Anda di halaman 1dari 13

Osteoarthritis : Overview of Biomolecular Mechanism

Zainal Arifin Adnan


Universitas Sebelas Maret

Abstrak
Osteoarthritis adalah arthropathy yang paling umum ditemukan yang terjadi pada orang
dewasa. Kondisi non-inflamasi ini timbul dari perubahan degeneratif dan hilangnya rawan sendi
secara progresif dengan perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh hipertropik pada tulang di
sekitarnya.. Harus dipahami bahwa pada OA merupakan penyakit dengan progresifitas yang
lambat, dengan etiologi yang tidak diketahui. meskipun secara klasik dipahami sebagai
konsekuensi degeneratif dari penuaan, adalah penyakit dengan patofisiologi molekuler yang
semakin baik. Faktor biomekanik, terutama dalam konteks predisposisi genetik, obesitas, dan
malalignment, menghasilkan perubahan kimia dalam sendi yang menyebabkan degradasi
kartilago. Pada tahap awal, perubahan anabolik, ditandai dengan proliferasi kondrosit dan
peningkatan produksi matriks, diikuti oleh keadaan katabolik yang didominasi, ditandai dengan
penurunan sintesis matriks, peningkatan degradasi matriks proteolitik, dan apoptosis khondrosit.
Gambaran kondrosit di kondisi katabolik terkait dengan produksi mediator inflamasi oleh
synovium dan chondrocytes yang bertindak secara lokal untuk menghambat degradasi kartilago.
Sampai saat ini belum ada terapi yang dapat menyembuhkan OA. Penatalaksanaan terutama
ditujukan pada pengendalian/menghilangkan nyeri, memperbaiki gerak dan fungsi sendi serta
meningkatkan kualitas hidup.
Kata Kunci : Osteoarthritis, Patogenesis, Biomolekuler

Osteoartritis (OA) merupakan bentuk artritis yang paling sering ditemukan di


masyarakat, bersifat kronis, berdampak besar dalam masalah kesehatan masyarakat. Osteoartritis
dapat terjadi dengan etiologi yang berbeda-beda, namun mengakibatkan kelainan bilologis,
morfologis dan keluaran klinis yang sama. Proses penyakitnya tidak hanya mengenai rawan
sendi namun juga mengenai seluruh sendi, termasuk tulang subkondral, ligamentum, kapsul dan
jaringan sinovial serta jaringan ikat periartikular. Pada stadium lanjut rawan sendi mengalami
kerusakan yang ditandai dengan adanya fibrilasi, fissura dan ulserasi yang dalam pada
permukaan sendi. Definisi terbaru mengenai OA (Nevitt MC., 1996) seperti yang diputuskan

1
dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh Akademi Dokter Bedah Amerika (American
Academy of Orthopedic Surgeons) dan Institut Kesehatan Nasional (The National Institute of
Health) telah mengusulkan definisi OA yaitu kelainan rawan sendi dengan adanya perubahan
morfologi, biokimia, molekuler dan biomekanik pada sel dan substansi dasarnya, fibrilasi
peradangan dan penurunan susunan rawan sendi, sklerosis dan kerusakan tulang subkondral,
munculnya osteofit serta kista subkondral.
Osteoartritis saat ini tidak lagi dianggap penyakit degeneratif, namun usia tetap
merupakan salah satu faktor risikonya. Usia diatas 65 tahun, hanya 50% memberikan gambaran
radiologis sesuai Osteoartritis, meskipun hanya 10% pria dan 18% wanita diantaranya yang
memperlihatkan gejala klinis OA, dan sekitar 10% mengalami disabilitas karena OA nya, maka
dapat difahami jika makin bertambah usia, makin tinggi kemungkinan untuk terkena OA. Seiring
dengan meningkatnya usia harapan hidup, menurut WHO pada tahun 2025 populasi usia lanjut di
Indonesia akan meningkat 414% dibanding tahun 1990. Di Indonesia prevalensi OA lutut yang
tampak secara radiologis mencapai 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita yang berumur antara
40-60 tahun. Penelitian di Bandung pada pasien yang berobat ke klinik reumatologi RSHS pada
tahun 2007 dan 2010, berturutturut didapatkan: OA merupakan 74,48% dari keseluruhan kasus
(1297) reumatik pada tahun 2007. Enam puluh sembilan persen diantaranya adalah wanita dan
kebanyakan merupakan OA lutut (87%). Dan dari 2760 kasus reumatik pada tahun 2010, 73%
diantaranya adalah penderita OA, dengan demikian OA akan semakin banyak ditemukan dalam
praktek dokter sehari-hari
Sampai saat ini belum ada terapi yang dapat menyembuhkan OA. Penatalaksanaan
terutama ditujukan pada pengendalian/menghilangkan nyeri, memperbaiki gerak dan fungsi
sendi serta meningkatkan kualitas hidup. Penatalaksanaan OA panggul, lutut atau OA pada
tempat lain, meliputi penatalaksanaan secara non farmakologi dan farmakologi. Operasi
pengganti sendi hanya dilakukan untuk penderita dengan OA yang berat dan tidak respons dalam
pengobatan terapi.
Perlu diketahui bahwa penyebab nyeri yang terjadi bersifat multifaktorial. Nyeri dapat
bersumber dari regangan serabut syaraf periosteum, hipertensi intra-osseous, regangan kapsul
sendi, hipertensi intra-artikular, regangan ligament, mikrofraktur tulang subkondral, entesopati,
bursitis dan spasme otot. Saat ini terdapat lebih dari 50 modalitas penatalaksanaan OA baik non

2
farmakologi maupun farmakologi, maka diperlukan rekomendasi untuk meningkatkan efektifitas
dan efisiensi penatalaksanaan OA.

Patogenesis OA
Perubahan biokimia di dalam tulang rawan mengakibatkan kehilangan cairan di
dalamnya, hilangnya proteoglycan dan kolagen, dan penurunan jumlah kondrosit, perubahan ini
melunakkan tulang rawan dan membuatnya lebih rapuh terhadap kerusakan. Secara garis besar,
ada bukti kerusakan tulang rawan, dengan adanya fisura, bengkak, ulserasi, dan (pada akhirnya)
denudasi tulang. Hubungan dari hilangnya tulang rawan adalah pengembangan reaktif atau
hipertropik tulang, lebih sering bermanifestasi sebagai osteophyte (atau taji). Tulang subchondral
yang ada mungkin akan berubah bentuk dan menunjukkan sclerosis atau kista tulang. Synovium
dari OA mungkin tampak normal atau menunjukkan perubahan peradangan ringan hingga
menengah, menyerupai yang terlihat pada RA, meskipun tidak sekuat itu. Sangat mungkin
bahwa penyakit peradangan sinovial yang intermiten akan mempengaruhi degenerasi tulang
rawan articular
Kerusakan atau hilangnya rawan sendi merupakan titik sentral terjadinya OA Pada
penelitian lain infeksi bakteri mampu memicu terjadinya apoptosis kondrosit sehingga terjadi
OA. Jejas biomekanik dan kimiawi diduga merupakan faktor penting yang merangsang
terbentuknya molekul abnormal dan bahan perusak rawan sendi, di dalam cairan sinovial yang
selanjutnya mengakibatkan terjadi inflamasi sendi. Jejas biomekanik (beban berlebihan) yang
terjadi secara intermiten dalam waktu yang lama pada sendi, nampaknya dapat menimbulkan
suatu kelainan medan elektromagnit, yang terjadi pada sel saraf, maupun sel otot.
Pada waktu Ca2+ melintasi membran plasma, maka fosfolipid pada membran mengalami
hidrolisis oleh suatu enzim fosfolipase-C. Adanya fosfolipase-C tersebut yang berakibat
pembentukan fosfotidil inositol 1,4 bifosfat (PIP-2) menjadi inositol 1,4,5 trifosfat (IP-3) dan 1,2
diasyl glycerol. Selanjutnya IP-3 akan berikatan dengan reseptor (ryanodine) pada membran
endoplasmic retikulum, sehingga channel kalsium pada membran endoplasmic retikulum
terbuka, mengakibatkan Ca2+ akan dilepas dari deponya. Oleh karena itu maka terjadilah
peningkatan Ca2+ intra seluler. Kadar Ca2+ intra seluler yang sangat tinggi sebagai akibat jejas
biomekanik dalam waktu berkepanjangan, yang diikuti proses kimiawi di dalam sel dan akhirnya
sel mengalami kematian atau apoptosis. Bilamana kejadian tersebut pada kondrosit maka

3
mengakibatkan gangguan pembentukan kolagen terutama tipe II dan berubahnya susunan
komponen ECM, yang mengakibatkan kerusakan pada rawan sendi dan akhirnya terjadi OA.

Gambar 1. Patogenesis apoptosis sel kondrosit oleh jejas biomekanik/ Jalur Zainal
Adanya jejas biomekanis akibat instabilitas sendi yang menyebabkan pada rawan sendi
terjadi rangsang mekanobiologi yang sampai pada dinding kondrosit, rangsang ini merubah
potensial membran dinding kondrosit yang menyebabkan deformasi ECM yang diikuti
perubahan medan listrik, aliran cairan dan beberapa ion, diantaranya terjadi pertukaran ion
Na+ /dan K+ keluar kondrosit, dengan Ca2+ masuk kedalam kondrosit. Selanjutnya akan
mempengaruhi nutrisi dan sinyal transduksi kondrosit serta deformasi kondrosit sendiri, yang
secara langsung mengontrol aktivitas metabolik kondrosit, yang diikuti terjadinya beberapa
reaksi kimia baik dalam membran plasma (aktivasi PIP-2 oleh PL-C) maupun dalam sitosol

4
kondrosit (terbentuknya IP-3), yang berakibat tertimbunnya secara berlebihan Ca2+ (akibat
terbukanya pintu ryanodine pada ER) dalam sitosol kondrosit. Hal ini sangat toksis pada
kondrosit dan melalui beberapa reaksi kimia, yang berakhir dengan apoptosis kondrosit. Keadaan
selanjutnya timbul gangguan fungsi ECM, degradasi kolagen (terutama tipe II) dan akhirnya
terjadi kerusakan rawan sendi.
Penyebab OA
a. Usia
Perubahan morfologis dan struktural yang terkait usia pada kartilago artikular termasuk
pelunakan, dan penipisan permukaan artikular, penurunan ukuran dan agregasi matriks
proteoglikan, dan hilangnya kekuatan tarik matriks dan kekakuan. Perubahan jaringan yang
berkaitan dengan usia ini kemungkinan besar disebabkan oleh penurunan kemampuan kondrosit
untuk mempertahankan dan memperbaiki jaringan, karena kondrosit sendiri mengalami
penurunan aktivitas mitosis dan sintetis yang berhubungan dengan usia, menunjukkan penurunan
respon terhadap faktor pertumbuhan anabolik, dan mensintesis protein lebih kecil dan kurang
seragam Umur adalah faktor independen yang mempengaruhi khondrosit artikular ke apoptosis
misalnya tingkat ekspresi gen proapoptotik tertentu (Fas, FasL, caspase-8, dan p53) lebih tinggi
pada tulang rawan usia.
b. Obesitas
Obesitas akan menambah beban sendi weightbearing sehingga menjadi factor resiko OA.
Jaringan adiposa sebagai komponen metabolik untuk kaskade inflamasi. Jaringan adiposa aktif
meningkatkan sintesis sitokin pro-inflamasi, termasuk leptin, adiponektin, resistin, IL-1, IL-6,
dan TNF, sedangkan beberapa tingkat sitokin seperti IL-10 menurun. Fakta bahwa wanita
memiliki proporsi lemak total tubuh yang lebih besar dan tingkat konsentrasi leptin sistemik
yang lebih tinggi dari laki-laki dapat secara parsial menjelaskan perbedaan gender pada pasien
OA. Leptin, bagaimanapun, diproduksi tidak hanya oleh sel adiposa tetapi juga oleh osteoblas
dan kondrosit, menunjukkan bahwa produksi leptin lokal dapat memainkan peran dalam OA.
c. Genetik
Dua studi besar (Studi Framingham dan Baltimore Longitudinal Study on Aging)
mendukung kontribusi genetik untuk OA, dengan bukti untuk gen resesif besar dan
komponen multifaktorial, yang mewakili faktor poligenik atau lingkungan. OA yang
diwariskan mungkin disebabkan oleh mutasi pada beberapa gen yang   diekspresikan dalam

5
kartilago, termasuk yang mengkodekan tipe II, IV, V, dan VI collagens, serta protein matriks
oligomerik kartilago (COMP)
d. Trauma
Malalignment atau trauma sendi dapat menyebabkan perkembangan OA yang cepat, atau
mungkin memulai proses yang lambat yang menghasilkan OA simptomatik beberapa tahun
kemudian. {enyebabnya adalah pengurangan progresif dalam aliran darah periarticular dan
penurunan yang dihasilkan dalam tingkat remodeling di persimpangan osteochondral, sendi
menjadi semakin kongruen dengan usia. Perubahan geometri sendi dapat mengganggu nutrisi
tulang rawan, atau dapat mengubah distribusi beban, yang mana dapat menyebabkan
perubahan komposisi biokimia tulang rawan, terlepas dari usia. Faktor lokal, seperti tekanan
yang berkaitan dengan penggunaan sendi dan deformitas sendi, juga mempengaruhi
perkembangan OA.
e. Jenis Kelamin
Perempuan memiliki lebih banyak sendi yang terlibat dan lebih mungkin untuk
menunjukkan gejala klinis kekakuan di pagi hari, pembengkakan sendi, dan nyeri nokturnal.
Perbedaan jenis kelamin dalam kejadian OA setelah usia 50 tahun mungkin merupakan hasil
defisiensi estrogen pasca-menopause. Khondrosit artikular memiliki reseptor estrogen
fungsional, menunjukkan bahwa sel-sel ini dapat diatur oleh estrogen.
Perubahan Patologi pada OA
Pada awal OA, permukaan kartilago artikular menjadi kasar dan tidak beraturan, dan
celah superfisial di dalam jaringan menjadi jelas. Secara histologis, permukaannya mengalami
fibrilasi, dan retakan kecil terlihat tetapi terbatas pada lapisan atas dari zona permukaan.
Perubahan ini menunjukkan bukti keausan mekanis dan sering disertai dengan pembengkakan
matriks dan proliferasi kondrosit, atau, sampai batas tertentu, apoptosis dekat permukaan
artikular. Distribusi proteoglikan berubah. Sementara OA berkembang, permukaan tulang rawan
artikular menjadi lebih tidak teratur, dan celah superfisial di dalam jaringan membesar dan
meluas melampaui zona superfisial dan masuk ke zona tengah kartilago. Bagian tulang rawan
yang rusak dan terisolasi sebelumnya menjadi semakin berdekatan. Bagian dari zona superfisial
benar-benar hilang pada lesi fokal. Sementara kondisi memburuk, celah semakin dalam,
peningkatan permukaan meningkat, dan tulang rawan artikular akhirnya memburuk, mengekspos
tulang di bawahnya. Sementara penyakit terus berkembang, sendi berartikulasi pada tulang yang

6
terbuka, menyebabkan penebalan tulang. Tulang menjadi lebih padat dan lebih aktif secara
metabolik sebagai respons. Osteofit terdiri dari fibrocartilage dan tulang yang baru terbentuk,
dan paling sering terbentuk di pinggiran perifer sendi pada antarmuka antara tulang rawan dan
periosteum. Osteophytes diperkirakan muncul melalui diferensiasi diferensiasi sel progenitor,
paling sering dari dalam periosteum. Dengan demikian, osteofit dapat menjadi respons perbaikan
seluler terhadap lingkungan faktor pertumbuhan yang berubah setelah cedera sendi, dan dalam
kasus-kasus tertentu, osteofit dapat berkontribusi terhadap stabilitas sendi.
Pengurangan jumlah sel kondrosit diamati pada kartilago yang menua, dan berkurangnya
kemampuan sintetis dari tulang rawan hiposeluler merupakan faktor yang berkontribusi terhadap
inisiasi dan perkembangan OA. Pada kartilago femoralis dewasa yang sehat, kepadatan sel
bervariasi antara 24.000 / mm3 di zona permukaan hingga 8000 / mm3 di zona dalam, dengan
rata-rata 1,65% volume kartilago yang terdiri dari sel. Jumlah ini sangat berkurang di OA,
melalui kematian sel melalui nekrosis atau apoptosis. Nekrosis dapat dihasilkan dari kerusakan
mekanis langsung ke sel dan umumnya bukan proses aktif, sedangkan apoptosis adalah proses
yang memakan energi aktif. Kematian kondrosit apoptosis dapat dimulai oleh banyak faktor
yang terlibat dalam inisiasi dan perkembangan arthritis, termasuk kerusakan mekanis atau
cedera, perubahan dalam interaksi matriks-sel, stres oksidatif yang dihasilkan dari nitrat oksida
(NO) atau spesies oksigen reaktif lainnya, gangguan fungsi mitokondria, dan sinyal jalur
transduksi seperti ligan CD95 / CD95. Jalur ini akhirnya menyatu, dan eksekusi kematian sel
apoptosis dimediasi oleh aktivasi caspases.
Perubahan Dalam Metabolisme Matriks Tulang Rawan
Perubahan morfologis ini disertai dengan perubahan komposisi biokimia dari tulang
rawan, yang bervariasi dari awal hingga tahap lanjut dalam proses penyakit. Pada awal OA,
kadar air kartilago artikular meningkat secara signifikan, menyebabkan jaringan membengkak
dan mengubah sifat biomekaniknya. Fenomena ini menunjukkan bahwa telah terjadi pelemahan
jaringan kolagen; serat kolagen tipe II memiliki diameter yang lebih kecil daripada tulang rawan
normal, dan ikatan yang biasanya ketat di zona tengah menjadi kendor dan terdistorsi. Pada tahap
selanjutnya dari OA, konsentrasi kolagen tipe I dalam matriks ekstra-seluler meningkat dan
konsentrasi proteoglycan turun menjadi 50% atau kurang dari normal, dengan agregasi yang
lebih sedikit dan rantai samping glikosaminoglik yang lebih pendek. Konsentrasi sulfat keratin
menurun, dan rasio chondroitin- 4-sulfat untuk chondroitin-6-sulfat meningkat, mencerminkan

7
sintesis oleh kondrosit dari profil proteoglikan lebih khas dari kartilago imatur. Konsentrasi
proteoglikan dalam tulang rawan berkurang secara progresif sampai tahap akhir.
OA awal ditandai dengan peningkatan sintesis proteoglikan, kolagen, protein non-
kolagen, hyaluronate, dan replikasi sel. Pengaktifan chondrocytes ini dianggap sebagai upaya
untuk memperbaiki matriks kartilago, meskipun tidak selalu efektif dan menghasilkan matriks
kualitas inferior yang lebih rentan terhadap degradasi. Namun, kedua proses anabolik dan
katabolik meningkat sementara sel-sel mencoba untuk memperbaiki atau mempertahankan
integritas jaringan, dan itu adalah ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi yang penting
dalam patogenesis OA. Pada tahap selanjutnya dari OA, ada penurunan sintesis matriks per sel
dan penurunan jumlah sel. Selanjutnya, kualitas matriks disintesis berkurang sehubungan dengan
komposisi dan distribusi glikosaminoglikan, ukuran subunit proteoglikan, dan kemampuan untuk
agregat dengan asam hyaluronic. Selain produksi matriks berkurang dan hypocellularity, ada
peningkatan sintesis dan aktivasi enzim yang mendegradasi matriks, dan penurunan keseluruhan
dalam konsentrasi inhibitor enzim seperti Tissue Inhibitor Metalloproteinase (TIMPs). Akhirnya
OA berkembang ketika proses perbaikan anabolik chondrocytic tidak dapat mengikuti proses
katabolik. Interaksi kompleks antara sintesis matriks dan degradasi menjelaskan mengapa OA
biasanya secara perlahan progresif dan kadang-kadang tetap statis oleh kriteria morfologis, tetapi
akhirnya menghasilkan degradasi keseluruhan matriks kartilago.
Dalam OA, sintesis dan sekresi enzim pengurai matriks oleh kondrosit meningkat secara
nyata. Ada empat kelas protease, yang dikelompokkan berdasarkan mekanisme katalitik
pembelahan ikatan peptida: metalloproteinase, proteinase sistein, proteinase serin, dan proteinase
aspartil, tiga enzim pertama memiliki peran yang jelas dalam degradasi kartilago selama
perkembangan dari OA. Keseimbangan enzim aktif dan laten dikendalikan oleh dua inhibitor
enzim: TIMP dan PAI-1. TIMP dan PAI-1 disintesis dalam jumlah yang meningkat di bawah
regulasi TGF-β. Jika kadar TIMP atau PAI-1 tidak cukup, maka peningkatan degradasi matriks
terjadi.
Pada kerusakan rawan sendi dapat merangsang sel sinovial untuk mensekresi sitokin
proinflamasi, juga ditemukan monosit aktif, di mana sel tersebut berasal dari saluran darah
(system vaskuler) yang menerobos barier sinovial. Pada reaksi inflamasi jaringan sinovial akan
terjadi peningkatan ekspresi beberapa sitokin, antara lain : IL-1 (interleukin-1), IL-6 dan TNFα
(tumor necrotising factor). IL-6 sangat penting peranannya untuk memicu peningkatan produksi

8
sel neutrophil. Selain itu beberapa sitokin seperti IL-1 dan TNFα mempunyai potensi
meningkatkan transkripsi dan translasi dari enzim protease yang akan mengganggu ECM, serta
menghambat sintesis dari ECM rawan sendi terutama peran dari IL-1. Kerusakan jaringan dapat
menginduksi reaksi inflamasi seperti jaringan nekrosis, bone fractur, infeksi dan alergi. Jaringan
nekrosis atau sel rusak/debris yang ada dalam tubuh akan dimakan atau dicerna oleh sel
makrofag yang berasal dari synoviocytes tipe A
Sedangkan tingkat sitokin inflamasi seperti IL-1, IL-6 dan TNF meningkat pada serum
pasien dengan osteoarthritis lutut, ini dan mediator inflamasi klasik lainnya diaktifkan dalam
jaringan sendi itu sendiri selama perjalanan OA. Sitokin ini secara otomatis merangsang
produksi mereka sendiri dan mendorong chondrocytes untuk menghasilkan protease, kemokin,
NO, dan eikosanoid seperti prostaglandin dan leukotrien. Mediator inflamasi ini dalam tulang
rawan terutama untuk mendorong jalur katabolik, menghambat sintesis matriks, dan
mempromosikan apoptosis seluler. Dengan demikian, meskipun osteoarthritis tidak secara
konvensional dianggap sebagai penyakit inflamasi, mediator "inflamasi" dari jaringan yang
terkena dampak melanggengkan perkembangan penyakit dan karena itu merupakan target
potensial untuk modifikasi penyakit.

Gambar 2. Patogenesis OA
Penatalaksanaan Osteoartritis
Osteoartritis merupakan penyakit artritis kronis paling banyak ditemui dengan berbagai
faktor risiko, karena itu peranan dokter umum sangat penting khususnya dalam sistim kesehatan

9
nasional, untuk pencegahan, deteksi dini dan penatalaksanaan penyakit kronik secara umum, dan
khususnya dalam penatalaksanaan OA. Karena itu rekomendasi penatalaksanaan OA sangat
diperlukan untuk memudahkan koordinasi yang meliputi multidisiplin, monitoring, dengan
patient centre care yang bersifat kontinyu/terus menerus, komprehensif dan konsisten, sehingga
penatalaksanaan nyeri OA kronik dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Strategi
penatalaksanaan pasien dan pilihan jenis pengobatan ditentukan oleh letak sendi yang mengalami
OA, sesuai dengan karakteristik masing-masing serta kebutuhannya. Oleh karena itu diperlukan
penilaian yang cermat pada sendi dan pasiennya secara keseluruhan, agar penatalaksanaannya
aman, sederhana, memperhatikan edukasi pasien serta melakukan pendekatan multidisiplin.
Tujuan:
1. Mengurangi/mengendalikan nyeri
2. Mengoptimalkan fungsi gerak sendi
3. Mengurangi keterbatasan aktivitas fisik sehari hari (ketergantungan kepada orang lain)
dan meningkatkan kualitas hidup
4. Menghambat progresivitas penyakit
5. Mencegah terjadinya komplikasi Penilaian menyeluruh kualitas hidup pasien Osteoartritis
sebelum memulai pengobatan.
Tahap Pertama Terapi Non farmakologi
a. Edukasi pasien.
b. Program penatalaksanaan mandiri (self-management programs): modifikasi gaya hidup.
c. Bila berat badan berlebih (BMI > 25), program penurunan berat badan, minimal
penurunan 5% dari berat badan, dengan target BMI 18,5-25.
d. Program latihan aerobik (low impact aerobic fitness exercises).
e. Terapi fisik meliputi latihan perbaikan lingkup gerak sendi, penguatan otot- otot
(quadrisep/pangkal paha) dan alat bantu gerak sendi (assistive devices for ambulation):
pakai tongkat pada sisi yang sehat.
f. Terapi okupasi meliputi proteksi sendi dan konservasi energi, menggunakan splint dan alat
bantu gerak sendi untuk aktivitas fisik sehari-hari.
Tahap kedua Terapi Farmakologi: (lebih efektif bila dikombinasi dengan terapi nonfarmakologi
diatas)

10
a. Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, dapat diberikan salah satu obat berikut
ini, bila tidak terdapat kontraindikasi pemberian obat tersebut: • Acetaminophen (kurang dari 4
gram per hari). • Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS)
b. Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, yang memiliki risiko pada sistim
pencernaan (usia >60 tahun, disertai penyakit komorbid dengan polifarmaka, riwayat ulkus
peptikum, riwayat perdarahan saluran cerna, mengkonsumsi obat kortikosteroid dan atau
antikoagulan), dapat diberikan salah satu obat berikut ini:
Acetaminophen ( kurang dari 4 gram per hari). • Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS)
topikal • Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif, dengan pemberian obat
pelindung gaster (gastro- protective agent). Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) harus
dimulai dengan dosis analgesik rendah dan dapat dinaikkan hingga dosis maksimal hanya bila
dengan dosis rendah respon kurang efektif. Pemberian OAINS lepas bertahap (misalnya Na-
Diklofenak SR75 atau SR100) agar dipertimbangkan untuk meningkatkan kenyamanan dan
kepatuhan pasien. Penggunaan misoprostol atau proton pump inhibitor dianjurkan pada penderita
yang memiliki faktor risiko kejadian perdarahan sistem gastrointestinal bagian atas atau dengan
adanya ulkus saluran pencernaan. • Cyclooxygenase-2 inhibitor.
Untuk nyeri sedang hingga berat, dan disertai pembengkakan sendi, aspirasi dan tindakan injeksi
glukokortikoid intraartikular (misalnya triamsinolone hexatonide 40 mg) untuk penanganan nyeri
jangka pendek (satu sampai tiga minggu) dapat diberikan, selain pemberian obat anti-inflamasi
nonsteroid per oral (OAINS).
• Pendekatan terapi alternatif Bila dengan terapi awal tidak memberikan respon yang adekuat:

11
Gambar 3. Tatalaksana pada OA

12
Daftar Pustaka
1. PB IRA. Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoartritis. 2014
2. Sellam J, Beaumont GH, and Berenbaum F. Osteoarthritis : pathogenesis, clinical aspects
and diagnosis. In EULAR Compendium in Rheumatic disease, 2009: 444-63
3. Felson, D. T., Osteoarthritis in Fauci, A.S., Braunwald, E. B., Kasper, D. L., Hauser, S.
L., Longo, D. L., Jameson, J. L., Loscalzo, J. (eds) Harrison’s Principles of Internal
Medicine,2009. 17th ed, pp. 2158-65. McGraw–Hill Medical, New York
4. Osteoarthritis. The care and management of osteoarthritis in adult. National Institute of
Health and Clinical Exellence, Februari 2008. NICE Clinical Guideline
5. American College of Rheumatology Subcommittee on Osteoarthritis Guidelines: Arthritis
Rheum 43(9):1905-15, 2000
6. Di Cesare P, Samuels J. Pathogenesis of Osteoarthritis. In : Kelley, Gary, editosr. Kelley
And Firestein’s Textbook Of Rheumatology, Tenth Edition. California : Elsevier ; 2017.
7. Adnan ZA. Reumatologi Klinik Praktis. Surakarta : UNS press ; 2009.

13

Anda mungkin juga menyukai