah

lainnya yang dibutuhkan sesuai pada kondisi, dimana nilai tarif berlaku

lebih besar dari ATP, sehingga didapat nilai tarif yang besarnya sama

dengan nilai ATP.

2) WTP merupakan fungsi dari tingkat pelayanan kesehatan, sehingga bila

nilai WTP masih berada dibawah ATP maka masih dimungkinkan

melakukan peningkatan nilai tarif dengan perbaikan kinerja pelayanan

(Sastrosubroto, 2012).

3) Bila perhitungan tarif berada jauh dibawah ATP dan WTP, maka terdapat

keleluasaan dalam perhitungan/pengajuan nilai tarif baru (Sastrosubroto,

2012).

13
CASE STUDY

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Karangasem sebagai rumah sakit

pemerintah daerah telah menetapkan tarif layanan kesehatan. Besaran tarif yang

berlaku di RSUD Karangasem tahun 2013 berdasarkan Peraturan Bupati Karangasem

No. 3 Tahun 2011. Penetapan tarif yang dilakukan di RSUD Karangasem yang ada

pada Peraturan Bupati Karangasem berdasarkan studi penghitungan biaya satuan dan

survei Ability To Pay (ATP) dan Willingnes To Pay (WTP) pada tahun 2008

(Pemerintah Daerah Karangasem, 2011).

Perkembangan kondisi ekonomi dari tahun ke tahun cenderung mengalami

perubahan termasuk juga tingkat inflasi yang cenderung meningkat. Meningkatnya

inflasi tidak diimbangi dengan penyesuaian dan pembaharuan studi analisis ATP dan

WTP yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem. Hal ini tentu

akan menimbulkan biaya operasional rumah sakit yang meningkat sedangkan alokasi

dana untuk kesehatan terbatas dan tarif yang berlaku tidak diperbaharui (Pemerintah

Daerah Karangasem, 2011).

Saat ini penetapan tarif yang dilakukan di RSUD Karangasem yang ada pada

Peraturan Bupati Karangasem berdasarkan studi penghitungan biaya satuan dan survei

ability to pay (ATP) dan willingnes to pay (WTP) pada tahun 2008 (Pemerintah

Daerah Karangasem, 2011).

Instalasi rawat inap merupakan instalasi yang memberikan kontribusi pendapatan

paling besar bagi RSUD Karangasem dibandingkan instalasi lainnya. Sehingga

melihat kemampuan dan kemauan membayar pasien rawat inap dapat dijadikan dasar

14
untuk mengetahui penerimaan masyarakat pengguna pelayanan kesehatan terhadap

tarif yang baru. Dengan studi ini maka rumah sakit dapat meningkatkan upaya

pemerataan dengan mengatur besaran subsidi dan sasaran yang akan mendapatkan

subsidi. Untuk itu peneliti tertarik dalam menganalisis kemampuan dan kemauan

membayar pasien rawat inap di RSUD Karangasem (Pemerintah Daerah Karangasem,

2011).

Berikut adalah tabel hasil penelitian Analisis Kemampuan dan Kemauan

Membayar Pasien Rawat Inap Di RSUD Karangasem Tahun 2013.

Tabel 1. Hasil Survei Untuk Menentukan ATP dalam Penentuan tarif RS


Karangasem
Kelas Rawat Inap Rata-rata total Biaya pangan (B) Ability to Pay
pendapatan yang ATP = 10% x (A)-(B)
dikeluarkan masyarat
(A)
VIP A Rp. 4.475.000,00 Rp. 1.500.00,00 Rp.. 297.500,00
Kelas I Rp. 2.320.000,00 Rp. 1.250.000,00 Rp. 107.000,00
Kelas II Rp. 1.665.000,00 Rp. 900.000,00 Rp. 76.500,00
Kelas III Rp. 1.080.000,00 Rp. 655.000,00 Rp. 42.500,00
Sumber: Perda Karangasem, 2011

Tabel 2. Tabel tarif hasil penelitian dan tarif yang ada di Peraturan Bupati Karangasem
No 3 Tahun 2011
Kelas Rawat Tarif Berdasarkan Studi Unit Tarif berdasarkan peraturan Bupati
No Inap Cost Karangasem No. 3 Tahun 2011
1 VIP A Rp 259.259,90 Rp 297.500,00
2 Kelas I Rp 81.670,56 Rp 107.000,00
3 Kelas II Rp 74.062,99 Rp 76.500,00
4 Kelas III Rp 22.838,40 Rp 42.500,00
Sumber: Perda Karangasem, 2011
Penelitian survei kemampuan membayar pasien (ATP) rawat inap berdasarkan
kelas perawatan yakni 15 orang responden dari kelas VIP A, 1 orang responden dari
kelas VIP B (I), 1 orang responden dari kelas II dan 89 orang responden dari kelas
III sehingga jumlah total responden adalah 106 orang responden (Ayu Juliasih,
2014).
15
PEMBAHASAN

Penentuan tarif oleh pemerintah kabupaten karangasem berdasarkan SK Bupati

Karangasem disesuaikan agar tarif yang dibentuk tersebut menjadi sebuah tarif

terjangkau dan mampu dibayar oleh masyarakat setempat. Penentuan tarif terjangkau

biasanya sangat subyektif yang merupakan keputusan antara DPRD dan Pemerintah

Daerah dalam konteks ini yang diusulkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten

Karangasem. Pada umumnya penetapan tarif di masa lalu tidak didasarkan pada

berapa banyak masyarakat mampu membayar tarif tersebut ketika ia sakit. Namun

saat ini perhitungan tarif berdasarkan kemampuan membayar sudah mulai

diperhitungkan (Thabrany, 2011).

Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan aplikasi komputer. Data

yang diperoleh ada 2 yaitu kemampuan membayar dan kemauan membayar. Data

kemampuan membayar nantinya akan dianalisis dengan menggunakan rumus teori

yaitu 10% dari kebutuhan non pangan dan non esensial dikali 12 bulan. Data

kemauan membayar pasien akan dianalisis dengan melihat alternatif tarif yang paling

banyak dipilih oleh responden sehingga diketahui gambaran tingkat kemauan

membayar pasien.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Ayu Juliasih (2014)

menyatakan bahwa kemampuan membayar pasien (ATP) pada fasilitas rawat inap

kelas VIP A,VIP B (I), kelas II dan kelas III lebih besar dari kemauan membayar

pasien (WTP) dan tarif yang diberlakukan lebih kecil dari daya beli masyarakat. Hal

ini mengindikasikan bahwa kemampuan membayar masyarakat cukup baik namun

tingkat utilitas pelayanan kesehatan rumah sakit rendah. Bila dilihat dari sisi

16
kemauan membayar pasien (WTP), terlihat bahwa sebagian besar responden memilih

tarif yang lebih rendah dari tarif yang berlaku saat ini.

Tabel 3. Hasil ATP dan WTP pasien Yang Berkunjung Ke RSUD Karangasem

Kelas Tarif yang ATP Presentase Pilihan tarif Presentase


berlaku di RS (%) WTP (%)
VIP A Rp. 297.500 Rp.300.000- 20,1 Rp.297.000 26,7
Rp.700.000
>Rp.700.000- 33,3 Rp.178.000 46,7
Rp.1.200.000
>Rp.1.200.000- 33,3 Rp.259.000 26,7
Rp.2000.000
>Rp.2000.000 13,3
VIP B Rp. 107.000 Rp.854.500 100 Rp.126.000 100
II Rp. 76.500 Rp. 1.809.000 100 Rp. 45.000 100
III Rp. 42.500 <Rp.300.000 25,8 Rp. 43.000 6,7
Rp.300.000- 46,1 Rp. 28.000 8,9
Rp.700.000
>Rp.700.000- 14,6 Rp. 23.000 84,3
Rp.1.200.000
>Rp.1.200.000- 10,1
Rp.2000.000
>Rp.2000.000 3,4
Sumber: Data diolah dari hasil penelitian

Dilihat dari tabel diatas, maka dapat diketahui bahwa kemauan membayar

(WTP) untuk memilih tarif yang lebih kecil bervariasi dari pengguna kelas VIP, kelas

II maupun kelas III. Menurut Gani (1997) dalam Hendriyanto (2009) menyebutkan

bahwa penetapan tarif adalah biaya satuan, jenis pelayanan, tingkat utilitas dan

subsidi silang, tingkat kemampuan masyarakat (yakni ATP dan WTP) dan elastisitas.

Dengan memperhatikan tingkat kemampuan (dalam hal ini WTP) akan membuat

masyarakat mempunyai peranan dalam kebijakan penentuan tarif pelayanan

(Hendriyanto, 2009). Beberapa faktor yang mempengaruhi kemauan membayar

seseorang adalah pendapatan, pengetahuan mengenai tarif dan persepsi serta

penilaian terhadap kualitas pelayanan yang diterima. Dari kasus ini, peneliti

memaparkan beberapa alasan pengguna kelas VIP dan kelas II memilih tarif yang
17
lebih rendah yakni alasan ekonomis dan alasan antisipasi adanya tambahan biaya

yang mungkin muncul sedangkan pengguna kelas III lebih disebabkan oleh tingkat

pendapatan dan tingkat pengetahuan yang rendah. Kemauan membayar (WTP)

dengan tarif yang lebih kecil dari tarif yang berlaku mengindikasikan bahwa tarif

yang berlaku saat ini berdasarkan peraturan Bupati Karangasem No 54 Tahun 2011

belum dapat diterima dengan baik. Gani (1997) dan Hendriyanto (2009)

Menurut Hadi (2008) dalam Subirman,dkk (2012) berpendapat bahwa jika

kondisi kemampuan membayar lebih besar dari pada kemauan membayar jasa

pelayanan kesehatan, hal ini dapat terjadi bila penggguna jasa mempunyai

penghasilan yang relatif tinggi tetapi utilitas terhadap jasa tersebut relatif rendah,

pengguna jasa pada kondisi ini disebut choiced riders (Hadi, 2008).

Dari hasil penelitian, kemampuan masyarakat cukup baik, karena tarif yang

diberlakukan ternyata lebih kecil dari daya beli masyarakat. Artinya bahwa rata-rata

masyarakat sebenarnya mampu tetapi tidak mau membayar jasa layanan rawat inap.

Menurut Cahyono (2009) dalam Hazibuan (2008) hal ini membutuhkan

kebijaksanaan pengelola rumah sakit dalam penetapan tarif dengan memperhatikan

tingkat kemauan masyarakat dalam membayar tarif pelayanan, Cahyono (2009) dan

Hazibuan (2008).

Walaupun kemampuan membayar pasien baik, mereka tetap memilih kalau bisa

membayar lebih murah tetapi fasilitasnya tetap bagus sehingga banyak pasien

memilih tarif paling murah. Tarif ini merupakan tarif peraturan daerah yang sudah

tidak berlaku lagi saat ini. Hal ini berarti tarif yang ada sekarang belum dapat

sepenuhnya diterima masyarakat pengguna layanan, padahal studi penghitungan unit

18
cost sudah dilakukan pada tahun 2008 dan jika dilihat dari kondisi sekarang tingkat

inflasi semakin tinggi dari tahun sebelumnya yang mengakibatkan harga pelayanan

kesehatan semakin naik (Thabrany, 2002).

Unit cost dilakukan untuk menentukan tarif biaya yang seharusnya

dibayarkan. Dengan adanya tarif yang sesuai diharapkan dapat menutup seluruh

biaya produksi suatu usaha (barang dan jasa) termasuk rumah sakit. Dalam

persaingan usaha yang sangat ketat, besarnya harga yang harus dibayarkan oleh

konsumen akan menentukan minat konsumen dalam hal ini pasien untuk

memanfaatkan pelayanan kesehatan. Di Kabupaten Karangasem hanya tersedia 1

(satu) layanan rumah sakit yakni RSUD Kab. Karangasem sehingga tidak ada pilihan

bagi masyarakat sekitar untuk memilih alternatif pelayanan kesehatan lain (RS

swasta) di Kabupaten Karangasem pada tahun 2013.

19
IMPLEMENTASI UNIT COST SEBAGAI DASAR PENERAPAN

TARIF DI INDONESIA

A. PENGERTIAN UNIT COST

Unit cost dapat diartikan sebagai biaya per unit produk atau biaya per

pelayanan. Sedangkan menurut Hansen & Mowen dalam Chikitta (2011), unit cost

didefinisikan sebagai hasil pembagian antara total cost yang dibutuhkan dengan

jumlah unit produk yang dihasilkan. Produk yang dimaksudkan dapat berupa

barang atau jasa.

B. TUJUAN DAN MANFAAT PENGHITUNGAN UNIT COST

Sistem akuntansi biaya bertujuan untuk mengukur dan mengalokasikan

biaya, dengan demikian unit cost dapat ditentukan. Unit cost ini merupakan

informasi yang sangat penting bagi suatu entitas. Dengan penghitungan unit cost,

efisiensi dan kinerja suatu entitas dapat dimonitor dengan baik. Selain itu dengan

penghitungan unit cost akan dihasilkan informasi mengenai biaya per item,

sehingga akan lebih memudahkan dalam membuat strategi, penganggaran maupun

berbagai keputusan penting lainnya. Dengan kata lain informasi mengenai unit cost

dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan bagi suatu entitas.

20
C. KLASIFIKASI DAN PENGELOMPOKAN BIAYA

Biaya dapat diklasifikasikan berdasarkan hubungannya dengan perubahan

volume kegiatan maupun berdasarkan hubungannya dengan yang dibiayai. Dalam

hubungannya dengan perubahan volume kegiatan, biaya dapat digolongkan

menjadi:

1. Biaya variabel adalah biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan

perubahan volume kegiatan. Biaya ini berubah secara proporsional dengan

perubahan tingkat aktivitas. Biaya bahan habis pakai adalah contoh biaya

variabel, dimana biaya ini tergantung dari banyaknya kegiatan dalam melayani

pengguna jasa.

2. Biaya tetap adalah biaya yang jumlah totalnya tetap dalam kisar volume

tertentu. Gaji pegawai adalah contoh dari biaya tetap, walaupun pengguna jasa

yang dilayani bertambah namun gaji pegawai tetap.

3. Biaya campuran adalah biaya yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai biaya

tetap ataupun biaya variabel. Dengan kata lain, biaya campuran merupakan

biaya yang mengandung sebagian unsur biaya tetap dan sebagian unsur biaya

variabel.

Apabila dihubungkan dengan sesuatu yang dibiayai, biaya dapat dikelompokkan

menjadi:

1. Biaya langsung adalah biaya yang terjadi karena adanya sesuatu yang dibiayai.

Biaya langsung di tiap-tiap ruang pelayanan adalah semua biaya yang terjadi

dalam ruang tersebut dalam hubungannya dengan pelayanan pengguna jasa.

21
2. Biaya tidak langsung adalah biaya yang terjadinya tidak harus disebabkan oleh

sesuatu yang dibiayainya. Biaya tidak langsung dalam hubungannya dengan

pelayanan jasa yang diberikan adalah biaya produksi tidak langsung atau biaya

overhead.

D. LANGKAH-LANGKAH PENGHITUNGAN UNIT COST

Berikut adalah langkah-langkah perhitungan unit cost dalam suatu unit kerja:

1. Tentukan metode unit cost yang akan menjadi analisis.

2. Identifikasi semua produk/jasa yang dihasilkan oleh unit kerja, dan tentukan

produk/jasa yang akan dianalisis.

3. Identifikasi semua biaya yang timbul di unit kerja karena melakukan pelayanan

kepada pengguna jasa, berupa biaya langsung dan biaya tidak langsung.

4. Tentukan dasar alokasi biaya bersama. Biaya bersama adalah biaya yang

digunakan untuk menghasilkan 2 produk/layanan atau lebih.

5. Telusuri dan hitung semua biaya langsung yang terjadi.

6. Analisis unit atau bagian lain yang secara logika biayanya timbul akibat

peningkatan aktivitas di unit kerja.

7. Telusuri biaya tidak langsung dan hitung alokasi biaya tidak langsung untuk

unit kerja.

8. Hitung unit cost per pelayanan dengan cara mengalokasikan total biaya (biaya

langsung maupun biaya tidak langsung) ke setiap jasa pelayanan.

Agar perhitungan biaya di suatu rumah sakit dapat dilakukan dengan baik dan

dikerjakan dengan efisien, menurut Lubis dalam bukunya yang berjudul Ekonomi

22
Kesehatan (2009) diperlukan langkah-langkah yang secara garis besar dijabarkan

sebagai berikut:

a. Penentuan Pusat Biaya. Pusat biaya adalah unit yang menyerap biaya rumah

sakit. Seluruh bagian rumah sakit harus dibagi habis ke dalam berbagai pusat

biaya. Secara garis besar, pusat biaya rumah sakit dibagi menjadi pusat biaya

produksi dimana biaya-biaya langsung terpakai dan pusat biaya penunjang,

dimana biaya-biaya tidak langsung terpakai.

b. Pengumpulan Data Biaya. Tahapan selanjutnya adalah pengumpulan data

biaya. Data biaya dikumpulkan dari semua sumber yang ada, baik dari laporan

keuangan maupun perincian biaya di setiap pusat biaya. Data biaya meliputi

data biaya investasi, yang diukur dengan membuat daftar semua investasi

rumah sakit, termasuk gedung serta mencatat harga pengadaannya, waktu

pembelian dan masa pakainya. Kemudian data biaya operasional meliputi obat

dan bahan medis, bahan habis pakai, bahan makanan, binatu dan biaya

operasional lainnya.

c. Perhitungan Biaya Asli. Perhitungan dimulai dengan mengumpulkan data dari

setiap pusat biaya rumah sakit sebagai dasar distribusinya. Misalnya adalah luas

lantai, jumlah personil, jumlah output (pelayanan/tindakan/hari rawat).

d. Pendistribusian Biaya. Proses ini dilakukan dengan memindahkan biaya asli

disetiap unit penunjang ke setiap unit produksi yang terkait. Pada dasarnya unit

penunjang akan memindahkan biaya aslinya secara berbeda jumlahnya ke unit

produksi terkait. Apabila seluruh biaya asli unit penunjang telah dipindahkan

ke unit produksi terkait, maka tidak ada lagi biaya tersisa di satu unit penunjang.

23
E. METODE PENGHITUNGAN UNIT COST

1. Sistem Biaya Tradisional

Dalam sistem secara tradisional dapat dilihat bahwa biaya–biaya yang

terlibat biasanya hanya biasa langsung saja, yaitu biaya tenaga kerja dan biaya

material. Namun seiring dengan berjalannya waktu muncul biaya–biaya yang

bisa di golongkan kedalam biaya langsung. Biaya–biaya tersebut seperti biaya

reparasi, perawatan, utilitas, dan lain sebagainya. Sistem biaya akan

membebankan biaya tidak langsung kepada basis alokasi yang tidak

representatif.

2. Sistem Biaya Activity-Based Costing (ABC)

Activity-Based Costing (ABC) telah dikembangkan pada organisasi sebagai

suatu solusi untuk masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan baik

oleh sistem biaya tradisional. Sistem biaya ABC ini merupakan hal yang baru

sehingga konsepnya masih terus berkembang. Menurut Douglas T. Hicks dalam

bukunya Activity-Based Costing for Small and Mid-sized Busines an

Implementation Guide (Putri, 2014) memberikan definisi mengenai Activity-

Based Costing (ABC), sebagai suatu konsep akuntansi biaya yang berdasarkan

atas pemikiran bahwa produk mengkonsumsi aktivitas dan aktivitas yang

menimbulkan biaya. Dalam sistem biaya ABC ini dirancang sedemikian rupa

sehingga setiap biaya yang tidak dapat dialokasikan secara langsung kepada

produk, dibebankan kepada produk berdasarkan aktivitas dan biaya dari setiap

aktivitas kemudian dibebankan kepada produk berdasarkan konsumsi masing-

masing aktivitas tersebut.

24
F. IMPLEMENTASI UNIT COST DI RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK

Penerapan penghitungan unit cost pelayanan di suatu Rumah Sakit dapat berupa

metode Activity Based Costing (ABC). Activity Based Costing merupakan suatu

sistem kalkulasi biaya yang pertama kali menelusuri biaya semua aktivitas dan

kemudian ke produk yang dinilai dapat mengukur secara cermat biaya-biaya yang

keluar dari setiap aktivitas. Aktivitas-aktivitas yang terkumpul kemudian

dikelompokkan kedalam sebuah kelompok biaya (cost pool) dan penyebab biaya

(cost driver). Cost pool adalah penggabungan dua atau lebih aktivitas yang

memiliki cost driver yang sama untuk dapat dibebankan secara bersama-sama ke

dalam produk/jasa dengan menggunakan satu cost driver.

Penentuan tarif kelompok dilakukan dengan cara membagi biaya aktivitas untuk

setiap kelompok biaya per tahun dengan jumlah cost driver untuk setiap kelompok

biaya (cost pool).

Perhitungan tarif rawat inap di RSUD Sunan Kalijaga Demak dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut (Putri, 2014):

1. Harga berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa biaya

rawat inap untuk pasien pada RSUD Sunan Kalijaga berbeda tiap kelasnya, sesuai

dengan fasilitas yang diberikan oleh RSUD Sunan Kalijaga.

25
2. Harga berdasarkan perhitungan dengan metode Activity Based Costing dibanding

dengan harga yang ditentukan oleh RSUD Sunan Kalijaga adalah sebagai berikut:

ANALISIS JURNAL

Berdasarkan jurnal diatas, RSUD Sunan Kalijaga Demak belum memakai

perhitungan unit cost dengan metode Activity Based Costing (ABC), rumah sakit

ini masih menggunakan sistem perhitungan tradisional. Penentuan tarif rawat inap

dengan metode tradisional menghasilkan hasil yang kurang akurat karena lebih

menekankan pada harga pokok produk yang dijual. Akibatnya metode ini hanya

menyediakan informasi yang relatif sedikit untuk mencapai keunggulan rumah

sakit.

Sedangkan metode Activity Based Costing mampu memberikan profitabilitas

yang lebih baik. Biaya setiap aktifitas dibebankan dengan lebih akurat dan

terperinci kedalam produk atau jasa sehingga lebih mudah ditelusuri. Selain itu

dengan metode ini manajemen dapat menganalisis hasil dari suatu aktivitas,

sehingga dapat memberikan dasar keputusan yang lebih akurat karena informasi

dalam metode ini lebih detail.

26
Terdapat selisih harga antara perhitungan tarif rawat inap metode ABC

dengan metode yang digunakan RSUD Sunan Kalijaga saat ini. Pada kelas VIP A

dan VIP B harga tarif rawat inap lebih besar dari perhitungan ABC sehingga

terdapat selisih yang besar sedangkan pada kelas I, II, dan III terdapat selisih kurang

karena harga yang berlaku lebih rendah dari perhitungan menggunakan metode

ABC. Sebaiknya semua Rumah sakit hendaknya mempertimbangkan untuk

mempergunakan metode ABC dalam perhitungan tarif unit costnya karena

perhitungan ini lebih tepat dan akurat serta data yang disajikan adalah data yang

sesungguhnya.

Referensi

Chikitta. 2011. Unit Cost. https://id.scribd.com/doc/74612076/Bab-123-Unit-Cost-Part-2

diunduh tanggal 27 November 2016

Lubis, Ade Fatma. 2009. Ekonomi Kesehatan. Medan: USU Press

Nurhayati. 2004. Perbandingan Sistem Biaya Tradisional Dengan Sistem Biaya ABC.

Sumatera Utara: USU Digital Library

Putri, Maretandra Inri. 2014. Analisis Perhitungan Tarif Rawat Inap Rumah Sakit dengan

Metode Activity Based Costing di RSUD Sunan Kalijaga Demak [pdf].

http://ejournal.uajy.ac.id/8681/3/2EA19226.pdf diunduh tanggal 27 November

MANAJEMEN LOGISTIK

27
Menurut Lukas Dwiantara dan Rumsari H.S (2004), logistik adalah segala sesuatu

yang berwujud dan dapat diperlakukan secara fisik atau tangible, baik yang digunakan

untuk menyelenggarakan kegiatan pokok maupun kegiatan penunjang. Menurut Yolanda

M. Siagian (2005) logistik merupakan bagian dari proses supply chain yang berfungsi

untuk merencanakan, melaksanakan, serta mengontrol secara efektif dan efisien dalam

mengadakan, mengelola, dan menyimpan barang, atau mengatur aliran barang dari awal

perencanaan hingga titik konsumsi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Dari beberapa

pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa logistik adalah segala sesuatu yang

berwujud dan dikendalikan alirannya secara efektif dan efisien dari awal perencanaan

hingga titik konsumsi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.

Berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu organisasi atau instansi, logistik

dapat dibedakan sesuai kegunaannya, salah satunya logistik medis yang digunakan untuk

memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Sesuai dengan Undang-Undang nomor

58 tahun 2014 logistik medis merupakan sediaan berupa obat, bahan medis habis pakai,

serta alat kesehatan yang digunakan untuk memberikan tindakan medis. Alat kesehatan

berbeda dengan bahan medis habis pakai. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin

dan/ atau implan yang tidak mengandung obat, yang digunakan untuk mencegah,

mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit,

memulihkan kesehatan manusia, dan/ atau membentuk struktur atau memperbaiki fungsi

tubuh. Sedangkan bahan medis habis pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk

digunakan satu kali pakai, yang daftar produknya diatur dalam peraturan perundang-

undangan (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

USIA TEKNIS ALAT KESEHATAN

28
Usia teknis adalah lama waktu suatu alat dapat digunakan secara teknis (Evans dan

Cooper, 2010). Setiap alat kesehatan memiliki usia teknis yang berbeda-beda tergantung

cara pemakaian alat maupun pemeliharaan alat (Kementerian Kesehatan RI, 2015). Usia

teknis alat kesehatan harus diperhatikan sebagai tolak ukur efektivitas penggunaan alat

kesehatan.

USIA EKONOMIS ALAT KESEHATAN

Usia ekonomis adalah lama waktu suatu alat dapat digunakan dan masih

menguntungkan secara ekonomis (BPKP, 2017). Nilai ekonomis suatu alat dapat

menentukan biaya penyusutan suatu alat yang merupakan aktiva tetap. Salah satu penetuan

biaya penyusutan suatu alat atau mesin dapat menggunakan metode garis lurus, yaitu suatu

metode perhitungan biaya penyusutan pertahun yang relatif tetap (BPKP, 2017). Berikut

rumus perhitungan biaya penyusutan alat dengan metode garis lurus:

Nilai Investasi − Nilai Sisa


Biaya Penyusutan =
Usia Ekonomis

Nilai investasi pada rumus tersebut merupakan harga awal suatu alat atau mesin, sedangkan

nilai sisa pada rumus tersebut merupakan harga akhir dari alat atau mesin tersebut (BPKP,

2017).

A. ANALISIS ABC

Analisis ABC merupakan salah satu metode pada manajemen persediaan. Analisis

ABC didasarkan pada konsep Hukum Pareto (Ley de Pareto) yang menyatakan bahwa

bagian yang memiliki persentase terkecil, yaitu 20% memiliki pengaruh persentase

terbesar, yaitu 80%. Konsep tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Ford Dickie dari

29
General Electric sekitar tahun 1940-an menjadi konsep ABC dalam klasifikasi barang

persediaan (Kusnadi, 2009)

Pada analisis ABC persediaan barang dikelompokan dalam 3 kelas dengan

persentase yang berbeda. Kelompok dari masing-masing kelas tersebut sebagai berikut

(Quick et al., 2012, dalam Pujawati, 2015):

1. Kelompok A (Always)

Persediaan pada kelompok A memiliki kuantitas 10% - 20% dengan persentase

kumulatif investasi tertinggi yaitu 70% - 80% dari total investasi persediaan yang

diadakan.

2. Kelompok B (Better)

Persediaan pada kelompok B memiliki kuantitas 20% - 40% dengan persentase

kumulatif investasi cukup tinggi yaitu 15% - 20% dari total investasi persediaan yang

diadakan.

3. Kelompok C (Control)

Persediaan pada kelompok C memiliki kuantitas 60% dengan persentase kumulatif

investasi terendah yaitu 5% - 15% dari total investasi persediaan yang diadakan.

Penentuan kelompok A, B, dan C berdasarkan analisis ABC dapat dilakukan dengan

langkah-langkah sebagai berikut (Wahyuni, 2015):

1. Lakukan pendataan jumlah unit pada setiap jenis barang.

2. Lakukan pendataan harga per unit pada setiap jenis barang.

3. Lakukan perhitungan total dana investasi pada masing-masing barang dengan

mengalikan jumlah unit dengan harga per unit barang.

30
4. Lakukan perangkingan pada setiap jenis barang sesuai dengan total dana

investasi, dimulai dari total dana investasi terbesar hingga yang terkecil.

5. Lakukan perhitungan persentase kumulatif nilai investasi barang dari total nilai

investasi pada masing-masing jenis barang.

6. Klasifikasikan kelompok jenis barang berdasarkan persentase kumulatif nilai

investasi barang sesuai dengan analisis ABC.

Pada analisis ABC pengendalian barang dititik beratkan pada kelompok A

dikarenakan kelompok A bernilai strategis bagi perusahaan. Ketidaktepatan dalam

menajemen kelompok A dapat berdampak besar bagi kelangsungan perusahaan.

B. MANAJEMEN LOGISTIK RUMAH SAKIT

Berdasarkan Undang- Undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit

menyatakan bahwa rumah sakit sebagai suatu institusi penyedia pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif,

dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pada

pelaksanaan pelayanan kesehatan tersebut diperlukan penyediaan logistik medis sebagai

penunjang setiap tindakan medis yang dilakukan. Logistik medis seperti obat, bahan habis

pakai, alat kesehatan, reagen, dan medical supply memiliki peranan lebih dari 90% dalam

pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit. Bahkan, perbekalan farmasi seperti, obat

dan bahan habis pakai memberikan kontribusi 50% dari seluruh pendapatan rumah sakit

(Suciati dan Adisasmito, 2006). Agar pengadaan dan penggunaan logistik medis menjadi

efektif dan efisien sehingga mampu menghasilkan keuntungan yang optimal diperlukan

manajemen logistik yang baik dan benar sebagai suatu usaha pengendalian logistik medis

di rumah sakit.
31
Manajemen logistik yang merupakan suatu proses supply chain memiliki fungsi

pada perencanaan, pelaksanaan, serta pengendalian guna mencapai efisiensi dan efektivitas

penyimpanan dan aliran barang, pelayanan dan informasi terkait dari titik permulaan (point

of origin) hingga titik konsumsi (point of consumption) dalam tujuannya untuk memenuhi

kebutuhan para pelanggan (Roos, 2016). Salah satu metode manajemen logistik medis yang

aplikatif dalam mencapai keefektifan dan efisiensi aliran barang, khususnya pada fungsi

perencanaan dan pengadaan logistik medis, serta fungsi pengawasan penggunaan obat,

adalah dengan melakukan analisis ABC indeks kritis. Oleh karena itu, pada penulisan ini

akan membahas Analisis ABC Indeks Kritis sebagai Metode Manajemen Logistik Medis

di Rumah Sakit.

Analisis ABC indeks kritis merupakan suatu metode manajemen logistik medis

yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana pada pengadaan logistik

medis di rumah sakit dengan melakukan pengelompokan logistik medis, baik perbekalan

farmasi seperti obat dan bahan habis pakai, alat kesehatan, reagen, serta medical supply,

berdasarkan perhitungan nilai pakai, nilai investasi, dan nilai kritis atau dampak yang

diberikan suatu logistik medis bagi kesehatan. (Suciati dan Adisasmito, 2006). Pada

metode ini terdapat 3 kelompok persentase pada masing- masing kriteria perhitungan nilai

indeks kritis, yaitu kelompok A dengan persentase 70- 80%, kelompok B dengan

persentase 15- 20%, dan kelompok C dengan persentase 5- 15% (Quick et al, 2012).

Terdapat 4 langkah dalam melakukan analisis ABC indeks kritis yaitu, mulai dari

menghitung nilai pakai, menghitung nilai investasi, menentukan nilai kritis, hingga

akhirnya ditentukannya nilai indeks kritis suatu logistik medis. Berikut pemaparan

langkah- langkah analisis data logistik medis berdasarkan metode ABC indeks kritis:

32
1. Melakukan Perhitungan Nilai Pakai

Perhitungan nilai pakai dilakukan dengan menghitung total pemakaian obat atau

jenis logistik medis lainya dalam kurun waktu 1 tahun. Data pemakaian logistik

medis dikelompokkan berdasarkan jumlah pemakaian yang diurutkan dari

pemakaian terbesar sampai yang terkecil.

- Kelompok A adalah kelompok obat dengan pemakaian 70% dari keseluruhan

pemakaian obat.

- Kelompok B adalah kelompok obat dengan pemakaian 20% dari keseluruhan

pemakaian obat.

- Kelompok C adalah kelompok obat dengan pemakaian 10% dari keseluruhan

pemakaian obat.

Misalkan pada suatu rumah sakit terdapat 1007 item obat yang kemudian

dikelompokkan berdasarkan nilai pakainya.

- Kelompok A: Terdapat 124 item (12, 31%) dari total item obat di instalasi

farmasi dengan jumlah pemakaian 506.214 (69, 10%) dari jumlah pemakaian

obat seluruhnya.

- Kelompok B: Terdapat 176 item (17, 48%) dari total item obat di instalasi

farmasi dengan jumlah pemakaian 154.106 (21,04%) dari jumlah pemakaian

obat seluruhnya.

- Kelompok C: Terdapat 707 item (70, 21%) dari total item obat di instalasi

farmasi dengan jumlah pemakaian 72.240 (9, 86%) dari jumlah pemakaian

seluruhnya.

33
Tabel 2.1. Pengelompokan Obat dengan Analisis ABC berdasarkan Nilai

Pemakaian Periode Januari- Desember 2004

Kelompok Jumlah Persentase Jumlah Persentase


Obat (%) Pemakaian (%)
A 124 12,31 506.214 69,10
B 176 17,48 154.106 21,04
C 707 70,21 72.240 9,86
Jumlah 1007 100 732.560 100,00
Sumber: Susi dan Wiku, 2006

Note: Perhitungan ini juga dapat dilakukan pada jenis logistik medis lainnya.

2. Melakukan Perhitungan Nilai Investasi

Perhitungan nilai investasi dilakukan dengan menghitung total investasi setiap

jenis obat atau jenis logistik medis lainya yang diurutkan dari nilai investasi

terbesar sampai yang terkecil.

- Kelompok A adalah kelompok obat dengan nilai investasi 70% dari total

investasi obat.

- Kelompok B adalah kelompok obat dengan nilai investasi 20% dari total

investasi obat.

- Kelompok C adalah kelompok obat dengan nilai investasi 10% dari total

investasi obat.

34
Misalkan pada suatu rumah sakit terdapat 1007 item obat yang kemudian

dikelompokkan berdasarkan nilai investasinya.

- Kelompok A: Terdapat 76 item (7, 55%) dari total item obat di instalasi

farmasi dengan jumlah nilai investasi sebesar Rp. 2.782.736.612, 00 (70,

16%) dari nilai investasi obat seluruhnya.

- Kelompok B: Terdapat 169 item (16, 78%) dari total item obat di instalasi

farmasi dengan jumlah nilai investasi sebesar Rp. 801.463.078, 00 (20, 21%)

dari nilai investasi obat seluruhnya.

- Kelompok C: Terdapat 76 item (7, 55%) dari total item obat di instalasi

farmasi dengan jumlah nilai investasi sebesar Rp. 382.215.061, 00 (9, 64%)

dari nilai investasi obat seluruhnya.

Tabel 2.2. Pengelompokan Obat dengan Analisis ABC berdasarkan Nilai

Investasi Periode Januari- Desember 2004

Kelompok Jumlah Persentase Nilai Persentase


Obat (%) Investasi (%)
A 124 7,55 2.782.736.612 70,16
B 169 16,78 801.463.078 20,21
C 762 75,67 382.215.061 9,64
Jumlah 1007 100 3.966.414.751 100,00
Sumber: Susi dan Wiku, 2006

Perhitungan ini juga dapat dilakukan pada jenis logistik medis lainnya.

Dari data pengelompokan tersebut dapat diketahui persentase nilai investasi

masing- masing kelompok obat. Pada kelompok obat dengan nilai investasi besar

yaitu kelompok A (70, 16%), dapat dikendalikan pengadaannya dengan menekan

jumlah stok atau pembelian barang, tetapi frekuensi pembelian ditingkatkan atau

dilakukan lebih sering.

35
3. Menentukan Nilai Kritis

Pada tahap ini obat dikelompokan berdasarkan nilai kritis obat atau manfaat

terapetik obat terhadap kesehatan pasien dengan mempertimbangkan efisiensi

penggunaan dana yang ada. Penentuan nilai kritis obat dilakukan oleh tenaga ahli,

yang tentu sifat penilaiannya subjektif sesuai dengan pengetahuan atau wawasan

tenaga ahli. Berdasarkan nilai kritisnya obat dikelompokan ke dalam 3 kelompok

yaitu,

- Kelompok X, merupakan kelompok obat yang sangat essensial atau vital

dengan manfaat terapetik 70% untuk memperpanjang hidup, untuk mengatasi

penyakit penyebab kematian ataupun untuk pelayanan pokok kesehatan.

Pada kelompok ini kekosongan obat tidak dapat ditoleransi.

- Kelompok Y, merupakan kelompok obat essensial dengan manfaat terapetik

20%. Kelompok obat ini juga merupakan obat yang bekerja pada sumber

penyakit, atau logistik farmasi yang banyak digunakan dalam pengobatan

penyakit terbanyak. Pada kelompok ini kekosongan obat dapat ditoleransi

kurang dari 48 jam.

- Kelompok Z, merupakan kelompok obat non-essensial dengan manfaat

terapetik 10%, yang juga sebagai obat penunjang agar tindakan atau

pengobatan menjadi lebih baik, untuk kenyamanan, atau untuk mengatasi

keluhan. Pada kelompok ini kekosongan obat dapat ditoleransi lebih dari 48

jam.

36
4. Menentukan Nilai Indeks Kritis

Setelah dilakukannya penentuan nilai pakai, nilai investasi, dan nilai kritis suatu

obat atau logistik medis lainnya, maka akan dapat dihitung nilai indeks kritis

suatu obat atau logistik medis lainnya yang juga akan dikelompokan pada 3

kelompok Nilai Indeks Kritis (NIK). Berikut perhitungan nilai indeks kritis:

NIK = Nilai Pakai + Nilai Investasi + ( 2 x Nilai Kritis )

Kemudian nilai indeks kritis yang didapatkan masing- masing item akan

dikelompokan ke dalam 3 kelompok sebagai berikut:

- Kelompok A dengan NIK 9.5 - 12

- Kelompok B dengan NIK 6.5 – 9.4

- Kelompok C dengan NIK 4 – 6.4

Kelompok dengan nilai indeks kritis tertinggi merupakan obat dengan kategori

kritis bagi sebagian besar pemakaianya, serta memiliki nilai investasi dan turn

over yang tinggi. Diharapkan dengan diketahuinya hal tersebut, maka pengadaan

obat atau logistik medis tersebut dapat dikendalikan atau dikontrol dengan baik

dan benar sehingga penggunaannya menjadi efektif dan efisien, serta

memberikan profit yang optimal bagi penyedia jasa logistik.

LOGISTIK MEDIS

Pengelolaan logistik merupakan aspek penting dalam mendukung kesuksesan

operasional Rumah Sakit, maka diperlukan filling system yang tepat. Sistem pengelolaan

obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang meliputi aspek seleksi dan perumusan
37
kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan obat. Salah satu

tahap dalam proses penggunaan obat adalah penyerahan sediaan obat dari Instalasi

Farmasi rumah sakit sampai kepada penderita untuk digunakan. Proses penyerahan

sediaan obat yang diminta dokter dari Instalasi Farmasi rumah sakit untuk penderita

tertentu sampai ke tempat penderita dirawat disebut pendistribusian obat (Siregar, 2004).

Sistem distribusi obat di rumah sakit digolongkan berdasarkan ada tidaknya

satelit/depo farmasi dan pemberian obat ke pasien rawat inap.

a) Berdasarkan ada atau tidaknya satelit farmasi/depo farmasi, sistem distribusi obat

dibagi menjadi dua sistem, yaitu:

1. Sistem pelayanan terpusat (Sentralisasi)

Sentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang

dipusatkan pada satu tempat yaitu instalasi farmasi. Seluruh kebutuhan

perbekalan farmasi setiap unit pemakai baik untuk kebutuhan individu

maupun kebutuhan barang dasar ruangan disuplai langsung dari pusat

pelayanan farmasi tersebut. Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS,

kemudian resep itu diproses sesuai dengan kaidah yaitu cara dispensing

yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita

tertentu.

Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit yang besar, misalnya

kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar sehingga jarak

antara Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan perawatan pasien sangat jauh.

2. Sistem pelayanan terbagi (Desentralisasi)

38
Desentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang

mempunyai cabang di dekat unit perawatan/pelayanan. Cabang ini dikenal dengan

istilah depo farmasi/satelit farmasi. Pada desentralisasi, penyimpanan dan

pendistribusian perbekalan farmasi ruangan tidak lagi dilayani oleh pusat

pelayanan farmasi. Instalasi farmasi dalam hal ini bertanggung jawab terhadap

efektivitas dan keamanan perbekalan farmasi yang ada di depo farmasi.

b) Berdasarkan distribusi obat bagi pasien rawat inap, digunakan empat sistem, yaitu

1. Sistem distribusi obat resep individual ( Individual Prescription )

Sistem distribusi obat resep individual adalah tatanan kegiatan

pengantaran sediaan obat oleh IFRS ( Instalasi Farmasi Rumah Sakit)

sentral sesuai dengan yang ditulis pada order/resep atas nama penderita

rawat inap tertentu melalui perawat ke ruang penderita tersebut. Dalam

sistem ini obat diberikan kepada pasien berdasarkan resep yang ditulis oleh

dokter.

Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit-rumah sakit yang besar,

seperti kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar

sehingga jarak antara IFRS dengan perawatan pasien sangat jauh. Sistem ini

biasanya digunakan di rumah sakit-rumah sakit kecil atau swasta karena

memberikan metode yang sesuai dalam penerapan keseluruhan biaya

pengobatan dan memberikan layanan kepada pasien secara individual.

2. Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang ( Total Floor Stock )

39
Dalam sistem ini, semua obat yang dibutuhkan penderita tersedia

dalam ruang penyimpanan obat di ruang tersebut. Persediaan obat diruang

dipasok oleh IFRS. Obat yang didispensing dalam sistem ini terdiri atas obat

penggunaan umum yang biayanya dibebankan pada biaya paket perawatan

menyeluruh dan resep obat yang harus dibayar sebagai biaya obat.

Obat penggunaan umum ini terdiri atas obat yang tertera dalam daftar yang

telah ditetapkan yang tersedia di unit perawat, misalnya kapas pembersih

luka, larutan antiseptic dan obat tidur.

Alur sistem distribusi persediaan lengkap di ruang adalah dokter

menulis resep kemudian diberikan kepada perawat untuk diinterpretasikan

kemudian perawat menyiapkan semua obat yang diperlukan dari persediaan

obat yang ada di ruangan sesuai resep dokter untuk diberikan kepada pasien,

termasuk pencampuran sediaan intravena.

3. Sistem distribusi obat kombinasi resep individual dan persediaan lengkap

di ruang

Sistem ini merupakan perpaduan sistem distribusi obat resep

individual berdasarkan permintaan dokter yang disiapkan dan distribusikan

oleh instalasi farmasi sentral dan sebagian lagi disiapkan dari persediaan

obat yang terdapat di ruangan perawatan pasien. Obat yang disediakan di

ruangan perawatan pasien merupakan obat yang sering diperlukan oleh

banyak pasien, setiap hari diperlukan dan harga obat relatif murah,

mencakup obat resep atau obat bebas.

40
Alur sistem distribusi obat kombinasi persediaan di ruang dan resep

individual adalah dokter menulis resep untuk pasien dan resep tersebut

diinterpretasikan oleh apoteker dan perawat. Pengendalian oleh apoteker

dilakukan untuk resep yang persediaan obatnya disiapkan di instalasi

farmasi. Obat kemudian diserahkan ke ruang perawatan pasien sewaktu

pasien minum obat. Pengendalian obat yang tersedia di ruang perawatan

dilakukan oleh perawat dan apoteker. Obat disiapkan kepada pasien oleh

perawat.

4. Sistem distribusi obat dosis unit ( Unit Dose Dispensing System/UDDS )

Obat dosis unit adalah obat yang disorder oleh dokter untuk

penderita, terdiri dari satu atau beberapa jenis obat yang masing-masing

dalam kemasan dosis unit tunggal dalam jumlah persediaan yang cukup

untuk suatu waktu tertentu. Penderita hanya membayar obat yang

dikonsumsi saja.

Distribusi obat dosis unit adalah tanggung jawab Instalasi Farmasi

Rumah Sakit (IFRS) dengan bekerjasama dengan staf medis, perawat,

pimpinan rumah sakit dan staf administratif. Sistem distribusi dosis unit

merupakan metode dispensing dan pengendalian obat yang dikoordinasikan

IFRS dalam rumah sakit. Sistem dosis unit dapat berbeda dalam bentuk,

tergantung pada kebutuhan khusus rumah sakit. Dasar dari semua sistem

dosis unit adalah obat dikandung dalam kemasan unit tunggal di-dispensing

dalam bentuk siap konsumsi, dan untuk beberapa obat tidak lebih dari 24

41
jam persediaan dosis serta dihantarkan atau tersedia pada ruang perawatan

pada setiap waktu.

Metode pengoperasian sistem distribusi dosis unit ada tiga macam, yaitu :

1. Sentralisasi

Dilakukan oleh IFRS sentral ke semua daerah perawatan penderita

rawat inap di rumah sakit secara keseluruhan. Kemungkinan di rumah sakit

tersebut hanya ada satu IFRS tanpa adanya cabang IFRS di beberapa

daerah perawatan penderita.

2. Desentralisasi

Dilakukan oleh beberapa cabang IFRS di rumah sakit. Pada

dasarnya sistem ini sama dengan sistem distribusi obat persediaan lengkap

di ruangan, hanya saja sistem distribusi obat desentralisai ini dikelola

seluruhnya oleh apoteker yang sama dengan pengelolaan dan pengendalian

oleh IFRS sentral.

3. Kombinasi Sentralisasi dan Desentralisasi

Biasanya hanya dosis awal dan dosis keadaan darurat dilayani oleh

cabang IFRS. Dosis selanjutnya dilayani oleh IFRS sentral. Semua

pekerjaan tersentralisasi lain, seperti pengemasan dan pencampuran

sediaan intravena juga dimulai dari IFRS sentral.

Berdasarkan study kasus di atas :

Pendistribusian perbekalan farmasi dilakukan atas dasar jenis

perbekalannya. Terdapat dua golongan yaitu perbekalan farmasi habis pakai atau

42
yang lazim disebut barang habis pakai (BHP) serta obat dan alkes. Contoh BHP

adalah handscoen, Water for injection (WFI), alkohol, kasa, masker, reagen dll.

Untuk jenis BHP, setiap petugas di nurse station dapat langsung mengadakan

permintaan ke gudang dengan menggunakan buku permintaan. Biasanya

permintaan dilakukan untuk stok selama satu bulan, namun jika dalam satu

bulan tersebut kekurangan, maka dapat mengadakan permintaan lagi langsung ke

gudang. Pemesanan ini dinamakan permintaan cito dan gudang harus segera

memenuhi permintaan tersebut.

Alur distribusi obat dan alkes yang dilaksanakan ke apotek rawat inap

dan apotek rawat jalan adalah sama yaitu masing-masing apotek membuat laporan

pemesanan barang dan ditandatangani oleh masing-masing kepala apotek. Laporan

dikirim ke gudang, ada respon

penerimaan barang dan cek barang yang diminta serta menyetujui barang yang

diminta kemudian pihak gudang menyiapkan barang yang diminta setelah itu

pendistribusian barang dan pembuatan laporan pendistribusian barang oleh gudang.

Jika barang yang dipesan tidak ada maka pihak gudang obat akan menghubungi

supplier.

Selain dari PBF, obat yang dibutuhkan di JIH juga ada yang dibeli

langsung di apotek ataupun rumah sakit baik negeri maupun swasta di

Yogyakarta terlebih lagi jika obat yang diinginkan bersifat cito biasanya dari

pihak gudang ataupun apotek rawat jalan atau rawat inap yang membuka layanan

24 jam dapat membeli langsung obat di rumah sakit atau apotek terdekat yang

menyediakan obat yang diinginkan. Pembelian obat dengan cara ini biasanya

43
terjadi di malam hari dikarenakan gudang obat hanya dibuka pagi sampai sore

hari. Dilakukan dengan pembelian langsung dengan bantuan kurir dan keesokan

harinya pihak yang membeli obat (apotek rawat jalan atau apotek rawat inap)

menyerahkan kuitansi pembayaran kepada bagian logistik dan pembayaran. Dari

apotek rawat jalan, obat & alkes dapat didistribusikan ke Unit Gawat Darurat

(UGD), hemodialisa (HD) dan poliklinik. Sedangkan dari apotek rawat inap

didistribusikan ke ICU/ICCU, OK dan setiap nurse station.

Obat bebas hanya didistribusikan ke apotek rawat jalan, jika apotek

rawat inap mendapat resep yang terdapat obat bebas maka dapat meminta ke

apotek rawat jalan dan mencatatnya di buku ekspedisi dan demikian sebaliknya jika

apotek rawat jalan membutuhkan suatu obat tetapi tidak ada disana maka

dapat meminta di apotek rawat inap. Hal ini dikarenakan tidak semua jenis obat

yang terdapat di kedua apotek tersebut sama karena sifatnya saling melengkapi dan

menyesuaikan dengan kebutuhan di apotek masing-masing yang cenderung tidak

sama.

Sistem distribusi ke pasien yang digunakan di JIH adalah sebagai berikut :

Unit Dose Dispensing System (UDDS)

Sistem distribusi ini berlaku di Pelayanan Rawat Inap. Setelah apotek

menerima resep dan melakukan screening resep, petugas lalu mencatat obat-

obat yang digunakan di dalam catatan penggunaan obat yang berbeda di tiap

pasien dan obat akan disiapkan sesuai jadwal pemberiannya. Petugas mengatur

jadwal minum obat sesuai dengan signa (aturan pakai obat) yang tertulis pada

resep. Untuk obat oral diberikan langsung oleh apoteker/ asisten apoteker rawat

44
inap sesuai jadwal, sedangkan untuk obat-obat parenteral dikirim ke nurse station

dan diberikan oleh perawat. Obat dan alkes yang dibayar pasien hanya yang

telah digunakan dan hal ini sangat menguntungkan bagi pasien terutama dari

segi biaya. Ketika pasien pulang akan diresepkan untuk obat-obat yang terapinya

dilanjutkan di rumah.

Individual Prescription

Sistem distribusi ini berlaku di Pelayanan Farmasi Rawat Jalan serta

pasien rawat inap yang mendapat resep saat pulang. Setelah apotek menerima

resep dan mengecek kelengkapannya, petugas menghitung harga obat dan

meminta persetujuan pasien. Petugas menyiapkan obat kemudian memberikan

obat tersebut dengan memberikan penjelasan penggunaan obat serta informasi

yang berkaitan dengan obat.

Floor Stock

Pelayanan rawat inap JIH juga menggunakan sistem distribusi Floor

Stock (FS) untuk alkes dispossible dan bahan medis yang digunakan habis pakai

dan merupakan bagian dari pelayanan keperawatan. Distribusi FS berasal dari

apotek rawat inap. Setiap nurse Station mengirimkan permintaan FS ke apotek

rawat inap. Dengan menggunakan sistem distribusi FS, dapat mengadakan

pengembalian obat yang tidak terpakai, serta mengurangi jumlah tenaga di

apotek rawat inap dan kecepatan pelayanan pada kondisi emergency.

Emergency Kit

Obat-obatan yang ada di emergency kit adalah obat-obatan yang bersifat

life saving (mempertahankan hidup) dan diperlukan segera untuk pertolongan

45
pasien yang mengalami penurunan status kesehatan dengan tiba-tiba. Obat yang

ada di emergency kit selalu dipertahankan dalam jumlah yang sama seperti

semula. Emergency kit dan FS dikelola oleh perawat dan dipantau oleh petugas

farmasi yang terkait yang dapat digunakan langsung untuk menolong pasien

darurat dan menyelamatkan hidup pasien.

Emergency kit dan FS ditempatkan di pelayanan Emergency, pelayanan

Rawat Intensif, pelayanan Rawat Inap dan Operating Theater. Di RS JIH

emergency kit tersedia di setiap nurse station pada tiap bangsal sehingga pasien

yang membutuhkan pertolongan dapat segera mendapat perawatan dengan segera.

Macam dan jenis perbekalan farmasi baik pada Floor Stock maupun Emergency

Kit ditentukan oleh kepala pelayanan keperawatan dan selalu diupayakan

berjumlah sama di nurse station pada tiap bangsal, setiap waktu pengecekan obat

(stock opname) kepala pelayanan apotek rawat inap akan mengeceknya di tiap

nurse station untuk memastikan obat dan alkes yang ada disana dalam keadaan

baik, tidak rusak dan tidak kadaluarsa serta jumlah yang ada sesuai dengan

permintaan. Jika jumlahnya kurang akan ada penambahan jumlah obat-dan alkes,

sebaliknya jika berlebih maka obat dan alkes yang ada akan diambil kembali

(Wijayanti, 2011).

ANALISIS BREAK EVEN POINT

Break Even Point (BEP) adalah titik impas jumlah pemakaian atau penjualan suatu

barang dimana pembiayaan, penjualan, dan laba berada di titik yang sama atau mulai dapat

46
menghasilkan keuntungan (Kasmir, 2010). Oleh karena itu, BEP merupakan teknik analisis

yang digunakan untuk menentukan tingkat penjualan dan komposisi produk untuk menutup

semua biaya yang terjadi selama periode tetentu (Prastowo dan Julianty, 2008).

Analisis BEP pada alat kesehatan dapat digunakan untuk melihat hubungan antara

cost atau biaya alat kesehatan, volume pemakaian, tarif penggunaan alat kesehatan, dan

laba. Selain itu dapat diketahui juga struktur biaya tetap alat kesehatan dan biaya variabel

alat kesehatan, serta hal yang tidak kalah penting adalah mengetahui kemampuan suatu

instansi rumah sakit dalam menekan biaya alat kesehatan dan mencapai batas dimana

penggunaan alat kesehatan tidak mengalami laba dan rugi, atau berada pada keadaan impas

antara biaya yang dikeluarkan dengan pendapatan yang diterima. (Iskandar, 2012).

Perhitungan BEP dapat dilakukan secara matematik maupun dengan grafik, yang

mana pada masing-masing perhitungan memiliki keuntungan dan kelebihannya sendiri

dalam memberikan informasi. Pada model matematik, dapat diketahui dengan mudah titik

impas suatu produk dalam bentuk numerik, sedangkan pada model grafik dapat diketahui

informasi yang lebih luas terkait biaya-biaya pembentuk titik impas dari produk tersebut

(Kasmir, 2010).

1. Pendekatan Matematik

Pada pendekatan matematik dapat digunakan untuk menghitung kuantitas

produk pada keadaan impas serta menghitung pendapatan dari produk pada keadaan

impas. Berikut rumusan analisis titik impas dalam unit:

FC
Q BEP =
P − VC

47
Berikut rumusan analisis titik impas dalam rupiah:

FC
BEP (Rp) =
1 − VC/S
Dimana:

Q BEP = Kuantitas Produksi pada Keadaan Impas

BEP (Rp) = Pendapatan Produksi pada Keadaan Impas

FC = Total Biaya Tetap (Total Fixed Cost)

VC = Biaya Variabel Persatuan (Variable Cost)

P = Harga Jual Persatuan (Price)

S = Jumlah Penjualan (Sales Volume)

Hal penting yang perlu diperhatikan pada perhitungan matematis ini adalah

melakukan penentuan biaya yang merupakan komponen atau unsur-unsur dari analisis

BEP, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah total biaya yang tidak akan

mengalami perubahan terhadap aktivitas usaha, sedangkan biaya variabel adalah total biaya

yang dapat berubah berbanding lurus dengan perubahan output dari aktivitas atau volume

kegiatan usaha (Kasmir, 2010).

Penentuan biaya merupakan langkah awal dalam analisis BEP dalam memisahkan

komponen biaya yang ada, baik biaya tetap atau biaya variabel. Penentuan biaya dapat

dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu sebagai berikut:

a. Pendekatan Analitis, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan meneliti setiap jenis

dan unsur biaya yang terkandung secara rinci pada biaya yang ada beserta sifat-sifat

dari biaya tersebut (Kasmir, 2010).

48
b. Pendekatan Historis, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan memisahkan biaya

tetap dengan biaya variabel berdasarkan angka-angka dan data biaya masa lampau

(Kasmir, 2010).

2. Pendekatan Grafik

Pendekatan grafik adalah perhitungan biaya, volume pamakaian, dan laba,

dengan menggunakan grafik. Titik impas atau BEP digambarkan sebagai titik

perpotongan antara garis pendapatan dengan garis biaya total (Prastowo dan Julianty,

2008). Dengan melakukan pendekatan grafik BEP, pihak manajemen selain akan

mampu mengetahui hubungan antara biaya, volume pemakaian, dan laba, dapat juga

mengetahui besarnya biaya yang tergolong biaya tetap dan yang tergolong biaya

variabel, serta mengetahui tingkat volume pemakaian alat kesehatan yang masih

menimbulkan kerugian dan tingkat pendapatan yang menimbulkan laba (Iskandar,

2012). Berikut gambar grafik Break Even Point (BEP).

Gambar 1. Grafik Break Even Point

Berikut definisi masing-masing indikator dalam perhitungan BEP:


49
a. Biaya (Cost)

Biaya adalah nilai kas yang digunakan untuk barang dan jasa yang diperkirakan

dapat membawa manfaat di masa sekarang atau masa yang akan datang pada

organisasi (Hansen dan Mowen, 2009)

b. Biaya Tetap (FC)

Biaya tetap adalah total biaya yang tidak akan mengalami perubahan terhadap

aktivitas usaha (Kasmir, 2010).

c. Biaya Variabel (V)

Biaya variabel adalah total biaya yang dapat berubah sesuai dengan perubahan

output dari aktivitas atau volume kegiatan usaha (Kasmir, 2010).

d. Kuantitas (Q)

Kuantitas adalah volume produk yang dijual (Prastowo dan Julianty, 2008)

REFERENSI

Anonim. (2004). No. 1197 Tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Arif, Moh. (2003). Manajemen Farmasi. Jakarta: Gajah Mada

Chikitta. 2011. Unit Cost. https://id.scribd.com/doc/74612076/Bab-123-Unit-Cost-Part-2

diunduh tanggal 27 November 2016

Departemen Kesehatan RI. 2009. Undang- Undang RI No 44 Tahun 2009 tentang Rumah

Sakit. http://www.depkes.go.id (Diunduh pada 9 November 2016)

Lubis, Ade Fatma. 2009. Ekonomi Kesehatan. Medan: USU Press

50
Nurhayati. 2004. Perbandingan Sistem Biaya Tradisional Dengan Sistem Biaya ABC.

Sumatera Utara: USU Digital Library

Putri, Maretandra Inri. 2014. Analisis Perhitungan Tarif Rawat Inap Rumah Sakit dengan

Metode Activity Based Costing di RSUD Sunan Kalijaga Demak [pdf]. http://e-

journal.uajy.ac.id/8681/3/2EA19226.pdf diunduh tanggal 27 November

Quick, JD., et al. 2012. Inventory Management in Managing Drug Supply. Third Edition,

Managing Access to Medicines and Health Technologies. Arlington: Management

Sciences for Health

Roos, H. Pagina. 2016. Pengertian Manajemen Logistik. http://id.wikipedia.org. (Diunduh

pada 9 November 2016)

Siregar, Ch.J. P., dan Amalia, L. (2004). Farmasi Rumah Sakit, Teori dan Penerapan.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Subagya M. (1994). Manajemen Logistik. Jakarta : PT Gunung Agung

Suciati, Susi dan Adisasmito, Wiku B.B. 2006. Analisis Perencanaan Obat Berdasarkan

ABC Indeks Kritis di Instalasi Farmasi. J Manajemen Pelayanan Kesehatan (Vol 09.

Hal: 19-26). http://www.ui.ac.id. (Diunduh pada 9 November 2016)

Wijayanti, Tri, dkk. (2011). Jurnal Farmasi Indonesia, hal 20-27. Fakultas Farmasi,

Universitas Setia Budi

51

Anda mungkin juga menyukai