Berdasarkan data prevalensi di Amerika dari The National Centres for Health Statistic diperkirakan
15,8 juta orang dewasa yang berumur antara 25-74 tahun memiliki tanda dan gejala dari OA.
Diperkirakan pada tahun 2020 sekitar 18,2% penduduk amerika (59,4 juta orang) akan terkena
penyakit OA.
Di indonesia, prevalensi OA sebanyak 34,3 juta orang pada tahun 2002 dan mencapai 36,5 juta orang
pada tahun 2007. Diperkirakan 40% dari populasi usia diatas 70 tahun menderita OA dan 80%
pasien OA mempunyai keterbatasan gerak dalam berbagai derajat.Diperkirakan 1 – 2 juta orang
lanjut usia menderita cacat karena OA.
PATOFISIOLOGI
Kerusakan kartilago merupakan awal berkembangnya OA. Jika terjadi kerusakan, jaring-jaring
kolagen gagal mempertahankan kartilago, sehingga proteoglikan keluar.
Kartilago tersusun atas dua jenis makromolekul utama, yaitu kolagen tipe dua dan aggrekan.
Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul- molekul aggrekan di antara
jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul proteoglikan yang berikatan dengan asam
hialuronat dan memberikan kepadatan pada kartilago. Kedua makromolekul ini dipecah oleh
metaloproteinase matriks (MMPs) yang disintesis oleh kondrosit. Kondrosit menghasilkan
enzim pemecah matriks, sitokin (IL-1 dan TNF), dan faktor pertumbuhan. Sitokin dapat
menstimulasi pergantian matriks, namun stimulasi IL-1 yang berlebih malah memicu proses
degradasi matriks. TNF menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin (PG), oksida
nitrit (NO), dan protein lainnya yang memiliki efek terhadap sintesis dan degradasi matriks.
TNF yang berlebihan mempercepat Proses pembentukan tersebut. NO yang dihasilkan akan
menghambat sintesis aggrekan dan meningkatkan proses pemecahan protein pada jaringan.
Hal ini berlangsung pada proses awal timbulnya OA. Pada proses timbulnya OA, kondrosit
yang terstimulasi akan melepaskan aggrekan dan kolagen tipe dua yang tidak adekuat ke
kartilago dan cairan sendi. Aggrekan pada kartilago akan sering habis dan jalinan kolagen akan
mudah mengendur. Kegagalan mekanisme pertahanan ini akan meningkatkan kemungkinan
OA pada sendi.
ETIOLOGI,FAKTOR RESIKO
kondrosit gagal dalam menjaga
Ketidakseimbangan antara
sintesis dan degradasi kartilago
Etiologi sendi.
Degradasi > Sintesis
1. Obesitas
2. Pernah mengalami trauma dan
radang pada sendi
3. Usia
Faktor resiko 4. Pekerjaan dan olahraga
5. Genetik
Klasifikasi OA dapat berdasarkan etiologi
dan
lokasi sendi yang kena
KLASIFIKASI
OA PRIMER
OA
SEKUNDER
Berdasarkan :
1.Distribusi (sendi mana yang terkena) dan berat ringannya sendi
yang terkena,
2.Pemakaian Obat bersamaan.
3.Respon Alergi Pasen.
PIRAMIDA PENATALAKSANAAN OA
Terapi Non farmakologi
1. Parasetamol
Mekanisme : Paracetamol bekerja dengan mengurangi produksi prostaglandin dengan
mengganggu enzim cyclooksigenase (COX). Parasetamol menghambat kerja COX pada sistem
syaraf pusat yang tidak efektif dan sel edothelial dan bukan pada sel kekebalan dengan
peroksida tinggi. Kemampuan menghambat kerja enzim COX yang dihasilkan otak inilah yang
membuat paracetamol dapat mengurangi rasa sakit kepala dan dapat menurunkan demam.
Farmakodinamik:Paracetamol digunakan sebagai analgesik dan antipiretik. Paracetamol
mengurangi produksi prostaglandin yaitu suatu senyawa proinflamasi , tetapi paracetamol
tidak mempunyai efek antiinflamasi.
Efek samping : efek samping penggunaan paracetamol terus menerus dapat
menyebabkan overdosis dan keracunan. Keracunan parasetamol disebabkan karena akumulasi
dari salah satu metabolitnya yaitu N- acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI), yang dapat terjadi
karena overdosis, pada pasien malnutrisi, atau pada peminum alkohol kronik.
Kontra indikasi : Hipersensitif terhadap parasetamol dan defisiensi glukose-6-fosfat
dehidrogenase. Tidak boleh digunakan pada penderita dengan gangguan fungsi hati.
Analgesik
2. Tramadol
Mekanisme : tramadol memiliki 2 mekanisme kerja, yaitu sebagai opioid dan monoaminergik
(Schug, 2014). efek agonis pada reseptor opioid, terutama pada reseptor μ (mu), dengan efek yang
minimal pada reseptor κ (kappa) dan σ (sigma). Tramadol mengaktivasi reseptor monoaminergik
serta menghambat ambilan noradrenalin dan juga serotonin sinaptosomal, sehingga akan
menghasilkan efek analgesia.
Farmakodinamik:Tramadol kemampuan analgesiknya cukup kuat, karena selain mengaktivasi
reseptor opioid, obat ini juga menghambat ambilan kembali noradrenalin dan serotonin. Adanya
penghambat ambilan kembari noradrenalin dan serotonin neural ini akan meningkatkan kadar
noradrenalin dan serotonin di celah sinaps, yang pada akhirnya akan menurunkan sinyal nyeri aferen
dan amplifikasi sinyal inhibisi eferen.
Efek samping : Efek samping yang sering timbul adalah sakit kepala,dan mulut kering. Efek
samping yang jarang timbul adalah takikardi, depresi pernafasan, dispepsia, pusing. Tramadol
merupakan obat dengan kategori C ( tidak menyebabkan efek teratogenik dan toksik pada
penggunaan dosis terapeutik)
Kontra indikasi : Pasien dengan hipersensitivitas terhadap tramadol . Intoksikasi akut dengan
alkohol, analgesik, opioid, obat hipnotik dan psikotropik. Pasien yang menggunakan inhibitor MAO
dalam waktu 14 hari terakhir. Pasien dengan hipersensitivitas opioid.
Terapi intra-articular
1. Injeksi kortikosteroid
Mekanisme : Interaksi dengan protein reseptor spesifik, mengatur suatu ekspresi genetik selanjtnya menghasilkan perubahan
dalam sintesis protein lain.Protein terkahir akan mengubah fngsi seluler organ target sehingga diperoleh efek.Contoh efek :
retensi Na, glukoneogenesis, anntiinflamasi
Farmakodinamik : Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintetis protein. Hormon memasuki sel jaringan
yang responnya melalui membran plasma secara difusi pasif kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam
sitoplasma sel jaringandan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konfirmasi, lalu
bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik
Efek samping : pemberian tanpa peringatan dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang bersifat sementara ataupun permanen
yang terjadi pada level lokal maupun sistemik.pemberian secara kronis dapat menyebabkan demineralisasi tulang yang
menyebabkan osteoporosis dengan akibat terjadinya fraktur di daerah tulang belakang, pergelangan tangan maupun pinggul.
Kontraindikasi :Sebenarnya hingga saat ini tidak ada kontraindikasi absolute untuk penggunaan
kortikosteroid. Kortikosteroid digunakan lebih hati-hati pada pasien dengan gangguan jantung, pasien dengan riwayat ulkus
peptikum, pasien diabetes dan dengan riwayat hipertensi. Pertimbangan khusus pada pemberian kortikosteroid juga dilakukan
pada pasien dengan infeksi kronis seperti tuberkulosis yang dapat menyebabkan penyebaran tuberkulosis secara sistemik.
Toksisitas : ada dua kategori untuk toksisitas dari kortikosteroid. Pertama,adalah hasil dari penghentian terapi dan yang kedua
adalah pemberian yang terus menerus dengan dosis suprafisiollogis. Keduanya mengancam nyawa dan memerlukan
penatalaksanaan yang lebih hati – hati.
KORTIKOSTEROID
Perbandingan Antar Obat
Indikasi
Dilaporkan dapat menurunkan rasa sakit pada pasien OA
Efek samping
Pembengkakan sendi akut dan reaksi kulit lokal ( rash, pruritus)
Sediaan
Efek Samping
Interaksi Obat
Capsaicin, isolasi dari lada merah, menyebabkan pelepasan dan pengosongan substansi P dari serabut
saraf.
Indikasi
Menghilangkan rasa sakit pada OA
Dosis dan cara pemakaian
Digunakan sendiri atau kombinasi dengan analgesik oral atau obat AINS
Digunakan teratur sehari 2 -4 kali sampai 2 minggu.
Peringatan
Tidak mengoleskan krimpada mata atau mulut, cuci tangan setelah penggunaan.
Efek Samping
Pada beberapa pasien : rasa terbakar dan sengatan untuk sementara pada area yang dioleskan.
ACETAMINOPHEN
Farmakologi ,Mekanisme Kerja dan Farmakoterapi
• Diperkirakan bekerja pada SSP dengan Inhibisi (menghambat) sintesis
prostaglandins (mediator nyeri).
• Absorpsi baik pada pemberian oral (BA : 60% sampai 98%).
• Kadar puncak terjadi dalam darah tercapai 1 sampai 2 jam.
• Inaktivasi di hati melalui konjugasi dengan glukuronat atau sulfat, metabolit
diekskskresikan melalui ginjal.
Efikasi
• Menunjukan aktivitas meringankan nyeri OA ringan sampai sedang pada dosis 2,6
sampai 4 gram/hari.
• Sebanding dengan aspirin 650 mg 4 kali sehari, ibuprofen 1200 atau 2400 mg /hari
dan naproxen 750 mg/hari.
ACETAMINOPHEN
Efek Samping
• Walaupun asetaminofen merupakan salah satu analgesik yang paling aman,
penggunaanya membawa beberapa resiko.
• Terutama hepatotoksik , kemungkinan toksisitas terhadap ginjal dan perdarahan GI
(pemakaian jangka panjang)
Interaksi Obat
• Isoniazide dapat meningkatkan resiko heptotoksik.
• Meningkatkan efek antikoagulan warfarin.
• Makanan dapat menurunkan konsentrasi maksimal serum.
Dosis
• Untuk OA kronis : 325-650 mg, empat kali sehari. Atau sampai dosis maksimal 4
gram/hari.
SUPLEMEN
GLUKOSAMIN DAN KONDROITIN
Mekanisme Kerja
Kegunaan
• Efektif meringankan nyeri, meningkatkan pergerakan.
• Glukosamin ( mengurangi penyempitan ruang sendi dan menurunkan keterbatasan
fungsi fisik)
• Dipasarkan sebagai suplemen makanan.
ANALGESIK NARKOTIKA
Mekanisme Kerja :
Analgesik narkotika dosis rendah sangat berguna pada pasien
yang tidak sembuh dengan asetaminofen, AINS,Injeksi intra-
articular, atau terapi topikal.
Berguna untuk pasen yang tidak dapat menggunakan AINS
(pasen dgn gangguan ginjal) dan pasien dengan resiko
pembedahan.
Sediaan lepas lambat memberikan pengelolaan nyeri yang
lebih baik sepanjang hari, penelitian : oxymorfin XR 40-50
mg sehari 2 kali meringankan nyeri,meningkatkan fungsi
sendi dan kulaitas hidup.
ANALGESIK NARKOTIKA
Indikasi
Nyeri sedang sampai berat
Kontaindikasi
Depresi nafas akut,Alkoholisme akut,Resiko ileus paralitik
Peringatan
hipotensi, hipotiroidime, asma, hipertrofi prostat, wanita hamil dan menyusui,
memicu koma hepatik, ketergantungan.
Interaksi Obat Alkohol : menaikan efek sedatif
Antibakteri : rifampisin mengurangi efek metadon, analgetik opioid menurunkan
kadar plasma siprofloxacin
Antipsikotik : menaikan efek sedatif dan efek hipotensif
Metoklopramid dan domperidone : antagonisme efek saluran cerna.
Obat antiulkus : simetidin menghambat metabolisme analgetik opioid.
Efek samping
Mual, muntah, konstipasi, rasa mengantuk. Dosis besar menimbulakn
depresi nafas dan hipotensi.
DATA FARMAKOLOGI ANALGESIK
NARKOTIKA
DEPRESI
OBAT ANALGESIK ANTITUSIF KONSTIPASI SEDASI EMESIS
PERNAPASAN
Kodein + +++ + + + +
Hidrokodon + +++ - + - -
Hidromorfon ++ +++ + ++ + +
Levorfanol ++ ++ ++ ++ ++ +
Morfin ++ +++ ++ ++ ++ ++
Oksimorfin ++ + ++ +++ - +++
Alfentanil ++ - - - - -
Fentanil ++ - - + - +
Meperidin ++ + + ++ + -
Sufentanil +++ - - - - -
Metadon ++ ++ ++ ++ + +
Remifentanil +++ - + ++ - ++
CASE OSTEOARTRITIS
SUBJEKTIF
IDENTITAS PASIEN
Nama : Angelia
Umur : 74 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Bali
Agama : Hindu
Pendidikan : Tamat SD
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Danau Tempe G. Mawar No.7 Sanur
Tanggal MRS : 26 April 2013
Tanggal Pemeriksaan : 4 Mei 2013
KELUHAN UTAMA
Nyeri pada lutut kiri dan kanan
ANAMNESA KHUSUS
Pasien datang ke IGD RSUP Sanglah dengan keluhan nyeri pada lutut kiri dan
kanan sejak 11 hari sebelum pemeriksaan. Nyeri awalnya dikatakan hilang timbul
namun pagi hari sebelum masuk rumah sakit (MRS), nyeri dikatakan menetap.
Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan terlokalisir pada lutut kiri dan kanan.
Nyeri dirasakan sangat berat oleh pasien hingga pasien tidak dapat beraktivitas.
Nyeri pada lutut dirasakan memberat terutama jika pasien berjalan, berdiri agak
lama atau bangun dari posisi jongkok. Keluhan juga dikatakan memberat saat pagi
hari dan tidak membaik jika pasien beristirahat.
Pasien juga mengatakan sering merasakan nyeri pada lutut kanan sejak sekitar 2
tahun yang lalu dan sudah memperoleh pengobatan dari dokter. Pasien juga
mengeluh lutut kiri dan kanannya agak kaku sehingga sulit untuk digerakkan.
Kaku dikatakan bersamaan dengan timbulnya rasa nyeri pada lutut dan dirasakan
sekitar 5-10 menit kemudian hilang. Kaku dirasakan biasanya pada pagi hari saat
bangun dari tidur dan setelah pasien duduk lama. Riwayat demam disangkal oleh
pasien. Mual-muntah disangkal oleh pasien.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien sudah sering mengalami sakit pada lututnya sejak 2 tahun yang lalu. Pasien
juga mengatakan pernah dirawat di RSUP Sanglah 2 bulan yang lalu dengan diagnosis
OA dan DM tipe 2. Riwayat jatuh atau kecelakaan yang menimpa lutut kanan maupun
kiri pasien disangkal.
RIWAYAT KELUARGA
Pasien mengatakan ibunya mempunyai riwayat penyakit yang sama pada sendi
lututnya kira-kira sejak berumur 50 tahun, tetapi tidak pernah memeriksakan diri ke
dokter, hanya menggunakan obat tradisional seperti “boreh”. Riwayat penyakit lain
seperti penyakit jantung, darah tinggi, diabetes militus dalam keluarga juga disangkal.
RIWAYAT PENGOBATAN
Sejak 2 tahun yang lalu pasien mengatakan hanya memeriksakan diri ke dokter umum
bila keluhannya tidak terlalu parah. Pasien hanya berobat ke rumah sakit bila keluhan
nyeri-nyeri pada lututnya tidak hilang setelah berobat di dokter umum.Obat-obatan
tersebut hanya diminum jika terdapat keluhan saja. Obat yang biasa diminum oleh
pasien adalah natrium diclofenac.
DL (29-04-2013)
Catatan:
Pada saat ini penegakan diagnosis OA terdiri atas
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan
radiologi. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, laboratorium dan radiologi dapat
disimpulkan bahwa pasien ini mengalami OA
Genu Dextra et Sinistra Fc IV.
Planning
1. Edukasi
Pemberian edukasi (KIE) pada pasien ini sangat penting karena dengan edukasi
diharapkan pengetahuan mengenai penyakit OA menjadi meningkat dan pengobatan
menjadi lebih mudah serta dapat diajak bersama-sama untuk mencegah kerusakan
organ sendi lebih lanjut. Agar rasa nyeri dapat berkurang, maka pasien sedianya
mengurangi aktivitas atau pekerjaannya. Pasien juga disarankan untuk kontrol kembali
sehingga dapat diketahui apakah penyakitnya sudah membaik atau ternyata ada efek
samping akibat obat yang diberikan.
2. Terapi fisik
Pada pasien ini untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai dan
melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit dianjurkan untuk berolah raga tapi
olah raga yang memperberat sendi sebaiknya dihindari seperti lari atau joging. Pada
pasien ini dapat disarankan untuk senam aerobic low impact atau intensitas rendah
tanpa membebani tubuh selama 30 menit sehari tiga kali seminggu. Hal ini bisa
dilakukan dengan olahraga naik sepeda atau dengan melakukan senam lantai.
3. Diet
Pada pasien ini disarankan untuk mengurangi berat badan dengan mengatur diet
rendah kalori sampai mungkin mendekati berat badan ideal. Dimana prinsipnya adalah
mengurangi kalori yang masuk dibawah energi yang dibutuhkan. Pada pasien di
anjurkan untuk diet 1200 kal perhari agar mencapai BB idealnya yakni setidaknya
mencapai 55 kg. Contoh komposisi makanan yang kami anjurkan adalah dalam sehari
pasien bisa memasak 1 gelas beras (550 kal), 4 potong tempe sedang (150 kal), 1 buah
telur (100kal), 2 potong ayam sedang (300kal) dan 1 ikat sayuran kangkung (75kal).
4. Terapi Farmakologis
Pada pasien ini diberikan natrium diclofenac yang merupakan selektif COX-2 untuk
mengobati nyeri sedang sampai berat dan sebagai anti inflamasi. Selain itu, obat ini
juga memiliki efek samping minimal padagastrointestinal.
REFERENSI
Wardani,ni putu.penggunaan
kortikoteroid oada prosedur
anestesia.2017.universitas udayana
rumah sakit umum pusat
sanglah.Denpasar