Anda di halaman 1dari 11

Herpes Genitalis pada Pria

Togu Jastin Lodewiyk Simarmata 102018149


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510, Indonesia
___________________________________________________________________________
Abstrak
Usia dekade 2 dan 3 merupakan usia aktif seksual. Pada masa ini rentan terjadi
penyebaran penyakit menular seksual yang dapat ditularkan oleh bakteri
maupun virus. Penyakit genital yang ditularkan oleh virus contohnya adalah
herpes genitalis. Herpes genitalis dapat ditularkan oleh virus herpes simpleks
tipe 2 secara kontak langsung pada lesi saat berhubungan seksual. Herpes
genitalis memiliki banyak fase mulai dari fase primer, laten, hingga rekurens.
Fase primer dari herpes genitalis cenderung lebih lama dan lebih berat serta
mempunyai lesi berbentuk vesikel hingga ulkus dangkal. Penanganan yang cepat
dan tepat dapat memperpendek masa infeksi dan membuat jarang fase rekurens
pada penyakit menular seksual ini.
Kata kunci: Penyakit menular seksual, herpes genitalis, vhs-2.

Abstract
Age of decades 2 and 3 is a sexually active age. At this time there is a risk of the
spread of sexually transmitted diseases that can be transmitted by bacteria or
viruses. Genital diseases transmitted by viruses, for example, are genital herpes.
Genital herpes can be transmitted by type 2 herpes simplex virus in direct
contact with the lesion during intercourse. Genital herpes has many phases
ranging from the primary, latent, to recurring phases. The primary phase of
genital herpes tends to be longer and heavier and has vesicle-shaped lesions to
superficial ulcers. Quick and precise treatment can shorten the duration of
infection and make the recurrence phase become rare in this sexually
transmitted disease.
Keywords: Sexually transmitted disease, genital herpes, hsv-2.

1
Pendahuluan
Kebutuhan di dalam kehidupan manusia begitu beragam, mulai dari kebutuhan
makanan, tempat tinggal, hingga kebutuhan seksual. Pada usia aktif seksual seringkali
perilaku seksual yang dilakukan dengan salah dapat mengakibatkan munculnya masalah
kesehatan. Perilaku seksual yang dilakukan dengan seorang pengidap penyakit menular
seksual dapat menjadi berbahaya. Penyakit menular seksual dapat berasal dari virus,
mikroorganisme, dll. Salah satu jenis penyakit menular seksual dapat berupa penyakit herpes
simpleks.1

Herpes simpleks merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks tipe 1 atau 2. Pada regio genital biasanya herpes simpleks disebabkan oleh virus
herpes simpleks tipe 2.2 Penyakit ini hanya dapat ditularkan secara kontak langsung yaitu
melalui hubungan seksual. Makanya perlu sekali alat pelindung seperti kondom untuk
meminimalisir kemungkinan tertularnya herpes simpleks. Penyakit menular seksual ini dapat
menjadi rekurens jika tidak ditangani dengan baik dan tepat.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien memiliki luka lecet (erosi) pada
batang kemaluan yang perih dan tidak gatal.

Pemeriksaan Penunjang

Berdasarkan keluhan pasien dapat diambil pemeriksaan penunjang pemeriksaan


serologi. Pemeriksaan serologi yang digunakan adalah pemeriksaan ELISA, untuk
menentukan titer antiboodi IgM, IgG baik untuk HSV-1 maupun HSV-2 yang berfungsi untuk
mengetahui apakah sudah terjadi infeksi primer atau reaktivasi. Gold standard dalam
pemeriksaan serologi untuk mendeteksi infeksi HSV adalah dengan pemeriksaan Western
Blot. Tes Western Blot hanya digunakan bila hasil tes dari pemeriksaan ELISA meragukan.1

Untuk mendeteksi infeksi HSV juga dapat dilakukan pemeriksaan virologi seperti
dengan menggunakan mikroskop cahaya imunofloresensi, PCR dan kultur virus. Kultur virus
dari cairan vesikel pada lesi kulit merupakan pemeriksaan yang paling baik dengan
sensitivitas dan spesifisitas tinggi. Jika hasil tes positif, ini menunjukkan hampir 100% akurat,
terutama bila cairan dari vesikel primer. Hanya saja pemeriksaan kultur virus membutuhkan
2
waktu yang lama dan biaya yang mahal.1

Gambar 1. Western blot1

Gambar 2. ELISA1

Working Diagnosis

Working diagnosis pada kasus ini adalah herpes genitalis primer karena dari hasil
pemeriksaan fisik yang ada pada laki-laki ini memiliki ciri yang sama pada penderita herpes
genitalis dan pria tersebut mengaku bahwa ini adalah pertama kalinya beliau mengalami
penyakit seperti ini sejak 3 hari yang lalu. Herpes genitalis merupakan infeksi menular
seksual yang biasanya diakibatkan oleh HSV-2, namun tidak menutup kemungkinan bahwa
herpes genitalis juga dapat disebabkan oleh HSV-1 dikarenakan oleh aktivitas seksual. Lesi
yang dimiliki oleh pria tersebut berupa luka lecet dan sebelumnya merupakan lenting-lenting
atau vesikel kecil yang bergerombol mirip seperti gejala klinis pada herpes genitalis.4

3
0

Gambar 3. Herpes Genitalis3

Differential Diagnosis
1. Sifilis Primer
Sifilis primer adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Treponema
pallidum, sangat kronik dan bersifat sistemik. Masa tunas biasanya 2-4 minggu.
Treponema pallidum masuk ke dalam kulit yang berlesi melalui hubungan seksual.
Treponema pallidum tersebut akan berkembang biak, kemudian terjadi penyebaran
secara limfogen dan hematogen.4
Kelainan kulit dimulai sebagai papul lentikular yang permukaannya segera
menjadi erosi, umumnya akan menjadi ulkus. Ulkus tersebut biasanya bulat, soliter,
dasarnya jaringan granulasi berwarna merah dan bersih, di atasnya hanya tampak
serum. Dindingnya tak bergaung, kulit di sekitarnya tidak terdapat tanda-tanda radang
akut. Pada pria tempat yang paling sering dikenai ialah sulkus koronarius.

Gambar 4. Sifilis Primer3

4
2. Chancroid
Chancroid atau yang biasa disebut dengan ulkus mole merupakan penyakit
ulkus genital akut, setempat, dapat berinokulasi sendiri. Chancroid disebabkan oleh
bakteri gram negatif, tidak berkapsul, dan anaerob fakultatif yang disebut
Haemophilus ducreyi. Bakteri ini merupakan pathogen bagi manusia dan menginfeksi
kulit genitalia dan sekitarnya, permukaan mukosa, serta kelenjar getah bening.
Penyakit ini dapat menular melalui berhubungan seksual dengan individu yang telah
terinfeksi. Chancroid lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada perempuan. Masa
inkubasi pendek yaitu berkisar antara 3-7 hari, jarang sampai 14 hari, tanpa gejala
prodromal.
Diawali dengan papul inflamasi yang cepat berkembang menjadi ulkus nyeri
dalam 1-2 hari. Tidak dijumpai gejala sistemik. Ulkus multipel, dangkal, tidak terdapat
indurasi, sangat nyeri. Bagian tepi dari ulkus bergaung, rapuh, tidak rata, kulit
sekeliling ulkus eritematosa. Dasar ulkus dilapisi oleh eksudat nekrotik kuning keabu-
abuan dan mudah berdarah jika lapisan tersebut diangkat. Tidak terdapat stadium
vesikel. Ulkus pada pria sering terdapat pada frenulum, sulkus koronarius, dan
preputium.

Gambar 5. Chancroid3

Etiologi

Virus herpes simpleks merupakan golongan Alphaherpesvirinae, sebagai subfamili


dari human herpesviridae.1 Semua virus herpes pada manusia memiliki karakteristik DNA
beruntai ganda dan berselubung. Virus masuk ke sel melalui fusi membran sel setelah

5
menempel pada reseptor spesifik yaitu pembungkus glikoprotein. Virus herpes simpleks
mempunyai siklus replikasi dalam kurun waktu 18 jam. 6 HSV-2 merupakan penyebab herpes
genitalis, yang ditularkan melalui kontak langsung dengan lesi selama melakukan hubungan
seksual, oleh karena itu herpes tersebut dapat dianggap sebagai salah satu penyakit menular
seksual (PMS).4

Epidemiologi

Penyakit herpes genitalis tersebar secara luas di seluruh belahan dunia serta
menyerang baik pria maupun wanita dengan frekuensi 5% lebih tinggi pada wanita
dibandingkan laki-laki. Infeksi virus herpes simpleks tipe 2 biasanya menyerang individu
pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. 5 Transmisi
infeksi virus herpes simpleks akibat dari kontak langsung, terutama melalui berhubungan
seksual. Sebagian besar infeksi herpes genitalis primer muncul tanpa gejala.

Berbagai survei serologi telah menunjukkan seroprevalensi yang lebih tinggi dari
virus herpes simpleks tipe 2 di sebagian besar Eropa Tengah, Amerika Serikat, dan Afrika.
Survei serologi menunjukkan bahwa 20% populasi di Amerika Serikat memiliki antibodi
terhadap HSV-2. Sebanyak 50% orang dewasa heteroseksual yang menghadiri klinik penyakit
menular seksual mempunyai antibodi terhadap HSV-2. Beberapa studi menunjukkan bahwa
banyak dari pasien tersebut tanpa gejala atau asimptomatik.1

Patofisiologi

Virus herpes simpleks akan menginfeksi permukaan mukosa atau kulit yang terluka
setelah terjadinya kontak langsung atau dapat melalui cairan tubuh. Virus masuk dan
dilanjutkan dengan inisiasi replikasi di dalam sel epidermis dan dermis. Pada awal masuknya
virus ke dalam sel saraf, dimana terjadi replikasi di ganglia dan jaringan saraf yang
berdekatan, yang kemudian menyebar ke permukaan kulit lainnya, dan ke mukosa melalui
migrasi virion yang infeksius melalui saraf sensoris perifer. Fase primer berlangsung lebih
lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan disertai dengan adanya gejala sistemik seperti
demam, malaise, dan anoreksia. Pada kulit dapat dijumpai lesi berupa vesikel yang
berkelompok di atas kulit yang eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi
seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang-kadang menjadi ulkus dangkal. Kadang-kadang
6
dapat timbul infeksi sekunder.1

Setelah fase primer, terdapat fase laten dimana pada fase ini tidak ditemukan gejala
klinis, tetapi virus herpes simpleks dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif di ganglia
dorsalis. Pada fase rekurens, virus pada ganglion dorsalis akan menjadi aktif dan mencapai
kulit sehingga menimbulkan gejala klinis. Hal-hal yang dapat mengaktifkan kembali virus
tersebut dapat berupa trauma fisik (kurang tidur, demam, infeksi), trauma psikis (gangguan
emosional, menstruasi). Gejala klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer dan
berlangsung kira-kira 7-10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal sebelum timbul vesikel
berupa rasa panas, gatal, dan nyeri.4

Gejala Klinis

Pada infeksi herpes simplex virus terdapat 3 tingkat yaitu :

1. Infeksi Primer
Predileksi pada HSV tipe 1 terdapat di daerah pinggang ke atas terumata pada
daerah mulut dan hidung, biasanya pada usia anak anak. HSV tipe 2 mempunyai
tempat predileksi di daerah pinggang kebawah, terutama pada daerah genital. Daerah
predileksi ini sering kacau dikarena kan ada cara berhubungan seksual seperti oro-
genital sehingga herpes yang terdapat di daerah genital bisa disebabkan karena HSV
tipe 1 sedangkan di daerah mulut dan rongga mulut dapat disebabkan HSV tipe 2.
Infeksi primer berlangsung lebih lama sekitar 3 minggu dan sering disertai oleh gejala
sistemik seperti demam, malaise, anoreksia dan dapat ditemukan pembengkakan
kelenjar getah bening regional. Kelainan klinis yang dijempai berupa vesikel yang
berkelompok diatas kulit yang sebab dan eritematosa, berisi cairan yang jernih dan
kemudia menjadi seropurulen dapat menjadi krusta dan kadang mengalami ulserasi
yang dangkal biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat indurasi.
Kadang-kdang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi gambaran yang tidak
jelas, umumnya didapati pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks.
Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi HSV pada genitalia
eksterna disertai infeksi pada serviks.6
2. Fase Laten
Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, akan tetapi HSV
7
dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.6
3. Infeksi Rekurens
Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis dalam keadaan tidak aktif
dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan
gejala klinis. Meksime pacu itu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurant
tidur, hubungan seksual). Gejala klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi
primer dan berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal
lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal dan nyeri. Infeksi rekurens ini
dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat lain atau disekitarnya (non
loco).6

Komplikasi

Komplikasi yang berkaitan dengan penyakit herpes genitalis yaitu:7

a. Infeksi menular seksual lainnya. Memiliki luka genitalis meningkatkan risiko penularan
atau tertular infeksi menular seksual lainnya, termasuk virus AIDS.
b. Infeksi TORCH dan infeksi bayi baru lahir. Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi dapat
terkena virus selama proses kehamilan dan kelahiran. Selama hamil, dapat menyebabkan
kelainan seperti infeksi TORCH lain, sepertio mikrosefali, mikroftalmia, kalsifikasi
intrakranial, dan korioretinitis. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan otak, kebutaan atau
kematian bagi bayi yang baru lahir. Masalah kandung kemih. Dalam beberapa kasus, luka
yang berhubungan dengan herpes genitalis dapat menyebabkan peradangan di sekitar
uretra, pipa yang mengalirkan urin dari kandung kemih ke dunia luar. Pembengkakan dapat
menutup uretra selama beberapa hari, membutuhkan pemasangan kateter untuk menguras
kandung kemih .
c. Meningitis. Dalam kasus yang jarang, infeksi HSV menyebabkan radang selaput dan cairan
serebrospinal di sekitar otak dan sumsum tulang belakang.
d. Inflamasi rektal (proktitis). Herpes genitalis dapat menyebabkan peradangan pada lapisan
rektum, terutama pada pria yang berhubungan seks dengan laki-laki.

Penatalaksanaan

Sampai saat ini belum ada terapi yang memberikan pengobatan yang dapat mencegah
8
episode rekurens secara tuntas. Secara non medikamentosa dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan pada area lesi dengan air dan sabun yang kemudian dikeringkan, mengingat bahwa
kelembaban dapat memperburuk keadaan, menghambat penyembuhan serta memudahkan
terjadinya infeksi bakteri.1 Pada lesi dini dapat digunakan obat topikal berupa krim yang
mengandung idoksuridin dengan aplikasi interval beberapa jam. Pemberian asiklovir sediaan
topikal juga dapat dilakukan karena cara kerja asiklovir mengganggu replikasi DNA virus.
Jika timbul ulkus dapat dilakukan pengobatan secara kompres.4

Pengobatan oral dapat diberikan asiklovir, valasiklovir dan famsiklovir yang dapat
membuat penyakit berlangsung lebih singkat dan masa rekurens yang lebih panjang. Dosis
asiklovir yang diberikan 5 x 200 mg sehari selama 5 hari. Dosis valasiklovir pada penderita
herpes genitalis primer adalah 2 x 1 g sehari selama 10 hari. Sedangkan untuk famsiklovir
dosis untuk infeksi primer herpes genitalis adalah 3 x 250 mg sehari. 6 Jika penyakit lebih
berat atau jika timbul komplikasi pada organ dalam maka dapat diberikan pengobatan
parenteral asiklovir.

Gambar 6. Dosis antiviral5

Pencegahan

Dua strategi dapat diadopsi untuk mencegah penularan HSV-2 yaitu intervensi yang
akan mengurangi virus oleh orang yang terinfeksi sehingga mengurangi kemungkinan
terpajan individu yang tidak terinfeksi virus dan intervensi yang akan membuat orang yang
tidak terinfeksi kurang rentan terhadap infeksi oleh virus.5Langkah-langkah berikut dapat

9
bermanfaat untuk pencegahan penularan HSV:
 Membatasi jumlah pasangan seksual.
Tingkat HSV-2 dalam dalam populasi berkolerasi dengan perilaku pengambilan resiko
sexual. Hal ini dapat mengurangi resiko tertular herpes genital.8
 Penggunaan kondom yang konsisten dan benar.
Ini mungkin pendekatan terbaik untuk meminimalkan resiko tertular herpes genital.
Kondom lateks pria efektif membatasi akuisis pada pria dan wanita. Penggunaan
kondom pada lebih dari satu dalam empat kesempatan kontak seksual mencegah 50%
dari transmisi HSV. Namun, pasien perlu menyadari bahwa kondom tidak sepenuhnya
protektif dan virus menular dapat dilepaskan dari area yang tidak dilindungi atau
ditututpi oleh penghalang.8

Prognosis

Kematian yang disebabkan oleh infeksi HSV jarang terjadi. Infeksi primer yang segera diobati
mempunyai prognosis lebih baik, sedangkan infeksi rekuren hanya dapat dibatasi frekuensi
kambuhnya. Terapi antivirus secara efektif dapatmenurunkan manifestasi klinis pada herpes
genitalis..4

Kesimpulan

Dalam scenario ini seorang laki laki terkena penyakit herpes genitalis dengan
gambaran vesicle berkelompok dengan dasar eritema. Diagnosis ini dapat ditegakan dengan
anamnesis, pemeriksaan penunjang. Minum obat secara efektif akan membantu penyembuhan
penyakit tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Supartondo, Setiyohadi B. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6 Jilid III.
Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 739-45.

10
2. Santiago SA, Sintes RN, Pugnaire MAF. Genital herpes. CPPMFC. 2010;
56(12):1304-6.
3. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s color atlas & synopsis of clinical dermatology.
6th edition. USA: Mc Graw Hill Professional; 2009. p. 912-33.
4. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7.
Jakarta: FKUI; 2018. p. 475-80.
5. Soutor C, Hordinsky M. Clinical dermatology. 1 st edition. USA: Mc Graw Hill
Professional; 2013. p. 88-90.
6. Jong EC, Stevens LS. Netter’s infectious diseases. USA: Elsevier Saunders; 2012.
p. 311-3.Indriatmi Westi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7:Fakultas Kedokteran
universitas indonesia 2018. h. 478-9

7. Indriatmi Westi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7:Fakultas Kedokteran universitas
indonesia 2018. h. 475-7.
8. Gupta S, Kumar B. Sexual transmitted infections. Edisi 2. India: Elsevier; 2012. h.
340-41, 365.

11

Anda mungkin juga menyukai