Anda di halaman 1dari 21

JURNAL READING

A Clinical Study Of Generalised Peritonitis


And Its Management In A Rural Setup

Disusun oleh :

Avicenna Shafhan Arfi 22004101024


St. Khalidiyah 22004101026

Dosen Pembimbing :
dr. Arif Dharmawan, Sp.B

LABORATORIUM ILMU BEDAH


KEPANITRAAN KLINIK MADYA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta

inayah-Nya kepada penyusun sehingga jurnal reading tentang “A Clinical Study Of

Generalised Peritonitis And Its Management In A Rural Setup” ini dapat diselesaikan sesuai

dengan rencana yang diharapkan. Tujuan penyusunan jurnal reading ini guna memenuhi

tugas Kepaniteraan Klinik Madya serta melatih dalam menangani kasus kedokteran.

Penyusun menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan. Untuk itu,

saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan demi perbaikan laporan kasus ini. Atas

saran dan kritik dokter pembimbing dan pembaca, penyusun ucapkan terima kasih. Semoga

laporan jurnal reading ini bermanfaat bagi penyusun, pembaca serta rekan-rekan lain yang

membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran.

Banyuwangi, 22 Agustus 2021

Penulis
ABSTRACT

Latar belakang : Generalised Peritonitis adalah kondisi kedaruratan bedah yang umum

terjadi dan tatalaksananya masih menjadi tantangan meskipun terdapat kemajuan dalam

teknik bedah, terapi antibiotik dan adanya perawatan intensif. Faktor etiologi yang paling

sering terjadi adalah perforasi viskus berongga dan apendisitis. Tujuan artikel adalah untuk

mempelajari penyebab terjadinya perforasi peritonitis, faktor risiko, gejala klinis, tatalaksana,

komplikasi pasca operasi, dan kondisi komorbiditas yang bisa mempengaruhi morbiditas dan

mortalitas di lingkungan pedesaan.

Metode : 50 pasien peritonitis dengan usia di atas 10 tahun yang dirawat di institusi dari Juli

2015 hingga November 2016 telah diteliti dan dilakukan follow up setiap tiga bulan sekali

dengan periode yang bervariasi dari 12 bulan hingga 2 tahun dengan rata-rata 18 bulan.

Hasil: Perforasi apendisitis adalah penyebab umum dari peritonitis yang diikuti dengan

perforasi ulkus peptikum. Perforasi peritonitis terjadi pada 26% dari total operasi darurat

yang dilakukan dengan perbandingan antara pria dan wanita sebesar 2,84:1 dan usia diantara

41-50 tahun. Pasien yang datang dalam waktu 24 jam setelah perforasi memiliki pemulihan

yang baik sedangkan mereka yang datang lebih dari 24 jam memiliki komplikasi pasca

operasi. Kadar CRP serum digunakan sebagai penanda prognostik yang baik. Dimana kadar

ini tetap tinggi pada kasus yang rumit. Dari 56% tingkat komplikasi, infeksi luka adalah yang

paling umum terjadi.

Kesimpulan: Diagnosis awal dan intervensi bedah memainkan peran penting dalam

pemulihan, meskipun hasil akhirnya tergantung pada banyak faktor, seperti usia pasien,

tingkat kontaminasi peritoneum, dan adanya penyakit penyerta. Studi ini juga menyoroti

peran CRP serum sebagai penanda prognostik.

Kata kunci: Apendisitis, CRP, Perforasi, Peritonitis, Ulkus Peptikum


INTRODUCTION

Peritonitis adalah peradangan pada membran serosa yang melapisi rongga perut dan

organ visceral yang ada di dalamnya. Peritonitis dapat terjadi lokal atau umum dan

diklasifikasikan menjadi primer, sekunder dan tersier. Peritonitis primer yang spontan jarang

terjadi dan bersifat monomikrobial dari bakteri pneumococci atau haemophilus. Peritonitis

sekunder disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ intraabdomen atau akibat dari

tumpahan saluran pencernaan atau genitourinary. Penyebab lain yang termasuk yaitu

kontaminasi eksogen.

Peritonitis tersier diakibatkan karena kekambuhan atau reaktivasi peritonitis setelah

pengobatan yang memadai dari peritonitis sekunder awal. Sir Cuthbert Wallace mengutip

"lebih baik memeriksa daripada menunggu," melakukan operasi secara dini lebih baik

dibandingkan menunggu pada kasus peritonitis yang tidak diketahui penyebabnya.

Patofisiologi Peritonitis

Rongga peritoneum adalah rongga terbesar dalam tubuh, dengan luas permukaan

sekitar 1 hingga 1,7 m2 dari total luas permukaan tubuh. Peradangan pada peritoneum parietal

yang kaya akan suplai saraf somatik menyebabkan rasa nyeri yang sifatnya parah dan

terlokalisir. Peritoneum visceral disuplai oleh saraf otonom, iritasinya menyebabkan nyeri

difus. Setelah kontaminasi bakteri peristiwa yang terjadi meliputi:

 Kehilangan bakteri dari rongga peritoneum melalui stomata diafragma dan limfatik.

 Mediator pro-inflamasi dari makrofag di peritoneal yang menyebabkan migrasi dari

leukosit

 Mast cells yang mengeluarkan histamine dan vasoactive lain, menyebabkan

vasodilatasi lokal dan ekstravasasi


 Opsonisasi bakteri dan mengeluarkan fagositosis

 Sekuestrasi bakteri yang menyebar sehingga terjadi inflamasi

Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi etiologi peritonitis

di lingkungan pedesaan, memahami gejala klinis, temuan investigasi dan temuan intraoperatif

pada peritonitis dan untuk mempelajari kondisi komorbiditas.

Review of Literature

The Hippocrates Facies dari tahap terminal peritonitis dijelaskan dengan baik sejak

Hippocrates (460BC). Peritonitis pertama kali diakui sebagai entitas penyakit pada tahun

1802 oleh ahli bedah muda Prancis Bichat dan kemudian diikuti oleh Laennec. 1 Opium atau

katarsis pernah digunakan untuk mengobati peritonitis.2 Mikulicz, asisten Billroth, pada tahun

1881 menganjurkan laparotomi dini untuk peritonitis.3 Pada awal abad ke-20 ahli bedah

memiliki gagasan yang relatif jelas tentang pertahanan tuan rumah di rongga peritoneum. 4

Veillon dan Zuber (1893) menunjukkan infeksi multimikroba pada peritonitis. 5 Pada tahun

1907 Pawlowsky menjelaskan translokasi bakteri dari usus.6 Bakteriologi peritonitis pertama

kali dilaporkan pada tahun 1922 oleh Weinberg.7 Murphy JB menganjurkan operasi dini,

tanpa spons atau irigasi, penutupan dengan drainase dan infus rektal (Murphy drip).8 Pada

tahun 1926, Kirschner merangkum prinsip-prinsip terapi peritonitis, sehingga menurunkan

angka kematian peritonitis sekunder akibat apendisitis perforasi dari 83% menjadi 21%, dari

100% menjadi 24% karena perforasi, dan dari 100% menjadi 50% pada perforasi usus halus

dan besar.9

Sistem penilaian baru telah dijelaskan peritonitis.10,11 Verma dan lainnya di PGI,

Chandigarh, membandingkan faktor prognostik pada peritonitis akibat trauma. 12 Patogen

jamur adalah isolat yang tidak umum dalam pengaturan peritonitis.13

Pada penelitian yang dilakukan oleh Wani R, Parray F, dkk tentang perforasi ileum
terminal non-traumatik pada 79 kasus, penyebab perforasi adalah demam enterik (62%),

inflamasi nonspesifik (26%), obstruksi (6%), tuberkulosis (4%), dan radiasi enteritis (1%). 14

Jhobta RS, Attri AK dkk mempelajari 504 kasus berturut-turut di India, melaporkan perforasi

ulkus duodenum (289 kasus) dan apendisitis (59 kasus).15 Dalam sebuah penelitian di

Pakistan tentang perforasi peritonitis, terjadi kematian secara keseluruhan sebesar 10,6%.16

Chakma S et al mempelajari 490 kasus perforasi peritonitis ditemukan morbiditas dan

mortalitas masing-masing 52,24% dan 10%.17

METHODS

Penilaian secara klinis pada generalized peritonitis dilakukan di Departemen Bedah di

Rumah Sakit Adichunchanagiri dan Pusat Penelitian, BG Nagara, yang terletak di pedesaan

di Dist. Mandya, Karnataka. Setelah mendapatkan izin komite etik rumah sakit, 50 kasus

peritonitis dipelajari dari Juli 2015 hingga November 2016 dengan periode follow-up dari 12

bulan hingga 24 bulan setiap tiga bulan sekali. Kekambuhan gejala, infeksi luka, hernia

insisional, obstruksi usus pasca operasi jika ada dicatat.

Kriteria Inklusi

 Semua kasus peritonitis/perforasi rongga viskus

 Pasien dengan usia di atas 10 tahun

 Laki-laki dan perempuan

Kriteria Eksklusi

 Usia dibawah 10 tahun

 Memiliki penyakit imunodefisiensi

 Peritonitis yang dilakukan tatalaksana secara konservatif

Kasus peritonitis terfantung pada pemeriksaan atau penemuan pada preoperative yang

dipilih.
Pemeriksaan

Darah

Hemoglobin, profil koagulasi, golongan darah dan Rhesus, jumlah total dan

diferensial leukosit, LED, HIV/ HBsAg, urea darah, serum kreatinin serum, dan serum

elektrolit. Kadar serum CRP dihitung pada sebelum operasi, pada hari ke-3, hari ke-5, dan

hari ke-8 pascaoperasi. Tes WIDAL dilakukan bila terdapat dugaan perforasi tifoid.

Pemeriksaan Radiologi

Foto X-Ray abdomen erect untuk mendeteksi gas bebas di bawah diafragma dan USG

abdomen dan pelvis untuk mendeteksi cairan bebas dan patologi terkait lainnya.

Setelah resusitasi dan diberikan antibiotik IV, operasi dilakukan. Cairan peritoneum

dikirim untuk dilakukan kultur dan sensitivitas antibiotik. Setelah mengatasi penyakit utama,

dilakukan lavage peritoneal yang memadai menggunakan salin normal hangat dan saluran

intra-abdominal ditempatkan pada semua pasien dan perut ditutup dalam satu lapisan.

RESULTS

Perforasi peritonitis terjadi pada 26% dari total operasi darurat yang dilakukan di

rumah sakit kami. Prevalensi usia dan jenis kelamin dapat dilihat di Tabel 1 dan 2. Rasio laki-

laki dan perempuan adalah 8:1 pada peritonitis perforasi.


Dari 50 pasien tersebut, 38 pasien adalah laki-laki dan 12 pasien adalah perempuan

(2,84:1). Usia rata-rata presentasi perforasi adalah antara 41-50 tahun.

Etiologi

Perforasi apendikular sering terjadi pada laki-laki dengan rasio laki-laki dan

perempuan 1,75:1.
3 dari 18 pasien dengan perforasi ulkus peptikum memiliki riwayat penyakit ulkus

peptikum sebelumnya. Penyalahgunaan NSAID terjadi pada 8 dari 18 kasus perforasi ulkus

peptikum. Riwayat merokok ditemukan pada 14 dari 18 kasus perforasi ulkus peptikum

(78%).
Puncak insidensi perforasi terjadi diantara 41 sampai 50 tahun. Keterlambatan waktu

presentasi kurang dari 24 jam pada 13 pasien dengan morbiditas 4%, 24-36 jam pada 6 pasien

dengan morbiditas 6%, 36-48 jam pada 26 pasien dengan morbiditas 80% dan 48- 72 jam

pada 5 pasien dengan morbiditas 100% (Tabel 4).

Keadaan penyakit komorbid yaitu diabetes mellitus (24%), hipertensi (12%), dan

COPD (8%).

Gejala klinis (Tabel 6 dan 7). Nyeri perut, demam, muntah dan distensi adalah gejala

yang dominan. Nyeri perut hadir di semua, muntah 55%, demam 52% dan distensi perut

48%.
Gejala klinis (Tabel 7). Takikardia terlihat di semua (100%), Dehidrasi 84%, takipnea

34% dan 16% ditunjukkan dengan syok. Tenderness terjadi di semua (100%), rebound

tenderness di 84%, Obliterasi pada liver dullness 44% dan tidak ada bising usus 56%.

Pemeriksaan penunjang - Pneumoperitoneum dalam kaitannya dengan etiologi (Tabel 8 dan

Gambar 4).

Jumlah total meningkat pada semua pasien. Tes fungsi ginjal terganggu pada 15

pasien dan semua dari 15 pasien ini mengalami komplikasi pada periode pasca operasi.

Foto X-Ray abdomen erect menunjukkan pneumoperitoneum pada 28 pasien.


USG abdomino-pelvic pada semua pasien menunjukkan hasil positif untuk cairan

peritoneum bebas dan fitur lain yang menunjukkan peritonitis.

Sifat eksudat peritoneum adalah seropurulant tipis yang sedikit pada kasus-kasus awal

dan pus yang jelas dengan perlengketan fibrinoid pada semua pasien yang datang setelah 48

jam. Setelah operasi definitif, lavage peritoneal yang memadai menggunakan saline normal

hangat diberikan, drainase intra-abdominal ditempatkan di semua dan perut ditutup dalam

satu lapisan.

Kadar CRP dilakukan pada sebelum operasi, hari ke-3, hari ke-5, dan hari ke-8 pasca

operasi. Tingkat serum CRP sevara signifikan meningkan pada semua pasien saat masuk.
Pada pasien yang mengalami pemulihan pasca operasi tanpa komplikasi, kadar serum CRP

secara bertahap menurun selama periode waktu tertentu.

Pasien dengan komplikasi pasca operasi memiliki kadar CRP serum yang lebih

sebelum operasi yang bertahan pada periode pasca operasi (Gambar 5, 6, 7 dan 8).

Pada pembiakan peritoneal tumbuh Escherichia coli pada 37 pasien, Klebsiella di 29,

Proteus sp di 9, Enterokokus dalam 8 dan Enterobacter sp pada 5 pasien. Rata-rata rawat inap

di rumah sakit untuk pasien tanpa komplikasi pasca operasi adalah 8 hari. Di antara 50

pasien, 8 pasien mengalami syok pada saat masuk. 2 dari pasien ini membutuhkan ventilasi

mekanik pasca operasi dan 3 pasien membutuhkan dukungan ionotropik.


28 pasien (56%) mengalami komplikasi pasca operasi, dengan beberapa komplikasi

lebih dari satu. Infeksi luka merupakan komplikasi tersering pada 23 pasien (43%). Infeksi

pernapasan pada 12 pasien (24%), pengumpulan residu pada 2 (4%), hernia insisional pada 2

(4%), ileus paralitik pada 2 (4%) dan krisis hipertensi pada satu pasien (2%) merupakan

komplikasi lain. Rata-rata rawat inap di rumah sakit untuk pasien yang mengalami

komplikasi adalah 15,3 hari. Usia >50 tahun, waktu presentasi >24 jam, adanya syok dan

penyakit penyerta merupakan faktor signifikan yang berhubungan dengan morbiditas

pascaoperasi.

DISCUSSION

Operasi emergensi yang dilakukan di rumah sakit dalam penelitian ini pada

departemen bedah umum, sebesar 26% merupakan operasi peritonitis sekunder akibat

perforasi dari viskus berongga. Penemuan tersebut sebanding dengan beberapa penelitian lain

yaitu Arveen dkk pada penelitiannya tahun 2006-2008 di JIPMER melaporkan bahwa

incidence rate peritonitis sekunder akibat perforasi sebesar 25%. Dan terdapat sedikit

peningkatan insiden perforasi ulkus peptikum pada penelitian yang dilakukan di Belanda.

Faktor Etiologi

Penelitian yang dilakukan oleh Khanna dkk. terhadap 204 kasus peritonitis

menunjukkan bahwa 108 kasus disebabkan oleh Thyphoid. Penyebab lain termasuk ulkus
duodenum (58), apendicitis (9), amoebiasis (8) dan tuberkulosis (4).

Penelitian yang dilakukan oleh Thirumalagiri, lokasi paling umum untuk terjadi

perforasi adalah duodenum (52%) diikuti oleh ileum (26%), appendicular (14%), dan kolon

(4%). Sebesar 84% merupakan pasien laki-laki dan 16% pasien perempuan. Perforasi

duodenum merupakan penyebab paling umum dari peritonitis kemudian diikuti oleh small

intestinal perforation. Padahal, trauma merupakan faktor etiologi penting penyebab

peritonitis pada negara maju.

Dalam penelitian ini, dari 50 kasus yang digunakan penyebab tertinggi dari peritonitis

adalah akibat perforasi appendicular, sebesar 44% kasus (tabel 3). Hasil tersebut mirip

dengan penelitian oleh Noon dkk. dan Akcay dkk. yang melaporkan bahwa sebesar 21% dan

18% dari kasus yang diteliti disebabkan oleh perforasi apendicular.

Hal ini berbeda dengan banyak penelitian lain dari India yang menyimpulkan bahwa

penyebab tersering dari peritonitis adalah perforasi gastroduodenal proksimal dengan

persentasi pada penelitian Jhobta dkk. sebesar 57,4%, Chakma dkk. 54,29%, Afridi dkk.

45%, dan Yadav dkk. 29%.

Penyebab peritonitis tertinggi selanjutnya adalah perforasi akibat tukak peptik (36%)

dengan tukak gaster sebesar 8% dan tukak duodenum 28% (Tabel 3). Dalam penelitian ini

rasio tukak duodenum dan tukak gaster adalah 4,5:1. Pada penelitian Jhobta dkk. rasio tukak

duodenum terhadap tukak gaster sebesar 7:1.

Penyebab lain dalam penelitian ini adalah malignant perforation (10%) dan penyebab

lain (10%) meliputi perforasi ileum (4%) dengan etiologi yang tidak diketahui, divertikula

jejunum dengan perforasi (2%), dan volvulus sigmoid dengan perforasi (4%) (Tabel 3). Pada

penelitian lain yang dilakukan oleh Yadav dkk. melaporkan bahwa malignant perforation

terjadi sebanyak 2,6% dengan peritonitis perforasi akibat karsinoma gaster (6%), kanker
kolon (4%).

Penyalahgunaan NSAID dilaporkan terjadi pada 8 dari 18 pasien yang mengalami

kasus perforasi ulkus peptikum terhitung 44% kasus. Serupa dengan penelitian yang

dilakukan oleh Bali dkk. bahwa sebesar 15% dari kasus yang diteliti merupakan pasien

dengan penyalahgunaan NSAID selama lebih dari 6 bulan. Terdapat 3 dari 18 pasien yang

mengalami perforasi ulkus peptikum memiliki riwayat ulkus peptikum kronis sebelumya

terhitung 16%. dengan penelitian yang dilakukan oleh Ugochukwu, A dkk. bahwa sebesar

31,6% memiliki riwayat ulkus peptikum kronis. Kurangnya diagnosis ulkus peptikum

sebelumnya diduga karena kurangnya memperhatikan gejala yang menjadi peringatan.

Age Incidence

Dalam penelitian ini, insiden maksimum perforasi terlepas dari etiologi ditemukan

pada usia antara 41-50 tahun terhitung 22% dari total kasus. Dalam penelitian lain yang

dilakukan oleh Arveen dkk. usia rata-rata pasien adalah 43,4 tahun.

Dalam penelitian Jhobta dkk. melaporkan usia rata-rata pasien adalah 36,8 tahun,

sementara Ugochukwudkk. melaporkan usia rata-rata pasien 39,5 tahun dan Chakma dkk.

melaporkan pada 490 kasus yang diteliti, usia rata-rata pasien adalah 48,28 tahun.

Perforasi ulkus peptikum lebih sering terjadi pada kelompok usia 41 tahun samapai 50

tahun. Sesuai dengan penelitian lain yaitu Kocer B dkk melaporkan usia rata-rata keseluruhan

43,41 ± 18,66 tahun. Tas dkk. dalam penelitiannya melaporkan usia rata-rata 51,7 ± 20 tahun.

Sex Incidence

Rasio jumlah laki-laki dan jumlah perempuan terlepas dari etiologi perforasi adalah

2,84:1. Berdasarkan penelitian Yadav dkk. melaporkan bahwa rasio laki-laki dan perempuan

adalah 4,9:1. Dalam penelitian lain yang dilakukan di Pakistan, rasio laki-laki dan perempuan
adalah 2,1:1

Presentasi Klinis

Nyeri perut merupakan gejala utama yang ditemukan pada penelitian ini. Nyeri perut

terjadi pada semua kasus (100%). Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Ugochukwu

dkk. nyeri perut adalah gejala yang paling umum dengan persentase 90,8% dari hasil

penelitiannya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sivaram dkk. nyeri perut terjadi pada

100% pasien yang mengalami peritonitis.

Muntah dan demam merupakan gejala umum selanjutnya dengan persentase masing-

masing 55% dan 52% dalam penelitian ini. Hal ini sebanding dengan hasil temuan Jhobta

dkk. yaitu muntah sebesar 59% dan demam sebesar 25%, serta dalam penelitian Sivaram dkk.

yaitu muntah 48,5% dan demam 33,7%. Distensi abdomen terjadi pada 48% pasien dalam

penelitian ini, 44% dalam penelitian Jhobta dkk. dan &3,9% dalam penelitian Yadav dkk.

Time of Presentation

Ugochukwu dkk. dan Chakma dkk. melaporkan bahwa morbiditas dan mortalitas

pasca operasi meningkat pada pasien yang datang terlambat. Dalam penelitian ini, 52%

pasien datang antara 36-48 jam setelah timbulnya gejala, kurang dari 24 jam sebesar 26%,

antara 24-36 jam sebesar 12% dan antara 48-72 jam sebesar 10%. Pasien yang datang dalam

waktu kurang dari 24 jam setelah perforasi memiliki pemulihan yang lancar sedangkan

mereka yang datang lebih dari 24 jam memiliki komplikasi pasca operasi yang signifikan.

Hal ini sebanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Unver M dkk. dan Noguiera C dkk.

Dalam penelitian ini jeda waktu rata-rata antara timbulnya gejala dan pengobatan

definitif adalah 42,72 jam yang menjelaskan tingkat morbiditas yang tinggi dari 56%.

Temuan ini sebanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Jhobta dkk. dan Chakma dkk.

yang melaporkan tingkat komplikasi masing-masing sebesar 49,8% dan 52,24%. Chakma
dkk. melaporkan durasi rata-rata presentasi 57,4 jam.

Penilaian klinis menggunaakan penanda inflamasi (CRP dan Prokalsitonin) sebagai

penanda prognostik telah menarik banyak perhatian. Reith dkk. melaporkan bahwa kadar

serum CRP dan PCT lebih unggul daripada kadar TNF-α, IL-1 dan IL-6 dalam memprediksi

prognosis pada 246 pasien dengan sepsis abdomen. Dalam penelitian ini, jumlah CRP serum

secara signifikan meningkat pada pasien saat pertama masuk (Gambar 5). Pada pasien yang

mengalami pemulihan pasca operasi tanpa komplikasi, kadar CRP serum pada hari ke-3, hari

ke-5 dan hari ke-8 secara bertahap menurun (Gambar 6, 7 dan 8) tetapi pada pasien dengan

komplikasi kadar CRP serum tetap tinggi. Kadar penanda inflamasi pasca operasi yang tinggi

berhubungan dengan tingkat pra operasi yang tinggi (Gambar 5, 6, 7 dan 8). Shelton J dkk.

melaporkan bahwa tingkat CRP dari >150mg/L dikaitkan dengan peningkatan angka

komplikasi pascaoperasi. Suh S dkk. melaporkan bahwa kadar CRP serum merupakan

penanda sensitif untuk membedakan apendisitis perforasi dan non perforasi. Mereka

menemukan rata-rata kadar CRP pada pasien dengan apendisitis perforasi adalah 43,4 mg/L

sedangkan pada apendisitis non-perforasi adalah 11,88 mg/L. Kaya B dkk. melaporkan

bahwa kadar CRP yang tinggi membantu membedakan antara apendisitis phlegmonous dari

apendisitis perforasi.

Management

Apendisitis perforasi dengan peritonitis dilakukan terapi appendicectomy dan

peritoneal toilet (44%). Pasien perforasi ulkus duodenum ditangani dengan penutupan

sederhana perforasi dengan omentopexy (28%) yang juga dinyatakan oleh Khalil dkk. dan

Plummer JM dkk. Pada pasien dengan perforasi ulkus gaster, dilakukan biopsi pada lokasi

ulkus diikuti dengan penutupan sederhana dan omentopexy (8%). Semua pasien dalam

penelitian ini memiliki peritoneum yang adekuat atau memadai kemudian dilakukan
penutupan pada satu lapisan setelah pemasangan drainase. Pemberian terapi anti H pylori

diberikan kepada semua pasien dengan perforasi ulkus peptikum selama 14 hari setelah

dilakukan operasi.

Gambar 9 : Graham’s patch repair.

Tidak ada operasi antiulcer definitif yang dilakukan . Kotoran peritoneal menghalangi

semua jenis operasi antiulkus definitif, yang juga telah dinyatakan oleh Ugochukwu dkk. dan

Khalil dkk. Pasien dengan malignant perforation dilakukan reseksi terbatas atau definitif.

Gastrektomi radikal distal dilakukan pada perforasi ulkus gaster ganas pada satu pasien.

Pada dua pasien lainnya, penyumbatan perforasi dengan momentum dan

gastrojejunostomy anterior dilakukan karena pertumbuhannya tidak dapat direseksi. Satu

pasien dengan colonic malignancy dilakukan hemicolectomy radikal kanan dengan ileostomy

dan pada pertumbuhan fleksura limpa lainnya ditemukan tidak dapat direseksi, sehingga

dilakukan biopsi, penutupan perforasi, peritoneal toilet dan ileostomy. Selanjutnya pasien

menjalani kemoterapi. Satu pasien dengan divertikula jejunum dan perforasi menjalani

reseksi dan anastomosis ujung ke ujung. Dua pasien lain dengan perforasi ileum dengan

etiologi yang tidak diketahui menjalani reseksi dengan anastomosis ujung ke ujung dan

enterostomi proksimal.
Eksudat seropurulen terlihat pada 45 pasien (90%) yang muncul dalam 48 jam

perforasi sedangkan pus dengan perlengketan fibrin ditemukan pada 5 pasien (10%) yang

muncul setelah 48 jam perforasi dan mereka memiliki morbiditas yang lebih tinggi (100%).

Hasil serupa diamati oleh Ugochukwu dkk. yang melaporkan tingkat komplikasi 63,2% pada

mereka yang datang terlambat.

Spektrum Organisme

Kultur peritoneum adalah Escherichia coli pada 37 pasien, Klebsiella sp di 29,

Proteus sp di 9, Enterooccus dalam 8 dan Enterobacter sp pada 5 pasien. Boueil A dkk.

dalam penelitian mereka melaporkan Escherichia coli (81%), kelompok Streptococcus

milleri (12%), dan Pseudomonas aeruginosa (12%).

Morbiditas Paska Operasi

Tingkat komplikasi keseluruhan pada pasien dalam penelitian adalah 56%. Jhopta

dkk. dari India memiliki tingkat komplikasi 49,8% yang sebanding dengan penelitian ini.

Infeksi luka adalah komplikasi yang paling umum dalam penelitian ini di 43% (Tabel 9 dan

Gambar 8), yang sebanding dengan penelitian lain yang memiliki 39,5% komplikasi pasca

operasi. Penelitian yang dilakukan oleh Chaiya dkk. melaporkan tingkat infeksi pada sisi

yang dioperasi sebesar 48%. Infeksi pernapasan pada 12 pasien kami (24%) sebanding

dengan tingkat 28% dalam penelitian yang dilakukan oleh Jhobta dkk.

Abses intra-abdominal terlihat pada 2 pasien (4%), hernia insisional pada 2 pasien

(4%), ileus paralitik berkepanjangan pada 2 pasien dan krisis hipertensi pada satu pasien

(2%). Ini adalah salah satu komplikasi lain pada pasien dalam penelitian ini.

Tingginya insiden komplikasi pasca operasi dalam penelitian ini dapat dikaitkan
dengan presentasi pasien yang terlambat (>24 jam). Hal ini sebanding dengan penelitian yang

dilakukan oleh Chakma dkk. yang melaporkan tingkat komplikasi 52,24% dan rata-rata

durasi presentasi 54,7 jam. Jenis kelamin pasien tidak memiliki pengaruh pada tingkat

komplikasi dalam penelitian ini. Faktor lain untuk tingkat komplikasi yang tinggi ini

termasuk usia lebih dari 50 tahun, syok pada saat datang dan adanya penyakit penyerta. 32%

dari pasien dalam penelitian ini memiliki Diabetes mellitus, hipertensi dan PPOK (Tabel 5).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sivaramet dkk., Noguiera dkk.

dan Montalvo dkk. 16% pasien dalam penelitian ini mengalami syok. Ditemukan bahwa

adanya syok meningkatkan kebutuhan ventilasi mekanis pasca operasi dan ionotropik

pendukung sehingga meningkatkan morbiditas dan rawat inap di rumah sakit. Temuan ini

juga telah dilaporkan sebelumnya oleh Tas dkk. dalam penelitian mereka. Tes fungsi ginjal

abnormal pada saat masuk merupakan faktor risiko tambahan untuk morbiditas pasca operasi

dan rawat inap di rumah sakit lebih lama (Sivaram dkk).

CONCLUSION

Spektrum peritonitis umum sekunder akibat perforasi viskus berongga terus bervariasi

dari satu bagian dunia ke bagian dunia lainnya. Di negara berkembang traktus gastrointestinal

proksimal merupakan tempat perforasi yang paling umum sedangkan di negara maju

perforasi traktus gastrointestinal distal dari etiologi traumatik paling sering terjadi.

Dalam keadaan pedesaan, Apendisitis menjadi peyebab peritonitis paling umum

dibandingkan dengan perforasi ulkus dan karena keterlambatan dalam presentasi

mengakibatkan peritonitis perforasi. Studi ini juga menyoroti peran penanda prognostik

serum seperti CRP untuk menilai prognosis pasien. Kebutuhan akan pengenalan dini dan

intervensi bedah yang cepat untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas tidak dapat terlalu

ditekankan.

Anda mungkin juga menyukai