Anda di halaman 1dari 8

Impression Management Theory (IMT)

Oleh: Ade Indriani Siagian

Pengelolaan kesan dianggap sebagai salah satu bagian penting dalam komunikasi,
tetapi justru menjadi bidang yang relatif baru diantara para pakar komunikasi. Dasarnya
berawal dari beberapa teori yang dirumuskan pada tahun 1960-an hingga 1980an oleh
para ahli di bidang ilmu sosial. Impression Management Theory (Teori Pengelolaan
Kesan) salah satunya adalah bagian dari Teori Dramaturgi yang dikembangkan oleh
Erving Goffman melalui bukunya yang berjudul “The Presentation of Self in Everyday
Life” pada tahun 1959. Goffman beranggapan bahwa ketika seseorang berinteraksi
dengan orang lain, orang tersebut memiliki berbagai motif untuk mengendalikan kesan
yang akan muncul (Goffman, 1959; Brown dan Levinson, 1987; dan DeVito, 2013).

Merujuk pada latar belakang sejarahnya, Impression Management dibangun oleh


dua istilah utama. Istilah pertama adalah self-presentation atau strategic self-
presentation yang digunakan oleh Edward Jones dan rekan-rekannya untuk
menggambarkan konseptualisasi pengelolaan kesan mereka. Para psikolog tertarik
untuk melihat hubungan antara pola tampilan perilaku di depan umum dan motivasi
psikologis di balik penampilan tersebut. Presentasi diri beranggapan bahwa seseorang
menyajikan serangkaian perilaku yang koheren selama interaksi yang akan
mengarahkan orang lain untuk membuat jenis atribusi tertentu tentang orang tersebut.

Atribusi tersebut menurut (Metts, 2003: 367—368) dibagi menjadi lima tipe,
yaitu: (1) seseorang ingin disukai atau dianggap ramah; (2) seseorang ingin dianggap
kompeten; (3) seseorang ingin dianggap layak; (4) seseorang yang ingin dianggap tidak
berdaya; dan (5) seseorang ingin dianggap berkuasa atau memegang kendali. Kelima
atribusi tersebut memiliki strategi yang berbeda dalam mewujudkannya. Misalnya untuk
tipe nomor lima, saat seseorang ingin dianggap berkuasa atau punya kendali maka ia
akan menggunakan strategi intimidasi dan taktik dengan menunjukkan kemarahan atau
menunjukkan kesediaan untuk menghukum atau merugikan orang lain. Self-
presentation dapat berfungsi memeriksa praktik komunikasi di tempat-tempat tertentu
seperti tempat kerja, misalnya penggunaan strategi intimidasi oleh komandan polisi dan
anggotanya.
Secara keseluruhan, istilah self-presentation mendukung premis dasar bahwa
kesan dikelola secara strategis untuk mendapatkan jenis atribusi yang terarah untuk
tujuan tertentu sesuai dengan konteks tertentu. Self-presentation juga mengingatkan kita
bahwa jika tidak hati-hati, perilaku yang dirancang untuk memperoleh atribusi yang
diinginkan dapat disalahartikan, seperti ketika strategi promosi diri yang seharusnya
memunculkan penilaian kompetensi justru menimbulkan penilaian kesombongan.

Istilah kedua adalah situated social identity. Istilah ini dikembangkan oleh Erving
Goffman dalam esai bidang sosiologinya. Dalam penelitiannya, Goffman tidak menaruh
pertimbangan pada motivasi psikologis pada masyarakat dalam menampilkan perilaku
di muka umum (Metts, 2003: 368). Secara sederhana, prinsip dari pengolahan semua
bentuk interaksi sosial adalah pengelolaan identitas sosial atau wajah yang
terkoordinasi.

Goffman menganalogikan drama dalam menjelaskan pengelolaan identitas


tersebut. Jika seseorang terlibat dalam interaksi sosial, maka orang tersebut akan
membangun citra layaknya seorang aktor melakukan adegan di atas panggung. Orang
melakukan persiapan, menyampaikan pesan sesuai dialog, hingga berpakaian sesuai
dengan peran yang dimainkan. Membangun citra tersebut dilakukan dengan berbagai
strategi yang biasa dikenal dengan facework (Metts, 2003: 369). Strategi ini berusaha
mencegah seseorang memeroleh citra buruk dengan menghindar atau melakukan
pencegahan. Misalnya ketika hendak menyampaikan pendapat yang berpotensi
mendiskreditkan citra diri sendiri, kita cenderung akan mengawali pendapat dengan
penyangkalan seperti “Saya mungkin saja kurang tepat, tapi….” Strategi facework juga
membantu memperbaiki pandangan dan memulihkan citra buruk yang disebut dengan
corrective facework. Misalnya adalah dengan memohon maaf dan memperbaiki perilaku
buruk yang memperburuk citra.

Pandangan Goffman tersebut melahirkan Impression Management Theory (Teori


Pengelolaan Kesan). Sebagai suatu strategi, IMT memungkinkan seseorang
menyelamatkan atau memulihkan citranya dengan membatasi hilangnya citra diri positif
sampai batas tertentu dan/atau dengan memperkuat citra (diri) ketika merasa terancam.
Misalnya, ketika pemberian sarana kepada karyawan yang dapat digunakan untuk
mengklaim tidak adanya keterlibatan (pribadi) atas suatu hasil kinerja yang negative.
Dengan demikian, mereka terbantu untuk mempertahankan citra diri yang positif atau
"keinginan" untuk disetujui (Brown dan Levinson, 1987).

Namun, dapat juga dilakukan penyusnan kerangka ulang yang berfungsi untuk
mengurangi dan bahkan meremehkan aspek-aspek yang sangat negatif. Misalnya saja
dengan mengundang atasan atau orang penting lainnya untuk mempertimbangkan
perspektif lain yang (lebih) menguntungkan bagi pembenaran (Guerrero dkk, 2010: 44).
Mereka juga dapat digunakan untuk membingkai ulang tindakan negatif sebagai
legitimasi karena hal tersebut bertujuan untuk kebaikan yang lebih tinggi. Upaya
menjelaskan atau memberikan alasan untuk pelanggaran sosial (seperti, "Yang saya
maksud adalah ...") memiliki kesamaan dengan pembenaran, tetapi tampak kurang
mementingkan diri sendiri. Sehingga dinilai memiliki potensi untuk memulihkan
kesulitan sosial, sementara tetap membantu individu menampilkan diri mereka dengan
sudut pandang yang lebih menguntungkan (Graham dan Taylor, 2014: 105).

Dalam Impression Management Theory, Goffman berasumsi bahwa ketika orang-


orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang diterima orang
lain (Mulyana, 2008: 112). Usaha itu disebut sebagai “pengelolaan kesan”, yakni cara-
cara yang digunakan dalam menumbuhkan dan mempertahankan kesan atau impresi
tertenu dengan situasi tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Orang mengelola dan
menentukan informasi yang hendak diberikan kepada orang lain. Orang juga berusaha
mengendalikan persepsi dan pengaruh yang muncul dari setiap bentuk ekspresi dan
komunikasi yang dilakukan, seperti melalui pakaian, kebiasaan, dan cara berbicara agar
orang lain memiliki kesan atau pangdang sesuai yang kita harapkan. Goffman
menekankan bahwa dalam teknik yang digunakan dalam kehidupan sosial sehari-hari
dan produksi teater adalah sama. Para aktor bergantung pada kostum, pembawaan diri,
dialog, dekorasi panggung dan alat-alat teater lainnya dalam memproduksi pengalaman
dan pemahaman realtas yang sama (Mulyana, 2008: 113).

Impression Management (IM) bukanlah sebuah teori yang secara spesifik


‘terfokus’, melainkan sebuah konstruksi yang menggambarkan presentasi dan
pemeliharaan identitas sosial selama interaksi (Metts, 2003: 372). Istilah pengelolaan
kesan tidak berarti para ahli menyarankan hal-hal yang sifatnya palsu, tidak alami atau
seakan dibuat-buat (artifisial). Mengelola kesan mengacu pada ‘wajah’ atau citra yang
ditunjukkan seseorang selama melakukan interaksi. Oleh karena itu, para ahli
menggunakan istilah social self atau public self untuk membedakan identitas sosial dari
diri pribadi.

Sebagai individu, manusia terdiri dari banyak keistimewaan, diantaranya


kebiasaan, tingkah laku, kepercayaan, sikap, nilai, kemampuan, kebutuhan, minat,
sejarah keluarga, dan sebagainya. Orang tidak dapat menampilkan semua aspek tersebut
sekaligus saat berinteraksi. Teori ini bahkan menyatakan bahwa orang secara sadar
melakukan pengelolaan pesan ketika merasa identitasnya penting dalam interaksi,
seperti saat melakukan wawancara rekrutmen pekerjaan. Meskipun norma dan budaya
yang diyakini dan berlaku berbeda di tiap lingkungan, individu akan mencoba
menyajikan dan mengelola kesan yang mereka hendaki sesuai dengan konteks dan
lingkungan mereka melakukan interaksi.

DeVito (2013: 73—73) dalam bukunya yang berjudul The Interpersonal


Communication menyatakan bahwa terdapat lima strategi dalam pengelolaan pesan.
Lima strategi tersebut, yaitu:

1. Strategi pencarian afinitas dan kesopanan


Strategi ini penting dilakukan dengan harapan orang lain akan menyukai kita setelah
interaksi awal. Strategi dapat dipraktikkan dengan menceritakan hal-hal positif
tentang orang lain, mengucapkan beberapa hal negatif tentang diri sendiri, serta
menunjukkan kesopanan, keramahan, dan humor.
2. Strategi kredibilitas
Strategi ini bertujuan untuk menghasilkan kepercayaan pada orang lain. Dalam
praktinya dilakukan dengan melatih menunjukkan kompetensi, prestasi, dan
kualifikasi, disertai dengan karakter dan karisma yang baik — ditunjukkan dengan
semangat, keteguhan, dan fokus pada hal-hal yang positif.
3. Strategi mempengaruhi
Strategi ini digunakan untuk memperoleh pengaruh dengan menekankan pada
pengetahuan (kekuatan informasi), keahlian (kekuatan para ahli), dan hal-hal yang
didasarkan pada posisi dan kesuksesan dari orang itu sendiri.
4. Strategi mencela diri sendiri
Mencela diri sendiri dilakukan untuk mendapatkan simpati. Praktiknya dilakukan
dengan menunjukkan kelemahan dan ketergantungan pada orang lain, misalnya
menunjukkan bahwa diri tidak dapat berbuat apa-apa, memiliki banyak masalah, dll.
5. Strategi image-conforming (penyesuaian citra)
Strategi ini memungkinkan kita untuk memupuk citra yang berbeda tentang diri kita
pada benak orang-orang. Strategi ini membuat orang lain memiliki gambaran yang
berbeda tentang individu tersebut; siapa diri pelaku, yang dapat dilakukan dengan
menunjukkan diri sebagai orang yang siap berkorban untuk kebaikan (orang lain),
memiliki disiplin diri, dan dengan menunjukkan foto tokoh khusus atau citra
kebangsaan atau gambar yang menggambarkan ideologi tertentu.

Strategi-strategi tersebut bisa dilakukan oleh dengan cara dan menggunakan


instrument apapun, termasuk bagi pengguna media sosial yang relevan di era internet ini
dengan memodifikasi akunnya. Namun, implementasi setiap strategi bergantung pada
tujuan pengguna. Mereka dapat memanfaatkan semua fitur di media sosial untuk
menjalankan strategi mereka sendiri.

Karya Goffman telah berkembang secara luas di seluruh aspek ilmu sosial.
Misalnya, teori manajemen kesan telah ditarik secara ekstensif untuk menjelaskan
'kinerja' dalam perawatan kesehatan. Penelitian tentang siswa medis oleh Becker, Geer,
Hughes, & Strauss tahun 1961 dan Broadhead tahun 1983 dan tentang keperawatan oleh
Melia tahun 1987, misalnya, telah menunjukkan pentingnya kinerja, baik depan maupun
belakang panggung yang digunakan untuk membantu meningkatkan proses sosialisasi
masing-masing saat mereka berkembang menjadi praktisi yang berkualitas. Ellingson
(2005) juga memanfaatkan hasil tulisan Goffman untuk memahami sifat komunikasi
interprofesional informal di belakang panggung dalam pengaturan onkologi untuk orang
dewasa yang lebih tua. Menggunakan pendekatan etnografi, Ellingson menemukan
bahwa komunikasi di belakang panggung memainkan peran sentral dalam memajukan
perawatan pasien. Di area belakang panggung, para profesional mengalami lebih sedikit
gangguan dan dapat berbicara lebih terus terang tentang masalah perawatan pasien
daripada di lokasi depan panggung klinik. Studi ini juga menunjukkan bahwa adanya
derajat fluiditas tertentu antara area belakang panggung dan area depan di dalam klinik.
Pengamatan Ellingson mengungkapkan bahwa dibukanya pintu ruang pertemuan
mengungkapkan ruang komunikasi di belakang panggung untuk pengawasan pasien
yang duduk di koridor.

Penelitian lainnya pernah dilakukan di Indonesia terkait penggunaan media sosial


sebagai sarana melakukan komunikasi politik yang strategis, khusunya kampanye.
Kampanye yang diteliti ialah yang dilakukan pada masa pemilihan kepala daerah
Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini dilakukan oleh Endah Muwarni pada tahun 2018.
Penelitian tersebut mendeskripsikan strategi pengelolaan kesan yang diterapkan oleh
kedua pasang calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta, yakni Ahok-Djarot dan
Anies-Sandi melalui pemanfaatan media sosial. Hasil penelitian Muwarni menunjukkan
bahwa melalui profil, tagar, pesan, foto dan video yang ditampilkan, pasangan Ahok-
Djarot dan Anies-Sandi berupaya mempresentasikan diri dengan memproyeksikan citra-
citra yang diinginkan (Muwarni, 2018). Pasangan petahana Ahok-Djarot melakukan 3
strategi, yaitu strategi kredibilitas dengan menampilkan kompetensi, prestasi, dan
kinerja yang telah dilakukan selama menjadi Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta;
strategi kesopanan (Brown dan Levinson, 1987) dengan menggambarkan sosok Ahok-
Djarot yang peduli, akrab dan humoris; dan strategi memengaruhi dengan menekankan
kesuksesan Ahok-Djarot selama menjabat sebagai Gubernur-Wakil Gubernur DKI
Jakarta. Sedangkan pasangan Anies-Sandi menggunakan 3 strategi, yaitu strategi
pencarian afinitas dan kesopanan dengan tujuan agar masyarakat mengenal dan
menyukai pasangan Anies-Sandi; strategi penyesuaian citra yang bertujuan agar
masyarakat memiliki gambaran tentang siapa dan bagaimana Anies-Sandi; dan strategi
kredibilitas dengan menampilkan prestasi yang pernah dicapai Anies dan Sandi sebelum
mencalonkan diri sebagai Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Beberapa dekade setelah perumusan awal IMT oleh Goffman, dua sosiolinguistik,
Penelope Brown dan Stephen Levinson, mengembangkan gagasan Goffman perumusan
teori kesopanan mereka. Menurut teori kesopanan (Brown dan Levinson, 1987),
manusia memiliki dua kebutuhan fundamental manusia, yakni otonomi dan validasi. Ini
diberi istilah wajah negatif (keinginan untuk otonomi dan kebebasan dari pemaksaan)
dan wajah positif (keinginan untuk dihargai dan dimasukkan). Ancaman terhadap wajah
negatif dan positif melekat dalam interaksi. Ketika kita meminta bantuan, mengajukan
permintaan, atau bahkan memaksa seseorang untuk menjawab telepon, kita mengancam
dengan wajah negatif. Jika kita tidak setuju dengan pendapat seseorang, maka akan
mengkritik perilakunya, memberi argumen bahwa kita tidak menyukai kinerja atau
penampilannya, kami mengancam untuk bersikap positif. Untuk menekan tindakan yang
mengancam wajah ini, Brown dan Levinson menggunakan kesopanan. Misalnya, untuk
melunakkan ancaman terhadap wajah negatif seperti meminta tumpangan, kita mungkin
meminimalkan pemaksaan dengan mengatakan bahwa kita dapat tersedia kapan saja
sesuai keinginan, atau kita mungkin menawarkan untuk membantu sebagai balasan
(mengancam negatif kita sendiri). Untuk melunakkan ancaman terhadap wajah positif
seperti pada dilema klasik, “apakah ini membuat saya terlihat gemuk?” kita mungkin
menghindari ancaman sepenuhnya dengan mengatakan, "oh, tidak, kamu tampak
hebat", atau kita mungkin menggunakan kesopanan positif dengan mengatakan bahwa
pakaian lain lebih bagus.

Impression Management Theory serupa dengan manajemen strategis perilaku


yakni bertujuan untuk mempengaruhi persepsi orang lain (Goffman, 1959). Secara
strategi bersifat defensif karena melibatkan pembuatan alasan, penyangkalan, dll. Atau
dapat juga bersifat tegas secara taktis dengan melibatkan intimidasi, promosi diri, dll.

Penelitian di masa depan diharapkan dapat memeriksa lebih dekat alasan yang
menggiring individu dalam evaluasi dan pemilihan media dan saluran komunikasi dari
berbagai pilihan yang tersedia. Implikasi untuk hasil interaksi serta implikasi jangka
panjang untuk hubungan juga harus lebih dieksplorasi. Hal ini akan membantu
memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang implikasi penggunaan
saluran (baru dan lama, termediasi dan non-perantara) dalam melakukan pengelolaan
kesan saat berinteraksi.
Daftar Pustaka

Brown, Penelope dan Stephen C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in


Language Usage. United Kingdom: Cambridge University Press.
DeVito, Joseph A. 2013. The Interpersonal Communication. Edisi Ketiga belas. United
States of America: Pearson Education.
Ellingson, L. (2005). Communicating In The Clinic: Negotiating Frontstage And
Backstage Teamwork. Cresskill, NJ: Hampton Press.
Goffman, Erving. 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. Garden City, New
York: Anchor/Doubleday.
Graham, Sandra and April Z. Taylor. 2014. An Attributional Approach to Emotional
Life in the Classroom. Reinhard Pekrun and Lisa Linnenbrink-Garcia (Ed.).
International Handbook of Emotions in Education, pp. 96–119. London and New
York: Routledge.
Guerrero, Laura K., Peter A. Anderson and A. Afifi Walid. 2010. Close Encounters:
Communication in Relationships. Edisi Ketiga. Los Angeles and London: Sage.
Metts, Sandra, & E. Grohskopf. 2003. Impression Management: Goals, Strategies, and
Skills. J. Greene & B. R. Burleson (Ed.). Handbook of Communication Skills (pp.
357–399). Orlando, FL: Academic Press.
Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Muwarni, Endah. 2018. The Impression Management Strategy of the Candidates of
Governor-Vice Governor of DKI Jakarta on Social Media. Jurnal Komunikasi
ISKI, Vol. 03 (02), pp. 113—121.

Anda mungkin juga menyukai