PEMBAHASAN
3
Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA
4
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam
patofisiologi RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T
merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang merangsang
terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial,
jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan
melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian
menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi
dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial.
Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan
granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular
dan berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi
tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang
menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat juga
terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah
pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis,
penyakit jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi
hypothalamic-pituitary- adrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan
dan depresi (Choy, 2012).
5
jaringan di bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan
penyumbatan pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang
secara klinis sudah jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat
edema dan menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili.
Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang
mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat
karena adanya Pannus (Putra dkk,2013).
2. PATOFISIOLOGI HIPERTENSI
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di
toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin,
yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah,
dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi
pembuluh darah.
6
menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
volume intra vaskuler.
7
menyebabkan terbentuknya endapan seperti kapur putih yang disebut
tofi/tofus (tophus) di tulang rawan dan kapsul sendi. Di tempat tersebut
endapan akan memicu reaksi peradangan granulomatosa, yang ditandai
dengan massa urat amorf (kristal) dikelilingi oleh makrofag, limfosit,
fibroblas, dan sel raksasa benda asing.
4. PATOFISIOLOGI OSTEOPOROSIS
Proses menua merupakan suatu proses normal yang ditandai
dengan perubahab secara progresif dalam proses biokimia, sehinga terjadi
kelainan atau perubahan stuktur dan fungsi jaringan, sel, dan nono sel
(Widjayakusumah 19920. Berbagai perubahan fisik dan psikososial akan
terjadi sebagai akibat proses menua. Terjadinya perubahan pada semua
orang yang mencapai usia tua yang tidak disebabkan oleh proses penyakit,
menyebabkan kenapa penderita geriatric berbeda dengan populasi lain
(Brocklehurst and Allen, 1987) Banyak perubahan fisiologi yang
mempengaruhi status gizi pada proses penuaan diantaranya adalah
penurunan kecepatan basal metabolic range (BMR) sekitar 2% decade
setelah 30 tahun. Penurunan sekresi asam klorida dan asam empedu yang
berpotensi untuk mengganggu penyerapan kalsium, zat besi, seng protein,,
lemak dan vitamin yang larut dalam penyerapan lemak. (Moore, 1997)
Ada beberapa faktor risiko osteoporosis daiantaranya genetic, jenis
kelamin dan masalah kesehatan kronis, defisiensi hormone, kurang olah
raga, serta rendahnya asupan kalsium, Bila dalam suatu keluarga
mempunyai riwayat osteoporosis maka kemungkinan peluang anak
mengalami hal yang sama adalah 60-80%. Dilihat dari jenis kelamin 80%
wanita mengidap osteoporosis. Risiko osteoporosis juga akan meningkat
apabila mengidap penyakit kronis. Sedangkan hubunga antara perempuan
osteoporosis karena menaupose akibat penurunan hormone esterogen ,
8
(Siswono, 2003)
Disamping asupan kalsium, ada beberapa zat gizi lainnya yang
terkait dengan kejadian osteoporosis pada wanita usia lanjut, asupan vitamin
D, asupan Fosfor, kalium, protein dan magnesium. Hasil penelitian
Macdonald, 2004 mendapatkan bahwa asupan lemak tidak jenuh ganda
(PUFA).
Masuka sayur dan buah yang tinggi juga dapat bersifat melindungi.
Penelitian lain menyebutkan bahwa total asupan protein hewani dapat
memperbasar risiko patah tulang pinggul pada wanita post menaupose
(Munger,1999).
Usia
Genetik
Faktor hormonal
Obat-obat tertentu
Gaya hidup : kurang olahraga, merokok, minum minuman beralkohol,
kafein.
9
pascamenopause mempunyai resiko lebih besar untuk menderita
osteoporosis. Pada masa menopause, terjadi penurunan kadar hormon
estrogen. Estrogen memang merupakan salah satu faktor terpenting dalam
mencegah hilangnya kalsium tulang. Selain itu, estrogen juga merangsang
aktivitas osteoblas serta menghambat kerja hormon paratiroid dalam
merangsang osteoklas.
10
ASKEP KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN:
DIABETES MELLITUS
A. KONSEP MEDIS
1. Pengertian
Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara
genetic dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa
hilangnya toleransi karbohidrat (Price dan Wilson, 1995).
Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai
berbagai keluhan metabolic akibat gangguan hormonal yang
menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada berbagai organ dan
system tubuh seperti mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, dan
lain-lain (Mansjoer, 1999).
Diabetes melitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau
hiperglikemia (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh
ketidaseimbangan antara tuntutan dan suplai insulin (H.
Rumahorbo, 1999).
2. Etiologi
Penyebab diabetes mellitus sampai sekarang belum
diketahui dengan pasti tetapi umumnya diketahui karena
kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter
memegang peranan penting.
11
Virus atau mikroorganisme akan menyerang pulau –
pulau langerhans pankreas, yang membuat kehilangan produksi
insulin. Dapat pula akibat respon autoimmune, dimana antibody
sendiri akan menyerang sel bata pankreas. Faktor herediter, juga
dipercaya memainkan peran munculnya penyakit ini (Brunner &
Suddart, 2002)
3. Patofisiologi
a. DM Tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas
menghasilkan insulin karena hancurnya sel-sel beta pulau
langerhans. Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia puasa dan
hiperglikemia post prandial.
Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan
muncul glukosuria (glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan
disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan,
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak
sehingga terjadi penurunan berat badan akan muncul gejala
peningkatan selera makan (polifagia).
b. DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan
berkaitan pada reseptor kurang dan meskipun kadar insulin tinggi
12
dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk kedalam sel
sehingga sel akan kekurangan glukosa.
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian (Doengoes, 2001)
a. Aktivitas / istirahat.
Tanda :
1) Lemah, letih, susah, bergerak / susah berjalan, kram otot, tonus
otot menurun.
2) Tachicardi, tachipnea pada keadaan istrahat/daya aktivitas.
3) Letargi / disorientasi, koma.
b. Sirkulasi
Tanda :
1) Adanya riwayat hipertensi : infark miokard akut, kesemutan
pada ekstremitas dan tachicardia.
c. Neurosensori
Gejala :
Pusing / pening, gangguan penglihatan, disorientasi : mengantuk,
lifargi, stuport / koma (tahap lanjut). Sakit kepala, kesemutan,
kelemahan pada otot, parestesia, gangguan penglihatan,
gangguan memori (baru, masa lalu) : kacau mental, refleks fendo
dalam (RTD) menurun (koma), aktifitas kejang.
d. Nyeri / Kenyamanan
Gejala :
Abdomen yang tegang / nyeri (sedang berat), wajah meringis
dengan palpitasi : tampak sangat berhati – hati.
13
e. Keamanan
Gejala :
1) Kulit kering, gatal : ulkus kulit, demam diaporesis.
2) Menurunnya kekuatan immune / rentang gerak, parastesia/
paralysis otot termasuk otot – otot pernapasan (jika kadar kalium
menurun dengan cukup tajam).
3) Urine encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang menjadi
oliguria / anuria jika terjadi hipololemia barat).
f. Pemeriksaan Diagnostik
Gejala :
1. Glukosa darah : meningkat 100 – 200 mg/dl atau lebih.
2. Aseton plasma : positif secara menyolok.
3. Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.
4. Osmolaritas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 m
osm/l.
2) Diagnosa Keperawatan
a. Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia, diare,
muntah, poliuria, evaporasi.
b. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan defisiensi insulin/penurunan intake oral :
anoreksia, abnominal pain, gangguan kesadaran/hipermetabolik
akibat pelepasan hormone stress, epinefrin, cortisol, GH atau
karena proses luka.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/
gangguan sirkulasi.
e. Resiko gangguan persepsi sensoris : penglihatan berhubungan
dengan perubahan fungsi fisiologis akibat ketidakseimbangan
glukosa/insulin atau karena ketidakseimbangan elektrolit.
f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan energi,
perubahan kimia darah, insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan
energi, infeksi, hipermetabolik.
g. Nyeri berhubungan dengan adanya ulcus (luka diabetes mellitus).
14
h. Penurunan rawat diri berhubungan dengan kelemahan.
i. Kurang pengetahuan mengenai penyakitnya, prognosis penyakit
dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kesalahan
interprestasi (Doengoes, 2001)
3) Perencanaan / Intervensi
d. NDX : Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia,
diare, muntah, poliuria, evaporasi
Tujuan :
Klien akan mendemonstrasikan hidrasi adekuat, dengan kriteria :
1) Nadi perifer dapat teraba, turgor kulit baik.
2) Vital sign dalam batas normal, haluaran urine lancer.
3) Kadar elektrolit dalam batas normal
Intervensi :
Intervensi Rasional
15
keadaan perkembangan
penyakit.
16
e. NDX: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan defisiensi insulin/penurunan intake oral: anoreksia,
abnominal pain, gangguan kesadaran/hipermetabolik akibat pelepasan
hormone stress, epinefrin, cortisol, GH atau karena proses luka.
Tujuan :
Klien akan mengkonsumsi secara tepat jumlah kebutuhan kalori atau
nutrisi yang di programkan dengan kriteria :
1) Peningkatan barat badan.
2) Pemeriksaan albumin dan globulin dalam batas normal.
3) Turgor kulit baik, mengkonsumsi makanan sesuai program.
Intervensi
Intervensi Rasional
1. Timbang berat badan. 1. Penurunan berat badan
menunjukkan tidak ada kuatnya
nutrisi klien.
2. Auskultasi bowel sound 2. Hiperglikemia dan
ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit menyebabkan
penurunan motilifas usus.
Apabila penurunan motilitas
usus berlangsung lama sebagai
akibat neuropati syaraf otonom
yang berhubungan dengan
sistem pencernaan.
3. Pemberian makanan oral dan
3. Berikan makanan lunak / cair.
lunak berfungsi untuk
meresforasi fungsi usus dan
diberikan pada klien dgn tingkat
kesadaran baik.
17
c. NDX : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
18
d. NDX : Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/
gangguan sirkulasi
Tujuan :
Klien akan menunjukkan tidak adanya tanda “inteksi, dengan kriteria :
a. Luka sembuh
b. Tidak ada edema sekitar luka.
c. Tidak terdapat pus, luka cepat mongering.
Intervensi
INTERVENSI RASIONAL
19
4. Implementasi
Merupakan tahap dimana rencana keperawatan dilaksanakan
sesuai dengan intervensi. Tujuan dari implementasi adalah membantu
klien dalam mencapai peningkatan kesehatan baik yang dilakukan
secara mandiri maupun kolaborasi dan rujukan.
5. Evaluasi
Merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk mencapai
kemampuan klien dan tujuan dengan melihat perkembangan klien.
Evaluasi klien diabetes mellitus dilakukan berdasarkan kriteria yang
telah ditetapkan sebelumnya pada tujuan
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2000).
Proses penuaan dapat ditinjau dari aspek biologis, sosial dan
psikologik. Teori-teori biologis sosial dan fungsional telah ditemukan untuk
menjelaskan dan mendukung berbagai definisi mengenai proses penuaan.
pendekatan multi disiplin mengenai teori penuaan, perawat harus memiliki
kemampuan untuk mensintesa berbagai teori tersebut dan menerapkannya
secara total pada lingkungan perawatan klien usia lanjut termasuk aspek
fisik, mental/emosional dan aspek-aspek sosial. Dengan demikian
pendekatan eklektik akan menghasilkan dasar yang baik saat
merencanakan suatu asuhan keperawatan berkualitas pada klien lansia.
B. Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
22
6
7
8
9