Anda di halaman 1dari 2

https://www.iribb.

org/artikel/56-epigenetik-dan-kemampuan-tanaman-untuk-mengingat

Epigenetik dan kemampuan tanaman untuk “mengingat“

Hingga saat ini epigenetik masih menjadi salah satu cabang ilmu yang telah merevolusi pandangan
kalangan ilmuwan tentang biologi molekuler. Epigenetik memberikan “kemampuan mengingat” dimana
kemampuan tersebut berperan sangat penting dalam keberlangsungan hidup sebuah tanaman.
Dicontohkan oleh penelitian terkait vernalisasi pada tanaman musim dingin hingga mekanisme RNA
silencing, kemampuan mengingat tersebut memiliki potensi untuk digali pada tanaman perkebunan,
khususnya kelapa sawit.

Sejak mulai booming pada tahun 2001, epigenetik telah merevolusi pandangan kalangan
ilmuwan terhadap dogma biologi molekuler. Cabang ilmu tersebut telah memberikan
pemahaman tentang bagaimana lingkungan dapat berpengaruh terhadap perubahan ekspresi gen
dan bagaimana sel merespon sehingga timbul fenotip yang berbeda dari semestinya. Sesuai
dengan namanya, epigenetik yang berarti “disamping genetika”, membuktikan pada kalangan
peneliti bahwa perubahan fenotip tidak harus berasal dari perubahan sekuen DNA [1].

Tanaman memantau siklus harian dan musiman untuk menyelaraskan metabolisme, pertumbuhan
dan perkembangan terhadap perubahan kondisi lingkungan. Mekanisme ini disebut sebagai
plastisitas tanaman dimana hal tersebut memerlukan persepsi dan integrasi sinyal eksternal,
perubahan ekspresi gen dalam menanggapi sinyal tersebut, dan pemeliharaan respon tersebut
hingga keadaan berubah kembali [2]. Menurut definisi, mekanisme epigenetik memungkinkan
perubahan keadaan (status) bahkan tanpa adanya stimulus hingga memunculkan istilah “ingatan
molekuler” pada kalangan ilmuwan. Ingatan molekuler tersebutlah yang mendasari fase untuk
mempertahankan respon terhadap perubahan lingkungan [3].

Dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir, kalangan ilmuwan dunia mencatat dua mekanisme
penting yang memberikan indikasi bahwa tanaman memiliki kemampuan untuk mengingat.
Mekanisme pertama adalah proses vernalisasi (dalam bahasa Inggris : vernalization) dimana
tanaman sanggup berbunga setelah terpapar oleh cekaman udara dingin atau kondisi lingkungan
sejenis yang mengarah pada kondisi beku [4]. Di Eropa, vernalisasi dapat diamati ketika musim
semi masih diikuti dengan gelombang udara dingin berkepanjangan setelah musim dingin.
Mekanisme vernalisasi tersebut diatur secara epigenetik melalui kontrol sebuah gen kunci
bernama Flowering Locus C (FLC) yang berfungsi sebagai regulator negatif dari pembungaan
[5].

Kondisi dingin pada suhu yang tepat (sekitar 0-10°C) menghambat ekspresi gen FLC sehingga
pembungaan dapat terjadi. Represi gen FLC tersebut “diingat” dan dipertahankan oleh tanaman
meskipun vernalisasi sudah dilewati. Uniknya, gen tersebut di-off-kan secara menyeluruh pada
tingkat tanaman melalui mekanisme chromatin remodelling [6]. Ingatan tentang kondisi off gen
tersebut bahkan dibawa hingga tingkat kultur jaringan. Kultur sel dari tanaman yang mengalami
vernalisasi dapat ditumbuhkan menjadi tanaman dewasa dan dapat berbunga tanpa harus
melewati proses vernalisasi [7]. Pada generasi berikutnya, untuk mereset kembali proses
vernalisasi, represi gen FLC dihilangkan selama proses embriogenesis dengan mekanisme yang
melibatkan sistem metilase H3K27 [8].

Mekanisme kedua dapat digambarkan dari proses RNA silencing ketika tanaman terserang virus.
RNA silencing merupakan topik hangat penelitian sejak tahun 2001. Secara umum, mekanisme
yang digambarkan adalah pembentukan kompleks protein RISC yang terdiri dari protein
Argonauts (AGO), Dicer-like (DCL) dan situs pengenalan siRNAs yang akan mengenali RNA
virus yang masuk dalam sel tanaman dan memotongnya sehingga menjadi tidak aktif [9]. Proses
silencing tersebut saat ini diketahui tidak hanya terjadi saat serangan virus. Bahkan, saat tidak
terserang virus, tanaman “mengingat” mekanisme tersebut dan menggunakannya untuk gene
silencing di saat di butuhkan (dalam kondisi cekaman lingkungan atau stimulus eksternal lain).
Proses tersebut melibatkan apa yang dinamakan miRNAs [2,10].

Kedua contoh ilustrasi sistem pengingat tanaman tersebut terjadi tanpa adanya perubahan sekuen
DNA sehingga memperlihatkan dengan jelas mekanisme epigenetik. Pada tanaman perkebunan,
mekanisme tersebut dapat dikaitkan dengan variasi somaklonal hingga pembentukan buah
mantel (mantled fruit) pada kelapa sawit yang menjadi tren riset sejak beberapa tahun silam [11].
Hingga saat ini, proses pembentukan buah mantel melalui epigenetik belum secara menyeluruh
diketahui meskipun beberapa ilmuwan mencoba untuk melakukan analisis menggunakan RNA
sequencing dari buah normal dan mantel [12]. Pada proliferasi tanaman secara in vitro, frekuensi
hipermetilasi yang meningkat pada tingkat genom dipercaya sebagai salah satu sebab variasi
somaklonal [13].

Sudah sejak lama diperdebatkan bahwa pemunculan dari sifat variatif pada kelapa sawit tersebut
sukar untuk diprediksi baik pada tingkat awal yaitu proliferasi secara in vitro hingga saat
tanaman sudah dewasa. Sebuah gen bernama EgDEF1 disinyalir menjadi kunci dari
pembentukan buah mantel dimana ekspresinya ternyata diketahui dikontrol oleh metilasi
retrotransposon yang mengapit gen tesebut. Tidak hanya itu, komposisi dari jumlah transkrip
panjang dan pendek dari gen EgDEF1 yang disebabkan oleh mekanisme alternative splicing juga
menentukan fenotip normal atau mantel dari buah sawit [14]. Jika merujuk kembali kepada
sistem vernalisasi dari gen FLC, penelitian terkait EgDEF1 nampaknya masih jauh dari usai.
Adakah kemungkinan regulasi gen EgDEF1 dan faktor molekuler lain mengikuti paten ingatan
molekuler seperti gen pada sistem vernalisasi? Jawaban dari pertanyaan tersebut sungguh sangat
dinanti dan wajib untuk ditemukan oleh kalangan peneliti terkait di seluruh dunia.

Anda mungkin juga menyukai