Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KESEHATAN JIWA PADA PASIEN TN. S DENGAN


KASUS KEHILANGAN DAN BERDUKA
DI DESA PESAWAHAN KECAMATAN TIRIS
PROBOLINGGO

DI SUSUN OLEH:
EKA SOFIYA MUNAWAROH
14901.07.20007

PROGRAM STUDY PROFESI NERS


STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN
PROBOLINGGO
2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


KESEHATAN JIWA PADA PASIEN TN. S DENGAN
KASUS KEHILANGAN DAN BERDUKA
DI DESA PESAWAHAN KECAMATAN TIRIS
PROBOLINGGO

Telah disahkan pada :


Hari :
Tanggal :

Probolinggo, Juli 2021

Mahasiswa

Koordinator Prktik Jiwa Pembimbing Akademik


LAPORAN PENDAHULUAN
KEHILANGAN DAN BERDUKA

A. Definisi
1. Kehilangan
Kehilangan adalah suatu situasi actual maupun potensial yang dapat dialami individu
ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan,
atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan. Kehilangan
merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang
kehidupannya. Sejak lahir, individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Setiap individu akan
berekasi terhadap kehilangan. Respons terakhir terhadap kehilangan sangat
dipengaruhi oleh respons individu terhadap kehilangan sebelumnya (Hidayat, 2019).
2. Berduka
Berduka (grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan. Hal ini
diwujudkan dalam berbagai cara yang unik pada masing – masing orang dan didasarkan
pada pengalaman pribadi, ekspektasi budaya, dan keyakinan spiritual yang dianutnya
(Hidayat, 2019).
B. Etiologi
1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah :
a. Faktor genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan didalam keluarga yang mempunyai riwayat
depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu
permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan (Hidayat, 2019).
b. Kesehatan jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung
mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan
individu yang mengalami gangguan fisik (Prabowo, 2014).
c. Kesehatan mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai riwayat depresi
yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis, selalu dibayangi oleh masa
depan yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi kehilangan
(Hidayat, 2019).
d. Pengalaman kehilangan dimasa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kanak – kanak
akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada masa
dewasa (Hidayat, 2019).
e. Struktur kepribadian
Individu dengan konsep yang negative, perasaan rendah diri akan menyebabkan
rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress yang dihadapi
(Prabowo, 2014).
2. Faktor presipitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan.
Kehilangan kasih sayang secara nyata ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan
sifat bio-psiko-sosial antara lain meliputi :
a. Kehilangan kesehatan
b. Kehilangan fungsi seksualitas
c. Kehilangan peran dalam keluarga
d. Kehilangan posisi dimasyarakat
e. Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai
f. Kehilangan kewarganegaraan (Prabowo, 2014).
C. Klasifikasi
1. Kehilangan
Terdapat 5 jenis kehilangan, yaitu:
a. Kehilangan seseorang seseorang yang dicintai, dan sangat bermakna atau orang
yang berarti merupakana salah satu jenis kehilangan yang paling mengganggu dari
tipe-tioe kehilangan. Kematian akan berdampak menimbulkan kehilangan bagi
orang yang dicintai. Karena hilangnya keintiman, intensitas dan ketergantungan dari
ikatan atau jalinan yang ada, kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya
membawa dampak emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi (Nur
Halimah, 2016).
b. Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self) Bentuk lain dari kehilangan
adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental seseorang. Kehilangan ini
meliputi kehilangan perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri, kehilangan
kemampuan fisik dan mental, sersta kehilngan akan peran dalam kehidupan, dan
dampaknya. Kehilangan dari aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian
atau seluruhnya. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya
kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh(Nur Halimah, 2016).
c. Kehilangan objek eksternal Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan benda
milik sendiri atau bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman
berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang tergantung pada
arti dan kegunaan benda tersebut (Nur Halimah, 2016).
d. Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal Kehilangan diartikan dengan
terpisahnya individu dari lingkungan yang sangat dikenal termasuk dari kehidupan
latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau bergantian secara menetap.
Misalnya pindah kekota lain, maka akan memiliki tetangga yang baru dan proses
penyesuaian baru (Nur Halimah, 2016).
e. Kehilangan kehidupan/ meninggal Seseorang dapat mengalami mati baik secara
perasaan, pikiran dan respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada
kematian yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian
(Nur Halimah, 2016).
Tipe Kehilangan Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:
a. Kehilangan aktual atau nyata.
Kehilangan ini sangat mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain,
seperti hilangnya anggota tubuh sebahagian, amputasi, kematian orang yang
sangat berarti / di cintai.
b. Kehilangan persepsi
Kehilangan jenis ini hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat
dibuktikan, misalnya; seseorang yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan
perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi menurun.
2. Berduka
Menurut hidayat ( 2019) berduka dibagi menjadi beberapa antara lain:
a. Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap
kehilangan. Misalnya kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik diri
dari aktivitas untuk sementara.
b. Berduka antisipatif, yaitu proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan
dan kematian yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, ketika menerima diagnosis
terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan dan menyelesaikan berbagai
urusan di dunia sebelum ajalnya tiba.
c. Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap
berikutnya, yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah – olah tidak
kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan
dengan orang lain.
d. Berduka tertutup, kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara
terbuka. Contohnya kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian
orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya dikandungan atau ketika bersalin.
D. Rentang respon
Respons berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap – tahap
berikut : Tahap pengingkaran – marah - tawar menawar – depresi – penerimaan.
DENIAL
DENIAL ANGER
ANGER BARGAINING
BARGAINING DEPRESI
DEPRESI ACCEPTANCE
ACCEPTANCE

1. Tahap Pengingkaran (Denial)


Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya,
mengerti, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar – benar terjadi. Sebagai
contoh orang atau keluarga dari orang yang menerima diagnosis terminal akan terus
berupaya mencari informasi tambahan (Hidayat, 2019).
Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mulai, diare,
gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan sering kali individu
tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berlangsung dalam beberapa menit
hingga beberapa tahun (Hidayat, 20019).
2. Tahap Marah (Anger)
Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering
diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang mengalami kehilangan
juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain,
menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat tidak kompeten. Respons
fisik yang sering terjadi, antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur,
tangan mengepal, dan seterusnya (Hidayat, 2019).
3. Tahap Tawar – Menawar (Bargaining)
Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya
kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang –
terangan seolah – olah kehilangan tersebut dapat dicegah. Individu mungkin berupaya
untuk melakukan tawar – menawar dengan memohon kemurahan tuhan (Hidayat,
2019).
4. Tahap Depresi
Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang – kadang
bersikap sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, rasa tidak
berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik yang ditunjukkan,
antara lain menolak makan, susah tidur, letih, turunnya dorongan libido, dan lain – lain
(Prabowo, 2014).
5. Tahap Penerimaan (Aceptance)
Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang
selalu berpusat pada objek yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah
menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya dan mulai memandang ke depan.
Gambaran tentang objek atau orang yang hilang akan mulai dilepaskan secara
bertahap. Perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Apabila individu dapat
memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat
mengakhiri proses berduka serta dapat mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas.
Kegagalan masuk ke tahap penerimaan akan memengaruhi kemampuan individu
tersebut dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya (Hidayat, 2019).
E. Mekanisme koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara lain : Denial,
Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi dan proyeksi yang digunakan untuk
menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan. Regresi dan disosiasi
sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam. Dalam keadaan patologis mekanisme
koping tersebut sering dipakai secara berlebihan dan tidak tepat (Prabowo, 2014).
1. Denial
Dalam psikologi, terma “denail” artinya penyangkalan dikenakan pada seseorang
yang dengan kuat menyangkal dan menolak serta tak mau melihat fakta-fakta yang
menyakitkan atau tak sejalan dengan keyakinan, pengharapan, dan pandangan-
pandangannya. Denialisme membuat seorang hidup dalam dunia ilusifnya sendiri,
terpangkas dari kehidupan dan nyaris tidak mampu keluar dari cengkeramannya. Ketika
seseorang hidup dalam denial “backfire effect” atau “efek bumerang” sangat mungkin
terjadi pada dirinya. Orang yang hidup dalam denial tentu saja sangat ridak berbahagia.
Dirinya sendiri tidak berbahagia, dan juga membuat banyak orang lain tidak berbahagia
(Prabowo, 2014).
2. Represi
Represi merupakan bentuk paling dasar diantara mekanisme lainnya. Suatu cara
pertahanan untuk menyingkirkan dari kesadaran pikiran dan perasaan yang
mengancam. Represi adalah mekanisme yang dipakai untuk menyembuhkan hal-hal
yang kurang baik pada diri kita kea lam bawah sadar kita. Dengan mekanisme ini kita
akan terhindar dari situasi tanpa kehilangan wibawa kita (Prabowo, 2014).
3. Intelektualisasi
Intelektualisasi adalah pengguna logika dan alasan yang berlebihan untuk
menghindari pengalaman yang menganggu perasaannya. Dengan intelektualisasi,
manusia dapat mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak menyenangkan, dan
memberikan kesempatan untuk meninjau permasalahan secara objektif (Prabowo,
2014).
4. Regresi
Yaitu menghadapi stress dengan perilaku, perasaan dan cara berfikir mundur
kembali ke ciri tahap perkembangan sebelumnya (Prabowo, 2014).
5. Disosiasi
Beban emosi dalam suatu keadaan yang menyakitkan diputus atau diubah.
Mekanisme dimana suatu kumpulan proses-proses mental dipisahkan atau diasingkan
dari kesadaran dengan bekerja secara merdeka atau otomatis, afek dan emosi terpisah,
dan terlepas dari ide, situasi, objek, misalnya pada selektif amnesia (Prabowo, 2014).
6. Supresi
Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan tetapi sebenarnya
merupakan analog dari represi yang disadari. Perbedaan supresi dengan represi yaitu
pada supresi seseorang secara sadar menolak pikirannya keluar alam sadarnya dan
memikirkan yang lain. Dengan demikian supresi tidak begitu berbahaya terhadap
kesehatan jiwa, Karena terjadinya dengan sengaja, sehingga ia mengetahui apa yang
dibuatnya (Prabowo, 2014).
7. Proyeksi
Proyeksi merupakan usaha untuk menyalahkan orang lain mengenai kegagalannya,
kesulitannya atau keinginan yang tidak baik. Dolah dan Holladay (1967) berpendapat
bahwa proyeksi adalah contoh dari cara untuk memungkiri tanggung jawab kita terhadap
impuls-impuls dan pikiran-pikiran dengan melimpahkan kepada orang lain dan tidak
pada kepribadian diri sendiri (Prabowo, 2014).
F. Proses terjadinya masalah
1. Kehilangan
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang
berarti, kehilangan yang ada pada diri sendiri, kehilangan objek eksternal misalnya
kehilangan milik sendiri atau bersama – sama, perhiasan, uang atau pekerjaan,
kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal termasuk
dari kehidupan latar belakang dalam waktu satu periode atau bergantian secara
permanen, seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon
pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya.
Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian.
Strees yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa stress nyata,
ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-sosial antara lain meliputi:
kehilangan kesehatan, kehilangan fungsi seksualitas, kehilangan peran dalam keluarga,
kehilangan posisi dimasyarakat, kehilangan milik pribadi seperti: kehilangan harta benda
atau orang yang dicintai, kehilangan kewarganegaraan, dan sebagainya (Prabowo,
2014).
2. Berduka
Belum ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka.
Konsep dan teori berduka hanyalah salah satu cara yang dapat digunakan untuk
mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi
yang bertujuan untuk membantu individu dalam memahami kesedihan mereka dan
mengatasinya. Peran perawat pada proses ini adalah mendapatkan gambaran tentang
perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan
dukungan dalam bentuk empati (Nur Halimah, 2016).
a. Fase I (shock dan tidak percaya) Individu yang berada pada fase ini seringkali
menolak menerima kenyataan akan kehilangan yang dialami. Individu mungkin
menarik diri dari lingkungan sekitar, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi
fisik yang timbul pada fase ini adalah pingsan, diaporesis, mual, diare, detak
jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
b. Fase II (berkembangnya kesadaran) Individu mulai merasakan adanya
kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa,marahan,
perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
c. Fase III (restitusi) Individu berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan
perasaan yang hampa/kosong, pada fase ini individu kehilangan masih tetap
tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk
mengalihkan kehilangan seseorang.
d. Fase IV indiduvu mulai menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan
terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang
perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
e. Fase V Kehilangan yang tak dapat dihindari. Pada fase ini individu harus mulai
menyadari arti kehilangan. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah
dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
G. Tanda dan Gejala
Kehilangan Menurut Prabowo (2014) tanda dan gejala kehilangan diantaranya:
1. Perasaan sedih, menangis
2. Perasaan putus asa, kesepian
3. Mengingkari kehilangan
4. Kesulitan mengekspresikan perasaan
5. Konsentrasi menurun
6. Kemarahan yang berlebihan
7. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
8. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
9. Reaksi emosional yang lambat
10. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas (Eko prabowo,
2014).
Menurut Dalami (2019) tanda dan gejala berduka diantaranya :
1. Efek fisik
Kelelahan, kehilangan selera, masalah tidur, lemah,berat badan menurun, sakit
kepala, berat badan menurun, sakit kepala, pandangan kabur, susah bernapas, palpitasi
dan kenaikan berat , susah bernapas.
2. Efek emosi
Mengingkari, bersalah , marah, kebencian, depresi,kesedihan, perasaan gagal,
perasaan gagal, sulit untuk berkonsentrasi, gagal dalam menerima kenyataan, iritabilita,
perhatian terhadap orang yang meninggal.
3. Efek social.
a. Menarik diri dari lingkungan
b. Isolasi (emosi dan fisik) dari istri, keluarga dan teman
H. Penatalaksanaan
Menurut Dalami, dkk (2019) isolasi social termasuk dalam kelompok penyakit
skizofrenia tak tergolongkan maka jenis penatalaksanaan media yang bisa dilakukan
adalah :
1. Electro Convulsive Therapy (ECT)
Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah suatu jenis pengobatan dimana arus listrik
digunakan pada otak dengan menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan dibagian
temporal kepala (pelipis kiri dan kanan). Arus tersebut menimbulkan kejang grand mall
yang berlangsung 25 – 30 detik dengan tujuan terapeutik. Respon bangkitan listriknya di
otak menyebabkan terjadinya perubahan faal dan biokimia dalam otak.
Tujuan ECT adalah untuk mengembalikan fungsi mental klien dan untuk
meningkatkan ADL klien secara periodic (Prabowo, 2014).
2. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang relative cukup lama dan merupakan bagian penting dalam
proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi : memberikan rasa aman dan
tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati, menerima pasien apa
adanya, memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan perasaanya secara verbal,
bersikap ramah, sopan dan jujur kepada pasien.
3. Terapi okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan pasrtisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan harga diri seseorang. Tujuan terapi
okupasi itu sendiri adalah untuk mengembalikan fungsi penderita semaksimal mungkin,
dan kondisi abnormal ke normal yang dikerahkan pada kecacatan fisik maupun mental,
dengan memberikan aktivitas yang terencana dengan memperhatikan kondisi penderita
sehingga penderita diharapkan dapat mandiri di dalam keluarga maupun masyarakat
(Prabowo, 2014).
I. Akibat atau Komplikasi dari Kehilangan dan Berduka
Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap kehilangan adalah
pemberian makna (personal meaning) yang baik terhadap kehilangan (Husnudzon) dan
kompensasi yang positif (konstruktur). Apa bila kondisi tersebut tidak tercapai, maka akan
berdampak pada terjadinya depresi. Pada saat individu depresi sering menunjukkan sikap
menarik diri, kadang sebagai pasien sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan
keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan bunuh diri, dsb. Gejala fisik yang
ditunjukkan antara lain : menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido
manurun( Prabowo, 2014).
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
KEPERAWATAN JIWA

A. Pengkajian
Pengkajian meliputi upaya mengamati dan mendengarkan isi duka cita klien, apa
yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan diperhatikan melalui perilaku. Beberapa
percakapan yang merupakan bagian pengkajian agar mengetahui apa yang mereka inginkan
dan rasakan adalah :
1. Persepsi yang adekuat tentang kehilangan
2. Dukungan yang adekuat ketika berduka akibat kehilangan
3. Perilaku koping yang adekuat selama proses

Terdapat 7 faktor yang mempengaruhi rentang respon kehilangan, yakni:


1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah:
a. Faktor Genetic : Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga
yang mempunyai riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis
dalam menghadapi suatu permasalahan termasuk dalam menghadapi
perasaan kehilangan.
b. Kesehatan Jasmani : Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang
teratur, cenderung mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih
tinggi dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan fisik
c. Kesehatan Mental : Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang
mempunyai riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya
pesimis, selalu dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat
peka dalam menghadapi situasi kehilangan.
d. Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu : Kehilangan atau perpisahan dengan
orang yang berarti pada masa kanak kanak akan mempengaruhi individu
dalam mengatasi perasaan kehilangan pada masa dewasa.
e. Struktur Kepribadian : Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah
diri akan menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif
terhadap stress yang dihadapi.
2. Faktor presipitasi
Factor presipitasi ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan
kehilangan. Kehilangan secara nyata ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan
sifat bio-psiko-sosial antara lain meliputi:
a. Kehilangan kesehatan
b. Kehilangan fungsi seksualitas
c. Kehilangan peran dalam keluarga
d. Kehilangan posisi di masyarakat
e. Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai
f. Kehilangan kewarganegaraan
3. Mekanisme koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara lain:
Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi dan Proyeksi yang
digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan.
Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam. Dalam
keadaan patologis mekanisme koping tersebut sering dipakai secara berlebihan dan
tidak tepat.
4. Respon Spiritual
a. Kecewa dan marah terhadap Tuhan
b. Penderitaan karena ditinggalkan atau merasa ditinggalkan
c. Tidak memilki harapan; kehilangan makna
5. Respon Fisiologis
a. Sakit kepala, insomnia
b. Gangguan nafsu makan
c. Berat badan turun
d. Tidak bertenaga
e. Palpitasi, gangguan pencernaan
f. Perubahan sistem endokrin
6. Respon Emosional
a. Merasa sedih, cemas
b. Kebencian
c. Merasa bersalah
d. Perasaan mati rasa
e. Emosi yang berubah-ubah
f. Penderitaan dan kesepian yang berat
g. Keinginan yang kuat untuk mengembalikan ikatan dengan individu atau benda
yang hilang
h. Depresi, apati, putus asa selama fase disorganisasi dan keputusasaan
i. Saat fase reorganisasi, muncul rasa mandiri dan percaya diri
7. Respon Kognitif
a. Gangguan asumsi dan keyakinan
b. Mempertanyakan dan berupaya menemukan makna kehilangan
c. Berupaya mempertahankan keberadaan orang yang meninggal
d. Percaya pada kehidupan akhirat dan seolah-olah orang yang meninggal adalah
pembimbing.
8. Perilaku
Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti :
a. Menangis tidak terkontrol
b. Sangat gelisah; perilaku mencari
c. Iritabilitas dan sikap bermusuhan
d. Mencari dan menghindari tempat dan aktivitas yang dilakukan bersama orang
yang telah meninggal.
e. Menyimpan benda berharga orang yang telah meninggal padahal ingin
membuangnya
f. Kemungkinan menyalahgunakan obat, upaya bunuh diri atau pembunuhan
g. Mencari aktivitas dan refleksi personal selama fase reorganisasi

B. Diagnosa Keperawatan
1. Berduka
2. Harga diri rendah

C. Pohon Masalah
Harga Diri Rendah (Efek)

Berduka (Masalah Utama)

Kematian (Penyebab)

Daftar Masalah Proritas :


1. Berduka
2. Harga diri rendah

D. Tindakan Keperawatan
1. Tindakan keperawatan untuk pasien
a. Tujuan
1) Klien dapat memperluas kesadaran diri
2) Klien dapat mengeksplorasi perasaan diri terkait kehilangan dan berduka yang
dialaminya
3) Klien mampu menetapkan rencana yang realistic
4) Klien mampu untuk melakukan pendekatan budaya, agama, dan sosial untuk
menyelesaikan fase berduka

b. Tindakan keperawatan
SP 1 =
1) Perluas kesadaran diri melalui identifikasi pengalaman berduka
(mengidentifikasi kehilangan yang dialami, mengidentifikasi hubungan
dengan objek yang hilang, mengkaji reaksi awal terhadap kehilangan dan
mengkaji strategi koping yang digunakan oleh klien saat kehilangan terjadi)
2) Eksplorasi perasaan diri terkait kehilangan dan berduka yang dialami
3) Dorong penetapan rencana yang realistic
4) Dorong klien untuk melakukan pendekatan budaya untuk menyelesaikan
fase berduka
5) Buat kegiatan jadwal kegiatan Bersama klien

SP 2 =
1) Evaluasi kemampuan pertemuan pertama
2) Dorong klien untuk melakukan pendekatan agama untuk menyelesaikan fase
berduka
3) Buat jadwal kegiatan Bersama klien

SP 3 =
1) Evaluasi kemampuan pertemuan pertama dan ke dua
2) Dorong klien untuk melakukan pendekatan sosial untuk menyelesaikan fase
berduka
3) Buat jadwal kegiatan Bersama klien

2. Tindakan keperawatan untuk keluarga


a. Tujuan
1) Keluarga mampu mengenal masalah berduka
2) Keluarga mampu merawat pasien berduka
3) Keluarga mampu melatih dalam melakukan pendekatan budaya, agama, dan
social.
b. Tindakan Keperawatan
SP 1 =
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
berduka
2) Membantu keluarga mengenal gejala berduka pasien (tanda, gejala,
penyebab, dan akibat)
3) Latihan mendorong penetapan rencana yang realistic
4) Mendorong untuk melakukan pendekatan budaya

SP 2 =
1) Evaluasi kemampuan pertemuan pertama
2) Mengajarkan untuk mengikuti pendekatan keagamaan
3) Latihan pendekatan keagamaan

SP 3 =
1) Evaluasi kemampuan pertemuan pertama dan kedua
2) Melatih keluarga untuk melakukan pendekatan social
3) Latih pendekatan sosial
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M. 2018. Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Dalami, E. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Masalah Psikososial. Jakarta: Trans
Info Media.
Damaiyanti, I. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa (Cetakan kedua ed.). Bandung: PT Refika.
Dermawan, D., & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa: Konsep Dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Direja, & Surya, A. H. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: PT Nuha
Medika.
Kusumawati, F., & Hartono, Y. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Prabowo, E. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Yusuf, PK, R. F., & Nihayati, H. E. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai