Anda di halaman 1dari 10

2.

7 Manifestasi Klinis Kekakuan pada Bahu

Ciri khas dari frozen shoulder adalah berkembang secara lambat dan terdiri
atas 3 fase, masing-masing fase dapat berlangsung berbulan-bulan. Fase yang
pertama adalah fase nyeri, nyeri terjadi pada semua gerakan bahu dan gerakan
bahu mulai terbatas. Fase ke-dua adalah fase kekakuan dengan tanda-tanda
nyeri mulai berkurang, tetapi bahu menjadi kaku dan pergerakan berkurang.
Gerakan berlebihan harus dihindari karena menyebabkan nyeri, tetapi bahu
masih dapat digunakan dengan normal. Fase ke-tiga adalah fase penyembuhan
yaitu saat pergerakan bahu mulai membaik (Dewi, Kartika. 2011)
Manifestasi klinik dari kasus frozen shoulder adalah (Suharti, Amien et all.
2018)
 Nyeri Akut
Nyeri akut biasanya mulainya tiba- tiba dan umumnya berkaitan dengan
cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau
cedera telah terjadi. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada
penyakit sistematik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadi
penyembuhan; nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan
biasanya kurang dari satu bulan. Untuk tujuan definisi, nyeri akut dapat
dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga
enam bulan
 Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu
penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan
dengan penyebab atau cedera spesifik. Meski nyeri akut dapat menjadi
signal yang sangat penting bahwa sesuatu tidak berjalan sebagaimana
mestinya, nyeri kronis biasanya menjadi masalah dengan sendirinya.
 Penurunan Kekuatan Otot
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya kesukaran mengangkat
lengan dan pemeriksaan tes khusus dengan pasien melakukan gerakkan
konpensasi dengan shrugging mechanism.
 Keterbatasan Lingkup Gerak Sendi (LGS)
Ditandai dengan adanya keterbatasan LGS glenohumeral pada semua
gerakkan baik aktif atau pasif. Keterbatasan gerak menunjukkan pola
spesifik pola kapsular.
 Gangguan Aktivitas Fungsional Dengan beberapa adanya tanda dan
gejala klinis yang ditemukan pada pasien frozen shoulder seperti
adanya nyeri, keterbatasan LGS, penurunan kekuatan otot maka secara
langsung akan memengaruhi aktifitas fungsional yang dijalani.

Dewi, Kartika. 2011. "Akupunktur sebagai Terapi pada Frozen Shoulder".


Tersedia di
http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnalkedokteran/article/view/909/p
df.Diakses pada tanggal 19 Februari 2019

Suharti, Amien et all. 2018. “Penatalaksanaan Fisioterapi pada Frozen Shoulder


Sinistra Terkait Hiperintensitas Labrum Posterior Superior di Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto”. Jurnal Vokasi Indonesia. Tersedia
di http://www.jvi.ui.ac.id/index.php/jvi/article/download/116/101 diakses
tanggal 19 Februari 2019

2.8 Tes Pengukuran


a. Apley Test
Prosedur: Posisi shoulder yaitu eksternal rotasi dan abduksi, pasien
diminta menggaruk daerah sekitar angulus medialis scapula dengan
tangan sisi kontra lateral melewati belakang kepala. Pada penderita
frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva biasanya tidak bisa
melakukan gerakan ini. Bila pasien tidak dapat melakukan karena
adanya nyeri maka ada kemungkinan terjadi tendinitis rotator cuff.
Pada pemeriksaan ini didapatkan hasil bahwa tangan pasien tidak
mampu menyentuh angulus medialis scapula kiri dikarenakan adanya
rasa nyeri pada daerah bahu kirinya. Selanjutnya, internal rotasi dan
adduksi, pasien diminta untuk menyentuh angulus inferior scapula
dengan sisi kontralateral, bergerak menyilang punggung. Pada
penderita frozen shoulder akibat capsulitis adhesiva biasanya tidak
bisa melakukan gerakan ini. Pada pemeriksaan ini didapatkan hasil
bahwa tangan pasien tidak mampu menyentuh angulus inferior scapula
kiri dikarenakan adanya rasa nyeri pada daerah bahu kirinya
(Setyawan, Eko. 2014)

b. Moesley Test (Drop Arm Test)


Drop arm test bertujuan untuk memeriksa adanya kerobekan dari
rotator cuff terutama otot supraspinatus. Dimana pasien disuruh
mengabduksikan lengannya dalam posisi lurus secara penuh,
kemudian pasien disuruh menurunkannya secara perlahan-lahan
apabila pasien tidak bisa menurunkan dengan perlahan tapi lengan
langsung jatuh berarti tes positif.Pada Pemeriksaan ini didapatkan hasil
negatif karena pasien mampu menurunkan lengannya secara perlahan
dan ini menunjukkan tidak adanya kerobekan pada otot supraspinatus.
(Setyawan, Eko. 2014)

Setyawan, Eko. 2014. Penatalaksanaan Penatalaksanaan Penatalaksanaan


Fisioterapi Pada Lansia Dengan Frozen Shoulder (Kiri Di Rumah Sakit
Dr.Moewardi Surakarta. Tersedia di
http://eprints.ums.ac.id/32408/11/naskah%20publikasi_1.pdf diakses
tanggal 19 Februari 2019

2.9 Intervensi
2.9.1 Modalitas Fisioterapi
a. Infra Red
Infra red therapy merupakan terapi menggunakan sinar infra
merah dengan mempergunakan generator infra merah luminous
dan non-luminous. Terapi ini digunakan untuk mengurangi nyeri
dan kaku otot. (Cote, 2001) Infrared merupakan pancaran
gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 7.700
sampai 4 juta A . Sinar infrared dapat menghasilkan panas lokal
yang bersifat superfisial dan direkomendasikan pada kondisi
subakut untuk mengurangi nyeri dan inflamasi. Pemanasan
superfisial akan berpengaruh pada jaringan superfisial akan
menghasilkan efek analgesia. Efek panas yang dihasilkan akan
menyebabkan terjadinya vasodilatasi pada pembuluh darah dan
peningkatan sirkulasi pada jaringan (Prentice, 2002).
Pemberian modalitas infrared dapat memberikan efek
fisiologis dan efek terapeutik pada tubuh, yaitu (Prentice, 2002) :
1) Efek Fisiologis
a. Meningkatkan proses metabolisme
Suatu reaksi kimia akan dapat dipercepat dengan
adanya panas atau kenaikan temperatur akibat pemanasan.
Proses metabolisme yang terjadi pada lapisan superfisial
kulit akan mengalami peningkatan sehingga pemberian
oksigen dan nutrisi ke jaringan menyebabkan pengeluaran
sampah sisa hasil pembakaran dalam tubuh dan adanya
perbaikan pada jaringan.
a. Vasodilatasi pembuluh darah
Efek termal yang dihasilkan oleh sinar infrared dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah kapiler dan
arteriole. Kulit akan mengalami reaksi dan berwarna
kemerah-merahan yang disebut dengan erythema. Pada
saat mekanisme vasomotor mengadakan reaksi dengan
jalan pelebaran pembuluh darah sehingga jumlah panas
diratakan keseluruhan jaringan lewat sirkulasi darah.
keadaan sirkulasi darah yang meningkat, maka pemberia
nutrisi dan oksigen jaringan akan meningkat pula,
sehingga pemeliharaan jaringan menjadi lebih baik dan
perlawanan terhadap radang juga baik.
b. Pengaruh terhadap jaringan otot
Kenaikan temperatur membantu terjadinya relaksasi
otot, pemanasan juga akan mengaktifkan terjadinya
pembuangan metabolisme.
c. Meningkatkan temperatur tubuh
Penyinaran infrared akan memanasi jaringan
superfisial, kemudian diteruskan ke seluruh tubuh, maka
selain terjadinya pemerataan panas juga akan terjadi
penurunan tekanan darah sistemik oleh adanya panas yang
akan merangsang pusat pengatur panas tubuh untuk
meratakan panas yang terjadi dengan jalan dilatasi bersifat
general.

2) Efek Terapeutik
a. Mengurangi rasa sakit
Mild heating menimbulkan efek sedatif superfisial
sensoris nerve ending, strong heating dapat menyebabkan
counter irritation yang akan menimbulkan pengurangan
nyeri. Dengan sirkulasi darah yang lancer maka zat “P”
yang merupakan salah satu penyebab nyeri akan ikut
terbuang.
b. Relaksasi otot
Relaksasi otot mudah dicapai bila jaringan otot dalam
keadaan hangat dan rasa sakit menghilang.
c. Meningkatkan suplai darah
Kenaikan temperatur yang terjadi akan menimbulkan
vasodilatasi pembuuh darah. hal ini akan menyebabkan
terjadinya peningkatan sirkulasi darah pada jaringan yang
diterapi. d. Membuang zat-zat sisa hasil metabolisme
Penyinaran di daerah yang luas akan mengaktifkan
glandula gudoifera di seluruh badan, sehingga dengan
demikian akan meningkatkan pembuangan sisa-sisa hasil
metabolism melalui keringat.

Hal yang perlu diwaspadai pada terapi ini adalah risiko kulit yang
terbakar, sakit kepala, dan cedera pada mata. (Prentice, W.E.,
2009). Prosedur aplikasi :
1. Persiapan alat
2. Persiapan posisi pasien diatur senyaman mungkin dan
disesuaikan dengan daerah yang akan diobati. Pasien
tidur tengkurap dengan daerah bahu terbebas dari
pakaian. Perlu pula diberitahukan kepada penderita
mengenai derajat panas yang semestinya dirasakan,
yaitu perasaan hangat yang nyaman (comfortable) serta
dapat ditahannya selama berlangsungnya pengobatan.
3. Pemasangan lampu pada penderita. Pada dasarnya
metode pemasangan lampu diatur sedemikian rupa
sehingga sinar yang berasal dari lampu jatuh tegak lurus
terhadap jaringan yang diobati, jarak penyinaran lampu
antara 35-45 cm. Teknik pelaksanaan radiasi waktu
penyinaran berkisar antara 10-20 menit dan ini
tergantung pada toleransi serta kondisi penyakitnya
disini waktu terapi yang digunakan adalah 10 menit.

Prentice, W.E. 2009. Therapeutic Modalities fof Physical Therapist (2nd ed).
USA : The McGraw-Hill Companies. New York http://www/ligben/com
E-book.

Cote, L. G. (2001). "Management Osteoarthritis." Journal of the American


Academy of Nurse Practitioners (Tahun 13, Nomor 11) Hlm.495

b. Ultrasound
Pada dasarnya terapi ultrasound dapat digunakan pada
keadaan akut sampai dengan kronis. Pada keadaan akut
diperlukan terapi dengan frekuensi yang sering dan durasi yang
singkat, sedangkan pada keadaan kronis diperluakan terapi dengan
frekuensi yang lebih jarang akan tetapi dengan durasi terapi yang
lebih lama. Penggunaan ultrasound terapi pada jam jam awal
setelah cedera atau dalam waktu 48 jam setelah cedera
meningkatkan kecepatan penyembuhan cedera. Kondisi akut
cedera pada umumnya memerlukan terapi satu sampai dua kali
sehari selama 6 sampai 8 hari sampai nyeri dan pembengkakan
berkurang. Pada kondisi cedera kronis terapi dapat dilakukan dua
hari sekali selama 10 sampai 12 kali. Secara khusus, terapi
ultrasound dapat dipergunakan pada keadaan keadaan berikut :
a. Spasme otot yang merupakan keadaan ketegangan dan
kontraksi otot yang berlangsung terus menerus sehingga
timbul rasa nyeri. Kontraktur otot yang diakibatkan oleh
keteganagan otot dapat diatasi dengan ultrasound karena
ultrasound memiliki efek meningkatkan kelenturan
jaringan sehingga meningkatkan jangkauan gerak.
b. Kompresi akar saraf dan beberapa jenis neuritis (radang
saraf) karena peningkatan aliran darah dari jaringan yang
dipanaskan dengan terapi ultrasound dapat mempercepat
penyembuhan jaringan.
c. Tendinitis (peradangan tendon)
d. Bursitis (peradangan bursa yang merupakan kantong
berisi vcairan yang berada diantara tendon dan tulang.
e. Herniasi diskus yang merupakan keadaan bocornya cairan
diskus intervertebral sehingga dapat menjepit saraf spinal.
Pada keadaan ini, terapi ultrasound ditujukan pada
spasme otot yang dipersarafi.
f. Sprain yang merupakan laserasi pada ligamen sendi.
g. Kontusi yang merupakan cedera pada jaringan dibawah
kulit tanpa adanya perlukaan kulit.
h. Whiplash yang merupakan cedera pada leher akibat
gerakan yang mendadak.
i. Cedera rotator cuff yang merupakan cedera pada otot dan
tendon yang menghubungkan ihumerus dengan scapula.
Tendon pada rotator cuff biasanya kuat akan tetapi dapat
mengalami robekan dan peradangan akibat penggunaan
yang berlebihan, proses penuaan ataupun trauma mekanis
akibat benturan.
j. Frozen shoulder (bahu beku) dengan gejala nyeri bahu
dan kekakuan yang diakibatkan oleh cedera atau arthritis.
Pada keadaan ini, terapi ultrasound dapat mengurangi
kekakuan dan meningkatkan jangkauan gerak sendi.

 Dosis dan Durasi Ultrasound Therapy


Frekuensi, intensitas dan durasi tergantung pada keadaan
individual. Ahli terapi akan meletakkan transducer pada area
yang mengalami gangguan dan kemudian melakukan gerakan
memutar. Transducer harus digerakkan secara terus menerus
untuk menghindari luka bakar. Transducer tidak boleh diletakkan
pada mata, tengkorak, tulang belakang, jantung, organ reproduktif
dan area dimana terdapat implant.Terapi dapat dilakukan deegan
menggunakan dua cara yakni kontinyu dan intermitten. Pada
metode kontinyu, gelombang ultrasound dibuat tetap sedangkan
pada metode intermitten, gelombang ultrasound terputus putus.
Dengan metode intermitten resiko luka bakar dapat
diminimalkan.
Selama terapi penderita seharusnya merasakan rasa hangat
atau tidak merasakan sensasi apapun. Apabila ada rasa tidak
nyaman, terapi harus dihentikan. Biasanya waktu terapi yang
dibutuhkan berkisar 5 sampai dengan 10 menit. Setelah itu
penderita dapat beraktivitas seperti semula. Sebagian besar gejala
memerlukan terapi selama beberapa episode tergantung evaluasi
klinis dari terapis. Kemajuan terapi dapat dinilai dengan
menggunakan skala nyeri atau goniometer, yang merupakan alat
untuk mengukur jangkauan gerak sendi (Arovah, Novita Intan.
2007)
Arovah, Intan. 2007. “Fisioterapi dan Latihan Terapi Pada Osteoarthritis”
MEDIKORA Vol. III, No.1, April 2007:18-41. Diakses tanggal 12 Februari
2017
2.9.2 Terapi Latihan
a. Wall Climb Exercise
Wall climbing adalah latihan yang bertujuan untuk
meningkatkan Range Of Motion (ROM). Pelaksanaan yaitu dengan
Menginstruksikan klien untuk berdiri di depan dinding, letakan
telapak tangan klien di dinding, dan instruksikan klien untuk
perlahan-lahan jalankan jari-jari keatas dinding, lanjutkan bahu
hingga terenggang maksimum, tahan 8 detik selama 5 set latihan.
Dilakukan 1x sehari

b. ROM Exercise
Lingkup Gerak Sendi adalah teknik dasar yang digunakan
untuk pemeriksaan gerak serta untuk memasukkan gerak ke dalam
program intervensi terapeutik. Gerakan yang diperlukan untuk
melakukan aktivitas fungsional dapat dianggap, dalam bentuknya
yang palinh sederhana, sebagai gaya otot atau eksternal yang
menggerakkan tulang dalam berbagai pola atau lingkup gerak
sendi (Kisner, Carolyn dan Lynn Allen Colby. 2016) Jenis-jenis
Latihan ROM yaitu:
 ROM Pasif. ROM Pasif (PROM) adalah gerak segmen
tubuh dalam ROM yang tidak dibatasi dan dihasilkan
oleh gaya eksternal; hanya ada sedikit kontraksi otot
volunteer atau bahkan tidak ada. Gaya eksternal dapat
berasal dari gravitasi, mesin, orang lain, atau bagian
tubuh lain dari individu itu sendiri. PROM tdak sama
dengan peregangan pasif.
 ROM Aktif. ROM aktif (AROM) adalah gerak segmen
tubuh dalam ROM yang tidak dibatasi yang dihasilkan
oleh kontraksi aktif otot yang melintasi sendi tersebut.
 ROM Aktif-Asistif. ROM aktif-asistif (A-AROM) adalah
jenis AROM dnegan bantuan yang diberikan secara
manual atau mekanik oleh gaya luar karena otot
penggerak utama membutuhkan bantuan untuk
menyelesaikan gerakan (Kisner, 2016).
Kisner, Carolyn dan Lynn Allen Colby. 2016. Terapi Latihan Dasar dan Teknik.
Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai