Anda di halaman 1dari 200

PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH DALAM PEMBERIAN

KREDIT INSTANSI
(Analisis Terhadap Pemberian Kredit Instansi di Bank BPD DIY)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratam Guna Memperoleh Gelar

Sarjana (Strata-1) Pada Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia

Oleh:

TENI SUSANTO
No. Mahasiswa: 14 410 642

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2021
PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH DALAM PEMBERIAN

KREDIT INSTANSI

(Analisis Terhadap Pemberian Kredit Instansi di Bank BPD DIY)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana (Strata-1) Pada Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia

OLEH:

TENI SUSANTO

No. Mahasiswa: 14 410 642

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2021

i
HALAMAN PERSETUJUAN TUGAS AKHIR PRA PENDADARAN

PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH DALAM PEMBERIAN

KREDIT INSTANSI

(Analisis Terhadap Pemberian Kredit Instansi di Bank BPD DIY)

Telah Diperiksa dan Disetujui oleh Dosen Pembimbing Skripsi untuk

Diajukan ke Depan Tim Penguji dalam Ujian Tugas Akhir / Pendadaran

Pada Tanggal

Yogyakarta,

Dosen Pembimbing Skripsi,

(Abdurahhman Al-Faqih,S.H.,MA,LLM)

NIP / NIK. 094100401

ii
HALAMAN PENGESAHAN TUGAS AKHIR

PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH DALAM PEMBERIAN


KREDIT INSTANSI

(Analisis Terhadap Pemberian Kredit Instansi di Bank BPD DIY)

Telah Dipertahankan di hadapan Tim Penguji dalam Ujian Tugas Akhir /

Pendadaran Pada Tanggal dan Dinyatakan ………….

Yogyakarta, ………………. 2021

Tim Penguji Tanda Tangan

1. Ketua : ………………

2. Anggota : ………………

3. Anggota : ………………

Mengetahui;

Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Fakultas Hukum

Dekan,

Dr. Abdul Jamil, S.H.,M.H


NIK 904100102

iii
SURAT PERNYATAAN TELAH MELAKUKAN REVISI/PERBAIKAN

TUGAS AKHIR

Yang bertanda tangan dibawah ini, Saya:

Nama : Teni Susanto


Nomor Mahasiswa : 14 410 642
Tanggal Ujian :

Telah melakukan dan menyelesaikan revisi/perbaikan tugas akhir saya


sebagaimana yang disyaratkan oleh Tim Penguji Tugas Akhir.
Revisi atau perbaikan tugas akhir telah selesai dan disetujui oleh dosen penguji dan
dosen pembimbing tugas akhir.

Yogyakarta, 2021
Saya,

Teni Susanto

Menyetujui:
Telah melakukan revisi / perbaikan tugas akhir
1. …………………………………… …………………

2. …………………………………… …………………

Mengetahui:

Dosen Pembimbing Skripsi

Abdurrahman Al-Faqiih, S.H.,MA,LLM

NIP / NIK. 094100401

iv
CURRICULUM VITAE

1. Nama Lengkap : Teni Susanto


2. Tempat Lahir : Sukoharjo

3. Tanggal Lahir : 18 Maret 1995

4. Jenis Kelamin : Laki-Laki

5. Alamat Terakhir : Mergangsan, Surokarsan, Jl Tamansiswa, Gang

Basuki No.454 RT17/RW05, Yogyakarta.

6. Alamat Asal : Dk. Jetis RT02/RW07, Menuran, Baki, Sukoharjo.

7. Identitas Orangtua :

a. Nama Ayah : Paryono


b. Pekerjaan : Wiraswasta
c. Nama Ibu : Sumarni
d. Pekerjaan : Wiraswasta
e. Alamat Orangtua : Dk. Jetis RT02/ RW07, Menuran, Baki,
Sukoharjo.
8. Riwayat Pendidikan :

a. SD : SD Negeri Duwet 01
b. SMP : SMP Negeri 27 Surakarta
c. SMA : SMA Batik 1 Surakarta
9. Hobby : Bisnis, Olahraga, Travelling, dan Kuliner

Yogyakarta, 30 Maret 2021


Yang Bersangkutan,

TENI SUSANTO

v
MOTTO

“Maka Sesungguhnya Bersama Kesulitasn Itu Ada Kemudahan”

~Qs. Al-Insyirah 5~

“Berfikirlah Positif, Tidak Peduli Seberapa Keras Kehidupanmu”

~Ali Bin Abi Thalib~

“Rendahkan Dirimu Serendah-rendahnya, Agar Orang Lain Tak Bisa

Merendahkan Dirimu”

~Baim Wong~

“AYAM BOILER SIDODADI”

~Teni Susanto~

vi
HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan segala rasa syukur atas segala berkat dan ridha Allah Ta’ala,

Sebuah Karya kecil ini saya persembahkan kepada:

Allah Subhanahu Wa Ta’ala;

Kedua orang tua saya, Bapak Paryono & Ibu Sumarni;

Keluarga besar saya dengan segala dukungan dan doa nya;

Sahabat terbaik saya, Ririd Yunita;

Dan,

Almamater Universitas Islam Indonesia

vii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

KARYA TULIS ILMIAH/TUGAS AKHIR MAHASISWA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Teni Susanto

No. Mahasiswa : 14 410 642

Adalah benar-benar seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam

Indonesia yang telah melakukan penulisan Karya Tulis Ilmiah (Tugas Akhir)

berupa skripsi yang berjudul:

“PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH DALAM PEMBERIAN


KREDIT INSTANSI”
(Analisis Terhadap Pemberian Kredit Instansi di Bank BPD DIY)

Karya ilmiah ini saya ajukan kepada Tim Penguji dalam Ujian Pendadaran yang
diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ini saya menyatakan:

1. Bahwa karya tulis ilmiah ini adalah benar-benar hasil karya saya sendiri
yang dalam penyusunan tunduk dan patuh terhadap kaidah, etika, dan
norma-norma penulisan sebuah karya ilmiah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
2. Bahwa saya menjamin hasil tugas akhir yang dapat dikategorikan sebagai
karya ilmiah yang benar-benar asli (original), bebas dari unsur-unsur
“penjiplakan karya ilmiah (plagiasi)”;

viii
3. Bahwa meskipun secara prinsip hak milik atas karya ilmiah ini ada pada
saya, namun demi kepentingan-kepentingan yang sifatnya akademik dan
pengembangannya, saya memberikan kewenangan kepada perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan perpustakaan-
perpustakaan di lingkup Universitas Islam Indonesia untuk mempergunakan
karya ilmiah ini.

Selanjutnya, berkaitan dengan hal-hal tersebut diatas, terutama pada poin 1 (satu)

dan poin 2 (dua) maka saya sanggup menerima sanksi baik administratif, akademik,

bahkan sanksi pidana jika saya terbukti secara kuat dan meyakinkan telah

melakukan perbuatan yang menyimpang dari pernyataan tersebut. Saya juga akan

bersifat kooperatif untuk hadir, menjawab, membuktikan, melakukan terhadap

pembelaan kewajiban saya, di depan ‘MAJELIS’ atau ‘TIM’ Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia yang ditunjuk oleh Pimpinan Fakultas, apabila tanda-

tanda plagiat disinyalir terjadi pada karya ilmiah saya ini oleh pihak Fakultas

Hukum Universitas Islam Indonesia.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, dalam

kondisi sehat jasmani dan rohani, dengan sadar serta tidak ada tekanan dalam

bentuk apapun oleh siapapun.

Yogyakarta, 18 April 2021

ix
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Sujud syukur, Alhamdulillah yang tak terhingga penulis persembahkan

kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas rahmat, ridho, dan hidayah-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan lancar. Shalawat serta

salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Agung, Muhammad SAW melalui

petunjuknya yang membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh

dengan kemajuan-kemajuan dan ilmu pengetahuan.

Penulisan skripsi ini diajukan dalam rangka memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (Strata-1) di Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Adapun judul yang diangkat oleh penulis

dalam penelitian skripsi ini adalah PENERAPAN PRINSIP MENGENAL

NASABAH DALAM PEMBERIAN KREDIT INSTANSI (Analisis Terhadap

Pemberian Kredit Instansi di Bank BPD DIY).

Skripsi ini murni ditulis oleh penulis sendiri dengan menggunakan data dari

hasil wawancara, dari referensi kepustakaan, dan peraturan-peraturan hingga

perundang-undangan yang berlaku. Pada penyusunan penelitian ini, penulis

berupaya semaksimal mungkin agar dapat memenuhi harapan semua pihak, namun

penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata baik bahkan sempurna.

x
Selanjutnya dengan segala kerendahan, ketulusan, keikhlasan hati dan dengan tidak

mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Abdul Jamil, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Islam Indonesia;

2. Bapak Abdurrahman Al-Faqih, SH., M.A, LLM selaku dosen pembimbing,

yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis

dengan penuh kesabaran dan keikhlasan hati;

3. Kedua orang tua yang selalu ada buat penulis untuk memberikan doa,

semangat, motivasi, dan dukungan dalam segala hal;

4. Keluarga besar penulis yang selalu mengingatkan penulis untuk segera

menyelesaikan skripsi;

5. Pihak Bank BPD DIY Kantor Pusat, khususnya kepada Ibu Elva & Bapak

Hanafi Prayitno selaku narasumber penulis yang telah bersedia menjawab

seluruh pertanyaan dari penulis dan bersedia memberikan data-data yang

dibutuhkan penulis baik secara tatap muka maupun media elektronik

ditengah situasi pandemi ini;

6. Ririd Yunita selaku sahabat terbaik penulis yang selalu memberi motivasi,

semangat, dukungan, doa, dan sanggup menerima segala keluh kesah

selama proses penyusunan tugas akhir ini;

7. Sahabat saya Hendra, Farand, Roman, Raka, Rito, Rizki yang selalu

memberikan bantuan, dukungan, doa, dan menerima segala keluh kesah

selama proses penyusunan tugas akhir ini;

xi
8. Teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2014 atas

kebersamaan selama masa perkuliahan ini, berbagi canda, tawa, dan

semangat yang diberikan selama berjuang sejak mahasiswa baru hingga

proses mengerjakan skripsi ini;

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

yang mungkin tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis mendoakan semoga amal ibadah Bapak/Ibu/Teman/Saudara, mendapat

imbalan anugerah dari Allah SWT. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini

masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis sangat terbuka untuk diberikan

kritik dan saran dari para pembaca, serta penulis berharap semoga nilai positif dari

penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Yogyakarta, 30 Maret 2021

Penulis,

TENI SUSANTO

xii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN TUGAS AKHIR PRA-PENDADARAN ..... ii

HALAMAN PENGESAHAN TUGAS AKHIR ............................................. iii

SURAT PERNYATAAN TELAH MELAKUKAN REVISI/PERBAIKAN

TUGAS AKHIR ................................................................................................ iv

CURRICULUM VITAE ................................................................................... v

MOTTO ............................................................................................................. vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... vii

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... viii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... x

DAFTAR ISI ...................................................................................................... xiii

ABSTRAK ......................................................................................................... xviii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 8

D. Orisinalitas Penelitian ............................................................................. 8

E. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 10

xiii
1. Pengertian Perbankan .................................................................. 10

2. Kredit Perbankan ......................................................................... 12

3. Kredit Tanpa Agunan .................................................................. 15

4. Prinsip Mengenal Nasabah .......................................................... 16

5. Kredit Bermasalah ....................................................................... 18

6. Jaminan dan Hukum Jaminan ..................................................... 20

F. Definisi Operasional................................................................................ 22

G. Metodologi Penelitian ............................................................................. 24

1. Jenis Penelitian ............................................................................ 24

2. Pendekatan Penelitian ................................................................. 25

3. Obyek Penelitian ......................................................................... 25

4. Subyek Penelitian ........................................................................ 26

5. Sumber Data Penelitian ............................................................... 26

6. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 26

7. Analisis Data ............................................................................... 27

H. Sistematika Penulisan ............................................................................. 28

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT PERBANKAN DAN

HUKUM JAMINAN ......................................................................................... 29

A. Tinjauan Umum Perbankan di Indonesia ................................................ 29

1. Perkembangan Perbankan di Indonesia ...................................... 29

2. Peraturan Perbankan Nasional .................................................... 30

3. Prinsip-Prinsip Perbankan Nasional ............................................ 32

4. Jenis-Jenis Perbankan.................................................................. 34

xiv
5. Fungsi dan Tujuan Perbankan ..................................................... 37

6. Hubungan Hukum Nasabah dengan Bank .................................. 38

7. Perlindungan Hukum Perbankan Sebagai Kreditor .................... 43

B. Tinjauan Umum Perjanjian Kredit .......................................................... 45

1. Kredit atau Hutang dalam Pandangan Islam ............................... 45

2. Pengertian Perjanjian Kredit ....................................................... 47

3. Prinsip Pemberian Kredit ............................................................ 49

4. Fungsi dan Tujuan Kredit ........................................................... 54

5. Kredit Tanpa Agunan .................................................................. 56

6. Berakhirnya Perjanjian Kredit..................................................... 58

C. Tinjauan Umum Jaminan ........................................................................ 61

1. Jaminan dalam Pandangan Islam ................................................ 61

2. Pengertian Hukum Jaminan ........................................................ 64

3. Macam-Macam Jaminan ............................................................. 65

4. Jaminan dalam Pemberian Kredit Perbankan ............................. 68

5. Perkembangan Hukum Jaminan dalam Sistem Perbankan

Nasional....................................................................................... 71

D. Tinjauan Umum Prinsip Mengenal Nasabah .......................................... 76

1. Pengertian Prinsip Mengenal Nasabah........................................ 76

2. Dasar Hukum Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah ................. 77

3. Sanksi Terhadap Pelanggaran Penerapan Prinsip Mengenal

Nasabah ....................................................................................... 79

E. Tinjauan Umum Kredit Bermasalah ....................................................... 83

xv
1. Pengertian Kredit Bermasalah..................................................... 83

2. Faktor Penyebab Kredit Bermasalah ........................................... 84

3. Penyelamatan dan Penyelesaian Kredit Bermasalah................... 86

4. Penggolongan Kualitas Kredit Perbankan .................................. 89

BAB III PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH DAN

MEKANISME HUKUM KREDITOR TERHADAP DEBITOR KETIKA

DEBITOR DIPECAT ATAU MENINGGAL DUNIA DALAM PEMBERIAN

KREDIT INSTANSI DI BANK BPD DIY KANTOR PUSAT ..................... 93

A. Gambaran Umum Bank BPD DIY Kantor Pusat .................................... 93

1. Struktur Kelembagaan Bank BPD DIY Kantor Pusat................. 93

2. Visi dan Misi Bank BPD DIY ..................................................... 95

3. Produk-Produk Kredit di Bank BPD DIY ................................... 96

B. Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dalam Pemberian Kredit Instansi di

Bank BPD DIY ....................................................................................... 99

1. Prosedur dan Tahapan Pemberian Kredit Instansi di Bank

BPD DIY Kantor Pusat ............................................................... 99

2. Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dalam Transaksi

Perbankan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 tentang Perbankan .............................................................. 106

3. Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dalam Pemberian

Kredit Instansi di Bank BPD DIY Kantor Pusat ......................... 116

C. Mekanisme Hukum Bank BPD DIY Selaku Kreditor dalam Pemberian

Kredit Instansi Ketika Debitor dipecat dan/atau Meninggal Dunia ........ 142

xvi
1. Hambatan Bank BPD DIY Kantor Pusat dalam Penerapan

Prinsip Mengenal Nasabah .......................................................... 142

2. Penetapan Kualitas Kredit Instansi Ketika Debitornya dipecat

atau Meninggal Dunia ................................................................. 144

3. Mekanisme Hukum yang dilakukan Bank BPD DIY Selaku

Kreditor Terhadap Debitor Kredit Instansi yang dipecat atau

Meninggal Dunia......................................................................... 150

BAB IV PENUTUP ........................................................................................... 159

A. Kesimpulan ............................................................................................. 159

B. Saran ........................................................................................................ 162

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 163

SURAT KETERANGAN BEBAS PLAGIASI ............................................... 168

TRANSKIP HASIL WAWANCARA ............................................................. 169

FORMULIR PERMOHONAN KREDIT INSTANSI ................................... 176

FORMULIR PENGKINIAN DATA NASABAH ........................................... 181

xvii
ABSTRAK

Setiap pemberian kredit perbankan seperti pemberian kredit instansi itu


mengandung resiko, oleh karenanya wajib menerapkan prinsip-prinsip pemberian
kredit salah satunya prinsip mengenal nasabah. Selain itu, juga dibutuhkan
mekanisme hukum untuk mengatasi debitor kredit instansi yang dipecat atau
diberhentikan dan/atau meninggal dunia.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian empiris
dan metode pendekatan konseptual (conceptual approach) dan perundang-
undangan. Pendekatan konseptual (conceptual approach) dan perundang-undangan
tersebut memberikan arti bahwa pada penelitian ini penulis akan memadupadankan
konsep, pendapat atau doktrin, berbagai macam dasar hukum dan peristiwa hukum
yang terjadi dalam masyarakat (law in action) atau hukum dalam kenyataan di
lapangan.
Hasil pada penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa pada setiap
pemberian kredit instansi di Bank BPD DIY, maka Bank BPD DIY telah
menerapkan prinsip-prinsip pemberian kredit, yang salah satunya adalah prinsip
mengenal nasabah. Selain itu, Bank BPD DIY juga mempunyai mekanisme hukum
dalam rangka menjaga kualitas kredit agar terhindar dari resiko kredit ketika debitor
dalam kredit instansi itu dipecat atau diberhentikan dan/atau meninggal dunia.
Kedepannya, diharapkan Bank BPD DIY meningkatkan kegiatan edukasi
atau sosialisasi terhadap calon nasabah debitor terkait prinsip mengenal nasabah.
Sehingga ketika diminta keterangan dalam rangka penerapan prinsip mengenal
nasabah, calon nasabah debitor tidak salah paham. Selain itu, diharapkan Bank BPD
DIY untuk lebih sering melakukan peningkatan sumber daya manusia agar sumber
daya manusia yang ada di Bank BPD DIY dapat dengan cepat beradaptasi dengan
perkembangan-perkembangan yang ada pada setiap kegiatan usaha perbankan.

Kata kunci: Prinsip Mengenal Nasabah, Kredit Instansi, Kredit Tanpa Jaminan

xviii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Belakangan ini, sistem keuangan baik nasional maupun internasional

mengalami perkembangan yang pesat. Jika melihat masa lampau maka tidak akan

menemukan sebuah sistem keuangan, karena pada masa lampau sistem keuangan

belum dikenal. Dalam praktek jual beli misalnya, dahulu hanya dikenal dengan

sistem barter atau masih tukar menukar barang. Sangat berbeda dengan masa kini,

sistem keuangan bahkan sudah mengenal sistem keuangan digital. Perkembangan-

perkembangan tersebut juga seiring dengan perkembangan lembaga-lembaga

keuangan itu sendiri, sesuai dengan arus pertumbuhan ekonomi dan pembangunan

suatu bangsa kini lembaga keuangan turut tumbuh dengan berbagai alternatif jasa

yang ditawarkan.

Lembaga keuangan pada dasarnya terdiri atas lembaga keuangan bank dan

lembaga keuangan non-bank. Pada penelitian ini, yang akan dibicarakan adalah

mengenai lembaga keuangan bank, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) memberikan

definisi mengenai perbankan yang pada intinya yaitu segala sesuatu yang

menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan

proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.1 Peran bank sangatlah vital dalam

1
Lihat Pasal 1 angka 1 UU Perbankan

1
2

dunia perekonomian karena selain menghimpun dana, bank juga menyalurkan

dana.2

Kegiatan yang paling utama dilakukan oleh bank adalah menyerap dana dari

masyarakat. Hal tersebut dikarenakan fungsi bank sebagai perantara (intermediary)

antara pihak yang kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak yang kekurangan

dana (luck of funds).3 Bank dalam menyalurkan dana salah satunya dalam bentuk

pemberian kredit, setiap bank memiliki fasilitas pemberian kredit yang bermacam-

macam dengan kebijakan pemberian kredit yang tentunya juga bermacam-macam.

Saat ini, dalam pemberian kredit bank, ada yang menggunakan jaminan dan ada

juga fasilitas kredit tanpa jaminan.

Pemberian kredit tentunya berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara

pihak bank atau kreditor dengan nasabah atau debitor, yang nantinya tentu akan ada

bunga yang harus dibayarkan oleh debitor atau nasabah. Hal tersebut sesuai dengan

Pasal 1 angka 11 UU Perbankan yang menyatakan bahwa:4

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan


dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”
Pada pemberian kredit itu tidak hanya dengan adanya pemberian bunga saja,

melainkan dalam prosesnya juga terdapat mekanisme timbang-menimbang, atau

dalam praktek perbankan dikenal dengan istilah analisis atau penilaian tentang

layak tidaknya suatu nasabah diberikan fasilitas kredit oleh bank. Bank pada

2
Lihat Pasal 1 angka 2 UU Perbankan
3
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 3
4
Lihat Pasal 1 angka 11 UU Perbankan
3

pemberian kredit wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, prinsip mengenal

nasabah, prinsip kepercayaan dan prinsip kerahasiaan. Khusus mengenai prinsip

mengenal nasabah, pada dasarnya tidak diatur dalam undang-undang karena pada

UU Perbankan secara khusus hanya mengenal prinsip kehati-hatian itupun tidak

secara detail. Namun, Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK)

memberikan dasar hukum mengenai prinsip mengenal nasabah yakni dalam Pasal

1 angka 5 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut POJK) Nomor

22/POJK.04/2014 tentang Prinsip Mengenal Nasabah Oleh Penyedia Jasa

Keuangan di Sektor Pasar Modal yang menyebutkan bahwa:5

“Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan Penyedia Jasa


Keuangan di Sektor Pasar Modal untuk: (a) mengetahui latar belakang dan
identitas Nasabah; (b) memantau rekening Efek dan transaksi Nasabah; dan;
(c) melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan transaksi keuangan
yang dilakukan secara tunai, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
di bidang Pasar Modal serta peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dan/atau pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan
terorisme.”
Prinsip mengenal nasabah itu wajib untuk diterapkan, hal ini secara tegas

disebutkan dalam Pasal 2 dalam peraturan yang sama dengan yang telah disebutkan

di atas, bahwa: “Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal wajib menerapkan

Prinsip Mengenal Nasabah dan memiliki pedoman penerapan Prinsip Mengenal

Nasabah”.6 Atas dasar peraturan-peraturan tersebut di atas, maka Bank BPD DIY

Pusat sebagai salah satu bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya melalui

pemberian kredit wajib berdasarkan prinsip mengenal nasabah (know your

5
Pasal 1 angka 5 POJK Nomor 22/POJK.04/2014 tentang Prinsip Mengenal Nasabah Oleh
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal
6
Pasal 2 POJK Nomor 22/POJK.04/2014 tentang Prinsip Mengenal Nasabah Oleh
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal
4

customer). Tujuan dari adanya kewajiban untuk menerapkan prinsip mengenal

nasabah, selain dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian agar bank selalu

dalam tingkat kesehatan yang baik, maka juga mempunyai tujuan untuk mencegah

terjadinya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Sebagai salah satu bank umum, maka Bank BPD DIY Pusat berkewajiban

untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah dalam kegiatan usahanya seperti

dalam pemberian kredit. Bank BPD DIY Pusat menyediakan berbagai fasilitas

kredit salah satunya kredit instansi. Kredit instansi di Bank BPD DIY Pusat adalah

salah satu kredit tanpa agunan. Nasabah yang hendak mengambil fasilitas kredit

instansi di Bank BPD DIY Pusat tidaklah dimintai agunan, karena dalam praktek

seringkali nasabah yang menggunakan fasilitas kredit instansi adalah seorang

pegawai atau karyawan yang gajinya dibayarkan melalui rekening Bank BPD DIY

sehingga ketika terdapat kewajiban nasabah tersebut untuk membayar cicilan

kredit, Bank BPD DIY secara otomatis akan mengambil dari rekening nasabah yang

bersangkutan.

Kredit instansi yang tanpa agunan tersebut dapat berjalan karena prinsip

mengenal nasabah itu harus benar-benar dapat diterapkan. Hal tersebut dikarenakan

kredit instansi tentunya sangat beresiko karena tidak adanya agunan yang

dijaminkan. Padahal dilain sisi, keberadaan agunan itu penting karena sebagai salah

satu dari yang harus di nilai oleh bank sebelum pemberian kredit terhadap nasabah.

Hal ini dikarenakan dalam rangka menanggung pembayaran kredit jika terjadi

kredit macet, maka calon debitur umumnya wajib menyediakan jaminan berupa
5

agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilai minimal sebesar

jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan padanya.7

Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami jika fungsi jaminan merupakan

kebutuhan kreditur untuk memperkecil resiko apabila debitur tidak mampu

menyelesaikan segala kewajiban yang berkenaan dengan kredit yang telah

dikucurkan, apabila debitur tidak mampu membayar maka kreditur dapat

memaksakan pembayaran atas kredit yang telah diberikannya.8 Pada KUH Perdata

dikenal dua macam jaminan, yaitu jaminan umum dan jaminan khusus.9 Mengenai

jaminan khusus diatur pada Pasal 1132 KUH Perdata sebagaimana fungsinya ialah

solusi untuk menghindari terjadinya resiko atau kelemahan yang ada pada jaminan

umum.10 Sedangkan, jaminan umum diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang

menyebutkan: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak

bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,

menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.11

Apabila dipahami lebih lanjut, fungsi agunan atau jaminan tentunya sangat

vital. Namun, hal tersebut berbanding terbalik dengan perkembangan kegiatan

usaha perbankan yang semakin berkembang justru semakin mudahnya fasilitas

kredit itu didapatkan oleh masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya

fasilitas kredit tanpa agunan seperti dalam wujud kredit instansi yang disediakan

7
Uswatun Hasanah, Hukum Perbankan, Setara Press, Malang, 2017, hlm. 73
8
Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Ctk. Pertama, Pustaka
Yustisia, Yogyakarta, 2010, hlm. 67
9
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit : suatu Tinjauan di Bidang Yuridis,
Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 197
10
Riky Rustam, Hukum Jaminan, Ctk. Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2017, hlm. 73
11
Lihat Pasal 1131 KUH Perdata
6

oleh Bank BPD DIY Pusat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Pemberian kredit

secara umum dalam prosesnya sudah pasti terdapat penilaian atau analisis yang

dijalankan pihak bank untuk menilai layak tidaknya suatu nasabah itu menerima

kredit termasuk memastikan bahwa prinsip mengenal nasabah itu telah secara nyata

diterapkan oleh bank, terlebih dalam hal pemberian kredit instansi yang tanpa

agunan tentunya bank akan sangat berhati-hati dan memastikan bahwa prinsip

mengenal nasabah itu telah dilaksanakan.

Hal tersebut dikarenakan, dalam hal kredit instansi prinsip mengenal

nasabah itu sangat penting mengingat kredit instansi yang tanpa agunan dan hanya

mengandalkan gaji pokok debitor sebagai pegawai atau karyawan suatu instansi

yang dibayarkan melalui rekening Bank BPD DIY, sehingga Bank BPD DIY dapat

secara otomatis memotong saldo rekening tersebut ketika terdapat kewajiban

debitor membayar cicilan kreditnya. Maka ketika debitor itu dipecat dan/atau

meninggal dunia tentunya tidak akan ada lagi gaji yang diterima debitor yang

bersangkutan, yang juga akan berdampak kepada Bank BPD DIY karena tidak

dapat lagi memotong saldo rekening debitor yang bersangkutan karena telah dipecat

atau meninggal dunia sehingga tidak ada lagi sumber pendapatan yang masuk ke

rekening tersebut.

Sementara di lain sisi, tidak ada jaminan yang dapat dicairkan oleh bank

untuk membayar atau menutup sisa kredit debitor yang bersangkutan. Terlebih,

ditengah situasi Pandemi Covid-19 yang membuat naiknya jumlah pegawai atau

karyawan mengalami pemecatan atau PHK, padahal gajinya digunakan untuk

membayar cicilan kredit. Ketika itu terjadi, tentunya resiko kredit dapat terjadi dan
7

akan membuat kreditor jatuh ke dalam ancaman kerugian karena kredit itu gagal

bayar atau macet, sementara kreditor tidak memegang agunan untuk di eksekusi

guna pembayaran sisa kredit macet tersebut. Semakin banyak kredit macet di bank,

maka kemungkinan bank mengalami kebangkrutan itu akan semakin nyata,

sehingga diperlukan penerapan prinsip mengenal nasabah yang ketat pada analisis

pemberian kredit instansi. Atas dasar uraian di atas, prinsip mengenal nasabah itu

sangat penting untuk diterapkan, untuk itu penulis tertarik untuk meneliti dan

menulis lebih lanjut tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dalam

Pemberian Kredit Instansi (Analisis Terhadap Pemberian Kredit Instansi di Bank

BPD DIY).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka permasalahan

hukum yang akan dibahas adalah:

1. Bagaimana penerapan prinsip mengenal nasabah dalam pemberian kredit

instansi di Bank BPD DIY?

2. Bagaimana mekanisme hukum yang dijalankan Bank BPD DIY selaku kreditor

dalam pemberian kredit instansi ketika debitor dipecat dan/atau meninggal

dunia?
8

C. Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dalam

Pemberian Kredit Instansi (Analisis Terhadap Pemberian Kredit Instansi di Bank

BPD DIY) bertujuan, sebagai berikut:

1. Untuk memahami penerapan prinsip mengenal nasabah yang dijalankan Bank

BPD DIY dalam pemberian kredit instansi; dan

2. Untuk memahami serta mengetahui solusi atas mekanisme hukum yang

dijalankan Bank BPD DIY selaku kreditur dalam pemberian kredit instansi

ketika debitur dipecat dan/atau meninggal dunia.

D. Orisinalitas Penelitian

Penelitian mengenai “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dalam

Pemberian Kredit Instansi (Analisis Terhadap Pemberian Kredit Instansi di Bank

BPD DIY)”, sepanjang penelusuran dan sepengetahuan penulis belum pernah

dilakukan penelitian serupa oleh mahasiswa hukum lainnya. Namun, berdasarkan

penelusuran kepustakaan dan informasi yang penulis dapatkan maka ditemukan

beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian yang hendak

penulis teliti, antara lain:

1. Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian Kredit (Analisis Terhadap

SK ASN Sebagai Jaminan Kredit di Bank BPD DIY Cabang Pembantu

Ngaglik), merupakan skripsi yang penelitiannya dilakukan pada tahun 2020

oleh Yudhana Hendra Pramapta salahsatu mahasiswa Universitas Islam


9

Indonesia Fakultas Hukum. Hasil penelitiannya adalah Bank BPD DIY Cabang

Pembantu Ngaglik telah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian

kredit dengan jaminan SK ASN dan Bank BPD DIY Cabang Pembantu

Ngaglik telah menyiapkan perlindungan hukum ketika resiko kredit itu terjadi.

Penelitian tersebut tentunya berbeda dengan penelitian yang hendak peneliti

lakukan. Perbedaannya adalah penelitian peneliti akan dilakukan di Bank BPD

DIY Pusat dan fokus penelitian yang akan peneliti lakukan adalah terhadap

pelaksanaan prinsip mengenal nasabah dalam pemberian kredit instansi. Selain

itu, obyek penelitian peneliti adalah perjanjian kredit instansi.

2. Prinsip Mengenal Nasabah Sebagai Upaya Perusahaan Perbankan Dalam

Mengatasi Kredit Macet Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor

5/21/PBI/2003 (Studi di BRI Cabang Brebes), merupakan skripsi yang

penelitiannya dilakukan oleh M. Haidar Ma’ruf pada tahun 2018 sebagai

salahsatu mahasiswa Universitas Negeri Semarang Fakultas Hukum. Hasil

penelitiannya menerangkan bahwa Bank BRI Cabang Brebes telah

menerapkan prinsip mengenal nasabah sebagaimana diatur pada Pasal 4

Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang penerapan prinsip

mengenal nasabah dan pada penerapan prinsip mengenal nasabah tersebut,

Bank BRI Cabang Brebes mengalami 2 (dua) hambatan di dalam permohonan

kredit. Hal tersebut tentunya berbeda dengan penelitian yang akan peneliti

lakukan, karena penelitian yang akan peneliti lakukan adalah penerapan prinsip

mengenal nasabah di Bank BPD DIY dan obyek penelitiannya adalah

perjanjian kredit instansi.


10

3. Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah di Koperasi Simpan Pinjam dan

Pembiayaan Syari’ah (KSPPS) BMT Beringharjo, merupakan penelitian yang

dilakukan pada tahun 2017 oleh Amelia Renaz Rachmawati salahsatu

mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah dan

Hukum. Hasil penelitiannya menerangkan bahwa penerapan prinsip mengenal

nasabah sudah diterapkan mulai dari tahap calon anggota membuka rekening

hingga jika anggota akan mengajukan pembiayaan dan penerapan prinsip

mengenal nasabah tersebut sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia mengenai

prinsip mengenal nasabah. Hal tersebut tentunya berbeda dengan penelitian

yang akan peneliti lakukan, penelitian peneliti akan dilakukan di Bank BPD

DIY dan obyeknya adalah perjanjian kredit instansi, bukan pembiayaan seperti

penelitian terdahulu tersebut diatas.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Perbankan

a. Pengertian Perbankan

Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,

mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam

melaksanakan kegiatan usahanya.12 Bank adalah badan usaha yang

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-

12
Lihat Pasal 1 angka 1 UU Perbankan
11

bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.13 Bank

terdiri atas bank umum dan bank perkreditan rakyat. Bank umum adalah bank

yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan

prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas

pembayaran.14 Sedangkan, bank perkreditan rakyat adalah bank yang

melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip

syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas

pembayaran.15

b. Fungsi Perbankan

Berkaitan dengan fungsi perbankan, dapat diketahui melalui definisi

perbankan atau bank tersebut diatas. Apabila merujuk pada definisi diatas,

maka fungsi bank antara lain:

1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dalam hal

ini maksudnya adalah bank sebagai tempat menyimpan uang dan

tempat berinvestasi bagi masyarakat.

2) Menyalurkan dana ke masyarakat, dalam hal ini maksudnya adalah

bank dapat memberikan pinjaman dalam bentuk kredit kepada

masyarakat yang mengajukan permohonan. Gampangnya, dalam hal ini

bank adalah penyedia dana bagi masyarakat yang membutuhkan dana.

13
Lihat Pasal 1 angka 2 UU Perbankan
14
Lihat Pasal 1 angka 3 UU Perbankan
15
Lihat Pasal 1 angka 4 UU Perbankan
12

3) Jasa-jasa bank lainnya, seperti transfer uang, penagihan surat berharga

yang berasal dari dalam kota (clearing), penagihan surat berharga yang

berasal dari luar kota atau luar negeri (inkaso), letter of credit, safe

depositbox, bank garansi, bank notes, travellers cheqqu, dan jasa

lainnya. Jasa-jasa bank lain tersebut adalah jasa pendukung dari

kegiatan pokok bank yakni menghimpun dan menyalurkan dana.16

2. Kredit Perbankan

a. Pengertian Kredit

Kredit merupakan bentuk bank untuk melakukan penyaluran dana

kepada masyarakat. Pengertian kredit secara jelas disebutkan pada Pasal 1

angka 11 UU Perbankan yang menyatakan bahwa:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan


dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.”
Secara istilah, kredit berasal dari bahasa latin yaitu ‘credere’, yang

berarti kepercayaan. Seorang nasabah atau debitor yang memperoleh kredit

dari bank adalah merupakan seorang yang mendapat kepercayaan dari bank.

Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank

kepada nasabah debitor adalah kepercayaan. Sedangkan menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) kredit ialah pinjaman uang dengan pembayaran

16
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm 4
13

pengembalian secara mengangsur atau pinjaman hingga batas jumlah tertentu

yang diizinkan oleh bank atau badan lain.17

Kredit sebagai salahsatu media bank untuk menyalurkan dana kepada

masyarakat, dalam prakteknya diikat dengan sebuah perjanjian yang dalam

pemberian kredit dikenal dengan perjanjian kredit. Perjanjian kredit mengikuti

dasar aturan perjanjian pada umumnya yaitu sebagaimana dalam Buku Ketiga

KUH Perdata tentang perikatan. Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH

Perdata menyebutkan bahwa, “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih”.18 Perjanjian kredit tersebut, sah atau tidaknya tetap harus berdasarkan

peraturan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu; sepakat mereka

untuk mengikatkan diri; cakap untuk membuat suatu perjanjian; mengenai

suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal.19

b. Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit

Pemberian kredit oleh bank kepada debitor itu berdasarkan kriteria-

kriteria tertentu. Pada proses pemberian kredit, bank akan melakukan analisis

secara mendalam terhadap seluruh komponen yang ada dalam pemberian

kredit. Komponen-komponen yang dimaksud tersebut ialah seperti persyaratan

kredit termasuk administrasi-administrasi dalam pemberian kredit. Analisis

atau penilaian yang dilakukan bank dalam rangka pemberian kredit tersebut

17
Hermansyah, Op. Cit, hlm. 57
18
Lihat Pasal 1313 KUH Perdata
19
Lihat Pasal 1320 KUH Perdata
14

secara sederhana berarti bank tengah mencari alasan atau dasar mengapa harus

memberikan fasilitas kredit terhadap kreditor yang mengajukan permohonan

kredit tersebut.

Analisis atau penilaian tersebut, pada dasarnya bank tunduk terhadap

seluruh peraturan yang ada, dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan

proses pemberian kredit perbankan di dalamnya mengandung prinsip-prinsip

yang harus dipenuhi, prinsip-prinsip dalam pemberian kredit tersebut antara

lain:20

1) Prinsip kepercayaan, suatu asas yang melandasi hubungan antara bank

dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan

berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjaga

kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan mempertahankan

kepercayaan masyarakat tersebut.

2) Prinsip kehati-hatian (Prudential Principles), suatu prinsip yang

menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik

dalam menghimpun terutama dalam penyaluran dana kepada

masyarakat harus sangat berhati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip

kehati-hatian ini agar bank selalu dalam keadaan sehat menjalankan

usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-

norma hukum yang berlaku di dunia perbankan.

20
Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
2010, hlm. 16
15

3) Prinsip kerahasiaan, suatu prinsip yang pada dasarnya untuk

merahasiakan segala transaksi tiap-tiap nasabah atau debitur baik itu

pinjaman maupun simpanan nasabah debitur. Namun, kerahasiaan

tersebut terdapat pengecualian dalam hal ketika untuk kepentingan

suatu pembuktian dalam tindak pidana atau sengketa, keperluan pajak,

hingga dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank.

4) Prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer), prinsip yang

diterapkan oleh bank untuk mengenal dan mengetahui identitas

nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan

setiap transaksi yang mencurigakan.

3. Kredit Tanpa Agunan

a. Pengertian Kredit Tanpa Agunan

Kredit tanpa agunan adalah kredit yang dikenal dengan sebutan kredit

blanko (Insecured Loan). Kredit blanko adalah pemberian kredit tanpa

jaminan material (agunan fisik), pemberiannya sangat selektif dan ditujukan

kepada nasabah besar yang teruji bonafiditas, kejujuran dan ketaatannya

dalam transaksi perbankan maupun kegiatan usaha yang dijalaninya.21

b. Regulasi Kredit Tanpa Agunan

Kredit tanpa agunan ini pada dasarnya dapat untuk direalisasikan

karena ada dasar hukumnya. Meskipun belum terdapat ketentuan perundang-

21
Ni Made Arini, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,MH, dan Dr. I Wayan
Wiryawan, SH.,MH, “Penyelesaian Permasalahan Kredit Tanpa Agunan (UMKM) di Denpasar”,
Jurnal Hukum, Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2017, hlm. 125
16

undangan yang khusus mengatur mengenai kredit tanpa agunan di perbankan.

Namun, dalam UU Perbankan, Surat Keputusan Bank Indonesia (SK BI),

Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI), Peraturan Bank Indonesia (PBI),

Peraturan OJK (POJK), dan ketentuan perjanjian yang terdapat dalam KUH

Perdata buku ketiga mengenai perjanjian pada umumnya, karena perjanjian

kredit adalah salah satu bentuk perjanjian pinjam meminjam sebagaimana

diatur dalam Pasal 1754-1760, praktek mengenai kredit tanpa agunan secara

tidak langsung diatur.22

Pada UU Perbankan misalnya, Pasal 8 ayat (1) yang menyebutkan

bahwa pada intinya bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis

yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah

debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal

tersebut secara tidak langsung, berarti lebih menganut kepada jaminan yang

bersifat non-fisik, artinya bahwa pemberian kredit dapat dilakukan oleh bank

apabila bank mempunyai keyakinan terhadap debiturnya atas kemampuan, dan

kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang

diperjanjikan.23

4. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer)

a. Pengertian Prinsip Mengenal Nasabah

Hal pokok dalam kegiatan usaha bank tentunya adalah mengenai

nasabah. Oleh karena itu, kehadiran prinsip-prinsip dalam perbankan perlu

22
Ibid,
23
Ibid,
17

untuk diterapkan. Ketika nasabah mengajukan permohonan kredit, maka salah

satu prinsip yang penting diterapkan adalah prinsip mengenal nasabah. Prinsip

ini pada dasarnya adalah prinsip yang berfungsi untuk mengetahui identitas

nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah, dan pelaporan transaksi yang

mencurigakan.24 Penerapan prinsip mengenal nasabah ini dapat diterapkan

kepada nasabah bank biasa (face to face customer) maupun nasabah tanpa

berhadapan (non-face to face customer), seperti nasabah yang melakukan

transaksi melalui telepon, surat menyurat, dan electronik banking.25

b. Regulasi Mengenai Prinsip Mengenal Nasabah

Prinsip mengenal nasabah, diatur dalam berbagai bentuk peraturan

yang dapat dijabarkan berikut ini:

1) Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan, intinya menyatakan bahwa bank wajib

melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Pada

ketentuan ini memang tidak disebutkan secara langsung mengenai

prinsip mengenal nasabah, namun apabila penerapan prinsip kehati-

hatian itu dilaksanakan maka secara otomatis prinsip mengenal nasabah

itu telah dilaksanakan. Hal ini dikarenakan, prinsip mengenal nasabah

adalah salahsatu jalan untuk merealisasikan prinsip kehati-hatian.26

2) Peraturan Bank Indonesia Nomor : 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan

Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang

24
Neni Sri Imaniyati, Op. Cit, hlm. 16-18
25
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 210
26
Asep Rozali, “Prinsip Mengenal Nasabah dalam Praktik Perbankan”, Jurnal Hukum
Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 2011, hlm. 304
18

Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer

Principles).

3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22/POJK.04/2014

tentang Prinsip Mengenal Nasabah Oleh Penyedia Jasa Keuangan di

Sektor Pasar Modal

5. Kredit Bermasalah

a. Pengertian Kredit Bermasalah

Setiap pemberian kredit itu mengandung suatu resiko, yaitu resiko

kredit. Terlebih dalam praktek kredit tanpa agunan, peluang resiko kredit

menjadi semakin lebar. Oleh karena itu, kredit yang tidak berjalan lancar ini

dikenal dengan istilah kredit bermasalah. Kredit bermasalah merupakan suatu

resiko yang terkandung dalam sebuah pemberian kredit oleh bank, resiko

tersebut berupa keadaan dimana kredit tidak dapat kembali tepat pada

waktunya.27

Suatu perjanjian kredit dikatakan kredit bermasalah apabila debitor

mengingkari janjinya membayar bunga dan/atau kredit induk yang telah jatuh

tempo, sehingga terjadi keterlambatan pembayaran atau sama sekali tidak ada

pembayaran, dengan demikian mutu kredit menjadi merosot.28 Berdasarkan

konsep perbankan, definisi kredit bermasalah adalah kredit yang berada pada

klasifikasi diragukan dan macet. Istilah ‘diragukan’ dan ‘macet’ di sini

27
Hermansyah, Op. Cit, hlm. 75
28
Bekti Kristiantoro, “Pelaksanaan Penyelesaian Kredit Bermasalah Dengan Jaminan Hak
Tanggungan Di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Semarang”, Tesis, Magister
Kenotariatan Universitas Semarang, 2006, hlm. 58
19

mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang dianut oleh perbankan

Indonesia. Sehingga berdasarkan beberapa definisi tersebut diatas,

menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai apakah kredit macet itu sama

dengan kredit bermasalah. Maka, setiap kredit macet merupakan kredit

bermasalah namun belum tentu kredit bermasalah adalah kredit macet.29

b. Penyelesaian Kredit Bermasalah

Kredit bermasalah belum tentu kredit macet. Namun, ketika suatu

perjanjian kredit itu bermasalah. Bank harus segera mengambil tindakan. Hal

tersebut dikarenakan, dampak dari kredit bermasalah itu sangatlah besar dan

harus segera ditangani. Penanganan kredit bermasalah adalah kecepatan

pengembalian biaya yang seminimal mungkin menjadi bagian yang tidak

dapat terpisahkan dalam upaya bank mengatasi permasalahan kredit

bermasalah.30

Dalam menangani kredit bermasalah, pimpinan bank harus tetap

berpegang pada pedoman pokok-pokok penanganan kredit bermasalah, yaitu

usaha penyelamatan kredit secara maksimal.31 Upaya penyelamatan kredit

dapat ditempuh dengan jalur hukum maupun jalur non-hukum. Upaya

penyelamatan kredit melalui jalur non-hukum dapat dilakukan dengan cara

seperti penjadwalan kembali (rescheduling); persyaratan kembali

29
Mahmoeddin, Dasar-Dasar Kredit BPR, Quantum, Bandung, 2010, hlm. 3
30
Badriyah Harun, Op. Cit, hlm. 114
31
Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Damar Mulia Pustaka, Jakarta, 2008,
hlm. 25
20

(reconditioning); dan penataan kembali (restructuring).32 Sedangkan, upaya

penyelamatan kredit melalui jalur hukum dapat dilakukan dengan cara seperti

somasi; gugatan kepada debitur melalui pengadilan negeri; eksekusi putusan

pengadilan; eksekusi akta pengakuan utang; eksekusi hak tanggungan; parate

eksekusi hak tanggungan; eksekusi terhadap penjamin; Lembaga paksa badan;

dan kepailitan melalui pengadilan niaga.33

6. Jaminan dan Hukum Jaminan

a. Jaminan dalam Kredit Perbankan

Fungsi jaminan dalam praktek pemberian kredit perbankan sangat

vital. Jaminan merupakan salahsatu media bank, untuk memperoleh keyakinan

dalam proses analisis pemberian kredit. Jaminan adalah sesuatu yang

diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan

memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu

perikatan.34 Selain itu, Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

berbunyi: “Segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang

tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian

hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.35

Pasal 1132 KUH Perdata turut menyebutkan bahwa “kebendaan

tersebut menjadi jaminan bersama-sama semua orang yang mengutangkan

32
Badriyah Harun, Op. Cit, hlm. 118-120
33
Ibid, hlm. 121-125
34
Hartono Hadi Saputro, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty,
Yogyakarta, 1984, hlm. 50
35
Lihat Pasal 1131 KUH Perdata
21

padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut

keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali

apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk

didahulukan”.36 Selain jaminan berupa keyakinan atas kemampuan debitor

untuk melunasi hutangnya, bank juga mengutamakan agunan dalam

pemberian kredit sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang

Perbankan yang berbunyi: “Agunan adalah jaminan tambahan yang

diserahkan nasabah debitur dalam rangka pemberian kredit atau pembiayaan

berdasarkan prinsip syariah”. Agunan diperlukan oleh kreditor bank, karena

merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi resiko yang mungkin

menimbulkan yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan

dan pelunasan kredit. Apabila debitur lalai melunasi kredit yang diberikan

maka bank dapat menarik kembali dana yang disalurkan dengan

memanfaatkan agunan tersebut.37

b. Macam-macam jaminan

Apabila merujuk kepada ketentuan Pasal 1131-1132 KUH Perdata,

pada dasarnya jaminan itu ada 2 (dua) yaitu jaminan umum dan jaminan

khusus. Jaminan umum adalah jaminan yang diberikan bagi kepentingan

semua kreditor yang menyangkut semua harta kekayaan debitor.38 Dari definisi

36
Lihat Pasal 1132 KUH Perdata
37
Nita Putri Yadiarsih, “Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri di Bank
Rakyat Indonesia Cabang Karanganyar”, Jurnal Hukum, Edisi No. 1 Vol. 2, Fakultas Hukum
Universitas Slamet Riyadi, 2016, hlm. 10-12
38
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberikan
Jaminan Jilid 2, Indo Hill-Co, Jakarta, 2005, hlm. 8
22

tersebut dapat dilihat bahwa benda-benda jaminan tidak hanya diperuntukkan

untuk kreditor tertentu, akan tetapi hasil dari penjualan benda yang menjadi

jaminan akan dibagi secara seimbang untuk seluruh kreditor sesuai dengan

jumlah hutang yang dimiliki oleh debitor. Sedangkan, jaminan khusus

merupakan alternatif dari jaminan umum itu sendiri. Artinya, keberadaan

jaminan khusus adalah untuk menutupi kelemahan yang ada pada jaminan

umum. Jaminan khusus sendiri terbagi ke dalam 2 (dua) hal, yaitu jaminan

perorangan dan jaminan kebendaan.39

F. Definisi Operasional

Adanya definisi operasional ini adalah dalam rangka menyatukan atau

menyelaraskan pandangan atau konsepsi materiil yang ada pada penelitian ini.

Berikut ini adalah definisi operasional yang dapat disajikan:

1. Penerapan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penerapan adalah perbuatan

menerapkan, pemasangan, dan/atau mempraktekkan.40 Pada penelitian ini, makna

kata ‘penerapan’ persis dengan pengertian tersebut diatas. Maksudnya adalah, pada

penelitian ini akan dikaji mengenai penerapan suatu prinsip yakni prinsip mengenal

nasabah.

39
https://www.legalku.com/hukum-jaminan-dalam-indonesia/ terakhir diakses pada 01
Desember 2020 Pukul 20.47 WIB
40
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terdapat dalam https://kbbi.web.id/terap-2
terakhir diakses pada 01 Desember 2020 Pukul 22.03 WIB
23

2. Prinsip Mengenal Nasabah

Prinsip mengenal nasabah adalah salahsatu prinsip dalam bank untuk

mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah

termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan.41 Pada penelitian ini,

konteks yang di inginkan sesuai dengan pengertian tersebut diatas. Maksudnya

adalah, pada penelitian ini yang akan dikaji ialah mengenai kebijakan atau

kebijaksanaan bank tentang prinsip mengenal nasabah dalam proses pemberian

kredit instansi.

3. Perjanjian

Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.42 Pengertian perjanjian ini

sesuai dengan yang dimaksudkan pada penelitian ini, yang mana adanya perjanjian

kredit instansi antara suatu bank dengan debitor atau nasabahnya.

4. Kredit Instansi

Kredit instansi lebih dikenal dengan kredit pegawai. Kredit instansi atau

kredit pegawai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kredit instansi atau

pegawai swasta dan/atau non-pemerintahan. Salahsatu bank penyalur kredit

instansi atau kredit pegawai adalah Bank BPD DIY, yang menamakan produknya

sebagai kredit swaguna dan kredit multi usaha.43

41
Neni Sri Imaniyati, Loc. Cit
42
Lihat Pasal 1313 KUH Perdata
43
http://www.bpddiy.co.id/index.php?page=produk&sub=kreditpegawai terakhir di akses
pada 1 Desember 2020 Pukul 23.43 WIB
24

5. Kredit Tanpa Agunan

Kredit tanpa agunan adalah kredit yang dikenal dengan sebutan kredit

blanko (Insecured Loan). Kredit blanko adalah pemberian kredit tanpa jaminan

material (agunan fisik), pemberiannya sangat selektif dan ditujukan kepada nasabah

besar yang teruji bonafiditas, kejujuran dan ketaatannya dalam transaksi perbankan

maupun kegiatan usaha yang dijalaninya.44 Pada penelitian ini, maksud dari kredit

tanpa agunan sesuai dengan pengertian tersebut diatas. Artinya adalah, pada

penelitian ini sasaran penelitiannya ialah kepada kredit instansi yang tidak sama

sekali menghadirkan jaminan material atau fisik.

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian mengenai “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dalam

Pemberian Kredit Instansi (Analisis Terhadap Pemberian Kredit Instansi di Bank

BPD DIY)” menggunakan jenis penelitian empiris. Penelitian empiris adalah suatu

metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata

dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. 45 Penelitian

empiris pada definisi yang lain adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk

menganalisa tentang sejauh manakah suatu peraturan atau perundang-undangan

44
Ni Made Arini……, Loc. Cit
45
https://idtesis.com/metode-penelitian-hukum-empiris-dan-normatif/ terakhir di akses
pada 2 Desember 2020 Pukul 00.06 WIB
25

berlaku secara wajar dan efektif dan berfungsi secara nyata di lapangan.46 Artinya,

dalam proses penelitian nantinya peneliti akan terjun langsung ke lapangan. Jenis

penelitian empiris digunakan untuk meneliti mengenai penerapan prinsip mengenal

nasabah dalam pemberian kredit instansi dan mekanisme hukum yang dijalankan

Bank BPD DIY selaku kreditur dalam pemberian kredit instansi ketika debitor

dipecat dan/atau meninggal dunia.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan pada penelitian ini adalah pendekatan konseptual (Conceptual

Approach), dan pendekatan peraturan perundang-undangan. Hal ini memberikan

arti bahwa pada penelitian ini penulis akan memadupadankan konsep, pendapat

atau doktrin, berbagai macam dasar hukum dan peristiwa hukum yang terjadi dalam

masyarakat (law in action) atau hukum dalam kenyataan di lapangan.

3. Obyek Penelitian

Obyek penelitian pada penelitian ini adalah perjanjian kredit instansi atau

yang lebih dikenal dengan kredit pegawai. Perjanjian kredit instansi atau pegawai

yang dimaksud disini adalah bagi debitor yang tergolong sebagai pegawai atau

karyawan instansi swasta atau non-pemerintahan.

Hilman Hadikusuma, “Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum”, Cet. 1,
46

Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 62


26

4. Subyek Penelitian

Subyek pada penelitian ini adalah perwakilan dari pihak Bank BPD DIY

Pusat. Perwakilan yang dimaksud adalah pihak-pihak yang masih terkait dengan

proses pemberian kredit instansi atau kredit pegawai di Bank BPD DIY Pusat.

5. Sumber Data Penelitian

a. Data primer, merupakan data yang didapatkan langsung dari subyek

penelitian dan lokasi penelitian. Pada penelitian ini, data primer akan

dikumpulkan melalui wawancara yang terstruktur. Artinya, penulis sudah

mempersiapkan daftar pertanyaan yang nantinya akan diajukan kepada

narasumber penelitian yakni subyek penelitian itu sendiri.

b. Data sekunder, merupakan data yang diperoleh dari literatur, dokumen-

dokumen dan data yang terkait dengan penelitian, peraturan perundang-

undangan yang berlaku dan bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan

penelitian.

6. Teknik Pengumpulan Data

a. Data primer, pada penelitian ini data primer diperoleh dari wawancara

yang dilakukan kepada subyek penelitian. Wawancara dilakukan secara

terstruktur, artinya penulis telah menyiapkan daftar pertanyaan yang

dibatasi pada aspek permasalahan yang hendak dikaji.

b. Data sekunder, pada penelitian ini data sekunder diperoleh dengan cara

studi kepustakaan yaitu dengan mengkaji buku-buku, jurnal, produk

penelitian hukum selain jurnal dan peraturan perundang-undangan yang

terkait dengan prinsip mengenal nasabah.


27

7. Analisis Data

Data Primer yang diperoleh dari proses wawancara disusun sehingga

menghasilkan gambaran mengenai proses pemberian kredit hingga perjanjian kredit

instansi. Kemudian, data sekunder yang telah dipilih tersebut diatas kemudian

disusun secara sistematis sehingga menghasilkan gambaran menyeluruh mengenai

asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum dan ketentuan hukum yang kemudian

dianalisis secara kualitatif dan logis. Data yang diperoleh melalui penelitian akan

dikaji secara mendalam sebagai bahan kajian yang komprehensif, dan hasil analisis

akan disajikan secara deskriptif analisis. Apabila dijabarkan menjadi sebuah

tahapan-tahapan, maka berikut ini adalah tahapan analisis data dalam penelitian ini:

a. Mengklasifikasi data, semua data yang diperoleh diklasifikasikan

berdasarkan kaitannya dengan pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini,

memilah antara data primer dengan data sekunder secara teliti.

b. Editing data, seluruh data yang telah diklasifikasikan disusun secara

sistematis, melengkapi data yang masih kurang lengkap sehingga dapat

memberikan gambaran mengenai jawaban atas pokok-pokok masalah

dalam penelitian ini.

c. Pemaparan hasil analisis, disajikan secara deskriptif yaitu dengan bentuk

penjelasan yang bersifat naratif.

d. Langkah terakhir adalah pengambilan kesimpulan. Pengambilan

kesimpulan didasarkan atas seluruh data yang diperoleh dalam proses

penelitian dari sumber-sumber data yang terpercaya, professional dan


28

terjamin keasliannya, data yang dapat dilampirkan akan dilampirkan pada

bagian lampiran sebagai bukti keaslian data penelitian.

H. Sistematika Penulisan

Pada sistematika penulisan ini, untuk mempermudah proses dalam

memperoleh gambaran pada hasil skripsi ini, maka akan diuraikan secara singkat

mengenai sistematika penulisan skripsi, yaitu; BAB I Pendahuluan dalam skripsi

ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, orisinalitas penelitian,

tinjauan Pustaka, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika

penulisan; BAB II berisi mengenai tinjauan pustaka pada skripsi ini yang terdiri

atas kajian teoritis yang berfungsi sebagai pedoman dalam melakukan pembahasan

terhadap pokok masalah yang berkaitan dengan tinjauan umum tentang perbankan,

perjanjian kredit, kredit tanpa agunan, hukum jaminan dan prinsip mengenal

nasabah; BAB III berisi mengenai hasil penelitian beserta pembahasan yang

menjabarkan seluruh hasil analisis dalam rangka menjawab pertanyaan pada

rumusan masalah; dan BAB IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan

saran tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Dalam Pemberian Kredit

Instansi (Analisis Terhadap Pemberian Kredit Instansi di Bank BPD DIY).


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT PERBANKAN DAN HUKUM

JAMINAN

A. Tinjauan Umum Lembaga Keuangan Perbankan

1. Perkembangan Perbankan di Indonesia

Sejarah perbankan nasional tidak lepas dari zaman penjajahan Hindia

Belanda. Pada masa itu De Javasche Bank, NV didirikan di Batavia (sekarang

Jakarta) pada 24 Januari 1828, kemudian menyusul Nederlandsche Indische

Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang monopoli

pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeri serta terdapat

beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda. Bank yang

dimaksud antara lain:47

a. De Javasche, NV

b. De Postspaarbank

c. Hulp en Spaar Bank

d. De Algemene Volkskrediet Bank

e. Nederlandsche Handelsmaatschappij (NHM)

f. Nationale Handelsbank (NHB)

g. De Escompto Bank, NV

h. Nederlansch Indische Handelsbank

47
Neni Wijayanti, “Peran Customer Service dalam Meningkatkan Pelayanan Kepada
Nasabah di Bank Lampung Cabang Bandar Jaya”, Skripsi, Perbankan Syariah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Metro, 2018, hlm. 28

29
30

Selain itu, juga terdapat bank milik orang Indonesia, dan orang asing yang

berasal dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Bank-bank tersebut antara lain; NV.

Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank; Bank Nasional Indonesia; Bank

Abuan Saudagar; NV Bank Boemi; The Chartered Bank of India, Australia and

China; The Yokohama Species Bank; The Matsui Bank; The Bank of China; dan

Batavia Bank.48 Ketika memasuki zaman kemerdekaan, perbankan di Indonesia

semakin maju dan berkembang. Banyak bank yang kemudian di nasionalisasikan

oleh pemerintah Indonesia. Hingga kini, praktik perbankan sudah sampai kepada

masyarakat pedesaan di seluruh Indonesia.

2. Peraturan Perbankan Nasional

Hukum yang mengatur masalah perbankan disebut dengan hukum

perbankan (banking law), yaitu seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan

perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin dan lain-lain. Selain itu, hukum

perbankan juga dikenal sebagai suatu sumber hukum yang mengatur masalah-

masalah perbankan sebagai lembaga dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-

rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku petugas-petugasnya, hak dan

kewajiban, tugas tanggung jawab para pihak yang terkait dengan bisnis perbankan,

apa yang boleh dilakukan bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang berkenaan

dengan dunia perbankan.49

Perbankan sebagai segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,

mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses melaksanakan

48
Ibid, hlm. 29
49
Munir Fuady, Op. Cit, hlm. 14
31

kegiatan usahanya, maka pada prinsipnya hukum perbankan adalah keseluruhan

norma-norma tertulis maupun norma-norma tidak tertulis yang mengatur tentang

bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses melaksanakan

kegiatan usahanya. Norma-norma tertulis yang dimaksud adalah seluruhan

peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bank, sedangkan norma-

norma yang tidak tertulis adalah hal-hal kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam

praktek perbankan.50 Dasar hukum beroperasinya lembaga perbankan nasional jika

di urutkan berdasarkan Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Perundang-undangan adalah yang pertama, Undang-Undang Dasar NRI 1945

(terutama pasal 33). Kedua, Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1992 tentang

Perbankan. Ketiga, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1992 tentang Perbankan. Keempat, Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Kelima, KUH Perdata

terutama ketentuan dalam Buku II dan III mengenai jaminan kebendaan dan

perjanjian. Keenam, KUH Dagang terutama ketentuan dalam Buku I mengenai

surat-surat berharga. Terakhir, peraturan-peraturan lain dibawah undang-undang

yang mengatur tentang perbankan.51

Sejak Indonesia merdeka, telah menyusun 3 (tiga) peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan perbankan, diantaranya yaitu Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang kemudian diubah

dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-

50
Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman, “Hukum Perbankan”, Edisi 1 Cet. 1, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 2
51
Neni Sri Imaniyati, Op. Cit, hlm. 18
32

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 tentang Perbankan. Pengaturan perbankan di Indonesia pada dasarnya

mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu; mendorong stabilitas moneter; melindungi

dan mengawasi kegiatan perbankan baik bank maupun nasabah; dan mendorong

pencapaian program pembangunan nasional.

3. Prinsip-Prinsip Perbankan Nasional

Hukum perbankan di Indonesia, mengenal 4 (empat) prinsip perbankan.

Prinsip-prinsip ini adalah diperuntukkan bagi perbankan dalam menjalankan

kegiatan usahanya. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah:52

a. Prinsip Kepercayaan (Fiduciary Relation Principle)

Prinsip kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi hubungan

antara bank dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang

disimpan berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjaga

kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan mempertahankan

kepercayaan masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap bank ini

sangat penting, karena salah satu kegiatan usaha bank adalah

menghimpun dana masyarakat dan kemudian menyalurkannya kembali

ke dalam bentuk perkreditan.

b. Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principle)

Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa

bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpunan

52
Ibid, hlm. 16
33

terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat

berhati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank

selalu dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan

mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di

dunia perbankan. Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan menyatakan bahwa:

“Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan


ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen,
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang
berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan
usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”.
Prinsip kehati-hatian dengan prinsip mengenal nasabah pada

dasarnya dalam praktek dunia perbankan saling melengkapi. Penerapan

prinsip kehati-hatian dapat tercapai ketika prinsip mengenal nasabah itu

diterapkan. Begitu juga sebaliknya, penerapan prinsip mengenal nasabah

dapat tercapai ketika prinsip kehati-hatian itu diterapkan. Hal tersebut

dikarenakan baik prinsip kehati-hatian maupun prinsip mengenal

nasabah itu sangat vital perannya dalam praktek usaha perbankan.

c. Prinsip Kerahasiaan (Secrecy Principle)

Pasal 40 UU Perbankan pada intinya menyatakan bahwa bank wajib

merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan

simpanannya. Namun, dalam ketentuan tersebut kewajiban

merahasiakan itu bukan tanpa pengecualian. Kewajiban merahasiakan itu

dikecualikan untuk hal-hal kepentingan pajak, penyelesaian utang

piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan

Lelang/Panitia Urusan Piutang Negara (UPLN/PUPN), untuk

kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam perkara perdata antara


34

bank dengan nasabah, dan dalam rangka tukar menukar informasi antar

bank.

d. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle)

Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh bank

untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan

transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang

mencurigakan. Bank Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai

prinsip mengenal nasabah dalam peraturan Bank Indonesia yaitu

Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip

Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle) sebagaimana

terakhir diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 5/23/PBI/2003.

Tujuan yang hendak dicapai dalam penerapan prinsip mengenal nasabah

adalah meningkatkan peran lembaga keuangan dengan berbagai

kebijakan dalam menunjang praktik lembaga keuangan, menghindari

berbagai kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang tindak

kejahatan dan aktivitas illegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi

nama baik dan reputasi lembaga keuangan.

4. Jenis-Jenis Perbankan

Lembaga keuangan seperti perbankan, pada dasarnya dari berbagai segi

sudut pandang terdapat berbagai macam jenisnya, diantaranya adalah sebagai

berikut:

a. Dilihat dari segi bidang usahanya, yaitu Bank Umum dan Bank

Perkreditan Rakyat (BPR). Pengertian kedua jenis bank tersebut terdapat


35

pada Pasal 1 angka 3 dan 4 UU Perbankan yang menyatakan bahwa

“Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara

konvensional dan/atau berdasarkan prinsip Syariah yang dalam

kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”;”Bank

Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha

secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip Syariah yang dalam

kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.53

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun

1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan disebutkan bahwa pada intinya bentuk hukum suatu

bank umum dapat berupa perseroan terbatas, koperasi dan perusahaan

daerah. Sedangkan, bentuk hukum suatu bank perkreditan rakyat dapat

berupa perusahaan daerah, koperasi, perseroan terbatas dan bentuk lain

yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

b. Dilihat dari segi kepemilikannya, bank dapat dimiliki oleh pemerintah,

pihak swasta nasional dan oleh asing. Bank yang dimiliki pemerintah

berarti akta pendirian maupun modalnya dimiliki oleh pemerintah baik

pusat maupun daerah.54 Bank Swasta Nasional, bank dimana seluruh atau

sebagian besarnya dimiliki oleh swasta nasional serta akta pendiriannya

didirikan oleh swasta.55 Sedangkan, bank asing merupakan cabang bank

53
Uswatun Hasanah, Op. Cit, hlm. 20
54
Kasmir, Op. Cit, hlm. 21
55
Ibid, hlm. 22
36

yang ada di luar negeri, baik milik swasta atau pemerintah asing yang

modalnya dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing.56

c. Dilihat dari segi status, kedudukan atau status ini menunjukkan ukuran

kemampuan bank dalam melayani masyarakat baik dari segi jumlah

produk, modal maupun kualitas pelayanannya. Jenis bank dilihat dari

segi status dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu; Bank Devisa

merupakan bank yang dapat melaksanakan transaksi ke luar negeri atau

yang berhubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan, misalnya

transfer ke luar negeri, inkaso keluar negeri, travellers cheque,

pembukaan dan pembayaran Letter of Credit dan transaksi lainnya.

Persyaratan untuk menjadi bank devisa ini ditentukan oleh Bank

Indonesia; dan Bank Non-Devisa merupakan bank yang belum

mempunyai izin untuk melaksanakan transaksi sebagai bank devisa

sehingga tidak dapat melaksanakan transaksi seperti halnya bank devisa.

Jadi transaksi yang dilakukan masih dalam batas-batas negara.57

d. Dilihat dari segi cara menentukan harga, jenis bank jika dilihat dari segi

atau caranya dalam menentukan harga, baik harga jual maupun harga beli

terbagi dalam 2 (dua) kelompok yaitu; Pertama, bank yang berdasarkan

prinsip konvensional, dalam mencari keuntungan dan menetukan harga

kepada para nasabahnya. Bank yang berdasarkan prinsip konvensional

menggunakan metode bunga sebagai harga, untuk produk simpanan

56
Ibid, hlm. 23
57
Ibid, hlm. 24-25
37

seperti giro, tabungan maupun deposito. Demikian pula harga untuk

produk pinjamannya (kredit) juga ditentukan berdasarkan tingkat suku

bunga tertentu, penentuan harga ini dikenal dengan istilah spread based.

Jasa-jasa bank lainnya pihak perbankan konvensional menggunakan atau

menerapkan berbagai biaya-biaya dalam nominal atau persentase

tertentu. Sistem pengenan biaya ini dikenal dengan istilah fee based;

Kedua, bank yang berdasarkan prinsip Syariah, dalam menentukan harga

atau mencari keuntungan bagi bank yang berdasarkan prinsip Syariah

maka menggunakan metode pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil

(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal

(musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan

(murabahah), pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa

pilihan (ijarah), dan dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan

barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah muntahiyyah

bittamlik).

5. Fungsi dan Tujuan Perbankan

Menurut UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Bab II Pasal 4) tujuan perbankan adalah

untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan

pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan

kesejahteraan hidup rakyat banyak.58 Fungsi utama perbankan Indonesia adalah

sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, hal ini sebagaimana tertuang

58
Bab II Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
38

dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Di Indonesia, lembaga

perbankan memiliki misi dan fungsi sebagai agen pembangunan (agent of

development).59 Fungsi bank sebagai lembaga perantara keuangan antara

masyarakat yang kekurangan dana dengan masyarakat yang kelebihan dana.60

Artinya adalah selain menghimpun dengan berbagai produk tabungan dan

sebagainya maka juga menyalurkan dana dengan produk kredit dan sebagainya.

6. Hubungan Hukum Nasabah dengan Bank

Nasabah merupakan pihak yang menggunakan jasa bank. Penghimpunan

dana dan pemberian kredit merupakan pelayanan jasa perbankan yang utama dari

semua kegiatan lembaga keuangan bank. Berdasarkan Pasal 1 angka 16 UU tentang

Perbankan, nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank.61 Berdasarkan UU

tentang Perbankan, nasabah dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: Pertama,

nasabah penyimpan merupakan nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam

bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang

bersangkutan.62 Kedua, nasabah debitor merupakan nasabah yang memperoleh

fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang

dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang

bersangkutan.63

59
Neni Sri Imaniyati, Op. Cit, hlm. 13-14
60
Kasmir, Loc. Cit
61
Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
62
Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
63
Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
39

Kemudian, adanya nasabah dan pihak bank dalam kegiatan usaha bisnis

perbankan menyebabkan adanya suatu hubungan hukum antara nasabah dengan

bank. Hubungan hukum antara nasabah dengan bank pada dasarnya diatur oleh

‘hukum perjanjian’. Suatu perjanjian ialah suatu peristiwa dimana seseorang

berjanji kepada seseorang yang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk

melakukan suatu hal. Perjanjian tersebut menerbitkan suatu perikatan antara dua

orang yang membuatnya. Hukum perjanjian memang merupakan suatu hal yang

menjadi dasar apabila di antara dua orang akan melakukan hubungan dalam bidang

hukum. Pada hukum perjanjian diatur tentang apa yang menjadi hak dan kewajiban

dari kedua belah pihak.64

Pada praktik dunia perbankan, perjanjian yang demikian lazim dinamakan

dengan perjanjian kredit bank. Bentuk hubungan hukum antara bank dan nasabah

peminjam dana adalah kesepakatan pinjam-meminjam, yang merupakan bagian

dari pengertian kredit itu sendiri. Pada kitab Undang-Undang Hukum Perdata

ternyata tidak terdapat suatu bentuk hubungan hukum khusus atau lembaga

perjanjian khusus yang namanya Perjanjian Kredit Bank.65 Oleh karena itu,

penetapan mengenai bentuk hubungan hukum antara bank dan nasabah debitor

yang disebut Perjanjian Kredit Bank itu, harus digali dari sumber-sumber di luar

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebagaimana dikemukakan di atas,

demikian pula Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah

64
Putra Pierson David Iroth, “Perjanjian Kredit Bank Sebagai Dasar Hubungan Hukum
Antara Bank dan Nasabah Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan”,
Jurnal Hukum, Edisi Vol. V/No. 5/Jul/2017, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, 2017,
hlm. 107
65
Ibid,
40

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak

merumuskan pengertian dan konstruksi hubungan hukum dalam pemberian kredit

bank tersebut.66

Kelahiran pemberian kredit bank itu berdasarkan kepada persetujuan atau

kesepakatan pinjam-meminjam uang antara bank sebagai kreditor dan pihak

nasabah peminjam dana sebagai debitor dalam jangka waktu tertentu, yang telah

disetujui ataupun disepakati bersama dan pihak peminjam mempunyai kewajiban

untuk melunasi utangnya tersebut dengan memberikan baik sejumlah bunga,

imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.67 Hubungan antara nasabah dan bank

didasarkan pada 2 (dua) unsur yang paling berkaitan, yaitu hukum dan kepercayaan.

Suatu bank hanya bisa melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya, apabila

masyarakat percaya untuk menyimpan uangnya pada produk-produk perbankan

yang ada pada bank tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank

dapat memobilisasi dana dari masyarakat untuk ditempatkan pada banknya dan

bank akan memberikan jasa-jasa perbankan.68

Melihat 2 (dua) fungsi bank tersebut, baik penghimpun ataupun penyalur

dana, maka terdapat 2 (dua) hubungan yang lazim antara bank dan nasabah yaitu

hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana, dan hubungan hukum

antara bank dan nasabah debitur, secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

66
Sutan Remy Sjahdeini, “Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia”, Cet. Ketiga, Badan Pembina Hukum
Nasional, Jakarta, 2006, hlm. 66
67
Putra Pierson David Iroth, Loc. Cit
68
Lukman Santoso Az, “Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank”, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2011, hlm. 55
41

a. Hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana, bahwa

setiap orang yang menyimpan uangnya dibank disebut nasabah

penyimpan. Arti secara yuridis, nasabah penyimpan merupakan nasabah

yang menempatkan dananya dibank dalam bentuk simpanan berdasarkan

perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Hubungan yang

demikian memberikan pemahaman bahwa bank menempatkan dirinya

sebagai peminjam dana milik masyarakat.69 Bentuk hubungan hukum

antara bank dan nasabah penyimpan dana, dapat terlihat dari hubungan

hukum yang muncul dari produk-produk perbankan, seperti deposito;

tabungan; giro; dan sebagainya. Bentuk hubungan hukum itu dapat

tertuang dalam bentuk peraturan bank yang bersangkutan dan syarat-

syarat umum yang harus dipenuhi oleh setiap nasabah penyimpan dana.70

Syarat-syarat tersebut harus disesuaikan dengan produk perbankan yang

tersedia. Dalam produk perbankan seperti tabungan dan deposito, maka

ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku adalah ketentuan-

ketentuan dan syarat-syarat umum hubungan rekening deposito dan

rekening tabungan. Perjanjian bank dengan nasabah penyimpan dana

disebut perjanjian simpanan. Dalam hukum perdata, figur perjanjian

simpanan akan menjadi persoalan hukum tersendiri karena tidak terdapat

kejelasan mengenai pengaturan dan identitas hukumnya. Jika dicermati

terkait dengan objek dari perjanjian simpanan berupa giro, deposito,

69
Ibid, hlm. 56
70
Putra Pierson David Iroth, Loc. Cit
42

sertifikasi deposito, tabungan, maka tidak ditemukan baik dalam KUH

Perdata maupun dalam KUH Dagang.71

b. Hubungan hukum antara bank dan nasabah debitor, bahwa hubungan

hukum antara bank dan nasabah debitur memberikan pemahaman bahwa

bank merupakan lembaga penyedia dana bagi para debitornya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

hubungan tersebut dimaknai sebagai hubungan nasabah yang

memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah

atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan

nasabah yang bersangkutan.72 Perjanjian tersebut dapat berupa perjanjian

kredit, seperti kredit modal kerja, kredit investasi, atau kredit usaha kecil.

Juga dapat berupa pembiayaan murabahah, kredit kepemilikan rumah,

dan lain-lain. Pada penjelasan ini dapat dipahami bahwa hubungan

hukum antara bank dan nasabah penyimpan serta hubungan hukum

antara bank dan nasabah debitur sangat erat kaitannya.73 Kedua

hubungan tersebut tidak hanya dikualifikasikan sebagai hubungan

hukum tetapi penting kiranya untuk menarik pada hubungan moral.

Sebagai hubungan moral, maka pertanggungjawabannya lebih tinggi di

mata hukum. Oleh karena itu, pelaksanaan fungsi perbankan terdapat 2

(dua) hubungan hukum dan 1 (satu) hubungan moral yang saling

terkait.74

71
Ibid, hlm. 108
72
Lukman Santoso Az, Op. Cit, hlm. 58
73
Putra Pierson David Iroth, Loc. Cit
74
Lukman Santoso Az, Op. Cit, hlm. 62
43

7. Perlindungan Hukum Perbankan Sebagai Kreditor

Perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan

oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran

maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.75 Pada

definisi yang lain, perlindungan hukum adalah suatu tindakan untuk melindungi

atau memberikan pertolongan kepada subjek hukum, dengan menggunakan

perangkat-perangkat hukum.76 Perlindungan hukum terdiri atas perlindungan

hukum preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif, merupakan

perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah

sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-

undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan

rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.77

Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana lebih

ditujukan dalam penyelesaian sengketa.78

Pada persoalan bank sebagai kreditor, perlindungan hukum bagi bank

sebagai kreditor dalam transaksi perbankan merupakan hal yang patut

dikedepankan agar kepentingan para pihak dapat terlindungi karena wujud dari

adanya perlindungan hukum pada dasarnya merupakan upaya penegakan hukum.79

Perlindungan hukum terhadap kreditor juga diberikan oleh peraturan perundang-

75
C.S.T. Kansil, “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia”, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, hlm. 102
76
Philipus M. Hadjon, “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia”, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 10
77
Ibid, hlm. 4
78
Ibid, hlm. 5
79
Johannes Ibrahim, “Dilematis Penerapan UU Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga
Penjamin Simpanan antara Perlindungan Hukum dan Kejahatan Perbankan”, Jurnal Hukum,
Volume 24 Nomor 1 Tahun 2005, hlm. 43
44

undangan dalam kedudukan yang sama atau berlaku asas paritas creditorum,

dimana pembayaran atau pelunasan hutang kepada kreditor dilakukan secara

berimbang (ponds-ponds gewijs). Dengan demikian para kreditor hanya

berkedudukan sebagai kreditor konkuren yang bersaing dalam pemenuhan

piutangnya, kecuali apabila ada yang memberikan kedudukan preferen (droit de

preference) kepada para kreditor tersebut.80 Namun, pada perjanjian kredit juga

dimungkinkan seorang kreditor berkedudukan sebagai kreditor separatis.

Kreditor separatis pada dasarnya memiliki kedudukan yang lebih aman jika

dibandingkan dengan kreditor lainnya disebabkan ketika debitor melakukan

wanprestasi, kreditor separatis dapat langsung melakukan eksekusi atas jaminan

yang dimilikinya. Kreditor separatis dapat mengeksekusi barang jaminan secara

parate executie, yang artinya kreditor dalam mengeksekusi tidak perlu menunggu

penetapan pengadilan ataupun persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan jika

jaminan hutang berupa Obyek Hak Tanggungan.81 Berdasarkan hal tersebut, maka

perlindungan hukum terhadap bank sebagai kreditor itu bergantung kepada

kedudukan kreditor itu sendiri dalam sebuah perjanjian kredit. Kreditor separatis

merupakan kreditor yang kedudukannya paling aman dikarenakan hak kreditor

separatis ini dapat dimaknai sebagai hak kreditor yang benar-benar terpisah

(separatis) dari kreditor-kreditor lainnya, dibanding kreditor preferent dan kreditor

konkuren atau lebih dikenal dengan kreditor bersaing.82

80
Johannes Ibrahim Kosasih, “Akses Perkreditan dan Ragam Fasilitas Kredit Dalam
Perjanjian Kredit Bank”, Sinar Grafika, Jakarta, 2019, hlm. 22
81
Man S. Sastrawidjaja, “Hukum Kepailititan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang”, P.T. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 35
82
Ibid,
45

B. Tinjauan Umum Perjanjian Kredit

1. Kredit atau Hutang dalam Pandangan Islam

Islam adalah agama yang diridhoi oleh Allah Swt. Nilai-nilai yang ada pada

islam selaras dengan segala kemajuan kebutuhan umat manusia. Sejak dahulu kala

hingga sekarang ini, nilai-nilai islam tetap masih selaras dengan kemajuan-

kemajuan yang terjadi di dunia dan itu diberikan jaminan langsung oleh Allah Swt

hingga akhir zaman nanti. Islam merupakan agama yang universal, hal ini

dibuktikan dengan adanya nilai-nilai islam yang menyinggung persoalan kredit atau

hutang. Islam memberikan pandangan mengenai kredit dan hutang, yang mana

kredit dalam islam secara bahasa berarti membagi atau menjadikan sesuatu

beberapa bagian.83 Secara istilah yaitu menjual sesuatu dengan cara tunda, dengan

cara memberikan cicilan dalam jumlah-jumlah tertentu dalam beberapa waktu

secara tertentu.84 Sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah ayat 282:85

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara


tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-
saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)

83
Alif Ilham Akbar Fatriansyah, “Kajian Penelitian Tentang Hukum Jual Beli Kredit”,
Jurnal Ilmu Ekonomi Al-Madani, Vol. 32 No. 1, Fakultas Ekonomi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Al-Madani, Bandarlampung, 2020, hlm. 52
84
Ibid,
85
Kitab Suci Al-Qur’an
46

apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu,
baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian
itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu),
kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara
kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi
saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah
kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu”.
Berpedoman kepada firman Allah Swt tersebut diatas, pada dasarnya kredit

atau hutang itu boleh selama masih sesuai dengan apa yang diajarkan dalam islam.

Hutang atau kredit yang mengandung riba adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan,

selama hutang atau kredit itu tidak mengandung riba maka dibolehkan. Majelis

Permusyawaratan Ulama Aceh dalam Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama

Aceh Nomor 1 Tahun 2017 tentang Jual Beli Secara Kredit Menurut Syariat Islam

memberikan pandangan bahwa jual beli secara kredit termasuk bagian hutang yang

artinya transaksi suatu barang dengan harga yang ditangguhkan dan dibayar secara

cicilan atau sekaligus dalam waktu yang disepakati.86 Penjelasan ini menyatakan

bahwa kredit termasuk dalam hutang, dan sifatnya utang yaitu mengikat dan wajib

dilunasi hingga kewajiban itu terpenuhi. Pada keputusan yang lainnya, Majelis

Permusyawaratan Ulama Aceh juga berpendapat bahwa selama memenuhi unsur

syar’i adalah boleh. Unsur syar’i yang harus terpenuhi antara lain suatu harga dalam

aqad, tidak disyaratkan bayar bunga, tidak ada unsur gharar/tipuan dan bukan

barang ribawi.87

86
Alif Ilham Akbar Fatriansyah, Op. Cit, hlm. 54
87
Ibid, hlm. 55
47

2. Pengertian Perjanjian Kredit

Pendorong perolehan dan pendukung usaha bisnis adalah dengan

mendapatkan dana bantuan dalam bentuk kredit. Kredit atau credit berasal dari kata

credere yang berarti kepercayaan. Hal tersebut memberikan pengertian bahwa

nasabah atau debitor yang mendapatkan fasilitas kredit bank sudah pasti adalah

nasabah atau debitor yang diberikan kepercayaan oleh bank.88 Kredit mempunyai

dasar bagi setiap perikatan (verbintenis) dimana seorang berhak menuntut sesuatu

dari orang sebagai jaminan, dimana seorang menyerahkan sesuatu dari orang lain

dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.89 Arti hukum

dari kredit yaitu menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan

secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan

pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah uang

pinjaman itu di belakang hari.90 Pasal 1 angka 11 UU Perbankan memberikan

definisi kredit, bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-

meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.91

Merujuk kepada pengertian tersebut diatas, maka pada intinya dalam

prakteknya kredit adalah penyerahan nilai ekonomi sekarang atas kepercayaan

88
Hermansyah, Loc. Cit
89
Johannes Ibrahim, “Cross Default & Cross Collateral dalam Upaya Penyelesaian Kredit
Bermasalah”, PT Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 17
90
Ibid,
91
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
48

dengan harapan mendapatkan kembali suatu nilai ekonomi yang sama di kemudian

hari, suatu tindakan atas dasar perjanjian dimana dalam perjanjian tersebut terdapat

jasa dan balas jasa (prestasi dan kontra prestasi) yang keduanya di pisahkan oleh

unsur waktu, dan suatu hak yang mana dengan hak tersebut seseorang dapat

mempergunakannya untuk tujuan tertentu dalam batas waktu tertentu serta atas

pertimbangan tertentu pula.92 Peraturan yang berlaku bagi perjanjian kredit

mengikuti dasar aturan perjanjian pada umumnya yaitu diatur dalam Buku Ketiga

KUH Perdata tentang perikatan. Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH

Perdata menyebutkan bahwa, “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih”.93 Perjanjian kredit yang dibuat baik secara notarial maupun dibawah tangan

yang tunduk pada pengertian perjanjian dalam KUH Perdata serta harus memenuhi

syarat sah perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata yaitu sepakat para pihak untuk

mengikatkan diri, cakap untuk membuat perjanjian, mengenai suatu hal tertentu dan

suatu sebab yang halal.94

Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok yang bersifat riil, maksudnya

adalah terjanjinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank

kepada nasabah debitor. Sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan

adalah assesoirnya.95 Perjanjian kredit pada umumnya menggunakan bentuk

perjanjian baku (standart contract). Dalam praktiknya, bentuk perjanjiannya

92
Mahmoeddin, Op. Cit, hlm. 24
93
Pasal 1313 KUH Perdata
94
Pasal 1320 KUH Perdata
95
Hermansyah, Loc. Cit
49

biasanya telah disediakan oleh bank sebagai kreditor, sedangkan debitor hanya

mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian disebut

dengan perjanjian baku (standart contract), yang mana dalam perjanjian tersebut

pihak debitor hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan

untuk melakukan negosiasi atau tawar-menawar.96

3. Prinsip Pemberian Kredit

Prinsip kepercayaan merupakan dasar dari pemberian kredit, namun dalam

setiap pemberian kredit tidak boleh mengesampingkan prinsip-prinsip pemberian

kredit yang lain seperti prinsip kehati-hatian, prinsip mengenal nasabah atau prinsip

kerahasiaan. Sejatinya, pemberian kredit adalah suatu proses yang panjang dengan

analisis kredit yang ketat. Bank tentunya tidak akan dengan mudah memberikan

fasilitas kredit kepada nasabah debitor tanpa terlebih dahulu melalui tahapan

analisis yang panjang. Pada pemberian kredit, bank wajib menerapkan prinsip

pemberian kredit sebagai salah satu prosedur analisis dalam rangka melakukan

penilaian tentang layak atau tidaknya suatu permohonan kredit itu dikabulkan.

Prinsip-prinsip pemberian kredit yang harus diterapkan antara lain seperti prinsip

kepercayaan, prinsip kehati-hatian, prinsip mengenal nasabah dan prinsip

kerahasiaan.

Seringkali, beberapa bank juga mempunyai prosedur lain guna pemberian

kredit selain penerapan prinsip-prinsip pemberian kredit tersebut. Apabila ditelaah

secara mendalam, didalam prinsip-prinsip pemberian kredit tersebut terdapat sub-

96
Muhammad Djumhana, “Hukum Perbankan di Indonesia”, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hlm. 481
50

sub prinsip dalam pemberian kredit seperti prinsip 5C’s atau yang lebih dikenal

dengan the five c’s of credit, prinsip 5P dan 3R, yang dapat dijabarkan sebagai

berikut:

a. Prinsip 5C’s (the five c’s of credit):

1) Character (kepribadian atau watak), yaitu suatu keyakinan bahwa

sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan pembiayaan

benar-benar dapat dipercaya. Hal tersebut dapat diketahui dari latar

belakang nasabah baik latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat

pribadi seperti cara hidup atau gaya hidup yang dijalaninya, keadaan

keluarga, hobi dan lingkungan sosialnya.97

2) Capital (modal), yaitu keharusan bank meneliti modal calon debitor

selain besarnya juga strukturnya. Hal ini diperlukan untuk mengukur

tingkat rasio likuiditas dan solvabilitasnya karena rasio ini diperlukan

berkaitan dengan pemberian kredit untuk jangka pendek atau jangka

panjang.98

3) Capacity (kemampuan), yaitu keharusan bagi bank untuk mengetahui

secara detail dan pasti atas kemampuan calon debitor dengan

melakukan analisis usahanya dari waktu ke waktu. Pendapatan yang

selalu meningkat diharapkan kelak mampu melakukan pembayaran

97
Thamrin Abdullah dan Francis Tantri, “Bank dan Lembaga Keuangan”, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 173
98
Johannes Ibrahim Kosasih, Op. Cit, hlm. 16
51

kembali atas kreditnya, sedangkan bila diperkirakan tidak mampu

bank dapat menolak permohonan dari calon debitor.99

4) Condition of Economic (kondisi ekonomi), merupakan sesuatu yang

mempunyai 2 sudut pandang. Artinya, sudut pandang yang pertama

dari kondisi ekonomi ini adalah kondisi ekonomi calon debitor yang

harus diperhatikan oleh bank karena akan berdampak baik secara

positif atau negatif terhadap usaha calon debitor, misalnya debitor

adalah pengusaha toko kelontong maka dapat dilihat bagaimana toko

kelontong tersebut kedepannya dapat berkembang atau tidak. Selain

itu, sudut pandang kedua adalah bank harus memperhatikan kondisi

ekonomi secara nasional. Jika kondisi ekonomi nasional sedang

memburuk maka bank dapat menyesuaikan dirinya ketika hendak

menyalurkan kredit kepada masyarakat, misalnya seperti ketika

kondisi pandemi Covid-19 saat ini yang sedang melanda Indonesia

maka bank akan menyesuaikan diri dalam pemberian kredit agar tidak

hanya mempercepat peredaran uang akan tetapi tetap memperhatikan

resiko kredit yang mungkin akan terjadi yang dapat diketahui dari

analisis kondisi ekonomi ini.100

5) Collateral (jaminan), yaitu jaminan yang diberikan oleh calon debitor

akan diikat suatu hak atas jaminan sesuai dengan jenis jaminan yang

99
Ibid,
100
Ibid,
52

diserahkan. Pada praktik perbankan, jaminan merupakan langkah

terakhir bila debitor tidak dapat melaksanakan kewajibannya lagi.101

b. Prinsip 5P, terdiri dari:102

1) Party (para pihak), merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam

setiap pemberian kredit. Untuk itu pihak pemberi kredit harus

memperoleh suatu kepercayaan terhadap para pihak, dalam hal ini

debitor. Bagaimanan karakter, kemampuannya dan sebagainya.

Nantinya bank dapat melakukan penggolongan calon debitor

berdasarkan watak, kemampuan dan modal. Hal ini untuk

memberikan arah bagi analis bank untuk bersikap dalam pemberian

kredit.

2) Purpose (maksud atau tujuan), tujuan dari pemberian kredit juga

sangat penting, diketahui oleh pihak kreditor, harus dilihat apakah

kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif yang benar-benar

dapat menaikkan income perusahaan dan harus pula diawasi agar

kredit tersebut benar-benar diperuntukan seperti yang diperjanjikan

dalam suatu perjanjian kredit.

3) Payment (pembayaran), mengenai perlunya diperhatikan apakah

sumber pembayaran kredit dari calon debitor cukup tersedia dan

cukup aman, sehingga dengan demikian diharapkan bahwa kredit

yang akan diluncurkan tersebut dapat dibayar kembali oleh debitor

101
Ibid,
102
Ibid, hlm. 17
53

yang bersangkutan. Dalam hal ini dilihat dan dianalisis apakah setelah

pemberian kredit nanti, debitor punya sumber pendapatan dan apakah

pendapatan tersebut mencukupi untuk membayar kembali duitnya.

4) Profitability (perolehan laba), merupakan kemampuan calon debitor

untuk memperoleh keuntungan dari usahanya. Kemampuan ini diukur

dari jumlah kewajiban, baik angsuran, bunga dan biaya-biaya kredit

yang harus dibayar calon debitor. Bila diperkirakan mampu untuk

mengatasinya, maka calon debitor dipandang memiliki kemampuan

memperoleh keuntungan.

5) Protection (perlindungan), analis kredit perlu memperhatikan agunan

yang diberikan calon debitor dan yang dinilai bukan saja nilai pasar

dari agunan yang diserahkan tetapi dipertimbangkan pula pengaman

yang telah dilakukan terhadap agunan.

c. Prinsip 3R, terdiri dari:103

1) Return (hasil yang akan dicapai), merupakan suatu analisis untuk

mengetahui sejauh mana calon debitor dapat diperkirakan

memperoleh pendapatan yang cukup untuk mengembalikan kredit

beserta kewajibannya.

2) Repayment (pembayaran kembali), merupakan analisis yang

dilakukan analis kredit yang fokus kepada kemampuan calon debitor

untuk mengembalikan kredit.

103
Ibid, hlm. 18
54

3) Risk Bearing Abillity (kemampuan menanggung resiko), merupakan

suatu analisis mengenai kemampuan calon debitor untuk menanggung

resiko dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya kegagalan atas usaha

debitor. Pengandaian dari seorang analis, calon debitor akan mampu

menutup seluruh kerugian yang mungkin timbul karena hal-hal yang

tidak diperkirakan semula. Langkah untuk menghindari kerugian ini

dengan jaminan yang diberikan calon debitor atau dengan menutup

melalui klaim asuransi.

4. Fungsi dan Tujuan Kredit

Setiap pemberian kredit, pastinya memiliki fungsi dan tujuannya. Fungsi

dari pemberian kredit pada dasarnya adalah pertama, untuk meningkatkan daya

guna uang, maksudnya jika uang hanya disimpan di rumah saja tentu tidak akan

menghasilkan sesuatu yang berguna. Kedua, untuk meningkatkan peredaran dan

lalu lintas uang, uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari satu wilayah

ke wilayah lainnya, sehingga suatu daerah yang kekurangan uang kemudian

memperoleh kredit, maka daerah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari

daerah lainnya. Ketiga, untuk meningkatkan daya guna barang, maksudnya ketika

debitor mendapat kredit oleh bank maka debitor dapat mengolah suatu barang yang

semula tidak berguna menjadi berguna dan tentunya bermanfaat. Keempat,

meningkatkan peredaran barang karena kredit dapat pula menambah atau

memperlancar arus barang dari satu wilayah ke wilayah lainnya, sehingga jumlah

barang yang beredar dari satu wilayah ke wilayah lainnya bertambah. Kelima,

sebagai alat stabilitas ekonomi karena dengan adanya kredit yang diberikan akan
55

menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyarakat. Terakhir, untuk

meningkatkan pemerataan pendapatan karena semakin banyak kredit yang

disalurkan, maka akan semakin baik, terutama dalam hal meningkatkan

pendapatan. Jika sebuah kredit diberikan untuk membangun pabrik, maka pabrik

tersebut tentu membutuhkan tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi

pengangguran. Bagi masyarakat sekitar pabrik juga akan dapat memperoleh

pendapatan seperti gaji bagi karyawan yang bekerja di pabrik dan membuka warung

atau menyewa rumah kontrakan atau jasa lainnya bagi masyarakat yang tinggal di

sekitar lokasi pabrik.104

Selain kredit mempunyai fungsi, maka kredit juga memiliki tujuan

tersendiri. Tujuan pemberian kredit adalah untuk mencari keuntungan sebagai

tujuan utama. Hasil keuntungan ini diperoleh dalam bentuk bunga yang diterima

oleh bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada

nasabah. Tujuan pemberian kredit berikutnya adalah membantu usaha nasabah

yang memerlukan dana, baik dana untuk investasi maupun dana untuk modal kerja.

Dengan dana tersebut, maka pihak debitor akan dapat mengembangkan dan

memperluaskan usahanya. Dalam hal ini baik bank maupun nasabah sama-sama

diuntungkan. Tujuan terakhir adalah membantu pemerintah, karena bagi

pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan maka

semakin baik, mengingat semakin banyak kredit berarti adanya kucuran dana dalam

rangka peningkatan pembangunan di berbagai sektor, terutama sektor rill.105

104
Kasmir, Op. Cit, hlm. 117-119
105
Ibid, hlm. 116
56

5. Kredit Tanpa Agunan

Kredit tanpa agunan adalah kredit yang dikenal dengan sebutan kredit

blanko (Insecured Loan). Kredit blanko adalah pemberian kredit tanpa jaminan

material (agunan fisik), pemberiannya sangat selektif dan ditujukan kepada nasabah

besar yang teruji bonafiditas, kejujuran dan ketaatannya dalam transaksi perbankan

maupun kegiatan usaha yang dijalaninya.106 Kredit tanpa agunan ini pada dasarnya

dapat untuk direalisasikan karena ada dasar hukumnya. Meskipun belum terdapat

ketentuan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai kredit perbankan.

Namun, dalam UU Perbankan, Surat Keputusan Bank Indonesia (SK BI), Surat

Edaran Bank Indonesia (SE BI), Peraturan Bank Indonesia (PBI), Peraturan OJK

(POJK), dan ketentuan perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata buku ketiga

mengenai perjanjian pada umumnya, karena perjanjian kredit adalah salah satu

bentuk perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754-1760,

praktek mengenai kredit tanpa agunan secara tidak langsung diatur.107

Pada UU Perbankan misalnya, Pasal 8 ayat (1) yang menyebutkan bahwa

pada intinya bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang

mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk

melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal tersebut secara tidak

langsung, berarti lebih menganut kepada jaminan yang bersifat non-fisik, artinya

bahwa pemberian kredit dapat dilakukan oleh bank apabila bank mempunyai

keyakinan terhadap debitornya atas kemampuan, dan kesanggupan debitor untuk

106
Ni Made Arini, Loc. Cit
107
Ibid,
57

melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.108 Kredit tanpa jaminan ini

menjadi alternatif baru bagi masyarakat untuk mengembangkan usahanya atau

untuk kebutuhan konsumtif lainnya.

Peraturan tentang kredit tanpa jaminan ini banyak orang belum

mengetahuinya. Adapun pengaturannya terdapat dalam Undang-Undang

Perbankan, namun tidak mengatur secara khusus mengenai kredit tanpa jaminan.

Walaupun terdapat pasal yang tidak mewajibkan adanya jaminan materiil sebagai

syarat kredit, tetapi tidak ada pengaturan tersendiri mengenai kredit tanpa

jaminan.109 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang masih berkaitan

dengan pemberian kredit yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi:

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,


Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analis yang
mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur
untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai
dengan yang diperjanjikan”.
Pada penjelasan pasal diatas, pengertian mengenai jaminan dalam pasal

tersebut tidak berubah dari undang-undang sebelumnya yakni keyakinan atas

kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai dengan

yang diperjanjikan. Sama halnya yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Surat

Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 2 Februari 1991

Tentang Jaminan Pemberian Kredit yang berbunyi: “Jaminan adalah suatu

108
Ibid,
109
Aristmaya Widyasari, “Perlindungan Hukum Terhadap Debitur dalam Pemberian
Kredit Tanpa Jaminan”, Skripsi, Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2018, hlm. 5
58

keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang

diperjanjikan”. Sedangkan pengertian agunan diatur dalam Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 terdapat dalam Pasal 1 angka 23 yang berbunyi: “Agunan adalah

jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada bank dalam rangka

pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.”110

Dapat dilihat dari pasal diatas bahwa agunan adalah jaminan tambahan yang

berupa barang-barang milik debitor atau bisa disebut dengan jaminan kebendaan

yang bukan merupakan hal utama dalam memberikan kredit kepada nasabah,

melainkan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta

kesanggupan Nasabah Debitor untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang

diperjanjikan. Analisis yang mendalam juga tidak mempunyai takaran pasti,

melainkan tergantung kebijakan masing-masing lembaga perbankan disamping

tetap memperhatikan peraturan-peraturan yang ada dalam penyaluran kredit.

Agunan adalah unsur pendukung, bukan merupakan unsur utama dalam pemberian

kredit. Artinya perjanjian kredit tanpa jaminan tidak memerlukan jaminan

tambahan atau agunan tetapi tetap memerlukan jaminan utama yakni keyakinan

berdasarkan analisis mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan

debitor untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.111

6. Berakhirnya Perjanjian Kredit

Berakhirnya perjanjian kredit sama halnya dengan hapusnya perjanjian

kredit. Suatu hal yang tidak mungkin dapat terjadi ketika hapusnya perjanjian kredit

110
Ibid, hlm. 6
111
Ibid,
59

tanpa berakhirnya perjanjian kredit dan sebaliknya. Berdasarkan ketentuan

Perundang-undangan No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak memuat

ketentuan mengenai hapusnya perjanjian kredit. Namun, sesuai dengan asas lex

specialis derogat legi generalis maka ketentuan mengenai hapusnya perjanjian

kredit menggunakan ketentuan dalam buku III Bab IV KUH Perdata mengenai

hapusnya suatu perikatan. Pasal 1381 KUH Perdata memuat ketentuan tentang

hapusnya perikatan.112

Cara-cara mengenai hapusnya perikatan menurut Pasal 1381 KUH Perdata

yaitu karena pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti dengan

penyimpanan atau penitipan, pembaharuan utang perjumpaan uang atau

kompensasi, pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang

terutang, kebatalan/pembatalan, berlakunya syarat batal, dan lewatnya waktu. Pada

dasarnya perjanjian bersifat konsensuil, namun demikian ada perjanjian-perjanjian

tertentu yang mewajibkan dilakukan sesuatu tindakan yang lebih dari hanya sekedar

kesepakatan, sebelum pada akhirnya perjanjian tersebut dapat dianggap sah.113

Ketentuan dalam Undang-Undang memberikan kemungkinan bahwa suatu

perjanjian dapat batal ataupun dibatalkan, jika perjanjian tersebut dalam

pelaksanaannya akan merugikan kepentingan individu tertentu. Individu ini tidak

hanya pihak dalam perjanjian tersebut, tetapi termasuk juga setiap individu yang

merupakan pihak ketiga di luar para pihak yang mengadakan perjanjian. Pada

persoalan ini, pihak yang jika dengan dilaksanakannya perjanjian tersebut

112
Hartanto Hadisaputro, “Jaminan dalam Perjanjian Kredit”, Arloka, Surabaya, 2011,
hlm. 20
113
Ibid,
60

menderita kerugian dapat mengajukan pembatalan atas perjanjian tersebut baik

sebelum perjanjian itu dilaksanakan maupun setelah perjanjian tersebut

dilaksanakan.114

Bagi keadaan yang terakhir ini, Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUH Perdata

menentukan bahwa setiap kebatalan membawa akibat bahwa semua kebendaan dan

orang-orang dipulihkan sama seperti keadaan sebelum perjanjian dibuat. KUH

Perdata juga memberikan alasan tertentu kepada salah satu pihak dalam perjanjian

untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat olehnya.115 Alasan diatas dikenal

dengan alasan subyektif, karena berhubungan dengan diri dari subjek yang

menerbitkan perikatan tersebut. Adapun pembatalan perjanjian tersebut dapat

dimintakan apabila; pertama, telah terjadi kesepakatan secara palsu dalam suatu

perjanjian apabila dikarenakan telah terjadi kekhilafan, paksaan atau penipuan pada

salah satu pihak dalam perjanjian pada saat perjanjian itu dibuat (Pasal 1321 sampai

dengan Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata); dan kedua, apabila

salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak dalam hukum (Pasal

1330 hingga Pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).116

Selain itu suatu perjanjian dapat dikatakan ‘batal demi hukum’, jika terjadi

pelanggaran terhadap syarat objektif dari sahnya suatu perikatan. Kewajiban akan

adanya objek dalam perjanjian, dirumuskan dalam Pasal 1332 sampai dengan 1334

yang diikuti dengan Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1336 KUH Perdata yang

114
Hassanuddin Rahman, “Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia
(Panduan Dasar: Legal Officer)”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 69
115
Ibid,
116
Ibid, hlm. 72
61

mengatur mengenai rumusan klausa yang halal, yaitu klausa yang diperbolehkan

oleh hukum. Kemudian Pasal 1266 ayat (1) KUH Perdata juga menentukan bahwa

syarat-syarat batal dianggap selalu dimuat dalam setiap perjanjian. Selanjutnya

dalam ketentuan ayat (2) menyebutkan bahwa meskipun demikian, perjanjian

tersebut tidak dapat dibatalkan begitu saja tanpa adanya keputusan hakim yang

menyatakan batalnya perjanjian tersebut.117

C. Tinjauan Umum Jaminan

1. Jaminan dalam Pandangan Islam

Berkaitan dengan jaminan, keberadaannya sangat penting dalam perjanjian

kredit perbankan. Pada pembahasan sebelumnya, telah disampaikan bahwa islam

juga mengenal kredit. Kredit pada dasarnya boleh, yang tidak boleh adalah riba-

nya. Oleh karena itu, islam juga mengenal dengan yang namanya jaminan. Syariat

islam menganjurkan kepada manusia untuk bersosialisasi dengan sesamanya

dengan berbagai macam muamalah yang bisa diambil manfaatnya, yang telah diatur

dalam ajaran islam seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Pada zaman

ini manusia cenderung dituntut harus memenuhi kebutuhan hidupnya yang kurang

sesuai dengan kemampuannya, maka dari itu mereka lebih cenderung menjaminkan

barang-barangnya untuk menutupi kekurangannya. Pilihan tersebut sangat sesuai

dengan keinginan mereka, karena diharapkan barang tersebut akan bisa dimilikinya

kembali setelah membayar utangnya dan hal ini diperbolehkan dalam islam.

117
Ibid, hlm. 74
62

Al-qur’an secara jelas menyebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 283 yang

berbunyi:

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)

sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang

tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu

mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan

amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan

janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang

menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;

dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.118 Selain Al-Qur’an, juga

terdapat hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Siti Aisyah r.a, yang

berbunyi: “dari Aisyah r.a, bahwa Nabi Muhammad Saw pernah membeli makanan

dari seorang yahudi dengan cara berjanji dan dirungguhkannya (dijaminkannya)

sehelai baju besi”.

Jaminan dalam hukum Islam dibagi menjadi 2 (dua); jaminan yang berupa

orang dan jaminan yang berupa harta benda. Jaminan yang berupa orang sering

118
Kitab Suci Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 283
63

dikenal dengan istilah damman atau kafalah, sedangkan jaminan yang berupa harta

benda dikenal dengan istilah rahn. Secara etimologi, kafalah berarti al-damanah,

hamalah, dan za’amah. Ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang sama, yakni

menjamin atau menanggung.119 Sedangkan menurut terminologi kafalah

didefinisikan sebagai jaminan yang diberikan oleh kafil (penanggung) kepada pihak

ketiga atas kewajiban yang harus ditunaikan pihak kedua (tertanggung).120 Jaminan

tentunya mempunyai rukun, rukun adalah suatu hal yang wajib dipenuhi dan

terletak dalam ibadah atau muamalah. Rukun jaminan terdiri atas Ar-rahin dan Al-

murtahin yang berarti orang yang berakad, sighat yaitu adanya ijab dan qabul, Al-

marhun yaitu adanya barang yang dijadikan jaminan, dan Al-marhun bih yaitu

adanya utang.121

Syarat sahnya akad jaminan pada dasarnya terdiri atas berakal, baligh,

jaminan harus ada pada saat akad, dan jaminan harus dipegang orang yang

menerima jaminan. Pemegang jaminan dapat menjual apabila pemberi jaminan atau

yang berutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil

penjualan barang jaminan dapat digunakan untuk melunasi pinjaman, sedangkan

jika masih ada sisa maka sisanya dikembalikan kepada si berutang. Pemegang

jaminan berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk

menjaga keselamatan barang jaminan. Selama pinjaman belum dilunasi, pemegang

jaminan berhak menahan barang jaminan yang diserahkan si pemberi jaminan.122

119
Dr. Mardani, “Hukum Perikatan di Indonesia”, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 189
120
Ibid,
121
Rachmat Syafe’I, “Fiqih Muamalah”, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 160
122
Ibid, hlm. 161
64

2. Pengertian Hukum Jaminan

Tatanan hukum positif Indonesia memberikan istilah hukum jaminan yang

berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law.

Berdasarkan keputusan dalam seminar hukum jaminan yang diselenggarakan oleh

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman yang bekerja sama

dengan Universitas Gadjah Mada pada tanggal 9 Oktober sampai dengan tanggal

11 Oktober 1978 di Yogyakarta menyimpulkan bahwa istilah hukum jaminan itu

meliputi pengertian baik jaminan kebendaan maupun perorangan.123 Sehubungan

dengan pengertian hukum jaminan, pada dasarnya tidak banyak literatur yang

merumuskan pengertian dari hukum jaminan itu sendiri. Beberapa ahli seperti salah

satunya J. Satrio memberikan pendapat bahwa hukum jaminan adalah peraturan

hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap

debitor, singkatnya adalah hukum jaminan itu hukum yang mengatur tentang

jaminan piutang seseorang.124

Selain itu, pengertian hukum jaminan juga dapat dipahami melalui KUH

Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata menyebutkan bahwa jaminan adalah segala

kebendaan milik si berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik

yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan

untuk segala perikatan perseorang.125 Hukum jaminan apabila dipahami dari

123
Salim HS, “Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia”, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2008, hlm. 6
124
J. Satrio, “Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan”, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007, hlm. 3
125
Riky Rustam, Op. Cit, hlm. 41
65

definisi tersebut diatas, maka hukum jaminan mempunyai unsur-unsur sebagai

berikut:126

a. Adanya kaidah-kaidah hukum jaminan yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi serta kaidah-kaidah

hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam

masyarakat;

b. Adanya pemberi dan penerima jaminan, pemberi jaminan ialah orang-

orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada

penerima jaminan;

c. Adanya jaminan yang diserahkan oleh debitor kepada kreditor;

d. Adanya fasilitas kredit yang diawali dari pembebanan jaminan yang

dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas

kredit dari bank atau lembaga keuangan non-bank.

3. Macam-Macam Jaminan

Macam-macam jaminan dapat diketahui dari jenis jaminan sesuai dengan

lembaga jaminan yang dikenal dalam tata hukum Indonesia, antara lain:

a. Berdasarkan cara terjadinya, terdapat jaminan yang lahir karena

ditentukan oleh Undang-Undang dan jaminan yang lahir karena

perjanjian. Hal ini merupakan jaminan umum berdasarkan ketentuan

Pasal 1131 KUH Perdata yang berbunyi: “segala kebendaan si berutang,

baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah

126
Ibid, hlm. 43
66

maupun yang baru aka nada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk

segala perikatan perseorangan”. Pasal 1132 KUH Perdata kemudian

melanjutkan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama

bagi semua orang yang mengutang kepadanya; pendapatan penjualan

benda-benda itu dibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar

kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para

berpiutang itu ada alasan yang sah untuk didahulukan. Selain jaminan

umum yang ditentukan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata tersebut

diatas, jaminan yang lahir karena ditentukan oleh UU lainnya adalah hak

retensi sebagaimana yang diatur dalam sejumlah pasal-pasal KUH

Perdata, seperti dalam perjanjian sewa-menyewa (Buku III KUH

Perdata) pada gadai, pada bezitter yang jujur (Buku II KUH Perdata),

pada perjanjian pemberian kuasa, pada perjanjian perburuhan (Buku III

KUH Perdata) dalam KUH Dagang dan lain-lain. Sedangkan, jaminan

khusus berdasarkan perjanjian ialah perjanjian yang lahir dengan

diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak, jaminan ini dibuat secara

khusus dalam perjanjian dan dapat berbentuk jaminan yang bersifat

kebendaan atau yang bersifat perseorangan, tergolong jaminan ini adalah

hipotek, gadai, fidusia, penanggungan atau jaminan perorangan, hak

tanggungan dan lain-lain.

b. Berdasarkan bentuk golongannya, jaminan yang tergolong jaminan

umum dan jaminan khusus. Jaminan umum adalah jaminan yang

ditentukan oleh UU yang dalam hal ini ditentukan Pasal 1131 dan Pasal
67

1132 KUH Perdata sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan

jaminan yang lahir karena ditentukan oleh UU diatas. Sedangkan,

jaminan khusus ialah jaminan yang lahir karena adanya perjanjian

diantara para pihak, jaminan ini dapat berupa jaminan yang bersifat

kebendaan dan jaminan yang bersifat perorangan.

c. Berdasarkan sifatnya, jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan

yang bersifat perorangan. Jaminan yang bersifat kebendaan adalah

adanya benda tertentu yang dipakai sebagai jaminan, sedangkan jaminan

yang bersifat perorangan adalah adanya orang tertentu yang sanggup

membayar atau memenuhi prestasi jika debitor wanprestasi.

d. Berdasarkan obyeknya, maka jaminan yang mempunyai obyek benda

bergerak dan jaminan atas benda tidak bergerak. Pembedaan antara

jaminan benda bergerak dan jaminan benda tidak bergerak adalah

sebagai akibat dikenalnya perbedaan antara benda bergerak dengan

benda tidak bergerak. Pembagian benda menjadi benda bergerak dan

benda tidak bergerak dalam jaminan akan berdampak pada penentuan

jenis Lembaga jaminan yang akan dibebankan kepada masing-masing

jenis benda tersebut. Jika benda berupa benda bergerak maka Lembaga

jaminan yang dapat dibebankan adalah berbentuk gadai atau fidusia,

sedangkan jika benda berbentuk benda tidak bergerak (benda tetap) maka

Lembaga jaminan yang dapat dibebankan adalah berbentuk hipotek,

fidusia, dan hak tanggungan.


68

e. Berdasarkan kewenangan menguasai, jaminan yang menguasai bendanya

dan jaminan tanpa menguasai bendanya. Jaminan yang diberikan dengan

menguasai benda yang dijaminkan contohnya adalah gadai dan hak

retensi, sedangkan jaminan yang diberikan tanpa menguasai benda

contohnya adalah hipotek, fidusia dan privilege.

4. Jaminan dalam Pemberian Kredit Perbankan

Menurut Pasal 1 butir b Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia

No.23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit,

pengertian jaminan adalah keyakinan bank atas kesanggupan debitor untuk

melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.127 Berdasarkan pengertian

tersebut, sebenarnya syarat kredit perbankan tidaklah harus dengan jaminan.

Namun, adanya jaminan dalam pemberian kredit membuat keyakinan bank

terhadap debitor untuk mampu mengembalikan hutang kreditnya mudah terbangun.

Jaminan dilain sisi sebagai unsur pembangun keyakinan bank dalam pemberian

kredit, namun di sisi lain pula jaminan bukanlah syarat mutlak pemberian kredit.

Hal ini menunjukkan bahwa jaminan diberikan untuk melindungi kepentingan

kreditor, yaitu untuk menjamin dana yang telah dikeluarkan oleh kreditor dalam

suatu perikatan yang dilakukannya dengan debitor akan diterimanya kembali.

Jaminan memberikan kepastian hukum kepada kreditor bahwa debitor akan

127
Pasal 1 butir b Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR Tahun
1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit
69

mengembalikan dana yang telah diterimanya itu sesuai dengan perjanjian

pengikatan jaminan.128

Jaminan merupakan kebutuhan kreditor untuk memperkecil risiko jika

seandainya debitor tidak mampu menyelesaikan semua kewajiban yang timbul dari

utang atau kredit yang telah dikeluarkannya. Jika debitor tidak mampu membayar

utangnya maka kreditor dapat memaksakan pembayaran atas kredit yang telah

diberikannya tersebut.129 Jaminan akan memastikan jika debitor wanprestasi, maka

benda yang dijaminkan itu akan dilelang (dijual) dan uang hasil penjualan

kebendaan tertentu tersebut akan digunakan untuk pelunasan seluruh atau sebagaian

dari pinjaman atau utang debitor kepada kreditor. Dengan kata lain, jaminan

berfungsi sebagai sarana untuk menjamin pelunasan pinjaman atau utang debitor

apabila debitor wanprestasi sebelum pinjaman jatuh tempo atau utang tersebut

berakhir.130

Dalam perjanjian kredit, jaminan tidak hanya berfungsi untuk menjamin

pelunasan utang debitor, jaminan sangat berperan dalam merealisasikan pemberian

kredit kepada debitor, karena selain didasarkan adanya keyakinan atas kemampuan

debitor untuk melakukan pelunasan pemberian kredit juga didasarkan kepada

adanya agunan atau jaminan yang merupakan fisik (collateral) sebagai jaminan

tambahan. Hal ini dalam rangka menjalankan sistem kehati-hatian bank, sehingga

kredit yang disalurkan oleh bank dapat dipertanggungjawabkan apabila debitor

128
Riky Rustam, Op. Cit, hlm. 47
129
Badriyah Harun, Op. Cit, hlm. 67
130
Riky Rustam, Op. Cit, hlm. 48
70

wanprestasi. Agunan sebagai jaminan tambahan ini dimaksudkan untuk

memudahkan kreditor apabila debitor wanprestasi, bank dapat segera menerima

pelunasan utangnya melalui cara pelelangan atas agunan tersebut.131 Fungsi

jaminan dalam perjanjian kredit pada dasarnya ialah untuk menjadi pegangan bagi

yang berkepentingan terutama pihak bank. Bank merasa sangat aman dan percaya

dengan adanya jaminan dari pihak debitor atau nasabah karena apabila dikemudian

hari terjadi resiko wanprestasi, bank dapat menjual jaminan itu sebagai pengganti

pinjaman yang telah diberikan. Berhubungan dengan pemberian kredit bank

mengenai jaminan utang disebut jaminan kredit atau agunan mengingat jaminan

kredit umumnya dipersyaratkan dalam suatu pemberian kredit.132

Setiap pemberian kredit oleh perbankan, pada dasarnya mengandung resiko

sehingga adanya jaminan itu untuk memberikan perlindungan kepada bank sebagai

kreditor atas pemberian suatu kredit kepada nasabahnya.133 Jaminan adalah sarana

perlindungan bagi keamanan kreditor dalam hal ini bank, yaitu kepastian atas

pelunasan utang debitor atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitor atau oleh

penjamin debitor. Keberadaan jaminan merupakan persyaratan untuk memperkecil

risiko bank dalam menyalurkan kredit. Meskipun demikian, secara prinsip jaminan

bukan sebagai syarat utama karena bank lebih memprioritaskan kelayakan usaha

yang dibiayainya sebagai jaminan utama bagi pengembalian kredit sesuai dengan

jadwal yang disepakati bersama. Jaminan merupakan alternatif terakhir, jika

131
Muhammad Djumhana, Op. Cit, hlm. 382
132
Newfriend N. Sambe, “Fungsi Jaminan Terhadap Pemberian Kredit Oleh Pihak Bank
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998”, Jurnal Hukum, Vol. V/No.4/April-Juni, 2016,
hlm. 77
133
Johannes Ibrahim Kosasih, Op. Cit, hlm. 19
71

kelayakan usaha atas prospek bisnis debitor tidak mendukung lagi untuk

pengembalian kredit dalam langkah menarik kembali dana yang telah disalurkan.

Langkah antisipatif dalam menarik kembali dana yang telah disalurkan

kepada debitor, jaminan hendaknya mempertimbangkan 2 (dua) faktor seperti

faktor secured dan faktor marketable.134 Maksud dari faktor secured adalah jaminan

kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan

hukum dan perundang-undangan. Jika di kemudian hari terjadi wanprestasi dari

debitor, maka bank memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi.

Sedangkan, faktor marketable adalah jaminan tersebut bila hendak dieksekusi,

dapat segera dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitor.135

5. Perkembangan Hukum Jaminan dalam Sistem Perbankan Nasional

Jaminan pada prinsipnya bukan syarat mutlak dalam pemberian kredit.

Jaminan adalah sarana pembangun keyakinan bank terhadap debitor untuk

diberikan fasilitas kredit. Keberadaan jaminan adalah alat pelindung bank, jika

dikemudian hari debitor wanprestasi. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat

dipahami bahwa sebagian besar dalam praktek pemberian kredit tentu ada jaminan

yang diminta bank terhadap debitor. Jenis jaminan dalam perjanjian kredit tentunya

tergantung dari kesepakatan dua belah pihak, untuk kemudian bank yang

memutuskan apakah jaminan tersebut dapat dijadikan sebagai jaminan kredit

dengan maksimal nominal kredit berapa dan sebagainya.

134
Ibid, hlm. 21
135
Ibid,
72

Pada hukum jaminan, jaminan dapat dibedakan menjadi jaminan umum dan

jaminan khusus. Pada ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata menyebutkan bahwa

jaminan adalah segala kebendaan milik si berutang, baik yang bergerak maupun

yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada dikemudian

hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.136 Ketentuan Pasal

1131 KUH Perdata tersebut menunjukkan bahwa jaminan umum adalah bentuk

jaminan yang dibebankan kepada seluruh harta debitor dan ditujukan kepada

seluruh kreditor. Kalimat ‘dibebankan kepada seluruh harta debitor’ memiliki

pengertian bahwa jika debitor tidak memperjanjikan adanya suatu jaminan khusus,

maka seluruh harta yang dimiliki debitor baik yang bergerak maupun yang tidak

bergerak dan yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, semuanya

menjadi jaminan atas utang debitor. Ketentuan ini kemudian diperjelas dengan

kalimat ‘ditujukan kepada seluruh kreditor’ yang berarti bahwa jaminan yang

diberikan tidak diperuntukkan hanya untuk kreditor tertentu saja melainkan untuk

seluruh kreditor.137

Kemudian, jaminan khusus adalah solusi untuk menghindari terjadinya

resiko atau kelemahan yang ada pada jaminan umum. Jaminan khusus akan

membebani piutang yang dimiliki kreditor dengan menggunakan hak jaminan yang

bersifat khusus.138 Jaminan khusus sendiri dapat dibagi menjadi jaminan khusus

kebendaan dan jaminan khusus perorangan. Jaminan khusus kebendaan adalah

jaminan yang memberikan hak kebendaan kepada kreditor, hak kebendaan ini

136
Riky Rustam, Op. Cit, hlm. 70
137
Ibid,
138
Riky Rustam, Loc. Cit
73

mempunyai ciri-ciri ‘kebendaan’ yaitu memberikan hak untuk mendahului atas

benda-benda tertentu yang mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda-benda

tersebut. Jaminan kebendaan sendiri dapat diberikan dengan benda bergerak

maupun benda tidak bergerak. Klasifikasi jaminan kebendaan terdiri atas gadai,

jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, dan jaminan resi gudang.139

Sedangkan, jaminan khusus perorangan dapat dibagi menjadi jaminan

perorangan (Borgtoch) dan corporate guarantee. Jaminan perorangan adalah suatu

perjanjian antara seorang berpiutang atau kreditor dengan seorang ketiga yang

menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berutang atau debitor.140 Ketentuan

jaminan perorangan dapat ditemukan dalam Pasal 1820 KUH Perdata yang

menyebut jaminan perorangan sebagai penanggung utang. Pasal tersebut

menyebutkan bahwa jaminan perorangan adalah suatu perjanjian dengan mana

seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk

memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.

Kemudian, mengenai corporate guarantee yang pada dasarnya tidak ada perbedaan

khusus dengan borgtoch karena keduanya sama-sama jaminan yang diberikan pihak

ketiga untuk menjamin dilunasinya utang debitor kepada kreditor. Perbedaan

pokoknya hanyalah terletak pada siapa pihak ketiga yang memberikan jaminan

tersebut. Jika dalam borgtoch yang memberikan jaminan adalah orang-perorangan

(manusia), dalam corporate guarantee yang memberikan jaminan pelunasan utang

139
Ibid, hlm. 75-78
140
Ibid, hlm. 79
74

itu adalah badan hukum baik berupa perseroan terbatas, bank maupun lembaga

penjamin (surety bond).141

Seiring dengan perkembangan hukum jaminan itu sendiri, saat ini dalam

praktek pemberian kredit jaminan tidak hanya seperti yang telah disebutkan di atas.

Hukum jaminan yang terus berkembang, memunculkan jenis jaminan baru.

Perkembangan hukum jaminan tersebut berdampak kepada jaminan dalam sebuah

perjanjian kredit perbankan. Pada pemberian kredit perbankan, baru-baru ini

ditemukan adanya pemberian kredit yang jaminannya hanya berupa gaji si debitor

yang dibayarkan oleh perusahaan dimana debitor itu bekerja melalui rekening bank

yang hendak memberikan fasilitas kredit si debitor. Apabila dicermati, pada

dasarnya jaminan berupa gaji tersebut tidaklah masuk ke dalam jenis jaminan

manapun sebagaimana telah disebutkan diatas. Namun, jaminan seperti gaji dalam

pemberian kredit itu tetaplah dimungkinkan karena kembali lagi jika jaminan

bukanlah syarat mutlak dalam pemberian kredit. Selama bank yakin hendak

memberikan kredit dengan jaminan gaji debitor, maka kredit dapat diberikan.

Setiap bank mempunyai standar penilaiannya sendiri dalam pemberian kredit

disamping tetap memperhatikan mekanisme dan prosedur yang telah diatur dalam

peraturan perundang-undangan.

Selain jaminan umum dan jaminan khusus, di lain sisi masih dikenal dengan

adanya hak istimewa (previlege), hal tersebut dikarenakan mengikuti

perkembangan zaman dan peningkatan pelayanan perbankan.142 hal tersebut dilatar

141
Ibid, hlm. 80
142
J. Satrio, Loc. Cit
75

belakangi oleh banyak ditemukannya dalam praktek bahwa jaminan-jaminan lain

yang tidak dapat dimasukkan kedalam jenis jaminan umum maupun jaminan

khusus, yaitu dalam wujud ijazah, surat pensiun, dan lain-lain yang berupa jaminan

benda tertentu atau sekelompok benda tertentu, tetapi tidak mempunyai sifat hak

kebendaan dan bukan pula merupakan jaminan perorangan.143 Ijazah sangat erat

kaitannya dengan pemiliknya, sehingga bagi orang lain tidak akan memiliki arti

yang dalam hal ini adalah arti dari segi ekonomi. Namun, dapat dimungkinkan

bahwa jika kreditor yang memegang ijazah sebagai jaminan mempunyai kedudukan

yang lebih baik dari pada kreditor biasa karena kreditor pemegang jaminan ijazah

mempunyai sarana penekan secara psikologis yang memberikan kepadanya

kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan pelunasan.144

Terkait dengan jaminan berupa gaji dalam pemberian kredit, maka jaminan

gaji tersebut tidak termasuk ke dalam jaminan umum maupun jaminan khusus.

Jaminan dalam bentuk gaji tersebut lebih kepada hak istimewa (privilege), karena

jaminan dalam bentuk gaji tersebut sama halnya dengan ijazah yang telah dijelaskan

diatas. Hak privilege yang dimaksud dalam hal ini berbeda dengan droit de

preference. Maksudnya, droit de preference adalah hak mendahului yang dimiliki

oleh kreditor atas benda-benda tertentu yang dijaminkan pada kreditor tersebut.

Atas hasil penjualan benda-benda tersebut, kreditor berhak mendapatkan pelunasan

utang debitor terlebih dahulu. Sedangkan hak privilege bukan hak untuk

143
Ibid,
144
Sovia Hasanah, Kedudukan SK PNS Sebagai Jaminan Utang, terdapat dalam
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5373/kedudukan-sk-pns-sebagai-
jaminanutang/ diakses terakhir tanggal 13 Maret 2021 pada Pukul 20.43 WIB
76

mendapatkan pelunasan utang terlebih dahulu atas penjualan barang-barang

tertentu yang dijaminkan pada pemegang hak privilege. Akan tetapi pemegang hak

privilege berhak untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan

benda debitor (apapun itu).145

D. Tinjauan Umum Prinsip Mengenal Nasabah

1. Pengertian Prinsip Mengenal Nasabah

Hal pokok dalam kegiatan usaha bank tentunya adalah mengenai nasabah.

Oleh karena itu, kehadiran prinsip-prinsip dalam perbankan perlu untuk diterapkan.

Ketika nasabah mengajukan permohonan kredit, maka salah satu prinsip yang

penting diterapkan adalah prinsip mengenal nasabah. Prinsip ini pada dasarnya

adalah prinsip yang berfungsi untuk mengetahui identitas nasabah, memantau

kegiatan transaksi nasabah, dan pelaporan transaksi yang mencurigakan.146

Penerapan prinsip mengenal nasabah ini dapat diterapkan kepada nasabah bank

biasa (face to face customer) maupun nasabah tanpa berhadapan (non-face to face

customer), seperti nasabah yang melakukan transaksi melalui telepon, surat

menyurat, dan electronik banking.147

Prinsip mengenal nasabah ini merupakan salah satu metode untuk menjaga

tingkat kesehatan bank. Prinsip mengenal nasabah juga berperan penting dalam

145
Letezia Tobing, “Perbedaan Droit de Preference dan Hak Privilege” terdapat dalam
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt547a9355c4b95/perbedaan-droit-de-
preference-dan-hak-privilege/ diakses terakhir tanggal 13 Maret 2021 pada Pukul 21.05 WIB
146
Neni Sri Imaniyati, Loc. Cit
147
Munir Fuady, Loc. Cit
77

mencegah upaya penipuan, pencurian dan pencucian uang serta pendanaan

teroris.148 Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) adalah

suatu prinsip yang mewajibkan bank untuk terlebih dahulu mengenali nasabahnya

sebelum melakukan transaksi dengan nasabah yang bersangkutan. Prinsip

mengenal nasabah tidak hanya berlaku bagi lembaga perbankan saja, tetapi juga

berlaku bagi lembaga keuangan non-bank. Ketentuan prinsip mengenal nasabah

untuk lembaga keuangan non-bank dikeluarkan oleh instansi yang berwenang

mengawasi kegiatan masing-masing perusahaan jasa keuangan di Indonesia.149

2. Dasar Hukum Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah

Kewajiban pokok yang harus dilaksanakan oleh bank dalam peraturan

prinsip mengenal nasabah, yaitu menetapkan kebijakan penerimaan nasabah,

menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi nasabah, menetapkan

kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah serta

menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko.150 Bagi bank yang telah

menggunakan media elektronik (internet banking) dalam pelayanan jasa perbankan,

wajib melakukan pertemuan dengan calon nasabah, sekurang-kurangnya ketika

pembukaan rekening dan bila perlu bank harus melakukan wawancara dengan calon

nasabahnya. Ketentuan mengenal nasabah juga berlaku bagi nasabah-nasabah lama

148
M. Haidar Ma’ruf, “Prinsip Mengenal Nasabah Sebagai Upaya Perusahaan Perbankan
dalam Mengatasi Kredit Macet Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003
(Studi di BRI Cabang Brebes)”, Skripsi, Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang, 2018, hlm. 46
149
Muhammad Muallif Heru Wicaksono, “Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah dalam
Transaksi Perbankan Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money
Laundering) (Studi Kasus Bank BRI Cabang Somba Opu Tahun 2013)”, Skripsi, Ilmu Hukum
Universitas Hasanuddin Makasar, 2016, hlm. 37
150
M. Haidar Ma’ruf, Op. Cit, hlm. 53
78

dengan melengkapi data-data sesuai peraturan Bank Indonesia.151 Adanya prinsip

mengenal nasabah, ditujukan untuk melindungi kepentingan bank dari tindakan dan

transaksi nasabah yang dapat menimbulkan kerugian pada bank. Walaupun tujuan

prinsip ini untuk melindungi kepentingan bank, namun bank merasa adanya

ketentuan prinsip mengenal nasabah tersebut dapat mengurangi volume

nasabahnya, hal ini dikarenakan banyak nasabah yang merasa kurang nyaman

dengan adanya ketentuan ini.152

Bank Indonesia juga telah mengeluarkan surat edaran tentang sanksi

terhadap bank yang tidak menerapkan prinsip mengenal nasabah dalam setiap

transaksi bank yang dilakukan. Tentu saja hal ini membuat lembaga perbankan

dalam keadaan yang sangat dilematis. Namun, jauh sebelum Bank Indonesia

mengeluarkan surat edaran tentang sanksi, Bank Indonesia telah memberikan dasar

hukum untuk diterapkannya prinsip mengenal nasabah, diantaranya yaitu:153

a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan

Prinsip Mengenal Nasabah

b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan

Kedua Atas PBI Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip

Mengenal Nasabah

151
Ibid, hlm. 54
152
Ibid,
153
Ibid, hlm. 55
79

c. Surat Edaran Bank Indonesia kepada semua bank umum di Indonesia

Nomor 3/29/DPNP tentang Standar Penerapan Prinsip Mengenal

Nasabah

d. Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/32/DPNP tentang perubahan atas

Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/29/DPNP tentang Standar Penerapan

Prinsip Mengenal Nasabah

Selain Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan juga mengeluarkan regulasi

mengenai prinsip mengenal nasabah. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 22/POJK.04/2014 tentang Prinsip Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa

Keuangan di Pasar Modal dirilis agar penyedia jasa keuangan di sektor pasar modal

dapat beroperasi secara sehat dan berdaya saing global, namun pertumbuhan

investor domestik tetap dapat ditingkatkan. Selain itu, POJK ini dirilis untuk

melengkapi peraturan perundang-undangan yang mengatur hal terkait.

3. Sanksi Terhadap Pelanggaran Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah

Penerapan prinsip mengenal nasabah, dalam prakteknya juga dikenal dalam

rangka penerapan prinsip kehati-hatian dalam seluruh kegiatan usaha perbankan.

Prinsip mengenal nasabah tersebut diterapkan selain untuk menjaga tingkat

kesehatan bank maka juga untuk mencegah terjadinya tindak pidana seperti tindak

pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Meskipun, adanya prinsip

mengenal nasabah ini terkadang membuat pihak bank menjadi dilema karena tidak

semua nasabah ingin informasi pribadinya diketahui oleh bank dan membuat

volume nasabah menjadi berkurang. Namun, bank tetaplah harus berkewajiban


80

untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah karena adanya prinsip tersebut sudah

diatur dalam berbagai dasar hukum sebagaimana telah disebutkan diatas.

Apabila prinsip mengenal nasabah tersebut tidak diterapkan oleh bank,

maka terdapat sanksi yang dapat dikenakan terhadap bank. Hal tersebut

dikarenakan prinsip mengenal nasabah merupakan salah satu prinsip yang harus

dipegang teguh oleh bank dalam melaksanakan setiap kegiatannya, tentu saja

pelaksanaan prinsip mengenal nasabah (know your customer principles) harus

didukung oleh pengenaan suatu sanksi apabila prinsip ini dilanggar. Hal ini

bertujuan agar prinsip ini mempunyai kepastian hukum dan kekuatan berlaku dalam

pelaksanaannya, sama halnya dengan asas kerahasiaan bank (bank secrecy) sebagai

salah satu asas yang wajib diterapkan oleh lembaga perbankan. Berkenaan dengan

pengenaan sanksi ini, Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan mengenai

sanksi terhadap bank yang tidak menerapkan prinsip mengenal nasabah dalam

setiap kegiatannya, yaitu berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor

6/37/DPNP tentang Penilaian dan Pengenaan Sanksi atas Penerapan Prinsip

Mengenal Nasabah dan Kewajiban Lain Terkait dengan Undang-Undang Tindak

Pidana Pencucian Uang.154

Sebelum Bank Indonesia memberikan sanksi, terlebih dahulu Bank

Indonesia melakukan penilaian terhadap penerapan prinsip mengenal nasabah yang

telah dilakukan oleh bank yang bersangkutan. Penilaian ini berkaitan dengan

ketentuan manajemen risiko yang telah ditentukan dalam PBI tentang Prinsip

154
Muhammad Muallif Heru Wicaksono, Op. Cit, hlm. 45
81

Mengenal Nasabah.yang meliputi pengawasan oleh pengurus bank, pendelegasian

wewenang, pemisahan tugas, sistem pengawasan intern, dan program pelatihan

karyawan mengenai prinsip mengenal nasabah. Prinsip mengenal nasabah yang

diterapkan oleh suatu bank cukup dengan melihat diterapkannya ketentuan

manajemen risiko oleh suatu bank tersebut, maka akan diketahui seberapa jauh

prinsip mengenal nasabah telah diterapkan. Berdasarkan hal inilah Bank Indonesia

memberikan penilaian terhadap bank-bank yang telah menerapkan prinsip

mengenal nasabah dalam setiap kegiatannya.155

Penilaian yang diberikan Bank Indonesia ada 5 (lima) kategori, yaitu nilai 1

(satu) bagi bank yang telah menerapkan prinsip mengenal nasabah dengan sangat

bagus, dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sangat efektif untuk

mengurangi risiko-risiko yang dihadapi oleh bank yang bersangkutan. Nilai 1 (satu)

ini juga diberikan terhadap bank-bank yang aktif dalam memberikan laporan

tentang transaksi keuangan yang mencurigakan. Nilai yang berikutnya adalah nilai

2 (dua), yang diberikan terhadap bank yang menerapkan prinsip mengenal nasabah

dengan bagus. Selanjutnya nilai 3 (tiga), yaitu penerapan prinsip yang tergolong

cukup bagus, dan nilai 4 (empat) bagi bank yang menerapkan prinsip mengenal

nasabah dengan kurang baik. Serta yang terakhir nilai 5 (lima), yang diberikan pada

bank-bank yang tergolong tidak baik dalam menerapkan prinsip mengenal nasabah

dalam setiap kegiatannya. Hal ini dikarenakan bank yang bersangkutan tidak bisa

mengurangi risiko-risiko yang dihadapinya, dan tidak aktifnya kewajiban pelaporan

155
Ibid, hlm. 46
82

yang ditentukan dalam PBI tentang Prinsip Mengenal Nasabah berkenaan dengan

transaksi keuangan yang mencurigakan.156

Setelah dilakukannya penilaian-penilaian di atas, maka Bank Indonesia

akan memberikan sanksi terhadap bank-bank yang tidak menerapkan prinsip

mengenal nasabah dengan baik dalam setiap kegiatannya, yaitu bank-bank yang

termasuk dalam kategori nilai 5 (lima). Sanksi yang akan diberikan oleh Bank

Indonesia terhadap bank-bank yang termasuk dalam kategori nilai 5 (lima) ini

adalah berupa penurunan tingkat kesehatan bank yang bersangkutan, dan

pemberhentian pengurus bank melalui mekanisme penilaian kelayakan dan

kepatutan (fit and proper test). Pemberhentian pengurus bank dilakukan apabila

pengurus bank yang bersangkutan tidak melaksanakan langkah-Iangkah yang

diperlukan dalam mematuhi dan melaksanakan ketentuan prinsip mengenal

nasabah. Selain bank-bank yang termasuk dalam kategori nilai 5 (lima) ini, Bank

Indonesia juga akan memberikan sanksi administratif dan teguran tertulis terhadap

bank-bank yang melakukan pelanggaran ketentuan prinsip mengenal nasabah yang

telah diatur dalam PBI, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan pelaporan

transaksi keuangan mencurigakan dan keterlambatan penyampaian pedoman

prinsip mengenal nasabah oleh bank yang bersangkutan.157

Dengan adanya sanksi ini, diharapkan semua bank yang ada di Indonesia

dapat menerapkan prinsip mengenal nasabah dengan sebaik-baiknya, agar terhindar

dari risiko-risiko yang timbul akibat transaksi yang dilakukan oleh bank itu sendiri

156
Ibid, hlm. 47
157
Ibid,
83

walaupun Bank Indonesia sudah mengeluarkan ketentuan mengenai sanksi atas

pelanggaran prinsip mengenal nasabah. Namun, tidak bisa dipungkiri masih ada

bank yang tidak menerapkan prinsip ini dalam setiap kegiatannya. Hal ini

dikarenakan ketentuan prinsip ini dianggap dapat merugikan bank dan mengurangi

volume nasabah.158

E. Tinjauan Umum Kredit Bermasalah

1. Pengertian Kredit Bermasalah

Setiap pemberian kredit itu mengandung sebuah resiko, yaitu resiko kredit.

Terlebih dalam praktek kredit tanpa agunan, peluang resiko kredit menjadi semakin

lebar. Oleh karena itu, kredit yang tidak berjalan lancar ini dikenal dengan istilah

kredit bermasalah. Kredit bermasalah merupakan suatu resiko yang terkandung

dalam sebuah pemberian kredit oleh bank, resiko tersebut berupa keadaan dimana

kredit tidak dapat kembali tepat pada waktunya.159 Suatu perjanjian kredit dikatakan

kredit bermasalah apabila debitor mengingkari janjinya membayar bunga dan/atau

kredit induk yang telah jatuh tempo, sehingga terjadi keterlambatan pembayaran

atau sama sekali tidak ada pembayaran, dengan demikian mutu kredit menjadi

merosot.160

Berdasarkan konsep perbankan, definisi kredit bermasalah adalah kredit

yang berada pada klasifikasi diragukan dan macet. Istilah ‘diragukan’ dan ‘macet’

158
Ibid, hlm. 48
159
Hermansyah, Loc. Cit
160
Bekti Kristiantoro, Loc. Cit
84

di sini mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang dianut oleh perbankan

Indonesia. Sehingga berdasarkan beberapa definisi tersebut diatas, menimbulkan

berbagai pertanyaan mengenai apakah kredit macet itu sama dengan kredit

bermasalah. Maka, setiap kredit macet merupakan kredit bermasalah namun belum

tentu kredit bermasalah adalah kredit macet.161

2. Faktor Penyebab Kredit Bermasalah

Pemberian kredit itu pada dasarnya mengandung resiko. Resiko kredit itu

sering dikenal dengan kredit bermasalah. Penyebab kredit bermasalah itu beragam,

dikarenakan kompleksnya ruang lingkup perjanjian kredit itu sendiri yang

didalamnya juga terkandung kompleksnya resiko. Faktor penyebab kredit

bermasalah dapat dibagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor

internal penyebab kredit bermasalah ialah seperti; kebijakan perkreditan yang

ekspansif, penyimpanan dalam pelaksanaan prosedur perkreditan, itikad kurang

baik dari pemilik, pengurus atau pegawai bank, lemahnya sistem administrasi dan

pengawasan kredit serta lemahnya sistem informasi kredit bermasalah. Sedangkan,

faktor eksternal penyebab kredit bermasalah adalah karena penurunan kegiatan

ekonomi dan tingginya tingkat bunga kredit, pemanfaatan iklim persaingan

perbankan yang tidak sehat oleh debitor, kegagalan usaha debitor dan debitor

mengalami musibah.162

Berkaitan dengan faktor penyebab kredit bermasalah baik faktor internal

maupun faktor eksternal seperti yang telah diuraikan diatas, tidak semua kredit

161
Mahmoeddin, Loc. Cit
162
Dahlan Siamat, “Manajemen Lembaga Keuangan”, LPEE UI, Jakarta, 2001, hlm. 175
85

bermasalah terjadi karena faktor-faktor tersebut mengingat pada faktanya penyebab

kredit bermasalah itu beragam dan yang pasti penyebab kredit bermasalah itu dapat

berasal dari pihak debitor maupun kreditor, sehingga sangat wajar apabila penyebab

kredit bermasalah itu beragam mengingat setiap pemberian kredit oleh perbankan

itu pasti mengandung sebuah resiko. Apabila penyebab kredit bermasalah itu dilihat

dari berbagai sudut pandang, maka dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Sudut pandang pemberi kredit (kreditor atau bank), Artinya dalam

melakukan analisisnya, pihak analisis kurang teliti, sehingga apa yang

seharusnya terjadi, tidak diprediksi sebelumnya atau mungkin salah

dalam melakukan perhitungan. Dapat pula terjadi akibat kolusi dari pihak

analisis kredit dengan pihak debitur sehingga dalam analisisnya

dilakukan secara subjektif.

b. Sudut pandang penerima kredit (debitor atau nasabah), adanya unsur

kesengajaan atau dalam hal ini nasabah sengaja untuk tidak membayar

kewajibanya kepada bank sehingga kredit yang diberikan macet.

Kemudian, adanya unsur tidak sengaja. Artinya si debitor mau membayar

akan tetapi tidak mampu. Contohnya kredit yang dibiayai mengalami

musibah seperti kebakaran, hama, kebanjiran dan sebagainya. Sehingga

kemampuan untuk membayar kredit tidak ada.

Berkaitan dengan kredit macet pihak bank perlu melakukan penyelamatan,

sehingga tidak akan menimbulkan kerugian. Penyelamatan yang dilakukan apakah

dengan memberikan keringanan berupa jangka waktu atau angsuran terutama bagi

kredit terkena musibah atau melakukan penyitaan bagi kredit yang sengaja lalai
86

untuk membayar. Terhadap kredit yang mengalami kemacetan sebaiknya dilakukan

penyelamatan sehingga bank tidak mengalami kerugian.163

3. Penyelamatan dan Penyelesaian Kredit Bermasalah

Kredit bermasalah belum tentu kredit macet. Namun, ketika suatu perjanjian

kredit itu bermasalah. Bank harus segera mengambil tindakan. Hal tersebut

dikarenakan, dampak dari kredit bermasalah itu sangatlah besar dan harus segera

ditangani. Penanganan kredit bermasalah adalah kecepatan pengembalian biaya

yang seminimal mungkin menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam upaya

bank mengatasi permasalahan kredit bermasalah.164 Menangani kredit bermasalah,

pimpinan bank harus tetap berpegang pada pedoman pokok-pokok penanganan

kredit bermasalah, yaitu usaha penyelamatan kredit secara maksimal.165 Upaya

penyelamatan kredit dapat ditempuh dengan jalur hukum maupun jalur non-hukum.

Upaya penyelamatan kredit melalui jalur non-hukum dapat dilakukan dengan cara

seperti penjadwalan kembali (rescheduling); persyaratan kembali (reconditioning);

dan penataan kembali (restructuring).166

Sedangkan, upaya penyelamatan kredit melalui jalur hukum dapat

dilakukan dengan cara seperti somasi; gugatan kepada debitur melalui pengadilan

negeri; eksekusi putusan pengadilan; eksekusi akta pengakuan utang; eksekusi hak

tanggungan; parate eksekusi hak tanggungan; eksekusi terhadap penjamin;

163
Kasmir, “Bank & Lembaga Keuangan Lainnya”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2007, hlm. 109
164
Badriyah Harun, Loc. Cit
165
Siswanto Sutojo, Loc. Cit
166
Badriyah Harun, Loc. Cit
87

Lembaga paksa badan; dan kepailitan melalui pengadilan niaga.167 Lebih detail

terkait dengan penyelamatan kredit yang bermasalah atau kredit macet, dapat

dilakukan dengan berpedoman kepada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor

26/4/BPPP tertanggal 29 Mei 1993 yang pada asasnya mengatur mengenai

penyelamatan kredit bermasalah sebelum diselesaikan melalui lembaga hukum

ialah melalui alternatif penanganan secara penjadwalan kembali (rescheduling),

persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring).

Berikut adalah penjabarannya secara rinci:168

a. Rescheduling, yaitu upaya hukum untuk melakukan perubahan terhadap

beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan jadwal

pembayaran kembali/jangka waktu kredit termasuk tenggang (grace

period), termasuk perubahan jumlah angsuran. Bila perlu dengan

penambahan kredit.

b. Reconditioning, yaitu melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh

persyaratan perjanjian, yang tidak terbatas hanya kepada perubahan

jadwal angsuran, dan/atau jangka waktu kredit saja. Tetapi perubahan

kredit tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa melakukan

konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity

perusahaan.

c. Restructuring, yaitu upaya berupa melakukan perubahan syarat-syarat

perjanjian kredit berupa pemberian tambahan kredit, atau melakukan

167
Hartono Hadi Saputro, Loc. Cit
168
Hermansyah, Op. Cit, hlm. 76
88

konversi atas seluruh atau sebagian kredit menjadi perusahaan, yang

dilakukan dengan atau tanpa rescheduling dan/atau reconditioning.

Ketika kredit itu benar-benar tidak dapat diselamatkan melalui ketiga cara

tersebut diatas. Maka sebagai Langkah terakhir adalah melalui jalur hukum atau

badan peradilan. Apabila melalui badan peradilan maka kepastian hukumnya baru

ada setelah putusan pengadilan itu memperoleh kekuatan hukum tetap. Mengingat

penyelesaian melalui badan peradilan itu membutuhkan waktu yang relatif lama,

maka penyelesaian kredit bermasalah itu dapat pula melalui lembaga-lembaga lain

yang kompeten dalam membantu menyelesaikan kredit bermasalah. Kehadiran

lembaga-lembaga lain itu dimaksudkan dapat mewakili kepentingan kreditor dan

debitor dalam penanganan kredit macet.169

Penyelesaian kredit bermasalah itu dapat berupa penyelesaian melalui

Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang

Negara (DJPLN), melalui badan peradilan, dan melalui arbitrase atau badan

alternatif penyelesaian sengketa. Baik Panitia Urusan Piutang Negara dan

Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara adalah lembaga yang dibentuk

pemerintah khusus untuk menyelesaikan utang kepada negara atau utang kepala

badan-badan, baik secara langsung maupun tidak langsung dikuasai negara. Tujuan

utama dibentuknya lembaga tersebut adalah untuk mempercepat, mempersingkat,

dan mengefektifkan penagihan piutang negara. Penyelesaian kredit bermasalah

melalui Panitia Urusan Piutang Negara dan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang

169
Ibid, hlm. 77
89

Negara telah memposisikan kedua lembaga tersebut sebagai lembaga mediator

antara bank sebagai kreditor dengan debitor, walaupun sebenarnya menurut

peraturan perundang-undangan lembaga ini memiliki kewenangan sebagai

eksekutor. Selain itu, penyelesaian kredit bermasalah bisa juga melalui badan

peradilan. Melalui mekanisme ini apabila debitor tidak memenuhi kewajibannya,

maka setiap kreditor bisa mengajukan gugatan untuk memperoleh keputusan

pengadilan. Peradilan yang dapat menyelesaikan dan menangani kredit bermasalah

adalah badan peradilan umum melalui gugatan perdata, dan peradilan niaga melalui

gugatan kepailitan.170

Mekanisme penyelesaian kredit bermasalah selain yang telah disebutkan

diatas, dapat pula melalui arbitrase atau badan alternatif penyelesaian sengketa.

Penyelesaian kredit bermasalah melalui mekanisme ini tunduk dan berpedoman

pada ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang bisa dijalankan apabila dalam perjanjian

kredit dimuat klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase sendiri yang dibuat para

pihak setelah timbulnya kredit bermasalah tersebut. Cara penyelesaian ini

dilakukan oleh lembaga arbitrase, yaitu suatu badan yang dipilih oleh para pihak

yang bersengketa, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu.171

4. Penggolongan Kualitas Kredit Perbankan

Penggolongan kredit pada dasarnya digunakan untuk memberikan

gambaran mengenai kualitas kredit itu sendiri. Berdasarkan Peraturan Bank

170
Ibid, hlm. 79
171
Ibid,
90

Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum,

diklasifikasikan kualitas dari kredit itu sendiri. Ketentuan Pasal 10 menyatakan jika

kualitas kredit itu ditetapkan berdasarkan faktor penilaian dari prospek usaha,

kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar.172 Apabila merujuk

kepada ketentuan Pasal 12 ayat (1) yang pada intinya menyatakan penetapan

kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis terhadap faktor penilaian

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dengan mempertimbangkan komponen-

komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.173

Pasal 11 ayat (1) pada intinya menyatakan penilaian terhadap prospek usaha

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a meliputi penilaian terhadap

komponen-komponen potensi pertumbuhan usaha, kondisi pasar dan posisi debitur

dalam persaingan, kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja, dukungan

dari grup atau afiliasi dan upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara

lingkungan hidup. Selanjutnya Pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa penilaian

terhadap kinerja debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b meliputi

penilaian terhadap komponen-komponen perolehan laba, struktur permodalan arus

kas dan sensitivitas terhadap risiko pasar.174

Pasal 11 ayat (3) intinya menyatakan penilaian terhadap kemampuan

membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c meliputi penilaian

terhadap komponen-komponen seperti ketepatan pembayaran pokok dan bunga,

172
Yudhana Hendra Pramapta, “Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian
Kredit (Analisis Terhadap SK ASN Sebagai Jaminan Kredit di Bank BPD DIY Cabang Pembantu
Ngaglik)”, Skripsi, Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2020, hlm. 96
173
Ibid,
174
Ibid,
91

ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan debitur, kelengkapan dokumentasi

kredit, kepatuhan terhadap perjanjian kredit, kesesuaian penggunaan dana, dan

kewajaran sumber pembayaran kewajiban.175 Selanjutnya, baru kemudian kredit

tersebut dinilai kualitasnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (3) kualitas kredit

dapat ditetapkan menjadi kredit lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar,

diragukan dan/atau macet.176 Mengenai kualitas kredit tersebut dapat diuraikan

sebagai berikut:177

a. Kredit lancar, jika memenuhi kriteria seperti pembayaran angsuran

pokok dan/bunga tepat, memiliki mutasi rekening yang aktif atau bagian

dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai.

b. Kredit dalam perhatian khusus, yaitu jika memenuhi kriteria seperti

terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang belum

melampaui 90 hari, kadang-kadang terjadi cerukan, mutasi rekening

relatif rendah, jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang

diperjanjikan atau didukung oleh pinjaman baru.

c. Kredit kurang lancar, yaitu jika memenuhi kriteria seperti terdapat

tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 hari,

sering terjadi cerukan, frekuensi mutasi rekening relatif rendah, terjadi

pelanggaran kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari, terdapat

175
Ibid, hlm. 97
176
Pasal 12 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian
Kualitas Aset Bank Umum
177
Hermansyah, Op. Cit. hlm. 66-68
92

indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur atau dokumentasi

pinjaman yang lemah.

d. Kredit yang diragukan, yaitu jika memenuhi kriteria seperti terdapat

tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180

hari, sering terjadi cerukan yang bersifat permanen, terjadi wanprestasi

selama 180 hari, terjadi kapitalisasi bunga, atau dokumentasi hukum

yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun peningkatan jaminan.

e. Kredit macet, yaitu apabila memenuhi kriteria seperti terdapat tunggakan

angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari, kerugian

operasional ditutup dengan pinjaman baru, atau dari segi hukum maupun

kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar.


BAB III

PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH DAN MEKANISME

HUKUM KREDITOR TERHADAP DEBITOR KETIKA DEBITOR

DIPECAT ATAU MENINGGAL DUNIA DALAM PEMBERIAN KREDIT

INSTANSI DI BANK BPD DIY

A. Gambaran Umum Bank BPD DIY Kantor Pusat

1. Struktur Kelembagaan Bank BPD DIY Kantor Pusat

Bank BPD DIY didirikan pada tahun 1961, tanggal 15 Desember

berdasarkan akta notaris Nomor 11, di kantor Notaris R.M. Soerjanto Partaningrat.

Sebagai suatu perusahaan daerah, pertama kalinya milik daerah. Bank BPD DIY

diatur melalui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1976. Dengan berjalannya waktu,

dilakukan berbagai penyesuaian.178 Saat ini, landasan hukum pendirian Bank BPD

DIY adalah Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2

Tahun 1993, junctis Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1997 dan Nomor 7 Tahun

2000. Tujuan pendirian bank adalah untuk membantu mendorong pertumbuhan

perekonomian dan pembangunan daerah di segala bidang serta sebagai salah satu

sumber pendapatan daerah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Bank BPD DIY merupakan salahsatu alat kelengkapan otonomi daerah di bidang

perbankan yang memiliki tugas sebagai penggerak, pendorong laju pembangunan

178
http://www.bpddiy.co.id/index.php?page=profile&sub=sejarah diakses terakhir pada
tanggal 20 Maret 2021 Pukul 21.45 WIB

93
94

daerah, sebagai pemegang kas daerah/menyimpan uang daerah, dan sebagai salah

satu sumber pendapatan daerah serta menjalankan usahanya sebagai bank umum.179

Bank BPD DIY pada dasarnya berkantor pusat di Jalan Tentara Pelajar No.

7 Yogyakarta, dan tersebar di seluruh wilayah Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta dengan berbagai kantor cabang dan kantor cabang pembantu. Baik

kantor pusat, kantor cabang dan/atau kantor cabang pembantu pada dasarnya

mempunyai struktur kelembagaan atau struktur organisasinya masing-masing.

Berikut ini adalah struktur organisasi kantor pusat Bank BPD DIY:

Gambar 3.1 Struktur Organisasi Bank BPD DIY


Sumber: Bank BPD DIY Kantor Pusat/Cabang Utama

179
Ibid,
95

Gambar 3.2 Struktur Organisasi Cabang Utama Bank BPD DIY


Sumber: Bank BPD DIY Kantor Pusat/Cabang Utama

2. Visi dan Misi Bank BPD DIY

Visi dari Bank BPD DIY adalah menjadi bank terpercaya, istimewa, dan

pilihan masyarakat. Sedangkan, misi Bank BPD DIY adalah menyediakan solusi

kebutuhan keuangan masyarakat dengan memberikan pengalaman perbankan yang

berkesan, menjalankan prinsip kehati-hatian dan menerapkan bisnis yang beretika

untuk meningkatkan nilai perusahaan, mencapai SDM yang unggul, berintegritas

dan professional, mengembangkan keunggulan kompetitif dengan layanan prima

dan produk yang inovatif berbasis budaya untuk menjadi Regional Champion yang

berkelanjutan, serta menjalankan fungsi Agen Pembangunan yang fokus


96

mengembangkan sektor UMKM, mendorong pertumbuhan perekonomian daerah

dan menjaga lingkungan.180

3. Produk-Produk Kredit di Bank BPD DIY

Bank BPD DIY merupakan salah satu perbankan, yang tentunya dalam

kegiatan usahanya adalah untuk menampung uang masyarakat yang kelebihan dana

dan menyalurkan kembali uang tersebut kepada masyarakat yang kekurangan dana.

Bank BPD DIY dalam menyalurkan dana kepada masyarakat tentunya melalui

sebuah fasilitas yang dikenal dengan kredit perbankan. Bank BPD DIY

memberikan beberapa produk kredit yang dapat diakses oleh masyarakat luas,

diantaranya adalah:181

a. Kredit Usaha Rakyat (KUR), tujuan dari layanan ini ialah meningkatkan

dan memperluas penyaluran kredit kepada usaha produktif,

meningkatkan kapasitas daya saing usaha mikro, kecil, dan menengah

serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.

b. Kredit Mikro Ekonomi Produktif, tujuan layanan ini ialah untuk modal

kerja dan inverstasi. Debitor yang disasar dapat perorangan maupun

badan hukum.

c. Kredit Program Pembinaan Usaha Keluarga Sejahtera Mandiri (PUNDI),

tujuan layanan ini modal kerja dan investasi. Debitor yang disasar dapat

perorangan ataupun kelompok (5-10 orang).

180
http://www.bpddiy.co.id/index.php?page=profile&sub=visi diakses terakhir pada
tanggal 20 Maret 2021 pukul 23.42 WIB
181
http://www.bpddiy.co.id/index.php?page=produk&sub=kredit diakses terakhir pada
tanggal 20 Maret 2021 pukul 23.58 WIB
97

d. Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), tujuan layanan ini adalah

untuk meningkatkan ketahanan pangan dan program pengembangan

tanaman bahan baku bahan bakar nabati. Kredit diberikan kepada

nasabah melalui kelompok tani dan/atau koperasi, baik untuk modal kerja

maupun investasi. Jenis penggunaan layanan kredit ini ialah untuk modal

kerja dan investasi, dengan jangka waktu sesuai dengan siklus tanam,

maksimal 5 tahun.

e. Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS), bertujuan untuk

mengembangkan usaha pembibitan sapi secara berkelanjutan. Kredit

diberikan kepada kelompok atau gabungan kelompok, koperasi dan

perusahaan pembibitan yang telah mendapatkan rekomendasi dari Dinas

Kabupaten/Kota dan Direktorat Jenderal Peternakan.

f. Kredit Kepada Masyarakat Koperasi (KRIDAMASKOP), kredit kepada

koperasi simpan pinjam atau unit simpan pinjam. Bertujuan untuk

memperkuat permodalan koperasi untuk disalurkan kepada UMKM,

dengan sumber dana dari Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM

(LPDBKUMKM).

g. Kredit Mikro Makarya, kredit yang ditujukan kepada pedagang pasar,

baik untuk modal kerja, investasi, maupun pembelian kios atau los pasar

baru. Sistem angsuran jemput bola yaitu bisa harian, mingguan, bulanan

atau pasaran.

h. Kredit Multi Usaha (KMU), tujuannya ialah untuk keperluan usaha.

Plafon pada layanan ini sesuai dengan kemampuan, maksimal 90% dari
98

gaji bulanan. Jangka waktu dapat maksimal 15 tahun, 1 bulan sebelum

pensiun lunas (bagi pegawai aktif).

i. Kredit Swaguna, tujuan untuk keperluan konsumsi, seperti; renovasi

rumah, biaya Pendidikan, pembelian kendaraan, dll. Plafon sesuai

kemampuan, maksimal 90% dari gaji bulanan. Jangka waktu maksimal

20 tahun, 1 bulan sebelum pensiun lunas.

j. Kredit Purnakarya, tujuan untuk keperluan konsumsi, seperti; renovasi

rumah, biaya Pendidikan, membeli kendaraan, dll. Plafon sesuai

kemampuan, maksimal 70% dari pensiun bulanan. Dengan jaminan atau

agunan berupa SK Pensiun, jangka waktunya maksimal 15 tahun atau

usia 78 tahun lunas.

Berkaitan dengan kredit instansi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

produk kredit Bank BPD DIY seperti Kredit Multi Usaha (KMU) dan Kredit

Swaguna. Selanjutnya, kredit instansi pada penelitian ini didefinisikan sebagai

kredit yang menggunakan gaji pegawai yang dibayarkan setiap bulannya melalui

rekening Bank BPD DIY sebagai jaminan. Pegawai yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah pegawai swasta atau yang bukan sebagai pegawai negeri,

karena untuk pegawai negeri fasilitas Kredit Multi Usaha (KMU) dan Kredit

Swaguna mewajibkan Surat Pengangkatan (SK) pegawai negeri sebagai jaminan

selain gaji dari pegawai negeri yang bersangkutan.182 Berkaitan dengan fasilitas

182
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
99

kredit tersebut, pada awal prosesnya terdapat form perjanjian kerjasama antara

kantor atau instansi pegawai dengan pihak Bank BPD DIY.

B. Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dalam Pemberian Kredit Instansi

di Bank BPD DIY Kantor Pusat

1. Prosedur dan Tahapan Pemberian Kredit Instansi di Bank BPD DIY Kantor

Pusat

Pertama yang harus diketahui adalah mengenai definisi kredit instansi.

Kredit instansi yang dimaksud pada penelitian ini adalah fasilitas kredit bagi

pegawai swasta ataupun pegawai negeri, di Bank BPD DIY produk kreditnya

bernama Kredit Multi Usaha (KMU) dan Kredit Swaguna. Kredit instansi ini, di

Bank BPD DIY dikenal sebagai kredit tanpa agunan meskipun dalam prakteknya

gaji si pegawai yang bersangkutan adalah jaminan dari perjanjian kreditnya. Jika

debitor adalah pegawai negeri, selain gaji bulanannya maka Surat Pengangkatan

sebagai pegawai negeri turut dilampirkan untuk dijadikan jaminan kredit. Berbeda

dengan kredit instansi yang debitornya adalah pegawai swasta, benar-benar hanya

gaji bulanannya yang dibayarkan melalui rekening Bank BPD DIY adalah seolah-

olah jaminan perjanjian kreditnya.183 Pemberian fasilitas kredit tersebut, juga

dikarenakan adanya perjanjian kerjasama antara bank dengan instansi atau

perusahaan debitor.

183
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
100

Merujuk kepada pengertian kredit tanpa agunan, kredit tanpa agunan ialah

kredit yang dikenal dengan sebutan kredit blanko (Insecured Loan). Kredit blanko

adalah pemberian kredit tanpa jaminan material (agunan fisik), pemberiannya

sangat selektif dan ditujukan kepada nasabah besar yang teruji bonafiditas,

kejujuran dan ketaatannya dalam transaksi perbankan maupun kegiatan usaha yang

dijalaninya.184 Maka fasilitas Kredit Multi Usaha dan Kredit Swaguna tersebut

masuk ke dalam kredit tanpa agunan, karena hanya ditujukan bagi nasabah debitor

tertentu seperti pegawai negeri atau pegawai swasta yang instansi atau

perusahaannya telah menjalin kerjasama dengan Bank BPD DIY.

Selanjutnya, untuk menganalisis lebih lanjut terkait pemberian fasilitas

Kredit Multi Usaha dan Kredit Swaguna atau yang disebut dengan kredit instansi

khususnya bagi debitor yang berprofesi sebagai pegawai atau karyawan swasta itu

sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tidak, sudah atau belum

diterapkannya prinsip kehati-hatian dan prinsip mengenal nasabah dalam

pemberian kredit, serta sudah atau belum analisis kredit dalam pemberian kredit

oleh Bank BPD DIY itu dijalankan. Oleh karena itu, perlu kiranya dijabarkan terkait

prosedur dan tahapan pemberian kredit instansi di Bank BPD DIY Pusat.

Mengenai mekanisme dan tahapan pemberian Kredit Multi Usaha (KMU)

dengan Kredit Swaguna pada dasarnya sama, hanya peruntukan kreditnya yang

berbeda. Kredit Multi Usaha (KMU) hanya diperuntukkan untuk kegiatan yang

berkaitan dengan usaha, sedangkan Kredit Swaguna diperuntukkan untuk kegiatan

184
Ni Made Arini, Loc. Cit
101

dan/atau keperluan konsumtif, seperti; renovasi rumah, biaya pendidikan,

pembelian kendaraan, dan lain-lain.185 Baru-baru ini, akibat terjadinya Pandemi

Covid-19 di Indonesia, banyak hal yang harus disesuaikan terutama oleh pihak bank

dalam melayani masyarakat. Layanan Kredit Multi Usaha (KMU) dan Kredit

Swaguna dapat dilakukan secara online yang dapat diakses dengan baik melalui

smartphone atau perangkat lainnya dengan mengunjungi website

http://www.bpddiy.co.id/index.php?page=produk&sub=formkredit.

Selain online, tentunya yang paling utama permohonan kredit itu dilakukan

secara offline. Tahapan dan prosedur pemberian kredit instansi di Bank BPD DIY

diawali dengan kedatangan nasabah ke customer service Bank BPD DIY, nantinya

customer service akan memberikan satu bandel form permohonan pengajuan kredit

yang ada di Bank BPD DIY atau dikenal dengan Surat Permohonan Kredit (SPK)

yang berfungsi untuk membakukan permohonan nasabah. Nasabah diperintahkan

untuk mengisi form permohonan kredit, yang dilampiri dengan fotocopy Kartu

Tanda Penduduk, fotocopy NPWP, fotocopy identitas dari perusahaan atau kantor

nasabah, slip gaji asli beserta surat keterangan kerja, fotocopy Kartu Keluarga, dan

surat nikah bagi yang sudah menikah. Pada satu bandel form permohonan kredit, di

dalamnya sudah termasuk adanya surat pernyataan dan kuasa potong gaji. Setelah

bank menerima syarat-syarat tersebut diatas, kemudian bank akan melakukan

185
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
102

verifikasi terhadap data-data nasabah yang bersangkutan dan melakukan penelitian

secara mendalam dan mendetail terhadap berkas-berkas tersebut.186

Setiap permohonan kredit yang diajukan oleh pemohon akan dicatat

kedalam buku khusus. Penelitian mendalam dan mendetail terhadap berkas-berkas

tersebut diatas, dilakukan oleh bagian analis kredit standar. Kemudian dibuatkan

Surat Keterangan Permohonan Kredit (SKPK), yaitu surat yang berfungsi untuk

mengetahui data-data yang dibutuhkan bank secara lengkap sebagai bahan usulan

kredit dan mengetahui kebenaran informasi dalam permohonan kredit. Analis kredit

standar melakukan pengecekan secara online ke Bank Indonesia tentang catatan

calon debitor atas fasilitas kredit bank yang telah diterima calon debitor (BI

Checking), Bank BPD DIY masih dapat menerima permohonan kredit baru calon

nasabah meskipun telah mempunyai fasilitas kredit bank lainnya atau si calon

nasabah mempunyai cicilan kredit ditempat lain. Hal tersebut dimungkinkan karena

Bank BPD DIY berpedoman pada sisa gaji dan kemampuan nasabah dalam

mengangsur.187

Jika Bank BPD DIY mendapati calon nasabah yang mempunyai kredit di

bank lain, permohonan kredit masih dapat diterima oleh Bank BPD DIY selama

perhitungan atas besaran gaji nasabah masih cukup untuk membayar cicilan kredit

yang sedang dalam proses pengajuan. Semakin mudah permohonan kredit diterima

ketika gaji nasabah tersebut dibayarkan melalui rekening Bank BPD DIY. Surat

186
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
187
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
103

Keterangan Permohonan Kredit (SKPK) dibuat 2 (dua) rangkap, 1 (satu) untuk

wilayah kerja BPD dan satunya untuk kearsipan sementara. Hal itu dilakukan untuk

lebih memperjelas status calon debitor mengenai layak atau tidaknya suatu

permohonan kredit itu diterima. Jika permohonan kredit tidak layak, maka account

officer akan berkoordinasi dengan analis kredit standar bersama officer administrasi

kredit, untuk menginformasikan kepada calon debitor. Sedangkan, apabila

permohonan kredit tersebut layak maka Account Officer akan mengadakan

kunjungan atau survey lokasi dan wawancara dengan calon debitor dan meminta

data-data yang diperlukan untuk mengisi Laporan Kunjungan Nasabah (LKN).

Kunjungan juga dilakukan di kantor atau perusahaan dimana debitor bekerja,

karena kantor atau perusahaan debitor juga telah menjalin kerja sama dengan Bank

BPD DIY maka bank dapat memiliki akses untuk menganalisis bagaimana

profesionalisme debitor dalam bekerja sehari-hari. Pada kredit instansi ini nantinya

pihak perusahaan atau kantor debitor juga akan mengetahui bahwa ada beberapa

atau salah satu karyawannya yang mengambil fasilitas kredit instansi di Bank BPD

DIY.188

Ketika Laporan Kunjungan Nasabah (LKN) itu terisi, Account Officer

kembali akan memeriksa Laporan Kunjungan Nasabah (LKN) dan hasilnya

dituangkan dalam Memorandum Analisis Kredit (MAK). Memorandum Analisis

Kredit (MAK) itulah yang dibutuhkan Account Officer untuk mempresentasikan

dan mengusulkan kepada komite kredit untuk mendapatkan persetujuan kredit yang

188
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
104

diajukan pemohon. Bank BPD DIY tetap memperhatikan character, capacity,

capital, collateral, condition, personality, party, purpose, prospect, payment,

profitability, dan protection serta return, repayment dan risk bearing ability.

Kemudian Acoount Officer akan membuat usulan kepada pemimpin cabang atas

permohonan kredit dalam bentuk formulir putusan kredit. Masuk kepada pemimpin

cabang, pemimpin cabang akan meneliti formulir putusan kredit untuk diambil

keputusan terhadap permohonan kredit.189

Keputusan atas permohonan kredit dituangkan dalam surat keputusan

kredit, yang berfungsi sebagai bukti bahwa permohonan kredit telah mendapatkan

keputusan dari pejabat yang berwenang, dalam hal ini adalah pemimpin cabang.

Hasil keputusan permohonan kredit dicatat oleh kelompok administrasi kredit, jika

permohonan diterima maka formulir akan ditandatangani oleh pemimpin cabang

dan diserahkan kembali kepada analis kredit standar untuk dibuatkan Surat

Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK) yang dibuat 2 (dua) rangkap, lembar

pertama untuk debitor dan lembar kedua untuk kearsipan sementara. Kelompok

administrasi kredit berkoordinasi dengan analis kredit standar untuk mencatatkan

tanggal putusan kredit dalam berkas permohonan kredit dan mempersiapkan syarat-

syarat pencairan kredit. Namun, bila permohonan kredit ditolak maka pemimpin

cabang akan membuat 2 (dua) rangkap Putusan Permohonan Kredit (PPK) yang

189
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
105

mana lembar pertama untuk debitor dan lembar kedua sebagai kearsipan

permanen.190

Tahapan setelah permohonan kredit mendapatkan persetujuan maka analis

kredit standar akan membuat Surat Penegasan Persetujuan Permohonan Kredit

(SPPPK) yang kembali ditandatangani oleh pemimpin cabang. Setelah itu,

permohonan kredit yang telah disetujui tersebut dituangkan dalam perjanjian kredit

tertulis antara debitor dengan pihak Bank BPD DIY. Perjanjian kredit sebanyak 2

(dua) rangkap ditandatangani oleh debitor dan pihak Bank BPD DIY, lembar

pertama untuk debitor dan lembar kedua untuk kearsipan Bank BPD DIY.

Pencairan kredit, sebagai tahapan terakhir. Dokumen administrasi yang perlu

diselesaikan debitor adalah penandatanganan perjanjian kredit itu sendiri yang

didalamnya juga dimuat asuransi terhadap kredit, dan pernyataan untuk melunasi.

Setelah administrasi pencairan kredit selesai, maka surat putusan kredit dicetak oleh

pihak yang berwenang sesuai plafon kredit yang diberikan.191

Surat keputusan kredit dicetak 3 (tiga) rangkap, lembar pertama untuk

debitor, lembar kedua untuk bagian kasir, dan lembar ketiga untuk kearsipan bank.

Bagian administrasi kredit atau pemasaran bisnis yang berhak menerima surat

keputusan kredit tersebut. Lalu, debitor ke bagian kasir dengan membawa surat

keputusan kredit, dan juga buku tabungan. Ketika debitor telah memiliki rekening

Bank BPD DIY maka proses pencairan kredit hanya pemindahbukuan, namun jika

190
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
191
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
106

belum mempunyai rekening Bank BPD DIY maka akan dibukakan rekening

tabungan. Setelah itu, nominal kredit akan ditransferkan ke dalam rekening debitor

sesuai dengan nominal yang tertera pada surat keputusan kredit.192 Tahapan

pemberian kredit instansi memang tidak menghadirkan jaminan atau tidak

dilakukan pengikatan jaminan karena memang untuk kredit instansi ini adalah

kredit tanpa agunan meskipun dalam praktek gaji si debitor adalah jaminan atas

keyakinan bank jika si debitor dapat melunasi kreditnya.193

2. Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dalam Transaksi Perbankan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Proses pemberian kredit, pasti bank memerlukan analisis yang mendalam

dan mendetail sebelum permohonan kredit itu benar-benar dikabulkan. Pada

pemberian kredit, hal yang utama menjadi pertimbangan selain identitas dan latar

belakang debitor adalah jaminan kreditnya. Namun, pada penelitian ini kredit yang

dimaksud adalah kredit instansi yang merupakan salah satu fasilitas kredit tanpa

jaminan yang ada di Bank BPD DIY. Hal tersebut dimungkinkan karena UU

Perbankan yang baru mengatur hal tersebut. Jika dulu dalam UU Pokok-Pokok

Perbankan yang lama Nomor 14 tahun 1967 Pasal 24 ayat 1 memang menegaskan

bahwa bank umum tidak memberikan kredit tanpa jaminan kepada siapapun.

192
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
193
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
107

Berpedoman pada undang-undang ini jelas pemberian kredit harus disertai jaminan

baik jaminan materiil atau imateriil.194

Seiring dengan perkembangannya untuk membantu masyarakat

memperoleh modal dengan mudah yang diharapkan mampu meningkatkan

pembangunan nasional khususnya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, maka

pemerintah telah mengubah undang-undang pokok perbankan dengan undang-

undang yang baru, Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah dirubah

dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-

undang yang baru ini tidak lagi mensyaratkan bahwa pemberian kredit harus diikuti

dengan kewajiban pemohon kredit menyediakan jaminan materiil atau imateriil.

Dalam Pasal 8 Undang-Undang Perbankan yang baru hanya menegaskan bahwa

dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan

analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan debitor serta kesanggupan

nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan hutang dimaksud

sesuai dengan yang diperjanjikan.195

Berdasar pada pasal tersebut diatas, persyaratan adanya jaminan untuk

memberikan kredit tidak menjadi keharusan. Bank hanya diminta untuk meyakini

berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik debitor dan kemampuan dari

debitor. Ukuran itikad baik sifatnya kualitatif tidak mudah untuk mengukurnya,

sedangkan kemampuan dapat dianalisa dari pendapatan debitor dalam berusaha

194
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Perbankan
195
Marlina Kalangkahan, “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dalam Transaksi
Perbankan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998”, Jurnal Hukum, Vol. VII/No. 2,
2019, hlm. 163
108

atau pendapatan dari pekerjaannya seorang pemohon kredit.196 Kredit instansi di

Bank BPD DIY memang tanpa jaminan, namun dalam praktek ternyata terdapat

gaji debitor yang dibayarkan oleh perusahaan dimana debitor bekerja melalui

rekening Bank BPD DIY dapat dijadikan jaminan atas kredit instansi debitor. Hal

tersebut karena kredit instansi yang tanpa jaminan, pembayarannya auto debit atau

pemotongan gaji bulanan debitor secara otomatis untuk membayar cicilan kredit

debitor.197

Fenomena gaji pegawai sebagai jaminan kredit sebenarnya bukan hal baru,

karena dalam ketentuan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak

mengharuskan adanya jaminan dalam pemberian kredit, hanya bank perlu

mendapatkan keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik

debitor dan kemampuan dari debitor. Sehingga, apabila dengan adanya gaji debitor

yang dibayarkan melalui rekening Bank BPD DIY membuat bank yakin untuk

dapat memberikan fasilitas kredit instansi, maka hal tersebut sah-sah saja. Pada

pemberian kredit instansi, faktor yang membuat bank yakin untuk memberikan

fasilitas kredit instansi tersebut juga dikarenakan adanya Memorandum Of

Understanding (MoU) dan/atau kerja sama antara Bank BPD DIY dengan

perusahaan atau instansi debitor.198

Selain beberapa hal tersebut diatas, pada dasarnya analisis mendalam dan

mendetail yang dilaksanakan bank dalam rangka pemberian kredit juga haruslah

196
Ibid,
197
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
198
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
109

berdasar kepada prinsip-prinsip pemberian kredit. Terdapat beberapa prinsip

pemberian kredit, yang utama adalah prinsip kehati-hatian dan prinsip mengenal

nasabah. Berkaitan dengan prinsip mengenal nasabah, Bank Indonesia

mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan

Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) sebagaimana telah

diubah berturut-turut dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 dan

Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003. Khusus bagi Bank Perkreditan

Rakyat, Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan tersendiri dengan Peraturan Bank

Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah

(Know Your Customer Principles) bagi Bank Perkreditan Rakyat. Kemudian

sebagai tindak lanjutnya, Bank Indonesia juga mengeluarkan sejumlah petunjuk

pelaksanaan, di antaranya dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/29/DPNP

tanggal 13 Desember 2001 perihal Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal

Nasabah sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor

5/32/DPNP tanggal 4 Desember 2003 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor

6/19/DPBPR tanggal 22 April 2004 perihal Pedoman Standar Penerapan Prinsip

Mengenal Nasabah bagi Bank Perkreditan Rakyat.199

Selain Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengeluarkan

aturan mengenai Prinsip Mengenal Nasabah, yaitu dalam POJK Nomor

22/POJK.04/2014 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Oleh Penyedia

Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal.200 Berdasarkan ketentuan di atas, bank

199
Marlina Kalangkahan, Op. Cit, hlm. 165
200
POJK Nomor 22/POJK.04/2014 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Oleh
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal
110

diwajibkan untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah dengan cara antara lain

mengidentifikasi nasabah, pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah,

mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan, dan lainnya, yang tersimpul

dalam dokumentasi profil calon nasabah debitor, yang minimal berisikan data

identitas, pekerjaan/bidang usaha, jumlah penghasilan, rekening yang dimiliki,

aktivitas transaksi normal dan tujuan pembukaan rekening nasabah.201 Penerapan

prinsip mengenal nasabah dimulai sejak calon nasabah melakukan pembukaan

rekening pada bank. Secara garis besar penerimaan calon nasabah bank dibedakan

atas pembukaan rekening calon perorangan dan pembukaan rekening calon

perusahaan. Untuk pembukaan rekening perorangan dalam rangka penerapan

prinsip mengenal nasabah, pengisian formulir standar yang ditetapkan oleh bank

minimal memuat informasi sebagai berikut:202

a. Nama, tempat dan tanggal lahir, alamat, serta kewarganegaraan yang

dibuktikan dengan KTP, SIM atau paspor dan dilengkapi dengan

informasi mengenai alamat tinggal tetap apabila berbeda dengan yang

tertera dalam dokumen.

b. Alamat dan nomor telepon tempat bekerja yang dilengkapi dengan

keterangan mengenai kegiatan usaha perusahaan/instansi tempat bekerja.

c. Keterangan mengenai pekerjaan/jabatan dan penghasilan calon nasabah.

Dalam hal calon nasabah tidak memiliki pekerjaan, maka data yang

201
Marlina Kalangkahan, Op. Cit, hlm. 166
202
Rio Christiawan, “Prinsip Know Your Customer Guna Penelusuran Transaksi
Nasabah”, dalam https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5fd8a91e33db1/prinsip-i-
know-your-customer-i-guna-penelusuran-transaksi-nasabah/
111

diperlukan adalah sumber pendapatan; keterangan mengenai sumber dan

tujuan penggunaan dana.

d. Specimen tanda tangan.

Apabila diperlukan bank dapat meminta informasi lain antara lain berupa

major credit card, identitas kerja dari calon nasabah, rekening telepon, dan

rekening listrik. Khusus untuk calon nasabah yang melakukan pembukaan rekening

melalui telepon, surat menyurat atau electronic banking, maka petugas bank wajib

melakukan pertemuan dengan calon nasabah sebelum pembukaan rekening tersebut

disetujui. Sedangkan, untuk pembukaan rekening perusahaan atau badan maka

persiapan prinsip mengenal nasabah perusahaan yang tergolong usaha kecil.

Pengisian formulir standar yang ditetapkan oleh bank minimal memuat informasi

sebagai berikut:203

a. Status hukum dari usaha dimaksud yang dibuktikan dengan akta

pendirian dan anggaran dasar.

b. Izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang yang

dibuktikan antara lain dengan SIUP, SITU.

c. Nama, spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang

ditunjuk bertindak untuk dan atas nama perusahaan. Sedangkan kuasa

untuk bertindak atas nama perusahaan dibuktikan dengan surat kuasa dari

Direksi dan/atau hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

d. Alamat perusahaan, nomor telepon dan/atau nomor faximail.

203
Marlina Kalangkahan, Op. Cit, hlm. 167
112

e. Keterangan mengenai sumber dan tujuan penggunaan dana.

f. Negara asal dalam hal perusahaan dimaksud berbentuk badan hukum

asing.

Apabila diperlukan bank dapat meminta dokumen lain misalnya laporan

keuangan calon nasabah atau keterangan mengenai pelanggan utamanya. Bank

dapat meminta informasi kepada calon nasabah mengenai hubungannya dengan

bank lain. Lembaga perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan yang

mempunyai peran penting dalam perekonomian suatu negara. Dalam menjalankan

tugasnya, lembaga perbankan berperan sebagai intermediary (perantara) antara para

pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan para pihak yang

kekurangan/memerlukan dana (luck of funds), Dalam menjalankan kegiatan

usahanya, bank tentu akan menghadapi berbagai macam resiko usaha. Untuk

mengurangi risiko usaha, bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. Hal ini

sejalan dengan Pasal 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan

bahwa, perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi

ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.204

Penerapan prinsip kehati-hatian dalam dunia perbankan ini dimaksud untuk

menjaga kepercayaan masyarakat penyimpan dana dan terciptanya perbankan yang

sehat. Salah satu cara melaksanakan prinsip kehati-hatian yaitu dengan menerapkan

prinsip mengenai nasabah, yang dikenal juga dengan istilah know your customer

principle. Penerapan prinsip mengenai nasabah dianggap penting sebagai salah satu

204
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
113

cara untuk melindungi kesehatan bank. Di Indonesia, prinsip mengenai nasabah

pertama kali diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 3/10/PBI/2001

tentang Penerapan Prinsip Mengenai Nasabah (Know Your Customer Principles)

sebagaimana terakhir diubah dengan PBI No. 5/21/PBI/2003. Prinsip Mengenai

Nasabah dalam PBI ini adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui

identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan

transaksi yang mencurigakan. Selain itu, dalam Pasal 1 ayat (5) POJK Nomor

22/POJK.04/2014 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Oleh Penyedia

Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal, menyatakan bahwa:205

“Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan Penyedia Jasa


Keuangan di Sektor Pasar Modal untuk: (a) mengetahui latar belakang dan
identitas Nasabah; (b) memantau rekening Efek dan transaksi Nasabah; dan
(c) melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan transaksi keuangan
yang dilakukan secara tunai, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
di bidang Pasar Modal serta peraturan perundangundangan yang terkait
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dan/atau pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan
terorisme”.
Pada Peraturan BI maupun Peraturan OJK, keduanya sama-sama

memberikan pernyataan bahwa inti dari dilaksanakannya prinsip mengenal nasabah

adalah untuk mencegah transaksi keuangan yang mencurigakan. Adapun yang

dimaksud dengan transaksi yang mencurigakan adalah transaksi keuangan yang

menyimpang dari profil, karakterisitik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah

yang bersangkutan, transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan

dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang

205
Pasal 1 ayat (5) POJK Nomor 22/POJK.04/2014 tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah Oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal
114

wajib dilakukan oleh bank sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor

15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003, dan transaksi keuangan yang

dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga

berasal dari hasil tindak pidana.206

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa melalui penerapan prinsip

mengenai nasabah diharapkan bank secara dini dapat mengidentifikasi transaksi

yang mencurigakan, untuk meminalisir berbagai risiko, seperti risiko operasional

(operational risk), risiko hukum (legal risk), risiko terkonsentrasinya transaksi

(concentration risk), dan risiko reputasi (reputational risk). Di samping itu, dengan

menerapkan prinsip ini, bank diharapkan tidak hanya mengenal nasabah secara

harafiah saja, tapi bisa mengenal lebih komprehensif lagi, tidak hanya mengetahui

identitas nasabah tapi juga berkaitan dengan profil dan karakter transaksi nasabah,

yang dilakukan melalui jasa perbankan.207 Operational risk, artinya resiko bank

tidak dapat melakukan operasionalnya secara normal, yang antara lain disebabkan

adanya ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan

manusia, gangguan dan kegagalan sistem informasi manajemen dan komunikasi,

ketidakpastian ketentuan, kelemahan struktur pengendalian, adanya problem

eksternal, atau adanya hal-hal yang bersifat force majeur, seperti bencana alam,

kebakaran, dan lain-lain.

206
Abdul Rasyid, “Prinsip Mengenal Nasabah dalam Perbankan”, terdapat pada
https://business-law.binus.ac.id/2016/12/29/prinsip-mengenal-nasabah-dalam-perbankan/
207
Mindo Pramono, “Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual”, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2006, hlm. 218-219
115

Legal risk, artinya resiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek

yuridis, seperti adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan

yang mendukung atau kelemahan perilaku seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya

kontrak dan pengikatan agunan tidak sempurna. Concentration risk, artinya risiko

yang terjadi karena bank menerima dana-dana dari pihak ketiga dalam jumlah besar

yang terkonsentrasi pada beberapa nasabah. Reputational risk, artinya risiko yang

antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha

bank atau persepsi negatif terhadap bank. Penerapan Mengenal Nasabah (Know

Your Customer Principles), disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia

(PBI) No. 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan

Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum, yang diperbaharui dengan

PBI No. 14/27/PBI/2012.208

Peraturan BI tersebut mengadopsi rekomendasi yang dikeluarkan oleh

Financial Action Task Force (FATF) terkait dengan upaya pencegahan tindak

pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme dengan menggunakan

fasiltas dan produk perbankan. Menariknya, dalam Peraturan ini, terminologi know

your customer diubah dengan terminologi customer due diligence (CDD).

Customer due diligence merupakan kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan

pemantauan yang dilakukan Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut

sesuai dengan profil calon nasabah, WIC (walk in customer), atau nasabah. Di

samping terminologi CDD, terdapat juga terminologi enhanced due diligence

(EDD). EDD adalah tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan Bank pada saat

208
Marlina Kalangkahan, Op. Cit. hlm. 169
116

berhubungan dengan calon nasabah, WIC, atau nasabah yang tergolong berisiko

tinggi, termasuk politically exposed person, terhadap kemungkinan pencucian uang

dan pendanaan terorisme.209

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa penerapan prinsip

mengenal nasabah (know your customer principle) sangat penting dalam industri

perbankan guna menjaga stabilitas kesehatan bank. Seiring dengan perkembangan

teknologi dan informasi, semakin kompleksnya produk dan aktivitas perbankan,

maka risiko yang dihadapi oleh bank juga akan semakin meningkat. Peningkatan

risiko ini harus diimbangi dengan peningkatan kualitas manajemen risiko.

Pengaturan penerapan prinsip mengenal nasabah juga disempurnakan berdasarkan

standar internasional. Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya penerapan

prinsip ini dalam perbankan guna menghindari risiko yang pada akhirnya

diharapkan terwujudnya perlindungan hukum bagi nasabah dan bank yang sehat.210

3. Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dalam Pemberian Kredit Instansi di

Bank BPD DIY Kantor Pusat

Prinsip mengenal nasabah adalah suatu prinsip yang mewajibkan bank

untuk terlebih dahulu mengenali nasabahnya sebelum melakukan transaksi dengan

nasabah yang bersangkutan. Prinsip mengenal nasabah tidak hanya berlaku bagi

lembaga perbankan saja, tetapi juga berlaku bagi lembaga keuangan non-bank.211

Terdapat dasar hukum mengenai kewajiban penerapan prinsip mengenal nasabah,

209
Abdul Rasyid, Loc. Cit
210
Marlina Kalangkahan, Loc. Cit
211
Muhammad Muallif Heru Wicaksono, Loc. Cit
117

seperti dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan

Prinsip Mengenal Nasabah, Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003

tentang Perubahan Kedua Atas PBI Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan

Prinsip Mengenal Nasabah, Surat Edaran Bank Indonesia kepada semua bank

umum di Indonesia Nomor 3/29/DPNP tentang Standar Penerapan Prinsip

Mengenal Nasabah, Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/32/DPNP tentang

perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/29/DPNP tentang Standar

Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 22/POJK.04/2014 tentang Prinsip Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa

Keuangan di Pasar Modal.212

Jika kewajiban penerapan prinsip mengenal nasabah itu diatur dalam

beberapa produk peraturan, sudah pasti bagi pihak yang tidak menerapkan prinsip

mengenal nasabah itu dapat dikenakan sanksi. Berkenaan dengan pengenaan sanksi

ini, Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan mengenai sanksi terhadap bank

yang tidak menerapkan prinsip mengenal nasabah dalam setiap kegiatannya, yaitu

berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/37/DPNP tentang Penilaian dan

Pengenaan Sanksi atas Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dan Kewajiban Lain

Terkait dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.213 Sanksi yang

dapat dikenakan terhadap bank yang tidak menerapkan prinsip mengenal nasabah

adalah berupa penurunan tingkat kesehatan bank yang bersangkutan, dan

212
M. Haidar Ma’ruf, Loc. Cit
213
Muhammad Muallif Heru Wicaksono, Loc. Cit
118

pemberhentian pengurus bank melalui mekanisme penilaian kelayakan dan

kepatutan (fit and proper test).

Transaksi perbankan yang dimaksud dalam hal ini adalah pemberian kredit

oleh kreditor kepada debitor nasabah. Penerapan prinsip mengenal nasabah ini

sangat penting karena berfungsi untuk menjaga kesehatan bank, mencegah

penipuan, pendanaan terorisme, pencucian uang dan mencegah resiko kredit.

Penerapan prinsip mengenal nasabah sangat wajib bagi lembaga keuangan

perbankan, terlebih di zaman rezim APU dan PPT. APU adalah singkatan dari Anti

Pencucian Uang, sedangkan PPT adalah Pencegahan Pendanaan Terorisme. Jika

zaman dahulu musuh bank adalah resiko kredit, kini beberapa tindak pidana turut

mewarnai praktek bisnis perbankan sehingga prinsip-prinsip pemberian kredit

seperti prinsip mengenal nasabah itu wajib diterapkan oleh bank, salah satunya bagi

Bank BPD DIY.

Kewajiban penerapan prinsip mengenal nasabah tersebut salah satunya juga

dikarenakan semakin mudahnya akses pemberian kredit perbankan, kemudahan

akses pemberian kredit salah satunya pada salah satu produk kredit yang ada di

Bank BPD DIY yaitu fasilitas kredit instansi seperti Kredit Multi Usaha (KMU)

dan Kredit Swaguna yang memungkinkan pemberian kredit itu tanpa adanya

jaminan. Bank BPD DIY memang menyediakan fasilitas kredit yang mudah untuk

diakses karena tanpa jaminan, namun fasilitas tersebut hanya bagi pegawai baik

pegawai yang berstatus sebagai pegawai negeri ataupun pegawai swasta yang

instansi atau perusahaannya menjalin kerja sama dengan Bank BPD DIY. Bank

BPD DIY dalam memberikan kredit tanpa jaminan, seperti dalam pemberian Kredit
119

Multi Usaha atau Kredit Swaguna benar-benar memilah debitor dan tidak

sembarangan. Selain memilah debitor yang layak mendapatkan fasilitas kredit

tanpa jaminan, Bank BPD DIY juga menerapkan prinsip-prinsip pemberian

kredit.214

Prinsip- prinsip pemberian kredit yang diterapkan Bank BPD DIY dalam

pemberian kredit salah satunya adalah dalam hal prinsip mengenal nasabah.

Penerapan prinsip mengenal nasabah Bank BPD DIY dalam pemberian kredit tanpa

jaminan seperti Kredit Multi Usaha dan Kredit Swaguna dapat dilihat dari berbagai

aspek, antara lain:

a. Prosedur dan mekanisme pemberian kredit

Penerapan prinsip mengenal nasabah dalam transaksi perbankan

pada dasarnya dapat diketahui bagaimana penerapannya. Bank BPD DIY

dalam menerapkan prinsip mengenal nasabah pada pemberian kredit

instansi dapat dilihat dengan memperhatikan prosedur dan mekanisme

pemberian kredit yang dilaksanakan oleh Bank BPD DIY. Pada prosedur

dan mekanisme pemberian kredit instansi, kebijakan pemberian kredit yang

ditetapkan dan dilaksanakan melalui proses analisis kredit mengacu pada

prinsip kehati-hatian, kecukupan agunan kredit, asas-asas perkreditan yang

sehat, ketentuan BMPK serta pemantauan dan evaluasi. Persetujuan

pemberian kredit dilakukan melalui suatu komite (Komite Kredit) yang

melibatkan Analis Kredit, Penyelia dan/atau Pemimpin Cabang Pembantu

214
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
120

dan/atau Pemimpin Bidang Operasional dan Pelayanan, Pemimpin Cabang,

Pemimpin Divisi dan/atau Direksi untuk kredit yang melebihi wewenang

Cabang.215

Pengajuan persetujuan kepada Komite Kredit dilakukan setelah data

dari nasabah sudah diperoleh secara lengkap. Data-data yang dimaksud

adalah data-data yang dapat memberikan gambaran mengenai identitas

debitor seperti nama, tempat dan tanggal lahir, alamat, serta

kewarganegaraan yang dibuktikan dengan KTP, SIM atau paspor dan

dilengkapi dengan informasi mengenai alamat tinggal tetap apabila berbeda

dengan yang tertera dalam dokumen. Alamat dan nomor telepon tempat

bekerja yang dilengkapi dengan keterangan mengenai kegiatan usaha

perusahaan/instansi tempat bekerja, keterangan mengenai pekerjaan/jabatan

dan penghasilan calon nasabah, surat keterangan bekerja, surat menikah

bagi yang sudah menikah, serta spesimen tanda tangan.216

Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam mekanisme penyaluran kredit

terdapat pemisahan fungsi antara bagian yang menyetujui, menganalisa dan

melakukan administrasi kredit. Berkaitan dengan data-data yang diberikan

nasabah atau calon debitor kepada pihak bank, juga disertai surat pernyataan

bahwa seluruh data dan informasi yang diberikan kepada pihak bank

tersebut adalah benar dan/atau tanpa dibuat-buat dalam klausul surat

215
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
216
Rio Christiawan, Loc. Cit
121

pernyataan bermaterai pada awal proses permohonan kredit. Meskipun

sudah terdapat klausul surat pernyataan bermaterai tentang keaslian data

dan/atau informasi tentang nasabah, Bank BPD DIY dalam pemberian

kredit seperti kredit instansi tetap memberlakukan analisis panjang terhadap

nasabah atau calon debitor meskipun sudah diketahui si calon debitor

tersebut berlatar belakang sebagai salah satu pegawai perusahaan yang telah

menjalin kerja sama dengan Bank BPD DIY.217

Analisis panjang yang dijalankan Bank BPD DIY dalam pemberian

kredit, merupakan salahsatu upaya penerapan prinsip mengenal nasabah.

Analisis panjang Bank BPD DIY dalam proses pemberian kredit dapat

dijabarkan sebagai berikut:

1) Prinsip analisis 5C, yaitu:

a) Character/karakter, adalah suatu keyakinan bahwa sifat atau

watak dari orang-orang yang akan diberikan pembiayaan benar-

benar dapat dipercaya. Hal tersebut dapat diketahui dari latar

belakang nasabah baik latar belakang pekerjaan maupun yang

bersifat pribadi seperti cara hidup atau gaya hidup yang

dijalaninya, keadaan keluarga, hobi dan lingkungan sosialnya.218

Bank BPD DIY mempraktekkan dalam pemberian kredit instansi

melalui BI Checking, kemudian melihat catatan kinerja (track

217
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
218
Thamrin Abdullah dan Francis Tantri, Loc. Cit
122

record) pegawai yang bersangkutan melalui instansi atau

perusahaan dimana pegawai tersebut bekerja. Informasi tersebut

didapatkan karena pada dasarnya instansi atau perusahaan si

pegawai telah bekerja sama dengan Bank BPD DIY. Pemberian

kredit instansi baik atasan dan bendahara instansi atau perusahaan

yang bersangkutan juga turut mengetahui jika ada pegawainya

yang hendak mengajukan kredit di Bank BPD DIY, tentu bank

sangat terbantu dengan hal ini karena bank juga mendapat

rekomendasi dari perusahaan si pegawai tentang bagaimana

kondisi si pegawai yang hendak mengajukan kredit instansi.

Selain itu, pihak bank juga melakukan wawancara dan survey

lapangan ke alamat pegawai yang bersangkutan untuk

mengetahui kehidupan sosial kemasyarakatan dan kondisi

keluarganya.219

b) Capital/modal, adalah keharusan bank meneliti modal calon

debitor selain besarnya juga strukturnya. Hal ini diperlukan untuk

mengukur tingkat rasio likuiditas dan solvabilitasnya karena rasio

ini diperlukan berkaitan dengan pemberian kredit untuk jangka

pendek atau jangka panjang.220 Bank BPD DIY mempraktekkan

dalam pemberian kredit instansi melalui pengecekan dan

konfirmasi atas asset yang dimiliki debitor seperti kendaraan

219
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
220
Johannes Ibrahim Kosasih, Loc. Cit
123

maupun tanah dan/atau rumah milik yang bersangkutan. Selain

itu, pihak Bank BPD DIY juga memperhatikan catatan keuangan

debitor yang bersangkutan apakah mempunyai beban

pembayaran cicilan kredit yang lain atau tidak dan dengan

memperhatikan slip gaji dari pegawai atau debitor yang

bersangkutan, sehingga pihak bank dapat menganalisis berapa

nominal maksimal dan jangka tahun maksimal yang dapat

diterima oleh debitor dalam pengajuan kredit. Meskipun Bank

BPD DIY pada dasarnya membolehkan debitor mempunyai lebih

dari 1 (satu) pinjaman, asalkan gaji yang dipotong masih sisa

untuk dapat dipotongkan secara otomatis untuk membayar cicilan

kredit yang baru atau dengan kesepakatan pinjaman yang lama

akan dilunasi dengan pinjaman yang baru.221

c) Capacity/kemampuan, adalah keharusan bagi bank untuk

mengetahui secara detail dan pasti atas kemampuan calon debitor

dengan melakukan analisis usahanya dari waktu ke waktu.

Pendapatan yang selalu meningkat diharapkan kelak mampu

melakukan pembayaran kembali atas kreditnya, sedangkan bila

diperkirakan tidak mampu bank dapat menolak permohonan dari

calon debitor.222 Bank BPD DIY mempraktekkan dalam

pemberian kredit instansi melalui slip gaji debitor yang

221
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
222
Johannes Ibrahim Kosasih, Loc. Cit
124

bersangkutan, juga melalui hasil wawancara mengenai kondisi

keluarga biasanya diketahui ada anak berapa atau istri berapa

hanya dengan melihat Kartu Keluarga, kemudian dokumen

rekening listrik, dan ada atau tidaknya usaha sampingan.

Nantinya bank akan membuat catatan keuangan debitor, antara

pemasukan dan pengeluaran debitor nantinya akan diketahui oleh

bank.223

d) Condition of economic/kondisi ekonomi, adalah sesuatu yang

mempunyai 2 sudut pandang. Artinya, sudut pandang yang

pertama dari kondisi ekonomi ini adalah kondisi ekonomi calon

debitor yang harus diperhatikan oleh bank karena akan

berdampak baik secara positif atau negatif terhadap usaha calon

debitor, misalnya debitor adalah pengusaha toko kelontong maka

dapat dilihat bagaimana toko kelontong tersebut kedepannya

dapat berkembang atau tidak. Selain itu, sudut pandang kedua

adalah bank harus memperhatikan kondisi ekonomi secara

nasional.224 Jika kondisi ekonomi nasional sedang memburuk

maka bank dapat menyesuaikan dirinya ketika hendak

menyalurkan kredit kepada masyarakat, misalnya seperti ketika

kondisi pandemi Covid-19 saat ini yang sedang melanda

Indonesia maka bank akan menyesuaikan diri dalam pemberian

223
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
224
Johannes Ibrahim Kosasih, Loc. Cit
125

kredit agar tidak hanya mempercepat peredaran uang akan tetapi

tetap memperhatikan resiko kredit yang mungkin akan terjadi

yang dapat diketahui dari analisis kondisi ekonomi ini. Bank BPD

DIY mempraktekkan dalam pemberian kredit instansi melalui

komunikasi yang intens dengan pihak perusahaan dimana

karyawan atau debitor bekerja atas dasar kerja sama antara bank

dengan instansi atau perusahaan tersebut. Nantinya bank akan

mendapat informasi mengenai rencana kedepan apakah ketika

kondisi ekonomi nasional sedang buruk perusahaan akan

melakukan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran

terhadap karyawan atau tidak. Oleh karena itu, bank dapat

memutuskan mengenai besaran dan jangka waktu kredit bagi

pegawai.225

e) Collateral/jaminan, adalah jaminan yang diberikan oleh calon

debitor akan diikat suatu hak atas jaminan sesuai dengan jenis

jaminan yang diserahkan. Pada praktik perbankan, jaminan

merupakan langkah terakhir bila debitor tidak dapat

melaksanakan kewajibannya lagi.226 Pada kredit instansi di Bank

BPD DIY, tidak diperlukan jaminan. Namun, dalam praktek

sebenarnya jaminannya adalah gaji si pegawai yang dibayarkan

oleh perusahaannya melalui rekening Bank BPD DIY, sehingga

225
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
226
Johannes Ibrahim Kosasih, Loc. Cit
126

pembayaran cicilan kreditnya secara auto debet.227 Praktek kredit

instansi seperti ini diperbolehkan oleh UU Perbankan, karena

berdasar kepada Pasal 8 Undang-Undang Perbankan hanya

menegaskan bahwa dalam memberikan kredit, bank umum wajib

mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas

itikad baik dan kemampuan debitor serta kesanggupan nasabah

debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan hutang

dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.228 Oleh karena itu,

jika Bank BPD DIY sudah memiliki keyakinan melalui adanya

gaji debitor yang dibayarkan melalui rekening Bank BPD DIY

dan adanya kerja sama antara Bank BPD DIY dengan instansi

atau perusahaan si debitor, maka kredit tetap dapat diberikan

tanpa ada jaminan.

2) Prinsip analisis 5P, yaitu:229

a) Party/para pihak, adalah titik sentral yang diperhatikan dalam

setiap pemberian kredit. Untuk itu pihak pemberi kredit harus

memperoleh suatu kepercayaan terhadap para pihak, dalam hal

ini debitor. Bagaimanan karakter, kemampuannya dan

sebagainya. Nantinya bank dapat melakukan penggolongan calon

debitor berdasarkan watak, kemampuan dan modal. Hal ini untuk

memberikan arah bagi analis bank untuk bersikap dalam

227
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
228
Marlina Kalangkahan, Loc. Cit
229
Johannes Ibrahim Kosasih, Loc. Cit
127

pemberian kredit. Bank BPD DIY mempraktekkan dalam

pemberian kredit instansi melalui hasil dari analisis prinsip 5C

diatas, nantinya pihak bank akan mengelompokkan debitor

berdasarkan watak, kemampuan, riwayat BI Checking, dan

modal. Kemudian bank akan mengetahui mana debitor yang

layak untuk mendapatkan fasilitas kredit instansi dan mana yang

belum layak.230

b) Purpose/maksud, adalah tujuan dari pemberian kredit juga sangat

penting, diketahui oleh pihak kreditor, harus dilihat apakah kredit

akan digunakan untuk hal-hal yang positif yang benar-benar

dapat menaikkan income perusahaan dan harus pula diawasi agar

kredit tersebut benar-benar diperuntukan seperti yang

diperjanjikan dalam suatu perjanjian kredit. Bank BPD DIY

mempraktekkan dalam pemberian kredit instansi melalui

wawancara dengan debitor, dan dengan melihat catatan keuangan

debitor di perbankan yang didapatkan dari BI Checking. Tahap ini

sangat penting, terlebih di rezim APU dan PPT seperti saat ini

maksud dan tujuan penggunaan uang haruslah benar-benar

diketahui dan dipantau pihak bank agar jauh dari transaksi

keuangan yang mencurigakan.231

230
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
231
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
128

c) Payment/pembayaran, adalah mengenai perlunya diperhatikan

apakah sumber pembayaran kredit dari calon debitor cukup

tersedia dan cukup aman, sehingga dengan demikian diharapkan

bahwa kredit yang akan diluncurkan tersebut dapat dibayar

kembali oleh debitor yang bersangkutan. Dalam hal ini dilihat dan

dianalisis apakah setelah pemberian kredit nanti, debitor punya

sumber pendapatan dan apakah pendapatan tersebut mencukupi

untuk membayar kembali uang tersebut. Bank BPD DIY

mempraktekkan dalam pemberian kredit instansi melalui slip gaji

dari debitor itu sendiri, sehingga bank dapat mengetahui berapa

maksimal kredit yang dapat diberikan dan berapa angsuran

perbulannya. Sebenarnya Bank BPD DIY dapat memberikan

fasilitas kredit yang mendekati angka maksimal gaji debitor yang

dibayarkan melalui rekening Bank BPD DIY itu dapat dipotong

secara otomatis, namun dengan syarat debitor tidak mempunyai

beban cicilan bank lain selain Bank BPD DIY dan debitor

mempunyai usaha sampingan.232

d) Profitability/perolehan laba, adalah kemampuan calon debitor

untuk memperoleh keuntungan dari usahanya. Kemampuan ini

diukur dari jumlah kewajiban, baik angsuran, bunga dan biaya-

biaya kredit yang harus dibayar calon debitor. Bila diperkirakan

232
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
129

mampu untuk mengatasinya, maka calon debitor dipandang

memiliki kemampuan memperoleh keuntungan. Bank BPD DIY

mempraktekkan dalam pemberian kredit instansi melalui analisis

terhadap kemungkinan keuntungan yang akan didapatkan debitor

ketika fasilitas kredit instansi ini diberikan. Bank akan

mengetahui uang kredit instansi tersebut ditujukan untuk apa,

yang akan membuat bank akan mengetahui keuntungan bagi

debitor dari kredit instansi yang diberikan. Dengan kata lain,

analisis pada bagian ini bertujuan untuk memberikan alasan

dan/atau pertimbangan pihak bank untuk memberikan fasilitas

kredit kepada pegawai atau debitor yang bersangkutan. Analisis

pada bagian ini juga dalam rangka Bank BPD DIY untuk

menjalankan prinsip Anti Pencucian Uang dan Pencegahan

Pendanaan Terorisme atau dikenal dengan program APU dan

PPT sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang dan POJK Nomor 23 /POJK.01/2019 Tentang

Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian

Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa

Keuangan.233

233
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
130

e) Protection/perlindungan, adalah perlunya bagi analis kredit untuk

memperhatikan agunan yang diberikan calon debitor dan yang

dinilai bukan saja nilai pasar dari agunan yang diserahkan tetapi

dipertimbangkan pula pengaman yang telah dilakukan terhadap

agunan. Bank BPD DIY mempraktekkan dalam pemberian kredit

instansi melalui adanya kerja sama (MoU) dengan pihak instansi

atau perusahaan si pegawai atau debitor, dalam kerja sama

tersebut memungkinkan bank untuk mengetahui watak, karakter,

modal dan profesionalitas debitor dari sudut pandang instansi

atau perusahaannya.234 Sehingga ketika nanti kredit itu telah

diberikan dan terjadi resiko kredit, meskipun tidak ada jaminan

yang dapat di eksekusi oleh Bank BPD DIY maka bank dapat

menerapkan isi dari perjanjian kerja sama dengan pihak

perusahaan si debitor. Salah satunya pada perjanjian kerja sama

antara Bank BPD DIY dengan perusahaan si debitor terdapat

surat pernyataan dan kuasa potong gaji. Pada surat pernyataan

dan kuasa potong gaji, terdapat pernyataan bahwa bendahara

instansi atau perusahaan diberi kuasa oleh pegawai atau debitor

yang bersangkutan untuk dapat melakukan penyisihan sebagian

atas pembayaran gaji dan/atau tunjangan yang berhubungan

dengan pangkat/jabatan dan/atau pekerjaan untuk pembayaran

234
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
131

angsuran hutang pokok, bunga dan denda serta biaya lain atas

kredit yang diterima debitor yang bersangkutan serta bendahara

instansi dapat melakukan penyisihan seluruh penerimaan uang

pesangon dan penerimaan lainnya apabila debitor dipindahkan

atau diberhentikan untuk keperluan pelunasan hutang kepada

pihak bank. Poin berikutnya, selama masih memiliki pinjaman

dan debitor yang bersangkutan dipindahtugaskan ke instansi lain,

berhenti atau diberhentikan dari instansi maka debitor yang

bersangkutan harus tetap melunasi sisa kewajiban dari tabungan

hari tua, pensiun, dan pesangon dan/atau penerimaan lainnya.

Apabila masih tidak cukup untuk melunasi sisa kewajiban, maka

diwajibkan debitor yang bersangkutan untuk melanjutkan

angsuran dengan membayar sendiri hingga lunas, dan kemudian

ada jaminan lain yang harus dijaminkan dengan sebuah perjanjian

baru, biasanya dengan perjanjian accessoir. Ketika hal tersebut

tidak memungkinkan, maka perlindungan terhadap bank

berikutnya adalah adanya asuransi, setiap pemberian kredit

instansi di Bank BPD DIY itu debitor dibebani biaya asuransi.235

3) Prinsip analisis 3R, yaitu:236

a) Return/hasil yang akan dicapai, adalah suatu analisis untuk

mengetahui sejauh mana calon debitor dapat diperkirakan

235
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
236
Johannes Ibrahim Kosasih, Loc. Cit
132

memperoleh pendapatan yang cukup untuk mengembalikan

kredit beserta kewajibannya. Bank BPD DIY mempraktekkan

dalam pemberian kredit instansi melalui slip gaji dan hasil survey

baik ke instansi atau perusahaan dimana debitor bekerja maupun

hasil survey ke alamat tinggal debitor. Analisis ini mirip dengan

analisis pada tahap analisis 5C maupun 5P, yang tujuannya sama

yaitu dapat mengetahui watak, karakter, dan modal yang dimiliki

oleh debitor. Sehingga meski kredit instansi ini tanpa jaminan

yang dapat di eksekusi oleh bank, namun bank dapat yakin bahwa

dengan besaran gaji dan pendapatan si debitor mampu untuk

mengembalikan kredit yang dipinjam.237

b) Repayment/pembayaran kembali, adalah analisis yang dilakukan

analis kredit yang fokus kepada kemampuan calon debitor untuk

mengembalikan kredit. Bank BPD DIY mempraktekkan dalam

pemberian kredit instansi melalui catatan keuangan debitor yang

bersangkutan, termasuk slip gaji dan pengeluaran bulanan si

debitor. Nantinya bank akan mengetahui berapa pemasukan dan

berapa pengeluaran debitor, sehingga bank dapat meyakini bahwa

debitor memiliki kemampuan untuk mengembalikan kredit yang

diberikan Bank BPD DIY.238

237
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
238
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
133

c) Risk Bearing Abillity/kemampuan menanggung resiko, adalah

suatu analisis mengenai kemampuan calon debitor untuk

menanggung resiko dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya

kegagalan atas usaha debitor. Pengandaian dari seorang analis,

calon debitor akan mampu menutup seluruh kerugian yang

mungkin timbul karena hal-hal yang tidak diperkirakan semula.

Langkah untuk menghindari kerugian ini dengan jaminan yang

diberikan calon debitor atau dengan menutup melalui klaim

asuransi. Bank BPD DIY mempraktekkan dalam pemberian

kredit instansi melalui hasil analisis dari prinsip analisis 5C

bagian condition of economic atau kondisi ekonomi dan adanya

klausula-klausula dalam perjanjian kerja sama (MoU) antara

pihak bank dengan pihak perusahaan atau instansi debitor. Selain

itu, karena tidak adanya jaminan yang dapat dieksekusi oleh

pihak bank, maka setiap fasilitas kredit baik yang ada jaminan

maupun tidak dengan jaminan itu selalu diberikan asuransi. Hal

tersebut merupakan salah satu prosedur yang diterapkan oleh

Bank BPD DIY kepada setiap fasilitas kredit dan dibebankan

kepada debitor.239 Klaim asuransi adalah langkah akhir apabila

suatu kredit instansi tidak dapat diselamatkan dengan cara-cara

lain.

239
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
134

b. Menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit adalah salah

satu penerapan prinsip mengenal nasabah di Bank BPD DIY

Prinsip kehati-hatian merupakan prinsip yang menegaskan bahwa

bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpunan

terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat berhati-

hati. Tujuan diterapkannya prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu dalam

keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi

ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia

perbankan.240 Prinsip kehati-hatian diatur dalam Pasal 2 UU Perbankan

yang menyatakan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya

berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-

hatian.241 Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan menyatakan bahwa bank wajib

memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan

modal, kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas,

solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan

wajib melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.242

Prinsip kehati-hatian sangat erat kaitannya dengan fungsi

pengawasan bank dan manajemen bank. Prinsip kehati-hatian merupakan

suatu prinsip yang perannya sangat penting dalam kegiatan usaha

240
Detisa Monica Podung, “Kredit Macet dan Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam
Perbankan”, Jurnal Hukum, Edisi No. 3 Vol. V, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, 2016,
hlm. 50
241
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
242
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
135

perbankan di Indonesia.243 Pengertian prinsip kehati-hatian secara sempit

adalah prinsip pengendalian resiko melalui penerapan peraturan

perundang-undangan yang berlaku secara konsisten. Berkaitan dengan

pemberian kredit, prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang ideal dan

fundamental. Hal tersebut dikarenakan penerapan prinsip kehati-hatian

memberikan perlindungan tidak hanya pada nasabah akan tetapi juga

memberikan perlindungan kepada pihak bank itu sendiri. Pada setiap

pemberian kredit oleh bank pada dasarnya mengandung resiko, sehingga

dalam setiap pemberian kredit haruslah berdasarkan prinsip kehati-

hatian.244 Selain itu, prinsip kehati-hatian bukanlah satu-satunya prinsip-

prinsip dalam pemberian kredit. Prinsip pemberian kredit itu banyak

karena pemberian kredit yang mengandung resiko diperlukan prinsip-

prinsip untuk menjadi standar operasional bank dalam memberikan

fasilitas kredit. Pada praktek pemberian kredit, prinsip-prinsip pemberian

kredit itu saling terkait antara satu prinsip dengan prinsip yang lainnya.

Pada penelitian ini misalnya, penerapan prinsip kehati-hatian adalah

salah satu upaya penerapan prinsip mengenal nasabah. Jika prinsip kehati-

hatian itu sudah diterapkan oleh bank dalam pemberian kredit, maka secara

otomatis prinsip mengenal nasabah juga telah diterapkan. Hal tersebut

dikarenakan Bank BPD DIY telah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam

setiap pemberian kredit melalui kebijakan pemberian kredit yang mana

243
Hermansyah, Op. Cit, hlm. 134
244
Rachmadi Usman, “Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia”, Ctk. Kedua,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 246.
136

Bank BPD DIY harus memiliki informasi yang memadai untuk melakukan

penilaian yang mendalam mengenai profil resiko debitor, proses

persetujuan pinjaman dilakukan berdasarkan analisis mendalam yang

dilakukan oleh komite kredit dengan memisahkan fungsi pengusul dan

pemutus, fungsi pengusul berada dalam komite pengusul kredit, fungsi

pemutus berada di pejabat pemutus. Persetujuan pemberian kredit

dilakukan melalui suatu komite (Komite Kredit) yang melibatkan Analis

Kredit, Penyelia dan/atau Pemimpin Cabang Pembantu dan/atau

Pemimpin Bidang Operasional dan Pelayanan, Pemimpin Cabang,

Pemimpin Divisi dan/atau Direksi (untuk kredit yang melebihi wewenang

Cabang). Pengajuan persetujuan kepada Komite Kredit dilakukan setelah

data dari nasabah sudah diperoleh secara lengkap. Dalam memberikan

putusan pejabat, pemutus memperhatikan hasil kajian kepatuhan serta risk

assesment dari desk risiko kredit, pemisahan fungsi antara bagian yang

menyetujui, menganalisa dan melakukan administrasi kredit dan

menghindari pemberian kredit kepada peminjam pribadi ataupun instansi

dan/atau perusahaan yang masuk ke dalam daftar negatif bank dan dalam

daftar debitor bermasalah Bank Indonesia.245

Berkaitan dengan data-data yang diberikan nasabah atau calon

debitor kepada pihak bank, juga disertai surat pernyataan bahwa seluruh

data dan informasi yang diberikan kepada pihak bank tersebut adalah

245
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
137

benar adanya, yang dimuat dalam klausul surat pernyataan bermaterai

pada awal proses permohonan kredit. Bank BPD DIY dapat menerapkan

kebijakan pemberian kredit sebagaimana telah disebutkan diatas tersebut

melalui Unit Kerja Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (selanjutnya

disebut UKPN) yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan

penerapan program penerapan prinsip mengenal nasabah. Hal ini berarti,

prinsip kehati-hatian dapat diterapkan ketika prinsip mengenal nasabah itu

sudah pasti diterapkan oleh Bank BPD DIY dalam setiap pemberian kredit

seperti kredit instansi.246

c. Adanya kebijakan strategis yang dikeluarkan

Prinsip mengenal nasabah sebagai salah satu prinsip pemberian

kredit wajib untuk diterapkan bank dalam seluruh kegiatan usahanya.

Seluruh prinsip pemberian kredit pada dasarnya wajib untuk diterapkan,

karena prinsip pemberian kredit adalah standar operasional bank untuk

menjalankan seluruh kegiatan usahanya. Mustahil bagi bank untuk dapat

hanya menerapkan satu prinsip pemberian kredit saja, semua prinsip-

prinsip pemberian kredit haruslah diterapkan karena antara satu prinsip

dengan prinsip-prinsip yang lain sangat erat kaitannya dan prinsip

pemberian kredit mempunyai fungsi penerapannya masing-masing.

Apabila bank ingin jauh dari resiko kredit, maka bank harus menerapkan

prinsip-prinsip pemberian kredit.

246
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
138

Penerapan prinsip mengenal nasabah selanjutnya yang dilakukan

Bank BPD DIY dalam pemberian kredit instansi adalah adanya kebijakan

strategis yang dikeluarkan, antara lain:247

1) Kebijakan pengorganisasian, Bank BPD DIY dalam hal ini

membentuk unit kerja prinsip pengenalan nasabah dan struktur

organisasi. Guna pelaksanaan pedoman penerapan prinsip mengenal

nasabah ini, bank wajib membentuk Unit Kerja Penerapan Prinsip

Mengenal Nasabah yang disingkat UKPN yang berkedudukan di

kantor pusat. UKPN ini merupakan tanggung jawab langsung

direktur utama. Untuk bank, UKPN dapat didelegasikan kepada satu

atau beberapa orang staf yang ditugaskan untuk itu (Bank BPD DIY

dalam satuan unit), di samping tugas-tugas rutinnya, sesuai dengan

struktur organisasi. Masing-masing kantor cabang, pimpinan kantor

cabang harus menunjuk seorang pejabat di kantor cabang masing-

masing yang diberi tambahan tugas sebagai petugas Pengawas

Prinsip Mengenal Nasabah (PPMN) di kantor cabang tersebut yang

berfungsi sebagai koordinator penerapan pedoman pelaksanaan

penerapan prinsip mengenal nasabah di kantor cabang di bawah

koordinasi UKPN.

2) Kebijakan pemantauan dan pelaporan, pada Bank BPD DIY

dokumen yang berkaitan dengan identitas nasabah bank, termasuk

247
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
139

perantara dan/atau pihak lain (beneficial owner), disimpan sampai

dengan jangka waktu 5 (lima) tahun sejak perikatan dengan nasabah

diakhiri. Sistem informasi bank harus dapat menyediakan profil

nasabah yang sekurang-kurangnya mencakup informasi mengenai

identitas nasabah, pekerjaan atau bidang usaha, jumlah penghasilan,

rekening yang dimiliki, aktivitas transaksi normal, dan tujuan

penggunaan dana. Pelaporan transaksi yang mencurigakan bagi bank

adalah bersifat rahasia dan pejabat, pegawai, dan bank wajib

merahasiakan pelaporan transaksi yang mencurigakan tersebut.

Bank BPD DIY juga selalu melakukan pengkinian data nasabah,

sejak nasabah membuka rekening, mengajukan permohonan kredit,

menjadi debitor dalam kredit instansi hingga lunasnya kredit instansi

tersebut.

d. Penerapan manajemen resiko

Setiap bank, sudah pasti mempunyai manajemen resikonya masing-

masing. Adanya manajemen resiko adalah karena kegiatan usaha bank itu

mengandung resiko, terutama dalam hal pemberian kredit yang bermacam-

macam jenisnya. Manajemen resiko ada salah satunya bertujuan untuk

memberikan perlindungan kepada uang yang dititipkan masyarakat yang

kelebihan dana di bank, karena uang tersebut diputarkan kembali oleh bank
140

untuk disalurkan kepada masyarakat yang kekurangan dana melalui

pemberian kredit, contohnya di Bank BPD DIY adalah kredit instansi.248

Pemberian kredit dengan jaminan saja masih memerlukan

manajemen resiko, apalagi pemberian kredit instansi yang tanpa jaminan.

Manajemen resiko itu diterapkan juga dalam rangka menerapkan prinsip-

prinsip pemberian kredit, salah satunya prinsip mengenal nasabah.

Manajemen resiko yang diterapkan Bank BPD DIY pada pemberian kredit

instansi dalam rangka penerapan prinsip mengenal nasabah dipraktekkan

melalui prosedur dan mekanisme penyaluran kredit dari proses awal

permohonan kredit diajukan hingga pelunasan kredit disesuaikan serta

dipastikan tidak melanggar peraturan yang ada atau sesuai SOP (Standart

Operational Procedure) yang berlaku. Dampak dari telah dijalankannya

fungsi kepatuhan dalam pemberian kredit oleh Bank BPD DIY sejauh ini

sangat baik karena tidak ditemukannya indikasi pelanggaran terhadap

prinsip mengenal nasabah maupun prinsip-prinsip pemberian kredit yang

lainnya.249

Selain itu, Bank BPD DIY dalam manajemen resikonya juga

melakukan beberapa langkah strategis untuk memperbaiki kualitas kredit,

seperti adanya pembahasan kredit dengan lebih cermat dan sesuai dengan

SOP, meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang

248
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
249
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
141

perkreditan, melakukan pemantauan dan evaluasi berkala terhadap kredit

yang telah berjalan, melakukan upaya pencegahan NPL secara intensif

untuk kredit yang masuk kolektibilitas Dalam Perhatian Khusus (DPK),

aktif berkoordinasi dengan instansi terkait penyelesaian kredit bermasalah,

melakukan restrukturisasi kredit bermasalah maupun berpotensi

bermasalah, dan melakukan kerja sama dengan pihak eksternal dalam

rangka menyelesaikan kredit bermasalah.250

Fungsi kepatuhan dan manajemen resiko yang dijalankan Bank BPD

DIY berikutnya adalah pemantauan dan pembinaan nasabah oleh masing-

masing Account Officer termasuk didalamnya pengkinian data nasabah.

Masing-masing Kantor Cabang secara rutin setiap bulan telah melakukan

kegiatan pengkinian data dan progress pencapaian telah dikirim ke unit

kerja Kepatuhan dan UKPN, untuk dilakukan review oleh unit kerja

Kepatuhan dan UKPN. Koordinasi pelaksanaan pengkinian data nasabah

melibatkan petugas yang bertanggung jawab dalam proses pengkinian data

di Kantor Cabang dengan petugas dari unit kerja Kepatuhan dan UKPN

Divisi Manajemen Risiko dan Kepatuhan yang ada di kantor pusat.251

250
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
251
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
142

C. Mekanisme Hukum Bank BPD DIY Selaku Kreditor dalam Pemberian

Kredit Instansi Ketika Debitor Dipecat dan/atau Meninggal Dunia

1. Hambatan Bank BPD DIY Kantor Pusat dalam Penerapan Prinsip Mengenal

Nasabah Pada Pemberian Kredit Instansi

Setelah dijabarkan secara detail penerapan prinsip mengenal nasabah dalam

pemberian kredit instansi diatas, yang mana Bank BPD DIY telah menerapkan

prinsip mengenal nasabah dalam pemberian kredit instansi. Maka, berikutnya akan

dijabarkan mengenai hambatan-hambatan yang ditemui Bank BPD DIY dalam

penerapan prinsip mengenal nasabah pada pemberian kredit instansi. Meski

penerapan prinsip mengenal nasabah sudah baik setidaknya sampai saat ini, namun

terkadang Bank BPD DIY menemukan hambatan dalam penerapan prinsip

mengenal nasabah. Hambatan-hambatan tersebut muncul karena prinsip mengenal

nasabah ruang lingkupnya adalah mengenai identitas pribadi seorang debitor yang

terkadang semua informasi tentang debitor tidak ingin diketahui oleh pihak bank.252

Prinsip mengenal nasabah ini memang mendapat 2 (dua) penilaian dari

masyarakat, ada masyarakat yang menerima dan ada juga masyarakat yang

menentang karena merasa keberatan dengan prinsip mengenal nasabah. Prinsip

mengenal nasabah memang relative baru, dan sedang mendapatkan perhatian

khusus baru-baru ini di rezim APU dan PPT. Melaksanakan prinsip mengenal

nasabah, bank tentu mengalami kesulitan-kesulitan baik yang berasal dari bank itu

sendiri, maupun kesulitan-kesulitan yang bersumber dari nasabah bank yang

252
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
143

bersangkutan. Hambatan yang dihadapi oleh Bank BPD DIY dalam melaksanakan

prinsip mengenal nasabah tidak jauh berbeda, yaitu berasal dari hubungan bank

dengan nasabahnya. Artinya, kendala yang dihadapi oleh bank berasal dari tingkah

laku nasabahnya. Berikut adalah hambatan-hambatan yang dihadapi Bank BPD

DIY dalam menerapkan prinsip mengenal nasabah pada pemberian kredit

instansi:253

a. Calon debitor terkadang keberatan untuk mengisi formulir KYC yang

disediakan oleh Bank BPD DIY, namun selama ini Bank BPD DIY

belum menemukan calon debitor yang enggan mengisi formulir tersebut

karena ketika calon debitor merasa keberatan untuk mengisi formulir

KYC, maka Bank BPD DIY akan memberikan penjelasan dan edukasi

terlebih dahulu kepada calon debitor mengenai kewajiban dan

pentingnya formulir KYC tersebut dalam praktek perbankan.

b. Calon debitor tidak kooperatif dalam mengisi formulir KYC, maksudnya

adalah terkadang calon debitor malas untuk mengisi formulir KYC.

Beberapa informasi terkadang tidak di isi dengan benar, seringkali Bank

BPD DIY menemukan perbedaan alamat tinggal dengan alamat di KTP,

pada kolom alamat tinggal di isi alamat yang tertulis di KTP padahal

calon debitor yang bersangkutan alamat tinggal (domisili) berbeda

dengan alamat yang tertera di KTP. Pada kasus ini, Bank BPD DIY

terkadang harus konfirmasi ulang dengan calon debitor, Bank BPD DIY

253
Wawancara dengan Hanafi Prayitno, Desk Pelayanan dan Operasional, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
144

tanggap untuk mengatasi hal-hal seperti ini karena memang secara rutin

Bank BPD DIY melaksanakan pengkinian data nasabah.

c. Seringkali calon debitor mengalihkan pembicaraan ketika pihak Bank

BPD DIY menanyakan sesuatu hal yang bersifat pribadi, padahal hal ini

dilakukan bank dalam rangka menerapkan prinsip mengenal nasabah dan

bukan untuk hal yang lain. Memang benar, secara logika antara prinsip

mengenal nasabah dengan prinsip kerahasiaan itu saling bertentangan

dalam hal pemberian kredit. Namun, secara yuridis antara prinsip

mengenal nasabah dengan prinsip kerahasiaan itu tidak bertentangan. Hal

tersebut dikarenakan setiap bank pada umumnya termasuk Bank BPD

DIY berpedoman kepada Undang-Undang Perbankan yang menyatakan

bahwa asas kerahasiaan bank tidak berlaku untuk kepentingan perkara

pidana, perdata, perpajakan, utang-piutang, dan hal-hal lain yang

disebutkan dalam Pasal 41, 42, 43 dan Pasal 43 Undang-Undang

Perbankan.254

2. Penetapan Kualitas Kredit Instansi Ketika Debitornya dipecat dan/atau

Meninggal Dunia

Mengenai penetapan kualitas suatu kredit, baik Bank Indonesia maupun

Otoritas Jasa Keuangan sama-sama mengaturnya. Peraturan Bank Indonesia Nomor

14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum dan Peraturan OJK

Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Pada Pasal

10 dalam kedua peraturan tersebut intinya sama, yaitu kualitas kredit ditetapkan

254
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
145

berdasarkan faktor penilaian terhadap prospek usaha debitor, kinerja debitor dan

kemampuan membayar debitor. Kemudian, baru suatu kredit instansi itu dapat

ditetapkan kualitasnya. Pasal 12 ayat (3) dalam kedua peraturan tersebut juga pada

intinya sama, yaitu kualitas kredit dapat ditetapkan menjadi kredit lancar, dalam

perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan/atau macet. Mengenai kualitas

tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:255

a. Kredit lancar, jika memenuhi kriteria seperti pembayaran angsuran

pokok dan/atau bunga tepat, memiliki mutasi rekening yang aktif atau

bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai.

b. Kredit dalam perhatian khusus, jika memenuhi kriteria seperti terdapat

tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang belum melampaui 90

(sembilan puluh) hari, kadang-kadang terjadi cerukan, mutasi rekening

relatif rendah, jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang

diperjanjikan atau didukung oleh pinjaman baru.

c. Kredit kurang lancar, jika memenuhi kriteria seperti terdapat tunggakan

angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 (sembilan

puluh) hari, sering terjadi cerukan, frekuensi mutasi rekening relatif

rendah, terjadi pelanggaran kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90

(sembilan puluh) hari, terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi

debitur atau dokumentasi pinjaman yang lemah.

d. Kredit yang diragukan, jika memenuhi kriteria seperti terdapat tunggakan

angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 (seratus

255
Hermansyah, Loc. Cit
146

delapan puluh) hari, sering terjadi cerukan yang bersifat permanen,

terjadi wanprestasi selama 180 (seratus delapan puluh) hari, terjadi

kapitalisasi bunga, atau dokumentasi hukum yang lemah baik untuk

perjanjian kredit maupun peningkatan jaminan.

e. Kredit macet, apabila memenuhi kriteria seperti terdapat tunggakan

angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 (dua ratus

tujuh puluh) hari, kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru,

atau dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat

dicairkan pada nilai wajar.

Pada kredit instansi di Bank BPD DIY yang tanpa jaminan, atau yang dalam

praktek sebenarnya jaminannya adalah gaji debitor sebagai pegawai suatu

perusahaan yang dibayarkan melalui rekening Bank BPD DIY tersebut, tentunya

ketika debitor itu dipecat atau diberhentikan dari perusahaannya dan/atau

meninggal dunia akan berdampak terhadap kredit instansi yang sedang berjalan.

Ketika debitor itu dipecat atau diberhentikan dari perusahaannya dan/atau

meninggal dunia maka pihak Bank BPD DIY akan segera mengetahui dari pihak

perusahaan dimana debitor itu bekerja, hal ini dikarenakan adanya kerja sama

antara pihak Bank BPD DIY dengan instansi atau perusahaan debitor yang

memungkinkan terjadi komunikasi yang intens antar kedua belah pihak. Langkah

awal yang dilakukan Bank BPD DIY ketika mengetahui salah satu debitor kredit
147

instansi dipecat atau diberhentikan oleh perusahaannya dan/atau meninggal dunia

adalah dengan melakukan penetapan kualitas kreditnya terlebih dahulu.256

Kualitas kredit ditetapkan menjadi kredit dalam perhatian khusus.

Penetapan kualitas kredit menjadi kredit dalam perhatian khusus tersebut, tetap

sesuai dengan prosedur yang ada dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor

14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum dan Peraturan OJK

Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Penyebab

kredit instansi si debitor yang dipecat atau diberhentikan dan/atau meninggal dunia

ditetapkan sebagai kredit dalam perhatian khusus karena terjadinya telat bayar

cicilan kreditnya. Telat bayar cicilan kredit menyebabkan kemampuan membayar

sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) POJK Nomor 40/POJK.03/2019

tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum yang intinya menyatakan penilaian

terhadap kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c

meliputi penilaian terhadap komponen-komponen seperti ketepatan pembayaran

pokok dan bunga, ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan debitur,

kelengkapan dokumentasi kredit, kepatuhan terhadap perjanjian kredit, kesesuaian

penggunaan dana, dan kewajaran sumber pembayaran kewajiban tersebut

dilanggar.257

Kemampuan membayar menurut Bank BPD DIY adalah yang terpenting,

sehingga jika terjadi sesuatu yang akan berdampak kepada faktor kemampuan

256
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
257
Pasal 11 ayat (3) POJK Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank
Umum
148

membayar tersebut pihak bank segera melakukan penyesuaian terhadap kualitas

kreditnya.258 Akibat debitor dipecat atau diberhentikan dari instansi atau

perusahannya dan/atau meninggal dunia sementara debitor masih terikat kredit

instansi di Bank BPD DIY dan kredit ditetapkan menjadi kredit dalam perhatian

khusus karena faktor kemampuan membayar debitor terdampak, maka alasannya

adalah sebagai berikut:259

a. Terjadinya keterlambatan pembayaran pokok dan bunga yang sampai

dengan 90 hari, hal ini dikarenakan proses administrasi yang harus dilalui

oleh Bank BPD DIY. Bank tidak dapat mendapat memotong secara

otomatis gaji si debitor karena debitor sudah dipecat atau diberhentikan

dan/atau meninggal dunia sehingga sudah tidak ada lagi sumber

penghasilan yang dapat digunakan untuk membayar kredit instansi

debitor. Mengingat kredit instansi adalah kredit tanpa jaminan, hanya

berdasarkan gaji debitor sebagai alat pembayaran cicilan kredit debitor

maka ketika debitor dipecat atau diberhentikan dan/atau meninggal dunia

Bank BPD DIY membutuhkan proses administrasi dan konfirmasi

dengan pihak perusahaan maupun dengan ahli waris si debitor yang

sudah pasti hal ini membutuhkan waktu yang tidak cepat.

b. Bank BPD DIY telah menerapkan prinsip mengenal nasabah, sehingga

Bank BPD DIY selalu melakukan pengkinian data-data nasabah atau

258
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
259
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
149

debitor, sehingga diketahui informasi terbaru mengenai debitor itu

sendiri. Sehingga, ketika didapatkan informasi mengenai debitor kredit

instansi yang dipecat atau diberhentikan dan/atau meninggal dunia maka

bank akan menganalisis kembali seluruh data-data nasabah termasuk

data keuangan termasuk harta peninggalan dan pesangon, maupun data-

data ahli waris.

c. Menjadi kurang lengkapnya dokumen kredit, dipecat atau diberhentikan

dan/atau meninggal dunianya debitor menyebabkan dokumen kredit

menjadi tidak lengkap. Maksudnya adalah ketika pengkinian data

nasabah itu dilakukan oleh Bank BPD DIY setelah diketahui debitor

kredit instansi itu dipecat atau diberhentikan dan/atau meninggal dunia

maka slip gaji menjadi tidak berguna lagi. Sehingga, Bank BPD DIY

memerlukan konfirmasi dengan pihak perusahaan si debitor terkait

pesangon si debitor apakah cukup untuk menutup sisa kredit.

d. Dipecat atau diberhentikan dan/atau meninggalnya debitor menyebabkan

terjadinya pelanggaran yang tidak mendasar terhadap perjanjian kredit

instansi dengan Bank BPD DIY, pelanggaran tidak mendasar tersebut

adalah karena telatnya pembayaran pokok dan bunga. Hal ini

dikarenakan pihak Bank BPD DIY tidak dapat secara otomatis

memotong gaji debitor seperti semula untuk pembayaran pokok dan

bunga kredit instansi. Bank BPD DIY lagi-lagi harus melakukan

konfirmasi dengan pihak perusahaan ataupun ahli waris si debitor yang

bersangkutan, yang tentunya membutuhkan waktu yang lama.


150

3. Mekanisme Hukum yang dilakukan Bank BPD DIY Selaku Kreditor Terhadap

Debitor Kredit Instansi yang dipecat dan/atau Meninggal Dunia

Pemberian kredit dalam praktek perbankan, pada dasarnya mengandung

resiko kredit. Oleh karenanya, setiap pemberian kredit haruslah berdasarkan

prinsip-prinsip pemberian kredit. Prinsip-prinsip pemberian kredit tersebut adalah

petunjuk bagi bank dalam kegiatan usahanya, salah satunya yaitu pemberian kredit

agar terhindar dari resiko kredit. Setiap pemberian kredit haruslah mengedepankan

keamanan maupun kepentingan para pihak, baik debitor maupun kreditor. Oleh

karena itu, mekanisme hukum untuk melindungi keamanan atau kepentingan para

pihak yaitu debitor dan kreditor itu sangat perlu. Mekanisme hukum tersebut sangat

diperlukan bagi pemberian kredit, terlebih pemberian kredit instansi di Bank BPD

DIY yang merupakan fasilitas kredit tanpa jaminan.

Pada kredit instansi di Bank BPD DIY diperlukan untuk melindungi para

pihak dalam kredit instansi yaitu debitor dan kreditor itu sendiri. Mekanisme hukum

itu diperlukan apabila dalam proses pemberian kredit salah satu pihak ada yang

mendapat gangguan yang dapat mempengaruhi kredit instansi, misalnya di tengah

proses kredit instansi sedang berjalan si debitor yang berprofesi sebagai karyawan

dipecat atau diberhentikan dan/atau meninggal dunia yang tentunya akan

berdampak pada kredit instansi itu sendiri, karena kredit instansi di Bank BPD DIY

pembayaran cicilan melalui gaji yang dibayarkan perusahaan si debitor melalui

rekening Bank BPD DIY dipotong secara otomatis oleh Bank BPD DIY. 260 Pada

260
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
151

dasarnya, berkaitan dengan hal-hal seperti ini baik Bank Indonesia maupun Otoritas

Jasa Keuangan mengatur mengenai mekanisme hukum yang dapat ditempuh untuk

menyelesaikan persoalan seperti ini.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Atas

Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip

Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle), dan POJK Nomor

22/POJK.04/2014 tentang Prinsip Mengenal Nasabah Oleh Penyedia Jasa

Keuangan di Sektor Pasar Modal. Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor

5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your

Customer Principle) menyatakan bahwa bank wajib menerapkan prinsip mengenal

nasabah.261 Selaras dengan peraturan BI diatas, Pasal 2 POJK Nomor

22/POJK.04/2014 tentang Prinsip Mengenal Nasabah Oleh Penyedia Jasa

Keuangan di Sektor Pasar Modal pada intinya menyatakan bahwa penyedia jasa

keuangan di sektor pasar modal wajib menerapkan prinsip mengenal nasabah dan

memiliki pedoman penerapan prinsip mengenal nasabah.262

Berkaitan dengan kedua peraturan tersebut diatas, Bank BPD DIY telah

menjalankan persis sebagaimana kedua peraturan tersebut diatas mengatur. Bank

BPD DIY telah menerapkan prinsip mengenal nasabah, terlihat dengan adanya

UKPN (Unit Kerja Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah) yang tugas dan tanggung

261
Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
262
Pasal 2 POJK Nomor 22/POJK.04/2014 tentang Prinsip Mengenal Nasabah Oleh
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal
152

jawab UKPN melekat pada Kelompok Kepatuhan dan UKPN di bawah Pemimpin

Divisi Manajemen Risiko dan Kepatuhan sesuai dengan Surat Keputusan Direksi

nomor 0307/OM 1006 tanggal 30 Desember 2016 tentang Buku Pedoman

Perusahaan Bidang Organisasi PT. Bank BPD DIY. Tugas dan tanggung jawab

UKPN antara lain melakukan monitoring pelaksanaan dan analisis pelaporan terkait

Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU/PPT).263 Selain

itu, pada formulir pemberian kredit seperti kredit instansi didalamnya juga telah

memuat serangkaian klausul atau covenant, di mana sebagian besar dari klausul

tersebut merupakan upaya untuk melindungi pihak kreditor dalam pemberian

kredit. Klausul merupakan serangkaian persyaratan yang diformulasikan dalam

upaya pemberian kredit dari aspek finansial dan hukum. Aspek finansial disini

adalah yang berhubungan dengan dana, artinya mekanisme hukum yang diperlukan

kreditor untuk mendapat dananya kembali dalam pemberian kredit. Sedangkan

aspek hukum disini, maksudnya adalah mekanisme hukum yang nantinya diambil

oleh kreditor benar-benar dapat membuat dananya kembali. Sederhananya, aspek

hukum disini adalah klausul yang mengharuskan debitor mematuhi substansi yang

telah disepakati dalam perjanjian kredit.264

Berkaitan dengan mekanisme hukum yang dijalankan Bank BPD DIY

selaku kreditor ketika debitor dalam kredit instansi itu dipecat atau diberhentikan

dan/atau meninggal dunia adalah adanya kerja sama (MoU) dengan pihak instansi

263
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
264
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
153

atau perusahaan debitor. Pada pemberian kredit instansi di Bank BPD DIY memang

tidak sembarang debitor diberikan fasilitas kredit ini, pemberian kredit instansi juga

karena adanya kerja sama antara Bank BPD DIY dengan perusahaan si debitor.

Sehingga ketika secara mendadak terjadi hal-hal yang dapat berdampak pada

kelangsungan kredit instansi antara Bank BPD DIY dengan debitor yang berlatar

belakang sebagai karyawan suatu perusahaan tersebut, maka Bank BPD DIY dapat

dengan mudah konfirmasi dengan perusahaan tersebut. Disamping Bank BPD DIY

konfirmasi, Bank BPD DIY langsung membahas untuk menetapkan kualitas

kreditnya. Hal ini dikarenakan terkadang proses ini membutuhkan waktu yang

panjang sehingga terjadi keterlambatan pembayaran angsuran pokok dan bunga

kredit yang sedang berjalan.265

Ketika kondisi semakin memburuk, dan nasib kredit instansi semakin tidak

menentu. Bank BPD DIY melalui Desk risiko kredit dan penyelesaian kredit

bermasalah akan melakukan tindakan penyelamatan dengan melakukan tagihan

secara reschedulling, reconditioning dan liquidation. Rescheduling atau

penjadwalan kembali, Bank BPD DIY akan memperpanjang jangka waktu kredit,

memperpanjang jangka waktu angsuran, dan perubahan jumlah angsuran.

Recondittioning atau persyaratan kembali, Bank BPD DIY akan memberikan

penurunan suku bunga bank atau dengan penundaan pembayaran suku bunga bank.

Ketika memerlukan liquidation karena faktor-faktor dari debitor memang tidak

sanggup menyelesaikan kredit, maka liquidation disini adalah dengan mengklaim

265
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
154

asuransi sebagaimana di awal proses pemberian kredit instansi kreditor

membebankan bea asuransi terhadap debitor.266

Mekanisme hukum yang berikutnya dapat diketahui dari ada tidaknya

jaminan dalam pemberian kredit instansi di Bank BPD DIY. Kredit instansi

merupakan fasilitas kredit tanpa jaminan di Bank BPD DIY khusus bagi karyawan

swasta yang perusahaan atau instansinya bekerja sama dengan Bank BPD DIY.

Meski tidak ada jaminan, dalam praktek sebenarnya gaji debitor yang dibayarkan

melalui rekening Bank BPD DIY merupakan salah satu hal yang membuat Bank

BPD DIY mempunyai keyakinan terhadap debitor untuk diberikan fasilitas kredit

instansi karena memang UU Perbankan tidak mengharuskan dalam pemberian

kredit itu ada jaminan. Selain itu, ternyata dalam kredit instansi di Bank BPD DIY

itu pihak bank meminta jaminan tambahan yakni dalam bentuk avalis.267 Mengenai

avalis, avalis atau penanggungan lazim dikenal dalam kontrak kerja sama atau

perjanjian timbal balik, terlebih khusus lagi dalam perjanjian perkreditan yang

mana pihak kreditor (bank) seringkali membutuhkan jaminan tambahan atas utang

debitornya.268

Unsur penanggungan utang ada 3 (tiga) yaitu penanggungan utang diberikan

untuk kepentingan debitor itu sendiri, utang yang ditanggung merupakan suatu

kewajiban prestasi atau perikatan yang sah demi hukum, dan kewajiban

penanggung untuk memenuhi atau melaksanakan kewajiban debitor baru ada

266
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
267
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
268
Yudhana Hendra Pramapta, Op. Cit. hlm. 215
155

setelah debitor itu wanprestasi.269 Pasal 1820 KUH Perdata menyatakan bahwa

“Penanggungan ialah persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur,

mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak

memenuhi perikatannya”. Sedangkan untuk bentuk-bentuk dari avalis atau

penanggungan dapat bermacam-macam, antara lain berupa jaminan perusahaan

(corporate guarantee), jaminan pribadi (personal guarantee) maupun bank garansi

(bank guarantee).270

Pada pemberian kredit instansi, yang merupakan salah satu kredit tanpa

agunan di Bank BPD DIY yang diperuntukkan bagi karyawan suatu perusahaan

yang menjalin kerja sama dengan Bank BPD DIY, maka Bank BPD DIY meski

sudah mendapatkan keyakinan untuk memberikan fasilitas kredit instansi kepada

debitor tertentu karena adanya gaji debitor yang dibayarkan perusahaannya melalui

rekening Bank BPD DIY. Ternyata dalam prakteknya Bank BPD DIY tetaplah

meminta jaminan yaitu dalam wujud avalis.271 Berkaitan dengan avalis ini, selalu

dicantumkan dalam perjanjian tambahan (accessoir) perkreditan antara Bank BPD

DIY dengan debitor. Avalis yang diminta Bank BPD DIY adalah jaminan

perusahaan (corporate guarantee) ataupun jaminan pribadi (personal

guarantee).272 Wujud jaminan perusahaan (corporate guarantee) dalam praktek

pemberian kredit instansi di Bank BPD DIY biasanya berupa Memorandum of

Understanding (MoU) antara instansi atau perusahaan si debitor. Seringkali, dalam

269
Ibid,
270
Ibid,
271
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
272
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
156

praktek pemberian kredit instansi di Bank BPD DIY ditemui jaminan pribadi

(personal guarantee), lebih sering dari pada jaminan perusahaan atau corporate

guarantee. Misalnya dalam kredit instansi yang mana ada ahli warisnya (biasanya

dalam praktek, di Bank BPD DIY itu bisa istri/suami ataupun anak debitor

tergantung bagaimana perjanjian yang disepakati kedua belah pihak) yang menjadi

penjamin pribadi terhadap perjanjian kredit tersebut.273

Mekanisme hukum terakhir yang diambil Bank BPD DIY dalam pemberian

kredit instansi adalah mengklaim asuransi. Setiap pemberian kredit, termasuk kredit

instansi (Kredit Multi Usaha dan Kredit Swaguna) maupun produk-produk kredit

yang lain di Bank BPD DIY, pada dasarnya nasabah debitor dibebani bea asuransi.

Hal ini dilakukan karena sudah menjadi salah satu prosedur dalam pemberian kredit

yang ditetapkan oleh Bank BPD DIY. Bank BPD DIY juga telah menjalin kerja

sama dengan beberapa perusahaan asuransi seperti PT. Asuransi Bangun Askrida,

dan PT. ASEI karena untuk mendukung kebijakan pemberian kredit Bank BPD

DIY tersebut. Adanya pembebanan bea asuransi kepada nasabah debitor yang telah

menjadi prosedur yang mau tidak mau harus diterima oleh nasabah debitor

perjanjian kredit di Bank BPD DIY tersebut, juga dalam rangka bank menjalankan

Pasal 2 Peraturan OJK Nomor 42/POJK.03/2017 tentang Kewajiban Penyusunan

dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank Bagi Bank Umum

yang menyatakan:274

273
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
274
Pasal 2 Peraturan OJK Nomor 42/POJK.03/2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan
Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank Bagi Bank Umum
157

”bank wajib memiliki kebijakan perkreditan atau pembiayaan bank secara


tertulis dan wajib disetujui oleh dewan komisaris bank paling sedikit
memuat semua aspek yang ditetapkan dalam pedoman penyusunan
kebijakan perkreditan atau pembiayaan bank seperti prinsip kehatian-hatian
dalam perkreditan atau pembiayaan, organisasi dan manajemen perkreditan
atau pembiayaan, kebijakan persetujuan kredit atau pembiayaan,
dokumentasi dan administrasi kredit atau pembiayaan, pengawasan kredit
atau pembiayaan, dan penyelesaian kredit atau pembiayaan bermasalah”.
Bank BPD DIY mengimplementasikan ketentuan tersebut diatas melalui

prosedur atau kebijakan kredit secara tertulis yang disetujui oleh dewan komisaris

Bank BPD DIY. Pada kebijakan perkreditan secara tertulis tersebut oleh Bank BPD

DIY di implementasikan ke dalam proses awal pemberian kredit hingga sudah

terbentuknya perjanjian kredit dan selesainya perjanjian kredit, berlaku pada

seluruh produk atau plafon kredit di Bank BPD DIY khususnya seperti perjanjian

kredit instansi yang disetujui oleh pejabat bank yang berwenang.275 Pemberian

kredit instansi secara khusus memuat klausul perjanjian penambahan jumlah kredit

dan perpanjangan jangka waktu kredit yaitu klausul definisi, klausul fasilitas kredit,

klausul kuasa mendebet rekening, klausul syarat penarikan pinjaman, klausul

pernyataan dan jaminan, klausul hal-hal kewajiban, klausul hal-hal yang dilarang,

klausul asuransi perjanjian kredit, klausul pernyataan kuasa memotong gaji, klausul

pengalihan hak, klausul kompensasi, klausul peristiwa cidera janji, klausul

ketentuan tambahan, klausul pemberitahuan dan ketentuan penutup. Apabila

diperhatikan, terdapat klausul asuransi perjanjian kredit. Hal ini menunjukkan

275
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
158

pembebanan bea asuransi kepada nasabah debitor adalah salah satu prosedur dalam

pemberian kredit yang telah ditetapkan oleh Bank BPD DIY.276

276
Wawancara dengan Ibu Elva, Desk Kredit Mikro Kecil dan Konsumer, di Kantor
Cabang Utama Bank BPD DIY, pada tanggal 18 Maret 2021.
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis yang penulis paparkan pada Bab III diatas, maka

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kredit instansi merupakan salah satu produk kredit tanpa jaminan,

meskipun dalam prakteknya terdapat gaji debitor yang dibayarkan

perusahaan atau instansi debitor melalui rekening Bank BPD DIY yang

sering dianggap sebagai jaminan, namun gaji debitor yang dimaksud

tersebut dalam hal ini lebih kepada salah satu unsur pembangun keyakinan

Bank BPD DIY untuk dapat memberikan fasilitas kredit instansi kepada

debitor yang bersangkutan. Hal tersebut berdasar kepada Pasal 8 Undang-

Undang tentang Perbankan yang pada intinya hanya menegaskan bahwa

dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan

berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan

debitor serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau

mengembalikan hutang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Meskipun kredit instansi tersebut tanpa jaminan, Bank BPD DIY sangat

selektif dalam memberikan fasilitas kredit instansi. Bank BPD DIY tetap

melaksanakan analisis yang mendalam dan salah satunya juga menerapkan

prinsip pemberian kredit yaitu prinsip mengenal nasabah. Ruang lingkup

prinsip mengenal nasabah dalam UU Perbankan, dalam transaksi perbankan

159
160

setidaknya memuat nama berikut keterangan lengkap terkait identitas,

alamat, pekerjaan atau keterangan kerja dari instansi, dan specimen tanda

tangan debitor untuk debitor perorangan. Penerapan prinsip mengenal

nasabah yang dijalankan Bank BPD DIY dapat dilihat dari prosedur dan

mekanisme pemberian kreditnya, penerapan prinsip kehati-hatian sebagai

salah satu penerapan prinsip mengenal nasabah oleh Bank BPD DIY,

adanya kebijakan strategis yang dikeluarkan oleh Bank BPD DIY, dan

penerapan manajemen resiko yang dilakukan oleh Bank BPD DIY.

2. Hambatan dalam menerapkan prinsip mengenal nasabah di Bank BPD DIY

lebih kepada keinginan debitor yang tidak ingin privasinya itu diketahui

pihak lain termasuk pihak bank. Meskipun demikian, penerapan prinsip

mengenal nasabah harus tetap diterapkan. Mekanisme hukum yang

dilakukan oleh Bank BPD DIY sebagai kreditor dalam pemberian kredit

instansi ketika debitor dipecat dan/atau meninggal dunia adalah dengan

melakukan penilaian terhadap kualitas kreditnya, yaitu menjadi kredit

dalam perhatian khusus karena terjadi keterlambatan pembayaran baik

pokok dan bunga yang bisa sampai dengan 90 hari. Penilaian kualitas kredit

tersebut dapat segera dilaksanakan karena adanya MoU antara Bank BPD

DIY dengan perusahaan debitor, sehingga seluruh informasi tentang debitor

dapat segera diketahui pihak bank. Mekanisme hukum yang dilakukan Bank

BPD DIY berikutnya adalah dengan melakukan tindakan penyelamatan

dengan melakukan tagihan secara reschedulling, reconditioning dan

liquidation. Rescheduling atau penjadwalan kembali, Bank BPD DIY akan


161

memperpanjang jangka waktu kredit, memperpanjang jangka waktu

angsuran, dan perubahan jumlah angsuran. Recondittioning atau

persyaratan kembali, Bank BPD DIY akan memberikan penurunan suku

bunga bank atau dengan penundaan pembayaran suku bunga bank.

Mekanisme hukum yang dilakukan Bank BPD DIY berikutnya adalah

dengan melihat pada ada tidaknya jaminan dalam pemberian kredit instansi.

Maksudnya adalah, meski tidak ada jaminan dalam praktek sebenarnya gaji

debitor yang dibayarkan melalui rekening Bank BPD DIY merupakan salah

satu hal yang membuat Bank BPD DIY mempunyai keyakinan terhadap

debitor untuk diberikan fasilitas kredit instansi, karena memang UU

Perbankan tidak mengharuskan dalam pemberian kredit itu ada jaminan.

Selain itu, ternyata dalam kredit instansi di Bank BPD DIY itu pihak bank

meminta jaminan tambahan yakni dalam bentuk avalis. Sehingga adanya

avalis ini merupakan mekanisme hukum yang dapat dilaksanakan oleh Bank

BPD DIY berikutnya, karena dengan adanya avalis tersebut terdapat pihak

ketiga dalam sebuah perjanjian tambahan yang demi kepentingan kreditor,

mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitor, bila debitor itu tidak

memenuhi perikatannya, pihak ketiga itu bisa (corporate guarantee dan

personal guarantee atau ahli waris si debitor). Mekanisme hukum terakhir

yang dapat dilaksanakan oleh Bank BPD DIY ketika beberapa mekanisme

hukum diatas tidak efektif adalah berkaitan dengan liquidation atau

mengklaim asuransi, diawal proses pemberian kredit instansi nasabah

debitor sudah dibebani bea asuransi.


162

B. SARAN

Setelah membahas dan menganalisis mengenai penerapan prinsip mengenal

nasabah dalam pemberian kredit instansi di Bank BPD DIY, serta berkaca dari hasil

wawancara dengan narasumber penelitian. Penulis hendak memberikan saran

kepada pihak Bank BPD DIY untuk lebih rutin memberikan pemahaman dan

edukasi kepada calon nasabah debitor. Hal ini dikarenakan, masih ditemukan

beberapa nasabah debitor yang sekedarnya saja dalam mengisi formulir KYC atau

formulir yang difungsikan untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah. Hal ini

menunjukkan kurang pahamnya nasabah debitor terhadap pentingnya bank untuk

menerapkan prinsip mengenal nasabah. Selain itu, peneliti juga menyarankan

kepada Bank BPD DIY untuk lebih sering melakukan peningkatan sumber daya

manusia agar sumber daya manusia yang ada di Bank BPD DIY dapat dengan cepat

beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan yang ada pada setiap kegiatan

usaha perbankan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Ctk. Pertama,


Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989.
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, LPEE UI, Jakarta, 2001.
Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Edisi 1 Cet. 1, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010.
Dr. Mardani, Hukum Perikatan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberikan
Jaminan Jilid 2, Indo Hill-Co, Jakarta, 2005.
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit: suatu Tinjauan di Bidang
Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta, 2009.
Hartono Hadi Saputro, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,
Liberty, Yogyakarta, 1984.
Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Cet. 1, Mandar Maju, Bandung, 1995.
Hassanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di
Indonesia (Panduan Dasar: Legal Officer), PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1998.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006.
Hartanto Hadisaputro, Jaminan dalam Perjanjian Kredit, Arloka, Surabaya, 2011.
Johannes Ibrahim, Cross Default & Cross Collateral dalam Upaya Penyelesaian
Kredit Bermasalah, PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
Johannes Ibrahim Kosasih, Akses Perkreditan dan Ragam Fasilitas Kredit Dalam
Perjanjian Kredit Bank, Sinar Grafika, Jakarta, 2019.
Kasmir, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007.
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014.
Lukman Santoso Az, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Pustaka
Yustisia, Yogyakarta, 2011.

163
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996.
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Mindo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006.
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailititan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, P.T. Alumni, Bandung, 2006.
Mahmoeddin, Dasar-Dasar Kredit BPR, Quantum, Bandung, 2010.
Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2010.
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2011.
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Ctk. Kedua,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2010.
Riky Rustam, Hukum Jaminan, Ctk. Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2017.
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Cet. Ketiga,
Badan Pembina Hukum Nasional, Jakarta, 2006.
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2008.
Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Damar Mulia Pustaka, Jakarta,
2008.
Thamrin Abdullah dan Francis Tantri, Bank dan Lembaga Keuangan, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2012.
Uswatun Hasanah, Hukum Perbankan, Setara Press, Malang, 2017.

Jurnal

Asep Rozali, “Prinsip Mengenal Nasabah dalam Praktik Perbankan”, Jurnal Hukum
Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 2011.
Alif Ilham Akbar Fatriansyah, “Kajian Penelitian Tentang Hukum Jual Beli
Kredit”, Jurnal Ilmu Ekonomi Al-Madani Bandarlampung, Vol. 32 No. 1,
Fakultas Ekonomi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Al-Madani, 2020.

164
Detisa Monica Podung, “Kredit Macet dan Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam
Perbankan”, Jurnal Hukum, Edisi No. 3 Vol. V, Fakultas Hukum
Universitas Sam Ratulangi, 2016.
Johannes Ibrahim, “Dilematis Penerapan UU Nomor 24 Tahun 2004 Tentang
Lembaga Penjamin Simpanan antara Perlindungan Hukum dan Kejahatan
Perbankan”, Jurnal Hukum, Volume 24 Nomor 1 Tahun 2005.
Marlina Kalangkahan, “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dalam Transaksi
Perbankan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998”, Jurnal
Hukum, Vol. VII/No. 2, 2019.
Nita Putri Yadiarsih, “Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri di
Bank Rakyat Indonesia Cabang Karanganyar”, Jurnal Hukum, Edisi No. 1
Vol. 2, Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi, 2016.
Newfriend N. Sambe, “Fungsi Jaminan Terhadap Pemberian Kredit Oleh Pihak
Bank Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998”, Jurnal Hukum,
Vol. V/No.4/April-Juni, 2016.
Ni Made Arini, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,MH, dan Dr. I Wayan
Wiryawan, SH.,MH, “Penyelesaian Permasalahan Kredit Tanpa Agunan
(UMKM) di Denpasar”, Jurnal Hukum, Magister Kenotariatan Universitas
Udayana, 2017.
Putra Pierson David Iroth, “Perjanjian Kredit Bank Sebagai Dasar Hubungan
Hukum Antara Bank dan Nasabah Menurut Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perbankan”, Jurnal Hukum, Edisi Vol. V/No.
5/Jul/2017, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, 2017.

Artikel, Makalah dan Skripsi

Aristmaya Widyasari, “Perlindungan Hukum Terhadap Debitur dalam Pemberian


Kredit Tanpa Jaminan”, Skripsi, Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2018.
Bekti Kristiantoro, “Pelaksanaan Penyelesaian Kredit Bermasalah Dengan Jaminan
Hak Tanggungan Di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang
Semarang”, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Semarang, 2006.
Muhammad Muallif Heru Wicaksono, “Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah
dalam Transaksi Perbankan Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana
Pencucian Uang (Money Laundering) (Studi Kasus Bank BRI Cabang
Somba Opu Tahun 2013)”, Skripsi, Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin
Makasar, 2016.

165
M. Haidar Ma’ruf, “Prinsip Mengenal Nasabah Sebagai Upaya Perusahaan
Perbankan dalam Mengatasi Kredit Macet Berdasarkan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 (Studi di BRI Cabang Brebes)”, Skripsi,
Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang, 2018.
Neni Wijayanti, “Peran Customer Service dalam Meningkatkan Pelayanan Kepada
Nasabah di Bank Lampung Cabang Bandar Jaya”, Skripsi, Perbankan
Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro, 2018.
Yudhana Hendra Pramapta, “Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian
Kredit (Analisis Terhadap SK ASN Sebagai Jaminan Kredit di Bank BPD
DIY Cabang Pembantu Ngaglik)”, Skripsi, Ilmu Hukum Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 2020.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset
Bank Umum.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian
Kualitas Aset Bank Umum.
Peraturan OJK Nomor 42/POJK.03/2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan
Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank Bagi Bank
Umum.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.04/2014 tentang Prinsip
Mengenal Nasabah Oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR Tahun 1991
tentang Jaminan Pemberian Kredit.

Data Internet

https://www.legalku.com/hukum-jaminan-dalam-indonesia/
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terdapat dalam https://kbbi.web.id/terap-2

166
Abdul Rasyid, “Prinsip Mengenal Nasabah dalam Perbankan”, terdapat pada
https://business-law.binus.ac.id/2016/12/29/prinsip-mengenal-nasabah-
dalam-perbankan/
Letezia Tobing, “Perbedaan Droit de Preference dan Hak Privilege” dalam
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt547a9355c4b95/per
bedaan-droit-de-preference-dan-hak-privilege/
Rio Christiawan, “Prinsip Know Your Customer Guna Penelusuran Transaksi
Nasabah”, terdapat pada
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5fd8a91e33db1/prin
sip-i-know-your-customer-i-guna-penelusuran-transaksi-nasabah/
Sovia Hasanah, “Kedudukan SK PNS Sebagai Jaminan Utang”, dalam
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5373/kedudukan-
sk-pns-sebagai-jaminanutang/
http://www.bpddiy.co.id/index.php?page=produk&sub=kreditpegawai
https://idtesis.com/metode-penelitian-hukum-empiris-dan-normatif/
http://www.bpddiy.co.id/index.php?page=profile&sub=sejarah
http://www.bpddiy.co.id/index.php?page=profile&sub=visi

167
LAMPIRAN-LAMPIRAN

SURAT KETERANGAN BEBAS PLAGIASI

168
TRANSKIP HASIL WAWANCARA

KETERANGAN

P Penulis/Penanya Teni Susanto

N1 Narasumber 1 Bapak Hanafi Prayitno

N2 Narasumber 2 Ibu Elva

P : Sebelumnya Assallamuallaikum Wr.Wb, selamat pagi bapak dan ibu.


Perkenalkan nama saya Teni Susanto, saya mahasiswa jurusan hukum
di Universitas Islam Indonesia. Saya bersyukur dan berterimakasih
karena sudah diberikan panggilan untuk diberikan waktu penelitian di
Bank BPD DIY ini. Mohon maaf, boleh saya kenal dengan bapak dan
ibu terlebih dahulu ?
N1 : Iya mas, saya Hanafi Prayitno dan Ibu sebelah saya ini akrab dipanggil
Ibu Elva. Saya sendiri bertugas di bagian Desk Pelayanan dan
Operasional sedangkan bu elva ini dibagian penting yaitu bagian desk
kredit mikro kecil dan consumer. Tupoksi bisa dibaca di buku tahunan
Bank BPD DIY ini mas.
N2 : Oiya mas, mas tadi diberikan waktu wawancara berapa menit ya?
Mohon maaf karena nanti saya jam 11 ada rapat di lantai 4, mungkin
jika masih berlangsung wawancaranya bisa dengan bapak Hanafi ya?
Sehari ini sampai sore ada 5 mahasiswa yang mau wawancara mas,
kayak orang penting saya.
P : Baik bu, saya tadi diberikan informasi untuk wawancara diberi waktu
kurang lebih 30 menit bu, sepertinya banyak yang mau penelitian ya bu?
Jika begitu, apakah bisa saya langsung bertanya terkait hal-hal yang
menyangkut penelitian saya?
N2 : Silahkan mas, tapi bisa dijelaskan dulu singkat mas tentang proposal
masnya ini?
N1 : Iya mas, soalnya saya juga belum sempat membaca detail-detailnya.
Saya cuma tahu judul dan daftar pertanyaan yang mas kasih ke saya.
P : Baik bapak Hanafi dan Ibu Elva, secara singkat skripsi saya adalah
mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah dalam pemberian kredit
instansi di Bank BPD DIY, rumusan masalah yang pertama terkait
dengan bagaimana penerapan prinsip tersebut dan rumusan masalah
yang kedua mengenai mekanisme hukum yang ada di Bank BPD DIY
dalam mengatasi debitor kredit instansi yang mengalami pemecatan atau
meninggal dunia, karena serangan virus corona inikan banyak sekali
PHK. Nah, dulu diawal sewaktu mau membuat skripsi ini saya sudah

169
menggali informasi terkait kredit instansi ini pak/bu jika kredit semacam
ini itukan tanpa jaminan kan? Jadi begitu pak/bu gambaran singkatnya.
N2 : Berarti garis besarnya tentang penerapan prinsip mengenal nasabah ya
mas?
P : Iya betul bu, benarkan pak/bu kredit instansi ini tanpa jaminan?
N1 : Gimana ya mas, sebenarnya ini bisa dikatakan tanpa jaminan meski
dalam praktek sebenarnya jaminannya itu ya gaji si debitor yang
dibayarkan perusahaannya melalui rekening di Bank BPD DIY mas.
N2 : Betul, kredit instansi ini didalam prakteknya memang bisa dikatakan
jaminanya itu gaji si debitor itu sendiri mas. Bank berani seperti itukan
karena ada kerja sama dengan perusahaan atau kantor si debitor mas,
jadi memang pembayaran gaji semua pegawai perusahaan atau kantor
debitor itu dibayarkan melalui rekening Bank BPD DIY sehingga kami
kemudian menawarkan kepada seluruh pegawainya kalau dikami bisa
ambil kredit tanpa jaminan dan cicilannya potong gaji. Di dunia bank,
dikenal auto debet. Kalo di kami, kredit instansi ini hanya istilah sih
sebenarnya nama fasilitas kreditnya bukan kredit instansi, jadi kredit
semacam ini itu ada dua yaitu kredit Swaguna sama kredit multi usaha.
Cuma ya disebutkan kredit instansi karena debitornya memang khusus.
P : Baik bapak dan ibu, saya paham mengenai apa itu kredit instansi di Bank
BPD DIY. Sebelum lanjut pak/bu, apakah ada bagan atau struktur
organisasi kantor pusat Bank BPD DIY ini ya?
N1 : Yang mana bu? Yang baru kayaknya masih diformat ulang.
N2 : Ambilkan yang lama dulu saja, masih dipakai kok pak?
N1 : Sebentar mas saya ambilkan, sekalian saya kasih copyannya.
P : Oh ya pak, makasih pak malah ngerepotin saya.
N1 : Santai mas.
N2 : Mas, saya dulu awal tahun 2020 kalo enggak salah pernah ngasih data
juga lewat wawancara sama WA mas, juga mahasiswa UII Cuma
anaknya itu penelitian ke kantor cabang, cuma beberapa data minta ke
saya karena awalnya mau penelitian disini sama saya kemudian
dilempar ke kantor cabang. Waktu itu masih ramai corona, penelitian di
kantor ini sama saya.
P : Wah, banyak bu dari UII yang penelitian disini? Mungkin itu kakak
tingkat saya bu.
N2 : Banyaknya jurusan ekonomi, akuntansi, dan manajemen mas. UII jarang
sih kalau saya, mungkin bagian yang lain mas.
P : Oh iya bu, kalau pandemi seperti ini kredit terpengaruh enggak bu?
N1 : Ini mas, nanti di scan aja biar jelas mas.
N2 : Jelas ngaruh mas, semua terpengaruh.
P : Oh nggeh pak, makasih. Iya ya bu, kondisi ekonomi jadi seperti ini. Baik
bapak dan ibu, apakah boleh saya lanjutkan agar segera selesai ?
N1 : Monggo mas.
P : Terkait dengan visi misi Bank BPD DIY saya bisa melihat dimana ya
pak/bu?
N2 : Kalau itu diweb saja mas, lengkap.

170
N1 : Iya mas, nanti di web aja. Seperti buku tahunan yang ini juga bisa di
download mas di website resmi Bank BPD DIY.
P : Baik pak/bu, kemudian saya mau bertanya soal dasar alasan Bank BPD
DIY memberikan fasilitas kredit multi usaha dan kredit swaguna yang
keduanya itu dikenal kredit instansi itu bagaimana ya pak/bu?
N1 : Aku atau kamu bu yang jawab, masih standar pertanyaannya kayaknya
aku saja bu.
N2 : Ya monggo pak.
N1 : Jadi gini mas, kredit instansi itu sama halnya dengan kredit-kredit yang
lain. Cuma peruntukannya bagi pegawai, bisa pegawai negeri atau
pegawai swasta. Bagi pegawai negeri wajib menjaminkan SKnya mas.
Untuk pegawai swasta ya standar dokumen kerja seperti surat
keterangan kerja dari perusahaannya mas. Perlu digaris bawahi, kredit
instansi khususnya untuk pegawai swasta itupun tidak dapat
sembarangan diberikan begitu saja mas, butuh analisis yang detail yang
harus kami lakukan. Saya katakan kredit instansi sama dengan kredit
yang lain karena memang kredit ini juga ada jaminannya kok mas,
meskipun bukan berupa jaminan materiil atau jaminan benda gitu.
Dalam praktek kredit instansi ini diberikan karena ada MoU antara bank
dengan perusahaan si debitor, ada gaji debitor yang dibayarkan oleh
perusahaannya melalui rekening Bank BPD DIY. Kurang lebihnya
seperti itu mas, mungkin bu elva mau menambahkan.
N2 : Mungkin saya menegaskan saja mas, memang betul apa yang
disampaikan pak Hanafi. Kredit instansi itu dikhususkan bagi pegawai
negeri dan pegawai swasta. Dalam kasus debitor itu pegawai negeri,
kami meminta SK pengangkatan sebagai ASN-nya itu untuk dijaminkan
kepada kami. Untuk pegawai swasta, kami berdasar kepada ada tidaknya
MoU antara kami dengan perusahaan si pegawai swasta tersebut.
Adanya gaji pegawai swasta yang dibayarkan perusahaannya melalui
rekening Bank BPD DIY juga memberikan alasan kepada kami untuk
menawarkan fasilitas kredit tanpa jaminan yang cicilan perbulannya
dengan potong gaji secara otomatis.
P : Jadi seperti itu ya bapak dan ibu. Lalu, tahapan pemberian kredit instansi
itu apakah sama dengan fasilitas kredit lain yang ada di Bank BPD DIY?
N2 : Tidak sama mas, karena tidak ada penyerahan jaminan. Permohonan
kredit instansi ini dapat dilakukan secara online melalui website dan
secara offline mas. Meski online, kita juga pada waktunya nanti akan
tetap mewajibkan kehadiran debitor ke kantor kami. Permohonan kredit
instansi dimulai ketika nasabah mendatangi customer service, kemudian
mengisi form permohonan kredit, yang dilampiri dengan fotocopy Kartu
Tanda Penduduk, fotocopy NPWP, fotocopy identitas dari perusahaan
atau kantor nasabah, slip gaji asli beserta surat keterangan kerja,
fotocopy Kartu Keluarga, dan surat nikah bagi yang sudah menikah.
Pada satu bandel form permohonan kredit, di dalamnya sudah termasuk
adanya surat pernyataan dan kuasa potong gaji. Kemudian kami
verifikasi seluruh dokumen tersebut dan kami lakukan analisis.

171
N1 : Kalau sudah verifikasi dan kemudian kami lakukan analisis, kemudian
itu sudah masuk ke bagian analis kredit standar untuk dikeluarkannya
surat keterangan permohonan kredit (SKPK). Setiap ada permohonan
kredit, kami mencatat dalam sebuah buku khusus. Lalu kami lakukan BI
Checking, nah terkait dengan SKPK tadi, itu nanti terdapat 2 lembar
yang satunya untuk arsip sementara dan satunya masuk ke bagian analis
kredit standar. Jika permohonan kredit tersebut layak untuk diberikan,
maka analis kredit standar akan menginformasikan kepada Account
Officer, kemudian AO akan melakukan survey ke lapangan. AO
bertemu calon debitor, kemudian mengisi lembar laporan kunjungan
nasabah yang kemudian hasilnya dimasukkan ke dalam memorandum
analisis kredit yang akan diteruskan AO kepada komite kredit. Pada
analisis di awal tadi nanti kita sesuai unsur 7P, 5C, dan 3R. lebih
detailnya nanti ibu elva yang akan menjelaskan terkait unsur itu. Lanjut,
ada surat keputusan tentang permohonan kredit tersebut. Pemimpin
cabang akan membuat surat pemberitahuan persetujuan kredit, yang
diteruskan oleh analis kredit standar untuk membuat surat
penegasannya. Surat keputusannya tadi dicetak 3x, satu untuk debitor,
satu untuk kasir sebagai proses pencairan dan satu untuk kearsipan bank.
Ketika debitor telah memiliki rekening Bank BPD DIY maka proses
pencairan kredit hanya pemindahbukuan.
P : Baik pak/bu, sangat mengerti saya. Kemudian bagaimanakah penerapan
prinsip mengenal nasabah di Bank BPD DIY?
N2 : Jadi gini mas, di Bank BPD DIY itu ada yang namanya unit kerja
kepatuhan dan UKPN yang tupoksinya adalah mengawasi dan
menjamin bahwa seluruh kegiatan usaha perbankan kit aini sesuai
peraturan yang ada baik UU, POJK dan ketentuan BI serta sudah
melakukan penerapan prinsip-prinsip pemberian kredit seperti prinsip
mengenal nasabah sebagai salahsatunya. Jika masnya bertanya
mengenai bagaimana penerapannya, menurut pendapat saya itu dapat
diketahui dalam proses pengajuan permohonan kredit instansi yang
sudah dijelaskan secara detail oleh bapak Hanafi.
N1 : Bank BPD DIY sudah pasti menerapkan prinsip mengenal nasabah mas,
diawal seperti yang saya jelaskan tadi itukan kami melakukan
salahsatunya BI Checking. Dari situ kita bisa tahu karakternya, catatan
keuangan, serta informasi-informasi lain terkait debitor. Masih
ditambah informasi yang berhasil didapatkan dari hasil survey lapangan,
informasi terkait kondisi keluarga biasanya diketahui ada anak berapa
atau istri berapa hanya dengan melihat Kartu Keluarga, kemudian
dokumen rekening listrik, dan ada atau tidaknya usaha sampingan juga
sangat penting, tujuan penggunaan dana kredit juga harus diketahui
kami karena sekarang ini mengenai prinsip mengenal nasabah kita jadi
punya solusi untuk menangani pencucian uang dan pendanaan
terorisme. Pemberian kredit instansi ini sangat hati-hati mas, apalagi
kondisi ekonomi yang sedang buruk karena corona ini mas. Situasi-
situasi seperti ini juga menjadi pertimbangan.

172
N2 : Mungkin saya sedikit menambahkan, selain yang disebutkan oleh pak
Hanafi tadi. Sebenarnya, kami juga akan mengupayakan dan
memprediksi tentang apasih yang akan didapatkan debitor nanti setelah
mengambil fasilitas kredit instansi di kami. Untuk hal ini, kami
menyebutnya sebagai profit atau profitability yang harus didapatkan
oleh debitor atas akibat mengambil fasilitas kredit instandi di kami.
Kredit instansi ini kami persiapkan sebaik mungkin karena setiap kredit
itukan mengandung resiko. Mitigasi untuk menghadapi resiko kredit,
Bank BPD DIY dengan asuransi, kami kerjasama dengan dua
perusahaan asuransi terkait kredit pegawai. Keduanya membackup kami
untuk asuransi jiwa, asuransi phk, dan asuransi kredit macet, itu sudah
aman, biaya memang dibebankan kepada nasabah karena itu apa yang
tidak ada jaminan itu kami backup dengan asuransi dan kami bebankan
dengan nasabah, jadi tiap pencairan kredit nanti sudah dipotong untuk
asuransi. Kami kerja sama dengan PT. Asuransi Bangun Askrida dan
PT. ASEI. Juga ada MoU dengan perusahaan debitor membuat kami
sedikit nyaman dalam memberikan kredit instansi.
P : Baik bapak dan ibu, terimakasih penjelasannya. Saya sudah mempunyai
gambaran mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah dalam
pemberian kredit instansi di Bank BPD DIY. Berikutnya pak/bu, apakah
bank dapat mengetahui dengan cepat terkait kebenaran informasi yang
diberikan nasabah kepada bank?
N2 : Hal tersebut adalah yang utama, yang menjadi fokus kami setelah
nasabah memberikan informasi-informasinya. Nanti saya kasih formulir
permohonan kredit, didalamnya terdapat pernyataan tentang keaslian
data atau informasi yang diberikan oleh nasabah kepada kami.
P : Oh iya bu, saya juga butuh untuk dokumentasi.
N2 : Sebentar mas, diawal saya juga lupa menginformasikan bahwa di Bank
BPD DIY ini juga mempunyai manajemen resiko mas. Namanya kredit,
pasti mengandung resiko. Jika kredit tanpa resiko itu mustahil. Terlebih
kredit tanpa jaminan. Kami selalu melakukan pengkinian data nasabah,
agar informasi terbaru terkait nasabah dapat kami ketahui.
P : Baik bu, terimakasih. Selanjutnya saya mau bertanya mengenai ada
tidaknya hambatan dalam menerapkan prinsip mengenal nasabah?
N2 : Pertanyaan ini, dijawab oleh pak Hanafi saja karena pintu pertama
bertemu dengan nasabah.
N1 : Jadi gini mas, penerapan prinsip mengenal nasabah inikan garis
besarnya adalah kita harus benar-benar kenal si nasabah. Kita kenal,
berarti kita tahu informasi secara detail terkait nasabah tersebut. Kita
berkenalannya melalui formulir, dokumen dan keterangan si nasabah itu
sendiri. Namun, terkadang ada nasabah yang enggan informasi
pribadinya kami ketahui padahal untuk kepentingan perbankan. Bank
BPD DIY menyediakan form KYC, yang digunakan untuk mengisi data
diri dan keterangan lain terkait informasi pribadi nasabah agar bank
dapat kenal. Terkadang nasabah enggan untuk mengisi, kami berikan

173
edukasi terkadang ada yang paham dan ada yang mengalihkan
pembicaraan. Mungkin itu sih mas, hambatannya.
P : Baik pak terimakasih. Selanjutnya saya ingin bertanya mengenai ada
tidaknya penetapan kualitas kredit, ketika debitor kredit instansi itu
dipecat atau meninggal dunia?
N2 : Penetapan kualitas kredit itu ada mas, cuma selama ini untuk debitor
kredit instansi yang meninggal dunia itu sedikit. Selama pandemi ini,
mungkin faktor banyak PHK yang beberapa ada yang dipecat. Kami
dapat kabar cepat, karena ada MoU dengan perusahaan dimana debitor
itu bekerja. Penetapan kualitas kredit ini sebagai salah satu mekanisme
hukum yang kami persiapkan untuk menghadapi ancaman resiko kredit.
Ketika debitor dipecat atau meninggal dunia, otomatis kami tidak bisa
memotong gaji debitor secara otomatis karena perusahaan debitor sudah
tidak membayarkan gaji si debitor. Sehingga terjadi keterlambatan
pokok dan bunga karena proses-proses administrasi yang panjang bisa
sampai dengan 90 hari, kami lakukan penetapan kualitas kredit menjadi
kredit dalam perhatian khusus. Artinya, turun satu tingkat dari kredit
lancar. Faktor kemampuan membayar bagi kami sangat penting, karena
inti dari pemberian kredit adalah kembalinya uang kredit kepada bank
sepenuhnya dengan bunga sebagai keuntungannya.
P : Oke ibu elva, nah lalu terkait dengan mekanisme hukum yang disiapkan
Bank BPD DIY untuk menghadapi debitor yang dipecat atau meninggal
dunia sementara debitor yang bersangkutan masih terikat perjanjian
kredit instansi?
N1 : Sebelumnya mohon maaf, saya izin untuk meneruskan kegiatan saya
dulu ya mas, bu elva. Mungkin bisa dilanjutkan via WA saja mas, jika
ingin bertanya dikemudian hari jika dirasa masih ada yang mengganjal.
Masnya tidak membagi angket gitukan?hanya wawancara?
P : Oh baik pak, sebelumnya saya yang mengucapkan banyak terimakasih
karena sudah dibantu pak. Kebetulan saya hanya wawancara saja pak,
makasih ya pak. Ini juga hanya sisa 5 menit, mungkin saya persingkat
saja karena ibu elva juga akan ada rapat ya?
N2 : Iya mas, nanti juga saya kasih kartu nama saya supaya bisa
menghubungi say ajika masih ada pertanyaan.
P : Baik bu, terkait mekanisme hukum tadi sebenarnya pas pertanyaan
terakhir saya bu.
N2 : Baik mas, saya jelaskan. Ketika kami mendapati salah satu debitor kredit
instansi kami yang dipecat atau meninggal dunia. Mekanisme hukum
yang kami ambil pertama kali adalah dengan melakukan penetapan
kualitas kredit terlebih dahulu. Hal tersebut dikarenakan, berhentinya
gaji si debitor yang dibayarkan melalui rekening Bank BPD DIY
otomatis kami tidak bisa memotong gaji tersebut karena sudah tidak ada,
padahal cicilan harus tetap dibayarkan. Kami berpegang teguh kepada
klausul dalam perjanjian kredit instansi yang disetujui masing-masing
pihak. Berikutnya kami melakukan reschedulling, reconditioning dan
liquidation. Rescheduling atau penjadwalan kembali, Bank BPD DIY

174
akan memperpanjang jangka waktu kredit, memperpanjang jangka
waktu angsuran, dan perubahan jumlah angsuran. Recondittioning atau
persyaratan kembali, Bank BPD DIY akan memberikan penurunan suku
bunga bank atau dengan penundaan pembayaran suku bunga bank.
Mekanisme hukum yang berikutnya dapat diketahui dari ada tidaknya
jaminan dalam pemberian kredit instansi. Meski tidak ada jaminan,
dalam praktek sebenarnya gaji debitor yang dibayarkan melalui
rekening Bank BPD DIY merupakan salah satu hal yang membuat Bank
BPD DIY mempunyai keyakinan terhadap debitor untuk diberikan
fasilitas kredit instansi karena memang UU Perbankan tidak
mengharuskan dalam pemberian kredit itu ada jaminan. Selain itu,
ternyata dalam kredit instansi di Bank BPD DIY itu pihak bank meminta
jaminan tambahan yakni dalam bentuk avalis. Avalis menurut kami ini
adalah penanggung, biasanya debitor yang hutang nanti ada penanggung
entah itu istri atau ahli waris ataupun perusahaan si debitor. Baru
kemudian mekanisme hukum yang terakhir adalah mengklaim asuransi
jika ternyata kondisi kredit instansi tidak dapat diselamatkan.
P : Baik bu, ternyata ada avalis juga ya bu. Mekanismu hukumnya lumayan
banyak bu. Baik bu, terimakasih. Proses wawancara ini saya rekam bu
karena saya tidak hanya mencatat poin-poin pentingnya. Sekali lagi,
saya mengucapkan banyak terimakasih ibu sudah menyediakan
waktunya untuk menjadi narasumber penelitian saya. Saya juga titip
salam kepada bapak Hanafi ya bu, untuk disampaikan terimakasih saya
karena saya disini ditengah kesibukan ibu dan pak Hanafi tetap
meluangkan waktunya. Mungkin wawancara saya sudah selesai ibu.
N2 : Iya mas, sami-sami. Ini kartu nama saya. Jika kedepannya masih ada
pertanyaan-pertanyaan bisa via WA, insyaallah saya bantu.

175
FORMULIR PERMOHONAN KREDIT INSTANSI

176
177
178
179
180
FORMULIR PENGKINIAN DATA NASABAH

181

Anda mungkin juga menyukai