Anda di halaman 1dari 48

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN HASIL KONAS I


UNIVERSITAS HASANUDDIN Senin, 5 Juli 2021

HUBUNGAN DEPRESI DAN ANXIETAS PADA PASIEN COVID 19 TANPA


GEJALA ATAU BERGEJALA RINGAN YANG MENJALANI ISOLASI DI
FASILITAS MILIK PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN

Fritz Edward Gonzalves


C065181001

Pembimbing
Dr. dr. Sonny T. Lisal, Sp. KJ

Penasehat Akademik
Dr. dr. Sonny T. Lisal, Sp. KJ

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah didiskusikan dan disetujui untuk dipresentasikan Proposal Konas I dengan judul
“Hubungan Depresi dan Anxietas pada Pasien Covid-19 tanpa Gejala atau bergejala
Ringan yang menjalani Isolasi di Fasilitas Milik Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan”
Pada kegiatan konfrensi klinik Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin pada :
Hari : Senin
Tanggal : 5 Juli 2021
Jam : 12.00 - Selesai WITA
Tempat : Via Aplikasi Zoom

Makassar, 5 Juli 2021


Penasehat Akademik Pembimbing

Dr. dr. Sonny T. Lisal, Sp. KJ Dr. dr. Sonny T. Lisal, Sp. KJ

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pandemi Covid-19 dimulai dengan penemuan wabah virus yang menyerupai
SARS pada akhir bulan Desember 2019 di Provinsi Hubei China, virus ini terus menyebar
dengan sangat cepat ke seluruh dunia hingga saat ini.1,2 Data per 29 September 2020,
virus Covid-19 sudah menginfeksi 33.249.563 orang di seluruh dunia, sementara di
Indonesia telah mencapai 278.722 dengan jumlah kasus sembuh 210.473 orang dan
meninggal 10.601 orang.3,4 Wabah Covid 19 ini tersebar di 34 Provinsi di Indonesia dan
Sulawesi Selatan merupakan urutan ke 4 dengan jumlah kasus 11.051, perbaikan 7.753
orang dan 343 kematian.4 Sedang pasien tanpa gejala atau bergejala ringan yang masih
dirawat di fasilitas pemerintah Sulawesi Selatan per 11 November 2020 tercatat sejumlah
157 orang.

Pandemi dapat berdampak kepada psikologis yang mempengaruhi kondisi


kesehatan mental seperti munculnya gejala psikosomatis, insomnia, kecemasan, perasaan
marah, menurunnya konsentrasi, suasana hati yang berubah-ubah, serta kehilangan energi
untuk menjalani rutinitas sehari-hari (National Centre for Disaster Trauma, 2020).
Penelitian oleh Cuiyan Wang, Riyu Pan, Xiaoyang Wan, Yilin Tan, Linkang Xu, Cyrus
S. Ho danRoger C. Ho (2020) dalam penelitiannya mengenai dampak psikologis selama
pandemi Covid-19 di China menyebutkan sebanyak 16,5% dari responden menunjukkan
gejala depresi, 28,8% mengalami kecemasan sedang hingga berat dan 8,1% mengalami
stres.

Mengingat Sulawesi selatan termasuk dari daerah dengan tingkat kasus COVID-
19 yang tinggi, dimana pandemi ini dapat berdampak pada psikologis termasuk
didalamnya depresi dan axietas maka berdasarkan latar belakang tersebut penulis ingin
mengetahui bagaimana gambaran depresi dan anxietas pada pasien COVID 19 tanpa
gejala atau bergejala ringan yang menjalani isolasi di fasilitas milik pemerintah provinsi
Sulawesi Selatan.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :

1. Bagaimana tingkat anxietas pada pasien COVID-19 tanpa gejala atau bergejala
ringan yang menjalani isolasi di fasilitas milik pemerintah pemerintah provinsi
Sulawesi Selatan.

2. Bagaimana tingkat depresi pada pasien COVID-19 tanpa gejala atau bergejala
ringan yang menjalani isolasi di fasilitas milik pemerintah pemerintah provinsi
Sulawesi Selatan.

3. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi anxietas dan depresi pada pasien


COVID 19 tanpa gejala atau bergejala ringan yang menjalani isolasi di fasilitas
milik pemerintah pemerintah provinsi Sulawesi Selatan.

4. Bagaimana hubungan depresi dan anxietas pada pasien COVID-19 tanpa gejala atau
bergejala ringan yang menjalani isolasi di fasilitas milik pemerintah pemerintah
provinsi Sulawesi Selatan.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan
depresi dan anxietas pada pasien COVID 19 tanpa gejala atau bergejala ringan yang
menjalani isolasi di fasilitas milik pemerintah pemerintah provinsi Sulawesi
Selatan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui tingkat anxietas pada pasien COVID 19 tanpa gejala atau bergejala
ringan yang menjalani isolasi di fasilitas milik pemerintah pemerintah provinsi
Sulawesi Selatan.
2. Mengetahui tingkat depresi pada pasien COVID 19 tanpa gejala atau bergejala
ringan yang menjalani isolasi di fasilitas milik pemerintah pemerintah provinsi
Sulawesi Selatan.
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi anxietas dan depresi pada pasien
COVID 19 tanpa gejala atau bergejala ringan yang menjalani isolasi di fasilitas
milik pemerintah pemerintah provinsi Sulawesi Selatan.
2
4. Mengetahui hubungan depresi dan anxietas pada pasien COVID 19 tanpa gejala atau
bergejala ringan yang menjalani isolasi di fasilitas milik pemerintah pemerintah
provinsi Sulawesi Selatan.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan dari pihak terkait dalam menyusun
tatalaksana pada Pasien COVID 19 yang di isolasi di fasilitas milik pemerintah.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi ilmiah mengenai
hubungan depresi dan anxietas pada pasien COVID 19 tanpa gejala atau bergejala
ringan yang menjalani isolasi di fasilitas milik pemerintah.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut dalam
tatalaksana depresi dan anxietas pada pasien COVID 19.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 COVID-19
2.1.1 Gambaran Umum Covid-19
Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) didefinisikan sebagai penyakit yang
disebabkan oleh virus korona baru yang sekarang disebut Severe Acute Respiratory
Syndrom Coronavirus 2 (SARS-CoV-2; sebelumnya disebut 2019-nCoV), yang pertama
kali diidentifikasi di tengah wabah kasus penyakit pernapasan di Kota Wuhan, Provinsi
Hubei, Cina.3,13,14 Penyakit ini awalnya dilaporkan ke WHO pada 31 Desember 2019 dan
pada 30 Januari 2020, WHO menyatakan wabah COVID-19 sebagai darurat kesehatan
global.2,13,14 Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menyatakan Covid-19 sebagai pandemi
global. 3,13,14

Gambar 2.1 Data Perkembangan Kasus Covid-19 di Indonesia14


Sumber : Tim Gugus Tugas Covid-19
Hingga saat ini, penyebaran Virus Covid-19 sudah sangat meluas ke berbagai
negara termasuk Indonesia, situasi Covid-19 di tingkat global maupun nasional masih
dalam risiko sangat tinggi. Jumlah kasus harian dan kasus meninggal akibat terpapar
Covid-19 terus meningkat namun sudah diikuti angka kesembuhan yang juga semakin
bertambah.15 Data dari Kementrian Kesehatan pada Agustus 2020 menyatakan bahwa
Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat kematian petugas kesehatan tertinggi di
Asia Tenggara bahkan di Dunia akibat terpapar Covid-19.16,17 Berbagai usaha sudah
dilakukan oleh pemerintah dan pihak lainnya untuk menanggulangi penyebaran Covid-
19 ini seperti dengan melakukan PSBB dan memaksimalkan penanganan kasus Covid-
19 di setiap Rumah Sakit rujukan Covid-19.17

4
2.1.2 Penularan
Masa inkubasi virus Covid-19 berkisar antara 1 dan 14 hari dengan rata-rata 5-6
hari. Risiko penularan tertinggi utamanya pada hari-hari pertama penyakit karena
tingginya konsentrasi virus pada sekret. Orang yang terinfeksi dapat langsung menularkan
mulai 48 jam sebelum onset gejala (presimptomatik) sampai dengan 14 hari setelah onset
gejala. Selain itu, terdapat juga kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik),
dengan tetap terdapat kemungkinan kecil resiko penularan. Penularan utamanya terjadi
melalui droplet (diameter >5-10 µm) orang yang bergejala ke orang lain yang berada
dalam jarak dekat (1 meter) melalui mukosa mulut dan hidung atau konjungtiva (mata).
Selain itu, Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang terkontaminasi
droplet di sekitar orang yang terinfeksi.14,17,18
2.1.3 Gejala Klinis
Presentasi COVID-19 berkisar dari gejala asimtomatik / ringan hingga penyakit
parah dan kematian. Gejala yang umumnya muncul yakni demam atau kedinginan, batuk,
sesak napas, kelelahan, nyeri otot atau tubuh, nyeri kepala, kehilangan rasa atau
pembauan, nyeri tenggorokan, hidung tersumbat atau meler, mual atau muntah, dan diare.
Manifestasi serius Covid-19 yang paling umum tampaknya adalah pneumonia. Pada
kasus berat pasien akan mengalami Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis
dan syok septik, gagal multiorgan, hingga berakibat kematian. Orang lanjut usia (lansia)
dan orang dengan komorbid yang sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah tinggi,
gangguan jantung dan paru, diabetes dan kanker berisiko lebih besar mengalami
keparahan14,17
2.1.4 Diagnosis
WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang
terduga terinfeksi COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah metode deteksi
molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan RTPCR.14,17
2.1.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan klinis dilakukan pada pasien COVID-19 tanpa gejala, sakit
ringan, sakit sedang, sakit berat, kondisi kritis, dan pada kondisi tertentu. Hingga saat ini,
belum ada vaksin atau terapi spesifik untuk infeksi SARS-CoV2. Penanganan berfokus
pada upaya pencegahan dan terapi simptomatik. Pada kondisi tanpa gejala tidak
memerlukan rawat inap di Rumah Sakit, tetapi pasien harus menjalani isolasi selama 10

5
hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi. Pada kasus ringan dan sedang,
pasien juga menjalani isolasi mandiri dan dapat diberikan pengobatan simptomatik
misalnya pemberian anti-piretik bila mengalami demam. Pada kasus ringan dengan
penyulit (memiliki komorbid) akan menjalani observasi di ruang isolasi Rumah Sakit
untuk mendapatkan pemantauan rutin dari petugas kesehatan. Pada kasus berat, pasien
akan dirawat secara intensif di Rumah Sakit dengan pemantauan 24 jam dan diberikan
terapi sesuai dengan protokol terbaru dari penanganan kasus Covid-19.17,18

Gambar 2.2 Ringkasan Managemen Kesehatan Berdasarkan Tingkatan Kasus16


Sumber : Kementrian Kesehatan RI

2.2 DEPRESI
2.2.1 Depresi
2.2.1.1 Defenisi dan Gejala
Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan
kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga kehilangan
kegairahan hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (RTA), tidak
mengalami keretakan kepribadian/ splitting, perilaku dapat terganggu namun masih
6
dalam batas normal. Gangguan ini menetap selama beberapa waktu dan mengganggu
fungsi keseharian seseorang. Depresi seringkali disebut sebagai gangguan kejiwaan yang
paling umum terjadi karena memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi. Setidaknya
sekitar 300 juta orang di dunia mengalami depresi dalam hidupnya, di antaranya hanya
17% pasien yang memeriksakan dirinya ke psikiater (World Health Organization, 2018),
sementara masih sangat banyak penderita depresi yang tidak tertangani akibat kurangnya
kesadaran akan hal ini.19,25
Gejala klinis depresi dapat terlihat sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan
pada alam perasaan (affective/ mood disorder) yang ditandai dengan kemurungan,
kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa, dan lain sebagainya.
Gejala-gejala depresi termasuk kesedihan mendalam dan/atau ketidakmampuan untuk
mengalami kenikmatan. Gejala fisik dari depresi juga sangat umum seperti kelelehan dan
merasa sakit fisik. Meskipun orang-orang dengan depresi biasanya merasa lelah, mereka
mungkin merasa sulit untuk tertidur, dan mungkin sering terbangun.25,28

2.2.1.2 Teori Psikologis Depresi


a. Teori Psikososial
Stresor pada awitan sakit menyebabkan perubahan yang relatif menetap pada
biologi otak, yang kemudian menyebabkan perubahan fungsional pada bermacam-
macam neurotransmiter dan sistim sinyal intraneuronal (hilangnya neuron, reduksi hebat
pada kontak-kontak sinaptik), sehingga terjadi kerentanan terhadap timbulnya episode
gangguan mood berikut, meskipun tanpa stresor eksternal. Stresor kehidupan yang paling
sering terkait dengan depresi adalah kematian orang tua sebelum usia 11 tahun dan faktor
lingkungan yang sering terkait dengan depresi adalah kematian pasangan hidup. Stresor
kehidupan yang paling akhir paling besar kemungkinannya untuk menyebabkan depresi,
terutama yang menurut penderita paling mengganggu harga dirinya; stresor yang relatif
ringan bisa berdampak buruk oleh karena makna idiosinkratik yang dikaitkan dengan
kejadian tersebut.25,29
b. Teori Psikodinamika
Menurut Sigmund Freud dan Karl Abraham, gangguan depresi didasari oleh
adanya gangguan relasi ibu-bayi pada fase oral yang merupakan predisposisi bagi
kerentanan terhadap depresi, adanya “object loss” (nyata atau khayalan). Introyeksi dari
obyek yang pergi merupakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi dampak dari

7
“object loss”. Object loss ditanggapi telah mendua memunculkan ada rasa cinta dan benci,
akibatnya rasa marah akan diarahkan kedalam, ke ‘self’. Menurut Melanie Klein depresi
merupakan ekspresi agresi terhadap seseorang yang dicintai. Menurut Edward Bibring
depresi terjadi ketika individu menyadari diskrepansi antara idealisme yang sangat tinggi
dengan kemampuan untuk mencapainya. Menurut Edith Jacobson kondisi depresi mirip
dengan ketidakberdayaan seorang anak terhadap siksaan orang tua. Menurut Silvano
Arieti, sebelumnya penderita mengabdikan hidup sepenuhnya bagi sesuatu yang lain
(orang, prinsip, institusi atau idealisme) yang kemudian menyadari bahwa ia tidak
mendapatkan respon/ balasan seperti yang semula diharapkannya. Sedangkan menurut
Heinz Kohut depresi merupakan dampak dari kegagalan orang tua atau orang lain
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu dari self yang sedang tumbuh yang diperlukan
bagi terbentuknya citra harga diri dan kohesi diri yang positif, sehingga terjadi keruntuhan
harga diri yang kemudian diekspresikan sebagai depresi. John Bowlby menyatakan
bahwa depresi muncul didasari oleh adanya gangguan pada kelekatan awal (early
attachment), separasi traumatik pada masa anak merupakan predisposisi bagi depresi;
kehilangan pada masa dewasa akan menghidupkan kembali trauma masa kecil tersebut
dan mencetuskan timbulnya episoda depresi.25,29
c. Teori Kognitif-Perilaku
Depresi disebabkan oleh distorsi kognitif yang terjadi pada seseorang yang rentan
terhadap depresi. Dalam hal ini muncul ‘depressogenic schemata’: data-data internal
maupun eksternal disalah-tafsirkan melalui suatu template kognitif yang dibentuk
berdasarkan pengalaman-pengalaman tertentu di masa lalu. Aaron Beck, triad kognitif
depresi terdiri dari: diri sendiri yang memikirkan persepsi diri negatif, dunia luar yang
dianggap hostile dan penuh tuntutan dan masa depan yang dipikirkan penuh penderitaan
dan kegagalan.25,29
d. Learned Helplessness
Depresi dikaitkan dengan ketidakberdayaan ketika mendapatkan pengalaman
yang tidak menyenangkan yang menyebabkan jatuhnya harga diri. Oleh karena itu bagian
penting dari terapi perilaku adalah memulihkan rasa kendali penderita dan kemampuan
untuk menghadapi-mengatasi lingkungan.25,29
2.2.1.2 Teori Neurobiologi Depresi
a. Neuroanatomi
PFC, amigdala dan hippocampus adalah struktur otak paling banyak dipelajari
dalam kaitannya dengan depresi. Studi MRI menunjukkan penurunan volume otak pasien
8
depresi apabila dibandingkan dengan pasien sehat. Pada pasien dengan gangguan depresi,
reduksi volume yang besar terjadi pada ACC dan Orbital Prefrontal Cortex serta reduksi
sedang pada hippocampus, putamen, dan kaudata.30,31

Studi PET telah menunjukkan kelainan pada aliran darah otak regional dan kelainan
metabolisme glukosa dalam berbagai kortikal prefrontal serta struktur limbik yang terlibat
dalam proses emosional. VMPFC dan LOPFC menunjukkan peningkatan aktivitas,
sementara DLPFC menunjukkan penurunan aktivitas, dalam gangguan depresi. Aktivitas
DLPFC menurun dalam depresi telah dikaitkan dengan retardasi psikomotor dan
anhedonia. Respon terhadap pengobatan dikaitkan dengan penurunan aktivitas
metabolisme, dan pengobatan antidepresan yang lama bisa mengurangi metabolisme di
amigdala dan ACC. Sebaliknya, defisit metabolisme pada DLPFC selama pengobatan
mungkin berhubungan dengan perubahan histopatologis yang dilaporkan dalam studi
post-mortem. 30,31
b. Neurotransmitter
Depresi dikaitkan dengan ketidakseimbangan di otak, khususnya neurotransmitter
serotonin, norepinefrin, dan dopamin. Neurotransmitter serotonin terlibat dalam
mengendalikan banyak fungsi tubuh yang penting, termasuk tidur, agresi, makan, perilaku
seksual, dan suasana hati. Serotonin diproduksi oleh neuron serotonergik. Penelitian saat
ini menunjukkan bahwa penurunan produksi serotonin dapat menyebabkan depresi pada
beberapa orang, dan lebih khusus lagi, keadaan mood yang dapat menyebabkan beberapa
orang merasa ingin bunuh diri. Serotonin (5- hydroxytryptamine [5-HT]) neurotransmitter
menunjukan keterlibatan dalam patofisiologi gangguan afektif, dan obat-obatan yang
meningkatkan aktifitas serotonergik pada umumnya memberi efek antidepresan pada
pasien . Selain itu , 5 - HT atau metabolitnya 5-HIAA, ditemukan rendah pada urin dan
cairan serebrospinal pasien dengan penyakit afektif. Hal ini juga dibuktikan dari kadar 5-
HT yang rendah pada otak korban bunuh diri dibandingkan dengan kontrol.32,33
Hipotesis lain menunjukkan bahwa defisiensi neurotransmitter norepinefrin (juga
dikenal sebagai noradrenalin) di area otak tertentu bertanggungjawab untuk menciptakan
suasana perasaan depresi. Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa ada
sekelompok orang dengan depresi yang memiliki kadar norepinefrin yang rendah. Studi
otopsi menunjukkan bahwa orang yang mengalami beberapa episode depresi memiliki
lebih sedikit neuron norepinefrinergik daripada orang yang tidak memiliki riwayat
depresi. 32,33
Neurotransmitter dopamine juga terkait dengan depresi. Dopamin memainkan
9
peran penting dalam mengendalikan dorongan kita untuk mendapatkan rasa senang.
Tingkat dopamin yang rendah mungkin menjelaskan mengapa orang dengan depresi tidak
mendapatkan rasa kesenangan yang sama dari kegiatan atau orang yang mereka lakukan
sebelum menjadi depresi. Penemuan subtipe baru reseptor dopamin dan meningkatnya
pengertian fungsi regulasi presinaptik dan pascasinaptik dopamin memperkaya antara
dopamin dan gangguan mood. Dua teori terbaru tentang dopamin dan depresi adalah jalur
dopamin mesolimbic mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor dopamin
D1 mungkin hipoaktif pada depresi. 32,33

Selain itu, penelitian baru menunjukkan bahwa neurotransmiter lain seperti


asetilkolin, glutamat, dan asam Gamma-aminobutyric (GABA) juga dapat berperan
dalam gangguan depresi. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami peran
mereka dalam kimia otak depresi (Mario, 2012).32
Brain-derived neurotrophic factor (BDNF), juga tampaknya telah menjadi mata
rantai penting yang hilang dalam neurobiologi depresi. Ini telah dipelajari dan diurai
secara luas tindakannya pada otak telah membantu menyatukan temuan-temuan
penelitian utama dari studi neuroimaging, kelainan HPA, fungsi sistem neurotransmitter
dan efek obat antidepresan.31
c. Neuroendokrin Depresi
Pada pasien depresi terdapat kelainan pada hipotalamopituitaryadrenal axis
(HPA) dengan peningkatan konsentrasi kortisol dan deksametason non-supresi. Dua
temuan ini telah menginformasikan tentang peran stres dalam depresi dan memandu para
peneliti untuk fokus pada efek dari stressor baik yang baru maupun stresor yang sudah
jauh terhadap HPA axis, fungsi otak serta struktur dan manifestasi klinis depresi.25,34
Disfungsi dari HPA axis adalah penemuan yang sering tetapi tidak universal pada
gangguan afektif. Pola disregulasi sistem HPA axis pada depresi menunjukkan respons
atipikal terhadap deksametason, nilai standar kortisol yang lebih tinggi dan respons yang
terlalu aktif terhadap stresor psikologis menunjukkan kelainan dalam sistem umpan balik
negatif dari system HPA axis dan produksi hormone kortikotropine releasing hormone
hormon (CRH) dengan hipofisis dan sensitivitas adrenal masih intak.22 Pengurangan
ekspresi mRNA dari reseptor glukokortikoid, GR-alpha (GR isoform yang mengikat
glukokortikoid) ditemukan di sel darah tepi pasien dengan gangguan depresi mayor dan
juga depresi yang dalam masa remisi.34

10
d. Neuroinflamasi Depresi
Mekanisme imunologis juga terlibat dalam patofisiologi kompleks dari depresi.
Sitokin proinflamasi (pemberi sinyal untuk molekul sistem imun) menimbulkan perilaku
layaknya sedang sakit (lesu dan kelelahan) dan gejala kecemasan/ depresi dan penyakit
depresi yang juga dirasakan oleh pasien yang menerima efek samping dari pengobatan
interferon. Depresi berat berkaitan dengan aktivasi kekebalan tubuh dan infeksi
khususnya dengan peningkatan konsentrasi sitokin.25,27,32

Aktivasi dari Inflamatory System Response (IRS) dapat memengaruhi fungsi


sistem lain yang terlibat dalam patogenesis depresi. Peningkatan sitokin proinflamasi
dikaitkan dengan triptofan (serotonin prekursor), dan dapat mempengaruhi aktivitas
noradrenergic juga merangsang HPA axis. Perubahan neurotransmitter dan
neuroendokrin tersebut dapat diinterpretasikan oleh otak sebagai stressor dan menjadi
potensi aktivasi HPA axis. Diduga gangguan fungsi reseptor glukokortikoid terkait
dengan paparan terus menerus dari sitokin inflamasi yang disebabkan oleh penyakit fisik
kronis atau stress kronis dan ini memperjelas komorbiditas depresi dengan penyakit fisik
kronik. Resistensi glukokortikoid juga menyebabkan peningkatan peradangan lebih
lanjut. Butuh lebih banyak penelitian untuk menjelaskann pentingnya mengamati
perubahan sistem kekebalan tubuh dalam patogenesis depresi.25

2.3 ANXIETAS
Anxietas adalah suatu sinyal yang menyadarkan dan memperingatkan adanya bahaya
yang mengancam untuk memungkinkan seseorang mengambil tindakan dalam mengatasi
ancaman tersebut. Gangguan kecemasan adalah reaksi berlebihan seseorang yang tidak
normal dan adaptif terhadap peristiwa menakutkan dan membahayakan bagi dirinya.25
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami anxietas antara lain
cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang,
tidak tenang, gelish, mudah terkejut, takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang,
gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan, gangguan konsentrasi dan daya
ingat, keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot, tulang, pendengaran berdengung
(tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit
kepala dan sebagainya. 45

2.3.1 Neurobiologi Anxietas


Ciri utama dari anxietas terdiri atas meningkatnya kewaspadaan (hyperarousal),
11
meningkatnya aktivitas simpatetik dan perasaan subjektif ketakutan serta kecemasan.
Respons hormonal dan otonom perifer terhadap ancaman yang dimediasi oleh sumbu
hipotalamus-hipofisisadrenal (HPA Axis) dan sistem saraf otonom simpatis dan parasimpatis
juga memainkan peran adaptif dalam merespons ancaman atau stres. Stimulasi nukleus
lateral hipotalamus dengan proyeksi aferen dari Central Nucleus (CE) amigdala, Bed nucleus
of the stria terminalis (BNST), atau striatum ventral mengaktifkan sistem simpatis dan
menghasilkan peningkatan tekanan darah dan detak jantung, berkeringat, piloereksi, dan
pelebaran pupil. Stres merangsang pelepasan Corticotropin-releasing hormone (CRH) dari
Paraventricular Nucleus (PVN) hipotalamus dan amigdala. Sekresi CRH dari PVN, pada
gilirannya, meningkatkan kadar hormon adrenokortikotropik perifer (ACTH), dan ini
merangsang kelenjar adrenal untuk mengeluarkan kortisol. Anterior cingulate cortex (ACC),
insula anterior, dan korteks orbital posterior mengirimkan proyeksi anatomi ke hipotalamus
yang berpartisipasi dalam memodulasi atau menghambat respons kardiovaskular dan
endokrin terhadap ancaman dan stres.
Saraf vagus dan splanknikus merupakan proyeksi eferen utama dari sistem saraf
parasimpatis ke visera. Inti vagal menerima proyeksi aferen dari hipotalamus lateral, PVN,
Locus Coeruleus (LC), amigdala, korteks infralimbik, dan bagian prelimbik ACC. Saraf
splanchnic menerima koneksi aferen dari LC. Persarafan sistem saraf parasimpatis dari
struktur limbik ini diperkirakan memediasi gejala viseral yang terkait dengan kecemasan,
seperti gangguan gastrointestinal dan genitourinari. Sirkuit neuroanatomik yang mendukung
perilaku ketakutan dan kecemasan dimodulasi oleh berbagai sistem neurotransmitter
kimiawi. Ini termasuk neurotransmiter peptidergik, CRH, neuropeptida Y (NPY), dan zat P,
pemancar monoaminergik, norephinephrine (NE), serotonin (5-hidroksitriptamin atau 5-
HT), dan dopamin (DA), dan pemancar asam amino, GABA dan glutamat.
Sistem neurotransmitter yang paling baik dipelajari dalam kaitannya dengan respons
terhadap stres atau ancaman melibatkan HPA Axis dan sistem noradrenergik pusat. Sistem
kimia saraf ini menjalankan fungsi adaptif yang penting dalam mempersiapkan organisme
untuk merespons ancaman atau stres, dengan meningkatkan kewaspadaan, memodulasi
memori, memobilisasi penyimpanan energi, dan meningkatkan fungsi kardiovaskular.
Namun demikian, respons biologis terhadap ancaman dan stres ini dapat menjadi maladaptif
jika diaktifkan secara kronis atau tidak tepat. Sistem kimia saraf tambahan yang memainkan
peran penting dalam memodulasi respons stres dan perilaku emosional termasuk sistem
GABAergic, serotonergik, dopaminergik, opiat, dan NPY pusat.
Jaras saraf ascendens yang mengandung Noradrenalin dan 5-hydroxytriptamin
12
menginvasi lobus limbik dan neocortex. Meningkatnya aktivitas saraf noradrenergic akan
menimbulkan peningkatan dari kewaspadaan, meningkatnya respons terhadap stimulus yang
bersifat aversif.
Antagonis reseptor serotonin (5-HT2) terbukti bersifat anxiolitik. Efek ini didapat
dengan menurunkan sensivitas reseptor 5-HT2. Saraf yang mengandung gamma-amino
butyric acid (GABA) merupakan system inhibisi utama di otak. Dimana GABA dapat
menurunkan aktivitas neuron lain termasuk neuron monoamine. Obat yang meningkatkan
fungsi GABA (barbiturate dan benzodiazepine) merupakan anxiolitik yang poten.
Benzodiazepin, bekerja melalui reseptor yang berada di lobus limbik dari neocortex,
memodulasi reseptor GABA-A postsinaps sehingga meningkatkan efek GABA.
Proses infalamasi yang berkaitan pada gangguan kecemasan: mekanisme dan
konsekuensi. Paparan stress pada individu dengan rasa takut dan kecemasan dapat
memfasilitasi peningkatan aktivitas imunitas baik di perifer dan sistem saraf pusat (SSP)
melalui stres dan efek trauma pada sistem neuroendokrin dan sistem saraf simpatis (SNS).
Aktivitas berlebihan dari SNS dan penurunan aktivitas sistem saraf parasimpatis pada
gangguan berbasis ketakutan dan kecemasan meningkatkan pelepasan sitokin proinflamasi.
Kemampuan glukokortikoid yang ditekan untuk menghambat proses inflamasi pada keadaan
stres kronis ini juga berkontribusi pada keadaan proinflamasi yang dapat mempengaruhi
sistem neurotransmitter, sirkuit saraf, dan akhirnya, perilaku afektif. Sitokin dapat
berkontribusi pada pemeliharaan gejala kecemasan dengan mempengaruhi aktivitas dan
koneksi daerah otak yang terlibat dalam etiologi gangguan ini, termasuk amigdala,
hipokampus, insula, medial prefrontal cortex (mPFC), dan anterior cingulate (ACC).

2.4 DEPRESI DAN KECEMASAN PADA PENDERITA COVID-19


Pandemi penyakit menular seperti COVID-19 berkaitan dengan tekanan psikologis
dan gejala penyakit mental (Bao et al, 2020). Keadaan ini dapat menyebabkan gejala
kepanikan dan kecemasan yang mempengaruhi kesehatan, terutama bagi mereka yang datang
ke bagian rawat jalan dengan gejala COVID-19. (Nguyen, 2020). Novel Coronavirus dapat
juga menyebabkan gejala sisa psikopatologis yang disebabkan infeksi virus secara langsung
pada sistem saraf pusat (SSP) atau secara tidak langsung melalui respon imun (Wu, et al.,
2020). Gangguan sistem imun yang disebabkan oleh infeksi dapat mendorong psikopatologi
dan menambah tekanan psikologis pada penderita (Miller dan Raison, 2016). Interaksi antara
sistem imun dan neurotransmitter merupakan mekanisme yang mendasari gangguan mood,
psikosis, dan kecemasan (Najjar, et al., 2013). Berdasarkan manifestasi yang terkait tekanan

13
psikologis diperlukan tindakan pencegahan untuk menghambat penyebaran COVID-19 (Liu,
et al., 2020). Literature review ini bertujuan untuk membahas masalah kesehatan mental
berupa depresi dan kecemasan yang berkaitan dengan penderita COVID-19. 45
Hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Nguyen, et al. (2020) bahwa
kemungkinan depresi dan kecemasan secara signifikan lebih tinggi pada orang dengan gejala
COVID-19, berusia 60 tahun atau lebih dengan komorbiditas. Kemungkinan terjadi depresi
secara signifikan lebih rendah pada orang dengan tingkat pendidikan tinggi, yang merasa
sangat atau cukup mudah untuk membayar pengobatan, dengan status sosial menengah atau
tinggi, yang mengkonsumsi makanan lebih sehat, memiliki lebih banyak aktivitas fisik, dan
memiliki health literacy (HL) lebih tinggi dibandingkan dengan rekan-rekan mereka. Dalam
analisis multivariat, dibandingkan dengan orang tanpa gejala COVID-19, orang-orang
dengan gejala COVID-19 memiliki kemungkinan depresi yang lebih tinggi. Orang dengan
tingkat pendidikan perguruan tinggi / universitas atau lebih tinggi memiliki kemungkinan
depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan pencapaian sekolah dasar / buta
huruf). Dibandingkan dengan orang yang memiliki status sosial rendah, mengkonsumsi
makanan kurang sehat atau tidak berubah, aktivitas fisik kurang, orang dengan status sosial
menengah atau tinggi, menngkonsumsi makanan lebih sehat, memiliki lebih banyak aktivitas
fisik memiliki kemungkinan depresi yang lebih rendah. Orang dengan skor HL yang lebih
tinggi memiliki kemungkinan depresi yang lebih rendah. 45
Penelitian lain yang dilakukan oleh Mazza, et al. (2020) pada 402 penderita COVID-
19 setelah melakukan satu bulan perawatan di rumah sakit didapatkan hasil dengan
wawancara klinis dan laporan kuisioner yang digunakan untuk menyelidiki gejala depresi
dan kecemasan. Temuan ini mencerminkan hasil studi terhadap morbiditas kejiwaan pasca
penyakit sebelum terjadinya wabah COVID-19 (Rogers et al., 2020). 45
Hasil ini didukung oleh penelitian yang sudah dilakuakan Rajkumar (2020) bahwa
kelompok rentan yang memiliki dampak kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan
dari pandemi COVID-19. Kelompok rentan yang diidentidikasi adalah penderita lanjut usia
(Yang et al., 2020), tunawisma (Tsai and Wilson, 2020), wanita hamil (Rashidi Fakari and
Simbar, 2020), riwayat penyakit jiwa (Yao et al., 2020). Alasan yang mungkin menjadi
penyebab adalah kepadatan rumah sakit, karantina yang ketat, kurangnya fasilitas medis,
kurang pengetahuan professional kesehatan jiwa, dan kesulitan untuk bekerja sama dengan
penderita COVID-19. 45
2.5 SKALA HARS
Tingkat kecemasan dapat diukur dengan pengukuran skor kecemasan menurut alat
14
ukur kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Skala HARS
merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya gejala pada individu
yang mengalami kecemasan. Menurut skala HARS terdapat 14 gejala yang nampak pada
individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan
skor antara 0 (Nol Present) sampai dengan 4 (severe).32
Skala HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) dalam penilaian kecemasan terdiri
dan 14 item, meliputi: 32
1. Perasaan cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah
tersinggung.
2. Ketegangan merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.
3. Ketakutan: takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri
dan takut pada binatang besar.
4. Gangguan tidur: sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur
tidak pulas dan mimpi buruk.
5. Gangguan kecerdasan: penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit
konsentrasi.
6. Perasaan depresi: hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hobi,
sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.
7. Gejala somatik: nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak
stabil dan kedutan otot.
8. Gejala sensorik: perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah
dan pucat serta merasa lemah.
9. Gejala kardiovaskuler: takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras dan
detak jantung hilang sekejap.
10. Gejala pernapasan: rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering
menarik napas panjang dan merasa napas pendek.
11. Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun,
mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan
panas di perut.
12. Gejala urogenital: sering kencing, tidak dapat menahan kencing,
amenorrhea, ereksi lemah atau impotensi.
13. Gejala vegetatif: mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu
kuduk berdiri, pusing atau sakit kepala.
14. Perilaku sewaktu wawancara: gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan
15
dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek
dan cepat.

Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan kategori:


0 = tidak ada gejala sama sekali
1 = Satu dari gejala yang ada
2 = Sedang/ separuh dari gejala yang ada
3 = berat/lebih dari ½ gejala yang ada
4 = sangat berat semua gejala ada

Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan item
1-14 dengan hasil:
a. Skor kurang dari 6 = tidak ada kecemasan.
b. Skor 7 – 14 = kecemasan ringan.
c. Skor 15 – 27 = kecemasan sedang.
d. Skor lebih dari 27 = kecemasan berat. 32

2.6 SKALA HDRS


Kuesioner terdiri dari 21 item pertanyaan terkait tingkat depresi yang dialami
pasien. Rentang nilai yang mungkin diperoleh pasien dalam menjawab kuesioner adalah
8-50. Pasien akan di kategorikan tingkat depresi ringan dengan nilai 8-13, depresi sedang
dengan nilai 14-18, depresi berat dengan nilai 19-22, depresi sangat berat dengan nilai
23-50.43
Instrumen Hamilton Depression Rating Scalle (HDRS) sudah teruji validitas
setiap tahun dan terakhir uji validitas HDRS pada tahun 2012 oleh Asupah dengan nilai

uji validitasnya 0,600. HDRS juga sudah teruji reliabilitas pada tahun 2012 oleh Azim
dan nilai r tabel 0,60 sudah reliabel karena dengan ketentuan bila alpha lebih besar dari
pada r tabel (0,60). 43

Skala HDRS (Hamilton Depression Rating Scale) dalam penilaian depresi terdiri dari
21 item, meliputi:
1. Keadaan perasaan sedih (sedih, putus asa, tidak berdaya, tidak berguna).
2. Perasaan bersalah (Menyalahkan diri sendiri, ide-ide bersalah, waham berdosa,
suara-suara kejaran)
3. Bunuh diri (Merasa hidup tidak ada gunanya, mengharapkan kematian, ide-ide
16
bunuh diri, percobaan bunuh diri)
4. Gangguan Pola tidur (initial insomnia): Keluhan kadang-kadang sukar masuk
tidur, Keluhan tiap malam sukar masuk tidur
5. Gangguan Pola tidur (Middle Insomnia): Mengeluh gelisah dan terganggu
sepanjang malam, terjadi sepanjang malam

6. Gangguan Pola tidur (late insomnia): Bangun di waktu dini hari tetapi dapat
tidur lagi, Bangun dini hari dan tidak dapat tidur lagi

7. Kerja dan aktifitas (Pikiran/perasaan ketidakmampuan, Hilangnya minat


terhadap pekerjaan/hobi atau kegiatan lainnya, Berkurangnya waktu yang
digunakan untuk beraktifitas sehari-hari atau produktifitas menurun, Tidak
bekerja karena sakitnya sekarang.)

8. Kelambanan (lambat berpikir, berbicara, gagal berkonsentrasi, aktivitas


motorik menurun).

9. Kegelisahan (agitasi)
10. Kecemasan (ansietas psikik)

11. Kecemasan (Ansietas somatik) : Penyerta fisiologis ansietas (misalnya efek


hiperaktifitas otonom, indigesti, kram perut, bersendawa, diare, palpitasi,
hiperventilasi, parestesi, berkeringat, muka merah, gemetar, sakit kepala,
sering berkemih,sakit/nyeri di otot-otot, kaku, kedutan otot, gigi gemerutuk,
suara tidak stabil, telinga berdenging, penglihatan kabur, muka merah atau
pucat)

12. Gejala Somatik (pencernaan): nafsu makan


13. Gejala somatik (umum): Anggota gerak terasa berat, sakit perut dll.

14. Kelamin (genital) : (gejala seperti hilangnya libido, performa seksual kurang,
gangguan haid

15. Hipokondriasis (keluhan somatik/fisik yang berpindah-pindah)

16. Kehilangan berat badan (A dan B)

17. Insight (pemahaman diri)

18. Variasi harian

19. Depersonalisasi dan Derealisasi


17
20. Gejala-gejala Paranoid (Ideas of Reference, waham kejaran)

21. Gejala-gejala Obsesi dan kompulsi

18
BAB III
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

3.1 KERANGKA TEORI

Pandemi Covid-19

Diagnosis COVID 19

Mencegah perilaku
Learning
Helplessness (LH)

Mencegah aktivasi
sistem saraf Plastisitas Subjek yg terdiagnosis
simpatis yang mPFC Covid-19
diinduksi stress

Melemahkan
respons HPA-Axis
terhadap stress
akut

Gejala Psikologis : Depresi dan Anxietas

19
3.2 KERANGKA KONSEP

Diagnosis
COVID 19

Respons HPA-Axis
Subjek yg terdiagnosis
Aktivasi Sistem Saraf Simpatis
Covid-19

Gejala Psikologis :
Kecemasan : Hamilton
Rating Scale for
Anxiety(HARS)
Gejala depresi : Hamilton
Rating Scale For Depression
(HDRS)

Keterangan :
Variabel Bebas

Variabel Tergantung

Variabel Antara

20
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 DESAIN PENELITIAN


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan metode Cross
Sectional

4.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN


Penelitian ini direncanakan dilaksanakan pada November-Desember 2020 di
fasilitas isolasi pasien covid tanpa gejala dan gejala ringan milik pemerintah provinsi
Sulawesi Selatan di kota Makassar

4.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN


a. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah pasien COVID 19 tanpa gejala atau bergejala ringan
yang menjalani isolasi di fasilitas milik pemerintah kota makassar sejumlah 157
orang.

b. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah sebagian pasien COVID 19 tanpa gejala atau bergejala
ringan yang menjalani isolasi di fasilitas milik pemerintah provinsi Sulawesi
Selatan di kota Makassar.
c. Besar Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara cross sectional. Rumus besar sampel
ditentukan dengan menggunakan rumus :

n : Jumlah sampel
p= 0,50
d = 0,10
N= 157
Sehingga diperoleh : 60

21
d. Cara Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel adalah simple random sampling sampai sampel yang
diperlukan terpenuhi.

e. Kriteria Seleksi
Kriteria Inklusi :
a. Kooperatif dan bersedia menjadi responden penelitian.
b. Pasien Covid-19 yang terkonfirmasi positif dan menjalani isolasi di fasilitas
milik pemerintah untuk pertama kalinya.
c. Pasien yang tanpa gejala atau bergejala ringan yang menjalani isolasi di
fasilitas milik pemerintah provinsi sulawesi selatan.
d. Mampu menjawab pertanyaan dari peneliti.
Kriteria Eksklusi :
a. Menderita gangguan jiwa berat.
b. Penderita yang telah memiliki sakit berat sebelumnya.
c. Pasien Covid-19 yang terkonfirmasi positif dan sudah menjalani isolasi di
fasilitas milik pemerintah lebih dari 1 kali
4.4 JENIS DATA DAN INSTRUMEN PENELITIAN

a. Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh langsung dari
subjek penelitian.
b. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian berupa kuesioner identitas, HRSA, HRSD.

4.5 MANAJEMEN PENELITIAN


a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dengan meminta responden melakukan pengisian kuesioner
identitas, HARS, HDRS.
b. Tekhnik Pengolahan Data
Pengolahan dilakukan setelah pencatatan instrumen penelitian dengan
menggunakan program computer SPSS 26.0 dan Microsot Excel untuk
memperoleh hasil statistik yang diharapkan.
c. Penyajian Data
Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel, diagram, serta nilai
22
korelasi dan kebermaknaan.

4.6 ETIK PENELITIAN


a. Sebelum melakukan penelitian ini, terlebih dahulu akan meminta keterangan
kelayakan etik (ethical clearance) dari Komisi Etik Penelitian Biomedis Manusia
Pada Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dan meminta persetujuan dari
partisipan.
b. Melakukan informed-consent sebelum subjek berpartisipasi dalam penelitian, dan
berusaha menjaga kerahasiaan identitas subjek penelitian, sehingga diharapkan
tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian yang dilakukan.
c. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang
terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang telah disebutkan sebelumnya.

4.7 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI VARIABEL


a. Variabel Bebas : Indentitas dari subjek yg terdiagnosis Covid-19 meliputi, umur,
jenis kelamin, tingkat Pendidikan, status perkawinan, tingkat pendapatan dan
lama isolasi.
b. Variabel Tergantung : Gejala klinis psikologis yang diukur dengan skala HARS,
HDRS

4.8 DEFINISI OPERASIONAL DAN KRITERIA OBJEKTIF

a. Definisi Operasional
• Gejala klinis psikologis: Gejala klinis yang timbul sebagai respon terhadap
stressor yang dialami oleh pasien Covid-19 yang menjalani isolasi di fasilitas
milik pemerintah. Terdiri dari 2 yakni Gejala anxietas (diukur dengan skala
HARS), gejala depresi (diukur dengan skala HDRS)
• Umur: Usia pasien Covid-19 dalam tahun

• Jenis kelamin: Jenis kelamin petugas kesehatan Covid-19, yaitu laki-laki dan
perempuan
• Tingkat Pendidikan: Jenjang Pendidikan yang ditempuh pasien COVID 19
• Status Perkawinan: Keadaan ikatan pernikahan pasien COVID 19.
• Tingkat Pendapatan: Tingkatan pendapatan pasien COVID 19.
• Lama Isolasi: waktu yang dijalani pasien saat mulai masuk dalam fasilitas isolasi
23
sampai saat dilakukan penelitian.

b. Kriteria Objektif
• Skala HARS terdiri atas 14 pertanyaan. Dengan nilai 0-4 setiap pertanyaan
Hasilnya dikategorikan:
1. Tidak ada Anxietas: < 6
2. Anxietas ringan: 6 – 14
3. Anxietas sedang: 15-27
4. Anxietas berat: > 27
• Skala HDRS terdiri atas 21 pertanyaan. Hasilnya dikategorikan :
1. Tingkat depresi ringan: 8-13
2. Tingkat depresi sedang: 14-18
3. Tingkat depresi berat : 19-22
4. Tingkat depresi sangat berat : 23-50

4.9. ALUR PENELITIAN

Populasi
Penelitian

Memenuhi Kriteria Memenuhi Kriteria


Inklusi Eksklusi

Sampel Dikeluarkan
Penelitian

Menyetujui Informed Konsent

Mengisi data
awal

Mengisi Kuesioner HARS dan


HDRS

Analisa data

Menyajikan data
penelitian

24
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 HASIL PENELITIAN


5.1.1. Karakteristik Sampel
Pada penelitian ini diambil sampel sebanyak 60 subjek dimana semuanya telah memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Untuk memberikan data deskriptif terkait frekuensi distribusi pada
sampel, dilakukan analisis deskriptif statistik dan didapatkan data dalam tabel 5.1
Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Subjek Penelitian
Frekuensi
Karakteristik/Variabel Persen(%)
(N=68)
< 30 tahun 20 32.3
Umur 30-50 21 33.9
> 50 tahun 19 30.6
laki-laki 32 51.6
Jenis Kelamin
perempuan 28 45.2
Menikah 34 54.8
Status Belum atau
Pernikahan tidak 26 41.9
menikah
Kurang 20 32.3
Tingkat
Cukup 25 40.3
Pendapatan
Baik 15 24.2
1-7 hari 20 32.3
Lama 8-14 hari 26 41.9
Perawatan diatas 2
14 22.6
minggu
tidak ada 12 19.4
Pekerjaan wiraswasta 20 32.3
PNS, TNI 28 45.2
Dibawah S1 18 29.0
Pendidikan
S1 keatas 42 67.7
tidak ada 17 27.4
Ringan-
Depresi 28 45.2
sedang
Berat 15 24.2
tidak ada 20 32.3
Cemas cemas
25 40.3
ringan-

25
sedang
cemas berat 15 24.2

Dari tabel diatas distribusi usia <30 tahun, 30-50 tahun dan lebih dari 50 tahun relatif
merata dengan jumlah sampel masing-masing 20 sampel (32.3%), 21 sampel (33.9%), dan 19
sampel (30.6%). Jenis kelamin paling tinggi sebanyak 32 (45.2%) sampel berjenis kelamin laki-
laki. Sebagian besar sampel yang diisolasi selama 8-14 hari sebanyak 26 sampel (41.9%).
Pekerjaan terbanyak yaitu PNS & TNI sebanyak 28 sampel (45.2%) dengan pendidikan yang
didominasi S1 keatas sebanyak 42 sampel (67.7%)
Gejala depresi sebagian besar terdapat pada ringan-sedang sebanyak 28 orang(45.2%),
tidak ada gejala depresi 17(27.4%), dan gejala depresi berat 15 orang (24.2%). Untuk gejala cemas
25 orang dengan gejala ringan-sedang (40.3%), gejala berat 15 orang (24.2%), sedangkan 20 orang
(23.3%) tanpa gejala.

5.1.2. Analisis hubungan antara usia, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendapatan,
lama perawatan, pekerjaan, dan tingkat pendidikan terhadap cemas dan depresi.
Pada tabel 5.2, keseluruhan data diuji mengunakan chi-square untuk melihat hubungan
variabel-variabel terhadap tingkat kecemasan dan depresi. Dilihat bahwa kecemasan berhubungan
dengan variabel umur, status perkawinan, lama rawat inap, pekerjaan, dan pendidikan dengan p
value <0.05. Kecemasan tidak berhubungan dengan jenis kelamin dan pendapatan. Hal yang
menarik terdapat pada jenis kelamin dimana pada pria 10 orang atau sekitar 31.3% tidak memiliki
kecemasan, sekitar 53.1% atau sebanyak 17 orang mengalami cemas ringan dan 15.6% atau 5
orang mengalami kecemasan berat, sedangkan pada wanita 10 orang atau 35.7% mengalami cemas
berat, 10 orang atau 35.7% tidak memiliki kecemasan, dan 28.6% atau 8 orang yang mengalami
cemas ringan-sedang. Biarpun tidak bermakna secara statistik (p value = 0.097) tetapi dapat dilihat
bahwa sampel laki-laki mayoritas mengalami cemas ringan-sedang, sedangkan pada wanita
perbandingan yang tidak cemas, cemas ringan, dan cemas berat relatif sama.
Depresi pada tabel 5.2 berhubungan secara statistik dengan usia (p value 0.001) dan lama
perawatan (0.004). Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik terhadap jenis kelamin
(p value0.152), status pernikahan (p value 0.109), pendapatan (p value 0.787), pekerjaan (p value
0.052), dan pendidikan (p value 0.065). Pada jenis kelamin walaupun tidak bermakna secara
statistik, sampel pria umumnya mengalami depresi ringan-sedang yaitu sebanyak 18 sampel

26
(56.3%). Pada sampel perempuan, jumlah distribusinya tampak lebih merata dengan jumlah
sampel tidak depresi sebanyak 8 (28.6%), depresi ringan-sedang dan depresi berat masing-masing
sebanyak 10 (35.7%). Hal menarik lain didapatkan pada hubungan pekerjaan dan tingkat depresi,
dimana pada sampel yang tidak bekerja, tidak ada yang mengalami depresi berat dan sebagian
besar (58.3%) umumnya tidak menunjukkan gejala depresi. Pada area pendidikan walaupun tidak
ada hubungannya secara statistik, didapatkan sampel dengan tingkat pendidikan dibawah S1 yang
mengalami depresi berat sekitar 44.4% sampel. Sedangkan yang memiliki pendidikan S1 keatas
hanya 16% yang mengalami gejala depresi berat.

27
Cemas Depresi
Ringan- Ringan-
Berat p Value Tidak ada Berat p Value
Tidak ada Sedang Sedang
Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)
Usia
<30 Tahun 13(65.0%) 7(35.0%) 0(0.0%) 11(55.0%) 8(40.0%) 1(5.0%)
30-50 3(14.3%) 11(52.4%) 7(33.3%) 0.001 4(19.0%) 11(52.4%) 6(28.6%) 0.008
>50 4(21.1%) 7(36.8%) 8(42.1%) 2(10.5%) 9(47.4%) 8(42.1%)
Jenis Kelamin
Laki-Laki 10(31.3%) 17(53.1%) 5(15.6%) 9(28.1%) 18(56.3%) 5(15.6%)
0.097 0.152
Perempuan 10(35.7%) 8(28.6%) 10(35.7%) 8(28.6%) 10(35.7%) 10(35.7%)
Status Perkawinan
Menikah 6(17.6%) 17(50.0%) 11(32.4%) 6(17.6%) 18(52.9%) 10(29.4%)
0.012 0.109
Belum Menikah 14(53.8%) 8(30.8%) 4(15.4%) 11(42.3%) 10(38.5%) 5(19.2%)
Tingkat Pendapatan
Kurang 9(45.0%) 6(30.0%) 5(25.0%) 7(35.0%) 8(40.0%) 5(25.0%)
Cukup 6(24.0%) 12(48.0%) 7(28.0%) 0.610 7(28.0%) 11(44.0%) 7(28.0%) 0.787
Baik 5(33.3%) 7(46.7%) 3(20.0%) 3(20.0%) 9(60.0%) 3(20.0%)
Lama Perawatan
1-7 Hari 15(75.0%) 5(25.0%) 0(0.0%) 11(55.0%) 8(40.0%) 1(5.0%)
8-14 Hari 2(7.7%) 11(42.3%) 13(50.0%) 0.001 2(7.7%) 13(50.0%) 11(42.3%) 0.004
>14 Hari 3(21.4%) 9(64.3%) 2(14.3%) 4(28.6%) 7(50.0%) 3(21.4%)
Pekerjaan
Tidak ada 8(66.7%) 4(33.3%) 0(0.0%) 7(58.3%) 5(41.7%) 0(0.0%)
Wiraswasta 3(15.0%) 10(50.0%) 7(35.0%) 0.032 3(15.0%) 11(55.0%) 6(30.0%) 0.052
PNS, TNI 9(32.1%) 11(39.3%) 8(28.6%) 7(25.0%) 12(42.9%) 9(32.1%)
Pendidikan
Dibawah S1 3(16.7%) 7(38.9%) 8(44.4%) 3(16.7%) 7(38.9%) 8(44.4%)
0.048 0.065
S1 keatas 17(40.5%) 18(42.9%) 7(16.7%) 14(33.3%) 21(50.0%) 7(16.7%)
Tabel 2. Hubungan antara Usia, Jenis Kelamin, Status Perkawinan, Tingkat Pendidikan, Lama Perawatan, Pekerjaan, dan Pendidikan Terhadap Anxietas dan
Depresi. Perhitungan p value menggunakan Chi-Square.

28
Depresi
Ringan-
Tidak ada Berat p
sedang
Value
Jumlah Jumlah Jumlah
(%) (%) (%)
Tidak ada 16(80.0%) 3(15.0%) 1(5.0%)
Cemas Ringan 1(4.0%) 23(92.0%) 1(4.0%) 0.001
Berat 0(0.0%) 2(13.3%) 13(86.7%)
Tabel 3. Hubungan antara Cemas dan Depresi. Perhitungan p value menggunakan Chi-
Square.

Dari tabel 3. Terlihat bahwa depresi dan cemas memiliki hubungan yang sangat kuat (p
value 0.001). Tabel tersebut menunjukkan dari 80% sample yang tidak mengalami anxietas
juga tidak mengalami depresi, 92% sample yang mengalami cemas ringan juga mengalami
depresi ringan-sedang, dan 86.7% smple yang mengalami cemas berat juga mengalami depresi
berat secara statistik.

5.2 PEMBAHASAN
Situasi pandemi Covid-19 yang terus berlanjut hingga saat ini membuat semakin
banyak masyarakat yang terkonfirmasi positif, baik yang menjalani perawatan di RS karena
memiliki gejala sedang dan berat maupun yang bergejala ringan yang menjalani isolasi mandiri
ataupun yang menjalani isolasi di fasilitas milik pemerintah. Masyarakat yang harus tinggal di
fasilitas isolasi milik pemerintah karena dianggap tidak mampu melakukan isolasi mandiri di
rumah dan berpotensi untuk menyebarkan Covid 19. Hal ini bisa menyebabkan kecemasan dan
depresi. Respon dari lingkungan masyarakat sekitar, terisolasi, berpisah dengan anggota
keluarga di rumah, dapat menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya kecemasan dan depresi
pada pasien yang tanpa gejala dan bergejala ringan yang menjalani isolasi di fasilitas milik
pemerintah. Pada penelitian ini, penulis menggunakan skala HARS dan HDRS untuk menilai
tingkat anxietas dan depresi.
Pada penelitian ini didapatkan gejala depresi sebagian besar terdapat pada ringan-
sedang sebanyak 45.2% dan gejala depresi berat 24.2%. Untuk gejala cemas dengan gejala
ringan-sedang sebanyak 40.3%, gejala berat 24.2%. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh F. Tang et al. yang menemukan bahwa 26.47% masyarakat yang diisolasi
mengalami depresi dan sekitar 70.78% mengalami kecemasan. Covid-19 menular, mematikan,
dan tidak dapat diprediksi, sehingga menimbulkan histeria dan ketakutan individu. Dalam
keadaan stres ini, individu menunjukkan berbagai reaksi psikologis dan perilaku yang
dipengaruhi oleh opini publik atau stigma, media massa, dan dampak wabah dalam hal
29
pembatasan mobilitas. Hal yang juga perlu untuk dipertimbangkan, ketika para penyintas
Covid-19 kembali ke rumah, pengalaman hidup mungkin menjadi hadiah sekaligus beban.
Meskipun mereka sembuh, mereka mungkin masih dianggap menular dan dikucilkan dari
keluarga, profesional, dan kehidupan sosial mereka. 46-48
Penelitian ini menemukan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara umur dengan
adanya anxietas maupun depresi, dimana semakin tua umur semakin tinggi tingkat kecemasan
maupun depresi. Hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Nguyen, et al. (2020) bahwa
kemungkinan depresi dan kecemasan secara signifikan lebih tinggi pada orang dengan gejala
COVID-19, berusia 50 tahun atau lebih dengan komorbiditas dan Yang et al. (2020) Kelompok
rentan yang diidentidikasi adalah penderita lanjut usia. 49,50
Dari penelitian ini menemukan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara lamanya
masa isolasi/ perawatan dengan adanya anxietas dan depresi, dimana semakin lama seseorang
menjalani isolasi semakin tinggi tingkat kecemasan maupun depresi. Hasil penelitian oleh Siti
Nurjannah (2020) bahwa adanya gangguan mental emosional pada orang-orang yang
menjalani karantina dimana didapatkan gambaran kecemasan, rasa tegang dan khawatir,
diikuti dengan keluhan aktivitas/ tugas sehari- hari yang terbengkalai, hilangnya nafsu makan
dan gangguan tidur yang menggambarkan adanya depresi. Hal ini timbul karena harus
menjalani isolasi di tempat karantina karantina yang asing, bukan rumah sendiri. Khawatir akan
kondisi kesehatannya serta kepastian akan berapa lama berada di tempat isolasi dan bagaimana
kondisi kesehatan selanjutnya.51

Untuk kategori pekerjaan, didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara


pekerjaan dengan kecemasan, dimana berdasarkan table distribusi frekwuensi diatas kecemasan
tertinggi terjadi pada kelompok pasien dengan pekerjaan wiraswasta, disusul PNS dan TNI
Polri dan tingkat kecemasan terendah terjadi pada kelompok yang tidak memiliki pekerjan
tetap, sedangkan pada depresi justru tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara
pekerjaan dan depresi. Tingginya kecemasan pada kelompok pasien dengan pekerjaan
wiraswasta dapat dihubungkan dengan adanya PSBB maupun PPKM selama terjadinya
pandemi menyebabkan roda perekonomian menjadi terganggu dan tidak menentu sehingga
berpengaruh terhadap penghasilan orang-orang yang berwiraswasta. Sedangkan PNS dan TNI
Polri cenderung lebih stabil karena mereka memiliki gaji yang langsung dibayarkan dari
pemerintah, sehingga menjadi jaminan tersendiri bagi PNS dan TNI Polri.
Untuk kategori pendidikan, didapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat
pendidikan dengan kecemasan, dimana tingkat kecemasan lebih banyak terjadi pada pasien
covid 19 dengan pendidikan S1 keatas, sedangkan pada depresi justru tidak didapatkan

30
hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dan depresi. Hasil penelitian oleh Trixie
Almira (2020), sebuah literatur review menjelaskan bahwa sebuah Studi menunjukkan bahwa
orang yang telah mencapai pendidikan perguruan tinggi / universitas atau di atas memiliki
prevalensi depresi dan kecemasan yang lebih tinggi (Ha, 2018). 52

Konsekuensi psikiatris terhadap infeksi SARS-CoV-2 dapat disebabkan oleh respons


imun terhadap virus itu sendiri, atau oleh stresor psikologis seperti isolasi sosial, dampak
psikologis dari penyakit baru yang parah dan berpotensi fatal, kekhawatiran tentang
menginfeksi orang lain, dan stigma. . Respon imun terhadap corona virus menginduksi
produksi sitokin, kemokin, dan mediator inflamasi lokal dan sistemik lainnya (Cameron et al.,
2008). Pasien COVID-19, seperti pasien SARS dan MERS, menunjukkan tingkat tinggi
Interleukin (IL)-1β, IL-6, Interferon (IFN)-γ, CXCL10, dan CCL2 yang menunjukkan aktivasi
fungsi sel T-helper-1. Selain itu, pada COVID-19, tidak seperti pada SARS dan MERS,
ditemukan peningkatan kadar sitokin yang disekresikan sel T-helper-2 (seperti IL-4 dan IL-10)
(Ye et al., 2020; Channappanavar dan Perlman, 2017). Konsentrasi yang lebih tinggi dari
sitokin ini tampaknya menunjukkan perjalanan klinis yang lebih parah (Huang et al., 2020).
Disregulasi sitokin (terutama IL-1β, IL-6, IL-10, IFN-γ, TNF-α, dan transforming growth
factor-β (TGF-β)) diketahui melibatkan faktor-faktor yang lain dan kita terkait dengan
gangguan kejiwaan ( Kohler dkk., 2017; Miller dkk., 2011; Renna dkk., 2018; Poletti dkk.,
2019; Benedetti dkk., 2017; Benedetti dkk., 2020). Peradangan saraf, gangguan sawar darah-
otak, invasi sel imun perifer ke SSP, gangguan neurotransmisi, disfungsi aksis hipotalamus-
hipofisis adrenal (HPA), aktivasi mikroglia dan induksi indoleamine 2,3-dioxygenase (IDO),
semuanya mewakili jalur interaksi antara sistem imun. sistem dan mekanisme psikopatologis
yang mendasari gangguan kejiwaan yang mencakup anxietas maupun depresi (Dantzer, 2018;
Najjar et al., 2013; Benedetti et al., 2020; Jones dan Thomsen, 2013). 47

31
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Penelitian ini memberikan gambaran hubungan kecemasan dan depresi pada pasien
COVID 19 tanpa gejala atau bergejala ringan yang menjalani isolasi di fasilitas milik
pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kecemasan
diukur dengan menggunakan skala HARS dan depresi menggunakan skala HDRS. Secara
keseluruhan, didapatkan hasil yang menunjukkan dari 80% sample yang tidak mengalami
anxietas juga tidak mengalami depresi, 92% sample yang mengalami cemas ringan juga
mengalami depresi ringan-sedang, dan 86.7% sample yang mengalami cemas berat juga
mengalami depresi berat secara statistik.
Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kecemasan dan tingkat depresi adalah usia dan
lamanya menjalani isolasi. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap tingkat kecemasan
adalah adalah pekerjaan dan tingkat pendidikan. Sedangkan faktor jenis kelamin, status
perkawinan dan tingkat pendapatan tidak memberikan pengaruh secara signifikan terhadap
kecemasan maupun depresi.

6.2. Saran
a) Untuk penelitian selanjutnya, perlu diperbanyak jumlah sample yang diteliti dan
ditambahkan kriteria variabel bebas yang lebih spesifik lagi agar dapat memberikan
gambaran hasil yang lebih akurat.
b) Perlunya wawancara pasien yang lebih seksama dan komprehensif agar dapat
menemukan gejala kecemasan dan depresi pada pasien isolasi Covid -19.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Hu, Z., & Chen, B. (2020). The Status Of Psychological Issues Among Frontline
Health Workers Confronting The Coronavirus Disease 2019 Pandemic. Frontiers in
Public Health, 8. doi:10.3389/fpubh.2020.00265
2. Spoorthy, M. S. (2020). Mental Health Problems Faced By Healthcare Workers Due
To The Covid-19 Pandemic- A Review. Asian Journal of Psychiatry, 102119.
doi:10.1016/j.ajp.2020.102119
3. WHO. 2020. WHO Coronavirus Disease (COVID-19) Dashboard.
https://covid19.who.int/table
4. Data Pantauan Covid-19 di Sulawesi Selatan. https://infocorona.makassar.go.id/.
Published 2020. Accessed Agustus 17, 2020.

5. Satuan Tugas Penanganan Covid-19. 2020. Peta Sebaran. https://covid19.go.id/peta-


sebaran

6. Pappa, S., Ntella, V., Giannakas, T., Giannakoulis, V. G., Papoutsi, E., & Katsaounou,
P. (2020). Prevalence Of Depression, Anxiety, And Insomnia Among Healthcare
Workers During The Covid-19 Pandemic: A Systematic Review And Meta-Analysis.
Brain, Behavior, and Immunity. doi:10.1016/j.bbi.2020.05.026
7. William,W., Pradeep, J.R., Rao, S.,et all. (2020). Prevalence and Predictors of Stress,
anxiety, and Depression among Healthcare Workers Managing COVID-19 Pandemic
in India: a Nationwide Observational Study. A nationwide observational study. Indian
j psychol med. doi:10.1177/0253717620933992
8. Tsai, Y.-C., & Liu, C.-H. (2012). Factors And Symptoms Associated With Work Stress
And Health-Promoting Lifestyles Among Hospital Staff: A Pilot Study In Taiwan.
BMC Health Services Research, 12(1). doi:10.1186/1472-6963-12-199
9. Tomlin, J., Dalgleish-Warburton, B., & Lamph, G. (2020). Psychosocial Support for
Healthcare Workers During the COVID-19 Pandemic. Frontiers in Psychology, 11.
doi:10.3389/fpsyg.2020.01960
10. Maghfaruddin. 2011. Hubungan Tingkat Kekebalan Stres Dengan Adaptasi
Mahasiswa Program Profesi Ners Yang Menjalankan Pembelajaran Praktik Klinik.
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia. https://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI

11. Sugen, S.U., Hadi, H.T., Nataprawira, R. 2015. Gambaran Tingkat Stres Dan Daya
Tahan Terhadap Stres Perawat Instalasi Perawatan Intensif Di Rumah Sakit
Immanuel Bandung. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia.
33
https://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI

12. CABARKAPA, S., Nadjidai, S.E., Murgier, J., Ng, C.H. The psychological impact of
COVID-19 and other viral epidemics on frontline healthcare workers and ways to
address it: A rapid systematic review. Brain, Behavior, & Immunity – Health.
https://doi.org/10.1016/ j.bbih.2020.100144

13. WHO. 2020. Coronavirus disease (COVID-19) Weekly Epidemiological Update and
Weekly Operational Update. https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-
coronavirus-2019/situationreports

14. Cascella M, Rajnik M, Cuomo A, et al. Features, Evaluation, and Treatment of


Coronavirus (COVID-19) [Updated 2020 Aug 10]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554776/

15. Satuan Tugas Penanganan Covid-19. 2020. Peta Sebaran. https://covid19.go.id/peta-


sebaran

16. Kementerian Kesehatan RI. 2020. Covid-19 Dalam Angka, Kondisi 22 Agustus
2020. https://www.kemkes.go.id/resources/download/infoterkini/covid%20dalam%2
0angka/covid-19-dalam-angka-22-agustus-2020.pdf

17. Kementerian Kesehatan RI. 2020. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian


Coronavirus Disease (COVID 19). Revisi Ke-5. Jakarta
18. Lotfi, M., Hamblin, M. R., & Rezaei, N. (2020). COVID-19: Transmission,
prevention, and potential therapeutic opportunities. Clinica chimica acta;
international journal of clinical chemistry, 508, 254–266.
https://doi.org/10.1016/j.cca.2020.05.044
19. Hawari, D. Manajemen Stress, Cemas dan Depresi. Edisi II. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta : Badan Penerbit FKUI. 2016
20. Mika, A., Rumian, N., Loughridge, A. B., & Fleshner, M. (2016). Exercise and
Prebiotics Produce Stress Resistance. Gut Microbiome and Behavior,
165– 191. doi:10.1016/bs.irn.2016.08.004
21. Maramis, W.F., Maramis, A.A. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi II. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya : Airlangga University Press. 2012
22. Bekti, S.D., Mualifah, L. The Relationship Of Stress Tolerance With Coping
Mechanism Of Pre-Menopause Women. Jurnal Kesehatan Karya Husada/Vol.6, No.
1 Tahun 2018. https://doi.org/10.36577/jkkh.v6i1.289
34
23. Greenwood, B. N., & Fleshner, M. (2011). Exercise, stress resistance, and central
serotonergic systems. Exercise and sport sciences reviews, 39(3), 140–149.
https://doi.org/10.1097/JES.0b013e31821f7e45

24. Greenwood, B. N., Spence, K. G., Crevling, D. M., Clark, P. J., Craig, W. C., &
Fleshner, M. (2013). Exercise-induced stress resistance is independent of exercise
controllability and the medial prefrontal cortex. The European journal of
neuroscience, 37(3), 469–478. https://doi.org/10.1111/ejn.12044

25. Kaplan HI, Saddock BJ, Greb JA. 2015. Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences
/ Clinical Psychiatry. 11th ed. USA : Lippincott Williams & Wilkins.
26. Hall C. Freud’s concept of anxiety. Pastor Psychol. 1955;6:43-48.
https://doi.org/10.1007/BF02009440
27. Merikangas, K.R. PH.D. 2017. Anxiety Disorders: Introduction and Overview. Dalam
B. J. Sadock, V. A. Sadock, & P. Ruiz, Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook
of Psychiatry (10th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer.
28. Duman R. S. (2014). Pathophysiology of depression and innovative treatments:
remodeling glutamatergic synaptic connections. Dialogues in clinical neuroscience,
16(1), 11–27
29. Yang, L., Zhao, Y., Wang, Y., Liu, L., Zhang, X., Li, B., & Cui, R. (2015). The Effects
of Psychological Stress on Depression. Current neuropharmacology, 13(4), 494–504.
https://doi.org/10.2174/1570159x1304150831150507

30. Koolschijn, P. C., van Haren, N. E., Lensvelt-Mulders, G. J., Hulshoff Pol, H. E., &
Kahn, R. S. (2009). Brain volume abnormalities in major depressive disorder: a meta-
analysis of magnetic resonance imaging studies. Human brain mapping, 30(11),
3719–3735. https://doi.org/10.1002/hbm.20801

31. Drevets WC, Bogers W, Raichle ME. Functional anatomical correlates of


antidepressant drug treatment assessed using PET measures of regional glucose
metabolism. Eur Neuropsychopharmacol. 2002 Dec;12(6):527-44. doi:
10.1016/s0924-977x(02)00102-5. PMID: 12468016
32. Jerry J (2018). Pathophysiology Depression, Medscape [Online]. Available at
:https://emedicine.medscape.com/article/286759-overview#a3
33. Briggitta B (2002). Pathophysiology of depression and mechanism of treatment.
[Online]. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3181668/

34. MatsubaraT, Funato H, Kobayashi A, et al.Reduced glucocorticoid receptor [alpha]


35
expression in mood disorder patients and first-degree relatives, Biol Psychiatry
, 2006, vol. 59 (pg. 689-95)
35. Ahuja N. A short textbook of psychiatry. 7th Ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers Ltd, 2011.
36. Kay J. Tasman A. Essentials of psychiatry. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd, 2006.

Cabarkapa, S., Nadjidai, S. E., Murgier, J., & Ng, C. H. (2020). The psychological
impact of COVID-19 and other viral epidemics on frontline healthcare workers and
ways to address it: A rapid systematic review. Brain, behavior, & immunity - health,
8,100144.Advance online publication. https://doi.org/10.1016/j.bbih.2020.100144

37. Muller, A. E., Hafstad, E. V., Himmels, J., Smedslund, G., Flottorp, S., Stensland, S.,
Stroobants, S., Van de Velde, S., & Vist, G. E. (2020). The mental health impact of
the covid-19 pandemic on healthcare workers, and interventions to help them: A rapid
systematic review. Psychiatry Research, 293, 113441.
https://doi.org/10.1016/j.psychres.2020.113441

38. Rana, W., Mukhtar, S., & Mukhtar, S. (2020). Mental health of medical workers in
Pakistan during the pandemic COVID-19 outbreak. Asian journal of psychiatry, 51,
102080. https://doi.org/10.1016/j.ajp.2020.102080

39. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga


Kesehatan.
40. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.01.07/Menkes/327/2020 Tentang Penetapan Corona Virus Disease 2019 (Covid-
19) Akibat Kerja Sebagai Penyakit Akibat Kerja Yang Spesifik Pada Pekerjaan Tertentu.
41. Thompson, Euan. 2015. “Hamilton Rating Scale for Anxiety ( HAM-A )".
Occupational Medicine..
42. Reynolds, W. M., & Kobak, K. A. (1995). Reliability and validity of the Hamilton
Depression Inventory: A paper-and-pencil version of the Hamilton Depression Rating
Scale Clinical Interview. Psychological Assessment, 7(4), 472– 483.
https://doi.org/10.1037/1040-3590.7.4.472

43. Contreras F.H., Lopez E.M., Roman P.A.L., Garrido F., Santos M.A., Amat A.M.,
2014. Reliability and validity of the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Int.34
929-936.

44. G HCL. Teori-Teori Psikodinamik, Psikologi Kepribadian. Jakarta: Kanisius; 1993.

36
45. Jurnal Penelitian Perawat Profesional Volume 2 Nomor 3, Agustus 2020.
http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP
46. Fang Tang, Jing Liang , Hai Zhang , Mohammedhamid Mohammedosman Kelifa ,
Qiqiang He & Peigang Wang (2021) COVID-19 related depression and anxiety among
quarantined respondents, Psychology & Health, 36:2, 164-178, DOI:
https://doi.org/10.1080/08870446.2020.1782410
47. Mario Gennaro Mazza, Rebecca De Lorenzo, Caterina Conte, Sara Poletti, Benedetta
Vai, Irene Bollettini, Elisa Maria Teresa Melloni, Roberto Furlan, Fabio Ciceri, Patrizia
Rovere-Querini (2020) Anxiety and depression in COVID-19 survivors: Role of
inflammatory and clinical predictors, DOI: https://doi.org/10.1016/j.bbi.2020.07.037
48. Xue-Dan Nie, Qin Wang, Min-Nan Wang, Shuai Zhao, Lei Liu, Yu-Lan Zhu & Hong
Chen (2020): Anxiety and depression and its correlates in patients with coronavirus
disease 2019 in Wuhan, International Journal of Psychiatry in Clinical Practice,
https://doi.org/10.1080/13651501.2020.1791345
49. Thang Pham, Nguyen Thao Thi Nguyen, Sophie Bao ChieuTo, Tuan Le Pham, Thanh
Xuan Nguyen, Huong Thu Thi Nguyen, Tam Ngoc Nguyen, Thu Hoai Thi Nguyen,
Quang Nhat Nguyen, Bach Xuan Tran, Long Hoang Nguyen, Giang Hai Ha, Carl A.
Latkin, Cyrus S. H. Ho, Roger C. M. Ho, Anh Trung Nguyen and Huyen Thi Thanh Vu
(2019): Sex Differences in Quality of Life and Health Services Utilization among Elderly
People in Rural Vietnam, International Journal of Environmental Research and Public
Health, 2019, 16, 69; https://doi:10.3390/ijerph16010069
50. Yuan Yang, Wen Li, Qinge Zhang, Ling Zhang, Teris Cheung, Yu-Tao Xiang (2020):
Mental health services for older adults in China during the COVID-19 outbreak, Lancet
Psychiatry 2020, Published Online February 18, 2020 https://doi.org/10.1016/S2215-
0366(20)30079-1
51. Nurjannah Siti (2020): Gangguan Mental Emosional pada Klien Pandemi Covid-19 di
rumah karantina. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa Volume 3 No 3, Hal 329 – 334, Agustus
2020.
52. Almira T.(2020), Depresi dan Kecemasan pada penderita Corona Virus Disease 2019,
Jurnal Penelitian Perawat Profesional, Volume 2 No 3, Agustus 2020 Hal 355 – 360.

37
LAMPIRAN KUISIONER

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN


SETELAH MENDAPAT PENJELASAN

Setelah membaca informasi penelitian dan menyadari pentingnya penelitian:

Hubungan Depresi dan Anxietas pada Pasien Covid-19 tanpa Gejala atau bergejala Ringan
yang menjalani Isolasi di Fasilitas Milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.

Maka saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pekerjaan :
Alamat :

Saya bersedia untuk melakukan pengisian kuesioner dengan data yang sebenar-
benarnya dan berpastisipasi dalam penelitian. Saya mengerti sepenuhnya data yang
diambil tidak akan mempengaruhi kondisi kesehatan saya dan hal ini semata – mata
dilakukan untuk kepentingan penelitian serta tidak akan disalahgunakan. Saya mengetahui
bahwa saya berhak untuk menolak ikut serta dalam penelitian ini.
Semua efek samping yang terjadi sehubungan dengan penelitian ini, biaya kompensasi
perawatannya akan ditanggung oleh peneliti.
Bila masih ada hal yang masih belum saya mengerti atau saya ingin mendapatkan
penjelasan lebih lanjut, saya bisa mendapatkannya dari dokter peneliti. Demikian
persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran tanpa paksaan.

Nama Tanda Tangan Tgl/Bln/Thn

Klien ……………………. ………………… ………………

Saksi 1 ……………………. ………………… ………………

Saksi 2 ……………………. ………………… ………………

38
LAMPIRAN KUESIONER

KUESIONER HARS

Gejala Kecemasan (ansietas) Nilai (skor)


1. Perasaan cemas (ansietas) 01234
1) Cemas
2) Firasat buruk
3) Takut akan perasaan sendiri
4) Mudah tersinggung

2. Ketegangan 01234
1) Merasa tegang
2) Lesu
3) Tidak bisa istirahat tenang
4) Mudah terkejut
5) Mudah menangis
6) Gemetar
7) Gelisah

3. Ketakutan 01234
1) Pada gelap
2) Pada orang asing
3) Ditinggal sendiri
4) Pada binatang besar
5) Pada keramaian lalu lintas
6) Pada kerumunan orang banyak

4. Gangguan tidur 01234


1) Sukar masuk tidur
2) Terbangun malam hari
3) Tidur tidak nyenyak
4) Bangun dengan lesu
5) Banyak mimpi-mimpi
6) Mimpi buruk
7) Mimpi menakutkan

5. Gangguan kecerdasan 01234


1) Sulit konsentrasi
2) Daya ingat menurun
3) Daya ingat buruk

6. Perasaan depresi 01234


1) Hilangnya minat
2) Berkurangnya kesenangan pada hobi
3) Sedih
4) Bangun dini hari
5) Perasaan berubah-ubah sepanjang hari

39
7. Gejala somatik/fisik (otot) 01234
1) Sakit dan nyeri-nyeri otot
2) Kaku
3) Kedutan otot
4) Gigi gemeretuk
5) Suara tidak stabil

8. Gejala somatik/ fisik ( sensorik) 01234


1) Tinnitus (telinga mendengung)
2) Penglihatan kabur
3) Muka merah atau pucat
4) Merasa lemas
5) Perasaan ditusuk-tusuk

9. Gejala kardiovaskuler 01234


1) Denyut jantung cepat
2) Berdebar-debar
3) Nyeri didada
4) Denyut nadi mengeras
5) Lemas seperti mau pingsan
6) Denyut jantung menghilang ( berhenti sekejap )

10. Gejala respiratori 01234


1) Rasa tertekan/ sempit dada
2) Rasa tercekik
3) Sering menarik napas
4) Napas pendek/sesak

11. Gejala gastrointestinal 01234


1) Sulit menelan
2) Perut melilit
3) Gangguna pencernaan
4) Nyeri sebelum/sesudah makan
5) Perasaan terbakar diperut
6) Rasa penuh atau kembung
7) Mual
8) Muntah
9) Buang air besar lembek
10) Sulit buang air besar
11) Kehilangan berat badan

12. Gejala urogenital 01234


1) Sulit buang air kecil
2) Tidak dapat menahan air seni
3) Tidak datang bulan
4) Darah haid berlebihan
5) Darah haid amat sedikit
6) Masa haid berkepanjangan
7) Masa haid amat pendek
8) Haid beberapa kali dalam sebulan
9) Menjadi dingin Ifrigid)
40
10) Ejakulasi dini
11) Ereksi lemah
12) Impotensi

13. Gejala otonom 01234


1) Mulut kering
2) Muka merah
3) Mudah berkeringat
4) Kepala pusing
5) Kepala terasa berat
6) Kepala terasa sakit
7) Bulu-bulu berdiri

14. Tingkah laku saat wawancara 01234


1) Gelisah
2) Tidak tenang
3) Jari gemetar
4) Kening berkerut
5) Muka tegang
6) Otot tegang/mengeras
7) Napas pendek dan cepat
8) Muka merah

Total nilai angka (skor) :

41
KUESIONER HDRS

1. Keadaan perasaan sedih (sedih, putus asa, tidak berdaya, tidak berguna).
0. Tidak ada
1. Perasaan ini hanya ada bila ditanya
2. Perasaan ini dinyatakan spontan secara verbal
3. Perasaan yang dinyatakan tanpa komunikasi verbal, misalnya ekspresi muka,
bentuk suara dan kecenderungan menangis
4. Perasaan yang sesungguhnya ini dinyatakan dalam komunikasi baik verbal
maupun non verbal secara spontan
2. Perasaan bersalah
0. Tidak ada
1. Menyalahkan diri sendiri, merasa sebagai penyebab penderitaan orang lain
2. Ide-ide bersalah atau renungan tentang kesalahan-kesalahan masa lalu
3. Sakit ini adalah hukuman, waham bersalah atau berdosa
4. Suara-suara kejaran atau tuduhan dan halusinasi penglihatan tentang hal-hal
yang mengancamnya
3. Bunuh diri
0. Tidak ada
1. Merasa hidup tidak ada gunanya
2. Mengharapkan kematian atau pikiran-pikiran lain ke arah itu
3. Ide-ide bunuh diri atau langkah-langkah ke arah itu
4. Percobaan bunuh diri
4. Gangguan Pola tidur (initial insomnia)
0. Tidak ada kesulitan untuk tertidur
1. Keluhan kadang-kadang sukar masuk tidur, misalnya lebih dari setengah jam
baru tidur
2. Keluhan tiap malam sukar masuk tidur

42
5. Gangguan Pola tidur (Middle Insomnia)
0. Tidak ada kesulitan
1. Pasien mengeluh gelisah dan terganggu sepanjang malam
2. Terjadi sepanjang malam, bangun dari tempat tidur, kecuali untuk BAK.
6. Gangguan Pola tidur (late insomnia)
0. Tidak ada kesulitan
1. Bangun di waktu dini hari tetapi dapat tidur lagi
2. Bangun dini hari dan tidak dapat tidur lagi
7. Kerja dan aktifitas
0. Tidak ada kesulitan
1. Pikiran/perasaan ketidakmampuan, keletihan/kelemahan yang berhubungan
dengan kegiatan kerja atau hobi
2. Hilangnya minat terhadap pekerjaan/hobi atau kegiatan lainnya, baik langsung
atau tidak, pasien menyatakan kelesuan, keragu-raguan dan rasa bimbang
(merasa harus memaksakan diri untuk bekerja atau beraktifitas)
3. Berkurangnya waktu yang digunakan untuk beraktifitas sehari-hari atau
produktifitas menurun.
4. Tidak bekerja karena sakitnya sekarang.
8. Kelambanan (lambat berpikir, berbicara, gagal berkonsentrasi, aktivitas motorik
menurun).
0. Bicara dan berpikir secara normal
1. Sedikit lamban dalam wawancara
2. Jelas lamban dalam wawancara
3. Sukar diwawancarai
4. Stupor (diam sama sekali)
9. Kegelisahan (agitasi)
0. Tidak ada
1. Kegelisahan ringan
2. Memainkan tangan/jari-jari, rambut, dll

43
3. Bergerak terus dan tidak dapat duduk tenang
4. Meremas-remas tangan, menggigit-gigit kuku, menarik-narik rambut,
menggigit-gigit bibir
10. Kecemasan (ansietas psikik)
0. Tidak ada kesulitan
1. Ketegangan subyektif dan mudah tersinggung
2. Mengkhawatirkan hal-hal kecil
3. Sikap kekhawatiran yang tercermin di wajah dan pembicaraannya
4. Ketakutan yang diutarakan tanpa ditanya
11. Kecemasan (Ansietas somatik) : Penyerta fisiologis ansietas (misalnya efek
hiperaktifitas otonom, indigesti, kram perut, bersendawa, diare, palpitasi,
hiperventilasi, parestesi, berkeringat, muka merah, gemetar, sakit kepala, sering
berkemih,sakit/nyeri di otot-otot, kaku, kedutan otot, gigi gemerutuk, suara tidak
stabil, telinga berdenging, penglihatan kabur, muka merah atau pucat)
0. Tidak ada
1. Ringan
2. Sedang
3. Berat
4. Tidak tertanggungkan
12. Gejala Somatik (pencernaan)
0. Tidak ada
1. Nafsu makan berkurang tetapi dapat makan tanpa dorongan orang lain.
2. Sukar makan tanpa dorongan orang lain. Selera dan makanan yang dimakan
berkurang secara bermakna.
13. Gejala somatik (umum)
0. Tidak ada
1. Anggota gerak, punggung atau kepala terasa berat
2. Sakit punggung, kepala, dan otot-otot, hilangnya kekuatan dan kemampuan
14. Kelamin (genital) : (gejala seperti hilangnya libido, performa seksual kurang,
gangguan haid)
0. Tidak ada
1. Ringan

44
2. Berat
15. Hipokondriasis (keluhan somatik/fisik yang berpindah-pindah
0. Tidak ada
1. Dihayati sendiri
2. Preokupasi (keterpakuan) mengenai kesehatan sendiri
3. Sering mengeluh, membutuhkan pertolongan orang lain
4. Delusi hipokondriasis
16. Kehilangan berat badan (A dan B)
0. Tidak ada penurunan berat badan
1. Berat badan berkurang berhubungan dengan gejala-penyakitnya sekarang
2. Jelas penurunan berat badan
3. Tidak terjelaskan lagi penurunan berat badan

17. Insight (pemahaman diri)


0. Menyadari dirinya mengalami depresi dan sakit
1. Mengetahui sakit tapi berhubungan dengan penyebab-penyebab iklim, makanan, kerja
berlebihan, virus, perlu istirahat, dll
2. Penyangkalan penuh bahwa dirinya sakit.

18. Variasi harian


A. Adakah Perubahan atau Gejala yang lebih berat pada waktu pagi atau malam hari?
0. Tidak ada variasi
1. Memberat pada pagi hari
2. Memberat pada malam hari

B. Jika ada variasi, seberapa berat variasi tersebut?


0. Tidak ada
1. Ringan
2. Berat

19. Depersonalisasi dan Derealisasi


0. Tidak ada
1. Ringan
2. Sedang
45
3. Berat
4. Tidak tertanggungkan

20. Gejala-gejala Paranoid


0. Tidak ada
1. Ideas of reference
2. waham Kejaran

21. Gejala-gejala Obsesi dan kompulsi


0. Tidak ada
1. Ringan
2. Berat

Interpretasi :
1. Tingkat depresi ringan : 8-13
2. Tingkat depresi sedang : 14-18
3. Tingkat depresi berat : 19-22
4. Tingkat depresi sangat berat : 23-50

46

Anda mungkin juga menyukai