Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

PERCOBAAN I

PENGARUH FORMULASI TERHADAP LAJU DISOLUSI

DOSEN PENGAMPU

Yelfi Anwar, M. Farm, Apt

ANISAH RAHMAH YULIANI

1943057067

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA

FAKULTAS FARMASI

2021
I. PENDAHULUAN

Untuk mencapai absorpsi sistemik, suatu obat padatan akan mengikuti beberapa proses
seperti disintegrasi, disolusi dan absorpsi melalu membran sel. Pada proses tersebut, laju
obat mencapai sirkulasi sistemik ditentukan oleh tahapan yang paling lambat “rate limiting
step”. Obat yang memiliki kelarutan jelek dalam air, maka disolusi merupakan tahap
penentu dalam proses tersebut. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi disolusi obat,
diantaranya:
 Sifat fisikokimia bahan obat,
 Faktor formulasi,
 Snatomi dan fisiologi saluran cerna
 dan lain-lain.

Salah satu faktor yang akan diamati adalah pengaruh formulasi sediaan obat

TUJUAN
 Agar mahasiswa memahami profil disolusi obat dalam berbagai kondisi pH.
 Untuk mengetahui pengaruh formulasi sediaan obat terhadap laju disolusi.

II. TINJAUAN TEORI


Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke
dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu
obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut. Pelarut
suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari
kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat yaitu bentuk
tablet, kapsul dan salep (Martin, 1993).

Untuk mencapai absorpsi dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik, suatu obat
padatanakan mengikuti beberapa proses, seperti disintegrasi, disolusi (pelarutan) dan absorpsi
melalui membran sel. Pada proses tersebut, laju obat mencapai sirkulasi sistemik ditentukan
oleh tahapan paling lambat "rate limmiting step". Obat yang memiliki kelarutan sukar dalam
air, maka disolusi merupakan tahap penentu dalam proses tersebut (Penuntun Banyak faktor
yang dapat mempengaruhi disolusi obat, diantaranya sifat fisikokimia obat, faktor formulasi,
anatomi dan fisiologi saluran cerna dan lain-lain. Salah satu faktor yang akan diamati adalah
pengaruh formulasi sediaan obat.

Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien
difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan
ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk
obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat
aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat
aktif ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Tjay, 2002).

Lapisan difusi adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak bergerak oleh adanya
kekuatan adhesi dengan lapisan padatan.lapisan ini juga dikenal sebagai lapisan yang tidak
teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal lapisan ini bervariasi dan sulit untuk ditentukan, namun
umumnya 0,005 cm (50 micron) atau kurang (Tjay, 2002).

Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam cairan pada
tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet
atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu
tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari
apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam
lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).

Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat
aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan
zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditenmtukan
oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Amir, 2007).

Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan utuh/
pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi zat aktif dari
keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per
unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang
dibakukan (Shargel, 1988).

Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan
sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang dikandung
oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan
zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari
sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan
emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep, krim, pasta) mengalami disolusi dalam
media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Voigt,
1995).

Disolusi dari suatu partikel obat dikontrol oleh beberapa sifat fisika-kimia, termasuk
bentuk kimia, kebiasaan kristal, ukuran partikel, kelarutan, luas permukaan, dan sifat-sifat
pembasahan. Bila data kelarutan kesetimbangan dirangkaikan, maka eksperimen disolusi dapat
membantu mengidentifikasi daerah masalah bioavailabilitas potensial (Lachman, 1994).

Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan pelarutan suatu zat perlu dilakukan karena
kecepatan pelarutan suatu zat aktif dapat dilakukan pada beberapa tahap pembuatan sediaan
obat yaitu: tahap preformulasi, tahap formulasi, dan tahap produksi (Effendi, 2005).

Kelarutan obat dapat dinyatakan dalam beberapa cara. Menurut U. S. Pharmacopeia


dan National Formulary, definisi kelarutan obat adalah jumlah ml pelarut dimana akan larut 1
gram zat terlarut (Martin dan Swarbrick, 1990).
III. METODE PRAKTIKUM

1. Bahan

 HCL 0,1N
 Tablet PCT paten & generik

2. Alat

 Dissolution tester
 Spektrofotometer UV Vis
 Pipet ukur & alat gelas lainnya

Cara Kerja

1. Masing-masing kelompok mengambil satu sampel uji dengan medium disolusi yang
telah ditetapkan.
2. Penentuan panjang gelombang maksimum PCT
3. Buat larutan standar dengan konsentrasi 14µg/ml, ukur serapannya pada 220-350nm.
4. Pembuatan kurva kalibrasi
5. Buat larutan standar pct dengan konsentrasi 4, 6, 8, 10, 12, dan 14µg/ml dan ukur
serapannya pada panjang gelombang maksimum.

Penentuan profil disolusi

1. Wadah diisi dengan air


2. Atur suhu 370c
3. Labu disolusi diisi dengan medium disolusi yang telah ditentukan sebanyak 900ml.
4. Tablet pct dicelupkan ke dalam medium disolusi,
5. Kemudian diputar dengan kecepatan 50 rpm.
6. Larutan dalam labu dipipet sebanyak 5 ml pada menit ke 5, 10, 15, 20 dan 30.
7. Setiap pemipetan medium diganti dengan medium yang jumlah dan jenisnya sama.
8. Masing-masing larutan yang dipipet diukur serapannya dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang maksimum,
9. Kemudian kadar pct yang terdisolusi persatuan waktu dihitung menggunakan kurva
kalibrasi.
IV. HASIL

PARACETAMOL
Konsentrasi Absorbansi Generik
4 0,509
6 0,510
8 0,512
10 0,524
12 0,524
14 0,525

A = 0,5001047619

B = 0,00191428571

r = 0,925716996

PARACETAMOL
Konsentrasi Absorbansi Paten
4 0,518
6 0,518
8 0,521
10 0,524
12 0,527
14 0,531

A = 0,510952381

B = 0,001357142857

r = 0,9778583524
Nilai x

y = A + Bx

PARACETAMOL
Waktu Absorbansi Generik
5' 0,544
10' 0,543
15' 0,543
20' 0,551
30' 0,545

GENERIK

Menit ke 5

y = A + Bx
𝑦−𝑎
x= 𝑏

0,544 −0,5001
x= = 22,984
0,00191

Menit ke 10

y = A + Bx
𝑦−𝑎
x= 𝑏

0,543 −0,5001
x= = 22,4607
0,00191

Menit ke 15

y = A + Bx
𝑦−𝑎
x= 𝑏

0,543 −0,5001
x= = 22,4607
0,00191
Menit ke 20

y = A + Bx
𝑦−𝑎
x= 𝑏

0,551 −0,5001
x= = 26,649
0,00191

Menit ke 30

y = A + Bx
𝑦−𝑎
x= 𝑏

0,545 −0,5001
x= = 23,507
0,00191
PARACETAMOL
Waktu Absorbansi Paten
5' 0,537
10' 0,541
15' 0,541
20' 0,538
30' 0,537

PATEN

Menit ke 5

y = A + Bx
𝑦−𝑎
x= 𝑏

0,537 −0,5109
x= = 19,33
0,00135

Menit ke 10

y = A + Bx
𝑦−𝑎
x= 𝑏

0,541 −0,5109
x= = 22,296
0,00135

Menit ke 15

y = A + Bx
𝑦−𝑎
x= 𝑏

0,541 −0,5109
x= = 22,296
0,00135
Menit ke 20
y = A + Bx
𝑦−𝑎
x= 𝑏

0,538 −0,5109
x= = 20,074
0,00135

Menit ke 30

y = A + Bx
𝑦−𝑎
x= 𝑏

0,537 −0,5109
x= = 19,33
0,00135
Cari kadar masing – masing dalam menit

𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑥 × 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐻𝐶𝑙


Rumus = × 𝐹𝑝
1000

GENERIK

22,984 × 900
5’ = × 25 = 517,05
1000

22,4607 × 900
10’ = × 25 = 505,365
1000

22,4607 × 900
15’ = × 25 = 505,365
1000

26,649 × 900
20’ = × 25 = 599,6025
1000

23,507 × 900
30’ = × 25 = 528,9075
1000

PATEN

19,33 × 900
5’ = × 25 = 434,925
1000

22,296 × 900
10’ = × 25 = 501,66
1000

22,296 × 900
15’ = × 25 = 501,66
1000

20,074 × 900
20’ = × 25 = 451,665
1000

19,33 × 900
30’ = × 25 = 434,925
1000
Cari factor koreksi Paten dan Generik

𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑖𝑝𝑒𝑡 × 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎


Rumus : Fk = + 𝐹𝑘 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐻𝑐𝑙

GENERIK

5 𝑚𝑙 × 0
5’ = +0=0
900

10 𝑚𝑙 × 517,05
10’ = + 0 = 5,745
900

15 𝑚𝑙 × 505,365
15’ = + 5,745 = 14,16775
900

20 𝑚𝑙 × 505,365
20’ = + 14,16775 = 25,398033
900

30 𝑚𝑙 × 599,6025
30’ = + 25,398033 = 45,384783
900

PATEN

5 𝑚𝑙 × 0
5’ = +0=0
900

10 𝑚𝑙 × 434,925
10’ = + 0 = 4,8325
900

15 𝑚𝑙 × 501,66
15’ = +4,8325 = 13,1935
900

20 𝑚𝑙 × 501,66
20’ = + 13,1935 = 13,4866
900

30 𝑚𝑙 × 451,665
30’ = +13,4866 = 28,5421
900
Cari % terdisolusi
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑚𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔− 𝑚𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 + 𝐹𝑘
Rumus = × 100 %
500 (𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑃𝑐𝑡)

GENERIK
517,05 + 0
5’ = × 100 % = 1,0341%
500
505,365 + 5,745
10’ = × 100 % = 1,02222 %
500
505,365 + 14,16775
15’ = × 100 % = 1,0390655 %
500
599,6025 + 25,398033
20’ = × 100 % = 1,250001066 %
500
528,9075 + 45,384783
30’ = × 100 % = 1,148584566 %
500

PATEN
434,925+ 0
5’ = × 100 % = 0,86985 %
500
501,66 + 4,8325
10’ = × 100 % = 1,012985 %
500
501,66 + 13,1935
15’ = × 100 % = 1,029707 %
500
451,665 + 13,4866
20’ = × 100 % = 0,9303032 %
500
434,925 + 28,5421
30’ = × 100 % = 0,9269342 %
500
V. PEMBAHASAAN
Disolusi adalah proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat daalam media pelarut,
atau dengan kata lain disolusi adalah jumlah zat aktif dari obat yang dapat larut dalam cairan
tubuh. Sedangkan laju disolusi adalah laju zat aktif untuk melarut dalam media pelarut seingga
apabila zat aktif memiliki kecepatan melarut yang cepat maka efek yang ditimbulkan juga cepat
dan begitupun sebaliknya.

Mekanisme disolusi suatu obat khususnya tablet yaitu tablet yang ditelan akan masuk kedalam
lambung akan pecah, mengalami disentigrasi menjadi banyak granul kecil, yang terdiri dari zat
aktif yang tercampur dengan zat pengisi dan pelekat. Setelah granul-granul ini pecah zat aktif
terlepas dan jika daya larutan cukup besar, akan larut dalam cairan lambung atau usus.
Tergantung pada tempat dimana saat itu obat berada. Hal ini ditentukan oleh waktu
pengosongan lambung, yang pada umunya berkisar pada 2-3 jam setelah makan. Baru setelah
obat larut, proses reabsorbsi oleh usus dapat dimulai.peristiwa ini disebut sebagai
pharmasheutican availability.

Pada percobaan ini akan ditentukan tetapan disolusi dari tablet paracetamol 500 mg dalam
media air suling, dimana besarnya tetapan tersebut menunjukkan cepat lambatnya disolusi atau
kelarutan dari tablet paracetamol tersebut. Di sini digunakan air suling sebagai media disolusi
karena air merupakan cairan penyusun utama dalam tubuh manusia, jadi diumpamakan obat
berdisolusi di dalam tubuh. Selain itu juga karena paracetamol kelarutannya dalam air sangat
baik. Adapun volume dari labu disolusi yang digunakan adalah 900 ml. Hal ini di analogikan
terhadap suatu gelembung udara, maka gelembung udara tersebut akan masuk ke pori-pori dan
bekerja sebagai barier pada interfase sehingga mengganggu disolusi obat. Adapun suhu yang
digunakan, dipertahankan 37° C, dengan maksud agar sesuai dengan suhu fisiologis suhu tubuh
manusia. Hal ini sebagai pembanding jika obat tersebut berada dalam tubuh manusia, adapun
waktu yang digunakan yaitu 30 menit karena waktu yang digunakan paracetamol untuk dapat
terdisolusi adalah 30 menit.

Untuk media disolusi digunakan pelarut seperti yang tertera dalam masing-masing monografi.
Bila media disolusi adalah suatu larutan dapar, diatur pH larutan sedemikian hingga berada
dalam batas 0.05 satuan pH yang tertera pada masing-masing monografi. Untuk memilih media
disolusi dapat dipertimbangkan seperti halnya jika kelarutan zat aktif tidak dipenggaruhi oleh
pH, maka sebagai media disolusi dipakai air suling.
Sedangkan jika kelarutan zat aktif dipengaruhi pH, maka sebagai media disolusi dipakai cairan
lambung buatan atau cairan usus buatan.

Pertama-tama alat uji disolusi diaktifkan, kemudian diatur waktu, suhu, interval waktu, dan
rpmnya, kemudian setelah 45 menit dan terdengar suara beep yang panjang dari alat uji disolusi
maka paracetamol dimasukkan kedalam alat uji disolusi. Setelah obat dimasukkan ke dalam
alat uji disolusi, dilakukan pemipetan dalam tiap interval waktu 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit,
tetapi pada saat dilakukan pemipetan dari alat uji disolusi, maka larutan yang diambil dalam
alat uji disolusi harus diganti dengan air steril sesuai dengan volume yang diambil.

Setelah melakukan pemipetan / pengambilan sampel, dilakukan analisis dengan absorbansi


melalui alat spektrovotometer uv-vis. Tahapan yang dilakukan setelah pengujian disolusi
adalah pengukuran absorbansi melalui alat spektrovotometer uv-vis dipanjang gelombang 2,43
nm. Hasil yang didapat adalah

Parasetamol Generik

Generik

Menit ke 5 = 517,05

Menit ke 10 = 505,365

Menit ke 15 = 505,365

Menit ke 20 = 599,6025

Menit ke 30 = 528,9075

Parasetamol Paten

Menit ke 5 = 434,925

Menit ke 10 = 501,66

Menit ke 15 = 501,66

Menit ke 20 = 451,665

Menit ke 30 = 434,925
Dari hasil perhitungan terlihat bahwa % nilai disolusi selalu terjadi kenaikan disetiap menitnya.
Pada paracetamol generic pada menit ke 30, % yang didapat yaitu 1,148584566 %. Sedangkan
pada paracetamol paten, % disolusi didapat pada menit ke 30 yaitu 0,9269342 %.

VI. KESIMPULAN

Dari percobaan diperoleh data absorbansi

Parasetamol Generik

Menit ke 5 = 22,984

Menit ke 10 = 22,4607

Menit ke 15 = 22,4607

Menit ke 20 = 26,649

Menit ke 30 = 23,507

Parasetamol Paten

Menit ke 5 = 0,86985 %
Menit ke 10 = 1,012985 %
Menit ke 15= 1,029707 %
Menit ke 20 = 0,9303032 %
Menit ke 30 = 0,9269342 %
VII. DAFTAR PUSTAKA

Ansel. C, Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press. Hal 118-
124.
Ditjen OM., (1979), Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisika 2. Universitas Indonesia
Press. Jakarta
Martin, Alfred et al. 1990. Farmasi Fisika Edisi III Jilid I. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia
Suryani, Elis. 2016. Uji disolusi tablet parasetamol dengan metode dayung. Universitas
Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai