17 Agustus 1945 bertepatan dengan hari Jumat, 9 Ramadhan 1364 Hijriyah. Namun untuk
berdiri secara de jure (hukum) sebagai negara yang berdaulat, Indonesia memerlukan
pengakuan dari bangsa-bangsa lain.
Pada persyaratan de jure ini, bangsa Indonesia patut bersyukur dan berterima kasih terhadap
Palestina. Sebab Palestina di samping Mesir merupakan dua bangsa yang paling awal
memberikan pengakuan terhadap Negara Indonesia.
Saat itu, pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’
Mufti Besar Palestina Muhammad Amin Al-Husaini kepada Alam Islami, atas
kemerdekaanIndonesia. Berita yang disiarkan radio tersebut dua hari berturut-turut tersebut
juga dimuat pada harian “Al-Ahram” Mesir.
Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini dalam kapasitasnya sebagai Mufti Palestina juga
berkenan menyambut kedatangan delegasi “Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia ” dan
memberikan dukungan penuh.
Lalu, tersebutlah seorang warga Palestina, pengusaha terkemuka saat itu, yang sangat
bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, bernama Muhammad Ali Taher. Dia
secara spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia tanpa meminta tanda bukti dan
berkata, “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia,”
katanya.
Setelah seruan dari Mufti Palestina itu, maka negara berdaulat yang berani mengakui
kedaulatan RI pertama kali adalah Negara Mesir 1949.
Pengakuan resmi Mesir itu kemudian disusul oleh negara-negara Timur Tengah lainnya, yang
menjadi menjadi modal besar bagi Negara Indonesia untuk secara sah diakui sebagai negara
yang merdeka dan berdaulat secara penuh.
Setelah itu, dukungan dunia Arab terhadap kemerdekaan Indonesia menjadi sangat kuat. Para
pembesar Mesir, Arab dan Islam membentuk ‘Panitia Pembela Indonesia’. Para pemimpin
negara dan perwakilannya di lembaga internasional PBB dan Liga Arab sangat gigih
mendorong diangkatnya isu Indonesia dalam pembahasan di dalam sidang lembaga tersebut.
Yang mencolok dari gerakan massa internasional adalah ketika momentum Pasca Agresi
Militer Belanda ke-1, 21 Juli 1947. Saat kapal “Volendam” milik Belanda pengangkut
serdadu dan senjata telah sampai di Port Said.
Ribuan penduduk dan buruh pelabuhan Mesir yang dimotori gerakan Ikhwanul Muslimin,
berkumpul di pelabuhan itu. Mereka menggunakan puluhan motor-boat dengan bendera
merah-putih sebagai tanda solidaritas, berkeliaran di permukaan air guna mengejar dan
menghalau blokade terhadap motor-motor boat perusahaan asing yang ingin menyuplai air
dan makanan untuk Kapal “Volendam” milik Belanda yang berupaya melewati Terusan Suez,
hingga kembali ke pelabuhan.
Kemudian motor boat besar pengangkut logistik untuk “Volendam” bergerak dengan dijaga
oleh 20 orang polisi bersenjata beserta Mr. Blackfield, Konsul Honorer Belanda asal Inggris,
dan Direktur perusahaan pengurus kapal Belanda di pelabuhan. Namun hal itu tidak
menyurutkan perlawanan para buruh Mesir.
Saat itu, wartawan ‘Al-Balagh’ pada 10/8/1947 melaporkan: “Motor-motor boat yang penuh
buruh Mesir itu mengejar motor-boat besar itu dan sebagian mereka dapat naik ke atas
deknya. Mereka menyerang kamar stirman, menarik keluar petugas-petugasnya, dan
membelokkan motor-boat besar itu kejuruan lain.”
Sebelumnya, Majalah TIME edisi 25/1/1946 dengan nada minornya menakut-nakuti Barat
dengan kebangkitan Nasionalisme-Islam di Asia dan Dunia Arab. “Kebangkitan Islam di
negeri Muslim terbesar di dunia seperti di Indonesia akan menginspirasikan negeri-negeri
Islam lainnya untuk membebaskan diri dari Eropa.”
Pernyataan Tokoh
Dalam sambutan buku “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, Wakil Prsiden RI
Moh. Hatta waktu itu menyebutkan, “Kemenangan diplomasi Indonesia yang dimulai dari
Kairo. Karena dengan pengakuan Mesir dan negara-negara Arab lainnya terhadap Indonesia
sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh, segala jalan tertutup bagi Belanda untuk
surut kembali atau memungkiri janji, sebagai selalu dilakukannya di masa-masa yang
lampau.”
Jenderal A.H. Nasution juga memberikan catatan,”Karena itu tercatatlah, negara-negara Arab
yang paling dahulu mengakui RI dan paling dahulu mengirim misi diplomatiknya ke Jogja
dan yang paling dahulu memberi bantuan biaya bagi diplomat-diplomat Indonesia di luar
negeri. Mesir, Suriah, Irak, Arab Saudi, Yaman, memelopori pengakuan de jure RI bersama
Afghanistan, Iran dan Turki mendukung RI. Fakta-fakta ini merupakan hasil perjuangan
diplomat-diplomat revolusi kita. Dan simpati terhadap RI yang tetap luas di negara-negara
Timur Tengah merupakan modal perjuangan kita seterusnya, yang harus terus dibina untuk
perjuangan yang ditentukan oleh UUD ’45 : “Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Presiden Joko Widodo dan PM Palestina Rami Hamdallah di Jakarta, 21/4/2015. (Ant)
Dukungan Indonesia
Terkini, Presiden RI Joko Widodo dalam Pidato Kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna
MPR-RI, Jumat 14 Agustus 2015 lalu menyatakan kembali dukungannya teradap
kemerdekaan Palestina dari penjajahan dan kedzaliman, serta menyerukan agar saudara-
saudara Muslim di Timur Tengah meletakkan senjata dan berdamai demi kepentingan
ukhuwah Islamiyah.
Jokowi juga mengatakan, Indonesia akan terus mengirimkan pasukan perdamaian ke berbagai
belahan dunia, menjadi penengah konflik, memberikan kepemimpinan dalam pembuatan
norma-norma regional dan global.
Sebelumnya, pada Pembukaan Peringatan Ke-60 Konferensi Asia Afrika (KAA) di Jakarta,
Rabu, 22 April 2015 lalu, Presiden Jokowi juga menyampaikan pidato resmi yang
menggugah dunia, khususnya negara-negara di kawasan Asia Afrika, untuk mendukung
Negara Palestina merdeka dan berdaulat penuh.
“Masih adanya ketidakadilan, kesenjangan dan kekerasan global dunia saat ini, kemandirian
bangsa-bangsa Asia-Afrika serta perlunya kepemimpinan global yang kolektif, perlunya
reformasi PBB yang lebih menjamin terciptanya perdamaian dunia,” ujar Jokowi waktu itu.
Konsulat di Ramallah
Saat Presiden Joko Widodo bertemu dengan Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah di
Jakarta pada Selasa, 21 April 2015 dalam rangkaian peringatan KAA ke-60, Presiden Jokowi
juga mengajukan keinginan membuka Konsulat Kehormatan Indonesia di Ramallah.
“Kita minta persetujuan untuk pembukaan konsul kehormatan Indonesia di Ramalah, dan
Perdana Menteri menyampaikan dukungan. Itu akan mempermudah,” ujar Jokowi waktu itu.
Jokowi juga mengatakan bahwa negara Palestina masih dalam penjajahan. Oleh karenanya,
penjajahan di Palestina harus diakhiri.
“Saya sampaikan ke Perdana Menteri bahwa Palestina adalah satu-satunya negara yang masih
dalam penjajahan, masih dalam posisi dijajah dan saatnya sekarang harus diakhiri,” kata
Jokowi.
Presiden Jokowi menambahkan, akan ada pertemuan tindak lanjut untuk Palestina sebagai
langkah konkret. Pendirian kantor konsulat di Palestina tentu juga merupakan salah satu
bentuk dukungan nyata atas kemerdekaan negara Palestina.
Selain pembukaan kantor konsulat di Ramallah, kerja sama perdagangan antara kedua negara
juga akan ditingkatkan. Palestina, kata Jokowi, juga mengusulkan adanya pembebasan pajak
untuk barang-barang yang berasal dari Palestina.
“Ini masih dalam kajian. Kalau bisa diberikan insentif pajak akan diberikan,” katanya.
PM Palestina Rami Hamdallah menyebut Presiden Jokowi sebagai sahabat bangsa Palestina.
“Presiden Jokowi adalah sahabat bangsa Palestina. Kami sangat tersanjung dengan dukungan
presiden Jokowi yang sejak kampanye telah menyatakan komitmennya untuk kemerdekaan
Palestina,” katanya.
RS Indonesia di Gaza
Sementara dari sisi dukungan rakyat Indonesia, di samping doa dari jutaan rakyatnya, juga
kini telah berdiri Rumah Sakit Indonesia di Bayt Lahiya, Gaza Utara.
“Rumah Sakit ini adalah simbol cinta dari Muslim Indonesia untuk warga Palestina. Rumah
Sakit ini adalah simbol ukhuwah antara Muslimin di Indonesia dengan Palestina,” ujarnya.