190
Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Vol. 1 No. 1, Desember 2016, hlm. 190-198
Matematika merupakan salah satu Carlson, M. A., 2013, hlm 362) metode
mata pelajaran yang sering dikeluhkan oleh concreteness-fading efektif digunakan
guru karena seringkali hasil belajar siswa untuk menghubungkan situasi konkret ke
dalam pembelajaran ini rendah, sehingga pemikiran yang abstrak, di mana pertama-
guru harus melaksanakan remedial dan tama guru menyajikan situasi konkret (soal
pengayaan untuk siswa. Selain itu, cerita dengan ilustrasi yang jelas),
matematika merupakan materi yang tidak kemudian menggunakan model semi
disukai siswa, khususnya di jenjang konkret, dan secepatnya mengubah
sekolah dasar karena seringkali materi yang situasinya menjadi symbol abstrak.
mereka terima tidak sesuai dengan Sehingga di sini guru bertugas menjadi
kehidupan nyata mereka, sehingga mereka fasilitator yang menjembatani (scaffolding)
sulit untuk mengerti materi tersebut. Hal ini cara berpikir siswa yang masih konkret
sejalan dengan hasil penelitian Sumarmo untuk dapat memahami konsep matematika
dkk (dalam Susanto, A., 2013, hlm. 191) yang abstrak. Pembelajaran matematika
bahwa “hasil belajar matematika sekolah seharusnya menyenangkan dan bermakna
dasar belum memuaskan, juga adanya bagi siswa. Guru bukan hanya menyajikan
kesulitan belajar yang dihadapi siswa dan konsep matematika yang masih abstrak
kesulitan guru dalam mengajarkan secara langsung kepada siswa, tetapi guru
matematika.” Padahal tujuan pembelajaran seyogyanya memfasilitasi siswa dengan
matematika ini ialah untuk membekali anak menyajikan pembelajaran secara konkret
agar memiliki cara berpikir yang logis, sehingga mereka dapat memahami konsep
kritis, dan mampu memecahkan masalah matematika tersebut secara nyata dan
dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana bermakna.
yang disajikan oleh Departemen Belajar tidak akan bermakna bagi
Pendidikan Nasional (dalam Susanto, A., siswa jika mereka pasif atau tidak
2013, hlm. 190) bahwa “tujuan melakukan aktivitas. Hal ini sejalan dengan
pembelajaran matematika adalah (1) hasil penelitian Carpenter, dkk (dalam
memahami konsep matematika; (2) Ding, M. dan Carlson, M. A., 2013, hlm.
menggunakan penalaran pada pola dan 361) yang menemukan bahwa siswa akan
sifat; (3) memecahkan masalah; (4) membangun pengetahuan mengenai
mengkomunikasikan gagasan; dan (5) matematika ketika mereka berpartisipasi
memiliki sikap saling menghargai dalam memperoleh suaut kebermaknaan.
kegunaan matematika dalam kehidupan.” Oleh karena itu dalam pembelajaran,
Konsep matematika sangat berbeda aktivitas sangatlah diperlukan karena pada
dengan tahap perkembangan anak pada prinsipnya belajar adalah berbuat. Siswa
usia sekolah dasar. Soedjadi (dalam tidak disebut belajar ketika mereka tidak
Heruman, 2012, hlm. 1) menyatakan melakukan suatu aktivitas atau hanya
bahwa: “Hakikat matematika yaitu berdiam diri.
memiliki objek tujuan abstrak, bertumpu Belajar sangat memerlukan
pada kesepakatan dan pola pikir yang kegiatan berpikir dan berbuat. Pandangan
deduktif”. Sedangkan dalam modern memandang siswa sebagai
perkembangannya, anak pada usia sekolah seseorang yang memiliki potensi untuk
dasar berada pada tahap operasional berkembang. Sehingga aktivitas siswa akan
konkret, hal ini sejalan dengan pendapat lebih banyak daripada guru. Aktivitas
Piaget (dalam Heruman, 2012, hlm. 1). belajar di sini adalah aktivitas yang bersifat
Sehingga pembelajaran matematika fisik maupun mental.
seharusnya disajikan dengan cara yang Paul B. Diendrich (Sadirman, 2007,
berbeda. Seperti penelitian yang dilakukan hlm. 101) menggolongkan macam-macam
oleh Goldstone dan Son (Ding, M. dan aktivitas siswa antara lain:
Tampubolon, Penerapan Model Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia...
192
Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Vol. 1 No. 1, Desember 2016, hlm. 190-198
193
Tampubolon, Penerapan Model Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia...
teman-temannya.
Pada aspek menggambar, aktivitas
belajar siswa pun meningkat. Pada siklus
pertama siswa memperoleh rata-rata skor
2,25 dengan persentase 56,25% termasuk
Grafik 1. Aktivitas Belajar Delapan Siswa kategori “cukup”. Pada siklus kedua
Pada siklus pertama rata-rata skor menjadi 3,25 dengn persentase 81,25%
yang diperoleh siswa ialah 1,5 dengan termasuk kategori “baik”. Hal tersebut
presentase 27,5% dan menurut depdikbud dikarenakan, tuntutan dalam menggambar
(Skripsi Pekan Baru, 2013, Diakses dari: pola jaring-jaring kubus pada siklus kedua
http://skripsipekannbaru.wordpress. tidak memberatkan siswa, seperti pada
com/2013/04/29/teoritik-aktivitas-belajar- siklus yang pertama. Di mana siswa
dan-pembelajaran) termasuk kategori dituntut untuk menggambar enam pola
“sangat kurang”. Kemudian meningkat jaring-jaring kubus dan balok, sedangkan
pada siklus kedua dengan rata-rata skor percobaan yang mereka lakukan hanya satu
yang diperoleh ialah 4 dengan skor 100% pola saja.
termasuk kategori “baik sekali”. Aktivitas belajar siswa aspek
Aktivitas belajar siswa dalam aspek melakukan percobaan juga mengalami
bertanya dan menanggapi pun mengalami peningkatan. Pada aspek melakukan
peningkatan, karena siswa diberikan percobaan, pada siklus pertama rata-rata
stimulus pemberian reward berupa bintang skor yang diperoleh siswa ialah 1,88
yang jika diakumulasikan akan dengan persentase 46,88% termasuk
memperoleh hadiah. Selain itu, setiap siswa kategori “kurang”. Pada siklus kedua
diberikan kartu kesempatan untuk bertanya menjadi 4 dengan persentase 100%
dan menanggapi secara tertulis. Hal termasuk kategori “sangat baik”. Hal ini
194
Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Vol. 1 No. 1, Desember 2016, hlm. 190-198
sesuai dengan prinsip belajar pembelajaran aktivitas manusia atau aktivitas siswa itu
matematika realistik yang dikemukakan sendiri.
oleh Streefland (dalam Shoimin, 2013, hlm. Penerapan model Pembelajaran
148-149), yaitu constructing and Matematika Realistik Indonesia di kelas IV
concretizing. Pada siklus pertama dan B ini ternyata meningkatkan hasil belajar
kedua, siswa difasilitasi untuk membangun siswa. Peningkatan terjadi pada siklus
pengetahuannya sendiri dengan kedua. Contohnya yang paling signifikan
memanipulasi benda-benda nyata yang ada ialah siswa NF. Hal tersebut dapat dilihat
pada lingkungannya atau yang dapat pada grafik 4.7.
dibayangkan. Karena siswa adalah pelaku
Siklus 1 Siklus 2
utama dalam pembelajaran (Darhim dan
Hamzah, 2005, hlm. 21). Aktivitas 120
pembelajaran delapan orang siswa yang 100
khusus diamati ini secara keseluruhan
80
mengalami peningkatan dari siklus pertama
Nilai
ke siklus kedua. 60
40
Aktivitas Belajar Siswa 20
0
100,00% AK AP AS EN GD KA MKMR ND NF RN WK ZS
Kode Siswa
50,00% Aktivitas
Belajar Siswa
Grafik 3 Peningkatan Hasil Belajar Siswa
Pada siklus pertama, nilai evaluasi
0,00% yang diperoleh siswa NF ialah 9,38
Siklus 1 Siklus 2 kemudian pada siklus kedua nilai evaluasi
yang diperoleh NF ialah 100. Hal tersebut
Grafik 2 Peningkatan Seluruh Aspek dikarenakan, pada siklus pertama bentuk
Aktivitas Belajar Siswa soal evaluasi yang diberikan tidak sesuai
Dapat dilihat pada grafik 4.6, pada dengan pengalam yang dialami siswa. Di
siklus pertama rata-rata skor keseluruhan mana siswa dituntut untuk menggambarkan
seluruh aspek yang diperoleh delapan siswa enam pola jaring-jaring kubus dan balok.
ialah 1,75 dengan persentase 43,75% Sedangkan ketika kegiatan pembelajaran
merupakan kategori “kurang”. Pada siklus mereka hanya melakukan percobaan untuk
kedua meningkat menjadi 3,3 dengan menemukan satu buah pola jaring-jaring
persentase 82,5% merupakan kategori kubus dan balok saja. Meskipun pada
“baik”. Peningkatan tersebut sesuai dengan awalnya peneliti telah merancangkan agar
pendapat Freudenthal (dalam Shoimin, A., terjadi diskusi dalam satu kelompok, yaitu
2013, hlm. 147) mengemukakan bahwa mendiskusikan hasil pola yang masing-
“esensi matematika adalah aktivitas masing siswa temukan. Namun ternyata
manusia, sehingga matematika harus dalam pelaksanaannya siswa mengalami
dikaitkan dengan realitas siswa itu sendiri kesulitan untuk menggunting-gunting
atau harus relevan dan dekat dengan kubus atau baloknya, sehingga memerlukan
kehidupan siswa”. Jadi dalam pembelajaran waktu yang cukup lama untuk siswa
matematika seyogyanya aktivitas siswa menemukan pola jaring-jaringnya.
lebih dominan dari guru. Karena Sehingga waktu untuk melakukan diskusi
matematika bukan sekedar sesuatu yang sangat sempit dan bahkan ada beberapa
jauh dari siswa tetapi matematika adalah kelompok yang tidak melakukan diskusi.
195
Tampubolon, Penerapan Model Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia...
Berbeda pada siklus kedua, siswa sosial. Sehingga siswa pun seharusnya
diberikan soal yang sesuai dengan apa yang diberikan kesempatan untuk belajar
telah mereka alami atau kerjakan ketika bermasyarakat dan belajar menyampaikan
kegiatan pembelajaran. Selain itu, pendapatnya dan menerima pendapat dari
pembentukan kelompok dalam skala kecil orang lain. Hal ini juga sejalan dengan
dan pemberian perintah guru untuk karakteristik pembelajaran matematika
melakukan percobaan secara bersama-sama realistik (Treffers dalam Wijaya, A., 2012,
membuat siswa dalam kelompok hlm. 21-22), yaitu interaktivitas, di mana
melakukan diskusi atau berbagi saran satu ketika siswa saling mengkomunikasikan
sama lain. Hal ini sesuai dengan prinsip hasil kerja dan gagasannya, maka proses
belajar pembelajaran matematika ralistik pembelajaran pun akan menjadi lebih
yang dikemukakan oleh Streefland (dalam bermakna.
Shoimin, 2013, hlm. 148-149), yaitu Oleh karena itu hasil belajar siswa
constructing and concretizing di mana pada secara keseluruhan mengalami peningkatan
langkah pembelajaran memahami masalah dari siklus pertama ke siklus kedua. Pada
(Shoimin, 2013, hlm. 150-151) di siklus siklus pertama nilai rata-rata evaluasi siswa
kedua guru memperlihatkan bentuk jaring- ialah 29,33 dengan nilai tertinggi 43,75 dan
jaring kubus yang salah dan benar serta nilai terendah 9,38. Persentase siswa yang
meminta siswa untuk memilih mana jaring- mencapai KKM ialah 0%. Sedangkan
jaring kubus yang benar. Kemudian setelah dilakukan perbaikan dalam kegiatan
mengajak mereka mencari tahu mengapa pembelajaran siklus kedua, nilai rata-rata
mereka dapat menentukan mana jaring- evaluasi siswa ialah 87,26 dengan nilai
jaring yang benar atau salah dan hal apa tertinggi 100 dan nilai terendah 68,75.
saja yang harus mereka ketahui untuk Persentase siswa yang mencapai KKM
menentukannya. Ketika siswa ialah 92,31%. Pada siklus kedua hanya dua
merekonstruksi pengetahuannya sendiri orang siswa yang tidak mencapai KKM,
melalui benda-benda konkret, maka yaitu siswa AP dan siswa FB, meskipun
pembelajaran pun akan bermakna bagi pada grafik 4.7 terlihat adanya
mereka. Selain itu pada siklus kedua peningkatan. Hal tersebut dikarenakan pada
peneliti menerapkan prinsip structuring soal nomor dua mengenai menggambar
and interwining di mana guru mengaitkan pola jaring-jaring kubus, kedua siswa ini
pembelajaran pada siklus kedua dengan tidak menggambarkan sesuai dengan soal
pembelajaran siklus pertama. Ketika siswa cerita yang ditampilkan (ukurannya
langsung diberikan materi, tanpa berbeda) serta hasil gambar yang dibuat
melakukan pengaitan dengan pengetahuan tidak rapuh.
yang telah siswa miliki maka materi yang 100
dipelajari siswa menjadi tidak bermakna
atau abstrak. Siswa tidak akan paham 80 87,26
maksud dari materi yang diajarkan.
60
Pada langkah pembelajaran
membandingkan dan mendiskusikan 40 Rata-rata nilai
jawaban (Shoimin, 2013, hlm. 150-151) di
siklus kedua terlihat bahwa siswa dalam 20 29,33
kelompok melakukan diskusi satu sama
0
lainnya. Hal tersebut sesuai dengan prinsip siklus 1 siklus 2
belajar pembelajaran matematika realistik
social context and interaction bahwa Grafik 4 Peningkatan Hasil Belajar
belajar bukanlah aktivitas individu saja, Keseluruhan Siswa
tetapi belajar juga merupakan aktivitas
196
Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Vol. 1 No. 1, Desember 2016, hlm. 190-198
Namun secara keseluruhan dilihat pada 2. Peningkatan aktivitas belajar siswa dari
grafik 4.8, hasil belajar siswa kelas IV B siklus pertama ke siklus kedua juga
meningkat dari 29,33 pada siklus pertama terlihat pada delapan siswa yang
menjadi 87,26 pada siklus kedua dan diamati secara khusus. Pada aspek
persentasi siswa yang mencapai nilai KKM bertanya memperoleh persentase skor
melebihi 70%. Sehingga peneliti dari 78,13% menjadi 90,63%. Pada
menghentikan penelitiannya pada siklus aspek memberi saran, memperoleh
kedua ini. Sesuai dengan pendapat persentase skor dari 37,5% menjadi
Wiriaatmadja, R. (2014, hlm. 103) bahwa 100%. Pada aspek menggambar pola
“apabila perubahan yang bertujuan memperoleh persentase skor dari
meningkatkan kualitas pembelajaran telah 56,25% menjadi 81,25%. Pada aspek
tercapai, atau apa yang diteliti telah melakukan percobaan, memperoleh
menunnjukkan keberhasilan, siklus dapat persentase skor dari 46,88% menjadi
diakhiri”. 100%. Pada aspek menanggapi,
Dalam pelaksanaan penelitian terdapat memperoleh persentase skor dari 0%
beberapa kelemahan, yaitu diantaranya menjadi 40,63%. Secara keseluruhan
peneliti seharusnya melakukan penelitian peningkatan aktivitas belajar delapan
siklus ketiga untuk menindak materi jaring- siswa dari siklus pertama ke siklus
jaring balok. Namun dikarenakan kedua ialah 43,75% menjadi 82,5%.
keterbatasan waktu, di mana sekolah 3. Penerapan model Pembelajaran
tempat peneliti melakukan penelitian akan Matematika Realistik Indonesia
segera mengadakan ujian kenaikan kelas meningkatkan hasil belajar siswa pada
(UKK), maka peneliti hanya melakukan siklus kedua yang pada siklus pertama
penelitian sebanyak dua siklus, dan hanya masih rendah. Pada siklus pertama nilai
menuntaskan materi jaring-jaring kubus. rata-rata evaluasi siswa ialah 29,33
Aktivitas belajar siswa pun dalam hal dengan nilai tertinggi 43,75 dan nilai
menanggapi masih dikategorikan “sangat terendah 9,38. Persentase siswa yang
rendah”. Meskipun pada siklus kedua mencapai KKM ialah 0%. Sedangkan
mengalami peningkatan dari siklus setelah dilakukan perbaikan dalam
pertama. Selain itu kegiatan inti dalam RPP kegiatan pembelajaran siklus kedua,
belum menggambarkan secara sempurna nilai rata-rata evaluasi siswa ialah 87,26
langkah-langkah model Pembelajaran dengan nilai tertinggi 100 dan nilai
Matematika Realistik, hanya terlihat pada terendah 68,75. Persentase siswa yang
langkah memahami masalah kontekstual. mencapai KKM ialah 92,31%.
197
Tampubolon, Penerapan Model Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia...
198