Ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas Kesehatan Mental yang diampu oleh
Dr. Euis Farida, M.Pd. dan Nadia Aulia Nadirah, M.Pd.
Disusun oleh:
Kelompok 5
Ihsan Fadilah Candra 1904168
Kania Rosma 1908624
Khansa Meradaputhi 1904742
M. Sultan Agung 1904638
Resya Christiani 1909302
Silfia Dindasari 1907758
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah
ini dapat selesai pada waktunya.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Kesehatan Mental di
program studi Bimbingan dan Konseling, Departemen Psikologi Pendidikan dan
Bimbingan, Fakultas Ilmu Pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia.
Terima kasih kepada Dr. Euis Farida, M.Pd. dan Nadia Aulia Nadirah,
M.Pd. sebagai dosen pengampu mata kuliah Kesehatan Mental yang telah
membimbing kami dalam proses pembelajaran dikelas dan juga kami ucapkan
kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan membersikan gagasannya,
sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Reaksi Melarikan Diri dari Kenyataan (Escape & Withdrawal Reaction atau
Flight from Reality)
Reaksi escape dan withdrawal merupakan perlawanan pertahanan diri
individu terhadap tuntutan, desakan, atau ancaman dari lingkungan di mana dia
hidup.
Escape merefleksikan perasaan kejenuhan, atau putus asa; sementara
withdrawal mengindikasikan kecemasan, atau ketakutan. Bentuk-bentuk reaksi
escape dan withdrawal ini di antaranya: (a) berfantasi-melamun, (b) banyak tidur,
atau tidur yang patologis: narcolepsy, yaitu kebiasaan tidur yang tak terkontrol,
(c) meminum-minuman keras, (d) bunuh diri, (e) menjadi pecandu ganja,
narkotika, sabu-sabu atau ekstasi, dan (f) regresi.
Contoh: seorang siswa mengalami frustrasi, karena prestasi belajarnya di
sekolah rendah. Akhirnya dia menjadi sering melamun (day dreaming). Dia
melarikan diri dari dunia nyata dan mencari kepuasan di dunia tak nyata
(melamun).
Reaksi escape dan withdrawal berkembang disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain sebagai berikut.
a. Psikologis: frustrasi, konflik, ketakutan, perasaan tertindas, dan
kemiskinan emosional.
b. Lingkungan keluarga: orang tua terlalu memanjakan anak, orang tua
bersikap menolak terhadap anak, dan orang tua merupakan disiplin yang
keras terhadap anak
B. Penyesuaian Patologis
Penyesuaian yang bersifat patologis ini berarti bahwa individu yang
mengalaminya perlu mendapat perawatan khusus, dan bersifat klinis, bahkan perlu
perawatan di rumah sakit (hospitalized). Kondisi mental yang termasuk
penyesuaian patologis ini adalah neurosis dan psikosis.
a. Neurosis (The Struggle with Anxiety)
Neurosis merupakan suatu bentuk gangguan kepribadian yang relatif
ringan, sebagai akibat dari ketegangan yang kronis, konflik, frustasi dan
ketidakmampuan pribadi yang terekspresikan dalam gejala-gejala perilaku
sindroma.
Neurosis ini memiliki karakteristik antara lain: bersikap sensitif (mudah
tersinggung), terlalu memerhatikan diri sendiri, memiliki ego ideal yang tidak
realistis, bersikap kaku dan cemas, senang menyendiri, bersikap agresif terhadap
diri sendiri, memiliki konflik mental, kurang memiliki kemampuan
mengendalikan diri (perasaan dan pikiran), mudah terpengaruh (suggestible),
kurang bertanggung jawab, kurang memiliki rasa humor, memiliki emosi yang
tidak stabil.
Adapun bentuk-bentuk neurosis ini antara lain sebagai berikut.
a. Nervous (gugup), bentuk reaksinya seperti: mengisap ibu jari,
menggigit kuku, dan salah tingkah.
b. Worry (perasaan khawatir) yang ditandai dengan perasaan takut, cemas
dan tegang.
c. Neurosis yang traumatik, yaitu gangguan kejiwaan setelah mengalami
peristiwa traumatik, seperti: kecelakaan lalu lintas, serangan bom,
pengalaman perang, dan pemerkosaan. Peristiwa peristiwa tersebut
menyebabkan timbulnya "shock" mental atau trauma psikologis.
Gejala-gejala dari neurosis ini seperti: gemetaran, keluaran keringat,
mudah tersinggung sering pusing mudah pingsan, dan sering muntah.
d. Anxiety (kecemasan), merupakan ketidakberdayaan neurotik, rasa tidak
aman, tidak matang, dan kekurangmampuan dalam menghadapi
tuntutan realitas (lingkungan), kesulitan, dan tekanan kehidupan
sehari-hari. Perasaan cemas (anxiety) merupakan sejenis ketakutan
yang diproyeksikan ke arah ketidaktentuan masa depan.
e. Psihastenia merupakan suatu pola neurotik yang ditandai dengan
gejala-gejala mental yang tidak tepat, dalam mana perasaan, gagasan,
atau perbuatan individu berlangsung di luar kontrol dirinya.
Psihastenia ini meliputi beberapa bentuk, yaitu: Phobia (Ketakutan
yang tidak rasional, atau perasaan takut yang irasional dan kadang-
kadang membingungkan terhadap situasi atau objek tertentu), Obsesi
(Pikiran atau perasaan yang disertai kualitas emosional yang kuat,
yang memaksanya dan mengganggu proses berpikir yang normal) dan
Komplusi (Dorongan yang memaksa atau tak dapat dihalangi untuk
melakukan sesuatu dengan cara-cara tertentu).
f. Psikosomatik merupakan bidang khusus dalam investigasi medis yang
menekankan tentang kesatuan antara jiwa (psikis) dan raga (fisik).
Psikosomatik dapat diartikan sebagai gejala penyakitfisik yang
disebabkan oleh gangguan psikis." Istilah psikosomatik telah lama
dikenal untuk menggambarkan penyakit khusus (gangguan fisik)
dalam mana komponen psikologis merupakan faktor penentu penyakit
tersebut. Istilah ini menunjukkan juga hubungan antara proses
psikologis dengan fungsi-fungsi jasmaniah.
g. Hypochondria (The Chronic Complainer), Kata hypochondria
berhubungan dengan bidang tulang rusuk, bagian daripada tubuh, dan
menurut ahli fisika Yunani Kuno adalah pusat dari empedu hitam yang
menyebabkan melankolis. Menurut pengertian terakhir, hypochondria
itu digunakan untuk semua bentuk keluhan atau penyakit fisik yang
bukan berdasarkan kerusakan organis.
h. Hysteria, menurut Yunani Kuno, penyebab hysteria adalah uterus
(kandungan), sedangkan menurut pendapat yang berkembang pada
abad XVI, penyebabnya adalah otak. Hysteria merupakan "reaksi
neurotik individu sebagai upaya untuk mengontrol kecemasannya
melalui satu atau dua model tingkah laku, yaitu melalui konversi dan
disosiasi.”
i. Depresi neurotic, dinamakan juga "the dark despair" (keputusasaan
yang gelap/ kelam). Penderita depresi neurotik ini merupakan yang
terbanyak dari penderita neurotik. Sekitar 76% dari penderita neurotik
di rumah sakit jiwa adalah penderita depresi.
b. Psikosis
1. Pengertian
Psikosis merupakan bentuk kekacauan kepribadian yang serius, di
mana penderitanya menunjukkan kehilangan kontak dengan dunia
nyata, yang direfleksikan ke dalam gangguan persepsi, berpikir, emosi,
dan orientasi pribadi. Dalam beberapa kasus psikosis ini berhubungan
juga dengan gangguan organik otak.
2. Karakteristik Psikosis
Karakteristik Psikosis Psikosis memiliki karakteristik yang terkait
dengan aspek aspek berikut.
a. Kebingungan kognitif (Cognitive confusion) yang tanda-
tandanya: (1) tidak memiliki orientasi terhadap waktu, tempat, dan
orang (2) delusi, kepercayaan terhadap sesuatu yang tidak ada
buktinya secara nyata, atau ide-gagasan yang palsu; dan (3)
halusinasi, persepsi tanpa stimulus yang nyata (layak), atau suatu
fantasi di mana seseorang mengalami sensasi, stimulus atau
peristiwa yang tidak ada buktinya.
b. Tingkah laku emosional (Emotional behavior), yaitu reaksi emosi
yang kurang pada tempatnya, tidak dapat diprediksi, atau kontrol
yang tidak tepat.
3. Faktor-Faktor Penyebab Psikosis
Faktor yang menyebabkan psikosis ini tidaklah diketahui secara
pasti. Walaupun begitu, diasumsikan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhinya itu adalah: (1) faktor genetik atau predisposisi
biokimia, (2) peristiwa psikologis yang traumatis, (3) pengaruh iklim
kehidupan sosial budaya yang tidak kondusif dan (4) kerusakan organ
otak.
4. Bentuk-Bentuk Psikosis
Psikosis terdiri atas beberapa bentuk, yaitu schizophrenia dan
manic-depresif.
a. Schizophrenia
Schizophrenia berhubungan dengan kondisi seseorang yang
menunjukkan gejala psikosis dan merupakan kekacauan psikologis
yang cukup serius yang memerlukan perawatan rumah sakit jiwa.
Schizophrenia ini ditandai dengan karakteristik: bersikap
eksklusif atau menjauhkan diri dari kehidupan sosial (tidak ada
kontak sosial), dan kembali ke dunia pribadi (berfantasi).
Schizophrenia diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe
berikut.
Simple schizophrenia, yang ditandai dengan sifat-sifat (1)
kurang memiliki minat dan kegiatan, terutama pada usia remaja
dan dewasa awal; (2) menjauhkan diri dari lingkungan keluarga
dan teman-teman; (3) senang menyendiri; dan (4) kurang
berminat untuk sekolah, rekreasi, atau bekerja.
Hebephrenia, yaitu yang menunjukkan gelaja-gejala tingkah
laku, seperti: kebodohan, senyum atau tertawa yang tidak pada
tempatnya, kecut muka, dan bahasa yang ganjil.
Paranoid, yang dibentuk oleh delusi dan halusinasi. Gejala
delusi merupakan gambaran sentral dari gangguan paranoid ini,
dan sering memengaruhi gejala lainnya. Paranoid ditandai juga
oleh sikap suspiciousness (penuh curiga).
Catatonia, yang ditandai dengan adanya penyusutan aktivitas
motorik dan ketidakmampuan berbicara. Gejalanya yang sangat
umum adalah: penyusutan aktivitas motor (walaupun begitu
dalam beberapa kasus ada yang aktivitasnya berlebih-lebihan),
kecut muka, terlalu banyak bicara, dan tak dapat diprediksi
emosinya. Menurut Psikoanalisis, katatonik ini merupakan
regresi untuk kembali ke alam rahim (kandungan), atau sebagai
pernyataan simbolis dari kesenangan yang tidak disadari untuk
kembali ke alam rahim itu.
b. Manic-Depresif
Manic atau excited (kebanggaan atau kegembiraan)
dibentuk oleh elasi (kebanggaan), perasaan dalam keadaan baik,
optimis, percaya diri, pemeliharaan diri, dan dorongan tinggi
lainnya. Manic ini dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai
berikut.
Hypomania, yaitu tingkat elasi dan aktivitas yang moderat.
Penderitanya mempunyai rasa percaya diri yang luar biasa, dan
keyakinan akan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas
tugasnya. Dalam beberapa kasus, tekanan aktivitasnya
menuntun ke arah senang banyak bicara, berbicara yang keras
dan cepat, gestur yang berlebih-lebihan, dan berpakaian yang
eksentrik (ganjil).
Hyperacute, yang penderitanya menunjukkan gejala-gejala:
mudah tersinggung, tak sabar, bersikap pongah (sombong,
mendominasi orang lain), pembicaraannya membingungkan,
bersikap kasar dan kejam, ide-ide pembicaraannya tidak koheren
dengan pendengarnya, bersikap destruktif (merusak),
menunjukkan permusuhan, bersifat disorientasi, bersifat delusi,
dan halusinasi.
1. Faktor Biologis
Kelambatan tingkat electroencephalography (EEG). Hasil
studi menunjukkan bahwa pada diri individu yang
berkepribadian antisosial terdeteksi tingkat EEG yang
abnormal.
Rendahnya tingkat kepekaan selaput otak (cortical).
Menurut temuan Rose bahwa pasien psikiatrik yang
memiliki kepekaan selaput otak yang rendah cenderung
impulsif dan psikopat.
Kurang peka terhadap tanda-tanda sosial. Hasil observasi
Hare menunjukkan bahwa orang yang psikopat memiliki
kecenderungan umum untuk mengurangi masukan sensoris,
atau kurang dapat memersepsikan tanda-tanda sosial secara
normal untuk berperilaku yang diharapkan.
2. Faktor Psikologis
Anak kurang mendapat kasih sayang karena orang tua
bercerai. Greer menemukan bahwa 60 persen individu yang
psikopat disebabkan kehilangan orang tuanya pada usia
sebelum lima tahun.
Anak kurang mendapat latihan kedisiplinan yang tepat, atau
pemberian kedisiplinan yang diberikan orang tua tidak
konsisten.
Anak kurang mendapatkan contoh atau keteladanan dalam
melaksanakan kedisiplinan dari orang tua.
Individu yang mengalami penderitaan pada kehidupan masa
kecilnya, cenderung pada saat remajanya menampilkan
perilaku yang kurang kontrol, haus akan perhatian dan kasih
sayang kurang bisa berhubungan sosial (kurang memiliki
kematangan sosial), dan memiliki tegangan emosional atau
rasa cemas (Winokur dan Crowe, 1975 dalam Harmatz,
1978:317).
b. Tingkah Laku Kriminal (Dyssocial)
Orang-orang yang bertingkah laku kriminal pada dasarnya
tidak berbeda dengan orang-orang yang berkepribadian antisosial.
Masing-masing mereka menunjukkan kurang memiliki
pertimbangan sosial (social judgment) dan memiliki kebutuhan
yang sangat kuat untuk memuaskan keinginannya secara cepat dan
mudah. Hanya bedanya, tingkah laku dyssocial lebih banyak
dipengaruhi oleh lingkungan.
Faktor yang menyebabkan tingkah laku kriminal ini adalah:
(1) faktor sosial budaya, seperti: tradisi kejahatan yang
terorganisasi, kemiskinan, dan broken home; dan (2) syndrom Gen
XYY, yaitu pria yang memiliki ekstra Y pada kromosomnya (yang
normal 46 pasangan kromosom dalam bentuk XY), Sangat kecil
sekali persentase pria yang memiliki ekstra kromosom Y. Menurut
hasil studi Jarvik dkk. pada tahun 1973 menunjukkan bahwa
frekuensi perilaku kriminal pria yang memiliki kromosom XYY
lebih sering (15 kali) dari pada pria yang memiliki kromosom
normal (XY).
Namun temuan ini terbantahkan oleh hasil penelitian
Danish, yaitu berdasarkan 20 kali analisis pemisahan kromosom
terhadap 4293 orang yang melakukan perbuatan kriminal, ternyata
hanya 61 orang (kurang dari 2%) yang memiliki kromosom XYY.
c. Juvenile Delinquency
Juvenile delinquency (juvenile = remaja, delinquency =
pelanggaran, penyimpangan, atau kenakalan) ini dapat diartikan
sebagai "berbagai tingkah laku yang melawan hukum yang
dilakukan oleh seseorang yang berusia juvenile (17 tahun atau di
bawahnya)." Pengertian lain dapat dikemukakan bahwa juvenile
delinquency ini adalah "perbuatan remaja yang bertentangan
dengan norma agama, adat istiadat, atau hukum yang berdampak
buruk atau tidak maslahat, baik bagi dirinya sendiri maupun orang
lain (masyarakat pada umumnya)."
Contoh penyimpangan perilaku remaja ini adalah: mencuri,
membolos dari sekolah, free sex, vandalisme (pengrusakan),
bullying atau serangan yang agresif yang mengarah kepada
kematian, mengonsumsi minuman keras atau obat-obat terlarang,
berpakaian tidak senonoh, dan tawuran.
Stephens (1973) dalam Harmatz (1978) melaporkan remaja
yang berperilaku menyimpang sekitar 3% dari seluruh remaja di
Amerika, yang berusia antara 10 sampai 17 tahun. Pada awalnya
Juvenile delinquency ini didominasi oleh remaja pria, tetapi mulai
tahun 1971, kasus remaja perempuan pun meningkat 1%,
sementara kasus remaja pria meningkat 6%.
Faktor yang memengaruhi juvenile delinquency menurut
sebagian ahli (para biologis) adalah hereditas atau faktor
keturunan, namun pendapat ini dibantah oleh ahli lain, seperti
Ashley Montague (B. Simanjuntak, 1975: 99) yang berpendapat
bahwa: "Tak ada bukti bahwa seseorang diwarisi tingkah laku
jahat. Kejahatan adalah kondisi sosial, bukan kondisi biologis."
Untuk mencegah atau menyembuhkan perilaku antisosial
anak atau remaja dapat dilakukan upaya-upaya berikut.
1. Upaya Pencegahan (Preventif)
Menciptakan iklim kehidupan keluarga yang harmonis.
Menanamkan nilai-nilai agama kepada anak sejak dini.
Memberi teladan kepada anak dalam berakhlak mulia.
Mengontrol penjualan alat-alat kontrasepsi secara ketat.
Pemerintah melarang secara keras penjualan minuman keras
dan obat-obat terlarang, dan memberikan hukuman yang
berat kepada pelanggarnya.
Menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya supaya
dapat mengurangi tingkat pengangguran.
Mengembangkan sikap-sikap sosial yang positif dalam
kehidupan bermasyarakat, seperti toleransi, altruis, dan
koperasi, sehingga terhindar dari keadaan yang tidak
diharapkan.
Memberikan latihan atau kursus-kursus keterampilan kerja
(vocational training programs) kepada para remaja yang
menganggur (tidak sekolah).
2. Upaya Penyembuhan (Kuratif)
Reality Therapy: Terapi ini berpendapat bahwa setiap
individu memiliki dua kebutuhan dasar, yaitu: (1) need to
feel love and be loved, dan (2) need to feel worthwhile. Para
terapis atau konselor secara aktif membantu klien agar
memahami kebutuhan dasar tersebut dan bagaimana
memenuhinya secara wajar. Tujuan dari terapi ini adalah
agar klien memiliki sense of responsibility, yaitu
kemampuan untuk memperoleh kepuasan dalam memenuhi
kebutuhan dasar tersebut, tetapi tidak mengganggu orang
lain dalam memenuhi kebutuhannya.
Logotherapy. Pemikiran dasar terapi ini adalah bahwa hidup
itu berharga atau bermanfaat apabila individu memiliki
perasaan bermakna (meaning). Dalam hal ini terapis
membantu klien agar memiliki pemahaman tentang
bagaimana hidup yang bermakna tersebut.
Family Therapy. Terapi ini dilakukan apabila yang menjadi
sumber masalah klien itu adalah pihak keluarga. Melalui
terapi ini terapis membantu para anggota keluarga untuk
meningkatkan iklim kehidupan yang harmonis, dan menjalin
komunikasi yang baik.
Rational-Emotive Therapy. Melalui terapi ini terapis
membantu klien agar memahami pikiran, pendapat atau
Gagasan-gagasannya yang tidak logis, tidak rasional menuju
kepada pola pikiran yang logis, rasional, dan realistis.
a. Faktor Penyebab
1. Rasa ingin tahu, dan ingin mencoba (iseng).
2. Mengalami frustrasi atau depresi (stres berat).
3. Ketidakharmonisan hubungan antar anggota keluarga.
4. Broken home (seperti perceraian, dan perselingkuhan suami atau istri).
5. Pergaulan yang tidak sehat, yaitu bergaul dengan teman sebaya yang tidak
memerhatikan nilai-nilai agama.
6. Kurang mendapat perhatian atau kasih sayang dari orang tua.
7. Lingkungan (keluarga atau masyarakat) yang kurang memerhatikan nilai-
nilai agama, sehingga anak kurang memiliki pemahaman dan keteladanan
dalam mengamalkan nilai-nilai agama.
8. Maraknya perdagangan Narkoba di lingkungan masyarakat.
9. Dijualnya minuman keras secara terbuka, sehingga memudahkan untuk
mendapatkannya.
10. Hukuman yang diberikan kepada para pengedar atau pemakai narkoba
sangat ringan.
b. Upaya pencegahan