Dosen matematika Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Ariyadi Wijaya. Foto : Widi
Erha
Pada 2012, Ariyadi sempat melakukan pengujian terhadap siswa dari 11 SMP dan SMK di DIY
menggunakan soal-soal PISA. Ada beberapa kesalahan yang paling banyak dilakukan oleh siswa-
siswa tersebut. Pertama, ketika mereka dihadapkan pada soal cerita, siswa-siswa itu tidak tahu
rumus apa yang harus digunakan.
“Yang kedua, mereka cenderung menghitung semua bilangan yang muncul di soal. Padahal
faktanya, dalam dunia nyata kita kan harus memilah, oh informasi itu nggak penting, nggak usah
dipakai. Dan soal PISA kayak gitu, kadang ada bilangan yang nggak dipakai sebenarnya,” ujar
Ariyadi.
ADVERTISEMENT
Informasi-informasi yang tidak dipakai itu bukan bermaksud untuk menjebak siswa, melainkan
untuk menggambarkan konteks dunia nyata secara alami. Sehingga kadang ada ukuran-ukuran
bilangan yang muncul dalam soal padahal sebenarnya tidak dipakai dalam penyelesaian
masalah.
Kesiapan Guru
Foto : Pixabay
Untuk bidang literasi membaca, pelajaran yang ada dalam kelas kita juga belum sampai pada
level yang diinginkan PISA. Pelajaran membaca di Indonesia selama ini baru mempertanyakan
sesuatu yang bersifat informatif, meliputi apa, siapa, kapan, dan di mana. Sementara
pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa dan bagaimana masih sangat jarang diajarkan.
“Padahal pertanyaan di PISA itu banyak yang menanyakan why dan how. Jadi ada bacaan, dari
bacaan itu mereka harus membuat kesimpulan, ini kenapa sih terjadi, bagaimana sih terjadi,”
kata Hongki.
Dalam pembelajaran sains pun tidak jauh berbeda. Misalnya ada sebuah gejala alam, pertanyaan
yang banyak diajukan kepada siswa baru sekadar apa, siapa, di mana, dan kapan. Hongki
bercerita pengalamannya beberapa bulan lalu ketika mengadakan sebuah workshop dengan
guru-guru IPA dan matematika SMP.
Dalam workshop itu, dia memberikan tantangan kepada guru-guru tersebut dengan
menyediakan beberapa perlengkapan seperti stik es krim, kapas, kawat, plastik, dan peralatan
lainnya. Mereka diminta membayangkan berada dalam situasi bencana di daerah tertentu dan
harus mengirimkan makanan berupa telur. Tugas mereka bagaimana melakukan suplai makanan
itu agar tepat sasaran dan tidak hancur ketika dijatuhkan dari pesawat.
“Ketika mereka mengerjakan projek ini mereka lebih menggunakan metode trial and error, tidak
menggunakan toeri-teori matematika fisika dan matematika yang mereka pelajari, padahal itu
sangat kental. Padahal latar belakang mereka kan sains,” jelas Hongki.
Dari cara guru menyelesaikan projek tersebut, dapat dibayangkan bagaimana mereka
mentransfer pengetahuan di dalam kelas. Mereka saja kesulitan dalam menyelesaikan sebuah
permasalahan, bagaimana mereka mengemas suatu masalah dan memberikan jalan kepada
siswanya untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Ini kenapa? Karena mereka belajar metematika, fisika, dan IPA itu seakan-akan terpisah dari
kehidupan, masih abstrak. Sehingga ketika orang belajar itu ya sudah hanya yakin kalau itu
teorinya begitu. Tapi sebenarnya teori itu kan dibentuk dari fenomena alam,” lanjutnya.
Padahal ketika berbicara sains, semua konsep menurut Hongki berasal dari alam. Maka tugas
guru sains sebenarnya harus lebih banyak menghadirkan fenomena alam untuk dieksplorasi
sehingga wawasannya dimerdekakan, dari situlah baru terbentuk suatu konsep.
Unsur Politis dalam Sampling PISA
ADVERTISEMENT
Hongki mengatakan ada unsur politis dalam pengambilan sampel untuk PISA. Menurutnya,
Indonesia sebenarnya punya hak untuk mengajukan sampel untuk diuji kepada OECD, namun
yang terjadi selama ini pengambilan sampel dilakukan secara acak. Padahal, ada disparitas
kompetensi antara siswa di sebuah daerah dengan daerah lainnya.
Meski ada siswa yang tingkat kompetensinya tinggi, namun di sisi lain tak sedikit juga siswa yang
kompetensinya jauh di bawah. Ini yang menurut Hongki membuat skor PISA kita sulit
mengalami kenaikan.
“Tetapi akan beda ketika kita secara politis menentukan, oke kita akan ikut (uji PISA) tapi kamu
harus ngambil sampel di sini, di sini, dan di sini, dan kita memang menyiapkan untuk itu. Itu kan
kebijakan politis, ini kan sebenarnya martabat bangsa, ketika berbicara martabat bangsa kenapa
kita tidak mengambil langkah politis juga. Kita kan tidak pernah mempersiapkan itu (PISA)
seperti kita mempersiapkan UN (ujian nasional),” jelasnya.
Ariyadi juga mengatakan skor PISA belum dapat merepresentasikan kemampuan siswa di
seluruh Indonesia. Sebab, meski Indonesia berhak mengajukan sampel namun pada akhirnya
OECD yang menentukan sampel tersebut.
“Menurut saya itu tidak merepresentasikan Indonesia, bahwa itu adalah perwakilan Indonesia
itu iya. Tapi kalau mewakili kemampuan seluruh siswa Indonesia itu tidak,” tegas Ariyadi.
Menurut Hongki, kesenjangan pendidikan menjadi faktor penting penyebab buruknya peringkat
Indonesia di PISA. Dia mencontohkan bagaimana kondisi pendidikan di Mappi, sebuah
kabupaten di Provinsi Papua yang sedang dia teliti. Di sana, guru bisa konsisten saja dengan
siswanya ternyata menjadi hal mahal sebab tak bisa setiap hari mereka bisa melakukan tatap
muka di dalam kelas.
“Karena gurunya memang untuk hadir di sekolah perjuangannya luar biasa. Untuk bisa sampai
dari rumah ke sekolah itu perjalanan yang harus mereka tempuh juga luar biasa. Dengan kondisi
seperti ini, jangankan membayangkan mereka mampu mengerjakan soal PISA ya, bisa hadir di
dalam kelas tepat waktu sesuai jadwal itu juga masih menjadi impian. Kesenjangan guru di Jawa,
Sumatera, Flores, dan Papua, sangat lah tajam,” papar Hongki.
ADVERTISEMENT
Apa Pentingnya PISA?
Kebahagiaan anak-anak di tengah kelestarian alam sebagai tujuan pendidikan. Foto : Pixabay
PISA menurut Hongki dapat dijadikan sebagai tolok ukur kesiapan siswa kita dalam menghadapi
tantangan di abad 21 ini. Sebab, ketika siswa mampu mengerjakan soal di level lima dan enam,
maka kompetensinya sudah mendekati apa yang diharapkan untuk bisa survive. Dari skor PISA,
kita mendapat potret sejauh mana siswa kita siap menghadapi kehidupan di abad 21,
mengaplikasikan apa yang mereka pelajadi di sekolah agar bisa bertahan hidup di abad 21.
“Ketika ini (skor PISA) masih rendah kan kita bisa membayangkan bagaimana siswa kita akan
survive. Jadi artinya sekolah belum men-support siswa kita untuk bisa survive. Adapun
beberapa siswa yang bisa survive menurut saya itu bukan karena sekolah, mungkin karena
lingkungan atau keluarga yang mendukung,” kata Hongki.
Sementara Ariyadi mengatakan PISA bukanlah segalanya, melainkan hanya salah satu tolok
ukur. Kendati demikian, PISA tetap memiliki peran penting agar siswa bisa memahami bahwa
matematika bukan hanya hitung-hitungan semata melainkan banyak juga terdapat dalam
kehidupan sehari-hari.
“Sehingga ketika nilai PISA belum memuaskan, itu artinya anak belum sepenuhnya paham
matematika di sekitar dia. Mereka mungkin ketika ditanya rumus hafal, tapi digunakan untuk
apa di kehidupan, itu yang belum dapat. Ini yang sayang ketika anak menguasai konsep tapi
tidak tahu bagaimana menggunakannya,” kata Ariyadi.
Bagaimanapun skor PISA yang diperoleh, menurut Ariyadi hal itu harus dijadikan sebagai modal
untuk refleksi dan evaluasi bagaimana meningkatkan kualitas pembelajaran tanpa bermaksud
menjadikan PISA sebagai satu-satunya kiblat. (Widi Erha Pradana / YK-1)