Anda di halaman 1dari 24

BAB II

PEMBAHASAN

1. PATOFISIOLOGI REMATOID ATRITIS (RA)

Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana


merupakan penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi,
cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin, keturunan, dan
psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai pencetus
awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin
diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.

Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi


imun komplek dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa
sebagai pencetus awal mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan
faktor rematoid, suatu antibodi terhadap antibodi abnormal, sehingga
terjadi reaksi imun komplek (autoimun).

Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas


diketahui, dan teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi
berbagai peran yang saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi,
autoantibodi serta peran imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan
berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu sam lainnya
saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan pada
sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ
lainnya. Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat
menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam
proses keradangan.

3
Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA

Proses Peradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan


dari pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor)
dan anti-CCP dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc
dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya
sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF
didapatkan pada 75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai
seropositive. Anti-CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan
spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat pada stadium
awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana
diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra
dkk,2013).

4
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam
patofisiologi RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T
merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang merangsang
terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial,
jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan
melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian
menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi
dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial.
Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan
granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular
dan berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi
tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang
menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat juga
terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah
pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis,
penyakit jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi
hypothalamic-pituitary- adrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan
dan depresi (Choy, 2012).

Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada

5
jaringan di bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan
penyumbatan pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang
secara klinis sudah jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat
edema dan menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili.

Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang
mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat
karena adanya Pannus (Putra dkk,2013).

2. PATOFISIOLOGI HIPERTENSI
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di
toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin,
yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah,
dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi
pembuluh darah.

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat


mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi.
Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun
tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla
adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat
respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin.
Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah

6
menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
volume intra vaskuler.

3. PATOFISIOLOGI GOUT ATRITIS

Peningkatan kadar asam urat serum dapat disebabkan oleh


pembentukan berlebihan atau penurunan eksresi asam urat, ataupun
keduanya. Asam urat adalah produk akhir metabolisme purin. Secara
normal, metabolisme purin menjadi asam urat, Asam urat yang terbentuk
dari hasil metabolisme purin akan difiltrasi secara bebas oleh glomerulus
dan diresorpsi di tubulus proksimal ginjal. Sebagian kecil asam urat yang
diresorpsi kemudian diekskresikan di nefron distal dan dikeluarkan melalui
urin.

Pada penyakit gout-arthritis, terdapat gangguan kesetimbangan


metabolisme (pembentukan dan ekskresi) dari asam urat tersebut, meliputi:

1. Penurunan ekskresi asam urat secara idiopatik


2. Penurunan eksreksi asam urat sekunder, misalnya karena gagal ginjal
3. Peningkatan produksi asam urat, misalnya disebabkan oleh tumor
(yang meningkatkan cellular turnover) atau peningkatan sintesis purin
(karena defek enzim-enzim atau mekanisme umpan balik inhibisi yang
berperan)
4. Peningkatan asupan makanan yang mengandung purin.

Peningkatan produksi atau hambatan ekskresi akan meningkatkan


kadar asam urat dalam tubuh. Asam urat ini merupakan suatu zat yang
kelarutannya sangat rendah sehingga cenderung membentuk kristal.
Penimbunan asam urat paling banyak terdapat di sendi dalam bentuk kristal
mononatrium urat. Mekanismenya hingga saat ini masih belum diketahui.

Penimbunan kristal urat dan serangan yang berulang akan

7
menyebabkan terbentuknya endapan seperti kapur putih yang disebut
tofi/tofus (tophus) di tulang rawan dan kapsul sendi. Di tempat tersebut
endapan akan memicu reaksi peradangan granulomatosa, yang ditandai
dengan massa urat amorf (kristal) dikelilingi oleh makrofag, limfosit,
fibroblas, dan sel raksasa benda asing.

Peradangan kronis yang persisten dapat menyebabkan fibrosis


sinovium, erosi tulang rawan, dan dapat diikuti oleh fusi sendi (ankilosis).
Tofus dapat terbentuk di tempat lain (misalnya tendon, bursa, jaringan
lunak). Pengendapan kristal asam urat dalam tubulus ginjal dapat
mengakibatkan penyumbatan dan nefropati gout.

4. PATOFISIOLOGI OSTEOPOROSIS
Proses menua merupakan suatu proses normal yang ditandai
dengan perubahab secara progresif dalam proses biokimia, sehinga terjadi
kelainan atau perubahan stuktur dan fungsi jaringan, sel, dan nono sel
(Widjayakusumah 19920. Berbagai perubahan fisik dan psikososial akan
terjadi sebagai akibat proses menua. Terjadinya perubahan pada semua
orang yang mencapai usia tua yang tidak disebabkan oleh proses penyakit,
menyebabkan kenapa penderita geriatric berbeda dengan populasi lain
(Brocklehurst and Allen, 1987) Banyak perubahan fisiologi yang
mempengaruhi status gizi pada proses penuaan diantaranya adalah
penurunan kecepatan basal metabolic range (BMR) sekitar 2% decade
setelah 30 tahun. Penurunan sekresi asam klorida dan asam empedu yang
berpotensi untuk mengganggu penyerapan kalsium, zat besi, seng protein,,
lemak dan vitamin yang larut dalam penyerapan lemak. (Moore, 1997)
Ada beberapa faktor risiko osteoporosis daiantaranya genetic, jenis
kelamin dan masalah kesehatan kronis, defisiensi hormone, kurang olah
raga, serta rendahnya asupan kalsium, Bila dalam suatu keluarga
mempunyai riwayat osteoporosis maka kemungkinan peluang anak
mengalami hal yang sama adalah 60-80%. Dilihat dari jenis kelamin 80%
wanita mengidap osteoporosis. Risiko osteoporosis juga akan meningkat
apabila mengidap penyakit kronis. Sedangkan hubunga antara perempuan
osteoporosis karena menaupose akibat penurunan hormone esterogen ,

8
(Siswono, 2003)
Disamping asupan kalsium, ada beberapa zat gizi lainnya yang
terkait dengan kejadian osteoporosis pada wanita usia lanjut, asupan vitamin
D, asupan Fosfor, kalium, protein dan magnesium. Hasil penelitian
Macdonald, 2004 mendapatkan bahwa asupan lemak tidak jenuh ganda
(PUFA).
Masuka sayur dan buah yang tinggi juga dapat bersifat melindungi.
Penelitian lain menyebutkan bahwa total asupan protein hewani dapat
memperbasar risiko patah tulang pinggul pada wanita post menaupose
(Munger,1999).

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis


antara lain :

 Usia
 Genetik
 Faktor hormonal
 Obat-obat tertentu
 Gaya hidup : kurang olahraga, merokok, minum minuman beralkohol,
kafein.

Kadar hormon tiroid dan paratiroid yang berlebihan dapat


mengakibatkan hilangnya kalsium dalam jumlah yang lebih banyak.Obat-
obat golongan steroid pun dapat mengakibatkan hilangnya kalsium dari
tulang.
Proses pembentukan dan penimbunan sel-sel tulang sampai tercapai
kepadatan maksimal berjalan paling efisien sampai umur kita mencapai 30
tahun. Semakin tua usia kita, semakin sedikit jaringan tulang yang dibuat.
Padahal, di usia tersebut, jaringan tulang yang hilang semakin banyak.
Penelitian memperlihatkan bahwa sesudah usia mencapai 40 tahun, kita
semua akan kehilangan tulang sebesar setengah persen setiap tahunnya.
Pada wanita dalam masa pasca menopause, keseimbangan kalsium
menjadi negatif dengan tingkat 2 kali lipat dibanding sebelum
menopause. Faktor hormonal menjadi sebab mengapa wanita dalam masa

9
pascamenopause mempunyai resiko lebih besar untuk menderita
osteoporosis. Pada masa menopause, terjadi penurunan kadar hormon
estrogen. Estrogen memang merupakan salah satu faktor terpenting dalam
mencegah hilangnya kalsium tulang. Selain itu, estrogen juga merangsang
aktivitas osteoblas serta menghambat kerja hormon paratiroid dalam
merangsang osteoklas.

Estrogen memperlambat atau bahkan menghambat


hilangnya massatulang dengan meningkatkan penyerapan kalsium dari
saluran cerna. Dengan demikian, kadar kalsium darah yang normal dapat
dipertahankan. Semakin tinggi kadar kalsium di dalam darah, semakin kecil
kemungkinan hilangnya kalsium dari tulang (untuk menggantikan kalsium
darah).
Penurunan kadar estrogen yang terjadi pada masa pascamenopause
membawa dampak pada percepatan hilangnya jaringan tulang. Resiko
osteoporosis lebih meningkat lagi pada mereka yang mengalami menopause
dini (pada usia kurang dari 45tahun). Pada pria, hormon testosteron
melakukan fungsi yang serupa dalam hal membantu penyerapan kalsium.
Bedanya, pria tidak pernah mencapai usia tertentu dimana testis berhenti
memproduksi testosteron. Dengan demikian, pria tidak begitu mudah
mengalami osteoporosis. dibanding wanita.
Selain estrogen, berbagai faktor yang lain juga dapat mempengaruhi
derajat kecepatan hilangnya massa tulang. Salah satu hal yang utama
adalah kandungan kalsium di dalam makanan kita. Masalahnya, semakin
usia kita bertambah, kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium dari
makanan juga berkurang.

10
ASKEP KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN:
DIABETES MELLITUS

A. KONSEP MEDIS
1. Pengertian
Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara
genetic dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa
hilangnya toleransi karbohidrat (Price dan Wilson, 1995).
Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai
berbagai keluhan metabolic akibat gangguan hormonal yang
menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada berbagai organ dan
system tubuh seperti mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, dan
lain-lain (Mansjoer, 1999).
Diabetes melitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau
hiperglikemia (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh
ketidaseimbangan antara tuntutan dan suplai insulin (H.
Rumahorbo, 1999).
2. Etiologi
Penyebab diabetes mellitus sampai sekarang belum
diketahui dengan pasti tetapi umumnya diketahui karena
kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter
memegang peranan penting.

a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)


Sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya
juga disebut Juvenille Diabetes, yang gangguan ini ditandai
dengan adanya hiperglikemia (meningkatnya kadar gula darah).
Faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor
pencetus IDDM. Oleh karena itu insiden lebih tinggi atau adanya
infeksi virus (dari lingkungan) misalnya coxsackievirus B dan
streptococcus sehingga pengaruh lingkungan dipercaya
mempunyai peranan dalam terjadinya DM.

11
Virus atau mikroorganisme akan menyerang pulau –
pulau langerhans pankreas, yang membuat kehilangan produksi
insulin. Dapat pula akibat respon autoimmune, dimana antibody
sendiri akan menyerang sel bata pankreas. Faktor herediter, juga
dipercaya memainkan peran munculnya penyakit ini (Brunner &
Suddart, 2002)

b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)


Virus dan kuman leukosit antigen tidak nampak
memainkan peran terjadinya NIDDM. Faktor herediter memainkan
peran yang sangat besar. Riset melaporkan bahwa obesitas salah
satu faktor determinan terjadinya NIDDM sekitar 80% klien
NIDDM adalah kegemukan. Overweight membutuhkan banyak
insulin untuk metabolisme. Terjadinya hiperglikemia disaat
pankreas tidak cukup menghasilkan insulin sesuai kebutuhan.

3. Patofisiologi
a. DM Tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas
menghasilkan insulin karena hancurnya sel-sel beta pulau
langerhans. Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia puasa dan
hiperglikemia post prandial.
Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan
muncul glukosuria (glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan
disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan,
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak
sehingga terjadi penurunan berat badan akan muncul gejala
peningkatan selera makan (polifagia).
b. DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan
berkaitan pada reseptor kurang dan meskipun kadar insulin tinggi

12
dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk kedalam sel
sehingga sel akan kekurangan glukosa.

Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin.


Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat
peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Namun demikian jika
sel-sel beta tidak mampu mengimbanginya maka kadar glukosa
akan meningkat dan terjadilah DM tipe II (Corwin, 2000)

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian (Doengoes, 2001)
a. Aktivitas / istirahat.
Tanda :
1) Lemah, letih, susah, bergerak / susah berjalan, kram otot, tonus
otot menurun.
2) Tachicardi, tachipnea pada keadaan istrahat/daya aktivitas.
3) Letargi / disorientasi, koma.
b. Sirkulasi
Tanda :
1) Adanya riwayat hipertensi : infark miokard akut, kesemutan
pada ekstremitas dan tachicardia.
c. Neurosensori
Gejala :
Pusing / pening, gangguan penglihatan, disorientasi : mengantuk,
lifargi, stuport / koma (tahap lanjut). Sakit kepala, kesemutan,
kelemahan pada otot, parestesia, gangguan penglihatan,
gangguan memori (baru, masa lalu) : kacau mental, refleks fendo
dalam (RTD) menurun (koma), aktifitas kejang.
d. Nyeri / Kenyamanan
Gejala :
Abdomen yang tegang / nyeri (sedang berat), wajah meringis
dengan palpitasi : tampak sangat berhati – hati.

13
e. Keamanan
Gejala :
1) Kulit kering, gatal : ulkus kulit, demam diaporesis.
2) Menurunnya kekuatan immune / rentang gerak, parastesia/
paralysis otot termasuk otot – otot pernapasan (jika kadar kalium
menurun dengan cukup tajam).
3) Urine encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang menjadi
oliguria / anuria jika terjadi hipololemia barat).
f. Pemeriksaan Diagnostik
Gejala :
1. Glukosa darah : meningkat 100 – 200 mg/dl atau lebih.
2. Aseton plasma : positif secara menyolok.
3. Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.
4. Osmolaritas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 m
osm/l.

2) Diagnosa Keperawatan
a. Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia, diare,
muntah, poliuria, evaporasi.
b. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan defisiensi insulin/penurunan intake oral :
anoreksia, abnominal pain, gangguan kesadaran/hipermetabolik
akibat pelepasan hormone stress, epinefrin, cortisol, GH atau
karena proses luka.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/
gangguan sirkulasi.
e. Resiko gangguan persepsi sensoris : penglihatan berhubungan
dengan perubahan fungsi fisiologis akibat ketidakseimbangan
glukosa/insulin atau karena ketidakseimbangan elektrolit.
f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan energi,
perubahan kimia darah, insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan
energi, infeksi, hipermetabolik.
g. Nyeri berhubungan dengan adanya ulcus (luka diabetes mellitus).

14
h. Penurunan rawat diri berhubungan dengan kelemahan.
i. Kurang pengetahuan mengenai penyakitnya, prognosis penyakit
dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kesalahan
interprestasi (Doengoes, 2001)

3) Perencanaan / Intervensi
d. NDX : Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia,
diare, muntah, poliuria, evaporasi
Tujuan :
Klien akan mendemonstrasikan hidrasi adekuat, dengan kriteria :
1) Nadi perifer dapat teraba, turgor kulit baik.
2) Vital sign dalam batas normal, haluaran urine lancer.
3) Kadar elektrolit dalam batas normal
Intervensi :
Intervensi Rasional

1. Kaji pengeluaran urine 1. Membantu


dalam memperkirakan
kekurangan volume total,
tanda dan gejala mungkin
sudah ada pada beberapa
waktu sebelumnya,
adanya proses infeksi
mengakibatkan demam
dan keadaan
hipermetabolik yang
menigkatkan kehilangan
cairan
2. Pantau tanda-tanda vital 2. Perubahan tanda-
tanda vital dapat
diakibatkan oleh rasa
nyeri dan merupakan
indikator untuk menilai

15
keadaan perkembangan
penyakit.

3. Monitor Pola Nafas 3. Paru-paru mengeluarkan


asam karbonat melalui
pernapasan menghasilkan
alkalosis respiratorik,
ketoasidosis pernapasan
yang berbau aseton
berhubungan dengan
pemecahan asam aseton
dan asetat
4. Observasi dan frekwensi Pola 4. Koreksi hiperglikemia dan
Nafas asidosis akan
mempengaruhi pola dan
frekuensi pernapasan.
Pernapasan dangkal,
cepat, dan sianosis
merupakan indikasi dari
kelelahan pernapasan,
hilangnya kemampuan
untuk melakukan
kompensasi pada
asidosis.
5. Timbang berat Badan 5. Memberikan perkiraan
kebutuhan akan
cairan
6. Pemberian cairan sesuai indikasi 6. Tipe dan jenis cairan
tergantung pada derajat
kurangan cairan dan
respon

16
e. NDX: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan defisiensi insulin/penurunan intake oral: anoreksia,
abnominal pain, gangguan kesadaran/hipermetabolik akibat pelepasan
hormone stress, epinefrin, cortisol, GH atau karena proses luka.
Tujuan :
Klien akan mengkonsumsi secara tepat jumlah kebutuhan kalori atau
nutrisi yang di programkan dengan kriteria :
1) Peningkatan barat badan.
2) Pemeriksaan albumin dan globulin dalam batas normal.
3) Turgor kulit baik, mengkonsumsi makanan sesuai program.
Intervensi

Intervensi Rasional
1. Timbang berat badan. 1. Penurunan berat badan
menunjukkan tidak ada kuatnya
nutrisi klien.
2. Auskultasi bowel sound 2. Hiperglikemia dan
ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit menyebabkan
penurunan motilifas usus.
Apabila penurunan motilitas
usus berlangsung lama sebagai
akibat neuropati syaraf otonom
yang berhubungan dengan
sistem pencernaan.
3. Pemberian makanan oral dan
3. Berikan makanan lunak / cair.
lunak berfungsi untuk
meresforasi fungsi usus dan
diberikan pada klien dgn tingkat
kesadaran baik.

17
c. NDX : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.

Tujuan : Klien akan mempertahankan integritas kulit tetap utuh dan


terhindar dari inteksi dengan kriteria :
1) Tidak ada tanda – tanda infeksi.
2) Tidak ada luka.
3) Tidak ditemukan adanya perubahan warna kulit.
Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Observasi tanda – tanda infeksi 1. Kemerahan, edema, luka
drainase, cairan dari luka
menunjukkan adanya infeksi.
2. Ajarkan klien untuk mencuci 2. Mencegah cross
tangan dengan baik, untuk contamination.
mempertahankan kebersihan
tangan pada saat melakukan
prosedur.
3. Pertahankan kebersihan kulit. 3. Gangguan sirkulasi perifer
dapat terjadi bila
menempatkan pasien pada
kondisi resiko iritasi kulit.
4. Dorong klien mengkonsumsi diet 4. Peningkatan pengeluaran urine
secara adekuat dan intake akan mencegah statis dan
cairan 3000 ml/hari. mempertahankan PH urine
yang dapat mencegah
terjadinya perkembangan
bakteri.
5. Antibiotik bila ada indikasi 5. Mencegah terjadinya
perkembangan bakteri.

18
d. NDX : Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/
gangguan sirkulasi
Tujuan :
Klien akan menunjukkan tidak adanya tanda “inteksi, dengan kriteria :
a. Luka sembuh
b. Tidak ada edema sekitar luka.
c. Tidak terdapat pus, luka cepat mongering.
Intervensi
INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji keadaan kulit yangrusak 1. Mengetahui keadaan


peradangan untuk membantu
dalam menanggulangi atau
dapat dilakukan pencegahan.
2. Bersihkan luka dengan teknik 2. Mencegah terjadinya inteksi
septic dan antiseptic sekunder pada anggota
tubuh yang lain.
3. Kompres luka dengan larutan 3. Selain untuk membersihkan
Nacl luka dan juga untuk
mempercepat pertumbuhan
jaringan
4. Anjurkan pada klien agarmenjaga 4. Kelembaban dan kulit
predisposisi terjadinya lesi. kotorsebagai predisposisi
terjadinya lesi.
5. Pemberian obat antibiotic. 5. Antibiotik untuk membunuh
kuman.

19
4. Implementasi
Merupakan tahap dimana rencana keperawatan dilaksanakan
sesuai dengan intervensi. Tujuan dari implementasi adalah membantu
klien dalam mencapai peningkatan kesehatan baik yang dilakukan
secara mandiri maupun kolaborasi dan rujukan.

5. Evaluasi
Merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk mencapai
kemampuan klien dan tujuan dengan melihat perkembangan klien.
Evaluasi klien diabetes mellitus dilakukan berdasarkan kriteria yang
telah ditetapkan sebelumnya pada tujuan

20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2000).
Proses penuaan dapat ditinjau dari aspek biologis, sosial dan
psikologik. Teori-teori biologis sosial dan fungsional telah ditemukan untuk
menjelaskan dan mendukung berbagai definisi mengenai proses penuaan.
pendekatan multi disiplin mengenai teori penuaan, perawat harus memiliki
kemampuan untuk mensintesa berbagai teori tersebut dan menerapkannya
secara total pada lingkungan perawatan klien usia lanjut termasuk aspek
fisik, mental/emosional dan aspek-aspek sosial. Dengan demikian
pendekatan eklektik akan menghasilkan dasar yang baik saat
merencanakan suatu asuhan keperawatan berkualitas pada klien lansia.

B. Saran

Penulis sadari dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak


kesalahan dan mungkin jauh dari tahapan kesempurnaan. Maka dari itu
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis
harapkan demi tercapainya penyusunan makalah yang jauh lebih baik
dimasa yang akan datang

21
DAFTAR PUSTAKA

Bare & Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,


Volume 2, (Edisi 8), EGC, Jakarta

Carpenito, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi


Keperawatan, (Edisi 2), EGC, Jakarta

Corwin,. J. Elizabeth, 2001, Patofisiologi, EGC, Jakarta

Doenges, E. Marilynn dan MF. Moorhouse, 2001, Rencana Asuhan


Keperawatan, (Edisi III), EGC, Jakarta.

22
6
7
8
9

Anda mungkin juga menyukai