ALEX OXTAVIANUS
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Alex Oxtavianus
NRP. H0162090081
RINGKASAN
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN
HUBUNGANNYA DENGAN MODAL SOSIAL
DI INDONESIA
ALEX OXTAVIANUS
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Setia Hadi, MS
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya
dengan Modal Sosial di Indonesia. Pembangunan berkelanjutan, sebagai arahan
pembangunan, mensyaratkan keseimbangan pembangunan ekonomi, sosial,
lingkungan dan kelembagaan. Pembangunan Indonesia relatif baik pada dimensi
ekonomi dan sosial, namun lemah pada dimensi lingkungan dan kelembagaan.
Penggunaan dan pengembangan modal sosial dalam pembangunan diharapkan
mampu menjembatani kelemahan pembangunan lingkungan dan kelembagaan.
Penelitian ini dapat dilakukan berkat dukungan dari berbagai pihak,
terutama dari komisi pembimbing. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc., Dr. Ir. Himawan
Hariyoga, M,Sc, dan Dr. Slamet Sutomo, SE, MS atas bimbingannya, sejak
pembentukan ide, perumusan masalah, membangun pola pikir, mengarahkan
dalam menentukan metode analisis hingga proses sintesis dan analisis.
DAFTAR GAMBAR
1 Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut Pulau, 2004
dan 2012 5
2 Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability) 6
3 Peran Modal Sosial dalam Menekan Perilaku Oportunistik 20
4 Kerangka Pemikiran 33
5 Model Konfirmatori Faktor Analisis Ordo Kedua untuk penyusunan
Indeks Pembangunan Berkelanjutan 48
6 Analisis Empat Kuadran 51
7 Model Analisis Jalur Pengaruh Modal Sosial terhadap Pembangunan 52
8 PDRB Perkapita Provinsi di Indonesia, 2012 53
9 Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Sosial, 2007-2012 55
10 Persentase Penduduk yang Berobat ke Dokter dan Rumah Sakit, 2012 57
11 Indeks Kualitas Lingkungan Hidup, 2012 61
12 Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Lingkungan, 2007-
2012 62
13 Emisi CO2 (ribu ton) dan CH4 (ton), 2007-2012 64
14 Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Kelembagaan,
2007-2012 65
15 Hasil konfirmatori faktor analisis 68
16 Bobot Indikator dan Dimensi Pembangunan Berkelanjutan 71
17 Capaian pembangunan di Indonesia 73
18 Peta Capaian Pembangunan Berkelanjutan 74
19 Perubahan Indeks Pembangunan Selama Periode 2009-2012 76
20 Boxplot Indeks Pembangunan Tahun 2009 dan 2012 77
21 Capaian pembangunan berkelanjutan nasional 79
22 Besaran penimbang indikator yang komponen modal sosial 88
23 Boxplot Indeks Modal Sosial dan Komponennya 2012 91
24 Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Ekonomi dengan Indeks
Modal Sosial 2012 96
25 Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Sosial dengan Indeks Modal
Sosial 2012 98
26 Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Lingkungan dengan Indeks
Modal Sosial 2012 100
27 Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Kelembagaan dengan Indeks
Modal Sosial 2012 103
28 Path Diagram Hasil Analisis Jalur Hubungan antara Modal Sosial
dengan Pembangunan Berkelanjutan 105
DAFTAR LAMPIRAN
1 Output LISREL: Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan 119
2 Penghitungan Indeks Pembangunan Berkelanjutan 124
3 Output LISREL : Analisis Jalur Pengaruh Modal Sosial terhadap
Pembangunan Berkelanjutan 149
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tabel 1PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010
PDRB Harga Konstan (Triliun Rp) Lahan Kritis (000 Ha)
Pulau Rata-rata Rata-rata
2006 2010 Pertumbuhan 2006 2010 Pertumbuhan
per tahun per tahun
IPM IKLH
Provinsi 2009 2010 2011 2009 2010 2011
1) 2)
IPM Rank IPM Rank IPM Rank IKLH Rank IKLH Rank IKLH2) Rank
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)
NAD 71,31 17 71,70 17 72,16 18 72,47 12 77,30 11 66,74 16
Sumatera Utara 73,80 8 74,19 8 74,65 8 62,48 19 87,17 6 72,21 12
Sumatera Barat 73,44 9 73,78 9 74,28 9 87,04 2 81,46 9 77,00 9
Riau 75,60 3 76,07 3 76,53 3 51,65 25 54,86 22 56,23 24
Jambi 72,45 13 72,74 13 73,30 13 75,04 9 62,82 17 64,92 18
Sumatera Selatan 72,61 10 72,95 10 73,42 10 69,30 14 75,70 13 77,50 8
Bengkulu 72,55 12 72,92 11 73,40 11 79,58 4 96,89 4 96,77 3
Lampung 70,93 21 71,42 21 71,94 20 73,64 11 86,95 7 86,57 4
Kep, Bangka Belitung 72,55 11 72,86 12 73,37 12 52,15 24 64,92 15 64,99 17
Kepulauan Riau 74,54 6 75,07 6 75,78 6 51,65 25 54,86 22 56,23 24
DKI Jakarta 77,36 1 77,60 1 77,97 1 41,73 30 41,81 29 41,31 30
Jawa Barat 71,64 15 72,29 15 72,73 16 49,69 27 53,44 23 50,90 27
Jawa Tengah 72,10 14 72,49 14 72,94 14 55,40 22 50,48 25 49,82 28
DI Yogyakarta 75,23 4 75,77 4 76,32 4 53,52 23 71,91 14 68,89 14
Jawa Timur 71,06 18 71,62 18 72,18 17 59,01 21 49,49 27 54,49 25
Banten 70,06 23 70,48 23 70,95 23 50,86 26 48,98 28 48,98 29
Bali 71,52 16 72,28 16 72,84 15 85,50 3 99,65 1 85,30 5
Nusa Tenggara Barat 64,66 32 65,20 32 66,23 32 73,69 10 90,15 5 84,30 7
Nusa Tenggara Timur 66,60 31 67,26 31 67,75 31 66,61 18 50,72 24 59,01 23
Kalimantan Barat 68,79 28 69,15 28 69,66 28 71,92 13 76,39 12 74,27 10
Kalimantan Tengah 74,36 7 74,64 7 75,06 7 45,70 29 50,38 26 63,98 19
Kalimantan Selatan 69,30 26 69,92 26 70,44 26 48,25 28 58,24 21 60,29 21
Kalimantan Timur 75,11 5 75,56 5 76,22 5 68,63 15 62,22 19 70,75 13
Sulawesi Utara 75,68 2 76,09 2 76,54 2 88,21 1 84,18 8 84,59 6
Sulawesi Tengah 70,70 22 71,14 22 71,62 22 68,51 16 97,58 3 98,53 2
Sulawesi Selatan 70,94 20 71,62 19 72,14 19 67,62 17 62,89 16 62,64 20
Sulawesi Tenggara 69,52 25 70,00 25 70,55 25 60,53 20 62,23 18 52,79 26
Gorontalo 69,79 24 70,28 24 70,82 24 - - 97,93 2 98,89 1
Sulawesi Barat 69,18 27 69,64 27 70,11 27 67,62 17 62,89 16 67,85 15
Maluku 70,96 19 71,42 20 71,87 21 78,80 6 79,72 10 73,09 11
Maluku Utara 68,63 29 69,03 30 69,47 30 78,80 5 79,72 10 73,09 11
Papua Barat 68,58 30 69,15 29 69,65 29 75,30 8 59,56 20 68,51 22
Papua 64,53 33 64,94 33 65,36 33 75,30 7 59,56 20 68,51 22
Indonesia 71,76 72,27 72,77 59,79 61,07 60,25
Sumber : BPS dan Kementrian Lingkungan Hidup
Catatan :
1) Penghitungan IKLH 2009 : Gorontalo tidak tersedia, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Barat gabung
2) Penghitungan IKLH 2010 dan 2011 : Maluku dan Maluku Utara gabung, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Barat gabung, Irian Jaya Barat dan Papua gabung
IKLH-nya baik, justru memiliki peringkat IPM yang tidak terlalu baik, misalnya
provinsi Gorontalo. Peringkat IKLH provinsi ini pada tahun 2010 dan 2011
berada pada posisi pertama, sedangkan nilai IPM-nya berada pada peringkat ke 24.
Akhirnya akan sulit untuk menilai tingkat pembangunan wilayah yang
berkelanjutan kalau hanya menggunakan salah satu indeks saja, IPM atau IKLH
saja.
Dua indikator lain yang juga sering dipergunakan dalam mengukur
pembangunan wilayah adalah tingkat kemiskinan dan gini rasio. Tingkat
kemiskinan menggambarkan persentase penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan dan sangat sering digunakan sebagai alat ukur dimensi sosial. Gini
rasio mengukur kesenjangan pendapatan dan merupakan indikator yang
menggambarkan kemerataan. Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan
Indonesia dalam periode 2008 hingga 2012 menunjukkan penurunan, dari 15,42
persen pada tahun 2008 menjadi 11,96 persen pada tahun 2012. Penurunan tingkat
kemiskinan ini sejalan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Namun walau
5
2004 2012
Sumatera Sumatera
22% 24%
Sulawesi
4% Jawa dan Sulawesi
Jawa dan Bali 5%
Bali Kalimantan 59%
61% 10% Kalimantan
9%
Nusa Nusa
Tenggara, Tenggara,
Maluku, Maluku,
Papua Papua
3% 3%
Gambar 1Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut Pulau, 2004 dan
2012
6
keadilan dan kebebasan, yang juga mempunyai tujuan yang saling berkaitan
dengan dimensi yang lain (ekonomi, sosial dan lingkungan).
Mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan yang dikeluarkan oleh
Spangenberg, maka keberhasilan pembangunan tentunya juga harus dilihat dari
capaian keempat dimensi pembangunan berkelanjutan, sehingga akan terlihat
kinerja pembangunan secara keseluruhan. Tidak cukup jika pembangunan hanya
berkonsentrasi untuk meningkatkan kualitas ekonomi, tetapi dengan merusak
lingkungan. Dalam jangka panjang kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian,
karena boleh jadi biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan lebih
besar dari manfaat ekonomi yang diperoleh. Begitu pula dengan pembangunan
yang mengabaikan pembangunan kelembagaan sehingga memunculkan
kesenjangan ekonomi dan sosial. Kesenjangan sering kali menjadi alasan
terjadinya konflik bahkan dalam bentuk yang paling ekstrim seperti separatisme.
Konflik seperti ini tentu akan memberikan dampak negatif bagi pembangunan di
masa yang akan datang.
Fenomena kesenjangan pendapatan dan kerusakan lingkungan akan lebih
terpantau bila ukuran pembangunan yang dipergunakan juga sensitif terhadap
ukuran kesenjangan dan kualitas lingkungan. Indikator pembangunan
berkelanjutan yang berkembang selama ini di Indonesia belum mencakup empat
dimensi pembangunan berkelanjutan secara utuh. Penghitungan Produk Domestik
Bruto (PDB) hijau hanya melibatkan dimensi ekonomi dan lingkungan. Penelitian
tentang genuine saving hanya menyentuh dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan.
Ukuran pembangunan berkelanjutan berupa indeks komposit pernah pula digagas
oleh beberapa institusi dan peneliti. Namun indeks komposit ini juga masih
melibatkan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Dimensi kelembagaan tidak
dimunculkan sebagai dimensi tersendiri, namun secara implisit tergabung pada
dimensi sosial. Karena indikator kelembagaan hanya bagian kecil dari dimensi
sosial, maka bobot kelembagaan dalam indeks komposit menjadi sangat kecil,
padahal permasalahan kesenjangan yang menjadi salah satu indikator
kelembagaan cukup menonjol di Indonesia.
Pembangunan berkelanjutan, yang memunculkan dimensi kelembagaan
sebagai dimensi tersendiri, dipandang sangat tepat untuk kondisi Indonesia.
Kondisi ini diharapkan berdampak pada meningkatnya perhatian pada dimensi
kelembagaan, tanpa mengabaikan dimensi yang lain. Sebagai dimensi tersendiri
kelembagaan akan memiliki bobot yang lebih besar dalam mengukur capaian
pembangunan. Untuk itu, penyusunan indeks komposit yang memasukkan empat
dimensi pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial, lingkungan dan
kelembagaan) akan menjadi bagian penting dari pembangunan berkelanjutan pada
umumnya, dan khususnya untuk pembangunan kelembagaan.
Selain menjabarkan pembangunan berkelanjutan ke dalam empat dimensi,
Spangenberg juga mengidentifikasi empat modal pembangunan. Keempat modal
pembangunan tersebut adalah man-made capital, human capital, natural
capitaldansocial capital. Keseimbangan penggunaan keempat modal tersebut
akan mendorong terciptanya pembangunan berkelanjutan. Hingga saat ini,
perhatian terhadap tiga modal yang pertama lebih dominan dibandingkan dengan
modal yang terakhir. Padahal di sisi lain, modal sosial diduga dapat mereduksi
permasalahan pembangunan yang telah disebutkan sebelumnya. Modal sosial
diharapkan akan mampu mengurangi terjadinya kesenjangan pendapatan dengan
8
adanya norma saling membantu. Modal sosial juga diduga mampu mencegah
masalah lingkungan dengan adanya kearifan lokal. Modal sosial juga menjadi
syarat utama untuk dapat mewujudkan kelembagaan yang kuat. Sebagai salah satu
modal dalam pembangunan, sudah sepatutnya modal sosial mendapatkan
perhatian yang seimbang dengan modal yang lain.
Rustiadi dkk (2009), Lawang (2005) dan Ridell, dalam Suharto (2007)
menuliskan tiga komponen modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma
(norms) dan jejaring (network). Kepercayaan (trust), dibutuhkan untuk
membangun kerjasama, menekan biaya transaksi dan menghemat penggunaan
sumberdaya, yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama
berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Norma-norma (norms), terdiri
pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan, dan tujuan-tujuan yang
diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang, berupa aturan umum,
sanksi-sanksi, rules of the game, hak sosial untuk mengontrol tindakan seseorang
oleh orang lainnya, dibutuhkan untuk menekan perilaku oportunis. Jejaring
(networks), merupakan infrastruktur dinamis yang berwujud jaringan-jaringan
kerjasama antar manusia. Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi
dan interaksi, yang memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat
kerjasama.
Putnam dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa bangsa yang memiliki
modal sosial tinggi cenderung lebih efisien dan efektif dalam menjalankan
berbagai kebijakan untuk menyejahterakan dan memajukan kehidupan rakyatnya.
Modal sosial juga dapat meningkatkan kesadaran individu terkait banyaknya
peluang yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat.
Inayah (2012) menuliskan besarnya peran modal sosial dalam pembangunan.
Dalam konteks pembangunan manusia, modal sosial mempunyai peran yang besar
sebab beberapa dimensi pembangunan manusia sangat dipengaruhi oleh modal
sosial. Peran modal sosial tersebut antara lain kemampuannya untuk
menyelesaikan kompleksitas berbagai permasalahan bersama, mendorong
perubahan yang cepat di dalam masyarakat, menumbuhkan kesadaran kolektif
untuk memperbaiki kualitas hidup dan mencari peluang yang dapat dimanfaatkan
untuk kesejahteraan.
Modal sosial juga sangat tinggi pengaruhnya terhadap perkembangan dan
kemajuan berbagai sektor ekonomi. Fukuyama (1995) menunjukkan hasil-hasil
studi di berbagai negara yang memperlihatkan bahwa modal sosial yang kuat akan
merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa
percaya yang tinggi dan keeratan hubungan dalam jaringan yang luas tumbuh
antar sesama pelaku ekonomi.
Hasbullah (2006) memberikan contoh perkembangan ekonomi yang sangat
tinggi di Asia Timur sebagai pengaruh pola perdagangan dan perekonomian yang
dijalankan pelaku ekonomi. Cina dalam menjalankan usahanya memiliki tingkat
kohesifitas yang tinggi karena dipengaruhi oleh koneksi-koneksi kekeluargaan
dan kesukuan, meskipun demikian pola ini mendorong pembentukan jaringan rasa
percaya (networks of trust) yang dibangun melewati batas-batas keluarga, suku,
agama, dan negara.
Dalam kasus Indonesia, perhatian terhadap penggunaan modal sosial dalam
pembangunan relatif rendah dibandingkan dengan modal pembangunan yang lain.
Modal sosial masih kurang diperhitungkan dalam penyusunan kebijakan
9
negara yang paling korup, sedangkan skor 10 menggambarkan negara yang paling
tidak korup. Nilai CPI Indonesia pada tahun 2010 adalah sebesar 2,8, dan berada
pada peringkat 110 dari 178 negara. Pada tahun 2011, nilai CPI Indonesia
mengalami kenaikan menjadi 3,0, namun kembali turun menjadi 2,9 pada tahun
2012. Dari nilai CPI selama tahun 2010-2012 tersebut, terlihat bahwa skor
Indonesia masih belum mencapai sepertiga dari nilai maksimal.
Studi tentang pengukuran stok modal sosial di Indonesia pernah dilakukan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010. Studi ini menghasilkan stok
modal sosial pada tahun 2009 untuk 471 kabupaten/kota di Indonesia, dengan
nilai minimum 0 dan nilai maksimum 100. Stok modal sosial dihitung dengan
menggunakan beberapa faktor modal sosial, yaitu sikap percaya terhadap aparat
dan kelompok, sikap percaya terhadap tetangga, toleransi beragama dan suku
bangsa, keeratan dalam kelompok, persahabatan, dan jejaring. Setiap faktor
kemudian dikelompokkan berdasarkan subdimensi modal sosial yang diwakilinya
yaitu: sikap percaya, toleransi, kelompok, dan jejaring, dan dilanjutkan dengan
penghitungan stok modal sosial. Nilai stok modal sosial tertinggi sebesar 68,5
terjadi di Kabupaten Lamongan di Provinsi Jawa Timur. Sebaliknya nilai stok
modal sosial terendah sebesar 42,4 terjadi di Kabupaten Dogiyai di Provinsi
Papua. Nilai tengah (median) stok modal sosial yang dihasilkan sebesar 60,8 (BPS,
2010b)
Jika dilihat dari nilai tengah yang berada di kisaran 60 maka capaian stok
modal sosial di Indonesia masih belum mencapai dua pertiga dari nilai maksimum.
Jika dibandingkan dengan dua nilai indeks yang telah dibahas sebelumnya (IPM
dan IKLH), capaian stok modal sosial kurang lebih mirip dengan capaian IKLH
secara nasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa stok modal sosial di
Indonesia masih cukup rendah.
Permasalahan
dibandingkan dengan modal-modal yang lain. Bahkan muncul pula dugaan bahwa
pembangunan yang dilakukan justru berdampak negatif pada modal sosial.
Dengan memperhatikan beberapa pernyataan di atas, maka penelitian ini
dilakukan untuk menjawab tiga pokok permasalahan. Ketiga pokok permasalahan
tersebut adalah :
1. Bagaimana capaian pembangunan di Indonesia dilihat dari dimensi ekonomi,
sosial, lingkungan dan kelembagaan ?
2. Bagaimana indikator komposit pembangunan berkelanjutan yang dibangun
dari dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan ?
3. Bagaimana hubunganantara pembangunan berkelanjutan dengan modal sosial
di Indonesia ?
Tujuan Penelitian
Batasan Penelitian
Kebaruan Penelitian
Manfaat Penelitian
Pembangunan Berkelanjutan
industri, limbah rumah tangga, limbah radio aktif, limbah yang didaur ulang,
jarak tempuh per kapita alat transportasi utama
c) Kategori lingkungan: emisi gas rumah kaca, konsentrasi polutan udara di
perkotaan, luas lahan pertanian, perubahan luas lahan pertanian ke non
pertanian, pemakaian pestisida di lahan pertanian, persentase luas hutan
terhadap luas daratan, intensitas penebangan kayu, potensi kayu, persen
pengambilan air tanah terhadap total persediaan air, kadar BOD dalam air,
persen luas ekosistem yang dilindungi terhadap keseluruhan ekosistem.
d) Kategori kelembagaan: strategi pembangunan berkelanjutan daerah, persen
anggaran untuk penelitian dan pengembangan, sambungan telepon per 1000
penduduk, kerugian jiwa dan ekonomi karena bencana alam.
Modal Sosial
Walaupun sampai saat ini belum ada suatu konsensus yang formal tentang
sumber dari originalitas serta proses-proses pembentukan modal sosial, namun
bagaimanapun juga telah muncul suatu kesepahaman dan saling pengertian antara
para ahli dan peneliti tentang peran penting modal sosial dalam proses
pertumbuhan dan pembangunan. Telah menjadi suatu konsensus umum bahwa
untuk mendapatkan hasil yang optimal, proses pembangunan seharusnya
mempertimbangkan secara serius akan peran penting dari modal sosial.
Subejo (2004) menyarikan beberapa pandangan tentang modal sosial yang
berasal dari berbagai sumber. Pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai
berikut :
a) Coleman. Social capital consist of some aspects of social structures, and they
facilitate certain actions of actors--wheter persons or corporate actors--within
the structure
b) Putnam et.al. Features of social organization, such as trust, norms (or
reciprocity), and networks (of civil engagement), that can improve the
efficiency of society by facilitating coordinated actions
c) Narayan. The rules, the norms, obligations, reciprocity and trust embedded in
social relations, social structure and society’s institutional arrangements
which enable members to achieve their individual and community objectives
d) World Bank. Social capital refers to the institutions, relationships, and norms
that shape the quality and quantity of a society’s social interactions
e) Uphoff. Social capital can be considered as an accumulation of various types
of intangible social, psychological, cultural, institutional, and related assets
that influence cooperative behaviour
f) Dhesi. Shared knowledge, understandings, values, norms, and social networks
to ensure the intended results
Modal sosial mencakup institutions, relationships, attitudes dan values yang
mengarahkan dan menggerakkan interaksi antar orang akan memberikan
kontribusi terhadap pembangunan sosial dan ekonomi. Menurut World Bank
(1998) modal sosial tidaklah sesederhana hanya sebagai penjumlahan dari
institusi-institusi yang dibentuk oleh masyarakat, tetapi juga merupakan perekat
dan penguat yang menyatukan mereka secara bersama-sama. Modal sosial
meliputi shared values dan rules bagi perilaku sosial yang terekspresikan dalam
20
Rp/Unit
MCsc
MC
MB
A
Opportunism
dapat meniadakan biaya transaksi yang tinggi. Selanjutnya, rasa saling percaya
juga memudahkan terbangunnya jaringan kerja yang efisien dan memberi manfaat
pada proses produksi dalam pembangunan ekonomi wilayah. Interaksi sosial yang
didasari oleh rasa percaya yang kuat akan memiliki nilai ekonomi dan sekaligus
menjadi alat peredam konflik.
Hampir semua bentuk modal sosial terbentuk dan tumbuh melalui gabungan
atau kombinasi tindakan dari beberapa orang. Keputusan masing-masing pemain
atau pelaku memiliki konsekuensi kepada semua anggota kelompok atau grup.
Sehingga hal tersebut mencerminkan suatu atribut dari struktur sosial. Seperti
dikemukakan oleh Dhesi dalam Subejo (2004) bahwa modal sosial bukan
merupakan private property dari orang yang mendapat manfaat darinya. Hal ini
hanya akan muncul dan tumbuh kalau dilakukan secara bersama (shared).
Sehingga modal sosial bisa dikatakan sebagai properti dari public good. Modal
sosial akan tumbuh dan semakin berkembang kalau digunakan secara bersama dan
sebaliknya akan mengalami kemunduran atau penurunan bahkan suatu kepunahan
dan kematian kalau tidak digunakan atau dilembagakan secara bersama.
Modal sosial tidak dapat diwariskan sepenuhnya secara otomatis dari
generasi ke generasi seperti pewarisan genetik dalam pengertian biologi.
Pewarisan modal sosial dan nilai-nilai yang menjadi atributnya memerlukan suatu
proses adaptasi, pembelajaran serta pengalaman dalam praktek nyata. Proses ini
akan tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang melalui interaksi yang
berulang-ulang yang memungkinkan suasana untuk saling membangun
kesepahaman, kepercayaan serta nilai dan aturan main yang disepakati bersama
antar pelaku kerjasama.
Rustiadi (2009) menuliskan bahwa determinan modal sosial seperti jaringan
kerja, norma dan rasa percaya mempengaruhi kinerja ekonomi secara positif dan
negatif. Jaringan kerja berpengaruh positif jika dampak proteksi terhadap perilaku
rent seeking lebih besar daripada crowding out waktu kerja. Norma berdampak
positif jikapeluang berkembangnya kreativitas lebih besar daripada peluang
menipisnya etika kerja. Sedangkan rasa saling percaya akan mendorong
peningkatan kinerja ekonomi yang lebih tinggi bila mampu membangun kondisi
persaingan yang sehat.
Menurut Rustiadi (2009) dan Lawang (2005) terdapat tiga unsur utama dari
modal sosial, yaitu hubungan saling percaya, norma serta jejaring(network) dan
keterkaitan (network). Berikut ini penjelasan yang dikutip dari Rustiadi (2009).
tersebut adalah kepercayaan kepada struktur sosial yang kita kenal (thin trust).
Membangun kepercayaan membutuhkan waktu yang sangat lama, tetapi seringkali
dengan mudah pula dihancurkan, dan ketika sebuah masyarakat mengalami saling
tidak percaya maka membangun kerjasama dan pengaturan-pengaturan akan sulit
terwujud.
2.2.2. Norma
Adanya bentuk persetujuan timbal balik atau norma-norma yang efektif
mengatur perilaku sedemikian rupa sehingga kepentingan kelompok ditempatkan
di atas kepentingan pribadi. Keberadaan aturan umum, norma-norma dan sanksi-
sanksi, membuat individu-individu percaya untuk berinvestasi pada aktivitas-
aktivitas kolektif atau kelompok, dan percaya kepada orang lain akan melakukan
hal yang sama. Individu akan memenuhi tanggungjawabnya dengan keyakinan
hak-haknya tidak akan dipinggirkan. Karena terdapat saling persetujuan siapa
yang salah akan dikenakan sanksi. Aturan formal dibuat oleh pemegang otoritas,
seperti produk-produk hukum dan peraturan, sementara aturan informal digunakan
individu-individu untuk berbagai kegiatan individu dalam keseharian.
Jelasnya, norma adalah suatu bentuk hak sosial mengontrol tindakan
orang/seseorang oleh orang lainnya. Hak mengontrol ini disertai dengan adanya
bentuk sanksi-sanksi yang dapat membentuk perilaku yang patut. Bila struktur
sosial dapat menjangkau (terjadi internalisasi) bentuk-bentuk eksternalitas
perilaku individual, maka kebutuhan akan norma-norma yang mengatur hubungan
individual akan tumbuh, dengan asumsi bahwa kesejahteraan individu dapat
dimaksimalkan bila kesejahteraan sosial juga dimaksimalkan. Intensitas dari
keterkaitan/interaksi sosial dalam kelompok aktor-aktor akan menekan biaya dari
pemberian sanksi bagi semua aktor dengan cara memfasilitasi kerjasama
(kooperasi) dan penciptaan sistem penghargaan (reward) dan sanksi. Jadi,
keberadaan keterkaitan sosial merangsang pembentukan norma-norma efektif.
Penggunaan keterkaitan sosial untuk membangun norma-norma merupakan suatu
proses investasi.
Penelitian Terdahulu
cenderung memiliki kedudukan yang lebih kuat dalam mengatasi kemiskinan dan
kerentanan sosial, lebih mudah memecahkan masalah dan konflik, memiliki
informasi yang simetris serta memiliki dampak pembangunan yang lebih baik.
Penelitian mengenai peran modal sosial dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat, pertumbuhan ekonomi, kondisi sosial dan politik telah banyak
dilakukan di berbagai negara di dunia. Masing-masing peneliti memberikan
penekanan yang berbeda terhadap aspek dan determinan modal sosial. Namun,
sebagian besar penelitian dilaksanakan pada tingkat makro dan cenderung hanya
menganalisis keterkaitan modal sosial dengan indikator pertumbuhan ekonomi
wilayah (Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhan PDRB)
bukan indikator pembangunan ekonomi wilayah, padahal indikator pembangunan
seringkali lebih mampu mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat
dibandingkan dengan indikator pertumbuhan ekonomi wilayah karena
pembangunan ekonomi mencakup juga berbagai aspek sosial kelembagaan selain
tingkat pendapatan per kapita (Dasgupta, 2005).
Secara parsial, analisis keterkaitan modal sosial dengan masing-masing
komponen pembangunan ekonomi wilayah memang telah banyak dilakukan
seperti keterkaitan modal sosial dengan pendidikan (Coleman, 1988), kesehatan
(Miller dkk, 2003) maupun kesejahteraan (Grootaert, 2001). Hasil penelitian-
penelitian tersebut mampu menunjukkan bahwa modal sosial dapat meningkatkan
akses individu terhadap pendidikan, kesehatan maupun tingkat pendapatan yang
lebih tinggi. Keadaan pendidikan dan kesehatan masyarakat yang lebih baik serta
tingkat pendapatan yang lebih tinggi memang akan meningkatkan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) serta menekan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM).
Namun, penelitian-penelitian yang menganalisis keterkaitan langsung antara
modal sosial dengan indikator pembangunan secara menyeluruh masih terbatas.
Hal tersebut menyebabkan terbatasnya referensi yang dapat menjelaskan
bagaimana keterkaitan modal sosial dengan pembangunan berkelanjutan.
Analisis lain mengenai peran modal sosial dalam pembangunan ekonomi
wilayah dilakukan oleh Sabatini (2005). Data yang dianalisis merupakan hasil
survey Italian National Bureau of Statistic yang terdiri dari data modal sosial
mengikat (bonding social capital), modal sosial menyambung (bridging social
capital), modal sosial mengait (linking social capital) serta data kualitas
pembangunan seperti human development index, index of social quality dan state
of health of urban ecosystem. Hasil penelitian Sabatini yang menggunakan
stuctural equations model menunjukkan bahwa modal sosial mengikat (bonding
social capital) berpengaruh negatif terhadap pembangunan manusia dan kinerja
ekonomi, sebaliknya modal sosial menyambung (bridging social capital) mampu
menjembatani antara komunitas yang berbeda, mendorong terjadinya difusi
informasi sehingga bermanfaat dalam proses pembangunan. Hasil penelitian ini
mendukung hasil penelitian Putnam.
Penelitian mengenai peran modal sosial terhadap kesejahteraan rumah
tangga di Indonesia dilakukan pertama kali oleh Grootaert (1999) di tiga provinsi,
yaitu Jambi, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Penelitian tersebut
menganalisis modal sosial hanya pada tingkat mikro (individual, rumah tangga)
dan meso (komunitas). Batasan yang digunakan mencakup asosiasi horizontal dan
vertikal untuk menginvestigasi secara empiris hubungan antara modal sosial,
kesejahteraan rumah tangga dan kemiskinan. Selain itu, juga diperbandingkan
29
antara peran modal manusia dengan modal sosial dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan rumah tangga. Hasil analisis peubah ganda (multivariate)
menunjukkan bahwa peran modal sosial dalam peningkatan kesejahteraan hampir
sama dengan peran sumber daya manusia dan bernilai positif. Rumah tangga
dengan modal sosial tinggi memiliki pengeluaran perkapita lebih tinggi, memiliki
aset fisik dan tabungan lebih banyak serta akses terhadap kredit yang lebih baik.
Sayangnya, determinan modal sosial masih terbatas pada jaringan kerja saja yang
meliputi kepadatan organisasi, heterogenitas, partisipasi, kehadiran dalam
kegiatan kelompok dan orientasi individu.
Penelitian Grootaert (1999) telah mempertimbangkan adanya keterkaitan
antar modal sosial dan indikator kesejahteraan yang ditunjukkan melalui metode
analisis Two Stage Least Square (TSLS) yang digunakannya. Peneliti lain masih
menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk menganalisis modal
sosial dan indikator kesejahteraan yang berarti belum mempertimbangkan adanya
sifat keterkaitan tersebut. Penggunaan metode OLS sesungguhnya tidak lagi
memadai apabila terdapat keterkaitan antara variabel bebas dan variabel terikat
karena akan menghasilkan penduga yang bias. Grootaert hanya melakukan
analisis di tingkat rumah tangga (mikro) dan kelompok (meso).
Hasil-hasil penelitian modal sosial terdahulu menunjukkan bahwa pada
tingkat mikro, modal sosial diyakini berperan positif dan nyata terhadap
peningkatan kesejahteraan rumah tangga dan menekan terjadinya kemiskinan.
Pada tingkat makro, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan, yaitu: (1)
sebagian besar peneliti meyakini bahwa modal sosial memberi kontribusi positif
dan nyata terhadap indikator pertumbuhan dan pembangunan wilayah, (2)
beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial menimbulkan efek
crowding out yang mengurangi waktu kerja efektif sehingga akhirnya memberi
kontribusi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.
Miguel dkk. (2002) melakukan penelitian mengenai dampak industrialisasi
pada modal sosial di Indonesia selama kurun waktu 1985 hingga 1997. Modal sosial
diukur berdasarkan aktivitas organisasi sukarela, tingkat rasa percaya, kerjasama
informal dan outcome keluarga. Data yang dianalisis berasal dari BPS meliputi data
PODES, SUSENAS dan SUPAS. Pengertian modal sosial ditekankan pada modal
sosial informal (proporsi pengeluaran perkapita untuk aktivitas sosial dan keagamaan
dan persentase aturan adat yang masih ditaati) sedangkan hasilnya (outcome) meliputi
indikator kualitas tempat tinggal dan tingkat perceraian. Semakin tinggi pengeluaran
perkapita untuk aktivitas sosial dan keagamaan berarti semakin kuat hubungan antar
individu tersebut. Penekanan khusus diberikan pada masalah migrasi penduduk yang
seringkali menghambat upaya penguatan modal sosial. Dua model yang dibangun
dibedakan atas model statis dan dinamis. Model statis tidak mempertimbangkan
migrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial ternyata tidak berkaitan
dengan industrialisasi sehingga tidak dapat dinyatakan bahwa industrialisasi akan
menguatkan atau melemahkan modal sosial.
Vipriyanti (2007) melakukan penelitian yang menitikberatkan pada peran
modal sosial dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan, dengan
mengambil lokus Provinsi Bali. Penelitian ini menggunakan structural
equationmodel (SEM) untuk melihat komponen dominan modal sosial serta metode
pendugaan two stage least square untuk melihat keterkaitan antara modal sosial dan
pembangunan ekonomi. Sedangkan strategi kebijakandalam penguatan modal sosial
ditentukan melalui game analysis.Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Modal
30
Kerangka Pemikiran
Pembangunan Wilayah
data tentang modal sosial tidak selengkap data yang lain. Oleh sebab itu,
penelitian ini dirancang untuk melakukan penghitungan indeks modal sosial
sebagai proksi dari besaran modal sosial. Indeks modal sosial merupakan indeks
komposit dari komponen modal sosial yang terdiri dari kepercayaan (trust), norma
(norm) dan jejaring (networks).
Dua indeks yang dihasilkan dalam penelitian ini, indeks pembangunan
berkelanjutan dan indeks modal sosial, dimanfaatkan untuk menganalisis
hubungan antara pembangunan berkelanjutan dengan modal sosial.
Pada bagian akhir penelitian, akan dilakukan sintesis dari seluruh analisis
yang telah dilakukan. Sintesis ini diarahkan untuk menghasilkan rekomendasi
kebijakan yang diharapkan mampu mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Rekomendasi ini akan menjadi feed back bagi pembangunan wilayah secara
umum.
.
Hipotesis Penelitian
3 METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita (PDRBC). Indikator ini
merupakan indikator dasar pertumbuhan ekonomi yang mengukur jumlah nilai
tambah yang diperoleh secara rata-rata oleh setiap penduduk dalam satu
wilayah.
37
Di Indonesia dikenal dua jenis PDRB perkapita, yaitu PDRB perkapita dengan
minyak dan gas bumi (migas) dan PDRB perkapita tanpa migas. Masing-
masing PDRB perkapita tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. PDRB
Perkapita tanpa migas cukup baik dipergunakan sebagai proksi perbandingan
kemajuan ekonomi antar wilayah. Pernyataan ini didukung oleh alasan bahwa
pengelolaan migas pada umumnya tidak banyak melibatkan masyarakat lokal,
sehingga nilai tambah yang bersumber dari migas hanya dinikmati oleh
sebagian kecil masyarakat atau bahkan mengalir ke luar daerah. Namun
penggunaan PDRB tanpa migas juga memiliki kelemahan karena seakan-akan
mengabaikan peran sektor migas, yang justru menjadi tulang punggung
perekonomian bagi sebagian daerah. Dalam pembangunan daerah, terutama
dalam era otonomi daerah, peran migas sangat besar dalam hal penerimaan
daerah yang bersumber dari bagi hasil migas. Penerimaan daerah ini tentunya
akan berdampak pada kemampuan keuangan daerah yang menjadi sumber
bagi pembangunan daerah yang pada akhirnya akan berdampak pada
kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, maka penelitian ini menggunakan
PDRB perkapita dengan migas sebagai proksi dari kemajuan ekonomi daerah.
Angka melek huruf penduduk usia 15 tahun keatas (AMH). Angka melek
huruf penduduk usia 15 tahun keatas adalah persentase penduduk berusia 15
tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis dalam huruf latin atau lainnya.
Indikator ini dapat menggambarkan akumulasi pencapaian pendidikan dalam
penyebaran bacatulis
Persentase penduduk usia 24+ tahun yang tamat perguruan tinggi (PT).
Indikator ini merupakan proporsi penduduk usia kerja yang telah
menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi. Indikator ini juga
menggambarkan kualitas sumber daya manusia yang terdapat dalam populasi
penduduk dewasa
Angka Harapan Hidup (E0). Indikator ini merupakan rata-rata umur hidup
yang diharapkan akan dicapai oleh seorang bayi yang baru lahir. Kalkulasi
angka harapan hidup dilakukan dengan mempertimbangkan adanya risiko
kematian pada saat usia tertentu. Angka harapan hidup saat lahir merupakan
indikator kematian dan proxy terhadap kondisi kesehatan
Angka kelahiran total/total fertility rate (TFR). Angka kelahiran total adalah
rata-rata banyaknya anak yang dilahirkan oleh seorang wanita sepanjang
hidupnya. Angka kelahiran total merupakan salah satu variabel yang secara
langsung berpengaruh pada perubahan penduduk. Angka kelahiran total tidak
dipengaruhi oleh distribusi umur penduduk. Angka kelahiran yang rendah
dapat meningkatkan kemampuan keluarga dan pemerintah dalam pengelolaan
sumber daya yang ada untuk melawan kemiskinan, melindungi dan
memperbaiki lingkungan.
∑
Persentase desa tidak mengalami pencemaran air (AIR). Indikator ini untuk
melihat bagaimana usaha pengelolaan lingkungan dalam hal terjadinya
pencemaran air
Emisi gas rumah kaca (CO2) dan (CH4). Indikator ini mengukur emisi gas
rumah kaca yang memiliki dampak langsung terhadap perubahan iklim. Gas-
gas rumah kaca yang utama adalah karbon dioksida (CO2) dan methan (CH4).
Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer berkontribusi terhadap
pemanasan global yang merupakan tantangan utama bagi pembangunan
berkelanjutan. Indikator ini juga memberikan informasi mengenai pemenuhan
komitmen global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
Kasus kriminalitas per 100.000 penduduk (CRIME). Indikator ini juga dapat
digunakan sebagai ukuran untuk kepatuhan terhadap aturan hukum dan
merupakan salah satu komponen dari tata kelola pemerintahan yang baik.
Sedangkan jika upah perempuan lebih besar dari pada laki-laki, maka rasio
upah merupakan pembagian antara upah laki-laki dengan upah perempuan.
41
Sedangkan jika APS perempuan lebih besar dari pada laki-laki, maka rasio
APS merupakan pembagian dari antara APS laki-laki dengan APS perempuan.
Rasio rata-rata pendapatan penduduk desa dan kota (RPDPT). Indikator ini
menggambarkan keseimbangan pembangunan desa dan kota. Jika pendapatan
penduduk kota lebih besar dari pada penduduk desa, maka rasio pendapatan
merupakan pembagian dari rata-rata pendapatan penduduk desa dengan rata-
rata pendapatan penduduk kota.
Sedangkan jika pendapatan penduduk desa lebih besar dari penduduk kota,
maka rasio pendapatan merupakan pembagian antara rata-rata pendapatan
penduduk kota dengan rata-rata pendapatan penduduk desa.
Komponen
Definisi Operasional Referensi *)
Modal Sosial
Kepercayaan Kepercayaan pada aparat desa/kelurahan [1], [2], [6],[7]
(Trust) Kepercayaan menitipkan rumah pada tetangga [1], [2], [6],[7]
Kepercayaan menitipkan anak 0-12 tahun pada tetangga [1], [2], [6],[7]
Kepercayaan pada tokoh masyarakat [1], [2], [6],[7]
Persepsi terhadap rasa aman di lingkungan tempat [1], [7]
tinggal
Norma Kemudahan mendapat pertolongan/ pinjaman dari [1], [2], [3], [6],[7]
(Norm) tetangga
Kesiapan membantu orang lain [1], [6],[7]
Banyaknya saudara, teman, tetangga yang siap [1], [7]
membantu ketika dalam musibah
Kebiasaan mengikuti kegiatan bersama untuk membantu [1], [7]
warga yang mengalami musibah
Jaringan Jumlah organisasi yang diikuti [1],[2],[4],[5],[6],[7]
(Network) Partisipasi dalam kegiatan keagamaan [1], [7]
Partisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan [1], [7]
Catatan : *) [1] Narayan D dan Cassidy MF (2001), [2] Spellerberg A (2001), [3] Van der Gaag M dan
Snijders T (2003), [4] Putnam (1995), [5] Stone W (2001), [6] BPS (2010b), [7] BPS (2013)
Teknik Analisis
dengan memperhitungkan pendapat pakar dan atau opini publik. Secara umum,
ada tiga cara untuk menetapkan bobot: a) menggunakan model statistik, b)
mengadopsi metode partisipatif dan c) menetapkan bobot yang sama dengan
indikator. Dalam penelitian ini, pembobotan dilakukan dengan memanfaatkan
hasil konfirmatori faktor analisis ordo kedua (pembahasan lebih lanjut
diuraikan setelah tahapan umum penyusunan IPB).
7) Agregasi: agregasi dari indikator dapat linier, geometris atau dapat didasarkan
pada analisis multi kriteria. Dalam agregasi baik linier dan geometris, bobot
mengekspresikan trade off antar indikator, sedangkan multikriteria analisis
mencari kompromi antara dua atau lebih dari tujuan yang telah
ditetapkan.Penelitian ini menggunakan agregasi secara linier.
8) Penyajian dan diseminasi hasil: indikator komposit harus mampu memberikan
gambaran yang akurat kepada para pembuat keputusan dan pihak yang
berkepentingan. Representasi grafis dari indikator komposit harus
menunjukkan daerah-daerah yang memerlukan intervensi kebijakan.
Tahapan yang sangat penting di dalam penyusunan indeks komposit adalah
penentuan bobot untuk setiap indikator. Dalam penelitian ini, penentuan bobot
dilakukan dengan menggunakan loading factor yang dihasilkan dari model
konfirmatori faktor analisis/confirmatory factor analysis (CFA).
CFA merupakan bagian dari model persamaan struktural / Structural
Equation Model (SEM). Kusnendi (2008), menyebutkan bahwa model persamaan
struktural lahir karena adanya kelemahan dari model-model analisis sebelumnya.
Para pakar kemudian mencoba menggabungkan prinsip-prinsip analisis jalur,
analisis faktor konfirmatori dan prinsip model persamaan simultan dalam
ekonometrik. Hasilnya, diperoleh satu metode analisis multivariat dependensi
yang dikenal dengan SEM. Dalam penelitian ini analisis SEM akan dipergunakan
secara utuh untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi besaran
modal sosial pada tingkat individu (tujuan ketiga dari penelitian ini).
Structural Equation Modeling (SEM) atau Model Persamaan Struktural
merupakan model yang memiliki berbagai nama, diantaranya adalah analisis
struktur kovarian (covariance structure analysis), analisis variabel laten (latent
variable analysis), analisis faktor konfirmatori (confirmatory factor analysis), dan
sering juga disebut sebagai analisis LISREL (Linear Structural Relationship) yang
juga merupakan salah satu software statistik yang banyak digunakan untuk
mengolah data menjadi model SEM. Dihasilkan dari sebuah evolusi dari
multiequation modeling yang dikembangkan dengan prinsip ekonometrik dan
digabungkan dengan prinsip-prinsip pengukuran dalam psikologi dan sosiologi,
SEM telah dimunculkan sebagai sebuah alat integral antara manajerial dan riset
akademis, yang mungkin diharapkan menjadi sebuah teknik yang dapat digunakan
dengan jangkauan yang luas dan diterapkan pada berbagai macam aplikasi. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa SEM merupakan metode analisis data untuk melihat
pengaruh hubungan sebab akibat antara variabel bebas dengan variabel terikat
dalam rangka mencari penjelasan dari korelasi yang teramati dengan membuat
hubungan sebab akibat antar variabel. Formulasi SEM dalam bentuk persamaan
adalah sebagai berikut:
45
Lebih lanjut dijelaskan bahwa SEM ini telah digunakan di berbagai bidang
studi, antara lain bidang manajemen, perilaku organisasi, pendidikan, pemasaran,
psikologi, sosiologi, kesehatan, demografi, biologi dan bahkan genetika. Ada dua
hal alasan ketertarikan penggunaan penggunaan SEM dalam berbagai bidang
tersebut, yaitu:
1. Memberikan metode yang mudah dipahami berkenaan dengan hubungan
berganda secara simultan sambil memberikan efisiensi secara statistik.
2. Kemampuannya untuk mengakses hubungan secara komprehensif dan
memberikan transisi dari analisis eksplanatori ke analisis konfirmatori.
Transisi ini sesuai dengan semakin besarnya upaya dalam semua bidang studi
menuju pengembangan ke suatu pandangan yang sistematis dan holistik
terhadap pemecahan masalah. Upaya demikian ini memerlukan kemampuan
menguji suatu seri hubungan yang terdiri atas suatu model berskala besar,
melibatkan puluhan bahkan ratusan variabel dengan puluhan persamaan, suatu
set prinsip mendasar atau teori secara keseluruhan.
Teknik SEM dapat dibedakan berdasarkan dua karakteristik, yaitu: (1)
estimasi hubungan dependensi berganda dan saling terkait dan (2) kemampuan
untuk menggambarkan konsep tak teramati dalam hubungan-hubungan tersebut
dan memperhitungkan pengukuran kesalahan dalam proses estimasi.
Teknik SEM memiliki tiga karakteristik, yaitu: (1) melakukan estimasi
untuk serangkaian persamaan regresi berganda yang terpisah tetapi saling
bergantung, (2) merepresentasikan keterhubungan konsep-konsep tidak teramati
(unobserved concept) dan mengkoreksi kesalahan pengukuran (measurement
error) dalam proses estimasi tersebut, dan (3) mendefinisikan keterkaitan
sejumlah variabel dalam sebuah model tunggal.
Dengan menggunakan SEM, peneliti dapat mendefinisikan variabel
dependen dalam suatu persamaan dapat menjadi variabel independen dalam
persamaan lain. Di samping itu, SEM juga memiliki kemampuan untuk
memasukkan variabel laten ke dalam analisis. Variabel laten adalah konsep yang
dihipotesiskan dan tidak teramati, yang hanya dapat diestimasikan oleh variabel
yang teramati dan terukur. Variabel teramati yang diperoleh dari responden
disebut sebagai variabel manifes atau variabel indikator.
Terdapat tiga alternatif strategi pengembangan model yang disarankan
dengan menggunakan SEM, yaitu:
1. Confirmatory modelling strategy, yaitu strategi pemodelan yang bertujuan
menguji tingkat signifikansi model tunggal. Jika model yang diusulkan dapat
diterima atau sesuai dengan kriteria tertentu, peneliti tidak melakukan
pembuktian model yang diusulkan tersebut, melainkan hanya mengonfirmasi
sebagai salah satu model dari beberapa model dapat diterima.
2. Competing model strategy, yaitu strategi pemodelan yang bertujuan
mengevaluasi beberapa model alternatif yang diusulkan peneliti berdasarkan
46
Yn = λyη + εn
Xn = λxξ + n
Dimana:
Yn = indikator ke-n dari variabel laten endogen
λy= koefisien model pengukuran konstruk y
η= peubah laten endogen
εn= kesalahan pengukuran untuk y
Xn = indikator ke-n dari variabel laten eksogen
λx= koefisien model pengukuran konstruk x
ξ= peubah laten eksogen
n= kesalahan pengukuran untuk x
Tabel 10Beberapa ukuran goodness of fit test (GFT) dalam Model Persamaan
Struktural
Tabel 7. Data yang dipergunakan untuk menyusun model tersebut bersumber dari
data sekunder yang menggambarkan kondisi 33 provinsi di Indonesia selama
periode 2007 hingga 2012.
Penghitungan IPB dilakukan pada tingkat provinsi dan nasional. Selain
menghitung IPB secara total, juga dihitung IPB pada masing-masing dimensi,
ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Nilai IPB pada masing-masing
dimensi bermanfaat untuk mengukur capaian pembangunan pada setiap
dimensi,sehingga dapat memberikan arah untuk menyusun kebijakan yang lebih
spesifik untuk masing-masing daerah.Sesuai dengan ketersediaan datanya,
penghitungan IPB dilakukan untuk mengukur capaian pembangunan
berkelanjutan selama periode 2007 hingga 2012.
1. Penyelarasan data.
Data yang dipergunakan dalam penghitungan modal sosial dalam
penelitian ini menggunakan beberapa blok pertanyaan dalam Susenas MSBP
2012. Informasi pada beberapa blok pertanyaan tersebut dapat diberikan oleh
49
3. Normalisasi.
Normalisasi dilakukan dengan metode maksimum minimum. Nilai
maksimum rata-rata skor adalah 4 dengan nilai minimum 1. Jika In adalah
rata-rata skor yang telah dinormalisasi untuk setiap indikator, maka rumusan
normalisasi adalah sebagai berikut:
( )
I = x100
( - )
4. Penghitungan bobot.
Penimbang yang ditentukan berdasarkan pada matriks korelasi
diasumsikan proporsional (sebanding) dengan jumlah nilai absolut koefisien
korelasi pada masing-masing baris atau kolom. Penimbang untuk setiap
indikator ditentukan dengan menghitung proporsi dari jumlah tiap-tiap
baris/kolom terhadap jumlah keseluruhan. Nilai proporsi tersebut
mengindikasikan kontribusi dari setiap indikator dalam memberikan informasi
Perlu dicatat bahwa matriks korelasi dibentuk pada setiap komponen.
Untuk menghitung bobot setiap indikator, maka diperlukan matriks
korelasi masing-masing komponen modal sosial seperti contoh berikut.
Misalkan untuk sub dimensi kemampuan keuangan daerah diperoleh matriks
korelasi 3x3 yang menggambarkan korelasi X1 dengan X1, X1 dengan X2, X1
dengan X3, X2 dengan X2, X2 dengan X3, serta X3 dengan X3. Untuk
mendapatkan bobot setiap indikator maka jumlahkan masing-masing baris
atau kolom. Kemudian hasil tersebut diagregatkan. Contoh baris 1
dijumlahkan dengan baris 2 dan baris 3 (1,96+1,50+1,94) diperoleh hasil 5,39.
Untuk mendapatkan bobot maka masing-masing penjumlahan baris/kolom
dibagi dengan nilai agregatnya (5,39). Contoh bobot untuk indikator X1
adalah 0,36, untuk mempermudah perhitungan dapat dibulatkan menjadi 0,35
(catatan: diupayakan nilainya berakhiran 5 atau 0). Demikian dengan bobot
indikator lainnya menggunakan cara yang sama (BPS, 2010b).
Variabel X1 X2 X3 Jumlah
X1 1.00 0.26 0.70 1.96
X2 0.26 1.00 0.24 1.50
X3 0.70 0.24 1.00 1.94
Jumlah 1.96 1.50 1.94 5.40
Bobot hasil hitungan 0.36 0.28 0.36 1.00
Bobot disederhanakan
0.35 0.30 0.35 1.00
(Wq)
50
5. Agregasi.
Tahap agregasi merupakan tahapan untuk menghitung indeks masing-
masing komponen modal sosial dari indikator yang ada pada setiap kelompok
dimensi, dengan metode rata-rata tertimbang, yaitu menjumlahkan perkalian
seluruh indikator yang telah dinormalisasi dengan nilai bobot masing-masing
indikator pada setiap komponen modal sosial.
dimana:
SC = Indeks modal sosial komponen ke-k
W = bobot masing-masing indikator yang terbentuk ke-q
k = komponen modal sosial (1=kepercayaan; 2=norma; 3=jaringan)
q = indikator modal sosial (q = 1, 2, …, Q)
Q = jumlah indikator pada masing-masing komponen modal sosial
∑ ∑
∑
∑ ∑
√∑ √∑
dimana:
X : Indeks modal sosial (SC)
Y : Indeks pembangunan yang meliputi indeks pembangunan ekonomi (E),
indeks pembangunan sosial (S), indeks pembangunan lingkungan (L),
dan indeks pembangunan kelembagaan (K)
Modal Sosial
Kuadran II Kuadran I
Indeks modal
sosial Indonesia
untuk analisis jalur ini mengacu pada penjelasan tentang model persamaan
struktural yang telah diuraikan sebelumnya.
Pada analisis jalur, selain menggunakan indeks modal sosial (SC) sebagai
variabel bebas, juga dipergunakan variabel lain yang menjadi proksi untuk modal
fisik dan modal manusia. Modal fisik diproksi dengan menggunakan proporsi
pembentukan modal tetap bruto dalam PDRB (K/Y), sedangkan modal manusia
diproksi dengan menggunakan rata-rata lama sekolah untuk penduduk yang
berstatus pekerja (H/L). Sedangkan variabel tidak bebas dalam model analisis
jalur ini adalah indeks pembangunan ekonomi (E), indeks pembangunan sosial (S),
indeks pembangunan lingkungan (L), indeks pembangunan kelembagaan (K) dan
indeks pembangunan berkelanjutan (IPB). Model konseptual dari analisis jalur
adalah pada gambar berikut ini.
120000.00
100000.00
80000.00
60000.00
40000.00
20000.00
0.00
Sumbar
Babel
Jabar
NTT
Kalteng
Sulut
Kalsel
Sulteng
Malut
Sulsel
Maluku
Sumut
Riau
Lampung
Jambi
Bengkulu
Sumsel
DIY
NTB
Papua Barat
Papua
Jakarta
Banten
Jateng
Bali
Kepri
Kalbar
Kaltim
Sulbar
Aceh
Gorontalo
Sultra
Jatim
Pada Lampiran 2.2 hingga Lampiran 2.5, ditampilkan empat indikator yang
terkait dengan pembangunan dimensi sosial. Keempat indikator tersebut adalah
angka harapan hidup, persentase penduduk yang berobat ke dokter dan rumah
sakit, rasio ketergantungan dan total fertility rate. Selama periode 2007 hingga
2012, keempat indikator tersebut menuju ke arah perbaikan. Angka harapan hidup
meningkat dari 70,4 tahun menjadi 71,3 tahun. Persentase penduduk yang berobat
ke dokter dan rumah sakit juga mengalami peningkatan dari 34,87 persen pada
tahun 2007 menjadi 37,06 persen pada tahun 2012.
Perbaikan juga ditunjukkan dengan menurunnya nilai rasio ketergantungan
dan total fertility rate. Rasio ketergantungan menurun dari 48,3 pada tahun 2007
menjadi 46,0 pada tahun 2008. Total fertility rate juga terus mengalami penurunan,
dari 2,18 pada tahun 2007 menjadi 2,13 pada tahun 2012. Rasio ketergantungan
dan total fertility rate adalah dua indikator yang saling berhubungan. Dengan
menurunnya total fertility rate, maka rasio ketergantungan juga cenderung
mengalami penurunan.
Selain empat indikator tersebut, terdapat beberapa indikator lain yang juga
menggambarkan pembangunan bidang sosial. Beberapa indikator pembangunan
sosial tersebut ditampilkan pada Gambar 9. Salah satunya adalah indikator yang
terkait dengan pendidikan. Pendidikan dapat dianggap sebagai suatu proses yang
membawa manusia dan masyarakat mencapai potensi terbaik yang dapat dicapai.
Pendidikan mempunyai peranan penting dalam pembangunan berkelanjutan.
Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan memungkinkan setiap manusia
untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang
diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup sekarang dan membentuk masa
depan yang berkelanjutan.
Kemampuan membaca dan menulis (melek huruf) merupakan kemampuan
dasar dalam pendidikan. Kemampuan ini sangat penting untuk mempromosikan
dan mengomunikasikan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kapasitas
masyarakat. Lingkungan masyarakat dengan tingkat melek huruf yang tinggi
menunjukkan lingkungan masyarakat yang terpelajar. Lingkungan masyarakat
yang terpelajar sangat penting dalam rangka mencapai tujuan memberantas
kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, membatasi pertumbuhan
penduduk, mencapai kesetaraan gender, dan memastikan pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan.
Angka melek huruf, menunjukkan kemampuan membaca dan menulis
penduduk. Kemampuan membaca merupakan keterampilan minimum yang
dibutuhkan untuk kehidupan di masa depan yang lebih baik. Indikator ini
menggambarkan keadaan orang-orang terpelajar dalam populasi penduduk usia
55
100.00
Angka melek huruf
90.00 penduduk usia 15+
80.00 Persentase
70.00 penduduk tidak
miskin
60.00 Persentase balita
yang di imunisasi
50.00
40.00 Infant mortality rate
30.00
Pertumbuhan
20.00 penduduk
10.00 Rata-rata lama
0.00 Sekolah
2007 2008 2009 2010 2011 2012
tahun 2012, angka tersebut turun menjadi sekitar 24 kematian bayi dalam 1.000
kelahiran hidup.
Indikator angka harapan hidup, yang telah disebutkan sebelumnya,
berhubungan erat dengan angka kematian bayi. Secara teoritis, menurunnya angka
kematian bayi akan menyebabkan meningkatnya angka harapan hidup. Angka
harapan hidup merupakan indikator yang mencerminkan derajat kesehatan suatu
masyarakat. Angka harapan hidup yang rendah di suatu daerah harus didongkrak
dengan program pembangunan kesehatan dan program sosial lainnya termasuk
kesehatan lingkungan, kecukupan gizi, dan program pemberantasan kemiskinan.
Berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025, angka harapan hidup
penduduk Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan selama periode 2007-
2012, mulai dari 70 tahun pada tahun 2007 menjadi 71 tahun di tahun 2012. Hal
ini menunjukkan anak yang lahir pada tahun 2012 diperkirakan akan hidup rata-
rata sampai umur 71 tahun.
Hal lain yang juga penting dalam memelihara kesehatan penduduk adalah
pemberian imunisasi pada anak balita. Persentase balita yang diimunisasi
merupakan indikator untuk memantau implementasi program imunisasi.
Pengelolaan yang baik pada program imunisasi sangat penting untuk mengurangi
angka kesakitan (morbiditas) dan kematian dari penyakit menular.Secara nasional,
persentase balita yang diimunisasi BCG, DPT, Polio, Campak/Morbili dan
Hepatitis B pada tahun 2012 mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan
tahun 2007. Pada tahun 2012 jumlah balita yang mendapatkan imunisasi lengkap
mencapai 56 persen, lebih tinggi dari cakupan pada tahun 2007 yang hanya sekitar
50 persen.
Pelayanan kesehatan yang baik, cepat, tepat dan memadai merupakan hal
yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan adanya pelayanan kesehatan
yang baik, cepat, tepat dan memadai akan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Pelayanan kesehatan merupakan indikator untuk memonitor
kemajuan akses penduduk terhadap pelayanan kesehatan dasar. Aksesibilitas
pelayanan kesehatan adalah hal penting untuk mencerminkan kemajuan sistem
kesehatan dan pembangunan berkelanjutan.
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Sumbar
Maluku
Babel
Malut
Riau
Jabar
NTT
Kalsel
Sulsel
Jambi
Sumsel
Lampung
DIY
NTB
Kalteng
Sulut
Sulteng
Papua Barat
Papua
Sumut
Banten
Jateng
Bengkulu
Bali
Kepri
Jakarta
Kaltim
Kalbar
Sulbar
Aceh
Sultra
Jatim
Gorontalo
Gambar 10Persentase Penduduk yang Berobat ke Dokter dan Rumah Sakit, 2012
Telah disebutkan sebelumnya, persentase penduduk yang berobat ke dokter
dan rumah sakit juga mengalami peningkatan pada tahun 2012, relatif terhadap
kondisi 2007. Namun walau mengalami kenaikan, disparitas pelayanan kesehatan
antar daerah masih cukup besar. Gambaran akses masyarakat ke fasilitas
kesehatan tergambar pada Gambar 10.
58
menjadi beban dan ancaman bagi negara apabila penduduk usia produktif lebih
banyak yang menganggur dan tidak mempunyai penghasilan.
Tulisan pada harian Kompas pada tanggal 4 Maret 2014, yang mengangkat
tema tentang keluarga berencana, menunjukkan peran positif dari dua indikator ini
dalam pembangunan. Dalam tulisan tersebut, Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan bahwa Indonesia berada dalam
tahapan yang menguntungkan dari sisi kependudukan. Dengan rasio
ketergantungan yang berada si bawah 50 persen, Indonesia disebutkan sedang
menikmati bonus demografi. Didukung dengan terus menurunnya total fertility
rate, maka rasio ketergantungan Indonesia akan terus mengalami tren menurun.
Angka ketergantungan terendah diperkirakan terjadi pada 2028-2035.
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
Sumbar
Sulteng
Maluku
Babel
Malut
Riau
Jabar
Kalsel
Sulut
Sulsel
Jambi
Sumsel
Lampung
DIY
NTB
NTT
Kalteng
Papua Barat
Papua
Sumut
Banten
Jateng
Bengkulu
Bali
Kepri
Jakarta
Kaltim
Kalbar
Gorontalo
Sulbar
Aceh
Sultra
Jatim
100
90
% Desa tidak
mengalami
80 pencemaran air
% Desa tidak
70 mengalami
pencemaran tanah
60 % Rumahtangga
dgn sumber minum
air bersih
50 % Rumahtangga
dengan sanitasi
layak
40
2007 2008 2009 2010 2011 2012
Sanitation, secara global 2,5 miliar penduduk tidak memiliki akses ke sanitasi
yang baik pada tahun 2010. Dari jumlah tersebut, 1,2 miliar orang tidak memiliki
fasilitas sanitasi sama sekali dan terpaksa menggunakan area terbuka yang tidak
higienis. Di negara berkembang, persentase penduduk yang memiliki akses ke
sanitasi yang baik pada tahun 2010 sebesar 56 persen. Jika perkembangan tren
sanitasi terus berlanjut seperti kondisi sekarang, maka target sanitasi dalam JPOI
dan MDGs tidak akan tercapai yaitu sebesar 75 persen di tahun 2015.
Menyediakan fasilitas sanitasi yang bersih, efisien dan ekonomis merupakan
tantangan yang harus dihadapi oleh negara-negara berkembang. Sanitasi yang
bersih dan baik merupakan langkah penting untuk mengurangi penyebaran
penyakit diare yang merupakan pembunuh terbesar kedua anak-anak di negara
berkembang. Selain itu, sanitasi yang bersih juga akan mencegah penyebaran
penyakit lain seperti kolera, schistosomiasis dan trachoma. Selain itu, sanitasi
yang baik dapat mengurangi kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu.
Untuk mengukur perkembangan keadaan sanitasi di Indonesia didekati dengan
persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja tangki septik. Semakin
tinggi persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja tangki septik
mengindikasikan hal positif bagi kemajuan akses fasilitas sanitasi. Secara nasional,
pada periode 2007-2012 persentase rumah tangga dengan penampungan akhir
tinja tangki septik mengalami peningkatan, dari 42 persen pada tahun 2007
menjadi 64 persen pada tahun 2012.
Indikator lingkungan yang lain adalah yang terkait dengan air minum. Air
minum merupakan kebutuhan mendasar bagi kehidupan. Air minum berperan agar
makhluk hidup khususnya manusia dapat bertahan hidup. Dalam penelitian ini,
indikator air minum didekati dengan persentase rumah tangga yang menggunakan
air bersih.
Pasokan air yang memadai sangat penting untuk mengurangi risiko penyakit
dan untuk menjamin hak atas pangan, kesehatan dan perumahan. Keamanan dan
aksesibilitas terhadap air bersih menjadi perhatian besar di seluruh dunia.
Berbagai penyakit yang dapat mengganggu kesehatan mungkin timbul dari
konsumsi air yang terkontaminasi oleh kuman, virus, bahan beracun dan
berbahaya, dan bahan radiologi. Mudahnya akses terhadap air bersih dan sanitasi
dapat meningkatkan kesehatan individu, sehingga dapat bersekolah dan
meningkatkan produktivitas. Pengelolaan sumber daya air merupakan komponen
penting dalam pemenuhan hak asasi manusia untuk mendapatkan air minum dan
sanitasi yang aman dan bersih. Secara nasional, jumlah penduduk/rumah tangga
yang memiliki akses air minum yang layak jumlahnya mengalami kenaikan dari
52 persen pada tahun 2007 menjadi 64 persen pada tahun 2012.
Memperhatikan Gambar 12, terlihat bahwa terjadi perbedaan tren pada
keempat indikator lingkungan tersebut. Dua indikator yang mengukur kualitas
lingkungan; persentase desa yang tidak mengalami pencemaran air dan tanah;
menunjukkan tren menurun. Sebaliknya dua indikator yang mengukur tingkat
akses dan pengetahuan masyarakat tentang lingkungan yang baik menunjukkan
tren menaik. Kondisi ini tentunya menimbulkan paradoks. Pada saat akses dan
pengetahuan masyarakat tentang peran lingkungan meningkat, kualitas
lingkungan justru semakin menurun. Seakan-akan tidak ada hubungan antara
tingkat pengetahuan tentang lingkungan terhadap perilaku untuk menjaga
lingkungan itu sendiri.
64
Isu lingkungan lainnya yang populer adalah emisi rumah kaca. Efek rumah
kaca merupakan penyebab utama naiknya temperatur bumi yang menurut
sebagian ahli disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca. Gas
rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk dapat
menyerap dan menahan radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga
menyebabkan suhu di permukaan bumi semakin meningkat. Menurut konvensi
PBB mengenai perubahan iklim, ada 6 jenis gas yang digolongkan sebagai gas
rumah kaca, antara lain: karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida
(N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur
heksafluorida (SF6). Karena keterbatasan data, dari enam jenis emisi rumah kaca
tersebut, penelitian ini hanya melihat dari kandungan karbon dioksida (CO2) dan
metana (CH4). Perkiraan CO2 dan CH4 yang dipergunakan dalam penelitian
mengacu pada nilai estimasi yang dilakukan oleh BPS.
Perkiraan emisi CO2 yang dihitung adalah emisi CO2 yang bersumber dari
bahan bakar memasak dan emisi CO2 dari kendaraan bermotor. Perkiraan emisi
CO2 dari bahan bakar memasak oleh rumah tangga dihitung berdasarkan emisi dari
penggunaan bahan bakar gas, minyak tanah dan kayu bakar yang digunakan untuk
memasak. Secara umum emisi CO2 yang terbesar dihasilkan dari kayu bakar,
kemudian minyak tanah dan gas. Dalam rentang tahun 2007-2012, perkiraan emisi
CO2 meningkat dari sekitar 240 juta ton menjadi 278 juta ton.
1200000
1100000
1000000
900000
800000
700000
600000
500000
Emisi CO2
400000
300000 Emisi CH4
200000
2007 2008 2009 2010 2011 2012
0.9
Gini rasio
0.8
0.7
Rasio upah pekerja
0.6 perempuan dan
laki-laki
0.5
Rasio APS
perempuan dan
0.4 laki-laki
0.3
2007 2008 2009 2010 2011 2012
dan laki-laki juga mengalami peningkatan dari 0,97 pada tahun 2007 menjadi
0,999 pada tahun 2012.
Perbandingan indikator kemerataan pendapatan dan kesetaraan gender
menunjukkan arah yang berbeda. Dari sisi pendapatan, ketimpangan pendapatan
menunjukkan adanya peningkatan, dalam arti jarak (gap) antara kelompok
berpendapatan rendah dengan kelompok berpendapatan tinggi semakin lebar.
Sebaliknya indikator kesetaraan gender menunjukkan adanya perubahan positif.
Pembangunan Indonesia semakin mengarah pada kesetaraan gender, baik dari sisi
ekonomi maupun sosial. Menyikapi perbedaan ini, maka fokus pembangunan
kelembagaan tentunya diharapkan memberikan porsi yang lebih besar untuk
mengurangi ketimpangan pendapatan.
67
Salah satu yang menjadi acuan dalam pembangunan di Indonesia saat ini
adalah tercapainya tujuan pembangunan milenium (Millennium Development
Goals – MDGs). MDGs merupakan hasil kesepakatan dari 189 negara anggota
Perserikatan BangsaBangsa yang terdiri dari delapan tujuan pembangunan.
Delapan tujuan tersebut adalah:(1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, (2)
mencapai pendidikan dasar untuk semua, (3) mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5)
meningkatkan kesehatan ibu, (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit
menular lainnya, (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan (8)
membangun kemitraan global untuk pembangunan. Delapan tujuan ini dibentuk
dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia, kebebasan, pembangunan,
perdamaian, dan keamanan.
Era MDGs akan berakhir pada tahun 2015. Mendekati berakhirnya era
MDGs, maka dibutuhkan tujuan pembangunan “baru” yang kembali akan
disepakati bersama. Salah satu pemikiran yang mengemuka adalah mengusung
Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan
sebagai pengganti dari MDGs. Sama halnya dengan MDGs, maka dalam SDGs
kemungkinan juga akan ditetapkan sejumlah target dengan menggunakan
beberapa indikator. Indikator-indikator tersebut dapat berupa indikator yang
terpisah-pisah (parsial) atau berupa indikator yang bersifat agregat.
Indonesia tentunya perlu mempersiapkan diri untuk menyongsong era SDGs
tersebut, salah satunya dengan mempersiapkan data terkait dengan pembangunan
berkelanjutan. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba mengidentifikasi indikator-
indikator yang memiliki keterkaitan erat dengan pembangunan
berkelanjutan.Indikator-indikator tersebut untuk selanjutnya digabungkan menjadi
indeks komposit yang bertujuan memberi gambaran tentang capaian
pembangunan berkelanjutan. Diharapkan, indeks komposit pembangunan
berkelanjutan akan menjadi alat ukur pembangunan di Indonesia. Penyusunan
indeks pembangunan berkelanjutan serta perbandingannya antar wilayah dan
waktu akan diuraikan pada bahasan berikut.
Indeks Pembangunan
Berkelanjutan (IPB)
20.00
0.00
Sumbar
Babel
Kalsel
Jabar
NTB
NTT
Kalteng
Sulut
Sulsel
Sulteng
Maluku
Malut
Papua Barat
Papua
Sumut
Riau
Sumsel
Jambi
Bengkulu
Lampung
DIY
Kepri
Jakarta
Jateng
Banten
Bali
Kaltim
Kalbar
Sulbar
Aceh
Jatim
Gorontalo
Sultra
-20.00
Jabar
Babel
NTT
Kalteng
Sulut
Sulteng
Maluku
Malut
Sumut
Riau
Kalsel
Sulsel
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
NTB
Papua Barat
Papua
Jateng
DIY
Banten
Jakarta
Bali
Kepri
Kalbar
Kaltim
Sulbar
Aceh
Gorontalo
Sultra
Jatim
Maluku
Babel
Malut
Riau
Kalsel
Sulut
Sulsel
Jambi
Sumsel
Lampung
Jabar
DIY
NTB
NTT
Kalteng
Sulteng
Papua Barat
Papua
Sumut
Bengkulu
Bali
Kepri
Jakarta
Jateng
Banten
Kaltim
Kalbar
Sulbar
Aceh
Sultra
Jatim
Gorontalo
-10.00
-20.00
10.00
0.00
Sumbar
Babel
Riau
Kalsel
Sulsel
Maluku
Malut
Jambi
Sumsel
Lampung
Jabar
DIY
NTB
Sulut
Sulteng
Papua Barat
Papua
Sumut
Jateng
Banten
NTT
Kalteng
Bengkulu
Bali
Kepri
Jakarta
Kaltim
Kalbar
Sulbar
Sultra
Aceh
Jatim
Gorontalo
-10.00
5.00
0.00
Sumbar
Kalsel
Sulsel
Jabar
NTB
NTT
Kalteng
Sulut
Sulteng
Maluku
Malut
Papua
Papua Barat
Sumut
Riau
Sumsel
Babel
Jambi
Bengkulu
Lampung
Kepri
Jateng
DIY
Banten
Jakarta
Bali
Kaltim
Kalbar
Sulbar
Aceh
Jatim
Gorontalo
Sultra
-5.00
100
80
60
Data
40
20
0
) ) ) ) ) ) ) ) ) )
09 12 09 12 09 12 09 12 09 12
( 20 ( 20 ( 20 ( 20 ( 20 (20 (20 (20 (20 (20
E E S S L L K K B B
IP IP
IQR) juga semakin panjang, sehingga pencilan1 pada tahun 2009 menjadi masuk
dalam kategori bukan pencilan pada tahun 2012. Secara umum tidak terjadi
perubahan yang berarti terhadap kesimetrisan distribusi indeks pembangunan
ekonomi. Memperhatikan posisi median, panjang wiskers serta posisi pencilan,
indeks pembangunan ekonomi menunjukkan distribusi data yang cenderung
menjulur ke arah kiri (negative skewness). Distribusi seperti ini menggambarkan
provinsi yang memiliki indeks pembangunan ekonomi rendah lebih banyak dari
pada provinsi dengan indeks pembangunan ekonomi tinggi.
Kondisi sedikit berbeda ditunjukkan oleh indeks pembangunan sosial.
Kenaikan median pada indeks pembangunan sosial juga diiringi dengan
menurunnya rentang antar kuartil (IQR). Menurunnya nilai IQR, berdampak pada
semakin sempitnya wiskers, sehingga pencilan pada tahun 2012 lebih banyak
daripada tahun 2009. Pola sebaran indeks pembangunan sosial mulai bergeser dari
simetris menuju distribusi data yang menjulur ke arah kanan (positive
skewness).Indeks pembangunan lingkungan menunjukkan terjadinya penurunan
median serta rentang antar kuartil. Namun nilai wisker minimum juga
menunjukkan penurunan yang cukup besar. Pola sebaran semakin mengarah pada
distribusi data yang menjulur ke arah kanan (positive skewness), namun dengan
posisi yang semakin turun. Indeks pembangunan kelembagaan menunjukkan
kenaikan pada median dan penurunan pada rentang antar kuartil. Sebaran indeks
pembangunan kelembagaan menuju pada distribusi data yang semakin simetris.
Indeks pembangunan berkelanjutan menunjukkan terjadinya peningkatan
median, namun diiringi dengan meningkatnya rentang antar kuartil. Nilai
maksimum juga menunjukkan nilai yang jauh lebih tinggi, sehingga garis wisker
bagian atas semakin panjang. Pola sebaran indeks pembangunan berkelanjutan
juga menunjukkan pergeseran dari distribusi simetris menuju distribusi data yang
menjulur ke arah kanan (positive skewness).
Selain pengukuran capaian pembangunan berkelanjutan pada tingkat
provinsi, penelitian ini juga melakukan penghitungan indeks komposit untuk
nasional. Berdasarkan nilai IPB, capaian pembangunan berkelanjutan secara
nasional juga menunjukkan terjadinya perbaikan. Dimensi ekonomi
memperlihatkan perkembangan yang lebih cepat dibandingkan dimensi yang lain.
Dimensi yang relatif lambat perkembangannya adalah dimensi sosial. Perubahan
sosial tampaknya membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan
perubahan ekonomi. Investasi untuk kepentingan sosial tidak serta merta
memberikan hasil pada saat itu juga, namun membutuhkan jangka waktu yang
cukup panjang.
Sama halnya dengan capaian provinsi, dimensi lingkungan pada tingkat
nasional juga menunjukkan terjadinya penurunan. Hingga saat ini pembangunan
masih sangat bias pada dimensi ekonomi dan sosial. Dimensi lingkungan masih
belum mendapatkan porsi yang seimbang dengan dimensi-dimensi yang lain.
Akibatnya permasalahan lingkungan mulai muncul seiring dengan kemajuan
pembangunan. Munculnya persoalan banjir, longsor dan penurunan daya dukung
lingkungan merupakan bagian dari permasalahan tersebut. Peningkatan perhatian
pada pembangunan lingkungan tampaknya harus menjadi agenda khusus bagi
1
Pencilan didefinisikan sebagai nilai yang lebih kecil dari IQR-(1,5xIQR) atau lebih besar
dari IQR+(1,5xIQR)
79
100
80
60
2009
40
2012
20
0
Eco Soc Env Inst IPB
dengan konstannya nilai indeks ekonomi, sosial dan kelembagaan, nilai indeks
lingkungan akan terus mengalami penurunan, mengikuti tren menurunnya.
Hasilnya, nilai indeks pembangunan berkelanjutan, yang merupakan fungsi linier
dari indeks ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan juga akan mengalami
penurunan. Dengan demikian, maka dapat dikatakan peningkatan indeks
pembangunan berkelanjutan yang tidak didukung oleh peningkatan pembangunan
di seluruh dimensi hanya mengindikasikan pembangunan yang lebih
berkelanjutan dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, yang terjadi justru
sebaliknya, yaitu pembangunan yang semakin tidak berkelanjutan. Ilustrasi
tersebut sesuai dengan kondisi di Indonesia saat ini. Peningkatan indeks
pembangunan berkelanjutan yang terjadi selama periode 2009-2012 hanya
mengindikasikan pembangunan berkelanjutan pada jangka pendek. Dalam jangka
panjang, indeks pembangunan berkelanjutan akan mengalami penurunan sebagai
akibat dari terus menurunnya indeks lingkungan.
Ilustrasi di atas juga memberikan kesimpulan menarik tentang nilai indeks
pembangunan berkelanjutan. Peningkatan indeks pembangunan berkelanjutan
yang disebabkan oleh peningkatan seluruh indeks pembangunan (ekonomi, sosial,
lingkungan dan kelembagaan) mengindikasikan pembangunan yang lebih
berkelanjutan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Sedangkan peningkatan
indeks pembangunan berkelanjutan yang tidak didukung oleh seluruh dimensi
pembangunan hanya menunjukkan pembangunan yang lebih berkelanjutan dalam
jangka pendek saja. Dalam jangka panjang, peningkatan indeks pembangunan
berkelanjutan yang tidak didukung oleh seluruh dimensi pembangunan justru
mengindikasikan pembangunan yang lebih tidak berkelanjutan.
Penelitian ini menghasilkan indeks komposit yang dapat menjadi alternatif
dalam mengukur pembangunan berkelanjutan. Indikator yang dipergunakan
merupakan refleksi dari dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan.
Penyusunan indeks komposit dihadapkan pada dua hal yang sering kali saling
merupakan trade-off. Kedua hal tersebut adalah kekomprehensifan dan
kesederhanaan. Indikator yang komprehensif sering kali tidak sederhana,
sebaliknya indikator yang sederhana sering kali tidak komprehensif. Penelitian ini
mencoba menjembatani kedua hal tersebut dengan menggunakan konfirmatori
faktor analisis.
Keterbatasan data menjadi kendala dalam penyusunan indeks komposit ini,
terutama pada dimensi lingkungan dan kelembagaan. Secara umum indeks
dimensi lingkungan telah mampu menangkap terjadinya penurunan kualitas
lingkungan, namun masih belum mampu menangkap fenomena alih fungsi hutan,
atau berubahnya hutan menjadi lahan kritis. Kondisi ini pada dasarnya sudah coba
dinilai dalam IKLH, namun keterbatasan data kembali menjadi persoalan.
Catatan lainnya dari penelitian ini adalah, adanya indikasi pembangunan
yang dilakukan di Indonesia belum sepenuhnya menuju ke arah pembangunan
berkelanjutan. Indikasi ini ditunjukkan dengan munculnya loading factor yang
bernilai negatif untuk dimensi lingkungan dan kelembagaan. Lemahnya perhatian
pemerintah pada kedua dimensi ini mengakibatkan terjadinya penurunan capaian
pembangunan lingkungan dan kelembagaan di beberapa provinsi. Untuk itu
pemerintah harus lebih serius dalam mendorong pembangunan pada kedua
dimensi tersebut. Pencegahan kerusakan lingkungan, pemulihan lingkungan yang
rusak serta penyediaan data lingkungan yang berkualitas merupakan bentuk
81
Telah disebutkan pada bagian awal bahwa modal sosial berbeda dengan
modal manusia (human capital). Modal manusia merupakan sumber daya yang
melekat pada individu, sedangkan modal sosial merupakan sumber daya yang
melekat pada hubungan sosial. Dengan demikian, modal sosial selalu ada dalam
setiap hubungan sosial yang dilakukan antar individu, antar kelompok, antar
organisasi dan bahkan antar negara. Kompleksnya ruang lingkup modal sosial
berpengaruh secara langsung terhadap besaran yang mampu menggambarkan nilai
modal sosial itu sendiri. Semakin luas cakupan modal sosial yang ingin diteliti
maka semakin kompleks indikator yang digunakan untuk mengukur besaran
modal sosial tersebut. Dibutuhkan batasan-batasan tertentu agar penghitungan
modal sosial dapat dioperasionalkan.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur besaran modal sosial pada
tingkat provinsi di seluruh Indonesia. Mengingat luas dan beragamnya
karakteristik wilayah penelitian, maka indikator yang dipergunakan harus bersifat
general dan berlaku di semua wilayah. Selain pemilihan indikator, cakupan
wilayah juga perlu mendapat perhatian tersendiri. Mengacu pada penelitian BPS,
pengukuran modal sosial pada masyarakat desa merupakan hal yang paling
sederhana untuk dilakukan. Modal sosial masyarakat desa merupakan akumulasi
dari modal sosial individu pada wilayah tersebut. Selanjutnya modal sosial untuk
hierarki wilayahnya yang lebih tinggi, merupakan akumulasi dari modal sosial
masyarakat desa.
Dalam penelitian ini, modal sosial terdiri dari tiga komponen, yaitu
kepercayaan (trust), norma (norm) dan jejaring (networks). Besaran modal sosial
masing-masing daerah sangat ditentukan oleh besaran ketiga komponen tersebut.
83
Besaran modal sosial ini diukur dengan menggunakan sebuah indeks komposit
berupa indeks modal sosial. Indeks modal sosial merupakan rata-rata modal sosial
yang dimiliki oleh individu pada provinsi tertentu yang diukur berdasarkan
keeratan hubungan individu dengan komunitas di desa tempat tinggalnya.
Pengukuran modal sosial masih jarang dilakukan. Satu-satunya penelitian
yang menghasilkan besaran modal sosial untuk tingkat provinsi di seluruh wilayah
Indonesia adalah pengukuran modal sosial yang telah dilakukan oleh BPS.
Pengukuran besaran modal sosial yang ada dalam masyarakat desa ini telah
dirintis sejak tahun 2010 dengan menggunakan data Susenas MSBP 2009. Pada
saat itu, besaran modal sosial diberi nama sebagai stok modal sosial. Pada tahun
2013, dengan menggunakan data Susenas MSBP 2012, kembali dilakukan
penelitian tentang modal sosial, namun dengan melakukan perbaikan pada cara
pengukuran dan metode statistik yang digunakan.
Pembahasan tentang pengukuran modal sosial di Indonesia akan diawali
dengan memberikan gambaran tentang karakteristik responden yang memberikan
informasi tentang modal sosial.Gambaran tentang karakteristik responden dapat
menjadi sarana untuk mengukur kualitas informasi yang diberikan oleh responden.
Karakteristik responden dilihat dari beberapa indikator demografi, yang meliputi
jenis kelamin, kelompok umur, status perkawinan, status dalam rumah tangga
serta lama menetap di lingkungan sekarang.
Jenis Kelamin
- Perempuan 64,90 52,70 58,00
- Laki-laki 35,10 47,30 42,00
Kelompok Umur
- < 30 tahun 16,10 16,00 16,00
- 30-40 tahun 31,50 30,90 31,20
- > 40 tahun 52,40 53,10 52,80
Status Perkawinan
- Belum kawin 7,90 4,70 6,10
- Cerai 12,40 13,10 12,80
- Kawin 79,70 82,20 81,10
Status dalam rumah tangga
- Bukan kepala keluarga 56,00 44,60 49,50
- Kepala keluarga 44,00 55,40 50,50
Lama menetap di lingkungan sekarang
- < 5 tahun 18,80 10,30 14,00
- 5-10 tahun 16,40 11,30 13,50
- 11-20 tahun 21,80 20,50 21,10
- > 20 tahun 43,00 57,80 51,40
Jumlah responden 29337 38878 68215
84
perdesaan proporsi dengan besaran yang relatif sama justru menunjukkan proporsi
jumlah responden yang bukan kepala keluarga. Dugaan yang sama dengan
variabel jenis kelamin nampaknya juga dapat dipergunakan untuk menerangkan
kondisi ini. Kepala keluarga di daerah perkotaan umumnya bekerja dan tidak
berada di rumah pada saat pengumpulan data dilakukan, sehingga responden lebih
didominasi oleh mereka yang bukan kepala rumah tangga.
Sebagai modal yang melekat dengan struktur sosial, modal sosial
dipengaruhi oleh frekuensi interaksi antar individu. Modal sosial akan semakin
terbentuk oleh adanya interaksi yang bersifat positif. Sedangkan interaksi yang
bersifat negatif tentunya akan memberikan hasil yang berkebalikan. Oleh sebab
itu, dibutuhkan pula informasi tentang frekuensi interaksi yang dilakukan oleh
responden. Sebagai proksi dari frekuensi interaksi ini dipergunakan variabel yang
menanyakan tentang lamanya responden menetap di lingkungan sekarang.
Lamanya responden menetap di lingkungan sekarang diasumsikan berkorelasi
positif dengan frekuensi interaksi. Semakin lama responden menetap maka
frekuensi interaksi diasumsikan akan semakin tinggi pula. Secara umum,
responden didominasi oleh mereka yang telah menetap lebih dari 20 tahun di
lingkungan sekarang, dengan proporsi lebih dari 50 persen. Dengan jumlah
responden yang didominasi oleh mereka yang memang telah berada cukup lama di
lingkungan mereka saat ini, maka informasi modal sosial yang diberikan oleh
responden tentunya akan dapat menggambarkan bentuk interaksi sosial yang telah
dilakukan selama ini. Proporsi responden yang telah menetap lebih dari 20 tahun
di lingkungannya sekarang di perdesaan jumlahnya mencapai 57,8 persen,
sedangkan di perkotaan jumlahnya lebih rendah yaitu 43 persen. Perbedaan yang
cukup besar antara proporsi responden yang menetap lebih dari 20 tahun di daerah
perdesaan dengan perkotaan diduga karena dominasi pendatang lebih terlihat pada
masyarakat perkotaan daripada perdesaan. Masyarakat perdesaan umumnya
adalah mereka yang memang dilahirkan dan dibesarkan di desa tersebut, sehingga
proporsi pendatang relatif lebih sedikit dibandingkan perkotaan.
Memperhatikan beberapa karakteristik responden di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa responden dapat memberikan informasi yang memadai tentang
modal sosial. Responden telah terwakili dari sisi kedaerahan, jenis kelamin, umur
dan beberapa karakteristik yang lain. Responden juga didominasi oleh mereka
yang diasumsikan mempunyai pengalaman interaksi sosial yang cukup.
Penelitian ini melakukan penghitungan ulang tentang besaran modal sosial
pada tahun 2012, namun tetap menggunakan data yang sama dengan yang telah
dipergunakan oleh BPS. Penghitungan ulang ini dilakukan karena adanya
perbedaan komponen modal sosial yang dipergunakan oleh BPS dengan
komponen yang telah di desain untuk penelitian ini. BPS menggunakan komponen
sikap percaya terhadap tokoh di lingkungan desa, partisipasi dalam aksi bersama
di desa, toleransi dan sikap percaya terhadap tetangga. Penelitian ini
menggunakan komponen kepercayaan, norma dan jejaring.
Berdasarkan metode yang telah ditetapkan, penghitungan modal sosial
masing-masing provinsi dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu: (1)
Penyelarasan data, (2) Penghitungan rata-rata skor, (3) Normalisasi, (4) Penentuan
bobot dan (5) Agregasi. Seluruh tahapan dilakukan secara berurutan. Penjelasan
untuk setiap tahapan diuraikan pada bagian berikut ini.
86
Indeks
Modal Sosial
TOKOH_AG (0,16)
APARATUR (0,17)
DITOLONG (0,24)
JML_DITO (0,25)
MUSIBAH (0,25)
TITIP_AN (0,16)
TITIP_RU (0,16)
AGAMA (0,31)
BANTU (0,26)
AMAN (0,17)
MASY (0,33)
ORG (0,36)
Indeks Indeks
Indeks Indeks
Provinsi kepercayaan Modal
Norma (Nr) Jejaring (Nt)
(Tr) Sosial (SC)
Aceh 66,4 67,4 36,5 56,8
Sumatera Utara 65,5 65,3 39,5 56,7
Sumatera Barat 63,7 67,9 36,4 56,0
Riau 65,1 67,4 44,3 58,9
Jambi 65,1 66,2 45,4 58,9
Sumatera Selatan 65,7 68,3 31,8 55,3
Bengkulu 66,2 69,1 37,9 57,7
Lampung 65,4 68,9 38,2 57,5
Kepulauan Bangka Belitung 65,2 68,1 28,0 53,7
Kepulauan Riau 62,9 65,8 36,6 55,1
DKI Jakarta 61,0 64,3 32,0 52,4
Jawa Barat 65,5 65,5 32,0 54,3
Jawa Tengah 66,9 70,8 45,8 61,2
DI Yogyakarta 65,8 72,2 55,2 64,4
Jawa Timur 66,0 69,3 43,9 59,7
Banten 64,5 66,7 32,6 54,6
Bali 68,2 71,1 47,6 62,3
Nusa Tenggara Barat 66,5 66,8 32,9 55,4
Nusa Tenggara Timur 67,8 69,1 44,8 60,5
Kalimantan Barat 65,4 67,1 34,4 55,6
Kalimantan Tengah 66,0 68,1 37,9 57,3
Kalimantan Selatan 65,3 66,9 39,2 57,1
Kalimantan Timur 65,5 66,7 35,5 55,9
Sulawesi Utara 68,0 71,3 54,6 64,7
Sulawesi Tengah 66,8 68,9 37,2 57,6
Sulawesi Selatan 68,3 68,6 31,0 55,9
Sulawesi Tenggara 68,2 69,0 34,2 57,1
Gorontalo 66,4 69,9 35,5 57,3
Sulawesi Barat 68,0 70,1 33,6 57,3
Maluku 66,8 69,1 37,8 57,9
Maluku Utara 69,6 67,3 41,4 59,4
Papua Barat 63,8 64,6 37,1 55,2
Papua 63,3 62,5 35,4 53,7
Indonesia 66,0 67,9 38,8 57,5
Berdasarkan nilai indeks modal sosial, diketahui bahwa nilai indeks modal
sosial tertinggi diperoleh oleh Provinsi Sulawesi Utara, sedangkan nilai indeks
modal sosial terendah tetap di Provinsi DKI Jakarta. Indeks modal sosial dalam
penelitian ini disusun menggunakan indikator yang menggambarkan tingkat
kepercayaan, kepedulian dan interaksi dengan orang lain di lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat kepercayaan, kepedulian dan
interaksi dengan orang lain di sekitarnya di Sulawesi Utara paling baik di antara
provinsi yang lain. Sebaliknya, kondisi kepercayaan, kepedulian dan interaksi
90
dengan orang sekitar di DKI Jakarta berada pada kondisi yang paling rendah.
Artinya masyarakat DKI cenderung lebih bersifat individualis dibandingkan
Sulawesi Utara.
Tingkat modal sosial diduga dipengaruhi juga oleh tingkat kehomogenan
masyarakat yang ada di dalamnya. Jika dikaitkan dengan bentuk modal sosial,
masyarakat yang homogen relatif memiliki bonding social capital yang relatif
lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang heterogen. Kehomogenan akan
meningkatkan kepercayaan antar masyarakat. Kepercayaan ini menjadi dasar
untuk munculnya norma saling membantu dan pada akhirnya akan
mengembangkan jejaring masyarakat yang ada dalam komunitas tersebut.
Kehomogenan ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, misalnya dari sisi
jenis suku dan agama. Sehingga, dengan tingkat kehomogenan masyarakat yang
lebih tinggi daripada DKI Jakarta, maka tingkat modal sosial Sulawesi Utara juga
cenderung lebih tinggi.
Mencermati beberapa provinsi yang menempati urutan indeks modal sosial
yang tinggi, patut pula diduga bahwa adanya pemimpin informal dalam
masyarakat juga berpengaruh pada modal sosial. Setelah Sulawesi Utara, provinsi
lain yang memiliki indeks modal sosial tinggi adalah Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Bali. Sulawesi Utara memiliki pemimpin informal yang berasal
dari kalangan tokoh agama. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki pemimpin
informal yang berasal dari keraton, sedangkan Bali memiliki pemimpin informal
dari kalangan tokoh adat dan agama. Tokoh informal ini menjadi perekat di dalam
masyarakat, sehingga meningkatkan rasa kepercayaan, kepedulian dan interaksi
dalam masyarakat.
Gambaran modal sosial Indonesia menunjukkan bahwa komponen yang
memiliki nilai tertinggi adalah komponen norma dengan nilai indeks sebesar 67,9.
Komponen kepercayaan memiliki capaian yang tidak jauh berbeda dengan norma.
Indeks kepercayaan adalah sebesar 66,0. Komponen yang memiliki capaian
terendah adalah jejaring. Indeks jejaring hanya tercatat sebesar 38,8.
Memperhatikan nilai-nilai indeks tersebut, maka modal sosial Indonesia sangat
dominan disusun oleh komponen norma dan kepercayaan.
Perbandingan antar komponen indeks modal sosial akan semakin jelas
dengan memperhatikan sebaran indeks tersebut pada Gambar 15. Komponen
norma (Nr) dan kepercayaan (Tr) berada jauh di atas komponen jejaring (Nt).
Sebaran norma dan kepercayaan juga jauh lebih homogen dibandingkan jejaring.
Oleh sebab itu, maka sangat beralasan jika pengembangan modal sosial lebih
diprioritaskan pada pengembangan jejaring.
Pengembangan jaringan berkaitan dengan mengembangkan kelompok atau
organisasi yang didasarkan pada rasa saling percaya dan norma yang dimiliki.
Dalam bidang ekonomi, pengembangan jaringan dapat dilakukan dengan
mengembangkan organisasi ekonomi yang didasarkan pada tindakan bersama
(collective action). Bentuk organisasi yang cocok dengan prinsip ini adalah
koperasi. Koperasi yang akan dikembangkan tentunya dengan mempertimbangkan
bentuk-bentuk keterikatan yang telah ada. Ide dasarnya adalah melakukan
pengembangan terhadap kelompok-kelompok tradisional/informal yang telah ada
menjadi organisasi formal. Dengan demikian, modal sosial yang telah mereka
miliki sebelumnya akan menjadi modal awal dalam membangun koperasi.
91
70
60
Data
50
40
30
TR NR NT SC
besar. Selisih terbesar terjadi di Kalimantan Selatan (6,3 poin), diikuti Papua
Barat (5,2 poin) dan Sulawesi Barat (4,2 poin).
Jika diperhatikan kondisi modal sosial pada masing-masing provinsi,
ternyata dominasi kawasan perdesaan dalam hal modal sosial tidak terjadi untuk
seluruh provinsi. Di beberapa provinsi, indeks modal sosial perdesaan lebih kecil
dari pada perkotaan. Provinsi-provinsi tersebut adalah Aceh, Lampung, Sulawesi
Tenggara, Gorontalo, dan Papua.
Perkotaan Perdesaan
Indeks Indeks Indeks Indeks
Provinsi Indeks Indeks Indeks Indeks
keperca- Modal keperca- Modal
Norma Jejaring Norma Jejaring
yaan Sosial yaan Sosial
(Nr) (Nt) (Nr) (Nt)
(Tr) (SC) (Tr) (SC)
Aceh 66,1 68,2 37,6 57,3 66,6 67,1 36,1 56,6
Sumatera Utara 64,3 65,0 38,7 56,0 66,4 65,7 40,0 57,4
Sumatera Barat 62,6 67,6 36,3 55,5 64,5 67,8 36,3 56,2
Riau 62,7 66,6 43,7 57,7 66,5 67,9 44,6 59,7
Jambi 62,9 66,1 43,1 57,3 65,9 66,2 46,3 59,5
Sumatera Selatan 64,0 66,9 31,0 54,0 66,4 69,0 32,2 55,9
Bengkulu 64,5 68,6 40,0 57,7 67,0 69,5 36,9 57,8
Lampung 64,3 68,3 40,4 57,7 65,8 69,1 37,2 57,4
Kep. Bangka Belitung 62,7 66,6 27,3 52,2 67,7 69,4 28,6 55,2
Kepulauan Riau 62,6 65,9 35,5 54,7 63,9 65,5 39,6 56,3
DKI Jakarta 61,0 64,3 32,0 52,4 - - - -
Jawa Barat 64,5 64,8 33,3 54,2 67,3 67,3 29,7 54,7
Jawa Tengah 66,1 69,7 45,8 60,5 67,9 72,1 45,6 61,9
DI Yogyakarta 64,8 71,6 54,4 63,6 67,9 73,5 56,9 66,1
Jawa Timur 64,5 68,4 45,4 59,4 67,6 70,2 41,8 59,9
Banten 63,7 65,6 34,5 54,6 66,0 68,6 29,2 54,6
Bali 67,4 70,6 46,0 61,3 69,2 71,8 50,2 63,7
Nusa Tenggara Barat 65,9 65,9 34,3 55,4 67,0 67,3 31,9 55,4
Nusa Tenggara Timur 65,5 69,2 45,8 60,2 68,3 69,0 44,7 60,7
Kalimantan Barat 63,3 65,2 31,0 53,2 66,2 67,8 35,8 56,6
Kalimantan Tengah 63,6 65,4 37,5 55,5 67,2 69,4 38,0 58,2
Kalimantan Selatan 64,3 63,9 31,7 53,3 66,1 68,7 44,1 59,6
Kalimantan Timur 64,1 65,7 33,4 54,4 67,4 68,0 38,2 57,9
Sulawesi Utara 68,4 71,4 54,0 64,6 67,8 71,1 55,1 64,7
Sulawesi Tengah 64,0 65,5 35,0 54,8 67,6 69,9 38,0 58,5
Sulawesi Selatan 65,4 67,2 34,3 55,6 69,7 69,4 29,3 56,1
Sulawesi Tenggara 67,1 67,9 38,4 57,8 68,5 69,3 32,6 56,8
Gorontalo 66,6 71,5 36,5 58,2 66,3 69,2 35,1 56,9
Sulawesi Barat 66,4 67,6 27,8 53,9 68,5 70,8 35,2 58,2
Maluku 64,6 69,1 36,4 56,7 68,0 69,3 38,6 58,6
Maluku Utara 68,0 66,0 36,2 56,8 70,2 67,6 43,0 60,3
Papua Barat 60,0 60,5 35,0 51,8 65,8 66,9 38,4 57,0
Papua 61,9 64,2 37,8 54,6 63,7 62,3 34,7 53,5
Indonesia 64,5 67,0 39,0 56,8 67,0 68,5 38,7 58,1
93
Tabel 20Korelasi antara Indeks Modal Sosial dengan Indikator Bonding Social
Capital
Korelasi dengan Indeks Modal
Indikator Sosial
r Prob
Scatterplot of SC vs E
89.63
66
Sulut
DIY
64
Bali
62 Jateng
NTT
60 Jatim
Malut
Jambi Riau
SC
Maluku Bengkulu
58 Sulteng
Lampung Kalteng Indonesia
Gorontalo
Sulbar Sultra Kalsel
Aceh Sumut 57.53
Sulsel Sumbar Kaltim
56 NTB Kalbar
Sumsel Papua
KepriBrt
Banten Jabar
54 PapuaBabel
Jakarta
52
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
E
kuadran yang paling diharapkan, dimana posisi ini menggambarkan capaian yang
tinggi pada pembangunan ekonomi dan juga modal sosial. Sebelas provinsi
tercatat masuk ke dalam kuadran II, artinya provinsi-provinsi tersebut memiliki
modal sosial yang relatif tinggi, namun capaian pembangunan ekonominya rendah.
Sebaliknya, provinsi yang capaian pembangunan ekonominya tinggi namun
dengan modal sosial yang relatif rendah (kuadran IV), mencakup empat provinsi,
yaitu Kalimantan Timur, Papua Barat, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta. Jumlah
terbanyak, dengan 17 provinsi, berada pada kuadran III. Kuadran ini
mencerminkan bahwa pembangunan ekonomi dan modal sosial pada 17 provinsi
tersebut berada di bawah kondisi rata-rata Indonesia.
Hal lainnya yang ditemukan di Kenagarian VII Koto Talago adalah peran
pendidikan terhadap modal sosial masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam
kegiatan sosial seperti pemberian beasiswa dan keikutsertaan dalam kegiatan
kemasyarakatan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya, bukan dari sisi
kemampuan ekonomi. Mereka yang berpendidikan tinggi cenderung memiliki
kepedulian yang lebih baik dibandingkan yang berpendidikan lebih rendah.
Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pembangunan sosial juga
mempengaruhi kapasitas modal sosial. Pernyataan ini juga didukung oleh
pernyataan Hasbullah (2006). Pembangunan sosial, utamanya pembangunan di
bidang pendidikan memberikan dampak pada peningkatan modal sosial. Dalam
bukunya, Hasbullah bahkan merekomendasikan pembangunan pendidikan untuk
meningkatkan modal sosial. Lembaga pendidikan bukan hanya tempat memberi
dan menerima ilmu tetapi juga merupakan tempat terjadinya sosialisasi nilai-nilai
baru seperti profesionalisme, kejujuran, integritas, kesamaan, kebebasan dan
keadaban. Lembaga pendidikan yang demikian ini tidak saja berkaitan dengan
modal manusia, tetapi juga dengan modal sosial.
Merangkum dua pernyataan di atas, maka dapatdidugabahwa hubungan
positif antara pembangunan sosial dengan modal sosial merupakan hubungan dua
arah. Pembangunan sosial berpengaruh positif terhadap modal sosial dan modal
sosial juga berpengaruh positif terhadap pembangunan sosial.
Scatterplot of SC vs S
76.19
66
Sulut
DIY
64
Bali
62 Jateng
NTT
60 Jatim
Malut
Riau
Jambi
SC
Maluku Bengkulu
58 Sulteng
Lampung Indonesia
Kalteng
Sultra Sulbar Gorontalo
Kalsel
Aceh Sumut 57.53
Sumbar Sulsel Kaltim
56 NTB Kalbar
PapuaSumsel
Brt Kepri
Banten Jabar
54 Papua Babel
Jakarta
52
60 65 70 75 80 85 90
S
Gambar 25Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Sosial dengan Indeks Modal
Sosial 2012
Dengan analisis plot pencar terlihat bahwa sebagian besar provinsi di
Indonesia berada pada kuadran III. Enam belas provinsi memiliki capaian
pembangunan sosial dan kapasitas modal sosial yang lebih rendah dari rata-rata
Indonesia. Plot nilai indeks pembangunan sosial dan indeks modal sosial di
Indonesia juga menunjukkan bahwa hanya lima provinsiyang berada pada kuadran
I. Kuadran yang menggambarkan capaian yang tinggi pada pembangunan sosial
dan juga modal sosial ditempati oleh Provinsi Sulawesi Utara, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Bali, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Delapan provinsi tercatat masuk
ke dalam kuadran II, artinya provinsi-provinsi tersebut memiliki modal sosial
99
Scatterplot of SC vs L
79.12
66
Sulut
DIY
64
Bali
62 Jateng
NTT
60 Jatim
Malut
Riau Jambi
SC
Bengkulu Maluku
58 Lampung Indonesia Kalteng Sulteng
Kalsel Sulbar
Gorontalo
Sultra
Sumut Aceh 57.53
Sumbar
Sulsel Kaltim
56 KalbarNTB
Sumsel Kepri Papua Brt
Banten Jabar
Babel Papua
54
Jakarta
52
60 65 70 75 80 85 90
L
sosialnya tinggi. Enam provinsi berada pada kuadran III yang menunjukkan
indeks pembangunan lingkungan dan indeks modal sosial yang rendah. Enam
provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Kepulauan Bangka
Belitung, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Sedangkan delapan provinsi
lainnya berada pada kuadran I, yang berarti memiliki indeks pembangunan
lingkungan dan indeks modal sosial yang tinggi.
Berkaitan dengan pembangunan lingkungan, banyak tulisan yang
mengangkat peran positif modal sosial terhadap lingkungan. Kearifan lokal yang
merupakan perwujudan dari modal sosial yang ada di masyarakat terbukti mampu
menjaga lingkungan (KEMNLH dan BAPPENAS 2012). Salah satu bentuk
kearifan lokal dalam menjaga lingkungan seperti yang dilakukan oleh masyarakat
Kampung Naga di Tasikmalaya (Oxtavianus dan Enirawan 2012). Dengan adanya
pamali-pamali yang merupakan warisan dari leluhurnya, mereka mampu
mempertahankan kondisi lingkungannya di tengah-tengah tingginya tekanan
terhadap lingkungan di sekitarnya. Peran modal sosial juga dapat dilihat di
Kenagarian Rumbio Kabupaten Kampar. Masyarakat Kenagarian Rumbio bahkan
mampu mempertahankan hutan mereka (Rimbo Rumbio) di tengah-tengah
maraknya alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan di Provinsi Riau. Kearifan
lokal ini bahkan sudah diformalkan dengan disusunnya master plan hutan adat
Rimbo Rumbio (BAPPEDA Kabupaten Kampar 2012).
Namun di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh CIFOR juga
menunjukkan penggunaan modal sosial secara keliru dalam pengelolaan hutan.
Penebangan hutan secara masif secara ilegal (illegal logging) di Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS) ternyata juga menggunakan modal sosial yang ada pada
masyarakat di sekitar TNKS. Cukong-cukong pemilik modal membiayai
penebangan hutan ini dengan menggandeng masyarakat sekitar, dengan beberapa
alasan. Alasan pertama mereka mengetahui secara detil tentang potensi yang ada
di dalam hutan. Alasan lainnya, dengan menggunakan masyarakat sekitar sebagai
penebang, maka bonding social capital dalam masyarakat membuat kegiatan
ilegal ini menjadi terlindungi (Setiono B dan Husein Y 2005).
Selain hutan adat Rimbo Rumbio, di Kabupaten Kampar juga terdapat hutan
adat yang lain, yaitu hutan adat Buluh Cina. Sama halnya dengan hutan Rimbo
Rumbio, hutan adat Buluh Cina juga sudah memiliki master plan hutan adat.
Namun perkembangan yang terjadi di Buluh Cina berbeda dengan Rimbo Rumbio.
Akhir-akhir ini masyarakat Buluh Cina sedang menyusun kesepakatan untuk
melakukan alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan sawit. Kesepakatan ini
dibuat oleh tokoh-tokoh adat dengan dukungan dari masyarakat di wilayah itu.
Keinginan alih fungsi lahan ini dilatarbelakangi oleh persoalan ekonomi.
Masyarakat menilai manfaat ekonomi akan lebih besar mereka peroleh jika lahan
tersebut dijadikan kebun sawit, dibandingkan jika tetap dipertahankan sebagai
hutan adat. Walaupun kesepakatan tersebut belum terealisasi, namun kondisi ini
memberikan gambaran bahwa modal sosial juga dimanfaatkan untuk hal-hal yang
berpengaruh negatif terhadap lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa modal sosial dapat berdampak
positif ataupun negatif terhadap lingkungan. Sebagai modal, maka dampak modal
sosial lebih tergantung pada bagaimana modal tersebut dipergunakan. Pada saat
digunakan untuk hal-hal yang positif maka modal sosial juga akan memberikan
hasil yang positif, begitu pula sebaliknya. Namun penelitian ini belum mampu
102
menghitung dampak mana yang lebih besar, apakah dampak positif atau dampak
negatifnya.
Kearifan lokal pada dasarnya merupakan modal yang cukup besar untuk
meningkatkan pembangunan lingkungan. Norma dan kearifan lokal sebagai
warisan turun temurun sering kali didasarkan pada sesuatu yang abstrak, seperti
pamali atau pantangan-pantangan. Misalnya larangan mengambil kayu di hutan
larangan yang dikaitkan dengan kemarahan para leluhur. Pamali atau pantangan-
pantangan tersebut terkadang dianggap tidak logis lagi saat ini, sehingga banyak
orang yang mengabaikannya. Oleh sebab itu, dibutuhkan upaya untuk memberi
pemahaman baru kepada masyarakat tentang dampak positif dari pamali atau
pantangan-pantangan tersebut terhadap lingkungan, yang pada akhirnya juga
mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam hal ini pendidikan sebagai sarana
pengembangan modal manusia, memiliki peran penting. Pendidikan dan
pengetahuan akan memperkuat pamali atau pantangan-pantangan tadi dengan
kajian yang sifatnya lebih ilmiah dan dapat diterima oleh semua pihak. Selain itu,
perlu juga diperhatikan imbal jasa lingkungan bagi mereka yang menjaga
lingkungan dengan kearifan lokalnya. Jika imbal jasa ini tidak diperhatikan, maka
kasus seperti di hutan adat Buluh Cina akan kembali terjadi.
Scatterplot of SC vs K
86.86
66
Sulut
DIY
64
Bali
62 Jateng
NTT
60 Jatim
Malut
Riau
Jambi
SC
Bengkulu Maluku
58 Indonesia Sulteng
Lampung
Kalteng
Sulbar Gorontalo
Kalsel Sultra
Sumut Aceh 57.53
Kaltim Sulsel Sumbar
56 NTB Kalbar
Kepri Sumsel Papua Brt
Banten Jabar
Babel
Papua
54
Jakarta
52
80 82 84 86 88 90 92 94 96 98
K
Teknik analisis jalur, yang dikembangkan oleh Sewal Wright di tahun 1934,
sebenarnya merupakan pengembangan korelasi yang diurai menjadi beberapa
interpretasi akibat yang ditimbulkannya. Lebih lanjut, analisis jalur mempunyai
kedekatan dengan regresi berganda; atau dengan kata lain, regresi berganda
merupakan bentuk khusus dari analisis jalur. Teknik ini juga dikenal sebagai
model sebab-akibat (causing modeling). Penamaan ini didasarkan pada alasan
105
Gambar 28Path Diagram Hasil Analisis Jalur Hubungan antara Modal Sosial
dengan Pembangunan Berkelanjutan
Untuk mendapatkan model yang baik, maka dilakukan pengujian goodness
of fit dengan menggunakan beberapa ukuran. Pertama adalah melakukan absolute
fit measures (kecocokan absolut), yang hanya mengkaji model secara keseluruhan.
Kriteria yang dapat digunakan adalah nilai: chi-square (x2) yang diharapkan kecil
atau signifikansi (p) > 0,05. Hasil pengujian menunjukkan nilai chi-square 5,93
dengan nilai p=0,75. Nilai Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA)
diharapkan kurang dari 0,08. Hasil pengujian menunjukkan nilai RMSEA 0,0,
sehingga memenuhi kriteria goodness of fit.
Ukuran kedua adalah incremental fit measures (kecocokan inkremental).
Kriteria yang dapat digunakan adalah nilai: Normed Fit Index (NFI) semakin
tinggi semakin baik/direkomendasikan ≥ 0,90, Non-Normed Fit Index (NNFI)
direkomendasikan ≥ 0,90, Comparative Fit Index (CFI) = semakin tinggi semakin
baik, Incremental Fit Index (IFI) = semakin tinggi semakin baik, Relative Fit
Index (RFI) = semakin tinggi semakin baik. Hasil pengujian menunjukkan nilai
NFI 0,95; NNFI 1,09; CFI 1,00; IFI 1,02 dan RFI 0,84. Memperhatikan nilai-nilai
hasil pengujian maka berdasarkan ukuran kecocokan inkremental, model yang
diuji memberikan hasil yang baik.
Tujuan utama dari analisis jalur ini adalah untuk melihat pengaruh modal
sosial (SC) terhadap pembangunan berkelanjutan. Penggunaan modal yang lain,
modal fisik dan modal manusia, dimaksudkan untuk mengurangi kesalahan model.
Modal fisik diproksi dengan menggunakan proporsi pembentukan modal tetap
bruto dalam PDRB (K_Y), sedangkan modal manusia diproksi dengan
menggunakan rata-rata lama sekolah penduduk yang bekerja (H_L). Persamaan
reduce form untuk model indeks pembangunan berkelanjutan (IPB) adalah
sebagai berikut.
106
Simpulan
Saran
karena hal ini terkadang justru kontra produktif. Aturan formal yang dimaksud
lebih mengarah kepada kesepakatan yang dibuat secara bersama oleh anggota
komunitas. Pembuatan aturan formal ini dapat didukung oleh fakta-fakta
ilmiah yang mengangkat nilai-nilai positif dari kearifan lokal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Fukuyama F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. The
Free Press, New York
Glaeser, E., D. Laibson, J. Scheinkman & C. Soutter. 1999. What is social capital?
The determinants of trust and antitrust.NBER Working Paper 7216
_________________________________________. 2000a. Measuring
Trust.Quarterly Journal of Economics 115
Glaeser, E., D. Laibson & B. Sacerdote. 2000b.The economic approach to social
capital. NBER Working Paper 7728
Golusin M dan Ivanovic OM. 2009. Definition, characteristics and state of the
indicators of sustainable development in countries of Southeastern Europe.
Agriculture, Ecosystems and Environment 130 (2009) 67–74
Goldin, C. and Katz, L. F. 1998. Human capital and social capital: The rise of
secondary schooling in America, 1910 to 1940.NBER Working Paper No. 6439
Grootaert, C. 2001. Does Social Capital Help the Poor? A Synthesis of Findings
from the Local Level Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and
Indonesia. Local Level Institutions Working Paper No. 10, Social Development
Department, Washington DC: World Bank
Guiso, L., Sapienza, P. and Zingales, L. 2000. “The role of social capital in
financial development” The American Economic Review, Vol. 94, No. 3 (Jun.,
2004), pp. 526-556
Hak T, Moldan B dan Dahl AL [editor]. 2007. Sustainability Indicators: A
Sicentific Indicator. Scientific Committee on Problem of the Environment
(SCOPE).
Hak T, Kovanda J dan Weinzettel J. 2012. A method to assess the relevance of
sustainability indicators: Application to the indicator set of the Czech
Republic‟s Sustainable Development Strategy. Ecological Indicators 17 (2012)
46–57
Hall, R. E. and Jones, C. I. 1999. Why do some countries produce so much more
output per worker than others?. Quarterly Journal of Economics, 114 (1): 83-
116
Hasbullah, J. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia
Indonesia). Jakarta: MR-United Press
Hariyoga H. 2012. Indonesia: Updates on Investment Climate and Opportunities.
Disampaikan pada Indonesia Investment Seminar, Tokyo 20 February 2012
dan Nagoya 21 February 21 2012.
Herman. 2012. Kapitalisme dan Jeratan Kemiskinan. Opini pada Harian Suara
Karya, 09 Juli 2012
[ICG] International Crisis Group. 2001. Communal Violence in Indonesia:
Lessons from Kalimantan. ICG Asia Report N° 19. Jakarta/Brussels
Inayah. 2012. Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan. Ragam Jurnal
Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 1, April 2012
Jesinghaus J. 2007. Indicators: Boring Statistics or the Key to Sustainable
Development? dalam Hak T, Moldan B, Dahl AL (Ed.) Sustainability
Indicators : A Scientific Assessment. Scientific Committee on Problem of the
Environment (SCOPE).
Juanda, B. 2009a. Ekonometrika : Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press.
__________. 2009b. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Bogor: IPB
Press.
113
Juanda B dan Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu: Teori dan Aplikasi.
Bogor: PT Penerbit IPB Press.
Kementrian Kehutanan. 2011. Statistik Kehutanan Indonesia 2010. Jakarta:
Kementrian Kehutanan. www.dephut.go.id
[KEMEN LH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2011. Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup Indonesia 2010. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup.
www.menlh.go.id
[KEMEN LH dan BAPPENAS] Kementrian Lingkungan Hidup dan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Overview of Indonesia’s
Sustainable Development. Jakarta: Kemen LH dan Bappenas
Knack, S. and Keefer, P. 1995. “Institutions and economic performance: Cross-
country tests using alternative institutional measures” Munich Personal RePEc
Archive (MPRA) Paper No. 23118
Kondyli J. 2010. Measurement and evaluation of sustainable development A
composite indicator for the islands of the North Aegean region, Greece.
Environmental Impact Assessment Review 30 (2010) 347–356
Kusnendi. 2008. Model-model Persamaan Struktural: Satu dan Multigroup
Sampel dengan LISREL. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Lawang RMZ. 2005. Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik: Suatu
Pengantar. Jakarta: FISIP UI Press
Mauro, P. 1995. “Corruption and growth”, Quarterly Journal of Economics, 110:
681-712
Moldan B dan Dahl AL. 2007. Meeting Conceptual Challenges dalam Hak T,
Moldan B, Dahl AL (Ed.) Sustainability Indicators : A Scientific Assessment.
Scientific Committee on Problem of the Environment (SCOPE).
Miguel E., P. Gertler , D.I. Levine. 2002. Did Industrialization Destroy Social
Capital in Indonesia? Harvard University dan Word Bank.
Emiguel@econ.berkeley.edu.
Miller LD, Scheffler R, Lam S, Rosenberg R, Rupp A. 2003. Social Capital and
Health in Indonesia. Robert Wood Johnson Foundation dan WHO for Financial
Support
Nazir M. 1999, Metode Penelitian. Ghalia Indonesia
Narayan D dan Cassidy MF. 2001. A Dimensional Approach to Measuring Social
Capital Development and Validation of a Social Capital Inventory. Current
Sociology, March 2001, Vol. 49(2): 59–102
Narayan, D. and Pritchett, L. 2000. “Social capital: evidence and implications”, in
P. Dasgupta and I. Serageldin (eds) Social Capital: A Multifaceted Perspective,
World Bank, Washington, DC.
OECD. 2008, Handbook on Constructing Composite Indicators: Methodology
and User Guide. Paris: OECD
______. 2012. Indonesia should improve governance, productivity and tax
collection to promote inclusive growth. OECD: 27 September 2012.
www.oecd.org
Ostrom, E et al. 2002. The Drama of The Commons.Committee on The Human
Dimensions of Global. Washington DC: National Academy Press
Oxtavianus A dan Enirawan. 2013. Pengelolaan Sumber Daya Bersama dengan
Memanfaatkan Budaya Tradisional di Kampung Naga Tasikmalaya. Makalah
114
LAMPIRAN
118
119
Covariance Matrix
Covariance Matrix
Number of Iterations = 50
Measurement Equations
Structural Equations
IPB
--------
1.00
E S L K IPB
-------- -------- -------- -------- --------
E 1.00
S 0.48 1.00
L -2.74 -3.77 30.36
K -0.67 -0.93 5.30 1.90
IPB 0.59 0.81 -4.65 -1.14 1.00
Degrees of Freedom = 24
Full Information ML Chi-Square = 50.11 (P = 0.0014)
Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.074
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.045 ; 0.10)
P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.082
Fitted Residuals
Stemleaf Plot
- 3|5
- 2|
- 1|
- 0|431000000000000000000000000000000000
0|11158
1|05
2|6
Standardized Residuals
Standardized Residuals
Stemleaf Plot
- 2|5
- 1|3321000
- 0|885554432000
0|1111111111235567
1|0667889
2|7
122
3|5
Largest Positive Standardized Residuals
Residual for PDRBCL and BROBAT 3.48
Residual for RUPAHL and E0 2.73
Standardized Solution
LAMBDA-Y
E S L K
-------- -------- -------- --------
E0 - - 1.60 - - - -
BROBAT - - 7.16 - - - -
TFR - - -0.30 - - - -
IKLH - - - - 7.26 - -
PDRBCL 0.30 - - - - - -
DEPRL - - -0.05 - - - -
UDARAL - - - - 0.02 - -
RUPAHL - - - - - - 0.02
RAPSL - - - - - - 0.00
GAMMA
IPB
--------
E 0.59
S 0.81
L -0.84
K -0.83
E S L K IPB
-------- -------- -------- -------- --------
E 1.00
S 0.48 1.00
L -0.50 -0.68 1.00
K -0.49 -0.67 0.70 1.00
IPB 0.59 0.81 -0.84 -0.83 1.00
PSI
Note: This matrix is diagonal.
E S L K
-------- -------- -------- --------
0.65 0.34 0.29 0.32
LAMBDA-Y
E S L K
-------- -------- -------- --------
E0 - - 0.79 - - - -
BROBAT - - 0.72 - - - -
TFR - - -0.93 - - - -
IKLH - - - - 0.51 - -
PDRBCL 0.99 - - - - - -
DEPRL - - -0.95 - - - -
UDARAL - - - - 0.62 - -
RUPAHL - - - - - - 0.52
RAPSL - - - - - - 0.30
GAMMA
IPB
--------
E 0.59
S 0.81
L -0.84
K -0.83
123
Correlation Matrix of ETA and KSI
E S L K IPB
-------- -------- -------- -------- --------
E 1.00
S 0.48 1.00
L -0.50 -0.68 1.00
K -0.49 -0.67 0.70 1.00
IPB 0.59 0.81 -0.84 -0.83 1.00
PSI
Note: This matrix is diagonal.
E S L K
-------- -------- -------- --------
0.65 0.34 0.29 0.32
THETA-EPS
THETA-EPS
Penjelasan tentang penghitungan IPB dalam lampiran ini dibagi dalam 4 tahapan,
yaitu pengumpulan data, normalisasi data, penghitungan indeks dimensi dan
penghitungan indeks pembangunan berkelanjutan.
1. Pengumpulan Data
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita (PDRBC). Indikator ini merupakan indikator
dasar pertumbuhan ekonomi yang mengukur jumlah nilai tambah yang diperoleh secara rata-rata
oleh setiap penduduk dalam satu wilayah.
126
Angka Harapan Hidup (E0). Indikator ini merupakan rata-rata umur hidup yang diharapkan akan
dicapai oleh seorang bayi yang baru lahir. Kalkulasi angka harapan hidup dilakukan dengan
mempertimbangkan adanya risiko kematian pada saat usia tertentu. Angka harapan hidup saat lahir
merupakan indikator kematian dan proxy terhadap kondisi kesehatan
127
Lampiran 2.3. Persentase Penduduk yang Berobat ke Dokter dan Rumah Sakit,
2007-2012
Persentase penduduk yang berobat ke rumah sakit dan dokter (BROBAT). Indikator ini mengukur
akses penduduk terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dasar
128
Angka kelahiran total/total fertility rate (TFR). Angka kelahiran total adalah rata-rata banyaknya
anak yang dilahirkan oleh seorang wanita sepanjang hidupnya.
∑
130
Persentase desa tidak mengalami pencemaran udara (UDARA). Indikator ini untuk melihat
bagaimana usaha pengelolaan lingkungan dalam hal terjadinya pencemaran udara
131
Indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH). Indeks ini merupakan rata-rata dari indeks pencemaran
udara (IPU), indeks pencemaran air (IPA) dan indeks tutupan hutan (ITH). Indeks pencemaran
udara menggunakan indikator konsentrasi SO2 dan NO2 di udara. Indeks pencemaran air
menggunakan indikator konsentrasi TSS, DO dan COD pada air sungai. Indeks tutupan hutan
merupakan persentase luas hutan primer dan sekunder terhadap luas hutan yang telah ditetapkan
oleh Kementrian Kehutanan.
132
Jika upah laki-laki lebih besar dari perempuan, maka rasio upah merupakan pembagian antara
upah perempuan dengan upah laki-laki.
Sedangkan jika upah perempuan lebih besar dari pada laki-laki, maka rasio upah merupakan
pembagian antara upah laki-laki dengan upah perempuan.
133
Lampiran 2.9. Rasio Angka Partisipasi Sekolah Perempuan dan Laki-laki, 2007-
2012
Jika angka partisipasi sekolah APS laki-laki lebih besar dari perempuan, maka rasio APS
merupakan pembagian antara APS perempuan dengan APS laki-laki.
Sedangkan jika APS perempuan lebih besar dari pada laki-laki, maka rasio APS merupakan
pembagian dari antara APS laki-laki dengan APS perempuan.
134
2. Normalisasi
Nilai normalisasi PDRB perkapita Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 53,32 pada
tahun 2012 dapat diartikan bahwa target PDRB perkapita belum tercapai di
provinsi ini. Jika dihitung dari nilai minimum PDRB perkapita, PDRB perkapita
Nanggroe Aceh Darussalam telah berjalan 53,32 persen menuju target PDRB
perkapita (dalam hal ini adalah target PDRB Perkapita dalam RPJMN 2009-2014).
Sedangkan nilai normalisasi PDRB perkapita Riau sebesar 100,00 menunjukkan
bahwa target PDRB perkapita telah tercapai di provinsi ini.
Secara umum arah indikator pembangunan dapat dibagi dua, yaitu indikator yang
bersifat positif dan indikator yang bersifat negatif. Indikator yang bersifat positif
adalah indikator yang menunjukkan perbaikan kondisi jika nilainya indikatornya
meningkat. Contohnya adalah angka harapan hidup dan persentase penduduk yang
berobat ke dokter atau rumah sakit. Sedangkan indikator yang bersifat negatif
adalah indikator yang menunjukkan perbaikan kondisi jika nilainya indikatornya
menurun. Contoh indikator ini adalah rasio ketergantungan dan total fertility rate.
( )
( )
139
( )
( )
140
Number of Iterations = 9
Structural Equations
K_Y H_L SC
-------- -------- --------
K_Y 1.00
(0.26)
3.81
E S L K IPB K_Y
-------- -------- -------- -------- -------- --------
E 1.00
S 0.63 1.11
L -0.23 -0.65 1.02
K -0.24 -0.34 0.29 0.96
IPB 0.93 0.54 0.09 0.03 1.03
K_Y 0.45 0.22 -0.07 -0.14 0.40 1.00
H_L 0.49 0.47 -0.19 0.16 0.54 0.23
SC -0.08 0.31 -0.20 0.22 -0.01 -0.21
H_L SC
-------- --------
H_L 1.00
SC -0.01 1.00
Degrees of Freedom = 9
Minimum Fit Function Chi-Square = 6.26 (P = 0.71)
Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 5.93 (P = 0.75)
Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 0.0
90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 5.86)
BETA
E S L K IPB
-------- -------- -------- -------- --------
E - - - - - - - - - -
S 0.54 - - - - - - - -
L 0.22 -0.70 - - 0.11 - -
K -0.08 -0.62 - - - - - -
IPB 0.88 0.29 0.40 0.23 - -
GAMMA
K_Y H_L SC
-------- -------- --------
E 0.35 0.41 - -
S - - 0.18 0.34
L - - - - - -
K - - 0.49 0.40
IPB - - - - - -
E S L K IPB K_Y
-------- -------- -------- -------- -------- --------
E 1.00
S 0.60 1.00
L -0.23 -0.61 1.00
K -0.24 -0.33 0.29 1.00
IPB 0.91 0.51 0.09 0.03 1.00
K_Y 0.45 0.21 -0.06 -0.14 0.40 1.00
H_L 0.49 0.45 -0.19 0.17 0.53 0.23
SC -0.08 0.29 -0.20 0.22 -0.01 -0.21
H_L SC
-------- --------
H_L 1.00
SC -0.01 1.00
PSI
Note: This matrix is diagonal.
E S L K IPB
-------- -------- -------- -------- --------
0.64 0.50 0.59 0.60 0.00
K_Y H_L SC
-------- -------- --------
E 0.35 0.41 - -
S 0.19 0.41 0.34
L -0.07 -0.17 -0.21
K -0.15 0.20 0.20
IPB 0.31 0.46 0.06
Total Effects of X on Y
K_Y H_L SC
-------- -------- --------
E 0.35 0.41 - -
(0.15) (0.15)
2.32 2.72
Indirect Effects of X on Y
K_Y H_L SC
-------- -------- --------
E - - - - - -
S 0.20 0.23 - -
(0.10) (0.11)
1.94 2.16
K_Y H_L SC
-------- -------- --------
E 0.35 0.41 - -
S 0.19 0.41 0.34
L -0.07 -0.17 -0.21
K -0.15 0.20 0.20
IPB 0.31 0.46 0.06
K_Y H_L SC
-------- -------- --------
E - - - - - -
S 0.19 0.22 - -
L -0.07 -0.17 -0.21
K -0.15 -0.28 -0.21
IPB 0.31 0.46 0.06
153
RIWAYAT HIDUP