Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan

Pada masa lalu semua perencanaan struktur direncanakan dengan metoda

desain elastis atau dalam peraturan AISC disebut allowable stress design method.

Perencana menghitung beban kerja atau beban yang akan dipikul oleh struktur dan

perhitungan dimensi elemen struktur didasarkan pada tegangan ijin. Daktilitas baja

telah ditunjukkan dapat memberikan kekuatan cadangan dan merupakan dasar dari

perencanaan plastis. Dalam metode ini, beban kerja dihitung dan dikalikan dengan

faktor tertentu atau faktor keamanan, kemudian elemen struktur direncanakan

berdasarkan kekuatan runtuh. Nama lain dari metoda ini adalah perencanaan batas

(limit design) dan perencanaan runtuh (collapse design).

Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, sebuah metoda perencanaan

yang dinamakan metode LRFD (Load and Resistance Factor Design) juga sering

digunakan. Metode LRFD menawarkan konsep yang pada prinsipnya, menggunakan

faktor reduksi kekuatan dan faktor kelebihan beban sehigga memungkinkan

terciptanya suatu konstruksi baja yang aman dan ekonomis.

2.2 Analisa Struktur dengan Metode Plastisitas

2.2.1 Konsep dasar analisa plastis

Analisa atas dasar muatan batas pada dasarnya menggunakan analisa plastis

dimana kita menentukan pola pembagian sendi-sendi plastis di dalam konstruksi pada

Universitas Sumatera Utara


saat seluruhnya atau sebagian akan runtuh kemudian dari pola pembagian sendi-sendi

plastis tersebut kita dapat menghitung besarnya muatan batas yang dinyatakan dalam

momen-momen batas dari masing-masing sendi plastis.

Analisa plastis merupakan sebuah cara yang sangat menguntungkan dalam

kedudukannya sebagai pengganti analisa elastis apabila diterapkan pada balok-balok

menerus ( continuous beam ), portal-portal dengan sambungan kaku dan struktur statis

tak tentu pada umumnya dimana banyak melibatkan tegangan-tegangan lentur.

Pada analisa konstruksi atas dasar muatan batas ini kita dapat menggunakan

dengan beberapa cara yaitu :

Cara grafostatis

Cara ini meliputi penentuan secara grafostatis suatu bidang momen

dalam keadaan batas, sedemikian rupa sehingga dengan momen di

setiap penampang tidak melampaui momen batas ( M≤Mp), tercapai

suatu mekanisme keruntuhan.

Cara mekanisme

Cara mekanisme merupakan cara yang lebih cepat untuk mendapatkan

hasil dibandingkan dengan cara grafostatis dan cara distribusi momen,

terutama pada struktur yang derajat kehiperstatisannya lebih banyak.

Cara distribusi momen

Cara distribusi momen ini mirip dengan metode distribusi secara cross,

oleh karena itu disebut juga metode distribusi momen plastis.

Semakin banyak derajat statis tak tentu suatu konstruksi maka semakin banyak

pula kemungkinan-kemungkinan bentuk mekanisme runtuh, sehingga menjadi sulit

bagi kita untuk menentukan momen akhir secara tepat. Dengan cara mekanisme

permasalahan di atas akan lebih cepat memberikan hasil. Pada cara ini kita

Universitas Sumatera Utara


menentukan dahulu berbagai kemungkinan bentuk mekanisme dan untuk masing-

masing bentuk ditentukan beban batasnya. Mekanisme yang tepat adalah

menghasilkan muatan batas terendah dimana pada setiap penampangnya momen

lentur tidak melampaui momen batas/ plastis (Mp).

Prosedur perhitungannya adalah sebagai berikut :

a. Menentukan letak sendi-sendi plastis yang mungkin terjadi.

b. Pilih mekanisme yang mungkin, baik mekanisme tunggal maupun mekanisme

gabungan atau kombinasi.

c. Pecahkan persamaan kesetimbangan dengan prinsip kerja virtual untuk beban

terendah atau Mp yang tertinggi.

d. Periksa apakah dipenuhi M≤Mp pada semua penampang.

2.2.2 Prinsip virtual displacement

Prinsip virtual displacement ini sangat penting di dalam syarat kesetimbangan

yang dapat dirumuskan sebagai : bila suatu susunan gaya dalam kesetimbangan maka

kerja gaya dalam sama dengan kerja gaya luar (virtual displacement).

2.2.3 Sifat-sifat sendi plastis

σ σy σy σy

1/2 d

d Me My My' Mp

1/2 d

b
σ σy σy σy

(1) (2) (3) (4)

Gambar 2.1 Diagram Tegangan

Universitas Sumatera Utara


Sumber : Wahyudi,Metode Plastis :Analisis dan Desain

Gambar 2.1 (1) menunjukkan pembagian tegangan pada muatan kerja, gambar

2.1 (2) adalah pada waktu tegangan di serat-serat terjauh tepat mencapai tegangan

leleh.

Penambahan muatan lebih lanjut praktis tidak mengalami perlawanan lagi dari

penampang, dimana daerah plastis telah menjalar terus ke serat-serat yang lebih dalam

sampai pada akhitnya tegangan leleh mencapai garis berta atau garis netral dari

penampang. Ini dapat dilihat dalam gambar 2.1 (3)

Sedangkan pada gambar 2.1 (4), penampang sudah mencapai plastis penuh

dan telah mencapai kapasitas maksimum efektifnya atau momen batasnya (Mp). Pada

kondisi ini, penampang tadi akan mengalami rotasi yang cukup besar tanpa terjadi

penambahan momen. Dengan kata lain, di titik tersebut telah terbentuk sendi plastis.

Penampang menjadi bersifat sebagai suatu sendi plastis setelah momen leleh (My)

tercapai, yaitu bahwa penambahan beban, penampang tidak dapat menerima momen

tambahan dan hanya mengalami rotasi saja. Beda antara sendi biasa dan sendi plastis

adalah pada sendi biasa momen yang bekerja pada sendi adalah nol, sedangkan pada

sendi plastis momen yang bekerja pada sendi adalah tetap (Mp).

2.2.4 Faktor bentuk (shape factor)

Perbandingan antara momen plastis (Mp) dengan momen leleh (My)

menyatakan peningkatan kekuatan penampang akibat ditinjau dari kondisi plastis.

Perbandingan itu tergantung dari bentuk penampangnya.

Jadi,

Mp s
f = atau f =
My z

Universitas Sumatera Utara


dimana:

f adalah faktor bentuk (shape factor)

s adalah plastic modulus

z adalah section modulus

Harga dari faktor bentuk (shape factor) untuk beberapa penampang yang

sering dipakai adalah sebagai berikut :

 Penampang segiempat f = 1,5

 Penampang segiempat berlubang f = 1,18

 Penampang segiempat diagonal f = 2,0

 Penampang lingkaran f = 1,7

 Penampang lingkaran berlubang f = 1,34

 Penampang I f = 1,15

 Penampang segitiga sama kaki f = 2,34

2.2.5 Pengaruh gaya lintang

Akibat gaya lintang pada tampang balok adalah lebih kompleks dibandingkan

efek gaya normalnya. Kombinasi antara geser dengan lentur akan terjadi tapi dalam

arah dua dimensi. Sebenarnya kombinasi antara keduanya dalam teori plastisitas

adalah sangat sukar, akan tetapi dapat dihitung berdasarkan metode pendekatan.

Dalam teori elastis untuk balok I, badan memikul penuh akibat tegangan geser

sedang sayap tidak memikul tegangan geser sama sekali. Seandainya anggapan ini

dipakai dalam analisa plastis maka problemnya dapat diselesaikan secara empiris

(Mises).

Universitas Sumatera Utara


σy τ σy

σy τ σy

Gambar 2.2 Diagram tegangan geser


Sumber : Wahyudi , Metode Plastis :Analisis dan Desain

Misalkan gaya geser F bekerja pada web mengakibatkan tegangan geser

merata τ maka :

F = (D − 2T )t.τ

F
τ=
(D − 2T )t

Menurut Mises σ 2 + 3τ 2 = σ y
2

apabila σ 2 + 3τ 2 = σ y dibagi dengan σ y maka :


2 2

σ2 3τ 2
+ =1
(σ y )2 (σ y )2
Jadi,

2
σ  τ 
= 1 − 3 
σy σ 
 y 

M p = BT (D − T )σ Y + (D / 2 − T ) tσ y , dibagi dengan σ y
2

Zpy = Zf + ( ½ D – T )2 t

Zp = Zf + {( ½ D –T )2 t }. σ/σy

Universitas Sumatera Utara


dimana :

F = gaya geser yang bekerja pada web (badan)

τ = tegangan geser

D = tinggi dimensi profil WF

T = tebal flens

t = tebal web (badan)

Zpy = plastic modulus tanpa pengaruh gaya lintang

Zp = plastic modulus dengan pengaruh gaya lintang

2.2.6Pengaruh gaya normal

σy

t
2 σy
D
P

σy

Gambar 2.3 Diagram tegangan normal


Sumber : Wahyudi , Metode Plastis :Analisis dan Desain

Misalkan beban aksial (normal) P bekerja pada garis netral tampang dan

momen plastis Mp menyebabkan tampang plastis penuh

Mpy = momen plastis penuh tanpa normal

= bd22σy (plastic modulus dikali dengan tegangan leleh )

Py = 2bdσy (luas dikali dengan tegangan leleh)

P = 2βbdσy = β.Py

Mp = momen plastis dengan pengaruh normal

Universitas Sumatera Utara


= Mpy – P( ½ βd) = (1-β2)Mpy

½ β2d.Py = ½ β2 d ( 2 b d σy ) = β2 b d2 σy = β2 Mpy

2 2
 Mp   P
  +  =1
M  P 
 py   y

Mp = Mpy - β2 t D2 σy

P = 2 β t D σy

n = p / σy

p = P/A

maka,

Zp = Zpy - β2 t D2

Zp = Zpy – ( A2/4t) n2 ≥ Mp/ σy

dimana :

P = gaya aksial (normal)

A = luas penampang

P = tegangan normal

σy = tegangan leleh

Zp = plastic modulus dengan pengaruh normal

Zpy = plastic modulus tanpa pengaruh normal

2.2.7Kontrol tekuk pada perencanaan plastis

Beam column yang mengalami sendi plastis, dapat dikategorikan ke dalam 2

kategori yaitu :

a. Beam-column dengan rasio beban rendah ( low load-ratio beam)

P
≤ 0,15
Py

Universitas Sumatera Utara


Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk baja fy=250 Mpa yaitu :

Mpc = Mp

Cek rasio kelangsingan terhadap stabilitas

= 90(0,6 + 0.4 β ) P Py , dengan harga β menurut rasio momen dibawah


L
rx

ini.
M M M M2

M M M1' M1
β=0 β = -1,0 β = 1,0 β = M1/M2

Sumber : Robert Disque , Applied Plastic Design in Steel

Cek rasio luas penampang terhadap kemungkinan terjadi efek tekuk lokal

seperti yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

b. beam column dengan rasio beban tinggi (high load-ratio beam column)

P
〉 0,15
Py

Cek rasio luas penampang terhadap kemungkinan terjadi efek tekuk lokal

d
harus lebih kecil dari 1120 / fy
t

Cek terhadap rasio kelangsingan dari beam colum

P 1+ β − λ

Py 1 + β + λ

dimana :

L fy
λ=
π .r E

Cek Pplastis tehadap Pcr izin

Universitas Sumatera Utara


1 π 2 .E.I
Pcr izin = .
3 lk 2

Pcr izin harus lebih besar dari Pplastis.

2.2.8 Kontrol stabilitas pada kolom

Karena metode desain plastis banyak digunakan pada komponen struktur

menerus, maka elemen pada struktur biasanya mengalami gaya aksial dan momen

lentur sekaligus. Untuk itu, sebuah persamaan interaksi yang menggunakan beban

vertikal dan momen terfaktor digunakan dalam proses perencanaan.

Persamaan interaksi ini bukan merupakan representasi langsung dari keadaan

di lapangan, akan tetapi, persamaan tersebut sudah banyak digunakan negara-negara

seperti Amerika Serikat, Kanada, dll dan terbukti memiliki catatan yang memuaskan

oleh para perencana.

Persamaan interaksi yang digunakan dalam metode desain plastis adalah

sebagai berikut ( :

P CmM
+ ≤ 1,0
(
Pcr 1 − P Mm
Pe
)
Sumber : Robert Disque , Applied Plastic Design in Steel

dimana :

P = beban aksial terfaktor yang terjadi pada struktur , kips

Pcr = 1,7 A.Fa , kips

Fa = tegangan diizinkan yang bekerja sesuai desain elastis, ksi

 (
Kl / r 2  )
1 −  Fy
 2Cc 2 
Fa =
F .S

2π 2 .E
Cc =
Fy

Universitas Sumatera Utara


F.S = faktor keamanan sesuai AISC yang berkisar 1,67 untuk Kl/r sama dengan 0 dan

1,92 ketika Kl/r sama dengan Cc.

M = momen diizinkan yang terjadi bersamaan dengan beban terfaktor, kips-ft

Pe = 1,92 A.F’e , kips , dimana F’e adalah tegangan Euler yang diizinkan sesuai

peraturan AISC sebagai berikut :

π 2 .E
F'e =
1,92(K .lb / rb )
2

lb = panjang aktual dari batang tanpa pengaku , in

rb = radius girasi profil , in

K = faktor panjang efektif

Mm = momen maksimum yang bisa ditahan profil tanpa beban aksial, kips-ft

Untuk kolom dengan bracing pada sumbu lemah

Mm = Mp

Untuk kolom tanpa bracing pada sumbu lemah

 ( l ry ) Fy 
Mm = 1,07 −  Mp ≤ Mp
 3160 

Cm = koefisien yang tergantung kepada elemen struktur apakah merupakan portal

dengan bracing atau tanpa bracing, Cm = 0,85 untuk portal tanpa bracing

2.3 Analisa Struktur berdasarkan metode LRFD

2.3.1 Konsep dasar metode LRFD

Berbeda dengan halnya metode ASD yang control utamanya adalah pada

tegangan yang terjadi pada suatu elemen, metode LRFD yang diperkenalkan oleh

AISC ini menggunakan faktor kelebihan beban dan koefisien reduksi kekuatan yang

memungkinkan dihasilkannya dimensi yang lebih rasional. Gaya-gaya ataupun

Universitas Sumatera Utara


momen-momen yang terjadi tidak boleh melebihi kekuatan nominal dari penampang.

Koefisien reduksi kekuatan bervariasi untuk berbagai jenis keadaan, misalnya batang

tarik, batang tekan, batang terlentur. Untuk lebih lengkapnya, dapat dilihat pada tabel

dibawah

Tabel 2.1 Faktor reduksi untuk keadaan kekuatan batas


Sumber : SNI 03-1729-2002

Universitas Sumatera Utara


2.3.2 Kontrol gaya geser

Gaya geser yang terjadi pada profil sebagian besar dipikul oleh web jika web

dalam kondisi stabil (artinya ketidakstabilan akibat kombinasi geser dan lentur tidak

terjadi). Kuat geser nominal pelat web ditentukan oleh SNI 03-1729-2002 pasal 8.8.3

yaitu :

Vn = τ y . Aw ≈ 0,60. f yw . Aw

dengan :

f yw = kuat leleh web

Aw = luas penampang web

Persamaan di atas dapat digunakan bila dipenuhi syarat kelangsingan untuk

tebal pelat web sebagai berikut :

h 1100

tw f yw

Dan kuat geser rencana harus memenuhi persamaan :

φ v .Vn ≥ Vu

2.3.3 Kontrol gaya normal

Suatu komponen struktur yang mengalami gaya tekan konsentris akibat beban

terfaktor Nu, menurut SNI 03-1729-2002, pasal 9.1 harus memenuhi :

N u < φ c .N n

dengan :

φc = 0,85

Nu = beban terfaktor

Nn = kuat tekan nominal komponen struktur = Ag.fcr

Universitas Sumatera Utara


Tegangan kritis untuk daerah elastik, dituliskan sebagai :

f cr π 2 .E 1
= 2 = 2
f y λ . f y λc

λ fy
sehingga λc =
π E

Daya dukung nominal Nn struktur tekan dihitung sebagai berikut :

fy
N n = Ag . f cr = Ag .
ω

dengan besarnya ω ditentukan oleh λc, yaitu :

Untuk λc < 0,25 maka ω = 1

1,43
Untuk 0,25 < λc < 1,2 maka ω =
1,6 − 0,67λc

λc > 1,2 maka ω = 1,25.λc


2
Untuk

Panjang Tekuk

Kolom dengan kekangan yang besar terhadap rotasi dan translasi pada ujung-

ujugnnya (contohnya tumpuan jepit) akan mampu menahan beban yang lebih besar

dibandingkan dengan kolom yang mengalami rotasi serta translasi pada bagian

tumpuan ujungnya. Semakin kecil panjang efektif suatu komponen struktur tekan,

maka semakin kecil pula resikonya terhadap masalah tekuk.

SNI 03-1729-2002 pasal 7.6.3.1 memberikan daftar nilai faktor panjang tekuk

untuk berbagai kondisi tumpuan ujung dari suatu kolom. Nilai k ini diperoleh dengan

mengasumsikan bahwa kolom tidak mengalami goyangan atau translasi pada ujung-

ujung tumpuannya. Namun dalam kasus portal kaku yang diberi gaya horizontal

(portal bergoyang), nilai k harus dihitung berdasarkan suatu nomogram.

Nilai k untuk masing-masing sistem portal tersebut dapat dicari dari

nomogram seperti pada gambar dibawah. Terlihat bahwa nilai k dalam nomogram

Universitas Sumatera Utara


tersebut adalah merupakan fungsi dari Ga dan Gb yang merupakan perbandingan

antara kekakuan komponen struktur yang dominan terhadap tekan (kolom) dengan

kekakuan komponen struktur yang relatif bebas terhadap gaya tekan (balok). Nilai G

ditetapkan berdasarkan persamaan :

I
∑  L 
G= c

I
∑  L 
b

Persamaan diatas dapat dikecualikan untuk kondisi-kondisi berikut :

a. untuk komponen struktur tekan yang dasarnya tidak terhubungkan secara kaku

pada pondasi (contohnya tumpuan sendi), nilai G tidak boleh diambil kurang dari

10

b. untuk komponen struktur tekan yang dasarnya terhubungkan secara kaku pada

pondasi (tumpuan jepit), nilai G tidak boleh diambil kurang dari 1

Gambar 2.6 Nomogram faktor panjang tekuk, k


Sumber : SNI 03-1729-2002

Universitas Sumatera Utara


2.3.4 Kontrol Beam-Column

Pada suatu komponen struktur terkadang efek gaya aksial maupun momen

lentur tidak dapat diabaikan salah satunya, kombinasi dari gaya aksial dan momen

lentur harus dipertimbangkan dalam proses desain komponen struktur tersebut.

Komponen struktur tersebut sering disebut sebagai elemen balok-kolom (beam-

column).

 Desain LRFD komponen struktur balok-kolom

Perencanaan komponen struktur balok-kolom, diatur dalam SNI 03-1729-2002

pasal 11.3 yang menyatakan bahwa suatu komponen struktur yang mengalami momen

lentur dan gaya aksial harus direncanakan untuk memenuhi ketentuan sebagai berikut:

Nu
Untuk ≥ 0,2
φ .N n

Nu 8  M ux M uy 
+  +  ≤ 1,0
φ .N n 9  φb .M nx φb .M ny 

Nu
Untuk < 0,2
φ .N n

Nu  M ux M uy 
+ +  ≤ 1,0
2.φ .N n  φb .M nx φb .M ny 

dengan :

Nu adalah gaya tekan aksial terfaktor

Nn adalah tahanan tekan nominal dengan menganggap batang sebagai suatu elemen

tekan murni.

φ adalah faktor reduksi tahanan tekan = 0,85

Mux adalah momen lentur terfaktor terhadap sumbu x, dengan memperhitungkan

efek orde kedua, yang akan dibahas kemudian.

Mnx adalah tahanan momen nominal untuk lentur terhadap sumbu x

Universitas Sumatera Utara


φb adalah faktor reduksi tahanan lentur = 0,90

Muy sama dengan Mux, namun dihitung dengan acuan sumbu y

Mny sama dengan Mnx, namun dihitung dengan acuan sumbu y

Dalam pembahasan di atas disebutkan bahwa besarnya momen lentur terfaktor

dari suatu komponen struktur balok-kolom dihitung dengan menggunakan analisis

orde kedua. SNI 03-1729-2002 menyatakan bahwa pengaruh orde kedua harus

diperhatikan melalui salah satu dari dua analisis berikut :

1. suatu analisis orde pertama dengan memperhitungkan perbesaran momen

2. analisis orde kedua menurut cara-cara yang telah baku dan telah diterima secara

umum

Dalam hal ini, kita menggunakan cara yang pertama, yaitu analisis orde pertama

dengan memperhitungkan perbesaran momen

 Perbesaran momen untuk struktur tak bergoyang

Untuk suatu komponen struktur tak bergoyang , maka besarnya momen lentur

terfaktor harus dihitung sebagai :

M u = δ b .M ntu

M ntu adalah momen lentur terfaktor orde pertama yang diakibatkan

oleh beban-beban yang tidak menimbulkan goyangan, sedangkan δb adalah

faktor perbesaran momen untuk komponen struktur tak bergoyang, yang

besarnya ditentukan sebagai berikut :

Cm
δb = > 1,0
N 
1 −  u 
 N el 

Universitas Sumatera Utara


dengan :

Nu adalah gaya tekan aksial terfaktor

Nel adalah gaya tekan menurut Euler dengan kL/r terhadap sumbu lentur dan k

≤ 1 (untuk struktur tak bergoyang)

Cm = 0,6 – 0,4(M1/M2)

 Perbesaran momen untuk struktur bergoyang

Untuk komponen struktur bergoyang, maka besarnya momen lentur terfaktor

harus diperhitungkan sebagai berikut :

M u = δ b .M ntu + δ s .M ltu

Mltu adalah momen lentur terfaktor orde pertama yang diakibatkan oleh beban-

beban yang dapat menimbulkan goyangan. Faktor perbesaran momen, δs,

ditentukan sebagai berikut :

1
δs =
∆ 
1 − ∑ N u  oh 
 HL 

1
atau δ s =
1−
∑N u

∑N e2

dengan :

∑N u adalah jumlah gaya aksial tekan terfaktor akibat beban gravitasi untuk

seluruh kolom pada satu tingkat yang ditinjau

Ne2 sama dengan Nel, namun dengan menggunakan k untuk komponen

struktur bergoyang, k ≥ 1,0

∆ oh adalah simpangan antar lantai pada tingkat yang sedang ditinjau

Universitas Sumatera Utara


∑H adalah jumlah gaya horizontal yang menghasilkan ∆oh pada tingkat

yang ditinjau

L adalah tinggi tingkat

2.4 Ketentuan perencanaan pembebanan

Pedoman pembebanan untuk kedua metode menggunakan beberapa acuan

standar sebagai berikut :

1. Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung ( SNI 03-1729-

2002)

2. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung (SNI 03-

1726-2002)

3. Pedoman Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung (SKBI-1987)

4. AISC Specification for Structural Steel Building – Allowable Stress Design

and Plastic Design, American Institute of Steel Construction, 1 Juni 1989

2.4.1 Pembebanan

Berdasarkan peraturan-peraturan diatas, struktur sebuah gedung harus

direncanakan kekuatannya terhadap beban-beban berikut :

1. Beban mati ( Dead Load)

Beban mati yang diperhitungkan dalam struktur gedung bertingkat ini

merupakan berat sendiri elemen struktur bangunan yang memiliki fungsi

struktural menahan beban

2. Beban hidup (Live Load)

Beban hidup yang diperhitungkan adalah beban hidup selama masa layan.

Beban hidup selama masa konstruksi tidak diperhitungkan karena diperkirakan

Universitas Sumatera Utara


beban hidup masa layan lebih besar daripada beban hidup pada masa

konstruksi. Bebab hidup yang direncanakan adalah sebagai berikut:

a. Beban hidup pada lantai gedung

Beban hidup yang digunakan mengacu pada standar pedoman pembebanan

yang ada, yaitu sebesar 250 kg/m2 untuk gedung perkantoran.

b. Beban hidup pada atap gedung

Beban hidup yang digunakan mengacu pada standar pedoman pembebanan

yang ada, yaitu 100 kg/m2 untuk gedung perkantoran.

3. Beban Gempa

Beban gempa adalah beban yang timbul akibat percepatan getaran tanah pada

saat gempa terjadi. Untuk merencanakan struktur bangunan tahan gempa, perlu

diketahui percepatan yang terjadi pada batuan dasar. Berdasarkan hasil penelitian

yang telah dilakukan, wilayah Indonesia dapat dibagi ke dalam 6 wilayah zona

gempa.

Struktur bangunan yang akan direncanakan terletak di Kota Medan.

Berdasarkan SNI 03-1726-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa

Rumah dan Gedung, daerah Medan terletak pada wilayah gempa zona 3, namun

belakangan banyak muncul wacana yang sudah menempatkan kota Medan ke wilayah

gempa zona 4. Untuk lebih amannya, kita menggunakan wilayah gempa 4 untuk kota

Medan. Berikut adalah grafik respons spektra pada wilayah gempa zona 4 untuk

kondisi tanah lunak, sedang dan keras

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.7 Respons Spektrum Gempa Wilayah Gempa 4
Sumber : SNI 03-1726-2002

Analisis yang digunakan dalam perencanaan beban gempa ini adalah metode

analisis Statik Ekivalen yang bekerja pada gedung yang menirukan pengaruh dari

gerakan tanah akibat gempa tersebut.

2.4.2 Kombinasi pembebanan metode LRFD

Kombinasi faktor beban yang digunakan dalam perencanaan dengan metode LRFD

sesuai SNI 03-1729-2002 adalah :

1) 1,4D

2) 1,2D + 1,6 L + 0,5 (La atau H)

3) 1,2D + 1,6 (La atau H) + (γ L L atau 0,8W)

4) 1,2D + 1,3 W + γ L L + 0,5 (La atau H)

5) 1,2D ± 1,0E + γ L L

6) 0,9D ± (1,3W atau 1,0E)

Universitas Sumatera Utara


Keterangan :

D adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen, termasuk

dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga, dan peralatan layan tetap

L adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termasuk kejut,

tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti angin, hujan, dan lain-lain

La adalah beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh pekerja,

peralatan, dan material, atau selama penggunaan biasa oleh orang dan benda bergerak

H adalah beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan air

W adalah beban angin

E adalah beban gempa, yang ditentukan menurut SNI 03–1726–2002, atau

penggantinya dengan, γ L = 0,5 bila L< 5 kPa, dan γ L = 1 bila L≥ 5 kPa.

2.4.3 Kombinasi pembebanan metode Plastisitas

Kombinasi faktor beban yang digunakan dalam perencanaan dengan metode plastis

berdasarkan AISC 1989 :

1) 1,7 (D + L)

2) 1,3(D + L + E)

3) 1,3(D + L + W)

4) 1,3(D + E)

5) 1,3(D + W)

Keterangan :

D adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen, termasuk

dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga, dan peralatan layan tetap

L adalah beban hidup rencana

Universitas Sumatera Utara


E adalah beban gempa rencana

W adalah beban angin

dimana beban angin(W) dan beban gempa(E) tidak boleh diperhitungkan secara

bersamaan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai