Anda di halaman 1dari 51

Disusun oleh :

Suroto, MBA, M.Si, M.M.

PERPUSTAKAAN NASIONAL RI
2012
MILIK

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN


PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Dilarang mempublikasikan, menggandakan, mencetak sebagian atau seluruh


isi Modul/Bahan Ajar ini tanpa izin dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kelancaran
dalam penerbitan Kurikulum dan Bahan Ajar Pendidikan dan Pelatihan (diklat) Kepala
Perpustakaan Sekolah sebagai acuan nasional dalam penyelenggaraan Diklat Kepala
Perpustakaan Sekolah.

Bahan ajar Diklat Kepala Perpustakaan Sekolah ini diterbitkan oleh Pusat Pendidikan dan
Pelatihan, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Perpustakaan
Nasional RI. Penerbitan ini sebagai upaya memenuhi kebutuhan penyelenggaraan diklat
yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan dan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 25 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga
Perpustakaan Sekolah/madrasah.

Terbitnya bahan ajar Diklat Kepala Perpustakaan Sekolah ini diharapkan dapat
meningkatkan kualitas penyelenggaraan Diklat Kepala Perpustakaan Sekolah dan
sekaligus mampu meningkatkan kualitas penyelenggaraan perpustakaan sekolah di tanah
air.

Kami ucapkan terima kasih kepada penyusun, tim penyunting, dan seluruh pihak terkait
yang telah membantu penyusunan dan penyelesaian bahan ajar diklat ini. Kritik maupun
saran untuk penyempurnaan bahan ajar Diklat Kepala Perpustakaan Sekolah ini sangat
kami harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaannya pada terbitan yang akan datang.

Jakarta, Januari 2019


Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Perpustakaan Nasional RI

Drs Widiyanto, M.Si.


NIP. 19600412 198703 1 001

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1


1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Deskripsi Singkat ......................................................................... 2
1.3 Kompetensi Dasar ....................................................................... 3
1.4 Indikator Keberhasilan ................................................................. 3

BAB II KOMUNIKASI INTERPERSONAL ...................................................... 4


2.1 Pengantar Komunikasi ................................................................ 4
2.2 Jenis-jenis Komunikasi ................................................................ 14
2.3 Komunikasi Interpersonal ............................................................ 16
2.4 Komunikasi Verbal dan Komunikasi Nonverbal ........................... 18
2.5 Layanan Perpustakaan Sekolah .................................................. 25
2.6 Perpustakaan dan Komunitasnya ................................................ 25
2.7 Indikator Layanan Perpustakaan ................................................. 26
2.8 Perilaku Layanan Perpustakaan Sekolah .................................... 27
2.9 Keterampilan Komunikasi Interpersonal dan Layanan
Perpustakaan Sekolah ................................................................ 27
2.10 Keterampilan Komunikasi Interpersonal di Perpustakaan
Sekolah ....................................................................................... 29
2.11 Optimalisasi Komunikasi Interpersonal di Perpustakaan
Sekolah ....................................................................................... 31
2.12 Keterampilan Komunikasi Interpersonal ...................................... 33
2.13 Pengaruh Budaya Dalam Komunikasi Interpersonal ................... 35
2.14 Retorika dan Etika Berkomunikasi ............................................... 37
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 41

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai pihak yang berhubungan dengan kegiatan pendidikan dan pengajaran,


pustakawan sekolah perlu secara aktif dan sadar berinteraksi dengan komunitasnya.
Interaksi tersebut umumnya dilakukan dalam suatu hubungan interpersonal baik dengan
guru maupun murid dimana komunikasi berfungsi sebagai medianya. Unsur utama
komunikasi yang digunakan adalah penyampaian pesan secara verbal dengan bahasa
dan nonverbal dengan menggunakan isyarat.

Penggunaan bahasa dan isyarat komunikasi di sekolah menuntut tatanan tersendiri,


berbeda dengan penggunaan di lingkungan luar sekolah karena sekolah adalah dunia
kecil dimana pengembangan pengetahuan dan karakter dilakukan. Kegiatan komunikasi
dapat dilakukan dengan menggunakan unsur verbal dan nonverbal (keduanya dapat
dilakukan baik dengan cara lisan maupun melalui tulisan) yang terstruktur dalam bentuk
komplementer sedangkan optimalisasi komunikasi perlu memperhatikan perilaku kedua
unsur itu.

Dengan tuntutan tersebut seorang pustakawan dalam berkomunikasi dengan


komunitasnya harus kreatif. Untuk itu berbagai himpunan kata-kata tersedia untuk
digunakan namun secara simultan, dia pun harus memahami makna dibalik kata-kata
yang diucapkan atau ditulis agar kegiatan komunikasi yang dilakukan menjadi optimal pula
hasilnya.

Dalam kegiatan komunikasi di sekolah, kombinasi antara untaian kata-kata dalam bentuk
verbal dan unsur nonverbal yang mendampinginya membantu pustakawan dalam
menyampaikan pesan, memperkuat makna yang disampaikan dan pada saat yang sama
membantu komunitasnya dalam menginterpretasikannya, baik melalui hal-hal yang
dilisankan maupun yang tidak. Upaya pengembangan kemampuan dalam berkomunikasi
dapat dilakukan melalui pembelajaran (learning) dari pengalaman tertentu sehingga
perilakunya dalam berkomunikasi berubah menjadi lebih baik.

Hal-hal yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan sistematika mata ajar komunikasi
interpersonal ini adalah bahwa:
1
1.1.1 Komunikasi interpersonal merupakan suatu keterampilan (skill), terdiri dari hard skill
(to know) atau pengetahuan semata dan soft skill (to do) atau kemampuan untuk
mengaplikasikan pengetahuan tersebut maka pengantar komunikasi secara umum
disajikan terlebih dahulu untuk dipahami bersama sebelum berbicara tentang
aplikasinya.

1.1.2 Adalah penting untuk memahami komunikasi interpersonal sebagai suatu


keterampilan dengan benar agar pada saat diaplikasikan prinsip-prinsip yang ada
tidak dilupakan.

1.1.3 Media komunikasi terbaik yang diciptakan manusia adalah pesan yang disampaikan
baik secara verbal maupun nonverbal dan ada baiknya peserta diklat dibekali
dengan aplikasi komunikasi sehari-hari yang muncul dalam bentuk komunikasi
interpersonal.

1.1.4 Sebagai bahan ajar yang ditujukan untuk membekali peserta diklat maka di bagian-
bagian akhir disajikan pengetahuan tentang hubungan keterampilan komunikasi
interpersonal dan layanan perpustakaan agar pada saat diaplikasian hasilnya
menjadi lebih baik.

1.2 Deskripsi Singkat

Mata ajar komunikasi interpersonal dirancang untuk membekali peserta dengan


pengetahuan tentang pegantar komunikasi secara umum mencakup fungsi, tujuan, jenis-
jenis komunikasi hingga hubungan salah satu jenisnya (komunikasi interpersonal) dan
layanan perpustakaan.

Daya guna pengetahuan yang diperoleh peserta tersebut sangat dipengaruhi oleh
partisipasi yang dilakukan selama mengkuti materi diklat. Partisipasi tersebut dapat
dilakukan peserta dengan memahami konsep dan “melempar” pengalaman dan pemikiran
masing-masing dalam melakukan komunikasi interpersonal selama ini, respon yang
diperoleh dari peserta lain dan difasilitasi oleh pengajar secara tepat merupakan bekal
peserta dalam mempraktikan komunikasi interpersonal dengan karateristik yang lebih baik
dan sesuai dengan tuntutannya di kemudian hari.

2
Sangat disarankan bahwa pengajar yang berfungsi sebagai fasilitator dapat membawakan
materi ajar ini secara utuh, memahami butiran-butiran dalam bentuk model-model yang
menjadi kunci untuk memahami konsep-konsep komunikasi interpersonal secara mandiri
dan dilakukan dengan menggunakan metode pelatihan orang dewasa (andragogy atau
learner centred).

1.3 Kompetensi Dasar

Setelah mengikuti mata ajar pada diklat ini perserta diharapkan mampu memahami
pengetahuan tentang komunikasi sebagai media penyampaian pesan dan salah satu di
antaranya adalah komunikasi interpersonal. Agar peserta dapat meningkatkan kualitas
komunikasi interpersonal di kemudian hari, kepada mereka diperkenalkan jenis, prinsip-
prinsip komunikasi dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengaplikasikan komunikasi
interpersonal dalam layanan perpustakaan.

1.4 Indikator Keberhasilan

Indikator keberhasilan proses pengajaran materi komunikasi interpersonal ini adalah


bahwa para peserta mampu:

1.4.1 Menjelaskan fungsi, tujuan, proses dan jenis komunikasi dimana komunikasi
interpersonal merupakan salah satu di antaranya

1.4.2 Menjelaskan prinsip-prinsip komunikasi interpersonal dan kompetensi yang


diperlukan dalam melakukannya, baik secara verbal maupun nonverbal, baik
sebagai pihak yang menerima pesan (pendengar) maupun sebagai pihak yang
mengirimkan (pembicara)

1.4.3 Menjelaskan konsep layanan dan perilakunya bila diaplikasikan melalui komunikasi
interpersonal pada perpustakaan sekolah.

1.4.4 Mengidentifikasi keterampilan yang perlu dimiliki berkaitan dengan komunikasi


interpersonal pada layanan perpustakaan sekolah.

1.4.5 Menjelaskan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengupayakan optimalisasi


komunikasi interpersonal antara lain adalah dengan adanya pengaruh budaya,
retorika dan etika.

3
4
BAB II
KOMUNIKASI INTERPERSONAL

2.1 Pengantar Komunikasi

Salah satu indikator hubungan antar manusia dapat dilihat dari tata cara dalam melakukan
komunikasi satu sama lain, satu kata kunci yang selalu melekat dalam hubungan tersebut
sejak dahulu hingga abad teknologi informasi di masa kini adalah komunikasi. Pengertian
dari komunikasi dapat diperoleh definisi-definisi yang dibuat oleh (Griffin, 2012) yaitu
“communication is the relational process of creating and interpreting messages that elicit a
response” dan (West & Turne, 2010) “Communication is a social process in which
individuals employ symbols to establish and interpret meaning of their environment”.

Dari definisi yang dibuat Griffin dan dapat ditambahkan bahwa komunikasi terjadi bila
suatu pesan yang disampaikan itu dapat ditafsirkan maknanya dan memunculkan
tanggapan. Kata dan isyarat melalui gerak anggota tubuh tidak akan mempunyai arti bila
yang menerima tidak memikirkannya dan kebenaran artinya sangat tergantung pada
pemahaman maksud dan tujuan kata atau isyarat anggota tubuh yang dikonstruksikan
sebagai suatu komunikasi.

Definisi tersebut dijelaskan lebih lanjut (West and Turner, 2010) bahwa komunikasi
merupakan proses sosial antara seseorang dengan orang lain, dalam suatu lingkungan
tertentu dimana simbol dalam bentuk bahasa, suara atau isyarat lainnya digunakan untuk
menyampaikan pesan tertentu. Proses komunikasi dengan demikian merupakan
komunikasi simbolik dimana tidak hanya dengan cara bicara atau menggunakan bahasa
(verbal) saja tetapi juga dengan cara nonverbal dan di antaranya adalah dengan cara
memberi isyarat atau bahkan dengan cara diam (silence in communication). Seseorang
yang diam sejenak sebelum menjawab suatu pertanyaan akan menyampaikan maka yang
berbeda dibandingkan dengan cara menjawab secara spontan meskipun untaian kata-
kata yang diucapkan sama. Sebagai proses sosial bila dua orang berinteraksi dengan cara
apapun maka keduanya telah melakukan komunikasi.

Komunikasi verbal dapat juga disebut sebagai komunikasi yang menggunakan simbol
dalam bentuk bahasa, bila dilakukan dalam konteks hubungan berdua (bertatap muka)
dengan orang lain disebut sebagai komunikasi interpersonal sedangkan bila dilakukan

5
untuk diri sendiri disebut sebagai komunikasi intrapersonal. Dari berbagai definisi, (Berry,
2007) menyatakan “Intrapersonal communication may be a solely internal activity, where
we reflect on a possible source of action or evaluate the consequences of what we have
done, or it may involve some external expression, such as when we talk with ourselves or
write for ourselves (such as making reminder note or keeping a diary”.

Lebih jauh lagi (Burton and Dimbleby, 1995) menjelaskan adanya empat unsur utama
dalam komunikasi intrapersonal yaitu keperdulian untuk melihat dan menilai diri sendiri
(the core of self), kebutuhan dan motivasi (need and motivation) yang mengarahkan
proses mengungkapkan dan menginterpretasikan pesan dalam komunikasi, proses diri
dalam mengartikan lingkungan (cognitions) berdasarkan pengetahuan dan pengalaman
yang ada serta proses dalam memperhatikan reaksi orang lain atas kegiatan komunikasi
yang telah dilakuan (monitoring the reactions of others).

2.1.1 Fungsi dan Tujuan Komunikasi

Dalam kehidupan manusia, komunikasi berfungsi sebagai media untuk berhubungan satu
sama lain dengan mempelajari dan memahami sensasi yang diterima dari luar dirinya,
bentuknya dapat berupa komunikasi intrapersonal dan interpersonal. Bentuk komunikasi
intrapersonal muncul bila seseorang sedang mengendalikan emosinya atau mengambil
ancang-ancang untuk bertindak sedangkan bentuk komunikasi interpersonal muncul pada
saat seseorang berusaha memahami informasi, gagasan atau motivasi orang lain atau
mengupayakan agar orang lain memahami pesan yang disampaikan. Berdasarkan fungsi
tersebut maka komunikasi dapat dilakukan orang baik di lingkungan antar pribadi dalam
bentuk tatap muka, keluarga, tempat kerja, pertemuan sosial maupun antar budaya. Pada
umumnya komunikasi dilakukan untuk tujuan tertentu dan (Devito, 2004) mejelaskan
tujuan tersebut untuk:

a. Menemukan atau mempelajari suatu pengetahuan (to learn, to discover)

Manusia yang rasional adalah bila ia memiliki kebutuhan untuk mengetahui berbagai hal
baik tentang dirinya maupun lingkungan hidupnya. Kebutuhan tersebut menimbulkan
motivasi untuk memperoleh pengetahuan baru melalui proses interaksi dan komunikasi
menjadi pilihan untuk dilakukan.

6
b. Membangun dan memelihara hubungan interpersonal (to relate)

Manusia adalah mahluk sosial yang selalu menginginkan untuk berhubungan dengan
orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan pribadi dalam kehidupannya, atas motivasi
untuk dapat berhubungan dengan orang lain itulah aka ia melakukan komunikasi
interpersonal.

c. Mempengaruhi, mengendalikan atau memperoleh persetujuan orang lain (to influence,


to persuade)

Perkembangan hubungan interpersonal tidak selalu sesuai harapan, ada situasi dimana
hubungan jadi memburuk (deteriotation) di antaranya. Menghadapi pemasalahan tersebut
maka komunikasi interpersonal dapat dipergunakan sebagai salah satu cara untuk
menindaklanjuti pilihan selanjutnya (memperbaki atau menghentikan hubungan) dengan
cara meyakinkan atau mempengaruhi orang lain.

d. Memainkan peranan tertentu di suatu lingkungan (to play)

Dalam hubungan interpersonal, seseorang akan mempunyai motivasi untuk memperoleh


kepuasan atau kenyamanan karena keberadaan peranan dirinya diterima dengan baik
oleh lingkungan dalam kedudukan yang berbeda satu sama lain, pengaruh motivasi
tersebut akan memunculkan kegiatan komunikasi.

e. Membantu, memberikan saran atau arahan kepada orang lain (to help)

Dalam suatu kelompok formal maupun non-formal dimana kemampuan dan kemauan
untuk mencapai tujuan kelompok berbeda satu sama lain maka pemberian saran atau
perintah dilakukan dan selanjutnya keberadaan komunikasi dibutuhkan.

2.1.2 Komunikasi dan Hubungan Interpersonal

Salah satu alasan manusia untuk berhubungan satu sama lain adalah kebutuhan untuk
diakui sebagai bagian dari suatu kelompok (kebutuhan untuk berafiliasi).

7
a. Jenis Hubungan Interpersonal

Hubungan interpersonal dapat dikelompokan menjadi hubungan-hubungan pertemanan,


percintaan, kekeluargaan dan pekerjaan (Devito, 2004) dengan penjelasan sebagai
berikut.

b. Hubungan pertemanan (friendship)

Karakteristik hubungan pertemanan secara umum adalah kebersamaan dalam hal-hal


produktif dan dilakukan dengan saling perduli satu sama lain. Keinginan seseorang untuk
melakukan hubungan pertemanan dilandasi kebutuhan untuk memperoleh manfaat, saling
memahami dan berkelompok. Tahapan hubungan pertemanan dapat dibagi menjadi tiga
yaitu tahap pendekatan, akrab dan intim.

c. Hubungan percintaan (love)

Rasa cinta merupakan unsur yang paling menentukan kualitas hubungan interpersonal.
Kualitas membangun dan memelihara hubungan interpersonal dipengaruhi seberapa
besar cinta ada di dalamnya dan berakhirnya hubungan interpersonal pun karena
permasalahan kehadiran cinta. (Devito, 2004) menjelaskan motivasi hubungan percintaan
terjadi karena ketertarikan erotis (eros), ingin memperoleh kesenangan atau kegembiraan
(ludus), keinginan untuk saling memahami dalam kedamaian (storge), keinginan untuk
memperoleh kesesuaian dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan (pragma), keinginan
untuk memperoleh kesinambungan perhatian (mania) dan keinginan akan rasa keharuan
dan kesendirian (agape).

d. Hubungan kekeluargaan (family)

Ruang lingkup hubungan kekeluargaan tidak hanya pada suatu keluarga semata sebatas
keberadaan ayah, ibu dan anak saja tetapi termasuk pula saudara, bibi, paman, nenek,
kakek dan lain-lainnya. Karakteristik dari hubungan keluarga adalah peran masing-masing
jelas, masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab, mempunyai andil terhadap
masa lalu dan masa yang akan datang, saling memberi ruang kehadiran dan sama-sama
membangun aturan.

8
e. Hubungan pekerjaan (workplace)

Bentuk hubungan kerja itu menempati ruang tertentu, kehadiran masing-masing dapat
dirasakan secara jelas dan muncul sebagai aspek romantika kerja, saling membantu
(mentoring) dengan menggunakan jejaring pekerjaan yang ada.

2.1.3 Komunikasi Sebagai Landasan Hubungan Interpersonal

Pada hakekatnya hubungan interpersonal dengan bentuk apapun terjadi melalui (enam
tahapan, Devito) suatu proses tertentu dan perekatnya adalah komunikasi. Dapat
disimpulkan bahwa tanpa komunikasi maka proses hubungan interpersonal tidak akan
terwujud sebagaimana maksud dan tujuannya. Kekuatan unsur-unsur komunikasi sebagai
suatu himpunan berfungsi sebagai landasan suatu hubungan interpersonal antara lain.
Meskipun demikian tersirat bahwa nilai kekuatan unsur-unsur komunikasi sangat
tergantung pada tingkat kesadaran dalam menggunakannya. Tentang hal ini dapat
(Devito, 2004) dijelaskan bahwa;

a. Dengan berbicara seseorang akan memiliki baik peluang penguatan (powerfulness)


maupun risiko pelemahan (powerlesaness) fungsi komunikasinya. Dengan maksud
untuk berendah-hati kata “mungkin” atau “saya fikir” akan mengesankan
ketidaksiapan atau ketidakpastian hal yang dilisankan. Mengajukan pertanyaan
(tag’s question) dalam pembicaraan mengesankan dua kemungkinan yaitu meminta
persetujuan atau kepastian. Mengeluarkan kalimat “mohon maaf bila ada kesalahan-
kesalahan” dapat ditafsirkan sebagai permintaan maaf semata tetapi dapat juga
ditafsirkan sebagai tidak percaya diri.

9
Gambar 1

A Six-stage Model of Relationship

Contact
Sumber (Devito, 2004)
• Perceptual
• Interactional Exit

Involvement
• Testing
• Intensifying Exit

Intimacy
• Interpersonal
commitment Exit
• Social bonding

Repair Deterioration Dissolution


• Intrapersonal • Intrapersonal • Interpersonal
repair dissatisfaction separation
• Interpersonal • Interpersonal • Social/public Exit
repair deterioration separation

Sumber: (Devito 2004)

b. Menggunakan unsur nonverbal memerlukan pemahaman tentang pemahaman


berdasarkan konteks ruang, waktu dan budaya. Makna isyarat anggota tubuh
(sebagai contoh, mempertemukan ujung ibu jari dan telunjuk untuk membentuk huruf
“o”) memberikan makna yang berbeda dan bahkan bertentangan bila dipahami
denan latar belakang budaya yang berbeda. Melakukan jeda bicara sejenak dengan
cara menunduk atau menengadahkan kepala dapat mengesankan pembicara
sedang kehilangan kata-kata (loss of context) atau sedang berfikir.

c. Melalui cara mendengar (listening) tertentu seseorang akan memiliki kekuatan untuk
menyampaikan pesan tetentu. (Fisher, 1995) mengungkapkan bahwa cara

10
mendengar seseorang mempunyai kekuatan frasa “saya menginginkan sesuatu”,
“saya ingin membantu anda jika saya bisa”, “saya menantikan sesuatu hal”.

Gambar 2

Stage in Conflict Resolution

1
Define
the conflict

2
Examine
possible
solutions

3
Test
the solution

5 4 5
Accept Evaluate Reject
Exit
solution the solution solution

Sumber: (Devito 2004)

2.1.4 Komunikasi Dalam Konflik Hubungan Interpersonal

Hubungan interpersonal dan konflik merupakan suatu hal yang bersifat melekat satu
sama lain, suatu hubungan interpersonal tidak dapat melepaskan diri dari konflik dan
faktor konfliklah yang membuat hubungan interpersonal berkembang. Suatu konflik dalam
hubungan interpersonal yang dihadapi dengan tepat tidak akan menjurus pada
pencederaan hubungan tetapi justru akan membuat hubungan interpersonal menjadi lebih
baik. Kondisi tersebut terwujud bila pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan
interpersonal mempunyai persepsi yang sama bahwa konflik itu bukan hal yang negatif
karena muncul semata-mata sebagai suatu strategi dalam memperluas (breadth) dan
memperdalam (depth) hubungan. Sebagai suatu yang melekat dalam hubungan
interpersonal maka tindakan rasional yang dilakukan adalah melakukan upaya untuk
11
pemecahan atau penyelesaian dengan tahapan tertentu dan (Devito, 2004) menjabarkan
dengan model penyelesaian konflik sebagaimana tertera pada gambar 2 dengan suatu
catatan bahwa semua tahapan penyelesaian konflik hubungan interpersonal memerlukan
satu hal yaitu komunikasi.

2.1.5 Komunikasi Sebagai Keterampilan

Keterampilan (skill) adalah kemampuan untuk menggunakan pengetahuan yang terekam


dan menetap di benak masing-masing orang, baik sekedar untuk pengetahuan (hard skill)
maupun dalam upaya melakukan suatu tindakan (soft skill). Rekaman pegetahuan
tersebut terdapat di long-term memory yang didefinisikan oleh (Ciccarelli and Meyer,
2006) sebagai “the system of memory into which all information is placed to be kept more
or less permanently”.

Sebagai hard skill, keterampilan berkomunikasi dapat dipelajari dari pengalaman-


pengalaman sebelumnya antara lain memahami fungsi, tujuan, proses dan jenis
komunikasi dimana komunikasi nonverbal yang antara lain ditempatkan bentuk
komplementer dari komunikasi verbal teryata ketika dipraktikkan justru menjadi faktor
dominan dalam hal efektifitasnya. Komunikasi nonverbal seolah-olah berfungsi sebagai
lie-detector yang memberi petunjuk tentang kebenaran pesan yang disampaikan.
Beberapa penelitian yang dilakukan para ahli menyepakati bahwa sebagian besar orang
yang trampil dalam berkomunikasi bukan orang yang pandai bicara tetapi justru pada
orang yang pandai mendengar. Keterampilan dalam berbicara pun ditujuan pada orang
yang memahami dengan baik saat ia perlu bicara dan mengetahui saat ia berhenti bicara.

Pada suatu kelompok yang sedang mengalami suatu permasalahan dimana masing-
masing anggotanya sedang berupaya untuk menemukan alternatif pemecahannya maka
anggota yang telah mempunyai keterampilan atau kompetensi dalam berkomunikasi akan
memiliki peluang menghantarkan pemikiran dan pertimbangan dirinya menjadi pemikiran
dan pertimbangan kelompok.

2.1.6 Proses Komunikasi

Suatu proses komunikasi selalu menghadirkan komponen-komponen dan (Devito, 2004)


membaginya menjadi delapan yaitu pelaku komunikasi (communicators), pesan
(message), media (medium), saluran (channel), rangkaian tanda atau sandi yang

12
mengandung arti (code), kegaduhan (noise), umpan balik (feedback), dan hubungan
situasional (context) dengan penjelasan sebagai berikut:

2.1.7 Komunikan (Communicators)

Komunikasi antar dua orang atau lebih, dapat berbentuk searah maupun dua arah dan
keduanya saling terlibat baik sebagai pengirim atau sumber (source) maupun penerima
(receiver) pesan

Gambar 3

Universal of Interpersonal Communication Model

Messages

Feedback Feedback [Feedforward]


Channel

Source/receiver Source/receiver
Noice
Competence Competence

Channel
[Feedforward]
Feedback
Feedback

Messages

Sumber: (Devito 2004)

2.1.8 Pesan (Message)

Manifestasi dari pikiran, perasaan atau kondisi internal lainnya dilakukan dalam
komunikasi intrapersonal sebelum diungkapkan keluar. Bantuknya bisa dalam bentuk
renungan tentang latar belakang manifestasi tersebut dapat pula dalam bentuk perkiraan
terhadap dampak bila manifestasi tersebut diungkapkan dalam bentuk pesan.

13
2.1.9 Media (Medium)

Tampilan pesan yang dimunculkan dalam bentuk bahasa (suara atau buku) maupun
isyarat (raut wajah, intonasi suara atau perbedaan bentuk tulisan). Tampilan bahasa
merupakan bentuk verbal dan tampilan isyarat merupakan bentuk nonverbal baik
dilakukan secara tertulis maupun lisan.

2.1.10 Saluran Komunikasi (Channel)

Organ tubuh yang yang bekerja untuk mengubah persepsi yang ingin disampaikan
menjadi sensasi, mengubah sensasi menjadi persepsi kembali atau media (teknologi atau
mekanis) lain yang digunakan untuk penyampaian pesan.

2.1.11 Sandi (Code)

Serangkaian tanda, sandi atau simbol tertentu yang berdasarkan aturan dan kesepakatan
mempunyai arti tertentu dan digunakan dalam menyampaikan pesan. Kesepakatan
tersebut terjadi pada semua bentuk kehidupan masyarakat namun karena perbedaan
waktu dan ruang maka bentuk kesepakatan menjadi beragam. Keragaman tersebut
menimbulkan komunitas-komunitas dengan code yang berbeda satu sama lain namun
antar komunitas masih dapat berhubungan satu sama lain karena ada pengait di antara
code tersebut.

2.1.12 Kegaduhan (Noise)

Segala bentuk intervensi atas suatu proses kemunikasi yang menimbulkan kegaduhan
yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas proses komunikasi tersebut. Kegaduhan
yang muncul pada saat kegiatan komuniksi sedang berlangsung bisa membuat tidak
seluruh pesan terkirim atau diterima dan kegaduhan dapat pula membuat pesan terkirim
secara tidak sempurna dan akan terjadi kesalahpahaman di pihak penerimanya.

2.1.13 Umpan Balik (Feedback)

Tanggapan terhadap suatu pesan yang berhasil diterima dan disampaikan kembali
kepada pengirim atau sumber pesan. Tanggapan dapat dilakukan baik dalam kondisi
pesan terkirim secara lengkap maupun tidak sepanjang ada pihak yang sadar bahwa
keberadaan pesan diketahuinya sepanjang bentuk-bentuk nonverbal muncul.

14
2.1.14 Keterkaitan (Context)

Kondisi yang saling berkaitan dengan komunikasi yang terjadi, antara lain adalah kondisi
fisik, kronologi sosial dan budaya. Komunikasi kontekstual memerlukan pertimbangan
(intrapersonal) tertentu untuk menghadirkan kondisi-kondisi yang mengiringi pesan,
demikian pula bagi penerima pesannya.

2.2 Jenis-jenis Komunikasi

Berdasarkan konteksnya jenis-jenis komunikasi dapat djabarkan (West and Turner, 2010)
menjadi:

2.2.1 Komunikasi intrapersonal (intrapersonal communication)

Kerap kali ketika seseorang merasakan kehadiran orang lain dalam bentuk fisik atau
psikologis maka ia melakukan dialog internal terlebih dahulu dalam upaya untuk
mendapatkan kejelasan tentang bentuk interaksi yang diperlukan dan diinginkan. Pada
dialog internal tersebut ia berfungsi baik sebagai pengirim maupun sebagai penerima
pesan, sebagaiman dijelaskan oleh (Berko, Aitken and Wolvin, 2010) yaitu “Intrapersonal
communication is the active internal processing message. You become your own sender
and receiver as you internally send messages to yourself and sometime, even provide
feedback to yourself”.

2.2.2 Komunikasi interpersonal (interpersonal communication)

Hubungan interpersonal dimulai dari munculnya ketertarikan satu sama lain di antara dua
orang, bertatap muka (face-to-face) dan dapat berlanjut pada proses pendekatan dan
pengembangan atau pemeliharaan hubungan maka komunikasi interpersonal terjadi.
Definisinya menurut (Berko, Aitken and Wolvin, 2010) “Interpersonal communication is the
interaction between two people who share relationship. The basis of interpersonal
transactions is the sending and receiving of messages in such a way that the messages
are successfully encoded an decoded”

15
a. Prinsip-prinsip Komunikasi Interpersonal

Pada kegiatan komunikasi yang berlangsung baik, sebelum dilakukan biasanya


pertimbangan konteks (komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, komunikasi
publik) dan pemahaman prinsip-prinsipnya diperhatikan dengan baik pula. (Peason,
Nelson, Titsworth dan Harter, 2011) menyampaikan adanya tujuh prinsip komunikasi yang
perlu dijadikan sebagai pemandu dalam memahaminya yaitu:

1. Mulai dari diri sendiri

Komunikasi yang berjalan kondusif pada umumnya dimulai dengan memahami diri
sendiri (begin with yourself) bahwa manusia itu cenderung bersifat subyektif dan
memiliki keterbatasan dalam memahami dunia komunikasi yang selalu
berkembang.

2. Melibatkan orang lain

Komunikasi merupakan proses dialog dimana terjadi percakapan, diskusi dan


negosiasi dengan demikian selalu melibatkan orang lain (involves others). Proses
dialog untuk satu momen pengiriman pesan pun diperlukan karena setelah pesan
disampaikan tidak serta merta maksud dari pesan tersebut tersampaikan,
konfirmasi atau klarifikasi perlu dilakukan untuk memastikan kesamaan maksud
antara yang menyampaikan dan menerima pesan.

3. Arti verbal dan makna nonverbal

Interpretasi dilakukan dalam bentuk menangkap substansi dengan pola pikir yang
rasional (content and relational dimension). Menangkap suatu pesan dapat
dilakukan melalui bentuk verbal namun memahami arti pesan memerlukan
pertmbangan bentuk nonverbalnya. Bentuk komunikasi verbal mengirimkan “dunia
kata-kata” dan bentuk nonverbal menyampaikan “dunia di balik kata-kata” keduanya
harus dipadukan bila ingin menangkap arti atau makna dari suau pesan.

4. Himpunan yang rumit

Kerumitan bisa terjadi dalam komunikasi karena variabelnya banyak dan aspeknya
berganda (complicated). Bila variabel komunikasi tunggal maka yang muncul
adalah kombinasi antara maksud pengirim pesan dan pemahaman yang
16
menerimanya. Kenyataannya variabel komunikasi berganda maka yang muncul
adalah permutasi sehingga untuk satu pesan yang dikirim akan menimbulkan
berbagai alternatif pengertian bagi penerimanya dan kerumitan dapat muncul
dengan sendirinya.

5. Momen-momen secukupnya

Komunikasi sebagai suatu proses selain efektif itu juga harus efisien dan tidak
selalu proses yang panjang lebar menghasilkan komunikasi yang berkualitas
(quantity does not increase communication quality). Merujuk pada konsep “the law
of diminishing return” dalam ilmu ekonomi dapat diungkapkan bahwa satu momen
komunikasi membawa manfaat, momen selanjutnya membawa manfaat namun
nilainya lebih rendah dari nilai manfaat momen sebelumnya, bila momen
komunikasi dilakukan terus menerus situasinya menjadi jenuh dan bahkan akan
menimbulkan berkurangnya manfaat.

6. Pesan tidak dapat diubah dan diulang

Komunikasi merupakan suatu kejadian yang tidak dapat dihindari dan bila telah
terjadi tidak akan dapat diubah dan diulang kembali (Inevitable, irreversible, and
unrepeatable). Sekali seseorang menyampaikan pesan namun keliru bentuk verbal
dan nonverbalnya maka ia dapat mengulangi pesan tersebut dengan lebih baik
sebagai klarifikasi. Orang yang mendengarkan pesan pertama dan pesan
berikutnya akan menerima klarifikasi tersebut, menyesuaikan pemahaman akan
pesan yang diterima namun tidak akan dapat menghapus atau melupakan pesan
pertamanya.

b. Komunikasi kelompok (small group communication)

Para ahli menyepakati bahwa bila ada tiga orang atau lebih dalam forum pertemanan,
keluarga atau pekerjaan berkerja sama untuk mencapai suatu tujuan maka mereka akan
saling bertukar pokok persoalan (issue) dan perspektifnya, pertukaran tersebut hanya
dapat diakukan dengan cara berkomunikasi dan kemudian akan membentuk komunikasi
kelompok.

17
c. Komunikasi organisasi (organizational communication)

Komunikasi organisasi merupakan media kelompok dengan jumlah anggota yang lebih
besar dan antar anggota kelompok terdapat mekanisme interaksi (pembagian peran, hak
dan kewajiban) yang lebih formal, minimal telah disepakati bersama. Dalam komunikasi
organisasi masing-masing anggota dapat menyampaikan dan menerima pesan satu sama
lain dengan catatan perlu mengikuti aturan yang telah disepakati bersama.

Tabel 4
Context of Comunication

Context Some research and theoretical concerns

Intrapersonal. Impression formation and decision making; symbols and


Commnication with oneself meanings; observations and attributions; ego involvement
and persuasion.
Interpersonal. Relationship maintenance strategies; relational intimacy;
Face-to-face communication. relational control; interpersonal attraction.

Small group. Gender and group leadership; group vulnerability; groups


Communication with a group of and stories; group decision making; task difficulty.
people.

Organizational. Organizational hierarchy and power; culture and


Communication within and among organizational life; employee morale; opinions and worker
large and extended environment. satisfaction.

Public/rhetorical. Communication apprehension; delivery effectiveness;


Communication to a large group of speech and text criticism; ethical speech making; popular
listener(audience). culture analysis.

Mass/media. Use of media; affiliation and television programming;


Communication to a very large television and values; media and need fulfillment; effects of
audience through mediated forms. social networking sites.

Cultural. Culture and rule-setting; culture and anxiety; hegemony;


Communication to between and ethnocentrism.
among members of different cultures.

Sumber: (West and Turner 2010)

d. Komunikasi publik (public communication)

Komunikasi publik dapat pula disebut sebagai public speaking karena yang terjadi adalah
satu orang tertentu berbicara kepada orang banyak. Pada umumnya komunikasi publik
dilakukan untuk tiga tujuan yaitu memberitahukan, membujuk dan menghibur orang

18
banyak, dilakukan secara langsung dan agar efektif pembicara selalu menghantarkan
materi pembicaraan dengan suatu unsur komplementer yang disebut sebagai retorika.

e. Komunikasi massa (mass communication)

Bila komunikasi publik dilakukan secara langsung maka pada komunikasi massa,
pembicaraan dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa saluran (channel) tertentu
antara lain dengan menggunakan radio, televisi atau internet.

f. Komunikasi budaya (culture communication)

Komunikasi budaya adalah bentuk komunikasi yang dilakukan antar kelompok dimana di
dalamnya terdapat komunitas-komunitas yang mempunyai latar belakang budaya yang
berbeda.

2.3 Komunikasi Verbal dan Komunikasi Nonverbal

Suatu proses komunikasi yang dilakukan terutama pada jenis komunikasi interpersonal
biasa dilakukan dengan menggunakan kombinasi bahasa secara formal yang disebut
sebagai komunikasi verbal sedangkan bila isyarat yang digunakan maka disebut sebagai
komunikasi nonverbal.

2.3.1 Komunikasi verbal

Bahasa sebagai unsur verbal dalam komunikasi adalah simbol-simbol dalam bentuk huruf
atau kata yang arti dan aturan penggunaannya telah disepakati bersama, bisa
diungkapkan secara lisan maupun tertulis.

Apabila susunan kata-kata digunakan secara informal dimana frasa tertentu dilekatkan
(colloequialism) maka jenis verbal tidak lagi muncul secara utuh meskipun belum sampai
masuk kedalam jenis nonverbal antara lain karena muncul dengan perubahan dari
keaslian artinya (clichés) contoh “rayuan pulau kelapa”, euphemism dalam
mengungkapkan sesuatu kata secara lebih sopan contoh “permisi sebentar untuk
kebelakang”, doublespeak untuk menyamarkan arti contoh “harga BBM disesuaikan” atau
penggunaan kata-kata yang artinya disepakati dan digunaan oleh komunitas tertentu
(slank).

19
2.3.2 Komunikasi nonverbal

Bila isyarat digunakan dalam mengungkapkan suatu pesan tanpa menggunakan kata-
kata. Dalam pengucapan unsur nonverbal muncul ketika terdapat perbedaan nada suara
(intonation), pola titi nada (pitch), volume suara, atau aksen dibandingkan dengan yang
biasa dan wajar dilakukan. Bila tidak diucapkan akan muncul dalam bentuk sikap tubuh
(gesture), ekspresi wajah (facial expression) atau tatapan mata (gaze).

(Hargie, 2011) secara lebih rinci menyampaikan bahwa sandi nonverbal dalam komunikasi
merupakan simbol yang bukan berupa kata-kata termasuk di dalamnya adalah suara yang
mengandung makna tertentu antara lain ketika orang berguman, bersiul atau tertawa pada
saat komunikasi terjadi, bentuk konkritnya adalah:

a. Sikap tubuh dan ekspresi wajah

Sikap tubuh dan ekspresi wajah (bodily movement and facial expression). Seorang
bawahan akan menerima kesan bahwa ia harus segera pamit dari ruangan atasan ketika
saat menghadap atasannya menanyakan “Masih ada lagi yang ingin kamu laporkan?”
sambil berdiri dari tempat duduknya.

b. Atraksi fisik (physical attraction)

Dalam suatu perdebatan, seseorang yang mengajukan pendapat dengan mengacung-


acungkan sebuah domumen akan memberi kesan bahwa pendapatnya didukung oleh
bukti-bukti yang kuat.

c. Ruang komunikasi

Memilih ruang atau pengambilan jarak dalam komunikasi (space) perlu diperhatikan.
Mengubah jarak pada saat berkomunikasi akan mengesankan adanya perubahan akan
kedekatan secara pribadi. Makin mendekat seseorang akan menyampaikan pesan bahwa
ia menikmati pembicaraan dan makin menjauh makin membosankan dirinya.

d. Waktu komunikasi

Pemilihan waktu tertentu untuk mengirim atau menerima pesan (time). Membuat jeda
dalam suatu momen pembicaraan memberikan pesan bahwa kata-kata yang akan
disampaikan berkutnya penting dan ia memerlukan untuk berfikir sebelum mengatakannya
20
e. Sentuhan (touching)

Memuji orang lain sambil menepuk-nepuk bahu akan memperkuat makna pujiannya. Satu
sentuhan yang paling memberikan kesan adalah dengan cara menyalami orang lain.

f. Isyarat suara (vocal cues)

Titi-nada dan volume suara dalam mengucapkan suatu untaian kata-kata dapat
memperkuat dan bahkan dapat memutar balikan makna kata-kata yang diucapkan.

g. Tampilan

Penggunaan pakaian atau perlengkapan lain (clothing and ther artifacts). Seorang tukang
sulap pada umumnya terbiasa menggunakan baju hitam, seorang penceramah agama
terbiasa pula dengan kelengkapan pakaian yang berbusana tertentu. Semuanya itu
menimbulkan pesan bahwa yang bersangkuan memang kompeten dalam profesinya.

1. Konsep dan Kompetensi Komunikasi Interpersonal

Konsep komunikasi dapat dikonstruksikan secara verbal yang pada hakikatnya


menyampaikan “dunia kata-kata” (the world of the words) dan nonverbal yang
mengungkapan “dunia di belakang kata-kata” (the world behind the words) sebagai suatu
pesan kepada orang lain. Keberhasilan penyampaian pesan tersebut pada dasarnya
tergantung pada kemampuan untuk memahami kepada siapa pesan akan disampaikan,
karakteristik penerima pesan serta bagaimana, dimana dan bilamana pesan disampaikan.
Pada sisi lain, suatu penyampaian pesan membutuhkan keterampilan (kompetensi)
interpersonal tertentu tidak hanya dalam menyampaikan dengan segala atributnya tetapi
juga pada berhasil diterima oleh orang yang dituju secara paripurna. Substansi dari
kompetensi dalam komunikasi interpersonal adalah kemampuan untuk menganalisis
praktik-praktik komunikasi interpersonal, menyimpannnya di sistem ingatan secara
permanen (long-term memory) dalam bentuk model, memahami keterbatasan yang ada
sehingga dapat menggunakan pendekatan tertentu dalam melaksanakannya.

21
Indikator utama kompetensi seseorang dalam komunikasi interpersonal adalah pada
tingkat pemahaman tentang “the meaning of meaning” yang dapat diperoleh dengan cara
mengelola unsur-unsur komunikasi serta mendayagunakan atribusi hubungan antara
simbol dan obyek di long-term memory menjadi referensi yang akurat.

Secara teoritik (Rickheit, Strohner dan Vorwerg, 2008) menjelaskan bahwa kompetensi
komunikasi tidak hanya pada penguasaan keterampilan komunikasi untuk tujuan ilmiah
semata tetapi juga untuk tujuan aplikasi dalam bentuk praktik mencakup semua jenis-jenis
komunikasi. Indikator dari kompetensi komunikasi adalah keberhasilan dalam mencapai
tujuan secara paripurna (effectiveness) dan kepatutan berdasarkan pandangan para
komunikan beserta kondisi sosialnya (appropriateness). Kombinasi antara effecetiveness
dan appropriateness sebagaimana digambarkan oleh (Morreale, Spitzberg dan Barge,
2007) dapat dijadikan panduan untuk bersikap dalam kegiatan komunikasi setelah
mempertimbangkan kecenderungan perilaku komunikan. Bila mempunyai kecenderungan
ineffective – inappropriate maka yang dilakukan adalah menunggu “suasana netral” dan
meminta bantuan orang lain untuk berkomunikasi (minimizing communication).

Gambar 5

The Communication Competence Grid.

Effective

Maximizing Optimizing

Minimizing Sufficing

Ineffective

Inappropriate Appropriate

Sumber: (Morreale, Spitzberg, and Barge, 2007}

Bicara secukupnya (sufficing communication) dan bersikap diam pada saat orang lain
bicara adalah solusi untuk appropriate – ineffective. Bila berada pada kondisi appropriate
– effective maka komunikasi pasti akan berjalan sebagaimana mestinya (optimizing)
cukup dengan cara menghormati aturan main yang ada. Terhadap orang yang berada
pada kondisi inappropriate - effective biasanya berbicara lebih banyak dari yang
22
diperlukan (maximizing), faktor inappropriateness dilekatkan karena kemunculan kata-kata
yang mengandung kebohongan, tipuan, pemaksaan, menyakitkan atau pelecehan.

a. Mendengar (listening) dan Bicara (speaking)

Meskipun dapat dilakukan secara tertulis, kegiatan komunikasi interpersonal secara lisan
lebih banyak dilakukan dengan cara mendengar dan bicara. Hal tersebut disebabkan
karena pelaku komunikasi membutuhkan interaksi dan secara lisan hal tersebut lebih
mudah untuk dilakukan.

1. Mendengar (listening)

Pengertian “mendengar” disini identik dengan “listening” dimana hearing ada di


dalamnya dan (Devito, 2004) menjelaskan 3 (tiga) unsur yang melekat pada aktivitas
mendengar dalam komunikasi interpersonal yaitu tahapan, gaya serta budaya dan
pengaruh jender.

a) Tahapan dalam mendengar.

Beberapa ahli komunikasi telah membuat model yang menjelaskan tentang tahapan
dalam mendengar (Alessandra, 1986: Barker, 1990: Brownell, 1987: Steil, Barker &
Watson, 1983) dan berdasarkan model-model tersebut (Devito, 2004) membuat
penjelasan dalam bentuk “A Five–Stage Model of Listening” dimana kegiatan mendengar
mencakup menerima, memahami, mengingat, mengevaluasi dan merespon pesan.
Kelima tahapan tersebut terjadi secara utuh dalam kegiatan mendengar baik dilakukan
secara sadar maupun tidak sadar.

23
Gambar 6

A Five-stage Model of Listening

Receiving
Hearing
Attending
Responding Understanding
Answering Learning
Giving Deciphering
feedback meaning

Evaluating Remembering
Judging Recalling
Criticizing Retaining

Sumber: (Devito 2004)

b) Gaya mendengar

Alasan untuk mendengar (listening) bermacam-macam namun semuanya mempunyai


tujuan tertentu, ketika terdapat perbedaan situasi tempat dan waktu serta kondisi fisik dan
psikologi (yang dihadapi) pihak pendengar maka yang terjadi adalah perbedaan gayanya.
(Devito, 2004) menjelaskan bahwa dalam aktivitas mendengar terdapat empat gaya yaitu
(1) gaya yang diarahkan untuk memahami perasaan dan maksud dari pembicara
(emphatic an objective listening), (2) gaya mendengar secara kritis namun tidak
menghakimi dan membuka diri agar memperoleh pengertian atas pesan yang
disampaikan pembicara (nonjudgmental and critical listening) , (3) gaya mendengar yang
memperhatikan peranan verbal dan nonverbal, kaitan pesan dengan konteks yang lebih
mendalam (surface and depth listening) serta (4) gaya mendengar yang memperhatikan
parafrasa (arti sebenarnya dari suatu ungkapan) dan memastikan pemahaman terhadap
pembicara antara lain dengan bertanya (active and inactive listening).

c) Pengaruh Budaya dan Jender

Ketika dua orang sedang berkomunikasi satu sama lain dengan maksud dan kepentingan
yang sama namun terjadi perbedaan pengertian maka dalam konsep mendengar dapat

24
dikatakan hal tersebut terjadi intervensi kegaduhan (noise). Perbedaan pengertian
tersebut biasanya muncul karena pengaruh perbedaan pemahaman atas suatu kejadian,
situasi maupun fenomenom perilaku manusia atau pemahaman atas suatu budaya. Suatu
budaya akan mengartikan “menunduk atau tidak menatap” dalam pembicaraan sebagai
ungkapan rasa hormat namun budaya lain mengartikannya sebagai indikasi
ketidakjujuran. Orang Indonesia pada umumnya akan mengalami permasalahan untuk
membedakan “l” atau “r” yang diucapkan orang Jepang. Orang Timur mengungkapkan
sesuatu secara tidak langsung (indirect speech) sebagai bentuk kesopanan dan kesannya
baik sementara orang barat lebih menyukai untuk mengatakan suatu maksud secara apa
adanya (direct speech).

Tidak membuat tafsiran yang terlalu dini dalam komunikasi antar budaya adalah suatu hal
yang mendorong efektifitas komunikasi dimana lebih dari satu budaya berinteraksi.
Memahami situasi bahwa pesan atau kesan yang dicerna berasarkan budaya tertentu
belum tentu sama dengan pesan atau kesan yang dimaksudkan berdasarkan budaya
lainnya adalah suatu hal yang bijak bila diterapkan dalam komunikasi.

Pada konteks jender, laki-laki dengan gaya monologik pada umumnya akan mendominasi
pembicaraan dengan penyampaian pesan sebagai suatu informasi (report talk) secara
utuh sedangkan perempuan dengan nuansa keharmonisan akan menyampaikan pesan
dengan untaian kata-kata pendukung yang diperlukan (rapport talk) untuk melengkapi inti
pesan dengan hal-hal (terkait) lainnya.

Menghindari penilaian terhadap karakteristik komunikasi antara laki-laki dan perempuan


berdasarkan perbedaan jender semata (the basic of nothing) sangat diperlukan agar tidak
terjebak dalam (1) prasangka tentang laki-laki dan perempuan (sexism) dan menerima
klise atau stereotip tentang keunggulan laki-laki dan perempuan (benevolent sexism) yang
mengarah pada perbedaan perlakuan. “Mendengar” dalam sistem komunikasi merupakan
gabungan kegiatan fisik, psikologis dan fisiologis sehingga oleh para ahli komunikasi
disebut sebagai listening dan bukan hearing, dapat dikatakan juga bahwa hearing itu
merupakan listening filter. Sedemikian pentingnya peranan mendengar dalam proses
komunikasi sehingga untuk menguatkannya acap kali disebut juga sebagai active listening
karena bersifat dinamis dan harus cermat karena nonrepetitive sifatnya. Pada konteks
yang lebih luas, “mendengar” pun merupakan merupakan sub-sistem sosial karena the act
of listening itu mewajibkan adanya interaksi antara lain memahami (menerima dan

25
menginterpretasikan) pesan secara akurat dan merespon sebagai upaya untuk
mendukung fungsi dan tujuan pesan tersebut.

d) Bicara (speaking)

Sebagaimana “mendengar”, “bicara” pun merupakan salah satu bagian dari struktur
komunikasi (oral communication) dimana terdapat susunan kata-kata dilisankan sebagai
bagian dari komunikasi verbal dan dipadukan intonasi (variasi titinada dan
penekanannya), paralanguage (berbicara tetapi tidak dengan kata-kata yang biasa
digunakan) serta pergerakan angota tubuh dan wajah (kinesik) sebagai komunikasi
nonverbal.

Berdasarkan pengalaman empirik bahwa dalam suatu episode percakapan seseorang


dapat “bicara” dengan cara berdiam diri maka beberapa ahli komunikasi mengembangkan
teori bahwa berdiam diri (silence communication) sebagai seni berkomunikasi dalam
bentuk a fundamental sound.

3.3 Layanan Perpustakaan Sekolah

3.3.1 Konsep Layanan

Layanan itu dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang memberikan kontribusi
kepuasan kepada orang lain, ada yang memberikan dan ada pula yang menerima layanan
serta dilakukan berdasarkan pemikiran rasional yaitu adanya kebutuhan dan keinginan.
Dalam hal perpustakaan melakukan pemberian layanan maka yang dilayani adalah para
pengunanya yang dalam konteks korporasi disebut sebagai konsumen dan bila terjadi
berulang-ulang disebut pelanggan (customer).

Kegiatan layanan mengisyaratkan adanya interaksi antar korporasi antar pribadi atau
pribadi dan korporasi kedua belah pihak berkeinginan untuk memperoleh kepuasan. Yang
menerima layanan merasa puas karena kebutuhan dan keinginannya terpenuhi dan yang
memberi layanan puas karena dapat berkontribusi memenuhi kebutuhan dan keinginan
pihak lain.

26
Ukuran kualitas layanan ditentukan berdasarkan perbandingan atau rasio antara layanan
yang diterima dan layanan yang diharapkan. Makin besar nilai perbandingan tersebut
makin tinggi kualitas layanannya. Khusus untuk perpustakaan, identitas layanan pada
bukanlah sebatas sebuah meja-layanan dimana pemustaka dapat menanyaan tentang
ada atau tidaknya buku (print-based library) yang mereka perlukan untuk dipinjam tetapi
juga kepuasan suasana komunikasinya.

3.4 Perpustakaan dan Komunitasnya

Pengertian komunitas perpustakaan dapat dibatasi sebagai pemustaka dan dalam hal ini
(Matthews, 2009) menyebutkannya sebagai pelanggan (customer) dengan rincian
klasifikasi: Penggunaan kata “customer” oleh Matthew semata-mata karena menggunakan
terminologi kegiatan korporasi dan dapat digantikan dengan kata lain sesuai kebiasaan
atau kesepakatan bidang masing-masing tanpa mengubah artinya.

3.4.1 Pemustaka aktif (Customers)

Perorangan yang memiliki kartu perpustakaan dan dapat dibagi menjadi frequent
customers atau pemustaka aktif yang dalam satu bulan memanfaatkan layanan
perpustakaan lebih dari dua kali, moderate customers untuk yang dua kali dalam sebulan
dan yang memanfaatkan layanan perpustakaan hanya beberapa kali di tahun
sebelumnya.

3.4.2 Pemustaka pasif (Lost customers)

Perorangan yang memiliki kartu perpustakaan tetapi selama tahun lalu tidak
memanfaatkan layanannya sehingga dapat disebut sebagai pemustaka pasif.

3.4.3 Bukan pemustaka (Non users)

Masyarakat atau komunitas yang selama ini tidak perduli akan keberadaan perpustakaan
dalam bentuk tidak pernah mengunjungi perpustakaan, ada yang sebenarnya tertarik
(enticed) dan ada yang tidak sama sekali.

Klasifikasi pelanggan tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan untuk mengklasifkasikan


pemustaka dengan mengganti pelanggan atau customer menjadi user.
27
3.5 Indikator Layanan Perpustakaan

Tentang layanan perpustakaan, terdapat beberapa indikator layanan suatu perpustakaan


(Mathews, 2009) yang perlu diperhatian yaitu:

3.5.1 Kepercayaan (Reliability)

Pengguna perpustakaan menginginkan ketika ia menanyakan seluk-beluk tentang


peminjaman buku, maka pustakawan akan melakukan segala sesuatu yang dikatakan
sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Sekali pustakawan menjawab
pertanyaan tersebut maka ia harus dapat merealisasikan keinginan para pemustaka
tersebut.

3.5.2 Jaminan (Assurance)

Pengetahuan, keterampilan dan kesopanan pustakawan dapat memberikan jaminan


kepastian bahwa kebutuhan pemustaka dalam memanfaatkan layanan perpustakaan
diterima dengan baik.

3.5.3 Keperdulian dan perhatian (Empathy)

Tingkat keperdulian dan perhatian pustakawan dapat dirasakan sebagai layanan yang
dikhususkan untuk para pemustaka melebihi tingkat keperdulian yang diwajibkan sekolah.

3.5.4 Tanggap (Responsiveness)

Kemauan pustakawan untuk membantu pengguna perpustakaan secara cepat tanggap


(proactive) tidak semata-mata karena diminta. Hal ini dapat dipenuhi bila pustakawan
memahami dengan benar kebutuhan para pemustaka.

3.5.5 Tidak nyata (Tangibles)

Kesan positif selalu muncul dari tampilan fasilitas fisik, perlengkapan perpustakaan dan
pustakawannya. Apabila kesan positif tersebut dapat dimunculkan maka para pemustaka
akan merasa nyaman dalam memaanfaatkan layanan pemustaka.

Pengenalan terhadap komunitas pemustaka dan indikator layanannya penting untuk


diketahui, dipahami dan dijadikan sebagai dasar layanan perpustakaan, sedemikian

28
pentingnya sehingga tanpa layanan yang memadai maka koleksi perpustakaan yang
berlipah-limpah dan teknologi secanggih pun menjadi hampa keberadaannya.

3.6 Perilaku Layanan Perpustakaan Sekolah

Komposisi pelanggan perpustakaan diindikasikan mengandung efek Pareto dimana


sebagian besar layanan perpustakaan dimanfaatkan oleh sebagian kecil para angotanya,
Jeseph Juran menyebutnya sebagai “vital view and the trivial many”. Perilaku pelanggan
perpustakaan dijelaskan oleh yang lebih mendalam dapat dijelaskan Mathews
berdasarkan suatu survei di Singapura berdasarkan motivasi seseorang untuk membaca
akan membedakan gaya hidup seseorang dan selanjutnya mempengaruhi kebiasaannya
dalam mengunjungi perpustakaan. Berdasarkan perbedaan alasan seseorang
membutuhkan dan menginginkan layanan perpustakaan maka perilaku layanan
perpustakaan pun perlu diselaraskan.

3.7 Keterampilan Komunikasi Interpersonal dan Layanan


Perpustakaan Sekolah

Bagi setiap orang, sekolah merupakan tempat dimana kegiatan pendidikan dan
pembelajaran dilakukan. Proses pendidikan mencakup bidang keilmuan sedangkan
proses pembelajaran lebih luas lagi karena pembentukan watak terdapat di dalamnya.
Unsur komplementer utama yang melekat dalam kegiatan tersebut adalah kepustakaan.
Tanpa unsur tersebut maka kegiatan pendidikan dan pembelajaran tidak dapat berjalan
dengan baik.

3.7.1 Hubungan Interpersonal di Perpustakaan Sekolah

Sebagai bagian yang turut andil dalam kegiatan pendidikan dan pengembangan watak
para murid, hubungan interpersonal dapat muncul di antara pustakawan dan pemustaka
(guru atau murid) secara spesifik yang berbeda dengan bentuk hubungan pada
perpustakaan publik. Mengingat perbedaan usia antara pustakawan dan pemustaka
(murid) maka bentuk pertemanan, kekeluargaan di samping bentuk hubungan pekerjaan
dapat muncul di perpustakaan.
29
3.7.2 Komunikasi Interpersonal di Perpustakaan Sekolah

Memahami proses komunikasi interpersonal di perpustakaan sekolah secara utuh dan


menggunakan sesuai kebutuhan para pemustaka berarti memahami unsur-unsur
komunikasi interpersonal yang ada

Sender Filter: Receiver


▪Semantics. Filter:
▪Emotions. ▪Semantics.
Sender ▪Language/ ▪Emotions. Receiver
(you) culture
MESSAGE ▪Language/ (plumber)
▪Attitude. culture
▪Role ▪Attitude.
expectation. ▪Role
▪Gender- expectation.

Feedback

Diagram of More Complex Communication


Process.
Gambar 7

Unsur-unsur Komunikasi Interpersonal Sumber: (Reece, 2011)

termasuk hubungan unsur-unsur tersebut dalam komunikasi yang akan atau sedang
dilakukan, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7 dengan penjelasan sebagai berikut.

a. Pengaruh komunikasi

Dalam berkomunikasi dengan pemustaka, Seorang pustakawan secara sadar harus


memahami bahwa komunikasi yang dilakukan pada saatnya akan menjadi cermin kualitas
layanan perpustakaan tempat ia bekerja.

b. Proses komunikasi

Model komunikasi interpersonal dapat digambarkan sebagai suatu proses sederhana


(sender – message – receiver – feed back) namun seorang pustakawan harus trampil
30
dalam memahami unsur-unsur semantik, emosi, budaya, perilaku dan peran yang dibawa
oleh para pemustaka dalam berkomunikasi dengannya.

c. Karakteristik perpustakaan

Memahami karakteristik layanan organisasi (di perpustakaan) dimana pemustaka bisa


hadir secara fisik maupun secara virtual (electronic library) sehingga bentuk komunikasnya
bisa secara tertulis maupun melalui percakapan langsung. Sebagai organisasi yang
bersifat formal seorang pustakawan pun harus memahami pula adanya komunikasi
horizontal dan komunikasi vertikal yang tentunya membutuhkan pendekatan yang berbeda
satu sama lain.

d. Konsekuensi komunikasi tertulis

Memahami konsekuensi penggunaan keterampilan komunikasi tertulis maupun melalui


pembicaraan secara langsung dimana unsur-unsur verbal dan nonverbal perlu dipadukan
secara proporsional terhadap keberhasilan layanan perpustakaan.

3.8 Keterampilan Komunikasi Interpersonal di Perpustakaan Sekolah

Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, informasi tentang perpustakaan menempati


kedudukan yang sangat penting dan kepentingan tersebut muncul karena kebutuhan.
Idealnya kebutuhan tersebut muncul antar berbagai pihak (saling membutuhkan) salah
satu diantaranya adalah kebutuhan pemustaka akan informasi dan perpustakaan
membutuhkan para pemustaka baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
pengembangan fungsinya.

31
Perpustakaan
Layanan Perpustakaan: Komunitas
● Kualitas. Pengguna Perpustakaan
●Pustakawan ● Kebutuhan Informasi
● Efektivitas.
● Keinginan.
●Fungsi Lainnya

Media Komunikasi;

●Human-Based ●Technology-Mediated
ommunication

Jenis Komunikasi

Jenis Lain Komunikasi Interpersonal


●Komunikasi Massa
●Hard Skill
●Komunikasi Publik
●Soft Skill
●Komunikasi Intrapersonal

Gambar 8

Keterampilan Komunikasi Interpersonal dan Layanan Perpustakaan

Suatu perpustakaan akan berkembang (fungsinya) dengan baik bila logika berfikirnya
adalah bahwa “ia” membutuhkan para pemustaka dan pemikiran bahwa para pemustaka
juga membutuhkan perpustakaan hanyalah akibat. Logika berfikir tersebut membutuhkan
satu fungsi yaitu layanan dan di benak pemustaka identik dengan sosok pustakawannya.
Idealnya dalam layanan perpustakaan adalah bahwa para pemustaka puas karena
kebutuhan dan keinginan informasi terpenuhi, di lain pihak perpustakaan pun puas karena
dapat memenuhi kebutuhan dan keingian (harapan) tersebut.

Berfikir bahwa perpustakaan membutuhkan pemustaka dan faktor layanan menjadi


kebutuhan saja masih menempati suatu ruang hampa dan menjadi kenyataan bila
komunikasi sudah dilakukan. Berbagai jenis komunikasi dapat dilakukan oleh
perpustakaan baik dalam lingkup komunikasi-komunikasi massa, publik atau interpersonal
baik dengan menggunakan cara langsung (human-based communication) maupun
menggunakan mediasi teknologi (computer-mediated communicaton).

Berbagai jenis komunikasi dilakukan dan di era moderenisasi ini computer-mediated


communication telah digunakan, namun nampaknya komunikasi interpersonal sebagai
human-based communication masih menduduki tempat yang utama, terutama ketika
kegiatan komunikasi menghadapi kendala (keterbatasan) berkaitan dengan jumlah orang,
32
tempat dan waktu. Pada suatu saat dimana seseorang mengirim pesan melalui e-mail, ia
tetap memberitahukan secara lisan (melalui telepon) “Saya baru saja mengirim pesan
melalui e-mail kepada anda”, segera setelah pesan e-mail dikirim, kelompok temannya
yang (merasa) telah menjadi masyarakat teknologi informasi mungkin akan memberikan
label “gagap teknologi” kepadanya, suatu “labeling” yang “tidak salah” namun “tidak benar-
benar betul” apabila argumentasi si pengirim e-mail adalah tidak seluruh “nuansa pesan”
dapat dikirim dengan mediasi teknologi dan komunikasi antar pribadi (interpersonal) masih
diperlukan untuk melengkapinya.

Pendapat bahwa setinggi-tingginya kecanggihan kegiatan komunikasi dengan


menggunakan mediasi teknologi tetap masih memerlukan komunikasi interpersonal,
demikian pula dengan layanan perpustakaan dimana pustakawan berada di garis
terdepan (front liner). Komunikasi interpersonal yang dilakukan pustakawan dalam
layanan perpustakaan disatu sisi akan menyempurnakan jenis komunikasi-komunikasi lain
yang telah dilakukan (sosialisasi dan promosi perpustakaan) namun pada sisi lain dapat
menurunkan kualitas dan efektifitasnya.

Sebagai pihak yang berada di garis depan para pustakawan perlu memahami
pengetahuan tentang komunikasi interpersonal secara benar sebagai hard skill (konsep
berbicara dan mendengar serta bentuk verbal dan nonverbal) dan dapat pula
melakukannya dalam konteks layanan kepada pemustaka sebagai soft skill (ramuan yang
tepat untuk konsep dan bentuk tersebut).

3.9 Optimalisasi Komunikasi Interpersonal di Perpustakaan Sekolah.

3.9.1 Konsep Keterampilan

Keterampilan adalah kemampuan seseorang untuk menerima, memamahi dan merekam


berbagai sensasi yang diterima kedalam ingatan jangka panjang (long-term memory)
menjadi pengetahuan (hard skill) dan memanfaatkan pengetahuan tersebut menjadi suatu
tindakan (soft skill).

Komunikasi merupakan kegiatan menyampaikan dan menerima pesan dari suatu sumber
atau pengirim pesan kepada penerima dengan menggunakan kata-kata (verbal) dan
isyarat (nonverbal). Bila komunikasi terjadi antar pribadi (dua orang atau lebih) disebut
33
komunikasi interpersonal. Keterampilan seseorang dalam komunikasi interperpersonal
ditunjukan pada kemampuan untuk memiliki pengetahuan tentang unsur-unsur komunikasi
(hard skill) dan dapat melakukannya dengan orang lain (soft skill). Unsur-unsur yang perlu
diketahui dan dijadikan dasar dalam melakukan komunikasi interpersonal adalah:

a. Tujuan Komunikasi

Bahwa komunikasi interpersonal dilakukan untuk tujuan (goal) tertentu dan keterampilan
memahami tujuan komunikasi diperlukan untuk meningkatkan kepekaan akan
konsekuensi dari setiap pesan yang disampaikan.

Feedback

Perception Response

Goal Mediating Mediating Goal


factors factors

Response Perception

Feedback

Skills model of interpersonal communication

Gambar 9

Unsur-unsur Keterampilan Komunikasi Interpersonal. Sumber: (Hargie 2011)

b. Memahami Persepsi

Keterampilan dalam memahami tujuan komunikasi akan membantu seseorang dalam


menyusun persepsi (perception) atas pesan yang diterima.

c. Mediasi Persepsi

34
Persepsi yang disusun secara benar dan dilanjutkan dengan keterampilan
mengidentifikasikan faktor psikologis yang menyertai upaya pencapaian tujuan komunikasi
menjadi medium (mediating factors) yang efektif dalam merumuskan tanggapan
(response) yang paling tepat untuk disampaikan kepada pemberi pesan.

3.9.2 Keterampilan Komunikasi Interpersonal

Memahami tujuan komunikasi yang melekat pada pesan dan disampaikan seseorang dan
menerima pesan dengan persepsi yang benar perlu melalui proses pemikiran secara
selektif dan terorganisasi. Setiap pustakawan perlu memiliki keterampilan tersebut dalam
arti dapat menerima, memahami bentuk-bentuk verbal dan nonverbal pemustaka sehingga
tujuan seseorang yang membutuhkan layanan dapat diterima secara tepat (persepsi) dan
tepat pula respon yang dilakukan.

Ketepatan persepsi dan respon seorang pustakawan dalam komunikasi interpersonal


dipengaruhi oleh keinginan untuk mendengar secara aktif (listening) dan menyingkap
makna pesan yang sebenarnya. Makna pesan dapat diungkap dengan baik bila
pustakawan menempatkan dirinya sebagai pihak yang perduli, menghargai memahami
orang lain (knowing another).

Dengan menempatkan diri sebagai orang yang perduli, menghargai dan memahami orang
lain tidak otomatis membuat pemustaka menerima kehadiran pustakawan dengan
pemahaman yang sama, mengetahui bentuk pemahaman orang lain terhadap diri sendiri
(knowing yourself) dengan demikian dapat membantu meminimalisasi perbedaan tersebut.
Persamaan pemahaman antara pustakawan dan pemustaka akan mendukung kelancaran
komunikasi interpersonal di antara keduanya dengan suatu pemikiran bahwa kondisi
hubungan tersebut harus dipertahankan atau terpelihara. Hal lain yang diperlukan dalam
komunikasi interpersonal di perpustakaan adalah keterampilan pustakawan dalam
menjembatani perbedaan usia, jender dan latar belakang lainnya antara dirinya dan
pemustaka. Berbeda yang dilayani (perpustakaan sekolah, kampus atau publik) berbeda
pula pendekatan komunikasi interpersonal yang harus dilakukan para pustakawan dalam
kegiatan layanan. Perbedaan pendekatan tersebut tidak perlu mengurangi suatu aksioma
bahwa proses komunikasi yang baik dapat dilakukan dengan cara lebih banyak
mendengar dibandingkan dengan berbicara.

35
Komunikasi yang baik memerlukan lebih banyak proses mendengar dibandingkan dengan
berbicara maka dalam layanan perpustakaan dimana kegiatan komunikasi pasti
dihadirkan, setiap pustakawan secara khusus harus memiliki keterampilan dalam
mendengar aktif (listening). Tentang hal ini (Nelson and Jone, 2006) telah
memperkenalkan sepuluh keterampilan dalam mendengar (listening):

a. Bersikap terbuka

Memahami kondisi bahwa dalam suatu proses komunikasi interpersonal para pelakunya
mempunyai hak untuk berbeda namun wajib untuk saling menerima perbedaan tersebut.

b. Memahami pokok pembicaraan

Memahami sudut pandang pembicara dengan baik agar dapat menerima makna pesan
secara lengkap dan benar, tidak membuat prasangka atau dugaan terlalu dini.

c. Berbicara

Menyampaikan pesan dengan bentuk suara yang baik, suara, titi-nada dan uangkapan
lain secara wajar.

d. Menambahkan isyarat

Menampilkan bahasa tubuh yang benar dan mengisyaratkan perasaan terbuka pada saat
mendengar orang lain berbicara.

e. Mulai dengan bertanya

Mengawali dan mengahiri pertanyaan dengan baik dan benar bila perlu menanyakan
sesuatu penjelasan atas pesan yang diterima.

f. Memahami parafrasa

Memahami bahwa makna dalam suatu pesan tidak sesederhana arti untaian kata-kata
yang disampaikan, ada parafrase di dalamnya.

g. Refleksi perasaan

Dapat menangkap refleksi perasaan yang terkandung dalam pesan yang disampaikan
orang lain.
36
h. Klarifikasi arti pesan

Melakukan klarifikasi atas suatu pesan yang diterima dengan cara mengajukan
pertanyaan dan tidak membuat persepsi bila belum dapat mengangkap makna suatu
pesan secara utuh.

i. Klarifikasi untuk kejelasan

Dapat mengkonfrontasikan suatu pesan yang tidak konsisten antara kata-kata, nada dan
bahasa tubuh, antara kata-kata dan tindakan, antara pernyataan di suatu penggalan
pembicaraan dengan pembicaraan sebelumnya, antara sudut pandang pendengar dan
yang berbicara.

j. Keterampilan memahami permasalahan komunikasi

Dapat menghindari kesalahpengertian pembicaraan karena terdapat permasalahan dalam


upaya mendengar secara wajar antara lain karena pembicaraan sedang tidak kondusif.

3.10 Pengaruh Budaya Dalam Komunikasi Interpersonal

Dalam komunikasi, kesalahpahaman tidak hanya terjadi karena masalah asumsi linguistik
tetapi juga karena asumsi budaya. Pengaruh budaya tidak dapat dipisahkan dalam
konstruksi komunikasi karena merupakan sub-sistem dari interaksi sosial. Kebiasaan
untuk mengenal aturan main dan norma-norma berdasarkan latar belakang budaya-
budaya tertentu akan membantu mengatasi risiko kesalahpahaman tersebut. Devito,
(2004) menjelaskan hal-hal tentang budaya terkait dengan komunikasi interpersonal yang
antara lain adalah bahwa (1) budaya merujuk pada gaya-hidup kelompok yang secara
relatif bersifat khas, di dalamnya terdapat sistem nilai dan keyakinan yang selanjutnya
melekat pada kegiatan komunikasi interpersonal di kelompok tersebut, (2) budaya suatu
kelompok dapat dirasakan antara lain ketika rasa gembira atau sedih perlu disampaikan
baik dalam hubungan pertemanan, percintaan maupun keluarga, (3) budaya dalam
komunikasi interpersonal suatu kelompok tertentu ditransmisikan dari suatu generasi ke
generasi berikutnya melalui proses enkulturasi dan selalu berkembang kerena berinteraksi
dengan budaya kelompok lain sebagai proses akulturasi. Dijelaskan pula tentang adanya
perbedaan budaya dalam komunikasi interpersonal dan dapat dikelompokan menjadi (1)

37
budaya maskulin dimana suatu tujuan pada umumnya dilakukan dengan nuansa
pemaksaan, ambisi dan kompetisi serta budaya feminin yang lebih diwarnai nuansa
sosialiasi dan keakraban hubungan interpersonal dalam bentuk negosiasi dan kompromi
(2) budaya berorientasi individual yang menggunakan dominasi perorangan dan budaya
berorientasi kolektif yang lebih menghargai kebajikan, tradisi, dan kebersamaan.
Pemahaman terhadap budaya tertentu pada saat (akan) berkomunikasi menjadi penting
karena dalam komunikasi antar budaya (intercultural communication) para komunikan
dengan latar belakang budaya yang berbeda membawa keyakinan, sistem nilai dan sisi
pandang masing-masing dalam menggunakan bahasa atau perilaku nonverbal yang
maknanya tidak selalu dipahami sama. (Geert Hofstede, 2001) mengidentifikasikan
adanya lima dimensi perbedaan budaya yang diperoleh dari penelitian tentang cross-
cultural variables di limapuluh negara yaitu;

3.10.1 Rentang kuasa

Semakin jauh rentangan antara pihak yang berkuasa dan kurang berkuasa atau pihak
yang kurang berkuasa dan tidak berkuasa semakin kental penggunaan kewenangan
dalam komunikasi (power distance).

3.10.2 Pengabaian akan ketidakpastian

Semakin tinggi tingkat pengabaian terhadap ketidakpastian maka semakin tinggi toleransi
untuk menerima keyakinan serta budaya yang berbeda dan tidak terlalu
mempertimbangkan identitas atau asal usul orang lain (uncertainty avoidance).

3.10.3 Individualisme atau kolektivitas

Semakin dominan kecendungan kolektivitas di suatu komunitas tertentu dalam kehidupan


sehari-hari semakin sulit bagi sesorang dari luar komunitas tersebut untuk memulai suatu
interaksi atau komunikasi (individualism-collectivism).

3.10.4 Maskulin atau feminin

Nuansa kelaki-lakian cenderung lebih menggunakan pemaksaan, dominasi dan fokus


pada tujuan komunikasi sedangkan nuansa keperempuanan cenderung
mempertimbangkan kepatutan, keharuan dan kualitas kehidupan (maculinity-femininity).

38
3.10.5 Periode orientasi

Komunitas yang latar belakang orientasi budayanya memerlukan waktu yang lebih lama
(long term orientation) akan lebih menghargai adanya perbedaan budaya dbandingkan
dengan komunitas yang orientasi budayanya dapat berlangsung lebih singkat (long-versus
short term orientation).

3.11 Retorika dan Etika Berkomunikasi

Proses komunikasi sebagai suatu tindakan logis akan diupayakan efektif melalui
eksploitasi unsur verbal maupun nonverbal dalam penyampaian untaian pesan. Identik
dengan penyampaian suatu lukisan indah maka bingkai merupakan pelengkap yang
memperkuat keindahan tersebut dan cara penyampaian yang baik menjadi ukuran
kepatutannya, maka penyampaian untaian pesan dalam dalam proses komunikasi perlu
diiringi unsur retorika sebagai penguat pesan dan etika untuk kepatutannya.

Retorika sebagai bingkai dalam komunikasi interpersonal pada hakekatnya menempati


ruang yang sangat sakral sebagaimana yang dilakukan Aristoteles dalam menyampaikan
ketidaksetujuan atas pendapat gurunya (Plato) di hadapan publik tanpa menanggalkan
rasa hormatnya. Proses komunikasi interpersonal dengan bingkai retorika di kemudian
hari dilakukan oleh banyak orang termasuk diantaranya adalah para pengacara dan
politikus “cerdik” dalam menyampaikan pesan, ide atau gagasan. Retorika digunakan
dalam komunikasi sebagai upaya seorang pembicara untuk meyakinkan pendengar
secara emosional namun dengan memperhatikan logika dan etika.

Dalam komunikasi interpersonal, seorang yang mencari kebenaran akan menempatkan


retorika sebagai media untuk memahami perbedaan pendapat namun bila ia ingin mencari
“kemenangan” maka retorika akan ditempatkan sebagai media komunikasi bernuansa
pemaksaan. Manfaat retorika sangat dipengaruhi oleh pemahaman pembicara atas
pendengarnya, sepanjang diikuti bukti-bukti otentik yang mendukung kebenaran pesannya
dan bila menyatakan suatu simpulan didukung dengan dalil-dalil yang benar, dalam ilmu
logika disebut sebagai silogisme. Ada lima “senjata” yang dapat digunakan dalam retorika
West and (Turner, 2010) (Aristotle’s cannons of rhetoric) yaitu (1) konstruksi atau
pengembangan argumentasi terintegrasi dan sesuai tujuan pembicaraan (invention), (2)

39
struktur pembuka, inti pembicaraan dan simpulan terorganisasikan dengan baik
(arrangement), (3) penggunaan bahasa dalam mengungkapkan ide atau gagasan dapat
diklarifikasi dan mudah diingat (style), (4) pembicaraan dilakukan secara menarik agar
tidak membosankan (delivery) dan (5) memahami hal-hal yang harus dikatakan dan ingat
akan saat mengatakannya (memory). Retorika dalam komunikasi dapat dibedakan
jenisnya menjadi retorika-retorika yang digunakan pembicara untuk membentuk kesan
bersalah atau tidak bersalah (forensic rethoric), untuk memuji atau mencela (epideitic
rethoric) dan untuk menentukan arah tindakan pendengarnya (deliberative rethoric).

Tentang etika dalam komunikasi interpersonal, terdapat empat prinsip etika yang dapat
diungkapkan (Body and McAllister, 2009) dan dijadikan sebagai referensi agar kepatutan
berkomunikasi dapar diperoleh yaitu;

3.11.1 Kemandirian

Prinsip memberikan kemandirian atau kebebasan (autonomy) kepada pihak lain sehingga
terlepas dari intervensi yang mungkin akan mempengaruhi hak untuk berinterprestasi dan
menentukan pilihan makna atas pesan yang diterima.

3.11.2 Tidak mencederai proses komunikasi

Prinsip adanya kewajiban untuk tidak melakukan pencederaan pada proses komunikasi
(nonmaleficence) dalam rangka menghindari memburuknya proses komunikasi.

3.11.3 Lapang dada

Prinsip untuk menepatkan diri secara lebih berlapang dada (beneficence) bila mengalami
kesulitan dalam melakukan komunikasi.

3.11.4 Persamaan kedudukan

Prinsip mengutamakan keadilan dan persamaan kedudukan (justice) meskipun berada


dalam kondisi komunikasi berjalan dalam suasana kompetitif.

Optimalisasi komunikasi interpersonal di perpustakaan sekolah perlu dicanangkan di


perpustakaan sekolah sebagai suatu arah bagi para pustakawan. Hal tersebut berkaitan
dengan peranan komunikasi tersebut dalam mengembangkan perpustakaan sekolah
sebagaimana maksud dan tujuan perpustakaan tersebut diadakan.
40
41
42
BAB III

PENUTUP

Bahan ajar komunikasi interpersonal ini disusun sebagai sarana pendukung Diklat Kepala
Perpustakaan Sekolah. Materinya diawali dengan penjelasan tentang pengantar
komunikasi, komunikasi interpersonal dan hubungannya dengan layanan perpustakaan
sekolah agar penjelasan tentang komunikasi interpersonal sebagai bentuk aktivitas sehari-
hari terarah dan dapat dipertangungjawabkan maka pendapat para penulis yang telah
diakui kebenarannya dijadikan sebagai referensi.

Kehadiran bahan ajar ini dalam kegiatan pendidikan dan latihan tidak menjanjikan terlalu
banyak hal kecuali memberikan simpul-simpul tentang komunikasi interpersonal yang
perlu dipahami dan diberi ruang keperdulian agar pada saat melakukannya dalam
keseharian di perpustakaan sekolah selalu lebih baik hasilnya.

Selamat mempelajari, selamat melaksanakannya dan selamat mempelajari kembali hal-


hal yang telah dilaksanakan

43
DAFTAR PUSTAKA

Berko, Roy., Aitken, Joan E., Wolvin, Andrew (2010). Interpersonal Concepts and
Competencies. Lanham:Rowman & Littlefield Publishers, Inc.

Berry, Dianne (2006). Health Communication. Theory and Practice. New York: McGraw-
Hill.

Body, Richard & McAllister, Lindy (2009). Ethics in Speech and Language Therapy.
Chichester: Wiley-Blackwell.

Cicarelli, Sandra K., Meyer, Glenn E. (2006). Psychology. New Jersey:Pearson Prentice
Hall.

Devito, Joseph A (2004). The Interpersonal Communication Book. Boston: Pearson


Education, Inc.

Dwyer, Diana (2000). Interpersonal Relationships. Philadelphia:Routledge.

Griffin, EM (2012). A First Look At Communication Theory. New York: McGraw-Hil.

Hargie, Owen (2006), The Handbook Communication Skill. New York: Routledge

Kenny, Colum (2011). The Power of Silence Silent. London: Karnac.

McCornack, Steven (2009). Reflect and Relate. An Introduction to interpersonal


communication, Second Edition. Boston: Bedford/ST. Martin’s

Morreale, Sherwy P,. Spitzberg, Brian H., Barge, J. Kevin (2007). Human Communication
Motivation, Knowledge, and Skills, Second Edition. Bemont: Thomson Wadsworth.

Nakane, Ikuko (2007). Silence in Intercultural Communication. Perceptions and


performance. Pragmatics and Beyond. New Series, Volume 166. Zuric: John
Benjamins Publishing Company

Rickheit Gert & Strohner, Hans (2008). Handbook of Communication Competences.


Berlin: Mouton De Gruyter.

44
West, Richard., Turner Lynn H. (2010). Introduction Communication Theory. New York:
McGraw-Hill.

Wood, Julia T (2010). Interpersonal Communication. Boston: Wadsworth, Cengage


Learning

45

Anda mungkin juga menyukai