Nutrisi Dan Penyakit Metabolik Anak
Nutrisi Dan Penyakit Metabolik Anak
Penyunting
Damayanti Rusli Sjarif
Endang Dewi Lestari
Maria Mexitalia
Sri Sudaryati Nasar
Cetakan Pertama
ISBN 978-979-8
Kedokteran - Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik
Assalammu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat, rahmat dan perkenanNya,
akhirnya Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik Jilid 1 dapat selesai dikerjakan.
Terimaksih kepada seluruh anggota UKK NPM atas segala dukungan dalam penyelesaian
buku ini mulai dari perencanaan, penulisan, pengeditan sampai penerbitannya..
Judul nutrisi pediatrik yang kami gunakan adalah terjemahan dari Pediatric Nutrition
suatu istilah yang secara internasional digunakan untuk membedakannya dengan nutrisi
dewasa. Istilah pediatrik lebh tepat digunakan karena berdasarkan tahapan perkembangan.
mencakup periode anak dan remaja sampai 20 tahun. Penyakit Metabolik yang dimaksud
dalam buku ini adalah inborn errors of metabolism.Penerbitan buku ajar ini merupakan
jawaban profesi terhadap tantangan Millenium Development Goals nomor 1 (menurunkan
angka kelaparan) dan 4 (menurunkan angka kematian balita). World Health Organization
2003 menyampaikan hasil observasinya yang menyatakan bahwa 60% dari 10,9 juta
kematian balita didunia setiap tahunnya disebabkan secara langsung maupun tidak
langsung oleh gizi kurang atau gizi buruk. Jika seorang balita telanjur mengalami gizi buruk
maka prognosis dapat dipastikan suram. Kemampuan kognitif serta produktifitas akan
berkurang antara 5-20%. Selain itu meningkatnya prevalensi obesitas anak dan remaja
di Indonesia yang pertama kali diungkapkan oleh penelitian multisenter UKK NPM tahun
2004 juga sejalan dengan ditemukannya pelbagai komplikasi yang berisiko meningkatkan
morbiditas serta mortalitas dikemudian hari. Double burden yang dihadapi oleh negara kita
ini, lebih tepat diatasi dengan konsep pencegahan. Oleh sebab itu pada Buku Ajar Jild
1 ini aspek pencegahan dengan pedoman asuhan nutrisi pediatrik yang merupakan hak
setiap anak dan remaja; praktek pemberian makan bayi dan batita yang menurut Global
Strategy of Feeding Infant and Yaung Children, WHO 2003 dapat menurunkan 2/3 dari
angka kematian batita akibat gizi kurang dan gizi buruk, serta deteksi dini malnutrisi dan
tatalaksananya merupakan kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang petugas
kesehatan yang menangani anak dan remaja. Setelah kita dapat menyelamatkan seorang
anak dari kematian maka tugas berikutnya adalah mengoptimalkan kualitas hidupnya
salah satunya adalah dengan mngenali Penyakit Metabolik yang banyak diantaranya dapat
ditatalaksana dengan diet khusus.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan Buku Ajar
Jilid 1 ini, untuk itu kami mohon kritik dan saran untuk perbaikan lebih lanjut di edisi
berikutnya. Akhir kata, terimakasih kepada Ketua PP IDAI 2008-2011, Dr dr Badriul
Hegar Syarif SpA(K) yang telah mendukung kami dalam menyelesaikan pembuatan Buku
Ajar ini. Semoga usaha kita bersama ini mendapat ridho dari Allah SWT serta buku ini
bermanfaat sesuai dengan harapan.
Wassalammu’alaikum wr.wb.
Selamat bertugas
AA : Asam Arakidonat
AAP : American Academy of Pediatrics
ADB : Anemia Defisensi Besi
AFASS : Acceptable, feasible, affordable, sustainable, safe
AI : Adequte Intake
AKG : Angka Kecukupan Gizi
ALE : Asam Lemak Esensial
ARV : antiretroviral
ASI : Air Susu Ibu
ASPEN : American Society for Parenteral and Enteral Nutrition
ATP : Adenosin Tri Posphat
BAB : Buang Air Besar
BAK : Buang Air Kecil
BB : Berat Badan
BBLR : Bayi Berat Badan Rendah
BCAA : branched-chain amino acid
BEE : basal energy expenditure
BMR : basal metabolic rate
BSSL : Bile Salt-stimulated Lipase
CDC : Centers for Disease Control and Prevention
CTC : Community-based Therapeutic Care
DHA : Asam dokosaheksaenoik
DIT : diet induced thermogenesis
DXA : Dual-energy-Xray-Absorptiometry
DNA : deoxyribonucleic acid
EAR : Estimated Average Requirement
ECMO : Extracorporeal Membrane Oxygenation
EET : Endotracheal Tube
EFA : essential fatty acid
EPA : eicosapentaenoic acid
FAO : The Food and Agriculture Organizition of the United Nations
FDA : Lembaga Keamanan Makanan dan Obat-obatan Amerika
GAKY : Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
GALT : Gut-associated Lymphoid Tissue
GAM : Global Acute Malnutrition
GAP : Good Agricultural Practices
GFR : Glomerular filtration rate
GMP : Good Manufacturing Practices
HACCPs : Hazard Analysis and Critical Control Points
HAM : Hospital Acquired Malnutritions
HMF : Human milk fortifier
Sejarah
Pemahaman tentang nutrisi pada manusia mengikuti perkembangan berbagai ilmu,
khususnya kimia, biokimia dan fisiologi. Minat ilmiah dalam bidang nutrisi memiliki sejarah
panjang yang terbagi dalam 3 era, yaitu: 1. Era Naturalistik; 2. Era Kimia Analitik; 3. Era
Biologi.
1. Era Naturalistik (400 sebelum Masehi-tahun 1750)
Periode ini dimulai dengan hipotesis Hippocrates tentang panas tubuh: “The body’s innate
heat”, tetapi lama setelah itu tidak banyak perkembangan ilmu pengetahuan tentang
nutrisi. Salah satu penelitian penting pada era ini adalah mengenai keseimbangan
nutrisi yang dlakukan oleh Sanctorius pada tahun 1620
2. Era Kimia Anatilik (tahun 1750-1900)
Periode kimia analitik diawali dengan penemuan alat kalorimetri oleh Lavoisier,
yang kemudian melakukan berbagai penelitian, diantaranya tentang proses oksidasi
makanan yang menghasilkan karbon dioksida, air dan panas. Pada abad ke-19, Liebig
menemukan bahwa oksidasi masing-masing makronutrien akan menghasilkan kalori
sebanyak 4 kkal per gram karbohidrat, 4 kkal per gram protein dan 9 kkal per gram
lemak. Magendie menemukan bahwa protein dibutuhkan untuk kelangsungan hidup.
Pada tahun 1838, Franz Simon menghasilkan sebuah disertasi mengenai biokimia air
susu manusia, yang merupakan dasar pertama pendekatan rasional pemberian nutrisi
pada bayi. Di akhir abad ke 19, Rubner menjelaskan energi yang terkandung dalam
makanan dan membuat kalorimeter pertama yang dapat menghitung pengeluaran
energi.
3. Era Biologi (tahun 1900- sekarang)
Pada awal abad ke-20, sudah ada pemahaman yang luas tentang kebutuhan nutrisi,
peningkatan pemahaman terhadap mikronutrien serta efek defisiensinya yang
spesifik. Pada tahun 1912, Funk mempopulerkan istilah vitamin. Penelitian mengenai
metabolisme pada hewan yang diberi makan secara parenteral berkembang pesat pada
tiga dekade awal abad yang lalu dan pada tahun 1944 untuk pertama kalinya pemberian
nutrisi melalui jalur intravena pada anak berumur lima bulan berhasil dilakukan.
Simpulan
Spesialisasi fungsional dalam dunia kedokteran semakin berinteraksi dengan spesialisasi
berbasis organ yang terkotak-kotak. Nutrisi klinik cocok dalam paradigma baru ini. Namun,
agaknya sudah tiba saat tepat untuk mengembangkan nutrisi klinik dalam ilmu pediatri
sebagai disiplin ilmu yang unik dan tersendiri, mengingat :
1. Ilmu nutrisi merupakan cabang tertua dari pediatri berdasarkan penelitian-penelitian
besar selama beberapa abad, sepertinya paradoksal bahwa tidak pada semua sentra
pediatri cabang ini berkembang menjadi menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri.
2. Ilmu nutrisi berakar dari dan berhubungan erat serta merupakan ilmu dasar yang
menjadikan pediatri unik – pertumbuhan dan perkembangan
3. Pada terjadinya fragmentasi berbasis organ, kedalaman penguasaan ilmu nutrisi klinik
para subspesialis lain tidak sebaik seorang subspesialis nutrisi pediatrik.
4. Perkembangan ilmu dasar sudah sampai tingkat molekuler, di dalamnya termasuk
proses interaksi gen-nutrien yang membawa bidang nutrisi ke Era Nutrigenomik –
suatu cabang ilmu nutrisi yang sangat spesifik.
Tampak pula bahwa kini ada tanggung jawab baru bagi para profesional kesehatan -
khususnya di bidang pediatri - untuk memastikan terpenuhinya nutrisi yang tepat untuk
mengoptimalkan kesehatan jangka pendek dan jangka panjang baik bagi individu yang
sakit maupun populasi yang sehat.
Di samping itu, sebagai ilmu dasar pediatri, setiap dokter anak harus memahami nutrisi
dasar yang sangat berkaitan dengan tumbuh-kembang anak, seperti asuhan nutrisi pediatri,
praktek pemberian makan kepada bayi, keamanan pangan, dsb.
Daftar Pustaka
1. Carpenter KJ. A Short History of Nutritional Science : Part 1 (1785-1885). J Nutr.(2003) 133:638-45
2. Carpenter KJ. A Short History of Nutritional Science : Part 2 (1885-1912). J Nutr.(2003)
133:975-84
3. Carpenter KJ. A Short History of Nutritional Science : Part 3 (1912-1944). J Nutr.(2003)
133:3023-32
4. Carpenter KJ. A Short History of Nutritional Science : Part 4 (1945-1985). J Nutr.(2003)
133:3331-42
5. MacLean WC, Lucas A. Pediatric Nutrition : A distinct subspecialty. Dalam : utrition in
Pediatrics. Basic Science and Clinical Application. Walker WA, Watkins JB, Duggan C, editor.
BC Decker Inc, London 2003 hal 1-5
6. Kleinman RE, Barnes LA, Finberg L. History of Pediatric Nutrition and Fluid Therapy. Ped Res.
Pendahuluan
Nutrisi didefinisikan sebagai makanan yang berguna bagi kesehatan. Komposisi makanan
terdiri dari berbagai macam nutrien yang mempunyai efek metabolik yang spesifik dalam
tubuh manusia. Nutrien dapat merupakan zat esensial maupun non-esensial. Nutrien
esensial merupakan zat yang tidak dapat disintesis oleh tubuh manusia sehingga harus
diperoleh dari makanan. Nutrien yang termasuk nutrien esensial adalah vitamin, mineral,
beberapa asam amino, asam lemak dan karbohidrat. Nutrien non-esensial adalah nutrien
yang dapat disintesis oleh tubuh dan mempunyai kualitas yang sama dengan nutrien yang
berasal dari bahan makanan. Secara garis besar nutrien dibagi menjadi dua golongan yaitu
makronutrien dan mikronutrien.1Istilah makronutrien digunakan karena dibutuhkan
dalam jumlah besar (dalam hitungan gram per hari) sedangkan mikronutrien dibutuhkan
dalam jumlah kecil (dalam hitungan miligram atau mikrogram per hari). Sebenarnya selain
kuantitas, kualitas makronutrien juga mempunyai peran penting, misalnya lemak jenuh
dan lemak tak jenuh, keduanya diperhitungkan sebagai lemak tetapi efeknya pada tubuh
berbeda.
Secara garis besar, nutrisi terdiri atas makronutrien (karbohidrat, protein dan lemak),
mikronutrien (vitamin dan mineral) dan air. Makronutrien merupakan zat utama yang
terdapat dalam diet dan berfungsi sebagai sumber energi bagi tubuh yang digunakan
untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan aktifitas. Metabolisme makronutrien akan
memproduksi energi dan masing-masing menghasilkan 4 kkal per gram untuk karbohidrat
dan protein, dan 9 kkal per gram lemak.
Monosakarida
Merupakan senyawa karbohidrat yang paling sederhana. Bentuk ini mempunyai berbagai
jumlah atom karbon pada setiap unitnya seperti triosa (3 atom C), tetrosa (4 atom karbon),
pentose (5 atom C), hexosa (6 atom C), dan heptosa (7 atom C). Glukosa, fruktosa dan
galaktosa merupakan monosakarida terbanyak dan berkaitan erat dengan kehidupan
sehari-hari. Glukosa banyak terdapat pada buah-buahan, jagung manis, sirup jagung, madu
dan beberapa jenis umbi. Fruktosa (levulosa) juga merupakan bentuk gula sederhana dan
banyak terdapat secara alamiah pada sirup jagung (corn syrup), gula tebu, gula bit, stroberi,
tomat, bawang merah.
Galaktosa tidak ditemukan secara bebas dalam makanan tetapi merupakan hasil
hidrolisis laktosa. Contoh monosakarida yang lain adalah gliserosa (triosa), erythrosa
(tetrosa), dan ribosa (pentosa).1,3
Glukosa (dekstrosa) adalah suatu hexosa terpenting karena sebagian besar karbohidrat
dalam makanan diubah menjadi glukosa untuk proses metabolisme. Karena kandungan unit
gula hanya satu, maka monosakarida akan segera diserap dan langsung masuk ke peredaran
darah sehingga meningkatkan kadar gula darah dengan cepat tetapi akan turun pula secara
tiba-tiba.
Disakarida
Senyawa yang terdiri dari ikatan dua monosakarida dan merupakan karbohidrat simpleks atau
gula sederhana. Termasuk dalam golongan disakarida ini adalah sukrosa (glukosa-fruktosa),
laktosa (glukosa-galaktosa), dan maltosa (glukosa-glukosa). Sukrosa merupakan bentuk
disakarida yang paling banyak terdapat dalam makanan, seperti pada tebu, gula bit, gula
Polisakarida
Oligosakarida yang mengandung 3-10 unit gula merupakan hasil digesti polisakarida
(misalnya pati dan glikogen ), yang mengandung lebih dari 10 unit gula. Pati merupakan
glukosa polimer dan bentuk simpanan karbohidrat pada tumbuhan, sedangkan bentuk
simpanan polisakarida pada hewan adalah glikogen.1,3 Polisakarida merupakan molekul
yang sangat besar, pemecahannya di usus memerlukan waktu yang lebih lama dibanding
mono- dan disakarida, sehingga tidak akan menaikkan kadar gula darah dengan cepat.
Karenanya, mengonsumsi pati merupakan cara yang baik dan sehat dalam mendapatkan
energi daripada mengonsumsi karbohidrat simpleks.
Amilosa dan amilopektin merupakan polisakarida terbanyak dalam makanan.
Keduanya berbeda dalam susunan unit gula yang menyebabkan perbedaan dalam
kecepatan pemecahannya di usus. Amilopektin lebih cepat dicerna, sehingga makanan
yang mengandung amilosa lebih dianjurkan pada individu yang mempunyai masalah dalam
mengontrol gula darah, seperti penderita Diabetes mellitus atau Glycogen Storage Disease
(GSD). Di samping itu, kecepatan pemecahan pati dipengaruhi oleh pemrosesannya
Serat
Juga merupakan suatu polisakarida atau karbohidrat kompleks, hanya unit gula pada serat
berhubungan sedemikian rupa sehingga tubuh tidak dapat mencernanya dan sampai di kolon
dalam keadaan utuh. Masa transit yang cepat membantu mempercepat pengeluaran sisa
makanan dan toksin sehingga mencegah konstipasi, yang berarti meningkatkan kesehatan.
Serat terdapat pada sayuran, biji-bijian dan kacang-kacangan dalam bentuk utuh.
Seringkali proses penyiapan membuang justru bagian bahan makanan yang mengandung
serat, misalnya selama proses penggilingan biji-bijian, pengupasan kulit buah yang akan
diproses menjadi makanan kalengan, dsb.
Banyak laporan tentang manfaat serat untuk kesehatan ataupun hubungan serat dengan
pencegahan berbagai penyakit seperti kanker kolon dan payudara. Bakteri bersahabat akan
menggunakan serat untuk berkembang-biak dan menghasilkan asam lemak rantai pendek
yang diduga berkaitan dengan menurunnya kejadian kanker kolon, kadar koleterol darah,
menjaga kadar gla darah dan kesehatan saluran cerna.
Polihidroksi-alkohol
Merupakan bentuk alkohol dari sukrosa, manosa, dan xylosa (sorbitol, manitol, dan xylitol).
Bentuk ini lambat diabsorbsi di saluran cerna sehingga tidak meningkatkan kadar gula dalam
darah secara cepat, serta dapat melunakkan feses bila dikonsumsi dalam jumlah besar.1
Respons kadar gula darah postprandial tidak hanya dipengaruhi oleh indek glikemik
makanan tetapi juga oleh jumlah karbohidrat yang dikonsumsi. Beberapa penelitian
epidemiologis mengembangkan konsep beban glikemik (glycemic load) dengan mengalikan
indeks glikemik makanan yang spesifik dengan jumlah karbohidrat dalam porsi makanan
yang dikonsumsi, Beban glikemik dikembangkan untuk dapat merepresentasikan kuantitas
dan kualitas karbohidrat yang dikonsumsi meskipun tidak semuanya tinggi serat. Setiap unit
beban glukosa merepresentasikan efek glikemik setara dengan 1 gram karbohidrat dengani
roti putih yang digunakan sebagai rujukan baku. Beban glikemik adalah cara baru untuk
Diabetes and Nutrition Study Group (DNSG) dari European Association for the Study of
Diabetes (EASD)6 merekomendasikan aplikasi indeks glikemik pada diet penderita diabetes
Kebutuhan karbohidrat
Tabel 2. Revisi Tabel Internasional dari Indeks Glikemik dan Beban Glikemik
Food values : Glycemic Index / Glycemic Load
Low GI Med GI High GI
Low GL All-bran cereal (8.42) Beets (5.64) Popcorn (.72)
Apples (6.38) Cantaloupe (4.65) Watermelon (4.72)
Carrots (3.47) Pineapple (7,59) Whole wheat flour bread (9.71)
Peanuts (1.14) Sucrose i.e table sugar (7.68)
Strawberry (1.40)
Sweet corn (9.54)
Med GL Apple juice (11.40) Life cereal (15.65) Cheerios (15.74)
Bananas (12.52) New potatoes (12.57) Shredded wheat (15.75)
Fettucine (18.40) Wild rice (18.57)
Orange juice (12.50)
Sourdough wheat bread (15.54)
High GL Linguine (23.52) Couscous (23.65) Baked Russet potatoes (28.85)
Macaroni (23.47) White rice (23.64) Cornflakes (21.81)
Spaghetti (20.42)
Sumber : Revised International Table of Glycemic Index and Glycemic Load (GL).
Am J Clin Nutr 2002;76:5-56
Fungsi utama karbohidrat dalam makanan adalah sebagai sumber energi. Beberapa sel
tubuh mutlak memerlukan karbohidrat seperti sel otak, sel darah putih, sel darah merah
dan medula ginjal. Hasil oksidasi karbohidrat dalam tubuh menghasilkan energi sebesar 4
kkal/g. Otak dan beberapa bagian lain susunan saraf pusat mutlak membutuhkan glukosa
sebagai bahan bakar namun sebagian tetap masih dapat beradaptasi dengan bahan bakar
yang berasal dari lemak. Pada keadaan tidak tersedianya karbohidrat sebagai sumber energi,
terjadi sintesis glukosa de novo yang memerlukan asam amino yang berasal dari hidrolisis
protein dan atau gliserol dari lemak.
Estimasi kebutuhan karbohidrat tergantung dari kecepatan penggunaan glukosa
oleh otak. Kecepatan rata-rata produksi glukosa endogen setelah absorbsi sekitar
2,8 – 3,6 g/kg/hari. Hal ini berkorelasi baik dengan perkiraan ukuran otak dari lahir
Protein
Merupakan senyawa organik yang terdiri dari rangkaian asam amino yang berikatan
dan membentuk ikatan peptida yang dihubungkan dengan ikatan sulfhidril dan ikatan
hidrogen.
Terminologi ‘protein’ berasal dari bahasa Yunani “protos” yang berarti “menduduki
tempat ke-satu/utama, yang mencerminkan peran penting dalam kelangsungan hidup
mahluk. Protein berperan dalam hampir seluruh proses dan fungsi tubuh.
Menurut FAO/WHO (2005) pada bayi usia 0-6 bulan jumlah protein yang dibutuhkan
sesuai dengan jumlah yang terdapat pada ASI. Jumlah tersebut setara dengan 9,1 gram /
hari atau 1,52 gram/kg/hari. Estimasi protein yang terdapat pada ASI adalah 11,7 gram/L.
Kebutuhan untuk usia di atas 6 bulan, anak dan remaja sekitar 13,5 gram/hari sampai 52
gram/hari 8,9
Absorpsi lemak
Proses digesti lemak dimulai di dalam lambung, terjadi emulsi butiran lemak yang selanjutnya
meningkat dengan adanya asam empedu dan aktifitas lipase pankreas di duodenum .
Sampai usia 6 bulan, kadar lipase pankreas dan asam empedu dalam lumen usus masih
rendah, sehingga sekitar 10-15% lemak tidak diabsorbsi. Kemampuan absorbsi lemak pada
bayi yang mendapat ASI lebih baik karena ASI mengandung lipase yang distimulasi oleh
garam empedu.3,10
Agregasi fosfolipid dan asam empedu menghasilkan micelles yang mempunyai permukaan
luas sehingga memungkinkan lipase pankreas atau lipase pada ASI bekerja lebih baik, yang
akan melepaskan ke-dua asam lemak pada ikatan terluar gliserol menjadi monogliserol yang
mudah diabsorbsi.Selanjutnya trigliserida akan dibentuk kembali dari monogliserida dan
dua asam lemak tadi dalam mukosa usus halus bagian atas. Kemudian, trigliserida rantai
panjang akan dilapisi oleh protein menjadi kilomikron dan masuk ke dalam sistim limfatik.
Asam lemak rantai sedang dan rantai pendek (2-10 atom karbon) dapat diabsorbsi secara
langsung dan masuk ke vena porta, sehingga digunakan pada diet untuk pasien dengan
malabsorpsi lemak. Semakin panjang rantai asam lemak, semakin lambat diabsorbsi dan
semakin tinggi kandungan kalori per gram lemak3,10,11
Kebutuhan lemak
Asam linoleat dan α-asam linolenat merupakan asam lemak esensial dan harus terdapat
dalam makanan bayi dan anak untuk pertumbuhan normal, pemeliharaan membran sel,
metabolisme lipid, dan sintesis prostaglandin, sehingga kedua asam lemak esensial tersebut
mutlak harus terdapat pada makanan bayi. Komite nutrisi AAP (The American Academy of
Pediatrics, Committee on Nutrition) merekomendasikan bahwa bayi harus mendapat asam
linoleat sedikitnya 3% dan asam linolenat 0,3 % dari total energi. Untuk bayi prematur,
Food and Nutrition Board Institute of Medicine menganjurkan asupan asam linoleat dan
asam linolenat lebih tinggi yaitu masing-masing 4-5% dan 0,5%. Hal ini karena adanya
pertumbuhan neurologik yang cepat pada bayi prematur. Badan ini juga menganjurkan
asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang n-3 dan n-6 masing-masing sebesar 0,5%
dan 0,25% dari energi.2,10
Tabel 6. Kecukupan n-3 dan n-6 PUFA untuk bayi, asam linoleat dan α-asam linolenat
untuk anak dan dewasa8
Simpulan
Makronutrien merupakan building blocks bagi seluruh jaringan tubuh agar dapat berfungsi
normal. Kecukupan asupan nutrien harus dipenuhi untuk pemeliharaan dan fungsi jaringan
tubuh. Selain untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi, beberapa komponen makronutrien
mempunyai manfaat unik dan spesifik dalam metabolisme dan peningkatan kesehatan
individu.
Daftar Pustaka
1. Teitelbaum JE, Roberts S. Macronutrient Requirements for Growth Carbohydrates. Dalam : Walker WA,
Watkins JB, Duggan C, penyunting. Nutrition in Pediatrics. Edisi 3. London: BC. Decker Inc, 2003: 67-72
2. Dietary Reference Intakes for energy, carbohydrates, fiber, fat, protein and aminoacids (macronutrients).
Washington(DC): Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, 2002.
3. Gupta D, Rolandelli L. Macronutrients. Dalam Rolandelli L, penyunting. Clinical Nutrition Enteral and
Tube Feeding. Edisi 4. Philadelphia: Elsevier Saunders,2005:115-125
4. Amtmana A, Blatt M.Regulation of Macronutrient Transport. New Phytologist 2009: 35-52
5. Riccardi G, Rivellese AA, Giacco R. Role of glycemic index and glycemic load in the healthy state, in
prediabetes, and in diabetes. Am J Clin Nutr 2008; 87: 269S-74S
6. Pi-Sunyer X. Do glycemic index, glycemic load, and fiber play a role in insulin sensitivity, disposition
index, and type 2 diabetes? Diabetes Care 2005;28:2978–9.
Pendahuluan
Perubahan pada dimensi tubuh mencerminkan keadaan kesehatan dan kesejahteraan
secara umum baik individu maupun populasi. Antropometri digunakan untuk mengukur
dan memperkirakan kesehatan dan kesintasan individu dan merupakan refleksi status sosial
dan ekonomi suatu populasi. Antropometri telah secara luas digunakan untuk mengukur
status nutrisi individu dan populasi, yang pada akhirrya dapat memprediksi individu atau
kelompok mana yang memerlukan intervensi nutrisi.
Definisi:
Antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh manusia dalam hal ini dimensi tulang,
otot dan jaringan lemak.1
Kegunaan antropometri
Di dalam klinik antropometri selain digunakan untuk menentukan status nutrisi anak,
dapat pula digunakan untuk memantau tumbuh kembang seorang anak. Disamping itu
oleh pengambil kebijakan pemeriksaan antropometri sering dikerjakan untuk menentukan
bagaimana status nutrisi di suatu daerah, khususnya untuk mengidentifikasi adanya gizi buruk
untuk selanjutnya digunakan untuk melakukan intervensi nutrisi. Pemeriksaan antropometri
juga digunakan untuk membuat revisi grafik pertumbuhan umumnya dilakukan setelah ada
data berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan lingkaran kepala (LK) yang baru. Pemeriksaan
antropometri juga dapat digunakan untuk memprediksi risiko penyakit, misalnya risiko
penyakit jantung koroner (PJK) pada individu obes dapat diprediksi dengan menghitung
indeks massa tubuh (IMT), makin besar IMT makin besar pula risiko untuk mendapat PJK.1
Pengukuran antropometri minimal pada anak umumnya meliputi pengukuran berat badan,
panjang atau tinggi badan , dan lingkar kepala (dari lahir sampai umur 3 tahun). Pengukuran
ini dilakukan berulang secara berkala untuk mengkaji pertumbuhan jangka pendek, jangka
panjang, dan status nutrisi. Untuk anak –anak dengan penyakit kronik, pengukuran lingkar
lengan atas (LILA) dan tebal lipatan kulit (TLK) merupakan bagian dari pengkajian untuk
menentukan lemak tubuh dan simpanan protein.1,2 Pemeriksaan yang lebih canggih seperti ,
dual – energy X-ray absorptiometry (DXA) dapat digunakan untuk mengkaji komposisi tubuh
(persen lemak tubuh, massa tubuh tanpa lemak, dan massa lemak) dan densitas mineral
Berat Badan
Berat badan merupakan penghitungan rerata dari status nutrisi secara umum yang memerlukan
data lain seperti umur, jenis kelamin, dan PB/TB untuk menginterpretasikan data tersebut
secara optimal. Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan digital atau timbangan
dacin. Sampai anak berumur kurang lebih 24 bulan atau dapat bekerjasama dan berdiri tanpa
dibantu di atas timbangan, penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan bayi.
Berat badan anak sebaiknya diukur dengan baju minimal atau tanpa baju dan tanpa popok
pada bayi. Sebelum menimbang seharusnya timbangan dikalibrasi dengan mengatur jarum
timbangan ke titik nol. Timbangan harus ditera minimal setahun sekali di Jawatan Metrologi
setempat atau ditera sendiri dengan anak timbangan yang sudah diketahui beratnya setidaknya
sebulan sekali dan setiap pemindahan timbangan. Berat badan dicatat dengan ketelitian
sampai 0,01 kg pada bayi dan 0,1 kg pada anak yang lebih besar.2,4,5
Gambar 4. Tabel z-score Lingkar Lengan Atas menurut umur (WHO 2006)
Gambar 6. Grafik persentil BB menurut umur dan TB menurut umur dari CDC 2000
Gambar 8. Grafik pertumbuhan janin-bayi untuk bayi prematur (dikutip dari Fenton, 2003)6
Pendahuluan
Dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan paripurna untuk seorang pasien, baik yang
dirawat inap maupun yang berobat jalan, diperlukan tiga jenis asuhan (care) yang biasanya
lebih dikenal sebagai pelayanan, yaitu:
1. Asuhan medik (medical care) dengan pemberian obat ataupun dengan tindakan
pembedahan
2. Asuhan keperawatan (nursing care) dengan berbagai kegiatan perawatan, dalam ruang
perawatan biasa maupun intensif, dan
3. Asuhan nutrisi (nutritional care) dengan pemberian zat gizi agar dapat memenuhi
kebutuhan pasien secara optimal atau dengan upaya yang sebaik-baiknya.
Ketiga jenis asuhan tersebut mempunyai peranan masing-masing, akan tetapi saling
berkaitan dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu perlu dilakukan secara serasi dan
terpadu. Selain itu masih perlu didukung oleh berbagai kegiatan pendukung antara lain ,
pengelolaan, administrasi, instalasi farmasi, dan lain-lain.1
Yang dimaksud dengan asuhan nutrisi tidak sepenuhnya sama dengan pelayanan
gizi (food service atau dietetic service) yang dilaksanakan oleh instalasi gizi di rumah sakit,
terutama karena berbeda dalam tujuan dan pelaksanaannya.1 Asuhan nutrisi bertujuan agar
setiap anak baik yang berobat jalan maupun yang dirawat dapat dipenuhi kebutuhan zat
gizinya secara optimal, atau upaya pemenuhan kebutuhan zat gizi dapat dilakukan dengan
sebaik-baiknya. Lebih luas lagi, mengingat sebagian besar anak datang ke fasilitas pelayanan
kesehatan untuk memantau tumbuh-kembangnya, maka asuhan nutrisi juga ditujukan
untuk deteksi dini serta mencegah terjadinya masalah gizi.
Untuk melaksanakan asuhan nutrisi, dilakukan dengan 5 kegiatan yang berurutan
dan berulang, dan memerlukan kerjasama dari tenaga profesional sekurangnya terdiri dari
dokter, perawat, ahli gizi dan ahli farmasi untuk:
a. membuat diagnosis masalah nutrisi
b. menentukan kebutuhan nutrisi (requirement)
c. memilih alternatif tentang cara pemberian zat gizi
d. memilih alternatif bentuk sediaan zat gizi
e. evaluasi/pengkajian respons
Growth indicators
Z -Score
Length / height for Age Weight for age Weight for length/height BMI for age
Notes :
1. A child in this range is very tall. Tallness is rarely a problem, unless it is so excessive that it may indicate an endocrine disorder
such as a growth hormone-producing tumor. Refer a child in this range for assessment if you suspect an endocrine disorder (e.g.
if parents of normal height have a child who is excessively tall for his or her age).
2. A child whose weight-for-age falls in this range may have a growth problem but this is better assessed from weight-for-length/
height or BMI-for-age
3. A plotted point above 1 shows possible risk. A trend towards the 2 z-score line shows definite risk.
4. It is possible for stunted or severely stunted child to become overweight.
5. This is referred to as very low weight in IMCI training modules (Integrated Management of Childhood Illness in-service training.
WHO, Geneva, 1997)
Gambar 2. Menentukan umur TB (height age) dan BB ideal (ideal weight for height age)
(dikutip dari Goldbloom FB 2003)2
1. Plot BB dan PB/TB aktual pada grafik BB menurut Umur dan Jenis Kelamin dan PB/
TB menurut Umur dan Jenis Kelamin
2. Tentukan height-age (umur tinggi badan) dengan menarik garis horizontal dari PB/TB aktual
sehingga memotong persentil 50th atau median grafik tersebut. Umur tempat titik potong
tersebut disebut sebagai height age yang berarti sebenarnya PB/TB anak tersebut ideal untuk
usia tersebut, Height age dapat lebih muda atau lebih tua daripada usia aktual.
Oleh karena itu untuk menentukan besarnya kebutuhan zat gizi tersebut diperlukan
pemeriksaan untuk membuat diagnosis gizi yang tidak selalu sederhana, dan memerlukan
kerja sama antar profesi, walaupun secara hukum, hak, wewenang dan tanggung jawab
dalam membuat diagnosis tetap berada pada dokter. Cara pelaksanaan asuhan nutrisi
berorientasi pada kebutuhan pasien. Besarnya kebutuhan zat gizi pada bayi dan anak dapat
diperhitungkan dengan berbagai rumus. Kecukupan atau adekuat tidaknya pemenuhan
kebutuhan dilihat kembali berdasarkan respons pasien.
Kebutuhan kalori/protein =
RDA (lihat Tabel 1) untuk umur TB (sesuai height-age)* X BB ideal**
* umur dimana TB saat ini berada pada persentil-50
** persentil-50 BB menurut height-age saat ini
Komponen kebutuhan energi terdiri dari empat komponen yaitu basal metabolic rate
(BMR), diet induced thermogenesis (DIT), aktivitas fisik dan tumbuh. Kebutuhan energi dapat
oleh status gizi, penyakit dasar, asupan serta keluaran energi , usia dan jenis kelaminb. Basal
metabolic rate (BMR) adalah sejumlah energi yang diperlukan untuk mempertahankan fungsi
vital tubuh tidak termasuk aktifitas dan pengolahan makanan. Diukur pada posisi berbaring
pada suhu lingkungan yang netral setelah puasa 12-18 jam, segera setelah bangun tidur sebelum
melakukan aktifitas. Dalam praktek sehari-hari, yang diukur biasanya resting energy expenditure
(REE) yang cara pengukurannya sama dengan BMR hanya saja tidak dilakukan segera setelah
bangun tidur. Perbedaan REE dengan BMR umumnya tidak lebih dari 10%. Keluaran energi
saat tidur yang merupakan komponen BMR adalah REE X 0.9. BMR dapat meningkat pada
keadaan tertentu misalnya peradangan, demam, penyakit kronik (misalnya jantung, paru, dll)
atau berkurang sebagai respons terhadap asupan energi yang rendah.
Perhitungan BMR dan REE dapat dilakukan dengan menggunakan kalorimeter indirek
atau pelbagai rumus perhitungan, yang paling sering digunakan adalah yaitu rumus WHO
(1985), Schofield (1985) and Harris Benedict (1919). Di antara ketiga rumus tersebut
Rumus Schofield WH terbukti yang paling akurat dalam memperkirakan REE dalam
keadaan failure to thrive.6
Tabel 2.1. Rumus Perhitungan REE dan BMR untuk anak usia 0 – 3 tahun.
Source Gender Equation
WHO Male REE – 60,9 x Wt – 54
Female REE – 61 x Wt – 51
Schofield (W) Male BMR – 59,48 x Wt – 30,33
Female BMR – 58,29 x Wt – 31,05
Schofield (WH) Male BMR -0,167 xWt + 1517,4 X Ht – 617,6
Female BMR – 16,25 x Wt + 1023,2 X Ht – 413,5
Harris-Benedict Male REE – 66,47 + 13,75 X Wt + 5,0 X Ht – 6,76 X age
Female REE – 655,10 + 9,56 X Wt +1,85 X Ht – 4,68 X age
*Wt – body weight in kilograms; Ht = Length in meters
(Dikutip dari Koletzko et al, 2005)6
Tabel 2.2. Rumus perhitungan REE dan BMR untuk anak usia 3 -1 0 tahun
Source Gender Equation
WHO Male REE – 22,7 x Wt + 495
Female REE – 22,4 x Wt + 499
Schofield (W) Male BMR – 22,7 x Wt + 505
Female BMR – 20,3 x Wt + 486
Schofield (WH) Male BMR – 19,6 xWt + 130,3 X Ht + 414,9
Female BMR – 16,97 x Wt + 161,8 X Ht + 371,2
Harris-Benedict Male REE – 66,47 + 13,75 X Wt + 5,0 X Ht – 6,76 X age
Female REE – 655,10 + 9,56 X Wt +1,85 X Ht – 4,68 X age
(Dikutip dari Koletzko et al, 2005)6
Setelah terdapat perbaikan klinis dan melewati fase kritis dari penyakitnya (setelah
hari ke 7-10), kebutuhan kalori serta protein perlu dinilai kembali menggunakan RDA
karena diperlukan untuk tumbuh kejar (catch-up growth).
Selain itu perlu diberikan suplementasi seng, besi, kalsium, fosfor dan vitamin. Potensial
RSL yang aman untuk bayi adalah ≤ 26 mOsm/100kkal formula, sedangkan batas atasnya
adalah 39 mOsm/100kkal formula, diatas batas tersebut bayi berisiko mengalami dehidrasi
hipernatremik.13
Gambar 4. Algoritma pemilihan jenis nutrisi enteral pada anak. (dimodifikasi dari Diamanti, 2010)14
Prinsip pemilihan cairan nutrisi parenteral terutama pada usia < 2 tahun sebaiknya
menggunakan larutan asam amino khusus anak [misalnya di Indonesia tersedia Aminofusin
Paed (Baxter), Aminosteril (Fresenius)] atau bayi [misalnya Primene 5% (Baxter),
Aminosteril Infant (Fresenius)].
Berdasarkan penelitian, neonatus yang mendapat cairan nutrisi parenteral untuk dewasa
mengalami peningkatan konsentrasi metionin, fenilalanin dan glisin disertai penurunan
konsentrasi tirosin, sistein dan taurin plasma dibandingkan dengan bayi yang mengonsumsi
ASI. Salah satu kelebihan cairan nutrisi parenteral yang didesain khusus untuk bayi dan
anak adalah mengandung asam amino yang conditionally esensial pada bayi dan anak seperti
Simpulan
Untuk mengoptimalkan tumbuh-kembang maka setiap anak dan remaja baik sehat maupun
sakit berhak mendapatkan pelayanan asuhan nutrisi (lima langkah yaitu menentukan
masalah gizi-menghitung kebutuhan zat gizi-menentukan cara pemberian makan-
menentukan jenis makanan-memantau akseptabilitas,efek samping serta efisiensi asuhan
nutrisi) yang tujuannya mendeteksi masalah gizi sedini mungkin sehingga dapat dicegah
atau ditatalaksana dengan segera.
Daftar Pustaka
1. Samsudin.Tanggung-jawab moral serta peran dokter dan profesi lain dalam upaya penanggulangan masalah
gizi klinis. Dalam: Samsudin, Nasar SS, Sjarif DR, penyunting. Naskah lengkap PKB- IKA XXXV. Masalah
gizi ganda dan tumbuh kembang anak.Jakarta: Bina Rupa Aksara; 1995. p. 167-77.
2. Goldbloom FB. Assessment of physical growth and nutrition. In: Goldbloom FB editor., Pediatric clinical
skills, 3rd Elsevier;2003 p 42-3.
3. de Onis M, Onyango AW, Borghi E, Siyam A, Nishida C, Siekmann J. Development of a WHO growth reference
for school-aged children and adolescents. Bulletin of the World Health Organization 2007;85:660-7.
4. Waterlow JC. Classification and Definition of Protein-Calorie Malnutrition. Br Med J. 1972;3(5826):566-9.
5. Ogden, CL. Flegal KM. Changes in terminology for childhood overweight and obesity. Natl Health Stat
Report: 2010:25: 1-5
Pendahuluan
Salah satu faktor penentu tumbuh kembang anak secara optimal adalah pemberian
nutrisi. Nutrisi yang adekuat dibutuhkan oleh setiap anak. Pertumbuhan yang adekuat
merupakan indikator penting dari status gizi anak. Setiap penyimpangan kecepatan
pertumbuhan harus segera dievaluasi dan diintervensi. Intervensi yang terlambat akan
berdampak semakin beratnya masalah gizi dan akhirnya akan mempengaruhi potensi
tumbuh kejar anak. Penting sekali memastikan bahwa setiap anak mendapatkan kalori
yang cukup untuk mendukung proses tumbuh kembangnya. Anak yang lebih muda
memerlukan lebih banyak zat gizi per unit berat badannya dibandingkan dengan anak
yang lebih tua. Secara alamiah, setiap manusia memenuhi kebutuhan akan zat gizi dengan
mengonsumsi makanan melalui mulut (oral). Beberapa kondisi tidak memungkinkan
terpenuhinya asupan zat gizi yang memadai melalui mulut. Hal ini dapat terjadi tanpa
atau dengan gangguan fungsi gastrointestinal. Alternatif dukungan nutrisi pada kondisi
ini adalah nutrisi enteral (NE).1-5
Respons metabolik
Setiap anak sakit akan mengalami perubahan metabolik apalagi bila anak tersebut
sakit kritis. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan pada energi yaitu
hipermetabolisme, serta peningkatan konsumsi oksigen dan glukoneogenesis. Pada
metabolisme karbohidrat akan terjadi hiperglikemia, peningkatan piruvat, laktat dan
resistensi insulin. Pada metabolisme protein dapat terjadi peningkatan katabolisme protein,
glukoneogenesis asam amino, produksi glutamine, dan mediator inflamasi. Sedangkan,
sintesis albumin dan hemoglobin mengalami penurunan. Pada metabolisme lemak akan
terjadi peningkatan lipolisis dan oksidasi trigliserida serta penurunan lipogenesis dan
benda keton.6
Pada anak dengan sakit kritis, saat fase akut dari stres metabolik berakhir, menurunnya
reaktan fase akut merupakan petanda dimulainya fase anabolisme, kemudian terjadi
penurunan protein dan nitrogen urin total, serta peningkatan konsentrasi protein viseral.
Hipoproteinemia yang terjadi dapat berakibat pada terlambatnya pengosongan lambung,
ileus berkepanjangan, peningkatan risiko terlambatnya proses penyembuhan luka, lambatnya
pembentukan kalus tulang, peningkatan risiko infeksi.6,7
Nutrisi Enteral 49
Kebutuhan metabolik basal perlu diperhatikan sesuai kondisi anak. Apabila kebutuhan
anak sehat diberikan pada anak dalam keadaan stres metabolik akut akan menyebabkan
terjadinya overfeeding. Agar tidak terjadi overfeeding, kebutuhan makan pada anak harus
disesuaikan dengan kondisi klinis anak. Komplikasi overfeeding dapat dibaca pada bab Bab
4. Prinsip Asuhan Nutrisi pada Anak.
Pemecahan protein8-10
Anak yang sedang sakit akan mengalami stres dengan akibat umum adalah terjadinya
anoreksia, asupan makan berkurang, kadang terjadi starvasi, dan peningkatan kadar hormon
antagonis insulin (glukagon, kortikosteroid, katekolamin dan growth hormone). Pemecahan
protein terus berlanjut dengan akibat pengurusan otot, termasuk otot-otot pernapasan dan
otot jantung dengan akibat terjadinya atelektasis, pneumonia, dekompensasio kordis dan
kematian. Pemecahan protein berakibat pada penurunan daya tahan tubuh, sehingga tubuh
semakin rentan terhadap sepsis.
Dampak starvasi8-10
Starvasi akan mengakibatkan terjadinya pembongkaran protein. Hal tersebut akan
berakibat pada terjadinya balans nitrogen yang negatif dan penurunan berat badan.
Keadaan lebih lanjut akan terjadi perubahan morfologi saluran cerna yaitu: penebalan
mukosa, proliferasi sel, vili-vili menjadi meninggi. Dampak berikutnya adalah perubahan
fungsí yaitu terjadinya peningkatan permeabilitas dinding usus dan penurunan absorpsi
asam amino. Semua keadaan tersebut diikuti oleh perubahan enzimatik dan hormonal
yang akan mengakibatkan terjadinya penurunan laktase.
Dampak pada imunitas selular akan mengakibatkan terjadinya penurunan sel T,
proliferasi mitogenik, dan diferensiasi. Dampak pada imunitas humoral akan mempengaruhi
komplemen, opsonin, Imunoglobulin, sIga. Akibat selanjutnya dari penurunan imunitas
adalah peningkatan translokasi bakteri.
Keuntungan pemberian NE
Nutrisi enteral merupakan pilihan utama bila pemberian oral tidak memungkinkan.
Bagaimanapun juga pemberian makanan lewat enteral adalah lebih baik dibandingkan
dengan pemberian makanan lewat parenteral. Beberapa keuntungan pemberian NE
adalah efek trofik pada vili intestinal, menurunkan translokasi bakteri, membantu
Gut-associated Lymphoid Tissue (GALT), mempromosikan sekresi sIgA dan fungsinya.8,9
Pemberian makanan lewat enteral dapat menjaga agar fungsi gastrointestinal bekerja
secara fisiologis. Cara kerja gastrointestinal dalam mengolah makanan yang masuk
secara enteral dapat dikatakan mendekati normal kecuali bahwa makanan tersebut
tidak melalui oral seperti jalan pengolahan makan secara normal seperti biasanya.
Pemberian NE dapat mencegah terjadinya gastropati yang diinduksi karena stres
maupun perdarahan gastrointestinal.11 Nutrien didalam lumen intestinal menstimuli
fungsi gastrointestinal dan membantu memelihara lingkungan intralumen melalui
sejumlah mekanisme kunci. Nutrien intralumen menstimuli fungsi neuroendokrin
gastrointestinal, mempengaruhi motilitas pencernaan melalui sekresi enzim dan hormon
gastrointestinal. Nutrien intralumen dan subtstrat lumen adalah esensial untuk adaptasi
perkembangan gastrointestinal.11 Perubahan struktur dan fungsi intestinal terjadi
melalui suatu interaksi nutrien dengan peptida neuroendokrin dan sitokin serta hormon
secara lokal maupun sistemik. Oleh sebab itu, traktus gastrointestinal mempertahankan
ekosistem melalui keseimbangan antara beberapa hal yaitu bakteri, nutrien, sistem
defens intestinal (luminal, mukosa, sistim imun submukosa). Sedangkan pemberian
nutrisi parenteral akan menyebabkan gastroinestinal tidak bekerja secara fisioplogis,
pemberiannyapun lebih repot karena melalui jalur intra vena, lebih mahal dan lebih
berisiko terhadap infeksi. Bahkan, dengan pemberian NE minimal (pemberian makan
trofik), pertumbuhan sel epitel intestinal, aktifitas enzim brush border, dan motilitas
akan meningkat.11 Sebuah penelitian multisenter menunjukkan bahwa penerapan
protokol pemberian NE pada pasien-pasien sesuai indikasi terbukti nenberikan dampak
terhadap outcome yang postitif.12
Nutrisi Enteral 51
Indikasi pemberian NE dan waktu pemberian
Secara umum, pasien yang membutuhkan pemberian nutrisi melalui enteral adalah
pasien yang tidak mampu mendapatkan kecukupan kalori secara oral tetapi fungsi usus
masih normal; yaitu pada pasien yang berat badannya meningkat secara tidak memadai,
pertumbuhan tidak adekuat, anak yang membutuhkan waktu makan yang lama, anak
yang kehilangan berat badan terus menerus, anak yang mengalami penurunan ratio berat/
umur atau berat/tinggi badan ataupun anak dengan masalah pada oral maupun lambung.5
Pada pasien dengan keadaan trauma berat, luka bakar dan status katabolisme, maka
pemberian NE sebaiknya sesegera mungkin dalam 24 jam. Kontra indikasi pemberian
NE adalah keadaan dimana saluran cerna tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya,
kelainan anatomi saluran cerna, iskemia saluran cerna, dan peritonitis berat.1 Pada pasien
dengan pembedahan, pemberian NE harus dikonfirmasikan dengan tanda munculnya
flatus. Motilitas usus halus kembali normal dalam waktu 6-8 jam, motilitas gaster kembali
normal mengikuti setelahnya yaitu dalam 24-48 jam. Jika gaster dapat didekompresi
sambil memberikan makan pasien langsung pada usus halus, NE dapat diberikan segera
setelah pembedahan.13 Pada prinsipnya, pemberian formula enteral dimulai dengan dosis
rendah dan ditingkatkan secara bertahap sampai mencapai dosis maksimum dalam waktu
seminggu.14 Makanan enteral yang telah disediakan sebaiknya dihabiskan dalam waktu
maksimal 4 jam, waktu selebihnya akan membahayakan karena kemungkinan makanan
tersebut telah terkontaminasi bakteri. Tabel 1 menunjukkan indikasi pemberian formula
enteral.
Nutrisi Enteral 53
Kontraindikasi pemberian formula enteral1
Nutrisi enteral tidak dapat diberikan bila traktus gastroinetinal secara anatomi maupun
fungsional gagal. Beberapa kondisi yang merupakan kontraindikasi pemberian NE adalah
sebagai berikut:
- Obstruksi gastrointestinal
- Ileus prolong
- Enterokolitis
- Fistula digestif
- Pankreatitis berat
- Iskemia intestinal
- Kondisi berat dari inflammatory bowl syndrome
NE di rumah17
Nutrisi enteral tidak hanya dipakai selama anak di rawat di rumah sakit saja, tetapi
pemberian makanan enteral tersebut dapat juga tetap dipakai selama anak tersebut di
rumah atau di luar rumah sakit. Pemakaian NE di rumah diperlukan bilamana pada anak
terdapat ketidak mampuan mendapatkan kecukupan makanan oral secara jangka waktu
yang lama atau adanya kegagalan fungsi intestinal yang kronis. Ketidak mampuan pasien
dalam mendapatkan makanan secara oral, dapat disebabkan karena gangguan neurologis
seperti palsi serebral, kejadian serebrovaskular, atau penyakit neuromuskular termasuk
penyakit neuromotor. Pada anak-anak dengan penyakit malignansi di daerah mulut,
Nutrisi Enteral 55
esofagus, atau konsekuensi penyakit lain seperti anak dengan gagal ginjal kronis, kelainan
jantung bawaan yang membutuhkan asupan makanan dalam jangka waktu yang lama juga
perlu mendaparkan makanan enteral di rumah Anak dengan kelainan metabolik tertentu
juga memerlukan pemberian makanan lewat enteral sepanjang waktu agar anak tidak jatuh
dalam kondisi krisis metabolik. NE di rumah juga diperlukan untuk pencapaian tumbuh
kejar pada anak dengan penyakit Chorn maupun fibrosis kistik. NE di rumah dapat diberikan
dengan tube nasogastrik, PEG atau jejunostomi. Pemberian melalui nasogastrik dipilih pada
pasien dengan kelainan sementara dari nutrisi oral yang membutuhkan tambahan nutrisi
dalam waktu singkat – (contoh: fribrosis kistik dan penyakit Chorn). PEG biasanya lebih
nyaman untuk pasien yang lebih tua dengan gangguan menelan permanen, terutama pada
pasien yang intoleransi terhadap tube nasogastrik. PEG merupakan pilihan pada pasien
dengan kesulitan menelan oleh karena penyakit serebrovaskular atau penyakit motor
neuron, dan mereka yang menderita keganasan dari kepala dan leher ataupun penyakit
metabolik tertentu.
Nutrisi Enteral 57
Komposisi formula enteral1,14,15
Makanan enteral sebaiknya mempunyai komposisi yang seimbang. Kalori non protein dari
sumber karbohidrat berkisar 50-70%; bisa merupakan polisakarida, disakardida mapun
monosakarida. Glukosa polimer merupakan karbohidrat yang lebih mudah diabsorpsi.
Sedangkan komposisi kalori non protein dari sumber lemak berkisar antara 30-40%; bisa
merupakan lemak bersumber dari Asam Lemak Esensial (ALE/EFA). Lemak ini mempunyai
konsentrasi kalori yang tinggi tetapi sifat abrsorpsinya buruk. Lemak MCT merupakan bentuk
lemak yang mudah diabsorpsi. Protein diberikan dalam bentuk polimerik (memerlukan
enzim pankreas) atau peptida. Protein whey terhidrolisis merupakan bentuk protein
yang lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk asam amino bebas. Pada formula juga perlu
ditambahkan serat; serat akan mengurangi risiko diare dan mengurangi risiko konstipasi,
memperlambat waktu transit makanan pada saluran cerna, merupakan kontrol glikemik
yang baik. Serat juga mempromosikan fermentasi di usus besar sehingga menghasilkan
SCFA (Short Chain Fatty Acid) yang merupakan faktor trofik. Energi pada SCFA tersedia
untuk memelihara integritas dinding usus.
Nutrisi Enteral 59
Pemberian NE pada keadaan khusus14,15,19
Pada anak dengan gangguan pernapasan (fungsi pulmo tidak adekuat), maka nutrisi yang
diberikan sebaiknya tinggi lemak (50%) serta rendah karbohidrat. Pada penyakit hepar,
sebaiknya menggunakan sumber protein tinggi BCAA, asam amino rendah aromatik.
Bila ada ensefalopati hepatik, protein sebaiknya diberikan <0.5 g/kgBB/hari. Pada pasien
dengan gangguan renal sebaiknya diberikan rendah protein, padat kalori, rendah PO4, K,
Mg. Pemberian protein dengan menggunakan patokan GFR sebagai berikut: GFR >25: 0.6-
0.7 g/kgBB/hari, bila GFR <25: 0.3 g/kgBB/hari.
Evaluasi respons1,15,19
Penilaian terhadap repons setelah pemberian makanan enteral mencakup respons jangka
pendek dan jangka panjang. Respons jangka pendek setelah pemberian makan melalui enteral
adalah daya terima terhadap makanan enteral, toleransi dan efek samping pada saluran cerna
misalnya terjadinya mual, muntah maupun diare. Pengecekan residu dapat sebagai petunjuk
toleransi terhadap makanan yang diberikan. Beberapa hari pertama setelah pemasangan pipa
enteral, pengecekan residu harus sering dilakukan melalui aspirasi residu..Apabila jumlah residu
melebihi 50% dari volume yang diberikan lewat bolus atau jumlahnya melebihi 2 kalinya dari
volume yang diberikan, maka pemberian makanan lewat enteral perlu ditinjau kembali. Yang
dimaksud dengan respons jangka panjang adalah penilaian derajat penyembuhan penyakit
primer yamg disertai dengan dampak tumbuh kembang anak.
Simpulan
Anak perlu mendapat nutrisi yang adekuat untuk mendukung proses tumbuh kembangnya.
Bila pemberian oral kurang memadai atau terdapat kontra indikasi, maka pemberian
makanan enteral merupakan pilihan utama selama usus masih berfungsi secara normal.
Pemilihan jenis makanan enteral bergantung pada kondisi pasien dan ketersediaan
formulanya. Semua pasien yang diberikan makanan enteral perlu diawasi dan dilakukan
evaluasi setelah pemberian makanan enteral. Evaluasi meliputi evaluasi jangka pendek
maupun jangka panjang.
Nutrisi Enteral 61
Daftar Pustaka
1. Marchand V. Enteral nutrition tube feding. Dalam: Baker SS, Baker RD, Davis AM, penyunting. Pedatric
nutrition support. Sudhury, Masachusetts: Jones and Barlett Publisher; 2007. h. 249-60.
2. Ekval SW. Nutritional assessment and early intervention. Dalam: Ekvall SW, penyunting. Pediatric nutrition
in chronic diseases and developmental disorders. New York: Oxford University Press 1993; 41-76.
3. Saurwein HP, Serlie MJ. Optimal nutrition and its potential effect on survival in critically ill patients. Neth
J Med. 2010;68(3):119-22.
4. Macarencas MR, Enriques L. What is pediatric nutrition support. Massachusetts: Jones and Barlett
Publisher; 2007. h. 123-34.
5. Baker SS. Enteral nutrition in pediatrics. Dalam: Rombeau JL, Rolandelli RH, penyunting. Clinical
nutrition: enteral and tube feeding. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Company; 1997. p. 349-67.
6. Javid PJ, Jaksic T. The Critical Ill Child.Walker WA, Watkins JB, Duggan C, penyunting. Nutrition in
Pediatrics. Basic Science and Clinical Applications. Edisi ke-3. London. BC Decker Inc, 2003; 790-8.
7. Mehta NM, Compher C, ASPEN Board of directors A.S.P.E.N. Clinical Guidelines: Nutrition Support of
the Critically III child. J Parenter Enteral Nutr. 2009;33:260-76.
8. Sentongo TA. Pediatric Nutritional Support. Dalam: Buchman AL, penyunting. Practical Nutritional
Support Techniques. Edisi ke-3. Chicago. Slack Inc. 2004; 71-99.
9. White MS, Shepherd RW, McEniery JA. Energi expenditure in 100 ventilated, critically ill children:
Improving the accuracy of predictive equations. Crit Care Med. 2000; 28:2307-12.
10. Long CL, Kinney JM, Geiger JW. Nonsupressability of gluconeogenesis by glucose in septic patients.
Metabolism 1976;25:193-201.
11. Le HD, Fallon EM, de Meijer VE, Malkan AD, Puder M, Gura KM. Innovative parenteral and
enteral nutrition therapy for intestinal failure. Semin Pediatr Surg. 2010:19(1):27.doi: 10.1053/j/
sempedsurg.2009.11.004.
12. Heylan DK, Cahill NE, Dhaliwal R, Sun X, Day AG, McClave SA. Impact of enteral feeding protocols
on enteral nutrition delivery: results of a multicenter observational study. JPEN J Parenter Enteral Nutr.
2010;34:675-84/.
13. Payne-James P. Enteral nutrition: tubes and techniques of delivery. Dalam: Payne- James J, Grimble G,
Silk, penyunting. Artificial nutrition support in clinical in clinical practice. London-Melbourne-Auckland
1995. h. 197-13.
14. Silk DBA. Enteral diet choices and formulations. Dalam: Payne- James J, Grimble G, Silk, penyunting.
Artificial nutrition support in clinical in clinical practice. London-Melbourne-Auckland 1995. h. 216-45.
15. Forchielli ML, Bines J. Enteral nutrition.Walker WA, Watkins JB, Duggan C, penyunting. Nutrition in
Pediatrics. Basic Science and Clinical Applications. Edisi ke-3. London. BC Decker Inc, 2003; 765-775.
16. Goulet O, Ricour C. Pediatric enteral nutrition. Dalam: Payne- James J, Grimble G, Silk, penyunting.
Artificial nutrition support in clinical in clinical practice. London-Melbourne-Auckland 1995. h. 257-209.
17. Pennington CR. Home enteral nutrition. Dalam: Payne- James J, Grimble G, Silk, penyunting. Artificial
nutrition support in clinical in clinical practice. London-Melbourne-Auckland 1995. h. 271--77.
18. Heberer M, Marx A. Complications of enteral nutrition. Dalam: Payne- James J, Grimble G, Silk,
penyunting. Artificial nutrition support in clinical in clinical practice. London-Melbourne-Auckland
1995. h. 247-255.
19. ASPEN Board of Directors and the Clinical Guidelines Task Forces. Guidelines for the use of parenteral
and enteral nutrition in adult and pediatric patient. JPEN (suplement). 2002;26(2):1SA-138SA.
Pendahuluan
Nutrisi parenteral (NP) adalah pemberian nutrien melalui jalur intravena, yang meliputi
pemberian air, asam amino, lemak, karbohidrat, elektrolit, vitamin, mineral, dan trace
elements. Cara pemberian ini termasuk dalam konteks dukungan nutrisi (nutrition support),
di samping nutrisi oral (NO) dan nutrisi enteral (NE).1
Nutrisi parenteral bagaikan pisau bermata dua, suatu saat dapat menyelamatkan
jiwa, di saat lain justru mengancam jiwa; bergantung pada kapan dan bagaimana
dilakukannya. NP yang dilakukan pada anak yang tidak terpenuhi kebutuhan
nutriennya dalam jangka waktu tertentu dapat mencegah terjadinya kematian akibat
malnutrisi, sebaliknya NP yang dilakukan tanpa memperhatikan aspek keselamatan
akibat komplikasi mekanis (misalnya berhubungan dengan pemasangan kateter)
maupun aspek kebutuhan nutrien (misalnya terjadinya hipofosfatemia) dapat menye
babkan kematian iatrogenik (death from iatrogenic causes). Berdasarkan hal tersebut,
keputusan memberikan NP harus benar-benar dipertimbangkan. Bagaimanapun, NO
maupun NE lebih baik daripada NP ditinjau dari berbagai segi: menjaga keinginan
untuk tetap mau makan, angka komplikasi yang lebih rendah, dan manfaat makanan
oral atau enteral untuk menjaga integritas mukosa usus sehingga menurunkan
risiko translokasi bakteria dan produknya menembus mukosa usus dengan segala
akibatnya. 2
Meta-analisis yang dilakukan oleh Brunschweig et al. (2001) menunjukkan bahwa
komplikasi NO maupun NE yang berupa semua jenis infeksi seperti sepsis, pneumonia,
abses dan sebagainya lebih rendah dibandingkan dengan NP. NE mempunyai risiko infeksi
lebih rendah dibandingkan dengan NP (RR = 0,66 95%CI 0,56; 0,79) sedangkan NO
mempunyai risiko infeksi lebih rendah dibandingkan dengan NP (RR = 0,77 95%CI 0,65;
0,91). Komplikasi teknis misalnya pneumotoraks, hemotoraks, perforasi jantung, malposisi
kateter, dan sebagainya serta komplikasi lain berupa gagal organ, reoperasi, dan sebagainya
tidak berbeda dengan NO atau NP. 3 Pemberian makanan tidak hanya dilakukan dengan satu
cara pada saat yang bersamaan, melainkan dengan cara kombinasi, misalnya NP diberikan
bersama-sama dengan NE atau NO. 4
Nutrisi Parenteral 63
Indikasi dan kontraindikasi
American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN) memberikan cara pemberian
makanan seperti tersebut dalam Tabel 1 berikut ini. 1
Tabel 1. Panduan pemberian makanan secara NO, NE, dan NP menurut American Society for
Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN)
1. NO atau NE merupakan cara yang dianjurkan untuk memberikan makanan atau melaksanakan dukungan
nutrisi
2. Anak yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrien secara NO atau NE perlu mendapatkan secara NP
3. NP hendaknya dimulai sejak hari pertama lahir pada neonatus dan dalam hari ke 5 sampai dengan ke 7
bilamana mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrien secara NO atau NE
4. NP hendaknya dilakukan pada neonatus dengan enterokolitis nekrotikans pada saat diagnosis ditegakkan
5. NP hendaknya dilakukan sedini mungkin setelah operasi anak dengan short bowel syndrome
6. NP hendaknya dilakukan pada anak dengan inflammatory bowel disease dengan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan bila diberikan NO atau NE
7. NP hendaknya dilakukan pada anak dengan intractable diarrhea dengan status gizi tidak normal dengan
pemberian NO atau NE
8. NP hendaknya diakukan pada anak dengan terapi extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) pada saat
hemodinamik telah tercapai
Indikasi
Pada prinsipnya NP diberikan bila anak tidak dapat terpenuhi kebutuhan nutriennya
dengan cara NO atau NE. Kondisi atau penyakit yang sering memerlukan NP dicantumkan
dalam Tabel 2 berikut ini. 1
Kontraindikasi
NP tidak boleh diberikan pada anak dengan fungsi saluran pencernaan yang baik dan dapat
menerima NO atau NE dengan baik. Pasien yang akan meninggal dunia (imminent death)
juga tidak seyogyanya diberikan NP. Bayi yang diperkirakan memerlukan NP kurang dari 3
hari tidak perlu diberikan NP. 1
Jenis NP
NP dapat dibedakan menurut beberapa faktor.
1. Berdasarkan kecukupan nutrien yang disediakan dibedakan:
a. NP total (total parenteral nutrition, TPN): bila semua kebutuhan nutrien dapat
diberikan melalui NP
b. NP parsial: bila hanya sebagian nutrien diberikan melalui NP, sedangkan lainnya
melalui NE atau NO (cara ini disebut dukungan nutrisi kombinasi)
Langkah-langkah melakukan NP
Setelah indikasi ditetapkan dengan benar, maka NP dapat dilakukan. Shulman & Phillips
(2007) memberikan panduan untuk melaksanakan NP dengan langkah-langkah sebagai
sebagai tertera dalam Tabel 3 berikut.2
Nutrisi Parenteral 65
Tabel 3. Langkah-langkah melaksanakan NP
1. Menentukan tujuan NP
2. Menentukan berat badan yang akan digunakan sebagai dasar menghitung kecukupan nutrien
3. Menentukan kebutuhan cairan
4. Menentukan kebutuhan energi
5. Menentukan kebutuhan nutrien makro (dextrose, asam amino, lemak)
6. Menentukan kebutuhan elektrolit
7. Menentukan kebutuhan vitamin
8. Menentukan osmolaritas cairan
9. Menentukan akses vena yang akan digunakan untuk memberikan NP
Contoh: anak sehat dengan berat badan 20 kg membutuhkan cairan = 1000 + 50 x 10 ml/
hari = 1500 ml/hari. Penambahan kebutuhan cairan karena demam = 2 x 12,5% = 25%
= 0,25 x 1500 ml = 375 ml/hari. Total kebutuhan cairan = (1500 + 375) ml/hari = 1875
ml/hari.
Keadaan tertentu memerlukan restriksi cairan, misalnya gagal ginjal, gagal jantung,
dan penyakit paru tertentu. Cairan selain NP harus diperhitungkan volumenya, misalnya
transfusi darah, bilasan dengan NaCl atau heparin, dan obat intravena.
Kebutuhan energi ini berlaku untuk anak sehat, sedangkan untuk anak sakit harus
disesuaikan. Contoh: seorang anak 5 tahun dirawat di bangsal dengan berat badan 20 kg
dalam keadaan demam dengan suhu badan 39°C. Kebutuhan energi dalam keadaan sehat
= 20 x 90 kcal/hari = 1800 kcal/hari. Penambahan karena demam = 2 x 12,5% = 25% =
0,25 x 1800 kcal/hari = 450 kcal/hari. Dengan demikian kebutuhan energi sehari = 1800
+ 450 kcal/hari = 2250 kcal/ hari.
Dextrose
Dextrose adalah sumber energi untuk NP dengan kandungan 3,4 kcal/g (bukan 4 kcal/g
sebagaimana karbohidrat oral atau enteral). Sebagai sumber energi, dextrose dapat
dipergunakan secara sendiri atau kombinasi dengan lemak. Ada beberapa masalah bila
dextrose digunakan sebagai sumber energi:
• Pemberian dextrose secara eksesif dapat menyebabkan perlemakan hepar, kenaikan
produksi CO2, peningkatan ekskresi katekolamin
• Mungkin timbul komplikasi sebagai berikut: hiperglikemia, hipoglikemia, dehidrasi
hiperosmolar, hipofosfatemia, dan defisiensi asam lemak esensial
• Dextrose sebagai sumber energi tunggal merupakan kontraindikasi pada: defisiensi
asam lemak esensial, overload cairan, diabetes mellitus yang sulit dikelola, insufisiensi
pernapasan dengan hiperkapnia
Nutrisi Parenteral 67
Bila nutrien diberikan secara terpisah, dextrose 25% - 30% dapat diberikan melalui
vena sentral, sedangkan bila melalui vena perifer diberikan dextrose 10%. Untuk mencegah
hiperglikemia, laju infus dextrose (dextrose/ glucose infusion rate) tidak boleh melebihi 5 mg/
kg/menit.
Asam amino
Konsentrasi standar asam amino dalam larutan NP berkisar antara 5% - 15%, dengan
komposisi asam amino esensial 40% - 50% dan asam amino non esensial antara 50% - 60%.
Asam amino mengandung 4 kcal/g. Untuk keefektifan penggunaan asam amino, larutan
NP harus cukup mengandung energi berasal dari dextrose atau lemak, karena kekurangan
energi menyebabkan asam amino dipecah menjadi energi.
Glutamin
Glutamin merupakan asam amino bebas terbanyak yang ada dalam tubuh, terutama
otot. Glutamin berperan sebagai prekursor sintesis protein dan substansi intermediar
proses metabolisme. Glutamin adalah asam amino non esensial yang berperan pada
metabolisme usus pada sistem imun mukosa, dan asam amino ini dikenal sebagai
’conditionally essential’ terutama pada stres katabolisme. Glutamin tidak termasuk
komponen standar dalam NP, dengan penambahan glutamin terbukti memperbaiki
populasi sel B dan T serta limfosit T di lamina propria, meningkatkan produksi
interleukin (IL-4 dan IL-10), dan meningkatkan kekebalan yang dimediasi oleh
IgA. Kecuali itu glutamin mencegah penurunan produksi mukus dan peningkatan
permeabilitas mukosa akibat pemberian NP. Dengan demikian penambahan glutamin
menurunkan risiko sepsis. 6
Lipid
Karena dextrose yang digunakan dibatasi osmolalitasnya, maka lipid bermanfaat sebagai
sumber energi. Pemberian lipid mencegah tromboflebitis akibat osmolalitas yang tinggi
tetapi memberikan cukup banyak energi. Osmolalitas lipid sekitar 300 mOsm/l, sehingga
relatif isotonik.
Pada umumnya 40% - 60% kalori berasal dari dextrose (glukose) dengan infusion
rate 6 – 14 mg/kg/hari. Dextrose dapat ditingkatkan secara bertahap pada pasien-
pasien bayi prematur, malnutrisi (hati-hati), sepsis, atau anak dengan kondisi kritis.
Cairan lemak digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dan mencegah defisiensi
asam lemak esensial. Pemberian lemak bergantung pada kondisi anak. Bayi prematur
dan anak dengan diabetes, malnutrisi, sepsis, gangguan fungsi hepar dan ginjal, dan
anak dengan kondisi gawat darurat mempunyai risiko gangguan clearance lemak
sehingga mudah menderita hipertrigliseridemia, sehingga memerlukan pemantauan
ketat bila lemak diberikan dengan konsentrasi tinggi. Steroid bersifat lipolitik
sehingga meningkatkan kadar trigliserid darah. Pada umumnya anak memerlukan
energi asal lemak sebanyak 20% - 40% dari total energi yang dibutuhkan. Bilamana
anak disuplai energi asal lemak lebih dari 75% - 80%, dapat terjadi ketosis. Lemak
Nutrisi Parenteral 69
Tabel 7. Kebutuhan vitamin parenteral pada bayi dan anak
Bayi dan anak
Vitamin (sehari) Bayi prematur
(rekomendasi NAG-AMA)
A (µg) 500 700
C (mg) 25 80
D (IU) 160 400
E (mg) 2,8 7
K (µg) 80 200
Thiamin (mg) 0,35 1,2
Riboflavin (mg) 0,15 1,4
Niacin (mg) 6,8 17
Pyridoxine (mg) 0,18 1
Folate ((µg) 56 140
B12 ((µg) 0,3 1
Pantothenic acid (mg) 2,0 5
Biotin (µg) 6 20
NAG-AMA = the Nutrition Advisory Group – American Medical Association
Nutrisi Parenteral 71
5. Pemberian antibiotik jangka waktu lama, yaitu lebih dari 3 – 6 minggu, misalnya untuk
penyakit infeksi jantung, tulang, dan sebagainya
6. Anak dengan penyakit kritis yang memerlukan pemantauan tekanan vena sentral atau
pembuluh kapiler paru
Kecuali itu akses ini dilakukan bila larutan mempunyai osmolaritas > 700 mOsm/l. Ada
beberapa cara pemasangan vena sentral, yaitu: 2
• Peripherally inserted central venous catheter (PICC): kateter dimasukkan ke dalam
vena perifer (biasanya v. basilica), kemudian ujung kateter dimasukkan sampai vena
sentral (v. cava inferior atau v. cava superior). Lama pemberian 4-6 minggu. Ujung
kateter dapat lepas bila tidak dijahit ke kulit. Tersedia lumen tunggal atau ganda.
• Nontunneled (nonimplanted): kateter dipasang dengan pembedahan. Lama pemberian
> 1 bulan. Tersedia lumen tunggal, ganda, atau tripel. Tidak direkomendasikan untuk
pemberian di rumah.
• Tunneled (implanted): kateter dipasang dengan pembedahan. Lama pemberian > 1
bulan. Tersedia lumen tunggal, ganda, atau tripel. Direkomendasikan untuk pemberian
di rumah dalam jangka panjang.
• Totally implanted venous access system (TIVAS) atau port: kateter dipasang dengan
pembedahan. Lama pemberian > 1 bulan. Tersedia lumen tunggal, atau ganda. Tidak
direkomendasikan untuk pemberian secara continuous parenteral nutrition infusion. Pada
pemasangan kateter melalui vena sentral, ujung kateter hendaknya berada pada atau
di dekat ujung atrium kanan. Diperlukan pemeriksaan radiologis untuk memastikan
hal ini. Bila anak mengalami pertumbuhan, letak ujung kateter dapat dipantau dengan
pemeriksaan dada secara radiologis pula.
Bila NP diberikan secara sentral atau TNP, nutrien dapat diberikan sepenuhnya dengan
cara ini. Rumah sakit yang mempunyai fasilitas pembuatan NP sendiri dapat merancang
NP secara individual sesuai dengan kebutuhan masing-masing penderita. Langkah-langkah
yang ditempuh untuk merancang nutrien yang diberikan sebagai berikut. 7
Langkah 1
Menentukan kebutuhan energi sehari dengan perhitungan yang lazim dipakai, misalnya
dengan menggunakan Tabel 4 di atas. Misalnya anak memerlukan 2250 kcal/hari.
Langkah 2
Mengalikan kcal dengan nutrien makro (karbohidrat, protein, dan lemak) yang
diinginkan.
Contoh: Anak tersebut di atas membutuhkan nutrien makro sebagai berikut:
• Karbohidrat sebanyak 55% = 0,55 x 2250 kcal/hari = 1240 kcal/hari
• Protein sebanyak 20% = 0,2 x 2250 kcal/hari = 450 kcal/hari
• Lemak sebanyak 25% = 0,25% x 2250 kcal/hari = 560 kcal/hari
Langkah 4
Menentukan volume nutrien makro sesuai dengan berat (g) sebagai berikut:
• Dextrose 70% = 365 : 0,7 = 520 ml
• Asam amino 15% = 112,5 : 0,15 = 750 ml
• Lemak 20% = 280 ml
Langkah 5
Menjumlah cairan sehari sebagai berikut:
Total cairan sehari = (520 + 750 + 280) ml = 1550 ml
Untuk mencapai kebutuhan sehari 1875 ml/hari, dapat ditambahkan air steril sebanyak
(1875 – 1760) ml = 115 ml.
Cara pemberian
Berdasarkan jumlah botol yang digunakan, NP dibedakan menjadi cara dengan multiple
container system dan all-in-one system (3-in-1 system). 7
Nutrisi Parenteral 73
Keuntungan cara ini ialah:
• Dapat dilakukan langsung, karena tersedia atau tidak perlu dibuat terlebih dulu
• Formula dapat diubah sewaktu-waktu bila kondisi pasien juga berubah
• Biaya dapat diperkirakan langsung, karena masing-masing sudah ada harganya
NPT harus mengandung semua komponen yang diperlukan pasien. Karena cairan NPT
bersifat individual, maka harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
• Perubahan metabolisme akibat penyakit
• Status nutrien: defisit atau kelebihan serta intoleransi (hiper/hipokalemia, hiper/
hipoglikemia, dan sebagainya)
• Kebutuhan untuk meningkatkan nutrien tertentu karena secara farmakologis
bermanfaat (glutamin, n-3 fatty acids, antioksidan)
Pemantauan
NP memerlukan pemantauan yang baik, karena pemberian makanan dengan cara ini
tidak melalui pengaturan oleh usus dan hepar sehingga tidak melalui proses seleksi
absorpsi, detoksifikasi dan metabolisme nutrien yang lazim sehingga kemungkinan
terjadi kelebihan atau toksisitas meningkat. Panduan pemantauan NP tersebut dalam
Tabel 8. 2
Nutrisi Parenteral 75
Perubahan dari NP ke NE
Anak dengan NP bila kondisinya sudah stabil memungkinkan untuk mendapatkan makanan
secara enteral atau oral. Pada masa transisi ini NP diberikan secara siklik. Keuntungan cara
siklik ini kecuali memberikan waktu lebih banyak kepada anak untuk melakukan aktivitas
sehari-hari, juga mencegah terjadinya hiperinsulinisme dengan akibat penimbunan lemak
di hepar dan juga meningkatkan lipogenesis di hepar. Kecuali itu terjadi defisiensi asam
lemak esensial, karena insulin menghambat penglepasan asam lemak bebas dari jaringan
lemak. Pada anak di bawah 3 tahun, cara siklik juga mencegah terjadinya hipoglikemia bila
secara tiba-tiba cairan dengan konsentrasi dextrose tinggi dihentikan, sehingga diperlukan
pemantauan kadar glukose darah bila dextrose konsentrasi tinggi dihentikan. Untuk
mencegah hipoglikemia, NP dikurangi separuh tetesan awal dalam satu jam, kemudian
seperempat dari tetesan awal dalam jam kedua, setelah itu NP dihentikan. 4
Daftar p ustaka
1. Macarenhas MR, Enriques L. What is pediatric nutrition support? Dalam: Baker SS, Baker RD, Davis AM,
penyunting. Pediatric nutrition support, h. 123-34, Sudbury Massachusetts, Jones and Bartlett Publishers,
2007.
2. Shulman RJ, Phillips S. Parenteral nutrition indications, administration and monitoring. Dalam: Baker SS,
Baker RD, Davis AM, penyunting: Pediatric nutrition support, h. 273-86, Sudbury Massachusetts, Jones
and Bartlett Publishers, 2007.
3. Brunschweig CL, Levy P, Sheean PM, Wang X. Enteral compared with parenteral nutrition: a meta-
analysis. Am J Clin Nutr 2001;74:534-42.
4. Davis AM. Transitional and combining feeding. Dalam: Baker SS, Baker RD, Davis AM, penyunting:
Pediatric nutrition support, h. 261-72, Sudbury Massachusetts, Jones and Bartlett Publishers, 2007.
5. Thomas MP, Udall Jr, JN. Parenteral fluids and electrolytes. Dalam: Baker SS, Baker RD, Davis AM
penyunting: Pediatric nutrition support, h. 287-98, Sudbury Massachusetts, Jones and Bartlett Publishers,
2007.
6. Rhee SJ, Ogra PL, Walker WA. Mucosal immunity. Dalam: Baker SS, Baker RD, Davis AM, penyunting:
Pediatric nutrition support, h. 29-43, Sudbury Massachusetts, Jones and Bartlett Publishers, 2007.
7. Escallón J, Correia I, de Paula JA, Echenique M, Lamache LI, Rugeles S, Santillana M, Savino P, Waitzberg
DL. Total nutrition therapy, version 2.0. FELANPE Education Committee, Abbott Laboratories, 2003.
8. Chang IF, Sorof TA, Nguyen NYT. Pharmacy considerations in pediatric parenteral nutrition. In: Baker
SS, Baker RD, Davis AM, penyunting: Pediatric nutrition support, h. 347-58, Sudbury Massachusetts,
Jones and Bartlett Publishers, 2007.
9. Othersen Jr. HB, Glenn JB, Chessman KH, Tagge EP. Central venous catheters in parenteral nutrition.
Dalam: Baker SS, Baker RD, Davis AM, penyunting: Pediatric nutrition support, h. 331-46, Sudbury
Massachusetts, Jones and Bartlett Publishers, 2007.
Pendahuluan
Menyusui merupakan proses fisiologis untuk memberikan nutrisi kepada bayi secara optimal.
Air Susu Ibu (ASI) merupakan nutrisi ideal untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan,
perkembangan bayi secara optimal. ASI mengandung lemak, karbohidrat, protein, nutrien
mikro dan antibodi dalam jumlah yang tepat untuk pencernaan, perkembangan otak dan
pertumbuhan bayi. Bayi yang mendapat susu formula mungkin saja lebih gemuk dibandingkan
bayi yang mendapat ASI, tetapi belum tentu lebih sehat. Bayi dianjurkan untuk disusui
secara eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan dan pemberian ASI dilanjutkan dengan
didampingi makanan pendamping ASI, idealnya selama dua tahun pertama kehidupan
Menyusu eksklusif selama 6 bulan terbukti memberikan risiko yang lebih kecil terhadap
berbagai penyakit infeksi dan penyakit lainnya di kemudian hari.1, 2
Inisiasi menyusu dini (IMD) dalam 30 menit pertama kelahiran merupakan salah
satu dari 10 langkah menuju keberhasilan menyusui. Inisiasi menyusu dalam satu jam
pertama pasca lahir menurunkan 22% risiko kematian bayi usia 0-28 hari. Sebaliknya
penundaan inisiasi meningkatkan risiko kematian. Kehangatan saat menyusu menurunkan
risiko kematian karena hipotermi. Ibu dan bayi merasa lebih tenang, sehingga membantu
pernafasan dan detak jantung bayi lebih stabil. Antibodi dalam ASI penting demi ketahanan
terhadap infeksi sehingga menjamin kelangsungan hidup sang bayi. Bayi memperoleh ASI
yang tidak menyebabkan alergi. Bayi yang menyusu dini akan lebih berhasil menyusu ASI
eksklusif dan mempertahankan menyusu setelah 6 bulan. Sentuhan, kuluman dan jilatan
bayi pada putting ibu akan merangsang keluarnya hormon oksitosin yang penting karena
hormon ini mengurangi perdarahan pasca persalinan dan mempercepat pengecilan uterus.
Yang terpenting dalam inisiasi menyusui dini adalah memberikan kontak kulit-ke-kulit
antara ibu dan bayi selama mungkin (minimal 1 jam) tanpa diganggu sehingga mengurangi
risiko hipotermi, membantu bayi mengambil bakteri baik dari kulit ibu dan meningkatkan
produksi hormon oksitosin.3, 4
Komposisi ASI
Komposisi ASI tidak selalu sama, disesuaikan dengan kebutuhan bayi setiap saat. Komposisi
ASI akan bervariasi tergantung usia bayi, sehingga ada yang disebut kolostrum, ASI
peralihan, dan ASI matur. Komposisi ASI juga bervariasi dari awal hingga akhir menyusui.
Oksitosin diproduksi lebih cepat daripada prolaktin. Oksitosin dapat mulai berfungsi
sebelum bayi menyusu, bila ibu memikirkan untuk menyusui. Gambar di atas memperlihatkan
faktor-faktor yang meningkatkan dan menurunkan produksi oksitosin. Tanda dan perasaan
bahwa refleks oksitoksin berjalan adalah :
• Ibu mungkin merasa ada perasaam memeras dan menggelitik dalam payudara sesaat,
sebelum dan sesudah menyusui.
• ASI mengalir dari payudara bila ia memikirkan bayinya atau mendengar tangis bayi.
• ASI menetes pada payudara sebelah ketika bayinya mengisap / menetek.
• ASI memancar halus ketika bayi menghentikan menetek di tengah menyusui
• Nyeri karena kontraksi rahim, kadang dengan aliran darah ketika menyusui dalam
minggu pertama.
• Isapan dan menelan yang pelan dan dalam oleh bayi yang menunjukkan ASI mengalir
ke dalam mulutnya.10, 13
Gambar 4. Posisi menyusui yang benar (kiri) dan yang salah (kanan).13
Gambar 5. Volume ASI pada minggu pertama kelahiran. Tampak volume ASI pada hari-1 sekitar 60-
80 ml/hari, tetapi akan meningkat pesat menjadi 600 ml/hari pada hari ke-4 setelah melahirkan. Bayi
mempunyai cadangan sampai 3 hari pertama, sehingga volume yang sedikit pada hari ke-1 dan ke-2
setelah lahir tidak menjadi masalah bagi bayi. (Sumber Neville 1991)17
Produksi ASI akan menyesuaikan kebutuhan bayi, oleh karenanya sangat dianjurkan
untuk menyusui secara on-demand, artinya sesuai dengan keinginan bayi. Suatu penelitian
di Rusia dengan memberikan 4 perlakuan berbeda pada bayi baru lahir memperlihatkan
hasil seperti pada gambar 2. Kelompok I bayi dilakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) 25-
120 menit setelah lahir dan skin-to-skin contact, bayi tidak memakai baju, dan setelah itu
dilakukan rawat gabung, bayi dan ibu dalam 1 kamar sehingga bayi menyusui sesuka bayi
(on-demand). Kelompok II dilakukan IMD 25-120 menit setelah melahirkan tetapi bayi
sudah dibungkus selimut sesuai kebiasaan tradisional di Rusia, selanjutnya dilakukan rawat
gabung. Kelompok III tidak dilakukan IMD dan tidak dilakukan rawat gabung. Kelompok
IV tidak dilakukan IMD tetapi dilakukan rawat gabung. Tampak bahwa rerata volume
ASI terbanyak adalah pada kelompok IMD skin-to-skin contact dan dilakukan rawat gabung
Gambar 6. Perbedaan volume ASI pada hari ke-4 pada primipara (ibu yang melahirkan
pertama kali) dan multipara (ibu yang melahirkan anak ke-2 atau lebih) pada 4 kelompok
perlakuan yang berbeda. Kelompok I Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dengan skin-to-skin contact;
Kelompok II IMD tanpa skin-to-skin contact; Kelompok III Tidak dilakukan IMD dan room-in;
Kelompok IV Tidak dilakukan IMD tetapi room-in.18
Rerata volume ASI pada ibu yang menyusui bayi usia 1 – 6 bulan secara eksklusif dan
on demand mendapatkan hasil sebagai berikut : 19
1. Bayi menyusu 10 – 12 kali dalam sehari
2. Rata-rata produksi ASI adalah 800 ml / hari
3. Produksi ASI setiap kali menyusui adalah 90 ml / kali, yang dihasilkan 2 payudara.
4. Pada umumnya bayi akan menyusu pada payudara pertama sebanyak 75 ml dan
dilanjutkan 50 ml pada payudara kedua.
5. Menyusui malam hari
Selama 3 bulan pertama, bayi yang mendapat ASI eksklusif akan kembali ke berat
badan lahir paling tidak pada usia 2 minggu, dan tumbuh sesuai atau bahkan di atas grafik
sampai usia 3 bulan Penurunan berat badan bayi selama 2 minggu pertama kehidupan tidak
boleh melebihi 10%.20 Bayi yang lahir dengan berat badan rendah lebih lambat kembali ke
berat badan lahir semula, dibandingkan bayi dengan berat badan lahir normal. Untuk lebih
jelas dapat diikuti dengan kurva Dancis.21
Perilaku bayi menyusu tidak dapat dijadikan patokan bahwa bayi mendapat cukup ASI.
Beberapa bayi menyusu dengan cepat, tetapi bayi lain menyusu dengan diselingi
istirahat/ tidur. Beberapa pola menyusu bayi normal adalah :12
1. Barracudas adalah tipe menyusu dengan tangan bayi memegang puting dan kemudian
menyusu secara kuat selama 10-20 menit.
2. Excited ineffectives (ketidak efektifan yang berlebihan) dimana bayi ingin sekali secara
aktif untuk menyusu dengan puting yang dikeluarkan dan dimasukkan secara berulang-
ulang ke dalam mulut, dan kemudian menangis apabila ASI tidak keluar.
3. Procrastinators adalah tipe bayi yang menunggu sampai ASI keluar dan kemudian mulai
menyusu dengan baik.
4. Gourmerts adalah bayi yang menjilat dan merasakan ASI yang menetes terlebih dahulu
sebelum benar-benar melekat pada puting. Apabila bayi dipaksa untuk cepat-cepat
menyusu, maka bayi justru menolak.
5. Resters adalah tipe yang lebih suka menyusu beberapa menit kemudian berhenti
beberapa menit sehingga membutuhkan waktu menyusu yang lama.
Kontraindikasi menyusui
Indikasi mutlak bagi bayi untuk mendapatkan ASI adalah bayi yang menderita kelainan
metabolik bawaan (KMB) galaktosemia klasik dan maple syrup urine disease (MSUD).
Adapun bayi yang menderita phenylketonuria (PKU) boleh mendapatkan ASI dengan
pengawasan yang sangat ketat terhadap kadar fenilalanin dalam darah.
Ibu dengan HIV positif sebaiknya tidak menyusui bila terdapat susu pengganti ASI
yang memenuhi syarat AFASS (acceptable, feasible, affordable, sustainable dan safe). Menyusui
bukan merupakan kontraindikasi bagi ibu dengan infeksi HIV, walaupun diduga bahwa
puting lecet atau berdarah dapat meningkatkan risiko penularan.
Sedangkan kontraindikasi sementara pada seorang ibu untuk memberikan ASI
adalah ibu yang menderita herpes simpleks tipe-1 di daerah payudara, mendapat
pengobatan psikotropika, opioid, iodium, dan kemoterapi. Sedangkan ibu yang
menderita mastitis, abses payudara, hepatitis B, hepatitis C, dan tuberkulosis boleh
memberikan ASI.26
Sebelum melahirkan ibu sudah harus merencanakan pemberian ASI eksklusif dengan
langkah:
- Komunikasikan rencana untuk menyusui setelah melahirkan dengan atasan atau
pemilik perusahaan tentang : lama cuti melahirkan,
- waktu istirahat makan siang atau waktu lain untuk memeras ASI,
- tempat yang memadai untuk memeras ASI sekaligus menyimpannya (misal almari
es),
- kemungkinan untuk bekerja sebagai tenaga penuh, paruh waktu, atau dimungkinkan
untuk tetap bekerja di rumah,
- pelajari aturan tentang menyusui pada ibu bekerja.
Bayi prematur
ASI dari ibu yang melahirkan bayi prematur berbeda dengan ASI dari ibu yang melahirkan
bayi cukup bulan. Hal ini disebabkan karena ASI komposisi ASI secara dinamis berubah
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi baru lahir. Selain itu ASI bayi prematur ternyata
mengandung lebih banyak sistein, taurin, lipase yang meningkatkan absorbsi lemak,
asam lemak tak jenuh rantai panjang, nukleotida dan gangliosida. Kandungan gizi ASI
bayi prematur lebih tinggi dibandingkan dengan bayi matur (cukup bulan) sehingga
pertumbuhan bayi prematur pada awalnya seringkali cukup baik. Komposisi ASI bayi
prematur akan berubah menjadi serupa ASI bayi matur dalam waktu 3-4 minggu, namun
pada saat itu masa kehamilan bayi juga sudah cukup bulan sehingga ASInya sesuai dengan
kebutuhan.31,32
Hepatitis B33,34
Ibu dengan HbsAg positif tetap boleh memberikan ASI. Sesuai dengan rekomendasi
WHO, bayi sebaiknya mendapatkan HBIg (Hepatitis B Imunoglobulin) 0,5 ml dan
imunisasi Hepatitis B yang pertama dengan dosis 0,5 ml yang diberikan sebelum 12 jam
setelah lahir.
Makanan/minuman sebagai pengganti ASI apabila anak tidak mendapatkan ASI eksklusif
1. Untuk bayi kurang dari 6 bulan :
- susu formula dengan syarat AFASS terpenuhi dan memenuhi prosedur pembuatan
susu formula dengan benar.
- ASI perah yang dipanaskan 63oC
2. Untuk bayi lebih dari 6 bulan
- susu formula dengan syarat AFASS terpenuhi dan memenuhi prosedur pembuatan
susu formula dengan benar.
- Susu binatang dengan dipikirkan pemberian suplementasi mikronutrien. Untuk
anak kurang dari 12 bulan susu binatang harus direbus dulu.
- Pemberian MPASI yang adekuat 4 – 5 kali sehari.
Sebagai tambahan, pemberian ARV pada ibu yang memutuskan untuk menghentikan
menyusui harus tetap dilanjutkansampai 1 minggu setelah pemberian ASI benar-benar
dihentikan. Selain itu konseling menyusui tetap harus diberikan untuk menghindari muatan
virus yang berlebihan pada ASI seperti pada keadaan mastitis atau mastitis subklinis.
Simpulan
- ASI adalah nutrisi terbaik untuk bayi karena mengandung zat gizi dalam jumlah yang
tepat dan zat kekebalan yang dibutuhkan bayi. Kendala pemberian ASI eksklusif
terutama disebabkan karena kurangnya pemahaman ibu maupun ketrampilan petugas
kesehatan tentang kecukupan ASI terutama pada minggu pertama menyusui. Ibu,
keluarga dan petugas kesehatan harus memahami tanda kecukupan ASI dan masalah
menyusui yang mungkin timbul pada minggu pertama.
- Pada usia 4 minggu bayi pada umumnya sudah bisa menyusu dengan mantap, sehingga
pemberian ASI eksklusif baik secara langsung maupun dengan sendok/cangkir/botol
terutama pada ibu bekerja atau pada saat bayi tidak bersama ibunya, sudah tidak
mengganggu proses menyusui. Tetapi tetap harus diingat bahwa proses menyusui
memerlukan peran hormon prolaktin dan oksitoksin yang banyak dipengaruhi antara
lain oleh hisapan pada puting ibu, pengosongan payudara dan emosi oleh ibu. Sehingga
untuk menjaga keberhasilan menyusui, semua proses tersebut harus berjalan dengan
baik.
- Pada keadaan khusus seperti bayi prematur, bayi kembar dan ibu dalam keadaan sakit
dan memerlukan pengobatan, telah ada pedoman-pedoman tertentu yang sebaya
dipatuhi.
Daftar pustaka
1. Butte NF, Lopez-Alarcon MG, Garza C, editors. Nutrient adequacy of exclusive breastfeeding for term
infant during the first six months of life. Geneva: WHO; 2002.
2. Fewtrell MS, MorganJB, Duggan C, Gunnlaugsson G, Hibberd PL, Lucas A, et al. Optimal duration
of exclusive breastfeeding: what is the evidence to support current recommendations? Am J Clin Nutr
2007;85(suppl):635S-8S.
3. Edmond KM, Zandoh C, Quigley MA, Amenga-Etego S, Owusu-Agyei S, Kirkwood BR. Delayed
breastfeeding initiation increases risk of neonatal mortality. Pediatrics. 2006;117:380-6.
Pendahuluan
Masa transisi kehidupan seorang manusia dimulai saat lahir. Selama dirahim ibu, janin
mendapatkan makanan 24 jam non stop secara pasif melalui plasenta. Begitu dilahirkan,
maka bayi harus beradaptasi dalam segala hal termasuk makan. Keterbatasan kemampuan
oromotor, imaturitas oragan-organ tubuhnya termasuk sistem pencernaan, sistem imunitas
dan ginjal menyebabkan jenis makanan yang dapat dikonsumsi oleh bayi menjadi khusus.
Pada awal kehidupan sesuai dengan kemampuan oromotor yang dikuasai bayi yaitu isap-
telan maka makanan yang tepat adalah berbentuk cair dengan komposisi zat-zat gizi yang
cukup, seimbang serta aman untuk sistem tubuhnya yang imatur. Oleh karena itu secara
alamiah ASI adalah makanan tunggal terbaik yang spesifik untuk spesies tertentu. Untuk
menjamin hak setiap bayi mendapatkan ASI, maka Undang-Undang Kesehatan Republik
Indonesia nomer 36 tahun 2009 pasal 128 mencantumkan pernyataan bahwa ” Setiap bayi
berhak mendapat air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama enam bulan kecuali atas
indikasi medis. Selama pemberian ASI, pihak keluarga, pemerintah daerah, dan masyarakat
harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus,
Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat
kerja dan tempat sarana umum.1 Pada Pasal 200 dikatakan bahwa ” Setiap orang yang
dengan sengaja menghalangi program pemberian ASI eksklusif sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak
seratus juta rupiah.2
Meskipun demikian disadari bahwa terdapat beberapa keadaan medis khusus yang
tidak memungkinkan bayi mendapatkan ASI seperti yang dicantumkan oleh WHO dan
UNICEF (2009) sebagai Acceptable Medical Reasons for Breast-Milk Substitutes..Alasan
medis tersebut dapat disebabkan oleh kondisi bayi atau kondisi ibu. Kondisi bayi tersebut
adalah bayi yang menderita inborn errors of metabolism (kelainan metabolisme bawaan =
KMB) yang tidak dapat mengonsumsi ASI maupun susu formula bayi standard jadi harus
mengonsumsi susu formula khusus antara galaktosemia klasik yang membutuhkan formula
bebas galaktosa, bayi dengan penyakit maple syrup urine yang membutuhkan formula bebas
asam amino rantai cabang (branch chain amino-acids) yaitu leusin, isoleusin dan valin, dan
bayi yang menderita fenilketonuria yang membutuhkan formula bebas fenilalanin. Selain
itu pada beberapa kondisi, ASI yang diperoleh bayi dari ibunya secara ilmiah sudah terbukti
1. Tidak boleh mengiklanan produk susu formula di dalam pelayanan kesehatan ataupun
terhadap masyarakat.
2. Pabrik dan distributor tidak boleh secara langsung maupun tidak langsung memberiksan
contoh produk kepada ibu hamil, ibu menyusui atau anggota keluarga.
3. Pabrik dan distributor tidak boleh secara langsung maupun tidak langsung memberikan
hadiah yang dapat meningkatkan penggunakan susu formula.
4. Staf pemasaran tidak boleh mengadakan kontak baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan ibu hamil, ibu dari bayi atau balita terkait dengan pemasaran susu
formula.
5. Fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat tidak boleh digunakan untuk tujuan promosi
susu formula
6. Tidak boleh memajang poster atau barang promosi sejenisnya di fasilitas pelayanan
kesehatan masyarakat
7. Pemberian susu formula hanya boleh dilakukan oleh petugas kesehatan berdasarkan
indikasi.Selain itu perlu juga dijelaskan tentang risiko bila digunakan dengan tidak
tepat.
8. Donasi atau penjualan dengan harga murah terhadap institusi atau organisasi
diperkenankan, bila bayi tersebut memang harus menggunakan susu formula.
9. Bila donasi tersebut dilakukan di luar institusi, maka institusi atau organisasi
tersebut harus memastikan suplai yang berkesinambungan selama bayi tersebut
membutuhkannya.
10. Pekerja kesehatan harus selalu mengutamakan penggunaan ASI.
11. Informasi produk harus dibatasi pada masalah-masalah ilmiah dan faktual dan informasi
yang diberikan tersebut tidak boleh menimbulkan pendapat bahwa susu formula sama
baik atau lebih baik daripada ASI.
12. Untuk mempromosikan susu tersebut, pabrik susu atau distributornya tidak boleh
menawarkan uang atau barang terhadap petugas kesehatan atau keluarganya.
13. Contoh susu formula atau produk lainnya, tidak boleh diberikan kepada petugas
kesehatan, kecuali bila diperlukan untuk evaluasi professional atau untuk penelitian.
Petugas kesehatan tidak boleh memberikan contoh tersebut kepada wanita hamil, ibu
dari bayi atau balita dan anggota keluarga mereka.
14. Pabrik susu dan distributornya harus memberitahukan institusi yang menerima
kontribusi dari mereka, dan pernyataan yang sama harus dibuat oleh si penerima
15. Pelabelan harus didesain untuk memberi informasi yang cukup tentang produk indikasi
serta cara pembuatannya dan tidak mengunggulkan susu formula dibandingkan dengan
ASI
16. Kualitas susu formula harus memenuhi rekomendasi Codex Alimentarius Commission
dan juga Codex Code of Hygienic Practice for Foods untuk bayi dan batita.
Mempersiapkan
Mempersiapkan susu
susu formula
formula8 8
Langkah 1
Bersihkan dan desinfeksi alas / meja yang akan digunakan untuk
menyiapkan susu formula
Langkah 2
Cuci tangan dengan sabun dan air dan sabun dan keringkan dengan
handuk sekali pakai (disposable)
Langkah 3
Masak air sampai mendidih dan keluar gelembung udara. Bila
menggunakan ketel otomatis, tunggu sampai ketel mati sendiri.
Langkah 4
Baca instruksi pada kaleng / kotak susu, berapa jumlah air dan susu
yang diperlukan. Terlalu banyak / sedikit susu akan menyebabkan
bayi sakit.
Langkah 5
Tuangkan air mendidih secara hati-hati ke dalam botol susu yang
sudah disterilkan. Suhu air tidak boleh < 700 C jadi jangan diamkan103
Susu Formula Bayi dan Peraturan Terkait
Langkah 7
Kocok atau putar pelan-pelan botol tersebut sehingga susu
tercampur merata dalam bentuk larutan
Langkah 8
Segera dinginkan susu cair di bawah air mengalir atau mangkok
berisi air dingin. Pastikan tinggi air tidak melebihi bibir botol.
Langkah 9
Keringkan botol dengan kain bersih atau disposable.
Langkah 10
Teteskan susu ke tangan. Pastikan susu tidak terlalu panas. Apabila
terlalu panas, dinginkan kembali.
Langkah 11
Minumkan susu kepada bayi
Langkah 12
Buang sisa susu yang tidak diminum dalam waktu 2 jam.
Protein
Faktor konversi nitrogen
Berbagai protein makanan mengandung jumlah nitrogen yang berbeda pula, namun FAO/
WHO menggunakan faktor 6,25 untuk seluruh laporan kebutuhan dan kualitas protein
mereka berdasarkan kandungan nitrogen sebesar 16% dari seluruh campuran protein.
Perlu diingat saat memilih faktor konversi nitrogen untuk formula bayi, perlu untuk
mempertimbangkan berbagai faktor konversi dari berbagai protein dan fraksi protein di
susu sapi.
Tabel 2. Kandungan asam amino yang harus ada di dalam susu formula
Kandungan protein susu formula yang berasal dari protein susu sapi
Untuk menjamin jumlah minimum nitrogen dari asam amino yang dibutuhkan pada sintesis
protein, maka disarankan susu formula mengandung protein sebesar 1,8 sampai 2g/100kkal.
Kandungan protein susu formula tidak boleh melebihi 3g/100kkal.
Lemak
Total lemak
Kandungan lemak yang disarankan sebesar 4,4-6,0g/100kkal yang seimbang dengan 40-
54% dari kandungan energi yang terdapat dalam ASI.
Asam erucat
Hingga saat ini tidak didapatkan manfaatnya pada bayi. Penelitian pada hewan menunjukkan
potensi gangguan pada miokard. IEG menyarankan kandungan asam erucat tidak melebihi
1% dari total kandungan lemak.
Karbohidrat
Karbohidrat total
Karbohidrat merupakan sumber energi yang penting pada bayi. Dengan mempertimbangkan
kebutuhan glukosa untuk oksidasi sistem saraf pusat dan meminimalkan pengaruh
glukoneogenesis, jumlah minimum dari karbohidrat total yang disarankan adalah 9
g/100kkal. Kandungan karbohidrat maksimal yang disarankan adalah sebesar 14 g/100kkal
atau sekitar 56% dari kebutuhan energi.
Laktosa
Karbohidrat utama yang dapat dicerna dalam ASI adalah laktosa. Ia memberikan sekitar
40% dari kebutuhan energi. Laktosa dianggap memberikan efek yang menguntungkan
untuk fisiologi usus, termasuk efek prebiotik, melunakkan faeces dan mempermudah
absorpsi air, natrium, dan kalsium, karenanya IEG menganggap penting untuk memasukkan
laktosa dalam susu formula, namun efek-efek yang menguntungkan tersebut sebagian
dapat juga disebabkan oleh komponen lain dalam susu formula. Mengingat hal tersebut,
tidak ada batas maksimum dan minimum yang dapat ditentukan berdasarkan data-data
ilmiah.
Glukosa
Selama pemanasan formula, glukosa dapat bereaksi tanpa melalui prosedur enzimatik dengan
protein untuk membentuk Maillard. Penambahan glukosa ke dalam formula bayi juga
akan meningkatkan osmolalitas. Penambahan 1 g glukosa ke dalam 100 mL formula akan
meningkatkan osmolalitas 58 mOsm/kg. Karenanya tidak dianjurkan untuk menambahkan
glukosa ke dalam formula.
Pati
Mengingat bayi memiliki kemampuan untuk mencerna pati dan untuk beberapa alasan
teknis, IEG menyarankan penambahan pati hingga 30% dari total karbohidrat atau hingga
2 g/100mL.
Vitamin
Vitamin larut lemak
Vitamin A,E,D dan K yang larut lemak disimpan dalam jaringan lemak tubuh. Asupan
dalam jumlah besar selama periode waktu yang panjang dapat menyebabkan akumulasi
vitamin tersebut dan mengakibatkan efek-efek yang tak diinginkan.
1. Vitamin A
Nilai asupan rujukan dan batas atas yang dapat ditoleransi adalah 60 -
180µgRE/100kkal (retinol equivalent, 1 µgRE = 3,33 IU vitamin A = 1 µg all-
trans retinol). Karena ekuivalensi relatif dari β-karoten dan retinol bayi tidak
diketahui, kandungan vitamin A pada formula bayi harus diberikan dalam bentuk
retinol atau retinil ester, sedangkan karotenoid tidak boleh dimasukkan dalam
perhitungan.
2. Vitamin D
Tidak ada data pasti yang membandingkan aktifitas biologis dari vitamin D3
dan D2 dalam makanan bayi. Karenanya masih disarankan untuk menggunakan
vitamin D3 dalam formula bayi. Kandungan vitamin D3 yang disarankan adalah 1 -
2,5µg/100kkal.
3. Vitamin E
Formula bayi harus mengandung 0,5 – 5 mg α-TE/100kkal (α-tokoferol ekuivalen, 1
mg α-TE= 1 mg d-α-tokoferol) dan tidak kurang dari 0,5 mg/g asam linoleat. Karena
kebutuhan vitamin E dilaporkan meningkatkan jumlah ikatan ganda yang ada dalam
suplai asam lemak dalam makanan, faktor ekuivalensi berikut ini harus digunakan untuk
menyesuaikan jumlah kandungan vitamin E minimal dalam komposisi asam lemak :
0,5 mg α-TE/g asam linoleat (18:2n-6), 0,75 mg α-TE /α-asam linoleat (18:3n-3), 1,0
mg α-TE/g asam arakidonat, 1,25 mg α-TE/g asam eikosapentanoat (20:5n-3), dan 1,5
mg α-TE/g asam dokosaheksanoat (22:6n-3).
4. Vitamin K
Asupan yang dianjurkan 4 - 10µg/hari. Kandungan vitamin K dari formula bayi yang
ada saat ini biasanya lebih dari 4µg/100kkal, memberikan perlindungan terhadap
defisiensi vitamin K dan kemungkinan perdarahan, dan dapat memberikan level yang
Zat-zat lain
Kolin
Kandungan minimum yang direkomendasikan adalah sebesar 7 mg/100kkal. Karena
tidak terdapat efek samping untuk asupan kolin yang lebih tinggi, disarankan kandungan
maksimum sebesar 50mg/100kkal. Ini ditujukan untuk menyesuaikan dengan batas
maksimum kandungan fosfolipis sebesar 300 mg/100kkal dengan pertimbangan sebagian
besar fosfolipid diberikan dalam bentuk fosfatidil kolin.
Mio-inositol
Daftar pustaka
1. Undang-Undang Republik Indonesia nomer 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 128
2. Undang-Undang Republik Indonesia nomer 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 200
Pendahuluan
Dengan berkembangnya pengetahuan dalam bidang kedokteran khususnya tentang
hal-hal yang terkait pemberian makan kepada bayi (fisiologi saluran cerna, ginjal,
perkembangan oromotor serta aspek psikologis bayi) maka tatacara pelaksanaan
pemberian makan kepada bayi pun ikut berubah. Di tahun 1960-an makanan padat
sudah mulai diberikan pada usia 2-3 bulan berupa buah dan biskuit, dilanjutkan
bubur susu pada usia 4 bulan dan nasi tim pada usia 6 bulan1. Pada tahun 1995 WHO
menganjurkan pemberian ASI saja selama 4 bulan pertama dan makanan pendamping
ASI (MP-ASI) mulai diberikan pada usia 4-6 bulan2. Pada tahun 2001, World Health
Assembly (WHA) menetapkan ASI eksklusif selama 6 bulan penuh dan sejak itu
pemberian MP-ASI dimulai saat bayi berusia 6 bulan3,4.
1. Berikan ASI eksklusif sejak lahir sampai usia 6 bualan, selanjutnya tambahkan MP-ASI mulai usia 6 bulan
(180 hari) sementara ASI diteruskan.
2. Lanjutkan ASI on demand sampai usia 2 tahun atau lebih
3. Lakukan ‘responsive feeding’ dengan menerapkan prinsip asuhan psikososial
4. Terapkan perilaku hidup bersih dan higienis serta penanganan makanan yang baik dan tepat
5. Mulai pemberian MP-ASI pada usia 6 bulan dengan jumlah sedikit, bertahap dinaikkan sesuai usia bayi,
sementara ASI tetap sering diberikan
6. Bertahap konsistensi dan variasi ditambah sesuai kebutuhan dan kemampuan bayi
7. Frekuensi pemberian MP-ASI semakin sering sejalan dengan bertambahnya usia bayi
8. Berikan variasi makanan yang kaya akan nutrien untuk memastikan bahwa seluruh kebutuhan nutrient
terpenuhi
9. Gunakan MP-ASI yang diperkaya vitamin-mineral atau berikan preparat vitamin-mineral bila perlu
10. Tambahkan asupan cairan saat anak sakit, termasuk lebih sering menyusu, dan dorong anak untuk makan
makanan lunak dan yang disukainya. Setelah sembuh, beri makan lebih sering dan dorong anak untuk
makan lebih banyak
Persyaratan MP-ASI
Pada GSIYCF dinyatakan bahwa MP-ASI harus memenuhi syarat berikut ini :
1. Tepat waktu (Timely): MP-ASI mulai diberikan saat kebutuhan energi dan nutrien
melebihi yang didapat dari ASI
2. Adekuat (Adequate) : MP-ASI harus mengandung cukup energi, protein dan
mikronutrien
3. Aman (Safe) : Penyimpanan, penyiapan dan sewaktu diberikan, MP-ASI harus
higienis
4. Tepat cara pemberian (Properly) : MP-ASI diberikan sejalan dengan tanda lapar dan
nafsu makan yang ditunjukkan bayi serta frekuensi dan cara pemberiannya sesuai
dengan usia bayi.
Gambar 2. Jumlah nutrien (RNI, % ) yang harus dipenuhi dari MP-ASI pada bayi usia 9-11 bulan
(karena tidak terdapat pada ASI)
Sumber : K Dewey, Ped Clin N Amer 2001.
Pemberian MP-ASI yang tidak tepat waktu, terlalu dini diberikan (kurang dari 4 bulan)
ataupun terlambat (sesudah usia 7 bulan) dapat mengakibatkan hal-hal yang merugikan
seperti tampak pada tabel 3.
Bayi akan menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya siap untuk menerima makanan
selain ASI. Sebaiknya setiap petugas kesehatan dan para ibu atau pengasuh bayi mampu
mengenali tanda tersebut agar dapat memberikan MP-ASI tepat waktu dan sesuai dengan
perkembangan keterampilan makannya.
1. Kesiapan fisik:
• refleks ekstrusi telah sangat berkurang atau sudah menghilang
• keterampilan oromotor :
- dari hanya mampu menghisap dan menelan yang cair menjadi menelan
makanan yang lebih kental dan padat
- memindahkan makanan dari bagian depan ke bagian belakang mulut
• mampu menahan kepala tetap tegak
• duduk tanpa/hanya dengan sedikit bantuan dan mampu menjaga keseimbangan
badan
ketika tangannya meraih benda di dekatnya
2. Kesiapan psikologis:
Bayi akan memperlihatkan perilaku makan lanjut :
• dari reflektif ke imitatif
• lebih mandiri dan eksploratif
• pada usia 6 bulan bayi mampu menunjukkan:
- keinginan makan dengan cara membuka mulutnya
- rasa lapar dengan memajukan tubuhnya ke depan / ke arah makanan
- tidak berminat atau kenyang dengan menarik tubuh ke belakang / menjauh
Dalam proses pemberian MP-ASI secara bertahap sejalan usia bayi, penting untuk
membantu bayi agar kelak mampu makan mandiri dengan cara :
- memberi makanan yang dapat dipegang sendiri (finger foods)
- memberi minum dari cangkir mulai usia 6-8 bln
- membiarkan bayi memegang sendiri cangkir / botol susu
- membuat jadual makan sedemikian rupa sehingga terjadi rasa lapar dan kenyang secara
teratur
• ‘Tes makanan’ pertama kali : Bubur tepung beras yang diperkaya zat besi merupakan
makanan yang dianjurkan sebagai makanan pertama yang diberikan kepada bayi.
Dapat ditambahkan ASI atau susu formula yang biasa diminumnya setelah bubur
dimasak.
• Sebaiknya diberikan mulai 1-2 sendok teh saja dulu, sesudah bayi minum sejumlah
ASI atau formula, kecuali bila selalu menolak maka diberikan sebelumnya. Selanjutnya
jumlah makanan ditambah bertahap sampai jumlah yang sesuai atau yang dapat
dihabiskan bayi.
Makanan Keluarga
Pada usia 1 tahun, setiap bayi seyogyanya sudah dapat menerima makanan keluarga walaupun
masih dalam bentuk lunak dengan bumbu yang tidak pedas dan tidak merangsang. Tetapi
pada umumnya, kemampuan untuk menerima makanan keluarga ini tercapai pada usia 2-3
tahun. Karena kapasitas lambungnya masih terbatas (kira-kira 30 gram makanan/kg berat
badan) atau sekitar 249 ml (6-8 bulan), 285 ml (9-11 bulan) dan 345 ml (12-23 bulan)4
maka makanan sebaiknya diberikan dalam porsi yang sesuai, dengan frekuensi lebih sering
yang terbagi atas makan utama (pagi, siang dan malam) serta makan selingan di antaranya,
disertai ASI atau susu 2-3 kali sehari.
Pedoman pemberian makan terdapat pada tabel 6 yang merupakan rangkuman tatacara
pemberian MP-ASI mulai dari tekstur, konsistensi, frekuensi dan jumlah per kali makan
sesuai golongan umur.
Simpulan
Pemberian MP-ASI pada saat yang tepat dengan tatacara yang benar akan sangat
bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan nutrisi dan tumbuh-kembang bayi serta
Daftar Pustaka
1. Kumpulan Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Makanan Bayi. Hal
353-391 dan 387-389 (1968)
2. WHO (1995). The World Health Organization’s Infant Feeding Recommendation. WHO Weekly
Epidemiological Reports 17:117-220
3. WHO (2004). Guiding principles for complementary feeding for the breastfed child.
4. WHO (2005). Guiding Principles for Feeding Non-breastfed Children 6 - 24 Months of Age
5. WHO (2009). Infant and young child feeding. Model chapter for textbooks for medical students and allied
health professionals.
6. USDA (2009). Infant Nutrition and Feeding. A guide for use in the WIC and CSF programmes.
7. WHO (1998). Complementary Feeding of Young Children in developing Countries. A review of curent
scientific knowledge, hal 3-4
8. WHO/FAO, 2002. Global Strategy for Infant and Young Child Feeding
9. European Commission.2006. Infant and young child feeding : standard recommendations for European
Union.
10. K Dewey. Ped Clin N Amer 2001;48:87
11. Greer FR, Sichrerer SH, Burks AW, the Committee on Nutrition and Section on Allergy and Immunology.
Effects of Early Nutritional Interventions on the Development of Atopic Disease in Infants and Children:
The Role of Maternal Dietary Restriction, Breastfeeding, Timing of Introduction of Complementary
Foods, and Hydrolyzed Formula. Pediatrics 2008;121(1):183-191
12. AAP (2010) . Starting solids.
13. Chatoor I. Diagnosis and treatment of feeding disorders, in infant, toddlers, and young children.
Washington DC : Zero to three; 2009.
Pendahuluan
Malnutrisi masih merupakan masalah kesehatan utama di negara sedang berkembang, dan melatar
belakangi (underlying factor) lebih dari 50% kematian balita.1 Sekitar 9% anak di Sub Sahara, dan
15% di Asia Selatan terancam menderita gizi kurang dan buruk, dan sekitar 2% anak yang tinggal
di negara sedang berkembang terancam menderita severe acute malnutrition (SAM) atau Manutrisi
akut berat (MAB). Di India terdapat sekitar 2,8% balita sangat kurus. Sementara di negara
yang lebih miskin seperti Malawi, MAB merupakan alasan utama balita dirawat di rumah sakit
1
. Sementara itu penderita dengan malnutrisi derajat sedang jumlahnya lebih besar lagi dengan
potensi sebagian diantaranya akan jatuh ke gizi buruk, sekalipun di daerah tersebut sudah terdapat
”jaring pengaman” atau ”safety nets” yang merupakan program pencegahan. Anak-anak tersebut
memerlukan terapi, yang dilakukan bersamaan dengan tindakan pencegahan.2
Severe acute malnutrition atau manutrisi akut berat (MAB), atau disebut juga gizi buruk
akut, adalah keadaan dimana seseorang anak tampak sangat kurus, ditandai dengan BB/PB
< - 3 SD dari median WHO child growth standard, atau didapatkan edema nutrisional, dan
pada anak umur 5-59 bulan Lingkar Lengan Atas (LLA) < 110 mm.3
Masalah besar dalam menangani penderita gizi buruk adalah belum ditemukannya strategi
yang efektif dalam skala yang luas untuk mencegah kematian karena gizi buruk.2 Semula WHO
menganjurkan tatalaksana penderita gizi buruk dengan rawat inap di rumah sakit (RS) dalam
jangka waktu setidaknya satu bulan.4 Keterbatasan tatalaksana berbasis perawatan di RS ini
sangat banyak. Rumah sakit tidak mungkin dapat merawat penderita gizi buruk dalam jumlah
besar karena keterbatasan kapasitas, sarana dan tenaga yang trampil.2 Perawatan di RS bersama
dengan penderita penyakit lain akan memudahkan penularan -karena daya tahan tubuh
penderita gizi buruk rendah - sehingga justru akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
2,5
Hal itu mungkin yang menyebabkan angka kematian penderita gizi buruk masih sekitar
20-30%.1 Selain itu RS juga terbatas cakupannya untuk menangani penderita yang berasal
dari daerah yang jauh jaraknya. Tinggal di RS dalam waktu lama akan merepotkan keluarga
dan mengganggu kegiatan atau pekerjaan orangtua terutama ibu, apalagi jika penghasilan
ibu sangat penting bagi kebutuhan keluarga.2 Oleh karena itu memperkenalkan terapi nutrisi
berbasis komunitas merupakan hal penting dalam penanggulangan masalah MAB.
WHO dan Unicef menggunakan cut-off BB/PB < -3SD median standard rujukan
WHO (WHO child growth standard) atau WHO/NCHS, dengan alasan : (1) anak di bawah
cut-off tersebut mempunyai risiko lebih tinggi dibanding anak yang berada di atasnya; (2)
jika anak tersebut mendapat terapi diet, akan mengalami peningkatan BB yang lebih cepat,
sehingga akan mempercepat penyembuhan; dan (3) tidak ada risiko atau pengaruh negatif
pemberian terapi makan pada kelompok anak ini.3
Malnutrisi
Akut Berat
Dengan Tanpa
komplikasi komplikasi
1. Edema pitting bilateral LILA < 115 mm LILA antara 115 - < 125 mm
derajat 3 (edema berat)
ATAU
2. LILA < 115 mm dan edema ATAU DAN : tidak ada edema pitting
pitting bilateral derajat 1 - 2
(marasmik kwashiorkor)
ATAU
3. LILA < 115 mm ATAU Edema pitting bilateral derajat DAN
edema pitting bilateral 1 - 2 dengan LILA ≥ 115 mm - Nafsu makan
derajat 1- 2 DAN - Klinis stabil
DAN ditambah 1 komplikasi - Nafsu makan baik - Sadar
berikut : - Secara klinis baik
- Anoreksia - Sadar Pemberian suplemen
- Pneumonia berat Pasien dirawat jalan makanan
- Anemia berat Outpatient Therapeutic
- Demam tinggi Program ( OTP )
- Dehidrasi berat
- Letargis
- Hipotermia
- Hipoglikemia
Pasien dirawat inap
Protokol WHO
Gambar 1. Tatalaksana malnutrisi akut berat yang digunakan pada program CTC (modifikasi dari Sumber:
Community-based Therapeutic Care. A Field Manual. U.K, Oxford: Valid International; 2006).
Tabel 1. Sepuluh langkah tatalaksana MAB dan perkiraan waktu setiap fase (4,8)
Fase
Langkah Stabilisasi Rehabilitasi Tindak lanjut
Hari 1-2 Hari 3-7 Minggu 2-6 Minggu 7-26
1. Hipoglikemia
2. Hipotermia
3. Dehidrasi
4. Elektrolit
5. Infeksi
6. Mikronutrient Tanpa + Fe
7. Pemberian makanan Fe
8. Tumbuh-kejar
9. Stimulasi sensoris
10. Persiapan tindak lanjut di rumah
Monitor:
• Kadar gula darah : setelah 2 jam, ulangi pemeriksaan kadar gula darah (menggunakan
darah dari jari atau tumit). Selama terapi, umumnya anak akan stabil dalam 30 menit.
Bila gula darah masih rendah ulangi pemberian 50 ml bolus glukosa 10% atau larutan
sukrosa, kemudian lanjutkan pemberian makan F-75 setiap 2 jam hingga anak stabil
• Suhu rektal : jika turun hingga < 35,5 °C, ulang pengukuran kadar gula darah
• Tingkat kesadaran : bila belum pulih, ulang pengukuran kadar gula darah sambil
mencari penyebabnya.
Pencegahan:
• Berikan makanan F-75 setiap 2 jam, mulai secara langsung (lihat langkah 7) atau bila
perlu lakukan rehidrasi terlebih dahulu
• Selalu berikan makanan pada malam hari
Bila pengukuran kadar glukosa darah tidak dapat dilakukan, anggaplah semua
anakdengan malnutrisi berat mengalami hipoglikemia dan lakukan penanganan.
Pencegahan :
• Berikan makanan setiap dua jam, langsung dimulai pemberian makan (lihat langkah
7)
• Selalu berikan makanan (F75 atau F100), baik siang maupun malam hari
• Tetap tutupi anak dan hindari paparan langsung dengan udara (contoh : mandi,
pemeriksaan fisik yang terlalu lama)
• Jaga agar anak tetap kering, segera ganti popok, pakaian dan alas tempat tidur anak
bila basah
• Hindari paparan langsung dengan udara (contoh : mandi, pemeriksaan fisik yang
terlalu lama)
• Biarkan anak tidur dengan ibu/pengasuh pada malam hari agar kehangatan tetap
terjaga
Catatan :
Bila termometer suhu untuk mengukur suhu rendah tidak tersedia dan suhu tubuh
anak terlalu rendah untuk tercatat pada termometer, anggaplah bahwa anak mengalami
hipotermia
Terapi :
Larutan gula-garam standar untuk rehidrasi oral (75 mmol Na/L) mengandung terlalu
banyak Natrium dan terlalu sedikit K bagi anak malnutrisi berat. Oleh karena itu diberikan
larutan rehidrasi khusus yaitu rehydration solution for malnutrition (ReSoMal, resep ReSoMal
dapat dilihat pada lampiran 3)
Jangan menggunakan jalur intravena untuk rehidrasi kecuali pada kasus syok
dan
Lakukan rehidrasi dengan sangat hati-hati, tetesan infus lambat
untuk mencegah beban pada sirkulasi dan jantung
Pencegahan:
Untuk mencegah dehidrasi saat anak masih mengalami diare cair :
Berikan :
• Ekstra Kalium 3-4 mmol/kg/hari
• Ekstra Magnesium 0,4-0,6 mmol/kg/hari
• Saat rehidrasi, berikan cairan rendah Natrium (misalnya ReSoMal)
• Siapkan makanan tanpa garam
Catatan : beberapa ahli secara rutin memberikan tambahan untuk antibiotik spektrum
luas, metronidazole (7,5 mg/kg tiap 8 jam untuk 7 hari) untuk mempercepat perbaikan
mukosa usus dan mengurangi risiko kerusakan oksidatif dan timbulnya infeksi sistemik
akibat pertumbuhan berlebih bakteri anaerob pada usus halus.
Catatan:
Kombinasi elektrolit/mineral untuk malnutrisi berat tersedia di pasaran. Di negara kita
dikenal dengan nama Mineral Mix. Ini dapat menggantikan suplemen larutan elektrolit/
mineral yang disinggung dalam langkah 4 dan 6, tetapi tetap berikan vitamin A single dose
dosis tinggi dan 5 mg asam folat pada hari 1 dan zat besi tiap hari setelah berat badan mulai
bertambah/fase rehabilitasi.
Fase stabilisasi diharapkan selesai dalam 5-10 hari (jika 2 hari sudah baik fase ini juga
dapat dianggap selesai, selebihnya merupakan fase peralihan / transisi ke fase rehabilitasi).
Saat ini penderita diharapkan sudah stabil, tidak ada anoreksia atau siap untuk masuk fase
rehabilitasi. 4,8
Perawatan di rumah sakit ini memerlukan ruangan atau tempat tidur di RS, staf
medis dan paramedis yang terlatih, yang mampu untuk memberikan terapi, merawat,
memantau dan menyiapkan dan memberikan nutrisi. Selain rawat inap di RS atau
Puskesmas, di beberapa negara di Afrika menggunakan tempat perawatan di sebuah
Therapeutic Feeding Centre (TFC) atau semacam Panti Pemulihan Gizi (PPG). Di TFC
ini penderita gizi buruk dirawat inap bersama ibunya untuk beberapa bulan, biasanya
antara 1-3 bulan. Keuntungan rawat inap adalah anak mendapat tatalaksana paripurna,
baik obat, makanan, stimulasi dan edukasi. Ibunya juga mendapat edukasi tentang cara
pembuatan makanan dan pemberiannya, cara merawat anak serta pola hidup sehat.
Kerugiannya, keluarga sering bosan dan risau karena harus meninggalkan rumahnya
terlalu lama.4 TFC pertama di Indonesia adalah di Betun, NTT yang didirikan oleh
CARE sebuah LSM yang kemudian diserahkan ke pemerintah daerah. Kemudian
menyusul beberapa propinsi mendirikan TFC diantaranya di Gorontalo, Kalimantan
Barat, dan kini hampir semua propinsi, bahkan di tingkat kabupaten sudah ada yang
mempunyai TFC.
Manajemen gizi buruk ini telah dapat menurunkan angka kematian dan
meningkatkan kesembuhan. Tetapi manajemen ini tidak dapat diberlakukan dalam
skala yang luas karena terbatasnya sarana dan tenaga terlatih9. Oleh karena itu dalam
tatalaksana yang baru, rawat inap hanya dilakukan untuk penderita pada fase stabilisasi
saja.9 Masa perawatan menjadi jauh lebih pendek dibandingkan dengan sebelumnya,
dimana rawat inap dapat berlangsung selama 30 hari atau lebih. Setelah fase stabilisasi
dilewati, penderita kemudian dirujuk ke OTP untuk melanjutkan ke fase rehabilitasi
secara rawat jalan.7
Simpulan
Seperti halnya dengan negara lain, morbiditas malnutrisi akut ber at (MAB)di Indonesia
masih banyak. Disini dikemukakan tatalaksana dengan Community-Based Therapeutic Care,
dimana peran petugas kesehatan sangat penting , bukan hanya menemukan kasus, tetapi
juga dalam fase rehabilitasi. Dengan metoda ini jangkauan akan lebih baik dan penyembuhan
lebih cepat. Keunggulan dari pendekatan ini adalah orangtua tidak perlu menunggu lama
di RS, tetapi tetap tinggal dirumah dan menjalankan aktivitasnya. Prevalensi malnutrisi
akut di Indonesia masih tinggi tetapi malnutrisi kronik juga cukup tinggi (39,6% Riskesdas
2010) dan merupakan masalah besar yg memerlukan pendekatan yang lebih kompleks.
Tatalaksana gizi buruk secara umum, khususnya pada fase stabilisasi, tetap mengikuti
panduan Kementerian Kesehatan RI yang mengacu pada panduan WHO, yaitu berupa
sepuluh langkah tatalaksana gizi buruk.
Subtansi Jumlah
Kalium khlorida 89.5 g
Trikalium sitrate 32.4 g
Magnesium khlorida (MgCl2, 6H2O) 30.5 g
Zink asetat 3.3 g
Cu sulfat 0.56 g
Na selenat 10 mg
Kalium yodida 5 mg
Air masak, sampai 1000 ml
Larutan dapat disimpan dalam suhu ruangan.
Jumlah yang ditambahkan ke dalam Resomal atau formula adalah 20 ml/L Resomal atau formula.
Berat badan anak laki-laki (kg) Berat badan anak perempuan (kg)
TB
-4SD -3SD -2SD -1SD -1SD -2SD -3SD -4SD
Median cm Median
60% 70% 80% 90% 90% 80% 70% 60%
8.9 9.6 10.4 11.2 12.2 87 11.9 10.9 10.0 9.2 8.4
9.1 9.8 10.6 11.5 12.4 88 12.1 11.1 10.2 9.4 8.6
9.3 10.0 10.8 11.7 12.6 89 12.4 11.4 10.4 9.6 8.8
9.4 10.2 11.0 11.9 12.9 90 12.6 11.6 10.6 9.8 9.0
9.6 10.4 11.2 12.1 13.1 91 12.9 11.8 10.9 10.0 9.1
9.8 10.6 11.4 12.3 13.4 92 13.1 12.0 11.1 10.2 9.3
9.9 10.8 11.6 12.6 13.6 93 13.4 12.3 11.3 10.4 9.5
10.1 11.0 11.8 12.8 13.8 94 13.6 12.5 11.5 10.6 9.7
10.3 11.1 12.0 13.0 14.1 95 13.9 12.7 11.7 10.8 9.8
10.4 11.3 12.2 13.2 14.3 96 14.1 12.9 11.9 10.9 10.0
10.6 11.5 12.4 13.4 14.6 97 14.4 13.2 12.1 11.1 10.2
10.8 11.7 12.6 13.7 14.8 98 14.7 13.4 12.3 11.3 10.4
11.0 11.9 12.9 13.9 15.1 99 14.9 13.7 12.5 11.5 10.5
11.2 12.1 13.1 14.2 15.4 100 15.2 13.9 12.8 11.2 10.7
11.3 12.3 13.3 14.4 15.6 101 15.5 14.2 13.0 12.0 10.9
11.5 12.5 13.6 14.7 15.9 102 15.8 14.5 13.3 12.2 11.1
11.7 12.8 13.8 14.9 16.2 103 16.1 14.7 13.5 12.4 11.3
11.9 13.0 14.0 15.2 16.5 104 16.4 15.0 13.8 12.6 11.5
12.1 13.2 14.3 15.5 16.8 105 16.8 15.3 14.0 12.9 11.8
12.3 13.4 14.5 15.8 17.2 106 17.1 15.6 14.3 13.1 12.0
12.5 13.7 14.8 16.1 17.5 107 17.5 15.9 14.6 13.4 12.2
12.7 13.9 15.1 16.4 17.8 108 17.8 16.3 14.9 13.7 12.4
12.9 14.1 15.3 16.7 18.2 109 18.2 16.6 15.2 13.9 12.7
13.2 14.4 15.6 17.0 18.5 110 18.6 17.0 15.5 14.2 12.9
13.4 14.6 15.9 17.3 18.9 111 19.0 17.3 15.8 14.5 13.2
13.6 14.9 16.2 17.6 19.2 112 19.4 17.7 16.2 14.8 13.5
13.8 15.2 16.5 18.0 19.6 113 19.8 18.0 16.5 15.1 13.7
14.1 15.4 16.8 18.3 20.0 114 20.2 18.4 16.8 15.4 14.0
14.3 15.7 17.1 18.6 20.4 115 20.7 18.8 17.2 15.7 14.3
14.6 16.0 17.4 19.0 20.8 116 21.1 19.2 17.5 16.0 14.5
14.8 16.2 17.7 19.3 21.2 117 21.5 19.6 17.8 16.3 14.8
15.0 16.5 18.0 19.7 21.6 118 22.0 19.9 18.2 16.6 15.1
15.3 16.8 18.3 20.0 22.0 119 22.4 20.3 18.5 16.9 15.4
15.5 17.1 18.6 20.4 22.4 120 22.8 20.7 18.9 17.3 15.9
Malnutrisi akut berat (MAB) yang terjadi pada remaja dan dewasa secara primer biasanya
pada keadaan kemiskinan yang sangat ekstrim atau situasi kelaparan. Dapat pula terjadi
pada keadaan ketergantungan , misal pada lansia, gangguan mental atau masalah emosional,
atau di penjara.
Malnutrisi akut berat pada remaja dan dewasa umumnya berkaitan dengan adanya
penyakit lain, misal infeksi khronis, malabsorpsi, ketergantungan obat atau alkohol,
penyakit liver, gangguan endokrin dan autoimun, kanker dan AIDS/HIV. Keduanya harus
diatasi bersamaan.
Prinsip tatalaksana
Perubahan fisiologik dan prinsip tatalaksana MAB pada remaja dan dewasa tidak berbeda
dengan MAB pada anak, sehingga secara umum panduan tatalaksana pada anak dapat
diterapkan pada MAB remaja dan dewasa. Perbedaan terdapat hanya pada klasifikasi,
jumlah makanan yang dibutuhkan dan dosis obat-obatan.
Kecuali pada keadaan kelaparan, pada MAB remaja dan dewasa sangat jarang terdapat
edema ataupun tampak sangat kurus. Akibatnya, mereka tidak percaya bahwa diet yang
diberikan dapat menolong, sekalipun dalam keadaan kelaparan. Mereka menolak pemberian
makanan/formula khusus dengan berbagai alasan, misal tabu atau tidak sesuai dengan
kepercayaan yang dianut. Mereka baru mau menurut setelah dihimbau dan dijelaskan
bahwa diet/formula yang diberikan adalah obat. Masalah ini merupakan yang tersulit dalam
penanganan MAB remaja/dewasa.
Klasifikasi malnutrisi
Dewasa (> 18 tahun)
Indeks Masa Tubuh (IMT) merupakan indikator yang digunakan untuk menentukan derajat
maknutrisi. Bila pengukuran tinggi badan (TB) tidak dapat dilakukan karena kondisi pasien
tidak memungkinkan, ukuran rentang lengan (arm span) dapat dipakai, dinyatakan dalam
meter. Pengukuran dilakukan pada kedua belah sisi (kiri dan kanan), dari pertengahan
sternal notch sampai ke ujung jari tengah. Bila hasil pengukuran kiri dan kanan tidak sama,
pengukuran harus diulangi, bila tetap berbeda diambil hasil yang lebih panjang. Perhitungan
TB (m) menurut rumus :
TB = [0,73 x (2 x hasil pengukuran separuh rentang lengan] + 0,43
Edema
Periksa kedua pergelangan kaki dan tungkai bawah apakah terdapat edema. Bila edema ada
dan simetris, maka perlu menyingkirkan kemungkinan penyebab edema non-nutrisional
seperti nefritis, pre-eklampsia, gagal jantung, sirosis hepatis, dll.
Orang dewasa dengan IMT <16,0 disertai edema harus dirawat inap.
Pengobatan awal
Bila memungkinkan, pasien MAB remaja-dewasa harus diberi formula seperti formula
untuk anak (dengan tambahan mineral-mix dan vitamin-mix). Tujuan pengobatan awal
adalah mencegah kehilangan jaringan tubuh melanjut. Jumlah formula per kgbb yang
diberikan jauh lebih sedkit dibanding MAB anak dan makin sedikit pada usia yang lebih
tua (tabel....). Umumnya pasien MAB remaja-dewasa dalam keadaan anoreksia sehingga
pemberian formula harus melalui NGT pada hari-hari perawatan pertama.
Seperti halnya MAB anak, MAB remaja-dewasa juga cenderung untuk terjadi
hipoglikemis dan hipotermia dan upaya pencegahan atau untuk mengatasinya harus
Rehabilitasi
Kembalinya nafsu makan merupakan tanda adanya perbaikan klinis atau awal rehabilitasi.
Umumnya pada masa rehabilitasi, pasien tampak kelaparan, menolak formula dan
menginginkan makanan padat. Makanan biasa dapat diberikan tetapi tetap dengan
tambahan mineral-mix dan vitamin=mix. Dianjurkan untuk tetap mengonsumsi formula
di antara jawal makanan padat.
Kriteria pulang
Pasien dapat dipulangkan bila nafsu makan baik dan berat badan naik, terjamin mendapat
makanan bergizi serta masalah kesehatan lain yang menyertai sudah diatasi. Pasien dewasa
harus tetap mendapat diet suplementer ini hingga mencapai IMT >18,5, sedangkan pasien
remaja hingga IMT/U berada pada > P5.
Kegagalan pengobatan
Kegagalan merespon pengobatan pada MAB remaja-dewasa biasanya karena penyakit
yang mendasarinya tidak diketemukan, adanya defisiensi nutrien atau penolakan terhadap
prosedur/regimen yang diberikan.
Daftar Pustaka
1. WHO. Management of severe malnutrition: a manual for physicians and other senior health workers.
Switzerland, Geneva: 1999
Bayi usia kurang dari 6 bulan dengan malnutrisi akut berat (MAB) – termasuk bayi di
atas 6 bulan dengan berat-badan < 4 kg – haruslah ditatalaksana sesuai rekomendasi
GSIYCF 2002 tentang pemberian makan untuk bayi dan anak. Dukungan untuk menyusui
merupakan bagian integral dari pengobatan bayi dengan MAB.
Fase stabilisasi
1. Cari dan atasi komplikasi sesuai protokol umum; bayi <6 bulan sangat rawan terhadap
hipoglikemia dan hipotermia.
2. Mulai Re-feeding dengan susu formula pengganti.
a. Beri formula dengan jumlah tetap (130ml/kg/hari).
b. Gunakan F75; bila tidak ada gunakan F100 yang diencerkan.
c. Segera beri formula dan teruskan pemberian setiap 2-3 jam.
d. Berikan formula dengan menggunakan cangkir atau suplementer (bila bayi mampu
menghisap) atau dengan teknik drip-drop atau NGT
Fase transisi
Tidak ada fase transisi karena terus digunakan formula yang sama.
Fase rehabilitasi
Tujuan yang ingin dicapai pada fase ini adalah :
a) Menurunkan jumlah formula yang diberikan, sementara :
b) Mempertahankan kenaikan berat badan, dan
c) Melanjutkan pemberian ASI.
Kemajuan klinis pada bayi dinilai dari kenaikan berat badan setiap hari :
• Bila BB turun atau tidak naik selama 3 hari berturut-turut tetapi bayi tampak lapar dan
menghabiskan semua formula yang diberikan, tambahkan 5 ml pada setiap pemberian formula.
• Biasanya suplementasi formula tidak bertambah selama perawatan tetapi BB tetap
naik, hal ini berarti produksi ASI terus meningkat.
• Bila setelah beberapa hari bayi tidak lagi menghabiskan jatah formula-nya tetapi BB
tetap naik, ini berarti asupan ASI meningkat dan bayi mendapat cukup asupan nutrisi
untuk memenuhi kebutuhannya
• Bayi harus ditimbang setiap hari dengan timbangan yang mempunyai ketelitian hingga
10 gram (atau 20 gram)
Kriteria pulang
Keberhasilan re-laktasi dengan menghisap efektif : kenaikan BB minimal 20 g/hari
selama 5 hari berturut-turut hanya dengan mengonsumsi ASI.
Tidak ada edema bilateral selama 2 minggu
Kondisi klinis baik, anak sadar dan tidak ada masalah medis.
Rekomendasi tambahan:
• Ibu sudah mendapat konseling cukup dan sudah mendapat suplementasi mikronutrien
yang diperlukan selama tinggal di tempat perawatan dan untuk diteruskan di
rumah.
Fase stabilisasi
Pemberian rutin obat dan suplemen:
• Antibiotika: Amoxicillin (untuk bayi dengan BB minimum 2 kg): 30 mg/kg, pemberian
2x/hari (60 mg/kg/hari) ditambah Gentamisin. Jangan beri Kloramfenikol kepada bayi
muda.
• Vitamin A 50.000 IU dosis tunggal pada hari pertama
• Asam folat : 2.5 mg dosis tunggal
• Sulfas ferosus : berikan segera setelah bayi dapat menghisap dengan baik dan BB mulai
naik
Terapi dietetik
• Pada fase stabilisasi bayi MAB < 6 bulan harus diberi F100 yang diencerkan Jangan
pernah memberi F100 dengan konsentrasi penuh.
• Bayi <6 bulan dengan edema harus selalu diberi F75 pada fase stabilisasi
• Jumlah F100-diencerkan dan F75 dapat dilihat pada tabel 2.
• Berikan formula dengan cangkir atau dengan diteteskan melalui NGT. NGT digunakan
hanya bila bayi tidak mendapat cukup formula secara oral.
• Terapkan teknik pemberian makan yang tepat untuk menjamin asupan makanan yang
adekuat.
Fase transisi
Pemberian rutin obat-obatan dan suplemen harus diteruskan sampai 4 hari atau lebih
setelah fase stabilisasi atau hingga bayi beralih ke fase rehabilitasi.
Terapi dietetik
• Hanya F100-diencerkan yang diberikan
• Jumlah F100-diencerkan dinaikkan 1/3-nya dari jumlah pada fase stabilisasi.
• Gunakan tabel 2. untuk menentukan jumlah F100-diencerkan yang diberikan kepada
bayi yang tidak mendapat ASI.
Fase rehabilitasi
Pengaturan dietetik:
• Hanya F100-diencerkan yang digunakan
• Selama fase rehabilitasi, bayi MAB mendapat F100-diencerkan sebanyak 2x jumlah
F100-diencerkan yang diberikan pada fase stabilisasi.
• Gunakan tabel 2. untuk menentukan jumlah F100-diencerkan yang diberikan kepada
bayi yang tidak mendapat ASI
Pemantauan individu
Pemantauan individu tidak berbeda baik antara fase stabilisasi, transisi dan rehabilitasi
maupun antara bayi MAB dengan ASI atau tanpa ASI.
Parameter yang harus dipantau dan dicatat dalam rekam medik adalah :
• Berat badan
• Derajat edema (0 sampai +++)
• Suhu tubuh (2x/hari)
• Gejala klinis baku : batuk, muntah, defekasi, dehidrasi, pernapasan, ukuran liver,
• Hal lain yang perlu dicatat : misal, menolak makan, rute asupan makanan (oral, NGT
atau perenteral), transfusi.
Kriteria pulang
• BB/PB > 80-85% selama 3 hari berturutan atau kenaikan BB sebesar 15-20%
• Tidak ada edema selama 2 minggu
• Klinis baik, anak sadar dan tidak ada masalah medis.
Anjuran lain :
• Saat dipulangkan, F100-diencerkan dapat diganti dengan formula bayi standar.
Tabel 2. Jumlah formula per kali makan yang diberikan pada fase stabilisasi, transisi dan
rehabilitasi.
Stabilisasi
Dengan edema Tanpa edema Transisi Rehabilitasi
Bera badan (kg)
F75 F100-diencerkan
< 1.5 30 ml 45 ml 60 ml
1.6 – 1.8 35 ml 53 ml 70 ml
1.9.- 2.1 40 ml 60 ml 80 ml
2.2 – 2.4 45 ml 68 ml 90 ml
2.5 – 2.7 50 ml 75 ml 100 ml
2.8 – 2.9 55 ml 83 ml 110 ml
3.0 – 3.4 60 ml 90 ml 120 ml
3.5 – 3.9 65 ml 96 ml 130 m
4.0 – 4.4 70 ml 105 ml 140 ml
Pendahuluan
Malnutrisi Rumah Sakit (Hospital Malnutrition) atau istilah yang lebih tepat adalah Hospital
Acquired Malnutrition (HAM) adalah terjadinya malnutrisi pada pasien yang sedang dirawat
di rumah sakit. Prevalensi terjadinya malnutrisi rumah sakit (selanjutnya akan disingkat
dengan MRS) pada pasien anak rawat inap cukup tinggi dan dikatakan bahwa tingginya
prevalensi MRS juga mencerminkan kualitas pelayanan suatu rumah sakit. Pada anak sakit,
selain untuk tumbuh kembang, pemenuhan kebutuhan nutrisi sangat bermanfaat untuk
mempercepat proses penyembuhan, mengurangi lamanya masa perawatan, mengurangi
terjadinya komplikasi, menurunkan morbiditas dan mortalitas serta dapat mencegah
terjadinya malnutrisi akibat pengobatan atau tindakan medis.1,2 Telah terbukti pula adanya
hubungan erat antara malnutrisi dan infeksi serta peranan malnutrisi pada tingginya angka
kematian balita.1,2 Kondisi malnutrisi berdampak pula terhadap bertambah lamanya masa
perawatan anak dan berarti pula meningkatnya biaya perawatan.2,3
Pemenuhan kebutuhan nutrisi anak yang dirawat seringkali tidak mudah dan peran tim
asuhan nutrisi menjadi sangat penting dengan melakukan Proses Asuhan Nutrisi (Nutrition
Care Process = NCP)4 yang terdiri dari empat langkah, yaitu: 1) penilaian status nutrisi
(nutritional assessment); 2) diagnosis masalah nutrisi; 3) intervensi nutrisi (nutritional support)
berupa penentuan cara pemberian makanan dan jenis makanan yang akan diberikan;
4) monitoring dan evaluasi nutrisi.2 Pada bidang pediatri hal ini dikenal sebagai Pediatric
Nutrition Care. Bila proses asuhan nutrisi yang mencakup deteksi dini dan pencegahan
tersebut diterapkan pada semua pasien anak rawat inap, maka diharapkan kejadian MRS
dapat dicegah dan ditanggulangi dengan baik. Oleh karena itu, mewaspadai terjadinya
MRS sangatlah penting dilakukan pada setiap pasien rawat inap dengan mengenali faktor
risiko terjadinya MRS serta mendeteksinya secara dini. Masalahnya, hingga kini belum
jelas atau belum ada kesepakatan parameter/indikator apa yang paling tepat digunakan
untuk mendeteksi MRS secara dini. Hal ini tercermin dari penggunaan kriteria MRS
yang berlainan pada berbagai penelitian yang ada misalnya data klinis, antropometri dan
biokimiawi atau kombinasinya. Data antropometri dan biokimia yang digunakan juga
bisa berbeda-beda seperti BB/TB, Triceps Skinfold (TSF), Muscle upper arm circumference
(MUAC), albumin, transferin, Hemoglobin, dan lain-lain. Meyer, salah seorang anggota
American Dietetic Association menyebutkan, “In terms of money as in terms of human suffering
– one can well argue that every dollar spent on nutrition instruction may save tens of dollars in
later medical care”.4
Diagnosis
Hingga saat ini belum didapatkan cara yang cukup memuaskan untuk mendiagnosis atau
menilai status nutrisi pasien rawat inap, dalam arti tidak mahal, mudah untuk dilakukan,
dan cukup sensitif serta reliabel. Sebagian besar pemeriksaan yang ada cukup menyita waktu,
menggunakan metode analisis yang rumit, biaya pemeriksaan laboratorium yang mahal,
dan lebih tepat untuk penelitian daripada sekedar skrining sehari-hari, sehingga terdapat
kecenderungan diagnosis dibuat lebih berdasar pada aspek praktis dan juga terjangkaunya
biaya pemeriksaan yang diperlukan tanpa mengabaikan aspek reliabilitas, kecuali untuk
tujuan penelitian.
Umumnya pengkajian status gizi dilakukan berdasarkan klinis, antropometri,
laboratorium dan analisa dietetik, tetapi sejauh ini belum pasti aspek mana dari ke-4
modalitas tersebut yang mampu mendeteksi dini MRS secara akurat. Karenanya, untuk
mendeteksi dini terjadinya malnutrisi selama pasien dirawat di rumah sakit berbagai cara
dikembangkan terutama untuk pasien dewasa dan lansia (MUST, SGA, MNA, NRI,
CONUT, dll), tetapi untuk pasien anak hingga saat ini baru ada 2 cara yaitu Simple pediatric
nutritional risk score16 dan Subjective Global Nutritional Assessment (SGNA).17
Campanozzi dkk19 meneliti faktor risiko MRS pada 363 anak yang dirawat dengan
prediktor berupa Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan hasil : 106 (29.2%) anak mengalami
penurunan IMT (grup A) dan 257 (70.8%) anak dengan IMT stabil atau meningkat
(grup B). Risiko untuk mengalami MRS adalah : usia > 10 bulan (p<0.05); diare yang
berlangsung > 72 jam (p<0.001) dan demam > 72 jam (p<0.05). Selain itu, masa rawat
pada grup A lebih lama (6.6+3.2 hari) dibandingkan grup B (5.1+2.3) dengan p<0.001.
Peneliti menganjurkan untuk melakukan skrining terhadap risiko MRS pada setiap pasien
anak, terutama anak usia > 10 bulan dengan diare dan / atau demam > 3 hari.
Sesuai dengan patofisiologi malnutrisi, maka perubahan awal yang terjadi adalah
menurunnya kadar beberapa nutrien dalam darah sebagai akibat deplesi cadangan tubuh,
sehingga terdapat beberapa petanda (marker) yang dapat digunakan dalam mendeteksi dini
terjadinya MRS. Tetapi, umumnya biaya pemeriksaan cukup mahal untuk petanda yang
sensitif dan spesifik seperti prealbumin, RBP dan transferin kecuali albumin. Sayangnya
albumin kurang sensitif terhadap perubahan kecukupan asupan nutrisi karena waktu paruh
yang agak panjang (21 hari) sehingga kadar rendah albumin lebih mencerminkan suatu
keadaan kronis selain juga kadarnya dipengaruhi oleh berbagai keadaan seperti infeksi,
gangguan fungsi hati dan lain-lain. Walaupun demikian, pada penelitian Ginting di RSCM,
didapatkan adanya penurunan kadar albumin dan kadar Hb setelah perawatan 10-14 hari,
sehingga kedua parameter ini dapat dianjurkan untuk digunakan sebagai petanda adanya
kejadian malnutrisi pada pasien yang dirawat-inap.10
Tinggi badan (TB) bukan merupakan parameter untuk mendeteksi adanya MRS tetapi
penting dalam penentuan status gizi seseorang. Hingga saat ini indikator BB menurut TB
(BB/TB) masih merupakan indikator terbaik dalam menentukan status gizi dan pertumbuhan
sehingga TB harus diukur juga pada setiap pasien anak, paling tidak pada awal perawatan.
Pemantauan status nutrisi dilakukan secara berkala selama dirawat di rumah sakit:
• Berat badan, setiap hari
• LiLA, 1 x / minggu
• Tinggi badan 1x/bulan
Pada anak dengan gizi kurang / buruk, ditambah dengan:
• Albumin serum, setiap 10-14 hari
• Hb dan hematokrit, 1 x / minggu
• Jumlah limfosit absolut, 1 x / minggu
Hingga kini banyak faktor yang menghambat implementasi intervensi nutrisi pada pasien
di rumah sakit walaupun bukti bahwa intervensi nutrisi menunjang proses penyembuhan
dan prognosis yang lebih baik. Perlu diingat bahwa kini dalam berbagai keterbatasan sarana
dan pelayanan kesehatan, bukan hanya efikasi dan keamanan saja yang perlu dilakukan
dalam strategi manajemen penyakit tetapi aspek kepuasan dan ekonomi pasien (tidak
menyebabkan pengeluaran biaya lebih akibat kurang baiknya pelayanan) harus menjadi
bagian dari tujuan pengobatan atau perawatan.27
Simpulan
Malnutrisi rumah sakit merupakan keadaan yang perlu diwaspadai karena berkaitan dan
mempengaruhi perjalanan dan proses penyembuhan penyakit pada pasien yang dirawat inap.
Selain itu dapat berakibat bertambah lama masa rawat yang berdampak pada meningkatnya
biaya perawatan.
Oleh karena itu, penilaian status nutrisi pada pasien anak rawat inap harus secara
rutin dilakukan, pertama saat pasien masuk perawatan (dalam 72 jam), selanjutnya secara
berkala untuk deteksi dini serta pencegahan terjadinya malnutrisi rumah sakit. Walaupun
belum ada kesepakatan tentang “tools” untuk deteksi dini terjadinya MRS, setiap institusi
atau rumah sakit dapat menggunakan indikator/parameter yang ada yang mampu laksana
di tempat masing-masing.
Pendahuluan
Meskipun vitamin A ditemukan pada awal abad ke duapuluh, dampak kekurangannya
yaitu buta senja telah dikenal sejak jaman Mesir kuno. Mereka telah mengetahui bahwa
mengkonsumsi hati dapat menyembuhkan buta senja.1 Hingga saat ini defisiensi vitamin
A masih merupakan penyebab utama kebutaan yang dapat dicegah pada anak. Laporan
WHO tahun 2005 memperkirakan 250 juta anak usia prasekolah kekurangan vitamin A
dan 250.000 – 500.000 diantaranya akan mengalami kebutaan setiap tahunnya. Indonesia
diperkirakan mempunyai angka kejadian buta senja pada anak prasekolah sekitar 0,6%,
sedangkan jumlah anak prasekolah dengan defisiensi vitamin A mencapai 1,8 juta.2 Survei
yang dilakukan pada 15 provinsi di tahun 1977 mendapatkan prevalensi xeroftalmia
pada anak usia prasekolah tahun sebesar 1,33% dan di tahun 1992 turun menjadi 0,34%.3
Penurunan serupa juga didapatkan pada penelitian terhadap siswa 504 siswa sekolah luar
biasa khusus tuna netra di pulau Jawa. Penyebab kebutaan akibat defisiensi vitamin lebih
rendah pada siswa yang berusia lebih muda.4
Vitamin A merupakan nama generik untuk sekumpulan zat bioaktif yang larut dalam
lemak, yaitu golongan asam retinoat. Vitamin A dibutuhkan untuk fungsi fisiologis tubuh
termasuk tumbuh kembang anak, penglihatan, imunitas tubuh, reproduksi dan jaringan
kulit. Setidaknya 500 gen diduga diregulasi oleh asam retinoat.5
Manusia tidak dapat mensintesis sendiri dan mendapatkannya dari makanan sehari-
hari. Sumber hewani mengandung bentuk vitamin A yang aktif sedangkan sumber nabati
mengandung provitamin A, yaitu karotenoid yang akan mengalami serangkaian metabolisme
sebelum dapat digunakan oleh tubuh. Absorpsi vitamin A membutuhkan lemak, yang akan
memfasilitasi masuknya retinoid ke dalam usus. Metabolisme retinoid terutama terjadi di
bagian proksimal usus halus.5
Etiologi
Kekurangan vitamin A dapat terjadi sejak bayi baru lahir. Sumber utama vitamin A pada
masa bayi ialah ASI termasuk kolostrum dan hal ini dipengaruhi oleh status vitamin A
Terminologi
Terdapat berbagai istilah untuk menggambarkan status vitamin A dan implikasinya terhadap
kesehatan. Defisiensi vitamin A ialah keadaan kekurangan vitamin A yang ditandai dengan
menurunnya cadangan vitamin A di hati menjadi lebih rendah dari 20 µg/g (0,07 µmol/g).
Kadar retinol serum masih mungkin normal. Kadar retinol serum kurang dari 20 µg/dL
(0.07 mol/L) dianggap sebagai batas keadaan defisiensi vitamin A walaupun pada populasi
dengan cadangan vitamin A di hati yang cukup, kadar retinol serum rata-rata di atas 30 µg/
dL (1,05 µmol/L).7
Gangguan akibat defisiensi vitamin A (vitamin A deficiency disorders) ialah gangguan
fisiologis akibat kekurangan vitamin A. Gangguan ini mungkin bersifat subklinis
misalnya gangguan mobilisasi zat besi, gangguan deferensiasi sel dan sebagainya atau
klinis misalnya peningkatan episode infeksi, anemia dan xeroftalmia. Xeroftalmia ialah
manifestasi klinis okuler defisiensi vitamin A. Xeroftalmia merupakan puncak gunung
es defisiensi vitamin A.7
Tabel 1.
XN Buta senja
X1A Xerosis kunjungtiva
X1B Bercak bitot
X2 Xerosis kornea
X3A Ulkus kornea/keratomalacia (<1/3 permukaan kornea)
X3B Ulkus kornea/keratomalacia (≥ 1/3 permukaan kornea)
XS Jaringan parut kornea (corneal scar)
XF Xerophthalmic fundus
Vitamin A mempunyai peranan penting dalam menjaga integritas sel epitel. Defisiensi
vitamin A membuat perubahan pada epitel di mata, saluran napas, saluran kemih. Vitamin
A juga berperan dalam imunitas seluler dan humoral.10 Karena itu defisiensi vitamin A
menyebabkan anak mudah sakit dan bila sakit cenderung berat. Suatu metaanalisis yang
menggabungkan 43 uji klinis dan melibatkan 215.633 anak subyek menunjukkan pemberian
kapsul vitamin A pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun menurunkan angka kematian
sebanyak 24%. Kematian akibat campak, infeksi saluran napas atau meningitis tidak turun
secara spesifik tetapi vitamin A mengurangi kejadian campak dan diare.11
Suatu metaanalisis lain yang mengikut sertakan suplementasi pada bayi baru lahir
menunjukkan hasil yang hampir sama, yaitu penurunan angka kematian sebesar 25% untuk
anak usia 6 bulan hingga 5 tahun. Suplementasi vitamin A pada neonatus menurunkan
angka kematian sebesar 12%. Angka kematian spesifik karena diare menurun hingga 30%
sedangkan kematian akibat penyakit lain seperti campak, pneumonia dan meningitis tidak
berbeda.12
Daftar Pustaka
1. Sommer A. New imperatives for an old vitamin (A). J Nutr 1989;110:96-100.
2. WHO. Global prevalence of vitamin A deficiency in population at risk 1995-2005. WHO global database
on vitamin A deficiency. 2009. Geneve, World Health Organization.
3. Muhilal, Tarwotjo I, Kodyat B, Herman S, Permaesih D, Karyadi D, dkk. Changing prevalence of
xerophthalmia in Indonesia, 1977-1992. Eur J Clin Nutr. 1994 Oct;48:708-14.
4. Sitorus RS, Abidin MS, Prihartono J. Causes and temporal trends of childhood blindness in Indonesia:
study at schools for the blind in Java. Br J Ophthalmol 2007;91:1109–1113.
Pendahuluan
Vitamin D yang termasuk vitamin larut dalam lemak, merupakan prohormon yang memiliki
fungsi utama mengatur keseimbangan kalsium tubuh. Kalsium diketahui sebagai komponen
utama kekuatan tulang, sehingga defisiensi vitamin D akan menyebabkan kelemahan
tulang yang disebut rickets pada masa anak dan osteomalacia pada masa dewasa.1 Rickets
pertama kali dipublikasi oleh Daniel Whistler dan Francis Glisson di Inggris pada abad ke-
17. Kasus rickets semakin lama semakin meningkat, namun pada akhirnya dapat dicegah
sejak ditemukan paparan sinar matahari dan cod liver oil dapat mencegah dan mengobati
defisiensi vitamin D.1
Sejak ditemukan vitamin D, kasus rickets menurun drastis, namun pada dekade
terakhir kasus rickets akibat defisiensi vitamin D kembali meningkat karena berbagai
sebab. Australia melaporkan 126 kasus selama periode 10 tahun, Kanada melaporkan
104 kasus selama periode 2 tahun, di Amerika terjadi peningkatan kasus rickets dari 65
kasus antara tahun 1975-1985 menjadi 166 kasus antara tahun 1986-2003.1 Penduduk
Asia Selatan 69%-82% menderita defisiensi vitamin D dengan kadar 25(OH)-D < 20
ng/ml.2 Defisiensi vitamin D ini tidak hanya dialami oleh penduduk Asia Selatan yang
tinggal di India dan Pakistan, namun juga yang tinggal di negara maju seperti Inggris,
Denmark, dan Norwegia. Ini menandakan defisiensi vitamin D tidak semata-mata
karena faktor kemiskinan, namun juga karena pemberian nutrisi yang tidak berimbang,
pengolahan makanan yang berlebihan, dan paparan sinar matahari yang minimal.2 Kini,
selain dihubungkan dengan kesehatan tulang, defisiensi vitamin D juga dihubungkan
dengan berbagai penyakit seperti diabetes melitus, penyakit kardiovaskuler, kanker,
penyakit autoimun dan sebagainya. Oleh karena itu kewaspadaan terhadap kemungkinan
defisiensi vitamin D pada anak perlu ditingkatkan.
Metabolisme vitamin D
Vitamin D memiliki 2 bentuk yaitu vitamin D2 (ergocalciferol) dan vitamin D3 (cholecalciferol).
Vitamin D2 bersumber dari bahan nabati (tumbuh-tumbuhan), sedangkan vitamin D3
bersumber dari bahan hewani seperti ikan, kuning telur, dan sebagainya. Selain bersumber
dari bahan hewani, vitamin D3 bisa diproduksi oleh tubuh sendiri melalui paparan sinar
ultraviolet B (UVB) yang memiliki panjang gelombang 290-320 nm, yang berasal dari sinar
Sumber vitamin D
Beberapa sumber vitamin D adalah paparan UVB sinar matahari, makanan mengandung
vitamin D, makanan difortifikasi vitamin D dan suplementasi vitamin D. Sebagian besar
vitamin D tubuh berasal dari paparan UVB sinar matahari. Satu dosis paparan UVB sinar
matahari (1 MED = minimum erythema dose) adalah lamanya paparan UVB sinar matahari
yang menyebabkan eritema minimal pada kulit (warna kulit menjadi pink). Waktu yang
dibutuhkan 1 MED pada etnis kulit putih adalah 4-10 menit, sedangkan pada etnis kulit
hitam 60-80 menit. Satu MED menghasilkan 10.000-20.000 IU vitamin D. Paparan UVB
sinar matahari paling tinggi adalah tengah hari (antara jam 10.00 sampai jam 14.00),
sedangkan pada pagi dan sore hari yang dominan adalah ultraviolet A (UVA) dengan
panjang gelombang 320-400 nm. Beberapa faktor yang menghambat paparan UVB sinar
Defisiensi vitamin D
Status vitamin D tubuh ditentukan berdasarkan kadar 25(OH)-D. Hal ini disebabkan
karena masa paruh 25(OH)-D cukup panjang yaitu 2-3 minggu, lebih panjang dibandingkan
1,25(OH)2-D yang hanya memiliki masa paruh 4 jam. Disamping itu 25(OH)-D mudah
diperiksa dan memiliki kadar paling tinggi diantara metabolit vitamin D lainnya serta
memiliki korelasi yang kuat antara keadaan defisiensi 25(OH)-D dengan gejala klinis.6
Dalam keadaan defisiensi vitamin D, maka hormon paratiroid akan meningkat dan
merangsang aktifitas 1-α-hydroxylase yang menyebabkan terjadi peningkatan kadar
1,25(OH)2-D, sehingga bentuk aktif vitamin D ini tidak bisa digunakan sebagai indikator
status vitamin D tubuh oleh karena kadarnya justru normal atau bahkan meningkat dalam
keadaan defisiensi vitamin D.
Vitamin D dikatakan normal apabila kadar 25(OH)-D berkisar antara 50-250 nmol/L
atau 20-100 ng/mL. Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan status vitamin D berdasarkan
kadar 25(OH)-D. Pada penderita Rickets 86% kadar 25(OH)-D < 20 nmol/L (< 8 ng/mL)
dan pada anak hipokalsemia 94% kadar 25(OH)-D < 20 nmol/L (< 8 ng/mL). Puncak
kejadian rickets pada anak adalah antara usia 3-18 bulan dan gejala rickets akan muncul
sebulan setelah mengalami defisiensi vitamin D.7
Fase-fase defisiensi vitamin D sebagai berikut : fase I terjadi penurunan 25(OH)-D,
hipokalsemia, eufosfatemia, dan kadar 1,25(OH)2-D masih normal atau sedikit meningkat;
fase II terjadi penurunan 25(OH)-D, peningkatan hormon paratiroid memobilisasi
kalsium tulang, eukalsemia, hipofosfatemia, dan peningkatan alkali fosfatase; fase III kadar
25(OH)-D sangat rendah, hipokalsemia, hipofosfatemia, peningkatan alkali fosfatase, dan
tanda demineralisasi tulang.7
Daftar Pustaka
1. Misra M, Pacaud D, Petryk A, Collett-Solberg PF, Kappy M. Vitamin D deficiency in children and its
management: Review of current knowledge and recommendations. Pediatrics. 2008;122:398-417.
2. Masood SH, Iqbal MP. Prevalence of vitamin D deficiency in South Asia. Pak J Med Sci.
2008;24(6):891-7.
3. Thacher TD, Clarke BL. Vitamin D Insufficiency. Mayo Clin Proc. 2011;86(1):50-60.
4. Holick MF. Vitamin D deficiency. N Engl J Med. 2007;357:266-81.
5. Gallagher ML. Vitamins. In: Mahan LK, Escott-stump S, editor. Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapy.
11th Ed. Philadelphia: Saunders, 2004. p. 83-88.
6. Zhang R, Naughton DP. Vitamin D in health and disease: Current perspectives. Nutrition Journal.
2010;9:1-37.
7. Wagner CL, Greer FR. Prevention of rickets and vitamin D deficiency in infants, children, and adolescents.
Pediatrics. 2008;122:1142-52.
8. Holick MF. Vitamin D: a D-Lightful health perspective. Nutrition Reviews. 2008;66(2):S182-S194.
9. Gartner LM, Greer FR. Prevention of Rickets and Vitamin D Deficiency: New Guidelines for Vitamin D
Intake. Pediatrics. 2003;111:908-10.
Pendahuluan
Kekurangan asupan zat besi pada anak akan mempunyai dampak yang buruk pada
kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak.1,2,3 Bahkan, lambatnya perkembangan
kognitif maupun perilaku anak akibat kekurangan zat besi dapat menetap3 sehingga
mengganggu tumbuh kembang dengan akibat dalam jangka waktu yang panjang. Pencegahan
terhadap terjadinya kekurangan zat besi pada anak dapat memberikan keuntungan pada
perkembangan dan perilaku anak.4 Sebelum manifestasi anemia muncul, defisiensi zat besi
ini sudah memberikan dampak terhadap tumbuh kembang anak.1,2,3 Anemia merupakan
manifesi lanjut dari defisiensi zat besi. Padahal, di Indonesia dan negara berkembang
lainnya, prevalensi anemia kekurangan zat besi pada anak masih cukup tinggi.4-7Anemia
defisensi besi (ADB), adalah salah satu bentuk tersering dari suatu defisiensi nutrisi,
tersebar luas diseluruh dunia dan diperkirakan telah melibatkan sekitar 3 triliun orang.
Walaupun secara umum dinyatakan bahwa anemia defisiensi besi sejak tahun 1960 telah
mengalami penurunan secara drastis, namun anemia defisiensi besi sampai sekarang masih
merupakan masalah kesehatan yang penting di dunia, terutama di negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia. Seperti telah disampaikan dimuka, akibat jangka panjang
dari keadaan ini yang sangat merugikan terutama kalau terjadi pada bayi dan anak, karena
dapat mengganggu perkembangan mental, motorik serta perilakunya.8,9
Ringan 10 - 11
Sumber: WHO 1989
Usia anak yang paling rawan untuk terjadinya ADB, ialah antara 9-18 bulan, bersamaan
dengan saat terjadinya pertumbuhan yang sangat cepat. Pada bayi cukup bulan cadangan
besi yang ada cukup memenuhi kebutuhannya sampai usia 4-6 bulan, pada umumnya ADB
sangat jarang terjadi pada usia dibawah 9 bulan. Bayi kurang bulan, serta bayi dengan berat
badan lahir rendah, terlahir dengan cadangan besi yang sangat terbatas; dengan kecepatan
tumbuhnya yang cepat mereka sudah dapat mengalami kekurangan cadangan besi pada usia
2-3 bulan, karenanya mereka juga ada dalam kondisi yang sangat rawan untuk terjadinya
ADB.16,17
Di Amerika data dari ”National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III)”
antara th 1988-1994, berdasarkan atas pemeriksaan erythrocyte protoporphyrin concentration,
serum ferritin concentration, dan transferrin saturation, tercatat 9% anak berumur 12-36
bulan menderita defisiensi besi; setelah usia 24 bulan pada saat kecepatan pertumbuhan
melambat menurun sampai 3%, hal ini juga karena telah adanya perubahan diet sehingga
risiko kekurangan besi menurun. Pada anak usia diatas 36 bulan, kandungan zat besi dalam
dietnya sudah sering mencukupi kebutuhannya. Pada usia ini kejadian ADB sudah sangat
jarang terkecuali pada mereka yang kenyataannya juga mengalami kekurangan zat besi dalam
dietnya akibat kondisi sosialekonominya, atau mereka yang memang sering mengalami
proses keradangan atau infeksi ataupun karena perdarahan terutama yang bersifat kronis.
Di Inggeris dilaporkan 12 % anak usia 1,5 – 2 tahun mempunyai kadar Hb kurang dari
110 g/l dan 28% mepunyai kadar feritin yang rendah, sedangkan pada kelompok ekonomi
yang rendah, pada anak usia 6 – 12 bulan didapat 25 – 40%.18,19
Oleh karena simpanan zat besi berhubungan langsung dengan berat badan lahir, konsentrasi
hemoglobin awal dan penambahan volume darah, maka kebutuhan zat besi selama satu tahun
pertama dapat diperkirakan. Bayi prematur yang mengonsumsi ASI memerlukan tambahan
zat besi dengan dosis 2-3 mg/kh/hari, maksimalnya adalah 15 mg/hari, dimulai pada umur 1
bulan dan dilanjutkan sampai umur 1 tahun. Kebutuhan ini dapat juga dipenuhi dengan susu
formula yang fortifikasi besi dengan kandungan besi 12 mg/liter,sedang bayi dengan berat lahir
<1000 gram memerlukan besi sebanyak 4mg/kg/hari. Walaupun pemberian zat besi tidak
mempengaruhi kejadian anemia fisiologis, tetapi menunjukan bahwa pemberian zat besi besi
memberikan keuntungan hasil yang bermakna sampai 72.5% dalam menurunkan insiden
anemia defisiensi zat besi dan meningkatkan konsentrasi hemoglobin rata-rata 2.34 g/dl.27-29
Anak berumur 1-3 tahun membutuhkan zat besi sebanyak 7 mg per hari. Penambahan
zat besi ini sebaiknya berasal dari daging merah, sayuran kaya zat besi, buah-buahan kaya
vitamin C. Suplemen zat besi dan multivitamin kunyah dapat diberikan.
Sesudah lahir terjadi 3 tahap perubahan metabolisme besi dan kecepatan eritropoetik:
1. Tahap I, dimulai sejak lahir sampai umur 6-8 minggu, ditandai dengan penurunan kadar
Hb sampai 11 g/dl. Penurunan ini terjadi akibat berkurangnya eritropoisis sebagai reaksi
terhadap peningkatan aliran oksigen ke jaringan pada masa postnatal dan akibat umur
sel darah merah janin yang pendek, yang hanya dua pertiga umur sel darah merah
orang dewasa.
2. Tahap II, dimulai pada umur 2 bulan, ditandai dengan peningkatan Hb dari 11g/dl
sampai 12,5g/dl. Pada tahap ini eritropoisis meningkat dan cadangan zat besi mulai
dipergunakan sebagai reaksi penurunan aliran oksigen ke jaringan. Kadar eritropoitin
darah, jumlah retikulosit dan prekursor eritroid dalam sumsum tulang meningkat.
3. Tahap III, ditandai dengan peningkatan kebutuhan zat besi dari sumber makanan
karena cadangan zat besi mulai berkurang (deplesi). Pada bayi lahir cukup bulan jarang
terjadi deplesi cadangan zat besi ataupun ADB sebelum umur 4 bulan lebih-lebih bila
makanan yang mengandung zat besi dan makanan padat lainnya diberikan pada umur
4-6 bulan.
Eritropoisis pada bayi kurang bulan melalui ketiga tahap yang sama dengan beberapa
perbedaan:
1. Pada tahap I: konsentrasi hemoglobin mencapai nilai yang lebih rendah sampai sebesar
2-3 g/dl, dengan titik terendahnya dapat dicapai lebih cepat.
2. Pada tahap II: proses eritropoisis bayi kurang bulan berjalan lebih cepat dan pada
sekitar usia 1 bulan jumlah retikulosit sudah dapat meningkat; namun karena kadar
total zat besi yang lebih sedikit serta pertumbuhan postnatal yang lebih cepat maka
cadangan zat besinya lebih cepat habis dan dengan segera dapat masuk dalam fase
Tiga hal penting yang menentukan banyaknya masukan zat besi melalui proses absorpsi
adalah:
1. Jumlah total zat besi dalam makanan
2. Nilai biologis besi dalam makanan
3. Kendali absorpsi zat besi oleh sel mukosa usus.
Pengatur utama keseimbangan zat besi dalam tubuh adalah proses absorpsi di usus.
Apabila simpanan zat besi menurun maka absorpsinya akan meningkat, dan sebaliknya
ketika simpanannya berlebih absorpsi akan menurun. Mediator absorpsi terpenting adalah
transferin, absorpsi dipengaruhi usia, status zat besi tubuh, status kesehatan, bentuk zat
besi yang dimakan, dan variasi komponen makanan. Asam askorbat (Vit.C) meningkatkan
absorpsi zat besi; makanan berserat, sereal, makanan tinggi phospat, oxalat, seng, copper,
kalsium dan mangan dapat menurunkan absorpsi zat besi karena dapat membentuk garam
yang tidak mudah larut atau sebagai kompetitif dalam mukosa intestinal.
Zat besi radio aktif (59 Fe) ferrous klorida yang diberikan dalam 7 hari pertama kehidupan
pada 10 bayi kurang bulan dengan BB<2500 g, dapat ditemukan dari 0.29% - 6.8% (mean
2.8%) dalam sirkulasi 2 – 6 minggu kemudian. Hal ini membuktikan bahwa bayi kurang bulan
dapat mengabsorpsi besi dari saluran cernanya dan dapat berikatan dengan hemoglobin.
Pada pengukuran absorpsi besi dan ikatannya didalam eritrosit setelah diberikan isotop besi
(58 Fe) pada 11 bayi kurang bulan (BBL 780-1520; dengan umur kehamilan 24-33 minggu)
memberikan hasil bahwa ternyata58 Fe yang diabsorpsi adalah berkisar antara 41.6%±17,6%
dan 28,7%±22,3%. dari58 Fe yang diabsorpsi yang dapat berikatan dengan eritrosit setelah
2 minggu pemberian. Absorpsi58 Fe secara signifikan berhubungan dengan usia postnatal,
tetapi tidak berhubungan dengan usia gestasi. Riwayat tranfusi tidak mempengaruhi absorpsi
dan ikatan58 Fe dengan hemoglobin. Cadangan zat besi dan kadar hemoglobin pada bayi
baru lahir seringkali cukup tinggi karena zat besi ibu mengalir secara aktif melalui plasenta
ke janin dengan jumlah yang sesuai dengan keperluan janin tanpa memperdulikan status
besi ibu.
Simpulan
Bayi cukup bulan yang sehat mempunyai cadangan zat besi yang cukup sampai bayi tersebut
berumur 4 bulan. Air susu ibu hanya mengandung sedikit sumber zat besi, sehingga bayi
dengan ASI saja harus mendapatkan tambahan zat besi sebesar 1 mg/kg berat badan per
hari dari suplementasi zat besi oral sejak bayi berumur 4 bulan sampai bayi tersebut mampu
mendapatkan makanan pendamping ASI yang difortifikasi zat besi.
Bayi dibawah umur 12 bulan tidak diperbolehkan mengonmsumsi susu segar. Bayi
berumur 6-12 bulan memerlukan zat besi 11 mg per hari. Saat makanan pendamping
diberikan, daging merah dan sayuran kaya zat besi harus diberikan sedini mungkin..
Suplemen zat besi dapat digunakan untuk memenuhi kekurangan zat besi jika bayi kurang
mendapatkan zat besi dari formula maupun makananan pendampingnya.
Anak berumur 1-3 tahun membutuhkan zat besi sebanyak 7 mg per hari. Penambahan
zat besi ini sebaiknya berasal dari daging merah, sayuran kaya zat besi, buah-buahan kaya
vitamin C. Suplemen zat besi dan multivitamin kunyah dapat diberikan.
Semua bayi kurang bulan harus mendapatkan suplemen zat besi 2 mg/kg berat badan
per hari sampai bayi berumur 12 bulan sesuai dengan jumlah zat besi yang ada pada susu
formula bayi kurang bulan. Bayi kurang bulan yang hanya mengonsumsiASI, sebaiknya
Daftar Pustaka
1. Pollitt E. Developmental sequel from early nutritional deficiencies: conclusive and probability judgment. J
Nutr. 2000;130:3505-3535.
2. Akman M, Cebeci D, Okur V, Angin H, Abali O, Akman AC. The effects of iron deficiency on infants’
developmental test performance. Acta Paediatr 2004;93:1391-1396.
3. McGregor SG, Ani C. A Review of studies on the effect of iron deficiency on cognitive development in
children. J. Nutr. 2001;131:649S–668S.
4. Sari M, Pee SD, Martini E, Herman S, Sugiatmi, Bloem MW, Yip R. Estimating the prevalence of anaemia
a comparison of three methods. Bull of WHO, 2001;79(6):506-511.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Iron deficiency – United States, 1999–2000. MMWR
2002;51:897–99.
6. DeMaeyer EM, Dallman P, Gurney JM, Halberg L, Sood SK, Srikantia AG. Preventing and controlling
iron deficiency anaemia through primary health care: A guide for health administrators and programme
managers. WHO, Geneva 1989.
7. Stoltzfus RJ, Dreyfuss. Guidelines for the use of iron supplements to prevent and treat iron deficiency
anemia. International Nutritional Anemia Consultative Group (INACG).
8. Yip R, Walsh KM, Goldfarb MG, Binkin NJ. Declining prevalence of anemia in childhood in a middle-class
setting: a pediatric success story? Pediatrics 1987;80(3):330–4.
9. Yip R, Binkin NJ, Fleshood L, Trowbridge FL. Declining prevalence of anemia among lowincome children
in the United States. JAMA 1987;258(12):1619–23.
10. Yip R. The changing characteristics of childhood iron nutritional status in the United States. Dalam: Filer
LJ Jr, penyunting. Dietary iron: birth to two years. New York, NY: Raven Press, 1989:37–61.
11. Perry GS, Yip R, Zyrkowski C. Nutritional risk factors among low-income pregnant US women: the Centers
for Disease Control and Prevention (CDC) Pregnancy Nutrition Surveillance System, 1979 through 1993.
Semin Perinatol 1995;19(3):211– 21.
12. Earl R, Woteki CE, penyunting. Iron deficiency anemia: recommended guidelines for the prevention,
detection, and management among U.S. children and women of childbearing age. Washington, DC:
National Academy Press, 1993.
13. U.S. Preventive Services Task Force. Screening for iron deficiency anemia—including iron prophylaxis.
Dalam: Guide to clinical preventive services. Edisi ke 2.Alexandria, VA: International Medical Publishing,
1996:231–46.
14. International Federation of Gynecology and Obstetrics. Nutrition during pregnancy. Int J Gynecol Obstet
1993;43:67–74. (ACOG Technical Bulletin no. 179.)
15. Anderson SA, ed. Guidelines for the assessment and management of iron deficiency in women of
childbearing age. Bethesda, MD: U.S. Department of Health and Human Services, Food and Drug
Administration, Center for Food Safety and Applied Nutrition, 1991.
16. Allen LH. Pregnancy and iron deficiency: unresolved issues. Nutr Rev 1997;55(44):91–101.
17. Institute of Medicine. Nutrition during pregnancy. Washington, DC: National Academy Press, 1990.
18. Barness LA, penyunting. Pediatric nutrition handbook. Ed 3. Elk Grove Village, IL: American cadAemy
of Pediatrics, 1993.
Pendahuluan
Yodium merupakan mikronutrien esensial, terdapat dalam tubuh dalam jumlah yang
sangat kecil, sekitar 15-20 mg, yang hampir semuanya terdapat kelenjar tiroid. Yodium
ini merupakan komponen esensial bagi hormone tiroid, tiroksin (T4), dan triodotironin
(T3). Hormon tiroid mengatur proses metabolisme karbohidrat dan lemak, serta
mempengaruhi hormon lain diantaranya growth hormon.1 Sehingga dapat dikatakan
hormon ini berpengaruh pada sebagian besar sel, berperan besar bagi pertumbuhan
dan perkembangan bagi sebagian besar organ, terutama pada otak, terutama pada awal
kehidupan. Pada manusia tumbuh kembang otak ini terjadi pada masa janin dan dua
tahun pertama kehidupannya. Konsekuensinya, kekurangan yodium pada masa ini akan
melibatkan hormone tiroid, pada masa kritis, dengan akibat hypotiroidisme dan kerusakan
otak (brain damage). Konsekuensi klinisnya berupa retardasi mental yang permanen.2
Selain itu defisiensi yodium dapat mengakibatkan kretin, stunting, gangguan penglihatan
dan gondok.3
Sejarah
Yodium (masa atom 126,9 amu) merupakan komponen penting dari hormon yang
diproduksi oleh kelenjar tiroid. Hormon tiroid, dan juga yodium, merupakan komponen
yang penting dalam kehidupan mamalia. Pada tahun 1811, Courtois menemukan yodium
sebagai zat yang berbentuk uap yang keluar dari debu rumput laut, ketika sedang
memproduksi bubuk senjata untuk tentara Napoleon. Gay – Lussac mengidentifikasi
yodium sebagai suatu elemen baru, dan menamakannya yodium, yang berasal dari
bahasa Itali untuk warna ungu. Yodium juga ditemukan didalam kelenjar tiroid oleh
Baumann tahun 1895. Pada tahun 1917, Marine dan Kimball memperlihatkan bahwa
pembesaran kelenjar tiroid ditimbulkan oleh defisiensi yodium dan dapat dicegah
oleh suplementasi yodium. Profilaksis dari gondok dengan menggunakan garam yang
mengandung yodium pertama kali diperkenalkan di Swiss dan Amerika Serikat pada
awal tahun 1920.
Pada tahun 1890, WHO melaporkan suatu estimasi global pertama kali di dunia
yang memperkirakan bahwa sekitar 20-60% dari populasi dunia mengalami defisiensi
yodium dan atau gondok, yang sebagian besar terdapat di negara berkembang. Tetapi,
Penyebab GAKY
Di Indonesia, prevalensi gondok endemik yang tinggi pada umumnya dijumpai di sekitar
lereng gunung berapi, atau di daerah pegunungan. Apabila asupan yodium dalam makanan
yang masuk dalam tubuh kurang memadai, maka pembentukan tiroksin akan terhambat.
Akibatnya Thyiroid Stimulating Hormon (TSH) akan dipacu produksinya, selanjutnya TSH
akan memacu kelenjar tiroid untuk memproduksi tiroglobulin.
Masukan yodium pada manusia berasal dari makanan dan minuman yang berasal dari
alam sekitarnya. Jika lahan alam di tanah permukaan kurang tersedia yodium, maka semua
tumbuhan dan air yang berada di daerah tersebut kandungan yodiumnya akan kurang.
Sebagai contoh, sumur di RSUP Dr Kariadi Semarang, yang merupakan daerah pantai,
mengandung yodium sebesar 4,8 - 11 ug/L, air dari PDAM Semarang yang bersumber mata
air gunung di Ungaran kadar yodiumnya 0,9 ug/L dan air di mata air di desa-desa endemik
berat di Sengi, kabupaten Magelang mengandung yodium sebesar 0,2 ug/L.4
Usaha dalam mengatasi gangguan akibat kekurangan yodium sudah banyak dilakukan
oleh bangsa Indonesia dan bangsa negara lain, dengan hasil yang baik. Daerah yang semula
menunjukkan defisiensi derajad berat, telah berubah menjadi derajad sedang dan ringan.
Tetapi sebaliknya, terdapat daerah yang semula tergolong non defisiensi berubah menjadi
daerah defisiensi baru, walaupun dalam skala ringan. Kecenderungan demikian juga terjadi
di dunia, dimana negara maju yang semula bebas defisiensi ternyata menunjukkan tanda
asupan yodium menurun, seperti Australia dan New Zealand, USA dan Jerman, bahkan
wilayah pantai modern, seperti Hongkong. Demikian juga kecenderungan overtreated
yang ditemukan di berbagai negara dengan implikasi yang dapat ditimbulkan. Hal ini
menunjukkan bahwa defisiensi yodium akan selalu menjadi masalah aktual sepanjang
masa.5
Kebutuhan
Terdapat beberapa istilah tentang asupan gizi seperti yang dikeluarkan oleh IOM (Institute
of Medicine).
* EAR (Estimated average requirement) adalah asupan yodium harian untuk memenuhi
kebutuhan separuh dari individu sehat dalam gaya hidup tertentu. EAR tidak untuk
kebutuhan individu tetapi untuk kebutuhan suatu kelompok individu.
* RDA (The recomended dietary allowance) untuk yodium adalah rerata kecukupan
asupan harian untuk memenuhi kebutuhan yodium 97-98% dari individu sehat
menurut umurnya. Ini dapat digunakan sebagai target asupan yodium harian pada
seorang individu.
* RNI (Recommended Nutrient) untuk yodium adalah estimasi asupan untuk memenuhi
kebutuhan dari hampir semua individu menurut umur dan tahapan hidupnya.
Kebutuhan ini dibagi menjadi untuk orang dewasa, ibu hamil dan menyusui, bayi dan anak
C. Bayi
Karena tidak terdapat kriteria fungsional asupan yodium pada bayi, rekommendasi asupan
yodium didasarkan pada rerata asupan yodium pada bayi yang lahir cukup bulan yang
mendapat ASI eksklusif. WHO merekomendasikan asupan yodium untuk bayi 90 µg//hari.
Kebutuhan yodium selama menyusui hendaknya didasarkan pada keseimbangan bayi. Studi
keseimbangan pada bayi cukup bulan, didapatkan retensi 7,3 µg/kgBB/hari. Jika bayi umur
6 bulan dengan BB 7 kg, retensi harian adalah positif 50 µg.
D. Anak
WHO merekomendasikan asupan yodium harian sebanyak 90 µg untuk anak pra sekolah,
dan 120 µg untuk anak sekolah.
Aspek klinis
Semula pandangan para ahli terhadap defisiensi yodium hanya terbatas pada gondok endemik
dan kretin endemik saja ke pandangan yang lebih luas, yaitu gangguan perkembangan
pada manusia, baik fisik maupun mental. Dengan demikian istilah defisiensi yodium yang
Terdapat 3 bentuk kelainan klinis, yaitu gondok endemik, kretin endemik dan
hipotiroidisme.
Gondok endemik
Semula gondok endemik disama artikan dengan GAKY, namun kini telah dipisahkan.
Gondok hanya sebagian kecil dari spektrum GAKY. Penyebab utama gondok adalah defisiensi
yodium dan penyebab lain seperti goitrogen dan kelebihan yodium, dan mikronutrien
yang lain. Dengan memberi yodium dalam jumlah yang cukup, prevalensi gondok akan
berkurang, tetapi tidak berarti GAKY telah tiada.9
Kretin endemik
Merupakan akibat defisiensi yodium berat pada masa fetus dan merupakan indikator klinik
penting bagi GAKY. Prevalensinya di daerah defisiensi yodium derajad berat berkisar antara
1-15%. Kretin endemik umumnya lahir di daerah defisiensi yodium yang sangat berat,
Kretin miksedematosa
Tipe ini banyak dijumpai di Kongo, ditandai dengan :
- retardasi mental, namun derajadnya lebih ringan
- tanda-tanda hipotiroid klinis. Tubuh sangat pendek (cebol), miksedema, kulit kering,
rambut jarang,
- gangguan neurologis: spastisitas tungkai bawah, refleks plantaris, dan gangguan gaya
berjalan.
Setelah bayi 3 bulan akan terlihat gambaran kretin sporadik klasik seperti: suara tangis
berat (nada rendah), parau, lidah besar, hipoplasia hidung, kulit kasar, kering, dingin dan
hernia umbilicalis. Pada umur 6 bulan anak terlihat bodoh dan pendek, disertai gangguan
neurologis berupa disfungsi serebeler (gangguan keseimbangan, tremor, disartri).8 Tanda
klinis dini kretin sporadik tidak dapat dikenali dengan mudah dan pasti. Maka sekarang
banyak negara telah melakukan skrining hipotiroid kongenital. Jika terdiagnosis, tiroksin
harus segera diberikan.
Tabel 3. Rekomendasi asupan yodium (µg/h) sesuai kelompok umur dan populasi
Grup Populasi IOM Grup Populasi WHO
Dan Umur EAR AI or RDA dan Umur RNI
Bayi 0-12 bulan 110 130 Anak 0 – 5 thn 90
Anak 1-8 thn 65 90 Anak 6 – 12 thn 120
Anak 9-13 thn 73 120
Dewasa > 14 thn 95 150 Dewasa > 12 thn 150
Ibu Hamil 160 220 Ibu hamil 250
Ibu Menyusui 200 290 Ibu menyusui 250
Sumber : Zimmermann. Endocrine Reviews 2009
Tabel 4. Kriteria epidemiologis WHO untuk assessment nutrisi yodium pada populasi
yang berdasarkan median atau rentang UI
UI (µg/liter) Intake yodium Nutrisi yodium
Anak usia sekolah
< 20 Tidak cukup Defisiensi yodium berat
20 – 49 Tidak cukup Defisiensi yodium sedang
50 – 99 Tidak cukup Defisiensi yodium ringan
100 – 199 cukup Optimum
200 – 299 lebih dari cukup Resiko hipertiroid karena yodium pada usia yang rentan
> 300 Berlebihan Resiko hipertiroid karena kerusakan penerimaan tubuh terhadap
yodium (autoimmune tiroid disease)
Ibu hamil
< 150 Tidak cukup
150 – 249 cukup
250 – 249 lebih dari cukup
> 500 Berlebihan
Ibu menyusui
< 100 Tidak cukup
> 100 cukup
Anak dengan usia 2 thn
< 100 Tidak cukup
> 100 cukup
Sumber : Zimmermann. Endocrine Reviews 2009
Di beberapa daerah dengan defisiensi yodium sedang atau berat, iodisasi garam
dipandang kurang efektif untuk menanggulangi defisiensi yodium dalam jangka pendek
(Zimmermann). Oleh karena itu digunakan pemberian yodium dosis tinggi dengan bentuk
injeksi atau kapsul.
Program suntikan yodium pernah dilakukan di Indonesia pada tahun 1970-1990 di
daerah endemis sedang dan berat. Sasarannya adalah wanita berumur 0-35 tahun dan laki-
laki umur 0-14 tahun. Mulai tahun 1992 diberikan yodium dosis tinggi berbentuk kapsul.
Sasarannya wanita umur 0-35 tahun dan pria umur 0-20 tahun. Kapsul ini diberikan
setahun sekali. Penelitian di kabupaten Magelang terhadap pemberian yodium dosis tinggi
ini adalah penurunan kasus kretin sehingga tidak ada lagi kasus.10
Tabel 6. Rekomendasi suplementasi iodine pada ibu hamil dan bayi di daerah dimana
rumah tangga yang menggunakan garam dapur kurang dari 90% dan median UI <
100 ug/liter pada anak sekolah.
Wanita usia subur Dosis tunggal tahunan, 400mg iodine dalam minyak yang beryodium
Atau dosis iodine harian dalam KI yang diberikan hingga memenuhi total kebutuhan
iodine sesuai RNI yaitu 150ug/d
Ibu hamil atau menyusui Dosis tunggal tahunan, 400mg iodine dalam minyak yang beryodium
Atau dosis iodine harian dalam KI yang diberikan hingga memenuhi total kebutuhan
iodine sesuai RNI yaitu 250ug/d
Suplemen yodium tidak boleh diberikan pada ibu yang telah mendapat minyak
beryodium selama masa kehamilan yang lalu atau diatas 3 bulan sebelum
kehamilannya berikutnya.
Anak usia 0 – 6 bulan Dosis tunggal 100mg dalam minyak beryodium
Atau dosis iodine harian dalam KI yang diberikan hingga memenuhi total kebutuhan
iodine sesuai RNI yaitu 90ug/d
Diberikan suplemen yodium hanya bila ibu tidak diberikan suplemen selama
kehamilan atau anak tidak diberikan ASI
Anak usia 7 – 24 bulan Dosis tunggal tahunan, 200mg iodine dalam minyak yang beryodium, setelah usia
7 bulan
Atau dosis iodine harian dalam KI yang diberikan hingga memenuhi total kebutuhan
iodine sesuai RNI yaitu 90ug/d
Daftar Pustaka
1. Rustama DS. Skrining (uji saring) hipotiroid pada bayi baru lahir: Suatu upaya deteksi dini kelainan
hipotiroid kongenital. Jurnal GAKY Indonesia 2003; 4: 1-6.
2. Andersson M, de Benoist B, Darnton-Hill I, Delange F. Iodine deficiency in Europe. A continuing public
health problem. WHO, Unicef 2007.
3. Agarwal DK, Agarwal KN. Current status of endemic goiter control program in India: measures to
eradicate by 2000 AD. Indian J Comm Health 1987;9:207-217
4. Suharyo H, Margawati A, Setyawan H, Djokomuljanto. Aspek sosio-kultural pada program penanggulangan
GAKY. Jurnal GAKY Indonesia 2002; 1: 41-46.
5. Bambang Hartono. Perkembangan fetus dalam kondisi defisiensi yodium dan cukup yodium. Jurnal GAKY
Indonesia 2002; 1: 19-27.
6. Dunn JT. The global chalenge of iodine deficiency. Jurnal GAKY Indonesia 2002; 1: 1-7.
7. Zimmermann MB. Iodine deficiency. Endocrine Reviews 2009; 30 (4): 376 - 408.
8. Bambang Hartono. Manifestasi klinik derajat ringan dari kretin endemik. Jurnal GAKY Indonesia 2003;
4: 7-13.
9. Djokomuljanto R. Masalah gangguan akibat kekurangan yodium: pengamatan selama seperempat abad.
Jurnal GAKY Indonesia 2002; 2: 1-11.
10. Joko Kartono, Muhilal, Dewi Permaesih, Rachmi Utomo. Penggunaan Yodium dosis tinggi dalam
penanggulangan gangguan akibat kekurangan Yodium di Indonesia. Jurnal GAKY Indonesia 2004;3:19-29.
Pendahuluan
Seng merupakan trace element penting untuk hampir semua sistem biologi, yang diperlukan
untuk pembelahan, diferensiasi dan pertumbuhan sel.1 Seng mempunyai peran penting bagi
ratusan enzim seperti dehidrogenase, aldolase dan peptidase, serta terlibat dalam berbagai
proses metabolisme, termasuk sintesis karbohidrat, lipida, protein dan asam nukleat serta
sintesis dan aktivitas insulin, ekspresi gen, sistem imun dan pertumbuhan.2,3,4,5
Pembentukan dan aktivasi enzim zinc-dependent diatur oleh kadar seng jaringan.2 Seng
metalloenzim bertanggung jawab terhadap intregitas struktur ditingkat seluler dan regulasi
metabolisme RNA dan DNA.2,5 Absorpsi seng terutama di duodenum, sedang ekskresi
terutama di usus dan selanjutnya di ginjal.3
Organ yang fungsinya tergantung pada pembelahan sel, seperti sistem kekebalan tubuh
dan usus, sangat sensitif terhadap defisiensi seng. Anak-anak di negara sedang berkembang
mengalami asupan seng yang tidak adekuat1, yang mengakibatkan penurunan regenerasi
sel, fungsi barrier epitel dan pertumbuhan linier serta penurunan sistem imun; sehingga
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.1,3,6
Homeostasis seng
Seng yang mempunyai berat atom 65,37 terdapat disemua jaringan dan cairan tubuh sebagai
Zn2+. Pusat homeostasis seng adalah sistem pencernaan, terutama usus halus, hati dan
pankreas. Proses absorpsi seng eksogen, sekresi gastrointestinal dan ekskresi seng endogen
sangat penting untuk homeostasis seng seluruh tubuh.7,8,9
Absorpsi seng terutama di duodenum, melalui mekanisme aktif dan pasif,
selanjutnya seng ditransport ke hati dalam bentuk terikat dengan albumin, transferin
dan α2- makroglobulin.3,5,7,10 Absorpsi seng tergantung pada jumlah dan kelarutan
dalam lumen usus. Asam fitat mengurangi kelarutan dan mengganggu absorpsi seng di
dalam usus.1
Aktifitas dan kadar seng dalam jaringan bergantung pada asupan seng dalam makanan,
dan dipertahankan melalui asupan seng. Ketika asupan seng meningkat, terjadi penurunan
absorbsi dan peningkatan ekskresi melalui usus sedangkan ekskresi melalui urin tetap
konstan. Ekskresi endogen seng melalui feses dapat meningkat beberapa kali lipat untuk
mempertahankan homeostasis seng pada asupan seng yang tinggi. Bila asupan seng sangat
rendah, absorpsi bisa meningkat menjadi 59-84% dan ekskresi melalui feses dan urin
Absorpsi seng juga diatur oleh metalotionein yg disintesis di dalam sel mukosa saluran
cerna. Metalotionein berperan dalam pengaturan kadar seng cairan intraseluler. Bila
konsumsi seng tinggi, di dalam sel mukosa saluran cerna sebagian seng akan diubah menjadi
metalotionein sebagai bentuk simpanan dan akan dibuang bersama deskuamasi sel epitel
mukosa usus, sehingga absorpsi berkurang. Kelebihan seng juga disimpan di dalam hati
dalam bentuk metalotionein, lainnya dibawa ke pankreas dan jaringan tubuh lain. Di dalam
pankreas, seng digunakan untuk membuat enzym pencernaan, yang pada waktu makan
dikeluarkan ke dalam saluran cerna. Distribusi seng ini dipengaruhi oleh keseimbangan
hormonal dan stres, sedang hati mempunyai peran penting dalam proses redistribusi.5
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi seng adalah jumlah dan bentuk seng yang
dikonsumsi, diet yang meningkatkan absorpsi (ASI, protein hewani) dan yang menghambat
Dengan demikian seng mempunyai peran penting, baik dalam reaksi antigen-spesifik
(T- lymphocyte-dependent cellular immunity dan respon antibodi melalui antigen-stimulated
B-lymphocytes) maupun mekanisme nonspesific (fagositosis, sistem komplement, fungsi
lisozim)4 dan juga mempengaruhi aktifitas komplemen, sehingga mediator-mediator yang
dihasilkan juga dipengaruhi oleh seng.15
Gambar 3. Apoptosis akibat defisiensi seng pada berbagai sel dan jaringan
Dikutip dari: Fraker PJ. J. Nutr 2005.
Kebutuhan seng
Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan untuk bayi usia 0-6 bulan adalah 2 mg/hari
dan 3 mg/hari untuk usia 7-36 bulan; sedang dosis 5 mg/hari untuk anak usia 4-8 tahun
dan 8 mg/hari untuk anak usia 9-13 tahun. Untuk remaja usia 14-18 tahun laki-laki adalah
11 mg/hari dan perempuan 9 mg/hari.6,13 Belum diketahui dosis untuk mempertahankan
Sumber seng
Sumber seng yang paling baik adalah protein hewani, karena mengandung asam amino
yang meningkatkan absorpsi seng dan mempunyai bioavailibilitas yang tinggi. Serealia
dan kacang-kacangan juga merupakan sumber seng yang baik, tetapi bioavailibilitasnya
rendah dan mengandung asam fitat yang menurunkan kelarutan dan absorpsi seng dalam
usus.1,5,13
Simpulan
Seng mempunyai peran penting dalam berbagai fungsi biologis manusia, selain sebagai
katalisator berbagai enzim dalam proses metabolisme, juga berpartisipasi dalam sintesis asam
nukleat dan protein, serta membantu mempertahankan integritas membran sel. Seng juga
berfungsi sebagai antioksidan yang melindungi sel dari kerusakan akibat oksigen radikal,
serta mempengaruhi sistem imun, terutama dalam proliferasi dan diferensiasi limfosit.
Defisiensi seng sering dikaitkan dengan penurunan reaksi enzimatis dan imunologis
serta peningkatan apoptosis. Manifestasi klinis defisiensi seng sangat bervariasi, antara lain
penurunan sistem imun yang berakibat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi dan
gangguan pertumbuhan yang merupakan akibat awal dari defisiensi seng pada bayi, anak
maupun remaja. Efek toksik seng yang bersifat akut jarang terjadi pada manusia, sedang
yang kronis dan sub-kronis terjadi bila konsumsi suplemen seng jangka lama. Sumber seng
yang paling baik adalah protein hewani, karena mempunyai bioavailibilitas yang tinggi.
Daftar Pustaka
1. Strand TA, Mathisen M. Zinc and childhood infections: From the laboratory to new treatment
recommendations. Norsk Epidemiologi 2005 ; 15(2):151-57.
2. Gura KM, Chan LN. Drug Therapy and Role of Nutrition. Dalam: Walker WA, Watkins JB, Dugan C,
penyunting. Basic Science and Clinical Applications. Edisi ke 4. Ontario: BC Decker Inc 2008; 200-2
3. Samman S. Zinc. Nutrition & Dietetics 2007; 64 Suppl 4: S131– 4
4. Kruse-Jarres JD. Pathogenesis and symptoms of zinc deficiency. Am Clin Lab 2001; 3:17-22
5. Almatsier S. Seng (Zn). Dalam: Prinsip dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta 2002: 257
– 261
6. Larson CP, Roy SK, Khan AI, Rahman AS, Qadri F. Zinc Treatment to Under-five Children: Applications
to Improve Child Survival and Reduce Burden of Disease 2008; 26 (3):356-65
Pendahuluan
Obesitas dan overweight, adalah dua istilah yang sering digunakan untuk menyatakan adanya
kelebihan berat badan. Kedua istilah ini sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda.
Kata obesitas yang berasal dari bahasa latin mempunyai arti makan berlebihan, tetapi saat
ini obesitas atau gemuk didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai
dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.1 Overweight adalah kelebihan
berat badan dibandingkan dengan berat ideal yang dapat disebabkan oleh penimbunan
jaringan lemak atau jaringan non lemak, misalnya pada seorang atlit binaragawan kelebihan
berat badan dapat disebabkan oleh hipertrofi otot.
Obesitas pada anak sampai saat ini masih merupakan masalah yang kompleks.
Penyebabnya multifaktorial sehingga menyulitkan penatalaksanaannya. Obesitas mempunyai
dampak terhadap tumbuh kembang anak terutama aspek perkembangan psikososial. Selain
itu obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas dimasa dewasa dan berpotensi
mengalami pelbagai penyebab kesakitan dan kematian antara lain penyakit kardiovaskuler,
diabetes mellitus, dll.
Sulitnya mengatasi obesitas menyebabkan prioritas tatalaksana obesitas diutamakan
pada usaha pencegahan, yang berarti diawali dari pencegahan obesitas pada masa anak.
WHO (1998) membagi tahapan pencegahan menjadi tiga yaitu : pencegahan primer
yang bertujuan mencegah terjadinya obesitas; pencegahan sekunder yang bertujuan
menurunkan prevalensi obesitas; dan terakhir pencegahan tertier yang bertujuan
mengurangi dampak obesitas2. Pencegahan sekunder dan tersier lebih dikenal sebagai
tatalaksana obesitas serta dampaknya. Untuk melaksanakan ketiga tahapan pencegahan
secara optimal, perlu dikenali kriteria obesitas, faktor-faktor penyebab serta dampak dari
obesitas itu sendiri.
Kriteria obesitas
Secara klinis obesitas dengan mudah dapat dikenali karena mempunyai tanda dan gejala
yang khas, antara lain wajah yang membulat, pipi yang tembem, dagu rangkap, leher relatif
pendek, dada yang membusung dengan payudara yang membesar mengandung jaringan
lemak, perut membuncit diserta dinding perut yang berlipat-lipat serta kedua tungkai
umumnya berbentuk X dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan
Sebagian besar kasus dengan penyebab endogen dapat didiagnosis dengan anamnesis
serta pemeriksaan fisis yang teliti (lihat Tabel 2).
Aktivitas
Aktifitas meliputi aktifitas sehari-hari, kebiasaan, hobi, maupun latihan atau olahraga.31
Pada anak obesitas aktifitas sehari-hari maupun hobi sering berhubungan dengan makan,
misalnya pada saat pergi ke pusat perbelanjaan diikuti dengan makan ice cream dan fast food.
Pada waktu berenang diselingi maupun diakhiri dengan makan makanan yang disediakan di
kafe, dan pada perjalanan pulang dari berolahraga diikuti dengan makan pizza.
Suatu data menunjukkan bahwa aktifitas fisik anak-anak cenderung menurun.
Anak-anak lebih banyak bermain di dalam rumah dibandingkan di luar rumah, misalnya
bermain games komputer maupun media elektronik lain, menonton televisi yang banyak
menyuguhkan acara maupun film anak, disamping iklan makanan yang mempengaruhi
peningkatan konsumsi makanan manis-manis atau ‘camilan’34
Sebaliknya menonton televisi akan menurunkan aktifitas dan keluaran energi , karena
mereka menjadi jarang atau kurang berjalan, bersepeda, maupun naik- turun tangga.35,36
Disamping itu menonton program televisi tertentu terbukti menurunkan laju metabolisme
tubuh.37 Sebuah penelitian kohort mengatakan bahwa menonton televisi lebih dari 5 jam
meningkatkan prevalensi dan angka kejadian obesitas pada anak 6-12 tahun (18%), serta
menurunkan angka keberhasilan sembuh dari terapi obesitas sebanyak 33%.38
Obesitas cenderung menurunkan aktifitas karena untuk mengurangi pergesekan antar
kedua tungkai bagian atas dan antar lengan dan dada, paru dan jantung harus bekerja lebih
berat untuk mengakomodasi kelebihan berat badan, dan terakhir peningkatan massa tubuh
memerlukan tambahan energi untuk melakukan kegiatan yang sama.39
Sosial-ekonomi
Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku hidup, gaya hidup dan pola makan, serta faktor
peningkatan pendapatan, mampu mempengaruhi perubahan dalam pemilihan jenis makanan
Tatalaksana obesitas
Tata laksana komprehensif obesitas mencakup penanganan obesitas dan dampak yang terjadi.
Prinsip dari tatalaksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran
energi. Caranya dengan pengaturan diet, peningkatan aktifitas fisik, merubah pola hidup
(modifikasi perilaku), dan yang terpenting adalah keterlibatan keluarga dalam proses terapi.3,6,8,46
Selain terapi konvensional seperti yang dijelaskan terdahulu, dikenal juga istilah terapi intensif
yang diindikasikan pada morbid obesitas sebagai tambahan tatalaksana di atas.47
C. Modifikasi perilaku
Tata laksana diet dan latihan fisik merupakan komponen yang efektif untuk pengobatan, dan
menjadi perhatian paling besar bagi ahli fisiologi untuk mendapatkan bagaimana memperoleh
perubahan makan dan aktifitas perilakunya.51 Karena prioritas utama adalah perubahan
perilaku maka perlu menghadirkan peran orangtua sebagai komponen intervensi.6
E. Terapi intensif
Diterapkan pada obesitas anak dan remaja yang disertai penyakit penyerta dan tidak
memberikan respons pada terapi konvensional. Terapi intensif terdiri dari diet berkalori
sangat rendah (very low calorie diet), farmakoterapi dan terapi bedah.47
Terapi diet berkalori sangat rendah diindikasikan jika berat badan >140% BB Ideal
(superobesitas). Protein-sparing modified fast (PSMF) adalah formula diet berkalori sangat
rendah yang paling sering diterapkan. Diet PSMF membatasi asupan kalori hanya 600-800
kalori/hari. Selain itu dianjurkan mengkonsumsi protein hewani 1,5-2,5 g/kg berat badan
ideal, suplementasi vitamin dan mineral serta minum lebih dari 1,5 L cairan per hari. Secara
umum, diet ini hanya boleh diterapkan selama 12 minggu dengan pengawasan dokter.
Risiko PSMF adalah terbentuknya batu empedu, hiperurisemia, hipoproteinemia, hipotensi
ortostatik, halitosis dan diare.45
Secara umum farmakoterapi untuk obesitas dikelompokkan menjadi tiga, yaitu penekan
nafsu makan misalnya sibutramin, penghambat absorbsi zat-zat gizi misalnya orlistat, dan
kelompok lain-lain termasuk leptin, octreotide, dan metformin. Belum tuntasnya penelitian
tentang efek jangka panjang penggunaan farmakoterapi obesitas pada anak, menyebabkan
belum ada satupun farmakoterapi tersebut diatas yang dijinkan pemakaiannya pada anak di
bawah 12 tahun oleh U.S. Food and Drug Administration sampai saat ini.47 Sejak tahun 2003,
Orlistat 120 mg dengan ekstra suplementasi vitamin yang larut dalam lemak di setujui
oleh U.S. Food and Drug Administration untuk tatalaksana obesitas remaja pada usia di
atas 12 tahun. Studi klinis selama 4 tahun menunjukkan bahwa orlistat dapat membantu
menurunkan berat badan dari 1,31 sampai 3,37 kg lebih banya dibandingkan placebo.52
Prinsipnya terapi bedah pada obesitas (bedah bariatrik) ada dua, yang pertama adalah
untuk mengurangi asupan makanan (restriksi) atau memperlambat pengosongan lambung.
dengan cara gastric banding dan vertical-banded gastroplasty. Prinsip kedua adalah mengurangi
absorbsi makanan dengan cara membuat gastric bypass dari lambung ke bagian akhir usus
halus. Sampai saat ini belum cukup banyak diteliti manfaat serta bahaya pembedahan jika
diterapkan pada anak.47 Bedah bariatrik dapat dipertimbangkan jika remaja mengalami
kegagalan menurunkan berat badan setelah menjalani program yang terencana ≥ 6 bulan
serta memenuhi persyaratan antropometris, medis dan psikologis. Indikasi bedah bariatrik
pada remaja adalah superobes (sesuai definisi World Health Organization jika IMT ≥40),
secara umum sudah mencapai maturitas tulang (umumnya perempuan ≥13 tahun dan
Pencegahan
Pencegahan dilakukan menggunakan dua strategi pendekatan yaitu strategi pendekatan
populasi untuk mempromosikan cara hidup sehat pada semua anak dan remaja beserta orang
tuanya, serta strategi pendekatan pada kelompok yang berisiko tinggi menjadi obesitas.2
Anak-anak yang berisiko menjadi obesitas adalah seorang anak yang salah satu atau kedua
orang tuanya obesitas dan anak yang memiliki kelebihan berat badan semenjak masa kanak-
kanak. Usaha pencegahan dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan di
Pusat Kesehatan Masyarakat.55
Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain mempromosikan pemberian ASI
ekslusif sampai usia 6 bulan terutama pada bayi yang secara genetik rentan untuk menjadi
obesitas. Beberapa penelitian membuktikan bahwa pemberian ASI jangka panjang serta
menunda pemberian makanan pendamping ASI dapat membantu menurunkan prevalensi
obesitas.56 Moran (1999) menganjurkan orang tua untuk menerapkan serta mengajarkan
pola diet serta aktifitas yang sehat kepada anak-anaknya sebagai berikut:26
• Hargai selera makan anak: jangan memaksa anak untuk menghabiskan setiap porsi
makanan
• Bila mungkin hindari mengkonsumsi makanan siap saji atau makanan yang manis
• Batasi jumlah makanan berkalori tinggi yang disimpan di rumah.
• Sajikan menu sehat dengan komposisi lemak lebih rendah dari 30% kalori total.
• Sajikan sejumlah serat dalam makanan anak.
• Susu skim dapat menggantikan susu sapi mulai usia 2 tahun .
• Jangan menyajikan makan sebagai penenang atau hadiah.
• Jangan mengiming-imingi permen sebagai hadiah menghabiskan makanan.
• Batasi waktu menonton televisi.
• Dorong agar anak aktif bermain
• Jadwalkan kegiatan keluarga yang teratur seperti jalan-jalan, bermain bola, dan kegiatan
di luar rumah lainnya
Pendahuluan
Kebutuhan pangan tidak terbatas pada jumlah atau kuantitas saja, tetapi juga dipertimbangkan
dari segi mutu atau kualitasnya. Masyarakat di berbagai negara menuntut produk pangan
yang mempunyai kualitas baik, bernilai gizi tinggi, dan aman. Bahkan organisasi perdagangan
dunia WTO (World Trade Organization) membuat persyaratan khusus tentang mutu dan
keamanan produk pangan yang diperdagangkan.1
Menurut WHO tahun 2002 secara global terdapat 1,5 milyar kejadian gangguan
kesehatan karena makanan (foodborne diseases), 3 juta di antaranya meninggal setiap tahun,
dengan angka yang cenderung meningkat, bahkan menurut estimasi jumlah kejadian yang
sebenarnya berkisar antara 100 sampai 300 kali dari kejadian yang dilaporkan.2,3 Menurut
WHO dan CDC, di Amerika sendiri, setiap tahunnya terdapat 76 juta kasus penyakit akibat
makanan yang menyebabkan 325.000 orang harus dirawat di rumah sakit dan 5.000 jiwa
meninggal dunia. Di Indonesia, makanan yang berasal dari katering menduduki peringkat
teratas sebagai penyebab keracunan makanan dengan angka sebesar 33,8%, disusul oleh
makanan jajanan(18,5%), keluarga (9,2%), industri (4,6%), dan tidak diketahui (33,9%).4
Berbagai kasus keracunan yang menimpa masyarakat konsumen pangan mencerminkan
bahwa masih banyak terjadi kelalaian-kelalaian dari pihak produsen serta distributor
dan pedagang makanan di satu pihak, serta ketidakpekaan dan ketidakjelian dari pihak
konsumen terhadap masalah pangan.5
Bahaya biologis
Bahaya biologis yaitu berupa bakteri, virus, parasit yang dapat menyebabkan penyakit baik
dengan cara infeksi maupun intoksikasi. Adanya bahaya biologis dapat terjadi karena organisme
telah ada di dalam bahan atau karena kontaminasi dari luar selama proses penanganan atau
pengolahan.12 Gangguan kesehatan berupa infeksi terjadi karena mengkonsumsi produk yang
mengandung mikroorganisme patogen, sedangkan intoksikasi terjadi karena mengkonsumsi
makanan yang mengandung racun (toksik) dari mikroorganisme. Pada Tabel 2.1 diberikan
beberapa contoh mikroorganisme patogen pada produk pangan.12
Tabel 2.1. Jenis dan Sumber Mikroorganisme Patogen pada Produk Pangan.12
No. Mikrobia Sumber Makanan
1. Clostridium botulinum Tanah, organ dalam ikan, hasil laut Makanan kaleng berasam rendah (daging,
ikan, sayuran)
2. Clostridium perfingens Tanah, air, saluran usus manusia Daging yang tidak cukup masak, sup, saus
& hewan
3. Salmonella sp. Air, tanah, insekta, saluran usus Daging unggas, daging sapi, telur, hasil laut
hewan khususnya unggas & babi
4. Listeria monocytogenes Tanah, air, ikan, burung Susus segar, keju, es krim, sayuran mentah,
ikan, daging unggas
5. Campilobacter jejuni Tanah, air, unggas, ternak Susu segar, daging unggas dan daging lainnya
6. Staphylococcus aerius Tangan, tenggorokan, saluran Daging unggas, daging sapi, telur, makaroni, dll
pernapasan pekerja
7. Shigella sp. Air tercemar, saluran usus hewan Susu, produk susu, daging unggas, sayuran
dan manusia mentah, salad
8. Vibrio parahaemolyticus Air laut Hasil laut mentah
9. Vibrio cholera Air, saluran pencernaan manusia Hasil laut mentah
10. Bacillus cereus Tanah, air, tanaman Rempah rempah, susu, daging, sayuran
Bahaya fisis
Bahaya fisis terdiri dari benda-benda asing yang mencemari bahan pangan pada berbagai
tahap pengolahan, misalnya selama pemanenan, penanganan, proses pengolahan,
pengemasan, penyimpanan, distribusi, hingga penyajian pada konsumen. Benda asing yang
mungkin terdapat di dalam bahan pangan dan sumbernya dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Berbagai benda asing yang mengkontaminasi produk pangan olahan jelas mengganggu
estetika di samping dapat menimbulkan bahaya, baik dari segi kesehatan maupun dari segi
ekonomi. Apabila konsumen menyadari hal tersebut, tentu tidak akan mau menerima produk
yang tercemar dengan beberapa benda asing. Hanya saja kepedulian konsumen kadang masih
relatif rendah dan mau menerima produk yang tercemar kerikil, potongan kayu, atau rambut.12
Tindakan pencegahan
Tindakan pencegahan adalah kegiatan untuk mencegah, menghilangkan, atau mengurangi
bahaya sampai ke tingkat yang dapat diterima. Tindakan pencegahan berkaitan dengan
sumber bahaya, dan tingkat teknologi yang cukup untuk mencapai tujuan tersebut.4
Tindakan pencegahan dibutuhkan bagi semua bahaya yang cukup besar. Setelah
dilakukan identifikasi bahaya, biasanya dapat dikelompokkan: (1) bahaya cukup besar
dan (2) bahaya tidak cukup besar. Untuk kelompok ke-2 ini tindakan pencegahan bukan
menjadi keharusan, tetapi mungkin perlu diadakan.4
Penyimpanan dan penyajian makanan siap santap perlu memperhatikan hal-hal berikut:
(a) makanan yang akan dihidangkan dalam keadaan dingin, kecepatan pendinginan mulai
dari suhu pemasakan sampai 4oC tidak boleh lebih dari 11 jam, dan penyimpanan dingin
hendaknya dilakukan pada suhu di bawah 4oC selama kurang dari 4 hari; (b) makanan
dingin yang perlu pemanasan kembali sebelum konsumsi harus menerima panas minimal
selama 3,5 menit pada suhu 68oC; (c) minuman-minuman yang mengandung santan dan
kelapa muda seperti es cendol, es campur, es teller, dan es kelapa, harus disimpan dalam
keadaan dingin; (d) makanan yang disimpan dalam keadaan hangat, harus dilakukan pada
suhu di atas 55oC (sebaiknya 60oC) untuk mencegah pertumbuhan bakteri thermofilik; (e)
makanan tidak boleh dibiarkan pada suhu hangat di bawah 55oC selama lebih dari 6 jam; (f)
untuk menyajikan makanan dalam keadaan hangat, sebaiknya makanan dipanaskan sampai
suhu 60oC dan disajikan dalam waktu kurang dari 30 menit untuk mempertahankan nilai
gizinya.12
Simpulan
1. Food Safety didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan bahan lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
2. Semua jenis cemaran (mikrobiologi, kimia, fisik) pada dasarnya dapat menurunkan
mutu bahan pangan dan produk olahannya serta bahkan dapat membahayakan
kesehatan konsumen. Oleh karena itu diperlukan penatalaksaan yang tepat untuk
meningkatkan keamanan makanan sehingga layak dan sehat untuk dikonsumsi oleh
masyarakat.
3. Cara yang dapat dilakukan dalam food safety yaitu dengan melakukan GAP (Good
Agricultural Practices) pada usaha produksi di pertanian, terutama untuk penggunaan
pestisida, pupuk buatan, hormon pertumbuhan, dan pencemaran lingkungan. Sedangkan
pada lingkup pabrik perlu diperhatikan penerapan GMP (Good Manufacturing Practices)
dan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) untuk mencapai mutu dan standar
yang diperlukan, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor.
4. Bahan pangan tercemar oleh mikroba dapat terjadi sebelum dipanen/dipotong
(pencemaran primer) atau sesudah dipanen/dipotong (pencemaran sekunder). Setiap
tindakan yang dapat diambil untuk mengurangi tingkat pencemaran mikroba akan
menghasilkan produk dengan kualitas mikrobiologis yang lebih baik dan tingkat
keamanan yang lebih tinggi.
5. Cemaran fisik pada bahan pangan dan produk olahannya seperti pecahan gelas, kerikil,
pasir, dan sebagainya dapat dicegah dengan cara melakukan pemilihan bahan mentah
secara teliti dan melaksanakan pemantauan selama proses pengolahan dan pada produk
akhirnya.
6. Dengan menerapkan food safety mulai dari tingkat produsen sampai konsumen maka
akan dapat mencegah, menghilangkan, atau mengurangi bahaya pangan sampai ke
tingkat yang dapat diterima.
Pendahuluan
Kelainan metabolisme bawaan (KMB) atau inborn errors of metabolism adalah kelainan
ditingkat gen yang menyebabkan defisiensi atau disfungsi protein yang berfungsi sebagai
enzim atau protein transport yang diperlukan sebagai katalisator metabolisme. tubuh.
Istilah inborn errors of metabolism pertama kali dicetuskan oleh Garrod pada tahun
1908 untuk sekelompok penyakit bawaan resesif yang bersifat relatif ringan karena tidak
mematikan, tetapi tidak ada terapinya yaitu alkaptonuria, albinisme, pentosuria dan
sistinuria. Konsep KMB berubah total setelah ditemukannya penyakit fenilketonuria
(PKU) oleh Folling pada tahun 1934. Pasien PKU mengalami retardasi mental berat,
tetapi dengan deteksi dini melalui skrining neonatus serta diet rendah fenilalanin akan
mengalami tumbuh-kembang yang normal. Sejak itu semakin banyak KMB ditemukan
yang dapat diatasi dengan pengaturan diet antara lain MSUD, defek siklus urea, dll.
Cara penurunannya pun tidak hanya terbatas pada autosomal resesif, tetapi dapat bersifat
autosomal dominan, x-linked, bahkan non-Mendelian misalnya penyakit mitochondria.
Meskipun demikian banyak KMB kompleks karena melibatkan organel sel yang tidak
cukup diterapi dengan pembatasan diet. Perkembangan pemgetahuan tentang genom dan
rekayasa genetik memungkinkan direkayasanya enzyme yang kelak digunakan sebagai
terapi pengganti defisiensi enzim.
Secara individual KMB termasuk penyakit jarang atau rare diseases karena prevalensinya
lebih kecil dari 1 per 100.000, tetapi secara kelompok prevalensinya diperkirakan 1 per
1500 kelahiran.1 Bagaimana dengan Indonesia? Secara resmi pelayanan KMB mulai
dilaksanakan sejak pertengahan tahun 2000 di Divisi Gizi dan Metabolik Dept IKA-
FKUI/RSUPN Jakarta. Meskipun sampai saat ini belum tersedia sarana laboratorium
untuk skrining maupun diagnosis KMB, secara klinis telah didiagnosis pelbagai jenis KMB
antara lain PKU, GSD, MMA, MPS type I, II, IV, VII, Fabry, MLD, GM1, NP type B,
NCL, congenital lactic acidosis,(pyruvate carboxylase deficiency) mitochondrial diseases
(MELAS, dll), familial hypercholeterolemia, sindrom Smith-Lemly-Opitz, peroxisomal
disorders (adrenoleukodystrophy). Diagnosis definitif dilakukan dengan mengirimkan
sampel (darah, urin, cairan serebrospinal, dll) ke fasilitas laboratorium khusus di manca
negara. Sebagian besar pasien tersebut datang pada stadium lanjut yang umumnya
irreversible., meskipun sebelumnya telah berkonsultasi dengan spesialis anak. Padahal jika
Anamnesis :
1. Adanya riwayat konsanguinitas dalam keluarga (perlu membuat silsilah keluarga atau
yang dikenal sebagai pedigree).
2. Riwayat saudara dengan kelainan yang tidak dapat diterangkan:SIDS (sudden infant
death syndrome), ensefalopati, sepsis.
3. Kelainan yang bersifat familial: penyakit neurologis yang progresif, PKU maternal,
keguguran berulang, sindrom HELPP (haemolysis, elevated liver enzymes and low platelet
count), dll.
4. Gagal tumbuh atau malnutrisi.
5. Dekompensasi metabolik berulang yang dipicu oleh keadaan spesifik misalnya:
peningkatan katabolisme: puasa, infeksi, demam, vaksinasi, operasi, trauma atau
asupan diet tinggi protein, laktosa, karbohidrat, fruktosa,lemak, serta obat-obatan.
6. Bau tubuh dan urin yang tidak lazim terutama saat terjadi dekompensasi metabolik:
PKU, MSUD (maple syrup urine disease), dll.
7. Warna urin : biru-coklat pada alkaptonuria, coklat pada mioglobinuria.
Pemeriksaan fisis:2,3
1. Sindrom neurologis
Ensefalopati kronik, ditandai oleh adanya retardasi psikomotorik atau hambatan
perkembangan (delayed development), yang pada. KMB menunjukkan ciri-ciri sbb :
1. Umumnya bersifat global yang meliputi semua aspek perkembangan yaitu motorik
kasar dan halus, kognitif, sosio-adaptif, serta kemampuan bicara
2. Disertai gejala iritabilitas, impulsifitas, agresifitas serta hiperaktifitas
Miopati pada KMB umumnya disebabkan oleh defisiensi energi. Secara klinis
dikelompokkan menjadi:
1. Kelemahan otot yang progresif
2. Intoleransi latihan dengan kram dan mioglobinuria (fenotipe defisiensi
miofosforilase)
3. Intoleransi latihan dengan kram dan mioglobinuria {fenotipe defisiensi carnitine
palmityl transferase-2 (CPT II))
4. Miopati sebagai bagian dari manifestasi penyakit multisistemik (miopati
mitokondrial).
3. Sindrom jantung
1. Kardiomiopati karena KMB dapat ditelusuri dari gejala ekstrakardial yang
ditemukan, sebagai contoh jika disertai gejala miopati skeletal misalnya hipotonia,
dapat dipikirkan kemungkinan glycogen storage diseases (GSD) type II yang
lebih dikenal sebagai penyakit Pompe, defisiensi long-chain-3-hydroxyacyl-CoA
dehydrogenases (LCHAD), atau miopati mitokondrial. Jika disertai hepatomegali
tanpa disfungsi hepatoseluler pikirkan kemungkinan gangguan metabolisme
glikogen, sedangkan jika disertai disfungsi hepatoseluler kemungkinan besar
disebabkan oleh defek oksidasi asam lemak. Hepatosplenomegali dengan
kardiomiopati mengarahkan pada kemungkinan penyakit lisosomal. Selanjutnya
jika disertai abnormalitas neurologis biasanya akibat miopati mitokondrial.
2. Aritmia merupakan komplikasi nonspesifik yang sering dijumpai pada kardiomiopati
metabolik. Derajat disritmia sangat bervariasi mulai dari sindrom Wolff-Parkinson-
White sampai henti jantung. Sindrom Kearns-Sayre (sitopati mitokondrial),
penyakit Fabry, defisiensi carnitine-acylcarnitine translocase, propionic acidemia,
penyakit Hunter dan defisiensi medium-chain-acyl-CoA dehydrogenases (MCAD)
adalah contoh KMB dengan gejala aritmia.
3. Penyakit arteri koroner prematur adalah gejala hiperkolesterolemia familial dan
penyakit Fabry.
5. Sindrom neonatal5,6
Gambaran klinis KMB pada masa neonatus yang patognomonis dapat dikelompokkan
menjadi sindrom neonatal yang terdiri dari:
1. Ensefalopati tanpa asidosis metabolik, umumnya didahului dengan periode
normal tanpa riwayat trauma lahir sehingga tidak dapat menjelaskan kejadian
ensefalopati. Dapat terjadi pada MSUD, urea cycle disorders (UCD), nonketotik
hiperglisinemia, kejang akibat defisiensi piridoksin, kelainan peroksisomal (sindrom
Zellweger), defek kofaktor molibdenum.
2. Ensefalopati dengan asidosis metabolik, memberikan gambaran khas yaitu bayi
awalnya normal sampai usia 3-5 hari, selanjutnya timbul kesulitan minum serta
gejala ensefalopati nonspesifik yang disertai takipnea. Hal ini dapat terjadi pada
organic aciduria, asidosis laktat kongenital dan dicarboxylic aciduria.
3. Sindrom hati neonatal. Ikterus adalah gejala utama atau mungkin satu-satunya
gejala yang ditemukan pada masa neonatus misalnya pada sindrom Gilbert,
sindrom Gilbert-Najjar, sindrom Dubin-Johnson. Disfungsi hepatoseluler akibat
KMB yang muncul pada masa neonatus umumnya disertai hipoglikemia, asites,
edema anasarka, hiperalbuminemia, hiperamonemia, hiperbilirubinemia dan
koagulopati. Contohnya adalah tirosinemia hepatorenal, GSD tipe IV, intoleransi
fruktosa herediter, defek oksidasi asam lemak, kelainan metabolisme energi di
mitokondrial dan penyakit Niemann-Pick.
4. Hidrops fetalis non-imunologis merupakan gejala dari kelainan hematologis
yaitu defisiensi G6PD, defisiensi piruvat-kinase, defisiensi glukosefosfat-isomerase
atau kelainan lisosomal (a.l. gangliosidosis GM1, penyakit Gaucher, dll)
Laboratorium rutin2,3,7,8
Darah perifer lengkap:
anemia, leukopenia, trombositopenia dapat ditemukan pada organic aciduria, limfosit atau
neutrofil bervakuola pada penyakit lisosomal, akantositosis pada abetalipoproteinemia
dan penyakit Wolman
Analisis gas darah dan elektrolit
untuk menilai anion gap: asidosis metabolik +/- peningkatan anion gap ditemukan
pada organic aciduria; alkalosis respiratorik pada UCD
Glukosa:
hipoglikemia dapat ditemukan a.l. pada defek glikogenolisis, defek glukoneogenesis
Ammonia:
hiperamonemia dijumpai pada UCD, organic aciduria, dan defek oksidasi asam lemak
Skrining metabolik
Bertujuan untuk menentukan intervensi medis misalnya pada skrining neonatus,
perencanaan reproduksi (diagnosis pranatal), riset (untuk menjawab pertanyaan epide
miologis). Pada pendekatan klinis KMB yang dimaksud disini, skrining dilakukan secara
selektif setelah mendapat diagnosis kerja yang terarah berdasar ketiga aspek yang telah
dijelaskan di atas. Tujuannya selain untuk menentukan intervensi medis juga untuk
keperluan perencanaan reproduktif tetapi dengan cara seefisien mungkin terutama dalam
segi pembiayaan.
Umumnya langkah awal skrining metabolik adalah melakukan pemeriksaan asam
amino plasma dan asam organik urin. Jika memungkinkan dapat dilakukan berbagai
skrining khusus untuk mendeteksi mukopolisakaridosis serta oligosakaridosis (kelainan
lisosomal), status acylcarnitine (defek oksidasi asam lemak), kadar very long chain fatty
acid = VLCFA (kelainan peroksisomal). Sampel untuk pemeriksaan ini dapat berbentuk
sediaan darah kering (dry blood spot) atau sediaan urin kering (dry urine spot) di kertas
saring.
Diagnosis pasti
Meskipun dengan skrining metabolik dapat ditentukan kemungkinan KMB, tetapi untuk
keperluan konsultasi genetik diperlukan diagnosis pasti. Diagnosis pasti dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan aktifitas enzim pada leukosit, fibroblast, hati, atau di otot.
Berkembang pesatnya teknik pemeriksaan molekular genetik, memungkinkan
mendeteksi mutasi ditingkat DNA. Meskipun demikian untuk melakukan analisis DNA,
gen penyebab kelainan genetik tsb harus sudah dikenal serta diisolasi. Umumnya mutasi
DNA penyebab penyakit jarang sekali yang tunggal, selain itu jika pemeriksaan tidak dapat
mendeteksi adanya mutasi bukan berarti mengubah diagnosis.
Ada beberapa KMB yang mempunyai mutasi umum misalnya defisiensi MCAD
(mutasi K329E pada gen MCAD), galaktosemia (mutasi Q188R pada gen GALT), dll.
Pada KMB tersebut di atas, analisis DNA mungkin lebih praktis. Selain itu analisis DNA
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pranatal.9
Simpulan
Selama ini banyak mitos yang mengelilingi kelainan metabolisme bawaan di antaranya
adalah dicap sebagai penyakit yang sangat jarang sehingga selalu menempati urutan
terakhir dari daftar diagnosis banding, diagnosisnya sulit serta memerlukan teknik yang
canggih serta mahal, tidak ada pengobatannya, dll.
Pada kenyataannya KMB tidaklah sejarang seperti yang diduga selama ini. Gejala-
gejalanya kebanyakan bersifat umum serta non-spesifik, akibatnya seringkali terlewatkan
apabila dokter tidak dibekali oleh cara berpikir metabolic (metabolic thinking). Padahal
diagnosis serta talaksana yang terlambat dapat berakibat kecacatan bahkan kematian yang
seringkali dilabel sebagai SIDS, “sepsis”, maupun ensefalopati et cause ignota.
Pesatnya perkembangan teknik diagnosis yang memungkinan diagnosis dini bahkan
sejak janin tetap tidak dapat mencakup seluruh KMB. Selain itu umumnya pemeriksaan
tersebut memerlukan peralatan yang canggih sehingga relatif mahal dan sulit dijangkau
terutama di negara yang sedang berkembang. Meskipun demikian seorang dokter spesialis
anak, yang mempunyai kemungkinan terbesar menghadapi anak dengan KMB, dapat mulai
menegakkan diagnosis dini berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis serta laboratorium
rutin, sebelum memastikan diagnosis menggunakan pemeriksaan yang selektif yang pada
akhirnya dapat menghemat biaya.
Tatalaksana KMB sebagian besar berkaitan dengan pengaturan diet, sehingga
memungkin dilaksanakan di negara yang sedang berkembang. Terakhir, seperti lazimnya
kelainan genetik, konsultasi genetik oleh seorang pakar mutlak diperlukan untuk
memberikan informasi yang tepat mengenai risiko, risiko berulangnya, cara penurunan,
implikasi klinis serta sosial, serta kemungkinan skrining baik untuk penderita maupun
keluarganya.
Daftar Pustaka
1. Moammar H, Cheriyan G, Mathew R, Al-Sannaa N. Incidence and patterns of inborn errors of metabolism
in the Eastern Province of Saudi Arabia, 1983-2008. Ann Saudi Med 2010;30:271-7
2. Clarke JTR. A clinical guide to inherited metabolic diseases, 2nd ed. Cambridge: Cambridge University
Press; 2002.
3. Saudubray JM, Ogier de Baulny H, Charpentier C. Diagnosis and treatment: general principles. In
Fernandes J, Saudubray JM, van den Berghe G, editors. Inborn metabolic diseases: diagnosis and treatment,
3rd ed. Berlin: Springer-Verlag; 2000. p. 3-41.
4. Zschocke J, Hoffman GF. Diagnosing metabolic disease. In Zschocke J, Hoffman GF, editors. Vademecum
metabolicum: manual of metabolic paediatrics, 1st ed. Stuttgart: Schattauer; 1999. p.1-2.
5. Burton BK. Inborn errors of metabolism: a guide to diagnosis. Pediatrics 1998;102:E69
6. Chakrapani A, Cleary MA, Wraith JE. Detection of inborn errors of metabolism in the newborn. Arch Dis
Child Fetal Neonatal Ed 2001;84:F205-F210
7. Blau N, Duran M, Gibson KM, Scriver Eds Physician’s Guide to the Laboratory Diagnosis of Metabolic
Diseases 2nd: Springer-Verlag New York, LLC 2003 p3-77
8. Rezvani I, Rosenblatt DS. An approach to inborn errors. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
editors. Nelson textbook of pediatrics, 16th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2000. p. 343-4.
9. Tolstoi LG. The clinical significance of the human genome project in single-gene defects: gene nutrient
interactions. Nutr Today 2000;35(1):22-28
10. Ogier de Baulny H, Saudubray JM. Emergency treatments. In Fernandes J, Saudubray JM, van den Berghe
G, editors. Inborn metabolic diseases: diagnosis and treatment, 3rd ed. Berlin: Springer-Verlag; 2000. p.
53-61.
11. Walter JH, Wraith JE. Treatment: present status and new trends. In Fernandes J, Saudubray JM, van den
Berghe G, editors. Inborn metabolic diseases: diagnosis and treatment, 3rd ed. Berlin: Springer-Verlag;
2000. p. 75-84.
12. Grabowsky GA, Whitsett A. Gene therapy. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson
textbook of pediatrics, 16th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2000. p. 333-40
13. Hall JG. Genetic councelling. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson textbook of
pediatrics, 16th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2000. p. 340-1.
Pendahuluan
Kelainan metabolisme bawaan didefinisikan sebagai suatu keadaan yang diturunkan,
yaitu berupa tidak tepatnya pengkodean urutan genetik untuk protein tertentu (misalnya,
enzim, reseptor, transporter, membran, atau elemen struktural) yang menyebabkan tidak
terbentuknya atau terganggunya fungsi protein tersebut. Sebagai akibatnya jalur biokimia
tertentu tidak dapat berlangsung sempurna.1,2,9 Variasi klinis KMB sangat luas, dapat
mengenai setiap organ atau jaringan tubuh. Sebagian besar tanda dan gejala klinisnya tidak
spesifik, misalnya kesulitan makan, letargi, gagal tumbuh, dan lain-lain, sehingga banyak
yang tidak terdiagnosis pada masa neonatal dan kematian sering dikaitkan dengan sepsis
atau penyebab lain yang lebih sering.2,7,8 Diperkirakan insiden KMB secara keseluruhan
relatif tinggi, yaitu satu anak dari setiap 1000 kelahiran.8 Oleh karena itu diagnosis dini
yang akurat sangat penting, baik untuk terapi maupun pencegahan penyakit pada anggota
keluarga lainnya.7,8
Epidemiologi
Insiden masing-masing jenis KMB akan berbeda serta bergantung pada kelompok ras dan
etnis (Tabel 1).6,10,11 Walaupun secara individual masing-masing jenis KMB jarang dijumpai,
secara kolektif insiden KMB menempati proporsi yang cukup bermakna, terutama pada
anak.3,7,8 Program skrining pada neonatus dengan MS/MS yang dapat mendeteksi sekitar 20
jenis KMB telah melaporkan insiden sebesar 1 dalam 5000 kelahiran.12,13 Dionisi-Vici C dkk
di Italia, memperkirakan penggunaan MS/MS ini dapat melaporkan insiden sebesar 1 dalam
6200 kelahiran.14 Penelitian di British Columbia pada tahun 1969-1996 memperlihatkan
insiden minimum kelainan metabolik sekitar 40 kasus per 100.000 kelahiran hidup yang
mencakup kelainan metabolisme asam amino, asam organik, siklus urea, galaktosemia,
asidosis laktat primer, penyakit penyimpanan glikogen (glycogen storage diseases), dan
disfungsi rantai pernapasan mitokondria, dan peroksisomal.10 Mengingat saat ini telah
diidentifikasi sekitar 400 kelainan metabolik, perkiraan insiden kumulatif KMB menjadi
sebesar 1 dari 1.000 kelahiran hidup.8,12
Tabel 4. Beberapa contoh kelainan metabolisme yang dapat dideteksi dengan MS/MS dan
dapat diterapi dengan manipulasi diet32,33
Penyakit Manifestasi klinis Terapi diet
Fenilketonuria Retardasi mental progresif Diet restriksi fenilalanin
Penyakit maple syrup urine Ensefalopati akut, asidosis metabolik, Diet restriksi leusin, isoleusin, dan valin
retardasi mental
Homosistinuria Epilepsi, retardasi mental, myopia Piridoksin 50-1000 mg/hari (+asam
progresif, dislokasi lensa, osteoporosis, folat 10 mg/hari), jika efek belum ada:
tromboembolisme betain 100 mg/kg/hari
Defek siklus urea Ensefalopati akut yang terkait dengan Diet restriksi protein, suplementasi
hiperamonemia dan retardasi mental dengan natrium benzoat, natrium
fenilasetat, arginin, sitrulin
Defisiensi multiple acyl- Malformasi fasial dan serebral, penyakit Coba dengan riboflavin 100 mg/hari
CoA dehydrogenase ginjal kistik, sindrom Reye, asidosis
metabolik, hipoglikemia, ensefalopati
progresif, epilepsi, kardiomiopati
Tirosinemia tipe I Gagal hati akut, sirosis Diet restriksi fenilalanin dan tirosin
Asidemia glutarik tipe I Asidosis metabolik, ataksia Diet triptofan dan lisin
Asidemia propionik Asidosis metabolik, hiperamonemia, dan Diet restriksi isoleusin, valin, metionin,
retardasi mental dan treonin
Asidemia metilmalonik Asidosis metabolik, hiperamonemia, dan Diet restriksi isoleusin, valin, metionin,
retardasi mental dan treonin. Suplementasi dengan
karnitin
Asidemia isovalerik Asidosis metabolik, hiperamonemia, dan Diet restriksi protein, suplementasi
retardasi mental dengan karnitin dan glisin
Tabel 5. Kelainan metabolik yang terdeteksi pada neonatus berusia 1-5 hari dengan MS/
MS27
Kelainan Indikator metabolik primer
Asam amino
Fenilketonuria Phe
Penyakit maple syrup urine Leu/Ile, Val
Homosistinuria (defisiensi sistation sintase) Met
Hipermetioninemia Met
Sitrulinemia Cit
Arginosuksinik asiduria Cit
Tirosinemia, tipe I Tyr
Asam lemak
Defisiensi medium-chain acyl-CoA dehydrogenase C8, C10, C10:1, C6
Defisiensi very long-chain acyl-CoA dehydrogenase C14:1, C14, C16
Defisiensi short-chain acyl-CoA dehydrogenase C4
Defisiensi multiple acyl-CoA dehydrogenase C4, C5, C8:1, C8, C12, C14, C16, C5DC
Defisiensi karnitin palmitoil transferase C16, C18:1, C18
Defek karnitin/asilkarnitin translokase C16, C18:1, C18
Defisiensi long-chain hydroxyacyl-CoA dehydrogenase C16OH, C18:1OH, C18OH
Defisiensi protein trifungsional C16OH, C18:1OH, C18OH
Asam organic
Asidemia glutarik, tipe I C5DC
Asidemia propionik C3
Asidemia metilmalonik C3
Asidemia isovalerik C5
Defisiensi 3-hidroksi-3-metilglutaril CoA liase C5OH
Defisiensi 3-metilcrotonil CoA karboksilase C5OH
Catatan: Daftar indikator metabolik primer ini tidak seluruhnya bersifat inklusif dan hanya berperan sebagai arahan. Daftar ini disusun
berdasarkan hasil yang diperoleh dari laboratorium-laboratorium yang berpengalaman dalam teknologi MS/MS. Kelainan-kelainan
tersebut terdeteksi dengan analisis spesimen noktah darah kering yang diambil pada masa neonatus. Pada beberapa kelainan tertentu
diperlukan profil metabolik kompleks dan hubungan intermetabolik untuk mendeteksinya dengan angka positif palsu yang rendah dan
tanpa angka negatif palsu.
Tabel 6. Kelainan metabolik yang terdeteksi pada pasien berusia >5hari dengan MS/MS27
Kelainan Indikator metabolik primer
Argininemia Arg
Hiperglisinemia nonketotik Gly
Tirosinemia, tipe I Tyr
Sindrom hiperamonemia, hiperornitinemia, homositrulinemia Orn, HomoCit
5-oksoprolinuria 5-Oxopro
Defisiensi karnitin palmitoil, tipe I CN bebas
Defisiensi isobutiril CoA dehidrogenase C4
Defisiensi asetoasetil CoA tiolase mitokondria C5:1, C5OH
Asiduria malonik C3-DC
Defisiensi 2-metilbutiril CoA dehidrogenase C5
Catatan: Daftar indikator metabolik primer ini tidak seluruhnya bersifat inklusif dan hanya berperan sebagai arahan. Kelainan-kelainan
ini telah terdeteksi oleh MS/MS sebagai hasil uji lanjutan yang dilakukan karena adanya penyakit atau untuk anak lebih besar yang
tersangka menderita kelainan metabolik. Kelainan tersebut dapat tidak terdeteksi pada masa neonatus. Banyak kelainan memerlukan
profil metabolik kompleks dan hubungan intermetabolik untuk mendeteksi kelainan tersebut dengan angka positif palsu yang rendah
dan tanpa negatif palsu.
Simpulan
1. KMB dapat menyebabkan variasi manifestasi klinis yang sangat luas dan sebagian besar
bersifat tidak spesifik, sehingga sering sulit untuk didiagnosis.
2. Beberapa KMB akan menimbulkan gejala yang bersifat progresif yang bahkan
dapat menimbulkan cacat yang permanen bila diagnosis dini dan intervensi tidak
segera dilaksanakan. Selain itu, seringkali intervensi yang dibutuhkan hanya berupa
pengaturan diet.
3. Skrining perlu dilakukan, mengingat diagnosis dan intervensi dini dapat membuat
perubahan yang sangat berarti pada tumbuh-kembang seorang anak dengan KMB.
4. Teknologi skrining yang saat ini direkomendasikan oleh berbagai negara adalah tandem
mass spectrometry. Dengan teknologi ini, skrining dapat dilakukan dengan relatif
mudah (hanya memerlukan noktah-darah pada kertas saring), cepat, mencakup panel
kelainan metabolik yang cukup luas, serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
cukup tinggi.
Daftar Pustaka
1. Inborn error of metabolism. Diunduh dari: http://www.hyperdictionary.com. Diakses tanggal 30 Juli 2004.
2. Rezvani I, Rosenblatt DS. An approach to inborn errors. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson’s textbook of pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia: WB Saunders Company; 2000. h.
343-4.
3. Clarke JTR. General principles. Dalam: A clinical guide to inherited metabolic diseases. Cambridge:
Cambridge University Press; 1996. h. 1-18.
4. Centerwall SA, Centerwall WR. The discovery of phenylketonuria: the story of a young couple, two
retarded children, and a scientist. Pediatrics 2000;105:89-103.
5. Wappner R, Cho S, Kronmal RA, Schuett V, Seashore MR. Management of phenylketonuria for optimal
outcome: a review of guidelines for phenylketonuria management and a report of surveys of parents,
patients, and clinic directors. Pediatrics 1999;104(6):E68 Diunduh dari: http://www.pediatrics.org/cgi/
content/full/104/6/e68. Diakses tanggal 23 Juli 2004.
6. Wilcken B, Wiley V, Hammond J, Carpenter C. Screening newborns for inborn errors of metabolism by
tandem mass spectrometry. N Engl J Med 2003;384:2304-12.
7. Saudubray JM, Baulny HO, Charpentier C. Clinical approach to inherited metabolic diseases. Dalam:
Fernandes J, Saudubray JM, Berghe GV, penyunting. Inborn metabolic diseases, diagnosis and treatment.
Edisi ke-2. Berlin: Springer-Verlag; 1996. h. 3-39.
8. Enns GM, Packman S. Diagnosing inborn errors of metabolism in the newborn: clinical features.
NeoReviews 2001;2:183-91.
Indeks 281
M kriteria 17, 129, 130, 132, 157, 161, 162,
makronutrien 1, 7, 9, 14, 18, 21, 44, 59, 67, 117 163, 165, 167, 191, 211, 218, 230,
marasmus 130, 133 236,
mikronutrien 1, 2, 7, 44, 59, 93, 113, 117, 119, non alcoholic steatohepatitis (NASH) 236
120, 132, 133, 138, 143, 144, 161, 177, obesitas endogen 233
209, 214, 237, 241 obesitas idiopatik 233, 234
monosakarida 8, 9, 11, 58 Obstructive sleep apnea 236
protein-sparing modified fast (PSMF) 240
pseudotumor cerebri 237
N sindrom genetik terkait obesitas 233
nutrisi enteral 43, 44, 45, 46, 49, 51, 54, 55, 63, traffic light diet 238
86, 115, 169, 173, 264, 265
vertical-banded gastroplasty 240
bolus 56, 57, 61, 134
oksitosin 77, 80, 81
jalur nutrisi enteral
osteomalacia 182, 185, 186
kontinyu 56, 57, 65, 226, 264
overweight 37, 39, 47, 230, 231, 232, 242, 243,
nasogastrik 46, 54, 56, 57, 132, 134, 139
244
transpilorik 54
overfeeding 41, 50
subkutaneus
kalsium 44, 69, 74, 78, 79, 94, 100, 104, 105,
percutaneous endoscopic gastrostomy (PEG)
106, 109, 112, 115, 182, 183, 184, 186,
56
187, 188, 198, 202, 223, 238, 264
nutrisi parenteral 43, 45, 46, 51, 63, 264
metabolism 1, 2, 7, 8, 11, 16, 20, 21, 22, 37,
akses vena perifer 70, 71
41, 44, 46, 48, 49, 51, 62, 68, 74, 75,
akses vena sentral 65, 71
94, 98, 107, 108, 109, 113, 115, 147,
All-in-one system (3 in 1 system) 73, 74
148, 167, 168, 172, 173, 177, 181,
laju infuse dektrosa/glucose infusion rate 68
182, 186, 196, 197, 201, 207, 209,
laminar flow equipment 74
211, 221, 226, 227, 228, 233, 235,
glutamine 18, 49
239, 244, 257, 258, 260, 261, 262,
osmolaritas cairan 66, 70
263, 265, 266, 267, 268, 269, 270,
nutrisi parenteral perifer 65, 69, 70, 71
272, 274, 276, 277, 279
nutrisi parenteral parsial 64
sumber 7, 8 14, 15, 16, 17, 19, 20, 46, 53,
nutrisi parenteral sentral 65, 70,
55, 56, 58, 59, 60, 61, 67, 68, 70, 78,
nutrisi parenteral total 64
83, 92, 109, 114, 120, 121, 123, 126,
Nontunneled (nonimplanted) 72
131, 148, 149, 177, 178, 180, 183,
Tunneled (implanted) 72
184, 185, 186, 191, 192, 193, 194,
Totally implanted venous access system (TI-
197, 198, 199, 200, 201, 202, 205,
VAS) 72
214, 216, 217, 218, 219, 228, 246,
Multiple container system 73
247, 249, 250, 251
nutrisi pediatrik 1, 2, 3, 5
defisiensi 3, 4, 37, 39, 53, 60, 61, 67, 68,
nutrigenomik 2, 5
69, 76, 109, 110, 111, 112, 121, 132,
137, 138, 157, 166, 169, 172, 174,
O 177, 178, 179, 180, 182, 184, 185,
obesitas 4, 19, 29, 30, 39, 40, 106, 186, 230, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192,
231, 232, 233, 234, 236, 237, 238, 239, 194, 195, 196, 197, 202, 203, 204,
240, 241, 242, 244, 205, 209, 210, 211, 212, 213, 214,
aktivitas fisik 40, 141 215, 217, 218, 220, 221, 222, 223,
dislipidemia 236 224, 225, 226, 227, 228, 237, 241,
gastric banding 240, 241 257, 259, 260, 261, 262, 263, 264,
hipotiroidism 214, 233, 270, 272 265, 269, 272, 273, 274, 275
hiperkortisolism 233
Indeks 283
215, 217, 218, 220, 221, 222, 223,
224, 225, 226, 227, 228, 237, 241,
257, 259, 260, 261, 262, 263, 264,
265, 269, 272, 273, 274, 275
X
Xerophthalmia 178, 180, 181
wasting 29
Z
z score 27, 31, 37, 39, 232