LAPORAN PENDAHULUAN
Disusun untuk memenuhi tugas Profesi Jiwa
Disusun Oleh:
Bagus Lanang Sejati 200070300111015
B. ETIOLOGI
a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah :
1) Faktor genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan didalam keluarga yang mempunyai riwayat
depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu
permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan (Hidayat, 2009)
2) Kesehatan jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung mempunyai
kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang
mengalami gangguan fisik (Prabowo, 2014)
3) Kesehatan mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai riwayat depresi
yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis, selalu dibayangi oleh masa
depan yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi kehilangan
(Hidayat, 2009)
4) Pengalaman kehilangan dimasa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kanak – kanak
akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada masa
dewasa (Hidayat, 2009)
5) Struktur kepribadian
Individu dengan konsep yang negative, perasaan rendah diri akan menyebabkan
rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress yang dihadapi
(Prabowo, 2014).
b. Faktor presipitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan berduka. Kehilangan
kasih sayang secara nyata ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-
sosial antara lain meliputi :
1. Kehilangan kesehatan
2. Kehilangan fungsi seksualitas
3. Kehilangan peran dalam keluarga
4. Kehilangan posisi dimasyarakat
5. Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai
6. Kehilangan kewarganegaraan
C. RENTANG RESPON
Respons berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap – tahap berikut
(Menurut Kubler – Ross, dalam Potter dan Perry, 1997) :
Tahap pengingkaran→ marah →tawar-menawar →depresi →penerimaan
a. Tahap pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya,
mengerti, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar – benar terjadi.
Sebagai contoh orang atau keluarga dari orang yang menerima diagnosis terminal
akan terus berupaya mencari informasi tambahan (Hidayat, 2009 : 245). Reaksi
fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mulai, diare, gangguan
pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan sering kali individu tidak
tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berlangsung dalam beberapa menit
hingga beberapa tahun (Hidayat, 2009 : 245).
b. Tahap marah
Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering
diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang mengalami
kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar,
menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau
perawat tidak kompeten. Respons fisik yang sering terjadi, antara lain muka merah,
denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal, dan seterusnya (Hidayat,
2009 : 245).
c. Tahap tawar – menawar
Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan
dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang –
terangan seolah – olah kehilangan tersebut dapat dicegah. Individu mungkin
berupaya untuk melakukan tawar – menawar dengan memohon kemurahan tuhan
(Hidayat, 2009 : 245).
d. Tahap depresi
Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang – kadang
bersikap sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, rasa tidak
berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik yang ditunjukkan,
antara lain menolak makan, susah tidur, letih, turunnya dorongan libido, dan lain –
lain (Prabowo, 2014 : 115).
e. Tahap penerimaan
Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu
berpusat pada objek yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah
menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya dan mulai memandang ke depan.
Gambaran tentang objek atau orang yang hilang akan mulai dilepaskan secara
bertahap. Perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Apabila individu dapat
memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat
mengakhiri proses berduka serta dapat mengatasi perasaan kehilangan secara
tuntas. Kegagalan masuk ke tahap penerimaan akan memengaruhi kemampuan
individu tersebut dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya (Hidayat,
2009 : 245 - 246).
F. KLASIFIKASI
Menurut hidayat ( 2009 : 244) berduka dibagi menjadi beberapa antara lain:
1. Berduka normal
Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan.
Misalnya kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik diri dari
aktivitas untuk sementara.
2. Berduka antisipatif
Yaitu proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan dan kematian
yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, ketika menerima diagnosis terminal,
seseorang akan memulai proses perpisahan dan menyelesaikan berbagai
urusan di dunia sebelum ajalnya tiba.
3. Berduka yang rumit
Dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu tahap
kedukaan normal. Masa berkabung seolah – olah tidak kunjung berakhir dan
dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain.
4. Berduka tertutup
Kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka. Contohnya
kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian orang tua tiri,
atau ibu yang kehilangan anaknya dikandungan atau ketika bersalin.
G. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Pengkajian masalah ini adalah adanya faktor predisposisi yang memengaruhi respons
seseorang terhadap perasaan kehilangan yang dihadapi, antara lain sebagai berikut.
1. Faktor genetik. Individu yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga dengan
riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu
permasalahan, termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.
2. Kesehatan fisik. Individu dengan fisik, mental, serta pola hidup yang teratur
cenderung mempunyai kemampuan dalam mengatasi stress yang lebih tinggi
dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan jasmani.
3. Kesehatan mental. Individu yang mengalami gangguan jiwa, terutama yang
mempunyai riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan
pesimis, selau dibayangi masa depan peka dalam menghadapi situasi kehilangan.
4. Pengalaman kehilangan di masa lalu. Kehilangan atau perpisahan dengan orang
yang dicintai pada masa kanak-kanak akan memengaruhi kemampuan individu
dalam mengatasi perasaan kehilangan pada masa dewasa.
5. Struktur kepribadian. Individu dengan konsep diri yang negative dan perasaan
rendah diri akan menyebabkan rasa percaya diri yang rendah dan tidak objektif
terhadap stress yang dihadapi.
6. Adanya stressor perasaan kehilangan. Stressor ini dapat berupa stressor yang
nyata ataupun imajinasi individu itu sendiri, seperti kehilangan biopsikososial yang
meliputi kehilangan harga diri, pekerjaan, seksualitas, posisi dalam masyarakat,
milik pribadi (kehilangan harta benda atau yang dicintai, kehilangan
kewarganegaraan, dan lain-lain). Mekanisme koping yang sering dipakai oleh
individu dengan respons kehilangan, antara lain pengingkaran, regresi,
intelektualisasi, disosiasi, supresi, dan proyeksi yang digunakan untuk menghindari
intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan. Dalam keadaan patologi,
mekanisme koping sering dipakai secara berlebihan atau tidak memadai.
Pengkajian tanda klinis berupa adanya distress somatis seperti gangguan lambung,
rasa sesak, napas pendek, sering mengeluh, dan merasakan lemah. Pengkajian
terhadap masalah psikologis adalah tidak ada atau kurangnya pengetahuan dan
pemahaman kondisi yang terjadi, penghindaran pembicaraan tentang kondisi
penyakit, serta kemampuan pemahaman sepenuhnya terhadap prognosis dan
usaha menghadapinya.
Diagnosis keperawatan yang kemungkinan terjadi pada masalah kehilangan dan
berduka, sebagaimana dalam NANDA-Internasional 2015-2017 tersaji pada table
berikut:
Diagnosa
Implementasi
PASIEN
Evaluasi
Evaluasi terhadap masalah kehilangan dan berduka secara umum dapat dinilai dari
kemampuan untuk menghadapi atau memaknai arti kehilangan, reaksi terhadap kehilangan,
dan perubahan perilaku yang menerima arti kehilangan.
Daftar Pustaka
Azizah, L. M. (2011). Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Dalami, E. (2009). Asuhan Keperawatan Jika Dengan Masalah Psikososial. Jakarta: Trans
Info Media.
Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.