Anda di halaman 1dari 63

Disusun oleh :

Dr. Aidawati

PERPUSTAKAAN NASIONAL RI
2012
MILIK

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Dilarang mempublikasikan, menggandakan, mencetak sebagian atau seluruh


isi Modul/Bahan Ajar ini tanpa izin dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kelancaran
dalam penerbitan Kurikulum dan Bahan Ajar Pendidikan dan Pelatihan (diklat) Kepala
Perpustakaan Sekolah sebagai acuan nasional dalam penyelenggaraan Diklat Kepala
Perpustakaan Sekolah.

Bahan ajar Diklat Kepala Perpustakaan Sekolah ini diterbitkan oleh Pusat Pendidikan dan
Pelatihan, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Perpustakaan
Nasional RI. Penerbitan ini sebagai upaya memenuhi kebutuhan penyelenggaraan diklat
yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan dan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 25 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga
Perpustakaan Sekolah/madrasah.

Terbitnya bahan ajar Diklat Kepala Perpustakaan Sekolah ini diharapkan dapat
meningkatkan kualitas penyelenggaraan Diklat Kepala Perpustakaan Sekolah dan
sekaligus mampu meningkatkan kualitas penyelenggaraan perpustakaan sekolah di tanah
air.

Kami ucapkan terima kasih kepada penyusun, tim penyunting, dan seluruh pihak terkait
yang telah membantu penyusunan dan penyelesaian bahan ajar diklat ini. Kritik maupun
saran untuk penyempurnaan bahan ajar Diklat Kepala Perpustakaan Sekolah ini sangat
kami harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaannya pada terbitan yang akan datang.

Jakarta, 29 April 2013


Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Perpustakaan Nasional RI

Drs Widiyanto, M.Si.


NIP. 19600412 198703 1 001

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1


1.1 Latar Belakang ................................................................... 1
1.2 Kompetensi Dasar .............................................................. 4
1.3 Indikator Keberhasilan ........................................................ 4
BAB II WAWASAN PENDIDIKAN KEPALA PERPUSTAKAAN SEKOLAH 5
2.1 Pengertian tentang Visi, Misi, Tujuan, dan Fungsi Pendidikan
Dalam Konteks Pendidikan Nasional.................................. 6
2.2 Kebijakan Pengembangan Kurikulum Pendidikan dalam
Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan................................. 10
2.3 Perpustakaan sebagai Pusat Sumber Belajar di Abad
Pengetahuan ...................................................................... 26
2.4 Perpustakaan Memfasilitasi Peserta Didik untuk Belajar
Mandiri ................................................................................ 34
2.5 Perpustakaan Pusat Literasi Informasi ............................... 40
2.6 Rangkuman ........................................................................ 48
BAB III PENUTUP ................................................................................. 52
DAFTAR RUJUKAN ................................................................................. 54

ii
BAB I
PENDAHULUAN

TUJUAN
Setelah mempelajari bab ini, peserta diklat akan:
1. Memahami latar belakang perlunya kepala perpustakaan sekolah
2. Memahami peran kepala perpustakaan sekolah
3. Memahami tujuan perpustakaan sekolah
4. Memahami kompetensi dasar kepala perpustakaan sekolah
5. Mengidentifikasi indikator keberhasilan kepala perpustakaan sekolah.

KERANGKA ISI

Materi ajar diklat wawasan pendidikan ini secara garis besar membekali peserta diklat
dengan pengetahuan dan pemahaman tentang tujuan dan fungsi sekolah/madrasah
dalam konteks pendidikan nasional, memahami kebijakan pengembangan kurikulum yang
berlaku, memahami peran perpustakaan sebagai sumber belajar, memfasilitasi peserta
didik untuk belajar mandiri, dan memberikan bimbingan literasi informasi.

1.1 Latar Belakang


Dalam rangka pengembangan organisasi dari waktu ke waktu, di berbagai negara
dimunculkan kesepakatan bahwa sumber daya manusia merupakan aspek yang sangat
penting. Kontribusi sumber daya manusia dinilai sangat signifikan dalam pencapaian

1
tujuan organisasi. Mengacu pada era globalisasi yang menuntut keunggulan bersaing dari
setiap organisasi, persaingan global telah meningkatkan standar kinerja dalam berbagai
dimensi, meliputi kualitas, biaya, dan operasionalisasi yang lancar.

Penting pula pengembangan lanjut dari organisasi dan para pegawainya. Dengan
menerima tantangan yang ditimbulkan dari standar yang makin meningkat ini, organisasi
yang efektif bersedia melakukan hal-hal penting untuk dapat bertahan dan meningkatkan
kemampuan strategis. Dalam sistem pendidikan nasional, organisasi yang bergerak dalam
sistem tersebut merupakan subsistem yang memiliki sumber daya manusia yang perlu
dikelola secara tepat. Secara nyata, mereka adalah para tenaga kependidikan yang
memiliki peran sangat penting dalam mewujudkan tujuan organisasi pendidikan yang pada
gilirannya memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian tujuan pendidikan
nasional.

Pentingnya peran Tenaga Kependidikan menurut perundang-undangan yang berlaku di


Indonesia, yaitu Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003,
khususnya Bab I Pasal 1 Ayat (5) menyebutkan bahwa tenaga kependidikan itu adalah
anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang
penyelenggarakan pendidikan. Dilihat dari jabatannya, tenaga kependidikan dibedakan
menjadi tenaga struktural, tenaga fungsional, dan tenaga teknis penyelenggara
pendidikan.

Tenaga struktural merupakan tenaga kependidikan yang menempati jabatan-jabatan


eksekutif umum (pimpinan) yang bertanggung jawab baik langsung maupun tidak
langsung atas satuan pendidikan. Tenaga fungsional merupakan tenaga kependidikan
yang menempati jabatan fungsional yaitu jabatan yang dalam pelaksanaan pekerjaannya
mengandalkan keahlian akademis kependidikan. Sedangkan Tenaga Teknis
Kependidikan merupakan tenaga kependidikan yang dalam pelaksanaan pekerjaannya
lebih dituntut kecakapan teknis operasional atau teknis administratif.

Kepala perpustakaan sekolah adalah salah satu tenaga fungsional kependidikan yang
membantu memfasilitasi pembelajaran yang berkualitas, menfasilitasi terjadinya belajar
pada peserta didik, memfasilitasi hasil belajar optimal sesuai dengan potensinya. Bentuk
fasilitasi adalah penyediaan sumber belajar, terdiri atas: tenaga pendidik, media: cetak,
audio, audio visul, komputer,lingkungan, dan perpustakaan.

2
Lebih jauh, pentingnya peran kepala perpustakaan sekolah yang menfasilitasi dalam
penyediaan sumber belajar bagi peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan
masyarakat. Hanya saja di lapangan masih adanya berbagai permasalahan terkait
perpustakaan sekolah. Sebagian besar sekolah belum memiliki perpustakaan yang
memadai, perpustakaan belum difungsikan sebagai penyedia sumber belajar, isi buku-
buku wajib dan penunjang belum sesuai kebutuhan belajar, luas ruang, meja dan kursi
untuk membaca juga belum sebanding dengan jumlah peserta didik, pendidik, dan tenaga
kependidikan yang ada di sekolah. Oleh karena itu, harapan ke depan perpustakaan dapat
berfungsi sebagai “School Learning Center”, kepala perpustakaan sekolah sebagai
fasilitator terbentuknya “budaya belajar” di sekolah.

Kepala perpustakaan sekolah sebagai tenaga fungsional yang profesional di sekolah,


sebagai Mitra Sejajar Guru dalam pengelolaan pembelajaran yang bermutu, memberikan
masukan kepada guru dan siswa untuk peningkatan mutu pembelajaran. Untuk
mewujudkan semua harapan tersebut, perlu ditempuh beberapa kegiatan. Salah satunya
adalah pendidikan dan pelatihan kepala perpustakaan sekolah, sehingga menjadi kepala
perpustakaan yang profesional.

1.1.1 Peran Perpustakaan Sekolah


Peran perpustakaan sekolah merupakan upaya untuk memelihara dan meningkatkan
efisiensi dan efektivitas proses belajar-mengajar. Perpustakaan yang terorganisasi secara
baik dan sistematis, secara langsung atau pun tidak langsung dapat memberikan
kemudahan bagi proses belajar mengajar di sekolah tempat perpustakaan tersebut
berada. Hal ini terkait dengan kemajuan bidang pendidikan, dan dengan adanya perbaikan
metode belajar-mengajar, maka masalah penyediaan fasilitas dan sarana pendidikan
sangat penting dan berkaitan erat dengan kemajuan pendidikan.

1.1.2 Tujuan perpustakaan Sekolah


Tujuan perpustakaan sekolah adalah untuk membantu warga sekolah dan masyarakat
dengan memberikan kesempatan dengan dorongan melalui jasa pelayanan perpustakaan
agar mereka: a) dapat mendidik dirinya sendiri secara berkesimbungan; b) dapat tanggap
dalam kemajuan pada berbagai lapangan ilmu pengetahuan, kehidupan sosial, dan politik;
c) dapat memelihara kemerdekaan berpikir yang konstruktif untuk menjadi anggota
keluarga dan masyarakat yang lebih baik; d) dapat mengembangkan kemampuan berpikir

3
kreatif, membina rohani dan dapat menggunakan kemampuannya untuk dapat
menghargai hasil seni dan budaya manusia; e) dapat meningkatkan taraf kehidupan
sehari-hari dan lapangan pekerjaannya; f) dapat menjadi warga negara yang baik, dapat
berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan nasional, dan dapat membina saling
pengertian antar bangsa; g) dapat menggunakan waktu senggang dengan baik serta
bermanfaat bagi kehidupan pribadi dan sosial.

1.2 Kompetensi Dasar


Setelah mengikuti mata ajar pendidikan dan latihan ini, peserta diharapkan mampu
menjelaskan tentang tujuan dan fungsi sekolah/madrasah, menerangkan kebijakan
pengembangan kurikulum, merumuskan peran perpustakaan sebagai sumber belajar,
memfasilitasi peserta didik untuk belajar mandiri, dan memberikan bimbingan pengguna
literasi informasi.

1.3 Indikator Keberhasilan


Setelah mengikuti mata diklat wawasan pendidikan kepala perpustakaan sekolah,
sebagai peserta diklat diharapkan mampu:
1.3.1 Memahami tujuan dan fungsi sekolah/madrasah dalam konteks pendidikan
nasional.
1.3.2 Memahami kebijakan pengembangan kurikulum yang berlaku.
1.3.3 Memahami peran perpustakaan sebagai sumber belajar.
1.3.4 Memfasilitasi peserta didik untuk belajar mandiri
1.3.5 Memberikan bimbingan literasi informasi.

4
BAB II
WAWASAN PENDIDIKAN
KEPALA PERPUSTAKAAN SEKOLAH

TUJUAN
Setelah mempelajari bab ini, peserta diklat akan:
1. Memahami visi, misi, tujuan, dan fungsi pendidikan dalam konteks pendidikan
nasional.
2. Memahami kebijakan pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan dalam
upaya peningkatan mutu pendidikan
3. Memahami perpustakaan sebagai pusat sumber belajar di abad pengetahuan
4. Memahami fungsi perpustakaan dalam memfasilitasi peserta didik untuk belajar
mandiri
5. Memahami perpustakaan pusat literasi informasi di sekolah.

KERANGKA ISI

Bab ini akan menjelaskan tentang visi, misi, tujuan, dan fungsi pendidikan dalam konteks
pendidikan nasional, kebijakan pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan dalam
upaya peningkatan mutu pendidikan, perpustakaan sebagai pusat sumber belajar di abad
pengetahuan, fungsi perpustakaan dalam memfasilitasi peserta didik untuk belajar
mandiri, dan perpustakaan pusat literasi informasi di sekolah.

5
2.1 Pengertian tentang Visi, Misi, Tujuan, dan Fungsi Pendidikan dalam
Konteks Pendidikan Nasional

Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha


agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran
dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen
bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara
Indonesia. Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip
demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan


dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan.
Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntutan
baru pada segala aspek kehidupan, termasuk sistem pendidikan. Tuntutan tersebut
menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum, yaitu
diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam.
Diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar
kompetensi lulusan yang berlaku secara nasional dan daerah, menyesuaikan dengan
kondisi setempat. Juga, penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan
tuntutan pelaksanaan tugas secara profesional, penyusunan standar pendanaan
pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip-prinsip pemerataan dan
keadilan, pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan
tinggi, serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multi makna.

Pembaharuan sistem pendidikan meliputi penghapusan diskriminasi antara pendidikan


yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan
antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Pembaharuan sistem pendidikan
nasional dilakukan untuk memperbarui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan
nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai
pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara

6
Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Dengan visi tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut:

1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan


yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bang-sa secara utuh sejak
usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk
mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pen-didikan sebagai pusat
pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai
berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.

Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu. Strategi pembangunan


pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi :

1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;


2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;
3. proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
4.evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan;
5. peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;
6. penyediaan sarana belajar yang mendidik;
7. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;
8. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;
9. pelaksanaan wajib belajar;

7
10. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;
11. pemberdayaan peran masyarakat;
12. pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan
13. pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.

Dengan strategi tersebut diharapkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dapat
terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam
penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan Undang- Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun
2003, bab II, pasal 2 bahwa Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 3 dikatakan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.

Pasal 4 mengatakan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah :


(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem
terbuka dan multimakna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan,
dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan
berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat
melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan.

8
Isu kebijakan bidang pendidikan: 1. Penetapan tujuan dan standar minimal kompetensi
pendidikan, 2. Efisiensi pengelolaan pendidikan berbasis sekolah memberikan
kepercayaan sekolah dalam mengoptimalkan sumber daya. 3. Peningkatan relevansi
pendidikan berbasis masyarakat. Pelaksanaan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah yang relevan dengan karakteristik sekolah dan masyarakat. 4. Pemerataan
pelayanan pendidikan yang berkeadilan. Pemerataan pelayanan pendidikan bagi peserta
didik pada semua lapisan masyarakat.

Selaras dengan isu kebijakan pendidikan tersebut di atas, salah satu prinsip
penyelenggaraan perpustakaan adalah perpustakaan sebagai sumber belajar harus
tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemajuan IPTEK, baik dari segi bangunan,
sarana, koleksi buku, dan jenis pelayanannya. Penyelenggaraan perpustakaan sebagai
bagian integral dari sistem pendidikan nasional, berorientasi pada pendekatan
penyelenggaraan pendidikan, yaitu “Education Production Function atau Input Output
Analysis”.

Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Sistem Pendidikan
Nasional, bahwa perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat
mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam mendukung
penyelenggaraan pendidikan nasional;

Salah satu upaya untuk memajukan kebudayaan nasional dalam sistem pendidikan, maka
perpustakaan merupakan wahana pelestarian kekayaan budaya bangsa; dalam rangka
meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa yang tercantum dalam UUD 1945 dan
Sistem Pendidikan Nasional, perlu ditumbuhkan budaya gemar membaca melalui
pengembangan dan pendayagunaan perpustakaan sebagai sumber informasi yang
berupa karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam.

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 43 Tahun 2007 tentang


Perpustakaan Pasal 19, yaitu:
1. Pengembangan perpustakaan merupakan upaya peningkatan sumber daya, pelayanan,
dan pengelolaan perpustakaan baik dalam kuantitas maupun kualitas.
2. Pengembangan perpustakaan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi berdasarkan:

9
a) karakteristik
b) fungsi
c) tujuan
d) masyarakat

Penyelenggaraan perpustakaan sekolah menurut UU RI No 43Tahun 2007:


1. Setiap sekolah/madrasah menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar
nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan.
2. Perpustakaan wajib memiliki koleksi buku teks pelajaran yang ditetapkan sebagai buku
teks wajib pada satuan pendidikan yang bersangkutan dalam jumlah yang mencukupi
untuk melayani semua peserta didik dan pendidik.
3. Perpustakaan mengembangkan koleksi lain yang mendukung pelaksanaan kurikulum
pendidikan.

2.2 Kebijakan Pengembangan Kurikulum Pendidikan dalam Upaya


Peningkatan Mutu Pendidikan
Terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang disertai dengan munculnya kebijakan-kebijakan lainnya seperti PP Nomor 19/2005,
Permendiknas Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006 saat ini membawa pemikiran baru
dalam pengelolaan sistem pendidikan di Indonesia yang mengarah pada berkembangnya
keinginan untuk melaksanakan otonomi pengelolaan pendidikan. Otonomi pengelolaan
pendidikan ini diharapkan akan mendorong terciptanya peningkatan pelayanan pendidikan
kepada masyarakat yang bermuara pada upaya peningkatan kualitas pengelolaan
pendidikan pada tataran paling bawah (at the bottom) yaitu sekolah atau satuan
pendidikan.

Penerapan kurikulum dewasa ini sebagai bukti bahwa sekolah diharapkan menjadi centre
of excellence dari inovasi implementasi kebijakan pendidikan saat ini yang bukan hanya
harus dikaji sebagai wacana dalam pengelolaan pendidikan namun sebaiknya
dipertimbangkan sebagai langkah strategis ke arah peningkatan mutu pendidikan.
Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar dalam
pengembangan kurikulum, disamping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap
tuntutan masyarakat juga dapat ditujukan sebagai sarana peningkatan efisiensi, mutu, dan
pemerataan pendidikan. Adanya otonomi dalam pengembangan kurikulum ini merupakan
potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para pengelola sekolah termasuk guru

10
dan kepala perpustakaan sekolah dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap
pendidikan. Selain itu, otonomi dalam pengembangan kurikulum memberikan keleluasaan
kepada sekolah dalam mengelola sumber daya dan menyertakan masyarakat untuk
berpartisipasi, serta mendorong profesionalisme para pengawas, kepala sekolah, dan
guru.

Dalam pelaksanaan kurikulum kepala sekolah dan guru serta kepala perpustakaan
sekolah memiliki kesempatan yang sangat luas dan terbuka untuk melakukan inovasi
pengembangan kurikulum, misalnya dengan cara melakukan eksperimentasi-
eksperimentasi di lingkungan sekolah itu berada. Kepala sekolah dan guru menjadi
perancang kurikulum (curriculum designer) bagi sekolahnya berdasarkan standar isi dan
standar kompetensi lulusan sekaligus melaksanakan, membina, dan mengembangkannya.

Melaksanakan kurikulum yaitu mentransformasikan isi kurikulum yang tertuang dalam


silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran kepada siswa dalam proses
pembelajaran. Membina kurikulum yaitu mengupayakan kesesuaian kurikulum aktual
dengan kurikulum potensial sehingga tidak terjadi kesenjangan. Mengembangkan
kurikulum yaitu upaya meningkatkan dalam bentuk nilai tambah dari apa yang telah
dilaksanakan sesuai dengan kurikulum potensial. Kepala sekolah dan guru
berkesempatan juga melakukan penilaian langsung terhadap berhasil tidaknya kurikulum
tersebut. Dengan melakukan penilaian dapat diketahui kekurangan dalam pelaksanaan
dan pembinaan kurikulum yang sedapat mungkin diatasi, dicarikan upaya lain yang lebih
baik, sehingga diperoleh hasil yang lebih optimal.

Dalam hal inilah, peranan pengawas sekolah (supervisor) sangat dibutuhkan untuk
membina kepala sekolah dan guru dalam merancang, melaksanakan, membina,
mengembangkan, sampai mengevaluasi kurikulum. Kecenderungan yang nampak dari
pelaksanaan kurikulum pada waktu yang lalu yaitu adanya penekanan makna mutu
pendidikan yang lebih banyak dikaitkan dengan aspek kemampuan akademik, khususnya
pada aspek kognitif. Hal tersebut berdampak pada terabaikannya aspek akhlak, budi
pekerti, seni, dan kecakapan yang diperlukan oleh siswa untuk menghadapi
kehidupannya. Indikator-indikator yang mendukung kecenderungan tersebut, berdasarkan
hasil evaluasi Ditjen Dikdasmen Depdiknas, di antaranya:

1. Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan
materi/substansi setiap mata pelajaran.

11
2. Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat
perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan
aplikasi kehidupan sehari-hari.
3. Terjadinya deviasi misi mata pelajaran tertentu dengan kegiatan belajar mengajar,
seperti mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Kerajinan Tangan dan
Kesenian yang lebih menekankan proses pembelajaran teoretis.
4. Bersifat sangat populis yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua
siswa di seluruh tanah air yang sebenarnya memiliki potensi, aspirasi, dan kondisi
lingkungan yang berbeda.
5 Kurang memberikan kemerdekaan pada guru dan tenaga kependidikan lainnya untuk
melakukan improvisasi dan justifikasi sesuai kondisi lapangan. Pada saat yang sama
diperlukan penyesuaian-penyesuaian untuk menjawab.
Dengan melihat kenyataan pengembangan kurikulum tersebut tentunya peran kepala
perpustakaan sangat penting membantu terwujudnya pelaksanaan kurikulum agar tujuan
pendidikan di sekolah atau satuan pendidikan bisa tercapai.

2.2.1 Kebijakan Pengembangan Kurikulum di Indonesia

Kebijakan pengembangan kurikulum sudah diwarnai oleh semangat otonomi daerah,


meskipun kurikulum itu ditujukan untuk mencapai tujuan nasional, tetapi cara
pencapaiannya disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah. Pelaksanaan
kurikulum menerapkan prinsip “Kesatuan dalam Kebijakan dan Keberagaman dalam
Pelaksanaan”. Standar nasional disusun pusat dan cara pelaksanaannya disesuaikan
masing-masing daerah/sekolah. Perwujudan Kesatuan dalam Kebijakan” tertuang dalam
pengembangan Kerangka Dasar, Standar Kompetensi Bahan Kajian, dan Standar
Kompetensi Mata Pelajaran, beserta Pedoman Pelaksanaannya. Perwujudan
“Keberagaman dalam Pelaksanaan” tertuang dalam pengembangan silabus dan skenario
pembelajaran. Pendekatan yang digunakan saat itu yaitu pendekatan kurikulum berbasis
kompetensi (competency-based curriculum). Pendekatan ini menjadi pilihan dalam untuk
menghadapi berbagai persoalan dengan harapan:
1. Adanya peningkatan mutu pendidikan secara nasional
2. Dilakukan secara responsif terhadap penerapan hak-hak azasi manusia, kehidupan
demokratis, globalisasi, dan otonomi daerah
3. Agar pendidikan nasional memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sesuai dengan
standar mutu nasional dan internasional.

12
4. Agar pendidikan nasional dapat merespon secara proaktif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta tuntutan desentralisasi.
5. Lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansi program pembelajaran terhadap
kepentingan daerah dan karakteristik siswa serta tetap memiliki fleksibilitas dalam
melaksanakan kurikulum yang berdiversifikasi.

Sebagai kelanjutan dari terbitnya UU Nomor 20/2003, telah terbit juga Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang di
dalamnya memuat ketentuan mengenai delapan standar, yaitu: (1) standar isi, (2) standar
proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)
standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8)
standar penilaian pendidikan. Penetapan standar-standar di atas bertujuan untuk
menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka pencerdasan kehidupan bangsa dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Standar tersebut juga
memiliki fungsi sebagai dasar perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan
untuk mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu

Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban
fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.

Pendidikan Nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan serta


peningkatan mutu dan relevansi pendidikan. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan
tersebut diarahkan untuk mampu meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya
melalui olahpikir, olahhati, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing menghadapi
tantangan global yang penuh persaingan. Untuk mengimplementasikan tujuan Sistem
Pendidikan Nasional itu maka perlu dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Peraturan pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan
dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, salah satunya memuat standar isi

13
yang di dalamnya mengatur tentang kurikulum sekolah. Tidak dapat dipungkiri bahwa
kurikulum merupakan core business (urusan utama) dari pendidikan. Mulyasa (2005:3)
menyatakan bahwa setidaknya terdapat tiga syarat utama yang perlu diperhatikan
terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui institusi pendidikan, yakni 1)
kurikulum yang berkualitas, 2) sarana-prasarana yang memadai, dan 3) tenaga pendidik
dan kependidikan yang profesional. Berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia
Indonesia, banyak hasil survei atau penelitian menunjukkan bahwa manusia Indonesia
berjumlah mampu bersaing di dunia, seperti yang dikemukakan oleh Abdullah (2006),
serta Jalal dan Supriadi (2001) yaitu:

Pertama, lebih dari 80% tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan SD dan buta
aksara. Untuk menunjang pembangunan ekonomi, kualifikasi tenaga kerja demikian
tidaklah memadai.

Kedua, mutu pendidikan khususnya pendidikan dasar masih sangat memprihatinkan


antara lain kemampuan membaca siswa di kawasan ASEAN merupakan terendah, hasil
studi The International Educational Achievement (IEA) tahun 1999 menunjukkan
kemampuan siswa SMP terhadap matematika dan IPA masih memprihatinkan.

Ketiga, ukuran indeks sumberdaya manusia pembangunan (Human Development Index


atau HDI) relatif masih ketinggalan, walaupun terdapat peningkatan setiap periode.
Implikasi dari gambaran sumber daya manusia Indonesia di atas, banyak pihak menuding
bahwa mutu pendidikanlah penyebabnya, yang faktor utamanya adalah kurikulum. Untuk
itu pemerintah telah berupaya melalui berbagai program peningkatan mutu pendidikan
antara lain pembakuan kurikulum sekolah sejak tahun 1975, perubahan kurikulum 1984,
kurikulum 1994 dan suplemennya, serta kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum
Berbasis Kompetensi.

Namun sampai saat ini masih terdapat beberapa masalah yang menghambat upaya
peningkatan mutu, yang boleh jadi disebabkan oleh kurikulum sekolah. Permasalahan-
permasalahan tersebut antara lain:1) Proses pembelajaran yang masih terlalu berorientasi
terhadap penguasaan teori dan hafalan sehingga kreativitas siswa cenderung terabaikan.
Juga proses pembelajaran yang kaku dan formal mengakibatkan proses pembelajaran
tersebut menjadi steril dengan perubahan lingkungan siswa (Alhadza, 2005:69). 2) Terlalu
terstrukturnya kurikulum sekolah dan sarat beban, baik materi maupun waktu kegiatan di
sekolah. Sebagai gambaran menurut Prasetyo (2006:147), dalam setahun jam pelajaran
siswa SD hingga SMA di Indonesia lebih dari 1000 jam pertahun dan merupakan angka

14
terlama di dunia sekalipun dibandingkan dengan negara-negara maju yang hanya berkisar
900-960 jam per-tahun.

2.2.2 Hakikat Kurikulum


Istilah kurikulum (curriculum), yang pada awalnya digunakan dalam dunia olahraga,
berasal dari kata curir (pelari) dan curere (tempat berpacu). Pada saat itu kurikulum
diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai
finish untuk memperoleh medali/penghargaan. Kemudian, pengertian tersebut diterapkan
dalam dunia pendidikan menjadi sejumlah mata pelajaran (subject) yang harus ditempuh
oleh seorang siswa dari awal sampai akhir program pelajaran untuk memperoleh
penghargaan dalam bentuk ijazah. Dari pengertian tersebut, dalam kurikulum terkandung
dua hal pokok, yaitu: (1) adanya mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa, dan (2)
tujuan utamanya yaitu untuk memperoleh ijazah. Dengan demikian, implikasi terhadap
praktik pengajaran yaitu setiap siswa harus menguasai seluruh mata pelajaran yang
diberikan dan menempatkan guru dalam posisi yang sangat penting dan menentukan.
Keberhasilan siswa ditentukan oleh seberapa jauh mata pelajaran tersebut dikuasainya
dan biasanya disimbolkan dengan skor yang diperoleh setelah mengikuti suatu tes atau
ujian.

Pengertian kurikulum seperti disebutkan di atas dianggap pengertian yang sempit atau
sangat sederhana. Jika kita mempelajari buku-buku atau literatur lainnya tentang
kurikulum, terutama yang berkembang di negara-negara maju, maka akan ditemukan
banyak pengertian yang lebih luas dan beragam. Kurikulum itu tidak terbatas hanya pada
sejumlah mata pelajaran saja, tetapi mencakup semua pengalaman belajar (learning
experiences) yang dialami siswa dan mempengaruhi perkembangan pribadinya. Bahkan
Harold B. Alberty (1965) memandang kurikulum sebagai semua kegiatan yang diberikan
kepada siswa di bawah tanggung jawab sekolah (all of the activities that areprovided for
the students by the school). Kurikulum tidak dibatasi pada kegiatan di dalam kelas saja,
tetapi mencakup juga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa di luar kelas. Pendapat
yang senada dan menguatkan pengertian tersebut dikemukakan oleh Saylor, Alexander,
dan Lewis (1974) yang menganggap kurikulum sebagai segala upaya sekolah untuk
mempengaruhi siswa supaya belajar, baik dalam ruangan kelas, di halaman sekolah,
maupun di luar sekolah.

Pada saat sekarang istilah kurikulum memiliki empat dimensi pengertian, satu dimensi
dengan dimensi lainnya saling berhubungan. Keempat dimensi kurikulum tersebut yaitu:

15
(1) kurikulum sebagai suatu ide/gagasan; (2) kurikulum sebagai suatu rencana tertulis
yang sebenamya merupakan perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide; (3) kurikulum
sebagai suatu kegiatan yang sering pula disebut dengan istilah kurikulum sebagai suatu
realita atau implementasi kurikulum.
Secara teoretis dimensi kurikulum ini adalah pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu
rencana tertulis; dan (4) kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekuensi dari
kurikulum sebagai suatu kegiatan. Pandangan atau anggapan yang sampai saat ini masih
lazim dipakai dalam dunia pendidikan dan persekolahan di negara kita, yaitu kurikulum
sebagai suatu rencana tertulis yang disusun guna memperlancar proses pembelajaran.

Hal ini sesuai dengan rumusan pengertian kurikulum seperti yang tertera dalam Undang-
undang No. 20 Tahun 2003 tentang: "Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu". Dalam panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang
pendidikan dasar dan menengah yang dikeluarkan oleh BSNP, pengertian kurikulum yang
digunakan mengacu pada pengertian seperti yang tertera dalam UU tersebut. Secara lebih
jelas dikatakan bahwa KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan
dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan
tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan,
kalender pendidikan, dan silabus.

2.2.3 Fungsi dan Peranan Kurikulum


1. Fungsi Kurikulum

Apa sebenarnya fungsi kurikulum bagi guru, siswa, kepala sekolah/pengawas, orang tua,
dan masyarakat? Pada dasarnya kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman atau acuan.
Bagi guru, kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses
pembelajaran. Bagi kepala sekolah dan pengawas, kurikulum itu berfungsi sebagai
pedoman dalam melaksanakan supervisi atau pengawasan. Bagi orang tua, kurikulum itu
berfungsi sebagai pedoman dalam membimbing anaknya belajar di rumah. Bagi
masyarakat, kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan bantuan bagi
terselenggaranya proses pendidikan di sekolah. Bagi siswa sebagai subjek didik, terdapat
enam fungsi kurikulum sebagai berikut: (a) fungsi penyesuaian, (b) fungsi integrasi, (c)
fungsi diferensiasi, (d) fungsi persiapan, (e) fungsi pemilihan, dan (f) fungsi diagnostik.

16
a. Fungsi Penyesuaian

Fungsi Penyesuaian mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus
mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifat well adjusted yaitu mampu menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan itu
sendiri senantiasa mengalami perubahan dan bersifat dinamis. Karena itu, siswa pun
harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di
lingkungannya.

b. Fungsi Integrasi
Fungsi integrasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus
mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada dasarnya merupakan
anggota dan bagian integral dari masyarakat. Oleh karena itu, siswa harus memiliki
kepribadian yang dibutuhkan untuk dapat hidup dan berintegrasi dengan masyarakatnya.

c. Fungsi Diferensiasi
Fungsi diferensiasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus
mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan individu siswa. Setiap siswa memiliki
perbedaan, baik dari aspek fisik maupun psikis, yang harus dihargai dan dilayani dengan
baik.

d. Fungsi Persiapan
Fungsi persiapan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus
mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya.
Selain itu, kurikulum juga diharapkan dapat mempersiapkan siswa untuk dapat hidup
dalam masyarakat seandainya karena sesuatu hal, tidak dapat melanjutkan
pendidikannya.

e. Fungsi Pemilihan
Fungsi Pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus
mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih program-program belajar
yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat
hubungannya dengan fungsi diferensiasi, karena pengakuan atas adanya perbedaan
individual siswa berarti pula diberinya kesempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa

17
yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Untuk mewujudkan kedua fungsi
tersebut, kurikulum perlu disusun secara lebih luas dan bersifat fleksibel.

f. Fungsi Diagnostik
Fungsi diagnostik mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus
mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat memahami dan menerima
kekuatan (potensi) dan kelemahan yang dimilikinya. Jika siswa sudah mampu memahami
kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya, maka diharapkan
siswa dapat mengembangkan sendiri potensi kekuatan yang dimilikinya atau memperbaiki
kelemahan-kelemahannya.

2.2.4 Peranan Kurikulum


Kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah/madrasah memiliki peranan yang sangat
strategis dan menentukan pencapaian tujuan pendidikan. Terdapat tiga peranan yang
dinilai sangat penting, yaitu: (a) peranan konservatif,(2) peranan kreatif, dan (3) peranan
kritis/evaluatif (Oemar Hamalik,1990).

a. Peranan Konservatif
Peranan ini menekankan bahwa kurikulum sebagai sarana untuk mentransmisikan nilai-
nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini kepada
generasi muda, dalam hal ini para siswa. Dengan demikian, peranan konservatif ini pada
hakikatnya menempatkan kurikulum, yang berorientasi ke masa lampau. Peranan ini
sifatnya menjadi sangat mendasar, disesuaikan dengan kenyataan bahwa pendidikan
pada hakikatnya merupakan proses sosial. Salah satu tugas pendidikan yaitu
mempengaruhi dan membina perilaku siswa sesuai dengan nilai-nilai sosial yang hidup di
lingkungan masyarakatnya.

b. Peranan Kreatif
Peranan ini menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu yang
baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat
pada masa sekarang dan masa mendatang. Kurikulum harus mengandung hal-hal yang
dapat membantu setiap siswa mengembangkan semua potensi yang ada pada dirinya
untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru, kemampuan-kemampuan baru, serta
cara berpikir baru yang dibutuhkan dalam kehidupannya.

18
c. Peranan Kritis dan Evaluatif
Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang
hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan, sehingga pewarisan nilai-nilai
dan budaya masa lalu kepada siswa perlu disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada
masa sekarang. Selain itu, perkembangan yang terjadi pada masa sekarang dan masa
mendatang belum tentu sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Karena itu, peranan
kurikulum tidak hanya mewariskan nilai dan budaya yang ada atau menerapkan hasil
perkembangan baru yang terjadi, melainkan juga memiliki peranan untuk menilai dan
memilih nilai dan budaya serta pengetahuan baru yang akan diwariskan tersebut.

Dalam hal ini, kurikulum harus turut aktif berpartisipasi dalam kontrol atau filter sosial.
Nilai-nilai sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan tuntutan masa kini dihilangkan
dan diadakan modifikasi atau penyempurnaan-penyempurnaan. Ketiga peranan kurikulum
di atas tentu saja harus berjalan secara seimbang dan harmonis agar dapat memenuhi
tuntutan keadaan. Jika tidak, akan terjadi ketimpangan-ketimpangan yang menyebabkan
peranan kurikulum persekolahan menjadi tidak optimal. Menyelaraskan ketiga peranan
kurikulum tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam proses
pendidikan.

2.2.5. Landasan Pengembangan Kurikulum


Dalam setiap kegiatan pengembangan kurikulum, baik pada level makro maupun mikro,
selalu membutuhkan landasan-landasan yang kuat dan didasarkan atas hasil-hasil
pemikiran dan penelitian yang mendalam. Hal ini disebabkan bahwa kurikulum itu sendiri
pada hakikatnya merupakan rancangan atau program pendidikan. Sebagai suatu
rancangan/program tersebut, maka kurikulum ini menempati posisi/kedudukan yang
sangat strategis dalam keseluruhan kegiatan pendidikan, dalam arti akan sangat menjadi
penentu terhadap proses pelaksanaan dan hasil-hasil yang ingin dicapai oleh pendidikan.

Dengan posisi yang penting itu, maka penyusunan dan pengembangan kurikulum tidak
bisa dilakukan secara sembarangan. Diperlukan berbagai landasan/dasar yang kokoh dan
kuat. Landasan-landasan tersebut pada hakikatnya adalah faktor-faktor yang harus
diperhatikan dan dipertimbangkan oleh para pengembang kurikulum, pada saat
mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan.

Sebuah bangunan/gedung yang besar tentu membutuhkan landasan atau fondasi yang
kuat agar bangunan tersebut dapat berdiri tegak, kokoh dan tahan lama. Apabila
bangunan tersebut tidak memiliki fondasi yang kokoh, maka yang cepat ambruk/hancur

19
adalah gedung itu sendiri, tetapi apabila landasan pendidikan/kurikulum yang lemah, tidak
kokoh, maka yang dipertaruhkan adalah manusianya (siswa). Berkaitan dengan landasan
pengembangan kurikulum ini, Robert S. Zais (1976) mengemukakanempat landasan,
yaitu: philosophy and the nature of knowledge, society and culture, the individual, and
learning theory. Dengan berpedoman pada empat landasan tersebut dibuatlah model yang
disebut "An eclectic model of the curriculum and its foundations"

Dalam implementasi kurikulum sekolah pada suatu negara selalu dilandasi juga oleh
landasan legal berupa kebijakan-kebijakan pendidikan yang diberlakukan di negara
tersebut. Penyelenggaraan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang saat ini
diterapkan di Indonesia dilandasi oleh kebijakan perundang-undangan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang SistemPendidikan
Nasional, Pasal 1 ayat (19); Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 32 ayat (1), (2), (3);
Pasal 35 ayat (2); Pasal 36 ayat (1), (2), (3), (4);Pasal 37 ayat (1), (2), (3); Pasal 38
ayat (1), (2).
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentangStandar
Nasional Pendidikan, Pasal 1 ayat (5), (13), (14), (15); Pasal 5ayat (1), (2); Pasal 6 ayat
(6); Pasal 7 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7),(8); Pasal 8 ayat (1), (2), (3); Pasal 10 ayat
(1), (2), (3); Pasal 11 ayat (1),(2), (3), (4); Pasal 13 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 14 ayat
(1), (2), (3); Pasal16 ayat (1), (2), (3), (4), (5); Pasal 17 ayat (1), (2); Pasal 18 ayat
(1),(2), (3); Pasal 20.
c. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Standar isi ini
mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan
pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam standar isi adalah:
kerangka dasar dan struktur kurikulum Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi
Dasar (KD) setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang
pendidikan dasar dan menengah.
d. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Standar Kompetensi Lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang
mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan.
e. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24Tahun 2006
tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006

20
tentang Standar Isi untuk Satuan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan PendidikanDasar dan Menengah.

2.2.6 Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum


Sebenarnya tidak terhitung banyaknya prinsip yang dapat digunakan dalam
pengembangan kurikulum. Kurikulum pada jenjang pendidikan mana pun biasanya
dikembangkan dengan menganut prinsip-prinsip tertentu, prinsip yang dianut merupakan
kaidah yang menjiwai kurikulum itu. Pada dasarnya guru harus bisa menerapkan prinsip-
prinsip pengembangan kurikulum yang telah ditentukan oleh para pengambil keputusan,
namun demikian khususnya pada tataran pelaksanaan kurikulum di sekolah, bisa juga
diciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Karena itu mungkin terjadi suatu kurikulum sekolah
menggunakan prinsip-prinsip yang berbeda dengan yang digunakan dalam kurikulum
sekolah lainnya. Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum biasanya ditulis secara eksplisit
dalam buku atau dokumen kurikulum sekolah. Implementasi dari prinsip pengembangan
kurikulum tersebut dapat dikaji atau dipelajari dalam keseluruhan isi buku kurikulum
tersebut, dalam pelaksanaan kurikulum, dan evaluasi kurikulum.

Sering terjadi implementasi prinsip-prinsip kurikulum itu sukar diidentifikasi, bahkan


kadang-kadang yang nampak menonjol justru terjadinya peristiwa-peristiwa kurikuler yang
menyimpang dari prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan kurikulum secara
umum didasarkan pada prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang tertera dalam UU
No.20/2003 (pasal 36), yaitu bahwa: (1) pengembangan kurikulum dilakukan dengan
mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional,(2) kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan
prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan siswa, dan (3)
kurikulum disusun sesuai jenjang pendidikan dalam kerangka NKRI dengan
memperhatikan: (a) peningkaatan iman dan takwa, (b) peningkatan akhlak mulia, (c)
peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat siswa, (d) keragaman potensi daerah dan
lingkungan, (e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional, (f) tuntutan dunia kerja, (g)
perkembangan IPTEK dan seni, (h) agama, (i) dinamika perkembangan global, dan (j)
persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

21
Secara khusus, KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum sebagai berikut:
1. Berpusat pada Potensi, Perkembangan, Kebutuhan, dan Kepentingan Siswa dan
Lingkungannya
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa siswa memiliki posisi sentral untuk
mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung
pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi siswa disesuaikan dengan
potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan siswa serta tuntutan lingkungan.
Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa.

2. Beragam dan Terpadu


Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik siswa, kondisi
daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap
perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan
pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan
yang bermakna dan tepat antar substansi.

3. Tanggap terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni


Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni yang berkembang secara dinamis. Karena itu, semangat dan isi kurikulum
memberikan pengalaman belajar siswa untuk mengikuti dan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

4. Relevan dengan Kebutuhan Kehidupan


Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan
(stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan,
termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Karena
itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial,
keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.

22
5. Menyeluruh dan Berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan
dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan
antarsemua jenjang pendidikan.

6. Belajar Sepanjang Hayat


Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan
siswa yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan
keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan
memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang, serta arah
pengembangan manusia seutuhnya.

7. Seimbang antara Kepentingan Nasional dan Kepentingan Daerah

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan


daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan
sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).

Dalam pelaksanaannya, Kurikulum menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi siswa


untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini siswa harus
mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan
mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis, dan menyenangkan.

b. Kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu:


(a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
(b) belajar untuk memahami dan menghayati,
(c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
(d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan
(e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran
yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

c. Pelaksanaan kurikulum memungkinkan siswa mendapat pelayanan yang bersifat


perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap
perkembangan, dan kondisi siswa dengan tetap memperhatikan keterpaduan

23
pengembangan pribadi siswa yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan,
dan moral.

d. Kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan siswa dan pendidik yang saling
menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri
handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sungtulada (di belakang memberikan
daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan
memberikan contoh dan teladan).

e. Kurikulum dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan


multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan
lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam takambang jadi guru
(semua yang terjadi, tergelar dan berkembang di masyarakat dan lingkungan sekitar
serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber belajar, contoh dan teladan).

f. Kurikulum dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya


serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan
kajian secara optimal.

g. Kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal
dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan
kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas dan jenis serta jenjang
pendidikan.

2.2.7. Struktur dan Muatan Kurikulum

Struktur kurikulum pada dasarnya merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang
harus ditempuh oleh siswa dalam kegiatan pembelajaran. Kedalaman muatan kurikulum
pada setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi
yang harus dikuasai siswa sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur
kurikulum tersebut. Kompetensi yang dimaksud terdiri atas kompetensi Inti dan
kompetensi dasar yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi lulusan. Muatan
lokal dan kegiatan pengembangan diri merupakan bagian integral dari struktur kurikulum
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika ditelaah dari dokumen Standar Isi
sebagai lampiran Permendiknas No. 22/2006, struktur kurikulum tersebut dibedakan pada
masing-masing tingkat satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK).

24
2.2.8. Kondisi Nyata Peran Perpustakaan Sekolah Menunjang Program Kurikulum
Sekolah

Keberadaan perpustakaan sekolah masih kurang mendapat perhatian. Hal ini dapat dilihat
dari rendahnya pertumbuhan perpustakaan pada lembaga pendidikan, khususnya pada
tingkat Pendidikan Menengah dan Pendidikan Dasar. Dari 175.268 unit sekolah diseluruh
Indonesia, baru 12.620 sekolah yang memiliki perpustakaan. Untuk SD baru 5 % yang
mempunyai perpustakaan sekolah, SMP sekitar42% dan SMU sekitar 68% (Suara
Merdeka, Rabu 9 Juni 2004).

Kondisi ini menyiratkan bahwa perhatian penentu kebijakan di lingkungan sekolah belum
memprioritaskan perpustakaan sekolah sebagai program sekolah yang perlu diperhatikan
untuk menunjang ketercapaian program kurikulum untuk meningkatkan proses
pembelajaran dan hasil belajar peserta didik. Sementara itu dalam kurikulum menyiratkan
perlunya peningkatan peran perpustakaan sekolah sebagai penunjang kegiatan belajar
siswa dan guru. Kurikulum menutut guru untuk lebih aktif dalam mengembangkan
pembelajaran dalam mengembangkan indikator pembelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan siswa.

Untuk itu pada setiap sekolah perlu didukung adanya perpustakaan yang mampu
berfungsi dengan baik. Secara sederhana pengertian perpustakaan adalah salah satu
bentuk organisasi sumber belajar yang menghimpun berbagai informasi dalam bentuk
buku dan bukan buku yang dapat dimanfaatkan oleh pemakai (guru, siswa, dan
masyarakat) dalam upaya mengembangkan kemampuan dan kecakapannya. Menurut
Wiryokusumo (dalam Darmono, 2004), dengan memanfaatkan perpustakaan dapat
diperoleh data atau informasi untuk memecahkan berbagai masalah, sumber untuk
menentukan kebijakan tertentu, serta berbagai hal yang sangat penting untuk keperluan
belajar.

Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan di atas, diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Upaya perbaikan dan pengembangan kurikulum adalah suatu upaya untuk
memperbaiki mutu sumber daya manusia melalui pendidikan sebagai antisipasi
perkembangan masyarakat yang terus mengalami perubahan.

25
2. Tahapan kegiatan analisis kebijakan pengembangan kurikulum yaitu 1) analisis
kebutuhan, 2) merumuskan kebutuhan dan desain kurikulum, dan 3) menyusun
kurikulum.
3. Kebijakan kurikulum baru ini menimbulkan konflik/pertentangan karena sifatnya
sebagai inovasi. Namun, reaksi tersebut merupakan sebuah kewajaran dan normal.
4. Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum adalah suatu kegiatan penilaian kurikulum
yang biasanya dilakukan pada suatu periode yang telah ditentukan setelah suatu
kurikulum diimplementasikan, dengan maksud dan tujuan adalah untuk melihat
kualitas dan efektivitas program kurikulum, mendiagnosis, memperbaiki,
membandingkan, mengantisipasi kebutuhan pendidikan, serta menentukan seberapa
baiknya pelaksanaan kurikulum.
5. Perpustakaan sekolah perlu menunjang ketercapaian program kurikulum dalam
meningkatkan proses pembelajaran dan hasil belajar peserta didik. Sementara itu
dalam kurikulum menyiratkan perlunya peningkatan peran perpustakaan sekolah
sebagai penunjang kegiatan belajar siswa dan guru. Kurikulum tingkat satuan
pendidikan menutut guru untuk lebih aktif dalam mengembangkan pembelajaran
khususnya dalam mengembangkan indikator pembelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan siswa. Untuk itu pada setiap sekolah perlu didukung adanya perpustakaan
yang mampu berfungsi dengan baik dalam membantu tercapainya visi, misi, dan
tujuan pendidikan.

2.3 Perpustakaan sebagai Pusat Sumber Belajar di Abad Pengetahuan

Perpustakaan sekolah adalah sumber belajar yang berada di sekolah, merupakan bagian
integral dari sekolah berfungsi mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Perpustakaan
sekolah sebagai perangkat pendidikan di sekolah merupakan bagian integral dalam sistem
pembelajaran di sekolah. Perpustakaan berfungsi sebagai: (1) pusat sumber belajar, yaitu
menyediakan koleksi bahan pustaka untuk mendukung pembelajaran, (2) pusat penelitian
sederhana, yaitu menyediakan koleksi bahan pustaka yang bermanfaat untuk
melaksanakan penelitian sederhana bagi peserta didik, guru, dan tenaga kependidikan,
dan (3) pusat membaca guna menambah ilmu pengetahuan dan rekreasi.

2.3.1 Peran Perpustakaan

26
Dalam kegiatan pembelajaran dan upaya mengembangkan melek informasi, perpustakaan
sekolah perlu melakukan peran sebagai berikut.
a. mendukung dan meningkatkan tujuan pendidikan nasional, insitusional, kurikuler, dan
pembelajaran;
b. mengembangkan dan meneruskan kebiasaan dan kesukaan peserta didik pada
bacaan;
c. memberikan kesempatan untuk mendapatkan pengalaman dalam menciptakan dan
menggunakan informasi untuk pengetahuan, pemahaman, imajinasi dan kesenangan;
d. mendukung seluruh komunitas sekolah dalam belajar dan mempraktikkan keahliannya
untuk mengevaluasi dan mempergunakan informasi, tanpa memperhatikan bentuk,
format atau media, termasuk kepekaan terhadap cara berkomunikasi dalam
masyarakat;
e. memberikan akses kepada sumber lokal, regional, nasional, dan global;
f. menyelenggarakan kegiaan yang mendorong kesadaran dan kepekaan sosial dan
budaya;
g. bekerja bersama peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan untuk mencapai misi
sekolah;
h. menyatakan konsep bahwa kebebasan intelektual dan akses kepada informasi
merupakan hal yang penting untuk anggota masyarakat yang berguna dan
bertanggung jawab serta merupakan partisipasi dalam kehidupan berdemokrasi;
i. mempromosikan bacaan, sumber informasi, dan layanan perpustakaan sekolah untuk
seluruh masyarakat sekolah dan di luar masyarakat sekolah.

2.3.2 Abad Pengetahuan

Peran perpustakaan, khususnya perpustakaan sekolah dalam abad pengetahuan ini


sangat penting. Sekarang ini, dunia telah memasuki abad pengetahuan (knowledge age)
sebagai tahapan yang paling menakjubkan. Tahapan perkembangan budaya manusia
terdiri atas empat tahap, yaitu: abad agraris (sebelum tahun 1880), abad industri (1880 –
1985), abad informasi (1955 – 2000), dan abad pengetahuan (1995 – sekarang). Tahapan
tonggak-tonggak sejarah peradaban manusia tersebut dilalui melalui belajar sepanjang
hayat.

27
Key Resources by Economic Era

Agrarian Industrial (1880- Information Knowledge (1995 +)


(<1880) Natural 1985) Means of (1955-2000) Intelectual Capital
Resources Production Technology

Evolusi teknologi komunikasi manusia sebenarnya dimulai sejak manusia mengenal


alfabet 4000 tahun yang lalu. Namun, baru pada abad 11, artinya 3 ribu tahun kemudian,
mesin cetak ditemukan di Cina dan Eropa. Pada tahun 1451, Johanes Gutenberg,
penemu mesin cetak asal Jerman berhasil mencetak buku yang pertama. Penemuan
mesin cetak merupakan awal pengembangan pengetahuan. Pada pertengahan abad 15
jumlah buku mencapai 9 juta eksemplar, bandingkan dengan awal abad 15 yang jumlah
cetakan buku di seluruh dunia baru sebanyak 30 ribu. Kemudian berturut-turut ditemukan
mesin ketik, yaitu tahun 1872, pada tahun 1876 ditemukan telepon pertama, dan pada
tahun 1884 mesin setting pertama ditemukan. Film bisu pertama diproduksi tahun 1894,
sinyal radio pertama tahun 1895, film bersuara tahun 1922, televisi pertama tahun 1926,
dan komputer tahun 1971. Setelah itu, perkembangan bidang komunikasi sudah tidak
terbendung lagi, perkembangan teknologi komunikasi bukan hitungan ribuan, ratusan
tahun, atau puluhan tahun, akan tetapi sudah sampai tahun, bulan, hari bahkan jam.

Dengan ditemukannya kabel serat optik tunggal, bidang komunikasi maju dengan pesat
karena mempunyai kemampuan untuk membawa pesan elektronik yang sangat cepat
dengan kapasitas yang besar. Pada tahun 1988, serat optik mempunyai kemampuan
membawa 3000 pesan elektronik, dan pada tahun 1996 kemampuannya bertambah
menjadi 1,5 juta pesan. Tahun 2000 kemampuannya berlipat menjadi 10 juta pesan
elektronik. Isi pesan-pesan tersebut yang sekarang digunakan untuk pesan surat
elektronik (e-mail), navigasi pesawat terbang, peralatan tempur, satelit, bank-bank yang
on-line di seluruh dunia, memesan tiket pesawat terbang, mengetahui saldo bank,
mengambil uang melalui ATM. Semua orang dapat berkomunikasi, melalui multimedia

28
interaktif dengan siapa saja, di mana saja, kapan saja, melalui komputer yang terhubung
internet.
Pada awal tahun 1999, terdapat 250 juta komputer personal yang aktif digunakan di
seluruh dunia dengan 150 juta orang memiliki akses ke internet. Dengan demikian,
minimal ada 150 juta orang yang terhubung dan saling berinteraksi satu sama lain melalui
internet. Pengalaman saya pribadi, untuk mencari informasi tentang sesuatu hal, lebih
cepat dilakukan melalui internet dari pada mencari di rak buku. Sedemikian cepatnya
komputer yang terhubung melalui internet, melacak sesuatu informasi yang kita cari ke
seluruh benua. Sehingga perpustakaan sekolah tentu lebih giat lagi menyesuaikan dalam
pelayanannya dengan memperhatikan kemajuan IPTEK tersebut.

2.3.3 Pembelajaran

Terminologi pembelajaran berasal dari kata belajar. Pembelajaran adalah suatu disiplin
yang menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan dan memperbaiki proses
belajar. Sasaran utamanya adalah mempreskripsikan (membuat resep-resep) strategi
yang optimal untuk mendorong prakarsa dan memudahkan belajar. Dengan demikian,
pembelajaran adalah upaya menata lingkungan agar terjadinya belajar pada pembelajar
(learner). Upaya menata lingkungan dilakukan melalui penyediaan sumber-sumber
belajar. Guru bukan satu-satunya sumber belajar, pembelajar dapat belajar dari berbagai
sumber belajar lainnya, yaitu: guru, pakar, praktisi, siswa lain, masyarakat, buku, jurnal,
majalah, koran, internet, CD ROM, televisi, video, radio.

Kecenderungan pembelajaran masa depan telah mengubah pendekatan pembelajaran


tradisional ke arah pembelajaran masa depan yang disebut sebagai abad pengetahuan
bahwa pembelajar dapat belajar: di mana saja, artinya pembelajar dapat belajar di kelas,
di perpustakaan atau di rumah, kapan saja, tidak sesuai yang dijadwalkan sekolah. Belajar
dapat dilakukan pada pagi, siang, sore, atau malam. Dengan siapa saja, pembelajar dapat
memperoleh sumber belajar, seperti guru di sekolah, guru di luar sekolah, pakar, praktisi,
atau masyarakat. Belajar dapat melalui apa saja, misalnya internet, CD ROM, radio,
televisi, laboratorium milik pemerintah, swasta, atau perusahaan.

Paradigma pembelajaran juga berubah. Paradigma pembelajaran abad pengetahuan


(knowledge age) dengan ciri-ciri: guru sebagai fasilitator, pembimbing dan konsultan, guru
sebagai kawan belajar, belajar diarahkan pembelajar, pelajar secara terbuka, fleksibel
sesuai keperluan, belajar terutama berdasarkan proyek dan masalah, berorientasi pada

29
dunia empirik dengan tindakan nyata, metode penyelidikan dan perancangan,
menemukan dan menciptakan, kolaboratif, berfokus pada masyarakat, hasil terbuka,
keanekaragaman yang kreatif, komputer sebagai peralatan semua jenis belajar, interaksi
multimedia yang dinamis, komunikasi yang tidak terbatas, unjuk kerja diukur oleh pakar,
mentor, kawan sebaya dan diri sendiri.

Tuntutan keluaran pembelajar yang mandiri pada abad pengetahuan berbeda dengan
abad pertanian atau abad industri. Ada tujuh keterampilan dasar yang diperlukan untuk
dapat menjadi pribadi yang mandiri pada abad pengetahuan, yaitu: (1) berpikir dan
berbuat secara kritis: memecahkan masalah, melakukan penyelidikan, melakukan analisis,
mengelola proyek, (2) kreativitas: menciptakan pengetahuan baru, merancang solusi
permasalahan, menceriterakan sesuatu secara menarik, (3) kolaborasi: bekerjasama,
melakukan kompromi, membuat konsensus, membangun lingkungan masyarakat, (4)
Saling pengertian lintas budaya: lintas etnik, lintas pengetahuan, lintas budaya organisasi,
lintas agama, (5) komunikasi: menyampaikan pesan, menggunakan media secara efektif,
menggunakan komputer: menggunakan informasi elektronik secara efektif, menggunakan
peralatan pengetahuan, dan (7) karir dan belajar meyakini kemampuan sendiri: mengelola
perubahan, belajar sepanjang hayat, mendefinisikan karier.

2.3.4. Sumber Belajar


Menjelang 1970-an komputer digunakan untuk pembelajaran, dan permainan-permainan
simulasi (simulation games) sudah tampak dimainkan di sekolah-sekolah. Selama
dasawarsa 1980-an teori dan praktik dalam bidang pembelajaran yang dibantu komputer
juga berkembang subur dan menjelang 1980-an multimedia yang dipadu dengan
komputer menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam era informasi. Dalam teknologi
pembelajaran sumber belajar mempunyai peranan yang amat penting dan ruang
lingkupnya diperluas, yang termasuk sumber belajar ialah data, orang atau benda-benda,
materi, prosedur, teknik dan lingkungan yang dipakai baik secara mandiri atau dengan
digabungkan untuk memudahkan kegiatan belajar.

30
Dalam teknologi pembelajaran dikenal dua jenis sumber belajar:
1. Sumber belajar yang direncanakan (by design) ialah yang secara spesifik
dikembangkan sebagai komponen-komponen sistem pembelajaran dalam rangka
mempermudah tindak belajar yang formal dan direncanakan (purposive)
2. Sumber belajar yang terjadi karena dimanfaatkan (utilisation) dan tidak secara spesifik
dirancang untuk keperluan pembelajaran, tetapi dapat diperoleh (discovered),
dimanfatkan dan dipakai untuk maksud-maksud atau tujuan belajar.

Perpustakaan sekolah dapat berperan sebagai sumber belajar yang direncanakan oleh
guru maupun sumber belajar yang dimanfaatkan, walaupun tidak dirancang secara
spesifik untuk mendukung pencapaian kompetensi dalam pembelajaran di sekolah.

2.3.5 Tipe Pola-Pola Pembelajaran

Dengan definisi teknologi pembelajaran yang sekarang dikenal empat jenis pilar dasar
pembelajaran, sebagai berikut.
a. Pola tradisional guru-siswa, yaitu guru (sebagai komponen sistem pembelajaran)
menjadi satu-satunya sumber seperti tergambar dalam diagram berikut.

Tujuan Penetapan konten Guru Siswa


dan metode

b. Pola guru dan media guru memanfaatkan alat bantu audiovisual dalam kegiatan
pembelajarannya. Guru berperan sebagai komponen sistem pembelajaran yang
utama, sedang alat bantu audiovisual sebagai pelengkap seperti dalam diagram
berikut.

Penetapan konten Guru &


Tujuan dan metode Siswa
Media

c. Pola yang menggunakan sistem pembelajaran yang lengkap dengan program media
terdapat pembagian tanggung jawab antara guru dan media dalam pembelajaran.
Dalam pola ini terdapat perubahan pada peranan guru, ia bukan lagi sekedar penyaji

31
informasi tetapi ia memilih dan mengevaluasi program media, merancang dan
melengkapi pembelajaran dengan hal-hal atau area yang belum dicakup oleh program
media yang dipilihnya. Hampir sebagian besar bahan pembelajaran yang diberikan
sudah dirancang dari awal (presigned) ke dalam sistem pembelajaran yang
menggabung materi, teknik, latar, dan orang. Dalam diagram pola yang ketiga itu akan
tampak sebagai berikut.

Media
Penetapan
Tujuan konten dan
Siswa
metode
Guru

d. Pola pembelajaran yang hanya menggunakan program media saja. Guru tidak
berperan langsung seperti tampak dalam diagram sebagai berikut.

Penetapan
Tujuan konten dan Media Siswa
metode

2.3.6 Pusat Sumber Belajar

Pusat sumber belajar (learning resoureces center) merupakan suatu perpaduan dari
fungsi perpustakaan dan pusat multimedia pembelajaran. Pusat sumber belajar (PSB)
pada dasarnya merupakan penerapan teknologi pembelajaran yang terfokus pada tujuan
untuk memecahkan masalah-masalah belajar melalui intensifikasi dan diversifikasi
pemanfaatan sumber-sumber belajar (learning resources). Dengan cara demikian,
pembelajaran diharapkan terlaksana secara efektif dan efisien dan pada gilirannya dapat
mempertinggi mutu pembelajaran. Pusat sumber belajar bernilai ganda, dilihat dari segi
pendidik dan pembelajar. Bagi pendidik, dengan pemanfaatan PSB secara tepat dapat
meringankan tugasnya dalam menyajikan bahan pembelajaran yang dalam pembelajaran
konvensional merupakan beban yang cukup memberatkan. Kecuali itu, pendidik memiliki
peluang untuk lebih kreatif dalam mengembangkan kemampuan profesionalnya. Bagi
pembelajar, dengan penggunaan PSB dapat menyalurkan mereka dalam proses belajar
yang menggairahkan sebab terbuka peluang untuk belajar yang sesuai dengan kekhasan
gaya belajar (learning style) masing-masing.

32
Pusat sumber belajar (PSB) dalam dimensinya yang lebih komprehensif dapat
meluangkan terwujudnya pembelajaran yang adaptif dan akomodatif terhadap eksplorasi
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Jelasnya, eksplorasi ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) dewasa ini, utamanya di masa-masa mendatang, dari yang hanya
mentransmisi pengetahuan kepada pembelajar menjadi memotivasi pembelajar untuk
mampu mencari dan menemukan sendiri pengetahuan. Ini berarti bahwa PSB telah
menjadi kebutuhan dalam sistem persekolahan yang seharusnya diadakan dan dikelola
secafa profesional.

Pusat sumber belajar bermanfaat, paling tidak, dalam enam aspek pokok, yaitu: 1)
meningkatkan produktivitas pendidikan; 2) memberikan kemungkinan pendidikan yang
sifatnya lebih sesuai dengan kekhasan tiap individu; 3) memberikan dasar yang lebih
ilmiah terhadap pembelajaran; 4) dapat lebih memantapkan hasil pembelajaran; 5)
memungkinkan terjadinya belajar seketika secara bermakna (immediacy of learning); dan
6) memungkinkan penyajian pendidikan secara lebih luas, terutama dengan semakin
beragamnya dan semakin canggihnya media massa dalam era reformasi dewasa ini. Dari
enam aspek pokok tentang manfaat PSB tersebut di atas terungkap pengertian bahwa
PSB bukan pusat multimedia yang ditujukan untuk sekedar memecahkan masalah
kelangkaan media pembelajaran dalam ruang kelas tradisional, melainkan menyediakan
fasilitas pembelajaran yang memang dibutuhkan untuk terlaksananya pembelajaran yang
efektif dan efisien.

Tujuan umum PSB adalah mempertinggi daya guna dan hasil guna kegiatan pembelajaran
melalui pengembangan sistem pembelajaran. Hal ini diwujudkan dengan menyediakan
berbagai macam media sebagai fasilitas dan pilihan untuk menunjang kegiatan belajar
mengajar di ruang kelas biasa dan untuk mendorong pemanfaatan cara-cara yang inovatif
serta paling sesuai untuk mencapai tujuan program akademis yang telah direncanakan
secara baik.

Sesuai dengan tujuan umum itu, maka PSB mempunyai tujuan-tujuan khusus, antara lain:
1) menyediakan berbagai macam pilihan media untuk menunjang pembelajaran dalam
kelas tradisional; 2) memberikan pelayanan dalam perencanaan, produksi, operasional,
dan tindakan lanjutan untuk pengembangan sistem pembelajaran; 3) melaksanakan
latihan untuk staf pengajar mengenai pengembangan sistem pembelajaran; 4)
mengembangkan penelitian yang penting untuk pemanfaatan media pembelajaran; 5)
menyebarkan informasi yang bersifat kontributif dalam penggunaan berbagai sumber

33
belajar; 6) menyediakan pelayanan produksi bahan pembelajaran; 7) memberikan
konsultasi dalam mendesain dan memodifikasi fasilitas sumber belajar; 8) membantu
mengembangkan patokan penggunaan sumber-sumber belajar; 9) menyediakan
pelayanan pemeliharaan atas berbagai macam peralatan; 10) membantu dalam pemilihan
dan pengadaan media dan peralatannya; 11) menyediakan pelayanan evaluasi untuk
membantu menentukan efektivitas berbagai strategi pembelajaran.

Simpulan

Pertama, dalam abad pengetahuan ini modus belajar dapat dilakukan melalui berbagai
sumber belajar melalui teknologi cetak, audio, audiovisual, dan komputer. Sumber-sumber
belajar tersebut berada di perpustakaan sekolah.

Kedua, pola pembelajaran di sekolah pada dasarnya terdiri atas tiga pola yaitu: (1)
interaksi antara pendidikan dengan pembelajar saja, (2) interaksi antara pembelajaran
dengan media saja, dan (3) interaksi antara pembelajaran dengan pendidikan diperkaya
dengan media. Pola pertama dikatakan sebagai pola tradisional. Peran perpustakaan
terjadi pada pembelajaran modern dengan menggunakan pola kedua dan ketiga.

Ketiga, pusat sumber belajar dapat menyalurkan kegiatan pembelajaran yang bersifat
adaptif dan akomodatif terhadap eksplosi kemajuan Iptek, di samping penyaluran kegiatan
belajar para pembelajar secara menggairahkan karena terbukanya peluang untuk belajar
menurut kekhasan pribadi, khususnya keunikan gaya belajar. Kegiatan tersebut dapat
dilakukan di perpustakaan.

Keempat, PSB dalam mewujudkan tujuan dan misinya, menyalurkan kegiatan-kegiatan


melalui empat fungsi pokok, yaitu fungsi-fungsi: pengembangan sistem pembelajaran,
pelayanan media, produksi, dan administratif dapat dilakukan melalui perpustakaan
sekolah.

2.4 Perpustakaan Memfasilitasi Peserta Didik untuk Belajar Mandiri

Dalam sistem pendidikan nasional, organisasi yang bergerak dalam sistem tersebut
merupakan subsistem yang memiliki sumber daya manusia yang perlu dikelola secara
tepat. Secara nyata mereka adalah para tenaga kependidikan yang memiliki peran sangat
penting dalam mewujudkan tujuan organisasi pendidikan yang pada gilirannya
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Tenaga kependidikan yang utama dalam memberikan pelayanan perpustakaan adalah

34
Kepala perpustakaan sekolah, sehingga perannya sangat penting menunjang
perpustakaan sekolah agar mampu memfasilitasi peserta didik belajar mandiri.

Setiap sekolah/madrasah untuk semua jenis dan jenjang yang mempunyai jumlah kepala
perpustakaan sekolah/madrasah lebih dari satu orang, mempunyai lebih dari enam
rombongan belajar (rombel), serta memiliki koleksi minimal 1000 (seribu) judul materi
perpustakaan dapat mengangkat kepala perpustakaan sekolah/madrasah.

Secara umum kualifikasi perpustakaan sekolah/madrasah, sebagai berikut:


1 Kepala Perpustakaan Sekolah/Madrasah yang melalui Jalur Pendidik harus memenuhi
syarat:
a. Berkualifikasi serendah-rendahnya diploma empat (D4) atau sarjana (S1);
b. Memiliki sertifikat kompetensi pengelolaan perpustakaan sekolah/madrasah dari
lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah;
c. Masa kerja minimal 3 (tiga) tahun.
2. Kepala Perpustakaan Sekolah/Madrasah yang melalui Jalur Tenaga Kependidikan
harus memenuhi salah satu syarat berikut:
a. Berkualifikasi diploma dua (D2) Ilmu Perpustakaan dan Informasi bagi pustakawan
dengan masa kerja minimal 4 tahun; atau
b. Berkualifikasi diploma dua (D2) non-Ilmu Perpustakaan dan Informasi dengan
sertifikat kompetensi pengelolaan perpustakaan sekolah/madrasah dari lembaga
yang ditetapkan oleh pemerintah dengan masa kerja minimal 4 tahun di
perpustakaan sekolah/madrasah.

2.4.1 Perpustakaan Sekolah Sebagai Sarana Belajar Mandiri

Berdasarkan Undang Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,


maka di setiap sekolah harus menyediakan perpustakaan. Penekanan tujuan keberadaan
perpustakaan sekolah yaitu pada aspek edukatif dan rekreatif/kultural, dan mandiri. Dilihat
dari aspek koleksinya banyak perpustakaan sekolah yang hanya memiliki buku paket
bidang studi yang merupakan bahan ajar atau buku teks yang dipakai dalam
pembelajaran, buku yang lain sangat kurang bahkan tidak ada. Ironisnya lagi banyak
guru/pendidik yang berprinsip tanpa perpustakaan proses pembelajaran berjalan lancar.
Jika hal-hal seperti itu tetap dipertahankan maka jaminan peningkatan hasil dari
pendidikan di kalangan sekolah sulit diharapkan.

35
Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Bidang Perpustakaan Sekolah, Pusat
Pembinaan Perpustakaan Diknas terhadap keberadaan perpustakaan sekolah
menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
a. Banyak sekolah yang belum menyelenggarakan perpustakaan.
b. Perpustakaan sekolah yang yang ada kebanyakaan belum menyelenggarakan
layanan secara baik, kurang membantu proses belajar mengajar dan sering berfungsi
sebagai tempat penyimpanan buku belaka.
c. Ada sejumlah kecil perpustakaan sekolah yang kondisinya cukup baik tetapi belum
terintegrasi dengan kegiatan belajar mengajar.
d. Keberadaan dan kegiatan perpustakaan sekolah sangat tergantung dari sikap kepala
sekolah sebagai pemegang kebijakan dalam segala hal.
e. Kebanyakan perpustakaan sekolah tidak memiliki kepala perpustakaan, pustakawan
(kepala perpustakaan tetap), sering hanya dikelola oleh seorang guru yang setiap saat
dapat dimutasikan.
f. Pekerjaan di perpustakaan dianggap kurang terhormat sehingga kurang disukai,
bahkan dianggap sebagai pekerja kelas dua. Oleh karena itu, ada perpustakaan yang
pengelolanya diserahkan kepada petugas tata usaha sebagai tugas sampingan.
g. Koleksi perpustakaan sekolah umumnya tidak bermutu dan belum terarah sesuai
dengan tujuannya.
h. Layanan perpustakaan sekolah belum dilaksanakan dengan baik karena kurangnya
SDM yang terdidik dalam bidang perpustakaan.
i. Dana yang dialokasikan untuk pembinaan dan pengembangan perpustakaan sangat
terbatas.
j. Banyak sekolah yang tidak mempunyai ruang khusus untuk perpustakaan.

2.4.2 Fungsi Perpustakaan Sekolah

Perpustakaan sekolah dapat berfungsi:


a. Sebagai sumber kegiatan belajar.
b. Membantu peserta didik memperjelas dan memperluas pengetahuannya pada setiap
bidang studi.
c. Mengembangkan minat dan kebiasaan membaca yang menuju kebiasaan belajar
mandiri.
d. Membantu anak untuk mengembangkan bakat, minat dan kegemarannya.
e. Membiasakan anak untuk mencari informasi di perpustakaan.

36
f. Perpustakaan sekolah merupakan tempat untuk memperoleh bahan rekreasi sehat
melalui buku-buku bacaan yang sesuai dengan tingkat umur kecerdasan anak.
g. Perpustakaan sekolah memperluas kesempatan belajar bagi peserta didik.

2.4.3 Kepala Perpustakaan sekolah

Perpustakaan sekolah tentu diharapkan mampu meningkatkan pembelajaran yang


berkualitas, sehingga perlu menfasilitasi terjadinya proses belajar pada peserta didik,
sehingga hasil belajar dapat optimal sesuai dengan potensinya. Bentuk fasilitasi proses
belajar adalah penyediaan sumber belajar yang meliputi Tenaga Pendidik, Media: Cetak,
Audio, Audiovisual, Komputer, dan Lingkungan. Peran kepala perpustakaan sekolah
adalah memfasilitasi dalam penyediaan sumber belajar untuk belajar mandiri bagi: peserta
didik, pendidik, tenaga kependidikan, warga sekolah lainnya, dan masyarakat.

Perpustakaan sekolah dan kepala perpustakaan dalam memberikan pelayan terhadap


peserta didik untuk belajar mandiri terkendala oleh beberapa masalah, antara lain:
a. Sebagian besar sekolah belum memiliki perpustakaan yang memadai.
b. Perpustakaan belum difungsikan sebagai penyedia sumber belajar.
c. Isi buku-buku wajib dan penunjang belum sesuai kebutuhan belajar.
d. Luas ruang, meja, kursi untuk membaca juga belum sebanding dengan jumlah siswa,
pendidik, dan tenaga kependidikan yang ada di sekolah.

Perpustakaan diharapkan mampu memberikan fasilitas agar peserta didik mampu belajar
mandiri. Oleh karena itu, perpustakaan perlu meningkatkan beberapa hal utama, yaitu:
a. Perpustakaan berfungsi sebagai “School Learning Center”
b. Kepala perpustakaan sekolah sebagai fasilitator terbentuknya “budaya belajar” di
sekolah.
c. Kepala perpustakaan sekolah sebagai tenaga fungsional yang profesional di sekolah.
d. Kepala perpustakaan sekolah sebagai Mitra Sejajar Guru dalam pengelolaan proses
pembelajaran yang bermutu.
e. Kepala perpustakaan sebaiknya memberikan masukan kepada guru dan peserta didik
untuk peningkatan mutu pembelajaran di sekolah.

37
2.4.4 Upaya Meningkatkan Peran Perpustakaan untuk Memfasilitasi Belajar Mandiri
a. Meningkatkan kemampuan pengelola perpustakaan, termasuk perpustakaan yang
berada di satuan pendidikan (sekolah/madrasah).
b. Meningkatkan diversifikasi fungsi perpustakaan untuk mewujudkan perpustakaan
sebagai tempat yang menarik, terutama bagi anak dan remaja, untuk belajar dan
mengembangkan kreativitas.
c. Pemberdayaan kepala perpustakaan sekolah sebagai pusat sumber belajar (PSB)
dengan mengembangkan jabatan fungsional kepala perpustakaan sekolah.
d. Membangun Citra Ideal Kepribadian Kepala Perpustakaan Sekolah Profesional
RAMAH, SOPAN, KOMUNIKATIF, DISIPLIN, CERMAT
PUNYA JIWA KEPEMIMPINAN
MUDAH BEKERJA SAMA DENGAN TEAMWORK
PUNYA KREATIVITAS DAN DAYA KRITIS TINGGI

2.4.5 Program Kerja Perpustakaan


Program-program yang dilakukan perpustakaan sekolah meliputi:
1. Pengadaan
a. Mengajukan anggaran perpustakaan.
b. Menerima usulan pengajuan koleksi.
c. Menyeleksi koleksi yang akan dibeli.
d. Mencari (hunting) buku atau mengunjungi toko buku.
e. Membeli dan menginventaris koleksi.
2. Pengolahan
a. Membuat klasifikasi, katalogisasi, pelabelan dan stempel kepemilikan, pemberian
atribut, serta penyampulan buku dll.
b. Memasukkan data entri ke komputer.
c. Edit data entri.
3. Pemeliharaan dan Perawatan
a. Pembundelan majalah.
b. Weeding dan perbaikan buku rusak.
c. Selfing (pengaturan dan pernyimpanan buku di rak.
d. Pembersihan rak dan buku dari debu.
e. Stock Opname dan penghapusan.

38
4. Sirkulasi
a. Melayani peminjaman dan pengembalian.
b. Melayani administrasi pendaftaran anggota perpustakaan.
c. Membuat tagihan buku terlambat ke setiap unit.
5. Penelusuran Informasi
a. Menyediakan sarana penelusuran berupa katalog, bibliografi, dan abstrak.
b. Membantu pengguna cara menggunakan sarana penelusuran informasi.
6. Kesiagaan Informasi
a. Menginformasikan bahan pustaka terbaru
b. Menyebarkan bibliografi koleksi terbaru
7. Terbitan Berseri
a. Menginventaris koleksi terbitan berseri
b. Membuat kliping
8. Pengembangan Perpustakaan
a. Mengembangkan perpustakaan melalui survei dll.
b. Mengadakan program:
1.Kuis Bulanan
2. Pemilihan Ratu dan Raja Buku
3.Storytelling
4. Gerakan Wakaf Buku
5. Pendidikan Pengguna (Diklat MOS & PPM serta ke kelas)
6. Bedah Buku/Jumpa Penulis atau Seminar
7. Mengikuti Seminar/ Pelatihan
c. Mengeluarkan surat keterangan bebas pustaka/pinjam
d. Lokakarya
e. Stock opname
f. Evaluasi

Simpulan

Kepala perpustakaan sekolah merupakan salah satu elemen yang keberadaannya


sangat penting bagi peningkatan mutu pembelajaran di sekolah, karena tugas, fungsi dan
peranan mereka sangat menunjang bagi kelancaran proses pembelajaran di sekolah. Ada
beberapa hal penting yang menjadi kendala dalam memfasilitasi peserta didik belajar
mandiri, yaitu 1) Sebagian besar sekolah belum memiliki perpustakaan yang memadai. 2)

39
Perpustakaan belum difungsikan sebagai penyedia sumber belajar. 3) Isi buku-buku wajib
dan penunjang belum sesuai kebutuhan belajar. 4) Luas ruang, meja, kursi untuk
membaca juga belum sebanding dengan jumlah siswa, pendidik, dan tenaga kependidikan
yang ada di sekolah.

Pengentasan masalah tersebut perlu diupayakan beberapa hal sebagai berikut: 1)


Meningkatkan kemampuan pengelola perpustakaan, termasuk perpustakaan yang berada
di satuan pendidikan (sekolah/madrasah). 2) Meningkatkan diversifikasi fungsi
perpustakaan untuk mewujudkan perpustakaan sebagai tempat yang menarik, terutama
bagi anak dan remaja, untuk belajar dan mengembangkan kreativitas. 3) Pemberdayaan
kepala perpustakaan sebagai pusat sumber belajar (PSB) dengan mengembangkan
jabatan fungsional kepala perpustakaan sekolah. 4) Membangun Citra Ideal Kepribadian
kepala Perpustakaan Sekolah Profesional. 5) Merencanakan program kerja perpustakaan
sesuai dengan aturan yang berlaku dan dengan sebaik-baiknya.

2.5 Perpustakaan Pusat Literasi Informasi

Beberapa istilah information literacy digunakan di Indonesia, seperti melek informasi,


literasi informasi, dan keberaksaraan informasi. Melek informasi digunakan dengan
menganalogikan melek huruf yang dipakai sebagai lawan kata buta huruf. Buta huruf
digunakan lebih dahulu untuk terjemahan illiterate, baru kemudian muncul istilah melek
huruf sebagai padanan istilah literate. Istilah buta huruf dan melek huruf dipakai baik untuk
adjektiva (literate dan illiterate) maupun untuk nomina (literacy dan illiteracy). Menurut
aturan pembentukan istilah dalam Bahasa Indonesia, seharusnya literacy dan illiteracy
diterjemahkan menjadi ”ke-melekhuruf-an” dan ”ke-butahuruf-an”.

Penggunaan ”keberaksaraan” mengandung pengertian tidak sekedar dapat membaca


saja, namun juga dapat menulis dan berhitung. Dalam Bahasa Inggris sendiri arti literacy
juga berkembang (Koch, 2001). Pengertian yang dianggap paling sesuai adalah yang
dipakai di Australia, yang mengartikan literacy sebagai: mampu berfungsi dengan benar
dalam kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya kemampuan membaca,
menggunakan angka (berhitung), serta mendapatkan dan menggunakan informasi dengan
benar. Definisi ini mirip dengan arti keberaksaraan di Indonesia. Hanya bedanya,
keberaksaraan belum memasukkan aspek terkait dengan informasi. Hal ini logis karena
pada dasarnya masyarakat Indonesia belum memiliki tingkat apresiasi informasi seperti

40
masyarakat di Australia. Dengan semakin sentralnya posisi informasi dalam hidup
manusia, maka perlu lebih ditekankan apa yang sekarang dikenal dengan konsep
information literacy. Yang mencakup ”literasi teknologi”, ”literasi media”, dan ”literasi
komputer”. Terkahir ada juga yang menerjemahkan ”information literacy” dengan
”keberaksaraan informasi”.

Pengembangan literasi informasi melalui interaksi strategi teknologi dan praktis. Strategi
ini berkisar dari keterlibatan intensif dengan pengembangan kebijakan dan proses
perencanaan strategis, untuk pengujian, pelaksanaan dan evaluasi metode yang
mendukung khusus literasi informasi ke dalam kurikulum pendidikan dan/atau melalui
penerapan literasi informasi dalam kegiatan sosial dari masyarakat yang lebih luas

Pemahaman umum bahwa: "Melek informasi adalah kerangka kerja intelektual untuk
mengenali kebutuhan, memahami, menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan
informasi. Ini adalah kegiatan yang dapat didukung sebagian oleh kefasihan dengan
teknologi informasi, sebagian dengan metode investigasi suara, tetapi yang paling penting
melalui penegasan kritis dan penalaran. Literasi informasi memulai, menopang, dan
memperluas belajar sepanjang hayat melalui kemampuan yang mungkin menggunakan
teknologi"

Di Australia, literasi informasi sangat erat kaitannya dengan konsep dan tujuan belajar
seumur hidup, peran sentral literasi informasi dalam proses belajar seumur hidup. Pada
tahun 1994, Crebert dan laporan O'Leary, mengembangkan pembelajar seumur hidup
melalui sarjana melek "informasi pendidikan terhubung dengan belajar seumur hidup.
Karakteristik literasi informasi:
a. pengetahuan sumber daya utama yang tersedia saat ini pada satu bidang studi;
b. kemampuan untuk menyusun pertanyaan melalui penelitian pada satu bidang studi;
c. kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, mengelola, dan menggunakan
informasi dalam berbagai konteks;
d. kemampuan untuk mengambil informasi dengan menggunakan berbagai media
e. kemampuan untuk memecahkan kode informasi dalam berbagai bentuk: tertulis,
statistik, grafik, diagram, dan tabel, serta
f. kritis terhadap evaluasi informasi.

Literasi informasi dapat berkontribusi untuk:


a. partisipatif kewarganegaraan;

41
b. inklusi sosial;
c. perolehan keterampilan;
d. inovasi;
e. penciptaan pengetahuan baru;
f. pribadi, kejuruan, perusahaan danorganisasipemberdayaan, dan,
g. belajar untuk hidup.
Perpustakaan dan informasi layanan profesional bertanggung jawab mengembangkan
literasi informasi dan mendukung pemerintah memfasilitasi pengembangan literasi
informasi.

2.5.1 Makna Informasi Literasi


Periode 1983 - 1992 pustakawan Amerika mulai membahas dan menyadari perlunya
kemampuan atau ketrampilan dalam information literacy. Ide tersebut segera mendunia
dan mendapat tanggapan secara internasional. Sebagai referensi, berikut disampaikan
ragam makna information literacy:
AMERIKA SERIKAT
"To be information literate, a person must be able to recognise when information is
needed and have the ability to locate, evaluate, and use effectively the needed
information." (American Library Association, 1998)
AUSTRALIA
"Information literacy is an understanding and set of abilities enabling individuals
to recognise when information is needed and have the capacity to locate,
evaluate, and use effectively the needed information'." (CAUL, 2004)
INGGRIS
"Information literacy is knowing when and why you need information, where to
find it, and how to evaluate, use and communicate it in an ethical manner.
UNESCO
"Information Literacy encompasses knowledge of one's information concerns and
needs, and the ability to identify, locate, evaluate, organize and effectively create,
use and communicate information to address issues or problems at hand; it is a
prerequisite for participating effectively in the Information Society, and is part of
the basic human right of life long learning." (US National Commission on Library
and Information Science, 2003)

42
Dengan aneka batasan tersebut maka standar kompetensi bagi keberinformasian
juga berbeda antara negara tersebut. Sebagai contoh, berikut adalah apa yang disarankan
oleh American Library Association (ALA) tentang kemampuan yang perlu dimiliki:
1. menentukan jenis dan cakupan informasi yang diperlukan.
2. mengakses informasi tersebut secara efektif dan efisien.
3. mengevaluasi informasi maupun sumbernya secara kritis.
4. menggabungkan informasi yang terseleksi menjadi pengetahuan.
5. menggunakan informasi secara efektif untuk maksud tertentu.
6. memahami nilai ekonomi, hukum, maupun sosial, sekitar penggunaan informasi dan
aksesnya secara etis dan legal.

Di Inggris, Chartered Institution for Librarry and Information Professional (CILIP)


yakin bahwa tidak ada kesepakatan akan batasan yang universal tentang
keberinformasian. Hal informasi itu dapat berbeda pada kelompok masyarakat yang
berbeda. Selain itu juga berbeda kompetensinya di antara kelompok masyarakat.
Keberinformasian merupakan tahapan pengetahuan atau proses belajar, oleh karena itu
juga mensyaratkan kompetensi dan keterampilan tertentu. Kompetensi ini menjadi relevan
dan sangat penting untuk dipelajari dan digunakan mulai sekolah dasar sampai pendidikan
tinggi. Menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, ”keberinformasian” dengan arti: hal
yang berhubungan dengan keadaan mempunyai informasi. Arti kata ”berinformasi” pada
tahap ini baru ditinjau dari segi tata bahasa saja.
Keberinformasian adalah mengetahui kapan dan mengapa Anda memerlukan
informasi, kemana mendapatkan, dan bagaimana mengevaluasi, menggunakan, dan
mengo-munikasikan secara etis.

Secara rinci batasan model Inggris itu dapat ditulis seperti berikut:
a. Mengetahui kapan memerlukan informasi.
b. Mengetahui mengapa memerlukan informasi.
c. Mengetahui kemana mencari informasi.
d. Mengetahui bagaimana mengevaluasi informasi.
e. Mengetahui bagaimana menggunakan informasi.
f. Mengetahui bagaimana mengomunikasikan informasi.

Semua kriteria di atas apabila dipenuhi, seseorang dapat disebut sebagai orang
berinformasi, atau memiliki informasi secara ideal. Dengan kata lain orang yang

43
berinformasi adalah seseorang yang mampu memenuhi enam kriteria di atas. Namun
masih ada faktor nonteknis yang harus dipenuhi yaitu melakukan semua itu secara etis.
Dengan demikian dalam berinformasi harus ada etikanya.

Seseorang yang berinformasi harus mempunyai kemampuan untuk berpikir secara kritis
(critical thinking) terhadap informasi yang ada dihadapannya. Dengan demikian berpikir
secara kritis menjadi dasar dari semua kriteria teknis yang dipersyaratkan agar seseorang
menjadi berinformasi atau memiliki keberinformasian. Menurut Bertens dalam kebebasan
selalu ada tanggung jawab. Dikatakan terdapat hubungan timbal balik antar dua
pengertian ini, sehingga orang yang mengatakan ”manusia itu bebas” dengan sendirinya
menerima juga ”manusia itu bertanggung jawab” (Bertens, 2002). Kebebasan dan
tanggung jawab termasuk dalam tema etika umum. Maka tepatlah bahwa CILIP
mendefinisikan keberinformasian harus dilakukan secara etis.

Di negara maju telah ada standar kompetensi bagi keberinformasian. Untuk mencapai
tingkat keberinformasian itu diajarkan baik melalui pelajaran resmi atau tambahan di
sekolah. Awalnya memang lebih benyak dilakukan di tingkat pendidikan tinggi. Namun
sekarang seperti di Amerika Serikat, Australia dan Inggris telah juga diajarkan mulai di
sekolah dasar. Idealnya kemauan harus selalu muncul dari diri sendiri, bukan mau karena
dipaksa. Memang harus diakui bahwa beban ”mengajar belajar” sudah sangat berat, baik
bagi guru maupun siswa. Sekarang akan ditambah lagi dengan keberinformasian. Tetapi
mengingat kemampuan berinformasi tersebut jika sudah dikuasai akan memudahkan
proses mengajar maupun belajar, rasanya mengajarkan keberinformasian menjadi
langkah strategis. Ini juga sesuai dengan konsep KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi),

Telah difokuskan bahwa konsep keberinformasian menjadi berpikir secara kritis dan
bertindak secara etis. Dua hal inilah sebagai awal keberinformasian yang harus sudah
diajarkan sejak di tingkat dasar. Tentu dalam mengajar para guru memiliki cara masing-
masing agar mudah diterima oleh siswa sesuai tingkat pemahamannya. Selanjutnya baru
diperkenalkan pada sumber-sumber informasi yang dapat dan layak digunakan. Inipun
tentu sangat bervariasi dan sangat tergantung pada kemudahan (infrastruktur) informasi
yang dapat dicapai.

Tentu akan dihadapi kesulitan baik teknis maupun nonteknis. Kesulitan teknis dapat
diatasi dengan kerja sama. Kesulitan nonteknis memang sangat tergantung pada pribadi
masing-masing. Salah satu alat ukurnya adalah pertanyaan bagaimana kita menyikapi

44
sikap berpikir kritis pihak lain? Di sisi lain kita justru menyarankan mereka harus
mengembangkan sikap berpikir secara kritis terhadap informasi.

2.5.2 Kelembagaan Perpustakaan Sekolah

Sebenarnya yang paling hakiki dari perpustakaan sekolah adalah bagaimana menciptakan
kondisi di sekolah melalui perpustakaan agar dapat membantu warga sekolah dalam
proses belajar mengajar. Lebih jauh diharapkan perpustakaan sekolah dapat menciptakan
atmosfir sekolah yang kondusif mampu memberikan informasi, melek informasi bagi guru
dan peserta didik dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Melalui
perpustakaan sekolah dapat mendorong tumbuhnya daya kreasi dan imajinasi anak
melalui berbagai bahan bacaan yang tersedia di perpustakaan. Untuk bisa menciptakan
kondisi tersebut kelembagaaan perpustakaan sekolah haruslah dapat mendukung peran
dan tugas yang harus diembannya.

Secara umum kelembagaan perpustakaan sekolah sebagai pusat informasi masih


mengalami kendala yang disebabkan berbagai faktor sebagai berikut:
1. Belum dipikirkannya posisi pepustakaan sekolah sebagai unit yang strategis dalam
menunjang proses pembelajaran di sekolah.
2. Minimnya dana operasional pengelolaan dan pembinaan perpustakaan sekolah,
3. Terbatasnya sumber daya manusia, dan bahkan amat terbatasnya sumber daya
manusia yang mampu mengelola perpustakaan serta mengembangkannya sebagai
pusat literasi informasi bagi siswa dan guru,
4. Lemahnya koleksi perpustakaan sekolah. Pada umumnya perpustakaan sekolah
memilik koleksi buku pelajaran yang diberi dari pemerintah.
5. Minat baca siswa yang masih belum menggembirakan, walaupun pemerintah telah
mencanangkan berbagai program seperti bulan buku nasional, hari aksara, wakaf
buku, dan sebagainya.
6. Kepedulian penentu kebijakan terhadap perpustakaan masih kurang, bahkan
keberadaan perpustakaan hanya sebagai pelengkap.
7. Masih kurangnya sarana dan prasarana yang diperlukan termasuk dalam hal ini adalah
ruang perpustakaan sekolah.
8. Belum adanya jam perpustakaan sekolah yang terintegrasi dengan kurikulum,
9. Kegiatan belajar mengajar belum memanfaatkan perpustakaan secara maksimal
sebagai pusat informasi belajar dalam arti guru “tidak terlalu sering” memberikan
tugas-tugas kepada siswa yang terkait dengan pemanfaatan perpustakaan sekolah.

45
Untuk mengatasi masalah tersebut perpustakaan memang perlu mendapat perhatian.
Sekolah perlu melakukan berbagai upaya agar perpustakaan dapat berjalan paling tidak
sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah. Standar yang telah dikeluarkan oleh
Departemen Pendidikan Nasional memang perlu dijadikan acuan. Namun itu semua perlu
disesuaikan dengan kondisi sekolah.

Beberapa cara untuk lebih memberdayakan keberadaan perpustakaan di lingkungan


sekolah, antara lain perlu upaya untuk menciptakan “penguatan kelembagaan” terhadap
perpustakaan sekolah, perlunya diciptakan pengajaran yang terkait dengan pemanfaatan
fasilitas yang tersedia di perpustakaan,

Selain hal itu, pengelola perpustakaan berupaya melibatkan guru dalam pemilihan koleksi
perpustakaan yang akan dibeli, sehingga guru tahu koleksi yang dimiliki perpustakaan.
Pengelola perpustakaan juga aktif mempromosikan dan memasyarakatkan perpustakaan
dan koleksinya dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang dapat menarik perhatian,
misalnya melaksanakan kegiatan khusus pada hari peringatan nasional.
PERPUSTAKAAN
1. perlu diupayakan adanya jam belajar di perpustakaan, sehingga siswa terbiasa
memanfaatkan perpustakaan.
2. perlunya pemberian rangsangan kepada siswa agar termotivasi untuk memanfaatkan
perpustakaan secara maksimal sebagai pusat informasi.
3. Memberikan penghargaan terhadap siswa yang meminjam buku paling banyak dalam
kurun waktu tertentu.

2.5.3 Perpustakaan Sekolah yang Ideal Sebagai Pusat Literasi Informasi

Perpustakaan sekolah yang baik memang bersifat relatif, namun demikian bukan berarti
kriteria tersebut tidak bisa dirumuskan sama sekali. Sifat relatif ini disebabkan oleh kondisi
dari sekolah yang sangat beragam. Ada sekolah yang mempunyai sarana yang lengkap
sedangkan pada sisi lain masih ada sekolah yang sarana pendukungnya kurang lengkap.
Berikut ini beberapa kriteria dari "perpustakaan sekolah yang ideal" yang dapat berfungsi
sebagai pusat informasi bagi siswa secara memadai.
1. adanya status kelembagaan yang kuat dari perpustakaan,
2. struktur oraganisasi perpustakaan jelas dan berjalan dengan baik,
3. memiliki ruangan yang memadai sesuai dengan jumlah siswa, bersih, dan
penyinaranya cukup,

46
4. memiliki tempat baca yang memadai,
5. miliki perabot perpustakaan secara memadai,
6. partisipasi pemakainya (siswa dan guru) baik dan aktif,
7. jenis koleksinya mencerminkan komposisi yang baik antara buku teks dengan buku
fiksi, yaitu 40% untuk buku teks, 30% buku-buku pengayaan, dan 30% buku fiksi serta
judul buku yang dimiliki bervariasi,
8. koleksi yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan kurikulum sekolah,
9. memiliki tenaga pengelola dengan kompetensi yang memadai,
10. pengorganisasian koleksinya teratur,
11. didukung dengan teknologi informasi dan komunkasi
12. administrasi perpustakaanya tertib yang meliputi administrasi keanggotaan,
administrasi inventaris buku dan perabot, peminjaman, penyusutan, penambahan,
buku, dan statistik peminjaman,
13. memiliki sarana penelusuran informasi yang baik.
14. memiliki peraturan perpustakaan.
15. memiliki program pengembangan secara jelas dan terarah.
16. memiliki program keberaksaraan informasi (literasi infomasi)
17. memiliki program pengembangan minat membaca di kalangan siswa,
18. memiliki program mitra perpustakaan,
19. melakukan kegiatan promosi dan pemasyarakatan perpustakaan,
20. kegiatan perpustakaan terintegrasi dengan kurikulum dan kegiatan belajar,
21. memiliki anggaran perpustakaan secara tetap,
22. adanya kerja sama dengan sekolah lain,
23. pelayanannya menyenangkan,
24. ada jam perpustakaan sekolah yang terintegrasi dalam kurikulum.

Parameter di atas tentunya tidak bisa diterapkan di semua sekolah, karena masing-
masing sekolah kondisinya tidak sama. Dengan parameter tersebut pihak sekolah dapat
mengembangkan perpustakaan sekolah secara ideal.

Simpulan

Beberapa istilah information literacy digunakan di Indonesia, seperti melek informasi,


literasi informasi, dan keberaksaraan informasi. Melek informasi digunakan dengan
menganalogikan melek huruf yang dipakai sebagai lawan kata buta huruf. Buta huruf

47
digunakan lebih dahulu untuk terjemahan illiterate, baru kemudian muncul istilah melek
huruf sebagai padanan istilah literate. Istilah buta huruf dan melek huruf dipakai baik untuk
adjektiva (literate dan illiterate) maupun untuk nomina (literacy dan illiteracy). Menurut
aturan pembentukan istilah dalam Bahasa Indonesia, seharusnya literacy dan illiteracy
diterjemahkan menjadi ”ke-melekhuruf-an” dan ”ke-butahuruf-an”.

Dari uraian ringkas tersebut dapat ditarik benang merah bahwa dalam lingkungan sekolah,
kegiatan belajar perlu didukung oleh sarana yang memadai, salah satunya adalah
perpustakaan sekolah yang berfungsi sebagai pusat literasi informasi bagi siswa.
Perpustakaan sekolah mengemban beberapa fungsi yang amat vital. Fungsi perpustakaan
tersebut akan dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh beberapa hal seperti
pengembangan koleksi yang sesuai, organisasi dan penguatan kelembagaan
perpustakaan, pelayanan, penyediaan sarana dan prasarana, serta program promosi dan
pengembangan perpustakaan. Keberadaan perpustakaan sekolah perlu ditangani secara
baik dan memadai. Untuk itu diperlukan kemauan dari berbagai pihak untuk
mengembangkannya yaitu penentu

kebijakan pada tingkat departemen, tingkat daerah, tingkat sekolah (kepala sekolah,
guru,dan pengelola perpustakaan).

2.6 Rangkuman
a. Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Sistem
Pendidikan Nasional, diperlukan perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang
hayat untuk mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional. Salah satu upaya untuk
memajukan kebudayaan nasional dalam sistem pendidikan, maka perpustakaan
merupakan wahana pelestarian kekayaan budaya bangsa; dalam rangka meningkatkan
kecerdasan kehidupan bangsa yang tercantum dalam UUD 1945 dan Sistem
Pendidikan Nasional, perlu ditumbuhkan budaya gemar membaca melalui
pengembangan dan pendayagunaan perpustakaan sebagai sumber informasi yang
berupa karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam.

48
b. Upaya perbaikan dan pengembangan kurikulum adalah suatu upaya untuk memperbaiki
mutu sumber daya manusia melalui pendidikan sebagai antisipasi perkembangan
masyarakat yang terus mengalami perubahan. Kemdiknas RI melalui Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22, 23 dan 24 Tahun 2006 meluncurkan kurikulum baru
yang lebih menitikberatkan pada penetapan kompetensi dasar siswa dengan ukuran
terpenting prestasi siswa adalah penguasaan standar kompetensi, dan memberi
keleluasaan penuh setiap sekolah untuk mengembangkannya sesuai dengan potensi
sekolah dan daerah, yang sejalan dengan semangat otonomi daerah.
c. Tahapan kegiatan analisis kebijakan pengembangan kurikulum yaitu 1) analisis
kebutuhan, 2) merumuskan kebutuhan dan desain kurikulum, dan 3) menyusun
kurikulum.
d. Dasar penetapan dan pemberlakuan Kurikulum adalah dengan dikeluarkannya
Peraturan Mendiknas Nomor 22, 23 dan 24 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Standar
Kompetensi Lulusan dan Petunjuk Keterlaksanaannya. Dengan demikian mulai tahun
pelajaran 2006/2007 sekolah dasar dan menengah telah menerapkannya. KTSP
sebagai penyempurnaan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK/Kurikulum 2004),
penetapannya didasarkan dari hasil evaluasi terhadap hasil uji coba terbatas pada
sejumlah sekolah selama 3 tahun dan pengkajian yang dilakukan oleh para ahli yang
berkumpul dalam wadah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
e. Kebijakan kurikulum baru ini menimbulkan konflik/pertentangan karena sifatnya sebagai
inovasi. Namun, reaksi tersebut merupakan sebuah kewajaran dan normal. Dengan
ditetapkannya KTSP tersebut, maka mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, dan
siap atau tidak siap seluruh sekolah di Indonesia harus mengimplementasikannya pada
tahun 2010 untuk seluruh tingkat kelas.
f. Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum adalah suatu kegiatan penilaian kurikulum
yang biasanya dilakukan pada suatu periode yang telah ditentukan setelah suatu
kurikulum diimplementasikan, dengan maksud dan tujuan untuk melihat kualitas dan
efektivitas program kurikulum, mendiagnosis, memperbaiki, membandingkan,
mengantisipasi kebutuhan pendidikan, serta menentukan seberapa baiknya
pelaksanaan kurikulum.
g. Implementasi KTSP yang baru berjalan kurang lebih selama satu tahun belum layak
dievaluasi dari segi hasil terhadap siswa, bila dilihat dari kaitannya dengan kebutuhan
masyarakat. Namun, dari segi pelaksanaan pembelajaran, dapat dilakukan melalui
kegiatan monitoring yang dilakukan baik oleh tingkat sekolah (kepala sekolah atau

49
guru), tingkat daerah (oleh pengawas atau tim pengembang kurikulum) maupun tingkat
pusat (tenaga ahli kurikulum dan pembelajaran).
h. Perpustakaan sekolah untuk menunjang ketercapaian program kurikulum dalam
meningkatkan proses pembelajaran dan hasil belajar peserta didik. Sementara itu
dalam kurikulum tahun 2006 yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
menyiratkan perlunya peningkatan peran perpustakaan sekolah sebagai penunjang
kegiatan belajar siswa dan guru. Kurikulum tingkat satuan pendidikan menutut guru
untuk lebih aktif dalam mengembangkan pembelajaran khususnya dalam
mengembangkan indikator pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Untuk
itu pada setiap sekolah perlu didukung adanya perpustakaan yang mampu berfungsi
dengan baik dalam membantu tercapainya visi, misi dan tujuan pendidikan dalam
KTSP.
i. Pada abad pengetahuan ini modus belajar dapat dilakukan melalui berbagai sumber
belajar melalui teknologi cetak, audio, audiovisual, dan komputer. Sumber-sumber
belajar tersebut berada di perpustakaan sekolah.
j. Pola pembelajaran di sekolah pada dasarnya terdiri atas tiga pola yaitu: (1) interaksi
antara pendidikan dengan pembelajar saja, (2) interaksi antara pembelajaran dengan
media saja, dan (3) interaksi antara pembelajaran dengan pendidikan diperkaya dengan
media. Pola pertama dikatakan sebagai pola tradisional. Peran perpustakaan terjadi
pada pembelajaran modern dengan menggunakan pola kedua dan ketiga.
k. Pusat sumber belajar dapat menyalurkan kegiatan pembelajaran yang bersifat adaptif
dan akomodatif terhadap kemajuan Iptek, di samping penyaluran kegiatan belajar para
pembelajar secara menggairahkan karena terbukanya peluang untuk belajar menurut
kekhasan pribadi, khususnya keunikan gaya belajar. Kegiatan tersebut dapat dilakukan
di perpustakaan
l. PSB dalam mewujudkan tujuan dan misinya, menyalurkan kegiatan-kegiatan melalui
empat fungsi pokok, yaitu fungsi-fungsi: pengembangan sistem pembelajaran,
pelayanan media, produksi, dan administratif dapat dilakukan melalui perpustakaan
sekolah.
m. Kepala perpustakaan sekolah merupakan salah satu elemen yang keberadaannya
sangat penting bagi peningkatan mutu pembelajaran di sekolah, karena tugas, fungsi,
dan peranan mereka sangat menunjang bagi kelancaran proses pembelajaran di
sekolah. Ada beberapa hal penting yang menjadi kendala dalam memfasilitasi peserta
didik belajar mandiri, yaitu 1) Sebagian besar sekolah belum memiliki perpustakaan

50
yang memadai. 2) Perpustakaan belum difungsikan sebagai penyedia sumber belajar.
3) Isi buku-buku wajib dan penunjang belum sesuai kebutuhan belajar. 4) Luas ruang,
meja, kursi untuk membaca juga belum sebanding dengan jumlah siswa, pendidik, dan
tenaga kependidikan yang ada di sekolah.
n. Penyelesaian masalah tersebut perlu diupayakan beberapa hal sebagai berikut: 1)
Meningkatkan kemampuan pengelola perpustakaan, termasuk perpustakaan yang
berada di satuan pendidikan (sekolah/madrasah). 2) Meningkatkan diversifikasi fungsi
perpustakaan untuk mewujudkan perpustakaan sebagai tempat yang menarik, terutama
bagi anak dan remaja, untuk belajar dan mengembangkan kreativitas. 3)
Pemberdayaan kepala perpustakaan sebagai pusat sumber belajar (PSB) dengan
mengembangkan jabatan fungsional kepala perpustakaan sekolah. 4) Membangun
Citra Ideal Kepribadian Kepala perpustakaan Sekolah Profesional. 5) Merencanakan
program kerja perpustakaan sesuai dengan aturan yang berlaku dan dengan sebaik-
baiknya.

51
BAB III
PENUTUP

Kepala perpustakaan sekolah merupakan salah satu elemen yang keberadaannya sangat
penting bagi peningkatan mutu pembelajaran di sekolah, karena tugas, fungsi dan
peranan mereka sangat menunjang bagi kelancaran proses pembelajaran di sekolah. Di
dalam UU No. 43 th. 2007 telah ditetapkan bahwa kepala perpustakaan (pasal 1 ayat 8)
adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan atau
pelatihan, serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan
dan pelayanan perpustakaan. Dengan demikian pekerjaan kepala perpustakaan kini
sudah diakui sebagai profesi, seperti halnya dokter, insinyur, pengacara dan guru. Tugas
mulia adalah pelayanan, dimana untuk pekerjaan tersebut dituntut prima demi
kepentingan pengguna. Untuk memenuhi pelayanan yang baik bukan sekedar mampu
menyediakan sekian eks/judul/subjek koleksi dan informasi lainnya yang dapat diakses
oleh yang memerlukan. Tetapi diperlukan pula ada unsur pembelajarannya.

Sebagai tenaga kependidikan perlu menyadari bahwa perlu aktif dan kreatif serta inovatif,
harusnya jemput bola dan siap melayani di bidang ilmu dan informasi. Cepatnya arus
komunikasi dan informasi menjadikan era globalisasi sebuah keniscayaan. Untuk itu
pengetahuan dan keterampilan yang relevan harus dimiliki oleh setiap orang, dan semua
pengetahuan itu diharapkan dapat diperoleh melalui perpustakaan. Sebagai bagian dari
Sumber Daya Pendidikan yang dapat memberi pembelajaran yang bersifat inovatif kepada
pengguna. Bagi orang yang mengerti benar pekerjaan pustakawan pasti tahu bahwa
sesungguhnya pekerjaan kepala perpustakaan tak pernah selesai dan erat hubungannya
dengan ketekunan, ketelitian, ketelatenan diimbangi dengan intelektualitas tinggi, sifat
ingin tahu (curiousity) dan siap membantu (helpful).

Perwujudan semua harapan tersebut perlu ditempuh beberapa kegiatan salah satunya
adalah pendidikan dan pelatihan kepala perpustakaan sekolah sehingga menjadi kepala
perpustakaan yang profesional.

Harapan penulis, bahan ajar diklat wawasan pendidikan bagi kepala perpustakaan
sekolah ini mampu menambah wawasan mereka agar menjadi kepala perpustakaan yang
andal dan profesional, sehingga mampu memberikan pelayanan prima kepada semua
pengguna perpustakaan di sekolah. Kepala perpustakaan mampu membangun Citra Ideal

52
Kepribadian Kepala perpustakaan Sekolah yang profesional, ramah, sopan komunikatif,
disiplin, cermat, punya jiwa melayani, mudah bekerjasama, kreatif, dan mampu berpikir
kritis.

53
DAFTAR RUJUKAN

Asep Herry Hernawan. 2006. Pengembangan Silabus dan Satuan Pembelajaran. Makalah
Pelatihan Pengembangan Kurikulum bagi Guru. Bandung.
Association of College and Research Libraries. 2000. Information literacy competency
standards for higher education. Chicago: ALA, 2000.
Bertens, K. 2002. Etika (Seri filsafat Atma Jaya 15). Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka
Utama.
Breivik, Patricia Senn. 2005. 21st century learning and information literacy. Change,
March-April.
Budisetyo Prianggono dkk. (thn. trbt.?). Manajemen Perpustakaan Sekolah. Kota Terbit:
Bahan pelatihan kepala Perpustakaan.
Chartered Institution for Library and Information Professions. 2006. A short introduction to
information literacy: professional guidance, policy & research. London: CILIP.
Cristison, Milton. 1975. Instruments For The Evaluation Of Constructional Materials
Centers. AECT.
Darmono, 2002. Menjadi pintar: memanfaatkan perpustakaan sekolah. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Darmono, 2004. Manajemen dan tata kerja perpustakaan sekolah. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.Cetakan ke-2.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1982/1983) Materi Dasar Pendidikan Program
Akta Mengajar V. Jakarta: Dirjen Dikti, P2IPT
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1983. Pusat Sumber Belajar. Jakarta: P2LPTK
http://id.wikipedia.org/wiki/Tenaga_kependidikan
http://id.wikipedia.org/wiki/Tenaga_kependidikan
http://tendik.org/content/view/670/91/
http://tendik.org/content/view/670/91/
Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun 2005 tentang
Irving R. Merril & Harold A. Drob. 1977. Criterai for Planning the College and University
Learning Resource Center. Washington: ECT.
John T. Gillespie & Diana L. Sprit.1983. Administering the chool Media Center. New York:
RR Bowke Company.
Koch, Melissa. 2001. Information Literacy: Where Do We Go from Here? Technos:
quarterly for education and technology, Spring, London: Clive Bingley
Matthies,Brad. 2005. The psychologist, the philosopher, and the librarian: the information-
literacy version of CRITIC. Skeptical Inquirer, May-June, 2005
Mudhoffir. 1986. Prinsip-prinsip Pengelolaan Pusat Sumber Belajar, Bandung: Remadja
Karya, 1986.
Nana Sudjana. 1989. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung:
Sinar Baru.

54
Nana Syaodih Sukmadinata. 2001. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nasution, A.S. 1978. Perpustakaan Sekolah. Petunjuk untuk Membina dan Memelihara
Perpustakaan Sekolah. Pusat Pembinaan Perpustakaan. Depdikbud,Jakarta.
Oemar Hamalik. 1990. Pengembangan Kurikulum, Dasar-dasar dan Pengembangannya.
Oman, Julie N. 2001. Information literacy in the workplace Information Outlook, June,
2001.
Ornstein, Allan c. and Francis P. Hunkins. 1988. Curriculum, Foundations, Principles, and
Issues. Boston: Allyn and Bacon.
Pack, Peter J; Pack F. Marian. 1988. Coledges, Learning and Libraries: the Future.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 22, 23, 24 Tahun 2006.
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Rader, Hannelore B. 2002. Information literacy 1973-2002: a selected literature review
Bibliography Library Trends, Fall.
S. Hamid Hasan. 1988. Evaluasi Kurikulum. Jakarta: P2LPTK.
Schmid, William T. 1980. Media Center Management, A Practical Guide.New York:
Hastings House Publisers.
Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan UPI. 2005. Pengantar Pengelolaan
Pendidikan. Bandung.
Tyler, Ralph W. 1975. Basic Principles of Curriculum and Instruction. Chicago and London:
The University of Chicago Press.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 200
UPI, Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan. 2005. Pengelolaan Pendidikan.
Bandung: Jurusan Administrasi Pendidikan UPI Bandung.AKAAN SEKOLOMOR 1 -
APRIL 2007 IS
Wafford, Azile. 1979. The School Library at Work. New York: HW Wilson Company.
Zais, Robert S.1976. Curriculum, Principles and Foundations. Haeper and Row Publisher,
NY.
Zamroni. 2003. Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan. Nasional.Jakarta.Cemerlang.

55

Anda mungkin juga menyukai