Disusun oleh :
Dosen Pembimbing :
dr. Arif Dharmawan, Sp.B
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta
Generalised Peritonitis And Its Management In A Rural Setup” ini dapat diselesaikan sesuai
dengan rencana yang diharapkan. Tujuan penyusunan jurnal reading ini guna memenuhi
tugas Kepaniteraan Klinik Madya serta melatih dalam menangani kasus kedokteran.
Penyusun menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan. Untuk itu,
saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan demi perbaikan laporan kasus ini. Atas
saran dan kritik dokter pembimbing dan pembaca, penyusun ucapkan terima kasih. Semoga
laporan jurnal reading ini bermanfaat bagi penyusun, pembaca serta rekan-rekan lain yang
Penulis
ABSTRACT
Latar belakang : Generalised Peritonitis adalah kondisi kedaruratan bedah yang umum
terjadi dan tatalaksananya masih menjadi tantangan meskipun terdapat kemajuan dalam
teknik bedah, terapi antibiotik dan adanya perawatan intensif. Faktor etiologi yang paling
sering terjadi adalah perforasi viskus berongga dan apendisitis. Tujuan artikel adalah untuk
mempelajari penyebab terjadinya perforasi peritonitis, faktor risiko, gejala klinis, tatalaksana,
komplikasi pasca operasi, dan kondisi komorbiditas yang bisa mempengaruhi morbiditas dan
Metode : 50 pasien peritonitis dengan usia di atas 10 tahun yang dirawat di institusi dari Juli
2015 hingga November 2016 telah diteliti dan dilakukan follow up setiap tiga bulan sekali
dengan periode yang bervariasi dari 12 bulan hingga 2 tahun dengan rata-rata 18 bulan.
Hasil: Perforasi apendisitis adalah penyebab umum dari peritonitis yang diikuti dengan
perforasi ulkus peptikum. Perforasi peritonitis terjadi pada 26% dari total operasi darurat
yang dilakukan dengan perbandingan antara pria dan wanita sebesar 2,84:1 dan usia diantara
41-50 tahun. Pasien yang datang dalam waktu 24 jam setelah perforasi memiliki pemulihan
yang baik sedangkan mereka yang datang lebih dari 24 jam memiliki komplikasi pasca
operasi. Kadar CRP serum digunakan sebagai penanda prognostik yang baik. Dimana kadar
ini tetap tinggi pada kasus yang rumit. Dari 56% tingkat komplikasi, infeksi luka adalah yang
Kesimpulan: Diagnosis awal dan intervensi bedah memainkan peran penting dalam
pemulihan, meskipun hasil akhirnya tergantung pada banyak faktor, seperti usia pasien,
tingkat kontaminasi peritoneum, dan adanya penyakit penyerta. Studi ini juga menyoroti
Peritonitis adalah peradangan pada membran serosa yang melapisi rongga perut dan
organ visceral yang ada di dalamnya. Peritonitis dapat terjadi lokal atau umum dan
diklasifikasikan menjadi primer, sekunder dan tersier. Peritonitis primer yang spontan jarang
terjadi dan bersifat monomikrobial dari bakteri pneumococci atau haemophilus. Peritonitis
sekunder disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ intraabdomen atau akibat dari
tumpahan saluran pencernaan atau genitourinary. Penyebab lain yang termasuk yaitu
kontaminasi eksogen.
pengobatan yang memadai dari peritonitis sekunder awal. Sir Cuthbert Wallace mengutip
"lebih baik memeriksa daripada menunggu," melakukan operasi secara dini lebih baik
Patofisiologi Peritonitis
Rongga peritoneum adalah rongga terbesar dalam tubuh, dengan luas permukaan
sekitar 1 hingga 1,7 m2 dari total luas permukaan tubuh. Peradangan pada peritoneum parietal
yang kaya akan suplai saraf somatik menyebabkan rasa nyeri yang sifatnya parah dan
terlokalisir. Peritoneum visceral disuplai oleh saraf otonom, iritasinya menyebabkan nyeri
Kehilangan bakteri dari rongga peritoneum melalui stomata diafragma dan limfatik.
leukosit
Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi etiologi peritonitis
di lingkungan pedesaan, memahami gejala klinis, temuan investigasi dan temuan intraoperatif
Review of Literature
The Hippocrates Facies dari tahap terminal peritonitis dijelaskan dengan baik sejak
Hippocrates (460BC). Peritonitis pertama kali diakui sebagai entitas penyakit pada tahun
1802 oleh ahli bedah muda Prancis Bichat dan kemudian diikuti oleh Laennec. 1 Opium atau
katarsis pernah digunakan untuk mengobati peritonitis.2 Mikulicz, asisten Billroth, pada tahun
1881 menganjurkan laparotomi dini untuk peritonitis.3 Pada awal abad ke-20 ahli bedah
memiliki gagasan yang relatif jelas tentang pertahanan tuan rumah di rongga peritoneum. 4
Veillon dan Zuber (1893) menunjukkan infeksi multimikroba pada peritonitis. 5 Pada tahun
1907 Pawlowsky menjelaskan translokasi bakteri dari usus.6 Bakteriologi peritonitis pertama
kali dilaporkan pada tahun 1922 oleh Weinberg.7 Murphy JB menganjurkan operasi dini,
tanpa spons atau irigasi, penutupan dengan drainase dan infus rektal (Murphy drip).8 Pada
angka kematian peritonitis sekunder akibat apendisitis perforasi dari 83% menjadi 21%, dari
100% menjadi 24% karena perforasi, dan dari 100% menjadi 50% pada perforasi usus halus
dan besar.9
Sistem penilaian baru telah dijelaskan peritonitis.10,11 Verma dan lainnya di PGI,
Pada penelitian yang dilakukan oleh Wani R, Parray F, dkk tentang perforasi ileum
terminal non-traumatik pada 79 kasus, penyebab perforasi adalah demam enterik (62%),
inflamasi nonspesifik (26%), obstruksi (6%), tuberkulosis (4%), dan radiasi enteritis (1%). 14
Jhobta RS, Attri AK dkk mempelajari 504 kasus berturut-turut di India, melaporkan perforasi
ulkus duodenum (289 kasus) dan apendisitis (59 kasus).15 Dalam sebuah penelitian di
Pakistan tentang perforasi peritonitis, terjadi kematian secara keseluruhan sebesar 10,6%.16
METHODS
Rumah Sakit Adichunchanagiri dan Pusat Penelitian, BG Nagara, yang terletak di pedesaan
di Dist. Mandya, Karnataka. Setelah mendapatkan izin komite etik rumah sakit, 50 kasus
peritonitis dipelajari dari Juli 2015 hingga November 2016 dengan periode follow-up dari 12
bulan hingga 24 bulan setiap tiga bulan sekali. Kekambuhan gejala, infeksi luka, hernia
Kriteria Inklusi
Kriteria Eksklusi
Kasus peritonitis terfantung pada pemeriksaan atau penemuan pada preoperative yang
dipilih.
Pemeriksaan
Darah
Hemoglobin, profil koagulasi, golongan darah dan Rhesus, jumlah total dan
diferensial leukosit, LED, HIV/ HBsAg, urea darah, serum kreatinin serum, dan serum
elektrolit. Kadar serum CRP dihitung pada sebelum operasi, pada hari ke-3, hari ke-5, dan
hari ke-8 pascaoperasi. Tes WIDAL dilakukan bila terdapat dugaan perforasi tifoid.
Pemeriksaan Radiologi
Foto X-Ray abdomen erect untuk mendeteksi gas bebas di bawah diafragma dan USG
abdomen dan pelvis untuk mendeteksi cairan bebas dan patologi terkait lainnya.
Setelah resusitasi dan diberikan antibiotik IV, operasi dilakukan. Cairan peritoneum
dikirim untuk dilakukan kultur dan sensitivitas antibiotik. Setelah mengatasi penyakit utama,
dilakukan lavage peritoneal yang memadai menggunakan salin normal hangat dan saluran
intra-abdominal ditempatkan pada semua pasien dan perut ditutup dalam satu lapisan.
RESULTS
Perforasi peritonitis terjadi pada 26% dari total operasi darurat yang dilakukan di
rumah sakit kami. Prevalensi usia dan jenis kelamin dapat dilihat di Tabel 1 dan 2. Rasio laki-
Etiologi
Perforasi apendikular sering terjadi pada laki-laki dengan rasio laki-laki dan
perempuan 1,75:1.
3 dari 18 pasien dengan perforasi ulkus peptikum memiliki riwayat penyakit ulkus
peptikum sebelumnya. Penyalahgunaan NSAID terjadi pada 8 dari 18 kasus perforasi ulkus
peptikum. Riwayat merokok ditemukan pada 14 dari 18 kasus perforasi ulkus peptikum
(78%).
Puncak insidensi perforasi terjadi diantara 41 sampai 50 tahun. Keterlambatan waktu
presentasi kurang dari 24 jam pada 13 pasien dengan morbiditas 4%, 24-36 jam pada 6 pasien
dengan morbiditas 6%, 36-48 jam pada 26 pasien dengan morbiditas 80% dan 48- 72 jam
Keadaan penyakit komorbid yaitu diabetes mellitus (24%), hipertensi (12%), dan
COPD (8%).
Gejala klinis (Tabel 6 dan 7). Nyeri perut, demam, muntah dan distensi adalah gejala
yang dominan. Nyeri perut hadir di semua, muntah 55%, demam 52% dan distensi perut
48%.
Gejala klinis (Tabel 7). Takikardia terlihat di semua (100%), Dehidrasi 84%, takipnea
34% dan 16% ditunjukkan dengan syok. Tenderness terjadi di semua (100%), rebound
tenderness di 84%, Obliterasi pada liver dullness 44% dan tidak ada bising usus 56%.
Gambar 4).
Jumlah total meningkat pada semua pasien. Tes fungsi ginjal terganggu pada 15
pasien dan semua dari 15 pasien ini mengalami komplikasi pada periode pasca operasi.
Sifat eksudat peritoneum adalah seropurulant tipis yang sedikit pada kasus-kasus awal
dan pus yang jelas dengan perlengketan fibrinoid pada semua pasien yang datang setelah 48
jam. Setelah operasi definitif, lavage peritoneal yang memadai menggunakan saline normal
hangat diberikan, drainase intra-abdominal ditempatkan di semua dan perut ditutup dalam
satu lapisan.
Kadar CRP dilakukan pada sebelum operasi, hari ke-3, hari ke-5, dan hari ke-8 pasca
operasi. Tingkat serum CRP sevara signifikan meningkan pada semua pasien saat masuk.
Pada pasien yang mengalami pemulihan pasca operasi tanpa komplikasi, kadar serum CRP
Pasien dengan komplikasi pasca operasi memiliki kadar CRP serum yang lebih
sebelum operasi yang bertahan pada periode pasca operasi (Gambar 5, 6, 7 dan 8).
Pada pembiakan peritoneal tumbuh Escherichia coli pada 37 pasien, Klebsiella di 29,
Proteus sp di 9, Enterokokus dalam 8 dan Enterobacter sp pada 5 pasien. Rata-rata rawat inap
di rumah sakit untuk pasien tanpa komplikasi pasca operasi adalah 8 hari. Di antara 50
pasien, 8 pasien mengalami syok pada saat masuk. 2 dari pasien ini membutuhkan ventilasi
lebih dari satu. Infeksi luka merupakan komplikasi tersering pada 23 pasien (43%). Infeksi
pernapasan pada 12 pasien (24%), pengumpulan residu pada 2 (4%), hernia insisional pada 2
(4%), ileus paralitik pada 2 (4%) dan krisis hipertensi pada satu pasien (2%) merupakan
komplikasi lain. Rata-rata rawat inap di rumah sakit untuk pasien yang mengalami
komplikasi adalah 15,3 hari. Usia >50 tahun, waktu presentasi >24 jam, adanya syok dan
pascaoperasi.
DISCUSSION
Operasi emergensi yang dilakukan di rumah sakit dalam penelitian ini pada
departemen bedah umum, sebesar 26% merupakan operasi peritonitis sekunder akibat
perforasi dari viskus berongga. Penemuan tersebut sebanding dengan beberapa penelitian lain
yaitu Arveen dkk pada penelitiannya tahun 2006-2008 di JIPMER melaporkan bahwa
incidence rate peritonitis sekunder akibat perforasi sebesar 25%. Dan terdapat sedikit
peningkatan insiden perforasi ulkus peptikum pada penelitian yang dilakukan di Belanda.
Faktor Etiologi
Penelitian yang dilakukan oleh Khanna dkk. terhadap 204 kasus peritonitis
menunjukkan bahwa 108 kasus disebabkan oleh Thyphoid. Penyebab lain termasuk ulkus
duodenum (58), apendicitis (9), amoebiasis (8) dan tuberkulosis (4).
Penelitian yang dilakukan oleh Thirumalagiri, lokasi paling umum untuk terjadi
perforasi adalah duodenum (52%) diikuti oleh ileum (26%), appendicular (14%), dan kolon
(4%). Sebesar 84% merupakan pasien laki-laki dan 16% pasien perempuan. Perforasi
duodenum merupakan penyebab paling umum dari peritonitis kemudian diikuti oleh small
Dalam penelitian ini, dari 50 kasus yang digunakan penyebab tertinggi dari peritonitis
adalah akibat perforasi appendicular, sebesar 44% kasus (tabel 3). Hasil tersebut mirip
dengan penelitian oleh Noon dkk. dan Akcay dkk. yang melaporkan bahwa sebesar 21% dan
Hal ini berbeda dengan banyak penelitian lain dari India yang menyimpulkan bahwa
persentasi pada penelitian Jhobta dkk. sebesar 57,4%, Chakma dkk. 54,29%, Afridi dkk.
Penyebab peritonitis tertinggi selanjutnya adalah perforasi akibat tukak peptik (36%)
dengan tukak gaster sebesar 8% dan tukak duodenum 28% (Tabel 3). Dalam penelitian ini
rasio tukak duodenum dan tukak gaster adalah 4,5:1. Pada penelitian Jhobta dkk. rasio tukak
Penyebab lain dalam penelitian ini adalah malignant perforation (10%) dan penyebab
lain (10%) meliputi perforasi ileum (4%) dengan etiologi yang tidak diketahui, divertikula
jejunum dengan perforasi (2%), dan volvulus sigmoid dengan perforasi (4%) (Tabel 3). Pada
penelitian lain yang dilakukan oleh Yadav dkk. melaporkan bahwa malignant perforation
terjadi sebanyak 2,6% dengan peritonitis perforasi akibat karsinoma gaster (6%), kanker
kolon (4%).
kasus perforasi ulkus peptikum terhitung 44% kasus. Serupa dengan penelitian yang
dilakukan oleh Bali dkk. bahwa sebesar 15% dari kasus yang diteliti merupakan pasien
dengan penyalahgunaan NSAID selama lebih dari 6 bulan. Terdapat 3 dari 18 pasien yang
mengalami perforasi ulkus peptikum memiliki riwayat ulkus peptikum kronis sebelumya
terhitung 16%. dengan penelitian yang dilakukan oleh Ugochukwu, A dkk. bahwa sebesar
31,6% memiliki riwayat ulkus peptikum kronis. Kurangnya diagnosis ulkus peptikum
Age Incidence
Dalam penelitian ini, insiden maksimum perforasi terlepas dari etiologi ditemukan
pada usia antara 41-50 tahun terhitung 22% dari total kasus. Dalam penelitian lain yang
dilakukan oleh Arveen dkk. usia rata-rata pasien adalah 43,4 tahun.
Dalam penelitian Jhobta dkk. melaporkan usia rata-rata pasien adalah 36,8 tahun,
sementara Ugochukwudkk. melaporkan usia rata-rata pasien 39,5 tahun dan Chakma dkk.
melaporkan pada 490 kasus yang diteliti, usia rata-rata pasien adalah 48,28 tahun.
Perforasi ulkus peptikum lebih sering terjadi pada kelompok usia 41 tahun samapai 50
tahun. Sesuai dengan penelitian lain yaitu Kocer B dkk melaporkan usia rata-rata keseluruhan
43,41 ± 18,66 tahun. Tas dkk. dalam penelitiannya melaporkan usia rata-rata 51,7 ± 20 tahun.
Sex Incidence
Rasio jumlah laki-laki dan jumlah perempuan terlepas dari etiologi perforasi adalah
2,84:1. Berdasarkan penelitian Yadav dkk. melaporkan bahwa rasio laki-laki dan perempuan
adalah 4,9:1. Dalam penelitian lain yang dilakukan di Pakistan, rasio laki-laki dan perempuan
adalah 2,1:1
Presentasi Klinis
Nyeri perut merupakan gejala utama yang ditemukan pada penelitian ini. Nyeri perut
terjadi pada semua kasus (100%). Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Ugochukwu
dkk. nyeri perut adalah gejala yang paling umum dengan persentase 90,8% dari hasil
penelitiannya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sivaram dkk. nyeri perut terjadi pada
Muntah dan demam merupakan gejala umum selanjutnya dengan persentase masing-
masing 55% dan 52% dalam penelitian ini. Hal ini sebanding dengan hasil temuan Jhobta
dkk. yaitu muntah sebesar 59% dan demam sebesar 25%, serta dalam penelitian Sivaram dkk.
yaitu muntah 48,5% dan demam 33,7%. Distensi abdomen terjadi pada 48% pasien dalam
penelitian ini, 44% dalam penelitian Jhobta dkk. dan &3,9% dalam penelitian Yadav dkk.
Time of Presentation
Ugochukwu dkk. dan Chakma dkk. melaporkan bahwa morbiditas dan mortalitas
pasca operasi meningkat pada pasien yang datang terlambat. Dalam penelitian ini, 52%
pasien datang antara 36-48 jam setelah timbulnya gejala, kurang dari 24 jam sebesar 26%,
antara 24-36 jam sebesar 12% dan antara 48-72 jam sebesar 10%. Pasien yang datang dalam
waktu kurang dari 24 jam setelah perforasi memiliki pemulihan yang lancar sedangkan
mereka yang datang lebih dari 24 jam memiliki komplikasi pasca operasi yang signifikan.
Hal ini sebanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Unver M dkk. dan Noguiera C dkk.
Dalam penelitian ini jeda waktu rata-rata antara timbulnya gejala dan pengobatan
definitif adalah 42,72 jam yang menjelaskan tingkat morbiditas yang tinggi dari 56%.
Temuan ini sebanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Jhobta dkk. dan Chakma dkk.
yang melaporkan tingkat komplikasi masing-masing sebesar 49,8% dan 52,24%. Chakma
dkk. melaporkan durasi rata-rata presentasi 57,4 jam.
penanda prognostik telah menarik banyak perhatian. Reith dkk. melaporkan bahwa kadar
serum CRP dan PCT lebih unggul daripada kadar TNF-α, IL-1 dan IL-6 dalam memprediksi
prognosis pada 246 pasien dengan sepsis abdomen. Dalam penelitian ini, jumlah CRP serum
secara signifikan meningkat pada pasien saat pertama masuk (Gambar 5). Pada pasien yang
mengalami pemulihan pasca operasi tanpa komplikasi, kadar CRP serum pada hari ke-3, hari
ke-5 dan hari ke-8 secara bertahap menurun (Gambar 6, 7 dan 8) tetapi pada pasien dengan
komplikasi kadar CRP serum tetap tinggi. Kadar penanda inflamasi pasca operasi yang tinggi
berhubungan dengan tingkat pra operasi yang tinggi (Gambar 5, 6, 7 dan 8). Shelton J dkk.
melaporkan bahwa tingkat CRP dari >150mg/L dikaitkan dengan peningkatan angka
komplikasi pascaoperasi. Suh S dkk. melaporkan bahwa kadar CRP serum merupakan
penanda sensitif untuk membedakan apendisitis perforasi dan non perforasi. Mereka
menemukan rata-rata kadar CRP pada pasien dengan apendisitis perforasi adalah 43,4 mg/L
sedangkan pada apendisitis non-perforasi adalah 11,88 mg/L. Kaya B dkk. melaporkan
bahwa kadar CRP yang tinggi membantu membedakan antara apendisitis phlegmonous dari
apendisitis perforasi.
Management
peritoneal toilet (44%). Pasien perforasi ulkus duodenum ditangani dengan penutupan
sederhana perforasi dengan omentopexy (28%) yang juga dinyatakan oleh Khalil dkk. dan
Plummer JM dkk. Pada pasien dengan perforasi ulkus gaster, dilakukan biopsi pada lokasi
ulkus diikuti dengan penutupan sederhana dan omentopexy (8%). Semua pasien dalam
penelitian ini memiliki peritoneum yang adekuat atau memadai kemudian dilakukan
penutupan pada satu lapisan setelah pemasangan drainase. Pemberian terapi anti H pylori
diberikan kepada semua pasien dengan perforasi ulkus peptikum selama 14 hari setelah
dilakukan operasi.
Tidak ada operasi antiulcer definitif yang dilakukan . Kotoran peritoneal menghalangi
semua jenis operasi antiulkus definitif, yang juga telah dinyatakan oleh Ugochukwu dkk. dan
Khalil dkk. Pasien dengan malignant perforation dilakukan reseksi terbatas atau definitif.
Gastrektomi radikal distal dilakukan pada perforasi ulkus gaster ganas pada satu pasien.
pasien dengan colonic malignancy dilakukan hemicolectomy radikal kanan dengan ileostomy
dan pada pertumbuhan fleksura limpa lainnya ditemukan tidak dapat direseksi, sehingga
dilakukan biopsi, penutupan perforasi, peritoneal toilet dan ileostomy. Selanjutnya pasien
menjalani kemoterapi. Satu pasien dengan divertikula jejunum dan perforasi menjalani
reseksi dan anastomosis ujung ke ujung. Dua pasien lain dengan perforasi ileum dengan
etiologi yang tidak diketahui menjalani reseksi dengan anastomosis ujung ke ujung dan
enterostomi proksimal.
Eksudat seropurulen terlihat pada 45 pasien (90%) yang muncul dalam 48 jam
perforasi sedangkan pus dengan perlengketan fibrin ditemukan pada 5 pasien (10%) yang
muncul setelah 48 jam perforasi dan mereka memiliki morbiditas yang lebih tinggi (100%).
Hasil serupa diamati oleh Ugochukwu dkk. yang melaporkan tingkat komplikasi 63,2% pada
Spektrum Organisme
Tingkat komplikasi keseluruhan pada pasien dalam penelitian adalah 56%. Jhopta
dkk. dari India memiliki tingkat komplikasi 49,8% yang sebanding dengan penelitian ini.
Infeksi luka adalah komplikasi yang paling umum dalam penelitian ini di 43% (Tabel 9 dan
Gambar 8), yang sebanding dengan penelitian lain yang memiliki 39,5% komplikasi pasca
operasi. Penelitian yang dilakukan oleh Chaiya dkk. melaporkan tingkat infeksi pada sisi
yang dioperasi sebesar 48%. Infeksi pernapasan pada 12 pasien kami (24%) sebanding
dengan tingkat 28% dalam penelitian yang dilakukan oleh Jhobta dkk.
Abses intra-abdominal terlihat pada 2 pasien (4%), hernia insisional pada 2 pasien
(4%), ileus paralitik berkepanjangan pada 2 pasien dan krisis hipertensi pada satu pasien
(2%). Ini adalah salah satu komplikasi lain pada pasien dalam penelitian ini.
Tingginya insiden komplikasi pasca operasi dalam penelitian ini dapat dikaitkan
dengan presentasi pasien yang terlambat (>24 jam). Hal ini sebanding dengan penelitian yang
dilakukan oleh Chakma dkk. yang melaporkan tingkat komplikasi 52,24% dan rata-rata
durasi presentasi 54,7 jam. Jenis kelamin pasien tidak memiliki pengaruh pada tingkat
komplikasi dalam penelitian ini. Faktor lain untuk tingkat komplikasi yang tinggi ini
termasuk usia lebih dari 50 tahun, syok pada saat datang dan adanya penyakit penyerta. 32%
dari pasien dalam penelitian ini memiliki Diabetes mellitus, hipertensi dan PPOK (Tabel 5).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sivaramet dkk., Noguiera dkk.
dan Montalvo dkk. 16% pasien dalam penelitian ini mengalami syok. Ditemukan bahwa
adanya syok meningkatkan kebutuhan ventilasi mekanis pasca operasi dan ionotropik
pendukung sehingga meningkatkan morbiditas dan rawat inap di rumah sakit. Temuan ini
juga telah dilaporkan sebelumnya oleh Tas dkk. dalam penelitian mereka. Tes fungsi ginjal
abnormal pada saat masuk merupakan faktor risiko tambahan untuk morbiditas pasca operasi
CONCLUSION
Spektrum peritonitis umum sekunder akibat perforasi viskus berongga terus bervariasi
dari satu bagian dunia ke bagian dunia lainnya. Di negara berkembang traktus gastrointestinal
proksimal merupakan tempat perforasi yang paling umum sedangkan di negara maju
perforasi traktus gastrointestinal distal dari etiologi traumatik paling sering terjadi.
mengakibatkan peritonitis perforasi. Studi ini juga menyoroti peran penanda prognostik
serum seperti CRP untuk menilai prognosis pasien. Kebutuhan akan pengenalan dini dan
intervensi bedah yang cepat untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas tidak dapat terlalu
ditekankan.