Anda di halaman 1dari 173

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN

HUBUNGANNYA DENGAN MODAL SOSIAL


DI INDONESIA

ALEX OXTAVIANUS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pembangunan


Berkelanjutan dan Hubungannya dengan Modal Sosial di Indonesia adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014

Alex Oxtavianus
NRP. H0162090081
RINGKASAN

ALEX OXTAVIANUS. Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya dengan


Modal Sosial di Indonesia. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, HIMAWAN
HARIYOGA dan SLAMET SUTOMO.

Pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer dan menjadi


fokus dunia internasional sejak dipertegasnya pendekatan ini pada KTT Bumi
(United Nation Conference on Environmental Development, UNCED) di Rio de
Jenairo pada tahun 1992. Konsep pembangunan berkelanjutan juga terus
mengalami perkembangan, salah satunya adalah keseimbangan dimensi
pembangunan dalam bentuk prisma keberlanjutan. Berdasarkan prisma
keberlanjutan, pembangunan harus memperhatikan keseimbangan antara dimensi
ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan Pandangan ini pula yang menjadi
konsep dasar dalam penelitian ini.
Pembangunan di Indonesia masih belum menunjukkan keseimbangan antara
dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Pembangunan masih
sangat dominan memperhatikan dimensi ekonomi dan sosial, tetapi lemah dalam
pembangunan dimensi yang lain. Selama periode 2006 hingga 2010 ekonomi
Indonesia tumbuh rata-rata 5,73 persen setiap tahunnya, namun lahan kritis pada
periode yang sama juga naik rata-rata sebesar 1,38 persen setiap tahun. Selama
tahun 2008 hingga 2012, tingkat kemiskinan turun dari 15,42 persen menjadi
11,96 persen, namun ketimpangan pendapatan yang diukur dengan gini rasio naik
dari 0,35 menjadi 0,41. Perbandingan antara indeks pembangunan manusia (IPM)
dengan indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) juga menunjukkan gambaran
bahwa provinsi yang maju pada pembangunan manusia cenderung memiliki
lingkungan yang rusak.
Salah satu faktor penyebab ketidakseimbangan antar dimensi pembangunan
diduga karena belum komprehensifnya ukuran pembangunan berkelanjutan yang
digunakan. Akibatnya evaluasi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan juga
tidak berimbang antar dimensi pembangunan. Selain itu, menurunnya kualitas
lingkungan dan meningkatnya kesenjangan juga diduga karena lemahnya
perhatian terhadap modal sosial. Pemanfaatan modal sosial diduga akan mampu
mengurangi kerusakan lingkungan melalui kearifan lokal serta permasalahan
keadilan dengan norma saling membantu.
Terkait dengan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk :
(1) Menganalisis capaian pembangunan di Indonesia dilihat dari dimensi ekonomi,
sosial, lingkungan dan kelembagaan, (2) Mengembangkan indeks komposit
pembangunan berkelanjutan yang dibangun dari dimensi ekonomi, sosial,
lingkungan dan kelembagaan, dan (3) Menganalisis hubungan antara
pembangunan berkelanjutan dengan modal sosial di Indonesia.
Capaian pembangunan berkelanjutan diukur menggunakan indeks komposit
dengan menggunakan beberapa indikator yang mewakili dimensi ekonomi, sosial,
lingkungan dan kelembagaan. Model konfirmatori faktor analisis ordo kedua
dipergunakan untuk menyeleksi indikator penyusun yang signifikan dari 32
indikator yang telah ditetapkan. Analisis ini menghasilkan sembilan indikator
yang signifikan mengukur pembangunan berkelanjutan. Indikator pada dimensi
ekonomi adalah Produk Domestik Regional Bruto per kapita (PDRBC). Indikator
dimensi sosial terdiri dari angka harapan hidup (E0), persentase penduduk yang
berobat ke rumah sakit dan dokter (BROBAT), rasio ketergantungan (DEPR) dan
total fertility rate (TFR). Dimensi lingkungan diwakili oleh indikator persentase
desa yang tidak mengalami pencemaran udara (UDARA) dan indeks kualitas
lingkungan hidup (IKLH). Indikator rasio upah pekerja perempuan dan laki-laki
(RUPAH) serta rasio angka partisipasi sekolah perempuan dan laki-laki (RAPS)
merupakan dua indikator yang mewakili dimensi kelembagaan.
Pembangunan Indonesia menunjukkan kemajuan yang tinggi di bidang
ekonomi, kemajuan yang rendah di bidang sosial dan kelembagaan dan penurunan
pada bidang lingkungan. Oleh sebab itu, kenaikan indeks pembangunan
berkelanjutan Indonesia hanya mengindikasikan pembangunan yang lebih
berkelanjutan dalam jangka pendek, namun tidak dalam jangka panjang.
Hasil analisis hubungan antara pembangunan dengan modal sosial juga
tidak seluruhnya sejalan dengan hipotesis awal. Modal sosial hanya berhubungan
positif terhadap pembangunan sosial dan kelembagaan namun mengindikasikan
hubungan negatif pada pembangunan ekonomi dan lingkungan. Munculnya
indikasi pola hubungan negatif ini diduga disebabkan oleh: (1) Indikator modal
sosial belum mampu menangkap modal sosial secara utuh. Indikator modal sosial
yang dipergunakan dalam penelitian ini mengukur hubungan antar individu dalam
lingkup desa/kelurahan, sehingga belum mampu menangkap modal sosial yang
berperan dalam pembangunan ekonomi dan lingkungan.(2) Terjadinya degradasi
modal sosial sebagai akibat dari tidak digunakannya modal sosial dalam
pembangunan, atau bahkan akibat pengaruh negatif dari pembangunan. Kondisi
ini menjadikan daerah yang terbangun (maju) cenderung memiliki modal sosial
yang rendah, begitu pula sebaliknya (3) Walaupun tidak dapat di generalisasi,
ditemukannya indikasi karakteristik bonding social capital yang berdampak
negatif terhadap pembangunan.
Temuan-temuan di atas menjadi bahan untuk memberikan saran serta
rekomendasi kebijakan. Salah satu saran yang diberikan adalah peningkatan
perhatian pemerintah dalam pembangunan lingkungan dan kelembagaan. Modal
sosial dapat dipergunakan dalam membantu peningkatan capaian pembangunan
lingkungan dan kelembagaan. Pengembangan modal sosial dapat dimulai dengan
mengidentifikasi dan mempertahankan modal sosial yang berkorelasi positif
dengan pembangunan lingkungan dan kelembagaan. Upaya untuk
mempertahankan modal sosial dapat dilakukan dengan mengangkat norma-norma
positif tersebut menjadi aturan formal yang mengikat anggota komunitas tersebut

Kata kunci: pembangunan berkelanjutan, indeks komposit, modal sosial


SUMMARY

ALEX OXTAVIANUS. Sustainable Development and Its Relationship with


Social Capital in Indonesia. Supervised by AKHMAD FAUZI, HIMAWAN
HARIYOGA and SLAMET SUTOMO.

Sustainable development became a popular concept and the focus of the


international community since the Earth Summit (United Nations Conference on
Environmental Development, UNCED); it‟s held in Rio de Janeiro in 1992.
Sustainable development concept also continues to develop. One of which is the
balance of the development dimension in the form of a prism of sustainability.
Under the prism of sustainability, the development should pay attention to the
balance between the economic, social, environmental and institutional.
Development in Indonesia is not balance between the economic, social,
environmental and institutional. Development has dominant attention to the
economic and social dimensions, but weak in the other dimensions of
development. During the period 2006 to 2010, the Indonesian economy grew by
an average of 5.73% annually, but the critical land in the same period also rose by
an average of 1.38% per year. During 2008 to 2012, the poverty rate fell from
15.42% to 11.96%, but income inequality measured by the gini ratio rose from
0.35 to 0.41. Comparison between human development indexes (HDI) with the
environmental quality index (IKLH) also shows that the province forward in
human development is likely to have damaged the environment.
The emergence of an imbalance between the development dimension is
suspected because of the measurement of the development does not yet include
the overall dimensions of sustainable development. As a result, evaluation and
policy development as well do not reflect the overall dimensions of development.
In addition, environmental degradation and rising inequality is also suspected due
to lack of attention to social capital. Utilization of social capital is expected to
reduce damage of the environment through local wisdom and justice issues with
the norms of mutual help.
Related to these problems, this study has three main objectives that include
the following: (1) to analyze the achievements of development in Indonesia in
terms of the economic, social, and institutional environment, (2) to develop
sustainable development composite index constructed from the economic, social,
environmental and institutional, and (3) to analyze the relationship between
sustainable development with social capital in Indonesia
The achievement of sustainable development was measured using a
composite index by using some indicators that represent the economic, social,
environmental and institutional. Second order confirmatory factor analysis used to
select significant indicator from 32 indicators that have been set. This analysis
resulted in nine significant indicators measuring sustainable development.
Indicator on the economic dimension is the gross domestic regional product per
capita (PDRBC). Indicators of the social dimension consists of the life expectancy
(E0), the percentage of people who go to the hospital and doctors (BROBAT),
dependency ratio (DEPR) and total fertility rate (TFR). Environmental dimension
is represented by the percentage villages that do not have air pollution (AIR) and
the environmental quality index (IKLH). The ratio of women's wages to men
(RUPAH) and the ratio of woman‟s enrolment rates to men (RAPS) are two
indicators representing institutional dimensions.
Indonesian development shows great advancement in economy, low
progress in the social and institutional, and decline in environment. Therefore, the
increase in Indonesia's sustainable development index only indicates a more
sustainable development in the short term, but not in the long run.
The results of relationship analysis between development and social capital
are not entirely in line with the initial hypothesis. Social capital is positively
related only to the social and institutional development but indicate a negative
relationship to economic development and the environment. The negative
relationship pattern is thought to be caused by: (1) Social capital indicators have
not been able to capture social capital as a whole. Indicators of social capital used
in this study to measure the relationship between individuals within the rural /
urban, so not able to capture the role of social capital in economic development
and the environment. (2) Social capital degradation due to disuse of social capital
in development, or even under the influence negative development. The decline of
social capital led to the emergence of opportunistic behaviour such as corruption
and abuse of power. (3) Although it may not be generalized, there is indicated that
characteristics of bonding social capital have a negative impact on development.
The above findings became the basis in formulating suggestions and
recommendations. One suggestion was increased interest in the development of
government and institutional environment. Social capital can be used to help
improve environmental performance and institutional development. The
development of social capital can begin to identify and maintain positive social
capital is correlated with environmental and institutional development.

Keywords: sustainable development, composite index, social capital


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN
HUBUNGANNYA DENGAN MODAL SOSIAL
DI INDONESIA

ALEX OXTAVIANUS

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Setia Hadi, MS

ProfDr Ir Bambang Juanda, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Heru Margono, MSc

Dr Ir Edi Effendi Tedjakusuma, MA


Judul Penelitian : Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya dengan
Modal Sosial di Indonesia
Nama : Alex Oxtavianus
NRP : H 162090081
Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc


Ketua

Dr Ir Himawan Hariyoga, MSc Dr Slamet Sutomo, SE MS


Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi


Ilmu Perencanaan Pembangunan Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Wilayah dan Perdesaan

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal ujian : 4 Juli 2014 Tanggal lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya
dengan Modal Sosial di Indonesia. Pembangunan berkelanjutan, sebagai arahan
pembangunan, mensyaratkan keseimbangan pembangunan ekonomi, sosial,
lingkungan dan kelembagaan. Pembangunan Indonesia relatif baik pada dimensi
ekonomi dan sosial, namun lemah pada dimensi lingkungan dan kelembagaan.
Penggunaan dan pengembangan modal sosial dalam pembangunan diharapkan
mampu menjembatani kelemahan pembangunan lingkungan dan kelembagaan.
Penelitian ini dapat dilakukan berkat dukungan dari berbagai pihak,
terutama dari komisi pembimbing. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc., Dr. Ir. Himawan
Hariyoga, M,Sc, dan Dr. Slamet Sutomo, SE, MS atas bimbingannya, sejak
pembentukan ide, perumusan masalah, membangun pola pikir, mengarahkan
dalam menentukan metode analisis hingga proses sintesis dan analisis.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada:


1. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda selaku ketua program studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) dan penguji pada sidang
tertutup; Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku penguji pada ujian preliminasi tahap II
dan sidang tertutup; Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku penguji pada ujian
preliminasi tahap II; Dr. Heru Margono, M.Sc dan Dr. Ir. Edi Effendi
Tedjakusuma, MA selaku penguji pada sidang terbuka.
2. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan
BPS atas kesempatan tugas belajar dan dukungan finansial yang diberikan
sehingga penulis dapat menempuh pendidikan lanjut ini.
3. Rekan-rekan dari BPS yang telah berpartisipasi dalam penyediaan data dan
memberikan masukan berharga tentang metode dan arahan analisis.
4. Rekan-rekan mahasiswa pada program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan (PWD), terutama angkatan 2009, atas kebersamaan
dan modal sosial yang kental.
5. Seluruh staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa perkuliahan
sampai selesainya disertasi ini.
6. Seluruh teman-teman yang tergabung di Community Development Pusat
Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB atas
keakraban dan pencerahan tentang realita modal sosial.
7. Kedua orang tua asuh penulis (Nasroel Chas (alm) dan Yusnani Yanis Nasroel
Chas) yang modal sosial nya telah menjadi inspirasi disertasi ini.
8. Kedua orang tua penulis (Toto Asmito dan Sumaryeti)dan bapak/ibu mertua
(H. Bulkaini dan Sawinar (almh)) serta kakak/adik atas doa dan dukungannya
selama ini.
9. Last but not least. Terima kasih kepada istri tercinta Ira Wirma dan anak-anak
tersayang Yasinda Winona, Ginata Aminda dan Royyan Hidayat Rabbani atas
doa yang tak pernah putus dan kasih sayang yang tulus sehingga memotivasi
penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.
Penulis menyadari bahwa keterbatasan pemahaman penulis membuat disertasi ini
jauh dari kesempurnaan. Namun penulis tetap berharap semoga karya ini
bermanfaat bagi berbagai pihak.
Bogor, Agustus 2014
Alex Oxtavianus
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI xvii
DAFTAR TABEL xviii
DAFTAR GAMBAR xviii
DAFTAR LAMPIRAN xix
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Permasalahan 10
Tujuan Penelitian 12
Batasan Penelitian 12
Manfaat Penelitian 13
2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 15
Pembangunan Berkelanjutan 15
Modal Sosial 19
Penelitian Terdahulu 25
Kerangka Pemikiran 32
Hipotesis Penelitian 33
3 METODE PENELITIAN 35
Data dan Pengambilan Sampel 35
Variabel Penelitian 35
Teknik Analisis 42
4 EVALUASI PEMBANGUNAN DI INDONESIA 53
Perkembangan Pembangunan Ekonomi 53
Perkembangan Pembangunan Sosial 54
Perkembangan Pembangunan Lingkungan 60
Perkembangan Pembangunan Kelembagaan 65
5 PENGEMBANGAN INDEKS KOMPOSIT PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN 67
Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan 67
Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia 73
6 HUBUNGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DENGAN MODAL
SOSIAL 82
Pengukuran Modal Sosial di Indonesia 82
Korelasi Pembangunan dengan Modal Sosial 93
Analisis Jalur Hubungan Pembangunan Berkelanjutan dengan Modal
Sosial 104
7 SIMPULAN DAN SARAN 107
Simpulan 107
Saran 108
DAFTAR PUSTAKA 111
LAMPIRAN 117
RIWAYAT HIDUP 153
DAFTAR TABEL
1 PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010 2
2 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas
Lingkungan Hidup (IKLH), 2009 - 2011 3
3 Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012 4
4 Skor dan Peringkat Corruption Perceptions Index (CPI)
Indonesia,2010-2012 9
5 Ringkasan Hasil Pengukuran Stok Modal Sosial 2009 10
6 Indikator Keterkaitan antar Pilar Pembangunan Berkelanjutan 17
7 Indikator Pembangunan Berkelanjutan 36
8 Variabel Modal Sosial dan Definisi Operasional 42
9 Metode Analisis 43
10 Beberapa ukuran goodness of fit test (GFT) dalam Model Persamaan
Struktural 47
11 Penentuan Penimbang Setiap Indikator dengan Metode Korelasi 49
12 Bobot dan nilai batas untuk normalisasi 71
13 Indeks komposit pembangunan berkelanjutan 72
14 Persentase Responden menurut Karakteristik Demografi dan Daerah
Tempat Tinggal 83
15 Rata-rata skor indikator modal sosial 86
16 Normalisasi rata-rata skor indikator modal sosial 87
17 Indeks Modal Sosial 2012 89
18 Indeks Modal Sosial 2012 Menurut Kategori Wilayah 92
19 Koefisien Korelasi Modal Sosial (SC) dengan Indeks Pembangunan 93
20 Korelasi antara Indeks Modal Sosial dengan Indikator Bonding Social
Capital 95

DAFTAR GAMBAR
1 Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut Pulau, 2004
dan 2012 5
2 Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability) 6
3 Peran Modal Sosial dalam Menekan Perilaku Oportunistik 20
4 Kerangka Pemikiran 33
5 Model Konfirmatori Faktor Analisis Ordo Kedua untuk penyusunan
Indeks Pembangunan Berkelanjutan 48
6 Analisis Empat Kuadran 51
7 Model Analisis Jalur Pengaruh Modal Sosial terhadap Pembangunan 52
8 PDRB Perkapita Provinsi di Indonesia, 2012 53
9 Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Sosial, 2007-2012 55
10 Persentase Penduduk yang Berobat ke Dokter dan Rumah Sakit, 2012 57
11 Indeks Kualitas Lingkungan Hidup, 2012 61
12 Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Lingkungan, 2007-
2012 62
13 Emisi CO2 (ribu ton) dan CH4 (ton), 2007-2012 64
14 Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Kelembagaan,
2007-2012 65
15 Hasil konfirmatori faktor analisis 68
16 Bobot Indikator dan Dimensi Pembangunan Berkelanjutan 71
17 Capaian pembangunan di Indonesia 73
18 Peta Capaian Pembangunan Berkelanjutan 74
19 Perubahan Indeks Pembangunan Selama Periode 2009-2012 76
20 Boxplot Indeks Pembangunan Tahun 2009 dan 2012 77
21 Capaian pembangunan berkelanjutan nasional 79
22 Besaran penimbang indikator yang komponen modal sosial 88
23 Boxplot Indeks Modal Sosial dan Komponennya 2012 91
24 Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Ekonomi dengan Indeks
Modal Sosial 2012 96
25 Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Sosial dengan Indeks Modal
Sosial 2012 98
26 Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Lingkungan dengan Indeks
Modal Sosial 2012 100
27 Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Kelembagaan dengan Indeks
Modal Sosial 2012 103
28 Path Diagram Hasil Analisis Jalur Hubungan antara Modal Sosial
dengan Pembangunan Berkelanjutan 105

DAFTAR LAMPIRAN
1 Output LISREL: Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan 119
2 Penghitungan Indeks Pembangunan Berkelanjutan 124
3 Output LISREL : Analisis Jalur Pengaruh Modal Sosial terhadap
Pembangunan Berkelanjutan 149
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan membutuhkan berbagai input untuk menghasilkan output.


Salah satu input yang dibutuhkan adalah yang berasal dari sumberdaya alam.
Namun, pemenuhan kebutuhan pembangunan dan upaya mempertahankan
kelestarian lingkungan seringkali menjadi tradeoff(Fauzi, 2004). Pembangunan
ekonomi berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek kelestarian
lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan itu sendiri,
karena pada dasarnya sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya
dukung yang terbatas. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang tidak
memperhatikan kapasitas sumber daya alam dan lingkungan akan menyebabkan
permasalahan pembangunan dikemudian hari.
Tumbuhnya kesadaran kritis tentang keterbatasan sumber daya alam yang
tersedia, sedangkan kebutuhan manusia terus meningkat, mengharuskan strategi
pemanfaatan sumber daya alam yang lebih efisien. Lebih dari itu, pemanfaatan
sumber daya alam tidak boleh mengorbankan kebutuhan generasi yang akan
datang. Dalam perspektif ini, pendekatan pembangunan dituntut untuk
memperhatikan keberimbangan dan keadilan antar generasi. Konsep inilah yang
kemudian dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (Rustiadi dkk, 2009).
Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer dan
menjadi fokus dunia internasional sejak dipertegasnya pendekatan ini pada KTT
Bumi (United Nation Conference on Environmental Development, UNCED) di
Rio de Jenairo pada tahun 1992. Konsep pembangunan berkelanjutan pun terus
mengalami perkembangan. Serageldin melihat pembangunan berkelanjutan dari
tiga dimensi (a triangular framework), yaitu ekonomi, sosial dan
ekologi/lingkungan (Rustiadi dkk, 2009). Pandangan ini menjadi konsep yang
paling sering dijadikan acuan dalam berbagai tulisan.
Dari sisi makro ekonomi, pembangunan Indonesia menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan. Hariyoga (2012) mengistilahkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan sustainable growth. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia terlihat stabil dan tercepat di Asia. Kondisi ini diperkuat
dengan indikator ekonomi yang lain, seperti rendahnya tingkat suku bunga Bank
Indonesia, rendahnya inflasi dan stabilnya nilai tukar rupiah. Pernyataan ini
diperkuat lagi dengan pemberitaan yang dikeluarkan oleh Organisatian for
Economic Co-operation Development (OECD). OECD menilai Indonesia telah
memperbaiki makro ekonominya selama 15 tahun terakhir, dengan tingkat
pertumbuhan yang cepat dan stabil pada level 5 hingga 6,6 persen (OECD, 2012).
Gambaran makro ekonomi Indonesia tampaknya tidak sejalan dengan
kualitas lingkungan. Tabel 1 mencoba membandingkan antara pembangunan
dimensi ekonomi dengan dimensi lingkungan. Dari sisi ekonomi, seperti telah
diuraikan sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik. Dalam kurun
waktu 2006 hingga 2010, di tengah krisis yang melanda sebagian negara-negara di
dunia, perekonomian Indonesia mampu tumbuh rata-rata sebesar 5,73 persen
setiap tahunnya. Namun di sisi lain, pada kurun waktu yang sama, jumlah lahan
kritis juga mengalami peningkatan. Lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang
2

telah sangat rusak karena kehilangan penutupan vegetasinya, sehingga kehilangan


atau berkurang fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara,
pengatur iklim mikro dan retensi karbon (Kementrian Kehutanan, 2011). Secara
rata-rata, jumlah lahan kritis mengalami peningkatan sebesar 1,38 persen setiap
tahunnya. Peningkatan lahan kritis ini hampir terjadi di seluruh pulau, kecuali
pulau Sumatera. Di daerah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, peningkatan lahan
kritis bahkan mencapai 5,48 persen setiap tahunnya.

Tabel 1PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010
PDRB Harga Konstan (Triliun Rp) Lahan Kritis (000 Ha)
Pulau Rata-rata Rata-rata
2006 2010 Pertumbuhan 2006 2010 Pertumbuhan
per tahun per tahun

Sumatera 389,07 468,06 4,73 25898,97 24771,47 -1,11


Jawa dan Bali 1093,32 1385,13 6,09 3663,70 4317,00 4,19
Kalimantan 160,69 190,34 4,32 27918,05 28012,61 0,08
Sulawesi 79,15 106,89 7,80 6218,21 7610,81 5,18
Nusa Tenggara,
55,72 71,18 6,31 14107,95 17464,55 5,48
Maluku & Papua

Indonesia 1777,95 2221,60 5,73 77806,88 82176,44 1,38


Sumber : BPS dan Kementrian Kehutanan

Kondisi ini dapat diistilahkan sebagai kemajuan yang merusak, seperti


pernah disebutkan oleh Fauzi (2012). PDB yang tinggi telah menimbulkan
tekanan pada ekosistem bumi, yang mengakibatkan terjadinya progress trap atau
jebakan kemajuan, di mana tujuan untuk menyejahterakan manusia harus dibayar
dengan mahalnya ongkos sosial dan lingkungan. Jebakan ini pada akhirnya akan
menafikan hasil yang dicapai dari kemajuan tersebut. Menyikapi hal ini beberapa
ilmuwan bahkan mengusulkan upaya perlambatan pertumbuhan (degrowth)
dengan menekan konsumsi yang eksesif terhadap sumber daya alam dan
lingkungan.
Paradoks pembangunan juga dapat dilihat dengan memperbandingkan
indikator pembangunan sosial ekonomi dengan indikator lingkungan. Terkait
dengan bahasan ini, terdapat dua indeks komposit yang dapat dipergunakan dalam
mengukur kinerja pembangunan. Pertama, dan yang paling populer, adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), dan kedua adalah Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup (IKLH).
IPM merupakan indeks komposit dari sejumlah indikator untuk mengukur
dimensi-dimensi pokok pencapaian kemampuan dasar penduduk: umur panjang
dan sehat, berpengetahuan dan memiliki keterampilan, serta aksesibilitas terhadap
sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup layak. Berdasarkan
komponennya ini, maka IPM menjadi indikator yang umum dipergunakan untuk
mengukur capaian pembangunan ekonomi dan sosial. Namun IPM masih luput
mengukur dimensi lingkungan. Indeks komposit yang mengukur capaian
pembangunan di bidang lingkungan adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup
(IKLH).
3

Tabel 2Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas Lingkungan


Hidup (IKLH), 2009 - 2011

IPM IKLH
Provinsi 2009 2010 2011 2009 2010 2011
1) 2)
IPM Rank IPM Rank IPM Rank IKLH Rank IKLH Rank IKLH2) Rank
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)
NAD 71,31 17 71,70 17 72,16 18 72,47 12 77,30 11 66,74 16
Sumatera Utara 73,80 8 74,19 8 74,65 8 62,48 19 87,17 6 72,21 12
Sumatera Barat 73,44 9 73,78 9 74,28 9 87,04 2 81,46 9 77,00 9
Riau 75,60 3 76,07 3 76,53 3 51,65 25 54,86 22 56,23 24
Jambi 72,45 13 72,74 13 73,30 13 75,04 9 62,82 17 64,92 18
Sumatera Selatan 72,61 10 72,95 10 73,42 10 69,30 14 75,70 13 77,50 8
Bengkulu 72,55 12 72,92 11 73,40 11 79,58 4 96,89 4 96,77 3
Lampung 70,93 21 71,42 21 71,94 20 73,64 11 86,95 7 86,57 4
Kep, Bangka Belitung 72,55 11 72,86 12 73,37 12 52,15 24 64,92 15 64,99 17
Kepulauan Riau 74,54 6 75,07 6 75,78 6 51,65 25 54,86 22 56,23 24
DKI Jakarta 77,36 1 77,60 1 77,97 1 41,73 30 41,81 29 41,31 30
Jawa Barat 71,64 15 72,29 15 72,73 16 49,69 27 53,44 23 50,90 27
Jawa Tengah 72,10 14 72,49 14 72,94 14 55,40 22 50,48 25 49,82 28
DI Yogyakarta 75,23 4 75,77 4 76,32 4 53,52 23 71,91 14 68,89 14
Jawa Timur 71,06 18 71,62 18 72,18 17 59,01 21 49,49 27 54,49 25
Banten 70,06 23 70,48 23 70,95 23 50,86 26 48,98 28 48,98 29
Bali 71,52 16 72,28 16 72,84 15 85,50 3 99,65 1 85,30 5
Nusa Tenggara Barat 64,66 32 65,20 32 66,23 32 73,69 10 90,15 5 84,30 7
Nusa Tenggara Timur 66,60 31 67,26 31 67,75 31 66,61 18 50,72 24 59,01 23
Kalimantan Barat 68,79 28 69,15 28 69,66 28 71,92 13 76,39 12 74,27 10
Kalimantan Tengah 74,36 7 74,64 7 75,06 7 45,70 29 50,38 26 63,98 19
Kalimantan Selatan 69,30 26 69,92 26 70,44 26 48,25 28 58,24 21 60,29 21
Kalimantan Timur 75,11 5 75,56 5 76,22 5 68,63 15 62,22 19 70,75 13
Sulawesi Utara 75,68 2 76,09 2 76,54 2 88,21 1 84,18 8 84,59 6
Sulawesi Tengah 70,70 22 71,14 22 71,62 22 68,51 16 97,58 3 98,53 2
Sulawesi Selatan 70,94 20 71,62 19 72,14 19 67,62 17 62,89 16 62,64 20
Sulawesi Tenggara 69,52 25 70,00 25 70,55 25 60,53 20 62,23 18 52,79 26
Gorontalo 69,79 24 70,28 24 70,82 24 - - 97,93 2 98,89 1
Sulawesi Barat 69,18 27 69,64 27 70,11 27 67,62 17 62,89 16 67,85 15
Maluku 70,96 19 71,42 20 71,87 21 78,80 6 79,72 10 73,09 11
Maluku Utara 68,63 29 69,03 30 69,47 30 78,80 5 79,72 10 73,09 11
Papua Barat 68,58 30 69,15 29 69,65 29 75,30 8 59,56 20 68,51 22
Papua 64,53 33 64,94 33 65,36 33 75,30 7 59,56 20 68,51 22
Indonesia 71,76 72,27 72,77 59,79 61,07 60,25
Sumber : BPS dan Kementrian Lingkungan Hidup
Catatan :
1) Penghitungan IKLH 2009 : Gorontalo tidak tersedia, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Barat gabung
2) Penghitungan IKLH 2010 dan 2011 : Maluku dan Maluku Utara gabung, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Barat gabung, Irian Jaya Barat dan Papua gabung

IKLH merupakan hasil kerjasama Kementrian Lingkungan Hidup dengan


Dannish International Development Agency(DANIDA). IKLH mengadopsi
konsep indeks yang dikembangkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Virginia
Commonwealth University (VCU). Konsep IKLH, mengambil tiga indikator
kualitas lingkungan yaitu kualitas air sungai, kualitas udara, dan tutupan hutan
(Kementrian Lingkungan Hidup, 2011).
Perbandingan antara IPM dengan IKLH akan memberikan gambaran
sinergitas antara pembangunan ekonomi dan sosial dengan pembangunan
lingkungan. Mencermati Tabel 2, terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara
peringkat IPM dengan peringkat IKLH. Provinsi yang memiliki peringkat IPM
baik, justru memiliki peringkat IKLH yang tidak baik, contohnya Provinsi DKI
Jakarta. Nilai IPM DKI Jakarta berada pada peringkat pertama, sedangkan nilai
IKLH-nya berada pada peringkat terakhir. Sebaliknya, provinsi yang peringkat
4

Tabel 3Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012

Tingkat Kemiskinan Gini Ratio


Provinsi
*) *)
2008 2009 2010 2011 2012 2008 2009 2010 2011 2012
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
NAD 23,53 21,80 20,98 19,57 19,46 0,27 0,29 0,30 0,33 0,32
Sumatera Utara 12,55 11,51 11,31 11,33 10,67 0,31 0,32 0,35 0,35 0,33
Sumatera Barat 10,67 9,54 9,50 9,04 8,19 0,29 0,30 0,33 0,35 0,36
Riau 10,63 9,48 8,65 8,47 8,22 0,31 0,33 0,33 0,36 0,40
Jambi 9,32 8,77 8,34 8,65 8,42 0,28 0,27 0,30 0,34 0,34
Sumatera Selatan 17,73 16,28 15,47 14,24 13,78 0,30 0,31 0,34 0,34 0,40
Bengkulu 20,98 20,22 18,94 17,50 17,70 0,33 0,30 0,37 0,36 0,35
Lampung 8,58 7,46 6,51 16,93 16,18 0,35 0,35 0,36 0,37 0,36
Kep, Bangka Belitung 20,64 18,59 18,30 5,75 5,53 0,26 0,29 0,30 0,30 0,29
Kepulauan Riau 9,18 8,27 8,05 7,40 7,11 0,30 0,29 0,29 0,32 0,35
DKI Jakarta 4,29 3,62 3,48 3,75 3,69 0,33 0,36 0,36 0,44 0,42
Jawa Barat 13,01 11,96 11,27 10,65 10,09 0,35 0,36 0,36 0,41 0,41
Jawa Tengah 19,23 17,72 16,56 15,76 15,34 0,31 0,32 0,34 0,38 0,38
DI Yogyakarta 18,32 17,23 16,83 16,08 16,05 0,36 0,38 0,41 0,40 0,43
Jawa Timur 18,51 16,68 15,26 14,23 13,40 0,33 0,33 0,34 0,37 0,36
Banten 8,15 7,64 7,16 6,32 5,85 0,34 0,37 0,42 0,40 0,39
Bali 6,17 5,13 4,88 4,20 4,18 0,30 0,31 0,37 0,41 0,43
Nusa Tenggara Barat 23,81 22,78 21,55 19,73 18,63 0,33 0,35 0,40 0,36 0,35
Nusa Tenggara Timur 25,65 23,31 23,03 21,23 20,88 0,34 0,36 0,38 0,36 0,36
Kalimantan Barat 11,07 9,30 9,02 8,60 8,17 0,31 0,32 0,37 0,40 0,38
Kalimantan Tengah 8,71 7,02 6,77 6,56 6,51 0,29 0,29 0,30 0,34 0,33
Kalimantan Selatan 6,48 5,12 5,21 5,29 5,06 0,33 0,35 0,37 0,37 0,38
Kalimantan Timur 9,51 7,73 7,66 6,77 6,68 0,34 0,38 0,37 0,38 0,36
Sulawesi Utara 10,10 9,79 9,10 8,51 8,18 0,28 0,31 0,37 0,39 0,43
Sulawesi Tengah 20,75 18,98 18,07 15,83 15,40 0,33 0,34 0,37 0,38 0,40
Sulawesi Selatan 13,34 12,31 11,60 10,29 10,11 0,36 0,39 0,40 0,41 0,41
Sulawesi Tenggara 19,53 18,93 17,05 14,56 13,71 0,33 0,36 0,42 0,41 0,40
Gorontalo 24,88 25,01 23,19 18,75 17,33 0,34 0,35 0,43 0,46 0,44
Sulawesi Barat 16,73 15,29 13,58 13,89 13,24 0,31 0,30 0,36 0,34 0,31
Maluku 29,66 28,23 27,74 23,00 21,78 0,31 0,31 0,33 0,41 0,38
Maluku Utara 11,28 10,36 9,42 9,18 8,47 0,33 0,33 0,34 0,33 0,34
Papua Barat 35,12 35,71 34,88 31,92 28,20 0,31 0,35 0,38 0,40 0,43
Papua 37,08 37,53 36,80 31,98 31,11 0,40 0,38 0,41 0,42 0,44
Indonesia 15,42 14,15 13,33 12,49 11,96 0,35 0,37 0,38 0,41 0,41
Sumber : BPS
Catatan : *) Kondisi pada bulan September

IKLH-nya baik, justru memiliki peringkat IPM yang tidak terlalu baik, misalnya
provinsi Gorontalo. Peringkat IKLH provinsi ini pada tahun 2010 dan 2011
berada pada posisi pertama, sedangkan nilai IPM-nya berada pada peringkat ke 24.
Akhirnya akan sulit untuk menilai tingkat pembangunan wilayah yang
berkelanjutan kalau hanya menggunakan salah satu indeks saja, IPM atau IKLH
saja.
Dua indikator lain yang juga sering dipergunakan dalam mengukur
pembangunan wilayah adalah tingkat kemiskinan dan gini rasio. Tingkat
kemiskinan menggambarkan persentase penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan dan sangat sering digunakan sebagai alat ukur dimensi sosial. Gini
rasio mengukur kesenjangan pendapatan dan merupakan indikator yang
menggambarkan kemerataan. Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan
Indonesia dalam periode 2008 hingga 2012 menunjukkan penurunan, dari 15,42
persen pada tahun 2008 menjadi 11,96 persen pada tahun 2012. Penurunan tingkat
kemiskinan ini sejalan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Namun walau
5

tingkat kemiskinan mengalami penurunan, angka gini rasio justru menunjukkan


adanya peningkatan. Dengan kata lain, walau tingkat kemiskinan menurun, tetapi
disparitas pendapatan justru semakin lebar. Perbedaan pendapatan yang sangat
lebar tentunya akan memberikan peluang terjadinya konflik sosial yang pada
akhirnya mengganggu keberlanjutan pembangunan.
Ketidakmerataan pembangunan ekonomi juga dapat dilihat dari sebaran
nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada masing-masing daerah. Jika
memperhatikan kontribusi PDRB pada masing-masing pulau utama terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, tampak jika sumbangan terbesar dari
PDRB masih berasal dari pulau Jawa dan Bali. Kontribusi PDRB Jawa dan Bali
pada tahun 2004 adalah sebesar 61 persen. Kontribusi ini mengalami penurunan
menjadi 59 persen pada tahun 2012. Kontribusi PDRB pulau Sumatera menempati
urutan kedua, dengan nilai PDRB mencapai 22 persen pada tahun 2004 dan
meningkat menjadi 24 persen pada tahun 2012. Peningkatan kontribusi PDRB
juga terjadi di pulau Sulawesi. Kontribusi PDRB Sulawesi meningkat dari 4
persen pada tahun 2004 menjadi 5 persen pada tahun 2012. Sebaliknya, kontribusi
PDRB pulau Kalimantan justru mengalami penurunan, dari 10 persen pada tahun
2004 menjadi 9 persen pada tahun 2012. Sedangkan kontribusi PDRB Nusa
Tenggara, Maluku dan Papua jumlahnya tidak mengalami perubahan dari tahun
2004 ke tahun 2012.
Memperhatikan uraian di atas, terlihat bahwa ketidakmerataan
pembangunan juga terjadi pada pembangunan ekonomi antar wilayah.
Perekonomian sangat didominasi oleh pulau Jawa dan Bali. Walaupun kontribusi
kedua pulau ini cenderung mengalami penurunan, namun porsinya masih sangat
besar. Kontribusi beberapa pulau seperti Nusa Tenggara, Maluku dan Papua,
cenderung stagnan. Bahkan kontribusi Kalimantan justru mengalami penurunan.
Ketidakmerataan pembangunan antar daerah ini diduga berdampak negatif
terhadap pembangunan, karena dapat memicu terjadinya konflik. Bahkan
beberapa konflik yang mengarah pada separatisme sering mengangkat isu
ketidakmerataan dan ketidakadilan sebagai alasannya.

2004 2012

Sumatera Sumatera
22% 24%

Sulawesi
4% Jawa dan Sulawesi
Jawa dan Bali 5%
Bali Kalimantan 59%
61% 10% Kalimantan
9%
Nusa Nusa
Tenggara, Tenggara,
Maluku, Maluku,
Papua Papua
3% 3%

Gambar 1Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut Pulau, 2004 dan
2012
6

Mencermati beberapa fakta empirik tentang pembangunan Indonesia di atas,


nampak bahwa pembangunan Indonesia masih belum mampu menjawab
permasalahan lingkungan, kemerataan dan keadilan.Pembangunan masih sangat
dominan memperhatikan dimensi ekonomi dan sosial, tetapi lemah dalam
pembangunan di bidang yang lain. Dari sisi lingkungan, pembangunan
memunculkan lahan-lahan kritis baru, yang berarti semakin menurunnya kualitas
lingkungan. Pembangunan juga memunculkan perbedaan yang semakin lebar
antara masyarakat golongan kaya dengan golongan miskin.
Dengan demikian, dimensi pembangunan yang mengukur pembangunan
dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan saja masih belum memadai. Dibutuhkan
satu dimensi lagi yang mampu menjawab persoalan kemerataan dan keadilan.
Pernyataan Spangenberg yang menambahkan dimensi kelembagaan sebagai salah
satu dimensi dalam pembangunan berkelanjutan, dipandang mampu menangkap
permasalahan pembangunan Indonesia. Menurut Spangenberg, kelembagaan yang
baik akan menghasilkan kemerataan dan keadilan dalam pembangunan. Dengan
ditambahkannya kelembagaan (institution), maka keempat dimensi tersebut;
ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan; membentuk suatu prisma
keberlanjutan, prism of sustainability (Spangenberg dan Bonniot, 1998).
Sebelumnya kelembagaan telah diakui sebagai salah satu elemen penting
dalam pembangunan berkelanjutan, tetapi masih belum dianggap sebagai dimensi
tersendiri dalam pembangunan berkelanjutan. Keberadaannya sering dimasukkan
dan dijadikan satu dengan dimensi sosial. Namun Spangenberg (2007)
menyatakan bahwa penggabungan antara dimensi kelembagaan dengan dimensi
sosial ini akan memunculkan permasalahan yang kompleks dan sulit untuk
dideskripsikan. Penggabungan antara dimensi sosial dengan kelembagaan sama
halnya dengan menggabungkan pelaku dengan struktur, atau antara individu
dengan masyarakat. Karena perbedaan tersebut, maka sudah seharusnya antara
sosial dan kelembagaan dijadikan dua dimensi yang berbeda. Dimensi sosial
menitikberatkan pada aset dan kemampuan individu sebagai pelaku, seperti
kesehatan, ilmu pengetahuan, pengalaman dan keterampilan. Sedangkan dimensi
kelembagaan merupakan sistem yang mengatur hubungan antar individu. Seperti
dimensi yang lain, dimensi kelembagaan juga mempunyai tujuannya sendiri,
seperti keamanan sosial, kesempatan berpartisipasi, kesetaraan, pemerataan,

Sumber : Spangenberg dan Bonniot, 1998

Gambar 2Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability)


7

keadilan dan kebebasan, yang juga mempunyai tujuan yang saling berkaitan
dengan dimensi yang lain (ekonomi, sosial dan lingkungan).
Mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan yang dikeluarkan oleh
Spangenberg, maka keberhasilan pembangunan tentunya juga harus dilihat dari
capaian keempat dimensi pembangunan berkelanjutan, sehingga akan terlihat
kinerja pembangunan secara keseluruhan. Tidak cukup jika pembangunan hanya
berkonsentrasi untuk meningkatkan kualitas ekonomi, tetapi dengan merusak
lingkungan. Dalam jangka panjang kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian,
karena boleh jadi biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan lebih
besar dari manfaat ekonomi yang diperoleh. Begitu pula dengan pembangunan
yang mengabaikan pembangunan kelembagaan sehingga memunculkan
kesenjangan ekonomi dan sosial. Kesenjangan sering kali menjadi alasan
terjadinya konflik bahkan dalam bentuk yang paling ekstrim seperti separatisme.
Konflik seperti ini tentu akan memberikan dampak negatif bagi pembangunan di
masa yang akan datang.
Fenomena kesenjangan pendapatan dan kerusakan lingkungan akan lebih
terpantau bila ukuran pembangunan yang dipergunakan juga sensitif terhadap
ukuran kesenjangan dan kualitas lingkungan. Indikator pembangunan
berkelanjutan yang berkembang selama ini di Indonesia belum mencakup empat
dimensi pembangunan berkelanjutan secara utuh. Penghitungan Produk Domestik
Bruto (PDB) hijau hanya melibatkan dimensi ekonomi dan lingkungan. Penelitian
tentang genuine saving hanya menyentuh dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan.
Ukuran pembangunan berkelanjutan berupa indeks komposit pernah pula digagas
oleh beberapa institusi dan peneliti. Namun indeks komposit ini juga masih
melibatkan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Dimensi kelembagaan tidak
dimunculkan sebagai dimensi tersendiri, namun secara implisit tergabung pada
dimensi sosial. Karena indikator kelembagaan hanya bagian kecil dari dimensi
sosial, maka bobot kelembagaan dalam indeks komposit menjadi sangat kecil,
padahal permasalahan kesenjangan yang menjadi salah satu indikator
kelembagaan cukup menonjol di Indonesia.
Pembangunan berkelanjutan, yang memunculkan dimensi kelembagaan
sebagai dimensi tersendiri, dipandang sangat tepat untuk kondisi Indonesia.
Kondisi ini diharapkan berdampak pada meningkatnya perhatian pada dimensi
kelembagaan, tanpa mengabaikan dimensi yang lain. Sebagai dimensi tersendiri
kelembagaan akan memiliki bobot yang lebih besar dalam mengukur capaian
pembangunan. Untuk itu, penyusunan indeks komposit yang memasukkan empat
dimensi pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial, lingkungan dan
kelembagaan) akan menjadi bagian penting dari pembangunan berkelanjutan pada
umumnya, dan khususnya untuk pembangunan kelembagaan.
Selain menjabarkan pembangunan berkelanjutan ke dalam empat dimensi,
Spangenberg juga mengidentifikasi empat modal pembangunan. Keempat modal
pembangunan tersebut adalah man-made capital, human capital, natural
capitaldansocial capital. Keseimbangan penggunaan keempat modal tersebut
akan mendorong terciptanya pembangunan berkelanjutan. Hingga saat ini,
perhatian terhadap tiga modal yang pertama lebih dominan dibandingkan dengan
modal yang terakhir. Padahal di sisi lain, modal sosial diduga dapat mereduksi
permasalahan pembangunan yang telah disebutkan sebelumnya. Modal sosial
diharapkan akan mampu mengurangi terjadinya kesenjangan pendapatan dengan
8

adanya norma saling membantu. Modal sosial juga diduga mampu mencegah
masalah lingkungan dengan adanya kearifan lokal. Modal sosial juga menjadi
syarat utama untuk dapat mewujudkan kelembagaan yang kuat. Sebagai salah satu
modal dalam pembangunan, sudah sepatutnya modal sosial mendapatkan
perhatian yang seimbang dengan modal yang lain.
Rustiadi dkk (2009), Lawang (2005) dan Ridell, dalam Suharto (2007)
menuliskan tiga komponen modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma
(norms) dan jejaring (network). Kepercayaan (trust), dibutuhkan untuk
membangun kerjasama, menekan biaya transaksi dan menghemat penggunaan
sumberdaya, yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama
berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Norma-norma (norms), terdiri
pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan, dan tujuan-tujuan yang
diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang, berupa aturan umum,
sanksi-sanksi, rules of the game, hak sosial untuk mengontrol tindakan seseorang
oleh orang lainnya, dibutuhkan untuk menekan perilaku oportunis. Jejaring
(networks), merupakan infrastruktur dinamis yang berwujud jaringan-jaringan
kerjasama antar manusia. Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi
dan interaksi, yang memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat
kerjasama.
Putnam dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa bangsa yang memiliki
modal sosial tinggi cenderung lebih efisien dan efektif dalam menjalankan
berbagai kebijakan untuk menyejahterakan dan memajukan kehidupan rakyatnya.
Modal sosial juga dapat meningkatkan kesadaran individu terkait banyaknya
peluang yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat.
Inayah (2012) menuliskan besarnya peran modal sosial dalam pembangunan.
Dalam konteks pembangunan manusia, modal sosial mempunyai peran yang besar
sebab beberapa dimensi pembangunan manusia sangat dipengaruhi oleh modal
sosial. Peran modal sosial tersebut antara lain kemampuannya untuk
menyelesaikan kompleksitas berbagai permasalahan bersama, mendorong
perubahan yang cepat di dalam masyarakat, menumbuhkan kesadaran kolektif
untuk memperbaiki kualitas hidup dan mencari peluang yang dapat dimanfaatkan
untuk kesejahteraan.
Modal sosial juga sangat tinggi pengaruhnya terhadap perkembangan dan
kemajuan berbagai sektor ekonomi. Fukuyama (1995) menunjukkan hasil-hasil
studi di berbagai negara yang memperlihatkan bahwa modal sosial yang kuat akan
merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa
percaya yang tinggi dan keeratan hubungan dalam jaringan yang luas tumbuh
antar sesama pelaku ekonomi.
Hasbullah (2006) memberikan contoh perkembangan ekonomi yang sangat
tinggi di Asia Timur sebagai pengaruh pola perdagangan dan perekonomian yang
dijalankan pelaku ekonomi. Cina dalam menjalankan usahanya memiliki tingkat
kohesifitas yang tinggi karena dipengaruhi oleh koneksi-koneksi kekeluargaan
dan kesukuan, meskipun demikian pola ini mendorong pembentukan jaringan rasa
percaya (networks of trust) yang dibangun melewati batas-batas keluarga, suku,
agama, dan negara.
Dalam kasus Indonesia, perhatian terhadap penggunaan modal sosial dalam
pembangunan relatif rendah dibandingkan dengan modal pembangunan yang lain.
Modal sosial masih kurang diperhitungkan dalam penyusunan kebijakan
9

pembangunan, sehingga tidak satu paragrafpun rencana pembangunan daerah


maupun nasional yang secara sungguh-sungguh memberikan tempat pada dimensi
modal sosial (Hasbullah, 2006). Beberapa kebijakan pemerintah bahkan dinilai
menggerus modal sosial yang ada di masyarakat. Contohnya adalah
penyeragaman tingkat pemerintahan terendah menjadi bentuk desa. Dengan
penyeragaman ini, struktur pemerintahan adat yang sudah melembaga di beberapa
daerah menjadi terabaikan. Tidak berfungsinya pemerintahan adat ini pada
akhirnya juga berdampak negatif terhadap norma-norma tradisional di masyarakat
yang pada akhirnya berpengaruh pada modal sosial. Cameron L dan Shah M
(2011) bahkan melihat kebijakan pemerintah yang bertujuan mengurangi
kemiskinan, seperti bantuan langsung tunai (BLT), juga berpeluang menurunkan
modal sosial di Indonesia. Dengan model ekonometrik serta data hasil Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006 dan Pendataan Potensi Desa
(Podes) tahun 2005 penelitian mereka memberi hasil yang cukup mengejutkan.
Penyaluran dana BLT yang tidak tepat sasaran, berpengaruh secara signifikan
terhadap peningkatan kriminalitas dan penurunan modal sosial di dalam
komunitas..
Kondisi modal sosial di Indonesia saat ini seakan-akan sudah hilang dan
mengalami kematian. Semangat hidup bersama, gotong royong dan
pengelompokan sosial yang terbentuk secara sukarela dan memiliki energi
keswadayaan seakan tidak tampak lagi. Indonesia saat ini kecenderungannya
menuju masyarakat yang zero trust society. Keseluruhannya itu menggambarkan
keterpurukan dan kehancuran modal sosial di Indonesia (Hasbullah, 2006).
Salah satu indikator yang mencerminkan kondisi modal sosial di suatu
wilayah adalah tingkat korupsi. Modal sosial merupakan salah satu alat yang
keberadaannya mampu menekan perilaku free riderdan oportunis, seperti korupsi.
Sehingga tingginya angka korupsi akan mencerminkan modal sosial yang lemah.
Namun di sisi lain, Winarno (2008) menyebutkan bahwa korupsi juga akan
melemahkan modal sosial. Berkembangnya kasus-kasus korupsi akan
menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Tingkat korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi. Hasil penghitungan
Corruption Perceptions Index (CPI) yang dilakukan oleh Transparancy
International menunjukkan peringkat Indonesia masih cukup rendah
dibandingkan dengan negara-negara lain. Transparancy International menghitung
nilai CPI dengan memberikan skor antara 1 hingga 10. Skor 1 menunjukkan

Tabel 4Skor dan Peringkat Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia,2010-


2012

Tahun Skor CPI Peringkat CPI Peringkat terrendah

2010 2,8 110 178


2011 3,0 100 182
2012 2,9 118 174

Sumber : Transparancy International 2010, 2011 dan 2012


10

negara yang paling korup, sedangkan skor 10 menggambarkan negara yang paling
tidak korup. Nilai CPI Indonesia pada tahun 2010 adalah sebesar 2,8, dan berada
pada peringkat 110 dari 178 negara. Pada tahun 2011, nilai CPI Indonesia
mengalami kenaikan menjadi 3,0, namun kembali turun menjadi 2,9 pada tahun
2012. Dari nilai CPI selama tahun 2010-2012 tersebut, terlihat bahwa skor
Indonesia masih belum mencapai sepertiga dari nilai maksimal.
Studi tentang pengukuran stok modal sosial di Indonesia pernah dilakukan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010. Studi ini menghasilkan stok
modal sosial pada tahun 2009 untuk 471 kabupaten/kota di Indonesia, dengan
nilai minimum 0 dan nilai maksimum 100. Stok modal sosial dihitung dengan
menggunakan beberapa faktor modal sosial, yaitu sikap percaya terhadap aparat
dan kelompok, sikap percaya terhadap tetangga, toleransi beragama dan suku
bangsa, keeratan dalam kelompok, persahabatan, dan jejaring. Setiap faktor
kemudian dikelompokkan berdasarkan subdimensi modal sosial yang diwakilinya
yaitu: sikap percaya, toleransi, kelompok, dan jejaring, dan dilanjutkan dengan
penghitungan stok modal sosial. Nilai stok modal sosial tertinggi sebesar 68,5
terjadi di Kabupaten Lamongan di Provinsi Jawa Timur. Sebaliknya nilai stok
modal sosial terendah sebesar 42,4 terjadi di Kabupaten Dogiyai di Provinsi
Papua. Nilai tengah (median) stok modal sosial yang dihasilkan sebesar 60,8 (BPS,
2010b)
Jika dilihat dari nilai tengah yang berada di kisaran 60 maka capaian stok
modal sosial di Indonesia masih belum mencapai dua pertiga dari nilai maksimum.
Jika dibandingkan dengan dua nilai indeks yang telah dibahas sebelumnya (IPM
dan IKLH), capaian stok modal sosial kurang lebih mirip dengan capaian IKLH
secara nasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa stok modal sosial di
Indonesia masih cukup rendah.

Tabel 5Ringkasan Hasil Pengukuran Stok Modal Sosial 2009

Sebaran Nilai Sebaran Nilai


Minimum 42,4 40% Terendah 57,6
Maksimum 68,5 40% Sedang 61,6
Median 60,8 20% Tertinggi 64,6
Sumber : BPS

Permasalahan

Berdasarkan uraian sebelumnya, terlihat bahwa pembangunan di Indonesia


masih belum menunjukkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial,
lingkungan dan kelembagaan. Diduga, pembangunan masih sangat dominan
memperhatikan dimensi ekonomi dan sosial, tetapi lemah dalam pembangunan
dimensi yang lain. Untuk dapat menjawab dugaan tersebut, tentunya dibutuhkan
ukuran yang menilai capaian pembangunan masing-masing dimensi. Namun
hingga saat ini indikator yang dipergunakan dalam menilai pembangunan
berkelanjutan di Indonesia belum menjadikan kelembagaan sebagai dimensi
11

tersendiri. Absennya kelembagaan sebagai dimensi tersendiri mengindikasikan


lemahnya perhatian terhadap pembangunan kelembagaan. Padahal persoalan
keadilan, yang menjadi fokus dimensi kelembagaan, menunjukkan tren yang
semakin buruk di Indonesia. Dibutuhkan upaya agar pembangunan kelembagaan
memiliki porsi yang seimbang dengan pembangunan, salah satunya dengan
memunculkan kelembagaan sebagai salah satu dimensi dalam ukuran
pembangunan berkelanjutan.
Di sisi lain, pencapaian pembangunan berkelanjutan juga sangat ditentukan
oleh modal yang dipergunakan dalam pembangunan itu sendiri, termasuk modal
sosial. Berbeda dengan modal manusia (human capital), yang menekankan pada
modal yang dimiliki oleh individu seperti tingkat pendidikan, kesehatan dan
kekayaan, modal sosial lebih menekankan pada hubungan antar individu. Modal
sosial memberikan dampak modal sosial dalam pembangunan, sehingga
penggunaannya diduga mampu mempercepat pembangunan. Secara khusus modal
sosial diduga akan mampu mengurangi kerusakan lingkungan melalui kearifan
lokal serta permasalahan keadilan dengan norma saling membantu.
Fauzi (2007) menyebutkan bahwa modal sosial dapat berperan dalam
pembangunan berkelanjutan, karena memiliki peran penting dalam pertumbuhan
ekonomi melalui: (a) arus informasi akan lebih cepat bergerak antar agen ekonomi
jika modal sosial cukup baik; (b) kepercayaan (trust) yang menjadi komponen
utama modal sosial akan mengurangi biaya pencarian informasi sehingga
mengurangi biaya transaksi; dan (c) modal sosial yang baik akan mengurangi
kontrol pemerintah sehingga pertukaran ekonomi lebih efisien.
World Bank (2008) menyebutkan bahwa modal sosial merupakan
penghubung yang hilang (missing link) antara natural capital, physical atau
produced capital, dan human capital. Ditegaskan juga bahwa modal sosial,
termasuk trust, norma dan network, merupakan syarat untuk suksesnya
pembangunan berkelanjutan.
Rydin dan Holman (2004) bahkan menyatakan bahwa modal sosial mampu
memecahkan permasalahan yang selama ini menghambat terciptanya
pembangunan berkelanjutan. Modal sosial berperan melalui dua hal yang berbeda;
pertama modal sosial berperan dalam menanggulangi permasalahan collective
action; dan kedua modal sosial mengurangi biaya transaksi antar pelaku
pembangunan berkelanjutan. Penggunaan modal sosial akan mampu
menyelesaikan permasalahan kurangnya partisipasi, benturan keinginan,
kekurangan sumber daya, serta hambatan kerjasama antar pihak yang berkaitan
dengan pembangunan berkelanjutan.
Asadi, dkk (2008) juga mencatat beberapa peran modal sosial, terkait
dengan dimensi pembangunan berkelanjutan, seperti ekonomi, sosial dan
lingkungan. Namun masih sangat jarang (bahkan mungkin belum ada) penelitian
empirik yang melihat hubungan antara modal sosial dengan pembangunan
berkelanjutan. Dalam akhir tulisannya, Asadi dkk mengatakan bahwa masih butuh
usaha yang cukup keras untuk melihat interaksi antara modal sosial dan
pembangunan berkelanjutan.
Pemikiran tentang peran penting modal sosial dalam pembangunan ini
nampaknya belum menjadi perhatian serius di Indonesia. Perhatian terhadap
penggunaan modal sosial dalam pembangunan Indonesia masih relatif rendah
12

dibandingkan dengan modal-modal yang lain. Bahkan muncul pula dugaan bahwa
pembangunan yang dilakukan justru berdampak negatif pada modal sosial.
Dengan memperhatikan beberapa pernyataan di atas, maka penelitian ini
dilakukan untuk menjawab tiga pokok permasalahan. Ketiga pokok permasalahan
tersebut adalah :
1. Bagaimana capaian pembangunan di Indonesia dilihat dari dimensi ekonomi,
sosial, lingkungan dan kelembagaan ?
2. Bagaimana indikator komposit pembangunan berkelanjutan yang dibangun
dari dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan ?
3. Bagaimana hubunganantara pembangunan berkelanjutan dengan modal sosial
di Indonesia ?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis keterkaitan antara


pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan dengan modal sosial
di Indonesia. Secara rinci, tujuan penelitian adalah :
1. Menganalisiscapaian pembangunan di Indonesia dilihat dari dimensi ekonomi,
sosial, lingkungan dan kelembagaan
2. Mengembangkan indeks komposit pembangunan berkelanjutan yang dibangun
dari dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan
3. Menganalisis hubunganantara pembangunan berkelanjutan dengan modal
sosial di Indonesia

Batasan Penelitian

Diskusi tentang pembangunan berkelanjutan merupakan diskusi yang


kompleks, karena pemikiran tentang pembangunan berkelanjutan masih terus
berkembang serta melibatkan berbagai dimensi. Begitu pula, pemikiran tentang
modal sosial. Diskusi tentang modal sosial masih terus berlanjut hingga kini, baik
mengenai konsep maupun komponennya.
Memperhatikan kondisi di atas, ditambah lagi dengan luasnya lokus
penelitian, maka dibutuhkan beberapa batasan di dalam penelitian ini. Batasan-
batasan tersebut adalah :
a) Memperhatikan ketersediaan data, pengukuran dan analisis perkembangan
pembangunan berkelanjutan dilakukan pada tingkat provinsi.
b) Indikator pembangunan berkelanjutan sebagian besar mengacu pada indikator
UN-DESA serta beberapa penelitian penyusunan indeks komposit
pembangunan berkelanjutan di Indonesia dan beberapa negara lain, namun
tetap disesuaikan dengan ketersediaan data.
c) Modal sosial dibatasi pada modal sosial di tingkat mikro dengan
menggunakan tiga komponen; rasa percaya (trust), norma dan jaringan
(network).
13

Kebaruan Penelitian

Penelitian tentang indeks komposit pembangunan berkelanjutan yang telah


dilakukan selama ini disusun dengan menggunakan konsep keseimbangan dari
tiga dimensi pembangunan, yaitu dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Indeks
komposit dengan tiga dimensi pembangunan berkelanjutan dinilai belum mampu
menangkap persoalan dalam pembangunan di Indonesia, khususnya yang meliputi
persoalan kesetaraan dan keadilan. Oleh sebab itu, penelitian ini memasukkan
dimensi kelembagaan sebagai salah satu penyusun indeks komposit pembangunan
berkelanjutan. Masuknya dimensi kelembagaan sebagai salah satu dimensi dalam
penyusunan indeks komposit pembangunan berkelanjutan merupakan kebaruan
dalam penelitian ini.
Penelitian tentang keterkaitan pembangunan dengan modal sosial di
Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian-penelitian tersebut
umumnya hanya dilakukan pada wilayah yang cakupannya terbatas. Penelitian ini
melakukan analisis keterkaitan pembangunan dengan modal sosial pada skala
yang luas, dengan cakupan 33 provinsi di Indonesia. Ukuran pembangunan yang
digunakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya menggunakan indikator
pembangunan yang bersifat parsial. Sementara penelitian ini menggunakan ukuran
pembangunan berupa indeks komposit yang merupakan gabungan dari empat
dimensi pembangunan berkelanjutan; ekonomi, sosial, lingkungan dan
kelembagaan. Beberapa catatan ini menjadi tambahan atas kebaruan yang
dilakukan dalam penelitian ini.

Manfaat Penelitian

Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi


penyusunan kebijakan yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan di
Indonesia. Indeks komposit pembangunan berkelanjutan diharapkan menjadi salah
satu tolok ukur pembangunan wilayah, melengkapi (jika tidak akan
menggantikan) indikator yang telah ada selama ini. Dengan menggunakan indeks
pembangunan berkelanjutan, pengukuran keberhasilan pembangunan dapat
dilakukan dengan lebih komprehensif, meliputi aspek ekonomi, sosial, lingkungan
dan kelembagaan. Indeks pembangunan berkelanjutan juga dapat dihitung untuk
masing-masing dimensi pembangunan berkelanjutan, sehingga dapat
dipergunakan untuk memberikan gambaran capaian masing-masing dimensi.
Tingkat capaian masing-masing dimensi ini akan membatu pemerintah dan
pemerintah daerah untuk merumuskan arah dan kebijakan pembangunan.
Era pembangunan internasional yang memberi porsi lebih pada tujuan
pembangunan milenium (Millenium Development Goals –MDG‟s) telah hampir
berakhir. Seiring dengan hampir berakhirnya era MDG‟s, bermunculan pemikiran
baru tentang target pembangunan internasional. Salah satu target pembangunan
internasional yang cukup populer adalah Sustainable Development Goals (SDG‟s).
Penelitian ini mencoba mengambil peran dalam mempersiapkan data dasar jika
memang SDG‟s menjadi kesepakatan internasional nantinya.
14

Hasil analisis keterkaitan antara modal sosial dengan pembangunan


berkelanjutan akan memperkaya referensi untuk melihat modal pembangunan dari
jenis yang lain. Selama ini pembangunan masih terkonsentrasi menggunakan
modal dalam bentuk natural capital, man-made capital danhuman capital,
Dengan teridentifikasinya modal sosial, maka akan semakin banyak modal yang
dapat digunakan untuk melakukan pembangunan, sehingga pembangunan akan
berjalan dengan lebih optimal.
15

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Pembangunan Berkelanjutan

2.1.1. Konsep Pembangunan Berkelanjutan


Fauzi (2004) menuliskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan
sebenarnya sejak sudah lama menjadi perhatian para ahli. Namun istilah
keberlanjutan (sustainability) sendiri baru muncul beberapa dekade yang lalu,
walaupun perhatian terhadap keberlanjutan sudah dimulai sejak Malthus pada
tahun 1798 yang mengkhawatirkan ketersediaan lahan di Inggris akibat ledakan
penduduk yang pesat. Satu setengah abad kemudian, perhatian terhadap
keberlanjutan ini semakin mengental setelah Meadow dan kawan-kawan pada
tahun 1972 menerbitkan publikasi yang berjudul The Limit to Growth, yang dalam
kesimpulannya mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan sangat dibatasi
oleh ketersediaan sumber daya alam. Dengan ketersediaan sumber daya alam yang
terbatas, produksi barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam tidak
akan bisa dilakukan secara terus menerus (on sustainable basis).
Meskipun mendapat kritikan yang tajam dari para ekonom karena lemahnya
fundamental ekonomi yang digunakan dalam model The Limit to Growth, namun
buku tersebut cukup menyadarkan manusia akan pentingnya pembangunan yang
berkelanjutan. Karena itu perhatian terhadap aspek keberlanjutan ini mencuat
kembali ketika pada tahun 1987 World Commission on Environment and
Development (WCED) atau dikenal sebagai Brundland Commissionyang
menerbitkan buku berjudul Our Common Future. Publikasi ini kemudian memicu
lahirnya agenda baru mengenai konsep pembangunan ekonomi dan keterkaitannya
dengan lingkungan dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan. Agenda ini
sekaligus menjadi tantangan konsep pembangunan ekonomi neoklasikal yang
merupakan konsep pembangunan konvensional yang selama ini dikenal.
Pembangunan berkelanjutan disepakati sebagai pembangunan yang memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
generasi yang akan datang. Di dalamnya terkandung dua gagasan penting:
a) gagasan “kebutuhan” yaitu kebutuhan esensial untuk memberlanjutkan
kehidupan manusia, dan
b) gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi
sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan
hari depan.
Pada intinya, pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses perubahan
yang di dalamnya eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi pengembangan
teknologi, dan perubahan kelembagaan. Seluruh elemen tersebut berada dalam
keadaan yang selaras serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk
memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. Jadi tujuan pembangunan ekonomi
dan sosial harus diupayakan dengan keberlanjutan.
Konsep keberlanjutan merupakan konsep yang kompleks sehingga
pengertian keberlanjutan sangat multidimensi dan multi interpretasi (Fauzi 2009).
Pembangunan berkelanjutan bahkan sering menjadi konsep yang elusive,
walaupun sudah menjadi jargon pembangunan di seluruh dunia (Fauzi 2007).
Menurut Heal dalam Fauzi (2004), konsep keberlanjutan, paling tidak
16

mengandung dua dimensi yaitu pertama, dimensi waktu karena keberlanjutan


tidak lain menyangkut apa yang terjadi di masa mendatang. Kedua, adalah
dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumberdaya alam dan
lingkungan. Pezzey dalam Fauzi (2004) melihat keberlanjutan dari sisi yang
berbeda, yaitu melihat dari pengertian statis dan dinamik. Keberlanjutan statis
diartikan sebagai pemanfaatan sumberdaya alam terbarukan dengan laju teknologi
yang konstan, sementara keberlanjutan dinamik diartikan sebagai pemanfaatan
sumberdaya yang tidak terbarukan dengan tingkat teknologi yang terus berubah.
Karena adanya multi dimensi, dan multiinterpretasi, maka terdapat dua hal
yang secara implisit menjadi perhatian yaitu pertama, menyangkut pentingnya
memperhatikan kendala sumberdaya alam dan lingkungan terhadap pola
pembangunan dan konsumsi. Kedua, menyangkut perhatian terhadap
kesejahteraan (well being) generasi mendatang. Dengan demikian, prinsip
pembangunan berkelanjutan dihasilkan dengan memperhatikan 3 aksioma yaitu :
a) perlakukan masa kini dan masa mendatang yang menempatkan nilai positif
dalam jangka panjang.
b) menyadari bahwa aset lingkungan memberikan kontribusi terhadap economic
well being.
c) mengetahui kendala akibat implikasi yang timbul pada aset lingkungan.
Selain definisi tersebut, konsep keberlanjutan dapat dirinci menjadi 3 aspek
yaitu:
a) Keberlanjutan ekonomi, diartikan sebagai pembangunan yang mampu
menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan
pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang
dapat merusak produksi pertanian dan industri
b) Keberlanjutan lingkungan : sistem keberlanjutan secara lingkungan harus
mampu memelihara sumberdaya secara stabil, menghindari eksploitasi dan
fungsi penyerapan lingkungan.
c) Keberlanjutan sosial : diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai
kesetaraan, penyediaan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender
dan akuntabilitas politik.
Seperti yang diungkapkan Ostrom dkk (2002) dalam The Drama of The
Commons, kriteria keberlanjutan dapat diaplikasikan untuk pengelolaan
sumberdaya alam dan kelembagaan. Terkait pengelolaan sumberdaya alam,
keberlanjutan berhubungan dengan upaya memperbaiki kualitas sumberdaya,
fasilitas dan stok sumberdaya. Dalam aspek kelembagaan, keberlanjutan terkait
dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi yang berkembang.
Stimson dkk (2006), mengatakan bahwa paradigma pembangunan yang
mengedepankan keberlanjutan didasarkan pada prinsip :
a) mengarah pada tujuan jangka panjang
b) melakukan konservasi sumberdaya melalui efisiensi teknologi dan penyebaran
pusat produksi dalam skala yang lebih kecil
c) penggunaan sumber energi alternatif, kegiatan daur ulang, konservasi
sumberdaya alam
d) asumsi bahwa terdapat keterkaitan antara lingkungan dan sumberdaya alam,
sehingga prinsip konservasi harus bersifat jangka panjang.
Pembangunan berkelanjutan juga sering dijabarkan dengan perbaikan
kualitas hidup yang disesuaikan dengan daya dukung lingkungan (carrying
17

capacity). Secara umum, keberlanjutan diartikan sebagai “continuing without


lessening” yang berarti melanjutkan aktivitas tanpa mengurangi. Dalam hal ini
komunitas atau wilayah yang sustain mempertimbangkan perbaikan ekonomi,
lingkungan dan karakteristik sosial.Pembangunan berkelanjutan kemudian
semakin dipahami sebagai pembangunan yang mampu mempertahankan
terjadinya pembangunan itu sendiri menjadi tidak terbatas (Moldan dan Dahl,
2007).
Saat ini pembangunan berkelanjutan tidak hanya menyangkut tiga dimensi
domain atau pilar (sosial, ekonomi dan lingkungan). Pilar keempat, kelembagaan
juga dimasukkan sebagai salah satu pilar dalam pembangunan berkelanjutan. Pilar
kelembagaan ini merupakan sumbangan pemikiran yang berharga dari
Spangenberg (Spangenberg dan Bonniot 1998 dan Rustiadi, dkk 2009) dan sudah
diakomodir juga oleh UN Commission on Sustainable Development (Hak dkk,
2007). Keseimbangan pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan dan
kelembagaan menjadi konsep pembangunan berkelanjutan yang digunakan dalam
penelitian ini.

2.1.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan


Terkait dengan empat pilar yang menjadi pendukung pembangunan
berkelanjutan, maka indikator pembangunan juga mencakup keempat pilar
tersebut. Moldan dan Dahl (2007) menyebutkan penjabaran dari keempat pilar
tersebut sebagai berikut :
a) Aspek lingkungan biofisik, termasuk akses terhadap lahan, sumberdaya alam,
air bersih, perumahan dan energi, didalamnya terkait ketersediaan infrastruktur
dan teknologi informasi
b) Aspek ekonomi, untuk level individu terkait pendapatan minimum untuk dapat
hidup layak, akses dalam aktivitas sosial ekonomi, hak untuk memperoleh
pekerjaan yang layak. Termasuk juga akses dalam pasar, hambatan masuk ke
pasar serta akses ke pasar kredit (aspek finansial).
c) Aspek sosial, termasuk akses terhadap pengetahuan, informasi dan
pengalaman (tidak ada diskriminasi pendidikan, pelatihan, teknologi
informasi,dan lain-lain)
d) Aspek kelembagaan, termasuk didalamnya akses terhadap informasi (media
massa, internet, akses telepon), pertukaran informasi, pengambilan keputusan,
partisipasi dalam kegiatan publik,politik, demokrasi, keadilan dan sebagainya.

Tabel 6Indikator Keterkaitan antar Pilar Pembangunan Berkelanjutan


Keterkaitan Indikator
Lingkungan-ekonomi Produktivitas sumberdaya (misal :GDP/total input material),
intensitas transportasi
Sosial ekonomi Produktivitas tenaga kerja (produksi perkapita) distribusi
pendapatan per kapita
Sosial lingkungan Masalah kesehatan lingkungan, akses terhadap sumberdaya milik
umum (common goods)
Ekonomi kelembagaan Tingkat korupsi, share pajak tenaga kerja, total pajak lingkungan,
Sosial kelembagaan Jaminan hak tenaga kerja, Jaminan kesehatan, jaminan sosial
Lingkungan-kelembagaan Hak lembaga swadaya masyarakat untuk demokrasi, Kebebasan
informasi,
Sumber : Hak T, Moldan B dan Dahl Arthur (2007)
18

Jesinghaus J (2007) menggunakan indikator yang dinamakannya sebagai


dashboard dari pembangunan berkelanjutan. Indikator yang dipergunakan juga
meliputi empat dimensi, sosial, ekonomi, lingkungan dan kelembagaan. Indikator
secara lengkap adalah sebagai berikut :
a) Dimensi sosial : populasi penduduk di bawah garis kemiskinan, koefisien gini,
pengangguran, upah pekerja pabrik (laki-laki dan perempuan), balita kurang
gizi, tingkat kematian balita, harapan hidup dan kelahiran, fasilitas
pembuangan limbah, akses air bersih, akses fasilitas kesehatan, imunisasi anak,
akses terhadap kontrasepsi, akses terhadap pendidikan dasar, akses terhadap
pendidikan lanjutan, tingkat melek huruf, tingkat kriminalitas, area terbuka di
pusat kota, tingkat pertumbuhan penduduk dan persentase populasi penduduk
kota.
b) Dimensi lingkungan : ekosistem yang dilindungi, jumlah mamalia dan burung,
emisi CO2, emisi lainnya, CFCs, polusi perkotaan, lahan pertanian yang subur
dan permanen, penggunaan pupuk, penggunaan pestisida, areal hutan,
intensitas penebangan kayu hutan, areal lahan kering, jumlah fosfor dalam air
di perkotaan, populasi di pesisir, persentase produksi ikan, penggunaan air
yang dapat diperbarui, BOD air, kandungan bakteri coli dalam air perkotaan
dan area yang diproteksi.
c) Dimensi ekonomi : pendapatan perkapita, investasi, neraca perdagangan
barang dan jasa, hutang luar negeri, bantuan pembangunan, input langsung,
penggunaan pupuk, penggunaan energi komersial, sumberdaya energi yang
dapat diperbarui, efisiensi energi, tempat pembuangan limbah yang layak,
tempat pembuangan limbah berbahaya, pembuangan limbah nuklir,
pengolahan limbah.
d) Dimensi Kelembagaan : implementasi strategi pembangunan berkelanjutan,
keanggotaan organisasi lingkungan, penggunaan internet, jaringan telepon,
pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan, biaya yang dikeluarkan
penduduk untuk bencana alam, tingkat kerusakan akibat bencana alam dan
jumlah kerangka CSD.
Berdasarkan kerangka kerja Commission on Sustainable Development
(CSD) disusun beberapa indikator yang dipergunakan untuk mengukur
pembangunan berkelanjutan (UN, 2001). Indikator-indikator tersebut adalah :
a) Kategori sosial : persen penduduk di bawah garis kemiskinan, tingkat
pengangguran, rasio rata-rata upah perempuan terhadap laki-laki, status gizi
anak, mortalitas balita, angka harapan hidup, rumah tangga yang memiliki
akses ke sanitasi, populasi mengakses air bersih, populasi mengakses fasilitas
kesehatan primer, tingkat melek huruf, anak yang mencapai kelas 5 SD,
tingkat pencapaian pendidikan menengah pada orang dewasa, luas lantai per
jiwa, indeks gini, imunisasi anak, persentase penduduk usia reproduksi
pengguna alat kontrasepsi, angka kriminalitas, pertumbuhan penduduk,
populasi penduduk di pemukiman kota.
b) Kategori ekonomi: PDRB per kapita, neraca perdagangan barang dan jasa,
persentase komponen investasi dalam PDRB, rasio hutang terhadap PDRB,
intensitas penggunaan material, konsumsi energi tahunan per kapita,
banyaknya mineral dan logam yang dikonsumsi per unit PDRB, rasio
pemakaian energi terhadap PDRB, intensitas pemakaian energi, limbah
19

industri, limbah rumah tangga, limbah radio aktif, limbah yang didaur ulang,
jarak tempuh per kapita alat transportasi utama
c) Kategori lingkungan: emisi gas rumah kaca, konsentrasi polutan udara di
perkotaan, luas lahan pertanian, perubahan luas lahan pertanian ke non
pertanian, pemakaian pestisida di lahan pertanian, persentase luas hutan
terhadap luas daratan, intensitas penebangan kayu, potensi kayu, persen
pengambilan air tanah terhadap total persediaan air, kadar BOD dalam air,
persen luas ekosistem yang dilindungi terhadap keseluruhan ekosistem.
d) Kategori kelembagaan: strategi pembangunan berkelanjutan daerah, persen
anggaran untuk penelitian dan pengembangan, sambungan telepon per 1000
penduduk, kerugian jiwa dan ekonomi karena bencana alam.

Modal Sosial

Walaupun sampai saat ini belum ada suatu konsensus yang formal tentang
sumber dari originalitas serta proses-proses pembentukan modal sosial, namun
bagaimanapun juga telah muncul suatu kesepahaman dan saling pengertian antara
para ahli dan peneliti tentang peran penting modal sosial dalam proses
pertumbuhan dan pembangunan. Telah menjadi suatu konsensus umum bahwa
untuk mendapatkan hasil yang optimal, proses pembangunan seharusnya
mempertimbangkan secara serius akan peran penting dari modal sosial.
Subejo (2004) menyarikan beberapa pandangan tentang modal sosial yang
berasal dari berbagai sumber. Pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai
berikut :
a) Coleman. Social capital consist of some aspects of social structures, and they
facilitate certain actions of actors--wheter persons or corporate actors--within
the structure
b) Putnam et.al. Features of social organization, such as trust, norms (or
reciprocity), and networks (of civil engagement), that can improve the
efficiency of society by facilitating coordinated actions
c) Narayan. The rules, the norms, obligations, reciprocity and trust embedded in
social relations, social structure and society’s institutional arrangements
which enable members to achieve their individual and community objectives
d) World Bank. Social capital refers to the institutions, relationships, and norms
that shape the quality and quantity of a society’s social interactions
e) Uphoff. Social capital can be considered as an accumulation of various types
of intangible social, psychological, cultural, institutional, and related assets
that influence cooperative behaviour
f) Dhesi. Shared knowledge, understandings, values, norms, and social networks
to ensure the intended results
Modal sosial mencakup institutions, relationships, attitudes dan values yang
mengarahkan dan menggerakkan interaksi antar orang akan memberikan
kontribusi terhadap pembangunan sosial dan ekonomi. Menurut World Bank
(1998) modal sosial tidaklah sesederhana hanya sebagai penjumlahan dari
institusi-institusi yang dibentuk oleh masyarakat, tetapi juga merupakan perekat
dan penguat yang menyatukan mereka secara bersama-sama. Modal sosial
meliputi shared values dan rules bagi perilaku sosial yang terekspresikan dalam
20

hubungan-hubungan antar personal, trust dan common sense tentang tanggung


jawab terhadap masyarakat, semua hal tersebut menjadikan masyarakat lebih dari
sekedar kumpulan individu.
Dari beberapa pengertian yang telah disarikan oleh Subejo (2004), dapat
dilakukan suatu generalisasi dan simplifikasi tentang elemen-elemen utama dari
modal sosial. Simpulan sederhana dan umum yang dapat diajukan tentang elemen
utama modal sosial mencakup rasa saling percaya (trust), norma (norms)dan
jejaring (network). Ketiga elemen tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap
perilaku kerjasama untuk mencapai hasil yang diinginkan yang mampu
mengakomodasi kepentingan individu yang melakukan kerjasama maupun
kelompok secara kolektif.
Secara nyata dalam keseharian, apabila dicermati secara mendalam, semua
perilaku aktivitas sosialekonomi warga masyarakat lokal melekat dalam jaringan
hubungan sosialnya. Modal sosial memungkinkan transaksi ekonomi menjadi
lebih efisien dengan memberikan kemungkinan bagi pihak-pihak yang terkait
untuk bisa (1) mengakses lebih banyak informasi, (2) memungkinkan mereka
untuk saling mengoordinasikan kegiatan untuk kepentingan bersama, dan (3)
dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan opportunistic behavior melalui
transaksi yang terjadi berulang-ulang dalam rentang waktu yang panjang.
Svendsen dan Svendsen (2004) menyatakan bahwa modal sosial
meningkatkan sistem kontrol terhadap perilaku oportunis, pembonceng (free
rider) dan pencari rente (rent seeking). Individu memang cenderung berperilaku
oportunis, mementingkan diri sendiri dan hanya akan berusaha untuk mewujudkan
tujuan bersama apabila tujuan-tujuan individunya terpenuhi. Kecenderungan
tersebut akan mampu ditekan apabila terbangun modal sosial yang kuat karena
sistem kontrol yang terbangun dari modal sosial tersebut akan meningkatkan
tambahan biaya untuk berperilaku oportunis (MCsc) sehingga tambahan manfaat
yang diperolehnya (MB) tidak lagi memadai seperti dijelaskan pada Gambar 2.
Oleh karena itu, besar kecilnya jumlah individu yang berperilaku oportunis
seringkali dijadikan sebagai indikator kuat lemahnya modal sosial masyarakat.
Modal sosial yang terbangun dari adanya rasa saling percaya, jaringan kerja
dan norma yang kondusif akan mengurangi biaya kontrak dan kontrol sehingga

Rp/Unit

MCsc

MC

MB
A

Opportunism

Sumber : Svendsen dan Svendsen, 2004


Gambar 3Peran Modal Sosial dalam Menekan Perilaku Oportunistik
21

dapat meniadakan biaya transaksi yang tinggi. Selanjutnya, rasa saling percaya
juga memudahkan terbangunnya jaringan kerja yang efisien dan memberi manfaat
pada proses produksi dalam pembangunan ekonomi wilayah. Interaksi sosial yang
didasari oleh rasa percaya yang kuat akan memiliki nilai ekonomi dan sekaligus
menjadi alat peredam konflik.
Hampir semua bentuk modal sosial terbentuk dan tumbuh melalui gabungan
atau kombinasi tindakan dari beberapa orang. Keputusan masing-masing pemain
atau pelaku memiliki konsekuensi kepada semua anggota kelompok atau grup.
Sehingga hal tersebut mencerminkan suatu atribut dari struktur sosial. Seperti
dikemukakan oleh Dhesi dalam Subejo (2004) bahwa modal sosial bukan
merupakan private property dari orang yang mendapat manfaat darinya. Hal ini
hanya akan muncul dan tumbuh kalau dilakukan secara bersama (shared).
Sehingga modal sosial bisa dikatakan sebagai properti dari public good. Modal
sosial akan tumbuh dan semakin berkembang kalau digunakan secara bersama dan
sebaliknya akan mengalami kemunduran atau penurunan bahkan suatu kepunahan
dan kematian kalau tidak digunakan atau dilembagakan secara bersama.
Modal sosial tidak dapat diwariskan sepenuhnya secara otomatis dari
generasi ke generasi seperti pewarisan genetik dalam pengertian biologi.
Pewarisan modal sosial dan nilai-nilai yang menjadi atributnya memerlukan suatu
proses adaptasi, pembelajaran serta pengalaman dalam praktek nyata. Proses ini
akan tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang melalui interaksi yang
berulang-ulang yang memungkinkan suasana untuk saling membangun
kesepahaman, kepercayaan serta nilai dan aturan main yang disepakati bersama
antar pelaku kerjasama.
Rustiadi (2009) menuliskan bahwa determinan modal sosial seperti jaringan
kerja, norma dan rasa percaya mempengaruhi kinerja ekonomi secara positif dan
negatif. Jaringan kerja berpengaruh positif jika dampak proteksi terhadap perilaku
rent seeking lebih besar daripada crowding out waktu kerja. Norma berdampak
positif jikapeluang berkembangnya kreativitas lebih besar daripada peluang
menipisnya etika kerja. Sedangkan rasa saling percaya akan mendorong
peningkatan kinerja ekonomi yang lebih tinggi bila mampu membangun kondisi
persaingan yang sehat.
Menurut Rustiadi (2009) dan Lawang (2005) terdapat tiga unsur utama dari
modal sosial, yaitu hubungan saling percaya, norma serta jejaring(network) dan
keterkaitan (network). Berikut ini penjelasan yang dikutip dari Rustiadi (2009).

2.2.1. Hubungan Saling Percaya


Hubungan saling percaya (trust) pada dasarnya akan membangun kerjasama,
yang kemudian dapat menekan biaya transaksi antara orang dan kemudian berarti
menghemat penggunaan sumberdaya. Bahkan akibat adanya saling percaya kita
tidak banyak membutuhkan upaya memonitor atau mengawasi orang lain untuk
berperilaku seperti yang kita harapkan. Dengan demikian hubungan saling percaya
akan menghemat uang dan waktu. Bahkan, kepercayaan akan membangun rasa
tanggung jawab dan rasa dihargai, yang kemudian akan menimbulkan
kepercayaan kepada yang memberikan kepercayaan, sehingga bersifat timbal
balik (reciprocal trust). Pada dasarnya terdapat dua tipe trust: hubungan saling
percaya dengan individu yang kita ketahui (thick trust); dan hubungan
kepercayaan dengan orang-orang yang tidak kita ketahui tetapi kepercayaan
22

tersebut adalah kepercayaan kepada struktur sosial yang kita kenal (thin trust).
Membangun kepercayaan membutuhkan waktu yang sangat lama, tetapi seringkali
dengan mudah pula dihancurkan, dan ketika sebuah masyarakat mengalami saling
tidak percaya maka membangun kerjasama dan pengaturan-pengaturan akan sulit
terwujud.

2.2.2. Norma
Adanya bentuk persetujuan timbal balik atau norma-norma yang efektif
mengatur perilaku sedemikian rupa sehingga kepentingan kelompok ditempatkan
di atas kepentingan pribadi. Keberadaan aturan umum, norma-norma dan sanksi-
sanksi, membuat individu-individu percaya untuk berinvestasi pada aktivitas-
aktivitas kolektif atau kelompok, dan percaya kepada orang lain akan melakukan
hal yang sama. Individu akan memenuhi tanggungjawabnya dengan keyakinan
hak-haknya tidak akan dipinggirkan. Karena terdapat saling persetujuan siapa
yang salah akan dikenakan sanksi. Aturan formal dibuat oleh pemegang otoritas,
seperti produk-produk hukum dan peraturan, sementara aturan informal digunakan
individu-individu untuk berbagai kegiatan individu dalam keseharian.
Jelasnya, norma adalah suatu bentuk hak sosial mengontrol tindakan
orang/seseorang oleh orang lainnya. Hak mengontrol ini disertai dengan adanya
bentuk sanksi-sanksi yang dapat membentuk perilaku yang patut. Bila struktur
sosial dapat menjangkau (terjadi internalisasi) bentuk-bentuk eksternalitas
perilaku individual, maka kebutuhan akan norma-norma yang mengatur hubungan
individual akan tumbuh, dengan asumsi bahwa kesejahteraan individu dapat
dimaksimalkan bila kesejahteraan sosial juga dimaksimalkan. Intensitas dari
keterkaitan/interaksi sosial dalam kelompok aktor-aktor akan menekan biaya dari
pemberian sanksi bagi semua aktor dengan cara memfasilitasi kerjasama
(kooperasi) dan penciptaan sistem penghargaan (reward) dan sanksi. Jadi,
keberadaan keterkaitan sosial merangsang pembentukan norma-norma efektif.
Penggunaan keterkaitan sosial untuk membangun norma-norma merupakan suatu
proses investasi.

2.2.3. Jejaring (Network)


Terdapat dua ciri penting modal sosial di tingkat komunitas: otonomi dan
keterkaitan (linkage). Bagi pihak pemerintah, sebenarnya keberadaan otonomi
komunitas akan mendukung integritas organisasi dan membantu mencegah
adanya tekanan oleh kelompok tertentu. Bagi masyarakat, adanya otonomi
direfleksikan dengan adanya kekuatan (power) dan bentuk organisasi formal yang
memungkinkan bertindak dengan terbebas dari tekanan pemerintah. Sedangkan
aspek keterkaitan (linkage) termasuk di dalamnya ikatan vertikal terhadap
kekuatan luar dan ikatan horizontal antara pelaku-pelaku lokal. Keterkaitan ini
dapat bersifat cukup kuat seperti di dalam jaringan keluarga atau jaringan kerja,
atau juga bersifat lemah, sebagaimana keterkaitan bridging (menjembatani) di
dalam sistem jaringan (network). Adanya kedua bentuk ikatan modal sosial yang
bersifat lebih longgar seperti halnya ikatan "bridging" dalam sistem network,
dapat berperan penting khususnya untuk pertukaran informasi dan sumberdaya di
antara kelompok secara sosial atau kelompok ekonomi di dalam komunitas.
Di tingkat komunitas, keterkaitan-keterkaitan ini secara alamiah dapat
terbentuk dari perluasan interaksi-interaksi kerja, bersekolah atau perkumpulan-
23

perkumpulan olahraga/hobi dan lain-lain. Sedangkan pada komunitas dimana


interaksi-interaksi ini tidak tumbuh secara alamiah, forum-forum untuk
berinteraksi dapat secara sengaja dibentuk dan didesain untuk mendorong
pengembangan modal sosial.
Berdasarkan unsur networking, modal sosial dibedakan menjadi tiga tipe:
(1) bonding social capital; (2) bridging social capital dan (3) linking social
capital. Bonding social capital dicirikan oleh kuatnya ikatan (pertalian) seperti
antar anggota keluarga atau antar anggota dalam kelompok etnis tertentu.
Beberapa pandangan menyamakan ikatan ini dengan thick trust yaitu modal sosial
yang terbangun akibat adanya rasa percaya antar kelompok orang yang saling
mengenal. Tipe kedua, bridging social capital, dicirikan oleh semakin banyaknya
ikatan antar kelompok misalnya asosiasi bisnis, kerabat, teman dari berbagai
kelompok etnis yang berbeda. Modal sosial tipe kedua ini terbangun dari thin trust,
rasa percaya terhadap sekelompok orang yang belum dikenal. Sedangkan linking
social capital dicirikan oleh hubungan antara berbagai tingkat kekuatan dan status
sosial yang berbeda seperti keterkaitan antar elite politik atau antar individu dari
berbagai kelas yang berbeda.

2.2.4. Konsekuensi Negatif dari Modal Sosial


Yustika (2006) mencatat beberapa studi terbaru yang menunjukkan empat
konsekuensi negatif dari modal sosial. Studi yang dilakukan oleh Pones
menyebutkan empat konsekuensi negatif dari modal sosial, yaitu: (a) pengucilan
dari pihak luar (exclusion of outsiders), (b) dampak klaim terhadap anggota
kelompok (excess claims on groups members), (c) rintangan terhadap kebebasan
individu (restrictions on individual freedoms), dan (d) penyempitan ruang lingkup
dari norma (downward levelling norms). Dalam beberapa hal, keempat
konsekuensi negatif dari modal tersebut nyaris tidak terbantahkan. Bahkan
ditengarai menjadi penyebab terpenting terjadinya keterbelakangan (ekonomi) di
negara-negara berkembang. Modal sosial, yang secara netral lebih banyak
dimaknai sebagai energi penting bagi individu untuk menangkap dan
memanfaatkan peluang melalui struktur sosial yang tersedia, ternyata secara
empirik dapat menjadi sumber kegagalan bagi sebuah sistem untuk bekerja
mencapai tujuan yang diinginkan. Inilah yang menyebabkan sistem yang
dibangun di negara-negara berkembang sulit berjalan karena diganjal dalam tahap
implementasinya. Secara lebih detail, keempat konsekuensi negatif dari modal
sosial dapat dipaparkan sebagai berikut.
Pertama, ikatan sosial yang terlalu kuat cenderung akan mengabaikan atau
membatasi akses pihak luar untuk memperoleh peluang yang sama dalam
melakukan kegiatan (ekonomi), misalnya untukmemperoleh pekerjaan. Bahkan,
secara lebih jauh ikatan sosial dapat menjadi sumber diskriminasi laten yang
merusak iklim persaingan sehat, seperti diskriminasi ras dan warna kulit di
Amerika Serikat dan Afrika Selatan. Di beberapa negara sering kali aparat
birokrasi dimonopoli oleh etnis tertentu. Semua itu dicapai melalui rekayasa
sistematis yang berbasis `ikatan sosial.' Pendeknya, individu/kelompok yang tidak
diidentifikasi sebagai anggota ikatan sosial akan dihalangi untuk memperoleh
akses terhadap setiap peluang (ekonomi) yang timbul.
Kedua, sangat mungkin terjadi dalam sebuah kelompok terdapat beberapa
individu/aktor yang berpotensi mengganjal individu lainnya karena kepemilikan
24

akses, misalnya, informasi yang lebih besar. Atau, kelompok/komunitas berupaya


menghalangi anggotanya untuk mengembangkan bisnisnya karena akan
mengganggu kepentingan (ekonomi) bagi komunitas tersebut. Pada titik
ini,inisiatif individu harus dikorbankan demi kepentingan kelompok/komunitas
yang lebih besar.
Ketiga, selalu ada pilihan atas sebuah dilema antara `solidaritas komunitas'
dan `kebebasan individu'. Dalam sebuah komunitas atau wilayah yang memiliki
norma sangat kuat, kontrol sosial umumnya represif sehingga berpotensi
menghalangi kebebasan personal dari tiap anggotanya. Deskripsi ini dengan
ungkapan lain dapat diterangkan lebih jauh dengan pernyataan bahwa norma yang
sangat kuat memungkinkan setiap anggota kelompok/komunitas saling mengawasi
sehingga tidak ada celahbagi individu untuk berbuat (menyimpang). Sayangnya,
dalam beberapa hal, tindakan „menyimpang' sebetulnya tidak selalu berarti salah,
bahkan dapat menjadi energi kreatif untuk melakukan inovasi. Namun, hal ini
sangat sulit terjadi dalam sebuah komunitas yang ikatan normanya sangat kuat.
Keempat, jamak terjadi sebuah situasi di mana solidaritas kelompok
dibangun berdasarkan pengalaman bersama untuk melawan masyarakat yang
mendominasi (mainstream society). Dalam posisi ini, sebuah kelompok
masyarakat, atas nama norma, dapat menentukan hidup matinya
individu/kelompok lainnya. Hasilnya, ruang lingkup norma menjadi menyempit,
yang seharusnya berfungsi melindungi anggotanya dari praktik-praktik
penindasan. Jadi, norma dapat menjadi pemandu dan perekat bagi sebuah
komunitas untuk menyelenggarakan hidup bersama. Akan tetapi, norma dalam
sebuah struktur ikatan yang tidak adil dapat berlaku eksploitatif terhadap anggota
kelompok yang memiliki posisi lemah sehingga terdapat insentif bagi mereka
untuk melarikan diri dari komunitas tersebut.
Deskripsi tentang konsekuensi negatif modal sosial tersebut dengan jelas
menyatakan bahwa modal sosial dapat merusak bila digunakan untuk
kepentingan-kepentingan sempit. Sampel yang sering digunakan sebagai contoh
adalah kasus mafia. Pada kasus ini ikatan yang kuat di dalam organisasi tersebut
digunakan secara tertutup demimelindungi operasi usaha ilegal, kekerasan, dan
kejahatan. Dalam konteks negara berkembang, keterbatasan sistem politik dan
ekonomi dimanfaatkan untuk mengoperasikan sebuah praktikkegiatan ekonomi
dan politik yang koruptif dan nepotis. Dalam perspektif ini, modal sosial yang
dimiliki digunakan secara eksklusif untuk menguntungkan individu/ kelompok
yang tertentu, sambil pada saat yang bersamaan dipakai untuk mengucilkan
kelompok lainnya dengan cara yang tidak adil. Tentu saja, dalam sudut pandang
ekonomi hal ini akan merugikan tercapainya efisiensi. Misalnya, kebijakan tata
niaga ataupun monopoli diberikan kepada pelaku ekonomi tertentu bukankarena
pertimbangan ekonomi, melainkan kesamaan etnis atau ikatan sosial lainnya.
Implikasinya, kebijakan tersebut menjadi bumerang bagi efisiensi ekonomi karena
dipegang oleh pelaku yang sebetulnya tidak kapabel. Demikian pula dalam level
birokrasi atau perusahaan yang menggunakan sistem rekrutmen yang tidak selektif,
sangat mudah disusupi dengan kepentingan-kepentingan sempit yang bersumber
dari ikatan sosial.
25

Penelitian Terdahulu

2.3.1. Penyusunan Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia


Indikator pembangunan berkelanjutan yang pernah disusun diantaranya
adalah Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) hijau. PDB/PDRB hijau dihitung dari PDB/PDRB konvensional dengan
memasukkan aspek penipisan sumber daya alam (deplesi) dan kerusakan
lingkungan (degradasi). Sumber daya alam yang dieksploitasi dan menjadi input
pada kegiatan ekonomi tidak pernah dihitung nilai penyusutannya. Demikian juga
dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang memerlukan biaya pemulihan
dan pemeliharaan tidak pernah dihitung sebagai biaya yang seharusnya
mengurangi besaran pendapatan
Apabila penyusutan sumber daya alam dan degradasi lingkungan yang
timbul karena kegiatan ekonomi diperhitungkan sebagai unsur pengurang dari
PDB konvensional (Brown GDP), akan diperolehEnvironmentally Adjusted
Domestic Product atau EDP (Green GDP) atau Produk Domestik Regional Neto 2
(PDRN 2). Konsep inikemudian diadopsi oleh BPS dalam menghitung PDB Hijau
(Green GDP) di Indonesia.
Secara nasional, BPS telah melakukan studi untuk menghitung Produk
Domestik Neto 2 (PDN2). Sebelum menghitung PDN2, terlebih dahulu dihitung
PDN1, yaitu Produk Domestik Neto dikurangi dengan deplesi sumber daya alam.
Sumber daya alam yang dicakup dalam studi meliputi sumber daya hutan dan
sumber daya mineral yang terdiri dari minyak bumi, gas alam, batubara, bauksit,
timah, emas, perak dan bijih nikel. Selanjutnya dihitung nilai PDN2, yaitu PDN1
dikurangi dengan degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan dalam studi
dihitung dengan pendekatan adanya emisi gas rumah kaca (GRK) yang
merupakan dampak negatif dari aktivitas ekonomi. Gas rumah kaca yang dihitung
hanya meliputi CO2 dan CH4 yang meliputi deforestasi, kerusakan hutan dan
kebakaran hutan, kerusakan lahan sawah (CH4), penggunaan pupuk urea (CO2),
konsumsi bensin, solar, minyak tanah, LPG, batubara dan briket batubara untuk
industri dan transportasi (BPS, 2012a). Namun studi yang dilakukan oleh BPS ini
hanya mengukur PDB hijau pada level nasional, belum mendistribusikannya pada
level provinsi.
Pada kajian yang lain, Kementrian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan
Dannish International Development Agency (DANIDA), melalui kegiatan
Environmental Support Programme (ESP), juga telah memulai proyek
percontohan untuk memperkirakan PDRB hijau di tingkat lokal sebagai langkah
awal untuk melaksanakan perhitungan PDRB dan PDB Hijau. Untuk tujuan uji
coba metodologi, pemerintah daerah yang dipilih adalah Provinsi Bali dengan
alasan adanya kesediaan pemerintah daerah untuk mendukung uji coba,
ketersediaan data, dan tersedianya sumber daya manusia yang telah mengikuti
pelatihan tentang cara membuat PDRB hijau. Dari proyek percontohan, pelajaran,
ide-ide dan metode yang telah diperoleh dan dapat diterapkan dalam menciptakan
PDRB Hijau Provinsi Bali dan PDB Hijau Indonesia.
Kerangka umum yang dipergunakan dalam studi DANIDA-KLH hampir
sama dengan yang dipergunakan oleh BPS, dimana PDRB/PDB Hijau setara
dengan nilai PDRB/PDB konvensional dikurangi nilai total deplesi sumber daya
alam dan degradasi jasa lingkungan. Perbedaan yang paling mendasar antara
26

penghitungan adalah penempatan komponen penyusutan modal buatan (depresiasi


modal buatan). BPS memasukkan komponen ini sebagai pengurang PDB/PDRB
konvensional, sedangkan DANIDA-KLH melakukan yang sebaliknya. Tidak
dimasukkannya komponen ini didasari oleh alasan bahwa PDRB/PDB Hijau
berkaitan dengan produk domestik bruto (PDB), bukan produk nasional bruto
(national domestic product/NDP). Dengan demikian, secara matematis,
perhitungan PDB/PDRB Hijau yang dilakukan oleh DANIDA-KLH merupakan
hasil pengurangan antara PDRB Konvensional dengan deplesi sumber daya tak
terbarukan (mineral dan batubara), deplesi sumber daya terbarukan (kehutanan
dan perikanan) dan degradasi lingkungan (Fauzi dan Oxtavianus, 2013).
Indikator pembangunan berkelanjutan lainnya pernah pula disusun oleh
Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional pada tahun 2007 melalui studi penyusunan Indeks
Pembangunan Berkelanjutan (IPB). Dalam menyusun IPB tersebut, diidentifikasi
sejumlah parameter dari tiga pilar pembangunan berkelanjutan, lingkungan,
ekonomi dan sosial. Selanjutnya dilakukan analisis hubungan interaksi antara
parameter kunci masing-masing pilar sehingga diperoleh suatu resultante
parameter kunci sebagai penyusun Indeks Pembangunan Berkelanjutan. Pemilihan
parameter kunci dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif.
Parameter-parameter terpilih untuk menentukan IPB adalah kadar CO2,
COD dan land cover untuk parameter kunci bidang lingkungan; PDRB per kapita,
persentase investasi terhadap PDRB dan distribusi pendapatan untuk parameter
kunci bidang ekonomi; serta angka kematian balita, jumlah anak yang mencapai
wajib belajar 9 tahun dan pengangguran untuk parameter kunci bidang sosial.
Rumusan IPB yang dihasilkan masih bersifat semi kuantitatif, sehingga masih
dibutuhkan penyempurnaan untuk menjadi rumusan kuantitatif berbasis skala
prioritas pada setiap pilar/bidang pembangunan berkelanjutan (BAPPENAS,
2007).
Studi yang sama juga dilakukan oleh Wibowo dari Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) pada tahun 2009. Metodologi studi ini hampir sama
dengan yang dilakukan oleh Bappenas. Pada awalnya ditetapkan parameter untuk
masing-masing pilar pembangunan berkelanjutan (lingkungan, ekonomi dan
sosial). Selanjutnya dipilih beberapa parameter secara kualitatif untuk menentukan
indeks masing-masing pilar. Indeks Pembangunan Lingkungan (IPL) ditentukan
oleh beberapa parameter kunci matra air (DO,COD, P, N03, TDS dan E. Coli),
udara (CO, SOx, NOx, HC, PM10 dan kebisingan) dan lahan (land-use, solurne
tanah, erosi, kontaminan dan diversitas). Sedangkan Indeks Pembangunan
Ekonomi (IPE) ditetapkan oleh beberapa parameter kunci ekonomi terpilih
(PDRB, investasi, distribusi pendapatan, kontribusi infrastruktur, dan sampah).
Indeks Pembangunan Sosial (IPS) dihasilkan dari beberapa parameter kunci yang
tercakup pada indikator kecukupan pangan, ketenagakerjaan, status gizi, angka
kematian, pelayanan kesehatan, air siap minum dan melek huruf. Dengan
demikian, Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB) secara kualitatif merupakan
penjumlahan dari Indeks Pembangunan Lingkungan, Indeks Pembangunan
Ekonomi dan Indeks Pembangunan Sosial (Wibowo, 2009).
Penyusunan IPB dengan menggunakan metode kuantitatif pernah dilakukan
oleh Purnomo (2002) dengan menggunakan model persamaan
struktural/Structural Equation Model (SEM). Model yang dibangun digunakan
27

untuk menerangkan keterkaitan IPB di daerah dengan menggunakan variabel laten


SDM, ekonomi dan kualitas. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
dua set, yaitu: (1) IPB pada tingkat kabupaten/kota (Jawa dan luar Jawa) dan (2)
IPB pada tingkat provinsi. Model pada tingkat kabupaten/kotamengungkapkan
bahwa pembangunan sumber daya manusia berpengaruh positif terhadap tingkat
ekonomi dan kualitas hidup. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pengaruh
ekonomi ke kualitasdi Jawa menunjukkan arah negatif sementara di luar Jawa
memiliki arah positif namun tidak signifikan. Hasil ini menegaskan, perlunya
peninjauan kembali terhadap arah kebijakan ekonomi di Jawa. Sedangkan di
luarJawa kebijakan ekonomi yang diterapkan tidak memiliki pengaruh yang
cukup berarti terhadap peningkatan kualitas hidup. Selain itu, dapat ditunjukkan
bahwa ketidakberlanjutan pembangunan berkaitan erat dengan kualitas SDM
yang rendah dan keberlanjutanberkaitan erat dengan kualitas SDM yang tinggi.
Pada model provinsi, terungkapbahwa proses pembangunan di Indonesia
mengarah kepada beberapa hal, di antaranya: (1) distribusi pendapatan yang tidak
merata, (2) penurunan persen luas hutan, dan (3) penurunan kualitas udara.
Penggunaan model persamaan struktural/SEM dalam menghitung
indikator pembangunan berkelanjutan juga pernah dilakukan oleh Umami (2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Umami menggunakan data SUSENAS 2007 dan
indikator makro ekonomi Jawa Timur tahun 2007 yang terdiri atas 38
kabupaten/kota. Hasil analisis menunjukkan bahwa indikator pembangunan
berkelanjutan di Jawa Timur untuk konstruk SDM adalah angka melek huruf,
angka partisipasi sekolah dan tingkat pengangguran terbuka. Indikator dari
konstruk ekonomi adalah garis kemiskinan, lantai tanah dan PDRB. Indikator dari
konstruk kualitas hidup adalah air bersih, angka harapan hidup, prevalensi kurang
gizi dan sanitasi. Konstruk sumber daya manusia terhadap ekonomi memiliki
pengaruh yang positif. Konstruk sumber daya manusia dan ekonomi
mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap kualitas hidup.
Penghitungan IPB juga pernah dilakukan oleh Suliadi (2003) dengan model
fuzzy. Penghitungan IPB dilakukan sampai dengan tingkat provinsi di Indonesia
tahun 1999, termasuk indeks dimensi dan indeks tema dalam pembangunan
berkelanjutan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa indeks pembangunan
berkelanjutan provinsi-provinsi di Indonesia masih rendah, dengan rata-rata
0,523. Indeks pembangunan berkelanjutan Indonesia juga rendah dengan
indeks sebesar 0,561, yang berarti pada tahun 1999 hanya 56,1% dari target
pembangunan berkelanjutan Indonesia yang telah tercapai.Model hubungan antara
indeks Driving Force, State, dan Response untuk provinsi-provinsi bagian barat
wilayah Indonesia dan model untuk provinsi-provinsi bagian timur wilayah
Indonesia secara umum lebih baik dibandingkan model untuk keseluruhan
provinsi di Indonesia. Tenggang waktu pengaruh dan besarnya pengaruh
di antara indeks Driving Force, State, dan Response bervariasi, baik model
untuk 26 provinsi, model untuk provinsi-provinsi bagian barat wilayah
Indonesia, dan model untuk provinsi-provinsi bagian timur wilayah Indonesia.

2.3.2. Peran Modal Sosial dalam Pembangunan


Dalam literatur ekonomi pembangunan dinyatakan bahwa komunitas dan
masyarakat yang kaya akan jaringan kerja sosial dan ikatan-ikatan masyarakat
28

cenderung memiliki kedudukan yang lebih kuat dalam mengatasi kemiskinan dan
kerentanan sosial, lebih mudah memecahkan masalah dan konflik, memiliki
informasi yang simetris serta memiliki dampak pembangunan yang lebih baik.
Penelitian mengenai peran modal sosial dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat, pertumbuhan ekonomi, kondisi sosial dan politik telah banyak
dilakukan di berbagai negara di dunia. Masing-masing peneliti memberikan
penekanan yang berbeda terhadap aspek dan determinan modal sosial. Namun,
sebagian besar penelitian dilaksanakan pada tingkat makro dan cenderung hanya
menganalisis keterkaitan modal sosial dengan indikator pertumbuhan ekonomi
wilayah (Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhan PDRB)
bukan indikator pembangunan ekonomi wilayah, padahal indikator pembangunan
seringkali lebih mampu mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat
dibandingkan dengan indikator pertumbuhan ekonomi wilayah karena
pembangunan ekonomi mencakup juga berbagai aspek sosial kelembagaan selain
tingkat pendapatan per kapita (Dasgupta, 2005).
Secara parsial, analisis keterkaitan modal sosial dengan masing-masing
komponen pembangunan ekonomi wilayah memang telah banyak dilakukan
seperti keterkaitan modal sosial dengan pendidikan (Coleman, 1988), kesehatan
(Miller dkk, 2003) maupun kesejahteraan (Grootaert, 2001). Hasil penelitian-
penelitian tersebut mampu menunjukkan bahwa modal sosial dapat meningkatkan
akses individu terhadap pendidikan, kesehatan maupun tingkat pendapatan yang
lebih tinggi. Keadaan pendidikan dan kesehatan masyarakat yang lebih baik serta
tingkat pendapatan yang lebih tinggi memang akan meningkatkan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) serta menekan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM).
Namun, penelitian-penelitian yang menganalisis keterkaitan langsung antara
modal sosial dengan indikator pembangunan secara menyeluruh masih terbatas.
Hal tersebut menyebabkan terbatasnya referensi yang dapat menjelaskan
bagaimana keterkaitan modal sosial dengan pembangunan berkelanjutan.
Analisis lain mengenai peran modal sosial dalam pembangunan ekonomi
wilayah dilakukan oleh Sabatini (2005). Data yang dianalisis merupakan hasil
survey Italian National Bureau of Statistic yang terdiri dari data modal sosial
mengikat (bonding social capital), modal sosial menyambung (bridging social
capital), modal sosial mengait (linking social capital) serta data kualitas
pembangunan seperti human development index, index of social quality dan state
of health of urban ecosystem. Hasil penelitian Sabatini yang menggunakan
stuctural equations model menunjukkan bahwa modal sosial mengikat (bonding
social capital) berpengaruh negatif terhadap pembangunan manusia dan kinerja
ekonomi, sebaliknya modal sosial menyambung (bridging social capital) mampu
menjembatani antara komunitas yang berbeda, mendorong terjadinya difusi
informasi sehingga bermanfaat dalam proses pembangunan. Hasil penelitian ini
mendukung hasil penelitian Putnam.
Penelitian mengenai peran modal sosial terhadap kesejahteraan rumah
tangga di Indonesia dilakukan pertama kali oleh Grootaert (1999) di tiga provinsi,
yaitu Jambi, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Penelitian tersebut
menganalisis modal sosial hanya pada tingkat mikro (individual, rumah tangga)
dan meso (komunitas). Batasan yang digunakan mencakup asosiasi horizontal dan
vertikal untuk menginvestigasi secara empiris hubungan antara modal sosial,
kesejahteraan rumah tangga dan kemiskinan. Selain itu, juga diperbandingkan
29

antara peran modal manusia dengan modal sosial dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan rumah tangga. Hasil analisis peubah ganda (multivariate)
menunjukkan bahwa peran modal sosial dalam peningkatan kesejahteraan hampir
sama dengan peran sumber daya manusia dan bernilai positif. Rumah tangga
dengan modal sosial tinggi memiliki pengeluaran perkapita lebih tinggi, memiliki
aset fisik dan tabungan lebih banyak serta akses terhadap kredit yang lebih baik.
Sayangnya, determinan modal sosial masih terbatas pada jaringan kerja saja yang
meliputi kepadatan organisasi, heterogenitas, partisipasi, kehadiran dalam
kegiatan kelompok dan orientasi individu.
Penelitian Grootaert (1999) telah mempertimbangkan adanya keterkaitan
antar modal sosial dan indikator kesejahteraan yang ditunjukkan melalui metode
analisis Two Stage Least Square (TSLS) yang digunakannya. Peneliti lain masih
menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk menganalisis modal
sosial dan indikator kesejahteraan yang berarti belum mempertimbangkan adanya
sifat keterkaitan tersebut. Penggunaan metode OLS sesungguhnya tidak lagi
memadai apabila terdapat keterkaitan antara variabel bebas dan variabel terikat
karena akan menghasilkan penduga yang bias. Grootaert hanya melakukan
analisis di tingkat rumah tangga (mikro) dan kelompok (meso).
Hasil-hasil penelitian modal sosial terdahulu menunjukkan bahwa pada
tingkat mikro, modal sosial diyakini berperan positif dan nyata terhadap
peningkatan kesejahteraan rumah tangga dan menekan terjadinya kemiskinan.
Pada tingkat makro, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan, yaitu: (1)
sebagian besar peneliti meyakini bahwa modal sosial memberi kontribusi positif
dan nyata terhadap indikator pertumbuhan dan pembangunan wilayah, (2)
beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial menimbulkan efek
crowding out yang mengurangi waktu kerja efektif sehingga akhirnya memberi
kontribusi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.
Miguel dkk. (2002) melakukan penelitian mengenai dampak industrialisasi
pada modal sosial di Indonesia selama kurun waktu 1985 hingga 1997. Modal sosial
diukur berdasarkan aktivitas organisasi sukarela, tingkat rasa percaya, kerjasama
informal dan outcome keluarga. Data yang dianalisis berasal dari BPS meliputi data
PODES, SUSENAS dan SUPAS. Pengertian modal sosial ditekankan pada modal
sosial informal (proporsi pengeluaran perkapita untuk aktivitas sosial dan keagamaan
dan persentase aturan adat yang masih ditaati) sedangkan hasilnya (outcome) meliputi
indikator kualitas tempat tinggal dan tingkat perceraian. Semakin tinggi pengeluaran
perkapita untuk aktivitas sosial dan keagamaan berarti semakin kuat hubungan antar
individu tersebut. Penekanan khusus diberikan pada masalah migrasi penduduk yang
seringkali menghambat upaya penguatan modal sosial. Dua model yang dibangun
dibedakan atas model statis dan dinamis. Model statis tidak mempertimbangkan
migrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial ternyata tidak berkaitan
dengan industrialisasi sehingga tidak dapat dinyatakan bahwa industrialisasi akan
menguatkan atau melemahkan modal sosial.
Vipriyanti (2007) melakukan penelitian yang menitikberatkan pada peran
modal sosial dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan, dengan
mengambil lokus Provinsi Bali. Penelitian ini menggunakan structural
equationmodel (SEM) untuk melihat komponen dominan modal sosial serta metode
pendugaan two stage least square untuk melihat keterkaitan antara modal sosial dan
pembangunan ekonomi. Sedangkan strategi kebijakandalam penguatan modal sosial
ditentukan melalui game analysis.Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Modal
30

sosial di wilayah belumberkembang lebih rendah daripada di wilayah maju. Rasa


percaya merupakansatu-satunya komponen dominan yang memberi kontribusi nyata
terhadap modalsosial di wilayah maju dan organisasi modern di Bali. Komponen
dominan modalsosial di wilayah belum berkembang adalah norma sedangkan
komponendominan modal sosial dalam organisasi tradisional adalah jaringan kerja;
(2)Modal sosial memiliki keterkaitan yang nyata dengan tingkat kesejahteraan
rumahtangga dan pembangunan ekonomi wilayah namun tidak memiliki
keterkaitanyang nyata dengan kemiskinan dan laju pertumbuhan ekonomi wilayah.
Modalsosial menyambung (bridging social capital) memberi kontribusi negatif
terhadappertumbuhan ekonomi wilayah sebaliknya memberi pengaruh positif
terhadaptotal faktor produktivitas; (3) Bekerjasama merupakan strategi yang harus
dipiliholeh rumah tangga, pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi
untukmembangun modal sosial di tingkat makro walaupun strategi tersebut
berartisemua pihak harus bersedia menanggung biaya sosial.
Merangkum beberapa hasil penelitian, Yustika (2006) menuliskan tiga
bentuk hubungan modal sosial dengan pembangunan. Modal sosial dapat
berhubungan dengan pembangunan melalui tiga cara, yaitu : 1) hubungan
langsung modal sosial terhadap output, 2) hubungan tidak langsung modal sosial
melalui akumulasi modal manusia dan 3) hubungan tidak langsung modal sosial
melalui akumulasi modal fisik. Hubungan modal sosial dengan pembangunan
dijabarkan pada penjelasan berikut.

a. Hubungan langsung modal sosial terhadap output,


Meskipun dua negara memiliki pasar ekonomi pasar yang berfungsi,
teknologi yang serupa dan modal fisik dan modal manusia yang setara, namun
tingkat produksinya boleh jadi berbeda karena perbedaan dalam efektivitas
kelembagaan dan norma-norma kemasyarakatan. Modal sosial menurut
Putnam diukur berdasarkan keanggotaan dalam organisasi sosial, hasil survei
tentang kepercayaan sosial (social-trust), dan penilaian tentang efektivitas
pemerintahan.
Beberapa literatur menunjukkan bahwa modal sosial dan efektivitas
pemerintahan dapat secara langsung memfasilitasi peningkatan produktivitas.
Misalnya, dengan memfasilitasi terjadinya koordinasi di dalam proses
produksi yang kompleks (Dayton-Johnson dalam Wallis dkk 2003), dan
memungkinkan tersedianya waktu yang lebih banyak untuk berinovasi
daripada melakukan monitoring atau penguatan kontrak dan hak
kepemilikan/property right (Knack dan Keefer, 1997). Mauro (1995)
berpendapat bahwa kelembagaan yang efisien dan jujur akan memfasilitasi
terjadinya pendistribusian izin dan lisensi, sehingga mempercepat kemajuan
teknologi.
Biaya transaksi juga akan berkurang di dalam masyarakat yang memiliki
tingkat kepercayaan yang tinggi (high-trust) karena semakin sedikitnya
kontrak eksplisit yang diperlukan serta semakin berkurangnya pelanggaran
yang akan terjadi. Modal sosial juga memungkinkan terjadinya peningkatan
total factor productivity melalui pengembangan kelembagaan dan peningkatan
skala ekonomi (Fukuyama, 1995).
Modal sosial juga dapat memfasilitasi peningkatan produksi melalui
penyediaan barang publik yang lebih baik, peningkatan manajemen sumber
daya milik bersama (common property), dan biaya sosial yang lebih rendah.
31

Memunculkan perilaku yang berorientasi untuk memikirkan kepentingan


umum menjadi kendala pada masyarakat yang cenderung memikirkan dirinya
masing-masing, sehingga akan menjadi persoalan dalam pengelolaan
infrastruktur publik (Knack dan Keefer, 1997). Teori dan hasil studi kasus
menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya milik bersama (common
property) paling efektif ketika insentif individu sejalan dengan orang-orang
dari kelompok yang lebih luas. Narayan dan Pritchett (2000) melaporkan
bahwa desa-desa di Tanzania yang memiliki tingkat modal sosial yang lebih
tinggi cenderung telah melakukan pembangunan jalan milik masyarakat dan
telah mengadopsi praktek-praktek pertanian modern.

b. Hubungan tidak langsung modal sosial melalui akumulasi modal manusia


Selain hubungan langsung dengan produktivitas, modal sosial juga
memiliki hubungan tidak langsung melalui peningkatan akumulasi modal
manusia, melalui investasi yang lebih besar dalam sistem pendidikan publik,
partisipasi masyarakat yang lebih tinggi dalam pengelolaan sekolah, dan akses
kredit informal yang lebih baik bagi masyarakat miskin (Knack dan Keefer,
1997). Coleman (1988) menemukan bahwa modal sosial yang tinggi
berhubungan dengan tingkat putus sekolah siswa yang lebih rendah. Narayan
dan Pritchett (2000) menunjukkan bukti bahwa modal sosial berhubungan
dengan tingkat partisipasi para orang tua di sekolah yang lebih tinggi serta
kualitas sekolah yang lebih baik.
Studi yang dilakukan oleh Goldin dan Katz (1998) di Amerika Serikat
yang menunjukkan bahwa tingkat keseragaman penghasilan/kesejahteraan,
stabilitas masyarakat, etnis dan agama menjadi semakin baik karena pengaruh
pendidikan tinggi selama periode 1910 hingga 1930. Implikasinya adalah
bahwa keseragaman sosial dan stabilitas masyarakat di Amerika Serikat
didorong oleh adanya akumulasi modal manusia yang dipengaruhi oleh tingkat
modal sosial yang tinggi. Argumentasi lainnya tentang pengaruh modal sosial
terhadap investasi modal manusia juga disampaikan oleh Fukuyama.
Keputusan rekrutmen tenaga kerja dalam masyarakat yang memiliki tingkat
kepercayaan yang tinggi lebih dipengaruhi oleh tingkat pendidikan,
dibandingkan dengan kedekatan pribadi atau kekeluargaan, sehingga
memberikan return yang lebih tinggi dalam investasi modal manusia
(Fukuyama, 1995). Hubungan tidak langsung modal sosial terhadap akumulasi
modal manusia, ditunjukkan dengan adanya interaksi antara modal sosial
dengan modal manusia.

c. Hubungan tidak langsung modal sosial melalui akumulasi modal fisik.


Modal sosial juga dapat memfasilitasi akumulasi bersih dari modal fisik.
Penanaman modal dalam negeri dan tingkat tabungan cenderung lebih tinggi
dalam kondisi sosial politik yang stabil dan tingkat kepastian yang tinggi
(Alesina, Zler, Roubini dan Swagel dalam Wallis 2003). Guiso dkk (2000)
melakukan analisis data dari berbagai daerah di Italia dan menemukan bahwa
di daerah dengan tingkat kepercayaan sosial yang tinggi, rumah tangga lebih
cenderung berinvestasi dalam bentuk saham daripada uang tunai,
menggunakan cek yang lebih banyak dan mempunyai akses yang lebih baik
terhadap kelembagaan kredit. Hubungan yang kuat ini diperoleh setelah
32

melakukan kontrol terhadap pendapatan per kapita, kualitas penegakan hukum


dan faktor lingkungan lainnya. Perusahaan yang berada di daerah dengan
tingkat kepercayaan yang tinggi cenderung memiliki pemegang saham yang
banyak. Kondisi yang sama juga menunjukkan terjadinya keberhasilan dari
skema pinjaman yang berbasis kelompok (Grootaert, 1998). Selain itu,
kualitas dari tata kelola adalah kunci penentu dalam menarik investasi asing
(Rodrik, 1999). Hubungan tidak langsung modal sosial terhadap akumulasi
modal fisik, ditunjukkan dengan adanya interaksi antara modal sosial dengan
modal fisik.

Singkatnya, modal sosial dapat mengakibatkan terjadinya akumulasi modal,


keterampilan, inovasi, transfer informasi dan teknologi, serta berkurangnya biaya
transaksi (Hall dan Jones, 1999). Selain itu, modal sosial dapat memfasilitasi
pengelolaan sumberdaya milik bersama dan penyediaan barang publik,
meningkatkan investasi, dan mengurangi biaya sosial dari kriminalitas, korupsi
dan bentuk-bentuk lain dari perilaku non kooperatif. Sebaliknya, rendahnya
tingkat modal sosial akan menghambat kegiatan ekonomi dengan membatasi
ruang gerak dari transaksi (termasuk pertukaran ide), khususnya di bidang
kepincangan sosial (misalnya ketidaksetaraan pendapatan atau ketegangan etnis).
Namun demikian, terdapat indikasi bahwa modal sosial memiliki tingkat
pengembalian marjinal yang semakin berkurang (diminishing marginal rate of
return), sehingga modal sosial lebih bermanfaat di negara berkembang.

Kerangka Pemikiran

Tujuan pembangunan pada akhirnya mengarah kepada pembangunan


berkelanjutan. Pemahaman tentang pembangunan berkelanjutan memungkinkan
terjadinya pembangunan yang tidak terbatas. Pembangunan berkelanjutan juga
mensyaratkan terjadinya keseimbangan antar dimensi ekonomi, sosial, lingkungan
dan kelembagaan. Bagian awal penelitian akan menganalisis capaian
pembangunan di Indonesia dalam kerangka pembangunan ekonomi, sosial,
lingkungan dan kelembagaan. Analisis akan dilakukan dengan menggunakan
beberapa indikator yang terkait dengan masing-masing dimensi pembangunan.
Selanjutnya, berdasarkan keempat dimensi pembangunan berkelanjutan tersebut
dilakukan pengembangan indeks komposit pembangunan berkelanjutan.
Di sisi lain, pemikiran tentang modal pembangunan juga terus berkembang.
Selain natural capital, manmade capital dan human capital, modal pembangunan
lainnya yang adalah modal sosial. Modal sosial diyakini mampu meningkatkan
rasa saling percaya, sehingga akan menurunkan perilaku free rider. Modal sosial
juga mampu menurunkan biaya transaksi antar pelaku dan mengurangi terjadinya
masalah collective action. Peran modal sosial tersebut akan mempercepat
terciptanya pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini lebih difokuskan untuk
mengkaji modal sosial. Modal pembangunan yang lain tetap akan dibahas, namun
dalam porsi yang sangat terbatas.
Terkait dengan pemikiran modal sosial yang relatif baru, maka penelitian
yang mengukur besaran modal sosial juga belum banyak dilakukan. Ketersediaan
33

Pembangunan Wilayah

Tujuan Pembangunan Modal Pembangunan


Wilayah

Pembangunan -Peningkatan kepercayaan


Bekelanjutan -Berkurangnya free rider Modal Sosial -Natural capital
+ -Menurunnya biaya transaksi -Man-made capital
(Ekonomi, Sosial, (Trust, Norm, Network)
-Mengurangi masalah collective -Human capital
Lingkungan,
action
Kelembagaan)

Evaluasi Pengembangan Indeks Hubungan Pembangunan Pengukuran Modal


Pembangunan Komposit Pembangunan Berkelanjutan dengan Modal Sosial
Indonesia Berkelanjutan Sosial (Indeks Modal Sosial)
Indeks komposit; Indeks komposit;
Deskriptif Korelasi; Analisis Jalur
2nd Order CFA korelasi
1 2 3

Rekomendasi Kebijakan Keterkaitan dengan tujuan penelitian

Gambar 4Kerangka Pemikiran

data tentang modal sosial tidak selengkap data yang lain. Oleh sebab itu,
penelitian ini dirancang untuk melakukan penghitungan indeks modal sosial
sebagai proksi dari besaran modal sosial. Indeks modal sosial merupakan indeks
komposit dari komponen modal sosial yang terdiri dari kepercayaan (trust), norma
(norm) dan jejaring (networks).
Dua indeks yang dihasilkan dalam penelitian ini, indeks pembangunan
berkelanjutan dan indeks modal sosial, dimanfaatkan untuk menganalisis
hubungan antara pembangunan berkelanjutan dengan modal sosial.
Pada bagian akhir penelitian, akan dilakukan sintesis dari seluruh analisis
yang telah dilakukan. Sintesis ini diarahkan untuk menghasilkan rekomendasi
kebijakan yang diharapkan mampu mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Rekomendasi ini akan menjadi feed back bagi pembangunan wilayah secara
umum.
.
Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian merupakan kesimpulan awal dari sebuah penelitian.


Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibangun, dapat dinyatakan beberapa
hipotesis dalam penelitian ini, yaitu :
a) Evaluasi pembangunan akan menghasilkan kemajuan pada pembangunan
dimensi ekonomi dan sosial, namun penurunan pada pembangunan lingkungan
dan kelembagaan
34

b) Pengembangan indeks komposit pembangunan berkelanjutan menunjukkan


pengaruh positif pembangunan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan
kelembagaan terhadap pembangunan berkelanjutan
c) Terdapat hubungan positif antara indeks modal sosial dengan indeks
pembangunan berkelanjutan
35

3 METODE PENELITIAN

Data dan Pengambilan Sampel

Keseluruhan data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan data


sekunder. Data sekunder berkaitan dengan data yang waktu dikumpulkannya
bukan (tidak harus) untuk memenuhi kebutuhan penelitian yang sedang dihadapi
(Juanda, 2009b).Data sekunder sebagian besar diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS). Data tersebut tidak saja yang berasal dari publikasi namun juga
mempergunakan data hasil survei yang dilakukan oleh BPS. Beberapa data survei
yang akan dipergunakan adalah hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional KOR,
Survei Sosial Ekonomi Nasional Modul Sosial Budaya dan Pendidikan (MSBP),
Survei Angkatan Kerja Nasional dan Pendataan Potensi Desa. Sumber data
sekunder lainnya adalah dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kementrian
Kehutanan.

Variabel Penelitian

Variabel pokok yang dipergunakan di dalam penelitian ini meliputi


indikator pembangunan berkelanjutan dan modal sosial, dengan unit analisisnya
pada tingkat provinsi. Masing-masing variabel pokok tersebut dijabarkan menjadi
beberapa variabel turunannya. Secara lebih rinci, penjelasan dari masing-masing
variabel adalah sebagai berikut :

3.2.1. Pembangunan Berkelanjutan


Dalam mengukur kinerja pembangunan berkelanjutan dengan menyusun
indeks pembangunan berkelanjutan, dibutuhkan sejumlah indikator yang mampu
memotret keseluruhan dimensi pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial,
lingkungan dan kelembagaan). Pemilihan indikator dilakukan dengan
menggunakan beberapa referensi. Referensi utama adalah indikator pembangunan
berkelanjutan yang dikeluarkan oleh United Nation Department of Economic and
Social Affairs-UN DESA (UN 2001 dan UN 2007). Referensi selanjutnya
mengacu kepada studi tentang indikator pembangunan di Indonesia yang
dilakukan oleh BPS dan BAPPENAS, yaitu indeks pembangunan regional (BPS
2010a) dan indikator pembangunan berkelanjutan (BAPPENAS 2007). Sebagai
penguatan, juga dilakukan perbandingan dengan indikator yang dipergunakan
dalam beberapa studi terkait penyusunan indeks komposit pembangunan
berkelanjutan yang pernah dilakukan di negara lain. Studi yang dijadikan sebagai
perbandingan adalah studi di Yunani (Kondyli 2010), Eropa Tenggara (Golusin M
dan Ivanovic OM 2009), Italia (Floridi dkk 2011) dan Republik Ceko (Hak T dkk
2012).
Mengingat kompleksnya indikator yang dipergunakan dalam mengukur
pembangunan berkelanjutan, maka dipilih beberapa indikator yang diduga dapat
mengukur pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Selain pertimbangan tersebut,
pertimbangan lain yang tidak kalah pentingnya adalah ketersediaan data.Secara
lengkap, indikator yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
36

Tabel 7Indikator Pembangunan Berkelanjutan

Dimensi Indikator Referensi*)


Ekonomi Pertumbuhan PDRB (EGROW) [5], [6]
PDRB per kapita (PDRBC) [1], [2], [3], [4], [5], [6], [7]
Persentase penduduk yang bekerja (KERJA) [2], [5], [7]
Pengangguran (NGGUR) [1], [4], [5], [6], [7]
% PAD terhadap Total penerimaan Daerah (PAD) [3]
Sosial Rata-rata lama Sekolah (MYS) [3]
Angka Melek Huruf usia 15+ (AMH) [1], [2], [6]
Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 16-18 (APS) [1], [2], [7]
Penduduk usia 24+ th yang tamat perguruan tinggi (PT) [3]
Angka Harapan Hidup (E0) [1], [2], [3], [6], [7]
% Balita yang di imunisasi (IMUN) [1], [2], [3]
Prevalensi penggunaan kontrasepsi (KB) [1], [2]
% Penduduk yg berobat ke RS dan Dokter (BROBAT) [2], [3]
IMR (IMR) [1], [2], [4], [7]
Pertumbuhan penduduk (POPGROW) [1], [2], [3], [5]
Rasio ketergantungan (DEPR) [2], [3], [5], [7]
TFR (TFR) [2], [6], [7]
% Penduduk tidak miskin (MISKIN) [1], [2], [3], [6], [7]
% rumah tangga yang menggunakan listrik (LISTRIK) [2]
Lingkungan % Desa tidak mengalami pencemaran udara (UDARA) [3]
% Desa tidak mengalami pencemaran air (AIR) [3]
% Desa tidak mengalami pencemaran tanah (TANAH) [3]
Emisi CO2 (CO2) [1], [2], [4], [6], [7], [8]
Emisi CH4 (CH4) [1], [2], [6], [7], [8]
% Rumahtangga dgn sumber minum air bersih (ABERSIH) [1], [2], [3], [7]
% Rumahtangga dengan sanitasi layak (SANITASI) [1], [2], [3]
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) tambahan peneliti
Kelembagaan Gini rasio (GINI) [1], [4], [6], [7]
Kasus kriminalitas per 100.000 penduduk (CRIME) [1], [2]
Rasio upah pekerja perempuan dan laki-laki (RUPAH) [1], [3]
Rasio APS perempuan dan laki-laki (RAPS) tambahan peneliti
Rasio rata-rata pendapatan penduduk desa & kota (RPDPT) tambahan peneliti
Catatan : *) [1] UN (2001), [2] UN (2007), [3] BPS (2010a), [4] BAPPENAS (2007), [5] Kondyli (2010),
[6] Golusin M dan Ivanovic OM (2009), [7] Floridi dkk (2011), [8] Hak T dkk (2012)
Keterangan dalam tanda kurung ( ) menunjukkan nama variabel

Masing-masing indikator memiliki peran tersendiri dalam mengukur


capaian pembangunan. Keterangan untuk setiap indikator dijelaskan dalam uraian
berikut

 Pertumbuhan PDRB (EGROW). Pertumbuhan PDRB adalah indikator utama


dalam menentukan perkembangan ekonomi secara umum. PDRB
menggambarkan nilai tambah yang dihasilkan di suatu wilayah, baik dilihat
dari sisi sektoral maupun dari sisi penggunaannya.

 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita (PDRBC). Indikator ini
merupakan indikator dasar pertumbuhan ekonomi yang mengukur jumlah nilai
tambah yang diperoleh secara rata-rata oleh setiap penduduk dalam satu
wilayah.
37

Di Indonesia dikenal dua jenis PDRB perkapita, yaitu PDRB perkapita dengan
minyak dan gas bumi (migas) dan PDRB perkapita tanpa migas. Masing-
masing PDRB perkapita tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. PDRB
Perkapita tanpa migas cukup baik dipergunakan sebagai proksi perbandingan
kemajuan ekonomi antar wilayah. Pernyataan ini didukung oleh alasan bahwa
pengelolaan migas pada umumnya tidak banyak melibatkan masyarakat lokal,
sehingga nilai tambah yang bersumber dari migas hanya dinikmati oleh
sebagian kecil masyarakat atau bahkan mengalir ke luar daerah. Namun
penggunaan PDRB tanpa migas juga memiliki kelemahan karena seakan-akan
mengabaikan peran sektor migas, yang justru menjadi tulang punggung
perekonomian bagi sebagian daerah. Dalam pembangunan daerah, terutama
dalam era otonomi daerah, peran migas sangat besar dalam hal penerimaan
daerah yang bersumber dari bagi hasil migas. Penerimaan daerah ini tentunya
akan berdampak pada kemampuan keuangan daerah yang menjadi sumber
bagi pembangunan daerah yang pada akhirnya akan berdampak pada
kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, maka penelitian ini menggunakan
PDRB perkapita dengan migas sebagai proksi dari kemajuan ekonomi daerah.

 Persentase penduduk yang bekerja (KERJA). Persentase penduduk usia 15


tahun keatas yang bekerja ini menyediakan informasi pada kemampuan
ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja. Bekerja sebagai lawan
pengangguran dipandang sebagai posisi yang diinginkan oleh penduduk usia
produktif (angkatan kerja)

 Pengangguran (NGGUR).Tingkat pengangguran memberikan informasi


tentangkegagalan ekonomi untukmenciptakan lapangan kerja. Penganggur
didefinisikan sebagai penduduk yang mencari kerja atau sedang
mempersiapkan usaha. Termasuk pula mereka yang tidak mencari kerja karena
merasa putus asa.

 Persentase Pendapatan Asli Daerah terhadap total penerimaan daerah (PAD).


Indikator ini untuk menunjukkan seberapa besar kemampuan daerah dalam
menyediakan anggaran pembangunan sendiri tanpa bergantung pada
pemerintah pusat

 Rata-rata lama Sekolah (MYS). Indikator ini ditujukan untuk melihat


bagaimana tingkat pendidikan penduduk sebagai output dari pembangunan di
bidang pendidikan

 Angka melek huruf penduduk usia 15 tahun keatas (AMH). Angka melek
huruf penduduk usia 15 tahun keatas adalah persentase penduduk berusia 15
tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis dalam huruf latin atau lainnya.
Indikator ini dapat menggambarkan akumulasi pencapaian pendidikan dalam
penyebaran bacatulis

 Angka Partisipasi Sekolahusia 16-18 (APS). Indikator ini untuk melihat


bagaimana partisipasi penduduk usia SMA dalam pendidikan sebagai dampak
38

dari berbagai kebijakan di bidang pendidikan, termasuk pembangunan


gedung-gedung sekolah dan distribusi sumber daya pengajar yang merata

 Persentase penduduk usia 24+ tahun yang tamat perguruan tinggi (PT).
Indikator ini merupakan proporsi penduduk usia kerja yang telah
menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi. Indikator ini juga
menggambarkan kualitas sumber daya manusia yang terdapat dalam populasi
penduduk dewasa

 Angka Harapan Hidup (E0). Indikator ini merupakan rata-rata umur hidup
yang diharapkan akan dicapai oleh seorang bayi yang baru lahir. Kalkulasi
angka harapan hidup dilakukan dengan mempertimbangkan adanya risiko
kematian pada saat usia tertentu. Angka harapan hidup saat lahir merupakan
indikator kematian dan proxy terhadap kondisi kesehatan

 Persentase balita yang di imunisasi (IMUN). Indikator ini memantau


implementasi dari program imunisasi. Pengelolaan yang baik pada program
imunisasi sangat penting untuk mengurangi kesakitan dan kematian dari
penyakit menular di masa kanak-kanak

 Persentase wanita usia 15-49 tahun yang menggunakan alat KB / kontrasepsi


(KB). Indikator ini menunjukkan usaha manusia secara sadar dalam
mengontrol kelahiran/pelayanan kesehatan reproduksi. Meskipun indikator ini
tidak dapat mengontrol semua tindakan yang diambil dalam mengontrol
kelahiran. Manfaat kesehatan dari penggunaan kontrasepsi meliputi
kemampuan untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga
mengurangi risiko aborsi, potensi komplikasi kehamilan dan risiko kematian
ibu.

 Persentase penduduk yang berobat ke rumah sakit dan dokter (BROBAT).


Indikator ini mengukur akses penduduk terhadap fasilitas pelayanan kesehatan
dasar

 Angka kematian bayi/infant mortality rate (IMR). Estimasi angka kematian


bayi merupakan probabilitas bayi yang meninggal sebelum mencapai usia 1
tahun (dinyatakan per 1000 kelahiran hidup). Tingkat kematian bayi
dipengaruhi oleh ketersediaan, akses dan kualitas sarana kesehatan;
pendidikan, khususnya ibu-ibu; akses air bersih dan sanitasi; kemiskinan dan
gizi

 Pertumbuhan penduduk (POPGROW). Laju pertumbuhan penduduk


mengukur seberapa cepat jumlah penduduk berubah. Tingkat pertumbuhan
penduduk yang tinggi mempengaruhi secara negatif aspek penggunaan lahan,
air, udara, energi dan sumber daya lainnya.
39

 Rasio ketergantungan (DEPR). Angka beban ketergantungan menunjukkan


perbandingan jumlah penduduk yang aktif secara ekonomi terhadap penduduk
usia muda dan usia tua yang tergantung secara ekonomi. Angka beban
ketergantungan dapat mengindikasikan dampak potensial perubahan struktur
umur penduduk terhadap pembangunan sosial dan ekonomi

 Angka kelahiran total/total fertility rate (TFR). Angka kelahiran total adalah
rata-rata banyaknya anak yang dilahirkan oleh seorang wanita sepanjang
hidupnya. Angka kelahiran total merupakan salah satu variabel yang secara
langsung berpengaruh pada perubahan penduduk. Angka kelahiran total tidak
dipengaruhi oleh distribusi umur penduduk. Angka kelahiran yang rendah
dapat meningkatkan kemampuan keluarga dan pemerintah dalam pengelolaan
sumber daya yang ada untuk melawan kemiskinan, melindungi dan
memperbaiki lingkungan.

 Persentase penduduk tidak miskin (MISKIN). Penduduk miskin adalah


penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan berada di
bawah garis kemiskinan. Tujuan dari ukuran kemiskinan adalah untuk
memungkinkan adanya perbandingan kemiskinan dan menilai kemajuan upaya
pengentasan kemiskinan serta evaluasi program

 Persentase rumah tangga yang menggunakan listrik (LISTRIK). Listrik dan


layanan energi modern adalah komponen penting dalam penyediaan pelayanan
sosial dasar. Kurangnya akses ke layanan energi modern berkontribusi
terhadap kemiskinan dan membatasi pembangunan ekonomi

 Persentase desa tidak mengalami pencemaran udara (UDARA). Indikator ini


untuk melihat bagaimana usaha pengelolaan lingkungan dalam hal terjadinya
pencemaran udara

 Persentase desa tidak mengalami pencemaran air (AIR). Indikator ini untuk
melihat bagaimana usaha pengelolaan lingkungan dalam hal terjadinya
pencemaran air

 Persentase desa tidak mengalami pencemaran tanah (TANAH). Indikator ini


untuk melihat bagaimana usaha pengelolaan lingkungan dalam hal terjadinya
pencemaran tanah
40

 Emisi gas rumah kaca (CO2) dan (CH4). Indikator ini mengukur emisi gas
rumah kaca yang memiliki dampak langsung terhadap perubahan iklim. Gas-
gas rumah kaca yang utama adalah karbon dioksida (CO2) dan methan (CH4).
Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer berkontribusi terhadap
pemanasan global yang merupakan tantangan utama bagi pembangunan
berkelanjutan. Indikator ini juga memberikan informasi mengenai pemenuhan
komitmen global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca

 Persentase rumahtangga dengan sumber minum air bersih (ABERSIH).


Indikator ini memonitor kemajuan dari akses rumah tangga terhadap sumber
air bersih dengan volume yang memadai dan jarak yang terjangkau

 Persentase rumahtangga dengan sanitasi layak (SANITASI). Penyediaan


sanitasi yang memadai diperlukan untuk melindungi kesehatan manusia serta
lingkungan. Indikator ini memantau kemajuan akses rumah tangga pada
fasilitas sanitasi, pelayanan sosial dasar yang penting sekaligus merupakan
dasar untuk mengurangi risiko dari bakteri fecal (yang terdapat pada kotoran
manusia) dan frekuensi penyakit yang terkait

 Indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH). Indikator ini merupakan indeks


komposit yang mengukur kualitas lingkungan. Indeks ini merupakan rata-rata
dari indeks pencemaran udara (IPU), indeks pencemaran air (IPA) dan indeks
tutupan hutan (ITH).Indeks pencemaran udara menggunakan indikator
konsentrasi SO2 dan NO2 di udara. Indeks pencemaran air menggunakan
indikator konsentrasi TSS, DO dan COD pada air sungai. Indeks tutupan hutan
merupakan persentase luas hutan primer dan sekunder terhadap luas hutan
yang telah ditetapkan oleh Kementrian Kehutanan.

 Gini rasio (GINI). Indikator ini merupakan suatu ukuran ketimpangan


pendapatan atau sumber daya dalam suatu masyarakat. Ketimpangan akibat
pendapatan atau konsumsi dan ketidaksetaraan dalam meraih kesempatan
menghambat pembangunan manusia dan merugikan pembangunan dalam
jangka panjang.

 Kasus kriminalitas per 100.000 penduduk (CRIME). Indikator ini juga dapat
digunakan sebagai ukuran untuk kepatuhan terhadap aturan hukum dan
merupakan salah satu komponen dari tata kelola pemerintahan yang baik.

 Rasio upah pekerja perempuan dan laki-laki (RUPAH). Indikator ini


menggambarkan kesetaraan gender di bidang ekonomi. Jika upah laki-laki
lebih besar dari perempuan, maka rasio upah merupakan pembagian antara
upah perempuan dengan upah laki-laki.

Sedangkan jika upah perempuan lebih besar dari pada laki-laki, maka rasio
upah merupakan pembagian antara upah laki-laki dengan upah perempuan.
41

 Rasio angka partisipasi sekolah (APS) perempuan dan laki-laki (RAPS).


Indikator ini menggambarkan kesetaraan gender di bidang pendidikan. Jika
APS laki-laki lebih besar dari perempuan, maka rasio APS merupakan
pembagian antara APS perempuan dengan APS laki-laki.

Sedangkan jika APS perempuan lebih besar dari pada laki-laki, maka rasio
APS merupakan pembagian dari antara APS laki-laki dengan APS perempuan.

 Rasio rata-rata pendapatan penduduk desa dan kota (RPDPT). Indikator ini
menggambarkan keseimbangan pembangunan desa dan kota. Jika pendapatan
penduduk kota lebih besar dari pada penduduk desa, maka rasio pendapatan
merupakan pembagian dari rata-rata pendapatan penduduk desa dengan rata-
rata pendapatan penduduk kota.

Sedangkan jika pendapatan penduduk desa lebih besar dari penduduk kota,
maka rasio pendapatan merupakan pembagian antara rata-rata pendapatan
penduduk kota dengan rata-rata pendapatan penduduk desa.

3.3.2. Modal Sosial


Modal sosial diukur dengan menggunakan beberapa indikator yang
merupakan penjabaran dari masing-masing komponen modal sosial (kepercayaan,
norma dan jejaring). Indikator yang dipergunakan tentunya merupakan penjabaran
dari komponen modal sosial tersebut. Pemilihan indikator modal sosial mengacu
pada penelitian modal sosial yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti
sebelumnya. Dari penapisan ini diketahui frekuensi penggunaan indikator-
indikator tersebut, sehingga dapat diketahui indikator yang paling sering
dipergunakan sebagai ukuran modal sosial. Indikator-indikator ini kemudian yang
dipertimbangkan untuk dipergunakan sebagai ukuran modal sosial dalam
penelitian ini.
Mengingat data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan data
sekunder, maka pemilihan indikator juga disesuaikan dengan ketersediaan data.
Penelitian modal sosial secara nasional telah dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
sebanyak dua kali, tahun 2009 dan 2012. Pengumpulan data terkait modal sosial
dilaksanakan dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional Modul Sosial Budaya dan
Pendidikan (Susenas MSBP). Pendataan modal sosial dalam Susenas MSBP 2012
merupakan penyempurnaan dari Susenas MSBP. Oleh sebab itu, maka dalam
penelitian ini hanya menggunakan data Susenas MSBP 2012. Dengan demikian
indikator-indikator hasil identifikasi dari beberapa penelitian sebelumnya
disesuaikan dengan indikator yang dipergunakan dalam Susenas MSBP 2012.
42

Tabel 8Variabel Modal Sosial dan Definisi Operasional

Komponen
Definisi Operasional Referensi *)
Modal Sosial
Kepercayaan Kepercayaan pada aparat desa/kelurahan [1], [2], [6],[7]
(Trust) Kepercayaan menitipkan rumah pada tetangga [1], [2], [6],[7]
Kepercayaan menitipkan anak 0-12 tahun pada tetangga [1], [2], [6],[7]
Kepercayaan pada tokoh masyarakat [1], [2], [6],[7]
Persepsi terhadap rasa aman di lingkungan tempat [1], [7]
tinggal

Norma Kemudahan mendapat pertolongan/ pinjaman dari [1], [2], [3], [6],[7]
(Norm) tetangga
Kesiapan membantu orang lain [1], [6],[7]
Banyaknya saudara, teman, tetangga yang siap [1], [7]
membantu ketika dalam musibah
Kebiasaan mengikuti kegiatan bersama untuk membantu [1], [7]
warga yang mengalami musibah
Jaringan Jumlah organisasi yang diikuti [1],[2],[4],[5],[6],[7]
(Network) Partisipasi dalam kegiatan keagamaan [1], [7]
Partisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan [1], [7]

Catatan : *) [1] Narayan D dan Cassidy MF (2001), [2] Spellerberg A (2001), [3] Van der Gaag M dan
Snijders T (2003), [4] Putnam (1995), [5] Stone W (2001), [6] BPS (2010b), [7] BPS (2013)

Teknik Analisis

Dalam menjawab tujuan penelitian, dilakukan beberapa teknik


analisis.Teknik analisis yang dipergunakan disesuaikan dengan tujuan penelitian,
sehingga masing-masing tujuan dapat mempergunakan metode yang berbeda.
Secara ringkas, teknis analisis yang digunakan, terkait dengan sumber data,
metode analisis dan output yang diperoleh terurai pada Tabel9.

3.3.1. Penyusunan Indeks Komposit Pembangunan Berkelanjutan


Indeks komposit adalah kumpulan indikator atau sub indikator yang tidak
memiliki unit pengukuran. Setiap indeks komposit dapat dianggap sebagai model,
dan penyusunannya harus mengikuti serangkaian langkah-langkah tertentu agar
indeks komposit yang dihasilkan menjadi berguna dan berlaku umum. Langkah-
langkah penyusunan indeks komposit pembangunan berkelanjutan (IPB) ini
mengikuti penyusunan indeks komposit dalam OECD(2008) dan Kondily (2010).
Keseluruhan tahapan terdiri dari delapan langkah yang dilakukan secara
berurutan. Tahap pertama hingga tahap ketiga serta tahap kelima hingga tahap
kedelapan mengacu kepada kedua referensi di atas. Namun dalam penelitian ini
juga ditambahkan satu tahap lagi, tahap keempat, yang merupakan tahapan seleksi
indikator. Dengan demikian keseluruhan langkah tersebut meliputi :
1) Penyusunan kerangka teoritis. Agar dapat memberikan dasar yang kuat untuk
seleksi dan kombinasi indikator tunggal menjadi indikator komposit yang
bermakna. Kerangka teoritis harus secara akurat menentukan fenomena yang
akan diukur dan unsur-unsur yang membentuk mereka.
43

Tabel 9Metode Analisis

Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Output Analisis

- Menganalisis Data sekunder dari  Analisis deskriptif  Perkembangan


capaian BPS, Kementrian pembangunan di
pembangunan di Kehutanan, Kementrian Indonesia:
Indonesia dilihat Lingkungan Hidup  Antar waktu
dari dimensi  Antar
ekonomi, sosial, wilayah
lingkungan dan
kelembagaan
- Mengembangkan Data sekunder dari  Indeks komposit  Indeks komposit
indeks komposit BPS, Kementrian  Second order pembangunan
pembangunan Lingkungan Hidup Confirmatory berkelanjutan
berkelanjutan yang Factor Analysis  Perkembangan
dibangun dari  Analisis deskriptif pembangunan
dimensi ekonomi, berkelanjutan di
sosial, lingkungan Indonesia:
dan kelembagaan  Antar waktu
 Antar
dimensi
 Antar
wilayah
- Menganalisis Data sekunder dari  Indeks komposit  Indeks modal
hubungan antara BPS, Kementrian  Korelasi sosial
pembangunan Lingkungan Hidup  Analisis jalur  Hubungan antara
berkelanjutan  Analisis deskriptif pembangunan
dengan modal sosial berkelanjutan
di Indonesia dengan modal
sosial

2) Identifikasi indikator. Indikator yang digunakan harus dipilih berdasarkan


tingkat kehandalannya, terkait ketersediaannya, cakupan spasial, relevan
dengan fenomena yang diukur dan hubungan mereka satu sama lain.
Penggunaan variabel proksi harus dipertimbangkan ketika data sulit untuk
diperoleh.
3) Imputasi data yang hilang. Tiga metode yang tersedia untuk kasus dengan data
yang hilang: a) tidak mengikutsertakan record dengan data yang hilang, b)
imputasi tunggal (misalnya penggantian dengan regresi, rata-rata atau median)
dan c) beberapa imputasi (misalnya Monte Carlo algoritma). Penelitian ini
menggunakan metode amputasi data tunggal.
4) Seleksi indikator. Penentuan indikator yang menjadi komponen akhir dari
indikator komposit dilakukan dengan menggunakan konfirmatori faktor
analisis ordo kedua (second order confirmatory factor analysis).
5) Normalisasi data. Normalisasi dibutuhkan karena adanya perbedaan satuan
ukuran pada indikator-indikator yang digunakan. Proses normalisasi akan
menghasilkan nilai indikator yang sebanding.
6) Penentuan bobot. Bobot sangat mempengaruhi output dari indikator komposit.
Oleh karena itu, indikator harus ditimbang sesuai dengan kerangka teoritis
yang mendasari atau berdasarkan analisis empiris, tetapi juga dapat dilakukan
44

dengan memperhitungkan pendapat pakar dan atau opini publik. Secara umum,
ada tiga cara untuk menetapkan bobot: a) menggunakan model statistik, b)
mengadopsi metode partisipatif dan c) menetapkan bobot yang sama dengan
indikator. Dalam penelitian ini, pembobotan dilakukan dengan memanfaatkan
hasil konfirmatori faktor analisis ordo kedua (pembahasan lebih lanjut
diuraikan setelah tahapan umum penyusunan IPB).
7) Agregasi: agregasi dari indikator dapat linier, geometris atau dapat didasarkan
pada analisis multi kriteria. Dalam agregasi baik linier dan geometris, bobot
mengekspresikan trade off antar indikator, sedangkan multikriteria analisis
mencari kompromi antara dua atau lebih dari tujuan yang telah
ditetapkan.Penelitian ini menggunakan agregasi secara linier.
8) Penyajian dan diseminasi hasil: indikator komposit harus mampu memberikan
gambaran yang akurat kepada para pembuat keputusan dan pihak yang
berkepentingan. Representasi grafis dari indikator komposit harus
menunjukkan daerah-daerah yang memerlukan intervensi kebijakan.
Tahapan yang sangat penting di dalam penyusunan indeks komposit adalah
penentuan bobot untuk setiap indikator. Dalam penelitian ini, penentuan bobot
dilakukan dengan menggunakan loading factor yang dihasilkan dari model
konfirmatori faktor analisis/confirmatory factor analysis (CFA).
CFA merupakan bagian dari model persamaan struktural / Structural
Equation Model (SEM). Kusnendi (2008), menyebutkan bahwa model persamaan
struktural lahir karena adanya kelemahan dari model-model analisis sebelumnya.
Para pakar kemudian mencoba menggabungkan prinsip-prinsip analisis jalur,
analisis faktor konfirmatori dan prinsip model persamaan simultan dalam
ekonometrik. Hasilnya, diperoleh satu metode analisis multivariat dependensi
yang dikenal dengan SEM. Dalam penelitian ini analisis SEM akan dipergunakan
secara utuh untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi besaran
modal sosial pada tingkat individu (tujuan ketiga dari penelitian ini).
Structural Equation Modeling (SEM) atau Model Persamaan Struktural
merupakan model yang memiliki berbagai nama, diantaranya adalah analisis
struktur kovarian (covariance structure analysis), analisis variabel laten (latent
variable analysis), analisis faktor konfirmatori (confirmatory factor analysis), dan
sering juga disebut sebagai analisis LISREL (Linear Structural Relationship) yang
juga merupakan salah satu software statistik yang banyak digunakan untuk
mengolah data menjadi model SEM. Dihasilkan dari sebuah evolusi dari
multiequation modeling yang dikembangkan dengan prinsip ekonometrik dan
digabungkan dengan prinsip-prinsip pengukuran dalam psikologi dan sosiologi,
SEM telah dimunculkan sebagai sebuah alat integral antara manajerial dan riset
akademis, yang mungkin diharapkan menjadi sebuah teknik yang dapat digunakan
dengan jangkauan yang luas dan diterapkan pada berbagai macam aplikasi. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa SEM merupakan metode analisis data untuk melihat
pengaruh hubungan sebab akibat antara variabel bebas dengan variabel terikat
dalam rangka mencari penjelasan dari korelasi yang teramati dengan membuat
hubungan sebab akibat antar variabel. Formulasi SEM dalam bentuk persamaan
adalah sebagai berikut:
45

Y1 = X11 + X12 + X13 + . . . + X1n


Y2 = X21 + X22 + X23 + . . . + X2n
Y3 = X31 + X32 + X33 + . . . + X3n

Ym = Xm1 + Xm2 + Xm3 + . . . + Xmn
(metrik) (metrik, non metrik)

Lebih lanjut dijelaskan bahwa SEM ini telah digunakan di berbagai bidang
studi, antara lain bidang manajemen, perilaku organisasi, pendidikan, pemasaran,
psikologi, sosiologi, kesehatan, demografi, biologi dan bahkan genetika. Ada dua
hal alasan ketertarikan penggunaan penggunaan SEM dalam berbagai bidang
tersebut, yaitu:
1. Memberikan metode yang mudah dipahami berkenaan dengan hubungan
berganda secara simultan sambil memberikan efisiensi secara statistik.
2. Kemampuannya untuk mengakses hubungan secara komprehensif dan
memberikan transisi dari analisis eksplanatori ke analisis konfirmatori.
Transisi ini sesuai dengan semakin besarnya upaya dalam semua bidang studi
menuju pengembangan ke suatu pandangan yang sistematis dan holistik
terhadap pemecahan masalah. Upaya demikian ini memerlukan kemampuan
menguji suatu seri hubungan yang terdiri atas suatu model berskala besar,
melibatkan puluhan bahkan ratusan variabel dengan puluhan persamaan, suatu
set prinsip mendasar atau teori secara keseluruhan.
Teknik SEM dapat dibedakan berdasarkan dua karakteristik, yaitu: (1)
estimasi hubungan dependensi berganda dan saling terkait dan (2) kemampuan
untuk menggambarkan konsep tak teramati dalam hubungan-hubungan tersebut
dan memperhitungkan pengukuran kesalahan dalam proses estimasi.
Teknik SEM memiliki tiga karakteristik, yaitu: (1) melakukan estimasi
untuk serangkaian persamaan regresi berganda yang terpisah tetapi saling
bergantung, (2) merepresentasikan keterhubungan konsep-konsep tidak teramati
(unobserved concept) dan mengkoreksi kesalahan pengukuran (measurement
error) dalam proses estimasi tersebut, dan (3) mendefinisikan keterkaitan
sejumlah variabel dalam sebuah model tunggal.
Dengan menggunakan SEM, peneliti dapat mendefinisikan variabel
dependen dalam suatu persamaan dapat menjadi variabel independen dalam
persamaan lain. Di samping itu, SEM juga memiliki kemampuan untuk
memasukkan variabel laten ke dalam analisis. Variabel laten adalah konsep yang
dihipotesiskan dan tidak teramati, yang hanya dapat diestimasikan oleh variabel
yang teramati dan terukur. Variabel teramati yang diperoleh dari responden
disebut sebagai variabel manifes atau variabel indikator.
Terdapat tiga alternatif strategi pengembangan model yang disarankan
dengan menggunakan SEM, yaitu:
1. Confirmatory modelling strategy, yaitu strategi pemodelan yang bertujuan
menguji tingkat signifikansi model tunggal. Jika model yang diusulkan dapat
diterima atau sesuai dengan kriteria tertentu, peneliti tidak melakukan
pembuktian model yang diusulkan tersebut, melainkan hanya mengonfirmasi
sebagai salah satu model dari beberapa model dapat diterima.
2. Competing model strategy, yaitu strategi pemodelan yang bertujuan
mengevaluasi beberapa model alternatif yang diusulkan peneliti berdasarkan
46

kajian teoritis yang telah dilakukan. Masing-masing model alternatif


merepresentasikan hipotesis hubungan struktural yang cukup berbeda.
Selanjutnya, masing-masing model diidentifikasi berdasarkan uji-uji yang
ditentukan dan dievaluasi sesuai dengan kerangka konseptual yang dibangun.
3. Model development strategy, yaitu strategi pemodelan yang bertujuan untuk
memperbaiki suatu model dasar melalui modifikasi model pengukuran atau
model struktural atau kedua-duanya yang diistilahkan sebagai respesifikasi
model. Pengembangan model SEM dengan menggunakan strategi ini, teori
diposisikan sebagai titik awal untuk pengembangan model yang memiliki
justifikasi secara teoritis dan didukung data empirik.
Tahapan penting yang dilakukan dalam mengembangkan SEM meliputi: (1)
mendefinisikan konstruk-konstruk secara individual, (2) mengembangkan
keseluruhan model pengukuran, (3) mendesain penelitian untuk memperoleh hasil
secara empiris (4) melakukan validasi model pengukuran, (5) melakukan
spesifikasi model struktural
Dalam SEM, model pengukuran terdiri atas dua macam persamaan, yaitu
persamaan variabel laten eksogen dan persamaan variabel laten endogen yang
dinotasikan sebagai berikut:

Yn = λyη + εn
Xn = λxξ + n

Dimana:
Yn = indikator ke-n dari variabel laten endogen
λy= koefisien model pengukuran konstruk y
η= peubah laten endogen
εn= kesalahan pengukuran untuk y
Xn = indikator ke-n dari variabel laten eksogen
λx= koefisien model pengukuran konstruk x
ξ= peubah laten eksogen
n= kesalahan pengukuran untuk x

Tahapan validasi model pengukuran merupakan tahapan yang dilakukan


untuk melihat tingkat kevalidan model. Validasi model dilakukan dengan
beberapa kriteria Good-of-fit (GOF) yang mengindikasikan derajat kesesuaian
antara model yang dihipotesiskan dan data yang diperoleh. Secara umum, GOF
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Absolute fit measures (kecocokan absolut), yang hanya mengkaji model secara
keseluruhan (model struktural dan model pengukuran secara bersama-sama).
Beberapa kriteria yang dapat digunakan adalah nilai: chi-square (x2) =
diharapkan kecil atau signifikansi (p) > 0,05, Goodness of Fit Index (GFI) =
semakin besar semakin baik/tidak ada batasan nilai, Root Mean Square Error
of Approximation (RMSEA) < 0.08.
b. Incremental fit measures (kecocokan inkremental), yang membandingkan
model yang diusulkan dengan model lain yang ditetapkan peneliti. Kriteria
yang dapat digunakan adalah nilai: Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI)
direkomendasikan ≥ 0,90, Normed Fit Index (NFI) semakin tinggi semakin
baik/direkomendasikan ≥ 0,90, Non-Normed Fit Index (NNFI)
47

direkomendasikan ≥ 0,90, Comparative Fit Index (CFI) = semakin tinggi


semakin baik, Incremental Fit Index (IFI) = semakin tinggi semakin baik,
Relative Fit Index (RFI) = semakin tinggi semakin baik.
c. Parsimonious fit measures (kecocokan parsimoni), yang menginformasikan
kesederhanaan model dalam kaitannya dengan jumlah parameter yang
diestimasi. Dalam konteks ini, model dikatakan fit dengan data jika model
yang diusulkan relatif sederhana dibandingkan dengan model alternatif.
Kriteria yang dapat digunakan adalah nilai: Parsimonious Normed Fit Index
(PNFI) = semakin tinggi semakin baik, dan Parsimonious Goodness of Fit
Index (PGFI) = semakin tinggi semakin baik.

Pengukuran goodness of fit yang dipergunakan dalam menilai validitas


persamaan struktural sangat beragam dengan berbagai tujuan. Untuk lebih
menyederhanakan pemahaman tentang uji validitas ini, Kusnendi (2008)
meringkas beberapa ukuran goodness of fit yang paling sering dipergunakan
dalam tabel berikut.

Tabel 10Beberapa ukuran goodness of fit test (GFT) dalam Model Persamaan
Struktural

Ukuran GFT Kriteria kesesuaian model Kriteria uji Hasil uji

p-value chi-square 1,00 (model fit sempurna) ≥ 0,05 Model fit


RMSEA 0,00 (model fit sempurna) ≤ 0,08 Model fit
GFI, AGFI, CFI, 0,00 (model fit sempurna) - ≥ 0,90 Model fit
NFI dan NNFI 1,00 (model fit sempurna)
Sumber : Kusnendi (2008)

Sebagai sebuah metode, SEM tentunya memiliki keunggulan dan kelemahan.


Salah satu keunggulan SEM adalah kemampuannya untuk membuat model
dengan variabel laten atau variabel yang tidak diukur secara langsung. Variabel
laten diestimasi dari variabel-variabel yang diukur yang diasumsikan mempunyai
hubungan dengan variabel tersebut. Beberapa keunggulan SEM lainnya adalah:
(a) memungkinkan adanya asumsi-asumsi yang lebih fleksibel, (b) penggunaan
analisis faktor penegasan (confirmatory factor analysis) untuk mengurangi
kesalahan pengukuran, (c) kemampuannya untuk menguji model dengan
menggunakan beberapa variabel tak bebas, dan (d) kemampuannya untuk
mengatasi data yang sulit, seperti data time series dengan kesalahan otokorelasi,
data yang tidak normal, dan data yang tidak lengkap.
Sementara beberapa kelemahan yang dimiliki oleh SEM adalah sebagai
berikut: (a) SEM tidak digunakan untuk menghasilkan model namun untuk
mengonfirmasi suatu bentuk model dan (b) hubungan kausalitas di antara variabel
tidak ditentukan oleh SEM, namun dibangun oleh teori yang mendukungnya.
Mengacu kepada konsep dasar tentang model persamaan struktural, dengan
menggunakan indikator yang telah ditetapkan sebelumnya, maka disusun model
konfirmatori faktor analisis ordo keduadalam penyusunan IPB seperti dalam
Gambar 5. Nama variabel yang dipergunakan di dalam model, mengacu kepada
48

Gambar 5Model Konfirmatori Faktor Analisis Ordo Kedua untuk penyusunan


Indeks Pembangunan Berkelanjutan

Tabel 7. Data yang dipergunakan untuk menyusun model tersebut bersumber dari
data sekunder yang menggambarkan kondisi 33 provinsi di Indonesia selama
periode 2007 hingga 2012.
Penghitungan IPB dilakukan pada tingkat provinsi dan nasional. Selain
menghitung IPB secara total, juga dihitung IPB pada masing-masing dimensi,
ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Nilai IPB pada masing-masing
dimensi bermanfaat untuk mengukur capaian pembangunan pada setiap
dimensi,sehingga dapat memberikan arah untuk menyusun kebijakan yang lebih
spesifik untuk masing-masing daerah.Sesuai dengan ketersediaan datanya,
penghitungan IPB dilakukan untuk mengukur capaian pembangunan
berkelanjutan selama periode 2007 hingga 2012.

3.3.2. Indeks Modal Sosial


Untuk melihat hubungan modal sosial dengan pembangunan berkelanjutan,
penelitian ini akan mengukur modal sosial untuk seluruh provinsi di Indonesia.
Ukuran agregat ini disusun dalam bentuk indeks yang menggabungkan seluruh
indikator pada masing-masing komponen modal sosial. Tahapan yang dilakukan
dalam penyusunan indeks tersebut adalah sebagai berikut: (1) Penyelarasan data,
(2) Penghitungan rata-rata skor, (3) Normalisasi, (4) Penentuan bobot dan (5)
Agregasi. Seluruh tahapan dilakukan secara berurutan.

1. Penyelarasan data.
Data yang dipergunakan dalam penghitungan modal sosial dalam
penelitian ini menggunakan beberapa blok pertanyaan dalam Susenas MSBP
2012. Informasi pada beberapa blok pertanyaan tersebut dapat diberikan oleh
49

responden yang berbeda. Tahapan penyelarasan data ditujukan untuk memilih


responden yang sama untuk seluruh blok pertanyaan.

2. Penghitungan rata-rata. Penghitungan rata-rata dilakukan pada data hasil


penyelarasan untuk masing-masing indikator modal sosial di 33 provinsi di
Indonesia.

3. Normalisasi.
Normalisasi dilakukan dengan metode maksimum minimum. Nilai
maksimum rata-rata skor adalah 4 dengan nilai minimum 1. Jika In adalah
rata-rata skor yang telah dinormalisasi untuk setiap indikator, maka rumusan
normalisasi adalah sebagai berikut:

( )
I = x100
( - )
4. Penghitungan bobot.
Penimbang yang ditentukan berdasarkan pada matriks korelasi
diasumsikan proporsional (sebanding) dengan jumlah nilai absolut koefisien
korelasi pada masing-masing baris atau kolom. Penimbang untuk setiap
indikator ditentukan dengan menghitung proporsi dari jumlah tiap-tiap
baris/kolom terhadap jumlah keseluruhan. Nilai proporsi tersebut
mengindikasikan kontribusi dari setiap indikator dalam memberikan informasi
Perlu dicatat bahwa matriks korelasi dibentuk pada setiap komponen.
Untuk menghitung bobot setiap indikator, maka diperlukan matriks
korelasi masing-masing komponen modal sosial seperti contoh berikut.
Misalkan untuk sub dimensi kemampuan keuangan daerah diperoleh matriks
korelasi 3x3 yang menggambarkan korelasi X1 dengan X1, X1 dengan X2, X1
dengan X3, X2 dengan X2, X2 dengan X3, serta X3 dengan X3. Untuk
mendapatkan bobot setiap indikator maka jumlahkan masing-masing baris
atau kolom. Kemudian hasil tersebut diagregatkan. Contoh baris 1
dijumlahkan dengan baris 2 dan baris 3 (1,96+1,50+1,94) diperoleh hasil 5,39.
Untuk mendapatkan bobot maka masing-masing penjumlahan baris/kolom
dibagi dengan nilai agregatnya (5,39). Contoh bobot untuk indikator X1
adalah 0,36, untuk mempermudah perhitungan dapat dibulatkan menjadi 0,35
(catatan: diupayakan nilainya berakhiran 5 atau 0). Demikian dengan bobot
indikator lainnya menggunakan cara yang sama (BPS, 2010b).

Tabel 11Penentuan Penimbang Setiap Indikator dengan Metode Korelasi

Variabel X1 X2 X3 Jumlah
X1 1.00 0.26 0.70 1.96
X2 0.26 1.00 0.24 1.50
X3 0.70 0.24 1.00 1.94
Jumlah 1.96 1.50 1.94 5.40
Bobot hasil hitungan 0.36 0.28 0.36 1.00
Bobot disederhanakan
0.35 0.30 0.35 1.00
(Wq)
50

Sementara bobot masing-masing komponen modal sosial ditetapkan


seragam untuk seluruh komponen. Artinya masing-masing komponen
memiliki bobot yang sama, yaitu sepertiga untuk setiap komponen.

5. Agregasi.
Tahap agregasi merupakan tahapan untuk menghitung indeks masing-
masing komponen modal sosial dari indikator yang ada pada setiap kelompok
dimensi, dengan metode rata-rata tertimbang, yaitu menjumlahkan perkalian
seluruh indikator yang telah dinormalisasi dengan nilai bobot masing-masing
indikator pada setiap komponen modal sosial.

dimana:
SC = Indeks modal sosial komponen ke-k
W = bobot masing-masing indikator yang terbentuk ke-q
k = komponen modal sosial (1=kepercayaan; 2=norma; 3=jaringan)
q = indikator modal sosial (q = 1, 2, …, Q)
Q = jumlah indikator pada masing-masing komponen modal sosial

Setelah indeks masing-masing komponen diperoleh, selanjutnya dilakukan


penghitungan indeks modal sosial (SC) dengan menggunakan bobot yang
sama untuk seluruh komponen. Sehingga indeks modal sosial (SC) merupakan
penjumlah seluruh indeks komponennya dibagi tiga.

3.3.3. Analisis Hubungan Pembangunan Berkelanjutan dengan Modal Sosial


Hubungan pembangunan berkelanjutan dengan modal sosial dianalisis
menggunakan analisis korelasi dan metode deskriptif. Rumusan koefisien korelasi
(r) dalam Sutomo S (2014) adalah:

∑ ∑

∑ ∑
√∑ √∑
dimana:
X : Indeks modal sosial (SC)
Y : Indeks pembangunan yang meliputi indeks pembangunan ekonomi (E),
indeks pembangunan sosial (S), indeks pembangunan lingkungan (L),
dan indeks pembangunan kelembagaan (K)

Tingkat validitas dari koefisien korelasi diuji dengan menggunakan uji t.


Nilai statistik uji t didapatkan dengan rumusan:


Nilai statistik uji t dibandingkan dengan nilai yang besesuaian dengan tabel t, (ttabel
= tα/2;n-2 untuk uji dua arah). Keputusan menolak hipotesis nol (tidak ada hubungan
antara pembangunan dengan modal sosial) ditetapkan jika nilai thitung> ttabel.
Penggunaan perangkat lunak statistik untuk melakukan pengujian ini sering kali
51

tidak membutuhkan perbandingan dengan tabel t untuk menentukan keputusan


untuk menolak hipotesis nol. Keputusan menolak hipotesis nol dilakukan dengan
membandingkan antara nilai p-value dengan tingkat kesalahan yang telah
ditetapkan.
Analisis berikutnya untuk melihat hubungan antara pembangunan
berkelanjutan dengan modal sosial adalah analisis deskriptif, pola hubungan
dideteksi dengan menggunakan analisis empat kuadran. Analisis empat kuadran
diawali dengan memetakan sebaran indeks pembangunan dengan indeks modal
sosial untuk seluruh provinsi di Indonesia. Sebaran tersebut kemudian
diperbandingkan dengan nilai indeks pembangunan dan indeks modal sosial
Indonesia. Bentuk umum dari analisis ini ditampilkan pada Gambar 6.
Analisis empat kuadran akan menghasilkan sebaran indeks pembangunan
dan indeks modal sosial menjadi empat kategori, yaitu :
- Kuadran I, menunjukkan provinsi dengan indeks pembangunan > Indonesia
dan indeks modal sosial > Indonesia
- Kuadran II, menunjukkan provinsi dengan indeks pembangunan < Indonesia
dan indeks modal sosial > Indonesia
- Kuadran III, menunjukkan provinsi dengan indeks pembangunan < Indonesia
dan indeks modal sosial < Indonesia
- Kuadran IV, menunjukkan provinsi dengan indeks pembangunan > Indonesia
dan indeks modal sosial < Indonesia

Modal Sosial

Kuadran II Kuadran I

Indeks modal
sosial Indonesia

Kuadran III Kuadran IV

Indeks Pembangunan Indeks


Indonesia Pembangunan

Gambar 6Analisis Empat Kuadran


Indeks pembangunan menggunakan indeks pembangunan ekonomi (E),
indeks pembangunan sosial (S), indeks pembangunan lingkungan (L) indeks
pembangunan kelembagaan (K). Indeks modal sosial menggunakan hasil
penghitungan indeks modal sosial hasil metode sebelumnya.
Setelah analisis korelasi dan analisis deskriptif, selanjutnya dilakukan
analisis tingkat pengaruh modal sosial terhadap pembangunan berkelanjutan
dengan menggunakan analisis jalur (path analysis). Teknik analisis ini dikenal
juga dengan model sebab akibat. Pemberian nama ini terkait dengan kemampuan
analisis jalur untuk menguji hubungan antara beberapa variabel. Kelebihan
analisis jalur dibandingkan dengan regresi biasa adalah kemampuannya untuk
mendeteksi hubungan langsung dan tidak langsung. Analisis jalur merupakan
salah satu bentuk khusus dari model persamaan struktural. Penjelasan teoritis
52

untuk analisis jalur ini mengacu pada penjelasan tentang model persamaan
struktural yang telah diuraikan sebelumnya.
Pada analisis jalur, selain menggunakan indeks modal sosial (SC) sebagai
variabel bebas, juga dipergunakan variabel lain yang menjadi proksi untuk modal
fisik dan modal manusia. Modal fisik diproksi dengan menggunakan proporsi
pembentukan modal tetap bruto dalam PDRB (K/Y), sedangkan modal manusia
diproksi dengan menggunakan rata-rata lama sekolah untuk penduduk yang
berstatus pekerja (H/L). Sedangkan variabel tidak bebas dalam model analisis
jalur ini adalah indeks pembangunan ekonomi (E), indeks pembangunan sosial (S),
indeks pembangunan lingkungan (L), indeks pembangunan kelembagaan (K) dan
indeks pembangunan berkelanjutan (IPB). Model konseptual dari analisis jalur
adalah pada gambar berikut ini.

Gambar 7Model Analisis Jalur Pengaruh Modal Sosial terhadap Pembangunan


53

4 EVALUASI PEMBANGUNAN DI INDONESIA

Sebelum membahas perkembangan pembangunan dengan menggunakan


indeks pembangunan berkelanjutan, terlebih dahulu dibahas perkembangan
pembangunan dengan menggunakan beberapa indikator yang terkait dengan
pembangunan berkelanjutan. Pembahasan ini akan menjadi awalan untuk lebih
memahami pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Uraian akan disampaikan
untuk masing-masing indikator dengan mengelompokkannya ke dalam dimensi
pembangunan berkelanjutan.

Perkembangan Pembangunan Ekonomi

Pada bagian pendahuluan telah disebutkan bahwa pembangunan ekonomi


Indonesia dapat dikategorikan terbaik di Asia. Hal ini tergambar dari tingkat
pertumbuhan yang relatif tinggi dan stabil. Dengan tingkat pertumbuhan 5 hingga
hampir 7 persen, perekonomian Indonesia bergerak ke arah yang lebih baik.
Perbaikan pada sisi ekonomi ini juga tercermin dari nilai PDRB perkapita. PDRB
perkapita Indonesia meningkat dari 17,4 juta rupiah pada tahun 2007 menjadi 33,7
juta rupiah pada tahun 2012 (Lampiran 2.1). Artinya nilai PDRB Perkapita
meningkat hampir dua kali lipat selama periode 2007 hingga 2012.

120000.00
100000.00
80000.00
60000.00
40000.00
20000.00
0.00
Sumbar

Babel

Jabar

NTT

Kalteng

Sulut
Kalsel

Sulteng

Malut
Sulsel

Maluku
Sumut

Riau

Lampung
Jambi

Bengkulu
Sumsel

DIY

NTB

Papua Barat
Papua
Jakarta

Banten
Jateng

Bali
Kepri

Kalbar

Kaltim

Sulbar
Aceh

Gorontalo

Sultra
Jatim

Gambar 8PDRB Perkapita Provinsi di Indonesia, 2012


Gambaran tentang ketidakmerataan pembangunan ekonomi telah
disampaikan pula pada bagian pendahuluan dengan menggunakan proporsi PDRB
terhadap PDB nasional. Besaran PDRB Perkapita masing-masing provinsi juga
memberikan gambaran yang sama. Memperhatikan gambar tentang capaian
PDRB perkapita pada masing-masing provinsi di Indonesia, terlihat bahwa tingkat
PDRB perkapita sangat bervariasi antar provinsi. Dua provinsi, DKI Jakarta dan
Kalimantan Timur, memiliki PDRB perkapita yang sangat tinggi, di atas 100 juta
rupiah. Namun juga ditemui provinsi yang memiliki PDRB perkapita di bawah 10
juta rupiah, seperti Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Maluku dan Maluku Utara.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa PDRB perkapita empat provinsi tersebut
kurang dari 10 persen PDRB DKI Jakarta atau Kalimantan Timur.
Dengan demikian, walaupun secara rata-rata nasional PDRB perkapita telah
memperlihatkan capaian yang cukup baik, namun dengan disparitas yang sangat
tinggi, beberapa provinsi masih memiliki PDRB yang rendah. Disparitas PDRB
perkapita, sebagai proksi dari disparitas pembangunan ekonomi, menunjukkan
54

bahwa perekonomian beberapa provinsi sudah berkembang sangat baik, namun


beberapa provinsi yang lain cenderung tertinggal. Telah disinggung pula
sebelumnya, bahwa ketidakmerataan pembangunan berpotensi memunculkan
konflik, baik horizontal maupun vertikal. Konflik horizontal menimbulkan
pergeseran di dalam masyarakat, sedangkan konflik vertikal, dalam bentuk yang
ekstrim memunculkan aksi-aksi separatisme.

Perkembangan Pembangunan Sosial

Pada Lampiran 2.2 hingga Lampiran 2.5, ditampilkan empat indikator yang
terkait dengan pembangunan dimensi sosial. Keempat indikator tersebut adalah
angka harapan hidup, persentase penduduk yang berobat ke dokter dan rumah
sakit, rasio ketergantungan dan total fertility rate. Selama periode 2007 hingga
2012, keempat indikator tersebut menuju ke arah perbaikan. Angka harapan hidup
meningkat dari 70,4 tahun menjadi 71,3 tahun. Persentase penduduk yang berobat
ke dokter dan rumah sakit juga mengalami peningkatan dari 34,87 persen pada
tahun 2007 menjadi 37,06 persen pada tahun 2012.
Perbaikan juga ditunjukkan dengan menurunnya nilai rasio ketergantungan
dan total fertility rate. Rasio ketergantungan menurun dari 48,3 pada tahun 2007
menjadi 46,0 pada tahun 2008. Total fertility rate juga terus mengalami penurunan,
dari 2,18 pada tahun 2007 menjadi 2,13 pada tahun 2012. Rasio ketergantungan
dan total fertility rate adalah dua indikator yang saling berhubungan. Dengan
menurunnya total fertility rate, maka rasio ketergantungan juga cenderung
mengalami penurunan.
Selain empat indikator tersebut, terdapat beberapa indikator lain yang juga
menggambarkan pembangunan bidang sosial. Beberapa indikator pembangunan
sosial tersebut ditampilkan pada Gambar 9. Salah satunya adalah indikator yang
terkait dengan pendidikan. Pendidikan dapat dianggap sebagai suatu proses yang
membawa manusia dan masyarakat mencapai potensi terbaik yang dapat dicapai.
Pendidikan mempunyai peranan penting dalam pembangunan berkelanjutan.
Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan memungkinkan setiap manusia
untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang
diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup sekarang dan membentuk masa
depan yang berkelanjutan.
Kemampuan membaca dan menulis (melek huruf) merupakan kemampuan
dasar dalam pendidikan. Kemampuan ini sangat penting untuk mempromosikan
dan mengomunikasikan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kapasitas
masyarakat. Lingkungan masyarakat dengan tingkat melek huruf yang tinggi
menunjukkan lingkungan masyarakat yang terpelajar. Lingkungan masyarakat
yang terpelajar sangat penting dalam rangka mencapai tujuan memberantas
kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, membatasi pertumbuhan
penduduk, mencapai kesetaraan gender, dan memastikan pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan.
Angka melek huruf, menunjukkan kemampuan membaca dan menulis
penduduk. Kemampuan membaca merupakan keterampilan minimum yang
dibutuhkan untuk kehidupan di masa depan yang lebih baik. Indikator ini
menggambarkan keadaan orang-orang terpelajar dalam populasi penduduk usia
55

dewasa (15 tahun ke atas).Secara nasional, selama periode 2007-2012 angka


melek huruf cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2012 angka melek
huruf mencapai 93,05 persen yang artinya sekitar 93,05 persen penduduk
Indonesia usia 15 tahun ke atas mampu membaca dan menulis di tahun 2012.

100.00
Angka melek huruf
90.00 penduduk usia 15+
80.00 Persentase
70.00 penduduk tidak
miskin
60.00 Persentase balita
yang di imunisasi
50.00
40.00 Infant mortality rate

30.00
Pertumbuhan
20.00 penduduk
10.00 Rata-rata lama
0.00 Sekolah
2007 2008 2009 2010 2011 2012

Sumber: BPS (diolah)


Gambar 9Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Sosial, 2007-2012
Pembangunan di bidang pendidikan menentukan kemajuan dan masa depan
bangsa. Tingkat pendidikan suatu bangsa mengindikasikan tingkat kemajuan
bangsa tersebut. Untuk itu pemerintah perlu menyediakan sarana dan prasarana
yang mendukung pendidikan agar seluruh masyarakat dapat menikmati
pendidikan, yang secara tidak langsung akan menjamin masa depan bangsa.
Pendidikan mempunyai peran yang penting dalam kehidupan manusia karena
pendidikan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan baru, mendorong
munculnya perilaku terdidik, dan meningkatkan pemberdayaan individu serta
masyarakat. Karena pentingnya pendidikan tersebut, maka pemerintah
mewajibkan semua warga negara Indonesia untuk menamatkan pendidikan dasar
dengan program wajib belajar 9 tahun (6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP).
Pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun ini menunjukkan hasil dengan
meningkatnya angka rata-rata lama sekolah penduduk dewasa. Rata-rata lama
sekolah meningkat dari 7,47 tahun pada 2007 menjadi 8,01 tahun pada 2012. Jika
dikonversikan pada tingkat pendidikan, rata-rata lama sekolah sebesar 8,01 kurang
lebih setara dengan tingkat 8 (kelas 2 SMP).
Indikator pembangunan sosial lainnya adalah indikator kemiskinan.
Kemiskinan merupakan permasalahan multi dimensional yang telah lama menjadi
isu sentral di Indonesia bahkan di dunia. Kemiskinan saling terkait dan menjadi
sebab akibat bagi berbagai masalah lainnya, seperti tingginya tingkat
pengangguran terbuka, rendahnya kualitas sumber daya manusia yang ditandai
dengan rendahnya nilai indeks pembangunan manusia (IPM). Kemiskinan bisa
menjadi penghambat pembangunan di masa mendatang yang akan berpengaruh
terhadap pembangunan berkelanjutan.
Pemberantasan kemiskinan merupakan tantangan global terbesar yang
dihadapi dunia saat ini, terutama bagi negara berkembang. Pemberantasan
56

kemiskinan juga mutlak diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.


Komitmen global untuk mengurangi separuh dari kemiskinan dunia hingga tahun
2015 telah ditetapkan dan ditegaskan oleh para pemimpin dunia dalam MDGs dan
Johannesburg Plan of Implementation (JPOI). Sebagai salah satu negara yang
menetapkan komitmen global tersebut, Indonesia berkomitmen untuk
memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.
Komitmen tersebut tertuang dalam salah satu visi Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) yang ingin diwujudkan pada periode 2005-2025 yaitu
mewujudkan pemerataan pembangunan yang berkeadilan melalui pengurangan
kesenjangan sosial secara menyeluruh, serta penanggulangan kemiskinan.
Statistik kemiskinan penting untuk menganalisis hubungan antara
pendapatan atau konsumsi terhadap dimensi lain dari perkembangan manusia
seperti pendidikan, kesehatan dan ukuran standar hidup lainnya. Tingkat
kemiskinan di Indonesia dihitung dengan menggunakan garis kemiskinan yang
penghitungannya berdasarkan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga. Garis
kemiskinan menentukan banyaknya jumlah penduduk miskin. Semakin banyak
penduduk dengan pendapatan (didekati dengan pengeluaran) berada di bawah
garis kemiskinan, maka jumlah penduduk miskin akan semakin banyak. Nilai
garis kemiskinan setiap tahun selalu mengalami kenaikan. Pada tahun 2006, nilai
garis kemiskinan Indonesia adalah Rp. 151.997,- per kapita per bulan dan pada
Maret 2012 nilai garis kemiskinan naik menjadi Rp. 248.707,- per kapita per
bulan.
Ukuran kemiskinan yang ditampilkan dalam penelitian ini merupakan
kebalikan dari angka kemiskinan. Ukuran tersebut menunjukkan persentase
penduduk yang tidak miskin. Memperhatikan perkembangan selama periode 2007
hingga 2012, jumlah penduduk yang tidak miskin cenderung mengalami
peningkatan. Persentase penduduk tidak miskin naik dari 83 persen pada tahun
2007 menjadi sekitar 88 persen pada tahun 2012. Peningkatan jumlah penduduk
tidak miskin ini secara umum menggambarkan terjadinya perbaikan kesejahteraan
rakyat, dengan meningkatnya daya beli mereka.
Indikator pembangunan sosial lainnya adalah yang terkait dengan
pembangunan berkelanjutan adalah bidang kesehatan. Sumber daya manusia yang
sehat dan lingkungan hidup yang sehat merupakan modal dalam pelaksanaan
pembangunan. Ketersediaan air bersih dan akses terhadap layanan kesehatan
semuanya menyebabkan terjaminnya kesehatan penduduk. Jika sejumlah faktor
tersebut diabaikan, maka akan mempengaruhi risiko kesehatan penduduk dan
berakibat terhambatnya pelaksanaan pembangunan.
Salah satu indikator penting dalam bidang kesehatan adalah angka kematian
bayi. Angka kematian bayi terkait langsung dengan target kelangsungan hidup
anak dan merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan tempat tinggal
termasuk pemeliharaan kesehatannya. Di negara berkembang termasuk Indonesia,
angka kematian bayi masih tergolong tinggi. Penyakit diare dan pneumonia
merupakan penyebab utama kematian bayi di Indonesia. Selain itu, kematian bayi
di Indonesia juga disebabkan oleh cacat lahir, masalah gizi seperti kekurangan
kalori dan protein, dan komplikasi kelahiran seperti kekurangan oksigen. Selama
enam tahun terakhir (2007-2012), berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia,
angka kematian bayi secara nasional selalu mengalami penurunan. Pada tahun
2007 angka kematian bayi tercatat sebesar 28 per 1.000 kelahiran hidup. Pada
57

tahun 2012, angka tersebut turun menjadi sekitar 24 kematian bayi dalam 1.000
kelahiran hidup.
Indikator angka harapan hidup, yang telah disebutkan sebelumnya,
berhubungan erat dengan angka kematian bayi. Secara teoritis, menurunnya angka
kematian bayi akan menyebabkan meningkatnya angka harapan hidup. Angka
harapan hidup merupakan indikator yang mencerminkan derajat kesehatan suatu
masyarakat. Angka harapan hidup yang rendah di suatu daerah harus didongkrak
dengan program pembangunan kesehatan dan program sosial lainnya termasuk
kesehatan lingkungan, kecukupan gizi, dan program pemberantasan kemiskinan.
Berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025, angka harapan hidup
penduduk Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan selama periode 2007-
2012, mulai dari 70 tahun pada tahun 2007 menjadi 71 tahun di tahun 2012. Hal
ini menunjukkan anak yang lahir pada tahun 2012 diperkirakan akan hidup rata-
rata sampai umur 71 tahun.
Hal lain yang juga penting dalam memelihara kesehatan penduduk adalah
pemberian imunisasi pada anak balita. Persentase balita yang diimunisasi
merupakan indikator untuk memantau implementasi program imunisasi.
Pengelolaan yang baik pada program imunisasi sangat penting untuk mengurangi
angka kesakitan (morbiditas) dan kematian dari penyakit menular.Secara nasional,
persentase balita yang diimunisasi BCG, DPT, Polio, Campak/Morbili dan
Hepatitis B pada tahun 2012 mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan
tahun 2007. Pada tahun 2012 jumlah balita yang mendapatkan imunisasi lengkap
mencapai 56 persen, lebih tinggi dari cakupan pada tahun 2007 yang hanya sekitar
50 persen.
Pelayanan kesehatan yang baik, cepat, tepat dan memadai merupakan hal
yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan adanya pelayanan kesehatan
yang baik, cepat, tepat dan memadai akan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Pelayanan kesehatan merupakan indikator untuk memonitor
kemajuan akses penduduk terhadap pelayanan kesehatan dasar. Aksesibilitas
pelayanan kesehatan adalah hal penting untuk mencerminkan kemajuan sistem
kesehatan dan pembangunan berkelanjutan.

70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Sumbar

Maluku
Babel

Malut
Riau

Jabar

NTT

Kalsel

Sulsel
Jambi
Sumsel

Lampung

DIY

NTB

Kalteng

Sulut

Sulteng

Papua Barat
Papua
Sumut

Banten
Jateng
Bengkulu

Bali
Kepri

Jakarta

Kaltim
Kalbar

Sulbar
Aceh

Sultra
Jatim

Gorontalo

Gambar 10Persentase Penduduk yang Berobat ke Dokter dan Rumah Sakit, 2012
Telah disebutkan sebelumnya, persentase penduduk yang berobat ke dokter
dan rumah sakit juga mengalami peningkatan pada tahun 2012, relatif terhadap
kondisi 2007. Namun walau mengalami kenaikan, disparitas pelayanan kesehatan
antar daerah masih cukup besar. Gambaran akses masyarakat ke fasilitas
kesehatan tergambar pada Gambar 10.
58

Perbedaan yang cukup besar terlihat pada indikator persentase penduduk


yang berobat ke dokter dan rumah sakit. Satu provinsi, DKI Jakarta, memiliki
persentase penduduk yang berobat ke dokter dan rumah sakit di atas 60 persen,
sedangkan provinsi Nusa Tenggara Timur hanya sekitar 18 persen. Artinya,
perbandingan antara yang tinggi dan yang rendah mencapai lebih dari tiga kali
lipat.
Memperhatikan capaian pada masing-masing provinsi, dan dihubungkan
dengan pembangunan ekonomi, terlihat bahwa daerah dengan perekonomian yang
baik cenderung memiliki persentase penduduk yang berobat ke dokter dan rumah
sakit yang lebih tinggi. Sebagai contoh adalah DKI Jakarta. Tingkat PDRB
perkapita provinsi ini sangat tinggi, begitu pula dengan persentase penduduk yang
berobat ke dokter dan rumah sakit. Sebaliknya Nusa Tenggara Timur, dengan
tingkat PDRB perkapita yang rendah, tingkat akses penduduk ke sarana kesehatan
juga rendah. Sehingga, secara sederhana terlihat adanya hubungan antara kedua
indikator ini.
Banyak hal yang mempengaruhi akses masyarakat ke sarana kesehatan
modern, salah satunya adalah tingkat daya beli masyarakat. Dengan tingkat daya
beli yang tinggi, masyarakat mampu memilih sarana kesehatan yang mereka
inginkan, sehingga tingkat permintaan masyarakat terhadap fasilitas kesehatan
juga menjadi meningkat. Tingkat permintaan yang tinggi ini kemudian ditangkap
oleh penyedia fasilitas kesehatan, sehingga jumlah fasilitas kesehatan juga
semakin meningkat. Sehingga dapat dilihat pada daerah yang maju secara
ekonomi, DKI Jakarta misalnya, fasilitas kesehatan sangat berkembang. Sektor
swasta bahkan mendominasi penyediaan fasilitas kesehatan ini, karena dapat
menjadi sektor bisnis yang menjanjikan. Sebaliknya, di daerah yang tingkat daya
belinya rendah, tentunya tidak menarik minat swasta untuk masuk. Akibatnya,
jumlah fasilitas kesehatan juga tidak sebanyak dan sebaik di daerah yang telah
maju. Oleh sebab itu, peran pemerintah dalam penyediaan sarana kesehatan sangat
dibutuhkan di daerah-daerah yang memiliki tingkat daya beli yang rendah.
Aspek lain dari pembangunan sosial adalah yang terkait dengan
kependudukan. Penduduk adalah subyek dan sekaligus menjadi obyek
pembangunan. Sebagai subyek pembangunan maka penduduk harus dibina dan
dikembangkan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan. Pembangunan
juga harus dapat dinikmati oleh penduduk yang bersangkutan. Dengan demikian
jelas bahwa pembangunan harus dikembangkan dengan memperhitungkan
kemampuan penduduk sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika
pembangunan. Pembangunan baru dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan
kesejahteraan penduduk dalam arti yang seluas-luasnya.
Keadaan dan kondisi kependudukan yang ada sangat mempengaruhi
dinamika pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang
besar jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai akan menjadi modal
dan pendorong bagi pembangunan. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar jika
kualitasnya rendah, penduduk tersebut justru akan membebani pembangunan.
Salah satu permasalahan di bidang kependudukan adalah besarnya jumlah
penduduk dan sebarannya yang tidak merata. Permasalahan tersebut telah
mengakibatkan tidak meratanya hasil pembangunan yang dilaksanakan. Jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2000 tercatat sebesar 205.132,5 ribu jiwa
kemudian naik menjadi 237.641,3 ribu jiwa pada tahun 2010. Meskipun jumlah
59

penduduk Indonesia sangat besar, namun persebarannya tidak merata. Sebaran


penduduk Indonesia terpusat di wilayah Indonesia bagian barat khususnya Pulau
Jawa dan Sumatera. Pada tahun 2010 persentase penduduk Indonesia yang
menempati kedua pulau tersebut mencapai 78,79 persen dimana sekitar 57,49
persen penduduknya berada di Pulau Jawa.
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia cenderung mengalami penurunan
selama periode 2007 hingga 2009. Penurunan laju pertumbuhan penduduk ini
salah satunya terkait dengan rendahnya angka kelahiran. Angka kelahiran sering
kali didekati dengan jumlah anak per perempuan. Rendahnya jumlah anak per
perempuan berdampak pada mengecilnya ukuran keluarga yang pada akhirnya
akan menguntungkan bagi pembangunan berkelanjutan. Wanita yang mempunyai
banyak anak akan merasa sulit bekerja di luar rumah, sehingga memiliki lebih
sedikit kesempatan untuk meningkatkan status ekonomi dan sosial keluarga serta
lebih sulit untuk keluar dari kemiskinan. Penghitungan jumlah anak per
perempuan didekati dengan angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR).
Memperhatikan tabel perkembangan TFR pada Lampiran 2.5, menunjukkan
estimasi angka kelahiran total selama periode tahun 2007-2012 cenderung
mengalami penurunan. Selama periode 2007-2012, Nusa Tenggara Timur
merupakan provinsi dengan angka kelahiran total tertinggi dibanding provinsi
lainnya, sedangkan angka kelahiran total terendah terdapat di Provinsi DI
Yogyakarta. Estimasi angka kelahiran total Indonesia pada tahun 2012 tercatat
sebesar 2,13 yang berarti bahwa secara rata-rata wanita Indonesia usia 15-49
tahun mempunyai 2 atau 3 anak selama masa usia suburnya.
Dampak dari keberhasilan pembangunan bidang kependudukan di antaranya
terlihat pada perubahan komposisi penduduk menurut kelompok umur yang
tercermin dengan semakin rendahnya proporsi penduduk usia tidak produktif,
khususnya kelompok umur 0-14 tahun. Hal ini menyebabkan semakin rendahnya
angka beban ketergantungan. Semakin kecil angka beban ketergantungan akan
memberikan kesempatan bagi penduduk usia produktif (kelompok umur 15-64
tahun) untuk meningkatkan kualitas dirinya. Pada tahun 2007, angka beban
ketergantungan tercatat sebesar 48,3, yang berarti setiap 100 orang penduduk usia
produktif harus menanggung sekitar 48 orang penduduk usia tidak produktif. Pada
tahun 2012 angka beban ketergantungan turun menjadi 46 yang berarti ada
penurunan beban tanggungan pada setiap penduduk usia produktif. Angka beban
ketergantungan tertinggi pada tahun 2012 terdapat di Provinsi Nusa Tenggara
Timur yaitu mencapai angka 57,5, sedangkan angka beban ketergantungan
terendah terdapat di Provinsi DKI Jakarta yaitu hanya sebesar 36,8.
Berdasarkan Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025, angka beban
ketergantungan akan terus turun hingga mencapai titik terendah yaitu 45,3 pada
tahun 2022 dan 2023 yang selanjutnya angka beban ketergantungan akan naik
kembali pada tahun 2024. Kondisi dimana angka beban ketergantungan berada
pada titik terendah sering disebut dengan bonus demografi. Dengan kata lain,
bonus demografi adalah kondisi dimana jumlah penduduk usia produktif sangat
besar dan menanggung penduduk usia tidak produktif (lansia dan anak-anak) yang
kecil. Bonus demografi akan sangat menguntungkan negara apabila penduduk
usia produktif mempunyai keahlian dan keterampilan sehingga dapat
meningkatkan kemakmuran negara. Di sisi lain, bonus demografi dapat juga
60

menjadi beban dan ancaman bagi negara apabila penduduk usia produktif lebih
banyak yang menganggur dan tidak mempunyai penghasilan.
Tulisan pada harian Kompas pada tanggal 4 Maret 2014, yang mengangkat
tema tentang keluarga berencana, menunjukkan peran positif dari dua indikator ini
dalam pembangunan. Dalam tulisan tersebut, Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan bahwa Indonesia berada dalam
tahapan yang menguntungkan dari sisi kependudukan. Dengan rasio
ketergantungan yang berada si bawah 50 persen, Indonesia disebutkan sedang
menikmati bonus demografi. Didukung dengan terus menurunnya total fertility
rate, maka rasio ketergantungan Indonesia akan terus mengalami tren menurun.
Angka ketergantungan terendah diperkirakan terjadi pada 2028-2035.

Perkembangan Pembangunan Lingkungan

Lampiran 2 menunjukkan dua indikator utama dalam pembangunan


lingkungan. Indikator pertama adalah indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH).
Kerangka IKLH diadopsi oleh Kementrian Lingkungan Hidup dari Environmental
Performance Index (EPI), yang dikembangkan oleh Virginia Commonwealth
University (VCU) dan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) yang dikembangkan
oleh BPS. IKLH menggunakan kualitas air sungai, kualitas udara, dan tutupan
hutan sebagai indikator. Karena keterbatasan data, kualitas lingkungan di wilayah
pesisir dan laut serta kondisi keanekaragaman hayati tidak dimasukkan dalam
perhitungan IKLH
Konsep IKLH, seperti yang dikembangkan oleh BPS pada tahun 2007,
hanya mengambil tiga indikator kualitas lingkungan yaitu kualitas air sungai,
kualitas udara, dan tutupan hutan. IKLH dihitung pada tingkat provinsi sehingga
akan didapat indeks tingkat nasional. Perbedaan lain dari konsep yang
dikembangkan oleh BPS dan VCU adalah setiap parameter pada setiap indikator
digabungkan menjadi satu nilai indeks.
Nilai IKLH untuk setiap provinsi diperoleh dari rata-rata seluruh komponen
IKLH (IPA, IPU dan ITH). Dengan demikian, maka seluruh komponen memiliki
bobot yang sama dalam menentukan nilai IKLH. Setelah didapatkan nilai indeks
provinsi kemudian dihitung indeks nasional dengan menggunakan rata-rata
tertimbang. Proporsi jumlah penduduk pada masing-masing provinsi terhadap
penduduk Indonesia dijadikan sebagai penimbang dalam penghitungan IKLH
nasional.
Perhitungan nilai indeks kualitas air dan udara mengacu pada baku mutu
atau standar yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (baku mutu air dan baku
mutu udara ambien). Sedangkan untuk indeks tutupan lahan/hutan menggunakan
standar luas kawasan hutan di setiap provinsi yang ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan. Karena luas kawasan hutan yang ditetapkan baru ada untuk 30
provinsi, maka bagi provinsi-provinsi pemekaran nilai indeks setiap indikatornya
digabungkan dengan provinsi induknya.
Perhitungan indeks untuk indikator kualitas air sungai dilakukan
berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun
2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Dalam pedoman tersebut
dijelaskan antara lain mengenai penentuan status mutu air dengan metode indeks
61

pencemaran (Pollution Index – PI). Pemantauan setiap sungai paling sedikit


dilakukan empat kali setahun pada tiga lokasi sehingga setidaknya ada 12 sampel
(data) kualitas air sungai setiap tahunnya. Setiap provinsi diwakili oleh satu
sungai yang dipilih berdasarkan kriteria sebagai berikut: (a) Sungai tersebut lintas
provinsi, atau (b) sungai prioritas untuk dikendalikan pencemarannya.
Data kualitas udara didapatkan dari pemantauan di 243 ibukota
kabupaten/kota dengan menggunakan metode passive sampler. Dilakukan empat
kali per tahun di lokasi-lokasi yang mewakili daerah permukiman, industri, dan
padat lalu lintas kendaraan bermotor. Sedangkan parameter yang diukur adalah
SO2 dan NO2. Nilai konsentrasi tahunan setiap parameter adalah rata-rata dari
nilai konsentrasi triwulanan. Selanjutnya nilai konsentrasi rata-rata tersebut
dikonversikan menjadi nilai indeks dalam skala 0 – 100 untuk setiap provinsi.
Indeks tutupan hutan (ITH) merupakan persentase antara luas hutan primer
(LHP) dan hutan sekunder (LHS) terhadap luas kawasan hutan (LKH)
berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan. Sama seperti indeks yang lain,
penghitungan ITH juga dilakukan untuk masing-masing provinsi. Oleh karena itu,
khusus untuk DKI Jakarta, yang tidak memiliki kawasan hutan, nilai ITH
dihasilkan dengan memperbandingkan antara luas hutan kota dengan 10 persen
luas wilayah.
Penghitungan IKLH mulai dilakukan pada tahun 2009. Konsep
penghitungannya juga terus mengalami penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut
menyebabkan metode penghitungan IKLH 2009-2011 berbeda dengan IKLH
2012. Oleh sebab itu dibutuhkan penyesuaian untuk dapat membandingkan nilai
IKLH antar tahun. Dalam penelitian ini, IKLH tahun 2012 yang dipergunakan
adalah IKLH hasil penyesuaian dengan metode yang dipergunakan untuk
penghitungan IKLH 2009-2011.
Nilai IKLH antar provinsi sangat bervariasi. Nilai IKLH tertinggi pada
tahun 2012 adalah sebesar 82,04 (Sulawesi Tengah), sedangkan IKLH terendah
adalah 37,78 (DKI Jakarta). Artinya kualitas lingkungan di Indonesia sangat
beragam. Ada daerah yang masih baik kualitas lingkungannya, namun ada pula
yang lingkungannya telah rusak.

100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
Sumbar

Sulteng

Maluku
Babel

Malut
Riau

Jabar

Kalsel

Sulut

Sulsel
Jambi
Sumsel

Lampung

DIY

NTB
NTT

Kalteng

Papua Barat
Papua
Sumut

Banten
Jateng
Bengkulu

Bali
Kepri

Jakarta

Kaltim
Kalbar

Gorontalo

Sulbar
Aceh

Sultra
Jatim

Gambar 11Indeks Kualitas Lingkungan Hidup, 2012


Indikator lingkungan lainnya adalah tingkat pencemaran dengan basis
penghitungan jumlah desa yang tercemar. Indikator ini diperoleh dari pendataan
potensi desa (PODES) yang dilakukan oleh BPS. Dalam pendataan tersebut, jenis
pencemaran yang ditanyakan terdiri dari tiga bentuk, pencemaran udara, air dan
tanah. Informasi tentang pencemaran udara dari hasil PODES ini sangat baik
untuk melengkapi IKLH. Pengukuran pencemaran udara pada IKLH hanya
62

dilakukan di 243 ibukota kabupaten, sehingga tidak seluruh kabupaten terukur


kualitas udaranya. Kalaupun ibukota kabupaten tersebut masuk sebagai sampel,
daerah di luar ibukota kabupaten juga tidak terpantau. Berdasarkan data pada
Lampiran 2.6, terlihat bahwa jumlah desa yang tidak mengalami pencemaran
udara semakin menurun persentasenya. Pada tahun 2007, persentase desa yang
tidak mengalami pencemaran udara adalah 95,82, sedangkan pada tahun 2012,
persentase turun menjadi 91,32 persen.
Penurunan persentase juga terlihat pada persentase desa yang tidak
mengalami pencemaran air dan pencemaran tanah. Mengamati Gambar 12,
terlihat bahwa persentase desa yang tidak mengalami pencemaran air jumlahnya
berada di bawah persentase desa yang tidak mengalami pencemaran tanah. Slope
penurunan desa yang tidak mengalami pencemaran air juga relatif lebih curam
dibandingkan pencemaran tanah. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat
pencemaran air lebih cepat daripada pencemaran tanah.

100

90
% Desa tidak
mengalami
80 pencemaran air
% Desa tidak
70 mengalami
pencemaran tanah

60 % Rumahtangga
dgn sumber minum
air bersih
50 % Rumahtangga
dengan sanitasi
layak
40
2007 2008 2009 2010 2011 2012

Sumber: BPS (diolah)


Gambar 12Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Lingkungan, 2007-
2012
Ukuran lingkungan lainnya adalah yang terkait dengan sanitasi. Sanitasi
umumnya mengacu pada penyediaan fasilitas dan layanan untuk pembuangan
yang aman dari urine dan tinja manusia. Sanitasi mempunyai peranan penting bagi
kesehatan dan pembangunan suatu negara. Sanitasi yang buruk merupakan mata
rantai kunci dalam lingkaran kemiskinan dan penyakit yang berpengaruh langsung
terhadap penduduk miskin sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi
pembangunan sosial dan ekonomi negara. Sanitasi yang baik dapat membantu
memutuskan lingkaran kemiskinan dan penyakit, sehingga penduduk dapat
memperoleh pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.
KTT tentang pembangunan berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002
(Konferensi Rio+10) mengadopsi target sanitasi internasional yaitu mengurangi
separuh jumlah penduduk yang tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar pada
tahun 2015 yang tertuang dalam Johannesburg Plan of Implementation (JPOI).
Target tersebut juga seiring dengan target sanitasi dalam MDGs. Menurut data
dari WHO/UNICEF dalam Joint Monitoring Programme for Water Supply dan
63

Sanitation, secara global 2,5 miliar penduduk tidak memiliki akses ke sanitasi
yang baik pada tahun 2010. Dari jumlah tersebut, 1,2 miliar orang tidak memiliki
fasilitas sanitasi sama sekali dan terpaksa menggunakan area terbuka yang tidak
higienis. Di negara berkembang, persentase penduduk yang memiliki akses ke
sanitasi yang baik pada tahun 2010 sebesar 56 persen. Jika perkembangan tren
sanitasi terus berlanjut seperti kondisi sekarang, maka target sanitasi dalam JPOI
dan MDGs tidak akan tercapai yaitu sebesar 75 persen di tahun 2015.
Menyediakan fasilitas sanitasi yang bersih, efisien dan ekonomis merupakan
tantangan yang harus dihadapi oleh negara-negara berkembang. Sanitasi yang
bersih dan baik merupakan langkah penting untuk mengurangi penyebaran
penyakit diare yang merupakan pembunuh terbesar kedua anak-anak di negara
berkembang. Selain itu, sanitasi yang bersih juga akan mencegah penyebaran
penyakit lain seperti kolera, schistosomiasis dan trachoma. Selain itu, sanitasi
yang baik dapat mengurangi kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu.
Untuk mengukur perkembangan keadaan sanitasi di Indonesia didekati dengan
persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja tangki septik. Semakin
tinggi persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja tangki septik
mengindikasikan hal positif bagi kemajuan akses fasilitas sanitasi. Secara nasional,
pada periode 2007-2012 persentase rumah tangga dengan penampungan akhir
tinja tangki septik mengalami peningkatan, dari 42 persen pada tahun 2007
menjadi 64 persen pada tahun 2012.
Indikator lingkungan yang lain adalah yang terkait dengan air minum. Air
minum merupakan kebutuhan mendasar bagi kehidupan. Air minum berperan agar
makhluk hidup khususnya manusia dapat bertahan hidup. Dalam penelitian ini,
indikator air minum didekati dengan persentase rumah tangga yang menggunakan
air bersih.
Pasokan air yang memadai sangat penting untuk mengurangi risiko penyakit
dan untuk menjamin hak atas pangan, kesehatan dan perumahan. Keamanan dan
aksesibilitas terhadap air bersih menjadi perhatian besar di seluruh dunia.
Berbagai penyakit yang dapat mengganggu kesehatan mungkin timbul dari
konsumsi air yang terkontaminasi oleh kuman, virus, bahan beracun dan
berbahaya, dan bahan radiologi. Mudahnya akses terhadap air bersih dan sanitasi
dapat meningkatkan kesehatan individu, sehingga dapat bersekolah dan
meningkatkan produktivitas. Pengelolaan sumber daya air merupakan komponen
penting dalam pemenuhan hak asasi manusia untuk mendapatkan air minum dan
sanitasi yang aman dan bersih. Secara nasional, jumlah penduduk/rumah tangga
yang memiliki akses air minum yang layak jumlahnya mengalami kenaikan dari
52 persen pada tahun 2007 menjadi 64 persen pada tahun 2012.
Memperhatikan Gambar 12, terlihat bahwa terjadi perbedaan tren pada
keempat indikator lingkungan tersebut. Dua indikator yang mengukur kualitas
lingkungan; persentase desa yang tidak mengalami pencemaran air dan tanah;
menunjukkan tren menurun. Sebaliknya dua indikator yang mengukur tingkat
akses dan pengetahuan masyarakat tentang lingkungan yang baik menunjukkan
tren menaik. Kondisi ini tentunya menimbulkan paradoks. Pada saat akses dan
pengetahuan masyarakat tentang peran lingkungan meningkat, kualitas
lingkungan justru semakin menurun. Seakan-akan tidak ada hubungan antara
tingkat pengetahuan tentang lingkungan terhadap perilaku untuk menjaga
lingkungan itu sendiri.
64

Isu lingkungan lainnya yang populer adalah emisi rumah kaca. Efek rumah
kaca merupakan penyebab utama naiknya temperatur bumi yang menurut
sebagian ahli disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca. Gas
rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk dapat
menyerap dan menahan radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga
menyebabkan suhu di permukaan bumi semakin meningkat. Menurut konvensi
PBB mengenai perubahan iklim, ada 6 jenis gas yang digolongkan sebagai gas
rumah kaca, antara lain: karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida
(N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur
heksafluorida (SF6). Karena keterbatasan data, dari enam jenis emisi rumah kaca
tersebut, penelitian ini hanya melihat dari kandungan karbon dioksida (CO2) dan
metana (CH4). Perkiraan CO2 dan CH4 yang dipergunakan dalam penelitian
mengacu pada nilai estimasi yang dilakukan oleh BPS.
Perkiraan emisi CO2 yang dihitung adalah emisi CO2 yang bersumber dari
bahan bakar memasak dan emisi CO2 dari kendaraan bermotor. Perkiraan emisi
CO2 dari bahan bakar memasak oleh rumah tangga dihitung berdasarkan emisi dari
penggunaan bahan bakar gas, minyak tanah dan kayu bakar yang digunakan untuk
memasak. Secara umum emisi CO2 yang terbesar dihasilkan dari kayu bakar,
kemudian minyak tanah dan gas. Dalam rentang tahun 2007-2012, perkiraan emisi
CO2 meningkat dari sekitar 240 juta ton menjadi 278 juta ton.

1200000
1100000
1000000
900000
800000
700000
600000
500000
Emisi CO2
400000
300000 Emisi CH4
200000
2007 2008 2009 2010 2011 2012

Sumber: BPS (diolah)


Gambar 13Emisi CO2 (ribu ton) dan CH4 (ton), 2007-2012
Emisi gas rumah kaca lainnya adalah Metana (CH4). Metana adalah salah
satu gas rumah kaca di atmosfer bumi yang dapat memantulkan kembali sinar
infra merah. Akumulasi dari besarnya sinar infra merah yang dipantulkan kembali
ke permukaan bumi menyebabkan suhu bumi semakin panas yang selanjutnya
dapat mengubah sistem iklim bumi. Salah satu penyumbang emisi gas metana
berasal dari fermentasi yang terjadi dalam sistem pencernaan hewan ruminansia
seperti sapi, kerbau dan domba.Emisi CH4 dihitung berdasarkan perkiraan emisi
yang berasal dari hewan ternak dan unggas. Pada tahun 2012, emisi CH4 dari
hewan ternak dan unggas diperkirakan mencapai 1,2 juta ton.
65

Perkembangan Pembangunan Kelembagaan

Mengadopsi pendapat Spangenberg, kelembagaan yang baik akan


menghasilkan kemerataan. Sebaliknya, kelembagaan yang lemah akan
memunculkan permasalahan ketimpangan, salah satunya adalah ketimpangan
pendapatan. Ketimpangan pendapatan menjadi salah satu masalah serius di dunia,
khususnya negara berkembang. Ketimpangan pendapatan menggambarkan tingkat
ketimpangan dalam distribusi pendapatan di suatu wilayah atau negara.
Ketimpangan pendapatan, konsumsi, dan ketidaksetaraan kesempatan dapat
menghambat pembangunan manusia dan merugikan pertumbuhan ekonomi jangka
panjang. Indeks gini merupakan salah satu indikator untuk melihat ketimpangan
pendapatan. Indeks gini juga digunakan untuk mengukur tingkat pemerataan
pendapatan dan pengeluaran rumah tangga pada masing-masing wilayah.
Secara umum, nilai indeks gini pada periode 2007–2012 di Indonesia
cenderung mengalami peningkatan. Pada periode 2007-2012, terjadi kenaikan
nilai indeks gini dari 0,38 pada tahun 2007 menjadi 0,41 pada tahun 2012.
Peningkatan nilai indeks gini mengindikasikan bahwa distribusi pengeluaran
penduduk pada periode tersebut semakin tidak merata, meskipun ketimpangan
distribusi pendapatan yang terjadi masih termasuk kategori ketimpangan sedang
(nilai indeks gini antara 0,4 sampai 0,5).

0.9
Gini rasio
0.8

0.7
Rasio upah pekerja
0.6 perempuan dan
laki-laki

0.5
Rasio APS
perempuan dan
0.4 laki-laki

0.3
2007 2008 2009 2010 2011 2012

Sumber: BPS (diolah)


Gambar 14Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Kelembagaan, 2007-
2012
Selain terjadinya kemerataan, kelembagaan yang baik menurut Spangenberg
juga akan memunculkan terjadinya kesetaraan, seperti kesetaraan gender.
Penelitian ini menggunakan dua indikator untuk mengukur kesetaraan gender.
Indikator pertama mengukur kesetaraan gender dalam ekonomi, yaitu rasio upah
perempuan dan laki-laki. Indikator kedua mengukur kesetaraan gender dalam
sosial, yaitu rasio angka partisipasi sekolah (APS) perempuan dan laki-laki.
Gambar 14 menunjukkan adanya tren positif pada kedua ukuran kesetaraan gender
tersebut. Rasio upah perempuan dan laki-laki meningkat dari 0,76 pada tahun
2007 menjadi 0,79 pada tahun 2012. Rasio angka partisipasi sekolah perempuan
66

dan laki-laki juga mengalami peningkatan dari 0,97 pada tahun 2007 menjadi
0,999 pada tahun 2012.
Perbandingan indikator kemerataan pendapatan dan kesetaraan gender
menunjukkan arah yang berbeda. Dari sisi pendapatan, ketimpangan pendapatan
menunjukkan adanya peningkatan, dalam arti jarak (gap) antara kelompok
berpendapatan rendah dengan kelompok berpendapatan tinggi semakin lebar.
Sebaliknya indikator kesetaraan gender menunjukkan adanya perubahan positif.
Pembangunan Indonesia semakin mengarah pada kesetaraan gender, baik dari sisi
ekonomi maupun sosial. Menyikapi perbedaan ini, maka fokus pembangunan
kelembagaan tentunya diharapkan memberikan porsi yang lebih besar untuk
mengurangi ketimpangan pendapatan.
67

5 PENGEMBANGAN INDEKS KOMPOSIT PEMBANGUNAN


BERKELANJUTAN

Salah satu yang menjadi acuan dalam pembangunan di Indonesia saat ini
adalah tercapainya tujuan pembangunan milenium (Millennium Development
Goals – MDGs). MDGs merupakan hasil kesepakatan dari 189 negara anggota
Perserikatan BangsaBangsa yang terdiri dari delapan tujuan pembangunan.
Delapan tujuan tersebut adalah:(1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, (2)
mencapai pendidikan dasar untuk semua, (3) mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5)
meningkatkan kesehatan ibu, (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit
menular lainnya, (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan (8)
membangun kemitraan global untuk pembangunan. Delapan tujuan ini dibentuk
dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia, kebebasan, pembangunan,
perdamaian, dan keamanan.
Era MDGs akan berakhir pada tahun 2015. Mendekati berakhirnya era
MDGs, maka dibutuhkan tujuan pembangunan “baru” yang kembali akan
disepakati bersama. Salah satu pemikiran yang mengemuka adalah mengusung
Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan
sebagai pengganti dari MDGs. Sama halnya dengan MDGs, maka dalam SDGs
kemungkinan juga akan ditetapkan sejumlah target dengan menggunakan
beberapa indikator. Indikator-indikator tersebut dapat berupa indikator yang
terpisah-pisah (parsial) atau berupa indikator yang bersifat agregat.
Indonesia tentunya perlu mempersiapkan diri untuk menyongsong era SDGs
tersebut, salah satunya dengan mempersiapkan data terkait dengan pembangunan
berkelanjutan. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba mengidentifikasi indikator-
indikator yang memiliki keterkaitan erat dengan pembangunan
berkelanjutan.Indikator-indikator tersebut untuk selanjutnya digabungkan menjadi
indeks komposit yang bertujuan memberi gambaran tentang capaian
pembangunan berkelanjutan. Diharapkan, indeks komposit pembangunan
berkelanjutan akan menjadi alat ukur pembangunan di Indonesia. Penyusunan
indeks pembangunan berkelanjutan serta perbandingannya antar wilayah dan
waktu akan diuraikan pada bahasan berikut.

Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan

Untuk lebih sederhananya, indeks komposit pembangunan berkelanjutan di


dalam penelitian ini disebut sebagai Indeks Pembangunan Berkelanjutan atau
disingkat dengan IPB. Sesuai dengan metode yang telah disebutkan sebelumnya,
penyusunan IPB dilakukan dengan menggunakan beberapa tahapan, yaitu (1)
Penyusunan kerangka teoritis, (2) Identifikasi indikator, (3) Imputasi data yang
hilang, (4) Seleksi indikator, (5) Normalisasi data, (6) Penentuan bobot, (7)
Agregasi, dan (8) Penyajian dan diseminasi. Masing-masing tahapan akan
diuraikan secara lebih rinci dalam uraian berikut.
69

minimum tersebut. Kondisi ini menunjukkan bahwa indikator yang signifikan


sebagai penyusun indeks lingkungan atau kelembagaan masih belum mampu
menjelaskan dengan cukup baik variasi dimensi lingkungan ataupun kelembagaan.
Pada dimensi lingkungan, kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh terbatasnya
data lingkungan yang dimiliki. Indikator yang dapat dipergunakan untuk
mengukur kualitas lingkungan pada umumnya sudah cukup standar, seperti
kandungan gas rumah kaca. Namun kendalanya tidak tersedia data yang valid
untuk ukuran-ukuran tersebut. Kendala lainnya, ketersediaan data tidak tersebar
rata ke seluruh daerah, sehingga memunculkan kesulitan dalam melihat
perbandingan antar daerah.
Pada dimensi kelembagaan, selain keterbatasan data, pemilihan indikator
juga menjadi persoalan tersendiri. Dimensi kelembagaan merupakan dimensi yang
cakupannya cukup luas. Terpilihnya beberapa indikator sebagai refleksi dari
kelembagaan nampaknya belum mampu menjelaskan dimensi ini secara utuh. Dua
indikator yang menjadi penyusun dimensi kelembagaan menjadi proxy bagi
kesetaraan dalam bidang ekonomi dan sosial. Namun karena indikator yang
dipergunakan merupakan rasio antara laki-laki dan perempuan, maka dimensi
kelembagaan dalam penelitian ini akan lebih cocok jika diterjemahkan sebagai
indikator kesetaraan gender dalam bidang sosial dan ekonomi. Indeks yang
dihasilkan dari dimensi kelembagaan belum mencakup kesetaraan pendapatan
antar individu, ataupun kesetaraan pembangunan wilayah.
Dari model konfirmatori faktor analisis diperoleh sembilan indikator yang
signifikan merefleksikan indeks komposit pembangunan berkelanjutan. Dari
sembilan indikator tersebut, satu indikator mewakili dimensi ekonomi, empat
indikator mewakili dimensi sosial, dua indikator mewakili dimensi lingkungan
dan dua indikator lainnya mewakili dimensi kelembagaan. Satu indikator yang
mewakili dimensi ekonomi adalah Produk Domestik Regional Bruto per kapita
(PDRBC). Indikator ini merupakan salah satu indikator dasar dalam pembangunan
ekonomi yang mengukur jumlah nilai tambah yang diperoleh secara rata-rata oleh
masing-masing penduduk.
Empat indikator pada dimensi sosial adalah angka harapan hidup (E0),
persentase penduduk yang berobat ke rumah sakit dan dokter (BROBAT), rasio
ketergantungan (DEPR) dan total fertility rate (TFR). Angka harapan hidup
merupakan rata-rata harapan umur yang akan dicapai oleh bayi yang baru lahir.
Angka harapan hidup saat lahir merupakan proxy terhadap kondisi kesehatan.
Persentase penduduk yang berobat ke rumah sakit dan dokter merupakan indikator
yang mengukur akses penduduk terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dasar.
Rasio ketergantungan menunjukkan perbandingan jumlah penduduk yang aktif
secara ekonomi terhadap penduduk usia muda dan usia tua yang tergantung secara
ekonomi. Angka beban ketergantungan dapat mengindikasikan dampak potensial
perubahan struktur umur penduduk terhadap pembangunan sosial dan ekonomi.
Total fertility rate menunjukkan rata-rata banyaknya anak yang dilahirkan oleh
seorang wanita sepanjang hidupnya. Angka kelahiran total merupakan salah satu
variabel yang secara langsung berpengaruh pada perubahan penduduk. Angka
kelahiran total tidak dipengaruhi oleh distribusi umur penduduk. Angka kelahiran
yang rendah dapat meningkatkan kemampuan keluarga dan pemerintah dalam
pengelolaan sumber daya yang ada untuk melawan kemiskinan, melindungi dan
memperbaiki lingkungan.
70

Pada dimensi lingkungan, diperoleh dua indikator penyusun indeks


komposit, yaitu persentase desa yang tidak mengalami pencemaran udara
(UDARA) dan indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH). IKLH merupakan
indeks komposit tentang kualitas lingkungan yang mengukur kualitas air, kualitas
udara dan tutupan hutan. Pengukuran kualitas udara pada IKLH hanya dilakukan
di beberapa daerah perkotaan, sehingga indikator persentase desa yang tidak
mengalami pencemaran udara akan semakin melengkapi indikator lingkungan.
Dua indikator berikutnya, rasio upah pekerja perempuan dan laki-laki serta
rasio angka partisipasi sekolah perempuan dan laki-laki, merupakan indikator
yang mengukur capaian pembangunan dimensi kelembagaan. Sesuai dengan
pernyataan Spangenberg, dimensi kelembagaan menekankan pada konsep
kesetaraan. Mengacu pada indikator ini, maka sesuai dengan bahasan sebelumnya,
maka dimensi dalam penelitian ini menggambarkan kesetaraan gender dalam
bidang ekonomi dan sosial.
Catatan penting dari model konfirmatori faktor analisis adalah diperolehnya
dua hubungan yang tidak sesuai dengan harapan. Hipotesis nilai positif untuk
loading factor pada dimensi lingkungan dan kelembagaan ternyata tidak terbukti.
Kondisi ini memberikan indikasi bahwa pembangunan ekonomi dan sosial sering
tidak sejalan dengan pembangunan lingkungan dan kelembagaan.

[Tahap 5] Normalisasi indikator dilakukan untuk menjaga keterbandingan antar


indikator. Normalisasi lebih ditekankan untuk indikator-indikator yang bukan
bersifat persentase. Dalam penelitian ini, normalisasi dilakukan dengan
menggunakan metode maksimum-minimum. Beberapa referensi dijadikan acuan
dalam penentuan nilai maksimum dan minimum ini. Untuk PDRB per kapita
misalnya. Nilai maksimum mengacu pada target PDRB perkapita dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Sedangkan nilai
minimumnya mengacu pada garis kemiskinan daerah perkotaan tahun 2000.
Keterangan lebih rinci untuk nilai maksimum dan minimum masing-masing
indikator diuraikan pada Tabel 12.
Agar hasil normalisasi bernilai antara 0 hingga 100, maka penggunaan metode
maksimum dan minimum ini juga membawa beberapa konsekuensi. Konsekuensi
pertama, daerah yang capaiannya berada di bawah nilai minimum, nilai
normalisasinya ditetapkan 0. Konsekuensi kedua, daerah yang capaiannya
melebihi nilai maksimum, nilai normalisasinya ditetapkan sebesar 100.

[Tahap 6] Penentuan bobot dilakukan dengan memanfaatkan nilai loading factor


pada model konfirmatori faktor analisis. Bobot indikator dihitung dengan
menentukan proporsi nilai mutlak loading factor masing-masing indikator
terhadap jumlah seluruh loading factor pada masing-masing dimensi. Sedangkan
bobot dimensi dihitung berdasarkan proporsi nilai mutlak loading factor masing-
masing dimensi dalam menyusun indeks komposit (IPB). Dengan demikian
diperoleh bobot yang terangkum dalam Tabel 12 dan Gambar 16.
71

Tabel 12. Bobot dan nilai batas untuk normalisasi


Nama Batasan standarisasi
Variabel Bobot Keterangan
variabel Satuan Min Max
Ekonomi E 0,19 indeks 0 100
Sosial S 0,27 indeks 0 100
Lingkungan L 0,27 indeks 0 100
Kelembagaan K 0,27 indeks 0 100
PDRB per kapita PDRB 1 000 1100 37538 Maksimum : Target PDB
rupiah perkapita 2014 (RPJMN 2009-
2014) : Rp 37538350)
Minimum : ditentukan dari
garis kemiskinan daerah
perkotaan tahun 2000 sebesar
91632 rupiah/bln atau
1099584 rupiah/th
Angka Harapan E0 0,23 tahun 25 86 Indeks Pembangunan Manusia
Hidup
% Penduduk yg BROBAT 0,21 persen 0 100
berobat ke RS dan
Dokter
Rasio DEPRL 0,28 rasio 36,8 98 Minimum mengacu pada nilai
ketergantungan*) minimum data rasio
ketergantungan Indonesia
2007-2012, Maksimum
mengacu pada angka yg
pernah dicapai salah satu
negara Arab (Syrian Arab
Republic, 1992)
TFR*) TFR 0,28 rate 2,1 7,5 Maksimum mengacu pada
salah satu negara Afrika
(Nigeria 1990-an), minimum
mengacu target pemerintah
% Desa dengan UDARAL 0,55 persen 0 100
udara tidak tercemar
Indeks Kualitas IKLH 0,45 persen 0 100
Lingkungan Hidup
Rasio upah pekerja RUPAHL 0,63 persen 0 1
perempuan dan laki-
laki
Rasio APS RAPSL 0,37 rasio 0 1
perempuan dan laki-
laki 7-24 th
Catatan : *) Untuk Rasio Ketergantungan dan TFR, karena loading factor nya bernilai negatif,
maka nilai normalisasi yang dipergunakan adalah nilai kebalikannya (100-nilai normalisasi)

Indeks Pembangunan
Berkelanjutan (IPB)

Ekonomi Sosial Lingkungan Kelembagaan


(0,19) (0,27) (0,27) (0,27)

PDRB E0 BROBAT DEPR TFR UDARA IKLH RUPAH RAPS


(1,00) (0,23) (0,21) (0,28) (0,28) (0,55) (0,45) (0,63) (0,37)

Gambar 16Bobot Indikator dan Dimensi Pembangunan Berkelanjutan


72

[Tahap 7] Tahapan agregasi merupakan tahapan yang menghasilkan nilai indeks


komposit pembangunan berkelanjutan. Tahapan agregasi dilakukan dalam dua
langkah. Langkah pertama adalah menghitung nilai indeks masing-masing
dimensi, sedangkan langkah kedua menghitung nilai indeks komposit, dengan
menggunakan nilai indeks masing-masing dimensi. Dengan demikian, proses
agregasi ini menghasilkan nilai indeks pembangunan berkelanjutan dan nilai
indeks masing-masing dimensi (Tabel 13).

[Tahap 8] Penyajian dan diseminasi hasil penghitungan merupakan langkah akhir


dalam penyusunan indeks komposit. Penilaian pembangunan berkelanjutan
merupakan langkah awal untuk penyusunan kebijakan yang menjadi kunci untuk
tercapainya keberlanjutan pembangunan. Analisis terhadap indeks komposit yang
dihasilkan merupakan salah satu cara untuk menggali permasalahan pembangunan

Tabel 13. Indeks komposit pembangunan berkelanjutan


Ekonomi Sosial Lingkungan Kelembagaan IPB
Provinsi
2009 2012 2009 2012 2009 2012 2009 2012 2009 2012
NAD 41,95 53,32 68,16 69,79 86,04 86,11 91,56 92,26 74,33 77,13
Sumatera Utara 47,47 69,97 69,43 71,79 80,68 79,56 89,96 88,77 73,84 78,13
Sumatera Barat 41,03 58,03 67,00 68,80 91,47 81,04 96,39 93,62 76,61 76,76
Riau 100,00 100,00 74,32 75,28 74,39 71,43 83,30 87,27 81,64 82,17
Jambi 37,15 58,57 72,62 74,80 86,64 79,61 86,97 87,35 73,54 76,40
Sumatera Selatan 48,46 70,58 73,21 74,45 84,71 77,90 85,68 91,64 74,98 79,29
Bengkulu 23,73 34,69 73,65 74,22 88,70 81,27 88,73 88,17 72,30 72,38
Lampung 29,53 48,19 72,25 73,89 84,03 71,86 89,91 91,41 72,08 73,19
Kep,Babel 50,11 69,62 75,65 75,92 76,49 78,62 82,58 80,05 72,90 76,57
Kepulauan Riau 100,00 100,00 71,24 76,42 75,63 82,62 84,59 84,34 81,50 84,71
DKI Jakarta 100,00 100,00 87,73 88,18 71,65 66,62 79,45 84,61 83,49 83,64
Jawa Barat 41,78 55,42 76,23 77,74 72,08 69,44 83,99 88,78 70,66 74,24
Jawa Tengah 30,91 44,16 76,01 76,31 74,22 67,85 81,54 82,51 68,45 69,59
DI Yogyakarta 30,26 41,66 84,59 85,54 70,25 60,97 80,77 87,13 69,37 71,00
Jawa Timur 47,65 69,63 78,66 79,15 76,27 72,85 82,80 82,68 73,24 76,59
Banten 37,46 49,26 73,98 75,91 71,40 63,74 82,77 86,45 68,72 70,41
Bali 40,42 54,02 81,44 82,34 91,24 79,69 78,52 88,42 75,50 77,89
NTB 24,24 26,79 66,18 67,89 85,20 83,04 75,45 79,46 65,85 67,30
NTT 11,61 17,08 61,29 63,11 84,28 83,53 95,74 95,37 67,36 68,59
Kalimantan Barat 31,25 43,31 68,76 70,85 85,04 81,40 85,73 87,93 70,61 73,08
Kalimantan Tengah 43,89 64,22 72,53 74,67 73,45 84,29 85,10 91,36 70,73 79,79
Kalimantan Selatan 36,71 52,53 72,79 73,23 73,37 75,45 83,12 87,07 68,88 73,63
Kalimantan Timur 100,00 100,00 78,41 80,34 83,55 83,90 79,86 80,92 84,29 85,19
Sulawesi Utara 37,45 52,93 81,26 81,33 92,35 82,28 97,88 96,79 80,42 80,36
Sulawesi Tengah 31,50 48,45 69,93 72,05 84,73 89,97 87,58 90,73 71,39 77,45
Sulawesi Selatan 31,59 50,52 71,00 72,03 83,05 81,18 91,90 89,16 72,41 75,04
Sulawesi Tenggara 29,24 40,45 64,28 66,79 81,37 87,11 82,93 88,64 67,27 73,17
Gorontalo 16,19 23,41 72,58 73,88 93,54 86,04 83,26 89,78 70,41 71,87
Sulawesi Barat 19,96 29,62 69,75 70,62 84,02 84,20 92,57 86,08 70,30 70,67
Maluku 10,16 16,66 64,52 66,31 89,79 87,04 93,55 94,57 68,85 70,10
Maluku Utara 9,87 14,66 65,82 68,18 89,30 88,35 80,19 92,95 65,41 70,15
Papua Barat 64,71 100,00 71,77 73,33 88,53 90,37 89,33 94,16 79,70 88,62
Papua 75,22 64,94 69,70 73,50 88,65 90,81 85,00 80,83 79,99 78,53
Indonesia 62,61 89,63 75,09 76,19 79,29 79,12 84,05 86,86 76,27 82,41
73

Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Berdasarkan nilai IPB, pembangunan di Indonesia menunjukkan kemajuan


dari tahun 2009 hingga 2012. Hampir seluruh provinsi mengalami peningkatan
nilai IPB, kecuali Papua dan Sulawesi Utara. Provinsi Papua mengalami
penurunan nilai IPB sebesar 1,47 poin. Penurunan ini disebabkan karena turunnya
capaian pembangunan dimensi ekonomi dan kelembagaan. Nilai IPB provinsi
Sulawesi Utara turun sebesar 0,05 poin yang disebabkan karena menurunnya
capaian dimensi lingkungan dan kelembagaan.
Provinsi dengan capaian IPB yang tinggi adalah Provinsi Riau, Kepulauan
Riau, DKI Jakarta dan Kalimantan Timur. Capaian indeks komposit di provinsi-
provinsi tersebut berada di atas 80 poin selama periode 2009 hingga 2012. Selain
keempat provinsi tersebut, Papua Barat juga mencatatkan nilai IPB yang tinggi
pada tahun 2012. Papua Barat juga merupakan provinsi yang menunjukkan
perkembangan nilai IPB yang sangat pesat, sehingga menjadi provinsi dengan IPB
tertinggi pada tahun 2012.

Gambar 17. Capaian pembangunan di Indonesia


Mencermati perkembangan antar dimensi pembangunan berkelanjutan,
dimensi sosial menunjukkan capaian yang relatif seragam antar daerah, sedangkan
dimensi ekonomi menjadi dimensi yang capaiannya sangat bervariasi antar
daerah. Penggunaan sumber daya alam sebagai modal pembangunan nampaknya
masih sangat mendominasi pembangunan ekonomi. Provinsi-provinsi yang
memiliki sumber daya alam melimpah, seperti Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan
Timur dan Papua Barat, menunjukkan capaian ekonomi yang sangat tinggi. Hanya
DKI Jakarta yang memiliki capaian ekonomi tinggi namun tidak mengandalkan
sumber daya alam. Provinsi ini lebih mengandalkan modal pembangunan yang
lain, sehingga sektor yang berkembang adalah sektor-sektor tersier yang meliputi
perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa-jasa. Dominasi peran sumber daya
74

alam juga terlihat di Papua. Penurunan sektor pertambangan di provinsi ini


mengakibatkan turunnya capaian pembangunan dimensi ekonomi dan menjadikan
provinsi Papua sebagai satu-satunya provinsi yang mengalami penurunan capaian
pembangunan ekonomi.
Berbeda dengan dimensi yang lain, dimensi lingkungan merupakan dimensi
yang mengalami tekanan yang paling berat. Pembangunan nampaknya
memberikan dampak negatif pada lingkungan. Dua pertiga provinsi di Indonesia
mengalami penurunan capaian pembangunan lingkungan. Beberapa provinsi
bahkan mengalami penurunan indeks lingkungan lebih dari 10 poin, seperti
Sumatera Barat, Lampung, Bali dan Sulawesi Utara. Kondisi ini memperkuat
model konfirmatori faktor analisis yang menunjukkan nilai negatif pada loading
factorantara dimensi lingkungan dengan IPB.
Dimensi kelembagaan mengindikasikan gejala yang sama dengan dimensi
lingkungan. Walau penurunan yang terjadi tidak sebanyak pada dimensi
lingkungan, namun sepertiga provinsi mengalami penurunan capaian
pembangunan kelembagaan. Dalam penelitian ini, dimensi kelembagaan
mencerminkan disusun oleh indikator rasio upah antara perempuan dan laki-laki
dan rasio angka partisipasi sekolah antara antara perempuan dan laki-laki. Dengan
demikian, indeks pembangunan kelembagaan dapat diterjemahkan secara sempit
untuk menggambarkan kesetaraan gender. Penurunan dimensi kelembagaan pada
beberapa provinsi mengindikasikan terjadinya perubahan kesetaraan gender di
beberapa wilayah.

Gambar 18Peta Capaian Pembangunan Berkelanjutan


Penelitian ini mengelompokkan nilai IPB menjadi 3 tingkatan yaitu rendah,
sedang dan tinggi. Pembagian kelompok tersebut dilakukan dengan
memperhatikan sebaran nilai IPB. Nilai yang berada di bawah rata-rata IPB
dimasukkan dalam kategori rendah. Nilai IPB yang berada pada rentang nilai
rata-rata hingga batasan dua setengah standar deviasi dari rata-rata dimasukkan
dalam kategori sedang. Sedangkan nilai yang lebih besar dari dua setengah standar
75

deviasi dari rata-rata, dimasukkan dalam kategori tinggi. Dengan menggunakan


kriteria tersebut, maka nilai IPB rendah merupakan nilai yang berada pada di
bawah 75. Rentang 75 hingga 87,63 dikategorikan sebagai nilai IPB sedang. IPB
yang tinggi adalah nilai yang berada di atas 87,63.
Berdasarkan kriteria tingkatan nilai IPB, sebaran capaian pembangunan
berkelanjutan secara spasial menunjukkan terjadinya perubahan capaian
pembangunan berkelanjutan dari tahun 2009 ke tahun 2012. Pada tahun 2009,
provinsi dengan capaian pembangunan sedang, jumlahnya kurang dari 30 persen,
sedangkan pada tahun 2012 jumlahnya meningkat hingga lebih dari 50 persen.
Pada tahun 2012 bahkan sudah ada provinsi yang capaiannya masuk dalam
kategori tinggi, yaitu Provinsi Papua Barat, dengan nilai IPB 88,62. Nilai ini
memberi makna bahwa capaian pembangunan Papua Barat sudah mencapai 88,62
persen dari target maksimum yang telah ditetapkan. Jika diperhatikan capaian
pada masing-masing dimensi, terlihat bahwa capaian tertinggi di Papua Barat
dialami oleh dimensi ekonomi, dengan capaian 100 (lihat Tabel 13). Nilai indeks
pembangunan ekonomi 100 memberi pesan bahwa target PDRB perkapita telah
mampu dicapai oleh Papua Barat. Dimensi berikutnya yang memiliki capaian
tinggi di Papua Barat adalah dimensi kelembagaan, dengan capaian 94,16.
Berikutnya adalah dimensi lingkungan dan sosial dengan capaian masing-masing
sebesar 90,37 dan 73,33. Keseluruhan capaian indeks ini merujuk pada
pencapaian target maksimum yang telah ditetapkan dalam penghitungan IPB.
Memperhatikan perubahan selama periode 2009 hingga 2012, beberapa
provinsi menunjukkan perubahan yang cukup menonjol. Pada pembangunan
ekonomi, Provinsi Papua Barat menunjukkan perubahan indeks yang sangat tinggi.
Dalam kurun waktu tiga tahun, indeks pembangunan ekonomi Papua Barat naik
lebih dari 35 poin. Mengacu pada indikator penyusunnya, peningkatan indeks
pembangunan ekonomi Papua Barat merupakan dampak dari meningkatnya
PDRB perkapita. PDRB perkapita Papua Barat pada tahun 2009 tercatat 24,6 juta
rupiah, meningkat menjadi 52,4 juta pada tahun 2012, atau mengalami
peningkatan lebih dari dua kali lipat dalam kurun waktu tiga tahun. Peningkatan
PDRB perkapita ini didorong oleh tingginya pertumbuhan ekonomi, yaitu rata-
rata sebesar 17,27 persen per tahun. Penggalian data PDRB lebih dalam
menggambarkan bahwa angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini merupakan
dampak dari berkembangnya industri pengolahan gas alam cair. Industri gas alam
cair menunjukkan perkembangan yang sangat drastis. Dengan rata-rata
pertumbuhan 90 persen per tahunnya, kontribusi industri gas alam cair meningkat
dari 5 persen pada tahun 2009 menjadi 42 persen pada tahun 2012. Jika dikaitkan
dengan penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa penyebab utama
meningkatnya PDRB perkapita Papua Barat adalah meningkatnya industri
pengolahan gas alam cair.
Pada dimensi sosial, Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan perubahan
yang paling tinggi. Dalam kurun waktu tiga tahun tersebut, indeks pembangunan
sosial Kepulauan Riau naik 5,18 poin. Peningkatan indeks pembangunan sosial ini
merupakan hasil dari peningkatan angka harapan hidup dan persentase penduduk
yang berobat ke dokter atau rumah sakit, serta terjadinya penurunan pada angka
kelahiran total dan rasio ketergantungan. Dari empat indikator yang mengalami
perbaikan tersebut, persentase penduduk yang berobat ke dokter atau rumah sakit
merupakan indikator yang mengalami perubahan terbesar. Peningkatan akses pada
76

pelayanan kesehatan ini meningkatkan jumlah penduduk yang terlayani dari 25


persen pada tahun 2009 menjadi 44 persen pada tahun 2012.

Indeks Pembangunan Ekonomi


40.00

20.00

0.00
Sumbar

Babel

Kalsel
Jabar

NTB
NTT

Kalteng

Sulut

Sulsel
Sulteng

Maluku
Malut
Papua Barat
Papua
Sumut

Riau

Sumsel
Jambi

Bengkulu
Lampung

DIY
Kepri
Jakarta

Jateng

Banten
Bali

Kaltim
Kalbar

Sulbar
Aceh

Jatim

Gorontalo
Sultra
-20.00

Indeks Pembangunan Sosial


6.00
4.00
2.00
0.00
Sumbar

Jabar
Babel

NTT

Kalteng

Sulut
Sulteng

Maluku
Malut
Sumut

Riau

Kalsel

Sulsel
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung

NTB

Papua Barat
Papua
Jateng
DIY

Banten
Jakarta

Bali
Kepri

Kalbar

Kaltim

Sulbar
Aceh

Gorontalo
Sultra
Jatim

Indeks Pembangunan Lingkungan


20.00
10.00
0.00
Sumbar

Maluku
Babel

Malut
Riau

Kalsel

Sulut

Sulsel
Jambi
Sumsel

Lampung

Jabar

DIY

NTB
NTT

Kalteng

Sulteng

Papua Barat
Papua
Sumut

Bengkulu

Bali
Kepri
Jakarta

Jateng

Banten

Kaltim
Kalbar

Sulbar
Aceh

Sultra
Jatim

Gorontalo
-10.00
-20.00

Indeks Pembangunan Kelembagaan


20.00

10.00

0.00
Sumbar

Babel
Riau

Kalsel

Sulsel

Maluku
Malut
Jambi
Sumsel

Lampung

Jabar

DIY

NTB

Sulut
Sulteng

Papua Barat
Papua
Sumut

Jateng

Banten

NTT

Kalteng
Bengkulu

Bali
Kepri
Jakarta

Kaltim
Kalbar

Sulbar
Sultra
Aceh

Jatim

Gorontalo

-10.00

Indeks Pembangunan Berkelanjutan


10.00

5.00

0.00
Sumbar

Kalsel

Sulsel
Jabar

NTB
NTT

Kalteng

Sulut
Sulteng

Maluku
Malut

Papua
Papua Barat
Sumut

Riau

Sumsel

Babel
Jambi

Bengkulu
Lampung

Kepri

Jateng
DIY

Banten
Jakarta

Bali

Kaltim
Kalbar

Sulbar
Aceh

Jatim

Gorontalo
Sultra

-5.00

Gambar 19Perubahan Indeks Pembangunan Selama Periode 2009-2012


Pada dimensi lingkungan, ada dua provinsi yang memiliki perubahan yang
menonjol, yaitu Kalimantan Tengah dan Lampung. Keduanya menggambarkan
perubahan yang berlawan arah. Kalimantan Tengah menggambarkan perubahan
positif sedangkan Lampung menunjukkan perubahan negatif. Mencermati pada
indikator penyusunnya, perubahan pada kedua provinsi tersebut sangat
dipengaruhi oleh perubahan yang sangat besar pada indeks kualitas lingkungan
hidup (IKLH). Peningkatan IKLH Kalimantan Tengah dari 45,7 pada tahun 2009
menjadi 71,24 pada tahun 2012, mampu menutupi penurunan pada persentase
77

desa yang tidak mengalami pencemaran udara. Sehingga hasilnya tetap


menunjukkan terjadinya peningkatan pada indeks pembangunan lingkungan di
Kalimantan Tengah. Sementara penurunan IKLH Lampung dari 73,64 pada tahun
2009 menjadi 54,29 pada tahun 2012, serta terjadinya penurunan pada persentase
desa yang tidak mengalami pencemaran udara, mengakibatkan indeks
pembangunan lingkungan Lampung turun sebesar 12,17 poin.
Provinsi Maluku Utara menjadi daerah yang sangat menonjol perubahannya
pada dimensi kelembagaan. Selama periode 2009 hingga 2012, indeks
pembangunan kelembagaan Maluku Utara naik sebesar 12,76 poin. Selain
didukung oleh peningkatan rasio angka partisipasi sekolah, peningkatan indeks
pembangunan kelembagaan Maluku Utara dominan dipengaruhi oleh peningkatan
rasio upah. Rasio upah antara perempuan dan laki-laki mengalami peningkatan
dari 69,94 pada tahun 2009 menjadi 89,58 pada tahun 2012.
Perubahan pada dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan pada
akhirnya akan berdampak pada perubahan capaian pembangunan berkelanjutan.
Dua provinsi yang menunjukkan peningkatan besar adalah Papua Barat dan
Kalimantan Tengah. Peningkatan indeks pembangunan berkelanjutan Papua Barat
sangat dipengaruhi peningkatan yang sangat tinggi pada dimensi ekonomi. Indeks
pembangunan dimensi lainnya di Papua Barat relatif tidak mengalami perubahan
yang menonjol. Sedangkan peningkatan indeks pembangunan berkelanjutan
Kalimantan Tengah selain didukung oleh peningkatan indeks pembangunan
ekonomi juga didukung oleh peningkatan pembangunan pada dimensi yang lain.

Boxplot Indeks Pembangunan 2009 dan 2012

100

80

60
Data

40

20

0
) ) ) ) ) ) ) ) ) )
09 12 09 12 09 12 09 12 09 12
( 20 ( 20 ( 20 ( 20 ( 20 (20 (20 (20 (20 (20
E E S S L L K K B B
IP IP

Gambar 20Boxplot Indeks Pembangunan Tahun 2009 dan 2012


Perubahan indeks pembangunan yang diamati tidak saja terbatas pada nilai
capaiannya, tetapi juga variasinya. Variasi masing-masing indeks pembangunan
pada tahun 2009 dan 2012 divisualisasikan dengan grafik boxplot. Nilai median
indeks pembangunan ekonomi menunjukkan terjadinya kenaikan. Namun
kenaikan median indeks pembangunan ekonomi ini juga diikuti oleh kenaikan
variasi capaian antar provinsi. Grafik boxplot menunjukkan terjadinya pelebaran
jarak antara kuartil pertama dengan kuartil ketiga (interquartil range – IQR).
Dengan semakin melebarnya IQR, maka wiskers (garis perpanjangan dari kotak
78

IQR) juga semakin panjang, sehingga pencilan1 pada tahun 2009 menjadi masuk
dalam kategori bukan pencilan pada tahun 2012. Secara umum tidak terjadi
perubahan yang berarti terhadap kesimetrisan distribusi indeks pembangunan
ekonomi. Memperhatikan posisi median, panjang wiskers serta posisi pencilan,
indeks pembangunan ekonomi menunjukkan distribusi data yang cenderung
menjulur ke arah kiri (negative skewness). Distribusi seperti ini menggambarkan
provinsi yang memiliki indeks pembangunan ekonomi rendah lebih banyak dari
pada provinsi dengan indeks pembangunan ekonomi tinggi.
Kondisi sedikit berbeda ditunjukkan oleh indeks pembangunan sosial.
Kenaikan median pada indeks pembangunan sosial juga diiringi dengan
menurunnya rentang antar kuartil (IQR). Menurunnya nilai IQR, berdampak pada
semakin sempitnya wiskers, sehingga pencilan pada tahun 2012 lebih banyak
daripada tahun 2009. Pola sebaran indeks pembangunan sosial mulai bergeser dari
simetris menuju distribusi data yang menjulur ke arah kanan (positive
skewness).Indeks pembangunan lingkungan menunjukkan terjadinya penurunan
median serta rentang antar kuartil. Namun nilai wisker minimum juga
menunjukkan penurunan yang cukup besar. Pola sebaran semakin mengarah pada
distribusi data yang menjulur ke arah kanan (positive skewness), namun dengan
posisi yang semakin turun. Indeks pembangunan kelembagaan menunjukkan
kenaikan pada median dan penurunan pada rentang antar kuartil. Sebaran indeks
pembangunan kelembagaan menuju pada distribusi data yang semakin simetris.
Indeks pembangunan berkelanjutan menunjukkan terjadinya peningkatan
median, namun diiringi dengan meningkatnya rentang antar kuartil. Nilai
maksimum juga menunjukkan nilai yang jauh lebih tinggi, sehingga garis wisker
bagian atas semakin panjang. Pola sebaran indeks pembangunan berkelanjutan
juga menunjukkan pergeseran dari distribusi simetris menuju distribusi data yang
menjulur ke arah kanan (positive skewness).
Selain pengukuran capaian pembangunan berkelanjutan pada tingkat
provinsi, penelitian ini juga melakukan penghitungan indeks komposit untuk
nasional. Berdasarkan nilai IPB, capaian pembangunan berkelanjutan secara
nasional juga menunjukkan terjadinya perbaikan. Dimensi ekonomi
memperlihatkan perkembangan yang lebih cepat dibandingkan dimensi yang lain.
Dimensi yang relatif lambat perkembangannya adalah dimensi sosial. Perubahan
sosial tampaknya membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan
perubahan ekonomi. Investasi untuk kepentingan sosial tidak serta merta
memberikan hasil pada saat itu juga, namun membutuhkan jangka waktu yang
cukup panjang.
Sama halnya dengan capaian provinsi, dimensi lingkungan pada tingkat
nasional juga menunjukkan terjadinya penurunan. Hingga saat ini pembangunan
masih sangat bias pada dimensi ekonomi dan sosial. Dimensi lingkungan masih
belum mendapatkan porsi yang seimbang dengan dimensi-dimensi yang lain.
Akibatnya permasalahan lingkungan mulai muncul seiring dengan kemajuan
pembangunan. Munculnya persoalan banjir, longsor dan penurunan daya dukung
lingkungan merupakan bagian dari permasalahan tersebut. Peningkatan perhatian
pada pembangunan lingkungan tampaknya harus menjadi agenda khusus bagi

1
Pencilan didefinisikan sebagai nilai yang lebih kecil dari IQR-(1,5xIQR) atau lebih besar
dari IQR+(1,5xIQR)
79

pemerintah, agar rusaknya lingkungan tidak menjadi bumerang bagi kemajuan


yang telah dicapai.

100

80

60
2009
40
2012
20

0
Eco Soc Env Inst IPB

Gambar 21. Capaian pembangunan berkelanjutan nasional


Namun walau secara nasional pembangunan dimensi lingkungan mengalami
penurunan, nilai indeks pembangunan berkelanjutan masih tetap mengalami
peningkatan. Peningkatan indeks pembangunan berkelanjutan ini disebabkan
karena pembangunan pada dimensi yang lain tetap mengalami peningkatan.
Selama periode 2009-2012, indeks pembangunan ekonomi naik sebesar 27,02
poin. Pada periode yang sama, indeks pembangunan sosial juga naik sebesar 1,10
poin. Sementara indeks kelembagaan, sebagai proksi dari kesetaraan gender juga
mengalami peningkatan sebesar 2,81 poin. Karena indeks pembangunan
berkelanjutan merupakan fungsi linier dari dimensi ekonomi, sosial, lingkungan
dan kelembagaan, maka penurunan pada indeks pembangunan lingkungan
tertutupi oleh kenaikan pada indeks pembangunan dimensi yang lain. Dalam
bahasa yang lebih sederhana, dapat dikatakan bahwa kerusakan lingkungan masih
dapat ditutupi oleh kemajuan bidang ekonomi, sosial dan kelembagaan.
Apabila pembangunan berkelanjutan dinilai dari perubahan indeks
pembangunan berkelanjutan, maka peningkatan indeks pembangunan
berkelanjutan merupakan cerminan dari pembangunan yang lebih berkelanjutan.
Sebaliknya penurunan dari indeks pembangunan berkelanjutan mencerminkan
pembangunan yang semakin tidak berkelanjutan. Mengacu pada rumusan tersebut,
maka peningkatan indeks pembangunan berkelanjutan di Indonesia menjadi
indikasi bahwa pembangunan Indonesia semakin mengarah pada pembangunan
yang lebih berkelanjutan. Namun indikasi ini tentunya harus disikapi dengan hati-
hati, karena peningkatan indeks pembangunan tidak terjadi pada seluruh dimensi.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, indeks lingkungan cenderung mengalami
penurunan. Dalam jangka panjang, kondisi ini tentu akan berdampak negatif pada
pembangunan secara keseluruhan.
Sebagai ilustrasi, dengan tren positif pada indeks pembangunan ekonomi,
sosial dan kelembagaan, maka dimungkinkan nilai ketiga indeks pembangunan
tersebut akan mencapai nilai maksimum, yaitu 100. Mengacu pada konsekuensi
nilai maksimum dan minimum pada tahapan normalisasi, maka walaupun capaian
pembangunan ekonomi, sosial dan kelembagaan telah melebihi nilai
maksimumnya, namun nilai indeks yang dihasilkan akan tetap bernilai 100.
Akibatnya nilai ketiga indeks pembangunan tersebut akan kontan. Bersamaan
80

dengan konstannya nilai indeks ekonomi, sosial dan kelembagaan, nilai indeks
lingkungan akan terus mengalami penurunan, mengikuti tren menurunnya.
Hasilnya, nilai indeks pembangunan berkelanjutan, yang merupakan fungsi linier
dari indeks ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan juga akan mengalami
penurunan. Dengan demikian, maka dapat dikatakan peningkatan indeks
pembangunan berkelanjutan yang tidak didukung oleh peningkatan pembangunan
di seluruh dimensi hanya mengindikasikan pembangunan yang lebih
berkelanjutan dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, yang terjadi justru
sebaliknya, yaitu pembangunan yang semakin tidak berkelanjutan. Ilustrasi
tersebut sesuai dengan kondisi di Indonesia saat ini. Peningkatan indeks
pembangunan berkelanjutan yang terjadi selama periode 2009-2012 hanya
mengindikasikan pembangunan berkelanjutan pada jangka pendek. Dalam jangka
panjang, indeks pembangunan berkelanjutan akan mengalami penurunan sebagai
akibat dari terus menurunnya indeks lingkungan.
Ilustrasi di atas juga memberikan kesimpulan menarik tentang nilai indeks
pembangunan berkelanjutan. Peningkatan indeks pembangunan berkelanjutan
yang disebabkan oleh peningkatan seluruh indeks pembangunan (ekonomi, sosial,
lingkungan dan kelembagaan) mengindikasikan pembangunan yang lebih
berkelanjutan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Sedangkan peningkatan
indeks pembangunan berkelanjutan yang tidak didukung oleh seluruh dimensi
pembangunan hanya menunjukkan pembangunan yang lebih berkelanjutan dalam
jangka pendek saja. Dalam jangka panjang, peningkatan indeks pembangunan
berkelanjutan yang tidak didukung oleh seluruh dimensi pembangunan justru
mengindikasikan pembangunan yang lebih tidak berkelanjutan.
Penelitian ini menghasilkan indeks komposit yang dapat menjadi alternatif
dalam mengukur pembangunan berkelanjutan. Indikator yang dipergunakan
merupakan refleksi dari dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan.
Penyusunan indeks komposit dihadapkan pada dua hal yang sering kali saling
merupakan trade-off. Kedua hal tersebut adalah kekomprehensifan dan
kesederhanaan. Indikator yang komprehensif sering kali tidak sederhana,
sebaliknya indikator yang sederhana sering kali tidak komprehensif. Penelitian ini
mencoba menjembatani kedua hal tersebut dengan menggunakan konfirmatori
faktor analisis.
Keterbatasan data menjadi kendala dalam penyusunan indeks komposit ini,
terutama pada dimensi lingkungan dan kelembagaan. Secara umum indeks
dimensi lingkungan telah mampu menangkap terjadinya penurunan kualitas
lingkungan, namun masih belum mampu menangkap fenomena alih fungsi hutan,
atau berubahnya hutan menjadi lahan kritis. Kondisi ini pada dasarnya sudah coba
dinilai dalam IKLH, namun keterbatasan data kembali menjadi persoalan.
Catatan lainnya dari penelitian ini adalah, adanya indikasi pembangunan
yang dilakukan di Indonesia belum sepenuhnya menuju ke arah pembangunan
berkelanjutan. Indikasi ini ditunjukkan dengan munculnya loading factor yang
bernilai negatif untuk dimensi lingkungan dan kelembagaan. Lemahnya perhatian
pemerintah pada kedua dimensi ini mengakibatkan terjadinya penurunan capaian
pembangunan lingkungan dan kelembagaan di beberapa provinsi. Untuk itu
pemerintah harus lebih serius dalam mendorong pembangunan pada kedua
dimensi tersebut. Pencegahan kerusakan lingkungan, pemulihan lingkungan yang
rusak serta penyediaan data lingkungan yang berkualitas merupakan bentuk
81

kebijakan pada dimensi lingkungan. Pada dimensi kelembagaan, yang terkait


dengan keadilan dan kesetaraan, perlu diupayakan kebijakan untuk mengurangi
ketimpangan dan kesenjangan dalam masyarakat.
82

6 HUBUNGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN


DENGAN MODAL SOSIAL

Pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu acuan dalam


penyelenggaraan pembangunan. Walau secara umum indeks pembangunan
berkelanjutan mengalami peningkatan, namun di beberapa provinsi terjadi
penurunan pada dimensi lingkungan dan kelembagaan. Dibutuhkan identifikasi
potensi-potensi yang mampu meningkatkan capaian pembangunan berkelanjutan,
terutama pada dua dimensi yang mengalami penurunan. Salah satu potensi yang
patut diidentifikasi adalah modal dasar yang dipergunakan dalam pembangunan,
seperti modal fisik, modal manusia dan modal sosial. Kajian yang menganalisis
pengaruh penggunaan modal fisik dan modal manusia dalam pembangunan telah
sering dilakukan. Sebaliknya, modal sosial merupakan modal yang sering
terlupakan dan paling jarang diteliti, terutama hubungannya dengan pembangunan
berkelanjutan. Penelitian ini berusaha untuk menganalisis hubungan
pembangunan berkelanjutan dengan modal sosial.
Hubungan pembangunan berkelanjutan dianalisis menggunakan indeks
pembangunan berkelanjutan dan indeks modal sosial. Kedua indeks tersebut
merupakan hasil dari dua bab sebelumnya.

Pengukuran Modal Sosial di Indonesia

Telah disebutkan pada bagian awal bahwa modal sosial berbeda dengan
modal manusia (human capital). Modal manusia merupakan sumber daya yang
melekat pada individu, sedangkan modal sosial merupakan sumber daya yang
melekat pada hubungan sosial. Dengan demikian, modal sosial selalu ada dalam
setiap hubungan sosial yang dilakukan antar individu, antar kelompok, antar
organisasi dan bahkan antar negara. Kompleksnya ruang lingkup modal sosial
berpengaruh secara langsung terhadap besaran yang mampu menggambarkan nilai
modal sosial itu sendiri. Semakin luas cakupan modal sosial yang ingin diteliti
maka semakin kompleks indikator yang digunakan untuk mengukur besaran
modal sosial tersebut. Dibutuhkan batasan-batasan tertentu agar penghitungan
modal sosial dapat dioperasionalkan.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur besaran modal sosial pada
tingkat provinsi di seluruh Indonesia. Mengingat luas dan beragamnya
karakteristik wilayah penelitian, maka indikator yang dipergunakan harus bersifat
general dan berlaku di semua wilayah. Selain pemilihan indikator, cakupan
wilayah juga perlu mendapat perhatian tersendiri. Mengacu pada penelitian BPS,
pengukuran modal sosial pada masyarakat desa merupakan hal yang paling
sederhana untuk dilakukan. Modal sosial masyarakat desa merupakan akumulasi
dari modal sosial individu pada wilayah tersebut. Selanjutnya modal sosial untuk
hierarki wilayahnya yang lebih tinggi, merupakan akumulasi dari modal sosial
masyarakat desa.
Dalam penelitian ini, modal sosial terdiri dari tiga komponen, yaitu
kepercayaan (trust), norma (norm) dan jejaring (networks). Besaran modal sosial
masing-masing daerah sangat ditentukan oleh besaran ketiga komponen tersebut.
83

Besaran modal sosial ini diukur dengan menggunakan sebuah indeks komposit
berupa indeks modal sosial. Indeks modal sosial merupakan rata-rata modal sosial
yang dimiliki oleh individu pada provinsi tertentu yang diukur berdasarkan
keeratan hubungan individu dengan komunitas di desa tempat tinggalnya.
Pengukuran modal sosial masih jarang dilakukan. Satu-satunya penelitian
yang menghasilkan besaran modal sosial untuk tingkat provinsi di seluruh wilayah
Indonesia adalah pengukuran modal sosial yang telah dilakukan oleh BPS.
Pengukuran besaran modal sosial yang ada dalam masyarakat desa ini telah
dirintis sejak tahun 2010 dengan menggunakan data Susenas MSBP 2009. Pada
saat itu, besaran modal sosial diberi nama sebagai stok modal sosial. Pada tahun
2013, dengan menggunakan data Susenas MSBP 2012, kembali dilakukan
penelitian tentang modal sosial, namun dengan melakukan perbaikan pada cara
pengukuran dan metode statistik yang digunakan.
Pembahasan tentang pengukuran modal sosial di Indonesia akan diawali
dengan memberikan gambaran tentang karakteristik responden yang memberikan
informasi tentang modal sosial.Gambaran tentang karakteristik responden dapat
menjadi sarana untuk mengukur kualitas informasi yang diberikan oleh responden.
Karakteristik responden dilihat dari beberapa indikator demografi, yang meliputi
jenis kelamin, kelompok umur, status perkawinan, status dalam rumah tangga
serta lama menetap di lingkungan sekarang.

Tabel 14Persentase Responden menurut Karakteristik Demografi dan Daerah


Tempat Tinggal

Karakteristik Demografi Perkotaan Perdesaan Jumlah

Jenis Kelamin
- Perempuan 64,90 52,70 58,00
- Laki-laki 35,10 47,30 42,00
Kelompok Umur
- < 30 tahun 16,10 16,00 16,00
- 30-40 tahun 31,50 30,90 31,20
- > 40 tahun 52,40 53,10 52,80
Status Perkawinan
- Belum kawin 7,90 4,70 6,10
- Cerai 12,40 13,10 12,80
- Kawin 79,70 82,20 81,10
Status dalam rumah tangga
- Bukan kepala keluarga 56,00 44,60 49,50
- Kepala keluarga 44,00 55,40 50,50
Lama menetap di lingkungan sekarang
- < 5 tahun 18,80 10,30 14,00
- 5-10 tahun 16,40 11,30 13,50
- 11-20 tahun 21,80 20,50 21,10
- > 20 tahun 43,00 57,80 51,40
Jumlah responden 29337 38878 68215
84

Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar responden merupakan responden


perempuan. Dari 68.215 responden, 58 persen diantaranya merupakan responden
perempuan. Proporsi jumlah responden perempuan ini semakin besar di daerah
perkotaan. Proporsi responden perempuan di daerah perkotaan bahkan mencapai
64,9 persen. Besarnya jumlah responden perempuan ini diduga dipengaruhi oleh
metode pengumpulan data yang dipergunakan. Pendataan Survei Sosial Ekonomi
Nasional Modul Sosial Budaya dan Pendidikan dilakukan dengan mendatangi
rumah tangga sampel dan melakukan wawancara secara langsung. Pendataan
dilakukan pada siang hari, sehingga umumnya yang berada di rumah adalah
anggota rumah tangga perempuan. Anggota rumah tangga laki-laki umumnya
bekerja di luar rumah. Namun jika diperbandingkan, proporsi responden
perempuan dan laki-laki tidaklah menunjukkan perbedaan yang sangat besar.
Dengan perbedaan sekitar 4 persen, maka informasi yang dikumpulkan telah
mampu menunjukkan keseimbangan antar gender. Dengan kata lain, informasi
modal sosial yang dikumpulkan tidak bias gender.
Merujuk pada pedoman pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional Modul
Sosial Budaya dan Pendidikan, pertanyaan tentang modal sosial hanya boleh
diajukan pada responden yang berumur lebih dari 17 tahun. Memperhatikan
batasan tersebut, maka pembagian kelompok umur juga dilakukan untuk umur
yang lebih besar dari 17 tahun. Responden yang berumur kurang dari 30 tahun
jumlahnya adalah sekitar 16 persen, sedangkan responden yang berumur antara 30
hingga 40 tahun jumlahnya sekitar 31 persen. Jumlah responden terbanyak berasal
dari mereka yang berumur lebih dari 40 tahun, dengan proporsi lebih dari 50
persen. Proporsi kelompok umur responden ini hampir sama antara di perdesaan
dan perkotaan. Dengan dominasi kelompok umur lebih dari 40 tahun, diharapkan
informasi tentang modal sosial yang diberikan akan lebih baik, karena tentunya
akan sejalan dengan banyaknya pengalaman responden berkaitan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang menjadi indikator modal sosial.
Status perkawinan juga menjadi salah satu variabel untuk menggambarkan
karakteristik responden. Perkawinan sering kali dijadikan sebagai salah satu
indikator untuk menentukan kedewasaan seseorang. Berdasarkan variabel ini,
terlihat bahwa responden didominasi oleh mereka yang telah menikah, baik yang
berstatus kawin maupun cerai. Jika diurutkan dari proporsi responden tertinggi,
maka urutannya adalah responden yang berstatus kawin (81,1 persen), cerai (12,8
persen) dan belum kawin (6,1 persen). Pola ini sama antara responden perkotaan
dan perdesaan, walaupun dengan besaran proporsi yang agak berbeda.
Variabel lainnya yang dijadikan sebagai penjelas karakteristik responden
adalah status responden di dalam rumah tangga. Status ini dibedakan menjadi dua
kategori, kepala rumah tangga dan bukan kepala rumah tangga. Jika dikaitkan
dengan modal sosial, maka tindakan dalam membangun modal sosial tidak saja
dilakukan oleh kepala rumah tangga, tetapi juga oleh anggota rumah tangga. Oleh
sebab itu, informasi tentang modal sosial sebaiknya juga diberikan secara
seimbang oleh mereka yang berstatus kepala rumah tangga dan juga bukan kepala
rumah tangga. Secara umum, responden penelitian ini relatif seimbang antara
kedua kategori tersebut. Responden kepala rumah tangga sedikit mendominasi
dengan proporsi 50,5 persen. Namun jika diperbandingkan antara responden
perkotaan dengan perdesaan, terlihat pola yang bertolak belakang. Untuk daerah
perkotaan, sekitar 44 persen responden adalah kepala keluarga, sedangkan di
85

perdesaan proporsi dengan besaran yang relatif sama justru menunjukkan proporsi
jumlah responden yang bukan kepala keluarga. Dugaan yang sama dengan
variabel jenis kelamin nampaknya juga dapat dipergunakan untuk menerangkan
kondisi ini. Kepala keluarga di daerah perkotaan umumnya bekerja dan tidak
berada di rumah pada saat pengumpulan data dilakukan, sehingga responden lebih
didominasi oleh mereka yang bukan kepala rumah tangga.
Sebagai modal yang melekat dengan struktur sosial, modal sosial
dipengaruhi oleh frekuensi interaksi antar individu. Modal sosial akan semakin
terbentuk oleh adanya interaksi yang bersifat positif. Sedangkan interaksi yang
bersifat negatif tentunya akan memberikan hasil yang berkebalikan. Oleh sebab
itu, dibutuhkan pula informasi tentang frekuensi interaksi yang dilakukan oleh
responden. Sebagai proksi dari frekuensi interaksi ini dipergunakan variabel yang
menanyakan tentang lamanya responden menetap di lingkungan sekarang.
Lamanya responden menetap di lingkungan sekarang diasumsikan berkorelasi
positif dengan frekuensi interaksi. Semakin lama responden menetap maka
frekuensi interaksi diasumsikan akan semakin tinggi pula. Secara umum,
responden didominasi oleh mereka yang telah menetap lebih dari 20 tahun di
lingkungan sekarang, dengan proporsi lebih dari 50 persen. Dengan jumlah
responden yang didominasi oleh mereka yang memang telah berada cukup lama di
lingkungan mereka saat ini, maka informasi modal sosial yang diberikan oleh
responden tentunya akan dapat menggambarkan bentuk interaksi sosial yang telah
dilakukan selama ini. Proporsi responden yang telah menetap lebih dari 20 tahun
di lingkungannya sekarang di perdesaan jumlahnya mencapai 57,8 persen,
sedangkan di perkotaan jumlahnya lebih rendah yaitu 43 persen. Perbedaan yang
cukup besar antara proporsi responden yang menetap lebih dari 20 tahun di daerah
perdesaan dengan perkotaan diduga karena dominasi pendatang lebih terlihat pada
masyarakat perkotaan daripada perdesaan. Masyarakat perdesaan umumnya
adalah mereka yang memang dilahirkan dan dibesarkan di desa tersebut, sehingga
proporsi pendatang relatif lebih sedikit dibandingkan perkotaan.
Memperhatikan beberapa karakteristik responden di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa responden dapat memberikan informasi yang memadai tentang
modal sosial. Responden telah terwakili dari sisi kedaerahan, jenis kelamin, umur
dan beberapa karakteristik yang lain. Responden juga didominasi oleh mereka
yang diasumsikan mempunyai pengalaman interaksi sosial yang cukup.
Penelitian ini melakukan penghitungan ulang tentang besaran modal sosial
pada tahun 2012, namun tetap menggunakan data yang sama dengan yang telah
dipergunakan oleh BPS. Penghitungan ulang ini dilakukan karena adanya
perbedaan komponen modal sosial yang dipergunakan oleh BPS dengan
komponen yang telah di desain untuk penelitian ini. BPS menggunakan komponen
sikap percaya terhadap tokoh di lingkungan desa, partisipasi dalam aksi bersama
di desa, toleransi dan sikap percaya terhadap tetangga. Penelitian ini
menggunakan komponen kepercayaan, norma dan jejaring.
Berdasarkan metode yang telah ditetapkan, penghitungan modal sosial
masing-masing provinsi dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu: (1)
Penyelarasan data, (2) Penghitungan rata-rata skor, (3) Normalisasi, (4) Penentuan
bobot dan (5) Agregasi. Seluruh tahapan dilakukan secara berurutan. Penjelasan
untuk setiap tahapan diuraikan pada bagian berikut ini.
86

[Tahap 1] Penyelarasan data. Penyelarasan ditujukan untuk sinkronisasi seluruh


pertanyaan yang dipergunakan. Indikator untuk mengukur modal sosial dalam
penelitian ini menggunakan dua blok pertanyaan. Kedua blok pertanyaan tersebut
dapat dijawab oleh responden yang berbeda, sehingga dibutuhkan penelusuran
untuk responden yang menjawab kedua blok pertanyaan tersebut. Penelusuran ini
dimaksudkan agar informasi pada kedua blok pertanyaan tersebut diberikan oleh
responden yang sama. Hasil penelusuran akhirnya menemukan 68215 responden
yang menjawab pertanyaan di kedua blok tersebut. Keseluruhan responden
tersebut tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.

Tabel 15. Rata-rata skor indikator modal sosial


Kemu- Keikut
Keper- Keper- Banya
Keper- dahan Berapa sertaan Partisi
Keper- cayaan cayaan Per- Kesi- knya Partisi
cayaan Keper- men- banyak dalam pasi
cayaan meni- meni- sepsi apan organi- pasi
pada cayaan dapat orang keg. dalam
pada tipkan tipkan terha- mem- sasi/ dalam
Provinsi aparat pada perto- yang bersa- keg
tokoh rumah anak dap bantu kelom- keg
desa/ tokoh longan siap ma kema-
masya- pada pada rasa orang pok keaga
kelura agama dari mem- dalam syara-
rakat tetang tetang aman lain yang maan
han tetang bantu musi- katan
ga ga diikuti
ga bah
Aceh 3,01 3,03 3,12 2,90 2,63 3,24 2,95 2,60 3,60 2,92 1,54 2,79 2,05
Sum. Utara 2,94 2,97 3,03 2,94 2,73 3,16 2,91 2,57 3,61 2,73 1,88 2,68 2,05
Sum. Barat 2,88 2,92 2,99 2,89 2,64 3,14 2,99 2,67 3,65 2,82 1,69 2,55 2,10
Riau 2,95 2,98 3,03 2,95 2,64 3,15 2,97 2,64 3,58 2,88 1,90 2,76 2,39
Jambi 2,96 2,99 3,06 2,88 2,61 3,19 2,87 2,64 3,57 2,85 1,95 2,80 2,40
Sum. Selatan 2,96 3,01 3,05 2,97 2,74 3,08 2,94 2,73 3,69 2,83 1,51 2,43 1,99
Bengkulu 2,94 2,97 3,04 3,03 2,73 3,20 2,93 2,70 3,73 2,92 1,63 2,56 2,29
Lampung 2,96 2,98 3,04 3,00 2,70 3,08 3,01 2,68 3,69 2,88 1,71 2,73 2,07
Kep. Babel 2,91 2,97 3,03 2,92 2,73 3,16 2,94 2,69 3,82 2,71 1,44 2,25 1,89
Kep. Riau 2,89 2,91 2,99 2,83 2,55 3,14 2,98 2,58 3,58 2,74 1,67 2,50 2,19
DKI Jakarta 2,90 2,97 3,00 2,75 2,32 3,01 2,96 2,59 3,49 2,66 1,46 2,38 2,11
Jawa Barat 2,96 2,99 3,07 2,94 2,73 3,09 2,92 2,63 3,59 2,71 1,43 2,61 1,93
Jawa Tengah 2,98 3,00 3,08 3,01 2,77 3,20 3,03 2,79 3,72 2,95 1,95 2,75 2,48
DIY 2,98 2,98 3,03 2,93 2,67 3,23 3,02 2,81 3,80 3,02 2,40 2,80 2,80
Jawa Timur 2,98 3,01 3,09 2,92 2,65 3,21 3,00 2,71 3,68 2,91 1,91 2,72 2,38
Banten 2,88 3,00 3,04 2,93 2,68 3,07 3,00 2,55 3,67 2,76 1,48 2,62 1,92
Bali 3,05 3,05 3,07 3,00 2,74 3,34 3,02 2,82 3,77 2,91 2,16 2,93 2,25
NTB 2,94 3,02 3,09 3,00 2,79 3,13 2,94 2,65 3,56 2,85 1,58 2,66 1,80
NTT 3,04 3,07 3,17 2,96 2,72 3,23 3,03 2,58 3,64 3,02 1,77 3,00 2,35
Kal. Barat 2,97 2,99 3,07 2,88 2,63 3,22 2,94 2,73 3,62 2,75 1,61 2,42 2,13
Kal. Tengah 2,98 3,02 3,10 2,93 2,63 3,20 2,97 2,73 3,68 2,78 1,64 2,65 2,20
Kal. Selatan 2,93 2,97 3,08 2,92 2,70 3,15 2,95 2,65 3,65 2,76 1,75 2,62 2,22
Kal. Timur 2,97 3,00 3,07 2,88 2,61 3,23 3,04 2,61 3,60 2,74 1,65 2,52 2,09
Sul. Utara 3,08 3,05 3,18 2,95 2,69 3,28 3,11 2,75 3,59 3,09 2,32 3,03 2,62
Sul. Tengah 2,94 3,01 3,14 3,01 2,72 3,20 3,04 2,59 3,64 2,98 1,58 2,73 2,12
Sul. Selatan 3,01 3,02 3,09 3,06 2,84 3,26 3,02 2,68 3,70 2,82 1,45 2,44 1,97
Sul. Tenggara 3,00 3,04 3,16 2,99 2,79 3,28 3,04 2,65 3,63 2,94 1,46 2,54 2,16
Gorontalo 2,99 3,01 3,10 2,90 2,70 3,24 3,08 2,79 3,59 2,92 1,52 2,62 2,14
Sul. Barat 2,95 3,02 3,12 3,04 2,83 3,28 3,06 2,62 3,74 2,98 1,59 2,59 1,92
Maluku 2,91 3,01 3,21 2,92 2,74 3,22 3,05 2,48 3,70 3,04 1,69 2,91 1,89
Maluku Utara 3,00 3,06 3,25 3,00 2,80 3,41 3,03 2,50 3,52 3,00 1,66 2,83 2,32
Papua Barat 2,86 2,96 3,08 2,83 2,52 3,21 2,97 2,42 3,60 2,74 1,70 2,80 1,92
Papua 2,80 2,98 3,10 2,78 2,62 3,09 2,86 2,47 3,38 2,78 1,66 2,71 1,89
Indonesia 2,96 3,00 3,08 2,94 2,70 3,18 2,98 2,66 3,64 2,85 1,72 2,67 2,17
87

[Tahap 2] Penghitungan rata-rata skor. Setelah melakukan penyelarasan data,


selanjutnya dilakukan penghitungan rata-rata skor untuk masing-masing indikator.
Selain dilakukan penghitungan untuk setiap provinsi, juga dihitung skor rata-rata
untuk nasional. Hasil penghitungan rata-rata skor modal sosial ditampilkan pada
Tabel 15.

[Tahap 3] Normalisasi. Tahapan selanjutnya adalah melakukan normalisasi untuk


nilai rata-rata skor pada masing-masing indikator. Normalisasi dilakukan dengan
mengacu pada rumusan yang telah ditetapkan di bagian metodologi. Nilai
normalisasi ditampilkan pada Tabel 16.

Tabel 16. Normalisasi rata-rata skor indikator modal sosial


Kemu- Keikut
Keper- Keper- Banya
Keper- dahan Berapa sertaan Partisi
Keper- cayaan cayaan Per- Kesi- knya Partisi
cayaan Keper- men- banyak dalam pasi
cayaan meni- meni- sepsi apan organi- pasi
pada cayaan dapat orang keg. dalam
pada tipkan tipkan terha- mem- sasi/ dalam
Provinsi aparat pada perto- yang bersa- keg
tokoh rumah anak dap bantu kelom- keg
desa/ tokoh longan siap ma kema-
masya- pada pada rasa orang pok keaga
kelura agama dari mem- dalam syara-
rakat tetang tetang aman lain yang maan
han tetang bantu musi- katan
ga ga diikuti
ga bah
Aceh 67,00 67,67 70,67 63,33 54,33 74,67 65,00 53,33 86,67 64,00 18,00 59,67 35,00
Sum. Utara 64,67 65,67 67,67 64,67 57,67 72,00 63,67 52,33 87,00 57,67 29,33 56,00 35,00
Sum. Barat 62,67 64,00 66,33 63,00 54,67 71,33 66,33 55,67 88,33 60,67 23,00 51,67 36,67
Riau 65,00 66,00 67,67 65,00 54,67 71,67 65,67 54,67 86,00 62,67 30,00 58,67 46,33
Jambi 65,33 66,33 68,67 62,67 53,67 73,00 62,33 54,67 85,67 61,67 31,67 60,00 46,67
Sum. Selatan 65,33 67,00 68,33 65,67 58,00 69,33 64,67 57,67 89,67 61,00 17,00 47,67 33,00
Bengkulu 64,67 65,67 68,00 67,67 57,67 73,33 64,33 56,67 91,00 64,00 21,00 52,00 43,00
Lampung 65,33 66,00 68,00 66,67 56,67 69,33 67,00 56,00 89,67 62,67 23,67 57,67 35,67
Kep. Babel 63,67 65,67 67,67 64,00 57,67 72,00 64,67 56,33 94,00 57,00 14,67 41,67 29,67
Kep. Riau 63,00 63,67 66,33 61,00 51,67 71,33 66,00 52,67 86,00 58,00 22,33 50,00 39,67
DKI Jakarta 63,33 65,67 66,67 58,33 44,00 67,00 65,33 53,00 83,00 55,33 15,33 46,00 37,00
Jawa Barat 65,33 66,33 69,00 64,67 57,67 69,67 64,00 54,33 86,33 57,00 14,33 53,67 31,00
Jawa Tengah 66,00 66,67 69,33 67,00 59,00 73,33 67,67 59,67 90,67 65,00 31,67 58,33 49,33
DIY 66,00 66,00 67,67 64,33 55,67 74,33 67,33 60,33 93,33 67,33 46,67 60,00 60,00
Jawa Timur 66,00 67,00 69,67 64,00 55,00 73,67 66,67 57,00 89,33 63,67 30,33 57,33 46,00
Banten 62,67 66,67 68,00 64,33 56,00 69,00 66,67 51,67 89,00 58,67 16,00 54,00 30,67
Bali 68,33 68,33 69,00 66,67 58,00 78,00 67,33 60,67 92,33 63,67 38,67 64,33 41,67
NTB 64,67 67,33 69,67 66,67 59,67 71,00 64,67 55,00 85,33 61,67 19,33 55,33 26,67
NTT 68,00 69,00 72,33 65,33 57,33 74,33 67,67 52,67 88,00 67,33 25,67 66,67 45,00
Kal. Barat 65,67 66,33 69,00 62,67 54,33 74,00 64,67 57,67 87,33 58,33 20,33 47,33 37,67
Kal. Tengah 66,00 67,33 70,00 64,33 54,33 73,33 65,67 57,67 89,33 59,33 21,33 55,00 40,00
Kal. Selatan 64,33 65,67 69,33 64,00 56,67 71,67 65,00 55,00 88,33 58,67 25,00 54,00 40,67
Kal. Timur 65,67 66,67 69,00 62,67 53,67 74,33 68,00 53,67 86,67 58,00 21,67 50,67 36,33
Sul. Utara 69,33 68,33 72,67 65,00 56,33 76,00 70,33 58,33 86,33 69,67 44,00 67,67 54,00
Sul. Tengah 64,67 67,00 71,33 67,00 57,33 73,33 68,00 53,00 88,00 66,00 19,33 57,67 37,33
Sul. Selatan 67,00 67,33 69,67 68,67 61,33 75,33 67,33 56,00 90,00 60,67 15,00 48,00 32,33
Sul. Tenggara 66,67 68,00 72,00 66,33 59,67 76,00 68,00 55,00 87,67 64,67 15,33 51,33 38,67
Gorontalo 66,33 67,00 70,00 63,33 56,67 74,67 69,33 59,67 86,33 64,00 17,33 54,00 38,00
Sul. Barat 65,00 67,33 70,67 68,00 61,00 76,00 68,67 54,00 91,33 66,00 19,67 53,00 30,67
Maluku 63,67 67,00 73,67 64,00 58,00 74,00 68,33 49,33 90,00 68,00 23,00 63,67 29,67
Maluku Utara 66,67 68,67 75,00 66,67 60,00 80,33 67,67 50,00 84,00 66,67 22,00 61,00 44,00
Papua Barat 62,00 65,33 69,33 61,00 50,67 73,67 65,67 47,33 86,67 58,00 23,33 60,00 30,67
Papua 60,00 66,00 70,00 59,33 54,00 69,67 62,00 49,00 79,33 59,33 22,00 57,00 29,67
Indonesia 65,33 66,67 69,33 64,67 56,67 72,67 66,00 55,33 88,00 61,67 24,00 55,67 39,00
88

[Tahap 4] Penentuan bobot. Tahap selanjutnya adalah menentukan penimbang


dalam penyusunan indeks modal sosial. Penyusunan indeks modal sosial
dilakukan dalam dua tingkatan, pertama penyusunan indeks komponen modal
sosial berdasarkan indikator yang bersesuaian dan kedua penyusunan indeks
modal sosial berdasarkan keseluruhan komponen modal sosial. Oleh sebab itu,
maka penentuan penimbang juga dilakukan dalam dua tingkatan, penimbang
untuk indikator dan penimbang untuk komponen. Penentuan penimbang masing-
masing indikator dihitung dengan menggunakan metode korelasi.
Pada komponen kepercayaan (TR), seluruh indikator memiliki bobot yang
hampir seragam. Indikator kepercayaan pada aparatur desa/kelurahan
(APARATUR) dan persepsi terhadap rasa aman (AMAN) memiliki bobot 0,17.
Indikator kepercayaan pada tokoh agama (TOKOH_AG), kepercayaan menitipkan
rumah pada tetangga (TITIP_RU) dan kepercayaan menitipkan anak pada
tetangga (TITIP_AN) memiliki bobot 0,16. Sedangkan indikator kepercayaan
pada tokoh masyarakat (TOKOH_MA) mendapat bobot 0,18.
Pada komponen norma (NR), bobot masing-masing indikator juga tidak
terlalu jauh berbeda. Indikator kesiapan membantu orang lain (BANTU) memiliki
bobot 0,26. Indikator kemudahan mendapat pertolongan dari tetangga
(DITOLONG) mendapat bobot 0,24. Sedangkan indikator banyaknya orang yang
siap membantu (JML_DITO) dan keikutsertaan dalam kegiatan bersama dalam
penanganan musibah (MUSIBAH) mendapat bobot yang sama, yaitu sebesar 0,25.
Tiga indikator pada komponen jejaring (NT) juga memiliki bobot yang
berbeda. Bobot terbesar dimiliki oleh indikator jumlah organisasi/kelompok yang
diikuti (ORG), yaitu sebesar 0,36. Dua indikator yang lain, partisipasi dalam
kegiatan kemasyarakatan (MASY) dan partisipasi dalam kegiatan keagamaan
(AGAMA) meniliki bobot masing-masing sebesar 0,33 dan 0,31.
Penimbang indikator dipergunakan untuk menghitung indeks masing-
masing komponen modal sosial. Agar dapat menghasilkan indeks modal sosial,
diperlukan pula penimbang untuk masing-masing komponen. Dalam penelitian ini,
penimbang masing-masing komponen diasumsikan seragam, sehingga masing-
masing komponen akan memiliki penimbang 1/3.

Indeks
Modal Sosial

Kepercayaan/TR Norma/NR Jejaring/NT


(1/3) (1/3) (1/3)
TOKOH_MA (0,18)

TOKOH_AG (0,16)
APARATUR (0,17)

DITOLONG (0,24)

JML_DITO (0,25)

MUSIBAH (0,25)
TITIP_AN (0,16)
TITIP_RU (0,16)

AGAMA (0,31)
BANTU (0,26)
AMAN (0,17)

MASY (0,33)
ORG (0,36)

Gambar 22. Besaran penimbang indikator yang komponen modal sosial


89

[Tahap 5] Agregasi. Dengan menggunakan penimbang di atas, dilakukan


penghitungan indeks masing-masing komponen modal sosial dan juga indeks
modal sosial. Penghitungan indeks modal sosial dilakukan untuk seluruh provinsi
dan juga nasional. Indeks modal sosial pada tahun 2012 dapat dilihat pada tabel
berikut ini.

Tabel 17. Indeks Modal Sosial 2012

Indeks Indeks
Indeks Indeks
Provinsi kepercayaan Modal
Norma (Nr) Jejaring (Nt)
(Tr) Sosial (SC)
Aceh 66,4 67,4 36,5 56,8
Sumatera Utara 65,5 65,3 39,5 56,7
Sumatera Barat 63,7 67,9 36,4 56,0
Riau 65,1 67,4 44,3 58,9
Jambi 65,1 66,2 45,4 58,9
Sumatera Selatan 65,7 68,3 31,8 55,3
Bengkulu 66,2 69,1 37,9 57,7
Lampung 65,4 68,9 38,2 57,5
Kepulauan Bangka Belitung 65,2 68,1 28,0 53,7
Kepulauan Riau 62,9 65,8 36,6 55,1
DKI Jakarta 61,0 64,3 32,0 52,4
Jawa Barat 65,5 65,5 32,0 54,3
Jawa Tengah 66,9 70,8 45,8 61,2
DI Yogyakarta 65,8 72,2 55,2 64,4
Jawa Timur 66,0 69,3 43,9 59,7
Banten 64,5 66,7 32,6 54,6
Bali 68,2 71,1 47,6 62,3
Nusa Tenggara Barat 66,5 66,8 32,9 55,4
Nusa Tenggara Timur 67,8 69,1 44,8 60,5
Kalimantan Barat 65,4 67,1 34,4 55,6
Kalimantan Tengah 66,0 68,1 37,9 57,3
Kalimantan Selatan 65,3 66,9 39,2 57,1
Kalimantan Timur 65,5 66,7 35,5 55,9
Sulawesi Utara 68,0 71,3 54,6 64,7
Sulawesi Tengah 66,8 68,9 37,2 57,6
Sulawesi Selatan 68,3 68,6 31,0 55,9
Sulawesi Tenggara 68,2 69,0 34,2 57,1
Gorontalo 66,4 69,9 35,5 57,3
Sulawesi Barat 68,0 70,1 33,6 57,3
Maluku 66,8 69,1 37,8 57,9
Maluku Utara 69,6 67,3 41,4 59,4
Papua Barat 63,8 64,6 37,1 55,2
Papua 63,3 62,5 35,4 53,7
Indonesia 66,0 67,9 38,8 57,5

Berdasarkan nilai indeks modal sosial, diketahui bahwa nilai indeks modal
sosial tertinggi diperoleh oleh Provinsi Sulawesi Utara, sedangkan nilai indeks
modal sosial terendah tetap di Provinsi DKI Jakarta. Indeks modal sosial dalam
penelitian ini disusun menggunakan indikator yang menggambarkan tingkat
kepercayaan, kepedulian dan interaksi dengan orang lain di lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat kepercayaan, kepedulian dan
interaksi dengan orang lain di sekitarnya di Sulawesi Utara paling baik di antara
provinsi yang lain. Sebaliknya, kondisi kepercayaan, kepedulian dan interaksi
90

dengan orang sekitar di DKI Jakarta berada pada kondisi yang paling rendah.
Artinya masyarakat DKI cenderung lebih bersifat individualis dibandingkan
Sulawesi Utara.
Tingkat modal sosial diduga dipengaruhi juga oleh tingkat kehomogenan
masyarakat yang ada di dalamnya. Jika dikaitkan dengan bentuk modal sosial,
masyarakat yang homogen relatif memiliki bonding social capital yang relatif
lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang heterogen. Kehomogenan akan
meningkatkan kepercayaan antar masyarakat. Kepercayaan ini menjadi dasar
untuk munculnya norma saling membantu dan pada akhirnya akan
mengembangkan jejaring masyarakat yang ada dalam komunitas tersebut.
Kehomogenan ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, misalnya dari sisi
jenis suku dan agama. Sehingga, dengan tingkat kehomogenan masyarakat yang
lebih tinggi daripada DKI Jakarta, maka tingkat modal sosial Sulawesi Utara juga
cenderung lebih tinggi.
Mencermati beberapa provinsi yang menempati urutan indeks modal sosial
yang tinggi, patut pula diduga bahwa adanya pemimpin informal dalam
masyarakat juga berpengaruh pada modal sosial. Setelah Sulawesi Utara, provinsi
lain yang memiliki indeks modal sosial tinggi adalah Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Bali. Sulawesi Utara memiliki pemimpin informal yang berasal
dari kalangan tokoh agama. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki pemimpin
informal yang berasal dari keraton, sedangkan Bali memiliki pemimpin informal
dari kalangan tokoh adat dan agama. Tokoh informal ini menjadi perekat di dalam
masyarakat, sehingga meningkatkan rasa kepercayaan, kepedulian dan interaksi
dalam masyarakat.
Gambaran modal sosial Indonesia menunjukkan bahwa komponen yang
memiliki nilai tertinggi adalah komponen norma dengan nilai indeks sebesar 67,9.
Komponen kepercayaan memiliki capaian yang tidak jauh berbeda dengan norma.
Indeks kepercayaan adalah sebesar 66,0. Komponen yang memiliki capaian
terendah adalah jejaring. Indeks jejaring hanya tercatat sebesar 38,8.
Memperhatikan nilai-nilai indeks tersebut, maka modal sosial Indonesia sangat
dominan disusun oleh komponen norma dan kepercayaan.
Perbandingan antar komponen indeks modal sosial akan semakin jelas
dengan memperhatikan sebaran indeks tersebut pada Gambar 15. Komponen
norma (Nr) dan kepercayaan (Tr) berada jauh di atas komponen jejaring (Nt).
Sebaran norma dan kepercayaan juga jauh lebih homogen dibandingkan jejaring.
Oleh sebab itu, maka sangat beralasan jika pengembangan modal sosial lebih
diprioritaskan pada pengembangan jejaring.
Pengembangan jaringan berkaitan dengan mengembangkan kelompok atau
organisasi yang didasarkan pada rasa saling percaya dan norma yang dimiliki.
Dalam bidang ekonomi, pengembangan jaringan dapat dilakukan dengan
mengembangkan organisasi ekonomi yang didasarkan pada tindakan bersama
(collective action). Bentuk organisasi yang cocok dengan prinsip ini adalah
koperasi. Koperasi yang akan dikembangkan tentunya dengan mempertimbangkan
bentuk-bentuk keterikatan yang telah ada. Ide dasarnya adalah melakukan
pengembangan terhadap kelompok-kelompok tradisional/informal yang telah ada
menjadi organisasi formal. Dengan demikian, modal sosial yang telah mereka
miliki sebelumnya akan menjadi modal awal dalam membangun koperasi.
91

Dalam konteks lingkungan, pengembangan jejaring tentunya akan terkait


dengan pengembangan organisasi peduli lingkungan. Pengembangan organisasi
lingkungan ini dapat diawali dari kearifan lokal yang ada untuk kemudian
dikembangkan menjadi organisasi formal. Salah satu bentuk seperti ini adalah
pengelolaan lingkungan di Kampung Naga yang diawali dengan adanya larangan
adat yang mampu menjaga kelestarian lingkungan kampung ini. Bentuk lain dari
pengembangan jejaring pada dimensi lingkungan adalah dengan mengadopsi
bentuk organisasi baru namun tetap dengan memanfaatkan modal sosial di
masyarakat, misalnya dengan bank sampah. Pengelolaan bank sampah melibatkan
komunitas yang berada di sekitar bank sampah tersebut.

Boxplot of TR, NR, NT, SC

70

60
Data

50

40

30

TR NR NT SC

Gambar 23Boxplot Indeks Modal Sosial dan Komponennya 2012


Untuk lebih memahami gambaran tentang modal sosial di Indonesia, selain
melakukan penghitungan untuk indeks modal sosial secara keseluruhan, juga
dilakukan penghitungan indeks modal sosial untuk wilayah perkotaan dan
perdesaan. Penghitungan indeks modal sosial dengan memberikan kontrol
kewilayahan ini diharapkan akan memberikan informasi umum tentang bentuk
modal sosial pada kedua daerah yang berbeda karakteristik ini. Wilayah perkotaan
merupakan gambaran daerah yang telah maju, sedangkan daerah perdesaan
merupakan refleksi dari daerah yang sedang bekembang.
Secara umum, indeks modal sosial perdesaan lebih besar dari pada
perkotaan. Namun jika diperhatikan menurut masing-masing komponen, ternyata
tidak seluruhnya indeks perdesaan lebih besar dari perkotaan. Dominasi perdesaan
terlihat pada indeks kepercayaan dan indeks norma, sedangkan indeks jejaring
justru sebaliknya. Indeks jejaring perkotaan lebih besar daripada perdesaan.
Kondisi ini dapat memunculkan dugaan bahwa pembangunan yang telah
dilakukan membawa dampak negatif pada tingkat kepercayaan dan norma, namun
memberikan dampak positif pada jejaring.
Secara nasional, perbedaan antara modal sosial perdesaan dengan perkotaan
tidaklah terlalu besar. Modal sosial perdesaan adalah 58,1 sedangkan perkotaan
56,8, atau selisih antara keduanya hanyalah 1,6 poin. Namun pada beberapa
provinsi selisih antara indeks modal sosial perkotaan dengan perdesaan cukup
92

besar. Selisih terbesar terjadi di Kalimantan Selatan (6,3 poin), diikuti Papua
Barat (5,2 poin) dan Sulawesi Barat (4,2 poin).
Jika diperhatikan kondisi modal sosial pada masing-masing provinsi,
ternyata dominasi kawasan perdesaan dalam hal modal sosial tidak terjadi untuk
seluruh provinsi. Di beberapa provinsi, indeks modal sosial perdesaan lebih kecil
dari pada perkotaan. Provinsi-provinsi tersebut adalah Aceh, Lampung, Sulawesi
Tenggara, Gorontalo, dan Papua.

Tabel 18Indeks Modal Sosial 2012 Menurut Kategori Wilayah

Perkotaan Perdesaan
Indeks Indeks Indeks Indeks
Provinsi Indeks Indeks Indeks Indeks
keperca- Modal keperca- Modal
Norma Jejaring Norma Jejaring
yaan Sosial yaan Sosial
(Nr) (Nt) (Nr) (Nt)
(Tr) (SC) (Tr) (SC)
Aceh 66,1 68,2 37,6 57,3 66,6 67,1 36,1 56,6
Sumatera Utara 64,3 65,0 38,7 56,0 66,4 65,7 40,0 57,4
Sumatera Barat 62,6 67,6 36,3 55,5 64,5 67,8 36,3 56,2
Riau 62,7 66,6 43,7 57,7 66,5 67,9 44,6 59,7
Jambi 62,9 66,1 43,1 57,3 65,9 66,2 46,3 59,5
Sumatera Selatan 64,0 66,9 31,0 54,0 66,4 69,0 32,2 55,9
Bengkulu 64,5 68,6 40,0 57,7 67,0 69,5 36,9 57,8
Lampung 64,3 68,3 40,4 57,7 65,8 69,1 37,2 57,4
Kep. Bangka Belitung 62,7 66,6 27,3 52,2 67,7 69,4 28,6 55,2
Kepulauan Riau 62,6 65,9 35,5 54,7 63,9 65,5 39,6 56,3
DKI Jakarta 61,0 64,3 32,0 52,4 - - - -
Jawa Barat 64,5 64,8 33,3 54,2 67,3 67,3 29,7 54,7
Jawa Tengah 66,1 69,7 45,8 60,5 67,9 72,1 45,6 61,9
DI Yogyakarta 64,8 71,6 54,4 63,6 67,9 73,5 56,9 66,1
Jawa Timur 64,5 68,4 45,4 59,4 67,6 70,2 41,8 59,9
Banten 63,7 65,6 34,5 54,6 66,0 68,6 29,2 54,6
Bali 67,4 70,6 46,0 61,3 69,2 71,8 50,2 63,7
Nusa Tenggara Barat 65,9 65,9 34,3 55,4 67,0 67,3 31,9 55,4
Nusa Tenggara Timur 65,5 69,2 45,8 60,2 68,3 69,0 44,7 60,7
Kalimantan Barat 63,3 65,2 31,0 53,2 66,2 67,8 35,8 56,6
Kalimantan Tengah 63,6 65,4 37,5 55,5 67,2 69,4 38,0 58,2
Kalimantan Selatan 64,3 63,9 31,7 53,3 66,1 68,7 44,1 59,6
Kalimantan Timur 64,1 65,7 33,4 54,4 67,4 68,0 38,2 57,9
Sulawesi Utara 68,4 71,4 54,0 64,6 67,8 71,1 55,1 64,7
Sulawesi Tengah 64,0 65,5 35,0 54,8 67,6 69,9 38,0 58,5
Sulawesi Selatan 65,4 67,2 34,3 55,6 69,7 69,4 29,3 56,1
Sulawesi Tenggara 67,1 67,9 38,4 57,8 68,5 69,3 32,6 56,8
Gorontalo 66,6 71,5 36,5 58,2 66,3 69,2 35,1 56,9
Sulawesi Barat 66,4 67,6 27,8 53,9 68,5 70,8 35,2 58,2
Maluku 64,6 69,1 36,4 56,7 68,0 69,3 38,6 58,6
Maluku Utara 68,0 66,0 36,2 56,8 70,2 67,6 43,0 60,3
Papua Barat 60,0 60,5 35,0 51,8 65,8 66,9 38,4 57,0
Papua 61,9 64,2 37,8 54,6 63,7 62,3 34,7 53,5
Indonesia 64,5 67,0 39,0 56,8 67,0 68,5 38,7 58,1
93

Korelasi Pembangunan dengan Modal Sosial

Penelitian ini menganalisis hubungan antara modal sosial dengan


pembangunan berkelanjutan dengan menggunakan data 33 provinsi di Indonesia.
Jika dibandingkan dengan penelitian modal sosial yang telah dilakukan oleh
peneliti yang lain, cakupan wilayah dalam penelitian ini relatif lebih
luas.Penelitian modal sosial yang dilakukan oleh Grootaert pada tahun 2001 hanya
melibatkan beberapa daerah di Indonesia, meliputi Jambi, Jawa Tengah dan Nusa
Tenggara Timur. Penelitian Vipriyanti pada tahun 2007 juga hanya melibatkan
beberapa kabupaten di Provinsi Bali.
Dua data pokok yang dipergunakan dalam mengaji hubungan ini adalah
indeks masing-masing dimensi pembangunan berkelanjutan dan indeks modal
sosial (SC). Indeks dimensi pembangunan berkelanjutan, yang merupakan ukuran
pembangunan berkelanjutan, diperoleh dari hasil tujuan pertama penelitian dan
telah dibahas pada bab sebelumnya. Sedangkan indeks modal sosial sebagai
ukuran modal sosial adalah hasil penghitungan pada subbab sebelumnya.
Pendugaan hubungan antara pembangunan berkelanjutan dengan modal
sosial dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi dan diperkuat dengan
analisis klaster empat kuadran (plot pencar).Analisis korelasi digunakan untuk
mengidentifikasi arah dan keeratan hubungan antara pembangunan dan modal
sosial, tanpa menjelaskan pola hubungan sebab akibat. Sedangkan analisis klaster
empat kuadran menampilkan plot antara indeks pembangunan dengan indeks
modal sosial. Plot antara kedua indeks tersebut juga akan menggambarkan arah
hubungan antara capaian pembangunan dengan modal sosial. Analisis kluster
empat kuadran akan membagi seluruh provinsi ke dalam empat kategori, yaitu (1)
provinsi dengan capaian pembangunan dan modal sosial tinggi, (2) provinsi
dengan capaian pembangunan rendah dan modal sosial tinggi, (3) provinsi dengan
capaian pembangunan dan modal sosial rendah dan (4) provinsi dengan capaian
pembangunan tinggi dan modal sosial rendah.
Analisis korelasi dan plot pencardilakukan antara indeks modal sosial
dengan masing-masing indeks dimensi pembangunan berkelanjutan; ekonomi (E),
sosial (S), lingkungan (L) dan kelembagaan (K). Pada bagian akhir akan dianalisis
juga korelasi dan sebaran antara indeks pembangunan berkelanjutan (IPB) dengan
modal sosial.

Tabel 19Koefisien Korelasi Modal Sosial (SC) dengan Indeks Pembangunan


Koefisien
Indeks Pembangunan p-value
Korelasi
Indeks Pembangunan Ekonomi (E) -0,354 0,043
Indeks Pembangunan Sosial (S) 0,153 0,395
Indeks Pembangunan Lingkungan (L) -0,139 0,440
Indeks Pembangunan Kelembagaan (K) 0,331 0,060
94

6.2.1. Hubungan Pembangunan Ekonomi dengan Modal Sosial


Dimensi pembangunan pertama yang menjadi pembahasan adalah dimensi
ekonomi. Pembangunan ekonomi diwakili oleh indeks pembangunan ekonomi (E),
sedangkan modal sosial dinilai dengan indeks modal sosial. Penghitungan
koefisien korelasi antara indeks pembangunan ekonomi (E) dengan modal sosial
(SC) menghasilkan nilai -0,354. Memperhatikan nilai p-value, koefisien korelasi
ini signifikan pada tingkat kesalahan 5 persen.
Nilai negatif pada koefisien korelasi ini menunjukkan bahwa provinsi
dengan tingkat capaian ekonomi yang tinggi cenderung memiliki modal sosial
yang rendah. Kondisi ini seakan-akan bertentangan dengan pandangan yang
menyatakan bahwa modal sosial berdampak positif terhadap pembangunan
ekonomi. Dibutuhkan kehati-hatian dalam menanggapi kondisi ini. Jika mengacu
pada referensi yang menyatakan modal sosial berdampak positif pada
pembangunan ekonomi, mekanisme utamanya adalah melalui penurunan biaya
transaksi. Penurunan biaya transaksi akan berdampak pada peningkatan nilai
tambah sehingga akan memajukan perekonomian.
Salah satu faktor yang dapat menurunkan biaya transaksi adalah adanya rasa
saling percaya antar pelaku ekonomi. Dengan adanya rasa saling percaya, biaya
informasi dan biaya kontrak akan dapat ditekan. Agar mampu menangkap
hubungan ini secara empirik, tentunya komponen kepercayaan (trust) dalam
indeks modal sosial juga harus menangkap hubungan antar pelaku ekonomi ini.
Sementara modal sosial yang dipergunakan dalam penelitian ini tidak secara
khusus memperhatikan hubungan antar pelaku ekonomi namun hanya melihat
hubungan antar individu secara umum, seperti kepercayaan pada tetangga,
aparatur desa serta kepercayaan pada tokoh agama atau tokoh masyarakat.
Begitu pula dengan komponen modal sosial yang lain, seperti norma dan
jejaring. Norma yang diukur dalam data Susenas MSBP adalah norma yang terkait
dengan perilaku saling membantu dalam hal kesehatan dan kematian. Norma
saling membatu dalam hal keuangan juga diteliti, namun dalam konteks keuangan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bukan untuk kegiatan ekonomi. Dengan
demikian indeks norma yang dihasilkan hanya menggambarkan norma dalam
aspek kehidupan sehari-hari, belum menggambarkan norma dalam kegiatan
ekonomi. Komponen jejaring juga melihat jejaring secara umum.
Gambaran tentang variabel modal sosial yang dipergunakan dalam
penelitian ini tentunya sangat mempengaruhi temuan penelitian. Indeks modal
sosial yang dihasilkan masih belum menggambarkan secara utuh tentang modal
sosial di Indonesia. Modal sosial yang berpotensi untuk pembangunan ekonomi
relatif tidak tertangkap dengan baik. Kondisi ini pula yang diduga sebagai
penyebab utama dari munculnya hubungan negatif antara pembangunan ekonomi
dengan modal sosial seperti yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi.
Selain dugaan utama yang terkait dengan pengukuran modal sosial, dugaan
lain yang menyebabkan hubungan negatif antara pembangunan ekonomi dengan
modal sosial adalah pembangunan ekonomi yang dilakukan selama ini tidak
memanfaatkan modal sosial sebagai salah satu modal. Pembangunan masih fokus
pada penggunaan modal fisik dan modal manusia. Mengacu pada Rustiadi dkk
(2009), salah satu sifat modal sosial adalah tidak habis jika digunakan, sebaliknya
akan habis jika tidak digunakan. Akibatnya, daerah maju (sebagai akibat dari
pembangunan yang dilakukan) cenderung memiliki modal sosial yang rendah.
95

Penurunan modal sosial diduga juga dipengaruhi oleh dominasi paham


kapitalis dalam perekonomian. Herman (2012) menuliskan kapitalisme adalah
sistem sosial yang didasarkan pada pengakuan hak-hak individu. Pandangan
kapitalis akhirnya mengubah perilaku kemasyarakatan menjadi perilaku individual.
Norma saling membantu pada akhirnya hanya dimanfaatkan untuk kepentingan
yang terkait dengan hubungan sosial, tidak terinternalisasi dalam kegiatan
ekonomi. Perubahan-perubahan seperti ini pada akhirnya berujung pada
menurunnya modal sosial pada daerah-daerah yang relatif maju dari sisi ekonomi.
Selain itu, pemahaman tentang karakteristik modal sosial juga dapat
membantu untuk menerangkan adanya indikasi hubungan negatif antara
pembangunan ekonomi dengan modal sosial. Dalam Susenas MSBP juga ditanya
bagaimana bentuk toleransi terhadap orang yang berbeda suku atau agama.
Toleransi antar suku dan agama dapat dijadikan sebagai proksi untuk melihat
apakah bentuk modal sosial yang tercipta di Indonesia mengarah pada bonding
social capital atau bridging social capital. Rustiadi dkk (2009) menyebutkan
bahwa bonding social capital dicirikan oleh kuatnya pertalian antar anggota
keluarga atau antar anggota dalam etnis/agama tertentu.
Tabel 20 menggambarkan korelasi antara indeks modal sosial dengan dua
pertanyaan yang menjadi indikator bonding social capital. Tabel tersebut
memberikan informasi bahwa pada tahun 2012 terjadi korelasi negatif antara
indeks modal sosial dengan skor tanggapan terhadap kegiatan orang yang berbeda
suku. Korelasi negatif ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa semakin
tinggi indeks modal sosial maka mereka semakin tidak suka dengan kegiatan
orang yang berasal dari suku yang berbeda. Namun tidak demikian dengan
indikator yang melihat tanggapan terhadap kegiatan orang yang berbeda agama.
Korelasi positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi nilai modal sosial, maka
mereka semakin toleransi terhadap kegiatan orang yang berasal dari agama yang
berbeda.

Tabel 20Korelasi antara Indeks Modal Sosial dengan Indikator Bonding Social
Capital
Korelasi dengan Indeks Modal
Indikator Sosial
r Prob

 Tanggapan terhadap kegiatan orang yang berbeda suku -0,036 0,842


 Tanggapan terhadap kegiatan orang yang berbeda agama 0,208 0,246

Informasi tersebut menggambarkan bahwa terdapat indikasi modal sosial di


Indonesia mengarah pada bonding social capital khususnya untuk orang-orang
yang memiliki suku yang sama. Mereka dengan suku yang sama cenderung
memiliki rasa saling percaya yang sangat tinggi, namun tidak demikian jika
dengan orang yang memiliki suku yang berbeda. Secara kasat mata, kondisi ini
dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam satu organisasi/institusi
misalnya, jika pimpinannya berasal dari salah satu suku, maka sering terjadi
pimpinan di struktur yang lebih rendah juga berasal dari suku yang sama. Namun
karena nilai korelasi negatif yang tidak terlalu tinggi, maka alasan bonding social
96

capitalsebagai penyebab negatifnya hubungan antara modal sosial dengan


pembangunan nampaknya tidak dapat digeneralisasi.
Bonding social capital berpotensi memberikan dampak negatif bagi
pembangunan. Putnam dalam Vipriyanti (2007) mengatakan bahwa bonding
social capital memiliki potensi untuk menekan pertumbuhan ekonomi wilayah.
Bonding social Capitalakan memunculkan eksklusivisme, sehingga menjadi
penghambat dalam pembangunan.
Pernyataan senada juga pernah dituliskan oleh Hasbullah (2006).
Eksklusivisme juga menghambat berkembangnya modal sosial ke arah yang
menghasilkan dampak positif bagi masyarakat dan pembangunan. Masyarakat
dengan kohesifitas sosial yang tinggi di dalam kelompok sosialnya, tetapi dengan
eksternalitas yang rendah akan menghasilkan keterkungkungan budaya dari ide,
pemikiran dan perkembangan yang datang dari luar kelompok sosialnya.
Hasbullah mengambil contoh sebuah desa di daerah Martapura Kalimantan
Selatan. Desa yang hanya berjarak 7 kilometer dari Kota Martapura tersebut
memiliki modal sosial yang tinggi dengan menjaga adat istiadat banjar. Nilai-nilai
kebersamaan masih terjaga dengan baik, namun mereka seakan-akan mengisolasi
diri dalam kelompoknya dengan nilai-nilai, norma dan kebiasaan mereka sendiri.
Dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari kota, kehidupan mereka masih jauh dari
sejahtera. Masyarakat desa ini masih didominasi oleh mereka yang berstatus
miskin. Desa Pematang Baru yang dicontohkan oleh Hasbullah tersebut
menggambarkan tipikal modal sosial masyarakat yang sangat tradisional. Mereka
memiliki kohesifitas ke dalam yang relatif kuat, tetapi tidak memiliki energi
perubahan karena terkungkung oleh eksklusivismenya.

Scatterplot of SC vs E
89.63
66
Sulut
DIY
64
Bali
62 Jateng
NTT
60 Jatim
Malut
Jambi Riau
SC

Maluku Bengkulu
58 Sulteng
Lampung Kalteng Indonesia
Gorontalo
Sulbar Sultra Kalsel
Aceh Sumut 57.53
Sulsel Sumbar Kaltim
56 NTB Kalbar
Sumsel Papua
KepriBrt
Banten Jabar

54 PapuaBabel

Jakarta
52
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
E

Gambar 24Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Ekonomi dengan Indeks


Modal Sosial 2012
Menggunakan analisis plot pencar (scatterplot) yang dibagi menjadi empat
kuadran dengan kondisi Indonesia sebagai nilai tengah, diketahui sebaran
provinsi-provinsi relatif terhadap kondisi Indonesia. Sebaran nilai indeks
pembangunan ekonomi dan indeks modal sosial di Indonesia menunjukkan bahwa
hanya satu provinsi (Riau) yang berada pada kuadran I. Kuadran I merupakan
97

kuadran yang paling diharapkan, dimana posisi ini menggambarkan capaian yang
tinggi pada pembangunan ekonomi dan juga modal sosial. Sebelas provinsi
tercatat masuk ke dalam kuadran II, artinya provinsi-provinsi tersebut memiliki
modal sosial yang relatif tinggi, namun capaian pembangunan ekonominya rendah.
Sebaliknya, provinsi yang capaian pembangunan ekonominya tinggi namun
dengan modal sosial yang relatif rendah (kuadran IV), mencakup empat provinsi,
yaitu Kalimantan Timur, Papua Barat, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta. Jumlah
terbanyak, dengan 17 provinsi, berada pada kuadran III. Kuadran ini
mencerminkan bahwa pembangunan ekonomi dan modal sosial pada 17 provinsi
tersebut berada di bawah kondisi rata-rata Indonesia.

6.2.2. Hubungan Pembangunan Sosial dengan Modal Sosial


Dimensi sosial menjadi dimensi kedua yang dibahas dalam penyusunan
model ini. Dimensi sosial diwakili oleh indeks pembangunan sosial (S). Koefisien
korelasi antara indeks pembangunan sosial dengan indeks modal sosial pada Tabel
17 adalah 0,153. Dengan nilai p-value 0,395, maka koefisien korelasi ini tidak
signifikan pada tingkat kesalahan 5 persen atau bahkan 10 persen. Walaupun
koefisien korelasi ini tidak signifikan, namun tetap memberikan indikasi
hubungan positif antara pembangunan sosial dengan modal sosial. Provinsi
dengan modal sosial tinggi cenderung akan memiliki capaian pembangunan sosial
yang tinggi pula.
Pengukuran modal sosial dalam penelitian ini didasari pada hubungan
individu pada wilayah desa/kelurahan. Pengukuran norma diukur secara timbal
balik. Dari satu sisi digunakan indikator yang menanyakan kesediaan untuk
membantu atau menolong. Pada sisi yang lain digunakan pula indikator yang
menanyakan kemudahan mendapat pertolongan. Kedua jenis indikator ini
nampaknya telah mampu menangkap modal sosial yang terkait dengan
pembangunan sosial, walaupun masih dalam bentuk modal sosial skala mikro.
Koefisien korelasi juga memberikan indikasi bahwa modal sosial masih
dipergunakan dalam pembangunan sosial. Modal sosial yang dibangun dengan
kepercayaan, norma dan jejaring memunculkan rasa empati terhadap kondisi
orang lain. Empati ini melahirkan kesediaan untuk membantu orang lain yang
mengalami kesulitan, terutama dalam hal kesehatan atau pendidikan. Kesediaan
membantu orang yang sakit atau mereka yang mengalami putus sekolah ini
tentunya berdampak positif bagi pembangunan sosial.
Pengamatan yang dilakukan di Kenagarian VII Koto Talago Kabupaten
Lima Puluh Kota Sumatera Barat juga menunjukkan fenomena yang sama. Di
daerah ini ditemukan institusi sosial yang menyediakan pembiayaan kesehatan
bagi anggotanya. Pemanfaatan modal sosial dalam bidang pendidikan juga sangat
nyata di nagari ini. Program orang tua asuh yang diinisiasi oleh para perantau
yang memiliki kemampuan dari sisi ekonomi, membuat tingkat pendidikan
masyarakat nagari ini berada di atas rata-rata nagari lain di sekitarnya. Program
orang tua asuh ini tidak saja bersifat perorangan tetapi juga bersifat komunal.
Dengan pola ini, seorang garin mesjid bahkan mampu menyekolahkan semua
anaknya hingga perguruan tinggi. Namun bonding social capital juga masih
sangat terlihat pada modal sosial nagari ini. Pemberian beasiswa dan program
anak asuh masih terbatas pada mereka yang memiliki agama yang sama.
98

Hal lainnya yang ditemukan di Kenagarian VII Koto Talago adalah peran
pendidikan terhadap modal sosial masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam
kegiatan sosial seperti pemberian beasiswa dan keikutsertaan dalam kegiatan
kemasyarakatan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya, bukan dari sisi
kemampuan ekonomi. Mereka yang berpendidikan tinggi cenderung memiliki
kepedulian yang lebih baik dibandingkan yang berpendidikan lebih rendah.
Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pembangunan sosial juga
mempengaruhi kapasitas modal sosial. Pernyataan ini juga didukung oleh
pernyataan Hasbullah (2006). Pembangunan sosial, utamanya pembangunan di
bidang pendidikan memberikan dampak pada peningkatan modal sosial. Dalam
bukunya, Hasbullah bahkan merekomendasikan pembangunan pendidikan untuk
meningkatkan modal sosial. Lembaga pendidikan bukan hanya tempat memberi
dan menerima ilmu tetapi juga merupakan tempat terjadinya sosialisasi nilai-nilai
baru seperti profesionalisme, kejujuran, integritas, kesamaan, kebebasan dan
keadaban. Lembaga pendidikan yang demikian ini tidak saja berkaitan dengan
modal manusia, tetapi juga dengan modal sosial.
Merangkum dua pernyataan di atas, maka dapatdidugabahwa hubungan
positif antara pembangunan sosial dengan modal sosial merupakan hubungan dua
arah. Pembangunan sosial berpengaruh positif terhadap modal sosial dan modal
sosial juga berpengaruh positif terhadap pembangunan sosial.

Scatterplot of SC vs S
76.19
66
Sulut
DIY
64
Bali
62 Jateng
NTT
60 Jatim
Malut
Riau
Jambi
SC

Maluku Bengkulu
58 Sulteng
Lampung Indonesia
Kalteng
Sultra Sulbar Gorontalo
Kalsel
Aceh Sumut 57.53
Sumbar Sulsel Kaltim
56 NTB Kalbar
PapuaSumsel
Brt Kepri
Banten Jabar

54 Papua Babel

Jakarta
52
60 65 70 75 80 85 90
S

Gambar 25Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Sosial dengan Indeks Modal
Sosial 2012
Dengan analisis plot pencar terlihat bahwa sebagian besar provinsi di
Indonesia berada pada kuadran III. Enam belas provinsi memiliki capaian
pembangunan sosial dan kapasitas modal sosial yang lebih rendah dari rata-rata
Indonesia. Plot nilai indeks pembangunan sosial dan indeks modal sosial di
Indonesia juga menunjukkan bahwa hanya lima provinsiyang berada pada kuadran
I. Kuadran yang menggambarkan capaian yang tinggi pada pembangunan sosial
dan juga modal sosial ditempati oleh Provinsi Sulawesi Utara, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Bali, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Delapan provinsi tercatat masuk
ke dalam kuadran II, artinya provinsi-provinsi tersebut memiliki modal sosial
99

yang relatif tinggi, namun capaian pembangunan sosialnya rendah. Sebaliknya,


provinsi yang capaian pembangunan sosialnya tinggi namun dengan modal sosial
yang relatif rendah (kuadran IV), mencakup empat provinsi, yaitu Kalimantan
Timur, Kepulauan Riau, Jawa Barat dan DKI Jakarta.

6.2.3. Hubungan Pembangunan Lingkungan dengan Modal Sosial


Dimensi ketiga dalam pembangunan berkelanjutan adalah dimensi
lingkungan. Capaian pembangunan lingkungan diukur dengan menggunakan
indeks pembangunan lingkungan (L). Korelasi antara indeks pembangunan
lingkungan dengan indeks modal sosial (SC) menghasilkan nilai -0,139. Dengan
nilai p-value 0,440 koefisien korelasi tersebut tentunya tidak signifikan, bahkan
dengan tingkat kesalahan 10 persen sekalipun. Namun nilai negatif pada koefisien
korelasi tersebut tentunya tetap mengindikasikan hubungan negatif antara
pembangunan lingkungan dengan modal sosial.
Sama halnya dengan dimensi ekonomi, ditemukannya indikasi hubungan
negatif antara pembangunan lingkungan dengan modal sosial ini juga harus
ditanggapi secara hati-hati. Peran modal sosial terhadap pembangunan lingkungan
umumnya dikaitkan dengan kearifan lokal yang menjadi norma di beberapa
daerah. Untuk dapat melihat hubungan positif antara modal sosial dengan
pembangunan lingkungan, maka indikator modal sosial tentunya juga harus
mampu menangkap kearifan lokal terkait dengan lingkungan. Seperti disebutkan
sebelumnya, modal sosial yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan
hubungan antar individu dalam wilayah desa/kelurahan. Norma yang diukur juga
terkait dengan hubungan sehari-hari, khususnya norma saling membantu. Norma
yang terkait dengan lingkungan belum termasuk sebagai indikator penyusun
modal sosial dalam penelitian ini. Oleh sebab itu, hubungan negatif ini diduga
karena indeks modal sosial belum mampu mengukur modal sosial yang terkait
dengan pembangunan lingkungan.
Dugaan berikutnya yang menyebabkan koefisien korelasi negatif ini adalah
dengan memperhatikan mekanisme hubungan antara pembangunan lingkungan
dengan modal sosial yang mengukur kepercayaan, kepedulian dan interaksi
dengan masyarakat pada lingkungan sekitar. Memperhatikan indikator modal
sosial tersebut, patut diduga bahwa mekanisme hubungan antara modal sosial
dengan pembangunan lingkungan bukanlah hubungan yang bersifat langsung.
Hubungan antara lingkungan dengan modal sosial akan lebih tepat jika dilihat
menggunakan variabel mediasi, seperti pembangunan ekonomi. Kegiatan ekonomi
yang memanfaatkan sumberdaya alam akan menimbulkan nilai tambah yang
meningkatkan capaian pembangunan ekonomi. Namun di sisi lain, penggunaan
sumberdaya alam cenderung berdampak negatif pada lingkungan. Sedangkan
kemajuan ekonomi, seperti pada pembahasan sebelumnya, berkorelasi negatif
terhadap modal sosial. Secara ringkas, hubungan di atas menunjukkan pengaruh
negatif ekonomi terhadap lingkungan dan modal sosial, dan tidak menunjukkan
adanya hubungan langsung antara pembangunan lingkungan dengan modal sosial.
Korelasi, yang menunjukkan adanya hubungan langsung secara linier, tentunya
tidak berarti jika bentuk hubungan yang terjadi adalah seperti uraian di atas.
Sebagai perbandingan dengan modal yang lain, dalam penelitian ini juga
dilakukan exercise dengan menghitung korelasi antara modal fisik dan modal
manusia dengan pembangunan lingkungan. Untuk kebutuhan ini, modal fisik
100

dihitung dengan menggunakan persentase pembentukan modal tetap bruto dalam


PDRB (K/Y), sedangkan modal manusia didekati dengan rata-rata lama sekolah
penduduk yang bekerja (H/L). Korelasi antara persentase pembentukan modal
tetap bruto dalam PDRB (K/Y) dengan indeks modal sosial (SC) menghasilkan
koefisien sebesar -0,074, sedangkan koefisien korelasi antara rata-rata lama
sekolah penduduk yang bekerja (H/L) dengan indeks modal sosial (SC) adalah
sebesar -0,266.
Memperhatikan uraian di atas, nampaklah jika korelasi antara pembangunan
lingkungan dengan seluruh modal pembangunan menghasilkan koefisien negatif.
Memperhatikan kondisi ini, nampaknya juga tidak terlalu tepat jika disimpulkan
bahwa seluruh modal pembangunan berhubungan negatif terhadap pembangunan
lingkungan. Artinya tidak logis jika kita mengatakan penguatan ketiga modal
pembangunan tersebut secara bersama-sama membuat kualitas lingkungan
menjadi menurun. Karena kalau keadaan ini yang terjadi, maka untuk
meningkatkan kualitas lingkungan ketiga modal tadi harus diturunkan (nilainya).
Interpretasi seperti ini nampak tidak cukup kuat. Interpretasi lain yang dianggap
lebih tepat adalah, kondisi ini menggambarkan lemahnya perhatian terhadap
pembangunan lingkungan. Jika boleh dibagi-bagi, misalnya modal fisik menjadi
domain-nya pemerintah dan swasta, modal manusia menjadi domain-nya
pemerintah sedangkan modal sosial menjadi domain-nya masyarakat, maka
interpretasi ini menunjukkan bahwa seluruh pelaku pembangunan masih memiliki
komitmen yang lemah dalam pembangunan lingkungan. Lemahnya perhatian
terhadap pembangunan lingkungan juga dapat menjadi dugaan untuk menjawab
korelasi negatif antara pembangunan lingkungan dengan modal sosial.

Scatterplot of SC vs L
79.12
66
Sulut
DIY
64
Bali
62 Jateng
NTT
60 Jatim
Malut
Riau Jambi
SC

Bengkulu Maluku
58 Lampung Indonesia Kalteng Sulteng
Kalsel Sulbar
Gorontalo
Sultra
Sumut Aceh 57.53
Sumbar
Sulsel Kaltim
56 KalbarNTB
Sumsel Kepri Papua Brt
Banten Jabar
Babel Papua
54
Jakarta
52
60 65 70 75 80 85 90
L

Gambar 26Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Lingkungan dengan Indeks


Modal Sosial 2012
Plot pencar dengan empat kuadran menunjukkan bahwa sebagian besar
provinsi berada pada kuadran IV. Empat belas provinsi berada pada kuadran yang
menunjukkan bahwa capaian pembangunan lingkungan relatif lebih tinggi
walaupun modal sosialnya relatif rendah. Lima provinsi berada pada kuadran II,
yang menggambarkan indeks pembangunan lingkungan rendah namun modal
101

sosialnya tinggi. Enam provinsi berada pada kuadran III yang menunjukkan
indeks pembangunan lingkungan dan indeks modal sosial yang rendah. Enam
provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Kepulauan Bangka
Belitung, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Sedangkan delapan provinsi
lainnya berada pada kuadran I, yang berarti memiliki indeks pembangunan
lingkungan dan indeks modal sosial yang tinggi.
Berkaitan dengan pembangunan lingkungan, banyak tulisan yang
mengangkat peran positif modal sosial terhadap lingkungan. Kearifan lokal yang
merupakan perwujudan dari modal sosial yang ada di masyarakat terbukti mampu
menjaga lingkungan (KEMNLH dan BAPPENAS 2012). Salah satu bentuk
kearifan lokal dalam menjaga lingkungan seperti yang dilakukan oleh masyarakat
Kampung Naga di Tasikmalaya (Oxtavianus dan Enirawan 2012). Dengan adanya
pamali-pamali yang merupakan warisan dari leluhurnya, mereka mampu
mempertahankan kondisi lingkungannya di tengah-tengah tingginya tekanan
terhadap lingkungan di sekitarnya. Peran modal sosial juga dapat dilihat di
Kenagarian Rumbio Kabupaten Kampar. Masyarakat Kenagarian Rumbio bahkan
mampu mempertahankan hutan mereka (Rimbo Rumbio) di tengah-tengah
maraknya alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan di Provinsi Riau. Kearifan
lokal ini bahkan sudah diformalkan dengan disusunnya master plan hutan adat
Rimbo Rumbio (BAPPEDA Kabupaten Kampar 2012).
Namun di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh CIFOR juga
menunjukkan penggunaan modal sosial secara keliru dalam pengelolaan hutan.
Penebangan hutan secara masif secara ilegal (illegal logging) di Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS) ternyata juga menggunakan modal sosial yang ada pada
masyarakat di sekitar TNKS. Cukong-cukong pemilik modal membiayai
penebangan hutan ini dengan menggandeng masyarakat sekitar, dengan beberapa
alasan. Alasan pertama mereka mengetahui secara detil tentang potensi yang ada
di dalam hutan. Alasan lainnya, dengan menggunakan masyarakat sekitar sebagai
penebang, maka bonding social capital dalam masyarakat membuat kegiatan
ilegal ini menjadi terlindungi (Setiono B dan Husein Y 2005).
Selain hutan adat Rimbo Rumbio, di Kabupaten Kampar juga terdapat hutan
adat yang lain, yaitu hutan adat Buluh Cina. Sama halnya dengan hutan Rimbo
Rumbio, hutan adat Buluh Cina juga sudah memiliki master plan hutan adat.
Namun perkembangan yang terjadi di Buluh Cina berbeda dengan Rimbo Rumbio.
Akhir-akhir ini masyarakat Buluh Cina sedang menyusun kesepakatan untuk
melakukan alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan sawit. Kesepakatan ini
dibuat oleh tokoh-tokoh adat dengan dukungan dari masyarakat di wilayah itu.
Keinginan alih fungsi lahan ini dilatarbelakangi oleh persoalan ekonomi.
Masyarakat menilai manfaat ekonomi akan lebih besar mereka peroleh jika lahan
tersebut dijadikan kebun sawit, dibandingkan jika tetap dipertahankan sebagai
hutan adat. Walaupun kesepakatan tersebut belum terealisasi, namun kondisi ini
memberikan gambaran bahwa modal sosial juga dimanfaatkan untuk hal-hal yang
berpengaruh negatif terhadap lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa modal sosial dapat berdampak
positif ataupun negatif terhadap lingkungan. Sebagai modal, maka dampak modal
sosial lebih tergantung pada bagaimana modal tersebut dipergunakan. Pada saat
digunakan untuk hal-hal yang positif maka modal sosial juga akan memberikan
hasil yang positif, begitu pula sebaliknya. Namun penelitian ini belum mampu
102

menghitung dampak mana yang lebih besar, apakah dampak positif atau dampak
negatifnya.
Kearifan lokal pada dasarnya merupakan modal yang cukup besar untuk
meningkatkan pembangunan lingkungan. Norma dan kearifan lokal sebagai
warisan turun temurun sering kali didasarkan pada sesuatu yang abstrak, seperti
pamali atau pantangan-pantangan. Misalnya larangan mengambil kayu di hutan
larangan yang dikaitkan dengan kemarahan para leluhur. Pamali atau pantangan-
pantangan tersebut terkadang dianggap tidak logis lagi saat ini, sehingga banyak
orang yang mengabaikannya. Oleh sebab itu, dibutuhkan upaya untuk memberi
pemahaman baru kepada masyarakat tentang dampak positif dari pamali atau
pantangan-pantangan tersebut terhadap lingkungan, yang pada akhirnya juga
mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam hal ini pendidikan sebagai sarana
pengembangan modal manusia, memiliki peran penting. Pendidikan dan
pengetahuan akan memperkuat pamali atau pantangan-pantangan tadi dengan
kajian yang sifatnya lebih ilmiah dan dapat diterima oleh semua pihak. Selain itu,
perlu juga diperhatikan imbal jasa lingkungan bagi mereka yang menjaga
lingkungan dengan kearifan lokalnya. Jika imbal jasa ini tidak diperhatikan, maka
kasus seperti di hutan adat Buluh Cina akan kembali terjadi.

6.2.4. Hubungan Pembangunan Kelembagaan dengan Modal Sosial


Pembangunan kelembagaan merupakan dimensi keempat dalam
pembangunan berkelanjutan. Dimensi yang dimunculkan oleh Spangenberg ini
mengangkat permasalahan keadilan dan kesetaraan sebagai satu dimensi tersendiri.
Pembangunan kelembagaan diukur dengan menggunakan indeks pembangunan
kelembagaan (K). Korelasi antara indeks pembangunan kelembagaan dengan
indeks modal sosial menunjukkan nilai 0,331. Walau tidak signifikan pada tingkat
kesalahan 5 persen, namun pada tingkat kesalahan 10 persen koefisien korelasi
tersebut signifikan. Korelasi positif ini menunjukkan adanya kecenderungan
provinsi dengan modal sosial tinggi akan memiliki capaian pembangunan
kelembagaan yang tinggi pula.
Dalam penelitian ini, pembangunan kelembagaan merujuk pada kondisi
kesetaraan, yang secara khusus mengukur kesetaraan gender.Pembangunan
kelembagaan yang baik, akan menurunkan perbedaan jarak (gap) di masyarakat.
Hilangnya perbedaan jarak akan membuat masyarakat menjadi lebih homogen.
Masyarakat yang relatif homogen akan mampu meningkatkan rasa saling percaya
di antara mereka. Tingkat kepercayaan ini menjadi modal untuk tumbuhnya
norma saling membantu dan jejaring di antara masyarakat. Pada akhirnya,
kelembagaan yang baik akan meningkatkan modal sosial. Sebaliknya, modal
sosial yang kuat juga merupakan syarat untuk terbentuknya kelembagaan yang
baik. Adanya saling percaya dan norma saling membantu akan memfasilitasi
penurunan kesenjangan yang ada di masyarakat. Penurunan kesenjangan sendiri
merupakan hasil dari sebuah kelembagaan yang baik.
103

Scatterplot of SC vs K
86.86
66
Sulut
DIY
64
Bali
62 Jateng
NTT
60 Jatim
Malut
Riau
Jambi
SC

Bengkulu Maluku
58 Indonesia Sulteng
Lampung
Kalteng
Sulbar Gorontalo
Kalsel Sultra
Sumut Aceh 57.53
Kaltim Sulsel Sumbar
56 NTB Kalbar
Kepri Sumsel Papua Brt
Banten Jabar
Babel
Papua
54
Jakarta
52
80 82 84 86 88 90 92 94 96 98
K

Gambar 27Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Kelembagaan dengan Indeks


Modal Sosial 2012
Plot pencar antara indeks pembangunan kelembagaan dengan indeks modal
sosial juga menunjukkan kecenderungan hubungan positif antara keduanya.
Pembagian plot pencar dengan titik referensi nilai indeks kelembagaan dan indeks
modal sosial Indonesia, menunjukkan sebagian besar provinsi berada pada
kuadran I dan IV. Kuadran I menjelaskan bahwa provinsi yang masuk dalam
kuadran ini memiliki indeks pembangunan kelembagaan dan indeks modal sosial
yang lebih tinggi dari Indonesia. Tercatat sebelas provinsi termasuk masuk ke
dalam kuadran I ini. Kuadran II yang menggambarkan capaian pembangunan
kelembagaan yang relatif tinggi, namun dengan modal sosial yang relatif rendah
ditempati oleh 11 provinsi. Sembilan provinsi yang lain, tersebar di kuadran II dan
III. Provinsi pada kuadran II adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan
provinsi pada kuadran III adalah Nusa Tenggara Barat, Kepulauan Bangka
Belitung, Papua, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Banten dan
Sulawesi Barat.
Memperhatikan hasil dari analisis korelasi, hubungan pembangunan dengan
modal sosial menunjukkan arah positif dan negatif. Dari empat dimensi
pembangunan berkelanjutan, dua dimensi (sosial dan kelembagaan) menunjukkan
koefisien korelasi positif, dan dua dimensi yang lain (ekonomi dan lingkungan)
menunjukkan koefisien korelasi negatif. Korelasi positif memberi makna bahwa
daerah yang memiliki modal sosial yang tinggi memiliki capaian pembangunan
yang juga tinggi. Sedangkan nilai korelasi negatif memberikan makna yang
sebaliknya.
Berdasarkan beberapa uraian sebelumnya, dapat diuraikan beberapa dugaan
penyebab adanya korelasi negatif antara modal sosial dengan pembangunan.
Pertama, indikator modal sosial belum mampu menangkap modal sosial secara
utuh. Indikator modal sosial yang dipergunakan dalam penelitian ini mengukur
hubungan antar individu dalam lingkup desa/kelurahan, sehingga belum mampu
mengungkap peran modal sosial secara utuh dalam pembangunan, khususnya
pembangunan ekonomi dan lingkungan. Indikator modal sosial cukup baik dalam
melihat peran modal sosial dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Kedua, tidak
104

digunakannya modal sosial dalam pembangunan yang mengakibatkan degradasi


modal sosial. Ada pula dugaan bahwa pembangunan yang dilakukan justru
menurunkan modal sosial di masyarakat, sehingga daerah maju memiliki modal
sosial yang relatif rendah. Semakin menurunnya modal sosial mengakibatkan
gagalnya modal sosial menekan perilaku oportunis, seperti korupsi dan
penyalahgunaan wewenang. Perilaku oportunis ini pada akhirnya juga akan
berpengaruh negatif pada pembangunan. Ketiga, adanya indikasi bonding social
capital yang berdampak negatif terhadap pembangunan. Dugaan ketiga ini
mungkin tidak dapat digeneralisir, karena korelasi negatif antara modal sosial
dengan indikator bonding social capital sangat lemah.
Dengan dugaan-dugaan di atas, hubungan negatif tersebut tidak dapat
diartikan bahwa modal sosial tidak layak sebagai modal pembangunan. Untuk
dapat membuktikan peran modal sosial dalam pembangunan berkelanjutan dengan
lebih baik, perlu upaya untuk menemukan indikator-indikator yang mampu
menangkap peran modal sosial dalam pembangunan, terutama ekonomi dan
lingkungan. Dugaan bahwa modal sosial masih bersifat bonding social capital,
juga memberikan pesan untuk mengembangkan modal sosial yang bersifat
bridging social capital. Salah satu upaya untuk pengembangan bridging social
capital adalah melalui pendidikan. Dunia pendidikan merupakan sarana yang
sangat baik untuk berinteraksi serta mengembangkan norma-norma positif. Selain
itu pendidikan juga sangat baik untuk mengembangkan dan mempertahankan
kearifan lokal terutama yang terkait dengan lingkungan.
Dari beberapa uraian sebelumnya, secara implisit juga terkandung satu
pesan yang patut menjadi catatan dalam pengembangan modal sosial. Tidak
seluruh kegiatan yang bersifat tradisional merupakan modal sosial. Modal sosial
tradisional yang patut dikembangkan adalah modal sosial yang memberi dampak
positif terhadap pembangunan. Hal ini senada dengan pernyataan Lawang (2005).
Dalam bukunya, Lawang menyebutkan bahwa kata sifat sosial dalam modal sosial
harus bersifat positif. Ada dua alasan yang mendasari pernyataan tersebut.
Pertama, karena sifatnya adalah modal, maka yang masuk dalam kategori modal
sosial adalah yang mampu mendorong terjadinya pertumbuhan atau pembangunan.
Kedua, modal sosial harus mampu meningkatkan kesejahteraan yang tidak
terbatas pada mereka yang masuk dalam jaringan sosial tertentu, tetapi juga
masyarakat secara luas. Lawang mencontohkan modal sosial yang dimiliki oleh
jaringan narkoba. Modal sosial mereka pastinya akan meningkatkan kesejahteraan
kelompoknya, tetapi juga memberikan efek negatif bagi masyarakat secara luas.
Dengan demikian, modal sosial seperti ini bukanlah modal sosial yang layak
untuk dikembangkan.

Analisis Jalur Hubungan Pembangunan Berkelanjutan dengan Modal Sosial

Teknik analisis jalur, yang dikembangkan oleh Sewal Wright di tahun 1934,
sebenarnya merupakan pengembangan korelasi yang diurai menjadi beberapa
interpretasi akibat yang ditimbulkannya. Lebih lanjut, analisis jalur mempunyai
kedekatan dengan regresi berganda; atau dengan kata lain, regresi berganda
merupakan bentuk khusus dari analisis jalur. Teknik ini juga dikenal sebagai
model sebab-akibat (causing modeling). Penamaan ini didasarkan pada alasan
105

yang bahwa analisis jalur memungkinkan pengguna dapat menguji proposisi


teoritis mengenai hubungan sebab dan akibat antar beberapa variabel.
Berdasarkan model analisis jalur yang telah ditetapkan pada bagian
metodologi, dilakukan pembuatan model dengan menggunakan program LISREL.
Program LISREL meringkas hasil pengolahan dengan menggunakan path diagram.
Bentuk path diagram yang dihasilkan adalah sebagai berikut.

Gambar 28Path Diagram Hasil Analisis Jalur Hubungan antara Modal Sosial
dengan Pembangunan Berkelanjutan
Untuk mendapatkan model yang baik, maka dilakukan pengujian goodness
of fit dengan menggunakan beberapa ukuran. Pertama adalah melakukan absolute
fit measures (kecocokan absolut), yang hanya mengkaji model secara keseluruhan.
Kriteria yang dapat digunakan adalah nilai: chi-square (x2) yang diharapkan kecil
atau signifikansi (p) > 0,05. Hasil pengujian menunjukkan nilai chi-square 5,93
dengan nilai p=0,75. Nilai Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA)
diharapkan kurang dari 0,08. Hasil pengujian menunjukkan nilai RMSEA 0,0,
sehingga memenuhi kriteria goodness of fit.
Ukuran kedua adalah incremental fit measures (kecocokan inkremental).
Kriteria yang dapat digunakan adalah nilai: Normed Fit Index (NFI) semakin
tinggi semakin baik/direkomendasikan ≥ 0,90, Non-Normed Fit Index (NNFI)
direkomendasikan ≥ 0,90, Comparative Fit Index (CFI) = semakin tinggi semakin
baik, Incremental Fit Index (IFI) = semakin tinggi semakin baik, Relative Fit
Index (RFI) = semakin tinggi semakin baik. Hasil pengujian menunjukkan nilai
NFI 0,95; NNFI 1,09; CFI 1,00; IFI 1,02 dan RFI 0,84. Memperhatikan nilai-nilai
hasil pengujian maka berdasarkan ukuran kecocokan inkremental, model yang
diuji memberikan hasil yang baik.
Tujuan utama dari analisis jalur ini adalah untuk melihat pengaruh modal
sosial (SC) terhadap pembangunan berkelanjutan. Penggunaan modal yang lain,
modal fisik dan modal manusia, dimaksudkan untuk mengurangi kesalahan model.
Modal fisik diproksi dengan menggunakan proporsi pembentukan modal tetap
bruto dalam PDRB (K_Y), sedangkan modal manusia diproksi dengan
menggunakan rata-rata lama sekolah penduduk yang bekerja (H_L). Persamaan
reduce form untuk model indeks pembangunan berkelanjutan (IPB) adalah
sebagai berikut.
106

IPB = 0.31*K_Y + 0.47*H_L + 0.058*SC, R² = 0.37


(0.14) (0.15) (0.055)
2.27 3.23 1.06

Model di atas menunjukkan bahwa indeks modal sosial (SC) memiliki


pengaruh yang positif terhadap indeks pembangunan berkelanjutan (IPB). Dengan
nilai koefisien 0,058, menunjukkan bahwa setiap peningkatan indeks modal sosial
sebesar 1 poin, maka akan meningkatkan indeks pembangunan berkelanjutan
sebesar 0,058 poin. Walau berpengaruh positif, namun pengaruh ini tidak
signifikan pada tingkat kesalahan 5 persen.
Nilai koefisien determinasi (R2) dari model tersebut adalah 0,37; dalam arti
hanya 37 persen variasi indeks pembangunan berkelanjutan yang mampu
dijelaskan oleh model. Masih banyak variasi indeks pembangunan berkelanjutan
yang tidak dapat dijelaskan oleh model. Salah satu dugaannya adalah indeks
modal sosial belum mampu menggambarkan seluruh modal sosial yang
berkontribusi dalam pembangunan. Terkait dengan uraian sebelumnya, indeks
modal sosial belum menangkap peran modal sosial dalam pembangunan ekonomi
dan lingkungan, sehingga pada akhirnya, juga tidak mampu menangkap secara
utuh kontribusinya dalam pembangunan berkelanjutan. Namun demikian,
penelitian ini telah memberikan bukti empirik tentang adanya kontribusi positif
modal sosial dalam pembangunan.
107

7 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Simpulan umum dari penelitian ini adalah pembangunan Indonesia


menunjukkan kemajuan yang tinggi di bidang ekonomi, kemajuan yang rendah di
bidang sosial dan kelembagaan dan penurunan pada bidang lingkungan. Oleh
sebab itu, kenaikan indeks pembangunan berkelanjutan Indonesia hanya
mengindikasikan pembangunan yang lebih berkelanjutan dalam jangka pendek,
namun tidak dalam jangka panjang. Pembangunan juga memunculkan
permasalahan berupa penurunan modal sosial. Daerah yang pembangunannya
lebih maju cenderung memiliki modal sosial yang lebih rendah.
Secara lebih rinci, simpulan yang terkait dengan masing-masing tujuan
penelitian adalah sebagai berikut:

1. Indeks pembangunan berkelanjutan disusun dari dimensi ekonomi, sosial,


lingkungan dan kelembagaan. Beberapa catatan dari indeks pembangunan
berkelanjutan adalah:
a) Indeks pembangunan berkelanjutan (IPB) disusun oleh sembilan indikator.
Indikator pada dimensi ekonomi adalah Produk Domestik Regional Bruto
per kapita (PDRBC). Indikator dimensi sosial terdiri dari angka harapan
hidup (E0), persentase penduduk yang berobat ke rumah sakit dan dokter
(BROBAT), rasio ketergantungan (DEPR) dan total fertility rate (TFR).
Dimensi lingkungan diwakili oleh indikator persentase desa yang tidak
mengalami pencemaran udara (UDARA) dan indeks kualitas lingkungan
hidup (IKLH). Indikator rasio upah pekerja perempuan dan laki-laki
(RUPAH) serta rasio angka partisipasi sekolah perempuan dan laki-laki
(RAPS) merupakan dua indikator yang mewakili dimensi kelembagaan.
b) Adanya indikasi pembangunan di Indonesia masih belum mengarah pada
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dan sosial sering
tidak sejalan dengan pembangunan lingkungan dan kelembagaan. Indikasi
ini ditunjukkan dengan munculnya loading factor yang bernilai negatif
untuk dimensi lingkungan dan kelembagaan. Lemahnya perhatian
pemerintah pada kedua dimensi ini mengakibatkan terjadinya penurunan
capaian pembangunan lingkungan dan kelembagaan di beberapa provinsi.

2. Evaluasi pembangunan Indonesia memberikan beberapa kesimpulan, yaitu:


a) Pembangunan ekonomi menunjukkan terjadinya peningkatan, namun
belum merata di seluruh provinsi.
b) Pembangunan sosial menunjukkan pola yang sama dengan pembangunan
ekonomi, terjadi peningkatan namun dalam beberapa hal cenderung tidak
merata antar provinsi.
c) Pembangunan lingkungan menunjukkan tren negatif untuk kualitas
lingkungan, namun tren positif untuk akses dan pengetahuan terhadap
lingkungan yang baik.
d) Pembangunan kelembagaan menunjukkan peningkatan ketimpangan
pendapatan dan peningkatan kesetaraan gender.
108

e) Indeks pembangunan berkelanjutan Indonesia menunjukkan tren positif.


Namun karena kenaikan ini tidak terjadi pada seluruh dimensi
pembangunan, maka peningkatan indeks pembangunan berkelanjutan
hanya mengindikasikan pembangunan yang lebih berkelanjutan dalam
jangka pendek saja, tidak dalam jangka panjang.

3. Analisis hubungan antara pembangunan berkelanjutan dengan modal sosial


menunjukkan beberapa temuan, yaitu:
a) Indeks tertinggi terjadi di Sulawesi Utara dan terendah di DKI Jakarta.
Sedangkan komponen modal sosial yang paling rendah capaiannya adalah
jejaring. Indeks modal sosial juga berbeda antara wilayah perkotaan dan
perdesaan. Indeks modal sosial perdesaan secara umum lebih tinggi dari
perkotaan. Dapat disimpulkan bahwa daerah yang pembangunannya lebih
maju cenderung memiliki modal sosial yang lebih rendah
b) Modal sosial berhubungan negatif terhadap indeks pembangunan ekonomi,
indeks pembangunan lingkungan dan indeks pembangunan berkelanjutan,
namun berhubungan positif terhadap pembangunan sosial dan
kelembagaan.
c) Pengaruh negatif diduga disebabkan oleh: (1) Indikator modal sosial
belum mampu menangkap modal sosial secara utuh. Indikator modal
sosial yang dipergunakan dalam penelitian ini mengukur hubungan antar
individu dalam lingkup desa/kelurahan, sehingga belum mampu
menangkap modal sosial yang berperan dalam pembangunan ekonomi dan
lingkungan. (2) Degradasi modal sosial akibat tidak digunakannya modal
sosial dalam pembangunan, atau bahkan akibat pengaruh negatif dari
pembangunan. Semakin menurunnya modal sosial mengakibatkan
gagalnya modal sosial menekan perilaku oportunis, seperti korupsi dan
penyalahgunaan wewenang. (3) Walaupun tidak dapat di generalisasi,
ditemukannyaindikasi karakteristik bonding social capital yang
berdampak negatif terhadap pembangunan.
d) Walau tidak signifikan, modal sosial berpengaruh positif terhadap
pembangunan berkelanjutan.

Saran

1. Beberapa bagian dalam penelitian ini menunjukkan lemahnya perhatian


terhadap pembangunan lingkungan. Capaian pembangunan lingkungan
mengalami penurunan secara nasional. Pemerintah harus lebih serius dalam
mendorong pembangunan pada dimensi lingkungan. Pencegahan kerusakan
lingkungan, pemulihan lingkungan yang rusak serta penyediaan data
lingkungan yang berkualitas merupakan bentuk kebijakan yang dapat
dilakukan pada dimensi lingkungan. Identifikasi terhadap kearifan lokal yang
berdampak positif pada pembangunan lingkungan harus terus dilakukan.
Setelah teridentifikasi, maka upaya yang dapat dilakukan adalah
mempertahankan kearifan lokal tersebut, misalnya dengan memasukkan
kearifan lokal tersebut menjadi aturan formal di komunitas yang bersangkutan.
Aturan formal ini bukan berarti harus dimasukkan sebagai aturan pemerintah,
109

karena hal ini terkadang justru kontra produktif. Aturan formal yang dimaksud
lebih mengarah kepada kesepakatan yang dibuat secara bersama oleh anggota
komunitas. Pembuatan aturan formal ini dapat didukung oleh fakta-fakta
ilmiah yang mengangkat nilai-nilai positif dari kearifan lokal tersebut.

2. Pembangunan kelembagaan juga menunjukkan terjadinya penurunan pada


beberapa provinsi. Dimensi kelembagaan, yang berkaitan dengan keadilan dan
kesetaraan, berhubungan cukup erat dengan modal sosial. Penggunaan dan
penguatan modal sosial tentunya akan semakin mempercepat capaian
pembangunan kelembagaan. Sama halnya dengan kearifan lokal untuk
pembangunan lingkungan, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
mempertahankan dan mengembangkan modal sosial adalah dengan
menjadikan norma-norma positif yang telah ada menjadi aturan formal.Upaya
seperti ini telah dilakukan di Kenagarian VII Koto Talago, Kabupaten Lima
Puluh Kota, Sumatera Barat.

3. Penguatan modal sosial dapat dilakukan seiring dengan penguatan modal


manusia melalui pendidikan dan penyebaran pengetahuan. Norma berupa
kearifan lokal yang selama ini telah ada di masyarakat sering bersifat abstrak
dan sulit untuk diterima oleh pola pikir masyarakat di zaman sekarang.
Dengan adanya pengetahuan, norma ini akan didukung oleh pemikiran ilmiah
yang lebih mudah dicerna. Selain sebagai ajang untuk transfer ilmu, dunia
pendidikan merupakan sarana untuk berinteraksi dan mengembangkan norma-
norma positif, seperti profesionalisme, kejujuran, dan integritas. Sebagai
sarana berinteraksi, dunia pendidikan akan mengembangkan bridging social
capital sebagai pelengkap bonding social capital yang telah ada selama ini.

4. Indeks modal sosial yang dipergunakan belum mampu menangkap modal


sosial yang hubungan dengan pembangunan ekonomi dan lingkungan. Perlu
dilakukan identifikasi yang lebih dalam tentang variabel modal sosial yang
berhubungan langsung dengan dimensi ekonomi dan lingkungan. Dalam
bidang ekonomi perlu dirancang indikator modal sosial yang memasukkan
unsur biaya transaksi. Dalam dimensi lingkungan, dibutuhkan indikator modal
sosial yang mengusung norma dan kearifan lokal, agar mampu mengukur
efektivitas modal sosial dalam pembangunan lingkungan.

5. Walaupun indeks modal sosial yang dihasilkan belum mampu menangkap


modal sosial pada dimensi ekonomi dan lingkungan, namun penelitian ini
tetap menyarankan pengembangan modal sosial dalam bidang ekonomi dan
lingkungan. Dalam bidang ekonomi penggunaan modal sosial sangat terkait
dengan fungsinya dalam menurunkan biaya transaksi. Beberapa bentuk
lembaga tradisional dengan modal sosial yang kuat, seperti organisasi petani
tradisional, dapat dikembangkan menjadi lembaga ekonomi formal seperti
koperasi. Prinsip dasar koperasi sangat bersesuaian dengan modal sosial,
sehingga koperasi yang dibangun dengan modal sosial yang kuat diharapkan
akan mampu berkembang. Begitu pula dengan modal sosial dalam dimensi
lingkungan. Perlu upaya untuk mempertahankan kearifan lokal yang
110

berdampak positif pada lingkungan, misalnya dengan mengangkat kearifan


lokal tersebut menjadi aturan formal.

6. Saran untuk penelitian lanjutan:


a) Indeks pembangunan berkelanjutan yang dihasilkan menggunakan bobot
yang seragam untuk seluruh daerah. Pembobotan seragam ini memiliki
kelebihan dalam keterbandingan. Namun untuk mengukur kinerja
pembangunan, perlu pula dipikirkan untuk menggunakan bobot yang
berbeda antar wilayah. Dengan adanya pembedaan pembobotan, misalnya
antar dimensi pembangunan, dapat ditentukan fokus pembangunan pada
masing-masing wilayah. Daerah yang telah maju dari sisi ekonomi tapi
lingkungannya rusak, dapat diberikan bobot yang lebih rendah untuk
ekonomi tapi bobot yang tinggi untuk lingkungan. Pembobotan dengan
penapisan ini dapat menjadi salah satu saran untuk penelitian selanjutnya.
b) Pengukuran pembangunan berkelanjutan dalam penelitian ini
menggunakan konsep keseimbangan pembangunan antar dimensi ekonomi,
sosial, lingkungan dan kelembagaan. Untuk penelitian lanjutan, selain
memperhatikan keseimbangan antar dimensi pembangunan, dapat pula
ditambahkan keseimbangan dalam modal yang dipergunakan dalam
pembangunan, seperti natural capital, man-made capital, human capital
dan modal sosial.
c) Modal sosial dalam penelitian ini hanya menggunakan satu tahun data,
sehingga tidak bisa menggunakan variabel yang bersifat lag. Penggunaan
series data yang lebih panjang akan dapat memberikan informasi yang
lebih lengkap, karena akan mampu menangkap pengaruh jangka pendek
dan jangka panjang.
111

DAFTAR PUSTAKA

Alesina, A. & W. La Ferrara (2000), „The determinants of trust‟, NBER Working


Paper 7621
Asadi A, Akbari M, Fami HS, dkk. 2008. Poverty Alleviation and Sustainable
Development: The Role of Social Capital. Journal of Social Sciences 4 (3):
202-215, 2008. ISSN 1549-3652. Science Publications.
[BAPPENAS] Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) /
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Studi Penyusunan Indeks
Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta : Bappenas
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010a. Penyempurnaan Penyusunan Indeks
Pembangunan Regional. Jakarta : BPS
__________________________. 2010b. Stok Modal Sosial 2009. Jakarta : BPS
__________________________. 2012a. Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan
dan Ekonomi Indonesia 2007-2011. Jakarta: BPS
__________________________. 2012b. Statistik Indonesia 2012. Jakarta: BPS.
www.bps.go.id
[BAPPEDA KAMPAR dan P4W] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab
Kampar dan Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. 2013.
Masterplan Hutan Larangan Adat Kenegerian Rumbio Dan Hutan Adat Buluh
Cina Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Kampar : Bappeda Kab. Kampar
Cameron L dan Shah M. 2011. Mistargeting of Cash Transfers, Social Capital
Destruction, and Crime in Indonesia
Coleman JS. 1988. Social Capital in The Creation of Human Capital. American
Journal of Sociology, Volume 94
Collier P. 1998. Social capital and poverty. World Bank SCI Working Paper no 4,
November. (www.iris.umd.edu/adass/proj/soccap.asp).
Dasgupta P. 2005. A Measured Approach: Special Issue. September 2005. ISSN
0036-8733. Scientific American, Inc, 415 Madison Avenue, New York
Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi.
Jakarta : Gramedia.
_______. 2007. Economic of Nature’s Non Convexity: Reorientasi Pembangunan
Ekonomi Sumber Daya Alam dan Implikasinya bagi Indonesia [Orasi Ilmiah].
Disampaikan pada Orasi Ilmiah Guru Besar Ekonomi Sumber Daya Alam dan
Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, 10
November 2007.
_______. 2009. Rethinking Pembangunan Ekonomi Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Artikel dalam buku Orange Book: Pembangunan Ekonomi
Berkelanjutan dalam Menghadapi Krisis Ekonomi Global. Editor Rina
Oktaviani, dkk. Bogor: IPB Press.
_______. 2012. Ekonomi Hijau untuk Bumi. Harian Kompas, 7 Juli 2012
Fauzi A dan Oxtavianus A. 2013. Background Study RPJMN 2015-2019: Indeks
Pembangunan Lingkungan Hidup. Laporan disampaikan kepada Kementrian
Perencanaan Pembangunan/Bappenas
Floridi M, Pagni S, Falorni S dan Luzzati T. 2011. An exercise in composite
indicators construction: Assessing the sustainability of Italian regions.
Ecological Economics 70 (2011) 1440–1447
112

Fukuyama F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. The
Free Press, New York
Glaeser, E., D. Laibson, J. Scheinkman & C. Soutter. 1999. What is social capital?
The determinants of trust and antitrust.NBER Working Paper 7216
_________________________________________. 2000a. Measuring
Trust.Quarterly Journal of Economics 115
Glaeser, E., D. Laibson & B. Sacerdote. 2000b.The economic approach to social
capital. NBER Working Paper 7728
Golusin M dan Ivanovic OM. 2009. Definition, characteristics and state of the
indicators of sustainable development in countries of Southeastern Europe.
Agriculture, Ecosystems and Environment 130 (2009) 67–74
Goldin, C. and Katz, L. F. 1998. Human capital and social capital: The rise of
secondary schooling in America, 1910 to 1940.NBER Working Paper No. 6439
Grootaert, C. 2001. Does Social Capital Help the Poor? A Synthesis of Findings
from the Local Level Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and
Indonesia. Local Level Institutions Working Paper No. 10, Social Development
Department, Washington DC: World Bank
Guiso, L., Sapienza, P. and Zingales, L. 2000. “The role of social capital in
financial development” The American Economic Review, Vol. 94, No. 3 (Jun.,
2004), pp. 526-556
Hak T, Moldan B dan Dahl AL [editor]. 2007. Sustainability Indicators: A
Sicentific Indicator. Scientific Committee on Problem of the Environment
(SCOPE).
Hak T, Kovanda J dan Weinzettel J. 2012. A method to assess the relevance of
sustainability indicators: Application to the indicator set of the Czech
Republic‟s Sustainable Development Strategy. Ecological Indicators 17 (2012)
46–57
Hall, R. E. and Jones, C. I. 1999. Why do some countries produce so much more
output per worker than others?. Quarterly Journal of Economics, 114 (1): 83-
116
Hasbullah, J. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia
Indonesia). Jakarta: MR-United Press
Hariyoga H. 2012. Indonesia: Updates on Investment Climate and Opportunities.
Disampaikan pada Indonesia Investment Seminar, Tokyo 20 February 2012
dan Nagoya 21 February 21 2012.
Herman. 2012. Kapitalisme dan Jeratan Kemiskinan. Opini pada Harian Suara
Karya, 09 Juli 2012
[ICG] International Crisis Group. 2001. Communal Violence in Indonesia:
Lessons from Kalimantan. ICG Asia Report N° 19. Jakarta/Brussels
Inayah. 2012. Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan. Ragam Jurnal
Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 1, April 2012
Jesinghaus J. 2007. Indicators: Boring Statistics or the Key to Sustainable
Development? dalam Hak T, Moldan B, Dahl AL (Ed.) Sustainability
Indicators : A Scientific Assessment. Scientific Committee on Problem of the
Environment (SCOPE).
Juanda, B. 2009a. Ekonometrika : Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press.
__________. 2009b. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Bogor: IPB
Press.
113

Juanda B dan Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu: Teori dan Aplikasi.
Bogor: PT Penerbit IPB Press.
Kementrian Kehutanan. 2011. Statistik Kehutanan Indonesia 2010. Jakarta:
Kementrian Kehutanan. www.dephut.go.id
[KEMEN LH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2011. Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup Indonesia 2010. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup.
www.menlh.go.id
[KEMEN LH dan BAPPENAS] Kementrian Lingkungan Hidup dan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Overview of Indonesia’s
Sustainable Development. Jakarta: Kemen LH dan Bappenas
Knack, S. and Keefer, P. 1995. “Institutions and economic performance: Cross-
country tests using alternative institutional measures” Munich Personal RePEc
Archive (MPRA) Paper No. 23118
Kondyli J. 2010. Measurement and evaluation of sustainable development A
composite indicator for the islands of the North Aegean region, Greece.
Environmental Impact Assessment Review 30 (2010) 347–356
Kusnendi. 2008. Model-model Persamaan Struktural: Satu dan Multigroup
Sampel dengan LISREL. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Lawang RMZ. 2005. Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik: Suatu
Pengantar. Jakarta: FISIP UI Press
Mauro, P. 1995. “Corruption and growth”, Quarterly Journal of Economics, 110:
681-712
Moldan B dan Dahl AL. 2007. Meeting Conceptual Challenges dalam Hak T,
Moldan B, Dahl AL (Ed.) Sustainability Indicators : A Scientific Assessment.
Scientific Committee on Problem of the Environment (SCOPE).
Miguel E., P. Gertler , D.I. Levine. 2002. Did Industrialization Destroy Social
Capital in Indonesia? Harvard University dan Word Bank.
Emiguel@econ.berkeley.edu.
Miller LD, Scheffler R, Lam S, Rosenberg R, Rupp A. 2003. Social Capital and
Health in Indonesia. Robert Wood Johnson Foundation dan WHO for Financial
Support
Nazir M. 1999, Metode Penelitian. Ghalia Indonesia
Narayan D dan Cassidy MF. 2001. A Dimensional Approach to Measuring Social
Capital Development and Validation of a Social Capital Inventory. Current
Sociology, March 2001, Vol. 49(2): 59–102
Narayan, D. and Pritchett, L. 2000. “Social capital: evidence and implications”, in
P. Dasgupta and I. Serageldin (eds) Social Capital: A Multifaceted Perspective,
World Bank, Washington, DC.
OECD. 2008, Handbook on Constructing Composite Indicators: Methodology
and User Guide. Paris: OECD
______. 2012. Indonesia should improve governance, productivity and tax
collection to promote inclusive growth. OECD: 27 September 2012.
www.oecd.org
Ostrom, E et al. 2002. The Drama of The Commons.Committee on The Human
Dimensions of Global. Washington DC: National Academy Press
Oxtavianus A dan Enirawan. 2013. Pengelolaan Sumber Daya Bersama dengan
Memanfaatkan Budaya Tradisional di Kampung Naga Tasikmalaya. Makalah
114

dalam Prosiding Seminar Geospatial ang Human-Dimensions on Natural


Resources Management. Bogor: Crespent Press
Purnomo, A. 2002. Model Persamaan Struktural Pembangunan Berkelanjutan
Daerah [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Putnam RD. 1995. Bowling Alone: America’s Declining Social Capital. Journal of
Democracy 6, 1, 65-7
Rodrik, D. 1999. “Where did all the growth go? External shocks, social conflict,
and growth collapses”, Journal of Economic Growth, 4 (4): 385-412.
Rustiadi E., S. Saefulhakim dan D.R. Panuju. 2009. Perencanaan Pembangunan
dan Pengembangan Wilayah, Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor
Indonesia
Rydin Y and Holman N. 2004. Re-evaluating the Contribution of Social Capital
in Achieving Sustainable Development. Local Evirontment Vol. 9, No. 2, 117-
133, April 2004
Sabatini F. 2005. The Empirics of Social Capital and Economic Development: A
Critical Perspective. Department of Public Economics and SPES Development
Studies Research Centre. University of di Rome La Sapienza, Italy and
Department of Economics, University of Cassino.
http://www.feem.it/Feem/Pub/Publications/WPapers/default.htm
Setiono B dan Huseni. 2005. Memerangi Kejahatan Kehutanan dan Mendorong
Prinsip Kehati-hatian Perbankan untuk Mewujudkan Pengelolaan Hutan yang
Berkelanjutan: Pendekatan Anti Pencucian Uang. CIFOR Occasional Paper
No. 44(i)
Spangenberg J H dan Bonniot O. 1998. Sustainability Indicators: A Compass on
The Road Towards Sustainability. Wuppertal Paper No 81, Februari 1998,
ISSN No 0949-5266
Spangenberg J H. 2007.The InstitutionalDimension of Sustainable
Developmentdalam Hak T, Moldan B, Dahl AL (Ed.) Sustainability Indicators :
A Scientific Assessment. Scientific Committee on Problem of the Environment
(SCOPE).
Spellerberg A. 2001. Framework for Measurement of Social Capital in New
Zealand. Wellington New Zealand: Statistics New Zealand
Stimson et.al.2006. Regional Economics Development. Analysis and Planning
Strategy. New York : Springer
Stone W. 2001. Measuring social capital: Towards a theoretically informed
measurement framework for researching social capital in family and
community life. Research Paper No. 24, February 2001. Australian Institute of
Family Studies
Subejo. 2004. PerananSocial Capital Dalam Pembangunan Ekonomi – Suatu
Pengantar untuk Studi Social Capital di Perdesaan Indonesia. Jurnal Agro
Ekonomi Vol 11 No 1 Juni 2004
Suharto, E. 2007. Modal Sosial dan Kebijakan Publik
Suliadi. 2003. Model Fuzzy untuk Menentukan Indeks Pembangunan
Berkelanjutan di Indonesia [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor
Sutomo, S. 2010. Kerangka Ekonomi Makro dan Kaitannya dengan Indikator
Pembangunan Berkelanjutan dalam Proceeding Focus Group Discussion 2 On
115

Indicators Of Sustainable Development, Environmental Support Programme 2


Component 1, Jakarta 30 November 2010
Sutomo S. 2014. Pedoman Melaksanakan Penelitian. Bandung : Corleone-Books
(Corbooks) – Publishing House of Litera Media
Svendsen GLH, Svendsen GT. 2004 The Creation and Destruction of Social
Capital. Entrepreneurship, Co-operative Movements and Institutional. Edward
Elgar. Cheltenham, UK
Transparency International. 2010. Corruption Perceptions Index 2012.
www.transparency.org
_______________________. 2011. Corruption Perceptions Index 2012.
www.transparency.org
_______________________. 2012. Corruption Perceptions Index 2012.
www.transparency.org
Umami DR. 2008. Analisis Indikator Pembangunan Berkelanjutan Di Jawa Timur
Menggunakan Metode Struktural Equation Modelling – Partial Least Square
[skirpsi]. Surabaya: Insitut Teknologi Sepuluh November
[UN] United Nation. 2001. Indicators of Sustainable Development: Guidelines
And Methodologies. New York
[UN] United Nation. 2007. Indicators of Sustainable Development: Guidelines
and Methodologies. New York
Vipriyanti, NU. 2007. Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal
Sosial dan Pembangunan Ekonomi Wilayah, Studi Kasus di Empat Kabupaten
di Provinsi Bali [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor
Van der Gaag M dan Snijders T. 2003. Proposals for the measurement of
individual social capital
Yustika AE. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori dan Strategi. Malang
Jawa Timur: Bayu Media Publishing
Wallis, Joe, Paul Kilerby dan Brian Dollery. 2004. Social Economics and Social
Capital. International Journal of Social Economics. Vol.31, No.3: 239-258
World Bank, 1998, The Initiative on Defining, Monitoring and Measuring Social
Capital: Overview and Program Description, Social Capital Initiative Working
Paper No.1, Social Development Department, The World Bank, Washington,
DC 20433, USA
Wibowo K. 2009. Studi Penyusunan Indeks Pembangunan Berkelanjutan.
Jakarta : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Winarno B. 2008. Globalisasi: Peluang atau Ancaman Bagi Indonesia. Jakarta :
Penerbit Erlangga.
116
117

LAMPIRAN
118
119

Lampiran 1Output LISREL: Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan

MODEL INDIKATOR PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (Model 3 log dengan IKLH)

Covariance Matrix

E0 BROBAT TFR IKLH PDRBCL DEPRL


-------- -------- -------- -------- -------- --------
E0 4.15
BROBAT 14.05 98.56
TFR -0.49 -2.03 0.10
IKLH -6.43 -39.02 1.16 202.72
PDRBCL 0.32 1.84 -0.03 -1.50 0.09
DEPRL -0.07 -0.32 0.01 0.18 -0.01 0.00
UDARAL -0.02 -0.10 0.00 0.12 0.00 0.00
RUPAHL -0.01 -0.14 0.00 0.19 0.00 0.00
RAPSL 0.00 -0.03 0.00 0.02 0.00 0.00

Covariance Matrix

UDARAL RUPAHL RAPSL


-------- -------- --------
UDARAL 0.00
RUPAHL 0.00 0.00
RAPSL 0.00 0.00 0.00

MODEL INDIKATOR PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (Model 3 log dengan IKLH)

Number of Iterations = 50

LISREL Estimates (Maximum Likelihood)

Measurement Equations

E0 = 1.60*S, Errorvar.= 1.56 , R² = 0.62


(0.17)
9.05

BROBAT = 7.15*S, Errorvar.= 46.74, R² = 0.52


(0.65) (5.00)
11.08 9.35

TFR = - 0.30*S, Errorvar.= 0.013 , R² = 0.87


(0.019) (0.0024)
-15.52 5.55

IKLH = 1.32*L, Errorvar.= 149.00, R² = 0.26


(18.65)
7.99

PDRBCL = 0.30*E, Errorvar.= 0.0010, R² = 0.99

DEPRL = - 0.046*S, Errorvar.= 0.00024, R² = 0.90


(0.0029) (0.00)
-15.75 4.71

UDARAL = 0.0029*L, Errorvar.= 0.00041, R² = 0.39


(0.00061) (0.00)
4.76 6.00

RUPAHL = 0.016*K, Errorvar.= 0.0013 , R² = 0.27


(0.00026)
5.15

RAPSL = 0.0033*K, Errorvar.= 0.00021, R² = 0.088


(0.0012) (0.00)
2.75 9.11
120

Structural Equations

E = 0.59*IPB, Errorvar.= 0.65 , R² = 0.35


(0.078) (0.083)
7.58 7.79

S = 0.81*IPB, Errorvar.= 0.34 , R² = 0.66


(0.093) (0.10)
8.75 3.31

L = - 4.65*IPB, Errorvar.= 8.79 , R² = 0.71


(0.87) (6.32)
-5.33 1.39

K = - 1.14*IPB, Errorvar.= 0.60 , R² = 0.68


(0.21) (0.87)
-5.38 0.69

Correlation Matrix of Independent Variables

IPB
--------
1.00

Covariance Matrix of Latent Variables

E S L K IPB
-------- -------- -------- -------- --------
E 1.00
S 0.48 1.00
L -2.74 -3.77 30.36
K -0.67 -0.93 5.30 1.90
IPB 0.59 0.81 -4.65 -1.14 1.00

Global Goodness of Fit Statistics, Missing Data Case

-2ln(L) for the saturated model = 0.000


-2ln(L) for the fitted model = 50.115

Degrees of Freedom = 24
Full Information ML Chi-Square = 50.11 (P = 0.0014)
Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.074
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.045 ; 0.10)
P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.082

Fitted Covariance Matrix

E0 BROBAT TFR IKLH PDRBCL DEPRL


-------- -------- -------- -------- -------- --------
E0 4.12
BROBAT 11.47 98.06
TFR -0.48 -2.15 0.10
IKLH -7.94 -35.54 1.49 201.69
PDRBCL 0.23 1.04 -0.04 -1.10 0.09
DEPRL -0.07 -0.33 0.01 0.23 -0.01 0.00
UDARAL -0.02 -0.08 0.00 0.12 0.00 0.00
RUPAHL -0.02 -0.11 0.00 0.11 0.00 0.00
RAPSL 0.00 -0.02 0.00 0.02 0.00 0.00

Fitted Covariance Matrix

UDARAL RUPAHL RAPSL


-------- -------- --------
UDARAL 0.00
RUPAHL 0.00 0.00
RAPSL 0.00 0.00 0.00
121
Fitted Residuals

E0 BROBAT TFR IKLH PDRBCL DEPRL


-------- -------- -------- -------- -------- --------
E0 0.02
BROBAT 2.58 0.50
TFR -0.01 0.13 0.00
IKLH 1.51 -3.47 -0.33 1.02
PDRBCL 0.09 0.79 0.01 -0.41 0.00
DEPRL 0.00 0.01 0.00 -0.05 0.00 0.00
UDARAL 0.00 -0.02 0.00 0.00 0.00 0.00
RUPAHL 0.02 -0.03 0.00 0.08 0.00 0.00
RAPSL 0.00 -0.01 0.00 -0.01 0.00 0.00

Fitted Residuals

UDARAL RUPAHL RAPSL


-------- -------- --------
UDARAL 0.00
RUPAHL 0.00 0.00
RAPSL 0.00 0.00 0.00

Summary Statistics for Fitted Residuals

Smallest Fitted Residual = -3.47


Median Fitted Residual = 0.00
Largest Fitted Residual = 2.58

Stemleaf Plot

- 3|5
- 2|
- 1|
- 0|431000000000000000000000000000000000
0|11158
1|05
2|6

Standardized Residuals

E0 BROBAT TFR IKLH PDRBCL DEPRL


-------- -------- -------- -------- -------- --------
E0 0.05
BROBAT 1.57 0.05
TFR -0.16 0.47 0.05
IKLH 0.71 -0.34 -0.96 0.05
PDRBCL 1.81 3.48 1.65 -1.28 0.05
DEPRL 0.30 0.14 0.16 -0.98 -0.42 0.05
UDARAL -0.76 -1.03 1.64 0.02 1.82 0.53
RUPAHL 2.73 -1.11 -0.52 1.89 -0.76 -0.53
RAPSL 0.62 -1.17 -0.52 -0.38 -1.31 1.04

Standardized Residuals

UDARAL RUPAHL RAPSL


-------- -------- --------
UDARAL 0.05
RUPAHL -0.02 0.05
RAPSL -2.49 0.01 0.05

Summary Statistics for Standardized Residuals

Smallest Standardized Residual = -2.49


Median Standardized Residual = 0.05
Largest Standardized Residual = 3.48

Stemleaf Plot

- 2|5
- 1|3321000
- 0|885554432000
0|1111111111235567
1|0667889
2|7
122
3|5
Largest Positive Standardized Residuals
Residual for PDRBCL and BROBAT 3.48
Residual for RUPAHL and E0 2.73

Standardized Solution

LAMBDA-Y

E S L K
-------- -------- -------- --------
E0 - - 1.60 - - - -
BROBAT - - 7.16 - - - -
TFR - - -0.30 - - - -
IKLH - - - - 7.26 - -
PDRBCL 0.30 - - - - - -
DEPRL - - -0.05 - - - -
UDARAL - - - - 0.02 - -
RUPAHL - - - - - - 0.02
RAPSL - - - - - - 0.00

GAMMA

IPB
--------
E 0.59
S 0.81
L -0.84
K -0.83

Correlation Matrix of ETA and KSI

E S L K IPB
-------- -------- -------- -------- --------
E 1.00
S 0.48 1.00
L -0.50 -0.68 1.00
K -0.49 -0.67 0.70 1.00
IPB 0.59 0.81 -0.84 -0.83 1.00

PSI
Note: This matrix is diagonal.

E S L K
-------- -------- -------- --------
0.65 0.34 0.29 0.32

Completely Standardized Solution

LAMBDA-Y

E S L K
-------- -------- -------- --------
E0 - - 0.79 - - - -
BROBAT - - 0.72 - - - -
TFR - - -0.93 - - - -
IKLH - - - - 0.51 - -
PDRBCL 0.99 - - - - - -
DEPRL - - -0.95 - - - -
UDARAL - - - - 0.62 - -
RUPAHL - - - - - - 0.52
RAPSL - - - - - - 0.30

GAMMA

IPB
--------
E 0.59
S 0.81
L -0.84
K -0.83
123
Correlation Matrix of ETA and KSI

E S L K IPB
-------- -------- -------- -------- --------
E 1.00
S 0.48 1.00
L -0.50 -0.68 1.00
K -0.49 -0.67 0.70 1.00
IPB 0.59 0.81 -0.84 -0.83 1.00

PSI
Note: This matrix is diagonal.

E S L K
-------- -------- -------- --------
0.65 0.34 0.29 0.32

THETA-EPS

E0 BROBAT TFR IKLH PDRBCL DEPRL


-------- -------- -------- -------- -------- --------
0.38 0.48 0.13 0.74 0.01 0.10

THETA-EPS

UDARAL RUPAHL RAPSL


-------- -------- --------
0.61 0.73 0.91

Time used: 0.172 Seconds


124

Lampiran 2Penghitungan Indeks Pembangunan Berkelanjutan

Pada Bab 4 telah dijelaskan tentang penyusunan indeks pembangunan


berkelanjutan (IPB) mulai dari tahapan awal, penyusunan kerangka teori, hingga
tahapan diseminasi. Namun penghitungan secara teknis belum dijelaskan dalam
Bab tersebut. Lampiran ini akan membahas teknis penyusunan indeks
pembangunan berkelanjutan (IPB). Pembahasan tidak mencakup keseluruhan
tahapan yang ada pada Bab 4, tetapi lebih ditujukan untuk membahas secara detil
penghitungan matematisnya.

Penjelasan tentang penghitungan IPB dalam lampiran ini dibagi dalam 4 tahapan,
yaitu pengumpulan data, normalisasi data, penghitungan indeks dimensi dan
penghitungan indeks pembangunan berkelanjutan.

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan tahapan awal dari penyusunan indeks


pembangunan berkelanjutan. Data-data yang dipergunakan sebagian besar
bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data-data tersebut berasal dari
publikasi rutin BPS serta hasil beberapa survei yang dilakukan oleh BPS. Sumber
lainnya yang menjadi referensi data adalah Kementrian Lingkungan Hidup.

Data yang dikumpulkan meliputi :


- PDRB Perkapita; bersumber dari publikasi PDRB atau Statistik Indonesia,
BPS
- Angka harapan hidup; bersumber dari publikasi Indeks Pembangunan
Manusia atau Statistik Indonesia, BPS
- Persentase penduduk yang berobat ke dokter atau rumah sakit; bersumber
dari Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS
- Rasio ketergantungan; bersumber dari publikasi Provinsi Dalam Angka atau
Statistik Indonesia atau Statistik Kependudukan, BPS
- Total fertility rate (TFR); bersumber dari publikasi Provinsi Dalam Angka
atau Statistik Indonesia atau Statistik Kependudukan, BPS
- Persentase desa yang tidak mengalami pencemaran udara; bersumber dari
publikasi Potensi Desa, BPS
- Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH); bersumber dari publikasi IKLH,
Kementrian Lingkungan Hidup
- Rasio upah perempuan dan laki-laki; bersumber dari publikasi Statistik
Ketenagakerjaan, BPS
- Rasio angka partisipasi sekolah perempuan dan laki-laki; bersumber dari
Statistik Kesejahteraan Rakyat atau Statistik Pendidikan, BPS

Berikut disampaikan data-data yang dipergunakan dalam penyusunan indeks


pembangunan berkelanjutan (IPB) dalam penelitian ini.
125

Lampiran 2.1. PDRB Perkapita, 2007-2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 16849,08 17053,37 16334,72 17526,33 19140,54 20486,25
Sumatera Utara 14441,99 16758,65 18351,59 21108,51 23991,31 26568,86
Sumatera Barat 12808,05 14955,23 15996,69 17926,06 20177,00 22208,59
Riau 41957,54 53280,00 55357,54 62075,34 72092,54 79112,74
Kepulauan Riau 35485,22 38275,76 39773,97 42358,63 45466,53 49644,26
Jambi 11151,31 13891,23 14580,81 17331,59 19987,08 22404,67
Sumatera Selatan 15540,61 18512,59 18709,96 21079,79 24061,05 26790,90
Kep. Bangka Belitung 15989,31 18534,07 19315,74 21719,61 24106,16 26441,43
Bengkulu 7865,87 8940,28 9678,52 10796,97 12209,08 13682,00
Lampung 8290,07 9880,35 11797,75 14193,42 16630,89 18611,50
DKI Jakarta 61335,65 72093,22 79720,45 89362,27 100983,41 112141,72
Jawa Barat 12894,87 15192,21 16270,95 17843,43 19645,11 21254,64
Banten 12500,50 13824,55 14692,11 16071,52 17595,57 19003,47
Jawa Tengah 9739,08 11367,22 12301,94 13730,02 15380,77 17140,21
DI Yogyakarta 9798,39 11192,68 12064,38 13147,87 14849,53 16227,10
Jawa Timur 14628,84 16750,28 18415,11 20703,36 23459,79 26444,79
Bali 12018,47 13849,97 15773,52 17191,30 18641,23 20742,87
Nusa Tenggara Barat 7696,59 7991,27 9865,11 10987,15 10741,02 10796,45
Nusa Tenggara Timur 4331,41 4791,18 5250,55 5897,19 6536,51 7249,04
Kalimantan Barat 10157,80 11324,94 12424,85 13723,02 15111,17 16831,71
Kalimantan Tengah 13279,32 15262,80 17041,89 19162,50 21807,18 24467,60
Kalimantan Selatan 11501,52 13078,13 14420,99 16422,41 18453,21 20196,88
Kalimantan Timur 69787,31 95029,44 83107,80 90022,90 106057,82 109664,35
Sulawesi Utara 10992,89 12898,17 14689,17 16148,57 18217,50 20344,83
Gorontalo 4878,48 5906,52 6924,59 7709,36 8612,11 9562,96
Sulawesi Tengah 9309,50 11271,10 12515,78 14098,63 16511,48 18709,35
Sulawesi Selatan 8907,26 10790,55 12547,42 14613,73 16929,02 19465,54
Sulawesi Barat 5765,25 7509,35 8301,80 9433,62 10834,11 11828,89
Sulawesi Tenggara 8527,57 10307,71 11689,21 12652,85 14103,10 15785,71
Maluku 4022,38 4298,09 4721,19 5245,26 6090,93 7096,81
Maluku Utara 3264,15 3885,79 4613,56 5167,02 5680,16 6366,66
Papua 22746,90 24034,63 28485,60 30742,77 25593,90 24729,85
Papua Barat 15143,22 19672,91 24648,72 35133,77 45853,21 52383,91
Indonesia 17360,56 21364,56 23880,87 27028,70 30795,10 33748,26

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita (PDRBC). Indikator ini merupakan indikator
dasar pertumbuhan ekonomi yang mengukur jumlah nilai tambah yang diperoleh secara rata-rata
oleh setiap penduduk dalam satu wilayah.
126

Lampiran 2.2. Angka Harapan Hidup, 2007-2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 69,00 69,10 69,20 69,30 69,50 69,60
Sumatera Utara 71,60 71,70 71,90 72,10 72,20 72,40
Sumatera Barat 70,50 70,70 70,90 71,10 71,40 71,60
Riau 71,90 72,00 72,10 72,20 72,40 72,50
Kepulauan Riau 72,30 72,40 72,50 72,60 72,60 72,70
Jambi 70,30 70,50 70,70 70,80 71,00 71,20
Sumatera Selatan 70,90 71,10 71,20 71,40 71,50 71,70
Kep. Bangka Belitung 70,70 70,80 70,90 71,00 71,20 71,30
Bengkulu 69,90 70,10 70,30 70,50 70,70 70,90
Lampung 70,90 71,10 71,30 71,60 71,80 72,10
DKI Jakarta 75,80 75,90 76,00 76,20 76,30 76,40
Jawa Barat 70,30 70,50 70,70 70,90 71,10 71,30
Banten 69,20 69,30 69,50 69,70 69,80 70,00
Jawa Tengah 72,10 72,30 72,50 72,60 72,80 73,00
DI Yogyakarta 75,50 75,70 75,80 76,00 76,20 76,30
Jawa Timur 71,00 71,20 71,40 71,70 71,90 72,20
Bali 74,10 74,10 74,20 74,30 74,40 74,40
Nusa Tenggara Barat 66,00 66,30 66,70 67,00 67,30 67,60
Nusa Tenggara Timur 69,10 69,40 69,60 69,90 70,20 70,40
Kalimantan Barat 70,20 70,40 70,50 70,70 70,80 71,00
Kalimantan Tengah 71,70 71,80 71,90 72,00 72,10 72,30
Kalimantan Selatan 68,40 68,70 68,90 69,20 69,40 69,70
Kalimantan Timur 72,50 72,70 73,00 73,20 73,40 73,60
Sulawesi Utara 74,40 74,60 74,80 74,90 75,10 75,30
Gorontalo 69,20 69,50 69,80 70,10 70,40 70,60
Sulawesi Tengah 68,20 68,40 68,60 68,90 69,10 69,40
Sulawesi Selatan 70,20 70,40 70,60 70,80 71,10 71,30
Sulawesi Barat 70,20 70,40 70,60 70,80 71,10 71,30
Sulawesi Tenggara 69,70 69,90 70,20 70,40 70,70 70,90
Maluku 69,00 69,20 69,40 69,60 69,90 70,10
Maluku Utara 68,30 68,60 68,90 69,20 69,50 69,80
Papua 69,30 69,50 69,80 70,00 70,30 70,50
Papua Barat 69,00 69,30 69,50 69,80 70,10 70,30
Indonesia 70,40 70,50 70,70 70,90 71,10 71,30

Angka Harapan Hidup (E0). Indikator ini merupakan rata-rata umur hidup yang diharapkan akan
dicapai oleh seorang bayi yang baru lahir. Kalkulasi angka harapan hidup dilakukan dengan
mempertimbangkan adanya risiko kematian pada saat usia tertentu. Angka harapan hidup saat lahir
merupakan indikator kematian dan proxy terhadap kondisi kesehatan
127

Lampiran 2.3. Persentase Penduduk yang Berobat ke Dokter dan Rumah Sakit,
2007-2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 26,99 27,36 27,23 27,23 27,66 28,27
Sumatera Utara 33,42 33,65 33,15 33,15 35,51 36,26
Sumatera Barat 22,02 23,58 24,16 24,16 24,72 23,70
Riau 43,00 49,93 46,10 46,10 46,35 44,16
Kepulauan Riau 38,20 33,13 25,19 25,19 34,57 44,23
Jambi 34,52 37,12 32,74 32,74 34,54 36,21
Sumatera Selatan 32,66 31,69 36,71 36,71 35,94 35,20
Kep. Bangka Belitung 33,73 40,08 36,30 36,30 38,54 34,33
Bengkulu 29,08 33,67 35,90 35,90 33,09 30,99
Lampung 25,59 25,22 29,41 29,41 29,60 30,25
DKI Jakarta 57,94 61,71 60,80 60,80 63,48 60,95
Jawa Barat 38,52 41,06 43,43 43,43 46,12 46,28
Banten 44,78 44,55 45,12 45,12 49,72 45,62
Jawa Tengah 33,85 35,11 36,40 36,40 35,87 35,44
DI Yogyakarta 47,92 48,65 47,21 47,21 47,97 49,30
Jawa Timur 32,16 33,63 32,40 32,40 31,92 31,77
Bali 42,03 47,18 47,40 47,40 49,42 48,06
Nusa Tenggara Barat 24,25 27,87 25,51 25,51 25,17 26,31
Nusa Tenggara Timur 15,86 15,69 19,24 19,24 18,84 18,26
Kalimantan Barat 25,63 25,25 25,97 25,97 25,50 29,27
Kalimantan Tengah 24,71 27,44 25,90 25,90 27,97 29,11
Kalimantan Selatan 23,56 23,19 24,74 24,74 24,17 21,13
Kalimantan Timur 41,20 42,04 44,89 44,89 44,26 46,98
Sulawesi Utara 39,20 40,07 45,72 45,72 46,48 42,14
Gorontalo 29,41 30,60 32,39 32,39 32,09 31,16
Sulawesi Tengah 22,78 22,00 24,20 24,20 25,12 26,32
Sulawesi Selatan 27,65 26,80 28,24 28,24 27,60 27,87
Sulawesi Barat 13,80 16,47 20,77 20,77 22,27 19,15
Sulawesi Tenggara 21,88 25,03 22,93 22,93 23,39 24,62
Maluku 25,32 21,21 25,24 25,24 24,14 24,96
Maluku Utara 31,48 25,05 28,85 28,85 32,26 29,69
Papua 25,01 24,98 27,79 27,79 36,85 41,88
Papua Barat 21,84 23,00 38,97 38,97 44,85 41,69
Indonesia 34,87 35,66 36,51 36,91 36,39 37,06

Persentase penduduk yang berobat ke rumah sakit dan dokter (BROBAT). Indikator ini mengukur
akses penduduk terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dasar
128

Lampiran 2.4. Rasio Ketergantungan, 2007-2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 54,90 54,20 53,40 52,70 52,10 51,60
Sumatera Utara 56,40 55,50 54,70 53,90 53,10 52,40
Sumatera Barat 56,90 56,00 55,20 54,30 53,50 52,80
Riau 51,50 51,60 51,80 51,90 50,90 50,00
Kepulauan Riau 50,70 50,20 49,60 48,90 48,60 48,00
Jambi 51,10 50,20 49,20 48,40 47,60 47,10
Sumatera Selatan 52,10 51,50 50,90 50,40 49,50 48,70
Kep. Bangka Belitung 46,60 46,40 46,00 45,80 45,60 45,40
Bengkulu 50,10 49,60 49,10 48,40 47,60 46,90
Lampung 51,10 50,10 49,20 48,30 47,70 47,30
DKI Jakarta 38,20 37,80 37,30 36,80 36,80 36,80
Jawa Barat 48,10 47,80 47,50 47,30 46,90 46,50
Banten 52,50 51,60 50,70 49,80 48,70 47,70
Jawa Tengah 48,30 47,80 47,30 46,90 46,70 46,70
DI Yogyakarta 38,60 38,10 37,70 37,10 37,10 37,10
Jawa Timur 40,80 40,40 39,90 39,40 39,30 39,30
Bali 42,90 42,70 42,60 42,50 41,80 41,30
Nusa Tenggara Barat 55,50 54,90 54,20 53,70 53,20 52,90
Nusa Tenggara Timur 61,40 60,40 59,40 58,60 58,00 57,50
Kalimantan Barat 53,70 52,90 52,20 51,50 51,00 50,60
Kalimantan Tengah 49,30 48,70 48,20 47,80 47,00 46,00
Kalimantan Selatan 47,30 46,50 45,60 44,70 44,30 44,20
Kalimantan Timur 47,10 46,20 45,30 44,70 43,90 43,30
Sulawesi Utara 44,20 43,50 42,70 42,00 41,70 41,50
Gorontalo 50,70 49,80 48,80 47,60 47,00 46,80
Sulawesi Tengah 50,80 49,90 49,10 48,30 47,60 47,10
Sulawesi Selatan 51,70 51,10 50,50 49,90 49,60 49,40
Sulawesi Barat 51,50 50,80 50,00 49,30 48,90 48,60
Sulawesi Tenggara 58,70 58,00 57,50 57,00 56,10 55,10
Maluku 60,00 58,20 56,70 55,30 54,70 54,30
Maluku Utara 59,20 57,70 55,80 54,30 53,40 52,80
Papua 50,20 49,30 48,30 47,60 47,60 47,70
Papua Barat 50,40 49,20 48,40 48,00 47,90 47,80
Indonesia 48,30 47,80 47,20 46,70 46,30 46,00

Rasio ketergantungan (DEPR). Angka beban ketergantungan menunjukkan perbandingan jumlah


penduduk yang aktif secara ekonomi terhadap penduduk usia muda dan usia tua yang tergantung
secara ekonomi. Angka beban ketergantungan dapat mengindikasikan dampak potensial perubahan
struktur umur penduduk terhadap pembangunan sosial dan ekonomi
129

Lampiran 2.5. Total Fertility Rate (TFR), 2007-2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 2,42 2,40 2,38 2,36 2,34 2,32
Sumatera Utara 2,49 2,46 2,44 2,42 2,40 2,38
Sumatera Barat 2,47 2,45 2,42 2,40 2,38 2,35
Riau 2,37 2,35 2,33 2,32 2,30 2,28
Kepulauan Riau 2,37 2,35 2,33 2,32 2,30 2,28
Jambi 2,30 2,29 2,28 2,27 2,26 2,25
Sumatera Selatan 2,21 2,20 2,19 2,18 2,16 2,15
Kep. Bangka Belitung 2,21 2,19 2,18 2,17 2,16 2,14
Bengkulu 2,22 2,20 2,19 2,18 2,16 2,15
Lampung 2,28 2,27 2,26 2,25 2,24 2,23
DKI Jakarta 1,55 1,54 1,52 1,51 1,50 1,49
Jawa Barat 2,20 2,19 2,19 2,18 2,17 2,16
Banten 2,29 2,29 2,28 2,28 2,27 2,27
Jawa Tengah 2,03 2,02 2,00 1,99 1,98 1,97
DI Yogyakarta 1,39 1,39 1,39 1,39 1,39 1,38
Jawa Timur 1,67 1,67 1,66 1,66 1,65 1,65
Bali 1,69 1,68 1,67 1,66 1,65 1,64
Nusa Tenggara Barat 2,50 2,46 2,43 2,39 2,36 2,33
Nusa Tenggara Timur 2,89 2,84 2,80 2,75 2,71 2,66
Kalimantan Barat 2,48 2,45 2,43 2,41 2,38 2,36
Kalimantan Tengah 2,23 2,22 2,21 2,20 2,19 2,18
Kalimantan Selatan 2,18 2,17 2,16 2,15 2,14 2,13
Kalimantan Timur 2,25 2,23 2,22 2,21 2,19 2,18
Sulawesi Utara 1,92 1,91 1,90 1,90 1,89 1,88
Gorontalo 2,28 2,27 2,25 2,24 2,23 2,21
Sulawesi Tengah 2,35 2,33 2,31 2,29 2,27 2,25
Sulawesi Selatan 2,30 2,28 2,27 2,25 2,23 2,22
Sulawesi Barat 2,30 2,28 2,26 2,25 2,23 2,22
Sulawesi Tenggara 2,69 2,65 2,61 2,57 2,53 2,49
Maluku 2,73 2,70 2,68 2,66 2,64 2,62
Maluku Utara 2,66 2,65 2,63 2,62 2,60 2,58
Papua 2,70 2,68 2,67 2,65 2,64 2,62
Papua Barat 2,73 2,71 2,69 2,67 2,64 2,62
Indonesia 2,18 2,17 2,16 2,15 2,14 2,13

Angka kelahiran total/total fertility rate (TFR). Angka kelahiran total adalah rata-rata banyaknya
anak yang dilahirkan oleh seorang wanita sepanjang hidupnya.


130

Lampiran 2.6. Persentase Desa Tidak Mengalami Pencemaran Udara, 2007-


2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 97,16 97,42 97,15 96,88 96,61 96,34
Sumatera Utara 95,56 96,81 95,57 94,32 93,08 91,87
Sumatera Barat 96,43 96,86 95,10 93,34 91,58 89,88
Riau 90,67 95,39 93,00 90,61 88,22 85,95
Kepulauan Riau 96,17 95,71 95,25 94,79 94,33 93,88
Jambi 96,79 97,01 96,13 95,26 94,39 93,53
Sumatera Selatan 97,84 98,34 97,32 96,29 95,26 94,25
Kep. Bangka Belitung 97,01 97,38 96,41 95,43 94,46 93,50
Bengkulu 97,28 97,26 96,16 95,07 93,97 92,90
Lampung 94,38 94,66 92,53 90,40 88,27 86,24
DKI Jakarta 94,01 98,13 96,13 94,13 92,13 90,22
Jawa Barat 91,40 91,91 90,41 88,90 87,40 85,95
Banten 90,32 92,15 88,21 84,27 80,33 76,73
Jawa Tengah 94,45 95,47 89,62 83,77 77,92 72,81
DI Yogyakarta 86,99 90,41 83,94 77,47 71,00 65,51
Jawa Timur 92,29 92,67 90,39 88,11 85,83 83,66
Bali 96,42 96,35 95,94 95,52 95,11 94,70
Nusa Tenggara Barat 94,34 94,19 94,62 95,05 95,48 95,91
Nusa Tenggara Timur 98,50 99,14 98,73 98,32 97,91 97,50
Kalimantan Barat 96,17 97,88 95,77 93,67 91,56 89,55
Kalimantan Tengah 94,91 96,55 96,15 95,75 95,35 94,96
Kalimantan Selatan 94,36 95,39 93,93 92,46 91,00 89,58
Kalimantan Timur 94,59 96,75 95,77 94,78 93,79 92,82
Sulawesi Utara 96,29 95,85 95,74 95,62 95,51 95,40
Gorontalo 98,35 98,63 97,90 97,17 96,44 95,73
Sulawesi Tengah 98,51 98,52 98,00 97,49 96,97 96,46
Sulawesi Selatan 96,56 96,47 95,68 94,89 94,10 93,32
Sulawesi Barat 99,60 98,51 97,44 96,37 95,30 94,25
Sulawesi Tenggara 98,90 99,06 98,42 97,77 97,12 96,49
Maluku 98,88 98,90 98,78 98,66 98,54 98,42
Maluku Utara 97,95 98,26 97,88 97,51 97,13 96,75
Papua 99,70 99,73 99,56 99,40 99,24 99,07
Papua Barat 99,32 99,34 99,35 99,36 99,37 99,39
Indonesia 95,82 96,58 95,24 93,90 92,57 91,32

Persentase desa tidak mengalami pencemaran udara (UDARA). Indikator ini untuk melihat
bagaimana usaha pengelolaan lingkungan dalam hal terjadinya pencemaran udara
131

Lampiran 2.7. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), 2007-2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 76,29 74,38 72,47 77,30 66,74 73,60
Sumatera Utara 55,99 59,24 62,48 87,17 72,21 64,52
Sumatera Barat 93,73 90,39 87,04 81,46 77,00 70,22
Riau 48,60 50,12 51,65 54,86 56,23 53,67
Kepulauan Riau 48,60 50,12 51,65 54,86 56,23 68,85
Jambi 81,79 78,41 75,04 62,82 64,92 62,59
Sumatera Selatan 63,83 66,57 69,30 75,70 77,50 57,91
Kep. Bangka Belitung 43,59 47,87 52,15 64,92 64,99 60,43
Bengkulu 68,12 73,85 79,58 96,89 96,77 67,07
Lampung 65,02 69,33 73,64 86,95 86,57 54,29
DKI Jakarta 42,01 41,87 41,73 41,81 41,31 37,78
Jawa Barat 48,88 49,29 49,69 53,44 50,90 49,26
Banten 52,11 51,49 50,86 48,98 48,98 47,86
Jawa Tengah 59,12 57,26 55,40 50,48 49,82 61,78
DI Yogyakarta 43,27 48,40 53,52 71,91 68,89 55,43
Jawa Timur 62,02 60,52 59,01 49,49 54,49 59,63
Bali 85,63 85,57 85,50 99,65 85,30 61,34
Nusa Tenggara Barat 66,62 70,15 73,69 90,15 84,30 67,31
Nusa Tenggara Timur 71,68 69,14 66,61 50,72 59,01 66,45
Kalimantan Barat 70,35 71,14 71,92 76,39 74,27 71,44
Kalimantan Tengah 33,51 39,61 45,70 50,38 63,98 71,24
Kalimantan Selatan 40,22 44,24 48,25 58,24 60,29 58,17
Kalimantan Timur 67,22 67,92 68,63 62,22 70,75 73,01
Sulawesi Utara 90,62 89,42 88,21 84,18 84,59 66,25
Gorontalo 81,09 84,65 88,21 97,93 98,89 74,19
Sulawesi Tengah 48,50 58,50 68,51 97,58 98,53 82,04
Sulawesi Selatan 70,94 69,28 67,62 62,89 62,64 66,34
Sulawesi Barat 67,47 67,54 67,62 62,89 67,85 71,91
Sulawesi Tenggara 65,69 63,11 60,53 62,23 52,79 75,66
Maluku 82,61 80,70 78,80 79,72 73,09 73,13
Maluku Utara 82,61 80,70 78,80 79,72 73,09 78,07
Papua 79,83 77,56 75,30 59,56 68,51 80,72
Papua Barat 79,83 77,56 75,30 59,56 68,51 79,35
Indonesia 59,48 59,64 59,79 61,07 60,25 64,21

Indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH). Indeks ini merupakan rata-rata dari indeks pencemaran
udara (IPU), indeks pencemaran air (IPA) dan indeks tutupan hutan (ITH). Indeks pencemaran
udara menggunakan indikator konsentrasi SO2 dan NO2 di udara. Indeks pencemaran air
menggunakan indikator konsentrasi TSS, DO dan COD pada air sungai. Indeks tutupan hutan
merupakan persentase luas hutan primer dan sekunder terhadap luas hutan yang telah ditetapkan
oleh Kementrian Kehutanan.
132

Lampiran 2.8. Rasio Upah Perempuan dan Laki-laki, 2007-2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 0,86 0,86 0,87 0,88 0,89 0,91
Sumatera Utara 0,83 0,84 0,84 0,84 0,84 0,84
Sumatera Barat 0,95 1,00 0,96 1,00 0,96 0,92
Riau 0,71 0,72 0,74 0,76 0,78 0,80
Kepulauan Riau 0,82 0,80 0,78 0,78 0,77 0,77
Jambi 0,81 0,81 0,80 0,81 0,81 0,82
Sumatera Selatan 0,75 0,77 0,79 0,82 0,85 0,88
Kep. Bangka Belitung 0,73 0,73 0,74 0,73 0,73 0,73
Bengkulu 0,90 0,86 0,83 0,83 0,84 0,85
Lampung 0,78 0,82 0,86 0,87 0,87 0,88
DKI Jakarta 0,80 0,76 0,72 0,74 0,76 0,77
Jawa Barat 0,78 0,77 0,76 0,78 0,80 0,82
Banten 0,74 0,75 0,76 0,77 0,78 0,79
Jawa Tengah 0,67 0,70 0,72 0,72 0,73 0,73
DI Yogyakarta 0,78 0,75 0,73 0,75 0,78 0,80
Jawa Timur 0,76 0,76 0,75 0,75 0,75 0,75
Bali 0,71 0,70 0,69 0,74 0,78 0,83
Nusa Tenggara Barat 0,68 0,67 0,66 0,68 0,69 0,71
Nusa Tenggara Timur 1,00 0,97 0,94 0,93 0,93 0,93
Kalimantan Barat 0,81 0,80 0,79 0,80 0,81 0,82
Kalimantan Tengah 0,84 0,81 0,77 0,80 0,84 0,87
Kalimantan Selatan 0,72 0,72 0,73 0,76 0,78 0,80
Kalimantan Timur 0,59 0,64 0,68 0,69 0,71 0,72
Sulawesi Utara 0,89 0,94 1,00 1,00 1,00 0,99
Gorontalo 0,87 0,94 0,75 0,79 0,84 0,89
Sulawesi Tengah 0,91 0,87 0,82 0,84 0,86 0,88
Sulawesi Selatan 0,84 0,86 0,88 0,86 0,85 0,84
Sulawesi Barat 0,84 0,87 0,90 0,86 0,82 0,78
Sulawesi Tenggara 0,79 0,76 0,73 0,76 0,79 0,82
Maluku 0,92 0,91 0,90 0,91 0,92 0,94
Maluku Utara 0,77 0,74 0,70 0,76 0,82 0,90
Papua 0,81 0,82 0,83 0,79 0,75 0,72
Papua Barat 0,74 0,80 0,87 0,88 0,90 0,91
Indonesia 0,77 0,76 0,76 0,77 0,78 0,79

Jika upah laki-laki lebih besar dari perempuan, maka rasio upah merupakan pembagian antara
upah perempuan dengan upah laki-laki.

Sedangkan jika upah perempuan lebih besar dari pada laki-laki, maka rasio upah merupakan
pembagian antara upah laki-laki dengan upah perempuan.
133

Lampiran 2.9. Rasio Angka Partisipasi Sekolah Perempuan dan Laki-laki, 2007-
2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 0,98 1,00 0,99 0,97 0,99 0,95
Sumatera Utara 1,00 0,99 0,99 1,00 0,98 0,97
Sumatera Barat 0,96 0,97 0,97 0,98 0,94 0,96
Riau 0,98 0,96 0,99 0,98 1,00 0,99
Kepulauan Riau 0,73 0,83 0,96 0,97 0,92 0,97
Jambi 0,98 1,00 0,99 1,00 0,98 0,97
Sumatera Selatan 0,97 0,98 0,98 0,97 0,99 0,98
Kep. Bangka Belitung 0,94 0,94 0,98 0,95 0,96 0,92
Bengkulu 0,99 1,00 0,99 0,99 0,98 0,94
Lampung 0,95 0,95 0,96 0,98 0,98 0,98
DKI Jakarta 0,91 0,90 0,91 0,92 0,92 0,97
Jawa Barat 0,98 1,00 0,98 0,95 0,97 1,00
Banten 0,96 0,95 0,95 0,94 0,95 0,99
Jawa Tengah 0,98 0,98 0,98 0,98 0,95 0,98
DI Yogyakarta 0,95 0,96 0,94 0,96 0,96 0,99
Jawa Timur 0,97 0,96 0,95 0,95 0,94 0,97
Bali 0,93 0,95 0,94 0,94 0,93 0,97
Nusa Tenggara Barat 0,91 0,92 0,91 0,91 0,92 0,94
Nusa Tenggara Timur 0,97 0,98 0,99 0,99 0,99 1,00
Kalimantan Barat 1,00 0,98 0,98 0,99 1,00 0,99
Kalimantan Tengah 0,98 0,99 0,98 0,99 0,96 0,99
Kalimantan Selatan 0,95 0,96 1,00 0,96 0,95 0,99
Kalimantan Timur 0,97 0,97 0,99 0,96 0,98 0,97
Sulawesi Utara 0,95 0,98 0,94 0,95 0,96 0,92
Gorontalo 0,96 0,94 0,98 0,97 0,93 0,91
Sulawesi Tengah 0,98 1,00 0,97 0,98 0,99 0,96
Sulawesi Selatan 0,99 0,99 0,99 0,98 0,99 0,98
Sulawesi Barat 0,99 0,98 0,96 0,96 0,97 1,00
Sulawesi Tenggara 0,99 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00
Maluku 0,99 0,99 1,00 0,99 0,98 0,96
Maluku Utara 0,97 0,99 0,98 0,98 0,98 0,99
Papua 0,90 0,91 0,89 0,92 0,94 0,96
Papua Barat 0,92 0,94 0,93 0,93 0,93 1,00
Indonesia 0,98 0,98 0,98 0,98 0,97 1,00

Jika angka partisipasi sekolah APS laki-laki lebih besar dari perempuan, maka rasio APS
merupakan pembagian antara APS perempuan dengan APS laki-laki.

Sedangkan jika APS perempuan lebih besar dari pada laki-laki, maka rasio APS merupakan
pembagian dari antara APS laki-laki dengan APS perempuan.
134

2. Normalisasi

Normalisasi dilakukan dengan menggunakan metode maksimum-minimum untuk


masing-masing indikator pembangunan berkelanjutan. Nilai maksimum dan
minimum untuk masing-masing indikator mengacu pada Tabel 12.Terkait
penggunaan metode maksimum-minimum dalam proses normalisasi, maka
interpretasi dari nilai normalisasi juga mengacu pada nilai maksimum dan
minimum yang telah ditetapkan.

Nilai normalisasi PDRB perkapita Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 53,32 pada
tahun 2012 dapat diartikan bahwa target PDRB perkapita belum tercapai di
provinsi ini. Jika dihitung dari nilai minimum PDRB perkapita, PDRB perkapita
Nanggroe Aceh Darussalam telah berjalan 53,32 persen menuju target PDRB
perkapita (dalam hal ini adalah target PDRB Perkapita dalam RPJMN 2009-2014).
Sedangkan nilai normalisasi PDRB perkapita Riau sebesar 100,00 menunjukkan
bahwa target PDRB perkapita telah tercapai di provinsi ini.

Secara umum arah indikator pembangunan dapat dibagi dua, yaitu indikator yang
bersifat positif dan indikator yang bersifat negatif. Indikator yang bersifat positif
adalah indikator yang menunjukkan perbaikan kondisi jika nilainya indikatornya
meningkat. Contohnya adalah angka harapan hidup dan persentase penduduk yang
berobat ke dokter atau rumah sakit. Sedangkan indikator yang bersifat negatif
adalah indikator yang menunjukkan perbaikan kondisi jika nilainya indikatornya
menurun. Contoh indikator ini adalah rasio ketergantungan dan total fertility rate.

Untuk menghindari kasus saling meniadakan (cancel-out) antar indikator, maka


dalam penyusunan indeks komposit penggunaan indikator harus seragam. Jika
diperhatikan pada dimensi sosial pada penyusunan indeks pembangunan
berkelanjutan, ditemui dua indikator yang bersifat positif dan dua indikator yang
bersifat negatif. Agar tidak saling meniadakan, maka arah dua indikator yang
bersifat negatif, rasio ketergantungan dan total fertility rate, diubah menjadi
positif, dengan membalik nilai normalisasinya. Dengan demikian, nilai
normalisasi yang dipergunakan untuk rasio ketergantungan dan total fertility rate
adalah 100 dikurangi dengan normalisasi metode maksimum-minimum.
135

Lampiran 2.10. Normalisasi PDRB Perkapita, 2007-2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 43,36 43,92 41,95 45,22 49,63 53,32
Sumatera Utara 36,77 43,11 47,47 55,02 62,91 69,97
Sumatera Barat 32,30 38,18 41,03 46,31 52,47 58,03
Riau 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Kepulauan Riau 94,38 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Jambi 27,76 35,26 37,15 44,68 51,95 58,57
Sumatera Selatan 39,78 47,92 48,46 54,94 63,11 70,58
Kep. Bangka Belitung 41,01 47,97 50,11 56,70 63,23 69,62
Bengkulu 18,77 21,71 23,73 26,79 30,66 34,69
Lampung 19,93 24,28 29,53 36,09 42,76 48,19
DKI Jakarta 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Jawa Barat 32,54 38,83 41,78 46,08 51,02 55,42
Banten 31,46 35,08 37,46 41,23 45,41 49,26
Jawa Tengah 23,90 28,35 30,91 34,82 39,34 44,16
DI Yogyakarta 24,06 27,88 30,26 33,23 37,89 41,66
Jawa Timur 37,28 43,09 47,65 53,91 61,46 69,63
Bali 30,14 35,15 40,42 44,30 48,27 54,02
Nusa Tenggara Barat 18,31 19,11 24,24 27,31 26,64 26,79
Nusa Tenggara Timur 9,09 10,35 11,61 13,38 15,13 17,08
Kalimantan Barat 25,04 28,24 31,25 34,80 38,60 43,31
Kalimantan Tengah 33,59 39,02 43,89 49,69 56,93 64,22
Kalimantan Selatan 28,72 33,04 36,71 42,19 47,75 52,53
Kalimantan Timur 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sulawesi Utara 27,33 32,55 37,45 41,44 47,11 52,93
Gorontalo 10,59 13,40 16,19 18,34 20,81 23,41
Sulawesi Tengah 22,72 28,09 31,50 35,83 42,44 48,45
Sulawesi Selatan 21,62 26,78 31,59 37,24 43,58 50,52
Sulawesi Barat 13,02 17,79 19,96 23,06 26,89 29,62
Sulawesi Tenggara 20,58 25,45 29,24 31,87 35,84 40,45
Maluku 8,25 9,00 10,16 11,59 13,91 16,66
Maluku Utara 6,17 7,87 9,87 11,38 12,79 14,66
Papua 59,51 63,03 75,22 81,40 67,30 64,94
Papua Barat 38,69 51,09 64,71 93,42 100,00 100,00
Indonesia 44,76 55,72 62,61 71,23 81,54 89,63
136

Lampiran 2.11. Normalisasi Angka Harapan Hidup, 2007-2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 72,13 72,30 72,46 72,62 72,95 73,11
Sumatera Utara 76,39 76,56 76,89 77,21 77,38 77,70
Sumatera Barat 74,59 74,92 75,25 75,57 76,07 76,39
Riau 76,89 77,05 77,21 77,38 77,70 77,87
Kepulauan Riau 77,54 77,70 77,87 78,03 78,03 78,20
Jambi 74,26 74,59 74,92 75,08 75,41 75,74
Sumatera Selatan 75,25 75,57 75,74 76,07 76,23 76,56
Kep. Bangka Belitung 74,92 75,08 75,25 75,41 75,74 75,90
Bengkulu 73,61 73,93 74,26 74,59 74,92 75,25
Lampung 75,25 75,57 75,90 76,39 76,72 77,21
DKI Jakarta 83,28 83,44 83,61 83,93 84,10 84,26
Jawa Barat 74,26 74,59 74,92 75,25 75,57 75,90
Banten 72,46 72,62 72,95 73,28 73,44 73,77
Jawa Tengah 77,21 77,54 77,87 78,03 78,36 78,69
DI Yogyakarta 82,79 83,11 83,28 83,61 83,93 84,10
Jawa Timur 75,41 75,74 76,07 76,56 76,89 77,38
Bali 80,49 80,49 80,66 80,82 80,98 80,98
Nusa Tenggara Barat 67,21 67,70 68,36 68,85 69,34 69,84
Nusa Tenggara Timur 72,30 72,79 73,11 73,61 74,10 74,43
Kalimantan Barat 74,10 74,43 74,59 74,92 75,08 75,41
Kalimantan Tengah 76,56 76,72 76,89 77,05 77,21 77,54
Kalimantan Selatan 71,15 71,64 71,97 72,46 72,79 73,28
Kalimantan Timur 77,87 78,20 78,69 79,02 79,34 79,67
Sulawesi Utara 80,98 81,31 81,64 81,80 82,13 82,46
Gorontalo 72,46 72,95 73,44 73,93 74,43 74,75
Sulawesi Tengah 70,82 71,15 71,48 71,97 72,30 72,79
Sulawesi Selatan 74,10 74,43 74,75 75,08 75,57 75,90
Sulawesi Barat 74,10 74,43 74,75 75,08 75,57 75,90
Sulawesi Tenggara 73,28 73,61 74,10 74,43 74,92 75,25
Maluku 72,13 72,46 72,79 73,11 73,61 73,93
Maluku Utara 70,98 71,48 71,97 72,46 72,95 73,44
Papua 72,62 72,95 73,44 73,77 74,26 74,59
Papua Barat 72,13 72,62 72,95 73,44 73,93 74,26
Indonesia 74,43 74,59 74,92 75,25 75,57 75,90
137

Lampiran 2.12. Normalisasi Persentase Penduduk yang Berobat ke Dokter dan


Rumah Sakit, 2007-2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 26,99 27,36 27,23 27,23 27,66 28,27
Sumatera Utara 33,42 33,65 33,15 33,15 35,51 36,26
Sumatera Barat 22,02 23,58 24,16 24,16 24,72 23,70
Riau 43,00 49,93 46,10 46,10 46,35 44,16
Kepulauan Riau 38,20 33,13 25,19 25,19 34,57 44,23
Jambi 34,52 37,12 32,74 32,74 34,54 36,21
Sumatera Selatan 32,66 31,69 36,71 36,71 35,94 35,20
Kep. Bangka Belitung 33,73 40,08 36,30 36,30 38,54 34,33
Bengkulu 29,08 33,67 35,90 35,90 33,09 30,99
Lampung 25,59 25,22 29,41 29,41 29,60 30,25
DKI Jakarta 57,94 61,71 60,80 60,80 63,48 60,95
Jawa Barat 38,52 41,06 43,43 43,43 46,12 46,28
Banten 44,78 44,55 45,12 45,12 49,72 45,62
Jawa Tengah 33,85 35,11 36,40 36,40 35,87 35,44
DI Yogyakarta 47,92 48,65 47,21 47,21 47,97 49,30
Jawa Timur 32,16 33,63 32,40 32,40 31,92 31,77
Bali 42,03 47,18 47,40 47,40 49,42 48,06
Nusa Tenggara Barat 24,25 27,87 25,51 25,51 25,17 26,31
Nusa Tenggara Timur 15,86 15,69 19,24 19,24 18,84 18,26
Kalimantan Barat 25,63 25,25 25,97 25,97 25,50 29,27
Kalimantan Tengah 24,71 27,44 25,90 25,90 27,97 29,11
Kalimantan Selatan 23,56 23,19 24,74 24,74 24,17 21,13
Kalimantan Timur 41,20 42,04 44,89 44,89 44,26 46,98
Sulawesi Utara 39,20 40,07 45,72 45,72 46,48 42,14
Gorontalo 29,41 30,60 32,39 32,39 32,09 31,16
Sulawesi Tengah 22,78 22,00 24,20 24,20 25,12 26,32
Sulawesi Selatan 27,65 26,80 28,24 28,24 27,60 27,87
Sulawesi Barat 13,80 16,47 20,77 20,77 22,27 19,15
Sulawesi Tenggara 21,88 25,03 22,93 22,93 23,39 24,62
Maluku 25,32 21,21 25,24 25,24 24,14 24,96
Maluku Utara 31,48 25,05 28,85 28,85 32,26 29,69
Papua 25,01 24,98 27,79 27,79 36,85 41,88
Papua Barat 21,84 23,00 38,97 38,97 44,85 41,69
Indonesia 34,87 35,66 36,51 36,91 36,39 37,06
138

Lampiran 2.13. Normalisasi Rasio Ketergantungan, 2007-2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 65,85 67,17 68,68 70,00 71,13 72,08
Sumatera Utara 63,02 64,72 66,23 67,74 69,25 70,57
Sumatera Barat 62,08 63,77 65,28 66,98 68,49 69,81
Riau 72,26 72,08 71,70 71,51 73,40 75,09
Kepulauan Riau 73,77 74,72 75,85 77,17 77,74 78,87
Jambi 73,02 74,72 76,60 78,11 79,62 80,57
Sumatera Selatan 71,13 72,26 73,40 74,34 76,04 77,55
Kep. Bangka Belitung 81,51 81,89 82,64 83,02 83,40 83,77
Bengkulu 74,91 75,85 76,79 78,11 79,62 80,94
Lampung 73,02 74,91 76,60 78,30 79,43 80,19
DKI Jakarta 97,36 98,11 99,06 100,00 100,00 100,00
Jawa Barat 78,68 79,25 79,81 80,19 80,94 81,70
Banten 70,38 72,08 73,77 75,47 77,55 79,43
Jawa Tengah 78,30 79,25 80,19 80,94 81,32 81,32
DI Yogyakarta 96,60 97,55 98,30 99,43 99,43 99,43
Jawa Timur 92,45 93,21 94,15 95,09 95,28 95,28
Bali 88,49 88,87 89,06 89,25 90,57 91,51
Nusa Tenggara Barat 64,72 65,85 67,17 68,11 69,06 69,62
Nusa Tenggara Timur 53,58 55,47 57,36 58,87 60,00 60,94
Kalimantan Barat 68,11 69,62 70,94 72,26 73,21 73,96
Kalimantan Tengah 76,42 77,55 78,49 79,25 80,75 82,64
Kalimantan Selatan 80,19 81,70 83,40 85,09 85,85 86,04
Kalimantan Timur 80,57 82,26 83,96 85,09 86,60 87,74
Sulawesi Utara 86,04 87,36 88,87 90,19 90,75 91,13
Gorontalo 73,77 75,47 77,36 79,62 80,75 81,13
Sulawesi Tengah 73,58 75,28 76,79 78,30 79,62 80,57
Sulawesi Selatan 71,89 73,02 74,15 75,28 75,85 76,23
Sulawesi Barat 72,26 73,58 75,09 76,42 77,17 77,74
Sulawesi Tenggara 58,68 60,00 60,94 61,89 63,58 65,47
Maluku 56,23 59,62 62,45 65,09 66,23 66,98
Maluku Utara 57,74 60,57 64,15 66,98 68,68 69,81
Papua 74,72 76,42 78,30 79,62 79,62 79,43
Papua Barat 74,34 76,60 78,11 78,87 79,06 79,25
Indonesia 78,30 79,25 80,38 81,32 82,08 82,64

( )

( )
139

Lampiran 2.14. Normalisasi Total Fertility Rate (TFR), 2007-2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 94,07 94,44 94,81 95,19 95,56 95,93
Sumatera Utara 92,78 93,33 93,70 94,07 94,44 94,81
Sumatera Barat 93,15 93,52 94,07 94,44 94,81 95,37
Riau 95,00 95,37 95,74 95,93 96,30 96,67
Kepulauan Riau 95,00 95,37 95,74 95,93 96,30 96,67
Jambi 96,30 96,48 96,67 96,85 97,04 97,22
Sumatera Selatan 97,96 98,15 98,33 98,52 98,89 99,07
Kep. Bangka Belitung 97,96 98,33 98,52 98,70 98,89 99,26
Bengkulu 97,78 98,15 98,33 98,52 98,89 99,07
Lampung 96,67 96,85 97,04 97,22 97,41 97,59
DKI Jakarta 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Jawa Barat 98,15 98,33 98,33 98,52 98,70 98,89
Banten 96,48 96,48 96,67 96,67 96,85 96,85
Jawa Tengah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
DI Yogyakarta 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Jawa Timur 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Bali 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Nusa Tenggara Barat 92,59 93,33 93,89 94,63 95,19 95,74
Nusa Tenggara Timur 85,37 86,30 87,04 87,96 88,70 89,63
Kalimantan Barat 92,96 93,52 93,89 94,26 94,81 95,19
Kalimantan Tengah 97,59 97,78 97,96 98,15 98,33 98,52
Kalimantan Selatan 98,52 98,70 98,89 99,07 99,26 99,44
Kalimantan Timur 97,22 97,59 97,78 97,96 98,33 98,52
Sulawesi Utara 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Gorontalo 96,67 96,85 97,22 97,41 97,59 97,96
Sulawesi Tengah 95,37 95,74 96,11 96,48 96,85 97,22
Sulawesi Selatan 96,30 96,67 96,85 97,22 97,59 97,78
Sulawesi Barat 96,30 96,67 97,04 97,22 97,59 97,78
Sulawesi Tenggara 89,07 89,81 90,56 91,30 92,04 92,78
Maluku 88,33 88,89 89,26 89,63 90,00 90,37
Maluku Utara 89,63 89,81 90,19 90,37 90,74 91,11
Papua 88,89 89,26 89,44 89,81 90,00 90,37
Papua Barat 88,33 88,70 89,07 89,44 90,00 90,37
Indonesia 98,52 98,70 98,89 99,07 99,26 99,44

( )

( )
140

Lampiran 2.15. Normalisasi Persentase Desa Tidak Mengalami Pencemaran


Udara, 2007-2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 97,16 97,42 97,15 96,88 96,61 96,34
Sumatera Utara 95,56 96,81 95,57 94,32 93,08 91,87
Sumatera Barat 96,43 96,86 95,10 93,34 91,58 89,88
Riau 90,67 95,39 93,00 90,61 88,22 85,95
Kepulauan Riau 96,17 95,71 95,25 94,79 94,33 93,88
Jambi 96,79 97,01 96,13 95,26 94,39 93,53
Sumatera Selatan 97,84 98,34 97,32 96,29 95,26 94,25
Kep. Bangka Belitung 97,01 97,38 96,41 95,43 94,46 93,50
Bengkulu 97,28 97,26 96,16 95,07 93,97 92,90
Lampung 94,38 94,66 92,53 90,40 88,27 86,24
DKI Jakarta 94,01 98,13 96,13 94,13 92,13 90,22
Jawa Barat 91,40 91,91 90,41 88,90 87,40 85,95
Banten 90,32 92,15 88,21 84,27 80,33 76,73
Jawa Tengah 94,45 95,47 89,62 83,77 77,92 72,81
DI Yogyakarta 86,99 90,41 83,94 77,47 71,00 65,51
Jawa Timur 92,29 92,67 90,39 88,11 85,83 83,66
Bali 96,42 96,35 95,94 95,52 95,11 94,70
Nusa Tenggara Barat 94,34 94,19 94,62 95,05 95,48 95,91
Nusa Tenggara Timur 98,50 99,14 98,73 98,32 97,91 97,50
Kalimantan Barat 96,17 97,88 95,77 93,67 91,56 89,55
Kalimantan Tengah 94,91 96,55 96,15 95,75 95,35 94,96
Kalimantan Selatan 94,36 95,39 93,93 92,46 91,00 89,58
Kalimantan Timur 94,59 96,75 95,77 94,78 93,79 92,82
Sulawesi Utara 96,29 95,85 95,74 95,62 95,51 95,40
Gorontalo 98,35 98,63 97,90 97,17 96,44 95,73
Sulawesi Tengah 98,51 98,52 98,00 97,49 96,97 96,46
Sulawesi Selatan 96,56 96,47 95,68 94,89 94,10 93,32
Sulawesi Barat 99,60 98,51 97,44 96,37 95,30 94,25
Sulawesi Tenggara 98,90 99,06 98,42 97,77 97,12 96,49
Maluku 98,88 98,90 98,78 98,66 98,54 98,42
Maluku Utara 97,95 98,26 97,88 97,51 97,13 96,75
Papua 99,70 99,73 99,56 99,40 99,24 99,07
Papua Barat 99,32 99,34 99,35 99,36 99,37 99,39
Indonesia 95,82 96,58 95,24 93,90 92,57 91,32
141

Lampiran 2.16. Normalisasi Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), 2007-


2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 76,29 74,38 72,47 77,30 66,74 73,60
Sumatera Utara 55,99 59,24 62,48 87,17 72,21 64,52
Sumatera Barat 93,73 90,39 87,04 81,46 77,00 70,22
Riau 48,60 50,12 51,65 54,86 56,23 53,67
Kepulauan Riau 48,60 50,12 51,65 54,86 56,23 68,85
Jambi 81,79 78,41 75,04 62,82 64,92 62,59
Sumatera Selatan 63,83 66,57 69,30 75,70 77,50 57,91
Kep. Bangka Belitung 43,59 47,87 52,15 64,92 64,99 60,43
Bengkulu 68,12 73,85 79,58 96,89 96,77 67,07
Lampung 65,02 69,33 73,64 86,95 86,57 54,29
DKI Jakarta 42,01 41,87 41,73 41,81 41,31 37,78
Jawa Barat 48,88 49,29 49,69 53,44 50,90 49,26
Banten 52,11 51,49 50,86 48,98 48,98 47,86
Jawa Tengah 59,12 57,26 55,40 50,48 49,82 61,78
DI Yogyakarta 43,27 48,40 53,52 71,91 68,89 55,43
Jawa Timur 62,02 60,52 59,01 49,49 54,49 59,63
Bali 85,63 85,57 85,50 99,65 85,30 61,34
Nusa Tenggara Barat 66,62 70,15 73,69 90,15 84,30 67,31
Nusa Tenggara Timur 71,68 69,14 66,61 50,72 59,01 66,45
Kalimantan Barat 70,35 71,14 71,92 76,39 74,27 71,44
Kalimantan Tengah 33,51 39,61 45,70 50,38 63,98 71,24
Kalimantan Selatan 40,22 44,24 48,25 58,24 60,29 58,17
Kalimantan Timur 67,22 67,92 68,63 62,22 70,75 73,01
Sulawesi Utara 90,62 89,42 88,21 84,18 84,59 66,25
Gorontalo 81,09 84,65 88,21 97,93 98,89 74,19
Sulawesi Tengah 48,50 58,50 68,51 97,58 98,53 82,04
Sulawesi Selatan 70,94 69,28 67,62 62,89 62,64 66,34
Sulawesi Barat 67,47 67,54 67,62 62,89 67,85 71,91
Sulawesi Tenggara 65,69 63,11 60,53 62,23 52,79 75,66
Maluku 82,61 80,70 78,80 79,72 73,09 73,13
Maluku Utara 82,61 80,70 78,80 79,72 73,09 78,07
Papua 79,83 77,56 75,30 59,56 68,51 80,72
Papua Barat 79,83 77,56 75,30 59,56 68,51 79,35
Indonesia 59,48 59,64 59,79 61,07 60,25 64,21
142

Lampiran 2.17. Normalisasi Rasio Upah Perempuan dan Laki-laki, 2007-2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 85,78 86,39 87,01 88,22 89,45 90,70
Sumatera Utara 82,82 83,62 84,43 84,18 83,94 83,69
Sumatera Barat 95,34 99,54 96,27 99,71 95,84 92,13
Riau 71,02 72,47 73,92 76,00 78,13 80,33
Kepulauan Riau 82,32 80,20 78,07 77,60 77,13 76,66
Jambi 81,43 80,79 80,16 80,63 81,11 81,59
Sumatera Selatan 75,46 77,02 78,58 81,58 84,69 87,93
Kep. Bangka Belitung 72,52 73,08 73,63 73,45 73,27 73,08
Bengkulu 90,04 86,39 82,75 83,48 84,23 84,98
Lampung 78,21 82,29 86,37 86,76 87,16 87,55
DKI Jakarta 80,00 76,25 72,49 74,05 75,64 77,26
Jawa Barat 78,21 77,06 75,90 78,02 80,20 82,45
Banten 74,34 74,94 75,54 76,70 77,88 79,08
Jawa Tengah 67,35 69,56 71,77 72,28 72,79 73,31
DI Yogyakarta 77,85 75,29 72,73 75,09 77,52 80,03
Jawa Timur 75,86 75,64 75,43 75,13 74,84 74,55
Bali 71,28 70,34 69,40 73,75 78,36 83,27
Nusa Tenggara Barat 68,46 67,25 66,05 67,65 69,29 70,97
Nusa Tenggara Timur 99,66 96,99 93,63 93,34 93,05 92,76
Kalimantan Barat 80,65 79,66 78,67 79,62 80,59 81,57
Kalimantan Tengah 83,91 80,57 77,24 80,39 83,68 87,10
Kalimantan Selatan 71,64 72,47 73,31 75,56 77,88 80,27
Kalimantan Timur 58,75 63,55 68,35 69,44 70,55 71,68
Sulawesi Utara 88,82 94,36 99,89 99,76 99,62 99,49
Gorontalo 87,13 93,84 74,81 79,27 83,99 88,99
Sulawesi Tengah 91,09 86,60 82,11 83,91 85,76 87,64
Sulawesi Selatan 84,27 86,00 87,72 86,36 85,02 83,70
Sulawesi Barat 83,69 87,01 90,33 86,08 82,03 78,18
Sulawesi Tenggara 79,27 76,16 73,05 75,92 78,91 82,01
Maluku 91,68 90,74 89,81 91,08 92,36 93,67
Maluku Utara 77,19 73,56 69,94 75,95 82,48 89,58
Papua 81,39 82,07 82,74 78,98 75,39 71,96
Papua Barat 73,75 80,48 87,22 88,46 89,72 91,00
Indonesia 76,61 76,22 75,84 76,93 78,04 79,17
143

Lampiran 2.18. Normalisasi Rasio Angka Partisipasi Sekolah Perempuan dan


Laki-laki, 2007-2012

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 97,53 99,60 99,30 97,31 99,00 94,92
Sumatera Utara 99,80 98,50 99,38 99,89 97,76 97,43
Sumatera Barat 96,17 97,05 96,60 98,04 93,75 96,16
Riau 97,92 95,68 99,26 98,07 99,69 99,10
Kepulauan Riau 72,69 83,36 95,69 96,78 92,21 97,40
Jambi 97,92 99,96 98,58 99,66 97,56 97,14
Sumatera Selatan 96,61 97,63 97,77 96,53 99,01 97,97
Kep. Bangka Belitung 94,00 94,11 97,81 95,27 96,45 91,91
Bengkulu 98,68 99,76 98,90 99,42 98,27 93,61
Lampung 94,94 95,04 95,94 98,34 97,57 97,98
DKI Jakarta 91,48 90,15 91,31 91,75 92,18 97,12
Jawa Barat 97,88 99,54 97,77 95,38 97,35 99,55
Banten 95,59 94,89 95,09 94,46 95,17 99,01
Jawa Tengah 97,98 97,92 98,17 97,80 95,24 98,19
DI Yogyakarta 95,45 95,87 94,46 95,74 95,64 99,23
Jawa Timur 96,52 95,71 95,37 95,09 94,34 96,51
Bali 92,89 94,66 94,05 94,20 92,87 97,19
Nusa Tenggara Barat 90,73 91,92 91,46 90,95 91,64 93,92
Nusa Tenggara Timur 96,91 97,93 99,33 99,06 98,67 99,81
Kalimantan Barat 99,51 97,88 97,76 98,64 99,84 98,75
Kalimantan Tengah 98,22 98,97 98,50 99,29 95,86 98,62
Kalimantan Selatan 95,09 96,48 99,83 96,31 95,00 98,64
Kalimantan Timur 96,73 96,63 99,46 95,68 97,79 96,65
Sulawesi Utara 94,95 97,94 94,44 94,71 95,97 92,19
Gorontalo 95,57 93,65 97,65 97,14 92,85 91,12
Sulawesi Tengah 98,11 99,97 96,90 97,93 99,07 95,98
Sulawesi Selatan 99,37 99,10 99,03 97,68 98,74 98,47
Sulawesi Barat 98,67 98,28 96,37 96,08 97,41 99,55
Sulawesi Tenggara 99,44 99,43 99,75 99,94 99,95 99,93
Maluku 98,63 99,42 99,91 99,10 97,93 96,09
Maluku Utara 97,20 98,84 97,65 98,34 98,10 98,70
Papua 89,56 90,71 88,85 91,55 94,28 95,94
Papua Barat 92,05 94,23 92,94 92,62 92,72 99,56
Indonesia 97,74 98,00 98,03 97,60 97,44 99,95
144

3. Penghitungan Indeks masing-masing Dimensi Pembangunan

Indeks pembangunan masing-masing dimensi pembangunan merupakan rata-rata


tertimbang dari nilai normalisasi indikator pada masing-masing dimensi.
Penimbang yang dipergunakan mengacu pada Tabel 12 dan Gambar 16.

Lampiran 2.19. Indeks Pembangunan Ekonomi, 2007-2009

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 43,36 43,92 41,95 45,22 49,63 53,32
Sumatera Utara 36,77 43,11 47,47 55,02 62,91 69,97
Sumatera Barat 32,30 38,18 41,03 46,31 52,47 58,03
Riau 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Kepulauan Riau 94,38 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Jambi 27,76 35,26 37,15 44,68 51,95 58,57
Sumatera Selatan 39,78 47,92 48,46 54,94 63,11 70,58
Kep. Bangka Belitung 41,01 47,97 50,11 56,70 63,23 69,62
Bengkulu 18,77 21,71 23,73 26,79 30,66 34,69
Lampung 19,93 24,28 29,53 36,09 42,76 48,19
DKI Jakarta 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Jawa Barat 32,54 38,83 41,78 46,08 51,02 55,42
Banten 31,46 35,08 37,46 41,23 45,41 49,26
Jawa Tengah 23,90 28,35 30,91 34,82 39,34 44,16
DI Yogyakarta 24,06 27,88 30,26 33,23 37,89 41,66
Jawa Timur 37,28 43,09 47,65 53,91 61,46 69,63
Bali 30,14 35,15 40,42 44,30 48,27 54,02
Nusa Tenggara Barat 18,31 19,11 24,24 27,31 26,64 26,79
Nusa Tenggara Timur 9,09 10,35 11,61 13,38 15,13 17,08
Kalimantan Barat 25,04 28,24 31,25 34,80 38,60 43,31
Kalimantan Tengah 33,59 39,02 43,89 49,69 56,93 64,22
Kalimantan Selatan 28,72 33,04 36,71 42,19 47,75 52,53
Kalimantan Timur 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sulawesi Utara 27,33 32,55 37,45 41,44 47,11 52,93
Gorontalo 10,59 13,40 16,19 18,34 20,81 23,41
Sulawesi Tengah 22,72 28,09 31,50 35,83 42,44 48,45
Sulawesi Selatan 21,62 26,78 31,59 37,24 43,58 50,52
Sulawesi Barat 13,02 17,79 19,96 23,06 26,89 29,62
Sulawesi Tenggara 20,58 25,45 29,24 31,87 35,84 40,45
Maluku 8,25 9,00 10,16 11,59 13,91 16,66
Maluku Utara 6,17 7,87 9,87 11,38 12,79 14,66
Papua 59,51 63,03 75,22 81,40 67,30 64,94
Papua Barat 38,69 51,09 64,71 93,42 100,00 100,00
Indonesia 44,76 55,72 62,61 71,23 81,54 89,63

Indeks Pembangunan Ekonomi =( Normalisasi PDRBC x 1)


= Normalisasi PDRBC
145

Lampiran 2.20. Indeks Pembangunan Sosial, 2007-2009

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 67,04 67,63 68,16 68,67 69,26 69,79
Sumatera Utara 68,21 68,93 69,43 70,03 71,09 71,79
Sumatera Barat 65,24 66,22 67,00 67,65 68,41 68,80
Riau 73,55 75,09 74,32 74,36 75,12 75,28
Kepulauan Riau 73,11 72,45 71,24 71,70 73,94 76,42
Jambi 71,74 72,89 72,62 73,13 74,06 74,80
Sumatera Selatan 71,51 71,75 73,21 73,60 74,06 74,45
Kep. Bangka Belitung 74,57 76,15 75,65 75,85 76,55 75,92
Bengkulu 71,39 72,80 73,65 74,15 74,16 74,22
Lampung 70,19 70,77 72,25 72,89 73,38 73,89
DKI Jakarta 86,58 87,62 87,73 88,07 88,67 88,18
Jawa Barat 74,68 75,50 76,23 76,46 77,37 77,74
Banten 72,79 73,26 73,98 74,53 76,17 75,91
Jawa Tengah 74,79 75,40 76,01 76,26 76,33 76,31
DI Yogyakarta 84,15 84,65 84,59 84,99 85,22 85,54
Jawa Timur 77,98 78,58 78,66 79,04 79,07 79,15
Bali 80,12 81,30 81,44 81,53 82,36 82,34
Nusa Tenggara Barat 64,60 66,00 66,18 66,76 67,22 67,89
Nusa Tenggara Timur 58,87 59,73 61,29 62,08 62,64 63,11
Kalimantan Barat 67,53 68,10 68,76 69,31 69,67 70,85
Kalimantan Tengah 71,52 72,50 72,53 72,83 73,78 74,67
Kalimantan Selatan 71,35 71,86 72,79 73,43 73,65 73,23
Kalimantan Timur 76,34 77,17 78,41 78,86 79,33 80,34
Sulawesi Utara 78,95 79,58 81,26 81,67 82,06 81,33
Gorontalo 70,57 71,46 72,58 73,38 73,79 73,88
Sulawesi Tengah 68,38 68,87 69,93 70,57 71,32 72,05
Sulawesi Selatan 69,94 70,26 71,00 71,50 71,74 72,03
Sulawesi Barat 67,14 68,25 69,75 70,25 70,99 70,62
Sulawesi Tenggara 62,82 64,13 64,28 64,82 65,72 66,79
Maluku 62,38 62,70 64,52 65,44 65,74 66,31
Maluku Utara 64,20 63,81 65,82 66,78 68,19 68,18
Papua 67,76 68,41 69,70 70,25 72,31 73,50
Papua Barat 66,73 67,82 71,77 72,20 73,76 73,33
Indonesia 73,95 74,47 75,09 75,57 75,80 76,23

Indeks Pembangunan Sosial = ( Normalisasi E0 x 0,23)


+ (Normalisasi BROBAT x 0,21)
+ ( Normalisasi DEPR x 0,28)
+ ( Normalisasi TFR x 0,28)
146

Lampiran 2.21. Indeks Pembangunan Lingkungan, 2007-2009

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 87,77 87,05 86,04 88,07 83,17 86,11
Sumatera Utara 77,76 79,90 80,68 91,11 83,69 79,56
Sumatera Barat 95,22 93,95 91,47 87,99 85,02 81,04
Riau 71,74 75,02 74,39 74,52 73,82 71,43
Kepulauan Riau 74,76 75,19 75,63 76,82 77,19 82,62
Jambi 90,04 88,64 86,64 80,66 81,13 79,61
Sumatera Selatan 82,54 84,04 84,71 87,02 87,27 77,90
Kep. Bangka Belitung 72,97 75,10 76,49 81,70 81,20 78,62
Bengkulu 84,16 86,73 88,70 95,89 95,23 81,27
Lampung 81,17 83,26 84,03 88,85 87,51 71,86
DKI Jakarta 70,61 72,81 71,65 70,59 69,26 66,62
Jawa Barat 72,27 72,73 72,08 72,94 70,98 69,44
Banten 73,12 73,85 71,40 68,39 66,22 63,74
Jawa Tengah 78,55 78,28 74,22 68,79 65,27 67,85
DI Yogyakarta 67,32 71,50 70,25 74,97 70,05 60,97
Jawa Timur 78,67 78,20 76,27 70,73 71,73 72,85
Bali 91,57 91,50 91,24 97,38 90,70 79,69
Nusa Tenggara Barat 81,87 83,38 85,20 92,85 90,45 83,04
Nusa Tenggara Timur 86,43 85,64 84,28 76,90 80,40 83,53
Kalimantan Barat 84,55 85,84 85,04 85,89 83,78 81,40
Kalimantan Tengah 67,28 70,92 73,45 75,33 81,24 84,29
Kalimantan Selatan 70,00 72,37 73,37 77,06 77,18 75,45
Kalimantan Timur 82,27 83,78 83,55 80,13 83,42 83,90
Sulawesi Utara 93,74 92,96 92,35 90,47 90,60 82,28
Gorontalo 90,58 92,34 93,54 97,51 97,54 86,04
Sulawesi Tengah 76,00 80,51 84,73 97,53 97,67 89,97
Sulawesi Selatan 85,03 84,23 83,05 80,49 79,94 81,18
Sulawesi Barat 85,14 84,57 84,02 81,30 82,95 84,20
Sulawesi Tenggara 83,96 82,88 81,37 81,78 77,17 87,11
Maluku 91,56 90,71 89,79 90,13 87,08 87,04
Maluku Utara 91,04 90,36 89,30 89,50 86,31 88,35
Papua 90,76 89,75 88,65 81,47 85,41 90,81
Papua Barat 90,55 89,54 88,53 81,45 85,49 90,37
Indonesia 79,47 79,96 79,29 79,13 78,02 79,12

Indeks Pembangunan Lingkungan = ( Normalisasi UDARA x 0,55)


+ (Normalisasi IKLH x 0,45)
147

Lampiran 2.22. Indeks Pembangunan Kelembagaan, 2007-2009

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 90,13 91,28 91,56 91,59 92,98 92,26
Sumatera Utara 89,10 89,13 89,96 89,99 89,05 88,77
Sumatera Barat 95,65 98,62 96,39 99,09 95,07 93,62
Riau 80,97 81,06 83,30 84,16 86,11 87,27
Kepulauan Riau 78,75 81,37 84,59 84,70 82,71 84,34
Jambi 87,53 87,89 86,97 87,67 87,20 87,35
Sumatera Selatan 83,28 84,64 85,68 87,11 89,99 91,64
Kep. Bangka Belitung 80,47 80,86 82,58 81,52 81,84 80,05
Bengkulu 93,24 91,34 88,73 89,38 89,42 88,17
Lampung 84,40 87,01 89,91 91,04 91,01 91,41
DKI Jakarta 84,25 81,39 79,45 80,60 81,76 84,61
Jawa Barat 85,49 85,37 83,99 84,44 86,55 88,78
Banten 82,20 82,32 82,77 83,27 84,28 86,45
Jawa Tengah 78,69 80,05 81,54 81,72 81,10 82,51
DI Yogyakarta 84,36 82,91 80,77 82,73 84,22 87,13
Jawa Timur 83,51 83,07 82,80 82,52 82,06 82,68
Bali 79,28 79,34 78,52 81,31 83,73 88,42
Nusa Tenggara Barat 76,70 76,38 75,45 76,27 77,56 79,46
Nusa Tenggara Timur 98,64 97,34 95,74 95,46 95,13 95,37
Kalimantan Barat 87,63 86,40 85,73 86,66 87,71 87,93
Kalimantan Tengah 89,21 87,38 85,10 87,39 88,19 91,36
Kalimantan Selatan 80,32 81,36 83,12 83,24 84,21 87,07
Kalimantan Timur 72,80 75,79 79,86 79,15 80,63 80,92
Sulawesi Utara 91,09 95,68 97,88 97,89 98,27 96,79
Gorontalo 90,25 93,77 83,26 85,88 87,27 89,78
Sulawesi Tengah 93,68 91,54 87,58 89,10 90,68 90,73
Sulawesi Selatan 89,86 90,84 91,90 90,55 90,10 89,16
Sulawesi Barat 89,23 91,18 92,57 89,78 87,72 86,08
Sulawesi Tenggara 86,73 84,77 82,93 84,81 86,70 88,64
Maluku 94,25 93,95 93,55 94,05 94,42 94,57
Maluku Utara 84,59 82,92 80,19 84,24 88,26 92,95
Papua 84,41 85,27 85,00 83,63 82,38 80,83
Papua Barat 80,52 85,57 89,33 90,00 90,83 94,16
Indonesia 84,43 84,28 84,05 84,58 85,22 86,86

Indeks Pembangunan Kelembagaan = ( Normalisasi RUPAH x 0,63)


+ (Normalisasi RAPS x 0,37)
148

4. Penghitungan Indeks Pembangunan Berkelanjutan

Lampiran 2.23. Indeks Pembangunan Berkelanjutan, 2007-2009

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012


NAD 74,37 74,75 74,33 75,64 75,69 77,13
Sumatera Utara 70,46 72,44 73,84 78,26 77,79 78,13
Sumatera Barat 75,28 77,13 76,61 77,58 77,06 76,76
Riau 80,09 81,41 81,64 81,92 82,46 82,17
Kepulauan Riau 79,12 80,83 81,50 81,97 82,13 84,71
Jambi 72,59 74,04 73,54 73,69 75,32 76,40
Sumatera Selatan 71,64 74,02 74,98 77,33 79,85 79,29
Kep. Bangka Belitung 69,35 71,78 72,90 75,32 76,70 76,57
Bengkulu 70,74 71,86 72,30 75,13 75,71 72,38
Lampung 67,44 69,69 72,08 75,11 76,14 73,19
DKI Jakarta 84,19 84,29 83,49 83,60 83,72 83,64
Jawa Barat 68,94 70,45 70,66 71,90 73,11 74,24
Banten 67,57 68,61 68,72 68,91 69,83 70,41
Jawa Tengah 67,19 68,49 68,45 67,84 67,60 69,59
DI Yogyakarta 68,25 69,84 69,37 71,84 71,86 71,00
Jawa Timur 71,93 72,95 73,24 72,96 74,55 76,59
Bali 73,49 74,76 75,50 78,68 78,50 77,89
Nusa Tenggara Barat 63,73 64,58 65,85 68,88 68,57 67,30
Nusa Tenggara Timur 67,59 67,50 67,36 65,84 67,18 68,59
Kalimantan Barat 69,48 70,26 70,61 71,92 72,45 73,08
Kalimantan Tengah 67,94 69,73 70,73 73,04 76,48 79,79
Kalimantan Selatan 65,31 67,19 68,88 71,12 72,53 73,63
Kalimantan Timur 81,48 82,92 84,29 83,30 84,71 85,19
Sulawesi Utara 76,41 78,60 80,42 80,78 82,10 80,36
Gorontalo 69,89 72,09 70,41 72,81 73,78 71,87
Sulawesi Tengah 68,60 70,39 71,39 76,25 78,17 77,45
Sulawesi Selatan 70,21 71,33 72,41 72,56 73,56 75,04
Sulawesi Barat 67,68 69,26 70,30 69,54 70,36 70,67
Sulawesi Tenggara 66,96 67,42 67,27 68,54 68,80 73,17
Maluku 68,58 68,50 68,85 69,60 69,40 70,10
Maluku Utara 65,93 65,51 65,41 67,10 67,98 70,15
Papua 76,90 77,70 79,99 79,01 77,61 78,53
Papua Barat 71,56 75,30 79,70 83,54 86,52 88,62
Indonesia 72,72 75,04 76,27 78,14 80,03 82,42

Indeks Pembangunan Berkelanjutan = ( Indeks Pemb. Ekonomi x 0,19)


+ (Indeks Pemb. Sosial x 0,27)
+ (Indeks Pemb. Lingkungan x 0,27)
+ (Indeks Pemb. Kelembagaan x 0,27)
149

Lampiran 3. Output LISREL : Analisis Jalur Pengaruh Modal Sosial


terhadap Pembangunan Berkelanjutan

HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Number of Iterations = 9

LISREL Estimates (Maximum Likelihood)

Structural Equations

E = 0.35*K_Y + 0.41*H_L, Errorvar.= 0.64 , R² = 0.36


(0.15) (0.15) (0.17)
2.32 2.72 3.81

S = 0.56*E + 0.19*H_L + 0.35*SC, Errorvar.= 0.55 , R² = 0.50


(0.16) (0.16) (0.14) (0.15)
3.54 1.23 2.56 3.81

L = 0.22*E - 0.67*S + 0.12*K, Errorvar.= 0.61 , R² = 0.41


(0.18) (0.18) (0.16) (0.16)
1.22 -3.81 0.74 3.81

K = - 0.080*E - 0.57*S + 0.48*H_L + 0.39*SC, Errorvar.= 0.58 , R² = 0.40


(0.20) (0.19) (0.17) (0.16) (0.15)
-0.41 -3.01 2.86 2.51 3.81

IPB = 0.90*E + 0.28*S + 0.40*L + 0.24*K , Errorvar.= 0.00048 , R² = 1.00


(0.0052) (0.0061) (0.0052) (0.0044) (0.00012)
172.25 46.67 77.79 53.13 3.81

Reduced Form Equations

E = 0.35*K_Y + 0.41*H_L + 0.0*SC, Errorvar.= 0.64, R² = 0.36


(0.15) (0.15)
2.32 2.72

S = 0.20*K_Y + 0.43*H_L + 0.35*SC, Errorvar.= 0.76, R² = 0.32


(0.10) (0.16) (0.14)
1.94 2.63 2.56

L = - 0.072*K_Y - 0.17*H_L - 0.22*SC, Errorvar.= 0.94, R² = 0.079


(0.074) (0.14) (0.13)
-0.98 -1.26 -1.68

K = - 0.14*K_Y + 0.20*H_L + 0.19*SC, Errorvar.= 0.86, R² = 0.098


(0.090) (0.17) (0.16)
-1.58 1.14 1.18

IPB = 0.31*K_Y + 0.47*H_L + 0.058*SC, Errorvar.= 0.65, R² = 0.37


(0.14) (0.15) (0.055)
2.27 3.23 1.06

Correlation Matrix of Independent Variables

K_Y H_L SC
-------- -------- --------
K_Y 1.00
(0.26)
3.81

H_L 0.23 1.00


(0.19) (0.26)
1.18 3.81

SC -0.21 -0.01 1.00


(0.19) (0.19) (0.26)
-1.12 -0.04 3.81
150

Covariance Matrix of Latent Variables

E S L K IPB K_Y
-------- -------- -------- -------- -------- --------
E 1.00
S 0.63 1.11
L -0.23 -0.65 1.02
K -0.24 -0.34 0.29 0.96
IPB 0.93 0.54 0.09 0.03 1.03
K_Y 0.45 0.22 -0.07 -0.14 0.40 1.00
H_L 0.49 0.47 -0.19 0.16 0.54 0.23
SC -0.08 0.31 -0.20 0.22 -0.01 -0.21

Covariance Matrix of Latent Variables

H_L SC
-------- --------
H_L 1.00
SC -0.01 1.00

Goodness of Fit Statistics

Degrees of Freedom = 9
Minimum Fit Function Chi-Square = 6.26 (P = 0.71)
Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 5.93 (P = 0.75)
Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 0.0
90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 5.86)

Minimum Fit Function Value = 0.20


Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.0
90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.20)
Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.15)
P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.79

Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 2.17


90 Percent Confidence Interval for ECVI = (2.17 ; 2.37)
ECVI for Saturated Model = 2.48
ECVI for Independence Model = 4.70

Chi-Square for Independence Model with 28 Degrees of Freedom = 120.23


Independence AIC = 136.23
Model AIC = 59.93
Saturated AIC = 72.00
Independence CAIC = 156.21
Model CAIC = 127.34
Saturated CAIC = 161.87

Normed Fit Index (NFI) = 0.95


Non-Normed Fit Index (NNFI) = 1.09
Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.30
Comparative Fit Index (CFI) = 1.00
Incremental Fit Index (IFI) = 1.02
Relative Fit Index (RFI) = 0.84

Critical N (CN) = 111.77

Root Mean Square Residual (RMR) = 0.084


Standardized RMR = 0.083
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.96
Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.82
Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.24
151
Standardized Solution

BETA

E S L K IPB
-------- -------- -------- -------- --------
E - - - - - - - - - -
S 0.54 - - - - - - - -
L 0.22 -0.70 - - 0.11 - -
K -0.08 -0.62 - - - - - -
IPB 0.88 0.29 0.40 0.23 - -

GAMMA

K_Y H_L SC
-------- -------- --------
E 0.35 0.41 - -
S - - 0.18 0.34
L - - - - - -
K - - 0.49 0.40
IPB - - - - - -

Correlation Matrix of Y and X

E S L K IPB K_Y
-------- -------- -------- -------- -------- --------
E 1.00
S 0.60 1.00
L -0.23 -0.61 1.00
K -0.24 -0.33 0.29 1.00
IPB 0.91 0.51 0.09 0.03 1.00
K_Y 0.45 0.21 -0.06 -0.14 0.40 1.00
H_L 0.49 0.45 -0.19 0.17 0.53 0.23
SC -0.08 0.29 -0.20 0.22 -0.01 -0.21

Correlation Matrix of Y and X

H_L SC
-------- --------
H_L 1.00
SC -0.01 1.00

PSI
Note: This matrix is diagonal.

E S L K IPB
-------- -------- -------- -------- --------
0.64 0.50 0.59 0.60 0.00

Regression Matrix Y on X (Standardized)

K_Y H_L SC
-------- -------- --------
E 0.35 0.41 - -
S 0.19 0.41 0.34
L -0.07 -0.17 -0.21
K -0.15 0.20 0.20
IPB 0.31 0.46 0.06

Total and Indirect Effects

Total Effects of X on Y

K_Y H_L SC
-------- -------- --------
E 0.35 0.41 - -
(0.15) (0.15)
2.32 2.72

S 0.20 0.43 0.35


(0.10) (0.16) (0.14)
1.94 2.63 2.56
152

L -0.07 -0.17 -0.22


(0.07) (0.14) (0.13)
-0.98 -1.26 -1.68

K -0.14 0.20 0.19


(0.09) (0.17) (0.16)
-1.58 1.14 1.18

IPB 0.31 0.47 0.06


(0.14) (0.15) (0.05)
2.27 3.23 1.06

Indirect Effects of X on Y

K_Y H_L SC
-------- -------- --------
E - - - - - -

S 0.20 0.23 - -
(0.10) (0.11)
1.94 2.16

L -0.07 -0.17 -0.22


(0.07) (0.14) (0.13)
-0.98 -1.26 -1.68

K -0.14 -0.28 -0.20


(0.09) (0.13) (0.10)
-1.58 -2.20 -1.95

IPB 0.31 0.47 0.06


(0.14) (0.15) (0.05)
2.27 3.23 1.06

Standardized Total and Indirect Effects

Standardized Total Effects of X on Y

K_Y H_L SC
-------- -------- --------
E 0.35 0.41 - -
S 0.19 0.41 0.34
L -0.07 -0.17 -0.21
K -0.15 0.20 0.20
IPB 0.31 0.46 0.06

Standardized Indirect Effects of X on Y

K_Y H_L SC
-------- -------- --------
E - - - - - -
S 0.19 0.22 - -
L -0.07 -0.17 -0.21
K -0.15 -0.28 -0.21
IPB 0.31 0.46 0.06
153

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purwajaya (Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera


Barat) pada tanggal 11 Oktober 1974, sebagai anak sulung dari pasangan Toto
Asmito dan Sumaryeti. Pendidikan di perguruan tinggi dimulai dari Akademi Ilmu
Statistik (AIS) Jakarta yang lulus pada tahun 1996. Setamat dari AIS, penulis
langsung melanjutkan pendidikan S.1 di Universitas Terbuka program studi
statistika terapan dan menyelesaikannya pada tahun 2000. Pada tahun 2004,
penulis melanjutkan pendidikan S.2 di Universitas Andalas jurusan Perencanaan
Pembangunan. Pendidikan S.2 yang didanai oleh Bappenas tersebut diselesaikan
pada tahun 2005. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program doktor
di Institut Pertanian Bogor program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan diperoleh pada tahun 2009. Beasiswa pendidikan
pascasarjana diperoleh dari Badan Pusat Statistik.
Sebagai mahasiswa ikatan dinas, setelah menamatkan pendidikan pada
Akademi Ilmu Statistik, penulis langsung aktif sebagai staf di Direktorat Analisis
dan Pengembangan Statistik, Badan Pusat Statistik. Pada tahun 2006, penulis
dipindahtugaskan ke Badan Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera
Barat. Tugas terakhir penulis sebelum mendapatkan amanah tugas belajar adalah
sebagai Kepala Seksi Neraca dan Analisis Statistik BPS Kabupaten Lima Puluh
Kota.

Anda mungkin juga menyukai