Anda di halaman 1dari 24

PENYESUAIAN DIRI DAN KESEHATAN MENTAL TERHADAP

PERILAKU YANG MENYIMPANG

Ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas Kesehatan Mental yang diampu oleh
Dr. Euis Farida, M.Pd. dan Nadia Aulia Nadirah, M.Pd.

Disusun oleh:

Kelompok 5
Ihsan Fadilah Candra 1904168
Kania Rosma 1908624
Khansa Meradaputhi 1904742
M. Sultan Agung 1904638
Resya Christiani 1909302
Silfia Dindasari 1907758

DEPARTEMEN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah
ini dapat selesai pada waktunya.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Kesehatan Mental di
program studi Bimbingan dan Konseling, Departemen Psikologi Pendidikan dan
Bimbingan, Fakultas Ilmu Pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia.
Terima kasih kepada Dr. Euis Farida, M.Pd. dan Nadia Aulia Nadirah,
M.Pd. sebagai dosen pengampu mata kuliah Kesehatan Mental yang telah
membimbing kami dalam proses pembelajaran dikelas dan juga kami ucapkan
kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan membersikan gagasannya,
sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Bandung, 26 Februari 2020

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan


lingkungannya, Penyesuaian diri adalah suatu proses yang melibatkan respon-
respon mental dan tingkah laku yang menyebabkan individu berusaha
menanggulangi kebutuhan-kebutuhan, tegangantegangan, frustasi-frustasi, dan
konflik-konflik batin serta menyelaraskan tuntutan-tuntutan batin ini dengan
tuntutan-tuntutan yang dikenakan kepadanya oleh dunia dimana ia hidup (Semiun,
2006).
Penyesuaian diri merupakan suatu proses yang melibatkan respons-
respons mental dan tindakan individu dalam upaya memenuhi kebutuhan-
kebutuhan, dan mengatasi ketegangan, frustasi, dan konflik dengan memerhatikan
norma atau tuntutan lingkungan di mana dia hidup (Schneiders, 1964: 51).
Penyesuaian diri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok,
yaitu berdasarkan: (1) gejala masalah, yang meliputi: neurotik, psikotik,
psikopatik, epileptik; (2) jenis kualitas respon, yang meliputi: penyesuaian yang
normal, dan penyesuaian yang tidak normal atau menyimpang, yang meliputit:
defense reactions, escape and withdrawing, illness, dan aggression; dan (3) jenis
masalah, yang meliputi: personal, sosial, keluarga, akademik, vokasional, dan
marital (pernikahan).
Penyesuaian diri yang menyimpang atau tidak normal merupakan “proses
pemenuhan kebutuhan atau upaya pemecahan masalah dengan cara-cara yang
tidak wajar atau bertentangan dengan norma yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat." Dapat juga dikatakan bahwa penyesuaian yang menyimpang ini
adalah sebagai tingkah laku abnormal (abnormal behavior), terutama terkait
dengan kriteria sosiopsikologis dan agama.
Keterikatan antara kesehatan mental dengan penesuaian diri adalah bahwa:
(1) kesehatan mental merupakan kunci dari penyesuaian diri yang sehat (mental
health is the key to wholesome adjustment); (2) kesehatan mental merupakan
bagian integral dari proses adjustment secara keseluruhan; dan (3) kualitas mental
yang sehat merupakan fundamen yang penting bagi "good adjustment."
Maka dari itu penulis ingin membahas tentang masalah gangguan mental,
untuk membahas lebih luas dan mengetahui tujuan dibuatnya makalah ini maka
pemakalah mendeskripsikan dengan rumusan masalah di bawah ini

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari penyesuaian diri?
2. Apa pengertian dari penyesuaian diri yang menyimpang?
2. Apa saja respons dari penyesuaian diri yang menyimpang?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk mendeskripsikan apa pengertian dari penyesuaian diri.
2 Untuk mendeskripsikan apa pengertian dari penyesuaian diri yang
menyimpang.
3. Untuk mendeskripsikan apa saja respons dari penyesuaian diri yang
menyimpang.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Penyesuaian Diri


Penyesuaian diri merupakan suatu proses yang melibatkan respons-
respons mental dan tindakan individu dalam upaya memenuhi kebutuhan-
kebutuhan, dan mengatasi ketegangan, frustasi, dan konflik dengan memerhatikan
norma atau tuntutan lingkungan di mana dia hidup (Schneiders, 1964: 51).
Penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mengacu ke arah hubungan
yang harmonis antara tuntutan internal dari motivasi dan tuntutan eksternal dari
realitas. Penyesuaian dapat diartikan atau dideskripsikan sebagai berikut: 1.
Penyesuaian berarti adaptasi; dapat mempertahankan ekssistensinya, atau bisa
survive dan memperoleh kesejahteraan jasmani dan rohani, dan dapat
mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan sosial. 2. Penyesuaian dapat
juga diartikan sebagai koformitas, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan
standar atau prinsip dan lain-lain.

2.2. Pengertian Penyesuaian Diri yang Menyimpang

Penyesuaian yang Menyimpang (Maladjustment)

Penyesuaian diri yang menyimpang atau tidak normal merupakan "proses


pemenuhan kebutuhan atau upaya pemecahan masalah dengan cara-cara yang
tidak wajar atau bertentangan dengan norma yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat." Dapat juga dikatakan bahwa penyesuaian yang menyimpang ini
adalah sebagai tingkah laku abnormal (abnormal behavior), terutama terkait
dengan kriteria sosiopsikologis dan agama. Penyesuaian yang menyimpang atau
tingkah laku abnormal ini ditandai dengan respons-respons tertentu.

A. Reaksi Melarikan Diri dari Kenyataan (Escape & Withdrawal Reaction atau
Flight from Reality)
Reaksi escape dan withdrawal merupakan perlawanan pertahanan diri
individu terhadap tuntutan, desakan, atau ancaman dari lingkungan di mana dia
hidup.
Escape merefleksikan perasaan kejenuhan, atau putus asa; sementara
withdrawal mengindikasikan kecemasan, atau ketakutan. Bentuk-bentuk reaksi
escape dan withdrawal ini di antaranya: (a) berfantasi-melamun, (b) banyak tidur,
atau tidur yang patologis: narcolepsy, yaitu kebiasaan tidur yang tak terkontrol,
(c) meminum-minuman keras, (d) bunuh diri, (e) menjadi pecandu ganja,
narkotika, sabu-sabu atau ekstasi, dan (f) regresi.
Contoh: seorang siswa mengalami frustrasi, karena prestasi belajarnya di
sekolah rendah. Akhirnya dia menjadi sering melamun (day dreaming). Dia
melarikan diri dari dunia nyata dan mencari kepuasan di dunia tak nyata
(melamun).
Reaksi escape dan withdrawal berkembang disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain sebagai berikut.
a. Psikologis: frustrasi, konflik, ketakutan, perasaan tertindas, dan
kemiskinan emosional.
b. Lingkungan keluarga: orang tua terlalu memanjakan anak, orang tua
bersikap menolak terhadap anak, dan orang tua merupakan disiplin yang
keras terhadap anak
B. Penyesuaian Patologis
Penyesuaian yang bersifat patologis ini berarti bahwa individu yang
mengalaminya perlu mendapat perawatan khusus, dan bersifat klinis, bahkan perlu
perawatan di rumah sakit (hospitalized). Kondisi mental yang termasuk
penyesuaian patologis ini adalah neurosis dan psikosis.
a. Neurosis (The Struggle with Anxiety)
Neurosis merupakan suatu bentuk gangguan kepribadian yang relatif
ringan, sebagai akibat dari ketegangan yang kronis, konflik, frustasi dan
ketidakmampuan pribadi yang terekspresikan dalam gejala-gejala perilaku
sindroma.
Neurosis ini memiliki karakteristik antara lain: bersikap sensitif (mudah
tersinggung), terlalu memerhatikan diri sendiri, memiliki ego ideal yang tidak
realistis, bersikap kaku dan cemas, senang menyendiri, bersikap agresif terhadap
diri sendiri, memiliki konflik mental, kurang memiliki kemampuan
mengendalikan diri (perasaan dan pikiran), mudah terpengaruh (suggestible),
kurang bertanggung jawab, kurang memiliki rasa humor, memiliki emosi yang
tidak stabil.
Adapun bentuk-bentuk neurosis ini antara lain sebagai berikut.
a. Nervous (gugup), bentuk reaksinya seperti: mengisap ibu jari,
menggigit kuku, dan salah tingkah.
b. Worry (perasaan khawatir) yang ditandai dengan perasaan takut, cemas
dan tegang.
c. Neurosis yang traumatik, yaitu gangguan kejiwaan setelah mengalami
peristiwa traumatik, seperti: kecelakaan lalu lintas, serangan bom,
pengalaman perang, dan pemerkosaan. Peristiwa peristiwa tersebut
menyebabkan timbulnya "shock" mental atau trauma psikologis.
Gejala-gejala dari neurosis ini seperti: gemetaran, keluaran keringat,
mudah tersinggung sering pusing mudah pingsan, dan sering muntah.
d. Anxiety (kecemasan), merupakan ketidakberdayaan neurotik, rasa tidak
aman, tidak matang, dan kekurangmampuan dalam menghadapi
tuntutan realitas (lingkungan), kesulitan, dan tekanan kehidupan
sehari-hari. Perasaan cemas (anxiety) merupakan sejenis ketakutan
yang diproyeksikan ke arah ketidaktentuan masa depan.
e. Psihastenia merupakan suatu pola neurotik yang ditandai dengan
gejala-gejala mental yang tidak tepat, dalam mana perasaan, gagasan,
atau perbuatan individu berlangsung di luar kontrol dirinya.
Psihastenia ini meliputi beberapa bentuk, yaitu: Phobia (Ketakutan
yang tidak rasional, atau perasaan takut yang irasional dan kadang-
kadang membingungkan terhadap situasi atau objek tertentu), Obsesi
(Pikiran atau perasaan yang disertai kualitas emosional yang kuat,
yang memaksanya dan mengganggu proses berpikir yang normal) dan
Komplusi (Dorongan yang memaksa atau tak dapat dihalangi untuk
melakukan sesuatu dengan cara-cara tertentu).
f. Psikosomatik merupakan bidang khusus dalam investigasi medis yang
menekankan tentang kesatuan antara jiwa (psikis) dan raga (fisik).
Psikosomatik dapat diartikan sebagai gejala penyakitfisik yang
disebabkan oleh gangguan psikis." Istilah psikosomatik telah lama
dikenal untuk menggambarkan penyakit khusus (gangguan fisik)
dalam mana komponen psikologis merupakan faktor penentu penyakit
tersebut. Istilah ini menunjukkan juga hubungan antara proses
psikologis dengan fungsi-fungsi jasmaniah.
g. Hypochondria (The Chronic Complainer), Kata hypochondria
berhubungan dengan bidang tulang rusuk, bagian daripada tubuh, dan
menurut ahli fisika Yunani Kuno adalah pusat dari empedu hitam yang
menyebabkan melankolis. Menurut pengertian terakhir, hypochondria
itu digunakan untuk semua bentuk keluhan atau penyakit fisik yang
bukan berdasarkan kerusakan organis.
h. Hysteria, menurut Yunani Kuno, penyebab hysteria adalah uterus
(kandungan), sedangkan menurut pendapat yang berkembang pada
abad XVI, penyebabnya adalah otak. Hysteria merupakan "reaksi
neurotik individu sebagai upaya untuk mengontrol kecemasannya
melalui satu atau dua model tingkah laku, yaitu melalui konversi dan
disosiasi.”
i. Depresi neurotic, dinamakan juga "the dark despair" (keputusasaan
yang gelap/ kelam). Penderita depresi neurotik ini merupakan yang
terbanyak dari penderita neurotik. Sekitar 76% dari penderita neurotik
di rumah sakit jiwa adalah penderita depresi.

b. Psikosis
1. Pengertian
Psikosis merupakan bentuk kekacauan kepribadian yang serius, di
mana penderitanya menunjukkan kehilangan kontak dengan dunia
nyata, yang direfleksikan ke dalam gangguan persepsi, berpikir, emosi,
dan orientasi pribadi. Dalam beberapa kasus psikosis ini berhubungan
juga dengan gangguan organik otak.
2. Karakteristik Psikosis
Karakteristik Psikosis Psikosis memiliki karakteristik yang terkait
dengan aspek aspek berikut.
a. Kebingungan kognitif (Cognitive confusion) yang tanda-
tandanya: (1) tidak memiliki orientasi terhadap waktu, tempat, dan
orang (2) delusi, kepercayaan terhadap sesuatu yang tidak ada
buktinya secara nyata, atau ide-gagasan yang palsu; dan (3)
halusinasi, persepsi tanpa stimulus yang nyata (layak), atau suatu
fantasi di mana seseorang mengalami sensasi, stimulus atau
peristiwa yang tidak ada buktinya.
b. Tingkah laku emosional (Emotional behavior), yaitu reaksi emosi
yang kurang pada tempatnya, tidak dapat diprediksi, atau kontrol
yang tidak tepat.
3. Faktor-Faktor Penyebab Psikosis
Faktor yang menyebabkan psikosis ini tidaklah diketahui secara
pasti. Walaupun begitu, diasumsikan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhinya itu adalah: (1) faktor genetik atau predisposisi
biokimia, (2) peristiwa psikologis yang traumatis, (3) pengaruh iklim
kehidupan sosial budaya yang tidak kondusif dan (4) kerusakan organ
otak.
4. Bentuk-Bentuk Psikosis
Psikosis terdiri atas beberapa bentuk, yaitu schizophrenia dan
manic-depresif.
a. Schizophrenia
Schizophrenia berhubungan dengan kondisi seseorang yang
menunjukkan gejala psikosis dan merupakan kekacauan psikologis
yang cukup serius yang memerlukan perawatan rumah sakit jiwa.
Schizophrenia ini ditandai dengan karakteristik: bersikap
eksklusif atau menjauhkan diri dari kehidupan sosial (tidak ada
kontak sosial), dan kembali ke dunia pribadi (berfantasi).
Schizophrenia diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe
berikut.
 Simple schizophrenia, yang ditandai dengan sifat-sifat (1)
kurang memiliki minat dan kegiatan, terutama pada usia remaja
dan dewasa awal; (2) menjauhkan diri dari lingkungan keluarga
dan teman-teman; (3) senang menyendiri; dan (4) kurang
berminat untuk sekolah, rekreasi, atau bekerja.
 Hebephrenia, yaitu yang menunjukkan gelaja-gejala tingkah
laku, seperti: kebodohan, senyum atau tertawa yang tidak pada
tempatnya, kecut muka, dan bahasa yang ganjil.
 Paranoid, yang dibentuk oleh delusi dan halusinasi. Gejala
delusi merupakan gambaran sentral dari gangguan paranoid ini,
dan sering memengaruhi gejala lainnya. Paranoid ditandai juga
oleh sikap suspiciousness (penuh curiga).
 Catatonia, yang ditandai dengan adanya penyusutan aktivitas
motorik dan ketidakmampuan berbicara. Gejalanya yang sangat
umum adalah: penyusutan aktivitas motor (walaupun begitu
dalam beberapa kasus ada yang aktivitasnya berlebih-lebihan),
kecut muka, terlalu banyak bicara, dan tak dapat diprediksi
emosinya. Menurut Psikoanalisis, katatonik ini merupakan
regresi untuk kembali ke alam rahim (kandungan), atau sebagai
pernyataan simbolis dari kesenangan yang tidak disadari untuk
kembali ke alam rahim itu.

Schizophrenia dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab,


yaitu: (1) faktor biologis, yang menekankan pada pengaruh
genetika dan gangguan biokimia; (2) faktor psikologis, yaitu
pecahnya mekanisme kognitif; (3) faktor sosial budaya, seperti
salah asuh, ketidakharmonisan keluarga, atau gangguan lain yang
berhubungan dengan kehidupan sosial.

b. Manic-Depresif
Manic atau excited (kebanggaan atau kegembiraan)
dibentuk oleh elasi (kebanggaan), perasaan dalam keadaan baik,
optimis, percaya diri, pemeliharaan diri, dan dorongan tinggi
lainnya. Manic ini dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai
berikut.
 Hypomania, yaitu tingkat elasi dan aktivitas yang moderat.
Penderitanya mempunyai rasa percaya diri yang luar biasa, dan
keyakinan akan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas
tugasnya. Dalam beberapa kasus, tekanan aktivitasnya
menuntun ke arah senang banyak bicara, berbicara yang keras
dan cepat, gestur yang berlebih-lebihan, dan berpakaian yang
eksentrik (ganjil).
 Hyperacute, yang penderitanya menunjukkan gejala-gejala:
mudah tersinggung, tak sabar, bersikap pongah (sombong,
mendominasi orang lain), pembicaraannya membingungkan,
bersikap kasar dan kejam, ide-ide pembicaraannya tidak koheren
dengan pendengarnya, bersikap destruktif (merusak),
menunjukkan permusuhan, bersifat disorientasi, bersifat delusi,
dan halusinasi.

Sementara istilah depresi ditujukan kepada individu yang


memiliki karakteristik: selalu merasa sedih, bersikap dingin,
kurang memiliki perhatian terhadap lingkungannya, dan pesimistis.

Depresi ini diklasifikasikan ke dalam tipe-tipe sebagai


berikut.

 Depresi sederhana, yang menggambarkan ciri-ciri: penyusutan


aktivitas mental dan fisik, perasaan murung kurang
bersemangat, sering mengalami keluhan badan, biasanya
mengalami kehilangan nafsu makan dan menurunnya berat
badan.
 Depresi stupor, yang ditandai dengan ciri-ciri: penderitanya
menjadi membisu, bersikap resistif atau negativistik, sering
menampakkan kebingungan, mengalami disorientasi, delusi dan
halusinasi.
 Depresi akut, yang ditandai dengan kemunduran aktivitas
mental dan fisik, merasa tidak berharga, merasa gagal dalam
penampilannya, sering duduk sendirian dalam waktu yang lama
(berjam-jam), dan menolak untuk berbicara dengan orang lain.

Depresi ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai


berikut.
 Faktor genetika, yaitu bahwa depresi itu diturunkan, dan
karakteristik yang dominan adalah dari garis jenis kelamin.
Dalam penelitian ditemukan, bahwa 68% kembar identik
menderita depresi, sementara kembar bersaudara hanya 23%.
 Faktor biokimia, yaitu keterlibatan unsur kimia dalam
transmisi impul-impul saraf dalam otak berhubungan dengan
depresi dan elasi dalam manic-depresif.
 Faktor psikososial, yang menekankan aspek belajar dan
Psikodinamika dalam konteks peristiwa yang penuh stres.
5. Tingkah laku Antisocial (Antisocial Behaviour)
Tingkah laku antisosial merupakan tingkah laku yang menyimpang
atau bertentangan dengan norma masyarakat (baik secara formal =
hukum/perundang-undangan, maupun informal adat istiadat), dan
norma agama." Contoh tingkah laku antisosial ini, di antaranya:
pemerkosaan, perzinahan, perampokan, pencurian, perjudian,
penculikan, pencurian, pemalsuan (ijazah, persaksian), dan
pembunuhan.
Tingkah laku antisosial ini diklasifikasikan ke dalam tiga kategori,
yaitu: antisocial personality (psychopathy), criminal (dyssocial
behavior), dan juvenile delinquency (Morton G. Harmatz, 1978).
a. Kepribadian Antisosial (Psikopat)
Menurut Asosiasi Psikiatrik Amerika (1908, dalam
Harmatz, 1978), kepribadian antisosial diartikan sebagai
‘’karakteristik individu yang tingkah lakunya melahirkan konflik
dengan masyarakat; tidak setia (loyal) terhadap nilai-nilai individu,
kelompok, maupun masyarakat; bersifat mementingkan diri sendiri
(selfish = egois), tidak mengenal kasihan (callous), tidak
bertanggung jawab (irresponsible), mengikuti hawa nafsu atau
insting (impulsive), tidak memiliki perasaan berdosa, dan tidak
dapat belajar dari pengalaman dan hukuman.’’
Sementara Cleckley (Harmatz, 1978) mengemukakan
karakteristik kepribadian antisosial ini adalah:
1. penampilannya kurang menarik, tapi memiliki kecerdasan yang
bagus,
2. tidak bersifat delusi dan tanda-tanda berpikir rasional lainnya,
3. tidak bersifat nervous atau psikoneurotik,
4. tidak dapat dipercaya,
5. pembohong,
6. kurang memiliki rasa malu,
7. tidak memiliki motivasi sosial yang laras,
8. kurang memiliki pertimbangan dan gagal untuk belajar dari
pengalaman,
9. sangat mementingkan diri sendiri dan kurang menaruh kasih
sayang kepada orang lain,
10. pada umumnya miskin dalam memberikan reaksi-reaksi afektif
11. kurang memiliki keinsafan,
12. tidak responsif dalam berhubungan interpersonal,
13. berperilaku tak pantas pada saat dipengaruhi alkohol,
14. kadang-kadang terdorong untuk bunuh diri,
15. gagal dalam mengikuti berbagai rencana kehidupan.

Berdasarkan pendapat Cleckley di atas, nampak bahwa


individu yang psikopat cenderung hanya memerhatikan dirinya
sendiri 3; kurang menaruh perhatian, atau rasa senang kepada
orang lain; dan suka menyakiti orang lain tanpa memiliki perasaan
berdosa atau rasa malu. Pada umumnya mereka itu bodoh, tetapi
pandai menampilkan diri seperti orang cerdas. Meskipun kurang
dapat dipercaya atau suka berbohong, tetapi mereka terampil untuk
menampilkan citra dirinya sebagai orang yang penuh perhatian dan
perasaan yang tulus. Mereka tidak dapat mengambil pelajaran dari
pengalaman, kegagalan, atau kesalahannya; tidak mampu
memahami perilaku antisosial yang dilakukannya seperti orang lain
melihatnya; dan tidak mampu memahami dampak dari
perbuatannya terhadap orang lain.
Untuk memahami perilaku psikopat pada diri seseorang
setelah usia dewasanya dapat diprediksi dari sejak usia anak-anak.
Menurut Harmatz, karakteristik pada usia anak dipandang sangat
penting dalam memprediksi perkembangan perilaku psikopat pada
usia dewasanya.

Robins (1967, dalam Harmatz, 1978) telah meneliti 524


anak anak berusia di bawah 12 tahun yang menunjukkan
berperilaku antisosial, yang berada dalam perawatan klinik
bimbingan dan kemudian diikuti sampai usia dewasanya. Hasil
studi ini menunjukkan bahwa tingkah laku antisosial pada masa
anak-anak yang pada umumnya berkembang pada usia dewasanya
adalah: (1) mencuri, (2) sulit dinasihati, (3) suka membolos/tidak
bertanggung jawab, (4) berteman dengan orang-orang yang
berperangai buruk, dan (5) bersifat agresif secara fisik.

Kepribadian antisosial perkembangannya dipengaruhi oleh


faktor-faktor biologis, dan psikologis. Masing-masing faktor
tersebut diuraikan sebagai berikut.

1. Faktor Biologis
 Kelambatan tingkat electroencephalography (EEG). Hasil
studi menunjukkan bahwa pada diri individu yang
berkepribadian antisosial terdeteksi tingkat EEG yang
abnormal.
 Rendahnya tingkat kepekaan selaput otak (cortical).
Menurut temuan Rose bahwa pasien psikiatrik yang
memiliki kepekaan selaput otak yang rendah cenderung
impulsif dan psikopat.
 Kurang peka terhadap tanda-tanda sosial. Hasil observasi
Hare menunjukkan bahwa orang yang psikopat memiliki
kecenderungan umum untuk mengurangi masukan sensoris,
atau kurang dapat memersepsikan tanda-tanda sosial secara
normal untuk berperilaku yang diharapkan.
2. Faktor Psikologis
 Anak kurang mendapat kasih sayang karena orang tua
bercerai. Greer menemukan bahwa 60 persen individu yang
psikopat disebabkan kehilangan orang tuanya pada usia
sebelum lima tahun.
 Anak kurang mendapat latihan kedisiplinan yang tepat, atau
pemberian kedisiplinan yang diberikan orang tua tidak
konsisten.
 Anak kurang mendapatkan contoh atau keteladanan dalam
melaksanakan kedisiplinan dari orang tua.
 Individu yang mengalami penderitaan pada kehidupan masa
kecilnya, cenderung pada saat remajanya menampilkan
perilaku yang kurang kontrol, haus akan perhatian dan kasih
sayang kurang bisa berhubungan sosial (kurang memiliki
kematangan sosial), dan memiliki tegangan emosional atau
rasa cemas (Winokur dan Crowe, 1975 dalam Harmatz,
1978:317).
b. Tingkah Laku Kriminal (Dyssocial)
Orang-orang yang bertingkah laku kriminal pada dasarnya
tidak berbeda dengan orang-orang yang berkepribadian antisosial.
Masing-masing mereka menunjukkan kurang memiliki
pertimbangan sosial (social judgment) dan memiliki kebutuhan
yang sangat kuat untuk memuaskan keinginannya secara cepat dan
mudah. Hanya bedanya, tingkah laku dyssocial lebih banyak
dipengaruhi oleh lingkungan.
Faktor yang menyebabkan tingkah laku kriminal ini adalah:
(1) faktor sosial budaya, seperti: tradisi kejahatan yang
terorganisasi, kemiskinan, dan broken home; dan (2) syndrom Gen
XYY, yaitu pria yang memiliki ekstra Y pada kromosomnya (yang
normal 46 pasangan kromosom dalam bentuk XY), Sangat kecil
sekali persentase pria yang memiliki ekstra kromosom Y. Menurut
hasil studi Jarvik dkk. pada tahun 1973 menunjukkan bahwa
frekuensi perilaku kriminal pria yang memiliki kromosom XYY
lebih sering (15 kali) dari pada pria yang memiliki kromosom
normal (XY).
Namun temuan ini terbantahkan oleh hasil penelitian
Danish, yaitu berdasarkan 20 kali analisis pemisahan kromosom
terhadap 4293 orang yang melakukan perbuatan kriminal, ternyata
hanya 61 orang (kurang dari 2%) yang memiliki kromosom XYY.
c. Juvenile Delinquency
Juvenile delinquency (juvenile = remaja, delinquency =
pelanggaran, penyimpangan, atau kenakalan) ini dapat diartikan
sebagai "berbagai tingkah laku yang melawan hukum yang
dilakukan oleh seseorang yang berusia juvenile (17 tahun atau di
bawahnya)." Pengertian lain dapat dikemukakan bahwa juvenile
delinquency ini adalah "perbuatan remaja yang bertentangan
dengan norma agama, adat istiadat, atau hukum yang berdampak
buruk atau tidak maslahat, baik bagi dirinya sendiri maupun orang
lain (masyarakat pada umumnya)."
Contoh penyimpangan perilaku remaja ini adalah: mencuri,
membolos dari sekolah, free sex, vandalisme (pengrusakan),
bullying atau serangan yang agresif yang mengarah kepada
kematian, mengonsumsi minuman keras atau obat-obat terlarang,
berpakaian tidak senonoh, dan tawuran.
Stephens (1973) dalam Harmatz (1978) melaporkan remaja
yang berperilaku menyimpang sekitar 3% dari seluruh remaja di
Amerika, yang berusia antara 10 sampai 17 tahun. Pada awalnya
Juvenile delinquency ini didominasi oleh remaja pria, tetapi mulai
tahun 1971, kasus remaja perempuan pun meningkat 1%,
sementara kasus remaja pria meningkat 6%.
Faktor yang memengaruhi juvenile delinquency menurut
sebagian ahli (para biologis) adalah hereditas atau faktor
keturunan, namun pendapat ini dibantah oleh ahli lain, seperti
Ashley Montague (B. Simanjuntak, 1975: 99) yang berpendapat
bahwa: "Tak ada bukti bahwa seseorang diwarisi tingkah laku
jahat. Kejahatan adalah kondisi sosial, bukan kondisi biologis."
Untuk mencegah atau menyembuhkan perilaku antisosial
anak atau remaja dapat dilakukan upaya-upaya berikut.
1. Upaya Pencegahan (Preventif)
 Menciptakan iklim kehidupan keluarga yang harmonis.
 Menanamkan nilai-nilai agama kepada anak sejak dini.
 Memberi teladan kepada anak dalam berakhlak mulia.
 Mengontrol penjualan alat-alat kontrasepsi secara ketat.
 Pemerintah melarang secara keras penjualan minuman keras
dan obat-obat terlarang, dan memberikan hukuman yang
berat kepada pelanggarnya.
 Menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya supaya
dapat mengurangi tingkat pengangguran.
 Mengembangkan sikap-sikap sosial yang positif dalam
kehidupan bermasyarakat, seperti toleransi, altruis, dan
koperasi, sehingga terhindar dari keadaan yang tidak
diharapkan.
 Memberikan latihan atau kursus-kursus keterampilan kerja
(vocational training programs) kepada para remaja yang
menganggur (tidak sekolah).
2. Upaya Penyembuhan (Kuratif)
 Reality Therapy: Terapi ini berpendapat bahwa setiap
individu memiliki dua kebutuhan dasar, yaitu: (1) need to
feel love and be loved, dan (2) need to feel worthwhile. Para
terapis atau konselor secara aktif membantu klien agar
memahami kebutuhan dasar tersebut dan bagaimana
memenuhinya secara wajar. Tujuan dari terapi ini adalah
agar klien memiliki sense of responsibility, yaitu
kemampuan untuk memperoleh kepuasan dalam memenuhi
kebutuhan dasar tersebut, tetapi tidak mengganggu orang
lain dalam memenuhi kebutuhannya.
 Logotherapy. Pemikiran dasar terapi ini adalah bahwa hidup
itu berharga atau bermanfaat apabila individu memiliki
perasaan bermakna (meaning). Dalam hal ini terapis
membantu klien agar memiliki pemahaman tentang
bagaimana hidup yang bermakna tersebut.
 Family Therapy. Terapi ini dilakukan apabila yang menjadi
sumber masalah klien itu adalah pihak keluarga. Melalui
terapi ini terapis membantu para anggota keluarga untuk
meningkatkan iklim kehidupan yang harmonis, dan menjalin
komunikasi yang baik.
 Rational-Emotive Therapy. Melalui terapi ini terapis
membantu klien agar memahami pikiran, pendapat atau
Gagasan-gagasannya yang tidak logis, tidak rasional menuju
kepada pola pikiran yang logis, rasional, dan realistis.

6. Kecanduan dan ketergantungan Alkohol serta obat terlarang

Kecanduan alkohol (minuman keras atau Miras) dan penyalahgunaan


Narkoba atau Naza (Narkotika, Alkohol & Adiktif) merupakan gejala perilaku
menyimpang (baik secara hukum maupun psikologis), yang berdampak sangat
buruk terhadap kesehatan fisik (seperti gangguan fungsi otak dan peradangan pada
lambung dan usus) dan psikis (seperti menjadi pemalas, pembohong, penipu,
pencuri, dan perasa). Sementara upaya untuk penyembuhan sangat susah, lama,
dan mahal.
Oleh karena itu yang perlu menjadi perhatian utama adalah upaya
preventif atau pencegahan. Menurut agama Islam mengonsumsi minuman keras
atau obat obatan terlarang yang menyebabkan mabuk (hilangnya akal sehat) itu
hukumnya haram karena kullu musrikin haraamun (setiap yang memabukan
haram).

A. Kecanduan Alkohol atau Minuman Keras (Alcoholic)


Kecanduan alkohol merupakan salah satu masalah kesehatan mental yang
sangat serius di Amerika Serikat dan juga di negara negara lain seperti Eropa,
Asia, khususnya Indonesia.
Berdasarkan hasil diagnosis, sekitar sepertiga dari seluruh pasien yang
dirawat di rumah sakit jiwa di Amerika Serikat adalah mengalami gangguan
kepribadian.
Di Amerika telah diberlakukan Undang-Undang Miras dan Undang-
Undang Anti Rokok, yang pada dasarnya pelarangan (pengharaman) dengan
kekecualian. Secara ekonomi, keuntungan yang diperoleh dari pajak Miras (juga
pajak rokok) tidak sebanding dengan kerugian harta, benda, serta nyawa warga
Amerika. Perbandingan keuntungan dengan kerugian itu adalah 1:7. Dan
disebutkan pula bahwa 58% tindak kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan
ternyata berada di bawah pengaruh Miras.
Alkohol memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan fisik, seperti
gangguan otak dan kanker hati. Sementara dampak psikologis dari kecanduan
alkohol atau minuman keras ini adalah: agresif, destruktif, apatis, tidak
bertanggung jawab, rasa takut, kekacauan berpikir (bersifat irasional), membenci
diri sendiri (self-loathing), lepas dari kepedulian terhadap norma,
ketidakmampuan dalam mengambil keputusan, kurang menghargai pribadi orang
lain, dan melemahkan kepekaan emosional. Dampak dari mengonsumsi Miras
tidak hanya terhadap aspek fisik, psikis saja, tetapi juga terhadap perilaku amoral,
seperti perilaku pemerkosaan.

B. Kecanduan dan ketergantungan Obat (Narkoba/Naza).

Pengertian Narkoba adalah singkatan dari Narkotika dan Obat-obat


terlarang, sementara Naza merupakan singkatan dari Narkotika, Alkohol
(minuman keras) dan Zat Adiktif lainnya (obat-obat terlarang, berbahaya yang
menyebabkan seseorang mempunyai ketergantungan terhadap obat-obat tersebut).
Kedua istilah tersebut sering digunakan untuk maksud yang sama, meskipun
istilah Naza lebih luas lingkupnya.
Narkotika berasal dari tiga jenis tanaman, yaitu (1) candu, (2) ganja, dan
(3) koka. Sementara obat-obat terlarang adalah dengan jenis-jenis sebagai berikut.
Depresan Adalah obat-obat yang meredakan kegiatan dan fungsi tubuh, seperti
obat tidur, obat penenang, valium dan madrax.
Stimulansia, ialah obat-obat yang merangsang kegiatan saraf sehingga
mengurangi rasa kantuk, lapar, serta menyebabkan perasaan gembira yang
berlebihan, seperti: amfetamin, atau golongan ecstasy.
Halusinogen, ialah obat-obat yang dapat menimbulkan perubahan
perasaan, pemikiran, kesadaran diri, dan emosi pada seseorang sehingga ia tidak
mampu membedakan antara realitas (dum nyata) dengan fantasi (dunia khayal).

a. Faktor Penyebab
1. Rasa ingin tahu, dan ingin mencoba (iseng).
2. Mengalami frustrasi atau depresi (stres berat).
3. Ketidakharmonisan hubungan antar anggota keluarga.
4. Broken home (seperti perceraian, dan perselingkuhan suami atau istri).
5. Pergaulan yang tidak sehat, yaitu bergaul dengan teman sebaya yang tidak
memerhatikan nilai-nilai agama.
6. Kurang mendapat perhatian atau kasih sayang dari orang tua.
7. Lingkungan (keluarga atau masyarakat) yang kurang memerhatikan nilai-
nilai agama, sehingga anak kurang memiliki pemahaman dan keteladanan
dalam mengamalkan nilai-nilai agama.
8. Maraknya perdagangan Narkoba di lingkungan masyarakat.
9. Dijualnya minuman keras secara terbuka, sehingga memudahkan untuk
mendapatkannya.
10. Hukuman yang diberikan kepada para pengedar atau pemakai narkoba
sangat ringan.

b. Upaya pencegahan

Pertama, pihak pemerintah seyogianya menegakkan hukum secara benar,


dan memberikan hukuman seberat-beratnya kepada para pengedar atau pecandu
Miras dan Narkoba, seperti hukuman mati.
Kedua, pihak pengusaha seyogianya memerhatikan aspek etika atau moral
dalam bisnisnya, jangan hanya berorientasi mencari keuntungan material semata,
tetapi juga harus memikirkan kelangsungan hidup bangsa dan negara ini dengan
sebaik-baiknya.
Ketiga, Parpol atau Ormas seyogianya ikut memerhatikan masalah ini,
jangan hanya memikirkan kepentingan partai atau organisasi.
Keempat, para ulama (kiai, ajengan, atau ustaz) sebagai warasatul anbiya
mempunyai peranan penting dalam memberantas Naza atau Narkoba, yaitu
melalui dakwahnya kepada masyarakat, baik melalui lisan maupun tulisan.
Kelima, orang tua sebagai pendidik anak di lingkungan keluarga
mempunyai peranan yang sangat penting dalam membimbing anak ke arah
kehidupan yang sehat, dan benar. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian
orang tua agar anak tidak menjadi pecandu Narkoba adalah: (1) menciptakan
lingkungan keluarga yang harmonis, saling menghargai, memerhatikan, dan
menyayangi; (2) menanamkan nilai-nilai agama kepada anak (sejak berusia dini),
Keenam, lembaga pendidikan formal dari mulai SD sampai Perguruan
Tinggi mempunyai peranan penting dalam memberikan bimbingan kepada para
siswa/mahasiswa agar mereka tidak menjadi budak narkoba. Beberapa upaya yang
dapat dilakukan pihak sekolah atau perguruan tinggi, di antaranya adalah: (1)
memberikan informasi kepada para siswa/mahasiswa tentang bahayanya
Naza/Narkoba; (2) menciptakan lingkungan sekolah atau perguruan tinggi yang
religius, edukatif, dan ilmiah; (3) guru atau dosen memberikan contoh atau
keteladanan dalam ber-akhlakul karimah; (4) mengoptimalkan fungsi bimbingan
dan konseling kepada para mahasiswa oleh dosen pembimbing, konselor, atau
guru pembimbing

7. Penyimpangan Seksual dan Aids


Beberapa perilaku penyimpangan yang harus mendapatkan perhatian
semua pihak dewasa ini diantaranya penyimpangan perilaku seksual dan free sex
yang menyebabkan AIDS.
A. Penyimpangan perilaku seksual
Penyimpangan seksual (deviaton sexual) adalah sebuah problem
kepribadian atau kesehatan mental. Dapat dikategorikan sebagai psychopathic
personality dengan alasan ini lah istilah "sexual psychopath" telah digunakan
secara luas dalam bidang medis, psikologi, dan kriminologi.
Penyimpangan seksual merupakan perilaku abnormal, atau perilaku salah
suai (maladjustment). Ada beberapa tipe atau jenis penyimpangan seksual:
1) Gangguan Seksual yang Pasif
2) Gangguan Seksual yang Agresif
3) Konflik identitas dan Peranan Seks
4) Free sex atau Porstitusi
(a) Dampak free sex, porstitusi, atau zina
Menyebabkan terjadinya penyakit kelamin, atau Penyakit Menular Seksual
(PMS). Ada beberapa jenis PMS, yaitu: Sifilis, Klamidia, Gonorhoe, Jengger
ayam, Kencing nanah, dan Herpes.

B. AIDS (Acquired Immunodefiency Syndrome)


1) Sejarah Singkat AIDS
Diketahui bahwa darah tertua yang terinfeksi HIV ada di Afrika pada tahun
1959. Atas dasar itulah orang menduga bahwa AIDS berasal dari Afrika. Kasus
AIDS pertama di Amerika serikat terjadi pada tahun 1981 yang menimpa seorang
laki-laki homoseksual di California.
2) Pengertian, Faktor, dan Gejala AIDS
AIDS adalah singakatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome,
yaitu kumpulan gejala penyakit disebabkan oleh virus (HIV) yang merusak sistem
kekebalan tubuh manusia. HIV akan menyerang sel-sel darah putih.
3) Cara penularan AIDS
I. Hubungan seks diluar nikah
II. Transfusi darah yang mengandung HIV
III. Melalui alat suntik, atau alat tusuk lainnya
IV. Pemindahan dari ibu hamil yang terkena AIDS kepada janin yang
dikandungnya
V. Pemindahan virus dari suami / istri yang mengidap AIDS kepada
suami/istri melalui hubungan seksual.
4) Upaya Intervensi (Pencegahan dan Penyembuhan) AIDS
a. Memberikan pendidikan atau bimbingan agama kepada anak.
b. Memberikan informasi kepada masyarakat.
c. Memberikan penerangan tentang hukum melakukan zina, free sex,
homoseksual menurut agama.
d. Jangan berhubungan seksual kecuali dengan suami / istri sendiri.
e. Hindari penggunaan obat-obatan terlarang
f. Melakukan pemeriksaan darah
DAFTAR PUSTAKA

Choirudin. (2015). Penyesuaian Diri: Sebagai Upaya Mencapai Kesejahteraan


Jiwa. Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam: Vol. 12,
No. 1, 1-20. [Online]. Diakses dari http://ejournal.uin-
suka.ac.id/dakwah/hisbah/article/view/977/908. DOI
https://doi.org/10.14421/hisbah.2015.121-07
Yusuf, S. (2018). Kesehatan Mental dari Prespektif Psikologis dan Agama.
Bandung: Rosda.

Anda mungkin juga menyukai