Pembimbing:
dr. Made T. Ardhana, Sp.PD.
OLEH:
A. A. Gede Anra Bismana Wima
NRP. 1522316068
Osteoarthritis (OA) berasal dari bahasa Yunani yaitu Arthron yang berarti sendi dan Itis yang artinya
inflamasi. OA merupakan penyakit sendi degeneratif, dimana keseluruhan struktur dari sendi mengalami
perubahan patologis. Ditandai dengan kerusakan tulang rawan (kartilago) hyalin sendi, meningkatnya
ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan osteofit pada tepian sendi, meregangnya
kapsula sendi, timbulnya peradangan, dan melemahnya otot–otot yang menghubungkan sendi. (Felson,
2008).
Epidemiologi Osteoarthritis
OA merupakan penyebab gangguan pada sendi yang paling sering terjadi di Amerika
Serikat. Gejala OA yang menyerang pada sendi lutut terjadi 10% pada laki – laki dan 13% pada
perempuan pada umur 60 tahun keatas. Penelitian epidemiologi dari Joern et al (2010) menemukan
bahwa orang dewasa dengan kelompok umur 60-64 tahun sebanyak 22%. Pada pria dengan kelompok umur
yang sama, dijumpai 23% menderita OA pada lutut kanan, sementara 16,3% sisanya didapati menderita
OA pada lutut kiri. Berbeda halnya pada wanita yang terdistribusi merata, dengan insiden OA pada lutut
kanan sebanyak 24,2% dan pada lutut kiri sebanyak 24,7%. Jumlah populasi yang terkena OA akan
meningkat seiring bertambahnya usia dan adanya keadaan Obesitas. Nyeri yang dirasakan pada
OA bisa menyebabkan disabilitas karena tingginya prevalensi bagian sendi yang terkena yang
merupakan sendi besar penyangga tubuh yaitu sendi lutut dan panggul.
Klasifikasi OA
1. OA Primer
OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak
ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi.
OA jenis ini terutama ditemukan pada wanita kulit putih, usia pertengahan dan umumnya
bersifat poli – artikuler dengan nyeri yang akut disertai rasa panas pada bagian distal
interfalangeal yang selanjutnya terjadi pembengkakan tulang yang disebut Nodus
Heberden. OA primer lebih sering ditemukan dibanding OA sekunder.
2
2. OA Sekunder
OA sekunder dapat disebabkan oleh penyakit yang mendasari yang menyebabkan
kerusakan pada sinovia sehingga menimbulkan OA sekunder. Terdapat beberapa
keadaan yang dapat menimbulkan OA sekunder antara lain seperti trauma / instabilitas,
Faktor genetik / perkembangan, penyakit metabolik / endokrin, imobilisasi yang terlalu
lama dan Osteonekrosis.
Etiopatogenesis OA
kartilago merupakan jaringan avaskuler yang tersusun oleh sel tulang rawan yang disebut
kondrosit (1–2%), bahan cair (70-80%) dan bahan padat (20-30%) yang terdiri dari kolagen tipe 2
dan proteoglikan. Kolagen tipe II tersusum atas 3 rantai alfa yang membentuk triple-heliks,
berfungsi sebagai kerangka rawan sendi yang membatasi pengembangan berlebihan agregat
proteoglikan. Proteoglikan merupakan molekul kompleks tersusun atas inti protein dan molekul
Glikosaminoglikan yang terdiri dari Keratan sulfat, kondroitin-6-sulfat (KS-6), dan kondroitin-4-
sulfat (KS-4). Bersama dengan asam hialuronat, proteoglikan membentuk agregat yang dapat
menyerap air dari sekitarnya sehingga mengembang sedemikian rupa membentuk bantalan yang
baik. Pada kondisi normal, matriks akan mengalami proses remodeling dengan keseimbangan
antara enzim yang sifatnya mensintetis dan enzim yang sifatnya mendegradasi matriks. Pada OA,
terjadi peningkatan aktifitas enzim yang mendegradasi matriks sehingga terjadi
ketidakseimbangan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah kolagen dan proteoglikan pada
matriks.
3
Gambar 1. perbandingan gambaran lutut normal dan lutut dengan OA
Jejas mekanis dan kimiawi pada sinovia sendi yang terjadi multifaktorial merupakan faktor
penting yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago didalam
cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadi inflamasi sendi, kerusakan kondrosit dan nyeri.
OA ditandai dengan fase hipertrofi kartilago yang berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas
dari sintesis matriks makromolekul oleh kondrosit sebagai kompensasi perbaikan (repair). OA
terjadi sebagai kombinasi antara degradasi rawan sendi, remodeling tulang, dan inflamasi cairan
sendi.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa rawan sendi ternyata dapat melakukan perbaikan
sendiri, kondrosit yang berperan, akan melakukan replikasi dan memproduksi matriks baru, proses
perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi
sel dan membantu komunikasi antar sel. Faktor ini menginduksi kondrosit untuk mensintesis asam
deoksiribonukleat (DNA) dan protein seperti kolagen dan proteoglikan. Faktor pertumbuhan yang
berperan adalah insulin-like growth factor (IGF-1), growth hormone, Transforming growth factor-
β (TGF-β) dan Collony stimulating factors (CSFs). faktor pertumbuhan seperti IGF-1 memegang
peranan penting dalam proses perbaikan rawan sendi. pada keadaan inflamasi, sel menjadi kurang
sensitif terhadap efek IGF-1. Faktor pertumbuhan Fibroblast Growth Factor-β (FGF-β)
4
mempunyai efek multipel pada matriks kartilago yaitu merangsang sintesis kolagen dan
proteoglikan serta menekan Stromelysin, yaitu enzim yang mendegradasi proteoglikan,
meningkatkan produksi prostaglandin E2 (PGE2) dan melawan efek inhibisi sintesis PGE2 oleh
interleukin-1 (IL-1). IL-1 merupakan cytokine pro-inflamasi yang telah diuji secara in-vitro
menginduksi sel synovial dan kondrosit untuk menghasilkan Metalloproteinase (MMP). IL-1 juga
merangsang apoptosis kondrosit, produksi Nitric Oxide (NO), dan sintesis Prostaglandin.
Enzim utama yang berfungsi untuk mendegradasi kartilago adalah enzim Matrix
Metalloproteinase (MMP), enzim ini disekresi oleh sel sinovial dan kondrosit. MMP
dikategorikan memiliki 3 kategori secara umum, yaitu 1) Collagenase, 2) Stromelysins, dan 3)
Gelatinase, pada keadaan normal ketiga enzim tersebut disekresikan dalam bentuk proenzim yang
inaktif yang membutuhkan pembelahan enzimatik untuk menjadi aktif. Setelah aktif, MMP akan
peka terhadap enzim Plasma-derived MMP inhibitor, Alpha-2-macroglobulin (protease inhibitor
dari Gelatinase), tissue inhibitor of MMP-1 (protease inhibitor dari Collagenase) dan tissue
inhibitor of MMP-2 (protease inhibitor dari Stromelysin) yang juga disekresi oleh sel synovial dan
kondrosit. Pada OA, terjadi sintesis MMP dalam jumlah yang besar dan enzim inhibitor yang
tersedia tidak cukup untuk mendegradasi MMP, dan Stromelysins mampu menjadi aktivator bagi
proenzimnya sendiri (prostromelysin) dan proenzim dari Collagenase (Procollagenase), sehingga
menimbulkan mekanisme umpan balik positif untuk mengaktivasi MMP, menghasilkan kerusakan
pada kartilago.
5
Gambar 2. mekanisme molekular dan selular yang terjadi pada OA
Faktor Risiko OA
Faktor Resiko OA terdiri dari umur, jenis kelamin, ras, faktor herediter, cuaca/iklim,
kelainan pertumbuhan, kegemukan, cedera sendi, dan diet.
6
1) Usia
Usia merupakan faktor resiko tertinggi terjadinya OA, prevalensi dan beratnya gejala
meningkat dengan bertambahnya usia. OA hampir tidak pernah terjadi pada anak-anak,
dan jarang pada umur dibawah 40 tahun. OA umumnya ditemukan pada usia lanjut yaitu
diatas 50 tahun. Hal ini disebabkan pada lanjut usia, pembentukan kondroitin sulfat yang
merupakan substansi dasar tulang rawan berkurang dan dapat terjadi fibrosis tulang rawan.
2) Jenis kelamin
Kelainan ini dapat ditemukan baik pada pria maupun wanita. Wanita lebih sering
terkena OA lutut dan OA poli-artikuler, sedangkan laki-laki lebih sering terkena OA paha,
pergelangan tangan dan leher. OA primer lebih banyak ditemukan pada wanita pasca
menopause, sedangkan OA sekunder lebih banyak ditemukan pada laki-laki. Secara
keseluruhan, dibawah 45 tahun frekuensi OA kurang lebih sama pada wanita dan laki-laki,
tetapi diatas 50 tahun frekuensi OA lebih banyak pada wanita daripada laki-laki.
3) Ras
Terdapat perbedaan prevalensi dan pola terkenanya sendi pada OA diantara masing-
masing suku bangsa, misalnya, OA paha lebih jarang pada orang ras kulit hitam dan Asia
daripada Kaukasia. Secara keseluruhan, OA lebih sering mengenai orang dengan ras kulit
putih seperti orang Asia khususnya Cina, Eropa, dan Amerika daripada orang dengan ras
kulit hitam.
4) Faktor herediter
Faktor herediter berperan pada timbulnya OA, misalnya, seorang wanita yang
memiliki ibu dengan OA pada sendi-sendi interfalang distal (nodus Heberden), memiliki
risiko 2 kali lebih tinggi terkena OA pada sendi tersebut dan apabila wanita tersebut
memiliki anak perempuan, akan meningkatkan resiko 3 kali terkena OA pada anak
perempuannya. Mutasi dalam gen Prokolagen II atau gen-gen struktural lain untuk unsur
tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan XII, protein pengikat atau proteoglikan
berperan dalam timbulnya kecenderungan familial pada OA tertentu, terutama OA poli-
artikuler.
7
5) Cuaca/iklim
Gejala lebih sering timbul setelah kontak dengan cuaca dingin atau lembab.
6) Kelainan pertumbuhan
Kelainan kongenital dan pertumbuhan paha (misalnya penyakit Perthes dan dislokasi
kongenital paha) telah dikaitkan dengan timbulnya OA paha pada usia muda. Mekanisme
ini juga diduga berperan pada lebih banyaknya OA paha pada laki-laki dan ras tertentu.
Trauma hebat yang mengakibatkan cedera sendi seperti fraktur intra-artikuler atau
dislokasi sendi merupakan predisposisi OA. Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian
satu sendi terus menerus berkaitan dengan peningkatan risiko OA tertentu tergantung jenis
pekerjaannya. Seorang atlet pada cabang olahraga yang memiliki resiko tinggi cedera sendi
juga berkaitan dengan risiko terkena OA.
9) Diet
Salah satu tipe OA yang bersifat umum di Siberia yang disebut penyakit Kashin-Beck
yang disebabkan menelan zat toksin yang disebut fusaria.
Gambaran klinis OA
OA biasanya mengenai satu atau beberapa sendi. Gejala klinis yang ditemukan
berhubungan dengan fase inflamasi synovial, penggunaan sendi serta inflamasi dan degenerasi
yang terjadi sekitar sendi.
8
1) Nyeri sendi
Merupakan keluhan utama yang sering dikeluhkan pasien. Terdapat 3 tempat yang
menjadi sumber nyeri, yaitu jaringan sendi, tulang, dan sinovium. Nyeri terutama pada
sendi penyangga beban tubuh seperti sendi lutut dan sendi panggul. Nyeri terjadi bila sendi
digerakkan dan pada waktu berjalan. Nyeri yang terjadi pada OA berhubungan dengan
inflamasi yang luas, kontraktur kapsul sendi, dan peningkatan tekanan intra-artikuler akibat
kongesti vaskular.
Gangguan pergerakan pada sendi disebabkan karena fibrosis pada kapsul, osteofit atau
iregularitas permukaan sendi. Sering ditemukan atau terdengar adanya krepitasi pada
pergerakan sendi. Gangguan biasanya semakin bertambah berat sejalan dengan
bertambahnya nyeri.
3) Kaku pagi
Kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti duduk di kursi dalam waktu yang
cukup lama atau setelah bangun tidur.
4) Krepitasi
Rasa gemeretak (kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit. Pada pemeriksaan
klinis untuk OA lutut gejala ini jelas didapatkan. Gejala ini timbul karena gesekan kedua
permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif dimanipulasi.
Hampir semua pasien OA pergelangan kaki, tumit, panggul, dan lutut berkembang
menjadi pincang. Gangguan berjalan merupakan gangguan yang besar untuk kemandirian
pasien OA yang umumnya tua.
9
7) Pembengkakan sendi
Pembengkakan terutama ditemukan pada sendi lutut dan sendi siku. Pembengkakan
dapat disebabkan oleh cairan dalam sendi pada stadium akut atau karena pembengkakan
pada tulang (osteofit), juga terjadi karena adanya pembengkakan dan penebalan pada
sinovia yang berupa kista.
8) Tanda-tanda peradangan
Tanda-tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat
yang merata dan warna kemerahan) dijumpai pada OA kerena adanya Sinovitis. Sering
dijumpai di sendi lutut, pergelangan kaki, dan sendi kecil tangan dan kaki. Biasanya tanda-
tanda peradangan tak menonjol dan timbul belakangan.
Gambaran radiologis OA
1) Foto polos
Gambaran yang khas pada pemeriksaan foto polos terdapat penyempitan ruang
sendi yang asimetris karena hilangnya tulang rawan sendi, terdapat bentukan osteofit
pada tepi sendi, densitas tulang normal atau meninggi, sklerosis tulang subkondral, dan
kista tulang pada pada permukaan sendi terutama subkondral. Gambaran khas yang
disebutkan diatas tampak jelas ditemukan pada sendi-sendi besar.
Klasifikasi Kellgren dan Lawrence digunakan untuk menentukan derajat
keparahan OA lutut, klasifikasi dikategorikan berdasarkan bentukan osteofit,
penyempitan ruang antar sendi, dan sklerosis tulang : (19)
1) Grade 0 (normal) : tidak ada tanda-tanda OA
2) Grade 1 (doubtful) : meragukan, gambaran osteofit minimal
3) Grade 2 (mild) : gambaran osteofit jelas, ruang antar sendi normal
4) Grade 3 (moderate): gambaran osteofit jelas, penyempitan ruang antar sendi
5) Grade 4 (severe) : gambaran osteofit jelas, penyempitan ruang antar
sendi, sklerosis subkondral
10
Gambar 3. klasifikasi tingkat keparahan OA lutut menurut Kellgren dan Lawrence
Pemeriksaan laboratorium OA
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mengkonfirmasi diagnosis OA.
Pemeriksaan darah tepi (Hemoglobin, Leukosit, laju endap darah) dalam batas normal, kecuali OA
generalisata yang harus dibedakan dengan artritis peradangan. Pemeriksaan autoantibodi
(rheumatoid factor dan antinuclear antibody) merupakan suatu indikasi apabila terdapat gejala
Reumatoid Arthritis. Pemeriksaan laboratorium lebih sering digunakan untuk menyingkirkan
diagnosis banding dari OA seperti Reumatoid Arthritis, dan arthritis Gout. Pemeriksaan
Arthrocentesis yaitu menggunakan cairan sinovial bisa dilakukan pada pasien yang dicurigai OA.
Cairan sinovial jika diperiksa dalam tabung akan terlihat transparan, bersifat jernih, mempunyai
viskositas tinggi dengan kadar protein yang rendah (2 g/100 ml), dan juga dapat terjadi efusi
hemoragik terutama pada orang tua. Pada pasien OA, perhitungan jumlah sel darah putih pada
cairan sinovial kurang dari 2000 sel/mcL (khas kurang dari 1000 sel/mcL), apabila perhitungan
didapatkan lebih dari 2000 sel/mcL, kemungkinan merupakan suatu inflammatory Arthritis. Pada
pemeriksaan cairan sinovial menggunakan mikroskop cahaya, pasien dengan OA tidak didapatkan
pengendapan Kristal, namun dapat terlihat pada Arthritis Gout.
11
Diagnosis OA
Terdapatnya 3 dari 6 kriteria yang ditentukan pada pasien dengan nyeri sendi lutut kronis,
memiliki persentase 95% sensitif dan 69% spesifik untuk mendiagnosis suatu OA, dan dengan
dilakukan pemeriksaan penunjang seperti Pemeriksaan Radiologis yang didapatkan gambaran
penyempitan ruang antar sendi dan bentukan osteofit, dapat membantu menegakkan diagnosis.
Berat badan yang berlebih berkaitan dengan meningkatnya risiko untuk timbulnya OA baik
pada wanita Maupun pada laki-laki. penelitian Coggon et al melaporkan subjek dengan IMT lebih
dari 30 Kg/m2 memiliki resiko terkena OA lutut 6,8 kali lebih tinggi daripada subjek dengan IMT
yang normal. Berat badan berlebih menyebabkan meningkatnya beban mekanis pada sendi
penyangga tubuh salah satunya ialah sendi lutut. Peningkatan beban mekanis pada sendi lutut
secara progresif akan menyebabkan jejas mekanis yang merangsang terbentuknya molekul
abnormal dan produk degradasi kartilago didalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan
terjadi inflamasi sendi, kerusakan kondrosit dan nyeri.
12
Penatalaksanaan osteoarthritis
Walaupun OA tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan.
Penatalaksanaan pada OA bertujuan untuk meningkatkan pemahaman penderita terhadap
penyakitnya, meredakan nyeri dan keluhan lain, meningkatkan kapasitas fungsional, mencegah
dan mengurangi kecacatan.
Penatalaksanaan OA berdasarkan atas sendi yang terkena dan berat ringannya OA yang
diderita (Soeroso, 2006). Penatalaksanaan OA terbagi atas 3 hal, yaitu:
1. Terapi non-farmakologis
a. Edukasi
Edukasi atau penjelasan kepada pasien perlu dilakukan agar pasien dapat mengetahui
serta memahami tentang penyakit yang dideritanya, bagaimana agar penyakitnya tidak
bertambah semakin parah, dan agar persendiaanya tetap difungsikan.
2. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis pada pasien osteoarthritis adalah terapi simptomatik, yang termasuk
dalam golongan ini adalah analgesik, obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan
kortikosteroid.
13
a. Analgesik
Jika rasa sakit tetap setelah diberikan analgesik, dokter mungkin merekomendasikan
obat anti-inflammatory (OAINS). Obat ini membantu meredakan nyeri dan bengkak. Jenis
OAINS termasuka aspirin, ibuprofen dan naproxen. OAINS bekerja dengan cara
menghambat jalur siklooksigenase (COX) pada reaksi inflamasi. Terdapat 2 macam enzim
COX, yaitu COX-1 (bersifat fisiologik, terdapat pada lambung, ginjal dan trombosit) dan
COX-2 (berperan pada proses inflamasi). OAINS tradisional bekerja dengan cara
menghambat COX-1 dan COX-2, sehingga dapat mengakibatkan perdarahan lambung,
gangguan fungsi ginjal, retensi cairan dan hiperkalemia. OAINS yang bersifat inhibitor
COX-2 selektif akan memberikan efek gastrointestinal yang lebih kecil dibandingkan
penggunaan OAINS yang tradisional.
- Terapi OAINS diintergrasikan dengan analgesik opioid maupun non opioid, terapi
topical, terapi nutrisi, fisioterapi dan edukasi.
- Evaluasi indikasi, kontra indikasi, cara pemberian, jenis OAINS, efikasi, efek
samping,, interaksi obat, dosis, dan harga. Diberikan setelah makan dan pikirkan
pemberian non oral karena dapat menyebabkan ulserasi lambung dan usus.
- Hindari penggunaan jangka panjang atau dosis tinggi, jika nyeri hebat.
- Inhibitor selektif COX-2 pilihan utama, kecuali ada gangguan ginjal dan hipertensi.
- OAINS non inhibitor selektif COX-2 digunakan bersama inhibitor pompa proton
atau misoprostol.
- Jika nyeri sudah berkurang lakukan step-down, kurangi dosis dan frekuensi
pemberian atau diganti dengan analgesik biasa.
14
c. Kortikosteroid
Injeksi kortikosteroid intraartikuler (I.a) menperbaiki fungsi sendi OA. Penyuntikan
yang aseptik, pastikan tidak ada infeksi sendi, maksimal 3 kali dalam setahun, tidak lebih
dari 6 kali seumur hidup. Meta-analisis pada 21 uji klinis pasien OA 1721 kortikosteroid
intraartikuler lebih tinggi dari placebo dalam mengurangi nyeri dan memperbaiki fungsi.
3. Terapi pembedahan
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit
dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas
sehari – hari.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Felson, D.T., 2008. Osteoarthritis. Dalam : Fauci, A., Hauser, L.S., Jameson, J.L., Ed.
HARRISON's Principles of Internal Medicine Seventeenth Edition. New York, United
States of America. McGraw-Hill Companies Inc. : 2158-2165.
2. Joern W.-P. Michael, Klaus U. Schlüter-Brust, Peer Eysel. 2010. The Epidemiology,
Etiology, Diagnosis and Treatment of Osteoarthritis of the Knee. Dtsch Arztebl Int.
Diakses tanggal : 19 maret 2017, Diunduh dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2841860/pdf/Dtsch_Arztebl_Int-107-
0152.pdf
3. Soeroso. J, Yuliasih. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Osteoarthritis. Ed. II.
Universitas Airlangga Press. Surabaya
4. Rasjad Chairuddin. 2012. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi: Osteoarthritis. Ed III. Yarsif
Watampone. Jakarta.
5. Soersono. J, Ammarillo. M L, Dans. L F, Santoso G H, Kalim H. 2005. Risk factors of
Symptomatic Osteoarthritis of the Knee at A Hospital in Indonesia. APLAR Jurnal of
Rheumatology 8.
6. Yatim F. 2006. Penyakit Tulang dan Persendian (Arthritis atau Athralgia). Ed. I. Pustaka
Populer Obor. Jakarta.
7. Pratiwi, A I. 2015. Diagnosis dan Treatment Oateoarthritis. Vol IV No 4. J Majority.
Diakses tanggal 20 Maret 2017. Diunduh dari:
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/viewFile/572/576
8. Sugondo S. Buku ajar ilmu penyakit dalam: Osteoartritis. Ed. VI. Jilid 3. Editor: Setiati S,
Alwi I, Sudoyo A W, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A F. Jakarta: InternaPublishing;
2014 hal. 3197-3208.
9. Imboden J, Hellman D, Stone J. Current Diagnosis & Treatment Rheumatology :
Osteoarthritis. Ed. III. USA: McGraw-hill; 2013. Hal. 327-331.
16