Anda di halaman 1dari 42

Analisa Yuridis Pendekatan Multidoor terhadap Tindak Pidana Korporasi

di Indonesia

A. PENDAHULUAN

Negara Indonesia ialah negara hukum,1 berdasarkan penjelasan umum tentang


pemerintahan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak
berdasarkan kekuasaan semata.2 Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar 1945 tidak
ada ketentuan secara jelas dan tegas yang menyatakan negara Republik Indonesia adalah
negara hukum. Selaras dengan pandangan negara Indonesia adalah negara hukum maka yang
yang paling penting dari suatu konsep negara hukum adalah adanya persamaan perlakuan
dimuka hukum atau disebut dengan “equality before the law“ yang mengandung pengertian
bahwa setiap penduduk atau warga negara Indonesia berhak atas jaminan dan perlindungan
yang adil serta sama didepan hukum.

Merujuk pada setiap penduduk atau warga negara indonesia diakui sebagai subjek
hukum di Republik Indonesia yaitu pendukung hak dan kewajiban serta memiliki
kemampuan bertanggung jawab secara hukum atau cakap hukum, dalam perkembangan
konteks hukum, perdebatan tentang perilaku korporasi sebagai salah satu subjek hukum
selain orang/individu (natuurlijke persoon) telah berlangsung cukup lama. Meskipun
demikian, pada perkembangannya sebagian besar negara-negara di dunia telah menerima
korporasi masuk sebagai subjek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana.
Pendapat yang menyetujui korporasi sebagai subjek hukum dalam pertanggungjawaban
pidana umumnya bersandar pada kenyataan atau fakta telah berbicara (res ipso loquitur)
bahwa korporasi kerap melakukan perbuatan yang merugikan atau membahayakan
masyarakat meskipun hal ini direpresentasikan melalui perbuatan orang-orang yang
merupakan pengurusnya. Terlebih lagi perbuatan tersebut memang ditujukan untuk
memberikan manfaat dan keuntungan bagi korporasi.

Aktivitas korporasi sebagai badan hukum (artificial persoon) telah memasuki


berbagai aspek kehidupan masyarakat.3 Secara faktual korporasi telah memberikan
1
Undang-undang dasar 1945, pasal 1 ayat 3 (amandemen ke4)
2
PRAHANELA, R. (2017), “Kegagalan Implementasi Diversi Dalam Tahap Penuntutan.” Jurnal
Komunikasi hukum. Vol 1, (Doctoral dissertation, Universitas Sebelas Maret).
3
"Korporasi berasal dari kata corporatio dalam bahasa Latin yang berawal dari kata corporare,
artinya memberikan badan atau membadankan. Muladi yang mengutip K. Malikoel Adil mengartikan
korporasi atau corporation adalah hasil dari pekerjaan membadankan atau badan yang dijadikan orang." Eddy
O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka Kelompok Penerbit

1
kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, bahkan dunia.
Namun disisi lain, berbagai tindakan korporasi juga menimbulkan dampak merugikan bagi
masyarakat, seperti kerusakan lingkungan baik didarat, laut dan udara, serta penetapan harga
barang yang tinggi bagi konsumen sebagai konsekuensi dari praktik persaingan usaha tidak
sehat, berbagai modus perilaku curang dan korupsi yang merugikan masyarakat dan negara,
serta berbagai tindakan merugikan lainnya. Pada beberapa kasus, tindakan korporasi bahkan
menimbulkan kematian bagi manusia dan secara masif mengakibatkan kerusakan alam dan
lingkungan sehingga dalam jangka panjang dapat mengancam keberlangsungan hidup
manusia.

Tindak pidana Korporasi yang koruptif di Indonesia saat ini masih menjadi salah satu
penyebab terpuruknya sistem perekonomian di Indonesia yang terjadi secara sistematik dan
meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara,
tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. 4 Oleh karenanya,
tindak pidana korupsi disinyalir sebagai salah satu penyebab tidak tercapainya tujuan
nasional bangsa Indonesia, yakni menciptakan masyarakat yang sejahtera, damai, adil, dan
makmur. Lebih konkret lagi tujuan nasional bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, tidak dapat terwujud atau setidaknya akan terhambat karena tindak pidana
korupsi ini.5

Perhatian dunia internasional terhadap korupsi terdapat dalam Kongres PBB ke-8
tahun 1990 di Havana Cuba yang menyoroti dimensi kejahatan seperti:

(1) masalah urban crime; (2) crime against the nature and the environmental; (3)
corruption keterkaitannya dengan economic crime, organized crime, illicit trafficking in

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014), Cet.l, hal.155. Lihat juga, Sutan Remy Sjahdeini,
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: PT Grafiti Pers, 2007), hal.41. Bandingkan dengan pengertian
korporasi dalam Black's Law Dictionary (Bryan A. Garner), Ed.8, Thomson Business, 2004. "An entity (usu.a
business) having authority under law to act as a single person distinct from the shareholders who own it and
having rights to issue stock and exist indefinitely; a group or succession of persons established in accordance
with legal rules into a legal or juristic person that has legal personality distinct from the natural persons
who make it up, exists indefinitely apart from them, and has the legal porwers that its constitution gives it'' .
Bandingkan juga dengan, Surya Jaya, Kajian Teoritik dan Praktis Pemidanaan Korporasi Dalam Rangka
Pengembalian Aset, Makalah Dalam Diskusi Kamar Pidana di Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2013. "Korporasi
adalah: Realitas kumpulan orang pendukung hak dan kewajiban, yang memiliki kekayaan, baik dalam bentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum, sifatnya terorganisasi".
4
Peraturan Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, “Penelitian hukum tentang Aspek Hukum
Pemberantasan Korupsi di Indoneisa”, Jakarta, 2008, Hal 1
5
Kristian, “Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, Jakarta, Sinar Grafika,2018, hal.1

2
narcotic, drugs and psychotropic substances, termasuk juga masalah money laundering; (4)
crime against movable cultural property (cultural heritage); (5) computer related crime; (6)
terrorism; (7) domestic violence; (8) instrumental use children in criminal activities.6
Khususnya mengenai masalah korupsi, Kongres ke-8 menyatakan sangat perlunya hal ini
diperhatikan mengingat “corrupt activities of public official”:

a. can destroy the potential effectiveness of all types of governmental programmes (dapat
menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah);
b. hinder development (dapat mengganggu/menghambat pembangunan);
c. victimize individuals and groups (menimbulkan korban bagi individual maupun
kelompok).7

Kongres dalam kaitannya dengan hal di atas, menghimbau kepada negara-negara


anggota PBB untuk menetapkan strategi anti korupsi sebagai prioritas utama di dalam
perencanaan pembangunan sosial dan ekonomi (dalam dokumen A/CONF. 144/L.13
disebutkan “The designation of anti-corruption strategies as high priorities in economic
and social development plans”), serta mengambil tindakan terhadap perusahaan-perusahaan
yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.8 Dokumen Kongres PBB ke-9 tahun 1995
menyatakan: Korporasi asosiasi kriminal atau individu mungkin terlibat dalam “penyuapan
para pejabat” untuk berbagai alasan yang tidak semuanya bernilai ekonomis. Tetapi, dalam
banyak kasus, masih saja terdapat penyuapan untuk mencapai keuntungan ekonomis.
Tujuannya ialah membujuk para pejabat untuk memberikan berbagai bentuk perlakuan
khusus/istimewa (preferential treatment) antara lain:
a. memberikan kontrak (awarding a contract);
b. mempercepat atau memperlancar izin (expediting a license);
c. membuat perkecualian-perkecualian atau menutup mata terhadap pelanggaran
peraturan (making exceptions to regulatory standards or turning a blind eye to
violations of those standards).9
Perkara Korupsi Mantan Bupati Palalawan Tengku Azmun Jaafar inilah yang
membuka tabir korupsi yang berkaitan dengan korporasi yaitu melalui Putusan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada:
6
Barda Nawawi Arief, 1996, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, Alumni, Bandung, PT Citra
Aditya Bakti hal. 18
7
Ibid, hal. 1
8
Terdapat tiga strategi pemberantasan korupsi yang disarankan, yaitu: (1) adanya political will
pemerintah; (2) penyempurnaan penegakan hukum pidana; dan (3) pressure masyarakat.
9
Ibid, hal 20

3
No Tahun Terpidana Putusan Kerugian Keterangan
Negara

1 2009 T. Azmun Jafar 11 Tahun Rp. 1,2 T

2 2010 Asral Rahman 5 Tahun Rp. 889 M

3 2011 Arwin AS 4 Tahun Rp. 301 M

4 2012 Burhanudin 2,6 Tahun Rp 519 M


Husin

5 2012 Syuhada Tasman 5 Tahun Rp. 153 M

Total Rp 3 T

1. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 06/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST dengan


putusan:

T. Azmun Jaafar dinyatakan terbukti melanggar Dakwaan Primer, yaitu Pasal 2 ayat
(1) UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi

• Dipidana 11 tahun dan denda Rp. 500 juta rupiah.

• Hukuman uang pengganti Rp. 12,367 miliar (uang yang dinikmati oleh

terdakwa)

2. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Nomor: 12/PID/TPK/2008/PT.DKI; dengan


putusan:

• Dakwaan Primair tidak terbukti, karena unsur “setiap orang” tidak terpenuhi, karena T.
Azmun Jaafar bertindak sebagai pemangku jabatan Bupati Pelalawan.

• Dakwaan yang terbukti adalah dakwaan subsidair, yaitu Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 jo
UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi

• Menghukum T. Azmun Jaafar 16 tahub penjara dan denda Rp. 500 juta

• Menghukum pembayaran uang pengganti Rp. 12.367.780,00

3. Petikan Putusan MA Nomor: 736 K/Pid.Sus/2009; dengan putusan:

4
• Menyatakan T. Azmun Jaafar melakukan korupsi secara bersama-sama sebagai perbuatan
berlanjut;

• Menghukum penjara 11 tahun dan denda Rp. 500 juta

• Menghukum membayar uang pengganti Rp. 12.367.780,00

Kasus Posisi:

Azmun Jaafar tetap menerbitkan15 Surat Keputusan Pencadangan Lahan untuk Usaha
Hutan Tanaman atau Surat Keputusan Persetujuan Prinsip IUPHHK-HT terhadap 15
perusahaan (8 perusahaan luar, dan 7 perusahaan yang direkayasa sendiri) Kemudian, T.
Azmun Jaafar memerintahkan T. Zuhelmi, Kepala Dinas Kehutanan Kab. Pelalawan untuk
memproses feasibility study yang telah disusun perusahaan. Atas dasar perintah itulah, T.
Zulhelmi menerbitkan:

• Persetujuan Peta Dasar

• Surat Perintah Bayar Iuran IUPHHK-HT atas nama 15 perusahaan

Sesuai dengan rencana awal, T. Azmun Jaafar menawarkan 7 perusahaan yang


direkayasanya kepada pihak PT. RAPP. Take over tersebut akhirnya terjadi, dan RAPP
mengambil alih perusahaan penerima IUPHHK-HT tersebut, sebagai kelanjutan, T. Azmun
Jaafar menerbitkan 15 Keputusan Bupati tentang penerbitan IUPHHK-HT. Padahal
perbuatan ini melanggar:

• Kepmenhut No. 10.1/Kpts.-II/2000 tanggal 6 November 2000

• Lampiran Kepmenhut No. 21/Kpts.-II/2001 tanggal 31 Januari 2001

Perbuatan berlanjut pada tingkatan pengesahan Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang
dilakukan oleh Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau, Syuhada Tasman. Atas “jasa-
jasanya”, dalam proses penerbitan IUPHHKHT 15 perusahaan, T. Azmun Jaafar
mendapatkan sejumlah uang senilai Rp. 19,83 miliar, dan memperkaya sejumlah pihak
dibawah ini:

Rekap Tabel terdapat 17 (tujuh belas) Perusahaan (korporasi) yang terlibat dalam
tindak pidana korupsi Tengku Azmun Jaffar 2001-2006 terkait dengan penerbitan 15 (lima

5
belas)] Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK – HT) di
Kabupaten Pelalawan10.

No Perorangan Nilai (Rp) Perusahaan(Korporasi) Nilai (Rp)


1 T. Azmun Jaafar 19,83 Milliar PT. Riau Andalan Pulp & Paper 939,29 Milliar

2 T. Lukman Jaafar 8,25 Milliar PT. Merbau Pelalawan Lestari 7,68 Milliar

3 Asral Rahman 600 Juta PT. Selaras Abadi Utama 6,999 Milliar

4 Fredrik Suli 190 Juta PT. Uniseraya 13,03 Milliar

5 Sudirno 50 Juta CV. Putri Lindung Bulan 54,48 Milliar

6 CV. Tuah Negeri 4,63 Milliar

7 CV. Mutiara Lestari 282 Juta

8 PT. Rimba Mutiara Permai 7,11 Milliar

9 PT. Mitra Tani Nusa Sejati 16,88 Milliar

10 PT. Bhakti Praja Mulia 10,74 Milliar

11 PT. Trio Mas FDI 13,39 Milliar

12 PT. Satria Perkasa Agung 94,82 Milliar

13 PT. Mitra Hutani Jaya 87,92 Milliar

14 CV. Alam Jaya 12,93 Milliar

15 CV. Harapan Jaya 13,73 Milliar

16 PT. Madukuro 17,6 Milliar

17 PT. Yos Raya TImber 6 Milliar

Perkara diatas juga terlihat bahwa peran dari Korporasi yang secara masif melakukan
tindak pidana korupsi yang dilakuakan baik oleh pengurus (direksi atau komisaris) maupun
oleh korporasi itu sendiri dalam hal mengambil keuntungan bagi korporasi itu sendiri serta
kerugian negara yang jauh lebih besar dilakukan oleh korporasi ketimbang yang dilakukan
oleh Orang perorangan terhadap perkara Kadis Kehutanan provinsi Riau Tahun 2003-2004
dengan terdakwa Syuhada Tasman, didalam Putusan Pengadilan No.
06/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST disebutkan bahwa pidana yang dijatuhkan hanya
10
Kristian, “Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, Op.Cit, hal.6

6
ditujukan kepada orang perorangan (manusia alamiah) yaitu sebanyak 5 (lima) org
(TAJ,TLJ,AR,FS,S) dan tidak ditujukan kepada korporasi secara langsung yaitu sebanyak
17 Perusahaan (korporasi) yang memiliki peran yang sangat terorganisir dalam memperkaya
korporasi dan merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah padahal jika dibandingkan
kerugian negara yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh suatu
korporasi jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kerugian negara yang dilakukan orang
perorangan.

Keterlibatan perusahaan-perusahaan/korporasi didalam tindak pidana korupsi bukanlah


rahasia umum lagi, bebarapa kasus lagi yang melibatkan korporasi sebagai subjek hukum
adalah sebagai berikut:

1. Perkara PT GJW (Giri Jaladhi Wana) dengan Putusan Nomor 908/ Pid.B/2008/PN.Bjm
tanggal 18 Desember 2008 yang mana putusan tersebut telah dikuatkan dengan Putusan
Nomor 02/PID/SUS/2009/ PT.BJM tanggal 25 Februari 2009 dan kasasi terdakwa telah
ditolak berdasarkan Putusan Nomor 936/K/Pid.Sus/2009 tanggal 25 Mei 2009). Majelis
hakim melalui Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm dan pada tingkat banding,
Pengadilan Tinggi Banjarmasin melalui Putusan Nomor 04/PID.SUS/2011/PT.BJM
menguatkan Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm tanggal 09 Juni 2011.
2. Perkara PT Cakrawala Nusamedia (PT CN), dengan Putusan Nomor
65/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Bdg yang menyatakan terdakwa PT CN terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana
dalam dakwaan primer.
3. Perkara PT Indosat Multi Media (IM2), Putusan Nomor 01/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Pst
memutuskan dan menyatakan terdakwa IA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “korupsi dilakukan secara bersama-sama”, dan banding dengan
Putusan Nomor 33/PID/TPK/2013/PT.DKI menerima permintaan banding tersebut dan
mengubah Putusan Nomor 01/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Pst dan Pada tingkat kasasi,
Mahkamah Agung memperbaiki amar Putusan Nomor 33/PID/TPK/2013/PT.DKI yang
mengubah Putusan Nomor 01/Pid.Sus/ TPK/2013/PN.Jkt.Pst sekadar mengenai pidana
denda dan uang pengganti.
4. Perkara Tindak Pidana Perpajakan A.n Suwir Laut dengan Putusannya Nomor
234/PID.B/2011/PN.JKT.PST dan melakukan banding pada Pengadilan Tinggi Jakarta
melalui Putusan Nomor 241/ PID/2012/PT.DKI menerima permintaan banding dari jaksa
penuntut umum dan memutuskan menguatkan Putusan Nomor 234/PID.B/2011/

7
PN.JKT.PST yang dimohonkan banding tersebut. Tidak terima atas putusan Pengadilan
Tinggi tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Melalui Putusan Nomor 2239
K/PID.SUS/2012, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari jaksa
penuntut umum dan membatalkan Putusan Nomor 241/ PID/2012/PT.DKI tanggal 23 Juli
2012 yang menguatkan Putusan Nomor 234/PID.B/2011/ PN.JKT.PST.

Salah satu pendekatan dalam penegakan hukum di Indonesia adalah multidoor. Melalui
pendekatan multidoor maka dapat dilakukan penyidikan dan penuntutan terhadap follow the
asset sekaligus terhadap follow the suspect. Selain itu dapat menuntut sekaligus pelaku
individual dan pelaku fungsional (Badan Hukum & Pimpinan Korporasi), melalui
pendekatan multidoor juga dapat diberikan pemberatan hukuman karena dua tindak pidana
dapat dituduhkan sekaligus dan dapat disidik dan dipidana sekaligus,

Sebagai contoh dari tindak pidana korporasi dibidang kehutanan yaitu perusahaan
pelaku pembalakan liar yang sangat sistematis tersebut maka dapat dilihat bahwa hasil yang
diperoleh dari pembalakan liar sangat besar. Sebagaimana disampaikan oleh Yunus Husein 11
mengutip data CIPOR, penebangan liar mencapai 60%-80% dari 60-70 juta/m2 yang
dikonsumsi oleh industri kayu domestik. Dari data CIPOR juga diketahuibahwa angka
ekspor industri kehutanan kita mencapai USD 5 miliar per tahun dimana ditengarai 70%
berasal dari illegal logging. Melihat kondisi tersebut maka dalam penegakan hukum
khususnya pemberantasan pembalakan liar yuang dilakukan oleh suatu korporasi harsu
melalui berbagai pendekatan (multi door) sehingga disamping dapat menghukum pelaku
dapat pula dilakukan penyitaan dan perampasan asset-aset hasil pembalakan hutan tersebut.
Secara harfiah Pendekatan Multi door adalah suatu pendekatan yang:12

11
Yunus Husain, Strategi Memberantas Pembalak Liar, Fi-Crime, Financial Crime Report Magazine,
Edisi ke-2, November 2006. Dari 2903 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dikelola
PPATK, 28 LKTM terkait dengan illegal logging. Sementara itu khusus analisis transaksi keuangan
mencurigakan yang terkait illegal logging, PPATK telah menyampaikan 14 hasil analisis yang terkait dengan
berbagai pihak, yaitu oknum pejabat, oknum aparat dan perusahaan/pengusaha kayu. Berdasarkan hasil
analisis yang telah disampaikan kepada Polri dapat diketahui bahwa selain pengusaha lokal, beberapa
pelaku illegal logging berasal dari Malaysia. Dalam melakukan kegiatannya mereka menggunakan identitas
beberapa WNI untuk membuka rekening di Bank dan menjadi pengurus perusahaan. Selanjutnya kontrol atas
rekening dan perusahaan diduga dilakukan oleh orang asing tersebut. Dari data- data yang kita miliki, pelaku
illegal logging melakukan kegiatan usaha antara lain di wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku
dan Papua, selanjutnya sebagian kayu illegal tersebut di ekspor ke Malaysia dan Singapura. Di Papua, para
pelaku illegal logging bekerjasama dengan beberapa koperasi setempat dalam melakukan penebangan kayu.
Untuk memperlancar kegiatan bisnisnya, pelaku illegal logging diduga secara rutin menyetorkan uang suap
dalam jumlah besar ke rekening oknum pejabat dan oknum aparat terkait.
12
Reda Manthovani, 2010, “Penuntutan Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana dalam Kejahatan di
Sektor Kehutanan: Optimalisasi Penggunaan Undang-undang Pencucian Uang dalam Pembuktian Tindak
Pidana di Sektor Kehutanan di Indonesia yang Dilakukan oleh Korporasi”, hal. 14.

8
1. Mengupayakan penggunaan berbagai UU yang paling mungkin digunakan sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum pidana yang berlaku dan perkembangan fakta yang
ditemukan di lapangan;
2. Sedapat mungkin menjadikan korporasi sebagai tersangka/terdakwa selain pelaku
fisik.
3. Menggunakan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) selain tindak pidana asal
(misalnya korupsi, perpajakan, kehutanan, pertambangan, tata ruang, dan
perkebunan) agar dapat mengembalikan kerugian negara (asset recovery) dari
aset-aset yang berada didalam maupun di luar negeri;
4. Memanfaatkan ketentuan yang mengatur kerusakan lingkungan hidup dan tindak
pidana korporasi sesuai dengan Undang—undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Hal tersebut
bertujuan agar Pasal 119 UU PPLH yang memungkinkan pidana tambahan, antara
lain berupa perampasan keuntungan, perbaikan akibat tindak pidana, dapat
digunakan.
5. Dalam rangka mengoptimalkan mengembalikan kerugian negara (asset
recovery),mendorong pemanfaatan pasal-pasal yang mengatur tentang
pembuktian terbalik oleh penyidik dan penuntut umum.

Keberhasilan Jaksa dalam menuntutkan pertanggungjawaban pidana di peradilan ini


didukung dengan perangkat kebijakan Penegak hukum berupa Surat Edaran Kejaksaan
Agung RI Nomor B-36/A/Ft.1/06/2009 perihal Korporasi Sebagai Tersangka/Terdakwa
Dalam Tindak Pidana Korupsi. Tanpa panduan dari surat edaran tersebut, perkara ini juga
tidak akan muncul ke permukaan karena secara teknis hukum acara penanganan tindak
pidana korporasi masih belum jelas. Kejaksaan Agung selanjutnya menyempurnakan Surat
Edaran tersebut menjadi Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-
028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum
Korporasi.

Seiring dengan Kejaksaan Agung di atas, Mahkamah Agung juga menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak
Pidana Oleh Korporasi. Perma Nomor 13 Tahun 2016 memberikan definisi khusus terkait
tindak pidana Korporasi yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan
hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-
sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan.

9
Korporasi.13 Perma Nomor 13 Tahun 2016 juga menentukan bahwa dalam menjatuhkan
pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi antara lain:

a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau
tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi;
b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan
pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap
ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.14
Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap korporasi atau pengurus atau korporasi
dan pengurus yang didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang mengatur
ancaman pidana terhadap korporasi dan/atau pengurus. Hakim menjatuhkan pidana terhadap
korporasi berupa pidana pokok (denda) dan/atau pidana tambahan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.15

Terhadap korporasi dan/atau pengurus diberikan jangka waktu 1 (satu) bulansejak


putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar denda yang dijatuhkan. Apabila
terdapat alasan kuat, jangka waktu dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. Terpidana
korporasi yang tidak membayar denda, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan
dilelang untuk membayar denda.16

Dengan telah di terbitkannya kedua perangkat hukum tersebut diatas, masih terdapat
keengganan para penyidik khususnya penuntut umum dalam melakukan penyidikan serta
penuntutan terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana, karena begitu banyaknya/
panjangnya birokrasi didalam peraturan perundangan tentang masing-masing tindak pidana
awal/”main crime” yang dilakukan oleh penydik awal juga yaitu seperti contohnya yaitu
antara lain, penyidik kehutanan yang terdiri dari unsur Kepolisian Kehutanan/Polri/PPNS,
penyidik Perkebunan yang terdiri dari unsur Kepolisian/PPNS, dan seterusnya. Serta
ditambah lagi tindak pidana korporasi yang disebut sebagai tindak pidana kerah putih (White

13
Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi
14
Pasal 4 ayat (21) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi
15
Pasal 23 Jo Pasal 25 Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Penjatuhan pidana terhadap korporasi dan/atau pengurus
tidak menutup kemungkinan penjatuhan pidana terhadap pelaku lain yang berdasarkan ketentuan undang-
undang terbukti terlibat dalam tindak pidana tersebut.
16
Pasal 28 Jo Pasal 29 Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.

10
Colour Crime) yang notabenya para pelaku tindak pidana adalah orang yang mempunyai
keahlian khusus tentang organisatoris suatu korporasi yang dapat dengan cepat
menghilangkan dan meleburkan seluruh aset dan menghilangkan seluruh jejak memperkaya
diri atau korporasi.

Menurut kualifikasinya, kejahatan korporasi tergolong sebagai white collar crime


yang menggunakan modus operandi yang canggih dan dapat juga berdimensi transnasional
dimana dilakukan lintas Negara dan teritorial. Gabungan dari kedua kualifikasi tersebut
menghasilkan ruang lingkup kejahatan yang luas dan dampak kerugian yang sangat besar.
Dikatakan demikian karena korban yang ditimbulkan akibat kejahatan yang dilakukan
korporasi meliputi masyarakat pada umumnya, konsumen pengguna produk yang
dihasilkan, korporasi yang bertindak selaku kompetitor, dan para karyawan atau buruh yang
tidak terlindungi. Bahkan Negara pun dapat menjadi korban kejahatan korporasi dimana
tindak pidana korporasi menimbulkan kerugian keuangan Negara atau perekonomian
Negara.17 Dari permasalahan diatas perlu peran serta aparat hukum khususnya Kejaksaan
dalam menuntaskan dan mempercepat proses penangan perkara terkhusus terhadap Tindak
pidana korporasi dengan mengkaji mengenai Bagaimana Analisa Yuridis Pendekatan
Multidoor terhadap Tindak Pidana Korporasi di Indonesia.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode normatif. Terdapat 3 (tiga) pendekatan untuk


mengkaji ketiga permasalahan yang coba dibahas dengan metode penelitian normatif ini
yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach)
serta pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan perundang-undangan
diperlukan dalam rangka menelusuri ratio legis dan dasar ontologis lahirnya peraturan
perundang-undangan.18 Pendekatan kasus digunakan untuk menemukan the ratio decidendi
atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu putusan.19

Dimana letak terobosan hukum yang bertujuan memberi akses keadilan.20


Pendekatan konseptual digunakan untuk memahami secara presisi dan akurat berbagai

17
Kristian, “Hukum Pidana Korporasi: Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia”, (Bandung: Nuansa Aulia, 2014), hal.33.
18
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 93-94.
19
Ibid, hal. 64
20
Sulistyowati Irianto dan Lim Sing Meij, “Praktik Penegakan Hukum: Arena Penelitian Sosiolegal
Yang Kaya. Dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta. Metode Penelitian Hukum (Konstelasi dan Refleksi”,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2011), hal. 191.

11
konsep yang digunakan oleh prinsip hukum dalam undang- undang maupun doktrin para ahli
hukum.21 Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri
atas bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, konvensi hukum
internasional dan putusan pengadilan serta bahan hukum sekunder berupa literature dan hasil
penelitian. Peraturan perundang-undangan yang digunakan antara lain Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP), Peraturan
Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman
Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi, Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh
Korporasi, dan Surat Edaran Kejaksaan Agung RI Nomor B-036/A/Ft.1/06/2009 perihal
Korporasi Sebagai Tersangka/Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi dan Konvensi
internasional terkait pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi yaitu
United Nation Covention Against Corruption (UNCAC) 2003. Putusan pengadilan yang
dikaji terkait dengan putusan pemidanaan korporasi pelaku tindak pidana korupsi diantaranya
yaitu Perkara PT GJW (Giri Jaladhi Wana) dengan Putusan Nomor 908/ Pid.B/2008/PN.Bjm
tanggal 18 Desember 2008, Perkara PT Cakrawala Nusamedia (PT CN), dengan Putusan
Nomor 65/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Bdg, Perkara PT Indosat Multi Media (IM2), Putusan
Nomor 01/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Pst dan Perkara Tindak Pidana Perpajakan A.n Sawir Laut
dengan Putusannya Nomor 234/PID.B/2011/PN.JKT.PST

Adapun literature yang digunakan dalam kajian agar terhindar dari kekeliruan
pandangan adalah yang berkaitan dengan filsafat pemidanaan dan teori pertanggungjawaban
pidana korporasi. Bahan-bahan hukum dan literatur tersebut dikumpulkan melalui metode
sistematis dan dicatat dalam kartu antara lain permasalahannya, asas-asas, argumentasi,
implementasi yang ditempuh, solusi permasalahan dan lain sebagainya. Data yang telah
dikumpulkan kemudian dideskripsikan dan diinterpretasikan sesuai pokok permasalahan
selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi, dan diberikan argumentasi. Metode analisis yang
diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah
melalui analisis yuridis kualitatif.

C. PEMBAHASAN

21
Peter Mahmud Marzuki, Loc Cit, hal.178

12
Analisa Yuridis Pendekatan Multidoor terhadap Tindak Pidana Korporasi di Indonesia

Pendekatan multidoor artinya penegakan hukum yang menggunakan berbagai rezim hukum.22
Pendekatan multidoor bermula sejak tahun 2012 yang diprakarsai oleh Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang mana UKP4 merupakan kelanjutan dari
Unit Kerja Presiden Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R), pendekatan ini kemudian
dituangkan dalam Nota Kesepahaman Bersama antara Kementerian Lingkungan Hidup (KLH),
Kementerian Kehutanan (KemenHut) , Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),
Kepolisian RI serta Kejaksaan RI untuk menangani kasus terkait sumber daya alam dan kehutanan.23

Kejahatan korporasi melibatkan beberapa tindak pidana lain seperti: pencucian uang,
korupsi, dan kejahatan pajak, kehutanan, migas, tambang dll. Strategi penanganan kejahatan
korporasi melalui instrumen hukum administratif dari teguran tertulis sampai pencabutan
ijin, penyelesaian sengketa dan penerapan hukum pidana.

Sebagai contoh sukses penerapan pendekatan multidoor adalah penanganan kasus


Kalista Alam dan kasus Labora S. Kasus PT Kalista Alam bermula dari Kementerian
Lingkungan Hidup (KLHK) yang mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri
Meulaboh pada 8 November 2012 setelah melakukan koordinasi dengan Unit Kerja
Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Mabes Polri, dan
KejaksaanAgung. Pemerintah Aceh mencabut izin Kalista Alam.24

Dalam putusan gugatan perdata KLH, hakim memutuskan perusahaan sawit ini
terbukti melanggar hukum karena membakar 1.000 ha lahan gambut pada 2009-2012
dengan ganti rugi sebesar Rp 366 miliar. Selanjutnya pelaku pengurus dipidana dan
korporasi bertanggung jawab. Dalam kasus tersebut multi rezim hukum yang diterapkan
adalah penerapan sanksi hukum administrasi dalam bentuk pencabutan izin PT Kalista
Alam, sanksi hukum perdata dengan pembayaran ganti rugi serta sanksi hukum pidana.

Pada bulan Januari 2013, aparat kepolisian menyita 2.264 meter kubik kayu merbau
dalam 115 kontainer yang dikapalkan dari Sorong ke Surabaya, Jawa Timur, tempat
pelabuhan kayu terbesar di Indonesia. Nilai total kayu ilegal tersebut diperkirakan sebesar
US$ 2,037,600 (saat itu harga pasar untuk kayu merbau diperkirakan US$ 900 per meter

22
Santosa, Mas Achmad.,2016,“Alam pun Butuh Hukum dan Keadilan”, Jakarta: Prima Pustaka, hal. 37.
23
Anonim, 2016, “ Pendekatan Multidoor, Menyiapkan aneka Pintu Bagi Keadilan Lingkungan”,
BuletinRedd, hal 7.
24
Husen, Yunus, “Penerapan Multidoor Approach Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang
Perikanan tersedia di Indonesia”, hal 47

13
kubik) tersangka kuat dalam peristiwa tersebut adalah Labora Sitorus seorang polisi
berpangkat rendah di Sorong, Papua Barat. Penyelidikan lebih lanjut oleh Pusat Pengawasan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membuktikan Sitorus diduga telah membayar
Rp 10 miliar ke para pejabat di daerah, provinsi hingga nasional sepanjang bulan Januari-
Maret 2013.

Labora disangka dengan pasal berlapis yaitu Pasal 3, Pasal 4 dan atau Pasal 5 dan
atau Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan atau
Pasal 78 ayat 5 dan 7 Jo Pasal 50 ayat 3 huruf f dan h UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang telah diubah oleh UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan.25

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan multidoor adalah sebagai


berikut: pengelolaan aset yang profesional, strategi penuntutan yang tepat, sumber daya
manusia yang mempunyai kapasitas dan integritas, Legislasi dan kebijakan yang
mendukung dan sistem kelembagaan yang mendukung.26

Tujuan dan manfaat pendekatan multidoor, antara lain: sistem penegakan hukum
terpadu, menghindari disparitas tuntutan pidana untuk perkara sejenis.menghindari
peluang lolosnya pelaku kejahatan, menimbulkan efek jera, pertanggungjawaban
korporasi, kerjasama internasional, pengembalian kerugian negara.27 Memperluas
wawasan dan cara pandang para penegak hukum, menggunakan berbagai undang-undang,
pengenaan berbagai disiplin hukum, misalnya tindakan administrasi seperti pencabutan izin,
tuntutan pidana dan gugatan perdata. Dalam multidoor tidak hanya menyasar satu pelaku
saja tapi juga dapat menyasar aktor intelektual dan benefecial owner.

Model penegakan hukum dengan pendekatan multidoor memberikan banyak keuntungan


mengingat dalam proses penyidikan korporasi melibatkan beberapa institusi penegakan hukum
seperti Lemabaga Kejaksaan, Lembaga Kepolisian, dan Lembaga Kementerian Kehutanan dan
Lingkungan Hidup. Selain itu dalam proses penyidikan juga dimungkinkan adanya kejahatan

25
Eddyono Widodo, 2017, “Dari Lacak Kayu Bulatnya Ke Lacak uangnya, Penerapan Anti
Pencucian Uang Dalam Kejahatan Hutan”, Institute for Criminal Justice Reform, hal.17.
26
Hartiwiningsih, Model Penegakan Hukum Tindak Pidana Pembakaran Hutan guna Mewujudkan Green
and Clean Policy, tersedia di https:// layanan.hukum.uns .ac.id/kepeg /jurnal /hartiwiningsih/ article/view/11
.pdf
27
Ibid

14
lanjutan maka keterlibatan lembaga PPATK sangat perlu untuk mengecek aliran transaksi yang
mencuriga dari korporasi.

Sebagai contoh pada saat korporasi melakukan tindak pidana perikanan, sebagai tindak
pidana asal (predicate crime) ditemukan 13 modus operandi kejahatan ilegal fishing di
Indonesia, yaitu :
1. pemalsuan dokumen kapal;
2. kapal berbendera ganda dan pendaftaran ganda;
3. penangkapan ikan tanpa izin / dokumen yang diperlukan;
4. modifikasi kapal secara ilegal;
5. tidak ada sertifikat kesehatan dan pernyataan ekspor);
6. pelanggaran wilayah perikanan;
7. menggunakan alat tangkap yang dilarang;
8. menggunakan Nakhoda dan Awak Kapal Asing;
9. tidak mengaktifkaan alat transmitter kapal (VMS);
10. pengalihan muatan kapal secara ilegal dalam laut (transhipment);
11. pemalsuan buku catatan (logbook);
12. pendaratan hasil tangkapan tidak sesuai dengan pelabuhan yang ditetapkan;
13. ketidakpatuhan pemilik atau mitra dalam proses perikanan.
Namun bila penyidik melakukan pendekatan multidoor yang terjadi pada praktek
perikanan ilegal di Indonesia tidak saja tindak pidana perikanan tetapi juga ditemukan jenis
tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana perikanan (Related Fisheries Crime).
Terdapat 9 jenis kejahatan lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana perikanan, yakni :
1. transaksi bahan bakar mineral (BBM) illegal;
2. tindak pidana keimigrasian;
3. tindak pidana bea cukai;
4. tindak pidana pelayaran
5. tindak pidana pencucian uang;
6. tindak pidana tenaga kerja;
7. tindak pidana perpajakan;
8. tindak pidanakorupsi; dan
9. perdagangan obat terlarang.

15
Dari kasus diatas dapat terlihat begitu besarnya dampak dari tindak pidana yang
dilakukan korporasi, dimana masa sekarang ini hanya yang muncul di permukaan adalah
penanganan perkara pidana awalnya saja (perikanan, kehutanan, minerba, pajak,
perkebunan, ilegal fishing, dll) yang rata-rata yang menjadi tersangka adalah pegawai
bawahannya seperti staf/pegawai lapangan saja, hal ini yang menjadi tantangan terbesar dari
aparat penegak hukum yang menyebabkan ketidakefektifan penangananan perkara
(penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemutusan perkara) adalah:28
a. Lemahnya koordinasi antar aparat penegak hukum yang diberi tugas dan
kewenangan menangani perkara,
b. Tidak memiliki kemampuan mendeteksi/ability to detect, ability to respond, and
ability to punish,
c. Kelemahan aparat penegak hukum menerapkan pendekatan multidoor, dan
d. Persoalan integritas aparat penegak hukum yang dipengaruhi oleh perilaku
korupsi dalam birokrasi dan sistem peradilan.

Prespektif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu “Sudut
pandang atau cara pandang”.29 Sehingga dapat di kaitkan bahwa Prespektif Penuntut Umum
adalah cara pandang atau sudut pandang suatu hal yang dilakukan Oleh Jaksa Penuntut
Umum. Undang-undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan telah menyebut Tugas dan
Wewenang Kejaksaan yang tertuang didalam Pasal 30 Ayat (1) yaitu disebutkan bahwa:

1. Di bidang pidana :
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan
pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.
2. Di bidang perdata dan tata usaha negara :
Kejaksaan dengan kuasa khusus, dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan
untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

28
Aryuni Yuliantiningsih, dkk,2020, “Pendekatan multidoor dalam penegakan hukum untuk
memberantas illegal fishing dan kejahatan lainnya di indonesia”, Prosiding Seminar Nasional, ISBN 978-
602-1643-65-5, Purwokerto, 6-7 Oktober 2020.
29
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Diakses 2 Agustus 2021

16
3. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan
kegiatan:
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Beranjak dari pasal 30 Ayat 1 angka (1) huruf d disebutkan bahwa tugas kejaksaan di
bidang pidana yaitu: “melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang- undang”, sehingga dari sini kejaksaan melalui bidang Tindak Pidana Khusus
melakukan penyidikan terhadap perkara tertentu sesuai dengan undang-undang, sesuai
dengan studi kasus yang diangkat didalam tulisan ini adalah mengenai beberapa perkara
korupsi yang dilakukan oleh Korporasi sebagai subjek hukum dan terlihat bahwa dari
putusan yang disajikan ada perbedaan penerapan dari segi pertanggung jawaban koorporasi
menurut aparat penegak hukum baik penyidik kepolisian, kejaksaan dan hakim yaitu:30

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab

Pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu, kewajiban- kewajiban


tersebut sebenarnya merupakan kewajiban dari korporasi, sehingga kepada pengurus yang
tidak memenuhi kewajiban tersebut diancam dengan pidana.31 Pada sistem ini terdapat suatu
alasan yang menghapuskan pidana, dasar pemikirannya adalah bahwa korporasi itu sendiri
tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu
penguruslah yang melakukan tindak pidana itu, sehingga penguruslah yang diancam pidana
dan dipidana. Jadi sistem pertanggungjawaban pidana ini ditandai dengan usaha-usaha agar
sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan, sehingga apabila
suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap
dilakukan oleh pengurus korporasi itu. Sistem ini membedakan antara tugas pengurus dengan
pengurus.32

30
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, Cet.l, hal.58-59. Lihat juga, Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hal.163-164
31
Muladi & Dwidja Priyato, “Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam Kejahatan yang Dilakukan Oleh
Korporasi, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi”, Yogyakarta, Universitas Hukum Diponegoro,
1989, hal. 68.
32
Alvi Syahrin, Makalah: ”Tindak Pidana Korporasi”,( Medan:Universitas Sumatera Utara, 2008),
hal.8,

17
Pengurus akan bertanggungjawab secara personal untuk perbuatan kriminalnya jika
pengurus secara langsung bertindak, menginstruksikan, membantu, mempermudah,
mendukung, ataupun berkonspirasi dengan karyawan lain ataupun bawahan untuk terlibat
dalam aktivitas kriminal. Sehingga pengurus korporasi bisa juga bertanggungjawab di bawah
doktrin “pengurus bertanggungjawab” jika pengurus berposisi dalam menghindari aktivitas
kriminal dan perundang-undangan yang terlibat tidak mebutuhkan penemuan mens rea
supaya sebuah pelanggran kriminal terjadi.33

Studi kasus Pertama yaitu pada perkara PT GJW (Giri Jaladhi Wana) yang didakwa
telah melakukan tindak pidana korupsi dan dituntut ke persidangan oleh jaksa penuntut
umum setelah terlebih dahulu direktur utamanya (SW) dipidana (berdasarkan Putusan
Nomor 908/ Pid.B/2008/PN.Bjm tanggal 18 Desember 2008 yang mana putusan tersebut
telah dikuatkan dengan Putusan Nomor 02/PID/SUS/2009/ PT.BJM tanggal 25 Februari
2009 dan kasasi terdakwa telah ditolak berdasarkan Putusan Nomor 936 K/Pid.Sus/2009
tanggal 25 Mei 2009). Majelis hakim melalui Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm
memutuskan persis sama dengan tuntutan yaitu menyatakan PT GJW telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut
sebagaimana dalam dakwaan primer, karenanya kepada PT GJW dijatuhkan pidana denda
sebesar Rp1.300.000.000,- (satu miliar tiga ratus juta rupiah) serta pidana tambahan berupa
penutupan sementara PT GJW selama enam bulan. Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi
Banjarmasin melalui Putusan Nomor 04/PID.SUS/2011/PT.BJM menguatkan Putusan
Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm tanggal 09 Juni 2011 dengan perbaikan sekedar mengenai
besarnya sehingga menyatakan terdakwa PT GJW telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “korupsi secara berlanjut” dan karenanya menjatuhkan
kepada terdakwa PT GJW pidana denda sebesar Rp1.317.782.129,- (satu miliar tiga ratus
tujuh belas juta tujuh ratus delapan puluh dua ribu seratus dua puluh sembilan rupiah) serta
menjatuhkan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT GJW selama enam bulan.

Studi Kasus kedua adalah perkara PT Cakrawala Nusamedia (PT CN) didakwa
melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Jo Pasal 20 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi
(primer) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Jo Pasal 20 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi
(subsider). YW selaku direktur PT CN mewakili di persidangan dan menyaksikan tuntutan
terhadap korporasinya. Majelis hakim mengadili dengan Putusan Nomor

33
Joel M. Andrhopy, “General Corporate Criminal Liability”, (Texas Bar Journal Vol. 60/ No.2/
Februari 1997), hal. 5

18
65/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Bdg yang menyatakan terdakwa PT CN terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana
dalam dakwaan primer. Oleh karenanya menjatuhkan pidana kepada terdakwa PT CN dengan
pidana denda sebesar Rp700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah) dengan ketentuan jika
terdakwa PT CN tidak membayar denda tersebut dalam tenggang waktu satu bulan terhitung
sejak putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, maka harta benda terpidana PT CN dapat
disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar denda tersebut.34

2. Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab

Menetapkan korporasi sebagain pembuat dapat dilakukan dengan berpatokan pada


kriteria pelaksanaan tugas dan/ pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut dan juga apa
yang dilakukan oleh alat perlengakapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggran
dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan
oleh seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan
yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi
bertanggungjawab atas pidana itu, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang
dilakukannya perbuatan itu, untuk hal tersebut Roeslan saleh setuju bahwa prinsip ini hanya
berlaku untuk pelanggaran saja.

Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi hanya apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh personil korporasi yang
memiliki kewenangan untuk dapat bertindak sebagai directing mind (direksi dan/ komisaris)
korporasi. Namun pada kenyataannya secara formal yuridis bukan saja direksi yang menjadi
directing mind tetapi pemegang saham pengendali juga disebut sebagai directing mind
karena ia dapat mempengaruhi direksi atau komisaris karena sebagai pemegang saham
terbanyak. Korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan pengurus yang bertanggungjawab,
dipandang dilakukan oleh korporasi yaitu apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan
korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya dan juga dari surat keputusan
pengurus yang berisi pengangkatan pejabat-pejabat (managers) untuk mengisi jabatan-
jabatan tertentu. Pembedaan faktor antara pegawai yang merupakan directing mind dan
pegawai biasa terletak pada derajat kewenangan untuk membuat keputusan yang
dilaksanakan seseorang.

34
Budi Suhariyanto, Putusan Pemidanaan Terhadapn Korporasi Tanpa Didakwakan Dalam
Perspektif Vicarious Liability, Jurnal Yudisial Volume Volume 10 Nomor 1 (April 2017), hlm.28

19
Studi Kasus ketiga yaitu perkara putusan pemidanaan terhadap PT Indosat Multi
Media (IM2). Pada perkara ini yang ditetapkan dan diperiksa sebagai tersangka dan
terdakwa di persidangan pengadilan tindak pidana korupsi adalah direktur utamanya yaitu
IA. Jaksa penuntut umum menuntut agar pengadilan menyatakan terdakwa IA bersalah
melakukan tindak pidana melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam pasal perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana dalam surat dakwaan primer
dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama sepuluh tahun,
dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dan dengan membebankan terdakwa untuk
membayar denda sebesar Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), subsider enam bulan
kurungan dan dengan perintah terdakwa segera ditahan di rutan serta uang pengganti sebesar
Rp1.358.343.346.674,- (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat
puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah)
dibebankan kepada PT Indosat dan PT IM2, yang penuntutannya dilakukan secara terpisah.
Majelis hakim melalui Putusan Nomor 01/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Pst memutuskan dan
menyatakan terdakwa IA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “korupsi dilakukan secara bersama-sama”, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
tersebut dengan pidana penjara selama empat tahun dan menjatuhkan pidana denda sebesar
Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan bila denda tersebut tidak dibayar diganti pidana
kurungan selama tiga bulan dan menghukum PT IM2 membayar uang pengganti sebesar
Rp1.358.343.346.674,- (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat
puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah) paling
lama dalam waktu satu tahun setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas
putusan ini, baik penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa mengajukan banding.
Melalui Putusan Nomor 33/PID/TPK/2013/PT.DKI menerima permintaan banding tersebut
dan mengubah Putusan Nomor 01/Pid.Sus/2013/ PN.Jkt.Pst berkaitan dengan meniadakan
putusan pidana pada PT IM2 yang sebelumnya dihukum membayar uang pengganti sebesar
Rp1.358.343.346.674,- (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat
puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah)
paling lama dalam waktu satu tahun setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sementara untuk putusan pemidanaan terhadap terdakwa IA adalah tetap dan sesuai dengan
putusan pengadilan negeri. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung memperbaiki amar
Putusan Nomor 33/PID/TPK/2013/PT.DKI yang mengubah Putusan Nomor 01/Pid.Sus/
TPK/2013/PN.Jkt.Pst sekadar mengenai pidana denda dan uang pengganti sehingga amarnya
menyatakan terdakwa IA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

20
pidana “korupsi dilakukan secara bersama-sama” dan menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama delapan tahun dan menjatuhkan pidana
denda sebesar Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan bila denda tersebut tidak dibayar
diganti pidana kurungan selama enam bulan serta menghukum PT IM2 membayar uang
pengganti sebesar Rp1.358.343.346.674,- (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar
tiga ratus empat puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh
empat rupiah) dengan ketentuan apabila PT IM2 tidak membayar uang pengganti tersebut
paling lambat satu bulan sesudah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta
benda PT IM2 disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut. Atas
putusan kasasi tersebut, terdakwa IA mengajukan peninjauan kembali. Mahkamah Agung
pada tingkat peninjauan kembali memutuskan menolak permohonan peninjauan kembali dari
pemohon peninjauan kembali/terpidana IA tersebut dan menetapkan putusan yang
dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku.

3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab

Korporasi (perusahaan) secara kriminal akan bertanggungjawab untuk tindakan-


tindakan illegal dari pengurus (karyawan) jika pengurus bertindak dalam ruang lingkup
wewenangnya dan perlakuannya menguntungkan perusahaan. Karyawan dianggap bertindak
dalam ruang lingkup pekerjannya jika karyawan memiliki wewenang actual atau wewenang
yang nyata untuk terlibat dalam sebuah tindakan khusus sehingga perusahaan akan
bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan karyawan atas nama perusahaan.
Wewenang actual adalah sebuah wewenang yang diberikan oleh perusahaan secara sadar dan
sengaja terhadap seorang karyawan, jika perlakukan kriminal karyawan secara layak
berhubungan dengan kewajibannya sebagai karyawan, perusahaan akan sangat mungkin
bertanggungjawab untuk perlakuan tersebut.35

Supaya perusahaan bisa bertanggungjawab secara kriminal maka perlakuan pengurus


harus demi keuntungan perusahaan. Perusahaan dianggap telah menerima keuntungan jika
karyawan terlibat dalam perlakuan kriminal dengan maksud untung menguntungkan
perusahaan. Ketentuan keuntungan dipenuhi walaupun perlakuan karyawan dilakukan untuk
35
Joel M. Androphy, Op.Cit, hal.1. Karyawan dianggap memiliki wewenang nyata jika karyawan terlibat
dalams ebuah tindakan khusus. Karyawan dianggap memiliki wewenang yang nyata jika terlibat dalam
perlakuan yang diyakini oleh pihak ketiga karyawan punya wewenang untuk itu, misalnya: seorang karyawan
tidak diberi wewenang untuk memasuki kontrak at as nama majikan namun karena perlakuan karyawan dan
status dalam perusahaan pihak ketiga yakin bahwa karyawan memiliki weewenang ekspres untuk secara
kontraktual mengikat perusahaan dalam scenario demikian perusahaan kemudian secara kontraktual akan
beratnggungjawab atas kontrak yang dilakukan oleh karyawan atas nama perusahaan.

21
perolehan sendiri dan perusahaan pun beruntung dari perlakuan itu. Misalnya suatu kasus
melibatkan perusahaan yang dihukum mengatakan bahwa dia tidak akan bertanggungjawab
karena aktivitas kriminal dimaksudkan semata-mata untuk menguntungkan karyawan dalam
usaha untuk menaiki tangga perusahaan. Namun hakekatnya perusahaan juga menerima
keuntungan, dengan memperhatikan fakta promosi karyawan dikondisikan pada keberhasilan
perusahaan. Dengan demikian sepanjang karyaan bermaksud untuk menguntungkan
perusahaan atau perusahaan menerima keuntungan insidential dari perlakukan karyawan
maka perusahaan dianggap telah menerima keuntungan.

Doktrin agregation atau pengetahuan kolektif juga bisa digunakan untuk meminta
pertanggungjawaban pidana korporasi, doktrin ini membantu proeksekusi dengan
mempertalikan pengetahuan seluruh karyawan terhadap perusahaan. Penerapan doktrin ini
cocok untuk konteks perusahaan karena perusahaan-perusahaan mengbandingkann
pengetahuan, membagikan-bagikan elemen-elemen kewajiban spesifik dan operasi ke dalam
komponen-komponen yang lebih kecil. Perusahaan tidak bisa tidak mau tahu karena
perusahaan dianggap memiliki pengetahuan kolektif atas seluruh karyawan.36

Hal selanjutnya yang bisa dijadikan pertimbangan untuk menjerat


pertanggungjawaban pidana korporasi adalah jika korporasi melakukan “kesepelean sengaja
(willful blindness)” terhadap aktivitas kriminal. Hal ini berlaku jika seorang manjadi
dicurigai melakukan kriminal namun secara sengaja memilih tetap tidak mau tahu dengan
tidak membuat penyelidikan lebih lanjut. Dengan sengaja tidak mau tahu untuk menghindari
pengetahuan perlakuan kriminal akan mensubjekkan satu pihak ke pertanggungjawaban
pidana. Walaupun umumnya doktrin ini berlaku untuk individu namun berlaku juga untuk
korporasi, karena keadaan-keadaan terjadi yang akan membuat orang dalam posisi
pengawasan untuk menyelidiki legalitas perlakuan tersangka tertentu, korporasi akan
dianggap memiliki pengetahuan atas pelanggaran kriminal yang timbul.

Pertanggungjawaban korporasi juga dapat dimintakan jika perusahaan memiliki


standar kelalaian (negligence), akan ditemukan dimana kegagalam korporasi menimbulkan
tidak adanya tindakan pencegahan yang diambil untuk menghindari resiko. Kelalaian
perusahaan bisa juga ditemukan jika tidak ada kebijakan perusahaan untuk menyoroti situasi-
situasi resiko yang bisa diharapkan muncul dalam bidang aktivitas dimana korporasi
beroperasi. Kelalaian tidak lagi tergantung pada kegagalan individu untuk mengambil

36
Ibid, hal. 2

22
tindakan pencegahan dalam situasi tertentu, namun bisa ditemukan dalam kegagalan umum
perusahaan untuk memperhatikan situasi-situasi resiko. Pendekatan demikian akan lebih baik
menunjukkan realitas, dimana bahaya perusahaan sering merupakan hasil dari kesilapan
kolektif ataupun inersia umum dalam hal membentuk pengaman yang tepat terhadap resiko. 37
Korporasi juga bisa bertanggungjawab secara kriminal untuk perlakuan karyawannya,
terlepas dari status ataupun posisi karyawan dalam perusahaan, selanjutnya agen-agen di luar
perusahaan yang bertindak untuk perusahaan juga bisa secara kriminal mengikat perusahaan,
walaupun pejabat eksekutif dan direktur tidak mau tahu atas perlakuan kriminal. Satu-
satunya batasan adalah bahwa karyawan atau agen harus bertindak dalam ruang lingkup
wewenangnya serta bertindak dengan maksud untuk menguntungkan perusahaan

Studi Kasus keempat, dalam perkara Suwir Laut yaitu melalui putusan Mahkamah
Agung melalui Putusan Nomor 2239 K/PID.SUS/2012 mengesampingkan prosedur hukum
(tanpa penetapan korporasi sebagai tersangka dan terdakwa) dengan menjatuhkan putusan
pemidanaan terhadap korporasi tanpa didakwa dan dituntutkan oleh jaksa penuntut umum.
Pada awalnya Jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan agar majelis hakim memutuskan
dengan menyatakan terdakwa Suwir Laut bersalah melakukan tindak pidana perpajakan
yaitu dan menjatuhkan pidana terhadapnya berupa pidana penjara selama tiga tahun
dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa
segera ditahan, ditambah dengan denda sebesar Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)
subsider enam bulan kurungan, menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar
Rp5.000,- (lima ribu rupiah). Atas tuntutan ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dalam Putusannya Nomor 234/PID.B/2011/PN.JKT.PST memutuskan mengabulkan
eksepsi prematur dari penasihat hukum terdakwa dan menyatakan surat dakwaan jaksa
penuntut umum terhadap terdakwa karena prematur tidak dapat diterima. Berdasarkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan upaya
hukum banding. Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Putusan Nomor 241/ PID/2012/PT.DKI
menerima permintaan banding dari jaksa penuntut umum dan memutuskan menguatkan
Putusan Nomor 234/PID.B/2011/ PN.JKT.PST yang dimohonkan banding tersebut. Tidak
terima atas putusan Pengadilan Tinggi tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi.
Melalui Putusan Nomor 2239 K/PID. SUS/2012, Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum dan membatalkan Putusan Nomor 241/

37
Jenifer A. Quaid, “The Asessment of Corporate Criminal Libility on the Basis of Corporate Identity:
An Analisis”, (Coulumbia: McGill Law Journal No. 67, 1998),hal 111.

23
PID/2012/PT.DKI tanggal 23 Juli 2012 yang menguatkan Putusan Nomor 234/PID.B/2011/
PN.JKT.PST.

Studi kasus diatas kasus diatas terlihat terdapat beberapa keganjalan dalam penerapan
tindak pidana korporasi khususnya mengenai pertanggungjawaban yaitu sebagai berikut :

A. Identifikasi Terdakwa

Putusan menyebut secara eksplisit terdakwanya adalah pengurus korporasi secara


individual (Studi kasus perkara Suwir Laut). Akan tetapi, penuntut umum dalam
dakwaaan maupun surat tuntutan serta putusan hakim dalam pertimbangannya
mengaitkan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi. Kelihatannya pengaitan
dengan pertanggungjawaban korporasi ini dilatarbelakangi keinginan untuk menjatuhkan
sanksi pidana kepada korporasi karena kemudian memang ternyata diikuti amar yang
menjatuhkan pidana terhadap korporasi.
Penjatuhan pidana kepada korporasi yang tidak didakwa dalam surat dakwaan jelas
melanggar prinsip dasar dalam hukum acara pidana atau “Ultra Petita”.
Ultra Petita di ambil dari kata “Ultra” yakni Lebih, melampaui, ekstrim, sekali dan
“Petita” yakni permohonan. “Ultra Petita” adalah penjatuhan putusan oleh Majelis
hakim atas suatu perkara yang melebihi tuntutan atau dakwaan yang diajukan oleh jaksa
Penuntut umum atau menjatuhkan putusan terhadap perkara yang tidak diminta oleh Jaksa
penuntut umum. Menurut I.P.M. Ranuhandoko dalam “buku Terminologi Hukum” ultra
petita adalah melebihi yang diminta.
Ultra petitum diatur dalam pasal 178 ayat (3) HIR dan pasal 189 ayat (3) RBg yang
melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut(petitum).
Mencampuradukkan pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus terjadi karena
kurangnya pemahaman tentang konsep bahwa mempertanggungjawabkan korporasi
secara pidana berbeda dengan mempertanggungjawabkan pribadi pengurus. Perlakuan
terhadap korporasi sebagai subjek hukum pidana sudah harus dimulai sejak tahap
penyidikan.
Beberapa Pendekatan yang digunakan didalam menentukan Pertanggungjawaban pidana

korporasi yaitu:

1. Doctrine of Strict Liability

24
Menurut doktrin atau ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat
dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu
membuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) dari pelaku. Strict liability
disebut juga absolute liability atau pertanggungjawaban mutlak.38

Dalam bahasa Belanda doktrin strict liability atau pertanggungjawaban mutlak dikenal juga
dengan nama leer van het materielle feit atau fait materielle. Prinsip ini berlawanan dengan
asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yaitu "tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan" (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi facit mens sit rea).39
Berkenaan dengan ini, Moeljatno memberikan contoh hukum pidana fiskal yang tidak
menggunakan kesalahan. Kalau orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda
atau rampas. Contoh lainnya adalah pelanggaran. 40 Secara sederhana Packer menyatakan
strict liability merupakan pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan. Dalam penjelasannya
dikatakan bahwa tradisi lama dalam hukum pidana telah mengalami erosi dan keruntuhan
dengan digunakannya ajaran strict liability. Strict liability sesuai dengan tujuannya yaitu
menolak memberikan perhatian terhadap pembuktian kesalahan. Salah satu kasus yang cukup
populer di Amerika berkenaan dengan doktrin strict liability adalah kasus United States v.
Dotterweich. Hal yang menarik dalam kasus tersebut hakim pengadilan tinggi Mr. Justice
Frankfurter menilai bahwa secara esensial tidak ada perbedaan antara strict liability dengan
vicarious liability. Menurut dia, bila tanggung jawab yang dikenakan adalah langsung/mutlak
(strict liability), tanggung jawab (liability) itu juga vicarious. Oleh karena itu, atas tindakan
tersebut mens rea tidak perlu dipertimbangkan. Dalam bentuk strict liability, mens rea dinilai
berdasarkan asumsi dan tidak perlu dibuktikan.41
38
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal.78. "Doktrin strict liability atau pertanggungjawaban mutlak
dalam bahasa belanda dikenal juga dengan nama leer van het materielle feit atau fait materielle".
39
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta,2008), hal.165.
40
Ibid. Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dahulu dijalankan atas
pelanggaran, tetapi sejak adanya arrest susu dari HR 1916 Nederland, hal itu ditiadakan. Juga bagi delik-
delik jenis overtredingen, berlaku asas tanpa kesalahan, tidak mungkin dipidana. Arrest susu HR 14
Februari 1916 (van Bemmelen Arresten Strafrecht).
41
Herbert L. Packer, “The Limits of The Criminal Sanction”, (California : Stanford University Press,
2008), hal.123-126. Packer memberikan contoh kasus yang cukup populer dalam penggunaan doktrin strict
liability di Amerika yaitu perkara United States v. Dotterweich. "Pertanyaan utama dalam perkara tersebut
adalah apakah pemimpin (president) perusahaan yang telah mengirimkan dan memperdagangkan produk yang
telah terkontaminasi atau produk gaga! ke beberapa negara bagian adalah "orang" yang telah terlibat dalam
pengiriman dan perdagangan obat tersebut. Perusahaan obat Buffalo yang merupakan wholeseller telah
membeli obat dari pabrik, kemudian mengemas ulang obat tersebut dengan menggunakan label atau
mereknya sendiri, dan menjualnya berdasarkan pesanan dari dokter atau klinik. Dotterweich dan perusahaan
tersebut (Buffalo) kemudian dituntut atas dua pengiriman barang yang diduga telah terkontaminasi atau
merupakan produk gagal ke negara bagian. Tindakan tersebut dianggap melanggar Undang-Undang tentang
Makanan, Obat, dan Kosmetik. Pengiriman pertama barang tersebut mengandung bahan senyawa cascara
yang sesuai dengan spesifikasi, tetapi label yang digunakan sebagai petunjuk kandungan obat berbeda dengan

25
2. Doctrine of Vicarious Liability/Respondeat Superior

Teori atau doktrin atau ajaran ini diambil dari hukum perdata yang diterapkan
pada hukum pidana. Vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang
perbuatan melawan hukum (the law of torts). Menurut asas respondeat superior di mana
ada hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent, berlaku maksim
yang berbunyi qui facit per alium facit per se pengertiannya seorang yang berbuat melalui
orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu. Contohnya adalah seorang
principal (pemberi kuasa) bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh agent
(penerima kuasa) sepanjang perbuatan itu dilakukan dalam lingkup kewenangannya (tidak
keluar dari batas kewenangannya).

3. Doctrine of Delegation

Doctrine of delegation merupakan salah satu dasar pembenar untuk dapat


membebankan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pegawai kepada korporasi.
Menurut doktrin ini, alasan untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada
korporasi adalah adanya pendelegasian wewenang dari seseorang kepada orang lain untuk
melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Dalam perkara Allen v Whitehead (1930) I
KB 211, terdakwa yaitu pemilik sebuah kafe yang telah mendelegasikan pengelolaan kafe
miliknya kepada seorang pegawainya. Sekalipun terdakwa tidak mengetahui bahwa bangunan
kafe itu digunakan oleh para pelacur (untuk mejeng atau mangkal para pelacur), namun hal
itu diketahui oleh pegawai yang bersangkutan. Terdakwa didakwa telah melakukan tindak
pidana berdasarkan preseden dari Metropolitan, Police Act 1839 karena "knowingly
permitting or suffering prostitue to remain in a place where refreshments are sold
and consumed."42

4. Doctrine of Identification

Teori identifikasi (identification theory) disebut juga teori organ atau alter ego
theory, yang menyatakan bahwa:

formula yang telah ditentukan secara nasional. Diduga perusahaan masih menggunakan label lama yang
seharusnya tidak lagi digunakan. Pengiriman yang kedua adalah obat digitalis (obat tablet). Perusahaan
(Buffalo) tidak memproduksi sendiri obat tersebut, tetapi mengemas ulang dengan label dan mereknya sendiri.
Berdasarkan pembuktian, tidak ada tindakan segera untuk melakukan analisis terhadap kandungan kimia dalam
tablet sehingga penjual dapat mengetahui bahwa kandungan dalam tablet tersebut tidak sesuai dengan apa yang
termuat dalam label petunjuk. Dotterweich dinyatakan bersalah dan dihukum membayar denda dan percobaan
untuk 60 hari."
42
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal.97,

26
"The will power of the corporation's managers represented the will
power of the corporations. The managers and directors represent the brain,
intelligence and the will of the corporations. A sufficiently high ranking
corporate member acts not as an agent of the corporations, but as the
corporations itself, and represent the nervous system that control what the
corporations do.43

Doktrin ini mengajarkan bahwa untuk dapat membebankan pertanggungjawaban


pidana kepada suatu korporasi, siapa yang melakukan tindak pidana tersebut harus
mampu diidentifikasikan oleh penuntut umum. Apabila tindak pidana itu dilakukan oleh
mereka yang merupakan "directing mind" dari korporasi tersebut, pertanggungjawaban
tindak pidana baru dapat dibebankan kepada korporasi.44Dengan demikian, korporasi hanya
dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan individual yang bertindak atas nama
korporasi dan orang tersebut memiliki suatu posisi tinggi atau memainkan suatu fungsi
kunci dalam struktur pengambilan keputusan korporasi.45 Doktrin alter ego atau teori organ
dalam arti sempit (lnggris) mensyaratkan hanya perbuatan pejabat senior (otak korporasi)
yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi, sedangkan dalam arti luas (Amerika
Serikat) tidak hanya pejabat senior/direktur, tetapi juga agen di bawahnya.46

Teori ini antara lain dipakai dalam kasus H.L. Bolton Engineering Co., Ltd. v T.J.
Graham & Sons Ltd. di lnggris (1957). Dalam perkara tersebut ditentukan bahwa perilaku
(conduct) dan mens rea dari seseorang yang terkait dengan suatu perusahaan dapat
diatributkan kepada perusahaan agar pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada
perusahaan tersebut. Dengan kata lain, perilaku (conduct) dan sikap kalbu (mens rea) dari
orang tersebut dianggap merupakan perilaku dan sikap kalbu dari perusahaan tersebut.47
43
Muladi, Op.cit, hal.16.
44
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal. 100.
45
Muladi, loc.cit.
46
Barda Nawawi Arief, Kapita selekta Hukum Pidana, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2003),
hal.233.
47
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal.101. Denning L.J yang menjadi hakim dalam perkara itu
memberikan rasionalitas sebagai berikut: "A company may in many ways be likened to a human body. It has
a brain and nerve center which controls what it does. It also has hands which hold the tools and act in
accordance with directions from center. Some of the people in the company are mere servants and agents
who are nothing more than hands to do the work and cannot be said to represent the mind or will.
Others are directors and managers who represent the directing mind and will of the company, and control
what it does. The state of mind of these managers is the state of mind of the company and is treated by the
law as such...(See) Lennard's Carrying Co.Ltd. v Asiatic Petroleum Co.Ltd (1915) AC 705...in cases
where the law requires a guilty mind as a condition of a criminal offence, the guilty mind of the directors
or the managers will render the company itself guilty. That's is shown by R v ICR Haulage Ltd. (1944)
KB 551...in which the court said (at p.559): "Whether in any particular case there is evidence to go to a
jury that the criminal act of an agent, including his state of mind, intention, knowledge, or belief is the act

27
Mengenai siapa yang disebut sebagai pejabat tinggi atau pejabat senior (senior officer) maka
terdapat beberapa pendapat yang disampaikan:48

a. Pada umumnya pejabat senior adalah orang yang mengendalikan perusahaan, baik
sendiri maupun bersama-sama. Pada umumnya pengendali perusahaan adalah "para
direktur dan manajer".
b. Hakim Reid dalam perkara Tesco Supermarkets Ltd.( 1972):

"Untuk tujuan hukum, para pejabat senior biasanya terdiri atas dewan
direktur, direktur pelaksana, dan pejabat-pejabat tinggi lainnya yang
melaksanakan fungsi manajemen dan berbicara serta berbuat untuk
perusahaan'; Konsep pejabat senior tidak mencakup "semua pegawai
perusahaan yang bekerja atau melaksanakan petunjuk pejabat tinggi
perusahaan"

c. Menurut Lord Morris, pejabat senior adalah orang yang tanggung jawabnya
mewakili/melambangkan pelaksana dari the directing mind and will of the
company.
d. Viscount Dilhorne berpendapat, pejabat senior adalah seseorang yang dalam
kenyataannya mengendalikan jalannya perusahaan (atau ia merupakan bagian
dari para pengendali) dan ia tidak bertanggung jawab kepada orang lain
dalam perusahaan itu.
e. Lord Diplock mengungkapkan, pejabat senior adalah mereka yang
berdasarkan memorandum dan ketentuan yayasan atau hasil keputusan para
direktur atau putusan rapat umum perusahaan telah dipercaya melaksanakan
kekuasaan perusahaan.
f. House of Lord mengatakan, manajer dari salah satu toko/supermarket
berantai tidak dipandang sebagai pejabat senior; ia tidak berfungsi sebagai
the directing mind and will of the company. la merupakan salah seorang
yang diarahkan atau yang dipekerjakan, tetapi bukan utusan/delegasi
perusahaan yang diserahi tanggung jawab."

of the company...must depend on the nature of the charge, the relative position of the officer or agent, and
the other relevant facts and circumstances of the case".
48
Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal.234-236.

28
g. Hakim Bowen C.J. dan Franki J. (dalam perkara Universal Telecasters,
1977, Australia) menjelaskan, manajer penjualan (the sales manager) dari
perusahaan yang mengoperasikan stasiun televisi bukanlah senior officer.

Namun, kemudian Hakim Nimmo J. (hakim ke-3 dalam perkara yang sama, Universal
Telecasters) berpendapat berbeda, yaitu manajer penjualan dapat diidentifikasikan sebagai
perusahaan, yaitu sebagai senior officer. Walaupun orang itu (manajer penjualan) tidak
memiliki kekuasaan manajemen yang umum, ia mempunyai kebijaksanaan manajerial
(managerial discretion) yang relevan dengan bidang operasi perusahaan yang menyebabkan
timbulnya delik. Dengan kata lain, pejabat perusahaan dapat menjadi senior officer dalam
bidang yang relevan, walaupun tidak untuk semua tujuan/umum (a general power
ofmanagement).

5. Expanded Identification Theory

Teori ini merupakan pengembangan dari teori identification model di mana prasyarat
untuk dapat memintakan pertanggungjawaban pidana pada korporasi apabila tidak dapat
membuktikan bahwa korporasi telah melakukan upaya yang memadai dalam mencegah
terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus, pekerja dan/atau kontraktor. Teori ini
dikenal juga sebagai teori kegagalan manajemen.49

6. Doctrine of Aggregation

Doctrine of aggregation sering disebut juga teori collective intent. Ajaran ini
memungkinkan agregasi atau kombinasi kesalahan dari sejumlah orang untuk diatributkan
kepada korporasi sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban. Menurut ajaran ini,
semua perbuatan dan semua unsur mental (sikap kalbu) dari berbagai orang yang terkait
secara relevan dalam lingkungan perusahaan dianggap seakan-akan dilakukan oleh satu orang
saja.50

Menurut Clarkson dan Keating sebagaimana dikutip oleh Remy Sjahdeini, ajaran
agregasi memiliki keuntungan karena dalam banyak kasus tidak mungkin untuk mengisolasi
seseorang yang telah melakukan tindak pidana, dengan memiliki mens rea dalam melakukan
tindak pidana itu, dari perusahaan tempat dia bekerja. Ajaran ini dapat mencegah perusahaan-

49
Allens Arthur Robinson, “Corporate Culture As A Basis For TheCriminal Liability of Corporations”,
2008, hal.6
50
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal.107-108

29
perusahaan menyembunyikan dalam-dalam tanggung jawabnya dalam struktur korporasi.
Apabila dalam ajaran identifikasi cukuplah untuk dapat menemukan hanya satu orang yang
perbuatannya dapat diatributkan kepada perusahaan, pada ajaran agregasi diharuskan untuk
dapat menemukan beberapa orang yang agregasi dari perbuatan-perbuatan mereka secara
keseluruhan diatributkan sebagai perbuatan perusahaan.51

7. The Corporate Culture Model

The corporate culture model atau model budaya kerja perusahaan disebut juga teori
organizational merupakan pendekatan yang telah diterima di Australia. Pendekatan ini
memfokuskan pada kebijakan korporasi yang tersurat dan tersirat (implied and express
policies of the corporation) yang memengaruhi cara korporasi melakukan kegiatan usahanya.
Corporate culture didefinisikan oleh Australian Criminal Code Act 1995 (KUHP Australia)
sebagai:52

" on attitude, policy, rule, course of conduct or practice existing within the
body corporate generally or in the port of the body corporate in which the
relevant activities toke place."

Dalam kaitan ini, pertanggungjawaban dapat dibebankan kepada korporasi apabila


berhasil ditemukan seseorang yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum memiliki
dasar yang rasional untuk meyakini bahwa anggota korporasi telah memberikan wewenang
atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut. Berkenaan dengan hal itu, menurut
the corporate culture model, tidak perlu menemukan orang yang bertanggungjawab atas
perbuatan yang melanggar hukum untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatan itu
kepada korporasi. Sebaliknya, pendekatan tersebut menentukan bahwa korporasi sebagai satu
kesatuan adalah pihak yang harus juga bertangung jawab karena telah dilakukannya
perbuatan yang melanggar hukum dan bukan orang yang telah melakukanperbuatan itu saja
yang harus bertanggung jawab.53

8. Ajaran Gabungan

Mardjono dan Remy Sjahdeini menambahkan satu pendekatan dalam kriteria


pertanggungjawaban korporasi, yang disebut dengan ajaran gabungan. Pendekatan tersebut
sebenarnya bukan hal baru, tetapi menggabungkan beberapa metode atau pendekatan yang
51
Ibid, hal.110
52
Ibid, hal. 111
53
Ibid, hal.112

30
ada, seperti model pendekatan identifikasi dan agregasi. Dengan demikian, menurut mereka
pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi dapat dikenakan dengan syarat
apabila dipenuhi semua unsur berikut:54

a. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk comission maupun ommision) dilakukan
atau diperintahkan oleh personel korporasi yang di dalam struktur organisasi
korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi.
b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi.
c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam
rangka tugasnya dalam korporasi.
d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi
korporasi.
e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf untuk
dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
f. Bagi tindak pidana yang mengharuskan adanya unsur perbuatan (actus reus) dan
unsur kesalahan (mens rea), kedua unsur tersebut (actus reus dan mens rea) tidak
harus terdapat pada satu orang saja.

9. Reactive Corporate Fault


Reactive corporate fault merupakan suatu pendekatan alternatif yang diusulkan oleh
Fisse and John Braithwaite. Dikemukakannya bahwa apabila actus reus dari suatu tindak
pidana terbukti dilakukan oleh atau atas nama korporasi, pengadilan, sepanjang telah
dilengkapi dengan kewenangan berdasarkan peraturan mengeluarkan perintah yang kepada
perusahaan untuk dapat meminta:
a. Melakukan penyelidikan sendiri mengenai siapa yang bertangung jawab di dalam
organisasi perusahaan itu.
b. Untuk mengambil tindakan-tindakan disiplin terhadap mereka yang bertangung
jawab.
c. Mengirimkan laporan yang memerinci apa saja tindakan yang telah diambil oleh
perusahaan.

B. Kualifikasi Perbuatan dan Kesalahan Korporasi

54
lbid, hal.119-123

31
Korporasi adalah suatu fiksi hukum yang melakukan perbuatan melalui perbuatan
para pengurus dan organ-organ dari korporasi tersebut. Oleh karena itu, untuk mengualifikasi
perbuatan pengurus atau organ korporasi sebagai perbuatan korporasi perlu kriteria yang
jelas. Dalam putusan-putusan tersebut di atas, pada umumnya korporasi
dipertanggungjawabkan bukan hanya untuk perbuatan yang dilakukan oleh petinggi
korporasi, tetapi juga untuk pegawai di tingkat yang lebih rendah, bahkan juga pihak ketiga.
Dalam kasus Suwir Laut secara faktual terdakwa sebagai manajer sebenarnya tidak
termasuk pejabat korporasi yang memiliki kewenangan umum dalam korporasi, tetapi secara
materil perbuatannya berperan penting dalam terjadinya tindak pidana sehingga
perbuatannya dikualifikasikan sebagai perbuatan korporasi, ditambah lagi karena
perbuatannya membawa keuntungan bagi korporasi. Sementara dalam kasus PT Giri Jaladi
Wana (GJW) kualifikasi perbuatan korporasi ini dapat dilakukan secara derivatif dengan
argumen yang sederhana karena adanya uraian fakta yang menunjukkan bahwa St. Widagdo
merupakan direktur utama yang bertindak untuk dan atas nama korporasi dan perbuatannya
dalam rangka mencapai maksud dan tujuan korporasi serta membawa manfaat bagi
korporasi.

Semua putusan di atas tampaknya teguh memegang prinsip pada asas tiada pidana
tanpa kesalahan. Hanya saja proses mengidentifikasi kesalahan pengurus sebagai
kesalahan korporasi tidak didukung argumen yang memadai. Pada umumnya hanya
dinyatakan bahwa kesalahan pengurus dianggap sebagai kesalahan korporasi karena
perbuatan dilakukan untuk kepentingan korporasi. Pemahaman konsep teoretis tentang
identifikasi kesalahan ini penting agar tidak merancukan prinsip yang sebenarnya
bertentangan. Dalam kasus Suwir Laut, Mahkamah Agung dalam pertimbangannya
menegaskan berlakunya asas tiada pidana tanpa kesalahan, tetapi mencampuradukkan
dengan prinsip vicarious liability yang padahakikatnya merupakan salah satu bentuk
dari liability without fault.

Pembuktian kesalahan korporasi dapat dilakukan secara derivatif, artinya kesalahan


pelaku material langsung diidentifikasi sebagai kesalahan korporasi apabila pelaku
merupakan pejabat tinggi korporasi yang dapat dianggap sebagai personifikasi korporasi.
Akan tetapi, bila pelaku bukan merupakan pejabat tinggi korporasi, kesalahan pegawai
rendah atau bahkan pihak ketiga tidak dapat langsung diidentifikasi sebagai
kesalahan korporasi. Jika demikian, identifikasi kesalahan harus dilakukan secara ditektif,
yakni cukup apabila ada petunjuk-petunjuk yang mengarah adanya kesalahan pada korporasi

32
misalnya pembiaran atau penerimaan manfaat dari tindak pidana. Bentuk kesalahan pelaku
material yang dapat diidentifikasi menjadi kesalahan korporasi, baik mencakup kesengajaan
maupun culpa.

C. Penerapan Pasal

Seperti Kasus GJW dimana, terlebih dahulu harus di tetapkan direkturnya sebagai

terdakwa kemudian setelah inkracht baru dapat ditetapkan Korporasi sebagai tersangka, hal

ini yang memakan waktu dan birokrasi yang panjang, padahal selain UU Tindak pidana

korupsiterdapat juga UU Tindak pidana Pencucian uang (TPPU) yang dapat menyita terlebih

dahulu aset dari korporasi tersebut melalui konsep pendekatan Multidoor dimana aparat

penegak hukum dapat menerapan dua atau lebih aturan hukum pada suatu perkara, hal ini

dimungkinkan karena apabila tidak dilaksanakan maka para terdakwa akan menghilangkan

barang bukti baik berupa aset dimana meleburkan korporasi/Merger , memindahkan seluruh

aset atau harta kekayaan korporasi keluar negeri sehingga akan menyulitkan menyita aset

tersebut karena dilindungi oleh hukum negara luar. Oleh sebab itu sesuai dengan bunyi pasal

69 UU TPPU disebutkan bahwa: “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib

dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya” dan dikuatkan dengan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 tanggal 15 Desember 2014, salah satu amar

putusannya menegaskan dalam pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang tidak perlu

dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (Predicate Crime).

Studi kasus diatas juga dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa begitu panjang nya

birokarsi pemerikasaan yang melibatkan instansi diluar kejaksaan dalam mengungkap tindak

pidana korporasi yang notabennya sangat merugikan keuangan negara dibandingkan yang

dilakukan subjek hukum orang/individu, oleh sebab itu dari prespektif Penuntut Umum

untuk memotong panjangnya mata rantai pemeriksaan tindak pidana korporasi tersebut,

33
penuntut umum dapat memanfaatkan dengan penggunaan pendekatan multidoor yang

diharapkan membuat jera para pelaku tindak pidana khususnya pelaku yang menjadi otak

dari suatu kejahatan yang terorganisir, sehingga mampu menimbulkan dampak

pencegahan dan mempunyai daya tangkal bagi yang lainnya, serta mendorong

pertanggungjawaban yang lebih komprehensif termasuk pertanggungjawaban koorporasi,

pengembalian kerugian negara dan pemulihan dari akibat tindak pidana baik lingkungan alam

dan penduduk sekitarnya sehingga menimbulkan efek jera, memudahkan proses kejasama

internasional khususnya dalam pengejaran aset, tersangka dan kerja sama pidana lainnya

serta memaksimalkan proses pengembalian kerugian negara termasuk dari sektor pajak.

Penangan perkara tindak pidana korporasi melalui pendekatan multidoor baik dalam

tindak pidana kehutanan, tindak pidana perikanan, tindak pidana Illegal Fishing, Tindak

pidana pajak, dll, masih terhalang kepada budaya dari penegak hukum yang menganggap

bahwa permasalahan penegakan hukum hanya sampai pada dijatuhinya hukuman kepada

pelaku. Belum kepada upaya untuk memutus mata rantai sumber kehidupan dari perusahaan

tersebut. Penjatuhan hukuman kepada pelaku kurang efektif dalam pemberantasan

pembalakan liar karena sepanjang asset hasil kejahatan belum dapat dirampas maka, pelaku

walaupun telah dipenjara masih bisa menjalankan bisnisnya. Melalui pendekatan multidoor

dengan menerapkan pada korporasi yang melakukan tindak pidana tersebut dengan tindak

pidana lainya seperti korupsi dan pencucian uang yang menerapkan follow the money maka

akan membawa kita tidak hanya kepada pelaku lapangan akan tetapi juga kan membawa

kepada actor intelektul selaku pelaku utama, karena semua hasil dari tindak pidana asal

(Pridicate Crime) pasti akan diintegrasikan dan dinikmati oleh pelaku.

Kondisi tersebut berbeda jika dalam Penyidikan dan penuntutan pelaku tindak pidana

korporasi, dimana selain pelaku manusianya (naturlijk person) pihak korporasinya juga

dilakukan tindakan hukum serta melakukan penelusuran asset hasil kejahatan dan

34
melakukan penyitaan dan perampasan dengan menggunakan instrument undang-undang

tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Jika hal tersebut diterapkan maka sangat kecil

kemungkinan pelaku dapat tetap melakukan bisnis atau melanjutkan bisnisnya karena selain

dirinya dipenjara, perusahaan yang dikelola juga dihukum dan seluruh asetnya disita dan

dirampas.

Langkah awal yang perlu dilakukan adalah melakukkan perubahan paradigma berfikir

para penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum khusunya dalam pemberantasan

tindak pidana korporasi dimana selain pelakunya dijerat dengan pidana tindak pidana asal,

diterapkan pula undang-undang lain yang memungkinkan misalnya jika terdapat tindakan

pencucian uang maka dituntut pula dengan tindak pidana pencucian uang atau dalam

operasionalnya terdapat manipulasi pajak maka dapat pula dilakukan penuntutan melalui

undang-undang perpajakan. Seperti dalam kasus Adelin Lis misalnya, penanganannya masih

menggunakan cara konvensional yaitu penuntutan atas tindak pidana asal, walaupun

selanjutnya dilakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang akan tetapi langkah tersebut

belum dilakukan secara simultan.55

Menurut hemat penulis sesuai dengan Tugas dan wewenang kejaksaan sudah terdapat
kewenangan untuk mengakomodirnya yaitu :
1. Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia yang menyebutkan bahwa: “disamping tugas dan wewenang tersebut dalam
Undang-undang ini, kejaksaan dapat diserahkan tugas dan wewenang lain berdasarkan
Undang-undang”.
2. Pada bidang perdata dan tata usaha sangat jelas di dalam Pasal 30 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia bahwa ”Di
bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik
di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”.
3. JAMDATUN berpedoman dengan Peraturan Jaksa Agung No. PER-
025/A/JA/11/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penengakan Hukum, Bantuan Hukum,
55
Reda Manthovani, 2010, “Optimalisasi Penggunaan Undang-undang Pencucian Uang dalam
Pembuktian Tindak Pidana di Sektor Kehutanan di Indonesia yang Dilakukan oleh Korporasi”,Op.Cit hal. 15.

35
Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain dan Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan
Tata Usaha Negara.
Menurut Perja No. PER-025/A/JA/11/2015, Jaksa Pengacara Negara adalah Jaksa yang
berdasarkan Surat Kuasa Khusus melakukan Penegakan Hukum dan Bantuan Hukum atau
berdasarkan Surat Perintah melakukan Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain dan
Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.
Tugas wewenang penegakan hukum berdasarkan pengertian umum poin 9 pada
Lampiran Perja No. PER-025/A/JA/11/2015 adalah kegiatan Jaksa Pengacara Negara untuk
mengajukan gugatan atau permohonan kepada pengadilan di bidang perdata sebagaimana
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka memelihara ketertiban hukum,
kepastian hukum, dan melindungi kepentingan Negara dan Pemerintah serta hak-hak
keperdataan masyarakat.
Selanjutnya tugas wewenang Bantuan Hukum berdasarkan pengertian umum poin 10
pada Lampiran Perja No. PER-025/A/JA/11/2015 adalah pemberian Jasa Hukum di Bidang
Perdata oleh Jaksa Pengacara Negara kepada Negara atau Pemerintah untuk bertindak
sebagai kuasa hukum berdasarkan Surat Kuasa Khusus baik secara Non Litigasi maupun
Litigasi di Peradilan Perdata serta Arbitrase sebagai Penggugat/Penggugat
Intervensi/Pemohon/Pelawan/Pembantah atau Tergugat/Tergugat Intervensi/Termohon/
Terlawan/Terbantah, serta pemberian Jasa Hukum di Bidang Tata Usaha Negara oleh Jaksa
Pengacara Negara kepada Negara dan Pemerintah sebagai Tergugat/Termohon di Peradilan
Tata Usaha Negara dan sebagai wakil Pemerintah atau menjadi Pihak Yang Berkepentingan
dalam Perkara Uji Materiil Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi dan sebagai Termohon
dalam Perkara Uji Materiil terhadap Peraturan di Bawah Undang-Undang di Mahkamah
Agung.
Kemudian tugas wewenang Pertimbangan Hukum berdasarkan pengertian umum
poin 16 pada Lampiran Perja No. PER-025/A/JA/11/2015 adalah Jasa Hukum yang diberikan
oleh Jaksa Pengacara Negara kepada Negara atau Pemerintah, dalam bentuk Pendapat
Hukum (Legal Opinion/ LO) dan/atau Pendampingan Hukum (Legal Assistance/LA) di
Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara dan/atau Audit Hukum (Legal Audit) di Bidang
Perdata.
Selanjutnya tugas wewenang Pendapat Hukum (Legal Opinion/LO) berdasarkan
pengertian umum poin 17 pada Lampiran Perja No. PER-025/A/JA/11/2015 adalah Jasa
Hukum yang diberikan oleh Jaksa Pengacara Negara dalam bentuk tertulis sesuai dengan

36
fakta hukum tentang suatu permasalahan Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yang
dibuat atas permintaan dan untuk kepentingan Negara atau Pemerintah.
Kemudian tugas wewenang Pendampingan Hukum (Legal Assistance/LA)
berdasarkan pengertian umum poin 18 pada Lampiran Perja No. PER-
025/A/JA/11/2015 adalah Jasa Hukum yang diberikan oleh Jaksa Pengacara Negara berupa
pendapat hukum secara berkelanjutan atas suatu kegiatan yang diajukan oleh Pemohon dan
diakhiri dengan kesimpulan atas pemberian Pendapat Hukum tersebut dalam bentuk Berita
Acara Pendampingan Hukum.
Selanjutnya tugas wewenang Audit Hukum (Legal Audit) berdasarkan pengertian
umum poin 19 pada Lampiran Perja No. PER-025/A/JA/11/2015 adalah Jasa Hukum yang
diberikan oleh Jaksa Pengacara Negara berupa kegiatan pemeriksaan secara menyeluruh dan
seksama dari segi hukum yang dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara atas permintaan
Negara atau Pemerintah terhadap suatu perbuatan yang telah dilaksanakan yang berkaitan
dengan Hukum Perdata untuk menggambarkan kepatuhan terhadap ketentuan hukum atas
suatu kegiatan atau badan hukum secara yuridis normatif. Objek dari audit hukum dilakukan
terhadap Korporasi secara keseluruhan terhadap kegiatan yang merugikan keuangan Negara.
Tujuan dari audit hukum yaitu Memperoleh status hukum atau penjelasan hukum terhadap
dokumen yang diaudit atau diperiksa, Memeriksa legalitas korporasi, Memeriksa tingkat
ketaatan korporasi dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan, Memberikan
penilaian terhadap suatu kegiatan yang telah dilakukan oleh korporasi.
Menurut Pasal 138 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UUPT), pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan
tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan mengenai terdapatnya dugaan bahwa suatu
Perseroan telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham
atau pihak ketiga; atau jika anggota Direksi maupun Dewan Komisaris melakukan perbuatan
melawan hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga.

Prosedur Pemeriksaan Perseroan Terbatas yaitu sebagai berikut:

1. Pengajuan Permohonan
Pemeriksaan Perseroan Terbatas dilakukan dengan cara mengajukan permohonan
secara tertulis beserta alasannya ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat

kedudukan Perseroan. Permohonan tersebut dapat diajukan oleh:

37
a. 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu
persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara;
b. Pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar Perseroan
atau perjanjian dengan Perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan
pemeriksaan; atau
c. Kejaksaan untuk kepentingan umum.
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam angka 1 (a) diatas, diajukan setelah
pemohon terlebih dahulu meminta data atau keterangan kepada Perseroan dalam RUPS
namun Perseroan tidak memeberikan data atau keterangan tersebut (Pasal 138 ayat (4)
UUPT). Permohonan untuk mendapatkan keterangan atau permohonan pemeriksaan tersebut
harus didasarkan atas alasan yang wajar dan itikad baik (Pasal 138 ayat (5) UUPT).

2. Pemeriksaaan

Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak atau mengabulkan permohonan apabila


permohonan tersebut tidak didasarkan atas alasan yang wajar dan itikad baik. Apabila
permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan pemeriksaan dan
mengangkat paling banyak 3 (tiga) orang ahli untuk melakukan pemeriksaan dengan tujuan
untuk mendapatkan data atau keterangan yang diperlukan (Pasal 139 ayat (3) UUPT). Tiga
(3) orang ahli yang dapat diangkat tersebut tidak boleh dari kalangan anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, karyawan Perseroan, konsultan, dan akuntan publik yang telah
ditunjuk oleh Perseroan.

Seorang ahli yang dimaksud pada Pasal 139 ayat (3) UUPT mempunyai hak untuk
memeriksa semua dokumen dan kekayaan Perseroan yang dianggap perlu oleh dirinya untuk
diketahui, dan juga berkewajiban merahasiakan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan semua karyawan Perseroan lalu
berkewajiban memberikan segala keterangan yang diperlukan untuk pelaksanaan
pemeriksaan.

 3. Laporan Hasil Pemeriksaan

Laporan hasil pemeriksaan disampaikan oleh ahli kepada ketua pengadilan negeri
dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam penetapan pengadilan untuk pemeriksaan
yaitu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal pengangkatan ahli
tersebut. Lalu, ketua pengadilan negeri memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan
kepada pemohon dan Perseroan yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat 14

38
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal laporan hasil pemeriksaan diterima (Pasal 140 ayat
(1) dan (2) UUPT).

D. PENUTUP

Sejak di terbitkannya Surat Edaran Kejaksaan Agung RI Nomor B-


36/A/Ft.1/06/2009 perihal Korporasi Sebagai Tersangka/Terdakwa Dalam Tindak Pidana
Korupsi dan Surat Edaran tersebut menjadi Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor: Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana Dengan
Subjek Hukum Korporasi serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi sangat di apresiasi
sebagai wujud percepatan dalam penanganan tindak pidana korporasi namun sebagai
Perspektif Penuntut umum terhadap tindak pidana korporasi di Indonesia terlihat dari studi
kasus yang dipaparkan banyak kelemahan seperti: “Lamanya Birokrasi pemeriksaan antar
institusi penyidik (Kepolisian, KPK, Kejaksaan) terhadap Pidana Pokoknya, kurangnya
pemahaman tentang pendekatan Multidoor terhadap penangan perkara korporasi dan terjadi
kesalahan didalam penentuan Identifikasi Terdakwa serta kesalahan didalam Kualifikasi
Perbuatan dan Kesalahan Korporasi”, perihal ini lah yang mendorong penulis untuk
memberikan usul agar untuk mengakomodir dibentuknya Badan Khusus di Kejaksaan
mengenai TINDAK PIDANA KORPORASI agar lebih mandiri dari segi anggaran
(Budgeting) dan fokus penerapan tindak pidana korporasi sebagai subjek hukum dengan
pendekatan Multidoor.

Oleh karena itu perlu diambil langkah strategis untuk penguatan kelembagaan Kejaksaan
karena di dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia menyebutkan bahwa: “disamping tugas dan wewenang tersebut dalam
Undang-undang ini, kejaksaan dapat diserahkan tugas dan wewenang lain berdasarkan
Undang-undang” dan Pasal 30 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia sudah mengatur tentang: ”Di bidang perdata dan tata usaha
negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar
pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. Dan hal itu sudah diakomdir
didalam poin 19 Peraturan Jaksa Agung No. PER-025/A/JA/11/2015 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penengakan Hukum, Bantuan Hukum, Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum
Lain dan Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Ditambah lagi
peraturan perundang-undangan yang khusus sebagai Lex Spesialis juga sudah

39
mengamanatkan pada Pasal 138 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (“UUPT”), pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan
tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan mengenai terdapatnya dugaan bahwa suatu
Perseroan telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham
atau pihak ketiga; atau jika anggota Direksi maupun Dewan Komisaris melakukan perbuatan
melawan hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga.

Serta ditambah lagi kewenangan penyidikan yang telah dikuatkan oleh Putusan
Mahkamah konstitusi dimana pada Pasal 69 UU No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang disebutkan bahwa: “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak
wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya” dan dikuatkan dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 tanggal 15 Desember 2014, salah satu amar
putusannya menegaskan dalam pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang tidak perlu
dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (Predicate Crime).

Daftar Pustaka

Buku-buku

40
Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, PT
Citra Aditya Bakti
-------------------------, 2003, Kapita selekta Hukum Pidana, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.
Hiariej, Eddy O.S., 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka Kelompok Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Irianto, Sulistyowati dan Lim Sing Meij, 2011, Praktik Penegakan Hukum: Arena Penelitian
Sosiolegal Yang Kaya, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
------------------------ dan Shidarta, 2011, Metode Penelitian Hukum (Konstelasi dan Refleksi),
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kristian, 2014, Hukum Pidana Korporasi: Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung: Nuansa Aulia.
Kristian, 2018, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Sinar Grafika.
Marzuki, Peter Mahmud, 2014, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana.
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta.
Packer , Herbert L., 2008, The Limits of The Criminal Sanction, California: Stanford
University Press.
Priyato, Dwidja & Muladi, 1989, “Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam Kejahatan yang
Dilakukan Oleh Korporasi, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi”,
Yogyakarta, Universitas Hukum Diponegoro.
Robinson, Allens Arthur, 2008 “Corporate Culture As A Basis For TheCriminal Liability of
Corporations”, California: Stanford University Press.
Syahrin, Alvi, 2008, Makalah: ”Tindak Pidana Korporasi”, Medan:Universitas Sumatera
Utara.
Sjahdeini, Sutan Remy, 2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: PT Grafiti
Pers.

Jurnal
Andrhopy , Joel M.,(1997), General Corporate Criminal Liability, Texas Bar Journal Vol.
60/No.2/ Februari 1997.
Anonim, 2016, “ Pendekatan Multidoor, Menyiapkan aneka Pintu Bagi Keadilan
Lingkungan”, BuletinRedd
Husain, Yunus, 2016, “Strategi Memberantas Pembalak Liar, Fi-Crime, Financial Crime
Report Magazine, Edisi ke-2, November 2006.
Manthovani, Reda, 2010, “Penuntutan Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana dalam

41
Kejahatan di Sektor Kehutanan: Optimalisasi Penggunaan Undang-undang
Pencucian Uang dalam Pembuktian Tindak Pidana di Sektor Kehutanan di Indonesia
yang Dilakukan oleh Korporasi”
PRAHANELA, R. (2017), “Kegagalan Implementasi Diversi Dalam Tahap Penuntutan.”
Jurnal Komunikasi hukum. Vol 1, (Doctoral dissertation, Universitas Sebelas Maret).
Suhariyanto, Budi, Putusan Pemidanaan Terhadapn Korporasi Tanpa Didakwakan Dalam
Perspektif Vicarious Liability, Jurnal Yudisial Volume Volume 10 Nomor 1 (April
2017).
Quaid, Jenifer A., The Asessment of Corporate Criminal Libility on the Basis of Corporate
Identity: An Analisis, (Coulumbia: McGill Law Journal No. 67, 1998).

Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang dasar 1945, pasal 1 ayat 3 (amandemen ke4)
Peraturan Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, “Penelitian hukum tentang
Aspek Hukum Pemberantasan Korupsi di Indoneisa”
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara
Tindak Pidana Oleh Korporasi

Rujukan Elektronik/Internet
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (2 Agustus 2021)
Hartiwiningsih, Model Penegakan Hukum Tindak Pidana Pembakaran Hutan guna
Mewujudkan Green and Clean Policy, tersedia di https:// layanan.hukum.uns
.ac.id/kepeg /jurnal /hartiwiningsih/ article/view/11.pdf
Aryuni Yuliantiningsih, dkk,2020, “Pendekatan multidoor dalam penegakan hukum untuk
memberantas illegal fishing dan kejahatan lainnya di indonesia”, Prosiding Seminar
Nasional, ISBN 978-602-1643-65-5, Purwokerto, 6-7 Oktober 2020.

42

Anda mungkin juga menyukai