Anda di halaman 1dari 17

A.

Topik
Variasi Dalam Populasi Tumbuhan Sawo Kecik (Manilkara kauki)
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui adanya variasi tumbuhan dalam populasi
2. Untuk mengetahui faktor terjadinya variasi dalam populasi
C. Dasar teori
Konsep populasi merupakan prinsip dari taksonomi modern, meskipun
dinyatakan dalam banyak cara, bahwa spesies dan taksa terendah harus dirumuskan di
sekitar populasi natural Meskipun satu spesies awalnya digambarkan dari satu atau
beberapa specimen, hal ini disadari bahwa specimen tersebut hanya muncul dalam
persentase yang kecil dari tanaman tersebut yang menunjang karakteristik yang sama
atau serupa dalam satu ladang. Dobzhansky (1950) menyatakan bahwa cara klasik
untuk mempelajari spesies, atau bagiannya, adalah untuk menentukan cara atau ratarata untuk banyak cirri yang mungkin, pada banyak sampel yang dapat diwakilkan.
Sistem yang dihasilkan diambil untuk menjadi sifat umum dari spesies atau
keseluruhan. Satu-satunya pemeriksaan terhadap keabsahan deskripsi spesies baru
dalam jangka aspek tata nama yang ditetapkan oleh International Code of Botanical
Nomenclature (Kode Internasional Tata Nama Botani).
Causes of Variation In Population
Dasar dari variasi antara anggota individu dari populasi adalah (a) modifikasi
lingkungan eksternal, (b) mutasi, (c) rekombinasi genetic. Pola dari variasi sebagian
besar ditentukan oleh sistem reproduksi (breeding), dan digunakan dalam proses
adaptasi evolusioner oleh seleksi alam Fenotipe dalam hal hubungannya dengan
pengaruh atau respon dari faktor lingkungan yaitu dapat dilihat pada tabel dibawah ini
dan terlihat bahwa ada perbedaan dari tiap individu dalam suatu populasi.:
Number of Individuals

Length of Sepals (mm.)

7-8

8-9

9-10

24

10-11

28

11-12

12-13

13-14

14-15

Genetic Variation
1. Gene Mutation. Mayr (1942) mendefinisikan mutasi sebagai "perubahan kromosom
terputus akibat efek genetik". gen mutasi terutama mengubah proses perkembangan,
dan dengan demikian memiliki efek tertentu pada fenotipe individual. Biasanya
efeknya merugikan. Hanya sedikit sekali mutasi yang menguntungkan. Nilai adaptif
mutasi sepenuhnya tergantung pada kondisi lingkungan.
2. Gene and Character. Efek dari mutasi genetik pada

suatu organisme dapat

menimbulkan masalah variasi pada taksonomi. Menurut Mather (1953), mutasi


merupakan proses degradasi yang dapat menghapuskan kapasitas individu untuk
menampilkan beberapa karakter dengan kemampuan/karakter baru.
3. Polimorphism. Umumnya variasi dalam populasi disebut polimorfisme. Dalam
polimorfisme gen suatu individu memungkinkan berbagai macam bentuk, dan
lingkungan menentukan bentuk mana yang akan ditunjukkan.
4. Pleiotropic gene action. Banyak mutasi, mungkin sebagian besar dapat mempengaruhi
beberapa karakteristik fenotip saat dewasa. Fenomena ini dikenal sebagai pleiotropy
dan merupakan hasil proses perkembangan yang menghubungkan gen yang
mempengaruhi sifat atau karakter saat dewasa. Gen pleiotropik mungkin hanya
diproduksi secara berbeda tetapi memberi efek pada organ yang berbeda pula. Efek
pleiotropic mungkin memiliki pengaruh yang besar terhadap nilai selektif mutasi.
Recombination And The Reproductive Sistem
Rekombinasi gen sama pentingnya dengan mutasi dalam memproduksi variasi
adaptif pada tanaman tingkat tinggi. Rekombinasi keragaman gen ditentukan oleh
breeding sistem. Seluruh rangkaian mekanisme mendorong fertilisasi silang dan
sistem genetik dalam ketidakcocokan telah berevolusi; hal ini memiliki keuntungan
selektif dalam mendorong rekombinasi gen. Hal itu memungkinkan bahwa genotipe
akan timbul sesuai dengan lingkungan baru. secara umum setiap populasi memiliki

keseimbangan tetapi ketetapan evolusi yang berasal dari perkawinan sedarah atau
apomixis dapat mempengaruhi keadaan populasi
Apomixis
Pada beberapa kelompok tanaman reproduksi seksual tidak terjadi atau termasuk hal
yang tidak penting.
1. Reproduksi vegetatif, ini seperti golongan umbi, rimpang, stolon dalam artian bagian
aksesori reproduksi mengabil alih fungsi reproduksi secara keseluruhan.
2. Agamospermi, memiliki dua tipe yaitu embrio yang berkembang dari suatu sel
gametofit betina yang tidak mengalami meosis, dan berasal langsung dari sel-sel
somatik yang menyusun bakal biji seperti nuselus dan integumen. Embrio yang
berasal dari sel somatik (2n) disebut embrio adventif.
Amphimixis
Kadar heterozigot tergantung pada luasnya frekuensi relatif dari fertilisasi
sendiri atau fertilisasi silang. Hasil dari endogami meningkatkan keheterozigotan, dan
mengakibatkan berlanjutnya endogami yang meningkatkan homozigot. Exogami
meningkatkan heterozigot, exogami mengimplikasikan gen yang tidak stabil
sedangkan endogami mengiplikasikan gen yang stabil.
1. Kleistogami, merupakan penyerbukan sendiri (autogami) yang terjadi pada bunga
yang sedang tertutup.
2. Poligami, merupakan penyerbukan silang dengan 2 atau lebih putik pada bunga yang
berbeda. Cara ini terjadi pada tumbuhan berumah satu (monoecism) dan berumah dua
(dioecism) yang memiliki bunga jantan dan bunga betina.
3. Dikogami, terjadi ketika stigma dan anter peda satu bunga mengalami pendewasaan
pada waktu yang berbeda. (1) Protandri: terjadi pada saat poen telah dikeluarkan
sebelum stigma reseptif, (2) protogini: terjadi pada saat stigma reseptif sebelum pollen
dieluarkan. Contoh: Zea mays.
4. Geitonogami, adalah penyerbukan yang terjadi pada bunga yang berbeda, tetapi masih
berada pada satu individu. Contoh: pada Eupotarium cannabinum (Compositae).

Evolutionary Significance of The Breeding System


Seperti yang dikatakan sebelumnya Darwin percaya bahwa tumbuhan harus
mengalami polinasi silang. Pada saat ini kita dapat memahami pentingnya evolusi

breeding sistem lebih baik kita mengingat bahwa outbreeding sistem ini memiliki
hasil yang beragam pada rekombinasi gen yang memainkan peran besar sebagai
mutasi untuk menyediakan variasi pada kerja seleksi alam. Rekombinasi gen ini
memimpin kombinasi karakter baru dimana seleksi alami mungkin menjalankan
produksi organisme dengan adaptasi dan struktur yang lebih baik. Apomiksis mungkin
adalah sebuah keuntungan di kutub utara, dimana musimnya sangat pendek untuk
bunga dan buah mengalami perkembangan kematangan. Dibawah keadaan seperti ini
inbreeding merupakan kentungan, apomiksis memberikan produksi biji yang lebih
baik dan aman, namun sebaliknya tanaman akan kehilangan variasi genetik sebagai
hasil dari pembatasan atau eliminasi rekombinasi. Pada saat outbreeding variasi
populasi sebagian diselenggarakan di bagian tertutup sebagai penyimpan gen yang
diterima saatkeadaan heterozigot. Sebagian besar variasi ini tidak dapat menyesuaikan
diri dan ketika dimunculkan oleh penurunan rekombinasi kemampuan dalam populasi.
Variasi tersembunyi ini sangat rinci karena ini akan memproduksi susunan beberapa
genotip yang mungkin akan beradaptasi di kondisi yang baru dan memunculkan jenis
baru. Lewis & Crowe (1958) mengusulkan jawaban dari keberadaan paradox di saat
genting evolusi- periode ini pada sejarah suatu organisme ketika berkompetisi di
lingkungan dengan organisme lain. Pada periode ini mekanisme mekanisme
outbreeding sangat diperlukan untuk dapat bertahan hidup dengan keuntungan
rekombinasi gen.
Factors Controlling Or Modifying The System
Lima faktor pengontrol telah ditemukan oleh Fryxell (1957) yaitu :
(1) Entomologi
Pada variasi tumbuhan yang sedang berbunga, aktivitas seranggga merupakan
vector (perantara) serbuk sari yang membawa perubahan pada proses breeding.
Banyak tumbuhan yang dikunjungi oleh berbagai jenis serangga yang berbeda. Jenis
serangga yang berbeda akan memiliki cara yang berbeda sehingga dapat
menyababkan pola polinasi pada tanaman berbeda. Kedaan serangga di pengaruhi
oleh keadaan lingkungan yang berubah seperti cahaya, suhu, kelembaban, curah
hujan, predator, dll.
(2) Geographical and climatic faktor
Dalam suatu area geeografis dan area lainnya memiliki variasi dalam breeding.
Namun tidak mudah untuk menemukan variabel yang meneybabkan variasi. Variasi

tersebut mungkin pada suhu, kelembapan, curah hujan, atau interaksi dengan
organisme atau kombinasinnya. Contoh ditunjukan Deschampsia caespitosa yang
melakukan hubungan seksual secara penuh di Scandinavia, tetapi ketika dipindah ke
California Deschampsia caespitosa menjadi fakultatif pseudo-vivipar.
(3) Genetic Faktor
Telah diketahui bahwa genotip dapat mengakibatkan kecepatan persilangan
contohnya gen yang dikendalikan di Lycopersicon esculentum yang mengatur antera
di sekitar tabung bunga yang dikontrol oleh gen tunggal. Antera akan dipegang oleh
rambut-rambut dan berpengaruh untuk menaikkan fertilisasi sendiri. Gen pengontrol
hadir di rambut rambutya dan mereka berpindah dari antera ke stigma dan mencegah
kemungkinan fertilisasi sendiri. Sebagian besar contoh harus dilakuakan antara
mofologi atau perubahan sementara mekanismenya, seperti ukuran relatif bagian
bunga, perubahan kecepatan berbunga, dll. Seperti contoh terjadi pada poliploidi yang
tidak hanya berefek pada ukurannya namun juga ukuran relatif bagian dan posisi
antera.
(4) Eksperimental Modification
Pada beberapa kasus dapat dimungkinkan bahwa penelitian tentang breeding
dengan kimia, mekanik, atau yang lainnya. Pada tanaman monokotil seperti jagung
dapat diberi perlakuan pada semaian dengan maleic hidrazide yang menyebakan
stamina inhibisi, dan harus menjadi catatan bahwa ini juga dipengaruhi oleh
perubahan lingkungan meliputi fotoperiodesma, suhu, dan kondisi tanah.
(4) Selection
Baker (1955) mengatakan pentingnya perubahan jarak jauh dalam sistem
breeding. Misalnya pada Plumbaginaceae yang mengalami dimorfisme kelompok
yang distribusinya ditemukan dekat dengan familinya: anggota family ini mengalami
dimorfisme. Pada area yang jauh dari pusat pesebaran fertilisasi sendiri adalah suatu
yang sangat umum. Induvidu

Inbreeding memiliki lebih banyak kesempatan

difertilisasi walapun tanpa kehadiran polen dan mendapat dari bunga lain

Breeding System dan Taksonomi


(a) Inbreeders
Biasanya variasi taksa inbreeding antara populasi karena pemisahan taxon ke
kelompok kurang atau lebih garis murninya. Setiap populasi benar untuk banyak
generasi dan menyediakan perbedaan genetik dalam morfologi yang sangat
jelas,Variasi dapat dilakukan dalam bentuk potensial antara garis murni

yang

ditemukan oleh persilangan sesekali di antara mereka, membentuk hibrida yang


memisahkan dan menghasilkan garis murni baru. Beberapa dari spesiesnya
beradaptasi dengan lebih baik di lingkungan barunya yang dibentuk oleh induknya.
Aspek ini terutama telah dipelajari dalam tanaman tanaman di mana yang sering
mengalami seleksi, baik sadar atau tidak sadar, untuk keseragaman dalam morfologi
tertentu.. Hal ini juga diketahui bahwa dalam spesies variabilitas outbreeding
genotipe dapat disembunyikan dalam bentuk kombinasi gen yang seimbang, yang
masing-masing akan memberikan dasar efek fenotip yang sama di bawah kondisi
lingkungan yang diberikan. Ketika akan dipindahkan kehabitat yang baru tanaman
akan menghasikan fenotip yang berbeda.
(b) Outbreeders
Outbreeders cenderung menunjukkan variasi pola ykurang lebih terus menerus
dalam morfologi. Hal ini cenderung membuat tidakjelas perbedaan antara populasi;
bahkan ketika hambatan reproduksi ada sering ada kemungkinan beberapa aliran gen
yang mengakibatkan pola morfologi tumpang tindih. Dalam banyak kasus ini
membuat pemisahan taksonomi sulit, karena aliran gen mencegah sampai batas
tertentu membangun pola morfologi terpadu yang konstan dan cukup jelas untuk
memungkinkan taksonomi untuk mengenali spesies. Pada suhu kutub utara terdapat
banyak outbreeding dan heterozigot yang tinggi. pollen diproduksi dalam jumlah
besar dan sering ada pada jarak yang jauh. Hal ini menyebabkan berbagai macam pola
dan cenderung melanjutkan variasi berbegai macam karakter.
(c) Taxonomic relationship of inbreeders and out breeders
Kehadirannya di alam cocok dan tidak cocoknya dengan sama spesies yang
terlihat tidak biasa. Baker (1954) mengutip sebuah contoh dalam Picris echioides
(compositae) di mana ia telah menemukan sekelompok tanaman di tebing laut Inggris
yang abadi , kompetibel, bunga yang terlambat berbunga,berbunga di awal, tahunan
atau dua tahunan. Pada beberapa hal telah diikutkan spesies yang sama sampai
penegtahuan tentang breeding sistem diketahui.
(d) Appomixis
Selama bertahun-tahun taksonom telah berusaha untuk menemukan cara-cara
untuk mengatasi masalah yang terlibat dalam klasifikasi apomiksis, tetapi subjek
masih tetap kontroversial. Dalam beberapa Flora daftar cukup lengkap dari taksa
apomiksis diberikan, sementara di lain hanya kelompok utama dijelaskan atau mereka
mungkin dihilangkan sama sekali. Pengamatan jalur apomiksis menjadi penting

karena

diduga

dapat

menjelaskan

perubahan

sitologis

yang

menginisiasi

perkembangan embrio tanpa meiosis dan fertilisasi. Pada eudikot, apimixis terjadi
pada Famili Asteraceae dan Rosaceae, sementara pada monokotil yang paling banyak
megalami apomiksis adalah anggota Famili Poaceae. Ada tiga jalur utama apomiksis,
menurut asal embrio, diplospori, apospori dan embriogenesis adventif. Dua jalur yang
pertama adalah apomiksis gametofit, kantung embrio terbentuk dari sel induk
megaspora yang tidak direduksi (diplospori), atau dari sel somatik dalam ovul seperti
nuselus (apospori). Pada kedua tipe tersebut, fertilisasi sel telur dihindari dengan
inisiasi partenogenesis dalam embriogenesis. Pada embriogenesis adventif, salah satu
sel somatik pada ovul membentuk embrio.
D. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Penggaris
b. Pensil
c. buku
2. Bahan
a. Ranting beserta daun
E. Prosedur kerja
Menentukan lima pohon sawo kecik (Manilkara kauki).

Memilih dua ranting dalam satu pohon tersebut.


Memilih lima daun sebagai sampel kemudian mengukur panjang daun,
lebar daun, jumlah anak tulang daun, jarak antar anak tulang daun,
filotaksis untuk setiap ranting.
Membandingkan rantin satu dengan ranting lainnya dalam satu pohon.

Membandingkan ranting pohon satu dengan empat pohon yang lainnya.

Mencatat hasil pengukuran di buku.

F. Hasil pengamatan
Poho

Rantin

Da

Panjang

Lebar

Bentuk

un

daun

daun

daun

10,8

6,7

Lanset

Jumlah

Jarak antar

tulang

anak tulang

daun
1

daun
0,4;0,3;0,5;0,4;0

filotaksi
s
2/8

,3;0,4;0,3;0,4;0,
3;0,4;0,3;0,5;0,4
;0,3;0,4;0,3;0,3;

10,7

5,6

Lanset

0,4
Berkisar antara

10,9

Lanset

0,3 sampai 0,5


Berkisar antara

2/8

0,3 sampai 0,5


2

9,9

Lanset

Berkisar antara
0,3 sampai 0,5

6,7

5,2

Lanset

Berkisar antara

2/8

0,3 sampai 0,5


2

8,1

4,9

Lanset

Berkisar antara
0,3 sampai 0,5

3,6

2,5

Lanset

Berkisar antara

2/8

0,3 sampai 0,5


2

11,2

5,3

Lanset

Berkisar antara
0,3 sampai 0,5

8,8

4,8

Lanset

Berkisar antara

2/8

0,3 sampai 0,5


2

7,5

4,3

Lanset

Berkisar antara
0,3 sampai 0,5

8,9

Lanset

Berkisar antara

2/8

0,3 sampai 0,5


2

8,2

4,5

Lanset

Berkisar antara
0,3 sampai 0,5

9,4

4,5

Lanset

Berkisar antara

2/8

0,3 sampai 0,5


2

8,5

4,8

Lanset

Berkisar antara
0,3 sampai 0,5

Lanset

Berkisar antara

2/8

0,3 sampai 0,5


2

4,4

Lanset

Berkisar antara
0,3 sampai 0,5

9,7

5,4

Lanset

Berkisar antara

2/8

0,3 sampai 0,5


2

7,8

4,4

Lanset

Berkisar antara
0,3 sampai 0,5

10,5

5,9

Lanset

Berkisar antara

2/8

0,3 sampai 0,5


2

8,6

4,6

Lanset

Berkisar antara
0,3 sampai 0,5

G. Analisis data
Dari hasil data pengamatan dapat diketahui bahwa pada pohon pertama ranting A
daun 1 panjang daun 10,8 cm dan lebar daun 6,7 cm, dengan bentuk daun lanset
jumlah tulang daun 1, jarak antar anak tulang daun berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5
cm dengan filotaksis 2/8. Pada daun 2 memiliki panjang 10,7cm, lebar 5,6 cm, bentuk
lanset, jumlah tulang daun 1, jarak antar tulang daun berkisar antara 0,3 cm sampai
0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada ranting B daun pertama memiliki panjang daun 10,
9 cm, lebar 5,6 cm, bentuk daun lanset, dengan jumlah tulang daun 1, jarak anatar

anak tulang daun berkisar antara 0,3cm sampai 0,5cm dengan filotaksis 2/8. Daun
kedua memiliki panjang daun 11,2 cm, lebar 5,3 cm, bentuk daun lanset, dengan
jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun berkisar antara 0,3cm sampai
0,5cm dengan filotaksis 2/8.
Pada pohon kedua ranting A daun 1 panjang daun 6,7cm dan lebar daun 5,2 cm,
dengan bentuk daun lanset jumlah tulang daun 1, jarak antar anak tulang daun
berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada daun 2 memiliki
panjang 8,1 cm, lebar 4,9cm, bentuk lanset, jumlah tulang daun 1, jarak antar tulang
daun berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada ranting B daun
pertama memiliki panjang daun 3,6cm, lebar 2,5cm, bentuk daun lanset, dengan
jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun berkisar antara 0,3cm sampai
0,5cm dengan filotaksis 2/8. Daun kedua memiliki panjang daun 9,9 cm, lebar 5 cm,
bentuk daun lanset, dengan jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun
berkisar antara 0,3cm sampai 0,5cm dengan filotaksis 2/8.
Pada pohon kedtiga ranting A daun 1 panjang daun 8,8 cm dan lebar daun 4,8 cm,
dengan bentuk daun lanset jumlah tulang daun 1, jarak antar anak tulang daun
berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada daun 2 memiliki
panjang 7,5 cm, lebar 4,3 cm, bentuk lanset, jumlah tulang daun 1, jarak antar tulang
daun berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada ranting B daun
pertama memiliki panjang daun 8,9 cm, lebar 5 cm, bentuk daun lanset, dengan
jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun berkisar antara 0,3cm sampai
0,5cm dengan filotaksis 2/8. Daun kedua memiliki panjang daun 8,2 cm, lebar 4,5 cm,
bentuk daun lanset, dengan jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun
berkisar antara 0,3cm sampai 0,5cm dengan filotaksis 2/8.
Pada pohon keempat ranting A daun 1 panjang daun 9,4 cm dan lebar daun 4,5
cm, dengan bentuk daun lanset jumlah tulang daun 1, jarak antar anak tulang daun
berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada daun 2 memiliki
panjang 8,5 cm, lebar 4,8 cm, bentuk lanset, jumlah tulang daun 1, jarak antar tulang
daun berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada ranting B daun
pertama memiliki panjang daun 8 cm, lebar 5 cm, bentuk daun lanset, dengan jumlah
tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun berkisar antara 0,3cm sampai 0,5cm
dengan filotaksis 2/8. Daun kedua memiliki panjang daun 9 cm, lebar 4,4 cm, bentuk

daun lanset, dengan jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun berkisar
antara 0,3cm sampai 0,5cm dengan filotaksis 2/8.
Pada pohon kelima ranting A daun 1 panjang daun 9,7 cm dan lebar daun 5,4 cm,
dengan bentuk daun lanset jumlah tulang daun 1, jarak antar anak tulang daun
berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada daun 2 memiliki
panjang 7,8 cm, lebar 4,4 cm, bentuk lanset, jumlah tulang daun 1, jarak antar tulang
daun berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada ranting B daun
pertama memiliki panjang daun 10,5 cm, lebar 5,9 cm, bentuk daun lanset, dengan
jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun berkisar antara 0,3cm sampai
0,5cm dengan filotaksis 2/8. Daun kedua memiliki panjang daun 8,6 cm, lebar 4,6 cm,
bentuk daun lanset, dengan jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun
berkisar antara 0,3cm sampai 0,5cm dengan filotaksis 2/8.

H. Pembahasan
Dari hasil analisis data dapat diketahui bahwa pada pohon pertama ranting A daun
1 panjang daun 10,8 cm dan lebar daun 6,7 cm, dengan bentuk daun lanset jumlah
tulang daun 1, jarak antar anak tulang daun berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm
dengan filotaksis 2/8. Pada daun 2 memiliki panjang 10,7cm, lebar 5,6 cm, bentuk
lanset, jumlah tulang daun 1, jarak antar tulang daun berkisar antara 0,3 cm sampai
0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada ranting B daun pertama memiliki panjang daun 10,
9 cm, lebar 5,6 cm, bentuk daun lanset, dengan jumlah tulang daun 1, jarak anatar
anak tulang daun berkisar antara 0,3cm sampai 0,5cm dengan filotaksis 2/8. Daun
kedua memiliki panjang daun 11,2 cm, lebar 5,3 cm, bentuk daun lanset, dengan
jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun berkisar antara 0,3cm sampai
0,5cm dengan filotaksis 2/8.
Pada pohon kedua ranting A daun 1 panjang daun 6,7cm dan lebar daun 5,2 cm,
dengan bentuk daun lanset jumlah tulang daun 1, jarak antar anak tulang daun
berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada daun 2 memiliki
panjang 8,1 cm, lebar 4,9cm, bentuk lanset, jumlah tulang daun 1, jarak antar tulang
daun berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada ranting B daun
pertama memiliki panjang daun 3,6cm, lebar 2,5cm, bentuk daun lanset, dengan

jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun berkisar antara 0,3cm sampai
0,5cm dengan filotaksis 2/8. Daun kedua memiliki panjang daun 9,9 cm, lebar 5 cm,
bentuk daun lanset, dengan jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun
berkisar antara 0,3cm sampai 0,5cm dengan filotaksis 2/8.
Pada pohon kedtiga ranting A daun 1 panjang daun 8,8 cm dan lebar daun 4,8 cm,
dengan bentuk daun lanset jumlah tulang daun 1, jarak antar anak tulang daun
berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada daun 2 memiliki
panjang 7,5 cm, lebar 4,3 cm, bentuk lanset, jumlah tulang daun 1, jarak antar tulang
daun berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada ranting B daun
pertama memiliki panjang daun 8,9 cm, lebar 5 cm, bentuk daun lanset, dengan
jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun berkisar antara 0,3cm sampai
0,5cm dengan filotaksis 2/8. Daun kedua memiliki panjang daun 8,2 cm, lebar 4,5 cm,
bentuk daun lanset, dengan jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun
berkisar antara 0,3cm sampai 0,5cm dengan filotaksis 2/8.
Pada pohon keempat ranting A daun 1 panjang daun 9,4 cm dan lebar daun 4,5
cm, dengan bentuk daun lanset jumlah tulang daun 1, jarak antar anak tulang daun
berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada daun 2 memiliki
panjang 8,5 cm, lebar 4,8 cm, bentuk lanset, jumlah tulang daun 1, jarak antar tulang
daun berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada ranting B daun
pertama memiliki panjang daun 8 cm, lebar 5 cm, bentuk daun lanset, dengan jumlah
tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun berkisar antara 0,3cm sampai 0,5cm
dengan filotaksis 2/8. Daun kedua memiliki panjang daun 9 cm, lebar 4,4 cm, bentuk
daun lanset, dengan jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun berkisar
antara 0,3cm sampai 0,5cm dengan filotaksis 2/8.
Pada pohon kelima ranting A daun 1 panjang daun 9,7 cm dan lebar daun 5,4 cm,
dengan bentuk daun lanset jumlah tulang daun 1, jarak antar anak tulang daun
berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada daun 2 memiliki
panjang 7,8 cm, lebar 4,4 cm, bentuk lanset, jumlah tulang daun 1, jarak antar tulang
daun berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm dengan filotaksis 2/8. Pada ranting B daun
pertama memiliki panjang daun 10,5 cm, lebar 5,9 cm, bentuk daun lanset, dengan
jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun berkisar antara 0,3cm sampai
0,5cm dengan filotaksis 2/8. Daun kedua memiliki panjang daun 8,6 cm, lebar 4,6 cm,

bentuk daun lanset, dengan jumlah tulang daun 1, jarak anatar anak tulang daun
berkisar antara 0,3cm sampai 0,5cm dengan filotaksis 2/8.
Dasar dari variasi antara anggota individu dari populasi adalah (a) modifikasi
lingkungan eksternal, (b) mutasi, (c) rekombinasi genetic. Pola dari variasi sebagian
besar ditentukan oleh sistem reproduksi (breeding), dan digunakan dalam proses
adaptasi evolusioner oleh seleksi alam Fenotipe dalam hal hubungannya dengan
pengaruh atau respon dari faktor lingkungan yaitu dapat dilihat pada tabel dibawah ini
dan terlihat bahwa ada perbedaan dari tiap individu dalam suatu populasi.:
Number of Individuals

Length of Sepals (mm.)

7-8

8-9

9-10

24

10-11

28

11-12

12-13

13-14

14-15

Genetic Variation
5. Gene Mutation. Mayr (1942) mendefinisikan mutasi sebagai "perubahan kromosom
terputus akibat efek genetik". gen mutasi terutama mengubah proses perkembangan,
dan dengan demikian memiliki efek tertentu pada fenotipe individual. Biasanya
efeknya merugikan. Hanya sedikit sekali mutasi yang menguntungkan. Nilai adaptif
mutasi sepenuhnya tergantung pada kondisi lingkungan.
6. Gene and Character. Efek dari mutasi genetik pada

suatu organisme dapat

menimbulkan masalah variasi pada taksonomi. Menurut Mather (1953), mutasi


merupakan proses degradasi yang dapat menghapuskan kapasitas individu untuk
menampilkan beberapa karakter dengan kemampuan/karakter baru.
7. Polimorphism. Umumnya variasi dalam populasi disebut polimorfisme. Dalam

polimorfisme gen suatu individu memungkinkan berbagai macam bentuk, dan


lingkungan menentukan bentuk mana yang akan ditunjukkan.
8. Pleiotropic gene action. Banyak mutasi, mungkin sebagian besar dapat mempengaruhi
beberapa karakteristik fenotip saat dewasa. Fenomena ini dikenal sebagai pleiotropy

dan merupakan hasil proses perkembangan yang menghubungkan gen yang


mempengaruhi sifat atau karakter saat dewasa. Gen pleiotropik mungkin hanya
diproduksi secara berbeda tetapi memberi efek pada organ yang berbeda pula. Efek
pleiotropic mungkin memiliki pengaruh yang besar terhadap nilai selektif mutasi.
Recombination And The Reproductive Sistem
Rekombinasi gen sama pentingnya dengan mutasi dalam memproduksi variasi
adaptif pada tanaman tingkat tinggi. Rekombinasi keragaman gen ditentukan oleh
breeding sistem. Seluruh rangkaian mekanisme mendorong fertilisasi silang dan
sistem genetik dalam ketidakcocokan telah berevolusi; hal ini memiliki keuntungan
selektif dalam mendorong rekombinasi gen. Hal itu memungkinkan bahwa genotipe
akan timbul sesuai dengan lingkungan baru. secara umum setiap populasi memiliki
keseimbangan tetapi ketetapan evolusi yang berasal dari perkawinan sedarah atau
apomixis dapat mempengaruhi keadaan populasi

Evolutionary Significance of The Breeding System


Seperti yang dikatakan sebelumnya Darwin percaya bahwa tumbuhan harus
mengalami polinasi silang. Pada saat ini kita dapat memahami pentingnya evolusi
breeding sistem lebih baik kita mengingat bahwa outbreeding sistem ini memiliki
hasil yang beragam pada rekombinasi gen yang memainkan peran besar sebagai
mutasi untuk menyediakan variasi pada kerja seleksi alam. Rekombinasi gen ini
memimpin kombinasi karakter baru dimana seleksi alami mungkin menjalankan
produksi organisme dengan adaptasi dan struktur yang lebih baik. Apomiksis mungkin
adalah sebuah keuntungan di kutub utara, dimana musimnya sangat pendek untuk
bunga dan buah mengalami perkembangan kematangan. Dibawah keadaan seperti ini
inbreeding merupakan kentungan, apomiksis memberikan produksi biji yang lebih
baik dan aman, namun sebaliknya tanaman akan kehilangan variasi genetik sebagai
hasil dari pembatasan atau eliminasi rekombinasi. Pada saat outbreeding variasi
populasi sebagian diselenggarakan di bagian tertutup sebagai penyimpan gen yang
diterima saatkeadaan heterozigot. Sebagian besar variasi ini tidak dapat menyesuaikan
diri dan ketika dimunculkan oleh penurunan rekombinasi kemampuan dalam populasi.
Variasi tersembunyi ini sangat rinci karena ini akan memproduksi susunan beberapa

genotip yang mungkin akan beradaptasi di kondisi yang baru dan memunculkan jenis
baru. Lewis & Crowe (1958) mengusulkan jawaban dari keberadaan paradox di saat
genting evolusi- periode ini pada sejarah suatu organisme ketika berkompetisi di
lingkungan dengan organisme lain. Pada periode ini mekanisme mekanisme
outbreeding sangat diperlukan untuk dapat bertahan hidup dengan keuntungan
rekombinasi gen.

Factors Controlling Or Modifying The System


Lima faktor pengontrol telah ditemukan oleh Fryxell (1957) yaitu :
1. Entomologi
Pada variasi tumbuhan yang sedang berbunga, aktivitas seranggga merupakan
vector (perantara) serbuk sari yang membawa perubahan pada proses breeding.
Banyak tumbuhan yang dikunjungi oleh berbagai jenis serangga yang berbeda. Jenis
serangga yang berbeda akan memiliki cara yang berbeda sehingga dapat
menyababkan pola polinasi pada tanaman berbeda. Kedaan serangga di pengaruhi
oleh keadaan lingkungan yang berubah seperti cahaya, suhu, kelembaban, curah
hujan, predator, dll.
2. Geographical and climatic faktor
Dalam suatu area geeografis dan area lainnya memiliki variasi dalam breeding.
Namun tidak mudah untuk menemukan variabel yang meneybabkan variasi. Variasi
tersebut mungkin pada suhu, kelembapan, curah hujan, atau interaksi dengan
organisme atau kombinasinnya. Contoh ditunjukan Deschampsia caespitosa yang
melakukan hubungan seksual secara penuh di Scandinavia, tetapi ketika dipindah ke
California Deschampsia caespitosa menjadi fakultatif pseudo-vivipar.
3. Genetic Faktor
Telah diketahui bahwa genotip dapat mengakibatkan kecepatan persilangan
contohnya gen yang dikendalikan di Lycopersicon esculentum yang mengatur antera
di sekitar tabung bunga yang dikontrol oleh gen tunggal. Antera akan dipegang oleh
rambut-rambut dan berpengaruh untuk menaikkan fertilisasi sendiri. Gen pengontrol
hadir di rambut rambutya dan mereka berpindah dari antera ke stigma dan mencegah
kemungkinan fertilisasi sendiri. Sebagian besar contoh harus dilakuakan antara
mofologi atau perubahan sementara mekanismenya, seperti ukuran relatif bagian

bunga, perubahan kecepatan berbunga, dll. Seperti contoh terjadi pada poliploidi yang
tidak hanya berefek pada ukurannya namun juga ukuran relatif bagian dan posisi
antera.
4. Eksperimental Modification
Pada beberapa kasus dapat dimungkinkan bahwa penelitian tentang breeding
dengan kimia, mekanik, atau yang lainnya. Pada tanaman monokotil seperti jagung
dapat diberi perlakuan pada semaian dengan maleic hidrazide yang menyebakan
stamina inhibisi, dan harus menjadi catatan bahwa ini juga dipengaruhi oleh
perubahan lingkungan meliputi fotoperiodesma, suhu, dan kondisi tanah.
5. Selection
Baker (1955) mengatakan pentingnya perubahan jarak jauh dalam sistem
breeding. Misalnya pada Plumbaginaceae yang mengalami dimorfisme kelompok
yang distribusinya ditemukan dekat dengan familinya: anggota family ini mengalami
dimorfisme. Pada area yang jauh dari pusat pesebaran fertilisasi sendiri adalah suatu
yang sangat umum. Induvidu

Inbreeding memiliki lebih banyak kesempatan

difertilisasi walapun tanpa kehadiran polen dan mendapat dari bunga lain
Maka dapat diketahui bahwa setiap daun sawo kecik (Manilkara kauki)
memiliki ukuran yang bervariasi meskipun dalam satu pohon yang sama dengan
ranting yang berbeda dan juga pada ranting yang sama dan letak daun berbeda, untuk
filotaksisnya dari semua pohon sama yaitu;

2/8, dan bentuk daunnya berbentuk

lanset, jarak antar anak tulang daun semuanya berkisar antara 0,3 cm sampai 0,5 cm.

I. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa adanya variasi daun sawo kecik
(Manilkara kauki) disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, faktor genetik, Gene
and Character, Polimorphism, Pleiotropic gene action

J. Daftar Rujukan

Dobzhansky (1950)
Baker (1955)
Fryxell (1957)
Lewis & Crowe (1958)
Mather (1953)
Mayr (1942)

Anda mungkin juga menyukai